KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS"

Transkripsi

1 KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS SKRIPSI RIMBA RIZKI ANANDA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN RIMBA RIZKI ANANDA. D Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Kation-Anion Berbeda pada Suhu Lingkungan Panas. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A, MS. M.Sc Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi performa ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Cekaman yang terjadi akibat pengaruh suhu dan kelembaban akan menyebabkan ternak mengalami gangguan suhu tubuh, laju respirasi, dan profil darah sebagai respon utama ternak. Pengaruh buruk cekaman tersebut dapat ditekan melalui suplementasi nutrisi, diantaranya memberikan ransum dengan kromium organik dan neraca kation-anion ransum (NKAR). Penelitian ini bertujuan mengetahui efek dari pemberian kromium organik dan ransum dengan neraca kation-anion berbeda pada domba Garut jantan dalam mengurangi cekaman pada suhu lingkungan panas. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Juli sampai November Ternak yang digunakan adalah domba Garut jantan sebanyak 24 ekor, umur 1,5 tahun dan bobot badan awal 29,98±4,01 kg. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan berupa ransum penelitian dan 6 kelompok berupa ternak berdasarkan bobot badan. Ransum perlakuan yang diberikan dengan rasio hijauan : konsentrat = 35:65 adalah R0 = ransum dengan neraca kation-anion (NKAR) +14, R1 = NKAR +14 dengan kromium (Cr), R2 = NKAR 0, dan R3 = NKAR 0 dengan Cr. Pengamatan dilakukan selama tujuh minggu, sedangkan peubah yang diukur adalah kondisi fisiologis berupa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah. Analisis data penelitian menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan uji jarak Duncan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah tidak menunjukkan perbedaan untuk semua jenis ransum. Pada suhu lingkungan 33 0 C dan kelembaban 68 % menghasilkan suhu rektal normal (38,70-39,14 0 C), peningkatan laju respirasi (8-15 %), dan semua ternak mengalami stres karena cekaman panas yang ditunjukkan dari nilai rasio netrofil/limfosit 2-3. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan nilai NKAR pada kisaran 0 dan +14 dengan suplementasi 3 ppm Cr tidak mempengaruhi kondisi fisiologis ternak domba Garut jantan saat lingkungan panas. Kata- kata kunci : anion, kation, kondisi fisiologis, kromium, suhu

3 ABSTRACT Physiological Condition of Garut Breed Male Sheep Offered Diets with Different Dietary Cation-Anion Balance and Chromium Content R. R. Ananda, T. Toharmat, and D. Evvyernie Chromium (Cr) is an essential mineral for the animal body and required for normal metabolism of carbohydrate, protein, lipid and nucleic acid, hormonal regulation and immune function. Degradation of Cr level in sheep body increases stressor hormone that decreases health status of the animals. The objective of this experiment was to study the efficacy of chromium and dietary cation anion balance (DCAB ) to improve physiological condition of sheep in high environment temperature. Twenty four of sheep were grouped in six weight categories and allocated into four dietary treatments. Dietary treatments were: R0= basal diet DCAB +14, R1= basal diet with 3 ppm organic-cr, R2= DCAB 0 without organic-cr, R3= DCAB 0 with 3 ppm organic-cr. The basal diet composed of 35% maize straw and 65% concentrate. Diet and water were offered ad libitum. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were observed. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were not influenced by organic-cr supplementation and manipulation of dietary cation anion balance. Result of environmental temperature 33 O C and humidity 68 % is rectal temperature ( O C), respiration rate increases (8-15 %), and stress indicated in all of sheep from netrofil/limfosit ratio 2-3. It was concluded that the supplementation of organic-cr and manipulation of DCAB is not influence when the environmental temperature varied from O C. Keywords: anion, cation, chromium, environment, sheep, temperature

4 KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS RIMBA RIZKI ANANDA D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS Oleh RIMBA RIZKI ANANDA D Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 September 2009 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgr.Sc Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., M.Sc NIP NIP Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr NIP NIP

6 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir dari pasangan Ayah H. Hasiyadi dan Ibu Ruhiyahnur di Pontianak, Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat) pada tanggal 30 Juni Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di kota Tangerang, Banten. Setelah lulus SMA tahun 2005, penulis diterima pada Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor ( IPB), sebagai mahasiswa melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun 2006 penulis terdaftar di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Fakultas Peternakan) dan Minor Manajemen Fungsional (Fakultas Ekonomi dan Manajemen), Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi di antaranya BEM-TPB (Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama), Karang Taruna Masyarakat, Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Selain itu, penulis banyak berpartisipasi dalam kepanitiaan beberapa kegiatan di dalam dan luar kampus.

7 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan ridha-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Neraca Kation-Anion Berbeda Pada Suhu Lingkungan Panas. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung pada bulan Juli sampai November Tahapan penelitian meliputi persiapan yang dimulai dari penulisan proposal dilanjutkan dengan mempersiapkan bahan dan alat yang digunakan pada penelitian, persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan dokumentasi atau penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi fisiologis domba Garut jantan yang mendapat ransum yang disuplementasi dengan Cr-organik dan mempunyai nilai neraca kation-anion ransum (NKAR) berbeda. Penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, September 2009 Penulis

8 DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... Halaman DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Domba Garut... 3 Perbandingan Kation-Anion... 3 Mineral Ransum... 4 Lingkungan dan Ternak... 7 Kondisi Fisiologis Domba... 9 Suhu Rektal... 9 Laju Respirasi... 9 Profil Darah METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang dan Peralatan Obat-obatan Ransum Percobaan Rancangan Perlakuan Rancangan Percobaan Peubah yang Diamati Prosedur Pembuatan Kromium Organik Pengaturan NKAR 18 Pelaksanaan Penelitian Pengambilan Sampel Darah HASIL DAN PEMBAHASAN.. 19 Suhu dan Kelembaban Kandang ii iii vi vii x xi

9 Pengaruh NKAR dan Cr terhadap Kondisi Fisiologis Suhu Rektal Laju Respirasi Profil Darah KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

10 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data Rataan Suhu Rektal Pagi Hari Data Rataan Suhu Rektal Siang Hari Data Rataan Laju Respirasi Pagi Hari Data Rataan Laju Respirasi Siang Hari Data Rataan Hemoglobin Data Rataan Hematokrit Data Rataan Butir Darah Merah Data Rataan Butir Darah Putih Data Rataan Netrofil Data Rataan Limfosit Data Rataan Monosit Data Rataan Eosinofil Data Rataan Netrofil/Limfosit... 37

11 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Penambahan Cr, ZnSO 4, CaSO 4, dan Kandungan Mineral Na, K, Cl, dan S Ransum Penelitian Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan Rataan Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Selama Penelitian Nilai Normal dan Profil Darah Domba Garut Jantan yang Digunakan dalam Percobaan... 22

12 PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan tropis di wilayah Indonesia memiliki suhu udara yang tergolong panas dan kelembaban udara rata-rata di atas 60%. Keadaan tersebut dapat menjadi salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan ternak. Respon fisiologis ternak merupakan respon ternak terhadap berbagai macam faktor baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitar (Yousef,1985). Suhu udara dapat mempengaruhi ternak secara langsung, terutama saat suhu udara yang tinggi dapat menyebabkan ternak mengalami cekaman. Suhu udara yang tinggi juga dapat mempengaruhi ternak secara tidak langsung, keadaan ini mempengaruhi pertumbuhan sumber-sumber makanan ternak yang pada akhirnya membuat ternak kekurangan asupan gizi. Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses termoregulasi yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air, dan endokrin (Johnson, 1987). Pada keadaan lainnya, kelembaban yang tinggi juga dapat mempengaruhi proses pelepasan energi tubuh ternak, karena dalam keadaan tersebut ternak sulit melakukan evaporasi yang merupakan salah satu cara dalam pengaturan panas tubuh. Oleh karena itu, saat siang hari dengan suhu dan kelembaban yang tinggi dapat mengakibatkan cekaman panas pada ternak. Domba Garut jantan merupakan jenis domba yang banyak terdapat di daerah Garut, Jawa Barat, dan memiliki ciri khas yang disukai masyarakat (Setiadi, 1989). Bobot badan domba Garut betina berkisar antara kg sedangkan bobot domba jantan mencapai lebih dari 80 kg, dengan demikian domba Garut memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam peternakan modern. Domba jantan juga dapat dijadikan sebagai donor semen dengan tujuan memperbaiki performa domba lokal lainnya (Rizal et al., 2004). Domba Garut berkembang di dataran tinggi Jawa Barat, namun dengan berbagai keunggulan jenis domba tersebut dikembangkan di wilayah dataran rendah yang mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi yang dapat menyebabkan cekaman panas. Cekaman panas meningkatkan kebutuhan mineral kromium (Cr) dalam tubuh ternak (Burton, 1995). Cekaman menyebabkan peningkatan pelepasan hormon kortisol dan menggangu sel-sel imunitas pada tubuh ternak (Sugito et al., 2007).

13 Hormon kortisol memiliki sifat yang antagonistik dengan hormon insulin karena keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, selain itu saat mengalami cekaman panas tubuh ternak akan bersifat basa yang berkaitan dengan aktivitas transportasi O 2 dan CO 2 dalam tubuh ternak tersebut. Suplementasi Cr dan pemberian ransum dengan memperhatikan rasio kation anionnya diharapkan dapat mengurangi cekaman panas pada ternak domba Garut jantan terutama dalam keadaan lingkungan yang panas. Bestari (2007) menyatakan bahwa penggunaan Crpikolinat dapat mengurangi cekaman panas pada sapi perah di daerah lingkungan panas. Perumusan Masalah Suhu lingkungan panas akan menyebabkan cekaman yang dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ternak yang dapat ditunjukkan dari suhu rektal, laju respirasi, profil darah dan pada akhirnya dapat menurunkan performa ternak. Tempat pemeliharaan ternak dengan kondisi yang berbeda juga dapat menyebabkan ternak sulit beradaptasi, sehingga akan menurunkan produktivitas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki aspek nutrisi yaitu melalui pengaturan nilai perbedaan neraca kation-anion ransum (NKAR) dengan Cr organik. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian kromium organik dan ransum dengan neraca kation-anion berbeda terhadap kondisi fisiologis ternak, sebagai respon utama tubuh ternak dalam keadaan lingkungan panas. 2

14 TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba Garut merupakan domba yang berasal dari persilangan antara domba lokal asli, domba Merino dan domba Ekor Gemuk dari Afrika Selatan yang telah menjadi satu bangsa karena seleksi bertahun-tahun adaptasinya terhadap lingkungan di daerah Garut (Balai Informasi Pertanian, 1990). Domba Garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1,97 (Subandriyo et al., 1981), tingginya jumlah anak perkelahiran tersebut tidak diimbangi dengan produksi susu yang cukup untuk anak-anaknya, sehingga mengakibatkan angka mortalitas tinggi dan pertumbuhan lambat pada anaknya (Bradford dan Inounu,1996). Domba Garut memiliki rataan bobot lahir untuk jantan 2,20 kg dan untuk betina ialah 2,10 kg (Subandriyo et al., 1981), sedang untuk bobot sapihnya 18,61-20,96 kg pada jantan dan 15,80-17,90 kg pada betina. Untuk bobot dewasa domba Garut adalah kg untuk jantan dan kg untuk betina. Domba Garut jantan yang diberi pakan baik dan bergizi, bobotnya dapat mencapai kg (Merkens dan Soemirat, 1979), selain itu domba Garut jantan memiliki ciriciri, seperti bertanduk besar, melengkung ke belakang, berbentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, di sisi lain bentuk telinganya ada yang panjang, sedang dan pendek terletak di belakang pangkal tanduk; dengan ekor yang pendek dan memiliki pangkal agak besar (Setiadi, 1989). Domba Garut jantan bersifat agresif dan kuat, selain itu juga merupakan domba yang diternakkan dengan sangat selektif (Smith dan Mangkoewidjojo,1988). Menurut Natasasmita et al. (1986) tujuan khusus pemeliharaan domba Garut ialah untuk penggemukan dan memperoleh domba yang tangkas. Perbandingan Kation-Anion Menurut Haris dan Beede (1983), kation diet berasa l dari sodium (Na) dan potasium (K) yang bersifat basa, sedangkan anion diet berasal dari khlor (Cl), sulfur (S), dan fosfor (P) yang bersifat asam. Proses perhitungan keseimbangan kationanion, tidak semua mineral dalam ransum yang dihitung, akan tetapi hanya beberapa mineral-mineral yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan kationanion, yaitu Na dan K untuk kation serta Cl dan S untuk anion. Perbandingan kation-

15 anion ialah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam ransum dengan cara pengurangan antara miliequivalen kation dan miliequivalen anion dalam seluruh ransum. Hu dan Murphy (2004) memaparkan pada penelitian sapi perah mengenai keseimbangan kation-anion, apabila ransumnya semakin bertambah positif maka akan terjadi peningkatan ph darah, HCO 3 darah, ph urin, tetapi K dan Cl darah menurun tapi tidak mempengaruhi Na darah, sedangkan pada ransum yang memiliki keseimbangan kation-anion bernilai negatif terjadi peningkatan Mg darah, Ca darah, pco 2 darah tetapi menurunkan ph darah dan urin, po 2 darah. Penambahan anion ke dalam cairan tubuh sebagai suplemen dalam ransum dapat menurunkan ph cairan tubuh (Stewart, 1983). Menurut Sutardi (1980) keseimbangan asam -basa tubuh bergantung pada ion Na +, K +, Ca +, Mg ++ dan ion Cl -. Bahan makanan dalam tubuh dapat berefek asam ataupun basa, di dalam tubuh bahan makanan seperti garamgaram organik (laktat, sitrat, dan sebagainya) akan bersifat alkalis. Terdapat pula bahan makanan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, leguminosa, dan susu yang bersifat alkalis karena memiliki kecenderungan menaikkan ph darah, sedangkan bahan makanan yang bersifat asam yaitu cenderung menurunkan ph. Hewan herbivora, umumnya menghasilkan urin yang bersifat alkalis, sedangkan pada hewan karnivora umumnya mengasilkan urin yang besifat asam. Mineral Ransum Peran mineral dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu memelihara kondisi ionik dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam-basa dalam tubuh khususnya keseimbangan kation-anion, selain itu mineral juga berfungsi dalam memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga sistem syaraf dan otot, mengatur transport zat makanan ke dalam sel dan mengatur permeabilitas membran sel serta sebagai kofaktor enzim dan mengatur metabolisme (Sutardi, 1980). Menurut Anggorodi (1984) defisiensi mineral menimbulkan gejala kehilangan pbb, penurunan produksi susu, daging, telur dan wol. Suplemen mineral biasanya relatif murah sehingga defisiensi dapat dicegah dengan cara memberikan jumlah yang tepat kepada hewan. Mineral seng dapat ditemukan hampir di setiap jaringan tubuh ternak, konsentrasi Zn tertinggi biasanya ditemukan pada bagian kulit, rambut, dan bulu domba. Zinc juga berperan sebagai kofaktor untuk banyak enzim (Mc Donald et al., 4

16 1982). Pentingnya Zinc dalam ilmu nutrisi pertama-tama didemonstrasikan oleh Bertrand dan Bhattacherjee dalam tahun 1934 pada tikus. Zn dibutuhkan untuk sintesis normal dan metabolisme pada protein (Church dan Pond, 1978). Defisiensi Zn dapat mengakibatkan penurunan dan perkembangan tulang yang abnormal (Wahju, 1985). Jumlah Zn dalam tubuh sebesar 3 mg %, sedangkan jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan-jaringan epidermal dan terdapat pula dalam jumlah yang sedikit dalam tulang, otot, darah, dan berbagai alat. Defisiensi mineral Zn akan menyebabkan penyakit yang ditandai dengan luka-luka pada kulit, pertumbuhan terganggu, kelemahan, muntah-muntah dan hewan terlihat menggosokkan tubuhnya (Anggorodi, 1984). Ca tersebar sebanyak 1-2% dalam tubuh hewan, dengan 99% terdapat dalam tulang dan gigi, Sementara 1% tersebar dalam cairan ekstraseluler, jaringan lunak dan sebagai komponen struktur membran (McDowell, 1992). Menurut Tillman et al. (1998), Ca merupakan unsur ke lima terbanyak dalam tubuh hewan dan manusia, serta merupakan kation terbanyak. Kadar fosfor yang berlebih dan kemungkinan sulfat juga dapat mengganggu penyerapan Ca dalam usus, sedangkan perbandingan Ca dan P yang optimal untuk absorbsi adalah 1,3:1-1,5:1dan bila salah satu mineral berlebih maka akan mengganggu penyerapan unsur lain (Georgievskii,1981). Mineral Cr merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang mempunyai bilangan oksidasi 0, 2+, 3+, 4+, dan 6+, namun umumnya Cr bervalensi tiga merupakan bentuk yang paling stabil. Unsur Cr 2+ jarang terdapat dalam sistem biologis karena jika kontak dengan udara akan ditransformasikan menjadi Cr 3+. Unsur Cr 4+ bersifat toksik, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk Cr 3+, sedangakan Cr 6+ bersifat toksik, dapat berikatan dengan protein dan asam nukleat serta berikatan dengan materi genetik yang menyebabkan Cr 6+ berdifat karsinogenik. Unsur Cr 6+ dalam saluran pencernaan mengalami bioreduksi menjadi Cr 3+ oleh organisme (Groff dan Gopper, 2000 ; NRC, 1997). Unsur Cr pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaguel pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan Pb crhomate. Nama Cr diambil dari nama Yunani, Chroma yang artinya warna, karena unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda. 5

17 Mineral Cr merupakan unsur mikro yang bersifat paling kurang beracun (Groff dan Gropper, 2000). Keracunan yang diakibatkan Cr jarang terjadi disebabkan : (a) terjadinya bioreduksi Cr 6+ menjadi Cr 3+ oleh berbagai organisme (NRC,1997), (b) tingkat toleransi hewan terhadap Cr 6+ sangat tinggi yaitu lebih dari 1000 ppm BK pakan dan untuk Cr 3+ mencapai 3000 ppm BK pakan (NRC,1997; Underwood dan Sommers, 1971), (c) senyawa kompleks Cr heksavalen segera diendapkan begitu hendak mencapai usus halus dan hampir tidak dapat diserap karena membentuk kompleks dengan bobot molekul besar (NRC,1997; Groff dan Gropper,2000) dan akumulasi Cr dalam tubuh sangat jauh di bawah ambang bahaya karena homeostasis Cr bersifat negatif dan cenderung menurun sejalan dengan peningkatan umur. Linder (1992) melapork an sistem pengangkutan Cr setelah diserap, Cr kemudian diangkut transferin atau protein pengangkut Fe ( iron carrier protein) dari plasma darah. Namun demikian, belum diketahui apakah GTF (Glucose Tolerance Factor) yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Setelah melalui penyerapan di usus, hampir semua Cr masuk ke dalam hati dan akan digabungkan ke dalam GTF. Sejumlah GTF tertentu akan disekresikan ke dalam darah dan akan tersedia untuk membantu aktifitas insulin. Kadar gula darah yang meningkat, menyebabkan insulin akan disekresikan dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran GTF ke dalam darah, sehingga GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresikan tersebut. Unsur Cr yang tidak digunakan lagi kemudian disekresikan melalui urin. Peranan Cr dalam metabolisme antara lain meningkatkan potensi aktifitas insulin, yakni sebagai komponen dari GTF yang dapat meningkatkan asupan glukosa ke dalam sel. Peran Cr terkait dengan kinerja hormon insulin, yaitu memacu pembentukan glikogen sebagai energi cadangan yang berasal dari kelebihan glukosa sebagai sumber energi metabolisme baik di organ hati maupun di otot. Suplementasi Cr dapat meningkatkan pasokan glukosa oleh sel, produksi CO 2 dari oksidasi glukosa dan pembentukan glikogen dari glukosa. Glukosa yang berasal dari hasil hidrolisa karbohidrat di saluran pencernaan akan masuk ke dalam darah yang sebagian dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam sel dan sebagian lagi disimpan sebagai energi cadangan dalam bentuk glikogen baik di hati maupun di daging (NRC,1997; Underwood dan Sommers,1971). 6

18 Peran Cr dalam metabolisme lipid tidak tergantung dari pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa. Defisiensi Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia, yaitu tingginya kadar kolesterol dalam darah. Unsur Cr berperan dalam homeostasis kolesterol darah. Penambahan Cr pada ransum yang rendah akan kandungan Cr-nya dapat menurunkan level kolesterol darah dan menghambat kecenderungan peningkatan kolesterol seiring dengan meningkatnya umur (Underwood dan Sommers, 1971). Defisiensi Cr dapat menyebabkan rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati dan menyebabkan gangguan untuk pengikatan asam amino, diantaranya glisin, serin dan metionin. Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia, pengambilan glukosa tidak ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin, metionin, lisin, asam glutamat, treonin, aspargin dan tirosin (NRC,1997; Underwood dan Sommers, 1971). Saat cekaman kebutuhan Cr pada ternak akan mengalami peningkatan. Selama kondisi cekaman terjadi peningkatan metabolisme glukosa secara cepat yang ditandai dengan sekresi hormon kortisol di darah. Hormon kortisol memiliki aksi yang antagonistik dengan insulin karena keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh. Hormon kortisol yang meningkat pada saat cekaman menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel menurun. Unsur Cr yang telah dimobilisasi bersifat tidak dapat kembali ( irreversible) dan keluar melalui urin sehingga pada kondisi cekaman peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat (Burton, 1995). Cekaman dapat mengganggu pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, diperlukan upaya mempercepat kembalinya glukosa darah dalam kadar normal agar tidak menggangu pertumbuhan dan performa ternak selanjutnya (Burton,1995). Lingkungan dan Ternak Definisi lingkungan menurut Ensminger et al. (1990) ialah semua keadaan, kondisi, dan pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas ternak. Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk mempertahankan hidup, pertumbuhan, dan produksi maksimal serta kebutuhan fisiologinya. Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses termogulasi 7

19 yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air, dan endokrin (Johnson, 1987). Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal, sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra dan Faylon, 1989). Lingkungan domba dapat dipengaruhi melalui dua jalan, yaitu yang pertama adalah dengan mempengaruhi hijauan (pakan) dan pasokan makanan dan air serta pola penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; sedang yang kedua ialah mempengaruhi domba secara langsung yang pengaruh lingkungan utamanya kecepatan angin, suhu, dan kelembaban udara (li ngkungan fisik), namun dari semua pengaruh lingkungan pada domba tropis cekaman panas biasanya yang paling serius (Devendra dan Faylon, 1989). Cekaman dingin dapat berakibat fatal pada domba yang baru lahir, karena metabolisme tubuh mereka tidak cukup untuk memelihara suhu tubuh normal (Edey, 1983). Thermonetral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. Daerah termonetral bagi hewan ternak merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai dengan kehidupannya, dimana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit, kisaran suhu udara tersebut tidak menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (Mc Dowell, 1972 ). Peningkatan atau penurunan suhu lingkungan terhadap suhu nyaman, akan mengakibatkan peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas atau mempertahankan panas tubuh. Suhu kritis terendah yang dapat diterima oleh ternak disebut Lower Critical Temperature (LCT) dan suhu kritis teratas yang dapat diterima oleh ternak disebut Upper Critical Temperature (UCT). Menurut Yousef (1985) daerah TNZ untuk domba yang baru lahir berada pada suhu lingkungan antara C, sedangkan untuk domba dalam pemeliharaan berada pada suhu lingkungan antara C. 8

20 Kondisi Fisiologis Domba Domba sebagai mamalia merupakan hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu, tetapi bila suhu lingkungan mencapai keadaan di luar batas kemampuannya maka akan muncul gejala-gejala merugikan (Johnston, 1983). Domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya tahan terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Kondisi fisiologis domba merupakan suatu kondisi domba terhadap berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia, maupun lingkungan sekitar (Yousef, 1985). Kondisi fisiologis domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat beberapa faktor, seperti suhu tubuh, laju respirasi, profil darah. Suhu Rektal Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal harian rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey, 1983). Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang ditempatkan pada suhu lingkungan 30 0 C mempunyai rataan suhu vagina yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan 20 0 C. Suhu lingkungan yang sangat rendah, di bawah tingkat kritis minimum, dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diikuti kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al., 1990). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrim, laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh maka temperatur tubuh akan meningkat (Guyton dan Hall, 1997). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38, C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988), Williamson dan Payne (1993) menyatakan suhu tubuh ternak domestik adalah C untuk ternak sapi, sedangkan untuk domba 38,3-38,9 0 C dan untuk kambing berkisar 38,7-40,7 0 C. Laju Respirasi Laju respirasi merupakan konsentrasi O 2, CO 2, dan H + dalam cairan tubuh, ph darah, volume darah, dan kondisi pembuluh darah (Subronto, 1985), ada dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil CO 2 dari dalam darah (Frandson, 1992). Hewan ternak memerlukan energi yang 9

21 didapatkan dari hasil oksidasi bahan-bahan makanan, sehingga oksigen mempunyai peran yang sama dengan bahan-bahan makanan dalam mempertahankan kehidupan hewan. Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, dimana hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekitarnya, khususnya gas-gas O 2 dan CO 2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Respirasi juga sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O 2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang. Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernapasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernapasan (Yousef, 1985). Pada keadaan istirahat frekuensi rata-rata atau kecepatan respirasi domba adalah 19 kali tiap menit dalam (Frandson, 199 2). Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar hembusan per menit (Sm ith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, reaksi pertama ternak dalam menghadapi keadaan ini ialah dengan panting (terengah - engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui saluran pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25 0 C (Yousef, 1985). Profil Darah Darah juga memiliki peran penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh (Frandson,1992). Darah dikelompokkan dari beberapa substansi, sebagai berikut : 1. Hemoglobin Beberapa cara dapat digunakan untuk memperoleh nilai hemoglobin dalam darah, cara yang paling sering digunakan untuk mengubah hemoglobin tersebut dan mengukur kadarnya dengan spektofotometer dengan pita absorbsi 540 nm (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Frandson (1992) menyatakan dari segi kimia hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang kompleks dan terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing -masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam-asam 10

22 amino. Hemoglobin menggabung dengan oksigen udara yang terdapat di dalam paru-paru, hingga terbentuklah oksihemoglobin yang selanjutnya melepaskan oksigen itu ke sel-sel jaringan di dalam tubuh. Adanya hemoglobin ini darah dapat mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama. 2. Hematokrit Nilai hematokrit dapat diukur dengan metode mikrohematokrit (Nasution, 1990) menggunakan alat baca microcapilarry hematocrite reader. Sebelumnya darah yang telah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan disentrifusa, sel-sel akan menempati dasar tabung, sedangkan plasma suatu cairan kuning akan berada di atas, dalam keadaan ini nilai hematokrit atau Volume of Packed Red Cells (VPRC) dapat diukur (Guyton dan Hall, 1997). Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan persentase sel -sel darah merah di dalam 100% darah. Nilai hematokrit yang normal pada domba adalah berkisar 29-45% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada hewan hematokrit sebanding dengan eritrosit dan hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Wilson (1979) menyatakan bahwa nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas (kekentalan) darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan nilai viskositas darah. Nilai hematokrit seekor ternak akan didapatkan berkurang pada suhu lingkungan tinggi. Sujono (1991) juga menambahkan bahwa besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) je nis kelamin, (4) iklim setempat, (5) penyakit dan (6) dehidrasi. 3. Eritrosit Sel-sel darah merah atau eritrosit adalah sel-sel yang diameter rata-ratanya sebesar 7,5µ. Sel-sel ini merupakan cakram yang bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler yang tebalnya 1,5µ dan pusatnya yang tipis. Cakram bikonkaf tersebut memiliki permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen melintasi membran sel (Frandson, 1992). 11

23 4. Leukosit Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dari eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Leukosit dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu granulosit dan agranulosit. Di dalam granulosit terdapat netrofil, eosinofil, dan basofil, sedangkan pada agranulosit dibagi menjadi dua, yaitu monosit dan limfosit. Masa hidup sel-sel darah putih sangatlah bervariasi, mulai dari beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit, dan bahkan tahunan untuk limfosit. Kebanyakan sel-sel darah putih bersifat nonfungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dan di mana dibutuhkan saja (Frandson, 1992). 5. Diferensiasi Leukosit Hitungan total sel darah putih, dibuat dengan cara yang sama seperti sel darah merah. Sel darah putih memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sel darah merah. Sel darah putih diperhitungkan dalam ribuan per milimeter kubik darah. Hitungan sel darah putih saat normal tiap mm kubik adalah 8 ribu untuk hewan ternak domba. Perhitungan diferensial dapat memberikan angka persentase tiap jenis sel darah putih. Apabila jumlah leukosit sangat jauh diatas normal bagi suatu spesies tertentu, maka perlu diselidiki sebabnya (Frandson, 1992). Netrofil mempunyai persentase kedua terbesar setelah limfosit dalam leukosit. Netrofil mengandung granula yang memberikan warna indeferen dan tidak merah ataupun biru, ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan oleh bakteri, menembus dinding pembuluh dan menyerang bakteri untuk dihancurkan. Limfosit merupakan sel darah putih yang mempunyai ukuran dan penampilan yang bervariasi juga mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh sitoplasma. Fungsi utama limfosit adalah responnya terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersikulasi dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler (Frandson, 1992). Perbandingan netrofil dan limfosit adalah ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh cekaman dan penyakit (Gross dan Siegel, 1983). Perbandingan antara netrofil dan limfosit pada domba menurut Schalm (1971) adalah (30/60)%. Cekaman iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas 12

24 menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang meningkat karena adanya cekaman fisiologis (Maxwell, 1983). Eosinofil juga dikenal dengan nama asidofil nampak sebagai granula yang berwarna merah di dalam sitoplasma. Sel-sel ini umumnya jumlahnya tidak banyak, dapat meningkat dalam kasus penyakit-penyakit kronis tertentu, seperti infeksi oleh parasit. Eosinofil juga bersifat ameboid dan fagositik, sedangkan fungsi utamanya adalah untuk toksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru atau pun saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan oleh bakteria dan parasit. Dalam keadaan reaksi alergi, jumlah eosinofil akan meningkat (Frandson, 1992). Monosit merupakan sel-sel darah putih yang menyerupai netrofil, monosit akan mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut seperti tuberkolosis. Saat monosit darah masuk ke dalam jaringan, monosit itu akan berkembang menjadi fagosit yang lebih besar yang disebut makrofag (Frandson, 1992). 13

25 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan dari bulan Juli hingga November Materi Ternak Percobaan Ternak yang digunakan pada penelititan ini sebanyak 24 ekor domba garut jantan berumur sekitar 1,5 tahun, dengan bobot badan rata-rata mencapai 29,98 ± 4,01 kg. Domba percobaan kemudian dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan bobot badan. Rataan bobot badan kelompok I: 24,75 ± 1,50 kg, II: 27,0 ± 0 kg, III: 28,62 ± 0,47 kg, IV: 30,50 ± 0,57 kg, V: 32,87 ± 0,63 kg, dan VI: 36,12 ± 2,72 kg. Kandang dan Peralatan Ternak dipelihara dalam kandang metabolis individu yang bersekat. Kandang ditempatkan dalam bangunan kandang utama yang permanen dan beratap monitor. Kandang dilengkapi tempat pakan dan minum. Peralatan lain yang digunakan adalah termometer suhu minimum-maksimum, termometer dan hygrometer digital, stopwatch, termometer suhu rektal, jarum, tabung venoject berheparin, dan termos es. Obat-obatan Obat cacing (calbazen) diberikan per oral pada awal pemeliharaan untuk mencegah terjadinya penyakit cacing pada ternak. Kemudian vitamin (biosalamin) diberikan subcutan dengan menggunakan jarum suntik sebanyak 5 ml per ekor untuk mencegah terjadinya penurunan kesehatan pada ternak. Ransum Percobaan Ransum yang digunakan adalah jerami jagung dan konsentrat, dengan rasio 35 : 65. Jerami jagung yang digunakan sebagai sumber hijauan sebelumnya dicacah, kemudian dijemur selama 4-5 hari hingga kering. Jerami jagung yang telah dijemur tersebut lalu digiling hingga berbentuk mash dan dicampur dengan konsentrat hingga

26 homogen. Berdasarkan kebutuhan nutrient domba jantan dari NRC (1985), bahan baku dan komposisi ransum percobaan terdiri atas hijauan jagung (35%), dedak halus (21,5%), jagung kuning (19, 65%), bungkil kedele (13,6%), bungkil kelapa (8%), urea (0, 25%), dan minyak jagung (2%). Selain itu berdasarkan hasil analisis laboratorium ITP (Ilmu dan Teknologi Pakan), Fakultas Peternakan, IPB (2008), komposisi nutrien ransum basal untuk domba penelitian tersebut adalah bahan kering (90,20%), protein kasar (13, 97%), lemak kasar (7,5%), dan sera t kasar (17, 49%). Kandungan Na, K, Cl, Cr, S, CaSO 4, dan ZnSO 4 pada ransum percobaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penambahan Cr, ZnSO 4, CaSO 4, dan Kandungan Mineral Na, K, Cl, dan S Ransum Penelitian Mineral Ransum Perlakuan (% BK ransum) R0 R1 R2 R3 Suplementasi: Kromium, ppm* - 3,00-3,00 ZnSO4, g/kg 0,124 0,124 0,124 0,124 CaSO4, g/kg - - 9,70 9,70 Kadar: Natrium, % BK 0,04 0,04 0,04 0,04 Kalsium, % BK 0,49 0,49 0,64 0,64 Sulfur, % BK 0,18 0,18 0,39 0,39 Klorida, % BK 0,19 0,19 0,19 0,19 Keterangan: - Hasil Analisis Laboratorium PAU, IPB, *Hasil Perhitungan berdasarkan NRC (1985) - R0= Ransum Basal (NKAR +14) tanpa Cr organik, R1= Ransum Basal (NKAR +14) dengan Cr organik R1 = Ransum Basal dengan Cr-organik 3 ppm, R2 = Ransum Basal + CaSO 4 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO 4 (NKAR 0) dengan Cr organik. Perlakuan Rancangan Ransum perlakuan yang digunakan selama penelitian terdiri dari empat macam, sebagai beerikut: R0 : Ransum Basal (NKAR +14) tanpa kromium organik R1 : Ransum Basal (NKAR +14) dengan kromium organik 15

27 R2 : Ransum Basal + CaSO 4 (NKAR 0) tanpa kromium organik R3 : Ransum Basal + CaSO 4 (NKAR 0) dengan kromium organik. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan enam ulangan. Percobaan ini menggunakan 24 ekor domba garut jantan dan setiap ulangan mendapat ransum perlakuan yang berbeda. Model matematika yang digunakan pada rancangan ini yaitu: Yij = + i + βj + ij Keterangan : Yij = Variabel hasil pengamatan = Rataan umum i = Pengaruh perlakuan ke-i (0,1,2,3) βj = Pengaruh kelompok ke-j ij = Pengaruh error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance) berdasarkan Steel dan Torrie (1993). Selanjutnya, jika nilai suhu rektal, laju respirasi dan profil darah pada setiap perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji jarak Duncan. Peubah yang Diamati 1. Suhu Rektal Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap minggu selama penelitian saat pagi hari pukul WIB dan siang hari pukul WIB. Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukan alat thermometer suhu rektal digital ± 10 cm ke dalam rektum domba penelitian, kemudian lakukan pembacaan angka yang terdapat pada alat tersebut setelah alat tersebut berbunyi. 2. Laju Respirasi Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap minggu selama penelitian pada pagi hari pukul WIB dan siang hari pukul WIB. Laju respirasi diukur dengan cara menghitung kembang kempis perut domba, pengukuran ini dilakukan selama satu menit dengan menggunakan stopwatch dan counter. 16

28 3. Profil darah Pengukuran profil darah dilakukan pada akhir pemeliharaan di laboratorium Fisiologi Hewan FKH. Peubah yang diamati adalah hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit dan diferensiasi leukosit. Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metoda sahli, dengan prinsip kerja ialah darah dengan larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna disamakan dengan warna standar sahli dengan menambahkan aquades sebagai pengencer. Penghitugan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode mikrohematokrit dengan mikrcrocapillary hematocrite reader. Prinsip penghitungan nilai hematokrit ialah darah yang tercampur dengan antikoagulan disentrifusi dengan centrifuge sehingga terbentuk lapisan-lapisan. Kolom atau lapisan yang terdiri dari butir-butir darah merah atau eritrosit diukur dan dinyatakan sebagai % volume dari keseluruhan darah. Eritrosit dan leukosit diukur menggunakan pipet eritrosit atau leukosit. Darah dicampur dengan larutan pengencer, kemudian dengan menggunakan Hemositometer (kamar hitung) dapat dihitung banyaknya butir darah merah per mm 3 di bawah mikroskop dan jumlah eritrosit atau pun leukosit dapat ditentukan, setelah dikoreksi terhadap faktor pengenceran. Diferensiasi leukosit diukur menggunakan mikroskop, dua buah gelas objek, zat warna Giemsa atau Wright, pipet tetes, minyak emersi, buffer fosfat ph 6,4-6,7 dan alkohol 70 %. Sediaan ulas darah diwarnai dengan zat warna campuran asam dan basa (Giemsa dan Wright) akan menyebabkan komponen -komponen asam dari sel darah berwarna biru atau biru keungu-unguan, dan komponen basa dari sel berwarna merah. Persentase jenis-jenis butir darah putih dapat dihitung menggunakan mikroskop. Prosedur Pembuatan Kromium Organik Sumber kromium organik diperoleh dari kromium yang berasal dari proses fermentasi ragi dengan media kacang kedelai. Kedelai tanpa kulit biji direbus, didinginkan kemudian dicampur dengan ragi tempe dengan jumlah inokolum sebanyak 3 g untuk setiap 1 kg kedelai rebus. Kedelai rebus tersebut kemudian dicampur dengan mineral CrCl 3.6H 2 O sehingga mempunyai konsentrasi 3000 ppm. 17

29 Hasil pencampuran tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah dilubangi untuk diinkubasi selama 6 hari, lalu media fermentasi dicacah dan dijemur di bawah terik matahari ± 4 hari sampai kering kemudian digiling sampai halus. Pengaturan NKAR Nilai Neraca Kation Anion Ransum (NKAR) diketahui dengan mengukur kadar Na, K, Cl dan S dalam bahan pakan dan ransum. Nilai NKAR ransum basal (R0 dan R1) adalah Nilai NKAR ransum perlakuan lain (R2 dan R3) diatur menggunakan CaSO 4 sehingga menjadi 0. Perhitungan besarnya neraca kation-anion berdasarkan persamaan Tucker et al. (1992) adalah sebagai berikut : NKA = ( Na + K ) ( Cl + S ) ( meq/100 g BK ransum ) Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan selama sembilan minggu. Dua minggu pertama merupakan masa adaptasi domba sebelum dilakukan masa pengumpulan data selama tujuh minggu berikutnya. Masa adaptasi berfungsi sebagai penyesuaian ternak dalam mengkonsumsi ransum perlakuan yang diberikan. Ransum dan air minum diberikan dua kali sehari dan diberikan ad libitum. Penimbangan bobot badan awal dilakukan sebelum penelitian untuk mengelompokkan domba berdasarkan bobot badan tersebut. Selama penelitian juga dilakukan pengamatan suhu kandang percobaan dengan menggunakan termometer suhu minimum-maksimum pada pukul WIB dan pukul WIB, sedangkan kelembaban kandang diamati menggunakan higrometer digital pada waktu yang sama. Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah domba dilakukan dengan menggunakan venoject di bagian vena jugularis. Sampel darah diambil dengan cara meraba pada daerah bagian kanan atau kiri leher domba untuk mencari vena jugularis, setelah pembuluh darah tersebut ditemukan lalu ditekan bagian bawahnya hingga tampak terjadi pembesaran. Jarum ditusukkan pada daerah pembesaran tersebut hingga darah domba mengalir dan masuk ke tabung venoject berheparin. Tabung venoject berisi sampel darah disimpan dalam termos es. Sampel darah tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Pengambilan sampel darah dilakukan terhadap semua domba yang dilakukan penelitian. 18

30 HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Kandang Pengaruh suhu dan kelembaban sangat penting dalam sistem produksi ternak. Keduanya merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap performa ternak dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan, respon dan pertumbuhan. Rataan suhu dan kelembaban udara dalam kandang selama penelitian terdapat pada Tabel 3. Rataan suhu pada pagi hari di dalam kandang percobaan masih cukup sejuk, karena suhu tersebut masih dibawah kondisi yang menyebabkan cekaman. Saat siang hari rataan suhu meningkat mencapai 33 0 C, suhu ini dapat memberikan cekaman panas karena berada pada suhu kritis maksimum. Yousef (1985) menyatakan bahwa daerah Thermoneutral Zone (daerah TNZ) untuk domba berkisar antara C. Apabila terjadi peningkatan suhu mencapai 35 0 C atau lebih akan mengakibatkan ternak tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangan panas pada tubuhnya dan mengganggu pertumbuhan serta keadaan reproduksinya. Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan Suhu ( 0 C) Kelembaban(%) Minimum Maksimum Pagi Siang 24±1 33±1 93±3 68±9 Cekaman panas terjadi pada siang hari dimana panas tubuh ternak meningkat akibat dari suhu lingkungan yang meningkat. Pada keadaan suhu lingkungan 30 0 C, ternak mempunyai beban panas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ternak yang berada pada suhu lingkungan 20 0 C (Sudarman dan Ito, 2000). Saat suhu lingkungan meningkat juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan dan laju denyut jantung sebagai respon utama pada ternak, sedangkan respon kedua ialah proses metabolik, endokrin dan enzimatik (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kelembaban udara merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan suatu peternakan. Kelembaban udara juga berperan penting dalam mempengaruhi tubuh ternak. Saat suhu lingkungan meningkat, ternak dapat melakukan evaporasi untuk mengurangi cekaman panas terhadap tubuhnya. Kelembaban udara selama pengamatan pada pagi hari cukup tinggi (Tabel 2). Kelembaban udara yang tinggi

31 dapat mempersulit ternak dalam melakukan evaporasi. Saat siang hari kelembaban mencapai nilai yang cukup rendah sehingga ketika tubuh ternak domba mengalami cekaman panas, ternak domba dapat melakukan evaporasi yang menjadi salah satu cara dalam mengurangi cekaman panas. Yousef (1985) menyatakan bahwa evaporasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi beban panas tubuh, penguapan setiap gram uap air dapat menghilangkan 0,582 kal panas tubuh. Pengaruh NKAR dan Suplementasi Cr terhadap Kondisi Fisiologis Kondisi fisiologis domba sebagai respon terhadap lingkungannya dapat ditunjukkan dengan nilai suhu rektal dan laju respirasi. Suhu rektal domba Garut jantan yang digunakan dalam penelitian dengan ransum berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba SelamaPenelitian Peubah Waktu Ransum perlakuan R0 R1 R2 R3 Suhu Rektal Pagi 38,74±0,14 38,70±0,30 38,76±0,27 38,95±0,41 ( 0 C) Siang 39,00±0,19 38,88±0,20 39,09±0,28 39,14±0,36 Laju Respirasi Pagi 28,00±4,40 29,00±6,59 37,00±12,28 35,00±12,21 (Hembusan nafas/menit) Siang 65,00±7,07 70,00±20,94 76,00±17,68 88,00±16,29 Keterangan: R0= Ransum Basal (NKAR +14) tanpa Cr organik, R1= Ransum Basal (NKAR +14) dengan Cr organik R1 = Ransum Basal dengan Cr organik 3 ppm, R2 = Ransum Basal + CaSO 4 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO 4 (NKAR 0) dengan Cr organik. Suhu Rektal Suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk panas tubuh, selain itu juga sebagai salah satu peubah yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan panas. Suhu lingkungan akan mempengaruhi suhu rektal pada ternak, meningkatnya suhu lingkungan di dalam kandang akan meningkatkan suhu rektal. Rataan suhu rektal domba seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38,74 hingga 38,95 0 C. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988) suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar antara 38, C. mengalami hal yang sama, yaitu berkisar 38,09-39,14 0 C. Pada siang hari keadaan suhu tubuh ternak juga 20

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1.97 ekor. Domba garut merupakan domba yang berasal dari persilangan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeureup, Bogor selama 10 minggu. Penelitian dilakukan pada awal bulan Agustus sampai pertengahan bulan Oktober

Lebih terperinci

- SI<RIPSI. r - MAMAN SUHERMAN. DEPARTEMEN ILMU PRODUI<SI DAN TEICNOLOGI PETERNASCAN FAImLTAS PETERNAIM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 \, ;:/

- SI<RIPSI. r - MAMAN SUHERMAN. DEPARTEMEN ILMU PRODUI<SI DAN TEICNOLOGI PETERNASCAN FAImLTAS PETERNAIM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 \, ;:/ ,/ \, ;:/ r - I' J RESPON FISIOLOGIS DOMBA GARUT BETINA YANG DIBERl RANSUM IWMPLIT DENGAN NILAX RA.SIO ANION KATION DAN I(ROM1UM YANG BERBEDA - SI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Peking Itik Peking merupakan itik tipe pedaging yang termasuk dalam kategori unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem pemeliharaan itik Peking

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat yakni pada tahun 2011 berjumlah 241.991 juta jiwa, 2012 berjumlah 245.425 juta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Kandang Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Kandang Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan yaitu pada bulan November 2009 sampai dengan Maret 2010, bertempat di kandang A, kandang sapi perah Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN 1 KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN M.K. Pengantar Ilmu Nutrisi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Zat makanan adalah unsur atau senyawa kimia dalam pangan / pakan yang dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B dan analisis plasma di Laboratorium Nutrisi Ternak Kerja dan Olahraga Unit

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM SKRIPSI R. LU LUUL AWABIEN PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

Pakan ternak. Dibutuhkan oleh ternak untuk : 1. Hidup pokok 2. Pertumbuhan 3. Produksi 4. Mengganti sel yang rusak pada jaringan

Pakan ternak. Dibutuhkan oleh ternak untuk : 1. Hidup pokok 2. Pertumbuhan 3. Produksi 4. Mengganti sel yang rusak pada jaringan Pakan ternak Dibutuhkan oleh ternak untuk : 1. Hidup pokok 2. Pertumbuhan 3. Produksi 4. Mengganti sel yang rusak pada jaringan Melalui proses pencernaan, penyerapan dan metabolisme SUMBER ENERGI (JERAMI,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gathot Gathot merupakan hasil fermentasi secara alami pada ketela pohon. Ketela pohon tersebut memerlukan suasana lembab untuk ditumbuhi jamur secara alami. Secara umum,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara 11 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian yang berjudul performans darah kambing peranakan ettawa dara yang diberi ransum dengan tambahan urea yang berbeda ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari bulan April sampai dengan Desember 2011. Lokasi pemeliharaan pada penelitian ini bertempat di Laboratorium Lapang

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Lokasi Pembuatan biskuit limbah tanaman jagung dan rumput lapang dilakukan di Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

MATERI. Lokasi dan Waktu

MATERI. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pelet ransum komplit

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA KUALITAS SEMEN DOMBA GARUT DENGAN RANSUM YANG BERNILAI NERACA KATION ANION BERBEDA DIAH ANGGREINI

KONSUMSI DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA KUALITAS SEMEN DOMBA GARUT DENGAN RANSUM YANG BERNILAI NERACA KATION ANION BERBEDA DIAH ANGGREINI KONSUMSI DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA KUALITAS SEMEN DOMBA GARUT DENGAN RANSUM YANG BERNILAI NERACA KATION ANION BERBEDA DIAH ANGGREINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul Pengaruh tingkat energi protein dalam ransum terhadap total protein darah ayam Sentul dapat dilihat pada Tabel 6.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh Variasi Dosis Tepung Ikan Gabus Terhadap Pertumbuhan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitan pengaruh variasi dosis tepung ikan gabus terhadap pertumbuhan dan hemoglobin ikan lele, dengan beberapa indikator yaitu pertambahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Ransum Ransum penelitian disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005) dan dibagi dalam dua periode, yakni periode starter (0-18 hari) dan periode finisher (19-35

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk hasil peternakan yang berupa protein hewani juga semakin meningkat. Produk hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia, mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et al., 2002). Murtidjo

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan 14 METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi dua percobaan yaitu 1) Percobaan mengenai evaluasi kualitas nutrisi ransum komplit yang mengandung limbah taoge kacang hijau pada ternak domba dan 2)

Lebih terperinci

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan dari bulan

Lebih terperinci

III BAHAN/OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian, yaitu 20 ekor Domba Priangan

III BAHAN/OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian, yaitu 20 ekor Domba Priangan 20 III BAHAN/OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan/Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Ternak yang digunakan dalam penelitian, yaitu 20 ekor Domba Priangan jantan dengan kisaran umur 12-14 bulan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Bangsa sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Tubuh dan tanduknya relatif kecil, warna bulu pada jantan dan betina sama seperti

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu peternakan. Pakan

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu peternakan. Pakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu peternakan. Pakan merupakan salah satu komponen dalam budidaya ternak yang berperan penting untuk mencapai

Lebih terperinci

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009 BAB IV Darah Darah berfungsi sebagai : 1. Alat transport O 2 dari paruparu diangkut keseluruh tubuh. CO 2 diangkut dari seluruh tubuh ke paruparu. Sari makanan diangkut dari jonjot usus ke seluruh jaringan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi pengembangan usaha peternakan kambing masih terbuka lebar karena populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai 1.012.705 ekor. Menurut data

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Penambahan Aditif Cair Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16-50 Hari dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung Madu Plantation Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah pada

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1. 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 30 September 2015. Kegiatan penelitian ini bertempat di P.T. Naksatra Kejora Peternakan Sapi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan kadar protein dan energi berbeda pada kambing Peranakan Etawa bunting dilaksanakan pada bulan Mei sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan akan ketersediaan makanan yang memiliki nilai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineral Mikro Organik Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh makluk hidup. Sebagian besar mineral akan tertinggal dalam bentuk abu sebagai senyawa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di Kec. Binjai Kota Sumatera Utara. Penelitian ini telah dilaksanakan selama 3 bulan dimulai dari bulan Oktober sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2013, bertempat

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2013, bertempat III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2013, bertempat di kandang Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penyediaan Pakan Pemeliharaan Hewan Uji MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Kambing Perah milik Yayasan Pesantren Darul Falah Ciampea dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Ilmu dan

Lebih terperinci

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY Oleh : Suhardi, S.Pt.,MP Pembibitan Ternak Unggas AYAM KURANG TOLERAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU LINGKUNGAN, SEHINGGA LEBIH SULIT MELAKUKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN SUHU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan telur terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di zaman modern sekarang ini banyak hal yang memang dibuat untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk makanan instan yang siap saji. Kemudahan

Lebih terperinci

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2010 di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Kelinci, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Agustus 2012 sampai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara masyarakat dan dimanfaatkan produksinya sebagai ternak penghasil daging dan sebagai tabungan. Domba memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang tinggi terhadap kondisi alam setempat (Sumardianto et al., 2013). Selain itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang tinggi terhadap kondisi alam setempat (Sumardianto et al., 2013). Selain itu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki keunggulan antara lain pemeliharaan yang mudah serta memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI I. Pendahuluan Ternak ruminansia diklasifikasikan sebagai hewan herbivora karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Perubahan Konsetrasi N-NH 3 Fermentasi pakan di dalam rumen ternak ruminansia melibatkan aktifitas mikroba rumen. Aktifitas fermentasi tersebut meliputi hidrolisis komponen bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Performa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap tahunnya. Konsumsi protein

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan Sumber : Dokumentasi penelitian (2011) MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil (Kandang B), Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitan dengan judul Tampilan Protein Darah Laktosa dan Urea Susu akibat Pemberian Asam Lemak Tidak Jenuh Terproteksi dan Suplementasi Urea pada Ransum Sapi FH dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

III MATERI DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah puyuh (Coturnix coturnix

III MATERI DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah puyuh (Coturnix coturnix 17 III MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Ternak Percobaan Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah puyuh (Coturnix coturnix japonica) sebanyak 100 ekor puyuh berumur 4 minggu yang diperoleh dari Quail

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di Desa Kedu Temanggung dan pada bulan April 2016 di kandang unggas Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Lebih terperinci

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. A. WAKTU BEKU DARAH Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. Prinsip Darah yang keluar dari pembuluh darah akan berubah sifatnya, ialah dari sifat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Tingkat Energi Protein Ransum Berbeda Terhadap Total Protein Darah Ayam KUB Rataan total protein darah ayam kampung unggul Balitbangnak (KUB) pada penelitian ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki keunggulan antara lain pemeliharaan yang mudah serta memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase Terfermentasi Terhadap Konsumsi Pakan, Konversi Pakan dan Pertambahan Bobot

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang untuk proses pembuatan silase daun singkong,

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Industri Pakan, Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2011 di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci