WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA"

Transkripsi

1 WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul: WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2013 Kadek Surya Sumerta NIM C

3 ABSTRAK KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satelit Jason 2 di Perairan Jawa Timur. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL. Waveform retracking adalah proses pengukuran ulang jarak satelit terhadap permukaan laut (range) dengan menganalisa waveform di suatu wilayah perairan dengan menggunakan metode retracking. Penelitian ini dilakukan di wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur dengan menggunakan data Sensor Geophysical Data Record (SGDR) Jason 2. Nomor lintasan yang digunakan pada penelitian ini adalah 127, 140 dan 203 serta menggunakan cycle dimulai dari Untuk menguji kualitas dari proses ini per kategori jarak dilakukan analisa Improvement Precentage (IMP) terhadap metode retracking yang digunakan. Metode yang digunakan adalah Offset Center Off Grativity (OCOG), ice, ocean, threshold 20% dan 50%; improved threshold 20%, 30% dan 50%. Penelitian ini menggunakan enam lokasi stasiun yang dilalui oleh Satelit Jason 2. Kategori jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah 0 10 km, km, km, dan km. Pengamatan terhadap performa metode waveform retracking diperoleh bahwa performa tiap metode waveform retracking berbeda pada masing-masing kategori jarak di setiap stasiun. Penggunaan threshold level 20% dan 30% pada metode threshold paling sesuai untuk wilayah perairan Jawa Timur. Validasi nilai Sea Surface Height (SSH) metode retracking menggunakan data Sea Level Anomaly (SLA) dan data pasang surut in situ. Hasil validasi menunjukan bahwa metode yang memiliki nilai IMP terbesar selama periode memiliki nilai korelasi tertinggi terhadap data pasang surut in situ. Misalnya, metode retracking ice dengan nilai IMP terbesar pada Stasiun 1 dan 6, memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi yaitu sebesar 0.78 dan Pengukuran SSH selama periode dengan metode retracking teroptimal pada masing-masing stasiun menghasilkan nilai rentang SSH untuk Stasiun 1 sampai Stasiun 6 sebagai berikut m, m, m, m, m, dan m, sedangkan rata-rata SSH berturut-turut sebesar m (Stasiun 1), m (Stasiun 2), m (Stasiun 3), m (Stasiun 4), m (Stasiun 5), dan m (Stasiun 6). Kata kunci: waveform retracking, IMP, Jason 2, Jawa Timur, dan SSH.

4 ABSTRACT KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satellite Jason 2 in East Java Sea. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL. Waveform retracking is a process to recalculate the range between satellite and sea surface by analysing waveform in a sea region with retracking methods. This research used SGDR Jason 2 altimetry data with region observation were north and south side of East Java Sea. This research used pass numbers 127, 140 and 203 with cycle 18 until 158. For testing the quality of the methods this research calculated IMP for each methods. This research used OCOG method, ice, ocean, threshold 20% and 50%, improved threshold 20%, 30% and 50%. The research classifed 4 categories distance from the coastline. There was 0 10 km, km, km, dan km. Performance every waveform retracking was different in each station. Using threshold level 20 % and 30 % in threshold retracking method suited for sea region in East Java. Validation of SSH measured with retracking method used SLA data and tide gauge in situ data. The result showed that the retracking methods which had highest precentage of IMP for had the highest coeficient correlation to tide gauge in situ data. For example, ice method which had the highest precentage value of IMP in Station 1 and 6, had the highest coeficient correlation were 0.78 and Measuring SSH value for with optimal methods for every station resulted range of SSH for Station 1 until Station 6 were m, m, m, m, m, and m. Meanwhile average value of SSH were m (Station 1), m (Station 2), m (Station 3), m (Station 4), m (Station 5), dan m (Station 6). Key words : waveform retracking, IMP, Jason 2, and East Java, and SSH

5 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR KADEK SURYA SUMERTA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

7 Judul Skripsi : Waveform Retracking Satelit Jason 2 di Perairan Jawa Timur Nama NIM : Kadek Surya Sumerta : C Disetujui oleh, Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si Pembimbing I Diketahui oleh, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus : 25 Maret 2013

8 PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Sang Hyang Widhi Wasa atas semua berkat dan karunia yang telah diberikan-nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana. Penelitian ini dilakukan pada 1 Juni 2012 hingga 30 Januari 2013 di Badan Informasi Geospasial (BIG). Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si. Selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Parluhutan Manurung, M. Sc dan Bapak Stefano Vignudeli selaku dosen materi Altimetri. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan BIG atas bantuan data altimetri dan pasang surut wilayah Jawa Timur. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, seluruh keluarga besar, serta teman-teman atas doa dan dukungannya selama melakukan kegiatan penelitian dan penulisan berlangsung. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2013 Kadek Surya Sumerta

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR iii DAFTAR LAMPIRAN iv DAFTAR SINGKATAN v DAFTAR ISTILAH v PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan 2 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian 3 Prinsip Dasar Altimetri 3 Waveform Satelit 5 Pengaruh Daratan Terhadap Waveform 8 Metode Retracking 8 Satelit Jason 2 11 Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi 17 BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian 18 Alat dan Bahan 20 Metode Penelitian 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Waveform Perairan Jawa Timur 27 Analisis IMP Sea Surface Height (SSH) Retracking dan Non Retracking 30 Analisis IMP Hasil Waveform Retracking Selama Tahun 2009 hingga Validasi SSH Hasil Waveform Retracking Tahun SIMPULAN DAN SARAN 46 DAFTAR PUSTAKA 47 LAMPIRAN 59

10 DAFTAR TABEL 1 Jumlah waveform gate pada satelit altimetri 5 2 Karakteristik Satelit Jason Karakteristik Orbit Jason Koordinat titik awal waveform retracking data SGR Jason Koordinat titik waveform retracking tinggi muka laut 1 Januari 2009 sampai dengan 20 Oktober Informasi stasiun pasang surut terhadap titik pengamatan satelit altimetri 26 7 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 10 km 32 8 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak km 33 9 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak km Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak km Statistik hasil waveform retracking SSH selama tahun Koefisien korelasi dan standar deviasi antara pengukuran data pasang surut dengan SLA hasil waveform retracking 44 DAFTAR GAMBAR 1 Prinsip satelit altimetri 5 2 Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason 6 3 Presentase bentuk waveform Satelit Jason-2 sebagai fungsi dari jarak ke garis pantai 7 4 Macam-macam bagian waveform 7 5 Proses terbentuknya waveform 7 6 Tampak samping dan atas representatif pantulan permukaan laut pada kasus transisi laut ke daratan 8 7 Skematik diagram metode OCOG 10 8 Diagram alir metode improved threshold 12 9 Satelit Jason Sensor Poseidon-3 Altimeter Sensor Advanced Microwave Radiometer (AMR) Sensor Doris System Plot lintasan Satelit Jason-2 pada peta dunia Lokasi waveform retracking data SGDR Jason 2 perairan Jawa Timur Proses waveform retracking di perairan Jawa Timur Bentuk-bentuk waveform perairan Jawa Timur Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 0 10 km Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak km Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak km Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak km Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 3 kategori jarak 0 10 km Visualisasi SSH metode retracking, iii

11 tanpa retracking dan geoid stasiun 1 kategori jarak 0 10 km Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak km Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak km Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak km Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 1 selama tahun Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 2 selama tahun Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 3 selama tahun Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 4 selama tahun Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 5 selama tahun Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 6 selama tahun Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ pasang surut dari bulan Mei hingga Oktober 2012 pada titik pengukuran ke Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ pasang surut dari bulan Januari hingga Desember 2012 pada titik pengukuran ke-6 45 DAFTAR LAMPIRAN 1 Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di wilayah perairan Jawa Timur 49 2 Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur 59 3 Data pasang surut Stasiun Semarang selama bulan April hingga Oktober Data pasang surut Stasiun Prigi selama bulan Januari hingga Desember Sintak waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking 70 6 Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG 84 8 Fungsi MATLAB tentang metode retracking threshold 85 9 Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold Nomor jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga iv

12 DAFTAR SINGKATAN BIG IMP MSL OCOG SGDR SLA SSH TOPEX Badan Informasi Geospasial Improvement Precentage Mean Sea Level Offset Center Off Grativity Sensor Geophysical Data Record Sea Level Anomaly Sea Surface Height The Ocean Topography Experiment DAFTAR ISTILAH Cycle Elipsoid Footprint Geoid Leading edge On-board tracker Pass Range Retracking Waveform Waktu tempuh satelit kembali ke titik awal Garis referensi yang menggambarkan permukaan bumi seperti bentuk bulat utuh dengan kerapatan bumi yang homogen Luasan lingkaran untuk menerima jejak sinyal pantulan Representasi dari permukaan bumi dan dapat diasumsikan MSL jika laut menutupi bumi seutuhnya Bagian waveform yang mengalami peningkatan power Alat sensor satelit untuk menerima sinyal pantulan Nomor lintasan satelit altimetri Jarak antara satelit altimetri terhadap titik nadir di permukaan laut Pengukuran kembali nilai range untuk menghilangkan pengaruh daratan Bentuk pantulan sinyal yang diterima oleh satelit v

13 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit altimetri adalah satelit luar angkasa yang melakukan pengukuran tinggi dan bentuk permukaan laut secara global dari orbitnya di luar angkasa. Satelit altimetri digunakan untuk pengamatan topografi permukaan laut dan terus berkembang tingkat akurasi dan resolusinya. Teknologi ini memancarkan gelombang mikro ke permukaan laut dan mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang yang diterima. Alat on-board tracker pada satelit mengukur nilai range dan menghasilkan distribusi energi yang diterima dari gelombang pantul yang disebut dengan waveform secara berurutan waktu. Oleh sebab itu, satelit altimetri mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang dengan mengidentifikasi titik tengah pada bagian leading edge dari waveform. Pengukuran SSH dari satelit altimetri di wilayah pantai dapat memunculkan kesalahan yang disebabkan oleh koreksi geofisik dan lingkungan yang kurang akurat; dan gangguan oleh topografi daratan pulau dan perairan dangkal dekat pantai terhadap gelombang balik. Brooks et al. (1997) menemukan bahwa pengaruh daratan terhadap gelombang balik sepanjang jarak km dari pantai pada waveform Satelit the Ocean Topography Experiment (TOPEX). Selain itu Deng et al. (2002) menemukan bahwa waveform dari Satelit ERS-2 dan Satelit Poseidon akan terpengaruh sampai jarak maksimum 22 km pada wilayah pantai Australia. Bentuk waveform yang terpengaruh oleh daratan tidak sama dengan bentuk waveform pada laut terbuka sehingga on-board tracker tidak dapat mengukur range antara satelit dengan titik nadir satelit secara akurat. Oleh karena itu nilai SSH yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Beberapa metode analisis data banyak dikembangkan oleh para ilmuwan altimetri untuk menghilangkan pengaruh daratan pada pengukuran SSH. Martin et al. (1983) mengembangkan metode retracking ice untuk mengukur tinggi gunung es di kawasan antartika. Selain itu, Wingham et al. (1986) dan Davis (1995 dan 1997) masing-masing mengembangkan algoritma OCOG dan threshold. Beberapa ilmuwan altimetri telah membandingkan metode-metode waveform retracking pada wilayah pantai untuk menguji akurasi nilai SSH 1

14 2 masing-masing metode tersebut. Namun performa masing-masing metode waveform retracking berbeda tiap wilayah pantai. Yang et al. (2008) menemukan bahwa metode OCOG mapatkan nilai SSH paling akurat dibandingkan dengan metode ice, threshold, dan ocean-on board tracker pada jarak kurang dari 10 km dari pantai di wilayah Laut Cina. Hal ini berbeda dengan hasil observasi Lee et al. (2010), bahwa metode threshold dan ice yang menghasilkan informasi SSH paling akurat untuk wilayah perairan California Amerika Serikat. Dengan demikian, beberapa wilayah pantai akan berbeda performa metode waveform retracking. Oleh karena performa metode waveform retracking berbeda-beda dan informasi SSH penting untuk wilayah pantai di Indonesia maka perlu dilakukan observasi di wilayah perairan Indonesia. Wilayah perairan yang akan diteliti adalah wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur. Kegiatan masyarakat pesisir Jawa Timur terkonsentrasi di wilayah perairan pantai. Untuk mengetahui performa metode waveform retracking digunakan analisis IMP terhadap perbedaan standar deviasi SSH tanpa retracking dan nilai geoid dengan standar deviasi SSH hasil metode waveform retracking dengan nilai geoid pada masing-masing stasiun pengamatan. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menentukan metode waveform retracking yang sesuai untuk penentuan SSH dengan presisi tinggi untuk perairan Jawa Timur. 2. Menghasilkan informasi nilai SSH untuk periode di wilayah perairan Jawa Timur

15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini memilih lokasi perairan laut di Provinsi Jawa Timur untuk penggamatan tinggi muka laut tahun 2009 hingga Jawa Timur terletak di bagian paling timur dari Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Jawa Timur adalah Surabaya. Luas daratan Jawa Timur adalah ,75 km 2 dengan jumlah puduk jiwa (Depdagri, 2011). Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di bagian utara, Samudera Hindia di bagian selatan, Jawa Tengah di bagian Barat dan timur berbatasan dengan Provinsi Bali Prinsip Dasar Satelit Altimetri Prinsip satelit altimetri adalah mengukur jarak (range) R dari satelit menuju permukaan laut. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 1. Satelit altimetri memancarkan pulsa pek dari radiasi gelombang mikro dengan nilai power yang diketahui menuju permukaan laut. Pulsa tersebut berinteraksi dengan permukaan laut yang kasar dan sebagian radiasi datang terpantulkan kembali ke altimeter. Nilai R dari satelit ke rata-rata muka laut didapatkan dari waktu perjalanan bolak-balik, yaitu : R = R Rj j... (1) dimana R = ct/2 adalah nilai range dengan mengabaikan refraksi berdasarkan kecepatan cahaya di medium luar angkasa (c) dan Rj = 1,2,3,.. dst adalah komponen koreksi untuk menghilangkan atmosferik, sea state bias, dan pasang surut. Komponen koreksi atmosferik terdiri atas dry troposphere correction, wet troposphere correction, ionosphere correction,dan inverse barometer effect. Berikutnya komponen koreksi Sea State Bias terdiri atas EM bias dan skewness bias (Chelton et al. 2010). Komponen pasang surut terdiri atas solid earth tide, geocentric ocean height tide, dan pole tide height. Komponen koreksi atmosferik digunakan untuk mengurangi pengaruh dari molekul gas-gas kering (dry troposphere), uap-uap air (wet troposphere correction), ion-ion elektron (ionosphere correction), dan tekanan udara (inverse barometer effect) dalam 3

16 4 memperlambat kecepatan rambat gelombang mikro menuju permukaan laut. Sedangkan untuk koreksi sea state bias untuk mengurangi kesalahan akibat pantulan dari bagian lembah gelombang yang terkena gelombang mikro (EM bias dan skewness bias). Kemudian koreksi pasang surut digunakan untuk mengurangi pengaruh eksternal gaya gravitasi terhadap laut (solid earth tide), respon terhadap gaya keseimbangan pasang surut (geocentric ocean height tide), dan pengaruh gaya sentrifugasi yang disebabkan perputaran bumi pada sumbu rotasinya (pole tide) Nilai R pada persamaan (1) berbeda sepanjang orbit satelit dari sepanjang variasi jalur. Pengukuran range R kemudian dikonversi menjadi nilai SSH (h) relatif terhadap referensi elipsoid yang menggambarkan permukaan bumi seperti bentuk bulat utuh dengan kerapatan bumi yang homogen (Chelton et al. 2001). h = H R = H R j R j...(2) Akurasi pengukuran R dan H tidak cukup untuk aplikasi oseanografi pada pengukuran altimetri. Tinggi muka laut yang diberikan pada rumus (2) di atas relatif terhadap referensi elipsoid berhimpit dengan pengaruh efek geofisik. Dengan penambahan efek dinamis dari arus geostrofik yang merupakan perhatian utama pada aplikasi oseanografi, nilai h dipengaruhi oleh undulasi geoid (h g ) tentang penaksiran elipsoid, variasi tinggi pasang surut (h T ) dan respon laut terhadap tekanan atmosferik (h a ). Geoid adalah representasi dari permukaan bumi dan dapat diasumsikan Mean Sea Level (MSL) jika laut menutupi bumi seutuhnya (Benveniste, 2001). Efek-efek ini harus dihilangkan dari h untuk menginvestigasi pengaruh efek arus geostrofik pada perhitungan tinggi muka laut. Rumus tinggi dinamik muka laut (h d ) adalah sebagai berikut. (Chelton et al, 2001) h d = h h g h T h a h d = H R j R j h g h T h a...(3)

17 5 Gambar 1. Prinsip Satelit Altimetri (Benveniste, 2010) 2.3. Waveform Satelit Gommenginger et al. (2010) menjelaskan bahwa waveform adalah bentuk dari sinyal pantulan yang diterima oleh satelit yang menghadirkan evolusi waktu dari energi pantulan ketika gelombang mikro menyentuh permukaan. Waveform memberikan informasi pada alam dan pantulan permukaan, seperti tinggi gelombang signifikan. Waveform ini menggambarkan perubahan energi pada gate ke-i (i=1,2,...n) yang diterima oleh satelit. Jumlah waveform gate (n) berbeda untuk masing-masing jenis satelit altimetri, seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah waveform gate pada satelit altimetri (Gommenginger et al, 2010) Jumlah Satelit Band Waveform Gate Geosat Ku 60 ERS-1 Ku 64 ERS-2 Ku 64 Ku 128 TOPEX C 128 Poseidon Ku 60 GFO Ku 128 Ku 104 Jason-1 C 104 Ku 104 Jason-2 C 104

18 6 Berbagai bentuk waveform yang dipindai oleh Satelit Jason-2 dapat dilihat pada Gambar 2. Kelas 1 merupakan tipe brown echoes yang sering ditemukan di laut lepas. Gommenginger et al. (2010) mengatakan bahwa sekitar 94% dari keseluruhan waveform Satelit Jason-2 yang dianalisa di Australia memiliki bentuk brown echoes dengan jarak minimal 15 km dari garis pantai. Persentase keberadaan waveform bentuk brown semakin menurun menuju pantai. Sebaliknya untuk tipe peak echoes persentase kehadiran bentuk waveform ini semakin meningkat. Persentase waveform ditunjukkan pada Gambar 3. Pada umumnya, wilayah waveform dibagi menjadi tiga bagian, yaitu thermal noise, leading edge, dan trailing edge (Gambar 4). Proses terbentuk sebuah waveform dari gelombang pantul yang diterima satelit altimeri ditunjukan pada Gambar 5. Bagian thermal noise tidak terjadi peningkatan power waveform akibat tidak adanya sinyal pantul yang menuju ke satelit. Bagian leading edge merupakan wilayah gelombang mikro dipancarkan dan pantulan gelombang mikro menuju satelit. Untuk mapatkan nilai range, sebelumnya menentukan titik tengah pada daerah trailing edge. Pada gate ke-n t adalah waktu gelombang mikro menyentuh permukaan laut tepat pada nadir. Kemudian bagian trailing edge merupakan pantulan energi gelombang pada permukaan laut di sekitar titik nadir. Gambar 2. Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason-2 (Gommenginger et al., 2010)

19 7 Gambar 3. Persentase bentuk waveform Satelit Jason-2 sebagai fungsi dari jarak ke garis pantai (Gommenginger et al., 2010) Gambar 4. Macam-macam bagian waveform Gambar 5. Proses terbentuknya waveform (Gommenginger et al., 2010)

20 Pengaruh Daratan terhadap Waveform Kala pengukuran tinggi muka laut di kawasan pantai adalah gangguan daratan terhadap energi pantulan oleh permukaan laut. Hal ini dikarenakan posisi daratan berada pada window analysis satelit altimetri, sehingga jejak (footprint) pantulan sinyal daratan terekam pada waveform. Nilai power yang terekam pada waveform juga menggambarkan proporsi pengaruh daratan pada window analysis terhadap pantulan tinggi muka laut (Gambar 6). Kontaminasi daratan dapat dilihat pada bagian trailing edge. Nilai power pantulan pada waveform bagian trailing edge sangat tinggi berbeda terhadap bagian gate awal hingga bagian leading edge. Gambar 6. Tampak samping dan atas representatif pantulan permukaan laut (Gommenginger et al., 2010) 2.5. Metode Retracking Retracking adalah proses identifikasi titik tengah pada bagian leading edge sebuah waveform untuk mapatkan nilai waktu pada saat gelombang mikro menyentuh permukaan laut. Pantulan gelombang mikro dari daratan sepanjang analysis window Satelit Jason-2 akan mempengaruhi posisi leading edge. Posisi

21 9 leading edge akan berubah sehingga titik tengah pada leading edge berubah. Jika waveform Satelit Jason-2 tidak terpengaruhi oleh daratan, nilai titik tengah tersebut berada pada gate ke-32.5 (Lee et al., 2010). Oleh karena itu untuk mapatkan nilai titik tengah tersebut dilakukan dengan metode retracking. Metode retracking terdiri atas beberapa jenis. Pada penelitian ini metode retracking yang digunakan adalah metode OCOG, threshold, improve threshold 50%, ocean retracker, dan ice retracker. Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa metode retracking tersebut. 1. Offset Center of Gravity Retracker (OCOG) Algoritma ini dikembangkan oleh Wingham (1986) untuk mapatkan retracking yang berkualitas. Tujuannya adalah untuk mencari titik tengah gravitasi dari setiap waveform berdasarkan tingkat energi dalam sebuah gate. Gambar 7 menunjukan skematik diagram metode OCOG. Metode ini merupakan pengolahan statistik yang tidak bergantung kepada bentuk fungsional. Berikut rumus yang digunakan dalam proses metode OCOG. dimana : i = gate N n 2 N n 2 i=1+n 1 A = P 4 i (t) i=1+n 1 P 2 i (t)...(3) N n 2 N n 2 i=1+n 1 W = ( P 2 i=1+n 1 i (t)) 2 P 4 i (t)...(4) N n 2 N n 2 i=1+n 1 COG = i=1+n ip 2 1 i (t) P 2 i (t)...(5) Pi = energi waveform N = jumlah gate n 1 = nomor gate awal n 2 = nomor gate akhir LEP = COG W...(6) 2 Menurut Hwang et al. (2006), nilai n 1 dan n 2 adalah 4. OCOG ini kadangkadang digunakan untuk menghitung nilai awal dari threshold retracker, improved threshold retracker, dan fungsi β-parameter. Sintak program metode retracking ini tertera pada Lampiran 7.

22 10 Gambar 7. Skematik diagram metode OCOG. (Gommenginger et al., 2. Threshold Retracker. 2010) Untuk mengubah perhitungan range, metode threshold retracking dikembangkan oleh Davis (1995, 1997). Metode ini berdasarkan dimensi kotak dihitung dengan menggunakan metode OCOG. Nilai batas gate diukur terhadap 25%, 50% dan 75% dari amplitudo maksimum OCOG yang akan digunakan untuk analisis gate retracking. Nomor range gate yang didapatkan dengan menginterpolasi contoh terdekat dari threshold memotong bagian tertinggi pada kemiringan leading edge waveform. Davis (1997) menyarankan menggunakan 50% tingkat threshold untuk waveform yang didominasi oleh surface scattering dan threshold 10-20% untuk volume scattering signals. Sintak program metode retracking ini dilampirkan pada Lampiran 8. Beberapa langkah-langkah metode ini adalah: a. Menghitung gangguan suhu (thermal noise) b. Menghitung tingkat threshold (T h ) P N = 1 5 p 5 i i...(7) T h = P N + q. (A P N )... (8) c. Nilai range setelah diolah (retracked) pada leading edge dari waveform didapat dari interpolasi linear antara gate berdekatan sampai T h menggunakan

23 11 Dimana : A = amplitudo OCOG G r = G k 1 + T h P k 1 P k P k 1... (9) P N = rata-rata nilai energi waveform dari lima gate pertama q = nilai threshold G k = energi pada gate ke-k, dimana k adalah lokasi dimana gate pertama melebihi T h.. 3. Improve Threshold Retracking Jenis improve threshold retracking yang digunakan pada penelitian ini adalah versi Hwang. Secara garis besar retracker ini mengidentifikasi subwaveform dari seluruh gate waveform. Langkah seleksi subwaveforms dapat dilihat pada Gambar 8. Setelah mapatkan hasil gate (i) terbaik kemudian diolah dengan menggunakan metode threshold sehingga mapatkan nilai range. Nilai ϵ 1 = 8 dan ϵ 2 = 2 (Hwang et al., 2006). Sintak program metode retracking ini tertera pada Lampiran Ocean and Ice Retracker Data ocean retracker yang tersedia dalam data SGDR Jason-2 masing-masing menggunakan Maximum Likelihood Estimator 4 (MLE4) menyesuaikan Model Brown fase 2. Data metode retracking ice sama dengan metode waveform retracking threshold 30% (Lee et al., 2010) Satelit Jason 2 Satelit Jason-2 dikembangkan pertama kali dan diluncurkan pada tanggal 20 Juni Satelit ini dikembangkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Centre National d Études Spatiales (CNES). Satelit ini meneruskan misi Satelit TOPEX/Poseidon (T/P) yang sukses mengamati lautan dunia selama 20 tahun. Misi utama satelit ini adalah mengukur topografi permukaan laut minimal tingkat performa sama dengan T/P. Satelit ini menyajikan pengukuran akurasi tinggi secara kontinu dari topografi lautan sehingga ilmuwan dapat mempelajari sirkulasi lautan secara umum dan mengetahui perannya terhadap iklim dunia.

24 12 Observasi dimulai dari gate ke-i, yaitu 5 Jika P i 1 P i 2 >ε 1 Tidak i = i + 1 Ya Batas 1 = i Kurangi nilai power dari gate dengan nilai power gate selanjutnya Jika P i+1 P i >ε 2 Ya k = k + 1 Tidak Batas 2 = k I = Batas1- Batas2 k = 0 Bentuk sebuah subwaveform dari i-4 sampai i+k+4 Gunakan subwaveform kepada perhitungan OCOG dan Threshold untuk mencari retracking gate Gambar 8. Diagram alir metode improved threshold (Gommenginger et al, 2010)

25 Deskripsi Satelit Jason 2 Satelit Jason 2 (Gambar 9) memiliki berat 525 kg yang terdiri dari platform multi misi Plate Forme Reconfigurable pour l Observation de la Terre, les telecommunications et les Utilisations Scientifiques (PROTEUS) dan modul penerbangan Jason 2. Platform memberikan fungsi rumah tangga termasuk propulsi, electrical power, perintah dan penanganan data, telekomunikasi, dan kontrol ketinggian. Modul peluncuran memberikan mekanika, elektrika, panas, dan dynamical support. (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011). Karakteristik Satelit Jason 2 tertera pada Tabel 2. Gambar 9. Satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Tabel 2. Karakteristik satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Komponen Berat Satelit Daya Satelit Berat Platform Daya Platform Berat Peluncur Daya Peluncur Berat sensor altimeter Daya sensor altimeter Peralatan luncur Lokasi Peluncuran Keterangan 500 Kg 450 W 270 Kg 300 W 120 Kg 147 W 55 Kg 78 W Dual Delta II Vanderberg Air Force Base

26 Sensor Untuk dapat memenuhi misi satelit Jason 2, NASA dan CNES melengkapi satelit Jason 2 dengan beberapa sensor canggih. Adapun sensor-sensor canggih tersebut yaitu : 1. Poseidon-3 Altimeter. Altimeter dua frekuensi berfungsi untuk mengukur range dengan koreksi ionosferik yang akurat. Sensor ini beroperasi pada GHz (Ku-band) dan 5.3 Ghz (C-band). Gambar 10 merupakan penampakan sensor Poseidon-3 Gambar 10. Sensor Poseidon-3 Altimeter (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) 2. Advanced Microwave Radiometer (AMR) Radiometer gelombang mikro beroperasi pada tiga frekuensi yaitu 18.7, 23.8, dan 34 GHz. Saluran frekuensi 23.8 GHz merupakan sensor uap air, ketika kandungan uap air meningkat maka akan memperbesar nilai kecerahan suhu alat, sedangkan saluran 18.7 dan 34 GHz digunakan untuk menghilangkan pengaruh awan cair dan kelebihan emisivitas permukaan dari permukaan laut terhadap angin. Gambar 11 merupakan penampakan sensor AMR. Gambar 11. Sensor AMR (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011)

27 15 3. Doris System Sistem Doris berfungsi sebagai pengatur navigasi satelit supaya tidak terlalu jauh dari lintasan yang ditentukan sehingga mempertahankan posisi edar satelit. Antena Doris terletak di bagian nadir Satelit Jason 2. Gambar 12 menunjukan instrumen Doris. Gambar 12. Sensor Doris System (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Orbit Satelit Jason 2 melakukan pengukuran di sepanjang garis orbit satelit. Jason-2 akan terbang pada lintasan yang dekat dengan lintasan Jason 1 dan melewati 254 pass dan 10 hari mengulangi perputaran baru (cycle). Nomor putaran satelit dari satu titik posisi kembali ke posisi tersebut disebut Cycle. Untuk pass number adalah nomor lintasan yang dilalui oleh Satelit Jason 2. Posisi lokasi pass yang dilewati oleh Satelit Jason 2 dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada Gambar 13 ditampilkan jalur lintasan Satelit Jason-2. Garis-garis putih tersebut merupakan jalur lintasan Satelit Jason-2. Beberapa informasi mengenai karakteristik orbit Satelit Jason-2 akan disajikan pada Tabel 3.

28 16 Gambar 13. Plot lintasan Satelit Jason-2 pada peta dunia (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Tabel 3. Karakteristik orbit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Bagian Orbit Nilai Semi Major Axis 7.714,43 km Eccentricity Sudut Inklinasi derajat Argument of periapsis 90 derajat Inertial longitude of the ascing node derajat Mean Anomaly derajat Reference (Equatorial) Altitude km Nodal Period 6.745,72 detik Repeat Period hari Number of revolution cycle 127 Equatorial cross track separation 315 km Ground track control band ± 1 km Orbital speed 7.2 km/detik Ground track speed 5.8 km/detik

29 Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi Satelit altimetri mulai dikembangkan tahun 1973, dengan adanya Satelit Skylab yang dibuat oleh NASA. Satelit ini merupakan satelit altimetri yang pertama. Pada awalnya satelit altimetri ini digunakan untuk mengukur bentuk planet Bumi, tetapi kesalahan pengukuran yang dihasilkan sampai 100 m (Abidin, 2001). Pengembangan satelit altimetri untuk mapatkan hasil pengukuran yang baik, dimulai dengan Satelit GEOS-3 (9 April 1975 Desember 1978) dan Seasat (Juni 1978 Oktober 1978). Setelah dihasilkan alat-alat dengan tingkat ketelitian baik, altimetri mulai memberikan informasi mengenai geodesi, oseanografi, geofisika, dan hidrologi yang lebih akurat. Selama bertahun-tahun para peneliti di bidang altimetri mengembangkan instrument satelit dengan tingkat presisi tinggi sehingga dapat mampu menciptakan satelit-satelit canggih. Setiap satelit diciptakan dengan misinya masing-masing sehingga melengkapi berbagai ilmu di bidang Geodesi, Oseanografi, Geofisika dan Hidrologi. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit dan perencanaan satelit-satelit di bidang altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022 dicantumkan pada Lampiran 11 dan 12. Berkembang pesatnya ilmu di bidang altimetri sehingga pengamatan dinamika topografi laut dapat dilakukan secara kontinu dan informasi dapat digunakan pada beberapa aplikasi. Beberapa aplikasi penggunaan data altimetri yang terkait dengan kajian kelautan adalah (Handoko, 2004) : 1. Penentuan pasang surut, tinggi muka laut, dan arus permukaan 2. Rute pelayaran 3. Industri lepas pantai 4. Deteksi jalur buangan limbah 5. Deteksi penyebaran biota laut 6. Prediksi cuaca di laut 7. Gejala El-Nino dan variasi iklim global

30 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2012 hingga 30 Januari 2013 yang bertempat di BIG. Pengamatan performa metode retracking berdasarkan kategori jarak dilakukan di 6 (enam) stasiun. Informasi koordinat posisi awal pengukuran ditunjukan pada Tabel 4. Pada masing-masing stasiun akan dibagi menjadi empat kategori jarak dari garis pantai menuju laut lepas. Keempat kategori jarak tersebut yaitu 0 10 km, km, km, dan km. Pengukuran nilai SSH selama tahun dilakukan di 6 (enam) titik lokasi di perairan Provinsi Jawa Timur, sebagaimana ditunjukan pada Tabel 5. Lokasi penelitian diperlihatkan pada Gambar 14. Nomor lintasan Satelit Jason 2 yang digunakan adalah 127, 140 dan 203 Tabel 4. Koordinat Titik Awal Waveform Retracking Data SGDR Jason 2 Stasiun Koordinat Titik Lintang (LS) Bujur (BT) Nomor Cycle 1 6 o o o o o o o o o o o o Tabel 5. Koordinat Titik Waveform Retracking Tinggi Muka Laut 1 Januari 2009 sampai dengan 20 Oktober 2012 Stasiun Koordinat Titik Nomor Lintasan Lintang (LS) Bujur (BT) Satelit Jason o o o o o o o o o o o o

31 Gambar 14. Lokasi waveform retracking data SGDR Jason 2 perairan Jawa Timur 19

32 Alat dan Bahan Alat Adapun alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Perangkat keras berupa Personal Computer (PC) berbasis Intel Core i3 dengan sistem operasi Windows 7 yang digunakan untuk pengolahan datadata penelitian 2. Perangkat lunak pengolah data yaitu MATLAB 2012a Bahan Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Data altimetri Satelit Jason 2 versi d dengan level data SGDR. Data diperoleh dari ftp://ftp.nodc.noaa.gov/pub/data.nodc/jason2/ CLASS NOAA dimulai dari cycle 18 hingga cycle Data Range Corrected dari Retracker Ocean-MLE-4 dan data range 20 Hz dari variabel Tracker Range pada gelombang ku ( Ghz) untuk proses retracking dan non retracking. Data diperoleh dari SGDR Satelit Jason Data pasang surut selama tahun 2009 di Stasiun Prigi dan bulan April hingga Desember 2012 untuk Stasiun Semarang. Stasiun pasang surut yang digunakan adalah stasiun terdekat dengan Stasiun 1 dan Stasiun 6. Data pasang surut diperoleh dari BIG yang dapat diunduh pada website 4. Data Geoid EGM2008 diperoleh dari program interpolasi Geoid EGM2008. Data ini digunakan untuk menentukan jenis retracker terbaik pada masing-masing lokasi stasiun. 5. Data jalur lintasan Satelit Jason 2. Data ini dapat diperoleh melalui website

33 Metode Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi 4 (empat) bagian. Bagian pertama adalah membaca dan proses editing data altimetri, waveform retracking, perhitungan SSH, dan pengecekan kualitas data hasil waveform retracking menggunakan program MATLAB. Tahapan-tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar Proses Pembacaan dan Editing Data Seleksi variabel titik pengukuran, nilai range, nilai koreksi atmosferik, koreksi efek pasang surut, koreksi sea state bias, waveform, ketinggian satelit (altitude) dilakukan pada bagian ini. Pada data SGDR Jason 2, komponen variabel terbagi atas dua jenis yaitu data 1 Hz dan data 20 Hz. Untuk mengetahui performa metode retracking berdasarkan kategori jarak, seleksi variabel dibedakan atas dua bagian. Bagian pertama, variabel diseleksi berdasarkan kelompok dan bagian kedua seleksi variable secara global. Untuk mengetahui performa metode retracking pada satu titik pengukuran secara tahunan, variabel diseleksi secara global. Titik-titik tetangga dari titik pengukuran diperhitungkan nilai SSH dan selanjutnya dilakukan proses interpolasi data untuk mapatkan nilai SSH pada titik pengukuran. Variabel 20 Hz diseleksi berdasarkan kategori jarak yaitu 0 10 km, 10 km 50 km, km, dan km. Kemudian untuk variabel 1 Hz diseleksi secara global. Hal ini dilakukan untuk menghindari hasil interpolasi berupa NaN apabila posisi titik 20 Hz perhitungan interpolasi berada di luar rentang posisi titik 1 Hz. Variabel 1 Hz diseleksi pada antara wilayah 3.5 o LS sampai 11 o LS. Kemudian variabel 1 Hz diinterpolasi menjadi data 20 Hz menggunakan koordinat posisi lintang 20 Hz. Metode interpolasi yang digunakan adalah spline. Metode ini paling baik untuk mapatkan data hasil interpolasi yang berbeda tiap derajat lintang dan bujur. (Lee et al., 2010)

34 22 Baca dan Edit SGDR Jason 2 Plot Waveform Waveform Retracking Deteksi subwaveform Metode Metode OCOG Metode Ice Metode Ocean Threshold 20% & 50% Improved Threshold 20%, 30%, & 50% Perhitungan SSH Geoid EGM2008 SSH Non Retracking Periksa kualitas data SSH hasil waveform retracking SSH Stop Gambar 15. Proses waveform retracking di perairan Jawa Timur

35 23 Untuk pengukuran nilai SSH selama tahun , variabel 1 Hz dan 20 Hz diseleksi secara global. Proses ini dilakukan untuk mencegah perubahan nilai posisi yang terjadi tiap cycle. Seleksi variabel 1 Hz dilakukan dengan mengambil titik radius 2 o di bagian utara dan selatan terhadap posisi titik pengamatan. Selanjutnya seleksi variabel 20 Hz mengambil titik radius 0.01 o di bagian utara dan selatan terhadap posisi titik pengukuran. Kemudian dilakukan proses interpolasi terhadap variabel 1 Hz terhadap posisi titik pengamatan (Tabel 5). Tahapan selanjutnya dilakukan proses retracking Waveform Retracking Pada tahapan waveform retracking, data waveform 20 Hz yang sudah seleksi berdasarkan jarak pada masing-masing stasiun akan diolah dengan menggunakan beberapa metode retracking yang akan digunakan. Beberapa metode retracking tersebut adalah OCOG, Ice, Ocean, Threshold 20% dan 50%, Improved Threshold 20%, 30%, dan 50%. Pada proses retracking, setiap metode tersebut akan menghasilkan gate retracking yang berbeda-beda. Nilai gate retracking ini digunakan untuk menghitiung besar nilai koreksi terhadap nilai range. Perhitungan besaran koreksi nilai range ditunjukan pada rumus nomor 6. Variabel range yang digunakan masing-masing metode tersebut adalah variabel tracker_20hz_ku range. Setelah mapatkan besaran d r maka dilanjutkan dengan koreksi range dengan menggunakan rumus nomor 5 (Jin-yun et al., 2010).... (10) dimana ( )...(11) : koreksi range hasil retracking adalah nilai gate width satelit : nilai gate hasil retracking, : nilai nominal tracking gate (Satelit Jason 2 = 32.5) : dimana untuk Satelit Jason 2 bernilai ns. c : nilai kecepatan cahaya ( m/s)

36 Perhitungan Tinggi Muka Laut (SSH) Perhitungan SSH secara umum menggunakan persamaan (2). Untuk pengukuran secara tahunan, nilai SSH dari titik-titik pengukuran 20 Hz hasil seleksi secara global diinterpolasi terhadap posisi titik pengamatan Pengecekan Kualitas SSH Hasil Retracking Pengecekan kualitas SSH hasil retracking terbagi menjadi dua yaitu menggunakan analisis IMP dan perhitungan koefisien korelasi antara SSH metode retracking dan data in situ stasiun pasang surut. Analisis IMP digunakan untuk menganalisa kualitas performa masing-masing metode retracking pada kategori jarak. Perhitungan koefisien korelasi dilakukan untuk mengecek kualitas SSH hasil metode retracking pada satu lokasi pengamatan secara tahunan. Analisis IMP digunakan untuk mengetahui performa dari masing-masing retracker dengan menghitung nilai standar deviasi (STD) dari nilai perbedaan antara nilai geoid dan SSH hasil masing-masing metode retracking. Rumus perhitungan IMP adalah sebagai berikut. (Hwang et al., 2006)... (8) dimana : = standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH Raw dengan geoid = standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH retracking dengan geoid Indikator performa metode retracking yang sesuai pada suatu wilayah adalah nilai IMP. Metode retracking yang memiliki nilai IMP tertinggi merupakan metode retracking yang sesuai di wilayah tersebut. Untuk nilai geoid yang digunakan adalah Geoid EGM2008. Geoid EGM 2008 didapatkan dari program hsynth_wgs84.exe dari National Geospatial Agency (NGA) dengan melengkapi file EGM2008_to2190_TideFree, Zeta-to-N_to2160_egm2008 dan data input. Data input berisi tentang nilai lintang dan bujur lokasi pengamatan

37 25 dan berformat.dat. Kemudian salin data hasil geoid tersebut dan dimasukan ke dalam workspace MATLAB. Perhitungan success rate (N) dilakukan untuk mengetahui jumlah titik pengamatan yang berhasil dilakukan proses retracking. Presisi SSH ditentukan berdasarkan nilai IMP dari masing-masing metode dan success rate (N). Berikut rumus perhitungan N. (Hwang et al., 2006) ( )...(9) dimana n = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak yang berhasil dilakukan proses retracking N = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak. Dalam perhitungan nilai koefisien korelasi antara SSH metode retracking dan data in situ stasiun pasang surut, referensi pengukuran dua variabel tersebut harus sama. Alat tide gauge dalam mengukur nilai pasang surut di suatu perairan berdasarkan referensi MSL sehingga dipergunakan nilai SLA untuk validasi nilai SSH metode retracking di masing-masing titik pengamatan. Perhitungan SLA berdasarkan pada referensi MSL. Hal tersebut dapat dilihat pada persamaan nomor 10 berikut.... (10) Variabel MSL terdapat pada data SGDR Jason-2. Nama variabel MSL pada data SGDR Jason 2 adalah mean_sea_surface. Nilai dan adalah pengaruh pasang surut dan pengaruh tekanan atmosferik. Pengaruh pasang surut terdiri atas komponen Solid Earth Tide Height, Geocentric Ocean Tide Height dan Pole Tide Height. Pengaruh tekanan atmosferik terdiri atas komponen Inverted Barometer Height Correction dan HF Fluctuations of The Sea Topography (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011). Data variabel MSL tersebut masih dalam data 1 Hz. Untuk itu dilakukan proses interpolasi data untuk mapatkan data dalam bentuk 20 Hz. Metode interpolasi data yang digunakan adalah Spline. Setelah itu dilakukan proses seleksi variabel MSL berdasarkan koordinat titik pengamatan. Hasil SSH dari metode retracking dan non retracking digunakan untuk perhitungan nilai SLA.

38 26 Untuk validasi SSH hasil retracking, SSH pada titik pengamatan ke-1 dan 6 digunakan sebagai contoh. Hal ini dikarenakan Stasiun Pasut terdekat dari titiktitik pengukuran SSH pada website IOC Sea Level Monitoring hanya terdapat Stasiun Pasang Surut Prigi dan Stasiun Pasang Surut Semarang. Stasiun Pasang Surut Prigi berdekatan dengan titik pengamatan ke-6 sedangkan untuk titik pengamatan ke-1 menggunakan data Stasiun Pasang Surut Semarang. Informasi mengenai kedua stasiun pasang surut ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Lokasi stasiun pengukuran pasang surut terhadap titik pengamatan Satelit Jason 2 Nama Stasiun Stasiun Semarang Stasiun Prigi Lintang ( o LS) Bujur ( o BT) Titik Pengamatan Jarak TP terhadap Stasiun (km) 6 o o o o Hasil pengukuran pasang surut digunakan sebagai perbandingan terhadap nilai SLA dilakukan dengan mengambil data pasang surut sesuai dengan rentang waktu pengukuran satelit altimetri pada cycle yang digunakan. Waktu pengukuran cycle terdapat pada format nama file data SGDR Jason 2. Misalnya file data SGDR Jason 2 ini JA2_GPS_2PdP018_127_ _125805_ _ Berdasarkan nama file tersebut, format waktu pengukuran terdapat pada nama file data tersebut yaitu _125805_ _ Artinya pengukuran dimulai pada tanggal 1 Januari 2009 pukul 12:58:05 WIB sampai dengan tanggal 1 Januari 2009 pukul 13:54:18 WIB. Informasi waktu pengambilan data pasang surut Stasiun Semarang dan Stasiun Prigi dilampirkan pada Lampiran 3 dan 4.

39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Waveform Perairan Jawa Timur Bentuk waveform pada jarak 0 10 km mengalami kontaminasi atau gangguan dari daratan. Berbagai macam bentuk waveform terdapat pada jarak tersebut, seperti peak echoes (Gambar 16a), peaky + noise (Gambar 16b) dan brown + peaky echoes (Gambar 16c). Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan pada kategori lainnya di Stasiun 1. Hasil pengamatan waveform pada kategori km (Gambar 18), km (Gambar 19), dan km (Gambar 20) didapatkan bahwa sebagian waveform yang teramati berbentuk brown + peaky echoes dan brown echoes (Gambar 16d). Hal ini dipengaruhi oleh jarak daratan yang jauh sehingga pengaruh daratan terhadap bentuk waveform sangat kecil. Sinyal pantulan dari daratan tidak masuk pada wilayah footprint satelit sehingga pantulan yang diterima satelit berasal dari laut. Ini dibuktikan juga dengan papat Gommenginger et al.(2010), bahwa 94% bentuk waveform seperti brown waveforms akan ditemukan minimal 15 km dari pantai. Pola bentuk waveform pada stasiun lain sama dengan yang diamati di Stasiun 1. Hasil pengamatan bentuk waveform per kelompok jarak di Stasiun 1 ditunjukan pada Gambar 17 sampai dengan Gambar 20. Bentuk waveform pada stasiun lain dilampirkan pada Lampiran 1. (a) (b) (c) (d) Gambar 16. Waveform (a) peak echoes, (b) peaky + noise, (c) brown + peaky echoes dan (d) brown echoes perairan Jawa Timur 27

40 28 Gambar 17. Waveform Stasiun 1 pada jarak 0 10 km. Gambar 18. Waveform Stasiun 1 pada jarak km.

41 29 Gambar 19. Waveform Stasiun 1 pada jarak km. Gambar 20. Waveform Stasiun 1 pada jarak km.

42 Analisis IMP Sea Surface Height (SSH) Retracking dan Non Retracking Hasil waveform retracking pada kategori jarak dari pinggir pantai 0 10 km, km, km, dan km setiap stasiun berturut-turut ditunjukan pada Tabel 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan keempat tabel tersebut metode retracking yang bekerja paling optimal menggunakan threshold level sebesar 20% dan 30% seperti, metode ice, threshold 20%, improved threshold 20% dan improved threshold 30% pada jarak km dari pinggir pantai. Metodemetode ini memiliki nilai presentase IMP tertinggi dan STD terah dibandingkan antara metode waveform retracking lain dengan metode waveform tanpa retracking. Hasil pengamatan performa metode waveform retracking pada kategori jarak 0 10 km sesuai dengan papat Davis (1997). Namun ditemukan hasil yang berbeda pada kategori jarak km. Menurut Davis (1997), penggunaan threshold level 20% dan 30% dilakukan pada proses retracking di wilayah pantai (0 10 km dari garis pantai) sedangkan untuk jarak lebih dari 10 km, metode threshold dan improved threshold waveform retracking menggunakan threshold level 50 %. Pada penelitian waveform retracking Satelit Jason 2 di Perairan California, threshold level 50% dan metode ocean tidak bekerja dengan optimal (Lee et al., 2010). Metode threshold 50% tidak mampu menunjukan perubahan performa di wilayah laut dalam, sedangkan metode yang menggunakan threshold level 20% dan 30% bekerja optimal di perairan dalam. Selain itu menurut Deng dan Featherstone (2005), threshold level 50% tidak selalu bekerja optimal pada wilayah perairan, khususnya perairan pantai. Penggunaan 6 (enam) stasiun masih kurang sahih untuk menilai performa metode retracking untuk keseluruhan wilayah laut di Bumi. Namun jika pengamatan hanya ditujukan pada suatu wilayah perairan, misalnya perairan Jawa Timur maka hasil pengamatan performa metode waveform retracking yang diperoleh sesuai dengan kondisi perairan dan bentuk pantai di wilayah tersebut. Penggunaan metode threshold dan improved threshold dengan threshold level 20% dan 30%, sesuai pada kategori jarak 0 10 km di wilayah pantai Jawa Timur. Hal ini dikarenakan bentuk waveform yang ditemukan pada kategori jarak ini didominasi oleh bentuk peaky echoes dan peaky + noise echoes. Menurut

43 31 Hwang et al. (2006), metode threshold dapat bekerja optimal jika waveform mengandung satu slope sedangkan untuk waveform dengan lebih dari satu slope akan lebih baik menggunakan metode improved threshold. Bentuk waveform yang mengandung satu slope atau lebih akan ditemukan di wilayah perairan pantai, seperti ditunjukan oleh peak echoes dan peaky + noise yang ditemukan pada jarak 0 10 km. Peak echoes memiliki satu slope, sedangkan peaky + noise memiliki lebih dari satu slope. Oleh karena itu metode threshold dan improved threshold akan bekerja optimal pada jarak 0 10 km. Metode ocean menghasilkan performa tinggi pada Stasiun 1, Stasiun 3 dan Stasiun 5. Namun metode ocean tidak sukses melakukan retracking di wilayah dekat dengan daratan. Nilai presentase success rate metode ocean pada masingmasing stasiun, yaitu sebesar 50% (Stasiun 1), 52.77% (Stasiun 3) dan 83.78% (Stasiun 5). Sebaliknya metode lain memiliki nilai presentase success rate sebesar 100%. Menurut Lee et al. (2010), bentuk waveform non ocean like tidak mampu mengikuti model ocean sehingga beberapa nilai pengukuran hilang ketika mekati daratan. Nilai SSH ocean hilang di wilayah dekat pantai pada jarak 0 10 km di Stasiun 3 (Gambar 21). Data SSH yang hilang ini menyebabkan penurunan success rate metode ocean dalam proses waveform retracking. Gambar 21. Visualisasi SSH metode waveform retracking, non retracking dan geoid Stasiun 3 kategori jarak 0 10 km

44 Tabel 7. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 10 km Stasiun Metode Waveform STD STD STD STD IMP STD STD Retracking IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (m) (m) (%) (m) (m) Raw Ocean * ** *** OCOG Ice Threshold % Threshold % Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50% Keterangan : * success rate 50% ** success rate 52.77% *** success rate 83.78% IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 32

45 Tabel 8. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak km Stasiun Metode Waveform STD STD STD IMP STD STD STD Retracking IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (m) (%) (m) (m) (m) Raw Ocean OCOG Ice Threshold % Threshold % Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50% Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 33

46 Metode Waveform Retracking Tabel 9. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak km Stasiun STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) Raw Ocean OCOG Ice Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50% Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi

47 Tabel 10. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak km Stasiun Metode Waveform STD STD STD STD STD STD Retracking IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (m) (m) (m) (m) Raw Ocean OCOG Ice Threshold % Threshold % Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50% Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 35

48 36 Metode waveform retracking mampu bekerja dengan baik di perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur berdasarkan nilai STD metode waveform retracking yang lebih kecil terhadap STD metode waveform tanpa retracking (Raw). Hal ini dibuktikan dengan grafik SSH untuk jarak 0 10 km (Gambar 22), km (Gambar 23), km (Gambar 24), dan km (Gambar 25) di Stasiun 1. Nilai SSH dari metode waveform retracking tidak mengalami perubahan drastis ketika mekati wilayah pantai dibandingkan dengan SSH metode waveform tanpa retracking. SSH metode waveform tanpa retracking (ditunjukan sebagai SSH Raw) mengalami perubahan drastis ketika mekati wilayah pantai akibat pengaruh daratan yang mengganggu pengukuran nilai range. Gambar 22. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 0 10 km

49 37 Gambar 23. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak km Gambar 24. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak km

50 38 Gambar 25. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak km 4.3 Analisis IMP Hasil Waveform Retracking Periode Selain melakukan waveform retracking berdasarkan kategori jarak pada masing-masing stasiun, proses retracking juga dilakukan pada satu titik selama periode pada masing-masing stasiun untuk melihat performa metode retracking secara tahunan dan pengaruh presisi antara SSH metode waveform retracking dengan SSH metode waveform tanpa retracking (Raw). Hasil waveform retracking pada enam titik pengukuran selama bulan Januari 2009 hingga Oktober 2012 disajikan pada Tabel 11. Lokasi pengukuran enam titik pengamatan tersebut diperlihatkan pada Gambar 14. Berdasarkan Tabel 11, metode waveform tanpa retracking menghasilkan nilai SSH yang memiliki presisi rah selama periode pada semua titik pengukuran. Hal ini didasarkan kepada nilai STD yang lebih kecil dan nilai presentase IMP yang lebih besar dari metode waveform retracking dibandingkan dengan STD dan IMP metode waveform tanpa retracking (Raw) pada semua titik pengukuran.

51 39 Metode OCOG tidak bekerja optimal pada titik pengukuran ke-1, 2, 3 dan 6. Nilai presentase IMP metode ini sangat kecil pada keempat titik pengukuran tersebut. (Tabel 11). Berdasarkan statisitik hasil waveform retracking pada bagian 4.2, metode OCOG dan metode threshold 50% juga tidak bekerja optimal pada kategori jarak 0 10 km maupun kategori jarak km. Hal ini dikarenakan, metode OCOG tidak berjalan dengan baik ketika waveform kontaminasi noise (Deng et al., 2002). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap nilai STD dan IMP di antara metode retracking secara tahunan selama periode diperoleh bahwa metode ice, threshold 20%, improved threshold 30% dan improved threshold 20% bekerja optimal pada proses retracking di enam titik pengukuran. Keempat metode waveform retracking tersebut memiliki nilai presentase IMP terbesar pada masing-masing titik pengukuran (Tabel 11). Hal ini sesuai dengan papat Davis (1997) bahwa penggunaan threshold level 20% dan 30% dilakukan pada proses retracking di wilayah pantai (0 10 km dari garis pantai). Keenam titik pengukuran ini berada pada kategori 0 10 km. Selain itu juga penelitian mengenai waveform retracking Satelit Jason 2 di Perairan California, metode waveform retracking yang menggunakan threshold level 20% dan 30% bekerja optimal di perairan pantai. (Lee et al., 2010) Hasil pengukuran terhadap rentang SSH selama tahun dari metode waveform retracking teroptimal pada masing-masing titik pengukuran didapatkan bahwa nilai rentang SSH pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturutturut adalah m, m, m, m, m, dan m. Kemudian nilai rata-rata SSH selama tahun pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturut-turut sebesar m, m, m, m, m, dan m. Berdasarkan Gambar 26 hingga Gambar 31, tr nilai SSH tidak terlalu signifikan peningkatan atau penurunan SSH selama tahun Hal ini dibuktikan dari hasil perhitungan tr dari SSH metode waveform retracking teroptimal. Hasil perhitungan tr nilai SSH untuk periode pada titik pengamatan 1 6 di perairan Jawa Timur berturut-turut sebesar 0.6, 0.2, -1.6, 0.2, 0.4, dan -1.4 mm/tahun.

52 Tabel 11. Statistik hasil waveform retracking SSH selama tahun Titik Pengamatan Metode Waveform STD IMP STD STD IMP STD IMP STD IMP STD Retracking IMP (%) IMP (%) (m) (%) (m) (m) (%) (m) (%) (m) (%) (m) Raw Ocean OCOG Ice Threshold 20 % Threshold 50 % Improved Threshold 20 % Improved Threshold 30 % Improved Threshold 50 % Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi 40

53 41 Gambar 26. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 1 selama tahun Gambar 27. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 2 selama tahun

54 42 Gambar 28. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 3 selama tahun Gambar 29. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 4 selama tahun

55 43 Gambar 30. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 5 selama tahun Gambar 31. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 6 selama tahun

56 Validasi SSH Hasil Waveform Retracking Periode Nilai koefisien korelasi dan standar deviasi antara pengukuran stasiun pasang surut in situ terhadap nilai SLA hasil waveform retracking ditampilkan pada Tabel 12. Metode ice pada titik pengukuran ke-1 dan 6 memiliki nilai koefisien korelasi terbesar, yaitu sebesar 0.78 dan Hal ini berarti data pasang surut pada Stasiun Pasut Semarang dan Stasiun Pasut Prigi berhubungan erat dengan SLA metode ice di Stasiun 1 dan Stasiun 6. Perubahan nilai pasang surut pada Stasiun Semarang diikuti dengan perubahan nilai SLA yang dihasilkan metode ice selama bulan Juni hingga Oktober Tahun 2012 pada titik pengukuran ke-1. Hal ini ditunjukan pada Gambar 32. Jika Gambar 33 diamati secara cermat, perubahan nilai pasang surut di Stasiun Prigi diikuti oleh SLA metode ice selama tahun 2009 (Stasiun 6). Untuk SSH dari metode ice yang dihasilkan selama tahun untuk Stasiun ke-1 dan 6 memiliki nilai presisi yang tinggi. Selain itu juga berdasarkan hasil validasi kedua titik pengukuran tersebut yang mewakili titik pengukuran lainnya, dapat juga disimpulkan bahwa SSH metode ice (Stasiun 1 dan 6), threshold 20% (Stasiun 2), improved threshold 20% (Stasiun 3), dan improved threshold 30% (Stasiun 4 dan 5) menghasilkan SSH paling akurat. Tabel 12. Koefisien korelasi dan standar deviasi antara data pasang surut in situ dengan SLA hasil waveform retracking Stasiun 1 Stasiun 6 Metode Waveform Koefisien Koefisien Retracking STD (m) STD (m) Korelasi Korelasi OCOG Ice Ocean MLE Threshold 20% Threshold 50% Impoved Threshold % Improved Threshold % Improved Threshold 50%

57 45 Gambar 32. Perbandingan nilai SLA metode waveform retracking terhadap data in situ pasang surut bulan Mei - Oktober 2012 di Stasiun 1 Gambar 33. Perbandingan nilai SLA metode waveform retracking terhadap data in situ pasang surut bulan Januari - Desember 2012 di Stasiun 6

58 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pengamatan terhadap performa metode waveform retracking tiap kategori jarak setiap stasiun pengamatan diperoleh performa tiap metode waveform retracking berbeda. Penggunaan threshold level 20% dan 30% pada metode threshold paling sesuai untuk wilayah perairan Jawa Timur. Hasil validasi pengukuran SSH selama periode terhadap data pasang surut in situ menunjukan bahwa metode waveform retracking menghasilkan pengukuran SSH yang lebih akurat. Hasil pengukuran terhadap rentang SSH selama tahun dari metode waveform retracking teroptimal untuk Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturut-turut adalah m, m, m, m, m, dan m. Nilai rata-rata SSH selama tahun di Stasiun 1 sampai Stasiun 6 adalah m, m, m, m, m, dan m. 5.2 Saran Perlu dilakukan pengamatan performa metode threshold dan improved threshold yang menggunakan threshold level 20% dan 30% untuk wilayah perairan lain di Indonesia. Selain itu perlu ditambahkan rentang waktu pengamatan SSH untuk mapatkan rentang, rata-rata, dan tr nilai SSH yang baik dan lebih mekati kenyataan di alam. Kemudian penentuan titik pengukuran harus disesuaikan dengan lokasi pasang surut sehingga proses validasi leboih optimal. 46

59 DAFTAR PUSTAKA Abidin HZ Geodesi Satelit. Jakarta:PT. Pradnya Paramita Benveniste J Radar Altimetry:Past, Present, Future-Coastal Altimetry. New York:Springer Brooks RL, Lockwood DW, dan Lee JE Land effects on TOPEX radar altimeter measure-ments in Pacific Rim Coastal Zones. Remote Sensing of the Pacific Ocean by Satellites. 1(1): Chelton DB, Ries JC, Haines BJ, Fu L-L, Callahan PS, dan Vignudelli S Satellite Altimetry. In: Fu L-L, Cazenave A (eds). Satellite Altimetry and Earth Sciences: a handbook of techniques and application. San Diego:Academic CNES, EUMETSAT, JPL, NOAA OSTM/Jason 2 Products Handbook. data/tools/hdbk_j2.pdf. [1 Juli 2012] Davis CH Growth of the Greenland ice sheet: a performance assessment of altimeter retracking algorithms. IEEE Trans Geosei Remote Sens[Internet].[10 Oktober 2012];33(5): Davis CH A Robust Threshold Retracking Algorithm For Measuring Ice- Sheet Surface Elevation Change From Satellite Radar Altimeter. IEEE Trans Geosensing Remote Sensing. Internet. [10 Oktober 2012];35(4): [Depdagri] Departemen Dalam Negeri Provinsi Jawa Timur. [18 Desember 2012] Deng, X Improvement of Geodetic Parameter Estimation in Coastal Regions from Satellite Radar Altimetry[Tesis]. Kent St(AU): Curtin University of Technology. Deng X, W.E. Featherstone A coastal retracking system for satellite radar altimetry waveforms : application to ers-2 around australia. Journal of Geophysical Research. 111(1). 47

60 48 Gommenginger C, P Thibaut, L. Fenoglio-Marc, G. Quartly, X. Deng J. Gomez- Enri, P. Chellanor, dan Y. Gao Retracking Altimeter Waveforms Near the Coasts. In: Vignudelli S, Kostianoy A, Cipollini P, dan Benveniste J. Coastal Altimetry. New York:Springer Handoko EY Satelit Altimetri dan Aplikasinya dalam Bidang Kelautan. Surabaya: ITS Press Hwang C, Guo JY, Deng XL, Hsu HY, dan Liu YT Coastal Gravity Anomalies From Retracked Geosat/Gm Altimetry:Improvement, Limitation And The Role of Airborne Gravity Data. J Geod. Internet. 30 Mei 2006;[10 Oktober 2012]; 80(1): Jin-Yun GUO, Yon-Gang GAO, Xiao-Tao C, Cheinway H Optimized Threshold Algorithm of Envisat Waveform Retracking over Coastal Sea. Chinese Journal of Geophysics. 53(2): Lee H, William Emery, C.K. Shum, Stephant Calmant, Xiaoli Deng, Chung Yen Kuo, Carolyn Roesler, Yuchan Yi Validation of Jason-2 Altimeter Data by Waveform Retracking over California Coastal Ocean. Marine Geodesy. 33(S1): Martin TV, Zwally HJ, Brenner AC, Bindschadler RA Analysis And Retracking of Continen-Tal Ice Sheet Radar Altimeter Waveform. J Geophys Remote sensing. 8(1): Wingham DJ, Rapley CG, dan Grififths H New techniques in satellite tracking system. In proceeding of IGARSS 86 symposium, Zurich, pp Yang L, Lin M, Bai Y, dan Pan D Retracking Jason1 Altimeter Waveform over China Coastal Zone. Microwave Remote Sensing of The Atmosphere and Environment. Internet. 2008; [10 Oktober 2012];7154(6).

61 LAMPIRAN Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur 49

62 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 50

63 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 51

64 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 52

65 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 53

66 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 54

67 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 55

68 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 56

69 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 57

70 Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan) 58

71 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur 59

72 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 60

73 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 61

74 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 62

75 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 63

76 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 64

77 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 65

78 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 66

79 Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan) 67

80 68 Lampiran 3. Data Stasiun Pasut Semarang untuk validasi di Stasiun 1 selama bulan April hingga Oktober 2012 Waktu SSH (m) 15/05/2012 2: /05/2012 0: /06/ : /06/ : /06/ : /07/ : /07/ : /07/ : /08/ : /08/2012 7: /08/2012 5: /09/2012 3: /09/2012 1: /09/ : /09/ : /10/ : /10/ :

81 69 Lampiran 4. Data Stasiun Pasut Prigi untuk validasi di Stasiun 6 selama bulan Januari hingga Desember 2012 Waktu SSH (m) 01/01/ : /01/ : /01/2009 9: /01/2009 7: /02/2009 5: /02/2009 3: /03/2009 1: /03/ : /03/ : /03/ : /04/ : /04/ : /05/ : /05/2009 8: /05/2009 6: /06/2009 4: /06/2009 2: /06/2009 0: /07/ : /07/ : /07/ : /08/ : /08/ : /08/ : /09/ : /09/2009 8: /09/2009 6: /10/2009 4: /10/2009 2: /10/2009 0: /11/ : /11/ : /11/ : /12/ : /12/ : /12/ :

82 70 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking %Sintak ini akan digunakan dalam tahap pengolahan data altimetri satelit %Jason 2. Kegunaan sintak ini ialah mengukur tinggi muka laut dari titik %awal masing-masing stasiun hingga 50 km menjauh dari daratan. %Sintak ini dikembangkan oleh Kadek Surya Sumerta (Mahasiswa S1 Ilmu dan %Teknologi Kelautan, IPB) %% Menentukan direktori file dan memilih file clear;clc; cprintf('k','*welcome Users!*\n'); cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Define your directory nc files!\n'); fprintf('please enter! "'); cprintf('error','enter'); cprintf('text','"!\n'); cprintf('*magenta',' \n'); pause nc_dir= uigetdir; cd(nc_dir); nc = uigetfile('*.nc','choose your nc file!'); %% Baca Variabel-variabel didalam data satelit lat = ncread(nc,'lat'); lat_20hz = ncread(nc,'lat_20hz'); lon = ncread(nc,'lon'); lon_20hz = ncread(nc,'lon_20hz'); waveforms_20hz_ku = ncread(nc,'waveforms_20hz_ku'); wvf_ind = ncread(nc,'wvf_ind'); surface_type = ncread(nc,'surface_type'); time = ncread(nc,'time'); alt = ncread(nc,'alt'); alt_echo_type = ncread(nc,'alt_echo_type'); alt_20hz = ncread(nc,'alt_20hz'); range_ku = ncread(nc,'range_ku'); range_ku_mle3 = ncread(nc,'range_ku_mle3'); range_20hz_ku= ncread(nc,'range_20hz_ku'); range_20hz_ku_mle3= ncread(nc,'range_20hz_ku_mle3'); ice_range_20hz_ku= ncread(nc,'ice_range_20hz_ku'); tracker_20hz_ku = ncread(nc,'tracker_20hz_ku'); tracker_diode_20hz_ku = ncread(nc,'tracker_diode_20hz_ku'); geoid = ncread(nc,'geoid'); agc_20hz_ku = ncread(nc,'agc_20hz_ku'); meanseasurface=ncread(nc,'mean_sea_surface'); load_tidel_sol1= ncread(nc,'load_tide_sol1'); rad_surf_type=ncread(nc,'rad_surf_type'); doppler_corr_ku=ncread(nc,'doppler_corr_ku'); modeled_instr_corr_range_ku=ncread(nc,'modeled_instr_corr_range_ku'); model_dry_tropo_corr = ncread(nc,'model_dry_tropo_corr'); model_wet_tropo_corr = ncread(nc,'model_wet_tropo_corr'); inv_bar_corr = ncread(nc,'inv_bar_corr'); hf_fluctuations_corr = ncread(nc,'hf_fluctuations_corr'); solid_earth_tide = ncread(nc,'solid_earth_tide'); ocean_tide_sol1 = ncread(nc,'ocean_tide_sol1'); pole_tide = ncread(nc,'pole_tide'); sea_state_bias_ku = ncread(nc,'sea_state_bias_ku'); sea_state_bias_ku_mle3 = ncread(nc,'sea_state_bias_ku_mle3'); iono_corr_alt_ku = ncread(nc,'iono_corr_alt_ku'); iono_corr_alt_ku_mle3 = ncread(nc,'iono_corr_alt_ku_mle3'); rad_wet_tropo_corr =ncread(nc,'rad_wet_tropo_corr');

83 71 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) %% Menentukan titik awal dan akhir pengamatan pada masing-masing stasiun %DMS atau DD cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Give your latitude poin position in DMS(Degrees, Minutes, and Seconds)!\n'); %dmsordd = input... %('Type 1 for DMS or 2 DD\n >> '); %if dmsordd == 1; point1a = input... ('1a. Type degree value for the first point!\n >> '); point1b = input... ('1b. Type minute value for the first point!\n >> '); point1c = input... ('1c. Type second value for the first point!\n >> '); x1 = point1a; y1 = point1b/60; if point1a < 0 y1=y1*-1; z1 = point1c/3600; if point1a < 0 z1=z1*-1; point1 = (x1+y1+z1); %% Bagian arah laut dari pantai yang akan diamati cprintf('*green','==================================================================\n'); ad = input(['wilayah laut yang ingin Anda amati mengarah ke Utara atau Selatan?\n',... 'jika Utara = 1 dan Selatan = 2. Ketik!\n >> ']); cprintf('*magenta',' \n'); if ad==1 Arah='Utara'; elseif ad==2 Arah='Selatan'; %% Seleksi wilayah lintang 20Hz berdasarkan 5 kelompok J10u=point ; J10s=point ; J50u=point ; J50s=point ; J100u=point ; J100s=point ; J200u=point ; J200s=point ; if lat_20hz(1,1) < 0 && ad == 1; %Ascing, laut bagian utara pulau [r1,c1]= find(lat_20hz >= (point1) & lat_20hz <= (J10u)); %Stasiun 1 [r2,c2]= find(lat_20hz > (J10u) & lat_20hz <= (J50u));%Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz > (J50u) & lat_20hz <= (J100u)); %Stasiun 3 [r4,c4]= find(lat_20hz > (J100u) & lat_20hz <= (J200u)); %Stasiun 3 elseif lat_20hz(1,1)<0 && ad == 2; %Ascing, laut bagian selatan pulau [r1,c1]= find(lat_20hz <= (point1) & lat_20hz >= (J10s)); %Stasiun 2 [r2,c2]= find(lat_20hz <= (J10s) & lat_20hz >= (J50s)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz <= (J50s) & lat_20hz >= (J100s)); %Stasiun 2 [r4,c4]= find(lat_20hz <= (J100s) & lat_20hz >= (J200s)); %Stasiun 2 elseif lat_20hz(1,1) > 0 && ad == 1; [r1,c1]= find(lat_20hz >= (point1) & lat_20hz <= (J10u)); %Stasiun 2

84 72 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) [r2,c2]= find(lat_20hz >= (J10u) & lat_20hz <= (J50u)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz >= (J50u) & lat_20hz <= (J100u)); %Stasiun 2 [r4,c4]= find(lat_20hz >= (J100u) & lat_20hz <= (J200u)); %Stasiun 2 elseif lat_20hz(1,1) > 0 && ad == 2; [r1,c1]= find(lat_20hz <= (point1) & lat_20hz>= (J10s)); %Stasiun 1 [r2,c2]= find(lat_20hz <= (J10s) & lat_20hz >= (J50s)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz <= (J50s) & lat_20hz>= (J100s)); %Stasiun 3 [r4,c4]= find(lat_20hz <= (J100s) & lat_20hz>= (J200s)); %Stasiun 3 %menyatukan kelompok2 lintang ke dalam satu variabel r row={[r1];[r2];[r3];[r4]}; col={[c1];[c2];[c3];[c4]}; %Seleksi Variabel 20hz sesuai dengan Point of Interest (POI) for i=1:length(row) for j=1:length(row{i,1}) latkelompok_20hz{i,1}(j,1)=lat_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); lonkelompok_20hz{i,1}(j,1)=lon_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); altkelompok_20hz{i,1}(j,1)=alt_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); agckelompok_20hz{i,1}(j,1)=agc_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); trackerkelompok_20hz{i,1}(j,1) =tracker_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); tracker_diode_kelompok_20hz{i,1}(j,1) = tracker_diode_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); waveformakelompok_20hz{i,1}(:,j)=waveforms_20hz_ku(:,(row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); rangekelompok_20hz{i,1}(j,1) =range_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); rangekelompok_20hz_ku_mle3{i,1}(j,1) =range_20hz_ku_mle3((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); ice_range_20hz_kukelompok{i,1}(j,1) =ice_range_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); alt_echo_typekelompok{i,1}(j,1) =alt_echo_type((col{i,1}(j,1))); rad_surf_typekelompok{i,1}(j,1) =rad_surf_type((col{i,1}(j,1))); for i=1:length(row) size_wf{i,1}=size(waveformakelompok_20hz{i,1}); for j=1:size_wf{i,1}(1,2) waveformkelompok_20hz{i,1}{j,1}=waveformakelompok_20hz{i,1}((1:104),j); %% Mengambil data geophysical correction 1Hz if lat_20hz(1,1) < 0 ; %Ascing, laut bagian utara pulau [r1geo,c1geo]= find(lat >= -12 & lat<= -3.5); %Stasiun 1 elseif lat_20hz(1,1) > 0 ; [r1geo,c1geo]= find(lat <=-3.5 & lat>=-12); %Stasiun 2 doppler_corr_kelompok= doppler_corr_ku(r1geo,1); modeled_instr_corr_range_kelompok= modeled_instr_corr_range_ku(r1geo,1); ocean_tide_sol1_kelompok = ocean_tide_sol1(r1geo,1); model_dry_tropo_corr_kelompok = model_dry_tropo_corr(r1geo,1); hf_fluctuations_corr_kelompok = hf_fluctuations_corr(r1geo,1); inv_bar_corr_kelompok = inv_bar_corr(r1geo,1); solid_earth_tide_kelompok = solid_earth_tide(r1geo,1); pole_tide_kelompok = pole_tide(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok = sea_state_bias_ku(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok = iono_corr_alt_ku(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok_mle3 = sea_state_bias_ku_mle3(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3 = iono_corr_alt_ku_mle3(r1geo,1); rad_wet_tropo_corr_kelompok = rad_wet_tropo_corr(r1geo,1); meanseasurface_kelompok = meanseasurface(r1geo,1); load_tidel_sol1_kelompok = load_tidel_sol1(r1geo,1); doppler_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2)= lat(r1geo,1);

85 73 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) modeled_instr_corr_range_kelompok(1:(length(r1geo)),2)= lat(r1geo,1); ocean_tide_sol1_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); model_dry_tropo_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); hf_fluctuations_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); inv_bar_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); solid_earth_tide_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); pole_tide_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); rad_wet_tropo_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); meanseasurface_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); load_tidel_sol1_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); doppler_corr_kelompok(isnan(doppler_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; modeled_instr_corr_range_kelompok(isnan(modeled_instr_corr_range_kelompok(:,1)),:)=[]; ocean_tide_sol1_kelompok(isnan(ocean_tide_sol1_kelompok(:,1)),:)=[]; model_dry_tropo_corr_kelompok(isnan(model_dry_tropo_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; hf_fluctuations_corr_kelompok(isnan(hf_fluctuations_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; inv_bar_corr_kelompok(isnan(inv_bar_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; solid_earth_tide_kelompok(isnan(solid_earth_tide_kelompok(:,1)),:)=[]; pole_tide_kelompok(isnan(pole_tide_kelompok(:,1)),:)=[]; sea_state_bias_ku_kelompok(isnan(sea_state_bias_ku_kelompok(:,1)),:)=[]; iono_corr_alt_ku_kelompok(isnan(iono_corr_alt_ku_kelompok(:,1)),:)=[]; rad_wet_tropo_corr_kelompok(isnan(rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; meanseasurface_kelompok(isnan(meanseasurface_kelompok(:,1)),:)=[]; load('geophysical Correction127.mat') %% Interpolasi data 1hz menjadi data 20hz for i=1:length(row) ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{i,1} = interp1(ocean_tide_sol1_kelompok(:,2),ocean_tide_sol1_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); geoidkelompok_20hz{i,1} = interp1(geoidglobal(:,1),geoidglobal(:,3),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(model_dry_tropo_corr_kelompok(:,2),model_dry_tropo_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(hf_fluctuations_corr_kelompok(:,2),hf_fluctuations_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); inv_bar_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(inv_bar_corr_kelompok(:,2),inv_bar_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); solid_earth_tide_kelompok_20hz{i,1}= interp1(solid_earth_tide_kelompok(:,2),solid_earth_tide_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); pole_tide_kelompok_20hz{i,1}= interp1(pole_tide_kelompok(:,2),pole_tide_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); sea_state_bias_ku_kelompok_20hz_mle3{i,1}= interp1(sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(:,2),sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz_mle3{i,1}= interp1(iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(:,2),iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{i,1}= interp1(sea_state_bias_ku_kelompok(:,2),sea_state_bias_ku_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{i,1}= interp1(iono_corr_alt_ku_kelompok(:,2),iono_corr_alt_ku_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,2),rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); meanseasurface_kelompok_20hz{i,1}= interp1(meanseasurface_kelompok(:,2),meanseasurface_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); load_tidel_sol1_kelompok_20hz{i,1}= interp1(load_tidel_sol1_kelompok(:,2),load_tidel_sol1_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); doppler_corr_kelompok_20hz{i,1}=interp1(doppler_corr_kelompok(:,2),doppler_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i, 1},'spline'); modeled_instr_corr_range_kelompok_20hz{i,1}=interp1(modeled_instr_corr_range_kelompok(:,2),modeled_instr_corr_ra nge_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline');

86 74 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) %% Proses Retracking Data % Retracker OCOG, threshold, threshold+improved for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) tlep_ocog{i,1}(k,1)= retracker_ocog(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k)); tlep_threshold20{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.2); tlep_threshold30{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.3); tlep_threshold50{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.5); subwaveforms{i,1}{k,1}= retracker_ithreshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),'hwang'); for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) Bar_sub{i,1}{k,1}=size(subwaveforms{i,1}{k,1}); for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.2); dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.3); dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.5); for j= 1:length(row); for k=length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) F{j,1} = repmat(32.5,k,1); %% Menghitung Range hasil retracking for j= 1:length(row); for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) dt_ocog{j,1}(k,1) = (tlep_ocog{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; dt_threshold50{j,1}(k,1) = (tlep_threshold50{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; dt_threshold20{j,1}(k,1) = (tlep_threshold20{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; dt_ice{j,1}(k,1) = (tlep_threshold30{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; %% Koreksi range %raw range for j= 1:length(row); tracker_20hz{j,1}=trackerkelompok_20hz{j,1}+doppler_corr_kelompok_20hz{j,1}+modeled_instr_corr_range_kelompok _20hz{j,1}; %terhadap koreksi range retracking for j= 1:length(row); range_20hz_ocog{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_ocog{j,1}; range_20hz_threshold50{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_threshold50{j,1}; range_20hz_threshold20{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_threshold20{j,1}; range_20hz_ice{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_ice{j,1}; for j= 1:length(row);

87 75 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) SSH_OCOG{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_ocog{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_threshold50{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold50{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_threshold20{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold20{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} -... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ocean{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - rangekelompok_20hz{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ice{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_ice{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_raw{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - tracker_20hz{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; %% Memilih nilai SSH subwaveform 20 % dan 50 % terbaik for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) diffsubthre20{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold20{i,1}(k,1)); diffsubthre30{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1)-dt_ice{i,1}(k,1)); diffsubthre50{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold50{i,1}(k,1)); for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) [roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre20{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre20{j,1}{k,1}))); [roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre30{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre30{j,1}{k,1}))); [roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre50{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre50{j,1}{k,1}))); for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) dt_impthres20{j,1}(k,1)=dt_threshold220{j,1}{k,1}(roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1));

88 76 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) dt_impthres30{j,1}(k,1)=dt_threshold230{j,1}{k,1}(roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)); dt_impthres50{j,1}(k,1)=dt_threshold250{j,1}{k,1}(roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)); for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres20{j,1}(k,1); range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres30{j,1}(k,1); range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres50{j,1}(k,1); %% SSH Improved Threshold 20 % dan 50 % for j= 1:length(row); SSH_ImpThres20{j,1}= altkelompok_20hz{j,1}- range_20hz_threshold220{j,1}- model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1}- rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} - sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ImpThres30{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold230{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}- sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ImpThres50{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold250{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) -... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} -... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}- sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; %% Perhitungan Beda SSH dengan Geoid Height for j= 1:length(row); Dif_OCOG{j,1} = SSH_OCOG{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold50{j,1} = SSH_threshold50{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold20{j,1} = SSH_threshold20{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold220{j,1} = SSH_ImpThres20{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold230{j,1} = SSH_ImpThres30{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold250{j,1} = SSH_ImpThres50{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_ocean{j,1} = SSH_ocean{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_ice{j,1} = SSH_ice{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_raw{j,1} = SSH_raw{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; for j= 1:length(row); STD_OCOG{j,1} = std(dif_ocog{j,1}); STD_threshold50{j,1} = std(dif_threshold50{j,1}); STD_threshold20{j,1} = std(dif_threshold20{j,1}); STD_threshold220{j,1} = std(dif_threshold220{j,1}); STD_threshold230{j,1} = std(dif_threshold230{j,1}); STD_threshold250{j,1} = std(dif_threshold250{j,1}); STD_ocean{j,1} = std(dif_ocean{j,1}); STD_ice{j,1} = std(dif_ice{j,1});

89 77 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) STD_raw{j,1} = std(dif_raw{j,1}); %hitung IMP for i= 1:length(row) IMP_OCOG(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_OCOG{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold50(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold50{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold20(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold20{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold220(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold220{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold230(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold230{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold250(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold250{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_ice(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_ice{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_ocean(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_ocean{i,1})/STD_raw{i,1})*100); %% Menghitung SSH hasil retracking for j= 1:length(row); SLA_OCOG{j,1}=SSH_OCOG{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}- load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold50{j,1}=SSH_threshold50{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold20{j,1}=SSH_threshold20{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold220{j,1}=SSH_ImpThres20{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold230{j,1}=SSH_ImpThres30{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold250{j,1}=SSH_ImpThres50{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_ocean_mle4_on_board{j,1}=SSH_ocean{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}- meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_ice{j,1}=SSH_ice{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}- load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_raw{j,1}=SSH_raw{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}- load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; %% Perhitungan nilai Improvement Precentage(IMP) for j= 1:length(row) figure(j) plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_ocog{j,1},'-k','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_threshold20{j,1},'-r','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_impthres20{j,1},'-.r','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_ice{j,1},'-m','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_impthres30{j,1},'-.m','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_threshold50{j,1},'-b','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_impthres50{j,1},'-.b','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_ocean{j,1},'-y','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},ssh_raw{j,1},'-.g','linewidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},geoidkelompok_20hz{j,1},'-g','linewidth',1.5)

90 78 Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) title('perbandingan Tinggi Muka Laut Antara Metode Retracking, Non-Retracking, dan Geoid Perairan Jawa Timur Bagian Selatan Stasiun 5 Jarak 0-10 Km Satelit Jason 2 Cycle 90 Pass 140',... 'fontsize',12,'fontweight','b','color','black'); xlabel('lintang (^O)','fontweight','b'); ylabel('tinggi Muka Laut (m)','fontweight','b'); grid on hleg1 = leg('ssh OCOG','SSH Threshold 20%','SSH Improve Threshold 20%','SSH Ice','SSH Improve Threshold 30%','SSH Threshold 50%','SSH Improve Threshold 50%','SSH Ocean','SSH Raw','Geoid EGM2008','Location','South'); for j=1 kmlwrite('track',latkelompok_20hz{j,1},lonkelompok_20hz{j,1},'icon',' mark_circle.png'); winopen('track.kml') Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun %Sintak ini akan digunakan dalam tahap pengolahan data altimetri satelit %Jason 2. Kegunaan sintak ini ialah mengukur tinggi muka laut dari titik %awal masing-masing stasiun hingga 50 km menjauh dari daratan. %Sintak ini dikembangkan oleh Kadek Surya Sumerta (Mahasiswa S1 Ilmu dan %Teknologi Kelautan, IPB) %% Menentukan direktori file dan memilih file clear;clc; cprintf('k','*welcome Users!*\n'); cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Define your directory nc files!\n'); fprintf('please enter! "'); cprintf('error','enter'); cprintf('text','"!\n'); cprintf('*magenta',' \n'); pause nc_dir= uigetdir; cd(nc_dir); nc = uigetfile('*.nc',... 'Choose your nc file!',... 'MultiSelect', 'on'); %% Baca Variabel-variabel didalam data satelit for i = 1:length(nc) lat{i,1} = ncread(nc{1,i},'lat'); lat_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'lat_20hz'); lon{i,1} = ncread(nc{1,i},'lon'); lon_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'lon_20hz'); waveforms_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'waveforms_20hz_ku'); wvf_ind{i,1} = ncread(nc{1,i},'wvf_ind'); surface_type{i,1} = ncread(nc{1,i},'surface_type'); time{i,1} = ncread(nc{1,i},'time'); alt{i,1} = ncread(nc{1,i},'alt'); alt_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'alt_20hz'); range_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'range_ku'); range_20hz_ku{i,1}= ncread(nc{1,i},'range_20hz_ku'); tracker_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'tracker_20hz_ku'); geoid{i,1} = ncread(nc{1,i},'geoid'); agc_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'agc_20hz_ku'); meanseasurface{i,1}=ncread(nc{1,i},'mean_sea_surface'); time_20hz{i,1}=ncread(nc{1,i},'time_20hz');

91 79 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun (lanjutan) model_dry_tropo_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'model_dry_tropo_corr'); model_wet_tropo_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'model_wet_tropo_corr'); inv_bar_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'inv_bar_corr'); hf_fluctuations_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'hf_fluctuations_corr'); solid_earth_tide{i,1} = ncread(nc{1,i},'solid_earth_tide'); ocean_tide_sol1{i,1} = ncread(nc{1,i},'ocean_tide_sol1'); pole_tide{i,1} = ncread(nc{1,i},'pole_tide'); sea_state_bias_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'sea_state_bias_ku'); sea_state_bias_ku_mle3{i,1} = ncread(nc{1,i},'sea_state_bias_ku_mle3'); iono_corr_alt_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'iono_corr_alt_ku'); iono_corr_alt_ku_mle3{i,1} = ncread(nc{1,i},'iono_corr_alt_ku_mle3'); rad_wet_tropo_corr{i,1} =ncread(nc{1,i},'rad_wet_tropo_corr'); load_tidel_sol1{i,1}= ncread(nc{1,i},'load_tide_sol1'); %% Menentukan titik awal dan akhir pengamatan pada masing-masing stasiun %DMS atau DD cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf... ('Give your latitude poin position in DMS(Degrees, Minutes, and Seconds)!\n'); %dmsordd = input... %('Type 1 for DMS or 2 DD\n >> '); %if dmsordd == 1; point1a = input... ('1a. Type degree value for the first point!\n >> '); point1b = input... ('1b. Type minute value for the first point!\n >> '); point1c = input... ('1c. Type second value for the first point!\n >> '); x1 = point1a; y1 = point1b/60; if point1a < 0 y1=y1*-1; z1 = point1c/3600; if point1a < 0 z1=z1*-1; point1 = (x1+y1+z1); %% Seleksi lokasi global 1 Hz for i=1:length(nc); [r1geo{i,1},c1geo{i,1}]= find(lat{i,1} >=(point1-2) & lat{i,1}<=(point1+2)); %% Seleksi posisi global 20 Hz for i=1:length(nc); [r1_20hz_geo{i,1},c1_20hz_geo{i,1}]= find(lat_20hz{i,1} >= (point1-0.01) & lat_20hz{i,1}<= (point1+0.01)); for i=1:length(nc); for j = 1:length(r1geo{i,1}) doppler_corr_global{i,1}(j,1)= doppler_corr_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); modeled_instr_corr_range_global{i,1}(j,1)= modeled_instr_corr_range_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); ocean_tide_sol1_global{i,1}(j,1) = ocean_tide_sol1{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); model_dry_tropo_corr_global{i,1}(j,1) = model_dry_tropo_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); hf_fluctuations_corr_global{i,1}(j,1) = hf_fluctuations_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); inv_bar_corr_global{i,1}(j,1) = inv_bar_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); solid_earth_tide_global{i,1}(j,1) = solid_earth_tide{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); pole_tide_global{i,1}(j,1) = pole_tide{i,1}(r1geo{i,1}(j,1));

92 80 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun (lanjutan) sea_state_bias_ku_global{i,1}(j,1) = sea_state_bias_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); iono_corr_alt_ku_global{i,1}(j,1) = iono_corr_alt_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(j,1) = rad_wet_tropo_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); meanseasurface_global{i,1}(j,1) = meanseasurface{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); load_tidel_sol1_global{i,1}=meanseasurface{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); for i=1:length(nc); for j = 1:length(r1geo{i,1}) doppler_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); modeled_instr_corr_range_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); ocean_tide_sol1_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); model_dry_tropo_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); hf_fluctuations_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); inv_bar_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); solid_earth_tide_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); pole_tide_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); sea_state_bias_ku_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); iono_corr_alt_ku_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); meanseasurface_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); load_tidel_sol1_global{i,1}(j,2)=lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); for i=1:length(nc); doppler_corr_global{i,1}(isnan(doppler_corr_global{i,1}),:)=[]; modeled_instr_corr_range_global{i,1}(isnan(modeled_instr_corr_range_global{i,1}),:)=[]; iono_corr_alt_ku_global{i,1}(isnan(iono_corr_alt_ku_global{i,1}),:)=[]; ocean_tide_sol1_global{i,1}(isnan(ocean_tide_sol1_global{i,1}),:)=[]; model_dry_tropo_corr_global{i,1}(isnan(model_dry_tropo_corr_global{i,1}),:)=[]; hf_fluctuations_corr_global{i,1}(isnan(hf_fluctuations_corr_global{i,1}),:)=[]; inv_bar_corr_global{i,1}(isnan(inv_bar_corr_global{i,1}),:)=[]; solid_earth_tide_global{i,1}(isnan(solid_earth_tide_global{i,1}),:)=[]; pole_tide_global{i,1}(isnan(pole_tide_global{i,1}),:)=[]; sea_state_bias_ku_global{i,1}(isnan(sea_state_bias_ku_global{i,1}),:)=[]; iono_corr_alt_ku_global{i,1}(isnan(iono_corr_alt_ku_global{i,1}),:)=[]; rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(isnan(rad_wet_tropo_corr_global{i,1}),:)=[]; meanseasurface_global{i,1}(isnan(meanseasurface_global{i,1}),:)=[]; load_tidel_sol1_global{i,1}(isnan(meanseasurface_global{i,1}),:)=[]; %Seleksi Variabel 20hz global for i = 1:length(nc) for j = 1:length(r1_20hz_geo{i,1}) latglobal_20hz{i,1}(j,1)=lat_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); longlobal_20hz{i,1}(j,1)=lon_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); altglobal_20hz{i,1}(j,1)=alt_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); trackerglobal_20hz{i,1}(j,1) =tracker_20hz_ku{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); waveformglobal_20hz{i,1}(:,j)=waveforms_20hz_ku{i,1}(:,(r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); rangeglobal_20hz{i,1}(j,1) =range_20hz_ku{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); timeglobal_20hz_julian{i,1}(j,1) =time_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); load('geophysical Correction140.mat') %% Interpolasi data 1hz menjadi data 20hz for i=1:length(nc) for j = 1:length(r1_20hz_geo{i,1}) ocean_tide_sol1_global_20hz{i,1}(j,1) = interp1(ocean_tide_sol1_global{i,1}(:,2),ocean_tide_sol1_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); geoidglobal_20hz{i,1}(j,1) = interp1(geoidglobal(:,1),geoidglobal(:,3),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest');

93 81 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun (lanjutan) model_dry_tropo_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(model_dry_tropo_corr_global{i,1}(:,2),model_dry_tropo_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); hf_fluctuations_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(hf_fluctuations_corr_global{i,1}(:,2),hf_fluctuations_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); inv_bar_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(inv_bar_corr_global{i,1}(:,2),inv_bar_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); solid_earth_tide_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(solid_earth_tide_global{i,1}(:,2),solid_earth_tide_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); pole_tide_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(pole_tide_global{i,1}(:,2),pole_tide_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); sea_state_bias_ku_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(sea_state_bias_ku_global{i,1}(:,2),sea_state_bias_ku_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); iono_corr_alt_ku_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(iono_corr_alt_ku_global{i,1}(:,2),iono_corr_alt_ku_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); rad_wet_tropo_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(:,2),rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); meanseasurface_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(meanseasurface_global{i,1}(:,2),meanseasurface_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); doppler_corr_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(doppler_corr_global{i,1}(:,2),doppler_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i, 1}(j,1),'nearest'); modeled_instr_corr_range_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(modeled_instr_corr_range_global{i,1}(:,2),modeled_instr_corr_r ange_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); load_tidel_sol1_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(load_tidel_sol1_global{i,1}(:,2),load_tidel_sol1_global{i,1}(:,1),latglobal_ 20hz{i,1}(j,1),'nearest'); %% Proses Retracking Data % Retracker OCOG, threshold, threshold+improved for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) tlep_ocog{j,1}(k,1)= retracker_ocog(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k)); tlep_threshold50{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.5); tlep_threshold20{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.2); subwaveforms{j,1}{k,1}= retracker_ithreshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),'hwang'); tlep_ice{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.3); for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) Bar_sub{i,1}{k,1}=size(subwaveforms{i,1}{k,1}); for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) F{j,1}(k,1) = 32.5; for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.2); dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.3); dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.5);

94 82 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun (lanjutan) for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) dt_ocog{j,1}(k,1) = (tlep_ocog{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; dt_threshold50{j,1}(k,1) = (tlep_threshold50{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; dt_threshold20{j,1}(k,1) = (tlep_threshold20{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; dt_ice{j,1}(k,1) =(tlep_ice{j,1}(k,1)-f{j,1}(k,1)).* ; %% Koreksi range %raw range for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) tracker_20hz{j,1}(k,1)=trackerglobal_20hz{j,1}(k,1)+doppler_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+modeled_instr_corr_range_glo bal_20hz{j,1}(k,1); %terhadap koreksi range retracking for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) range_20hz_ocog{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_ocog{j,1}(k,1); range_20hz_threshold50{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_threshold50{j,1}(k,1); range_20hz_threshold20{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_threshold20{j,1}(k,1); range_20hz_ice2{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_ice{j,1}(k,1); range_20hz_ocean{j,1}(k,1) = rangeglobal_20hz{j,1}(k,1); for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) SSH_global_OCOG{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ocog{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold50{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold50{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold20{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold20{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_ocean{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ocean{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_ice{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ice2{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -...

95 83 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun (lanjutan) pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_raw{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - tracker_20hz{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) - sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); %% Memilih nilai SSH subwaveform 20 % dan 50 % terbaik for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) for l=1:bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) diffsubthre20{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold20{i,1}(k,1)); diffsubthre30{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1)-dt_ice{i,1}(k,1)); diffsubthre50{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold50{i,1}(k,1)); for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) [roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre20{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre20{j,1}{k,1}))); [roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre30{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre30{j,1}{k,1}))); [roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)]=find(diffsubthre50{j,1}{k,1} == (min(diffsubthre50{j,1}{k,1}))); for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) dt_impthres20{j,1}(k,1)=dt_threshold220{j,1}{k,1}(roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)); dt_impthres30{j,1}(k,1)=dt_threshold230{j,1}{k,1}(roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)); dt_impthres50{j,1}(k,1)=dt_threshold250{j,1}{k,1}(roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)); for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres20{j,1}(k,1); range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres30{j,1}(k,1); range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_impthres50{j,1}(k,1); %% SSH Improved Threshold 20 % dan 50 % Ala Brat for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) SSH_global_threshold220{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold230{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold250{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) - model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-...

96 84 Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun (lanjutan) (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) -... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) -... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); %% Menghitung SSH dan Mean Sea Surface POI for i=1:length(nc) SSH_OCOG(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_ocog{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold50(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold50{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold20(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold20{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold220(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold220{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold230(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold230{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold250(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_threshold250{i,1},point1,'nearest'); SSH_ocean(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_ocean{i,1},point1,'nearest'); SSH_ice(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_ice{i,1},point1,'nearest'); SSH_raw(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},ssh_global_raw{i,1},point1,'nearest'); Geoid(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},geoidglobal_20hz{i,1},point1,'nearest'); meanseasurface_poi(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},meanseasurface_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); timejulian_poi(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},timeglobal_20hz_julian{i,1},point1,'nearest'); ocean_tide_sol1_poi_20hz(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},ocean_tide_sol1_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); load_tidel_sol1_poi_20hz(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},load_tidel_sol1_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); %% Menghitung SLA Ala Brat for j= 1:length(nc); SLA_OCOG(j,1)=SSH_OCOG(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold50(j,1)=SSH_threshold50(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold20(j,1)=SSH_threshold20(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold220(j,1)=SSH_threshold220(j,1)-meanseasurface_poi(j,1) SLA_threshold230(j,1)=SSH_threshold230(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold250(j,1)=SSH_threshold50(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_ocean(j,1)=SSH_ocean(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_ice(j,1)=SSH_ice(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_raw(j,1)=SSH_raw(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); Lampiran 7. Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG function tlep = retracker_ocog(t,p,n1,n2) % fungsi untuk melakukan retracking menggunakan metode Offset Centre of % Gravity (OCOG). Inputnya t (waktu), P (power), n1 dan n2 (jumlah 'bin' % yang terpengaruh oleh aliasing pada awal dan akhir data waveform. % Outputnya waktu saat Leading Edge Position (tlep). % Untuk n1 dan n2, apabila tidak diisi maka akan diset default, yaitu % n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) if (exist('n1')==0) && (exist('n2')==0); n1 = 4; n2 = 4; % N = jumlah sampel dalam waveform N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1+n1:n-n2).^4)) / (sum(p(1+n1:n-n2).^2)) ); % menghitung panjang waveform W = sum((p(1+n1:n-n2).^2))^2 / sum(p(1+n1:n-n2).^4); % menghitung COG COG = sum([1+n1:n-n2]'.* P(1+n1:N-n2).^2) / (sum(p(1+n1:n-n2).^2)); % menghitung Leading Edge Position (LEP)

97 85 Lampiran 7. Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG (lanjutan) tlep = COG - W/2; % menghitung waktu kembali gelombang % tlep = t(round(lep)); %metode lama, masih dibuletin, ga dipake Lampiran 8. Fungsi MATLAB tentang metode retracking threshold function tlep = retracker_threshold(t,p,th_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) % Untuk n1 dan n2 diset default, yaitu % n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) n1 = 4; n2 = 4; N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1+n1:n-n2).^4)) / (sum(p(1+n1:n-n2).^2)) ); % Thermal noise pn = 1/5*sum(p(1:5)); % Threshold Level Tl = pn + th_value*(a-pn); % mencari power of retracked gate k = min(find(p>=tl)); %--> nomor gate yang pertama kali melewati threshold if k ==1 k = k+1; % buat kasus mahiwal gk = k; gk_1 = k-1; tlep = gk_1 +((Tl - p(k-1))/(p(k)-p(k-1))); %power dari retracked gate Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold function subwaveforms2 = retracker_ithreshold(t,p,eps_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) % Nilai epsilon valued diisi dan dihitung sbb: % -'hwang' : menggunakan e1 = 8 dan e2 = 2(Hwang et al.,2008) % -'fenoglio' : menggunakan e1=0.2*s dan e2 = 0.2*S1. S dan S1 dihitung % secara terpisah (Fenoglio-Marc et a., 2009) % Untuk n1 dan n2 diset default, yaitu n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) % output dari fungsi ini adalah subwaveform (t dan P) dari % data. format filenya adalah cell. % file output: % t1 P1 dari subwaveform 1 % t2 P2 dari subwaveform 2 % : : % tn Pn dari subwaveform n N = length(t); if strcmp(eps_value,'hwang') % 8 dan 2 e1=8;e2=2; else strcmp(eps_value,'fenoglio') S = hitung_s(p,n); S1 = hitung_s1(p,n);

98 86 Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold (lanjutan) e1=0.2*s e2=0.2*s1 subwaveform=[]; i=5; while i+1<=n-5 d2 = 0.5*(p(i+1)-p(i)); if (d2>e1) k=1; while i+k<=n-5 d1 = p(i+k+1)-p(i+k); if d1<=e2 break k=k+1; subwaveform = [subwaveform;[i-4:i+(k+i)+4]';0]; i=i+k+4; i=i+1; % mengubah ke format struct j=1; subwaveforms{j,1}(1,1)=nan;%cuma untuk pefinisian aja for i = 1:length(subwaveform) if subwaveform(i)>0 subwaveforms{j,1} = [subwaveforms{j,1};subwaveform(i)]; else subwaveforms{j,1}(1)=[]; %pefinisian diatas diilangin j=j+1; subwaveforms{j,1}(1,1)=nan; %cuma untuk pefinisian lagi subwaveforms{j,1}=[]; %pefinisian diatas diilangin lagi %note: karena ga bisa diilangin, file subwaveforms yang berbentuk cell %array mempunyai 'buntut' yang isinya ga ada. % di-arrange supaya dapetnya [t P] N = length(subwaveforms); for i=1:n-1 % tambahan supaya tidak error kalau2 si subwaveform ada di 'buntut' % yang bikin t nya jadi diatas 104 if max(subwaveforms{i,1})>length(t) subwaveforms{i,1}(subwaveforms{i,1}>length(t)) = []; subwaveforms2{i,1} = t(subwaveforms{i,1}); subwaveforms2{i,2} = p(subwaveforms{i,1}); if (i >= 3) break % lieur ah, silakan ditelusuri aja kenapa % of function function S = hitung_s(p,n) d2=0; d2i=0; for i=1:n-2 d2=d2+(0.5*(p(i+2)-p(i)))^2; d2i=d2i+0.5*(p(i+2)-p(i)); S = sqrt( ((N-2)*d2 - d2i^2)/((n-2)*(n-3))); function S1 = hitung_s1(p,n)

99 87 Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold (lanjutan) d1=0; d1i=0; for i=1:n-1 d1=d1+(p(i+1)-p(i))^2; d1i=d1i+(p(i+1)-p(i)); S1 = sqrt( ((N-1)*d1 - d1i^2)/((n-1)*(n-2))); function dt = retracker_subwaveform(t,p,th_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1:n).^4)) / (sum(p(1:n).^2)) ); % Thermal noise pn = 1/5*sum(p(1:5)); % Threshold Level Tl = pn + th_value*(a-pn); % mencari power of retracked gate k = min(find(p>=tl)); %--> nomor gate yang pertama kali melewati threshold if k ==1 k = k+1; % buat kasus mahiwal gk = k; gk_1 = k-1; tlep = (t(1)-1)+gk_1 + ((Tl - p(k-1))/(p(k)-p(k-1))); %power dari retracked gate dt = (tlep ) * ;

100 Lampiran 10. Penomoran jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat 88

101 Lampiran 10. Penomoran jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat (lanjutan...) 89

102 90 Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit Misi Tahun/Instansi Tujuan Skylab 1973/NASA Pembuktian pertama kali konsep pengukuran altimetri dari satelit GEOS /NASA Mengumpulkan data untuk meningkatkan kualitas parameter geodetik dan geofisik yang diperoleh sebelumnya Seasat 1978/NASA Didesain untuk memberikan data ukuran dari tinggi gelombang, topografi lautan global, dan geoid lautan. Geosat /US Navy Satelit oseanografik militer yang didesain untuk pemetaan presisi dan detail dari geoid di wilayah lautan ERS /ESA Didesain untuk analisa muka laut rata-rata dan geoid lautan TOPEX/POSEIDON /NASA dan CNES Eksperimen topografi lautan untuk mengukur dan memetakan muka laut pada dua frekuensi 5.3 dan 13.6 GHz, untuk meningkatkan pengetahuan tentang sirkulasi lautan berskala luas dan mengamati kejadian El-nino pada tahun Geosat Follow on / US Navy Untuk memberikan data topografi laut secara kontinu kepada Angkatan Laut Amerika dan pengguna komersial NOAA untuk berbagai keperluan Jason sekarang/NASA dan CNES Memperluas informasi mengenai topografi laut, memahami arus global, dan mengubah peramalan kejadian cuaca Envisat 2002-sekarang Mengamati perubahan lingkungan dan perubahan cuaca Jason sekarang/NASA dan CNES Memiliki misi sama dengan Jason-1

103 91 Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit (lanjutan..) Misi Tahun/Instansi Tujuan Cryosat 2009-sekarang/ESA Memperolah pengukuran akurat terhadap ketebalan laut es sehingga dapat dideteksi secara tahunan dan melakukan survei permukaan lembaran es dengan akurasi yang cukup untuk dapat meteksi perubahan kecil SARAL 2009-sekarang/ISRO dan CNES Mengukur topografi permukaan laut, kecepatan angin permukaan, tinggi gelombang permukaan, berkontribusi terhadap sistem ARGOS secara kontinu untuk menyimpan dan distribusi data lingkungan HY ??/Cina Memonitor dinamika lingkungan laut untuk meteksi kecepatan angin permukaan, tinggi permukaan laut, dan suhu permukaan laut Sentinel sekarang/ESA Mengukur topografi permukaan laut, mengukur suhu permukaan laut dan daratan, mukung peramalan sistem kelautan, dan memonitor lingkungan iklim Lampiran 12. Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022

104 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1990 dari ayah I Made Suma dan ibu Ni Wayan Numasi Nuryanti. Penulis adalah putra kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada Tahun Pada tahun tersebut penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Oseanografi Umum pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012. Penulis terpilih menjadi Koordinator Asisten Praktikum Oseanografi Umum pada Tahun Penulis pernah berpartisipasi pada penelitian Tinggi Muka Laut Se-Asia Tenggara beserta Workshop dan Training RESELECASEA yang diadakan insitusi Badan Informasi Geospasial (BIG) selama bulan Juni 2012 sampai bulan November Penulis bersama dengan team membuat paper berjudul An Initial Retracking of Satelit Altimetry in Indonesia Coastal Water dan disajikan pada Workshop RESELECASEA. Penulis juga aktif sebagai anggota Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB selama tahun Pada tahun 2010, penulis terpilih menjadi ketua KMHD IPB periode Peneliti juga mapatkan beasiswa Bank Indonesia selama tahun 2011 dan 2012.

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1) BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri Pengukuran pada satelit altimetri adalah pengukuran jarak dari altimeter satelit ke permukaan laut. Pengukuran jarak dilakukan dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Konsep Dasar Satelit Altimetri Satelit altimetri adalah wahana untuk mengukur ketinggian suatu titik terhadap referensi tertentu. Satelit altimetri terdiri atas tiga komponen utama

Lebih terperinci

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON-2 PADA PESISIR SELATAN JAWA TENGAH DAN JAWA BARAT DANU ADRIAN

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON-2 PADA PESISIR SELATAN JAWA TENGAH DAN JAWA BARAT DANU ADRIAN WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON-2 PADA PESISIR SELATAN JAWA TENGAH DAN JAWA BARAT DANU ADRIAN DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Pengumpulan Data Sebagaimana tercantum dalam diagram alir penelitian (Gambar 1.4), penelitian ini menggunakan data waveform Jason-2 sebagai data pokok dan citra Google Earth Pulau

Lebih terperinci

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 TAHUN 2012 DI PESISIR PULAU MENTAWAI, SUMATERA BARAT MEILANI PAMUNGKAS

WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 TAHUN 2012 DI PESISIR PULAU MENTAWAI, SUMATERA BARAT MEILANI PAMUNGKAS WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 TAHUN 2012 DI PESISIR PULAU MENTAWAI, SUMATERA BARAT MEILANI PAMUNGKAS DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM

ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan luas lautan yang sangat besar, sehingga dibutuhkan informasi kelautan yang baik dan lengkap, diantaranya ketinggian muka

Lebih terperinci

BAB 3 DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB 3 DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB 3 DATA DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pemilihan Lokasi Penelitian Pulau Jawa adalah Pulau dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Pulau yang terletak di 02 00 LS 07 00 LS dan 105 00 BT 120 00 BT ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit altimetri merupakan satelit yang berfungsi untuk mengamati topografi dan dinamika permukaan laut. Sistem satelit ini terdiri dari radar altimeter yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan massa air yang menutupi sebagian besar dari permukaan Bumi dan memiliki karakteristik fisik yang bersifat dinamis. Karakteristik fisik laut yang bersifat

Lebih terperinci

B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

B 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit altimetri adalah sebuah teknologi dalam bidang geodesi satelit dengan manfaat yang cukup besar dalam pemantauan muka laut global dalam jangka waktu panjang.

Lebih terperinci

SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY

SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY SEA SURFACE VARIABILITY OF INDONESIAN SEAS FROM SATELLITE ALTIMETRY Eko Yuli Handoko 1) & K. Saha Aswina 1) 1) Teknik Geomatika, FTSP-ITS Abstract Indonesia, which is an archipelago, has nearly 17,000

Lebih terperinci

PENINGKATAN AKURASI ESTIMASI TINGGI PARAS LAUT MELALUI ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA

PENINGKATAN AKURASI ESTIMASI TINGGI PARAS LAUT MELALUI ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 2, Hlm. 771-790, Desember 2015 PENINGKATAN AKURASI ESTIMASI TINGGI PARAS LAUT MELALUI ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA ACCURACY

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Perubahan vertikal muka air laut secara periodik pada sembarang tempat di pesisir atau di lautan merupakan fenomena alam yang dapat dikuantifikasi. Fenomena tersebut

Lebih terperinci

BAB II SATELIT ALTIMETRI

BAB II SATELIT ALTIMETRI BAB II SATELIT ALTIMETRI Teknologi satelit altimetri merupakan salah satu teknologi penginderaan jauh yang digunakan untuk mengamati dinamika topografi permukaan laut yang tereferensi terhadap suatu bidang

Lebih terperinci

SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN

SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN Eko Yuli Handoko Program Studi Teknik Geodesi, FTSP-ITS ekoyh@geodesy.its.ac.id Abstrak Satelit altimetri merupakan suatu teknologi penginderaan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS 4.1 Penentapan Kriteria Data Topex/ Poseidon Data pengamatan satelit altimetri bersumber dari basis data RADS (Radar Altimeter Database System). Data altimetri yang

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) Analisa Hubungan Perubahan Muka Air Laut dan Perubahan Volume Es di Kutub Selatan dengan Menggunakan Satelit Altimetri (Studi Kasus: Laut Selatan Pulau Jawa Tahun 2011-2014) A395 Luqman Hakim dan Ira Mutiara

Lebih terperinci

BAB 4 IDENTIFIKASI DAN ANALISIS WAVEFORM TERKONTAMINASI

BAB 4 IDENTIFIKASI DAN ANALISIS WAVEFORM TERKONTAMINASI BAB 4 IDETIFIKASI DA AALISIS WAVEFORM TERKOTAMIASI 4.1 Hasil Identifikasi Pada bab ini akan disajikan hasil-hasil pengolahan data yang telah dilakukan dalam bentuk tabel. Data-data tersebut dibagi ke dalam

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS KARAKTERISTIK FISIS WAVEFORM SATELIT ALTIMETRI STUDI KASUS: PESISIR PULAU JAWA

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS KARAKTERISTIK FISIS WAVEFORM SATELIT ALTIMETRI STUDI KASUS: PESISIR PULAU JAWA IDENTIFIKASI DAN ANALISIS KARAKTERISTIK FISIS WAVEFORM SATELIT ALTIMETRI STUDI KASUS: PESISIR PULAU JAWA TUGAS AKHIR Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA

Lebih terperinci

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 Lukman Raharjanto 3508100050 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA,DESS JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip APRIL 2015

Jurnal Geodesi Undip APRIL 2015 APLIKASI SATELIT ALTIMETRI DALAM PENENTUAN SEA SURFACE TOPOGRAPHY (SST) MENGGUNAKAN DATA JASON-2 PERIODE 2011 (STUDI KASUS : LAUT UTARA JAWA) Alvian Danu Wicaksono, Bambang Darmo Yuwono, Yudo Prasetyo

Lebih terperinci

Bab IV Pengolahan Data dan Analisis

Bab IV Pengolahan Data dan Analisis Bab IV Pengolahan Data dan Analisis Kualitas data yang dihasilkan dari suatu pengukuran sangat tergantung pada tingkat kesuksesan pereduksian dan pengeliminasian dari kesalahan dan bias yang mengkontaminasi

Lebih terperinci

ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU JAWA PERIODE

ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU JAWA PERIODE ISSN:2089 0133 Indonesian Journal of Applied Physics (2012) Vol.2 No.7 halaman 73 April 2012 ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Negara Republik Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki laut yang lebih luas daripada daratan, untuk itu pengetahuan mengenai kelautan menjadi sangat penting

Lebih terperinci

STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA)

STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA) STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA) STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode (Studi Kasus : Perairan Indonesia)

Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode (Studi Kasus : Perairan Indonesia) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (2013) ISSN: XXXX-XXXX (XXXX-XXXX Print) 1 Studi Analisa Pergerakan Arus Laut Permukaan Dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode 2009-2012 (Studi Kasus

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL Kualitas hasil sebuah pengolahan data sangat bergantung pada kualitas data ukuran yang terlibat di dalam proses pengolahan data dan strategi dari pengolahan data itu sendiri.

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016 ANALISIS HARMONIK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK KUADRAT TERKECIL UNTUK PENENTUAN KOMPONEN-KOMPONEN PASUT DI WILAYAH LAUT SELATAN PULAU JAWA DARI SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON DAN JASON-1 Jaka Gumelar, Bandi

Lebih terperinci

STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK

STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK STUDI SEA LEVEL RISE (SLR) MENGGUNAKAN K. SAHA ASWINA D., EKO YULI HANDOKO, M. TAUFIK Program Studi Teknik Geomatika FTSP - ITS Sukolilo, Surabaya Email : sahaaswina@yahoo.com Abstrak Pemantauan dan pemahaman

Lebih terperinci

STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA)

STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA) STUDI ANALISA PERGERAKAN ARUS LAUT PERMUKAAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE 2009-2012 (STUDI KASUS : PERAIRAN INDONESIA) Dito Jelang Maulana 3509 100 039 Latar Belakang Negara

Lebih terperinci

Ira Mutiara Anjasmara 1, Lukman Hakim 1 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Ira Mutiara Anjasmara 1, Lukman Hakim 1 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Analisa Hubungan Perubahan Muka Air Laut, Perubahan Volume Es Di Kutub Selatan Dan Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Altimetri(Studi Kasus : Laut Selatan Pulau Jawa Tahun 2011-2014) Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada tahun 1973. Saat ini, satelit altimetri mempunyai

Lebih terperinci

PEMODELAN MUKA AIR LAUT RERATA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI ENVISAT

PEMODELAN MUKA AIR LAUT RERATA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI ENVISAT PEMODELAN MUKA AIR LAUT RERATA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI ENVISAT Herry Risdianto 1) 1) Program StudiTeknik Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Jl. Jend. Sudirman No. 629 KM.4 Palembang

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013 Analisis Sea Level Rise Menggunakan Data Satelit Altimetri Jason-2 Periode 2008-1012 (Studi Kasus: Laut Utara Jawa dan Laut Selatan Jawa) Yugi Limantara 1) Ir. Bambang Sudarsono, MS 2) Bandi Sasmito, ST.,

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2013. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Komputer Fakultas Perikanan dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014

PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014 PEMANFAATAN DATA MULTI SATELIT ALTIMETRI UNTUK KAJIAN KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN PULAU JAWA DARI TAHUN 1995 s.d 2014 Isna Uswatun Khasanah 1*, Leni S. Heliani 2 dan Abdul Basith 2 1 Mahasiswa Pascasarjana

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu

Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas No. 2 Vol. 4 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Juni 2018 Analisis Karakteristik Gelombang di Perairan Pulau Enggano, Bengkulu AKBAR HADIRAKSA USMAYA, YATI

Lebih terperinci

Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri

Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri Kajian Kenaikan Muka Air Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng Yogyakarta berdasarkan Data Multi Satelit Altimetri The Study of Sea Level Rise on Coastal Fishing Port Sadeng Yogyakarta based on Multi

Lebih terperinci

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 STUDI PASANG SURUT DI PERAIRAN INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 Lukman Raharjanto 1, Bangun Muljo Sukojo 1 Jurusan Teknik Geomatika ITS-Sukolilo, Surabaya 60111 (bangunms@gmail.com

Lebih terperinci

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com)

Gambar 1. Pola sirkulasi arus global. (www.namce8081.wordpress.com) Arus Geostropik Peristiwa air yang mulai bergerak akibat gradien tekanan, maka pada saat itu pula gaya coriolis mulai bekerja. Pada saat pembelokan mencapai 90 derajat, maka arah gerak partikel akan sejajar

Lebih terperinci

TEORI DASAR. variasi medan gravitasi akibat variasi rapat massa batuan di bawah. eksplorasi mineral dan lainnya (Kearey dkk., 2002).

TEORI DASAR. variasi medan gravitasi akibat variasi rapat massa batuan di bawah. eksplorasi mineral dan lainnya (Kearey dkk., 2002). III. TEORI DASAR 3.1. Metode Gayaberat Metode gayaberat adalah salah satu metode geofisika yang didasarkan pada pengukuran medan gravitasi. Pengukuran ini dapat dilakukan di permukaan bumi, di kapal maupun

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1

PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 PEMODELAN POLA ARUS LAUT PERMUKAAN DI PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 RAHMA WIDYASTUTI(3506 100 005) TEKNIK GEOMATIKA ITS - SURABAYA Pembimbing : Eko Yuli Handoko,ST.MT Ir.

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI WAVEFORM DATA SATELIT ALTIMETER PADA PERAIRAN PESISIR DAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA

IDENTIFIKASI WAVEFORM DATA SATELIT ALTIMETER PADA PERAIRAN PESISIR DAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 6, No. 2, Hlm. 445-459, Desember 2014 IDENTIFIKASI WAVEFORM DATA SATELIT ALTIMETER PADA PERAIRAN PESISIR DAN LAUT DALAM DI PERAIRAN SELATAN JAWA WAVEFORM

Lebih terperinci

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment). BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment). Satelit GRACE (Gravity Recovery And Climate Experiment), adalah sistem satelit gravimetri hasil

Lebih terperinci

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur

STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur Abstrak KMA (Korean Meteorology Administrator) sudah menghasilkan SST dari geostasioner dan data

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut

Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut Bab III Satelit Altimetri dan Pemodelan Pasut III.1 Satelit Altimetri Sebelum adanya satelit altimetri, stasiun pasut (tide gauge) merupakan sumber data utama untuk memperoleh nilai pasut. Pengukuran yang

Lebih terperinci

PENENTUAN ARUS PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT NOAA DAN METODE MAXIMUM CROSS CORRELATION

PENENTUAN ARUS PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT NOAA DAN METODE MAXIMUM CROSS CORRELATION PENENTUAN ARUS PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT NOAA DAN METODE MAXIMUM CROSS CORRELATION Tugas Akhir Disusun untuk memenuhi syarat kurikuler untuk memperoleh gelar sarjana dari Program Studi Oseanografi

Lebih terperinci

BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT

BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT BAB II TEKNOLOGI SATELIT ALTIMETRI DAN PASUT LAUT Satelit altimetri merupakan salah satu metode penginderaan jauh yang misi utamanya adalah mengukur jarak vertikal muka air laut terhadap bidang referensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 buah pulau (Kahar, dkk., 1994). Indonesia setidaknya memiliki lima buah pulau besar yaitu Pulau

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan berada pada 6 o LU hingga 11 o LS serta pada 95 o BT hingga 141 o BT. Berdasarkan data dari Badan Informasi

Lebih terperinci

Journal of Dynamics 1(1) (2016) Journal of Dynamics. e-issn:

Journal of Dynamics 1(1) (2016) Journal of Dynamics. e-issn: Journal of Dynamics 1(1) (2016) 31-40 Journal of Dynamics e-issn: 2502-0692 http://ejournal.kopertis10.or.id/index.php/dynamics/ Visualization of West Sumatra Ocean Surface Based on Topex/Poseidon, Jason-1

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS BAB III PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS 3.1 Penentuan Model Geoid Lokal Delta Mahakam Untuk wilayah Delta Mahakam metode penentuan undulasi geoid yang sesuai adalah metode kombinasi

Lebih terperinci

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004 R. Bambang Adhitya Nugraha 1, Heron Surbakti 2 1 Pusat Riset Teknologi Kelautan-Badan (PRTK), Badan Riset Kelautan

Lebih terperinci

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 24 BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Metode dan Desain Penelitian Data variasi medan gravitasi merupakan data hasil pengukuran di lapangan yang telah dilakukan oleh tim geofisika eksplorasi Pusat Penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA Briliana Hendra P, Bangun Muljo Sukojo, Lalu Muhamad Jaelani Teknik Geomatika-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia Email : gm0704@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) G153 Evaluasi Pengukuran Angin dan Arus Laut Pada Data Sentinel-1, Data Bmkg, dan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) Fristama Abrianto, Lalu Muhamad Jaelani Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU JAWA PERIODE

ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU JAWA PERIODE ANALISA SEA LEVEL RISE DARI DATA SATELIT ALTIMETRI TOPEX/POSEIDON, JASON-1 DAN JASON-2 DI PERAIRAN LAUT PULAU JAWA PERIODE 2000 2010 Disusun Oleh: HASTHO WURIATMO M0206041 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sirkulasi Monsun di Indonesia Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki karakteristik yang unik, yaitu terletak di antara benua Australia dan Asia dan dua samudera, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode dan Desain Penelitian Data geomagnet yang dihasilkan dari proses akusisi data di lapangan merupakan data magnetik bumi yang dipengaruhi oleh banyak hal. Setidaknya

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

ANALISA FENOMENA SEA LEVEL RISE PADA PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE TAHUN

ANALISA FENOMENA SEA LEVEL RISE PADA PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE TAHUN SIDANG TUGAS AKHIR ANALISA FENOMENA SEA LEVEL RISE PADA PERAIRAN INDONESIA MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 PERIODE TAHUN 2009-2012 NUR RAHMAN HARIS ALFIAN NRP 3509 100 021 TEKNIK GEOMATIKA FTSP-ITS

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL

PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL PENENTUAN KOMPONEN KOMPONEN PASANG SURUT DARI DATA SATELIT JASON DENGAN ANALISIS HARMONIK METODE KUADRAT TERKECIL Bernadet Srimurniati Ningsih, Ir.Sutomo Kahar,M.Si *, LM Sabri, ST., M.T * Program Studi

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016 ANALISIS SEA LEVEL RISE DAN KOMPONEN PASANG SURUT DENGAN MENGGUNAKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 Yosevel Lyhardo Sidabutar, Bandi Sasmito, Fauzi Janu Amarrohman *) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Gambaran ellipsoid, geoid dan permukaan topografi.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Gambaran ellipsoid, geoid dan permukaan topografi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Geodesi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk dan ukuran bumi, termasuk penentuan medan gaya berat bumi beserta variasi temporalnya. Salah satu representasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 22 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal 18-19 Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0.

PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0. TUGAS AKHIR - PG 1382 PEMODELAN TOPOGRAFI MUKA AIR LAUT (SEA SURFACE TOPOGRAPHY) PERAIRAN INDONESIA DARI DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-1 MENGGUNAKAN SOFTWARE BRAT 2.0.0 ARKADIA RHAMO NRP 3505 100 039 Dosen

Lebih terperinci

GPS (Global Positioning Sistem)

GPS (Global Positioning Sistem) Global Positioning Sistem atau yang biasa disebut dengan GPS adalah suatu sistem yang berguna untuk menentukan letak suatu lokasi di permukaan bumi dengan koordinat lintang dan bujur dengan bantuan penyelarasan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep) JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 EVALUASI PENGUKURAN ANGIN DAN ARUS LAUT PADA DATA SENTINEL-1, DATA BMKG, DAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Tenggara Sumenep)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Lokasi penelitian adalah Perairan Timur Laut Jawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Flores, meliputi batas-batas area dengan koordinat 2-9 LS dan 110-126

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN

PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang proses interpretasi salah satu citra NOAA untuk mengetahui informasi

Lebih terperinci

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6 No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-178 Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik Ahmad Fawaiz Safi, Danar Guruh Pratomo, dan Mokhamad

Lebih terperinci

KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2

KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2 Kenaikan Muka Air laut Perairan Sumatera Barat Berdasarkan Data Satelit Alrtimetri Jason-2... (Khasanah & Yenni) KENAIKAN MUKA AIR LAUT PERAIRAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DATA SATELIT ALTIMETRI JASON-2

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus 31/03/2015 8:34 Susunan Lapisan Bumi Inside eartth Datum geodetik atau referensi permukaan atau georeferensi adalah parameter sebagai acuan untuk mendefinisikan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO Bangun Muljo Sukojo 1, Iva Ayu Rinjani 1 1 Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail: 1 bangun_ms@geodesy.its.ac.id Abstrak Pengaruh fenomena El Nino

Lebih terperinci

MODUL PELATIHAN PEMBANGUNAN INDEKS KERENTANAN PANTAI

MODUL PELATIHAN PEMBANGUNAN INDEKS KERENTANAN PANTAI MODUL PELATIHAN PEMBANGUNAN INDEKS KERENTANAN PANTAI Modul Pengolahan Data Rata-rata Tunggang Pasut Disusun oleh : Asyari Adisaputra 2010 Pendahuluan Pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan

Lebih terperinci