PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI"

Transkripsi

1 PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan Pendidikan Tahap Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang Disusun oleh: Ratri Cahyaningtyas H2A FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2017 i

2 ii

3 iii

4 Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : Ratri Cahyaningtyas NIM : H2A HALAMAN PERNYATAAN Menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut telah diberi tanda sitasi dan dituliskan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut. Semarang, 17 Februari 2017 Yang membuat pernyataan Ratri Cahyaningtyas iv

5 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan Pendidikan Tahap Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. Skripsi ini berjudul Perbedaan Kualitas Hidup Antara Penderita Hipertropi Konka Inferior Pra dan Pasca Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi. Dengan selesainya skripsi ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar, meningkatkan ilmu pengetahuan di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. 2. Prof. Dr. dr. Rifki Muslim, Sp.B., Sp.U, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Universitas Muhammadiyah Semarang 3. dr. Merry Tiyas Anggraini M.Kes, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. 4. dr. Wahyu Budi M, SpTHT-KL, Msi, Med, selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berarti bagi penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. dr. Arum Kartikadewi, selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berarti bagi penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 6. dr. Sukamta Yudi, SpTHT-KL, selaku penguji yang telah telah meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan saran yang membuat skripsi ini menjadi lebih baik. v

6 7. Seluruh dosen dan staf karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang yang telah memberikan bekal ilmu selama perkuliahan. 8. Kedua orang tua serta adik saya yang telah memberi banyak dukungan dan senantiasa mendoakan serta memotivasi agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.. 9. Teman sejawat angkatan 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang, yang telah memberikan dukungan moril dan perhatiannya kepada penulis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan dorongan, doa dan semangat hingga selesainya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya. Semarang, Februari 2017 Penulis, Ratri Cahyaningtyas vi

7 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii HALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR SINGKATAN... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv ABSTRAK... xv ABSTRACT... xvi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 3 C. Tujuan Penelitian Tujuan umum Tujuan khusus... 3 D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat Praktis... 3 E. Keaslian Penelitian... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5 A. Anatomi dan Histologi Hidung... 5 B. Hipertropi Konka Inferior Definisi Etiologi Patogenesis... 7 vii

8 4. Patofisiologi Manifestasi Klinik Diagnosis Penatalaksanaan C. Reduksi Konka Radiofrekuensi Definisi Indikasi dan Kontraindikasi Cara Kerja Komplikasi Pasca Operasi D. Kualitas Hidup Definisi Ruang Lingkup Kualitas Hidup Pengukuran Kualitas Hidup Hal yang Berpengaruh pada Kualitas Hidup E. Kerangka Teori F. Kerangka Konsep G. Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang Lingkup Keilmuan Ruang Lingkup Waktu dan Tempat B. Jenis Penelitian C. Populasi dan Sampel Populasi Sampel D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Penelitian Definisi Operasional Variabel E. Pengumpulan Data Jenis Data Teknik Pengumpulan Data viii

9 F. Alur Penelitian G. Pengolahan Data dan Analisis Data Pengolahan Data Analisis Data H. Jadwal Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian Analisis Univariat Analisis Bivariat B. Pembahasan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

10 DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Daftar Penelitian Terdahulu 4 Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel 24 Tabel 3.2 Contoh Coding dengan Bantuan Program Komputer 27 Tabel 3.3 Jadwal Pelaksanaan Penelitian 29 Tabel 4.1 Karakteristik Distribusi Frekuensi Sampel 31 Tabel 4.2 Deskripsi Total Skor Kualitas Hidup Pra dan Pasca Operasi 34 Tabel 4.3 Deskripsi dan Frekuensi Skor Masing-Masing Gejala Pra Operasi 35 Tabel 4.4 Deskripsi dan Frekuensi Skor Masing-Masing Gejala Pasca Operasi 37 Tabel 4.5 Perbedaan Total Skor Pra dan Pasca Operasi 41 Hal x

11 DAFTAR GAMBAR DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung 5 Gambar 2.2 Kerangka Teori 20 Gambar 2.3 Kerangka Konsep 21 Gambar 3.1 Alur Penelitian 26 Gambar 4.1 Karakteristik Umur Responden 32 Gambar 4.2 Karakteristik Jenis Kelamin Responden 32 Gambar 4.3 Karakteristik Pekerjaan Responden 33 Gambar 4.4 Karakteristik Riwayat Rhinitis Alergi Responden 33 Gambar 4.5 Karakteristik Riwayat Rhinitis Vasomotor Responden 34 Gambar 4.6 Grafik Rerata Skor Gejala Hidung dan Tenggorokan 38 Gambar 4.7 Grafik Rerata Skor Gejala Kepala, Telinga, Wajah 39 Gambar 4.8 Grafik Rerata Skor Gejala Tidur 39 Gambar 4.9 Grafik Rerata Skor Gejala Aktivitas 40 Gambar 4.10 Grafik Rerata Skor Gejala Psikologis 40 Hal xi

12 DAFTAR SINGKATAN DEPKES RI = Departemen Kesehatan Republik Indonesia Klinik THT = Klinik Telinga Hidung Tenggorokan RSUD Tugurejo = Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo MRI = magnetic resonance imaging CT-scan = computerized tomography scanner QoL = Quality of Life SNOT-22 = sinonasal outcome test-22 NOSE = nasal obstruction symptom evaluation BRITR = bilateral frequenvy inferior turbinate VAS = visual analog scale RAFC = Reaksi Alergi Fase Cepat RAFL = Reaksi Alergi Fase Lambat APC = antigen presenting cell HLA = human lupus antibody MHC = major histocompatibility complex Th = T helper IL = interleukin Ig E = immunoglobulin E PGD2 = prostaglandin D2 LTC4 = leukotrien C4 LTD4 = leukotrien D4 GM-CSF = granulocyte macrophage colony stimulating factor PAF = platelet activating factor ICAM 1 = inter cellular adhesion molecule 1 H1 = histamin 1 PNIF = peak nasal inspiratory flow CPAP = continuous positive airway pressure WHO = world health organization xii

13 MOS SF-36 MCID BSEF FESS RFVTR MCT = medical outcome study = 36-item short-form health survey = minimal clinically important difference = bedah sinus endoskopi fungsional = functional endoscopic sinus surgery = radiofrequency volumetric tissue reduction = mucociliary transport time xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Informed consent Subjek Penelitian 54 Lampiran 2. Data Rekam Medik Subjek Penelitian 56 Lampiran 3. Lembar Kuesioner Penelitian 60 Lampiran 4. Surat Jawaban Ijin Penelitian 61 Lampiran 5. Analisis Data 62 Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian 77 Hal xiv

15 PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI ABSTRAK Ratri Cahyaningtyas 1, Wahyu Budi M 2, Arum Kartikadewi 3 Latar Belakang: Hipertropi konka inferior masih merupakan masalah kesehatan di bidang THT karena akan menurunkan kualitas hidup bagi penderitanya. Salah satu upaya penanganan hipertropi konka inferior yaitu operasi reduksi konka radiofrekuensi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan kualitas hdiup penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan penelitian deskriptif analitik retrospektif dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dianalisis dengan uji t- berpasangan. Derajat signifikan yang digunakan adalah p<0,10 dengan interval kepercayaan 90%. Jumlah sampel 31 pasien yang diperoleh dengan teknik total sampling. Penilaian kualitas hidup secara subjektif diukur dengan menggunakan parameter kuesioner sinonasal outcome test- 22 (SNOT-22). Hasil: Dari 31 sampel penelitian didapatkan bahwa sampel terbanyak berada di kelompok usia tahun dan tahun. Sebagian besar penderita hipertropi konka inferior adalah karyawan. Sebesar 35,5% pasien mempunyai riwayat penyakit terdahulu yaitu rhinitis alergi. Rerata nilai total skor SNOT-22 pra operasi adalah 60,35 (SD 7,264) dan rerata nilai total skor pasca operasi adalah 10,19 (SD 3,103 ). Menurut parameter kuesioner SNOT-22, didapatkan perbedaan yang signifikan antara total skor kualitas hidup penderita pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi dengan nilai p<0,0001 (p-value<0,05). Kesimpulan: Operasi reduksi konka metode radiofrekuensi terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior. Kata kunci: Hipertropi konka inferior, kuesioner SNOT-22, operasi reduksi konka metode radiofrekuensi Korespondensi: ratricahya11@gmail.com 1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. 2 Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. 3 Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. xv

16 THE DIFFERENCES QUALITY OF LIFE BETWEEN INFERIOR CONCHA HYPERTHROPHY PATIENTS BEFORE AND AFTER RADIOFREQUENSY METHOD CONCHA REDUCTION SURGERY ABSTRACT Ratri Cahyaningtyas 1, Wahyu Budi M 2, Arum Kartikadewi 3 Background: Inferior concha hypertrophy remains a health problem of ENT field because it will decrease quality of life. One of the inferior concha hypertrophy treatment is radiofrequency concha reduction. The purpose of this research was to analyze the differences in quality of life of inferior concha hypertrophy patients before and after radiofrequency method concha reduction surgery. Methods: This research was the retrospective descriptive analytic design with cross-sectional approach. This research was analized by paired t-test. The significant degree was p <0.10 with 90% confidence intervals. Total sample was 31 patients obtained from total sampling technique. Subjective rate quality of life was measured using a sinonasal outcome test-22 (SNOT -22) questionnaire parameters. Results: From 31 samples showed that most samples were in the age group of years and years. Most inferior concha hypertrophy patients were an employee. 35,5% of patients has past rhinitis allergic history. The mean total score SNOT-22 preoperative was (SD 7,264) and the mean postoperative total score was (SD 3,103 ). According to the SNOT-22 questionnaire parameter, there were significant differences between the total score of quality of life before and after radiofrequency method concha reduction surgery with p <0.0001(p-value <0.05). Conclusions: Radiofrequency method concha reduction surgery is proven to improve the quality of life in inferior concha hypertrophy patients. Keywords: inferior concha hypertrophy, SNOT-22 questionnaire, radiofrequency method concha reduction surgery Corespondensy: ratricahya11@gmail.com 1 Undergraduate Student of Medical Faculty Muhammadiyah University of Semarang. 2 Lecturer of Medical Faculty Muhammadiyah University of Semarang. 3 Lecturer of Medical Faculty Muhammadiyah University of Semarang. xvi

17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konka nasalis merupakan salah satu struktur terpenting yang berperan dalam sistem fisiologi hidung seperti pada proses penyaringan, pemanasan dan humidifikasi udara yang terinspirasi. 1 Terdapat dua faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap keadaan dari membran mukosa konka yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang berpengaruh yaitu adanya kelainan anatomik seperti deviasi septum, alergi dan gangguan vasomotor. 1,2 Faktor eksogen yang berpengaruh yaitu suhu udara, polusi, kelembapan udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang dan iritasi. 3 Mukosa konka yang sering terpapar oleh stimulus eksogen dan endogen akan menyebabkan kondisi patologis yaitu hipertropi dan atropi. Istilah hipertropi konka pertama kali diperkenalkan pada tahun 1800 yang diartikan sebagai pembesaran mukosa hidung pada konka dan disebabkan karena bertambahnya ukuran sel mukosa konka. 4 Konka yang paling sering mengalami hipertropi adalah konka inferior. Alasannya karena konka inferior memiliki ukuran yang lebih besar bila dibandingkan dengan struktur konka lainnya. 5 Hipertropi konka inferior dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Hal ini dikarenakan adanya gejala lokal seperti sumbatan hidung kronik, sakit kepala, sekret banyak dan kental, gangguan tidur, serta gangguan penghidu, sehingga dapat menurunkan produktivitas dalam bekerja dan beraktivitas sehari-hari. 1,6,7 Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003, penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke 25 dari 50 penyakit yang sering ditemukan atau sekitar penderita rawat jalan. 8 Menurut suatu penelitian di Eropa, diketahui bahwa 20% dari penderita sumbatan hidung kronik disebabkan oleh hipertropi konka. 9 Di Klinik THT RSUD Tugurejo 17

18 jalan. 10 Terapi yang dapat diberikan pada penderita hipertrofi konka inferior adalah terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung dengan pemberian medikamentosa namun apabila terapi ini mengalami kegagalan maka dapat dilakukan terapi operatif berupa reduksi konka radiofrekuensi. 4,11 Reduksi konka radiofrekuensi merupakan salah satu dari tindakan turboplasti yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan mukosa konka. 12 Keunggulan dari terapi operatif ini adalah tidak menyayat mukosa, panas yang dihasilkan berkisar antara C serta dapat dilakukan dalam anastesi lokal. Efektivitas dari terapi operatif ini dapat dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan radiologis dan didapatkan bahwa angka keberhasilan dalam mengurangi volume hipertropi konka pasca operasi sebesar 8,7% dengan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan 25% dengan pemeriksaan (CTscan). 13 Kualitas hidup ( Quality of Life, QoL) merupakan suatu konsep Semarang pada bulan Januari-Desember 2015, proporsi penderita hipertropi konka inferior sebesar 5,9% atau sekitar 166 penderita rawat yang memuat karakteristik fisik dan psikologi secara luas untuk menggambarkan kemampuan individu dalam berperan di lingkungan dan memperoleh kepuasan dari suatu hal yang dilakukan. 14 Penilaian QoL ini dipengaruhi oleh keadaan fisik, mental, sosial dan emosional dari seseorang. Kini penilaian QoL dianggap penting dalam uji klinik untuk mengetahui efektivitas terapi dari penyakit kronik seperti hipertropi konka inferior. 15 Penelitian mengenai kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi belum banyak dilakukan. Hal ini mengingat bahwa belum ada kuesioner yang spesifik untuk menilai kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior. Pada penelitian ini akan dilakukan penilaian kualitas hidup secara subjektif dengan menggunakan parameter kuesioner sinonasal outcome 18

19 test-22 (SNOT-22). 16 Hal ini dikarenakan SNOT-22 tersebut merupakan kuesioner yang responsif dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup dari pasien pasca operasi sinus dan hidung. 17,18 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, permasalahan yang diajukan pada penelitian ini adalah bagaimakah perbedaan kualitas hidup penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan perbedaan kualitas hidup antara penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui presentasi penderita hipertropi konka inferior di RSUD Tugurejo Semarang. b. Menganalisis kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. c. Menganalisis kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. d. Membuktikan perbedaan kualitas hidup penderita antara hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan informasi kepada pembaca mengenai perbedaan kualitas hidup penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. 2. Manfaat Praktis 19

20 a. Memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran dan dapat dijadikan sebagai landasan teori bagi penelitian lain yang mengangkat tema serupa. b. Memberikan informasi kepada tenaga kesehatan mengenai pentingnya evaluasi penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi melalui penilaian kualitas hidup secara subjektif. c. Menambah pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai efektivitas dan manfaat tindakan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi dalam meningkatkan kualitas hidup penderita hipertropi konka inferior. 20

21 E. Keaslian Penelitian Tabel 1.1 Daftar Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil 1. Willard CH et al, Radiofrequency turbinate reduction: A NOSE evaluation Intervensi Terdapat peningkatan yang signifikan untuk NOSE setelah 6 bulan setelah BRITR (p=0,001) dan BRITR dengan septoplasty kelompok (p=0,023). Tidak ada perbedaan statistik yang berarti pasca operasi antara kedua kelompok perlakuan (p=0,304) dan tidak menunjukkan efek klinis yang besar. 2. Satish, HS and Sreedhar, KT, Septoplasty outcomes using SNOT-22 questionnaire study Cohort prospective 60 pasien (86% dari jumlah pasien) yang memiliki gejala ringan sampai sedang (dengan skor SNOT-22 <40 poin) dan juga pasien berusia < 30 tahun menunjukkan banyak perbaikan pasca operasi septoplasti. 3. Poirrier AL et al, Is the sino-nasal outcome test-22 a suitable evaluation for septorhinoplasty Cohort prospective SNOT-22 merupakan parameter kuesioner yang responsif dalam menilai kualitas hidup pasca operasi septorhinoplasty.hasil penilaian dengan SNOT-22 telah dikonfirmasi dengan penilaian dengan instrumen VAS 21

22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan yang dipisahkan oleh septum nasi pada bagian tengahnya sehingga akan menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi ini mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding lateral, medial, superior dan inferior. 21,22 Dinding lateral hidung mempunyai struktur-struktur penting yaitu konka nasalis, orifisium duktus lakrimal dan ostium sinus. 23 Konka nasalis terbagi atas empat struktur yaitu konka suprema, konka superior, konka media dan konka inferior. Konka suprema ini biasanya rudimenter. 22

23 bawah. 5 Konka nasalis mempunyai segmen yang terbagi atas 3 segmen Berdasarkan ukurannya konka inferior merupakan konka terbesar bila dibandingkan dengan ketiga struktur konka lainnya dan terletak paling yaitu segmen anterior atau head, segmen media atau body dan segmen posterior atau tail. 24 Konka suprema, superior dan media merupakan bagian dari labirin etmoid. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada labirin etmoid dan tulang maksila. Diantara tiap konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga kecil atau yang sering disebut sebagai meatus. Berdasarkan letaknya terdapat tiga macam meatus yaitu meatus superior, media dan inferior. Meatus superior merupakan muara dari sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis. Meatus media merupakan muara dari sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior, sedangkan meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimalis. 25 Konka berperan penting dalam sistem fisiologi hidung. Hal ini dikarenakan struktur konka terdiri atas lapisan mukosa pada bagian luar dan lapisan tulang pada bagian dalam. 4,5,26 Lapisan mukosa konka merupakan mukosa respiratory (mukosa pernapasan) yang tersusun atas epitel kolumnar pseudostratified bersilia yang mengandung sel goblet 10%. Epitel mukosa konka ini dipisahkan dari lamina propria oleh lamina basalis. 4,27 Bagian medial dari epitel mukosa konka lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian lateralnya, dikarenakan pada bagian tengah lebih sering terkena aliran udara. 24 Mukosa konka juga mengandung sedikit limfosit, sedikit arteri, kelenjar seromukus dan sinus venous pada dinding lateral konka. 6 Lapisan tulang konka tersusun atas tulang cancellous. 27 Bagian anterior lapisan tulangnya lebih tebal dari bagian posterior. Ketebalan lapisan tulang secara histologi rata-rata yaitu 1,2 mm. 28 B. Hipertrofi Konka Inferior 1. Definisi 23

24 Istilah hipertropi konka pertama kali diperkenalkan pada tahun 1800 yang diartikan sebagai pembesaran mukosa hidung pada konka. Hal ini berkaitan dengan bertambahnya ukuran sel mukosa konka. Hiperplasia konka berkaitan dengan bertambahnya jumlah sel mukosa konka. 4 Hipertropi konka dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Hipertropi konka unilateral berhubungan dengan deviasi kongenital atau deviasi septum kontralateral sebagai kompensasi untuk melindungi mukosa hidung dari pengeringan akibat aliran udara berlebih. 29 Hipertropi konka bilateral disebabkan oleh peradangan hidung sebagai akibat dari alergi dan non-alergi, pemicu lainnya adalah lingkungan (seperti debu dan tembakau) dan kehamilan. 7,27 2. Etiologi Terdapat dua faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap keadaan dari membran mukosa konka yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang berpengaruh yaitu adanya kelainan anatomik seperti deviasi septum, alergi dan gangguan vasomotor. 1,2 Faktor eksogen antara lain yaitu suhu udara, polusi, kelembapan udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang dan iritasi Patogenesis Penyebab umum dari terjadinya hipertropi konka inferior adalah infeksi berulang pada hidung dan sinus serta iritasi kronis mukosa hidung yang disebabkan oleh asap rokok dan bahan iritan industri. 3 Rhinitis alergi, rhinitis non alergi atau yang sering disebut sebagai rinitis vasomotor, dan penggunaan tetes hidung yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit hipertropi konka inferior. Kasus septum deviasi, pada sisi hidung kontralateral dapat terjadi hipertropi konka inferior dan media. Hal ini merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk memperkecil luasnya rongga hidung. 5,30 24

25 Rangsangan yang berlangsung berulang dan lama terhadap membran mukosa hidung akan mengakibatkan penebalan pada mukosa konka dan pelebaran pada pembuluh darah mukosa terutama pleksus kavernosus konka. Struktur lapisan epitel mukosa konka akan berubah menjadi kuboid bertingkat, silia menghilang dan jumlah sel goblet meningkat apabila hal tersebut dibiarkan dalam jangka waktu panjang. Lapisan submukosa akan terjadi edema, infiltrasi sel plasma, sel bulat dan fibroblas serta pleksus kavernosus konka mengalami pelebaran sementara otot polosnya mengalami atrofi Patofisiologi Hipertropi konka merupakan suatu istilah yang menunjukkan adanya perubahan mukosa hidung pada konka inferior. 4 Penyebabnya adalah peradangan kronik yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer dan sekunder. Penyebab non bakteri seperti sebagai lanjutan dari rhinitis alergi, rhinitis vasomotor dan kompensasi septum deviasi kontralateral juga dapat menyebabkan hipertropi konka inferior. 5,30 Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sudah tersensitasi alergen sebelumnya dan dimediasi oleh suatu mediator kimia ketika terjadi infeksi berulang dengan alergen tersebut. Perjalanan penyakit dari rhinitis alergi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan kemudian dilanjutkan dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Tahap provokasi atau reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak pertama dengan alergen hingga 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang terjadi selama 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah terpapar alergen (fase hiperreaktivitas) dan dapat terjadi selama jam. 31,32 Tahap sensitisasi terjadilah kontak pertama antara tubuh dengan alergen. Alergen yang terinspirasi bersama dengan udara pernapasan 25

26 Th2. 31,32 Sel Th2 akan memproduksi berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, akan terdeposit di permukaan mukosa hidung kemudian akan di fagosit oleh makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen antigen presenting cell (APC), selanjutnya di dalam endosom antigen diproses membentuk fragmen peptida yang berukuran pendek dan berikatan dengan molekul ( human lupus antibody) HLA kelas II membentuk kompleks major histocompatibility complex (MHC) kelas II yang dipresentasikan oleh sel T helper (Th0), kemudian sitokin akan dilepaskan oleh sel penyaji seperti interleukin 1 (IL -1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk melakukan proses proliferasi menjadi Th1 dan IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan mengaktifkan sel limfosit B dengan pengikatan oleh reseptor yang berada di permukaan sel limfosit B sehingga immunoglobulin E (IgE) dapat diproduksi. IgE yang terdapat pada sirkulasi darah akan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mediator (sel mastoid atau sel basofil) dan menjadikan kedua sel tersebut aktif. Proses ini menghasilkan sel mediator tersensitisasi yang terpapar oleh alergen yang sama sehingga disebut sebagai tahap sensitisasi. Hal ini berarti bahwa individu tersebut telah menjadi hipersensitif terhadap alergen tertentu. 31,32 Mukosa yang telah tersensitisasi tersebut apabila terpapar kembali oleh alergen yang sama, maka kedua rantai IgE tersebut akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi sel basofil dan mastosit. Hal ini mengakibatkan mediator kimia yang sudah terbentuk preformed mediators seperti histamin menjadi terlepas. Selain itu, terdapat pula newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrient C4 (LTC4), leukotrient D4 (LTD4), berbagai sitokinin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6), bradikinin, granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), platelet activating factor (PAF) dan lain sebagainya. Proses pelepasan histamin tersebut inilah yang kemudian disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC). 31,32 26

27 Histamin yang terlepas akan merangsang mukosa pada dinding lateral hidung (konka) dan terjadi pengeluaran inter cellular adhesion molecule 1 (ICAM 1) sehingga menyebabkan penebalan mukosa atau sering disebut sebagai hipertropi. Histamin juga akan merangsang reseptor histamin 1 (H1) yang terdapat pada ujung saraf vidianus sehingga menyebabkan munculnya gejala bersin dan sensasi rasa gatal (pruritus) pada hidung. Histamin juga menyebabkan hipersekresi dan peningkatan permeabilatas kapiler pada kelenjar mukosa dan sel goblet sehingga sekresi hidung (lendir) berlebihan atau disebut sebagai rhinorrhea. Akibat dari sekresi hidung yang berlebihan akan menimbulkan obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas akan mempengaruhi fungsi penghidu, menyebabkan lendir jatuh ke tenggorokan ( post nasal drip) dan kesulitan bernapas saat tidur sehingga akan menyebabkan gangguan pola tidur. Adanya lendir pada saluran napas dapat membawa alergen masuk kedalam tuba eustacius sehingga menyebabkan gangguan fungsi tuba. 31,32 Rhinitis vasomotor merupakan penyakit idiopatik yang bersifat non-alergi yang disebakan oleh karena kelainan neuro vaskuler pembuluh darah pada mukosa hidung. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya rhinitis vasomotor adalah faktor fisik, endokrin, psikis dan obat-obatan. Mukosa hidung yang terus terpapar oleh faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan adanya reaksi hipersensitivitas. 33 Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior menuju ganglion sphenopalatina kemudian membentuk n.vidianus yang akan menginervasi kapiler darah dan kelenjar eksokrin, apabila terdapat rangsangan maka akan terjadi pelepasan vasoaktif intestinal peptida dan ko-transmitter asetilkolin yang mengakibatkan dilatasi arteriola dan kapiler darah serta sekresi hidung berlebihan ( rhinorrhea) sehingga terjadi kongesti hidung. Rhinitis vasomotor juga bisa disebabkan oleh karena ketidakseimbangan dari 27

28 impuls sarat otonom di mukosa hidung yang mengakibatkan peningkatan aktivitas sistem parasimpatis Manifestasi Klinik Gejala utama dari hipertropi konka inferior adalah sumbatan hidung kronik, sekret hidung yang berlebihan, kental dan mukopurulen. Biasanya sekret hidung mukopurulen ditemukan didasar rongga hidung dan diantara konka inferior dan septum. Beberapa penderita hipertropi konka inferior juga mengeluhkan gangguan penghidu, adanya sakit kepala, kepala terasa berat, rasa kering pada faring, adanya post nasal drip, gangguan fungsi tuba dan penurunan produktivitas kerja. 1,6,7 Konka akan tampak membengkak dan berwarna merah pada tahap awal pemeriksaan, kemudian apabila sudah terdiagnosis terjadi hipertropi konka maka mukosa konka menebal dan apabila ditekan tidak melekuk. Hipertropi konka dapat terjadi sebagian ataupun seluruh bagian dari konka inferior. Hipertropi dapat pula terjadi pada konka media namun jarang. 6,28 6. Diagnosis Penderita hipertropi konka inferior dapat didiagnosis dengan cara melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi dan rhinomanometry. Anamnesis yang dilakukan haruslah cermat terutama untuk mengetahui adakah riwayat sumbatan hidung sebagai akibat dari hipertropi konka serta untuk mengetahui keluhan lainnya. 3,7 Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat menilai ukuran pembesaran konka dengan melihat septum nasi dan dinding lateral hidung. Obat vasokonstriktor lokal dapat diberikan bila diperlukan supaya memperluas jangkauan pandangnya. Pemeriksaan rinoskopi posterior dapat menilai batas pemisah antara konka kanan dan kiri serta ujung posterior konka media dan konka inferior. 5 28

29 Berdasarkan letaknya, ukuran pembesaran konka anterior terbagi atas tiga yaitu 1) pembesaran konka inferior mencapai garis yang terbentuk antara middle nasal fosa dengan lateral hidung, 2) pembesaran konka inferior melewati sebagian dari kavum nasi, dan 3) pembesaran konka inferior mencapai nasal septum. 34 Berdasarkan derajatnya, ukuran pembesaran konka terbagi atas empat yaitu 1) Normal, apabila konka inferior tidak ada kontak dengan septum atau dasar hidung, 2) Hipertropi ringan, apabila terjadi kontak dengan septum, 3) Hipertropi sedang, apabila terjadi kontak dengan septum dan dasar hidung, dan 4) Hipertropi berat apabila terjadi kontak dengan septum, dasar hidung dan kompartemen superior sehingga akan terjadi sumbatan hidung total. 30 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita hipertropi konka inferior yaitu pemeriksaan radiologi, rhinomanometry dan pemeriksaan peak nasal inspiratory flow ( PNIF). Pemeriksaan radiologi tidak harus dilakukan untuk menilai sumbatan hidung. Pemeriksaan rhinomanometry dan PNIF dapat gunakan untuk menentukan besarnya aliran udara dan tahanan dalam rongga hidung Penatalaksanaan a. Medikamentosa Penatalaksanaan dengan medikamentosa bertujuan untuk mengatasi faktor etiologi dan sumbatan hidung dengan cara memperkecil ukuran konka. 28 Sinus venosus akan mengalami pengisian pada kasus pembesaran konka akut. Pemberian dekongestan topikal dapat mengurangi pembesaran konka. Terapi medikamentosa lain yang dapat diberikan antara lain kortikosteroid, sel mast stabilizer, antihistamin, dan imunoterapi. 4,11 Pemberian dekongestan baik secara lokal maupun sistemik efektif dalam mengobati sumbatan hidung karena hipertropi konka, namun penggunaan dekongestan sistemik oral dapat menimbulkan efek samping berupa palpitasi dan kesulitan tidur. 35 Penggunaan 29

30 dekongestan topikal dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa ( rebound nasal congestion) dan takifilaksis. 11,35,36 Pemberian kortikosteroid juga efektif dalam mengobati sumbatan hidung, namun dapat menyebabkan terjadinya hidung berdarah, krusta dan mukosa hidung mengering. Kortikosteroid juga dapat mengurangi hiperresponsif saluran respirasi dan menekan terjadinya perdarahan tetapi proses mekanisme dan target seluler belum dapat diketahui. 11 b. Operatif Jaringan ikat telah terbentuk pada kasus kronik. Hal ini disebabkan oleh proses inflamasi kronik yang tidak dapat tertangani oleh terapi medikamentosa setelah 2 bulan pengobatan. Tindakan operatif atau pembedahan sangat dianjurkan apabila hal tersebut terjadi. 2,37 Teknik pembedahan reduksi konka secara garis besar terbagi atas dua kelompok yaitu turbinoplasty dan turbinectomy. Turbinopasty adalah teknik reduksi konka yang mempertahankan agar mukosa hidung tetap utuh, sedangkan turbinektomi adalah teknik reduksi konka yang memotong bagian konka yang mengalami pembesaran. Teknik reduksi konka yang menjadi pilihan saat ini adalah teknik turbinoplasty dengan menggunakan teknik mikrodebrider dan teknik termal seperti dengan radiofrekuensi atau koblasi. Keunggulan dari teknik pembedahan reduksi konka radiofrekunsi adalah mukosa tetap utuh, dapat dilakukan dalam anastesi lokal dan suhu panas yang dihasilkan pada lapisan submukosa berkisar antara C. 12,13 Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini yaitu untuk menghilangkan sumbatan hidung dan mempertahankan fungsi fisiologis hidung. 5 Teknik pembedahan yang ideal memang tidak ada, setiap teknik memiliki keunggulan dan kelemahan seperti 30

31 adanya kompilkasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi jangka panjang yaitu perdarahan dan rinitis atropi. 2,38 C. Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi 1. Definisi Radiofrekuensi didefiniskan sebagai teknik operasi reduksi konka yang mempertahankan agar mukosa hidung tetap dalam keadaan utuh ( turbinoplasty). 12,13 Teknik ini dilakukan dengan cara mengantarkan energi radiofrekuensi atau elektrik eksogen untuk menggumpalkan jaringan lunak pada lapisan submukosa. Tujuan dari teknik ini adalah mengendalikan nekrosis koagulatif lapisan submukosa yang nantinya akan menyebabkan fibrosis, berkurangnya volume jaringan dan kontraktur. Teknik lain yang dapat digunakan selain teknik radiofrekunsi adalah elektrokauter monopolar dan elektrokauter bipolar Indikasi dan Kontraindikasi Operasi reduksi konka metode radiofrekuensi umumnya direkomendasikan untuk lima kondisi yaitu; 40 1) hidung tersumbat dan rinore yang berkaitan dengan hipertropi konka inferior, 2) hidung tersumbat yang disebabkan oleh hipertropi konka inferior dengan septum deviasi, 3) sleep apnea dengan peningkatan resistensi hidung dan kesulitan untuk mengenakan masker hidung continuous positive airway pressure (CPAP), 4) penderita hipertropi konka inferior yang menjalani operasi septoplasty, rhinoplasty atau bedah sinus endoskopi, 5) penderita rinitis medikamentosa yang membutuhkan terapi tambahan. Kontraindikasi absolut untuk dilakukannya operasi reduksi konka metode radiofrekuensi tidak ada, namun pada pasien dengan alat bantu perangkat elektronik seperti pacu jantung, harus dinonaktifkan sementara waktu ketika operasi reduksi konka metode radiofrekuensi berlangsung. 41 Pasien dengan penyakit sistemik berat seperti hipertensi dan diabetes melitus dibutuhkan perawatan khusus 31

32 terjadi. 43 Deposit kolagen mulai terjadi pada hari ke-12, kemudian sebelum menjalani operasi reduksi konka metode radiofrekuensi serta perlu penghentian terapi antikoagulan selama 72 jam sebelum operasi berlangsung. 42 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dari operasi reduksi konka radiofrekuensi adalah sebagai berikut: 42 a. Kelaianan hidung yang parah atau kelainan septal b. Rhinitis alergi atau infeksi akut c. Infeksi saluran pernapasan aktif 3. Cara Kerja Cara kerja dari metode reduksi konka ini adalah dengan menghambat kongesti kavernosus dari konka inferior tanpa merusak fungsi dari mukosa hidung dan struktur lain di kavum nasal dengan cara melewatkan tip pada bagian atas permukaan konka, maka akan mengirimkan energi radiofrekuensi tinggi, impuls yang kuat namun memberikan kerusakan pada jaringan yang minimal. Energi radiofrekuensi yang dihantarkan yaitu 460 Hz yang akan membuat ion sel dalam jaringan tereksitasi sehingga suhu akan meningkat C, sementara itu pada suhu sekitar 49,5 C proses denaturasi protein telah setelah tiga minggu akan terbentuk jaringan fibrosis, jaringan parut dan penurunan volume jaringan. Efeknya menekan reseptor saraf trigeminal cabang aferen sehingga menghambat sistem parasimpatis cabang aferen. Hal ini akan mengurangi efek rinore dan dan kongesti hipertropi konka. 43 Operasi reduksi konka metode radiofrekuensi ini juga mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya adalah dapat mempertahankan mukosa, dapat dilakukan dalam anastesi lokal dan tidak menimbulkan efek samping klinis dalam jangka pendek namun tidak untuk jangka panjang. Kelemahannya adalah terdapat 32

33 kemungkinan kerusakan mukosa apabila energi radiofrekuensi yang digunakan terlalu besar Komplikasi Pasca Operasi a. Perdarahan Perdarahan merupakan komplikasi tersering pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi dengan insidensi 1% hingga 2%. Perdarahan ringan biasanya dapat berhenti secara spontan dalam kurun waktu beberapa hari. Perdarahan juga dapat bersifat masif dengan insidensi kurang dari 1% sehingga membutuhkan transfusi darah. Perdarahan ringan dapat ditangani dengan penanganan yang sama seperti pada penatalaksanaan epistaksis, namun apabila perdarahan belum dapat dihentikan, maka perlu diidentifikasi sumber perdarahan. Tampol yang digunakan untuk menyumbat perdarahan pada hidung harus dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian berikan nasal dekongestan topikal dengan menggunakan kapas. 44 b. Jaringan parut Pembentukan synechia pasca operasi jarang terjadi, namun apabila mukosa septum yang berada di dekat tepi konka terkelupas setelah reseksi maka synechia dapat terbentuk. Pembentukan synechia ini sulit untuk diprediksi, namun dapat dilakukan monitoring pasca operasi untuk mencegahnya. Synechia yang telah terbentuk dapat ditangani tergantung dari gejala yang timbul. Jaringan synechia ini umumnya dibuang dengan cara insisi namun hal tersebut masih kurang efisien. 44 D. Kualitas Hidup 1. Definisi Kualitas hidup atau Quality of life (QoL) merupakan suatu persepsi penderita mengenai tidak adanya dampak atau adanya dampak minimal yang merugikan dari pengobatan terhadap kemampuan dalam menjalankan fungsi kehidupan atau dapat juga didefinisikan sebagai 33

34 konsep yang memuat karakteristik fisik dan psikologi secara luas untuk menggambarkan kemampuan individu dalam berperan di lingkungan dan memperoleh kepuasan dari suatu hal yang dilakukan. Sehat bukan hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit begitupun dengan kualitas hidup. Kualitas hidup bukan hanya berarti tidak ada keluhan saja melainkan bagaimanakah perasaan dan apakah yang diinginkan oleh penderita sebenarnya. 14 Menurut WHO, kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional yang terdiri dari tiga dimensi yaitu fisik, mental dan sosial. 15 Masing-masing dari dimensi tersebut dapat diukur dengan penilaian secara subjektif dan objektif. Penilaian secara subjektif dapat diukur dengan melihat persepsi penderita terhadap kesehatannya. Penilaian secara objektif dapat diukur dari status fungsional dan status kesehatan penderita. 14,15 2. Ruang Lingkup Kualitas Hidup Berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh world health organization (WHO) terdapat lima bidang atau domains yang digunakan sebagai tolak ukur dalam penilaian kualitas hidup. Penjelasan dari masing-masing bidang yang termasuk kualitas hidup tersebut yaitu sebagai berikut: 14,15 a) Kesehatan fisik ( physical health) seperti penilaian terhadap kesehatan umum, energi, vitalitas, nyeri, aktivitas seksual, istirahat dan tidur. b) Kesehatan psikologis ( psycological health) seperti penilaian terhadap pola berpikir, pola belajar, konsentrasi dan memori. c) Tingkat aktivitas (level of independence) seperti penilaian terhadap kemampuan mobilitas, komunikasi, aktivitas sehari-hari dan kemampuan kerja. d) Hubungan sosial ( social relationship) seperti penilaian terhadap kemampuan dalam berhubungan sosial, adanya dukungan sosial. 34

35 e) Lingkungan (environment) seperti penilaian terhadap lingkungan rumah, lingkungan kerja, keamanan, kepuasan kerja. 3. Pengukuran Kualitas Hidup Instrumen pengukuran kualitas hidup perlu mempunyai cakupan, konsep, reliabilitas, validitas dan sensitivitas yang baik. Instrumen tersebut terbagi menjadi dua macam yaitu instrumen umum ( generic scale) dan instrumen khusus ( spesific scale). Instrumen umum adalah instrumen yang dapat digunakan secara umum oleh penderita penyakit kronik untuk mengukur kualitas hidupnya. Instrumen ini berguna untuk menilai secara umum mengenai ketidakmampuan, kemampuan fungsional dan kekhawatiran yang muncul akibat penyakit yang diderita. Salah satu contoh dari instrumen umum ini yaitu medical outcome study (MOS), 36-item short-form health survey (SF-36). Instrumen khusus merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup secara khusus oleh penderita penyakit tertentu, populasi tertentu misalnya pada populasi lansia atau fungsi khusus misalnya fungsi emosional, fungsi penghidu. Salah satu contoh dari instrumen khusus ini adalah sinonasal outcome test-22 (SNOT- 22). 14,15,16 Penilaian kualitas hidup secara subjektif menggunakan parameter kuesioner SNOT-22. SNOT-22 ini merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup yang khusus untuk penyakit sinus dan hidung kronik berupa kuesioner yang terdiri dari 22 pertanyaan. Kuesioner tersebut berisi tentang kumpulan pertanyaan yang berkaitan dengan gejala hidung (7 pertanyaan), gejala wajah atau telinga (5 pertanyaan), gangguan tidur (4 pertanyaan ) dan perubahan psikologis (6 pertanyaan). 14 Nilai total skor secara keseluruhan akan didapatkan total skor terendah 0 dan skor tertinggi 110 yang akan terbagi menjadi 11 kelompok. 17,45 Minimal clinically important difference (MCID) atau nilai terkecil perbedaan yang dianggap penting dan dapat menjadi patokan dalam mendeteksi kualitas hidup penderita dengan parameter 35

36 kuesioner SNOT-22 ini adalah skor 8,9. 16 Perubahan persentase parameter kuesioner SNOT-22 pada masing-masing pasien dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 45 (Nilai pra operasi Nilai post operasi) Nilai pra operasi 4. Hal yang Berpengaruh pada Kualitas Hidup a) Kelainan anatomi hidung 100% Suatu abnormalitas pada hidung yang disebabkan oleh adanya kelainan anatomi. Bentuk dari kelainan anatomi tersebut adalah deviasi septum kontralateral. Kelainan anatomi hidung ini dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari penderita hipertropi konka inferior dikarenakan dapat memperberat gejala yang timbul. 5,30 b) Penyakit sistemik Suatu penyakit yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh secara umum. Adanya penyakit sistemik yang tidak terkontrol dapat memicu timbulnya komplikasi perioperatif maupun pasca operatif sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Beberapa penyakit sistemik tersebut adalah hipertensi, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, hipertiroidisme, gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, asma dan lain sebagainya. 23 c) Operasi reduksi konka lain Tindakan operatif yang bertujuan untuk mengurangi penebalan mukosa konka dan memperbaiki fungsi fisiologis hidung dengan kombinasi teknik lain seperti operasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) atau functional endoscopic sinus surgery (FESS), septoplasty, rhinoplasty, dan lain sebagainya. Adanya kombinasi teknik operasi tersebut dapat mempengaruhi hasil dari tindakan operasi dan kualitas hidup penderita. 12,13 36

37 E. Kerangka Teori Faktor Eksogen Hipertropi Konka Inferior Faktor Endogen 1. Infeksi berulang 2. Iritasi kronik hidung Vasodilatasi pleksus kavernosus konka Pelepasan mediator kimia (histamin) Penebalan mukosa konka Riwayat rhinitis vasomotor Riwayat rhinitis alergi Kelainan anatomi deviasi septum kontralateral Bersin-bersin Rhinorrhea Hidung tersumbat Kualitas Hidup Menurun 1. Gangguan penghidu 5. Kering pada faring 2. Post nasal drip 6. Produktivitas menurun 3. Sakit kepala 7. Gangguan pola tidur 4. Gangguan fungsi tuba Medikamentosa Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Penyakit sistemik Tindakan operasi reduksi konka lain Gambar 2.2 Kerangka Teori Perubahan Kualitas Hidup 37

38 F. Kerangka Konsep Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Kualitas Hidup Pra Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Kualitas Hidup Pasca Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Variabel Perancu 1. Kelainan anatomi 2. Penyakit sistemik 3. Operasi reduksi konka lain Gambar 2.3 Kerangka Konsep G. Hipotesis Terdapat perbedaan kualitas hidup yang signifikan antara penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. 38

39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Keilmuan Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan. 2. Ruang Lingkup Waktu dan Tempat Penelitian ini berlokasi di RSUD Tugurejo Semarang dengan lama penelitian sembilan bulan Juni Februari B. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan penelitian deskriptif analitik retrospektif dengan pendekatan crosssectional. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi target penelitian ini adalah penderita berusia minimal 18 tahun yang mengalami hipertrofi konka inferior yang dilakukan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi periode Januari 2015-Oktober 2016 di RSUD Tugurejo Semarang. 2. Sampel a. Kriteria Inklusi 1) Pasien hipertropi konka inferior yang minimal berusia 18 tahun. 2) Menjalani minimal 2 bulan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. 3) Bersedia menjadi responden dan menandatangani informed consent. b. Kriteria Eksklusi 1) Pasien dengan penyakit lain seperti deviasi septum dan polip nasi 39

40 2) Pasien dengan riwayat penyakit sistemik berat seperti hipertensi dan diabetes mellitus yang tidak terkontrol serta riwayat konsumsi obat jangka panjang seperti obat hipertensi dan psikotropik. 3) Pasien yang mempunyai riwayat operasi reduksi konka dengan teknik lainnya. c. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik total sampling yang termasuk kedalam jenis probability sampling. d. Besar Sampel Besar sampel minimal pada penelitian ini dihitung dengan rumus slovin sebagai berikut: n = N 1 + Ne 2 = x(0,10) 2 = ,4 = 40 1,4 = 28,57~ 29 Keterangan : n = besar sampel N = jumlah populasi = 40 e = batas toleransi kesalahan (error tolerance) = 10% Maka jumlah sampel minimal penelitian ini adalah 29 responden. Responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian 40

41 adalah semua sampel yang ada dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 31 pasien. D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Variabel bebas pada penelitian ini adalah operasi reduksi konka metode radiofrekuensi sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah kualitas hidup pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. 2. Definisi Operasional Variabel Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Variabel Definisi operasional Kriteria ukur Alat ukur Operasi reduksi konka metode radiofrekue nsi Suatu teknik operasi reduksi konka yang mempertahankan agar mukosa hidung tetap dalam keadaan utuh (turbinoplasty). 12,13 1. Hipertropi konka inferior pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi 2. Hipertropi konka inferior pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi Rekam medis Skala ukur Nominal Kualitas hidup Suatu konsep yang memuat karakteristik Skor perolehan Parameter kuesioner Numeri k 41

42 fisik dan psikologi secara luas untuk menggambarkan kemampuan individu dalam berperan di lingkungan dan memperoleh kepuasan dari suatu hal yang dilakukan. Skor SNOT-22 16,18 0= bukan masalah (tidak pernah) 1 = masalah sangat ringan (jarang/1 kali) 2 = masalah ringan (beberapa kali/ 2 kali) 3 = masalah sedang (kadang/3 kali) 4 = masalah serius (sering/4kali) 5 = masalah sangat serius (sepanjang waktu/>4kali) SNOT-22 sinonasal (0-110) 16,45 outcome test-22 (SNOT-22) E. Pengumpulan Data 1. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari pengisian kuesioner kombinasi SNOT-22 yang diberikan kepada subjek penelitian yaitu penderita hipertropi konka inferior dengan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi untuk menilai kualitas hidup secara subjektif. Data sekunder diperoleh dari rekam medik untuk mengetahui diagnosis dan identitas dari subjek penelitian. 2. Teknik Pengumpulan Data Data primer diperoleh dengan teknik pengukuran yaitu wawancara dan pengisian kuesioner. Wawancara dilakukan kepada responden yang telah memenuhi kriteria inklusi dan bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani lembar informed consent. Subjek penelitian tersebut berasal dari pasien di RSUD Tugurejo Semarang yang telah menjalani operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Wawancara 42

43 dilakukan bersamaan dengan pengisian kuesioner kualitas hidup secara subjektif dengan parameter SNOT-22. Kuesioner SNOT-22 berisi tentang kumpulan pertanyaan yang berkaitan dengan gejala hidung dan tenggorokan (8 pertanyaan), gejala kepala, wajah dan telinga (4 pertanyaan), gangguan tidur (4 pertanyaan), gangguan aktivitas (3 pertanyaan) dan gangguan psikologis (3 pertanyaan). Jawaban untuk setiap pertanyaan dinyatakan sebagai tidak pernah (skor 0), masalah sangat ringan (skor 1), masalah ringan (skor 2), masalah sedang (skor 3), masalah serius (skor 4), masalah sangat serius (skor 5), sehingga secara keseluruhan akan didapatkan total skor terendah 0 dan skor tertinggi Kuesioner akan diberikan kepada subjek penelitian sebanyak dua kali dalam waktu bersamaan untuk menilai kualitas hidup pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Penilaian kualitas hidup pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi mengandalkan ingatan dari subjek penelitian, sedangkan untuk penilaian kualitas hidup pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi akan dinilai minimal 2 bulan pasca operasi dilakukan. 30 Data sekunder diperoleh dari rekam medik. 43

44 F. Alur Penelitian Data Sekunder Penderita hipertropi konka inferior di RSUD Tugurejo Semarang Semarang pasca tindakan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi Total sampling dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi Pemilihan sampel Pengisian informed consent Pembagian kuesioner Berdasarkan arahan dari pihak rumah sakit atau dokter spesialis THT yang bersangkutan Data Primer Wawancara dan pengisian kuesioner Pra operasi reduksi konka metodera diofrekuensi Pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi Parameter kuesioner SNOT-22 Kualitas hidup secara subjektif Kualitas hidup secara subjektif Parameter kuesioner SNOT-22 Pengumpulan Data Pengolahan Data Analisis Data Gambar 3.1. Alur Penelitian 44

45 G. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan dari program pengolahan data komputer. 1. Pengolahan Data a. Editing yaitu kegiatan pemeriksaan data kuisioner penelitian yang telah terkumpul untuk memastikan kuisioner sudah terisi secara lengkap, relevan dan konsisten oleh subjek penelitian. b. Coding yaitu kegiatan untuk merubah data dalam bentuk abjad menjadi data dalam bentuk angka. Kegiatan tersebut dapat memudahkan peneliti ketika memasukkan (input) dan menganalisis data. Tabel 3.2 Contoh Coding dengan Bantuan Program Komputer Variabel Kategori Kode Operasi reduksi konka Pra operasi 1 metode radiofrekuensi Pasca operasi 2 c. Processing yaitu kegiatan memasukkan (input) semua data yang terdapat pada kuesioner penelitian dengan bantuan program komputer supaya data tersebut dapat dianalisis. d. Cleaning yaitu kegiatan pemeriksaan kembali semua data yang yang telah di-input untuk memastikan tidak ada kesalahan ketika memasukkan data ke komputer. 2. Analisis Data Penelitian Data yang didapatkan peneliti melalui teknik pengumpulan data dengan cara pembagian kuesioner untuk menilai kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior secara subjetif dengan menggunakan parameter kuesioner SNOT-22 selanjutnya akan dilakukan pengolahan data. Hasil dari pengolahan data tersebut kemudian akan dianalisis oleh peneliti untuk membandingkan kualitas hidup pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Analisis data dilakukan secara deskriptif (univariat) dan analitik (bivariat) sebagai berikut : 45

46 a. Analisis Univariat Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan pada setiap variabel penelitian baik itu variabel bebas maupun variabel terikat. Analisis univariat ini akan menghasilkan distribusi dan presentase data dari setiap variabel penelitian. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik dari setiap variabel penelitian. Kemudian setelah analisis data selesai, dilakukan penyajian data dalam bentuk tabel atau grafik. b. Analisis Bivariat Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap dua variabel penelitian. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup antara penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Langkah pertama yaitu menganalisis distribusi data dengan menggunakan uji normalitas. Uji normalitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah data yang didapatkan berdistribusi normal atau tidak normal. Cara pengujiannya dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Langkah kedua yaitu melakukan uji homogenitas. Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah data yang didapatkan variannya sama atau tidak. Cara pengujiannya dengan menggunakan uji Levene. Langkah ketiga yaitu melakukan uji hipotesis. Uji hipotesis yang dipilih bertujuan untuk mengetahui perbedaan mean dua kelompok tersebut adalah uji t-dependent (uji parametrik) apabila distribusi data normal dan uji wilcoxon (uji non parametrik) apabila distribusi data tidak normal. Setelah analisis data selesai dilakukan penyajian data dalam bentuk tabel atau grafik dan yang terakhir adalah melakukan pengambilan keputusan dengan tingkat kemaknaan 90%. 46

47 H. Jadwal Penelitian Waktu yang ditargetkan untuk dapat menyelesaikan penelitian ini adalah sesuai dengan tabel berikut ini : Tabel 3.3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Kegiatan Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Studi literatur Pembuatan proposal Seminar proposal Pengajuan ijin penelitian Pengambilan data Rekam medis di RSUD Tugurejo Semarang Penentuan sampel dan penyebaran kuesioner kepada pasien RSUD Tugurejo Semarang Pengolahan data Analisis data Pembuatan laporan Sidang skripsi 47

48 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian RSUD Tugurejo Semarang merupakan salah satu rumah sakit umum daerah di Kota Semarang yang melakukan tindakan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi pada penderita hipertropi konka inferior. Berdasarkan data rekam medik di RSUD Tugurejo Semarang periode Januari 2015-Oktober 2016 terdapat 40 penderita hipertropi konka inferior yang telah melakukan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 31 sampel penelitian sedangkan 9 sampel lainya diekskulusikan karena adanya riwayat penyakit hidung lain, riwayat penyakit sistemik dan konsumsi obat jangka panjang serta adanya riwayat operasi reduksi konka dengan teknik lainnya. 1. Analisis Univariat Berdasarkan data yang di peroleh dari 31 sampel penelitian, setelah dilakukan pengolahan statistik di dapatkan hasil distribusi dan frekuensi sampel sebagai berikut : 48

49 a. Data Karakteristik Sampel Tabel 4.1 Karakteristik distribusi frekuensi sampel pasien hipertropi konka inferior di RSUD Tugurejo Semarang tahun Januari Oktober 2016 Karakteristik N Presentase (%) Umur (tahun) < , , , , ,2 Jenis Kelamin Laki-laki 14 45,2 Perempuan 17 54,8 Pekerjaan Dokter gigi 1 3,2 Guru 1 3,2 Ibu rumah tangga 4 12,9 Karyawan 16 51,6 Mahasiswa 5 16,1 Polisi 1 3,2 Wiraswasta 3 9,7 Riwayat rhinitis alergi Ya 11 35,5 Tidak 20 64,5 Riwayat rhinitis vasomotor Tidak ,0 Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan sampel terbanyak berada pada kelompok usia tahun dan kelompok usia tahun yang masing-masing berjumlah 9 sampel (29%). Sebagian besar sampel penelitian ini berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 17 sampel (54,8%). Pada tabel diatas juga menunjukkan bahwa sebagian besar sampel penelitian bekerja sebagai karyawan yaitu sebanyak 16 sampel (51,6%). Selain itu, sampel penelitian yang mempunyai riwayat rhinitis alergi sebelumnya yaitu sebesar 11 sampel (35,5%) dan tidak 49

50 ada sampel penelitian yang mempunyai riwayat rhinitis vasomotor (0%). Gambar 4.1 Karakteristik umur responden Gambar 4.2 Karakteristik jenis kelamin responden 50

51 Gambar 4.3 Karakteristik pekerjaan responden Gambar 4.4 Karakteristik riwayat rhinitis alergi responden 51

52 Gambar 4.5 Karakteristik riwayat rhinits vasomotor responden b. Total Skor Kualitas Hidup Tabel 4.2 Deskripsi total skor kualitas hidup pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut parameter kuesioner SNOT-22 Variabel Min Max Total skor pra operasi Total skor pasca operasi 5 17 Rata-rata ± SD 60,35 ± 7,264 10,19 ± 3,103 Rerata perubahan % Rerata MCID 82,99 50,16 Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa total skor kualitas hidup dengan parameter kuesioner SNOT-22 pada responden pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi berkisar antara dengan rata-rata total skor yaitu 60,35. Total skor kualitas hidup pada responden pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi berkisar antara 5-17 dengan rata-rata total skor 10,19. Rerata perubahan total skor pra dan pasca operasi yaitu 82,99 % 52

53 sedangkan rerata Minimal clinically important difference (MCID) yaitu 50,16. c. Skor Kualitas Hidup dengan parameter kuesioner SNOT-22 pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi Tabel 4.3 Deskripsi dan frekuensi skor masing-masing gejala pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut parameter kuesioner SNOT-22 Variabel Gejala Hidung, Tenggorokan Tidak Rata-rata Pernah Pernah N % N % ± SD (1) Perlu menyingsing hidung (2) Bersin-bersin 30 96,8 1 3,2 (3) Hidung berair atau meler 30 96,8 1` 3,2 (4) Keluhan batuk 16 51, ,4 (5) Produksi cairan bagian belakang 13 41, ,1 (6) Cairan hidung yang kental 1 3, ,8 (21) Berkurangnya indra penghidu 30 9,68 1 3,2 (22) Hidung tersumbat Gejala Kepala, Telinga, Wajah (7) Rasa penuh pada telinga 1 3, ,8 (8) Pusing 26 83,9 5 16,1 (9) Nyeri telinga 2 6, ,5 (10)Nyeri atau tekanan di wajah Gangguan Tidur (11) Sulit memulai tidur 5 16, ,9 (12) Terbangun malam hari 5 16, ,9 (13) Kurang tidur malam yang brkualit 3 9, ,3 Min Maks 3,77 ± 0, ,65 ± 0, ,48 ± 0, ,26 ± 1, ,81 ± 1, ,29 ± 1, ,42 ± 0, ,00 ± 0, ,48 ± 1, ,42 ± 0, ,26 ± 1, ,42 ± 1, ,77 ± 1, ,55 ± 0, ,48 ± 0,

54 (14) Terbangun lelah 2 6, ,5 Gangguan Aktivitas (15) Kelelahan sepanjang hari 7 22, ,4 (16) Produktivitas menurun 15 48, ,6 (17) Konsentrasi menurun 8 25, ,2 Gangguan Psikologis (18) Frustasi atau mudah marah 2 6, ,5 (19) Sedih 1 3, ,8 (20) Malu ,03 ± 1, ,13 ± 0, ,19 ± 1, ,42 ± 0, ,23 ± 1, ,32 ± 1, ,10 ± 0, Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa terdapat lima gejala menurut parameter kuesioner SNOT-22 yang paling dikeluhkan oleh penderita hipertropi konka inferior pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. Lima gejala tersebut merupakan gejala yang dikelompokkan sebagai gejala hidung dan tenggorokan. Gejala terbanyak yang pernah dikeluhkan penderita hipertropi konka inferior pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi adalah perlu menyingsing hidung dan hidung tersumbat dengan frekuensi masing-masing gejala yaitu sebanyak 31 orang (100%) dan rata-rata skor gejala perlu menyingsing hidung sebesar 3,77 sedangkan gejala hidung tersumbat yaitu 5,00. Gejala lain yang pernah dikeluhkan penderita hipertropi konka inferior adalah bersin-bersin, hidung berair atau meler dan berkurangnya indra penghidu dengan frekuensi masing-masing gejala yaitu sebanyak 30 orang (96,8%) dan rata -rata skor gejala bersinbersin sebesar 4,65, gejala hidung berair atau meler sebesar 4,48, sedangkan gejala berkurangnya indra penghidu sebesar 4,42. 54

55 d. Skor Kualitas Hidup dengan parameter kuesioner SNOT-22 pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi Tabel 4.4 Deskripsi dan frekuensi skor masing-masing gejala pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut parameter kuesioner SNOT-22 Tidak Rata-rata Variabel Pernah Pernah Min Maks N % N % ± SD Gejala Hidung, Tenggorokan (1) Perlu menyingsing hidung 29 93,5 2 6,5 1,16 ± 0, (2) Bersin-bersin 30 96,8 1 3,2 2,06 ± 0, (3) Hidung berair atau meler 30 96,8 1` 3,2 1,32 ± 0, (4) Keluhan batuk 16 51, ,4 0,55 ± 0, (5) Produksi cairan bagian belakang 13 41, ,1 0,45 ± 0, (6) Cairan hidung yang kental 1 3, ,8 0,03 ± 0, ,50 ± (21) Berkurangnya indra penghidu 11 35, ,5 (22) Hidung tersumbat 24 77,4 7 22,6 Gejala Kepala, Telinga, Wajah (7) Rasa penuh pada telinga 1 3, ,8 (8) Pusing 26 83,9 5 16,1 (9) Nyeri telinga 2 6, ,5 (10) Nyeri atau tekanan di wajah Gangguan Tidur (11) Sulit memulai tidur 5 16, ,9 (12) Terbangun malam hari 5 16, ,9 (13) Kurang tidur malam yang berkualit 3 9, ,3 (14) Terbangun lelah 2 6, ,5 Gangguan Aktivitas (15) Kelelahan sepanjang hari 7 22, ,4 0, ,03± 0, ,10 ± 0, ,19 ± 0, ,13 ± 0, ,00 ± 0, ,19 ± 0, ,19± 0, ,13 ± 0, ,10 ± 0, ,26 ± 0,

56 (16) Produktivitas menurun 15 48, ,6 (17) Konsentrasi menurun 8 25, ,2 Gangguan Psikologis (18) Frustasi atau mudah marah 2 6, ,5 (19) Sedih 1 3, ,8 (20) Malu ,55 ± 0, ,26± 0, ,06± 0, ,03± 0, ,00± 0, Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa terdapat lima gejala menurut parameter kuesioner SNOT-22 yang paling dikeluhkan oleh penderita hipertropi konka inferior pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. Lima gejala tersebut merupakan gejala yang dikelompokkan sebagai gejala hidung dan tenggorokan. Masing-masing lima gejala tersebut mengalami perbaikan rata-rata total skor dan perbaikan skor minimummaksimum. Gejala terbanyak yang pernah dikeluhkan penderita hipertropi konka inferior pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi adalah gejala bersin-bersin dan hidung berair atau meler dengan frekuensi masing-masing yaitu sebanyak 30 orang (96,8%) dan rata-rata skor gejala bersin-bersin yaitu 2,06, sedangkan rata-rata skor gejala hidung berair atau meler yaitu 1,32. Gejala lain yang juga dikeluhkan penderita hipertropi konka inferior pasca operasi adalah perlu menyingsing, pusing dan hidung tersumbat. Frekuensi gejala perlu menyingsing hidung frekuensi yaitu sebanyak 29 orang (93,5%) dan rata -rata skor gejalanya sebesar 1,16, Frekuensi gejala pusing yaitu sebanyak 26 orang (83,9%) dan rata -rata skor gejalanya sebesar 1,19. Frekuensi gejala hidung tersumbat yaitu sebanyak 24 orang (77,4%) dan rata - rata skor gejalanya sebesar 1,03. 56

57 Grafik rerata skor masing-masing gejala hidung dan tenggorokan pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi Mean Gejala hidung dan tenggorokan Gejala pra operasi Gejala pasca operasi Gambar 4.6 Grafik rerata skor gejala hidung dan tenggorokan Grafik rerata skor masing-masing gejala kepala, telinga dan wajah pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut SNOT Gejala pra operasi Gejala post operasi Mean Gejala kepala, telinga dan wajah Gambar 4.7 Grafik rerata kepala, telinga dan wajah 57

58 Grafik rerata skor masing-masing gejala tidur pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut SNOT Gejalaa pra operasi Gejalaa post operasi Mean Gejala tidur Gambar 4.8 Grafik rerata gejala tidur Grafik rerata skor masing-masing gejala aktivitas pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut SNOT Gejala pra operasi Gejala post operasi 2.5 Mean Gejala aktivitas Gambar 4.9 Grafik rerata skor gejala aktivitas 58

59 Grafik rerata skor masing-masing gejala psikologis pra dan pascaa operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut SNOT Gejala pra operasi Gejala post operasi Mean Gejala psikologis Gambar 4.10 Grafik rerata skor gejala psikologiss 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk melihat perubahan gejala pada penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Tingkat kemaknaan penelitian inii yaitu 10% (α = 0,10). Berikut ini adalah hasil analisis bivariat sebagai berikut: a. Total Skor Tabel 4..5 Perbedaan total skor pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut parameter kuesioner SNOT-22 Rata-rata ± Normalitas Homogenitas p-value Variabel SD Kualitas hidup pra operasi 60,35 ± 7,264 0,200 0,452 p<0,0001 Kualitas hidup pasca operasi 10,19 ± 3,103 0,140 0,068 *uji t-paired test Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa nilai normalitas dari kelompok kualitas hidup pra operasi p=0,200 dan pasca operasi p=0,1400 artinya bahwa data tersebut berdistribusi normal ( p- value>0,05). Nilai homogenitas dari kelompok kualitas hidup pra operasi p=0,452 dan pasca operasi p=0,068 artinya bahwa data tersebut t varian datanya sama ( p-value>0,05). Hasil dari uji 59

60 normalitas dan uji homogenitas tersebut menandakan bahwa syarat untuk melakukan uji parametrik (uji t-dependent) telah terpenuhi. Dari hasil uji t-dependent didapatkan bahwa nilai p<0,0001 (p-value<0,05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan total skor kualitas hidup dengan parameter kuesioner SNOT-22 pada penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. B. Pembahasan Hipertropi konka inferior merupakan pembesaran mukosa hidung pada konka inferior. 4 Terdapat dua faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap keadaan dari membran mukosa konka yaitu faktor eksogen dan endogen. Faktor eksogen yang berpengaruh antara lain yaitu suhu udara, polusi, kelembapan udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang dan iritasi. 3 Faktor endogen yang berpengaruh yaitu adanya kelainan anatomik seperti deviasi septum, alergi dan gangguan vasomotor. 1,2 Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sudah tersensitasi alergen sebelumnya. Penyakit ini dimediasi oleh suatu mediator kimia ketika terjadi infeksi berulang dengan alergen tersebut. Perjalanan ini diawali dengan tahap sensitisasi dan dilanjutkan dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Pada tahap akhir dari reaksi alergi akan dilepaskan suatu mediator inflamasi yaitu histamin yang akan merangsang mukosa pada dinding lateral hidung (konka). Histamin juga merangsang reseptor H1 yang terdapat pada ujung saraf vidianus sehingga menyebabkan munculnya gejala bersin dan sensasi rasa gatal (pruritus) pada hidung, Reseptor H1 yang terangsang juga menyebabkan munculnya gejala hipersekresi dan peningkatan permeabilatas kapiler pada kelenjar mukosa dan sel goblet sehingga sekresi hidung (lendir) berlebihan atau disebut 60

61 sebagai rhinorrhea. Akibat dari sekresi hidung yang berlebihan akan menimbulkan obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas akan mempengaruhi fungsi penghidu, kesulitan bernapas saat tidur sehingga akan menyebabkan gangguan pola tidur. 31,32 Rhinitis vasomotor merupakan penyakit idiopatik yang bersifat non-alergi yang disebakan oleh karena kelainan neuro vaskuler pembuluh darah pada mukosa hidung. Apabila terdapat rangsangan maka akan terjadi pelepasan vasoaktif intestinal peptida dan ko-transmitter asetilkolin yang mengakibatkan dilatasi arteriola dan kapiler darah serta sekresi hidung berlebihan (rhinorrhea) sehingga terjadi kongesti hidung. Rhinitis vasomotor juga bisa disebabkan oleh karena ketidakseimbangan dari impuls sarat otonom di mukosa hidung yang mengakibatkan peningkatan aktivitas sistem parasimpatis. 33 Terapi yang dapat diberikan pada penderita hipertrofi konka inferior adalah terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung dengan pemberian medikamentosa namun apabila terapi ini mengalami kegagalan maka dapat dilakukan terapi operatif berupa reduksi konka metode radiofrekuensi. 4,11 Reduksi konka metode radiofrekuensi merupakan salah satu dari tindakan turboplasti yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan mukosa konka. 12 Keunggulan dari terapi operatif ini adalah tidak menyayat mukosa, panas yang dihasilkan berkisar antara C serta dapat dilakukan dalam anastesi lokal. Efektivitas dari terapi operatif ini dapat dievaluasi dengan menggunakan pemeriksaan radiologis dan didapatkan bahwa angka keberhasilan dalam mengurangi volume hipertropi konka pasca operasi sebesar 8,7% dengan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan 25% dengan pemeriksaan CT-scan. 13,46 Kualitas hidup ( Quality of Life, QoL) merupakan suatu konsep yang memuat karakteristik fisik dan psikologi secara luas untuk menggambarkan kemampuan individu dalam berperan di lingkungan dan memperoleh kepuasan dari suatu hal yang dilakukan. 14 Penilaian QoL ini 61

62 dipengaruhi oleh keadaan fisik, psikologis, aktivitas, sosial dan lingkungan dari seseorang. Kini penilaian QoL dianggap penting dalam uji klinik untuk mengetahui efektivitas terapi dari penyakit kronik seperti hipertropi konka inferior. 15 Penelitian mengenai kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi belum banyak dilakukan. Hal ini mengingat bahwa belum ada kuesioner yang spesifik untuk menilai kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior. Pada penelitian ini akan dilakukan penilaian kualitas hidup secara subjektif dengan menggunakan parameter kuesioner sinonasal outcome test-22 (SNOT-22). 16 Hal ini dikarenakan SNOT-22 tersebut merupakan kuesioner yang responsif dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup dari pasien pasca operasi sinus dan hidung. 17,18 Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa jenis kelamin terbanyak pada penderita hipertropi konka inferior adalah perempuan dengan usia berkisar antara tahun dan tahun yang merupakan usia produktif sehingga akan lebih sering terpapar oleh faktor eksogen. Sebagian besar penderita hipertropi konka inferior tersebut bekerja sebagai karyawan dengan riwayat penyakit terdahulu terbanyak yaitu rhinitis alergi. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa yang mempengaruhi terjadinya hipertopi konka inferior adalah kebiasaan sehari-hari baik itu ketika dirumah ataupun bekerja dan adanya riwayat rhinitis alergi sebelumnya. 47 Penelitian lain menyatakan bahwa adanya riwayat rhinitis alergi sebelumnya akan meningkatkan resiko kekambuhan yang signifikan bila dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat alergi. 48 Lima gejala yang paling dikeluhkan oleh penderita hipertropi konka inferior pra operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang menurut parameter kuesioner SNOT-22 yaitu hidung tersumbat, perlu menyingsing hidung, bersin-bersin, hidung berair atau meler dan berkurangnya indra penghidu. Pasca tindakan operasi reduksi 62

63 konka metode radiofrekuensi diketahui bahwa masing-masing lima gejala tersebut mengalami perbaikan rata-rata skor dan perbaikan skor minimum-maksimum. Lima gejala tersebut yaitu bersin-bersin, hidung berair atau meler, perlu menyingsing hidung, pusing dan hidung tersumbat. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pada penderita dengan hipertropi konka inferior akan mengalami gejala dari hipertropi konka inferior adalah sumbatan hidung kronik, sekret hidung yang berlebihan, gangguan penghidu, adanya sakit kepala, kepala terasa berat, adanya post nasal drip, gangguan fungsi tuba dan penurunan produktivitas kerja, sehingga akan menurunkan kualitas hidup dari penderitanya. 1,6 Keluhan pada penderita hipertropi konka inferior berdasarkan skor masing masing gejala menurut parameter kuesioner SNOT-22, didapatkan bahwa nilai rerata perbaikan tertinggi gejala pra dan pasca operasi adalah hidung tersumbat sebesar 3,97. Hal ini menandakan bahwa operasi reduksi konka metode radiofrekuensi sangat efektif untuk meminimalisasi gejala hidung tersumbat yang merupakan gejala utama yang sering dikeluhkan oleh penderita hipertropi konka inferior. Berdasarkan parameter kuesioner SNOT-22, diketahui bahwa dari 31 penderita hipertropi konka inferior mengalami perbaikan kualitas hidup yang signifikan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Dilihat dari rerata total skor menurut parameter kuesioner SNOT-22 pra operasi yaitu sebesar 60,35 mengalami penurunan pasca operasi yaitu menjadi 10,19. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terdapat perbaikan gejala yang signifikan pada penderita hipertropi konka inferior pasca operasi radiofrequency volume turbinate reduction (RFVTR) dengan parameter visual analog scale (VAS) dan didapatkan nilai p-value <0,0001 dibandingkan dengan tindakan operasi reduksi konka metode reseksi submucosal klasik. 49 Selain itu penelitian lain juga menyatakan bahwa operasi radiofrequency 63

64 volumetric tissue reduction (RFVTR) dapat memperbaiki mucociliary transport time (MCT) lebih baik dibandingkan dengan operasi turbinektomi parsial. 50 Nilai rerata minimal clinically important difference (MCID) atau nilai terkecil perbedaan yang dianggap penting dan dapat menjadi patokan dalam mendeteksi kualitas hidup penderita dengan parameter kuesioner SNOT-22 ini adalah skor 8,9. 16 Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa nilai MCID dari penderita hipertropi konka inferior yaitu 50,16. Nilai rerata perubahan total skor kualitas hidup pra dan pasca operasi yang menjadi patokan adalah minimal 70%. 45 Berdasarkan penelitian ini diketahui nilai rerata perubahan total skor yaitu 82,99%. Hal ini menandakan bahwa terdapat perbaikan kualitas hidup yang signifikan pada penderita hipertropi konka pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi di RSUD Tugurejo Semarang. Kekurangan dari penelitian ini adalah jumlah penderita hipertropi konka inferior yang dijadikan sebagai sampel penelitian terbilang cukup sedikit. Selain itu, waktu follow up yang dilakukan pada penderita hipertropi konka inferior kurang maksimal. Hal ini mengingat keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki oleh peneliti. 64

65 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Prevalensi penderita hipertropi konka inferior di RSUD Tugurejo periode Januari-Desember 2015 yaitu sebesar 5,9%. Prevalensi penderita hipertropi konka inferior yang melakukan tindakan operasi reduksi konka metode radiofrekuensi pada periode Januari Oktober 2016 sebesar 77,5% sedangkan yang melakukan operasi dengan metode lain sebesar 22,5%. 2. Gejala hidung tersumbat yang merupakan gejala utama dari penderita hipertropi konka inferior mengalami perbaikan skor gejala yang paling signifikan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi yaitu sebesar 79,4%. 3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara total skor kualitas hidup penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi menurut parameter kuesioner SNOT-22 dengan nilai p<0,0001 (p-value<0,05), nilai MCID adalah 50,16 (nilai minimal 8,9) dan nilai rerata perubahan total skor 82,99% (nilai minimal 70%). B. Saran Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jumlah penderita hipertropi konka inferior yang dijadikan sebagai sampel penelitian terbilang cukup sedikit sehingga diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian di rumah sakit dengan tingkat prevalensi kejadian penderita hipertropi konka inferior yang tinggi sehingga jumlah sampel penelitian yang diambil dapat lebih besar 65

66 2. Jenis penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan penelitian deskriptif analitik retrospektif dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan metode pendekatan cohort supaya waktu follow up yang dilakukan pada penderita hipertropi konka inferior dapat maksimal. Penilaian kualitas hidup pada penderita hipertropi konka inferior diharapkan dapat dilakukan pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. Tujuan lain yaitu memudahkan peneliti dalam melakukan intervensi sehingga jumlah penderita yang masuk kriteria inklusi lebih banyak daripada yang di eksklusi. 66

67 DAFTAR PUSTAKA 1. Deya Jourdy. Inferior turbinate reduction. J Otot, (2): Antonio F, Mora R, Dellepiane M, Zannis I, Salzano G, et al. Radiofrequency, high-frequency, and electrocauntery treatments vs partial inferior turbinotomy. Arch Otolaryngology Head and Neck Surg, (8): Lufti H, Mangunkusumo E, Soetjipto D. Pematahan multipel tulang konka submukosal pada hipertrofi konka inferior. In: Kumpulan Naskah Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok Indonesia. Batu-Malang; 1999.p Former SEJ, Eccles R. Chronic inferior turbinate enlargement and implications for surgical intervention. Rhinology, (4): Quinn F, Ryan M, Reddy S. Turbinate dysfunction: focus on the role of the inferior turbinates in nasal airway obstruction. Grand Rounds Presentations UTMB Dept of Otolaryngol, Mangunkusumo E, Wardani RS. Infeksi Hidung. In: Soepardi EA, Iskandar, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia p Whittaker E. Turbinate reduction rhinoplasty. Medscape [serial online] August 4, 2015 [cited 26 July 2016]. Available from URL: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien Rawat. Jakarta, Mrig S, Agaward A, Passey J. Preoperative computed tomographic evaluation of inferior nasal concha hipertrophy and its role deciding surgical treatment modality in patients with deviated nasal septum. Int J Morphol, (2): Bagian Rekam medik RSUD Tugurejo Semarang. Prevalensi Penderita Hipertropi Konka Inferior. Semarang, Javed M, Azeem M, Saeed A, Hussain A, Sharif A. Treatment of nasal obstruction due to hypertrophic inferior turbinate with application of silver nitrate solution. Ann Pank Inst Med, (4): Bhandarkar ND, Smith TL. Outcomes of Surgery for Inferior Turbinate Hypertrophy. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg, (1):

68 13. Kizilkaya Z, Ceylan K, Emir H, Yavanoglu A, Unlu I, Samin E. Comparasion of submucosal resection and radiofrequncy turbinate volume reduction for inferior turbinate hypertophy: evaluation by magnetic resonance imaging. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg, (3 ): Baumann I, Gerendas B, Plinkert P K, Praetarius M. General and diseasespesific quality of life in patients with chronic supurative otitis media-a prospective study. HQLO, Vlastos, Kandiloros, Manolopoulos, Ferekidis, Yiotakis. Quality of life in children with chronic suppurative otitis media with or without cholesteatoma. Int J Pediatric Otolaryngology, (3): Hopskin C, Gillett S, Slack R. Psychometric validity of the 22-items sinonasal outcome test. Otolayngol, : Satish HS, Sreedhar KT. Septoplasty outcome using SNOT-22 questionmaire study. IOSR-JDMS, (5): Poirrier AL, Ahluwalia S, Goodson A, Ellis M, Bentley M, Andrews P. Is the sino-nasal outcomes test-22 a suitable evaluation for septorhinoplasty?. Laryngoscope, (1): Willard CH, Pillsburry HC, McGuirt WF, Stewart MG. Radiofrequency turbinate reduction: a NOSE evaluation. Laryngoscope, (11): Netter, Frank H. Lateral Wall of Nasal Cavity. In: Atlas of Human Anatomy. 6th edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p Valerie J, Lund MS. Acute and Chronic Nasal Disorders. In: Ballenger JJ, Snow JB, editors. Ballenger s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 6th edition. Spain: BC Decker Inc p Soetjipto, Damayanti dkk Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher: Sumbatan Hidung. Jakarta : FKUI 23. Probst R. Anatomy and Physiology of the Nasal. In: Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme Medical Publisher Inc p Millas I, Liquidato BM, Dolci EL, Tavares JH, Fregnan G, Macea JR. Histological analysis of distribution pattern of glandular tissue in normal inferior nasal turbinates. Braz J Otorhinolaryngol, (4): Ballenger JJ, Snow JB. Ballenger s Otolaryngolology Head and Surgery. 6th edition. Spain: BC Decker Inc p

69 26. Ginros G, Kartas I, Balatsauras D, Kandilaros, Mathos AK. Mucosal change in chronic hypertrophic rhinitis after surgical turbinate reduction. Eur Arch Otorhinolaryngol, (9): Berger G, Gass S, Ophir D. The histopathology of the hypertrophic inferior turbinate. Arch Otol, (6): Dhingra PL. Acute and chronic rhinitis. In: Diseases of Ear, Nose, and Throat. 3rd edition. New Delhi: Elsevier p Rohrich RJ, Krueger JK, Adams WP, Marple, BF. Rationale for submucous resection of hypertrophied inferior turbinates in rhinoplasty: an evolution. Plast and Reconstr Surg, (2): Businco LD, Businco DR, Lauriello M. Comparative study on the effectiveness of coblation-assisted turbinoplasty in allergic rhinitis. Rhinology, : Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In: Soepardi EA, Iskandar, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; p Bousquet J. Allergic rhinitis and its impact on Astma (ARIA) 2008 update (in collaboration with the world health organization, GA(2)LEN and AllerGen. Allergy, (86): Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis Vasomotor. In: Soepardi EA, Iskandar, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. 7th edition. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; p Yanez C, Inferior turbinate debriding technique: ten-year results. J Otolaryngology Head and Neck Surg, (2): Meltzer E, Shekar T, Teper A. Mometasone futoate spray for moderate to severe nasal congestion in subjects with seasonal allergic rhinitis. Allergy Asthma Proc, (2): Caffier P, Frieler K, Scherer H, Sedlmaier B, Goctas O. Rhinitis medicamentosa: therapeutic effect of diode laser inferior turbinate reduction on nasal obstruction and decongestan abuse. Am J Rhinol, (4): Olszwska E, Sieskiewicz A, Kasacka I, Rogowski M, Zukowska M, Soroczynska J, Rutkowska J. Cytology of nasal mucosa, olfactometry and rhinomanometry in patients after CO2 laser mucotomy in inferior turbinates hypertrophy. Folio Histochem Cytobiol, (2):

70 38. Scheithauer MO. Surgery of the turbinates and empty nose syndrome. GMS Curr Top in Otorhinolaryngology Head and Neck Surg, (1): Stilianos I, Kaustakins, Onerci M. Septal and turbinate surgery. In: Goyal P, Hwang P, editors. Rhinologic an Sleep Apnea Surgical Techniques. New York: Springer p Ercan C, Imre A, Pinar E, Erdogan N, Umut Sakarya E, Oncel S. Comparison of submucosal resection and radiofrequency turbinate volume reduction for inferior turbinate hypertrophy: evaluation by magnetic resonance imaging. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg, (3): Belachew T. Radiofrequency turbinate reduction. Medscape [serial online] Feb 18, 2016 [cited 26 July 2016]. Available from URL: Barbieri M, Vicheva D, Barbieri Acience. Egyptian journal of ear, nose throat and allien science. EJENTAS, Friedmann M, Vidyasagar R. Surgical Management of septal deformity, turbinates hypertrophy, nasal valve collapse and choanal atresia. In: Bailey Bj, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and Neck Surgery- Otolaryngology. 4th edition. Philadelpia: Lipincott Williams &Wilkins; p Lee KC, Lee SS, Lee JK. Medial fracturing of the inferior turbinate: effect on the ostiomeatal unit and the uncinate process. Eur Arch Otorhinolaryngol, : Hopkin C, Oxon MA, Rudmik L, Lund VJ. The Predictive Value of the Preoperative Sinonasal Outcome Test-22 Score in Patients Undergoing Endoscopic Sinus Surgery for Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope, : Demir U, Durgut O, Saraydaroglu G, Onart S, Ocakoglu G. Efficacy of radiofrequency turbinate reduction: evaluation by computed tomography and acoustic rhinometry. J Otolaryngol Head Neck Surg, : Bofares KM. Dilemma of inferior turbinate surgery. Global J, (15): Corso ED, Bastanza G, Donfrancesco VD, Guidi NL, Sbarra GM, Passali GC, Poscia A, Waure CD, Paludetti G, Galli J. Radiofrequency volumetric inferior turbinate reduction: long-term clinical results. Acta Otorhinolaryngol Ital, :

71 49. Cavaliere M, Mottola G, Iemma M. Comparison of the effectiveness and safety of radiofrequency turbinoplasty and traditional surgical technique in treatment of inferior turbinate hypertropy. Otolaryngol Head Neck Surg, (6): Garzaro M, Landolfo V, Pezzoli M, Defilippi S, Campisi P, Giordano C, Pecorari G. Radiofrequncy volume turbinate reduction versus partial turbinectomy: clinical and histological features. Am J Rhinol Allergy, (4):

72 LAMPIRAN Lampiran 1. Informed Consent Subjek Penelitian 72

73 Lampiran 2. Data Rekam Medik Subjek Penelitian 73

74 74

75 Lampiran 3. Lembar Kuesioner Penelitian Parameter kuesioner sinonasal outcomes test-22 (SNOT-22) 75

76 Lampiran 4. Surat Jawaban Ijin Penelitian 76

77 Lampiran 5. Analisis Data 1. Analisis Bivariat a. Deskripsi Umur Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Umur ,13 10,654 Valid N (listwise) 31 b. Frekuensi Kategori Umur Kategori umur Valid Frequency Valid Cumulative <20 tahun 6 19,4 19,4 19, tahun 9 29,0 29,0 48, tahun 9 29,0 29,0 77, tahun 6 19,4 19,4 96, tahun 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 c. Frekuensi Jenis Kelamin Jenis kelamin Valid Frequency Valid Cumulative Laki-laki 14 45,2 45,2 45,2 Perempuan 17 54,8 54,8 100,0 Total ,0 100,0 77

78 d. Frekuensi Pekerjaan Pekerjaan Valid Frequency Valid Cumulative Dokter gigi 1 3,2 3,2 3,2 Guru 1 3,2 3,2 6,5 Ibu Rumah Tangga 4 12,9 12,9 19,4 Karyawan 16 51,6 51,6 71,0 Mahasiswa 5 16,1 16,1 87,1 Polisi 1 3,2 3,2 90,3 Wiraswasta 3 9,7 9,7 100,0 Total ,0 100,0 e. Frekuensi Pendidikan Pendidikan Valid Frequency Valid Cumulative SMP 5 16,1 16,1 16,1 SMA 17 54,8 54,8 71,0 Sarjana 8 25,8 25,8 96,8 Swasta 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 f. Frekuensi Status Pernikahan Status pernikahan Valid Frequency Valid Cumulative Sudah menikah 16 51,6 51,6 51,6 Belum menikah 15 48,4 48,4 100,0 Total ,0 100,0 78

79 g. Frekuensi Jenis Asuransi Jenis asuransi Valid Frequency Valid Cumulative BPJS PBI 7 22,6 22,6 22,6 BPJS Non PBI 24 77,4 77,4 100,0 Total ,0 100,0 h. Frekuensi rhinitis alergi Riwayat rhinitis alergi Frequency Valid Cumulative Ya 11 35,5 35,5 35,5 Valid Tidak 20 64,5 64,5 100,0 Total ,0 100,0 i. Frekuensi Rhinitis vasomotor Riwayat rhinitis vasomotor Frequency Valid Cumulative Valid Tidak ,0 100,0 100,0 79

80 j. Distribusi Skor Masing-Masing Parameter Kuesioner SNOT-22 Pra Operasi Perlu menyingsing hidung (pra) Frequency Valid Cumulative Valid Pernah ,0 100,0 100,0 Bersin-bersin (pra) Frequency Valid Cumulative Valid Pernah ,0 100,0 100,0 Hidung berair atau meler (pra) Frequency Valid Cumulative Valid Pernah ,0 100,0 100,0 Valid Keluhan batuk (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 28 90,3 90,3 90,3 Tidak pernah 3 9,7 9,7 100,0 Total ,0 100,0 Valid Produksi cairan hidung bagian belakang (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 27 87,1 87,1 87,1 Tidak pernah 4 12,9 12,9 100,0 Total ,0 100,0 Valid Cairan hidung yang kental (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 2 6,5 6,5 6,5 Tidak pernah 29 93,5 93,5 100,0 Total ,0 100,0 80

81 Rasa penuh pada telinga (pra) Valid Frequency Valid Cumulative Pernah 5 16,1 16,1 16,1 Tidak pernah 26 83,9 83,9 100,0 Total ,0 100,0 Valid Pusing (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 30 96,8 96,8 96,8 Tidak pernah 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 Valid Nyeri telinga (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 2 6,5 6,5 6,5 Tidak pernah 29 93,5 93,5 100,0 Total ,0 100,0 Valid Nyeri atau tekanan di wajah (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 4 12,9 12,9 12,9 Tidak pernah 27 87,1 87,1 100,0 Total ,0 100,0 Valid Sulit memulai tidur (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 30 96,8 96,8 96,8 Tidak pernah 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 81

82 Valid Terbangun malam hari (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 30 96,8 96,8 96,8 Tidak pernah 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 Valid Kurang tidur malam yang berkualitas (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 30 96,8 96,8 96,8 Tidak pernah 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 Valid Terbangun lelah (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 27 87,1 87,1 87,1 Tidak pernah 4 12,9 12,9 100,0 Total ,0 100,0 Valid Kelelahan sepanjang hari (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 29 93,5 93,5 93,5 Tidak pernah 2 6,5 6,5 100,0 Total ,0 100,0 Valid Frustasi atau mudah marah (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 12 38,7 38,7 38,7 Tidak pernah 19 61,3 61,3 100,0 Total ,0 100,0 82

83 Valid Sedih (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 14 45,2 45,2 45,2 Tidak pernah 17 54,8 54,8 100,0 Total ,0 100,0 Valid Malu (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 1 3,2 3,2 3,2 Tidak pernah 30 96,8 96,8 100,0 Total ,0 100,0 Valid Berkurangnya indra penghidu (pra) Frequency Valid Cumulative Pernah 30 96,8 96,8 96,8 Tidak pernah 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 Hidung tersumbat (pra) Frequency Valid Cumulative Valid Pernah ,0 100,0 100,0 83

84 Valid k. Distribusi Skor Masing-masing Parameter Kuesioner SNOT-22 Pasca Operasi Perlu menyingsing hidung (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 29 93,5 93,5 93,5 Tidak pernah 2 6,5 6,5 100,0 Total ,0 100,0 Valid Bersin-bersin (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 30 96,8 96,8 96,8 Tidak pernah 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 Valid Hidung berair atau meler (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 30 96,8 96,8 96,8 Tidak pernah 1 3,2 3,2 100,0 Total ,0 100,0 Valid Keluhan batuk (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 16 51,6 51,6 51,6 Tidak pernah 15 48,4 48,4 100,0 Total ,0 100,0 Valid Produksi cairan hidung bagian belakang (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 13 41,9 41,9 41,9 Tidak pernah 18 58,1 58,1 100,0 Total ,0 100,0 84

85 Valid Cairan hidung yang kental (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 1 3,2 3,2 3,2 Tidak pernah 30 96,8 96,8 100,0 Total ,0 100,0 Valid Rasa penuh pada telinga (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 1 3,2 3,2 3,2 Tidak pernah 30 96,8 96,8 100,0 Total ,0 100,0 Valid Pusing (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 26 83,9 83,9 83,9 Tidak pernah 5 16,1 16,1 100,0 Total ,0 100,0 Valid Nyeri telinga (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 2 6,5 6,5 6,5 Tidak pernah 29 93,5 93,5 100,0 Total ,0 100,0 85

86 Nyeri atau tekanan di wajah (pasca) Frequency Valid Cumulative Valid Tidak pernah ,0 100,0 100,0 Valid Sulit memulai tidur (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 5 16,1 16,1 16,1 Tidak pernah 26 83,9 83,9 100,0 Total ,0 100,0 Valid Terbangun malam hari (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 5 16,1 16,1 16,1 Tidak pernah 26 83,9 83,9 100,0 Total ,0 100,0 Valid Kurang tidur malam yang berkualitas (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 3 9,7 9,7 9,7 Tidak pernah 28 90,3 90,3 100,0 Total ,0 100,0 Valid Terbangun lelah (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 2 6,5 6,5 6,5 Tidak pernah 29 93,5 93,5 100,0 Total ,0 100,0 86

87 Valid Kelelahan sepanjang hari (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 7 22,6 22,6 22,6 Tidak pernah 24 77,4 77,4 100,0 Total ,0 100,0 Valid Produktivitas menurun (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 15 48,4 48,4 48,4 Tidak pernah 16 51,6 51,6 100,0 Total ,0 100,0 Valid Konsentrasi menurun (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 8 25,8 25,8 25,8 Tidak pernah 23 74,2 74,2 100,0 Total ,0 100,0 Valid Frustasi atau mudah marah (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 2 6,5 6,5 6,5 Tidak pernah 29 93,5 93,5 100,0 Total ,0 100,0 87

88 Valid Sedih (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 1 3,2 3,2 3,2 Tidak pernah 30 96,8 96,8 100,0 Total ,0 100,0 Valid Berkurangnya indra penghidu (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 11 35,5 35,5 35,5 Tidak pernah 20 64,5 64,5 100,0 Total ,0 100,0 Malu (pasca) Frequency Valid Cumulative Valid Tidak pernah ,0 100,0 100,0 88

89 Valid Hidung tersumbat (pasca) Frequency Valid Cumulative Pernah 24 77,4 77,4 77,4 Tidak pernah 7 22,6 22,6 100,0 Total ,0 100,0 l. Deskripsi Skor Masing-masing Parameter Kuesioner SNOT-22 Pra Operasi Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Skor gejala pra ,77,762 Skor gejala pra ,65,798 Skor gejala pra ,48,677 Skor gejala pra ,26 1,125 Skor gejala pra ,81 1,276 Skor gejala pra ,29 1,039 Skor gejala pra ,48 1,208 Skor gejala pra ,42,765 Skor gejala pra ,26 1,032 Skor gejala pra ,42 1,177 Skor gejala pra ,77 1,055 Skor gejala pra ,55,925 Skor gejala pra ,48,890 Skor gejala pra ,03 1,303 Skor gejala pra ,13,922 Skor gejala pra ,19 1,046 Skor gejala pra ,42,672 Skor gejala pra ,23 1,586 Skor gejala pra ,32 1,536 Skor gejala pra ,10,539 Skor gejala pra ,42,923 Skor gejala pra ,00,000 Valid N (listwise) 31 89

90 m. Deskripsi Skor Masing-masing Parameter Kuesioner SNOT-22 Pra Operasi Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Skor gejala post ,16,523 Skor gejala post ,06,629 Skor gejala post ,32,541 Skor gejala post ,55,506 Skor gejala post ,45,624 Skor gejala post ,03,180 Skor gejala post ,10,539 Skor gejala post ,19,749 Skor gejala post ,13,499 Skor gejala post ,00,000 Skor gejala post ,19,402 Skor gejala post ,19,402 Skor gejala post ,13,341 Skor gejala post ,10,301 Skor gejala post ,26,445 Skor gejala post ,55,624 Skor gejala post ,26,445 Skor gejala post ,06,250 Skor gejala post ,03,180 Skor gejala post ,00,000 Skor gejala post ,50,624 Skor gejala post ,03,752 Valid N (listwise) 31 90

91 2. Analisis Bivariat a. Uji Normalitas Total Skor Survei SNOT-22 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Total skor kualitas hidup pra operasi Total Skor kualitas hidup pasca operasi,094 31,200 *,941 31,089,138 31,140,962 31,334 *. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction b. Uji Homogenitas Total Skor Survei SNOT-22 Test of Homogeneity of Variances Total skor kualitas hidup pra dan pasca operasi Levene Statistic df1 df2 Sig. 1,025 a 8 19,452 3,085 a 7 13,068 a. Groups with only one case are ignored in computing the test of homogeneity of variance for Total skor kualitas hidup pra dan pasca operasi. c. Uji t-berpasangan Perbedaan Total Skor Survei SNOT-22 Paired Samples Test Mean Paired Differences t df Sig. (2- Std. Std. 95% tailed) Deviation Error Confidence Mean Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 Total skor kualitas hidup pra operasi - Total skor kualitas hidup pasca operasi 50,161 7,179 1,289 47,528 52,795 38,903 30,000 91

92 Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian 92

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata- 1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK ABSTRACT i ii iii iv vii ix xi xii xiv xv xvi BAB

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2007-2009 Oleh: ILAVARASE NADRAJA NIM: 070100313 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling umum dijumpai. RA didefinisikan sebagai suatu penyakit

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU KEMATIAN TERHADAP KEMAMPUAN PERGERAKAN SILIA NASOPHARYNX HEWAN COBA POST MORTEM YANG DIPERIKSA PADA SUHU KAMAR DAN SUHU DINGIN

PENGARUH LAMA WAKTU KEMATIAN TERHADAP KEMAMPUAN PERGERAKAN SILIA NASOPHARYNX HEWAN COBA POST MORTEM YANG DIPERIKSA PADA SUHU KAMAR DAN SUHU DINGIN PENGARUH LAMA WAKTU KEMATIAN TERHADAP KEMAMPUAN PERGERAKAN SILIA NASOPHARYNX HEWAN COBA POST MORTEM YANG DIPERIKSA PADA SUHU KAMAR DAN SUHU DINGIN LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 1 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH TERAPI TOPIKAL AZELAIC ACID DIBANDINGKAN DENGAN NIACINAMIDE+ZINC PADA AKNE VULGARIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti seminar hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rokok merupakan zat adiktif yang dapat mengancam kelangsungan hidup di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) konsumsi

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik 77 BAB V PEMBAHASAN Rancangan penelitian eksperimental murni ini menggunakan dua kelompok subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAYIDIMAN MAGETAN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

HUBUNGAN JENIS TOTAL HIP ARTHROPLASTY TERHADAP DERAJAT FUNGSIONAL PANGGUL DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN FRAKTUR COLLUM FEMORIS

HUBUNGAN JENIS TOTAL HIP ARTHROPLASTY TERHADAP DERAJAT FUNGSIONAL PANGGUL DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN FRAKTUR COLLUM FEMORIS HUBUNGAN JENIS TOTAL HIP ARTHROPLASTY TERHADAP DERAJAT FUNGSIONAL PANGGUL DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN FRAKTUR COLLUM FEMORIS LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PROLANIS 1. Pengertian Prolanis PROLANIS merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegratif yang melibatkan peserta, Fasilitas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2012-2013 Rinitis alergi bukan merupakan penyakit fatal yang mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

Mr rinto, 22 thn KU : discharge hidung kental dan kekuningan

Mr rinto, 22 thn KU : discharge hidung kental dan kekuningan Mx gejala camelia Mr rinto, 22 thn KU : discharge hidung kental dan kekuningan Nasal discharge Ad material spt mucus yg keluar dr hidung. Nama lainnya : Runny nose; Postnasal drip; Rhinorrhea Produksi

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 2 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan survei analitik yaitu untuk mencari hubungan antara dua variabel yaitu menopause dengan Sindroma Mulut Terbakar (SMT).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuantitas perokok di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Data WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dibawah Cina dan India.

Lebih terperinci

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA DHARMA BHAKTI DAN YANG BERSAMA KELUARGA DI KELURAHAN PAJANG

PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA DHARMA BHAKTI DAN YANG BERSAMA KELUARGA DI KELURAHAN PAJANG PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI ANTARA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA DHARMA BHAKTI DAN YANG BERSAMA KELUARGA DI KELURAHAN PAJANG SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

ABSTRAK KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 ABSTRAK KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 Christine Nathalia, 2015; Pembimbing : Dani, dr., M.Kes. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN DISTRIBUSI PENDERITA TONSILEKTOMI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE TAHUN 2009

ABSTRAK GAMBARAN DISTRIBUSI PENDERITA TONSILEKTOMI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE TAHUN 2009 ABSTRAK GAMBARAN DISTRIBUSI PENDERITA TONSILEKTOMI YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE TAHUN 2009 Rikha, 2010 Pembimbing I : dr. Freddy Tumewu A., MS Pembimbing II : dr. Evi Yuniawati,

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE Evan Anggalimanto, 2015 Pembimbing 1 : Dani, dr., M.Kes Pembimbing 2 : dr Rokihyati.Sp.P.D

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI 67 68 69 70 Lampiran 4 KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI Nama Jenis kelamin : L/P Pendidikan ANAMNESIS Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban dari pertanyaan berikut : 1. Keluhan yang menyebabkan

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stroke merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama penyebab kecacatan dan peringkat kedua penyebab kematian di dunia. 1 Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan

Lebih terperinci

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL Samuel, 2007 Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr.,sp.p. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2011 ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA KANKER PARU DI RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2011- DESEMBER 2011 Christone Yehezkiel P, 2013 Pembimbing I : Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. Pembimbing II :

Lebih terperinci

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL DAN DERAJAT NYERI PADA PASIEN LOW BACK PAIN MEKANIK DI INSTALASI REHABILITASI MEDIK RSUP DR.

HUBUNGAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL DAN DERAJAT NYERI PADA PASIEN LOW BACK PAIN MEKANIK DI INSTALASI REHABILITASI MEDIK RSUP DR. HUBUNGAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL DAN DERAJAT NYERI PADA PASIEN LOW BACK PAIN MEKANIK DI INSTALASI REHABILITASI MEDIK RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN PROSENTASE FRAGMENTOSIT ANTARA PENDERITA DM TIPE 2 DENGAN ORANG NON-DM DI PUSKESMAS CIMAHI TENGAH

ABSTRAK PERBANDINGAN PROSENTASE FRAGMENTOSIT ANTARA PENDERITA DM TIPE 2 DENGAN ORANG NON-DM DI PUSKESMAS CIMAHI TENGAH ABSTRAK PERBANDINGAN PROSENTASE FRAGMENTOSIT ANTARA PENDERITA DM TIPE 2 DENGAN ORANG NON-DM DI PUSKESMAS CIMAHI TENGAH Theresia Indri, 2011. Pembimbing I Pembimbing II : Adrian Suhendra, dr., Sp.PK., M.Kes.

Lebih terperinci

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal Penyakit pulpa dan periapikal Kondisi normal Sebuah gigi yang normal bersifat (a) asimptomatik dan menunjukkan (b) respon ringan sampai moderat yang bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes adalah suatu penyakit kronis yang terjadi akibat kurangnya produksi insulin oleh pankreas atau keadaan dimana tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PERMEN KARET YANG MENGANDUNG XYLITOL TERHADAP CURAH DAN ph SALIVA PADA LANSIA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2

PENGARUH PEMBERIAN PERMEN KARET YANG MENGANDUNG XYLITOL TERHADAP CURAH DAN ph SALIVA PADA LANSIA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 PENGARUH PEMBERIAN PERMEN KARET YANG MENGANDUNG XYLITOL TERHADAP CURAH DAN ph SALIVA PADA LANSIA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE 2 LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Epistaksis

Penatalaksanaan Epistaksis 1 Penatalaksanaan Epistaksis Dr. HARI PURNAMA, SpTHT-KL RSUD. Kabupaten Bekasi Pendahuluan Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KUALITAS ASUHAN IBU NIFAS DAN KEPUASAN PASIEN DI RSUD SURAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KUALITAS ASUHAN IBU NIFAS DAN KEPUASAN PASIEN DI RSUD SURAKARTA HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KUALITAS ASUHAN IBU NIFAS DAN KEPUASAN PASIEN DI RSUD SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan NURAINI FAUZIAH R1115072

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE 2008-2012 Oleh : ARCHANAA SAMANTHAN NIM: 100100201 FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR SKRIPSI

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR SKRIPSI HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2013, WHO, (2013) memperkirakan terdapat 235 juta orang yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 berdasarkan hasil survei

Lebih terperinci

ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ)

ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ) ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ) Felicia S., 2010, Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr., SpP., FCCP. Pembimbing II

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi rinitis alergi Rinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada membran mukus hidung akibat inflamasi yang dimediasi oleh IgE pada

Lebih terperinci

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran. Diajukan Oleh: Kiky Putri Anjany J

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran. Diajukan Oleh: Kiky Putri Anjany J 1 HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI ANTIBIOTIK DAN PENGGUNAANANTIBIOTIK TANPA RESEP DOKTER PADA PELAJAR KELAS X, XI, XII DI SMK NEGERI 2 SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013 PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013 SKRIPSI OLEH: Regita Binar Samanta NRP: 1523011041 PRODI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2014 PROFIL PASIEN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KONFIGURASI TANGAN DAN PERGELANGAN TANGAN PADA PASIEN CARPAL TUNNEL SYNDROME DENGAN ORANG NORMAL

PERBANDINGAN KONFIGURASI TANGAN DAN PERGELANGAN TANGAN PADA PASIEN CARPAL TUNNEL SYNDROME DENGAN ORANG NORMAL PERBANDINGAN KONFIGURASI TANGAN DAN PERGELANGAN TANGAN PADA PASIEN CARPAL TUNNEL SYNDROME DENGAN ORANG NORMAL LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

AZIMA AMINA BINTI AYOB

AZIMA AMINA BINTI AYOB Kejadian Anemia Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Jalan dan Ruang Rawat Inap Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RSUP H. Adam Malik, Medan Pada Tahun 2011-2012 AZIMA

Lebih terperinci

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang 77 Artikel Penelitian Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang Hesty Trihastuti, Bestari Jaka Budiman, Edison 3 Abstrak Rinosinusitis kronik adalah inflamasi kronik

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI SALINE NASAL SPRAY TERHADAP PERUBAHAN WAKTU TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI

SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI SALINE NASAL SPRAY TERHADAP PERUBAHAN WAKTU TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI SKRIPSI EFEKTIFITAS TERAPI SALINE NASAL SPRAY TERHADAP PERUBAHAN WAKTU TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA RINITIS ALERGI Oleh: Nama : I Komang Agus Subagiarta NRP : 1523013016 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU

PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU 1 PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci