DETEKSI ANTIGEN VIRUS RABIES PADA JARINGAN OTAK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DETEKSI ANTIGEN VIRUS RABIES PADA JARINGAN OTAK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA"

Transkripsi

1 DETEKSI ANTIGEN VIRUS RABIES PADA JARINGAN OTAK DENGAN METODE IMUNOHISTOKIMIA (The Detection of Viral Antigen of Rabies in Brain Tissues by Immunohistochemical Technique) RINI DAMAYANTI 1, ALFINUS 2, I. RAHMADANI 3 dan FAISAL 4 1 Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor Balai Besar Veteriner Maros, Jl. Sam Ratulangi, Kabupaten Maros BPPV Regional II, Jl. Raya Bukittinggi-Payakumbuh Km. 14, Bukittinggi 4 BPPV Regional I, Jl. Jendral Gatot Subroto No. 255 A, Medan ABSTRACT A number of 46 rabies suspected brain tissues were used in this study. They were collected from BBV Maros (16 samples), BPPV Regional I Medan (8 samples), and BPPV Regional II Bukittinggi (22 samples). The tissues were fixed in Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% and had been processed as paraffin block using standard method. The tissues were cut 3 µm and stained with immunohistochemical (IHC) method using streptavidin-biotin peroxidase technique and the viral antigen was visualized with a substrate called 3- amino-9-ethyl carbazole (AEC). The study showed that 28 of 46 samples (60.9%) were diagnosed as positive rabies by immunohistochemistry. If it was compared to the standard method for rabies, Fluorescent Antibody Technique (FAT), the relative sensitivity and specificity for IHC was 66.7% and 77.8% respectively. Key Words: Rabies, Brain Tissues, Immunohistochemistry (IHC), Sensitivity, Specificity, FAT ABSTRAK Sejumlah 46 organ otak yang diduga terinfeksi rabies telah dipakai dalam penelitian ini. Sampel tersebut berasal dari BBV Maros (16 buah), BPPV Regional I Medan (8 buah), dan BPPV Regional II Bukittinggi (22 buah). Organ otak tersebut difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan telah diproses sebagai blok paraffin dengan metode standar. Jaringan otak dipotong 3 µm dan diwarnai secara imunohistokimiawi (IHK) dengan metode streptavidin-biotin peroksidase dan antigen divisualisasikan dengan substrat amino-ethyl carbazole (AEC). Sebanyak 28 dari 46 sampel tersebut (60,9%) dinyatakan positif dengan teknik IHK. Apabila hasil tersebut dibandingkan dengan metode standar untuk rabies yaitu Fluorescent Antibody Technique (FAT) maka sensitifitas dan spesifisitas relatif untuk IHK yaitu 66,7% dan 77,8%. Kata Kunci: Rabies, Organ Otak, Imunohistokimia, Sensitifitas, Spesifisitas, Fat PENDAHULUAN Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi orang yang terpapar. Penyakit rabies tersebar luas di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Hal lain yang membuat penyakit rabies ini sangat penting adalah kenyataan bahwa selain bersifat fatal, penyakit ini penyebarannya di Indonesia makin lama cenderung meluas karena ada pulau yang sebelumnya bebas menjadi tertular (SOEJOEDONO, 2005). Sementara itu menurut SK Menteri Pertanian tahun No 892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dinyatakan sebagai daerah bebas rabies. Pada akhir tahun 1997 wabah rabies terjadi di Flores Timur karena disinyalir terdapat pemasukan anjing dari pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pada tahun

2 berdasarkan SK Menteri Pertanian No 566/Kpts/PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten dinyatakan sebagai daerah bebas rabies (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2006). Berhubung terdapat kasus rabies di Flores pada tahun 1997, Maluku pada tahun 2003 (ADJID et al., 2005) dan Kalimantan Barat pada tahun 2005 (KALIANDA et al., 2005) maka sampai tahun 2005 daerah bebas rabies di Indonesia hanya meliputi Jawa, Bali, NTB dan Papua. Namun kenyataan terkini menyebutkan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor , 1 Desember 2008 maka Bali dinyatakan terjangkit wabah rabies di Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Selain itu Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1696, tanggal 12 Desember 2008 menetapkan Propiinsi Bali sebagai Kawasan Karantina Penyakit anjing gila/rabies (KEPMENTAN, 2008). Data menunjukkan bahwa rabies masih bersifat endemis di sebagian besar wilayah Indonesia. Di Jawa Barat terdapat 6 kasus (BBV Wates, Jogjakarta, 2006), 91 kasus rabies di Sumatera Utara dan Aceh (BPPV Regional I Medan, 2007), 214 kasus di Sumatrea Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi (BPPV Regional II, 2007), 39 kasus di Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan (BPPV Regional III, 2004), 37 kasus di Kalimantan Selatan, Tengah, Timur dan Barat (BPPV Regional V Banjarbaru, 2007), 26 kasus di Nusa Tenggara Timur (BBV Denpasar, 2007), dan 98 kasus di Gorontalo, Sulawesi Barat, Tenggara dan Selatan (BBV Maros, 2007). Rabies menyerang induk semang berdarah panas, termasuk manusia dan meskipun semua mamalia tergolong hewan peka terhadap rabies namun hanya beberapa spesies saja yang berperan sebagai reservoir penting (CENTER FOR DESEASE CONTROL, 2003). Penularan terjadi melalui air liur yang berasal dari hewan yang terinfeksi rabies, dapat melalui kontaminasi mukosa selaput lendir pada mata, hidung dan mulut namun yang paling sering terjadi yaitu melalui gigitan hewan yang terinfeksi (KING, 1992). Penyakit rabies disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae (CLIQUET dan MEYER, 2004). Virus bersifat single stranded, merupakan RNA tidak bersegmen dan terbungkus dalam nukleokapsid protein (AUSVETPLAN, 1996). Patogenesis penyakit menunjukkan bahwa setelah terjadi gigitan dari hewan yang terinfeksi maka virus rabies menjalar dari susunan syaraf perifer ke susunan syaraf pusat. Virus Rabies dapat bertahan 1-13 hari pada air liurnya sebelum hewan tersebut menunjukkan gejala klinis (BOGEL, 1987). Rabies menimbulkan gejala klinis berupa kelainan syaraf, antara lain demam, gerakan tidak terkontrol, kekakuan pada otot leher, hipersalivasi, hydrophobia, kejang, tremor, paralisis dan kemudian terjadi kematian. Berhubung gambaran pasca mati tidak patognomonik maka konfirmasi diagnosis harus melalui uji laboratorium. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi antigen virus rabies pada preparat histopatologi yang berupa blok parafin dengan metode imunohistokimia. Hal ini dilakukan karena dengan metode pewarnaan konvensional H&E atau pewarnaan Seller's partikel virus yang biasa disebut dengan Negri body, sangat sulit untuk dideteksi. Selain itu untuk mengetahui seberapa jauh angka sensitifitas dan spesifisitas relatif dari IHK terhadap FAT karena dalam penelitian ini hasil uji IHK dibandingkan dengan metode standar untuk rabies yaitu FAT (OIE, 2000). MATERI DAN METODE Sampel berupa blok parafin Sejumlah 46 organ otak yang diduga terinfeksi rabies telah dipakai dalam penelitian ini. Sampel tersebut berasal dari BBV Maros (16 buah), BPPV Regional I Medan (8 buah), dan BPPV Regional II Bukittinggi (22 buah). Organ otak tersebut dipotong setebal 0,5 cm dan difiksasi dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% dan telah diproses sebagai blok paraffin dengan metode standar. Blok tersebut selanjutnya dipotong 3 µm dengan alat mikrotom untuk diproses sebagai preparat histopatologi. Sebagai kontrol positif dipakai blok parafin yang berisi organ otak positif terinfeksi rabies dan untuk kontrol negatif dipakai blok parafin yang berisi organ otak yang tidak terinfeksi rabies. 708

3 Fluorescent Antibody Technique (FAT) Organ otak segar atau yang sudah difiksasi dalam larutan gliserin dan buffer saline atau NaCl 50%, dicuci dan digerus lalu dibuat preparat ulas sesuai metode standar (DEAN et al., 1996). Preparat yang diduga mengandung antigen rabies diberi antibodi yang sudah dilabel dengan suatu konjugat, yang paling sering dipakai yaitu fluorescein iso-thiocyanate (FITC) dan diamati dengan bantuan mikroskop fluorescent di ruang gelap. Sampel dinyatakan sebagai positif rabies apabila pada preparat ditemukan titik yang berwarna terang atau terlihat berpendar seperti bintang berwarna kuning emas kehijauan pada lokasi intra sitoplasmik atau nukleus (DEAN et al., 1996). Metode FAT ini dilakukan oleh BBV Maros, BPPV Regional I Medan dan BPPV Regional II Bukittinggi. Antisera terhadap virus rabies Antisera yang berupa poliklonal sera pada penelitian ini berfungsi sebagai antibodi primer untuk pewarnaan imunohistokimia dan disiapkan oleh BBV Maros. Antisera terhadap virus rabies tersebut diproduksi pada kelinci yang selanjutnya akan dipakai sebagai reagen utama pada pewarnaan imunohistokimia untuk mendeteksi antigen virus rabies pada jaringan yang diduga terinfeksi rabies. Antisera terhadap virus rabies ini diproduksi pada kelinci dewasa dengan cara menyuntikkan vaksin rabies (Rabisin, Romindo) sebanyak 1 ml secara sub-kutan. Suntikan kedua dilakukan setelah dua minggu dan suntikan ketiga dilakukan satu minggu kemudian dengan dosis dan rute yang sama. Antisera dipanen satu minggu kemudian. Sebagai kontrol negatif dipakai antisera kelinci yang disuntik dengan larutan PBS ph 7,4. Selain menggunakan poliklonal sera sebagai antibodi primer, dapat juga dipakai monoklonal sera yang dapat diperoleh secara komersial namun tentu saja dengan harga yang relatif mahal. Pewarnaan imunohistokimia dengan metode avidin biotin peroksidase Pewarnaan imunohistokimia (IHK) pada penelitian ini mengacu pada metode yang dikembangkan oleh HSU et al. (1981), dengan menggunakan metode avidin biotin peroxidase complex (ABC). Dalam penelitian ini dipakai kit komersial (LSAB-2 System peroxidase universal kit, DAKO, No. K 0672, Denmark). Pada prinsipnya, preparat histopatologi (HP) diaplikasikan dengan antisera terhadap virus rabies yang sudah distandardisasi sebelumnya melalui metode checkerboard titration. Antisera rabies yang berupa poliklonal sera diaplikasikan dengan konsentrasi 1 : 100 dan selanjutnya diberi antibodi sekunder yang sudah dilabel dengan biotin/biotiylated secondary antibody (DAKO, Denmark). Setelah itu streptavidin peroksidase (DAKO, Denmark) diaplikasikan dan untuk memvisualisasikan antigen yang terdapat pada preparat HP maka ditambahkan substrat amino ethyl carbazole (AEC) yang berwarna coklat (SIGMA CHEM. CO, USA). Preparat dinyatakan positif mengandung antigen virus rabies apabila antigen dapat dideteksi secara definitif pada area intrasitoplasmik (di dalam sitoplasma sel neuron). Substrat yang dipakai yaitu AEC yang berwarna merah kecoklatan sehingga antigen juga berwarna merah kecoklatan, dengan latar belakang area berwarna biru yang berasal dari warna hematoksilin. Sebaliknya preparat dinyatakan negatif jika pada preparat tidak dapat dideteksi warna coklat kemerahan pada sel definitif sehingga preparat secara difus tampak hanya berwarna biru saja. Pewarnaan IHK pada penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet), Bogor. Penentuan spesifisitas dan sensitifitas Spesifisitas merupakan proporsi dari hewan sehat dalam suatu populasi yang dinyatakan dengan hasil uji negatif sedangkan sensitifitas yaitu proporsi dari hewan sakit dalam suatu populasi yang dinyatakan dengan hasil uji positif (OIE, 2000). Angka (%) spesifisitas dan sensitifitas dapat diketahui dengan perhitungan menurut OIE (2000) sebagai berikut: T positif Sensitifitas = T positif + F negatif 709

4 T negatif Spesitifitas = T negatif + F positif dimana: T positif : jumlah hewan sakit yang memberikan hasil postif dengan suatu metode uji F positif : jumlah hewan sehat yang memberikan hasil positif dengan suatu metode uji F negatif : jumlah hewan sakit yang menghasilkan hasil uji negatif dengan suatu metode uji T negatif : jumlah hewan sehat yang menghasilkan hasil uji negatif dengan suatu metode uji Di dalam penelitian ini pengujian IHK dibandingkan sensitifitas dan spesifisitasnya dengan pengujian FAT, yang merupakan golden standard untuk diagnosis rabies (OIE, 2000) sehingga diperoleh angka sensitifitas dan spesifisitas relatif untuk IHK terhadap FAT. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pewarnaan IHK ternyata menunjukkan bahwa sebanyak 28 dari 46 sampel (60,9%) dinyatakan positif rabies (Tabel 1). Selain hasil pewarnaan IHK tersebut maka pada Tabel 1 dapat pula dilihat hasil dari pengujian lain yaitu FAT, yang merupakan golden standard untuk diagnosis rabies (OIE, 2000). Hasil pengujian FAT menunjukkan 33 dari 42 sampel (78,6%) positif rabies. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 kita dapat melihat sejauh mana sensitifitas relatif dan spesifisitas relatif dari pengujian IHK jika FAT dianggap sebagai golden standard untuk diagnosis rabies (OIE, 2000). Dari kedua tabel tersebut ternyata sensitifitas dan spesifisitas untuk IHK cukup baik yaitu masing masing 66,7 dan 77,8%. Tabel 1. Hasil pemeriksaan rabies dengan metoda imunohistokimia No. spesimen Jenis hewan Umur Seks Asal hewan FAT IHK 512/05 Anjing Dewasa - Pangkep TD Positif (+++) 81/06 Anjing 2 tahun Kendari Positif Negatif 84/06 Anjing - - Tator Positif Positif (+++) 96/06 Anjing - - Maros TD Positif (++) 97/06 Anjing 1 tahun NTT Negatif Negatif 101/06 Anjing - Tator Positif Negatif 106/06 Anjing - NTT Negatif Positif (+++) 119/06 Anjing - - Tator Negatif Negatif 133/06 Anjing 4 tahun - TD Positif (+++) 134/06 Anjing - - Manado Positif Negatif 135/06 Anjing - Manado Positif Positif (+++) 136/06 Anjing - Tator Positif Negatif 138/06 Anjing - Tator Positif Negatif 139/06 Anjing - NTT Positif Negatif 142/06 Anjing 1 tahun - Maros TD Positif (++) 152/06 Anjing - - NTT Positif Positif (++) 89/06 Anjing 1.8 tahun Medan Positif Positif (+++) 91/06 Anjing 5 tahun Medan Positif Positif (+++) 290/06 Anjing 10 bulan Medan Positif Positif 357/06 Anjing 2 bulan Medan Positif Negatif 367/06 Anjing 6 bulan Medan Negatif Positif 710

5 Tabel 1. (lanjutan) 403/06 Anjing 2 tahun Medan Positif Negatif 462/06 Anjing 2 tahun Medan Positif Positif 494/06 Anjing 4 bulan Medan Positif Negatif 70/06 Anjing 2 tahun Solok Positif Positif (+) 76/06 Anjing 3 tahun Solok Positif Positif (+) 81/06 Anjing Anak Padang Positif Positif (+) 146/06 Anjing 3 tahun Solok Negatif Negatif 150/06 Anjing Anak Agam Positif Positif (++) 155/06 Anjing 1 tahun Agam Positif Positif (+++) 166/06 Anjing 2 tahun 50 Kota Positif Positif (++) 176/06 Anjing 4 bulan 50 Kota Positif Positif (++) No. Spesimen Jenis Hewan Umur Seks Asal FAT IHK 177/06 Anjing Anak 50 Kota Positif Positif (+++) 178/06 Anjing 5 bulan Padang Positif Positif (+) 181/06 Anjing Dewasa Agam Positif Positif (+) 187/06 Anjing Dewasa Solok Negatif Negatif 225/06 Anjing 5 bulan T.Datar Positif Negatif (lysis) 234/06 Anjing Dewasa B.tinggi Positif Positif (+++) 240/06 Anjing Dewasa - Pasaman Negatif Negatif 241/06 Anjing Dewasa - Padang Positif Positif (+) 244/06 Berang2 Dewasa - B.tinggi Negatif Negatif 274/06 Anjing 3 bulan - B.tinggi Positif Positif (+++) 275/06 Anjing - T.Datar Positif Positif (+++) 276/06 Anjing Dewasa Padang Negatif (lysis) Negatif (lysis) 283/06 Anjing Anak T.Datar Positif Positif (+++) 284/06 Anjing 8 bulan 50 Kota Positif Negatif (lysis) Spesimen nomor 1-16 dari BBV Maros; Spesimen nomor dari BPPV Regional I Medan; Spesimen nomor dari BPPV Regional II Bukittinggi; : Tidak ada data; TD: Uji tidak dilakukan; +: Positif lemah; ++: Positif sedang; +++ : Positif kuat Tabel 2. Jumlah sampel yang positif FAT dan IHK No. FAT IHK + - Jumlah Jumlah Total sample pada Tabel 1: 46; Total sampel FAT yang tidak dikerjakan: 4; Total sampel FAT yang dikerjakan: 42 Tabel 3. Perbandingan sensitifitas dan spesifisitas relatif IHK terhadap FAT Metode Sensitifitas (%) Spesifisitas (%) FAT IHK 66,7 77,8 Sensitifitas FAT : X 100% = 100% Sensitifitas relatif IHK terhadap FAT: 22 X 100% = 66,7%

6 Sensitifitas FAT: X 100% = 100% Sensitifitas relatif IHK terhadap FAT: 7 X 100% = 77,8% Baik pengujian FAT maupun IHK mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hasil penelitian ini uji FAT dianggap sebagai golden standard untuk diagnosis rabies karena terbukti paling sensitif dan akurat dalam mendeteksi hewan yang terinfeksi rabies (OIE, 2000). Kendalanya pemeriksaan harus dilakukan pada preparat segar atau yang sudah difiksasi dalam larutan gliserin dan NaCl 50%, sebelum organ mengalami autolisis (OIE, 2000). Pemeriksaan hasil uji FAT hanya dapat dilakukan dengan mikroskop fluoresent dan hasil pengujian FAT hanya bersifat sementara (tidak permanen). Selain FAT dan IHK, dikenal pula pewarnaan Selller's yang tergolong uji yang sangat praktis dan cepat tetapi sensifitasnya tergolong rendah (ANJARIA dan JHALA, 1985) dan pemeriksaan hanya dapat dilakukan dengan mikroskop perbesaran tinggi (100 x dengan bantuan minyak emersi). Pada pewarnaan Seller s, Negri body tidak mudah ditemukan, perlu ketelitian sangat tinggi karena Negri body hanya terdapat dalam jumlah sangat sedikit (satu atau dua buah per preparat). Selain itu hasil pewarnaan ini tidak permanen dan sediaan preparat ini tidak dapat melukiskan derajat keparahan dan distribusi lesi pada otak. Selain pewarnaan Seller s, pewarnaan konvensional hematoksilin dan eosin (H&E) dapat juga dilakukan. Meskipun teknik ini tergolong mudah dan cepat tetapi pewarnaan H&E ini juga kurang akurat dalam mendeteksi partikel virus (Negri body) yang berukuran sangat kecil (LEPINE dan ATANASIU, 1996). Gambar 1A dan B memperlihatkan pewarnaan H & E pada otak yang terinfeksi Rabies tetapi Negri body cukup sulit untuk dideteksi dan diperlukan ketelitian yang tinggi. Negri body biasanya hanya akan ditemukan pada neuron yang terdapat pada area hipokampus saja, dan cukup sulit untuk dideteksi karena dengan pewarnaan H & E, sel neuron intinya berwarna biru, sitoplasma berwarna merah jambu, sedangkan Negri body pada sitoplasma berwana merah muda. Seperti halnya pada pewarnaan Seller's, pada pewarnaan H & E ini diperlukan ketelitian sangat tinggi untuk mendeteksi Negri body (jumlahnya satu-dua buah per preparat), seperti tampak pada Gambar 1C. A 712

7 B C Gambar 1. A: Otak besar dengan area hipokampus yang terdiri atas sel-sel neuron; B: Hipokampus pada otak. Inti sel neuron berwarna biru dan sitoplasma berwarna merah jambu. Negri Body Rabies yang berwarna merah eosinofilik terletak pada sitoplasma sel neuron; C: Negri body pada area sitoplasma sel neuron di bagian hipokampus otak. (lihat tanda panah). Pewarnaan H & E Namun disamping keterbatasan tersebut, pewarnaan H & E memiliki beberapa keuntungan dalam mendeteksi rabies karena sampel berupa blok parafin atau organ otak yang sudah difiksasi dalam larutan BNF 10% yang tahan lama sehingga dapat dilakukan pengujian secara retrospektif. Selain itu derajat keparahan lesi dan distribusi lesi dapat terlihat dengan jelas. Menurut OIE (2000) secara histopatologis, pewarnaan imunohistokimia (IHK) yang berdasarkan pada reaksi antigen-antibodi 713

8 kompleks, merupakan satu-satunya uji yang dapat diandalkan untuk rabies. Pada metode IHK jika jaringan organ yang mengandung partikel antigen (virus rabies) direaksikan dengan antisera anti virus rabies maka antigen tersebut dapat dideteksi dan divisualisasikan dengan pewarna/substrat/kromagen tertentu, misalnya di amino benzidine (DAB) yang berwarna coklat atau amino ethyl carbazole (AEC) yang berwarna merah kecoklatan (VAN NOORDEN, 1986). Pada penelitian ini hasil IHK sangat mudah dideteksi bahkan pada perbesaran kecil (10 atau 20 x) pada mikroskop biasa karena partikel virus berupa Negri body berwarna merah kecoklatan (dari AEC) sedangkan latar belakang (sel neuron dan jaringan di sekitarnya) berwarna biru dari hematoksilin (Gambar 2). Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pewarnaan IHK dapat mendeteksi Negri body dengan sangat mudah dan partikel virus (Negri body) dapat dideteksi dalam berbagai bentuk dan ukuran dan dalam jumlah besar yaitu 5 20 (atau lebih) buah per sel neuron (dalam satu lapang pandangan terdapat puluhan sel neuron). Hasil visualisasi Negri body yang menakjubkan ini juga dialami oleh SUJA et al. (2004) pada otak fox dan JOGAI et al. (2000) pada kasus rabies pada manusia. Lagipula, jika pada pewarnaan H&E area yang paling tepat untuk mencari Negri body hanya pada daerah hipokampus maka dengan IHK Negri body dapat ditemukan di setiap sitoplasma sel neuron dari bagian otak mana saja. Menurut ANJARIA dan JHALA (1985) dan MOMOTANI (1994) teknik imunohistokimia ini mempunyai banyak keunggulan yaitu: dapat mendeteksi antigen pada jaringan dengan akurat, preparat dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop biasa (bukan mikroskop elektron atau mikroskop fluoresens), hasil permanen hingga beberapa bulan, dapat dipakai untuk studi retrospektif dan untuk mempelajari patogenesis penyakit (predileksi antigen pada jaringan, kerusakan/lesi yang ditimbulkan antigen, derajat keparahan lesi). Selain itu pewarnaan IHK untuk penyakit rabies merupakan teknik uji yang tergolong cepat, aman, sensitif dan spesifik (JOGAI et al., 2000). Gambar 2. Otak besar dengan inti sel neuron berwarna biru tua dan sitoplasma biru muda. Pada area intra sitoplasmik banyak dideteksi Negri Body berwarna merah dengan berbagai bentuk dan ukuran. Pewarnaan IHK 714

9 Gambar 3. Negri Body dalam area intra sitoplasmik sel neuron, berwarna merah kecoklatan, dalam berbagai bentuk dan ukuran. Di dalam satu sel neuron dapat dideteksi lebih dari 20 buah Negri Body. Pewarnaan IHK Literatur terkini (DUUR et al., 2008) menyebutkan bahwa telah dikembangkan metode baru yang disinyalir sangat cocok untuk negara berkembang yaitu direct rapid immunohistochemical test (drit) yang mempunyai prinsip seperti IHK tetapi sampel yang diuji bukan berupa preparat organ otak melainkan preparat sentuh yang berasal dari organ otak. Keuntungannya yaitu jauh lebih praktis dan cepat jika dibandingkan dengan IHK namun tentu saja diperlukan kehatiahatian pada saat pengambilan sampel preparat sentuh karena kita langsung berhadapan dengan sumber/agen infeksius. Indonesia sebaiknya juga segera melakukan penelitian dan meninjau kelayakan uji tersebut untuk digunakan di laboratorium yang menangani sampel rabies. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebanyak 28 dari 46 sampel (60,9%) dinyatakan positif rabies dengan pewarnaan IHK dan dengan pengujian FAT, yang merupakan golden standard untuk diagnosis rabies, menunjukkan 33 dari 42 sampel (78,6%) positif rabies. Adapun sensitifitas dan spesifisitas relatif untuk pengujian IHK terhadap uji FAT cukup baik yaitu masingmasing 66,7 dan 77,8%. Selain uji standart FAT, maka secara histopatologis pewarnaan IHK yang berdasarkan pada reaksi antigenantibodi kompleks, merupakan uji yang cepat, aman, sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis rabies. Pewarnaan IHK dapat mendeteksi antigen pada jaringan dengan akurat tanpa menggunakan mikroskop fluoresens, hasil permanen, dapat dipakai untuk studi retrospektif dan untuk mempelajari patogenesis penyakit. DAFTAR PUSTAKA ADJID, R.M.A., A. SAROSA, T. SYAFRIATI dan YUNINGSIH Penyakit rabies di Indonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa 15(4):

10 ANJARIA, J.M. and C.I. JHALA Immunoperoxidase reaction in diagnosis of Rabies. Int. J. Zoonoses 12(4): AUSVETPLAN Disease strategy: Rabies. (15 Juni 2006). BALAI BESAR VETERINER MAROS Peta Penyakit Hewan Sulawesi, Maluku dan Papua. BALAI BESAR VETERINER WATES, JOGJAKARTA Peta Penyakit Hewan Se Jawa. BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL I MEDAN Peta Sebaran Penyakit Hewan di Propinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL II Peta Penyakit Hewan Regional II Propinsi Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi Tahun BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL III Peta Penyakit Hewan. Lampung, Bengkulu, Sumatra Selatan, Kepulauan Bangka Belitung tahun BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL V BANJARBARU Peta Penyakit Hewan Kalimantan. BALAI PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN VETERINER REGIONAL VI DENPASAR Peta Distribusi Penyakit Hewan di Wilayah Kerja BBV Denpasar. BOGEL Guidelines for Dog Rabies Control Division of Communicable Disease. World Health Organization, geneva. pp CENTER FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION (CDC) Rabies natural history. (6 Agustus 2003). CLIQUET, F. dan E.P. MEYER Rabies and rabies related viruses: A modern perspective on an ancient disease. Rev.Sci.Tech.Off.Int. Epiz 23(2): DEAN, D.J., M.K. ABELSETH dan P. ATANASIU The fluorescent antibody test. In: Laboratory Techniques in Rabies. 4 ed Editon. MESLIN, F.X., M.M. KAPLAN and H. KOPROWSKI (Eds.). World Health Organization. Geneva. pp DEPARTEMEN PERTANIAN RI Pedoman Pengendalian rabies terpadu. Direktotat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian RI. DUUR, S, S. NAISSENGAR, R. MINDEKEM, C.M. NIEZGODA, I. KUZMIN, C.E. RUPPRECHT and J. ZINSSTAG Rabies diagnosis for developing countires. PloS Neglected Tropical Diseases 2(1): 1 6. HSU, S.M., L. RAINE, and H. FANGER The use of avidin-biotin peroxidase complex in immunoperoxidase techniques. Am. J. Clin. Pathol. 75: JOGAI, S., B.D. RADOTRA and A.K. BANERJEE Immunohistochemical study of human Rabies. Neuropathology 20(3): KALIANDA, J.S., WIJANARKO, S. HADI dan A. SUPRIYADI Strategi upaya Pembebasan Rabies dalam menunjang pengendalian penyakit zoonosis di Kalimantan. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan, Bogor. KEPUTUSAN MENTER PERTANIAN Nomor: 1696/Kpts/PD.610/12/ bkptarakan.org/doc/kepmen_rabies.pdf (1 Juli 2009). KING, A Rabies. A Review. In: Recent Advances and Current Concepts in Tropical. Veterinary Medicine April Course Note. The University of Edinburgh. Centre for Tropical Veterinary Medicine. pp LEPINE, P. and P. ATANASIU Histopathological Diagnosis. In: Laboratory Techniques in Rabies. 4 th Edition. MESLIN, F.X., M.M. KEPLAN and H. KOOROWSKI (Eds). World Health Organization, Geneva. pp MOMOTANI, E Principles of immunohistochemistry techniques and their application. National Institute of Animal Health Biodefence Research Division, Laboratory of immunopathology. Tsukuba, Japan. pp OFFICE INTERNATIONAL DES EPIZOOTIES Manual standards for Dignostic tests and vaccines. Rabies. (11 Agustus 2003). SUJA, M.S., A. MAHADEWA, C. SUNDARAM, J. MANI, B.C. SAGAR, T.HEMACHUDA, S. WACHARAPLUESADEE, S.N. MADHUSUDANA and S.K. SHANKAR Rabies encephalitis following fox bite-histological and Immunohistochemical evaluation of lesions caused by virus. J. Neuropathol. 23(6):

11 SOEJOEDONO, R.R Status zoonosis di Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Puslitbang Peternakan, Bogor. VAN NOORDEN, S Tissue preparation and immunostaining techniques for light microscopy. In: Immunocytochemistrymodern methods and application 2 nd Edition. POLAK, J.M. and S. VANNOORDEN (Eds). Wright, Bristol. pp DISKUSI Pertanyaan: 1. Faktor apa yang bias menaikan sensitifitas uji ITTK? 2. Apakah jenis virus rabies yang ada di kera sama dengan yang ada pada anjing? 3. Negri body bahasa Indonesianya apa? 4. Mengapa angka prevalensi rabies dalam studi ini tergolong tinggi? Anjing yang disampling sehat atau memang dicurigai rebies? Jawaban: 1. Dengan cara modifikasi metode, antara lain dengan cara a). membersihkan background staining (dengan penambahan Bovine Serum Albumin/Skim Milk pada antisera, demashing antigen dengan enzim tripsin); b). Mencegah organ otak mengalami autolysis dengan cara mengambil samepel sesegera mungkin setelah hewan mati, segera fiksasi otak dalam larutan buffered neutral formalin 10%. 2. Jenis virus rabies sama pada spesies hewan apapun. 3. Negri Body diambil sebagai nama badan inklusi untuk rabies karena menemukannya Negri (nama orang). Negri body dalam bahasa Indonesia yaitu badan Negri. 4. Prevalensi rabies dalam penelitian ini tergolong tinggi karena Sumut, Sumbar dan Sulsel yang merupakan area sampling, adalah merupakan daerah enemik rabies dengan kasus rabies tergolong tinggi. Hewan yang disampling adalah hewan dengan riwayat sakit/mati, setelah menggigit manusia. 717

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

Deteksi Antigen Virus Rabies pada Preparat Ulas Otak dengan direct Rapid Immunohistochemistry Test

Deteksi Antigen Virus Rabies pada Preparat Ulas Otak dengan direct Rapid Immunohistochemistry Test Deteksi Antigen Virus Rabies pada Preparat Ulas Otak dengan direct Rapid Immunohistochemistry Test Damayanti R 1, Rahmadani I 2, Fitria Y 2 1 Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 E-mail:

Lebih terperinci

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS

SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS SITUASI RABIES DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA TIMUR BERDASARKAN HASIL DIAGNOSA BALAI BESAR VETERINER MAROS FAISAL ZAKARIA, DINI W. YUDIANINGTYAS dan GDE KERTAYADNYA Balai Besar Veteriner Maros ABSTRAK Diagnosa

Lebih terperinci

Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik Imunohistokimia Rabies. The Sensitivity and Spesificity of Rabies Immunohistochemical Technique

Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik Imunohistokimia Rabies. The Sensitivity and Spesificity of Rabies Immunohistochemical Technique Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 49-59 Sensitifitas dan Spesifisitas Teknik Imunohistokimia Rabies The Sensitivity and Spesificity of Rabies Immunohistochemical Technique I Ketut

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Avian influenza (AI) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong virus RNA (Ribonucleic acid)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

ISSN situasi. diindonesia

ISSN situasi. diindonesia ISSN 2442-7659 situasi diindonesia PENDAHULUAN Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi

Lebih terperinci

(Comparison Study of Sensitivity and Specificity between Sellers Stain and Fluorescent Antibody Technique (FAT) on Diagnostic of Dog Rabies in Bali)

(Comparison Study of Sensitivity and Specificity between Sellers Stain and Fluorescent Antibody Technique (FAT) on Diagnostic of Dog Rabies in Bali) Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Pewarnaan Sellers dan Fluorescent Antibody Technique (FAT) dalam Mendiagnosa Penyakit Rabies pada Anjing di Bali (Comparison Study of Sensitivity and Specificity

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1). Pembangunan bidang kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan amanat Undang-Undang

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 84, Juni 2014 ISSN : X PENGEMBANGAN METODE INDIRECT FLUORESCENT ANTIBODY TEST (INDIRECT FAT) RABIES DENGAN MENGGUNAKAN ANTIBODI MONOKLONAL ISOLAT LAPANGAN BALI (1266) DI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR (Method Development of

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban

BAB I PENDAHULUAN. dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Semester II Tahun 2013 GROUP PENJAMINAN DIREKTORAT PENJAMINAN DAN MANAJEMEN RISIKO 0 DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik 1 3 Pertumbuhan Simpanan pada

Lebih terperinci

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA

ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN ROAD MAP NASIONAL PEMBERANTASAN RABIES DI INDONESIA N I KETUT DIARMITA DIREKTUR KESEHATAN HEWAN BOGOR,

Lebih terperinci

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan. S ensus Penduduk, merupakan bagian terpadu dari upaya kita bersama untuk mewujudkan visi besar pembangunan 2010-2014 yakni, Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Keberhasilan

Lebih terperinci

] 2 (Steel dan Torrie, 1980)

] 2 (Steel dan Torrie, 1980) BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental dengan metode post test only control group design. B. Tempat Penelitian Tempat pemeliharaan dan

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) adalah salah satu penyakit infeksi penting yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan adanya kematian yang tinggi

Lebih terperinci

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1

Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1 STATUS VAKSINASI RABIES PADA ANJING DI KOTA MAKASSAR RABIES VACCINATION STATUS OF DOGS IN MAKASSAR Sri UtamP, Bambang Sumiarto1, Heru Susetya1 IBaIai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Makassar lbagian Kesmavet

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kejadian rabies sangat ditakuti di kalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat dengan gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan

BAB I PENDAHULUAN. Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang susunan syaraf pusat hewan berdarah panas disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Penyakit

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Semester I Tahun 2014 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA 2012, No.659 6 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIEN DENGAN METODE PASSIVE SAMPLER TAHUN 2016

PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIEN DENGAN METODE PASSIVE SAMPLER TAHUN 2016 PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIEN DENGAN METODE PASSIVE SAMPLER TAHUN 2016 Jakarta, Maret 2016 DIREKTORAT PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1 prosedur pewarnaan hematoksillin-eosin (HE)

LAMPIRAN. Lampiran 1 prosedur pewarnaan hematoksillin-eosin (HE) 51 LAMPIRAN Lampiran 1 prosedur pewarnaan hematoksillin-eosin (HE) Pewarnaan HE adalah pewarnaan standar yang bertujuan untuk memberikan informasi mengenai struktur umum sel dan jaringan normal serta perubahan

Lebih terperinci

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA. No Nama UPT Lokasi Eselon Kedudukan Wilayah Kerja. Bandung II.b DITJEN BINA LATTAS 5 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI NOMOR PER.07/MEN/IV/2011

Lebih terperinci

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011 TABEL 1 GAMBARAN UMUM No. Provinsi Lembaga Pengelola Pengunjung Judul Buku 1 DKI Jakarta 75 83 7.119 17.178 2 Jawa Barat 1.157 1.281 72.477 160.544 3 Banten 96 88 7.039 14.925 4 Jawa Tengah 927 438 28.529

Lebih terperinci

Perkembangan Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Proses Review RTRWP Per 31 Desember 2015

Perkembangan Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Proses Review RTRWP Per 31 Desember 2015 Perkembangan Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Proses Review RTRWP Per 31 Desember 2015 Luas Usulan Perubahan Persetujuan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan (ha) Kawasan Hutan (ha) No Provinsi

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR/BPRS. Semester I Tahun 2013

Pertumbuhan Simpanan BPR/BPRS. Semester I Tahun 2013 Pertumbuhan Simpanan BPR/BPRS Semester I Tahun 2013 DAFTAR ISI Pertumbuhan Simpanan pada BPR/BPRS Grafik 1 10 Dsitribusi Simpanan pada BPR/BPRS Tabel 9 11 Pertumbuhan Simpanan Berdasarkan Kategori Grafik

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Kawasan Hutan Total No Penutupan Lahan Hutan Tetap APL HPK Jumlah KSA-KPA HL HPT HP Jumlah Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Semester I Tahun 2015 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merebaknya kasus flu burung di dunia khususnya Indonesia beberapa tahun terakhir, tidak hanya menimbulkan kepanikan bagi masyarakat tetapi juga menjadi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

INDONESIA Percentage below / above median

INDONESIA Percentage below / above median National 1987 4.99 28169 35.9 Converted estimate 00421 National JAN-FEB 1989 5.00 14101 7.2 31.0 02371 5.00 498 8.4 38.0 Aceh 5.00 310 2.9 16.1 Bali 5.00 256 4.7 30.9 Bengkulu 5.00 423 5.9 30.0 DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci

AKABANE A. PENDAHULUAN

AKABANE A. PENDAHULUAN AKABANE Sinonim : Arthrogryposis Hydranencephaly A. PENDAHULUAN Akabane adalah penyakit menular non contagious yang disebabkan oleh virus dan ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa

Lebih terperinci

DESKRIPTIF STATISTIK GURU PAIS

DESKRIPTIF STATISTIK GURU PAIS DESKRIPTIF STATISTIK GURU PAIS 148 Statistik Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Deskriptif Statistik Guru PAIS A. Tempat Mengajar Pendataan Guru PAIS Tahun 2008 mencakup 33 propinsi. Jumlah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 007 sampai dengan Juni 008 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta dan

Lebih terperinci

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans yang mempengaruhi baik manusia maupun hewan. Manusia terinfeksi melalui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kejadian Rabies di Indonesia yang berstatus endemis Rabies, kini menjadi tantangan bagi pencapaian target Indonesia bebas Rabies pada 2015. Guna penanggulangan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Rabies merupakan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) Golongan II berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang Penggolongan

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201200 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

IDENTIFII(A.SI VIRUS RABIES PADAANJING LIAR DI KOTA MAKASSAR IDENTIFICATION OF RABIES VIRUS IN STRAYDOGS IN MAKASSAR. Sri Utami" Bambang Sumiarto2

IDENTIFII(A.SI VIRUS RABIES PADAANJING LIAR DI KOTA MAKASSAR IDENTIFICATION OF RABIES VIRUS IN STRAYDOGS IN MAKASSAR. Sri Utami Bambang Sumiarto2 IDENTIFII(A.SI VIRUS RABIES PADAANJING LIAR DI KOTA MAKASSAR IDENTIFICATION OF RABIES VIRUS IN STRAYDOGS IN MAKASSAR Sri Utami" Bambang Sumiarto2 'Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Makassar 2Bagian

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum No. 11/02/94/Th. VII, 6 Februari 2017 Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi,

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi, yang Tersedia pada Menurut, 2000-2015 2015 yang Tersedia pada ACEH 17 1278 2137 SUMATERA UTARA 111 9988 15448 SUMATERA BARAT 60 3611 5924 RIAU 55 4912 7481 JAMBI 29 1973 2727 SUMATERA SELATAN 61 4506 6443

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Newcastle disease (ND) merupakan penyakit viral disebabkan oleh Newcastle disease virus (NDV) yang sangat penting dan telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Morbiditas

Lebih terperinci

Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013)

Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013) Lampiran Estimasi Kesalahan Sampling Riskesdas 2013 (Sampling errors estimation, Riskesdas 2013) Berikut ini beberapa contoh perhitungan dari variabel riskesdas yang menyajikan Sampling errors estimation

Lebih terperinci

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara. LAMPIRAN I ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Koefisien = 5 Koefisien = 4 Koefisien = 3 Koefisien = 2 Koefisien = 1 Koefisien = 0,5 DKI Jakarta Jawa Barat Kalimantan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2011 hingga Januari 2012. Pemeliharaan ayam, vaksinasi dan pelaksanaan uji tantang serta pengamatan gejala klinis

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Sistem Perbendahar

2 menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2014 tentang Pelaksanaan Sistem Perbendahar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 2100, 2014 KEMENKEU. Perbendaharaan. Anggaran Negara. Sistem. Pelaksanaan. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 278/PMK.05/2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Malaria masih menjadi masalah kesehatan di daerah tropis dan sub tropis terutama Asia dan Afrika dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Patel

Lebih terperinci

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 PANDUAN Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 Bagian Pengelolaan Barang Milik Negara Sekretariat Direktorat Jenderal Cipta Karya DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.00.05.21.3592 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 05018/SK/KBPOM TAHUN 2001 TENTANG

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran. ABSTRAK Leucocytozoonosis merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan kerugian berarti dalam industri peternakan. Kejadian penyakit Leucocytozoonosis dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Penyakit Rabies Rabies merupakan penyakit virus menular yang disebabkan oleh virus dari Family Rhabdoviridae dan Genus Lyssavirus. Virus rabies mempunyai bentuk menyerupai

Lebih terperinci

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS

BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS BULETIN SISTEM KEWASPADAAN DINI DAN RESPONS Minggu Epidemiologi Ke-52 Tahun 2016 (Data Sampai Dengan 6 Januari 2017) Website: skdr.surveilans.org Dikeluarkan oleh: Subdit Surveilans, Direktorat SKK, Ditjen

Lebih terperinci

DISTRIBUSI RABIES DI BALI : SEBUAH ANALISA BERDASARKAN HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM

DISTRIBUSI RABIES DI BALI : SEBUAH ANALISA BERDASARKAN HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM DISTRIBUSI RABIES DI BALI : SEBUAH ANALISA BERDASARKAN HASIL PENGUJIAN LABORATORIUM (Distribution of Rabies in Bali : An Analyze Based on The Result of Laboratory Examination) I K. Wirata, G.A. Joni Uliantara,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG

KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG KEPUTUSAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.01/VI/432/2010 TENTANG DATA SASARAN PROGRAM KEMENTERIAN KESEHATAN TAHUN 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SEKRETARIS

Lebih terperinci

BBPMSOH telah mengikuti 6 uji profisiensi. internasional yang diselenggarakan oleh GD- Deventer, Belanda. nasional yang diselenggarakan oleh BSN-KAN

BBPMSOH telah mengikuti 6 uji profisiensi. internasional yang diselenggarakan oleh GD- Deventer, Belanda. nasional yang diselenggarakan oleh BSN-KAN BBPMSOH telah mengikuti 8 uji profisiensi internasional yang diselenggarakan oleh GD- Deventer, Belanda. BBPMSOH telah mengikuti 6 uji profisiensi nasional yang diselenggarakan oleh BSN-KAN dan proyek

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR dan BPRS Semester II Tahun 2014 Divisi Statistik, Kepesertaan, dan Premi Penjaminan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta

BAB I PENDAHULUAN. yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit campak merupakan penyebab kematian pada anak-anak di seluruh dunia yang meningkat sepanjang tahun. Di dunia diperkirakan setiap tahun terdapat 30 juta orang

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

BADAN KETAHANAN PANGAN TINGKAT PROPINSI YANG TELAH MEMBENTUK BADAN

BADAN KETAHANAN PANGAN TINGKAT PROPINSI YANG TELAH MEMBENTUK BADAN BADAN KETAHANAN PANGAN TINGKAT PROPINSI YANG TELAH MEMBENTUK BADAN 1 SUMATERA UTARA Badan Ketahanan Pangan Perda No.4 Thn.2001 Jl. Jend. Besar Dr. Abd. Haris Nasution No. 24 Medan 20143 Telp. ( 061) 7865366-7863636

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.23/MEN/2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.22/MEN/2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN A. Karakteristik Responden Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2017 dengan menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2013 dan SKMI 2014 yang diperoleh dari laman resmi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit malaria umumnya menyerang daerah tropis (Cina daerah Mekong, Srilangka, India, Indonesia, Filipina) dan subtropis (Korea Selatan, Mediternia Timur, Turki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Separuh penduduk dunia berisiko tertular malaria karena hidup lebih dari 100

BAB I PENDAHULUAN. Separuh penduduk dunia berisiko tertular malaria karena hidup lebih dari 100 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria masih merupakan salah satu penyakit menular yang masih sulit diberantas dan merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia termasuk Indonesia, Separuh penduduk

Lebih terperinci

2

2 2 3 c. Pejabat Eselon III kebawah (dalam rupiah) NO. PROVINSI SATUAN HALFDAY FULLDAY FULLBOARD (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. ACEH

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada Januari sampai Mei 2011 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis. Di daerah endemis, puncak kejadian leptospirosis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

Lebih terperinci

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK IND PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43/M-DAG/PER/11/2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS BIDANG KEMETROLOGIAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012 No Kode PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012 Nama Satuan Kerja Pagu Dipa 1 4497035 DIREKTORAT BINA PROGRAM 68,891,505.00 2 4498620 PELAKSANAAN JALAN NASIONAL WILAYAH I PROVINSI JATENG 422,599,333.00

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5.

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. BAHAN DAN METODE Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. Pengujian Lactobacillus plantarum (BAL1) dan Lactobacillus fermentum (BAL2) pada tikus dengan perlakuan:

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita

PENDAHULUAN. Latar Belakang. mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita PENDAHULUAN Latar Belakang Rabies adalah penyakit viral yang mempengaruhi sistem saraf pusat pada mamalia dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi. Sangat sedikit penderita yang dapat bertahan

Lebih terperinci

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D.

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. ANALISIS BENCANA DI INDONESIA BERDASARKAN DATA BNPB MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING DATA MINING MAHESA KURNIAWAN 54412387 Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. Bencana merupakan peristiwa yang dapat

Lebih terperinci

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA PAYAKUMBUH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PAYAKUMBUH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAYAKUMBUH,

Lebih terperinci