PRODUKSI GAS BIO DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN KOMPOS JERAMI PADI PADA RASIO C/N YANG BERBEDA SKRIPSI ARI SYAHPUTRA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKSI GAS BIO DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN KOMPOS JERAMI PADI PADA RASIO C/N YANG BERBEDA SKRIPSI ARI SYAHPUTRA"

Transkripsi

1 PRODUKSI GAS BIO DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN KOMPOS JERAMI PADI PADA RASIO C/N YANG BERBEDA SKRIPSI ARI SYAHPUTRA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i

2 RINGKASAN ARI SYAHPUTRA. D Produksi Gas Bio dari Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi pada Rasio C/N yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Salundik, M.Si Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc Gas bio adalah campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan anaerob. Pembentukan gas bio merupakan proses biologis. Bahan dasar yang berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Bahan organik dalam alat penghasil gas bio (digester) akan dirombak oleh bakteri dan kemudian menghasilkan campuran gas methan (CH 4 ) dan karbondioksida (CO 2 ) dan sedikit gas-gas lain, campuran gas-gas tersebut disebut gas bio. Fermentasi atau perombakan tersebut adalah proses mikrobiologis yang merupakan himpunan proses metabolisme sel. Proses anaerobik akan optimal bila diberikan bahan makanan yang mengandung karbon (C) dan nitrogen (N) secara bersamaan, rasio C/N menunjukkan perbandingan jumlah dari kedua elemen tersebut. Karbon yang banyak maka nitrogen akan habis terlebih dahulu, hal ini akan menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Nitrogen yang terlalu banyak (rasio C/N rendah, misalnya 30/15) maka karbon habis lebih dahulu dan proses fermentasi berhenti, dengan mencampurkan jerami padi sebanyak 5 % dengan kotoran ternak menghasilkan gas bio 74 % lebih banyak dari pada yang tidak menggunakan campuran jerami padi. Jerami padi relatif sulit terdekomposisi, sehingga untuk mempercepat produksi gas, maka jerami sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi gas bio dari campuran kotoran sapi perah dengan kompos jerami padi pada rasio C/N yang berbeda. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan Fakultas Peternakan, Laboratorium Teknologi Industri Pertanian, dan Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor mulai bulan Maret sampai Mei Penelitian ini menggunakan bahan utama berupa kotoran sapi perah dan kompos jerami padi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan perlakuan rasio C/N yang berbeda dan jerami padi yang dikomposkan dengan aktivator yang berbeda. Peubah yang diamati meliputi produksi gas bio, ph isian, temperatur isian, dan volatil solid. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa campuran kotoran sapi perah dengan kompos jerami padi pada rasio C/N yang berbeda berpengaruh sangat nyata pada produksi gas bio (P<0,01) sedangkan pada ph isian, temperatur isian, dan volatil solid perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Kata-kata kunci: gas bio, kotoran sapi perah, kompos jerami padi, rasio C/N ii

3 ABSTRACT Production Biogas from Dairy Manure Mixture with Compost Rice Straw at Different C/N Ratio Ari, S., Salundik, and Y. Retnani. Biogas is a renewable energy which can be used as alternative fuel instead of fuel such as oil and natural gas. Biogas is gases mixture that produced from organic fermentation processing by bacteria in anaerobic condition. The fermentation process for biogas production affected by C/N ratio. The optimum C/N Ratio is very important because related to metabolic activity of organism. Additional of rice straw can increase C/N ratio. The purpose of this research was to know production rates of biogas from dairy manure mixture with composted rice straw on different C/N ratio. The results showed that dairy manure mixture with compost rice straw on different C/N ratio very significant (P<0,01) to biogas production. The mixture between rice straw that composted by EM4 activator with dairy manure on C/N ratio 30 resulted highest biogas production. Keywords: Biogas, Ratio C/N, Dairy manure, Compost rice straw. iii

4 PRODUKSI GAS BIO DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN KOMPOS JERAMI PADI PADA RASIO C/N YANG BERBEDA ARI SYAHPUTRA D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 iv

5 PRODUKSI GAS BIO DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN KOMPOS JERAMI PADI PADA RASIO C/N YANG BERBEDA Oleh ARI SYAHPUTRA D Skripsi ini telah disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 02 September 2009 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Ir. Salundik, M.Si Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc v

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Desember 1986 di Bogak Seberang, Sumatera Utara. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Iman Sujarwo dan Ibu Warsini. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Bogak Seberang, Sumatera Utara. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 1 Tanjung Tiram, Sumatera Utara dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 1 Tanjung Tiram, Sumatera Utara. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Teknologi Pengolahan Susu, dan Pendidikan Agama Islam. Penulis aktif bergabung dalam organisasi lembaga dakwah fakultas peternakan, Institut Pertanian Bogor FAMM AL-AN AAM (Forum Aktifitas Mahasiswa Muslim Al-An aam) periode 2006/2007 sebagai staff divisi Syiar, dan sebagai ketua FAMM AL- AN AAM periode 2007/2008. Penulis juga pernah aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor sebagai Koordinator divisi Kesekretariatan pada tahun 2007 dan sebagai Pemandu Anak Koboi (PAK) pada tahun 2008, serta pengurus asistensi pada divisi eksternal mata kuliah dasar umum Pendidikan Agama Islam, Institut Pertanian Bogor. vi

7 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmannirrahim, penulis panjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penelitian dan skripsi dengan judul Produksi Gas Bio dari Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi pada Rasio C/N yang Berbeda. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman. Gas bio merupakan gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob. Pembentukan gas bio merupakan proses biologis, bahan dasar yang berupa bahan organik seperti kotoran sapi perah maupun kompos jerami padi akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Proses anaerobik akan optimal bila diberikan bahan makanan yang mengandung karbon dan nitrogen secara bersamaan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai produksi gas bio dari campuran kotoran sapi perah dengan kompos jerami padi pada rasio C/N yang berbeda. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca umumnya, Amien. Wassalamu alaikum Wr. Wb. Bogor, September 2009 Penulis vii

8 DAFTAR ISI RINGKASAN... Halaman ABSTRACT... iii LEMBAR PERNYATAAN iv LEMBAR PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP... vi KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI viii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Energi Berkelanjutan.. 3 Gas Bio Pengomposan Kotoran Sapi Perah Jerami Padi METODE Lokasi dan Waktu Materi Bahan Alat Prosedur Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama Rancangan Percobaan Peubah yang Diamati Pengukuran Volume Gas Pengukuran Temperatur Isian dan ph. 26 Analisis TVS ii v x xi xii viii

9 Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Produksi Gas Bio Pengaruh Perlakuan Terhadap ph Isian Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Volatil solid KESIMPULAN DAN SARAN.. 37 Kesimpulan.. 37 Saran 37 UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA. 39 LAMPIRAN 42 ix

10 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi Jenis Gas dan Jumlahnya pada Suatu Unit Gas Bio Fungsi Mikroorganisme di dalam Larutan EM Komposisi Kotoran per 450 kg Bobot Badan Sapi Pengaruh Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi pada Rasio C/N yang Berbeda Terhadap Produksi Gas Bio Pengaruh Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi pada Rasio C/N yang Berbeda Terhadap ph Isian Pengaruh Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi pada Rasio C/N yang Berbeda Terhadap Temperatur Isian Pengaruh Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi pada Rasio C/N yang Berbeda Terhadap Total Volatil Solid Hasil Analisis Total Volatil Solid (%) dari Masing-masing Perlakuan.. 34 x

11 Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Proses Perombakan Bahan Organik Selulosa dalam Proses Fermentasi Anaerob Bagan Alur Pengomposan Jerami Padi yang Menggunakan Aktivator Pengomposan yang Berbeda (EM4 dan Acticomp) Bagan Alur Tahapan Penelitian Utama Rancangan Bioreaktor Penghasil Gas Bio Grafik Produksi Gas Bio dari Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi yang Menggunakan Bioaktivator Pengomposan dan Rasio C/N yang Berbeda Grafik Nilai Total Volatil Solid dari Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Jerami Padi yang Dikomposkan dengan larutan EM4 pada Rasio C/N yang Berbeda Grafik Nilai Total Volatil Solid dari Campuran Kotoran Sapi Perah dengan Jerami Padi yang Dikomposkan dengan Acticomp pada Rasio C/N yang Berbeda. 36 xi

12 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Bobot Kotoran Sapi Perah dengan Kompos Jerami Padi Berdasarkan Rasio C/N yang Berbeda Uji Kruskal-Wallis One-Way Nonparametrik Perlakuan Terhadap Produksi Gas Bio Uji Lanjut Tukey Perlakuan Terhadap Produksi Gas Bio Uji Kruskal-Wallis One-Way Nonparametrik Perlakuan Terhadap Temperatur Isian Uji Kruskal-Wallis One-Way Nonparametrik Perlakuan Terhadap ph Isian Uji Kruskal-Wallis One-Way Nonparametrik Perlakuan Terhadap Total Volatil Solid Produksi Gas Bio Total Volume Gas Bio Masing-masing Perlakuan xii

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini semakin tingginya harga dan langkanya bahan bakar minyak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mengakibatkan masyarakat semakin resah, terutama sekali masyarakat yang tinggal di pedesaan, solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah mencari sumber energi alternatif. Pemanfaatan limbah pertanian untuk memproduksi gas bio dapat memperkecil konsumsi sumber energi komersial seperti minyak tanah dan penggunaan kayu bakar, serta dapat dijadikan sebagai sumber energi alternatif. Usaha peternakan maupun pertanian dalam kegiatannya akan menghasilkan produk akhir berupa limbah, seperti kotoran sapi perah dan jerami padi yang jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan mengakibatkan dampak yang serius bagi lingkungan sekitarnya. Sementara perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah bagi lingkungan karena menumpuknya limbah peternakan. Satu ekor sapi dengan bobot badan kg dapat menghasilkan limbah padat dan cair sebesar 27,5-30 kg/ekor/hari (Hidayatullah et al., 2005). Penimbunan kotoran ternak sapi perah di sekitar kandang atau mengalirkannya lewat sungai merupakan salah satu penyebab utama polusi lingkungan, bau busuk, populasi lalat yang banyak, polusi air, dan gangguan kesehatan khususnya di sekitar peternakan atau daerah aliran sungai (Elizabeth, 1993). Limbah peternakan merupakan salah satu bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan gas bio. Gas bio dihasilkan dari proses pemecahan bahan limbah organik yang melibatkan aktifitas bakteri anaerob dalam kondisi anaerobik dalam suatu digester. Selain itu mikroorganisme membutuhkan nitrogen dan karbon untuk proses asimilasi. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan nitrogen digunakan untuk membangun struktur sel. Rasio C/N menunjukkan perbandingan jumlah dari kedua elemen tersebut. Karbon yang banyak maka nitrogen akan habis terlebih dahulu, hal ini akan menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Nitrogen yang terlalu banyak (rasio C/N rendah, misalnya 30/15), maka karbon habis lebih dahulu dan proses fermentasi berhenti (Fry, 1974). Jerami merupakan sisa dari hasil penuaian padi (Oryza sativa sp) berupa batang dan daun tanaman padi. Jerami merupakan limbah organik yang banyak dihasilkan di daerah persawahan, tanaman padi menghasilkan jerami dengan jumlah 1

14 yang setara dengan jumlah gabah atau 100 %. Luas areal tanaman padi di Indonesia pada tahun 2008 adalah hektar, produktivitas 4,84 ton per hektar dan produksi gabah sebesar ton, maka diperkirakan produksi jerami pada tahun 2008 mencapai 60 juta ton (Deptan, 2008). Biasanya jerami yang dihasilkan setelah pemanenan padi tidak dimanfaatkan melainkan hanya dibiarkan begitu saja atau dibakar yang akan mengakibatkan pencemaran udara. Pengelolaan limbah yang kurang baik akan menjadi masalah yang serius pada usaha peternakan maupun pertanian, sebaliknya bila limbah peternakan maupun pertanian ini dikelola dengan baik maka dapat memberikan manfaat maupun nilai tambah. Perumusan Masalah Semakin meningkatnya produksi peternakan dan pertanian maka semakin besar pula limbah yang dihasilkan, sehingga pengolahan limbah sangat penting untuk dilakukan agar tidak mencemari lingkungan. Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sahidu (1983) dengan mencampurkan jerami padi sebanyak 5 % dengan kotoran ternak menghasilkan gas bio 74 % lebih banyak dari yang tidak menggunakan campuran jerami padi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya rasio C/N bahan organik. Sehingga yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah berapakah kombinasi campuran terbaik antara kotoran sapi perah dengan kompos jerami padi pada rasio C/N yang berbeda dalam menghasilkan gas bio. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produksi gas bio dari campuran kotoran sapi perah dengan kompos jerami padi yang dikomposkan dengan bioaktivator pengomposan dan rasio C/N yang berbeda. 2

15 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Energi Berkelanjutan Secara umum sumber energi dibagi menjadi dua golongan yaitu sumber energi tak terbarukan (non renewable energy sources) dan energi yang terbarukan (renewable energy sources). Sumber energi tak terbarukan bersifat konvensional yang terdiri dari minyak bumi, gas alam dan nuklir. Energi tak terbarukan bersifat habis dan tidak dapat didaur ulang. Selanjutnya sumber energi terbarukan memiliki sifat utama yaitu ramah lingkungan dan dapat didaur ulang sehingga tidak akan habis dari waktu ke waktu. Kondisi sumber daya energi yang sebagian besar tidak dapat diperbarui terutama minyak bumi, saat ini sudah cukup kritis (Pangestu, 1996). Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain : panas bumi, biofuel, aliran air sungai, panas surya, angin, biomassa, gas bio, ombak laut, dan suhu kedalaman laut (Peraturan Presiden Republik Indonesia.No.5/ 2006 tentang kebijakan energi nasional). Gas Bio Gas bio yang didominasi oleh gas metana, merupakan gas yang dapat dibakar. Metana secara luas diproduksi di permukaan bumi oleh bakteri pembusuk dengan cara menguraikan bahan organik. Sekurangnya 10 tipe bakteri pembusuk yang berbeda dari bakteri methanogenesis yang berperan dalam pembusukan (Tiratsoo, 1979). Bakteri ini terdapat di rawa-rawa, lumpur sungai, sumber air panas (hot spring), dan perut hewan herbivora seperti sapi dan domba. Hewan-hewan ini tidak dapat memproses rumput yang mereka makan, bila tidak ada bakteri anaerobik yang memecah selulosa di dalam rumput menjadi molekul yang dapat diserap oleh perut mereka. Gas yang diproduksi oleh bakteri ini adalah gas metana yang dikeluarkan oleh sapi melalui mulut. Gas bio mengandung gas lain seperti karbon monoksida, hidrogen, nitrogen, oksigen, hidrogen sulfida, kandungan gas tergantung dari bahan yang masuk ke dalam biodigester. Nitrogen dan oksigen bukan merupakan hasil dari digester, ini mengindikasikan adanya kelemahan dari sistem sehingga udara dapat masuk ke dalam digester. Hidrogen merupakan hasil dari tahap pembentukan asam, pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri sulfat disebabkan 3

16 oleh konsentrasi ikatan sulfur. Walaupun hanya sedikit tetapi dapat mencapai 5 % untuk beberapa kotoran (Meynell, 1976). Gas bio adalah gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob, pada umumnya semua jenis bahan organik biasa diproses untuk menghasilkan gas bio namun demikian hanya bahan organik padat, cair homogeny seperti kotoran dan urine hewan ternak yang cocok untuk sistem gas bio sederhana. Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktifitas sistem gas bio disamping parameter-parameter lain seperti temperatur digester, ph, tekanan, dan kelembaban udara. Pembentukan gas bio merupakan proses biologis. Bahan dasar yang berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Bahan organik dalam alat penghasil gas bio (digester) akan dirombak oleh bakteri dan kemudian menghasilkan campuran gas metan (CH 4 ) dan karbondioksida (CO 2 ) dan sedikit gas-gas lain. Campuran gas-gas tersebut disebut gas bio. Fermentasi atau perombakan tersebut adalah proses mikrobiologis yang merupakan himpunan proses metabolisme sel. Fermentasi bahan organik tersebut dapat terjadi dalam keadaan aerobik maupun anaerobik, gas bio adalah hasil dari proses fermentasi anaerobik (Sahidu, 1983). Tabel 1. Komposisi Jenis Gas dan Jumlahnya pada Suatu Unit Gas Bio Jenis Gas Kandungan (%) Metana Karbondioksida Nitrogen 3 Hidrogen 1-10 Oksigen 3 Hidrogen Sulfida 5 Sumber : Meynell, 1976 Kondisi anaerob adalah kondisi dalam ruangan tertutup (kedap udara) dan tidak menerima oksigen. Proses yang berlangsung dalam kondisi anaerob akan terhambat atau gagal jika ada sedikit saja oksigen yang masuk, hal ini terjadi karena dalam kondisi anaerob dibutuhkan aktifitas bakteri pembentuk metan yang terdiri dari bakteri pembentuk gas yang tidak termasuk sebagai pengoksidasi metan. 4

17 Oksigen terlarut sebanyak 0,01 mg/l dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut (Stafford et al., 1980). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses anaerob, yaitu : 1. Temperatur Gas metan dapat diproduksi sesuai dengan bakteri yang hadir, bakteri psyhrofilik 0-7 C, bakteri mesofilik pada temperatur C, dan termofilik pada temperatur C (Fry, 1974). Temperatur yang optimal untuk digester terdapat pada temperatur C, kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metan di dalam digester dengan lama proses yang pendek. Temperatur yang tinggi jarang digunakan karena sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada temperatur mesofilik, selain itu bakteri termofilik mudah mati karena perubahan temperatur. Bakteri mesofilik adalah bakteri yang mudah dipertahankan pada kondisi buffer yang mantap dan dapat tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil khusunya bila perubahan berjalan perlahan. Kisaran temperatur 10-7 C, dan di bawah temperatur aktifitas bakteri akan berhenti beraktifitas dan menjadi dorman sampai temperatur naik kembali hingga batas aktivasi. Produksi gas akan berjalan dengan cepat hanya beberapa jam apabila bakteri bekerja pada temperatur 40 C tetapi untuk sisa hari itu hanya akan diproduksi gas yang sedikit. Tingkat produksi metan berlipat untuk setiap peningkatan temperatur sebesar C, jumlah total dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur (Meynell, 1976). 2. Ketersediaan Unsur Hara Bakteri anaerob membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang mengandung nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium, dan kobalt. Nutrisi yang penting bagi pertumbuhan bakteri dapat bersifat toksik apabila konsentrasi di dalam bahan terlalu banyak, nitrogen yang berlebihan sangat penting untuk mempertahankan pada level yang optimal untuk mencapai digester yang baik tanpa adanya efek toksik (Gunnerson dan Stuckey, 1986). 3. Lama Proses Lama proses atau jumlah hari bahan terproses di dalam biodigester. Setiap bahan mempunyai karakteristik lama proses tertentu, sebagai contoh untuk 5

18 kotoran sapi diperlukan waktu hari, sebagian gas diproduksi pada hari pertama (Fry, 1974). 4. Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi biologi dan mempertahankan ph agar stabil penting untuk semua kehidupan. Nilai ph yang dibutuhkan untuk digester antara 7-8,5. Proses yang tidak dimulai dengan membibitkan bakteri metana, seperti memasukkan kotoran hewan ke dalam kolam, kondisi buffer tidak akan tercipta dan perubahan yang terjadi adalah : selama tahap awal dari proses sekitar 2 minggu, ph akan turun hingga 6, atau lebih rendah, ketika sejumlah CO 2 diberikan. Seperti pada pencernaan, karbondioksida dan metan diproduksi dan ph perlahan meningkat hingga 7. Campuran yang berkurang keasamannya maka fermentasi metanlah yang mengambil alih proses pencernaan sehingga nilai ph meningkat di atas netral hingga 7,5-8,5. Setelah itu campuran menjadi buffer yang mantap, campuran yang telah mantap memungkinkan untuk menambah sejumlah kecil bahan secara berkala dan dapat mempertahankan secara konstan produksi gas dan sludge. Bahan yang tidak dimasukkan secara tidak teratur enzim akan terakumulasi sehingga padatan organik menjadi jelek dan produksi metan terhenti. Pertumbuhan bakteri penghasil gas metana akan baik bila ph bahannya pada keadaan alkali, proses fermentasi yang berlangsung pada keadaan normal dan anaerob maka ph akan secara otomatis berkisar antara 7-8,5, derajat keasaman yang lebih kecil atau lebih besar dari batas, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik (Fry, 1974). 5. Penghambat Nitrogen dan Rasio C/N Nitrogen ammonia pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat proses fermentasi anaerob. Konsentarsi yang baik berkisar antara mg/l, pada konsentrasi mg/l proses akan terhambat pada ph 7,4, sedangkan konsentrasi di atas 3000 mg/l akan bersifat toksik pada ph manapun. Selain itu mikroorganisme membutuhkan nitrogen dan karbon untuk proses asimilasi. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan nitrogen digunakan untuk membangun struktur sel. Bakteri penghasil metana menggunakan karbon 30 kali lebih cepat daripada nitrogen. Proses anaerobik akan optimal bila diberikan 6

19 bahan makanan yang mengandung karbon dan nitrogen secara bersamaan. Rasio C/N menunjukkan perbandingan jumlah dari kedua elemen tersebut. Bahan yang memiliki jumlah karbon 15 kali dari jumlah nitrogen akan memiliki rasio C/N 15 berbanding 1. Rasio C/N dengan nilai 30 (C/N = 30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan proses pencernaan pada tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung. Karbon yang banyak maka nitrogen akan habis terlebih dahulu, hal ini akan menyebabkan proses berjalan dengan lambat. Nitrogen yang terlalu banyak (rasio C/N rendah, misalnya 30/15), maka karbon habis lebih dahulu dan proses fermentasi berhenti (Fry, 1974). 6. Kandungan Padatan dan Pencampuran Substrat Mobilitas bakteri metanogen di dalam bahan secara berangsur-angsur dihalangi oleh peningkatan kandungan padatan yang berakibat terhambatnya pembentukan gas bio. Selain itu yang terpenting untuk proses fermentasi yang baik diperlukan pencampuran bahan yang baik akan menjamin proses fermentasi yang stabil di dalam pencerna. 7. Faktor-faktor Penghambat Bakteri merupakan mikroorganisme yang penting pada pembentukan gas bio pada suatu sumber bahan. Jumlah dan perkembangan bakteri pada bahan merupakan syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan gas bio. Akan tetapi pada bahan sering ditemukan keberadaan suatu unsur yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, diantaranya adalah logam berat, antibiotik, dan deterjen. Amonia merupakan sumber makanan bagi bakteri, tetapi juga dapat menjadi penghambat apabila memiliki konsentrasi yang melebihi batas yang diijinkan, untuk menanggulangi hal ini, bahan dapat diencerkan dengan air. Barnett et al. (1978) mengemukakan bahwa pemanfaatan limbah dan pembentukan metan dapat dilakukan sekaligus dengan cara fermentasi anaerob. Hal ini mengharuskan dipenuhinya desain digester yang sesuai, namun satu macam desain saja tidak mampu menangani setiap jenis bahan masukan karena perbedaan kondisi fisik, peralatan, dan tingkat fermentasi. Semakin mudah suatu bahan melarut dan terdegradasi, maka semakin sederhana pula desain dan pengoperasiannya. Sistem pengisian digester dibedakan atas sistem batch dan kontinyu (Barnett et al., 1978). Pelaksanaan secara batch berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama 7

20 bakteri mulai memantapkan diri dan pembentukan gas dimulai walaupun belum lancar (memerlukan waktu beberapa hari). Gas yang dihasilkan mungkin tidak dapat digunakan atau mungkin berbahaya karena konsentrasi H 2 S yang tinggi. Selanjutnya pada tahap kedua berlangsung selama 2-4 minggu, produksi gas meningkat melampaui titik maksimum kemudian mulai menurun. Tahap ketiga produksi gas turun perlahan-lahan. Pelaksanaan secara kontinyu, bahan masukan dimasukkan secara berkala sehingga tercipta kondisi yang mantap bagi proses fermentasi anaerob yang kemudian menghasilkan gas bio dan sludge dalam jumlah yang tetap. Penguraian kontinyu lebih efisien bila dibandingkan dengan sistem batch sehingga produksi gas lebih tinggi, namun sistem batch memiliki keuntungan tersendiri yaitu sistem ini tidak perlu diperhatikan setiap hari. Sistem pengisian digester pada tipe aliran kontinyu bahan dimasukkan ke dalam digester secara teratur pada satu ujung dan setelah melalui jarak tertentu, keluar di ujung yang lain. Tipe ini mengatasi masalah pada proses pemasukan dan pengosongan pada tipe batch. Fermentasi anaerob adalah proses perombakan bahan organik secara mikrobiologis dalam keadaan anaerob, dimana dihasilkan gas bio berupa campuran gas, gas yang dominan adalah CH 4 dan CO 2. Fermentasi anaerob berlangsung dalam tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pembentukan asam (asetogenik), dan tahap metanogenik (Barnett et al., 1978). 1. Tahap Hidrolisis Terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pemecahan bahan organik kompleks menjadi komponen monomer atau dimerik dapat larut. Pemecahan tersebut dilakukan oleh enzim ekstraseluler (selulose, amylase, protease, dan lipase) yang dihasilkan oleh bakteri selulotik, proteolitik, dan lipolitik. Bakteri selulotik memecah selulosa menjadi glukosa, bakteri proteolitik memecah protein rantai panjang menjadi protein sederhana, dan bakteri lipolitik memecah lemak menjadi asam lemak. Bakteri selulotik terbagi atas bakteri mesofilik yang hidup optimum pada suhu C dan bakteri thermofilik yang hidup optimum pada suhu C, ph optimum untuk bakteri ini berada dalam selang 5-7. Hidrolisis selulosa merupakan tahap yang paling lambat, produk dari tahap hidrolisis berupa komponen lebih sederhana yang berfungsi mendukung 8

21 reduksi limbah total, menstabilkan, serta merupakan sumber energi penting bagi komponen sel bakteri. 2. Tahap Pembentukan Asam (asetogenik) Karbohidrat sederhana yang dihasilkan pada tahap hidrolisis akan menjadi substarat bagi bakteri asetogenik, dan difermentasi menjadi H 2, CO 2, asam format, asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam velerat, asam laktat, dan asam lainnya, serta alkohol sederhana.tahap asetogenik menghasilkan sumber energi utama dalam digester. Proporsi produk yang berbeda dari tahap ini tergantung dari ada tidaknya mikroba, komposisi bahan, dan kondisi lingkungan. Sebesar 73 % metan berasal dari asetat dalam penguraian sludge, hal ini terjadi bahwa reaksi asam lain terjadi bersamaan sehingga metan dihasilkan secara berurutan. Awal penguraian ph akan menurun karena pembentukan asam-asam organik ini. Penurunan ph mengganggu perkembangan mikroorganisme karena tidak tercipta keadaan optimum, sehingga perlu ditambahkan larutan kapur sebagai buffer, penurunan ph dari 6,25 menjadi 4 terjadi setelah 16,5 jam diinkubasi pada suhu 37 C. 3. Tahap Metanogenik Produk dari tahap asetogenik dikonversi dan menghasilkan energi yang kecil, sehingga jumlah sel bakteri juga kecil, di sisi lain beberapa ammonia produk tahap hidrolisis dan asetogenik digunakan oleh bakteri metanogenik. Bakteri metanogenik tergantung pada tahap awal pertumbuhan (penyediaan nitrogen dalam bentuk ammonia, dan jumlah substrat yang digunakan). Bakteri metanogenik yaitu Methanobacillus omelianskii, Methanobacterium strain MOH, M. formicium, M. ruminantium, Methanobacillus arborphilicum, dan Methanosarcina barkeri, lebih sensitif terhadap perubahan fisik atau kimia dibandingkan bakteri asetogenik dan bakteri hidrolisis (Stafford et al., 1980), pertumbuhannya dapat terhambat oleh sejumlah kecil oksigen atau bahan sumber oksigen. Bakteri ini pertumbuhannya lambat (tingkat pertumbuhan 4-10 hari). Pembentukan gas metan dapat dilakukan dengan memanfaatkan asam asetat, melalui reduksi gas CO 2, dan hidrogen serta reduksi methanol. 9

22 Pengomposan Pengomposan merupakan proses dekomposisi biologis yang mengkonversi bahan organik (BO) padat secara biodegradasi menjadi humus stabil yang digunakan sebagai pupuk (Gaur, 1983). Dekomposisi sendiri merupakan proses penguraian bahan organik yang berasal dari binatang dan tanaman secara fisik maupun kimia yang dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme menjadi zat hara sebagai nutrisi bagi tanaman. Menurut Soepardi (1983), proses dekomposisi bahan organik sangat tergantung oleh faktor lingkungan, temperatur lingkungan dan kelembaban dapat merangsang kegiatan metabolism mikroorganisme sehingga mempercepat laju mineralisasi (perombakan bahan organik menjadi CO 2, air, dan nutrien). Selama proses pengomposan terjadi kehilangan CO 2 dan H 2 O cukup banyak sehingga mengalami penyusutan jumlah bahan (bobot) kompos dan kehilangan tersebut dapat mencapai % dari bobot semula karena terjadi perombakan bahan organik dan penguapan dan mungkin juga akan kehilangan sebanyak 50 % bila bahan organik tersebut telah mengalami dekomposisi (Soepardi, 1983). Tujuan dari pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan organik dan mengubah bahan yang bersifat organik menjadi anorganik atau bahan yang siap diserap oleh tumbuhan (Makarim et al., 2007). Polprasert (1989) menyatakan bahwa tujuan dan manfaat pengomposan adalah : (1) stabilisasi bahan organik, (2) menginaktifkan mikroba pathogen, (3) mendapatkan pupuk yang stabil, (4) mengolah atau mematangkan sludge. Pengomposan dapat berlangsung dalam kondisi aerob dan anaerob, dan dari temperatur mesofilik ke temperatur thermofilik tergantung pada mikroorganisme yang terlibat, aerasi dan tingkat kelembaban lingkungan serta bahan baku kompos. Selama proses pengomposan secara aerob, populasi mikroorganisme terus berubah, pada fase mesofilik, jamur dan bakteri pembuat asam mengubah bahan makanan yang tersedia menjadi asam amino, gula dan pati. Aktifitas mikroorganisme ini menghasilkan panas dan mengawali fase thermofilik di dalam tumpukan bahan kompos. Bakteri thermofilik mulai berperan merombak protein dan karbohidrat nonselulosa seperti pati dan hemiselulosa. Pada fase thermofilik, thermofilik actinomycetes mulai tumbuh dan jumlahnya terus bertambah karena bakteri ini tahan terhadap panas. Sebagian dari bakteri ini mampu merombak selulosa, tetapi jamur ini akan merombak hemiselulosa dan selulosa (Nan Djuarnani, 10

23 2004). Terdapat dua fase dalam proses pengomposan aerobik yaitu fase Mesofilik (23-45 C) dan fase Thermofilik (45-65) C. Kisaran temperatur ideal tumpukan kompos adalah 55 C-65 C. Pada temperatur tersebut, perkembangbiakan mikroorganisme adalah yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu, enzim yang dihasilkan untuk menguraikan bahan organik paling efektif daya urainya, temperatur yang tinggi (minimal 55 C) perlu dipertahankan sekurang kurangnya selama 15 hari berturut-turut, dan tumpukan dibalik ± 5 kali dalam masa tersebut (Harold, 1965). Pengomposan bahan organik secara aerob menghasilkan CO 2, F 2 O, humus, dan energi, namun pada kondisi aerob dan thermofilik lebih diinginkan karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna (Gaur, 1981), pada sistem pengomposan secara aerob dekomposisi bahan organik berlangsung dengan adanya oksigen bebas, sehingga hasil akhirnya terutama adalah CO 2, air, senyawasenyawa sederhana, energi, dan unsur hara. Reaksi yang terjadi pada pengomposan aerob menurut Gaur (1983) adalah sebagai berikut : Reaksi aerob Gula Selulosa (CH 2 O) x + x O 2 x CO 2 + x H 2 O + energi Hemiselulosa + Protein (N organik) NH 4 Reaksi secara keseluruhan Bahan organik (aktifitas mikroorganisme aerob) CO NO 2 - NO energi 2 + H 2 O + hara + humus + energi Pengomposan secara anaerob menghasilkan gas metan (CH 4 ), CO 2, dan senyawa asam organik dengan berat molekul rendah (asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam laktat). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pengomposan antara lain aerasi, kadar air bahan, suhu, rasio C/N, dan mikroba perombak (Gaur, 1983). Menurut Djuarnani (2004) ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan, antara lain : 1. Ukuran bahan Proses pengomposan akan lebih cepat jika bahan mentahnya memiliki ukuran yang kecil. Karena itu bahan yang berukuran besar perlu dicacah atau digiling terlebih dulu sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Bahan yang berukuran kecil akan cepat didekomposisi karena luas permukaannya meningkat dan 11

24 mempermudah aktifitas mikroorganisme perombak. Namun ukuran bahan tersebut jangan terlalu kecil. Ukuran bahan mentah yang terlalu kecil akan menyebabkan rongga udara berkurang sehingga timbunan menjadi lebih mampat dan pasokan oksigen ke dalam timbunan akan semakin berkurang. Jika pasokan oksigen berkurang, mikroorganisme yang ada di dalamnya tidak bisa bekerja secara optimal. 2. Rasio C/N Rasio C/N merupakan faktor paling penting dalam proses pengomposan hal ini disebabkan proses pengomposan tergantung dari kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel, dan nitrogen untuk membentuk sel. Besarnya nilai rasio C/N tergantung dari jenis sampah. Proses pengomposan yang baik akan menghasilkan rasio C/N yang ideal sebesar 20-40, tetapi rasio paling baik adalah 30. Jika rasio C/N tinggi, aktifitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu, diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk memyelesaikan degradasi bahan kompos sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang dihasilkan akan memiliki mutu rendah. Jika rasio C/N terlalu rendah (kurang dari 30), kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amonia atau terdenitrifikasi. 3. Kelembaban Dekomposisi secara aerobik dapat terjadi pada kelembaban % dengan pengadukan yang cukup. Secara umum kelembaban yang baik untuk berlangsungnya proses dekomposisi secara aerobik adalah %. Namun sebenarnya kelembaban yang baik pada pengomposan tergantung dari jenis bahan organik yang digunakan atau jenis bahan organik yang paling banyak digunakan dalam campuran bahan kompos. 4. Temperatur pengomposan Proses pengomposan akan berjalan baik jika bahan berada dalam temperatur yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorganisme perombak. Temperatur optimum yang dibutuhkan mikroorganisme untuk merombak bahan adalah C. Namun setiap kelompok mikroorganisme memiliki temperatur optimum yang berbeda sehingga temperatur optimum pengomposan merupakan integrasi dari 12

25 berbagai jenis mikroorganisme yang terlibat, pada pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur yang cukup cepat selama 3-5 hari pertama dan temperatur kompos dapat mencapai C, pada temperatur ini mikroorganisme dapat tiga kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 55 0 C. Selain itu pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan organik. 5. Derajat keasaman (ph) pengomposan Kisaran ph kompos yang optimal adalah 6,0-8,0. derajat keasaman bahan pada permulaan pengomposan umumnya bersifat asam sampai dengan ph netral (ph 6,0-7,0). Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik, pada proses selanjutnya mikroorganisme dari jenis yang lain akan mengkonversi asam organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan mendekati netral. 6. Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan Kadar oksigen yang ideal adalah 10%-18% (kisaran yang dapat diterima adalah 5%-20%), apabila tumpukan terlalu lembab maka proses pengomposan akan terhambat, ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan, sehingga akan membatasi kadar oksigen dalam tumpukan. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh mikroorganisme anaerobik, tetapi dengan adanya pembalikan pada tumpukan kompos akan mengembalikan kondisi tumpukan menjadi normal kembali (CPIS, 1992). Pengomposan dapat terjadi pada kadar air bahan % asalkan dilakukan pembalikan pada bahan yang dikomposkan, tetapi kadar air berlebihan di atas 60 % dapat menurunkan suhu dalam gundukan bahan yang dikomposkan. Ukuran bahanbahan organik dapat mempengaruhi proses pengomposan dengan memperkecil ukuran bahan pengomposan dapat mempercepat proses pengomposan karena kontak antara mikroba dengan bahan menjadi lebih pada permukaan yang lebih luas. Ukuran partikel yang paling baik adalah kurang dari 5 cm walaupun ukuran lebih besar dapat juga dikomposkan dengan memuaskan (Gaur, 1983). 13

26 Kualitas kompos ditentukan oleh kematangan kompos, kandungan hara, dan kandungan logam berat (Harada et al., 1993). Menurut Gaur (1983) kompos matang memiliki sifat atau ciri sebagai berikut : berwarna kecoklatan sampai hitam, kisaran nilai rasio C/N 10-20, kapasitas tukar kation (KTK) tinggi (> 70 me/100 g) dan bila diberikan ke tanah akan mempengaruhi sifat fiisk dan kimia tanah. Secara fisik kompos berstruktur remah, agak lepas dan tidak menggumpal, berwarna coklat kegelapan, baunya seperti humus tanah merupakan ciri kompos yang baik. Pengomposan melibatkan mikroorganisme pembusuk dalam lingkungan yang sesuai. Higa (1990), memperkenalkan suatu kultur mikroorganisme yang disebut EM4 yang di dalamnya dalah mikroorganisme yang menguntungkan dan secara efektif mengatur keseimbangan mikroorganisme tanah dan tanaman. Mikroorganisme tersebut terdiri dari asam laktat, bakteri fotosintesis, aktinomicetes, khamir, dan jamur. Effective Microorganism 4 (EM4) merupakan suatu kultur campuran dan medium cair berwarna coklat kekuning-kuningan, berbau asam dan terdiri dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Bioaktivator jenis EM mengandung mikroorganisme yang beraneka ragam, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Bakteri Fotosintetik (Rhodopseudomonas spp.) Bakteri jenis ini berguna untuk memproduksi zat-zat yang bermanfaat bagi tumbuhan, misalnya: asam amino, asam nukleik, zat bioaktif, gula, dan zat lain yang bisa membantu mempercepat pertumbuhan tanaman. 2. Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus spp.) Bakteri jenis ini membantu mempercepat perombakan bahan organik (seperti lignin dan selulosa). Selain itu, juga menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen yang biasanya terdapat pada pembusukan bahan organik. 3. Ragi (Saccharomyces spp., Yeast) Ragi membantu proses fermentasi dengan menghasilkan banyak zat bioaktif seperti hormon dan enzim, bila digunakan pada tanah dan akar, ragi membantu meningkatkan jumlah sel aktif pada tanaman dan akar. 14

27 4. Actinomycetes Actinomycetes menghasilkan zat anti-mikroba yaitu zat yang menekan pertumbuhan jamur dan bakteri yang mengganggu proses fermentasi atau pengomposan. 5. Jamur Fermentasi (Aspergilus spp. atau Penicillium spp.) Jamur ini menghasilkan alkohol, ester, dan hasil fermentasi lainnya. Jamur ini juga dapat menghilangkan bau, dan mencegah serbuan ulat, lalat dan lain-lain. Effective Microorganism 4 (EM4) berupa larutan cair berwarna kuning kecoklatan, ditemukan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryuksus Jepang. Cairan ini berbau sedap dengan rasa asam manis dan tingkat keasaman (ph) kurang dari 3,5. Apabila tingkat keasaman melebihi 4,0 maka cairan ini tidak dapat digunakan lagi. Mikroorganisme efektif atau EM4 adalah suatu kultur campuran berbagai mikroorganisme yang bermanfaat (terutama bakteri fotosintesis, bakteri asam laktat, ragi, Actinomycetes, dan jamur peragian) yang dapat digunakan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba tanah dan dapat memperbaiki pertumbuhan serta jumlah mutu hasil tanaman. Setiap spesies mikroorganisme mempunyai peranan masing-masing. Bakteri fotosintesis adalah pelaksana kegiatan EM4 yang terpenting karena mendukung kegiatan mikroorganisme dan juga memanfaatkan zat-zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme lain. EM4 tidak berbahaya bagi lingkungan karena kultur EM4 tidak mengandung mikroorganisme yang secara genetika telah dimodifikasi. EM4 terbuat dari kultur campuran berbagai spesies mikroba yang terdapat dalam lingkungan alami di seluruh dunia, bahkan EM4 bisa diminum langsung ( Yuwono, 2005 ). 15

28 Tabel 2. Fungsi Mikroorganisme di dalam Larutan EM4 Nama Fungsi Bakteri fotosintesis Bakteri asam laktat Ragi Actinomycetes Jamur fermentasi Meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Menghasilkan asam laktat dari gula. Menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan, misalnya Fusarium. Meningkatkan percepatan perombakan bahan organik. Dapat menghancurkan bahan-bahan organik seperti lignin dan selulosa, serta memfermentasikan tanpa menimbulkan pengaruh-pengaruh merugikan yang diakibatkan oleh bahan-bahan organik yang tidak terurai. Membentuk zat antibakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dari asam-asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri fotosintesis. Meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar. Menghasilkan zat-zat antimikroba dari asam amino yang dihasilkan oleh bakteri fotosintesis dan bahan organik. Menekan pertumbuhan jamur dan bakteri. Menguraikan bahan organik secara tepat untuk menghasilkan alkohol, ester dan zat-zat antimikroba. Menghilangkan bau serta mencegah serbuan serangga dan ulat yang merugikian. Sumber : Yuwono (2005) ActiComp adalah hasil penelitian Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) dan saat ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Aktivator pengomposan ini menggunakan mikroba-mikroba terpilih yang memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi limbah-limbah padat organik, yaitu: Trichoderma pseudokoningii, Cytopaga sp, Trichoderma harzianum, Pholyota sp, Agraily sp dan FPP (fungi pelapuk putih). Mikroba ini bekerja aktif pada suhu tinggi (thermofilik). Aktivator yang dikembangkan oleh BPBPI tidak memerlukan tambahan bahan-bahan lain dan tanpa pengadukan secara berkala. Namun, kompos perlu ditutup untuk mempertahankan suhu dan kelembaban agar proses pengomposan berjalan optimal dan cepat. Pengomposan dapat dipercepat hingga 2 16

29 minggu untuk bahan-bahan lunak atau mudah dikomposakan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras dan sulit dikomposkan (Isroi, 2007). Kotoran Sapi Perah Populasi sapi perah semakin meningkat tiap tahunnya, bahkan peningkatan populasi sapi perah di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 377 ribu ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Produksi kotoran setiap spesies ternak merupakan fungsi dari bobot badannya, terrnak yang lebih besar memproduksi kotoran lebih banyak. Ternak dewasa yang makan hanya cukup untuk pemeliharaan tubuhnya akan mengeksresikan kotoran yang lebih sedikit secara proporsional. Sapi laktasi dan semua ternak bunting membutuhkan makanan lebih banyak dan umumnya memproduksi kotoran lebih banyak (Azevedo dan Stout, 1974). Limbah merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktifitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Limbah merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dari zat yang tidak mempunyai manfaat lagi masyarakat. Limbah peternakan biasanya diartikan sempit berupa kotoran atau tinja dan air kemih ternak. Limbah ternak dalam arti luas merupakan sisa produksi peternakan setelah diambil hasil utamanya, berarti yang termasuk limbah peternakan adalah kulit, tanduk, bulu, tulang, isi lambung, usus, darah, dan sebagainya setelah hasil utamnya karkas atau daging (Judoamidjojo et al., 1989). Limbah ternak yang terdiri dari kotoran ternak dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar limbah yang dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat, dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg limbah padat (Sihombing, 2000). Produksi limbah ternak diasumsikan dari proporsi bobot hidup ternak. Ternak babi akan menghasilkan limbah kurang lebih 3,6 % dari total bobot hidup, sapi 9,4 % dari total bobot hidup, domba 1,8 % untuk setiap bobot badan 50 kg, dan untuk sapi perah dengan bobot badan 500 kg akan menghasilkan limbah kurang lebih 47 kg/hari. Gangguan yang disebabkan oleh limbah peternakan meliputi gangguan estetika, lalat, bau, debu, dan bulu (Azevedo dan Stout, 1974), sehingga jika tidak dikelola dengan baik dapat mencemari perairan umum atau danau (Stafford et al., 1980). 17

30 Tabel 3. Komposisi Kotoran per 450 kg Bobot Badan Sapi Bahan Kg/hari Bahan Kering (%) Bahan Basah (%) Limbah basah 29,0 - - Total mineral 0, Bahan organik 3, N 0,17 33,7 - P 2 O 5 0,05 1,1 - K 2 O 0,14 3,0 - Volatil solid - 80,0 - Total solid ,0 Sumber : Barnett et al. (1978) Azevedo dan Stout (1974) mengidentifikasi hydrogen sulfide, methanethiol, dimetil sulfide, dietil sulfide, propel asetat, n-butil asetat, trimetilamin, dan etilamin sebagai produk perombakan fermentatif kotoran sapi perah. Dimetil sulfide merupakan penyebab bau utama kotoran sapi perah yang difermentsi secara anaerob, namun aerasi dapat menurunkan atau menghilangkan komponen sulfida berbau. Lagi pula kandungan H 2 S yang dihasilkan sangat sedikit (Stafford et al., 1980) dan akan hilang dalam pembakaran (Buren, 1979). Kotoran sapi perah banyak mengandung N, tercermin dari rasio C/N yaitu 18 (Lembaga Penelitian IPB, 1986). Jerami Padi Salah satu limbah pertanian yang sangat besar jumlahnya adalah jerami padi. Jerami padi adalah batang dan daun tanaman padi yang merupakan sisa-sisa tanaman setelah padi dituai. Batang padi sebagian besar terdiri dari sel-sel berdinding tebal dengan isi sel yang lebih sedikit dari tanaman lain. Setiap sel tumbuhan terdiri dari isi sel dan dinding sel. Isi sel mengandung zat-zat makanan organik seperti lemak, protein, dan karbohidrat, sedangkan dinding sel lebih banyak mengandung serat kasar. Doyle (1986) menjelaskan komponen serat kasar dalam dinding sel jerami yaitu 30 sampai 51 % selulosa, 6 sampai 28 % hemiselulosa dan lignin 4 sampai 10 % bahan kering. Jerami berfungsi sebagai sumber karbon dalam zat arang atau karbon (C) yang terdapat di seluruh bahan organik. Menurut Gaur (1983), jerami memiliki 40 % karbon, 0,5 % nitrogen, 0,28 % dan kadar air sekitar 25 %. Zat arang ini akan menjadi sumber makanan 18

31 mikroorganisme dalam proses pengomposan. Proses pencernaan yang dilakukan oleh mikroorganisme terjadi reaksi pembakaran antara unsur karbon dan oksigen menjadi panas dan karbondioksida yang kemudian dilepas menjadi gas. Unsur N yang terurai kemudian ditangkap oleh jasad renik pada waktu jasad renik ini mati, unsur nitrogen tersebut akan tinggal di kompos (bersama jasad renik mati) dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman (CPIS, 1992). Semua bahan organik yang terdapat dalam tanaman seperti karbohidrat, dan selulosa adalah salah satu bahan untuk dicerna. Selulosa secara normal mudah dicerna oleh bakteri, tetapi selulosa dari beberapa tanaman sedikit sulit didegradasikan bila dikombinasikan dengan lignin. Lignin adalah molekul kompleks yang memiliki bentuk rigid dan struktur berkayu dari tanaman, dan bakteri hampir tidak dapat mencernanya (Meynell,1976). Jerami padi belum dinilai sebagai produk yang memiliki nilai ekonomis di Indonesia. Petani kebanyakan membiarkan siapa saja untuk mengambil dari lahan sawahnya, dari hampir 100 ha pertanaman padi yang dipanen bersamaan dapat menghasilkan ton jerami. Jerami tidak bermasalah berada di lahan sawah apabila penanaman dilakukan sekali dalam setahun, namun apabila penanaman dilakukan lebih dari sekali maka perlu biaya dan tenaga untuk menyingkirkan jeramijerami tersebut (Makarim et al., 2007). Jerami yang mengandung 40 % C dan mudah dirombak secara biologis dan merupakan substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme tanah. Ketika jerami dibenamkan ke sawah, maka dalam tanah segera terjadi berbagai reaksi biokimia seperti reduksi tanah, imobilisasi dan fiksasi N, produksi asam-asam organik dan pelepasan gas CO 2, CH 4, C 2 H 4, dan H 2 S. Gasgas tersebut kecuali metan (CH 4 ) bersifat racun bagi tanaman padi bila berada dalam jumlah yang banyak. Fermentasi biogas dapat dibuat dari berbagai residu tanaman dan sumber bahan organik, termasuk jerami dan dari setiap kilogram jerami dihasilkan 0,25 m 3 gas metan dan residunya mengandung 38 % C. Jerami padi relatif sulit terkomposisi, hanya 9-16 % dari produksi total terjadi dalam periode yang sama dan pada suhu yang sama, untuk mempercepat produksi gas sebaiknya jerami dikomposkan terlebih dahulu (Makarim et al., 2007). 19

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahanbahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi tanah pada lahan pertanian saat sekarang ini untuk mencukupi kebutuhan akan haranya sudah banyak tergantung dengan bahan-bahan kimia, mulai dari pupuk hingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hewani yang sangat dibutuhkan untuk tubuh. Hasil dari usaha peternakan terdiri 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Peternakan Usaha peternakan sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia karena sebagai penghasil bahan makanan. Produk makanan dari hasil peternakan mempunyai

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pupuk Bokasi adalah pupuk kompos yang diberi aktivator. Aktivator yang digunakan adalah Effective Microorganism 4. EM 4 yang dikembangkan Indonesia pada umumnya

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto, 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu gas yang sebagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prinsip Pembuatan Biogas Prinsip pembuatan biogas adalah adanya dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya

I. PENDAHULUAN. sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi merupakan hewan ternak yang umum dipelihara dan digunakan sebagai salah satu matapencaharian masyarakat pedesaan. Sapi biasanya diperlihara untuk diambil tenaga, daging,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak

TINJAUAN PUSTAKA. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak TINJAUAN PUSTAKA Sampah Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP PRODUKSI BIOGAS MENGGUNAKAN BAHAN BAKU KOTORAN SAPI

PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP PRODUKSI BIOGAS MENGGUNAKAN BAHAN BAKU KOTORAN SAPI TURBO Vol. 5 No. 1. 2016 p-issn: 2301-6663, e-issn: 2477-250X Jurnal Teknik Mesin Univ. Muhammadiyah Metro URL: http://ojs.ummetro.ac.id/index.php/turbo PENGARUH EM4 (EFFECTIVE MICROORGANISME) TERHADAP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biogas merupakan salah satu energi berupa gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biogas merupakan salah satu energi terbarukan. Bahanbahan yang dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil TINJAUAN PUSTAKA Kompos Kompos adalah zat akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah/serasah tanaman dan adakalanya pula termasuk bangkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentasi suatu pemupukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih

I. PENDAHULUAN. Sebenarnya kebijakan pemanfaatan sumber energi terbarukan pada tataran lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang kaya akan sumber sumber energi terbarukan yang potensial, namun pengembangannya belum cukup optimal. Sebenarnya kebijakan

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 43 54 ISSN: 2085 1227 Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Teknik Lingkungan,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. ciri-ciri sapi pedaging adalah tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Kandungan Limbah Lumpur (Sludge) Tahap awal penelitian adalah melakukan analisi kandungan lumpur. Berdasarkan hasil analisa oleh Laboratorium Pengujian, Departemen

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS Oleh : Selly Meidiansari 3308.100.076 Dosen Pembimbing : Ir.

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Limbah 2.1.1 Limbah Ternak Limbah adalah bahan buangan yang dihasilkan dari suatu aktivitas atau proses produksi yang sudah tidak digunakan lagi pada kegiatan/proses tersebut

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi 31 IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Penelitian yang telah dilakukan terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak

TINJAUAN LITERATUR. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak TINJAUAN LITERATUR Sampah Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi ekonomi sudah tidak

Lebih terperinci

Pengaruh Tingkat Konsentrasi dan Lamanya Inkubasi EM4 Terhadap Kualitas Organoleptik Pupuk Bokashi

Pengaruh Tingkat Konsentrasi dan Lamanya Inkubasi EM4 Terhadap Kualitas Organoleptik Pupuk Bokashi Pengaruh Tingkat Konsentrasi dan nya Inkubasi EM4 Terhadap Kualitas Organoleptik Pupuk Bokashi Effect of Consentration and Incubation Period of EM4 on Organoleptic Quality of Bokashi Manure Kastalani Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan

TINJAUAN PUSTAKA. Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan

Lebih terperinci

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob). Komponen dalam biogas terdiri

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara).

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari

TINJAUAN LITERATUR. Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari TINJAUAN LITERATUR Biogas Biogas adalah dekomposisi bahan organik secara anaerob (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan suatu gas yang sebahagian besar berupa metan (yang memiliki sifat mudah terbakar)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura berjenis umbi lapis yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas jerami padi dan sludge. Pertimbangan atas penggunaan bahan tersebut yaitu jumlahnya yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari

TINJAUAN PUSTAKA. Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Biogas merupakan gas yang mudah terbakar (flammable), dihasilkan dari perombakan bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob). Bahan organik dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013

BIOGAS. Sejarah Biogas. Apa itu Biogas? Bagaimana Biogas Dihasilkan? 5/22/2013 Sejarah Biogas BIOGAS (1770) Ilmuwan di eropa menemukan gas di rawa-rawa. (1875) Avogadro biogas merupakan produk proses anaerobik atau proses fermentasi. (1884) Pasteur penelitian biogas menggunakan kotoran

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC 1 PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC Farida Ali, Muhammad Edwar, Aga Karisma Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Indonesia ABSTRAK Ampas tahu selama ini tidak

Lebih terperinci

Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair

Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair Pupuk Organik Unsur hara merupakan salah satu faktor yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penggunaan pupuk sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam negeri sehingga untuk menutupinya pemerintah mengimpor BBM BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Masyarakat di Indonesia Konsumsi bahan bakar fosil di Indonesia sangat problematik, hal ini di karenakan konsumsi bahan bakar minyak ( BBM ) melebihi produksi dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Salak Pondoh Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman salak di daerah Sleman sebanyak 4.653.790 rumpun, dan 88% diantaranya jenis salak pondoh (4.095.178

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai ph Salah satu karakteristik limbah cair tapioka diantaranya adalah memiliki nilai ph yang kecil atau rendah. ph limbah tapioka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Perubahan Fisik 1. Suhu Kompos Temperatur merupakan penentu dalam aktivitas dekomposisi. Pengamatan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen

BAB I PENDAHULUAN. pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan produk pertanian diikuti pula oleh meningkatnya limbah hasil pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen para petani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potensi biomassa yang sangat besar. Estimasi potensi biomassa Indonesia sekitar 46,7 juta ton per tahun (Kamaruddin,

Lebih terperinci

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure

Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Pembuatan Biogas dari Sampah Sayur Kubis dan Kotoran Sapi Making Biogas from Waste Vegetable Cabbage and Cow Manure Sariyati Program Studi DIII Analis Kimia Fakultas Teknik Universitas Setia Budi Surakarta

Lebih terperinci

BIOGAS. KP4 UGM Th. 2012

BIOGAS. KP4 UGM Th. 2012 BIOGAS KP4 UGM Th. 2012 Latar Belakang Potensi dan permasalahan: Masyarakat banyak yang memelihara ternak : sapi, kambing dll, dipekarangan rumah. Sampah rumah tangga hanya dibuang, belum dimanfaatkan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebagai dasar penentuan kadar limbah tapioka yang akan dibuat secara sintetis, maka digunakan sumber pada penelitian terdahulu dimana limbah tapioka diambil dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BB PNDHULUN 1.1. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial didunia. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga. Jerami telah didiamkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari sebuah pembangunan. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang makin meningkat drastis akan berdampak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian fisik 1. Temperature /Suhu Suhu adalah salah satu indikator keberhasilan dalam pembuatan kompos karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pengamatan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi biologis yang dikontrol agar bahan organik menjadi stabil. Proses pengomposan sama seperti dekomposisi alami kecuali ditingkatkan dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Salah satu tantangan pertanian Indonesia adalah meningkatkan produktivitas berbagai jenis tanaman pertanian. Namun disisi lain, limbah yang dihasilkan dari proses

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK SKRIPSI DIPA ALAM VEGANTARA

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK SKRIPSI DIPA ALAM VEGANTARA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK SKRIPSI DIPA ALAM VEGANTARA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik -1- Universitas Diponegoro BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Terkait dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010 dan Bahan Bakar Minyak (BBM) per Januari 2011, maka tidak ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber pendapatan, juga memiliki sisi negatif yaitu berupa limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di

I. PENDAHULUAN. bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kakao merupakan salah satu komoditas andalan yang berperan penting bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai 1.774.463

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Bakteri Anaerob pada Proses Pembentukan Biogas dari Feses Sapi Potong dalam Tabung Hungate. Data pertumbuhan populasi bakteri anaerob pada proses pembentukan biogas dari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu. Suhu o C IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap 1. Pengomposan Awal Pengomposan awal bertujuan untuk melayukan tongkol jagung, ampas tebu dan sabut kelapa. Selain itu pengomposan awal bertujuan agar larva kumbang

Lebih terperinci

UKDW I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jamur merang (Volvariella volvacea) merupakan salah satu spesies jamur

UKDW I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jamur merang (Volvariella volvacea) merupakan salah satu spesies jamur 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang (Volvariella volvacea) merupakan salah satu spesies jamur pangan yang banyak dibudidayakan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Beberapa kelebihan yang dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN

PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN PENUNTUN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PETERNAKAN Disusun Oleh: Ir. Nurzainah Ginting, MSc NIP : 010228333 Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 2007 Nurzainah Ginting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah, mulai dari limbah industri makanan hingga industri furnitur yang

BAB I PENDAHULUAN. limbah, mulai dari limbah industri makanan hingga industri furnitur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Limbah bisa dihasilkan dari kegiatan rumah tangga, pasar, perkantoran, hotel, rumah makan maupun industri. Salah satu kota yang menghasilkan limbah ialah Muntilan. Banyaknya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Cair Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran berupa zat atau bahan yang dianggap tidak memiliki manfaat bagi masyarakat.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biogas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biogas Pembentukan biogas berlangsung melalui suatu proses fermentasi anaerob atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu oksidasi - reduksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Populasi Kerbau dan Sapi di Indonesia Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak kerbau tersebar merata di seluruh pulau di Indonesia dengan

Lebih terperinci

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos.

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos. I Ketut Merta Atmaja. 1211305001. 2017. Pengaruh Perbandingan Komposisi Jerami dan Kotoran Ayam terhadap Kualitas Pupuk Kompos. Dibawah bimbingan Ir. I Wayan Tika, MP sebagai Pembimbing I dan Prof. Ir.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak

1. Limbah Cair Tahu. Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output. Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg. Tahu 80 kg. manusia. Proses. Ampas tahu 70 kg Ternak 1. Limbah Cair Tahu. Tabel Kandungan Limbah Cair Tahu Bahan baku (input) Teknologi Energi Hasil/output Kedelai 60 Kg Air 2700 Kg Proses Tahu 80 kg manusia Ampas tahu 70 kg Ternak Whey 2610 Kg Limbah Diagram

Lebih terperinci

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS

PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS Pembentukan biogas dipengaruhi oleh ph, suhu, sifat substrat, keberadaan racun, konsorsium bakteri. Bakteri non metanogen bekerja lebih dulu dalam proses pembentukan biogas untuk

Lebih terperinci

Pupuk Organik dari Limbah Organik Sampah Rumah Tangga

Pupuk Organik dari Limbah Organik Sampah Rumah Tangga Pupuk Organik dari Limbah Organik Sampah Rumah Tangga Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 39 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Rata-Rata Jumlah Bakteri yang Terdapat pada Feses Sapi Potong Sebelum (inlet) dan Sesudah (outlet) Proses Pembentukan Biogas dalam Reaktor Tipe Fixed-Dome Hasil perhitungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan menguntungkan untuk diusahakan karena

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pengolahan tinja rumah tangga setempat (on site system) yang

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pengolahan tinja rumah tangga setempat (on site system) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Meningkatnya populasi manusia di Indonesia dan padatnya penduduk membuat limbah-limbah sulit untuk ditangani sehingga seringkali mencemari lingkungan

Lebih terperinci

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI ENERGI ALTERNATIF TERBARUKAN BIOGAS DARI KOTORAN SAPI Bambang Susilo Retno Damayanti PENDAHULUAN PERMASALAHAN Energi Lingkungan Hidup Pembangunan Pertanian Berkelanjutan PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOGAS Dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri pembuatan tahu dalam setiap tahapan prosesnya menggunakan air dengan jumlah yang relatif banyak. Artinya proses akhir dari pembuatan tahu selain memproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian. Penggunaan pupuk diperkirakan sudah dimulai sejak permulaan manusia mengenal bercocok

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Ikan Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun-ke tahun semakin meningkat dan berkembang.disamping kekayaan ikan di kawasan Indonesia yang berlimpah serta usaha untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi pemakaian pestisida. Limbah padat (feses) dapat diolah. menjadi pupuk kompos dan limbah cair (urine) dapat juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi pemakaian pestisida. Limbah padat (feses) dapat diolah. menjadi pupuk kompos dan limbah cair (urine) dapat juga diolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan sapi perah sudah banyak tersebar di seluruh Indonesia, dan di Jawa Tengah, Kabupaten Boyolali merupakan daerah terkenal dengan usaha pengembangan sapi perah.

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa)

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa) PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa) Irvan, Permata Mhardela, Bambang Trisakti Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK Hargono dan C. Sri Budiyati Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedharto,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai konsekuensi logis dari aktivitas serta pemenuhan kebutuhan penduduk kota. Berdasarkan sumber

Lebih terperinci