KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II HASIL BME"

Transkripsi

1

2 KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat Kabupaten Bintan HASIL BME Oleh: HANING ROMDIATI ENIARTI DJOHAN CRITC-LIPI 2009 COREMAP-LIPI

3

4 KATA PENGANTAR Pelaksanaan COREMAP fase II bertujuan untuk menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, dilindungi dan dikelola secara berkesinambungan yang sekaligus juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya kecenderungan peningkatan tutupan karang merupakan indikator keberhasilan dari aspek bio-fisik. Sementara indikator dari aspek sosial ekonomi adalah peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun dan peningkatan kesejahteraan bagi sekitar penduduk di lokasi program. Untuk melihat keberhasilan tersebut perlu dilakukan penelitian benefit monitoring evaluation (BME) baik aspek ekologi maupun sosialekonomi. Penelitian BME ekologi dilakukan setiap tahun untuk memonitor kesehatan karang, sedangkan BME sosial-ekonomi dilakukan pada tengah dan akhir program. BME sosial-ekonomi bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan, untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil BME sosial-ekonomi ini dapat dipakai untuk memantau perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun tingkat lokasi. Buku ini merupakan hasil dari kajian BME sosial-ekonomi (T1) yang dilakukan pada tahun 2009 di lokasi-lokasi COREMAP di Indonesia Bagian Barat. BME sosial-ekonomi ini dilakukan oleh CRITC-LIPI iii

5 bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari Puslit lain di lingkungan kedeputian IPSK - LIPI. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku ini melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti untuk melakukan studi ini. Kepada para informan yang terdiri atas masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang di Kecamatan Gunung Kijang, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, CRITC Kabupaten Bintan, dan berbagai pihak yang telah membantu memberikan data dan informasi. Jakarta, Desember 2009 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI Susetiono iv

6 RANGKUMAN Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat mempunyai potensi sumber daya laut yang cukup besar. Selain ikan bilis dan kepiting (ketam), beragam jenis ikan karang maupun pelagis terdapat di perairan desa ini. Tingginya potensi SDL tersebut dimanfaatkan oleh kebanyakan penduduk, terutama yang tinggal di wilayah pesisir sebagai sumber mata pencaharian utama. Pada umumnya nelayan menggunakan teknologi penangkapan yang masih sederhana, seperti pompong dengan ukuran mesin kecil berkisar antara PK, sebagian di antaranya memiliki perahu motor dengan mesin 21 PK. Dalam dua tahun terakhir terjadi perubahan pemilikan dan penguasaan armada tangkap, misalnya yang sebelumnya hanya meminjam pada tauke pada saat ini sudah memiliki perahu motor sendiri. Pada umumnya nelayan juga menggunakan alat-alat tangkap sederhana dan cenderung tidak merusak terumbu karang, seperti pancing, jaring apung, kelong, dan bagan apung. Selama pelaksaan COREMAP II yang dilatarbelakangi oleh nuansa otonomi daerah dan pengalihan tanggung jawab pelaksana program nasional tersebut, sejumlah kendala/persoalan dihadapi, disamping juga telah menunjukkan keberhasilan. Persoalan koordinasi dan keterbatasan sumberdaya manusia menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan kegiatan COREMAP. Masalah koordinasi nampak dari tidak hadirnya koordinator komponen pada pertemuan antar komponen yang hanya dilakukan dua kali selama tahun Kehadiran dalam pertemuan yang hanya diwakilkan pada anggota yang tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan. Persoalan koordinasi juga terlihat dari jarangnya pertemuan antara anggota dalam satu komponen sehingga berdampak terhadap rendahnya pemahaman anggota komponen terkait dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) dalam melakukan kegiatan pengelolaan terumbu karang melalui v

7 COREMAP II. Sementara itu, persoalan keterbatasan sumber daya manusia tampak dari adanya jabatan rangkap yang dimiliki oleh semua koordinator komponen maupun Ketua PIU, bahkan beberapa di antaranya memiliki lebih dari dua jabatan, baik jabatan struktural maupun proyek. Keadaan ini berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan COREMAP yang tidak optimal, terlebih konflik kepentingan hampir dipastikan terjadi, yaitu dalam memilih untuk mendahulukan kegiatan COREMAP atau pekerjaan lain yang menjadi tanggung jawabnya, namun pada umumnya kegiatan COREMAP yang cenderung dikesampingkan. Selama melakukan kegiatannya lebih dari dua tahun, COREMAP Kabupaten Bintan telah menunjukkan berbagai capaian positif dalam upaya meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat dan tingkat kesadaran akan pentingnya pengelolaan terumbu karang. CBM dengan fokus kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif mendapat respon positif dari masyarakat dan tampaknya telah menunjukkan keberhasilan pada beberapa pokmas. Oleh karena itu, mudah dimengerti jika capaian program ini lebih dari 80 persen. Disamping telah dapat memberikan manfaat ekonomi, kegiatan dari komponen CBM telah dapat memberikan pelajaran bagi masyarakat tentang berbisnis dan bekerja secara berkelompok. Sementara itu, kegiatan komponen penyadaran masyarakat (PA) dan CRITC nampaknya telah berdampak terhadap meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat tentang pelestarian dan pengelolaan terumbu karang. Selain memberikan pengetahuan pada anak-anak sekolah, upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan dan terumbu karang juga dilakukan dengan penyediaan MCK, sarana air bersih, dan tong sampah di lingkungan permukiman penduduk di lokasi program. Untuk menjaga keberlanjutan kegiatan yang telah diimplementasikan, maka program penyadaran pengelolaan sumber daya laut untuk anak-anak telah diusulkan kepada Dinas Pendidikan untuk memasukkannya dalam kurikulum sekolah (Mulok). Seperti kegiatan komponen PA, kegiatan komponen CRITC berjalan cukup baik dan telah berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat terkait dengan upaya pelestarian vi

8 dan pengelolaan terumbu karang. Selain melakukan pemantauan kesehatan karang yang dilakukan oleh anggota komponen CRITC, komponen ini juga mengajak masyarakat untuk ikut dalam kegiatan tersebut. Selain itu, CRITC juga melakukan berbagai jenis pelatihan dan kajian evaluasi program yang telah dilakukan sebagai dasar untuk menyusun program ke depan. Di tingkat lokasi program, yaitu di Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat, pelaksanaan kegiatan COREMAP nampak adanya berbagai indikasi keberhasilan, meskipun juga dijumpai beberapa kendala. Kegiatan COREMAP II yang telah dilakukan di Desa Gunung Kijang hanya terkonsentrasi di satu dusun. LPSTK dan tiga pokmas (jender, produksi dan pengawasan) telah melakukan kegiatan, walaupun pokmas jender baru ada satu kelompok. Terkonsentrasinya kegiatan COREMAP hanya dalam satu kampung telah menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat dari kampung lain. Kegiatan COREMAP yang terlihat sangat menonjol di lokasi program adalah pengembangan MPA dengan melibatkan sejumlah dana bantuan yang dikelola pokmas di kampung tersebut. Kegiatan dan bantuan dana ini merupakan penyebab utama kecemburuan sosial karena mungkin mereka belum mengetahui bahwa kegiatan COREMAP memang hanya dilakukan di wilayah yang sebagian besar penduduknya menggantungkan kehidupannya pada laut. Kurangnya sosialisai tentang COREMAP terkait dengan tujuan dan sasaran program di kampung lain yang masyarakatnya tidak menggantungkan pada kehidupan di laut tampaknya perlu dilakukan, terlebih jika mereka masih tinggal dalam satu wilayah administrasi desa. Berkaitan dengan kegiatan pokmas, beberapa perempuan/ jender dan produksi (seperti KJT ikan kerapu hitam dan ketam bakau) yang baru menjalankan usaha kurang dari satu tahun telah mendapat penghasilan dari hasil usahanya, walaupun tidak besar. Disamping mendapat tambahan pendapatan, anggota pokmas juga mendapat tambahan ketrampilan usaha tentang pengelolaan usaha bersama. Pokmas KJT ikan kerapu maupun ketam bakau mendapat tambahan vii

9 ketrampilan tentang usaha budidaya/pembesaran SDL. Sementara itu, pokmas perempuan, khususnya di Desa Malang Rapat yang sudah terbiasa bekerja berkelompok juga merasa mendapat tambahan ketrampilan untuk jenis usaha lain yang baru diperoleh pada saat pelatihan, misalnya pembuatan dodol rumput laut. Namun demikian, pokmas-pokmas tersebut juga menghadapi kendala. Pokmas jender/perempuan pada umumnya menghadapi kendala pemasaran, mungkin karena produksi masih terbatas dalam jumlah dan kualitas. Persoalan pemasaran seperti itu tidak dihadapi oleh pokmas produksi dengan jenis usaha KJT ikan kerapu dan ketam bakau karena pasar untuk dua jenis SDL ini sudah jelas (sudah ada yang menampung), tetapi pokmas ini menghadapi kendala dalam perawatan karamba yang memerlukan modal tidak sedikit, padahal tidak ada lagi bantuan dari COREMAP. Kendala perawatan peralatan juga dihadapi olek Pokmaswas karena kelompok ini belum mengelola sarana yang dimiliki untuk usaha yang dapat mendatangkan uang, sementara pihak COREMAP tidak menyediakan biaya perawatan. Namun kendala tersebut tampaknya tidak menganggu kegiatan pengawasan DPL, antara lain karena adanya bantuan masyarakat dalam kegiatan pengawasan secara sukarela. Pelaksanaan COREMAP II di lokasi kajian bukan hanya mendatangkan manfaat ekonomi bagi sebagian anggota masyarakat, tetapi juga telah meningkatkan pengetahuan dan partisipasi mereka dalam upaya pengelolaan terumbu karang. Sebagian besar masyarakat telah mengetahu manfaat COREMAP untuk penyelamatan, perlindungan dan pelestarian SDL. Mereka juga mengetahui kegiatan-kegiatan UEP COREMAP, tetapi keterlibatan masih rendah. Faktor penyebabnya antara lain karena pokmas yang mendapat bantuan modal usaha masih dalam jumlah sedikit. Namun demikian, keterlibatan sebagian kecil anggota masyarakat tersebut tampaknya dapat menambah pendapatan rumah tangga, walaupun pendapatan terbesar mungkin masih berasal dari hasil usaha/pekerjaan utamanya. Besar pendapatan rata-rata rumah tangga pada tahun 2009 sebesar Rp ,- per bulan, meningkat sebesar 56,5 persen. viii

10 Kenaikan pendapatan ini menggambarkan meningkatnya kondisi kesejahteraan rumah tangga. Apalagi peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga juga diikuti dengan kenaikan pendapatan per kapita sebesar 53,0 persen. Perubahan pendapatan rumah tangga tersebut juga terjadi pada rumah tangga yang mendapat sumber penghasilan dari kegiatan kenelayanan. Kenaikan pendapatan dari kegiatan kenelayanan meningkat 59,7 persen, sedangkan kenaikan pendapatan per kapita mencapai 128,4 persen selama periode Pesatnya kenaikan pendapatan per kapita menggambarkan bahwa anggota rumah tangga responden termasuk pada kategori penduduk tidak miskin, karena angka ini jauh melampuai angka kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 2006 yang hanya sebesar Rp , maupun di Kota Tanjung Pinang (Rp ). Kenaikan pendapatan tertinggi terjadi pada musim ombak lemah, yaitu sebesar 68,1 persen, sedangkan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan pada musim ombak kuat hanya 20,8 persen. Pada musim pancaroba, kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan sekitar 59,6 persen. Perbedaan perubahan pendapatan menurut musim tersebut berkaitan dengan kegiatan kenelayanan pada musim teduh yang dapat dilakukan dengan maksimal karena semua alat tangkap yang dipakai/dikuasai dapat digunakan secara maksimal dan keiatan melaut dapat dilakukan sepanjang hari/malam. Sementara pada musim ombak kuat, kegiatan melaut hanya dapat dilakukan sebentar dengan alat-alat tangkap yang terbatas pula. Perubahan pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian, yaitu di Desa Gunung KIjang dan Malang Rapat dipengaruhi oleh faktor internal, eksternal dan struktural, yang saling terkait satu dengan yang lain. Dari tiga faktor tersebut, sulit diketahui dengan pasti faktor yang dominan dalam mempengaruhi perubahan pendapatan rumah tangga. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan pendapatan antara lain karena adanya peningkatan kapasitas penangkapan. Bertambahnya jumlah kelong bilis, perubahan status pemilikan perahu motor dari menguasai ke memiliki pada sebagian nelayan, dan peningkatan ix

11 pengetahuan tentang budidaya merupakan faktor internal yang diperkirakan memengaruhi perubahan pendapatan. Sementara itu, faktor kemudahan dalam pemasaran SDL merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga nelayan. Faktor struktural yang memperlihatkan kontribusi nyata terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga adalah kegiatan-kegiatan COREMAP, baik yang berkaitan dengan program pemberdayaan ekonomi maupun perlindungan dan pelestarian terumbu karang. Bantuan modal usaha untuk pokmas jender/perempuan dan produksi (UEP) telah dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga peserta program. Hasil survei menunjukkan, pendapatan rata-rata rumah tangga pokmas lebih besar (Rp ) dibanding dengan rumah tangga bukan pokmas ( ). Namun demikian, jumlah peserta pokmas masih sangat terbatas, sehingga keberhasilan ini diharapkan juga disertai dengan upaya anggota pokmas untuk menggulirkan dana pada kelompok baru. Implementasi COREMAP selama kira-kira dua tahun telah dapat memberikan manfaat ekonomi maupun memperkuat modal sosial, walaupun masih dalam kalangan yang terbatas. Namun demikian, konsistensi kegiatan program dan dukungan pengelolaan usaha pemberdayaan ekonomi perlu dilakukan, terutama terkait dengan peningkatan kualitas produksi dan pemasaran. Dukungan tenaga pendamping dalam pengelolaan usaha perlu ditingkatkan sehingga kegiatan UEP tidak hanya memberikan manfaat ekonomi pada kelompok tetapi juga dapat menggulirkan bantuan modal usaha kepada kelompok lain. Disamping itu, pengembangan mata pencaharian alternatif yang menekankan pada usaha budidaya dan pengolahan SDL di Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang tampaknya sesuai dengan potensi wilayah dan kemampuan sumberdaya manusia sehingga perlu dikembangkan pada kelompok nelayan yang lain. x

12 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR RANGKUMAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR iii v xi xiii xv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Metodologi Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat: Kondisi umum wilayah 7 BAB II PENGELOLAAN COREMAP Pelaksanaan COREMAP: Permasalahan dan Kendala Program dan Kegiatan Tingkat Kabupaten Pelaksanaan COREMAP Tingkat Desa: Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat Tentang Kegiatan COREMAP Pengetahuan Masyarakat Partisipasi Masyarakat Pada Program COREMAP 34 BAB III PERUBAHAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA Pendapatan Rumah Tangga dan Pendapatan Per Kapita 41 xi

13 3.2. Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Pendapatan Rumah Tangga Pokmas Faktor Pengaruh Pendapatan Rumah Tangga Perubahan Pendapatan Karena Faktor Struktural: COREMAP dan Program Lainnya Perubahan Pendapatan Karena Faktor Eksternal Perubahan Pendapatan Karena Faktor Internal 69 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi 82 DAFTAR PUSTAKA 85 xii

14 DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Kegiatan COREMAP, Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 27 Tabel 2.2. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Pokmas COREMAP, Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 30 Tabel 2.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kegiatan Ekonomi COREMAP dan Sumber Informasi, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 31 Tabel 2.4. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Usaha Ekonomi COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 34 Tabel 2.5. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Dalam Kegiatan COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 35 Tabel 2.6. Tabel 2.7. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Dalam Kelompok Masyarakat (Pokmas) COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 37 Distribusi Responden Menurut Keterlibatan dalam Kegiatan Ekonomi COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 38 xiii

15 Tabel 2.8. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Pada Jenis Usaha Ekonomi Produktif COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) 40 Tabel 3.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah), N=99 42 Tabel 3.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah) 48 Tabel 3.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah) 50 xiv

16 DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1. Distribusi Responden Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah), N = Gambar 3.2a. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan, Musim Ombak Kuat, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 (N=64) dan 2009 (N=61) 52 Gambar 3.2b. Distribusi Persentase Rumah Tangga, Menurut Kelompok Pendapatan Musim Pancaroba, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, 2007 (N=79) dan 2009 (N=74) 52 Gambar 3.2c. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Musim Ombak Lemah, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Th 2007 (N=79) dan 2009 (N=71) 53 Gambar 3.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Pokmas dan Bukan Pokmas, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Tahun xv

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG K ira-kira sebesar 14 persen dari terumbu karang dunia terdapat di Indonesia, namun sebagian telah mengalami kerusakan. Menurut data dari Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia atau Coral Reef Rehabilitation Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (COREMAP LIPI, 2006), hanya 6,83 persen dari km2 terumbu karang yang ada di Indonesia berpredikat sangat baik (excellent). Ekosistem terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan perusakan, baik karena proses alam 1 maupun manusia. Namun demikian, kerusakan akibat kegiatan manusia jauh lebih besar dibanding proses alam. Beberapa aktivitas manusia yang berkontribusi terhadap kerusakan terumbu karang antara lain kegiatan perikanan yang merusak (misalnya penggunaan bahan peledak, bahan peracun, bubu dan jaring dasar), polusi dari transportasi laut, pengembangan pariwisata pantai dan penggalian batu karang untuk bahan bangunan, penggalian pasir laut, lemahnya penegakkan hukum tentang penggunaan sumber daya alam, serta rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ekosistem terumbu karang. Kehidupan penduduk di wilayah pesisir dan kepulauan pada umumnya memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya laut (SDL). Kondisi ini telah berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang. Di Indonesia, kerusakan terumbu karang karena 1 Bleaching coral, blooming predator bintang laut dan mahkota berduri, bencana alam (seperti tsunami), merupakan beberapa faktor alam yang dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang. 1

18 penangkapan ikan secara berlebihan diperkirakan mencapai 64 persen dari luas keseluruhan (Sutanta, 2008). Dari kerusakan sebesar itu, kirakira sebanyak 53 persen disumbang oleh kegiatan penangkapan ikan dengan metode merusak. Kabupaten Bintan dengan tipologi wilayah kepulauan yang terletak antara 00 Lintang Utara 1 20 Lintang Selatan dan Bujur Timur Bujur Barat, merupakan daerah yang kaya akan ekosistem terumbu karang. Kabupaten yang luas wilayah perairannya mencapai 98,49 persen memiliki kawasan terumbu karang kira-kira seluas 7.521,8 km² (data interpretasi citra Landsat ETM, April 2000, seperti disetir oleh CRITC-COREMAP, 2005). Menurut hasil penelitian tim studi ekologi-lipi tahun 2007, kondisi terumbu karang di Kabupaten Bintan berada dalam kondisi buruk hingga baik, yaitu terlihat dari perentase tutupan karang hidup yang berkisar antara 11,73 persen 58,1 persen. Kondisi terumbu karang di wilayah ini sedikit mengalami perbaikan, diindikasikan oleh meningkatnya persentase tutupan karang hidup. Data tahun 2008 menunjukkan, persentase tutupan karang-hidup pada umumnya berkisar antara 34 persen dan 73 persen, yang berarti bahwa kondisi terumbu karang di wilayah ini dapat dikategorikan dalam kondisi sedang hingga baik. Kondisi terumbu karang dengan tren yang membaik kemungkinan juga terjadi di perairan Kecamatan Gunung Kijang, salah satu kecamatan di Kabupaten Bintan, yang juga menjadi lokasi COREMAP II. Program nasional tentang rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (COREMAP) telah dilakukan di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau sejak tahun Proyek COREMAP yang telah memasuki fase II secara umum bertujuan melindungi, merehabilitasi, dan melestarikan terumbu karang, yang sekaligus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Rincian tujuan COREMAP adalah (i) meningkatkan kapasitas nasional dan lokal untuk mengelola sumber daya terumbu karang; dan (ii) merehabilitasi dan mengelola secara efektif ekosistem terumbu karang yang diprioritaskan, sehingga menaikkan tingkat pendapatan dan memperbaiki standar hidup 2

19 masyarakat pesisir yang miskin. COREMAP terdiri dari 2 komponen utama, (i) penguatan kelembagaan dan pengelolaan proyek, dan (ii) pengelolaan dan pengembangan sumberdaya berbasis masyarakat 2. Komponen COREMAP yang berupa pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat dilakukan dengan menggabungkan aspek tehnis pengelolaan dan aspek-aspek sosial, ekonomi serta budaya masyarakat setempat. Melalui pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) dalam Proyek COREMAP, maka masyarakat pesisir, termasuk perempuan, diharapkan mempunyai akses yang lebih luas terhadap sumberdaya yang kemudian didorong untuk mandiri dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya (Indar, 2007). Selama ini dapat ditengarai bahwa kerusakan terumbu karang antara lain karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang kegunaan/fungsi terumbu karang, disamping karena faktor kemiskinan. Penyebab lain adalah akibat ketamakan dari sebagian orang yang melakukan eksploitasi terumbu karang yang berlebihan. Selain itu, kebijakan dan strategi pengelolaan yang tidak jelas serta kelemahan kerangka perundang-undangan dan penegakan hukum bagi perusak terumbu karang juga memperparah kerusakan terumbu karang. Dengan demikian, pengelolaan PBM melalui COREMAP II diharapkan dapat mengatasi meluasnya kerusakan terumbu karang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Empat desa di Kecamatan Gunung Kijang dipilih sebagai lokasi Proyek COREMAP II, dua diantaranya menjadi lokasi studi data dasar aspek sosial ekonomi terumbu karang (T0) tahun 2007 dan kajian BME (T1) tahun 2009, yaitu Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat. 2 Komponen COREMAP yang pertama terdiri dari (a) penguatan lembaga-lembaga pusat dan daerah dalam hal kebijakan, strategi dan rumusan panduan, dan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat; (b) pembentukan dan penguatan jaringan Pusat-Pusat Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang (CRITC = Coral Reef Information and Training Centers); (c) pengembangan dan peningkatan sumberdaya manusia (HRD); dan (d) bantuan pengelolaan Proyek. Komponen kedua termasuk (a) pemberdayaan masyarakat, (b) pengelolaan sumberdaya masyarakat, (c) layanan sosial kemasyarakatan dan pengembangan prasarana, serta (d) peningkatan mata pencarian dan pendapatan masyarakat. 3

20 Ditetapkannya dua desa tersebut sebagai lokasi COREMAP II, yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB), antara lain karena ekosistem terumbu karangnya telah mengalami kerusakan, sedangkan kebanyakan penduduknya menggantungkan kehidupannya pada SDL. Dengan demikian, kegiatan COREMAP diharapkan dapat berkonstribusi dalam upaya menghindarkan adanya kegiatan-kegiatan pengrusakan lingkungan yang dapat mengganggu kehidupan ekonomi nelayan di kawasan tersebut pada masa datang. Berbagai kegiatan terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat pesisir yang secara langsung dan tidak langsung bergantung pada pengelolaan ekosistem terumbu karang sudah dan sedang dilaksanakan di Desa Gunung Kijang maupun Desa Malang Rapat. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: (1) peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian terumbu karang, (2) perlindungan dan pengawasan daerah pesisir dan laut, (3) usaha ekonomi masyarakat, (4) pelatihan dan pendampingan, (5) pembuatan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang. Kegiatan-kegiatan yang belum genap satu tahun berjalan tersebut perlu dimonitor dan dievaluasi guna melihat pencapaian program. Beberapa indikator keberhasilan telah ditentukan oleh lembaga donor (yaitu Asian Development Bank-ADB) guna memudahkan dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Dalam jangka panjang, kegiatan evaluasi juga dimaksudkan untuk menilai apakah program yang dilaksanakan telah sesuai dengan yang direncanakan. Dengan demikian, kegiatan studi BME dapat memberikan masukan kepada pengelola program agar dapat dengan segera mengambil tindakan untuk merespon permasalahan yang dihadapi, sehingga program dapat berjalan sesuai dengan arah dan tujuan semula. 4

21 1.2. TUJUAN DAN METODOLOGI Tujuan survei Benefit Monitoring Evaluation Aspek Sosial- Ekonomi COREMAP adalah untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi, khususnya tingkat pendapatan dan faktor-faktor yang berpengaruh, yang merupakan indikator untuk memantau dampak COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Tujuan rinci dari studi BME adalah: 1. Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di daerah 2. Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai COREMAP 3. Menggambarkan perubahan tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat. Lokasi studi BME adalah dua desa di Kecamatan Gunung Kijang, yang juga menjadi lokasi kajian Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang pada tahun 2007, yaitu Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Sejak tahun 2006, dua desa ini ditetapkan menjadi lokasi kegiatan COREMAP. Seperti halnya dengan pemilihan lokasi kajian, rumah tangga sampel juga dipilih pada rumah tangga yang menjadi target survei pada tahun Namun demikian, beberapa rumah tangga sampel harus diganti dengan alasan tidak dapat ditemui selama kegiatan survei berlangsung. Pemilihan rumah tangga pengganti diupayakan mempunyai kemiripan karakteristik sosial-ekonomi dengan rumah tangga yang digantikan. Pengumpulan data BME aspek sosial-ekonomi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mendapatkan data primer melalui kegiatan 3 Pemilihan rumah tangga dilakukan dengan metode sampel secara acak sistematis (sistematic random sampling). 5

22 survei, sedangkan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai isu terkait dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang, serta pelaksanaan kegiatan COREMAP. Pendekatan kuantitatif ditujukan untuk memperoleh data di tingkat rumah tangga dengan melakukan survei terhadap rumah tangga terpilih. Pelaksanaan survei dibantu oleh tujuh (7) orang pewawancara 4. Data yang diperoleh dari survei adalah data rumah tangga dan individu. Data rumah tangga ditanyakan kepada kepala rumah tangga (KRT) atau ART dewasa yang mengetahui tentang kehidupan rumah tangga bersangkutan. Data individu diperoleh dari ART berusia > 15 tahun yang dipilih dengan cara acak insidental/kebetulan (pada saat dilakukan survei ada di tempat). Data rumah tangga mencakup pendapatan dan pemilikan aset rumah tangga. Data/informasi pada tingkat individu yang dikumpulkan meliputi pengetahuan dan partisipasi ART terpilih (responden) dalam kegiatan COREMAP, pengetahuan dan keterlibatan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi dalam COREMAP, serta dampak COREMAP terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Data yang dikumpulkan melalui pendekatan kualitatif adalah data/informasi yang tidak diperoleh dari kegiatan survei, sehingga dapat saling melengkapi dengan data kuantitatif. Informasi yang dikumpulkan dengan pendekatan kualitatif meliputi berbagai aspek terkait dengan program dan kegiatan pengelolaan terumbu karang dan sumber daya laut, produksi dan pemasaran SDL, lokasi dan wilayah penangkapan, kondisi daerah, dan degradasi lingkungan. Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam, diskusi terfokus (FGD) dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan di tingkat lokasi/desa dan kabupaten. Informan di tingkat desa adalah 4 Sebelum melakukan survey, pewawancara dilatih terlebih dahulu agar memiliki pemahaman tentang maksud dan tujuan pengumpulan data, serta materi pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Selanjutnya, kuesioner yang telah diisi oleh pewawancara diperiksa oleh tim peneliti untuk melihat kelengkapan data dan konsistensi jawaban. 6

23 nelayan, ketua dan anggota Pokmas, tenaga pendamping, dan pemuka masyarakat (formal maupun informal), anggota masyarakat lain yang diperkirakan mengetahui tentang pengelolaan terumbu karang. Informan di tingkat kabupaten melibatkan koordinator/anggota komponen COREMAP Kabupaten Bintan ADB wilayah Bintan dan Batam. FGD dilakukan di tingkat kabupaten pada pengelola COREMAP. Observasi lapangan hanya dilakukan di tingkat desa, yaitu untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman tentang keadaan lokasi penelitian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang DESA GUNUNG KIJANG DAN MALANG RAPAT: KONDISI UMUM WILAYAH Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Sebagian besar bentuk wilayah Desa Gunung Kijang merupakan daratan dengan sebagian wilayahnya berupa pesisir. Wilayah pesisir terletak cukup jauh dari jalan utama desa dengan kondisi jalan masih berupa jalan tanah yang baru sebagian diperkeras. Belum tersedia pelayanan transportasi umum. Ini berbeda dengan Desa Malang Rapat yang sebagian wilayahnya terletak memanjang di jalur jalan utama dan sudah ada pelayanan transportasi umum satu kali per hari, tetapi sebagian besar rumah tangga memiliki motor. Kondisi aksesibilitas geografis dan jaringan jalan yang berbeda di dua lokasi penelitian tersebut dapat berpengaruh terhadap capaian kegiatan COREMAP, khususnya kegiatan yang berhubungan dengan upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Masyarakat di dua desa tersebut mengenal empat musim angin, yaitu musim utara (Desember-Maret), Timur (April-Juli), Selatan (Agustus- Oktober), dan Barat (November-Desember). Namun demikian, musim angin pada akhir-akhir ini terjadi tidak teratur lagi. Misalnya, pada musim angin teduh (musim timur) terkadang muncul angin ribut yang mestinya terjadi pada musim pancaroba (musim barat). Namun 7

24 demikian, perubahan musim angin tersebut belum mengganggu kegiatan kenelayanan. Potensi sumber daya alam yang terdapat di Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat meliputi sumber daya darat dan laut. Potensi sumber daya alam darat berupa bahan galian pasir, sedang batu granit hanya terdapat di Desa Gunung Kijang yang dikelola oleh perusahaan swasta. Pemanfaatan bahan galian batu granit oleh masyarakat hanya dalam volume sangat sedikit dan berkualitas rendah, itupun diperoleh dengan cara membeli kepada perusahaan yang kemudian diolah menjadi pecahan-pecahan batu granit berukuran kecil. Kegiatan penambangan pasir dalam volume besar yang kemudian diekspor ke Singapura sudah berakhir kira-kira lebih dari setahun yang lalu, tetapi penggalian secara tradisional masih berlangsung. Di bidang pertanian, potensi perkebunan kelapa cenderung semakin menurun, akibat tidak adanya peremajaan tanaman kelapa, demikian pula areal lahan perkebunannya juga semakin sempit. Kondisi ini terutama terjadi di Desa Gunung Kijang, sedangkan usaha perkebunan kelapa di kawasan pesisir Desa Malang Rapat tampaknya masih potensial untuk dikembangkan, terlebih usaha kerajinan lidi dari pohon kelapa yang dilakukan oleh sebagian kaum ibu tampaknya memiliki prospek yang cukup baik. Selain pertambangan dan pertanian, sektor pariwisata bahari juga sangat potensial untuk dikembangkan, karena wilayah pesisir di Desa Malang Rapat cukup indah panoramanya. Di wilayah Desa Gunung Kijang juga dijumpai beberapa cottage/resort yang sebagian di antaranya dikelola oleh pengusaha asing (antara lain dari Singapore). Potensi sumber daya laut di wilayah perairan Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat meliputi hutan mangrove, terumbu karang dan berbagai sumber daya ikan. Meskipun demikian, luas hutan mangrove terus berkurang. Demikian pula, luas kawasan terumbu karang hidup makin sempit akibat kerusakan yang terus terjadi, terutama akibat aktivitas manusia, antara lain karena penggunaan bom dan jaring dasar. Hal ini antara lain terlihat dari ditemukannya patahan karang di daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat (CRITCS COREMAP Kabupaten Bintan, 2006). 8

25 Sarana-prasarana ekonomi di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang masih sangat terbatas, yaitu beberapa warung sederhana dan pedagang keliling pada waktu tertentu. Demikian pula sarana untuk kegiatan jual beli hasil kegiatan kenelayanan, seperti tempat pelelangan ikan (TPI), belum tersedia, bahkan juga di tingkat kecamatan. Hasil tangkapan ikan pada umumnya dijual pada pedagang pengumpul (tauke) atau penampung, atau langsung dijual ke Kawal, Kijang dan Tanjung Pinang. Sarana penunjang kegiatan kenelayanan yang tersedia di lokasi kajian adalah dermaga-dermaga kecil yang dipergunakan untuk menambat perahu nelayan dan mendaratkan ikan. Jumlah penduduk Desa Gunung Kijang kira-kira jiwa, atau 431 KK, yang terdiri dari 925 laki-laki dan 769 perempuan (RPTK Desa Gunung Kijang, 2008). Jumlah penduduk Desa Malang Rapat adalah jiwa atau 476 KK yang meliputi laki-laki 899 jiwa dan perempuan 753 jiwa. Etnis Melayu yang merupakan penduduk asli merupakan proporsi terbesar (52,36 persen), selebihnya adalah etnis Jawa, Bugis, Flores, Buton, Minang, Batak, dan Tionghoa/Cina (RPTK Desa Malang Rapat, 2008). Penduduk terbanyak adalah pendatang yang berasal dari berbagai daerah seperti Jawa, Flores dan Sulawesi. Persentase penduduk asli hanya sebesar 21,6 persen. Tiga jenis pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa Gunung Kijang adalah pekerja kasar atau buruh (23,9 persen), nelayan (20 persen) dan petani (19,5 persen) (RPTK Gunung Kijang 2005). Selebihnya bekerja di berbagai jenis pekerjaan, seperti pedagang, tenaga produksi pada industri rumah tangga, pegawai negeri sipil (PNS) dan lain-lain. Walaupun tidak tersedia data statistik, berdasarkan wawancara mendalam dengan perangkat desa dan masyarakat, serta observasi di lokasi kajian, kebanyakan penduduk Desa Malang Rapat bekerja pada lapangan pekerjaan kenelayanan dan pertanian. Sebagian lainnya bekerja di sektor-sektor perdagangan, jasa, industri pengolahan, dan penggalian (pasir). Lapangan pekerjaan penduduk di Desa Malang Rapat tampaknya lebih beragam dibandingkan dengan yang tersedia di Desa Gunung Kijang. Hal ini 9

26 karena Desa Malang Rapat terletak pada jalur jalan raya Kabupaten Bintan dan merupakan zona pengembangan pariwisata bahari di beberapa bagian wilayah pesisir desa ini. Hal ini membawa dampak positif terhadap perluasan kesempatan kerja bagi penduduk setempat. 10

27 BAB II PENGELOLAAN COREMAP Salah satu tujuan program COREMAP II adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan, yaitu dengan memperhatikan kelestarian terumbu karang yang ada di kawasan perairan tempat tinggalnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kawasan Kabupaten Bintan yang merupakan salah satu daerah binaan COREMAP II telah mengimplementasikan berbagai program di beberapa lokasi terpilih, baik daerah pesisir maupun kepulauan. Implementasi COREMAP II ditujukan untuk masyarakat nelayan dan keluarganya yang diperkirakan mempunyai hubungan kuat dengan kehidupan sumber daya laut, khususnya ekosistem terumbu karang. Di Kawasan Kabupaten Bintan program ini dimulai tahun 2005, namun di wilayah Kecamatan Gunung Kijang dimulai tahun Kegiatan yang telah dilaksanakan di Kawasan Gunung Kijang, antara lain adalah pembentukan LPSTK, pembentukan Pokmas, pengawasan terhadap daerah konservasi terumbu karang, pelatihan-pelatihan berkaitan dengan kegiatan Pokmas, dan beberapa kegiatan sesuai dengan RPTK desa di mana program COREMAP dilaksanakan. Bagian ini terdiri dari dua sub-bab, yaitu: 1) pelaksanaan COREMAP di Kawasan Kabupaten Bintan; dan 2) pengetahuan dan partisipasi masyarakat terhadap kegiatan COREMAP. Pelaksanaan COREMAP di Kawasan Bintan tersebut dimulai dengan berbagai program COREMAP pada tingkat kabupaten dan dilanjutkan dengan program-program di tingkat desa. Sedangkan sub-bab keuda diawali dengan pembahasan mengenai pengetahuan masyarakat tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan program COREMAP, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan partisipasi mereka terhadap program tersebut. 11

28 2.1. PELAKSANAAN COREMAP: PERMASALAHAN DAN KENDALA Program dan Kegiatan Tingkat Kabupaten Program COREMAP di Kabupaten Bintan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Komponen COREMAP II yang berhubungan langsung untuk mengimplementasikan program ke masyarakat adalah CRITC (Coral Reef Information and Training Center), PBM/CBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat/Community Basic Management), MCS (Monitoring, Controlling, and Surveillance) dan PA (Public Awarenees/penyadaran masyarakat). Semua komponen tersebut dikoordinir PIU (Project Implementation Units) yang mengimplementasikan setiap program dengan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat, baik pada tingkat kabupaten sebagai pengelola maupun desa sebagai pelaksana program. Pada awal program (tahun 2006) komponen-komponen tersebut di atas dibentuk ke dalam lingkup Komite Pengarah Daerah (KPD) yang membawahi Kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Gunung Kijang. Adanya pemekaran kecamatan dan mutasi dalam lingkup pemerintah Kabupaten Bintan, tahun 2009 terjadi perubahan dalam keanggotaan KPD. Pembentukan KPD dan Unit Pelaksana Proyek COREMAP II Kabupaten Bintan tahun anggaran 2009 berdasar SK Bupati Bintan No. 46/II/2009 yang diikuti dengan Renstra Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Bintan selama periode Dalam SK tersebut tercantum bahwa Ketua KPD adalah Kepala BAPPEDA Kabupaten Bintan yang anggotanya terdiri dari tiga sekretaris daerah Kabupaten Bintan. Sementara itu, Unit Pelaksana Proyek/Project Implementation Units (UPP/PIU) dipimpin staf DKP Bintan yang dibantu oleh staf dari berbagai instansi dan camat terkait. Tugas KPD adalah memberi arah koordinasi antarlembaga terkait kepada UPP/PIU, Komite Pengarah Nasional (NSC), dan PMO di tingkat nasional. Sejak tahun 2006, COREMAP II di Kabupaten Bintan diimplementasikan di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Tambelan, 12

29 Kecamatan Bintan Pesisir dan Kecamatan Gunung Kijang. Program COREMAP di Bintan Timur, khususnya Desa Mapur, mulai disosialisasikan tahun 2004 dan seharusnya selesai tahun Namun beberapa program tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana dan pelaksanaannya tertunda karena adanya hambatan struktural. Perubahan pengelola COREMAP yang awalnya adalah BAPPEDA Kabupaten Kepulauan Riau, sejak tahun 2006 dikelola Dinas Kelautan dan Perikanan (Mujiani dkk. 2007:37-38). Khusus Kecamatan Gunung Kijang yang menjadi fokus kajian ini, perencanaan dan sosialisasi program dimulai tahun 2006, tetapi diimplementasikan pada tahun Struktur pengelola COREMAP II Tingkat Kabupaten Bintan adalah Project Implementation Units (PIU) 5 terdiri dari: 1) Tim Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia; 2) Tim Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat (CBM); 3) Tim Penyadaran Masyarakat (PA); 4) Tim Penegakan Hukum (MCS); dan 5) Tim Pelatihan dan Informasi Terumbu Karang (CRITC). Struktur organisasi setiap komponen terdiri dari koordinator yang membawahi anggota antara lima (5) hingga enam (6) orang yang didominasi oleh staf DKP. Instansi lain yang terlibat dalam struktur PIU, antara lain adalah Bappeda, Dinas Pertanian & Kehutanan, Dinas sosial, Dinas Pariwisata & Kebudayaan, camat terkait, dan LSM. Dalam pelaksanaan kegiatan, PIU secara khusus dibantu oleh tim konsultan agar program dapat berjalan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Dalam pengelolaan COREMAP, PIU bertindak sebagai penggerak pelaksanaan program agar dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip, kebijakan, prosedur, dan mekanisme COREMAP di lokasi program. Oleh karena itu, PIU mempunyai peran pokok dalam memfasilitasi proses perencanaan dan pelaksanaan program agar pelestarian SDL, khususnya terumbu karang dapat terlaksana sebagai salah satu tujuan proyek COREMAP di Indonesia. Dalam menjalankan 5 Untuk selanjutnya tulisan ini akan menggunakan singkatan Project Implementation Units (PIU) yang umum digunakan untuk proyek COREMAP yang didanai ADB. 13

30 tugas dan fungsi tersebut di atas, PIU bertanggungjawab kepada Bupati Bintan. Tugas PIU tersebut adalah: 1. Melakukan implementasi aspek perencanaan dalam rangka memadukan perencanaan pembangunan kegiatan program COREMAP II Kabupaten Bintan dengan pembangunan daerah serta melakukan pemantapan perencanaan pembangunan yang ramah lingkungan secara berkesinambungan. 2. Melaksanakan survei (penelitian/kajian) dan pelatihan dalam rangka pembangunan program COREMAP II. 3. Melaksanakan pengendalian, pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan program COREMAP II. 4. Membuat laporan perkembangan secara berkala sesuai dengan tahapan perencanaan dan tahapan pengendalian, juga analisa terhadap program yang terkait dalam program COREMAP II Kabupaten Bintan. Dalam jangka waktu sekitar lima tahun ( ) tim PIU Kabupaten Bintan telah beberapa kali mengalami perubahan, baik pada tingkat koordinator PIU maupun anggota, pada setiap komponen COREMAP. Perubahan ini terjadi umumnya karena anggota PIU mengalami mutasi dari satu instansi ke instansi lain atau daerah lain dan pemekaran wilayah. Dampak dari mutasi ini, apabila anggota pengganti belum atau tidak pernah terlibat dengan program COREMAP akan memulai dan menyesuaikan dari awal. Artinya, pengurus baru bisa saja membuat program baru namun fokusnya tidak atau kurang sesuai dengan tujuan COREMAP. Selama pelaksanaan COREMAP II di Kabupaten Bintan, PIU telah melaksanakan semua kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi belum sesuai dengan harapan. Misalnya pertemuan rutin anggota pada tahun 2008 hanya dapat dilaksanakan dua kali sehingga perencanaan kegiatan, evaluasi dan monitoring sulit berjalan. Menurut seorang staf PIU, pertemuan rutin sebaiknya dilakukan satu kali dalam satu bulan dengan agenda presentasi kegiatan dan permasalahan 14

31 masing-masing komponen sehingga semua kegiatan pada arah yang sesuai dengan yang telah ditentukan. Tidak berjalannya pertemuan ini, antara lain disebabkan anggota PIU pada umumnya mempunyai jabatan rangkap. Mereka lebih mengutamakan tugas dan kegiatan di dinas/instansi masing-masing, sehingga COREMAP II cenderung dikesampingkan. Temuan ini menggambarkan, kesulitan dalam koordinasi antarsektor yang selanjutnya menghambat program dan kegiatan COREMAP. Pada umumnya, kehadiran dalam pertemuan antarkomponen diwakili oleh staf yang tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan. Di samping itu, bila pertemuan dilakukan lebih dari dua kali per tahun, dana yang dibutuhkan juga semakin besar karena biaya transportasi untuk peserta pertemuan yang bertambah. Kondisi ini sangat berdampak terhadap fungsi koordinasi PIU bersama keempat komponen COREMAP, yaitu Monitoring, Controlling and Surveilance (MCS), Community Based Management (CBM), Public Awareness (PA), dan Coral Reef Information Training Center (CRITC), yang akhirnya juga berdampak terhadap kurang efektifnya COREMAP di tingkat lokasi program. Pemilihan koordinator setiap komponen disyaratkan oleh pengelola COREMAP agar dipilih pejabat eselon III dan sesuai dengan jenis kegiatan yang akan ditangai supaya kegiatan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Misalnya koordinator komponen penegakan hukum (MCS) dipilih dari Angkatan Laut karena diharapkan lebih mudah untuk memonitor, mengawasi, dan menjaga ekosistem sumber daya laut, termasuk terumbu karang, dari perilaku orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Namun pada kenyaannya, koordinator biasanya sangat sibuk dan lebih mendahulukan proyek/kegiatan yang ada di dinas mereka, sehingga perencanaan dan kegiatan COREMAP lebih banyak dilakukan oleh anggota yang pada umumnya staf dari DKP Kabupaten Bintan. Koordinasi yang baik menghasilkan pelaksanaan program yang cukup baik pula. Hal ini terlihat dari kegiatan pada komponen CBM yang dapat terlaksana hingga 80 persen, dimana salah satu faktor 15

32 pendukungnya adalah koordinasi antara anggota komponen ini yang teratur. Di Kawasan Bintan, program CBM dimulai tahun 2007 yang diimplementasikan pada tahun Walaupun ada kegiatan yang tidak dapat dilakukan karena keterlambatan dana dan persoalan sengketa tanah, semua anggota komponen yang berasal dari satu instansi dan dibawah naungan koordinator yang berasal dari instansi sama, memudahkan komponen ini untuk segera mencari jalan keluar persoalan yang dihadapi. Keberhasilan komponen CBM dalam mengimplementasikan kegiatannya mendapat tanggapan positif baik dari penyandang dana maupun project manajement office (PMO) COREMAP Pusat, yaitu dengan dijadikannya Bintan sebagai pilot project budidaya kepiting bakau untuk wilayah Indonesia Barat. Penilain yang baik tersebut terkait dengan prinsip yang dipakai dalam pengembangan budidaya, yaitu memperhatikan kelestarian dan rehabilitasi lingkungan (CRITC COREMAP, 2009). Dari observasi peneliti di lokasi proyek diketahui bahwa pembuatan kandang dilakukan tanpa menebang pohon bakau yang jumlahnya sebanyak 5 buah dengan ukuran 5x12 meter. Selain CBM, implementasi program komponen Public Awareness (PA) juga cukup berhasil. Tujuan komponen ini adalah untuk menyadarkan masyarakat akan adanya perubahan kebijakan dan keputusan yang lebih baik tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut. Keterlibatan masyarakat pada program ini diharapkan akan terjadi perubahan pengetahuan dan perilaku masyarakat, yaitu mereka yang tadinya merusak sumber daya laut menjadi berpartisipasi dalam mengelola dan melindungi terumbu karang dan biota lainnya. Program yang dilaksanakan antara lain adalah pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui perlombaan cerdas cermat di sekolah, pemilihan duta karang pada anak-anak, membangun MCK, membangun sarana air bersih, dan penyediaan tong sampah di lingkungan permukiman agar masyarakat tidak membuang sampat di laut. Pada tahun 2009, program pendidikan untuk anak-anak mulai dikurangi karena program lebih berfokus untuk komponen MPA. Untuk menjaga keberlanjutan kegiatan yang telah diimplementasikan, maka program penyadaran pengelolaan 16

33 sumber daya laut untuk anak-anak diusulkan masuk dalam bagian program pendidikan di Dinas Pendidikan (Mulok). Program dan kegiatan dari komponen Coral Reef Information Training Center (CRITC) ditujukan untuk memberi informasi dan pelatihan berkaitan dengan ekositem SDL, termasuk terumbu karang. Kegiatan komponen ini berjalan cukup baik dan tidak banyak menghadapi permasalahan. Hal ini disebabkan karena kegiatan ini pada umumnya sudah terprogram dari pengelola CORREMAP pusat, baik berkaitan dengan tempat maupun materi pelatihan. Jenis pelatihan pada umumnya dikaitkan dengan apa yang akan dilakukan oleh masyarakat. Program pelatihan tersebut antara lain adalah pelatihan standarisasi pembukuan dari pusat, pelatihan pengembangan UKM untuk kelompok jender; pelatihan management keuangan, pelatihan pengawasan laut, dan pelatihan budidaya kepiting bakau dan ikan kerapu. Selain itu, komponen CRITC juga melakukan kajian evaluasi program yang telah dilakukan sebagai dasar untuk menyusun program ke depan Pelaksanaan COREMAP Tingkat Desa: Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat Keberhasilan COREMAP tidak hanya dipahami dari pengelolaan di tingkat pengelola kabupaten, tetapi juga implementasi di tingkat desa sebagai lokasi pelaksanaan program. Dalam waktu sekitar tiga tahun, implementasi program COREMAP di kawasan Kecamatan Gunung Kijang beberapa kegiatan telah terlaksana, baik kegiatan pokok yang berkaitan dengan komponen COREMAP maupun pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi sebagai pendukung kegiatan COREMAP. Pada saat kajian BME ini dilakukan, di Desa Gunung Kijang belum ada bangunan fisik COREMAP, sedangkan dermaga yang ada dibangun tahun 2007 oleh perusahaan tambang pasir yang ada di desa tersebut dengan dana kepedulian masyarakat (DKPM). Menurut rencana, pada tahun 2009 pengelola COREMAP Kabupaten Bintan akan mengucurkan dana untuk membangun pondok informasi di Desa Gunung Kijang. Sementara itu, pembangun fisik dari COREMAP telah dimulai sejak 17

34 tahun 2006, yaitu pembangunan dermaga di Kampung Kampe (tahun 2006), sarana promosi di Kampung Tanjung Keling (2008), demplot kepiting di Kampung Masiran (2008), dan sarana kebersihan di empat kampung lainnya (2008). Tahun ini (2009) sedang dibangun sarana memancing ikan sebagai salah satu program COREMAP untuk mendukung program daerah dalam pengembangan kawasan ini sebagai daerah wisata. Pelaksanaan COREMAP di Desa Gunung Kijang dan Malang Rapat dilakukan melalui berbagai tahap, yaitu dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan. Dalam implementasi program, strategi yang digunakan adalah melalui kelembagaan yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat setempat sesuai dengan komponen COREMAP. Ada dua kelembagaan pokok yang mendukung kegiatan COREMAP, yaitu Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan Kelompok Masyarakat (Pokmas). Berikut ini akan dideskripsikan dan dikaji pelaksanaan berbagai kegiatan COREMAP di Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat, termasuk permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh lembaga-lembaga tersebut. A. Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang (LPSTK) Kegiatan COREMAP di Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat diawali dengan pembentukan Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang (LPSTK) yang dibentuk pada tahun Namun dana operasional untuk implementasi program baru diterima satu tahun kemudian, yaitu pada tahun Pada saat lembaga ini dibentuk, baik di Desa Gunung Kijang maupun Desa Malang Rapat, kegiatan diawali dengan sosialisasi oleh pengelola COREMAP kabupaten kepada masyarakat yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat desa, fasilitator lapangan (FF), dan perangkat desa, dan nelayan. Pengurus LPSTK dipilih dari masyarakat desa, khususnya yang memiliki pekerjaan yang berkaitan dengan kenelayanan, karena lembaga ini diharapkan dapat memahami berbagai permasalahan yang dihadapi nelayan dan mensukseskan program COREMAP dalam upaya 18

35 meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketua LPSTK terpilih di Desa Gunung Kijang berasal dari Kampung Masiran yang bertipologi wialayh pesisir dan ada cukup banyak penduduk yang bekerja sebagai nelayan. Sementara itu, ketua LPSTK Desa Malang Rapat juga sebagai ketua nelayan di desa ini. Pemilihan ketua LPSTK tersebut dilakukan secara terbuka dan diketahui masyarakat desa yang digambarkan dari tingginya persentase responden (75 persen) yang mengetahui adanya pembentukan LPSTK. Meskipun demikian, mereka yang terlibat dalam pembentukan kepengurusan hanya sebanyak 33 persen (lihat Tabel 3.1 dan Tabel 3.5) karena pembentukan kelembagaan hanya mengundang perwakilan masyarakat per kampung, perangkat desa, dan fasilitator lapangan. Keanggotaan LPSTK yang terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara di Desa Malang Rapat berasal dari dusun yang berbeda-beda. Sementara itu, pengurus LPSTK di Desa Gunung Kijang berasal dari kampung yang sama karena COREMAP hanya diimplementasikan di kampung tersebut, yaitu Kampung Masiran. Kampung ini merupakan kampung di Desa Gunung Kijang yang memiliki wilayah pesisir dengan jumlah nelayan cukup banyak. Kegiatan pengurus LPSTK diawali dengan pelatihan administrasi pembukuan keuangan dan managemen kelembagaan. Pengurus yang terlibat dalam pelatihan hanya dua orang, yaitu ketua dan bendahara. Kegiatan LPSTK lain adalah membentuk Pokmas yang akan mengimplementasikan program. Kelompok ini juga diikuti oleh pengurus LPSTK, karena yang terpenting terlibat adalah mereka yang dapat mengembangkan program untuk peningkatan kehidupan keluarga mereka. Pokmas-pokmas tersebut adalah pokmas perempuan atau jender, pokmas UKM (produksi), dan pokmas konservasi yang akan digambarkan pada bagian selanjutnya. Untuk mendukung program COREMAP tersebut, LPSTK menyusun beberapa agenda kerja. Misalnya, pengurus LPSTK Desa Gunung Kijang menyusun sejumlah agenda sebagai berikut: Menjadwalkan pertemuan antarkelompok secara rutin untuk membahas permasalahan kelompok. Pertemuan ini, selain 19

36 dihadiri pengurus dan anggota pokmas juga diundang perangkat desa dan fasilitator lapangan (FF). Pada saat pertemuan, LPSTK menerima laporan kelompok tentang kegiatan yang dilakukan. Mengatasi masalah kelompok. Melatih anggota pokmas setelah mereka menerima pelatihan dari COREMAP tingkat kabupaten sesuai dengan program yang dilaksanakan anggota tersebut. Membeli kebutuhan kelompok bersama ketua pokmas yang akan melaksanakan program. Menyerahkan laporan kegiatan tiga bulan sekali kepada COREMAP kabupaten. Kepengurusan LPSTK telah berjalan sekitar tiga tahun. Selain menghadapi kendala, pengurus LPSTK juga menunjukkan capaian positif dalam melaksanakan kegiatan COREMAP. Hal ini sangat berkaitan dengan pengelola dan perhatian dari anggota LPSTK dalam mengelola program tersebut. Ada beberapa permasalahan yang harus disikapi oleh LPSTK dalam menjalankan program COREMAP di wilayahnya, antara lain berkaitan dengan aspek kecemburuan sosial dan rendahnya kepercayaan terhadap pelaksana/pengelola COREMAP di lokasi program (tingkat desa). Tidak terlibatnya anggota masyarakat dari kampung lain yang bukan nelayan telah menimbulkan kecemburuan sosial di antara mereka. Pemahaman bahwa ada proyek yang masuk desa berupa bantuan dana membuat mereka merasa juga harus dilibatkan dalam program. Mereka masih belum memahami bahwa COREMAP merupakan upaya untuk memelihara ekosistem laut, termasuk terumbu karang, yang salah satu kegiatannya adalah dengan memberi bantuan modal untuk kegiatan MPA yang tidak merusak terumbu karang. Dengan demikian, implementasi program/kegiatan difokuskan pada nelayan yang hanya terkonsentrasi di salah satu kampung (yaitu Kampung Masiran) di Desa Gunung Kijang. Sementara itu, penduduk di kampung lain yang 20

37 umumnya bekerja di sektor bukan perikanan tangkap tidak menjadi sasaran program, sehingga memunculkan kecemburuan sosial tersebut. Rendahnya kepercayaan terhadap pengelola COREMAP di tingkat desa terjadi di Desa Malang Rapat. Permasalahan tersebut muncul karena faktor transparansi dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan, termasuk pendanaan. Persoalan tersebut bukan hanya dikemukakan oleh anggota masyarakat, tetapi juga oleh perangkat desa, bahkan juga anggota LPSTK maupun pokmas. Di tingkat internal pengurus LPSTK, kendala implementasi COREMAP adalah karena besar dana bantuan COREMAP yang tidak diinformasikan kepada semua pengurus. Akibatnya, muncul rasa curiga di antara pengurus LPSTK yang berdampak pada terhambatnya pelaksanaan kegiatan. Permasalahan ini terjadi di Desa Malang Rapat. Sementara itu, permasalahan antara pokmas dan anggota masyarakat lain dengan pengelola COREMAP di lokasi program dipicu oleh kurangnya sosialisasi tentang kegiatan COREMAP. Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui bahwa implementasi COREMAP di desa mereka memberikan bantuan modal usaha kepada mereka dengan cara berkelompok. Terlebih ketua LPSTK, khususnya di Desa Malang Rapat, memberitahukan bahwa siapapun dapat mendapatkan bantuan dengan syarat membentuk kelopok dan mengajukan proposal kepada pengelola COREMAP. Tidak diinformasikan kepada masyarakat tentang proses dan mekanisme pengajuan proposal dan pemilihan proposal oleh COREMAP kabupaten. Akibatnya, cukup banyak proposal yang diajukan oleh kelompok masyarakat yang tidak diketahui oleh mereka tentang status dari proposal tersebut. Hal ini berdampak pada rasa tidak percaya sebagian masyarakat kepada pengelola COREMAP di tingkat desa, bahkan juga kabupaten. Persoalan transparansi kegiatan dan pendanaan COREMAP juga dikemukakan oleh perangkat desa. Berdasar informasi dari beberapa perangkat desa diketahui, bahwa mereka tidak mengetahui dengan jelas tentang proses dan mekanisme pengelolaan kegiatan COREMAP. Hal ini terjadi karena pengelola COREMAP kabupaten 21

38 biasanya langsung berhubungan dengan pengurus LPSTK, sedangkan pengurus LPSTK pada umumnya tidak menginformasikan kegiatan COREMAP pada perangkat desa. Permasalahan tersebut dapat mengakibatkan berkembangnya rasa kurang perduli terhadap LPSTK yang akhirnya akan memengaruhi kinerja kegiatan dan mengganggu kelancaran pelaksanaan COREMAP di Kawasan Gunung Kijang. Hal lain yang harus menjadi pemikiran pengurus adalah masuknya program-program lain yang juga bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat seperti PNPM dan BLT, namun prosedurnya lebih mudah sehingga masyarakat akan membandingbandingkan antara program tersebut dengan program COREMAP. B. Kelompok Masyarakat (Pokmas) Dalam implementasi program COREMAP di tingkat desa, selain pembentukan LPSTK juga dibentuk beberapa kelompok masyarakat (Pokmas) yang melakukan kegiatan MPA seabagi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan penyelamatan ekosistem sumber daya laut. Keberadaan Pokmas ini terutama untuk mendukung implementasi komponen PBM/CBM (Pengelolaan Berbasis Masyarakat/Community Basic Management). Di dua desa kajian, telah terbentuk tiga Pokmas yaitu Pokmas Jender, Pokmas Usaha Ekonomi Produktif (UEP), dan Pokmas Konservasi. Namun jumlah kegiatan dari masing-masing desa tidak sama. Misalnya, di Desa Gunung Kijang jumlah Pokmas lebih sedikit dibanding Desa Malang Rapat, karena kegiatan COREMAP di desa tersebut hanya diimplementasikan di satu kampung. Sementara itu, jumlah pokmas di Desa Malang Rapat lebih banyak karena pokmas telah terbentuk di semua kampung. Pokmas jender di Desa Malang Rapat dibentuk pada tahun 2007 dengan nama Pokmas Kerang. Pada dasarnya, pembentukan Pokmas Jender bertujuan untuk meningkatkan peran ibu rumah tangga dalam kegiatan ekonomi yang dapat berkontribusi dalam menambah penghasilan rumah tangga. Di desa ini, anggota pokmas jender pada umumnya telah terbiasa berusaha dengan kelompok atau berorganisasi, 22

39 misalnya usaha pembuatan kue, keterlibatan di PKK desa atau kecamatan. Sejalan dengan berjalannya waktu, jumlah pokmas jender semakin bertambah dengan jumlah anggota yang berkisar antara 8-10 orang per kelompok. Kegiatan usaha pokmas jender di Desa Malang Rapat bervariasi. Pada saat ini, masih ada beberapa kelompok yang telah mengajukan proposal dan sedang menunggu untuk memperoleh modal usaha dari COREMAP. Menurut LPSTK, dana yang belum turun ke pokmas-pokmas antara lain karena belum ada keputusan dari pengelola COREMAP di tingkat kabupaten. Berbeda dengan pokmas jender di Desa Malang Rapat, di Desa Gunung Kijang hanya ada satu pokmas jender yang sudah menjalankan kegiatannya, sedang satu pokmas lainnya sedang dalam menunggu keputusan dari COREMAP Kabupaten Bintan. Jenis usaha yang akan dikembangkan sama dengan pokmas yang sudah berjalan, yaitu kerupuk ikan. Struktur organisi kelompok terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan anggota. Pada umumnya, ketua kelompok adalah penggagas berdirinya kelompok dan telah memulai usaha secara individu atau keluarga. Jadi pendirian kelompok dapat juga diartikan untuk lebih mengenalkan dan mengembangkan produksi, di samping dapat memperoleh dana dan bantuan lainnya. Salah satu tujuan utama yang diharapkan kelompok adalah peningkatan produksi dan pemasaran yang lebih luas, sehingga dengan terlibat dalam pokmas COREMAP harapan tersebut bisa terwujud. Hal ini karena COREMAP Kabupaten Bintan juga membantu dalam pemasaran produk, yang antara lain dilakukan dengan membantu mendaftarkan produk pokmas kepada Badan POM-Dinkes Kabupaten Bintan untuk mendapatkan lisensi. Pada saat kajian ini dilaksanakan baru ada satu pokmas yang sudah terdaftar pada badan tersebut. Dalam menjalankan usahanya, pengurus pokmas jender juga diharuskan memahami permasalahan administrasi, khususnya keuangan. Hal ini karena pengurus diharuskan membuat laporan bulanan, menyusun RAB (Rencana Anggaran Belanja) dan mencatat pembelian kebutuhan kelompok. Laporan bulanan harus diserahkan ke COREMAP 23

40 kabupaten melalui LPSTK, termasuk foto copy pembelian barang. Untuk itu, pengurus diberi bekal dengan pelatihan berkaitan dengan keuangan dan managemen kelompok yang diselenggarakan di Tanjung Pinang. Selain pelatihan administrasi/pembukuan, pengurus dan anggota juga mengikuti pelatihan ketrampilan berkaitan dengan kegiatan usaha yang akan dilakukan kelompok, misalnya pembuatan kerupuk, kue, dan dodol. Pokmas UEP (biasa disebut dengan pokmas produksi) di Kawasan Gunung Kijang dibentuk satu tahun setelah LPSTK, yaitu tahun 2007, dan pada saat ini ada tiga kelompok. Sementara itu, pembentukan Pokmas UEP di Desa Malang Rapat baru dilakukan pada tahun 2009 sejumlah sembilan kelompok, tetapi baru tiga kelompok yang mendapatkan sebagian dana bantuan. Tiga pokmas tersebut sedang dalam proses mengembangkan usaha keramba jaring tancap (KJT), keramba jaring apung (KJA), dan wisata bahari. Sisanya (enam kelompok) sudah mengajukan proposal, namun beberapa di antaranya mengundurkan diri karena tidak sabar dan merasa dipersulit dalam proses pengesahan kelompok mereka. Persoalan ini mungkin karena kurangnya sosialisasi tentang tata cara dan mekanisme untuk mendapatkan dana bantuan COREMAP, sehingga kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa setelah kelompok terbentuk dan mengajukan proposal, maka dalam waktu yang tidak lama mereka akan mendapat bantuan dana. Padahal ada tahap-tahap yang harus dilalui hingga dana turun dan memerlukan waktu yang cukup lama. Di antara tiga pokmas ini, tampaknya Pokmas Wisata Bahari di Kampung Pulau Pucung merupakan andalan dari kegiatan UEP Desa Malang Rapat yang diharapkan tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Harapan ini muncul karena lokasi yang dipilih merupakan tempat memancing yang banyak dikunjungi pemancing/wisatawan pada hari minggu dan hari libur. Pokmas UEP Desa Gunung Kijang telah melakukan kegiatan lebih dari satu tahun dan telah menunjukkan keberhasilan usaha. Jumlah pokmas UEP ada 3 kelompok yang kesemuanya mengusahakan KJT yang terdiri dari dua KJT ikan kerapu hitam, satu KJT ketam bakau. 24

41 Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran ketua LPSTK yang selalu menekankan, bahwa pokmas harus bisa mengelola KJT karena ke depan COREMAP akan menghentikan bantuan dan pokmas yang harus meneruskan pengelolaan KJT tersebut. Disamping itu, ketua LPSTK juga memperhatikan perkembangan usaha pokmas-pokmas dan memberikan arahan tentang pengelolaan usaha kepada anggota pokmas. Salah satu hal yang dilakukan adalah memberikan masukan tentang pembagian hasil pokmas KJT ikan kerapu hitam. Hasil panen KJT ikan kerapu dibagikan kepada anggota kira-kira sebesar 45 persen, sedangkan 55 persen untuk kebutuhan pengembangan usaha berikutnya. Rincian dari dana sebesar 55 persen tersebut digunakan untuk pembelian bibit, perawatan alat, kas kelompok, dan honor LPSTK yang besarnya 5 persen dari hasil panen. Rincian pembagian hasil tersebut telah dimusyawarahkan dalam pokmas. Keberhasilan salah satu pokmas KJT tersebut juga tidak terlepas dari tingginya rasa tanggung jawab semua anggota pokmas untuk mengelola usaha dengan sunguh-sungguh. Dikemukakan oleh pengurus LPSTK dan anggota pokmas bahwa kegiatan usaha KJT telah mengurangi waktu untuk melaut. Mereka berkeyakinan, bahwa mengembangkan usaha KJT lebih jelas hasilnya dibanding yang wilayah tangkapnya semakin jauh dengan hasil yang tidak menentu. Motivasi mereka untuk melakukan usaha dengan sungguh-sungguh tampaknya semakin didorong oleh keberhasilan usaha KJT kerapu hitam yang telah memberikan manfaat ekonomi, walaupun dalam jumlah yang belum besar. Selain pokmas (perempuan dan UEP/produksi), di dua lokasi survei BME juga telah dibentuk pokmas pengawasan (Pokmaswas). Pokmaswas dibentuk pada tahun 2007, masing-masing desa satu kelompok yang beranggotakan enam orang di Desa Malang Rapat dan lima orang di Desa Gunung Kijang. Kegiatan Pokmaswas adalah melakukan pengawasan daerah perlindungan laut (DPL) dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya laut dari berbagai ancaman, baik dari masyarakat luar maupun dalam desa. Sesuai dengan peran dan 25

42 fungsinya, anggota pokmaswas bertugas melakukan patroli dan pengawasan laut, menjaga kebersihan lingkungan laut dan pantai, serta melakukan penanaman pohon bakau. Kegiatan yang harus dilakukan Pokmaswas tersebut cukup berat, sehingga mereka dibekali dengan ketrampilan cara menegur dan menangani pelanggar, berkomunikasi dengan anggota MCS, menyelam dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, pelatihan belum belum diberikan pada semua anggota, tetapi hanya ketua Pokmaswas, LPSTK, dan motivator desa. Untuk dapat melakukan kegiatan pengawasan laut, Pokmaswas dilengkapi dengan sarana-prasarana yang terdiri dari pompong atau boat 1 unit, mesin tempel 15 PK, HT, teropong, GPS atau mesin satelit, dan peta. Selain itu, Pokmaswas Desa Malang Rapat, pada tahun 2007/2008 juga mendapat bantuan dana operasional sebesar Rp per tahun. Sementara itu, bantuan dana operasional untuk Desa Gunung Kijang tidak diterima Pokmaswas dalam bentuk uang tunai, tetapi berupa bensin 105 liter dan oli 5 liter. Tidak ada bantuan untuk pemeliharaan boat (kapal patroli) sehingga jika ada kerusakan perahu, anggota pokmaswas harus mengusahakan biaya sendiri. Setelah berjalan hampir dua tahun, kapal patroli sering tidak bisa dipakai karena telah mengalami beberapa kerusakan dan Pokmaswas maupun LPSTK mengalami kendala dana perawatan. Meskipun demikian, patroli laut masih dilakukan dengan frekuensi yang sangat terbatas, padahal sesuai aturan COREMAP harus dilakukan dua kali dalam seminggu. Menghadapi kendala ini, pengelola COREMAP desa minta kepada nelayan yang sebagian juga anggota pokmas untuk ikut mengawasi DPL. Selama melakukan pengawasan, Pokmaswas pernah melakukan penangkapan satu kali pukat dari luas desa. Pelanggar kemudian dilaporkan kepada Angkatan Laut tetapi tidak tahu tindak lanjutnya. Namun setelah penangkapan tersebut sampai saat ini tidak pernah ada nelayan yang menganggu DPL. Sebelum ada COREMAP, pelanggar dari luar desa maupun dalam desa sering terjadi, tetapi tidak saling menegur karena tidak ada dasar dan tidak tahu harus lapor kemana. 26

43 2.2. PENGETAHUAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TENTANG KEGIATAN COREMAP Pengetahuan Masyarakat Survei Data Dasar Sosial Ekonomi yang dilakukan tahun 2007 (T0) (Nagib dkk., 2008:41-42) dan survei BME tahun 2009 (T1) menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang COREMAP, khususnya pengetahuan terkait dengan penyelamatan SDL. Pada tahun 2007, hanya ada sebanyak 49 persen responden yang mengetahui bahwa program COREMAP untuk penyelamatan SDL, sedangkan pada tahun 2009 tersebut sudah diketahui oleh sebanyak 81,8 persen. Peningkatan persentase responden yang mengetahui implementasi COREMAP untuk upaya penyelamatan SDL, khususnya terumbu karang, juga terlihat tingginya persentase responden yang mengetahui tentang berbagai manfaat dari kegiatan COREMAP di kawasan tersebut (lihat Tabel 2.1). Tabel 2.1. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Kegiatan COREMAP, Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009, (%) Kegiatan COREMAP Tahu Tidak tahu Jumlah (N=99) Kegiatan penyelamatan terumbu karang 81,8 18,2 100,0 Peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan 85,0 14,1 100,0 pentingnya pelestarian terumbu karang Kegiatan perlindungan/pengawasan pesisir dan 80,8 19,2 100,0 laut Pembentukan LPSTK 74,7 25,3 100,0 Pelatihan dan atau pendampingan untuk UEP 56,6 43,4 100,0 yang dilakukan oleh pengelola COREMAP Pendampingan UEP 56,6 43,4 100,0 Penyusunan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang (RPTK) 67,0 33,0 100,0 Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang,

44 Ada tujuh (7) macam kegiatan COREMAP yang diimplementasikan di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, namun responden tampaknya hanya mengetahui kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL. Data menunjukkan, sebagian besar responden mengetahui kegiatan tentang peningkatan pengetahuan dan kesadaran pentingnya pelestarian terumbu karang (85,0 persen), penyelamatan terumbu karang (81,8 persen), dan perlindungan/ pengawasan pesisir dan laut (80,8 persen). Untuk pengetahuan responden yang berkaitan dengan kegiatan di luar SDL, khususnya kegiatan dalam usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat, hanya diketahui oleh kurang lebih separuh dari jumlah responden. Temuan ini mengindikasikan bahwa kegiatan-kegiatan COREMAP yang dilakukan oleh pengelola COREMAP di tingkat desa (seperti LPSTK) dan pengembangan usaha ekonomi produktif (UEP) belum secara luas diketahui masyarakat (lihat Tabel 2.1). Lebih rendahnya pengetahuan tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh pengertian UEP yang kurang dimengerti oleh responden. Dari wawancara mendalam, mereka mengetahui adanya usaha pembuatan kerupuk ikan, KJT dan KJA tetapi mereka kemungkinan tidak tahu yang dimaksud dengan usaha ekonomi produktif. Perbedaan pengetahuan antara kegiatan COREMAP untuk pelestarian SDL dengan COREMAP untuk pelatihan dan pendampingan UEP maupun kelembagaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor pendanaan. Kegiatan COREMAP yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian SDL dilaksanakan pada awal program yang dilakukan oleh pengelola di tingkat kabupaten. Kegiatan meliputi pelatihan dan sosialisasi untuk pengurus dan anggota kelompok masyarakat (Pokmas) yang pendanaannya langsung dikelola oleh pengurus COREMAP tingkat kabupaten. Demikian pula kegiatan penyebaran informasi melalui bilboard dan pamflet dilakukan sendiri oleh pengelola COREMAP tingkat kabupaten, sedangkan pengurus COREMAP di tingkat desa hanya terlibat dalam pemasangan. Hal ini berbeda dengan kegiatan peningkatan usaha ekonomi produktif yang dilakukan di tingkat desa. Kegiatan dan pendanaan usaha ekonomi 28

45 produktif dari kegiatan COREMAP yang dilaksanakan di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang pada umumnya hanya diketahui oleh pengurus dan anggota kelompok yang terlibat. Hal ini disebabkan karena dana yang terbatas, sehingga masyarakat yang terlibat pun masih terbatas dan umumnya sudah menjadi anggota kelompok. Salah satu syarat dari pelaksanaan program COREMAP di tingkat desa diawali dengan membentuk kelompok masyarakat (Pokmas) yang merupakan motor implementasi program di masyarakat. Terdapat tiga pokmas yang diharapkan dapat menjalankan program-program COREMAP di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, yaitu Pokmas Konservasi, Pokmas Usaha Ekonomi Produktif (UEP), dan Pokmas Jender. Kelompok bentukan COREMAP ini ada yang masih baru, baik dalam kegiatan maupun anggotanya, dan ada pula kelompok yang telah mempunyai kegiatan usaha namun masih bersifat individu. Adanya program COREMAP telah mendorong mereka untuk membentuk kelompok, yang umumnya dibentuk karena rumahnya berdekatan atau ada hubungan saudara dan mempunyai ketertarikan (interest) yang sama. Misalnya, delapan (8) orang anggota kelompok perempuan dengan kegiatan usaha industri dodol rumput laut pada umumnya masih memiliki hubungan saudara. Meskipun pada awalnya memilih kegiatan pembuatan kerupuk ikan seperti yang ditawarkan oleh pengelola COREMAP kabupaten, tetapi atas kesepakatan anggota, pokmas perempuan ini bersepakat untuk membuat dodol rumput laut setelah ketua kelompok mereka mendapat pelatihan di bidang pengembangan usaha industri rumah tangga di Tanjung Pinang. Keterbatasan dana yang disediakan oleh pengelola COREMAP kabupaten, menyebabkan usaha ekonomi produktif yang dikembangkan kelompok masyarakat masih terbatas jumlahnya. Misalnya di Desa Malang Rapat, pada tahun pertama implementasi COREMAP hanya ada tiga kelompok yang tersebar di tiga kampung. Dampak dari rendahnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan COREMAP secara tidak langsung juga berdampak terhadap pengetahuan masyarakat tentang kegiatan tersebut. Seperti diperlihatkan oleh jawaban responden, yaitu 29

46 hanya sekitar sepertiga responden yang mengetahui keberadaan Pokmas di desanya (Tabel 2.2). Di antara tiga Pokmas COREMAP tersebut, persentase responden yang menjawab mengetahui Pokmas Jender paling banyak, yaitu sekitar 39 persen. Pokmas UEP termasuk cukup banyak diketahui masyarakat (35,4 persen) setelah pokmas jender.. Selain itu, kemungkinan responden yang mengetahui keberadaan Pokmas tersebut adalah mereka yang terlibat dalam program COREMAP. Tabel 2.2. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Pokmas COREMAP, Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009,(%) Jenis Pokmas Tahu Tidak tahu Jumlah (N=99) Konservasi 31,3 68,7 100,0 UEP 35,4 64,6 100,0 Wanita/Jender 39,4 60,6 100,0 Lainnya 7,1 92,9 100,0 Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang, Dari 100 responden, sebagian besar mengetahui tentang pemilihan jenis-jenis kegiatan ekonomi produktif yang tidak merusak terumbu karang. Kegiatan terkait dengan pilihan kegiatan ekonomi yang tidak merusak terumbu karang tersebut dituangkan dalam proposal yang diajukan kelompok usaha keramba ikan, kepiting bakau, dan kerajinan lidi. Sementara itu, pengetahuan tentang kegiatan ekonomi dalam pemberian dana bergulir/kredit untuk pengembangan UEP adalah 50 persen dan pelatihan/bimbingan keterampilan untuk meningkatkan usaha hanya diketahui 53 persen. Rendahnya angka ini, kemungkinan karena kegiatan pemberdayaan ekonomi COREMAP tersebut belum diimplementasikan secara luas di masyarakat, kurangnya kegiatan sosialisasi, dan sedikitnya anggota masyarakat yang mengikuti pelatihan UEP. Implementasi kegiatan UEP yang masih terbatas, misalnya terlihat dari belum adanya pengguliran dana ke kelompok masyarakat lainnya 30

47 setelah kelompok pertama melunasi dana yang dipinjam. Dalam kaitan dengan pelatihan UEP, masyarakat umumnya hanya mengetahui bahwa sebelum kegiatan dilakukan atau dana diberikan ada pelatihan dan bimbingan. Namun karena kegiatan tersebut pada umumnya hanya diberikan kepada anggota kelompok peserta, maka anggota masyarakat lain kurang mengetahui, seperti terlihat dari jawaban responden pada Tabel 2.3 di bawah ini. Tabel 2.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kegiatan Ekonomi COREMAP dan Sumber Informasi, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) Jenis kegiatan ekonomi Pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang Pemberian dana bergulir/kredit untuk mengembangkan UEP masyarakat Pelatihan dan bimbingan keterampilan untuk meningkatkan usaha Fasilitator/ motivator/ pengurus COREMAP Sumber informasi Kepala/ aparat desa/ dusun/ kampung/ RT/RW Anggota masy yang terlibat dlm kegiatan COREMAP Anggota masy. lainnya Jumlah (N) 27,9 17,4 10,5 44,2 100,0 (86) 20,0 12,1 14,0 54,0 100,0 (50) 17,0 5,7 18,9 58,5 100,0 (53) Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang, Tabel 2.3 memperlihatkan, pelaksanaan kegiatan ekonomi COREMAP diketahui responden di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang dari empat sumber informasi, yaitu pengurus COREMAP, aparat desa, masyarakat yang terlibat dalam kegiatan COREMAP, dan 31

48 anggota masyarakat lainnya. Sumber informasi yang diperoleh dari anggota masyarakat lainnya cukup banyak dikemukakan oleh responden terkait dengan pengetahuan jenis-jenis kegiatan ekonomi COREMAP. Persentase tertinggi adalah mereka yang mengetahui tentang pelatihan dan bimbingan ketrampilan untuk meningkatkan usaha (58,5 persen). Angka ini sedikit lebih tinggi dari mereka yang mengetahui pemberian dana bergulir/kredit untuk mengembangkan UEP (54 persen). Hal ini tampaknya tidak terlepas dari adanya keterkaitan dua jenis kegiatan COREMAP tersebut, yaitu kegiatan pelatihan/bimbingan ketrampilan yang pada umumnya dilanjutkan dengan pemberian dana bergulir dan diperkirakan kegiatan ini diketahui oleh kebanyakan anggota masyarakat, terutama mereka yang berdekatan geografis maupun keluarga dengan penerima program. Tingginya persentase responden yang mengetahui jenis-jenis kegiatan ekonomi dari anggota masyarakat lain tersebut menggambarkan bahwa informasi lisan, yaitu dari mulut ke mulut lebih cepat menyebar di kalangan anggota masyarakat. Apalagi bila informasi tersebut berkaitan dengan sesuatu yang bersifat pemberian/bantuan, maka penyebarannya lebih cepat dibandingkan dengan informasi tentang kegiatan COREMAP lain yang sifatnya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Sumber informasi dari fasilitator paling banyak dikemukakan oleh responden yang mengetahui jenis kegiatan tentang pemilihan jenisjenis usaha yang tidak merusak terumbu karang (27,9 persen). Suatu kondisi yang dapat dipahami dari kenyataan bahwa pemilihan jenis usaha pada umumnya hanya diketahui oleh pengurus COREMAP di tingkat desa, yaitu pada penyusunan RPTK. Demikian pula sosialisasi awal kegiatan COREMAP mengenai penjelasan program dan kegiatan UEP diberikan oleh pengurus COREMAP tingkat kabupaten kepada pengelola COREMAP di tingkat desa. Selanjutnya, penjelasan tersebut diteruskan dari tenaga pendamping/field fasilitator (FF) dan motivator kepada masyarakat. Kegiatan usaha ekonomi produktif (UEP) yang didanai COREMAP di dua lokasi kajian BME ini diharapkan dapat 32

49 mengurangi/menggantikan kegiatan masyarakat yang diperkirakan merusak sumber daya laut, khususnya ekosistem terumbu karang, yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. Oleh karena itu keterlibatan masyarakat pada program ini sangat penting untuk diwujudkan, baik berkaitan dengan partisipasi dalam usaha ekonomi yang dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di darat maupun di laut. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa usaha tersebut tidak merusak lingkungan darat maupun laut yang berdampak terhadap SDL dan ekosistem terumbu karang. Dari delapan (8) jenis usaha yang dilakukan COREMAP di Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, terdapat tiga (3) jenis usaha yang paling banyak diketahui oleh responden, yaitu berturut-turut pengolahan hasil laut (64,6 persen), budidaya SDL (60,6 persen), dan pembuatan makanan kecil/kue (54,5 persen). Ketiga jenis usaha ini memang dikembangkan oleh pokmas-pokmas yang ada di dua lokasi kajian. Usaha pengolahan hasil laut meliputi usaha pembuatan kerupuk ikan yang merupakan kegiatan pokmas jender, sedangkan budidaya SDL mencakup pembesaran kepiting bakau dan ikan kerapu hitam. Kedua usaha ekonomi tersebut telah memberikan hasil. Demikian pula usaha pembuatan kue yang juga sudah memberikan tambahan penghasilan bagi anggota pokmas jender/perempuan. Pengembangan usaha ekonomi produktif yang telah memberikan hasil tersebut tentunya lebih dikenal oleh masyarakat dibanding usaha lain yang belum menunjukkan hasilnya. Keberhasilan ini mendorong anggota masyarakat lain di luar kelompok tersebut untuk berpartisipasi, yaitu dengan cara membentuk kelompok dan kemudian menyusun proposal untuk diajukan kepada pengelola COREMAP Kabupaten Bintan. Pada umumnya, kaum perempuan mengajukan proposal tentang usaha industri rumah tangga, sedangkan laki-laki mengajukan proposal untuk pengembangan usaha budidaya SDL. Tabel 2.4 juga memperlihatkan, hanya sebagian kecil responden yang mengetahui jenis usaha ekonomi di sektor perdagangan, peternakan, dan perikanan tangkap, yaitu hanya kurang dari sepertiga 33

50 jumlah responden. Bahkan untuk jenis usaha kerajinan/souvenir hanya diketahui sekitar seperlima responden. Rendahnya persentase responden yang mengetahui jenis-jenis usaha tersebut mungkin karena kegiatankegiatan ekonomi tersebut tidak dilakukan oleh anggota Pokmas di dua lokasi kajian. Pengetahuan tentang jenis usaha tersebut diperkirakan diperoleh dari lokasi COREMAP lainnya. Tabel 2.4. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Usaha Ekonomi COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) Jenis usaha ekonomi Tahu Tidak tahu Jumlah (N=99) Perdagangan/warung 32,3 67,7 100,0 Budidaya SDL 60,6 39,4 100,0 Perikanan tangkap 35,4 64,6 100,0 Ternak ayam/bebek/itik/kambing, dll 34,3 65,7 100,0 Pembuatan makanan/kue/minyak kelapa 54,5 45,5 100,0 Pengolahan hasil laut/ikan asin/asap/pindang/ 64,6 35,4 100,0 kerupuk Kerajinan/souvenir 20,2 79,8 100,0 Lainnya (penyaluran BBM) 2,0 98,0 100,0 Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang, Partisipasi Masyarakat Pada Program COREMAP Salah satu indikator keberhasilan program yang diimplementasikan di suatu daerah yaitu bila program tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan program COREMAP di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, tampaknya pelaksanaannya belum menyentuh masyarakat secara menyeluruh. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase responden yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan COREMAP. Hanya kurang dari separuh responden yang terlibat pada kegiatan-kegiatan COREMAP yang dilaksanakan di dua desa tersebut. Di antara kegiatan-kegiatan yang 34

51 ada, persentase responden yang terlibat dalam kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian terumbu karang paling tinggi (42,4 persen). Sebaliknya, keterlibatan responden pada kegiatan yang berkaitan dengan usaha ekonomi produktif (UEP) adalah paling rendah, yaitu kurang dari 30 persen. Hal ini karena anggota masyarakat yang berpartisipasi pada kegiatan UEP belum semuanya memperoleh dana bergulir, sehingga belum melaksanakan usaha. Misalnya, belum semua kelompok perempuan yang sudah terbentu terlibat dalam kegiatan karena dana yang turun masih terbatas yang diajukan. Sedangkan rendahnya responden yang terlibat pada kegiatan pendampingan UEP (28,6 persen) menggambarkan, terbatasnya tenaga pendamping yang dapat memberikan bimbingan kepada masyarakat dalam melakukan usaha ekonomi produktif yang dimotori oleh COREMAP. Tabel 2.5. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Dalam Kegiatan COREMAP,Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) Kegiatan COREMAP Terlibat Tidak Jumlah terlibat (N) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu karang 42,4 57,6 100,0 (85) Perlindungan/pengawasan pesisir dan laut 38,8 61,3 100,0 (80) Pembentukan LPSTK 37,8 62,2 100,0 (45) Usaha ekonomi produktif (UEP) 28,6 71,4 100,0 (56) Pendampingan untuk UEP yang dilakukan oleh pengelola COREMAP 28,6 71,4 100 (56) Penyusunan RPTK 33,3 66,7 100,0 (51) Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang,

52 Dalam pelaksanaannya, kegiatan COREMAP di tingkat desa dilakukan oleh kelompok masyarakat (Pokmas), namun tidak semua masyarakat terlibat dalam Pokmas. Hal ini karena kegiatan Pokmas baru berjalan kurang dari dua tahun dengan dana yang terbatas, serta belum terjadi pengguliran dana dari kelompok pertama ke kelompok lain. Informasi yang diterima dari pengelola COREMAP kabupaten maupun desa, pada tahun 2009 akan ada pengucuran dana untuk kegiatan Pokmas yang baru, yaitu yang pada saat kajian ini berlangsung sudah mengajukan proposal kegiatan. Dari tiga Pokmas yang ada di dua desa kajian, persentase responden yang tertinggi adalah mereka yang terlibat pada Pokmas Konservasi (48,4 persen) (Tabel 2.6). Angka yang cukup tinggi ini menggambarkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian terumbu karang cukup tinggi, terlebih hampir semua pengurus desa menjadi anggota pokmas ini. Tabel 2.6 memperlihathan distribusi responden menurut keterlibatan dalam pokmas-pokmas di dua desa penelitian. Keterlibatan responden pada Pokmas jender sebanyak 39,4 persen yang tersebar pada lima pokmas, yaitu empat pokmas di Desa Malang Rapat dan satu pokmas di Desa Gunung Kijang, yang masing-masing beranggotakan sekitar 10 orang. Pada umumnya, walaupun setiap anggota mempunyai usaha yang berbeda, namun partisipasi mereka terhadap kegiatan ini cukup aktif. Hal ini karena kegiatan yang dilakukan sesuai dengan pilihan sendiri dan dapat menyesuaikan ketersediaan bahan baku untuk keberlanjutan usaha mereka. Misalnya pokmas jender di Desa Malang Rapat menjalankan usaha industri rumah tangga pembuatan kue kerupuk (kuku macan) yang berbahan dasar ikan. Namun pada saat musim sulit ikan, mereka beralih usaha membuat jenis kudapan lainnya yang kemudian dititipkan pada warung salah seorang anggota kelompok. 36

53 Tabel 2.6. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Dalam Kelompok Masyarakat (Pokmas) COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (persen) Jenis Pokmas Terlibat Tidak terlibat Jumlah (N) Konservasi 48,4 51,6 100,0 (31) UEP 31,4 68,6 100,0 (35) Wanita/Jender 39,4 60,6 100,0 (39) Lainnya 14,3 85,70 100,0 (7) Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang, Keterlibatan masyarakat pada Pokmas UEP tampaknya masih sangat terbatas jumlahnya. Dari 35 responden yang mengetahui UEP, hanya sepertiga (31,4 persen) yang mengatakan terlibat pada pokmas ini. Kelompok UEP di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang hanya berjumlah tiga (3), meliputi dua jenis usaha pembesaran kepiting bakau dan satu usaha keramba ikan kerapu. Anggota setiap Pokmas berkisar antara 6 ~ 10 orang, namun tidak semua anggota terlibat penuh karena usaha ini belum memberikan keuntungan ekonomi pada mereka. Di antara responden yang mengetahui jenis kegiatan ekonomi COREMAP, sebagian besar terlibat lebih dari satu kegiatan. Misalnya, sebagian responden terlibat pada kegiatan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang, dan pada kesempatan lain mereka juga mengikuti kegiatan pelatihan dan bimbingan ketrampilan untuk meningkatkan usaha. Namun demikian persentase tertinggi adalah responden yang terlibat pada kegiatan pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang (39,5 persen). Hal ini terkait dengan adanya perencanaan kegiatan yang dimulai dengan memilih jenis-jenis 37

54 usaha yang dikembangkan yang tidak merusak terumbu karang. Usahausaha tersebut tersusun dalam RPTK dan dikembangkan menjadi proposal oleh pokmas-pokmas. Data pada Tabel 2.7 juga memperlihatkan, hanya kira-kira seperempat responden dari 33 responden yang mengetahui pemberian dana bergulir untuk UEP yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Rendahnya keterlibatan mereka dalam kegiatan UEP adalah karena keterbatasan dana yang diterima oleh masyarakat di lokasi program. Demikian pula kegiatan pelatihan dan bimbingan ketrampilan juga baru melibatkan sedikit responden. Hal ini menggambarkan perlunya peningkatan kegiatan ini karena berperan besar dalam meningkatkan ketrampilan masyarakat untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif. Selama ini, kegiatan pelatihan dan bimbingan diselenggarakan oleh COREMAP tingkat kabupaten atau provinsi yang umumnya hanya melibatkan pengurus pokmas. Tabel 2.7. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan dalam Kegiatan Ekonomi COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009 (%) Jenis kegiatan ekonomi Terlibat Tidak Jumlah terlibat (N) Pemilihan jenis-jenis usaha yang tidak merusak terumbu karang 39,5 60,5 100,0 (68) Pemberian dana bergulir/kredit untuk mengembangkan UEP 28,0 72,0 100,0 (33) masyarakat Pelatihan dan bimbingan keterampilan untuk meningkatkan usaha 20,8 79,2 100,0 (53) Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang, Terkait dengan manfaat dari jenis usaha ekonomi yang dilakukan COREMAP, data survei menunjukkan, hampir semua responden mengatakan bahwa kegiatan tersebut bermanfaat untuk 38

55 pengembangan kegiatan ekonomi yang akan dilakukan kelompok. Namun demikian, untuk jenis kegiatan pemilihan usaha yang tidak merusak terumbu karang, terdapat sebanyak 2,9 persen (dari 34 responden yang terlibat) yang mengatakan bahwa kegiatan ini tidak bermanfaat. Kemungkinan besar yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang belum mendapat bantuan modal usaha, walaupun sudah mengajukan proposal beberapa waktu sebelum survei dilakukan. Agak berbeda dengan tingginya persentase responden yang mengetahui tentang jenis-jenis usaha ekonomi pengolahan hasil laut, budidaya, dan pembuatan makanan, keterlibatan responden pada tiga jenis usaha tersebut tidak semuanya menunjukkan angka yang tinggi. Walaupun pengetahuan tentang jenis usaha pengolahan hasil laut dan budidaya mencapai lebih dari 60 persen, hanya sebanyak 15,6 persen dan 25 persen dari mereka yang terlibat pada usaha ini. Kegiatan UEP COREMAP Di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang dilaksanakan oleh beberapa kelompok masyarakat, namun tidak semua responden terlibat dalam kegiatan tersebut. Dari delapan (8) jenis usaha ekonomi produktif yang diketahui responden, hanya pada usaha pembuatan makanan seperti kue kecil yang melibatkan semua responden yang mengetahui kegiatan tersebut. Jenis kegiatan UEP lain yang diikuti oleh cukup banyak responden adalah usaha budidaya SDL dan kerajinan. Usaha kerajinan sebenarnya belum termasuk pada jenis usaha ekonomi COREMAP, karena sedang dalam tahap proses pengajuan proposal pada pengelola COREMAP di tingkat kabupaten. Dengan demikian, temuan penelitian terkait dengan keterlibatan responden pada usaha kerajinan tersebut mungkin karena mereka menganggap bahwa usaha tersebut merupakan kegiatan UEP- COREMAP. Pada saat kajian ini berlangsung, kegiatan pembuatan kerajinan dilakukan oleh beberapa perempuan yang di salah satu dusun di Desa Malang Rapat. Kegiatan ekonomi lain yang akan dikembangkan kelompok UEP-COREMAP adalah usaha penyaluran BBM di Desa Malang Rapat karena BBM merupakan kebutuhan pokok bagi nelayan. Pada saat ini, 39

56 usaha penjualan BBM hanya dilakukan dua pedagang, di samping tauke yang menyediakan BBM bagi anak buahnya. Dengan demikian, upaya pengembangkan penyaluran BBM diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan nelayan dan juga berdampak pada peningkatan kehidupan sebagian masyarakat yang tidak melakukan pekerjaan kenelayanan. Tabel 2.8 menunjukkan pula bahwa keterlibatan responden pada usaha pengolahan hasil laut/ikan, perikanan tangkap, dan ternak hanya dalam jumlah sedikit. Namun, usaha ini tampaknya perlu terus dikembangkan, karena usaha ini berbasis pada sumberdaya lokal dan tidak merusak lingkungan, khususnya ekosistem terumbu karang. Terlebih semua responden mengemukakan bahwa jenis usaha ekonomi yang dilakukan COREMAP II memberikan manfaat bagi rumah tangga mereka. Tabel 2.8. Distribusi Responden Menurut Keterlibatan Pada Jenis Usaha Ekonomi Produktif COREMAP, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2009, (persen) Jenis usaha ekonomi Terlibat Tidak Terlibat Jumlah Perdagangan/warung 0,0 100,0 100,0 (32) Budidaya 25,0 75,0 100,0 (60) Perikanan tangkap 5,7 94,3 100,0 (35) Ternak ayam/bebek/itik/kambing, dll 2,9 97,1 100,0 (34) Pembuatan makanan/kue/minyak kelapa 100,0 0,0 100,0 (54) Pengolahan hasil laut/ikan asin/asap/pindang/ kerupuk 15,6 84,4 100,0 (64) Kerajinan/souvenir 20,0 80,0 100,0 (20) Lainnya (penyaluran BBM) 100,0 0,0 100,0 (2) Sumber: Survei Benefit Monitoring Evaluation (BME) Sosial-Ekonomi Desa Malang Rapat & Desa Gunung Kijang,

57 BAB III PERUBAHAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA Informasi tentang perubahan pendapatan dapat dipakai untuk menggambarkan perubahan kondisi kesejahteraan rumah tangga. Semakin tinggi pendapatan suatu rumah tangga biasanya rumah tangga tersebut berada dalam kondisi sejahtera. Pembahasan perubahan pendapatan rumah tangga pada bagian ini berdasar pada hasil survei terhadap 99 rumah tangga di lokasi kajian BME di Kawasan Gunung Kijang, tepatnya di Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang. Sejumlah indikator dipakai untuk menganalis kondisi pendapatan rumah tangga, yaitu pendapatan per kapita, rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan, median, dan distribusi rumah tangga menurut besar pendapatan per bulan. Selain membahas perubahan pendapatan rumah tangga dari semua sumber, pada bagian ini juga dibahas perubahan pendapatan dari kegiatan kenelayanan, karena jenis pekerjaan ini berkaitan sangat erat dengan pengelolaan dan pelestarian terumbu karang maupun sumber daya laut. Lebih lanjut, analisis perubahan pendapatan pada kegiatan kenelayan melihat pula faktor-faktor yang berpengaruh, meliputi faktor internal dan eksternal. Termasuk dalam faktor internal antara lain teknologi penangkapan, produksi, dan kualitas sumber daya manusia (nelayan). Faktor eksternal meliputi pemasaran, saranaprasarana produksi, kompetisi pemanfaatan sumber daya laut, kebijakan/program/peraturan, dan penegakkan hukum terkait dengan pemanfaatan sumber daya laut PENDAPATAN RUMAH TANGGA DAN PENDAPATAN PER KAPITA Pengertian pendapatan rumah tangga dalam tulisan ini merujuk pada keseluruhan pendapatan rumah tangga yang diperoleh oleh kepala maupun anggota rumah tangga (ART) yang bekerja/berusaha di bidang 41

58 perikanan maupun lainnya, baik dari pekerjaan utama maupun tambahan. Selain itu, pendapatan rumah tangga juga berasal dari uang pensiun, kiriman, dan bunga tabungan dan sejenis. Data tren statistik pendapatan di lokasi kajian BME Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang dapat dilihat pada Tabel 3.1. Selama kurun waktu dua tahun ( ) terjadi kenaikan pendapatan rumah tangga maupun pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga mencapai 56,5 persen. Peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga juga diikuti dengan kenaikan pada angka pendapatan per kapita sebesar 53,0 persen. Data survei ini menunjukkan adanya perbaikan kondisi kesejahteraan rumah tangga sampel, meskipun lebih dari separuhnya hanya mempunyai pendapatan di bawah pendapatan rata-rata, yang diperlihatkan oleh angka median yang lebih kecil daripada angka pendapatan rata-rata rumah tangga. Peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga tersebut kemungkinan tidak dialami oleh semua rumah tangga responden, ditandai oleh penurunan pendapatan minimum rumah tangga, yaitu dari Rp ,- pada tahun 2007 menjadi Rp ,-. Tabel 3.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah), N=99 Pendapatan Jumlah (Rp.) Th 2007 Th 2009 Per kapita Rata-rata Median Minimum Maksimum Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 dan Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI

59 Perubahan pendapatan rumah tangga yang cenderung meningkat tersebut tidak terlepas dari adanya kenaikan pendapatan pada kegiatan kenelayanan (lihat Tabel 3.2), disamping adanya perkembangan usaha di bidang industri pengolahan bahan makanan. Usaha pembuatan kerupuk dan kue-kue telah lama dikerjakan oleh kaum perempuan di Desa Malang Rapat, tetapi usaha tersebut cenderung semakin berkembang karena adanya tambahan modal dari bantuan pemerintah setempat. Beberapa perempuan yang terlibat pada kegiatan industri rumah tangga tersebut mengemukakan bahwa meskipun pendapatan dari hasil usaha industri pengolahan kerupuk maupun kue masih tergolong kecil, tetapi dapat menambah penghasilan rumah tangga. Diperkirakan usaha industri rumah tangga tersebut dapat berkembang dengan baik jika ada peningkatan kualitas dan perluasan jaringan pemasaran. Tren perubahan pendapatan yang sangat tajam terjadi pada rumah tangga dengan pendapatan terendah (<500 ribu rupiah per bulan). Jika pada tahun 2007 di Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang terdapat sebanyak 42,0 persen rumah tangga berpendapatan < 500 ribu rupiah per bulan, rumah tangga pada kelompok pendapatan ini menjadi hanya kurang dari seperlima total rumah tangga pada tahun 2009 (lihat Gambar 3.1). Rumah tangga yang memiliki pendapatan < 500 ribu rupiah per bulan diperkirakan terdiri dari rumah tangga sampel yang sebagian besar pendapatannya diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh nelayan, nelayan dengan peralatan sederhana, dan petani. Usaha pertanian cenderung didominasi oleh usaha perkebunan kelapa yang sudah berusia tua, sehingga produktivitasnya rendah, padahal harga buah kelapa hanya pada kisaran rupiah per buah. Sebagian rumah tangga lainnya di lokasi kajian BME di Kawasan Gunung Kijang menjadikan usaha perkebunan kelapa sebagai sumber penghasilan sampingan. Artinya, disamping mempunyai perkebunan kelapa, mereka juga mempunyai sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan lainnya. Disamping itu, ditemukan pula rumah tangga yang memiliki dua sumber 43

60 penghasilan dari jenis kegiatan gabungan kenelayanan dan perdagangan maupun kenelayanan dan industri rumah tangga. Gambar 3.1. Distribusi Responden Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah), N = 99 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 dan Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK- LIPI 2009 Perubahan pendapatan yang ditandai dengan penurunan persentase rumah tangga pada kelompok pendapatan terendah yang sangat tajam, kemungkinan terjadi pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari usaha industri pengolahan maupun perikanan tangkap dan budidaya. Wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat maupun penduduk di lokasi kajian menggambarkan fenomena tersebut. Sebagai contoh, usaha perikanan budidaya yang cukup berkembang di Kampung Masiran, Desa Gunung Kijang tampaknya dapat menambah penghasilan pada sejumlah rumah tangga nelayan. Demikian pula meningkatnya produksi pembuatan kerupuk ikan dan kue camilan, termasuk dodol rumput laut, di Desa Malang Rapat merupakan faktor penting dalam menyumbang pendapatan rumah tangga. Salah satu jenis 44

61 kegiatan ekonomi, yaitu pembuatan kerajinan lidi berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga pegrajin, yang beberapa diantaranya menjadi sampel dalam kajian BME. Seperti dikemukakan oleh ketua kelompok pegrajin lidi bahwa meningkatnya pendapatan anggota kelompoknya disebabkan karena semakin banyak pesanan akibat terbukanya jaringan pemasaran, baik langsung ke konsumen maupun melalui kegiatan bazar/pameran. Gambar 3.1 juga menunjukkan adanya sedikit penurunan persentase rumah tangga pada kelompok pendapatan terendah ke dua (500 ribu-999 ribu rupiah per bulan). Penurunan pada kelompok ini diikuti dengan peningkatan persentase rumah tangga sampel pada kelompok pendapatan menengah ke atas, yaitu 1,5 juta - > 3,5 juta rupiah. Di antara rumah tangga pada kelompok pendapatan menengah ke atas tersebut, kenaikan tertinggi terjadi pada rumah tangga dengan pendapatan tertinggi (>3,5 juta rupiah), yaitu mencapai sekitar dua belas kali lipat lebih besar selama dua tahun terakhir ( ). Peningkatan persentase rumah tangga pada kelompok pendapatan tersebut mungkin dialami oleh rumah tangga nelayan bermodal besar yang umumnya juga berperan sebagai penampung). Disamping itu, bantuan modal dari COREMAP untuk usaha budidaya ikan kerapu di Desa Gunung Kijang diperkirakan juga memberikan kontribusi cukup besar dalam menambah penghasilan rumah tangga, khususnya mereka yang juga memiliki usaha sebagai penampung. Hasil survei BME tahun 2009 memperlihatkan, kebanyakan rumah tangga sampel (42,4 persen) hanya memiliki pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan, menurun tajam menjadi 14,1 persen. Tingginya penurunan persentase rumah tangga dengan pendapatan <500 ribu per bulan dalam periode mengindikasikan adanya perbaikan pendapatan pada sebagian rumah tangga. Meskipun demikian, kondisi kesejahteraan rumah tangga tersebut kemungkinan belum menunjukkan perbaikan. Hal ini antara lain karena pendapatan rumah tangga pada umumnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, padahal harganya juga selalu mengalami kenaikan. 45

62 3.2. PENDAPATAN RUMAH TANGGA DARI KEGIATAN KENELAYANAN Pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan diperhitungkan dari pendapatan semua anggota rumah tangga yang bekerja pada sub-sektor perikanan tangkap, baik berasal dari pekerjaan utama maupun tambahan. Pendapatan dari kegiatan kenelayanan berflutuatif menurut musim angin, sehingga analisis juga dibedakan berdasarkan musim angin yang mempengaruhi gelombang laut kuat, pancaroba, atau lemah/teduh. Data yang digunakan untuk pembahasan adalah data survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang tahun 2007 dan BME Aspek Sosial Ekonomi tahun Pada tahun 2009, dari 99 rumah tangga sampel, terdapat sebanyak 74 rumah tangga yang mempunyai penghasilan dari kegiatan kenelayanan, yang selanjutnya disebut dengan rumah tangga nelayan. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah rumah tangga nelayan pada tahun 2007 yang mencapai 79 rumah tangga. Berkurangnya jumlah rumah tangga nelayan kemungkinan karena adanya pergantian sampel akibat tidak dapat ditemui selama berlangsungnya survei atau pindah ke luar lokasi kajian. Pergantian sampel ini juga menyebabkan berkurangnya jumlah rumah tangga nelayan pada musim pancaroba dan musim teduh. Perbedaan jumlah rumah tangga sampel menurut musim disebabkan karena sebagian nelayan menghentikan aktivitas melaut pada musim angin kuat, yaitu dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki/menguasai perahu motor bermesin cukup besar. Musim gelombang kuat terjadi pada musim utara yang umumnya berlangsung antara 3-4 bulan, yaitu berkisar dari akhir Nopember awal Maret. Pada musim ini kebanyakan nelayan tidak dapat melaut. Kegiatan melaut hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki perahu motor dengan kapasitas mesin cukup besar, itupun hanya pada wilayah penangkapan yang tidak jauh dari pantai. Keadaan sebaliknya terjadi pada musim gelombang lemah/teduh yang dikenal pula dengan musim angin timur. Pada musim ini yang kira-kira berlangsung selama 3-4 bulan, nelayan dapat melaut setiap hari dengan menggunakan semua 46

63 alat tangkap yang dimiliki/dikuasai. Dalam sehari, nelayan dapat melaut lebih dari satu kali. Aktivitas melaut seperti ini tidak dapat lagi dilakukan pada musim pancaroba yang umumnya berlangsung kira-kira lima bulan, biasanya terjadi pada musim angin barat dan selatan. Kondisi laut pada musim pancaroba terkadang cukup bersahabat dengan nelayan, tetapi pada saat-saat tertentu terjadi perubahan cuaca yang menimbulkan gelombang laut cukup besar. Namun demikian, keadaan cuaca seperti ini hanya terjadi dalam jangka waktu tidak lama, sehingga nelayan masih dapat melakukan aktifitas melaut hampir setiap hari dengan frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan pada musim gelombang lemah. Menurut sejumlah nelayan dan dua orang penampung di lokasi kajian BME Desa Malang Rapat maupun Gunung Kijang, akhir-akhir ini dirasakan ada perubahan musim angin. Musim pancaroba berlangsung lebih lama daripada waktu sebelumnya. Jika sebelumnya musim pancaroba biasanya berlangsung selama empat bulan (April-Juli), pada saat ini terkadang sampai 5-6 bulan. Musim pancaroba terakhir berlangsung kurang lebih selama enam bulan, sedang musim gelombang kuat dan lemah/teduh masing-masing selama tiga bulan. Pendapat sebagian besar nelayan ini selanjutnya dipakai sebagai dasar perhitungan pendapatan rumah tangga sampel. Perbedaan musim angin terhadap kegiatan melaut menyebabkan perolehan hasil tangkapan yang berbeda-beda, yang selanjutnya mempengaruhi besar pendapatan. Namun demikian, sebelum membahas pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan menurut musim, dikemukakan terlebih dahulu pendapatan rumah tangga nelayan keseluruhan, tanpa membedakan musim angin (Tabel 3.2). Perubahan pendapatan dari kegiatan kenelayanan secara signifikan terlihat pada pendapatan per kapita yang mencapai 128,4 persen selama periode Pesatnya kenaikan pendapatan per kapita menggambarkan bahwa anggota rumah tangga responden termasuk pada kategori penduduk tidak miskin. Hal ini karena angka pendapatan per kapita di tingkat rumah tangga sampel pada tahun

64 jauh melampuai garis kemiskinan di Kabupaten Kepulauan Riau pada tahun 2006 (Rp ,; per bulan), bahkan juga di tingkat Kota Tanjung Pinang (Rp ,-)(BPS, 2007:8). Kenaikan pendapatan per kapita yang sangat tinggi tidak terlepas dari faktor peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga, walau hanya mencapai kurang dari separuhnya (59,7 persen) peningkatan pendapatan per kapita. Faktor lain kemungkinan juga berkaitan dengan menurunnya rata-rata jumlah anggota rumah tangga, terutama karena alasan perkawinan, sehingga mereka ke luar dari rumah tangga sampel. Wawancara dengan beberapa informan kunci menggambarkan kemungkinan tersebut. Perubahan pendapatan rumah tangga yang meningkat juga ditunjukkan oleh kenaikan median pendapatan yang mencapai 52,3 persen. Meskipun demikian, median pendapatan (Rp ,-) atau mencapai separuhnya dari pendapatan rata-rata per bulan (Rp ,-). Data ini menggambarkan terdapat banyak rumah tangga nelayan yang masih memiliki pendapatan rendah, tepatnya lebih rendah dari pendapatan rata-rata rumah tangga. Tabel 3.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah) Statistik Pendapatan Besar Pendapatan (rupiah) Per kapita Rata-rata RT Median Minimum Maksimum N Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK- LIPI 2007 dan Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI

65 Pendapatan rumah tangga nelayan di lokasi Kajian BME Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang tidak berbeda dengan pola umum pada masyarakat nelayan di Indonesia. Pendapatan rata-rata tertinggi diperoleh pada musim teduh (gelombang lemah), sedangkan pendapatan terendah didapat pada musim gelombang kuat. Kondisi ini terjadi karena pengaruh dari kapasitas penangkapan yang dipakai. Aktifitas melaut pada musim angin lemah dilakukan oleh semua nelayan setiap hari dengan menggunakan berbagai alat tangkap. Jangkauan wilayah tangkap mencapai hingga jauh ke tengah laut, tergantung pada kapasitas penangkapan yang dimiliki/dikuasai nelayan. Oleh karena itu, musim angin lemah/teduh merupakan musim panen bagi nelayan, sehingga pendapatan dari penjualan hasil tangkapan lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada musim ombak besar maupun pancaroba. Pada musim pancaroba cenderung semakin sering terjadi akhirakhir ini, tetapi tampaknya tidak menghalangi nelayan untuk melakukan kegiatan melaut sepertihalnya pada musim angin kencang. Angin ribut pada musim pancaroba terjadi pada waktu-waktu tertentu dalam rentang waktu yang tidak lama, yang biasanya dapat diketahui oleh nelayan dengan melihat pada tanda-tanda alam. Datangnya angin ribut tersebut mengurangi waktu melaut, sehingga hasil tangkapan tidak sebanyak seperti yang diperoleh pada musim laut teduh (gelombang lemah). Pada musim pancaroba, sebagian nelayan tidak dapat atau mengurangi frekuensi melaut, sehingga pendapatan yang diperoleh lebih rendah daripada musim teduh, tetapi masih lebih tinggi daripada musim gelombang kuat. Pada musim gelombang kuat, yaitu ketika angin berhembus sangat kencang dengan gelombang yang tinggi, sebagian besar nelayan hanya melaut di sekitar pantai dalam waktu yang singkat. Akibatnya pendapatan rumah tangga nelayan pada musim angin kencang paling kecil dibandingkan dua musim lainnya. Data pada Tabel 3.3 menggambarkan perbedaan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan menurut musim. 49

66 Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ( ), pendapatan dari kegiatan kenelayanan di lokasi kajian Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang menunjukkan tren meningkat. Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan tertinggi terjadi pada musim ombak lemah (68,1 persen), atau kira-kira tiga kali lipat lebih besar daripada peningkatan pendapatan rata-rata pada musim ombak kuat (20,8 persen. Perubahan pendapatan pada musim pancaroba berada di antara angka kenaikan pada musim ombak lemah dan ombak kuat, yaitu sekitar 59,6 persen. Tabel 3.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 dan 2009 (Rupiah) Musim Kelompok Ombak Kuat Pancaroba Ombak Tenang Pendapatan Rata-rata Median Minimum Maksimum N Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 dan Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2009 Tingginya peningkatan pendapatan rata-rata pada musim ombak lemah tersebut mungkin dapat meningkatkan kesejahteraan sebagian nelayan, khususnya yang memiliki kapasitas penangkapan cukup besar. Kecenderungan bertambahnya kelong dan bagan dalam dua tahun terakhir merupakan salah satu indikator meningkatnya kapasitas penangkapan. Jenis alat tangkap ini umumnya dimiliki oleh tauke atau nelayan berkemampuan ekonomi cukup tinggi, yang mana dua jenis alat tangkap ini cukup produktif dioperasikan pada musim teduh/ombak lemah. Demikian pula pada musim pancaroba, kelong apung yang semakin banyak jumlahnya, terutama di Desa Malang Rapat, juga dapat dioperasikan pada musim ini, sehingga perubahan pendapatan pada 50

67 musim ini juga cukup besar. Sebaliknya, pada musim ombak kuat bukan merupakan musim yang tepat untuk menggunakan kelong, karena jaring pada kelong bisa rusak oleh ombak besar. Hasil tangkapan pada musim ombak kuat umumnya diperoleh dari alat tangkap pancing rawai, sehingga peningkatan pendapatan dalam dua tahun terakhir jauh lebih rendah dibandingkan musim ombak lemah dan pancaroba. Untuk nelayan kecil, kenaikkan pendapatan kemungkinan tidak banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan mereka, karena biaya kehidupan juga semakin mahal. Perubahan pendapatan juga terlihat dari angka median pendapatan yang meningkat di semua musim. Meskipun demikian, angka median yang lebih kecil daripada angka pendapatan rata-rata menggambarkan masih terdapat banyak rumah tangga nelayan yang mempunyai pendapatan rendah. Data statistik pendapatan pada Tabel 3.3 juga memperlihatkan terjadi tren peningkatan pendapatan minimum, demikian pula pendapatan maksimum (kecuali pada musim ombak kuat). Peningkatan pendapatan maksimun pada musim ombak lemah juga paling besar dibandingkan dengan dua musim lainnya. Peningkatan pada pendapatan maksimum ini mungkin dialami oleh penampung dan rumah tangga nelayan dengan kapasitas penangkapan besar. Di lokasi kajian BME, khususnya di Desa Malang Rapat, peran penampung/tekong bukan hanya sebagai pembeli SDL, tetapi juga sebagai nelayan bagi hasil. Sebagian penampung/tekong menyediakan armada, alat tangkap, dan biaya operasional (BBM), atau salah satu/dua di antaranya, untuk dipakai melaut nelayan yang juga menjadi anak buah mereka. Hasil tangkapan dibagi antara nelayan dan penampung dengan perbandingan sesuai kesepakatan kedua belah pihak, misalnya 7:3 atau 6:4, masingmasing untuk nelayan dan penampung/tekong. Pendapatan rumah tangga nelayan pada umumnya masih pada tingkat yang rendah. Gambar-gambar 3.2a, 3.2b, dan 3.2c memperlihatkan distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan dan musim. Terjadi perbedaan sangat menonjol antara tiga musim angin. Pada musim angin kuat, sebagian besar rumah tangga nelayan berada pada 51

68 kategori pendapatan terbawah. Kondisi ini mengindikasikan bahwa musim angin kencang dan laut berombak besar merupakan masa sulit bagi nelayan. Pada musim ombak kuat, hasil tangkapan sangat berkurang, karena kebanyakan nelayan tidak memiliki/menguasai armada dan alat tangkap yang dapat dipakai pada musim ini. Gambar 3.2a. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan, Musim Ombak Kuat, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 (N=64) dan 2009 (N=61) Gambar 3.2b. Distribusi Persentase Rumah Tangga, Menurut Kelompok PendapatanMusim Pancaroba, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, 2007 (N=79) dan 2009 (N=74) Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 dan Survei BME Aspek Sosial- Ekonomi, PPK-LIPI

69 Gambar 3.2c. Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Musim Ombak Lemah, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Th 2007 (N=79) dan 2009 (N=71) Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 dan Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2009 Adanya sedikit peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan pada kelompok pendapatan terbawah pada musim ombak kuat selama kurun waktu tampaknya belum dapat mengangkat mereka pada kehidupan yang lebih baik. Hal ini ditandai oleh tingginya persentase (70,5 persen) rumah tangga yang hanya memiliki pendapatan < 500 ribu rupiah per bulan, sedangkan mereka yang berada pada kelompok pendapatan di atasnya ( ribu rupiah) mencapai seperlima. Artinya, hanya kurang dari sepersepuluh rumah tangga sampel yang pada tahun 2009 memiliki pendapatan di atas satu juta rupiah per bulan. Distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan pada musim ombak lemah tampak variatif. Persentase rumah tangga nelayan menurut kelompok pendapatan terlihat menyebar pada kelompok pendapatan bawah hingga menengah pertama (1 juta - 1,4 juta rupiah) dan (1,5 juta - 1,9 juta rupiah), baik pada tahun 2007 maupun Persebaran rumah tangga pada kelompok pendapatan di atasnya cenderung tidak merata, digambarkan oleh tingginya persentase rumah tangga dengan pendapatan antara 3 juta-3,4 juta rupiah per bulan, 53

70 khususnya pada tahun Data ini menggambarkan perubahan pendapatan rumah tangga nelayan yang cukup signifikan pada kelompok pendapatan tersebut. Tren perubahan pendapatan yang mencolok terjadi pada kelompok pendapatan terendah (< 500 ribu per bulan) dan tertinggi ke dua (3 juta-3,4 juta rupiah per bulan). Penurunan yang tajam untuk persentase rumah tangga yang memiliki pendapatan < 500 ribu per bulan selama periode , yakni dari 44,3 persen menjadi 6,8 persen, menunjukkan adanya kenaikan pendapatan yang dialami oleh rumah tangga pada kelompok pendapatan ini. Berkurangnya persentase rumah tangga pada kelompok pendapatan terbawah diperkirakan bergeser pada kelompok pendapatan menengah pertama (1 juta 1,49 juta dan 1,5 juta-1,9 juta rupiah per bulan), seperti ditunjukkan oleh adanya peningkatan persentase rumah tangga yang cukup besar pada kelompok pendapatan menengah pertama tersebut (Gambar 3.4). Pada gambar ini, terlihat dengan jelas terdapat dua kelompok rumah tangga dengan pendapatan menengah atas (2 juta-2,4 juta dan 2,5 juta-2,9 juta rupiah per bulan) yang menurun persentasenya, sebaliknya persentase rumah tangga pada kelompok pendapatan tertinggi meningkat cukup pesat. Namun demikian, persentase pada tiga kelompok pendapatan tersebut tergolong kecil sehingga tidak banyak berpengaruh terhadap pola perubahan pendapatan rumah tangga nelayan secara keseluruhan. Perubahan pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayan pada musim pancaroba memiliki kemiripan pola dengan musim ombak lemah. Sedikit perbedaan terjadi pada rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi (lihat Gambar 3.2b dan 3.2c). Distribusi pendapatan rumah tangga menurut kelompok pendapatan pada musim pancaroba cenderung mengumpul pada kelompok pendapatan rendah dengan proporsi yang lebih tinggi daripada musim ombak lemah. Keadaan ini dapat dipahami dari hasil tangkapan nelayan pada musim pancaroba yang lebih sedikit dibandingkan pada musim ombak lemah. Demikian pula, persentase rumah tangga nelayan yang memiliki pendapatan tinggi (3 juta - 3,5 juta rupiah per bulan) sedikit lebih tinggi pada musim 54

71 pancaroba daripada musim pancaroba dibandingkan musim ombak lemah, baik pada tahun 2007 maupun Persebaran rumah tangga nelayan di kedua kategori pendapatan tersebut juga cenderung lebih merata pada musim pancaroba daripada musim ombak lemah. Hal ini menggambarkan bahwa kesenjangan pendapatan pada musim pancaroba lebih kecil dibandingkan pada musim ombak lemah maupun ombak kuat (lihat Gambar 3.2a, 3.2b, dan 3.2c). Seperti terjadi pada musim ombak lemah, persentase rumah tangga sampel yang mempunyai pendapatan < 500 ribu rupiah per bulan menurun dalam dua tahun terakhir (Gambar 3.3). Namun demikian, penurunan tersebut tidak setajam pada musim ombak lemah. Perbedaan ini kemungkinan besar berkaitan dengan frekuensi melaut pada musim pancaroba lebih sedikit daripada musim ombak lemah. Kecenderungan meningkatnya pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan pada musim pancaroba juga terlihat dari peningkatan persentase rumah tangga pada semua kategori pendapatan yang besarnya di atas 500 ribu per bulan, kecuali pada rumah tangga yang memiliki pendapatan antara 1,5 juta -1,9 juta rupiah per bulan. Hasil survei ini menggambarkan bahwa perubahan pendapatan dalam kurun waktu antara dirasakan oleh semua rumah tangga responden, meskipun kira-kira separuh rumah tangga sampel pada musim pancaroba masih berada pada kategori kelompok pendapatan dua terbawah (< 1 juta rupiah per bulan), terutama pada tahun Angka ini mencapai sekitar dua kali lipat lebih besar daripada rumah tangga pada kategori pendapatan yang sama di musim ombak lemah. Perbedaan ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa kegiatan kenelayanan pada musim ombak lemah dapat dilakukan dengan maksimal, sehingga pendapatan nelayan juga lebih besar daripada musim pancaroba PENDAPATAN RUMAH TANGGA POKMAS Rumah tangga pokmas adalah rumah tangga yang terdapat paling tidak seorang ART yang terlibat dalam kegiatan pokmas COREMAP. Namun demikian, sumber pendapatan rumah tangga 55

72 pokmas tidak hanya berasal dari hasil usaha pokmas, tetapi sebagian besar justru berasal dari sumber penghasilan lainnya. Hal ini karena kegiatan pokmas di lokasi kajian BME Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang belum dapat berkontribusi cukup besar terhadap pendapatan rumah tangga. Bahkan, beberapa pokmas belum melakukan kegiatan UEP sehingga belum memberikan tambahan pendapatan rumah tangga. Dari 99 rumah tangga yang menjadi responden survei BME Aspek Sosial Ekonomi di Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, sebanyak 42 rumah memiliki ART yang menjadi anggota pokmas (rumah tangga pokmas). Sebagian rumah tangga pokmas hanya terdapat satu orang ART yang menjadi anggota pokmas. Sebagian lainnya memiliki lebih dari satu orang ART yang menjadi anggota pokmas, misalnya kepala rumah tangga terlibat dalam pokmas UEP/produksi, sedang isteri terlibat dalam pokmas jender/perempuan. Keterlibatan anggota rumah tangga dalam kegiatan pokmas, terutama yang telah melakukan usaha ekonomi, beberapa di antaranya telah dapat menambah penghasilan rumah tangga. Hasil survei menunjukkan, pendapatan rata-rata rumah tangga pokmas lebih besar (Rp ,-) dibanding dengan rumah tangga bukan pokmas ( ,-). Selain itu, angka median pada rumah tangga pokmas juga lebih besar daripada mereka yang termasuk bulan pokmas (lihat Gambar 3.3). Lebih tingginya pendapatan rumah tangga pokmas daripada rumah tangga bukan pokmas juga ditunjukkan oleh pendapatan maksimum dan minimum rumah tangga pokmas yang sedikit lebih tinggi dibanding dengan bukan pokmas. Data statistik pendapatan memperlihatkan, pendapatan maksimum rumah tangga pokmas sebesar Rp ,-, sedangkan pendapatan bukan pokmas sebesar Rp ,-. Sementara itu, pendapatan minimum rumah tangga pokmas adalah Rp ,-, sedang pendapatan minimum rumah tangga bukan pokmas Rp ,-. Namun demikian, angka median yang lebih rendah daripada pendapatan rata-rata rumah tangga menggambarkan bahwa masih terdapat lebih banyak rumah tangga pokmas yang memiliki pendapatan rendah. 56

73 Gambar 3.3. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Pokmas dan Bukan Pokmas, Desa Malang Rapat dan Gunung Kijang, Tahun 2009 Sumber: Survei BME Aspek Sosial-Ekonomi, PPK-LIPI 2009 Banyak faktor yang memengaruhi lebih tingginya pendapatan rata-rata rumah tangga pokmas dibanding rumah tangga bukan pokmas. Salah satu kemungkinan adalah bahwa rumah tangga pokmas adalah rumah tangga yang lebih mampu secara ekonomi dibanding anggota bukan pokmas dengan asusmsi bahwa mereka akan dapat mengembalikan dana bantuan yang kemudian digulirkan kepada kelompok lain. Pengamatan di dua lokasi kajian BME menunjukkan adanya sejumlah anggota pokmas yang berasal dari rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi cukup baik, seperti nelayan yang memiliki kapasitas penangkapan cukup tinggi dan mereka yang sebelumnya sudah memiliki kegiatan di bidang industri rumah tangga. Sebagai contoh salah satu ketua pokmas jender di Desa Malang Rapat selain menjalankan usaha/kegiatan pokmas, juga memiliki beberapa usaha ekonomi lainnya yang telah dilakukan sebelum ada kegiatan pokmas COREMAP. Demikian pula di lokasi kajian Gunung Kijang, salah seorang anggota pokmas adalah juga nelayan dan penampung hasil tangkapan nelayan. Manfaat ekonomi dari kegiatan pokmas juga memengaruhi pendapatan rumah tangga pokmas yang lebih tinggi dibanding dengan 57

PENGUMPULAN DATA KUALITATIF CRITC - LIPI

PENGUMPULAN DATA KUALITATIF CRITC - LIPI PENGUMPULAN DATA KUALITATIF CRITC - LIPI DATA KUALITATIF Pelaksanaan COREMAP II 1. Tingkat lokal : Lokasi COREMAP (desa, kelurahan) Lokasi-lokasi yang ada studi based-line 2. Tingkat Kabupaten Wakatobi

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN :

IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN : IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN : PARTISIPASI MASYARAKAT DAN MANFAAT SOSIAL EKONOMI Oleh: MITA NOVERIA ASWATINI MEIRINA AYUMI MALAMASSAM COREMAP-LIPI Coral Reef Rehabilitation

Lebih terperinci

Panduan Pengumpulan Data Kualitatif Pengelolaan dan Kegiatan COREMAP di tingkat Kabupaten dan Lokasi

Panduan Pengumpulan Data Kualitatif Pengelolaan dan Kegiatan COREMAP di tingkat Kabupaten dan Lokasi Panduan Pengumpulan Data Kualitatif Pengelolaan dan Kegiatan di tingkat Kabupaten dan Lokasi A. Tingkat Kabupaten Pengelolaan Pemahaman tentang dan kegiatannya Tujuan, Konsep dan Pendekatan yang digunakan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN BIAK NUMFOR :

IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN BIAK NUMFOR : IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN BIAK NUMFOR : PARTISIPASI MASYARAKAT DAN MANFAAT SOSIAL EKONOMI Oleh : HANING ROMDIATI SRI SUNARTI PURWANINGSIH ENIARTI DJOHAN COREMAP-LIPI Coral Reef Rehabilitation and

Lebih terperinci

Panduan Pengumpulan Data Kualitatif: Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Panduan Pengumpulan Data Kualitatif: Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Panduan Pengumpulan Data Kualitatif: Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Subparameter/Variabel Informasi lanjutan Sumber data/metode Kondisi Geografis - Jarak tempuh lokasi penelitian dari pusat pemerintahan:

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

Pengumpulan Data Kuantitatif. Batam, Juni 2008

Pengumpulan Data Kuantitatif. Batam, Juni 2008 Pengumpulan Data Kuantitatif BME SOSEK CRITC-LIPI Batam, 23-25 Juni 2008 Data Kuantitatif Digunakan untuk: Mendapatkan informasi yang bersifat kuantitatif terhadap spesifik isu/topik Mendapatkan data yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil observasi dilapangan serta analisis yang dilaksanakan pada bab terdahulu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk merumuskan konsep

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN WAKATOBI :

IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN WAKATOBI : IMPLEMENTASI COREMAP DI KABUPATEN WAKATOBI : PARTISIPASI MASYARAKAT DAN MANFAAT SOSIAL EKONOMI Oleh : DENY HIDAYATI FITRANITA RUSLI CAHYADI COREMAP-LIPI Coral Reef Rehabilitation and Management Program

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang Kabupaten Bintan Oleh: Laila Nagib Mujiyani Zainal Fatoni LIPI CRITC LIPI 2007 KATA PENGANTAR COREMAP fase

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

LAPORAN PEMANTAUAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT (CREEL) DI KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008

LAPORAN PEMANTAUAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT (CREEL) DI KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 LAPORAN PEMANTAUAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT (CREEL) DI KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 KATA PENGANTAR Laporan Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat (CREEL) di Kabupaten Bintan selama tahun 2008 ini

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

- 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

- 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 PERATURAN WALIKOTA PAREPARE PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN INFRASTRUKTUR CCDP-IFAD KELURAHAN PESISIR KOTA PAREPARE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KASUS KABUPATEN BUTON HASIL BME

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KASUS KABUPATEN BUTON HASIL BME KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KASUS KABUPATEN BUTON HASIL BME KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KASUS KABUPATEN BUTON HASIL BME LAILA NAGIB ANDY AHMAD ZAELANY

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Daerah Kecamatan Pulau Tiga merupakan salah satu bagian dari wilayah Kabupaten Natuna yang secara geografis berada pada posisi 3 o 34 30 3 o 39

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. 303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR.

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR. PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR. (dok/antara) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menganggap program

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Kawasan Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan HASIL BME Oleh: TONY SOETOPO SUDIYONO COREMAP-LIPI Coral Reef Rehabilitation and Management Program Lembaga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sebagai tindak lanjut Pasal

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS DAERAH KABUPATEN BINTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.157, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEJAHTERAAN. Penanganan. Fakir Miskin. Pendekatan Wilayah. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5449) PERATURAN

Lebih terperinci

DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN MAWALI KECAMATAN LEMBEH UTARA KOTA BITUNG

DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN MAWALI KECAMATAN LEMBEH UTARA KOTA BITUNG DATA PERENCANAAN DESA KELURAHAN MAWALI KECAMATAN LEMBEH UTARA KOTA BITUNG 1. PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPL) 1. Menjaga dan memperbaiki kualitas ekosistem terumbu karang dan habitat yang berhubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA 1 1 PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN LINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LINGGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TADULAKO 2016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS TADULAKO 2016 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE UNTUK MENANGGULANGI ABRASI DI PANTAI SARI DESA TOLAI BARAT KECAMATAN TORUE KABUPATEN PARIGI MOUTONG Ni Ketut Rediasti No. Stb A 351 10 052 Diajukan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 55 VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI 6.1 Analisis DPSIR Analisis DPSIR dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang jelas dan spesifik mengenai faktor pemicu (Driving force), tekanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna. Hasil BME

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna. Hasil BME KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Hasil BME DENY HIDAYATI DEVI ASIATI TONI SOETOPO LIPI CRITC LIPI 2007 KATA PENGANTAR P elaksanaan COREMAP Fase

Lebih terperinci

DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA KELURAHAN PULAU ABANG, KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM

DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA KELURAHAN PULAU ABANG, KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA KELURAHAN PULAU ABANG, KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA KELURAHAN PULAU ABANG, KECAMATAN GALANG, KOTA BATAM

Lebih terperinci

PROGRESS COREMAP II CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM

PROGRESS COREMAP II CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM PROGRESS COREMAP II CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM Rapat Kerja Teknis Ditjen KP3K-KKP Jakarta, 13 Januari 2011 TUJUAN COREMAP II Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di sub-sektor perikanan tangkap telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 8 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4. Keadaan Wilayah Kepulauan Seribu merupakan sebuah gugusan pulaupulau kecil yang terbentang dari teluk Jakarta sampai dengan Pulau Sibera. Luas total Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal

BAB I PENDAHULUAN. potensial untuk pembangunan apabila dikelola dengan baik. Salah satu modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan garis pantai yang panjang menyebabkan Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

REALISASI KEGIATAN CCDP-IFAD PIU YAPEN TAHUN 2013 DAN RENCANA KEGIATAN TAHUN 2014 OLEH WILLIAM MANOBI SEKERTARIS PIU YAPEN

REALISASI KEGIATAN CCDP-IFAD PIU YAPEN TAHUN 2013 DAN RENCANA KEGIATAN TAHUN 2014 OLEH WILLIAM MANOBI SEKERTARIS PIU YAPEN REALISASI KEGIATAN CCDP-IFAD PIU YAPEN TAHUN 2013 DAN RENCANA KEGIATAN TAHUN 2014 OLEH WILLIAM MANOBI SEKERTARIS PIU YAPEN Realisasi Dana PIU YAPEN Sampai Dengan Bulan November sebanyak 68 % (Sisa 32%)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam kehidupan manusia, mulai hal yang terkecil dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dikembangkan dan dikelola sumberdaya yang tersedia. Indonesia

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 13 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 13 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 13 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM. PERATURAN BUPATI KABUPATEN SIKKA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

Strategi 3: Mencegah erosi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan banjir di wilayah pemukiman penduduk Mengurangi Dampak Erosi Daratan/Lahan Pertanian

Strategi 3: Mencegah erosi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan banjir di wilayah pemukiman penduduk Mengurangi Dampak Erosi Daratan/Lahan Pertanian Hasil yang diharapkan Taraf hidup masyarakat meningkat Anak putus sekolah berkurang Pengangguran di dalam desa berkurang Indikator Pendapatan nelayan, petani dan masyarakat lainnya Data jumlah anak putus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN BUPATI LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LUMAJANG NOMOR 77 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BUPATI MANDAILING NATAL

BUPATI MANDAILING NATAL - 1 - BUPATI MANDAILING NATAL PERATURAN BUPATI MANDAILING NATAL NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN MANDAILING NATAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERSEN TASE (%) Dinas Kelautan dan Perikanan ,81 JUMLAH ,81

PERSEN TASE (%) Dinas Kelautan dan Perikanan ,81 JUMLAH ,81 05. A. KEBIJAKAN PROGRAM Arah kebijakan program pada Urusan Pilihan Kelautan dan Perikanan diarahkan pada Peningkatan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan secara Optimal, dengan tetap menjaga

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi Dampak Penetapan Daerah terhadap Eksistensi Hak Nelayan Tradisional di Kabupaten Kepulauan Selayar oleh Ryan Anshari (B11108 416), yang dibimbing oleh Farida Patittingi dan Sri Susyanti Nur. ABSTRAK Penetapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BUPATI DONGGALA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DONGGALA,

BUPATI DONGGALA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DONGGALA, BUPATI DONGGALA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DONGGALA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN DONGGALA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS-DINAS

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

A. Gambaran Umum 1. Organisasi Perangkat Daerah

A. Gambaran Umum 1. Organisasi Perangkat Daerah A. Gambaran Umum 1. Organisasi Perangkat Daerah Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah serta Peraturan Bupati Malang Nomor 59

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 40 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 40 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM CIPTA KARYA DAN TATA RUANG KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA 1 1 PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR : 08 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMANTAUAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT (CREEL), Apa dan Bagaimana? Coral Reef Information and Training Center

PEMANTAUAN PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT (CREEL), Apa dan Bagaimana? Coral Reef Information and Training Center PEANTAUAN PERIKANAN BERBASIS ASYARAKAT (CREEL), Apa dan Bagaimana? Coral Reef Information and Training Center ADB WB Performance Indikator COREAP Biofisik Persentase tutupan karang hidup naik sebesar 2%

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 10 TAHUN 2010 T E N T A N G

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 10 TAHUN 2010 T E N T A N G BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 10 TAHUN 2010 T E N T A N G BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN SIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIGI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016 SALINAN BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BLITAR

Lebih terperinci

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG Sri Endang Kornita Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Sinergi dalam kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

DIN PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

DIN PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG DIN PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH, SEKRETARIAT DPRD DAN DINAS DAERAH PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Keadaan Umum Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Tlanakan

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Keadaan Umum Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Tlanakan V. GAMBARAN UMUM 5.1 Keadaan Umum Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Tlanakan Tlanakan merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Pamekasan yang memiliki luas wilayah 48,10 Km 2 dan terletak

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi yang unik dan layak untuk dipertahankan.

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2008 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 5TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS DAERAH KABUPATEN CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA DESA LIMBUNG, KECAMATAN LINGGA UTARA, KABUPATEN LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU

DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA DESA LIMBUNG, KECAMATAN LINGGA UTARA, KABUPATEN LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA DESA LIMBUNG, KECAMATAN LINGGA UTARA, KABUPATEN LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA DESA LIMBUNG, KECAMATAN

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU Wilayah Kabupaten Indramayu terletak pada posisi geografis 107 o 52 sampai 108 o 36 Bujur Timur (BT) dan 6 o 15 sampai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH KONDISI GEOGRAFIS Kota Batam secara geografis mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu terletak di jalur pelayaran dunia internasional. Kota Batam berdasarkan Perda Nomor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic state) terbesar di dunia. Jumlah Pulaunya mencapai 17.506 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kurang lebih 60%

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi 3. URUSAN LINGKUNGAN HIDUP a. Program dan Kegiatan. Program pokok yang dilaksanakan pada urusan Lingkungan Hidup tahun 2012 sebagai berikut : 1) Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS

BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS BUPATI KEPULAUAN ANAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PERANGKAT DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI PULANG PISAU,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI PULANG PISAU, SALINAN BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana Kerja Tahunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rencana Kerja Tahunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci