KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DAN KARAKTERISASI RISIKO DAGING BABI BAKAR BATU DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA INRIYANTI ASSA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DAN KARAKTERISASI RISIKO DAGING BABI BAKAR BATU DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA INRIYANTI ASSA"

Transkripsi

1 KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DAN KARAKTERISASI RISIKO DAGING BABI BAKAR BATU DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA INRIYANTI ASSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya Papua adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2012 Inriyanti Assa NRP. B

3 ABSTRACT INRIYANTI ASSA. Considerable study of epidemiology porcine cysticercosis and risk characterization of pork meat by burning stones at Jayawijaya Regency Papua. Under the supervision of FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN and NYOMAN SADRA DHARMAWAN. Jayawijaya Regency is a hyperendemic area of human cysticercosis in Indonesia. Disease caused of metacestoda of Taenia solium. Therefore very limited data of porcine cysticercosis are available. This study was divided into three stages, the first to assess the spread of porcine cysticercosis in Jayawijaya Regency, second to characterize the risk of burning stones (barapen), the last was examined the level of knowledge and behavior about the source of tapeworm infection. A total of 111 pigs were tested serologically to detect the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzymelinked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA, and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama market (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota (5.88%). Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncooked pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. Barapen is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate a barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The highest hot stones temperature is 300 C and lowest 170 C. The roasting pork take more an hour with a temperature of 60 to 90 C. The temperature of the stone (65.66 C) and pork (83.33 C) removed from the barapen process were highly. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis in Wamena is currently puting the food that cooked on the grass. Health education were done at 41 housewives in Wamena. Overall there is an increasing public knowledge of cysticercosis after the intervention through counseling about cysticercosis is 75.28% to 100%. Differences in knowledge there is very high at the time of education is given between 58.54% and 76.61%. After one week of the results obtained do counseling is an increase in the knowledge that is not too high (36.59%). Behavioral people after an education increase of 21.39%. Health education is conducted continuously to reduce the prevalence of cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene, an anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed. Keywords: cysticercosis, risk factor, barapen, knowledge, behavior, Jayawijaya

4 RINGKASAN INRIYANTI ASSA. Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan karakterisasi risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN, NYOMAN SADRA DHARMAWAN. Kabupaten Jayawijaya adalah daerah hiperendemis sistiserkosis. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva T. solium merupakan salah satu zoonosa yang dapat memberikan gejala berat khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata. Larva menyebabkan gejala lebih ringan bilamana ditemukan di jaringan subkutan, otot atau organ lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penyebaran sistiserkosis pada babi dan mengkarakterisasi risiko daging babi yang dimasak secara bakar batu serta mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber infeksi cacing pita. Kegiatan penelitian ini terdiri atas tiga bagian besar, yaitu; 1) kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya, 2) karakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu, 3) kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis. Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya merupakan penelitian yang menggunakan metode survei yang terdiri tiga tahap, pertama pengambilan serum babi untuk mendapatkan seroprevalensi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner, tahap kedua yaitu faktor risiko sistiserkosis pada babi, tahap ketiga pemetaan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya. Sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan pasar Jibama. Sampel serum yang diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay. Metode sandwich yang digunakan berasal dari Institute of Tropical Medicine (ITM 2009). Hasil reaksi seropositif tertinggi terdapat di Distrik Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.3%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%) dan prevalensi terendah terdapat di Distrik Wamena Kota sebesar 5.88%. Tahap selanjutnya yaitu untuk mengetahui faktor risiko sistiserkosis pada babi. Ada enam faktor yang menjadi risiko sistiserkosis yaitu; jenis kelamin babi, cara pemeliharaan babi, struktur kandang, pakan babi, air bersih dekat kandang dan kepemilikan jamban. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi. Tahap ketiga pemetaan sistiserkosis. Titik koordinat ditentukan saat pengambilan darah babi dari 56 responden peternak dengan menggunakan global

5 positioning system (GPS) 76CSx garmin. Data digitasi yang diperoleh dari GPS diolah dengan program ArcView 3.2. Tingkat kerawanan sistiserkosis terbagi atas tiga bagian yaitu; tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Distrik yang masuk kategori tidak rawan adalah Distrik Wamena Kota dan Homhom, kategori rawan yaitu Distrik Asologaima dan daerah yang masuk kategori sangat rawan adalah Distrik Asolokobal, diikuti dengan Distrik Kurulu, Bolakme, Musatfak dan Distrik Hubikosi. Penelitian bagian kedua yaitu mengkarakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu upacara bakar batu dan ketahanan sistiserkus daging babi bakar batu. Hasil observasi lapangan menunjukkan kegiatan upacara bakar batu terbagi atas tiga yaitu; pertama pembakaran batu dan kayu, kedua pemanggangan daging babi beserta hipere, sayuran dan ketiga yaitu makan bersama. Batu yang digunakan adalah batu kali, suhu rata-rata batu saat diletakkan dalam liang bakar batu yaitu C. Babi yang akan dipanggang terlebih dahulu dipanah lalu diletakkan di atas pembakaran sekitar tiga menit dengan tujuan melepaskan bulu babi. Makanan yang telah matang dihamparkan di atas rumput dan siap disantap bersama. Suhu daging babi selama pemanggangan diukur dengan menggunakan thermocouple. Pemanggangan bakar batu berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan C. Panas batu (65.66 C) dan daging babi (83.33 C ) yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan tetap masih tinggi. Penelitian bagian ketiga adalah kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis. Desain penelitian terbagi atas dua yaitu, wawancara dan penyuluhan. Tingkat pengetahuan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan sebelum penyuluhan, sesudah penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan. Perilaku diukur saat sebelum dilakukan penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan. Secara keseluruhan terdapat peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap sistiserkosis setelah dilakukan intervensi melalui penyuluhan mengenai sistiserkosis yaitu, 75.28% sampai dengan 100%. Perbedaan pengetahuan terjadi sangat tinggi pada saat diberikan penyuluhan yaitu, antara 58.54% sampai dengan 76.61%. Setelah satu minggu dilakukan penyuluhan hasil yang diperoleh adalah terjadi peningkatan pengetahuan yang tidak terlalu tinggi yaitu 36.59%. Perilaku masyarakat setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan sebesar 21.39%.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DAN KARAKTERISASI RISIKO DAGING BABI BAKAR BATU DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA INRIYANTI ASSA Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi I. Sidang Tertutup: 1. Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto (Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB) 2. Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si. (Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB) II. Sidang Terbuka: 1. Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. (Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia) 2. Dr. Zakharias Giay, SKM., M.Kes., MM. (Kepala Badan Pengelola Sumber Daya Manusia Provinsi Papua)

9 Judul Disertasi Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya Papua : Inriyanti Assa : B : Kesehatan Masyarakat Veteriner Disetujui: Komisi Pembimbing drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D. Ketua Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Anggota Prof. Dr. drh. Nyoman S. Dharmawan, MS. Anggota Diketahui: Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr. Tanggal Ujian: 26 Juli 2012 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasihnya serta kesehatan dan lindungan yang diberikan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Fokus penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah peningkatan kesehatan, perilaku hidup bersih pada masyarakat Papua dalam upaya pencegahan dan menurunkan prevalensi Taenia solium, dengan judul Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD., Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. dan Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. yang sangat berdedikasi untuk memberikan bimbingan, arahan, sejak perencanaan dan berlangsungnya penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Bagi penulis sungguh merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan menjadi mahasiswa bimbingan sehingga dapat menyerap ilmu. Jasa serta pengorbanan dari dosen pembimbing kepada penulis sungguh tidak ternilai dan tak mungkin dapat terlupakan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto dan Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup, serta yang terhormat Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. dan Dr. Zakharias Giay, SKM, M.Kes., MM. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pertanyaan, saran, kritik serta koreksinya sangat berharga dalam menyempurnakan disertasi ini sehingga bobotnya bertambah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. B. Kambuaya, MBA. selaku Rektor Universitas Cenderwasih (periode 2004 sampai 2009) dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Drs. A.L Rantetampang, M.Kes. yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengikuti studi program doktor. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf, atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih atas biaya yang diberikan selama studi, kepada Program Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Tahun Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Pierre Dorny PhD, DVM, Dipl. EVPC (Veterinary Helminthology Department of Biomedical Sciences Institute of Tropical Medicine Antwerpen) atas bantuannya memfasilitasi penelitian untuk pemeriksaan Taenia spp. Ucapan terima kasih kepada Dr. drh. Sri Murtini, M.Si. yang banyak memberikan ide saat penyusunan

11 proposal penelitian, cara pengambilan sampel di lapangan serta banyak membantu penulis saat pengujian serum babi di laboratorium dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent (ELISA) di laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Made Putra sebagai Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jayawijaya Papua, yang telah memberikan bantuan dalam pengambilan serum babi, banyak memberikan kemudahan di lapangan serta mengajarkan penulis untuk bisa mengambil darah babi dan pembuatan serum. Ucapan terima kasih kepada Bapak Agustinus Aronggear selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya, yang telah memberikan ijin dan kerjasama kepada penulis. Penulis ucapkan terima kasih kepada Dwi Ardei Dompas SKM, Rahmat SKM, Agustina Kurisi SKM, Demianus Huby SKM, Jannes STh, Daniel Rumbo-rumbo SKM, Christine, Lukas Logo, Annace Anneke Repi SPd, atas segala bantuan yang telah diberikan saat penulis berada di Wamena. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Risa Tiuria MS. Ph.D., Dr. drh. Elok B Retnani MS., yang banyak memberikan bantuan kepada penulis. Kepada staf pegawai Laboratorium Helminthologi, Pak Sulaeman, Ibu Irawati, Pak Kosasih dan Staf administrasi Pak Agus Haryanto, Pak Hendra, Ibu Gipra Setiwi yang banyak membantu, penulis ucapkan terima kasih. Secara khusus kepada rekan seperjuangan Dr. drh. Andriani M.Si atas kebersamaan dan dukungannya dalam menempuh pendidikan Pascasarjana. Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh keluarga besar Assa-Lampah (ayah, ibu, kakak dan adik) atas doa dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Kepada suami tercinta, Bill Jones Cuncun Pangayow, SE., MSi. Ak., penulis ucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, kesabaran, yang tentunya banyak berkorban dan telah memberikan bantuan yang tidak ternilai. Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Kekurangan dalam penelitian maupun penulisan disertasi adalah kesalahan penulis semata. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk perbaikan disertasi. Harapan penulis, disertasi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, bidang veteriner, kesehatan masyarakat, antropologi kesehatan, pengambil kebijakan dan pengembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan. Bogor, Juli 2012 Inriyanti Assa

12 RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak ke-7 dari sembilan bersaudara, ayah bernama Adolf Assa dan ibu Theresia Lampah. Dilahirkan di Manado pada tanggal 9 April Menyelesaikan pendidikan SD tahun 1989 di SD Negeri 1 Palu, SMP tahun 1992 di SMP Advent dan SMA Negeri 4 Palu. Tahun 2000 menyelesaikan Sarjana Pertanian dengan Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Sam Ratulangi. Pada tahun 2001 terdaftar sebagai mahasiswa Magister Program Studi Entomologi dengan peminatan Toksikologi Lingkungan dari universitas yang sama. Pendidikan strata-2 ini diselesaikan pada tahun Tahun 2005, penulis ditetapkan sebagai staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Papua. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor diperoleh pada tahun 2007 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian diantaranya, program penelitian yang didanai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu; Penelitian Dosen Muda (2006) dengan judul Pengaruh Lingkungan terhadap Penyakit Malaria pada Anak-anak di Kabupaten Jayapura; Hibah Bersaing (2007) yang berjudul Penyebaran dan Prevalensi Penyakit Filariasis di Braso Kabupaten Jayapura, Papua; Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional (2009) dengan judul Pemetaan Penyakit Parasit Sisitserkosis dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Taenia solium di Kabupaten Jayawijaya-Papua; Program Non Goverment Organization dengan UNICEF (2006) yang berjudul Penyakit Malaria pada Ibu Hamil dan Kesehatan Anak di 5 (Lima) Kampung Kabupaten Jayapura; Mass Blood Survey (MBS) Penyakit Malaria dengan Rapid Diagnostik Test di Kabupaten Keerom (Global Fund, 2007); Cakupan Pengobatan ACT (artemisimin combination therapy) Mass Blood Survey Penyakit Malaria di Distrik Sota Kabupaten Merauke (SCHS Uni Eropa 2007). Penulis juga mengikuti beberapa kegiatan pelatihan diantaranya, Pelatihan Vektor Kontrol Penyakit Malaria di BVRP Salatiga (2006); Kapasitas Pengembangan Sistem Kesehatan Provinsi Papua di Yamagata University (2007).

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xv xvi xvii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Sistiserkosis... 5 Sejarah... 6 Siklus Hidup... 6 Morfologi... 8 Metode Diagnosis... 8 Gejala Klinis... 9 Pengendalian dan Pencegahan Sistem Informasi Geografis Kabupaten Jayawijaya Gambaran Umum Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia Kebudayaan Tempat Tinggal dan Pola Perkampungan KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan KARAKTERISASI RISIKO SISTISERKOSIS PADA DAGING BABI BAKAR BATU Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan... 57

14 KAJI TINDAK PENGETAHUAN DAN PERILAKU MASYARAKAT KABUPATEN JAYAWIJAYA TERHADAP SISTISERKOSIS Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN UMUM SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya Nilai crude-odds ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara pemeliharaan, struktur kandang, pengolahan pakan, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan di empat kampung Kabupaten Jayawijaya Pengetahuan awal responden tentang sistiserkosis/taeniosis dalam persen Tingkat pengetahuan responden sebelum dilakukan intervensi (Pn0) dan setelah dilakukan intervensi (Pn1) Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan intervensi (Pn1) dan satu minggu setelah dilakukan intervensi (Pn2) Persentase peningkatan pengetahuan responden secara keseluruhan 67 9 Perilaku awal responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam persen Tingkat perilaku responden sebelum dilakukan intervensi (Pn0) dan setelah satu minggu dilakukan intervensi (Pn1) Perilaku akhir responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam persen... 70

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Siklus hidup Taenia spp Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di Kurulu Cara beternak babi yang baik menurut responden Peranan pemerintah dalam melakukan penyuluhan mengenai cara beternak babi Tindakan responden pada ternak babi yang mati Sebaran sistiserkosis di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya Tingkat kerawanan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya Waktu yang digunakan untuk melaksanakan bakar batu Kebiasaan mencuci daging dan makanan sebelum bakar batu Air yang digunakan untuk mencuci daging babi, hipere dan sayuran Tempat meletakkan makanan hasil bakar batu Cara mengonsumsi makanan dalam prosesi bakar batu Responden yang mencuci tangan saat konsumsi makanan hasil bakar batu Kegiatan bakar batu Bagian dasar susunan batu dan kayu Bagian tengah susunan batu dan kayu Bagian atas susunan batu dan kayu Liang pembakaran Penyiapan daging babi Penyiapan bahan Penyiapan bumbu Proses barapen Makan bersama Tempat meletakkan makanan Suhu bagian dalam daging babi selama bakar batu... 54

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Titik koordinat Kuesioner penelitian Surat publikasi Naskah publikasi Surat ijin penelitian Hasil simulasi bakar batu

18 KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PROVINSI PAPUA Abstract The aims of this study were to determine the prevalence and risk factors of porcine cysticercosis. The survey was carried out in eight district and Jibama trade, between October 2009 and Juni A total of 111 pigs were tested serologically. Serum samples were tested for the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama trade (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota is 5.88%. Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncook pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. It is therefore necessary to anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed. Keywords: risk factor, porcine cysticercosis, prevalence Abstrak Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko sistiserkosis pada babi. Survei dilakukan pada delapan distrik dan pasar Jibama antara bulan Oktober 2009 dan Juni Jumlah babi yang diuji serologis adalah 111 ekor. Sampel serum diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Reaksi seropositif terjadi pada 45 sampel (40.54%), distrik dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%), dan prevalensi terendah ditemukan di distrik Wamena Kota sebesar 5.88%. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi. Distrik Asolokobal merupakan daerah yang sangat rawan sistiserkosis. Perlu pendekatan antrolopogi mengenai sistem pemeliharaan babi dengan cara dikandangkan dan pola pemberian pakan babi yang dimasak. Kata kunci: faktor risiko, sistiserkosis pada babi, prevalensi

19 KARAKTERISASI RISIKO SISTISERKOSIS PADA DAGING BABI BAKAR BATU Abstract Burning stones (barapen) is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The temperature of hot stones was between 300 C and 170 C. The roasting pork take more than an hour with a temperature of 60 to 90 C. The temperature of the stone and pork removed from the barapen process average of C and C. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis/taeniosis in Wamena is currently puting the food that is cooked on the grass. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene. Keywords: barapen, pork meat, cysticercosis/taeniosis Abstrak Bakar batu (barapen) merupakan salah satu kebudayaan di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara barapen dan terinfeksinya manusia dengan sistiserkosis. Hasil observasi lapangan menunjukkan barapen terbagi atas tiga bagian yaitu, pembakaran batu dan kayu, pemanggangan daging babi dan makan bersama. Suhu batu yang tertinggi adalah 300 C dan terendah 170 C. Pemanggangan daging babi berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan C. Suhu batu yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan rata-rata C dan daging babi memiliki suhu C. Daging babi yang telah matang hanya dihamparkan di atas rumput. Peluang terkenanya sistiserkosis/taeniosis pada masyarakat Wamena yaitu saat meletakkan makanan yang sudah matang di atas rumput. Perlunya penyuluhan mengenai metode penanganan makanan yang telah matang untuk diletakkan di wadah yang bersih. Kata kunci: barapen, daging babi, sistiserkosis

20 KAJI TINDAK PENGETAHUAN DAN PERILAKU MASYARAKAT KABUPATEN JAYAWIJAYA TERHADAP SISTISERKOSIS Abstract The purpose of this study was to assess the level of knowledge and behavior the community of Wamena. This research used questionnaire and health education in Hubikosi village, Yiwika, Milima and Isaima. The rate of knowledge during pre health education was 7.62%. After health education and a week later, the results obtained that knowledge about the causes and prevention of cysticercosis/taeniosis in terms of personal hygiene increase (P <0.001). Behavior of the respondents during pre health education were not washing hands after defecation (6.70%) and duration pork cooking take more than an hour (95.83%). After one week, behavior of respondents were washing hands before meals (69.35%, hand washing after defecation (28.57%), defecation at latrine (13.99 %), boiling water (50.30%), wash the pork before cooked (20.16%), duration of burning stones more an hour (100%) and eat pork contained cysts (91.67%). One week after education, the knowledge (36.59%) and behavior (21.39%) increased. Health education continuously will reduce the prevalence of cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya. Keywords: knowledge, behavior, education, cysticercosis/taeniosis Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat wamena. Metode yang digunakan yaitu kuesioner serta dilakukannya penyuluhan di Kampung Hubikosi, Yiwika, Milima dan Kampung Isaima. Pengetahuan awal yang diperoleh dari keempat kampung yaitu 7.62%. Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan penyuluhan dan satu minggu sesudahnya, hasil yang diperoleh yaitu pengetahuan mengenai penyebab taeniosis dan cara pencegahan dari segi kebersihan diri (P<0.001). Perilaku awal responden yang terendah adalah tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (6.70%) dan yang tertinggi terdapat pada metode memasak daging babi selama satu jam ataupun lebih (95.83%). Perilaku akhir responden terhadap taeniosis/sistiserkosis yaitu cuci tangan sebelum makan (69.35%; P<0.001), mencuci tangan sesudah buang air besar (28.57%), tempat buang air besar (13.99%), memasak air minum (50.30%; P<0.001), mencuci daging babi sebelum dimasak (20.16%), memasak daging babi selama satu jam atau lebih (100%), memakan daging babi yang ada kista/benjolan (91.67%; P<0.001). Setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan (36.59%) dan perilaku (21.39%). Pendidikan kesehatan yang dilakukan secara terus menerus dapat menurunkan prevalensi sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya. Kata kunci: pengetahuan, perilaku, pendidikan, sistiserkosis/taeniosis

21 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa pada babi yang disebabkan karena babi mengonsumsi pakan yang tercemar telur atau proglotid cacing pita Taenia solium yang berparasit pada manusia. Selain sebagai inang definitif, manusia juga dapat menderita sistiserkosis bila secara tidak sengaja menelan telur T. solium. Sistiserkosis pada manusia sangat berbahaya bila menginfeksi otak dan sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) atau menginfeksi mata (okularsistiserkosis). Sistiserkosis merupakan penyakit yang dihubungkan dengan kemiskinan, defekasi sembarangan, serta ternak babi yang hidup berkeliaran tanpa dikandangkan. Prevalensi sistiserkosis di Asia memiliki variasi tinggi tergantung pada ada tidaknya faktor risiko dalam setiap wilayah di negara tersebut. Di Jepang dan Singapura yang memiliki perekonomian kuat, makmur, infrastruktur baik, penyakit ini hampir tidak ada. Di negara yang penduduknya mayoritas muslim, seperti Timur Tengah dan Asia Barat, yang melarang mengonsumsi babi, tidak terdapat sistiserkosis solium (Rajshekhar et al. 2003; Deckers dan Dorny 2010). Sistiserkosis telah diketahui keberadaannya di Asia lebih dari 40 tahun yang lalu. Penyakit ini kurang mendapat perhatian dan tidak menjadi prioritas utama sebagai penyebab penyakit yang menyerang syaraf dan menyebabkan kerugian ekonomi di negara-negara Asia. Tidak seperti negara-negara Amerika Latin yang telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap sistiserkosis, penyakit ini baru menjadi sorotan di Asia pada tiga dekade terakhir. Akibatnya, aspek epidemiologi sistiserkosis kurang diteliti di negara-negara Asia (Rajshekhar et al. 2003; Ito et al. 2003a; Anantaphruti et al. 2007a). Di Asia terdapat tiga spesies Taenia yang menginfeksi manusia, yaitu Taenia solium, T. saginata dan T. asiatica (Ito et al. 2003b; Dharmawan 2004; Okamoto et al. 2007). Babi merupakan inang antara untuk T. solium dan T. asiatica. sementara sapi menjadi inang antara T. saginata. Sistiserkosis pada manusia hanya disebabkan oleh T. solium. Walaupun inang antara T. asiatica adalah babi namun T. asiatica secara molekuler memiliki banyak kemiripan

22 2 dengan T. saginata (Puchades dan Fuentes 2000; Anantaphruti et al. 2007b; Ito et al. 2005; Ito et al. 2006; Ito et al. 2007; Okamoto et al. 2007). Sistiserkosis/taeniosis yang disebabkan oleh T. solium merupakan masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik, sehingga diperlukannya ketekunan untuk mempromosikan upaya pengendalian penyakit zoonosa ini melalui pendekatan kebudayaan, sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan. Sistiserkosis dapat menjadi masalah yang serius bila setiap orang melakukan defekasi di sembarang tempat yang menyebabkan penyebaran telur parasit serta kontak antara babi dengan feses manusia. Faktor lainnya yang berhubungan dengan transmisi penyakit adalah tidak adanya pemeriksaan daging babi di rumah potong hewan, konsumsi daging babi yang tidak dimasak sempurna, konsumsi sayuran dan air yang terkontaminasi dengan feses manusia, serta rendahnya tingkat higienis personal sebagai contoh tidak mencuci tangan sebelum makan dan sesudah defekasi (Sarti dan Rajshekhar 2003). Sarti dan Rajshekhar (2003) mengemukakan, ada lima cara strategis untuk mengendalikan ataupun menurunkan kejadian sistiserkosis/taeniosis, yaitu; (1) pendidikan kesehatan, (2) perbaikan manajemen peternakan babi, (3) pemeriksaan post mortem di rumah potong hewan, (4) perbaikan sanitasi lingkungan, (5) penelitian epidemiologi. Menurut Sanchez dan Fairfield (2003), pendidikan kesehatan memiliki peran penting dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit. Sebagai langkah awal dalam tindakan pencegahan sistiserkosis, pendidikan kesehatan menjadi satu-satunya faktor utama yang dapat mempromosikan terjadinya perubahan. Pendekatan ini adalah pilihan terbaik jika tidak terdapat rumah potong hewan di suatu wilayah. Laporan pertama kasus infeksi T. solium di Indonesia terdapat pada warga keturunan etnis Tionghoa yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur pada tahun 1940 (Bonne 1940 dalam Suroso et al. 2006). Margono et al. (2006) menyatakan di Indonesia sistiserkosis/taeniosis terdapat di beberapa daerah yaitu Bali, Sumatera Utara, Papua, Nusa Tengara Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. Provinsi yang merupakan daerah endemik yaitu Bali (T. solium dan T. saginata), Sumatera Utara (T. asiatica) dan Papua (T. solium).

23 3 Kasus sistiserkosis pertama di Papua dilaporkan di Paniai daerah Pegunungan Tengah. Pada tahun 1972, beberapa kali ditemukan telur taenia dan proglotid dari T. solium di rumah sakit Enarotali (Paniai) saat dilakukan pemeriksaan rutin (Margono et al. 2006). Sejak saat itu infeksi cacing pita (Taenia solium) menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al. (2009) memperlihatkan bahwa prevalensi sistiserkosis/taeniosis pada manusia di Kabupaten Jayawijaya cukup tinggi yaitu 20.8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkosis dan taeniosis tidak mengalami perubahan sejak dilaporkan 35 tahun yang lalu, saat terjadinya epidemik penyakit sistiserkosis/taeniosis di Papua. Kabupaten Jayawijaya dengan ibukota Wamena, identik dengan bakar batu. Bakar batu menjadi ciri khas masyarakat Papua memasak daging babi dengan batu. Bakar batu adalah salah satu acara adat terpenting sebagai wujud kegembiraan menyambut kelahiran, kematian atau mengumpulkan prajurit untuk berperang. Bakar batu juga menjadi sarana pemulihan keharmonisan hidup manusia yang terganggu dendam, peperangan dan kematian. Babi yang dimasak secara bakar batu biasanya tidak masak sempurna atau setengah matang (Handali et al. 1997; Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Di Kabupaten Jayawijaya penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan tahun menunjukkan prevalensi sebesar 70.4% (Margono et al. 2003). Maitindom et al. (2008) melakukan studi pada babi yang dijual di Pasar Jibama, Wamena Kabupaten Jayawijaya tingkat prevalensi mencapai 77.1%. Selama ini, penelitian tentang sistiserkosis/taeniosis di wilayah ini sebagian besar dilakukan pada manusia (Handali et al. 1997; Simanjuntak 2000; Salwati 2001; Margono et al. 2006; Salim et al. 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas, sehingga perlu dilakukan kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi, serta karakterisasi risiko pola masak tradisional (bakar batu) yang selama ini dikaitkan dengan penularan sistiserkosis/taeniosis. Dalam penelitian ini dilakukan penyuluhan kesehatan

24 4 untuk meningkatkan perilaku hidup bersih sebagai upaya pengendalian sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya. Tujuan Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengkaji penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara masyarakat Kabupaten Jayawijaya. 2. Mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat kejadian sistiserkosis pada babi. 3. Memetakan daerah yang rawan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya 4. Mengkarakterisasi risiko penularan sistiserkus pada daging babi yang diolah dengan metode tradisional (bakar batu). 5. Mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber infeksi cacing pita. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan dalam pengendalian sistiserkosis/taeniosis dan dapat menemukan metode untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat di Kabupaten Jayawijaya.

25 5 TINJAUAN PUSTAKA Sistiserkosis Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi larva cacing pita (sistiserkus) Taenia solium dalam tubuh manusia dan babi. Induk semang definitif cacing pita tersebut adalah manusia, sedangkan induk semang antaranya adalah babi dan manusia. Stadium dewasa dari T. solium yang menginfeksi manusia juga menyebabkan penyakit yang dinamakan taeniosis (De Aluja et al. 1999; Garcia-garcia et al. 1999; Eddi et al. 2003; García et al. 2003c; Conlan et al. 2008; Carabin et al. 2009; Asaava et al. 2009). Taenia spp. berukuran panjang, bersegmen, dan bersifat parasitik (famili Taeniidae, subklas Cestoda). Infeksi dengan larva dari Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena disebut sistiserkosis. Larva dari organisme ini disebut sistiserkus. Pada satu waktu, pernah dipertimbangkan larva cacing pita dan dewasa adalah spesies yang berbeda. Untuk alasan inilah, fase larva seringkali disebut dengan nama berbeda. Fase larva untuk T. solium disebut dengan Cysticercus cellulosae, fase larva untuk T. saginata disebut Cysticercus bovis, dan fase larva untuk T. crassiceps disebut Cysticercus longicollis, Taenia hydatigena disebut Cysticercus tenuicollis. T. solium seringkali ditemukan pada manusia sedangkan keempat spesies lainnya sangat jarang. T. solium adalah spesies taenia yang pada manusia dapat menjadi inang antara maupun inang definitif (Huisa et al. 2005; Boa et al. 2006; Joshi et al. 2007; Myadagsuren et al. 2007; Reyes dan Terrazas 2007; Conlan et al. 2011). Perkembangan T. solium hampir sama dengan pada inang antaranya (babi atau manusia), kecuali sistiserkus yang dapat tersebar keseluruh hati, otak, dan sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (Diop et al. 2003; Chung et al. 2005; Li et al. 2007; Sikasunge et al. 2008b; Juarez et al. 2008). Penyakit ini meningkat dengan cepat dan dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat, khususnya pada negara berkembang. Sistiserkosis/taeniosis jarang terjadi di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Barat, tetapi prevalensinya di Amerika Latin, China dan Afrika nampak relatif tinggi. Neurosistiserkosis dilaporkan terdapat di beberapa wilayah dan menjadi penyebab utama epilepsi (Rai et al. 2000; Zoli et al. 2003; Townes et al. 2004; Guevara-Flores et al. 2008; Krecek et al. 2008; Bett et al. 2009).

26 6 Sejarah Kasus infeksi cacing pita pertama kali dilaporkan di zaman Mesir kuno dalam Papyrus Ebers yang diperkirakan ditulis sekitar 1550 SM. Penyakit ini mungkin disebabkan oleh parasit Taenia saginata karena menurut Herodotus orang Mesir kuno tidak memakan babi. Cacing pita oleh ilmuwan Yunani seperti Hippocrates ( SM), Aristotle ( SM), dan Threophrastus ( SM) sebagai Helmins plateia yang berarti flatworm atau Tainia/Taenia. (Grove 1990; Bruschi et al. 2006). Orang Roma seperti Celsus (20 M), Pliny the Elder (23-79 M) dan Galen ( M) mengenal cacing pita dan menamai Lumbricus latus. Lumbricus adalah kelompok istilah yang berarti cacing dan latus berarti lebar/pita. Cacing ini juga terdapat di berbagai belahan dunia, termasuk di India dan China yang disebut dalam literatur kuno Asia. Hippocrates, Aristotle dan Galen menganggap cacing pita ini sebagai hewan, tetapi Aetius (550 M) dan Paulus Aegineta (640 AD) mempertimbangkan cacing pita ini sebagai bidang penjelmaan dari lapisan usus. Pada akhir milenium pertama setelah masehi, beberapa penulis Arab seperti Serapion (800 M) mempertimbangkan proglotid cacing pita sebagai cacing yang berbeda. Cacing ini dinamai cucurbitini, karena selain mirip dengan biji labu (spesies Cucurbita), juga biji labu adalah salah satu obat pertama untuk infeksi cacing pita. Banyak penulis Arab tidak mempertimbangkan cacing pita sebagai cacing, tetapi percaya bahwa itu adalah membran yang dibentuk oleh usus untuk memegang cucurbitini, sedangkan yang lainnya, termasuk Ibnu Sina ( M) mempertimbangkan bahwa cucurbitini (cacing biji labu) dan taenia (cacing raksasa) adalah makhluk yang berbeda. Nama taenia solium pertama kali dipublikasi oleh Arnaldo Villanovani (Grove 1990). Siklus hidup Terdapat tiga stadium perkembangan cestoda yaitu telur, larva (metacestoda) dan cestoda dewasa (Gambar 1). Telur dan proglotid yang keluar bersama tinja inang definitif dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa bulan di lingkungan, apabila termakan inang antara yang sesuai, menetas mengeluarkan

27 7 onchosphere dalam usus inang antara. Oncosphere menembus dinding usus menuju bagian tubuh inang antara, melalui sirkulasi darah atau limfe menuju bagian jaringan organ inang antara menjadi metacestoda (sistiserkus). Sistiserkus dapat bertahan hidup untuk beberapa tahun pada inang antara. Metacestoda ditelan oleh inang definitif yang sesuai maka calon skoleks (protoskoleks) keluar dari kista lalu menempel pada mukosa usus dengan menggunakan batil hisapnya. Pada usus manusia, sistiserkus berkembang selama dua bulan sampai menjadi cestoda dewasa, yang dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cacing pita dewasa menempel pada usus halus dengan menggunakan skoleks. Manusia dapat terinfeksi dengan memakan daging mentah atau setengah matang yang mengandung sistiserkus. Gambar 1 Siklus hidup Taenia sp (Sumber:

28 8 Morfologi Panjang cacing dewasa biasanya 2-7 meter. Cacing dewasa menghasilkan proglotid yang mature, menjadi gravid, terlepas dari strobila, dan keluar melalui tinja. Parasit ini berukuran panjang 24 kaki dan berjumlah 507 proglotid. Rata-rata diameter telur Taenia solium adalah 38 μm. Telur cacing Taenia solium berisi embrio yang khas, dengan tiga pasang kait (Noble et al. 1989; Riemann dan Cliver 2006). Fase dewasa cacing pita Taenia solium pada usus halus manusia dan disusun oleh rantai (strobila) dari segmen (proglotid) yang berisi sistem reproduksi jantan maupun betina. Segmen cacing dewasa yang berisi dengan telur, terlepas dan melewati anus, baik bebas maupun bercampur tinja. Jangka hidup cacing dewasa mencapai tahun. Jumlah telur yang keluar dari inang per hari sangat tinggi ( juta) dan dapat mengkontaminasi lingkungan. Telur taenia dapat bertahan lama di lingkungan pada temperatur yang rendah yaitu 4-5 C. Masa infektif telur selama empat sampai enam bulan, 33 hari di sungai dan lebih dari 150 hari di permukaan tanah (Riemann dan Cliver 2006). Metode Diagnosis Taeniosis dapat didiagnosa dengan adanya proglotid atau telur taenia di feses. Telur dapat juga ditemukan pada adhesive tape preparations yang diambil dari dekat anus. Pada umumnya, spesies cacing pita ditentukan oleh dasar morfologi dari proglotid atau skoleks yang ditemukan. Enzyme-linked immunosorbent assays (ELISAs) dan PCR dapat membedakan telur T. solium dan T. saginata, morfologi dapat digunakan untuk membedakan proglotidnya (Hubert et al. 1999; Wilkins et al. 1999; Gonzalez et al. 2000; Verastegui et al. 2003; Dekumyoy et al. 2004; Kara dan Doganay 2005; Yamasaki et al. 2005; Nunes et al. 2006; Mayta et al. 2008; Zheng et al. 2008; Deckers et al. 2009; Gasser et al. 2009; Praet et al. 2010b; Allepuz et al. 2011). Studi penggambaran termasuk scan computed tomography (CT) digunakan untuk mengidentifikasi sistisersi di dalam otak. Inaktif (calcified) kista pada berbagai bagian dari tubuh termasuk otot dan otak dapat dilihat dengan sinar x. Biopsi dapat digunakan untuk subkutan, dan larva dapat dilihat dengan mata pada

29 9 saat pemeriksaan okular (Molinari et al. 2002; Garcia dan Del Brutto 2003; Lucas et al. 2003; Rodriguez-Hidalgo et al. 2006; Prestes-Carneiro et al. 2006; Machado et al. 2007; Atluri et al. 2009). Uji serologi digunakan untuk mendiagnosa sistiserkosis pada manusia termasuk enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISAs, complement fixation dan hemagglutination. Antibodi dapat ditemukan dalam serum (Goodman et al. 1999; Hubert et al. 1999; Allan et al. 2003; Villota et al. 2003; Li et al. 2006; Gomes et al. 2007; Deckers et al. 2008b; Morales et al. 2008; Sahu et al. 2009). Diagnosis klinis neurosistiserkosis didasarkan pada riwayat pasien, penemuan radiografik, dan konfirmasi patologi. Gambar Magnetik Resonance (MR) juga sangat berguna untuk diagnosis. Lebih jauh, diagnosis terakhir neurosistiserkosis tergantung sepenuhnya pada penemuan histologi (Hellard et al. 1998; Engels et al. 2003; Ishikawa et al. 2007; Prasad et al. 2008; Prasad et al. 2009; Berata et al. 2010). Di Indonesia, Dharmawan (1995) mendiagnosis serum babi dengan menggunakan metode Sandwich ELISA untuk mendeteksi adanya antigen yang bersirkulasi dalam darah. Selain itu, Salwati (2001) mendeteksi sistiserkosis dengan menggunakan EITB pada manusia. Arimbawa et al. (2004) mengemukakan bahwa untuk penderita neurosistiserkosis dapat didiagnosis dengan menggunakan CT scan pada otak. Gejala Klinis Taeniosis biasanya asimptomatik, kecuali saat keluarnya proglotid melalui tinja. Gejala abdominal ringan terjadi pada beberapa kasus; hal ini termasuk sakit di bagian abdominal, diare atau sembelit, mual, penurunan atau peningkatan selera makan, dan kehilangan berat badan. Bayi dapat mengalami muntah, diare, demam, penurunan berat badan (Vilhenia et al. 1999). Gejala non spesifik lain seperti insomnia, rasa tidak enak badan dan kegelisahan juga terjadi (Meza et al. 2005). Gejala sistiserkosis bervariasi tergantung dari lokasi dan jumlah larva. Neurosistiserkosis adalah sistiserkosis yang paling serius. Pada beberapa kasus, gejala tidak terlihat. Pada kasus lainnya, gejala tersebut terjadi secara tiba-tiba,

30 10 sebagai akibat dari kejadian seperti terhalangnya cerebrospinal fluid (CSF) oleh sistiserkosis. Serangan dan sakit kepala kronis adalah gejala yang paling sering terjadi. Tanda lainnya dapat berupa mual, muntah, vertigo, kehilangan keseimbangan dan pusing. Beberapa kasus dari neurosistiserkosis adalah fatal (Alarcon et al. 1992; Bern et al.1999; Bueno et al. 2001; Arimbawa et al. 2004; Mitre et al. 2007; Tran et al. 2007). Pengendalian dan Pencegahan Berbagai pedoman surveilans, pencegahan dan pengendalian taeniosis dan sistiserkosis telah dipublikasi oleh badan internasional. Inspeksi tempat pemotongan hewan memiliki beberapa kelemahan. Di beberapa negara, dengan diam-diam memasarkan daging babi tanpa pemeriksaan. Lebih lanjut, keakuratan dari prosedur pemeriksaan daging kurang dari 50% untuk inspeksi rendah sampai menengah. Konsekuensinya, penelitian yang sedang berlangsung dilakukan untuk mengembangkan teknologi pendeteksian secara lebih cepat dan sensitif. Uji immunodiagnostik menjadi perhatian khusus, dan beberapa uji sedang dalam pengembangan (Lekule dan Kyvsgaard 2003; Mukaratirwa et al. 2003; Rimm 2003; Schantz dan Tsang 2003; Somers et al. 2006; Geldhof et al. 2007; Scandrett et al. 2009; Tsigarida et al. 2009; Assana et al. 2010b; Praet et al. 2010a). Pengendalian yang efektif akan selalu menjadi capaian yang terbaik dengan meminimalkan faktor risiko. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah yaitu semua daging sapi dan babi yang dipasarkan harus melakukan prosedur pemeriksaan daging. Manajemen peternakan harus menjaga agar hewan ternak tidak dapat memakan feses manusia. Sewaktu-waktu jika memungkinkan, pekerja peternakan selayaknya diperiksa. Penggunaan tempat kotoran dan air pembuangan untuk maksud peternakan harus menerima perhatian khusus. Sebagai contoh, hewan ternak tidak terkena kontak langsung dengan aliran air yang membawa air pembuangan dan sisa pembuangan kotoran. Legislator juga diperlukan untuk mengatur penggunaan pertanian dari pembuangan kotoran, khususnya pada tempat penggembalaan dan padang rumput (Martin et al. 1987; Gonzalez et al. 2001; Cabaret et al. 2002; Joshi et al. 2003; Nash 2003; Jackson dan Miller 2006; Kebede 2008; Sikasunge et al. 2009; Assana et al. 2010a).

31 11 Pada berbagai negara dimana inspeksi tidak berjalan dengan baik, sangat direkomendasikan bagi konsumen untuk memasak daging babi paling rendah dengan suhu 60 C. Pengendalian sistiserkosis daging babi di negara berkembang diutamakan. Penghambat pada perubahan adalah kemiskinan, tradisi dan berbagai kepentingan. Word Health Organization dan Pan American Health Organization telah mengembangkan dua strategi alternatif untuk pengendalian infeksi T. solium pada manusia yaitu intervensi yang komprehensif jangka panjang dan intervensi jangka pendek berdasarkan pada pengobatan massal infeksi cacing dewasa (pada usus) dan terjadinya penyebaran telur. Strategi pertama termasuk peraturan yang cukup baik, sistem modernisasi produksi daging babi, peningkatan efisiensi dan pemenuhan inspeksi daging, ketentuan fasilitas sanitasi yang cukup, dan pemakaian pengukuran untuk mengidentifikasi dan mengobati penderita cacing pita. Untuk strategi yang kedua yaitu program mengidentifikasi telur dan pengobatan kepada semua penderita telah dikembangkan. Prospek pemberantasan T. solium dianggap baik bila dapat memutuskan siklus hidup dengan meningkatkan sanitasi, mengandangkan babi, dan inspeksi daging yang ketat dan teliti (Eichenberger et al. 2011). Strategi lain untuk mengendalikan sistiserkosis pada daging babi yaitu vaksinasi untuk babi (Lightowlers 2010; Fonseca-Coronado et al. 2011). Antigen homolog dari sistisersi mampu untuk mengindusi tingkat tinggi dari kekebalan protektif (71%) untuk melawan infeksi yang datang. Usaha lain yang dicapai pada identifikasi antigen protektif yaitu vaksin yang digunakan dapat dihasilkan dan tidak bergantung pada kompleksitas masalah (Noble et al. 1989; Molinari et al. 1997; Taylor et al. 2001; Toledo et al. 2001; Lightowlers 2003; Sato et al. 2007; Sciutto et al. 2007; Verastegui et al. 2007; Morales et al. 2008; Rupa et al. 2008; Sikasunge et al. 2008a; Morales et al. 2011). Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas sistiserkosis/taeniosis di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membuat petunjuk pemberantasan sistiserkosis/taeniosis di Indonesia (Kandun 2000). Beberapa pencegahan yang harus dilakukan adalah: 1. Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniosis

32 12 2. Pemakaian jamban keluarga, sehingga tinja manusia tidak termakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput 3. Memelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran 4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di rumah potong hewan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas peternakan) 5. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging. Hal ini penting di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Papua 6. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah 7. Memasak daging sampai matang (diatas 57 C dalam waktu cukup lama) atau membekukan dibawah 10 C selama 5 hari. Pendekatan ini ada yang dapat diterima, tetapi dapat pula tidak dikerjakan, karena perubahan yang bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut. Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografi (SIG) merupakan sebuah sistem informasi yang berbasis spasial. Pada bidang kesehatan masyarakat, analisis spasial dengan SIG dapat digunakan untuk: 1) Pengendalian penyakit (pemetaan vektor, kasus penyakit; identifikasi jarak, kluster kasus/sumber penyakit), 2) Perencanaan program kesehatan, 3) Monitoring dan evaluasi program kesehatan. SIG mengintegrasikan berbagai macam data seperti data satelit, foto udara, peta digital, dan data lainnya sehingga akan membentuk informasi baru berupa peta tematik. Langkah awal yang harus disiapkan dalam membuat peta tematik adalah menyiapkan data spasial yang bisa menunjukkan lokasi suatu daerah. Untuk mendapatkan data spasial, kita dapat menggunakan global positioning system (GPS), yaitu suatu sistem navigasi berbasis satelit yang memberitahukan

33 13 posisi pasti dari suatu lokasi di bumi (Staubach et al. 2001; Jaya 2002; Allepuz et al. 2009; Martinez-Hernandez et al. 2009; Michelet et al. 2010). Setelah mendapatkan data spasial dari GPS, maka data tersebut dapat diolah menggunakan program SIG seperti Epimap, Quantum GIS, ArcView, dsb. Hingga akhirnya bisa menghasilkan suatu peta lengkap dengan titik titik lokasi yang sedang diteliti. Kabupaten Jayawijaya Gambaran umum lokasi penelitian Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena, terletak antara bujur timur dan lintang selatan. Memiliki luas wilayah 8496 Km². Sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Yalimo, dan Kabupaten Tolikara, di sebelah selatan kabupaten ini adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Yalimo, sebelah barat adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Lanny Jaya. Kabupaten ini memiliki 11 distrik /kecamatan. Distrik-distrik tersebut yaitu: Wamena kota, Asolokobal, Walelagama, Hubikosi, Pelebaga, Asologaima, Musatfak, Kurulu, Bolakme, Wollo, dan Yalengga. Dari 11 distrik di Kabupaten Jayawijaya, Distrik Kurulu memiliki wilayah terluas yaitu sekitar 15.54% dan Distrik Wollo sebagai distrik yang terkecil wilayahnya, yaitu hanya 7.42% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Jayawijaya. Distrik Bolakme merupakan distrik yang paling jauh jarak tempuhnya dari ibukota kabupaten (Wamena), hampir mencapai 46 Km. Sedangkan distrik yang terdekat dengan Wamena adalah Distrik Asolokobal dan Distrik Pelebaga, sekitar sembilan kilometer dari Wamena (BPS 2010). Berdasarkan hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah V Jayapura, Balai Wamena Tahun 2009, dilaporkan bahwa suhu udara rata-rata di wilayah Kabupaten Jayawijaya selama tahun 2009 mencapai C dengan kelembaban udara rata-rata diperkirakan sekitar 79%, dapat dipastikan bahwa di daerah Kabupaten Jayawijaya termasuk kategori daerah dingin. Ini juga dapat dilihat dari nilai suhu minimum Kabupaten Jayawijaya mencapai C

34 14 sementara suhu maksimum hanya sekitar 26.0 C. Selanjutnya curah hujan ratarata yang terjadi yaitu sekitar mm, dimana curah hujan tertinggi tahun 2009 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar mm dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yakni sebesar mm. Banyaknya hari hujan rata-rata di Kabupaten Jayawijaya yaitu 23 hari, namun pernah juga hampir mencapai satu bulan, yaitu pada bulan Maret 2009 hingga 29 hari hujan. Hal ini bisa saja terjadi karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan masih banyak perbukitan sehingga sulit membedakan musim secara jelas. Persentase penduduk miskin di Kabupaten Jayawijaya cenderung mengalami penurunan dari 50.62% pada tahun 2006 menjadi 35.97% pada tahun Meskipun demikian, persentase penduduk miskin masih tergolong tinggi sehingga pemerintah masih harus tetap berusaha untuk menurunkan angka kemiskinan khususnya di Kabupaten Jayawijaya. Air merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting bagi manusia, terutama untuk kebutuhan minum dan memasak. Berdasarkan kelayakan pemakaian air minum, rumah tangga yang menggunakan air minum yang layak pakai mengalami peningkatan dari 52.48% pada tahun 2007 menjadi 56.54% pada tahun Fasilitas sanitasi yang layak adalah fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan yaitu tempat buang air besar yang dilengkapi dengan leher angsa dan tangki septik. Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Jayawijaya belum menggunakan tangki septik sebagai tempat pembuangan tinja (7.45%). Masyarakat masih belum memahami arti pentingnya kesehatan, hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase rumah tangga yang masih menggunakan kebun sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu sebesar 84.04%, dan masih ada yang menggunakan kolam/sawah (0.19%) dan lubang tanah (8.15%). Pada tahun 2009 Kabupaten Jayawijaya memiliki 162 sekolah dengan perincian 15 sekolah taman kanak-kanak, 105 sekolah dasar, 25 sekolah menengah pertama (SMP) dan 17 sekolah menengah atas (SMA). Dari 17 SLTA, 12 diantaranya merupakan SMA Umum dan sisanya merupakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Seluruh SD yang ada di Kabupaten Jayawijaya sudah beroperasi semuanya. Untuk tingkat SD, seluruh distrik memiliki SD dengan jumlah yang bervariasi. Distrik yang memiliki jumlah SD paling sedikit

35 15 yaitu Distrik Wollo dan Yalengga, masing-masing sebanyak empat dan tiga SD, sedangkan yang memiliki sekolah dasar terbanyak adalah Distrik Wamena, yaitu sebanyak 19 SD. Untuk pendidikan Sekolah Dasar, rasio murid terhadap guru yakni 22.85, artinya, rata-rata satu orang guru mengajar 23 siswa. Sedangkan ratio murid terhadap guru di tingkat SMP sebesar 32.57, tingkat SMA sebesar 36.47, dan tingkat SMK sebesar Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat SMK masih kekurangan tenaga pengajar karena rata-rata satu orang guru di SMK mengajar sebanyak 89 siswa. Di Kabupaten Jayawijaya terdapat satu rumah sakit umum daerah (RSUD), 12 puskesmas dan 24 buah puskesmas pembantu. RSUD hanya terdapat di Distrik Wamena sedangkan Puskesmas terdapat di semua distrik. Berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Jayawijaya, terdapat 13 dokter umum, lima dokter gigi, 49 bidan, dua apoteker dan 120 perawat. Jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk adalah infeksi saluran pernafaan atas yaitu sebanyak kasus, diikuti oleh penyakit malaria klinis 3007 kasus, disentri basiler 2224 kasus dan disentri amuba 1427 kasus. Jumlah posyandu di Kabupaten Jayawijaya cenderung mengalami peningkatan dari 97 unit (2007) menjadi 111 unit pada tahun Kelahiran balita sebagian besar masih dibantu oleh keluarga dan dukun, baik kelahiran pertama maupun terakhir. Angka kematian bayi per 1000 kelahiran selama periode cenderung mengalami penurunan dari 45 menjadi 34. Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayawijaya terdapat 175 kasus untuk laki-laki dan 116 kasus untuk perempuan. Umbi-umbian merupakan salah satu makanan pokok penduduk Jayawijaya sehingga tidak mengherankan jika tanaman pangan ini cukup banyak ditanam di Kabupaten Jayawijaya. Berbagai macam tanaman sayuran banyak ditanam di daerah Jayawijaya karena iklimnya cocok untuk pertumbuhan tanaman sayursayuran. Produksi tanaman pangan terbesar tahun 2009 adalah ubi jalar yaitu sebesar ton, disusul produksi sayuran 3476 ton dan padi sawah sebesar 2490 ton dengan produktivitas ton/ha. Dari beberapa jenis sayuran yang ditanam, tomat merupakan tanaman yang paling besar produksinya, yaitu ton dengan produkstivitas ton/ha. Sedangkan buah-buahan dengan produksi

36 16 terbesar adalah pisang sebanyak ton dengan produktivitas ton/ha. Kopi, tembakau, buah merah merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan di Kabupaten Jayawijaya. Luas areal tanaman kopi mengalami peningkatan dari 900 Ha pada 2008 menjadi 1775 Ha pada tahun Hampir semua distrik di Kabupaten Jayawijaya terdapat perkebunan kopi dan salah satu distrik yang paling banyak mengusahakannya adalah Distrik Asologaima. Populasi ternak babi masih menduduki jumlah yang paling banyak diusahakan oleh penduduk Jayawijaya. Jenis ternak besar yang diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Jayawijaya antara lain sapi (4237 ekor), kerbau (110 ekor), dan kuda (26 ekor), sedangkan ternak kecil, antara lain kambing (1137 ekor), babi ( ekor), dan kelinci (3697 ekor). Ternak unggas yang banyak diusahakan adalah ayam buras ( ekor) dan itik (507 ekor). Produksi daging babi merupakan produksi yang terbesar yaitu sebanyak Kg sedangkan produksi terkecil adalah kerbau yaitu sebanyak 1406 Kg. Produksi ayam buras sebanyak Kg dan itik 249 Kg (BPS 2010).

37 17 Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia di Papua Papua dahulu dikenal dengan nama Irian jaya. Kasus pertama dilaporkan terjadi tahun 1972 di Kecamatan Paniai, Kabupaten Nabire (sebelum pemekaran kabupaten tahun 1999). Pasien yang berobat di rumah sakit Enarotali (dahulu adalah ibukota kecamatan, saat ini ibukota kabupaten), diambil 170 sampel feses dan terdeteksi telur Taenia spp. sebesar 9%, pengambilan kedua (bukan pasien) dari 74 sampel diperoleh 8% positif untuk telur taenia. Kedua kelompok pengambilan sampel tadi adalah masyarakat Ekari (Kapauku). Kelompok ketiga, suku Moni yang tinggal di lembah Dogindora, tidak ditemukan cacing taenia (Margono et al. 2006). Selama enam bulan ( ), di rumah sakit Enarotali terdapat 13 kasus, termasuk delapan pria dan lima wanita dari umur tahun didiagnosa sistiserkosis. Observasi medis menunjukkan tiga orang pasien memiliki nodul dengan jumlah nodul berkisar antara satu sampai 20, yang mendapat serangan epilepsi sebanyak dua orang pasien. Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa Hubikosi Kecamatan Wamena, ditemukan 11 orang (10.8%) dari 102 orang penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita dan 10 orang dari jumlah tersebut mengalami kejang-kejang dan dua diantaranya mempunyai nodul, sedangkan seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejang (Gunawan et al. 1976). Tahun 1991, laporan Puskesmas Assologaima, dari penduduk di enam kampung ditemukan empat kasus epilepsi dan 217 kasus luka bakar (1.6%), tahun 1995 meningkat menjadi 145 kasus epilepsi (0.83%), 452 kasus luka bakar (2.58%) dari penduduk dan 50% kasus epilepsi menderita taeniosis dan sistiserkosis. Tahun 1993, terjadi peristiwa kematian tokoh gereja katolik akibat tenggelam di sungai saat serangan epilepsi sehingga dilakukan survei sistiserkosis/taeniosis dan cacing usus lainnya di delapan Paroki (Gereja Katolik) di seluruh Lembah Baliem. Survei terhadap 537 orang dewasa ditemukan 48% pernah mengalami epilepsi dan 26.5% merupakan penderita sistiserkosis (Simanjuntak 2000; Subahar et al. 2005; Wandra et al. 2007b).

38 18 Serangan epilepsi pada penderita sistiserkosis di Jayawijaya biasa terjadi pada waktu malam hari. Kondisi ini sering mengakibatkan terjadinya luka bakar karena penderita terguling ke dalam perapian yang terletak di tengah honai (rumah adat). Survei dari tahun tercatat 257 kasus luka bakar dalam honai di Desa Obano dan pada tahun ditemukan 1120 kasus luka bakar di Distrik Assologaima yang berpenduduk jiwa (Wandra et al. 2007b). Kebudayaan Masyarakat Kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Suku yang besar adalah suku Dani, Lani dan Yali. Nama Dani dipakai pemerintah untuk menyebut seluruh penduduk Lembah Besar Balim, yang juga nama sebuah klen (suku). Walaupun demikian, di lembah-lembah yang berada di bagian barat, Dani juga merupakan nama dari bahasa mereka. Orang Moni, tetangga sebelah barat orang Dani kadang-kadang menyebut mereka orang Ndani, atau Lani. Namun orang Dani sendiri sebagai satu kesatuan manusia, menyebut dirinya sendiri dengan nama perkampungannya atau kadang-kadang dengan nama dari gabungan perkampungan tempat tinggal mereka. Beberapa orang yang berpandangan luas menyebut dirinya nit akhuni Balimmege, yang artinya kami manusia Balim (Koentjaraningrat 1992; Susanto- Sunario 1994). Sebagian besar orang Dani berambut keriting, berkulit cokelat tua, dengan tinggi badan rata-rata 1.60 meter, tetapi ada pula yang tingginya mencapai 1.70 meter. Mata pencarian hidup orang Dani yang utama adalah bercocok tanam. Cara bercocok tanam orang Dani adalah dengan berpindah-pindah. Tanah digarap selama beberapa musim, dan apabila tanah itu telah kehabisan zat-zatnya, tanah itu ditinggalkan kemudian dibuka sebidang tanah yang baru. Di samping bercocok tanam berpindah-pindah, orang Dani juga memelihara babi. Binatang ini dapat dimiliki secara pribadi oleh pria maupun wanita, tetapi yang biasanya memelihara babi adalah wanita dan anak-anak. Pada waktu pagi babi diberi makan ubi, tetapi sepanjang hari sampai sore binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran di desa atau di kebun untuk mencari makanannya sendiri. Babi jantan seringkali dikebiri agar tumbuh menjadi besar, dan hanya sedikit saja yang dipelihara untuk pejantan.

39 19 Orang Dani umumnya mengonsumsi daging babi pada waktu mereka mengadakan pesta, berkenaan dengan upacara-upacara sepanjang daur hidup individu (kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagainya), pembakaran jenazah, dan pada pesta-pesta babi. Selain sebagai bahan pangan, babi juga dimiliki untuk menambah gengsi. Orang-orang yang mempunyai kedudukan penting atau orang yang berpengaruh tentu memiliki banyak babi. Babi juga merupakan barang berharga untuk keperluan-keperluan yang bersifat ekonomi dan sosial, dan dapat dipakai untuk membeli tanah, kapak besi, tetapi juga untuk meredakan suatu permusuhan, membalas jasa, maupun sebagai unsur mas kawin (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario 1994). Suatu hal yang sangat menarik adalah orang Dani merupakan contoh hidup dari sekelompok manusia yang masih hidup dengan sistem peralatan gaya neolitik. Alat-alat batu yang dipakai orang Dani adalah kapak batu berbentuk bujur sangkar yang diasah sampai licin. Alat rumah tangga orang Dani adalah berbagai bentuk pisau batu serta alat-alat lain yang terbuat dari tulang yang berfungsi sebagai sendok, jarum dan sebagainya. Dalam kebudayaan tradisionalnya orang Dani tidak mengenal periuk belanga, sebagai wadah mereka membuat piring dari kayu, benda cair biasanya ditempatkan dalam kulit buah labu yang sudah dikeringkan lalu mereka gunakan sebagai mangkuk. Untuk menyimpan barang-barang berharga, tembakau dan pinang, mereka membuat tastas anyaman. Orang Dani membuat kantung jaring atau tas yang dirajut dari tali serat kulit kayu (su-ebe/noken) untuk mengangkut barang-barang, yang mereka bawa di punggung, yang kadang-kadang menggelantung hingga ke pantat, dengan melingkarkan talinya di dahi, sehingga berat bebannya ditanggung oleh kepala. Kantung-kantung seperti itu dapat dipakai untuk mengangkut berbagai hasil kebun, anak babi, bahkan bayi sekali pun. Menganyam kantung seperti itu adalah pekerjaan wanita (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Senjata terpenting orang Dani adalah busur sepanjang meter yang disebut sikhe. Anak panah ada berbagai bentuk, yang masing-masing mempunyai sebutan dan fungsinya sendiri-sendiri: ada yang khusus untuk berperang, ada yang dipakai untuk memanah burung, dan ada yang digunakan untuk memanah babi. Senjata orang Dani yang lain adalah tombak panjang (sege). Pakaian pria Dani

40 20 sehari-hari hanya sebuah penutup alat kelamin (holim) yang berasal dari kulit labu. Buah labu dibiarkan tumbuh menjadi panjang dengan menggantungkan batu di ujungnya. Anak laki-laki baru memakainya setelah berumur lima tahun. Wanita biasanya memakai sali yang terbuat dari beberapa lapis jerami yang diikatkan di pinggang untuk menutupi bagian depan dan belakang tubuhnya. Pakaian lain yang khusus dipakai oleh wanita yang telah menikah adalah penutup alat kelamin yang juga dibuat dari jerami, lebih tipis yang terbuat dari tali serat kulit kayu (yokal), yang hanya dipakai di bagian depan saja. Pada waktu pesta, baik pria maupun wanita memakai perhiasan kalung kerang, kalung manik-manik, atau kalung tulang burung. Lengan dan kaki memakai gelang-gelang anyaman rotan. Pakaian resmi untuk pria memerlukan lebih banyak perhiasan daripada wanita, karena mereka juga memakai jambul warna-warni dari bulu-bulu burung, sedang hidungnya diberi tusuk hidung dari tulang atau taring babi. Pada waktu pesta kaum pria juga mencemongkan dahinya dengan arang, sementara akhir-akhir ini mereka juga gemar memakai bahan kimia yang terdapat dalam batu batere untuk membuat dahi mereka hitam mengkilat (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Tempat tinggal dan pola perkampungan Tempat pemukiman orang Dani terpencar-pencar dalam bentuk perkampungan-perkampungan permanen yang dinamakan osili/usilimo, letaknya mempunyai dua pola yaitu di tempat yang tinggi di atas bukit atau lembah. Antara satu kampung dengan kampung lainnya pada umumnya berjarak beberapa kilometer, bahkan ada yang terpisah beberapa puluh kilometer dari kampungkampung lainnya. Setiap osili terdiri atas beberapa O-ugul (hamlet), yang biasanya dipagari sekelilingnya dengan menggunakan belahan-belahan kayu yang sangat rapat seperti dinding, sehingga tidak dapat dimasuki kecuali melalui gerbang yang tersedia. Masing-masing o-ugul terdiri atas satu atau beberapa honae/pilamo (rumah laki-laki) dan sejumlah ebe-ae (rumah perempuan atau rumah keluarga). Setiap o-ugul biasanya mempunyai satu bangunan dapur yang dipergunakan oleh semua anggota keluarga. Bangunan-bangunan honae maupun ebe-ae berbentuk bulat sedangkan bangunan dapur berbentuk persegi panjang.

41 21 Honae selalu berada dekat pintu gerbang o-ugul dan agak menyendiri dari bangunan-bangunan lainnya dan bangunan itu tidak boleh dimasuki oleh wanita dan anak-anak karena hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang sudah dewasa (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Suatu keluarga tidak selalu tinggal bersama dalam satu rumah sebagai suatu kesatuan sosial yang tampak dengan jelas. Dalam satu desa Dani warga pria tinggal bersama dalam suatu rumah yang khusus, sedang para warga wanita tinggal dalam rumah khusus yang lain. Rumah bagi pria disebut belai/honae/pilamo, dan berbentuk bundar rendah. Kerangkanya terbuat dari batang-batang kayu yang kasar, yang dilapisi dengan dua deret papan kayu yang juga sangat kasar buatannya. Atapnya berbentuk payung dibuat dari ikatan-ikatan rumput yang disusun berlapis-lapis setebal kira-kira 15 cm. Pintu masuk sangat kecil dan rendah, sehingga orang harus membungkuk untuk masuk ke dalam honae. Loteng yang terbuat dari papan tersusun rapi di atas kerangka balok. Loteng yang ditopang oleh empat tiang yang dipancangkan di tengah, ruangan bawah itu merupakan ruang tidur. Dalam ruangan terdapat tempat perapian yang dibuat di antara keempat tiang penopang loteng. Lantai ruangan itu dilapisi rumput kering (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Rumah untuk wanita adalah ebe-ae, yang juga terbuat dari bahan-bahan yang sama seperti honae, namun ukurannya lebih kecil. Ebe-ae adalah tempat para wanita dan anak-anak makan dan tidur. Walaupun demikian mereka sering kali juga makan di dapur. Suami mereka karena itu juga sering datang ke ebe-ae untuk makan bersama keluarga inti mereka, untuk mengobrol atau untuk menggauli isteri mereka. Namun mereka jarang tidur bersama semalam suntuk. Sanggama antara suami dan isteri seringkali juga dilakukan di tempat yang sepi di kebun atau di hutan. Suatu ebe-ae biasanya dihuni oleh sebanyak empat sampai delapan orang. Selain rumah pria, rumah wanita dan dapur, dalam suatu perkampungan Dani masih ada satu bangunan yang sangat penting, yakni kandang babi. Bentuk kandang babi ini sama dengan dapur dan terbuat dari bahan-bahan yang sama pula, namun ruangannya dibagi-bagi menjadi kotak-kotak, yang masing-masing diisi oleh seekor babi dewasa.

42 22 Pengelompokan yang terkecil dalam masyarakat Dani adalah o-ugul, yang terdiri dari satu atau beberapa keluarga luas mengelompok menjadi satu compund/hamlet. Meskipun garis keturunan dihitung berdasarkan garis laki-laki tetapi dalam o-ugul tidak harus laki-laki bersaudara kandung bersama isteri-isteri dan anak-anak mereka yang sengaja tinggal melainkan bisa juga anak-anak perempuan yang sudah kawin bersama suami mereka ikut bergabung di dalamnya. Sehingga dalam suatu o-ugul bisa terdapat warga dari beberapa klen (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994). Setiap klen yang ada dalam suku Dani dipimpin oleh seorang kepala klen yang disebut gain yang populer dewasa ini sering disebut dengan istilah kepala suku. Gain sangat dihormati dan disegani dalam masyarakat karena orang yang menduduki jabatan itu biasanya adalah mereka yang mempunyai prestasi dan reputasi dalam hal keberanian, ketangkasan, kebijaksanaan dan kekayaan. Gain yang sangat menonjol prestasi dan reputasinya menjadi pemimpin dari konfederasi-konfederasi klen (dlabukako), yang pada masa lalu ketika sering terjadi perang antar kelompok berfungsi sebagai persekutuan perang yang menghimpun tenaga untuk melakukan pertempuran melawan pihak musuh. Pada masa lalu bilamana satu suku berselisih dengan suku lain yang berlainan konfederasi maka biasanya akan menimbulkan perang antar konfederasi yang akan menelan korban jiwa. Sebelum jatuh korban yang berimbang pada kedua belah pihak, maka tidak ada usaha untuk menghentikan perang. Hal ini sering menyebabkan banyak korban jiwa kalau terjadi perang. Satu konfederasi ada yang mencakup hanya lima atau enam klen tetapi ada juga yang mencakup sepuluh suku, dibawah koordinasi seorang gain yang terkemuka yang disebut gain tok atau disebut juga kepala suku besar. Sebagai contoh, ukumyarik yang menjadi gain tok dari dlabukako Aso-lopagal; silo yang menjadi gain tok dari dlabukako Gosi-loka (dlabukako Aso-lopagal mencakup tujuh suku, sedangkan dlabukako Gosi-loka mencakup sepuluh suku). Biasanya antara tiga sampai lima tahun sekali diadakan suatu pesta besar dalam setiap dlabukako yang disebut ebe-ako, yang dimaksudkan untuk memelihara hubungan antara suku-suku yang menjadi anggotanya. Pesta tersebut yang sering juga disebut dengan istilah pesta babi karena dalam pesta tersebut biasanya dipotong ratusan ekor babi, sekaligus

43 23 merupakan pesta untuk perkawinan dari puluhan pasangan pengantin dari warga suku-suku yang tergabung dalam dlabukako yang bersangkutan (Koentjaraningrat 1992; Depdikbud 1993; Susanto-Sunario1994). ϓ ϓ ϓ ϓ ϓ 1 ϓ ϓ ϓ Gambar 2 Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di Kurulu. Keterangan gambar 1 Rumah laki-laki dewasa (honae/pilamo), selalu lurus menghadap pintu pagar 2 Rumah wanita dan anak-anak yang belum menerima inisiasi (ebe-ae) 3 Dapur bersama dan tempat anak laki-laki yang belum dewasa (lese) 4 Kandang babi (debula) ϓ Tanaman pekarangan (pisang, labu, tembakau, dll) Pagar luar (sili)

44 25 PENDAHULUAN Penyakit sistiserkosis/taeniosis termasuk penyakit tropis yang sering terabaikan (neglected disease) (Pouedet et al. 2002; Anantaphruti et al. 2007a; Ito et al. 2007b; Okamoto et al. 2007; Hotez dan Brown 2009). Sistiserkosis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak disebabkan oleh larva dari spesies cacing Taenia yaitu Taenia solium (Prischich et al. 2008; Praet et al. 2010c; Ragunathan et al. 2010). Taeniosis adalah suatu infeksi pada saluran pencernaan oleh cacing Taenia dewasa (Gandahusada et al. 1998; Cabaret et al. 2002; Ito et al. 2006; Anantaphruti et al. 2007b; Praet et al. 2009). Cacing pita pada manusia bersifat parasitik dan menjadi masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat di Indonesia yaitu T. solium, T. saginata dan T. asiatica (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006). Tiga provinsi di Indonesia yang merupakan endemis sistiserkosis/taeniosis adalah Bali T. solium dan T. saginata, Sumatera Utara T. asiatica, dan Papua T. solium. Survei yang dilakukan di Bali pada empat desa di empat kecamatan (Kecamatan Gianyar, Badung, Denpasar, Karang Asem) pada tahun , tingkat prevalensi taeniosis T. saginata berkisar antara %. Tingkat prevalensi taeniosis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 sebesar 25.6% dan tahun 2005 menjadi 23.8%, dibandingkan dengan survei sebelumnya pada tahun 1977 (2.1%) dan tahun 1999 (1.3%) (Wandra et al. 2006; Ito et al. 2007a). Tingkat prevalensi di Pulau Samosir Sumatera Utara, selama tahun dilaporkan berkisar antara %. Survei epidemiologi yang dilakukan kembali tahun pada 240 penduduk lokal menunjukkan bahwa 2.5% terinfeksi dengan T. asiatica, yakni 3.4% tahun 2003 dan 2.2% tahun 2005 (Wandra et al. 2007a). Di Papua, dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua dari 356 orang yang diperiksa, empat orang didiagnosis taeniosis dan 124 orang menderita sistiserkosis (Dinkes 2004). Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa dari 38 orang yang diperiksa, 12 orang didiagnosis terinfeksi taeniosis (Dinkes 2005). Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al. (2009) melaporkan bahwa prevalensi sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya, Papua cukup tinggi yaitu 20.8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Penelitian sebaran prevalensi sistiserkosis yang dilakukan pada ternak babi di Jayawijaya berkisar

45 26 8.5% sampai 70.4% ( ) dan pada anjing dari 10.9% sampai 33.3% ( ) (Margono et al. 2006; Suroso et al. 2006). Selama ini, penelitian tentang sistiserkosis/taeniosis di Papua sebagian besar dilakukan pada manusia (Margono 1989; Simanjuntak 2000; Subahar et al. 2005; Wandra et al. 2007b; Salim et al. 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas. Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui prevalensi sistiserkosis pada babi, mengidentifikasi faktor risiko dan memetakan sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya. BAHAN DAN METODE Desain penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei yang terdiri tiga tahap, yaitu (1) pengambilan darah babi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner untuk mendapatkan seroprevalensi dan faktor risiko, (2) penentuan titik koordinat, (3) pengujian serum darah di laboratorium menggunakan enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai Juni 2011 di delapan Distrik dan satu daerah pasar yaitu Pasar Jibama yang terletak di Wamena Kota, Kabupaten Jayawijaya. Pengujian laboratorium dilakukan pada bulan Juli 2011 di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Pengambilan serum babi Sebanyak 111 serum babi diambil di Distrik Kurulu, Musatfak, Asolokobal, Assologaima, Hubikosi, Hom-hom, Bolakme, Wamena Kota, dan Pasar Jibama. Darah babi diambil dari vena jugularis dengan menggunakan syringe 5 ml, kemudian didiamkan selama enam jam. Serum yang terbentuk dipipet lalu dimasukkan ke dalam microtube dan disimpan dalam freezer (-4 C). Selanjutnya,

46 27 serum tersebut dibawa ke Bogor dan disimpan pada suhu -20 C sebelum dianalisis dengan ELISA. Pengambilan data menggunakan kuesioner Unit penarikan contoh pada survei ini adalah pemilik babi. Sebanyak 56 responden diwawancarai dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner atas karakteristik responden, manajemen peternakan, sanitasi lingkungan. Pertanyaan dalam kuesioner bersifat tertutup dan terbuka. Penentuan titik koordinat Titik koordinat ditentukan dengan menggunakan global positioning system (GPS76CSx garmin) pada 56 responden peternak babi. Peta dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi Indonesia (RBI) tahun Perlakuan serum Serum yang dikumpulkan dari lapangan diberi label lalu dilakukan pretreatment. Serum yang diuji terdiri atas tiga kelompok, yaitu (1) sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan Pasar Jibama di Kabupaten Jayawijaya, (2) serum kontrol positif yang diperoleh dari Distrik Bolakme di Kabupaten Jayawijaya yang mengandung sistiserkus dalam daging, (3) serum kontrol negatif, diambil dari babi yang berasal dari Jawa Tengah yang tidak mengandung sistiserkus dalam dagingnya. Sebanyak 75 µl serum sampel dan 75 µl Trichloroacetic acid (TCA 5% dalam akuabides) dicampurkan dalam tabung mikro. Campuran tersebut di vortex dan diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi, campuran tersebut kembali dihomogenkan lalu di sentrifus selama 9 menit dengan kecepatan g pada suhu 4 C. Sebanyak 75 µl supernatan diambil menggunakan mikro pipet dan dicampur dengan 75 µl neutralization buffer. Campuran tersebut kemudian disimpan dalam suhu 4 C selama seminggu.

47 28 Deteksi antigen metacestoda dengan ELISA Metode sandwich ELISA yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari protokol yang dibuat oleh Institute of Tropical Medicine (2009). Setiap sumur (well) cawan ELISA dilapisi 100 µl penangkap antibodi monoklonal anti Taenia saginata (B158C11A10) (5 µl/ml buffer carbonat/bicarbonat ph 9.8) kecuali dua sumur untuk substrate control (SC), dan kemudian dimasukkan dalam shaker incubator selama 30 menit pada suhu 37 C. Cawan lalu dicuci sebanyak satu kali dan diblok dengan 150 µl blocking buffer. Selanjutnya tanpa melakukan pencucian, setiap sumur diberi serum sebanyak 100 µl, (kecuali sumur SC dan conjugate control) dengan 100 µl blocking buffer lalu masukkan dalam shaker incubator selama 15 menit pada suhu 37 C. Berikutnya deteksi antibodi (B60H8A4) (23 µg/ml larutan blocking buffer) sebanyak 100 µl di masukkan ke dalam setiap sumur (kecuali SC dan CC) dan diberi 100 µl blocking buffer. Setelah pendeteksian diberi konjugat 100 µl peroxidase streptavidin (1/10000 dalam blocking buffer) kecuali dua sumur SC yang diberi blocking buffer sebanyak 100 µl. Cawan dimasukkan kembali dalam shaker incubator selama 15 menit 37 C (Dorny et al. 2004). Langkah selanjutnya, setiap sumur diisi dengan orthophenylenediamine (OPD) (satu tablet OPD dilarutkan dalam 10 ml akuabides dan H 2 O 2 sebanyak 2.5 µl) sebanyak 100 µl. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 µl H 2 SO 4 (4N) dalam setiap sumur, lalu dibaca dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 dan 630 nm. Analisis data Data serum babi yang diperoleh dari hasil ELISA dianalisis dengan uji t. Standarisasi dilakukan dengan menentukan rasio dari rataan absorbansi optical density (OD) terhadap nilai cut off. Nilai cut off diperoleh dari variasi OD serum negatif yang diolah menggunakan metode statistika uji t pada P=0.05 (Sokal dan Rohlf 1981). Serum dinyatakan positif mengandung antigen Cysticerus cellulosae apabila hasil pembagian tersebut bernilai lebih dari satu (ITM 2009; Dorny et al. 2000). Faktor risiko dianalisis dengan penentuan odds ratio (OR) dan regresi

48 29 logistik (Kirkwood dan Sterne 2003; Le 2003; Budiarto 2001). Data digitasi yang diperoleh dari GPS dan diolah dengan program ArcView 3.2. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kondisi umum lokasi penelitian Kabupaten Jayawijaya, dengan ibukota kabupaten Wamena memiliki ketinggian 1724 meter di atas permukaan laut, suhu terendah 15.3 C, luas wilayah kabupaten Ha dengan jumlah desa 366, sekitar 4 desa termasuk daerah perkotaan dan 362 termasuk daerah pedesaan. Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya yaitu jiwa, yang terdiri dari laki-laki orang dan perempuan orang serta sex ratio dan jumlah KK jiwa (BPS 2008). Karakteristik responden peternak babi Hasil kuesioner (Tabel 1) menunjukkan lebih banyak perempuan (85.71%) dibandingkan dengan laki-laki (12.29%) yang menjaga dan memelihara babi. Peternak babi yang berumur di bawah 20 tahun hanya satu orang, tahun sebanyak 11 orang, tahun berjumlah 12 orang, tahun sebanyak 12 orang, lebih dari 50 tahun sebanyak 11 orang. Responden yang tidak mengetahui tahun kelahiran ataupun umur mereka sebanyak sembilan orang (16.07%). Tingkat pendidikan peternak babi lebih banyak yang tidak bersekolah 73.21% (41 orang), yang menamatkan sekolah dasar (12.50%), sekolah menengah pertama (3.57%) dan sekolah menengah atas (5.36%) serta kategori responden berpendidikan tinggi (5.36 %) yang terdiri dari satu orang tamatan D3 dan dua orang tamatan sekolah theologia.

49 30 Tabel 1 Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya No Keterangan Jumlah % 1 Jenis Kelamin: Laki-laki Perempuan Umur: < > Tidak tahu umur Pendidikan: Sekolah dasar Sekolah menengah pertama Sekolah menengah atas Pendidikan tinggi Tidak bersekolah Pekerjaan: Rumah tangga Petani Lainnya Manajemen peternakan Saat dijalankan kuesioner para responden menjawab, bahwa cara beternak babi yang baik yaitu; pagi dan siang dilepaskan tetapi malam hari dikandangkan (48%), babi tidak dikandangkan dan dilepaskan berkeliaran mencari makan (18%), babi seharusnya dikandangkan (34%) (Gambar 3). Hal ini menunjukkan sebagian besar peternak (66%) yang memiliki kandang ataupun yang tidak memiliki kandang memilih ternak babi mereka berada di luar kandang pada siang hari. Responden berpendapat mengumbar maka ternak babi dapat secara leluasa untuk bergerak.

50 31 48% 34% 18% Selalu dikandangkan Tidak dikandangkan Dikandangkan waktu malam hari Gambar 3 Cara beternak babi yang baik menurut responden. Responden yang memiliki kandang menjelaskan bahwa kandang mereka adalah semi permanen (88%), kandang permanen (2%) dan yang tidak mengetahui kandang permanen atau tidak sebanyak 10%. Seluruh respoden menjelaskan bahwa makanan yang diberikan kepada ternak babi yaitu umbi-umbian dan sayuran. Saat ditelusuri peranan pemerintah mengenai penyuluhan tentang cara beternak babi yang benar maka responden menjawab bahwa pemerintah tidak pernah melakukan penyuluhan tentang cara beternak babi (79%) dan pemerintah pernah melakukan penyuluhan (14%) (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak pernah memperoleh informasi tentang cara beternak yang baik dan benar. Masyarakat Wamena melakukan cara beternak dengan mengikuti pola yang diberikan oleh orang tua mereka secara turunmenurun. Tindakan peternak bila ternak babi mereka mati (Gambar 5) sangat bervariasi, ada yang memotong dan memakannya (85%), menguburkan (2%) dan menjual (13%). Seroprevalensi sistiserkosis pada babi Hasil pemeriksaan 111 serum babi dari Kabupaten Jayawijaya, menunjukkan reaksi seropositif terhadap sistiserkosis sebanyak 45 sampel (40.54%). Daerah dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92.86%), diikuti daerah Musatfak 75%, Kurulu (65.22%), Bolakme 33.33%, Assologaima

51 32 (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Pasar Jibama (14.29%) dan yang terendah adalah daerah Wamena Kota 5.88% (Tabel 2). 7% 14% 2% 13% Menguburkan Pernah Tidak pernah Tidak tahu 85% Menjual Memakannya 79% Gambar 4 Peranan pemerintah dalam melakukan penyuluhan mengenai cara beternak babi. Gambar 5 Tindakan responden pada ternak babi yang mati. Tabel 2 Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya No. Distrik/Pasar Sampel (n) Hasil Positif Negatif Prevalensi (%) 1 Kurulu Musatfak Asolokobal Assologaima Hubikosi Homhom Bolakme Wamena Kota Pasar Jibama Total

52 33 Faktor risiko sistiserkosis pada babi Sistiserkosis pada babi memiliki beberapa faktor risiko yaitu; jenis kelamin, cara pemeliharaan ternak babi, struktur kandang, pengolahan pakan babi, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi (EFSA 2004; Pondja et al. 2007). Faktor risiko jenis kelamin babi, struktur kandang, air bersih dekat kandang dan kepemilikan jamban memiliki OR secara berturut-turut yaitu; , , dan Cara pemeliharaan babi memiliki nilai OR sebesar dan pakan babi nilai OR sebesar (Tabel 3). Tabel 3 Nilai crude odds-ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara pemeliharan, struktur kandang, pengolahan pakan, air bersih dan ketersediaan jamban bagi pemilik babi Faktor risiko Positif Negatif N % N % Koefisien P OR Jenis kelamin babi: Jantan Betina Cara pemeliharaan babi: Dikandangkan Tidak dikandangkan ** Struktur kandang: Permanen Semi permanen Pakan Babi: Dimasak Tidak dimasak * Air bersih dekat kandang babi Tersedia air bersih Tidak tersedia air bersih Kepemilikan jamban Tersedia jamban Tidak tersedia jamban * Signifikan pada P<0.05; ** Signifikan pada P<0.01

53 34 Pemetaan Sistiserkosis Sebaran pengambilan sampel serum berdasarkan titik koordinat peternak babi dapat dilihat pada Gambar 6. Tingkat kerawanan sistiserkosis terbagi atas tiga bagian yaitu; tidak rawan (warna hijau), rawan (warna kuning) dan sangat rawan (warna merah) (Gambar 7). Satu faktor dengan faktor yang lainnya saling berkaitan dalam mendukung terjadinya penyakit dan dapat menentukan tingkat kerawanan penyakit. Faktor-faktor yang menentukan tingkat kerawanan adalah babi positif terinfeksi sistiserkosis, jenis kelamin babi, cara pemeliharaan babi, struktur kandang, pakan babi, air bersih dan ketersediaan jamban. Gambar 6 Sebaran sistiserkosis di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya.

54 35 Gambar 7 Tingkat kerawanan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya. Pembahasan Cacing T. solium tersebar di Amerika Latin, Asia, dan Sub Sahara Afrika. Di Zambia ditemukan bahwa seroprevalensi sistiserkosis sebesar 20.6% di Lusaka dan 20.8% di Eastern dan Southern Province (Phiri et al. 2003; Mafojane et al. 2003), selain itu, di Meksiko, prevalensi sistiserkosis pada babi tertinggi di Tedzidz yaitu 35%, di El Salado dan Mexico City tidak ditemukan. Flisser et al. (2003) melaporkan beberapa hasil penelitian yang terjadi di negara-negara Amerika Latin, yaitu: di Bolivia, Ekuador dan Guatemala ditemukan prevalensi sistiserkosis berturut-turut adalah 38.9%, 7.5% dan 14%. Sementara itu, Rodriguez-Hidalgo et al. (2003) menemukan prevalensi pada babi sebesar 6.77% di Ekuador Utara. Rajshekhar et al. (2003) mengemukakan bahwa prevalensi sistiserkosis di Cina, Vietnam, India dan Nepal berturut-turut 0.8%-40%, 0.04%- 0.9%, 9.3% dan 32.5%. Penelitian yang dilakukan tahun menunjukkan prevalensi pada babi sebesar 8.5% sampai 70.4% (Margono et al. 2003; Suroso et al. 2006). Bila

55 36 dibandingkan dengan penelitian ini, terdapat penurunan prevalensi di Kabupaten Jayawijaya. Berdasarkan hasil uraian di atas, nampak bahwa hasil penelitian sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 40.54%. Hal ini sesuai dengan Margono et al. (2006) yang melaporkan bahwa penyebaran T. solium di Papua adalah salah satu daerah endemik yang terburuk di dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada faktor risiko yang berkaitan dengan jenis kelamin babi (P>0.05) (Tabel 3). Hal ini memperlihatkan bahwa jenis kelamin babi merupakan faktor risiko yang tidak mempengaruhi terjadinya sistiserkosis pada babi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Garcia et al. (2003) yang menemukan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap seroprevalensi sistiserkosis pada babi. Faktor yang memiliki risiko tertinggi penyebab sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya adalah cara pemeliharaan babi. Babi yang tidak dikandangkan memiliki risiko 4.6 kali lebih besar terinfeksi sistiserkosis dibandingkan babi yang dikandangkan (P<0.01). Saat tidak dikandangkan, babi dapat memakan feses yang terkontaminasi telur taenia, dan penularan sistiserkosis dapat terjadi (Garcia et al.1998; Garcia et al. 2007). Sikasunge et al. (2007) mengemukakan bahwa pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan memiliki faktor risiko yang signifikan mempengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa babi yang tidak dikandangkan memiliki risiko 1.68 kali lebih tinggi daripada yang dikandangkan. Garcia et al. (2007) melaporkan cara yang paling mudah untuk mengeliminasi proses transmisi cacing pita dengan mengandangkan babi. Suroso et al. (2006) menemukan bahwa terjadi penurunan yang signifikan pada sistiserkosis/taeniosis di Bali yang disebabkan oleh peningkatan sanitasi dan sistem perkandangan babi. Garcia et al. (2007) mengemukakan bahwa para peternak di negara berkembang memelihara babi dengan tidak membuat kandang karena berkaitan dengan faktor perekonomian peternak.

56 37 Pemeliharaan babi secara diumbar dapat memudahkan peternak dengan tidak mengeluarkan biaya untuk memberi pakan babi (Maitindom et al. 2008) Struktur kandang babi di Kabupaten Jayawijaya terbuat dari kayu dan lantai tanah. Sebagian besar peternak telah memiliki kandang yang semi permanen (70%). Struktur kandang yang semi permanen memiliki faktor risiko 1.07 kali lebih tinggi dari struktur kandang yang permanen. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara struktur kandang semi permanen dan permanen terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi (P>0.05). Pakan babi yang tidak dimasak memiliki risiko 3.65 kali lebih besar dari pakan babi yang dimasak. Pakan yang diberikan kepada babi berupa umbi-umbian dan sayur-sayuran. Peternak mengambil pakan tersebut dari lahan perkebunannya sendiri. Pakan babi dapat terkontaminasi dengan telur taenia saat penderita taeniosis buang kotoran di sekitar kebun. Oleh sebab itu, pakan ternak yang tidak dimasak terlebih dahulu, dapat menyebabkan babi menderita sistiserkosis (P<0.05). Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai sanitasi perkandangan, hubungan antara pakan babi yang tidak dimasak (Sakai et al. 2001; Sato et al. 2006; Flisser et al. 2006). Tersedianya air bersih di sekitar peternakan berpengaruh terhadap kebersihan kandang. Tidak tersedianya air bersih menimbulkan risiko 1.86 kali lebih besar daripada tersedianya air bersih. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang penting dalam sistem sanitasi perkandangan. EFSA (2004) mengemukakan bahwa tidak tersedianya air bersih sangat mempengaruhi sistiserkosis pada hewan ternak. Boone et al. (2007) menemukan bahwa tidak tersedianya air bersih merupakan salah satu faktor risiko sistiserkosis pada sapi. Tidak adanya jamban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut menyebabkan babi dapat mengakses kotoran manusia yang mengandung telur taenia. Tidak tersedianya jamban memiliki risiko 1.22 kali lebih tinggi daripada tersedianya jamban. Ngowi et al. (2004) menemukan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki jamban meningkatkan risiko sistiserkosis pada babi 2.03 kali lebih tinggi daripada rumah tangga yang memiliki jamban. Pada penelitian lainnya, Lescano et al. (2007) tidak menemukan

57 38 hubungan antara keberadaan jamban dan seroprevalensi pada babi dan menurut Sikasunge et al. (2007) bahwa persentase seropositif rumah tangga yang tidak memiliki jamban sebesar 38.9%, rumah tangga yang memiliki jamban tetapi tidak menggunakannya yaitu 35.4% dan yang menggunakan jamban adalah 37%. Pemetaan sistiserkosis terbagi atas tiga daerah, yaitu daerah yang tidak rawan adalah Distrik Wamena kota dan Homhom. Daerah rawan adalah Distrik Asologaima. Daerah yang sangat rawan yaitu Distrik Asolokobal, diikuti dengan Kurulu, Bolakme, Musatfak dan Hubikosi. Faktor risiko babi yang tidak dikandangkan dan pakan babi yang tidak dimasak mempertinggi risiko sistiserkosis. Peternak babi dari Distrik Asolokobal, Bolakme dan Musatfak 100% tidak mengandangkan babinya, diikuti dengan Kurulu (52%), Homhom (36.36%), Wamena Kota (17.64%), Hubikosi (14.28%) dan Distrik Asologaima (9.09%). Pakan babi yang tidak dimasak kemudian diberikan kepada babi persentase tertinggi terdapat pada Distrik Asolokobal dan Hubikosi (100%), diikuti dengan Distrik Kurulu (82.60%), Musatfak (75%), Asologaima (50%), Wamena Kota (23.52%), Bolakme (16.6%) dan Distrik Homhom (0%). Menurut Staubach et al. (2001), tingkat kerawanan suatu penyakit diasosiasikan dengan sumber makanan sebagai dasar risiko penularan.

58 39 KESIMPULAN 1. Seroprevalensi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya yaitu 40.54%. 2. Faktor risiko sistiserkosis pada babi adalah cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan lebih berisiko dibandingkan dengan babi yang dikandangkan dan pakan babi yang tidak dimasak lebih berisiko dibandingkan pakan babi yang dimasak. 3. Distrik Asolokobal merupakan daerah yang sangat rawan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Program Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahun Anggaran 2009 dan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Provinsi Papua Dr. Z. Giay, SKM, M.Kes, MM., yang telah membantu membiayai penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jayawijaya drh. Made Putra, yang banyak membantu dalam pengambilan serum serta kemudahan yang diberikan kepada penulis selama berada di lapangan. Terima kasih juga disampaikan kepada Dwi Ardei Dompas, SKM, Agustina Kurisi SKM, Jannes STh, yang membantu penulis saat berada di lapangan.

59 41 PENDAHULUAN Sistiserkosis/taeniosis adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di beberapa daerah di Indonesia (Wandra et al. 2007a). Terdapat tiga spesies Taenia yang dilaporkan berada di tiga provinsi endemik yaitu Bali (T. solium dan T. saginata), Papua (T. solium) dan Sumatera Utara (T. asiatica) (Wandra et al. 2007a). Dengan memakan daging babi atau sapi mentah yang kurang masak dan terkontaminasi dengan metacestoda T. saginata, T. asiatica, atau T. solium, yang tertelan metacestoda akan yang menjadi cacing pita dewasa dalam beberapa bulan. Penyebaran sistiserkosis/taeniosis di Indonesia berhubungan dengan kebiasaan dan budaya yang ada. Di Bali, sumber infeksi T. saginata berkaitan dengan konsumsi daging sapi mentah atau biasa disebut dengan lawar. Ini adalah makanan tradisional di Bali yang masih dikonsumsi oleh masyarakat Bali (Sutisna et al. 1999; Ito et al. 2003; Ito et al. 2005; Wandra et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Di Pulau Samosir, Sumatera Utara, penduduk menyukai makanan tradisional yang disebut sangsang. Pada saat memotong daging babi menjadi beberapa potongan kecil, penduduk akan memakan daging yang belum dimasak itu bersama dengan viscera dan darah (Ito et al. 2003a; Ito et al. 2005; Wandra et al. 2007b). Di Papua, terdapat kebiasaan masyarakat memasak daging babi dengan cara memasukkan ke dalam lubang yang digali dan dipanaskan dengan batu. Metode yang biasanya disebut barapen atau bakar batu ini adalah kebiasaan masyarakat yang sudah membudaya di Papua. Hampir di setiap acara masyarakat Papua memasak daging babi dengan cara bakar batu (Suroso et al. 2006; Margono et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Beberapa tulisan menghubungkan metode memasak dengan bakar batu merupakan salah satu penyebab penyebaran sistiserkosis/taeniosis (Suroso et al. 2006; Margono et al. 2006; Wandra et al. 2007b). Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang menguji apakah metode bakar batu merupakan salah satu faktor risiko penyebaran penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah terdapat hubungan antara metode bakar batu dan terinfeksinya manusia dengan sistiserkosis/taeniosis.

60 42 BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Pengamatan proses bakar batu dilakukan pada bulan Juni 2011 di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Lokasi proses bakar batu dilaksanakan di pekarangan rumah salah satu warga Wamena yang bermarga Kurisi. Desain penelitian. Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan responden sebanyak 56 orang dan survei, yang menelaah tingkat ketahanan sistiserkus pada daging babi yang diolah dengan metode memasak tradisional secara bakar batu di Kabupaten Jayawijaya. Telaah yang akan dilakukan, yaitu (1) batu dan kayu yang digunakan dalam proses bakar batu, (2) liang bakar batu, (3) daging babi yang dimasak secara bakar batu. Simulasi bakar batu Kegiatan simulasi bakar batu ini dilaksanakan di kampus FKH pada bulan Mei Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini dibantu dengan mahasiswa Papua yang berasal dari Biak, Serui dan daerah Pegunungan Tengah (Paniai). Tujuan dari simulasi bakar batu adalah memvalidasi alat yang akan digunakan saat penelitian di lapangan (lampiran 6). Batu dan kayu yang digunakan dalam proses bakar batu. Masyarakat Wamena menggunakan batu kali untuk memasak secara tradisional. Peranan batu dalam proses memasak bakar batu sangat penting,oleh sebab itu dalam penelitian ini perlu dihitung jumlah dan ukuran batu yang digunakan saat bakar batu. Saat membakar batu perlu melihat waktu pembakaran batu, suhu batu saat dibakar dan mengukur suhu batu yang diletakkan dalam liang bakar batu. Untuk mengetahui suhu batu, alat yang digunakan yaitu infrared thermometer. Penduduk Wamena membakar batu dengan menggunakan kayu. Dalam penelitian ini sangat penting untuk mendapatkan informasi mengenai jenis kayu yang digunakan dan jumlah kayu yang disusun untuk membakar batu.

61 43 Liang bakar batu Liang bakar batu adalah tempat meletakkan rumput, batu, ubi talas (hipere), sayuran dan bahan makanan yang siap dipanaskan secara bakar batu. Ukuran liang dapat menentukan berapa banyak batu yang siap digunakan dan banyaknya bahan makanan yang akan dimasak secara bakar batu. Menghitung jumlah susunan sayuran, batu, hipere, daging babi, daging ayam yang dibakar dalam liang bakar batu. Daging babi Bahan utama dalam proses bakar batu adalah daging babi. Dalam penelitian ini yang akan dicermati adalah besaran daging babi yang diletakkan dalam liang, ketebalan daging babi dan suhu daging babi selama proses bakar batu. Mengukur suhu daging babi selama proses bakar batu dengan menggunakan thermocouple. Thermocouple ditancapkan dalam daging babi lalu ditutupi sayuran dan bahan makanan. Analisis data Penelitian karakterisasi risiko sistiserkosis daging babi bakar batu, merupakan penelitian yang bersifat eksplorasi, sehingga hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk gambar dan dianalisis secara deskriptif (Ulin et al. 2005).

62 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Persepsi masyarakat mengenai upacara bakar batu Responden menjawab tempat melakukan bakar batu adalah di sekitar halaman rumah (100%). Ini berarti bahwa prosesi bakar batu sangat dekat dengan kehidupan mereka sehingga jika sekiranya mereka bisa melakukan bakar batu, maka mereka akan melakukan di sekitar halaman rumah mereka. Sebanyak 50% responden menjawab bahwa mereka melakukan bakar batu berkisar satu jam, responden yang menjawab dua jam (43%) dan yang lebih dari dua jam sebesar 7% (Gambar 8). Responden tidak mencuci daging babi, hipere, sayuran (93%) sebelum dimasak (Gambar 9). Air yang digunakan untuk mencuci, berasal dari selokan (58%) dan sungai (37%) (Gambar 10). 43% 7% 50% 1 jam 2 jam Lebih dari 2 jam Gambar 8 Waktu yang digunakan untuk melaksanakan bakar batu. 7% 93% Ya Tidak Gambar 9 Kebiasaan mencuci daging dan makanan sebelum bakar batu.

63 45 58% 5% 37% 0% Sungai Sumur gali, bor, pompa Selokan lainnya Gambar 10 Air yang digunakan untuk mencuci daging babi, hipere dan sayuran. 13% 2% Di dalam wadah logam/plastik 85% Di atas tanah beralas rumput Diatas tanah Gambar 11 Tempat meletakkan makanan hasil bakar batu. Menurut responden makanan yang sudah matang dapat diletakkan pada wadah logam atau plastik (2%), meletakkan makanan diatas tanah yang beralaskan rumput (85%), di atas tanah (13%) (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan makanan yang sudah masak melalui proses bakar batu tidak pernah diperhatikan oleh responden. Mereka sudah terbiasa untuk meletakkan makanan di atas tanah, baik itu dengan beralaskan daun maupun tidak.

64 46 24% 5% Diletakkan dalam wadah kemudian dimakan bersama Dimakan tanpa diwadahi sebelumnya 71% Dimakan ramairamai di tempat pembakaran Gambar 12 Cara mengonsumsi makanan hasil prosesi bakar batu. Sebanyak 71% responden mengonsumsi makanan yang telah matang, secara beramai-ramai dari tempat pembakaran, hanya 24% yang menjawab meletakkan makanan mereka di wadah tertentu sebelum dimakan dan 5% dimakan tanpa diwadahi sebelumnya (Gambar 12). Persepsi masyarakat Wamena terhadap daging babi yang sudah matang dan enak untuk dikonsumsi yaitu, sebanyak 100% responden menjawab daging babi yang enak dikonsumsi sudah tidak berdarah, bila daging babi masih berdarah atau setengah matang dan yang gosong sangat tidak diinginkan oleh penduduk Jayawijaya. Kurangnya perhatian responden terhadap kebersihan diri juga tercermin dari kebiasaan mereka tidak mencuci tangan sebelum makan (89%) dan juga hanya 11% mencuci tangan sebelum makan (Gambar 13). 11% 89% Ya Tidak Gambar 13 Responden yang mencuci tangan sebelum konsumsi makanan hasil bakar batu.

65 47 Upacara bakar batu Hasil observasi lapangan, kegiatan bakar batu terbagi atas tiga tahap (Gambar 14), yaitu; 1) pembakaran batu dan kayu; 2) pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran; 3) makan bersama. A B C Gambar 14 Kegiatan bakar batu. A. Pembakaran batu dan kayu, B. Pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran, C. Makan bersama. Pembakaran batu dan kayu Sebelum proses bakar batu dilaksanakan masyarakat mengumpulkan batu dan kayu yang akan digunakan untuk memasak, lalu diletakkan disatu tempat. Batu yang dibakar disusun menjadi tiga bagian, yaitu; (1) bagian dasar batu berukuran kecil, batang kayu dan rumput kering; (2) bagian tengah, ranting serta kayu; (3) bagian atas adalah batu berukuran besar. Batu yang digunakan adalah batu kali, batu tersebut dicuci terlebih dahulu lalu dipisahkan berdasarkan ukuran. Gambar 15 Bagian dasar susunan batu dan kayu.

66 48 Gambar 16 Bagian tengah susunan batu dan kayu. Gambar 17 Bagian atas susunan batu dan kayu. Pada bagian dasar batu yang digunakan berukuran ± 9x12 cm sebanyak 200 batu yang disusun diatas rumput kering. Batang kayu besar diletakkan membentuk ukuran segiempat, dengan jumlah empat buah (Gambar 15). Kayu yang sering digunakan untuk membakar batu yaitu kayu kasuari dan kayu besi. Pada bagian tengah digunakan delapan buah kayu berukuran sedang dan ranting sebanyak 100 buah kemudian disusun kembali dengan kayu sebanyak 10 buah (Gambar 16). Pada bagian atas, diletakkan batu berukuran besar yaitu ± 17x25 cm sebanyak 133 batu. Ukuran tempat pembakaran yang tersusun dari kayu dan batu tersebut memiliki lebar 138 cm, panjang 157 cm dan tinggi ± 60 cm (Gambar 17). Pembakaran batu dimulai pada pukul WIT. Dua puluh lima menit kemudian sebuah batu terpental. Pada menit ke-35 suhu batu mencapai 235 o C, sesudah lima puluh menit batu terpental kembali. Pukul waktu setempat suhu batu mencapai 250 o C, kemudian suhu meningkat mencapai 285 o C pada menit ke-90.

67 49 Pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran Proses pemanggangan daging babi terdiri dari: (1) penyiapan liang pembakaran, (2) penyiapan daging babi, (3) penyiapan bumbu, ubi, sayuran dan daging ayam, (4) proses bakar batu (barapen). Liang pembakaran yang akan digunakan berukuran kedalaman 40 cm, lebar diameter permukaan liang 135 x 138 cm. Dasar lubang pemanggangan terlebih dahulu dilapisi rumput kemudian ilalang (Gambar 18). A B Gambar 18 Liang pembakaran. A. Penyiapan. B. Liang yang siap digunakan. A B C D Gambar 19 Penyiapan daging babi. A. Memanah babi, B. Babi diletakkan di atas pembakaran, C. Melepaskan bulu babi, D. Mengeluarkan isi perut babi.

68 50 A B Gambar 20 Penyiapan bahan. A. Sayuran, B. Pencucian hipere. A B Gambar 21 Penyiapan bumbu. A. Proses penyiapan bumbu, B. Bumbu siap digunakan. A B C D Gambar 22 Proses barapen. A. Batu diletakkan di liang pembakaran, B. Susunan hipere, C. Menancapkan thermocouple pada daging babi, D. Mengikat susunan barapen dengan menggunakan rotan.

69 51 Bahan utama yang digunakan dalam upacara bakar batu yaitu daging babi. Babi disembelih dengan cara dipanah (Gambar 19A), lalu didiamkan beberapa saat diatas tanah kemudian diletakkan diatas pembakaran (Gambar 19B) sekitar tiga menit dengan tujuan melepaskan bulu babi (Gambar 19C). Selanjutnya babi dibersihkan dengan cara mengeluarkan isi perut (Gambar 19D). Daging babi yang siap bakar batu memiliki ukuran panjang 48 cm, lebar 15 cm dan tebal ± 4-5 cm, dimasukkan ke dalam lubang pemanggangan dengan suhu awal 28.3 o C. Masyarakat yang datang berkumpul membawa sayuran dan hipere. Sayuran yang dibawa berupa iprika (daun hipere), tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya) dan nahampun (labu parang) dan diletakkan di dekat liang pembakaran (Gambar 20A). Hipere yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu dengan air selokan (Gambar 20B). Para wanita berkumpul di dapur dan menyiapkan bumbu (Gambar 21A). Campuran bumbu yang digunakan yaitu; bawang merah, bawang putih, batang bawang, kunyit dan garam (Gambar 21B). Saat ini digunakan sebagai sarana untuk berkumpul para anggota keluarga dan kerabat. Mereka menangis mengingat keluarga ataupun kerabat yang telah meninggal. Pada saat proses pembakaran batu telah selesai, batu siap dipindahkan ke dalam liang pembakaran. Batu dipindahkan ke dalam liang pembakaran pada pukul waktu setempat. Dengan menggunakan jepit kayu khusus, yang disebut apando, batu-batu panas diletakkan diatas ilalang. Batu yang berukuran besar diletakkan pada bagian dasar dengan suhu tertinggi 300 C dan terendah 170 C, suhu rata-rata semua batu yang diletakkan pada bagian dasar yaitu C (Gambar 22A). Susunan selanjutnya adalah ilalang dan hipere, diatasnya diletakkan daun pisang, ilalang dan batu, kemudian disusun kembali daun pisang dan sayuran berupa iprika (daun hipere), tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya) dan nahampun (labu parang) (Gambar 22B). Pukul waktu setempat, daging wam (babi) dan ayam dimasukkan kedalam lubang pembakaran setelah dicampur dalam bumbu. Bagian ujung dari thermocouple ditancapkan pada daging babi dan pembacaan suhu selama proses bakar batu melalui layar thermocouple (Gambar 22C). Selanjutnya, disusun batu, daging ayam dan sayuran yang diberi bumbu.

70 52 Batu disusun kembali pada bagian atas dan pinggiran lubang pemanggangan, lalu ditutupi dengan rumput dan diikat dengan rotan pada pukul waktu setempat (Gambar 22D). Hal ini dimaksudkan agar uap panas dari batu tidak menguap. Tinggi gundukan bakar batu adalah 70 cm dari permukaan tanah. Makan bersama Makan bersama diawali dengan pembongkaran gundukan bakar batu pada pukul waktu setempat. Para wanita bersama-sama membongkar gundukan hasil bakar batu (Gambar 23A). Tokoh adat membagi daging babi berdasarkan jumlah kelompok (Gambar 23B). Penduduk setempat terdiri atas anak-anak dan orang tua mulai duduk berkelompok, siap menikmati hidangan bakar batu (Gambar 23C dan 23D). Pada Gambar 24 tampak hasil barapen berupa sayuran, hipere, daging babi dan daging ayam hanya diletakkan di atas tanah yang beralaskan rumput. Tidak ada wadah yang disiapkan untuk meletakkan makanan yang sudah masak. A B C D Gambar 23 Makan bersama. A. Pembongkaran susunan barapen, B. Pembagian daging babi oleh tokoh adat, C. Makan bersama secara berkelompok, D. Kelompok anak-anak.

71 53 A B C D Gambar 24 Tempat meletakkan makanan yang selesai dimasak. A. Sayuran, B. Hipere, C. Daging babi dan sayuran, D. Daging ayam dan sayuran. Ketahanan sistiserkus daging babi bakar batu Suhu daging babi selama pemanggangan diukur dengan menggunakan thermocouple. Proses pemanggangan dimulai pada pukul waktu setempat dengan suhu daging babi 32.7 o C. Dua puluh menit selama proses bakar batu, suhu daging babi dalam lubang pemanggangan naik menjadi 60.7 o C. Pada pukul WIT suhu daging babi mencapai 75 o C, satu jam kemudian suhu daging babi menjadi 84.0 o C, suhu tertinggi pada pukul WIT yaitu 90.7 o C (Gambar 25). Pemanggangan bakar batu berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan o C dan suhu udara pada saat itu 20.6 o C. Panas batu yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan rata-rata Daging babi yang diangkat dari tempat pemanggangan diukur suhunya pada beberapa titik dan memiliki suhu rata-rata o C. o C.

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH FAKTOR RISIKO KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN FLORES TIMUR NUSA TENGGARA TIMUR UMI SITI AISYAH SALEH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,

Lebih terperinci

Survei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua

Survei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua Buletin Veteriner Udayana Volume 7 No. 2 ISSN: 2085-2495 Agustus 2015 Survei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua (SEROPREVALENCE SURVEY OF TAENIA SOLIUM CYSTICERCOSIS

Lebih terperinci

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi di Papua

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi di Papua Jurnal Veteriner Maret 2017 Vol. 18 No. 1 : 18-23 pissn: 1411-8327; eissn: 2477-5665 DOI: 10.19087/jveteriner.2017.18.1.18 Terakreditasi Nasional, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, online pada http://ojs.unud.ac.id/php.index/jvet

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

Survei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua

Survei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua Survei Seroprevalensi Taenia solium Sistiserkosis Di Kabupaten Mimika, Papua (SEROPREVALENCE SURVEY OF TAENIA SOLIUM CYSTICERCOSIS IN MIMIKA REGION, PAPUA) Ida Bagus Ngurah Swacita 1, Kadek Karang Agustina

Lebih terperinci

KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA KECAMATAN MEDAN KOTA. Oleh : MARIANTO

KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA KECAMATAN MEDAN KOTA. Oleh : MARIANTO KONTAMINASI SISTISERKUS PADA DAGING DAN HATI SAPI DAN BABI YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL PADA KECAMATAN MEDAN KOTA Oleh : MARIANTO 080100112 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Taenia solium. Klasifikasi dan Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Biologi Taenia solium Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing ini termasuk

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA ITA KRISSANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

TESIS. Oleh MARIA POSMA HAYATI /IKM

TESIS. Oleh MARIA POSMA HAYATI /IKM PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU SERTA DUKUNGAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN MAKANAN PADA BALITA DI PUSKESMAS BANDAR KHALIFAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TESIS Oleh MARIA POSMA HAYATI 097032136/IKM

Lebih terperinci

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK NANANG SYAIFUL

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG HERI YULIANTO

KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG HERI YULIANTO KAJIAN SISTISERKOSIS/TAENIASIS PADA BABI HUTAN DAN BABI PELIHARAAN SERTA PETERNAK DI KABUPATEN WAY KANAN, PROVINSI LAMPUNG HERI YULIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGARUH FAKTOR KEBIASAAN PADA SISWA SD TERHADAP PREVALENSI ASCARIASIS DI DESA CANGKUANG WETAN KABUPATEN BANDUNG

ABSTRAK PENGARUH FAKTOR KEBIASAAN PADA SISWA SD TERHADAP PREVALENSI ASCARIASIS DI DESA CANGKUANG WETAN KABUPATEN BANDUNG ABSTRAK PENGARUH FAKTOR KEBIASAAN PADA SISWA SD TERHADAP PREVALENSI ASCARIASIS DI DESA CANGKUANG WETAN KABUPATEN BANDUNG Octaviany P. Harjo, 2008. Pembimbing I: Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistiserkosis Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Giardiasis adalah penyakit diare yang disebabkan oleh protozoa patogen Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi protozoa

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Oleh: APRILIA PRAFITA SARI ROITONA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA. Universitas Sumatera Utara

KARYA TULIS ILMIAH. Oleh: APRILIA PRAFITA SARI ROITONA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA. Universitas Sumatera Utara 1 HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN WANITA USIA 20-50 TAHUN TENTANG SADARI SEBAGAI SALAH SATU DETEKSI DINI KANKER PAYUDARA DI KELURAHAN TANJUNG REJO MEDAN KARYA TULIS ILMIAH Oleh:

Lebih terperinci

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Gianyar, 11 Nopember 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Ketut Ardika dan Ibu Ni Wayan Suarni. Penulis menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Denpasar, 13 Desember 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Made Wirtha dan Ibu dr. Ni Putu Partini Penulis menyelesaikan

Lebih terperinci

ABSTRAK PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA ANGKATAN 2010 TENTANG HIV/AIDS

ABSTRAK PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA ANGKATAN 2010 TENTANG HIV/AIDS ABSTRAK PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA ANGKATAN 2010 TENTANG HIV/AIDS Meta Adhitama, 2011 Pembimbing I : Donny Pangemanan, drg.,skm Pembimbing

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK BAWANTA WIDYA SUTA. 2007.

Lebih terperinci

Ika Setyaningrum *), Suharyo**), Kriswiharsi Kun Saptorini**) **) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro

Ika Setyaningrum *), Suharyo**), Kriswiharsi Kun Saptorini**) **) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK PENCEGAHAN PENULARAN KUSTA PADA KONTAK SERUMAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GAYAMSARI SEMARANG TAHUN 2013 Ika Setyaningrum *), Suharyo**), Kriswiharsi Kun

Lebih terperinci

ABSTRAK. Antonius Wibowo, Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto Lana, dr

ABSTRAK. Antonius Wibowo, Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto Lana, dr ABSTRAK HUBUNGAN PERILAKU SISWA KELAS III DAN IV DENGAN HASIL PEMERIKSAAN FESES DAN KEADAAN TANAH TERHADAP INFEKSI SOIL TRANSMITED HELMINTHS DI SDN BUDI MULYA 3 CIPAGERAN-CIMAHI Antonius Wibowo, 2007.

Lebih terperinci

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD) PADA AYAM PEDAGING YANG DIVAKSIN IBD KILLED SETENGAH DOSIS DAN DITANTANG DENGAN VIRUS IBD CHARLES JONSON SIREGAR FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

GAMBARAN PERILAKU BERISIKO TERINFEKSI

GAMBARAN PERILAKU BERISIKO TERINFEKSI UNIVERSITAS UDAYANA GAMBARAN PERILAKU BERISIKO TERINFEKSI Toxoplasma gondii PADA PEDAGANG DAGING DAN DETEKSI Toxoplasma gondii PADA AIR YANG DIGUNAKAN PEDAGANG DAGING DI PASAR TRADISIONAL KABUPATEN KARANGASEM

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN DISTRIBUSI TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS

PREVALENSI DAN DISTRIBUSI TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS MAKARA, KESEHATAN, VOL. 5, NO. 2, DESEMBER 2001 PREVALENSI DAN DISTRIBUSI TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS HS Widarso 1, Sri S Margono 2, Wilfried H Purba 1, Rizal Subahar 1 1. Subdirektorat Zoonosis, Direktorat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk

Lebih terperinci

an sistem pemel ubucapan TERIMA KASIH

an sistem pemel ubucapan TERIMA KASIH RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 31 Mei 1993, merupakan putra pertama dari tiga bersaudara pasangan I Wayan Ariana dan Ni Kadek Sri Anggreni. Penulis menempuh pendidikan di TK

Lebih terperinci

Eka Muriani Limbanadi*, Joy A.M.Rattu*, Mariska Pitoi *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

Eka Muriani Limbanadi*, Joy A.M.Rattu*, Mariska Pitoi *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi HUBUNGAN ANTARA STATUS EKONOMI, TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PENYAKIT KECACINGAN DENGAN INFESTASI CACING PADA SISWA KELAS IV, V DAN VI DI SD NEGERI 47 KOTA MANADO ABSTRACT Eka Muriani

Lebih terperinci

IQBAL OCTARI PURBA /IKM

IQBAL OCTARI PURBA /IKM PENGARUH KEBERADAAN JENTIK, PENGETAHUAN DAN PRAKTIK PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KECAMATAN SIANTAR TIMUR KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2014 TESIS OLEH IQBAL OCTARI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Infeksi protozoa usus adalah salah satu bentuk infeksi parasit usus yang disebabkan oleh protozoa, seperti Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Cryptosporidium parvum

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi bergeser ke penyakit non-infeksi/penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit sekarang ini telah mengalami perubahan dengan adanya transisi epidemiologi. Proses transisi epidemiologi adalah terjadinya perubahan pola penyakit dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Cirebon, kecacingan, Pulasaren

ABSTRAK. Kata Kunci: Cirebon, kecacingan, Pulasaren ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA-SISWI SEKOLAH DASAR KELAS VI MENGENAI PENYAKIT KECACINGAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PULASAREN KOTA CIREBON TAHUN 2013 Mentari Inggit Anggraini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi dan paratyphiditandai dengan keluhan dan gejala penyakit yang tidak khas, berupa

Lebih terperinci

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH) (Freeman et al, 2015).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.1 Latar Belakang Pada tahun 2007, infeksi cacing di seluruh dunia mencapai 650 juta sampai 1 milyar orang, dengan prevalensi paling tinggi di daerah tropis. Populasi di daerah pedesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, anjing, burung,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit ini adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing, anjing, burung, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TORCH adalah singkatan dari toxoplasma, rubella, citomegalovirus, dan herpes, yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa atau parasit darah dan virus. Penyebab

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN TINDAKAN MENJAGA KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT PADA MURID SD SHAFIYYATUL AMALIYYAH PADA TAHUN

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN TINDAKAN MENJAGA KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT PADA MURID SD SHAFIYYATUL AMALIYYAH PADA TAHUN 1 HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN TINDAKAN MENJAGA KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT PADA MURID SD SHAFIYYATUL AMALIYYAH PADA TAHUN 2011. Oleh: IZZATI AFIFAH AZMI 080100307 FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM

STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM STUDI KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIJUAL DI PASAR JIBAMA KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA FERRY DEVIDSON MAITINDOM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR )

ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) ANALISIS IMPLEMENTASI MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA ( STUDI KASUS PENGEMBANGAN PELABUHAN MAKASSAR ) TEGUH PAIRUNAN PUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia patogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp adalah

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRACT ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH.

Lebih terperinci

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN 2007-2011 Eggi Erlangga, 2013. Pembimbing I : July Ivone, dr., M.KK., MPd.Ked. Pembimbing

Lebih terperinci

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli ANAK AGUNG ISTRI AGUNG MIRAH DWIJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 dalam Bab I Pasal 1 disebutkan

Lebih terperinci

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Ketua Program Studi/Koordinator Mayor: Staf Pengajar: Drh. Abdul Zahid Ilyas, MSi Dr. drh., MS Dr. drh. Agustin

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PROMOSI KESEHATAN DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN MEDIA LEAFLET

EFEKTIFITAS PROMOSI KESEHATAN DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN MEDIA LEAFLET EFEKTIFITAS PROMOSI KESEHATAN DALAM PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN MEDIA LEAFLET DAN POSTER TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP PETUGAS KESEHATAN HEWAN DINAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN KABUPATEN SERDANG

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI

ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI ANALISIS PENGEMBANGAN STRATEGIC BUSINESS UNIT UNTUK MENINGKATKAN POTENSI INOVASI KESATUAN BISNIS MANDIRI INDUSTRI PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN RURIN WAHYU LISTRIANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI BAGIAN PENDAFTARAN PASIEN RAWAT JALAN DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI RSUD IDI KABUPATEN ACEH TIMUR TESIS

HUBUNGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI BAGIAN PENDAFTARAN PASIEN RAWAT JALAN DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI RSUD IDI KABUPATEN ACEH TIMUR TESIS HUBUNGAN PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DI BAGIAN PENDAFTARAN PASIEN RAWAT JALAN DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI RSUD IDI KABUPATEN ACEH TIMUR TESIS Oleh SYARIFAH RINA 127032016/IKM PROGRAM STUDI S2 ILMU

Lebih terperinci

T E S I S. Oleh FERRA YUSTISIA BR PURBA /IKM

T E S I S. Oleh FERRA YUSTISIA BR PURBA /IKM PENGARUH PENGETAHUAN, KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT TERHADAP PARTISIPASI SUAMI DALAM PERAWATAN KEHAMILAN ISTRI DI KELURAHAN PINTU SONA KABUPATEN SAMOSIR T E S I S Oleh FERRA YUSTISIA BR PURBA 097032133/IKM

Lebih terperinci

ABSTRAK. Elisabet Risubekti Lestari, 2007.Pembimbing I : Donny Pangemanan, drg., SKM. Pembimbing II : Budi Widyarto, dr.

ABSTRAK. Elisabet Risubekti Lestari, 2007.Pembimbing I : Donny Pangemanan, drg., SKM. Pembimbing II : Budi Widyarto, dr. ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN INFLUENZA DI KELURAHAN WANGUNSARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LEMBANG KECAMATAN LEMBANG TAHUN 2007 Elisabet Risubekti Lestari,

Lebih terperinci

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN 2014 DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan permasalahan yang banyak ditemukan di masyarakat namun kurang mendapat perhatian. Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi

Lebih terperinci

PENGARUH KONSELING GIZI PADA IBU BALITA TERHADAP POLA ASUH DAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMPLAS TESIS OLEH ASNITA /IKM

PENGARUH KONSELING GIZI PADA IBU BALITA TERHADAP POLA ASUH DAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMPLAS TESIS OLEH ASNITA /IKM PENGARUH KONSELING GIZI PADA IBU BALITA TERHADAP POLA ASUH DAN STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMPLAS TESIS OLEH ASNITA 097032003/IKM PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAAN MASYARAKAT FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak yang mempunyai banyak pemukiman kumuh, yaitu dapat dilihat dari

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INSIDENSI DIARE PADA BALITA DI RSU SARASWATI CIKAMPEK PERIODE BULAN JULI 2008

ABSTRAK GAMBARAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INSIDENSI DIARE PADA BALITA DI RSU SARASWATI CIKAMPEK PERIODE BULAN JULI 2008 ABSTRAK GAMBARAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INSIDENSI DIARE PADA BALITA DI RSU SARASWATI CIKAMPEK PERIODE BULAN JULI 2008 Ivone. 2008.Pembimbing I : July Ivone, dr., MS. Pembimbing II : Meilinah

Lebih terperinci

SKRIPSI SENAM JANTUNG SEHAT DAPAT MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK TUBUH PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

SKRIPSI SENAM JANTUNG SEHAT DAPAT MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK TUBUH PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA SKRIPSI SENAM JANTUNG SEHAT DAPAT MENURUNKAN PERSENTASE LEMAK TUBUH PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA I NYOMAN AGUS PRADNYA WIGUNA KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI

Lebih terperinci