MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR, DAN SUKABUMI SITI HADJAR KUBANGUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR, DAN SUKABUMI SITI HADJAR KUBANGUN"

Transkripsi

1 MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR, DAN SUKABUMI SITI HADJAR KUBANGUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Model Spasial Bahaya Lahan Kritis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Siti Hadjar Kubangun NRP A

4 RINGKASAN SITI HADJAR KUBANGUN. Model Spasial Bahaya Lahan Kritis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA dan KOMARSA GANDASASMITA. Pemanfaatan lahan dapat mengakibatkan proses degradasi, jika melampaui kemampuannya. Hal tersebut jika dibiarkan akan mengakibatkan lahan kritis. Dampak lahan kritis adalah menghasilkan lahan yang mengalami penurunan kualitas sifat-sifat tanah, selain menurunkan fungsi konservasi, produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pengkajian lahan kritis dinilai sangat penting dilakukan untuk kepentingan masyarakat dalam mendukung upaya pemerintah guna mitigasi bahaya lahan kritis. Penelitian ini bertujuan untuk (1) memilih parameter lahan kritis, (2) memetakan distribusi dan tingkat bahaya lahan kritis pada skala Meso (menengah), (3) pemodelan spasial perubahan penutupan/penggunaan lahan, untuk memprediksi bahaya lahan kritis ke depan. Berdasarkan tujuan tersebut, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) pemilihan parameter lahan kritis berdasarkan dominasi kriteria dari beberapa dipublikasi oleh peneliti dan lembaga sebelumnya, (2) mengoverlay parameter-parameter lahan kritis tersebut dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperoleh peta lahan kritis (3) pemodelan spasial perubahan lahan dengan metode Artificial Neural Network (ANN). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa parameter terpilih untuk menilai lahan kritis terdiri atas: indeks penutup/penggunaan lahan, kerapatan vegetasi, dan bahaya erosi. Lahan kritis di daerah penelitian, didominasi oleh tingkat kerusakan kelas sedang. Lahan-lahan yang tergolong kritis di daerah penelitian mencakup daerah dengan kemiringan >25% dengan penutupan/ penggunaan lahan yang telah terkonversi sehingga mengakibatkan tingginya laju erosi. Faktor utama penyebab konversi lahan adalah meningkatnya kepadatan penduduk yang disebabkan oleh tingginya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Selain kepadatan penduduk, kemiringan lereng, jarak dari jalan dan permukiman juga menjadi faktor penyebab konversi lahan. Upaya pemanfaatan lahan sebaiknya didukung oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia yang tidak hanya berorientasi pada kebutuhan sosial dan ekonomi, namun juga berorientasi pada lingkungan yang berkelanjutan. Kata kunci: Artificial Neural Network (ANN), bahaya lahan kritis, mitigasi, model spasial, SIG

5 SUMMARY SITI HADJAR KUBANGUN. Spatial Model of Critical Land Hazard in the Regency of Bogor, Cianjur, and Sukabumi. Supervised by OTENG HARIDJAJA and KOMARSA GANDASASMITA. Land use can result in the degradation process, if it is beyond the capability. The impact of critical land can produce a land that has decreased the quality of soil characteristics, which can interfere with the function of conservation, production, economic, and social life of the community. Research of critical land is very important to the public interest in supporting the government's efforts to mitigate hazards of critical land. The objectives of this research are: (1) to choose the parameters of critical land, (2) to map the distribution and the hazard of critical land in medium-scale, (3) to spatial modeling land use/cover change. The methods of this research are: (1) the selecting of parameters of critical land based on the dominance criterion of previous studies, (2) overlay these parameters for mapping of critical land using Geographic Information System (GIS), (3) modeling the spatial land use/cover change with the method of Artificial Neural Network (ANN). The results of this research indicate that the selected paramaters to assess the critical land consist of an index of land use/cover, density of vegetation, and erosion. Critical land in the research area, dominated by a moderate level of damage class. Land classified as critically covering the area with a steep slope and land use/cover that has been converted, so it can result in high rates of erosion in the research area. The main factors causing land use/cover change are increasing population density, because the need for food, clothing, and shelter. In addition, slope, distance from roads and settlements, resulted change of land also. Efforts land use should be supported by an increase in human resources, which are not only oriented to the social and economic needs, but also oriented towards sustainable environment. Keywords: Artificial Neural Network (ANN), the hazards of critical land, mitigation, spatial models, GIS.

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR, DAN SUKABUMI SITI HADJAR KUBANGUN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Khursatul Munibah, MSc

9 Judul Tesis : Model Spasial Bahaya Lahan Kritis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi Nama : Siti Hadjar Kubangun NRP : A Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Oteng Haridjaja, MSc Ketua Dr Ir Komarsa Gandasasmita, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Boedi Tjahjono, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr Tanggal Ujian: 12 Januari 2015 (tanggal pelaksanaan ujian tesis) Tanggal Lulus: (tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)

10 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala Ridho-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, dengan judul Model Spasial Bahaya Lahan Kritis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Karya ilmiah ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2013 hingga Oktober 2014, yang sebagian dari Karya Ilmiah ini telah penulis sampaikan pada Seminar Nasional Soilidarity Ilmu Tanah IPB pada 7 November Karya ilmiah ini mencakup beberapa tujuan penelitian, yakni memetakan lahan kritis untuk skala Meso di lokasi penelitian, berdasarkan pemilihan parameter dominan yang telah dipublikasikan oleh lembaga maupun peneliti sebelumnya dan menyusun model spasial bahaya lahan kritis berdasarkan perubahan penutupan/ penggunaan lahan dengan menggunakan metode Artificial Neural Network (ANN). Keluaran yang dicapai dari penelitian ini adalah pada lokasi penelitian kelas lahan kritis didominasi oleh kelas lahan kritis sedang, berdasarkan parameter indeks penutupan/penggunaan lahan, kerapatan vegetasi dan bahaya erosi. Hasil pemodelan perubahan penutupan/penggunaan lahan menunjukan bahwa faktor kepadatan penduduk, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan lahan, yang merupakan indikator terjadinya lahan kritis. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc selaku ketua pembimbing dan Alm. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc selaku anggota pembimbing, atas arahan dan bimbingan yang sangat berharga kepada penulis, juga kepada Bapak Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku ketua program studi, Ibu Dr. Khursatul Munibah, MSc selaku penguji luar komisi beserta staf dosen Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, IPB dan kepada semua pihak yang telah membantu. Akhirnya semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih. Bogor, Februari 2015 Siti Hadjar Kubangun

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 Kerangka Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Definisi Lahan Kritis 5 Kriteria Penilaian dan Klasifikasi Lahan Kritis 5 Pemodelan Perubahan Lahan (Land Change Modeler) dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) 6 3 METODE PENELITIAN 8 Waktu dan Lokasi 8 Alat dan Bahan 9 Tahapan Penelitian 9 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 Wilayah Administrasi 20 Topografi 21 Curah Hujan 22 Tanah 23 Penutupan/penggunaan Lahan 24 Demografi 26 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 28 Pemilihan Parameter Lahan Kritis 28 Penilaian Parameter Lahan Kritis 29 Pemetaan Lahan Kritis 37 Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan 40 6 KESIMPULAN DAN SARAN 56 Kesimpulan 56 Saran 56 DAFTAR PUSTAKA 58 LAMPIRAN 61 vi vi vii

12 DAFTAR TABEL 1 Matriks hubugan antara tujuan penelitian dengan jenis data, sumber data, dan metode analisis 10 2 Urutan parameter penentu dan bobotnya 15 3 Parameter penentu, kriteria, skor dan nilai lahan kritis 16 4 Nilai kelas lahan kritis 17 5 Luas topografi di lokasi penelitian 21 6 Luas jenis tanah di lokasi penelitian 24 7 Luas penutupan/penggunaan lahan lokasi penelitian 25 8 Matriks perbandingan parameter penentu lahan kritis 28 9 Luas kelas kemampuan lahan Luas penutupan/penggunaan lahan Luas indeks penutupan/penggunaan lahan Matriks indeks penutupan/penggunaan lahan Luas kerapatan vegetasi Luas bahaya erosi Luas persebaran lahan kritis Luas persebaran lahan kritis di setiap kabupaten Luas penggunaan lahan lokasi penelitian pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan Matriks prediksi perubahan penutupan/penggunaan lahan Validasi silang luas proyeksi model tahun 2011 dengan luas peta penutupan/penggunaan lahan tahun Prediksi luas penggunaan lahan pada tahun Luas perbandingan rencana pola ruang dengan penggunaan lahan Luas lahan kritis 2011 dengan prediksi lahan kritis pada tahun Luas prediksi lahan kritis pada tahun 2022 dengan pola ruang 54 DAFTAR GAMBAR 1 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian 4 2 Lokasi penelitian 8 3 Kelas kemampuan lahan (Arsyad 2010) 11 4 Diagram alur penilaian parameter indeks penutupan/penggunaan lahan 12 5 Diagram alur penilaian parameter bahaya erosi 13 6 Diagram alur penilaian parameter kerapatan vegetasi 14 7 Diagram alur pemetaan lahan kritis 14 8 Ilustrasi overlay (Indarto dan Faisol 2012) 16 9 Diagram alur pembuatan ANN pada modul LCM Persebaran wilayah administrasi di lokasi penelitian Persebaran kemiringan lereng di lokasi penelitian Persebaran curah hujan di lokasi penelitian Persebaran jenis tanah di lokasi penelitian Persebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian (2011) Persebaran kepadatan penduduk di lokasi penelitian Persebaran kelas kemampuan lahan di lokasi penelitian 30

13 17 Persebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian (2011) Persebaran indeks penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian Persebaran kerapatan vegetasi di lokasi penelitian Persebaran NDVI Persebaran bahaya erosi di lokasi penelitian Persebaran lahan kritis di lokasi penelitian Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun Perubahan Penggunaan Lahan Antara Tahun 2000 dan 2011 (Km 2 ) Faktor pendorong (a) Jarak ke jalan (b) Jarak ke Pemukiman (c) Kepadatan penduduk; dan (d) Kontur Lokasi perubahan penggunaan lahan antara tahun 2000 dan Grafik faktor pendorong terhadap perubahan lahan Peta prediksi penutupan/penggunaan lahan pada tahun Pola Ruang RTRW untuk lokasi penelitian Prediksi lahan kritis pada tahun Prediksi lahan kritis pada tahun 2022 dengan pola ruang 55 DAFTAR LAMPIRAN Tabel 1 Parameter, sumber data dan lembaga penyedia data untuk penyusunan kriteria lahan kritis pada tingkat kabupaten (Barus et al. 2011) 61 2 Variabel dan pembobotan kriteria lahan kritis untuk skala semi-detil (Mashudi, 2010) 61 3 Kriteria penilaian lahan kritis berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) 62 4 Kriteria baku kerusakan lahan di lahan kering untuk produksi biomassa berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup (2000) 62 5 Kriteria lahan kritis berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.32/Menhut-II/2009 tentang tata cara penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai 63 6 Penilaian tingkat lahan kritis berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.32/Menhut-II/ Validasi pemetaan lahan kritis 67 8 Deskripsi lahan kritis di lokasi penelitian 68 Gambar 1 Analisis Citra Landsat 7 ETM (Path 122 Row 065) 69 2 Analisis NDVI (Normalized Diferrence Vegetation Index) 70 3 Sebaran 67 titik sample (52 titik verifikasi penutupan/penggunaan lahan dan 15 titik validasi hasil pemetaan lahan kritis) 71 4 Kelas lahan kritis 72 5 Tipe penggunaan lahan 73 6 Kondisi wilayah lokasi penelitian 74

14

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami peristiwa degradasi (pemunduran/penurunan) kualitas tanah, baik bersifat sementara maupun tetap akibat faktor biofisik lahan yang terganggu. Contoh bentuk gangguan salah satunya adalah gangguan terhadap vegetasi sebagai tumbuhan penutup tanah, sehingga dapat mengakibatkan tingginya laju peristiwa erosi (Arsyad 2010). Dampak dari lahan kritis meliputi tidak hanya pemunduran sifat-sifat tanah, namun juga mengakibatkan penurunan fungsi konservasi, fungsi produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Fungsi konservasi berarti lahan sudah tidak mampu lagi berfungsi menjaga tata air, sumberdaya tanah, serta biodiversitas yang hidup pada lahan tersebut, sedangkan fungsi produksi, berarti lahan sebagai media tumbuh dan berkembang tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, permukiman, industri, dan pariwisata akan terganggu sehingga akibatnya akan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang memanfaatkan lahan tersebut (Barus et al. 2011). Lahan kritis sebagai hasil akhir dari proses degradasi lahan, pada mulanya terjadi akibat adanya pemanfaatan lahan yang berlebihan tanpa memperhatikan aspek kemampuan dan pengelolaan lahan. Keadaan ini kemudian mengakibatkan tingginya laju erosi dan terbentuklah lahan kritis. Di Indonesia peristiwa erosi umumnya disebabkan oleh air hujan karena mempunyai iklim tropis (Arsyad 2010). Selain faktor penggunaan lahan dan curah hujan, terjadinya lahan kritis juga didukung oleh faktor topografi, seperti kondisi lereng yang curam serta kondisi lahan yang memiliki tanah yang peka terhadap erosi (Barus et al. 2011). Luas lahan kritis yang terjadi di Indonesia, menurut data Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2012) mencakup lahan-lahan yang tergolong kelas Agak Kritis, Kritis, dan Sangat Kritis, yang pada tahun 2009 mencapai luas Ha, pada tahun 2010 meningkat menjadi Ha, dan pada tahun 2011 meningkat lagi mencapai Ha. Peningkatan lahan kritis ini terutama terjadi di Indonesia bagian barat yang beriklim tropika basah, mempunyai jumlah penduduk yang tinggi, dan pemanfaatan lahan yang intensif. Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Indonesia bagian barat yang memiliki curah hujan yang relatif tinggi dan topografi yang beragam mulai dari datar hingga berbukit dan bergunung. Dengan adanya banyak pegunungan vulkanik, maka sebagian besar Pulau Jawa didominasi oleh tanah yang berasal dari material piroklastik yang secara umum bersifat agak peka hingga sangat peka terhadap erosi. Daerah vulkanik yang subur ini juga memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi, yakni sekitar 54% dari total penduduk di Indonesia dan kepadatan penduduk tertinggi berada di Provinsi Jawa Barat (BAPPEDA Provinsi Jawa Barat 2010). Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk jiwa yang berada di wilayah dengan luas ,97 km 2. Kondisi geografis di provinsi ini meliputi daerah berpegunungan di bagian selatan dengan ketinggian yang mencapai ±2.900 m dari permukaan laut (dpl) dan mencakup luas sekitar 10% dari

16 2 total luas wilayah provinsi ini. Untuk daerah perbukitan meliputi luasan 36%, terletak di bagian tengah dan mempunyai ketinggian antara m dpl, sedangkan daerah dataran terletak di bagian utara dengan ketinggian 0 10 m dpl dan mencakup 54% dari luas provinsi ini. Iklim di Provinsi Jawa Barat tergolong basah hingga sangat basah dengan curah hujan mencapai mm/thn dengan jumlah hari hujan tergolong tinggi yakni mencapai 26 hari hujan/bulan terutama di wilayah Kabupaten Bogor dan sekitarnya. Suhu rata-rata berkisar antara C dan kelembaban udara antara % (BPS Provinsi Jawa Barat 2012). Berdasarkan gambaran sifat fisik-geografis wilayah Provinsi Jawa Barat tersebut, maka Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi tergolong ke dalam wilayah yang berpotensi memiliki lahan kritis. Topografi ketiga wilayah ini sangat beragam, mulai dari relief datar hingga bergunung dengan curah hujan yang tinggi. Tanah yang berasal dari material piroklastik gunung vulkanik yang subur mengakibatkan penggunaan lahan di ketiga wilayah ini didominasi oleh lahan pertanian (ladang/tegalan), akibatnya wilayah ini sangat retan terhadap erosi. Selain hal tersebut, luas lahan kritis pada tahun 2011 di tiga kabupaten ini mencapai sekitar 30% dari total luas lahan kritis yang ada di Provinsi Jawa Barat (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2012). Perumusan Masalah Banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh lahan kritis telah menjadi perhatian dari berbagai pihak. Untuk mencegah perkembangan lahan kritis, beberapa lembaga terkait telah melakukan program-program yang bertujuan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis tersebut, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan juga Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK). Menurut data Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2012), lahan kritis di Jawa Barat pada tahun 2009 adalah Ha, pada tahun 2010 mencapai Ha, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi Ha. Lahan-lahan yang dikelaskan kritis ini mencakup lahan-lahan dengan kategori Agak Kritis, Kritis, dan Sangat Kritis; sedangkan menurut data BPLHD Provinsi Jawa Barat (2012), luas lahan kritis pada tahun 2006 di Provinsi Jawa Barat telah mencapai Ha. Setelah dilakukan rehabilitasi, tahun 2009 luas lahan kritis mulai mengalami penurunan sebesar 6% sehingga menjadi Ha. Berdasarkan angka-angka tersebut maka dapat dilihat bahwa pada daerah dan tahun yang sama (2009), luas lahan kritis memiliki angka yang berbeda-beda. Munculnya perbedaan luasan lahan kritis ini, tampak lebih disebabkan oleh adanya perbedaan definisi, kriteria, dan pengkelasan tingkat lahan kritis oleh berbagai lembaga, instansi, atau pakar. Perbedaan ini dalam perjalanannya disadari atau tidak dapat menjadi salah satu faktor penghambat untuk keberhasilan kegiatan penanganan lahan kritis (Mashudi 2010). Padahal keakuratan data mengenai lahan kritis dan ketepatan dalam penyampaiannya kepada masyarakat sangat penting dilakukan guna mendukung upaya mitigasi terhadap bahaya/ ancaman lahan kritis yang ada (BNPB 2012).

17 3 Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten yang terletak di sekitar Ibu Kota DKI Jakarta, sehingga di ketiga kabupaten ini banyak mengalami perubahan karena tingginya interaksi baik sosial, ekonomi, maupun budaya dengan DKI Jakarta. Dari interaksi ini dampak yang dirasakan terutama adalah cepatnya laju konversi lahan, terutama dari lahan hutan ke lahan pertanian atau dari lahan pertanian ke non-pertanian. Gejala ini dapat mengancam kondisi ekologi, salah satunya adalah dalam bentuk munculnya lahan kritis. Pencegahan atau mitigasi terhadap lahan kritis akhirnya menjadi program yang penting agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan. Upaya mitigasi pada lahan kritis ini salah satunya dapat dilakukan melalui upaya identifikasi lokasi yang mempunyai tingkat kekritisan lahan dan selanjutnya melakukan prediksi bahaya lahan kritis ke depan. Prediksi ini dapat dilakukan melalui pemodelan, dan salah satunya adalah melalui pemodelan perubahan penutupan/penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan hubungan antara manusia dengan lahan dan seringkali melahirkan ancaman terhadap penurunan kualitas lahan. Hasil pemodelan ini selanjutnya dapat digunakan untuk mendukung program-program yang terkait dengan upaya mitigasi. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah, maka penelitian ini mengambil lokasi di tiga kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Cianjur, dengan tujuan : 1. Memilih parameter untuk penilaian lahan kritis (skala meso). 2. Memetakan lahan kritis di daerah penelitian. 3. Membuat model spasial bahaya lahan kritis berdasarkan perubahan penutupan/penggunaan lahan. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi penting tentang lahan kritis di daerah penelitian, khususnya menjadi masukan bagi pemerintah daerah setempat untuk pengambilan kebijakan dalam tata ruang, selain untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Kerangka Pemikiran Kekritisan lahan dimulai ketika lahan telah mengalami proses degradasi dimana sifat-sifat tanah menjadi tidak berkualitas akibat kesalahan pengelolaan dalam pemanfaatannya. Proses degradasi mula-mula terjadi akibat adanya unsurunsur biofisik lingkungan alami seperti tanah, topografi dan vegetasi yang terganggu keseimbangannya secara ekologis; selanjutnya akibat intervensi manusia, maka unsur-unsur alami tersebut menjadi lebih rentan mengalami penurunan kualitas. Terganggunya keseimbangan iniselanjutnya memberikan pengaruh lanjutan, yakni penurunan atau kehilangan biodiversitas lahan (fungsi konservasi) dan akhirnya mengganggu kehidupan sosial ekonomi masyarakat (fungsi produksi).

18 4 Pengkajian lahan kritis dinilai sangat penting guna mendukung upaya mitigasi (pengurangan ancaman) lahan kritis di lokasi penelitian. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara memetakan lokasi dan tingkat bahaya lahan kritis dan memprediksi kejadian lahan kritis pada keadaan mendatang. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi informasi kepada pemerintah daerah setempat untuk melakukan pencegahan, yakni dalam hal pengambilan kebijakan mengenai pengurangan bahaya lahan kritis di lokasi penelitian. Gambaran kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Mitigasi Lahan Aktifitas Manusia - Penggunaan Lahan - Manajemen Lahan - Pola Ruang Faktor Alami - Iklim; Curah hujan - Topografi - Tanah Degradasi Lahan Terganggunya fungsi konservasi, fungsi produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Penurunan kualitas dan daya dukung lahan Lahan Kritis Pemilihan parameter, pemetaan dan pemodelan spasial bahaya lahan kritis Pemilihan parameter dominan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dipublikasikan sebelumnya Pemetaan lahan kritis berdasarkan hasil pemilihan parameter yang berbasis data spasial Matriks pemilihan parameter dan konsep terjadinya lahan kritis Weighted Overlay Parameter lahan kritis untuk skala meso Peta sebaran lahan kritis di lokasi penelitian Pemodelan spasial bahaya lahan kritis berdasarkan perubahan penutupan/penggunaan lahan Land change modeler, Artificial Neural Network (ANN) Prediksi perubahan penutupan/ penggunaan lahan pada tahun 2022 Prediksi bahaya lahan kritis pada tahun 2022 Gambar 1 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian

19 5 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Lahan Kritis Lahan kritis memiliki pengertian yang beragam sesuai dengan pandangan pakar atau kepentingan lembaga yang mendefinisikannya. Berikut beberapa definisi mengenai lahan kritis. Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Barus et al. (2011) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang mengalami penurunan daya dukung akibat penggunaan yang tidak sesuai. Menurut Subardja (1994) lahan kritis merupakan lahan yang memiliki tanah yang telah mengalami kerusakan fisik, kimia, dan biologi karena penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya sehingga membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, permukiman, dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya, sedangkan menurut Barus et al. (2011) lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat lagi berfungsi dengan baik untuk peruntukannya sebagai media konservasi dan/atau produksi. Adapun definisi dari kelembagaan, antara lain adalah yang berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup (2000) menyebut lahan kritis sebagai tanah rusak berdasarkan produksi biomassa; Departemen Pertanian menyatakan bahwa lahan kritis adalah lahan yang tidak lagi mampu mendukung produktifitas tanaman, akibat kesalahan dalam pengelolaannya (Didu 2001), dan Kementerian Kehutanan (2009) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang tidak mampu menjalankan fungsi hidro-orologisnya sampai pada batas tertentu. Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa lahan kritis adalah lahan-lahan yang telah mengalami proses degradasi sehingga mengalami perubahan sifat tanah (fisik, kimia dan biologi) akibat penggunaan lahan yang melampaui kemampuannya. Kriteria Penilaian dan Klasifikasi Lahan Kritis Sejalan dengan definisi lahan kritis di atas, beberapa peneliti dan lembaga terkait tersebut telah mengeluarkan kriteria penilaian dan klasifikasi lahan kritis. Kriteria penilaian lahan kritis dari Barus et al. (2011) yang digunakan untuk skala kabupaten membagi lahan kritis menjadi lima kelas, yakni : (1) Tidak Kritis, atau lahan-lahan yang sesuai untuk peruntukannya dan mempunyai nilai Tingkat Bahaya Erosi (TBE) 1; (2) Potensial Kritis, yaitu lahan-lahan yang sedang megalami penurunan kualitas, namun mudah dikembalikan ke fungsinya semula dan mempunyai nilai 1<TBE<10; (3) Kritis Sedang, yaitu lahan-lahan yang tidak sesuai peruntukannya dengan nilai 10<TBE<20; (4) Kritis Berat, yaitu lahan-lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan mempunyai nilai 20<TBE<40: dan (5) Kritis Sangat Berat, yaitu lahan-lahan yang memiliki kondisi aktual tidak sesuai dengan peruntukannya dan sulit untuk dikembalikan ke fungsinya semula serta mempunyai nilai TBE>40. Parameter dan sumber data lahan kritis ini disajikan pada Lampiran Tabel 1. Selanjutnya Mashudi (2010) telah membuat kriteria lahan kritis (skala semi-detil) di Kabupaten Bogor sebagai berikut: (1) Sangat Kritis, mempunyai kedalaman efektif tanah sangat dangkal, erosi sangat berat, penutupan lahan

20 6 jarang, batuan di permukaan sangat banyak, dan kemiringan lereng curam >45%; (2) Kritis, mempunyai kedalaman efektif tanah dangkal (26 50 cm), erosi berat, penutupan lahan sedang, batuan di permukaan banyak, dan kemiringan lereng 31 45%. (3) Agak Kritis, mempunyai kedalaman efektif tanah dalam, erosi sedang, penutupan lahan rapat, batuan di permukaan sedang dan kemiringan lereng 9 30%; dan (4) Tidak Kritis, mempunyai kedalaman efektif tanah sangat dalam, erosi ringan, penutupan lahan sangat rapat, batuan di permukaan sedikit dan lereng 8%. Variabel penilaian lahan kritis disajikan pada Lampiran Tabel 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) mengelompokkan lahan kritis (atau lahan terdegradasi) menjadi empat tingkat, yaitu: (1) Potensial kritis; (2) Semi kritis; (3) Kritis; dan (4) Sangat kritis. Kriteria pengelompokan ini didasarkan pada variabel-variabel yang meliputi : kondisi penutupan vegetasi, tingkat torehan/kerapatan drainase, penggunaan lahan, dan kedalaman tanah (Lampiran Tabel 3). Kementerian Lingkungan Hidup (2000) melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 150 tahun 2000, menentukan baku mutu ambang kekritisan tanah yang didasarkan pada parameter-parameter yang mencakup : ketebalan solum, batuan di permukaan, tekstur, berat isi, porositas total, permeabilitas, ph, DHL, redoks, dan jumlah mikroba (Lampiran Tabel 4). Kritieria penilaian lahan kritis dari Kementerian Kehutanan (2009) mengacu pada Peraturan Nomor. P.32/Menhut-II/2009 yang menggolongkan lahan kritis menjadi lima kelompok, yaitu: (1) Tidak kritis; (2) Potensial kritis; (3) Agak kritis; (4) Kritis; dan (5) Sangat kritis. Kriteria ini didasarkan pada variabelvariabel yang terdiri atas : kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan (manajemen), dan produktivitas lahan (Lampiran Tabel 5 dan 6). Pemodelan Perubahan Lahan (Land Change Modeler) dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) Perubahan penutupan/penggunaan lahan diilustrasikan sebagai semua bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2010). Perubahan lahan akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupannya (ekonomi, sosial, dan budaya). Hal ini pada akhirnya akan berdampak positif maupun negatif sebagai konsekuensi dari pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat (Munibah 2008). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor utama penyebab terjadinya perubahan penutupan/ penggunaan lahan secara umum adalah karena peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan ini mengakibatkan adanya perkembangan ekonomi yang menuntut ketersediaan lahan, antara lain; permukiman, industri, infrastruktur, maupun jasa. Penggunaan lahan secara umum digolongkan menjadi dua, yaitu pertanian dan non-pertanian, dengan sifat; permanen dan sementara; sebagai contoh, penggunaan lahan sawah yang berubah menjadi lahan terbangun merupakan perubahan yang bersifat permanen, namun jika lahan sawah beralih menjadi lahan pertanian lain, maka perubahan ini dapat bersifat sementara, karena suatu saat

21 lahan tersebut dapat kembali menjadi lahan sawah jika diinginkan oleh pemiliknya. Dalam kaitannya dengan lahan kritis, maka lahan-lahan yang mengalami konversi, misal dari yang sebelumnya memiliki tutupan lahan rapat kemudian berubah menjadi tutupan lahan jarang merupakan lahan-lahan yang berpotensi mengalami kekritisan. Hal ini disebabkan lahan-lahan tersebut telah mengalami perubahan sifat kualitas lahan yang cenderung degradatif. Lahan kritis kerap dihubungkan dengan intervensi manusia terhadap lahan, hal ini disebabkan manusia adalah anasir utama dalam perubahan penutupan/penggunaan lahan. Selain faktor perubahan penutupan/penggunaan lahan, sifat fisik lahan juga sangat berperan dalam kejadian lahan kritis. Berdasarkan pemahaman ini maka pemodelan spasial perubahan penutupan/ penggunaan lahan, dapat digunakan untuk memprediksi potensi atau bahaya lahan kritis di waktu yang akan datang dengan memasukan faktor-faktor fisik lahan sebagai faktor penentu tambahan. Model merupakan suatu penyederhanaan dari sistem yang terjadi di dunia nyata (real world). Model perubahan penggunaan lahan misalnya adalah model yang dibangun dengan mengkombinasikan antara pendekatan dinamika dengan sistem informasi geografik (SIG) yang berbasis spasial. Dikarenakan model ini dapat mengidentifikasi dan menganalisis data penutupan/penggunaan lahan yang berbeda waktu, maka model ini dapat memprediksi pola penggunaan lahan untuk keadaan yang akan datang (forecasting). Hasil yang diperoleh dari pemodelan ini diharapkan dapat membantu dalam pembuatan rancangan-rancangan pengambilan kebijakan oleh para penentu kebijakan (Purnomo 2012). Metode yang dipakai untuk model perubahan penutupan/penggunaan lahan ini adalah Artificial Neural Network (ANN). ANN yang dalam bahasa Indonesia berarti jaringan syaraf tiruan. Model ini merupakan suatu struktur komputasi yang dikembangkan berdasarkan proses sistem jaringan syaraf. ANN memiliki kemampuan untuk mengukur dan membuat sebuah model dari suatu perilaku dan pola yang kompleks, yang telah digunakan di berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, kesehatan, bentanglahan, iklim, dan penginderaan jauh (Atkinson dan Tatnall 1997). ANN yang diaplikasikan untuk pemodelan perubahan penutupan/penggunaan lahan terbukti bermanfaat untuk memprediksi perubahan yang sesuai dengan rentang waktu pada Input yang digunakan. ANN yang diaplikasikan pada pemodelan perubahan penutupan/ penggunaan lahan, bekerja dalam dalam empat tahap, yaitu (1) menentukan input dan arsitektur jaringan, (2) membuat jaringan dengan menggunakan sebagian piksel dari input, (3) menguji jaringan dengan menggunakan semua piksel dari input, dan (4) menggunakan informasi yang telah dihasilkan oleh jaringan untuk memprediksi perubahan pengunaan lahan ke depan (Atkinson dan Tatnall 1997). Dalam pengerjaannya ANN menggunakan faktor pendorong untuk menilai perubahan penutupan/penggunaan lahan seperti jarak terhadap jalan, terhadap permukiman, kepadatan penduduk, hingga kemiringan lereng yang juga merupakan salah satu parameter penentu lahan kritis. Hasil prediksi perubahan penutupan/penggunaan lahan inilah yang kemudian digunakan untuk pengambilan kebijakan atas penutupan/penggunaan lahan dalam jangka panjang. Selanjutnya, pemodelan perubahan lahan ini digunakan untuk memprediksi bahaya lahan kritis sehingga dapat dimanfaatkan untuk program mitigasi bencana lahan kritis. 7

22 8 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2013 hingga Oktober Lokasi penelitian meliputi 3 (tiga) Kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yakni Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi. Ketiga Kabupaten ini dipilih karena dinilai mewakili wilayah yang memiliki lahan kritis dan memiliki kondisi fisik lahan yang beragam serta mempunyai pola penggunaan lahan yang heterogen. Skala output hasil penelitian adalah pada skala meso (skala 1: : ) yang disesuaikan dengan sumber data yang tersedia. Gambar 2 Lokasi penelitian

23 9 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi: (1) Peralatan untuk menganalisis data spasial dan pemodelan, yaitu berupa unit komputer dengan software yang terdiri dari, Microsoft Office, ArcGIS 10, dan Idrisi Selva; (2) Peralatan lapang untuk validasi, yang meliputi GPS (Global Positioning System), kamera, dan peralatan tulis. Bahan-bahan yang digunakan berupa: (1) Literatur yang berkaitan dengan topik lahan kritis dan model perubahan penutupan/penggunaan lahan. (2) Citra satelit Landsat ETM 7 (Path 122 Row 065) yang diakuisisi pada bulan Agustus dan Juni Citra ini selanjutnya diproyeksikan ke sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) pada Zone 48 South. (3) Peta Rupa Bumi Indonesia (1:50.000) dari Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk pembuatan peta dasar. (4) Data Digital Elevation Model (DEM) dengan resolusi 90 m x 90 m untuk membuat peta lereng dari data SRTM. (5) Data spasial (peta-peta tematik) terkait sifat fisik lahan, yakni peta sistem lahan (1: ) dari BIG, peta tanah (1: ) dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak), peta curah hujan, dan peta penggunaan lahan multi temporal, yaitu tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 (1: ) dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ciliwung Citarum. (6) Data pendukung lain dari instansi-instansi yang meliputi data sosial dari Badan Pusat Statistik (BPS), data curah hujan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dokumen RTRW dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor, dan data rencana strategis dan rehabilitasi lahan dari BPDAS Ciliwung Citarum. Tahap Persiapan Data Tahapan Penelitian Tahap ini terdiri atas studi pustaka mengenai lahan kritis dan publikasipublikasi yang digunakan dalam menilai lahan kritis. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data spasial yang meliputi peta topografik (RBI) dan peta tematik (seperti peta administrasi lokasi penelitian, peta penutupan/penggunaan lahan, peta bentuklahan, peta tanah, peta lereng, dan peta curah hujan yang terkait dengan parameter-parameter untuk penilaian lahan kritis), serta data penginderaan jauh (Landsat ETM 7). Tahap Pemilihan Parameter Lahan Kritis Pemilihan parameter lahan kritis didasarkan atas parameter-parameter yang telah dipublikasikan oleh lembaga-lembaga maupun para pakar/peneliti

24 10 sebelumnya, yaitu dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak) (1997), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) (2000), Kementerian Kehutanan (Kemenhut) (2009), Mashudi (2008), dan Barus et al. (2011). Dari kelima kriteria tersebut, kriteria yang berasal dari Kementerian Kehutanan (2009) dan Barus et al. (2011) merupakan kriteria yang berbasis spasial dan telah digunakan untuk pemetaan. Dengan memakai tabel matriks, selanjutnya dilakukan pemilihan parameter-parameter yang paling banyak digunakan oleh instansi-instansi tersebut. Selain itu, pemilihan kriteria juga merujuk pada ketersediaan informasi dan data spasial yang ada dengan output pada skala meso. Keterkaitan antara tujuan penelitian dengan jenis data, sumber data, dan metode analisisnya yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Matriks hubungan antara tujuan penelitian dengan jenis data, sumber data, dan metode analisis. Tujuan Jenis data Sumber data Pemilihan parameter lahan kritis Pemetaan lahan kritis Penyusunan model spasial bahaya lahan kritis berdasarkan perubahan/ penggunaan lahan Catatan : Parameter dan faktor-faktor penentu lahan kritis 1. Data spasial hasil pemilihan parameter pada tujuan 1, yakni; - Data administrasi; - Data kemampuan lahan; - Data penutupan/ penggunaan lahan; - Data fisik wilayah (Lereng, DEM, Curah hujan, Jenis tanah). 2. Citra Landsat ETM7 1. Peta penutupan/ penggunaan lahan; 2. Peta bahaya lahan kritis 3. Peta permukiman 4. Data kepadatan penduduk 5. Peta jaringan jalan 6. Peta ketinggian tempat Puslitanak : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat KLH : Kementerian Lingkungan Hidup Kemenhut : Kementerian Kehutanan BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BIG : Badan Informasi Geospasial BPDAS : Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BMKG : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kriteria lahan kritis dari: Lembaga; - Puslitanak (1997), - KLH (2000), - Kemenhut (2009), Pakar/peneliti: - Mashudi (2010) - Barus et al. (2011). BAPPEDA, BIG, BPDAS, BMKG, BIG, BPS, dan Hasil analisis. Teknik Analisis Telaah literatur; Matriks pemilihan parameter dominan Weighted Overlay; Land Change Modeler dengan metode ANN Hasil Parameter lahan kritis skala meso Peta sebaran lahan kritis Prediksi perubahan penutupan/ penggunaan lahan untuk memprediksi bahaya lahan kritis

25 11 Tahap Penilaian Lahan Kritis Penilaian lahan kritis selain berdasarkan pada parameter terpilih melalui analisis matriks juga mempertimbangkan parameter lain sesuai dengan konsep terjadinya lahan kritis. Dalam konsep ini penggunaan lahan yang melampaui batas kemampuan lahan akan mempercepat laju proses erosi, sehingga lahan menjadi terdegradasi dan tidak mampu lagi untuk mendukung aspek kehidupan, sehigga lahan tersebut dikatakan kritis (Barus et al. 2011); namun proses ini dapat dicegah dengan adanya kegiatan konservasi atau membuat tutupan lahan yang baik, sehingga laju erosi dapat diturunkan dan kualitas lahan dapat tetap terjaga. Berdasarkan konsep tersebut, maka lahan kritis sangat berhubungan dengan penutupan/penggunaan lahan yang berada pada kemampuan lahan tertentu, adanya peristiwa erosi, serta kondisi kualitas tutupan lahan (vegetasi). Faktor yang terakhir ini bersifat dapat meminimalisir/menghalangi laju peristiwa erosi. Dengan demikian, parameter yang digunakan dalam penilaian lahan kritis ini adalah: (1) indeks penutupan/penggunaan lahan, (2) bahaya erosi, dan (3) kerapatan vegetasi. Indeks penutupan/penggunaan lahan, ditentukan dengan cara membandingkan nilai kelas kemampuan lahan pada lokasi penelitian dengan nilai penutupan/penggunaan lahan existing di lapang. Penilaian ini diawali dengan cara menetapkan kelas kemampuan lahan, yang berdasarkan pada metode penghitungan faktor penghambat; yakni dengan menguraikan kualitas lahan yang diurutkan dari yang terbaik hingga terburuk, atau dengan hambatan yang terkecil (ringan) hingga terbesar (terberat). Hasil penentuan lahan ini akan diurutkan dari penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2011). Kelas kemampuan lahan ini terdiri atas delapan kelas, yang menggambarkan ancaman kerusakan atau hambatan yang meningkat berturut-turut dari kelas I hingga ke kelas VIII, seperti terlihat pada gambar berikut. Gambar 3 Kelas kemampuan lahan (Arsyad 2010)

26 12 Parameter yang digunakan dalam penentuan kelas kemampuan lahan ini adalah keadaan tanah (jenis tanah, kedalaman, drainase, dan pengelolaan), bentuklahan, dan curah hujan yang bersumber dari peta sistem lahan, yang kemudian diurutkan dari yang terbaik (kelas 1) hingga terburuk (kelas VIII) berdasarkan karakteristik lahan yang membatasi pilihan penggunaan lahan (Gambar 3). Setelah diperoleh kelas kemampuan lahan, kemudian dikategorikan lagi menjadi 5 (lima) kelas, yaitu Kelas 1 (kelas kemampuan I); Kelas 2 (kelas kemampuan II-III); Kelas 3 (kelas kemampuan IV); Kelas 4 (kelas kemampuan VI-VII); dan Kelas 5 (kelas kemampuan VIII). Pengkelasan ini dilakukan agar sesuai dengan interval kelas lahan kritis. Untuk kelas penutupan/penggunaan lahan, diperoleh dari peta penutupan/penggunaan lahan (data sekunder). Kedua peta ini (peta kemampuan lahan dan penutupan/penggunaan lahan tahun 2011) di overlay untuk mendapatkan peta Indeks penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan. Berikut diagram alur pembuatan peta indeks penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan. Sistem lahan Tanah Bentuk lahan Iklim Peta penutupan/ penggunaan lahan tahun 2011 Delapan kelas kemampuan lahan Pengelompokan Lima kelas lahan Perbandingan Peta indeks penutupan/penggunaan lahan Gambar 4 Diagram alur penilaian parameter indeks penutupan/penggunaan lahan Bahaya erosi, merupakan parameter selanjutnya yang penilaiannya bertujuan untuk mengetahui potensi terjadinya proses erosi dari suatu daerah. Arsyad (2010) menjelaskan bahwa penilaian bahaya erosi dapat diukur berdasarkan tingkat kedetilan pengamatan. Pada tingkat Makro, bahaya erosi dianalisis secara umum (tinjau) berdasarkan faktor iklim dengan parameter curah hujan yang menggambarkan nilai-nilai erosivitas hujan pada interval kelas tertentu. Pada tingkat Mikro potensi bahaya erosi secara detil dianalisis menggunakan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equaliton), yakni A = RKLSCP {Erosivitas hujan (R), Erodibilitas tanah (K), Panjang dan miring lereng (LS), Vegetasi (C), dan Pengelolaan (P)} (Wischmeier dan Smith 1978 dalam Hardjowigeno 2007). Dalam penelitian ini bahaya erosi diprediksi pada tingkat Meso, dengan menilai bahaya erosi dinilai secara kualitatif menggunakan modifikasi rumus

27 13 USLE, yaitu A = RKLS, dengan cara mengoverlay data spasial curah hujan, tanah, dan lereng; sedangkan untuk nilai C dan P diasumsikan memiliki nilai 1 (satu) (Arsyad 2010). Data curah hujan Data tanah (sistem lahan) DEM (SRTM) Interpolasi Peta curah hujan Jenis dan Tekstur tanah Peta Tanah Slope Peta lereng Overlay Peta bahaya erosi Gambar 5 Diagram alur penilaian parameter bahaya erosi Berdasarkan rumusan di atas, jika ada tutupan vegetasi maka ada tindakan konservasi (ada yang melindungi tanah). Dengan demikian diasumsikan bahwa suatu lahan dapat terlindung dari energi kinetik hujan berdasarkan adanya peran vegetasi. Dalam hal ini parameter vegetasi sangat tergantung pada kerapatan dan tingginya penutup lahan tersebut. Dengan makin rapat vegetasi maka akan makin efektif melindungi tanah, karena kerapatan bersifat sebagai penahan/penghalang jatuhnya butiran-butiran hujan agar tidak langsung mengenai tanah (Wahyunto et al. 2007). Kerapatan vegetasi, merupakan parameter ke-3 yang penilaiannya dihasilkan dari transformasi Normalized Difference Vegetation Indekx (NDVI) yang menganalisis band merah dan band infra-merah pada Citra Landsat ETM 7 dengan mengukur rasio antara pantulan kedua band tersebut. Band-band tersebut berada pada panjang gelombang 0,63 0,69 µm dan 0,76 0,90 µm, yang berfungsi membedakan pantulan objek pada vegetasi (klorofil) dengan lahan terbuka (tanah). Dengan demikian cara ini dapat menjadi acuan untuk menduga indeks kerapatan vegetasi. Nilai NDVI diperoleh berdasarkan persamaan Eastman (1997) dalam Raymoon (2013) sebagai berikut;. (1) Wahyunto et al. (2007), melalui analisis kerapatan vegetasi untuk menentukan tingkat degradasi lahan, mengkelaskan tingkat kerapatan vegetasi (NDVI) menjadi 5 (lima) kelas kerapatan, yakni; sangat rapat (dengan nilai NDVI >0,35); rapat (0,35 0,25); sedang (< 0,25 0,15); jarang (< 0,15 0,03); dan sangat jarang (< 0,03). Berikut diagram alur untuk penilaian kelas kerapatan vegetasi.

28 14 Download Citra Landsat ETM7 Koreksi Geometrik Penentuan NDVI Band 3, Band 4 Majoriti/ Generalisasi Kelas kerapatan vegetasi Gambar 6 Diagram alur penilaian parameter kerapatan vegetasi Tahap Pemetaan Lahan Kritis Peta kerapatan vegetasi Pemetaan lahan kritis dibuat berdasarkan proses overlay (tumpang tindih) diantara parameter-parameter yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Berikut, diagram alur pembuatan peta lahan kritis. Peta indeks penutupan/penggunaan lahan Peta bahaya erosi Peta kerapatan vegetasi Pembobotan dan Scoring Pembobotan dan Scoring Pembobotan dan Scoring Overlay Pengkelasan Peta lahan kritis Gambar 7 Diagram alur pemetaan lahan kritis

29 15 Tahap ini diawali dengan pemberian bobot dan skor pada tiap data attribut dari parameter yang telah dipilih. Pembobotan dilakukan berdasarkan pada pentingnya kontribusi (besarnya potensi) dari tiap parameter terhadap terjadinya lahan kritis. Pembobotan dilakukan dengan persamaan yang digunakan Wahyunto et al. (2007), sebagai berikut:. (2) yang mana, Wij : Bobot yang dinormalkan; n : Jumlah parameter k i (j = 1,2,3); rj : Urutan parameter. Untuk parameter indeks penggunaan lahan dalam penelitian ini dipilih sebagai parameter penentu pertama karena parameter ini mengakibatkan lahan menjadi terdegradasi. Dengan demikian parameter indeks penggunaan lahan ini memiliki urutan kepentingan (rj) yang pertama (1) daripada parameter penentu lainnya, (n = 3) [ = 3] yang berarti tiga kali lebih penting dari total jumlah parameter penentu. Untuk parameter selanjutnya, yaitu bahaya erosi dan kerapatan vegetasi, maka kerapatan vegetasi dianggap lebih penting daripada bahaya erosi karena kerapatan vegetasi itu sendiri dapat mempengaruhi besarnya nilai bahaya erosi (kerapatan vegetasi merupakan salah satu parameter untuk penilaian bahaya erosi), sehingga kerapatan vegetasi memiliki urutan kepentingan pada peringkat kedua; sedangkan bahaya erosi memiliki urutan ketiga, dengan demikian bobot akhir urutan kepentingan parameter, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Urutan parameter penentu dan bobotnya Kepentingan Bobot No. Parameter Penentu ( ( 1 Indeks penutupan/ penggunaan Lahan 1 3 0,50 2 Bahaya erosi 3 1 0,17 3 Kerapatan Vegetasi 2 2 0,33 = 3 Jumlah ( 6 1 Ket: n : Jumlah parameter rj : Urutan parameter Wij : Bobot Setelah semua parameter terboboti, maka dapat dilakukan skoring untuk masing-masing parameter yang dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) kriteria. Penetapan lima kriteria ini berguna untuk pengambilan keputusan serta menentukan nilai ambang batas akhir klasifikasi tingkat lahan kritis. Tiap parameter ditetapkan memiliki 5 (lima) kriteria, yang memberikan pengaruh dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Mengacu pada pemberian skor Ikqra (2012), yaitu berkisar 0 5, maka skor 0 mempunyai makna tidak memberikan pengaruh; sedangkan skor 1 5 diasumsikan memberikan pengaruh dengan tingkat sangat rendah sampai sangat tinggi. Skor yang digunakan dalam penelitian ini, berkisar 1 5 dengan tidak

30 16 menggunakan skor 0, hal ini dikarenakan lahan secara alami tetap mengalami proses degradasi, namun berjalan secara normal dengan laju yang lambat sejalan dengan pemulihannya atau proses pembentukan tanah (Arsyad 2010). Setelah skor tiap kelas kriteria pada parameter yang telah terboboti ditentukan, selanjutnya masing-masing kriteria diberikan nilai. Nilai tiap kriteria, ditentukan dengan pengkalian antara bobot dan skor dari setiap kriteria. Tabel 3 Parameter penentu, kriteria, skor dan nilai bahaya lahan kritis Parameter Penentu Bobot* Kriteria Skor Indeks Penggunaan Lahan 0,50 1. Sangat Baik 2. Baik 3. Sedang 4. Buruk 5. Sangat Buruk Bahaya Erosi 0,17 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Sedang 4. Tinggi 5. Sangat Tinggi Kerapatan Vegetasi 0,33 1. Sangat Rapat 2. Rapat 3. Sedang 4. Jarang 5. Terbuka Nilai (Bobot x Skor) 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 0,17 0,34 0,51 0,68 0,85 0,33 0,66 0,99 1,32 1,65 * = Bobot berasal dari hasil perhitungan persamaan (2), yang kepentingannya ditentukan dari dominasi parameter penentu yang mengakibatkan lahan kritis. Berdasarkan nilai tersebut, maka dapat dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) dengan menjumlahkan attribut secara simultan dari tiap parameter (layer), (Indarto dan Faisol 2012) seperti digambarkan sebagai berikut (Gambar 8) Gambar 8 Ilustrasi overlay (Indarto dan Faisol 2012) Berdasarkan gambar tersebut, maka lahan kritis merupakan hasil dari penjumlahan nilai parameter. Nilai total ini dibuat berdasarkan pendekatan yang digunakan oleh Indarto dan Faisol (2012) dengan persamaan : Bahaya lahan kritis = Σ {0,50 (IPL) (KV) (BE)}. (3) yang mana, IPL = Indeks pentupan/penggunaan lahan KV = Kerapatan vegetasi BE = Bahaya erosi

31 17 Dari persamaan di atas, maka dapat dihasilkan suatu output baru yang memiliki bobot hasil penjumlahan dari semua parameter. Hasil inilah yang dikasifikasikan untuk menentukan kelas bahaya lahan kritis. Tingkat bahaya lahan kritis, akan dibagi menjadi 5 (lima) kelas yakni ; Tidak kritis; Agak kritis; Kritis sedang; Kritis; dan Sangat kritis dengan menggunakan interval kelas yang digunakan oleh Dibyosaputro (1999) dalam Ikqra (2012) yakni : Interval kelas = Nilai tertinggi Nilai terendah. (4) Jumlah kelas Hasil dari interval kelas inilah yang selanjutnya digunakan untuk pengelompokan kelas (deliniasi) pada data attribut dan data spasial analisis SIG. Berikut disajikan Tabel interval kelas dalam klasifikasi bahaya lahan kritis : Tabel 4 Kelas lahan kritis Tahap Survai Lapang Kelas Lahan kritis Nilai Tidak kritis 1,8 Agak kritis >1,8 2,6 Kritis Sedang >2,6 3,4 Kritis >3,4 4,2 Sangat kritis >4,2 5,0 Survai lapang dilakukan untuk pengecekan data spasial fisik lahan terhadap keadaan sekarang di lapangan, seperti penutupan/penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan dilakukan pula pengumpulan data primer fisik. Lokasi pengamatan berada pada daerah yang dinilai memiliki aksesibilitas yang tinggi yang dapat mewakili semua kelas yang ada, sehingga informasi mengenai kondisi fisik lahan dan penggunaan lahan lainnya dapat diketahui secara cepat dan tepat. Validasi lapang dilakukan untuk mengecek kebenaran hasil pemetaan lahan kritis yang dibuat dengan keadaan sebenarnya di lapang. Pengamatan yang dilakukan meliputi tiap parameter yang digunakan dalam penilaian lahan kritis, yakni indeks penutupan/penggunaan lahan, kerapatan vegetasi, dan bahaya erosi. Untuk posisi geografis lokasi pengamatan, ditentukan dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Tahap Analisis Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Data yang digunakan berupa data spasial penutupan/penggunaan lahan selama 5 (lima) tahun, yakni tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan Jenis penutupan/penggunaan lahan dibedakan menjadi 12 kelas dan faktor-faktor pendorong, seperti jarak terhadap jalan, penduduk, permukiman, dan kemiringan lereng digunakan untuk analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan. Jalan dan permukiman, dianalisis dengan menjalankan modul Distance, sehingga

32 18 menghasilkan data spasial jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman. Jarak dihitung berdasarkan Euclidean, yakni jarak dari satu objek ke objek yang lainnya. Data lereng dianalisis dengan membuat kelas menggunakan modul GIS Analysis-surface. Jumlah penduduk dibuat dalam format data spasial, dengan asumsi bahwa populasi penduduk menyebar secara sirkular dengan jari-jari 2 km (populasi bergerak dan berinteraksi secara aktif pada jarak 2 km) dan populasi akan bertambah besar ketika mendekati pusatnya. Persamaan untuk menilai proporsi populasi mengacu pada Alberto dan Dasanto (2010) software Idrisi; Proporsi populasi = ( * (peta jarak ke permukiman)/1000) (5) Setelah proporsi populasi diperoleh, maka selanjutnya dibuat faktor kepadatan penduduk yang dibuat dalam bentuk data spasial per piksel dengan persamaan sebagai berikut (Alberto dan Dasanto 2010); Pd = ρ* A * P * C... (6) yang mana: Pd : peta kepadatan penduduk per piksel ρ : kepadatan penduduk non-spasial (penduduk/km 2 ) A : luas wilayah penyebaran populasi (km 2 ) = 3,14 * (2 km) 2 = 12,5 km 2 P : proporsi populasi C : faktor konversi, dari 1 km 2 ke 1 piksel Untuk ANN dijalankan dengan aplikasi LCM (Land Change Modeler) pada perangkat lunak Idrisi Selva dengan tiga tahapan, yakni : 1. Tahap analisis perubahan (Change Analysis) Tahap ini menganalisis perubahan penggunaan lahan pada input data beda tahun. Grafik perubahan luas tiap penggunaan lahan disajikan pada tahap ini. 2. Tahap pemodelan perubahan penggunaan lahan (Transition Potentials) - Tiap kelas perubahan penggunaan lahan dimodelkan untuk memprediksi lokasi yang berpotensi berubah menjadi penggunaan lahan yang lain. - Variabel pendorong, yakni jarak dari jalan, jarak dari permukiman, kepadatan penduduk dan kemiringan lereng dimasukan dalam tahap ini. - Hasil dari model ini adalah peta peluang perubahan (Potential Transition Map) yang memiliki nilai peluang antara 0-1, yakni semakin mendekati 1 maka daerah tersebut memiliki peluang yang tinggi untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain. 3. Tahap prediksi penggunaan lahan (Change Prediction) Untuk prediksi penggunaan lahan ke depan digunakan metode Markov Chain dengan menggunakan asumsi bahwa perubahan yang terjadi di masa depan memiliki pola dan peluang serupa dengan pola perubahan yang terjadi selama periode input yang digunakan. - Matriks transisi akan dihasilkan pada tahap ini sebagai dasar untuk membuat peta proyeksi. - Uji validasi model, dilakukan dengan cara membuat matriks perbandingan tiap kelas lahan hasil pemodelan dengan kelas penutupan/penggunaan lahan eksisting, berdasarkan nilai Kappa.

33 19 Peta penutupan/penggunaan lahan DEM (SRTM) Peta Jalan Peta Permukiman Peta jarak ke permukiman tiap kecamatan Tahun 2000 Tahun 2003 lahan Tahun 2006 lahan Tahun 2009 Tahun 2011 Analisis Surface Kemiringan lahan Distance Jarak terhadap jalan Distance Jarak terhadap permukiman Proporsi populasi Peta kepadatan penduduk Land Change Modeler Input Model Transisi Running Model Peta peluang perubahan Validasi model Peta proyeksi lahan kritis tahun 2022 Peta proyeksi penutupan/penggunaan lahan tahun 2022 Gambar 9 Diagram alur pembuatan ANN pada modul LCM

34 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Wilayah Administrasi Lokasi penelitian mencakup tiga kabupaten yang secara administratif berada di Provinsi Jawa Barat, yakni Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Secara geografis lokasi ini terletak pada 6º LS dan 106º1-107º25 BT dengan luas wilayah ,40 km 2. Bagian utara lokasi penelitian berbatasan dengan Kota Depok yang berdekatan dengan Ibukota Republik Indonesia. Dengan kondisi ini wilayah utara memiliki masyarakat dengan aktifitas tinggi, yang difasilitasi oleh akses jalan, permukiman dan kepadatan penduduk yang tinggi. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Bandung, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten) dan di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia (BPS Provinsi Jawa Barat 2012). Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan yang berada di wilayah dengan luas luas 2.663,83 km 2 atau 25% dari luas lokasi penelitian (BPS Kabupten Bogor 2012). Kabupaten Cianjur memiliki 32 Kecamatan dengan luas wilayah 3.618,54 km 2 (35%) (BPS Kabupaten Cianjur 2012) dan Kabupaten Sukabumi memiliki 47 Kecamatan dengan luas wilayah 4.128,03 km² (40%) (BPS Kabupaten Sukabumi 2012). Gambar 10 Persebaran wilayah administrasi di lokasi penelitian

35 21 Topografi Lokasi penelitian memiliki topografi yang tergolong datar pada bagian utara, bergunung di bagian tengah, selanjutnya berbukit dan berombak hingga ke selatan. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian dan kondisi topografi (relief) daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 11 berikut. Tabel 5 Luas topografi di lokasi penelitian Kabupaten Lokasi Topografi/ Lereng Bogor Cianjur Sukabumi Penelitian Relief (%) Km 2 % Km 2 % Km 2 % Km 2 % Datar < 8 804, , , ,98 26 Berombak , , , ,12 25 Bergelombang dan Berbukit , , , ,61 23 Bergunung , , , ,35 16 Pegunungan > , , , ,33 10 Jumlah 2.663, , , , Berdasarkan Tabel 5 tersebut dapat dilihat bahwa lokasi penelitian didominasi oleh topografi datar hingga bergelombang dan berbukit dengan lereng 0 25 % yang meliputi 23 26% dari luas total daerah penelitian. Gambar 11 Persebaran kemiringan lereng di lokasi penelitian

36 22 Daerah dengan topografi bergelombang hingga bergunung, yang memiliki kemiringan lereng >15% (Gambar 11 di tandai dengan warna kuning, orange dan merah), umumnya memiliki run off yang tinggi, sehingga jika penutupan lahannya diganggu, maka berpotensi meningkatkan laju erosi. Curah Hujan Curah hujan di lokasi penelitian mencapai angka berkisar mm/tahun dengan dominasi berkisar mm/tahun. Berdasarkan klasifikasi Schmit dan Ferguson iklim di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe iklim. Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur bagian selatan serta seluruh Kabupaten Sukabumi memiliki iklim tropis dengan tipe A; yakni sangat basah dengan curah hujan berkisar mm/tahun; sedangkan di Kabupaten Bogor bagian utara dan sebagian Kabupaten Cianjur bagian timur beriklim tropis dengan tipe B; yakni basah, dengan curah hujan kurang dari mm/tahun. Secara umum, keadaan iklim di lokasi penelitian memiliki suhu berkisar C dengan rata-rata tahunan sebesar 25 C. Kelembaban udara mencapai 80% dengan kecepatan angin rata-rata 4.2 Knot, dan hari hujan mencapai 26 hari hujan tiap bulannya di Kabupaten Bogor (BPS Provinsi Jawa Barat 2012). Gambar 12 Persebaran curah hujan di lokasi penelitian

37 23 Tanah Secara umum, lokasi penelitian terbentuk oleh batuan vulkanik yang didominasi oleh material piroklastik yang berasal dari dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tufaan) dan Gunung Salak (berupa aluvium dan kipas aluvium) (BAPPEDA Provinsi Jawa Barat 2010). Sebaran jenis tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 13 (berdasarkan klasifikasi USDA) dengan luasannya yang disajikan pada Tabel 6. Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang didominasi oleh Dystropepts dan Dystrandepts dari Ordo Inceptisol; sedangkan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi didominasi oleh jenis tanah Dystropepts dan Tropudults dari Ordo Inceptisol dan Ultisol; dengan demikian secara umum tanah-tanah yang terdapat di lokasi penelitian di dominasi oleh jenis tanah Inceptosol. Inceptisol merupakan tanah muda yang telah mengalami perkembangan lanjut, karenanya jenis tanah ini merupakan tanah yang umumnya cukup subur (Hardjowigeno 2007). Gambar 13 Persebaran jenis tanah di lokasi penelitian Tingginya kesuburan tanah di lokasi penelitian ini mengakibatkan wilayah-wilayah yang berada di sekeliling daerah gunung tampak lebih subur dibanding dengan wilayah-wilayah bagian selatan (pesisir). Jenis tanah Inceptisol juga memiliki sifat fisik yang baik, yakni mempunyai konsistensi yang gembur sampai sangat gembur, sehingga mudah diolah dan baik untuk perkembangan

38 24 akar, namun kelemahan kondisi sifat fisik tanah seperti ini, adalah tanah mudah terdegradasi (Rahim 2003). Tabel 6 Luas jenis tanah di lokasi penelitian No. Jenis Tanah Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur Kabupaten Sukabumi Luas Lokasi Penelitian Km 2 % Km 2 % Km 2 % Km 2 % 1 Dystrandepts 696,23 26,14 445,38 12,31 763,75 18, ,36 18,30 2 Dystropepts 841,48 31, ,13 48,67 1,713,36 41, ,97 41,46 3 Eutrandepts 0,00 0,00 0,00 0,00 367,01 8,89 367,01 3,53 4 Eutropepts 194,43 7,30 493,48 13,64 98,99 2,40 786,90 7,56 5 Haplorthox 0,00 0,00 0,00 0,00 5,92 0,14 5,92 0,06 6 Paleudults 541,58 20,33 172,40 4,76 19,26 0,47 733,24 7,04 7 Tropaquepts 67,16 2,52 58,63 1,62 67,84 1,64 193,63 1,86 8 Tropopsamments 0,00 0,00 14,72 0,41 0,00 0,00 14,72 0,14 9 Tropudalfs 219,29 8,23 0,00 0,00 215,90 5,23 435,19 4,18 10 Tropudults 103,68 3,89 672,80 18,59 780,26 18, ,73 14,95 11 Ustropepts 0,00 0,00 0,00 0,00 95,73 2,32 95,73 0,92 Jumlah 2.663, , , , Penutupan/penggunaan lahan Penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2011 di lokasi penelitian didominasi oleh penggunaan lahan pertanian (ladang dan tegalan), yang mencapai luas 34,9% dari total luas daerah penelitian. Sebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 14 dengan luasan yang disajikan pada Tabel 7. Berikut deskripsi penutupan/penggunaan lahan pada masing-masing kabupaten. Kabupaten Bogor didominasi oleh penggunaan lahan pertanian (ladang dan tegalan), yang penyebarannya terdapat pada hampir semua wilayah yang dibudidayakan atau pada lahan-lahan dengan berbagai ketinggian maupun kemiringan; selanjutnya, kebun campuran cenderung dibudidayakan pada lahan dengan kemiringan lereng >8%. Permukiman (lahan terbangun) merupakan penggunaan lahan yang dominan di kabupaten ini, terutama terkonsentrasi di wilayah bagian utara dan tengah yang berdekatan dengan Kota Bogor dan Kota Depok. Penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur juga didominasi oleh lahan pertanian (ladang dan tegalan) di bagian tengah dan selatan, sedangkan di bagian utara di dominasi oleh lahan sawah. Dataran tinggi digunakan sebagai areal perkebunan dan masih terdapat hutan primer dan sekunder pada bagian atas (puncak) bukit/gunung, sedangkan permukiman (lahan terbangun) banyak terdapat di bagian utara.

39 25 Gambar 14 Persebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian (2011) Tabel 7 Luas penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian Penutupan/ Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur Kabupaten Sukabumi Luas Lokasi Penelitian Km 2 % Km 2 % Km 2 % Km 2 % Hutan Primer 13,56 0,51 21,36 0,6 31,36 0,76 66,28 0,6 Hutan Sekunder 326,08 12,24 195,52 5,4 234,53 5,68 756,13 7,3 Mangrove 0,00 0,00 0,00 0,00 0,27 0,01 0,27 0,0 Hutan Tanaman 250,90 9,42 523,13 14,5 512,64 12, ,67 12,4 Permukiman 376,58 14,14 77,88 2,2 68,21 1,65 522,67 5,0 Pertanian (ladang/tegalan) 735,53 27, ,18 30, ,28 43, ,36 34,9 Kebun Campuran 418,61 15,71 478,73 13,2 802,46 19,44 169,80 16,3 Perkebunan 146,81 5,51 290,59 8,0 294,13 7,13 731,53 7,0 Sawah 352,25 13,22 793,15 21,9 274,44 6, ,84 13,6 Semak/Belukar 25,10 0,94 83,75 2,3 54,67 1,32 163,53 1,6 Tanah Terbuka 8,86 0,33 39,73 1,1 42,56 1,03 91,15 0,9 Tubuh Air 9,55 0,36 16,16 0,4 17,47 0,42 43,18 0,4 Jumlah 2.663, , , ,40 100

40 26 Penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi juga didominasi oleh lahan pertanian (ladang dan tegalan) dan kebun campuran. Sawah hanya mencakup 7% dari total luasan kabupaten ini, yang terletak di bagian tengah dan selatan. Seperti di Kabupaten Cianjur, dataran tinggi di Kabupaten Sukabumi digunakan sebagai areal perkebunan dan masih terdapat hutan primer dan sekunder pada bagian atas (puncak) bukit/gunung (Gunung Salak dan Gunung Gede). Permukiman (lahan terbangun) umumnya tersebar di antara kaki Gunung Gede dan Gunung Salak, yang merupakan daerah trans Bogor Sukabumi. Tingginya permukiman di daerah ini juga dipicu oleh adanya akses jalan yang mengarah hingga ke Kota Sukabumi dan sebagian lagi hingga ke pesisir Pantai Pelabuhan Ratu yang merupakan Ibukota Kabupaten Sukabumi. Demografi Kondisi demografi di lokasi penelitian dideskripsikan berdasarkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tiap kecamatan di masing-masing kabupaten pada daerah penelitian. Hal ini penting diketahui, karena tingginya jumlah dan kepadatan penduduk pada suatu daerah, sangat berpengaruh pada jumlah dan tingkat perubahan penutupan/penggunaan lahan yang ada pada daerah tersebut. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2011 sebanyak jiwa, yang terdiri dari jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan, dengan sex ratio 105, yang berarti dalam 100 penduduk perempuan terdapat sekitar 105 penduduk laki-laki. Penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Cibinong jiwa, sedangkan penduduk terendah terdapat pada Kecamatan Cariu, yaitu sebanyak jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk pada kabupaten ini mencapai jiwa/km 2. Adapun pada kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Bogor kepadatan penduduk mencapai jiwa/km² (Kecamatan Ciomas); sebaliknya pada daerah pedesaan kepadatan penduduk hanya mencapai 376 jiwa/km² seperti di kecamatan Tanjungsari (BPS Kabupaten Bogor 2012). Kabupaten Cianjur pada tahun 2011 memiliki jumlah penduduk jiwa, yang terdiri atas jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan dengan sex ratio 107. Kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Cianjur yaitu sebanyak jiwa; sedangkan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Cijati, yakni jiwa (BPS Kab. Cianjur, 2012). Rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Cianjur mencapai 611 jiwa/km 2, kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Cianjur jiwa/km 2 yang berada pada bagian utara kabupaten ini, sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di bagian selatan, yakni di Kecamatan Naringgul sebesar 162 jiwa/km 2 (BPS Kabupaten Cianjur 2012). Kabupaten Sukabumi, memiliki jumlah pada tahun 2011 (BPS Kabupaten Sukabumi 2012) tercatat sebesar jiwa, yang terdiri atas jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan, dengan sex ratio sebesar 107. Kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Cicurug yaitu memiliki jiwa dan merupakan kacamatan di Kabupaten Sukabumi bagian utara; sedangkan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Cidadap, yakni jiwa yang merupakan kecamatan di Kabupaten Sukabumi bagian selatan. Rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten ini sebesar 586 jiwa/km 2.

41 27 Kepadatan penduduk di Kecamatan Cisaat sebesar jiwa/km 2 yang merupakan kecamatan terpadat karena berdekatan dengan Kotamadya Sukabumi. Sebaliknya kepadatan penduduk terendah adalah di Kecamatan Ciemas 136 jiwa/km 2 yang berada di bagian selatan Kabupaten Sukabumi (BPS Kabupaten Sukabumi 2012). Berdasarkan deskripsi tersebut, terlihat bahwa daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi, tersebar di lokasi penelitian bagian utara, terutama yang berbatasan langsung dengan daerah perkotaan. Berikut gambaran spasial jumlah penduduk tiap kecamatan di lokasi penelitian (Gambar 15). Gambar 15 Persebaran kepadatan penduduk di lokasi penelitian

42 28 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Parameter Lahan Kritis Pemilihan parameter lahan kritis yang digunakan untuk menilai lahan kritis pada penelitian ini ditentukan berdasarkan: (1) analisis matriks melalui perbandingan parameter dan kriteria-kriteria lahan kritis yang telah dipublikasikan sebelumnya; (2) parameter yang berbasis spasial; dan (3) konsep terjadinya lahan kritis. Untuk yang pertama dipilih berdasarkan kriteria yang telah dipublikasikan sebelumnya yaitu berasal dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997), Kementerian Lingkungan Hidup (2000), Kementerian Kehutanan (2009), Mashudi (2010) dan Barus et al. (2011). Untuk yang kedua diambil dari Kementerian Kehutanan (2009) dan Barus et al. (2011), sedangkan untuk yang ketiga mengacu pada Arsyad (2010). Rincian parameter yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5, adapun matriks perbandingan parameter tersaji pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Matriks perbandingan parameter penentu lahan kritis Parameter penentu lahan kritis Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) Kriteria Kementerian Lingkungan Hidup (2000) Kementerian Kehutanan (2009) Kawasan lindung Kawasan budidaya pertanian Kawasan lindung diluar hutan Kriteria lahan kritis semi-detil (Mashudi 2010) Kriteria lahan kritis tingkat Kabupaten (Barus et al. 2011) Tutupan/ Vegetasi Bahaya erosi (singkapan batuan) Lereng Sifat-sifat tanah Iklim (curah hujan) Pengelolaan Kedalaman tanah Produktifitas Berdasarkan analisis matriks seperti tersaji pada Tabel 8, dapat diketahui bahwa parameter dominan yang menjadi faktor penentu lahan kritis pada dasarnya adalah tutupan lahan/vegetasi, bahaya erosi, dan lereng. Adapun melihat dari basis spasial, maka parameter ditambah iklim (curah hujan) dan pengelolaan, sedangkan untuk sifat-sifat tanah dan produktifitas tidak dipilih karena kedua parameter tersebut hanya digunakan untuk kawasan tertentu, dan dari basis konsep terjadinya lahan kritis, parameter ditambah dengan indeks penggunaan lahan, yaitu gambaran adanya penggunaan lahan yang melampaui batas kemampuan lahannya. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya akan mengakibatkan terjadinya bahaya erosi, namun, bahaya erosi dapat dikurangi dengan upaya pengelolaan tanah. Parameter pengelolaan dapat didekati dengan adanya kerapatan tutupan lahan (vegetasi), yakni makin rapat vegetasi maka makin efektif melindungi tanah.

43 29 Mengingat bahwa untuk penilaian bahaya erosi berbasis pada parameterparameter tanah, lereng, dan curah hujan, dimana parameter lereng sudah dipakai di dalamnya, maka parameter yang akan digunakan untuk penilaian lahan kritis dalam penelitian ini (skala Meso) meliputi : (1) indeks penutupan/penggunaan lahan; (2) bahaya erosi; dan (3) kerapatan vegetasi. Berdasarkan hal tersebut, maka hasil penilaian terhadap parameter lahan kritis di daerah penelitian diuraikan berikut ini. Indeks Penutupan/penggunaan Lahan Penilaian Parameter Lahan Kritis Penilaian indeks penutupan/penggunaan lahan ditentukan dengan cara membandingkan antara kelas kemampuan lahan dengan penutupan/penggunaan lahan eksisting. Metode penilaian untuk indeks penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Bab Metode Penelitian. Kelas kemampuan lahan Berdasarkan hasil penilaian kelas kemampuan lahan, didapatkan bahwa 44% kelas kemampuan lahan di daerah penelitian berada pada kelas VI -VII. Luasan masing-masing kelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 9, sedangkan persebaran spasialnya disajikan pada Gambar 16. Tabel 9 Luas kelas kemampuan lahan No. Kelas Kemampuan Lahan Luas Km 2 % 1 Kelas I 910, Kelas II III 1.231, Kelas IV 3.597, Kelas VI VII 4.594, Kelas VIII 76,39 1 Jumlah , Ciri kelas kemampuan lahan VI-VII yang dominan ini adalah mempunyai faktor pembatas berupa kelerengan. Lereng pada kriteria ini berkisar antara kemiringan 25% hingga 60% dengan luas 4.594,88 Km 2 atau 44 % dari luasan lokasi penelitian. Kemampuan lahan terkecil terdapat pada kelas kemampuan VIII yang merupakan bentanglahan pegunungan terjal dan berbatu dengan luas 76,39Km 2 (1%) dan mempunyai faktor pembatas berupa kelerengan. Untuk kelas kemampuan lahan V tidak dimasukkan ke dalam kategori lahan kritis, karena kelas V merupakan lahan yang datar, tidak terancam erosi, sering tergenang air dan selalu mengalami banjir (Hardjowigeno 2007).

44 30 Gambar 16 Persebaran kelas kemampuan lahan di lokasi penelitian Penutupan/penggunaan lahan Sebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian diperoleh dari data sekunder (BPDAS, 2011) dan data ini selanjutya dilakukan penyederhanaan menjadi 12 (dua belas) kelas, yakni hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, mangrove, kebun campuran, lahan pertanian (ladang/tegalan), permukiman, perkebunan, semak/belukar, sawah, tanah terbuka dan tubuh air (Lampiran Gambar 1). Dari data tersebut didapatkan bahwa kelas penggunaan lahan yang mendominasi di lokasi penelitian adalah lahan pertanian (ladang/tegalan), yang mencakup 3.629,36 Km 2 (34.86%) (Tabel 10). Secara keseluruhan sebaran penggunaan lahan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 17.

45 31 Gambar 17 Persebaran penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian (2011) Tabel 10 Luas penutupan/penggunaan lahan No. Penutupan/ penggunaan Lahan Luas Km 2 % 1 Hutan Primer 66,28 0,64 2 Hutan Sekunder 756,13 7,26 3 Hutan Tanaman 1.286,67 12,36 4 Mangrove 0,27 0,00 5 Kebun Campuran 1.699,80 16,33 6 Lahan Pertanian (ladang/tegalan) 3.629,36 34,86 7 Permukiman 522,67 5,02 8 Perkebunan 731,13 7,03 9 Semak/Belukar 163,53 1,57 10 Sawah 1.419,84 13,64 11 Tanah Terbuka 91,15 0,88 12 Tubuh Air 43,17 0,41 Jumlah ,40 100,0

46 32 Berdasarkan kelas kemampuan dan penggunaan lahan yang diperoleh, maka peta indeks penutupan/penggunaan lahan dapat dihasilkan dengan cara analisis matriks seperti yang disajikan pada Tabel 11. Hasilnya luasan dari masing-masing kelas indeks dapat dilihat pada Tabel 12, sedangkan peta indeks penggunaan lahan disajikan pada Gambar 18. Tabel 11Matriks indeks penutupan/penggunaan lahan Penutupan/penggunaan lahan* Kemampuan lahan Kelas I Kelas II-III Kelas IV Kelas VI-VII Kelas VIII Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Perkebunan Kebun Campuran Permukiman Pertanian (ladang/tegalan) Sawah Semak/Belukar Tanah Terbuka Keterangan :1 = Sangat Baik; 2 = Baik; 3 = Sedang ; 4 = Buruk; 5 = Sangat Buruk * Penilaian ini tanpa menilai kelas tutupan Mangrove dan Tubuh Air. Tabel 12 Luas indeks penutupan/penggunaan lahan No. Indeks penutupan/penggunaan Lahan Luas Km 2 % 1 Sangat baik 2.236, Baik 2.013, Sedang 4.170, Buruk 1.775, Sangat buruk 214,99 2 Jumlah Dengan melihat Tabel 12 maka dapat diketahui bahwa indeks penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh kelas sedang, yaitu berkisar 4.170,69 Km 2 atau 40% dari total luas lokasi penelitian. Indeks kelas sedang ini pada umumnya berisi penggunaan lahan pertanian (ladang/tegalan) yang tersebar di hampir seluruh wilayah penelitian yang berada di lahan-lahan dengan tingkat kemampuan lahan yang beragam. Indeks penggunaan yang tergolong sangat baik terdapat pada punggung hingga puncak gunung dengan tutupan lahan hutan. Walaupun daerah ini tergolong sangat baik, namun jika penutup lahannya terganggu maka lahan ini akan cepat mengalami proses degradasi karena kelas kemampuan lahannya tergolong kelas VI VII (diperuntukan sebagai daerah konservasi air, konservasi biodiversitas dan penyedia jasa lingkungan).

47 33 Pada indeks penggunaan lahan yang tergolong baik mempunyai penggunaan sawah dan permukiman yang memang sesuai dengan kemampuan dan peruntukannya. Penggunaan lahan sawah termasuk dalam indeks penggunaan yang baik hingga sangat baik, karena lahan sawah diusahakan pada lahanlahan yang umumnya datar sampai landai dengan tingkat kemampuan lahan tergolong kelas I II. Lahan pertanian (ladang/tegalan) tersebar di seluruh wilayah dengan kelerengan yang beragam, mulai dari 0 % hingga 35% dengan kelas kemampuan lahan I VI, sehingga indeks penggunaan lahannya tergolong baik, sedang, sampai buruk. Penggunaan lahan yang berada pada indeks buruk inilah yang sangat rawan mengalami lahan kritis, jika lahan tersebut tidak dikelola dengan baik (seperti menggunakan teknik konservasi lahan). Gambar 18 Persebaran indeks penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian Kerapatan Vegetasi Hasil analisis NDVI menghasilkan nilai yang berkisar antara -1 hingga +1. Dalam hal ini nilai yang mendekati -1 mempunyai warna yang gelap pada citra yang diinterpretasikan sebagai lahan-lahan yang mempunyai penutupan vegetasi sedikit (kerapatan rendah) hingga tidak memiliki vegetasi. Sebaliknya nilai yang mendekati +1 dengan tampilan warna yang terang pada citra diinterpretasikan sebagai lahan yang memiliki vegetasi dengan kerapatan tinggi.

48 34 Wahyunto et al. (2007) mengkelaskan tingkat kerapatan vegetasi dengan nilai NDVI menjadi 5 (lima) kelas kerapatan, yakni sangat rapat dengan nilai NDVI >0,35; rapat 0,35 0,25; cukup < 0,25 0,15; jarang < 0,15 0,03; dan sangat jarang < 0,03. Gambaran hasil analisis NDVI dapat dilihat pada Gambar 19 dan Lampiran Gambar 2, adapun luasan tiap kelas NDVI disajikan pada Tabel 13. Gambar 19 Persebaran kerapatan vegetasi di lokasi penelitian Tabel 13 Luas kerapatan vegetasi No. Kerapatan Vegetasi Luas Km 2 % 1 Sangat Rapat 658, Rapat 2.384, Sedang 2.768, Jarang 2.303, Sangat Jarang 2.294,60 22 Jumlah , Pada Tabel 13 menunjukan bahwa kelas kerapatan vegetasi yang tergolong sangat rapat, hanya mencakup 6 % dari total luasan lokasi penelitian yang

49 35 terdapat pada puncak-puncak gunung dan bukit dengan jenis tutupan lahan berupa hutan. Untuk kelas kerapatan rapat dan cukup rapat tersebar di seluruh wilayah dengan penggunaan lahan perkebunan, lahan pertanian (ladang/tegalan), kebun campuran, dan sawah, sedangkan untuk permukiman dan tanah terbuka yang termasuk ke dalam kelas kerapatan jarang dan sangat jarang (tidak memiliki vegetasi) mempunyai lokasi yang secara umum memusat di daerah perkotaan. Nilai NDVI yang tersebar pada nilai -1 hingga +1 mempunyai nilai rataan 0,148 dan standard deviasi 0,152. Nilai NDVI ini kemudian dibagi menjadi 5 kelas, yang didominasi oleh kelas 0,15 hingga 0,25 atau kategori kelas sedang. Kelas ini pada umumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian (ladang/tegalan) sehingga sesuai dengan dominasi luas pada peta penutupan/penggunaan lahan (Gambar 17). Sebaran nilai NDVI ini dapat dilihat pada Gambar 20. Bahaya Erosi Gambar 20 Persebaran NDVI Konsep bahaya erosi merujuk pada besarnya potensi erosi yang terjadi pada suatu kawasan yang dapat diukur berdasarkan tingkat kedetilan pengamatan (Arsyad 2010). Pada tingkat Makro, bahaya erosi dianalisis secara umum (tinjau) berdasarkan faktor iklim, dengan parameter curah hujan yang menggambarkan nilai-nilai erosivitas hujan pada interval kelas tertentu. Pada tingkat Mikro potensi bahaya erosi secara detil dianalisis dengan menggunakan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equaliton) pada suatu bidang lahan (Wischmeier dan Smith 1978 dalam Hardjowigeno 2007). Dalam penelitian ini penilaian bahaya erosi dibatasi pada tingkat Meso dan ditentukan dengan pendekatan USLE, yakni dengan mengoverlay data spasial fisik lahan berupa curah hujan, tanah, lereng, dan dengan asumsi bahwa vegetasi dan tindakan konservasi bernilai satu (Arsyad 2010). Berdasarkan metode analisis tersebut, maka peta bahaya erosi di lokasi penelitian dapat dihasilkan seperti yang disajikan pada Gambar 21 dengan luas masing-masing kelas ditampilkan pada Tabel 14.

50 36 Gambar 21 Persebaran bahaya erosi di lokasi penelitian Tabel 14 Luas bahaya erosi No. Bahaya Erosi Luas Km 2 % 1 Sangat Ringan 303, Ringan 1.635, Sedang 2.897, Tinggi 4.404, Sangat Tinggi 1.169,09 11 Jumlah , Menurut Tabel 14, maka lokasi penelitian memiliki tingkat bahaya erosi yang didominasi oleh kelas tinggi, yaitu seluas 42% dari seluruh luas wilayah. Jika dilihat dari kondisi fisik wilayah (Bab VI) seperti curah hujan, tanah dan kemiringan lereng, maka lokasi penelitian merupakan wilayah yang memiliki kondisi fisik yang sangat sesuai untuk mendukung laju peristiwa erosi. Untuk daerah penelitian curah hujan tertinggi (4.000 mm/th) terdapat di Kabupaten Bogor bagian selatan serta Kabupaten Sukabumi bagian utara. Tanah yang umumnya didominasi oleh material piroklastik, terdapat di tengah-tengah lokasi penelitian, adapun wilayah yang memiliki sifat-sifat tanah yang sangat

51 37 rentan terhadap erosi menyebar hampir di seluruh wilayah penelitian. Kondisi curah hujan dan tanah yang rentan, tentu saja akan mempercepat peristiwa erosi, keadaan ini diperparah dengan topografi di lokasi penelitian yang berbukit hingga bergunung dengan lereng yang curam. Hal ini tentu saja mengakibatkan bahaya erosi di daerah penelitian tergolong berat, apalagi dengan penggunaan lahan yang umumnya diusahakan untuk areal lahan pertanian (ladang/tegalan) dan perkebunan pada lereng-lereng gunung tanpa tindakan konservasi yang baik. Pemetaan Lahan Kritis Berdasarkan hasil overlay di antara parameter-parameter penentu bahaya lahan kritis (indeks penggunaan lahan, kerapatan vegetasi, dan bahaya erosi), maka dapat dihasilkan peta persebaran lahan kritis seperti yang disajikan pada Gambar 22. Adapun luasan dari masing-masing kelas lahan kritis disajikan pada Tabel 15. Gambar 22 Persebaran lahan kritis di lokasi penelitian

52 38 Tabel 15 Luas persebaran lahan kritis Luas No. Lahan kritis Km 2 % 1 Tidak Kritis 892, Agak Kritis 3.220, Kritis Sedang 4.307, Kritis 1.774, Sangat Kritis 214,84 2 Jumlah , Dari Tabel 15 di atas dapat diketahui bahwa lahan dengan kategori agak kritis memiliki luasan yang paling tinggi, yakni 4.307,77Km 2 yang mencapai 41% dari total seluruh lokasi penelitian, sedangkan kategori lahan sangat kritis hanya mencapai 214,84 Km 2 atau hanya 2% dari seluruh lokasi penelitian. Berdasarkan hasil pengamatan lapang menunjukan bahwa model pemetaan lahan kritis ini cukup baik, karena dari 15 titik validasi (masing-masing 5 titik sample pada tiga kabupaten) yang diambil secara purposive di lapang, terdapat 13 di antaranya termasuk dalam kategori agak kritis, kritis sedang dan kritis yang tepat dengan hasil pemetaan yang dibuat. Hasil validasi disajikan pada Lampiran Tabel 7 dengan sebaran titik sample (untuk verifikasi dan validasi lapang) disajikan pada Lampiran Gambar 3. Untuk luasan tiap kelas kekritisan pada masing-masing kabupaten pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16 berikut. Tabel 16 Luas persebaran lahan kritis di setiap kabupaten Kelas Kritis Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur Kabupaten Sukabumi Luas Lokasi Penelitian Km 2 % Km 2 % Km 2 % Km 2 % Tidak Kritis ,57 9 Agak Kritis ,45 31 Kritis Sedang ,77 41 Kritis , ,77 17 Sangat Kritis , ,84 2 Jumlah 2 663, , , , Berdasarkan Tabel 16 di atas, Kabupaten Bogor memiliki kelas bahaya lahan kritis yang didominasi oleh kelas agak kritis (36%) dan kelas kritis sedang (36%). Kedua kelas lahan kritis ini umumnya berada pada daerah dengan kemiringan lereng 8 15%, yang meliputi kelas kemampuan lahan II III, dimana penggunaan lahannya berupa sawah, lahan pertanian (tegalan/ladang), kebun campuran, dan lahan terbangun; sedangkan untuk kelas kekritisan sangat kritis, kabupaten ini memiliki luasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua kabupaten lainnya. Kelas sangat kritis di Kabupaten Bogor berada di bagian barat dan timur, yang tersebar di lereng-lereng bukit. Kelas kemampuan lahan pada wilayah ini tergolong kelas VI dengan faktor pembatas lereng, serta

53 memiliki indeks penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan yang tergolong buruk, yakni didominasi oleh penggunaan lahan berupa tanaman pertanian (tegalan/ladang), semak, dan sebagian lahan perkebunan. Untuk Kabupaten Cianjur umumnya didominasi oleh kelas bahaya kritis sedang (38%) yang umumnya terdapat di Kabupaten Cianjur Selatan dan agak kritis (34%) yang penyebarannya sebagian besar meliputi wilayah utara. Di wilayah ini mempunyai indeks penggunaan lahan yang cenderung baik sampai sedang. Pada bagian utara hingga bagian tengah kabupaten ini, penggunaan lahan umumnya berupa lahan sawah dan lahan pertanian (tegalan/ladang), sedangkan pada bagian tengah dan selatan yang cenderung bergelombang dan berbukit digunakan sebagai lahan pertanian (tegalan/ladang), kebun campuran, dan perkebunan. Kelas kritis (18%) dan kelas sangat kritis (3%) tersebar di wilayah bagian tengah hingga ke selatan dan sebagian di utara yang memiliki kelas kemampuan lahan VI dengan faktor pembatas lereng, selanjutnya lahan yang berlereng ini digunakan untuk lahan pertanian (tegalan/ladang) maupun kebun campuran dengan kerapatan vegetasi dari cukup rapat hingga jarang, lahan ini teridentifikasi memiliki tingkat pengelolaan lahan yang kurang baik. Untuk Kabupaten Sukabumi memiliki kelas bahaya kritis yang didominasi oleh kelas kritis sedang (48%). Kabupaten ini secara umum memiliki kondisi fisik wilayah yang berombak hingga bergunung, dengan kelas kemampuan lahan berkisar III VI dengan faktor pembatas kelerengan. Seperti halnya penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur bagian tengah selatan, Kabupaten Sukabumi memiliki penggunaan lahan yang umumnya didominasi oleh lahan pertanian (tegalan/ladang) dan perkebunan. Kelas sangat kritis tersebar di bagian utara, tepatnya berada pada lereng-lereng gunung yang dijadikan sebagai areal lahan pertanian(tegalan/ladang), namun karena wilayah ini memiliki curah hujan yang tinggi, maka daerah ini tergolong memiliki bahaya erosi yang tinggi, serta masih banyak terdapat semak belukar dan tanah terbuka yang mengakibatkan kabupaten ini memiliki kelas kritis yang tinggi. Deskripsi tiap kelas bahaya lahan kritis berdasarkan wilayah kabupaten dapat dilihat pada Lampiran Tabel 8, adapun gambaran keadaan di lapang dapat dilihat pada Lampiran Gambar 4, 5, dan 6. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa lahan-lahan yang tergolong berbahaya untuk menjadi kritis meliputi daerah yang mempunyai lereng curam, curah hujan tinggi, dan tanah yang relatif rentan terhadap erosi, sedangkan penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Sebagai contoh : dataran tinggi yang diusahakan untuk tanaman hortikultura berada pada lahan berlereng curam (>25%), dengan metode penanaman memotong garis kontur. Kegiatan ini menggambarkan alih fungsi lahan dari bervegetasi rapat (hutan) menjadi lahan dengan vegetasi yang jarang (ladang/tegalan) hingga tidak bervegetasi (Lampiran Gambar 6). Faktor fisik lahan tidak dapat dikendalikan atau bersifat relatif permanen, namun usaha pengendalian tentu saja dapat dilakukan. Salah satunya adalah dengan cara memprediksi penutupan/penggunaan lahan ke depan, agar lahanlahan yang tergolong berbahaya menjadi lahan kritis dapat diketahui sedini mungkin. 39

54 40 Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Jenis penggunaan lahan sangat berperan terhadap proses degradasi lahan, karena terkait dengan tutupan lahan yang berfungsi mengurangi energi kinetik air hujan terhadap tanah (Sitorus et al. 2011). Selain pentingnya jenis penggunaan lahan, kemampuan dan peruntukan lahan juga berpengaruh terhadap proses degradasi lahan (Baharuddin 2010). Dengan kata lain penggunaan lahan yang berada pada kemampuan lahan yang baik dan sesuai dengan peruntukan lahannya, maka tergolong sangat baik dalam menjaga lahan dari proses degradasi. Untuk melihat potensi lahan menjadi kritis, analisis perubahan penggunaan lahan perlu dilakukan dengan asumsi bahwa kejadian lahan kritis sangat dipengaruhi oleh perubahan penutupan/penggunaan lahan, dalam hal ini kerapatannya, yaitu dari lahan yang bervegetasi rapat ke lahan yang bervegetasi jarang. Sebagai contoh adalah dari lahan hutan (primer, sekunder ataupun hutan tanaman, dan perkebunan) berubah menjadi lahan pertanian (tegalan/ladang), permukiman, semak belukar, atau bahkan menjadi lahan terbuka. Secara spasial perubahan penutupan/penggunaan lahan dapat dianalisis dengan tiga tahapan menggunakan aplikasi Land Change Modeler dan menggunakan data multi-temporal. Data penutupan/penggunaan lahan multi-temporal yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari lima titik tahun, yakni tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan Berdasarkan data penutupan/penggunaan lahan tersebut dapat diketahui luas masing-masing penutupan/penggunaan pada seperti tersaji pada Tabel 17 berikut. Tabel 17 Luas penggunaan lahan lokasi penelitian pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dan 2011 Penggunaan lahan Km 2 % Km 2 % Km 2 % Km 2 % Km 2 % Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Mangrove Perkebunan Pertanian (ladang/ tegalan) Kebun Campuran Sawah Permukiman Semak/ Belukar Tanah Terbuka Tubuh Air Jumlah

55 41 Berdasarkan Tabel 17 lahan pertanian (ladang/tegalan) dan kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang dominan di lokasi penelitian, walaupun dengan luasan yang cenderung berubah-ubah tiap tahunnya, namun kedua kelas penggunaan lahan ini tetap merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di lokasi penelitian. Untuk hutan primer dan mangrove memiliki luasan yang cenderung tetap, sedangkan hutan sekunder dan perkebunan memiliki trend perubahan lahan yang cenderung menurun dari yang semula 9% pada tahun 2000 menjadi 7% pada tahun Penggunaan lahan sawah juga memiliki trend yang terus menurun tiap tahunnya, dari 18% pada tahun 2000 menjadi 14% pada tahun 2011; sedangkan untuk penggunaan lahan yang cenderung meningkat adalah permukiman (lahan terbangun), dengan luasan yang mula-mula hanya 2% pada tahun 2000, namun pada tahun 2011 terus meningkat mencapai 5%. Secara grafis, dinamika perubahan penutupan/penggunaan lahan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 23. Luas 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Tahun Tubuh Air Tanah Terbuka Semak/ Belukar Pemukiman Sawah Kebun Campuran Pertanian kering Perkebunan Hutan Mangrove Hutan Tanaman Hutan Sekunder Hutan Primer Gambar 23 Perubahan penutupan/penggunaan lahan tahun Berdasarkan data di atas, model perubahan lahan (land change modeler) dijalankan dengan metode Artificial Neural Network (ANN) dengan 3 (tiga) tahap analisis. Tahap (1) analisis perubahan lahan, (2) potensi transisi, dan (3) prediksi perubahan lahan. Pada penelitian ini, perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian disimulasi dari tahun 2000 hingga 2011 yang selanjutnya akan digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan pada tahun 2022.

56 42 Analisis perubahan lahan (Change analysis) Hasil pemodelan perubahan penutupan/penggunaan lahan antara tahun 2000 hingga tahun 2011 di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 24 berikut. Gambar 24 Perubahan penutupan/penggunaan lahan antara tahun 2000 dan 2011 (Km 2 ) Dari Gambar 24 di atas, dapat dilihat bahwa kebun campuran mengalami pengurangan luas lahan yang cukup besar, selanjutnya sawah, lahan pertanian (ladang/tegalan), hutan tanaman, perkebunan dan hutan sekunder; namun disisi lain lahan pertanian (ladang/tegalan) dan permukiman mengalami penambahan luas yang sangat besar. Hutan sekunder cenderung menurun dan mengalami kehilangan luas yang cukup signifikan tanpa adanya penambahan luasan. Selain itu, tanah terbuka dan semak belukar pun mengalami pengurangan luas; sedangkan untuk tutupan lahan hutan primer dan tubuh air, tidak mengalami perubahan atau tetap. Lahan pertanian (ladang/tegalan) dan kebun campuran, merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di lokasi penelitian, dengan luasan lahan yang cenderung berubah-ubah. Hal ini dikarenakan lahan pertanian (ladang/tegalan) dan kebun campuran memiliki sifat perubahan yang dapat balik (reversible). Hutan sekunder dan sawah, memiliki perubahan lahan yang cenderung menurun dengan sifat perubahan yang tidak dapat balik (irreversible), yakni jika hutan sekunder dan sawah telah beralih fungsi, maka sulit untuk dikembalikan pada penggunaan semula; sedangkan permukiman, tentu saja memiliki kecenderungan yang terus meningkat tiap tahunnya akibat bertambahnya populasi penduduk. Simulasi perubahan penutupan/penggunaan lahan ini sesungguhnya juga ditunjang oleh faktor-faktor pendorong yang mengakibatkan perubahan penutupan/penggunaan lahan. Beberapa faktor pendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan, berasal dari faktor ekonomi, sosial/budaya, dan

57 lingkungan (lahan), yakni dengan akses jalan, sungai, permukiman, kepadatan penduduk, kesuburan tanah, iklim serta topografi lahan (Wijaya 2011). Dari beberapa faktor yang menyebabkan perubahan penutupan/penggunaan lahan, faktor pendorong yang dimasukan dalam model ini hanya meliputi akses jalan, permukiman, kepadatan penduduk, dan kemiringan lereng sesuai dengan data yang didapatkan. Akses jalan merupakan faktor pendorong perubahan dari segi ekonomi. Daerah yang memiliki banyak akses jalan pada umumnya cenderung mendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan pada daerah tersebut. Hal ini disebabkan dengan adanya jalan, maka akses untuk keluar masuk pada daerah tersebut menjadi mudah. Selain itu, daerah yang dekat dengan jalan akan memiliki land rent yang tinggi, sehingga semakin dekat dengan jalan perubahan penutupan/penggunaan lahan semakin tinggi. Akses jalan juga merupakan salah satu faktor pendorong adanya pertumbuhan permukiman atau lahan terbangun. Permukiman, merupakan faktor pendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan dari sisi sosial. Jumlah/luasan lahan yang digunakan untuk permukiman berbanding lurus dengan kepadatan penduduk. Jumlah penduduk yang banyak menyebabkan tingginya intervensi manusia dalam mengelola suatu lahan. Hal inilah yang menyebabkan perubahan penutupan/penggunaan lahan juga semakin banyak terjadi di daerah yang padat penduduk. Kepadatan penduduk mengidentifikasikan banyaknya permukiman yang dibutuhkan. Daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi akan memiliki permukiman yang lebih banyak dan memiliki perubahan penutupan/penggunaan lahan yang tinggi dan bersifat searah atau tidak dapat balik (irreversible). Sebaliknya untuk daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang rendah, masih ada kemungkinan bersifat dapat balik (reversible). Lereng menjadi faktor pendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan dari segi fisik lahan. Daerah yang memiliki kemiringan <3% pada umumnya lebih banyak mengalami perubahan penutupan/penggunaan lahan daripada daerah dengan kemiringan lereng >30%. Hal ini disebabkan karena pengelolaan lahan di daerah datar lebih mudah daripada di daerah curam. Perubahan tersebut tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor pendorong perubahan penutupan/penggunaan lahan yang ada di daerah penelitian. Berikut disajikan data spasial dari faktor pendorong terhadap perubahan penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian. 43

58 44 (a) (b) (c) (d) Gambar 25 Faktor pendorong (a) Jarak ke jalan (b) Jarak ke Permukiman (c) Kepadatan penduduk; dan (d) Kemiringan lereng Dari data tersebut selanjutnya dibuat peta lokasi perubahan penutupan/penggunaan lahan, sehingga dari peta tersebut dapat dilihat daerah mana saja yang mengalami perubahan. Hal ini sangat penting diketahui, karena kejadian lahan kritis sangat dipengaruhi oleh perubahan penutupan/penggunaan lahan dari lahan tertutup menjadi lahan terbuka, sedangkan sebaliknya lahan kritis tidak akan berpengaruh pada lokasi yang tetap memiliki penutupan/penggunaan lahan (tetap tertutup).

59 45 Potensi transisi (Transition potentials) Lokasi-lokasi yang mengalami perubahan penutupan/penggunaan lahan disajikan pada Gambar 26 yang didasarkan pada data spasial penutupan/ penggunaan lahan pada tahun 2000 dan 2011, serta faktor-faktor pendorong yang menjadi peubah dalam perubahan lahan. Faktor topografi Faktor jalan, permukiman, dan kepadatan penduduk Gambar 26 Lokasi perubahan penggunaan lahan antara tahun 2000 dan 2011 Dari Gambar 26 di atas terlihat bahwa, terdapat 7 perubahan penutupan/ penggunaan lahan yang ditandai dengan sebaran yang berwarna, sedangkan warna hitam mengindikasikan bahwa lahan tersebut tidak mengalami perubahan atau bukan termasuk dalam lokasi penelitian. Pada gambar tersebut juga terdapat tanda kotak kuning dan oval merah. Tanda kotak kuning menunjukan pentingnya pengaruh jalan, permukiman, dan kepadatan penduduk; sedangkan tanda oval merah menunjukkan pengtingnya pengaruh topografi. Pada daerah utara terdapat banyak perubahan, hal ini terjadi karena pada daerah tersebut banyak terdapat permukiman dan jalan, yang berarti memiliki kepadatan penduduk yang tinggi (Gambar 25 a, b, c), sedangkan pada bagian selatan (kotak kuning) perubahan lahan tidak banyak terjadi, yang ditandai dengan tampilan yang cenderung hitam, daerah ini kurang memiliki perubahan yang berarti disebabkan bagian selatan kurang memiliki akses jalan dan permukiman, dan mempunyai kepadatan penduduk yang rendah.

60 46 Selain karena faktor akses jalan, permukiman, dan kepadatan penduduk, perubahan penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh faktor topografi. Daerah yang ditandai dengan lingkaran berwarna merah, menunjukkan bahwa penutupan lahan pada daerah tersebut cenderung tetap dan tidak mengalami perubahan lahan. Hal ini dikarenakan oleh kemiringan lereng yang curam karena mempunyai topografi bergunung (Gambar 25 d), kurang memiliki akses jalan, serta luas permukiman dan kepadatan penduduk yang rendah dibandingkan dengan daerah yang datar. Besarnya pengaruh faktor pendorong terhadap persentasi luas perubahan penutupan/penggunaan lahan dari hasil analisis ini disajikan dalam Gambar 27. (a) (b) (c) (d) Gambar 27 Grafik faktor pendorong terhadap perubahan penggunaan lahan Dari Gambar 27 dapat disimpulkan bahwa semakin dekat jarak jenis penutupan/penggunaan lahan dari jalan, dari permukiman padat penduduk, atau dari kemiringan lereng yang rendah, maka semakin banyak terjadi perubahan lahan di daerah tersebut; dan jika sebaliknya, maka perubahan penutupan/ penggunaan lahan semakin sedikit. Kebutuhan akan sandang, pangan, papan, mengakibatkan kepadatan penduduk menjadi faktor utama dalam perubahan penutupan/penggunaan lahan. Penutupan/penggunaan lahan yang berubah biasanya berawal di daerah dengan lereng yang datar (<3%) dan memiliki kelas kemampuan lahan paling baik, namun karena akses jalan semakin banyak dan permukiman juga semakin luas, maka lahan-lahan yang berada pada daerah yang tinggi dan berlereng akhirnya akan terjamah juga dan akan dimanfaatkan. Gejala ini mencerminkan tingginya tekanan manusia akan lahan.

61 47 Prediksi Perubahan Lahan (Change Prediction) Berdasarkan trend perubahan pada analisis di atas, maka dilakukan prediksi penutupan/penggunaan lahan. Prediksi ini menggunakan matriks dengan metode Markov Chain (Tabel 18). Metode Markov Chain ini dihasilkan dari aplikasi yang sama (land change modeler). Markov Chain menggunakan asumsi bahwa perubahan yang akan terjadi di masa depan memiliki pola dan peluang yang serupa dengan pola perubahan yang terjadi selama periode waktu yang digunakan. Pada tahapan ini, prediksi diawali dengan melakukan uji analisis data spasial penutupan/penggunaan lahan tahun untuk tahun Uji ini berfungsi agar peta hasil prediksi tahun 2011 dapat divalidasi dengan peta penutupan/penggunaan lahan tahun Jika hasil prediksi valid, maka akan dilanjutkan dengan prediksi lahan pada tahun 2022, yakni dengan asumsi pola perubahan lahan yang diprediksi (tahun 2022) berasal dari rentang input tahun yang sama (tahun ). Tabel 18 Matriks prediksi perubahan penutupan/penggunaan lahan Matriks pada Tabel 18 memiliki nilai 0 1 yang menunjukkan suatu peluang terhadap besarnya perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang cenderung akan mengalami perubahan, yakni jika nilainya lebih dari 0,00 atau kurang dari 1,00; sebaliknya nilai 0,00 atau 1,00 berati lahan tersebut tidak berubah (tetap); sebagai contoh dalam Tabel 18, hutan primer eksisting dengan hutan primer prediktif memiliki nilai 1,00; adapun untuk penggunaan lain bernilai 0,00 sehingga hutan primer pada waktu mendatang tidak akan berubah. Keadaan yang sama juga terjadi pada hutan mangrove dan tubuh air, yang cenderung tetap atau tidak berubah. Jika nilai berkisar antara 0,01 hingga 0,99 maka berpeluang untuk berubah menjadi penggunaan lain. Besarnya peluang perubahan ini bergantung pada besarnya nilai peluang perubahan. Jika nilai peluang kurang dari 0,50 atau mendekati 0,01 maka penggunaan lahan tersebut memiliki peluang untuk berubah menjadi penggunaan lain lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai peluang yang lebih dari 0,50 hingga mendekati 0,99.

62 48 Pada lahan dengan kelas tanah terbuka, memiliki nilai tertinggi (0,4) untuk berubah menjadi penggunaan lain (hutan tanaman) sedangkan untuk tetap menjadi tanah terbuka hanya 0,2; dengan demikian pada waktu mendatang lahan terbuka mungkin akan beralih fungsi, hal ini jelas terlihat seperti yang tersaji pada pada Tabel 17, kelas tanah terbuka memiliki luasan yang semakin berkurang. Lahan sawah mempunyai kecenderungan tetap menjadi lahan sawah (0,6) namun ada kecenderungan dapat berubah menjadi lahan pertanian (ladang/tegalan), hal ini terbukti juga dengan berkurangnya luasan sawah tiap tahunnya (Tabel 17); sedangkan untuk lahan pertanian (ladang/tegalan) cenderung memiliki trend untuk dapat berubah menjadi kebun campuran dan sebaliknya. Kedua penggunaan lahan ini (sawah dan ladang/tegalan) dapat berubah dikarenakan perubahan keduanya bersifat dapat balik (reversible) tergantung pada kondisi ekonomi masyarakat. Hal ini tidak seperti halnya dengan permukiman yang sifatnya tidak dapat balik. Kenyataan ini dibuktikan dengan besarnya nilai perubahan permukiman ke permukiman mencapai 0,9 yang berarti pada waktu yang akan datang permukiman akan tetap menjadi lahan permukiman, dan kecil kemungkinan untuk menjadi penggunaan lahan budidaya. Validasi Hasil pemodelan menghasilkan peta prediksi perubahan penutupan/ penggunaan lahan berdasarkan matriks prediksi yang dibuat untuk tahun Peta prediksi ini divalidasi dengan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2011 untuk melihat kesesuaian antara peta prediksi 2011 dengan peta penutupan/ penggunaan lahan eksisting tahun Untuk mengetahui akurasi dari prediksi ini digunakan metode Kappa yang memperhitungkan semua elemen pada baris dan kolom dari matriks pengujian (Altman 1991). Hasil validasi dengan metode ini disajikan pada Tabel 19.

63 49 Tabel 19 Validasi silang antara luas penutupan/penggunaan lahan hasil pemodelan untuk tahun 2011 dengan luas penutupan/penggunaan lahan eksisting tahun 2011 Luas penutupan/ penggunaan lahan 2011 Hutan Primer (1) Hutan Sekunder (2) Hutan Tanaman (3) Mangrove (4) Perkebunan (5) Pertanian (ladang/tega lan)(6) Kebun Campuran (7) Luas penutupan/penggunaan lahan hasil pemodelan 2011 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) Jumlah Sawah (8) Permukiman (9) Semak/Belu kar (10) Tanah Terbuka (11) Tubuh Air (12) Jumlah Perlu diketahui bahwa nilai Kappa atau nilai kesesuaian (kemiripan) antara jumlah kolom dan baris maksimal adalah bernilai 1,00. Menurut Altman (1991) nilai Kappa 0,81-1,00 menunjukkan adanya kesepakatan yang sangat baik, nilai Kappa 0,61-0,80 adalah baik, 0,41-0,60 adalah sedang, 0,21-0,40 adalah kurang dari sedang, dan nilai <0,21 dikatakan buruk. Berdasarkan hasil validasi untuk proyeksi ini menunjukkan bahwa nilai Kappa yang diperoleh adalah sebesar 0,972 (Tabel 19). Nilai ini menunjukkan bahwa pemodelan ini tergolong mempunyai kesepakatan atau kemiripan yang sangat baik terhadap kondisi eksisting penutupan/penggunaan lahan tahun Dengan tingginya nilai Kappa tersebut, maka model ini selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi pola persebaran dan luasan penutupan/penggunaan lahan untuk prediksi tahun 2022, yaitu dengan mendasarkan pada trend historis yang telah terjadi pada proyeksi pemodelan ANN tersebut

64 50 Gambar 28 Prediksi penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2022 Tabel 20 Prediksi luas penggunaan lahan pada tahun 2022 Penutupan/Penggunaan lahan 2022 Km 2 % Hutan Primer 66,28 1 Hutan Sekunder 654,23 6 Hutan Tanaman 1.244,88 12 Mangrove 0,26 0 Perkebunan 593,73 6 Pertanian (ladang/tegalan) 4.368,62 42 Kebun campuran 1.433,83 14 Sawah 926,74 9 Permukiman 824,04 8 Semak/ Belukar 163,57 2 Tanah Terbuka 91,04 1 Tubuh Air 43,18 6 Jumlah ,40 100

65 51 Peta prediksi penutupan/penggunaan untuk tahun 2022 (Gambar 28) menunjukkan bahwa penggunaan lahan tetap didominasi oleh lahan pertanian (ladang/tegalan) (Tabel 20). Permukiman semakin padat dan memusat pada daerah utara dan perkotaan. Hutan sekunder semakin berkurang dan beralih fungsi menjadi hutan tanaman, lahan pertanian (ladang/tegalan), dan kebun campuran. Pengurangan kelas lahan juga terjadi pada lahan sawah, semak/belukar, dan lahan terbuka. Menurut Sanchez-Cuervo et al. (2012) konversi kawasan hutan merupakan akibat dari tingginya pertumbuhan penduduk dan permintaan komoditas pangan; hal inilah yang merupakan penyebab utama degradasi lahan. Hasil prediksi penutupan/penggunaan lahan ini, cukup menarik jika dipadukan dengan peta Pola Ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW ) di daerah penelitian. Peta Pola Ruang adalah peta yang terkait dengan distribusi peruntukan ruang wilayah, yaitu peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Peta pola ruang untuk lokasi penelitian yang saat ini berlaku disajikan pada Gambar 30. Adapun hasil perbandingan peta pola ruang dengan peta penutupan/penggunaan lahan 2011 dan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2022 hasil prediksi disajikan pada Tabel 21. Gambar 30 Pola ruang RTRW untuk lokasi penelitian

66 52 Tabel 21 Luas perbandingan rencana pola ruang dengan penggunaan lahan Pola ruang Luas RTRW* Luas 2011 Prediksi Luas 2022 Km 2 % Km 2 % Km 2 % Kawasan konservasi 3.631, , ,65 19 Kawasan budidaya** 6.778, , , ,13*** 3 134,22 1 Jumlah , , , Ket : * RTRW = Rencana Tata Ruang Wilayah (Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi) ** = Termasuk kawasan perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering dan basah *** = Penggunaan lain-lain (semak belukar, tanah terbuka, dll) Dari Tabel 21 di atas dapat dilihat bahwa cukup banyak ketidak-sesuaian luasan antara pola ruang yang direncanakan dengan penutupan/penggunaan lahan 2011 maupun hasil prediksi. Dalam hal ini untuk kawasan konservasi yang direncanakan memiliki luasan 35% dalam peta pola ruang, namun di tahun 2011 masih mencapai 20%, sedangkan untuk tahun 2022 malah turun menjadi 19%. Hal tersebut di atas mengindikasikan bahwa isyu konversi lahan hutan menjadi penggunaan lain merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian serius untuk ketiga wilayah kabupaten di daerah penelitian. Hal ini disebabkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa kawasan hutan perlu dipertahankan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS), baik kawasan hutan yang diperuntukkan untuk kawasan lindung maupun kawasan budidaya dalam rangka mewujudkan pelestarian lingkungan. Tujuan penetapan luasan hutan dalam UU tersebut dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air agar terhindar dari gangguan-gangguan keseimbangannya yang dapat mengakibatkan bencana, seperti banjir, erosi, sedimentasi, dan kekurangan air. Pola penutupan/penggunaan lahan tahun 2022 yang dihasilkan seperti tersebut di atas selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pengambilan kebijakan terhadap penggunaan lahan ke depan. Hal ini dikarenakan penutupan/penggunaan lahan tahun 2022 hasil prediksi yang diperoleh dapat digunakan untuk menilai bahaya lahan kritis tahun Dengan demikian hasil penilaian tersebut dapat pula digunakan untuk menyusun program mitigasi bencana lahan kritis. Untuk penilaian prediksi lahan kritis tahun 2022, parameter yang digunakan masih tetap tidak berubah. Hanya saja dengan asumsi bahwa parameter-parameter fisik lahan selain penutupan/penggunaan lahan tidak mengalami perubahan hingga tahun 2022 dan parameter kerapatan vegetasi didekati dengan kerapatan penutupan/penggunaan lahan hasil prediksi tahun Hasil analisis untuk prediksi bahaya lahan kritis untuk tahun 2022 ini disajikan pada Gambar 29, sedangkan luas dari masing-masing kelas lahan kritis hasil prediksi disajikan pada Tabel 22.

67 53 Tabel 22 Luas lahan kritis 2011 dengan prediksi lahan kritis pada tahun 2022 Lahan kritis Luas 2011 Luas 2022 Km 2 % Km 2 % Tidak Kritis 892, ,04 3 Agak Kritis 3.220, ,23 28 Kritis Sedang 4.307, ,73 46 Kritis 1.774, ,95 22 Sangat Kritis 214, ,45 1 Jumlah , , Dari Tabel 22, terlihat bahwa pada tahun 2022 lahan kritis masih didominasi oleh kelas kritis sedang dengan luasan yang bertambah menjadi 46%, demikian pula terjadi kenaikan untuk kelas kritis. Namun sebaliknya lahan untuk kelas tidak kritis dan agak kritis mengalami penurunan luasan, hal ini dapat saja diakibatkan oleh menaiknya kelas tidak kritis dan agak kritis tersebut menjadi kelas kritis sedang dan kritis. Gambar 29 Prediksi lahan kritis pada tahun 2022

68 54 Dari Gambar 29 terlihat bahwa lahan dengan kelas kritis sedang tersebar hampir merata di daerah penelitian. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa hasil prediksi ini masuk akal dikarenakan lahan-lahan yang tergolong kritis sedang dan kritis tersebar di daerah yang berlereng dan pada saat observasi lapangan diusahakan untuk lahan budidaya, terutama untuk lahan pertanian (ladang/tegalan). Secara umum penggunaan lahan untuk budidaya tanaman pertanian sesungguhnya tidak selalu mengakibatkan lahan menjadi terdegradasi, karena dengan pengaturan jenis penggunaan lahan tertentu dan dengan manajemen lahan yang baik dapat menekan terjadinya proses degradasi lahan. Namun demikian hasil pengamatan di lapang sering menunjukkan pula bahwa peruntukan lahan yang sesungguhnya bukan atau tidak sesuai untuk lahan budidaya, namun diusahakan untuk budidaya, bahkan tanpa mengikuti kaidah konservasi tanah dan air (misal tanpa perlakuan terasering, atau cara penanaman yang tidak mengikuti garis kontur). Beberapa gambaran penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada Lampiran Gambar 6a. Keadaan ini jika dibiarkan dan tidak ditindak dengan usaha-usaha Rehabilitasi dan Revegetasi, maka lahan-lahan tersebut tidak diragukan lagi dapat menjadi lahan kritis di waktu yang akan datang. Mengingat bahwa Peta Pola Ruang RTRW adalah sasaran yang ingin dicapai dalam perencanaan tata ruang hingga akhir masa berlakunya (tahun 2025), maka proses tumpang-tindih (overlay) antara peta pola ruang dengan peta bahaya lahan kritis 2022 menarik dilakukan agar dapat dilihat dan diprediksi programprogram mitigasi apakah yang diperlukan untuk antisipasi. Gambar 31 berikut merupakan hasil dari proses overlay antara Peta Lahan Kritis pada tahun 2022 (hasil prediksi) dengan Peta Pola Ruang RTRW tahun Untuk besarnya luasan dari hasil overlay (antara kelas lahan kritis dengan pola ruang) disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Luas prediksi lahan kritis pada tahun 2022 dengan pola ruang Luas No. Lahan kritis 2022 Pola Ruang* Km 2 % 1 Konservasi 80,60 1 Tidak Kritis 2 Budidaya** 201, Konservasi 1.204,33 12 Agak Kritis 4 Budidaya 1.687, Konservasi 1.578,84 15 Kritis Sedang 6 Budidaya 3.257, Konservasi 645,97 6 Kritis 8 Budidaya 1.612, Konservasi 76,48 1 Sangat Kritis 10 Budidaya 64,97 1 Jumlah , Ket : * = Pola Ruang Rencana Tata Ruang Wilayah (Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi) ** = Termasuk kawasan perkebunan, permukiman, pertanian lahan kering dan basah

69 55 Gambar 31 Prediksi lahan kritis pada tahun 2022 dengan pola ruang Dari Tabel 23 dapat dilihat bahwa pada tahun 2022, kategori lahan kritis yang mendominasi adalah kritis sedang (31%). Lahan-lahan ini menyebar pada kawasan yang memang diperuntukan untuk kawasan budidaya. Dengan demikian lahan-lahan di kawasan budidaya di daerah penelitian (terutama pada lahan pertanian untuk ladang/tegalan) perlu mendapat perhatian yang serius dalam pengelolaannya, karena jika lahan-lahan ini salah dalam pengelolaannya, maka kategori kelas kritis sedang dapat berubah menjadi kelas kekritisan di atasnya ( kritis hingga sangat kritis ). Hal ini disebabkan penggunaan pada lahan dimaksud (tegalan/ladang), merupakan jenis penggunaan lahan yang dominan di kawasan budidaya dengan kondisi fisik lahan yang bersifat rentan terhadap degradasi. Oleh karena itu usaha-usaha konservasi tanah dan air perlu diprioritaskan dan juga harus tetap mempertimbangkan kemampuan lahan dalam setiap rencana penggunaannya. Hal ini yang seharusnya diperhatikan agar daya dukung lahan tetap terjaga dan dapat digunakan secara berkelanjutan.

70 56 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemilihan parameter lahan kritis dalam penelitian ini didasarkan atas perbandingan parameter dominan dan parameter berbasis data spasial yang telah dipublikasikan sebelumnya, serta mengacu pada konsep terjadinya lahan kritis. Berdasarkan hal tersebut, parameter yang digunakan dalam penilaian lahan kritis ini adalah indeks penggunaan lahan, kerapatan vegetasi dan bahaya erosi. Lahan kritis di lokasi penelitian didominasi oleh kelas lahan kritis sedang. Penggunaan lahan di daerah penelitian didominasi oleh areal pertanian (ladang/tegalan), yang tersebar di hampir seluruh wilayah penelitian dengan kemampuan lahan yang beragam. Dengan demikian indeks penutupan/ penggunaan lahan termasuk kelas sedang. Didominasinya lahan pertanian (ladang/tegalan), maka kerapatan vegetasi di lokasi penelitian tergolong memiliki kerapatan yang sedang. Untuk bahaya erosi lokasi penelitian memiliki sifat fisik lahan yang sangat rentan mengalami degradasi, sehingga bahaya erosi tergolong sedang hingga tinggi. Lahan kritis dalam penelitian ini sangat erat kaitannya dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan pada kondisi fisik lahan yang rentan mengalami degradasi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan yang terkonversi dari lahan yang sebelumnya bervegetasi rapat menjadi bervegetasi yang jarang pada daerah-daerah yang memiliki kemampuan lahan yang rendah. Hasil simulasi land change modeler dengan metode Artificial Neural Network (ANN), menunjukan bahwa semua faktor pendorong, yakni akses jalan, permukiman, kepadatan penduduk dan kemiringan lereng memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan lahan, namun kepadatan penduduk, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan lahan, yang merupakan indikator terjadinya lahan kritis. Dengan demikian mitigasi bahaya lahan kritis dapat dilakukan dengan peningkatan Sumber Daya Manusia dalam menggunakan lahan. Saran Uji validasi pada pemetaan lahan kritis di lokasi penelitian mencapai akurasi 87% yang menunjukkan keakuratan yang tinggi, sehingga pemetaan ini dapat diuji coba untuk daerah lain pada skala perencanaan meso. Pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan metode ANN juga memiliki akurasi yang sangat baik, yang mencapai 97%, namun penggunaan variabel pendorong perubahan perlu ditambah, seperti kesuburan tanah, iklim, adanya akses sungai/irigasi. Dengan demikian dapat diketahui pengaruh faktor pendorong terhadap akurasi model dan nilai peluang yang dihasilkan. Perubahan penutupan/penggunaan lahan dan bahaya erosi, merupakan parameter yang sangat berpengaruh dalam identifikasi lahan kritis, dengan demikian Revegetasi lahan pada lahan yang telah dianggap agak kritis, tentu saja dapat menekan penyebaran lahan kritis dengan melindungi tanah pada lahan tersebut dari energi kinetik hujan sehingga tidak mencapai kelas kritis. Lahan dengan lereng dan elevasi yang tinggi sebaiknya tetap di jaga sebagai daerah konservasi terhadap air, keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. Akses jalan, permukiman dan lahan terbangun sebaiknya tetap hanya berada pada

71 kawasan yang memang diperuntukkan untuk kawasan tersebut, dengan demikian lahan yang digunakan bukan hanya berorientasi pada ekonomi, namun juga berorientasi pada lingkungan agar tetap lestari dan berkelanjutan. Peningkatan sumberdaya manusia dalam menggunakan lahan, sebaiknya mutlak dilakukan, karena kepadatan penduduk yang merupakan faktor pendorong utama dalam perubahan penggunaan lahan hingga mengakibatkan lahan terdegradasi dan terancam menjadi lahan kritis. Sebaran bahaya lahan kritis di daerah penelitian, diusulkan dapat dipertimbangkan sebagai dasar acuan dalam Pola Ruang Rencana Tata Ruang Wilayah. Dengan demikian bahaya lahan kritis dapat dimitigasi sedini mungkin, yakni kawasan budidaya yang saat ini mendominasi lokasi penelitian sebaiknya dibatasi, dengan mempertimbangkan penggunaan lahan budidaya saat ini telah meluas melebihi luasan distribusinya sehingga kawasan konservasi terancam luasannya, sehingga bahaya lahan kritis pada tahun 2022 semakin banyak menyebar pada wilayah yang seharusnya diperuntukan untuk kawasan konservasi. Distribusi rencana pola ruang sebaiknya berpedoman pada keberlanjutan lahan masa mendatang untuk menghindari timbulnya bencana akibat bahaya yang ditimbulkan oleh lahan kritis. 57

72 58 DAFTAR PUSTAKA Alberto A, Dasanto BD Model perubahan penggunaan lahan dan pendugaan cadangan karbon di daerah aliran sungai Cisadane, Jawa Barat. J Agromet. 24(2): Altman DG Practical Statistics for Medical Research. London (GB): Chapman and Hall. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Edisi ke-2. Bogor (ID): IPB Pr. Atkinson P, Tatnall A Neural network in remote sensing. J Rem Sensing and Earth Sciences. 18(4): Baharuddin Pemanfaatan inderaja dan sistem informasi geografis dalam inventarisasi lahan kritis di kabupaten Kolaka Utara. J Perennial. 6(2): Barus B, Gandasasmita K, Tarigan S, Rusdiana O Penyusunan kriteria lahan kritis. [laporan akhir]. Kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dengan Pusat Pengkajian Pengembangan Wilayah (P4W) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat Rencana pembangunan jangka panjang daerah provinsi Jawa Barat tahun Bandung: BAPPEDA Provinsi Jawa Barat. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana Pedoman umum pengkajian resiko bencana. Jakarta: BNPB. [BPLHD] Balai Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat Status lingkungan hidup daerah provinsi Jawa Barat. Bandung: BPLHD. [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat dalam angka. Bandung: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor dalam angka. Bogor: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur dalam angka. Cianjur: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi Kabupaten Sukabumi dalam angka. Sukabumi: Badan Pusat Statistik. Didu, MS Analisis posisi dan peran lembaga serta kebijakan dalam proses pembentukan lahan kritis. J Teknologi Lingkungan. 2(1): Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Undang-undang republik Indonesia nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Jakarta (ID): Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Statistik pembangunan balai pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung. Bogor: Departemen Kehutanan. Kementerian Kehutanan Peraturan menteri kehutanan republik Indonesia nomor : P. 32/Menhut-II/2009 tentang tata cara penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan.

73 [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000 tentang pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Jakarta (ID): KLH Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Edisi ke-6. Jakarta (ID): CV Aka Pres. Hardjowigeno S, Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Edisi ke-2. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Ikqra Studi geomorfologi pulau ternate dan penilaian resiko longsor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Indarto, Faisol A Konsep Dasar Analisis Spasial. Yogyakarta (ID): ANDI. Lillesand TM, Kiefer RW Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Cetakan ke-3. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Mashudi Analisis dan pengembangan kriteria lahan kritis serta keterkaitannya dengan produktifitas lahan di kawasan budidaya pertanian lahan kering di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Munibah K Model penggunaan lahan berkelanjutan di DAS Cidanau, Kabupaten Serang, Propinsi Banten [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purnomo H Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Pr. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Statistik sumberdaya lahan/tanah Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Rahim SE Pengendalian Erosi Tanah : Dalam Rangka Pelestaria Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara. Raymoon Cara membuat peta NDVI dengan ArcGIS10. [diacu 2013 Juli 2]. Tersedia dari Sanchez-Cuervo AM, Aide TM, Clark ML, Etter A Land cover change in colombia: surprising forest recovery trends between 2001 and J Pone. 7(8):e doi: /jp Sitorus SRP, Susanto B, Haridjaja O Kriteria dan klasifikasi tingkat degradasi lahan di lahan kering (Studi kasus: lahan kering di kabupaten Bogor). J Tanah dan Iklim. 34: Subardja D Kegiatan pemetaan LREP II dalam menunjang pembangunan di kawasan timur Indonesia. [Prosiding]. Di dalam: Temu konsultasi sumberdaya lahan untuk pembangunan kawasan timur Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. hlm Wahyunto, Kuntjoro D, Muryati SR Inventarisasi lahan terdegradasi dengan aplikasi teknologi inderaja dan sistem informasi geografi. [Prosiding]. Di dalam: Seminar nasional sumberdaya lahan dan lingkungan pertanian. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm Wijaya, CI Land use change modelling in Siak district, Riau province, Indonesia using multinomial logistic regression. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 59

74 60 LAMPIRAN

75 61 Lampiran Tabel 1 Parameter, sumber data dan lembaga penyedia data untuk penyusunan kriteria lahan kritis pada tingkat kabupaten (Barus et al. 2011) No. Parameter Sumber Data Lembaga Kemampuan /Kesesuaian Lahan Penggunaan Lahan Land Unit, tanah semi-detil, Kemampuan lahan Citra Satelit SPOT-5/ALOS Avnir-2 Acuan klasifikasi SNI BBSLDP BPN Analisis Standar BIG 3. Kelerengan Topografi BIG 4. Kerentanan RTRW Kabupaten BAPPEDA Kab. 5. Curah Hujan Ekstrapolasi spasial data curah hujan BMKG 6. Pola Ruang RTRW Kabupaten BAPPEDA Kab. Lampiran Tabel 2 Variabel dan pembobotan kriteria lahan kritis untuk skala semidetil (Mashudi, 2010) Variabel (Bobot %) Kedalaman Efektif Tanah (38) Tingkat Erosi (22) Penutupan Lahan (20) Batuan di Permukaan (19) Lereng (1) 1. Sangat Dangkal 2. Dangkal 3. Dalam 4. Sangat Dalam 1. Sangat berat 2. Berat 3. Sedang 4. Ringan Kriteria Deskripsi Skor 1. Jarang 2. Sedang 3. Rapat 4. Sangat Rapat 1. Sangat Banyak 2. Banyak 3. Sedang 4. Sedikit 1. Sangat Curam Curam 2. Agak Curam 3. Miring Agak Miring 4. Landai Datar 25 cm cm cm > 90 cm Semua lapisan tanah atas hilang, Dan > 25% lapisan tanah bawah hilang, dan/atau terdapat erosi parit. > 75% lapisan tanah atas hilang dan/atau terdapat erosi parit % lapisan tanah atas hilang atau terdapat erosi alur. < 25% lapisan tanah atas hilang 40% 41 60% 61 80% > 80% > 90% 16 90% 4 15% 3% > 45% 31 45% 9 30% 8%

76 62 Lampiran Tabel 3 Kriteria penilaian lahan kritis berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) Parameter Potensial Kritis Semi Kritis Kritis Sangat Kritis Penutupan Vegetasi Tingkat Torehan / Kerapatan drainase Penggunaan Lahan/ Vegetasi Kedalaman tanah > 75 % % % < 25% Agak tertoreh Cukup tertoreh Hutan, Kebun Campuran, Belukar, Perkebunan Dalam (>100 cm) Cukup tertoreh Sangat tertoreh Pertanian lahan kering Semak belukar, alang-alang Sedang ( cm) Sangat tertoreh Sangat tertoreh sekali Pertanian lahan kering Rumput, Semak Dangkal (30 60 cm) Sangat tertoreh sekali Gundul, Rumput, Semak Sangat Dangkal (<30 cm) Lampiran Tabel 4 Kriteria baku kerusakan lahan di lahan kering untuk produksi biomassa berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup (2000) No Ambang Parameter Metode pengukuran Peralatan. Kritis 1. Ketebalan solum < 20 cm Pengukuran langsung Meteran Pengukuran langsung Kebatuan 2. > 40 % imbangan batu dan Permukaan tanah dalam unit luasan 3. Komposisi Fraksi < 18 % koloid; > 80 % pasir kuarsitik Warna pasir, grafimetrik 3 Grafimetri pada satuan 4. Berat Isi > 1,4 g/cm volume 5. Porositas Total 6. Derajat pelulusan air < 30% ; > 70 % < 0,7 cm/jam; > 8,0 cm/jam Perhitungan berat isi (BI) dan Berat jenis (BJ) Permeabilitas 7. ph (H 2 O) 1:2,5 < 4,5 ; > 8,5 Potensiometrik 8. Daya Hantar Listrik/DHL Meteran; counter (line atau total) Tabung ukur, timbangan Lilin; tabung ukur, ring sampler, timbangan analitik Piknometer; timbangan analitik ring sampler; double ring permeameter, ph meter, ph stick skala 0,5 satuan > 4,0 ms/cm Tahanan listrik EC meter 9. Redoks < 200 mv Tegangan Listrik 10. Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah Plating technique ph meter, elektroda platina Cawan petri, colony counter

77 63 Lampiran Tabel 5 Kriteria lahan kritis berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.32/Menhut-II/2009 tentang tata cara penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai. Kawasan Hutan Lindung No. Kriteria (% Bobot) 1 Penutupan Lahan (50) 2 Lereng (20) 3 Erosi (15) 4 Manajemen (30) Kelas Deskripsi Skor Keterangan Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Ringan Sedang Berat Sangat Berat Baik Sedang Buruk >80% 61 80% 41 60% 21 40% <20% <8% 8 15% 16 25% 26 40% >40% Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m Tanah dalam : 25 75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak < m Tanah dangkal : 25 50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak m Tanah dalam : > 75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit pada jarak m Tanah dangkal : % lapisan tanah atas hilang Tanah dalam : semua lapisan tanah atas hilang, > 25% lapisan bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak < 20 m Tanah dangkal : > 75% lapisan tanah atas hilang, sebagian tanah lapisan bawah tererosi Lengkap Tidak lengkap Tidak ada Dinilai berdasarkan persentase tutupan tajuk *) tata batas kawasan ada, pengamanan ada, penyuluhan dilaksanakan

78 64 Kawasan Bududaya Pertanian No. Kriteria (% Bobot) 1 Produktivitas *) (30) 2 Lereng (20) 3 Erosi (15) 4 Batu-batuan (5) 5 Manajemen (30) Kelas Deskripsi Skor Keterangan Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Ringan Sedang Berat Sangat Berat Sedikit Sedang Banyak Baik Sedang Buruk >80% 61 80% 41 60% 21 40% <20% <8% 8 15% 16 25% 26 40% >40% Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m Tanah dalam : 25 75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak < m Tanah dangkal : 25 50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak m Tanah dalam : > 75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit pada jarak m Tanah dangkal : % lapisan tanah atas hilang Tanah dalam : semua lapisan tanah atas hilang, > 25% lapisan bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak < 20 m Tanah dangkal : > 75% lapisan tanah atas hilang, sebagian tanah lapisan bawah tererosi < 10 % permukaan lahan tertutup batuan 10 30% permukaan lahan tertutup batuan >75% permukaan lahan tertutup batuan Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai dengan petunjuk teknis Tidak lengkap atau tidak terpelihara Tidak ada Dinilai berdasarkan rasio produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional *) tata batas kawasan ada, pengamanan ada, penyuluhan dilaksanakan

79 65 Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan No. Kriteria (% Bobot) 1 Produktivitas *) (50) 2 Lereng (10) 3 Erosi (10) 4 Manajemen (30) Kelas Deskripsi Skor Keterangan Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Ringan Sedang Berat Sangat Berat Baik Sedang Buruk >80% 61 80% 41 60% 21 40% <20% <8% 8 15% 16 25% 26 40% >40% Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m Tanah dalam : 25 75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak < m Tanah dangkal : 25 50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak m Tanah dalam : > 75% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit pada jarak m Tanah dangkal : % lapisan tanah atas hilang Tanah dalam : semua lapisan tanah atas hilang, > 25% lapisan bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak < 20 m Tanah dangkal : > 75% lapisan tanah atas hilang, sebagian tanah lapisan bawah tererosi Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai dengan petunjuk teknis Tidak lengkap atau tidak terpelihara Tidak ada Dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk *) tata batas kawasan ada, pengamanan ada, penyuluhan dilaksanakan

80 66 Lampiran Tabel 6 Penilaian tingkat lahan kritis berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.32/Menhut-II/2009. No. Tingkat Lahan kritis Besaran Nilai 1. Kawasan Hutan Lindung - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis 2. Kawasan Hutan Lindung - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis 3. Kawasan Hutan Lindung - Sangat Kritis - Kritis - Agak Kritis - Potensial Kritis - Tidak Kritis

81 67 Lampiran Tabel 7 Validasi pemetaan lahan kritis Pengamatan lapang No. LS BT Elevasi (m) Landuse dominan Sawah, Permukiman Semak Pertanian, Permukiman Pertanian, Permukiman Perkebunan Teh Perkebunan Teh Pertanian, Permukiman Pertanian Kebun Campuran Pertanian Perkebunan Kelapa Sawit Sawah, Permukiman Pertanian Kebun Campuran Hutan Tanaman No. Indeks Penggun aan Lahan Kerapatan Vegetasi Kelas lahan kritis Bahaya Erosi Klasifikasi Lahan Kritis Kesesuaian model* 1 Baik Jarang Ringan Agak Kritis (K 2) Sesuai 2 Buruk Sedang Ringan Kritis (K 4) Tidak 3 Sedang Sedang Berat Agak Kritis (K 2) Sesuai 4 Buruk Sedang Berat Kritis (K 3) Sesuai 5 Baik Rapat Berat Agak Kritis (K 2) Sesuai 6 Baik Rapat Berat Agak Kritis (K 2) Sesuai 7 Buruk Jarang Berat Kritis (K 4) Sesuai 8 Sedang Sedang Berat Agak Kritis (K 2) Sesuai 9 Sedang Sedang Berat Agak Kritis (K 2) Sesuai 10 Buruk Sedang Berat Kritis Sedang (K 3) Sesuai 11 Baik Rapat Berat Agak Kritis (K 2) Sesuai 12 Baik Jarang Ringan Kritis Sedang (K 3) Tidak 13 Sedang Jarang Berat Kritis (K 4) Sesuai 14 Sedang Sedang Sedang Kritis Sedang (K 3) Sesuai 15 Baik Rapat Berat Agak Kritis (K 2) Sesuai * Uji validasi = (titik yang benar/jumlah)x100% = (13/15)x100% = %

82 68 Lampiran Tabel 8 Deskripsi lahan kritis di lokasi penelitian Kelas Kritis Deskripsi Lahan Tidak Kritis - Penutupan/penggunaan lahan sesuai dengan kemampuan lahannya - Kerapatan vegetasi sangat rapat. - Bahaya erosi sangat rendah sampai rendah. - Topografi datar dengan lereng <3% pada kawasan budidaya dan topografi berbukit atau gunung dengan lereng >45% dengan penutupan lahan hutan primer pada kawasan konservasi. Lahan Agak Kritis - Penutupan/penggunaan lahan sesuai dengan kemampuan lahannya. - Kerapatan vegetasi rapat. - Bahaya erosi rendah. - Topografi berombak dengan kemiringan lereng >3% hingga 8%. - Penggunaan lahan berupa sawah, ladang/tegalan (pertanian lahan kering), kebun campuran, perkebunan, semak/belukar hingga sebagian hutan sekunder. Lahan Kritis Sedang - Penutupan/penggunaan lahan sesuai tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. - Kerapatan vegetasi sedang. - Bahaya erosi sedang. - Topografi bergelombang dengan kemiringan lereng >15% hingga 25%. - Penggunaan lahan berupa; pertanian lahan kering (ladang/tegalan), kebun campuran, perkebunan, semak/belukar, hingga sebagian hutan sekunder. Lahan Kritis - Penutupan/penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. - Kerapatan vegetasi sedang sampai jarang. - Bahaya erosi berkisar sedang hingga berat. - Topografi berbukit hingga bergunung dengan kemiringan lereng >15%. - Penggunaan lahan berupa ladang, kebun campuran, perkebunan, semak dan sebagian lahan terbuka. Lahan Sangat Kritis - Penutupan/penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya. - Kerapatan vegetasi jarang hingga sangat jarang. - Bahaya erosi berat hingga sangat berat. - Topografi berbukit hingga bergunung dengan kemiringan lereng >25%. - Penggunaan lahan berupa semak, rerumputan, lahan terbuka, sebagian lahan terlihat banyak muncul batuan di permukaan.

83 69 (a) (b) (c) (d) Lampiran Gambar 1 Analisis citra landsat 7 ETM (path 122 row 065) (a) Citra landsat ETM7 pada agustus 2011; (b) Citra landsat ETM7 pada juni 2011; (c) Hasil penambalan citra pada agustus 2011 dengan juni 2011; (d) Hasil pemotongan citra landsat ETM7 (band 543) dengan batas lokasi penelitian.

84 70 (a) (b) (c) (d) Lampiran Gambar 2 Analisis NDVI (Normalized Diferrence Vegetation Index); (a) Band 3 citra landsat ETM 7; (b) Band 4 citra lansat ETM 7 (c) NDVI sebelum penambalan citra; (d) Hasil penambalan NDVI dengan lokasi penelitian

85 Lampiran Gambar 3 Sebaran 67 titik sample (52 titik verifikasi penutupan/ penggunaan lahan dan 15 titik validasi hasil pemetaan lahan kritis). 71

86 72 (a) (b) (c) Lampiran Gambar 4 Kelas lahan kritis (a) Sangat kritis ( E; S; elevasi 516 m); (b) Kritis ( E; S; elevasi 1104 m); (c) Kritis sedang ( E; S; elevasi 1504 m); (d) Agak kritis ( E; S; elevasi 1450 m) (d)

87 73 (a) (b) (c) (d) Lampiran Gambar 5 Tipe penggunaan lahan (a) Perkebunan karet ( E; S; elevasi 546 m); (b) Perkebunan kelapa sawit ( E; S; elevasi 570 m); (c) Pertanian hortikultura ( E; S; elevasi 880 m); (d) Sawah ( E; S; elevasi 56 m)

88 74 (a) (b) (c) (d) Lampiran Gambar 6 Kondisi wilayah lokasi penelitian (a) Penanaman memotong garis kontur ( E; S; elevasi 1330 m); (b) Alih fungsi lahan ( E S elevasi 647; (c) erosi ( E; S; elevasi 865 m); (d) Longsor ( E; S; elevasi 986 m)

MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR DAN SUKABUMI

MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR DAN SUKABUMI Model Spasial Bahaya Lahan Kritis... (Kubangun dkk.) MODEL SPASIAL BAHAYA LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, CIANJUR DAN SUKABUMI (Spatial Model of Critical Land Hazard at Bogor, Cianjur and Sukabumi Regencies)

Lebih terperinci

MODEL PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, KABUPATEN CIANJUR, DAN KABUPATEN SUKABUMI

MODEL PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, KABUPATEN CIANJUR, DAN KABUPATEN SUKABUMI Model Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan untuk Identifikasi Lahan Kritis... (Kubangun, et.al) MODEL PERUBAHAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DI KABUPATEN BOGOR, KABUPATEN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA. Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H

SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA. Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H SKRIPSI PEMETAAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA DI BAGIAN TIMUR KABUPATEN NATUNA Oleh : MUH KHOIRUL ANWAR H 0709073. FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 PEMETAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Definisi lahan menurut Sitorus (2004) merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor. Pengolahan data dan analisis

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2011 sampai Januari 2012 dengan memilih Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau sebagai studi kasus penelitian.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan lahan yang sangat intensif serta tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan menimbulkan adanya degradasi lahan. Degradasi lahan yang umum terjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2.

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2. III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di bagian timur Kabupaten Natuna, yaitu Kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Tengah, Bunguran Selatan dan Bunguran Timur

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Ketua Program Studi / Koordinator Mayor: Baba Barus, Dr Staf Pengajar : Atang Sutandi, Dr Baba Barus, Dr

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Panumbangan yang merupakan salah satu wilayah kecamatan di bagian Utara Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P.

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 9 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan : Oktober November 2010 (Bogor). Pelaksanaan lapang (pra survei dan survei) : Desember 2010. Analisis Laboratorium : Januari Februari 2011.

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4

Program Studi Agro teknologi, Fakultas Pertanian UMK Kampus UMK Gondang manis, Bae, Kudus 3,4 E.7 PEMETAAN PARAMETER LAHAN KRITIS GUNA MENDUKUNG REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN DAN KETAHANAN PANGAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN SPASIAL TEMPORAL DI KAWASAN MURIA Hendy Hendro

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) SKRIPSI Oleh HARRY PRANATA BARUS DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE.

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. Land resource damage caused by the land conversion and land use without

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH :

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : EVALUASI KESESUAIAN LAHAN KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN UNTUK TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) SKRIPSI OLEH : AGNES HELEN R. PURBA 080303065 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA HASIL PENELITIAN OLEH: ANITA NAOMI LUMBAN GAOL 061201012/ MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

TOMI YOGO WASISSO E

TOMI YOGO WASISSO E ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT POTENSI GERAKAN TANAH MENGGUNAKANSISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN MOJOSONGO KABUPATEN BOYOLALI Disusun Sebagai Salah Satu

Lebih terperinci

Teknik Skoring untuk berbagai analisis spasial

Teknik Skoring untuk berbagai analisis spasial Teknik Skoring untuk berbagai analisis spasial AY 13 Multiple Criteria Evaluation (MCE) According to Smith (1980), multiple criteria evaluation (MCE) is defined as: "The weighting of independent criteria

Lebih terperinci

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan. Gambar 4.16 Teras sungai pada daerah penelitian. Foto menghadap timur. 4.2 Tata Guna Lahan Tata guna lahan pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012)

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012) 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 5 Juli 2013, meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan pengamatan lapangan (ground

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN Kurikulum : Program Magister Sains Kode Mata Kuliah SKS Semester Mata Kuliah Wajib SPs (6 SKS) PPS 500 Bahasa Inggris 3 Ganjil TSL 500 Geostatistik 3 Ganjil Mata Kuliah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 10 C. Tujuan Penelitian... 10

Lebih terperinci

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Diajukan Oleh : YOGA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO Rahmadi Nur Prasetya geo.rahmadi@gmail.com Totok Gunawan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Pemetaan Daerah Rawan PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Moch. Fauzan Dwi Harto, Adhitama Rachman, Putri Rida L, Maulidah Aisyah,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE (UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI PULAU SAMOSIR

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE (UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI PULAU SAMOSIR PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE (UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI PULAU SAMOSIR SKRIPSI OLEH: FRISCA ELIANA SIDABUTAR 031201021/MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 47 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang yang terletak di Kabupaten Gowa (Gambar 3). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Berikut adalah metode penelitian yang diusulkan : Pengumpulan Data Peta Curah Hujan tahun Peta Hidrologi Peta Kemiringan Lereng Peta Penggunaan Lahan

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Derajat S-1 Program Studi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi Erosi berasal dari bahasa latin erodere yang berarti menggerogoti atau untuk menggali. Istilah erosi ini pertama kali digunakan dalam istilah geologi untuk menggambarkan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembukaan lahan untuk perumahan dan pemukiman pada daerah aliran sungai (DAS) akhir-akhir ini sangat banyak terjadi khususnya pada kota-kota besar, dengan jumlah dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci