PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat)"

Transkripsi

1 PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat) FAUZAN NURRACHMAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA FAKULTAS DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Fauzan Nurrachman NIM G

3 ABSTRAK FAUZAN NURRACHMAN. Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat). Dibimbing oleh : IDUNG RISDIYANTO. Suhu Permukaan Lahan (SPL) merupakan salah satu indikator terbaik dari keseimbangan energi di permukaan bumi dan merupakan parameter kunci dalam proses fisika permukaan lahan yang mampu mengkombinasikan interaksi antara fluks energi gelombang panjang di permukaan dan di atmosfer. Beberapa metode untuk penentuan nilai SPL dengan data penginderaan jauh telah banyak dikembangkan salah satunya adalah menggunakan satelit Terra-MODIS. MODIS mempunyai misi untuk memantau fenomena di permukaan dan atmosfer agar pengguna dapat mengetahui informasi perubahan yang terjadi secara near-realtime. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan metode dan algoritma menggunakan data penginderaan jauh satelit Terra- MODIS untuk pendugaan dan pemetaan SPL serta mengetahui hubungan suhu permukaan yang diturunkan dari data satelit Terra-MODIS dengan topografi permukaan dan penutupan lahan. Penentuan SPL dilakukan dengan menggunakan algoritma split window yaitu dengan memasukkan faktor-faktor utama seperti emisivitas dan suhu kecerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata SPL tertinggi yaitu pada algoritma Vidal. Pada hubungan SPL dengan ketinggian didapat rata-rata R 2 terbesar yaitu pada bulan Juni/Juli sedangkan yang terendah yaitu pada bulan September/Oktober. Selanjutnya, pada hubungan dengan penutupan lahan didapat nilai rata-rata SPL tertinggi yaitu pada lahan terbuka dan lahan terbangun sedangkan nilai rata-rata SPL terendah yaitu pada lahan hutan. Sudut zenith matahari sangat mempengaruhi ketelitian sensor terhadap penentuan nilai SPL. Kata kunci : Emisivitas, MODIS, Penutupan Lahan, Suhu Permukaan Lahan (SPL)

4 ABSTRACT FAUZAN NURRACHMAN. Estimation of Surface Temperature value based on MODIS L1B and SRTM 90 m (Case Study : Banten, DKI Jakarta, and Jawa Barat Province). Supervised by : IDUNG RISDIYANTO. Land Surface Temperature (LST) is one of the best indicators of the energy balance at the earth's surface and a key parameter in the physics of land surface processes that combine the interaction between long wave energy flux at the surface and in the atmosphere. Several methods for determining the value of LST with remote sensing data have been widely developed one of which is the use of Terra-MODIS satellite. MODIS has a mission to monitor the phenomenon on the surface and the atmosphere so that users can find information changes that occur in nearrealtime. The purpose of this study is develop methods and algorithms using satellite remote sensing Terra-MODIS data for prediction and mapping LST and determine the relationship of surface temperature derived from Terra-MODIS satellite data with surface topography and land cover. LST determination was done by using the split window algorithm by including the main factors such as emissivity and brightness temperature. The results showed that average of the highest LST that the Vidal algorithm. The relationship between LST and altitude be obtained average of the highest R2 is in June/July whereas the lowest is in September/October. Further, the relationship between LST and land cover be obtained average of the highest LST value is on open land and built land whereas average of the lowest value is forest land. Solar zenith angle is greatly affect sensor accuracy to determination LST value. Key words: Emissivity, MODIS, Land Cover, Land Surface Temperature (LST)

5 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m (Studi Kasus: Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat) FAUZAN NURRACHMAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

7 Judul Skripsi : Pendugaan Nilai Suhu Permukaan Berdasarkan Data Terra- MODIS L1B dan SRTM 90m Nama : Fauzan Nurrachman NRP : G Menyetujui, Pembimbing Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc NIP Mengetahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP Tanggal Lulus:

8 KATA PENGANTAR Alhamdulillah dan puji syukur kepada Allah SWT penulis ucapkan atas segala rahmat, hidayah, dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul : Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat). Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama kegiatan penulisan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ayahanda Heri Darman, Ibunda Erlinda Mansur serta adik tercinta Farid Lindarman atas segala bentuk dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. 2. Bapak Idung Risdiyanto,S.Si, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan waktu, ilmu, bimbingan, arahan, saran dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. 3. Bapak Dr.Sobri Effendi, M.Sc dan Bapak Sonny Setiawan, S.Si, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan ilmu, saran, perhatian dan dukungan. 4. Ibu Dr.Ir.Rini Hidayati, MS selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi atas waktu, bimbingan, arahan dan nasehat dalam menyelesaikan perkuliahan dan karya ilmiah ini. 5. Bapak Prof.Dr.Ir.Ahmad Bey selaku ketua bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer yang telah memberikan ilmu, saran, dan dukungan. 6. Segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi yang memberikan bimbingan, arahan, serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis. 7. Astri Wiliastri yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, saran dan perhatian selama perkuliahan di IPB. 8. Sahabat-Sahabat Kontrakan dan Wisma 82 (Rifki, Indra, Andre, Johannes, Harryade, Habibie, Edo, Eko, Iqbal, Sofian, Ido) beserta teman-teman lainnya (Mamad, Mundi, Agus, Arya) atas bantuan, dukungan, dan semangat pada penulis. 9. Pak Yanto, Andi, Gilang, Yunus, Taufik, Ferdy, Iput, Faiz, Dodi, Sintong, Dewa atas bantuan, kritik, saran bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan ini. 10. Sahabat-Sahabat HATORI (Taufik, Pungki, Okta, Iput, Om, Hafidz, Pandu) dan temanteman lainnya (Asep, Yuda, Firman) yang telah memberikan dukungan pada penulis. 11. Ernawati Apriani, Dicky Sucipto, Bambang Triatmojo, dan Aulia Maharani, atas kerjasama dan pendalaman ilmu bagi penulis selama menjadi asisten Meteorologi Satelit. 12. Sahabat-Sahabat GFM 45 (Asep, Fida, Emod, Geno, Okta, Yuda, Fella,Dewi, Farah, Hanifah, Mirna, Fitra, Akfia, Ketty, Mela, Maria, Ruri, Dila pera, Fitri, Tiska, Putri, Nia, Dora, Nadita, Widya, Citra, Fatcha, Ria, Aila, Usel, Nisa, Ratdil, Diyah, Adit, Adi, Sarah, Yoga, Ian atas semua bantuan, kebersamaan, dukungan selama perkuliahan baik suka maupun duka, kritik dan saran yang telah diberikan. 13. Teman-Teman BEM FMIPA Kabinet Totalitas Kebangkitan, HIMAGRETO, dan seluruh Mahasiswa GFM tingkat atas, adik-adik GFM tingkat bawah dan semua teman-teman yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per-satu. Akhir kata penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin Bogor, Mei 2013 Fauzan Nurrachman

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22Agustus 1990 di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat dari pasangan Heri Darman dan Erlinda Mansur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Kebon Pedes I Bogor pada tahun , pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 8 Bogor pada tahun dan pendidikan menegah atas di SMA Negeri 2 Bogor pada tahun Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) untuk program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam kegiatan organisasi di IPB seperti Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA (BEM FMIPA) Departemen Sains dan Teknologi tahun dan Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) Departemen Internal pada tahun Selain itu, selama menjadi mahasiswa penulis aktif menjadi panitia di berbagai acara yang pernah dilakukan di IPB, BEM FMIPA maupun di HIMAGRETO seperti MPKMB (2009), METRIK (2009), MPD (2010), MPF(2010), Pesta Sains (2010), Pekan Ilmiah mahasiswa FMIPA (2010), dan lain-lain. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Meteorologi Satelit pada tahun dan Sebagai syarat lulus dari IPB, penulis telah melaksanakan penelitian yang berjudul : Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m (Studi Kasus Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat) yang dibimbing oleh Bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc. Penelitian ini merupakan salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains diprogram studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 1 II TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Elektromagnetik Hukum-Hukum Radiasi Karakteristik Satelit (Terra-MODIS) Efek Bowtie Suhu Permukaan Albedo Teknik Split Window Jenis-Jenis Algoritma Split Window DEM-SRTM... 5 III METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Pemrosesan Awal Data Citra Satelit Koreksi Bowtie Koreksi Geometrik dan Penentuan GCP (Ground Check Point) Penentuan Nilai RMSE Penentuan Nilai Koefisien Korelasi Pemotongan Wilayah Kajian Ekstraksi Nilai Parameter-Parameter Suhu Permukaan Konversi Nilai SI (Scaled Integer) ke Nilai Spektral Radiance Konversi Nilai Spectral Radiance menjadi Brightness Temperature Konversi Nilai Suhu Kecerahan menjadi Nilai Suhu Permukaan Penentuan Albedo Pemisahan Penutupan Awan ( Cloud Masking)... 9 IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis Wilayah Pemrosesan Awal Citra Satelit Koreksi Bowtie Koreksi Geometrik Pemisahan Awan dan Ekstrasi Nilai Parameter Suhu pada Citra MODIS Suhu Kecerahan (Brightness Temperature ) Pemisahan Penutupan Awan (Cloud Masking) Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature) Hubungan Nilai Suhu Permukaan dengan Parameter-Parameter lainnya Hubungan Suhu Permukaan dengan Nilai Ketinggian Hubungan Suhu Permukaan dengan Penutupan Lahan Hubungan antara Suhu Permukaan, Altitude, dan Penutupan lahan V KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 29

11 x DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Nilai albedo pada berbagai jenis permukaan... 5 Tabel 2 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (20 Juli 2002) Tabel 3 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (15 Oktober 2002) Tabel 4 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (12 Juni 2003) Tabel 5 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (23 September 2003) Tabel 6 Hasil nilai RMS (20 Juli 2002) Tabel 7 Hasil nilai RMS (15 Oktober 2002) Tabel 8 Hasil nilai RMS (12 Juni 2003) Tabel 9 Hasil nilai RMS (23 September 2003) Tabel 10 Nilai rata rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2002) Tabel 11 Nilai rata rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2003) Tabel 12 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (20 Juli 2002) Tabel 13 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (15 Oktober 2002) Tabel 14 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (12 Juni 2003) Tabel 15 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (23 September 2003)... 26

12 xi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Bagian-bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik... 2 Gambar 2 Intensitas emisi benda hitam pada berbagai suhu... 2 Gambar 3 Morfologi efek Bowtie... 4 Gambar 4 Diagram Alir Penelitian... 9 Gambar 5 Citra sebelum dan sesudah pengkoreksian Bowtie efek Gambar 6 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (20 Juli 2002) Gambar 7 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (15 Oktober 2002) Gambar 8 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (12 Juni 2003) Gambar 9 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (23 September 2003) Gambar 10 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3 setelah dilakukan pemisahan awan (20 Juli 2002) Gambar 11 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3 setelah dilakukan pemisahan awan (23 September 2003) Gambar 12 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (20 Juli 2002) Gambar 13 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (15 Oktober 2002) Gambar 14 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (12 Juni 2003) Gambar 15 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian(23 September 2003) Gambar 16 Peta garis transek wilayah kajian (20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, dan 23 September 2003) Gambar 17 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (20 Juli 2002) Gambar 18 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (15 Oktober 2002) Gambar 19 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (12 Juni 2003) Gambar 20 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (23 September 2003) Gambar 21 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (20 Juli 2002) Gambar 22 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (15 Oktober 2002) Gambar 23 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (12 Juni 2003) Gambar 24 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (23 September 2003) Gambar 25 Nilai suhu permukaan dari tiga piksel badan air pada penutupan lahan disekitar badan air yang berbeda-beda Gambar 26 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Vidal) di berbagai ketinggian dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, 23 September Gambar 27 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Coll) di berbagai ketinggian dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, 23 September

13 xii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Spesifikasi kanal pada MODIS Lampiran 2 Gambar dari data Terra-MODIS L1B (R, G, B, Kanal 1, 4, dan 3) pada 20 Juli 2002 (10:05 AM), 15 Oktober 2002 (10:10 AM), 12 Juni 2003 (10:10 AM), dan 23 September 2003 (10:15 AM) Lampiran 3 Spesifikasi data Terra-MODIS L1B Lampiran 4 Nilai Emisivitas MODIS pada berbagai jenis penutupan lahan Lampiran 5 Spesifikasi dari satelit Terra/Aqua Lampiran 6 Konversi Persamaan Planck menjadi nilai Suhu Kecerahan (Brightness Temperature) Lampiran 7 Rata-rata nilai parameter solar spectral irradiance Terra/Aqua MODIS L1B Lampiran 8 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (20 Juli 2002) Lampiran 9 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (15 Oktober 2002) Lampiran 10 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (12 Juni 2003) Lampiran 11 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (23 September 2003) Lampiran 12 Peta Nilai Suhu Permukaan (Becker and Li 1990) Lampiran 13 Peta Nilai Suhu Permukaan (Coll 1997) Lampiran 14 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price 1984) Lampiran 15 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price modifikasi Sobrino 1994) Lampiran 16 Peta Nilai Suhu Permukaan (Sobrino 1993) Lampiran 17 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri 1992) Lampiran 18 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri modifikasi Sobrino) Lampiran 19 Peta Nilai Suhu Permukaan (Vidal 1991) Lampiran 20 Peta Digital RBI Tema 1 : Penutupan Lahan... 46

14 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suhu Permukaan Lahan (SPL) merupakan salah satu indikator terbaik dari keseimbangan energi di permukaan bumi dan merupakan parameter kunci dalam proses fisika permukaan lahan yang mampu mengkombinasikan interaksi antara fluks energi gelombang panjang di permukaan dan di atmosfer (Wan 2006). Pada suatu lahan terbuka, suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu permukaan lahan atau dikenal dengan istilah Land Surface Temperature (LST). Pada vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air dapat didefinisikan sebagai suhu dari permukaan badan air. Pada saat ini, perolehan data suhu dapat dilakukan dengan menggunakan alat termometer. Termometer yang terpasang di permukaan tanah dapat digunakan untuk menghitung nilai suhu permukaan tanah dan termometer yang terpasang di sangkar cuaca dapat digunakan untuk mendapatkan nilai suhu udara. Namun data suhu yang didapat melalui pengukuran pada umumnya masih bersifat lokal. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data suhu yang bersifat lebih regional diperlukan data suhu yang dikumpulkan dari beberapa stasiun (Prasasti 2004). Beberapa metode untuk penentuan nilai suhu permukaan secara spasial dan regional telah banyak dikembangkan salah satunya menggunakan data penginderaan jauh. Penelitian Risdiyanto (2001) menggunakan data NOAA-AVHRR telah menjelaskan bahwa citra satelit dapat digunakan untuk memprediksi nilai suhu permukaan dan faktor-faktor meteorologi lainnya. Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Besarnya nilai suhu permukaan dapat dipengaruhi oleh panjang gelombang. Panjang gelombang yang paling sensitif terhadap suhu permukaan adalah inframerah termal. Kanal termal dari suatu satelit dapat berfungsi mencari nilai suhu kecerahan (Brightness Temperature) dari emisi yang dihasilkan oleh suatu objek. Nilai suhu kecerahan yang telah didapat, dapat dilakukan pengkoreksian dengan faktor emisivitas masing masing jenis penutupan lahan untuk mendapatkan nilai suhu permukaan lahan. Pada penelitian ini akan digunakan satelit pengamatan lingkungan yaitu Terra dengan sensornya yaitu Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). Satelit ini mempunyai misi untuk memantau fenomena yang terjadi di permukaan bumi dan atmosfer dengan kemampuan liputan kawasan yang besar yaitu sebesar 2330 km dan resolusi spektral yang tinggi yaitu jumlah saluran sebanyak 36 kanal. Selain itu, satelit ini mempunyai resolusi temporal yang juga tinggi, kurang lebih sama dengan NOAA AVHRR yaitu 1 2 harian sehingga pengguna dapat mengetahui informasi perubahan yang terjadi secara near-realtime seperti pemantauan curah hujan, kehijauan tumbuhan, kebakaran hutan, kekeringan lahan sawah, dan perubahan penggunaan lahan. MODIS merupakan penyedia data untuk proses proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan. Pengembangan aplikasi dari data MODIS ini cukup banyak hingga saat ini khususnya di LAPAN Deputi bidang Penginderaan Jauh dan bidang sains, pengkajian dan informasi kerdirgantaraan telah memanfaatkan satelit lingkungan ini untuk pemantauan harian dalam rangka mendukung kegiatan mitigasi bencana. Fokus pada penelitian ini tidak hanya menghitung dan menduga kisaran nilai suhu permukaan, tetapi juga akan dilakukan analisa lebih lanjut untuk melihat hubungan nilai suhu permukaan terhadap faktor faktor lain yang mempengaruhi nilai suhu permukaan tersebut seperti pengaruh topografi (ketinggian tempat), perubahan penutupan lahan dan posisi sudut zenith matahari. Hasil analisa penelitian ini dapat digunakan untuk analisa perubahan suhu permukaan di Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat di berbagai bidang penelitian. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengembangkan metode dan algoritma menggunakan data penginderaan jauh satelit Terra-MODIS untuk pendugaan dan pemetaan suhu permukaan lahan (Land Surface Temperature - LST) 2. Mengetahui hubungan suhu permukaan yang diturunkan dari data satelit Terra- MODIS dengan topografi permukaan dan penutupan lahan

15 2 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gelombang Elektromagnetik Sifat radiasi elektromagnetik dapat diuraikan dengan menggunakan teori gelombang maupun menggunakan teori partikel. Hukum Planck memberikan dasar mengenai sifat dualisme energi radiasi yaitu sebagai kuanta dan gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang atau partikel yang dapat merambat tanpa melalui adanya medium. Gelombang elektromagnetik terdiri dari beberapa spektrum mulai dari gelombang pendek sampai gelombang panjang (Gambar 1). Spektrum-spektrum tersebut yaitu sinar kosmis, sinar Gamma, sinar X, sinar ultraviolet, sinar tampak, sinar inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio. yang ditunjukkan oleh hukum Stefan Boltzman yaitu : Rl out = e σ T 4 Keterangan : Rl out : Fluks Total (W m -2 ) e : Emisivitas permukaan σ : Tetapan Stefan Boltzman ( x 10-8 W m -2 K -4 ) T : Suhu absolut objek (K) Benda hitam sempurna (blackbody) mempunyai nilai emisivitas sebesar satu, artinya benda akan menyerap energi yang diterimanya dari segala sudut penerimaan dan akan memancarkannya kembali senilai yang diserap ke segala arah dengan seluruh panjang gelombang yang ada. Fakta di alam, hampir semua benda tidak memiliki sifat seperti benda hitam sempurna, yang ada hanya mendekati sifat tersebut. Oleh karena itu, setiap energi yang dipancarkan suatu objek di permukaan bumi tidak tergantung pada suhu absolutnya, tetapi tergantung pada daya pancarnya sehingga jumlah energi yang dipancarkan merupakan fungsi suhu dan akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Hal ini menyebabkan jumlah energi yang dipancarkan suatu objek bervariasi dengan suhunya dan didasarkan pada panjang gelombangnya. Gambar 1 Bagian-bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik ( fo/spectrum.html) 2.2 Hukum-Hukum Radiasi Semua benda di permukaan bumi merupakan sumber radiasi walaupun besar dan komposisi spektralnya berbeda dengan radiasi matahari. Oleh karena itu, semua benda diatas suhu nol derajat kelvin dapat memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Besarnya energi radiasi yang dikeluarkan oleh suatu objek di permukaan bumi merupakan fungsi suhu permukaan objek tersebut, seperti Gambar 2 Intensitas emisi benda hitam pada berbagai suhu (Salby 1996) Gambar 2 menunjukkan distribusi radiasi untuk benda hitam sempurna pada berbagai suhu. Kurva tersebut menunjukkan adanya pergeseran puncak distribusi radiasi benda hitam ke arah panjang gelombang yang makin pendek apabila suhu naik sehingga menyebabkan intensitas radiasi yang dipancarkan juga naik. Panjang gelombang yang dominan atau panjang gelombang yang mencapai radiasi maksimum sangat berkaitan

16 3 dengan suhunya. Hubungan antara pancaran maksimum objek, panjang gelombang, dan suhu dinyatakan dengan hukum pergeseran Wien dengan persamaan : λ maks = 2897 / Ts Berdasarkan persamaan di atas, dengan suhu mutlak matahari 6000 K maka akan didapatkan nilai panjang gelombang maksimum radiasi matahari yang mampu memberikan pancaran puncak maksimum terjadi pada panjang gelombang 0.55 μm yang merupakan nilai tengah panjang gelombang cahaya tampak sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 μm. Oleh karena itu, penginderaan jauh termal banyak dilakukan pada kisaran panjang gelombang antara 8 μm sampai 14 μm. 2.3 Karakteristik Satelit (Terra-MODIS) Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) merupakan sebuah instrumen/sensor yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua yang merupakan satelit pengamat lingkungan. Terra mengorbit bumi dari utara ke selatan dan melintasi equator di pagi dan malam hari sedangkan Aqua melintasi equator dari selatan ke utara dan melintasi equator di siang dan malam hari. MODIS Terra dan Aqua meliput seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari, menggunakan 36 kanal spektral. Satelit Terra merupakan sebuah misi internasional yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan membawa lima instrumen yang dapat mengobservasi atmosfer, laut, darat, salju, es, dan kesetimbangan energi. Instrumen-instrumen tersebut berasal dari Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada. Semua instrumen ini dijalankan secara bersama dan mampu memberikan gambaran unik bagaimana sistem bumi bekerja dan berubah (MCST 2003). Observasi Terra mengungkap dampak manusia terhadap planet dan memberikan data penting mengenai bencana alam seperti kebakaran dan aktivitas vulkanik. Instrumen-instrument yang terpasang yaitu : Earth's Radiant Energy System (CERES) (USA), Multi-angle Imaging Spectroradiometer (MISR) (USA), Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) (USA), Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) (JAPAN), Measurements of Pollution in the Troposphere (MOPITT) (KANADA). MODIS merupakan sebuah instrumen penyedia data untuk proses proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan. Pengembangan aplikasi dari data MODIS ini cukup banyak hingga saat ini khususnya di LAPAN Deputi bidang Penginderaan Jauh dan bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kerdirgantaraan telah memanfaatkan satelit lingkungan ini untuk pemantauan fenomena yang terjadi di permukaan bumi dan atmosfer secara harian dalam rangka mendukung kegiatan mitigasi bencana. Data MODIS menghasilkan resolusi radiometrik 16-bit per piksel ini menghasilkan citra digital dalam beberapa kanal : biru (band 3), merah (band 1), hijau (band 4), nearinfrared (band 2, 5, dan 16-19), SWIR (band 6&7), visible (band 8-15), MWIR (band 20-26), dan TIR (band 27-36). Sementara hasil citra terdiri dari 36 kanal/band yang memiliki resolusi spasial beragam mulai dari antara 250 m hingga 1000 m : band 1-2 (250 m), band 1-7 (500 m), dan band 1-36 (1000 m). Data yang dihasilkan sensor MODIS terdiri dari beberapa format level data, yaitu: 1. Format data level 1, merupakan data mentah ditambah dengan informasi tentang kalibrasi sensor dan geolokasi. Format data level 1 terdiri dari: Level 1a, mengandung informasi lebih yang dibutuhkan pada set data. Digunakan sebagai input untuk geolocation, calibration, dan processing. Level 1b, data yang telah mempunyai terapannya yang merupakan hasil dari aplikasi sensor kalibrasi level 1a. 2. Format data level 2, dihasilkan dari proses penggabungan data level 1a dan 1b. Data level 2 menerapkan nilai geofisik pada tiap piksel yang berasal dari perhitungan raw radiance level 1a dengan menerapkan kalibrasi sensor, koreksi atmosfer, dan algoritma bio-optik. Pada umumnya level 2 ini adalah suatu bentuk produk. 3. Format data level 3, merupakan data level 2 yang dikumpulkan dalam periode 1 hari, 8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun ( 2.4 Efek Bowtie Pada data mentah citra MODIS L1B terdapat kerusakan citra berupa efek duplikasi data akibat peningkatan Instantaneous Field of View (IFOV) yang semula berukuran 1x1 km pada titik nadir menjadi 2x5 km pada sudut scan maksimum yaitu 55 o. Fenomena ini

17 4 dikenal dengan efek Bowtie. Efek Bowtie ini terjadi akibat pengaruh kelengkungan bumi, dikarenakan satelit Terra merupakan satelit Low Earth Orbit (LEO) dan MODIS merupakan sensor resolusi rendah dengan lebar cakupan (Swath) yang besar sehingga ukuran piksel yang direkam diatas sudut 15 o dari titik nadir/pusat akan mulai mengalami perbesaran. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kerusakan pada data seluruh data pada citra asli akan ditransformasikan secara matematik ke citra akhir atau resampling. Dalam hal ini akan dibentuk piksel baru sebagai perbaikan pada piksel lama yang mengalami kerusakan yaitu dengan "metode tetangga terdekat" (nearest neighbour). Teknik ini dilakukan dengan cara mengalihkan titik keabuan piksel yang telah terkoreksi dengan harga keabuan piksel tetangganya pada citra semula (Diana 2010). Gambar 3 Morfologi efek Bowtie ( uide/d-modis.html) Gambar 3 menunjukkan bahwa data yang dipengaruhi oleh efek Bowtie menempati sebagian samping dari gambar. Oleh karena itu, efek Bowtie harus dihapus sebelum aplikasi data MODIS dikeluarkan. Scan pertama dan ketiga diwakili oleh kisi yang cerah sedangkan scan kedua diwakili oleh kisi yang hitam (Wen 2008). 2.5 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu rata rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan tipe permukaan yang berbeda beda. Pada suatu lahan terbuka, suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu permukaan lahan /daratan atau dikenal dengan land surface temperature (LST). Pada vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada tubuh air dapat didefinisikan sebagai suhu dari permukaan badan air. Suhu permukaan benda tergantung dari sifat fisik permukaan objek, diantaranya yaitu emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal. Jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang tinggi, sedangkan konduktivitas termalnya rendah maka suhu permukaan objek tersebut akan menurun, contohnya pada permukaan berupa perairan. Selanjutnya, jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah sedangkan konduktivitas termalnya tinggi maka suhu permukaan objek tersebut akan meningkat, contohnya pada permukaan berupa daratan (Sutanto 1994). Suhu permukaan merupakan fungsi dari Suhu Kecerahan/Brightness Temperature (Tb) yang didapat dari penurunan persamaan Planck. Suhu permukaan dapat diidentifikasi dengan mengetahui nilai emisivitas dari berbagai penggunaan lahan atau memakai asumsi emisivitas sama dengan satu yang sifat tersebut hanya dimiliki oleh benda hitam. Benda hitam adalah objek yang menyerap seluruh radiasi elektromagnetik. Dalam teori fisika klasik, objek tersebut juga memancarkan energi yang diserapnya. Oleh karena itu, energi suatu benda hitam dapat diukur. Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan ratarata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam satuan piksel dengan berbagai tipe permukaan. 2.6 Albedo Albedo berasal dari bahasa Latin yaitu albus yang berarti putih. Albedo merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang datang dan yang dipantulkan dari semua spektrum panjang gelombang. Persamaan albedo dapat ditulis sebagai berikut : α = Rs out Rs in Keterangan : α : Albedo Rs out : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan Rs in : Radiasi gelombang pendek yang datang Albedo menunjukkan sifat kehitaman badan objek. Albedo mempunyai kisaran nilai

18 Apabila suatu objek mempunyai nilai albedo = 0 maka objek tersebut mengabsorbsi seluruh radiasi gelombang pendek yang datang dan albedo = 1 maka objek tersebut memantulkan seluruh radiasi gelombang pendek yang datang. Tidak ada satu pun benda di alam semesta yang memiliki albedo bernilai 0 atau 1, yang ada hanya mendekati 0 dan 1. Semakin mendekati nilai nol maka kenampakan suatu objek semakin gelap dan semakin mendekati nilai satu maka kenampakan suatu objek semakin cerah. Tabel 1 Nilai albedo pada berbagai jenis permukaan Albedo Jenis Permukaan Perairan dalam Jalan Aspal Hutan Tanah abu-abu lembab Bangunan Tanaman Padi Pemukiman rata-rata Tanah terang kering Tanaman Jagung Tanaman Kentang Awan Cirrus (Ci) Awan Stratus (St) Awan Tebal Sumber : Stull (2000) 2.7 Teknik Split Window Sekitar 80% dari energi termal sensor mampu diterima oleh sensor di wilayah panjang gelombang μm yang diemisikan oleh permukaan tanah atau perairan dan membuat variabel suhu permukaan mudah untuk diekstrak dari sinyal radiansi inframerah termal. Penelitian lebih lanjut telah dilakukan melalui pengembangan algoritma untuk memperkirakan suhu permukaan lahan dari suhu kecerahan saluran 4 dan 5 (AVHRR) dan emisivitas permukaan untuk mengoreksi efek atmosfer di permukaan laut dan permukaan tanah/lahan (Price 1984; Becker dan li 1990). Pendekatan ini sering disebut dengan Teknik Split Window atau Split Window Technique (SWT). Pada sensor MODIS teknik ini dilakukan pada saluran 31 dan 32. Telah dicatat bahwa antara saluran 4 dan 5 dari AVHRR maupun saluran 31 dan 32 dari MODIS memiliki keidentikkan dari setiap masing-masing saluran dikarenakan nilai panjang gelombang yang ditangkap adalah hampir sama yaitu panjang gelombang inframerah termal. Namun antara kanal dari masing-masing sensor mempunyai perbedaan utama dalam penyerapan uap air. Saluran 5(AVHRR) dan saluran 31(MODIS) lebih sensitif terhadap uap air di atmosfer daripada saluran 4(AVHRR) dan saluran 32(MODIS), sehingga selisih perbedaan antara suhu kecerahan saluran 4(AVHRR)/31(MODIS) dan saluran 5(AVHRR)/32(MODIS) lebih besar untuk kondisi atmosfer lembab daripada kondisi kering. Split window telah digunakan selama beberapa periode dalam penentuan suhu permukaan lahan/perairan dengan hasil yang sangat memuaskan. Banyak penulis mengembangkan skema baru untuk mengambil suhu permukaan yang dihubungkan dalam suatu model/algoritma. Model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor : 1. Tergantung pada data empiris wilayah 2. Tergantung pada emisivitas 3. Tergantung pada konten uap air 4. Tergantung pada sudut pandang matahari 5. Tergantung pada kombinasi dari metodemetode di atas 2.8 Jenis-Jenis Algoritma Split Window Banyak sekali jenis algoritma split window yang telah digunakan dalam beberapa periode waktu untuk mendapatkan nilai suhu permukaan lahan (SPL). Perbedaan utama dari beberapa contoh algoritma split window seperti (Price, Becker & Li, Sobrino, Vidal Ulivieri, Prata & Plat) ini yang sering dilupakan adalah bahwa semuanya berasal dari sensor AVHRR yang berbeda. Algoritma Price (1984) digunakan dari data NOAA-7 AVHRR, algoritma Becker_li (1990) digunakan dari data NOAA-9 AVHRR, dan algoritma Sobrino (1993) digunakan dari data NOAA-11 AVHRR. Walaupun berbeda sensor, nilai panjang gelombangnya masih dalam batasan panjang gelombang inframerah termal sehingga penggunaan algoritma ini bisa diterapkan di salah satu sensor lainnya yaitu MODIS. Koreksi pada contoh algoritma diatas disesuaikan dengan jenis masing-masing emisivitas dan koreksi faktor faktor yang dibutuhkan lainnya. 2.9 DEM-SRTM Penentuan nilai altitude atau ketinggian dapat diduga menggunakan data DEM-SRTM. Data SRTM atau Shuttle Radar Topography Mission merupakan suatu bentuk data yang menyediakan informasi tentang ketinggian tempat atau biasa disebut DEM (Digital Elevation Model). Data ini diperoleh dari sistem radar yang dipasang pada Pesawat ruang angkasa selama 11 hari.

19 6 III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Februari tahun , dengan wilayah kajian berada pada wilayah Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak pengolah citra (image processing) seperti HDF view 2.8, ENVI 4.5, dan Er.Mapper 7.1, perangkat pengolah sistem informasi geografis seperti ArcGis 10.0 (Lisensi IPB No. EFL ) dengan ekstensi Hawths analysis tools dan perangkat pengolah lainnya seperti Microsoft Office, Notepad ++, Stellarium Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: 1. Data citra satelit Terra-MODIS level 1B yang mencakup wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta pada tanggal 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2002, dan 23 September Citra yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sedikit penutupan awan. Kanal yang digunakan yaitu kanal 1, 4, dan 3 sebagai kanal reflektan dan kanal 31, 32 sebagai kanal emissive. Resolusi yang dipakai 1x1 km untuk setiap masingmasing kanal. Data tersebut dapat diperoleh dari alamat : ( arch.html). 2. Data DEM SRTM yang telah dikonversi resolusinya menjadi 1x1 km. Data tersebut dapat diperoleh dari alamat : ( 90m-digital-elevation-database-v4-1). 3. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) tema 1 : penutupan lahan tahun 2002 (BPDAS). 4. Peta Administrasi wilayah Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini disajikan dalam diagram alir (Gambar 4) Pemrosesan Awal Data Citra Satelit Georeferensi MODIS merupakan suatu langkah awal dalam pemrosesan data citra satelit. Langkah ini digunakan untuk mendapatkan informasi-informasi yang diinginkan dari suatu data citra sebelum dilakukan analisis spasial dan atributnya, seperti penentuan sistem proyeksi yang akan digunakan, pemilihan datum, penentuan Ground Control Point (GCP) yang digunakan sebagai acuan dalam proses georeferensi, dan pengkoreksian citra. Beberapa tahapan yang akan dilakukan yaitu : Koreksi Bowtie Pada data mentah citra MODIS level 1B terdapat kerusakan citra berupa efek duplikasi data akibat peningkatan Instantaneous Field of View (IFOV) yang semula berukuran 1x1 km pada titik nadir menjadi 2x5 km pada sudut scan maksimum yaitu 55 o. Fenomena ini dikenal dengan Bowtie effect yang terjadi akibat pengaruh kelengkungan bumi yang mengakibatkan ukuran piksel yang direkam diatas sudut 15 o mengalami perbesaran. Sebelum citra diproses lebih lanjut, diperlukan suatu pengkoreksian untuk menghilangkan efek tersebut. Pengkoreksian ini menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 pada semua kanal yang digunakan Koreksi Geometrik dan Penentuan GCP (Ground Check Point) Pada data pemanfaatan penginderaan jauh, pengaruh rotasi bumi, arah gerakan satelit, dan kelengkungan permukaan bumi mengakibatkan posisi geografis hasil scanning pada citra tidak sesuai dengan koordinat geometri pada peta. Oleh karena itu, informasi posisi koordinat citra satelit harus diperbaiki antara lain dengan menggunakan acuan koordinat peta dasar atau peta topografi. Proses ini dikenal dengan istilah koreksi geometrik. Tujuan koreksi ini adalah untuk mereferensikan citra sehingga mempunyai koordinat geografi dan mengkoreksi /mencocokan secara geometri dengan citra yang menjadi dasar koreksi. Pada pengkoresian ini dilakukan dengan memberikan 11 titik ikat atau 11 Ground Check Point (GCP) pada citra dan peta dasar menggunakan metode image to map. Jumlah titik yang dicatat koordinatnya dianjurkan menyebar terutama pada daerah yang bertopografi berbukit sampai bergunung. Koreksi geometrik ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 dengan penggunaan sistem proyeksi UTM dengan unit meter dan datum WGS-84. Pada proses pengkoreksian ini akan ditampilkan juga nilai kesalahan/ ketidaktepatan pengkoreksian. Pada dasarnya

20 7 kesalahan tersebut masih dapat diterima sepanjang masih memenuhi kaidah-kaidah kartografi. Menurut Purwadhi (2001) batas toleransi untuk nilai kesalahan adalah RMS 1 piksel, sehingga apabila nilai RMS > 1 piksel maka harus dilakukan perhitungan ulang Penentuan Nilai RMSE Root Mean Square Error (RMSE) merupakan besarnya simpangan dari nilai data dugaan/koreksi dengan nilai data aslinya. Dalam penelitian ini, penentuan RMSE ini dilakukan untuk melihat besarnya simpangan nilai reflektan/nilai radiansi, ketika citra sebelum dikoreksi dan citra sesudah dikoreksi (citra terkoreksi). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: RMSE 1 n n n=1 (Xi Yi) 2 Keterangan : Xi = Nilai reflektan/nilai radiansi kanal ke-i citra sebelum dikoreksi Yi = Nilai reflektan/nilai radiansi kanal ke-i citra terkoreksi n = Jumlah piksel Penentuan Nilai Koefisien Korelasi Koefisien korelasi menggambarkan ketepatan dan hubungan linear antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas atau antara sesama peubah bebas. Dalam penelitian ini, penentuan koefisien korelasi ini bertujuan untuk melihat seberapa besar ketepatan hubungan nilai reflektan/nilai radiansi ketika citra sebelum dikoreksi dan citra sesudah dikoreksi (citra terkoreksi). Selain itu juga, penentuan koefisien korelasi digunakan untuk melihat seberapa besar ketepatan hubungan antara parameter-parameter fisis lainnya seperti nilai suhu permukaan dengan nilai ketinggian/altitude. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : r = X i X. ( Y i Y ) X i X 2. ( Y i Y) 2 Keterangan : r = Nilai koefisien korelasi X i = Nilai reflektan/radiansi kanal ke-i citra sebelum dikoreksi dan nilai ketinggian/altitude Y i = Nilai reflektan/radiansi kanal ke-i citra terkoreksi dan nilai suhu permukaan X = Rata rata nilai reflektan/radiansi kanal ke-i citra sebelum dikoreksi dan nilai Ketinggian/altitude Y = Rata rata nilai reflektan/radiansi kanal ke-i citra terkoreksi dan nilai suhu permukaan Pemotongan Wilayah Kajian Data citra satelit Terra-MODIS yang telah terkoreksi kemudian dipotong dengan data vektor wilayah Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta menggunakan perangkat lunak pengolah citra Ekstraksi Nilai Parameter- Parameter Suhu Permukaan Citra MODIS L1B yang telah dipotong/cropping kemudian dilakukan ekstraksi nilai untuk menghasilkan beberapa indikator variabel yang dibutuhkan dalam menjadi nilai suhu permukaan. Beberapa tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Konversi Nilai SI (Scaled Integer) ke Nilai Spektral Radiance Pada produk data MODIS L1B, masing masing nilai L λ atau Radiansi (energi radiasi yang diterima permukaan bumi per satuan luas) pada piksel diekspresikan pada format 32 bit floating point. Penulisan dalam format floating point ke file produk L1B akan membuat ukuran file menjadi besar. Sebagai gantinya, MCST menulis produk level 1B ke dalam format 16-bit scaled integer untuk merepresentasikan dari kalibrasi sinyal yang diukur oleh sensor MODIS. Nilai radiansi tersebut dapat dihitung dari dua istilah yaitu radiance scale dan radiance offset yang tertulis pada attribute emissive band di Scientific Data Sets (SDS). Format 16 bit Scaled Integer sering disebut juga dengan istilah Skala bilangan bulat (SI) yang merupakan suatu nilai yang berkisar antara dimana nilai L λ min dikonversi ke skala 0 dan nilai L λ max dikonversi ke skala Nilai yang lebih rendah dari 0 dan lebih besar dari mengindikasikan nilai piksel yang hilang (null value) (MCST 2009). Nilai radiansi dapat dihitung dari nilai SI yang diperoleh. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : L λi = R scale (SI R offset) Keterangan : L λi = Nilai radiansi kanal ke-i (W m -2 μm -1 sr -1 )

21 8 R scale = Nilai radiance scale pada kanal ke-i (W m -2 μm -1 sr -1 ) R offset = Nilai radiance offset pada kanal kei (Dimensionless) SI = Nilai konversi radiansi pada kanal ke-i dalam skala bilangan bulat (Dimensionless) Penentuan atribut nilai radiance scale dan radiance offset dapat dilihat pada Scientific Data Sets (SDS) MODIS. Selain itu, penentuan atribut tersebut dapat juga menggunakan persamaan sebagai berikut: Radiance scales = (L λ max L λ min ) Radiance_offsets = (32767 L λ min ) (L λ max L λ min ) Konversi Nilai Spectral Radiance menjadi Brightness Temperature Nilai brightness temperature (suhu kecerahan) dapat dihitung dari konversi nilai spectral radiance dengan menerapkan hukum Planck dari radiasi benda hitam (Janssen 2001). Benda hitam merupakan benda yang mampu menyerap seluruh energi dan mampu mengemisikan kembali semuannya. Hukum Planck dapat digunakan untuk menghitung intensitas radiasi yang dipancarkan oleh suatu objek permukaan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : T b = h c k λ (ln 2 hc2 λ 5 L λ + 1) Jika C 1 = 2 hc 2 dan C 2 = h c k maka persamaan tersebut menjadi : T b = C 2 λ (ln C 1 λ 5 L λ + 1) Keterangan : L λ = Spektral radiance (Wm -2 μm -1 sr -1 ) T b = Suhu kecerahan (K) h = Konstanta Planck ( x J s) c = Kecepatan cahaya ( x10 8 m s -1 ) k = Konstanta Boltzmann ( x J K -1 ) C 1 = Konstanta radiasi pertama (1, x 10 8 Wm -2 sr -1 (μm -1 ) -4 ) C 2 = Konstanta radiasi kedua (1,4387 x 10 4 μmk) λ = Nilai tengah panjang gelombang kanal 31 (10,78-11,28 μm) dan kanal 32 (11,77-12,27 μm) Konversi Nilai Suhu Kecerahan menjadi Nilai Suhu Permukaan Estimasi nilai suhu permukaan dari citra MODIS dapat diduga dari nilai suhu kecerahannya. Persamaan yang digunakan merupakan persamaan algoritma split window dengan memasukkan faktor-faktor utama seperti emisivitas dan suhu kecerahan. Persamaan-persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Price (1984) Ts = [[Tb (Tb 31 Tb 32 )] 5.5 ε [0.75 Tb 32 ε 31 ε 32 ]] Becker and Li (1990) ] + Ts = [ [ Tb 31+ Tb 32 ] ( ε 2 1bl ε 2bl ) + Tb 31+ Tb 32 ( ε 2 1bl 38.33ε 2bl )] ] Vidal (1991) Ts = Tb 31 + [2.78 (Tb 31 Tb 32 )] [50 ε 1bl ] [300 ε 3v ] Ulivieri (1992) Ts = Tb 31 + [1.8 (Tb 31 Tb 32 )] + [48 (1 ε)] [75 ε] Sobrino (1993) Ts = Tb 31 + [1.06 (Tb 31 Tb 32 )] + [0.46 [(Tb 31 Tb 32 )]] + [53 (1 ε 3l )] [53(ε 3l ε 32 )] Price modifikasi Sobrino (1994) Ts = [[Tb (Tb 31 Tb 32 )] 7.6 ε [0.26 Tb 32 ε 31 ε 32 ] ] + Ulivieri modifikasi Sobrino (1994) Ts = Tb 31 + [2.76 (Tb 31 Tb 32 )] + [38.6 (1 ε)] [96 ε] Coll (1997) Ts = Tb 31 + [2.13 (Tb 31 Tb 32 )] [50 (1 ε 3l )] [200 ε] dengan ε = (ε 31 ε 32 ) ε = (ε 31 + ε 32 )/2 ε 1bl = (1 ε)/ε ε 2bl = ( ε/ (ε) 2 ε 3v = ε/ (ε) Keterangan: Ts = Suhu Permukaan (K) Tb i = Suhu Kecerahan kanal ke-i (K) ε i = Emisivitas Objek kanal ke-i

22 Penentuan Albedo Penentuan albedo dapat dilakukan menggunakan perhitungan dari USGS (2003) kanal 1, 4, dan 3. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: α = L λ π D 2 E 0 Sun λi cos θ s Keterangan: D = Jarak astronomi bumi-matahari pada tanggal tertentu (SA) (Stellarium ) E 0 Sun λi = Rata-rata nilai solar spectral irradiance pada kanal ke-i (W m -2 μm -1 ) (Lampiran 7) L λ = Nilai Spectral radiance (Wm -2 sr -1 μm -1 ) = Sudut zenith matahari (Degree) θ s Pemisahan Penutupan Awan ( Cloud Masking) Pemisahan penutupan awan dapat dilakukan menggunakan pendekatan albedo awan pada kanal 1, 4, dan 3 melalui nilai radiansinya atau menggunakan pendekatan nilai reflektan pada kanal 3 MODIS. Jika nilai rata-rata albedo kanal 1, 4, dan 3 atau nilai reflektan dari kanal 3 lebih besar dari 0.2 maka dapat dikatakan nilai tersebut sebagai awan (Xiao 2004). Gambar 4 Diagram Alir Penelitian

23 10 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Wilayah Secara geografis wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat terletak pada LS dan BT. Ketinggian wilayah berdasarkan data DEM- SRTM berkisar dari -3 sampai 2830 mdpl. Berdasarkan data BPS tahun 2002 menunjukan bahwa Provinsi Banten mempunyai 4 kabupaten dan 4 kota, Provinsi DKI Jakarta mempunyai 6 kota, dan Provinsi Jawa Barat mempunyai 17 kabupaten dan 9 kota. 4.2 Pemrosesan Awal Citra Satelit Koreksi Bowtie Koreksi Bowtie merupakan tahap awal pengolahan data sebelum dilakukan analisis citra lebih lanjut. Pada hasil koreksi Bowtie, didapatkan nilai reflektan dan nilai radiansi dari citra yang belum dikoreksi dengan yang sudah dikoreksi mengalami perubahan. Perubahan ini dapat dilihat melalui simpangan yang dihasilkan melalui besarnya nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan koefisien korelasi (r). RMSE mengindikasikan besarnya simpangan dari citra sebelum terkoreksi dan citra setelah terkoreksi sedangkan koefisien korelasi menggambarkan ketepatan atau keeratan hubungan linear antara citra sebelum terkoreksi dan citra setelah terkoreksi. Nilai RMSE yang didapatkan dari koreksi Bowtie pada semua tanggal dan kanal menunjukkan nilai yang relatif kecil (Tabel 2, 3, 4, dan 5). Pada tanggal 20 juli 2002, perubahan nilai tersebut menginterpretasikan bahwa terjadi perubahan nilai reflektan pada kanal 1, 4, dan 3 dengan rata-rata sebesar , , dan Selanjutnya pada kanal 31 dan 32, perubahan nilai tersebut menginterpretasikan bahwa terjadi perubahan nilai radiansi pada kanal 31 dan 32 dengan rata-rata sebesar dan Wm -2 μm -1 sr -1. Nilai RMSE yang relatif kecil pada semua kanal menunjukkan bahwa kesalahan atau error yang dihasilkan pada tahap pengkoreksian adalah kecil. Penyebab utama nilai RMSE yang kecil adalah wilayah kajian yang berada pada sudut scan kurang dari 15 0 sehingga pengaruh efek Bowtie tidak terlihat jelas. Selain itu, nilai koefisien korelasi yang didapatkan dari koreksi Bowtie pada semua tanggal dan kanal adalah cukup besar, hal ini mengindikasikan bahwa keeratan data antara sebelum dan sesudah pengkoreksian adalah besar. Keeratan disini mengindikasikan nilai perubahan sebelum pengkoreksian dan sesudah pengkoreksian tidak jauh berbeda. Semakin kecil nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan semakin besar nilai koefisien korelasi (r) dengan hubungan yang positif maka citra terkoreksi yang dihasilkan adalah sangat baik karena nilai hasil koreksi menunjukkan perubahan yang tidak terlalu jauh atau menyimpang dari nilai aslinya. Gambar 5 Citra sebelum dan sesudah pengkoreksian Bowtie efek

24 11 Tabel 2 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (20 Juli 2002) Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32 RMSE Koefisien Korelasi Tabel 3 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (15 Oktober 2002) Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32 RMSE Koefisien Korelasi Tabel 4 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (12 Juni 2003) Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32 RMSE Koefisien Korelasi Tabel 5 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing masing kanal (23 September 2003) Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32 RMSE Koefisien Korelasi Koreksi Geometrik Koreksi Geometrik merupakan tahap kedua pengolahan data sebelum didapatkan citra terkoreksi. Pada hasil koreksi geometrik didapatkan perubahan koordinat piksel baru dari koordinatnya semula, dikarenakan posisi koordinat baru disesuaikan dengan citra dasar atau peta dasar sebagai acuan. Perubahan koordinat ini dapat dilihat melalui simpangan yang dihasilkan melalui besarnya nilai (RMS). Root Mean Square (RMS) merupakan parameter statistik yang fungsinya sama dengan RMSE yaitu melihat simpangan yang terjadi ketika citra sebelum dikoreksi geometrik dan setelah dikoreksi geometrik. Perbedaannya adalah pada karakteristik penggunaannya. Pada proses koreksi Bowtie, pengkoreksian hanya menyebabkan perubahan ukuran piksel dan nilai spektral radiansi/nilai reflektan yang ada di citra, sedangkan koreksi geometrik menyebabkan perubahan posisi piksel dari posisinya semula. Ketika nilai RMS = 1 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran piksel utama sebesar 1 piksel dari posisi semula. Dari hasil pengkoreksian citra tanggal 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, dan 23 September 2003 menunjukan nilai rata-rata RMS yang sangat kecil dari setiap titik GCP (Tabel 6, 7, 8, dan 9). Sebagai contoh pada titik GCP nomor 1 (20 Juli 2002), nilai RMS yang dihasilkan yaitu sebesar Hal ini mengindikasikan bahwa setiap piksel dititik atau sekitar titik GCP dari citra yang telah dikoreksi hanya mengalami perubahan sekitar 0.06 piksel dari posisi semula. Perubahan koordinat/posisi piksel tersebut tidak terlalu besar dari posisi awal sehingga dapat dikatakan bahwa hasil pengkoreksian ini adalah baik karena memiliki nilai error yang sangat kecil yaitu 1 piksel (Purwadhi 2001). Tabel 6 Hasil nilai RMS (20 Juli 2002) No Cell X Cell Y Easting Southing RMS E 6.83 S E 7.74 S E 6.49 S E 5.93 S E 7.38 S E 5.92 S E 6.58 S E 6.52 S E 6.19 S E 7.45 S E 6.70 S 0.05 Tabel 7 Hasil nilai RMS (15 Oktober 2002) No Cell X Cell Y Easting Southing RMS E 5.88 S E 6.66 S E 6.31 S E 6.84 S E 6.02 S E 7.37 S E 6.18 S E 7.72 S E 6.65 S E 6.53 S E 7.72 S 0.01

25 12 Tabel 8 Hasil nilai RMS (12 Juni 2003) No Cell X Cell Y Easting Southing RMS E 6.75 S E 5.89 S E 6.50 S E 5.93 S E 7.38 S E 6.01 S E 7.54 S E 6.19 S E 6.53 S E 7.77 S E 6.23 S 0.09 Tabel 9 Hasil nilai RMS (23 September 2003) No Cell X Cell Y Easting Southing RMS E 5.94 S E 6.85 S E 6.48 S E 7.37 S E 6.02 S E 6.84 S E 6.53 S E 7.72 S E 6.73 S E 7.47 S E 6.00 S Pemisahan Awan dan Ekstrasi Nilai Parameter Suhu pada Citra MODIS Suhu Kecerahan (Brightness Temperature ) Nilai suhu kecerahan bergantung dari nilai spektral radiansi yang diterima permukaan persatuan luas persatuan waktu pada kisaran panjang gelombang tertentu. Pada citra MODIS, nilai suhu kecerahan dapat diekstrasi dari kanal 31 dan kanal 32 yang merupakan kanal emisi termal. Kanal 31 dapat merekam nilai radiasi gelombang dengan kisaran panjang gelombang μm, sedangkan kanal 32 dapat merekam nilai radiasi gelombang dengan kisaran panjang gelombang μm. Gambar 7 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (15 Oktober 2002) Gambar 8 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (12 Juni 2003) Gambar 9 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (23 September 2003) Gambar 6 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (20 Juli 2002) Gambar 6, 7, 8 dan 9 menunjukkan perbandingan suhu kecerahan pada dua kanal termalnya (TB31 dan TB32). Hasil analisis menunjukkan, nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang dihasilkan adalah sebesar 0.98 pada 20 Juli 2002 (Gambar 6), 12 Juni 2003 (Gambar 8), 23 September 2003 (Gambar 9) dan 0.96 pada 15 Oktober 2002 (Gambar 7). Nilai ini

26 13 menginterpretasikan bahwa 98% atau 96% keragaman dari nilai suhu kecerahan kanal 31 dapat diterangkan oleh keragaman dari nilai suhu kecerahan kanal 32. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang tinggi pada grafik akan menyebabkan koefisien korelasi (r) yang dihasilkan juga tinggi sehingga kedua kanal tersebut mempunyai hubungan yang berkorelasi positif atau mempunyai keidentikkan. Akibat korelasi positif dari kedua nilai suhu kecerahan, maka nilai suhu kecerahan dapat dihubungkan dengan menggunakan suatu algoritma dari simulasi untuk mendapatkan nilai suhu permukaan. Semakin besar nilai koefisien determinasi (R 2 ) maka dapat dikatakan hasil model adalah baik Pemisahan Penutupan Awan (Cloud Masking) Energi radiasi matahari yang datang ke permukaan bumi, sebagian ada yang diserap oleh permukaan dan ada juga yang dilepaskan oleh permukaan dalam bentuk emisi termal. Nilai emisi yang dilepas oleh permukaan yang tertutup oleh awan bukanlah nilai emisi sebenarnya yang dilepaskan oleh permukaan daratan, tetapi nilai tersebut merupakan nilai emisi yang dihasilkan oleh permukaan awan. Pemisahan awan menggunakan emisi dari permukaan bumi, sangat sulit untuk membedakan karakteristik awan dan daratan. Oleh karena itu, pemisahan penutupan awan yang baik dapat dilakukan melalui pendekatan nilai albedo atau nilai reflektannya menggunakan kanal reflektan 1, 4, dan 3. Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan perbandingan citra true colour kanal 1, 4, dan 3 dengan nilai rata-rata albedo dari permukaan awan pada tanggal 20 Juli 2002 dan 23 September 2003 sebagai contoh, dimana nilai piksel yang berwarna kisaran merah hingga kuning menginterpretasikan nilai kisaran albedo permukaan awan terendah hingga tertinggi. Persamaan USGS dan Xiaming Xiao untuk menghitung albedo dan pemisahan awan mampu membuktikan bahwa pemisahan awan melalui pendekatan albedo dapat dilakukan dalam penginderaan jauh dengan menggunakan sensor MODIS kanal reflektan 1, 4, dan 3. Gambar 10 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3 setelah dilakukan pemisahan awan (20 Juli 2002) Gambar 11 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3 setelah dilakukan pemisahan awan (23 September 2003)

27 Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature) Suhu permukaan sangat mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara. Energi tersebut menjadi sumber pembangkit gradien suhu, gradien kecepatan, dan gradien konsentrasi. Gradien tersebut merupakan penggerak pada proses pemindahan massa, bahang, dan momentum. Nilai suhu permukaan lahan sangat dipengaruhi berbagai faktor faktor yang mempengaruhinya seperti emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal pada lahan tersebut. Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata suhu permukaan dari seluruh wilayah kajian. Nilai rata-rata suhu permukaan tertinggi berada pada algoritma Vidal yaitu sebesar 31 0 C (20 Juli 2002), 37 0 C (15 Oktober 2002), C (12 Juni 2003), C (23 September 2003) sedangkan nilai rata-rata suhu permukaan rata-rata terendah berada pada algoritma Ulivieri sebesar C (20 Juli 2002), C (15 Oktober 2002), C (12 Juni 2003), C (23 September 2003). Tabel 10 Nilai rata rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2002) Rata-rata SP seluruh Jenis Algoritma wilayah kajian ( o C) 20-Jul Okt-02 Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker and Li Ulivieri [Sobrino] Price [Sobrino] Tabel 11 Nilai rata rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2003) Rata-rata SP seluruh Jenis Algoritma wilayah kajian ( o C) 12-Jun Sep-03 Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker and Li Ulivieri [Sobrino] Price [Sobrino] Hasil perhitungan (Tabel 10 dan 11) menunjukkan bahwa algoritma Vidal menghasilkan nilai suhu permukaan rata-rata yang paling tinggi sedangkan algoritma Ulivieri menghasilkan nilai suhu permukaan rata-rata yang paling rendah untuk wilayah kajian. 4.3 Hubungan Nilai Suhu Permukaan dengan Parameter-Parameter lainnya Hubungan Suhu Permukaan dengan Nilai Ketinggian Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai dari suhu permukaan pada citra MODIS berbeda secara nyata dengan berbagai faktorfaktor yang mempengaruhinya (Gambar 12, 13, 14, dan 15). Nilai suhu permukaan pada citra MODIS akan cenderung menurun dengan bertambahnya suatu ketinggian. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yang dihasilkan bernilai negatif yang menunjukkan bahwa hubungan nilai suhu permukaan dan nilai ketinggian adalah berbanding terbalik (Gambar 12, 13, 14 dan 15). Selain itu, pada satu ketinggian yang sama nilai suhu permukaan yang didapatkan sangat beragam, sehingga koefisien determinasi yang dihasilkan sangat kecil. Nilai koefisien determinasi yang kecil mengindikasikan bahwa bukan hanya faktor ketinggian yang mampu direspon oleh sensor satelit namun masih banyak faktor faktor lain yang mampu direspon sensor seperti penutupan lahan, sudut zenith matahari, bayangan awan dan berbagai macam efek atmosferik lainnya. Perbedaan nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi sangat dipengaruhi oleh perbedaan sudut zenith matahari (sudut kemiringan sinar matahari permukaan satelit). Sudut zenith matahari sangat mempengaruhi ketelitian sensor terhadap penentuan nilai SPL. Pada tahun 2002, ratarata nilai koefisien determinasi terbesar (seluruh algoritma) didapat pada bulan Juli sebesar dengan rata-rata koefisien korelasi (seluruh algoritma) sebesar sedangkan rata-rata nilai koefisien determinasi terendah (seluruh algoritma) didapat pada bulan Oktober sebesar dengan rata-rata koefisien korelasi (seluruh algoritma) sebesar Selanjutnya pada tahun 2003, ratarata nilai koefisien determinasi terbesar (seluruh algoritma) didapat pada bulan Juni sebesar dengan rata-rata koefisien korelasi (seluruh algoritma) sebesar sedangkan rata rata nilai koefisien determinasi terendah (seluruh algoritma) didapat pada bulan September sebesar dengan rata-rata koefisien korelasi (seluruh algoritma) sebesar

28 Gambar 12 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (20 Juli 2002) 15

29 Gambar 13 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (15 Oktober 2002) 16

30 Gambar 14 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (12 Juni 2003) 17

31 Gambar 15 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian(23 September 2003) 18

32 19 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada bulan Juli dan Juni ketika sudut zenith matahari besar sensor lebih sensitif terhadap perubahan ketinggian sedangkan bulan September dan Oktober ketika sudut zenith matahari kecil sensor lebih sensitif terhadap perubahan penutupan lahan. Kemiringan sudut matahari yang besar pada bulan Juli/Juni menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan kurang begitu efektif dikarenakan nilai suhu permukaan lahan (SPL) tersebut masih dipengaruhi oleh faktor topografi atau ketinggian dari suatu permukaan. Selanjutnya, kemiringan sudut matahari yang kecil pada bulan September dan Oktober menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan sangat efektif dikarenakan kemampuan menyerap panas (konduktivitas termal) dan penyimpan panas (kapasitas panas) dari tiap jenis lahan/permukaan berbeda-beda sehingga dapat meningkatkan nilai suhu dari suatu permukaan dan akibatnya nilai keragaman suhu permukaan dari masing-masing lahan akan menjadi lebih besar. Pembuktian lebih lanjut, pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan dua contoh garis transek pada wilayah kajian (Gambar 16). Penentuan nilai suhu permukaan yaitu menggunakan dua algoritma yaitu Vidal dan Coll untuk sebagai contoh. Pengambilan garis transek ini ditunjukkan untuk membuktikan seberapa besar respon sensor dalam merekam piksel dan melihat hubungan nilai suhu permukaan dengan pengaruh berbagai ketinggian ketika nilai derajat lintang bertambah dalam derajat bujur yang tetap. Garis berwarna kuning menunjukan transek pada bujur dan garis berwarna hijau menunjukan transek pada bujur Pada Gambar 17, 18, 19, dan 20 dapat dilihat hubungan masing-masing perubahan nilai suhu permukaan pada setiap transek kajian. Gambar 16 Peta garis transek wilayah kajian (20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, dan 23 September 2003)

33 20 Gambar 17 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (20 Juli 2002) Gambar 18 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (15 Oktober 2002)

34 21 Gambar 19 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (12 Juni 2003) Gambar 20 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (23 September 2003)

35 22 Hasil analisis transek menunjukkan bahwa perubahan nilai suhu permukaan (SP) berbanding terbalik dengan bertambahnya suatu ketinggian. Ketika bertambahnya suatu ketinggian, nilai suhu permukaan akan menurun dan begitu pula sebaliknya. Pola perubahan itu terkadang berbeda dari keadaan sebenarnya seperti terjadi peningkatan SP ketika bertambahnya suatu ketinggian. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya variabel ketinggian yang mampu direspon sensor namun masih banyak faktor faktor lain yang mampu direspon oleh sensor dalam menentukan perubahan nilai suhu permukaan. Sebagai contoh, pada transek kuning (Gambar 17, 18, 19 dan 20) dapat dilihat bahwa nilai suhu permukaan pada wilayah ketinggian rendah di bagian utara (Jakarta) nilainya lebih tinggi dibandingkan wilayah ketinggian rendah di bagian selatan (Sukabumi). Hal ini disebabkan, pada wilayah utara merupakan pusat pemukiman dan lahan terbangun. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan bahwa penggunaan lahan dapat menentukan perubahan nilai suhu dari suatu permukaan Hubungan Suhu Permukaan dengan Penutupan Lahan Seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya, perubahan nilai suhu permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh dari ketinggian dari suatu daerah, terkadang nilainya meningkat dan menurun pada ketinggian yang tetap. Perbedaan ini salah satunya dipengaruhi oleh aktivitas dari penggunaan lahan. Penutupan lahan secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap suhu di dalam dan di sekitar penutupan lahan tersebut (Tabel 12, 13, 14, 15 dan Gambar 21, 22, 23, 24, 25). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dari suhu permukaan pada berbagai penutupan lahan berbeda secara nyata walaupun perbedaanya tidak besar. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penutupan lahan secara signifikan merubah nilai-nilai pada setiap komponen nilai suhu permukaan. Pada tanggal 20 Juli 2002, nilai SPL tertinggi terdapat pada lahan terbuka dan lahan terbangun. Pada lahan terbuka didominasi oleh algoritma Vidal, Ulivieri, Sobrino, Coll, Ulivieri modifikasi Sobrino dengan rataan sebesar C dan lahan terbangun didominasi oleh algoritma Price, Becker and Li, dan Price modifikasi Sobrino dengan rataan sebesar C sedangkan nilai SPL terendah terdapat pada lahan hutan (seluruh algoritma) dengan rataan sebesar C. Pada tanggal 15 Oktober 2002, nilai SPL tertinggi terdapat pada lahan terbuka dan lahan terbangun. Pada lahan terbuka didominasi oleh algoritma Vidal, Ulivieri, Sobrino, Coll, Ulivieri modifikasi Sobrino dengan rataan sebesar C dan lahan terbangun didominasi oleh algoritma Price, Becker and Li, dan Price modifikasi Sobrino dengan rataan sebesar C sedangkan nilai SPL terendah terdapat pada lahan hutan (seluruh algoritma) dengan rataan sebesar C. Pada tanggal 12 Juni 2003, nilai SPL tertinggi terdapat pada lahan terbuka dengan rataan sebesar C sedangkan nilai SPL terendah terdapat pada lahan hutan (seluruh algoritma) dengan rataan sebesar C. Lalu pada tanggal 23 September 2003, nilai SPL tertinggi terdapat pada lahan terbuka dengan rataan sebesar C sedangkan nilai SPL terendah terdapat pada lahan hutan sebesar C pada seluruh jenis algoritma. Lahan terbuka dan lahan terbangun merupakan lahan yang cepat menyerap panas dan cepat melepaskan panas, akibat dari nilai emisivitas, kapasitas panas jenisnya yang rendah dan nilai konduktivitas termalnya yang tinggi sehingga suhu permukaan pada lahan terbuka akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lahan lainnya. Suatu objek di permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaannya meningkat. Selain itu juga, pada lahan ini peningkatan suhu permukaan dapat disebabkan dari peningkatan populasi manusia di lahan ini, yang berdampak pada banyaknya aktivitas aktivitas yang dilakukan oleh manusia seperti pembangunan infrastruktur perhubungan dan jalan, pembangunan tata kota yang rapat tanpa ada tempat untuk ruang terbuka hijau. Lahan hutan merupakan lahan yang mampu menyerap sebagian besar radiasi matahari untuk proses fotosintesis. Radiasi yang telah diserap oleh jenis hutan tidak mudah untuk dilepaskan semuanya ke udara akibat dari nilai emisivitas, kapasitas jenisnya yang lebih tinggi dan konduktivitas termal yang rendah. Kapasitas panas jenis yang tinggi disebabkan pada tubuh hutan banyak menyimpan air. Suatu objek di permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis tinggi, sedangkan konduktivitas termalnya rendah akan menyebabkan suhu permukaannya menurun. Perbedaan nilai suhu permukaan dari setiap penutupan lahan ini akan digunakan sebagai analisis perubahan penutupan lahan secara spesifik pada tahapan selanjutnya.

36 23 Tabel 12 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (20 Juli 2002) CLASS Suhu Permukaan (Ts) Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li Ulivieri [Sobrino] Price [Sobrino] Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak / Belukar Rata-rata Jenis-jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Vidal Ulivieri Coll Sobrino Jenis-Jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino] Gambar 21 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (20 Juli 2002)

37 24 Tabel 13 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (15 Oktober 2002) CLASS Suhu Permukaan (Ts) Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li Ulivieri [Sobrino] Price [Sobrino] Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak / Belukar Rata-rata Jenis-jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Vidal Ulivieri Coll Sobrino 45.0 Jenis-Jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino] Gambar 22 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (15 Oktober 2002)

38 25 Tabel 14 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (12 Juni 2003) CLASS Suhu Permukaan (Ts) Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li Ulivieri [Sobrino] Price [Sobrino] Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak / Belukar Rata-rata Jenis-jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Vidal Ulivieri Coll Sobrino 40.0 Jenis-Jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino] Gambar 23 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (12 Juni 2003)

39 26 Tabel 15 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (23 September 2003) CLASS Suhu Permukaan (Ts) Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li Ulivieri [Sobrino] Price [Sobrino] Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak / Belukar Rata-rata Jenis-jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Vidal Ulivieri Coll Sobrino 45.0 Jenis-Jenis Algoritma SuhuPermukaan ( o C) Badan Air Hutan Lahan Pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Semak Belukar 0.0 Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino] Gambar 24 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (23 September 2003)

40 Hubungan antara Suhu Permukaan, Altitude, dan Penutupan lahan Hasil analisis pada subbab sebelumnya menunjukkan nilai suhu permukaan sangat bervariasi dari setiap penutupan lahan (Tabel 12, 13, 14, dan Tabel 15). Nilai keragaman suhu permukaan yang besar mengindikasikan bahwa suhu permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh salah satu faktor yaitu penutupan lahan saja melainkan faktor-faktor lainnya juga saling mempengaruhinya. Dua faktor yang didapatkan, lalu dihubungkan kedalam suatu matriks untuk melihat seberapa besar pengaruh dua variabel tersebut tehadap perubahan nilai suhu permukaan. Pengambilan nilai rataaan suhu permukaan dilakukan pada setiap rataan ketinggian 300 mdpl. Gambar 26 dan 27 menunjukkan nilai rataan suhu permukaan per-300 m pada setiap jenis lahan. Penentuan hubungan yaitu menggunakan dua algoritma Vidal dan Coll untuk sebagai contoh. Seperti penjelasan subbab sebelumnya, kemiringan sudut matahari yang besar pada bulan Juli dan Juni menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan kurang begitu efektif sehingga nilai SPL sangat dipengaruhi dari nilai ketinggiannya dari suatu permukaan. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasinya yang besar yang menunjukkan bahwa ada keeratan antara nilai SPL dengan ketinggian pada bulan Juli. Lalu kemiringan sudut matahari yang kecil pada bulan September dan Oktober menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan sangat efektif sehingga nilai SPL sangat dipengaruhi jenis permukaan lahannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasinya yang sangat kecil yang menunjukkan bahwa tidak adanya keeratan antara nilai SPL dengan ketinggian sehingga ada suatu faktor yang menyebabkan nilai SPL tersebut menjadi beragam. Selain itu, hasil grafik menunjukkan bahwa nilai perubahan suhu permukaan yang sangat ekstrim terlihat pada lahan terbuka dan lahan terbangun (Gambar 26 dan Gambar 27). Koefisien determinasi yang dihasilkan begitu rendah, hal ini disebabkan oleh kapasitas jenis permukaan lahan yang rendah sehingga ketika radiasi yang datang diserap oleh permukaan (proses konduktivitas panas), permukaan tersebut merespon cepat pemanasan sehingga permukaan mudah menjadi panas dan ketika radiasi yang datang intensitasnya rendah, permukaan tersebut merespon cepat pendinginan sehingga permukaan mudah menjadi lebih dingin. Selanjutnya pada badan air, nilai koefisien determinasi yang rendah disebabkan karena pengaruh dari kondisi geografis dan permukaan disekitarnya yang menyebabkan nilai suhu permukaannya menjadi beragam. Ketika kondisi geografis disekitar badan air adalah lahan terbuka atau lahan terbangun, maka nilai suhu permukaan badan air tersebut akan lebih besar dibandingkan badan air pada kondisi lahan disekitarnya adalah hutan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas manusia dalam mengelola air, misalnya pembuangan sampah pada hulu sungai dan objek wisata disekitar badan air tersebut dapat menaikkan nilai suhu permukaan. Selain itu juga, keterbatasan sensor dengan resolusi hanya 1x1 km sehingga ketika di overlay/digabungkan dengan penutupan lahan, jenis lahan pada piksel merupakan jenis lahan yang paling dominan (Gambar 25) akibat dari adanya composite nilai. Sebagai contoh, nilai suhu permukaan pada ketinggian yang sama tempat yang berbeda, satu piksel yang terdiri dari 50% badan air, 45% lahan terbangun, 5% hutan bisa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan satu piksel yang terdiri dari 85% badan air, 10% lahan terbangun, 5% hutan walaupun lahan yang mendominasi satu piksel tersebut adalah badan air. Gambar 25 Nilai suhu permukaan dari tiga piksel badan air pada penutupan lahan di sekitar badan air yang berbeda-beda.

41 28 Gambar 26 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Vidal) di berbagai ketinggian dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, 23 September 2003 Gambar 27 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Coll) di berbagai ketinggian dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, 23 September 2003

42 29 V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Nilai suhu permukaan lahan (SPL) dimungkinkan untuk dikembangkan menggunakan data penginderaan jauh satelit Terra-MODIS dengan menggunakan beberapa algoritma. Berdasarkan algoritma, nilai suhu permukaan lahan rata-rata tertinggi yaitu pada algoritma Vidal sedangkan nilai suhu permukaan lahan rata-rata terendah yaitu pada algoritma Ulivieri. Secara spasial, nilai suhu permukaan tertinggi berada pada Provinsi Jakarta yang disebabkan oleh ketinggiannya yang sangat rendah dan jenis penutupan lahannya yaitu lahan terbuka/terbangun. Suhu permukaan memiliki hubungan dengan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti ketinggian dan penutupan lahan. Pada hubungannya dengan ketinggian, nilai suhu permukaan lahan dari satelit Terra-MODIS akan menurun secara linear ketika bertambahnya suatu ketinggian. Pada hubungan dengan penutupan lahan nilai suhu permukaan rata-rata tertinggi yaitu pada lahan terbuka sedangkan nilai suhu permukaan rata-rata terendah yaitu pada lahan hutan. Selain itu, sudut zenith matahari sangat mempengaruhi ketelitian sensor terhadap nilai suhu permukaan lahan pada wilayah yang dikaji. Pada bulan Juli dimana sudut kemiringan matahari besar sensor lebih sensitif terhadap perubahan ketinggian sedangkan bulan September dimana sudut matahari kecil sensor lebih sensitif terhadap perubahan penutupan lahan. 5.2 Saran Penelitian ini masih merupakan tahap pengkajian potensi pemanfaatan data Terra- MODIS untuk ekstraksi data suhu permukaan berdasarkan 8 algoritma, sehingga masih perlu evaluasi dan validasi terhadap hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut. Perubahan LST tak hanya dipengaruhi oleh dua faktor itu saja, masih banyak faktor faktor lain yang mempengaruhi seperti analisis bayangan awan dalam pemisahan awan dan faktor water vapour transmittance (pengaruh uap air) sehingga perlu dianalisis untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. DAFTAR PUSTAKA Becker F and Li Z L Towards a local split window method over land surface. Int J Remote Sens. 3 : Coll C, Caselles V A split-window algorithm for land surface temperature from advanced very high resolution radiometer data. Validation and algorithm comparison. J Geophys Res.102: Czajkowski K P, Goward S N, Mulhern T, Goetz S J, Walz A, Shirey D, Stadler S, Prince S D, Dubayah R O, Kerr Y H, Lagouarde J P Thermal Remote Sensing in Land Surface Processes. Quattrochi D A, Luvall J C, editor. Florida(US): CRC Pr. [DLR] Deutsches Zentrum fur Lutf und Raumfahrt, (DFD) Deutsches Fernerkundungs Datenzentrum. Short guide Moderate resolution imaging spectometer. [internet]. [diunduh 2013 Jun 27]. Tersedia pada: guide/d-modis.html. Gomez-Landessaa E, Rango A. Bleiweiss M An algorithm to address the MODIS bowtie effect. Canadian J of Remote Sens. 30(4) : Handoko Klimatologi Dasar. Bogor (ID) : Pustaka Jaya Janssen L L F, Huumerman G C Priciples of Remote Sensing (2nd ed). Enscheda : ITC Pr. Khomarudin MR, Risdiyanto I Penentuan Evapotranspirasi Regional dengan Landsat TM dan NOAA-AVHRR. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Liang S Quantitative Remote Sensing of Land Surface. Kong J A, editor.new Jersey(CA) : Wiley Pr. Maharani L P, Khomarudin M R, Santoso I Identifikasi Neraca Energi untuk Deskripsi Potensi Kekeringan dengan Data Landsat TM (Studi Kasus Kota Semarang dan Sekitarnya. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ; 2005 Sept ; Surabaya. Surabaya (ID) : Kampus Institut Teknologi Sepuluh November. Mather P M Computer Processing Of Remotely Sensed Images (3rd ed). Chicester (UK) : Wiley Pr. [MCST] MODIS Characterization Support Team MODIS Level 1B Product User s Guide. USA : NASA/Goddard Space Flight Center. [internet]. [diunduh 2013 Apr 12]. Tersedia pada :

43 30 -documents. [MCST] MODIS Characterization Support Team MODIS Calibration Parameter. [internet]. [diunduh 2013 Apr 12]. Tersedia pada: gsfc/files/file_attachments/modis_ Terra_Esun_values.xlsx. Oguro Y, Ito S, and Tsuchiya K Comparisons of Brighness Temperatures of Landsat-7/ETM+ and Terra/MODIS around Hotien Oasis in the Taklimakan Desert. Applied and Enviromental Soil Science. Article ID Prasasti I, Sambodo K A, Carolita Pengkajian pemanfaatan data terramodis untuk ekstraksi data suhu permukaan lahan (SPL) berdasarkan beberapa algoritma. Bandung (ID) : Pusbangja Inderaja LAPAN. Price J C Land Surface Temperature Measurements From the Split Window Channels of the NOAA 7 AVHRR. Journal of Geophysical Researc. 89 (D5) : Purwadhi S H Interpretasi Citra Digital. Jakarta (ID): Grasindo. Richards J A Remote Sensing Digital Image Analysis An Introduction. Berlin (DE) : Spinger-Verlag. Risdiyanto I Weather Monitoring Model Based On Satellite Data. J Agromet. 22(1) : Rumondang D Penurunan Nilai Albedo dan Suhu Permukaan dari Data Terra MODIS L1B untuk Klasifikasi Awan. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Salby M L Fundamentals of Atmospheric Physics. USA : Academic Pr. Seta G A Utilization of Terra/MODIS L1B Data for Analysis of Horizontal Wind Profile in The Troposfer. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sobrino J A, Li Z L, Stall M P, and Becker F Impact of the atmospheric transmittance and total water vapour content in the algorithms for estimating sea surface tenperatures. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 31: Sobrino J A, Li Z L, Stall M P, and Becker F Improvements in the splitwindow technique for land surface temperature determination. IEEE Trans Geosci. Remote Sens. 32 : Sobrino J A, El Kharraz, and Li Z L Surface temperature and water vapour retrieval from MODIS data. Int J Remote Sens. 24 : Stull R B Meteorology Today for Scientist and Engineers : A Technical Companion Book. USA : West Publishing Company Co. Sutanto Penginderaan Jauh Jilid 2. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Thuillier G, Herse M, Labs D, Foujols T, Peetermans W, Gillotay D, Simon P C, and Mandel H The Visible Solar Spectral Irradiance from 350 to 850 nm as measured by the SOLSPEC spectrometer during the ATLAS I mission. J Solar Physics. 177 : Ulivieri C A SW algorithm for estimating land surface temperature from satellite.presented at COSPAR Washington DC USA. Adv Space Res. 14(3) : USGS Landsat 7 Science Data Users Handbook. [internet]. Tersedia pada: Vidal A Atmospheric and emissivity correction of land surface temperature measured from satellite using ground measurements or satellite data. Int J Remote Sens. 12 : Walpole R E Pengantar Statistika. Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka Utama. Wan Z New refinements and validation of the MODIS land surface temperature/emissivity products. J Remote Sensing of Environment. 112 (1) : Wan Z and Dozier J A Generalized Split-Window Algorithm for Retrieving Land Surface Temperature from Space. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 34(4) : Xiao X, Boles S, Frolking S, Li C, Babu J Y, Salas W, Moore B Mapping Paddy Rice Agriculture in Southern China Using Multi-Temporal MODIS Image. J Remote Sens of Environtment. 100 :

44 LAMPIRAN 31

45 32 Lampiran 1 Spesifikasi kanal pada MODIS Primary Use Land/Cloud/Aerosols Boundaries Land/Cloud/Aerosols Properties Ocean Colour/ Phytoplankton/Biogeochemistry Atmospheric Water Vapour Surface/Cloud Temperature Atmospheric Temperature Cirrus Cloud Water Vapour Band Bandwith (nm) Spectral Radiance (Wm -2 μm -1 sr -1 ) Spatial Resolution (m) (300K) (335 K) (300 K) (300 K ) (250 K ) (275 K) (240 K) (250 K) 1000 Cloud Properties (300 K) 1000 Ozone (250 K) 1000 Surface/Cloud Temperature Cloud Top Altitude (300 K) (300 K) (260 K) (250 K) (240 K) (220K) 1000 (

46 33 Lampiran 2 Gambar dari data Terra-MODIS L1B (R, G, B, Kanal 1, 4, dan 3) pada 20 Juli 2002 (10:05 AM), 15 Oktober 2002 (10:10 AM), 12 Juni 2003 (10:10 AM), dan 23 September 2003 (10:15 AM) Daerah penelitian ditunjukkan oleh kotak persegi panjang berwarna putih. 20 Juli 2002 dan 15 Oktober Juni 2003 dan 23 September 2003 Lampiran 3 Spesifikasi data Terra-MODIS L1B Satellite Sensor Product Acquisition Scan time (Local Sun azimuth Solar zenith type Date Time) (degrees) (degrees) TERRA TERRA TERRA TERRA MODIS MODIS MODIS MODIS MOD021 MOD021 MOD021 MOD021 Juli 20, 2002 Oktober 15, 2002 June 12, 2003 September 23, :05 10:10 10:10 10:

47 34 Lampiran 4 Nilai Emisivitas MODIS pada berbagai jenis penutupan lahan Land Use e31 e32 Class Water Badan Air Evergreen needleleaf forest Evergreen broadleaf forest Deciduous needleleaf forest Hutan Deciduous broadleaf forest Mixed forest Closed shrubland Open shrubland Semak Belukar Cropland Lahan Pertanian Grassland Lahan Terbuka Bare soil and rocks Urban and built up Lahan Terbangun Sumber : Oguro et.all Lampiran 5 Spesifikasi dari satelit Terra/Aqua Orbit Scan rate Lebar swath Teleskop Ukuran Berat Power Laju transfer data 705 km, 10:30, menuju selatan (Terra) atau 13:30 menuju utara (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular 20.3 rpm, cross track 2330 km, dengan 10 km (along track at nadir) Diameter cm off-axis 1.0 x 1.6 x 1.0 m kg W 10.6 Mbps (maksimal per hari); 6.1 Mbps (rata-rata per orbit) Kuantitas 12 bits, untuk 36 kanal spektral dengan panjang gelombang 0.4 µm sampai 14.4 µm Resolusi spasial Desain umur 250 m (bands 1-2) 500 m (bands 3-7) 1000 m (bands 8-36) 5 tahun

48 35 Lampiran 6 Konversi Persamaan Planck menjadi nilai Suhu Kecerahan (BrightnessTemperature) L λ = L λ = 2 h c 2 h c λ 5 λ k T e b 1 2 h c 2 1 λ 5 h c λ k T e b 1 L λ λ 5 2 h c 2 = 1 h c λ k T e b 1 2 h c 2 h c L λ λ = e λ k T b ln 2 h c2 λ 5 L λ + 1 = h c λ k T b T b = k λ h c ln 2 hc2 λ 5 L λ + 1 atau dalam satuan 0 C menjadi T b ( 0 C ) = k λ h c ln 2 hc2 λ 5 L λ Jika C 1 = 2 h c 2 dan C 2 = h c k maka persamaan tersebut menjadi : T b = C λ ( ln C 1 λ 5 + 1) L λ Keterangan : L λ = Spektral radiance (Wm -2 μm -1 sr -1 ) T b = Suhu kecerahan ( 0 C) h = Konstanta Planck ( x J s) atau ( x Kg μm 2 s -1 ) c = Kecepatan cahaya ( x10 8 m s -1 ) atau ( x10 14 μm s -1 ) k = Konstanta Boltzmann ( x J K -1 ) C 1 = Konstanta radiasi pertama (1, x 10 8 Wm -2 sr -1 (μm -1 ) -4 ) C 2 = Konstanta radiasi kedua (1,4387 x 10 4 μmk) λ = Nilai tengah panjang gelombang kanal 31 (10,78-11,28 μm) dan kanal 32 (11,77-12,27 μm) Catatan : 1 Joule = 1 Kg m 2 s -2, 1 m = 10 6 μm Untuk mencari konstanta radiasi pertama gunakan konstanta Planck dengan satuan (Kg μm 2 s -2 ) dan kecepatan cahaya dengan satuan (μm s -1 ) Untuk mencari konstanta radiasi kedua gunakan konstanta Planck dengan satuan (J s), kecepatan cahaya dengan satuan (μm s -1 ) dan konstanta Boltzmann dengan satuan J K -1

49 36 Lampiran 7 Rata-rata nilai parameter solar spectral irradiance Terra/Aqua MODIS L1B TERRA Kanal Esun(W/m 2 µm) L H L H AQUA Band Esun(W/m 2 µm) L H L H Sumber: Catatan : micron from Thuillier et al., 1998; micron from Neckel and Labs, 1984; Above 1.1 micron from Smith and Gottlieb, 1974.

50 37 Lampiran 8 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (20 Juli 2002) Lampiran 9 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (15 Oktober 2002) Lampiran 10 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (12 Juni 2003) Lampiran 11 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (23 September 2003)

51 Lampiran 12 Peta Nilai Suhu Permukaan (Becker and Li 1990) 38

52 Lampiran 13 Peta Nilai Suhu Permukaan (Coll 1997) 39

53 Lampiran 14 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price 1984) 40

54 Lampiran 15 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price modifikasi Sobrino 1994) 41

55 Lampiran 16 Peta Nilai Suhu Permukaan (Sobrino 1993) 42

56 Lampiran 17 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri 1992) 43

57 Lampiran 18 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri modifikasi Sobrino) 44

58 Lampiran 19 Peta Nilai Suhu Permukaan (Vidal 1991) 45

59 Lampiran 20 Peta Digital RBI Tema 1 : Penutupan Lahan 46

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang

I PENDAHULUAN. α =...(1) dimana, α : albedo R s : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan R s : Radiasi gelombang pendek yang datang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Awan berpengaruh terhadap terhadap keseimbangan energi di atmosfer melalui proses penyerapan, pemantulan, dan pemancaran energi matahari. Awan memiliki ciri tertentu

Lebih terperinci

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati SATELIT ASTER Oleh : Like Indrawati ADVANCED SPACEBORNE THERMAL EMISSION AND REFLECTION RADIOMETER (ASTER) ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah instrumen/sensor

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA Briliana Hendra P, Bangun Muljo Sukojo, Lalu Muhamad Jaelani Teknik Geomatika-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia Email : gm0704@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Pengkajian Pemanfaatan Data Terra-Modis... (Indah Prasasti et al).

Pengkajian Pemanfaatan Data Terra-Modis... (Indah Prasasti et al). Pengkajian Pemanfaatan Data Terra-Modis... (Indah Prasasti et al). PENGKAJIAN PEMANFAATAN DATA TERRA-MODIS UNTUK EKSTRAKSI DATA SUHU PERMUKAAN DARAT (SP) BERDASARKAN BEBERAPA ALGORITMA (The Study of Application

Lebih terperinci

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) Oleh : Dawamul Arifin 3508 100 055 Jurusan Teknik Geomatika

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA SATELIT TERRA MODIS

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA SATELIT TERRA MODIS MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA SATELIT TERRA MODIS Feny Arafah, Bangun Muljo Sukojo, Lalu Muhamad Jaelani Program Studi Teknik Geomatika, FTSP-ITS, Surabaya,

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PEMETAAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ASTER DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN BARAT MADURA

PEMETAAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ASTER DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN BARAT MADURA PEMETAAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ASTER DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN BARAT MADURA Dyah Ayu Sulistyo Rini Mahasiswa Pascasarjana Pada Jurusan Teknik dan Manajemen Pantai Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PEMETAAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT TM 5 (Studi Kasus: Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh : EDEN DESMOND

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian  3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan 5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 ANALISIS DISTRIBUSI TEMPERATUR PERMUKAAN TANAH WILAYAH POTENSI PANAS BUMI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DI GUNUNG LAMONGAN,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HEAT ISLAND WILAYAH BOGOR ADHITYA NOVIANTO

DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HEAT ISLAND WILAYAH BOGOR ADHITYA NOVIANTO DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL URBAN HEAT ISLAND WILAYAH BOGOR ADHITYA NOVIANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 ii

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

RADEN TIGIN PURNA LUGINA

RADEN TIGIN PURNA LUGINA ANALISIS TRANSMISI RADIASI SURYA OLEH UAP AIR (WATER VAPOR TRANSMITTANCE) MENGGUNAKAN KANAL INFRA RED DEKAT (NEAR INFRARED BAND) DATA SATELIT MODIS L1B (TERRA) RADEN TIGIN PURNA LUGINA DEPARTEMEN GEOFISIKA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA SATELIT TERRA MODIS

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA SATELIT TERRA MODIS MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA SATELIT TERRA MODIS Oleh : FENY ARAFAH 3507100034 Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS L. M. Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

PENURUNAN NILAI ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN DARI DATA TERRA MODIS L1B UNTUK KLASIFIKASI AWAN DIANA RUMONDANG

PENURUNAN NILAI ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN DARI DATA TERRA MODIS L1B UNTUK KLASIFIKASI AWAN DIANA RUMONDANG PENURUNAN NILAI ALBEDO DAN SUHU PERMUKAAN DARI DATA TERRA MODIS L1B UNTUK KLASIFIKASI AWAN DIANA RUMONDANG DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

LAPORAN ASISTENSI MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH. Dosen : Lalu Muhammad Jaelani ST., MSc., PhD. Cherie Bhekti Pribadi ST., MT

LAPORAN ASISTENSI MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH. Dosen : Lalu Muhammad Jaelani ST., MSc., PhD. Cherie Bhekti Pribadi ST., MT LAPORAN ASISTENSI MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH Dosen : Lalu Muhammad Jaelani ST., MSc., PhD Cherie Bhekti Pribadi ST., MT Oleh: Mutia Kamalia Mukhtar 3514100084 Jurusan Teknik Geomatika Institut Teknologi

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetimbangan radiasi pada vegetasi hutan adalah ρ + τ + α = 1, di mana α adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun,

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN II TINJAUAN PUSTAKA 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Curah hujan merupakan unsur meteorologi yang mempunyai variasi tinggi dalam skala ruang dan waktu sehingga paling sulit untuk diprediksi. Akan tetapi, informasi curah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU)

DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU) TESIS DETEKSI SEBARAN TITIK API PADA KEBAKARAN HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN GELOMBANG-SINGKAT DAN BACKPROPAGATION (STUDI KASUS KOTA DUMAI PROVINSI RIAU) TRI HANDAYANI No. Mhs. : 125301914 PROGRAM STUDI MAGISTER

Lebih terperinci

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 2008:132-137 KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Muchlisin Arief, Kustiyo, Surlan

Lebih terperinci

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS Briliana Hendra Prasetya (3507100004) Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS Lalu Muhamad Jaelani,

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP

Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP I. Pengantar Kapustekdata PROTOTYPE Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran strategis dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Pusat Teknologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. BAB III PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. 3.1 Lokasi Area Studi Dalam tugas akhir ini daerah Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

Perbandingan beberapa Algoritma Suhu Permukaan Tanah dengan Indeks Vegetasi menggunakan Terra MODIS di Jawa

Perbandingan beberapa Algoritma Suhu Permukaan Tanah dengan Indeks Vegetasi menggunakan Terra MODIS di Jawa Perbandingan beberapa Suhu Permukaan Tanah dengan Indeks Vegetasi menggunakan Terra MODIS di Jawa Oktavianto Gustin, M.T ) ) Jurusan Teknik Informatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 2946, email: oktavianto@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang proses interpretasi salah satu citra NOAA untuk mengetahui informasi

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA Astrolabe Sian Prasetya 1, Bangun Muljo Sukojo 2, dan Hepi Hapsari

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

2 BAB II TEORI DASAR

2 BAB II TEORI DASAR 2 BAB II TEORI DASAR 2.1 Awan Konvektif Di wilayah tropis, sebagian besar hujan umumnya dihasilkan oleh awan-awan cumulus. Awan jenis ini tumbuh karena terjadi karena adanya konveksi, yaitu naiknya udara

Lebih terperinci

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan Lalu Muhamad Jaelani, Fajar Setiawan, Hendro Wibowo, Apip Lalu Muhamad Jaelani, Ph.D

Lebih terperinci

PENGUKURAN RADIASI MATAHARI DENGAN MEMANFAATKAN SENSOR SUHU LM35

PENGUKURAN RADIASI MATAHARI DENGAN MEMANFAATKAN SENSOR SUHU LM35 PENGUKURAN RADIASI MATAHARI DENGAN MEMANFAATKAN SENSOR SUHU LM35 Eka Kristian Winasis Adi Susatya, Rendy Pamungkas, Triana Susanti, Andreas Setiawan Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Dwi Ayu R A, Bangun Mulyo Sukojo, Lalu M. Jaelani Program Studi Teknik Geomatika ITS-Sukolilo, Surabaya 60111 Email : gm0717@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul Dinamika Karakteristik

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 41 BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 4.1 Laser Laser atau sinar laser adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang berarti suatu berkas sinar yang diperkuat dengan

Lebih terperinci