PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A"

Transkripsi

1 PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI WAHYU ANGGARINI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 EFFECT OF INDIGENOUS PROBIOTIC IN SYNBIOTIC YOGHURT TOWARD HISTOLOGICAL PROFILE AND IMUNOGLOBULIN A (IgA) CONTENT IN SMALL INTESTINE OF MICE Wahyu Anggarini 1, Deddy Muchtadi 1, Made Astawan 1 and Tutik Wresdiyati 2 1 Department of Food and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus Department of Anatomy, Physiology and Pharmacology, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus Phone , wahyu.anggarini@gmail.com ABSTRACT Diarrhea caused by E. coli is one of gastrointestinal disturbance (gastroenteritis) that often occur in Indonesia. Consuming probiotic and prebiotic product regularly could maintain the balance of gastrointestinal microflora. This research aimed to observe indigenous probiotic (Lactobacillus plantarum 2C12 and Lactobacillus fermentum 2B4) and prebiotic (fructooligosaccharide), which applied in yoghurt formula, potential as antidiarrhea and immunomodulator. The parameter observed was histological profile and Immunoglobulin A (IgA) content of small intestine. The antibacterial activity of yoghurt formulas was measured by contact method for 2, 4 and 6 hours incubation. The antibacterial activities of all yoghurt formulas were not statistically different (p>0.05) when incubated with Enteropathogenic E.coli K1.1 (EPEC K1.1). Organoleptic test showed that yoghurt F3 had the most stable consistency due to the least whey added. The next step of the research was a 21 day in vivo test on 4 group of Sprague dawley rats; the negative control (basal ration), synbiotic yoghurt (F3), synbiotic yoghurt + EPEC K1.1, and the positive control (EPEC K1.1). Antidiarrhea and immunomodulatory effect observed on rat's duodenum by hematoxylin eosyn method and immunohistochemistry. Synbiotic yoghurt group had the lowest duodenum's villi damage than the others treatment. Synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 group had lower duodenum's villi damage than positive control group. Synbiotic yoghurt treatment could reduce duodenum s villi damage caused pathogen bacteria. Synbiotic yoghurt treatment on day 7 th had an effect on duodenum's mucus thickness (P<0.01). On day 14 th, synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 treatment had an effect on rat's duodenum mucus thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment on day 21 st had an effect on rat's duodenum mucus thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment could maintain duodenum s mucus thickness and had a healing effect towards pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1. IgA content on duodenum's mucus showed that synbiotic yoghurt treatment could enhance IgA content on rat's duodenum mucus. Moreover, synbiotic yoghurt treatment could help immune system to defend against pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1. Keyword : synbiotic yoghurt, L. fermentum 2B4, EPEC K1.1, IgA, duodenum histological profile

3 WAHYU ANGGARINI. F Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (Iga) Usus Halus Tikus Percobaan. Di bawah bimbingan Deddy Muchtadi, Made Astawan dan Tutik Wresdiyati RINGKASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa formula yogurt dengan penambahan bakteri asam laktat indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) terhadap profil histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus. Penelitian ini diawali dengan uji antibakteri penyebab diare pada empat formula yogurt, yaitu yogurt F1 (L.bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5%), F2 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + FOS 5%), F3 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 + FOS 5%), dan F4 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5%). Pengujian antibakteri ini menggunakan metode kontak, dimana formula yogurt dikontakkan dengan Enteropatogenik E.coli K1.1 (EPEC K1.1) selama 2, 4 dan 6 jam. Analisis statistik menunjukkan bahwa masing-masing formula yogurt tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC K1.1 pada setiap waktu kontak (P>0.05). Derajat keasaman (ph) pada seluruh formula yogurt menunjukkan nilai ph yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Dari segi organoleptik, yogurt F3 memiliki tekstur paling baik dilihat dari whey yang paling sedikit. Selanjutnya dilakukan pengujian secara in vivo menggunakan tikus Sprague Dawley umur 5-6 minggu sebanyak 70 ekor yang terdiri dari lima kelompok yaitu kontrol negatif (ransum basal), yogurt sinbiotik (F3), yogurt sinbiotik + EPEC K1.1, yogurt prebiotik, dan kontrol positif (EPEC K1.1) yang dilakukan selama 21 hari. Pemberian yogurt sinbiotik dan yogurt prebiotik dilakukan dengan pencekokan sebanyak 10 9 cfu/ml selama 21 hari. Intervensi EPEC K1.1 dilakukan dengan pencekokan sebanyak 10 7 cfu/ml pada minggu ke-2 selama 7 hari. Kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan, dicekok dengan air minum agar mendapatkan stres yang sama. Setiap terminasi, jaringan usus duodenum diwarnai dengan menggunakan teknik hematoksilin eosin dan imunohistokimia. Kenaikan berat badan tikus selama pemeliharaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar kelompok (P>0.05). Konsumsi ransum tikus percobaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar kelompok (P>0.05). Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air feses tikus percobaan. Kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 dan kelompok tikus kontrol positif tidak berbeda nyata (P>0.05). Kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik lebih rendah dibandingkan kelompok tikus kontrol positif. Kadar air feses kelompok tikus prebiotik tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus lainnya. Pada hari ke-7, kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.22%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 juga memiliki kerusakan vili duodenum yang rendah (2.49%) dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (6.12%) dan kelompok tikus kontrol positif (5.51%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mengurangi terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan. Hari ke-14, setelah intervensi EPEC selama 7 hari menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (13.62%) memiliki kerusakan vili yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif (17.94%). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat mengurangi kerusakan vili duodenum tikus percobaan akibat serangan EPEC K1.1. Hari ke-21 yaitu 7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.61%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 yang lebih rendah (4.73%) dibandingkan kelompok tikus kontrol positif (21.96%). Hal ini menunjukkan probiotik dalam yogurt sinbiotik mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC K1.1 yang telah menempel pada vili usus duodenum tikus percobaan. Kerusakan vili duodenum pada kelompok tikus yogurt prebiotik (3.57%) lebih tinggi dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (3.04%). Hal ini menunjukkan prebiotik dalam yogurt prebiotik kurang mampu mencegah terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan.

4 Pemberian yogurt sinbiotik selama 7 hari pertama memberikan pengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Pada hari ke-14, pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 memberikan pengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif, dan tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif. Pemberian yogurt sinbiotik pada hari ke-21 berpengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan (P<0.01). Kelompok tikus kontrol positif memiliki ketebalan mukosa usus duodenum paling kecil dibandingkan kelompok lainnya. Ketebalan mukosa usus duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik, yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif. Kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum secara kualitatif ditunjukkan dengan adanya warna coklat pada mukosa usus. Semakin pekat warna coklat maka kandungan IgA semakin banyak. Berdasarkan penilaian secara deskriptif, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif dan kelompok tikus kontrol positif pada hari ke-7. Pada hari ke-14, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama dengan kelompok tikus kontrol negatif. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki kandungan IgA mukosa duodenum paling banyak dibandingkan kelompok tikus lainnya dan kelompok tikus kontrol positif memiliki kandungan IgA mukosa duodenum paling sedikit. Berdasarkan penilaian deskriptif pada hari ke-21, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama dengan kelompok tikus yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif. Kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan dengan kontrol positif.

5 PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh WAHYU ANGGARINI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

6 Judul Skripsi Nama NIM : Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan : Wahyu Anggarini : F Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, (Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS) NIP (Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS) NIP Pembimbing III, (Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D) NIP Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP Tanggal ujian akhir :

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2011 Yang membuat pernyataan Wahyu Anggarini F

8 Hak cipta milik Wahyu Anggarini, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya BIODATA PENULIS

9 Wahyu Anggarini. Lahir di Purwodadi pada tanggal 24 Juni 1988 sebagai anak ketiga dari pasangan Sutrisno dan Sitti Suprihatin. Penulis menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri 2 Kuripan, Purwodadi hingga lulus pada tahun Penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Purwodadi hingga lulus pada tahun Pendidikan menengah atas penulis ditempuh di SMA Al Islam 1 Surakarta hingga lulus pada tahun Penulis memasuki perguruan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi himpunan mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) selama 2 periode. Selain itu, penulis juga tergabung dalam klub pecinta Jepang Onigiri Japan Club. Bersama dengan tim PKMM Talas Bogor, penulis mewakili IPB mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Malang, Jawa Timur. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS dan Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D. KATA PENGANTAR

10 Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek Aplikasi Isolat Indigenus Bakteri Probiotik sebagai Imunomodulator dalam Pengembangan Yogurt Sinbiotik Antidiare. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret sampai Desember Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan, nasihat dan kesabaran yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan 2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing penelitian atas bimbingan dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi 3. Drh.Tutik Wresdiyati, Ph.D, selaku dosen pembimbing penelitian atas segala pengetahuan dan pengalaman hidup yang sangat bermanfaat bagi penulis, serta bimbingan dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi 4. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Kompetensi, Nomor Kontrak : 409/SP2 H/DP2M/VI/2010 atas nama Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS 5. Keluarga tercinta, Bapak Sutrisno, Ibu Sitti Suprihatin, Kakakku Indria PS dan Kartika DN, Kakak Iparku Aris P dan Agus J, serta keponakan tersayang Abyan atas segala kasih sayangnya 6. Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, terutama Ibu Suliantari, atas segala ilmu yang sangat bermanfaat, saran dan nasihat selama penelitian. 7. Seluruh teman-teman ITP seperjuangan di angkatan 43, terutama Rima, Nisa, Dedes, Wina, Ochi dan Dewi atas keceriaan mengisi hari-hari penulis 8. Rijali Aroni, atas keceriaan dan kesediaannya sebagai tempat berkeluh kesah penulis 9. Seluruh teman yang tergabung dalam tim yogurt, Sandra, Septi, Yeni dan Roni, serta Eri dan Febi atas segala bantuannya dan motivasinya 10. Teman satu Laboratorium Histologi, Fenny, Ila, Yeni dan Wulan atas segala bantuan, pengalaman dan pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis 11. Seluruh teman di Kost Windy, mbak Becky, mbak Femi, Indah, Ikan, Dhia, Dewi, Uci, Pita, dan lainnya atas keceriaannya 12. Senpai dan Kohei di Onigiri Japan Club sebagai keluarga kedua penulis 13. Para laboran terutama Pak Iwan (FKH), Pak Adi, Pak Ganda, Mbak Ari, Mas Aldi atas segala bantuannya selama penelitian dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan. Bogor, Maret 2011 Wahyu Anggarini

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR..... vii DAFTAR TABEL.... x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN 2 II. TINJAUAN PUSTAKA MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR PREBIOTIK YOGURT SINBIOTIK DIARE ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli K USUS HALUS III. BAHAN DAN METODE BAHAN DAN ALAT METODE PENELITIAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB DIARE PENGUKURAN BOBOT BADAN DAN KONSUMSI RANSUM PENAMPAKAN DAN KADAR AIR FESES TIKUS PERCOBAAN HISTOLOGI USUS DUODENUM TIKUS PERCOBAAN KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) PADA MUKOSA 41 DUODENUM..... V. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat... 6 Tabel 2. Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana... 6 Tabel 3. Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat... 7 Tabel 4. Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009) Tabel 5. Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan. 24 Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA Tabel 9. Aktivitas antibakteri terhadap EPEC pada keempat formula yogurt Tabel 10. Nilai ph dari masing-masing formula yogurt Tabel 11. Presentase kerusakan vili duodenum tikus percobaan Tabel 12. Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan Tabel 13. Kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan... 42

13 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peran probiotik dalam saluran pencernaan manusia Gambar 2. Konsep probiotik dan prebiotik Gambar 3. Infeksi EPEC pada epitel usus inang Gambar 4. Fase patogenesis EPEC Gambar 5. Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa Gambar 6. Diagram alir penelitian Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan Gambar 8. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia Gambar 9. Penampakan yogurt F1, F2, F3 dan F4 segera setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 o -43 o C Gambar 10. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari Gambar 11. Rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan Gambar 12. Penampakan feses tikus percobaan Gambar 13. Penampakan anus tikus percobaan Gambar 14. Kadar air feses tikus percobaan Gambar 15. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 dengan pewarnaan hematoksilin eosin Gambar 16. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 dengan pewarnaan hematoksilin eosin Gambar 17. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 dengan pewarnaan hematoksilin eosin Gambar 18. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) Gambar 19. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) Gambar 20 Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) Halaman

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data proksimat kasein (Alacid acid casein) yang digunakan Lampiran 2. Perhitungan komposisi ransum basal Lampiran 3. Data nilai log kematian EPEC K1.1 metode kontak 2, 4 dan 6 jam Lampiran 4. Uji statistik ANOVA aktivitas antimikroba yogurt selama 2, 4 dan 6 jam Lampiran 5. Uji statistik ANOVA rata-rata aktivitas antimikroba yogurt Lampiran 6. Nilai ph formula yogurt Lampiran 7. Analisis statistik (ANOVA) nilai ph formula yogurt Lampiran 8. Rata-rata pertambahan berat badan tikus percobaan Lampiran 9. Analisis statistika (ANOVA) pertambahan berat badan tikus percobaan Lampiran 10. Konsumsi ransum basal tikus percobaan per hari Lampiran 11. Analisis statistika (ANOVA) rata-rata konsumsi ransum per hari Lampiran 12. Data kadar air sampel feses tikus percobaan Lampiran 13. Analisis statistik (ANOVA) kadar air feses tikus percobaan Lampiran 14. Data kerusakan vili duodenum tikus percobaan Lampiran 15. Data ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan Lampiran 16. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke Lampiran 17. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke Lampiran 18. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke

15 I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Saluran pencernaan manusia merupakan sebuah ekosistem yang sangat spesial, yang berkembang dari waktu ke waktu, baik secara fisiologis maupun mikrobiologis. Hal ini sebagai akibat dari pengaruh inang dan lingkungan. Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara metabolis karena selalu terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna makanan (Tamime 2005). Saluran pencernaan berada dalam keadaan steril sampai bayi dilahirkan. Koloni mikrobiota pada bayi pertama kali berasal dari vagina maupun saluran pencernaan ibunya. Makanan yang masuk ke saluran pencernaan sangat menentukan keadaan saluran pencernaan. Kontaminan yang masuk bersama makanan melalui saluran pencernaan dapat merugikan saluran pencernaan. Saluran pencernaan merupakan organ vital yang rentan terhadap gangguan. Salah satu gangguan saluran pencernaan (gastroenteritis) yang sering terjadi di Indonesia adalah diare. Pada tahun 2006, penyakit ini menempati urutan ketiga penyebab kematian di Indonesia (Departemen Kesehatan 2008). Bakteri penyebab infeksi gastroenteritis yang utama adalah famili Enterobactericeae yang meliputi coliform, khususnya Escherichia coli, Salmonella, Shigella, dan Yersinia. Kondisi dan fungsi saluran pencernaan yang sehat sangat penting bagi kehidupan manusia. Sistem pertahanan tubuh sepanjang saluran pencernaan sangat penting untuk melawan segala macam bahaya yang mengiringi masuknya makanan ke dalam tubuh. Ekologi flora saluran pencernaan yang normal sangat penting sebagai pertahanan terhadap koloni patogen dari luar tubuh (Forchielli dan Walzer 2005). Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan inang (Parassol et al. 2005), memelihara keseimbangan mikroflora dalam usus, mengatur sistem imun, menurunkan tingkat kolesterol dalam darah, meningkatkan toleransi terhadap laktosa, dan menghasilkan metabolit esensial yang dapat memelihara kesehatan usus (Teitelbaum dan Walker 2002). Bakteri probiotik terbukti efektif dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang berpotensi patogen dan dapat menyebabkan diare. Berbagai penelitian menunjukan potensi isolat bakteri asam laktat (BAL) untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, virus maupun diare yang berkaitan dengan konsumsi antibiotik (Heyman dan Menard 2002). BAL yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor diketahui memiliki sifat sebagai probiotik (Arief et al. 2008). Lactobaccilus delbruecki subsp. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus merupakan BAL yang biasa ditemukan dalam produk yogurt komersial, ternyata belum cukup untuk menjaga saluran pencernaan. Oleh karena itu, ke dalam yogurt perlu ditambahkan bakteri probiotik yang mampu bertahan dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri tersebut dapat hidup di saluran pencernaan manusia, berkembang biak dan berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mendapatkan substrat fermentasi. Konsumsi probiotik akan lebih maksimal dalam menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan jika diiringi dengan konsumsi prebiotik. Prebiotik adalah suatu bahan pangan yang tidak dapat dicerna di sepanjang jalur pencernaan manusia, namun bermanfaat menunjang pertumbuhan atau aktivitas bakteri baik di usus, termasuk probiotik (Angus et al diacu dalam Tamime 2005).

16 Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa formula yogurt dengan penambahan BAL indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) dilihat pada parameter profil histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada usus halus TUJUAN Tujuan umum penelitian ini adalah mengaplikasikan dua jenis BAL probiotik indigenus yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor, yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, dalam pembuatan yogurt sinbiotik fungsional yang memiliki sifat sebagai antidiare dan imunomodulator. Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mengetahui profil histologi pada usus halus, yaitu kerusakan vili dan ketebalan mukosa. 2. Mendeteksi kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus dengan teknik pewarnaan imunohistokimia.

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut yang terdiri atas mulut, hidung, dan kerongkongan. Saluran pencernaan selanjutnya adalah lambung, usus kecil, usus besar dan berakhir di anus. Pada setiap bagian saluran pencernaan terdapat bakteri yang berbeda beda. Terdapat perbedaan yang besar pada jumlah dan jenis populasi bakteri yang terdapat pada lambung, usus kecil, dan usus besar. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan waktu transit, sekresi, dan kesediaan nutrisi (Lambert dan Hull 1996; Guilliams 1999 diacu dalam Tamime 2005). Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri dari atas tiga jenis yaitu mikrobiota, pertahananan mukosa, dan sistem imun internal (Bourlioux et al. 2002). Usus halus merupakan habitat dari enterococci, enterobacteria, lactobacilli, bacteroides, dan clostridia. Jumlah mikroba meningkat dari cfu/ml pada usus halus menjadi cfu/ml pada usus besar (Salminen et al diacu dalam Tamime 2005). Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson et al 2004). Sedangkan jumlah bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides spp sebanyak 10 9 cfu/ml (Salminen et al. 2004). Sebelum dilahirkan, saluran pencernaan bayi masih dalam keadaan steril. Pada saat bayi dikeluarkan melalui vagina, kolonisasi mikrobiotia natural pada bayi pertama kali berasal dari vagina maupun saluran pencernaan ibunya. Dalam perkembangannya, asupan makanan bayi berperan penting terhadap mikrobiota saluran pencernaannya. Selama masa menyusui, komposisi mikrobiota saluran pencernaan berkembang dalam jangka waktu yang singkat, dan didominasi oleh Bifidobacteria (Boehm dan Moro 2008). Flora vagina dan saluran pencernaan ibu merupakan sumber bakteri bagi bayi yang akan berkolonisasi dalam saluran usus bayi yang didominasi oleh strain anaerob fakultatif seperti enterobacteria, koliform dan Lactobacillus. Setelah tidak menyusu, komposisi mikroflora secara berangsur-angsur berubah menyerupai mikroflora dewasa. Diperkirakan terdapat 500 spesies mikroba yang berbeda pada saluran pencernaan, akan tetapi dari segi jumlahnya, saluran pencernaan didominasi oleh 20 jenis mikroba. Mikrobiota tersebut antara lain Bacteroides, Lactobacillus, Clostridium, Fusobacterium, Bifidobacterium, Eubacterium, Peptococcus, Peptostreptococcus, Escherichia, dan Veillonella termasuk bakteri yang dapat memberikan efek menguntungkan yaitu Bifidobacteria and Lactobacilli (Harish dan Varghese 2006). Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan bakteri penghuni normal ekosistem kompleks saluran pencernaan. Lactobacillus memiliki kemampuan untuk menempel pada sel inang, untuk mengeluarkan atau mengurangi bakteri patogen, dan menghasilkan asam, hidrogen peroksida, dan bakteriosin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Keberadaan Lactobacillus dalam saluran pencernaan berpotensi memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya infeksi saluran pencernaan dan meningkatkan respon imun (Sharma et al. 2005). Profil saluran pencernaan pada manusia dewasa memperlihatkan terjadinya perkembangan populasi mikroba yang dapat mengatasi tekanan psikologis dan mikrobiologis. Kondisi yang stabil memberikan ketahanan bagi inang, atau yang sering disebut dengan barrier effect, kemampuan melawan invasi mikroba, baik yang patogen maupun yang tidak berbahaya. Mikrobiota dalam saluran pencernaan harus mampu beradaptasi untuk berkompetisi mendapatkan nutrisi dan tempat dengan

18 mikroba pendatang, yang mungkin dapat menghambat dengan menghasilkan komponen penghambat (Alderbeth et al. 2000). Keberadaan mikroorganisme dalam saluran pencernaan ditentukan oleh interaksi dengan lingkungan sekitarnya dan pengaruh dari sekitarnya yang mampu mendukung mikroorganisme tersebut melawan kompetitornya. Hal ini dapat dicapai setelah melalui mekanisme yang sangat banyak, seperti meningkatnya suasana anaerobik atau melalui komponen yang mengganggu, contohnya asam dan substansi antimikroba. Komponen-komponen tersebut memberikan efek menguntungkan bagi inang (Fooks dan Gibson 2002). Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metabolik yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi terhadap epitel usus, dan perlindungan terhadap serangan bakteri yang merugikan (Harish dan Varghese 2006). Fungsi penting lainnya dari mikrobiota dalam saluran pencernaan adalah produksi vitamin B dan K, yang dibuktikan dalam studi dimana hewan percobaan yang disuplementasi dengan vitamin B dan K untuk memenuhi kebutuhannya setara dengan hewan percobaan dengan mikrobiota (Hooper et al. 2002). Mikroflora saluran pencernaan merupakan bagian penting dalam dinding pertahanan saluran usus. Komposisi awal dari mikroflora saluran pencernaan yang berkembang merupakan faktor penentu perkembangan fungsi pertahanan saluran pencernaan normal. Penyimpangan spesifik pada mikroflora dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan penyakit pada inang. Mekanisme pertahanan mukosa saluran usus yaitu peran lumen dan mukosa yang membatasi kolonisasi bakteri patogen pada permukaan mukosa. Mikrobiota saluran pencernaan normal dapat mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri patogen dalam saluran pencernaan (Harish dan Varghese 2006) BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK Probiotik didefinisikan sebagai sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Schmid et al. 2006). Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi menjadi tiga aspek yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba. Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), dan dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus (Naidu dan Clemens 2000). Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus sehingga menekan resiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen (Naidu dan Clemens 2000). Probiotik dapat meningkatkan pertahanan usus terhadap patogen karena probiotik berperan sebagai adjuvant sistem imun dan memperkuat lapisan mukosa (Walker 2008). Mekanisme probiotik dalam memberikan efek positif pada saluran pencernaan memang kurang dimengerti. Akan tetapi secara garis besar, menurut Sartor (2004), mekanismenya antara lain : (1) adherence/ menempel dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan, (2) menekan pertumbuhan atau mengikat/ menyerang bakteri patogen dan memproduksi substansi antimikroba, (3) meningkatkan fungsi pertahanan saluran pencernaan, (4) mengontrol transfer antigen, dan (5) menstimulasi sistem imun mukosa dan sistemik pada inang. FAO/WHO (2001) menyatakan probiotik adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inang. Jumlah yang cukup menurut FAO/WHO adalah cfu/g dan diharapkan dapat berkembang menjadi cfu/g di dalam kolon. International Dairy Federation (IDF) memberikan standar acuan untuk minuman probiotik hidup sebanyak 10 6 cfu/ml pada produk akhir (Indratingsih et al. 2004).

19 Produk probiotik dapat diklaim memberi keuntungan kesehatan harus mengandung bakteri probiotik dengan konsentrasi minimal 10 6 cfu/ml atau gram, sebagai dosis minimum terapi per harinya disarankan mengonsumsi cfu/ml (Shah 2000). Akan tetapi, beberapa studi menunjukkan viabilitas probiotik yang berbeda-beda dalam fermentasi susu, khususnya yogurt (La Torre et al. 2003). Beberapa faktor diklaim mempengaruhi viabilitas kultur probiotik dalam fermentasi susu, seperti ph produk akhir, kesediaan nutrisi, oksigen terlarut dan penyerapan oksigen melalui kemasan produk (Tamime 2005). Jenis bakteri yang banyak digunakan sebagai probiotik adalah bakteri asam laktat (BAL), seperti dari genus Lactobacillus dan Bifidobacteria (Winarno 2003). Menurut Salminen et al. (2004), beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh BAL yang berfungsi sebagai mikroba probiotik antara lain: 1) Probiotik harus non patogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, dan masih aktif pada kondisi asam lambung serta konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus 2) Probiotik yang baik mampu tumbuh dengan cepat dalam jumlah yang tinggi pada usus 3) Probiotik yang ideal dapat mendiami beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara 4) Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan 5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar dan hidup selama kondisi penyimpanan. Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena ph asam lambung sekitar 2 (Almatsier 2005). Pada BAL terjadi perubahan yang dinamis pada ph intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan ph ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar dapat menyebabkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Selain itu gradien proton membutuhkan energi yang besar untuk translokasi proton sehingga sangat merugikan (Siegumfeldt et al. 2000). BAL yang telah melewati dua barrier yaitu asam lambung dan empedu akan menuju ke usus. Bakteri tersebut berkembang pada saat menuju ke jejunum dan akhirnya sampai ke kolon. Waktu transit yang lama memungkinkan bakteri untuk berkembang. Selain itu terdapat nutrisi sisa-sisa makanan yang tidak diserap, material dari inang (mukus dan sel mati), dan metabolit bakteri yang dapat digunakan sebagai sumber makanan (Bourlioux et al. 2002). Selain ketahanannya dalam saluran pencernaan, aktivitas antimikroba terhadap berbagai bakteri patogen juga merupakan syarat yang penting bagi suatu organisme untuk menjadi probiotik. Bakteri seperti Bifidobacteria spp. dan Lactobacillus spp. memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri pathogen Listeria monocytogenes, Escherichia coli, Salmonella spp. (Jenie 2003). Probiotik dianggap sukses bila mampu berkolonisasi pada saluran usus, paling tidak untuk sementara, dengan cara menempel pada mukosa usus. Dengan penempelan itu, probiotik juga mampu mencegah penempelan bakteri patogen seperti bakteri koliform dan Clostridia, dan mampu menstimulasi penghilangan patogen tersebut dari jalur infeksi saluran pencernaan (Lee et al. 2000). Arief et al. (2008) menyatakan BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor mampu bertahan pada kondisi saluran pencernaan seperti ph saluran pencernaan dan garam empedu, serta memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal terhadap bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, dan senyawa bakteriosin. Sifat dasar kesepuluh bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging sapi tersebut dan kemampuannya sebagai probiotik dinyatakan pada Tabel 1, 2 dan 3.

20 Tabel 1. Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat No Kode isolat Bentuk Pertumbuhan di suhu Pertumbuhan di NaCl 6,5% Menghasilkan NH 3 dari Menghasilkan gas dari glukosa 15 o C 45 o C arginin 1 1A5 Batang A32 Kokus B1 Batang B1 Kokus B2 Batang B4 Batang C4 Batang C2 Batang C12 Kokus D1 Batang Sumber : Arief et al. (2005) No Kode isolat Tabel 2. Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana Kemampuan menfermentasi gula Ara gal Glu Lak Mal man raf Rham tre sorb suk xyl Identifikasi presumtif awal* 1 1A Lactobacillus sp 2 1A Lactococcus lactis 3 1B D + + D + D Lactobacillus plantarum 4 2B Streptococcus sp 5 2B Lactobacillus fermentum 6 2B Lactobacillus fermentum 7 1C Lactobacillus sp 8 2C Streptococcus sp 9 2C D d D + D Lactobacillus sp 10 2D Lactobacillus sp Sumber :Arief et al. (2005) Keterangan : * = identifikasi presumtif awal berdasarkan software PIB Win (+) = dapat menfermentasi; (-) = tidak dapat menfermentasi; (d) = dubius; ara = arabinosa; gal = galaktosa; glu = glukosa; lak = laktosa; mal = maltosa; man= manitol; raf = rafinosa; rham = rhamnosa; tre = trehalosa; sorb = sorbitol; suk = sukrosa; xyl = xylosa

21 No Kode isolat Tabel 3. Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat Kemampuan menghambat mikroba patogen Staphylococcus aureus ATCC Salmonella typhimurium ATCC Escherichia coli ATCC 25922/ ETEC Kemampuan tumbuh di kondisi saluran pencernaan (in vitro) ph lambung (2.5) ph usus (7.2) Garam empedu (bile salt) 0,5% 1 1A A B B B B C C C D Sumber : Arief et al. (2008) Hasil penelitian Arief et al. (2008) menunjukan terdapat 10 BAL isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada ph lambung yaitu pada ph 2.5 dan ph usus yaitu pada ph 7.2, serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Selain itu, BAL tersebut memiliki aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri enteropatogenik yaitu Salmonella thypimurium ATCC 14028, Escherichia coli ATCC (ETEC), dan Staphylococcus aureus ATCC Berdasarkan kriteria dasar probiotik oleh FAO/WHO (2002) yaitu kemampuannya untuk bertahan pada kondisi lambung (ph rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambatannya terhadap bakteri patogen, maka kesepuluh BAL isolat indigenus tersebut dapat dinyatakan sebagai probiotik PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang pada jumlah yang sudah diatur dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inang (Reid et al. 2003). Strain yang paling sering digunakan dalam penelitian adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium, antara lain Lactobacillus achidophilus, Lactobacillus casei, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus reuteri, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium breve, Bifidobacterium animalis, Bifidobacterium adolescentis, dan Bifidobacterium longum. Bakteri bakteri tersebut termasuk bakteri gram positif, fakultatif yang normal terdapat dalam usus besar manusia dan sebagian besar merupakan mikroflora anaerobik (Liong 2007). Probiotik merupakan preparasi sel bakteri hidup yang mampu memberikan efek menguntungkan pada kesehatan inang. Banyak BAL sebagai probiotik, digunakan untuk memperbaiki mikroflora usus yang terganggu fungsinya dan permeabilitas saluran pencernaan yang tidak normal (Lee et al. 2000).

22 Kullisaar et al. (2003) menyatakan bahwa mengonsumsi susu fermentasi yang mengandung L. fermentum ME-3 memperlihatkan efek antioksidatif dan antiaterogenik. Bakteri probiotik memproduksi berbagai jenis substansi yang mampu menghambat bakteri gram positif dan gram negatif. Komponen tersebut tidak hanya mengurangi jumlah sel hidup, tetapi juga memberikan dampak terhadap hasil metabolisme bakteri atau produksi toksin. Fakta tersebut membuktikan bahwa probiotik dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit saluran usus melalui stimulasi terhadap sistem imun spesifik dan non-spesifik. Pemberian oral Lactobacillus sp. selama terjadinya diare rotavirus akut berkaitan dengan peningkatan respon imun terhadap rotavirus. Mekanisme stimulasi sistem imun belum dimengerti, akan tetapi komponen sel permukaan spesifik atau sel lapisan dapat berperan sebagai adjuvant (agen yang dapat menstimulasi sistem imun) dan meningkatkan respon imun humoral. Studi lain menyatakan penghambatan patogen oleh probiotik disebabkan adanya kompetisi terhadap nutrisi dan tempat reseptor, yang akhirnya probiotik menggunakan nutrisi yang ada, sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh patogen (Rolfe 2000). Sistem imun manusia sebagian besar dirancang untuk menghancurkan mikroorganisme asing seperti virus dan bakteri. Manusia sehat memiliki dua mekanisme imun, sistem imun spesifik (acquired), yang memberikan respon pada antigen spesifik dan ditingkatkan dengan adanya paparan yang berulang-ulang; dan sistem imun non-spesifik (innate), yang tidak membutuhkan stimulasi, tidak meningkat dengan adanya paparan berulang-ulang, dan memiliki mekanisme yang menyertakan pertahanan fisik (Meydani 2000). Kedua sistem imun ini mampu mempengaruhi respon imun sistemik dan mukosa (Galdeano dan Perdigon 2006). Sistem imun innate dan adaptive merupakan dua bagian yang saling tergantung dari satu kesatuan sistem imun. Pada tingkat mukosa saluran pencernaan, respon imun innate tidak hanya menjadi garis pertama pertahanan melawan mikroorganisme patogen, akan tetapi juga memberikan sinyal biologi untuk menginstruksikan sistem imun adaptive agar mendapatkan respon tersebut. Pada sistem imun, bakteri probiotik berperan merangsang respon imun mukosa saluran pencernaan (Galdeano dan Perdigon 2006). Pemberian Lactobacillus dan Bifidobacterium secara oral memperlihatkan terjadinya peningkatan respon antibodi pada ovalbumin dan respon imunoglobulin A (IgA) terhadap toksin kolera pada tikus percobaan, meningkatkan sel yang mensekresi antibodi spesifik terhadap rotavirus pada anak dengan diare rotavirus akut, dan meningkatnya jumlah sel yang mensekresi antibodi terhadap β-laktoglobulin pada tikus yang masih menyusu (Isolauri et al. 2001). Liong (2007) menyatakan peningkatan jumlah sel penghasil IgA di mesenteric node kelenjar getah bening pada tikus percobaan, mengawali adanya kombinasi vaksin laktokokal yang dapat merangsang respon sistemik dan respon imun mukosa. Sumber : Saulnier et al. (2009) Gambar 1. Peran probiotik dalam saluran pencernaan manusia

23 Probiotik dapat menstimulasi respon imun dengan meningkatkan produksi antibodi mukosa, mendorong ekspresi sitokin pro-inflamatori, dan meningkatkan produksi defensin inang (Gambar 1). Efek supresif menunjukan penurunan ekspresi sitokin, inflamasi sistemik, proliferasi sel, dan peningkatan apoptosis. Protein permukaan merupakan faktor kunci dalam imunomodulasi. Sebagai contoh, agregasi-kompeten L.crispatus merangsang ekspresi reseptor Toll-like receptor-2 (TLR-2) dan Toll-like receptor-4 (TLR-4) di permukaan sel epitelium mukosa kolon tikus percobaan. Probiotik juga mensekresikan faktor yang bertanggung jawab untuk memodulasi respon imun. Sebagai contoh, faktor yang disekresikan oleh L.reuteri menurunkan ekspresi inti gen factor-kb-dependent, yang menghasilkan berkurangnya proliferasi sel dan meningkatnya aktivitas protein kinase yang mengaktivasi mitogen yang mampu merangsang apoptosis (Saulnier et al. 2009). Beberapa penelitian menyatakan pengaruh probiotik dalam sistem imun manusia. Dalam penelitian tersebut dinyatakan probiotik terdiri dari komponen dinding sel seperti peptidoglikan (30-70% dari total dinding sel), polisakarida, teichoic acid, yang merupakan komponen imunostimulator. Probiotik juga mengandung peptidoglikan yang dilepaskan dari dinding sel bakteri pada usus, merangsang aktivitas adjuvant di permukaan mukosa dan mengakibatkan adanya respon imun (Meydani 2000). Adanya hubungan antara probiotik dan materi molekuler seperti peptidoglikan, lipotechoic acid, dan DNA bakteri, membuktikan adanya materi reseptor (TLR) yang ada di permukaan sel imunokompeten yang dapat memicu dilepasnya sejumlah sitokin yang dapat meningkatkan respon imun (Gill dan Guarner 2004). Efek modulasi dari sitokin pada sel imun termasuk merangsang produksi interferon-γ oleh sel T, meningkatkan jarak penghubung fagosit mikroba, menambah vaksin imunogenisitas, meningkatkan aktivitas mikrobisidal makrofag, dan menggunakan efek sitotoksin melawan sel tumor (Gill 2003) PREBIOTIK Prebiotik merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan usus manusia, tetapi menguntungkan terhadap penghuni bakteri kolon, dengan cara meningkatkan pertumbuhan dan keaktifan satu atau lebih jenis bakteri baik yang berada dalam kolon (Winarno 2003). Menurut Zakaria (2003), prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan bakteri probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan kolon. Prebiotik adalah komponen pangan yang tidak dapat dicerna dan dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi inang karena prebiotik merangsang proliferasi atau aktivitas populasi bakteri yang diinginkan di dalam kolon secara selektif (Mattila-Sandholm et al. 2002). FAO (2007) menyatakan bahwa prebiotik adalah komponen pangan tak hidup yang memberi keuntungan kesehatan inang yang berasosiasi dengan memodulasi mikrobiota. Peraturan FAO (2007) juga menegaskan bahwa prebiotik bukan merupakan organisme atau obat, dapat dikarakterisasi secara kimia, dan aman sebagai pangan. Bahan pangan akan dikelompokkan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan berikut yaitu tidak terhidrolisa atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas sehingga dapat mencapai kolon tanpa perubahan struktur atau diekskresikan dalam feses (Gibson et al. 2004), dan berperan sebagai substrat yang secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon (Gmeiner et al. 2000). Selain itu menurut Lisal (2005), bahan pangan dapat digolongkan sebagai prebiotik jika mampu mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang menguntungkan kesehatan dan merangsang timbulnya efek-efek luminal (lokal) dan sistemik yang menguntungkan inang.

24 Prebiotik dapat berperan sebagai alternatif untuk probiotik atau sebagai kofaktor probiotik. Karbohidrat kompleks yang melalui usus kecil menuju kolon tersedia untuk beberapa bakteri kolon namun sebagian besar bakteri yang terdapat di kolon tidak memanfaatkannya. Laktosa, galaktooligosakarida, fruktooligosakarida, inulin dan hasil hidrolisanya, maltooligosakarida dan pati resisten merupakan prebiotik yang umumnya digunakan dalam nutrisi manusia. Produk akhir utama pada metabolisme karbohidrat adalah asam lemak rantai pendek (ALRP), yang disebut asetat, butirat, dan propionat, yang selanjutnya akan digunakan organisme dalam inang sebagai sumber energi (Harish dan Varghese 2006). Analisis secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Prebiotik yang telah difermentasi dalam usus besar menghasilkan ALRP, menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk Lactobacilli dan Bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Fortifikasi menggunakan Bifidobacteria/Lactobacilli dengan prebiotik dapat memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme patogen dalam usus (Molis et al diacu dalam Wang 2009). Pada awalnya yang disebut sebagai bahan pangan prebiotik adalah serat pangan yang memacu pertumbuhan Bifidobacteria yaitu fruktooligosakarida (FOS), baik yang sintetik maupun yang diisolasi dari bahan pangan atau tanaman. Dengan berkembangnya penelitian mengenai fungsi FOS, diketahui bahwa FOS sebagai substrat Bifidobacteria, mampu mempercepat pertumbuhan bakteri ini sehingga menghasilkan metabolit-metabolit yang berfungsi sebagai penjaga kesehatan usus halus dan kolon, terutama melalui mekanisme antagonisme dengan bakteri patogen, metabolit ALRP, dan peningkatan respon imun pada usus halus (Zakaria 2003). Prebiotik yang umum digunakan adalah inulin dan FOS, yang merupakan serat yang dapat larut dan dapat difermentasi (Gibson et al. 2004). Inulin dan FOS sering digunakan dalam studi secara in vivo karena resisten terhadap pencernaan asam lambung dan enzim pankreas (Cummings et al. 2001). FOS biasanya digunakan untuk formula produk bayi, yogurt dan produk pangan dan suplemen lainnya (Kaplan dan Hutkins 2000). FOS secara kimiawi adalah senyawa β-d-fruktans rantai pendek atau sedang, yang terikat dengan ikatan β-2-1 glikosidik, yang tidak dapat diuraikan oleh enzim pencernaan mamalia. Dibandingkan dengan karbohidrat simpleks maupun kompleks lainnya, FOS difermentasikan secara selektif oleh hampir semua strain Bifidobacteria. Bila FOS dikonsumsi dalam jumlah yang cukup banyak maka FOS secara dramatik dan konsisten merangsang proliferasi Bifidobacteria menjadi mikroflora yang predominan dalam kolon (Lisal 2005). FOS memiliki nilai DP (derajat polimerisasi) lebih rendah daripada inulin, yaitu berkisar antara 2-8 (Franck dan De Leenheer 2005). FOS menunjukkan efek bifidogenik yang berbeda pada kondisi yang berbeda. Pada studi secara in vitro menunjukkan bahwa FOS dan inulin menghasilkan efek bifidogenik yang optimum pada ph 6.8 dan 1 g/100 ml karbohidrat, yang setara dengan 4 g/hari (Tungland 2003 diacu dalam Tamime 2005). Selain efek bifidogenik, FOS juga menambah nutrisi yang dapat mempengaruhi parameter fisiologis pencernaan seperti ph kolon dan stool bulking, yang dapat menggolongkan prebiotik sebagai serat (dietary fiber) (Roberfroid 1997 diacu dalam Tamime 2005). Penggabungan prebiotik dan probiotik terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi kesehatan inang. Misalnya gabungan inulin (FOS) dengan Bifidobacterium longum terbukti dapat menurunkan risiko kelainan pre-neoplastik kolon lebih efektif dibandingkan hanya dengan perlakuan probiotik atau prebiotik saja pada tikus percobaan. Penambahan pati jagung yang kaya amilosa (Resistant Starch 2) ke dalam suatu preparat probiotik akan mempertahankan densitas probiotik yang hidup dibandingkan tanpa penambahan RS2 (Lisal 2005).

25 Meskipun FOS dapat ditemukan pada bermacam-macam pangan yang menjadi makanan kita sehari-hari, seperti asparagus, pisang, gandum, bawang putih, artichoke (tumbuhan yang bunganya dimakan sebagai sayuran) dan chicory (tanaman yang akarnya dibakar sebagai pengganti kopi), namun jumlah FOS dalam pangan tersebut sangat kecil. Jumlah rata-rata asupan harian tiap individu dari sumber pangan tersebut berkisar antara 2-10 g di Eropa, dan antara 1-4 g di Amerika serikat (van Loo et al diacu dalam Tamime 2005). Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya konsumsi prebiotik tergantung pada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO 2007). Dosis konsumsi harian 5-8 g FOS/GOS dapat memberikan efek prebiotik pada orang dewasa. Surono (2004) menyarankan jumlah prebiotik yang efektif adalah 1-3 g per hari untuk anak-anak dan 5-15 g per hari untuk orang dewasa. Indonesia memiliki regulasi tentang prebiotik dalam Peraturan Pangan Fungsional yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlah asupan prebiotik tidak dijelaskan YOGURT SINBIOTIK Menurut SNI (2009), definisi yogurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Syarat mutu yogurt menurut SNI (2009) dapat dilihat pada Tabel 4. Proses fermentasi dapat terjadi karena pada susu sapi terdapat protein susu (kasein) dan gula susu (laktosa). Laktosa digunakan oleh kedua starter bakteri di atas sebagai sumber karbon dan energi utama untuk pertumbuhanya. Proses fermentasi tersebut menyebabkan laktosa berubah menjadi asam piruvat, yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Asam laktat menyebabkan penurunan ph susu, atau meningkatkan keasaman. Akibatnya kasein menjadi tidak stabil dan terkoagulasi (menggumpal), membentuk gel yogurt, berbentuk setengah padat (semi padat), dan menentukan tekstur yogurt. Selain itu asam laktat juga berfungsi memberikan ketajaman rasa asam, dan menimbulkan aroma khas pada yogurt (Santoso 2009). Mikroflora yang terdapat dalam yogurt merupakan kelompok BAL. Bakteri yang umum digunakan adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Silvia 2002). Streptococcus thermophilus merupakan satu-satunya spesies dalam genusnya yang digunakan sebagai kultur starter dalam produk olahan susu. Organisme ini termasuk dalam termotoleran dan digunakan dalam fermentasi produk olahan susu yang membutuhkan suhu lebih tinggi dalam inkubasi yaitu pada suhu o C. Pada industri produk olahan susu, organisme ini sering disebut dengan kokus. Biasanya kultur S.thermophilus menghasilkan koagulat yang lemah dalam susu karena produksi asam yang rendah. Penggunaan S.thermophilus biasanya digabungkan dengan Lb. delbrueckii subsp. bulgaricus. Lactobacillus subspesies ini biasanya disebut dengan rod (bakteri berbentuk batang) dalam industri produk olahan susu, dan kombinasi kedua bakteri ini disebut rod-kokus (Chandan 2006).

26 Tabel 4. Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009) No Kriteria uji Satuan Yogurt tanpa perlakuan panas setelah fermentasi Yogurt dengan perlakuan panas setelah fermentasi Yogurt Yogurt rendah lemak Yogurt tanpa lemak Yogurt Yogurt rendah lemak Yogurt tanpa lemak 1. Keadaan 1.1. Penampakan - Cairan kental padat Cairan kental padat 1.2. Bau - Normal/khas Normal/khas 1.3. Rasa - Asam/khas Asam/khas 1.4. Konsistensi - Homogen Homogen 2. Kadar lemak (b/b) % Min Maks. 0.5 Min Maks Total padatan % Min. 8.2 Min. 8.2 susu bukan lemak (b/b) 4. Protein (Nx6.38) % Min. 2.7 Min. 2.7 (b/b) 5. Kadar abu (b/b) % Maks. 1.0 Maks Keasaman % (dihitung sebagai asam laktat) b/b 7. Cemaran logam 7.1. Timbal(Pb) mg/kg Maks. 0.3 Maks Tembaga (Cu) mg/kg Maks Maks Timah (Sn) mg/kg Maks Maks Raksa (Hg) mg/kg Maks Maks Arsen mg/kg Maks. 0.1 Maks Cemaran mikroba 8.1. Bakteri coliform APM/g Maks. 10 Maks. 10 atau koloni/g 8.2. Salmonella - Negatif/25 g Negatif/25 g 8.3. Listeria - Negatif/25 g Negatif/25 g monocytogenes 9. Jumlah bakteri starter* koloni/g Min *sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi)

27 Kombinasi rod-kokus menunjukkan respon pertumbuhan yang sinergis dalam susu. Sinergisme antara kokus dan rod ini berasal dari karakteristik fisiologis dari masing-masing bulgaricus.. S.thermophilus relatif kurang bagus kemampuan proteolitiknya dibanding Lb. delbrueckii subsp. bulgaricus, akan tetapi memiliki aktivitas peptidase lebih baik dibandingkan Lb. delbrueckii subsp. bulgaricus. Ketika kedua bakteri tersebut tumbuh bersama dalam susu, pada awalnya S.thermophilus tumbuh lebih agresif, karenaa lebih aerotoleran. Pada tahap ini rod tumbuh lebih lambat, namun karena aktivitas proteolitiknya lebih baik, menyediakan peptida yang cukup untuk menstimulasi pertumbuhan kokus. Fermentasi oleh S.thermophilus menekan potensial oksidasi-reduksi sistem, dan melepaskan asam format sebagai hasil sampingan metabolisme. Tegangan oksigen yang rendah dan asam format menstimulasi pertumbuhan Lb. delbrueckii subsp. bulgaricus, yang lebih lanjut dibantu oleh pelepasan asam amino oleh peptida aktif yang disekresikan oleh S.thermophilus. Dominasi S.thermophilus dalam fermentasi susu ketika ph mendekati 5.0. Selebihnya, Lb. bulgaricus secara berangsur-angs sur menggantikan S.thermophilus pada keseluruhan fermentasi. Strain S.thermophilus juga memproduksi eksopolisakarida untuk mendapatkan tekstur yang lembut tanpa pemisahan whey (Chandan 2006). bakteri. S.thermophilus lebih aerotoleran dibandingkan Lb. delbrueckii subsp. Yogurt sinbiotik merupakan salah satu produk susu fermentasi yang dibuat dengan menggunakan campuran beberapa kultur BAL seperti Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus, Lactobacillus achidophilus, dan Bifidobacterium bifidum, yang dikombinasikan dengan prebiotik seperti FOS. Kombinasi probiotik (BAL) dan prebiotik dapat meningkatkan daya tahan bakteri probiotik oleh karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapat manfaat yang lebih sempurna dari kombinasi ini (Zhang dan Ghosh 2001). Konsep dari penggabungan probiotik dan prebiotik dapat dilihat pada Gambar 2. Kemampuan imunomodulator probiotik memperkenalka an potensi strategi terapi untuk melawan alergi, infeksi dan kondisi inflamasi. Penggunaan probiotik bertujuan untuk mengurangi inflamasii dalam saluran pencernaan, yang menjadikan probiotik sebagai mediator anti-inflamasi (Zhang dan Ghosh 2001). Pada kenyataannya, keseimbangan mikrobiota indigenus dalam saluran pencernaan memberikan dampak kesehatan secara imunofisiologis (Rautava et al. 2004). Sumber: Zhang dan Ghosh (2001) Gambar 2. Konsep probiotik dan prebiotik Mikrobiota saluran pencernaan yang menyimpang tidak hanya dapat mendasari terjadinya infeksi akut, tetapi juga dapat menyebabkan penyakit kronis dari alergi autoimun hingga penyakit inflamasi. Normalisasi mikroflora indigenus yang tidak seimbang dengan menggunakan strain spesifik

28 mikroflora yang baik untuk saluran pencernaan merupakan alasan yang mendasar dari terapi probiotik (Harish dan Varghese 2006). Yogurt dalam industri biasanya menggunakan Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus sebagai kultur starternya. Mikroorganisme probiotik pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat pada medium susu, oleh karena itu, ditambahkan kultur starter yogurt untuk meningkatkan proses fermentasi (Tamime 2005). Bakteri yang berpotensi sebagai probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu. Organisme Produk metabolisme Fermentasi Laktosa I. Bakteri asam laktat Pediococcus acidilactici* DL laktat Homofermentatif Lactobacillus acidophilus, gasseri, helveticus, dan johnsonii* DL laktat Homofermentatif Lactobacillus casei, reuteri, plantarum, rhamnosus, dan fermentum* Bifidobacterium adolescentis, animalis subsp. animalis, bifidum, breve, infantis, animalis subsp. lactis, longum Enterococcus faecium dan faecalis* II. Khamir DL laktat L (+) laktat, asetat L (+) laktat Heterofermentatif Heterofermentatif Homofermentatif Saccharomyces boulardii* Etanol, CO 2 Sumber : Masco et al. (2004) dan *Tamime et al. (2005) Untuk mendapatkan efek kesehatan yang diinginkan, bakteri probiotik yang digunakan harus dapat tumbuh dalam media susu dan dapat tumbuh pada kondisi yang terbatas (Tamime 2005). Pada umumnya bakteri probiotik dapat tumbuh baik pada media sintetik seperti tryptose peptone yeast (TPY) dan de Man Rogosa and Sharpe (MRS) broths daripada pada media susu (Shah 2000). Pada produk pangan, probiotik yang terkandung di dalamnya minimum 10 6 cfu/g atau asupan harian sebesar 10 9 cfu/g. Tingginya asupan probiotik untuk mengimbangi kemungkinan hilangnya jumlah mikroorganisme probiotik pada saat melalui perut dan saluran usus. Di jepang, Asosiasi Minuman Fermentasi Susu dan Bakteri Asam Laktat meningkatkan standar yaitu dibutuhkan sedikitnya 10 7 cfu/ml sel hidup yang ada dalam produk olahan susu. Viabilitas dan aktivitas bakteri menjadi sangat penting, karena bakteri harus mampu bertahan dalam produk selama masa simpan, selama melalui kondisi asam dalam perut, dan tahan terhadap degradasi oleh enzim hidrolitik dan garam empedu di usus kecil (Tamime 2005). Viabilitas bakteri probiotik dalam yogurt tergantung pada strain yang digunakan, interaksi antar spesies yang ada, produksi hidrogen peroksida yang merupakan hasil metabolisme bakteri, dan keasaman produk akhir.

29 Viabilitas probiotik juga tergantung pada ketersediaan nutrisi, pendukung dan penghambat pertumbuhan, konsentrasi gula, oksigen terlarut dan perembesan oksigen melalui kemasan (khususnya Bifidobacterium spp.), tingkat inokulasi, dan waktu fermentasi (Oliveira dan Damin 2003 diacu dalam Tamime 2005). Pertumbuhan bakteri probiotik yang lambat pada media susu akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan strain cenderung tidak tumbuh dengan baik dan memproduksi flavor yang tidak diharapkan (Tamime 2005) DIARE Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (Zein 2004). Diare merupakan perubahan dari kebiasaan normal usus yang dicirikan dengan meningkatnya kandungan air, volume, atau frekuensi buang air besar. Diare dapat juga didefinisikan ketika terjadi penurunan konsistensi feses (menjadi lembek atau bahkan cair) dan terjadi peningkatan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari (Guerrant et al. 2001). Bila diare berlangsung kurang dari dua minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare berlangsung dua minggu atau lebih, maka digolongkan pada diare kronik (Zein 2004). Secara etiologi, diare akut dapat disebabkan oleh infeksi, intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-obatan, dan juga faktor psikis (Schiller 2000 diacu dalam Zein 2004). Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non-inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang sering terjadi adalah adanya keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, dan secara mikroskopis ditemukan sel leukosit polimorfonuklear (Zein 2004). Pada diare non-inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Gejala dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit (Zein 2004). Menurut Bowen (2006), mekanisme terjadinya diare terbagi menjadi empat jenis yaitu diare osmotik, diare sekretorik, diare eksudatif dan infeksi, serta diare yang dikaitkan dengan pengacauan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium. Diare sekretorik terjadi bila ada gangguan transport elektrolit, baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri, misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, ALRP, atau laksatif non-osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif dan inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa, baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat noninfeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi (Bowen 2006). Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat (Manatsathit et al. 2002). WHO memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2.2 juta di antaranya meninggal, sebagian besar anak-anak di bawah umur 5 tahun (Adisasmito 2007).

30 Data dari profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan data tahun 2003 terlihat bahwa frekuensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit diare sebanyak 92 kasus dengan 3865 orang penderita dan 113 orang meninggal (Adisasmito 2007). Salah satu faktor risiko yang sering diteliti adalah faktor lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi, jamban, saluran pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakterologis air, dan kondisi rumah. Menurut Sharma et al. (2005), penyebab terjadinya diare pada negara berkembang adalah buruknya sanitasi dan nutrisi. Data terakhir menunjukkan bahwa kualitas air minum yang buruk menyebabkan 300 kasus diare per 1000 penduduk. Sanitasi yang buruk dianggap sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat. Bakteri E.coli mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kontaminasi bakteri E.coli terjadi pada air tanah yang banyak disedot penduduk di perkotaan, dan sungai yang menjadi sumber air baku di PDAM pun tercemar bakteri ini (Adisasmito 2007) ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli (EPEC) Escherichia coli penyebab diare dapat diklasifikasikan menjadi enam kategori: Enteropatogenik E.coli (EPEC), Enterotoksin E.coli (ETEC), Enterohemoragik E.coli (EHEC), Enteroinvasif E.coli (EIEC), diffusely adderent E.coli (DAEC), dan Enteroagregatif E.coli (EAggEC) (Miyazaki et al. 2010). EPEC merupakan salah satu penyebab utama penyakit diare dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara berkembang (Clarke et al. 2002). EPEC adalah salah satu patogen yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada epitel jejunum melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). Bakteri ini juga melekat dan berkolonisasi pada kolon atau usus besar bagian ascending (naik) dan transverse (melintang) (Jay 2000). Sumber : Lu dan Walker (2001) Gambar 3. Infeksi EPEC pada epitel usus inang EPEC menempel pada sel epitel dan membentuk lesi A/E (Gambar 3). Tahap awal penempelan EPEC pada sel epitel diperantarai oleh bundle-forming pilus (BFP). Setelah pelekatan awal, mikrovili

31 usus diganggu dan EPEC mensekresikan beberapa faktor virulen melalui sekresi tipe III dan mensekresikan reseptor Tir ke dalam sel inang. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein membran luar, intimin. Sinyal transduksi terjadi dalam sel inang, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca 2+. Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin, menjadi tempat melekatnya EPEC. Dan pada akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker 2001). EPEC biasanya memiliki locus of enterocyte effacement (LEE), yang membantu perkembangan lesi A/E. LEE terdiri dari gen eae yang mengkode intimin, protein membran terluar yang berikatan dengan protein (dengan tirosin terfosforilasi 90 kda) di dalam membran inang, sehingga dapat membentuk lesi A/E (Gomes et al. 2004). Tirosin dipindahkan dari sel bakteri ke membran inang sehingga terfosforilasi pada satu atau lebih residu tirosin, berfungsi sebagai reseptor untuk pengikatan intimin. Kemudian sel epitel kehilangan mikrovili dan membentuk cup and pedestal pada tempat melekatnya koloni EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC mampu menginduksi perubahan transport elektrolit ke sel inang. Pada studi yang lain menyatakan bahwa EPEC dapat menyebabkan penurunan transepithelial electrical resistance (TEER) dengan mengganggu tight junction intraseluler (Michail dan Abernathy 2002). Mekanisme utama dari patogenesis EPEC (Gambar 4) adalah lesi A/E yang dicirikan dengan melekatnya bakteri pada epitelium saluran usus (Nougayrède et al. 2003). Gen eae terletak di area patogenitas LEE dan gen bfpa terletak di plasmid yang disebut EPEC adherence factor (EAF), yang digunakan untuk mengklasifikasikan kelompok bakteri ini menjadi strain tipikal dan atipikal (Kaper 1996 diacu dalam Afset et al. 2004). Sumber : Nougayrède et al. (2003) Gambar 4. Fase patogenesis EPEC Strain E.coli dengan genotipe A/E (eae - ) yang mendarat pada plasmid EAF (bfpa - ) digolongkan sebagai EPEC tipikal. Kebanyakan dari strain ini termasuk dalam serotipe O:H (Trabulsi et al. 2002). Strain dengan genotipe A/E yang tidak berpengaruh dengan plasmid EAF (bfpa - ) diklasifikasikan sebagai EPEC atipikal. Gen eae positif pada strain E.coli ini mendarat pada gen Shiga toksin (stx1 dan/atau stx2) yang sering diklasifikasikan sebagai Enterohaemorrhagic E.coli (Afset et al. 2004). Menurut Oyetayo (2004), dosis E.coli 10 5 cfu/ml telah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan. EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan Abbot 2006).

32 2.8. USUS HALUS Usus halus merupakan tempat penyerapan sari-sari makanan. Untuk itu, usus halus memiliki struktur khusus yang dapat meningkatkan pencernaan dan penyerapan sari-sari makanan, seperti adanya mukosa plicae dan vili. Modifikasi dan peningkatan mikrovili di sepanjang permukaan apikal sel luminal didesain untuk memperluas luas permukaan penyerapan (Samuelson 2007). Panjang usus halus tergantung pada ukuran seluruh tubuh hewan. Pada anjing, usus halus mencapai kali panjang tubuhnya. Pada kuda mencapai lima kali atau lebih panjang tubuhnya. Lipatan mukosa atau plicae (juga disebut plicae circulares) merupakan perpanjangan semisirkular yang mencapai lumen dan menghasilkan lebih dari dua kali permukaan dari lapisan epitel. Di sepanjang mukosa dalam, perpanjangan yang lebih kecil dari plicae yang mencapai lumen, membentuk vili. Setiap vili memiliki inti lamina propria, yang terdiri dari loops kapiler, saluran limfatik, jaringan yang terhubung lepas dengan sel plasma dan limfosit, corresponding extracelluler matrix, dan serabut otot halus yang memanjang secara vertikal. Vili meningkatkan luas permukaan hingga 10 kali atau lebih. Selain plicae dan vili, kebanyakan sel yang membentuk epitelium mukosa memiliki mikrovili yang seperti pasak, modifikasi sel yang dapat meningkatkan luas permukaan hingga kali (Samuelson 2007). Meskipun sel penyerapan mampu menyediakan material pencernaan (seperti enzim) yang dapat meningkatkan penyerapan, sumber enzim pencernaan lain terdapat di sepanjang usus halus. Sumber tersebut antara lain, kelenjar submukosa yang berada di antara plicae dan vili, dan pankreas. Usus halus terbagi menjadi 3 region yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum memiliki vili paling banyak dan paling besar dibandingkan jejunum dan ileum. Crypts pada duodenum paling berkembang dan paling banyak (Samuelson 2007). Mukosa usus halus berperan dalam penyerapan nutrisi dan dengan demikian mukosa memiliki permukaan yang lembut dan mudah diserang. Mukosa terdiri dari epitelium sendiri dan didukung oleh jaringan penghubung yang longgar, yang disebut lamina propia, yang berada di bawah epitelium (Gambar 5). Jaringan penghubung yang lebih dalam yang mendukung mukosa disebut submukosa. Dalam saluran pencernaan (GI tract), terdapat lapisan tipis otot halus, mukosa muskularis, yang berada di perbatasan antara mukosa dan submukosa. Epitelium terdiri dari sel penyerapan (enterosit) dengan sel goblet (mensekresi mukus untuk pelumasan) yang tidak beraturan. Lapisan epitel ditingkatkan melalui pembentukan vili. Pelekukan crypts yang terdiri dari sel batang akan mengganti sel epitelium secara terus menerus. Lamina propria menempati inti dari vili, menyelubungi crypts, dan memiliki banyak sel imun. Muskularis mukosa berperan sebagai pendukung lokal dalam menggerakan permukaan mukosa untuk meningkatkan sekresi dan penyerapan nutrisi (King 2009). Konsentrasi bakteri di dalam usus halus mencapai 1 juta per ml. Pada bagian duodenum jumlah bakteri mencapai cfu/ml dan yang tumbuh dengan baik adalah bakteri kokus dan batang gram positif. Pada bagian jejunum, jumlah bakterinya cfu /ml dan terdiri dari berbagai macam bakteri seperti Enterococcus faecalis, Lactobacilli, diphtheroids, dan khamir Candida albicans. jumlah bakteri pada ileum sama dengan pada jejunum karena kondisinya yang hampir sama, namun jenis bakteri yang terdapat di ileum sama dengan bakteri yang terdapat pada kolon yang mayoritas adalah bakteri anaerob (Slonczewski dan Foster 2010).

33 Sumber : DOTE Anatomy Topics,University of Debrecen (2008). Gambar 5. Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa. Fungsi mikroflora dalam usus halus antara lain proteksi, struktur, dan metabolik. Fungsi proteksi antara lain (1) mikroflora dalam usus halus melindungi inang dengan mencegah patogen menempel, (2) bakteri menstimulasi pertumbuhan lapisan usus dan sistem imun pada usus, (3) bakteri berkompetisi dengan patogen untuk mendapatkan nutrisi, sehingga menyulitkan patogen untuk tumbuh, (4) mikroflora menghasilkan antibakteri untuk membunuh kompetitor seperti patogen (Slonczewski dan Foster 2010). Fungsi strukturnya antara lain (1) flora dalam usus halus menyusun bagian dari barrier usus, (2) flora dalam usus merupakan faktor penting dalam perkembangan sistem imun. Fungsi pada metabolik antara lain (1) mikroflora melindungi inang dari metabolik karsinogenik, (2) mikroflora menyediakan vitamin sintesis seperti biotin dan folat, (3) membantu pembuatan vitamin K, yang diserap dan digunakan oleh inang, dan (4) bakteri sangat penting dalam aktivitas otot usus halus (Slonczewski dan Foster 2010).

34 III. BAHAN DAN METODE 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yogurt adalah susu skim bubuk, kultur murni (Lactobacillus bulgaricus FNCC 004P, Streptococcus thermophillus FCNN 1903, Lactobacillus fermentum 2B4, dan Lactobacillus plantarum 2C12), fruktooligosakarida (FOS) Orafti, akuades dan sukrosa. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan ransum, bahan analisis mikrobiologi dan bahan analisis histologi dan imunohistokimia. Bahan ransum antara lain AMDK, kasein, CMC (carboxymethylcellulosa), minyak jagung, mineral mix, vitamin mix, dan pati jagung. Bahan analisis mikrobiologi yang digunakan antara lain akuades, MRSB (de Man Rogosa Sharpe Broth), MRSA (de Man Rogosa Sharpe Agar), NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), spirtus, dan KH 2 PO 4. Bahan yang digunakan untuk pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia antara lain tikus, larutan Bouin (campuran asam pikrat, formaldehid 4%, dan asam asetat glasial 15:5:1), alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, xylol, parafin, akuades, hematoxylin, eosin alkohol, metanol, H 2 O 2, serum normal, PBS (Phosphate Buffered Saline), aquabidest, antibodi primer IgA, antibodi sekunder Dako K1491, kromogen diamino benzidine (DAB), larutan neofren, toluen, dan entelan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat analisis mikrobiologi, alat pemeliharaan hewan uji dan alat analisis histologi dan imunohistokimia. Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain cawan petri, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar, erlenmeyer, pipet, mikropipet, gelas pengaduk, sudip, jarum ose, bunsen, autoklaf, oven, dan inkubator. Alat pemeliharaan hewan uji adalah kandang, tempat ransum, botol minum, sonde, timbangan dan saringan. Alat yang digunakan untuk proses pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia antara lain botol sampel, silet, alat bedah, waterbath, mikroskop, cetakan blok (pagoda), bunsen, balok kayu, gelas objek, mikrotom, inkubator, cover glass, gelas ukur, pipet, tabung ependorf, mikropipet, dan refrigerator.

35 3.2. METODE Metode penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama (Gambar 6). Penelitian pendahuluan berupa pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro. Penelitian utama berupa pengujian aktivitas antidiare dan imunomodulator secara in vivo pada tikus percobaan. Penelitian Pendahuluan Pembuatan formula yogurt sinbiotik: 1. F1: L. bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5% 2. F2: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + FOS 5% 3. Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 + FOS 5% 4. Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5% Pengujian antibakteri penyebab diare secara in vitro Diperoleh formula terbaik yogurt sinbiotik Penelitian Utama Pengujian antidiare formula yogurt sinbiotik terbaik secara in vivo yang terdiri dari kelompok: 1. Kontrol negatif 2. Kontrol positif 3. Yogurt sinbiotik formula terbaik 4. Yogurt sinbiotik formula terbaik + EPEC 5. Yogurt prebiotik Dilakukan terminasi terhadap tikus percobaan Analisis profil histologi dan imunohistokimia IgA duodenum tikus percobaan Gambar 6. Diagram alir penelitian

36 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro Pembiakan Kultur Penelitian ini diawali dengan pembiakan kultur yogurt yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophilus serta BAL probiotik indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4). Kultur murni disegarkan pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB), dengan cara memasukkan 1 ml kultur murni ke dalam 10 ml MRSB, kemudian diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 24 jam. Setelah didapatkan kultur murni segar, sebanyak 2% kultur murni diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10%. Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur induk. Sebanyak 2% dari kultur induk diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10 % yang ditambah glukosa 2% dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur kerja. Kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk mengetahui populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk siap dijadikan kultur starter yogurt adalah kultur dengan populasi 10 8 cfu/ml Pemeliharaan Kultur Stok Kultur stok diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Kultur stok yang disimpan terlalu lama dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas bakteri karena habisnya substrat dan penumpukan metabolit. Pemeliharaan kultur stok menggunakan metode Hariyadi et al. (2001), yaitu dengan metode tusukan pada chalk semi solid. Kultur ditusukan ke media chalk semi solid, kemudian diinkubasikan pada suhu 43 o -45 o C selama 24 jam. Setelah diinkubasi kultur disimpan dalam refrigerator. Pada saat akan digunakan kembali, kultur diambil sebanyak 1 loop dari media chalk semi solid kemudian diinokulasikan ke dalam MRSB dan diinkubasi pada suhu 43 o -45 o C selama 24 jam Pembuatan Yogurt Sinbiotik BAL indigenus yang diperoleh dari isolasi bakteri pada daging sapi pasar tradisional Bogor yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, selanjutnya diaplikasikan pada pembuatan yogurt sinbiotik (mengandung probiotik dan prebiotik). Jenis prebiotik yang ditambahkan dalam masing-masing formula yogurt adalah FOS 5%. Keempat jenis formula yogurt sinbiotik yang akan dibuat adalah: 1. L. bulgaricus + S. thermophillus 2. L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 3. L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 4. L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4. Pembuatan yogurt sinbiotik ini diawali dengan pencampuran antara 12 % susu skim bubuk, 5% FOS dan 5% sukrosa, dan sisanya air. Kemudian larutan tersebut dipasteurisasi pada suhu 85 o C selama 30 menit. Setelah itu ditunggu hingga suhu mencapai 45 o C, kemudian 3% kultur kerja campuran (1:1) diinokulasikan ke dalam larutan tersebut. Larutan yang telah berisi kultur kerja

37 dimasukkan ke dalam cup-cup yang telah disterilisasi. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37 o C selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam, yogurt dalam cup-cup tersebut dimasukkan ke dalam refrigerator pada suhu 10 o C selama 2-3 jam untuk menghambat laju fermentasi Uji Antibakteri Penyebab Diare Yogurt Sinbiotik (in vitro) Setelah didapatkan empat formula dari yogurt sinbiotik, kemudian dilakukan uji penghambatan terhadap bakteri penyebab diare melalui uji kontak. Uji kontak adalah metode untuk mengevaluasi daya antimikroba suatu zat dengan cara membandingkan jumlah bakteri uji, sebelum dan sesudah mengalami kontak dengan zat tersebut (Fardiaz 1989). Tahap awal uji kontak adalah mempersiapkan kultur bakteri uji, yaitu bakteri Enterophatogenic Escherichia coli K1.1 (EPEC K1.1) umur 24 jam. Kemudian ke dalam yogurt dimasukkan 1% bakteri EPEC K1.1 umur 24 jam dari media Nutrient Broth (NB). Jumlah ini setara dengan 10 6 sel EPEC K1.1 yaitu jumlah yang cukup untuk menyebabkan diare. Yogurt yang telah dikontaminasi dengan EPEC K1.1, divorteks untuk menyebarkan sel-sel bakteri. Yogurt tersebut diinkubasikan selama 2, 4 dan 6 jam pada suhu 37 o C. Setelah selesai diinkubasi, dilakukan penghitungan banyaknya sel EPEC K1.1 yang bertahan hidup melalui metode hitungan cawan dengan media selektif Eosin Methylen Blue Agar (EMBA). Selain itu, juga dilakukan penghitungan jumlah sel 1% EPEC K1.1 sebelum dilakukan kontak dengan yogurt melalui metode hitungan cawan dan menggunakan media selektif EMBA. Selisih jumlah EPEC K1.1 sebelum dan sesudah kontak menjadi tolok ukur daya antibakteri yogurt, semakin besar selisihnya maka semakin potensial yogurt tersebut sebagai antibakteri penyebab diare Penelitian Utama Penelitian utama merupakan uji imunomodulator dan antidiare yogurt sinbiotik secara in vivo menggunakan tikus percobaan yang diinjeksi dengan EPEC Pengelolaan Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus albino Norway rats (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan yang berasal dari Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Kandang yang digunakan adalah kandang plastik berwarna yang berukuran 17.5 x x 17.5 cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan yaitu 70 ekor. Kandang plastik tersebut ditutup menggunakan kawat besi. Alas dalam kandang menggunakan sekam padi yang telah disterilisasi dan diganti 3 hari sekali. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah o C dan kelembaban udara 50-60%, dengan ventilasi yang cukup namun tidak ada jendela yang terbuka (Muchtadi 1993). Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap tiga hari sekali dan pada saat akan dilakukan terminasi. Pemberian ransum standar dilakukan setiap hari sebanyak 20 gram (ad libitum), yang sebelumnya telah dilakukan masa adaptasi selama 3 hari. Air minum yang digunakan merupakan air minum dalam kemasan yang diganti setiap harinya.

38 Ransum Komposisi ransum basal disusun berdasarkan AOAC (1995) dan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal Bahan-bahan Jumlah (%) Komposisi (%) Protein kasein (10%) (a) a = 1.60 x 100% N kasein Minyak jagung (b) [(8 a) x % kadar lemak]/ Campuran mineral (c) [(5 - a) x % kadar abu]/ Campuran vitamin (d) CMC (carboxymethylcellulosa) (e) [(1 a) x % kadar serat]/ Air (f) [(5 a) x % kadar air]/ Maizena (pati jagung) 100 (a + b+ c + d + e + f) Sumber : AOAC (1995) Uji Imunomodulator dan Antidiare Yogurt Sinbiotik ( in vivo) Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al.(2008) hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Yogurt dengan populasi BAL sebanyak 10 9 cfu/ml diberikan kepada tikus percobaan sebanyak 1 ml/hari, sedangkan populasi EPEC diberikan dengan dosis 10 7 cfu/ml sebanyak 1 ml/hari. Tikus dibagi menjadi enam kelompok, seperti pada Tabel 7 dan Gambar 7. Adaptasi dilakukan selama tiga hari pertama dengan pemberian makanan ransum basal terhadap semua tikus. Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan kecuali kelompok tikus yogurt prebiotik yang terdiri dari 5 ekor. Pembedahan tikus untuk analisis peubah yang diamati dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 21, masing-masing sebanyak lima ekor sebagai ulangan. Selain itu terdapat pula lima ekor tikus sebagai kelompok baseline yang akan dibedah pada hari ke-0 setelah masa adaptasi. Dengan demikian jumlah tikus yang digunakan adalah 70 ekor tikus. Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 dilakukan melalui pencekokan. Kelompok tikus yang tidak mendapatkan perlakuan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1 dicekok menggunakan air minum sehingga mengalami stres yang sama dengan tikus yang dicekok dengan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1. Kelompok Tikus Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan Perlakuan A Ransum basal/ kontrol negatif B Ransum basal dan yogurt sinbiotik F3 (L.fermentum + FOS 5%) C Ransum basal, yogurt sinbiotik F3 dan EPEC K1.1 D Ransum basal dan EPEC K1.1/ kontrol positif E Ransum basal dan yogurt prebiotik

39 H(-3) H(0) H(7) H(14) H(21) Adaptasi Cekok EPEC 10 6 cfu/ml T0 T1 T2 T3 Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan Keterangan : T0= terminasi awal (5 ekor) T1= terminasi hari ke-7 (5 ekor tikus setiap kelompok) T2= terminasi hari ke-14 (5 ekor tikus setiap kelompok) T3= terminasi hari ke-21 (5 ekor tikus setiap kelompok) Pemberian yogurt sinbiotik F3 dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik (B) dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (C). Pemberian cekok EPEC K1.1 dilakukan selama 1 minggu yaitu pada H7 hingga H13 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (C) dan kelompok tikus kontrol positif (D). Pemberian yogurt prebiotik dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt prebiotik (E) Pengambilan dan Pengukuran Kadar Air Sampel Feses Tikus Pengukuran kadar air feses bertujuan untuk melihat terjadinya diare pada tikus percobaan. Kadar air feses yang tinggi menjadi indikator terjadinya pada tikus percobaan. Feses tikus percobaan diambil secara aseptik langsung dari anus tikus dan diletakkan dalam plastik steril. Pengambilan sampel feses dilakukan selama pemberian cekok EPEC K1.1 dan setelah pemberian EPEC K1.1 dihentikan. Sampel feses tikus percobaan diletakkan dalam cawan aluminium yang telah dioven selama minimal 30 menit dan ditimbang. Kemudian sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan data berat feses awal. Sampel feses dalam cawan kemudian dimasukkan ke dalam oven pengering dan dikeringkan selama 24 jam. Setelah 24 jam sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan data berat akhir. Penghitungan kadar air feses tikus percobaan menggunakan Rumus 1. Rumus : (W (W1 W2)) x 100 (1) W Keterangan : W = bobot contoh sebelum dikeringkan W1 = bobot contoh + cawan kering kosong W2 = bobot cawan kosong Analisis Histologi Jaringan Usus Halus (Kiernan 1999) Analisis histologi jaringan usus halus (duodenum) tikus percobaan dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Awalnya, jaringan usus halus (duodenum) dipotong sepanjang 2 cm (masing-masing) setelah hewan dikorbankan, kemudian difiksasi terlebih dahulu selama 24 jam

40 dengan larutan Bouin. Larutan Bouin terdiri dari larutan asam pikrat jenuh, formalin p.a., dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Lalu, sampel tersebut didehidrasi dengan alkohol bertingkat. Untuk tahap dehidrasi ini, alkohol yang digunakan secara berturut-turut adalah alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, masing-masing selama 24 jam. Setelah itu, tahap dehidrasi ini dilanjutkan dengan menggunakan alkohol absolut I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Tahap berikutnya adalah penjernihan (clearing). Pada tahap ini, sampel yang telah didehidrasi dimasukkan ke dalam xylol I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Pada xylol III, 30 menit pertama dilakukan di suhu ruang, 30 menit berikutnya di dalam inkubator suhu 60 o C. Selanjutnya, dilakukan tahap infiltering (infiltrasi) dengan memasukkan sampel ke dalam parafin I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam pada suhu 60 C. Setelah itu, dilakukan tahap embedding (pencetakan) yaitu penanaman jaringan dalam parafin yang kemudian dibuat blok-blok jaringan. Setelah itu, jaringan usus yang sudah berada dalam bentuk blok parafin dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom. Hasil potongan tersebut kemudian direndam dalam akuades, lalu dibentangkan dalam akuades yang dipanaskan dalam waterbath suhu C. Selanjutnya, jaringan tersebut diletakkan pada gelas objek, lalu dimasukkan ke dalam inkubator 40 C selama ± 24 jam. Jaringan pada gelas obyek yang telah siap untuk diwarnai kemudian dideparafinisasi dengan xylol kemudian direhidrasi dengan alkohol bertingkat. Pada tahap deparafinasi, jaringan pada gelas objek yang telah diinkubasi dicelupkan ke dalam xylol III, II dan I selama 3 menit. Lalu pada tahap rehidrasi, jaringan dicelupkan ke dalam alkohol absolut III, II, dan I selama 3 menit, alkohol 95%, 90%, 80% dan alkohol 70% selama 3 menit. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan air kran selama 10 menit, kemudian dengan akuades selama minimal 5 menit (stopping point). Selanjutnya, potongan jaringan tersebut diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE) dengan pencucian air kran dan akuades di antaranya. Pewarnaan dengan hematoksilin dilakukan selama 1 2 menit kemudian jaringan tersebut dicuci dengan air kran selama 10 menit dan akuades selama minimal 5 menit (stopping point). Lalu, pewarnaan dilanjutkan dengan Eosin selama 2 menit kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi. Dehidrasi dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95% selama beberapa detik, yang dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, alkohol absolut II dan alkohol absolut III selama 1 menit. Tahap selanjutnya adalah tahap penjernihan ulang (clearing) dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam xylol I selama beberapa detik, xylol II dan III selama 1 menit. Selanjutnya, tahap mounting dilakukan dengan menetesi sampel jaringan dengan entelan atau kanada balsam, kemudian sampel jaringan tersebut ditutup dengan cover glass. Setelah itu, dilakukan pengamatan terhadap gambaran umum histopatologi jaringan usus halus (duodenum), persentase kerusakan vili dan pengukuran rata-rata tebal mukosa usus duodenum Analisis Imunohistokimia IgA Usus Halus (Kiernan 1999) Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) pada usus halus tikus percobaan dilakukan menggunakan teknik pewarnaan imunohistokimia (Kiernan 1990). Pewarnaan imunohistokimia bertujuan untuk melihat komponen aktif, seperti enzim dan hormon, yang terdapat di dalam sel atau jaringan. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan kunci dan gembok antara antigen (Imunoglobulin A) dan antibodi (anti-iga). Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat pada Gambar 8.

41 Gambar 8. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia Imunoglobulin A yang terdapat dalam jaringan (mukosa usus) dikenal sebagai antigen oleh antibodi primer (anti-iga). Antibodi primer berikatan dengan antigen, selanjutnya antibodi sekunder yang dikonjugasi dengan peroksidase akan bereaksi dengan antibodii primer, sehingga keberadaan peroksidase inii melambangkan adanya kompleks antigen-antibodi. benzidine atau DAB) dan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) sehingga terbentuk endapan warna coklat sebagai visualisasi adanya IgA. Dengan demikian pembentukan warna coklat menunjukkan adanya ikatan antara antibodi dan antigen (IgA). Warna coklat juga menunjukkan keberadaan IgA. Semakin tua intensitas dan semakin luas distribusi warna coklatnya maka semakin banyak kandungan IgA-nya. Berikut adalah reaksi yang terjadi dalam pembentukan endapan warnaa P eroksidase ini berfungsi untuk mengkatalis reaksi antara kromogen (diamo coklat. Prosedur analisis imunohistokimia IgA sama seperti prosedur pewarnaan Hematoksilin-Eosin pada analisis histologi jaringan usus halus dari awal hingga tahap embedding dan pemotongan blok jaringan dengan mikrotom, kecuali pada tahap pelekatan preparat ususs ke gelas objek di mana gelas objek sebelum digunakan harus dicuci bersih dengan teknik sonikasi, kemudian dikeringkan dan diberi larutan neofren dalam toluen (toluen : neofren = 9 : 1). Tujuan pemberian neofren ini adalah agar preparat usus menempel dengan baik pada gelas objek dan tidak mudah terlepas pada saat proses pewarnaan imunohistokimia. Sebelum dilakukan pewarnaan, sediaan jaringan usus halus dideparafinisasi dengan larutan xylol III, II, dan I selama 5 menit dengan tujuan untuk melarutkan parafin dari jaringan. Setelah itu, dilakukan rehidrasi dengan alkohol, sediaan jaringan usus halus dimasukkan ke dalam larutan alkohol absolut III, II, dan I serta alkohol 95%, 90%, 80%, dan 70% selamaa 3 menit. Setelah itu, sediaan tersebut direndam dalam air kran selama 5 menit kemudian direndam dalam air bebas ion (aquabidest) selama 3 menit (stopping point). Tahap berikutnya adalah penghilangan peroksidasee endogen. Pada tahap ini, potongan jaringan tersebut diinkubasikan (dicelupkan) dalam larutan yang mengandung campuran metanol (30 ml) dan H 2 O 2 (0.3 ml) selama 15 menit pada kondisi gelap. Kemudian, sediaan direndam di dalam air bebas ion sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 menit dan dalam PBS (Phosphate Buffered Saline) sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 menit. Sediaan jaringan ususs lalu diinkubasikan dalam serum normal untuk memblok antigen nonspesifik. Sediaan diletakkan pada kotak sediaan dan masing-masing ditetesi dengan µl serum normal (10% dalam PBS), kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 60 menit. Setelah itu,

42 sediaan dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian masingmasing sediaan ditetesi dengan µl antibodi primer/monoklonal IgA (Anti-Rat IgA, α-chain specific developed in goat, SIGMA), lalu diinkubasi dalam refrigerator selama semalam (± 19 jam). Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 10 menit. Setelah itu, potongan jaringan ditetesi dengan µl antibodi sekunder Dako Envision Peroxidase System atau DEPS (K401) pada kondisi gelap, kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 60 menit. Kemudian, sediaan dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian, reaksi positif divisualisasikan dengan menggunakan kromogen Diamino benzidine (DAB). Visualisasi dengan DAB (3,3 -Diaminobenzidine Tetrahydrochloride-Plus Kit Substrate for Horsedish Peroxidase) dilakukan dengan mencampurkan reagen 1 + reagen 2 + reagen 3 dengan air bebas ion dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 20. Sementara itu, larutan DAB yang diteteskan adalah sebanyak µl, lalu DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu, sediaan tersebut direndam dalam air bebas ion (stopping point). Tahap berikutnya adalah pewarnaan dengan counterstrain menggunakan Hematoxylin dengan cara merendam sediaan dalam Hematoxylin selama 1-4 detik, yang dilanjutkan dengan perendaman dalam air bebas ion minimal selama 5 menit hingga mendapatkan warna yang kontras antara warna coklat dengan biru dari Hematoxylin. Kemudian, dilakukan dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, dan dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, lalu direndam dalam alkohol absolut II dan III, masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, dilakukan penjernihan dengan mencelupkan sediaan ke dalam xylol I selama beberapa detik, lalu direndam dalam xylol II, dan III, masing-masing selama 1 menit. Tahap akhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan cover glass pada sediaan dengan menggunakan perekat entelan. Setelah itu, preparat imunohistokimia siap untuk diamati di bawah mikroskop. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut. Penilaian dilakukan secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya dengan kriteria seperti pada Tabel 8. Tanda Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA Deskripsi + warna biru yang menunjukan pada bagian tersebut tidak mengandung IgA atau warna coklat muda hanya pada bagian crypt mukosa usus, atau warna coklat tua hanya pada bagian crypt mukosa. ++ warna coklat muda hanya pada lapisan epitel dan crypt atau sebagian besar atau seluruh mukosa usus +++ warna coklat tua pada pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel dan crypt mukosa usus warna coklat sangat tua pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel dan crypt mukosa usus.

43 Analisis Data Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 untuk Windows. Analisis statistik digunakan untuk menganalisis data aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik, berat badan tikus percobaan, rata-rata konsumsi ransum, kadar air feses tikus percobaan dan ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan. Data dianalisis menggunakan SPSS 16.0 dengan metode analisis General Linier Model Univariate. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05 dan P<0.01), maka digunakan uji lanjut Duncan untuk membandingkan tiap perlakuan. Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) menggunakan penilaian secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut.

44 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB DIARE Metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik adalah metode kontak. Pada metode ini yang diuji adalah bakteri probiotik L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4 yang terdapat dalam empat formula yogurt. Empat formula yogurt tersebut adalah F1(L.bulgaricus + S.thermophilus), F2 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12), F3 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4), dan F4 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4). Pada masing-masing formula yogurt tersebut ditambahkan 5% FOS (fruktooligosakarida). Setiap formula yogurt dikontakkan dengan EPEC K cfu/ml selama 2, 4, dan 6 jam. Hasil aktivitas antibakteri terhadap bakteri EPEC dari masing-masing formula yogurt dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Aktivitas antibakteri terhadap EPEC pada keempat formula yogurt Formula Yogurt F1 F2 F3 F4 Rata-Rata Nilai Kematian EPEC (log cfu/ml) 2 jam 4 jam 6 jam 2.78 ±0.54 a 3.02±0.25 a 3.98±0.26 a 2.73±0.23 a 3.15±0.50 a 4.07±0.48 a 2.69±0.30 a 3.54±0.38 a 4.31±0.88 a 2.51±0.72 a 3.61±0.23 a 4.19±0.43 a Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap kolom memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Keterangan : F1: L.bulgaricus + S.thermophilus + FOS 5% F2: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + FOS 5% F3: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4 + FOS 5% F4: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4 + FOS 5% Analisis statistik (Lampiran 4 dan Lampiran 5) menunjukkan bahwa masing-masing formula yogurt tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC pada setiap waktu kontak (P>0.05). Aktivitas antibakteri penyebab diare ini dimungkinkan karena rendahnya derajat keasaman (ph) yogurt tersebut sehingga menyebabkan kematian bakteri EPEC. Pada umumnya BAL menghasilkan asam organik, seperti asam laktat dan asam asetat, yang menciptakan lingkungan asam yang dapat menghambat bakteri patogen (Saulnier et al. 2009). Nilai ph dari masing-masing formula yogurt dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai ph dari masing-masing formula yogurt Formula Yogurt F1 F2 F3 F4 Rata-rata ph 4.61 ± 0.23 a 4.37 ± 0.18 a 4.51 ± 0.07 a 4.42 ± 0.31 a Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap kolom memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

45 Keterangan : F1: L.bulgaricus + S.thermophilus + FOS 5% F2: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + FOS 5% F3: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4 + FOS 5% F4: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4 + FOS 5% Berdasarkan analisis statistika (Lampiran 7) menunjukkan bahwa derajat keasaman (ph) keempat formula yogurt tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa keadaan asam yang diciptakan oleh BAL dalam formula yogurt dapat menghambat pertumbuhan bakteri EPEC. Keadaan asam yang tidak berbeda nyata pada setiap formula yogurt menyebabkan aktivitas antibakteri penyebab diare EPEC yang tidak berbeda nyata. F1 F2 F3 F4 Gambar 9. Penampakan yogurt F1, F2, F3 dan F4 segera setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 o -43 o C Penampakan fisik dari masing-masing formula yogurt dapat dilihat pada Gambar 9. Pada gambar tersebut terlihat bahwa yogurt F1 dan F3 memiliki konsistensi yang lebil stabil dibandingkan yogurt F2 dan F4. Whey yang dihasilkan yogurt F1 dan F3 lebih sedikit dibandingkan yogurt F2 dan F4. Hal ini menunjukkan yogurt F3 memiliki konsistensi yang menyerupai yogurt F1. Yogurt F1 merupakan yogurt yang biasa ditemukan di pasaran yang menggunakan kultur L.bulgaricus dan S. thermophilus. Tekstur yogurt F3 yang stabil dimungkinkan karena adanya L. fermentum yang memiliki sifat proteolitik lemah (Sasaki et al. 1995). Sifat proteolitik yang lemah ini menyebabkan kemampuan L. fermentum dalam memecah kasein, yang merupakan emulsifier alami dalam susu, tidak sampai menghasilkan whey (pemisahan) yang banyak. Selain itu, menurut Franck (2002), penambahan prebiotik dalam produk pangan dapat meningkatkan kualitas organoleptik dan komposisi nutrisi yang lebih seimbang. Pada produk yogurt, prebiotik dapat meningkatkan kualitas tekstur dan mouthfeel, pengganti gula, dan serat (Wang 2009). Berdasarkan nilai organoleptik, yogurt F3 menunjukkan konsistensi yang lebih stabil dibandingkan formula yogurt F2 dan F4. Dengan demikian, yogurt F3 yang mengandung L. bulgaricus, S. thermophillus, dan probiotik L. fermentum 2B4, serta prebiotik FOS 5% merupakan formula terbaik yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan alternatif untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan manusia.

46 4.2. PENGUKURAN BERAT BADAN DAN KONSUMSI RANSUM TIKUS PERCOBAAN Pengukuran berat badan dan konsumsi ransum bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 terhadap pertambahan berat badan tikus percobaan. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari dapat dilihat pada Gambar 10. Analisis statistika (Lampiran 9) menunjukkan pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kenaikan berat badan tikus percobaan. pertambahan berat badan (gram) 7,90 7,80 7,70 7,60 7,50 7,40 7,30 7,20 7,10 7, a 7.83a Kontrol Negatif Yogurt Sinbiotik 7.53 a 7.30 a 7.46 a Yogurt Sinbiotik + EPEC kelompok tikus Kontrol Positif Yogurt Prebiotik Angka yang diikuti dengan huruf yang sama memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Gambar 10. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari Pertambahan berat badan tikus percobaan berkolerasi dengan konsumsi ransum basal tikus percobaan. Grafik rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 11. Analisis statistika (Lampiran 11) menunjukkan pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum basal tikus percobaan. rata rata konsumsi ransum basal (g) 13, ,9 12,8 12,7 12,6 12,5 12,4 12,3 12, a Kontrol negatif a a a 13.03a Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 Kontrol positif yogurt prebiotik kelompok tikus Angka yang diikuti dengan huruf yang sama memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Gambar 11. Rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan

47 Beberapaa literatur menyatakan bahwaa probiotik dapat meningkatkan penyerapann nutrisi oleh sel intestinal inang. Bakteri probiotik menyediakan hasil metabolism yang dapat memberikan keuntungan bagi inangnya. Simbiosis antara bakteri probiotik dan inangnya sangat kompleks namun kemungkinan besar ditingkatkan melalui pengkodean enzim yang berkaitan dengan penyerapan dan degradasi polisakarida serta biosintesis polisakarida kapsular oleh gen-gen bakteri probiotik. Enzim- enzim tersebutt mampu memecah zat yang tidak dapat diserap dan dicerna, dan karbohidrat turunan inang yang terletak berdekatan dengan lapisan permukaan dinding sel bakteri. Kemudian bakteri menggunakan enzim tersebut untuk memenuhi kebutuhan energinya. Selain itu, bakteri dapat mengatur lingkungan mikro intestinal dengan menyediakan karbohidrat yang terfermentasi. Aktivitas ini juga terjadi pada lapisan kompleks lain yang dapat menyediakan tambahan sumber nutrisi bagi inang dan organisme yang ada dalam inang (Yan F dan Polk DB 2009). Studi larik mikro yang dilakukan oleh Hooper et al. (2002) mengidentifikasi sejumlah gen pengatur bakteri dalam sel epitel intestinal. Kolonisasi B. thetaiotaomicron dapat meningkatkan ileal Na + / cotransporter glukosa, colipase, dan ekspresi apolipoprotein. Molekul tersebut menjembatani penyerapan nutrisi pada sel epitel intestinal. Fermentasi prebiotik dapat menghasilkan asam lemak rantai pendek (ALRP). Salah satu ALRP yaitu butirat merupakan produk dari fermentasi prebiotik yang dapat menghambat pertumbuhan patogen. Asam lemak rantai pendek sangat penting dalam metabolisme inang sebagai komponen penyedia energi bagi inang. Pada tikus percobaan, FOS dapat meningkatkan hormon saluran pencernaan glucagon-like peptide-1 (GLP-1) peningkatann kekenyangan seperti toleransi glukosa dan sensitivitas inulin (Delzenne et al. 2007) PENAMPAKAN DAN KADAR AIR FESES TIKUS PERCOBAAN pada vena portal dan pro-glukagon MRNA di proksimal kolon yang dapat mengawali Intervensi EPEC K1.1 dapat menyebabkan terjadinya diare pada tikus percobaan. Indikator yang digunakan untuk mengetahui terjadinya diare adalah penampakan fisik feses (Gambar 12) dan anus (Gambar 13), serta pengukuran kadar air feses (Gambar 14). Gambar 12. Penampakan feses tikus percobaan

48 Penampakan fisik fesess tikus percobaan pada Gambar 12 menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik (Gambar 12b) memiliki feses yang hitam dan kering seperti feses kelompok tikus kontrol negatif (Gambar 12a). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat memelihara kesehatan saluran pencernaan usus seperti keadaan normal. Kelompok tikus yogurt prebiotik (Gambar 12e) memiliki fesess yang hitam dan kering seperti kelompokk tikus kontrol negatif. Hal ini menunjukkan pemberian yogurt prebiotik juga mampu menjaga kesehatan saluran pencernaan ususs seperti keadaan normal. Sedangkan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (Gambar 12c) memiliki penampakan feses coklat, lembek dan besar seperti feses kelompok tikus kontrol positif (Gambar 12d). Hal ini menunjukkan bahwa tikus yang diintervensi EPEC mengalami diare yang ditunjukkan oleh adanya feses yang coklat dan lembek. Feses tikus yang lembek disebabkan kurangnya penyerapan air pada tikus yang mengalami diare, sehingga air terakumulasi pada feses. Pemberian yogurt sinbiotik kurang mampu mencegah terjadinya serangan EPEC. Selain penampakan fisik feses, penampakan anus tikus percobaan (Gambar 13) juga dapat digunakan sebagai indikator terjadinya diare. Pada Gambar 13 terlihat bahwa kelompok tikus kontrol negatif (Gambar 13a), kelompok tikus yogurt sinbiotik (Gambar 13b), dan kelompok tikus yogurt prebiotik (Gambar 13e) memiliki anus yang normal dan tidak bengkak. Sedangkan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (Gambar 13c) memiliki penampakan fisik anus yang cukup meluas namun tidak bengkak. Kelompok tikus kontrol positif (Gambar 13d) memiliki anus merah dan bengkak yang menunjukkan terjadinya diare. Gambar 13. Penampakan anus tikus percobaan

HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL

HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL SELEKSI ISOLAT INDIGENUS BAKTERI PROBIOTIK UNTUK IMUNOMODULATOR DAN APLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL ANTIDIARE

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Yoghurt merupakan minuman yang dibuat dari susu sapi dengan cara fermentasi oleh mikroorganisme. Yoghurt telah dikenal selama ribuan tahun dan menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Itik merupakan salah satu unggas penting yang diternakkan di Indonesia. Ternak ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dengan produk yang dihasilkannya. Produk yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut yang terdiri atas mulut, hidung, dan kerongkongan. Saluran pencernaan selanjutnya adalah lambung,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kolostrum sapi adalah susu awal hasil sekresi dari kelenjar ambing induk sapi betina selama 1-7 hari setelah proses kelahiran anak sapi (Gopal dan Gill, 2000). Kolostrum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kolostrum sapi adalah susu hasil sekresi dari kelenjar ambing induk sapi betina selama 1-7 hari setelah proses kelahiran anak sapi (Gopal dan Gill, 2000). Kolostrum

Lebih terperinci

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FESES BAYI DAN EVALUASI IN VITRO POTENSI PROBIOTIK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FESES BAYI DAN EVALUASI IN VITRO POTENSI PROBIOTIK ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FESES BAYI DAN EVALUASI IN VITRO POTENSI PROBIOTIK 1. Widodo, S.P., M.Sc., Ph.D. 2. Prof. drh. Widya Asmara, S.U., Ph.D. 3. Tiyas Tono Taufiq, S.Pt, M.Biotech

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang termasuk dalam famili Brassicaceae, tumbuh di daerah yang berhawa sejuk, yaitu pada ketinggian 800-2000 m di atas permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting dalam memantau. rumah tangga yang mengalami masalah kekurangan pangan secara terus

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting dalam memantau. rumah tangga yang mengalami masalah kekurangan pangan secara terus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting dalam memantau rumah tangga yang mengalami masalah kekurangan pangan secara terus menerus. Suryana (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bersifat komplek dan kronis. Terjadinya infeksi atau inflamasi pada penderita DM

BAB I. PENDAHULUAN. bersifat komplek dan kronis. Terjadinya infeksi atau inflamasi pada penderita DM BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik yang bersifat komplek dan kronis. Terjadinya infeksi atau inflamasi pada penderita DM merupakan penyebab

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat

PENDAHULUAN. absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usus halus merupakan organ utama tempat berlangsungnya pencernaan dan absorpsi produk pencernaan. Sepanjang permukaan lumen usus halus terdapat banyak villi. Pada permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogurt adalah pangan fungsional yang menarik minat banyak masyarakat untuk mengkonsumsi dan mengembangkannya. Yogurt yang saat ini banyak dikembangkan berbahan dasar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang memiliki beberapa manfaat salah satunya adalah sebagai probiotik. Hal ini dikarenakan asam - asam organik yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Salah satu pangan fungsional yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Salah satu pangan fungsional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan pengetahuan tentang pangan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan telah meningkatkan minat masyarakat terhadap pangan fungsional. Pangan fungsional

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogurt merupakan produk semi solid yang dibuat dari susu standarisasi dengan penambahan aktivitas simbiosis bakteri asam laktat (BAL), yaitu Streptococcous thermophilus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Volume Usus Besar Pasca Transportasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Volume Usus Besar Pasca Transportasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Volume Usus Besar Pasca Transportasi Rataan volume usus besar ayam broiler pada berbagai perlakuan pasca transportasi disajikan pada Tabel 7. Tabel

Lebih terperinci

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Badan Standarisasi Nasional (1995), es krim adalah jenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung es krim atau dari campuran susu, lemak hewani

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim. Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi kultur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protektif bagi sistem pencernaan, probiotik juga diketahui memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. protektif bagi sistem pencernaan, probiotik juga diketahui memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang jika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup dapat meningkatkan kesehatan tubuh dan saluran pencernaan (FAO/WHO,

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116 EKO FARIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB PENDAHULUAN. Latar Belakang Probiotik merupakan organisme hidup yang mampu memberikan efek yang menguntungkan kesehatan hostnya apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup (FAO/WHO, 200; FAO/WHO, 2002;

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PKM-P. Oleh:

LAPORAN AKHIR PKM-P. Oleh: LAPORAN AKHIR PKM-P Formulasi dan Daya Terima Susu Fermentasi yang Ditambahkan Ganyong (Canna edulis. Kerr) sebagai Minuman Sinbiotik Serta Daya Hambatnya Terhadap Pertumbuhan E.coli. Oleh: Babang Yusup

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kubis putih merupakan bahan pangan yang banyak ditemukan di Indonesia dan sudah tidak asing bagi masyarakat. Kubis putih dapat hidup pada dataran tinggi salah satunya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi tinggi adalah

PENDAHULUAN. Salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi tinggi adalah I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi tinggi adalah daging dan menduduki peringkat teratas sebagai salah satu sumber protein hewani yang paling banyak

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoghurt adalah poduk koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat Lactobacillus bulgaricus dan Strepcoccus thermophilus, dengan atau tanpa

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. pentingnya makanan sehat mengalami peningkatan. Hal ini mendorong timbulnya

BABI PENDAHULUAN. pentingnya makanan sehat mengalami peningkatan. Hal ini mendorong timbulnya BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya jaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat mengalami peningkatan. Hal ini mendorong timbulnya kecenderungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah

I. PENDAHULUAN. Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah I. PENDAHULUAN A. Latar belakang dan Masalah Diversifikasi produk olahan kelapa yang cukup potensial salah satunya adalah pengembangan santan menjadi minuman susu kelapa. Santan kelapa sebagai bahan baku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Produk pangan yang memiliki kandungan gizi dan. kesehatan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi sekaligus

PENDAHULUAN. Latar Belakang Produk pangan yang memiliki kandungan gizi dan. kesehatan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi sekaligus PENDAHULUAN Latar Belakang Produk pangan yang memiliki kandungan gizi dan manfaat kesehatan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi sekaligus mampu menunjang aktivitas manusia. Produksi produk pangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN.. HALAMAN PENGESAHAN.. RIWAYAT HIDUP.. i ABSTRAK... ii ABSTRACT.. iii UCAPAN TERIMAKASIH. iv DAFTAR ISI....... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unggul. Telur itik Mojosari banyak digemari konsumen. Walaupun bentuk badan itik

BAB I PENDAHULUAN. unggul. Telur itik Mojosari banyak digemari konsumen. Walaupun bentuk badan itik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik Mojosari merupakan itik lokal yang berasal dari Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Itik ini merupakan petelur unggul. Telur itik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup adalah bangsa itik yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini sering disebut sebagai itik

Lebih terperinci

STABILITAS BAKTERI PROBIOTIK Lactobacillus acidophilus DAN Bifidobacterium longum DALAM YOGURT SUSU KAMBING DI DALAM SALURAN PENCERNAAN TIKUS

STABILITAS BAKTERI PROBIOTIK Lactobacillus acidophilus DAN Bifidobacterium longum DALAM YOGURT SUSU KAMBING DI DALAM SALURAN PENCERNAAN TIKUS STABILITAS BAKTERI PROBIOTIK Lactobacillus acidophilus DAN Bifidobacterium longum DALAM YOGURT SUSU KAMBING DI DALAM SALURAN PENCERNAAN TIKUS SKRIPSI GINA LESMANA MADUNINGSIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Hasil

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Hasil penelitian Setiawan (2006),

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1

GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1 GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1 SKRIPSI MARGARETA MULATSIH KANDI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pikiran Pangan fungsional mendapat nilai tertinggi kedua berdasarkan hasil penilaian konsumen terhadap pangan berdasarkan kepentingannya (Astawan, 2010),

Lebih terperinci

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM Volume 3 Nomor 2 Tahun 2014

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM Volume 3 Nomor 2 Tahun 2014 Pengaruh Penambahan Bakteri Probiotik yang Dipacu dengan Prebiotik Ubi Jalar Terhadap Penurunan Jumlah Bakteri Shigella dysenteriae Secara In Vitro Safitri Nur Rahmi 1, R. Fx. Saptono Putro 2, Suyana 3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia,

BAB I PENDAHULUAN. Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Allah Subhanahu wa Ta ala menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia, terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari segala ciptaannya. Sekecilkecilnya makhluk ciptaannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Probiotik merupakan organisme hidup yang mampu memberikan efek yang menguntungkan kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup (FAO/WHO,2001) dengan memperbaiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana sebagian besar kematian terjadi akibat komplikasi dehidrasi. Sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. dimana sebagian besar kematian terjadi akibat komplikasi dehidrasi. Sejak tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diare masih merupakan penyebab kematian paling utama pada anak-anak, dimana sebagian besar kematian terjadi akibat komplikasi dehidrasi. Sejak tahun 1978, saat World

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Salah satu produk pangan fungsional yang berkembang saat ini dan baik untuk kesehatan usus adalah produk sinbiotik. Produk sinbiotik merupakan produk yang memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Histologi jaringan usus halus

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Histologi jaringan usus halus HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Histologi jaringan usus halus Kerusakan vili pada usus halus dapat dilihat dari gambaran histologi jaringan usus halus tersebut. Keberadaan vili berpengaruh terhadap penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri

I. PENDAHULUAN. populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam saluran pencernaan unggas khususnya sekum dan tembolok, terdapat populasi mikrobia dengan berbagai ukuran dan kompleksitas. Bakteri tersebut umumnya bersifat fermentatif.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. segar seperti diolah menjadi sosis, nugget, dendeng, kornet dan abon.

PENDAHULUAN. segar seperti diolah menjadi sosis, nugget, dendeng, kornet dan abon. 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya peningkatan konsumsi masyarakat akan daging dan bergesernya pola konsumsi masyarakat dari mengkonsumsi daging segar menjadi daging olahan siap konsumsi menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuatu yang serba instan, praktis, dan efisien. Diantaranya terlihat pada perubahan pola

I. PENDAHULUAN. sesuatu yang serba instan, praktis, dan efisien. Diantaranya terlihat pada perubahan pola I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Situasi terkini pola gaya hidup masyarakat Indonesia cenderung mengarah pada sesuatu yang serba instan, praktis, dan efisien. Diantaranya terlihat pada perubahan pola konsumsi

Lebih terperinci

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2.

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Asam Lemak Bebas Rantai Pendek 3.1.1. Profil Asam Lemak Rantai Pendek (Short-Chain Fatty Acid/SCFA) Tabel 2. Profil analisis kandungan asam lemak rantai pendek/short chain

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diare adalah buang air besar (defekasi) yang berbentuk tinja cair atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Diare adalah buang air besar (defekasi) yang berbentuk tinja cair atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diare adalah buang air besar (defekasi) yang berbentuk tinja cair atau setengah cair dengan kandungan air tinja lebih dari 200ml perhari atau buang air besar (defekasi)

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. masyarakat menengah ke bawah, serta cukup tersedia di pasaran (Murtidjo, 2003).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. masyarakat menengah ke bawah, serta cukup tersedia di pasaran (Murtidjo, 2003). 9 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Ayam Broiler Ayam broiler merupakan jenis ternak yang banyak dikembangkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan protein hewani dan merupakan ternak yang paling cepat pertumbuhannya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian yang dilakukan oleh WHO (2013). Di Indonesia sendiri, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi yaitu 28%.

BAB 1 PENDAHULUAN. penelitian yang dilakukan oleh WHO (2013). Di Indonesia sendiri, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi yaitu 28%. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia kini menjadi masalah kesehatan serius yang terjadi di hampir seluruh Negara di dunia, baik di Negara yang tergolong berkembang maupun yang tergolong ke dalam

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. METODE PENELITIAN Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. Pengujian probiotik secara in vivo pada tikus percobaan yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik dapat disebut sebagai sinbiotik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik dapat disebut sebagai sinbiotik 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minuman Sinbiotik Kombinasi antara probiotik dan prebiotik dapat disebut sebagai sinbiotik atau eubiotik (Gourbeyre et al., 2010). Sinbiotik atau eubiotik adalah salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Margolles et al. (2009), sumber terbaik untuk isolasi probiotik

I. PENDAHULUAN. Menurut Margolles et al. (2009), sumber terbaik untuk isolasi probiotik I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Probiotik pada awalnya dikemukakan oleh ilmuwan Rusia Elie Metchnikoff pada tahun 1907. Perkembangan selanjutnya mulai diperkenalkan konsep probiotik oleh Fuller (1989)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unik: sepertiga spesies bakteri dalam mulut terdapat di lidah.1

BAB I PENDAHULUAN. unik: sepertiga spesies bakteri dalam mulut terdapat di lidah.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rongga mulut merupakan habitat yang menyediakan keragaman spesies mikroba, diperkirakan terdapat lebih dari 1000 spesies bakteri yang ada di rongga mulut. Dorsum lidah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berkhasiat bagi kesehatan (pangan fungsional). atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi

BAB I PENDAHULUAN. yang berkhasiat bagi kesehatan (pangan fungsional). atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat semakin menyadari bahwa fungsi pangan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh, tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat sangat memperhatikan pentingnya pengaruh makanan dan minuman terhadap kesehatan, sehingga memicu berkembangnya produk-produk pangan yang memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Broiler merupakan unggas penghasil daging sebagai sumber protein hewani yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan daging

Lebih terperinci

Agustina Intan Niken Tari, Catur Budi Handayani, Sudarmi. ABSTRAK

Agustina Intan Niken Tari, Catur Budi Handayani, Sudarmi.   ABSTRAK POTENSI PROBIOTIK INDIGENUS Lactobacillus plantarum Dad 13 PADA YOGURT DENGAN SUPLEMENTASI EKSTRAK UBI JALAR UNGU UNTUK PENURUN DIARE DAN RADIKAL BEBAS Lactobacillus plantarum Agustina Intan Niken Tari,

Lebih terperinci

Hightlight LIPROLAC. Kemasan Liprolac 2,5 g

Hightlight LIPROLAC. Kemasan Liprolac 2,5 g Hightlight LIPROLAC Liprolac merupakan produk yang mengandung kombinasi dari 5 jenis spesies dari probiotik hidup dan FOS (fruktooligosakarida) sebagai prebiotik. Kombinasi spesies probiotik dalam Liprolac

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Regulasi prebiotik dan probiotik Regulasi pangan fungsional yang mengatur probiotik, prebiotik dan sinbiotik yang berlaku di Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, Australia dan Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah yang salah satunya disebabkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PEMBUATAN FORMULA YOGURT SINBIOTIK DAN PENGUKURAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI YOGURT SINBIOTIK Pembuatan yogurt sinbiotik dilakukan terhadap 4 formula berdasarkan kombinasi kultur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Dendrocalamus asper) dan bambu legi (Gigantochloa ater). Keunggulan dari

I. PENDAHULUAN. (Dendrocalamus asper) dan bambu legi (Gigantochloa ater). Keunggulan dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rebung merupakan salah satu bahan makanan yang cukup populer di masyarakat. Rebung pada pemanfaatannya biasa digunakan dalam kuliner atau makanan tradisional masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi

I. PENDAHULUAN. nilai gizi yang sempurna ini merupakan medium yang sangat baik bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi. Hampir semua zat yang dibutuhkan oleh tubuh kita terdapat dalam susu. Susunan nilai gizi yang sempurna ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak abad II sebelum Masehi susu kedelai sudah dibuat di negara Cina, dan kemudian berkembang ke Jepang. Setelah Perang Dunia II baru berkembang ke Asia Tenggara.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami. yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini

I. PENDAHULUAN. Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami. yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara alami hewan ternak, khususnya itik memiliki kekebalan alami yang berfungsi menjaga kesehatan tubuhnya. Kekebalan alami ini terbentuk antara lain disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Uji Ketahanan Lactobacillus plantarum Terhadap Asam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Uji Ketahanan Lactobacillus plantarum Terhadap Asam 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Ketahanan Lactobacillus plantarum Terhadap Asam Bakteri asam laktat yang digunakan sebagai kultur probiotik umumnya diberikan melalui sistem pangan. Untuk itu bakteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan perhatian lebih dibandingkan permasalahan kesehatan lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan perhatian lebih dibandingkan permasalahan kesehatan lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah gizi merupakan masalah kompleks yang masih mendapatkan perhatian lebih dibandingkan permasalahan kesehatan lainnya. Persoalan gizi yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2013 menunjukkan urutan pertama pasien

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2013 menunjukkan urutan pertama pasien BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut di Indonesia merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari tenaga kesehatan. Data Riskesdas 2013 menunjukkan 25,9% penduduk Indonesia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Toleransi Isolat Bakteri Asam Laktat asal Daging pada ph Lambung dan ph Usus

HASIL DAN PEMBAHASAN Toleransi Isolat Bakteri Asam Laktat asal Daging pada ph Lambung dan ph Usus HASIL DAN PEMBAHASAN Toleransi Isolat Bakteri Asam Laktat asal Daging pada ph Lambung dan ph Usus Menurut Havenaar et al. (1992), dalam pengembangan galur probiotik baru, perlu dilakukan seleksi secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dewasa diperkirakan sekitar 0.1% dari total populasi bakteri. Populasi BAL,

I. PENDAHULUAN. manusia dewasa diperkirakan sekitar 0.1% dari total populasi bakteri. Populasi BAL, I. PENDAHULUAN Bakteri asam laktat (BAL) adalah salah satu mikroorganisme utama dalam saluran pencernaan manusia normal. Populasinya di dalam saluran pencernaan manusia dewasa diperkirakan sekitar 0.1%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010).

I. PENDAHULUAN. mineral, serta antosianin (Suzuki, dkk., 2004). antikanker, dan antiatherogenik (Indrasari dkk., 2010). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beras adalah salah satu jenis sereal yang dikonsumsi hampir satu setengah populasi manusia dan kira-kira 95% diproduksi di Asia (Bhattacharjee, dkk., 2002). Terdapat beberapa

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Fermentasi Acar Kubis Putih

4. PEMBAHASAN Fermentasi Acar Kubis Putih 4. PEMBAHASAN 4.1. Fermentasi Acar Kubis Putih Fermentasi merupakan salah satu metode untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan pangan. Ketika fermentasi berlangsung, kandungan gula sangat dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah 5 tahun tapi ada beberapa daerah dengan episode 6-8 kali/tahun/anak. 1 Hasil

BAB I PENDAHULUAN. bawah 5 tahun tapi ada beberapa daerah dengan episode 6-8 kali/tahun/anak. 1 Hasil BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Diare akut merupakan masalah utama kesehatan anak di seluruh dunia. Di negara berkembang rata-rata 3 episode per anak per tahun pada anak berusia di bawah 5 tahun tapi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Yoghurt adalah salah satu produk olahan pangan bersifat probiotik yang

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. Yoghurt adalah salah satu produk olahan pangan bersifat probiotik yang I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

tumbuhan (nabati). Ayam broiler merupakan salah satu produk pangan sumber

tumbuhan (nabati). Ayam broiler merupakan salah satu produk pangan sumber I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya zaman, peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat, kebutuhan produk pangan sumber protein terus meningkat. Produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia berkembang pesat dengan kemajuan tekhnologi hingga saat ini. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang pesat tersebut diikuti pula dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009) TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti

Lebih terperinci

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR

PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR TUGAS AKHIR PEMBUATAN YOGHURT SUSU SAPI DENGAN BANTUAN MIKROORGANISME DALAM PLAIN YOGHURT MENGGUNAKAN ALAT FERMENTOR (MANUFACTURE OF COW S MILK YOGHURT WITH THE HELP OF MICROORGANISMS IN PLAIN YOGHURT

Lebih terperinci

PROFIL MIKROFLORA FESES DAN USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN KONSUMSI DAGING YANG DIFERMENTASI OLEH Lactobacillus plantarum

PROFIL MIKROFLORA FESES DAN USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN KONSUMSI DAGING YANG DIFERMENTASI OLEH Lactobacillus plantarum PROFIL MIKROFLORA FESES DAN USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DENGAN KONSUMSI DAGING YANG DIFERMENTASI OLEH Lactobacillus plantarum SKRIPSI WIDIMARTANI ARUM PERTIWI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteri asam laktat yang digunakan merupakan hasil isolasi dari susu sapi segar dan produk olahannya. Bakteri asam laktat indigenous susu sapi segar dan produk olahannya ini berpotensi

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR SILVI DIANA SHOFI L0C

TUGAS AKHIR SILVI DIANA SHOFI L0C TUGAS AKHIR Pengaruh Suhu dan ph Dalam Pembuatan Minuman Probiotik Sari Buah Nanas (Ananas Comosus) Dengan Starter Lactobacillus Bulgaricus Menggunakan Alat Fermentor ( The Influence of Temperature and

Lebih terperinci

Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional

Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II TAHUN 2009 Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi bahan pangan yang

BAB I. Pendahuluan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi bahan pangan yang 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi bahan pangan yang bermanfaat bagi kesehatan mendorong berbagai inovasi pengolahan produk pangan, salah satunya poduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal.

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tubuh secara alami merupakan tempat berkoloninya kompleks mikroorganisme, terutama bakteri. Bakteri-bakteri ini secara umum tidak berbahaya dan ditemukan di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok II. TINJAUAN PUSTAKA A. Usus Itik Semua saluran pencernaan hewan dapat disebut sebagai tabung dari mulut sampai anus, yang memiliki fungsi untuk mencerna, mengabsorbsi, dan mengeluarkan sisa makanan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan antara bangsa-bangsa sapi asli Indonesia (Jawa dan Madura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di Indonesia produk pangan hasil fermentasi semakin meningkat seiring berkembangnya bioteknologi. Hasil olahan fermentasi yang sudah banyak diketahui oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Probiotik merupakan organisme hidup yang mampu memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inangnya apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup (FAO/WHO, 2001;

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Produk probiotik diharapkan mengandung sel probiotik hidup dalam jumlah tertentu, namun aktivitas metabolismenya diharapkan tidak menyebabkan perubahan pada produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata Kadar Kolesterol Daging pada Ayam Broiler Ulangan

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata Kadar Kolesterol Daging pada Ayam Broiler Ulangan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Susu Sapi, Kedelai Fermentasi dan Kombinasinya Terhadap Kolesterol Daging Ayam Broiler. Hasil pengatamatan kadar kolesterol daging pada ayam broiler pada penelitian

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan hasil penelitian pengaruh pemberian bakteri asam laktat dalam air minum terhadap konsumsi air minum dan ransum dan rataan pengaruh pemberian bakteri asam laktat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang aman dan beberapa spesies digunakan sebagai terapi dalam proses

BAB I PENDAHULUAN. yang aman dan beberapa spesies digunakan sebagai terapi dalam proses 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan bakteri asam laktat di dunia pangan dan kesehatan sudah banyak diaplikasikan. Dalam pengolahan pangan, bakteri ini telah lama dikenal dan digunakan, yaitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Konfirmasi Kultur Starter BAL Indigenous Dadiah dan Bakteri Patogen Indikator

HASIL DAN PEMBAHASAN Konfirmasi Kultur Starter BAL Indigenous Dadiah dan Bakteri Patogen Indikator HASIL DAN PEMBAHASAN Konfirmasi Kultur Starter BAL Indigenous Dadiah dan Bakteri Patogen Indikator Pemeriksaan terhadap kultur starter sebelum diolah menjadi suatu produk sangatlah penting. Hal ini bertujuan

Lebih terperinci