PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI MARIA LITA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI MARIA LITA"

Transkripsi

1 PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI MARIA LITA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR Oleh MARIA LITA D Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 3 September 2009 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Ir. Hj. Komariah, MSi Dr. Ir. Kartiarso, MSc. Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Ketua Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M. Agr Sc

3 PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR MARIA LITA Dl Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

4 RINGKASAN MARIA LITA. D Produktivitas Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Skripsi. Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, MSi. Pembimbing Anggota: Dr. Ir. Kartiarso, MSc. Kerbau rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas usaha peternakan yang potensial dalam hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak sapi (Cockrill, 1974). Kerbau mempunyai persentase karkas yang relatif tinggi yaitu 40-47% (Kristianto, 2006). Hal ini merupakan peluang dalam menunjang pemenuhan kebutuhan daging, namun produktivitasnya dari tahun ke tahun semakin menurun (Dinas Peternakan, 2007). Penelitian yang dilaksanakan di kelompok peternakan kerbau rawa Teluk Ridan Desa Pulau Harapan, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara pada bulan Februari sampai Mei 2009 ini bertujuan untuk mengkaji produktivitas kerbau rawa di Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara. Data produktivitas ditinjau dari aspek produksi dan reproduksi. Aspek produksi diteliti menggunakan 16 ekor kerbau rawa yang terdiri atas pejantan, induk, anak jantan dan anak betina yang masing-masing empat ekor. Bobot badan rata-rata anak kerbau umur 6-24 bulan adalah 201,58±81,27 kg dan dewasa umur 3-10 tahun adalah 372,66±95,25 kg. Aspek reproduksi diketahui dengan melakukan wawancara, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: perbandingan jantan terhadap betina 1:4, waktu dan lama berahi serta panjang siklus berahi 2,6 tahun, 8 hari, dan 18,5 hari. Berahi dan konsepsi pertama rata-rata terjadi pada umur 2,8 tahun dengan lama kebuntingan 1 tahun. Angka kelahiran dan calf crop kerbau yaitu 75% dan 67%. Perbedaan antara angka kelahiran dan calf crop disebabkan oleh adanya kematian anak (mortalitas) sebesar 11% pada umur prasapih yaitu rata-rata 1,7 bulan. Service per conception (S/C) dan angka kebuntingan tidak diketahui karena kerbau di Muara Muntai tidak menggunakan inseminasi buatan (IB) dan kawin alam tidak terkontrol oleh peternak. Prospek pengembangan kerbau di Muara Muntai dianalisis dengan menggunakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats (SWOT) yang ditinjau dari aspek internal dan eksternal. Aspek internal meliputi segi ternak, lahan, sumber daya alam, tenaga kerja, kelembagaan dan sistem pemeliharaan sedangkan aspek eksternal meliputi iklim, permintaan, harga, persaingan, sosial budaya serta ekonomi masyarakat. Rumusan strategi pengembangan usaha peternakan berdasarkan hasil analisis SWOT yaitu menekan tingkat kematian anak (mortalitas), peningkatan produktivitas hijauan makanan ternak (HMT) yang berkualitas tinggi dan berkesinambungan, meningkatkan bobot potong ternak kerbau, perbaikan aspek reproduksi, dan menetapkan peraturan daerah tentang pelarangan pengeluaran dan pemotongan bibit ternak kerbau. Kata-kata kunci: kerbau rawa dan produktivitas

5 ABSTRACT Productivity of Swamp Buffalo in Muara Muntai Subdistric, Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan Lita M., Komariah and Kartiarso The purpose of this reseach was to investigate productivity of swamp buffalo in Pulau Harapan Village. The reseach was conducted from February to May 2009 in Muara Muntai Subdistric, Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan. The number of observation were 16 buffaloes (bull, dam, male and female calves 4 each). The results were as follow: the ratio between male and female was 1:4; first oestrus was at 2.6 years of age with the average duration of heat about 8 days and the oestrous cycle about 18.5 days. The first conception occured at 2.8 years with the gestation period about I year. Birth rate and calf crop were relatively high: 75% and 67%. The difference of birth rate and calf crop caused mortality about 11% at 1.7 months of age. Service per conception and conception rate were not known because the buffalo does not use artificial insemination and natural mating was not controlled by breeder. An average body weight of calves at 0 to 24 months were ±81.27 kgs and adult buffaloes at 3-10 years were ±95.25 kgs. The development prospect of buffalo in Muara Muntai was analysed with SWOT from internal and external aspects. Internal aspect include livestock land natural resource, man power, institution, and maintenance system, whereas external aspect include climate, meat demand, price, rivalry, sociocultural, and socioeconomy. The strategies formula of development livestock based on the result of SWOT analysis are reduced mortality, increasing productivity of forage with high quality, increasing harvest weight, repairing reproduction aspect, and deciding prohibition order disimissal and slaughtering breed of bufallo. Keywords: swamp buffalo and productivity

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Mei 1987 di Kelurahan Jahab, Kecamatan Tenggarong Kutai Kartanegara. Penulis merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Marthen Barrung dan Ibu Lina Rante. Pendidikan dasar ditempuh di SDN 034 Jahab pada tahun ( ). Penulis menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama pada tahun 2002 di SLTPN 3 Loa Kulu filial Jahab, kemudian dilanjutkan ke SMU Negeri 2 Tenggarong dan lulus pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) pada tahun Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen llmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor sistem mayor minor tahun Selama perkuliahan di IPB Penulis aktif di organisasi dan kegiatan kemahasiswaan yaitu UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB Penulis

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunia-nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Produktivitas Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur''. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Produktivitas ternak kerbau dapat ditinjau dari segi reproduksi dan produksi. Rendahnya populasi merupakan indikator rendahnya produktivitas ternak. Produktivitas yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai kendala dalam manajemen pemeliharaan, bibit (breeding), dan pakan (feeding), sehingga perlu dilakukan kajian mengenai produktivitas dan analisis usaha peternakan perlu dilakukan secara mendalam dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan peternakan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangannya. Tak ada gading yang tak retak dan manusia penuh dengan kelemahan, begitupun dengan skripsi ini yang masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar skripsi ini tidak hanya sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dan kasih karunia- Nya kepada kita semua. Bogor, September 2009 Penulis

8 DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Kerbau Rawa... 3 Produktivitas Ternak... 4 Reproduksi... 5 Pubertas... 5 Siklus Berahi dan Lama Berahi... 6 Umur Kawin Pertama... 6 Service per Conception... 7 Angka Kebuntingan... 7 Lama Bunting... 8 Calf Crop... 8 Berahi setelah Kelahiran... 8 Interval Dikawinkan Pertama setelah Beranak... 9 Selang Beranak (Calving Interval)... 9 Parameter Tubuh... 9 METODE Lokasi dan Waktu Materi Analisis Data Peubah Prosedur HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Topografi i ii iii iv v vi vii viii

9 Keadaan Iklim Populasi dan Kepemilikan Kerbau Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian Keadaan Ternak Kerbau Tatalaksana Budidaya Ternak Kerbau Pemeliharaan Ternak Perkandangan Peralatan Pakan Tenaga Kerja Penanganan Kesehatan Pemasaran Ternak Produktivitas Ternak Kerbau Reproduksi Ternak Kerbau Produktvitas Ternak Kerbau Analisis SWOT Usaha Ternak Kerbau Faktor Internal Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness) Faktor Eksternal Peluang (Opportunities) Ancaman (Threats) Alternatif Strategi Implementasi Strategi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 47

10 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara Jumlah Populasi Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai Sebaran Umur Peternak Kerbau di Desa Pulau Harapan Profil Peternak Kerbau Rawa di Desa Pulau Harapan Jadwal Kegiatan Harian Beternak Kerbau di Desa Pulau Harapan Kandungan Nutrisi Beberapa Hijauan Makanan Ternak (HMT) Karakteristik Reproduksi Ternak Kerbau di Desa Pulau Harapan Produksi Kerbau Nilai Rataan Ukuran Tubuh Kerbau Muara Muntai Matriks Analisis SWOT... 34

11 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kerbau Rawa dalam Kalang Kerbau Turun dari Kalang (a); Kerbau Istirahat (b) Penandaan dengan Ear Notching Kalang (a); Sekat-sekat dalam Kalang (b) Rumput Kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees) Cut and Carry (a); Pakan Hijauan dalam Kalang (b)... 25

12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Lokasi Kecamatan Muara Muntai Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara Produksi Daging Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara Total Pemotongan Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara Konsumsi Daging di Kabupaten Kutai Kartanegara Inventarisasi Potensi Lahan Sektor Peternakan Kutai Kartanegara Struktur Populasi Ternak Kerbau di Indonesia Kebutuhan Daging di Indonesia Hasil Analisis Nutrien Hijauan Kerbau... 55

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau rawa (Bubalus bubalis Linn.) merupakan salah satu komoditas peternakan yang potensial dalarn hal penyediaan daging karena pada kondisi pakan berkualitas rendah, mampu mencerna serat kasar lebih baik dari ternak sapi (Cockrill, 1974). Kerbau juga mempunyai persentase karkas yang relatif tinggi yaitu 40-47% (Kristianto, 2006). Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah satu daerah yang memiliki kerbau rawa yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan. Menurut Dinas Peternakan (2007) populasinya dari tahun ke tahun tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan bahkan menurun yaitu ekor (2005), ekor (2006) dan ekor (2007), sedangkan konsumsi daging kerbau sebanyak kg (Dinas Peternakan Kutai Kartanegara, 2008), sehingga perlu dilakukan berbagai cara untuk meningkatkan populasi ternak kerbau tersebut. Beberapa faktor penyebab rendahnya populasi kerbau di Indonesia pada umumnya adalah keterbatasan bibit unggul, mutu pakan rendah, perkawinan silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut. Tahun 2002 konsumsi daging per kapita per tahun sebesar 5,75 kg (sekitar 16 g/kapita/hari) atau setara dengan jumlah protein sebanyak 4,6 g/kapita/hari, sedangkan kebutuhan protein hewani pada manusia pria dewasa sebanyak 56 g/hari, dan pada wanita sebesar 44 g/hari, dengan rata-rata kebutuhan protein hewani per hari sebesar 50 g/hari yang merupakan jumlah yang dianjurkan oleh WHO. Hal ini tampak bahwa bangsa Indonesia masih jauh tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2008 adalah 226,7 juta dan kebutuhan daging, yaitu: daging sapi ton, daging ayam ton, daging domba ton, daging kambing ton, dan daging kerbau ton. Pertambahan penduduk akan meningkatkan permintaan daging. Kebutuhan daging khususnya daging kerbau akan meningkat pada tahun 2009 ( ton) dan tahun 2010 ( ton) dan populasi yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah ekor (2009) dan ekor (2010) (Deptan, 2008). Kesenjangan yang

14 terjadi antara penyediaan dengan permintaan kebutuhan daging menyebabkan harga daging semakin naik 24-37% per tahun (Miskiyah dan Usmiati, 2006). Hal ini merupakan peluang yang besar untuk meningkatkan jumlah populasi ternak kerbau. Pertumbuhan penduduk, pendapatan dan kesadaran mengenai pentingnya pangan berkualitas merupakan penyebab dilakukannya impor sapi beserta daging sapi dan komponen lainnya dalam rangka pemenuhan konsumsi daging. Jumlah sapi impor tiap tahunnya mencapai ekor atau 20 persen dari total sapi Indonesia, sedangkan konsumsi juga terus mengalami peningkatan (Sadad, 2009). Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi. Menurut Diwyanto dan Handiwirawan (2006), kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembang biak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. Penggolongan daging kerbau hasil pemotongan di PT Kariyana Gita Utama, berdasarkan kualitas karkas, yaitu: kualitas 1 (kelas 1) sebanyak 41,717 kg (33,13%); kualitas II (kelas II) sebanyak 67,595 kg (53,68%); dan kualitas III (kelas III) sebanyak 16,595 kg (13,19%) (Miskiyah dan Usmiati, 2006). Hal ini mendukung pengembangan ternak kerbau untuk memenuhi kebutuhan daging baik tingkat daerah maupun nasional sehingga angka impor daging dapat diturunkan. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui produktivitas kerbau rawa dan perkembangan populasinya di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan melihat performan produksi dan repoduksinya. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi awal tentang produktivitas kerbau rawa di Kutai Kartanegara dan dasar kebijakan pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan sumber daya yang telah ada untuk pengembangan peternakan daerah. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi akan potensi daerah Kutai Kartanegara sebagai pendidikan dan keperluan usaha di bidang peternakan khususnya kerbau rawa.

15 TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water bufallo yang ada pada saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua tipe yaitu kerbau rawa (swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Klasifikasi ternak kerbau (Storer et al., 1971) sebagai berikut. Kingdom : Animalia Kelas : Mamalia Sub-kelas : Ungulata Ordo : Artiodactyla Sub-ordo : Ruminansia Famili : Bovidae Genus : Bubalus Spesies : Bubalus bubalis Linn. Kerbau (Bubalus bubalis Linn.) adalah ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan utara tropika (Deptan, 2008). Kerbau ditinjau dari habitatnya, digolongkan dalam dua tipe, yaitu: swamp bufallo dan river bufallo. Swamp buffalo (kerbau rawa) tipe habitatnya adalah area daerah rawa yang tempat berkubangnya di lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam yang dasarnya keras. Kerbau sungai umumnya tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe penghasil daging (Fahimuddin, 1975). Indonesia mempunyai berbagai bangsa kerbau yang karena lama terpisah dari tempat asalnya kemudian beradaptasi dengan lingkungan setempat dan diberi nama sesuai dengan nama tempat seperti Kerbau Pampangan (Pampangan/Sumsel), Kerbau

16 Binanga (Tapsel/Sumut), Kerbau rawa (di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Belang Tana Toraja (Sulsel), Kerbau Sumbawa (NTB), Kerbau Sumba (NTT), Kerbau Moa (Maluku) dan lain-lain yang sebenarnya termasuk dalam bangsa kerbau lumpur (swamp buffalo) (Talib, 2008). Kerbau rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak lebih liar dibandingkan dengan kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang berbadan pendek, besar, bertanduk panjang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat, dan biasanya berwarna abuabu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki. Warna yang lebih terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher. Kerbau rawa tidak pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Mason, 1974). Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm. Menurut Chantalakhana (1981), kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki tinggi rata-rata cm untuk kerbau jantan dan cm untuk kerbau betina. Kerbau rawa mempunyai kemampuan berenang jauh serta menyelam cukup dalam di dalam air. Cara kerbau dewasa berenang adalah kedua kaki belakangnya bertumpu di tanah dan mendorong tubuhnya ke depan, sementara kaki depannya digunakan untuk mengayuh atau mendayung. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab kedua kaki depan kerbau rawa punya perototan yang lebih kekar dibandingkan kaki belakang (Dilaga, 1987). Produktivitas Ternak Produktivitas ternak ditinjau dari dinamika populasi diartikan sebagai perkembangan populasi ternak dalam periode waktu tertentu (umumnya satu tahun) dan sering dinyatakan dalam persentase (%), apabila dibandingkan dengan populasi ternak secara keseluruhan (Basuki, 1998). Produktivitas kerbau rawa di Indonesia pada umumnya rendah yang disebabkan oleh beberapa kendala, antara lain: peranan kerbau pada sistem usaha tani tradisional, pengusahaan lahan yang kurang ekonomis, kurangnya modal, sangat terbatasnya bibit unggul, kualitas pakan yang rendah, kurangnya pengetahuan petani terhadap produksi kerbau. Kendala-kendala tersebut

17 dapat diminimalisasi dengan program jangka panjang terutama dalam bidang reproduksi dan pemuliaan ternak kerbau (Dwiyanto dan Subandryo, 1995). Produktivitas ternak potong dipengaruhi oleh struktur populasi ternak, natural increase (angka pertambahan alami), angka panen (calf crop), mortalitas sesudah lepas sapih dan masa aktivitas reproduksi (melahirkan) bagi induk (Basuki, 1998). Reproduksi Daya reproduksi didefinisikan sebagai kemampuan seekor ternak untuk menghasilkan anak selama hidupnya. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi pula. Laju peningkatan populasi ternak akan menjadi lebih cepat bila efisiensi reproduksinya lebih baik dan rendahnya angka gangguan reproduksi. Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh lima hal, yaitu: l) angka kebuntingan (conception rate), 2) jarak antar melahirkan (calving interval), 3) jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), 4) angka perkawinan per kebuntingan (service per conception), dan 5) angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto, 1995). Efisiensi proses reproduksi pada water buffalo berhubungan erat dengan jumlah faktor yang dikontrol oleh heriditas dan lingkungan. Kendala reproduksi diantaranya adalah lambatnya angka pertumbuhan, keterlambatan pubertas, musim kawin, tingginya umur beranak pertama, panjangnya calving interval, dan lain-lain. Hal yang menjadi masalah utama dari beternak kerbau (Fahimuddin, 1975). Menurut Cockrill (1974), kerbau rawa mampu menghasilkan anak ekor selama hidupnya dan dapat hidup sampai 25 tahun. Pubertas Pubertas atau dewasa kelamin dapat didefinisikan sebagai umur atau waktu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi yang normal dan sempurna yang masih akan tercapai kemudian. Pubertas pada hewan jantan ditandai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma di samping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus

18 dan ovulasi. Estrus dan ovulasi pertama disertai oleh kenaikan ukuran dan berat organ reproduksi secara cepat (Toelihere, 1981). Pubertas terjadi karena dipengaruhi oleh faktor hewannya diantaranya, yaitu: umur, bobot badan, ras dan genetik. Beberapa faktor yang juga sangat berpengaruh ialah faktor lingkungan yaitu: suhu musim dan iklim. Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Pubertas lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Peningkatan genetik dapat terjadi lebih cepat karena interval generasi berkurang, bila dilakukan seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., l99l). Hasil dari penelitian yang dilakukan di Kalimantan Selatan oleh Lendhanie (2005) mengatakan bahwa umur melahirkan pertama pada kerbau rawa yaitu 3-4 tahun sehingga diperkirakan konsepsi pertama terjadi pada umur 2-3 tahun meskipun umur pubertas kerbau rawa tidak diketahui dengan pasti. Umur konsepsi pertama ini dapat dijadikan patokan sebagai umur dewasa kelamin dengan asumsi lama kebuntingan selama 12 bulan. Siklus Berahi dan Lama Berahi Berahi adalah saat hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi berikutnya disebut satu siklus berahi, jika berahi yang pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka berahi yang pertama itu akan disusul dengan berahi kedua (Partodihardjo, 1980). Lama berahi berkisar antara waktu penerimaan pertama sampai penolakan terakhir (McDonald, 1977). Menurut Mongkopunya (1980) lama berahi kerbau rawa adalah 32 jam. Kerbau rawa Thailand memiliki siklus berahi 2l hari, sedangkan di Philipina siklus berahi kerbau rawa selama 20 hari (Guzman, 1980). Gejala berahi tidak muncul disebabkan oleh temperatur yang tinggi pada kondisi arid dan semiarid serta lama berahi menjadi pendek (dari 11,9 jam menjadi 6,1 jam) (Cockrill, 1974). Umur Kawin Pertama Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan (dewasa kelamin dan dewasa tubuh) untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai (Toelihere, 1981). Umur kerbau betina pada konsepsi pertama ber-

19 beda-beda tergantung pada manajemen pemeliharaan, penggunaan pakan, dan genetik. Umur kawin pertama kerbau rawa di Malaysia adalah rata-rata 28 bulan atau 2,3 tahun (Fahimuddin, 1975). Menurut hasil penelitian Lendhanie (2005), ternak kerbau betina di Kalimantan Selatan baru berahi pertama setelah berumur 3 tahun atau lebih lama dibanding sapi. Service per Conception (S/C) Service per conception adalah penilaian atau perhitungan jumlah perkawinan (service) inseminasi buatan (IB) atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0. Nilai S/C makin rendah maka makin tinggi kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut, tetapi sebaliknya makin tinggi nilai S/C, maka makin rendah kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut (Toelihere, l98l). Betina dara yang beranak pertama selalu membutuhkan service per conception yang lebih tinggi daripada betina yang lebih tua (Fahimuddin, I975). Angka Kebuntingan Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi atau kawin pertama baik pada sapi dara maupun pada sapi laktasi. Angka kebuntingan (CR) ditentukan oleh tiga faktor yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Angka kebuntingan ditentukan berdasarkan hasil diagnosa palpasi per rektal pada hari setelah inseminasi (Toelihere, 1981) dan dihitung berdasarkan persamaan berikut: Menurut Fahimuddin (1975), conception rate dipengaruhi oleh musim kawin, umur pejantan dan betina, tingkat nutrisi, dan lain-lain. Nilai CR menurut Cockrill (1974) adalah 63% dan CR untuk sapi lebih tinggi daripada kerbau. Lama Bunting Periode kebuntingan diukur sebagai jumlah hari antara waktu kawin sampai kelahiran anak karena ketepatan waktu fertilisasi tidak diketahui. Faktor yang mempengaruhi lama kebuntingan adalah jenis kelamin keturunan umur induk dan yang

20 lebih luas yaitu musim kelahiran dan kondisi lingkungan. Kebuntingan anak jenis kelamin jantan pada spesies mamalia umumnya sedikit lebih lama daripada betina dan bunting pertama selalu lebih singkat daripada kebuntingan selanjutnya (Fahimuddin, 1975). Lama bunting adalah suatu aspek yang mempengaruhi selang kelahiran. Menurut Guzman (1980), kerbau rawa memiliki lama bunting berkisar antara hari, Mongkopunya (1980) menyatakan bahwa lama bunting kerbau rawa adalah 336 hari, dan menurut Toelihere (1981), rata-rata periode kebuntingan adalah hari dan selanjutnya dikatakan bahwa perbedaan lama kebuntingan bisa disebabkan oleh manajemen, pakan dan iklim lingkungan. Calf Crop Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti dan jika diinginkan angka calf crop yang tinggi maka harus diperhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit (Talib, I988). Rata-rata calf crop kerbau di Indonesia sangat rendah yaitu 33%. Berahi setelah Melahirkan Fase kelahiran atau partus akan terjadi apabila masa kebuntingan telah mencukupi. Organ reproduksi, terutama uterus akan mengalami proses penyembuhan setelah peristiwa kelahiran yaitu kembali keukuran semula pada saat tidak bunting. Proses ini disebut dengan istilah involusi uterus. Berahi kembali akan terjadi setelah involusi uterus selesai. Proses berahi setalah melahirkan pada tiap individu berbedabeda bergantung kepada lamanya proses involusi uterus. Guzman (1980) menyatakan bahwa pada kerbau rawa berahi kembali setelah melahirkan adalah 35 hari. Kerbau seperti halnya dengan sapi bahwa apabila dalam pengelolaan pasca melahirkan induk dihadapkan pada pakan yang kurang, lingkungan yang tidak serasi, sanitasi kandang yang kurang baik atau kondisi lain yang tidak mendukung maka pada induk akan terjadi gangguan dalam proses reproduksi selanjutnya (Hardjopranjoto, 1991). Interval Dikawinkan Pertama setelah Beranak Interval perkawinan setelah beranak menentukan panjang interval kelahiran. Interval dikawinkan pertama setelah beranak adalah interval dari induk partus/beranak sampai kawin kembali (service periode) dan lamanya bergantung pada

21 estrus postpartum dan konsepsi aktual yang membutuhkan perkawinan satu kali, dua kali, atau lebih. Berahi postpartum merupakan komponen dasar dari service period yang sangat bervariasi baik dari faktor fisik maupun psikologi sehingga menunjukkan besarnya variasi berdasarkan keturunan atau tipe dan lingkungan (Fahimuddin, 1975). Kerbau akan kembali estrus 40 hari setelah beranak berdasarkan National Research Council (1981). Selang Beranak (Calving Interval) Selang beranak adalah jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya. Calving interval dipengaruhi oleh daya reproduksi dan ditentukan oleh lamanya masa kosong serta angka perkawinan per kebuntingan. Siklus reproduksi akan diulang kembali sampai pada kebuntingan berikutnya setelah kerbau mengalami berahi kembali dan melahirkan. Panjang calving interval sangat bervariasi pada kerbau rawa bergantung kepada semua karakteristik reproduksi. Menurut Guzman (1980), selang kelahiran kerbau rawa berkisar antara l-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Calving interval lebih banyak diatur oleh faktor nongenetik yaitu ada kesem-patan menurunkannya dengan efisiensi manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan yang tepat (Fahimuddin, 1975). Parameter Tubuh Informasi tentang ukuran tubuh kerbau hanya terdapat sedikit dibandingkan dengan ternak sapi yang lebih populer, padahal ukuran tubuh ini penting dalam manajemen produksi ternak. Pengukuran parameter tubuh sering digunakan untuk estimasi produksi, misalnya untuk pendugaan bobot badan (Saleh, 1982). Parameter tubuh yang diukur meliputi panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, dan tinggi pinggul. Bobot badan pada umumnya mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat berbeda satu sama lainnya secara bebas, korelasinya dapat disebut positif apabila peningkatan satu sifat penyebab sifat lain juga meningkat. Menurut Diwyanto (1982), komponen tubuh yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan. Williamson dan Payne (1986), pemakaian ukuran lingkar dada panjang badan dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat. Nilai korelasi tertinggi diperoleh dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya

22 (Aisiyah, 2000), oleh karena itu, lingkar dada dapat digunakan sebagai kriteria seleksi dan memilih calon bibit. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2009 di Desa Pulau Harapan, Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Materi Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua macam pita ukur (seng dan kain) dan borang kuisioner (di lampiran) sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah kerbau rawa (swamp buffalo) dan peternak kerbau rawa. Analisis Data Data yang diperoleh melalui kuisioner, ditabulasi dan dianaliasis secara deskriptif. Strategi pengembangan usaha peternakan dianalisis dengan analisis SWOT. Informasi dan data dianalisis berdasarkan lingkup internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Alternatif strategi ditentukan berdasarkan pasangan faktor internal dan eksternal dan sebagai implementasi strategi, diambil yang paling prioritas. Data pengukuran panjang badan dan lingkar dada kerbau yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan analisa kuantitatif. Metoda yang digunakan untuk menduga bobot badan ternak kerbau adalah regresi linear berganda yang meliputi lingkar dada (cm) dan panjang badan (cm) (Putra, 1985). Log Y = B0 + Bl Log Xl + B2 Log X2 Keterangan: Y : bobot badan ternak (kg) X1 : lingkar dada (cm) X2 : panjang badan (cm) B0 : -3,686 B1 : 1,937

23 B2 : 0,902

24 Peubah Peubah yang diamati adalah aspek produksi dan reproduksi, untuk reproduksi adalah rasio jantan dan betina (data primer), umur pubertas, siklus berahi dan lama berahi, umur kawin pertama, service per conception (S/C), angka kebuntingan, lama bunting, calf crop, berahi setelah kelahiran, interval dikawinkan pertama setelah beranak, dan selang beranak (calving interval) (data sekunder). Pengukuran bagianbagian tubuh untuk estimasi bobot badan sebagai indikator produksi didasarkan pada metode McNitt (1983). Ukuran morfologi yang dilakukan meliputi: l. Panjang badan, diukur dari tonjolan bahu (humerus) sampai tonjolan tulang duduk (tuber ischi) dengan menggunakan tongkat ukur. 2. Lingkar dada, diukur melingkar bagian dada tepat di belakang siku kaki depan tegak lurus terhadap sumbu dengan menggunakan pita ukur. Prosedur Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan terhadap peternak aktif dengan metode purposive sampling. Responden dipilih secara sengaja berdasarkan kesediaan peternak untuk diwawancarai dengan penekanan pada kekayaan informasi yang dimiliki dan relevansinya dengan kajian. Sampel yang diambil sebanyak 10 orang. Data sekunder diperoleh dari Dinas Peternakan dan instansi terkait dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi dan teknik kuesioner. Pengukuran panjang badan dan lingkar dada kerbau dengan mengambil sampel sebanyak 16 ekor yang terdiri atas pejantan, induk, anak jantan dan anak betina masing-masing 4 ekor. Pengambilan jumlah sampel dipengaruhi oleh faktor teknis.

25 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Topografi Kecamatan Muara Muntai dengan ibukotanya Muara Muntai terdiri dari 13 desa definitif yang dikelilingi oleh danau, sungai dan rawa yang luas, yaitu: Danau Jempang dan Danau Melintang, Sungai Mahakam serta Rawa Panjang, Rawa Berobos dan Rawa Letang. Desa-desa yang ada di Muara Muntai yaitu: Perian, Muara Leka, Muara Aloh, Jantur, Batuq, Muara Muntai Ulu, Muara Muntai llir, Kayu Batu, Jantur Selatan, Tanjung Harapan, Pulau Harapan, Leka II dan Jantur Baru. Jumlah penduduk berdasarkan data statistik tahun 2006 adalah jiwa dengan KK yang terdiri atas laki-laki jiwa dan wanita jiwa. Batas-batas wilayah Muara Muntai yaitu: di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Melintang dan Kecamatan Muara Wis, di sebelah Selatan berbatasan dengan Pegunungan Meratus dan Kabupaten Pasir, di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Penyinggahan dan Kabupaten Kutai Barat serta di sebelah Timur berbatasan dengan S. P. T. Rimba Ayu dan Kecamatan Kota Bangun (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997). Luas wilayah Muara Muntai yaitu 92,860 ha yang terdiri dari 82,550 ha daratan dan 10,310 ha perairan yang didominasi oleh rawa-rawa. Luas wilayah berdasarkan ketinggian dari permukaan laut yaitu 7-25 m dpl seluas 43,365 ha, m dpl seluas 27,141 ha, dan m dpl seluas 17,351 ha. Tipe daerah kawasan terbagi atas dua kelompok berdasarkan ciri umum dengan jenis dan keadaan tanahnya yaitu kawasan permukiman transmigrasi (jenis tanah rata-rata: podsolik merah kuning, tekstur: lempung terpasir, dan konsistensi: sedang) dan kawasan tepian sungai (jenis tanah rata-rata: pasir kuarsa, tekstur: berpasir kasar, dan konsistensi: ringan). Topografinya sebagian besar datar sedikit bergelombang dan berbukit serta terdiri atas rawa dan lembah. Kemiringan tanah berkisar antara l%-60% (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997). Wilayah Pulau Harapan merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Rebaq Rinding. Luas Desa Pulau Harapan adalah 5x10 km 2 dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 323 KK dan jumlah penduduk jiwa. Desa Pulau Harapan di sebelah

26 Utara berbatasan dengan Desa Muara Muntai Ulu dan Desa Rebaq Rinding di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Muara Muntai Ulu dan Desa Muara Muntai Ilir, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Muara Aloh, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Batuq, Desa Jantur, dan Desa Jantur Baru. Desa Pulau Harapan sebagian besar terdiri atas rawa dan sebagian kecil pegunungan (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997). Keadaan Iklim Muara Muntai ditinjau dari letak wilayah yang masih berada di bawah garis khatulistiwa dengan iklim tropis basah yang terletak antara 116,22 0 BT dan 0,20 0 LS dan terletak pada ketinggian di atas permukaan laut. Suhu rata-rata 31 0 C, dengan suhu tertinggi 35 0 C dan suhu terendah 24 o C, sedangkan suhu umum adalah 33 0 C pada siang hari dan 22 0 C pada malam hari. Menurut Fahimuddin (1975), zona nyaman untuk kerbau berkisar antara 15,5-21,0 0 C, jika suhu udara lebih dari 24 0 C kerbau sudah mengalami stres dan batas kritis bagi mekanisme termoregulasi 36,50 0 C. Kerbau di Muara Muntai tetap bertahan dan berkembangbiak dengan baik karena telah beradaptasi dengan lingkungan. Kelembaban rata-rata 59-7l% dan curah hujan rata-rata per tahun 2076 mm. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April, sedangkan bulan kering jatuh pada bulan Juni, Agustus dan September. Curah hujan maksimum 319 mm pada bulan Januari dan curah hujan minimum 26 mm jatuh pada bulan Juni. Kecepatan angin berkisar antara 8-61 km/jam, sedangkan arah angin selalu berubah-ubah dan terbanyak datang dari arah Timur dan Utara (Dinas Pertanian Kutai Kartanegara, 1997). Populasi dan Kepemilikan Kerbau Komoditas ternak yang ada di Kecamatan Muara Muntai tidak hanya kerbau tetapi juga terdapat komoditas lainnya yaitu sapi, kambing, babi, ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur, dan itik. Populasi kerbau lebih rendah dibandingkan ternak sapi. Populasi sapi, ayam pedaging (broiler) dan ayam petelur (layer) pada tahun mengalami peningkatan tiap tahunnya sedangkan populasi kerbau, kambing, babi, dan ayam buras mengalami penurunan (Tabel l).

27 Tabel l. Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara Populasi (ekor) Komoditas Pertambahan ( ) Sapi Kerbau Kambing Babi Ayam Buras Ayam Pedaging Ayam Petelur Itik Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Kutai Kartanegara (2008) Populasi kerbau turun sebanyak 52% dari populasi tahun 2005 sedangkan sapi naik sebanyak 27 %. Faktor penyebab peningkatan populasi sapi yaitu adanya pemasukan dari luar provinsi Kaltim yaitu ekor (2006) dan ekor (2007), sedangkan pengeluaran sapi tidak terjadi. Pengeluaran sapi tidak terjadi karena peternakan sapi hampir menyeluruh di berbagai tempat, sedangkan peternakan kerbau terbatas di daerah-daerah tertentu. Hal inilah yang memicu pengeluaran ternak kerbau. Penurunan populasi kerbau disebabkan oleh tingginya pengeluaran baik ke kabupaten/kota dalam maupun luar provinsi Kaltim yaitu sebanyak ekor (2006) dan 205 ekor (2007), sedangkan pemasukan ternak kerbau hanya 102 ekor (2007) (Dinas Peternakan Kutai Kartanegara, 2008). Pemeliharaan kerbau di Muara Muntai berdasarkan kepemilikan ternak, dibagi menjadi dua yaitu pemeliharaan hanya milik pribadi dan gabungan dengan milik orang lain. Peternak aktif adalah peternak yang berhubungan langsung dalam pemeliharaan ternak kerbau, sedangkan peternak pasif adalah orang yang memiliki kerbau dan menitipkan kepada peternak aktif. Peternak yang memelihara milik pribadi (tidak memelihara kerbau orang lain) sebanyak 40% dengan jumlah rata-rata ternak yang dimiliki adalah 4l ekor. Peternak yang memelihara kerbau gabungan dengan orang lain sebanyak 60% dengan jumlah rata-rata ternak milik pribadi sebanyak

28 7 ekor. Jumlah seluruh ternak milik orang lain yang dipelihara oleh peternak sebanyak 202 ekor atau 58% dari jumlah ternak milik peternak pemelihara. Sistem bagi hasil yang berlaku di peternakan Teluk Ridan yaitu jumlah anak dibagi 50:50. Peternak pemilik berhak atas 50% anak yang dihasilkan dan peternak pengangon 50%. Induk yang dipelihara peternak akan kembali kepada peternak pemilik. Peternak bertanggungjawab atas kerbau yang dititipkan baik kesehatan maupun biaya pemeliharaan. Desa yang dijadikan kawasan pemeliharaan kerbau hanya dua desa, yaitu Desa Muara Aloh dan Desa Pulau Harapan. Kawasan ini memiliki potensi lahan yang luas untuk penggembalaan kerbau. Desa Pulau Harapan pada tahun 2007 merupakan desa yang menyumbang populasi kerbau sebanyak 55,42% di Kecamatan Muara Muntai. Jumlah populasi kerbau rawa di masing-masing desa yang terdapat di Kecamatan Muara Muntai dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Jumlah Populasi Kerbau Rawa di Kecamatan Muara Muntai Populasi pada tahun- No. Desa Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 1. Perian Muara Leka Muara Aloh Jantur Batuq Rebaq Rinding Muara Muntai Ulu Muara Muntai Ilir Kayu Batu Jantur Selatan Tanjung Batuq Pulau Harapan Jantur Baru Sumber: Cabang Dinas Peternakan Kecamatan Muara Muntai (2009)

29 Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian Umur peternak yang menjadi responden bervariasi, dapat dilihat pada Tabel 3. Umur tahun sebanyak 3 orang (30%),umur tahun sebanyak 6 orang (60%) dan umur di atas 45 tahun sebanyak I orang (10%). Hal ini menunjukkan bahwa umur peternak masuk dalam kisaran umur produktif karena umur produktif berkisar antara tahun. Tabel 3. Sebaran Umur Peternak Kerbau di Desa Pulau Harapan Sebaran Umur (tahun) % Rataan umur (tahun) , , ,0 Total 100 Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mengembangkan sumber daya peternak. Pendidikan akan menambah pengetahuan dan keterampilan sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja yang akan menentukan keberhasilan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak memiliki latar belakang pendidikan Sekolah Dasar (SD) 20%, Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat) 40%, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) 40%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh oleh peternak relatif tinggi dibandingkan daerah lain yang pada umumnya tidak menempuh pendidikan atau hanya berpendidikan sekolah dasar. Beberapa alasan beternak kerbau rawa adalah sebagai sumber penghasilan, hobi/kegemaran, dan turun-temurun. Beternak kerbau merupakan pekerjaan utama karena memiliki prospek sebagai sumber penghasilan yang tinggi dengan waktu pemeliharaan yang relatif singkat. Pendapatan rata-rata peternak dari hasil penjualan kerbau adalah diatas satu juta rupiah hingga mencapai l0 juta per bulan. Pendapatan ini dihitung berdasarkan hasil penjualan kerbau umur tiga tahun dan jumlah anak yang dihasilkan dibagi per bulan. Pekerjaan sambilan peternak yaitu sebagai nelayan (40%), tukang kayu (20%), pedagang (20%), dan petani (10%). Pekerjaan sambilan ini dilakukan saat musim kering (selain bulan Desember, Januari, Februari, Maret,

30 dan April). Jenis ternak lain yang dipelihara oleh peternak adalah sapi dan ayam bangkok. Profil peternak dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Profil Peternak Kerbau Rawa di Desa Pulau Harapan Karakteristik Persentase Pendidikan formal - SD 20 - SLTP 40 - SLTA 40 Pekerjaan - Petani saja l0 - Petani dan nelayan 40 - Petani dan pedagang 20 - Petani dan tukang kayu 20 Pengalaman beternak kerbau tahun tahun 0-2l-30 tahun tahun 10-4l-50 tahun 10 Tujuan pemeliharaan kerbau - Sumber penghasilan dan tabungan 80 - Kegemaran l0 - Turunan 10 Peternak yang memiliki pengalaman beternak lebih dari 15 tahun hanya 30%, sedangkan di bawah 15 tahun ada 70%. Hal ini terjadi karena banyak peternak yang baru menggantikan orang tua mereka untuk beternak kerbau karena beternak kerbau di Muara Muntai merupakan pekerjaan yang bersifat turun temurun. Ternak kerbau yang dipelihara oleh para orang tua akan diturunkan kepada anak laki-lakinya jika mereka sudah tidak mampu lagi menggembalakan kerbau atau karena telah meninggal dunia. Peternak yang telah memelihara kerbau selama 35 tahun dan 44

31 tahun kemungkinan disebabkan latar belakang pendidikannya yang rendah (SD dan SMP). Keadaan Ternak Kerbau Jumlah ternak kerbau yang digembalakan dari l0 responden sebanyak 351 ekor dengan jumlah jantan 63 ekor dan betina 268 ekor (rasio l:4). Jumlah ternak kerbau betina lebih banyak dipelihara karena jantan dianggap tidak dapat memberi nilai tambah berupa anak dibandingkan dengan betina. Kerbau jantan umumnya dijual pada umur 3 tahun. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan keadaan kerbau pada saat berada di kalang. Gambar 1. Kerbau Rawa dalam Kalang Bibit ternak kerbau berasal dari dua tempat yaitu dari ternak sebelumnya yang telah ada di Muara Muntai dan dari pemerintah. Bibit dari pemerintah daerah merupakan bibit kerbau yang dikirim dari Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan Kabupaten Pasir (Kalimantan Timur). Tahun 2006 peternak mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten untuk membeli pejantan sebanyak 35 ekor dari Lebak Singkil. Pembelian pejantan dari luar peternakan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya inbreeding. Peternak juga diberi bibit kerbau melalui bantuan presiden (BANPRES), tetapi kerbau-kerbau tersebut jarang bertahan hidup lama. Kerbau pendatang kemungkinan tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan (iklim, cuaca, kelembaban, suhu, dan panjang matahari) serta keadaan peternakan (manajemen pemeliharaan) di Muara Muntai. Kerbau yang baru datang tidak dikarantina terlebih dahulu sehingga

32 tidak dapat menyesuaikan diri (adaptasi). Kerbau BANPRES yang masih tersisa di kelompok tani ternak kerbau Teluk Ridan (Desa Pulau Harapan) tinggal satu ekor. Pemeliharaan Ternak Tatalaksana Budidaya Ternak Kerbau Perubahan iklim berupa musim kering dan musim banjir mengakibatkan perbedaan penanganan dan sistem pemeliharaan ternak kerbau di Muara Muntai. Sistem pemeliharaan pada saat musim kering untuk semua kerbau adalah ekstensif, sedangkan pada musim banjir pemeliharaan kerbau dengan sistem semiintensif dan intensif. Pemeliharaan dengan sistem ekstensif pada musim kering dan musim banjir memiliki perbedaan penanganan. Pemeliharaan kerbau secara ekstensif pada musim kering yaitu semua kerbau baik anak maupun dewasa dibiarkan liar ke rawa-rawa atau hutan yang berjarak ±2 km dari kalang. Ternak yang diliarkan tersebut akan kembali ke kalang jika terjadi banjir. Pemeliharaan kerbau pada musim banjir dengan sistem ekstensif, selain anak <6 bulan, induk bunting dan induk menyusui. Anak dan induk tersebut dipelihara dengan sistem intensif, selalu berada di kalang dan diberi pakan hijauan tanpa penggembalaan. Kerbau yang digembalakan akan dikandangkan pada malam hari tanpa pemberian pakan. Jadwal kegiatan harian beternak kerbau pada musim banjir dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Jadwal Kegiatan Harian Beternak Kerbau di Desa Pulau Harapan Waktu Aktivitas Perjalanan dari rumah ke tempat mencari hijauan Mencari dan mengambil hijauan - Perjalanan menuju peternakan - Pengangkutan hijauan dari perahu untuk naik ke kalang - Pelepasan kerbau ke rawa penggembalaan - Pembersihan kandang - Pemberian hijauan kepada anak dan beberapa induk yang tinggal di kalang Kerbau digiring ke rawa penggembalaan Kerbau digembalakan Kerbau istirahat atau berteduh di hutan Kerbau digembalakan kembali Kerbau digiring pulang dan dikandangkan

33 Peternak pada pagi hari berangkat dari rumah sekitar pukul WITA untuk mencari hijauan kumpai di rawa-rawa yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Perjalanannya harus melintasi sungai dengan menggunakan perahu dan memerlukan waktu kira-kira 30 menit. Sumber hijauan sekitar 1-2 km dari peternakan. Hijauan yang diambil 100% rumput lokal kumpai karena disukai ternak. Ternak kerbau akan dilepaskan ke rawa penggembalaan, kecuali anak umur di bawah 3 bulan induk bunting tua dan induk menyusui. Hijauan kemudian diangkat dari perahu motor dan diletakkan di bagian kandang depan yang telah kosong karena kerbau telah turun. Kandang dibersihkan dengan menyemprotkan air menggunakan pompa air yang disedot dari bawah kalang. Kerbau istirahat di hutan pinggir rawa sekitar pukul WITA. Keadaan ini dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. (a) (b) Gambar 2 a. Kerbau Turun dari Kalang; b. Kerbau Istirahat Pencatatan yang dilakukan oleh peternak yaitu jumlah anak yang lahir, tanggal kelahiran, dan jenis kelamin anak yang dilahirkan. Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan yaitu untuk membeli bensin sebagai bahan bakar perahu yang digunakan dan obat-obatan. Manajemen pemeliharaan untuk mengetahui identitas kerbau (penandaan) dilakukan dengan memotong daun telinga (ear notching) pada umur muda. Pemotongan daun telinga dengan menggunakan pisau (Gambar 3). Penandaan dengan menggunakan ear tag pernah dilakukan tetapi memiliki kekurangan yaitu ear tag sering hilang karena tersangkut di semak-semak pada saat kerbau digembalakan.

34 Gambar 3. Penandaan dengan Ear Notching Perkandangan Kandang atau kalang yang digunakan oleh kelompok tani ternak kerbau Muara Muntai Desa Pulau Harapan adalah bangunan kandang sederhana yang lantai, pagar dan tiang-tiangnya terbuat dari kayu ulin yang merupakan kayu paling kuat dan tahan lama yang banyak terdapat di Kalimantan. Kalang adalah kandang penampungan kerbau rawa saat musim banjir tiba yang berada di tepian Mahakam dan terdapat beberapa rumpun bambu dan pepohonan di sekitarnya. Keadaan kalang ditunjukkan pada Gambar 4 di bawah ini. (a) Gambar 4 a. Kalang; b. Sekat-sekat Kalang (b) Jenis kandang yang digunakan adalah kandang koloni atau kelompok dengan beberapa peternak dan pemilik ternak. Kandang tidak menggunakan atap kecuali tempat untuk induk kerbau yang sedang bunting dan beranak serta untuk perawatan kerbau yang sakit berupa terpal yang terdapat di kedua ujung kandang dengan ukuran

35 masing-masing 6x6x2 m 3. Kandang tidak dilengkapi dengan atap namun ternak dapat berteduh di bawah rumpun bambu pada siang hari karena kerbau adalah ternak yang tidak tahan panas (Suharno dan Nazaruddin, 1994). Luas kandang secara keseluruhan yaitu m 2. Ukuran kandang yang dianjurkan untuk anak kerbau yang baru disapih adalah 100x80 cm 2 dan ukuran untuk kerbau dewasa 200x150 cm 2. Kandang utama tidak dilengkapi dengan kandang darurat atau biasa disebut kandang jepit yang sewaktu-waktu berfungsi untuk penanganan misalnya untuk keperluan pengobatan pemberian vaksinasi, dan pelaksanaan inseminasi bua-tan (Suharno dan Nazaruddin, 1994). Kandang dibuat beberapa petak yang semua lebarnya 6 meter. Lantai dari permukaan tanah setinggi meter. Hal ini dilakukan agar kalang senantiasa dalam keadaan kering atau tidak terendam air pada saat banjir. Kalang dilengkapi dengan dua tangga (depan dan belakang) sebagai sarana naik turunnya kerbau pada saat dikandangkan dan dilepas. Pagar setinggi meter dibuat mengelilingi kalang untuk mempermudah penanganan pada saat dikandangkan. Kerbau yang datang berkoloni biasanya ada beberapa yang tidak langsung naik ke kalang, dengan adanya pagar ini maka kerbau yang tidak segera naik kalang akan tetap berada di sekitar kandang yang telah dipagari dan peternak akan menuntunnya naik ke kalang. Pagar juga berguna untuk menjaga dan melindungi ternak dari ancaman pencuri. Balai pertemuan kelompok dan tempat alat-alat berada di depan kandang dengan ukuran 6x6 m 2. Peralatan Peralatan yang digunakan oleh peternak adalah sabit atau mandau, perahu motor dan dayung, genset dan pompa air, suntikan, pisau, penanjak atau tongkat, buku, dan pulpen. Peralatan hampir seluruhnya milik pribadi peternak kecuali genset dan pompa air yang jumlahnya hanya satu unit. Pompa air digunakan untuk menyediakan air minum dan membersihkan kotoran ternak kerbau pada musim banjir. Peralatan umumnya digunakan hanya pada saat banjir yaitu pada saat kerbau berada di kalang atau kandang dan digembalakan di rawa-rawa. Perahu digunakan untuk alat transportasi peternak yang harus melewati sungai untuk sampai di kalang mencari dan mengambil rumput serta menggembalakan kerbau.

36 Pakan Pakan yang dikonsumsi oleh kerbau hanya berupa hijauan dan tidak mendapat tambahan konsentrat. Konsentrat tidak diberikan karena tidak tersedianya bahan baku dan pengolah konsentrat. Kelapa sawit banyak terdapat di Kecamatan Muara Muntai tetapi pengolahannya di luar Muara Muntai sehingga hasil sampingannya tidak dapat digunakan sebagai konsentrat untuk pakan kerbau rawa. Rumput yang merupakan pakan utama kerbau rawa adalah rumput lokal kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees) dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini. Gambar 5. Rumput Kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees) Kerbau juga mengkonsumsi rumput lokal lainnya tetapi dalam jumlah sedikit. Perbandingan kandungan nutrisi rumput kumpai dengan rumput leguminosa lainnya yang biasa digunakan sebagai sumber hijauan makanan ternak dapat dilihat pada Tabel 6.

37 Tabel 6. Kandungan Nutrisi Beberapa Hijauan Makanan Ternak (HMT) No. HMT % (bahan dasar kering) SK EE BETN PK Abu TDN 1. Hymenachne amplexicaulis 31,28 1,23 42,11 11,89 13,49 59,73 2. H. aurita 31,34 0,83 42,43 12,78 12,62 62,70 3. H. indica 32,32 1,39 45,56 8,15 12,58 55,93 4. H. interupta 28,61 1,43 41,01 12,75 16,20 58,33 5. Pennisetum purpureum 27,54 1,04 43,57 9,72 18,13 59,17 6. Pannicum maximum 36,70 1,73 38,08 9,34 14,15 54,34 7. Zea mays 23,21 4,03 34,66 16,29 21,81 43,02 8. Sesbania bunga putih 10,67 5,64 33,39 40,62 9,68 49,90 9. Eceng Gondok 23,27 1,36 49,46 12,48 13,44 61,21 Sumber: Reksohadiprodjo (l988) Kandungan nutrisi yaitu protein kasar (PK) dan TDN pada rumput kumpai lebih tinggi dibanding dengan rumput yang lazim digunakan untuk pakan ternak yaitu Pennisetum purpureum dan Panicum maximum. Hal ini didukung oleh penelitian Susilawati (2003), menyatakan bahwa rumput lokal kumpai perlu dikembangkan sebagai hijauan pakan ternak karena memiliki nilai biologis yang tinggi dengan kandungan protein kasar l4,11% di habitat aslinya (rawa) dan memiliki daya cerna lebih baik daripada rumput gajah. Pihak Dinas Peternakan telah mengupayakan penanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum), namun demikian upaya ini kurang berpengaruh terhadap penyediaan hijauan karena belum dimanfaatkan secara optimal oleh peternak dan keterbatasan pengetahuan untuk penanaman rumput ini. Rumput kumpai merupakan hijauan terbanyak yang ditemukan di rawa penggembalaan. Hijauan makanan ternak di Pulau Harapan tersedia cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan ternak karena lahan yang tersedia luas dan hijauan tersedia sepanjang tahun. Peternak memberi hijauan dengan memotong rumput di daerah rawa dan membawa ke kalang. Sistem pemberian hijauan tersebut dikenal dengan istilah cut and carry, dapat dilihat pada Gambar 6.

38 (a) (b) Gambar 6 a. Cut and carry ; b. Pakan Hijauan dalam Kalang Penggunaan limbah pertanian sebagai pakan tambahan tidak memungkinkan karena lahan pertanian sangat sedikit di Muara Muntai dan lahan pertanian jauh dari peternakan, sedangkan lahan penggembalaan masih cukup luas. Pemberian tambahan mineral berupa garam diberikan hanya untuk induk yang sedang menyusui. Pemberian garam dipercaya dapat meningkatkan jumlah air susu induk. Pemberian hijauan untuk 15 ekor anak kerbau sebanyak satu perahu atau sekitar 300 kg. Frekuensi pemberian hijauan rata-rata hanya sekali yaitu pada pagi hari menjelang siang atau sekitar pukul WITA setelah ternak kerbau muda dan dewasa dilepaskan ke tempat penggembalaan. Tenaga Kerja Tenaga kerja pada usaha ternak kerbau ini seluruhnya melibatkan tenaga kerja laki-laki dewasa. Tenaga kerja yang menggembalakan kerbau ini rata-rata di samping menggembalakan ternaknya sendiri, juga ternak titipan. Peternak seluruhnya laki-laki karena penanganan ternak kerbau ini cukup berat karena harus berhadapan dengan kerbau yang galak akibat penggembalaan liar. Alasan lainnya adalah diperlukan keahlian yang cukup untuk menangani ternak kerbau ini. Rata-rata tiap peternak menangani 35 ekor kerbau. Penanganan Kesehatan Penyakit yang pernah terjadi di peternakan kelompok tani Teluk Ridan adalah diare, gudik, cacingan, kutu, dan surra. Penyakit yang paling sering terjadi adalah diare pada anak kerbau di bawah umur satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian

39 Priadi dan Natalia (2005), beberapa agen bakteria penyebab diare telah dapat diisolasi yaitu Escherichia coli dan Clostridium perfringens. Toksin alfa dan beta Clostridium perfringens dapat dideteksi pada isi usus anak sapi dan kerbau yang mati karena nekrotik enteritis. Enteroksemia merupakan faktor penting pada kematian anak sapi dan kerbau. Cacingan, kutu, gudik dan surra jarang terjadi. Cacingan pernah terjadi pada anak kerbau umur l-2 bulan dengan menunjukkan tanda bulubulunya berdiri dan kusam, serta badannya kurus. Pengobatannya dengan pemberian obat cacing seperti untuk manusia. Gudik biasanya diobati dengan pemberian bensin pada bagian yang terkena gudik atau diberi obat betadine. Surra merupakan penyakit yang pernah mewabah pada tahun 1968/1969 yang disebabkan oleh Trypanosomae vansi. Lalat merupakan vektor dari Trypanosoma evansi. Pengobatan penyakit ini adalah dengan menggunakan Nagonal, Trypamidium, Moranyl dan Ganaseg. Pencegahan penyakit surra yaitu dengan vaksinasi (Sugeng, 1992). Pemberian obat-obatan dan suplemen pada ternak kerbau oleh peternak dilakukan pada saat kerbau dikandangkan. Pemberian obat berdasarkan kebutuhan ternak; jika ternak kerbau menunjukkan gejala sakit atau penyakit pemberian obat segera dilakukan. Obat-obatan dan vaksin dapat terjangkau oleh peternak karena obatobatan telah disiapkan oleh Dinas Peternakan Kutai Kartanegara secara rutin untuk diberikan kepada ternak kerbau. Obat-obatan juga dapat dibeli sendiri oleh peternak jika dari Dinas Peternakan belum menyediakan. Peternak sering melakukan penyuntikan terhadap kerbau yang terserang penyakit maupun hanya sebagai penambah nafsu makan. Ternak kerbau di atas umur satu tahun jarang terkena penyakit. Hal ini kemungkinan dikarenakan ternak kerbau telah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan pakan. Pemasaran Ternak Ternak kerbau dipasarkan kepada belantik atau calo yang berasal dari Kalimantan Selatan (Banjarmasin) dan Samarinda yang membeli langsung ke peternakan dalam jumlah yang banyak maupun sedikit. Penjualan utama (jumlah banyak) dilakukan pada waktu banjir (kerbau naik kalang). Jumlah yang dijual berdasarkan jumlah kelahiran yaitu jumlah yang dijual sama dengan jumlah kerbau yang lahir, jika jumlah induk adalah 150 ekor maka akan menghasilkan anak kira-kira 100 ekor.

40 Jumlah ternak baik jantan maupun betina akan dijual sebanyak 100 ekor/tahun sehingga rata-rata penjualan per bulan sebanyak 8 ekor. Kapal yang digunakan untuk mengangkut kerbau sesuai jumlah pembelian. Kapal ferri digunakan jika akan membeli kerbau dalam jumlah sedikit (1-2 ekor) dan menggunakan kapal pengangkut batu bara yang lebih besar untuk mengangkut 9 ekor kerbau. Penjualan ternak berdasarkan penilaian morfologi tubuh dan perkiraan bobot badan. Harga kerbau berkisar antara 7,5-12 juta rupiah. Harga tersebut sangat menguntungkan peternak. Umur ternak yang biasa dijual yaitu di atas 5 tahun. Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah ternak yang tidak produktif. Penjualan juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak sehingga penjualan total per bulan sekitar 9 ekor. Produktivitas Ternak Kerbau Reproduksi Ternak Kerbau Karakteristik reproduksi ternak kerbau di Muara Muntai dapat dilihat pada Tabel 7. Perbandingan jantan dan betina dapat dikatakan tinggi karena setiap ekor pejantan berbanding dengan empat ekor betina. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ternak jantan relatif banyak. Pejantan sebanyak 25% memberi dampak terhadap produksi anak. Ternak betina hanya memiliki peluang menghasilkan anak maksimal 75% tiap tahunnya dari populasi. Banyaknya pejantan juga dapat menimbulkan persaingan untuk mengawini ternak betina yang dapat berakibat perkelahian pejantan. Kerbau betina yang sedang berahi akan dikelilingi 5-6 ekor pejantan dan kemungkinan betina akan dikawini oleh beberapa pejantan sehingga perkawinan tidak efektif. Perkelahian pejantan dapat berakibat negatif karena pejantan akan mengalami luka atau memar serta menghabiskan energi dalam tubuh yang mestinya diubah menjadi daging. Banyaknya jumlah pejantan tanpa seleksi akan menimbulkan kemungkinan adanya pejantan yang tangguh namun tidak memiliki performa produktivitas yang baik. Hal ini akan berakibat terhadap keturunan selanjutnya yaitu terjadinya inbreeding. Inbreeding tidak dikehendaki karena dapat menurunkan produktivitas ternak. Hal ini merupakan salah satu langkah kebijakan perbibitan ternak yang dilakukan pemerintah dan mengacu pada UU No. 2 tahun 1999 dan PP No. 5 tahun 2000 bahwa pemerintah memiliki kewewenangan mencegah terjadinya

41 inbreeding yang dapat mempengaruhi penyediaan bibit di masa mendatang (Deptan, 2008). Banyaknya pejantan juga tidak efisien dalam segi ekonomi. Peternak di Desa Pulau Harapan tidak melakukan seleksi terhadap pejantan sehingga hal tersebut kemungkinan besar telah terjadi. Perbandingan jantan : betina diusahakan adalah 1:8-10 ekor (Deptan, 2008). Tabel 7. Karakteristik Reproduksi Ternak Kerbau di Desa Pulau Harapan Sifat Reproduksi Hasil Literatur Nisbah jantan : betina Umur berahi pertama Umur kawin pertama Lama berahi Panjang siklus berahi Service per conception Angka kebuntingan Lama kebuntingan Persentase kelahiran Calf crop Tingkat kematian anak Umur kematian anak Berahi kembali setelah melahirkan Selang beranak 1:4 2,8 tahun 2,8 tahun - 18,5 hari hari 75% 67% 11% 1,7 bulan 1,0 bulan 13,0 bulan 1:8-10 a) 1 tahun (berahi pertama) b) 2,5-3 tahun (kawin pertama) b) 36 jam b) hari c) 1,6-2,0 d) 63% e) hari d) 54,69% f) 33% g) 7,38% f) - 40 hari h) 1,5 tahun i) Sumber: a) Deptan (2008); b) Suharno dan Nazaruddin (1994); c) Sosroamidjojo dan Soeradji (1990); d) Toelihere (1981); e) Cockrill (1974); f) Hardjosubroto (1984); g) Hasanatun et al. (2005); h) National Research Council (1981) dan i) Guzman (1980) Umur kawin pertama dan berahi pertama dianggap sama karena sistem perkawinan kerbau rawa ini secara alami dan tidak ada perhatian khusus terhadap kegiatan reproduksi kerbau, sehingga dimungkinkan bahwa pada saat berahi pertama, kerbau langsung kawin atau terjadi konsepsi. Umur konsepsi pertama dapat dianggap sebagai perkiraan umur berahi pertama (walaupun kemungkinan kurang daripada itu) (Ranjhan and Pathak, 1979). Berahi dan konsepsi pertama rata-rata terjadi pada umur 2,8 tahun. Umur kawin pertama ada yang mencapai 4 tahun walaupun dalam jumlah kecil, hal ini diestimasi berdasarkan umur kerbau. Menurut Suharno dan Nazaruddin (1994), berahi pertama umur satu tahun dan konsepsi pertama 2,5-3 tahun. Pemberian pakan yang lebih baik yaitu dengan penambahan konsentrat sebanyak 5

42 kg/ekor/hari dapat meningkatkan bobot badan dan memperbaiki kondisi tubuh kerbau betina sehingga pada akhirnya dapat merangsang aktivitas berahi, konsepsi dan produksi anak (Putu, 2003). Nutrisi yang sangat menunjang untuk saluran reproduksi, diantaranya: protein, vitamin A, dan mineral/vitamin (P, Kopper, Kobalt, Manganese, Iodine, dan Selenium) (Deptan, 2007). Lama berahi dan panjang siklus berahi tidak diketahui karena selain kurangnya pengetahuan dan perhatian peternak mengenai hal ini, juga disebabkan oleh sifat berahi kerbau yang silent heat (berahi tenang). Tanda-tanda berahi pada kerbau hampir sama dengan sapi, tetapi tidak sejelas pada sapi (Sosroamidjojo dan Soeradji, 1990) dan tanda berahi semakin tidak nyata selama bulan kering dari April sampai Juni dan sering disebut silent heat (Ranjhan and Pathak, 1979). Siklus berahi walaupun terutama diatur oleh hormon yang dihasilkan secara internal, ada juga faktor lain yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Menurut Williamson dan Payne (1993), faktor yang paling penting mempengaruhi siklus berahi di luar abnormalitas karena penyakit adalah tingkat pakan, panjangnya siang dan temperatur lingkungan. Sevice per conception (S/C) dan angka kebuntingan juga tidak diketahui. Hal ini karena kerbau rawa yang terdapat di Muara Muntai tidak diinserninasi buatan (IB) atau kawin alam. Nilai S/C diperoleh dengan perhitungan jumlah perkawinan inseminasi buatan atau kawin alam yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan (Toelihere, 1981). Angka kebuntingan tidak diketahui karena tidak dilakukannya palpasi rektal pada hari dan juga tidak adanya inseminasi buatan. Palpasi juga sulit dilakukan pada peternakan ini karena kerbau jarang dikandangkan atau rata-rata hidupnya di alam bebas. Nilai S/C dan angka kebuntingan adalah 1,6-2,0 dan 63% (Toelihere, 1981; Cockrill, 1974). Lama kebuntingan tidak diketahui secara pasti, namun dari hasil wawancara dikatakan bahwa lama kebuntingan 365 hari. Indikasi ini diperoleh dengan mengetahui adanya anak yang dihasilkan oleh betina dewasa tiap kali terjadi banjir. Kerbau kembali ke kalang pada saat banjir. Lama kebuntingan menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) adalah 315 hari. Persentase kelahiran kerbau di Muara Muntai sebesar 75%. Faktor yang mempengaruhi persentase kelahiran adalah keberhasilan perkawinan antara jantan dan betina. Persentase kelahiran dihitung dari jumlah total anak yang lahir tiap tahun

43 dari persentese betina dewasa. Rata-rata persentase kelahiran anak kerbau di Indonesia adalah 54,69% (Hardjosubroto, 1984). Calf crop atau panen anak adalah persentase jumlah anak yang hidup saat lepas sapih dalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti. Calf crop ternak kerbau di Muara Muntai lebih tinggi yaitu 67% dibandingkan dengan panen anak hasil penelitian Ketaren (1999) di Desa Bojong sebesar 28% dan Desa Cibunar Kabupaten Garut sebesar 50%. Ketepatan waktu kawin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya panen anak di Muara Muntai karena sistem penggembalaan koloni dan banyaknya jantan yang tersedia. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah jarangnya terjadi penyakit baik pada betina maupun pejantan. Sakit dan penyakit berpengaruh terhadap panen anak karena dapat mengakibatkan tidak terjadinya pembuahan pada rahim, kematian janin, kematian anak baik sebelum maupun setelah beranak (mortalitas anak). Waktu dan lama berahi serta nutrisi belum dapat diketahui pengaruhnya karena belum diketahuinya juga keterangan mengenai hal tersebut. Waktu yang diperlukan untuk berahi kembali setelah melahirkan adalah 45±12,25 hari dan selang beranak 13±2,10 bulan. Selang beranak kerbau di Muara Muntai termasuk dalam kisaran yang dinyatakan oleh Guzman (1980) yaitu antara 1-3 tahun atau rata-rata 1,5 tahun. Kematian ternak umumnya terjadi pada anak umur 0-3 bulan yang diakibatkan karena terperangkap dalam semak atau lumpur dan kekurangan air susu. Menurut Hardjopranjoto (1991), kematian pedet muda artinya kematian pedet pada umur kurang dari satu minggu dapat disebabkan oleh kekurangan pakan pada waktu kebuntingan muda, gangguan plasenta, gangguan kelahiran (distokia), pedet mengalami aspiksia hipertermia gangguan menyusui karena penolakan induknya, berat badan pedet yang rendah, infeksi bakteri, anemia atau defisiensi mineral yang diderita pedet dan kelahiran kongenital. Mortalitas kerbau di Muara Muntai 11%, lebih tinggi dari rata-rata mortalitas yang terjadi di Indonesia sebesar 7,38% (Hardjosubroto, 1984). Produktivitas Ternak Kerbau Pemeliharaan kerbau rawa di Muara Muntai hanya memiliki satu tujuan produksi yaitu produksi daging. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan sistem pemeliharaan. Kerbau dibiarkan liar di rawa-rawa dan kurangnya lahan pertanian yang dapat memanfaatkan tenaga kerbau sehingga produksi kerbau terfo-

44 kus untuk menghasilkan daging. Berbeda dengan daerah lain yang tujuan produksinya juga sebagai tenaga kerja, sumber pupuk, dan keperluan upacara adat. Keistimewaan ternak kerbau dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya adalah kemampuan mencerna serat kasar lebih tinggi. Pertambahan berat badan kerbau dengan kondisi tersebut rata-rata per hari lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi (Suharno dan Nazaruddin, 1994). Produksi kerbau dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Produktivitas Kerbau Uraian Jumlah Persentase (% ) Bobot hidup (kg) 370,00 - Bobot potong (kg) 360,00 100,00 Karkas panas (kg) 171,50 47,62 Karkas bagian depan (kg) 70,56 56,42 Karkas bagran belakang (kg) 54,52 43,58 Non karkas (kg) 188,66 52,38 Tebal lemak punggung( mm) 3,50 - Luas otot mata rusuk (udamaru) (cm 2 ) 58,53 - Sumber: Miskiyah dan Usmiati (2005) Performa produksi kerbau dapat dilihat dan diukur dengan mengetahui bobot badan, ukuran tubuh, kondisi ternak dan kemampuan kerjanya. Bobot badan seekor ternak merupakan suatu aspek yang penting dalam pemilihan stock untuk breeding, feeding dan marketing. Bobot badan ini perlu diketahui untuk menyusun ransum seekor ternak. Pemasaran ternak kerbau berdasarkan bobot hidup belum populer karena tidak selalu tersedia alat timbangan, karena alat timbangan cukup mahal harganya. Penentuan bobot badan yang tepat dari seekor ternak diperlukan juga oleh para dokter hewan untuk menentukan dosis obat, terutama apabila penggunaan obat tersebut dibatasi oleh therafeutie index dan berat badan ternak. Pemberian obat berdasarkan perkiraan bobot badan yang kurang tepat akan membahayakan kesehatan ternak (Saladin, 1988). Performa produksi kerbau dapat dilihat dan diukur dengan mengetahui bobot badan, ukuran tubuh, kondisi ternak dan kemampuan kerjanya. Ukuran tubuh yang

45 meliputi ukuran panjang badan dan lingkar dada merupakan gabungan parameter yang akurat dalam menduga bobot badan ternak kerbau. Ukuran panjang badan dan lingkar dada serta perkiraan bobot badan anak kerbau dan kerbau dewasa dapat dilihat pada Tabel 8. Williamson dan Payne (1986) menyatakan bahwa pemakaian ukuran lingkar dada dan panjang badan dapat digunakan untuk estimasi bobot badan seekor hewan. Peningkatan bobot badan ternak diiringi dengan peningkatan panjang badan dan lingkar dada namun peningkatan lingkar dada lebih berkorelasi terhadap peningkatan bobot badan. Hasil penelitian Aisiyah (2000) membuktikan bahwa nilai korelasi tertinggi diperoleh dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran badan lainnya. Peningkatan ukuran lingkar dada memiliki korelasi yang lebih erat dengan peningkatan bobot badan kerbau karena sebagian besar bobot badan dipikul oleh kaki depan dan pertautan antara badan dan kaki diselenggarakan oleh otot-otot penggantung musculus serratus ventralis dan musculus pectoralis yang terletak di daerah dada. Bobot badan meningkat diikuti dengan semakin kuat dan subur otototot tersebut sehingga lingkar dada meningkat. Umur kerbau yang digunakan pada penelitian ini berkisar antara 6 bulan sampai 10 tahun. Bobot hidup meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini terlihat jelas pada Tabel 9, bahwa semakin meningkat umur maka bobot badan semakin tinggi pula. Tabel 9. Nilai Rataan Ukuran Tubuh Kerbau di Muara Muntai Kelompok/Peubah Umur Panjang badan Lingkar dada Bobot badan (cm) (cm) (kg) Anak (bulan) ± ± ± ± ± ± ± ± ± 0.00 Rataan ± ± ± Dewasa (tahun) ± ± ± ± ± ± ± ± ± Rataan ± ± ± 95.25

46 Hardjosworo dan Levine (1987) mengatakan bahwa rataan bobot kerbau jantan dan betina pada umur 0, l, 2, 3, 4 dan lebih dari 5 tahun masing-masing adalah 30, 160, 285, 405, 515, dan 565 kg. Kerbau di Muara Muntai menunjukkan peningkatan bobot badan dan laju pertumbuhan yang lebih tinggi, pada umur satu dan dua tahun memiliki bobot badan ±26.41 kg dan ±0.00 kg, sedangkan pada umur 3-5 tahun kerbau tersebut menunjukkan laju pertumbuhan yang menurun sehingga peningkatan bobot badan kerbau rendah. Bobot badan ratarata anak kerbau umur 6-24 bulan adalah ±81.27 kg dan dewasa umur 3-10 tahun adalah ±95.25 kg. Hal ini didukung oleh pernyataan Parakkasi (1997) bahwa faktor umur sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ternak. Usia menjelang dan sekitar pubertas, laju pertumbuhan umumnya optimal dan mendekati dewasa tubuh sedangkan laju pertumbuhan menurun. Penjualan kerbau umumnya pada umur 3 tahun. Hal ini mendukung penjualan dengan keuntungan yang optimum karena laju pertumbuhan kerbau semakin tua akan mengalami penurunan. Analisis SWOT Usaha Ternak Kerbau Analisis SWOT dilakukan untuk menyusun strategi pengembangan kerbau rawa dengan mempertimbangkan lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal yang diidentifikasi adalah unsur kekuatan (stengths) dan kelemahan (weaknesses) sedangkan lingkungan eksternal adalah peluang (opportunities) dan ancaman (threats), selanjutnya diungkapkan strategi pengembangan kerbau rawa. Kekuatan merupakan kegiatan-kegiatan dalam usaha peternakan yang berjalan dengan baik atau sumber daya yang dapat dikendalikan, sedangkan kelemahan merupakan kegiatan-kegiatan yang tidak berjalan dengan baik atau sumber daya yang dibutuhkan tidak dimiliki. Kesempatan merupakan faktor-faktor lingkungan luar yang positif, sedangkan ancaman adalah faktor-faktor lingkungan luar yang negatif. Matriks SWOT adalah alat untuk menyusun faktor-faktor strategis organisasi yang dapat menggambarkan secara jelas peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 10.

47 Eksternal Tabel 10. Matriks Analisis SWOT Internal Peluang (opportunities) - harga daging kerbau cukup tinggi - jumlah permintaan dari dalam maupun luar provinsi cukup tinggi - ada dukungan dari pemerintah daerah untuk pengembangan ternak kerbau - status sosial meningkat atas kepemilikan ternak kerbau - adanya teknologi untuk meningkatkan produktivitas kerbau Ancaman (threats) - tingginya persaingan dengan daging impor - penyakit - banjir - jarak tempat tinggal ke kalang jauh Kekuatan (strengths) - lahan tersedia - kuantitas HMT dan sumber air cukup - adanya tempat berkubang dan hutan tempat berlindung saat penggembalaan - peternak memiliki pengalaman beternak - umur peternak produktif - motivasi masyarakat masih cukup tinggi - adanya lembaga kelompok ternak Strategi - SO - pengembangan kerbau harus sesuai dengan potensi daerah yang didukung oleh teknologi maju baik dari sudut pakan, bibit dan manajemen (keswan) - pemanfaatan lahan yang ada dalam meningkatkan populasi kerbau untuk memenuhi permintaan daging dengan mendatangkan kerbau dari luar peternakan - membentuk sentra peternakan Strategi - ST - memanfaatkan situasi banjir untuk memanajemen ternak - diversifikasi HMT - meningkatkan laju kelahiran Kelemahan(weaknesses) - lahan kurang dimanfaatkan secara optimal - penggunaan pejantan muda - tingkat kematian anak cukup tinggi - sistem beternak yang kurang inovatif dan bergantung dengan alam - belum adanya pos keswan dan balai IB - tidak adanya peraturan mengenai pemotongan ternak produktif - masih kurangnya kerjasama dengan instansi pemerintah Strategi-WO - percepatan adopsi teknologi - program pengembangan kerbau rawa agar mendapat prioritas baik dari pemerintah pusat maupun daerah - pembinaan/penyuluhan dari instansi yang lebih intensif dalam hal budidaya dan kelembagaan Strategi -WT - membatasi tingginya impor daging - meningkatkan bobot potong ternak kerbau - pencegahan penyakit khususnya pada anak kerbau - memperbaiki kinerja kelembagaan Faktor Internal Kekuatan (strengths). Desa Pulau Harapan mempunyai luasan lahan yang berpotensi sebagai tempat untuk berkembangnya ternak kerbau rawa. Hal ini sesuai dengan habitat hidup kerbau yang memerlukan air untuk berkubang. Hasil penelitian

48 Dania dan Poerwoto (2002) menunjukkan bahwa kerbau yang berkubang berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan berat badan harian dan laju pertumbuhan. Berbagai jenis rumput dan hijauan juga tumbuh subur untuk pakan kerbau. Terdapat berbagai jenis pakan yang dikenal peternak dan disukai kerbau dengan beberapa nama daerah (lokal). Hutan di sekitar rawa merupakan tempat yang sangat nyaman bagi ternak kerbau untuk beristirahat atau berlindung dari panas matahari pada siang hari. Kekuatan lain yang dimiliki peternak yaitu adanya pengalaman beternak yang cukup lama berkisar antara 3-44 tahun dengan rata-rata 14,8 tahun. Pengalaman ini merupakan proses belajar dan turut berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam beternak kerbau. Pengalaman beternak semakin lama maka peternak mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam menghadapi masalah atau untuk mengembangkan usahanya (Rohaeni et al., 2005). Beternak kerbau yang telah dilakukan merupakan sumber pendapatan bagi penduduk. Hal ini menunjukkan peran penting kerbau rawa karena telah menjadi usaha utama bagi pemiliknya sehingga memberi motivasi yang cukup tinggi. Peternak juga telah membentuk kelompok ternak sejak awal pemeliharaan dan berpusat pada satu daerah yang berpotensi. Adanya kelompok dan kemitraan ini sangat membantu tiap peternak dalam manajemen pemeliharan, penjualan, dan penyaluran bantuan pemerintah. Kelemahan (weaknesses). Penurunan produktivitas kerbau dapat terjadi akibat adanya kelemahan dari aspek sumber daya manusia, sistem pemeliharaan, dan dari ternak itu sendiri. Lahan kurang dimanfaatkan secara optimal karena lahan masih tersedia untuk penambahan populasi ternak. Peluang inbreeding tinggi karena tidak dilakukan kontrol perkawinan dan sistem pemeliharaan secara pastura. Inbreeding merupakan perkawinan dengan saudara sendiri (tetua, sepupu dan lainnya). Inbreeding mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap sifat-sifat pertumbuhan, reproduksi, dan produksi susu (Kartasudjana, 2001). Penggunaan pejantan muda (umur 2-3 tahun) untuk mengawini induk juga merupakan hal yang umum dilakukan peternak. Pejantan yang cukup umur (dewasa tubuh dan dewasa kelamin) lebih banyak dijual sebagai sumber pendapatan peternak. Kematian anak kerbau masih relatif tinggi. Beberapa penyebab kematian di antaranya adalah terperangkap dalam semak dan lumpur, penyakit dan kekurangan air susu. Kelemah-

49 an lain yang ditemui yaitu kurang optimalnya kelembagaan dan instansi pemerintah yang ada dan berpengaruh terhadap kelancaran arus dan informasi inovasi-inovasi baru. Faktor Eksternal Peluang (opporturities). Faktor-faktor eksternal yang dipandang sebagai peluang yaitu harga daging cukup tinggi (relatif sama dengan daging sapi), ketersediaan teknologi, permintaan daging meningkat, peluang pasar dalam dan luar daerah cukup besar, status sosial meningkat atas kepemilikan ternak kerbau dan adanya dukungan dari pemerintah daerah untuk pengembangan usaha peternakan kerbau. Pemanfaatan teknologi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas, misalnya dengan seleksi, pemberian pakan tambahan dan UMMB (urea molases multinutrien block), perbaikan manajemen serta pencegahan maupun penanganan penyakit. Ancaman (threats). Impor daging di Kalimantan Timur tiap tahunnya relatif terus meningkat yaitu 586 ton (2002), 691 ton (2003), ton (2004), 898 ton (2005) dan 916 ton (2006) (Ditjenak, 2006). Hal ini merupakan indikasi tingginya persaingan daging ternak lokal dengan daging impor. Harga daging impor juga umumnya lebih murah dan digemari oleh konsumen. Hal ini akan berdampak pada menurunnya daya saing produk daging dalam negeri dan akan menurunkan tingkat kesejahteraan peternak yang mayoritas merupakanw usaha peternakan rakyat (Dirgantoro, 2004). Pengaruh faktor alam terhadap kegiatan produksi tidak dapat dikendalikan misalnya banjir atau kemarau. Wabah penyakit dapat terjadi tiba-tiba dan rnenyerang ternak kerbau. Wabah penyakit yang pernah terjadi yaitu penyakit surra (penyakit tujuh keliling) yang mengakibatkan kematian pada kerbau. Jarak tempat tinggal peternak dengan kalang dan tempat penggembalaan relatif jauh. Waktu yang diperlukan untuk sampai ke kalang sekitar 30 menit dengan menggunakan kapal motor. Hal ini juga akan memerlukan biaya untuk membeli bensin sebagai bahan bakar.

50 Alternatif Strategi Beberapa strategi pengembangan kerbau rawa dapat dirumuskan dengan metode analisis SWOT dengan memperhatikan kondisi faktor internal dan eksternal di atas, yaitu : Strengths-Opportunities (SO), Weaknesses-Opportunities (WO), Strengths-Threats (ST), dan Weaknesses-Threats (WT). Strategi progresif SO (memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang) yaitu pengembangan kerbau harus sesuai dengan potensi daerah yang didukung oleh teknologi maju baik dari sudut pakan, bibit dan manajemen (keswan). Ketersediaan lahan yang luas merupakan potensi yang besar untuk meningkatkan populasi kerbau untuk memenuhi permintaan daging dan menjadikan daerah ini sebagai sentra peternakan kerbau. Kerbau dapat didatangkan dari daerah lain yang memiliki kesamaan kondisi lingkungan di Kecamatan Muara Muntai sehingga dapat beradaptasi dengan cepat. Total lahan yang berpotensi sebagai pengembangan ternak kerbau adalah ha, yang sudah digunakan seluas ha, sedangkan yang belum digunakan seluas ha (Dinas Peternakan Kutai Kartanegara, 2008). Peran serta aparatur, peternak/kelompok tani, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), peneliti dan akademisi perlu ditingkatkan dalam rangka pengembangan peternakan. Penelitian dasar dan transfer teknologi budidaya yang sesuai untuk kondisi setempat juga perlu dilakukan untuk menggali potensi dalam pengembangan peternakan. Strategi stabilitasi WO (meminimumkan kelemahan untuk meraih peluang) dengan peningkatan produktivitas hijauan makanan ternak (HMT) yang berkualitas tinggi dan berkesinambungan. Percepatan adopsi teknologi sesuai kemampuan peternak agar dapat digunakan secara optimal. Program pengembangan kerbau rawa hendaknya mendapat prioritas baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Pembinaan/penyuluhan dari instansi terkait yang lebih intensif dan terpadu dalam hal budidaya dan kelembagaan dapat meningkatkan produksi ternak. Strategi antisipatif ST (memanfaatkan kekuatan untuk menghadapi ancaman) yaitu dengan diversifikasi HMT, meningkatkan laju kelahiran, memanfaatkan situasi banjir untuk memanajemen ternak. Strategi defensif WT (meminimalisasi pengaruh ancaman) yaitu dengan meningkatkan bobot potong ternak kerbau, pencegahan penyakit khususnya pada anak kerbau, memperbaiki kinerja kelembagaan, dan memanfaatkan sumberdaya lahan/pertanian dengan optimal dan sinergis. Peran

51 pemerintah juga sangat berpengaruh dalam mengendalikan masuknya daging impor yaitu dengan menetapkan kebijakan pembebanan tarif impor. Hal ini dipandang mampu memacu perkembangan sistem usaha peternakan rakyat (Priyanto, 2005). Implementasi Strategi Ketersediaan lahan yang luas sangat mendukung peningkatan populasi ternak kerbau sehingga perlu peranan baik peternak, swasta maupun pemerintah. Perlu adanya upaya peternak untuk meningkatkan produktivitas kerbau melalui program pemuliaan yang berkelanjutan (seleksi genetik sederhana). Pencatatan produksi (recording) juga sangat dibutuhkan karena recording adalah suatu usaha yang dikerjakan oleh peternak untuk mencatat gagal atau berhasilnya suatu usaha peternakan. Komponen recording yang harus mendapat perhatian, antara lain: jumlah populasi, jumlah pemberian pakan, tingkat kematian (mortalitas) ternak yang dipelihara, penyakit yang menyerang, riwayat kesehatan (medical record), obat yang dibutuhkan, vaksinasi yang dibutuhkan, dan masih banyak lainnya. Salah satu kegunaan recording adalah sebagai bahan pertimbangan dalam penilaian tata laksana yang sedang dilaksanakan ( 2008). Peranan swasta dalam hal ini adalah industri obat-obatan/vaksin ternak dan sarana produksi peternakan (SAPRONAK). Pemerintah hendaknya melaksanakan program-program: a) pengadaan riset teknologi budidaya dalam meningkatkan produktivitas kerbau yang meliputi aspek bobot badan dan reproduksi ternak kerbau, b) mendatangkan kerbau dari luar daerah sesuai daya tampung lahan dan dapat beradaptasi dengan lingkungan baru, c) pengadaan pos kesehatan hewan (Poskeswan), d) penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pengeluaran dan pemotongan bibit ternak produktif, e) pengadaan daerah sentra peternakan, f) suplai pakan tambahan dan obat-obatan/vaksin ternak, dan g) pengadaan pasar ternak. Kegiatan dalam budidaya mencakup pembesaran ternak kerbau dan pemotongan ternak untuk menghasilkan komoditi primer ternak kerbau (daging, susu, kulit, dan tanduk). Pemerintah diharapkan dapat memberdayakan peternak dengan usaha perbaikan sistem manajemen pemeliharaan, yaitu: a) peningkatan pengetahuan peternak dalam manajemen pemeliharaan ternak dan pengenalan pakan penguat, b) pembinaan kelompok peternak kerbau secara intensif dan penyediaan ternak unggul, c) peningkatan jiwa kewirausahaan para peternak melalui seminar

52 kewirausahaan. Peternak dapat meningkatkan produktivitas dengan melakukan seleksi secara sederhana terhadap ternak unggul baik betina maupun jantan. Pihak swasta sangat berperan dalam pemasaran ternak. Ternak akan disuplai kepada pihak lain hingga ke tangan konsumen akhir.

53 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Produktivitas kerbau rawa di Muara Muntai belum optimal baik dari segi produksi (bobot badan dan populasi) maupun reproduksinya (calf crop, nisbah pejantan : betina, dan umur kawin pertama). Perkembangan populasi kerbau di Kecamatan Muara Muntai meningkat. Saran Pemerintah hendaknya mendatangkan kerbau dari luar daerah karena lahan yang tersedia masih luas untuk menambah populasi kerbau. Peternak diharapkan lebih memperhatikan manajemen pemeliharaan dan reproduksi. Peternak perlu melakukan pencatatan produksi (recording). Perbaikan produktivitas dapat dilakukan dengan memperbaiki mutu genetik melalui seleksi dan inseminasi buatan (IB) atau perkawinan silang. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jumlah populasi yang dapat ditambahkan di Kecamatan Muara Muntai.

54 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur yang setinggi-tingginya Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih karunia-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun dalam rangka melengkapi tugas akademik dan merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Terima kasih Penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Hj. Komariah, MSi selaku pembimbing utama dan Bapak Dr. Ir. Kartiarso, MSc selaku pembimbing anggota, karena dengan sepenuh hati dan penuh kesabaran telah membimbing, membagi pengalaman dan meluangkan waktu selama penelitian serta penyusunan skripsi. Terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Henny Nuraini, Msi dan Bapak Ir. Muhammad Agus Setiana, MS selaku dosen penguji. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Bagus Purwanto M. Agr. sebagai pembimbing akademik atas segala bimbingan, nasihat, serta dorongan yang diberikan dan juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M. AgrSc selaku Kepala Departemen IPTP. Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah membiayai Penulis dalam menempuh pendidikan dari awal hingga akhir kelulusan. Terima kasih kepada Bapak-bapak dari Dinas Pendidikan Tenggarong yang berjuang untuk mengurus pembiayaan pendidikan dan segala motivasi serta semangat yang diberikan. Terima kasih juga kepada staf pegawai baik di Dinas Peternakan Kutai Kartanegara maupun Cabang Dinas Peternakan Muara Muntai atas bantuannnya dalam melaksanakan penelitian. Penulis ucapkan terima kasih kepada Kakak Mira, sahabatku (Mery, Lena, Rina dan Netty), semua teman-teman di PMK, teman-teman di FM BUD Kutai Kartanegara, IPTP 42 dan Civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Penulis mengucapkan terima kasih kepada malaikat-malaikat yang Tuhan kirimkan yaitu keluarga tercinta ayahanda Marthen Barrung dan ibunda tercinta Lina Rante. Beliau adalah harta terindah dan termahal yang Tuhan berikan kepada Penulis. Doa beliaulah yang senantiasa mengiringi perjuangan Penulis dalam menempuh studi hingga akhir. Terima kasih atas semua didikan dan nasihat yang membuat Penulis mengambil banyak kebaikan dan pelajaran. Tiap patah katanya

55 adalah doa, tiap langkah kakinya adalah usaha dan pengorbanan, dan tiap tetes keringatnya adalah perjuangan demi putra-putri tercintanya. Semoga dengan selesainya pendidikan di tingkat sarjana (S1) ini, beliau semakin merasakan berkat Tuhan yang selalu tercurah bagi orang-orang yang dikasihi-nya. Tidak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada Kakak Aris yang menemani selama penelitian, Kakak Liber yang selalu mendukung baik doa maupun dana, Adinda Selviani T. P., Thomas L. R., Rinda Manda, Ferry Kala', dan Anthonius Kala', mereka sebagai sumber sukacitaku dan penghibur yang diberikan Tuhan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Amin. Bogor, September 2009 Penulis

56 DAFTAR PUSTAKA Aisiyah, N Studi ukuran tubuh sapi Madura di Desa Samaran, Kecamatan Tambelayan, Kabupaten Sampang, Madura. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anonim sentralternak.com/index.php/2008/10/07/pencatatan-produksi-recording/ [04 September 2009]. Basuki, P Dasar llmu Ternak Potong dan Kerja. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Chantalakhana, C A Scope on buffalo breeding. Buffalo Buletin. 4(4): Cockrill, W The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo: The Buffalo of Indonesia. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome. Dania, I. B. dan H. Poerwoto Pertambahan berat badan, laju pertumbuhan dan konversi pakan kerbau jantan akibat pemberian kesempatan berkubang dan jerami padi amoniasi. Jurnal. Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram. Departemen Pertanian Petunjuk Teknis: Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pasuruan. Departemen Pertanian Road Map Perbibitan Ternak. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Dilaga, S. H Suplemensi kalsium dan fosfor pada Kerbau Rawa Kalimantan Tengah yang mendapat ransum padi hiang (Oryza sativa forma spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dinas Pertanian Kutai Kartanegara Keadaan Umum Wilayah Kecamatan Muara Muntai, Kutai Kartanegara. Dinas Peternakan, Kutai Kartanegara. Dinas Peternakan Kutai Kartanegara Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara. Dinas Peternakan, Kutai Kartanegara. Dinas Peternakan Kutai Kartanegara Inventarisasi Potensi Lahan Sektor Peternakan. Dinas Peternakan, Kutai Kartanegara. Direktorat Jenderal Peternakan Statistik Peternakan CV Arena Seni, Jakarta. Dirgantoro, Strategi pengenaan tarif impor daging sapi dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Paper. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Diwyanto, K Pengamatan fenotip domba Priangan serta hubungan antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

57 Diwyanto, K. dan H. Handiwirawan Strategi pengembangan ternak kerbau: Aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Dwiyanto, K. dan Subandryo, Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. Lokakarya Nasional Pengembangan Ternak Kerbau di Indonesia, Bogor. Fahimuddin, M Domestic Water Buffalo. Oxford and IBH Publishing. Co. G G Joupath, New Delhi. Guzman, M. R An overview of recent development in buffalo research and management in Asia. Dalam: Buffalo Production for Small Farms. ASPAC, Taipei. Hardjopranjoto, S Permasalahan reproduksi pada sapi potong. Prosiding seminar nasional sapi potong di Indonesia. Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau lndonesia, Bandar Lampung. Hardjopranjoto, S Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University Press, Surabaya. Hardjosubroto, W Breed evaluation of large ruminants in Indonesia. Dalam: Copland, J. W. (Editor). Evaluation of Large Ruminants for The Tropics. ACIAR Proceedings Series No. 5, Australia. Hardjosworo, P. S. dan J. M. Levine Pengembangan Peternakan Indonesia: Bangsa-Bangsa Ternak di Indonesia dan Hasilnya. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hasanatun, Hasinah, dan Handiwirawan, E Keragaman genetik ternak kerbau di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hasinah, H. dan Handiwirawan Keragaman ganetik ternak kerbau di Indonesia. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Kartasudjana Pembibitan Ternak. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Ketaren, G. W Perencanaan pengembangan ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kristianto, L. K Pengembangan perbibitan kerbau kalang dalam menunjang agrobisnis dan agrowisata Kalimantan Timur. Jurnal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur, Samarinda. Lendhanie, U. U Karakteristik reproduksi kerbau rawa dalam kondisi lingkungan peternakan rakyat. Kalimantan Selatan. Bioscientiae. Vol. 2 No 1. Januari: Mason, I. L Species, types and breeds. Dalam: Cockrill, W. R. (Editor). The Husbandry and Health of Domestic Buffalo. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Rome.

58 McNitt Livestock Husbandry Techniques. Granada Publishing, New York. Miskiyah dan S. Usmiati Potongan komersial karkas kerbau: Studi kasus di PT Kariyana Gita Utama-Sukabumi. Jurnal. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Mongkopunya, K Reproductive Failures in Swamp Buffaloes in Thailand. Dalam: Buffalo Production for Small Farms. ASPAC, Taipei. National Research Council, The Water Buffalo: New prospects for an underutilized animal. National Academy Press, Washington, D. C. Parakkasi, A Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia, Jakarta. Partodihardjo, S Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Kedokteran Veteriner Institut Pertanian Bogor. Mutiara, Jakarta. Priadi, A. dan L. Natalia Bakteri penyebab diare pada sapi dan kerbau di Indonesia. Jurnal. Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor. Priyanto, D Evaluasi kebijakan impor daging sapi melalui analisis penawaran dan permintaan. Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner Balai Penelitian Ternak, Bogor. Putra, I. G Pendugaan bobot hidup kerbau lumpur berdasarkan pengukuran morfologi. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putu, I. G Aplikasi teknologi reproduksi untuk peningkatan performans produksi ternak kerbau di Indonesia. Jurnal. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Ranjhan, S. K. dan N. N. Pathak Management and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House PVT, Ltd., New Delhi. Reksohadiprodjo, S Pakan Ternak Gembala. BPFE-YOGYAKARTA, Yogyakarta. Roehani, E. S., A. Hamdan, R. Qomariah, dan A. Subhan Strategi pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan, Banjarbaru. Saladin, R Kerbau: Sebuah metoda pengukuran berat badan. Dalam: Jamarun, N. (Editor). Ternak dan Lingkungan. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang. Saleh, A. R Korelasi antara bobot badan, lingkar dada lebar dada tinggi pundak, panjang badan, dan dalam dada pada Sapi Ongole di Pulau Sumba. Media Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sosroamidjojo, M. S. dan Soeradji Peternakan Umum. CV Yasaguna, Jakarta. Storer, T., Robert C., Ftebruf, Robert L., Usang, James W. dan Nybaken General Zoology. Mc Grewhill Book Company, New York. Sugeng, B Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta. Suharno, B. dan Nazaruddin Ternak Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.

59 Susilawati, E Eksplorasi rumput kumpai (Hymenachine amplexicaulis (Rudge) Nees) sebagai pakan ternak di Provinsi Jambi. Jurnal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi. Talib, C Produksi induk Sapi PO dan keturunannya. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Talib, C Kerbau, ternak potensial yang dianaktirikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sinar Tani. Edisi Juni. Toelihere, M. R Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Toelihere, M. R Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung. Tomaszewska, M. W., I. K. Sutama, I. G. Putu, dan Thamrin, D. C Reproduksi, Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Williamson, G. dan W. J. A. Payne An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Longman, London. Williamson, G. dan W. J. A. Payne Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan: Darmajda D. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

60 LAMPIRAN

61 Lampiran 1. Lokasi Kecamatan Muara Muntai U

62 Lampiran 2. Populasi Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara (tahun 2008)

63 Lampiran 3. Produksi Daging ternak Kabupaten Kutai Kartanegara (2008)

64 Lampiran 4. Total Pemotongan Ternak di Kabupaten Kutai Kartanegara (2008)

65 Lampiran 5. Konsumsi Daging di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2008 (kg)

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur Latar Belakang 1. Kebutuhan konsumsi daging cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Rawa Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water bufallo berasal

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 1, Januari 2005, Halaman 43-48 http://bioscientiae.tripod.com KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT UU. Lendhanie Program Studi Ternak,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Tinjauan Umum Kerbau Kerbau rawa memberikan kontribusi positif sebagai penghasil daging, terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air 3 5 m

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang

II. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian di Koto Kampar Hulu dan XIII Koto Kampar Kecamatan XIII Koto Kampar dengan luas lebih kurang ± 927,17 km, batas-batas Kecamatan XIII Koto Kampar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu (Sumber : Suharyanto, 2007) Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur Kabupaten Kaur adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Luas wilayah administrasinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur Jl. P. M. Noor, Sempaja, Samarinda

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo ruminansia, famili Bovidae, dan genus Capra atau Hemitragus (Devendra dan Burn, 1994). Kambing

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR Buletin Peternakan Vol. 38(3): 174-181, Oktober 2014 ISSN 0126-4400 PRODUKTIVITAS KERBAU RAWA DI KECAMATAN MUARA MUNTAI, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR PRODUCTIVITY OF SWAMP BUFFALO IN MUARA

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan peningkatan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI H. AKHYAR Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batang Hari PENDAHULUAN Kabupaten Batang Hari dengan penduduk 226.383 jiwa (2008) dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan mengakibatkan kebutuhan permintaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai dari sumber daya alam yang diperbaharui dan yang tidak dapat diperbaharui. Dengan potensi tanah

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Sanggalangi Kecamatan Sanggalangi merupakan satu kecamatan dari dua puluh satu kecamatan dalam wilayah administrasi Kabupaten Toraja Utara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017 109 DINAMIKA POPULASI TERNAK KERBAU DI LEMBAH NAPU POSO BERDASARKAN PENAMPILAN REPRODUKSI, OUTPUT DANNATURAL INCREASE Marsudi 1), Sulmiyati 1), Taufik Dunialam Khaliq 1), Deka Uli Fahrodi 1), Nur Saidah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK PENDEKATAN ANALISIS SWOT DALAM MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI BALI PROGRAM BANTUAN SAPI BIBIT PADA TOPOGRAFI YANG BERBEDA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN NTT Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur 25 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Sumba Timur terletak di antara 119 45 120 52 Bujur

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana

TINJAUAN PUSTAKA. Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar ekor (Unit Pelaksana II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Sapi Bali Populasi sapi bali di Kecamatan Benai sekitar 1.519 ekor (Unit Pelaksana Teknis Daerah, 2012). Sistem pemeliharaan sapi bali di Kecamatan Benai

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Bulan Maret sampai Agustus. Pemilihan daerah Desa Cibeureum sebagai tempat penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU BELANG DI KECAMATAN SANGGALANGI, KABUPATEN TORAJA UTARA, SULAWESI SELATAN

PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU BELANG DI KECAMATAN SANGGALANGI, KABUPATEN TORAJA UTARA, SULAWESI SELATAN PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU BELANG DI KECAMATAN SANGGALANGI, KABUPATEN TORAJA UTARA, SULAWESI SELATAN SKRIPSI ARFAN AFANDI H DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 63 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2011) Provinsi Lampung meliputi areal dataran seluas 35.288,35 km 2 termasuk pulau-pulau yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang cukup banyak dan tersebar luas di wilayah pedesaan. Menurut Murtidjo (1993), kambing Kacang memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. KUNAK didirikan berdasarkan keputusan presiden

Lebih terperinci

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN 1 SEMINAR MAHASISWA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS ANDALAS Nama : Yul Afni No. BP : 07161055 Jurusan : Produksi Ternak UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

SEBARAN POPULASI DAN POTENSI KERBAU MOA DI PULAU MOA KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA

SEBARAN POPULASI DAN POTENSI KERBAU MOA DI PULAU MOA KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA SEBARAN POPULASI DAN POTENSI KERBAU MOA DI PULAU MOA KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA DISTRIBUTION OF POPULATION AND POTENTIAL IN BUFFALO MOA MOA ISLAND SOUTH-WEST DISTRICT MALUKU Dolhalewan Rudy*, Edy Kunianto**,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak

PENDAHULUAN. Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak kerbau di Provinsi Banten mencapai 14,2 juta ekor, sementara populasi ternak pada tahun 2011 kurang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80--90 % dari seluruh sapi perah yang berada di sana. Sapi ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing 1. Kambing Boer Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata "Boer" artinya petani. Kambing Boer

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No. Parameter Nilai Interpretasi 1. Kekuatan Korelasi (r) 2. Nilai p 3. Arah korelasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Keadaan Umum Balai Pengembangan Ternak Domba Margawati merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Asal-Usul dan Klasifikasi Domba Domba yang dijumpai saat ini merupakan hasil domestikasi yang dilakukan manusia. Pada awalnya domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa sapi peranakan ongole

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba mempunyai arti penting bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan daging, wool, dan lain sebagainya. Prospek domba sangat menjanjikan untuk

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi 70 V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Letak Geografis Kota Kendari dengan Ibukotanya Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, secara geografis terletak dibagian selatan garis katulistiwa

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Perkembangan Domba Asia merupakan pusat domestikasi domba. Diperkirakan domba merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi oleh manusia kira-kira

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI ( ) PKM-GT

LEMBAR PENGESAHAN. 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI ( ) PKM-GT LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan : Pengembangan Kerbau Lokal sebagai Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Daging di Indonesia dengan Recording Information System 2. Bidang Kegiatan : ( ) PKM-AI ( ) PKM-GT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI BUSTAMI dan ENDANG SUSILAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi ABSTRAK Ternak kerbau mempunyai nilai sejarah kebudayaan masyarakat Jambi. Pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan

TINJAUAN PUSTAKA. Terletak LU dan LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan TINJAUAN PUSTAKA Geografi Desa Celawan a. Letak dan Geografis Terletak 30677 LU dan 989477 LS di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Pantai Cermin dengan ketinggian tempat 11 mdpl, dengan luas wilayah

Lebih terperinci

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN Reproduction Potency and Output Population of Some Cattle Breeds In Sriwedari Village,

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang tergabung dalam kelompok peternak Jambu Raharja di Desa Sidajaya, Kecamatan

Lebih terperinci

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya TERNAK KELINCI Peluang usaha ternak kelinci cukup menjanjikan karena kelinci termasuk hewan yang gampang dijinakkan, mudah beradaptasi dan cepat berkembangbiak. Secara umum terdapat dua kelompok kelinci,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha diversifikasi pangan dengan memanfaatkan daging kambing dapat menjadi salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani di Indonesia. Kambing merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) Kambing PE pada awalnya dibudidayakan di wilayah pegunungan Menoreh seperti Girimulyo, Samigaluh, Kokap dan sebagian Pengasih (Rasminati,

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK EVALUASI PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA LOKAL MENGGUNAKAN RUMUS PRODUKTIVITAS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI (Kasus di Peternakan Rakyat Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta) Rini

Lebih terperinci