HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI"

Transkripsi

1 HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) SKRIPSI OCTIASARI H DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 RINGKASAN OCTIASARI. H Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan IMAN FIRMANSYAH). Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor beras dunia merupakan salah satu alasan mengapa upaya peningkatan produksi beras nasional melalui program intensifikasi dan ektensifikasi perlu dilakukan. Di lain sisi, salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan ke penggunaan non pertanian, padahal lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Berdasarkan data Sensus Pertanian , dapat diketahui ratarata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan petani semakin berkurang. Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Semakin sempitnya luas kepemilikan lahan, maka produksi padi yang dihasilkan per rumah tangga petani semakin berkurang, implikasinya pendapatan pun semakin berkurang. Salah satu potret rendahnya rata-rata penguasaan lahan serta rendahnya pendapatan yang di terima oleh masing-masing rumah tangga petani terjadi di Kelompok Tani Harum IV, Kel. Situmekar, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi. Selain itu, seringkali kecilnya kepemilikan lahan petani diikuti oleh timpangnya distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan. Hal ini disebabkan karena terdapat sebagian kecil individu yang mempunyai akses untuk memiliki lahan dalam jumlah yang relatif luas. Sementara itu, terdapat banyak masyarakat yang tidak memiliki akses untuk menguasai lahan. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pola distribusi penguasaan lahan petani padi, menganalisis pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya, menganalisis hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kel. Situmekar, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dan pengambilan responden dilakukan dengan metode sensus. Berdasarkan nilai koefisien Gini, maka distribusi lahan berdasarkan penguasaan dan pengusahaan lahan di lokasi penelitian timpang, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien Gini > 0,5. Berdasarkan analisis pendapatan tunai, usahatani padi memiliki pendapatan usahatani yang positif. Akan tetapi karena luas lahan yang diusahakan relatif kecil, maka pendapatan yang diterima petani relatif kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari hari. Berdasarkan perhitungan pendapatan bersih tunai rumah tangga per musim, maka rata-rata

3 pendapatan usahatani padi adalah sebesar Rp artinya, mereka mendapatkan pendapatan sekitar Rp ,00/bulan dan pendapatan tersebut jauh di bawah UMR. Terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan petani dengan luas pengusahaan lahan sawah. Semakin besar pendapatan usahatani padi, maka luas pengusahaan lahan sawah akan semakin meningkat. Kelompok petani yang responsif dalam meningkatkan pengusahaan lahannya adalah kelompok petani pemilik dan penggarap. Akses untuk mengusahakan lahan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), laju peningkatan luas pengusahaan lahan, produktivitas padi, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, pendapatan usahatani, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, dan umur saat menjadi petani mandiri. Di antara semua faktor yang mempengaruhi tersebut, faktor yang paling signifikan adalah luas lahan sawah yang dikuasai, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), produktivitas, umur petani, luas lahan sawah yang dikuasai, umur saat menjadi petani mandiri, dan luas lahan milik. Di antara semua faktor yang mempengaruhi tersebut, faktor yang paling signifikan adalah usia, luas lahan sawah yang dikuasai, dan umur saat menjadi petani mandiri.

4 HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) OCTIASARI H Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5 Judul Skripsi Nama NIM : Hubungan Penguasaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) : Octiasari : H Disetujui, Pembimbing Drs. Iman Firmansyah, MSi NIP Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP Tanggal Lulus :

6 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Hubungan Penguasaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Octiasari H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Oktober Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Chair Muchlis dan Ibunda Euis Kurnia. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 pada Tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama dapat diselesaikan penulis pada tahun 2004 di SLTP Negeri 4 Bogor. Pendidikan menengah atas dapat diselesaikan penulis pada tahun 2007 di SMA Negeri 5 Bogor. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai Badan Pengawas Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode dan aktif di berbagai kepanitian yang diadakan di Kampus Institut Pertanian Bogor

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Usahatani Padi (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi). Penelitian ini bertujuan menganalisis pola distribusi kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan lahan sawah serta menganalisis hubungan pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2011 Octiasari

9 UCAPAN TERIMA KASIH Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Iman Firmansyah, MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan, dan saran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS atas kesediannya menjadi dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. 3. Yeka Hendra Fatika, SP atas kesediannya menjadi dosen penguji komisi akademik dalam sidang skripsi dan atas segala arahan, bimbingan, waktu, motivasi yang diberikan kepada penulis, serta kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini. 4. Arif Karyadi, SP atas arahan, nasihat, dan waktu yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Keluarga tercinta yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Ires dan Ibu Reni sebagai penyuluh pertanian Kota Sukabumi atas arahan, perhatian, dan waktu yang telah diberikan selama penulis mengumpulkan data. 7. Bapak Kandi dan keluarga yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data. 8. Keluarga besar Kelompok Tani Harum IV atas segala keramahan, keterbukaan, perhatian, tangis dan canda, serta segala informasi yang diberikan untuk penelitian ini. 9. H. Nenden, H. Badrudin, Mualim Jejen, Ibu Tina, Bapak Dadang, dan Ibu Titin atas kesediannya membantu penulis dalam pengujian kuisioner dan atas segala informasi yang diberikan untuk penelitian ini. 10. Seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi, seminar dan sidang. 11. Tim Kesebelasan (Venty, Anten, Putri, Tamie, Haqi, Azie, Agy, Dinar, Jihan, dan Decy) atas dukungan, semangat, dan hari-hari kebersamaan yang indah dan ceria. 12. Hatta, Yahya, Sigit, Pandu, Teh Riska atas kebersamaannya dan menemani menyelesaikan skripsi ini. 13. Teman-teman Agribisnis 44 yang tidak akan pernah saya lupakan.

10 14. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan dukungan yang selama ini telah diberikan kepada penulis. Semoga tali silaturahmi ini akan tetap terjalin dan hanya Allah SWT yang dapat membalas segala amal kebaikan yang telah dilakukan, Amin. Bogor, Agustus 2011 Octiasari

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola dan Distribusi Lahan Petani Pendapatan Usahatani Padi Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Petani Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan 21 III. KERANGKA PEMIKIRAN Teori Usahatani Lahan sebagai Faktor Produksi Pendapatan Usahatani Hubungan Penguasaan Lahan dengan Pendapatan Petani Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan Kerangka Pemikiran Operasional.. 35 IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Penentuan Responden Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan Data Metode Analisis Data Pola dan Distribusi Lahan Petani Analisis Pendapatan Usahatani Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan dan Hubungannya dengan Pendapatan Perhitungan Skor Tingkat Pengunaan Teknologi Definisi Operasional V. GAMBARAN UMUM Wilayah dan Topografi Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar Potensi Lahan Usahatani Situmekar Usatani Tanaman Pangan dan Sayuran Data Kelembagaan Petani vi x iii

12 5.6. Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar Sosial Ekonomi Petani Sistem Penguasaan dan Pengusahaan Lahan VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN Indikator Karakteristik Petani Alasan Responden menjadi Petani Status Responden ketika menjadi Petani Keragaan Kelompok Umur Petani Keragaan Pengalaman Bertani Keragaan Tingkat Pendidikan Petani Jumlah Tanggungan Keluarga Rumah Tangga Petani Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani berdasarkan Kelompok Umur dan Jumlah Tanggungan Keluarga Keterampilan yang Dimiliki Petani berdasarkan Kategori Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi Jenis Keterampilan yang Dimiliki Petani selain Berusahatani Padi berdasarkan Kategori Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi Pekerjaan Rumah Tangga Petani di Luar Sektor Pertanian berdasarkan Kategori Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi Alokasi Waktu Kerja Rata-Rata Petani Indikator Keaktifan Responden Transaksi Pengadaan Lahan Rata-Rata Biaya Sewa Garapan Usahatani Padi (Kg/Ha) Keragaan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga Rumah Tangga Petani Peranan Keluarga dalam Meningkatkan Penguasaan Lahan Sumber Pendanaan Peningkatan Penguasaan Lahan Nilai Aset Petani Penggarap Nilai Aset Petani Pemilik dan Penggarap Nilai Aset Total Petani VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN Keragaan Pengusahaan Lahan Rumah Tangga Petani Keragaan Pengusahaan Lahan Rumah Tangga Petani untuk Tanaman Padi Hubungan Kekerabatan antara Pemilik dan Penggarap Rata-Rata Lama Waktu Menggarap Lahan dengan Sistem Garap Sewa Tingkat Penggunaan Tingkat Teknologi Rata-Rata Skor dan Distribusi Tingkat Penggunaan Tingkat Teknologi Ketimpangan Penguasaan dan Pengusahaan Lahan iv

13 VIII. ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PADI Rata-Rata Produksi Padi Petani (Return to Land) Penerimaan Usahatani Padi Rata-Rata Petani Biaya Usahatani Padi Rata-Rata Petani Pendapatan Tunai Rata-Rata Petani Pendapatan Tunai Bersih Rata-Rata Petani Pendapatan Bersih per Rumah Tangga Petani setiap Musim IX. HUBUNGAN ANTARA PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI Hubungan antara Luas Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi Hubungan antara Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi X. ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v

14 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Ekspor-Impor Beras Indonesia Tahun Konversi Lahan Pertanian di Indonesia (Hektar) Jumlah RTP Pengguna Lahan menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993, Luas Wilayah, Jumlah Petani, dan Luas Sawah Irigasi Desa Tiap Kecamatan Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993, dan Potensi Lahan Sawah berdasarkan Jenis Pengairan di Kec. Lembursitu Tahun Potensi Lahan Darat dan Kolam berdasarkan Penggunaan di Kec. Lembursitu Tahun Keadaan Usahatani Tanaman Pangan dan Sayuran Kelurahan Situmekar Tahun Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar Tahun Tingkat Kemampuan Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Distribusi Responden berdasarkan Status Pengusahaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Beberapa Indikator Karakteristik Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Alasan Responden menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Status Responden ketika menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Keragaan Kelompok Umur Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Pengalaman Berusahatani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Keragaan Tingkat Pendidikan Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Jumlah Tanggungan Keluarga Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani berdasarkan Kelompok Umur dan Jumlah Tanggungan Keluarga di Kelompok Tani vi

15 Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Keterampilan yang Dimiliki Petani berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Jenis Keterampilan yang Dimiliki Petani Selain Berusahatani Padi berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Pekerjaan di Luar Sektor Pertanian Rumah Tangga Petani berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Alokasi Waktu Kerja Rata-rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Indikator Keaktifan Responden di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Transaksi Pengadaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Rata-rata Biaya Sewa Garapan Usahatani Padi (kg/ha) di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Keragaan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Peranan Keluarga dalam Meningkatkan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Sumber Pendanaan Peningkatan Pengusahaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Keragaan Penguasaan dan Pengusahaan Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Luas Total Pengusahaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Rata-rata Luas Lahan Padi Tiap Persil di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Luas Lahan Pemilik dan Penggarap Sewa (ha) pada Pengusahaan Tanaman Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Luas Lahan Pemilik dan Penggarap Akad (ha) pada Pengusahaan Tanaman Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Keragaan Pengusahaan Lahan Padi MT Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Sumber Perolehan Lahan Sawah Hak Milik Pada Saat vii

16 Pertama Kali menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Sumber Perolehan Lahan Sawah bukan Hak Milik Padaa Saat Pertama Kali menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Kriteria Pemilihan Lahan untuk Peningkatan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Alasan Penambahan dan Pengurangan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Responden yang Mengalami Pemindahan Hak Garap/Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Alasan Terjadinya Pemindahan Hak Garap/Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Hubungan Kekerabatan antara Pemilik dan Penggarap di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Rata-rata Lama Waktu (Tahun) Menggarap Lahan dengan Sistem Garap Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Tingkat Penggunaan Teknologi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Rata-rata Skor dan Distribusi Tingkat Penggunaan Teknologi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Perhitungan Koefisien Gini (G) untuk Berbagai Kategori Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Keragaan Lahan yang Dikuasai Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Lahan yang Diusahakan Padi oleh Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Lahan Milik yang Diusahakan Padi oleh Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi terhadap Luas Pengusahaan Lahan Sawah Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent variable untuk Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi terhadap Luas Pengusahaan Lahan Sawah viii

17 54. Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi terhadap Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent Varible untuk Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah Rata-Rata Pengusahaan Lahan Sawah berdasarkan Status Penguasaan Lahan yang Didekati oleh Model Persamaan dan Kondisi Saat Ini di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent Varible untuk Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah ix

18 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran Operasional Hubungan Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Nilai Aset Petani Penggarap di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Nilai Aset Petani Pemilik dan Penggarap di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Nilai Aset Total Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Grafik Distribusi Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Grafik Distribusi Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Grafik Distribusi Lahan Milik yang Diusahakan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Indikator Produksi Padi Rata-rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Indikator Penerimaan Usahatani Padi Rata-rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Indikator Biaya Usahatani Padi Rata-rata di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Indikator Pendapatan Rata-rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Indikator Pendapatan Bersih Rata-rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Indikator Pendapatan Bersih Per Rumah Tangga Petani Setiap Musim di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun x

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), peranan penting sektor pertanian dalam arti luas (Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan) dapat terlihat dari kontribusinya terhadap nilai PDB, atas dasar harga berlaku tahun 2010 PDB pertanian sebesar 985,1 triliun rupiah atau sebesar 15,33 persen terhadap total nilai PDB. Selain itu, sektor pertanian juga mampu menyerap tenaga kerja sebesar jiwa atau sebesesar 38,35 persen terhadap total nilai tenaga kerja 1. Peran penting sektor pertanian lainnya dapat terlihat dari sumbangannya terhadap devisa negara. Total devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor pertanian di tahun 2008 mampu mencapai US$ juta 2. Salah satu produk pertanian strategis Indonesia yang menjadi komoditi utama ketahanan pangan nasional adalah padi. Padi merupakan sumber makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia, ketersediannya sangat tergantung pada dinamika produksi dan konsumsi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010), produksi padi dari tahun mengalami peningkatan sebesar 9,37 persen. Pada tahun 2010, produksi padi sebesar ton Gabah Kering Giling (GKG), dengan tingkat rendemen sebesar 0,6 jumlah ketersediaan gabah tersebut diperkirakan setara dengan ton beras. Untuk melihat dinamika kebutuhan beras nasional, dapat didekati dari tingkat konsumsi beras per kapita. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS), Subagio Dwijosumono, asumsi konsumsi beras per kapita per tahun rakyat Indonesia sebanyak 139,15 kg 3. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhan konsumsi jiwa penduduk Indonesia, diperlukan beras sebanyak 38 juta ton. Sekilas berdasarkan perhitungan angka angka statistik tersebut, terlihat bahwa Indonesia sebetulnya mengalami surplus beras. Akan tetapi dengan melihat fakta Badan Pusat Statistik Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan [26 Maret 2011]. Kementrian Pertanian Rancangan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. [28 Maret 2011]. Berita Terbaru BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton. [29 Maret 2011]. 1

20 adanya impor beras yang jumlahnya relatif besar dan kelangkaan beras di penghujung tahun 2010, mengindikasikan kenyataan sebaliknya, bahwa ketersediaan beras nasional Indonesia belum aman dan masih tergantung pada impor luar negeri. Keragaan ekspor dan impor beras Indonesia dapat terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, impor beras di tahun 2008 mencapai ,411 ton. Namun, pada tahun 2009 jumlah tersebut menurun 13,5 persen menjadi sebesar ,149 ton. Pada tahun 2010 impor beras kembali mengalami penurunan sebesar 31,6 persen menjadi sebesar ,022 ton. Akibat kelangkaan beras di akhir tahun 2010, pada tahun 2011 ini, pemerintah telah mengeluarkan izin impor beras sebanyak 1,5 juta ton untuk mencukupi stok Badan Urusan Logistik (Bulog) 4. Terakhir Indonesia mengimpor beras dalam jumlah besar pada tahun 1998 sebesar 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada tahun 1999 dengan rata-rata impor sebesar 2 juta ton/tahun 5. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara importer beras terbesar di dunia dan menunjukkan rentannya kemandirian pangan, padahal sejarah mencatat pada tahun 1984 Indonesia mampu mendapatkan penghargaan oleh Badan Pangan Sedunia (FAO) karena dinilai telah berhasil memenuhi kebutuhan pangan nasional (swasembada beras). Tabel 1. Ekspor-Impor Beras Indonesia Tahun Tahun Ekspor (Ton) Laju Ekspor (%) Impor (Ton) Laju Impor (%) , , , , ,284-91, ,6 2011* Sumber : Badan Pusat Statistik (2010) Ket : *) Rencana Impor Bulog Berita Terbaru BPS: Jika dihitung, Indonesia Surplus Beras 4 Juta Ton. [29 Maret 2011]. Husodo SY Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhan bagi Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat Artikel - Th. II - No [16 April 2011] 2

21 Salah satu upaya mengurangi impor beras adalah dengan peningkatan produksi padi. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu intensifikasi dan ektensifikasi. Salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Masalah ini muncul seiring dengan semakin tinggi dan bertambahnya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, khususnya dari sektor non pertanian seperti sektor perumahan, sebagai dampak kegiatan pembangunan. Salah satu sumber data yang menjadi acuan dalam menjelaskan terjadinya konversi lahan adalah Sensus Pertanian (SP) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. SP dilakukan secara periodik setiap 10 tahun sekali, mulai 1973, 1983, 1993, dan Berdasarkan hasil Sensus Pertanian yang sudah dilakukan selama tiga dekade terakhir, yaitu pada tahun 1983, 1993, dan 2003 oleh Badan Pusat Statistik (Tabel 2), selama periode konversi lahan pertanian mencapai ha, dan sebagian besar terjadi di Jawa (79,3 persen). Pada dasawarsa berikutnya ( ), besaran konversi lahan pertanian relatif tidak mengalami perubahan yang berarti, yaitu sebesar ha, dan sebagian besar terjadi di Sumatera (92,3 persen). Sejalan dengan dinamika pembangunan, sebaran konversi lahan pertanian cenderung mengalami pergeseran dari Jawa ke luar Jawa terutama Sumatera. Tabel 2. Konversi Lahan Pertanian di Indonesia, (Hektar) Wilayah Total lahan pertanian Konversi lahan SP ) SP ) SP ) Jawa Bali & Nusa Tenggara Sumatera Sulawesi Kalimantan Maluku Irian Jaya INDONESIA Sumber: Badan Pusat Statistik 2004, diacu dalam Lokollo et al ) Sensus Pertanian Seri J3, ) Sensus Pertanian Seri J3, ) Sensus Pertanian Seri A3, 2003 Selama kurun waktu , luas areal pertanian di Jawa mengalami 3

22 pengurangan sebanyak ha atau sebanyak ,1 ha/tahun. Konversi lahan pertanian ke non pertanian berdasarkan ketentuan UUPA No 5 Tahun 1960 dibenarkan jika dalam waktu yang bersamaan terjadi pencetakan lahan pertanian baru yang disesuaikan dengan kualitas lahannya. Minimnya program pencetakan lahan baru, menyebabkan dampak utama konversi lahan adalah berkurangnya produksi pertanian. Seberapa besar dampak kehilangan ini dapat digambarkan dengan ilustrasi jika semua luas areal pertanian yang hilang tersebut dimanfaatkan untuk budidaya padi. Dengan asumsi intensitas pertanaman (IP) sebesar 150, produktifitas padi sebesar 5,6 ton/ha serta rendemen gabah-padi sebesar 60 persen, maka konversi lahan telah mengurangi potensi gabah sebesar ,04 ton gabah/tahun atau ,62 ton beras/tahun, dengan harga beras medium saat ini sebesar Rp 6000/kg, maka nilai kehilangan beras diperkirakan sebesar 2,12 triliun rupiah/tahun. Oleh karena itu, pengendalian laju konversi sangat penting dilakukan untuk tercapainya ketersediaan beras nasional. Jika konversi terus berlangsung dan upaya untuk melaksanakan ekstensifikasi tidak terwujud atau terkendala, maka produksi gabah atau beras nasional akan semakin berkurang. Upaya pengendalian konversi lahan pertanian tersebut menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini mengalami stagnasi akibat terkendala oleh kejenuhan teknologi. Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. Dengan kata lain, eksistensi lahan dapat dianggap sebagai tumpuan dalam produksi usahatani khususnya padi untuk memenuhi ketersediaan beras nasional. Oleh karena itu, upaya untuk terus meningkatkan penguasaan dan pengusahaan lahan secara optimal, khususnya lahan sawah perlu semakin ditingkatkan dengan pertimbangan: (a) swasembada beras saat ini masih belum stabil, kemungkinan impor beras masih mungkin terjadi, salah satu penyebab utamanya adalah peningkatan bencana alam di Indonesia; (b) pasar pangan padi di dunia semakin kecil, akibat negara produsen padi cenderung untuk mengamankan produksi dalam negerinya; (c) keterbatasan devisa Indonesia, sebagai gambaran selama periode devisa negara berkurang sebanyak 14,7 triliun rupiah per tahun untuk mengimpor beras; (d) berkembangnya 4

23 bioenergi yang berdampak terhadap menurunnya ketersediaan pangan yang berimplikasi terhadap peningkatan harga pangan secara umum; dan (e) mengimbangi pertumbuhan penduduk Indonesia yang selalu bernilai positif (Surya 2011). Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Tabel 3 menyajikan data SP 1983, 1993 dan 2003 mengenai jumlah rumah tangga pertanian (RTP) penggunaan lahan berdasarkan luas lahan yang dikuasai. Berdasarkan tabel tersebut terlihat jumlah rumah tangga petani pengguna lahan yang < 0,49 ha mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika pada tahun 1983 jumlahnya sebanyak 7,600,964 RTP, maka pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 14,064,589 RTP. Dengan demikian kenaikan jumlah RTP luas lahan < 0,49 ha selama 20 tahun sebesar 85,04 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Berkurangnya lahan yang dikuasi oleh petani mengindikasikan kesejahteraan petani semakin berkurang. Tabel 3. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan Luas Lahan (ha) RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) RTP Luas Lahan (Ha) < ,600,964 1,767,400 9,580, ,385 14,064, , ,000,264 2,655,352 4,373,203 3,906,272 4,578,053 4,581, ,179,270 4,087,770 4,422,493 4,253,652 3,460,406 4,988, > 2 2,298, ,172 2,779,390 7,784,770 2,801,627 9,130, ,079,403 9,343,785 21,156,058 16,775,133 24,904,764 19,673, Sumber: Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al Semakin sempitnya luas kepemilikan lahan, maka produksi padi yang dihasilkan per rumah tangga petani semakin berkurang, implikasinya pendapatan 5

24 petani pun semakin berkurang. Dilihat dari perspektif penguasaan lahan, salah satu upaya yang akan dilakukan oleh petani untuk mempertahankan kehidupannya pada kondisi pendapatan petani semakin berkurang adalah dengan cara meningkatkan penguasaan lahan. Penguasaan lahan oleh petani dapat dilakukan dengan cara membeli, menyakap, menyewa, dan meminjam. Mengingat profil petani Indonesia yang sebagian besar merupakan kelompok berpendapatan rendah, maka upaya penguasaan lahan yang paling banyak dilakukan oleh petani adalah dengan cara menyakap, menyewa dan meminjam Perumusan Masalah Pembangunan pertanian di Indonesia dihadapkan pada berbagai perubahan kondisi sosial ekonomi petani dan usaha pertanian di perdesaan. Beberapa perubahan yang juga menjadi permasalahan dalam pembangunan pertanian di Indonesia, antara lain: (1) semakin meningkatnya Rumah Tangga Petani, sementara pengusahaan dan penguasaan lahan pertanian per keluarga petani semakin kecil, yang diakibatkan karena tingginya laju konversi lahan ke penggunaan non pertanian; (2) Tenaga kerja pertanian didominasi oleh tenaga kerja usia tua serta tidak tertariknya tenaga kerja muda dan berpendidikan tinggi untuk bekerja di sektor pertanian; (3) Ada kecenderungan menurunnya penggunaan berbagai input produksi (pupuk dan pestisida) disebabkan daya beli dan nilai tukar petani yang makin menurun; dan (4) Peranan sektor pertanian pada PDB semakin menurun, namun tidak diikuti oleh menurunnya penyerapan tenaga kerja. Hal ini menyebabkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian relatif rendah dibanding sektor non pertanian sehingga pendapatan rumah tangga petani yang diperoleh rendah (Lokollo et al. 2007). Gambaran terhadap tantangan pembangunan pertanian di atas juga diperkuat dari beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh dari hasil Sensus Pertanian tahun , yaitu: (1) jumlah rumah tangga petani semakin meningkat dan peningkatan tersebut didominasi oleh petani dengan skala < 0,5 ha, (2) rata-rata kepemilikan lahan petani yang termasuk ke dalam kelompok < 0,5 ha semakin kecil, dan (3) semakin banyaknya petani yang tidak memiliki lahan atau tunakisma. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka dapat muncul suatu pertanyaan Apakah 6

25 dengan semakin kecilnya kepemilikan lahan pertanian akan berpengaruh terhadap semakin kecilnya pendapatan petani?. Status lahan pertanian dapat dilihat berdasarkan penguasaan dan pengusahaan lahan. Penguasaan lahan diartikan sebagai lahan yang dikuasai oleh petani dan dilakukan melalui pembelian lahan, sakap, sewa, gadai, dan pinjam. Akan tetapi tidak semua lahan yang dikuasi tersebut diusahakan oleh petani. Besar kecilnya penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian dapat berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani, tergantung pada struktur mata pencaharian rumah tangga petani. Kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y (2003) tentang Hubungan Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga di Perdesaan, memberikan gambaran sebegai berikut ini: pertama, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor pertanian, maka terjadi pola hubungan yang positif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Kedua, jika mata pencaharian rumah tangga petani di dominasi dari sektor non pertanian, maka terjadi hubungan yang negatif antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Dengan demikian, konsep yang tepat untuk menggambarkan hubungan antara status lahan dan pendapatan petani bukan dengan konsep penguasaan lahan melainkan dengan konsep pengusahaan lahan. Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Sebagai salah satu kota di Propinsi Jawa Barat, dinamika penguasaan lahan rumah tangga petani di Kota Sukabumi menarik untuk dikaji dengan pertimbangan sebagai berikut ini : 1. Berdasarkan data Sensus Pertanian terakhir, yaitu Sensus Pertanian Tahun 2003, rata rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian di Kota Sukabumi sebesar 0,14 ha, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Cianjur yang memiliki rata rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani sebesar 0,15 ha. Kita semua mengetahui bahwa Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten sentra produksi beras, meskipun demikian merupakan hal yang menarik untuk mempelajari karakteristik petani di Kota Sukabumi terutama hubungannya dengan penguasaan dan pengusahaan 7

26 lahan, mengingat rata rata kepemilikan lahannya yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Cianjur. 2. Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia tahun 2010, dibandingkan dengan kota lainnya di Jawa Barat seperti Kota Bogor, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, dan Kota Tasikmalaya, maka inflasi untuk sektor perumahan di Kota Sukabumi adalah yang paling tinggi, yaitu sebesar 11,32 persen 6. Mencermati angka inflasi tersebut terlihat bahwa prospek industri perumahan di Kota Sukabumi sangat baik, terlebih setelah lesunya industri perumahan di Kota Depok dan Bekasi yang ditandai dengan nilai inflasi yang negatif. Membaiknya prospek industri perumahan di Kota Sukabumi akan mengakibatkan besarnya permintaan akan lahan, sehingga dengan kata lain permintaan lahan yang tinggi akan memicu terjadinya konversi lahan. 3. Konversi di Kota Sukabumi secara tidak langsung akan mempengaruhi pola distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan oleh rumah tangga petani. Pola distribusi penguasaan lahan selanjutnya akan berhubungan dengan pendapatan rumah tangga petani. Tabel 4. Luas Wilayah, Jumlah Petani, dan Luas Sawah Irigasi Desa Tiap Kecamatan 2007 No Kecamatan Luas (Km 2 ) Jumlah Petani Luas Lahan Sawah Luas Panen Bersih (ha) Produktifitas Padi (ton/ha) Produksi Padi (ton) 1 Baros 6, ,60 707,75 8, ,71 2 Citamiang 4, ,41 279,30 7, ,27 3 Warudoyong 7, ,99 690,65 7, ,15 4 Gunung Puyuh 5, ,70 482,60 8, ,47 5 Cikole 7, ,98 387,60 7, ,71 6 Lembursitu 8, ,70 641,25 8, ,13 7 Cibeureum 8, ,44 895,85 7, ,62 Sumber: Kota Sukabumi dalam Angka (2008) 6 Berdasarkan Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jawa Barat oleh Bank Indonesia pada triwulan 4 tahun 2010, diketahui inflasi sektor perumahan di tiap kota di Jawa Barat, yaitu ;Kota Sukabumi 11,32 persen, Kota Bogor 1,62 persen, Kota Bandung 1,74 persen, Kota Cirebon 3,64 persen, Kota Bekasi 0,29 persen, Kota Depok, -0,69 persen dan Kota Tasikmalaya 6,47 persen. 8

27 Secara administratif, Kota Sukabumi terbagi menjadi 7 (tujuh) kecamatan, yaitu Kecamatan Baros, Citamiang, Warudoyong, Gunung Puyuh, Cikole, Lembursitu, dan Cibeureum. Tabel 4 menyajikan luas wilayah, jumlah petani, luas sawah irigasi desa, luas panen bersih, produktifitas padi dan produksi padi di tiap tiap kecamatan. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa dari luas wilayah, Kecamatan Lembursitu paling luas dibandingkan kecamatan lainnya, selain itu jumlah petani di Kecamatan Lembursitu pun paling banyak, akan tetapi jika dilihat dari luas areal sawah irigasi desa, Kecamatan Cibeureum merupakan kecamatan yang paling luas areal sawah irigasinya. Jika dikaitkan dengan isu ketimpangan penguasaan lahan, maka kajian terhadap Kecamatan Lembursitu akan lebih menarik dibandingkan dengan kecamatan lainnya, dengan jumlah petani yang relatif banyak, akan tetapi luas panen bersih tanaman padi yang tidak sebesar Kecamatan Cibeureum dan Warudoyong, maka diperkirakan bahwa rata-rata penguasaan lahan sawah petani di Kecamatan Lembursitu relatif kecil jika dibandingkan dengan Cibeureum dan Warudoyong. Gejala awal konversi akan terlihat dari perpindahan hak milik yang mengakibatkan ketimpangan pola distribusi lahan. Dengan rata-rata kepemilikan lahan yang kecil, maka diperkirakan pola distribusi penguasaan lahan di Kecamatan Lembursitu relatif timpang. Kondisi ini dapat mengakibatkan terhadap perubahan struktur petani yang didominasi oleh kelompok petani penggarap. Kelurahan Situmekar merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi yang memiliki potensi dalam menghasilkan padi sawah. Luas areal lahan sawah berdasarkan jenis pengairan di Kelurahan Situmekar mencapai 63,330 ha (40,84 % dari luas Kelurahan Situmekar sebesar 155,040 ha). Meskipun sistem irigasi yang digunakan hanyalah sistem irigasi sederhana, namun kelurahan ini mampu menghasilkan kualitas padi sawah terbaik dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lain yang ada di Kecamatan Lembursitu, karena letaknya yang paling dekat dengan sumber air yaitu dekat dengan Sungai Cikadulawang. Hal lainnya yang menarik untuk di kaji di Kelurahan Situmekar adalah rendahnya rata rata penguasaan lahan dan adanya gap pendapatan antara petani pemilik lahan dengan petani bukan pemilik lahan. Salah satu potret rendahnya 9

28 rata-rata penguasaan lahan dan adanya gap pendapatan antara petani pemilik lahan dengan petani bukan pemilik lahan terjadi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian kota Sukabumi tahun 2009, rata-rata penguasaan lahan sawah di Kelompok Tani Harum IV, baik berdasarkan pengelompokan lahan milik dan bukan milik (sewa, bagi hasil/sakap, gadai, dan pinjam) adalah sebesar 0,09 ha/petani dengan jumlah petani sebanyak 32 orang. Selain itu berdasarkan hasil pendataan penyuluh pertanian (2008), terdapat gap yang cukup besar pada rata-rata tingkat pendapatan usahatani/ha/tahun antara petani lahan milik dan petani bukan milik, yaitu masing-masing sebesar Rp ,00 dan Rp ,00, sehingga diperkirakan kecenderungan pendapatan yang diperoleh antara petani lahan milik dan bukan milik masing masing sebesar Rp ,00 per bulan dan Rp ,25 per bulan. Hal ini tentu saja jauh dari standar upah minimum regional (UMR) atau ukuran kesejahteraan di wilayah manapun. Kecilnya pendapatan dari usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, mengakibatkan RTP mencari pekerjaan lain di luar usahataninya untuk melindungi mereka dari tingkat kesejahteraan yang semakin menurun. Menurut Handewi et al. (2002) peranan pendapatan yang berasal dari usahatani padi pada berbagai strata penguasaan lahan sawah diperkirakan hanya dapat mengatasi 21 persen hingga 38 persen terhadap keseluruhan pengeluaran rumah tangga sehingga petani padi harus meningkatkan luasan penguasaan lahan sawahnya apabila ingin mengatasi pengeluaran rumah tangganya dan tetap fokus dalam usahatani padi. Berdasarkan uraian sebelumnya, kajian terhadap status lahan dan pendapatan petani di Kota Sukabumi dimulai dengan pemahaman terhadap tingginya inflasi perumahan yang memungkinkan terjadinya konversi lahan di wilayah tersebut. Motivasi petani untuk menjual atau mempertahankan lahan yang dimilikinya akan dipengaruhi oleh persepsi petani atas kemampuan usahatani dalam menghidupi keluarganya. Kemampuan petani dalam meningkatkan penguasaan lahan pertanian akan mempengaruhi terhadap struktur pendapatan rumah tangga pertanian, apakah rumah tangga tersebut akan bergantung pada 10

29 sektor pertanian atau tergantung pada sektor non pertanian. Dengan demikian berdasarkan uraian permasalahan, penulis mencoba untuk merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut ini: 1) Bagaimana pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi? 2) Apakah terdapat perbedaan pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi? 3) Apakah terdapat hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi? 4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1) Menganalisis pola distribusi penguasaan lahan petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. 2) Menganalisis pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. 3) Menganalisis hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. 4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. 11

30 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: (1) penulis sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu; (2) petani sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam melakukan penguasaan lahan di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi; (3) pihak penyuluh pertanian sebagai bahan informasi dan evaluasi program yang akan datang; (4) pemerintah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik; dan (5) peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian ini pada tahap berikutnya Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional yaitu Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi, Propinsi Jawa Barat dengan padi sawah sebagai komoditi yang akan diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani padi sawah yang tergabung dalam Kelompok Tani Harum IV. Objek penelitian ini meliputi penguasaan lahan yang dibedakan berdasarkan statusnya serta faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan dalam penelitian ini adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani. Selain itu, untuk memenuhi tujuan penelitian tentang hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani, maka yang menjadi variabel dependentnya adalah luas pengusahaan lahan sawah, sedangkan yang menjadi variabel independentnya adalah pendapatan. Hubungan ini tidak bersifat simultan, artinya dalam penelitian ini tidak dilakukan hubungan sebaliknya. 12

31 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Menurut Wiradi (2008) dalam tulisannya tentang Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, istilah land tenure dan land tenancy sebenarnya merupakan dua sejoli, namun pengertian atau bidang yang diartikan oleh masingmasing istilah tersebut dalam penggunannya agak berbeda. Kata land memang sudah jelas yaitu tanah, sedangkan kata tenure berasal dari kata dalam bahasa latin tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Oleh karena itu, land tenure memperoleh arti: hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti hak milik, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjukkan kepada pendekatan juridis. Artinya penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung. Kata land tenancy secara etimologis adalah saudara kembar dari kata land tenure. Sebab, kata tenant mempunyai arti: orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Tetapi, suatu uraian yang menggunakan istilah ini biasanya menunjuk kepada pendekatan ekonomis. Artinya, penelaahannya meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Objek penelaahan itu biasanya berkisar di sekitar pembagian hasil antara pemilik dan penggarap tanah, faktor-faktor tenaga kerja, investasi-investasi, besarnya nilai sewa, dan sebagainya. Di Indonesia, nampaknya soal peristilahan hubungan penguasa tanah belum dibakukan. Ada yang berpendapat bahwa land tenancy sebaiknya diterjemahkan dengan penyakapan. Dengan demikian maka hubungan-hubungan sewa-menyewa, bagi hasil, kedokan, ceblokan, gadai, dan sebagainya tercakup dalam istilah penyakapan. Tetapi ada juga yang menggunakan istilah penyakapan khusus untuk menunjuk kepada bagi hasil (misal Studi Dinamika Perdesaan 13

32 Survei Agro Ekonomi atau SDP-SAE). Sedangkan hubungan-hubungan lainnya disebut dengan istilah aslinya (sewa-menyewa dan sebagainya). Kiranya perlu juga dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 56/1960, atau yang dikenal sebagai UU Land Reform, batas luas maksimum dikenakan bukan saja pada pemilikan tanah tetapi juga penguasaan tanah (Pasal 1 Undang-Undang No 56/1960). Kata pengusahaan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Susilowati dan Suryani (1996) serta Suhartini dan Mintoro (1996) juga mengutarakan hal mengenai pemahaman pola pemilikan dan pengusahaan lahan. Pola pemilikan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan suatu indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya bagi tingkat kesejahteraan itu sendiri. Namun demikian, pola pemilikan lahan dapat dijadikan gambaran tentang pemerataan penguasaan faktor produksi utama di sektor pertanian yang dapat dijadikan sumber pendapatan bagi pemiliknya. Pada pola pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga petani (RTP). Perbandingan antara tingkat pemilikan lahan dengan tingkat pengusahaan lahan dapat menunjukkan gambaran mengenai kemampuan RTP dalam mengusahakannya. Di samping itu, dengan melihat pola pengusahaan lahan dapat dilihat suatu gambaran mengenai adanya transaksi pelepasan lahan dari pemilik lahan kepada penggarap, sehingga penggarap dapat aktif dalam kegiatan produksi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi perdesaan. Adanya transaksi pelepasan lahan dari pemilik ke penggarap akan menciptakan suatu sistem pasar lahan di 14

33 perdesaan dan terciptanya suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara petani pemilik lahan dengan penggarap (Saleh dan Zakaria 1996). Sumaryanto (1996) memasukan hak pengusahaan atau penggarapan bersama hak kepemilikan dalam cakupan hak penguasaan. Hak pengusahaan merupakan salah satu produk kelembagaan sehingga dinamikanya berkaitan erat dengan perubahan nilai, norma atau hukum yang dianut dan berlaku dalam suatu komunitas. Dibandingkan dengan hak kepemilikan, derajat okupasi hak pengusahaan lebih rendah. Pemilik mempunyai hak dan kewenangan untuk menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan lahannya itu kepada orang lain, sedangkan penggarap pada hakekatnya hanyalah memiliki hak untuk mengelola atau menggarap lahan tersebut sebagaimana diatur dalam sistem kelembagaan yang lazim dianut dalam komunitas tersebut. Sugiarto (1996) dan Syukur et al. (1996) membagi sistem kelembagaan pengusahaan lahan menjadi empat bagian, yakni : sistem sewa-menyewa, sistem bagi hasil, sistem gadai dan sistem kombinasi. Sistem sewa merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain dengan imbalan yang pada umumnya berupa uang tunai kepada pemilik lahan. Besarnya tingkat sewa biasanya ditentukan sesuai dengan harga pasar lahan setempat. Selanjutnya setelah transaksi sewa terjadi maka pengelolaan atas lahan dan risikonya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penyewa. Sistem sakap atau bagi hasil merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain, dimana antara pemilik dan penggarap terjadi ikatan pengusahaan usahatani dan pembagian produksi. Dalam sistem sakap, pemilik lahan menyediakan lahan sedangkan penggarap menyediakan tenaga kerja sepenuhnya. Siapa yang menanggung sarana produksi dan bagaimana pembagian hasil produksi tergantung dari tradisi setempat dan perjanjian sebelumnya. Sistem gadai merupakan pengalihan hak garap kepada orang lain yang sifatnya lebih sebagai jaminan atas pinjaman pemilik lahan terhadap penggarap. Dibandingkan dengan sewa, penetapan besarnya nilai lahan pada gadai tidaklah selugas sewa dan sangat tergantung kepada lamanya pemilik lahan mampu mengembalikan pinjamannya. Pada umumnya pemilik uang (dalam hal ini sebagai penggarap atau yang mengusahakan lahan tersebut) sebagai penentu harga. Sistem kombinasi merupakan sistem modifikasi bentuk pengusahaan lahan, seperti: 15

34 pemilik-penyewa, pemilik-penyakap, pemilik-penggadai, penyewa-penyakap, penyewa-penggadai, penyakap-penggadai dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem penguasaan lahan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu : (1) petani yang mengusahakan lahan milik sendiri, (2) petani yang mengusahakan lahan bukan milik sendiri, dan (3) gabungan dari keduanya. Bagi petani yang mengusahakan lahan orang lain dapat dilakukan dengan cara menyewa, bagi hasil/sakap, dan gadai serta sangat dimungkinkan terjadinya kombinasi antar petani milik, menyewa, bagi hasil, dan gadai dalam satu rumah tangga petani. Selain itu penguasaan lahan dan pengusahaan lahan merupakan konsep yang berbeda. Penguasaan lahan merujuk pada kewenangan seseorang dalam menguasai lahannya yang diakibatkan karena memiliki, menyewa, sakap, gadai, dan pinjam. Sedangkan pengusahaan lahan merujuk pada seberapa luas pemanfaatan/penggunaan lahan yang dikuasi oleh petani. Tidak semua lahan yang dikuasai oleh petani diusahakan semuanya Pola dan Distribusi Lahan Petani Sumaryanto dan Rusastra (2000) menelaah data Sensus Pertanian (SP) 1983 dan 1993 untuk melihat struktur penguasaan tanah di tingkat makro. Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa struktur pemilikan tanah rumah tangga pertanian cukup timpang, sekitar 49 persen rumah tangga pertanian tanaman pangan termasuk kelompok dengan penguasaan kurang dari 0,5 ha, dengan rata-rata luas penguasaan sekitar 0,24 ha. Sementara pada tahun 1983 sebesar 41 persen, dengan rata-rata luas penguasaan 0,26 ha. Di sisi lain, terjadi kecenderungan menurunnya proporsi rumah tangga yang termasuk kelompok penguasaan tanah 0,51 ha ke atas, tetapi rata-rata luas penguasaannya bervariasi. Pada kelompok penguasaan 15 ha ke atas, proporsinya turun drastis dari 0,19 persen menjadi 0,06 persen tetapi rata-rata luas penguasaannya meningkat dari 20,7 ha menjadi 22,2 ha. Dengan demikian selama periode terjadi perubahan struktur penguasaan rumah tangga pertanian dan yang paling menonjol adalah makin banyaknya petani gurem dengan luas penguasaannya yang semakin menyempit, dan di sisi lain terjadi pengumpulan penguasaan pada sebagian kecil rumah tangga bertanah luas. Fenomena ini telah mengindikasikan 16

35 terjadinya polarisasi penguasaan tanah di perdesaan. Pada awal tahun 1980-an, menurut Wiradi dan Makali (1984) terdapat 2 kelompok pakar/peneliti yang berbeda pendapat tentang struktur penguasaan tanah di perdesaan. Kelompok pertama, yaitu Geertz, Hayami, dan Kikuchi berpendapat bahwa masyarakat perdesaan di Jawa tidak terkutub menjadi petani luas (tuan tanah) dan petani gurem (hamba tani), namun lebih merupakan stratifikasi yang meningkat. Kelompok lain adalah Sayogyo, Collier, Lyon, dan Kano yang berpendapat bahwa pengutuban masyarakat desa dalam hal penguasaan tanah memang sedang terjadi. Dinamika struktur penguasaan tanah memperkuat pendapat kelompok kedua (Sumaryanto dan Rusastra 2000; Rusastra dan Sudaryanto 1997). Data di tingkat mikro juga menunjukkan gejala ketimpangan pemilikan lahan dan peningkatan proporsi rumah tangga tunakisma terutama di perdesaan Jawa. Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan (SDP) pada tahun 1982 di 12 desa di Jawa dan 3 desa di luar Jawa (Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa hampir di semua desa, Indeks Gini pemilikan tanah di atas 0,60. Terutama di Jawa, 6 dari 12 desa, indeks Gininya di atas 0,80, suatu tingkat ketimpangan yang berat. Temuan lain yang sangat bermakna adalah hampir di semua desa, 30 persen atau lebih rumah tangga tidak memiliki tanah, sedangkan kurang dari 20 persen rumah tangga memiliki setengah atau lebih dari total luas sawah yang ada (Wiradi dan Makali, 1984). Hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 1994/1995 dan 1998/1999 juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Selama periode tersebut, proporsi rumah tangga yang tidak mempunyai tanah cenderung meningkat, kecuali di desa perkebunan di luar Jawa. Indeks Gini di Jawa cenderung meningkat dari 0,72 menjadi 0,78, demikian juga di luar Jawa, meningkat dari 0,53 menjadi 0,54. Nampak bahwa ketimpangan pemilikan tanah di Jawa lebih besar dibandingkan luar Jawa (Adnyana 2000) Pendapatan Usahatani Padi Penelitian mengenai analisis pendapatan usahatani padi telah banyak dilakukan dan berikut beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini: Perbedaan biaya sewa lahan antara dua daerah yang mempunyai karakteristik 17

36 geografis yang berbeda juga dapat mempengaruhi pendapatan usahatani di Kabupaten Subang (Disti 2006). Penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan dan biaya usahatani yang dikeluarkan petani program PTT di Desa Cijengkol lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya total petani Desa Mulyasari. Selain itu, penggunaan faktor-faktor produksi baik petani PTT Desa Mulyasari dan Desa Cijengkol juga belum mencapai kondisi optimal karena rasio NPM dan BKM tidak sama dengan satu sehingga baik petani PTT Desa Mulyasari maupun petani PTT Desa Cijengkol belum efisien. Berdasarkan perbandingan tingkat pendapatan terlihat bahwa penggunaan faktor produksi usahatani masih dapat ditingkatkan. Hal ini ditunjukkan dengan R/C rasio atas biaya tunai lebih besar daripada R/C rasio aktual. R/C rasio atas biaya tunai untuk petani PTT Desa Mulyasari pada kondisi optimal sebesar 5,28. Sedangkan R/C rasio tunai yang aktual sebesar 1,44. R/C rasio tunai untuk petani PTT Desa Cijengkol pada kondisi optimal sebesar 3,91 dan rasio tunai yang aktual sebesar 1,52. Penjelasan Handayani (2006) lebih jauh mengungkapkan bahwa pendapatan usahatani milik luas lebih menguntungkan daripada pendapatan usahatani milik sempit. Nilai R/C pada usahatani milik luas adalah sebesar 2,12 sedangkan pada usahatani milik sempit adalah sebesar 1,97. Lebih rendahnya keuntungan yang diterima pada usahatani milik sempit disebabkan proporsi biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan usahatani milik luas, khususnya biaya tenaga kerja dalam keluarga. Di sisi lain, pendapatan usahatani bukan milik luas memiliki keuntungan yang lebih kecil dibandingkan pendapatan usahatani bukan milik sempit. Nilai R/C pada usahatani bukan milik luas adalah sebesar 1,32 sedangkan nilai R/C pada usahatani bukan milik sempit adalah sebesar 1,36. Namun, secara umum keseluruhan usahatani padi sawah yang dilakukan di Desa Karacak cukup menguntungkan dan memberikan intensif untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih besar dari nilai satu. Penelitian Hantari (2007) mengenai analisis pendapatan dan produksi usahatani padi sawah lahan sempit yang dilakukan di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Petani responden di daerah penelitiannya terbagi menjadi petani pemilik lahan dan petani penggarap lahan dengan status bagi hasil. Simpulan penelitiannya memperlihatkan bahwa penerimaan total petani padi 18

37 dengan status lahan milik dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp ,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp ,00. Simpulan penelitian Hantari (2007) yang lain memperlihatkan bahwa penerimaan total petani padi dengan status lahan bagi hasil dalam satu musim tanam adalah sebesar Rp ,00 dengan biaya total yang dikeluarkan adalah sebesar Rp ,00. Kondisi ini jika dibandingkan dengan petani pemilik lahan, maka petani penggarap lahan dengan status bagi hasil memiliki keuntungan yang jauh lebih rendah. Kondisi perekonomian petani yang kurang beruntung, diperkirakan pula terjadi di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Penerimaan RTP dari sektor pertanian padi belum dapat memenuhi pengeluaran rumah tangga secara keseluruhan sehingga diperlukan analisis pendapatan usahatani lahan untuk mengetahui apakah usahatani yang dilaksanakan menguntungkan atau tidak menguntungkan dan analisis perbandingan struktur pendapatan usahatani lahan antara petani pemilik lahan, petani pemilik dan penggarap, serta petani penggarap untuk mengetahui status penguasaan mana yang paling memberikan keuntungan maksimal bagi petani Hubungan Status Pengusahaan Lahan dengan Pendapatan Petani Studi-studi untuk menentukan hubungan status pengusahaan lahan dengan pendapatan petani juga masih jarang dilakukan, sehingga akan lebih dipaparkan mengenai kajian-kajian pada studi-studi yang memiliki kaitan kuat terhadap hubungan status penguasaan lahan dengan pendapatan petani. Selama ini ada anggapan bahwa pendapatan yang diperoleh rumah tangga perdesaan dari usahatani berhubungan dengan status penguasaan sawah (milik dan bukan milik). Semakin luas tanah yang dimiliki, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh dari usahatani. Schrevel (1989) melakukan studi kasus di desa Cidurian (desa yang berbatasan dengan kota besar), dan menyatakan bahwa akses atas tanah tampaknya tidak memadai lagi dijadikan indikator tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan. Penelitian di Cidurian itu menunjukkan peran kegiatan di luar pertanian justru semakin menentukan dan hanya terdapat korelasi positif yang rendah antara tingkat penguasaan tanah dengan tingkat pendapatan non pertanian. 19

38 Hasil penelitian Studi Dinamika Perdesaan (SDP) di 15 desa menunjukkan bahwa apabila distribusi pendapatan dikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, masih jelas nampak bahwa makin besar luas tanah milik makin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Namun, separuh dari jumlah desa yang diteliti ternyata sektor non pertanian memberikan sumbangan lebih dari 50 persen dari total pendapatan, semakin dekat dengan daerah perkotaan semakin besar proporsi pendapatan dari sektor non pertanian. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki tanah luas lah yang mempunyai jangkauan lebih besar ke sumber non pertanian (Wiradi dan Makali 1984). Tingkat pendapatan rumah tangga perdesaan menurut luas pemilikan tanah hasil penelitian Patanas 1994/1995 dan 1998/1999 menunjukkan struktur yang berbeda. Proporsi sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian yang relatif besar terjadi pada kelompok tunakisma dan pemilikan tanah rendah/sempit, baik di Jawa maupun luar Jawa. Sementara itu, proporsi pendapatan dari usaha pertanian berkorelasi positif dengan luas pemilikan tanah, semakin tinggi luas pemilikan tanah semakin tinggi proporsi pendapatan dari usaha pertanian. Proporsi pendapatan dari usaha pertanian meningkat pada kelompok tunakisma, pemilikan rendah dan sedang. Sementara pada kelompok pemilikan luas cenderung menurun, penurunan ini terutama terjadi di luar Jawa. Di Jawa proporsi pendapatan dari usaha pertanian cenderung meningkat untuk semua kelompok. Di Jawa sumbangan pendapatan dari sektor non pertanian meningkat hanya pada kelompok tunakisma, sementara pada rumah tangga yang memiliki tanah cenderung menurun. Sementara di luar Jawa meningkat untuk semua kelompok. Supriyati, Saptana, dan Supriyatna (2003), Secara stastistik, korelasi antara pendapatan pertanian dengan luas lahan milik dan juga dengan lahan garapan tidak nyata dan korelasi antar dua variabel tersebut relatif kecil. Pada Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat dan Kabupaten Landak, Kalimantan Barat terjadi pola hubungan yang searah antara pendapatan sektor pertanian dan luas pemilikan serta luas garapan, namun di Klaten, Jawa Tengah terjadi pola hubungan terbalik antara dua variabel tersebut. Pada fenomena yang pertama antara lain disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan lahan relatif besar dan kegiatan usaha di luar sektor pertanian relatif belum 20

39 berkembang. Fenomena kedua disebabkan oleh rata-rata dan keragaman luas pemilikan dan garapan serta kegiatan usaha di luar sektor pertanian sudah sangat berkembang terutama di desa contoh yang dekat dengan pusat industri. Korelasi antara total pendapatan dengan lahan milik di Sumatera Barat nyata dengan koefisien korelasi 0,29. Sementara korelasi pada kasus yang lain tidak nyata. Kasus di Jawa Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara total pendapatan dan luas pemilikan lahan. Pada kasus di Jawa Tengah menunjukkan peran kegiatan usaha di luar pertanian sudah cukup besar terutama pada desa contoh yang dekat sentra industri. Sedangkan di Kalimantan Barat menunjukkan masih banyaknya lahan milik yang belum tergarap dengan baik atau penggarapan di lakukan dengan cara gilir balik, serta masih rendahnya teknologi produksi yang diterapkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan Studi-studi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah masih jarang dilakukan sehingga akan lebih dipaparkan mengenai kajian pada studi yang menunjukkan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan, termasuk pengusahaan dan pemilikan lahan. Beberapa kajian tersebut menjadi landasan utama dalam penetapan variabelvariabel di dalam penelitian ini. Wiradi dan Manning (1984) mengungkapkan penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan petani beberapa desa di DAS Cimanuk terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP, akses memperoleh lahan, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), intervensi swasta, faktor ekonomi (kesejahteraan), faktor sosial budaya (warisan), faktor alam dan kelembagaan hukum pertanian. Kondisi perubahan penguasaan lahan semakin dipertegas melalui penelitian Tim Patanas Indonesia (1996) yang dilakukan di tujuh provinsi Indonesia, yaitu di Daerah Istimewa Aceh, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan penguasaan lahan yang 21

40 disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman petani, rendahnya kesadaran dalam kehadiran dalam penyuluhan, rendahnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total penerimaan RTP, rendahnya pemerataan pendapatan, tingginya jumlah tanggungan keluarga dan jumlah ahli waris, keterbatasan modal kerja dan tabungan, rendahnya akses terhadap penggunaan lahan sawah, rendahnya akses terhadap informasi, rendahnya akses untuk memperoleh kredit modal kerja, rendahnya harga hasil pertanian, tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah (meliputi: harga, perpajakan, dan agraria yang wajar), ketidakjelasan arah pengembangan teknologi (meliputi: peralatan mekanisasi dan tingkat penggunaan input modern), tidak adanya dukungan faktor alam (meliputi: kesuburan lahan atau produktivitas lahan dan serangan hama penyakit) serta tingginya faktor risiko lahan. Setiawan (2006), menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi semakin merosotnya penguasaan lahan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi (misal: lemahnya proporsi pendapatan usahatani terhadap total penerimaan RTP), faktor alam (misal: banjir, kekeringan, erosi, pencemaran, iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang semakin intensif, luas dan bervariasi sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan), kebijakan pemerintah tidak mengutamakan pertanian (kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah banyak dibuat, namun implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan), akses petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang tersedia, jumlah tanggungan keluarga (anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga jelas batas-batas kepemilikannya), faktor sosial ekonomi (misalnya: tingginya biaya sekolah anak) dan terbatasnya kredit modal kerja di sektor pertanian. Mayrowani et al. 2004, hak pemilikan lahan memiliki derajat okupasi yang relatif tinggi dibanding hak penggarapan. Pemilik tanah memiliki hak dan kewenangan untuk menjual, menukarkan, menghibahkan atau mewariskan tanahnya itu kepada orang lain, sedangkan seorang penggarap pada hakekatnya hanyalah memiliki hak untuk menggarap tanah tersebut sesuai sistem kelembagaan hubungan kerja yang berlaku di wilayah tersebut. Perubahan status 22

41 pemilikan atas tanah dapat terjadi, karena : (1) transaksi jual beli, (2) pertukaran, (3) hibah, dan (4) pewarisan. Sementara, perubahan hak penggarapan dapat disebabkan oleh faktor seperti : (1) transaksi sewa, (2) bagi hasil, (3) hak penguasaan lainnya. Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor serupa juga diduga mempengaruhi pengusahaan lahan pertanian di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Perbedaannya dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengusahaan lahan sawah, antara lain: status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani. 23

42 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Usahatani Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan atau sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. Analisis pendapatan usahatani memiliki tujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu usaha dan untuk menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Menurut Mosher 1968, diacu dalam Mubyarto 1979, usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian, seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan sebagainya. Menurut Rifai 1960, definisi dari usahatani adalah setiap organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi ini berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang-orang segolongan sosial, baik yang berikatan geneologis maupun tertorial sebagai laksanawannya. Menurut Suratiyah (2008) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin. Merujuk pada penjelasan di atas, penulis menganggap bahwa definisi usahatani menurut Bachtiar Rifai (1960) merupakan definisi yang paling tepat untuk menggambarkan suatu usahatani dan mengandung pengertian yang paling sesuai dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan beberapa literatur, penulis memandang usahatani merupakan suatu organisasi yang dibentuk dalam upaya 24

43 memanfaatkan sumber daya pertanian untuk diproduksi sehingga mendatangkan keuntungan. Jika usahatani diartikan sebagai setiap organisasi alam, kerja, dan modal untuk produksi pertanian, maka usahatani mencakup segala bentuk organisasi produksi. Di Indonesia, terdapat banyak variasi organisasi produksi yang memenuhi definsi Bachtiar Rifai. Misalnya, seorang petani mengusahakan sebidang sawah untuk keperluan konsumsi keluarganya. Contoh ini menekankan bahwa pengertian usahatani yang dikemukakan Bachtiar Rifai tidak membatasi apakah produk yang dihasilkan oleh petani digunakan untuk keperluan konsumsi keluarga atau untuk tujuan komersial. Karena itu, misalnya, seorang petani mengusahakan tambak udang, di wilayah pantai utara Pulau Jawa (disebut Pantura), juga dapat disebut usahatani. Demikian halnya sebuah perusahaan pertanian yang menggunakan teknologi modern, seperti greenhouse, merupakan suatu usahatani 7. Menurut Hernanto (1989), terdapat empat unsur pokok dalam usahatani yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi, yaitu: 1) Tanah Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan dan sawah. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur atau tumpangsari. Tanah atau lahan adalah faktor produksi utama dalam pelaksanaan kegiatan usahatani. 2) Tenaga Kerja Jenis tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anakanak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu: 1 7 Bahan perkuliahan mata kuliah usahatani mengenai pengertian dan ruang lingkup usahatani tahun

44 pria = 1 hari kerja pria (HKP), 1 wanita = 0,7 HKP, 1 ternak = 2 HKP, dan 1 anak = 0,5 HKP. 3) Modal Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/famili/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa. 4) Pengelolaan atau manajemen Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan hasil yang diharapkan. Pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknis dan ekonomis perlu dilakukan untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil. Prinsip teknis tersebut meliputi: a) perilaku cabang usaha yang diputuskan, b) perkembangan teknologi, c) tingkat teknologi yang dikuasai, dan d) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasarkan pengalaman orang lain. Prinsip ekonomis antara lain: a) penentuan perkembangan harga, b) kombinasi cabang usaha, c) pemasaran hasil, d) pembiayaan usahatani, e) penggolongan modal dan pendapatan serta tercermin dari keputusan yang diambil agar resiko tidak menjadi tanggungan pengelola Lahan sebagai Faktor Produksi Lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian dari alam, sehingga lahan tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, seperti: sinar matahari, curah hujan, angin, kelembaban udara dan lain sebagainya. Fungsi lahan dalam usahatani adalah tempat menyelenggarakan kegiatan produksi pertanian (usaha bercocok tanam dan pemeliharaan ternak) dan tempat pemukiman keluarga tani (Tjakrawiralaksana 1985). Menurut Hernanto (1988) pada umumnya di Indonesia lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu lahan mempunyai beberapa sifat, antara lain: (a) bukan merupakan barang produksi; (b) luas relatif tetap atau dianggap tetap atau tidak dapat diperbanyak; (c) tidak dapat 26

45 dipindah-pindahkan; (d) dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan; (e) tidak ada penyusutan (tahan lama); dan (f) bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani. Lahan merupakan jenis modal yang sangat penting yang harus dibedakan dari jenis modal lainnya sehingga faktor lahan perlu digunakan atau dimanfaatkan secara efisien. Usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengusahaan lahan antara lain pemilihan komoditas cabang usahatani dan pengaturan pola tanam. Ukuran efisiensi penggunaan lahan adalah perbandingan antara output dan input. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang digunakan adalah sumber dan status lahan, nilai lahan, fragmentasi lahan, lahan sebagai ukuran usahatani, serta perkembangan penguasaan lahan di Indonesia. (1) Sumber Pengusahaan Lahan Hernanto (1988) mengutarakan bahwa lahan yang diusahakan petani diperoleh dari berbagai sumber, yakni: (a) lahan milik, dibuktikan dengan surat bukti pemilikan (sertifikat) yang dikeluarkan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Agraria; (b) lahan sewa, sebaiknya bukti dibuat oleh pejabat yang berwenang agar apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat diselesaikan secara hukum; (c) lahan sakap, telah diatur oleh undang-undang bagi hasil (UUBH) atau UU No. 2 tahun 1960; (d) lahan pemberian negara atau lahan milik negara yang diberikan kepada seseorang yang mengikuti program pemerintah dan berjasa kepada negara, dalam hal ini pemilikannya dapat melalui prosedur gratis, ganti rugi dan kredit; (e) lahan waris, lahan yang karena hukum tertentu (agama) dibagikan kepada ahli warisnya; (f) lahan wakaf, lahan yang diberikan atas seseorang atau badan kepada pihak lain untuk kegiatan sosial; dan (g) lahan yang dibuka sendiri. (2) Status Penguasaan Lahan Lahan-lahan yang diusahakan oleh para petani biasanya mempunyai status yang menunjukkan hubungan hukum antara petani dengan lahan yang diusahakannya. Dengan demikian status lahan tersebut akan memberikan kontribusi bagi penggarapnya. Tjakrawiralaksana (1985) 27

46 membagi status-status hukum lahan menjadi status hak milik, status hak sewa, status hak bagi hasil (sakap), status hak gadai dan status hak pakai atau hak guna usaha (HGU). Status lahan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan usahatani, karena faktor ini dapat mempengaruhi kesediaan para petani melakukan investasi pada lahan atau menggunakan teknologi baru yang menguntungkan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani dikaitkan dengan lahan sebagai faktor produksi, status lahan mempunyai keunggulan-keunggulan maupun kelemahan-kelemahan. Keunggulan lahan dengan hak milik petani, diantaranya adalah: (a) petani bebas mengusahkan lahannya; (b) petani bebas merencanakan seseuatu kepada lahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang; (c) petani bebas menentukan cabang usaha untuk lahan sesuai dengan faktor-faktor fisik dan faktor ekonomi yang dimiliki; (d) petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya tanpa campur tangan orang lain; dan (e) petani bebas memperjualbelikan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya. Lahan dengan hak sewa mempunyai kewenangan seperti lahan dengan hak milik di luar batas jangka waktu sewa yang disepakati. Penyewa tidak mempunyai kewenangan untuk menjual dan menjaminkan lahan sebagai anggunan. Dalam hal perencanaan usaha, penyewa harus mempertimbangkan jangka waktu sewa. Lahan dengan hak sakap tidak mempunyai kewenangan untuk menjual lahan. Dalam setiap kegiatan pengusahaan usahatani, seperti penentuan cabang usaha dan pilihan teknologi harus dikonsultasikan dengan pemilknya. Status lahan yang terdapat di perdesaan Pulau Jawa menimbulkan semacam tangga pertanian (agricultural lader), yaitu status pemilikan lahan secara bertahap yang menunjukkan tingkatan atau status sosial di dalam masyarakat dari petani pemilik ke buruh tani, misalnya: petani dengan hak milik terhadap lahan pada tangga pertanian memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani dengan hak sakap terhadap lahan (Tjakrawiralaksana 1985). 28

47 (3) Nilai Lahan Semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin terjaminnya kepastian akan pemilikan lahan, maka akan selalu terjadi jual beli lahan. Nilai lahan sangat bervariasi dari unsur waktu dan tempat. Di daerah perkotaan, lahan usahatani mempunyai nilai yang cukup tinggi, bahkan terkadang tidak sebanding dengan nilai ekonomis dari hasil lahan tersebut. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan nilai lahan tergantung kepada: (a) tingkat kesuburan lahan, harga lahan yang lebih subur (baik fisik maupun kimiawi) lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur; (b) fasilitas pengairan, nilai lahan yang berpengairan baik lebih tinggi daripada lahan yang tidak berpengairan; dan (c) posisi lokasi, nilai lahan yang dekat dengan jalan atau sarana penghubung lebih tinggi daripada lahan yang tidak dekat dengan jalan atau sarana penghubung. (4) Fragmentasi Lahan Lahan yang diusahakan oleh para petani seringkali tidak merupakan satu kesatuan bidang, melainkan terdiri dari beberapa pecahan yang letaknya tersebar. Keadaan lahan demikian sering diberi istilah fragmentasi lahan, sedangkan bagian-bagian pecahannya disebut fragmen atau persil. Tjakrawiralaksana (1985) mengutarakan bahwa terjadinya fragmentasi pada lahan usahatani dipengaruhi oleh: kepadatan penduduk, adat pewarisan harta benda yang berlaku dalam masyarakat, faktor alam (misalnya: tanah longsor serta pergeseran aliran sungai) dan aktivitas manusia (misalnya: pembuatan jalan, pembuatan terusan serta pembuatan saluran pengairan). Soeharjo dan Patong (1973) mengungkapkan kerugian yang ditimbulkan oleh fragmentasi lahan, diantaranya adalah: (a) semakin sempitnya lahan-lahan petani; (b) menimbulkan pemborosan waktu dan tenaga sehingga biaya produksi lebih tinggi; (c) menimbulkan kesulitan dalam pengawasan terutama serangan hama dan penyakit sehingga produksi tidak setinggi pencapaian yang diharapkan; (d) petani tidak leluasa memilih tanaman atau komoditas yang paling menguntungkan; (e) banyaknya lahan-lahan produktif yang hilang atau dikorbankan; (f) pembagian air pengairan sukar diatur; (g) alat-alat mekanisasi tidak dapat 29

48 digunakan; dan (h) kemungkinan percecokan antar petani lebih tinggi karena banyaknya tetangga lahan. (5) Lahan Sebagai Ukuran Usahatani Lahan sebagai unsur produksi seringkali juga dipakai untuk pengukuran besaran usahatani (size of business). Menurut Soeharjo dan Patong (1973) ukuran-ukuran tersebut antara lain: (a) luas total lahan usahatani, yakni mengukur semua lahan yang dimiliki sebagai satu kesatuan produksi; (b) luas tanam pertanaman, yakni mengukur luas tanaman yang diusahakan; (c) luas total tanaman, yakni memperhitungkan luas dari semua cabang usahatani yang diusahakan; dan (d) luas tanaman utama, yakni mengukur luas tanaman pokok yang diusahakan. Namun, menurut Tjakrawiralaksana (1985) ukuran tersebut bukanlah cara yang terbaik, keberatan-keberatan dalam pemakaiannya antara lain: (a) pengukurannya tidak menyertakan keterangan mengenai kualitas daripada lahannya; (b) pengukurannya tidak menggambarkan hubungan dengan pemakaian unsur-unsur produksi lainnya yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi tingkat produksi; dan (c) pengukurannya tidak memperhatikan adanya perbedaan letak ekonomis daripada lahan itu sendiri. (6) Perkembangan Penguasaan Lahan di Indonesia Selama kurun waktu tiga dekade ini, perkembangan penguasaan lahan pertanian di Indonesia, termasuk didalamnya lahan sawah petani padi, terbagi dalam tiga macam perkembangan ekonomi lahan, yakni: perkembangan konversi lahan pertanian, perkembangan distribusi penguasaan lahan pertanian, serta perkembangan rumah tangga pertanian (RTP) dan luasan penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan data hasil sensus pertanian pada periode 1983, periode 1993, dan periode 2003 oleh BPS 2004, diacu dalam Lokollo et al. (2007), ketiga aspek tersebut dapat dibahas secara spesifik dengan kemungkinan mempertimbangkan keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi RTP dengan status petani lahan sempit akan mendorong distribusi penguasaan 30

49 lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani lahan sempit akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) pertanian dan atau alih profesi ke sektor lain yang dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Perkembangan RTP menurut luas penguasaan lahan selama periode (Tabel 5) menunjukkan beberapa indikasi, diantaranya adalah: 2003), terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; (b) fakta empirisnya adalah RTP dengan penguasaan lahan <0,50 ha dan >2,0 ha meningkat relatif tajam, masing-masing sekitar 31,95 persen dan 74,95 persen. (c) sementara itu, kategori dengan luas 0,50-0,99 ha dan 1,00-1,99 ha hanya meningkat sebesar 5,28 persen dan 10,48 persen; (d) hal yang serupa juga terjadi di luar Pulau Jawa yang diwakili oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Tabel 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 Propinsi Jabar Sumsel Kalsel Indonesia Golongan luas lahan <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 Jumlah rumah tangga Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al (a) secara keseluruhan, pada sepuluh tahun terakhir (selama periode ,39 (20,90) (38,41) (47,66) 300,39 143,25 70,63 (2,87) 66,70 36,04 (3,95) (34,42) 65,81 18,44 7,18 (26,15) ,97 (12,83) (19,64) (16,00) 19,67 (29,59) 4,94 80,19 26,18 7,38 25,66 119,79 31,95 5,28 10,48 74,95 Perkembangan jumlah RTP, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa (periode

50 2003), memberikan sejumlah informasi (Tabel 6), diantaranya adalah: (a) jumlah RTP petani gurem meningkat secara konsisten, yaitu untuk RTP <0,10 ha sebesar 9,87 persen dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 2,03 persen; (b) jumlah RTP >2,0 ha (petani luas) menurun sebesar 2,19 persen namun luasan yang dikuasai sangat besar (mendekati 50,0 persen); (c) rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem menurun, yaitu RTP < 0,10 ha sebesar 0,03 ha dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 0,21 ha; (d) rataan luas penguasaan lahan petani luas (periode ) meningkat sebesar 0,46 ha; dan (e) RTP 0,50-0,99 ha, rataan luasan lahannya meningkat sebesar 0,34 ha dan RTP 1,00-1,99 ha sebesar 0,15 ha, sehingga secara umum distribusi penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang. Tabel 6. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan Lahan yang diusahakan *) 3 <0, , ,38 0, , ,49 0, , ,49 0,02 0,10-0, , ,12 0, , ,46 0, , ,46 0,09 0,50-0, , ,77 0, , ,29 0, , ,29 1,00 1,00-1, , ,27 1, , ,36 0, , ,36 1,44 >2, , ,47 3, , ,41 2, , ,41 3, , ,00 0, , ,0 0, , ,00 0,79 Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al Keterangan : 1=Jumlah RTP; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=rata-rata luas tanah yang kuasai 3.3. Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 1986). Besarnya pendapatan yang diterima merupakan imbalan untuk jasa petani dan keluarganya serta modal yang dimilikinya. Bentuk dan jumlah pendapatan memiliki fungsi yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari dan memberikan kepuasan petani agar dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan juga untuk mencapai 32

51 keinginan-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Analisa pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan. Bagi seorang petani, analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan sukses, apabila pendapatan yang diperoleh memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (a) cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; (b) cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal; dan (c) cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah. Analisis pendapatan usahatani memerlukan informasi mengenai seluruh penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan (Soeharjo dan Patong, 1973). Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan dari perkalian antara jumlah produk yang dihasilkan dengan harga dari produk tersebut, sedangkan pengeluaran merupakan semua pengorbanan sumberdaya ekonomi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output dalam satu periode produksi. Penerimaan usahatani dapat berbentuk hasil penjualan tunai, produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan kenaikan hasil inventaris selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun. Sementara itu, bentuk pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan menggunakan uang tunai, seperti biaya pengadaan sarana produksi usahatani dan pembayaran upah tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pengeluaran diperhitungkan adalah pengeluaran yang digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika bunga modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. 33

52 3.4. Hubungan Penguasaan Lahan dengan Pendapatan Petani Studi Rasahan (1988) menunjukkan bahwa terdapat dua pola utama yang mencirikan keadaan struktur dan distribusi pendapatan masyarakat perdesaan, yaitu: (1) Ada hubungan searah antara distribusi pendapatan dengan penguasaan lahan pertanian. Pola ini umumnya dikenal pada masyarakat agraris di mana sumberdaya lahan (land base agriculture) memegang peranan sangat dominan dalam menciptakan arus masuk pendapatan masyarakat perdesaan, hal ini tampak di perdesaan Jawa maupun luar Jawa. Dengan kata lain, ketimpangan maupun pemerataan distribusi pendapatan dapat dijelaskan atau terefleksikan pada ketimpangan maupun pemerataan distribusi penguasaan lahan ataupun penggarapan lahan pertanian; dan (2) Ada hubungan terbalik antara konsentrasi pendapatan dengan konsentrasi penguasaan atau penggarapan lahan pertanian. Kegiatan atau usaha-usaha non-pertanian atau usaha non land base agriculture dilihat sebagai alternatif sumber pendapatan rumahtangga perdesaan. Usaha tersebut dapat memberikan bias negatif maupun positif terhadap distribusi masyarakat perdesaan. Bias negatif apabila kehadiran usaha non land base agriculture sebagai sumber kegiatan menghasilkan arus pendapatan yang justru memperburuk distribusi pendapatan, dan sebaliknya untuk bias positif Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan Pengusahaan lahan sawah oleh petani padi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memiliki keterkaitan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Barlowe (1978) dengan teori lahannya mengutarakan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan penggunaan atau pengusahaan lahan, diantaranya adalah perkembangan teknologi, tingkat pendidikan, proporsi pendapatan usahatani terhadap penerimaan rumah tangga, jumlah tabungan, perkembangan usia, faktor alam dan dukungan kebijakan pemerintah. Rincian faktor-faktor pengusahaan lahan yang semakin menurun lebih mendalam lagi telah dipaparkan oleh Soekartawi (1986) mengenai faktor-faktor tingginya petani kecil (petani dengan pengusahaan lahan < 0,25 ha), baik di dunia maupun di Indonesia, diantaranya adalah; (1) umur petani yang sudah tua; (2) pendidikan petani yang sangat rendah; (3) Pengalaman petani yang rendah; (4) jumlah ahli waris lahan tinggi sebanding dengan tekanan jumlah tanggungan 34

53 keluarganya; (5) kekurangan modal kerja untuk usahatani; (6) jumlah tabungan kecil; (7) sulitnya memperoleh penggunaan lahan dari pihak lain; (8) sulitnya memperoleh pinjaman kredit modal kerja; (9) harga jual hasil panen tidak stabil; (10) jarangnya keikutsertaan petani dalam penyuluhan yang banyak memberi sumber informasi; (11) perkembangan teknologi yang buruk; (12) tidak mendukungnya kebijakan pemerintah; (13) tidak mendukungnya faktor alam Kerangka Pemikiran Operasional Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor beras dunia merupakan salah satu alasan mengapa upaya peningkatan produksi beras nasional melalui program intensifikasi dan ektensifikasi perlu dilakukan. Di lain sisi, salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan ke penggunaan non pertanian, padahal lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. Oleh karena itu, upaya mengendalikan laju konversi sangat penting dilakukan agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan berasnya secara nasional. Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Berdasarkan data hasil Sensus Pertanian 1993 dan 2003, perkembangan penguasaan lahan sawah per rumah tangga petani pengguna lahan (RTP) ternyata cenderung mengalami penurunan. Jumlah rumah tangga petani pengguna lahan yang < 0,49 ha mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika pada tahun 1983 jumlahnya sebanyak 7,600,964 RTP, maka pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 14,064,589 RTP. Dengan demikian kenaikan jumlah RTP luas lahan <0,49 ha selama 20 tahun sebesar 85,04 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan petani semakin berkurang. Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Selain itu, seringkali kecilnya kepemilikan lahan petani diikuti oleh timpangnya distribusi penguasaan lahan. Hal ini disebabkan karena terdapat sebagian kecil individu yang mempunyai akses untuk memiliki lahan dalam jumlah yang relatif luas. Sementara 35

54 itu, terdapat banyak masyarakat yang tidak memiliki akses untuk menguasai lahan. Ketimpangan yang terkait dengan lahan dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu ketimpangan penguasaan lahan, dan ketimpangan pengusahaan lahan. Indikator untuk melihat besar kecilnya ketimpangan adalah dengan cara melihat atau menghitung indeks Gini berdasarkan lahan milik, lahan yang dikuasai, dan lahan yang diusahakan oleh Rumah Tangga Petani. Penguasaan dan pengusahaan lahan merupakan konsep yang berbeda. Seorang petani dapat menguasai lahannya melalui cara : (1) memperoleh hak waris; (2) membeli; (3) menyewa; (4) menggadai; (5) menyakap; dan (6) meminjam. Petani yang memperoleh lahan melalui hak waris dan membeli selanjutnya mengusahakan lahannya hak miliknya disebut sebagai petani pemilik. Sedangkan petani yang menguasai lahan dengan menyewa, gadai, sakap, dan pinjam selanjutnya disebut petani penggarap. Tidak setiap lahan yang dimiliki dan dikuasai akan dimanfaatkan oleh petani untuk kegiatan produksi. Lahan yang dikuasai petani selanjutnya dimanfaatkan disebut dengan lahan yang diusahakan. Luas lahan yang diusahakan tidak akan melebihi luas lahan yang dikuasai petani. Oleh karena itu, indikator yang tepat untuk mengukur keragaan kesejahteraan petani adalah indikator pengusahaan lahan. Ketersedian lahan sawah disuatu wilayah dalam jangka panjang cenderung berkurang karena adanya alih fungsi dari lahan pertanian ke lahan non pertanian, sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan pembangunan diluar sektor pertanian. Meskipun demikian dalam jangka pendek ketersedian lahan sawah di suatu wilayah relatif tetap. Mengingat ketersediaan lahan relatif tetap, maka hal pertama yang menarik untuk dikaji adalah seberapa jauh ketimpangan lahan yang dikuasai dan diusahakan oleh petani yang terdapat disuatu wilayah. Dengan memahami ketimpangan dalam penguasaan lahan akan memudahkan untuk memberikan dugaan awal terhadap keragaan kesejahteraan petani. Ketimpangan dalam penguasaan lahan memberikan gambaran distribusi petani dalam menguasai lahan. Penguasaan lahan dikatakan timpang jika terdapat sebagian kecil petani menguasai lahan dalam jumlah banyak, atau terdapat sebagian besar petani menguasai lahan relatif kecil. Indikator ketimpangan yang digunakan untuk melihat 36

55 ketimpangan penguasaan lahan adalah indeks gini yang dikembangkan oleh Oshima pada tahun Pada wilayah yang penguasaan lahannya relatif timpang, karekteristik petani nya biasanya didominasi oleh penggarap dengan pengusahaan lahan yang relatif kecil. Besarnya penggarap disebabkan karena adanya tekanan permintaan penguasaan lahan oleh petani penggarap dan ketidakmampuan atau keterbatasan pemilik lahan untuk mengusahakan semua lahan yang dikuasainya. Akses untuk mengusahakan lahan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan penelitian terdahulu, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengusahaan lahan adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani. Umur petani diperkirakan akan mempengaruhi luasnya lahan yang diusahakan. Semakin tua umur petani, kekuatan fisiknya semakin berkurang, sehingga produktifitas dalam bekerja akan mengalami penurunan. Penurunan produktifitas yang dialami petani tua terlihat dari semakin (1) berkurangnya luas sawah yang diusahakan; (2) semakin sedikitnya curahan waktu berusahatani; (3) penyerahan pengusahaan oleh petani lain melalui mekanisme sewa, sakap dan gadai. Dengan demikian, umur petani diduga akan memiliki hubungan yang terbalik dengan penguasaan lahan. Jika semakin tua umur petani, maka semakin kecil penguasaan lahan petani; Pendidikan yang diterima petani diperkirakan akan mempengaruhi luas lahan yang diusahakan. Pendidikan yang diterima petani diperoleh melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal terlihat dari kelulusan petani dalam menempuh jenjang pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Pendidikan non formal yang dimiliki petani dapat diperolah dari belajar terhadap orang tua atau masyarakat sekitarnya, belajar dari pengalaman, dan berbagai macam pelatihan yang pernah diikuti petani baik sendiri maupun melalui organisasi (kelompok tani). Pendidikan yang berhasil akan mempengaruhi 37

56 pola pikir dan prilaku petani yang tercermin dari ketekunan bekerja dan produktifitas petani. Dengan demikian, pendidikan diduga akan memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin lama petani mampu mengenyam pendidikan, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Pengalaman bertani diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas lahan sawah yang diusahakan. Lama pengalaman bertani dapat mempengaruhi petani dalam mengelola kegiatan usahatani yang dijalankan. Semakin lama pengalaman bertani, maka kemampuan petani dalam mengelola kegiatan usahataninya akan semakin baik. Dengan demikian, pengalaman bertani diduga memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin lama pengalaman bertani, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Jumlah tanggungan keluarga diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas lahan sawah yang diusahakan. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga petani, maka semakin banyak pengeluaran rumah tangga petani yang harus ditutupi. Pada kondisi demikian, petani akan berusaha untuk mengoptimalkan pendapatan rumah tangga melalui; (1) peningkatan pendapatan dari hasil pertanian; (2) meningkatkan pendapatan dari luar pertanian. Bagi petani padi, salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan luas pengusahaan lahan sawahnya. Jika hal ini sulit dilakukan maka petani akan berupaya untuk mengoptimalkan perolehan pendapatan dari luar usahatani. Dengan demikian, mengingat ketersediaan lahan relatif terbatas, jumlah tanggungan keluarga diduga memiliki hubungan yang terbalik dengan penguasaan lahan. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga petani, maka semakin kecil penguasaan lahan petani. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di sektor pertanian diduga mempengaruhi terhadap luas sawah yang diusahakan. Anggota keluarga dalam rumah tangga petani terdiri dari kepala keluarga, istri dan anak. Semakin banyak jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, maka ketersedian tenaga kerja keluarga semakin besar. Jika ketersediaan tenaga kerja ini diikuti dengan adanya akses terhadap pengusahaan lahan, maka luas pengusahaan lahan sawah akan mengalami peningkatan. 38

57 Jumlah hari kerja diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Semakin tinggi intensitas petani bekerja dan mengalokasikan waktunya untuk kegiatan usahatani padi, maka produktifitas petani dalam bekerja pun semakin tinggi dan petani semakin memiliki keinginan untuk semakin meningkatkan penguasaan lahannya. Dengan demikian semakin lama jumlah hari kerja, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Jumlah organisasi yang diikuti diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah petani. Jika semakin banyak jumlah organisasi yang diikuti petani, maka waktu yang tersedia bagi petani untuk melakukan aktivitas usahataninya pun semakin sedikit dan terhambat oleh berbagai kesibukan yang ditimbulkan karena aktivitas untuk memajukan semua organisasi tersebut. Oleh karena itu, petani akan menyewakan lahannya kepada orang lain agar lahan tersebut masih tetap bermanfaat. Dengan demikian, semakin banyak jumlah organisasi yang diikuti petani, maka semakin kecil luas penguasaan lahan petani. Interaksi pertemuan di kelompok tani diduga turut mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin banyak informasi atau pengetahuan yang petani dapatkan agar aktivitas usahataninya semakin baik. Selain itu, akses petani untuk meningkatkan penguasaan lahannya pun lebih terbuka dibandingkan dengan petani yang jarang mengikuti pertemuan di kelompok tani, karena petani melakukan sosialisasi dengan banyak petani lainnya. Dengan demikian, interaksi pertemuan di kelompok tani diduga memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Hutang yang dimiliki petani akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Hutang merupakan jumlah kewajiban yang harus dibayarkan petani kepada pihak lain yang telah memberikan pinjaman. Dengan semakin banyaknya hutang, ketersedian kas untuk berusahatani semakin terbatas. Ketersedian kas yang terbatas akan mempengaruhi terhadap penggunaan teknologi. Seperti diketahui, untuk mendapatkan hasil panen yang baik, petani harus menggunakan benih yang bersertifikat, pupuk sesuai rekomendasi, obat obatan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman serta tenaga kerja yang 39

58 mampu melaksanakan tahapan proses budidaya dengan baik. Semuanya memerlukan ketersedian kas yang memadai untuk membeli input dan membayar upah tenaga kerja. Jika ketersedian kas berkurang, dan berimplikasi terhadap penggunaan input yang seadanya, maka produksi yang dihasilkan tidak akan optimal. Untuk mengatasi kurangnya ketersedian kas, banyak petani yang pada akhirnya terlilit hutang. Dengan demikian hutang akan mengakibatkan insentif dan posisi tawar petani menjadi berkurang. Bagi petani dalam kondisi ini, akan sulit untuk meningkatkan luas pengusahaan sawahnya. Aset yang dimiliki petani akan mempengaruhi terhadap pengusahaan lahan sawah. Aset merupakan jumlah kekayaan baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk benda berharga yang dimiliki petani. Semakin besar aset yang dimiliki petani, maka akses untuk menguasai lahan akan semakin besar. Dengan demikian semakin besar aset yang dimiliki petani, maka peluang petani untuk meningkatkan pengusahaan lahan sawahnya semakin besar. Luas lahan yang dikuasai akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Tidak setiap lahan yang dikuasai petani diusahakan semuanya. Luas lahan yang diusahakan tidak akan melebih luas lahan yang dikuasai. Dengan demikian semakin besar luas lahan yang dikuasai akan meningkatkan luas lahan yang diusahakan. Berdasarkan status penguasaan lahannya petani dapat dikelompok menjadi petani petani pemilik, petani penggarap dan petani pemilik, serta petani penggarap. Petani pemilik merupakan petani yang memiliki lahan sendiri, sedangkan petani penggarap merupakan petani yang mengusahakan lahan milik orang lain. Petani pemilik dan penggarap merupakan petani yang mengusahakan lahan milik sendiri dan lahan milik orang lain. Selama petani memiliki lahan sendiri, mereka akan mengusahakan lahan tersebut dengan baik. Dengan demikian semakin luas lahan hak milik yang dimiliki petani akan semakin luas pengusahaan lahannya. Produktifitas merupakan indikasi produksi yang dihasilkan petani per satuan lahan. Berdasarkan perhitungan nasional, rata rata produktifitas padi nasional sekitar 4,9 ton GKG/Ha. Produktivitas merupakan output dari proses budidaya. Jika tahapan budidaya dilakukan dengan baik, maka produksi yang dihasilkan akan baik juga. Produktivitas seorang petani dengan petani akan berbeda beda. 40

59 Ketersediaan gabah atau padi akan relatif besar bagi petani yang memiliki tingkat produktivitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani lainnya. Dengan demikian beras yang bisa dijual atau ditahan (stock untuk keperluan konsumsi dan jaga jaga) akan relatif lebih banyak. Dengan demikian pilihan untuk mengambil keputusan akan lebih leluasa, misalnya menjual semuanya atau menahan sebagian atau semuanya. Implikasi dari peningkatan produktivitas dapat direspon oleh petani pada jangka panjang dengan cara meningkatkan luas pengusahaan lahan sawahnya. Akan tetapi jika akses untuk meningkatkan luas pengusahaan terbatas, maka peningkatan produktivitas padi akan berpengaruh terhadap ketersedian beras di tingkat rumah tangga. Pendapatan yang diperoleh dari petani akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Semakin tinggi pendapatan, maka motivasi berusaha akan semakin tinggi. Jika hal ini diikuti oleh peningkatan modal usahatani, maka kemampuan petani untuk meningkatkan penguasaan lahannya semakin besar, akan tetapi jika dengan modal yang cukup, akses terhadap lahan masih sulit karena ketersedian lahan yang relatif terbatas, maka kelebihan modal usahatani akan dikonversi menjadi modal untuk usaha lainnya. Untuk mengetahui hubungan diantara faktor-faktor tersebut digunakan analasis korelasi dan regresi. Dengan analisis korelasi dapat diketahui besarnya hubungan diantara dua variabel. Sedangkan dengan analisis regresi dapat diketahui besarnya hubungan serta nyata atau tidaknya hubungan antara pengusahaan lahan dengan semua faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk mengetahui hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Di dalam analisis ini, petani dibedakan berdasarkan status penguasaan lahannya, yaitu petani pemilik, petani pemilik dan penggarap, serta petani penggarap. Kerangka pemikiran operasional hubungan pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi dapat dilihat pada Gambar 1. 41

60 Makin meningkatnya Rumah Tangga Petani, sementara penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian per keluarga petani semakin kecil, disertai dengan timpangnya kepemilikan lahan (ST 1983, 1993, 2003) 1) Bagaimana pola distribusi penguasaan lahan petani? 2) Apakah terdapat perbedaan pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya? 3) Apakah terdapat hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi? 4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi? Rumah Tangga Petani Lahan Aktifitas Budidaya (on farm activities) Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Pertanian Pengusahaan Lahan Pertanian Biaya Usahatani Penerimaan Usahatani Struktur kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan lahan (Indeks Gini) 1. Status penguasaan lahan (terdiri dari kelompok status pemilik, pemilik dan penggarap, serta penggarap) 2. Umur 3. Pendidikan 4. Pengalaman bertani 5. Jumlah tanggungan keluarga 6. Jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian 7. Jumlah hari kerja 8. Jumlah organisasi yang diikuti 9. Interaksi pertemuan di kelompok tani 10. Hutang 11. Aset 12. Luas lahan sawah yang dikuasai 13. Luas lahan milik 14. Produktivitas padi 15. Biaya usahatani 16. Penerimaan usahatani 17. Pendapatan usahatani Analisis pendapatan usahatani padi Analisis hubungan pengusahaan lahan sawah dan pendapatan usahatani padi (Analisa Regresi) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi status pengusahaan lahan sawah petani padi (Analisis Korelasi dan Regresi) Rekomendasi Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional hubungan penguasaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun

61 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian mengenai hubungan status pengusahaan lahan sawah terhadap pendapatan usahatani padi dilakukan pada pertengahan bulan Mei hingga pertengahan bulan Juni tahun Daerah penelitian dilaksanakan di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan antara lain: 1. Kelompok Tani Harum IV merupakan Kelompok Tani dengan rata-rata tingkat pendapatan usahatani padi terbilang rendah dengan rata-rata pengusahaan lahan per petaninya hanya sebesar 0,09 ha. 2. Penentuan Kelompok Tani Harum IV sebagai lokasi penelitian di Kelurahan Situmekar didasarkan pada pertimbangan kerjasama dalam penelitian. Kelurahan Situmekar memiliki satu gapoktan, yaitu Gapoktan Situmekar yang memiliki 7 (tujuh) anggota kelompok tani. Ke-7 (tujuh) anggota kelompok tani tersebut adalah Kelompok Tani Mekar Sari, Dewi Sentani, Harum I, Harum II, Harum III, Harum IV, dan Harum V. Setelah penulis melakukan diskusi dengan setiap ketua kelompok tani, penulis menilai Kelompok Tani Harum IV yang paling kooperatif dalam membantu penulis untuk mengumpulkan data Metode Penentuan Responden Menurut Nazir (2005), keterangan mengenai populasi dapat dikumpulkan dengan dua cara. Pertama, tiap unit populasi dihitung. Cara ini disebut sensus atau complete enumeration. Kedua, perhitungan dilakukan hanya pada bagian unit populasi saja, atau wakil dari populasi yang disebut dengan sampel dari populasi. Berdasarkan keterangan ini, maka pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan metode sensus. Dengan metode sensus, semua petani yang termasuk dalam Kelompok Tani Harum IV menjadi responden dalam penelitian ini. Responden adalah petani yang melakukan pengusahaan lahan baik terhadap lahan sawah miliknya maupun terhadap lahan sawah milik pihak lain (seperti: sewa, bagi hasil, gadai, dan pinjam) di Kelurahan Situmekar. Pertimbangan 43

62 penggunaan metode sensus dikarenakan penulis ingin mendapatkan kondisi objektif secara mendalam keragaan objek studi pada Kelompok Tani Harum IV Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, sedangkan instrumentasi yang diterapkan menggunakan daftar pertanyaan. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Data primer yang didapatkan meliputi karakteristik petani, sejarah penguasaan lahan, penguasaan lahan saat ini, pengusahaan lahan padi saat ini, penerimaan dan pengeluaran usahatani padi, aset dan akses finansial, pendapatan rumah tangga usahatani, dan penerapan teknologi. Data sekunder diperoleh dari beberapa lembaga dan instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistika (BPS), Pusat Sosial Ekonomi, LSI-IPB, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi, Penyuluhan Pertanian Kecamatan Lembursitu, Pemerintah Kelurahan Situmekar, serta Kelompok Tani Harum IV. Selain itu, data sekunder juga diperoleh melalui jurnal, hasil penelitian, dan buku yang dapat dijadikan rujukan terkait penelitian Metode Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini, terbagi menjadi tiga tahapan antara lain: (a) tahap tabulasi, yaitu kegiatan merumuskan data dan informasi yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk memudahkan kegiatan interpretasi data; (b) tahap editing, yaitu penulisan data dan informasi yang diperoleh selama kegiatan penelitian untuk mengevaluasi data dan informasi yang ada; da (c) tahap interpretasi data atau analisis data. Dalam memasukkan data yang diperoleh dari penelitian ini dibantu dengan program Microssoft Excell, sedangkan pengolahan data untuk menganalisis tujuan penelitian digunakan program SPSS 17 for Windows Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk mengolah data primer yang diperoleh, menganalisis pendapatan usahatani berdasarkan 44

63 penerimaaan dan biaya usahatani, menganalisis hubungan pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi dengan perumusan dan pengujian model, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan. Metode kualitatif digunakan untuk mengintrepretasikan dan mendeskripsikan hasil metode kuantitatif sehingga diperoleh informasi sesuai dengan tujuan penelitian Pola dan Distribusi Lahan Petani Indikator ketimpangan distribusi pemilikan dan penggarapan tanah yang lazim digunakan adalah koefisien Gini (G) yang formulanya sebagai berikut (Szal dan Robinson 1977): G = n 2 n 2 Yr [ n i=1 iyi] n Yi Yr = jumlah rumah tangga contoh = luas tanah yang dimiliki/digarap oleh rumah tangga ke-i = rata-rata luas tanah yang dimiliki/dikuasai Ketimpangan distribusi pemilikan dan penggarapan tanah perlu dikaji, karena mengandung implikasi terhadap distribusi pendapatan, terutama di wilayah dimana tingkat ketergantungan pendapatan masyarakat terhadap pertanian land base yang sangat tinggi. Dalam penelitian ini, dengan asumsi bahwa distribusi pemilikan dan penggarapan tanah sangat berkorelasi positif dengan distribusi pendapatan, patokan yang digunakan mengacu pada kriteria yang dikembangkan oleh Oshima (1976). Mengacu pada kriteria Oshima (1976), bahwa ketimpangan termasuk kategori rendah bila G < 0,4; sedang bila 0,4 G 0,5; dan tinggi bila G > 0, Analisis Pendapatan Usahatani Penerimaan total usahatani (total farm revenue) merupakan nilai produk dari usahatani yaitu harga produk dikalikan dengan total produksi periode tertentu. Total biaya atau pengeluaran adalah semua nilai faktor produksi yang 45

64 dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam periode tertentu. Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total. Rumus penerimaan, total biaya, dan pendapatan adalah (Soekartawi 1986) : TR TC = P x Q = biaya tunai + biaya diperhitungkan Pendapatan atas biaya tunai = TR - biaya tunai Pendapatan atas biaya total Keterangan : = TR - TC TR = total penerimaan usahatani (Rp) TC = total biaya usahatani (Rp) P = harga output (Rp/Kg) Q = jumlah produksi (Kg) π = pendapatan (Rp) Pendapatan dianalisis berdasarkan biaya tunai dan biaya tidak tunai atau biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai digunakan untuk melihat seberapa besar likuiditas tunai yang dibutuhkan petani untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Biaya tidak tunai digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika penyusutan, sewa lahan dan nilai kerja keluarga diperhitungkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan Sawah dan Hubungannya dengan Pendapatan Model yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah dan hubungannya dengan pendapatan usahatani padi di Kelurahan Situmekar adalah model regresi linier berganda (multiple linear regression). Model analisis regresi linier berganda dilakukan untuk menguji pengaruh antara lebih dari satu variabel bebas (independent variable atau X) dan satu variabel tergantung (dependent variable atau Y). Model regresi linier berganda pada penelitian ini secara umum dapat dituliskan persamaanya sebagai berikut : Y = b 0 + b 1.DX 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + b 4 X 4 + b 5 X 5 + b 6 X 6 + b 7 X 7 + b 8 X 8 + b 9 X 9 + b 10 X 10 + b 11 X 11 + b 12 X 12 + b 13 X 13 + b 14 X 14 + b 15 X 15 + b 16 X 16 + b 17 X 17 46

65 Dugaan parameter model yang digunakan dalam penelitian ini adalah: H 0 : b i = 0, i = 1,2,3,.n H 1 : b 3, b 4, b 6, b 7, b 9, b 11, b 12, b 13, b 14, b 16, b 17 > 0 b 2, b 5, b 8, b 10, b 15 < 0 Dimana: Y = pengusahaan lahan sawah b 0 b i DX 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 11 = konstanta = koefisien regresi = dummy status pengusahaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, pemilik dan penggarap, serta penggarap) = umur = pendidikan = pengalaman bertani = jumlah tanggungan keluarga = jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian = jumlah hari kerja = jumlah organisasi yang diikuti petani = interaksi pertemuan di kelompok tani = hutang = aset X 12 = luas lahan sawah yang dikuasai X 13 = luas lahan milik X 14 X 15 X 16 X 17 = produktivitas padi = biaya usahatani = penerimaan usahatani = pendapatan usahatani Pengujian Model Kriteria statistik dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen atau bebas berpengaruh secara nyata atau tidak terhadap variabel dependennya atau tak bebas. Kriteria statistik pada pengujian model ini meliputi uji koefisien determinasi (R-Squared/ R 2 ), uji F, uji t, serta uji multikolinearitas. (a) Uji Koefisien Determinasi (R-Squared/ R 2 ) 47

66 Untuk melihat kebaikan model digunakan ukuran kebaikan sesuai (goodness of fit = R 2 ). Nilai R 2 atau uji koefisien determinasi mencerminkan seberapa besar variasi atau keragaman atau presentase dari variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R 2 memiliki dua sifat yang memiliki besaran positif dan besarannya adalah 0 R 2 1. Jika R 2 bernilai nol maka keragaman dari variabel dependen tidak dapat diterangkan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika R 2 bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna, yakni 100 persen, sehingga semakin tinggi nilai R 2, maka model yang digunakan cukup baik. Sebaliknya, jika semakin rendah nilai R 2, maka model yang digunakan tidak baik. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut : R 2 1 SSE SST atau 2 R SSR SST (b) Dimana : R 2 = goodness of fit SST = jumlah kuadrat total SSE = jumlah kuadrat galat SSR = jumlah kuadrat regresi Uji F Tujuan dilakukannya pengujian parameter secara keseluruhan adalah (a) untuk melihat pengaruh bersama-sama antara variabel independent dengan variabel dependen secara keseluruhan; dan (b) untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model mempunyai pengaruh secara nyata terhadap variabel yang ingin dijelaskan atau tidak. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini: H 0 H 1 : b = 0, artinya tidak ada variabel independent yang berpengaruh terhadap pengusahaan lahan sawah : b 0, artinya minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh terhadap pengusahaan lahan sawah 48

67 Uji statistik yang digunakan : JKR /( k 1) Fhit JKG /( n k) Dimana : JKR = R 2 = jumlah kuadrat regresi JKG = (1-R 2 ) = jumlah kuadrat galat k = jumlah variabel terhadap intersep (jumlah variabel bebas) n = jumlah pengamatan atau sampel Kaidah pengujian : Jika F hit < F tabel (k-1; n-k) atau p-value > α (0,10), maka terima H 0 Jika F hit > F tabel (k-1 ; n-k) atau p-value < α (0,10), maka tolak H 0 Jika hasil pengujian menolak H 0 maka paling tidak ada satu atau seluruh variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependennya atau signifikan secara statistik. Dengan demikian, model dugaan tepat untuk meramalkan pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen pada tingkat signifikan atau tingkat kepercayaan sepuluh persen. (c) Uji t Pengujian ini digunakan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh nyata variabel independen tersebut terhadap variabel dependennya. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah: H 0 : β t = 0 H 1 : β t 0; t = 1, 2,..., n Uji statistik yang digunakan : b t t Se Dimana : b = parameter dugaan atau nilai koefisien regresi dugaan β t = parameter hipotesis (bernilai 0) Seβ = simpangan baku koefisien dugaan 49

68 Kaidah pengujian : Jika t hit < t tabel (α/2 ; n-k) atau p-value/2 > α (0,10), maka terima H 0 Jika t hit > t tabel (α/2 ; n-k) atau p-value/2 < α (0,10), maka tolak H 0 Jika hasil pengujian menolak H 0 maka koefisien β dugaan tidak sama dengan nol dan variabel yang diuji mempunyai pengaruh yang nyata terhadap variabel dependennya atau dengan kata lain β dugaan signifikan secara statistik. Sebaliknya, jika hasil pengujian menerima H 0 maka koefisien dugaan sama dengan nol dan variabel yang diuji tidak memiliki pengaruh nyata terhadap variabel dependennya. (d) Uji Multikolinearitas Multikolinearitas didefinisikan sebagai adanya korelasi yang kuat antar variabel independen pada model persamaan. Terdapatnya multikolinearitas dalam persamaan regresi akan berdampak pada varian koefisien regresi menjadi besar yang akan menyebabkan standar eror terlalu tinggi, sehingga kemungkinan penduga koefisien regresi menjadi tidak signifikan secara statistik. Dengan mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat adanya multikolinearitas di dalam persamaan regresi yang dibuat, maka dibutuhkan uji untuk mendeteksi multikolinearitas tersebut. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel independen yang terdapat pada matriks koefisien korelasi. Jika terdapat koefisien yang lebih besar dari 0,8 maka dapat disimpulkan terjadi multikolinearitas pada persamaan yang digunakan, dan sebaliknya. Selain itu, pengujian masalah multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai VIF (variance inflation factors) pada setiap variabel independen, jika nilai VIF lebih besar dari sepuluh menunjukkan adanya masalah multikolinearitas Perhitungan Skor Tingkat Penggunaan Teknologi Penggunaan teknologi di lokasi penelitian dibedakan ke dalam 6 kategori, yaitu: (1) benih berlabel, (2) pupuk sesuai rekomendasi, (3) sistem legowo, (4) traktor, (5) pengendalian hayati, dan (6) pupuk organik. Penggunaan keenam teknologi inilah yang menjadi tolak ukur penilaian yang digunakan saat ini oleh 50

69 para penyuluh pertanian di Kota Sukabumi. Tinggi rendah skor dihitung berdasarkan berapa banyak teknologi yang digunakan oleh petani, setiap 1 teknologi skornya adalah 10. Dengan demikian, maksimal skor adalah sebesar 60. Dari data terlihat bahwa minimal skor adalah 20 dan maksimal skor adalah 60. Dengan demikian range skor adalah = 40. Penulis ingin membagi skor ke dalam 3 kelas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi, maka range 40 dibagi 3 menjadi 13. Dengan demikian, muncul kelas rendah dengan skor 20-33, kelas sedang dengan skor 34-47, dan kelas tinggi dengan skor Karena maksimal skor adalah 60, maka kelas tinggi ditulis dengan skor Definisi Operasional Untuk menghindari ketidaksamaan pandangan dalam pengertian, maka terdapat beberapa hal yang perlu diberi batasan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian. Batasan-batasan tersebut meliputi: (1) Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain dari pendapatan kotor usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Pendapatan kotor usahatani mencakup pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak tunai. (2) Pendapatan kotor tunai atau penerimaan usahatani adalah nilai uang yang diterima dari usahatani yang berbentuk benda. (3) Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan di gudang, dan menerima pembayaran dalam bentuk benda. (4) Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. (5) Pengeluaran tunai adalah pengeluaran berdasarkan nilai uang sehingga segala keluaran untuk keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak termasuk dalam pengeluaran tunai. 51

70 (6) Pengeluaran tidak tunai (diperhitungkan) adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang misalnya nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. (7) Pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor dengan pengeluaran usahatani untuk mengukur imbalan yang diperoleh petani dari penggunaan faktor-faktor produksi. (8) Produksi total adalah jumlah produksi per usahatani dengan satuan Kg. (9) Harga produksi (P) adalah harga produksi per unit dengan satuan Kg. (10) Penerimaan atau nilai produksi (TR) adalah jumlah produksi dikalikan harga produksi dengan satuan Rp. (11) Biaya Total (TC) adalah jumlah biaya variabel dan biaya tetap per usahatani dengan satuan Rp. (12) Biaya variabel per unit (AVC) adalah total biaya variabel dibagi total produksi dengan satuan (Rp/Kg). (13) Biaya tetap (FC) yaitu biaya sewa lahan, pajak lahan, biaya bunga, penyusutan per usahatani dengan satuan Rp. (14) Total tenaga kerja yang dicurahkan yaitu jumlah tenaga kerja keluarga ditambah dengan jumlah tenaga kerja luar keluarga per usahatani dengan satuan HOK. (15) R/C ratio adalah perbandingan antara penerimaan dengan total biaya per usahatani. (16) Kepemilikan menggambarkan keadaan pemilikan faktor produksi utama dalam produksi pertanian (menunjuk penguasaan formal). (17) Penguasaan menggambarkan penguasaan lahan secara efektif. (18) Pengusahaan adalah pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh Rumah Tangga Petani (RTP) (19) Luas pengusahaan lahan sawah (Y 0 ), merupakan total luas lahan sawah yang diusahakan oleh petani dan diukur dengan satuan hektar. (20) Laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), merupakan pertumbuhan atau pengurangan total luas lahanyang diusahakan oleh petani dan diukur dengan satuan hektar. 52

71 (21) Status pengusahaan lahan (X 1 ) terdiri dari kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap. (22) Umur (X 2 ), merupakan massa waktu yang dihitung dari kelahiran petani padi hingga saat wawancara. Semakin tua umur petani maka semakin melemahnya kemampuan fisiknya. Variabel X 2 diukur dengan satuan tahun. (23) Pendidikan (X 3 ), merupakan massa waktu petani menimba ilmu dalam pendidikan formal hingga saat wawancara. Cara Variabel X 3 diukur dengan satuan tahun. (24) Pengalaman bertani (X 4 ), merupakan massa waktu petani dalam melakukan usahatani padi hingga saat wawancara. Petani dengan pengalaman berusahatani yang lama menunjukkan berusahatani lahan sawah penting bagi petani padi. Variabel X 4 diukur dengan satuan tahun. (25) Jumlah tanggungan keluarga (X 5 ), merupakan jumlah anggota keluarga yang tidak bekerja pada umur produktif. Variabel X 5 diukur dengan satuan orang. (26) Jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian (X 6 ), merupakan jumlah anggota keluarga pada umur produktif yang bekerja di sektor pertanian. Variabel X 6 diukur dengan satuan orang. (27) Jumlah hari kerja (X 7 ), merupakan banyaknya hari yang petani alokasikan untuk bekerja mengelola usahataninya. Variabel X 7 diukur dengan satuan hari. (28) Jumlah organisasi yang diikuti (X 8 ), merupakan banyaknya organisasi dimana petani terdaftar sebagai anggota maupun pengurus. Variabel X 8 diukur dengan banyak jumlah organisasi. (29) Interaksi pertemuan di kelompok tani (X 9 ), merupakan banyaknya jumlah keikutsertaan petani dalam setiap pertemuan di kelompok tani. Variabel X 9 diukur dengan satuan kali. (30) Hutang (X 10 ), merupakan jumlah kewajiban yang harus dibayarkan petani kepada pihak lain yang telah memberikan pinjaman. Variabel X 9 diukur dengan satuan rupiah. 53

72 (31) Aset (X 11 ), merupakan jumlah kekayaan baik dalam bentuk uang maupun benda berharga yang dimiliki petani.variabel X 10 diukur dengan satuan rupiah. (32) Luas lahan sawah yang dikuasai (X 12 ), variabel X 12 diukur dengan satuan hektar. (33) Luas lahan milik (X 13 ), variabel X 13 diukur dengan satuan hektar. (34) Produktivitas padi (X 14 ), merupakan perbandingan antara produksi dengan luas lahan. Variabel X 14 diukur dengan satuan kg/ha. (35) Biaya usahatani (X 15 ), merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Variabel X 15 diukur dengan satuan rupiah. (36) Penerimaan usahatani (X 16 ), merupakan jumlah produksi dikalikan harga produksi. Variabel X 16 diukur dengan satuan rupiah. (37) Pendapatan usahatani (X 17 ), merupakan selisih antara penerimaan dengan total biaya per usahatani. Variabel X 17 diukur dengan satuan rupiah. 54

73 V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat Bujur Timur dan Bujur Timur, Lintang Selatan dan Lintang Selatan dan terletak di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketinggiannya 584 meter di atas permukaan laut. Kota Sukabumi berjarak 120 Km dari Ibukota Negara (Jakarta) dan 96 Km dari Ibukota Propinsi (Bandung). Kota Sukabumi terbagi menjadi 7 kecamatan dan 33 Kelurahan. Kelurahan Situmekar merupakan bagian administratif dari Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi. Kelurahan ini memiliki wilayah administratif dengan batas wilayah, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Gunungpuyuh Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Wangunreja Kabupaten Sukabumi, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Lembursitu Kota Sukabumi, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cipanengah Kota Sukabumi. Kelurahan Situmekar memiliki topografi lahan datar dengan kemiringan 5 persen. Letak geografis Kelurahan Situmekar berada pada ketinggian meter di atas permukaan laut dan suhu berkisar antara C. Rata-rata curah hujan selama lima tahun terakhir ( ) adalah mm/tahun, jumlah hari hujan rata-rata 214 hari setahun, dari hujan 142 hari, 3 bulan kering dan 9 bulan basah Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar Penduduk di Kelurahan Situmekar terbagi menjadi KK dan 45 KK diantaranya adalah KK tani. Jika dilihat berdasarkan persentase, jumlah KK tani hanya sebesar 4,7 persen dari jumlah keseluruhan KK yang ada di Kelurahan Situmekar. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya pertanian yang ada di Kelurahan Situmekar hanya sedikit dan semakin diperparah dengan semakin berkurangnya lahan pertanian di wilayah ini. Selain itu, jumlah KK tani yang tidak begitu besar didominasi oleh petani lanjut usia dengan kisaran umur di atas 55

74 44 tahun. Tidak adanya generasi muda yang mau melanjutkan kegiatan pertanian di dalam keluarga tani disebabkan oleh pandangan bahwa kegiatan pertanian bukan merupakan kegiatan yang bergengsi dan kurang memberikan nilai keuntungan. Petani di Kelurahan Situmekar berdasarkan status penguasaannya terbagi menjadi petani pemilik, petani pemilik dan penggarap, serta petani pemilik penggarap. Berdasarkan status penguasaan lahan, sebagian besar petani yang ada di lokasi penelitian adalah petani penggarap, yaitu sebesar 66,3 persen Potensi Lahan Usahatani Situmekar Luas wilayah Kelurahan Situmekar 155,040 ha terdiri dari lahan sawah seluas 63,330 ha dan lahan darat seluas 91,710 ha. Potensi Lahan Sawah di Kelurahan Situmekar dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Potensi Lahan Sawah berdasarkan Jenis Pengairan di Kecamatan Lembursitu Tahun 2008 Kelurahan Luas Lahan (ha) Teknis ½ Teknis Sederhana Tadah Hujan Jumlah Lembursitu , ,050 Situmekar ,330-63,330 Cipanengah ,521-35,521 Sindangsari ,070-51,070 Cikundul ,050 3,5 54,000 Jumlah ,471 3,5 343,971 Sumber: Data Base Penyuluh Pertanian Tahun 2008 Selain itu, berdasarkan pendata base tahun 2008 yang dilaksanakan oleh penyuluh pertanian se Kecamatan Lembursitu, wilayah Kelurahan Situmekar juga memiliki potensi lahan darat maupun kolam yang luasnya dapat dilihat pada Tabel Tabel 8. Lahan usahatani yang ada di Kelurahan Situmekar belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal, karena sistem pengairan yang ada masih sederhana. Hal ini mengakibatkan pada beberapa areal sawah saat musim kemarau banyak 56

75 yang tidak mendapatkan pengairan, seperti pada blok pangkalan perbatasan dengan Kelurahan Cipanengah. Tabel 8. Potensi Lahan Darat dan Kolam berdasarkan Penggunaan Di Kecamatan Lembursitu Tahun 2008 Kelurahan Luas Lahan (ha) Pemukiman/pekarangan Tegalan/Ladang Kolam Lain Jumlah Lembursitu 127,653 42,928 5,975 4, ,484 Situmekar 35,870 26,360 3,820 25,660 91,710 Cipanengah 86,325 20,825 2,880 2, ,205 Sindangsari 31,645 1,500 3,320 2,353 38,818 Cikundul 80,365 24,500 6,460 10, ,575 Jumlah 361, ,113 22,455 45, ,792 Sumber: Potensi Kecamatan dan Data Penyuluh Pertanian 2008 Pengelolaan air masih dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Mitra Cai, sehingga perlu adanya peningkatan sistem pengairan dari sederhana menjadi ½ teknis dan teknis, sehingga masalah pengairan dan pengaturannya dapat teratasi. Oleh karena itu, untuk menunjang kegiatan pengairan maka di Kecamatan Lembursitu, tepatnya di Kelurahan Situmekar telah dibentuk kelompok P3A Mitra Cai Harum dan gabungan P3A Mitra Cai dari tiga kelurahan, yaitu Situmekar, Lembursitu, dan Cipanengah Usahatani Tanaman Pangan dan Sayuran Tanaman padi merupakan jenis usahatani yang masih menjadi andalan bagi petani di Kelurahan Situmekar dalam menjalankan usahataninya. Selain itu, para petani juga menjalankan usaha tanaman sayuran sebagai penyelang. Sayuran yang diusahakan adalah sayuran jenis dataran rendah. Usahatani untuk tanaman palawija hanya dilakukan pada daerah-daerah darat seperti tegalan. Usahatani tanaman pangan dan sayuran dapat dilihat pada Tabel 9. Sebagian besar petani di Kelurahan Situmekar lebih memilih menanam padi, walaupun produktivitasnya masih perlu ditingkatkan. 57

76 Tabel 9. Keadaan Usahatani Tanaman Pangan dan Sayuran di Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2009 No. Komoditas Produktivitas (ton/ha) 1. Tanaman Pangan: Padi Sawah PTT 8 Padi Organik 7,5 Padi Hibrida 8,5 2. Sayuran: Secim 14 Cabe merah 0,7 Kacang panjang 2,25 Bengkuang 4 Sumber: Data Base Penyuluh Pertanian Tahun Data Kelembagaan Petani Adanya kelembagaan petani sebagai penunjang dalam program pembangunan pertanian dirasakan sangat penting sekali. Pada tahun 2008, di Kelurahan Situmekar telah terbentuk Gapoktan Situmekar yang mendapatkan dana bantuan pemerintah dalam Program Pengembangan Agribisnis Perdesaan (PUAP) sebesar Rp 100 juta. Gapoktan Situmekar selain sebagai tempat bagi petani untuk memenuhi kebutuhan sarana produksi pertanian, juga diharapkan dapat membantu petani untuk memasarkan hasil produksi yang dihasilkan. Oleh karena itu, keberadaan Gapoktan Situmekar ini harus selalu dijaga oleh seluruh pengurus dan anggota. Salah satu kekurangan yang ada di kelurahan ini adalah belum adanya kios-kios saprodi yang memudahkan petani memenuhi kebutuhan saprodi untuk kegiatan usahataninya, sehingga pembelian pupuk masih dilakukan secara kolektif ataupun perorangan ke Gapoktan ataupun kios penyalur yang ditunjuk, yaitu Kios Dian di Kelurahan Lembursitu. 58

77 5.6. Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar Kelompok tani merupakan wadah yang sangat diperlukan dalam melaksanakan pembinaan kepada petani. Untuk itu, keberadaan dan keaktifan kelompok merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menunjang keberhasilan baik usahatani ataupun keberhasilan pertanian di wilayah tersebut. Di Kelurahan Situmekar saat ini baru terdapat enam kelompok tani dan satu kelompok wanita tani. Karakteristik kelompok tani yang ada di Kelurahan Situmekar dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar Tahun 2009 No. Nama Kelompok Tani Lahan (ha) Anggota Tahun berdiri Kelas Kelompok Tani Komoditi 1 Harum I 19, Utama Pertanian dan Perikanan 2 Harum II 5, Lanjut Pertanian 3 Harum III 7, Lanjut Pertanian 4 Harum IV 7, Lanjut 5 Harum V 6, Lanjut Pertanian dan Peternakan, palawija Padi dan Palawija 6 Mekarsari 5, Pemula Pertanian 7 Dewi Sentani (Wanita Tani) 11, Lanjut Pertanian dan Hortikultura Sumber: Data Benah Kelompok Tani di Kelurahan Situmekar Tahun

78 5.7. Sosial Ekonomi Petani Kemampuan Kelompok Tani Harum IV diukur dengan tiga jurus kemampuan yang dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lapangan oleh Penyuluh Pertanian, sebagian besar kelompok tani masih belum terkoordinir dalam memasarkan hasil pertaniannya. Posisi tawar menawar petani masih rendah, sehingga kesejahteraan mereka belum sesuai dengan yang diharapkan. Seringkali pada waktu menjual hasil panen, petani tidak memperhitungkan harga yang menguntungkan bagi mereka. Hal ini terjadi karena kebutuhan petani yang tidak bisa ditunda-tunda dan akhirnya pembeli lah yang menentukan harga. Tabel 11. Tingkat Kemampuan Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2009 No. Kriteria Persentase 1. Kemampuan merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani para anggotanya dengan menerapkan rekomendasi yang tepat 2. Kemampuan pemupukan modal dan memanfaatkan pendapatan secara optimal 3. Kemampuan mencari dan memanfaatkan serta menggalang kerjasama kelompok 75 51,3 67 Sumber: Data Penyuluh Pertanian 2009 Kemampuan petani dalam pemupukan modal masih rendah, yaitu hanya sebesar 51,3 persen. Ketergantungan akan bantuan dari pihak luar menjadikan petani sulit menumbuhkan kemampuan untuk memupuk modal secara swadaya. Selain itu, kemampuan petani dalam merencanakan kegiatan untuk meningkatkan produktivitas usahatani para anggotanya dengan menerapkan rekomendasi yang tepat juga masih terbilang rendah, yaitu sebesar 75 persen. Oleh karena itu, peran kontak tani masih harus terus ditingkatkan sebagai motor penggerak dalam kelompok tani. 60

79 Masalah perilaku lain yang ada dalam petani di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar adalah: (1) belum optimalnya penggunaan sarana produksi pertanian yang tepat guna, sehingga produktivitas yang diharapkan belum berhasil dicapai, (2) belum berfungsinya penanganan pasca produksi, (3) kesadaran petani dalam melaksanakan penyuluhan penerapan teknologi masih rendah, dan (4) kurangnya memanfaatkan bahan yang tersedia untuk menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang seperti pembuatan pestisida nabati dan agen hayati Sistem Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Menurut Suryono (2002), penguasaan lahan pada dasarnya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penguasaan lahan yang bersifat tetap dan penguasaan lahan yang bersifat sementara. Penguasaan lahan yang bersifat tetap diperoleh melalui sistem waris dan transaksi jual beli lahan. Sedangkan penguasaan lahan yang bersifat sementara dapat diperoleh melalui sistem sewa, bagi hasil, dan gadai. Penguasaan lahan melalui sistem waris diperoleh dengan cara mewariskan lahan orang tua kepada anaknya. Implikasi dari penerapan sistem waris akan mengakibatkan terjadinya fragmentasi lahan dan kepemilikan lahan terpecahpecah menjadi semakin kecil. Sedangkan penguasaan lahan melalui transaksi jual beli diperoleh melalui kesepakatan antara penjual dan pembeli lahan. Dengan adanya transaksi jual beli lahan, perubahan yang terjadi hanyalah status kepemilikannya saja, sedangkan luas lahannya tetap. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa lahan. Pembayaran sewa dapat dilakukan di awal maupun di akhir musim tanam tergantung perjanjian antara kedua belah pihak. Dilihat dari bentuknya, pembayaran sewa lahan dapat berupa uang tunai maupun natura yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan. Sistem bagi hasil atau penyakapan adalah perpindahan hak garap sementara berdasarkan perjanjian kedua belah pihak dimana petani pemilik lahan memberikan ijin kepada petani lain untuk menggarap lahannya dan diantara pemilik dan penggarap lahan terjadi ikatan pengusahaan usahatani serta pembagian produksi. Dalam sistem bagi hasil, kontribusi pemilik lahan adalah 61

80 menyediakan lahan untuk digarap dan atau menyediakan sebagian input produksi. Sedangkan penggarap diberi kepercayaan untuk mengusahakan lahan dengan sebaik-baiknya. Namun, pada prakteknya sistem bagi hasil atau penyakapan tidak ditemukan pada lokasi penelitian, karena pada umumnya bagi petani lebih mudah memberikan hak garap dengan sistem sewa, karena dengan sistem ini pemilik lahan tidak perlu bersusah payah menyediakan pengadaan masukan (input) produksi melainkan hanya tinggal menerima biaya sewanya saja. Sistem gadai terjadi ketika pemilik lahan menggadaikan lahan miliknya kepada orang lain (penerima gadai/akad). Petani sebagai penerima gadai membayar sejumlah uang kepada pemilik lahan sesuai perjanjian dengan status pinjaman. Selama pemilik lahan belum mengembalikan uang pinjaman (gadai), petani penerima gadai mempunyai hak penuh untuk mengusahakan lahan tersebut dengan hasil sepenuhnya milik petani penerima gadai. Keragaan status penguasaan lahan petani padi di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan tabel tersebut diperoleh informasi bahwa status penguasaan lahan petani responden di lokasi penelitian dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) petani pemilik, (2) petani penggarap, dan (3) petani pemilik dan penggarap. Petani pemilik memperoleh lahan melalui beberapa cara, yaitu melalui pembelian, waris, dan hadiah, sedangkan petani penggarap memperoleh lahan melalui beberapa cara, yaitu melalui sewa, gadai/akad, dan pinjam. Sistem pinjam dalam penelitian ini adalah pengalihan hak garap kepada orang lain yang sifatnya sebagai pinjaman selama kurun waktu tertentu sesuai dengan perjanjian dengan pemilik lahan. Selama kurun waktu peminjaman, tidak ada kewajiban peminjam lahan untuk memberikan atau menyerahkan bagi hasil usahanya kepada pemilik lahan. Pihak yang meminjam lahan biasanya mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan atau memiliki akses terhadap pemilik lahan. Adanya akses terhadap pemilik lahan dalam penelitian ini seperti dicontohkan pada kasus yang dialami oleh Bapak Uki yang beralamat di Kampung Bangsanaya RT 03 RW 07 Kelurahan Situmekar Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi, dimana responden memperoleh lahan dengan cara diberi pinjaman oleh Dinas Kehutanan daerah setempat untuk digarap. Bapak Uki dipinjamkan tanah oleh Dinas Kehutanan selama 2 kali yaitu pada tahun

81 sampai dengan tahun 1970 dengan luas 0,25 ha dan pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1975 dengan luas 0,15 ha. Selama kurun waktu peminjaman lahan tersebut, Bapak Uki mengusahakan tanaman padi agar dapat menjamin ketersedian beras untuk rumah tangga. Bapak Uki tidak memiliki keharusan untuk membagikan hasil olahan tanah nya. Namun, jika sewaktu waktu, manakala lahan tersebut akan digunakan kembali oleh dinas kehutanan, Bapak Uki harus melepaskan hak penguasaannya. Tabel 12. Distribusi Responden berdasarkan Status Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Total N % Pemilik Pemilik dan Penggarap : Pemilik dan Penggarap (sewa) Pemilik dan Penggarap (akad) Penggarap : a. Penggarap (sewa) b. Penggarap (pinjam) c. Penggarap (sewa dan pinjam) Total Meski tidak dilakukan dalam suatu perjanjian tertulis, kegiatan pengusahaan lahan pertanian di lokasi penelitian berjalan cukup baik melalui instrument kesepakatan antara pemilik lahan dan penggarap lahan. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, motif pemberian lahan garapan yang dilakukan oleh pemilik lahan kepada penggarap disebabkan karena cukup luasnya lahan pertanian yang dimiliki sehingga jika lahan tersebut diusahakan atau digarap 63

82 oleh orang lain dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi pemilik lahan. Sedangkan motif dari sisi penggarap lahan adalah untuk menambah lahan garapan atau karena tidak memiliki lahan sawah untuk diusahakan. Dalam sistem penggarapan ini, pemilik lahan dapat memberikan penilaian objektif atas lahan yang dikelola penggarap. Jika pengelolaan usahataninya tidak sungguh-sungguh atau tidak benar, maka pemilik lahan dapat mengakhiri kesepakatan tersebut dan mengalihkannya kepada penggarap lain. Sebaliknya, jika pengelolaan dilakukan secara sungguh-sungguh maka penggarap dapat secara terus menerus menggarap lahan tersebut. 64

83 VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN 6.1. Indikator Karakteristik Petani Tabel 13. berikut ini menggambarkan karakteristik umum responden berdasarkan pengelompokannya, terdiri dari kelompok petani pemilik, petani pemilik dan penggarap, serta petani penggarap. Petani pemilik dan penggarap terdiri dari petani pemilik dan penggarap sewa serta petani pemilik dan penggarap akad, sedangkan petani penggarap terdiri dari petani penggarap sewa, petani penggarap pinjam, serta petani penggarap sewa dan pinjam. Berdasarkan tabel tersebut, diperoleh informasi bahwa rata-rata umur petani di lokasi penelitian adalah 55,75 tahun. Merujuk pada pengelompokkan umur berdasarkan SAKERNAS, rata rata umur responden menunjukkan bahwa responden di lokasi penelitian ini termasuk ke dalam kategori usia tua karena berada pada selang umur 44 sampai 59 tahun. Dibandingkan dengan yang lainnya, petani penggarap pinjam memiliki umur yang relatif lebih muda. Selain umur petani, karakteristik lainnya yang menarik dikaji adalah umur responden ketika mereka pertama kali menjadi petani mandiri. Berdasarkan Tabel 13, terlihat bahwa rata-rata umur responden menjadi petani mandiri di lokasi penelitian adalah 28 tahun. Dengan demikin seseorang menjadi petani yang mandiri dilakukan pada usia dewasa, bahkan kebanyakan dari mereka memutuskan menjadi petani disaat mereka sudah menikah. Melihat rata-rata umur saat ini dan membandingkannya dengan umur rata-rata ketika responden menjadi petani mandiri, maka rata-rata pengalaman bertani responden di lokasi penelitian adalah selama 27,25 tahun. Berdasarkan data dari Tabel 13, terlihat juga bahwa rata rata pendidikan petani adalah lulusan SD, tidak tamat SD, dan tidak sekolah. Hal ini terlihat dari rata rata lama pendidikan dibawah 6 tahun. 65

84 Tabel 13. Beberapa Indikator Karakteristik Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Indikator Karakteristik Petani Pemilik Pemilik & Penggar ap (sewa) Pemilik & Penggar ap (akad) Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Rata-rata total Rata-rata Umur Petani (thn) Rata-rata Umur Menjadi Petani (thn) Rata-rata Pengalaman Bertani (thn) Rata-rata Lama Pendidikan (thn) Rata-rata Jumlah Tanggungan Keluarga (org) Rata rata Jumlah Anggota Keluarga yang Bekerja Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga yang Bekerja di Sektor Pertanian Layaknya sebuah keluarga, anggota keluarga petani pun mengalami perubahan seiring dengan kelahiran anak-anaknya. Diantara anak-anak mereka saat ini sudah ada juga yang berkeluarga, dengan demikian tanggungan keluarga menjadi semakin kecil, akan tetapi tanggungan keluarga tidak hanya anak saja, banyak juga petani yang memiliki tanggungan keluarga selain anak. Rata rata jumlah tanggungan keluarga yang ada saat ini sebanyak 4 orang. Dari jumlah anggota keluarga yang ada saat ini, rata-rata jumlah anggota yang bekerja berkisar 2-3 orang dan anggota keluarga yang bekerja di sektor pertanian berkisar antara 1-2 orang, mereka antara lain petani dan bu tani nya. Dengan demikian tanggungan keluarga yang ada saat ini kebanyakan merupakan anggota keluarga yang belum bekerja. Kalau pun ada keluarga yang bekerja di luar sektor pertanian, profesi anggota keluarga tersebut kebanyakan sebagai buruh. 66

85 6.2. Alasan Responden Menjadi Petani Setiap orang mempunyai alasan dalam memilih profesinya. Alasan ini akan menjadikan motif seseorang dalam berprilaku. Berdasarkan informasi yang digali selama wawancara, penulis mengelompokkan alasan responden menjadi petani di lokasi penelitian ke dalam 8 kategori, yaitu: 1) Bertani padi sebagai jaring pengaman keluarga. Maksud dari pernyataan ini adalah petani berusaha menjamin ketersediaan beras untuk konsumsi rumah tangganya, sehingga mereka tidak perlu lagi membeli beras atau khawatir tidak memiliki beras setiap bulannya. 2) Bertani padi merupakan keahlian yang dimiliki saat itu. Pernyataan ini didasari karena sebagian besar masyarakat perdesaan terbiasa dengan kegiatan pertanian, sehingga dengan sendirinya atau secara otodidak mereka memiliki keahlian bertani dari lingkungan sekitarnya yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. 3) Bertani padi merupakan profesi yang dicintai responden. Maksud dari pernyataan ini adalah seluruh aktivitas responden setiap harinya benarbenar terkonsentrasi untuk mengelola kegiatan usahataninya. Responden hanya bisa merasakan ketenangan dan kenyamanan jika bekerja sebagai petani dan bisa melihat sawah setiap hari. 4) Bertani padi merupakan budaya keluarga. Responden yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga petani akan secara langsung terbiasa dengan kegiatan bertani, karena hampir sebagian besar keluarganya bekerja sebagai petani dan pada akhirnya ia pun bekerja sebagai petani. Berbeda dengan alasan nomer 2, proses pembelajaran menjadi petani responden dapatkan dari keluarganya sendiri. 5) Bertani padi merupakan tuntutan kebutuhan kerja saat itu pada kondisi akses terhadap dunia kerja di perdesaan sangat terbatas. 6) Bertani padi merupakan usaha yang prospektif. Responden yang memiliki alasan seperti ini adalah responden yang merasa yakin bahwa bertani padi merupakan kegiatan yang bisa memberikan keuntungan apabila dikelola dengan sebaik-baiknya. Selain itu bertani padi merupakan pekerjaan tetap, 67

86 tidak seperti pekerjaan lain di perdesaan yang kebanyakan merupakan pekerjaan yang tidak tetap, seperti menjadi kuli bangunan atau supir. 7) Bertani padi merupakan pekerjaan untuk mengisi waktu luang. Responden yang memiliki alasan seperti ini adalah responden yang memiliki pekerjaan utama di luar sektor pertanian, seperti menjadi PNS, buruh pada industri lain, atau kuli bangunan. 8) Bertani padi merupakan cita-cita responden sejak muda. Pernyataan ini didasari oleh keinginan responden yang begitu besar untuk menjadi seorang petani dan memiliki lahan untuk diusahakan. Tabel 14. Alasan Responden Menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Alasan Menjadi Petani Pemilik Pemilik dan Penggarap Penggarap Total 1) Bertani Padi Sebagai Jaring Pengaman Keluarga 2) Bertani Padi Merupakan Keahlian Yang Dimiliki Saat itu 3) Bertani Padi Merupakan Profesi Yang Dicintai Responden 4) Bertani Padi Merupakan Budaya Keluarga 5) Bertani Padi Merupakan Tuntutan Kebutuhan Kerja Saat Itu Pada Kondisi Akses Terhadap Dunia Kerja di Perdesaan Sangat Terbatas 6) Bertani Padi Merupakan Usaha Yang Prospektif 7) Bertani Padi Merupakan Pekerjaan Untuk Mengisi Waktu Luang 8) Bertani Padi Merupakan Cita Cita Berdasarkan Tabel 14, dari total responden, diketahui terdapat 25 persen responden menyatakan alasan bahwa bertani padi sebagai jaring pengaman keluarga; 25 persen responden menyatakan alasan bahwa bertani padi merupakan keahlian yang dimiliki saat itu; 15,63 persen responden menyatakan alasan bahwa 68

87 bertani padi merupakan profesi yang dicintai responden; 25 persen responden menyatakan alasan bahwa bertani padi merupakan budaya keluarga; 28,13 persen responden menyatakan alasan bahwa bertani padi merupakan tuntutan kebutuhan kerja saat itu pada kondisi akses terhadap dunia kerja di perdesaan sangat terbatas; 15,63 persen responden menyatakan alasan bahwa bertani padi merupakan usaha yang prospektif; 6,25 persen responden menyatakan alasan bahwa bertani padi merupakan pekerjaan untuk mengisi waktu luang; dan 3,13 persen responden menyatakan alasan bahwa bertani padi merupakan cita-cita Status Responden Ketika Menjadi Petani Merujuk Tabel 15, status responden ketika menjadi petani dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu sudah menikah dan belum menikah. Dari total responden, sebesar 81,25 persen responden menjadi petani setelah menikah, sedangkan sisanya sebesar 18,75 persen responden menjadi petani sebelum menikah. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa tuntutan menjadi petani muncul ketika responden sudah menikah. Hal ini terjadi karena setelah menikah responden dihadapkan pada kondisi dimana mereka diharuskan untuk bekerja menafkahi keluarga dan sektor pertanian merupakan penyangga pekerjaan utama bagi masyarakat perdesaan selama ini. Hal tersebut juga semakin dibenarkan oleh data bahwa dominasi alasan responden menjadi petani, karena bertani padi merupakan tuntutan kebutuhan kerja saat itu pada kondisi akses terhadap dunia kerja di perdesaan sangat terbatas (28,13%). Tabel 15. Status Responden Ketika Menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Orang Persentase (%) 1) Responden yang menjadi petani setelah menikah % 2) Responden yang menjadi petani sebelum menikah % Total % 69

88 6.4. Keragaan Kelompok Umur Petani Berdasarkan data pada Tabel 16, menurut SAKERNAS, pengelompokan umur produktif diklasifikasikan ke dalam empat kategori umur, yaitu: (1) tahun, (2) tahun, (3) tahun, dan (4) > 60 tahun. Pada penelitian ini, kelompok umur tahun tidak ditemukan di lokasi penelitian. Oleh karena itu, pengelompokan umur responden hanya diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umur, yaitu: (1) tahun, (2) tahun, dan (3) > 60 tahun. Dari total responden, terdapat 12,50 persen responden yang termasuk ke dalam kategori umur tahun; 43,75 persen responden yang termasuk ke dalam kategori umur tahun; dan 43,75 persen responden yang termasuk ke dalam kategori umur > 60 tahun. Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang termasuk ke dalam kategori umur > 60 tahun, yaitu sebesar 15,63 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh responden yang termasuk ke dalam kategori umur tahun, yaitu sebesar 12,50 persen, sedangkan kelompok petani penggarap didominasi oleh responden yang termasuk ke dalam kategori umur tahun, yaitu sebesar 21,88 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa responden di lokasi penelitian didominasi oleh responden dengan kategori umur tua (44-59 tahun) dan umur lanjut (> 60 tahun), yaitu sebesar 43,75 persen. Fenomena ini menunjukkan fakta bahwa tenaga kerja umur muda mulai kurang tertarik bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan hasil wawancara, terungkap alasan-alasan yang mengakibatkan tenaga kerja muda kurang tertarik bekerja di sektor pertanian. Alasan-alasan tersebut adalah: (1) alasan psikologis stereotif negatif terhadap sektor pertanian, ada beban psikologis bahwa bekerja di sektor pertanian tidak prospektif, kotor, dan tidak membanggakan; (2) terbatasnya akses untuk mengusahakan lahan; dan (3) motif untuk mendapatkan penghasilan dalam waktu cepat, waktu perolehan penghasilan yang diterima dari sektor pertanian tidak secepat waktu perolehan penghasilan yang diterima dari sektor non pertanian, dimana pada sektor ini pekerja dimungkinkan untuk dapat memperoleh upah harian, mingguan, atau bulanan. 70

89 Fakta lain yang membuktikan bahwa responden di lokasi penelitian didominasi oleh responden dengan kategori umur tua (44-59 tahun) dan umur lanjut (> 60 tahun) dapat ditunjukkan oleh Tabel 17 mengenai keragaan lama pengalaman bertani. Tabel 16. Keragaan Kelompok Umur Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 No Kriteria Kelompok Umur (Tahun) tahun tahun >60 tahun Total N % N % N % N % 1. Pemilik % Pemilik dan Penggarap: a. Pemilik dan Penggarap (sewa) % b. Pemilik dan Penggarap (akad) % Penggarap: % a. Penggarap (sewa) % b. Penggarap (pinjam) % c. Penggarap (sewa dan pinjam) % Total % Keragaan Pengalaman Bertani Lama pengalaman bertani yang dimiliki oleh petani dapat mempengaruhi kemampuan petani dalam mengelola kegiatan usahatani yang dijalankannya. Mengacu hasil penelitian mengenai Representasi Profesional Petani Padi Sawah dalam Hubungannya dengan Praktek Pengendalian Hama oleh Pandjaitan (1999), pengelompokan lama pengalaman bertani dibedakan ke dalam empat kategori waktu, yaitu: (1) < 10 tahun tahun, (2) tahun, (3) tahun, dan (4) 30 tahun. Dari total responden, terdapat 15,63 persen responden termasuk dalam kategori berpengalaman < 10 tahun; 18,75 persen responden termasuk dalam kategori berpengalaman tahun; 21,88 persen responden termasuk dalam kategori berpengalaman tahun; dan 43,75 persen responden termasuk dalam kategori berpengalaman 30 tahun. Berdasarkan data pada Tabel 17, kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang memiliki lama pengalaman bertani 30 tahun, yaitu sebesar 18,75 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh responden yang memiliki lama pengalaman bertani 30 tahun, yaitu sebesar 71

90 9,38 persen. Selain itu, kelompok petani penggarap juga didominasi oleh responden yang memiliki lama pengalaman bertani 30 tahun, yaitu sebesar 15,63 persen. Tabel 17. Pengalaman Berusahatani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 No. Kriteria Pengalaman Bertani <10 tahun tahun tahun 30 tahun Total N % n % n % N % n % 1. Pemilik Pemilik dan Penggarap: a. Pemilik dan Penggarap (sewa) b. Pemiliki dan Penggarap (akad) Penggarap : a. Penggarap (sewa) b. Penggarap (pinjam) c. Penggarap (sewa dan pinjam) Total Sebaran petani responden di lokasi penelitian berdasarkan lama pengalaman bertani menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki lama pengalaman bertani 30 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengalaman bertani yang tinggi, sehingga kemampuan responden dalam mengelola kegiatan usahataninya jauh lebih baik daripada responden yang hanya memiliki lama pengalaman bertani < 10 tahun. Responden yang memiliki lama pengalaman bertani < 10 tahun dapat dijelaskan karena hal-hal seperti di bawah ini: 1) Responden merupakan petani yang sebelumnya bekerja di sektor non pertanian, seperti menjadi supir, kuli bangunan, ataupun kuli pada industri lainnya. Oleh karena pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan tetap yang bisa mereka kerjakan setiap hari, mereka beralih profesi menjadi seorang petani atau mereka tetap bekerja pada sektor non pertanian namun juga bertani untuk menambah penghasilan. 2) Responden dipaksa menggarap lahan orang tua karena orang tua sudah tidak kuat lagi bertani. 72

91 3) Responden di PHK karena perusahaan yang memperkerjakannya mengalami gulung tikar Keragaan Tingkat Pendidikan Petani Merujuk data pada Tabel 18, dari total responden, terdapat 25 persen responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik lahan; 28,13 persen responden termasuk ke dalam kelompok petani pemilik dan penggarap; dan 46,88 persen responden termasuk ke dalam kelompok petani penggarap. Apabila diperinci berdasarkan tingkat pendidikan, responden di lokasi penelitian dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu: (1) tidak sekolah, (2) SD, (3) SLTP, (4) SLTA. Responden yang termasuk ke dalam kategori tidak sekolah, artinya responden tidak pernah mengenyam pendidikan seumur hidupnya. Responden yang termasuk ke dalam kategori SD, artinya kemampuan responden dalam mengenyam pendidikan formal selama enam tahun. Responden yang termasuk ke dalam kategori SLTP, artinya kemampuan responden dalam mengenyam pendidikan formal selama sembilan tahun. Responden yang termasuk ke dalam kategori SLTA, artinya kemampuan responden mengenyam pendidikan formal selama dua belas tahun. Berdasarkan data pada Tabel 18, dari total responden, diperoleh informasi bahwa keragaan tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian didominasi oleh responden dengan tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebesar 43,75 persen dan petani tidak sekolah juga sebesar 43,75 persen. Sementara responden dengan tingkat pendidikan SLTP baru mencapai 3,13 persen dan SLTA sebesar 9,38 persen. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa human capital di lokasi penelitian kurang memadai dan sangat mencerminkan betapa kecilnya perhatian responden terhadap pendidikan. Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh petani yang termasuk ke dalam kategori tidak sekolah, yaitu sebesar 12,50 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh petani yang termasuk ke dalam katagori tidak sekolah, yaitu sebesar 12,51 persen. Sedangkan kelompok petani penggarap didominasi oleh petani yang termasuk ke dalam katagori SD, yaitu sebesar 25,00 persen. 73

92 Dominasi tingkat pendidikan petani berpendidikan rendah menunjukkan fakta, bahwa bekerja di sektor pertanian kurang diminati oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lokollo et al. (2007) mengenai Dinamika Sosial Ekonomi Perdesaan: Analisis Perbandingan antar Sensus Pertanian, faktor-faktor penjelas yang menyebabkan sektor pertanian kurang diminati oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi, yaitu: (1) sektor pertanian tidak mampu memberikan perbedaan upah dan tidak menuntut persyaratan tingkat pendidikan tertentu, sedangkan sektor non pertanian mampu memberikan perbedaan upah yang nyata dan tingkat pendidikan tertentu merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan akses pada sektor ini; dan (2) jaminan untuk sukses di sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan sektor non pertanian, baik dari besaran upah yang diberikan maupun jenjang status pekerjaan. Pada sektor pertanian tidak ada penjenjangan pekerjaan, yang ada adalah jenis pekerjaan, seperti mencangkul, memupuk, menyemprot, memanen, dan lain-lain. Tabel 18. Keragaan Tingkat Pendidikan Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 No. Kriteria Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Total n % N % n % N % n % 1. Pemilik Pemilik dan penggarap: a. Pemilik dan Penggarap (sewa) b. Pemilik dan Penggarap (akad) Penggarap : d. Penggarap (sewa) e. Penggarap (pinjam) f. Penggarap (sewa dan pinjam) Total Jumlah Tanggungan Keluarga Rumah Tangga Petani Berdasarkan data pada Tabel 19, jumlah tanggungan keluarga responden di lokasi penelitian dibedakan ke dalam delapan kelompok jumlah tanggungan, yaitu: (1) satu orang, (2) dua orang, (3) tiga orang, (4) empat orang, (5) lima orang, (6) enam orang, (7) tujuh orang, dan (8) delapan orang. Berdasarkan uraian 74

93 sebelumnya diketahui bahwa rata-rata jumlah tanggungan keluarga di lokasi penelitian adalah sebanyak 4 orang. Hal ini berarti responden yang memiliki jumlah tanggungan keluarga 5 orang termasuk kelompok responden yang memiliki jumlah tanggungan tinggi. Dari total responden, persentase responden yang memiliki jumlah tanggungan keluarga 5 orang ada sebesar 34,39 persen. Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak dua, tiga, dan enam orang, masing-masing sebesar 6,25 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap sewa didominasi oleh responden yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak enam orang, yaitu sebesar 9,38 persen; sedangkan kelompok petani penggarap sewa didominasi oleh responden yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak empat orang, yaitu sebesar 15,63 persen. Tabel 19. Jumlah Tanggungan Keluarga Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Jumlah Tanggungan Keluarga Rumah Tangga Petani Total 1 org 2 org 3 org 4 org 5 org 6 org 7 org 8 org n % N % n % n % N % n % n % N % N % Pemilik Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) Penggarap (sewa dan pinjam) Total Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani berdasarkan Kelompok Umur dan Jumlah Tanggungan Keluarga Merujuk data pada Tabel 20, dari keseluruhan responden, diperoleh informasi bahwa keragaan jumlah tanggungan keluarga petani di lokasi penelitian per kategori umur tahun, didominasi oleh responden yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak 5 orang, yaitu sebesar 133 orang. Selain itu, 75

94 keragaan jumlah tanggungan keluarga petani per kategori umur tahun, didominasi oleh responden yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak 6 orang, yaitu sebesar 156 orang. Sedangkan keragaan jumlah tanggungan keluarga petani per kategori umur > 60 tahun, didominasi oleh responden yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak 4 orang, yaitu sebesar 144 orang. Jika dihubungkan dengan rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani di lokasi penelitian, maka informasi yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) ratarata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 1 orang adalah sebesar 115,20 kg/kapita/tahun; (2) rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 2 orang adalah sebesar 133,71 kg/kapita/tahun; (3) rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3 orang adalah sebesar 142,50. kg/kapita/tahun; (4) rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 4 orang adalah sebesar 126,00 kg/kapita/tahun; (5) rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 5 orang adalah sebesar 132,96 kg/kapita/tahun; (6) rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 6 orang adalah sebesar 132,00 kg/kapita/tahun; (7) rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 7 orang adalah sebesar 138,86 kg/kapita/tahun; dan (8) rata-rata konsumsi beras rumah tangga petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 8 orang adalah sebesar 135,00 kg/kapita/tahun. Tabel 20. Konsumsi Beras Rumah Tangga Petani Berdasarkan Kelompok Umur dan Jumlah Tanggungan Keluarga di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kategorik Umur (Tahun) Jumlah Tanggungan Keluarga (orang) Rata rata Total (kg/kapita/tahun) diatas Rata-rata (kg/kapita/tahun)

95 Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa terdapat kecenderungan jika semakin banyak jumlah tanggungan keluarga, maka semakin banyak juga kebutuhan beras yang harus dipenuhi oleh setiap rumah tanga petani. Oleh karena itu, usaha untuk semakin meningkatkan penguasaan lahan penting dilakukan Keterampilan yang Dimiliki Petani berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi Berdasarkan Tabel 21 pada data mengenai kategori status penguasaan lahan, selain berusahatani padi, dominasi keterampilan yang dimiliki responden di lokasi penelitian tetap berada di sektor pertanian, yaitu sebesar 56,25 persen; sedangkan responden yang memiliki keterampilan di luar sektor non pertanian hanya sebesar 37,50 persen dan responden yang memiliki keterampilan di sektor dan di luar sektor pertanian sebesar 15,625 persen. Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang memiliki keterampilan di sektor pertanian selain padi, yaitu sebesar 9,38 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap juga didominasi oleh responden yang memiliki keterampilan di sektor pertanian selain padi, yaitu sebesar 21,875. Selain itu, kelompok petani penggarap juga didominasi oleh responden yang memiliki keterampilan di sektor pertanian selain padi, yaitu sebesar 25,00 persen. Meskipun data tersebut menunjukkan dominasi keterampilan responden di luar usahatani padi, data tersebut tetap menunjukkan bahwa secara keseluruhan sektor pertanian masih merupakan pilihan pekerjaan dan sumber penghasilan bagi sebagian besar responden di lokasi penelitian, baik berbasis lahan sawah maupun lahan darat/kering. Apabila dirinci menurut kategori luas pengusahaan lahan, luasan lahan yang diusahakan oleh responden di lokasi penelitian dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu luas < 0,5 ha dan 0,5-0,99 ha. Baik responden yang memiliki luas lahan < 0,5 ha maupun 0,5-0,99 ha; dominasi jenis keterampilan yang dimiliki dalam mengusahakan lahan tersebut sama-sama keterampilan di sektor pertanian meskipun di luar usahatani padi, yaitu sebesar 56,25 persen. 77

96 Tabel 21. Keterampilan yang Dimiliki Petani Berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Karakteristik Memiliki Keterampilan di sektor pertanian Selain Padi Memiliki Keterampilan di Luar Sektor Pertanian Memiliki Keterampilan di Sektor dan Luar Sektor Pertanian Berdasarkan Kategorik Status Penguasaan lahan N % N % N % Pemilik Pemilik dan Penggarap: a. Pemilik & Penggarap (sewa) b. Pemilik & Penggarap (akad) Penggarap: a. Penggarap (sewa) b. Penggarap (pinjam) c. Penggarap (sewa dan pinjam) Total Berdasarkan Kategorik Luas Pengusahaan Lahan < 0,5 ha ,5-0,99 ha Total Jenis Keterampilan yang Dimiliki Petani selain Berusahatani Padi berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi Berdasarkan Tabel 22, jenis keterampilan yang dimiliki petani selain berusahatani padi di lokasi penelitian adalah berkebun, beternak kambing/domba, beternak ayam, dan beternak sapi. Dari total responden yang menjawab pertanyaan, diperoleh informasi bahwa keragaan jenis keterampilan yang dimiliki responden selain berusahatani padi di lokasi penelitian, yaitu sebesar 34,38 persen responden memiliki keterampilan berkebun; 18,75 persen responden memiliki 78

97 keterampilan beternak kambing/domba; 6,25 persen responden memiliki keterampilan beternak ayam; dan 3,13 persen responden memiliki keterampilan beternak sapi. Berdasarkan hasil wawancara, keterampilan berkebun merupakan keterampilan yang paling banyak dimiliki responden selain berusahatani padi, karena berkebun tidak membutuhkan modal dan waktu banyak seperti jika mereka beternak kambing, domba, sapi, atau ayam. Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang memiliki keterampilan berkebun, yaitu sebesar 6,25 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap juga didominasi oleh responden yang memiliki keterampilan berkebun, yaitu sebesar 18,75 persen. Sedangkan, kelompok petani penggarap didominasi oleh responden yang memiliki keterampilan beternak kambing/domba, yaitu sebesar 15,63 persen. Tabel 22. Jenis Keterampilan yang Dimiliki Petani Selain Berusahatani Padi berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Keterampilan Usaha Pertanian Selain Usahatani Padi Ternak Karakteristik Ternak Berkebun Kambing/ Ayam Domba Ternak Sapi N % n % N % N % Berdasarkan Kategorik Status Penguasaan lahan Pemilik Pemilik dan Penggarap Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) Penggarap Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Total Berdasarkan Kategorik Luas Pengusahaan Lahan 1. < 0,5 ha ,5-0,99 ha Total Apabila diperinci berdasarkan kategorik luas pengusahaan lahan padi di lokasi penelitian juga dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu luas lahan < 0,5 ha dan luas lahan 0,5-0,99 ha. Dari total responden, < 0,5 ha lahan didominasi oleh 79

98 petani untuk berkebun dan beternak kambing/domba, yaitu sebesar 18,75 persen. Sedangkan 0,5-0,99 ha lahan didominasi oleh petani untuk berkebun, yaitu sebesar 15,63 persen Pekerjaan Rumah Tangga Petani di Luar Sektor Pertanian berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi Berdasarkan Tabel 23, pekerjaan rumah tangga petani di luar sektor pertanian di lokasi penelitian dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu (1) swasta, (2) PNS, (3) buruh, dan (4) pengrajin. Dari total responden, sebesar 9,38 persen responden bekerja di sektor swasta; 3,13 persen responden bekerja sebagai PNS; 21,88 persen responden bekerja sebagai buruh; dan 3,13 persen responden bekerja sebagai pengrajin. Tabel 23. Pekerjaan di Luar Sektor Pertanian Rumah Tangga Petani berdasarkan Kategorik Status Penguasaan dan Luas Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Karakteristik Pekerjaan Diluar Sektor Pertanian Swasta PNS Buruh Pengrajin Berdasarkan Kategorik Status Penguasaan lahan N % n % n % n % Pemilik Pemilik dan Penggarap Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) Penggarap Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Total Berdasarkan Kategorik Luas Pengusahaan Lahan 1. < 0,5 ha ,5-0,99 ha Total Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang bekerja sebagai buruh, yaitu sebesar 6,25 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh responden yang bekerja di sektor swasta, yaitu sebesar 6,25 80

99 persen, sedangkan kelompok petani penggarap didominasi oleh responden yang yang bekerja sebagai buruh, yaitu sebesar 12,50 persen. Apabila diperinci berdasarkan kategorik luas pengusahaan lahan padi, dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu luas lahan < 0,5 ha, dan luas lahan 0,5-0,99 ha. Dari total responden, < 0,5 ha lahan didominasi oleh petani yang bekerja sebagai buruh, yaitu sebesar 21,88 persen, sedangkan 0,5-0,99 ha lahan didominasi oleh petani yang bekerja di sektor swasta, yaitu sebesar 3,13 persen Alokasi Waktu Kerja Rata Rata Petani Berdasarkana Tabel 24 mengenai alokasi waktu kerja rata-rata petani di lokasi penelitian, dibedakan ke dalam 2 kategori kegiatan, yaitu kegiatan di sektor pertanian dan kegiatan di luar sektor non pertanian. Asumsi perhitungan HOK yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 HOK sama dengan 8 jam, sedangkan pembanding yang digunakan untuk mengetahui produktif atau tidaknya waktu bekerja petani adalah waktu bekerja Pegawai Negeri Sipil, dimana satu minggu terdiri dari 5 HOK. Dari keseluruhan responden, diperoleh informasi bahwa keragaan alokasi waktu kerja rata-rata petani di lokasi penelitian, yaitu sebesar 4,85 HOK/minggu kegiatan petani di sektor pertanian dan 4,23 HOK/minggu kegiatan petani di luar sektor pertanian. Berdasarkan asumsi yang telah dibangun sebelumnya, maka alokasi waktu kerja rata-rata responden di lokasi penelitian terbilang produktif. Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang memiliki kegiatan di luar sektor pertanian sebesar 5,25 HOK/minggu. Kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh responden yang memiliki kegiatan di sektor pertanian sebesar 5,02 HOK/minggu. Selain itu, kelompok petani penggarap juga didominasi oleh responden yang memiliki kegiatan di sektor pertanian sebesar 5,20 HOK/minggu. Lebih besarnya jumlah HOK/minggu pada kegiatan di luar sektor non pertanian oleh responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik lahan mengindikasikan bahwa pekerjaan utama responden bukanlah berada di sektor pertanian melainkan di sektor non pertanian. Oleh karena itu, mereka tidak secara aktif turun langsung mengelola usahataninya. 81

100 Tabel 24. Alokasi Waktu Kerja Rata Rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Alokasi Waktu Kerja Rata Rata Petani Kegiatan di sektor pertanian (HOK/Minggu) Kegiatan di luar sektor pertanian (HOK/Minggu) Pemilik Pemilik dan Penggarap Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) Peggarap Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Total Indikator Keaktifan Responden Berdasarkan Tabel 25, indikator keaktifan responden di lokasi penelitian, dapat diukur berdasarkan: (1) persentase keaktifan responden di kelompok tani, (2) rata-rata lama aktif berorganisasi, dan (3) rata-rata jumlah pertemuan dalam satu musim terakhir. Dari total responden, hanya sebesar 50 persen responden yang aktif dalam kelompok tani. Rata-rata lama aktif responden berorganisasi adalah 9,13 tahun, sedangkan rata-rata jumlah pertemuan dalam satu musim terakhir adalah 2.88 kali. Dari 50 persen responden yang aktif di kelompok tani, sebesar 25 persennya adalah kelompok petani penggarap dan jika dilihat berdasarkan rata-rata jumlah pertemuan dalam satu musim terakhir, kelompok petani penggarap juga merupakan kelompok petani yang paling banyak mengikuti pertemuan, yaitu sebanyak 3,63 kali. Namun jika dilihat berdasarkan rata-rata lama aktif berorganisasi, maka kelompok petani pemilik penggarap yang memiliki waktu terlama, yaitu 12,83 tahun. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa semakin lama seorang responden terdaftar dalam suatu organisasi, belum tentu menunjukkan keaktifan responden tersebut dalam membangun organisasi. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan angkatan antara satu responden dengan responden lain dalam satu 82

101 kelompok tani, dimana angkatan tua lebih menyerahkan tanggung jawab untuk mengurus organisasi kepada responden yang masih termasuk ke dalam angkatan muda. Tabel 25. Indikator Keaktifan Responden di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Persentase Aktif di Poktan (%) Rata rata Lama Aktif Berorganisasi (Tahun) Rata Rata Jumlah Pertemuan Dalam Satu Musim Terakhir (Kali) Pemilik Pemilik dan Penggarap Penggarap Total Transaksi Pengadaan Lahan Merujuk data pada Tabel 26, informasi yang dapat diperoleh, yaitu: 1) Total rata-rata pengalaman bertani responden di lokasi penelitian adalah selama 27,25 tahun 2) Total rata-rata jumlah transaksi pengadaan lahan oleh responden di lokasi penelitian adalah sebanyak 5,94 kali 3) Total rata-rata peningkatan penambahan tanah setiap transaksi pengadaan tanah di lokasi penelitian adalah sebesar 0,03 ha atau 315,24 m 2 4) Rata-rata pengalaman bertani untuk kelompok petani pemilik lahan di lokasi penelitian adalah sebanyak 38,63 tahun dengan rata-rata jumlah transaksi pengadaan lahan sebanyak 6,22 kali. Rata-rata peningkatan penambahan lahan untuk setiap transaksi pengadaan lahan sebesar 0,02 ha atau 224,44 m 2 5) Rata-rata pengalaman bertani untuk kelompok petani pemilik dan penggarap di lokasi penelitian adalah sebanyak 21,67 tahun dengan ratarata jumlah transaksi pengadaan lahan sebanyak 6,88 kali. Rata-rata peningkatan penambahan lahan untuk setiap transaksi pengadaan lahan sebesar 0,05 ha atau 508,78 m 2 6) Rata-rata pengalaman bertani untuk kelompok petani penggarap di lokasi penelitian adalah sebanyak 24,53 tahun dengan rata-rata jumlah transaksi 83

102 pengadaan lahan sebanyak 5,27 kali. Rata-rata peningkatan penambahan lahan untuk setiap transaksi pengadaan lahan sebesar 0,02 ha (247,54 m 2 ). Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa data mengenai rata-rata lama pengalaman bertani dan rata-rata jumlah transaksi pengadaan lahan, didominasi oleh kelompok petani pemilik lahan. Namun disisi lain data mengenai rata-rata peningkatan penambahan lahan untuk setiap transaksi pengadaan lahan didominasi oleh kelompok petani pemilik dan penggarap. Hal ini berarti, semakin lama pengalaman bertani atau semakin banyak jumlah transaksi pengadaan lahan yang dilakukan oleh petani belum tentu menjamin lahan yang dimiliki lebih luas dibandingkan dengan petani yang memiliki lama pengalaman bertani lebih sebentar atau jumlah transaksi pengadaan lahan yang lebih sedikit. Beberapa alasan yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah: 1) kemampuan ekonomi dan kebutuhan masing-masing responden berbeda, 2) kestrategisan lokasi lahan bagi masing-masing responden berbeda, dan 3) motivasi untuk meningkatkan penguasaan lahan bagi masing-masing responden berbeda. Tabel 26. Transaksi Pengadaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Rata Rata Pengalaman Bertani (Tahun) Rata Rata Jumlah Transaksi Pengadaan Lahan (kali) Rata-Rata Peningkatan Penambahan Tanah Setiap Transaksi Pengandaan Tanah Ha m 2 Pemilik Pemilik dan Penggarap Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) Penggarap Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Total Rata-Rata Biaya Sewa Garapan Usahatani Padi (kg/ha) Berdasarkan data pada Tabel 27, total rata-rata biaya sewa garapan usahatani padi di lokasi penelitian adalah sebesar 2.703,56 kg/ha. Rata-rata biaya 84

103 sewa garapan usahatani tersebut dibedakan ke dalam dua kategori luas pengusahaan lahan, yaitu < 0,5 ha dan 0,5 0,99 ha. Total rata-rata biaya sewa garapan usahatani untuk luas pengusahaan lahan < 0,5 ha adalah sebesar 2.900,96 kg/ha, sedangkan total rata-rata biaya sewa garapan usahatani untuk luas pengusahaan lahan 0,5 ha 0,99 ha adalah sebesar 1.650,81 kg/ha. Selain itu, rata-rata biaya sewa garapan usahatani padi di lokasi penelitian juga dibedakan berdasarkan hubungan kekerabatan pemilik lahan dengan penyewa lahan. Total rata-rata biaya sewa garapan usahatani padi untuk penyewa lahan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan lebih besar dibandingkan dengan total rata-rata biaya sewa garapan usahatani padi untuk penyewa lahan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan. Total rata-rata biaya sewa garapan usahatani padi untuk penyewa lahan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan adalah sebesar 2.890,23 kg/ha. Sedangkan total rata-rata biaya sewa garapan usahatani padi untuk penyewa lahan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan adalah sebesar 2.604,76 kg/ha. Tabel 27. Rata Rata Biaya Sewa Garapan Usahatani Padi (kg/ha) di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Katagorik Rata-rata Biaya Sewa Garapan Usahatani Padi (kg/ha) Memiliki Hubungan Kekerabatan Tidak Memiliki Hubungan Kekerabatan Total 1. 0,5 ha ,5-0,99 ha Total Keragaan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga Rumah Tangga Petani Dari 32 orang total responden di lokasi penelitian, keterlibatan tenaga kerja keluarga rumah tangga petani dalam melakukan kegiatan usahatani padi dibedakan ke dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak ada tenaga kerja keluarga, (2) 85

104 jumlah tenaga kerja keluarga satu orang, dan (3) jumlah tenaga kerja keluarga dua orang. Berdasarkan data pada Tabel 28, terdapat 12,50 persen responden yang tidak menggunakan tenaga kerja keluarga dalam mengusahakan lahannya; 43,75 persen responden menggunakan tenaga kerja keluarga sebanyak satu orang; dan 43,76 persen responden menggunakan tenaga kerja keluarga sebanyak dua orang. Tabel 28. Keragaan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Jumlah Tenaga Kerja Keluarga No. Kriteria Tidak ada tenaga kerja keluarga Jumlah tenaga kerja keluarga 1 orang Jumlah tenaga kerja keluarga 2 orang Total N % N % N % N % 1. Pemilik Pemilik dan Penggarap: a. Pemilik dan Penggarap (sewa) b. Pemilik dan Penggarap (akad) Penggarap: a. Penggarap (sewa) b. Penggarap (pinjam) c. Penggarap (sewa dan pinjam) Total Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang menggunakan tenaga kerja keluarga sebanyak satu dan dua orang, yaitu sebesar 12,50 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh responden yang menggunakan tenaga kerja keluarga sebanyak satu orang, yaitu sebesar 15,63 persen. Sedangkan kelompok petani penggarap didominasi oleh responden yang menggunakan tenaga kerja keluarga sebanyak dua orang, yaitu sebesar 21,88 persen. Alasan kelompok petani yang menggunakan tenaga kerja keluarga lebih dari satu orang adalah untuk menekan biaya usahatani yang harus mereka keluarkan, 86

105 sehingga biaya tersebut dapat dialihkan untuk hal lain yang lebih penting. Dua orang tenaga kerja yang digunakan oleh rumah tangga petani di lokasi penelitian didominasi oleh tenaga kerja suami dan istri. Hal ini semakin dibenarkan oleh data pada Tabel 30 yang menunjukkan peran anggota keluarga dalam meningkatkan penguasaan lahan Peranan Keluarga dalam Meningkatkan Penguasaan Lahan Merujuk data pada Tabel 29, anggota keluarga responden yang berperan dalam meningkatkan penguasaan lahan di lokasi penelitian adalah suami, istri, orang tua, mertua, saudara, dan anak. Berdasarkan data pada Tabel tersebut, dari total peran keluarga dalam meningkatkan penguasaan lahan, diperoleh informasi bahwa 46,34 persen adalah peran seorang suami; 30,49 persen adalah peran seorang istri; 9,76 persen adalah peran orang tua; 7,32 persen adalah peran mertua; 4,88 persen adalah peran saudara; dan 1,22 persen adalah peran anak. Dominasi suami sebagai anggota keluarga yang paling memiliki peran dalam meningkatkan penguasaan lahan karena seorang suami adalah kepala keluarga yang memilik tanggung jawab penuh untuk dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga petaninya. Peranan keluarga dalam meningkatkan penguasaan lahan tersebut dibedakan ke dalam lima kategori, yaitu: (1) melakukan transaksi pengadaan lahan, (2) mewariskan lahan, (3) bekerja dan menabung, (4) memberikan ide, (5) mendukung keputusan. Dari keseluruhan responden yang menjawab pertanyaan ini, peran keluarga dalam melakukan transaksi pengadaan lahan didominasi oleh peran suami, yaitu sebesar 8,54 persen; peran keluarga dalam mewariskan lahan didominasi oleh peran orang tua, yaitu sebesar 8,54 persen; peran keluarga dalam bekerja dan menabung didominasi oleh peran suami, yaitu sebesar 34,15 persen; peran keluarga dalam memberikan ide hanya dilakukan oleh istri, yaitu sebesar 1,22 persen; dan peran keluarga dalam mendukung keputusan didominasi oleh peran istri, yaitu sebesar 10,98 persen. 87

106 Tabel 29. Peranan Keluarga dalam Meningkatkan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Peranan Keluarga Suami Istri Orang tua Mertua Saudara Anak Total 1. Melakukan transaksi Pengadaan Lahan mewariskan lahan Bekerja dan menabung memberikan ide 5. mendukung keputusan Total Sumber Pendanaan Peningkatan Penguasaan Lahan Berdasarkan data pada Tabel 30, sumber pendanaan peningkatan penguasaan lahan di lokasi penelitian dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) uang tabungan, (2) menjual perhiasan, dan (3) pinjam kerabat/tetangga. Dari total responden yang menjawab pertanyaan, sebesar 53 persen responden memperoleh sumber pendanaan untuk meningkatan penguasaan lahannya dari uang tabungan, 3 persen dari menjual perhiasan, dan 3 persen dari pinjam kerabat/tetangga. Jika lebih diperinci berdasarkan kelompok petani pemilik, petani pemilik dan penggarap, serta kelompok petani penggarap, maka diperoleh informasi sebagai berikut: (1) Sumber pendanaan peningkatan penguasaan lahan untuk kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh sumber pendanaan yang berasal dari uang tabungan, yaitu sebesar 22 persen; sedangkan sumber pendanaan yang berasal dari meminjam kepada kerabat/tetangga hanya sebesar 3 persen dan tidak ada sumber pendanaan yang berasal dari menjual perhiasan. (2) Sumber pendanaan peningkatan penguasaan lahan untuk kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh sumber pendanaan yang berasal dari uang tabungan, yaitu sebesar 22 persen; sedangkan sumber pendanaan yang berasal dari menjual perhiasan hanya sebesar 3 persen dan tidak ada sumber pendanaan yang berasal dari meminjam kepada kerabat/tetangga. 88

107 (3) Sumber pendanaan peningkatan penguasaan lahan untuk kelompok petani penggarap hanya berasal dari uang tabungan, yaitu sebesar 9 persen. Tabel 30. Sumber Pendanaan Peningkatan Penguasaan Lahan di di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Uang Menjual Pinjam Tabungan Perhiasan Kerabat/Tetangga Pemilik 22% 0% 3% Pemilik dan Penggarap 22% 3% 0% Pemilik & Penggarap (sewa) 19% 0% 0% Pemilik & Penggarap (akad) 3% 3% 0% Penggarap 9% 0% 0% Penggarap (sewa) 9% 0% 0% Penggarap (pinjam) 0% 0% 0% Penggarap (sewa dan pinjam) 0% 0% 0% Total 53% 3% 3% Nilai Aset Petani Penggarap Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa kelompok petani penggarap di lokasi penelitian dibedakan menjadi kelompok petani penggarap sewa, penggarap pinjam, dan petani penggarap sewa dan pinjam. Nilai aset terbesar yang dimiliki oleh kelompok petani penggarap berasal dari kelompok petani penggarap sewa, yaitu sebesar Rp ,00, sedangkan nilai aset untuk kelompok petani penggarap pinjam adalah sebesar Rp ,00 dan nilai aset untuk kelompok petani penggarap sewa dan pinjam adalah sebesar Rp ,00. Nilai aset dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan rumah tangga petani. Dari data tersebut terlihat bahwa kelompok petani penggarap sewa memiliki aset yang lebih besar dibandingkan dua kelompok penggarap lainnya. Seperti diketahui, di wilayah penelitian petani penggarap sewa merupakan kelompok yang paling banyak jumlahnya (34,38 persen). Sebagian besar motif menjadi petani padi pada kelompok petani penggarap sewa adalah karena bertani sebagai tuntunan kebutuhan pada saat akses terhadap pekerjaan di perdesaan sedikit. Dasar motif inilah yang mengakibatkan kelompok petani penggarap sewa lebih serius dalam berusahatani dibandingkan dengan kelompok tani lainnya. Salah satu keseriusan mereka dalam berusaha adalah mereka harus mempunyai 89

108 kebiasaan untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk modal usahatani pada musim berikutnya. Prilaku untuk menyisihkan sebagian pendapatan inilah yang membuat aset mereka lebih besar dibandingkan dengan kelompok petani lainnya. Penggarap (sewa dan pinjam), 1,312,500 Penggarap (pinjam), 6,000,000 Penggarap (sewa), 10,763,636 Gambar 2. Nilai Aset Petani Penggarap di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Nilai Aset Petani Pemilik dan Penggarap Berdasarkan Gambar 3, diketahui bahwa kelompok petani pemilik dan penggarap di lokasi penelitian dibedakan menjadi kelompok petani pemilik dan penggarap sewa, serta kelompok petani pemilik dan penggarap pinjam. Nilai aset terbesar yang dimiliki oleh kelompok petani pemilik dan penggarap berasal dari kelompok petani pemilik dan peggarap sewa, yaitu sebesar Rp ,00, sedangkan nilai aset untuk kelompok petani pemilik dan penggarap akad hanya sebesar Rp ,00. 90

109 Pemilik & Penggarap (akad), 4,071,429 Pemilik & Penggarap (sewa), 8,898,810 Gambar 3. Nilai Aset Petani Pemilik dan Penggarap di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Fakta ini menggambarkan keadaan yang konsisten dengan uraian sebelumnya mengenai aset di kelompok petani penggarap. Pada kelompok petani pemilik dan penggarap, sub kelompok yang memiliki aset lebih besar adalah sub kelompok petani pemilik dan penggarap dengan sistem sewa. Perilaku untuk menyisihkan pendapatan inilah yang mengakibatkan mereka mampu mengelola keuangan keluarganya dengan baik Nilai Aset Total Petani Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa rata-rata total nilai aset petani di lokasi penelitian adalah sebesar Rp ,00. Nilai aset total terbesar didominasi oleh responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik lahan, yaitu sebesar Rp ,00. Nilai aset total terkecil dimiliki oleh kelompok petani pemilik dan penggarap, yaitu sebesar Rp ,00 91

110 Sedangkan nilai aset total yang dimiliki oleh kelompok petani penggarap adalah sebesar Rp ,00. Rata Rata Total, 10,988,839 Penggarap, 18,076,136 Pemilik dan Penggarap, 12,970,238 Pemilik, 60,275,000 Gambar 4. Nilai Aset Total Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Gambar 4. tersebut memberikan perbandingan antar kelompok petani berdasarkan status penguasaannya. Petani pemilik memiliki aset yang lebih besar karena petani pada kelompok ini memiliki beban yang relatif ringan. Dia terbebas dari menyewa tanah dan ini merupakan kelebihan kas yang dapat dialokasikan untuk kepentingan lainnya, termasuk menambah aset rumah tangganya. 92

111 VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN Pola penguasaan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan dan pengusahaan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan sering dijadikan indikator bagi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan walaupun belum mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Kata pemilikan menunjuk penguasaan formal, sedangkan kata penguasaan menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Pada pola pengusahaan lebih ditekankan pada pemanfaatan secara langsung sumberdaya lahan untuk usahatani yang dilakukan oleh Rumah Tangga Petani (RTP) Keragaan Penguasaan Lahan Rumah Tangga Petani Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usahatani. Bahkan beberapa peneliti menyatakan bahwa hubungan antara lahan dengan petani tidak sebatas hubungan ekonomi saja, akan tetapi jauh lebih dari hal itu, ada hubungan budaya dan kepercayaan yang melekat di dalamnya. Bagi petani, lahan merupakan modal utama dan prasyarat utama dalam berusaha. Lahan yang diusahakan oleh petani dapat berasal dari lahan hak milik atau dari penguasaan lahan lainnya seperti sewa, sakap, gadai dan pinjam. Lahan yang dikuasai tersebut dapat sepenuhnya diusahakan bisa juga tidak. Dengan lahan tersebut, petani melakukan aktifitas budidaya seperti bercocok tanam, beternak ikan dan ternak. Tabel 31 menyajikan data tentang penguasaan dan pengusahaan lahan rumah tangga petani. Berdasarkan tabel tersebut terlihat total rata-rata lahan yang dikuasai per rumah tangga petani di lokasi penelitian, yaitu sebesar 0,36 ha. Kelompok yang paling tinggi rata rata penguasaan lahannya adalah kelompok petani pemilik dan penggarap yaitu sebesar 0,50 ha, sedangkan kelompok yang paling rendah dalam menguasai lahan adalah kelompok petani penggarap, yaitu rata rata seluas 0,27 ha. Tidak semua lahan yang dikuasi oleh petani kemudian diusahakan. Dari tabel terlihat bahwa total rata-rata lahan yang diusahakan per rumah tangga petani di lokasi penelitian, yaitu sebesar 0,33 ha atau sebesar 91,67 persen dari lahan yang 93

112 dikuasai. Dengan demikan rata rata sebesar 0,03 ha lahan yang dikuasai tidak diusahakan. Kelompok yang paling luas mengusahakan lahannya adalah kelompok petani pemilik dan penggarap sebesar 0,45 ha. Sedangkan kelompok yang paling rendah dalam mnegusahakan lahan adalah kelompok petani pemilik dan penggarap yaitu rata rata seluas 0,27 ha. Dari data penguasaan lahan dan pengusahaan lahan diperoleh fakta bahwa: 1. Kelompok petani pemilik tidak mengusahakan lahan rata rata sebanyak 0,04 ha (11,11 %) dari lahan yang dikuasainya. 2. Kelompok petani pemilik dan penggarap tidak mengusahakan lahan rata rata sebanyak 0,05 ha (8,74%) dari lahan yang dikuasainya. 3. Kelompok petani penggarap mengusahakan seluruh lahan yang dikuasainya. 4. Jika dilihat berdasarkan persentase pengusahaannya, maka kelompok yang relatif efektif dalam mengusahakan lahannya adalah kelompok petani penggarap. Tabel 31. Keragaan Penguasaan dan Pengusahaan Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Pemilik Pemilik dan Penggarap Penggarap Total A. Lahan yang dikuasai (n) Total Lahan yang Dikuasai (Ha) Rata rata Lahan yang Dikuasai Per Rumah Tangga Petani (Ha) B. Lahan yang diusahakan (n) Total Lahan yang Diusahakan (Ha) Rata rata Lahan yang Diusahakan Per Rumah Tangga Petani (Ha) C. Lahan Milik yang Dikuasai (n) Total Lahan Milik yang Dikuasai (Ha) Rata rata Lahan Milik yang Dikuasai Per Rumah Tangga Petani (Ha) D. Lahan Milik yang Diusahakan (n) Total Lahan Milik yang Diusahakan (Ha) Rata rata Lahan Milik yang Diusahakan Per Rumah Tangga Petani (Ha)

113 Pembahasan berikut ini akan mengkaji pengusahaan dari lahan dengan status hak milik. Dari tabel sebelumnya, diketahui bahwa rata rata lahan hak milik yang dikuasai adalah 0,22 ha. Membandingkan data sebelumnya mengenai rata rata luas lahan yang dikuasai sebanyak 0,36 ha, maka rata rata sebanyak 0,14 ha atau sekitar 38,88 persen lahan yang dikuasai petani berasal dari selain lahan hak milik, yaitu dengan cara sewa, akad, dan pinjam. Lahan hak milik yang dikuasai juga tidak semuanya diusahakan, berdasarkan data, rata rata sebanyak 0,01 ha (4,55%) lahan hak milik tidak diusahakan, berikut ini dijelaskan fakta yang bisa dilihat dari pengusahaan lahan hak milik: 1. Kelompok petani pemilik tidak mengusahakan lahan milik rata rata sebanyak 0,01 ha (3,03%) dari lahan milik yang dikuasainya. 2. Kelompok petani pemilik dan penggarap tidak mengusahakan lahan miliknya rata rata sebanyak 0,03 ha (13,55%) dari lahan milik yang dikuasainya. 3. Kelompok petani penggarap mengusahakan keseluruhan lahannya, namun bukan untuk padi Beberapa faktor yang menyebabkan lahan yang dikuasai petani tidak semuanya diusahakan adalah: (1) lokasi yang jauh, sehingga untuk mengusahakannya diperlukan perhatian dan tenaga kerja ekstra; (2) keterbatasan dalam mengusahakan lahan disebabkan faktor usia; (3) kebutuhan biaya, sehingga lahan yang dimilikinya digadaikan; (4) keterbatasan modal usahatani, sehingga lahan dibiarkan begitu saja; (5) bertani bukan merupakan mata pencaharian utama. Contoh kasus yang menggambarkan tidak seluruh lahan yang dikuasai juga diusahakan oleh responden adalah kasus yang terjadi pada Bapak Eman Sulaeman, dimana ia mengakadkan lahan yang dimilikinya kepada orang lain untuk biaya pengobatan sang istri. Selain itu, kasus yang terjadi pada Bapak Wiwih, dimana ia menyewakan lahan yang dimilikinya kepada orang lain karena pekerjaan utamanya bukan sebagai petani, sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk terjun langsung mengelola sawah. Berdasarkan pengusahaannya saat ini, lahan yang dikuasai petani digunakan untuk berbagai macam kegiatan budidaya komoditi seperti padi, palawija, buah buahan, kayu dan bambu, serta sayuran, seperti terlihat pada Tabel 95

114 32. Seluruh lahan yang diusahakan untuk berbagai jenis komoditi tersebut di lokasi penelitian adalah sebesar 12,81 ha. Dari total lahan tersebut, luas total lahan yang diusahakan untuk komoditi padi adalah sebesar 83,55 persen; palawija sebesar 6,64 persen; buah-buahan sebesar 2,97 persen; kayu dan bambu sebesar 4,80 persen, serta sayuran sebesar 2,03 persen. Dengan demikian jenis komoditi yang paling banyak diusahakan di lokasi penelitian adalah tanaman padi. Tabel 32. Luas Total Pengusahaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Luas Total Persil Lahan Yang Diusahakan Untuk Kriteria Berbagai Jenis Komiditi Buah- Kayu & Padi Palawija Sayuran Buahan Bambu Total A. Pemilik (Ha) Pemilik (%) (20.14) (2.34) (2.54) (1.25) (26.27) B. Pemilik dan Penggarap (Ha) Pemilik dan Penggarap (%) (31.80) (0.70) (1.41) (0.78) (34.68) 1. Pemilik & Penggarap (sewa) (Ha) Pemilik & Penggarap (sewa) (%) (30.37) (0.70) (1.41) (0.78) (33.26) 2. Pemilik & Penggarap (akad) (Ha) Pemilik & Penggarap (akad) (%) (1.43) (0.00) (1.43) C. Penggarap (Ha) Penggarap (%) (31.62) (5.93) (0.62) (0.86) (39.03) 1. Penggarap (sewa) (Ha) Penggarap (sewa) (%) (21.62) (1.80) (0.62) (0.86) (24.90) 2. Penggarap (pinjam) (Ha) Penggarap (pinjam) (%) (3.83) (3.83) 3. Penggarap (sewa dan pinjam) (Ha) Penggarap (sewa dan pinjam) (%) (6.17) (4.14) (10.30) Total (Ha) Total (%) (83.55) (6.64) (2.97) (4.80) (2.03) (99.98) Untuk pengusahaan budidaya tanaman padi, kelompok petani pemilik dan penggarap serta kelompok petani penggarap, merupakan kelompok petani yang memiliki pengusahaannya paling luas dibandingkan dengan kelompok petani pemilik, yaitu masing masing sekitar 31,80 persen dan 31, 62 persen dari total luas lahan yang diusahakan. Sedangkan untuk tanaman palawija paling banyak dibudidayakan oleh kelompok petani penggarap, yaitu sebesar 5,93 persen dari total luas lahan yang diusahakan. Untuk budidaya buah-buahan, kayu dan bambu, serta sayur sayuran paling banyak dilakukan oleh kelompok petani pemilik yaitu masing masing sebesar 2,34 persen; 2,54 persen; dan 1,25 persen dari total luas lahan yang diusahakan. 96

115 Berdasarkan jenis komoditi yang diusahakan, maka terlihat adanya tiga model pengusahaan tanaman di lokasi penelitian, yaitu: a. Model pengusahaan kelompok petani pemilik yaitu padi, buah-buahan, kayu dan bambu, serta sayur sayuran. b. Model pengusahaan kelompok petani pemilik dan penggarap yaitu padi, kayu dan bambu, serta sayuran. c. Model pengusahaan kelompok petani penggarap yaitu padi dan palawija Keragaan Pengusahaan Lahan Rumah Tangga Petani untuk Tanaman Padi Jika uraian sebelumnya membahas mengenai penguasaan lahan untuk seluruh komoditi yang dibudidayakan oleh petani di lokasi penelitian, maka berikut ini akan dibahas mengenai penguasaan dan pengusahaan lahan khusus tanaman padi saja. Salah satu konsep yang terkait dengan pengusahaan lahan adalah persil. Persil menunjukkan fragmentasi lahan yang sedang diusahakan. Jika kita melihat areal pesawahan, kita akan melihat petakan petakan sawah yang dibatasi oleh pematang sawah. Ada petani yang mengusahakan dalam petakan yang saling berdekatan, ada juga petani yang mengusahakan dalam petakan yang saling berjauhan, bahkan pada hamparan yang berbeda desa. Tabel 33. Rata Rata Luas Lahan Padi tiap Persil di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Rata-rata Luas Lahan Padi (Ha) Rata-rata Jumlah Persil Rata-rata Luas Persil Padi (ha) A. Pemilik B. Pemilik & Penggarap Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) C. Penggarap Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Total

116 Tabel 33 menunjukkan rata rata luas lahan padi, rata rata jumlah persil dan rata rata luas persil. Berdasarkan tabel, rata rata luas lahan padi yang diusahakan tiap rumah tangga petani di lokasi penelitian adalah 0,33 ha yang terfragmentasi dalam 2 persil, sehingga diperkirakan rata rata luas tiap persil sebesar 0,16 ha. Dilihat dari jumlah persil, kelompok petani pemilik dan penggarap memiliki jumlah persil yang relatif banyak dibandingkan dengan kelompok petani lainnya. Hal ini disebabkan selain mereka sudah memiliki lahan sendiri, merekapun mengusahakan lahan yang bukan miliknya. Sementara kelompok petani penggarap memiliki jumlah persil yang relatif kecil disebabkan karena mereka tidak memiliki lahan, sehingga ketersediaan lahan semakin sedikit. Peningkatan jumlah persil dan luas lahan yang diusahakan dapat tergantung dengan ketersediaan lahan. Ketersediaan lahan pertanian dari tahun ke tahun mengalami penurunan karena adanya konversi. Sehingga akan sulit bagi penggarap untuk bisa meningkatkan pengusahaannya dalam waktu yang cepat. Membeli lahan pun bukan perkara yang mudah pada saat harga lahan yang semakin mahal, terlebih daya beli yang mereka miliki relatif rendah. Dengan demikian, pada kondisi seperti itu peningkatan pengusahaan lahan hanya bisa dilakukan dengan cara mencabut atau mengalihkan hak garap/sewa dari petani satu ke petani lainnya. Relatif terbatasnya ketersediaan lahan dapat dilihat dari luas lahan itu sendiri. Bisa saja penggarap berharap dapat menggarap lahan yang luas, akan tetapi jika lahan yang tersedia dari pemilik lahan relatif kecil, maka tidak ada alternatif bagi penggarap selain mengusahakan lahan yang terbatas tersebut. Mengusahakan dengan baik lahan garapannya merupakan salah satu upaya untuk menjaga kepercayaan dari pemilik lahan. Kepercayaan dari pemilik lahan harus dijaga karena untuk mendapatkan tawaran menggarap lahan ternyata bukanlah hal yang mudah. Sulitnya mendapatkan tawaran menggarap lahan disebabkan oleh dua hal, pertama adanya persaingan antar penggarap yang ingin memperluas lahannya, dan kedua disebabkan oleh terbatasnya pemilik lahan. Tabel 34 menunjukkan fenomena tersebut. Dari 4,78 ha sawah yang digarap dengan sistem sewa oleh 20 98

117 orang penggarap di lokasi penelitian, maka sebanyak 16 diantaranya menggarap lahan dari satu orang pemilik lahan. 99

118 Tabel 34. Luas Lahan Pemilik dan Penggarap Sewa (ha) pada Pengusahaan Tanaman Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Pemilik Lahan Penggarap Lahan Asep Betty Ela Esih Evi Mahpudin Mirka Ian Een Kartobi Ocah Maman Omi Oom Istoharo Rinto Ros Shidiq Udin Anang Asep Atang Bibin Dudin Eman Empud Fatah Hendi Irah Juri Kandi Mamad Oban Odon Otang Tati Turi Udin Wiwih Total Total 100

119 Hal ini berarti 1 (satu) orang penggarap menggarap lahan dari 1 (satu) orang pemilik lahan dengan rata rata luas garapan sebesar 0,208 ha. Hanya ada 3 orang yang memiliki akses untuk menggarap lebih dari 1 pemilik lahan, yaitu bapak Fatah, Kandi, dan Oban. Kondisi ini menunjukkan bukanlah hal yang mudah bagi penggarap untuk meningkatkan pengusahaan lahannya. Dari total lahan tersebut, lahan terluas dimiliki oleh Bapak H. Mahpudin, yaitu sebesar 0,91 ha, sedangkan pemilik lahan lainnya hanya memiliki lahan 0,5 ha. Kondisi ini menggambarkan ketersediaan lahan yang terbatas dan sekaligus mencerminkan timpangnya distribusi lahan. Fenomena sulitnya mendapatkan tawaran menggarap lahan juga dialami pada kelompok petani penggarap akad. Berdasarkan data pada Tabel 35, terlihat bahwa rata-rata petani penggarap akad tersebut hanya bekerja sama dengan satu orang pemilik lahan Tabel 35. Luas Lahan Pemilik dan Penggarap Akad (ha) pada Pengusahaan Tanaman Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Penggarap Akad Pemilik Mumun M. Eman Cucum Omi Total 1. Aang Empud Idah Total Berdasarkan keragaan penguasaan dan pengusahaan lahan padi musim tanam (MT) 3 (tiga) rumah tangga petani di lokasi penelitian (Tabel 36), diperoleh informasi bahwa jumlah pengusahaan lahan padi di lokasi penelitian, yaitu sebesar 8,90 ha. Jika dibandingkan dengan luas total lahan persil tanaman padi sebesar 10,70 ha, maka terjadi selisih sebesar 1,8 ha. Selisih ini mencerminkan bahwa tidak semua persil yang ada pada saat penelitian sedang ditanami padi. Dalam prakteknya fakta seperti ini bisa terjadi karena lahan sedang diberakan dan tumpangsari. Data dari tabel juga menunjukkan total rata-rata pengusahaan lahan padi per rumah tangga petani di lokasi penelitian, yaitu sebesar 0,28 ha/musim. Merujuk data SP 2003, rata-rata pengusahaan lahan padi Indonesia sebesar 0,78 101

120 ha/musim. Dengan demikian rata-rata pengusahaan lahan padi di lokasi penelitian dibawah dari rata rata pengusahaan lahan padi nasional. Berdasarkan data rata rata, kelompok petani pemilik dan penggarap merupakan kelompok terluas dalam mengusahakan lahan padi, yaitu sebesar 0,4 ha. Tabel 36. Keragaan Pengusahaan Lahan Padi MT Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria N Jumlah Pengusahaan Lahan Padi (Ha) Rata-rata Pengusahaan Lahan Padi Per Rumah Tangga Petani (Ha) N Jumlah Pengusahaan Lahan Padi Yang Berstatus Hak Milik (Ha) Rata-rata Pengusahaan Lahan Padi Per Rumah Tangga Petani yang Berstatus Hak Milik (Ha) A. Pemilik B. Pemilik dan Penggarap Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) C. Penggarap Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Total Dari total lahan pengusahaan tanaman padi saat ini seluas 8,9 ha, maka luas lahan pengusahaan tanaman padi dengan status hak milik petani hanya sekitar 3,49 ha, dengan demikian terdapat selisih sebesar 5,41 ha (60,78 persen). Jumlah dan persentase tersebut menggambarkan luas lahan sawah yang sedang diusahakan sebagian besar berasal dari lahan bukan milik petani. Fakta ini juga memberikan gambaran bahwa semakin banyak petani yang tidak memiliki lahan atau disebut juga petani penggarap. Lahan yang dimiliki petani saat ini, diperoleh melalui suatu proses yang dimulai sejak petani memutuskan pilihan hidupnya pertama kali menjadi petani. Merujuk data pada Tabel 37 mengenai sumber perolehan lahan sawah hak milik pada saat responden pertama kali menjadi petani di lokasi penelitian, diperoleh informasi bahwa sebanyak 21,87 persen responden ternyata memperoleh lahan melalui waris dan sisanya sebanyak 9,37 persen responden memperoleh lahan melalui jual beli. Dengan demikian sebanyak, 68,75 persen responden pada saat awal menjadi petani merupakan petani penggarap atau mengusahakan lahan yang 102

121 bukan hak miliknya. Jika saat ini kelompok petani penggarap jumlahnya sebesar 46,87 persen, maka dalam rentang waktu selama menjadi petani, jumlah petani penggarap menjadi semakin berkurang. Tabel 37. Sumber Perolehan Lahan Sawah Hak Milik Pada Saat Pertama Kali Menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Keterangan Persentase Responden(%) 1. Sumber Perolehan melalui waris 21,87% 2. Sumber Perolehan melalui jual beli 9,37% Total 31,25% Bagi petani penggarap, sumber perolehan pada saat pertama kali menjadi petani dilakukan dengan cara sewa, akad, dan pinjam. Berdasarkan data pada Tabel 38, diketahui bahwa sebesar 46,87 persen responden memperoleh lahan sawah melalui sewa; 15,63 persen responden memperoleh lahan sawah melalui akad; dan 6,25 persen responden memperoleh lahan sawah melalui pinjam. Tabel 38. Sumber Perolehan Lahan Sawah Bukan Hak Milik Pada Saat Pertama Kali Menjadi Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Persentase (%) 1. Sumber perolehan dengan sistem sewa Sumber perolehan dengan sistem akad Sumber perolehan dengan sistem pinjam 6.25 Total Dalam meningkatkan pengusahaan lahan, responden memiliki kriteria tertentu yang dijadikan patokan untuk membeli, menyewa atau mengadai. Berdasarkan data pada Tabel 39, alasan yang menjadi pertimbangan responden dalam memilih lahan untuk peningkatan penguasaan lahan di lokasi penelitian dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu: (1) keterjangkauan harga lahan, (2) kesuburan lahan, (3) lokasi lahan yang strategis, dan (4) adanya tawaran dari petani lain. Dari total responden yang menjawab pertanyaan ini, sebanyak 12,50 persen responden memilih alasan karena keterjangkauan harga lahan; 21,88 103

122 persen responden memilih alasan karena kesuburan lahan; 21,88 persen responden memilih alasan karena lokasi lahan yang strategis; dan 50,00 persen responden memilih alasan karena adanya tawaran dari petani lain. Tabel 39. Kriteria Pemilihan Lahan Untuk Peningkatan Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Alasan Responden N % 1. Keterjangkauan Harga Lahan Kesuburan Lahan Lokasi Lahan Strategis Adanya Tawaran dari Petani Lain Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sebagian besar alasan yang menjadi pertimbangan responden dalam meningkatkan penguasaan lahannya adalah karena adanya tawaran dari petani lain. Hal ini semakin dibenarkan oleh fakta yang menyebutkan bahwa sebesar 43,75 persen petani di lokasi penelitian adalah petani yang termasuk ke dalam kategori usia lanjut (> 60 tahun) yang sudah tidak sanggup lagi menggarap lahan, sehingga petani tersebut menawarkan lahan garapannya kepada petani lain yang dirasa masih mampu dan mau untuk menggarap lahan, baik melalui sistem jual beli maupun melalui sistem sewa. Dalam perkembangannya, seorang petani dengan alasan tertentu dapat meningkatkan penguasaan lahan dan juga dapat mengurangi penguasaan lahannya melalui cara yang berbeda beda. Berdasarkan data pada Tabel 40, cara yang dilakukan oleh petani dalam menambah penguasaan lahan di lokasi penelitian, yaitu: (1) membeli, (2) melunasi akad/gadai, (3) mendapatkan hadiah/hibah, (4) menyewa, (5) diberi pinjaman, (6) mendapatkan waris, dan (7) menerima gadai/akad. Dari total responden yang menjawab pertanyaan ini, 30 persen responden menyatakan alasan penambahan penguasaan lahan mereka karena membeli, 2 persen responden menjawab karena melunasi akad/gadai, 1 persen responden menjawab karena mendapatkan hadiah/hibah, 38 persen responden menjawab karena menyewa, 8 persen responden menjawab karena diberi pinjaman, 16 responden menjawab karena mendapat waris, dan 6 responden menjawab karena menerima gadai/akad. 104

123 Tabel 40. Alasan Penambahan dan Pengurangan Penguasaaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Alasan Penambahan dan Pengurangan Responden Lahan N % Penambahan Penguasaan Lahan 1. Membeli Melunasi Akad/Gadai Mendapatkan Hadiah/Hibah Menyewa Diberi Pijam Mendapatkan waris Menerima Gadai/Akad 8 6 Total Pengurangan Penguasaan Lahan 1. Dijual Digadaikan/diakadkan Dihadiahkan Disewakan Dicabut hak garap/sewa Dipindahkan hak garap/sewanya Total Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa sebagian besar alasan penambahan penguasaan lahan di lokasi penelitian adalah karena menyewa lahan milik orang lain. Banyaknya petani yang menggarap lahan milik orang lain melalui sistem sewa dikarenakan hampir seluruh lahan yang ada di lokasi penelitian dikuasai hanya oleh beberapa orang atau terpusat pada segelintir orang saja. Oleh karena cukup luasnya lahan yang dimiliki, pemilik lahan kemudian mempercayakan lahan tersebut untuk diusahakan atau digarap oleh orang lain agar dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi dirinya. Salah satu pemilik lahan yang mempercayakan lahannya di garap oleh petani di lokasi penelitian adalah H. Mahpudin. Cara yang dilakukan petani dalam mengurangi penguasaan lahan di lokasi penelitian, yaitu: (1) dijual, (2) digadaikan/diakadkan, (3) dihadiahkan, (4) disewakan, (5) dicabut hak garap/sewanya, dan (6) dipindahkan hak garap/sewanya. Dari total responden yang menjawab pertanyaan ini, 12 persen responden menyatakan alasan pengurangan penguasaan lahan mereka karena 105

124 dijual, 1 persen responden menjawab karena digadaikan/diakadkan, 1 persen responden menjawab karena dihadiahkan, 1 persen menjawab karena disewakan, 1 persen responden menjawab karena dicabut hak garap/sewanya, dan 15 persen responden menjawab karena dipindahkan hak garap/sewanya. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa sebagian besar alasan pengurangan penguasaan lahan di lokasi penelitian adalah karena dipindahkan hak garap/sewanya. Salah satu cara pengurangan luas pengusahaan lahan sawah yang dialami petani adalah dengan cara dipindahkan atau dialihkan hak garap/sewa nya. Merujuk data pada Tabel 41, sebanyak 34,38 persen responden pernah mengalami dipindahkan hak garapnya dari lahan yang sedang diusahakan; sedangkan sebanyak 65,63 persen responden tidak pernah mengalami dipindahkan hak garapnya dari lahan yang sedang diusahakan. Hal ini berarti loyalitas responden terhadap lahan garapan di lokasi penelitian sangat tinggi dan pemilik lahan memberikan kepercayaan yang tinggi terhadap para penggarap lahannya. Tabel 41. Responden Yang Mengalami Pemindahan Hak Garap/Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Sukabumi Tahun 2011 Kejadian Responden N % 1. Pernah Mengalami Dipindahkan Hak Garap Dari Lahan Yang Sedang Diusahakan % 2. Tidak Pernah Mengalami Dipindahkan Hak Garap Dari Lahan Yang Sedang Diusahakan % Total % Berdasarkan data pada Tabel 42, alasan terjadinya pemindahan hak garap/sewa responden di lokasi penelitian dibedakan ke dalam tujuh kategori, yaitu: (1) pemilik lahan memberikan lahan yang dimiliki kepada anak-anaknya, (2) pemilik lahan mencabut hak garap/sewa, (3) pemilik lahan mengakadkan lahannya ke orang lain, (4) pemilik lahan menjual lahannya ke orang lain, (5) penggarap mengalihkan hak garapnya kepada orang lain yang tidak mampu, (6) produksi yang dihasilkan di bawah rata-rata, dan (7) responden pindah tempat tinggal. 106

125 Dari total responden yang menjawab pertanyaan ini, sebesar 9,09 persen responden menyatakan alasan terjadinya pemindahan hak garap/sewa mereka karena pemilik lahan memberikan (menghadiahkan) lahan yang dimiliki kepada anak-anaknya; 27,27 persen menyatakan alasan karena pemilik lahan mencabut hak garap/sewanya; 9,09 persen responden menyatakan alasan karena pemilik lahan mengakadkan lahannya ke orang lain; 18,18 persen responden menyatakan alasan karena pemilik lahan menjual lahannya kepada orang lain; 9,09 persen menyatakan alasan karena penggarap mengalihkan hak garapnya kepada orang lain yang tidak mampu; 9,09 persen menyatakan alasan karena produksi yang dihasilkan di bawah rata-rata; dan 18,18 persen menyatakan alasan karena responden pindah tempat tinggal. Tabel 42. Alasan Terjadinya Pemindahan Hak Garap/Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Alasan Pemindahan Hak Garap/Sewa Responden N % 1. Pemilik Lahan Memberikan Lahannya Kepada Anak Anaknya % 2. Pemilik Lahan Mencabut Hak Garap/Sewa % 3. Pemilik Lahan Mengakadkan Lahannya Ke Orang Lain % 4. Pemilik Lahan Menjual Lahan Ke Orang Lain % 5. Penggarap Mengalihkan Hak Garapnya Kepada Orang Lain Yang Tidak Mampu % 6. Produksi Yang Dihasilkan Dibawah Rata Rata % 7. Responden Pindah Tempat Tinggal % Total % 7.3. Hubungan Kekerabatan antara Pemilik dan Penggarap Berdasarkan data pada Tabel 43, diperoleh informasi bahwa terdapat 20 responden yang termasuk ke dalam kelompok petani penggarap sewa. Dari total responden tersebut, 85 persen diantaranya adalah petani yag mengusahakan lahan 0,5 ha, sedangkan sisanya sebesar 15 persen adalah petani yang mengusahakan lahan 0,5 0,99 ha. Dari total responden yang mengusahakan lahan 0,5 ha, sebesar 70 persennya adalah responden yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan, sedangkan sisanya sebesar 15 persen adalah responden memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahannya. Hal berbeda 107

126 terjadi pada responden yang mengusahakan lahan 0,5 0,9 ha. Dari total responden yag mengusahakan lahan sebesar 0,5-0,9 ha, sebesar 10 persennya adalah responden yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan, sedangkan sisanya sebesar 5 persen adalah responden tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan. Tabel 43. Hubungan Kekerabatan Antara Pemilik dan Penggarap di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Katagorik Pengusahaan Lahan Memiliki Hubungan Kekerabatan Tidak Memiliki Hubungan Kekerabatan Total N % N % N % Penggarap Sewa 1. 0,5 Ha % % % 2. 0,5-0,99 Ha % % % Total % % % Penggarap Akad 1. 0,5 Ha % % % 2. 0,5-0,99 Ha % % % Total % % % Jika dilihat berdasarkan kelompok petani penggarap akad, diperoleh informasi bahwa terdapat 3 responden yang termasuk ke dalam kelompok petani penggarap akad dan seluruhya merupakan petani yang mengusahakan lahan 0,5 ha. Dari total responden yang mengusahakan lahan 0,5 ha, sebesar 66,67 persennya adalah responden yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan, sedangkan sisanya sebesar 33,33 persen adalah responden yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahannya. Secara umum tabel ini menjelaskan bahwa sebagian besar responden memperoleh hak garapnya dari pemilik lahan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Artinya hubungan antara pemilik dan penggarap murni hubungan bisnis atau usaha semata. 108

127 7.4. Rata-Rata Lama Waktu Menggarap Lahan dengan Sistem Garap Sewa Berdasarkan data pada Tabel 44, diperoleh informasi bahwa total rata-rata lama waktu menggarap lahan dengan sistem garap sewa di lokasi penelitian adalah selama 10,79 tahun. Dari total rata-rata lama waktu menggarap lahan tersebut; 12,24 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang mengusahakan lahan 0,5 ha dan 2,56 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang mengusahakan lahan 0,5 0,9 ha. Dari total responden yang mengusahakan lahan 0,5 ha; 12,82 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan, sedangkan 9,55 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan. Hal berbeda terjadi pada responden yang mengusahakan lahan 0,5 0,9 ha. Dari total responden yag mengusahakan lahan sebesar 0,5-0,9 ha; 1 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan, sedangkan 3,33 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan. Jika dilihat berdasarkan kelompok petani penggarap akad, diperoleh informasi bahwa total rata-rata lama waktu menggarap lahan dengan sistem garap akad di lokasi penelitian adalah selama 3,67 tahun dan seluruhya merupakan petani yang mengusahakan lahan 0,5 ha. Dari total responden yang mengusahakan lahan 0,5 ha, 4 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahan, sedangkan 3,50 tahun adalah lama waktu menggarap lahan bagi responden yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik lahannya. 109

128 Tabel 44. Rata Rata Lama Waktu (Tahun) Menggarap Lahan dengan Sistem Garap Sewa di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Katagorik Pengusahaan Lahan Rata Rata Lama Waktu Menggarap Lahan (Tahun) Memiliki Hubungan Tidak Memiliki Kekerabatan Hubungan Kekerabatan Total Rata Rata 1. 0,5 Ha ,5-0,99 Ha Total Rata Rata Penggarap Akad 1. 0,5 Ha ,5-0,99 Ha Total Rata Rata Tingkat Penggunaan Tingkat Teknologi Berdasarkan data pada Tabel 45, penggunaan teknologi di lokasi penelitian dibedakan ke dalam 6 kategori, yaitu: (1) benih berlabel, (2) pupuk sesuai rekomendasi, (3) sistem legowo, (4) traktor, (5) pengendalian hayati, dan (6) pupuk organik. Penggunaan keenam teknologi inilah yang menjadi tolak ukur penilaian yang digunakan saat ini oleh para penyuluh pertanian di Kota Sukabumi. Dari total responden, sebanyak 97 persen responden menggunakan benih berlabel dalam kegiatan usahataninya; 41 persen responden menggunakan pupuk sesuai rekomendasi; 50 persen responden menerapkan sistem legowo; 100 persen responden menggunakan alat bantu traktor dalam mengolah tanahnya, 28 persen responden melakukan pengendalian hayati; 53 persen responden menggunakan pupuk organik. Beberapa informasi yang dapat diperoleh dari Tabel 45, antara lain kemampuan penerapan teknologi yang masih rendah adalah melakukan pengendalian hama, karena baru sebesar 28 persen. Petani masih terpaku cara penanganan hama dengan pemberantasan bukan pada pencegahan melalui pengendalian. Petani baru bertindak setelah hama penyakit menyerang cukup luas, sehingga kerusakan akibat hama penyakit masih tinggi terutama pada musimmusim penghujan. 110

129 Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi juga masih terbilang rendah, yaitu hanya sebesar 41 persen. Daya beli petani untuk pupuk masih rendah karena pengetahuan petani tentang kebutuhan dan fungsi pupuk bagi tanaman juga masih rendah. Selain itu, petani kurang memanfaatkan jerami limbah dari panen dan bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan untuk kesuburan tanah, karena pengetahuan dan sikap petani akan pentingnya bahan organik dalam membantu meningkatnya kesuburan tanah juga masih terbilang rendah. Dari keenam teknologi yang menjadi tolak ukur keberhasilan di lokasi penelitian, berdasarkan total responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik lahan, dominasi teknologi yang diterapkan hanya penggunaan benih berlabel dan penggunaan traktor, masing-masing sebesar 25 persen. Selain itu, berdasarkan total responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik dan penggarap, dominasi teknologi yang diterapkan juga hanya penggunaan benih berlabel dan penggunaan traktor, masing-masing sebesar 28 persen. Sedangkan berdasarkan total responden yang termasuk ke dalam kelompok petani penggarap, dominasi teknologi yang diterapkan adalah penggunaan benih berlabel, yaitu sebesar 44 persen dan penggunaan traktor sebesar 47 persen. Tabel 45. Tingkat Penggunaan Teknologi di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Benih Berlabel Pupuk Sesuai Rekomendasi Penggunaan Teknologi Sistem Legowo Traktor Pengendalian Hayati Pupuk Organik n % N % N % N % N % n % Pemilik Pemilik dan Penggarap Pemilik & Penggarap (sewa) Pemilik & Penggarap (akad) Penggarap Penggarap (sewa) Penggarap (pinjam) Penggarap (sewa dan pinjam) Total Rata-rata Skor dan Distribusi Tingkat Penggunaan Tingkat Teknologi Berdasarkan data pada Tabel 46, skor mengenai penggunaan tingkat teknologi dibedakan ke dalam 3 kategori, yaitu: (1) skor rendah, yaitu 20-33; (2) skor sedang, yaitu 34-47; dan (3) skor tinggi, yaitu Total rata-rata skor 111

130 penggunaan tingkat teknologi bagi responden di lokasi penelitian adalah sebesar 36,88 atau termasuk ke dalam kategori skor sedang. Dari total responden, sebesar 53,13 persen responden termasuk dalam kategori yang memiliki skor rendah dalam penggunaan tingkat teknologi; 15,63 persen responden termasuk dalam kategori yang memiliki skor sedang; dan sebesar 31,25 persen reponden termasuk dalam kategori yang memiliki skor tinggi. Kelompok petani pemilik lahan didominasi oleh responden yang termasuk dalam kategori skor rendah, yaitu sebesar 15,63 persen. Kelompok petani pemilik dan penggarap didominasi oleh responden yang termasuk ke dalam kategori skor rendah dan tinggi, masing-masing sebesar 12,50 persen. Sedangkan kelompok petani penggarap didominasi oleh responden yang termasuk ke dalam kategori skor rendah, yaitu sebesar 25 persen. Tabel 46. Rata Rata Skor dan Distribusi Penggunaan Tingkat Teknologi di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria Rata Rata Skor Skor Rendah (20-33) Skor Sedang (34-47) Skor Tinggi (48-60) n % n % N % Pemilik % % % Pemilik dan Penggarap % % % Pemilik & Penggarap (sewa) % % % Pemilik & Penggarap (akad) % % % Penggarap % % % Penggarap (sewa) % % % Penggarap (pinjam) % % % Penggarap (sewa dan pinjam) % % % Total % % % Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa keragaan penggunaan tingkat teknologi di lokasi penelitian terbilang rendah. Oleh karena itu, dalam usaha pengusahaan lahan ke depannya perlu diadakan sosialisasi yang lebih luas mengenai pentingnya penggunaan teknologi untuk meningkatkan hasil yang diperoleh, baik oleh penyuluh pertanian maupun inisiatif dari kelompok tani itu sendiri. 112

131 7.7. Ketimpangan Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan dihitung dengan indeks gini (G). besaran nilai koefisien indeks gini berkisar antara 0 sampai 1, semakin besar nilai koefisien indeks gini menunjukkan bahwa distribusi penguasaan lahan tidak merata atau timpang. Mengacu pada kriteria Oshima (1976), bahwa ketimpangan termasuk kategori rendah bila G < 0,4; sedang bila 0,4 G 0,5; dan tinggi bila G > 0,5. Tabel 47 memberikan hasil perhitungan indeks gini untuk mengukur pertama, ketimpangan lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani. Kedua, mengukur ketimpangan pengusahaan lahan padi. Ketiga, ketimpangan penguasaan lahan hak milik yang diusahakan tanaman padi. Pengukuran ketimpangan yang pertama dilakukan untuk mengukur ketimpangan dari seluruh lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani. Lahan yang dikuasi oleh rumah tangga petani ada yang diusahakan dan ada juga yang tidak. Dari lahan yang dikuasai ada yang diusahakan untuk tanaman padi dan juga selain tanaman padi. Pengukuran ketimpangan yang kedua ditujukan untuk secara khusus melihat ketimpangan lahan yang diusahakan untuk tanaman padi, sedangkan pengukuran ketimpangan yang ketiga ditujukan untuk melihat ketimpangan dari panguasaan lahan hak milik yang diusahakan tanaman padi. Tabel 47. Perhitungangan Koefisien Gini (G) Untuk Berbagai Katagori Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Kriteria N Yi (ha) ryi(ha) 1/n n 2 n 2.Yr 2/(n 2 Yr) G=1+1/n-(2/(n 2 Yr) Yi Ketimpangan Penguasaan Lahan Ketimpangan Pengusahaan Lahan Padi Ketimpangan Penguasaan Lahan Hak Milik Berdasarkan uraian di atas, secara umum ketimpangan distribusi penguasaan lahan petani di Kelompok Tani Harum IV Kecamatan Lembursitu tergolong tinggi karena memiliki koefisien gini lebih dari 0,5. Fakta timpangnya penguasaan lahan di lokasi penelitian juga dapat dilihat berdasarkan data pada Tabel 48. Luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani di lokasi penelitian, 113

132 dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) < 0,5 ha; (2) 0,5 0,99 ha; dan 1 ha. Dari total responden, sebanyak 25 orang responden menguasai lahan < 0,5 ha dengan rata-rata luas lahan 0,23192 ha; 5 orang responden menguasai lahan 0,5-0,99 ha dengan rata-rata luas lahan 0,668 ha; dan 2 orang responden menguasai lahan 1 ha dengan rata-rata luas lahan 1,1575 ha. Tabel 48. Keragaan Lahan yang Dikuasai Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Luas Lahan yang Dikuasai (ha) N Total Lahan (ha) Rata-rata Lahan (ha) < 0, ,5-0, Total Gambaran mengenai distribusi penguasaan lahan di lokasi penelitian juga dapat dilihat pada Gambar 5. Luas Lahan (ha) Responden ke Gambar 5. Grafik Distribusi Penguasaan Lahan di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Fakta timpangnya pengusahaan lahan padi juga dapat dilihat berdasarkan data pada Tabel 49. Luas lahan yang diusahakan padi oleh rumah tangga petani di lokasi penelitian dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu < 0,5 ha dan 0,5 0,99 ha. Dari total responden, sebanyak 27 orang responden mengusahakan lahan < 0,5 ha dengan rata-rata luas lahan 0,2010 ha; sedangkan sebanyak 5 orang responden mengusahakan lahan 0,5-0,99 ha dengan rata-rata luas lahan 0,6940 ha. 114

133 Tabel 49. Lahan yang Diusahakan Padi oleh Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Luas Lahan yang Diusahakan Padi (ha) N Total Lahan (ha) Rata-rata Lahan (ha) < 0, ,5 0, Total Gambaran mengenai distribusi pengusahaan lahan padi di lokasi penelitian juga dapat dilihat pada Gambar Luas Lahan (ha) responden ke Gambar 6. Grafik Distribusi Pengusahaan Lahan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Fakta timpangnya penguasaan lahan hak milik yang diusahakan tanaman padi juga dapat dilihat berdasarkan data pada Tabel 50. Luas lahan milik yang diusahakan padi oleh rumah tangga petani di lokasi penelitian, dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu < 0,5 ha dan 0,5 0,99 ha. Dari 16 responden yang mengusahakan lahan miliknya untuk menanam padi, sebanyak 14 orang responden mengusahakan lahan < 0,5 ha dengan rata-rata luas lahan 0,1634 ha; sedangkan sebanyak 2 orang responden mengusahakan lahan 0,5-0,99 ha dengan rata-rata luas lahan 0,6025 ha. 115

134 Tabel 50. Lahan Milik yang Diusahakan Padi oleh Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Luas Lahan Milik yang Diusahakan Padi (ha) N Total Lahan (ha) Rata-rata Lahan (ha) < 0, ,5 0, Total Gambaran mengenai distribusi lahan milik yang diusahakan padi di lokasi penelitian juga dapat dilihat pada Gambar Luas Lahan (ha) Responden ke Gambar 7. Grafik Distribusi Lahan Milik yang Diusahakan Padi di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Berdasarkan nilai koefisien Gini, maka distribusi lahan berdasarkan penguasaan, pengusahaan lahan, dan penguasaan lahan hak milik yang diusahakan tanaman padi di lokasi penelitian timpang, yang ditunjukkan dengan nilai koefisien Gini > 0,5. Ketimpangan ini menunjukkan ketidakmerataan penyebaran atau distribusi lahan di lokasi penelitian, sehingga akan menyebabkan kesejahteraan petani penggarap semakin berkurang karena semakin sulit mendapatkan akses untuk mengusahakan lahan. 116

135 VIII. ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PADI 8.1. Rata Rata Produksi Padi Petani (return to land) Berdasarkan Gambar 8, diperoleh informasi bahwa rata-rata total produksi padi di lokasi penelitian adalah sebesar 6,9 ton/ha. Dari 3 (tiga) kelompok responden yang ada di lokasi penelitian, responden kelompok petani pemilik yang mampu meghasilkan produksi padi terbesar dibandingkan dengan responden lainnya, yaitu 7,4 ton/ha. Tingkat produksi yang dicapai petani pemilik dan penggarap sebesar 6,9 ton/ha dan petani penggarap sebesar 6,6 ton/ha. Faktor yang menyebabkan produksi petani pemilik lebih besar dibandingkan dengan kelompok petani lainnya adalah karena sebagian besar dari mereka telah menggunakan sistem legowo. Produksi Padi (Ton/Ha) Pemilik (n=8) Pemilik & Penggarap (n=9) Penggarap (n=15) Rata Rata Total (n=32) Gambar 8. Indikator Produksi Padi Rata-Rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Meskipun rata-rata produksi padi yang petani hasilkan cukup baik, namun angka tersebut belum mampu mencapai target yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian Kota Sukabumi, dimana target yang ingin dicapai yaitu sebesar 8,2 ton/ha. Hal-hal yang menyebabkan belum tercapainya target tersebut, antara lain; (1) belum optimalnya penggunaan sarana produksi dan teknologi yang tepat guna; (2) kesadaran dalam melaksanakan penyuluhan penerapan teknologi masih 117

136 rendah; dan (3) masih kurangnya pemanfaatan bahan yang tersedia untuk menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang seperti pembuatan pestisida nabati dan agen hayati Penerimaan Usahatani Padi Rata-Rata Petani Sebagai konsekuensi dari produksi yang relatif tinggi, maka penerimaan kelompok petani pemilik merupakan terbesar dibandingkan dengan yang lainnya, seperti terlihat pada Gambar 9. Mengingat tingkat harga yang relatif sama, maka perbedaan penerimaan antar kelompok, dipengaruhi oleh perbedaan produksinya. Penerimaan Usahatani Padi (Rp/Ha) 19,000,000 18,500,000 18,000,000 17,500,000 17,000,000 16,500,000 16,000,000 15,500,000 15,000,000 18,477,007 Pemilik (n=8) 17,225,959 Pemilik & Penggarap (n=9) 16,489,401 Penggarap (n=15) 17,193,459 Rata Rata Total (n=32) Gambar 9. Indikator Penerimaan Usahatani Padi Rata-Rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Biaya Usahatani Padi Rata-Rata Petani Berdasarkan Gambar 10, diperoleh informasi bahwa rata-rata total biaya usahatani padi di lokasi penelitian adalah sebesar Rp ,00/ha. Dari 3 kelompok responden yang ada di lokasi penelitian, responden petani pemilik lahanlah memiliki biaya usahatani padi terbesar dibandingkan dengan responden lainnya, yaitu sebesar Rp /ha. Biaya usahatani petani pemilik dan penggarap sebesar Rp ,00/ha; dan petani penggarap sebesar Rp ,00/ha. 118

137 6,050,000 6,023,313 Biaya Usahatani Padi (Rp/Ha) 6,000,000 5,950,000 5,900,000 5,850,000 5,800,000 5,750,000 5,700,000 5,650,000 5,942,581 5,750,189 5,872,580 5,600,000 Pemilik (n=8) Pemilik & Penggarap (n=9) Penggarap (n=15) Rata Rata Total (n=32) Gambar 10. Indikator Biaya Usahatani Padi Rata-Rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Dari hasil observasi, diperoleh informasi faktor yang yang mengakibatkan biaya usahatani pada kelompok petani pemiliki relatif mahal dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu : (1) relatif besarnya biaya penanaman padi sebagai konsekuensi dari penerapan sistem legowo; (2) relatif besarnya biaya tenaga kerja luar rumah tangga. Hasil observasi tersebut dikuatkan dengan beberapa fakta : 1. Rata rata umur petani pemilik merupakan paling tua dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu sekitar 62 tahun. Relatif tuanya umur petani mengakibatkan ketergantungan terhadap tenaga kerja luar rumah tangga relatif tinggi, selain itu hampir sebagian dari responden petani pemilik hanya memiliki 1 orang tenaga kerja keluarga sehingga biaya tenaga kerja akan lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. 2. Sebanyak 25 persen responden kelompok petani pemilik memiliki pekerjaan sambilan di luar usahatani, sisanya, 75 persen, menggantungkan hidupnya pada usahatani. Sehingga wajarlah bagi mereka untuk berupaya secara maksimal agar usahatani padi memperoleh produksi yang optimal. Salah satu upaya yang mereka lakukan untuk meningkatkan produksinya adalah dengan cara mengaplikasikan sistem legowo, dengan konsekuensi biaya penanaman akan lebih mahal dibandingkan dengan tidak menggunakan sistem legowo 119

138 8.4. Pendapatan Tunai Rata-Rata Petani Pendapatan tunai merupakan selesih penerimaan usahatani dikurangi biaya usahatani. Berdasarkan Gambar 11, diperoleh informasi bahwa rata-rata total pendapatan petani di lokasi penelitian adalah sebesar Rp ,00/ha. Ratarata pendapatan yang diperoleh responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik adalah Rp ,00/ha; petani pemilik dan penggarap sebesar Rp ,00/ha; dan petani penggarap sebesar Rp ,00/ha. Meskipun biaya petani pemilik relatif tinggi, akan tetapi karena produksinya relatif tinggi juga, maka pendapatan tunainya menjadi relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. 13,000,000 12,500,000 12,453,694 Penadpatan (Rp/Ha) 12,000,000 11,500,000 11,000,000 10,500,000 11,283,378 10,739,212 11,320,879 10,000,000 9,500,000 Pemilik (n=8) Pemilik & Penggarap (n=9) Penggarap (n=15) Rata Rata Total (n=32) Gambar 11. Indikator Pendapatan Rata-Rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Pendapatan Tunai Bersih Rata-Rata Petani Pendapatan tunai bersih diperoleh dari pendapatan tunai yang dikurangkan dengan biaya sewa garapannya. Pendapatan ini menggambarkan imbalan untuk tenaga kerja keluarga dan modal usahatani. Untuk kelompok petani pemilik, karena mereka tidak mengeluarkan biaya untuk sewa garapan, maka pendapatan tunai bersih mereka sama dengan pendapatan tunainya. Berdasarkan Gambar 12, diperoleh informasi bahwa rata-rata total pendapatan bersih petani di lokasi penelitian adalah sebesar Rp ,00/ha. Dari 3 kelompok responden yang 120

139 ada di lokasi penelitian, responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik lahanlah yang memperoleh pendapatan bersih terbesar dibandingkan dengan responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik penggarap dan petani penggarap. Rata-rata pendapatan bersih yang diterima oleh responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik adalah Rp ,00/ha; petani pemilik dan penggarap sebesar Rp ,00/ha; dan petani penggarap sebesar Rp ,00/ha. Pendapatan Bersih (Rp/Ha) 14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 12,453,694 6,495,520 4,420,799 7,012,538 0 Pemilik (n=8) Pemilik & Penggarap (n=9) Penggarap (n=15) Rata Rata Total (n=32) Gambar 12. Indikator Pendapatan Bersih Rata-Rata Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Pendapatan Bersih per Rumah Tangga Petani setiap Musim Berdasarkan Gambar 13, diperoleh informasi bahwa rata-rata total pendapatan bersih per rumah tangga petani setiap musim di lokasi penelitian adalah sebesar Rp ,00/rumah tangga. Dari 3 kelompok responden yang ada di lokasi penelitian, responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik lahanlah yang memperoleh pendapatan bersih per rumah tangga petani setiap musim terbesar dibandingkan dengan responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik penggarap dan petani penggarap. Rata-rata pendapatan bersih per rumah tangga petani setiap musim yang diterima oleh responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik adalah sebesar Rp ,00/rumah tangga; petani pemilik dan penggarap sebesar Rp 121

140 ,00/rumah tangga; dan petani penggarap sebesar Rp ,00/rumah tangga. Dari total responden, responden yang memperoleh pendapatan bersih per rumah tangga petani setiap musim terbesar adalah responden yang termasuk ke dalam kelompok petani pemilik lahan, yaitu sebesar Rp ,00/rumah tangga, sedangkan responden yang memperoleh pendapatan bersih per rumah tangga petani setiap musim terkecil adalah responden yang termasuk ke dalam kelompok petani penggarap, yaitu sebesar Rp ,00/rumah tangga. 3,500,000 3,000,000 2,954,375 2,500,000 Rp 2,000,000 1,500,000 1,000,000 1,753,267 1,052,561 1,725, ,000 0 Pemilik (n=8) Pemilik & Penggarap (n=9) Penggarap (n=15) Rata Rata Total (n=32) Gambar 13. Indikator Pendapatan Bersih per Rumah Tangga Petani setiap Musim di Kelompok Petani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi. Jika pendapatan bersih per rumah tangga ini dikonversi ke tiap bulan, maka pendapatan yang diperoleh rumah tangga dari usahatani padi berkisar antara Rp per bulan. Jumlah pendapatan tersebut dibawah UMR di wilayah manapun. Dengan demikian insentif untuk bekerja di sektor pertanian khususnya tanaman padi dapat dikatakan relatif kecil, atau dengan kata lain imbalan bekerja sebagai petani padi tidak sebesar dari sektor non pertanian. Meskipun demikian besarnya nominal yang diperoleh dari usahatani padi, bukanlah satu satunya faktor yang menjadi penentu untuk menjadi petani padi. Jika dilihat kembali alasan alasan menjadi petani padi, maka terlihat bahwa sebagian besar alasan, bukanlah disebabkan oleh motif ekonomi untuk 122

141 mendapatkan penghasilan yang tinggi, melainkan sebagai upaya jaring pengaman keluarga dan tuntutan karena terbatasnya akses untuk bekerja di sektor lain. Dalam keadaan demikian, petani padi merasa apa yang dicapainya saat ini sudah merupakan kondisi terbaik yang bisa mereka terima. Tabel 51. Rata Rata Pengeluaran Rumah Tangga Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Rata Rata Pengeluaran Rumah Tangga Besaran Pengeluaran (Rp/Bulan) Petani Pemilik 780,100 Petani Pemilik dan Penggarap 1,569,069 Petani Penggarap 801,344 Rata Rata Total 1,011,956 Kecilnya pendapatan dari usahatani padi, menyebabkan usahatani padi bukanlah merupakan satu satunya usaha untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, petani harus bekerja diluar usahatani. Tabel 57 memberikan gambaran besarnya rata rata pengeluaran rumah tangga usahatani. Tabel tersebut memberikan gambaran bahwa merupakan hal yang tidak mungkin bagi sebagian besar petani untuk menggantungkan hidupnya pada usahatani padi. Untuk petani pemilik dan penggarap serta petani penggarap sebagian besar dari mereka memiliki pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. 123

142 IX. HUBUNGAN ANTARA PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI Indikator yang relevan untuk melihat hubungan antara luas lahan dengan pendapatan adalah indikator luas pengusahaan lahan. Hal ini disebabkan tidak semua lahan yang dikuasai diusahakan oleh petani. Beberapa faktor yang menyebabkan lahan yang dikuasai petani tidak semuanya diusahakan adalah: (1) lokasi yang jauh, sehingga untuk mengusahakannya diperlukan perhatian dan tenaga kerja ekstra; (2) keterbatasan dalam mengusahakan lahan disebabkan faktor usia; (3) kebutuhan biaya, sehingga lahan yang dimilikinya digadaikan; (4) keterbatasan modal usahatani, sehingga lahan dibiarkan begitu saja; (5) bertani bukan merupakan mata pencaharian utama. Pengusahaan lahan sawah mencerminkan upaya petani mengusahakan lahan untuk memperoleh hasil usahataninya. Pengusahaan lahan sawah ini sudah mulai dilakukan sejak awal ia berprofesi sebagai seorang petani hingga saat ini. Oleh karena itu, analisis mengenai pengusahaan lahan sawah dapat dilihat dari dua hal, yaitu berdasarkan luas pengusahaan lahan sawah dan peningkatan luas pengusahaan lahan sawah. Jika berdasarkan luas pengusahaan lahan sawah, maka yang dilihat adalah luas pengusahaan lahan sawah saat ini, sedangkan jika berdasarkan peningkatan luas pengusahaan lahan sawah, maka yang dilihat adalah laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah yang diukur berdasarkan luas pengusahaan lahan sawah saat ini dikurangi dengan luas pengusahaan lahan sawah saat mulai menjadi petani kemudian dibagi dengan pengalaman bertani. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, terdapat dua pola hubungan yang terjadi antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi. Rasahan (1988) menyatakan bahwa terdapat dua pola utama yang mencirikan keadaan struktur dan distribusi pendapatan dengan penguasaan ataupun penggarapan lahan pertanian masyarakat perdesaan, yaitu: (1) terdapat hubungan searah antara distribusi pendapatan dengan penguasaan atau penggarapan lahan pertanian, dan (2) terdapat hubungan terbalik antara distribusi pendapatan dengan penguasaan atau penggarapan lahan pertanian. Berdasarkan uraian tersebut di atas, 124

143 maka dalam penelitian ini juga akan dilihat hubungan yang terjadi antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di lokasi penelitian. Analisis hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di lokasi penelitian diolah dengan menggunakan analisis regresi linier berganda (multiple linear regression). Analisis ini dilakukan untuk menguji lebih dari satu variabel bebas (independent variable atau X) dan satu variabel tergantung (dependent variable atau Y). Oleh karena analisis mengenai pengusahaan lahan sawah dapat dilihat berdasarkan luas pengusahaan lahan sawah dan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah, maka variable dependent yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedua kategori tersebut Hubungan antara Luas Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi Hasil kajian berikut ini akan memaparkan analisa hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi. Jika variable dependent yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variable independent yang diduga mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah pendapatan usahatani padi (X) dan dummy status penguasaan lahan (terdiri atas: kelompok status pemilik (DSP), kelompok status pemilik dan penggarap (DSPP), serta kelompok status penggarap (DSPGR)). Hasil olahan dari analisis regresi linier berganda ini dapat dilihat pada Lampiran 2 yang diringkaskan pada Tabel 52. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa nilai R adalah sebesar 0,783. Nilai R pada model mencerminkan besarnya korelasi antara independent variable dengan dependent variable. Korelasi tersebut semakin kuat jika nilai R mendekati 1. Dengan nilai R sebesar 0,783 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara independent variable dengan dependent variable relatif kuat. Berdasarkan Tabel 52 juga dapat terlihat nilai R 2 (R square) adalah sebesar 0,614 yang berarti bahwa kontribusi semua independent variable terhadap dependent varible adalah sebesar 61,4 persen, sehingga 38,6 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model. Selain itu, berdasarkan Tabel 52 juga terlihat nilai signifikansi model sebesar 0,000. Hal tersebut 125

144 mengandung arti bahwa model ini sangat signifikan pada selang kepercayaan mendekati 100 persen. Tabel 52. Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi terhadap Luas Pengusahaan Lahan Sawah b R.783 a R Square.614 Sig.000 a F a. Predictors: (Constant), X (pendapatan usahatani padi), DSPGR (dummy status penggarap), DSPP (dummy status pemilik penggarap), DSP (dummy status pemilik) b. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah) Pengaruh masing-masing variabel independent terhadap variabel dependent dalam model dapat dilihat dari nilai signifikansi masing-masing variabel independent seperti pada Tabel 53. Interpretasi Tabel 53 adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi dummy status pemilik (DSP) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variabel DSP signifikan pada selang kepercayaan 97,4 persen. 2. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi dummy status pemilik dan penggarap (DSPP) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variabel DSPP signifikan pada selang kepercayaan 88,6 persen. 3. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi dummy status penggarap (DSPGR) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variabel DSPGR signifikan pada selang kepercayaan 89,9 persen. 4. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi pendapatan usahatani padi (X) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variabel X 1 sangat signifikan pada selang kepercayaan hampir mendekati 100 persen Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel bebas (independent variable), maka variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap luas pengusahaan lahan sawah adalah variabel pendapatan usahatani padi (X). 126

145 Tabel 53. Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent Variable untuk Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi terhadap Luas Pengusahaan Lahan Sawah a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta T Sig. 1 (Constant) DSP DSPP DSPGR X a. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah) Berdasarkan Tabel 53, maka rumus persamaan garis regresi yang menggambarkan hubungan antara luas pengusahaan lahan sawah (Y) dengan pendapatan usahatani padi (X) adalah sebagai berikut: Y 1 = a + b 1.D_SP + b 2.D_SPP + b 3.D_SPGR + b 4.X Dimana: a = konstanta = 0,252 b 1 = koefisien regresi dummy status pemilik (D_SP) = -0,189 b 2 = koefisien regresi dummy status pemilik dan penggarap (D_SPP) = 0,296 b 3 = koefisien regresi dummy status penggarap (D_SPGR) = -0,111 b 4 = koefisien regresi pendapatan usahatani padi (X) = 0,022 Berdasarkan data tersebut, persamaan garis regresi yang terbentuk adalah: Y = 0,252-0,189.D_SP + 0,296.D_SPP - 0,111.D_SPGR + 0,022.X Dilihat dari model persamaan tersebut terdapat 3 variabel dummy, dengan demikian model persamaan matematika yang terbentuk adalah sebagai berikut: 1. Model untuk kelompok petani pemilik, dimana D_SP = 1, D_SPP dan D_SPGR= 0, maka model persamaannya adalah: Y SP = 0, ,022.X... (1) 127

146 2. Model untuk kelompok petani pemilik dan penggarap, dimana D_SPP = 1, D_SP dan D_SPGR = 0, maka model persamaannya adalah: Y SPP = 0, ,022.X... (2) 3. Model untuk kelompok petani penggarap, dimana D_SPGR = 1, D_SP dan D_SPP = 0, maka model persamaannya adalah: Y SPGR = 0, ,022.X... (3) Dimana: Y SP Y SPP Y SPP Y SPGR X = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik dan penggarap = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik dan penggarap = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani penggarap = Pendapatan usahatani padi Berdasarkan model tersebut, nilai konstanta sebesar 0,063 pada persamaan 1 menunjukkan rata-rata luas pengusahaan lahan sawah kelompok petani pemilik adalah sebesar 0,063 ha jika tidak ada penambahan pendapatan usahatani padi. Nilai konstanta sebesar 0,548 pada persamaan 2 menunjukkan rata-rata luas pengusahaan lahan sawah kelompok petani pemilik dan penggarap adalah sebesar 0,548 ha jika tidak ada penambahan pendapatan usahatani padi. Nilai konstanta sebesar 0,141 pada persamaan 3 menunjukkan rata-rata luas pengusahaan lahan sawah kelompok petani penggarap adalah sebesar 0,141 ha jika tidak ada penambahan pendapatan usahatani padi. Nilai konstanta yang disajikan menggambarkan perilaku petani dalam mengusahakan lahannya. Meskipun petani mengalami kerugian atau tidak memperoleh pendapatan dari usahataninya, mereka akan tetap berusaha untuk mengusahakan lahan pada musim berikutnya dengan rata rata luas lahan yang berbeda untuk setiap kelompoknya. Berdasarkan besarnya nilai konstanta, terlihat bahwa rata-rata luas lahan yang akan diusahakan paling kecil terdapat pada kelompok petani pemilik. Nilai koefisien regresi sebesar 0,022 menunjukkan pertambahan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan pendapatan usahatani padi sebesar 1 satuan unit. Dengan demikian, jika petani mengalami peningkatan pendapatan sebesar 1 juta rupiah, maka besarnya peningkatan luas pengusahaan 128

147 lahan sawah sebesar 0,022 ha/musim. Pada persamaan 1, jika terjadi penambahan pendapatan sebesar 1 juta rupiah, maka total rata-rata luas pengusahaan lahan sawah petani pemilik menjadi sebesar 0,085 ha. Pada persamaan 2, jika terjadi penambahan pendapatan sebesar 1 juta rupiah, maka total rata-rata luas pengusahaan lahan sawah petani pemilik dan penggarapb menjadi sebesar 0,570 ha. Pada persamaan 3, jika terjadi penambahan pendapatan sebesar 1 juta rupiah, maka total rata-rata luas pengusahaan lahan sawah petani penggarap menjadi sebesar 0,163 ha. Oleh karena ketersediaan lahan di lokasi penelitian relatif tetap, maka makna terjadinya penambahan luas pengusahaan lahan sawah petani sebesar 0,022 ha/musim, misal untuk kasus pada kelompok petani pemilik dan penggarap adalah terjadinya pengalihan investasi setara dengan nilai pengusahaan lahan 0,022 ha/musim. Untuk menggambarkan pengalihan investasi setara 0,022 ha/musim dengan cara mengalihkan penambahan luas pengusahaan lahan sawah dengan produktivitas padi rata-rata petani yang kemudian dikalikan dengan rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP). Dengan asumsi produktivitas 6,9 ton/ha dan rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 2.500,00/kg, maka akan terjadi pengalihan investasi ke usahatani selain usahatani padi setara dengan Rp ,00/musim. Berdasarkan ketiga model tersebut, terlihat dengan peningkatan pendapatan dalam jumlah yang sama, kelompok petani pemilik dan penggarap paling responsif dibandingkan dengan kelompok petani lainnya. Sedangkan kelompok petani penggarap lebih responsif dibandingkan kelompok petani pemilik Hubungan antara Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah dengan Pendapatan Usahatani Padi Hasil kajian berikut ini akan memaparkan analisa hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi. Jika Variable dependent dalam penelitian ini adalah laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variable independent yang diduga mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah pendapatan usahatani padi (X) dan dummy status penguasaan lahan (terdiri atas: kelompok status pemilik (DSP), kelompok 129

148 status pemilik dan penggarap (DSPP), serta kelompok status penggarap (DSPGR)). Hasil olahan dari analisis regresi linier berganda ini dapat dilihat pada Lampiran 3 yang diringkaskan pada Tabel 54. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa nilai R adalah sebesar 0,338. Nilai R pada model mencerminkan besarnya korelasi antara independent variable dengan dependent variable. Korelasi tersebut semakin kuat jika nilai R mendekati 1. Dengan nilai R sebesar 0,338 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara independent variable dengan dependent variable relatif tidak kuat. Berdasarkan Tabel 54 juga dapat terlihat nilai R 2 (R square) adalah sebesar 0,114 yang berarti bahwa kontribusi semua independent variable terhadap dependent varible adalah sebesar 11,4 persen, sehingga 88,6 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model. Selain itu, berdasarkan Tabel 54 juga terlihat nilai signifikansi model sebesar 0,496. Hal tersebut mengandung arti bahwa tingkat kepercayaan terhadap model ini sangat rendah sekali, yaitu 50,4 persen. Tabel 54. Hasil Pengujian Regresi Pendapatan Usahatani Padi terhadap Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah b R.338 a R Square.114 Sig.496 a F.868 a. Predictors: (Constant), X (pendapatan usahatani padi), DSPGR (dummy status penggarap), DSPP (dummy status pemilik penggarap), DSP (dummy status pemilik) b. Dependent Variable: Y 2 (laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah) Model yang tidak signifikan, mengandung arti bahwa tidak ada pengaruh antara laju peningkatan pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi. Seseorang petani akan memiliki laju peningkatan pengusahaan lahan sawah, jika dia memiliki akses terhadap pengusahaan lahan sawah. Akses yang diperlukan meliputi ketersediaan informasi, kedekatan dan kepercayaan dengan pemilik lahan yang akan disewa, serta modal untuk membeli dan menyewa lahan. Dengan demikian pendapatan bisa mempengaruhi laju peningkatan pengusahaan 130

149 lahan sawah, jika dalam waktu yang bersamaan diiringi dengan kemampuan petani untuk mengakumulasikan modalnya, misalnya melalui menabung. Dengan tingkat pendapatan tiap bulan yang relatif kecil, merupakan hal yang sangat sulit bagi petani untuk bisa mengakumulasikan modalnya, karena sebagian besar telah habis untuk menutupi kebutuhan rumah tangga sehari hari. Hal inilah yang menjadi penyebab kenapa laju peningkatan pengusahaan lahan sawah tidak dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan. 131

150 X. ANALISA FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH Pada uraian sebelumnya telah dibahas tentang hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi. Dalam kenyataannya masih banyak faktor lain yang mempengaruhi terhadap pengusahaan lahan sawah. Pada bagian ini faktor-faktor lain tersebut akan dimasukan ke dalam model. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah di lokasi penelitian diolah dengan menggunakan analisis regresi linier berganda (multiple linear regression). Analisis ini dilakukan untuk menguji pengaruh antara lebih dari satu variabel bebas (independent variable atau X) dan satu variabel tergantung (dependent variable atau Y). Oleh karena pengusahaan lahan sawah dapat dilihat berdasarkan luas pengusahaan lahan sawah dan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah, maka Variable dependent yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedua kategori tersebut Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah Hasil kajian berikut ini akan memaparkan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Jika dependent variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka independen varible yang diduga mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah status pengusahaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik (DSP), kelompok status pemilik dan penggarap (DSPP), serta kelompok status penggarap (DSPGR)), laju peningkatan luas pengusahaan lahan (X 1 ), produktivitas padi (X 2 ), jumlah hari kerja (X 3 ), jumlah organisasi yang diikuti (X 4 ), pendapatan usahatani padi (X 5 ), aset (X 6 ), luas lahan sawah yang dikuasai (X 7 ), dan umur saat menjadi petani mandiri (X 8 ). Hasil olahan dari analisis regresi linier berganda ini dapat dilihat pada Lampiran 4 yang diringkaskan pada Tabel 55. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa nilai R adalah sebesar 0,933. Nilai R pada model mencerminkan besarnya korelasi antara independent variable dengan dependent variable. Korelasi tersebut 132

151 semakin kuat jika nilai R mendekati 1. Dengan nilai R sebesar 0,933 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara independent variable dengan dependent variable relatif kuat. Berdasarkan Tabel 55 juga dapat terlihat nilai R 2 (R square) adalah sebesar 0,870 yang berarti bahwa kontribusi semua independent variable terhadap dependent varible adalah sebesar 87 persen, sehingga 13 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model. Selain itu, berdasarkan Tabel 55 juga terlihat nilai signifikansi model sebesar 0,000. Hal tersebut mengandung arti bahwa model ini sangat signifikan pada selang kepercayaan mendekati 100 persen. Tabel 55. Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah b R.933 a R Square.870 Sig.000 a F a. Predictors: (Constant), X 1 (laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah), X 2 (produktivitas padi), X 3 (jumlah hari kerja petani), X 4 (jumlah organisasi yang diikuti), X 5 (pendapatan usahatani padi), X 6 (aset), X 7 (luas lahan sawah yang dikuasai),x 8 (umur saat menjadi petani mandiri), DSPGR (dummy status penggarap), DSPP (dummy status pemilik penggarap), DSP (dummy status pemilik) b. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah) Pada Tabel 56 diperlihatkan nilai koefisien regresi masing-masing variabel bebas (independent variable) untuk hasil pengujian regresi faktor-faktor yang mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah. Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel bebas (independent variable) pada tabel tersebut, maka varibel bebas yang signifikan pada selang kepercayaan di atas 80 persen atau pada p < 0,20 adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi dummy status pemilik dan penggarap (DSPP) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variabel DSPP signifikan pada selang kepercayaan 93,8 persen. 2. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi produktivitas padi (X 2 ) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variabel X 2 signifikan pada selang kepercayaan 85,7 persen. 133

152 3. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi jumlah hari kerja (X 3 ) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y 1 ), maka variabel X 3 signifikan pada selang kepercayaan 80,9 persen. 4. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi pendapatan usahatani terhadap luas (X5) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y1), maka variabel X5 signifikan pada selang kepercayaan 89,4 persen. 5. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi aset (X6) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y1), maka variabel X6 signifikan pada selang kepercayaan 88,7 persen. 6. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi luas lahan sawah yang dikuasai (X7) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y1), maka variabel X7 signifikan pada selang kepercayaan 99,8 persen 7. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi umur saat menjadi petani mandiri (X8) terhadap luas pengusahaan lahan sawah (Y1), maka variabel X8 signifikan pada selang kepercayaan 84,9 persen. Tabel 56. Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent Varible untuk Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Luas Pengusahaan Lahan Sawah a Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta T Sig. 1 (Constant) X X X X DSPP DSPGR DSP X X X X a. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah) 134

153 Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel bebas (independent variable) tersebut, maka faktor yang paling mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah variabel dummy status pemilik dan penggarap (DSPP) dan variabel luas lahan sawah yang dikuasai (X 7 ). Berdasarkan Tabel 56, maka rumus persamaan garis regresi yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah sebagai berikut: Y 1 = a + b 1.D_SP + b 2.D_SPP + b 3.D_SPGR + b 4. X 1 + b 5.X 2 + b 6.X 3 + b 7.X 4 + b 8.X 5 + b 9.X 6 + b 10.X 7 + b 11.X 8 dimana: a = konstanta = 0,243 b 1 = koefisien regresi dummy status pemilik (D_SP) = -0,007 b 2 = koefisien regresi dummy status pemilik dan penggarap (D_SPP) = 0,263 b 3 = koefisien regresi dummy status penggarap (D_SPGR) = -0,048 b 4 = koefisien regresi laju peningkatan luas pengusahaan lahan (X 1 ) = 0,192 b 5 = koefisien regresi produktivitas padi (X 2 ) = -0,026 b 6 = koefisien regresi jumlah hari kerja (X 3 ) = 0,000 b 7 = koefisien regresi jumlah organisasi yang diikuti (X 4 ) = 0,025 b 8 = koefisien regresi pendapatan usahatani (X 5 ) = 0,011 b 9 = koefisien regresi aset (X 6 ) = -0,002 b 10 = koefisien regresi luas lahan sawah yang dikuasai (X 7 ) = 0,565 b 11 = koefisien regresi umur saat menjadi petani mandiri (X 8 ) = 0,003 Berdasarkan data tersebut, persamaan garis regresi yang terbentuk adalah: Y 1 = 0,243-0,007.D_SP + 0,263.D_SPP - 0,048.D_SPGR + 0,192.X 1-0,026.X 2 + 0,000.X 3 + 0,025.X 4 + 0,011.X 5-0,002.X 6 + 0,565.X 7 + 0,003.X 8 Dilihat dari model persamaan tersebut terdapat 3 variabel dummy, dengan demikian model persamaan matematika yang terbentuk adalah sebagai berikut: 1. Model untuk kelompok petani pemilik, dimana D_SP = 1, D_SPP dan D_SPGR= 0, maka model persamaannya adalah: Y SP = 0, ,192.X 1 0,026.X 2 + 0,000.X 3 + 0,025.X 4 + 0,011.X 5-0,002.X 6 + 0,565.X 7 + 0,003.X 8... (4) 135

154 2. Model untuk kelompok petani pemilik dan penggarap, dimana D_SPP = 1, D_SP dan D_SPGR = 0, maka model persamaannya adalah: Y SPP = 0, ,192.X 1 0,026.X 2 + 0,000.X 3 + 0,025.X 4 + 0,011.X 5-0,002.X 6 + 0,565.X 7 + 0,003.X 8... (5) 3. Model untuk kelompok petani penggarap, dimana D_SPGR = 1, D_SP dan D_SPP = 0, maka model persamaannya adalah: Y SPGR = 0, ,192.X 1-0,026.X 2 + 0,000.X 3 + 0,025.X 4 + 0,011.X 5-0,002.X 6 + 0,565.X 7 + 0,003.X 8... (6) Dimana: Y SP Y SPP Y SPP Y SPGR X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik dan penggarap = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik dan penggarap = Luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani penggarap = laju peningkatan luas pengusahaan lahan = produktivitas padi = jumlah hari kerja = jumlah organisasi yang diikuti = pendapatan usahatani padi = aset = luas lahan sawah yang dikuasai = umur saat menjadi petani mandiri Nilai konstanta sebesar 0,236 pada persamaan 1 menunjukkan rata-rata luas pengusahaan lahan sawah petani pemilik adalah sebesar 0,236 ha jika tidak ada variabel bebas yang mempengaruhi. Nilai konstanta sebesar 0,506 pada persamaan 2 menunjukkan rata-rata luas pengusahaan lahan sawah petani pemilik dan penggarap adalah sebesar 0,506 ha jika tidak ada variabel bebas yang mempengaruhi. Nilai konstanta sebesar 0,195 pada persamaan 3 menunjukkan rata-rata luas pengusahaan lahan sawah petani penggarap adalah sebesar 0,195 ha jika tidak ada variabel bebas yang mempengaruhi. Nilai konstanta yang disajikan menggambarkan prilaku petani dalam mengusahakan lahannya. Meskipun petani mengalami hal-hal yang berpotensi untuk mengurangi hasil produksinya, mereka akan tetap berusaha untuk mengusahakan lahan pada musim berikutnya. 136

155 Membandingkan nilai konstanta pada model ini dibandingkan dengan nilai konstanta pada model persamaan (1), (2) dan (3) pada bab sebelumnya, maka nampak bahwa untuk kelompok petani pemilik dan kelompok petani penggarap, dengan dimasukkannya variabel baru berdampak terhadap meningkatnya nilai konstanta pada masing masing persamaannya, sedangkan untuk kelompok petani pemilik dan penggarap mengalami penurunan. Dengan adanya penambahan variabel baru, maka nilai konstanta pada persamaan (4), (5) dan (6) mendekati nilai rata rata pengusahaan lahan sawah yang terjadi saat ini, seperti terlihat pada Tabel 57. Dengan demikian, model relatif dapat menjelaskan fakta yang terjadi saat ini. Tabel 57. Rata-Rata Pengusahaan Lahan Sawah Berdasarkan Status Penguasaan yang Didekati oleh Model Persamaan dan Kondisi Saat ini di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 Status Penguasaan Lahan Sawah Rata-Rata Luas Pengusahaan Lahan Sawah (Ha) Berdasarkan Nilai Konstanta Pada Model Persamaan B Berdasarkan Nilai Konstanta Pada Model Persamaan A Rata Rata Pengusahaan Lahan Sawah Saat ini Petani Pemilik 0,063 0,236 0,32 Petani Pemilik dan 0,548 0,506 0,45 Penggarap Petani Penggarap 0,141 0,195 0,27 Keterangan 1. Model Persamaan A adalah model yang dibangun untuk melihat hubungan antara luas pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi seperti pada model persamaan (1), (2) dan (3) 2. Model Persamaan B adalah model yang dibangun untuk melihat hubungan antara luas pengusahaan lahan sawah dengan faktor faktor yang mempengaruhinya seperti pada model persamaan (4), (5) dan (6) Laju peningkatan luas pengusahaan lahan (X 1 ) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,192. Nilai tersebut menunjukkan pertambahan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,192 ha/musim jika terjadi penambahan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 1 ha/tahun. Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa rata-rata laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah sebesar 0,186 ha/tahun. Dengan rata-rata laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,186 ha/tahun, maka rata-rata luas pengusahaan lahan sawah mengalami peningkatan sebesar 0,036 ha/musim atau setara dengan 357,12 137

156 m 2 /musim. Karena koefisien regresi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah bernilai positif, maka hubungan antara laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah dengan luas pengusahaan lahan sawah adalah hubungan yang searah. Akan tetapi bukanlah hal yang mudah untuk menciptakan kondisi agar petani mampu meningkatkan laju pengusahaan lahan sawahnya. Beberapa faktor yang menyebabkan petani kesulitan dalam meningkatkan laju pengusahaan lahan sawahnya adalah : (1) terbatasnya ketersediaan lahan, (2) keterbatasan akses untuk untuk meningkatkan penguasaan lahan. Keterbatasan akses utama yang dapat dialami oleh petani adalah ketidakmampuan petani untuk menyediakan modal pembelian lahan. Produktivitas padi (X 2 ) memiliki koefisien regresi produktivitas padi bernilai negatif, maka hubungan yang terjadi antara produktivitas padi dengan luas pengusahaan lahan sawah adalah hubungan yang terbalik. Artinya setiap penambahan produktivitas padi akan menyebabkan penurunan luas pengusahaan lahan sawah. Kejadian ini bisa dipahami karena ketika pengusahaan lahan sawah kecil akan berimplikasi terhadap pendapatan usahatani yang diperoleh pun kecil. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menutupi pengeluaran Rumah Tangga adalah dengan cara mencari pendapatan di luar usahatani, karena akses untuk untuk meningkatkan pengusahaan lahan pun sulit. Dengan demikian, ketika responden mengalami peningkatan produktivitas, maka petani akan cenderung memilih untuk mengurangi lahan sawahnya karena petani sudah merasa puas dengan hasil yang didapat, sebab bertani padi hanya sebagai jaring pengaman keluarga (menjamin ketersediaan beras untuk konsumsi rumah tangga petani). Oleh karena itu, waktu yang tersedia karena pengurangan pengusahaan lahan dikompensasi dengan melakukan kegiatan di luar usahatani padi. Nilai yang diharapkan dihasilkan dari bekerja di luar usahatani padi adalah sebesar 0,026 ha/musim x kg/ha x Rp 2.500,00/kg = Rp ,00/musim. Nilai koefisien regresi sebesar -0,026 menunjukkan penurunan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan produktivitas padi sebesar 1 ton/ha. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan produktivitas padi sebesar 1 ton/ha, maka besarnya penurunan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,026 ha/musim. 138

157 Jumlah hari kerja (X 3 ) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,000 mengandung arti bahwa nilai koefisien tersebut terlalu kecil untuk diidentifikasi, sehingga perubahan yang terjadi pun relatif kecil atau tidak ada pertambahan luas pengusahaan lahan sawah yang signifikan seiring dengan bertambah atau berkurangnya umur petani. Jumlah organisasi yang diikuti (X 4 ) memiliki nilai koefisien regresei sebesar 0,025. Berdasarkan data, dari 32 responden sebanyak 50 persen tidak aktif berorganisasi dan sisanya rata-rata aktif pada 1 organisasi, yaitu kelompok tani. Relatif sedikitnya organisasi yang diikuti oleh petani menggambarkan bahwa jumlah organisasi yang berhubungan dengan pertanian relatif sedikit. Nilai koefisien regresi yang positif menunjukkan hubungan yang searah antara jumlah organisasi yang diikuti petani dengan luas pengusahaan lahan sawah. Nilai koefisien regresi sebesar 0,025 menunjukkan pertambahan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan jumlah organisasi yang diikuti sebanyak 1 organisasi. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan jumlah organisasi yang diikuti sebanyak 1 organisasi, maka besarnya peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah sebesar 0,025 ha. Pendapatan usahatani (X 5 ) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,011. Nilai tersebut menunjukkan pertambahan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan pendapatan sebesar 1 juta rupiah. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan pendapatan sebesar 1 juta rupiah, maka besarnya peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,011 ha/musim. Aset (X 6 ) meiliki nilai koefisien regresi negatif, maka hubungan yang terjadi antara aset yang dimiliki petani dengan luas pengusahaan lahan sawah adalah hubungan yang terbalik. Artinya setiap penambahan aset akan menyebabkan penurunan luas pengusahaan lahan sawah. Kejadian ini bisa dipahami karena dua hal, yaitu: (1) motif usahatani padi sebagian besar adalah sebagai jaring pengaman keluarga yang ditandai dengan pengusahaan lahan sawah yang relatif kecil, (2) ketika pengusahaan lahan sawah kecil akan berimplikasi terhadap pendapatan usahatani yang diperoleh pun kecil. Oleh karena itu, satusatunya cara untuk menutupi pengeluaran Rumah Tangga adalah dengan cara mencari pendapatan di luar usahatani, karena akses untuk untuk meningkatkan 139

158 pengusahaan lahan pun sulit. Dengan demikian, ketika responden mengalami peningkatan aset, maka petani akan cenderung memilih untuk menginvestasikan peningkatan asetnya di luar sektor pertanian. Nilai koefisien regresi sebesar - 0,002 menunjukkan penurunan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan jumlah aset sebesar 1 juta rupiah. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan jumlah aset sebesar 1 juta rupiah, maka besarnya penurunan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,002 ha/musim. Luas lahan sawah yang dikuasai (X 7 ) memiliki nilai koefisien regresi positif, maka hubungan yang terjadi antara luas lahan sawah yang dikuasai dengan luas pengusahaan lahan sawah adalah hubungan yang searah. Nilai koefisien regresi sebesar 0,565 menunjukkan pertambahan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan luas lahan sawah yang dikuasai sebesar 1 ha/musim. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan luas lahan sawah yang dikuasai sebesar 1 ha/musim, maka besarnya peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,565 ha/musim. Umur saat menjadi petani mandiri (X 8 ) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,003 menunjukkan pertambahan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan umur saat mejadi petani mandiri lebih muda 1 tahun. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan umur saat menjadi petani mandiri sebesar 1 tahun, maka besarnya peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,003 ha/musim Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah Hasil kajian berikut ini akan memaparkan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah di Kelompok Tani Harum IV, Kec. Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun Jika dependent variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka independent variable yang diduga mempengaruhi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah status pengusahaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik (DSP), kelompok status pemilik dan penggarap (DSPP), serta kelompok status penggarap (DSPGR), produktivitas padi 140

159 (X 1 ), umur petani (X 2 ), luas lahan sawah yang dikuasai (X 3 ), umur saat menjadi petani mandiri (X 4 ), dan luas lahan milik (X 5 ). Hasil olahan dari analisis regresi linier berganda ini dapat dilihat pada Lampiran 5 yang diringkaskan pada Tabel 58. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa nilai R adalah sebesar 0,678. Nilai R pada model mencerminkan besarnya korelasi antara independent variable dengan dependent variable. Korelasi tersebut semakin kuat jika nilai R mendekati 1. Dengan nilai R sebesar 0,678 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara independent variable dengan dependent variable relatif tidak terlalu kuat. Berdasarkan Tabel 58 juga dapat terlihat nilai R 2 (R square) adalah sebesar 0,459 yang berarti bahwa kontribusi semua independent variable terhadap dependent varible adalah sebesar 45,9 persen, sehingga 54,1 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model. Selain itu, berdasarkan Tabel 58 juga terlihat nilai signifikansi model sebesar 0,045. Hal tersebut mengandung arti bahwa model ini signifikan dengan selang kepercayaan 95,5 persen. Tabel 58. Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah R.678 a R Square.459 Sig.045 a F a. Predictors: (Constant), X1 (produktifitas padi), X2 (umur petani), X3 (luas lahan sawah yang dikuasai), X4 (umur saat menjadi petani mandiri), X5 (luas lahan milik), DSPGR (dummy status penggarap), DSPP (dummy status pemilik penggarap), DSP (dummy status pemilik) b. Dependent Variable: Y 2 (Laju peningkatan luas Pengusahaan Lahan Sawah) Pada Tabel 59 diperlihatkan nilai koefisien regresi masing-masing variabel bebas (independent variable) untuk hasil pengujian regresi faktor-faktor yang mempengaruhi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah. Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel bebas (independent variable) pada tabel tersebut, maka varibel bebas yang signifikan pada selang kepercayaan di atas 80 persen atau pada p < 0,20 adalah sebagai berikut: 141

160 1. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi dummy status pemilik dan penggarap (DSPP) terhadap laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variabel DSPP signifikan pada selang kepercayaan 87,7 persen. 2. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi dummy status penggarap (DSPGR) terhadap laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variabel DSPGR signifikan pada selang kepercayaan 83,9 persen. 3. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi produktivitas (X 1 ) terhadap laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variabel produktivitas (X 1 ) signifikan pada selang kepercayaan 88,2 persen. 4. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi umur petani (X 2 ) terhadap laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variabel umur petani (X 2 ) signifikan pada selang kepercayaan 90,4 persen. 5. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi luas lahan sawah yang dikuasai (X 3 ) terhadap laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variabel luas lahan sawah yang dikuasai (X 3 ) signifikan pada selang kepercayaan 96,8 persen. 6. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi umur saat menjadi petani mandiri (X 4 ) terhadap laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variabel umur saat menjadi petani mandiri (X 4 ) signifikan pada selang kepercayaan 98,9 persen. 7. Berdasarkan nilai signifikansi dari pengujian regresi luas lahan milik (X 5 ) terhadap laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah (Y 2 ), maka variabel luas lahan milik (X 5 ) signifikan pada selang kepercayaan 85,5 persen. Berdasarkan nilai signifikansi masing-masing variabel bebas (independent variable) tersebut, maka faktor yang paling mempengaruhi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah variabel umur petani (X 2 ), luas lahan sawah yang dikuasai (X 3 ), dan umur saat menjadi petani mandiri (X 4 ). 142

161 Tabel 59. Nilai Koefisien Regresi Masing-Masing Independent Variable untuk Hasil Pengujian Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah a Model Unstandardized Coefficients B Standardized Coefficients Std. Error Beta T Sig. 1 (Constant) DSP DSPP DSPGR X X X X X a. Dependent Variable: Y 2 (Laju peningkatan luas Pengusahaan Lahan Sawah) Berdasarkan Tabel 64, maka rumus persamaan garis regresi yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah sebagai berikut: Y 2 = a + b 1.D_SP + b 2.D_SPP + b 3.D_SPGR + b 4.X 1 + b 5.X 2 + b 6.X 3 + b 7.X 4 + b 8.X 5 dimana: a = konstanta = 0,154 b 1 = koefisien regresi dummy status pemilik (D_SP) = 0,029 b 2 = koefisien regresi dummy status pemilik dan penggarap (D_SPP) = -0,185 b 3 = koefisien regresi dummy status penggarap (D_SPGR) = -0,051 b 4 = koefisien regresi produktivitas padi (X 1 ) = -0,015 b 5 = koefisien regresi umur petani (X 2 ) = -0,003 b 6 = koefisien regresi luas lahan sawah yang dikuasai (X 3 ) = 0,234 b 7 = koefisien regresi umur saat menjadi petani mandiri (X 4 ) = 0,004 b 8 = koefisien regresi luas lahan milik (X 5 ) = -0,

162 Berdasarkan data tersebut, persamaan garis regresi yang terbentuk adalah: Y 2 = 0, ,029.D_SP - 0,185.D_SPP - 0,051.D_SPGR - 0,015.X 1-0,003.X 2 + 0,234.X 3 + 0,004.X 4-0,209.X 5 Dilihat dari model persamaan tersebut terdapat 3 variabel dummy, dengan demikian model persamaan matematika yang terbentuk adalah sebagai berikut: 1. Model untuk kelompok status pemilik, dimana D_SP = 1, D_SPP dan D_SPGR = 0, maka model persamaannya adalah: Y SP = 0,183-0,015.X 1-0,003.X 2 + 0,234.X 3 + 0,004.X 4-0,209.X 5. (1) 2. Model untuk kelompok status pemilik dan penggarap, dimana D_SPP = 1, D_SP dan D_SPGR = 0, maka model persamaannya adalah: Y SPP = -0,031-0,015.X 1-0,003.X 2 + 0,234.X 3 + 0,004.X 4-0,209.X 5.. (2) 3. Model untuk kelompok status penggarap, dimana D_SPGR = 1, D_SP dan D_SPP = 0, maka model persamaannya adalah: Y SPGR = 0,103-0,015.X 1-0,003.X 2 + 0,234.X 3 + 0,004.X 4-0,209.X 5.. (3) Dimana: Y SP Y SPP Y SPP Y SPGR X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 = Laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik = Laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik dan penggarap = Laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani pemilik dan penggarap = Laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah untuk kelompok petani penggarap = produktivitas padi = umur petani = luas lahan sawah yang dikuasai = umur saat menjadi petani mandiri = luas lahan milik Nilai konstanta sebesar 0,183 pada persamaan 1 menunjukkan rata-rata laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah petani pemilik adalah sebesar 0,263 ha/tahun jika tidak ada variabel X yang mempengaruhi. Nilai konstanta sebesar -0,031 pada persamaan 2 menunjukkan rata-rata laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah petani pemilik dan penggarap adalah sebesar -0,

163 ha/tahun jika tidak ada variabel X yang mempengaruhi. Nilai konstanta sebesar 0,103 pada persamaan 3 menunjukkan rata-rata laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah sebesar 0,103 ha/tahun jika tidak ada variabel X yang mempengaruhi. Produktivitas padi (X 1 ) memiliki koefisien regresi bernilai negatif, maka hubungan yang terjadi antara produktivitas padi dengan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah hubungan yang terbalik. Artinya setiap penambahan produktivitas padi akan menyebabkan penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah. Kejadian ini bisa dipahami karena ketika pengusahaan lahan sawah kecil akan berimplikasi terhadap pendapatan usahatani yang diperoleh pun kecil. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menutupi pengeluaran rumah tangga adalah dengan cara mencari pendapatan di luar usahatani, karena akses untuk untuk meningkatkan pengusahaan lahan pun sulit. Dengan demikian, ketika responden mengalami peningkatan produktivitas, maka petani akan cenderung memilih untuk mengurangi lahan sawahnya karena petani sudah merasa cukup sebab bertani padi hanya sebagai jaring pengaman keluarga (menjamin ketersediaan beras untuk konsumsi rumah tangga petani). Oleh karena itu, waktu yang tersedia karena pengurangan pengusahaan lahan dikompensasi dengan melakukan kegiatan di luar usahatani padi. Nilai koefisien regresi sebesar -0,015 menunjukkan penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan produktivitas padi sebesar 1 ton/ha. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan produktivitas padi sebesar 1 ton/ha, maka besarnya penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,015 ha/tahun. Umur petani (X 2 ) memiliki koefisien regresi bernilai negatif, maka hubungan yang terjadi antara umur petani dengan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah hubungan yang terbalik. Artinya setiap penambahan umur petani akan menyebabkan penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah. Nilai koefisien regresi sebesar -0,003 menunjukkan penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan umur petani sebesar 1 tahun. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan umur sebesar 1 tahun, maka besarnya penurunan laju 145

164 peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,003 ha/tahun. Hal ini disebabkan karena semakin tua umur petani, maka semakin tidak produktif petani dalam bekerja. Luas lahan sawah yang dikuasai (X 3 ) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,234 menunjukkan pertambahan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan luas lahan sawah yang dikuasai sebesar 1 ha/musim. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan luas lahan sawah yang dikuasai sebesar 1 ha/musim, maka besarnya pertambahan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,234 ha/musim. Umur saat menjadi petani mandiri (X 4 ) memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,004. Nilai tersebut menunjukkan pertambahan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan umur saat menjadi petani mandiri lebih muda 1 tahun. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan umur saat menjadi petani mandiri sebesar 1 tahun, maka besarnya pertambahan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,004 ha/tahun. Luas lahan milik (X 5 ) memiliki koefisien regresi bernilai negatif, maka hubungan yang terjadi antara luas lahan milik dengan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah hubungan yang terbalik. Artinya setiap penambahan luas lahan milik akan menyebabkan penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah. Nilai koefisien regresi sebesar -0,209 menunjukkan penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah jika terjadi penambahan luas lahan milik sebesar 1 ha/musim. Dengan demikian, jika petani mengalami penambahan luas lahan milik sebesar 1 ha/musim, maka besarnya penurunan laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah sebesar 0,209 ha/tahun. 146

165 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan nilai koefisien Gini, maka distribusi lahan berdasarkan, penguasaan, dan pengusahaan lahan di lokasi penelitian timpang. 2. Berdasarkan analisis pendapatan tunai, usahatani padi memiliki pendapatan usahatani yang positif. Akan tetapi karena luas lahan yang diusahakan relatif kecil, maka pendapatan yang diterima petani relatif kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari hari. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan petani dengan luas pengusahaan lahan sawah. Semakin besar pendapatan usahatani padi, maka luas pengusahaan lahan sawah akan semakin meningkat. Kelompok petani yang responsif dalam meningkatkan pengusahaan lahannya adalah kelompok petani pemilik dan penggarap. 4. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengusahaan lahan adalah status pengusahaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani. Berdasarkan analisis regresi menggunakan metode backward, maka ditemukan satu model yang fit (sig 0,000) menggambarkan hubungan antara pengusahaan lahan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan model tersebut, maka faktor-faktor yang mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah adalah status pengusahaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), laju peningkatan luas pengusahaan lahan, produktivitas padi, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, pendapatan usahatani, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, dan umur saat menjadi petani mandiri. Diantara semua faktor yang mempengaruhi tersebut, faktor yang 147

166 paling signifikan adalah luas lahan sawah yang dikuasai. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju peningkatan luas pengusahaan lahan sawah adalah status pengusahaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), produktivitas, umur petani, luas lahan sawah yang dikuasai, umur saat menjadi petani mandiri, dan luas lahan milik. Diantara semua faktor yang mempengaruhi tersebut, faktor yang paling signifikan adalah usia, luas lahan sawah yang dikuasai, dan umur saat menjadi petani mandiri. Saran 1. Upaya-upaya yang perlu dilakukan agar distribusi pengusahaan lahan tidak timpang dan semakin kecil adalah meningkatkan akses lahan untuk petani dan mencegah terjadi konversi lahan. Akses terhadap lahan dapat dipertahankan dengan cara menjaga loyalitas dan rasa saling percaya antara penggarap dan pemilik lahan. 2. Mengingat pendapatan yang diperoleh petani relatif kecil, maka penting bagi petani di lokasi penelitian untuk menerapkan teknologi budidaya dengan baik. Berdasarkan analisa tingkat penggunaan teknologi budidaya, maka hal yang perlu dilakukan petani agar produksi padinya meningkat adalah: (1) petani menggunakan pupuk sesuai anjuran, (2) melaksanakan pengendalian hayati sebagai upaya pencegahan hama dan penyakit pada tanaman padi, dan (3) menggunakan sistem legowo dalam usahatani padi. 3. Dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada petani penggarap, diperlukan regulasi atau kebijakan yang mengatur tentang besaran sewa garapan. Besaran sewa garapan yang diterapkan saat ini di lokasi penelitian dirasa masih memberatkan para petani. 4. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani, perlu adanya penciptaan iklim usaha di perdesaan agar petani memperoleh tambahan penghasilan di luas usahatani padi. 5. Mengingat sebagian besar petani tergolong pada kategori usia tua dan lanjut, maka diperlukan adanya upaya regenerasi petani dan pendidikan terhadap calon petani baru dan petani muda dalam rangka peningkatan 148

167 produksi. Selain itu diperlukan juga adanya kebijakan yang memberikan insentif bagi generasi muda untuk memasuki sektor pertanian. 149

168 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi Kota Sukabumi dalam Angka. Sukabumi: BPS Kota Sukabumi. [BPS] Badan Pusat Statistik Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Edisi 6 November Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai tahun.luas Area Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun Jakarta: Badan Pusat Statistik. Barlowe R Land Resource Economics, The Economics of Real Estate. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi Programa Penyuluh Pertanian Kecamatan Lembursitu Kota Sukabumi. Sukabumi: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi Rencana Kerja Penyuluh Pertanian (RKPP) THL-TBPP. Sukabumi: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. Disti CV Analisis pendapatan dan efisiensi produksi usahatani padi program pengelolaan tanaman terpadu dan sumberdaya terpadu di Kabupaten Subang [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Handayani DM Analisis profitabilitas dan pendapatan usahatani padi sawah Menurut Luas dan Status Kepemilikan Lahan di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hantari IA Analisis pendapatan dan produksi usahatani padi sawah lahan sempit di Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hernanto F Ilmu Usahatani. Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lokollo et al Dinamika Sosial Ekonomi Perdesaan: Analisis Perbandingan antar Sensus Pertanian. Mubyarto Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES. 150

169 Nazir Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Rusastra, Sudaryanto Dinamika Ekonomi Perdesaan dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Prosiding: Dinamika Ekonomi Perdesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian (Buku 1). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Saleh C, Zakaria A Struktur Penguasaan Tanah di Perdesaan Lampung. Jurnal Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan 1 : Sandi RN Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kabupaten Karawang [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Setiawan I Dinamika struktur dan kultur agraria petani pada berbagai zona agroekosistem di Kecamatan Solokanjeruk, Kecamatan Nagreg dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bandung: Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran. Soeharjo A, Patong D Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soekartawi, Dillon JL, Hardaker JB, Soeharjo A Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Perkembangan Petani Kecil. Jakarta : Penerbit Airlangga. Sugiarto Distribusi dan Kelembagaan Penguasaan Lahan di Perdesaan Provinsi NTB. Jurnal Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan 6 : Suharso P Tanah, Petani, Politik Perdesaan. Solo: Pondok Edukasi. Suhartini SH, Mintoro A Distribusi Pemilikan dan Penguasaan Lahan Pertanian di Perdesaan Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan 4 : Sumaryanto, Rusastra Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Petani. Prospektif Pembangunan Pertanian dan Perdesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y Hubungan Penguasaan Lahan dan Pendapatan Rumah Tangga di Perdesaan (Kasus di Propinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 151

170 Suratiyah K Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Susilowati SH, Suryani E Struktur Penguasaan Lahan di Perdesaan Jawa Tengah. Jurnal Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan 3 : Syukur M, Saptana, Erwidodo Struktur dan Kelembagaan Penguasaan Lahan pada Desa Lahan Sawah di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Struktur dan Dinamika Penguasaan Lahan 7 : Szal R, Robinson Measuring Income Inequality. Dalam Frank and Webb (Eds): Income Distribution and Growth in Less Developed Countries. Hal The Brookings Institution. Tjakrawiralaksana A Usahatani. Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wiradi G, Makali Penguasaan Tanah dan Kelembagaan dalam Kasryno (Ed.). Prospek Pembangunan Ekonomi Perdesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Wiradi G Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wiradi, Manning Dampak Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Struktur Penguasaan Lahan beberapa Desa di DAS Cimanuk. Jurnal Struktur dan Distribusi Penguasaan Lahan 1 :

171 Lampiran 1 Karakteristik Petani di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011 No. Nama Responden Umur Karakteristik Responden 1 Kandi 48 Petani Pemilik dan Penggarap Sewa 2 Turi 59 Petani Penggarap Sewa 3 Oban 55 Petani Penggarap Sewa 4 Atang 70 Petani Penggarap Sewa 5 Mamad 63 Petani Penggarap Sewa 6 Wiwih 43 Petani Pemilik dan Penggarap Sewa 7 Ganjar 55 Petani Pemilik 8 Tati 39 Petani Penggarap Sewa dan Pinjam 9 Aang 65 Petani Pemilik dan Penggarap Akad 10 Juri 60 Petani Penggarap Sewa 11 Ratnaningsih 49 Petani Pemilik 12 Odon 60 Petani Penggarap Sewa dan Pinjam 13 Rosnaeni 50 Petani Penggarap Pinjam 14 Idah 41 Petani Pemilik dan Penggarap Akad 15 Eman 65 Petani Penggarap Sewa 16 Fatah 60 Petani Penggarap Sewa 17 Irah 52 Petani Penggarap Sewa 18 Udin 62 Petani Pemilik dan Penggarap Sewa 19 H. Gandi 83 Petani Pemilik 20 Sarif 47 Petani Pemilik 21 Yayah 60 Petani Pemilik 22 Oleh 69 Petani Pemilik 23 Ejen 36 Petani Penggarap Pinjam 24 Uki 61 Petani Pemilik 25 Asep 50 Petani Pemilik dan Penggarap Sewa 26 Hendi 46 Petani Penggarap Sewa 27 Empud 45 Petani Pemilik dan Penggarap Sewa 153

172 28 Bibin 60 Petani Pemilik dan Penggarap Sewa 29 Anang 56 Petani Penggarap Sewa 30 Dudin 58 Petani Pemilik dan Penggarap Sewa 31 Otih 70 Petani Pemilik 32 Otang 47 Petani Penggarap Sewa 154

173 Lampiran 2 Analisis Regresi Hubungan Pengusahaan Lahan Sawah (Luas Pengusahaan Lahan Sawah) dengan Pendapatan Usahatani Padi Regression Variables Entered/Removed Model Variables Entered Variables Removed Method 1 X (Pendapatan usahatani padi), DSPGR, DSPP, DSP a. Enter a. All requested variables entered. Model R R Square Model Summary b Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson a a. Predictors: (Constant), X (Pendapatan usahatani padi), DSPGR, DSPP, DSP b. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah) ANOVA b Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression a Residual Total a. Predictors: (Constant), X (Pendapatan usahatani padi), DSPGR, DSPP, DSP b. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah) Coefficients a Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 1 (Constant) DSP DSPP DSPGR X a. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah 155

174 Coefficients a Collinearity Statistics Model Tolerance VIF 1 DSP DSPP DSPGR X a. Dependent Variable: Y 1 (Luas Pengusahaan Lahan Sawah Charts Lampiran 3 Analisi Regresi Hubungan Pengusahaan Lahan Sawah (Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah) dengan Pendapatan Usahatani Padi Regression Variables Entered/Removed Model Variables Entered Variables Removed Method 1 X (Pendapatan usahatani padi), DSPGR, DSPP, DSP a. Enter a. All requested variables entered. 156

175 Model R R Square Model Summary b Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson a a. Predictors: (Constant), X (Pendapatan usahatani padi), DSPGR, DSPP, DSP b. Dependent Variable: Y 2 ( Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah) ANOVA b Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression a Residual Total a. Predictors: (Constant), X (Pendapatan usahatani padi), DSPGR, DSPP, DSP b. Dependent Variable: Y 2 ( Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah) Model Coefficients a Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients B Std. Error Beta t Sig. 1 (Constant) DSP DSPP DSPGR X a. Dependent Variable: Y 2 ( Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah) Coefficients a Model Collinearity Statistics Tolerance VIF 1 DSP DSPP DSPGR X a. Dependent Variable: Y 2 (Laju Peningkatan Luas Pengusahaan Lahan Sawah Charts 157

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) SKRIPSI OCTIASARI H34070084 DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

X. ANALISA FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH

X. ANALISA FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH X. ANALISA FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH Pada uraian sebelumnya telah dibahas tentang hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi. Dalam kenyataannya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A

ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A ANALISIS USAHATANI PADI RAMAH LINGKUNGAN DAN PADI ANORGANIK (Kasus: Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: RIDWAN A14104684 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN

VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN VII. KERAGAAN DAN POLA DISTRIBUSI PENGUASAAN LAHAN Pola penguasaan lahan pertanian menggambarkan keadaan pemilikan dan pengusahaan faktor produksi utama dalam produksi pertanian. Keadaan pemilikan lahan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Usahatani Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp://www.BPS.go.id/ind/pdffiles/pdf [Diakses Tanggal 9 Juli 2011] BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Indonesia. Sektor pertanian yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

Lebih terperinci

VIII. ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PADI

VIII. ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PADI VIII. ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PADI 8.1. Rata Rata Produksi Padi Petani (return to land) Berdasarkan Gambar 8, diperoleh informasi bahwa rata-rata total produksi padi di lokasi penelitian adalah sebesar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada 47 Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada Abstrak Berdasarkan data resmi BPS, produksi beras tahun 2005 sebesar 31.669.630 ton dan permintaan sebesar 31.653.336 ton, sehingga tahun 2005 terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan sandang dan papan. Pangan sebagai kebutuhan pokok bagi kehidupan umat manusia merupakan penyedia

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam membentuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah memberikan kontribusi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Tahun Pertanian ** Pertanian. Tenaga Kerja (Orang)

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia Tahun Pertanian ** Pertanian. Tenaga Kerja (Orang) I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, dari jumlah penduduk tersebut sebagian bekerja dan menggantungkan sumber perekonomiannya

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR) ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR) Oleh PRIMA GANDHI A14104052 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan sumber devisa negara, pendorong pengembangan wilayah dan sekaligus

I. PENDAHULUAN. dan sumber devisa negara, pendorong pengembangan wilayah dan sekaligus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peran yang strategis dalam pembangunan perekonomian nasional diantaranya sebagai penyedia bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi,

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Lebih terperinci

ANALISIS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN BERAS DAN UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN DI KABUPATEN SAMOSIR SKRIPSI

ANALISIS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN BERAS DAN UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN DI KABUPATEN SAMOSIR SKRIPSI ANALISIS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN BERAS DAN UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN DI KABUPATEN SAMOSIR SKRIPSI Oleh : DEASY CH SAGALA 070304067 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) BAB II PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) Agung Prabowo, Hendriadi A, Hermanto, Yudhistira N, Agus Somantri, Nurjaman dan Zuziana S

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Subsektor hortikultura merupakan bagian dari sektor pertanian yang mempunyai peran penting dalam menunjang peningkatan perekonomian nasional dewasa ini. Subsektor ini

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) SKRIPSI VIRGITHA ISANDA AGUSTANIA H34050921 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM Oleh : Sumaryanto PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA (Studi Kasus pada Industri Kecil Olahan Carica di Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo) SKRIPSI SHINTA KARTIKA DEWI H34050442 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Menurut Dillon (2009), pertanian adalah sektor yang dapat memulihkan dan mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Peran terbesar sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang artinya masyarakat banyak yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sampai saat ini 95% masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian suatu daerah harus tercermin oleh kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara pertanian, dimana pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT Oleh: Mewa Arifin dan Yuni Marisa') Abstrak Membicarakan masalah kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, berarti membicarakan distribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A

ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT. Oleh NORA MERYANI A ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA KEDELAI DI KECAMATAN CIRANJANG, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT Oleh NORA MERYANI A 14105693 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dewasa ini salah satunya diprioritaskan pada bidang ketahanan pangan, sehingga pemerintah selalu berusaha untuk menerapkan kebijakan dalam peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT Oleh: Memed Gunawan dan Ikin Sadikin Abstrak Belakangan ini struktur perekonomian masyarakat pedesaan Jawa Barat telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan sawah memiliki manfaat sebagai media budidaya yang menghasilkan bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki manfaat bersifat fungsional

Lebih terperinci

HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS MAHASISWA. TERHADAP KETAHANAN PANGAN SERTA ALTERNATIF SOLUSI PEMECAHANNYA 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKMP-AI ( ) PKM-GT

HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS MAHASISWA. TERHADAP KETAHANAN PANGAN SERTA ALTERNATIF SOLUSI PEMECAHANNYA 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKMP-AI ( ) PKM-GT HALAMAN PENGESAHAN KARYA TULIS MAHASISWA 1. Judul Kegiatan :DAMPAK KONVERSI SAWAH IRIGASI TEKNIS TERHADAP KETAHANAN PANGAN SERTA ALTERNATIF SOLUSI PEMECAHANNYA 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKMP-AI ( ) PKM-GT

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI

ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI ANALISIS PENDAPATAN DAN MARGIN PEMASARAN PADI RAMAH LINGKUNGAN METODE SRI (System of Rice Intensification) (Kasus: Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang, Jawa-Barat) Oleh : MUHAMMAD UBAYDILLAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN PEMASARAN NENAS BOGOR Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor SKRIPSI ERIK LAKSAMANA SIREGAR H 34076059 DEPARTEMEN AGRIBIS SNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi Beras

Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi Beras ARTIKEL Tinjauan Spasial Produksi dan Konsumsi oleh Rumah Tangga Tahun 2007 Oleh: Slamet Sutomo RINGKASAN Ditinjau dari sisi produksi dan konsumsi secara total, produksi beras di Indonesia pada tahun 2007

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

IX. HUBUNGAN ANTARA PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

IX. HUBUNGAN ANTARA PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI IX. HUBUNGAN ANTARA PENGUSAHAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI Indikator yang relevan untuk melihat hubungan antara luas lahan dengan pendapatan adalah indikator luas pengusahaan lahan. Hal

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) ANALISIS USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH (Kasus : Kelompok Wanita Tani Hanjuang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Skripsi SRI ROSMAYANTI H 34076143 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah dan sumber daya lainnnya sangat berpotensi dan mendukung kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. tanah dan sumber daya lainnnya sangat berpotensi dan mendukung kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Di mana kondisi geografis yang berada di daerah tropis dengan iklim, tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan pada sektor pertanian. Di Indonesia sektor pertanian memiliki peranan besar dalam menunjang

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang terus tumbuh berimplikasi pada meningkatnya jumlah kebutuhan bahan pangan. Semakin berkurangnya luas lahan pertanian dan produksi petani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Oleh karena itu, semua elemen bangsa harus menjadikan kondisi tersebut sebagai titik

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) 74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81 Erizal Jamal et al. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN EKONOMI AGRIBISNIS NANAS (Kasus : Kecamatan Sipahutar, Kababupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara) Oleh : IRWAN PURMONO A14303081 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya

PENDAHULUAN. mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya PENDAHULUAN Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan-bahan yang mudah diubah

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani di daerah pedesaan dimana tempat mayoritas para petani menjalani kehidupannya sehari-hari,

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan memperluas keanekaragaman hasil pertanian. Hal ini berguna untuk memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

SKRIPSI MUTIARA VIANI SINAGA

SKRIPSI MUTIARA VIANI SINAGA ANALISIS KOMPARASI USAHATANI PADI SAWAH SISTEM TANAM BENIH LANGSUNG DAN SISTEM GERAKAN SERENTAK TANAM PADI DUA KALI SETAHUN KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR SKRIPSI MUTIARA VIANI SINAGA JURUSAN / SISTEM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya 1-1,5 ton/ha, sementara jumlah penduduk pada masa itu sekitar 90 jutaan sehingga produksi

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN

ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN ANALISIS MODERNITAS SIKAP KEWIRAUSAHAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERHASILAN UNIT USAHA KECIL TAHU SERASI BANDUNGAN (Studi Kasus Unit Usaha Kelompok Wanita Tani Damai, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan hal yang penting bagi siapapun manusia dan dimanapun ia berada. Kebutuhan manusia akan pangan harus dapat terpenuhi agar keberlansungan hidup manusia

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga sering disebut sebagai negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia

Lebih terperinci

Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Skala Kecil Di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang. B.

Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Skala Kecil Di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang. B. A. PENDAHULUAN Beberapa tahun belakangan ini Indonesia menghadapi masalah pangan yang serius. Kondisi ini diperkirakan masih akan kita hadapi beberapa tahun ke depan. Stok pangan masih terbatas dan sangat

Lebih terperinci