MODIFIKASI PATI GARUT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODIFIKASI PATI GARUT"

Transkripsi

1 MODIFIKASI PATI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DENGAN HIDROLISIS ASAM, SIKLUS AUTOCLAVING COOLING, DAN HEAT MOISTURE TREATMENT () UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III (RS3) FATHMA SYAHBANU ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment () Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2015 Fathma Syahbanu NIM F

4 ABSTRAK FATHMA SYAHBANU. Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment () Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3). Dibimbing oleh DIDAH NUR FARIDAH Pati garut berpotensi sebagai bahan baku untuk menghasilkan pati resisten. Secara alami sebagaimana sumber pati lainnya, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Metode modifikasi yang digunakan untuk meningkatkan kadar pati resisten pada pati garut dalam penelitian ini meliputi hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling dan proses dengan pemanasan selama 15 menit (15 ) dan 60 menit (60 ). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari peningkatan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta penurunan daya cerna pati dan total pati pada pati garut termodifikasi; menentukan metode modifikasi pati garut (hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling,, dan atau kombinasi antara hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan ) yang terpilih untuk menghasilkan kadar pati resisten tertinggi; serta menentukan waktu pemanasan pada tahap yang terbaik antara 15 menit dan 60 menit pada suhu C untuk meningkatkan kadar pati resisten. Modifikasi pati garut menggunakan kombinasi metode hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, serta dengan pemanasan selama 60 menit dapat meningkatkan kadar pati resisten (dari 2.15% hingga 29.63%), kadar amilosa (dari 24.50% hingga 35.83%), dan gula pereduksi (dari 4.92% hingga 10.20%), serta menurunkan daya cerna pati (dari 84.92% hingga 54.12%) dan kadar total pati (dari 98.10% hingga 71.28%). Perlakuan pada pati garut yang dimodifikasi menggunakan metode hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan 60 menit (HAAC-60 ) meningkatkan kadar pati resisten sebesar 14 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Perlakuan kombinasi tersebut (HAAC-60 ) terbukti secara signifikan (P<0.05) telah meningkatkan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta menurunkan daya cerna pati dan total pati dari pati garut termodifikasi. Kata kunci: Amilosa, Daya Cerna Pati, Gula Pereduksi,, Pati Resisten, dan Total Pati.

5 ABSTRACT FATHMA SYAHBANU. Modification Of Arrowroot Starch (Marantha arundinaceae L.) By Acid Hydrolysis, Autoclaving Cooling Cycle, and Heat Moisture Treatment () To Produce Resistant Starch Type III (RS3). Supervised by DIDAH NUR FARIDAH. Arrowroot starch has potential as raw material to produce resistant starch. Like other sources of starch, arrowroot starch naturally has low resistant starch content. Modification treatment of arrowroot starch for increasing resistant starch content in this research are acid hydrolysis, threeautoclaving-cooling-cycles, and using heated for 15 minutes (15 ) and 60 minutes (60 ). The objectives of this research are to study the increased of resistant starch, amylose content and reducing sugar content, and also the decreased of starch digestibillity and total starch; to obtain modification method of arrowroot starch (acid hydrolysis, threeautoclaving-cooling-cycles,, and or combination of acid hydrolysis, three-autoclaving-cooling-cycles, and ) for producing the highest resistant starch content; and also to obtain the best heat time of between 15 minutes and 60 minutes at C for increasing resistant starch content. Arrowroot starch modification by using combination of acid hydrolysis method, three autoclaving-cooling cycles, and using heated for 60 minutes increased resistant starch content (from 2.15% to 29.63%), amylose content (from 24.50% to 35.83%), and reducing sugar (from 4.92% to 10.20%), and also decreased both starch digestibility (from 84.92% to 54.12%) and total starch content (from 98.10% to 71.28%). Treatment in arrowroot starch modified by using acid hydrolysis method, threeautoclaving-cooling-cycles and 60 minutes (HAAC-60 ) increased resistant starch content until 14 times fold compared to native arrowroot starch. That combination of treatment (HAAC-60 ) has been proven significantly (P<0.05) to increase resistant starch, amylose content, reducing sugar content and also decrease both starch digestibility and total starch from modified arrowroot starch. Keywords: Amylose Content,, Reducing Sugar, Resistant Starch, Starch Digestibility, and Total Starch.

6

7 MODIFIKASI PATI GARUT (Maranta arundinaceae L.) DENGAN HIDROLISIS ASAM, SIKLUS AUTOCLAVING COOLING, DAN HEAT MOISTURE TREATMENT () UNTUK MENGHASILKAN PATI RESISTEN TIPE III (RS3) FATHMA SYAHBANU Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8

9

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah modifikasi pati garut, dengan judul Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving Cooling, dan Heat Moisture Treatment () Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III (RS3). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Didah Nur Faridah, M.Si selaku pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran serta telah memberi banyak masukan yang berharga selama studi, penyelesaian penelitian hingga penyusunan skripsi. Terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Faleh Setia Budi, MT atas kesediaannya menjadi penguji dalam ujian akhir penulis, serta saran-saran yang diberikan kepada penulis sebagai pendukung dalam penulisan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh teknisi Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, khususnya Mbak Rini Kesenja dan Mbak Nurul Maulidiyah selaku teknisi Laboratorium Biokimia Pangan dan Mikrobiologi Pangan yang memberi banyak bantuan dan saran yang baik selama pelaksanaan penelitian serta Fitria Slameut, Chairul Anand, dan Randy atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian dan bebas laboratorium. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibunda, Ayahanda, dan Adikku tercinta atas segala dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak henti. Tak lupa juga ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kak Ratna dan Kak Mutiara atas dukungan yang tak henti diberikan, serta segenap teman-teman ITP 48 tercinta yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, April 2015 Fathma Syahbanu

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA 4 Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.) 4 Pati Garut 5 Pati Resisten 6 Modifikasi Pati dengan Metode Hidrolisis Asam (Lintnerisasi) 7 Metode Pemanasan-Pendinginan (Autoclaving Cooling) 7 Modifikasi Pati dengan Metode (Heat Moisture Treatment) 8 METODE 9 Bahan 9 Alat 9 Metodologi Penelitian 9 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Karakterisasi Pati Garut Alami dan Termodifikasi Hidrolisis Asam 19 Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Pati Resisten 20 Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Gula Pereduksi 22 Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Penurunan Daya Cerna Pati 23 Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Total Pati, Amilosa, dan Amilopektin 25 Hubungan antara kadar pati resisten, gula pereduksi, kadar amilosa, daya cerna pati, dan total pati 28 SIMPULAN 33 SARAN 34 DAFTAR PUSTAKA 35 RIWAYAT HIDUP 40 vi vi

12 DAFTAR TABEL 1 Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan banana 5 2 Komposisi kimia pati garut alami dan pati garut termodifikasi hidrolisis asam 20 3 Kadar pati resisten pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 22 4 Kadar gula pereduksi pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 24 5 Daya cerna pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 25 6 Kadar amilosa pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati 27 7 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin 28 8 Hasil uji korelasi antar parameter analisis 32 DAFTAR GAMBAR 1 Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas 4 2 Tahapan penelitian dalam proses modifikasi pati garut dan karakterisasinya 10 3 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan hidrolisis asam 11 4 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan tiga siklus AC 12 5 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan 13 6 Histogram kadar pati resisten 22 7 Histogram kadar gula pereduksi 24 8 Histogram daya cerna pati 25 9 Histogram kadar total pati Histogram kadar amilosa Analisis korelasi gula pereduksi terhadap kadar pati resisten Analisis korelasi daya cerna pati dan total pati terhadap kadar pati resisten Analisis korelasi total pati terhadap kadar gula pereduksi Analisis korelasi kadar amilosa terhadap kadar pati resisten 33

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini, pangan fungsional semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat. Fungsi pangan pun semakin meningkat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan zat gizi, tetapi dapat juga untuk memberikan efek fungsional dalam menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Pangan yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan tersebut dikenal dengan pangan fungsional. Seiring dengan perkembangan industri pangan di Indonesia, produk pangan berbasis sumber daya lokal juga terus dikembangkan sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan. Umbi-umbian adalah sumber karbohidrat yang memiliki potensi untuk diversifikasi pangan serta sekaligus mempunyai sifat fungsional, salah satunya adalah umbi garut. Program pengembangan tanaman garut sebagai sumber bahan baku alternatif industri pangan diluncurkan presiden BJ Habibie sejak 1998 sebagai salah satu pemenuhan pangan nasional. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan pati garut untuk dapat mensubtitusi tepung terigu, sesuai dengan niat pemerintah untuk mengubah paradigma impor bahan pangan (Anwar et al. 1999). Karakteristik alami dari umbi garut antara lain mudah dicerna (Purseglove 1975), memiliki IG yang rendah (Faridah et al. 2008), dan dapat tumbuh pada tanah kurang subur, tandus, kering, tandus dan berkapur. Umbi garut sebenarnya merupakan tanaman yang tidak terlalu asing bagi sebagian masyarakat Indonesia namun pemanfaatannya untuk kepentingan pangan secara komersil belum dikaji secara optimum. Modifikasi pati garut bertujuan untuk memperbaiki salah satu karakteristik alami dengan menjadikan pati garut memiliki kadar pati resisten tipe III yang tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis dan memperluas cakupan penggunaan pati garut. Pati resisten atau Resistant Starch (RS) adalah salah satu ingredien bahan pangan yang dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan pangan fungsional (EURESTA 1993; Lehmann dan Robin 2007; Li et al 2011). Pati resisten merupakan karbohidrat yang tidak tercerna dalam sistem pencernaan manusia sehingga berpengaruh positif bagi tubuh (Topping dan Clifton 2001; Li et al 2011), pencegah kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotik, mengurangi resiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak dan meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006; Li et al 2011), serta berkalori rendah yaitu sebesar 11.7 KJ/g RS (Bauer et al. 2005) atau secara teori memiliki nilai kalori sebesar 1.9 Kkal/g. Pati resisten (RS) dapat dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu pati resisten yang secara fisik tidak dapat dicerna karena terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan yang tidak bisa dicerna (RS1), pati resisten yang secara alami sangat tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase (RS2), pati resisten yang dimodifikasi secara fisik, pati retrogradasi, maupun pangan yang mengandung pati yang dihasilkan dari proses pengolahan (RS3), pati resisten yang dimodifikasi secara kimia (RS4), dan pati resisten yang diperoleh akibat

14 2 terjadinya pembentukan kompleks single-helix antara lipid dan amilosa (RS5) (Ratnayake dan Jackson 2008; Sanz et al. 2009; Fuentes-Zaragoza et al. 2010; Ai et al. 2013). Di antara kelima jenis pati resisten tersebut, pati resisten tipe III (RS3) merupakan tipe pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Pati resisten tipe III (RS3) dapat dihasilkan dari proses pemanasan suhu tinggi dan pendinginan secara berulang atau disebut siklus autoclaving-cooling (Zabar et al. 2008). Proses autoclaving-cooling merupakan kombinasi proses gelatinisasi (fraksi amilosa keluar dari granula) dan retrogradasi pati (proses kristalisasi amilosa yang bertanggung jawab pada pembentukan RS3) (Sajilata et al. 2006; Mun dan Shin 2006). Proses autoclaving-cooling ini dapat meningkatkan kadar RS3, dimana kadar RS3 secara proporsional berbanding lurus dengan kandungan amilosa dalam bahan pangan (Shu et al. 2007). Pati garut berpotensi sebagai sumber bahan baku RS3. Hasil pengamatan dengan menggunakan difraksi sinar X menunjukkan bahwa pati garut memiliki tipe kristalin A, rantai amilopektin pati garut memiliki derajat polimerisasi (DP) berkisar 9-30 dalam jumlah yang tinggi (96,0%) (Faridah et al. 2014; Srichuwong 2006). Pati garut juga memiliki densitas yang lebih tinggi pada daerah struktur heliks (Wang et al. 1998), proporsi lebih tinggi pada rantai cabang amilopektin yang berukuran pendek (Hizukuri et al. 1983), serta jumlah rantai per klaster yang relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan tipe kristalin B (Takeda dan Hanashiro 2003). Struktur pati garut tersebut sangat mendukung pembentukan RS3 apabila dilakukan proses hidrolisis dengan asam atau pemutusan ikatan cabang α-1,6 amilopektin (debranching) atau kombinasi antara hidrolisis asam dan debranching yang dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Secara alami sebagaimana sumber pati lainnya, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar pati resisten adalah dengan proses retrogradasi pati yang dapat menghasilkan pati resisten tipe III (RS3). Retrogradasi pati dapat dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (cooling) secara berulang-ulang (Zabar et al. 2008). Pati lebih mudah mengalami retrogradasi dalam bentuk molekul amilosa rantai pendek dengan derajat polimerasi (DP) berkisar Nilai DP sekitar adalah nilai yang cukup optimal untuk meningkatkan kadar pati resisten (Schmiedl et al. 2000). Semakin banyak jumlah fraksi amilosa rantai pendek maka semakin besar peluang terbentuknya pati yang teretrogradasi. Jumlah fraksi amilosa rantai pendek dapat ditingkatkan dengan cara menghidrolisis secara parsial ikatan glikosidik pada rantai molekul amilosa dan amilopektin, baik dengan hidrolisis asam maupun secara enzimatis. Proses hidrolisis asam yang dilakukan dengan menggunakan asam kuat, secara parsial dapat menyerang bagian amorf dari granula pati yang dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Hidrolisis secara enzimatis dapat dilakukan secara spesifik dengan memotong ikatan glikosidik pada titik percabangan α-1,6 dari molekul amilopektin (debranching), yaitu dengan menggunakan enzim pullulanase. Hasil hidrolisis secara enzimatis ini pun dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Selain menggunakan perlakuan siklus autoclaving-cooling, peningkatan kadar pati resisten dapat dilakukan menggunakan metode. Sifat resistensi pati berhubungan dengan pembentukan kristalit pada granula pati. Metode

15 dapat menyempurnakan pembentukan kristalit pada granula pati sehingga dapat meningkatkan kadar pati resisten (Chung et al. 2009). Dalam penelitian ini, peningkatan kadar RS3 pada pati garut dilakukan dengan metode modifikasi pati berupa : 1) Proses (Heat Moisture Treatment), 2) hidrolisis asam (lintnerized starch), 3) pemanasan-pendinginan (autoclaving-cooling), 4) hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan proses, 5) hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan pemanasan-pendinginan, 6) kombinasi pemanasan-pendinginan dan proses, serta 7) kombinasi hidrolisis asam dan pemanasan-pendinginan yang dilanjutkan dengan proses. 3 Perumusan Masalah Pati garut berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk menghasilkan pati resisten. Secara alami, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan pati resisten adalah dengan proses retrogradasi pati yang dapat menghasilkan pati resisten tipe III (RS3). Retrogradasi pati dapat dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (cooling) secara berulang-ulang. Pati lebih mudah mengalami retrogradasi dalam bentuk molekul amilosa rantai pendek dengan derajat polimerasi (DP) berkisar Semakin banyak jumlah fraksi amilosa rantai pendek maka semakin besar peluang terbentuknya pati yang teretrogradasi. Jumlah fraksi amilosa rantai pendek juga dapat ditingkatkan dengan cara menghidrolisis secara parsial ikatan glikosidik pada rantai molekul amilosa dan amilopektin, baik dengan hidrolisis asam. Proses hidrolisis asam secara parsial dapat menyerang bagian amorf dari granula pati yang dapat menghasilkan amilosa rantai pendek. Sifat resistensi pati berhubungan dengan kristalinitas granula pati. Metode berperan dalam menyempurnakan pembentukan kristalit pada granula pati, sehingga dapat meningkatkan kadar RS3 pada pati garut. Dengan adanya kombinasi hidrolisis asam, siklus autoclavingcooling, dan, diharapkan terjadinya peningkatan kadar RS3 pada pati garut. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mempelajari peningkatan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta penurunan daya cerna pati dan total pati pada pati garut hasil modifikasi dengan metode hidrolisis asam (lintnerization), proses pemanasan-pendinginan (autoclaving-cooling), proses (Heat Moisture Treatment), dan atau kombinasi antara hidrolisis asam, proses pemanasan-pendinginan, dan proses. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan metode modifikasi pati garut (hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling,, dan atau kombinasi antara hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan ) yang terpilih untuk menghasilkan kadar pati resisten tertinggi pada pati garut serta menentukan waktu proses pemanasan (autoclaving) yang terbaik antara lama pemanasan selama 15 menit dan 60 menit pada tahap Heat Moisture treatment ().

16 4 2. Melakukan karakterisasi sifat kimia pada pati garut alami dan pati garut hasil modifikasi yang meliputi analisis proksimat (hanya dianalisis pada pati garut alami dan termodifikasi hidrolisis asam), analisis kadar air, kadar pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat untuk masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya hidup sehat. Diharapkan dari penelitian ini akan dihasilkan RS3 dari pati garut termodifikasi dengan memiliki daya cerna pati yang rendah sehingga memberikan nilai Indeks Glikemiks (IG) yang rendah, sehingga cocok digunakan sebagai salah satu ingredien pangan fungsional. Selain itu, penerapan RS3 dari pati garut termodifikasi sebagai ingredien bahan pangan diharapkan dapat meningkatkan mutu pada produk pangan yang dihasilkan. TINJAUAN PUSTAKA Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.) Tanaman tegak ini termasuk dalam kingdom Plantae, subkingdom Tracheophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, subkelas Zingiberidae, ordo Zingiberales, famili Marantaceae, genus Maranta, dan spesies Maranta arundinacea L. (Anonim 2009). Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di Jawa Tengah, garut disebut dengan angkrik, arus, erus, dan garut, di Jawa Barat dikenal dengan nama patat dan sagu, dan di Madura dinamakan arut, larut, atau selarut. Daerah asal tanaman garut adalah Amerika tropis, yang kemudian tersebar luas ke daerah tropis lainnya termasuk Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian m dpl dan tumbuh baik pada ketinggian m dpl pada tempat-tempat dengan tanah lembab yang terlindung dari sinar matahari langsung (Sastrapradja et al. 1977). Visualisasi umbi garut dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Umbi garut sebelum dan sesudah dikupas (Faridah et al. 2008)

17 Villamajor dan Jurkema (1996) menyatakan bahwa garut mempunyai dua jenis kultivar yang penting, yaitu creole dan banana. Kedua jenis kultivar tersebut memiliki umbi yang berwarna putih meskipun karakteristiknya berbeda satu dengan yang lain. Kultivar creole memiliki umbi yang lebih panjang dan langsing dengan pertumbuhan menyebar dan masuk ke tanah lebih dalam. Kultivar banana mempunyai umbi yang lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan terbuka pada permukaan tanah yang tidak lebih dalam, sehingga lebih mudah dipanen. Kultivar creole mempunyai daya tahan lebih lama, yaitu sekitar tujuh hari dibandingkan kultivar banana yang hanya tahan dua hari. Komposisi zat gizi masing-masing kultivar berbeda-beda. Kandungan zat gizi ini juga dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tempat tumbuhnya (Lingga et al. 1986). Komposisi berbagai kultivar umbi garut dapat dilihat pada Tabel 1. Umbi garut mempunyai kegunaan cukup banyak antara lain sebagai bahan makanan dan ramuan obat-obatan. Umbi garut yang masih muda dapat digunakan sebagai makanan kecil dengan cara dikukus, direbus, atau dibakar terlebih dahulu. Umbi garut rasanya manis, tetapi bila sudah tua akan banyak seratnya. Umbi garut yang sudah tua umumnya dijadikan tepung atau diambil patinya (Yustiareni 2000). Tabel 1 Komposisi kimia umbi garut kultivar creole dan banana Kadar (%) 1 Kultivar Umbi Garut Creole 2 Banana 3 Air Abu Karbohidrat Protein Lemak Pati Keterangan : 1 Kadar dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis basah; 2 Faridah et al. (2008); 3 Kay (1973) 5 Pati Garut Tanaman garut dibudidayakan terutama untuk diambil patinya. Pati garut mudah dicerna sehingga di beberapa tempat dimanfaatkan sebagai makanan bayi atau orang yang mengalami gangguan pencernaan. Pati garut juga digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik, lem, alkohol, juga tablet yang diinginkan bersifat mudah larut (Kay 1973). Pati garut diperoleh dari rimpang garut yan telah berumur 8-12 bulan (Widowati et al. 2002). Pati dibuat melalui tahapan proses pengupasan, pencucian, perendaman, ekstraksi, pengendapan, pengeringan, penggilingan, pengayakan (Lingga et al. 1986).

18 6 Pati Resisten Pati adalah sumber utama karbohidrat dalam pencernaan manusia (Ratnayake dan Jackson 2008). Pati dapat diklasifikasikan menjadi pati yang dapat dicerna (digestible starch) dan tidak dapat dicerna (resisten/non-digestible starch). Pati yang dapat dicerna (digestible starch) adalah pati yang dapat dipecah (didegradasi) menjadi glukosa oleh enzim di dalam saluran pencernaan. Pati yang dapat dicerna ini dapat dikategorikan lebih lanjut ke dalam kelompok pati yang dapat dicerna dengan cepat (rapidly digestible starch) dan pati yang dapat dicerna secara lambat (slowly digestible starch) (Liu 2005). Proses ekstraksi pati, terutama pada tahap penggilingan, dapat menyebabkan struktur sel tanaman mengalami kerusakan dan menghasilkan pati yang mudah mengalami gelatinisasi dan menghasilkan pati yang lebih mudah dicerna di dalam usus halus (Faridah 2011). Secara umum, pati yang dapat dicerna, dapat dihidrolisis oleh enzim α- amilase, enzim glukoamilase, dan enzim sukrase-isomaltase dalam usus halus menjadi glukosa bebas yang dapat diserap (Nugent 2005). Akan tetapi, tidak semua pati dalam pencernaan manusia dapat dicerna dan diserap di dalam usus halus (Ratnayake dan Jackson 2008). Pati resisten atau pati yang tidak dapat dicerna (non-digestible starch) termasuk ke dalam bagian pati dan produk pati yang sulit untuk dicerna ketika melewati saluran Gastro Intestinal (saluran pencernaan) (Nugent 2005), namun dapat difermentasi secara lambat oleh mikroflora di usus besar (Liu 2005). Pati resisten difermentasi oleh mikloflora pada dinding kolon dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid). Profil SCFA yang diperoleh dari pati resisten banyak mengandung asam asetat, asam propionat, dan asam butirat (Faridah 2011). Karakteristik fisik dari pati resisten adalah memiliki daya ikat air yang rendah, sehingga pati resisten dapat dikatakan sebagai ingredien fungsional (Baixauli et al. 2008). Hal ini dikarenakan pati resisten tidak dapat berkompetisi dengan ingredien lain untuk memperoleh air, lebih mudah untuk diolah, dan tidak menyebabkan lengket (Faridah 2011), serta dapat meningkatkan mutu tekstur terhadap produk pangan akhir (Baixauli et al. 2008). Pati resisten (RS) dapat diklasifikasi menjadi lima tipe berdasarkan pada asal dan proses pembuatannya yaitu RS1, RS2, RS3, RS4, dan RS5. Pembuatan pati resisten biasanya melibatkan perlakuan hidrolisis dengan asam dan perlakuan hidrotermal, pemanasan, retrogradasi, pemasakan dengan cara ekstrusi, modifikasi kimia, dan repolimerisasi (Nurhayati 2011). Lima tipe pati resisten yang terdapat dalam pangan antara lain pati resisten yang secara fisik tidak dapat dicerna karena terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan yang tidak bisa dicerna, seperti pati pada polongpolongan (RS1), pati resisten yang secara alami sangat tahan terhadap pencernaan oleh enzim α-amilase, serta merupakan pati alami yang berupa granula pati, contohnya pati jagung yang kaya amilosa, pati kentang mentah, dan pati pisang mentah (RS2), pati yang dimodifikasi secara fisik yaitu pati yang sudah mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang (RS3). Produksi pati resisten tipe 3 pada dasarnya melalui tiga tahapan proses yaitu pemutusan cabang, gelatinisasi, dan retrogradasi pati native pada kondisi-kondisi yang dioptimalkan yaitu suhu penyimpanan dan konsentrasi pati (Jacobash et al. 2006). Pati resisten tipe 4 merupakan pati yang dimodifikasi secara kimia untuk

19 memperoleh pati yang tahan terhadap enzim amilase pankreas pada saluran pencernaan, seperti pati yang dimodifikasi secara eterifikasi, esterifikasi, dan ikatan silang (cross link) (RS4), serta pati resisten tipe 5 yang diperoleh akibat terjadinya pembentukan kompleks single-helix antara lipid dan amilosa (Sajilata et al. 2006; Ratnayake dan Jackson 2008; Sanz et al. 2009; Fuentes-Zaragoza et al. 2010; Ai et al. 2013). 7 Modifikasi Pati dengan Metode Hidrolisis Asam (Lintnerisasi) Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu agar dihasilkan sifat yang lebih baik, terutama sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya (Aparicio-Saguilan et al 2005). Modifikasi pati dengan asam (lintnerisasi) tergolong ke dalam modifikasi pati secara kimia. Metode hidrolisis asam dilakukan dengan menggunakan asam kuat, seperti asam klorida dan asam sulfat. Asam kuat akan menghidrolisis ikatan glikosida sehingga memperpendek rantai ikatan kimia pada pati dan berat molekul pati menjadi lebih rendah. Selama proses modifikasi asam, asam akan menghidrolisis ikatan glikosidik dan memperpendek panjang rantai pati. Menurut Franco et al. 2002, asam kuat akan menghidrolisis lebih cepat pada bagian amorfous granula pati namun akan lebih lambat pada bagian kristalin. Perlakuan hidrolisis pati secara lambat (lintnerisasi) bertujuan untuk meningkatkan jumlah fraksi amilosa rantai pendek dengan bobot molekul rendah yang merupakan hasil degradasi fraksi amilosa rantai panjang dan titik percabangan α-1,6 inter-klaster dari rantai amilopektin. Apabila jumlah fraksi amilosa rantai pendek meningkat, maka semakin banyak fraksi amilosa yang teretrogradasi, sehingga proses pembetukan RS3 semakin tinggi dan berdampak pada penurunan daya cerna pati. Menurut Aparicio-Saguilan et al. 2005, Zhao dan Lin 2009, fraksi amilosa sebagai struktur linear akan memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen sehingga struktur amilosa membentuk kristalit yang kompak. Modifikasi pati dengan metode hidrolisis asam (lintnerisasi) tidak mengubah bentuk dari granula pati yang dihasilkan, namun dapat menyebabkan penurunan kemampuan mengembang (swelling), viskositas, dan kestabilan pasta pati selama proses gelatinisasi (Ferrini et al. 2008). Metode Pemanasan-Pendinginan (Autoclaving Cooling) Metode autoclaving-cooling adalah perlakuan fisik untuk memodifikasi pati alami menjadi pati resisten tipe III (RS3) (Zabar et al. 2008). Proses autoclavingcooling merupakan kombinasi proses gelatinisasi (fraksi amilosa keluar dari granula) dan retrogradasi pati (proses kristalisasi amilosa yang bertanggung jawab pada pembentukan RS3) (Sajilata et al. 2006, Mun dan Shin 2006). Menurut Sajilata et al. (2006), perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving-cooling dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9%. Metode autoclaving-cooling dilakukan dengan mensuspensikan pati dengan rasio penambahan air 1 : 3.5 atau 1 : 5 (b/v), kemudian dipanaskan menggunakan autoklaf pada suhu tinggi. Setelah diautoklaf, suspensi pati tersebut disimpan pada suhu rendah agar terjadi retrogradasi. Siklus tersebut dilakukan secara berulang

20 8 untuk meningkatkan kadar pati resisten. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-cooling cycling treatment (Zabar et al. 2008). Pratiwi (2008) melaporkan bahwa pati modifikasi 3 siklus dipilih untuk dianalisis karena memiliki daya cerna pati yang tidak berbeda nyata dengan Novelose 330 yang mempunyai daya cerna pati terendah. Daya cerna pati dapat dijadikan sebagai parameter awal dari keberadaan pati resisten. Semakin rendah daya cerna pati maka kadar pati resisten dalam pati tersebut akan semakin tinggi. Berdasarkan pernyataan tersebut disimpulkan bahwa modifikasi pemanasanpendinginan 3 siklus berulang dapat menghasilkan pati resisten tipe III yang optimum. Pemanasan dengan otoklaf dilakukan selama 15 menit pada suhu C supaya pati garut tergelatinisasi. Faktor-faktor penting dalam modifikasi pati menggunakan metode pemanasan-pendinginan berulang antara lain suhu pemanasan lebih tinggi dari suhu gelatinisasi (80 0 C C) agar pati dapat tergelatinisasi sempurna, penyimpanan pada suhu rendah untuk menstimulir terjadinya retrogradasi, dan suhu pengeringan gel pati yang dihasilkan setelah proses pemanasan-pendinginan selesai dilakukan. Proses autoclaving-cooling pati gandum menghasilkan 9% pati resisten atau meningkat 9 kali lipat dari pati gandum tanpa perlakuan pemasakan. Pati gandum yang diberi perlakuan 3 siklus autoclaving-cooling mengalami peningkatan kadar pati resisten dari 6.2% menjadi 7.8%. Pembentukan pati resisten pada pati biji barley sangat dipengaruhi oleh jumlah siklus autoclaving-cooling, peningkatan jumlah siklus dari 1 hingga 20 menghasilkan pati resisten dari 6% hingga 26% (Siljestrom dan Asp 1985; Szczodrak dan Pomeranz 1991). Modifikasi Pati dengan Metode (Heat Moisture Treatment) Modifikasi adalah metode modifikasi secara fisik melalui perlakuan panas dengan suhu diatas suhu gelatinisasi (80 0 C C) pada kadar air yang terbatas (<35% w/w) dengan lama pemanasan selama 15 menit 16 jam, sehingga melibatkan pengaturan kadar air dan perlakuan panas (Hoover 2010; Zavareze dan Dias 2011; Arns et al. 2014). Teknik dapat meningkatkan kecenderungan retrogradasi pati garut yang bertanggung jawab terhadap pembentukan RS3 (Singh et al. 2005). Modifikasi pati dengan metode dapat mengubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati, sehingga dapat meningkatkan kristalinitas pada granula pati (Olayinka et al. 2008; Chung et al. 2009; Hoover 2010; Ambigaipalan et al. 2014). Proses juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosaamilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous, memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin, meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta mengubah derajat kritalinitas pati. Perlakuan akan memberikan efek perubahan yang berbeda tergantung pada sumber pati dan kondisi proses yang diterapkan (Olayinka et al. 2008). Pemanasan pada tahap bertujuan untuk pembentukkan ulang ikatan-ikatan yang ada dalam granula pati, degradasi molekul amilopektin, peningkatan interaksi antar molekul di dalam granula, serta perubahan interaksi antara daerah amorphous dan kristalit (Adebowale et al. 2005; Lawal dan Adebowale 2005;

21 Lorlowhakarn dan Naivikul 2006,). Pembentukan ulang ikatan-ikatan yang ada dalam granula pati ini menyebabkan sejumlah besar fraksi amilosa rantai pendek akan membentuk struktur double helix yang lebih banyak terutama di daerah amorphous granula pati, sehingga dapat menghasilkan struktur yang lebih rapat dan kompak (Ji et al 2015; Lawal dan Adebowale 2005; Watcharatewinkul et al. 2009). 9 METODE Bahan Pada penelitian ini bahan yang akan digunakan adalah pati garut dari Kelompok Wanita Tani Yogyakarta. Bahan-bahan untuk analisis yaitu heksana, K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4, NaOH, Na 2 S 2 O 3, HCl, H 3 BO 3, merah metil dan biru metil, Na 2 HPO 4, NaH 2 PO 4, NaOH, enzim amiloglukosidase (Sigma A-9913), etanol, KOH, enzim pepsin (Sigma P-7000), akuades, KCl, HCl, asam asetat glasial, natrium asetat, asam dimetilsalisilat (DNS), enzim α-amilase (Fluca), pati murni (E Merck), maltosa murni (E Merck), fenol, H 2 SO 4, SDS, glukosa, kertas saring, padatan ferri-amonium sulfat, K 4 Fe(CN) 6 (potasium ferrisianida), Na 2 CO 3, NaHCO 3, amilosa murni (Fluca), I 2, KI, dan aluminium foil. Alat Alat-alat yang akan digunakan dalam pembuatan modifikasi pati terdiri dari vibrating screen, oven pengering, otoklaf, gelas beaker, loyang, inkubator, refrigerator, dan freezer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu peralatan gelas, blender, mortar, ph meter, refrigerator, freezer, termometer, neraca analitik, spektrofotometer, vorteks, inkubator, oven, sentrifuse, perangkat Soxhlet, perangkat Kjeldahl, labu destilasi, alat analisa pati resisten dan lain-lain. Metodologi Penelitian Tahapan penelitian ini dilakukan dalam dua tahap (Gambar 2). Pada tahap pertama dilakukan karakterisasi pati garut alami berupa analisis proksimat, kadar pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati. Pada tahap kedua yaitu dilakukan modifikasi pati garut dengan menggunakan metode hidrolisis asam, siklus autoclaving-cooling, proses, serta perlakuan kombinasi hidrolisis asam, siklus autoclaving-cooling, dan proses beserta karakterisasinya berupa analisis proksimat (hanya dianalisis pada pati garut termodifikasi hidrolisis asam), kadar air, pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati.

22 10 Pati Garut Hidrolisis Asam Tiga siklus Autoclaving-Cooling 15 menit dan 60 menit Pati Garut Termodifikasi Karakterisasi sifat kimia pati garut alami dan termodifikasi: Analisis kadar air Pati resisten Gula Pereduksi Daya cerna pati Total Pati Kadar Amilosa Analisis proksimat pati garut alami dan pati garut termodifikasi hidrolisis asam Gambar 2 Tahapan penelitian dalam proses modifikasi pati garut dan karakterisasinya Karakterisasi Pati Garut Alami dan Pati Garut Termodifikasi Hidrolisis Asam Analisis yang dilakukan yaitu analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat), kadar pati resisten, kadar amilosa, kadar gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati. Pembuatan Modifikasi Pati Garut dengan Hidrolisis Asam (Faridah 2011) Sebanyak g pati garut disuspensikan dalam larutan HCl (nisbah 1:1 (b/v)) dengan konsentrasi 2.2N. Suspensi pati diinkubasi pada suhu 35 0 C selama 2 jam dengan terus dilakukan pengadukan (pengadukan dilakukan tiap 5 menit). Suspensi pati garut yang telah mengalami perlakuan hidrolisis asam tersebut

23 kemudian dinetralkan dengan menggunakan larutan natrium hidroksida (NaOH 1M) hingga mencapai ph 6.0. Selanjutnya, suspensi pati yang telah dinetralkan tersebut dilakukan pencucian dengan akuades sebanyak 2 kali volume HCl dan didiamkan selama 2 jam. Pencucian suspensi pati dengan akuades dilakukan sebanyak 3 kali pencucian. Selanjutnya, suspensi pati tersebut dikeringkan dengan menggunakan tray dryer pada suhu 50 0 C selama 24 jam hingga mencapai kadar air 10-20%. Setelah kering, pati digiling dengan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan 80 mesh, kemudian dikemas dan disimpan di dalam freezer C sampai digunakan. 11 Pati garut alami Suspensikan ke dalam larutan HCl 2.2N (1:1 (b/v)) Inkubasi 35 0 C selama 2 jam Penetralan dengan NaOH 1M hingga ph 6.0 Pencucian dengan aquades (sebanyak 3 kali) Didiamkan selama 2 jam Pengeringan 50 0 C selama 24 jam Penggilingan dengan blender Pengayakan 80 mesh Pati termodifikasi hidrolisis asam Gambar 3 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan hidrolisis asam

24 12 Pembuatan Modifikasi Pati Garut dengan Siklus Autoclaving-Cooling (Faridah 2011) Sebanyak 20.0 g pati garut hasil hidrolisis asam atau pati garut alami dalam erlenmeyer 300 ml disuspensikan kembali dalam akuades (20%b/v), kemudian diberi perlakuan pemanasan awal pada suhu 80 0 C selama 5 menit dan dipanaskan di dalam otoklaf C selama 15 menit. Sampel yang telah diberi perlakuan didinginkan selama 1 jam pada suhu ruang dan selanjutnya disimpan dalam refrigerator 4 0 C selama 24 jam. Siklus pemanasan-pendinginan (autoclavingcooling) tersebut dilakukan sebanyak 3 kali. Selanjutnya, sampel pati garut dari perlakuan tersebut dikeringkan, digiling, diayak, dikemas, dan disimpan dalam freezer C sampai digunakan. Pati garut alami Suspensikan ke dalam air (20% b/v) Pemanasan awal hingga homogen dan mengental (80 0 C) Diautoklaf selama 15 menit, C Didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam 3x Disimpan pada suhu 4 0 C selama 24 jam Dikeringkan dengan freeze dryer Penggilingan dengan blender Pengayakan 80 mesh Pati termodifikasi 3 siklus AC Gambar 4 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan 3 siklus AC Pembuatan Modifikasi Pati Garut dengan Metode Heat Moisture Treatment Modifikasi pati garut dengan metode mengacu pada Lehmann et al. (2002). Sebanyak 20.0 g pati garut alami atau pati garut hasil modifikasi diatur

25 kadar airnya hingga mencapai 20% dengan menyemprotkan akuades. Jumlah akuades ditentukan berdasarkan neraca massa, sehingga diketahui bobot aquades yang harus ditambahkan. Formulasi perhitungan dari neraca massa untuk penyetaraan kadar air sebagai berikut. (100% - KA 1 ) x BP 1 = (100% - KA 2 ) x BP 2 Keterangan : KA 1 = kadar air kondisi awal (%bb) KA 2 = kadar air pati yang diinginkan (%bb) BP 1 = bobot pati pada kondisi awal BP 2 = bobot pati setelah mencapai KA 2 Pati basah yang telah mencapai kadar air 20%b/b selanjutnya ditempatkan di dalam plastik HDPE bertutup. Pati didiamkan pada suhu ruang selama satu malam untuk penyeragaman kadar air. Pati basah tersebut kemudian diberikan perlakuan dengan cara dipanaskan dalam otoklaf pada suhu C selama 15 menit dan 60 menit untuk memperoleh pati modifikasi. Selanjutnya, sampel pati garut dari perlakuan tersebut dikeringkan dengan tray dryer selama 2 jam pada suhu 50 0 C Pati garut alami 13 Semprotkan aquades hingga kadar air 20% b/v) Pati lembab ditempatkan dalam plastik HDPE, diamkan 1 jam Diautoklaf C selama 15 menit dan 60 menit Didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam Dikeringkan dengan tray dryer, 50 0 C, 2 jam Penggilingan dengan blender Pengayakan 80 mesh Pati termodifikasi Gambar 5 Diagram alir proses modifikasi pati garut dengan Analisis Kadar Air ( AOAC 2000) Kadar air sampel pati garut dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu C

26 14 selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan yang sudah kering ditimbang sebelum digunakan. Sekitar 2.0 g sampel pati garut ditimbang ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 130 C selama 1 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 1): Kadar air (%bb) = {[a (b c)] / a } x 100 (1) dengan : a = bobot sampel awal (g); b = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g); c = bobot cawan kosong (g). Analisis Kadar Abu ( AOAC 1998) Kadar abu pati garut dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan porselin kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 C selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator. Cawan porselin kering tersebut ditimbang dan dicatat bobotnya sebelum digunakan. Sebanyak g sampel pati garut ditimbang di dalam cawan porselen tersebut dan dimasukkan dalam tanur listrik bersuhu 550 C sampai pengabuan sempurna. Setelah pengabuan selesai, cawan contoh didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi kembali hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (persamaan 2 dan 3): Kadar abu (%bb) = (b / a) x 100 (2) Kadar abu (%bk) = [kadar abu (%bb)/ (100 kadar air)] x 100 (3) dengan: a = bobot sampel awal (g); b= bobot abu (g). Kadar Lemak (SNI ) Kadar lemak pati garut dianalisis dengan menggunakan soxhlet. Labu lemak dikeringkan di dalam oven 105 C selama 15 menit, didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebelum digunakan. Sebanyak g sampel pati garut dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas yang berisi sampel disumbat dengan kapas, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80 C selama ± 1 jam. Selongsong kertas tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak. Lemak dalam sampel diekstraksi dengan heksana selama ± 6 jam. Heksana disuling sehingga diperoleh ekstrak lemak. Ekstrak lemak di dalam labu lemak kemudian dikeringkan dalam oven 105 C selama 12 jam, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang beratnya. Pengeringan diulangi sampai diperoleh bobot tetap. Kadar lemak dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan menggunakan rumus sebagai berikut (persamaan 4 dan 5) : Kadar Lemak (%bb) = [(a b) / c] x 100 (4) Kadar Lemak (%bk) = [kadar lemak (%bb) / (100 kadar air)] (5) dengan: a = bobot labu lemak setelah proses ekstraksi (g); b = bobot labu lemak sebelum proses ekstraksi (g); dan c = bobot sampel (g). Kadar Protein ( AOAC 1998) Kadar protein pati garut dianalisis dengan menggunakan metode Kjeldahl. Sebanyak mg sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan dengan 1.9 ± 0.1 g K 2 SO 4, 40.0 ± 10 mg HgO, 2.0 ± 0.1 ml H 2 SO 4 pekat, dan 2-3 butir batu didih. Sampel dipanaskan dengan kenaikan suhu secara

27 bertahap sampai mendidih selama jam sampai diperoleh cairan jernih. Setelah didinginkan, isi labu dipindahkan ke dalam labu destilasi dengan dibilas menggunakan ml air destilata sebanyak 5-6 kali. Air cucian dipindahkan ke labu destilasi kemudian ditambahkan dengan ml larutan 60% NaOH- 5% Na 2 S 2 O 3. Di tempat yang terpisah, 5.0 ml larutan H 3 BO 3 dan 2-4 tetes indikator merah metil-biru metil dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Labu Erlenmeyer kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di bawah larutan H 3 BO 3. Proses destilasi dilakukan sampai diperoleh sekitar 15.0 ml destilat. Destilat yang diperoleh diencerkan sampai 50.0 ml dengan akuades, kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Volume larutan HCl 0.02 N terstandar yang digunakan untuk titrasi dicatat. Tahap yang sama dilakukan untuk larutan blanko sehingga diperoleh volume larutan HCl 0.02N untuk blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan kadar nitrogen (%N) (persamaan 6). Kadar protein dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan menggunakan faktor koreksi 6.25 sebagai berikut (persamaan 7 dan 8): Kadar N (%) = {[(V 1 V 2 ) x N HCl x ] / w } x 100 (6) dengan : V 1 = volume larutan HCl untuk sampel (ml); V 2 =volume larutan HCl untuk blanko (ml); NHCl= konsentrasi larutan HCl (0,02N); w=berat sampel (mg). Kadar Protein (%bb) = %N x Faktor konversi (6.25) (7) Kadar Protein (%bk) = Kadar Protein (%bb) / (100 kadar air) (8) Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung dalam basis basah (bb) dan basis kering (bk) dengan metode by difference (persamaan 9 dan 10). Kadar Karbohidrat (%bb) = 100 ( % air + % abu + % lemak + % protein ) (9) Kadar Karbohidrat (%bk) = kadar karbohidrat (%bb) / (100 kadar air) (10) Analisis Pati Resisten (Goñi et al. 1996) Kadar pati resisten sampel dianalisis dengan metode spektroskopi yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar glukosa dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Glukosa Larutan glukosa murni (0.5 ml) yang masing-masing mengandung 0.0, 10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 μg larutan glukosa ditempatkan dalam tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung reaksi tersebut ditambahkan 0.5 ml fenol 5 %, kemudian diaduk menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 ml larutan H2SO4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi tersebut. Larutan tersebut didiamkan selama 10 menit, kemudian diaduk lagi dengan vorteks. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20 menit sebelum diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansi (pada sumbu y). Analisis Sampel Sebanyak 50.0 mg pati dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, lalu ditambahkan 5.0 ml larutan buffer KCl-HCl ph 1.5 dan 0.1 ml pepsin (4000 U/10 ml buffer KCl-HCl). Setelah diaduk menggunakan vorteks, sampel diinkubasi pada 15

28 16 suhu 40 0 C selama 60 menit pada penangas bergoyang. Sampel kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sebanyak 4.5 ml larutan buffer fosfat ph 6.9 dan 0.5 ml larutan α-amilase (15.2 mg α-amilase per ml buffer fosfat) ditambahkan ke dalam sampel. Sampel kemudian diaduk dengan vorteks dan diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 16 jam sambil terus digoyang. Setelah sampel disentrifus (15 menit, 3000 g), bagian residu diambil dan dicuci dengan 10.0 ml akuades. Proses sentrifusi diulang lagi dengan cara yang sama seperti di atas dan residunya kembali diambil dan dicuci. Ke dalam residu sampel di atas ditambahkan 3.0 ml akuades dan 1.5 ml larutan KOH 4 M, lalu diaduk dengan menggunakan vorteks dan didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Secara berturut-turut ke dalam sampel tersebut ditambahkan 2.75 ml 2 M HCl dan 1.5 ml buffer sodium asetat ph 4.75 dan 40 µl enzim amiloglukosidase. Sebelum diinkubasi dalam penangas air bergoyang (suhu 60 0 C selama 45 menit), sampel diaduk menggunakan vorteks. Sampel kemudian disentrifus (15 menit, 3000 g), kemudian bagian supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam labu takar. Bagian residu dicuci dengan 10 ml akuades, lalu disentrifus kembali. Bagian supernatan kemudian dicampurkan dengan supernatan sebelumnya. Sebanyak ml sampel diencerkan dengan akuades (tingkat pengenceran tergantung pada kandungan pati resisten dalam sampel). Kadar pati resisten (%bb) dihitung dengan mengalikan kadar glukosa dalam sampel dengan faktor 0.9. Nilai g/100g pati = [kadar pati resisten (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Analisis Gula Pereduksi (Takeda et al. 1993) Kadar gula pereduksi sampel dianalisis dengan metode Park-Johnson yang terdiri atas tahapan pembuatan kurva standar glukosa, persiapan sampel, dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Larutan Glukosa Sebanyak 1.0 ml larutan glukosa murni yang masing-masing mengandung 0.0, 2.0, 4.0, 6.0, 8.0, dan 10.0 μg glukosa dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 0.5 ml buffer sodium karbonat-sodium hidrogen karbonat dan 0.5 ml larutan potasium ferisianida. Sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit kemudian didinginkan dalam air mengalir selama 10 menit. Selanjutnya 5.0 ml larutan ferri-amonium sulfat ditambahkan ke dalam sampel, kemudian diaduk menggunakan vorteks. Sampel diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit. Sampel diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 715 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansi (pada sumbu y). Persiapan Sampel Sebanyak 1.0 g pati dimasukkan secara perlahan ke dalam ml etanol 95 % dan dihomogenkan dengan menggunakan pengaduk magnetik. Suspensi pati tersebut kemudian disaring menggunakan kertas saring. Kertas yang berisi residu pati didiamkan semalam di dalam desikator. Setelah kering, pati yang terdapat dalam kertas saring diambil, lalu dihaluskan dengan mortar. Sebanyak 40.0 mg pati yang telah dihaluskan ditambahkan dengan 20.0 ml akuades, kemudian dipanaskan dalam otoklaf C selama 1 jam. Setelah pemanasan selesai, pasta

29 pati didinginkan pada suhu kamar dan dilakukan 40 kali pengenceran sebelum digunakan. Analisis Sampel Sebanyak 1,0 ml larutan pati dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 0,5 ml buffer sodium karbonat-sodium hidrogen karbonat dan 0,5 ml larutan kalium ferisianida. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit kemudian didinginkan dalam air mengalir selama 10 menit. Sebanyak 2,5 ml larutan feriamonium sulfat ditambahkan ke dalam larutan sampel kemudian diaduk dengan vorteks. Larutan sampel tersebut lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit dan diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 715 nm. Gula pereduksi (dalam persen) ditentukan dengan menggunakan persamaan kurva standar larutan glukosa. Nilai g/100g pati = [kadar gula pereduksi (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Analisis Daya Cerna Pati Secara In Vitro (Anderson et al. 2002) Daya cerna pati in vitro dianalisis secara spektroskopi yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar maltosa dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Larutan Maltosa Sebanyak 1.0 ml larutan maltosa standar yang mengandung 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mg maltosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, kemudian ditambahkan masing-masing 2.0 ml larutan dinitrosalisilat (DNS). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 10 ml akuades, kemudian diaduk hingga homogen dengan menggunakan vorteks. Sampel diukur absorbansinya dengan spektrotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Analisis Sampel Sebanyak 1.0 g sampel pati garut dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan ml akuades. Labu erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam penangas air hingga mencapai suhu 90 0 C sambil terus diaduk, lalu didinginkan. Sebanyak 2.0 ml larutan sampel tersebut dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3.0 ml akuades dan 5.0 ml larutan buffer fosfat ph 7.0. Masing-masing sampel dibuat dua kali, yang salah satunya digunakan sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37 0 C selama 15 menit. Larutan sampel dan blanko diangkat dan ditambahkan 5.0 ml larutan enzim α-amilase (1 mg/ml dalam larutan buffer fosfat ph 7.0). Kedua tabung tersebut diinkubasi kembali selama 30 menit, lalu dipindahkan dalam tabung reaksi bertutup berisi 2.0 ml larutan DNS. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Sebanyak 10.0 ml akuades kemudian ditambahkan, lalu diaduk hingga homogen menggunakan vorteks. Larutan sampel dan blanko tersebut kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 520 nm. Daya cerna pati (dalam persen) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut Daya cerna pati = [(A a)/ (B b)] x 100 A = kadar maltosa sampel a = kadar maltosa blanko sampel B = kadar maltosa pati murni 17

30 18 b = kadar maltosa blanko pati murni Nilai g/100g pati = [Daya cerna pati (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Kadar Total Gula dan Pati ( Dubois et al. 1956) Kadar total gula dan pati sampel pati garut dianalisis dengan menggunakan metode fenol sulfat yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan glukosa, persiapan sampel, dan analisis sebagai berikut : Pembuatan Kurva Standar Larutan Glukosa Larutan glukosa murni (0.5 ml) yang masing-masing mengandung 0.0, 10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 μg larutan glukosa ditempatkan dalam tabung reaksi. Ke dalam masing-masing tabung reaksi tersebut ditambahkan 0.5 ml fenol 5 %, kemudian diaduk menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 ml larutan H2SO4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi tersebut. Larutan tersebut didiamkan selama 10 menit, kemudian diaduk lagi dengan vorteks. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20 menit sebelum diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansi (pada sumbu y). Persiapan Sampel Analisis Total Gula Sebanyak 1 g pati dimasukkan secara perlahan ke dalam 100 ml etanol 95% dan dihomogenkan menggunakan pengaduk magnetik. Suspensi pati kemudian disaring menggunakan kertas saring. Kertas yang berisi residu pati didiamkan semalam dalam desikator. Residu pati ditimbang sehingga diketahui beratnya untuk menghitung pati pada sampel sebelum mengalami pencucian dengan etanol. Setelah pati kering, pati yang terdapat dalam kertas saring diambil, kemudian dihaluskan dengan mortar. Sebanyak 40 mg pati yang telah dihaluskan ditambah dengan 20 ml akuades, lalu diotoklaf pada suhu C selama 1 jam. Setelah diotoklaf, sampel didinginkan pada suhu kamar lalu diencerkan sebanyak 40 kali. Analisis Sampel Sebanyak 0.5 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0.5 ml fenol 5 % dan dihomogenkan menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 ml larutan H 2 SO 4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi. Larutan sampel kemudian didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang, diaduk dengan vorteks dan didiamkan kembali selama 20 menit pada suhu ruang. Nilai absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Kadar total gula (%bb) diperoleh dari kurva standar, sedangkan kadar pati (%bb) dihitung dengan mengalikan kadar total gula dengan faktor 0,9. Analisis Kadar Amilosa ( IRRI 1978) Kadar amilosa dianalisis dengan metode spektroskopi. Analisis kadar amilosa mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan amilosa dan analisis sampel sebagai berikut. Pembuatan Kurva Standar Amilosa Sebanyak 40.0 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam labu tersebut kemudian ditambahkan 1.0 ml etanol 95 % dan 9.0 ml larutan NaOH 1 N. Labu takar kemudian dipanaskan dalam penangas air pada

31 suhu 95 0 C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel amilosa yang terbentuk ditambah dengan akuades sampai tanda tera. Larutan amilosa ini digunakan sebagai larutan stok amilosa standar. Dari larutan stok amilosa standar tersebut dipipet 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan 5.0 ml untuk dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N. Sebanyak 2.0 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2.0 g KI yang dilarutkan dalam ml air destilata) dipipet ke dalam setiap labu, lalu ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan dibiarkan selama 20 menit dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 625 nm. Persamaan dan kurva standar dibuat sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dan absorbansi (sumbu y). Analisis Sampel Sebanyak mg sampel pati garut dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 1.0 ml etanol 95 % dan 9.0 ml larutan NaOH 1 N. Labu takar ini lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95 ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera dan dihomogenkan. Dari labu takar ini dipipet 5.0 ml larutan gel pati dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N dan 2.0 ml larutan iod, lalu ditambah akuades hingga tanda tera. Larutan sampel ini dibiarkan selama 20 menit pada suhu ruang sebelum diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa (dalam persen) ditentukan dengan menggunakan persamaan kurva standar larutan amilosa. Nilai g/100g pati = [kadar amilosa (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x 100 Analisis Statistik Analisis sidik ragam dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaaan di dalam variabel-variabel yang diuji dalam hal ini adalah karakteristik kimia terhadap perlakuan modifikasi pada pati garut. Apabila nilai signifikansi (α) yang dihasilkan dari output ANOVA menunjukkan nilai kurang dari 5% (0.05), maka ada perbedaan yang signifikan antar variabel yang diuji, dan sebaliknya. Αlfa (α) merupakan besarnya kesalahan (error) yang masih bisa diterima dalam pengujian. Setelah ditemukan adanya perbedaan yang signifikan, maka dilakukan uji lanjut Duncan. Output yang dihasilkan berupa subset-subset dimana sampel-sampel yang berada pada subset yang sama berarti tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan sampel-sampel yang berada pada subset yang berbeda berarti memiliki perbedaan yang signifikan pada α = Analisis sidik ragam ini menggunakan software SPSS HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Pati Garut Alami dan Termodifikasi Hidrolisis Asam Komposisi kimia hasil proksimat pada pati garut alami (NA) dan termodifikasi hidrolisis asam (HA) disajikan dalam Tabel 2. Pati garut alami (NA)

32 20 mengandung kadar karbohidrat (by difference) yang tinggi, yaitu 98.75%. Pati garut termodifikasi hidrolisis asam (HA) juga mengandung karbohidrat (by difference) yang tinggi, yaitu 98.63%. Pati garut alami (NA) dan termodifikasi hidrolisis asam (HA) memiliki kadar total pati yang tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 98.10% dan 95.42% (Tabel 2). Pati garut alami (NA) mengandung kadar amilosa sebesar 24.50% dan 73.60% amilopektin (Tabel 2). Sementara, pada pati garut termodifikasi hidrolisis asam (HA) mengandung kadar amilosa yang lebih tinggi daripada pati garut alami, yaitu sebesar 30.04%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa yang cukup tinggi berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pati resisten tipe III (RS3) (Lehmann et al. 2003; Shu et al. 2007). Pati garut alami (NA) memiliki kadar pati resisten sebesar 2.15% (Tabel 2). Pati resisten dalam pati garut alami ini termasuk jenis pati resisten tipe II (RS2) (Faridah 2011). Sebagai perbandingan, pati pisang memiliki kadar pati resisten sebesar 1.51% (Aparicio-Saguilan et al. 2005), sedangkan pati beras tinggi amilosa memiliki kadar pati resisten sebesar 3.98% (Pongjanta et al. 2009). Tabel 2 Komposisi kimia pati garut alami dan termodifikasi hidrolisis asam Komponen Kadar (%) 1 NA NA 2 HA Proksimat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat (by difference) Pati Amilosa Amilopektin Pati Resisten Gula Pereduksi Daya cerna pati Keterangan : 1 Kadar dinyatakan dalam basis kering, kecuali kadar air dalam basis basah. NA = Pati garut alami; HA = Pati garut termodifikasi hidrolisis asam. Sumber : 2 Faridah et al Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Pati Resisten Kadar pati resisten pada pati garut meningkat pada semua perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 6, Tabel 3). Pati garut alami memiliki kadar pati resisten yang cukup rendah yaitu 2.15%. Perlakuan autoclaving-cooling sebanyak 3 siklus pada pati garut alami (AC) meningkatkan kadar pati resisten sebesar 6.5 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami.

33 Jumlah siklus autoclaving-cooling mempengaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siljestrom dan Asp (1985) yang melaporkan bahwa perlakuan autoclaving-cooling yang diberikan pada pati gandum dapat meningkatkan kadar pati resisten sebesar 9.0 kali lipat dibandingkan dengan pati gandum alami. Demikian juga pati resisten dari biji barley mengalami peningkatan kadar RS3 nya dari 6.00% menjadi 26.00% setelah mengalami perlakuan 20 kali siklus autoclaving-cooling (Szczodrak dan Pomeranz 1991). Kadar RS3 hasil modifikasi pati jagung meningkat dari 4.10% (1 siklus autoclaving-cooling) menjadi 11.20% (6 siklus autoclaving-cooling). Peneliti lain telah melaporkan bahwa siklus autolaving-cooling sebanyak 3 kali dapat meningkatkan kadar RS3, yaitu pada pati gandum meningkat kadar RS3 nya dari 6.20% menjadi 7.80% (Bjorck et al. 1987), kadar RS3 pati barley meningkat dari 3.80% menjadi 7.00% (Vasanthan dan Bhatty 1998), dan kadar RS3 pada pati pisang juga meningkat dari 1.51% menjadi 16.02% (Aparicio-Saguilan et al. 2005). Perlakuan hidrolisis asam menggunakan HCl 2.2N selama 2 jam (HA) yang diberikan pada pati garut hanya meningkatkan kadar pati resistennya sebesar 1.7 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Apabila perlakuan hidrolisis asam dan tiga siklus autoclaving cooling dikombinasikan (HAAC), maka terjadi peningkatan kadar pati resisten pada pati garut modifikasi tersebut hingga 9.3 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aparicio-Saguilan et al. (2005), pati pisang yang mengalami hidrolisis asam menggunakan HCl 1M selama 6 jam dan proses autoclavingcooling 3 siklus terbukti meningkatkan kadar RS3 dari 1.50% menjadi 19.34%. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Zhao dan Lin (2009) mengenai pati jagung. Pati jagung yang mengalami hidrolisis dengan asam sitrat 0.1M selama 24 jam dan proses 3 siklus autoclaving-cooling (121 0 C selama 20 menit dan 4 0 C selama 24 jam) menghasilkan kadar RS3 sebesar %. Pati garut yang diberi perlakuan pada suhu C selama 15 menit (15 ) dan 60 menit ( 60 ) dengan kadar air sebesar 20% mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 3.3 dan 5.3 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chung et al. (2009) yang melaporkan bahwa pati jagung, pati pea, dan pati lentil yang diberi perlakuan pada suhu C selama 2 jam dengan kadar air sebesar 30%, mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 2.7, 3.2, dan 3.0 kali lipat dibandingkan dengan pati native pada masing-masing sampel. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Hung et al. (2015) yang melaporkan bahwa pati beras kaya amilosa, pati beras normal dan pati beras kaya amilopektin yang diberi perlakuan pada suhu C selama 8 jam dengan kadar air sebesar 30% mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 3.6, 3.7, dan 1.8 kali lipat dibandingkan dengan pati beras native pada masing-masing sampel. Li et al. (2011) juga meneliti mengenai pati kacang hijau. Pati kacang hijau yang diberikan perlakuan pada suhu C selama 12 jam dengan kadar air sebesar 20% mengalami peningkatan kadar pati resisten sebesar 4.0 kali lipat dibandingkan dengan pati kacang hijau native. Pati garut yang diberi perlakuan kombinasi hidrolisis asam dan 15 menit serta 60 menit (HA-15 dan HA-60 ) mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 4.2 dan 6.0 kali lipat dibandingkan 21

34 dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hung et al. (2015) yang melaporkan bahwa pati beras kaya amilosa, pati beras normal dan pati beras kaya amilopektin yang diberi perlakuan kombinasi hidrolisis asam dengan asam sitrat 0.2M dan pada suhu C selama 8 jam dengan kadar air sebesar 30% mengalami peningkatan kadar pati resisten berturut-turut sebesar 6.2, 5.6, dan 3.5 kali lipat dibandingkan dengan pati beras native pada masingmasing sampel. Perlakuan kombinasi tiga siklus autoclaving-cooling dan 15 menit serta 60 menit (AC-15 dan AC 60 ) yang diberikan pada pati garut dapat meningkatkan kadar pati resistennya berturut-turut sebesar 8.3 dan 11.6 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Apabila pati garut alami tersebut dikombinasikan antara perlakuan hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling tiga siklus, dan proses dengan pemanasan selama 15 menit dan 60 menit (HAAC 15 dan HAAC 60 ) maka dapat meningkatkan kadar pati resisten yang lebih tinggi yaitu berturut-turut sebesar 11.8 dan 13.8 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. % Pati Resisten (%BK) a 7.04 c 11.34e j h g f 9.05d 3.60 b i k 29.63l 0.00 NA Gambar 6 NA 15' NA 60' HA HA 15' HA 60' Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Peningkatan Kadar Gula Pereduksi Analisis gula pereduksi merupakan salah satu parameter untuk mengetahui seberapa tinggi hidrolisis pati terjadi. Hidrolisis pati terkait erat dengan pemutusan pati menjadi rantai glukan dengan ujung pereduksi (reducing end). Jumlah rantai glukan dari hasil hidrolisis pati yang semakin banyak menunjukkan kadar gula AC Perlakuan Sampel AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar pati resisten pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; 15 = dengan pemanasan selama 15 menit; 60 = dengan pemanasan selama 60 menit. Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan : 1 Kadar pati resisten dalam satuan g/100g berat sampel

35 pereduksi yang semakin tinggi. Kadar gula pereduksi pati garut meningkat pada semua perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 7, Tabel 4). Pati garut alami mengandung kadar gula pereduksi sebesar 4.92%. Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki kadar gula pereduksi yang lebih tinggi (8.72%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (5.08%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (6.21%). Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan, maka kadar gula pereduksi menjadi lebih meningkat yaitu 9.63% (untuk HAAC 15 ) dan 10.20% (untuk HAAC 60 ). Tabel 3 Kadar pati resisten pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati Perlakuan sampel Kadar pati resisten g/100g berat sampel g/100g pati 1 NA ' ' HA HA 15' HA 60' AC AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' Keterangan : 1 g/100g pati = [kadar pati resisten (g/100g berat sampel)/ kadar total pati (g/100g berat sampel)] x Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Penurunan Daya Cerna Pati Daya cerna pati garut mengalami penurunan pada setiap perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 8, Tabel 5). Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah (62.94%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (83.04%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (71.49%). Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan, maka daya cerna pati menjadi lebih rendah yaitu 55.82% (HAAC-15 ) dan 54.12% (HAAC-60 ).

36 % Gula Pereduksi (%BK) a 5.38 c 5.78 e 5.08 b 5.57 d 6.06 f 6.21 g 7.36 h 9.28 j 8.72 i 9.63 k l 0.00 NA NA 15' NA 60' HA HA 15' HA 60' AC AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' Perlakuan Sampel Gambar 7 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar gula pereduksi pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; 15 = dengan pemanasan selama 15 menit; 60 = dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan : 1 Kadar gula pereduksi dalam satuan g/100g berat sampel Tabel 4 Kadar gula pereduksi pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100g pati Perlakuan sampel Kadar gula pereduksi g/100g berat sampel g/100g pati NA ' ' HA HA 15' HA 60' AC AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60'

37 % Daya Cerna Pati (%BK) l j k h i g f e c 62.94d b a NA NA 15' NA 60' HA HA 15' HA 60' AC Perlakuan Sampel AC 15' AC 60' Tabel 5 Daya cerna pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100pati Perlakuan sampel Daya cerna pati g/100g berat sampel g/100g pati NA ' ' HA HA 15' HA 60' AC AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' Gambar 8 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap daya cerna pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; 15 = dengan pemanasan selama 15 menit; 60 = dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan : 1 Daya cerna pati dalam satuan g/100g berat sampel Efek Modifikasi Pati Garut Terhadap Total Pati, Amilosa, dan Amilopektin Total pati pada pati garut juga mengalami penurunan terhadap semua perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 9).

38 Kadar pati pada pati garut alami sebesar 98.10%. Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki kandungan total pati yang lebih rendah (78.96%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (95.42%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (85.66%). Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan, maka kandungan total pati menjadi lebih rendah yaitu 75.02% (HAAC-15 ) dan 71.28% (HAAC-60 ). Total Pati (%BK) l j h 95.42k i g f e c 78.96d b a 0.00 NA NA 15' NA 60' HA HA 15' HA 60' Kadar amilosa pati garut mengalami peningkatan pada setiap perlakuan modifikasi dan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 di tiap perlakuan modifikasi yang diberikan pada pati garut (Gambar 10, Tabel 6). Pati garut yang mengalami modifikasi dengan hidrolisis asam dan proses autoclaving-cooling (HAAC) memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi (33.84%) dibandingkan dengan pati garut yang hanya mengalami hidrolisis asam (HA) (30.04%) atau hanya proses autoclaving-cooling (AC) (28.24%). Pati garut yang diberi perlakuan hidrolisis asam (HA) memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati garut yang diberi perlakuan tiga siklus autoclaving-cooling (AC). Perlakuan yang diberikan pada pati garut dapat meningkatkan kadar amilosa sebesar 1.1 kali lipat dibandingkan dengan pati garut alami. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sun et al. (2013) yang melaporkan bahwa beras jenis indica yang diberi perlakuan pada suhu C selama 7 jam dengan kadar air sebesar 28% mengalami peningkatan kadar amilosa sebesar 1.2 kali lipat dibandingkan dengan beras native indica. Apabila dikombinasikan antara hidrolisis asam, proses autoclaving-cooling, dan perlakuan, maka kadar AC Perlakuan Sampel AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' Gambar 9 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar total pati pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; 15 = dengan pemanasan selama 15 menit; 60 = dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan: 1 Kadar total pati dalam satuan g/100g berat sampel

39 amilosa menjadi lebih meningkat yaitu 34.86% (HAAC-15 ) dan 35.83% (HAAC-60 ). 27 % Kadar Amilosa (%BK) k 35.83l 33.84j 32.84i 31.23h 30.04f 30.82g d 29.23e a 25.77b 26.63c 0.00 NA NA 15' NA 60' HA HA 15' HA 60' AC Perlakuan Sampel AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' Gambar 10 Pengaruh perlakuan modifikasi terhadap kadar amilosa pada pati garut. NA= Native; HA= Hidrolisis asam; AC= Autoclaving-Cooling; 15 = dengan pemanasan selama 15 menit; 60 = dengan pemanasan selama 60 menit Angka pada histogram yang disertai huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05 (α=0.05). Keterangan: 1 Kadar amilosa dalam satuan g/100g berat sampel Tabel 6 Kadar amilosa pada pati garut alami dan termodifikasi dalam satuan g/100pati Perlakuan sampel Kadar amilosa g/100g berat sampel g/100g pati NA ' ' HA HA 15' HA 60' AC AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60'

40 28 Kandungan amilopektin diperoleh dengan cara menghitung selisih antara kadar total pati dengan amilosa. Kadar amilopektin pati garut alami lebih tinggi sebesar 73.60% dibandingkan dengan pati garut yang telah dimodifikasi berkisar antara 35.45% 67.12%. Hasil analisis amilopektin dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin a. Perlakuan Sampel Total Pati (%BK) Amilosa (%BK) Amilopektin (%BK) Native ' ' HA HA 15' HA 60' AC AC 15' AC 60' HAAC HAAC 15' HAAC 60' Keterangan : a Seluruh data dilaporkan berdasarkan basis kering. : heat moisture treatment, HA: hidrolisis asam, AC: autoclaving-cooling, 15 : pemanasan selama 15 menit, 60 : pemanasan selama 60 menit. Hubungan antara kadar pati resisten, gula pereduksi, kadar amilosa, daya cerna pati, dan total pati Pati garut yang diberi perlakuan modifikasi hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan mengalami peningkatan kadar pati resisten, kadar amilosa, dan gula pereduksi, serta penurunan daya cerna pati dan total pati. Pada proses hidrolisis asam terjadi degradasi pada daerah amorf karena asam berdifusi ke dalam granula pati dan menyerang atom oksigen pada ikatan glikosidik yang terdapat pada α 1,4 atau α 1,6 sehingga menghasilkan senyawa intermediet karbokationik yang tidak stabil serta dapat bereaksi dengan air dalam granula pati (Chung dan Lai 2007). Hasil yang diperoleh dari proses hidrolisis asam terhadap granula pati tersebut yaitu fraksi amilosa rantai pendek berbobot molekul rendah dalam jumlah tinggi (Faridah et al. 2010). Bertambahnya fraksi amilosa rantai pendek akan memudahkan pati mengalami retrogradasi saat dilakukan proses tiga siklus autoclaving cooling (Leong et al. 2007; Koksel et al. 2007; Mutungi et al. 2009). Retrogradasi mudah terjadi pada sebagian rantai amilosa sebagai struktur linear yang memfasilitasi ikatan silang dengan adanya ikatan hidrogen. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Pada siklus autoclaving cooling terjadi penyusunan ulang molekul-molekul pati antara amilosa-amilosa, dan amilosa-amilopektin yang berakibat pada penguatan ikatan hidrogen pada pati (Faridah 2011). Fraksi amilosa akan berikatan dengan fraksi amilosa lainnya melalui ikatan hidrogen membentuk

41 struktur double helix. Struktur double helix berikatan dengan struktur double helix lainnya membentuk kristalit sehingga terbentuk fraksi amilosa rekristalisasi, akibatnya pati menjadi lebih sulit dicerna/dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Haralampu 2000; Mahadevamma et al. 2003; Shin et al. 2004; Adebowale et al. 2005; Lorlowhakarn dan Naivikul 2006). Pati garut alami (NA) dan pati garut termodifikasi hidrolisis asam (HA) memiliki ph sebesar , sehingga pada siklus autoclaving cooling ini juga terjadi hidrolisis amilosa atau amilopektin rantai terluar di daerah kristalin akibat adanya perlakuan panas pada suasana asam. Ketika perlakuan hidrolisis asam dan proses autoclaving cooling tiga siklus dikombinasikan (HAAC), maka depolimerasi amilosa dan amilopektin menjadi amilosa rantai pendek akan lebih mudah karena pati garut tersebut telah diberi perlakuan hidrolisis asam sebelum diberikan perlakuan autoclaving (Faridah et al. 2010; Vasanthan dan Bhatty 1998; Hung et al. 2015). Sebagai akibatnya, proses pembentukan RS3 lebih banyak dibandingkan dengan pati garut yang hanya diberi perlakuan hidrolisis asam (HA) atau hanya diberi proses autoclaving-cooling (AC). Meningkatnya kandungan amilosa pada pati garut termodifikasi pada saat proses autoclaving disebabkan oleh terjadinya degradasi amilosa rantai panjang menjadi amilosa rantai pendek yang berakibat pada peningkatan kandungan amilosa pada pati garut termodifikasi tersebut (Shin et al. 2004). Kemungkinan lain, amilopektin rantai pendek terluar pada bagian kristalin terdegradasi sehingga bagian amilopektin tersebut terukur sebagai amilosa sehingga kadar amilosa yang terukur pada pati garut termodifikasi tersebut semakin meningkat (Gambar 10). Fraksi amilosa rantai pendek yang dihasilkan dari modifikasi tiga siklus autoclaving-cooling maupun kombinasi antara hidrolisis asam dan tiga siklus autoclaving cooling juga terukur sebagai gula pereduksi sehingga kadar gula pereduksi yang terukur pada pati garut termodifikasi tersebut juga semakin meningkat (Gambar 7). Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar pati resisten berkorelasi positif dengan kadar gula pereduksi (R 2 = 0.947, α=0.01) (Gambar 11) dan kadar amilosa (r = 0.753, α=0.01) (Tabel 8). Kandungan amilosa pati garut yang diberi perlakuan hidrolisis asam (HA) lebih tinggi (30.04%) dibandingkan dengan kandungan amilosa pati garut yang diberi perlakuan tiga siklus autoclaving-cooling (AC) (28.24%). Hal ini berkaitan dengan struktur pati garut yang tergolong kristalin tipe A yang ditandai dengan struktur yang lebih rapat di bagian heliks pada molekul amilopektin di daerah amorf. Dengan struktur heliks yang lebih rapat tersebut, maka jumlah ikatan α-1,6 dan jumlah rantai per klaster menjadi lebih banyak (Srichuwong et al. 2005). Karena hidrolisis asam lebih mudah menyerang daerah amorf, maka akan lebih banyak titik percabangan α-1,6 yang dapat dihidrolisis asam dan menyebabkan fraksi amilosa rantai pendek berbobot molekul rendah yang terbentuk lebih banyak apabila dibandingkan dengan perlakuan tanpa hidrolisis asam. Pada saat terjadi perubahan karakteristik pati yang disebabkan oleh pembentukan kristal baru atau proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati yang terjadi selama proses modifikasi (Olayinka et al. 2008; Hoover 2010; Ambigaipalan et al. 2014). Pada tahap juga terjadi pembentukan struktur double helix (Ji et al. 2015), serta peningkatan interaksi ikatan antara rantai amilosa-amilosa, rantai amilopektin-amilopektin, serta rantai amilosa-amilopektin sehingga membentuk struktur yang lebih kompak dan stabil, yang terbentuk selama proses (Chung et al. 2009; Arns et al. 2014), 29

42 30 akibatnya pati lebih sulit dihidrolisis oleh enzim pencernaan, sehingga daya cerna pati menjadi rendah.teknik juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara rantai amilosa-amilosa dan atau rantai amilosa-amilopektin pada area amorphous sehingga membentuk struktur yang kompak (Gunaratne dan Hoover 2002; Sun et al. 2013). Kadar RS3, kadar amilosa dan gula pereduksi yang tinggi terjadi pada pati garut yang telah mengalami kombinasi modifikasi hidrolisis asam selama 2 jam, tiga siklus autoclaving cooling, dan dengan pemanasan selama 15 menit dan 60 menit (HAAC 15 dan HAAC 60 ), sehingga menyebabkan penurunan terhadap daya cerna pati dan total pati. Menurut Brumovsky dan Thompson (2001), Shin et al. (2004), Liu et al. (2014), perlakuan hidrolisis asam secara parsial pada pati sebelum perlakuan pemanasan pada suhu tinggi dapat meningkatkan kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang hanya diberi perlakuan pemanasan pada suhu tinggi tanpa perlakuan hidrolisis asam. Hal ini dikarenakan pada tahap hidrolisis asam menghasilkan hidrolisat berbobot molekul rendah (fraksi amilosa berstruktur linear dan percabangan dari fraksi amilopektin). Ketika hidrolisat berbobot molekul rendah (fraksi amilosa rantai pendek) tersebut diberi perlakuan pemanasan pada suhu tinggi, maka pati termodifikasi ini akan menjadi lebih resisten terhadap hidrolisis enzim pencernaan akibat terjadinya pembentukan struktur double helix (Ji et al. 2015) dan peningkatan interaksi antara rantai amilosa-amilosa, rantai amilopektinamilopektin, serta rantai amilosa-amilopektin sehingga membentuk struktur yang lebih kompak. % Kadar Gula Pereduksi y = x R² = % Kadar Pati Resisten Gambar 11 Analisis korelasi antara kadar gula pereduksi terhadap kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi Pati garut yang diberi perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autolavingcooling, dan dengan pemanasan selama 60 menit (HAAC-60 ) memiliki kadar amilosa dan kadar gula pereduksi yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi tersebut (HAAC-60 ) dapat meningkatkan fraksi amilosa rantai pendek dalam jumlah yang tinggi sehingga menyebabkan kadar amilosa yang terukur semakin meningkat. Perlakuan kombinasi ini (HAAC-60 ) juga dapat meningkatkan jumlah rantai glukan

43 hasil hidrolisis pati yang memiliki ujung pereduksi sehingga menyebabkan kadar gula pereduksi yang terukur semakin meningkat. Perlakuan kombinasi HAAC- 60 juga menghasilkan daya cerna pati yang paling rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pati tersebut sulit untuk dicerna karena adanya komponen yang sulit atau tidak dapat dicerna. Komponen bahan pangan yang tidak dicerna tersebut berupa pati resisten. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa daya cerna pati berkorelasi negatif dengan kadar pati resisten (R 2 = 0.991, α=0.01) (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar RS3 maka semakin rendah daya cerna patinya Fraksi sampel (%) % Total Pati % Daya cerna pati y = x R² = y = x R² = % Kadar Pati Resisten Gambar 12 Analisis korelasi antara kadar total pati dan daya cerna pati terhadap kadar pati resisten pada pati garut temodifikasi Kandungan pati total pada pati garut termodifikasi lebih rendah dibandingkan dengan pati garut alami karena terjadi hidrolisis pati pada saat pati garut diberi perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving cooling dan proses, sehingga mengakibatkan penurunan kadar pati total. Perlakuan kombinasi HAAC-60 menghasilkan kandungan total pati yang paling rendah. Hasil hidrolisis pati akibat perlakuan kombinasi hidrolisis asam, proses autoclavingcooling, dan mengandung gugus aldosa sehingga terukur sebagai gula pereduksi. Oleh karena itu, kadar total pati berkorelasi negatif dengan kadar gula pereduksi (R 2 = 0.944, α=0.01) (Gambar 13). Hasil analisis korelasi pada kadar total pati juga berkorelasi negatif dengan kadar pati resisten (R 2 = 0.995, α=0.01) (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar RS3 maka semakin rendah kandungan pati total pada pati garut.

44 32 % Total Pati y = x R² = % Gula Pereduksi Gambar 13 Analisis korelasi antara kadar total pati terhadap kadar gula pereduksi pada pati garut termodifikasi Tabel 8 Hasil uji korelasi antar parameter analisis Kadar Total Pati Daya Cerna Pati Gula Pereduksi Kadar Amilosa Kadar Pati Resisten Pearson Correlation ** **.973 **.753 ** **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Kadar amilosa pada pati garut yang diberikan perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling,, serta kombinasi hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving-cooling, dan (NA-15, NA-60, HA, HA-15, HA-60, NAAC, NAAC-15, NAAC-60, HAAC, HAAC- 15, dan HAAC-60 ) memiliki korelasi yang positif terhadap kadar pati resisten, namun memiliki hubungan yang tidak cukup kuat (R 2 =0.465, α=0.01) (Gambar 14). Hal ini disebabkan oleh adanya fraksi amilosa yang membentuk kompleks dengan lipid, sehingga ketika dilakukan pengukuran kadar amilosa pada tiap perlakuan sampel, senyawa iod tidak dapat berikatan dengan fraksi amilosa. Akibatnya, peningkatan kadar amilosa yang terukur pada tiap perlakuan sampel tidak sesuai dengan peningkatan kadar pati resisten. Kompleks single helix yang terjadi antara fraksi amilosa dan lipid ini berkontribusi terhadap peningkatan kadar pati resisten, sehingga kadar pati resisten pada tiap perlakuan sampel meningkat secara signifikan.

45 % Kadar Amilosa y = x R² = % Kadar Pati Resisten Gambar 14 Analisis korelasi antara kadar amilosa terhadap kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi SIMPULAN Semua perlakuan modifikasi pati garut dapat meningkatkan kadar pati resisten (RS3) dan dapat menurunkan daya cerna patinya. Kadar pati resisten tertinggi (29.63%) hasil modifikasi pati garut yang diperoleh dari perlakuan hidrolisis asam, tiga siklus autoclaving cooling dan dengan pemanasan menggunakan otoklaf selama 60 menit. Berdasarkan penelitian ini, maka dapat direkomendasikan bahwa kadar pati resisten (RS3) pada pati garut dapat ditingkatkan dengan proses modifikasi sebagai berikut : pati garut dihidrolisis asam dengan HCl 2.2N selama 2 jam pada suhu 35 0 C. Sebelum dilanjutkan ke tahap autoclaving cooling, suspensi pati hasil hidrolisis asam (Lintnerized) (20%b/v) tersebut dipanaskan dalam waterbath bersuhu 80 0 C selama 5 menit, kemudian dilanjutkan dengan tiga siklus autoclaving cooling (diotoklaf pada suhu C selama 15 menit dan pendinginan pada suhu 4 0 C selama 24 jam dilakukan sebanyak tiga siklus). Setelah tahap autoclaving cooling, dilanjutkan ke tahap (kadar air 20%) dengan pemanasan selama 60 menit menggunakan otoklaf suhu C. Proses modifikasi tersebut dapat menghasilkan kadar pati resisten sebesar 29.63%, kadar amilosa sebesar 35.83%, kadar gula pereduksi sebesar 10.20%, daya cerna pati sebesar 54.12%, dan kandungan total pati sebesar 71.28%.

46 34 SARAN Pada penelitian ini hanya menganalisis karakteristik kimia berupa analisis pati resisten, kadar amilosa, gula pereduksi, daya cerna pati, dan total pati dari pati garut alami dan pati garut termodifikasi. Penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik fisik pada pati garut alami dan termodifikasi diperlukan, seperti uji swelling power, uji kelarutan, mengamati struktur dari granula pati alami dan termodikasi dengan menggunakan SEM dan Microscope Light Polarimetry, menguji sifat thermal dari pati garut alami dan termodifikasi menggunakan DSC, serta menguji derajat kristalinitas pati menggunakan XRD. Pati resisten merupakan salah satu ingredien pangan fungsional yang berpotensi untuk dapat diaplikasikan pada penggunaan yang lebih luas dengan mouthfeel yang lebih baik. Kandungan pati resisten pada pati garut dapat ditingkatkan dengan memberikan perlakuan hidrolisis asam dan atau enzimatis yang dikombinasikan dengan tiga siklus autoclaving-cooling dan. Penelitian lebih lanjut mengenai upaya dalam meningkatkan kadar pati resisten melalui metode debranching menggunakan enzim pullulanase diperlukan untuk menyelidiki prosentase peningkatan kadar pati resisten yang terjadi pada pati garut yang diberikan perlakuan debranching menggunakan enzim pullulanase yang dilanjutkan dengan tiga siklus autoclaving-cooling, dan.

47 35 DAFTAR PUSTAKA [AOAC]. Analysis of the Association of Official Agriculture Chemistry Official Methods of Analysis, 17 th Edition. AOAC International, Gaithersburg, Maryland, Method [IRRI]. International Rice Research Institute Rice Research and Production In China : An IRRI Team s View (Los Banos, Philippenes, International Rice Research Institute). Adebowale KO, Afolabi TA, Olu-Owolabi BI Hydrothermal treatments of finger millet (Eleusine coracana) starch. J Food Hydr 19: Ai Y, Hasjim J, Jane J Effets of lipids on enzymatic hydrolysis and physical properties of starch. J Carbohydr Polym 92(1) : Ambigaipalan P, Hoover R, Donner E, Liu Q Starch chain interactions within the amorphous and crystalline domains of pulse starches during heat moisture treatment at different temperatures and their impact on physicochemical properties. J Food Chem 143 : Anderson AK, Guraya HS, James C, Salvaggio L Digestibility and pasting properties of rice starch heat-moisture treated at the melting Temperature (tm). Starch/Stärke 54: Anonim [terhubung berkala]. September Anwar CH. dan Warsito Agribisnis Tanaman Garut (Marantha arundinaceae L.).Jakarta : LSM Gema Pertapa, Departemen Koperasi dan UKM. Aparicio Saguilan, Flores Huicochea E, Tovar J, Garcia Suárez F. Gutiérrez Meraz F, Bello Pérez LA Resistant starch-rich powders prepared by autoclaving of Native and Lintnerized banana starch: partial characteriation. Starch/ Stärke 57: Arns B, Paraginski RT, Bartz J, Schiavon RA, Elias MC, Zavareze ER, et al The effects of heat moisture treatment of rice grains before parboiling on viscosity profile and physicochemical properties. Intl J Food Sci and Tech 49 : Bauer BA, Wiehie T, Knorr D Impact of high hydrostatic pressure treatment on the resistant starch content of wheat starch. Starch/Starke 57: Baixauli R, Salvador A, Martinez-Cervera S, Fiszman SM Distinctive sensory features introduced by resistant starch in baked products. J Food Sci and Tech 41 : Bjorck I, Nyman M, Pedersen P, Siljestrom M, Asp NG, Eggum BO Formation of enzyme resistant starch during autoclaving of wheat starch: studies in vitro and in vivo. J Cereal Sci 6: Brumovsky JO, Thompson DB Production of boiling-stable granular resistant starch by partial acid hydrolysis and hydrothermal treatments of high amylose maize starch. Cereal Chem 78 : Chung HJ, Liu Q, Hoover R Impact of annealing and heat moisture treatment on rapidly digestible, slowly digestible, and resistant starch levels in native and gelatinized corn, pea, and lentil starches. J Carbohydr Polym 75(3) :

48 36 Chung YL, Lai HM Properties of cast films made of HCl-methanol modified corn starch. Starch/Starke 59: Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F Calorimetric Method for Determination of Sugars and Related Substance. Anal Chem 28 : EURESTA European Flair Concerted Action on Resistant Starch. New Letter, September. Wageningen, The Netherlands : Human Nutrition Department, Wageningen Agriculture University. Faridah DN, Prangdimurti E, Adawiyah DR Pangan Fungsional dari Umbi Suweg dan Garut: Kajian Daya Hipokolesterolemik dan Indeks Glikemiknya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, LPPM-IPB, Bogor. Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC Perubahan struktur pati garut (Maranta arundinaceae L.) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik percabangan, dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol dan Industri Pangan 21(2): Faridah DN Perubahan Karakteristik Kristalin Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dalam Pengembangan Pati Resisten Tipe III. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC Karakteristik sifat fisikokimia pati garut (Maranta arundinaceae L.). J Agritech 34 (1): Ferrini LMK, Rochaa TS, Demiate IM, Franco CLM Effect of acidmethanol treatment on the physicochemical and structural characteristics of cassava and maize starches. Starch/Stärke 60: Franco CML, Cabrala RAF, Tavares DQ Structural and physicochemical characteristics of Lintnerized Native and sour cassava starches. Starch/Stärke 54: Fuentes-Zaragoza E, Riquelme-Navarrete MJ, Sánchez-Zapata E, Pérez-Álvarez JA Resistant starch as functional ingredient : A review, Food Res Intl 43 : Goñi L, García-Diaz L, Mañas E, Saura-Calixto F Analysis of Resistant Starch: A Method for Food and Food Products. Elsevier Science Ltd. 56(4): Gunaratne A, Hoover R Effect of heat moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. J Carbohydr Polym 49 : Haralampu SG Resistant starch a review of the physical properties and biological impact of RS3. J Carbohydr Polym 41: Hizukuri S, Kaneko T, Takeda Y Measurement of the chain length of amylopectin and its relevance to the origin of crystalline polymorphism of starch granules. Biochimica et Biophysicia Acta. 760: Hoover R The impact of heat moisture treatment on molecular structures and properties of starches isolated from different botanical sources. Critical Rev Food Scie and Nutr 50 : Hung PV, Vien NL, Lan-Phi NT Resistant starch improvement of rice starches under a combination of acid and heat moisture treatment. J Food Chem.

49 Jacobash G, Dongowski G, Schiemidl D, Schmehl KM Hydrothermal treatment of novelose 330 results in high yield of resistant starch type 3 with beneficial prebiotic properties and decreased secondary bile acid formation in rats. Bri J Nutr 95: Ji N, Li, Qiu C, Li G, Sun Q, Xiong L Effects of heat moisture treatment on the physicochemical properties of starch nanoparticles. J. Carbohydr Polym 117: Kay DE Root Crops. Tropical Product Institute. Foreign and Commonwealth Office. Köksel H, Basman A, Kahraman K, Ozturk S Effect of acid modification and heat treatments on resistant starch formation and functional properties of corn starch. Intl J Food Prop, 10(4), Lawal OS, Adebowale KO Physico-chemical characteristics and thermal properties of chemically modified jack bean starch. J Carbohydr Polym 60 : Lehmann U, Jacobasch G, Schmiedl D Characterization of resistant starch type III from banana (Musa acuminata). Journal of Agriculture and Food Chemistry 50: Lehmann U, Rossler C, Schmiedl D, Jacobash G Production and physicochemical characterization of resistant starch type 3 derived from pea. Starch/Nahrung/Food 43: Lehmann U, Robin F Slowly digestible starch- its structure and health implication : A review. Trends in Food Sci and Tech 18 : Leong YH, Karim AA, Norziah MH Effect of pullulanase debranching and recrystallization on structure and digestibility of waxy maize starch. J Carbohydr Polym 76: Li S, Ward R, Gao Q Effect of heat moisture treatment on the formation and physicochemical properties of resistant starch from mung bean (Phaseolus radiatus) starch. J Food Hyd 25 : Lingga PB, Sarwono F, Rahadi PC, Raharja JJ, Afistini, Rini W, Apriadi WH Bertanam Umbi-umbian. Penebar swadaya. Jakarta(ID). Liu Q Understanding Starches and their Role in Foods. Di dalam: Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications. Cui SW (editor). RC Taylor & Francis, Boca Ratn FL. Liu H, Liang R, Antoniou J, Liu F, Shoemaker CF, Li Y, et al The effect of high moisture heat-acid treatment on the structure and digestion property of normal maize starch. J Food Chem 159 : Lorlowhakarn K, Naivikul O Modification of rice flour by heat-moisture treatment () to produce rice noodles. Kasetsart J. Nat. Sci. 40 (Suppl.): Mahadevamma MS, Harish KVP, Tarathanan RN Resistant starch derived from processed legumes: purification and structural characterization. J Carbohydr Polym 54: Mun SH, Shin M Mild hydrolysis of resistant starch from maize. Food Chem 96 : Mutungi C, Rosta F, Onyangob C, Jarosa D, Rohma H Crystallinity, thermal and morphological characteristics of resistant starch type III 37

50 38 produced by hydrothermal treatment of debranched cassava starch. Starch/Starke 61:1-12. Nugent AP Health properties of resistant starch. British nutrition foundation. Nutr Bull. 30 : Nurhayati Peningkatan sifat prebiotik tepung pisang dengan indeks glikemik rendah melalui fermentasi dan siklus peemanasan bertekananpendinginan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Olayinka OO, Adebowale KO, Olu-Owolabi, BI Effect of heat moisture treatment on phsycochemical properties of white shorgum starch. J Food Hyd, 22: Pongjanta J, Utaipattanaceep O, Naivikul, Piyachomkwan K Effect of preheated treatments on physicochemical properties of resistant starch type III from pullulanase hydrolysis of high amylose rice starch. American J Food Tech 4(2): Purseglove JW Tropical Crops : Monocotyledons London : English Language, Book Society and Longman (UK). Pratiwi R Modifikasi Pati Garut (Marantha arundinacea) dengan Perlakuan Siklus Pemanasan Suhu Tinggi-Pendinginan (Autoclaving- Cooling Cycling) untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Ratnayake WS, Jackson DS Thermal behavior of resistant starches RS 2, RS 3, and RS 4. J Food Sci 73(5) : Sajilata MG, Singhal RS, Kulkarni PR Resistant starch-a review. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol. 5. Sanz, T, Salvador A, Baixauli R, Fiszman SM Evaluation of four types of resistant starch in muffins. II. Effects in texture, colour and consumer response. Eur Food Res and Tech 229(2) : Sastrapradja S, Soetjipto NW, Danimiharja S, dan Soejono R Ubi-ubian. Lembaga Biologi Nasional. LIPI. Balai Pustaka, Bogor(ID). Schmiedl D, Bauerlein M, Bengs H, Jacobash G Production of heat-stable, butyrogenic resistant starch. J Carbohydr Polym 43 : Shin S, Byun J, Park KW, Moon TW Effect of partial acid and heat moisture treatment of formation of resistant tuber starch. J Cereal Chem 81(2): Shu X, Jia L, Gao J, Sing Y, Zhao H, Nakamura Y and Wu D The Influence of Chain Length of Amilopectin on Resistant Starch in Rice (Oryza sativa L). Starch/Starke 59 : Siljestrom M, Asp NG Resistant starch formation during baking. Effect of baking time and temperature and variation in the recipe. Z Lebensm Unters Forsch 4:1 18. Singh N, Raina CS, Bawa AS, Saxena DC Effect of heat moisture treatment and acid modification on rheological, textural and differential scanning calorimetry characteristics of sweet potato starch. J Food Sci 70(6): Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M Starches from different botanical sources I: contribution of amylopectin fine structure

51 to thermal properties and enzyme digestibility. J Carbohydr Polym 60(4): Srichuwong S Starches from Different Plant Origins: From Structure to Physicochemical Properties [Disertasi]. Mie University. Japan(JP). Sun Q, Wang T, Liu, X, Zhao Y The effect of heat moisture treatment on physicochemical properties of early indica rice. J Food Chem, 141, Szczodrak J, Pomeranz Y Starch and enzyme-resistant starch from high amylose barley. Cereal Chem 68(6): Takeda Y, Guan HP, Preiss J Branching of amylase by the branching isoenzymes of maize endosperm. J Carbohydr Res 240: Takeda Y, Hanashiro M Examination of the structure of amylase and amylopectin by fluorescent labeling terminal. J Appl Glycosci. 48: Topping DL, Clifton PM Short-chain fatty acids and human colonic function : Roles of resistant starch and nonstarch polysaccharides. Physiological Rev 81 : Vasanthan T, RS Bhatty Enhancement of resistant starch III in amylomaize barley, field pea and lentil starches. Starch/Stärke 50: Villamajor Jr., FG, J Jurkema Maranta arundinaceae L. Di dalam Plat Yeilding Non-Seed Carbohydrates. Prosea. 9. Wang TL, Bogracheva TY, Hedley CL Starch: as simple as A, B, C? Journal of Experimental Botany 49: Watcharatewinkul Y, Puttanlek C, Rungsardthong V, Uttapap D Pasting properties of a heat moisture treated canna starch in relation to its structural characteristics. J Carbohydr Polym 75(3) : Widowati S, Suismono, Suarni, Sutrisno, dan Komalasari O Petunjuk Teknis Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta(ID). Yustiareni E Kajian Substitusi Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan Tepung Kedelai pada Pembuatan Mie Kering. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor(ID). Zabar S, Shimoni E, Peled HB Development of nanostructure in resistant starch type III during thermal treatments and cycling. J Macromol Biosci 8 : Zavareze ER, Dias ARG Impact of heat moisture treatment and annealing in starches : a review. J Carbohydr. Polym. 83 : Zhao XH, Lin Y The impact of coupled acid or pullulanase debranching on the formation of resistant starch from maize starch with autoclaving cooling cycles. Eur Food Res and Tech 230:

52 40 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 08 September Penulis merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara dalam keluarga Bapak Suryadi dan Ibu Dewi Sari. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui oleh penulis adalah SDN Rama II dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan ke sekolah menengah pertama di SMP Negeri 06 Tangerang dan lulus pada tahun 2008 dan masuk ke SMA Negeri 05 Tangerang serta lulus pada tahun Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan kepanitiaan tingkat lokal antara lain Orde Keramat 2012, HACCP-PLASMA 2013, Techno-F 2013, dan BAUR Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB pada tahun 2012 dan asisten praktikum Prinsip Teknik Pangan pada tahun Selama masa kuliah penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari Dikti. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan diantaranya Forum Bina Islam Fateta (FBI) pada tahun 2013 dan 2014 serta anggota Himpunan Profesi Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa). Penulis juga pernah menjadi panitia dalam acara lingkup nasional diantaranya FOODIVAL 2014, Halal is Scientific (Hassasin) 2013 dan Hassasin Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penyusunan skripsi dengan judul Modifikasi Pati Garut (Maranta arundinaceae L.) dengan Hidrolisis Asam, Siklus Autoclaving-Cooling, dan Heat Moisture Treatment () Untuk Menghasilkan Pati Resisten Tipe III dibawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Didah Nur Faridah, MSi.

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan yaitu umbi garut kultivar creole berumur 10 bulan yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.)

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PATI GARUT (Marantha arundinacea L.) Umbi garut yang digunakan dalam penelitian ini berumur sekitar 10 bulan ketika dipanen. Kandungan pati maksimum adalah pada saat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) Pengujian daya serap air (Water Absorption Index) dilakukan untuk bahan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Formulir organoleptik

Lampiran 1 Formulir organoleptik LAMPIRA 55 56 Lampiran Formulir organoleptik Formulir Organoleptik (Mutu Hedonik) Ubi Cilembu Panggang ama : o. HP : JK : P / L Petunjuk pengisian:. Isi identitas saudara/i secara lengkap 2. Di hadapan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu 1. Analisa Proksimat a. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh di dalam cawan aluminium yang telah diketahui

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

3. MATERI DAN METODE. Gambar 2. Alat Penggilingan Gabah Beras Merah. Gambar 3. Alat Penyosohan Beras Merah

3. MATERI DAN METODE. Gambar 2. Alat Penggilingan Gabah Beras Merah. Gambar 3. Alat Penyosohan Beras Merah 3. MATERI DAN METODE Proses pemanasan dan pengeringan gabah beras merah dilakukan di Laboratorium Rekayasa Pangan. Proses penggilingan dan penyosohan gabah dilakukan di tempat penggilingan daerah Pucang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri Universitas Lampung, Laboratorium Biokimia IPB dan Laboratorium Pengolahan

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1).

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kecipir yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Bandung. Bahan kimia yang diperlukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari Badan Litbang Kehutanan,

Lebih terperinci

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8

setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 40 setelah pengeringan beku) lalu dimasukan ke dalam gelas tertutup dan ditambahkan enzim I dan enzim II masing-masing sebanyak 1 ml dan aquadest 8 ml. Reaksi enzimatik dibiarkan berlangsung selama 8 jam

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, K

Lebih terperinci

x100% LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006)

x100% LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006) LAMPIRAN PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Ganjyal et al., 2006; Shimelis et al., 2006) Prosedur pengujian daya serap air: 1. Sampel biskuit dihancurkan dengan menggunakan mortar. 2. Sampel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian 3.1.1 Bagan Alir Pembuatan Keju Cottage Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan bagan alir yang ditunjukkan pada gambar 3.1 900 g Susu skim - Ditambahkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995)

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Bahan sejumlah kurang lebih 1 g ditimbang. Sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%. Sampel kemudian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan antara lain : oven, autoklap, ph meter, spatula, saringan, shaker waterbath,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass, III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Februari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. 3.2 Alat Alat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel. Tanaman wortel. Wortel

Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel. Tanaman wortel. Wortel Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel Tanaman wortel Wortel Lampiran 2. Gambar potongan wortel Potongan wortel basah Potongan wortel kering Lampiran 3. Gambar mesin giling tepung 1 2 4 3 5 Mesin Giling

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis L A M P I R A N 69 Lampiran 1. Prosedur Analisis A. Pengukuran Nilai COD (APHA,2005). 1. Bahan yang digunakan : a. Pembuatan pereaksi Kalium dikromat (K 2 Cr 2 O 7 ) adalah dengan melarutkan 4.193 g K

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995) LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya akan diisi sebanyak 2 g sampel lalu ditimbang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hijau yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara Gunung Mas di Bogor. Bahan-bahan yang digunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Agustus 2011 di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Agustus 2011 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Agustus 2011 di beberapa laboratorium, yaitu di Laboratorium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. laboratorium Biomassa, laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. laboratorium Biomassa, laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dilaboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, laboratorium Biomassa, laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1 Pengujian Viskositas (menggunakan viskosimeter) (Jacobs, 1958) Viskositas Saos Tomat Kental diukur dengan menggunakan viskosimeter (Rion Viscotester Model VT-04F). Sebelum

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 24 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2011 :

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2011 : BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - November 2011 : a) Proses Fermentasi di Laboratorium Biokimia Jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai macam alat gelas, labu Kjeldahl, set alat Soxhlet, timble ekstraksi, autoclave, waterbath,

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat dewasa ini telah memandang pentingnya menjaga kesehatan sehingga tidak hanya menginginkan makanan yang enak dengan mouthfeel yang baik tetapi juga yang dapat

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan

Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Pendahuluan 1. Penentuan Formulasi Bubur Instan Berbasis Tepung Komposit : Tepung Bonggol Pisang Batu dan Tepung Kedelai Hitam Tujuan: - Mengetahui

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Bandar Lampung dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 19 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari bonggol nanas dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat produk yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Alat dan Bahan. B. Metode Penelitian. 1. Persiapan Sampel

METODE PENELITIAN. A. Alat dan Bahan. B. Metode Penelitian. 1. Persiapan Sampel III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Sampel yang digunakan untuk pengukuran ripitabilitas yaitu isolat protein kedelai, kedelai yang ditambahkan dekstrin, dan kacang kedelai, sedangkan untuk pengukuran

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 17 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2012. Karakterisasi limbah padat agar, pembuatan serta karakterisasi karbon aktif dilakukan di Laboratorium Karakterisasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai pengambilan sampel di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru dan dianalisis

Lebih terperinci

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih ANALISIS KARBOHIDRAT Analisis Zat Gizi Teti Estiasih 1 Definisi Ada beberapa definisi Merupakan polihidroksialdehid atau polihidroksiketon Senyawa yang mengandung C, H, dan O dengan rumus empiris (CH2O)n,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari kulit pisang dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) LAMPIRAN 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) METODE PENGUJIAN Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Untuk pengujianan total oksalat ke dalam Erlenmeyer ditambahkan larutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012. 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati adalah bahan baku yang sangat penting untuk industri makanan. Sebagai pengembangan produk makanan yang baru, pati memiliki sifat khusus yang fungsional. Fungsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan tahapan kegiatan, yaitu : bahan baku berupa singkong yang dijadikan bubur singkong,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi)

Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi) Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi) Diambil 1 kg tepung onggok singkong yang telah lebih dulu dimasukkan dalam plastik transparan lalu dikukus selama 30 menit Disiapkan 1 liter

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

c. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet

c. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soxhlet Lampiran 1. Prosedur Analisis a. Kadar Air (AOAC, 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Sebelum digunakan, cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu 100 o C selama

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos LAMPIRA 30 Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC 1984) Cawan alumunium kosong dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada temperatur 100 o C. Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Kimia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama ± 2 bulan (Mei - Juni) bertempat di Laboratorium Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia dan Laboratorium Mikrobiologi

Lebih terperinci

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG III. KEGIATAN MAGANG A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG Kegiatan magang dilaksanakan di sebuah perusahaan snack di wilayah Jabotabek selama empat bulan. Kegiatan magang ini dimulai pada tanggal 10 Maret sampai

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu dilakukan pada bulan Agustus 2009 Januari 2010 yang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, analisa dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Laboratorium Nutrisi dan Kimia serta Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis

Lampiran 1. Prosedur Analisis Lampiran 1. Prosedur Analisis 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh ditimbang secara teliti dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan kemudian dikeringkan dalam

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1 Pengujian Viskositas (menggunakan viskosimeter) (Jacobs, 1958) Viskositas Saos Tomat Kental diukur dengan menggunakan viskosimeter (Brookfield Digital Viscometer Model

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958)

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958) LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI 01-3546-2004 yang dimodifikasi*) Penentuan Total Padatan Terlarut (%Brix) saos tomat kental dilakukan dengan menggunakan Hand-Refraktometer Brix 0-32%*.

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode 16 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Maret 2011, bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa Universitas Lampung

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang 32 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2014, yang dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di 13 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Materi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan untuk pembuatan produk, menguji total bakteri asam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan satu faktor (Single Faktor Eksperimen) dan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan yaitu penambahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci