PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS"

Transkripsi

1 PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS MENGGUNAKAN TAMPONADE EPINEPHRINE DI RUANG INTENSIF CARE UNIT RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai Gelar Sarjana Keperawatan Oleh : Nuri Handayani NIM. S10032 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 i

2

3

4 SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nuri Handayani NIM : S10032 Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta maupun perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan dari Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kumudian hari terdapat pentimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi. Surakarta, Juni 2014 Yang membuat pernyataan, Nuri Handayani S iii

5 KATA PENGANTAR Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunianya serta hidayahnya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengalaman Perawat pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, Msi. selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta 2. Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Pembimbing Utama dan Ketua Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Ariyani, S.Kep,.Ns. M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Happy Indri Hapsari, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran saat ujian sidang skripsi. 5. Direktur Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian. iv

6 6. Bapak Joko, AMD.Kep selaku kepala ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta yang telah membantu dan mengarahkan peneliti dalam proses penelitian. 7. Seluruh partisipan yang telah berperan dalam penelitian ini dan telah berkenan untuk menjadi partisipan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8. Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah membantu penulis. 9. Bapak dan ibu yang tak pernah berhenti mendoakan penulis, menyediakan fasilitas dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada penulis. 10. Kakak dan adik- adik tercinta atas doa dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 11. Teman teman seperjuangan dan seangkatan yang tak pernah berhenti memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat. Surakarta, Juni 2014 Penulis v

7 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR SKEMA... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... ABSTRAK... i ii iii iv vi ix x xi xii xiii xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Keaslian Penelitian... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pengalaman Pengertian Perawat Konsep Epistaksis... 9 viii

8 Pengertian Etiologi Manifestasi Klinis Anatomi Hidung Patofisiologi Penatalaksanaan Pemeriksaan Penunjang Tamponade Anterior Indikasi Tampon Anterior Konsep Epinephrine Pengertian Indikasi Dosis Efek Damping BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Fokus Penelitian Desain Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Pengumpulan Data Cara Pengumpulan Data Alat Pengumpul Data Tahap Pengumpul Data viii

9 Keabsahan Data Analisa Data Validitas dan Reliabilitas Etika Penelitian DAFTAR PUSTAKA viii

10 DAFTAR TABEL Nomor Tabel Judul Tabel Halaman 1.1 Keaslian Penelitian 8 ix

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar Judul Gambar Halaman 1 Pembuluh darah di daerah septum nasi 12 2 Pembuluh darah di dinding lateral hidung 13 x

12 DAFTAR SKEMA Nomor Skema Judul Skema Halaman 3.1 Fokus Penelitian 22 xi

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : F-1 Usulan topik penelitian Lampiran 2 : F-2 Pengajuan persutujuan judul Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 : F-4 Pengajuan izin studi pendahuluan : Surat ijin studi pendahuluan : F-5 Lembar Oponent : F-6 Lembar Audience : F-7 Pengajuan Ijin Penelitian : Surat Ijin Penelitian : Surat pernyataan selesai penelitian Lampiran 10 : Persetujuan menjadi responden Lampiran 11 : Pedoman wawancara Lampiran 12 : Transkip wawancara Lampiran 13 : Kategori dan tema Lampiran 14 : Lembar konsultasi Lampiran 15 : Jadwal penelitian xii

14 BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA 2014 Nuri Handayani EXPERIENCES OF NURSES IN THE FIRST AIDS FOR EPISTAXIS MANAGEMENT BY USING EPINEPHRINE TAMPONADE AT THE INTENSIVE CARE UNIT OF PANTI WALUYO HOSPITAL OF SURAKARTA ABSTRACT Epistaxis is estimated to occur in 60% of people in the world during their life, and 6% of them are accompanied with nose bleeding and require medical treatments. The objective of this research is to investigate the experiences of nurses in the first aids for epistaxis management by using the epinephrine tamponade. This research used qualitative phenomenological research method. It was conducted at the ICU of Panti Waluyo Hospital of Surakarta.The population of the research was the nurses posted in the ICU whose the tenure is at least two years or who have ever administered epinephrine tamponade. The samples of the research consisted of three informants. They were taken by using the purposive sampling technique. The data of the research were gathered through in-depth. The result of the research reveals five themes, namely: experience to care, definition of epistaxis, cause of epistaxis, and function of epinephrine tamponade. Based on the result of the research, conclusions are drawn as follows. The experiences of nurses at the ICU are varied, namely: when the clients are recovered and discharged, the causes found are interesting. Epistaxis is the rupture of blood vessels in the nose. The causes of epistaxis are hypertension, polyp disorder, anterior and posterior trauma, and facial trauma existence. The first aids administered to the clients when having epistaxis are gauze tamponade and epinephrine tamponade. The drugs usually administered to the clients in addition to epinephrine are Vitamin K and kalnex. Their advantages are that they are cheap and always available at the ICU. Keywords: Experiences, nurses, epistaxis, and epinephrine tamponade References: 18 ( ) xiv

15 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 Nuri Handayani Pengalaman Perawat pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine di Ruang Intensif Care Unit Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta Abstrak Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. Populasi penelitian ini adalah perawat ICU dengan masa jabatan 2 tahun atau dan pernah melakukan tamponade epinephrine. Sampel penelitian ini dengan melibatkan 3 informan. Cara pengambilan sampel adalah menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview. Metode penelitian adalah kualitatif dengan fenomenologi. Tempat penelitian adalah di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan lima tema yaitu pengalaman perawat, pengertian epistaksis, penyebab epistaksis, penatalaksanaan epistaksis, fungsi tamponade epinephrine. Kesimpulan dari penelitian ini, pengalaman perawat di ruang ICU yang beragam yaitu apabila pasien pulang dengan sembuh, kasus yang ditemukan menarik. Epistaksis adalah pecahnya pembuluh darah di hidung serta disebut juga dengan mimisan. Penyebab epistaksis adalah hipertensi, gangguan polip, trauma anterior maupun posterior dan adanya trauma wajah. Pertolongan pertama pada pada saat terjadi epistaksis yaitu dengan tampon kassa dan tampon epinephrine. Sedangkan obat obat yang biasa digunakan selain tampon menggunakan epinephrine adalah vitamin K dan kalnex. Keuntungannya adalah harga ekonomis dan tersedia di ruang ICU. Kata Kunci : pengalaman, perawat, epistaksis, tamponade epinephrine Daftar Pustaka : 18 ( ) xiii

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah. Penanganan epistaksis dengan menekan ala nasi telah diperkenalkan sejak zaman Hipokrates (Nwaorgu dalam Budiman 2012). Epistaksis atau perdarahan hidung (mimisan) adalah perdarahan akut yang berasal dari cuping hidung, lubang hidung atau nasofaring. Epitaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat berhenti dengan sendirinya atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien itu dengan jalan menekan hidungnya (Ayu&Indah 2013). Epistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian telinga hidung dan tenggorokan (Wormald dikutip dalam Budiman 2011). Sebagian besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior 90-95%. Epistaksis anterior ini biasa terjadi spontan atau disebabkan trauma pada septum nasi (Wormald dikutip dalam Budiman 2011). Studi retrospektif, 45% dari pasien rawat inap untuk epistaksis memiliki gangguan sistemik dengan potensi untuk berkontribusi mimisan, termasuk kelainan genetik seperti hemofilia dan penggunaan obat antikoagulan, atau kanker hematologi. Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab lokal termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular, 1

17

18 2 iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainan hematologi, lingkungan (temperatur, kelembaban dan ketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagal organ (uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya hipertensi (Pope dalam Bidasari 2007). Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis (Nwaorgu dalam Yolazenia2012). Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis (WHO 2004). Suatu penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia tahun melaporkan bahwa 9% mengalami episode epistaksis sering. Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab perdarahan. Kebanyakan kasus epistaksis (80%-90%) merupakan idiopatik (Sari Pediatrik dalam Bidasari 2007). Penanganan pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit pasien. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis. Pemeriksaan fisik terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan. (Wormald dikutip dalam Budiman 2011) Prinsip utama penanggulangan epistaksis meliputi menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan

19 3 akut atau tidak. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit. Epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloro asetat 10%, elektrokauter, atau dengan laser. Penggunaan dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq. Pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior (Gifford dikutip dalam Budiman2011). Penanganan epistaksis pada pasien epistaksis berulang dengan rinosinusitis kronis, spina pada septum dan telangiektasis pada seorang pasien wanita umur 40 tahun awalnya dengan memencet hidung (ala nasi ke septum) selama 10 menit, fungsinya sebagai tampon pada pembuluh darah pada bagian anterior septum. Usaha ini awalnya berhasil, tapi sekitar 2 jam kemudian pasien kembali mengeluarkan darah. Evaluasi sumber perdarahan tidak jelas terlihat, dan pasien dipasang tampon anterior pada hidung kiri, perdarahan berhenti. Hal ini menunjukkan tampon anterior cukup efektif

20 4 untuk menghentikan perdarahan. Hussain dkk menemukan tampon anterior adalah prosedur yang efektif untuk menghentikan perdarahan pada 98,2% kasus. Tampon anterior harus dilapisi dengan antibiotika topikal, dan pasien juga diberi antibiotic sistemik selain untuk mencegah infeksi juga untuk mencegah toxic shock syndrome. Tampon anterior dipertahankan selama 2-3 hari sebelum dibuka, tergantung dari pertimbangan dokter, respon pasien, factor risiko, nilai koagulopati, dan beratnya perdarahan pada awalnya. Pembukaan tampon pasien ini dilakukan pada hari ketiga. Sebelum pembukaan tampon pasien mengeluh adanya perdarahan yang mengalir ketenggorok, hal ini menunjukkan adanya kemungkinan sumber perdarahan di belakang tampon yang tidak tercapai oleh tampon tersebut, dimana kita temukan adanya pelebaran pembuluh darah di belakang konka inferior (Mangunkusumo dikutip dalam Budiman 2011). Hasil wawancara yang dilakukan pada saat studi pendahuluan tanggal 12 Desember 2013 dengan Kepala Ruang ICU RS Panti Waluyo, bahwa kurang lebih 5 dari 13 orang perawat dengan masa kerja lebih dari 2 tahun pernah melakukan tamponade dengan menggunakan epinephrine pada pasien epistaksis berulang. Pendapat salah satu perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta, tamponade epinephrine dinilai sangat efektif pada saat pertolongan pertama pada pasien yang mengalami epistaksis berulang dan jika digunakan untuk penatalaksanaan berlanjut dinilai kurang efektif. Peran perawat pada saat penatalaksanaan epistaksis adalah menghentikan perdarahan pada saat pertolongan pertama dan untuk penatalaksanaan lebih

21 5 lanjut ditangani oleh dokter. Pasien yang pernah dijumpai pada pasien epistaksis dan dilakukan tamponade epinephrine rata rata dengan trauma di wajah. Perawat di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta menggunakan tamponade epineprine untuk mengatasi perdarahan berulang dengan alasan epinephrine sebagai vasokontriksi pada pembuluh darah, dan juga dengan harga yang ekonomis. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena setiap tahunnya perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta menangani kasus epistaksis yang disebabkan oleh berbagai trauma disekitar wajah atau di kepala. Hasil wawancara kasus epistaksis di ruang ICU rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta tercatat sekitar 5-6 % setiap tahunnya, dari berbagai kasus yang ada. Fenomena tersebut melatarbelakangi peneliti untuk meneliti pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine Rumusan Masalah Berdasarkan hasil wawancara pada saat melakukan studi pendahuluan didapatkan bahwa perawat ICU RS Panti Waluyo Surakarta pernah melakukan tamponade epinephrine saat penatalaksanaan epistaksis, sehingga penulis mengambil judul Pengalaman Perawat pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine.

22 TujuanPenelitian Tujuan umum Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1) Mengetahui pengalaman perawat dan tindakan pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. 2) Teridentifikasi tingkat keefektifan dari tamponade epinephrine dalam penatalaksanaan epistaksis Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : Rumah Sakit/ masyarakat 1) Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat ICU agar dapat mengaplikasikan dalam pertolongan pertama mengatasi epistaksis berulang serta terus meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang kompeten di bidangnya. 2) Sebagai bahan bacaan dan menambah pengetahuan bagi masyarakat tentang pentingnya mencegah perdarahan berulang pada epistaksis.

23 Institusi Pendidikan 1) Dapat dijadikan kepustakaan mengenai pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. 2) Tersedianya informasi bagi pengajar tentang pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine agar dapat dijadikan bahan untuk pembelajaran kegawatdaruratan Peneliti lain Peneliti lain dapat mengembangkan penelitan ini di lain tempat Peneliti Bertambahnya informasi dan pengalaman bagi peneliti di bidang kedaruratan 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penatalaksanaan epistaksis berulang dengan menggunakan tamponade epinephrine.

24 8 Tabel 1.1KeaslianPenelitian Resume Penelitian Sejenis yang Pernah dilakukan Nama Peneliti Budiman J Bestari, Yolazenia ( 2012 ) Nuri Handayani ( 2014 ) Judul Penelitian Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi Pengalaman Perawat Pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine Metode Deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional study. Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi Hasil Penelitian Penelitian Sekarang Gejala - sumbatan hidung pada deviasi septum dapat dievaluasi dengan pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan dengan spatula lidah, nasal inspiratory flow metry, nasal expiratory flow metry, rinomanometri, dan rinometri akustik. - Pengalaman Perawat Pada Pertolongan Pertama Penatalaksa naan Epistaksis Menggunak an Tamponade Epinephrine

25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENGERTIAN PENGALAMAN Pengalaman kata dasarnya alami yang artinya mengalami, melakoni, menempuh, menemui, mengarungi, menghadapi, menyeberangi, menanggung, mendapat, menyelami, mengenyam, menikmati, dan merasakan (Endarmoko, 2006) PENGERTIAN PERAWAT Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992 menyebutkan bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan KONSEP EPISTAKSIS Pengertian Epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis perdarahan spontan patologis yang sering. Biasanya terjadi sebagai erosi spontan salah satu pembuluh superfisial mukosa dekat dengan tepi septum hidung ( Callaham 1997 ) 9

26 Etiologi Epitaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum atau (kelainan sistemik ). Etiologi lokal epistaksis dapat berupa: a. Idiopatik ( 85 % kasus ), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja. b. Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial c. Iritasi, epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia udara panas pada mukosa hidung. d. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk. Etiologi sistemik epistaksis antara lain: a. Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti ateroklerosis, sirosis hepatis, sifilis dan nefritis kronis. b. Kelainan darah, misalnya leukemia, trombositopenia, dan hemofilia. c. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, mobili, demam tifoid.

27 11 d. Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan menopause. ( Soepardi et al ) Manifestasi Klinik Epistaksis 1) Darah yang berwarna merah cerah yang keluar dari lubang hidung, berasal dari hidung anterior 2) Darah yang berwarna merah gelap atau cerah dari bagian belakang tenggorokan, berasal dari hidung posterior (umumnya disalah artikan sebagai hemoptisis karena adanya ekspektorasi) 3) Pusing, dan sedikit sulit bernapas 4) Perembesan dibelakang septum nasal, ditelinga tengah dan di sudut mata 5) Hemoragi parah (berlangsung lebih dari 10 menit setelah ditekan) : hipotensi, denyut nadi cepat, dispnea, dan pucat, darah yang hilang bisa mencapai 1 L/jam pada orang dewasa Anatomi Hidung Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung luar berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung

28 12 bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum. Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu konka suprema, superior, media, dan inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior, media, dan inferior. Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.

29 13 Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung. ( Schlosser dalam Budiman 2011 ) Perdarahan Hidung Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan. Bagian depan dipendarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri tersebut merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna. Bagian bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina, merupakan cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri

30 14 labialis superior, dan arteri palatine mayor, yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach (Little s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial Persarafan Hidung Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n. V1). Bagian hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina. Ganglion sfenofalatina, slain memberikan persarafan sensoris, juga membaerikan persarafan vasomotor atau otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

31 15 Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. ( Schlosser dalam Budiman 2011 ) Patofisiologi Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : arteri alveolaris posterior superior, arteri palatina desenden, arteri infraorbitalis, arteri sfenopalatina, pterygoid canal dan arteri pharyngeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan

32 16 orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum. Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan little area berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di little area. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.

33 Penatalaksanaan Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. a. Menghentikan perdarahan Sumber perdarahan dicari dengan bantuan pengisap untuk membersihkan hidung dan alat bekuan darah kemudian tampon kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/ dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya dibagian anterior atau di bagian posterior( Soepardi 2002 ). a). Perdarahan anterior Tindakan sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior adalah dengan memasukkan tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin, kalau perlu dengan obat anestesi lokal kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi kearah septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti % atau dengan asam triklosetat 10 %. Dapat juga dipakai elektrokauter untuk kaustik itu.

34 18 b). Perdarahan posterior Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana. Pada tampon Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah benang di sisi lainnya. (Irma & Ayu Intan 2013) b. Mencegah komplikasi Komplikasi dapat terjadi akibat langsung dari epistaksis sendiri sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. (Soepardi 2002) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan : 1). pemeriksaan darah tepi lengkap 2). fungsi hemostasis 3). uji faal hati dan faal ginjal. 4). Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring. 5). CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.

35 19 Jika diperlukan pemeriksaan radiologi hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi. (Soepardi et al.2000 ) 2.4. TAMPONADE ANTERIOR Indikasi Tampon Anterior Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat diidentifikasi atau jika perdarahan menetap meskipun sudah di kauterisasi, pasang tampon anterior a. Tampon hidung Merocel dapat digunakan. Lumasi ujung tampon dengan lidokain atau antibiotik topikal dan masukkan alat sepanjang dasar rongga hidung. Perluasan dan tampon peradahan akan terjadi dengan dimasukkannya ml salin. b. Kasa xerofom selebar ½ inci ( diperlukan strip 72 inci ) juga dapat digunakan, menggunakan forsceps, jepit kasa sepanjang 4 atau 5 inci dan masukkan ke dalam rongga hidung sejauh mungkin, kemudian pegang kassa lain 4-5 inci dan buat lapisan di puncak. (Shah 2013)

36 KONSEP EPINEPRHINE Pengertian Epinephrine adalah obat yang digunakan untuk penyuntikan pembuluh darah dalam pengobatan hipersensitivitas akut. Aksi epinephrine menyerupai pengaruh stimulasi syaraf adrenergic Indikasi: Digunakan untuk mengobati anaphylaxis dan sepsis Dosis: mcg/menit infus intra vena 2. Tetapkan kadarnya untuk mengoptimalkan respon Efek Samping: 1. Efek Central Venous (palpitasi, tachycardia, kedinginan, hipertensi, hipotensi); Efek Central Nervus System ( kecemasan, kelelahan, gemetar, lemah, kepeningan, pusing ); Efek lainnya (berkeringat, hipersalivasi) 2. Overdosis atau pada subjek yang rentan: Cardiac arrhythmias, peningkatan BP (blood pressure) yang tajam.

37 Instruksi Khusus: 1. Hipovolemia, metabolic acidosis dan hipoxia atau hipercapnia harus ditangani terlebih dahulu sebelum pemberian dilakukan. 2. Hindari pada pasien dengan pheochromocytoma. 3. Gunakan dengan hati-hati pada pasien yang menderita arrhythmias atau tachycardia, Printzmetal's angina, gangguan thromboembolic, pasien dengan riwayat occlusive vascular disease, hipertensi, pada pasien yang lebih tua dan pasien pengidap DM ( Diabetes Mellitus ) (Neal 2006).

38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Fokus Penelitian Pengalaman perawat Pertolongan pertama pada penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine 3.2 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010) penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenali nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Sedangkan pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus (Sutopo 2006). Fenomenologi adalah menggambarkan riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya 22

39 23 dapat memahami tentang bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa di dalam kehidupan informan sehari harinya (Sutopo 2006). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi pertolongan pertama dalam penatalaksanaan epistaksis dengan mengunakan tamponade epinephrine di ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta sesuai dengan pengalaman perawat. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan kepada perawat ICU untuk mengungkapkan pengalaman mereka dalam pertolongan pertama pada epistaksis. 3.3 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat ditentukan benar-benar menggambarkan kondisi informan yang sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi informan dengan lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono & Anggraeni 2010) Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta terhadap perawat dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian serupa mengenai pengalaman

40 24 perawat dalam pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. Perawat yang pernah melakukan tamponade adalah perawat dengan masa jabatan 2 tahun atau lebih sesuai hasil studi pendahuluan, sehingga hal ini sangat membantu peneliti untuk mendapatkan informan yang sesuai Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu 1 bulan, dimulai pada bulan Februari bulan Maret Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam 2011). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian melalui purposive sampling. Purposive sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili sampel yang ada (Nursalam 2011). Saryono & Anggraeni (2010) konsep sampel dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang adekuat dan terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada yang akan diteliti. Penelitian fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah mengalami substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel tersebut pernah mengalami sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti. Penelitian kualitatif sampel diartikan sebagai partisipan / informan.

41 25 Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang pernah melakukan tamponade epinephrine dalam penatalaksanaan epistaksis. Pengambilan dan rekrutmen partisipan dilakukan dengan cara purposive sampling, yang mana penelitian mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris yang dihadapi. Kecenderungan peneliti untuk memilih informasinya berdasarkan posisi dengan akses terentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya menjadi sumber data yang akurat (Sutopo 2006). Fokus penelitian ini adalah perawat ICU dengan masa jabatan 2 tahun atau dan pernah melakukan tamponade epinephrine. Partisipan yang terpilih untuk mengikuti penelitian adalah individu yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1) Perawat di Ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta. 2) Pernah melakukan tindakan tamponade epinephrine dalam penatalaksanaan epistaksis. 3) Masa jabatan 2 tahun atau lebih Penentuan partisipan penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama karena penelitian ini berbentuk penggambaran terhadap pengalaman, sampel penelitian yang tidak terlalu besar akan sangat mendukung kedalaman hasil penelitian; kedua sampel penelitian dipilih secara purposive sampling sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan parameter penarikan partisipan yang terdiri dari latar, perilaku, peristiwa dan proses; ketiga penentuan jumlah

42 26 partisipan dianggap telah memadai pada saat informasi yang didapat telah mencapai saturasi ( Saryono & Anggraeni 2010 ). Perekrutan partisipan dimulai dengan mengidentifikasi nama nama partisipan yang didapatkan dengan wawancara langsung. Pendapat Saryono & Anggraeni (2010) bahwa fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan jumlah partisipan yang sedikit ( sebanyak 5 8 orang ). Jumlah sampel yang relatif kecil pada umumnya digunakan pada suatu penelitian kualitatif untuk mengeksplor atau menggali pengalaman yang diungkapkan sesuai perasaan subyek. Pertemuan dengan setiap partisipan dilakukan secara bertahap. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 3 orang, karena 3 dari 12 perawat ICU yang memenuhi sesuai dengan kriteria yang telah dibuat dan jawaban dari ketiga partisipan tersebut sudah mencapai saturasi Pengumpulan Data Saryono & Anggraeni (2010) dalam proses pengumpulan data penelitian kualitatif, manusia berfungsi sebagai instrumen utama penelitian. Meskipun demikian, pada pelaksanaannya peneliti dibantu oleh pedoman pengumpulan data.

43 Cara pengumpulan data Dalam penelitian kualitatif terdapat banyak cara yang dipakai untuk mengumpulkan data, cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pedoman menurut Saryono & Anggraeni (2010) : 1) Wawancara Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (In-depth interview). Wawancara mendalam (In-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. 2) Dokumen Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Penelitian ini mengambil sumber data dari dokumen SOP ICU yang bertujuan untuk mengetahui standar penatalaksanaan epistaksis. 3). Observasi Sutopo (2006) observasi dibagi menjadi dua yaitu observasi tak berperan dan observasi berperan. Observasi berperan meliputi

44 28 observasi berperan pasif, observasi berperan aktif, dan observasi berperan penuh (Sutopo 2006). Pada penelitian ini pengolahan data termasuk kedalam observasi berperan penuh. Jenis observasi ini diartikan bahwa peneliti memang memiliki peran dalam lokasi studinya, sehingga benar-benar terlibat dalam suatu kegiatan yang ditelitinya (Sutopo 2006). Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data mengenai hal hal yang dapat dinilai secara obyektif dari perawat, namun observasi bisa dilakukan ketika perawat menemui kasus epistaksis Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data penelitian terdiri dari : 1) Alat tulis. 2) Lembar catatan lapangan yang meliputi: nama, umur, alamat dan lama bekerja. 3) Lembar transkrip wawanca dan pertanyaan. 4) Tape recorder atau rekam suara

45 Tahap Pengumpulan Data 1) Tahap Orientasi Pengumpulan data biodata segera dilakukan setelah peneliti memperoleh izin dari Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Setelah menentukan partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian dan mendiskusikannya dengan kepala ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Kemudian peneliti bertemu langsung dengan partisipan sesuai dengan jadwal wawancara yang telah disepakati atau menghubungi lewat telepon untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, hak hak partisipan serta peran partisipan dalam penelitian. Setelah membina hubungan saling percaya, kemudian peneliti menanyakan kesediaan partisipan untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Jika partisipan bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti membuat perjanjian tempat dan waktu dilakukannya wawancara. Partisipan / informan menandatangani lembar persetujuan (informed consent) sebagai tanda bahwa partisipan bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.

46 30 2) Tahap Pelaksanaan Setelah peneliti membuat perjanjian dengan partisipan dan partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini, tindakan selanjutnya adalah wawancara mendalam dengan salah satu partisipan dan melakukan ujicoba penelitian pada partisipan tersebut. Ujicoba dilakukan setelah peneliti menghubungi partisipan dan melakukan kontrak waktu serta tempat. Peneliti memberikan pertanyaan kepada responden sesuai dengan pedoman wawancara yang telah dibuat pada saat persiapan, pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan jawaban partisipan. Setelah wawancara selesai, peneliti segera melakukan transkripsi hasil wawancara dan melakukan konsultasi dengan pembimbing tentang pertanyaan yang mungkin perlu untuk dikembangkan dan ditambahkan. Ujicoba pedoman wawancara juga melatih kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara mendalam untuk menggali pengalaman dalam penatalaksanaan epistaksis. Pedoman wawancara dibuat berdasarkan The World Helath Organization Quality of Life (WHOQOL) Bref (2004) yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, dengan berbagai macam pengembangan sesuai dengan keadaan partisipan.

47 31 Peneliti mulai melakukan pengambilan data kepada partisipan setelah selesai melakukan modifikasi pedoman wawancara hasil ujicoba dan melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing. Peneliti menemui partisipan yang datang sesuai dengan jadwal dinas atau menghubungi partisipan melalui telepon dan memberikan penjelasan mengenai penelitian selanjutnya. Peneliti menggunakan alat bantu perekaman wawancara. Setelah itu peneliti mulai melakukan pengumpulan data pada kunjungan yang pertama. Peneliti memulai proses pengambilan data dengan pertanyaan terbuka dan bersifat umum tentang kabar dan aktivitas sehari hari agar partisipan merasa diperhatikan dan akrab dengan peneliti. Wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara namun tidak bersifat kaku karena pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan proses yang belangsung selama wawancara, dengan tanpa meninggalkan landasan teori yang telah ditetapkan dalam penelitian. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan peneliti mendapatkan respon yang luas dari partisipan. Informasi yang disampaikan partisipan terbebas dari pengaruh orang lain, karena informasi tersebut diperoleh langsung dari sumbernya. Jumlah pertemuan antar peneliti dengan partisipan bervariasi antara dua hingga tiga kali pertemuan. Peneliti selalu menggali pertanyaan partisipan sehingga jika pada saat pertemuan pertama belum tercapai semua tujuan penelitian

48 32 maka peneliti dan partisipan membuat kesepakatan waktu dan tempat untuk pertemuan yang selanjutnya. Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil wawancara pertama telah dibuat dalam suatu transkrip data dan peneliti telah mengidentifikasi berbagai kemungkinan tema sementara dari berbagai pengalaman yang dideskripsikan para partisipan. Selama wawancara ini, partisipan diminta untuk mengkonfirmasi tema-tema yang sementara dihasilkan berhubungan dengan pengalaman mereka berdasarkan intepretasi data yang telah dibuat oleh peneliti. Pada kesempatan ini peneliti dapat membuat perbaikan atau koreksi jika terdapat berbagai kesenjangan dari data yang diperoleh pada wawancara pertama. Pada wawancara kedua ini juga penting dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada para partisipan melakukan verifikasi / konfirmasi, memperluas dan menambah deskripsi mereka dari pengalaman pengalaman mereka untuk lebih menambah keakuratan dari penelitian ini Analisa Data Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologi deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Back 2006), adapun langkah langkah analisa data adalah sebagai berikut :

49 Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman perawat sebagai partisipan yang diteliti yaitu mengenai pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine Peneliti mengumpulkan gambaran fenomena yang pernah terjadi pada partisipan berupa pengalaman perawat dalam penatalaksanaan epistaksis Peneliti membaca semua protokol atau transkrip untuk mendapatkan perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara berulang ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan pernyataan Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan ke dalam tema. 1) Merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protokol asli untuk memvalidasi 2) Memperhatikan perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain dan menghindari perbedaan diantara kelompok tema tersebut Peneliti mengintepretasikan hasil kedalam deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai pernyataan tegas dan diidentifikasi kembali.

50 Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir / verifikasi tema-tema dan peneliti tidak mendapatkan data tambahan baru selama verifikasi Validitas dan Reliabilitas Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan untuk peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006). Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi Focus Group Discusion jika memungkinkan semua dari partisipan dapat dikumpulkan dalam satu waktu, mengingat jadwal dinas masing-masing partisipan berbeda. Jika FGD tidak dapat dilakukan maka penelitian ini menggunakan triangulasi 1. Triangulasi Sumber Teknik ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data, peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang berbedabeda yang tersedia. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda, sehingga apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenaranya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber pada pembahasan penyebab epistaksis yang diungkapakan oleh partisipan 1 yaitu gangguan polip. Peneliti mengembalikan kembali kepada

51 35 partisipan pada pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan 1 bahwa penyebab epistaksis yaitu gangguan polip. 2. Triangulasi Metode Teknik triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Disini yang ditekankan adalah penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan fenomenologi, berdasarkan fenomena yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta mengenai penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine dan menggunakan teknik indepth interview sehingga peneliti dapat menggali lebih dalam informasi yang ingin diketahui serta mengembangkan pertanyaan sesuai dengan situasi dan kondisi ketiga partisipan. 3. Triangulasi Peneliti Triangulasi peneliti adalah hasil penelitian baik data ataupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Dari pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan dan bahkan sampai dengan simpulan-simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi

52 36 pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir penelitian. Penelitian ini merekomendasikan pada penelitian yang sudah ada yang didapat dari beberapa jurnal, salah satunya jurnal Bestari J Budiman, 2011 yang meneliti adakah hubungan epistaksis dengan hipertensi. Hasil wawancara pada tema penyebab epistaksis adanya faktor dari dalam yang sesuai pernyataan partisipan 1 bahwa penyebab epistaksis dari dalam atau faktor dari dalam dapat berupa hipertensi. 4. Triangulasi Teori Triangulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Pada triangulasi ini peneliti wajib memahami teori-teori yang digunakan dan keterkaitannya dengan permasalahan yang diteliti sehingga mampu menghasilkan simpulan yang lebih mantap, bisa dipertanggungjawabkan dan benar-benar memiliki makna yang mendalam serta bersifat multiperspektif. Peneliti juga dapat menggunakan satu teori khusus yang digunakan sebagai fokus utama dari kajiannya secara lebih mendalam daripada teori yang lain yang juga digunakan (Sutopo 2006) Tinjauan pustaka pada penelitian ini adalah dari berbagai sumber buku mengenai epistaksis dari Soepardi, Efiaty et al dan penatalaksanaan kegawatdaruratan dari Callaham, Michael L et al.

53 yang membahas mengenai teori sebagai landasan peneliti yang sudah dijelaskan di BAB II pada penelitian ini Etika Penelitian Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan responden, meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan (Polit & Hungler 2005). Etika pada penelitian ini antara lain : 1. Meminta izin kepada Direktur Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sekaligus memberikan pejelasan tentang maksud dan tujuan penelitian. 2. Menempatkan ketiga partisipan bukan sebagai objek melainkan orang yang sama derajatnya dengan peneliti. 3. Menghargai, menghormati dan patuh terhadap semua peraturan, norma dan nilai dari partisipan. 4. Memegang segala rahasia yang berkaitan dengan informasi yang diberikan. 5. Informasi tentang ketiga partisipan tidak dipublikasikan bila ketiga partisipan tidak menghendaki, termasuk nama ketiga partisipan tidak akan dicantumkan dalam laporan penelitian.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. LAPORAN KASUS RUMAH SAKIT UMUM YARSI II.1. Definisi Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). II.2. Etiologi Epistaksis dapat ditimbulkan

Lebih terperinci

PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA

PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA PENGALAMAN PERAWAT PADA PERTOLONGAN PERTAMA PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS MENGGUNAKAN TAMPONADE EPINEPHRINE DI RUANG INTENSIF CARE UNIT RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA ) 1) Program Studi S-1 Keperawatan

Lebih terperinci

TRI DARMASTO NIM. S11042

TRI DARMASTO NIM. S11042 PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA EPISTAKSIS TERHADAP PENGETAHUAN GURU DALAM PENANGANAN PERTAMA EPISTAKSIS PADA SISWA SDN KELURAHAN JATISARI SAMBI BOYOLALI SKRIPSI Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

EPISTAKSIS - HIDUNG BERDARAH - MIMISAN DEF. : PERDARAHAN MELALUI HIDUNG YANG ASALNYA DARI RONGGA HIDUNG ATAU DAERAH SEKITAR HIDUNG.

EPISTAKSIS - HIDUNG BERDARAH - MIMISAN DEF. : PERDARAHAN MELALUI HIDUNG YANG ASALNYA DARI RONGGA HIDUNG ATAU DAERAH SEKITAR HIDUNG. DEPT. THT FK-USU / RSUHAM EPISTAKSIS - HIDUNG BERDARAH - MIMISAN DEF. : PERDARAHAN MELALUI HIDUNG YANG ASALNYA DARI RONGGA HIDUNG ATAU DAERAH SEKITAR HIDUNG. ETIOLOGI 1. LOKAL A. TRAUMA TRAUMA RINGAN :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan mencegah keadaan bertambah buruk, cacat tubuh bahkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. tujuan mencegah keadaan bertambah buruk, cacat tubuh bahkan kematian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertolongan pertama merupakan suatu tindakan pertolongan ataupun bentuk perawatan yang diberikan secara cepat dan tepat terhadap seorang korban dengan tujuan mencegah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Epistaksis Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain yang

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Epistaksis

Penatalaksanaan Epistaksis 1 Penatalaksanaan Epistaksis Dr. HARI PURNAMA, SpTHT-KL RSUD. Kabupaten Bekasi Pendahuluan Epistaksis merupakan salah satu masalah kedaruratanmedik yang paling umum dijumpai, diperkirakan 60 % dari populasi

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Teori 1. Epistaksis a. Definisi Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung dapat berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI & PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS ANDALAS FAKULTAS KEDOKTERAN PADANG 2016 Konstributor

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dengan mempertimbangkan: pemahaman peneliti terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dengan mempertimbangkan: pemahaman peneliti terhadap BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Disain penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu suatu proses yang naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR PERBEDAAN KADAR ASAM URAT PADA PENDERITA HIPERTENSI DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN TANPA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAYIDIMAN MAGETAN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Angka kejadian penyakit talasemia di dunia berdasarkan data dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Penelitian kualitatif merupakan penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip),

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan dari sudut fenomenologis. Peneliti dari studi fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa

Lebih terperinci

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH Sepertiga tengah wajah dibentuk oleh sepuluh tulang, dimana tulang ini saling berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7 2.1 Tulang-tulang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN PADA BALITA N UMUR 19 BULAN DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DAN DIARE CAIR AKUT DI RSUD SUKOHARJO

ASUHAN KEBIDANAN PADA BALITA N UMUR 19 BULAN DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DAN DIARE CAIR AKUT DI RSUD SUKOHARJO ASUHAN KEBIDANAN PADA BALITA N UMUR 19 BULAN DENGAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DAN DIARE CAIR AKUT DI RSUD SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Ujian Akhir Program

Lebih terperinci

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI LANIRA ZARIMA N. H1A 008 038 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKAN RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipilih adalah metode penelittian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi merupakan suatu pendekatan yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini dipilih karena lebih sensitif dan adaptif terhadap peran dan berbagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian kualitatif menurut Herdiansyah (2010) adalah penelitian ilmiah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian kualitatif menurut Herdiansyah (2010) adalah penelitian ilmiah 28 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Herdiansyah (2010) adalah penelitian ilmiah yang

Lebih terperinci

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah satu penyakit THT, Sinusitis adalah peradangan pada membran

Lebih terperinci

PENELITIAN. IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN PENYEBAB GAGAL GINJAL KRONIK DI RUANG HEMODIALISA RSUD Dr HARDJONO PONOROGO

PENELITIAN. IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN PENYEBAB GAGAL GINJAL KRONIK DI RUANG HEMODIALISA RSUD Dr HARDJONO PONOROGO PENELITIAN IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN PENYEBAB GAGAL GINJAL KRONIK DI RUANG HEMODIALISA RSUD Dr HARDJONO PONOROGO OLEH : RENDI FEBRIYANTO NIM: 11612035 PRODI D III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

Kelompok Umur. Frekuensi Umur Responden Guru di Narada National Plus School Jakarta. Umur Frekuensi (Orang) Persentase (%) tahun 26 77,52

Kelompok Umur. Frekuensi Umur Responden Guru di Narada National Plus School Jakarta. Umur Frekuensi (Orang) Persentase (%) tahun 26 77,52 Frequency Kelompok Umur Frekuensi Umur Responden Guru di Narada National Plus School Jakarta Umur Frekuensi (Orang) Persentase (%) 20 30 tahun 26 77,52 > 30 tahun 14 22,48 Jumlah 40 100 Histogram 30 25

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Mengenal Penyakit Kelainan Darah Mengenal Penyakit Kelainan Darah Ilustrasi penyakit kelainan darah Anemia sel sabit merupakan penyakit kelainan darah yang serius. Disebut sel sabit karena bentuk sel darah merah menyerupai bulan sabit.

Lebih terperinci

ANGKA KEMATIAN PASIEN PNEUMONIA DI ICU DAN. HCU RSUP dr. KARIADI

ANGKA KEMATIAN PASIEN PNEUMONIA DI ICU DAN. HCU RSUP dr. KARIADI ANGKA KEMATIAN PASIEN PNEUMONIA DI ICU DAN HCU RSUP dr. KARIADI LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil penelitian Karya Tulis Ilmiah mahasiswa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Alur Pikir Penelitian SDM PELAYANAN KESEHATAN Jenis pelayanan kesehatan Pengelolaan biaya Kesehatan WPS Mekanisme rujukan Gambar 3.1 Kerangka Konsep Alur pikir penelitian

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN BAYI BALITA SAKIT AN. A UMUR 3 TAHUN DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT III DI RSUD SUKOHARJO

ASUHAN KEBIDANAN BAYI BALITA SAKIT AN. A UMUR 3 TAHUN DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT III DI RSUD SUKOHARJO ASUHAN KEBIDANAN BAYI BALITA SAKIT AN. A UMUR 3 TAHUN DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE DERAJAT III DI RSUD SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan ujian akhir Program Kompetensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura. Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Normalnya, rongga pleura hanya

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bells Palsy adalah kelumpuhan atau kerusakan pada nervus facialis VII. Gejala tampak pada wajah, jika berbicara atau berekspresi maka salah satu sudut wajah tidak ada

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN IBU NIFAS PADA NY. D P 2 A 0 UMUR 22 TAHUN DENGAN ANEMIA SEDANG DI RSUD SURAKARTA

ASUHAN KEBIDANAN IBU NIFAS PADA NY. D P 2 A 0 UMUR 22 TAHUN DENGAN ANEMIA SEDANG DI RSUD SURAKARTA ASUHAN KEBIDANAN IBU NIFAS PADA NY. D P 2 A 0 UMUR 22 TAHUN DENGAN ANEMIA SEDANG DI RSUD SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Ujian Akhir Program Kompetensi Bidan di

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH SLOW-STROKE BACK MASSAGE

SKRIPSI PENGARUH SLOW-STROKE BACK MASSAGE SKRIPSI PENGARUH SLOW-STROKE BACK MASSAGE DENGAN MINYAK ESENSIAL YLANG-YLANG (Cananga odorata) TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI Studi Ini Dilakukan di PSTW Jara Mara Pati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain penelitian Penelitian kualitatif, yaitu pendekatan induktif untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam mengidentifikasi

Lebih terperinci

Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS. Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS)

Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS. Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS) 1 Pengampu : DR.Dr.Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L.(K), FICS Judul Mata kuliah : Sistem Trauma dan kegawatdaruratan (3 SKS) Standar Kompentensi : Area kompentensi 5 : Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Kompentetensi

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan ujian akhir Program. Kompetensi Bidan di Program Studi Diploma III Kebidanan

KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan ujian akhir Program. Kompetensi Bidan di Program Studi Diploma III Kebidanan ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA NY. U G 2 P 1 A 0 UMUR 36 TAHUN HAMIL 38 +6 MINGGU DENGAN AKSELERASI ATAS INDIKASI PREEKLAMSIA BERAT DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rumah sakit. Yang ingin ditemukan adalah pengalaman. anaknya dirawat di rumah sakit, dengan kata lain

BAB III METODE PENELITIAN. rumah sakit. Yang ingin ditemukan adalah pengalaman. anaknya dirawat di rumah sakit, dengan kata lain BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian Penelitian ini berorientasi pada pengalaman, yaitu pengalaman kecemasan orangtua pada saat anak dirawat di rumah sakit. Yang ingin ditemukan adalah pengalaman

Lebih terperinci

Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya

Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya Abstrak Tindakan ekstraksi gigi merupakan suatu tindakan yang sehari-hari kita lakukan sebagai dokter gigi. Walaupun demikian tidak jarang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Pengambilan data yang dilakukan secara retrospektif melalui seluruh

Lebih terperinci

HUBUNGAN KADAR GULA DARAH DENGAN KECEMASAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA

HUBUNGAN KADAR GULA DARAH DENGAN KECEMASAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA HUBUNGAN KADAR GULA DARAH DENGAN KECEMASAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Keperawatan Oleh: NAMA :Twenty

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan seorang dokter gigi untuk mengenali anatomi normal rongga mulut, sehingga jika ditemukan

Lebih terperinci

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil TONSILEKTOMI 1. Definisi Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa meninggalkan trauma yang berarti pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

Pedoman Penyusunan Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek

Pedoman Penyusunan Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek Pedoman Penyusunan Lembar Penjelasan kepada Calon Subyek Calon subyek dapat berasal dari masyarakat (penelitian komunitas) atau pasien (penelitian klinis). Lembar penjelasan harus cukup jelas dan mudah

Lebih terperinci

VENTRIKEL SEPTAL DEFECT

VENTRIKEL SEPTAL DEFECT VENTRIKEL SEPTAL DEFECT 1. Defenisi Suatu keadaan abnormal yaitu adanya pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan 2. Patofisiologi Adanya defek ventrikel, menyebabkan tekanan ventrikel kiri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur os nasal merupakan fraktur paling sering ditemui pada trauma muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior wajah merupakan faktor

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH. PENGETAHUAN PASIEN TYPHOID ABDOMINALIS TENTANG DIET TYPHOID ABDOMINALIS di Rumah sakit Kabupaten Ponorogo

KARYA TULIS ILMIAH. PENGETAHUAN PASIEN TYPHOID ABDOMINALIS TENTANG DIET TYPHOID ABDOMINALIS di Rumah sakit Kabupaten Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN PASIEN TYPHOID ABDOMINALIS TENTANG DIET TYPHOID ABDOMINALIS di Rumah sakit Kabupaten Ponorogo Oleh: SITI ROKAYAH NIM: 11612092 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

JUMLAH KEMATIAN PASIEN DI RUANG PERAWATAN INTENSIF BERDASARKAN KRITERIA PRIORITAS MASUK RSUP DR KARIADI PERIODE JULI - DESEMBER 2014

JUMLAH KEMATIAN PASIEN DI RUANG PERAWATAN INTENSIF BERDASARKAN KRITERIA PRIORITAS MASUK RSUP DR KARIADI PERIODE JULI - DESEMBER 2014 JUMLAH KEMATIAN PASIEN DI RUANG PERAWATAN INTENSIF BERDASARKAN KRITERIA PRIORITAS MASUK RSUP DR KARIADI PERIODE JULI - DESEMBER 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat

Lebih terperinci

ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014

ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014 ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014 Hemoptisis atau batuk darah merupakan darah atau dahak yang bercampur darah dan di batukkan dari saluran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu pendekatan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif digunakan untuk menggali persepsi, ide, atau gagasan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANEMIA DENGAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA PUTRI DI SMK MURNI 1 SURAKARTA

HUBUNGAN ANEMIA DENGAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA PUTRI DI SMK MURNI 1 SURAKARTA HUBUNGAN ANEMIA DENGAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA PUTRI DI SMK MURNI 1 SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan Oleh : Theresia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik BPS (2010), diketahui jumlah penduduk indonesia mencapai 237 juta jiwa lebih, setelah merdeka hingga sampai tahun 2010 telah dilakukan enam

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA PENGALAMAN PASIEN DIABETES MELITUS LANJUT USIA DALAM KEPATUHAN DAN MENJALANI SELF CARE TERHADAP TERAPI HIPOGLIKEMI ORAL DAN INSULIN TESIS MARIA THERESIA ARIE LILYANA NPM. 1206303310

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA NY. H G 1 P 0 A 0 UMUR 22 TAHUN DENGAN KALA 1 LAMA DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA NY. H G 1 P 0 A 0 UMUR 22 TAHUN DENGAN KALA 1 LAMA DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA NY. H G 1 P 0 A 0 UMUR 22 TAHUN DENGAN KALA 1 LAMA DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan ujian akhir Program Kompetensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015 Diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai sekumpulan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik

Lebih terperinci

ALASAN PASIEN MEMILIH TERAPI PIJAT DALAM PERAWATAN STROKE DI KECAMATAN GUNUNGSITOLI

ALASAN PASIEN MEMILIH TERAPI PIJAT DALAM PERAWATAN STROKE DI KECAMATAN GUNUNGSITOLI ALASAN PASIEN MEMILIH TERAPI PIJAT DALAM PERAWATAN STROKE DI KECAMATAN GUNUNGSITOLI SKRIPSI Oleh Kalvin Waasaro Lombu 101101028 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 PRAKATA Puji dan syukur

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA Ny. K G 2 P 1 A 0 DENGAN RETENSIO PLASENTA DISERTAI SYOK HIPOVOLEMIK RINGAN DAN ANEMIA RINGAN DI RSUD SURAKARTA

ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA Ny. K G 2 P 1 A 0 DENGAN RETENSIO PLASENTA DISERTAI SYOK HIPOVOLEMIK RINGAN DAN ANEMIA RINGAN DI RSUD SURAKARTA ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA Ny. K G 2 P 1 A 0 DENGAN RETENSIO PLASENTA DISERTAI SYOK HIPOVOLEMIK RINGAN DAN ANEMIA RINGAN DI RSUD SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir

Lebih terperinci

SKRIPSI HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN TEKANAN DARAH TINGGI DI POSYANDU LANSIA DESA TRIYAGAN MOJOLABAN SUKOHARJO

SKRIPSI HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN TEKANAN DARAH TINGGI DI POSYANDU LANSIA DESA TRIYAGAN MOJOLABAN SUKOHARJO SKRIPSI HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN TEKANAN DARAH TINGGI DI POSYANDU LANSIA DESA TRIYAGAN MOJOLABAN SUKOHARJO Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran Diajukan

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN TENTANG KOMPLIKASI AKUT PADA PASIEN DIABETES MELLITUS. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr.

KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN TENTANG KOMPLIKASI AKUT PADA PASIEN DIABETES MELLITUS. Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. KARYA TULIS ILMIAH PENGETAHUAN TENTANG KOMPLIKASI AKUT PADA PASIEN DIABETES MELLITUS Di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Hardjono Ponorogo OLEH : EKA SEPTIANA DEWI NIM: 11612017 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014 ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE Evan Anggalimanto, 2015 Pembimbing 1 : Dani, dr., M.Kes Pembimbing 2 : dr Rokihyati.Sp.P.D

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH PUSKESMAS II KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS

KARAKTERISTIK PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH PUSKESMAS II KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS KARAKTERISTIK PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH PUSKESMAS II KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mencapai Derajat Sarjana Oleh: BERNANDHA ARDHAN SADHEWA 1211020014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia lanjut merupakan tahap akhir kehidupan manusia. Seseorang pada tahap ini ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh (Nugroho, 2007). Semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pasien penerima bantuan iuran. secara langsung maupun tidak langsung di Rumah sakit.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pasien penerima bantuan iuran. secara langsung maupun tidak langsung di Rumah sakit. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PASIEN PENERIMA BANTUAN IURAN 2.1.1.Pengertian pasien penerima bantuan iuran Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit menyebutkan bahwa pasien

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 52 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan deskriptif korelasional yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena dua

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012 ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012 Dwi Nur Pratiwi Sunardi. 2013. Pembimbing I : Dedeh Supantini, dr.,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran darah otak. Terdapat dua macam stroke yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Titik berat dari penelitian yang dilakukan yaitu pada permasalahan kecemasan

BAB III METODE PENELITIAN. Titik berat dari penelitian yang dilakukan yaitu pada permasalahan kecemasan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang ingin menggambarkan tentang suatu fenomena yang terjadi pada objek penelitian. Titik berat

Lebih terperinci

PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU

PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU 1 PENGARUH SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP NYERI KAKI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi agar dapat mencapai suatu keseimbangan atau suatu keadaan

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA NY S G3P2A0 HAMIL

ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA NY S G3P2A0 HAMIL HALAMAN PERSETUJUAN ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA NY S G 3 P 2 A 0 HAMIL 9 MINGGU DENGANABORTUS INCOMPLETUS DAN ANEMIA SEDANG DI BANGSAL BOUGENVILE RSUD SUKOHARJO KARYA TULIS ILMIAH Telah Disetujui Oleh

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN ABORTUS SPONTAN DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DI RSUD DR MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ANDREAS PETER PATAR B. S. G0010018 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PERAWATAN PAYUDARA DAN MASTITIS PADA MASA NIFAS DI RSUD DR PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2013

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PERAWATAN PAYUDARA DAN MASTITIS PADA MASA NIFAS DI RSUD DR PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2013 GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PERAWATAN PAYUDARA DAN MASTITIS PADA MASA NIFAS DI RSUD DR PIRNGADI KOTA MEDAN TAHUN 2013 SKRIPSI Oleh RANLY HASIR HARAHAP NIM : 121121090 FAKULTAS KEPERAWATAN 2014 HALAMAN

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN. pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

BAB III METODA PENELITIAN. pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang 35 BAB III METODA PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA NY.H G 1 P 0 A 0 UMUR 33 TAHUN HAMIL MINGGU DENGAN HIPERTENSI KRONIK DI RSUD SURAKARTA

ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA NY.H G 1 P 0 A 0 UMUR 33 TAHUN HAMIL MINGGU DENGAN HIPERTENSI KRONIK DI RSUD SURAKARTA ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA NY.H G 1 P 0 A 0 UMUR 33 TAHUN HAMIL 12 +3 MINGGU DENGAN HIPERTENSI KRONIK DI RSUD SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan ujian akhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana penelitian yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana penelitian yang 38 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek, seperti perilaku, persepsi,

Lebih terperinci

ASUHAN KEBIDANAN BAYI BARU LAHIR PADA BAYI NY. U UMUR 30 MENIT HIPOTERMIA SEDANG DENGAN RIWAYAT ASFIKSIA SEDANG DI RUANG PERINATOLOGI RSUD KARANGANYAR

ASUHAN KEBIDANAN BAYI BARU LAHIR PADA BAYI NY. U UMUR 30 MENIT HIPOTERMIA SEDANG DENGAN RIWAYAT ASFIKSIA SEDANG DI RUANG PERINATOLOGI RSUD KARANGANYAR ASUHAN KEBIDANAN BAYI BARU LAHIR PADA BAYI NY. U UMUR 30 MENIT HIPOTERMIA SEDANG DENGAN RIWAYAT ASFIKSIA SEDANG DI RUANG PERINATOLOGI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP IBU TENTANG KADARZI (KELUARGA SADAR GIZI) DENGAN STATUS GIZI BALITA DI DESA KARANGSARI, KECAMATAN KEBUMEN SKRIPSI

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP IBU TENTANG KADARZI (KELUARGA SADAR GIZI) DENGAN STATUS GIZI BALITA DI DESA KARANGSARI, KECAMATAN KEBUMEN SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP IBU TENTANG KADARZI (KELUARGA SADAR GIZI) DENGAN STATUS GIZI BALITA DI DESA KARANGSARI, KECAMATAN KEBUMEN SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi 2.1.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DECOMCORDIS KIRI DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DECOMCORDIS KIRI DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DECOMCORDIS KIRI DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) Oleh: RYANDEAZ CANDRAW NIM : 20120660075 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PERILAKU PASIEN HEMODIALISIS DALAM MENGONTROL CAIRAN TUBUH. Di Ruang Hemodialisis RSUD Dr. Harjono Ponorogo

KARYA TULIS ILMIAH PERILAKU PASIEN HEMODIALISIS DALAM MENGONTROL CAIRAN TUBUH. Di Ruang Hemodialisis RSUD Dr. Harjono Ponorogo KARYA TULIS ILMIAH PERILAKU PASIEN HEMODIALISIS DALAM MENGONTROL CAIRAN TUBUH Di Ruang Hemodialisis RSUD Dr. Harjono Ponorogo Oleh: WAHYU WIJAYANTI NIM: 13612558 PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini meneliti tentang fenomena perilaku menyimpang di kalangan pelajar SMA Negeri 8 Surakarta, dengan mengambil lokasi

Lebih terperinci