PEMETAAN PROFIL TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI IWAN ERIK SETYAWAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN PROFIL TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI IWAN ERIK SETYAWAN"

Transkripsi

1 PEMETAAN PROFIL TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI IWAN ERIK SETYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemetaan Profil Topografi Dasar Perairan Dangkal Menggunakan Citra Satelit Resolusi Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015 Iwan Erik Setyawan NRP. C

4 RINGKASAN IWAN ERIK SETYAWAN. Pemetaan Profil Topografi Dasar Perairan Dangkal Menggunakan Citra Satelit Resolusi Tinggi. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan GATOT H. PRAMONO. Perairan laut dangkal merupakan salah satu wilayah yang mempunyai dinamika tinggi dan peranan penting secara ekonomi maupun ekologi. Teknologi penginderaan jauh selama ini dianggap mampu menjawab kebutuhan informasi perairan laut dangkal sehingga tersedia data terkini yang menggambarkan kenyataan di lapangan. Namun, pada umumnya hasil identifikasi dan luasan suatu habitat perairan disajikan secara horizontal (planimetri). Padahal, tidak semua topografi perairan laut dangkal berupa rataan, banyak yang berbentuk lereng atau bahkan dinding terjal. Perhitungan luasan secara planimetri menyebabkan kurang akuratnya perhitungan. Informasi luasan yang tepat sangat diperlukan terutama pada penyajian informasi spasial skala besar, misalnya pemetaan pulau kecil. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan alternatif metode pemetaan perhitungan luas habitat bentik secara lebih akurat dengan mempertimbangkan topografi dasar perairan. Citra satelit multispektral Worldview-2 mampu memberikan informasi habitat dan batimetri perairan dangkal. Hasil identifikasi dan luasan digabung dengan nilai batimetri akan memberikan gambaran 3 dimensi pada permukaan dasar perairan. Perhitungan luasan dan gambaran yang mendekati kondisi aslinya diharapkan mampu memberikan perhitungan luas yang lebih akurat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra satelit saluran multispektral Worldview-2 di perairan Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu DKI Jakarta mampu menghasilkan 7 kelas habitat dasar perairan. Persentase luas pada masing-masing kelas yang dihasilkan yaitu karang 2,21%, karang bercampur DCA 7,45%, lamun rapat 14,32%, lamun sedang 17,55%, pasir 18,57%, pasir bercampur lamun 27,22%, dan pasir bercampur pecahan karang (rubble) 12,67% dengan akurasi total 65,35%. Pengukuran luas pada masing-masing kelas dilakukan secara planimetri dan tiga dimensi berdasarkan bentuk permukaan dasar perairan. Berdasarkan perhitungan luas dengan mempertimbangkan faktor topografi permukaan maka diperoleh perbaikan hasil luasan pada kelas karang sebesar 2,85%, kelas karang bercampur DCA 1,08%, lamun rapat 0,38%, lamun sedang 0,12%, pasir 0,11%, pasir bercampur lamun 0,06%, dan pasir bercampur pecahan karang (rubble) 0,06%. Metode pemetaan untuk memperoleh luas habitat perairan dangkal dengan mempertimbangkan topografi dasar perairan menunjukkan hasil estimasi luas yang lebih besar dibandingkan jika dilakukan pengukuran secara planimetri. Perbedaan hasil yang lebih besar merepresentasikan kenyataan lapangan sehingga lebih akurat. Semakin besar tingkat kelerengan akan menghasilkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan hasil pengukuran luas pada daerah yang datar (topografi seragam) memberikan hasil yang sama. Kata kunci: pemetaan, Worldview-2, habitat bentik, luas planimetri, luas 3 dimensi

5 SUMMARY IWAN ERIK SETYAWAN. Mapping Methode for Benthic Habitat of Shallow Water by High Resolution Imagery. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan GATOT H. PRAMONO. Shallow water benthic habitat has a major role both in economical and ecological aspect. The availability of benthic habitat information becomes very important along with the awareness of management based on environment. Satellite imagery becomes one of the sources for identifying and deriving spatial information. In general, spatial information of benthic habitat is obtained only planimetric measurement. This leads to less accurate results, especially in the area with rough topography and for detail scale mapping of such small island. This study aims to provide an alternative mapping method for benthic habitat area to be more accurate by considering benthicits topography. Penetration of bands imagery gives benefits to identificate of benthic habitats and sea bottom morphology. The approach of this study by incorporating the results of the identification of habitats and bathymetry extract of Worldview-2 image combined to obtain more accurate results closer to reality. The study site is around Panggang Island, Jakarta. The results of this study showed that the image was able to produce 7 class benthic habitat. The result of area on each classes were coral habitat area 2,21%, coral with DCA 7,55%, high seagrass 14,32%, medium seagrass 17,55%, sand 18,57%, sandy rubble 27,22% and seagrassy sand 12,67% with overall accuracy 65,35%. Measurements of area in each class conducted planimetri and three dimensions based on the seabed floor. The results showed an improvement on habitat area measurement indicated by the correction of each habitat classes : coral habitat increase 2,85%, coral with DCA increase 1,08%, dense seagrass increase 0,38%, medium seagrass increase 0,12%, sand increase 0,11%, sand with rubble and sand with coarse seagrass respectively increase by 0,06%. Mapping method for calculated of benthic habitat by considering the topography of the bottom waters showed broad estimation greater than if done planimetri measurement. Larger differences of data in the results are considered as results represent reality so that more accurate. The greater the degree of slope will result in a significant difference. While the results of extensive measurements on flat area (topographic uniform) do not give a real difference. Keywords: mapping, Worldview-2, benthic habitat, planimetric measurement, surface area measurment

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 PEMETAAN PROFIL TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI IWAN ERIK SETYAWAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi

9 Judul Tesis : Pemetaan Profil Topografi Dasar Perairan Dangkal Menggunakan Citra Satelit Resolusi Tinggi Nama : Iwan Erik Setyawan NRP : C Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Vincentius P. Siregar, DEA Ketua Dr Gatot H. Pramono Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 20 Mei 2015 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Bismillahirrohmanirrohim, segala puji bagi Allah subhanahu wa ta ala penulis panjatkan atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini telah selesai disusun. Tema yang dipilih dalam penelitian ialah Pemetaan Profil Topografi Dasar Perairan Dangkal Menggunakan Citra Satelit Resolusi Tinggi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Vincentius P. Siregar dan Bapak Dr Gatot H. Pramono selaku pembimbing, serta Mas Doddi yang banyak memberikan masukan dan saran. Tak lupa, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak Badan Informasi Geospasial yang telah memberikan sponsor dan dukungan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, istri, dan gadis kecilku atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari setiap karya manusia tak ada yang sempurna. Masukan dan saran akan penulis terima dengan tangan terbuka untuk perbaikan karya dikemudian hari. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat Bogor, Mei 2015 Iwan Erik Setyawan

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 2 METODE 5 Lokasi dan Waktu Penelitian 5 Bahan 5 Alat 6 Pengambilan Data 6 Analisis Data 8 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 Kondisi Perairan Pulau Panggang 16 Koreksi Citra Satelit Terhadap Efek Kilatan (Sunglint) 16 Model Batimetri 19 Klasifikasi Habitat Dasar Perairan 26 Perhitungan Luas Area Model 29 4 SIMPULAN DAN SARAN 33 Simpulan 33 Saran 33 DAFTAR PUSTAKA 34 LAMPIRAN 36 RIWAYAT HIDUP 54 xi xii xiii

12 DAFTAR TABEL 1 Analisis regresi antara kanal sinar tampak dengan NIR untuk menentukan nilai sunglint 17 2 Hasil kombinasi kanal terhadap kedalaman echosounder 21 3 Confusion matriks klasifikasi habitat dasar perairan dangkal 29 4 Perbandingan luas 2 dimensi dengan 3 dimensi 31 DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi penelitian perairan P. Panggang, Kep. Seribu Jakarta 5 2 Transek kuadrat yang digunakan dalam penelitian 6 3 Titik transek pengamatan obyek perairan dangkal 7 4 Lajur data pemeruman 8 5 Grafik pasang surut selama bulan Mei Plot sampel nilai reflektansi dalam metode koreksi sunglint 11 7 Transek penampang melintang profil batimetri perairan P. Panggang 12 8 Simpul, garis, dan permukaan yang terbentuk dari TIN 14 9 Simulasi perhitungan luas pada bidang miring berdasar topografi Diagram alir penelitian Grafik regresi intensitas efek kilatan pada kanal sinar tampak-nir Hasil koreksi citra satelit terhadap efek kilatan Model 3-D interpolasi data perum Kontur batimetri hasil pemeruman Hubungan antara rasio 2 kanal citra satelit terhadap kedalaman Model 3-D batimetri berdasarkan ekstrak citra satelit Penampang melintang profil kedalaman transek Penampang melintang profil kedalaman transek Penampang melintang profil kedalaman transek Penampang melintang profil kedalaman transek Persentase luasan klasifikasi habitat dasar perairan Hasil klasifikasi habitat perairan dangkal P. Panggang Model batimetri ditumpang susun dengan citra satelit dan hasil klasifikasi habitat dasar perairan Hasil konversi dari raster batimetri ke dalam format TIN Kelas kelerengan di perairan P. Panggang 32 DAFTAR LAMPIRAN 1 Spesifikasi citra satelit WV-2 yang digunakan dalam penelitian 39 2 Foto peralatan lapangan 45 3 Titik sampel kelas habitat perairan P. Panggang 46 4 Spesifikasi GPS Map Sounder 420S 51 5 Data pasang surut pada saat akuisisi citra satelit WV Algoritma koreksi efek kilatan yang mengacu pada Hedley et al 53

13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan dangkal memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang sektor perikanan dan kelautan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beragam sumberdaya pesisir penting terdapat di perairan dangkal seperti terumbu karang, padang lamun, dan ikan. Wilayah perairan yang mempunyai dinamika dan produktivitas primer tinggi ini mempunyai peranan besar baik secara ekologi maupun ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi dan pemantauan sumberdaya alam secara cepat, akurat, dan efisien. Survei kelautan pada umumnya membutuhkan upaya dan biaya yang besar. Terlebih resiko dan tingkat kesulitan yang tinggi harus dihadapi. Namun sekarang ini, teknologi penginderaan jauh yang terus berkembang mampu membantu dan memudahkan dalam pengumpulan informasi dan survei kelautan. Adanya penginderaan jauh jelas mempunyai keunggulan dalam hal penghematan biaya, waktu, data diperoleh secara sinoptik, dan dapat dilakukan pemantauan secara berkelanjutan (time series). Perairan laut dangkal secara oseanografi dapat didefinisikan sebagai wilayah perairan yang mempunyai kedalaman sedemikian rupa sehingga gelombang permukaan jelas terpengaruh oleh topografi dasar lautnya (Katoppo 2000). Namun dalam lingkup penginderaan jauh, perairan laut dangkal yang dimaksud merupakan wilayah laut dari batas pantai sampai dengan kedalaman tertentu yang merujuk pada kemampuan enegi matahari dalam menembus kolom perairan. Menurut Nugrahadi (2010) dalam Guntur et al. (2012) menyatakan bahwa pemetaan perairan dangkal (terumbu karang) dilakukan sampai batas kedalaman yang dapat dideteksi oleh sensor satelit. Khusus untuk perairan dangkal yang relatif jernih metode penginderaan jauh optik mampu mengindera kedalaman perairan antara m (Mumby et al. 2003). Pada kedalaman dimana energi tidak dapat lagi menembus kolom perairan sehingga tidak ada pantulan dari dasar perairan maka tidak tersedia data untuk bisa dianalisis. Padahal diketahui secara umum terumbu karang masih bisa dijumpai sampai kedalaman 40 m. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan dasar perairan. Nilai spektral dari dasar perairan yang terekam oleh sensor sangat dipengaruhi oleh tipe substrat dasar perairan, kedalaman, dan tingkat kecerahan perairan. Ketika cahaya masuk melewati kolom air maka intensitasnya akan berkurang secara eksponensial seiring dengan peningkatan kedalaman. Berkurangnya intensitas cahaya disebabkan adanya proses absorbsi dan penghamburan oleh adanya partikel organik dan anorganik. Proses pelemahan tersebut dikenal dengan atenuasi. Penginderaan jauh sistem pasif untuk penelitian perairan dangkal banyak memanfaatkan gelombang tampak (400 nm nm) yang terbagi pada kanal biru, hijau, dan merah. Penetrasi energi pada masing-masing kanal berbeda tergantung besar kecilnya gelombang. Kanal biru mempunyai panjang gelombang yang lebih kecil dibanding kanal hijau dan merah sehingga penetrasi kanal biru lebih jauh dibandingkan kanal hijau dan merah. Selain panjang gelombang,

14 2 kemampuan penetrasi gelombang elektromagnetik di kolom air juga sangat dipengaruhi karakteristik perairan tersebut. Guntur et al. (2012) menambahkan bahwa semakin keruh air laut maka daya tembus kedua spektrum tersebut (kanal hijau dan biru) akan semakin berkurang. Citra satelit yang bekerja pada sinar tampak banyak dimanfaatkan untuk inventarisasi sumberdaya alam di perairan dangkal diantaranya Landsat, Alos, Ikonos, Quickbird dan Worldview. Sebagai contoh, Lyzenga et al. (2006) menggunakan kanal biru dan hijau pada citra multispektral Ikonos untuk mendapatkan nilai batimetri perairan dangkal. Siregar (2010) memanfaatkan Quckbird untuk menganalisis habitat perairan dangkal Kepulauan Seribu. Salah satu citra satelit resolusi tinggi generasi terbaru dari Digital Globe yang bisa dimanfaatkan untuk identifikasi perairan dangkal adalah Worldview-2. Wahana satelit yang diluncurkan tahun 2009 ini menghasilkan citra dengan resolusi spasial 0,46 m untuk pankromatik dan 1,84 m untuk multispektral. Resolusi yang tergolong sangat tinggi ini dibutuhkan untuk pengumpulan informasi sumberdaya pesisir secara lebih rinci yang dibutuhkan dalam manajemen pembangunan skala mikro. Sensornya tersusun dalam 8 kanal yang bekerja pada panjang gelombang 400 nm 1040 nm yaitu biru pesisir atau coastal blue ( nm), biru ( nm), hijau ( nm), kuning ( nm), merah ( nm), red edge ( nm), Inframerah dekat (NIR) 1 ( nm) dan inframerah dekat (NIR) 2 ( nm) sehingga memadai bagi analisis sumberdaya alam perairan laut dangkal (digitalglobe 2009). Terlebih dikenalkannya kanal coastal blue (400 nm nm) dan kuning ( nm) yang tidak terdapat pada produk citra satelit sebelumnya, sangat menarik untuk diteliti terutama untuk wilayah pesisir dan perairan dangkal. Beragam kelebihan yang ditawarkan menyimpan harapan besar untuk memudahkan dan meningkatkan keakuratan dalam identifikasi dan analisis obyek atau fenomena di wilayah kajian. Citra satelit Worldview-2 dapat digunakan untuk penelitian batimetri perairan dangkal. Digitalglobe (2009) menyatakan bahwa kanal biru pesisir ( nm) merupakan salah satu kanal baru yang tingkat absorbsi di kolom airnya paling kecil dan baik untuk penelitian batimetri. Loomis (2009) memanfaatkan Worldview-2 untuk mendapatkan nilai batimetri dengan memanfaatkan rasio kanal kuning-hijau dan kuning-biru. Hasil serupa juga dinyatakan Madden (2011) dalam penelitiannya di Teluk Tampa. Alsubaie (2012) menambahkan bahwa rasio antara kanal coastal blue dan kuning menunjukkan kombinasi terbaik untuk mendapatkan nilai batimetri. Kanal coastal blue juga dimanfaatkan untuk memetakan habitat bentik dan memberikan hasil penajaman yang baik (Seoane et al. 2012). Namun Doxani et al. (2012) menyatakan bahwa kanal hijau pada citra satelit WV-2 paling efektif untuk aplikasi batimetri. Penelitian dalam memanfaatkan citra satelit sudah banyak dilakukan. Namun, hasil yang diperoleh pada umumnya dianalisis dan direpresentasikan dalam bidang datar (planimetri). Pemetaan perairan dangkal selama ini pun hanya menyajikan informasi luasan yang diproyeksikan pada bidang datar. Pada pemetaan perairan dangkal perhitungan luas suatu area masih dihitung berdasarkan bidang horizontal saja. Bahkan, standar pemetaan yang diatur dalam SNI No (2011) tentang Pemetaan Habitat Perairan Laut Dangkal, masih kesulitan dalam menghitung terumbu karang berbentuk miring (slope) dan

15 dinding (wall). Bidang yang bisa dipetakan berupa kenampakan rataan yang terekam sensor citra secara horizontal. Padahal, pengukuran luas suatu wilayah berdasarkan kenampakan rataan saja belum tentu merepresentasikan luas permukaan yang sebenarnya. Pemetaan planimetri hanya menghitung suatu area berdasarkan penampakan horizontalnya. Metode tersebut mengabaikan relief permukaan suatu wilayah dalam perhitungan luas. Konsekuensinya, perhitungan luas akan akurat pada daerah yang landai seperti pada rataan terumbu, tetapi pada daerah yang berbentuk miring (slope) dan dinding (wall) akan terjadi ketidakakuratan perhitungan luasan. Semakin besar tingkat kelerengan menyebabkan semakin besar pula kesalahan perhitungan luas permukaan suatu area. Pada pemetaan skala kecil kesalahan ini bisa diabaikan karena tidak memberikan pengaruh yang nyata. Namun pada skala besar misalnya untuk penyajian peta pulau kecil dan pemetaan detail untuk keperluan khusus diperlukan data yang lebih akurat. Pada daerah yang datar atau agak landai, perhitungan luas bisa dilakukan secara langsung berdasarkan jumlah piksel. Namun, untuk daerah yang berbentuk lereng (slope) perhitungan luas hendaknya mempertimbangkan profil rataan terumbu. Terlebih pada daerah yang sangat curam, penentuan luasnya dilakukan secara visual dengan bantuan echosounder (Guntur et al. 2012). Penelitian Jennes (2004); Zhiming et al. (2012) memberikan gambaran bahwa estimasi luasan suatu area dengan pendekatan faktor relief daratan menggunakan Digital Elevation Model (DEM) memberikan hasil yang lebih baik. Pada area dasar perairan, perhitungan luasan yang mendekati kenyataan lapangan bisa dilakukan dengan menggabungkan antara citra satelit dan data batimetri. Adanya citra resolusi tinggi dari Worldview-2 yang digabung dengan data batimetri memberikan gambaran topografi dasar perairan yang memudahkan dalam pemetaan perairan dangkal dan menggambarkan data luasan yang lebih akurat. Pada akhirnya akan diperoleh gambaran dasar perairan dangkal untuk kebutuhan pemetaan skala detail. 3 Perumusan Masalah Habitat perairan dangkal mempunyai peranan besar baik secara ekonomi maupun ekologi. Beragam permasalahan dan dinamika perairan yang tinggi menjadikan perhatian terhadap data spasial perairan dangkal semakin meningkat. Citra satelit saat ini banyak dimanfaatkan untuk menyediakan data spasial. Sifatnya yang mudah diperoleh, sinoptik, mampu untuk pemantauan secara berkala, dan mampu untuk identifikasi daerah yang sulit dijangkau menjadikannya banyak dimanfaatkan dalam pengumpulan informasi spasial. Selama ini hasil identifikasi dan luasan suatu habitat perairan menggunakan citra satelit dihitung dan disajikan secara horizontal (planimetri). Padahal, tidak semua topografi perairan dangkal berupa rataan, ada yang berbentuk lereng atau bahkan dinding terjal. Perhitungan luasan secara horizontal akan menyebabkan kurang akuratnya hasil. Hasil perhitungan luas dasar perairan secara planimetri dianggap kurang tepat sehingga diperlukan metode perhitungan luas permukaan dengan mempertimbangkan variasi topografi. Pada penyajian peta skala besar dan

16 4 bersifat teknis, informasi luasan yang tepat sangat diperlukan seperti penyediaan data spasial pulau kecil yang membutuhkan peta skala detil. Perhitungan luas habitat bentik dasar perairan secara lebih akurat dapat dilakukan dengan mempertimbangkan faktor reliefnya. Kelerengan dasar perairan dapat dihitung dengan mempertimbangkan faktor batimetri. Hasil klasifikasi tematik yang digabung dengan batimetri diharapkan mampu memberikan gambaran nyata permukaan dasar perairan (model 3 dimensi). Perhitungan luasan dan gambaran yang mendekati kondisi aslinya diharapkan mampu memberikan perhitungan luas yang lebih akurat. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu : 1. Memperoleh luasan yang lebih akurat pada metode pemetaan perairan dangkal dengan memperhatikan topografi dasar. 2. Melakukan klasifikasi habitat perairan dangkal di Perairan Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu menggunakan citra satelit resolusi tinggi dengan mempertimbangkan topografi dasar. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan alternatif metode perolehan informasi spasial berkaitan dengan luas habitat dasar perairan dangkal dengan pendekatan kondisi topografi. Pendekatan ini dapat menyediakan informasi spasial luas habitat perairan dangkal secara lebih akurat dibandingkan jika dihitung dengan metode planimetri.

17 5 2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Wilayah penelitian berada di perairan Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu (Gambar 1). Terletak di sebelah utara Teluk Jakarta sekitar 45 km dari Pulau Jawa. Pengambilan data lapangan dilaksanakan pada tanggal 21 sampai dengan 26 Mei Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor serta di Laboratorium Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial (PPIT BIG). Gambar 1 Peta lokasi penelitian perairan Pulau Panggang, Kep. Seribu, Jakarta Bahan Bahan yang digunakan untuk penelitian meliputi citra satelit multispektral Worldview-2 yang direkam tanggal 19 Oktober 2011 jam GMT (10.39 WIB) pada lokasi 106 o o BT dan 5 o o LS. Spesifikasi citra satelit secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 1. Bahan lain yang digunakan meliputi Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : dengan Nomor Lembar Peta (NLP) pembuatan tahun 2006, data pasang surut BIG stasiun Pondok Dayung Mei 2013 dan Kolinlamil (Tanjung Priuk) Oktober 2011, dan data lapangan berupa identifikasi obyek serta data batimetri Mei 2013.

18 6 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua yaitu peralatan lapangan dan laboratorium. Peralatan lapangan meliputi : GPS Map Receiver 62S untuk mencatat koordinat titik sampel, GPS Map Sounder 420S untuk merekam data batimetri, peralatan SCUBA atau snorkling, kamera bawah air, transek kuadrat berukuran 2 m x 2 m (Gambar 2), secchi disk, dan alat pencatat/tulis. Gambar peralatan dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebelum digunakan peralatan terlebih dahulu dilakukan kalibrasi di laboratorium dan kalibrasi di lapangan. Sedangkan peralatan laboratorium yang dibutuhkan meliputi : komputer, perangkat lunak pengolahan citra satelit ENVI dan perangkat lunak pemetaan ArcGis dan Golden Surfer. 200 cm 200 cm Gambar 2 Transek kuadrat yang digunakan dalam penelitian Pengambilan Data Sebelum melakukan survei lapangan terlebih dahulu dilakukan perencanaan survei berkaitan jumlah sampling yang diambil, lokasi, dan data yang dikumpulkan. Berdasarkan klasifikasi dari pengolahan citra pada tahap awal maka bisa ditentukan lokasi yang dijadikan titik pengamatan.

19 Pengumpulan informasi lapangan meliputi pencatatan posisi geografis, identifikasi obyek, dan kedalaman. Pengamatan habitat dasar perairan dangkal dilakukan dengan cara snorkeling atau menggunakan SCUBA yang dibantu transek kuadrat. Ukuran transek kuadrat mengacu pada besar piksel citra satelit multispektral. Informasi yang dicatat meliputi identifikasi obyek dan persen penutupan. Koordinat titik sampel diambil tepat ditengah transek kuadrat menggunakan GPS Map Receiver 62S dengan ketelitian 2 m. Pada pengamatan lapangan dikumpulkan 198 sampel data habitat periaran dangkal (Lampiran 3). Lokasi pengambilan transek dapat dilihat pada Gambar 3. 7 Gambar 3 Titik transek pengamatan obyek perairan dangkal Data kedalaman dasar perairan diperoleh menggunakan peralatan hidroakustik. Metode pengukuran ini menggunakan prinsip perambatan gelombang suara di air. Alat yang digunakan berupa echosounder tipe single beam. Echosounder adalah perangkat deteksi bawah yang menggunakan teknologi system SONAR (Sound Navigation and Ranging). Getaran suara dibangkitkan dan merambat pada kolom air, ketika mengenai obyek atau dasar perairan maka akan dipantulkan sebagai gema dan ditangkap oleh sensor (Medwin dan Clay, 1998). Dengan mengetahui kecepatan rambat gelombang bunyi di perairan dan waktu tempuh yang diperlukan untuk kembali ditangkap sensor maka akan dapat diketahui kedalaman suatu dasar perairan. Peralatan hidroakustik yang digunakan untuk pemeruman adalah GPS Map Sounder 420S dengan spesifikasi seperti di Lampiran 4. Peralatan pemeruman single beam diatur pada frekuensi 200kHz dan lebar beam 10. Pemilihan frekuensi tersebut mempertimbangkan kedalaman wilayah penelitian yang tidak lebih dari 50 m. Peralatan transducer dipasang disamping kapal dengan kedalaman 50 cm. Pemasangan dilakukan dengan memperhatikan gangguan

20 8 (noise) yang akan timbul seperti riak gelombang dan pengaruh dari baling-baling kapal. Jarak antar lajur perum dibuat 100 m dan jarak antar ping echosounder (Elementary Sampling Distance Unit ESDU) diatur sejauh 1 s.d. 2 m dengan mempertahankan kecepatan kapal antara 2 s.d. 3 knot. Penelitian Agus et al. (2012) pada lokasi yang sama menggunakan jarak antar lajur m. Interval antar lajur perum mengacu pada SNI No 7646 tahun 2010 tentang survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder yang mensyaratkan interval antar lajur maksimal 1 cm pada skala survei. Jika skala peta yang digunakan adalah 1: maka interval yang diizinkan maksimal sampai 250 m. Lajur perum yang direncanakan dibuat secara ideal, namun kenyataan di lapangan sangat sulit untuk mengikuti lajur yang sudah direncanakan karena banyaknya lalu lintas kapal, bagan ikan, dan banyaknya daerah yang sangat dangkal sehingga tidak mungkin dilalui kapal survei. Kondisi perairan ketika dilakukan pemeruman secara umum tenang. Kondisi bergelombang dijumpai pada sisi barat diluar tepi terumbu sehingga kapal mengalami goyangan pitch and roll. Pada kondisi bergelombang transducer mengalami goyangan sehingga data pemeruman menjadi kurang akurat namun data masih dapat dipilah dan digunakan. Lokasi pemeruman dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil yang diperoleh berupa titik (point) yang berisi informasi lintang, bujur, dan kedalaman. Data dari Map Sounder tersimpan dalam memory card dan diunduh ke perangkat komputer untuk dilakukan pemilahan data. Gambar 4 Lajur data pemeruman. Analisis Data Secara umum, kerangka pemikiran dan langkah-langkah dalam penelitian dapat dilihat pada diagram alir penelitian Gambar 10. Adapaun analisis data

21 dilakukan dalam beberapa tahapan : pengolahan data lapangan, pra-pengolahan citra satelit, pemrosesan citra satelit, dan uji akurasi. Pengolahan Data Lapangan Identifikasi habitat dilakukan dengan mencatat habitat bentik yang terdapat pada transek kuadrat yang dianggap mewakili piksel citra satelit. Obyek yang teridentifikasi dapat berupa habitat dominan dan habitat campuran. Habitat dominan yang dimaksud adalah persentase tutupan yang mendominasi suatu habitat. Sedangkan habitat campuran merupakan persentase tutupan dari suatu habitat yang terdiri dari beberapa obyek dan tidak ada yang mendominasi dalam suatu area tersebut. Data lapangan yang diperoleh dikelompokkan menjadi 15 kelas habitat perairan dangkal. Data habitat dijadikan data spasial dengan menggabungkan koordinat yang diperoleh dari GPS sehingga dapat digunakan untuk verifikasi citra satelit. Nilai digital pada citra satelit identik dengan kelas tertentu pada obyek dilapangan. Sampel yang sudah terkelaskan tersebut digunakan untuk validasi dan uji akurasi pada kelas yang dihasilkan citra. Data kedalaman perairan yang diperoleh dari pemeruman Map Sounder tanggal Mei 2013 merupakan data yang belum terkoreksi. Data tersebut dikoreksi terhadap posisi kedalaman transducer dan kondisi pasang surut Badan Informasi Geospasial (BIG) pada waktu survei dengan mengacu pada muka laut rata-rata (Mean Sea Level MSL). Penentuan MSL diperoleh dari perataan data pasang surut selama satu bulan pada Mei 2013 (Gambar 5) Palem Pasut (cm) hari survei pasut MSL=147, Mei 2013 (Waktu UTC) Gambar 5 Grafik pasang surut selama bulan Mei 2013 Pra-pengolahan Citra Satelit Citra satelit yang digunakan terlebih dahulu dilakukan pra-pemrosesan yang terdiri atas koreksi radiometrik, koreksi sunglint, dan koreksi geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan terhadap kanal pada citra satelit Worldview-2 sebagai konsekuensi adanya gangguan atmosfer. Koreksi bertujuan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai piksel agar sesuai dengan nilai pantulan yang sebenarnya (Danoedoro 2012). Metode penyesuaian histogram

22 10 dipilih untuk melakukan koreksi radiometrik. Adapun tekniknya dengan mengurangi nilai digital number (piksel) citra asli masing-masing saluran tunggal dengan nilai bias yang ada pada masing-masing citra tersebut. Dalam hal ini nilai digital yang terkecil pada masing-masing citra dianggap sebagai nilai bias. Efek sunglint (efek kilatan) dan gelombang perairan merupakan masalah yang umum dijumpai pada citra satelit resolusi tinggi. Fenomena efek sunglint terjadi karena adanya pantulan sinar matahari yang mengenai obyek (biasanya perairan) searah dengan sudut perekaman sensor satelit. Pancaran gelombang elektromagnet dari matahari yang jatuh ke permukaan suatu obyek (perairan) akan dipantulkan kembali dan ditangkap oleh sensor satelit. Jika energi pantulan tersebut mempunyai sudut pantul yang sama dengan sudut sensor satelit maka akan terjadi efek kaca yang menyilaukan. Efek yang dikenal dengan dengan kilatan matahari (sunglint) ini sangat mengganggu dalam pengumpulan informasi obyek dibawah perairan karena menghasilkan warna terang yang berlebihan (menyilaukan) pada area hasil perekaman citra satelit. Pada perairan efek kilatan lebih sering terjadi. Gelombang laut dan riaknya berpotensi membentuk sudut yang sejajar dengan sensor satelit. Citra satelit resolusi rendah tidak terlalu banyak dipengaruhi efek ini, namun pada citra resolusi tinggi dimana gelombang dan riaknya terlihat jelas pada perekaman citra mengakibatkan sering kali terlihat efek sunglint. Penelitian Wicaksono (2012) berhasil melakukan penghilangan efek sunglint untuk memperbaiki kualitas radiometrik dan meningkatkan keakuratan citra satelit Quickbird. Penghilangan efek sunglint dilakukan dengan menggunakan kanal inframerah dekat mengikuti algoritma yang dikembangkan Hochbergh et al. (2003); dan Hedley et al. (2005). Penghilangan gangguan efek sunglint sekaligus mampu menghilangkan gangguan gelombang perairan. Prinsip penghilangan efek kilatan dikembangkan Hochberg et al yang disempurnakan oleh Hedley et al. (2005) dapat dilihat pada Gambar 6. Persamaan yang digunakan sebagai berikut : i i- i ( NI -Min NI )...(1) Dimana : i : Nilai kanal i setelah direduksi R i : Nilai kanal i awal b i : besarnya kemiringan regresi (slope) R nir : nilai kanal NIR : nilai minimal kanal NIR Min nir

23 11 Gambar 6 Plot sampel nilai reflektansi dalam metode koreksi sunglint yang dikembangkan Hedley (Hedley et al. 2005) Koreksi Geometrik citra pada prinsipnya dilakukan untuk memperbaiki kesalahan posisi citra satelit terhadap lokasi sebenarnya di permukaan bumi (Guntur et al. 2012). Koreksi geometrik citra satelit yang digunakan dilakukan dengan membuat titik kontrol lapangan GCP (Ground Control Point) menggunakan GPS dengan ketelitian 2 m. Titik GCP diambil secara menyebar dan dipilih pada daerah yang mudah dikenali pada citra satelit dan lapangan. Pemrosesan Citra Perairan Dangkal Pemisahan darat dan laut dilakukan untuk menghilangkan obyek yang bukan wilayah kajian (dalam hal ini daratan) dengan cara dilakukan masking pada citra satelit. Masking juga dilakukan pada lokasi bagan ikan dan perahu yang banyak terdapat dilokasi penelitian. Selanjutnya dilakukan analisis dengan melakukan komposit citra satelit (8 kanal) disesuaikan dengan obyek kajian. Pada komposit tampilan warna asli (true colour) dilakukan dengan mengkombinasikan kanal 5, 3, dan 2 (merah, hijau, dan biru). Klasifikasi citra satelit WV-2 dilakukan berdasarkan skema klasifikasi habitat dasar perairan. Habitat perairan dangkal diidentifikasi dari interpretasi citra satelit dengan menggunakan data lapangan untuk validasi data dan uji akurasi. Klasifikasi berdasarkan habitat perairan dangkal dilakukan dengan metode tak terbimbing (unsupervise) berdasarkan algoritma isodata (iterative self organizing data analysis technique). Isodata menggunakan formula minimal dalam mengelompokkan piksel citra multispektral untuk menghasilkan gugus homogen (Danoedoro 2012). Perhitungan yang dipakai merupakan jarak minimum terhadap rerata. Selanjutnya dilakukan validasi menggunakan hasil pengamatan lapangan dan dilakukan pengkelasan kembali. Analisis majority menggunakan filter kernel 3x3 digunakan untuk menggeneralisasi hasil klasifikasi. Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keakuratan klasifikasi. Selanjutnya hasil klasifikasi yang sudah tervalidasi dikonversi ke bentuk polygon dan diolah lebih lanjut dengan perangkat lunak pemetaan.

24 12 Pemodelan Batimetri Berdasarkan Pemeruman dan Citra Satelit Batimetri diartikan sebagai suatu teknik yang menggambarkan kedalaman laut atau profil dasar laut dari hasil analisis data kedalaman (SNI ). Seiring perkembangan teknologi pemodelan batimetri dapat dilakukan dengan peralatan hidroakustik dan citra satelit. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara umum, pemodelan batimetri menggunakan peralatan hidroakustik banyak dilakukan untuk kepentingan keselamatan navigasi. Pemodelan batimetri menggunakan citra satelit lebih banyak digunakan untuk kepentingan pendugaan secara kasar pada perairan dangkal. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan hasil model batimetri hasil pemeruman dengan model batimetri yang dibangun dari citra satelit. Kedua model dilakukan transek melintang (Gambar 7) untuk melihat keakuratan dan kedetilan hasil yang diperoleh. Gambar 7 Transek penampang melintang profil batimetri perairan P. Panggang Berdasarkan Pemeruman Pembuatan model batimetri dasar laut yang diterima dan dianggap akurat adalah dengan survei lapangan. Seiring perkembangan peralatan hidroakustik (echosounder) informasi kedalaman laut lebih mudah diperoleh, akurat dan mampu menggambarkan kedalaman dasar laut dengan baik. Informasi batimetri kelautan sangat bermanfaat terutama untuk alur pelayaran dan budidaya laut. Hasil pemeruman berupa data titik kedalaman berbentuk lajur. Antar lajur tidak terdapat data sehingga diperlukan estimasi kedalaman. Interpolasi dilakukan untuk memprediksi kedalaman suatu lokasi yang tidak diketahui nilainya berdasarkan informasi kedalaman pada titik terdekat (Yang et al. 2004). Melalui interpolasi akan diperoleh nilai baru diantara dua titik atau lebih yang sudah diketahui dan secara spasial berdekatan. Titik hasil pemeruman dilakukan interpolasi untuk memperoleh model batimetri. Terdapat beberapa metode interpolasi yang bisa digunakan salah satunya kriging. Kriging merupakan metode pembuatan grid secara geostatistik yang banyak digunakan dalam berbagai bidang. Krigging merupakan metode default pada perangkat lunak Surfer.

25 Kriging tipe point merupakan default yang diberikan perangkat lunak Golden Surfer. Tipe point memberikan hasil perkiraan berupa titik pada grid interpolasi. Metode interpolasi ini dinyatakan mampu menghasilkan interpolasi data yang baik dan halus (Golden Software 2002). Pernyataan serupa diperkuat oleh penelitian Siregar dan Selamat (2009) yang menyatakan bahwa secara umum metode kriging lebih efektif digunakan untuk merepresentasikan kontur kedalaman dibandingkan metode inverse distance to power (IDP) maupun metode minimum curvature. Keunggulan metode ini akan memberikan prediksi yang sangat baik bila kita mengetahui korelasi spasial jarak dan orientasi dari data. Namun, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu tidak mampu menampilkan puncak, lembah, atau nilai yang berubah drastis pada jarak yang dekat (Pramono 2008). Berdasarkan Citra Satelit Model batimetri dalam penelitian ini dibangun berdasarkan nilai piksel citra satelit. Algoritma yang dikembangkan oleh Stumpf dan Holderied (2003) digunakan untuk mendapatkan nilai batimetri dengan merasiokan reflektansi dua kanal yang berbeda. Kedalaman dasar perairan dapat diturunkan dari rasio kanal citra satelit mengikuti algoritma yang disajikan pada persamaan 2. Pada penelitian ini digunakan algoritma Stumpf and Holderied (2003) yang sudah terdapat pada perangkat lunak ENVI pada menu relative water depth. 13 m 1 ln n ( i ) ln n ( j ) m 0 ( ) Dimana : Z = kedalaman aktual m 1 = konstanta rasio skala kedalaman m 0 = konstanta kedalaman 0 m n = konstanta tetap untuk semua area Rw= Reflektansi kanal Nilai kedalaman dari hasil ekstrak citra satelit dikoreksi terhadap besarnya nilai pasang surut sehingga di dapat nilai kedalaman dari MSL. Kondisi perairan pada saat perekaman tanggal 19 Oktober 2011 jam GMT (10.39 WIB) terjadi pasang sebesar 26.5 cm (Lampiran 5) sehingga nilai kedalaman aktual (Z) dikurangkan dengan besarnya pasang yang terjadi. Perhitungan Luas dan Pemodelan Pengolahan hasil klasifikasi habitat bentik berupa data luasan masih bersifat planimetri (2 dimensi). Luasan yang dihasilkan mengabaikan variasi relief dasar perairan. Hal ini menyebabkan hilangnya sebagian informasi sehingga diperlukan perhitungan yang lebih detil dengan memperhitungkan relief dasar perairan. Penelitian yang dilakukan Jennes (2004); Zhimming (2012) yang menghitung luas suatu area dengan memasukkan faktor relief daratan mampu memberikan hasil yang lebih baik. Perhitungan luas permukaan dengan mempertimbangkan relief dasar perairan dilakukan dengan membentuk model 3 dimensinya terlebih dahulu. Nilai kedalaman aktual dari hasil citra berbentuk raster diubah terlebih dahulu

26 14 dalam bentuk titik (point). Titik yang terbentuk digunakan untuk membentuk TIN (Triangulated Irregular Network). TIN merupakan struktur 3-D yang merepresentasikan permukaan dengan membangun jejaring segitiga-segitiga sehingga tampak berbukit dan lembah (Gambar 8). Struktur tin digunakan untuk model yang menghendaki presisi tinggi dalam wilayah yang sempit (Bhargava et al. 2013). Segitiga yang terbentuk mengikuti pola kedalaman dasar perairan. Luas segitiga dihitung dengan prinsip teorama Pythagoras yang merepresentasikan luas sebenarnya suatu bidang permukaan. Sebagai simulasi dapat dilihat pada Gambar 9 dan persamaan 3. Gambar 8 Menunjukkan simpul, garis, dan permukaan yang terbentuk dari TIN (sumber : Data TIN yang dihasilkan digunakan untuk membangun model 3 dimensi dan ditumpang susun dengan hasil klasifikasi habitat dasar. Format TIN yang terbentuk dipotong menggunakan area hasil klasifikasi habitat bentik sehingga diperoleh informasi luas permukaannya. Pada akhirnya dapat dihasilkan perhitungan luas secara planimetri (2 dimensi) dan luas permukaan (model 3 dimensi) yang sesuai kenampakan nyata permukaan bumi. Gambar 9 Simulasi perhitungan luas pada bidang miring berdasar topografi

27 Luas EFGH Luas ABCD/cos ɑ.. 3 keterangan : ABCD : bidang datar 2-D (planimetri) EFGH : bidang kenampakan permukaan bumi ɑ : kelerengan 15 Gambar 10 Diagram alir penelitian.

28 16 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perairan Pulau Panggang Perairan P. Panggang secara administrasi merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Kep. Seribu DKI Jakarta yang masuk dalam zona Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Lokasinya berdekatan dengan P. Karya di sebelah utara yang hanya dipisahkan alur laut selebar kurang dari 150 m. Sebelah barat terdapat P. Pramuka, pusat ibu kota kabupaten Kep. Seribu sekaligus lokasi tujuan pariwisata. yang hanya terpisah jarak 1 km. Secara geomorfologi, perairan pulau Panggang pada umumnya berbentuk rataan dengan gobah di tengahnya. Rataan tersebut meluas sampai batas tepi dangkalan menuju laut. Pada bagian tepi dangkalan yang berbatasan dengan laut (fore reef) umumnya mempunyai kelerengan yang curam. Pulau yang mempunyai kepadatan penduduk tertinggi di Kep. Seribu ini, mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan baik tangkap maupun budidaya. Bagan ikan atau karamba jaring apung (KJA) banyak tersebar di lokasi gobah. Karamba tersebut umumnya digunakan untuk budidaya ikan kerapu. Kondisi fisik perairan di dalam gobah dan di luar gobah berbeda. Kenampakan fisik perairan di luar gobah terlihat jernih sedangkan di dalam gobah terlihat kehijauan. Pengukuran dengan secchi disk terlihat bahwa di luar gobah kecerahan antara 9-12 m sedangkan di dalam gobah berkisar antara 4-7 m. Hal tersebut mengindikasikan bahwa material tersuspensi pada perairan gobah lebih tinggi dari pada perairan di luar gobah. Limbah domestik dari penduduk dan sisa pakan budidaya dapat menyumbang penurunan kualitas perairan. Terlebih lagi gobah menjadi semacam jebakan air sehingga sirkulasi air laut tidak lancar. Koreksi Citra Satelit Terhadap Efek Kilatan (Sunglint) Seiring kemajuan teknologi resolusi spasial citra satelit semakin meningkat. Hasil perekaman citra dengan resolusi spasial tinggi seperti Ikonos, Quickbird, dan Wordview sangat membantu dalam identifikasi obyek di permukaan bumi. Citra satelit dengan resolusi spasial tinggi seringkali dipengaruhi gangguan dari kilatan matahari (sunglint). Terlebih pada wilayah perairan dimana potensi terjadinya kilatan sangat besar ketika terjadi gelombang atau riak gelombang. Citra yang digunakan untuk penelitian secara visual terlihat adanya efek kilatan matahari. Efek kilatan yang terdapat pada citra dapat dikenali berdasarkan warnanya yang mencolok berwarna putih dibanding obyek sekitarnya, bentuknya memanjang, dan umumnya terjadi pada punggung gelombang. Adanya kilatan matahari akan menyebabkan nilai reflektansi citra tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari suatu obyek sehingga perlu dilakukan perbaikan. Koreksi kilatan dilakukan sesuai dengan algoritma yang dikembangkan oleh Horchberg. Algoritma yang dikembangkan berdasarkan pada hubungan linear antara kanal inframerah dekat (NIR) dengan kanal visible. Gelombang NIR diasumsikan

29 diserap habis oleh perairan dan memiliki pantulan (water leaving radiance) yang minimal pada perairan yang jernih (Hochberg et al., 2003). Sebelum dilakukan langkah untuk koreksi maka perlu dilakukan masking untuk daratan dan obyek-obyek lain yang diatas kepermukaan air. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan yang dilakukan karena nantinya masingmasing kanal akan dikurangkan dengan nilai kilatan yang diperoleh. Masking dilakukan dengan metode digitasi manual. Pemilihan wilayah sampel pada citra satelit Region of Interest (RoI) dilakukan pada perairan dalam yang mengalami efek kilatan. Terdapat 348 sampel RoI yang dipilih. Piksel yang diperoleh dari setiap kanal selanjutnya diregresikan dengan kanal NIR1 ( nm) dan NIR2 ( nm) sehingga diperoleh nilai kemiringan (bi) dan koefisien determinasi (R 2 ). Kemiringan (bi) merupakan besarnya intensitas sunglint pada masing-masing kanal. Kombinasi kanal terhadap NIR1 (kanal7) atau NIR2 (kanal 8) dipilih berdasarkan nilai R 2 tertinggi. Harapannya akan diperoleh kombinasi terbaik untuk memperoleh nilai bi. Regresi masing-masing kanal terhadap NIR dapat dilihat pada Gambar Kanal 1 Kanal 2 Kanal y = x R² = Kanal 8 y = x R² = Kanal 7 y = x R² = Kanal 7 Kanal 4 kanal 5 Kanal y = x R² = Kanal 8 y = x R² = kanal 7 y = x R² = Kanal 8 Gambar 11 Grafik regresi intensitas efek kilatan pada kanal sinar tampak terhadap NIR (kanal 1 terhadap kanal 8, kanal 2 terhadap kanal 7, kanal 3 terhadap kanal 7, kanal 4 terhadap kanal 8, kanal 5 terhadap kanal 7, kanal 6 terhadap kanal 8) dengan jumlah RoI 348 sampel Besarnya nilai bi dan koefisien determinasinya pada masing-masing kanal (kanal sinar tampak) dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai R 2 yang diperoleh mempunyai angka terkecil 0,706 dan terbesar 0,980. Nilai yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara keenam kanal dengan NIR pada

30 18 sampel RoI. Intensitas sunglint (bi) dipilih berdasarkan nilai R 2 terbesar dari enam kanal sinar tampak terhadap NIR1 (kanal 7) atau NIR2 (kanal 8). Nilai bi yang diperoleh digunakan sebagai faktor pengurang untuk koreksi efek sunglint pada masing-masing kanal. Tabel 1 Analisis regresi antara kanal sinar tampak dengan NIR untuk menentukan nilai sunglint (kombinasi terpilih yang tercetak merah tebal) NIR1 (kanal 7) NIR2 (kanal 8) Kanal bi R 2 bi R 2 1 biru pesisir 0,399 0,706 0,325 0,972 2 biru ,942 0,328 0,791 3 hijau 0,987 0,964 0,609 0,761 4 kuning 1,122 0,722 0,900 0,965 5 merah 0,789 0,980 0,481 0,756 6 merah tepi 1,157 0,736 0,918 0,961 Algoritma untuk koreksi efek kilatan disusun menggunakan band math yang mengacu pada persamaan 1. Algoritma yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6. Setelah dilakukan proses koreksi pada masing-masing kanal terlihat secara nyata perbedaan penampakan visual citra (Gambar 12). Pada citra awal, efek kilatan (ditunjukkan dengan tanda panah) mengganggu dalam identifikasi dan klasifikasi obyek. Jika gangguan tidak dikoreksi maka efek kilatan tersebut akan terkelaskan menjadi obyek tersendiri. Obyek tersebut terkelaskan dengan bentuk memanjang garis-garis sesuai punggung gelombang yang membentuk efek cermin. Efek kilatan pada tubuh perairan menyebabkan distorsi pada nilai reflektansi dan sangat mengganggu dalam identifikasi obyek dibawahnya sehingga perlu untuk dikoreksi. Penampakan citra setelah koreksi terlihat perbaikan secara visual. Obyek dan habitat bentik terlihat lebih jelas. Selain itu, citra satelit menjadi lebih tajam sehingga variasi dari masing-masing habitat bentik terlihat lebih jelas. Semakin tajamnya kualitas citra diharapkan semakin memudahkan dalam proses identifikasi dan klasifikasi habitat. Pada beberapa penelitian terhadap koreksi sunglint citra satelit berhasil memberikan perbaikan penampakan seperti yang dilakukan Hochbergh et al. (2003); dan Hedley et al. (2005). Penelitian Wicaksono (2012) menggunakan citra satelit Quickbird menunjukkan bahwa koreksi yang dilakukan mampu memperbaiki penampakan citra dan peningkatan akurasi identifikasi obyek perairan dangkal.

31 Gambar 12 Hasil koreksi terhadap efek kilatan Keterangan : menunjukkan efek kilatan Model Batimetri Model Batimetri Berdasarkan Pemeruman Secara umum perairan P. Panggang merupakan perairan dangkal yang terbentuk dari gugus terumbu. Dasar perairannya tersusun atas terumbu karang, pasir, dan lamun. Berdasarkan model batimetri daerah penelitian menunjukkan secara geomorfologi terbagi menjadi dua kelompok yaitu berupa dangkalan dan gobah. Sebagaian besar area penelitian berupa dangkalan berbentuk datar dengan kedalaman kurang dari 4 m. Hasil ini sesuai dengan penelitian Agus et al. (2012) yang menyatakan bahwa perairan P. Panggang berupa rataan terumbu dangkal dengan permukaan cenderung rata. Daerah dangkalan sebelah timur pulau

32 20 kedalamannya cenderung seragam sampai daerah tepi terumbu luar sedangkan sebelah barat lebih beragam. Daerah gobah terdapat di sebelah barat daya daratan Panggang dengan kedalaman lebih dari 4 m. Kedalaman maksimam gobah berdasarkan pemeruman adalah 13,6 m. Hal ini sesuai dengan penelitian Agus et al. (2012) yang menyatakan kedalamannya mencapai 13 m. Dasar perairan berbentuk datar dikelilingi tepi lereng yang curam dimana kedalaman yang pada awalnya kurang dari 4 m berubah menjadi lebih dari 20 m. Kenampakan morfologi dasar perairan secara tiga dimensi dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Model 3-D interpolasi data pemeruman Model Batimetri Berdasarkan Citra Satelit Informasi kedalaman suatu perairan atau batimetri sangat penting untuk menunjang berbagai kegiatan bidang kelautan. Data batimetri biasanya dikumpulkan dari survei lapangan menggunakan perangkat hidroakustik yang berdampak pada besarnya tenaga dan biaya. Teknologi penginderaan jauh memberikan alternatif penyediaan data batimetri secara umum. Citra satelit optik mempunyai kemampuan secara terbatas untuk menggambarkan batimetri umum di wilayah perairan dangkal (Hengel dan Spitzer 1991; Stumpf et al. 2003; Lyzenga 2006; Siregar dan Selamat 2010; Alsubaie 2012). Pada perairan yang jernih selama energi matahari mampu menjangkau dasar perairan maka citra satelit masih bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan informasi batimetri. Penggunaan citra satelit optik merupakan salah satu cara cepat dan hemat untuk menggambarkan batimetri kawasan perairan dangkal. Banyak metode yang dikembangkan untuk mengekstrak nilai piksel citra satelit menjadi informasi kedalaman diantaranya adalah metode linear dan metode rasio linear yang dikembangkan Stumpf dan Holderied (2003). Metode ini

33 dilakukan dengan merasiokan reflektansi dua kanal yang berbeda untuk mendapatkan nilai kedalaman. Kanal yang digunakan dalam pembangunan algoritma dipilih berdasarkan panjang gelombang yang mampu menembus kolom air dengan baik. Terdapat 5 kanal dalam penelitian ini yang dicoba untuk pemilihan algoritma Stumpf dan Holderied yaitu kanal biru pesisir (kanal 1), biru (kanal 2), hijau (kanal 3), kuning (kanal 4), dan merah (kanal 5). Kombinasi dua kanal dalam bentuk logaritma natural (ln) dicoba satu persatu sehingga diperoleh 10 buah kombinasi. Rasio dari setiap kombinasi diregresikan dengan nilai kedalaman pengukuran sehingga akan diperoleh nilai persamaan linear dan koefisien korelasinya (Tabel 2). Tabel 2 Hasil kombinasi kanal terhadap kedalaman echosounder Rasio kanal Persamaan linear R 2 r B1/B2 y = 330.3x B1/B3 y = 148.9x B1/B4 y = 90.23x B1/B5 y = 61.07x B2/B3 y = 256.7x B2/B4 y = 73.37x B2/B5 y = 47.88x B3/B4 y = 65.29x B3/B5 y = 47.88x B4/B5 y = 59.62x Keterangan : R 2 = Koefisien determinasi r = Koefisien korelasi Algoritma diperoleh dari persamaan linear hasil regresi rasio 2 kanal terhadap kedalaman. Persamaan linear yang digunakan untuk memperoleh nilai batimetri citra satelit dipilih berdasarkan nilai koefisien korelasi terbesar (r). Berdasarkan regresi terhadap rasio reflektansi citra maka diperoleh nilai koefisien korelasi (r) terbesar dari rasio kanal biru pesisir dengan hijau (ln B1/B3) sebesar 0,831 dan r terkecil dari rasio kanal kuning dengan merah (ln B4/B5) sebesar 0,224 (Tabel 2). Kanal biru pesisir ( nm) merupakan salah satu kanal baru yang tingkat absorbsi di kolom airnya paling kecil dan baik untuk penelitian batimetri (Digitalglobe 2009). Sesuai dengan penelitian Doxani et al. (2012) menyatakan bahwa Penggunaan kanal hijau pada citra satelit WV-2 paling efektif untuk aplikasi batimetri. Algoritma Stumpf dan Holderied untuk mengekstrak nilai batimetri berdasarkan citra satelit diperoleh dengan meregresikan kanal terpilih yaitu antara rasio ln kanal biru pesisir dengan kanal hijau (ln B1/B3) terhadap data kedalaman dari pemeruman (Gambar 14). Regresi yang dihasilkan digunakan untuk menentukan persamaan linearnya. 21

34 22 25 Kedalaman (m) y = 148.9x R² = Gambar 14 Hubungan antara rasio 2 kanal (rasio ln B1/B3) citra satelit terhadap kedalaman Berdasarkan persamaan 2 maka diperoleh algoritma persamaan linear : Rasio Ln B1/B3 y: kedalaman atau Jaring x: ln n 1))/ ln(nrw ( 2 ) Nilai m 1 adalah 148,9 dan m 0 adalah 150,2 (mengacu pada persamaan 2). Grafik pada Gambar 15 menunjukkan bahwa rasio antara kanal biru pesisir dan hijau terhadap kedalaman dari pemeruman meningkat seiring bertambahnya kedalaman. Kanal hijau lebih cepat mengalami pelemahan energi dibandingkan kanal biru pesisir sehingga rasio ln kedua kanal semakin besar. Kemampuan penetrasi suatu energi dikolom air dipengaruhi oleh besarnya panjang gelombang (Green et al. 2000). Berdasarkan algoritma diatas citra satelit diekstrak untuk menghasilkan nilai batimetri. Hasil ekstrak berbentuk raster yang masing-masing piksel mempunyai nilai (z). Raster yang dihasilkan dikalikan dengan nilai negatif (-) sehingga merepresentasikan kedalaman dasar perairan (Gambar 15). Gambar 15 Model 3-D batimetri berdasarkan ekstrak citra satelit

35 Hasil batimetri secara 3-D berdasarkan ekstrak citra terlihat halus dan mampu menggambarkan perbedaan kedalaman secara detil. Raster batimetri yang dihasilkan dibangun berdasarkan nilai kedalaman setiap jarak 1,84-2,08 m (mengacu piksel multispektral Worldview-2) sedangkan batimetri yang dibangun berdasarkan survei hidroakustik (Gambar 13) merupakan hasil interpolasi data lapangan. Perbandingan Profil Transek Model Batimetri Profil transek pada masing-masing model batimetri memperlihatkan hasil yang berbeda. Secara umum, profil batimetri dari model pemeruman mampu menjangkau kedalaman yang lebih jauh. Sedangkan pada model batimetri citra satelit hanya mampu menampilkan batimetri pada kedalaman kurang dari 7 m namun dengan hasil yang lebih halus. Profil batimetri yang dibandingkan mengacu pada transek penampang melintang (Gambar 7). Pada Gambar 16 ditampilkan profil melintang batimetri dari arah barat ke timur P. Pangang (transek 1-2). Sebelah barat relief dasar perairan terlihat bervariasi. Pada awalnya tepi terumbu mempunyai kelerengan yang terjal kemudian berubah menjadi dangkalan gosong pasir. Selanjutnya terbentuk cekungan dasar laut sehingga membentuk semacam ceruk. Dasar perairan selanjutnya berupa dangkalan sampai dengan tepi gobah. Pada jarak 300 m 600 m terlihat bentuk profil batimetri yang berbeda antara hasil pemeruman (16a) dengan ektrak citra satelit (16b). Pada Gambar 16a dasar perairan digambarkan dengan nilai kedalaman 8 m 9 m sedangkan gambar 16b nilai kedalaman antara 1 m 2 m. Analisis berdasarkan data lapangan memperlihatkan bahwa pemeruman pada area tersebut tidak diperoleh data (blank data). Perangkat lunak memaksakan membuat interpolasi dari titik terdekat sehingga menghasilkan data yang kurang sesuai dengan kondisi lapangan. Kondisi tidak diperolehnya data disebabkan perairan yang terlalu dangkal sehingga kapal tidak mampu berlayar. Pada profil Gambar 16b estimasi nilai kedalaman memberikan hasil yang sesuai dengan kondisi lapangan. Meskipun secara pemeruman tidak diperoleh data namun citra satelit mampu memberikan estimasi nilai kedalaman pada setiap piksel. Selanjutnya semakin ke timur terlihat adanya gobah. Kedalaman gobah terbesar berada disebelah barat. Pada Gambar 16a kedalaman gobah maksimal sebesar 13,6 m sedangkan pada Gambar 16b kedalaman maksimalnhya 7 m. Perbedaan kedalaman maksimal yang ditunjukkan pada masing-masing profil batimetri menunjukkan bahwa model batimetri dari citra satelit terbatas pada kemampuan penentrasi gelombang dikolom air sedangkan peralatan pemeruman mampu menjangkau lebih dalam. Semakin ke timur terlihat relief dasarnya semakin dangkal sampai daratan P. Panggang. Pada jarak 1700 m 1800 m (sumbu x) terlihat profil dengan kedalaman 0 m. Hal tersebut menunjukkan daratan P. Panggang. Relief dasar perairan di sisi timur pulau cenderung seragam berbentuk dataran yang dangkal dengan kedalaman kurang dari 4 m. Selanjutnya pada tepi terumbu bagian luar terbentuk lereng yang curam. 23

36 24 (a) (b) Gambar 16 Penampang melintang profil kedalaman transek 1-2 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra Potongan melintang relief dasar laut di sisi barat (Gambar 17) perairan P. Panggang memperlihatkan kenampakan yang seragam berbentuk dataran dengan kedalaman umumnya kurang dari 2,5 m. Transek 3-4 membentang dari arah utara ke selatan. Pada bagian selatan terlihat adanya ceruk. Selanjutnya terlihat gosong karang dengan kedalaman kurang dari 3 m. Profil transek 3 4 pada rentang antara m (Gambar 17a) digambarkan kedalaman menurun dari 1 m sampai 15 m. Pada kenyataannya lokasi tersebut terlalu dangkal untuk dilalui kapal sehingga data akustik tidak diperoleh. Hasil interpolasi kedalaman terjadi over estimate. Pada Gambar 17b terlihat pada rentang m profil kedalaman cenderung landai dengan kedalaman 1 m. Gambaran ini lebih merepresentasikan kondisi sebenarnya. (a) (b) Gambar 17 Penampang melintang profil kedalaman transek 3-4 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra

37 Potongan melintang transek 5-6 (Gambar 18) yang terletak di tengah lokasi penelitian memperlihatkan kenampakan dangkalan yang seragam. Dangkalan dengan relief datar terlihat baik di sisi utara (nomor 5) maupun sisi selatan (nomor 6) dengan kedalaman umumnya kurang dari 2,5 m. Pada bagian tengah terdapat gobah. Pada area gobah (jarak 300 m sampai 1000 m) terdapat perbedaan gambar dua profil batimetri. Gambar 18a lebih merepresentasikan kenyataan aslinya. Gambar 18b memperlihatkan pada jarak 350 m 600 m dan 800 m 900 m terjadi kelebihan estimasi (over estimate) nilai batimetri. Hal ini diduga karena kondisi perairan didalam gobah yang keruh kehijauan dengan tingkat kecerahan antara 4 m sampai 7 m. Perairan yang keruh menyebabkan secara visual perairan terlihat lebih gelap. Akibatnya perangkat lunak untuk mengekstrak nilai piksel citra menjadi batimetri mengenalinya sebagai area yang lebih dalam dari yang seharusnya. 25 (a) (b) Gambar 18 Penampang melintang profil kedalaman transek 5-6 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra Pada profile transek 7-8 (Gambar 19) kondisi relief dasar perairan berbentuk datar dengan nilai kedalaman umumnya kurang dari 3 m. Profil yang terbentuk antara Gambar 19a dan 19b hampir seragam. Bagian tepi sebelah utara (nomor 7) mempunyai kelerengan yang lebih landai dibanding tepi sebelah selatan (nomor 8). Sebelah utara berdekatan dengan P. Karya dan hanya berjarak sekitar 100 m. Sedangkan bagian selatan langsung berhadapan dengan laut Jawa. Berdasarkan data echosounder di sisi selatan nilai kedalaman terbesar menunjukkan angka 36 m. Sedangkan berdasarkan ekstrak citra satelit kedalaman maksimal yang diperoleh adalah kurang dari 8 m. Hal ini disebabkan ketidakmampuan citra satelit mengekstrak nilai batimetri.

38 26 (a) (b) Gambar 19 Penampang melintang profil kedalaman transek 7-8 (a) berdasarkan pemeruman dan (b) berdasarkan citra Berdasarkan perbandingan hasil profil batimetri terlihat bahwa model batimetri berdasarkan pemeruman lebih unggul pada jangkauan kedalaman yang lebih tinggi. Profil kedalaman yang dihasilkan dari citra satelit terlihat lebih detil dan halus (smooth) dibandingkan profil batimetri yang dihasilkan dari interpolasi data pemeruman. Pada citra, batimetri dibangun pada setiap piksel sehingga setiap perbedaan kecil yang dapat terwakili satu piksel akan mampu tergambarkan. Batimetri berdasarkan citra bahkan tetap mampu menggambarkan dengan baik lokasi yang tidak terdapat data (blank data). Kelemahan profil batimetri yang dihasilkan melalui citra satelit terdapat pada terbatasnya kemampuan penetrasi gelombang di kolom air. Pada perairan yang dalam gelombang elektromagnetik tidak mampu mencapai dasar perairan. Fakta di lapangan menunjukkan kondisi fisika perairan gobah terlihat keruh kehijauan. Ketika cahaya masuk melalui kolom air maka intensitasnya akan berkurang secara eksponensial seiring dengan peningkatan kedalaman (atenuasi). Berkurangnya intensitas cahaya disebabkan adanya proses absorbsi dan penghamburan oleh adanya partikel organik dan anorganik (Guntur et al. 2012). Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan lapangan ditemukan 15 kelas habitat perairan dangkal. Namun, pada pemrosesan citra satelit dihasilkan 7 kelas habitat. Hal ini disebabkan sedikitnya jumlah sampel yang mewakili suatu kelas dan adanya kemiripan nilai digital citra satu kelas dengan kelas lain sehingga perlu digabungkan (reklas). Klasifikasi habitat dasar perairan dilakukan berdasarkan kemampuan citra dalam memilah dan mengelompokkan informasi dasar perairan yang mampu ditangkap oleh citra satelit. Pada Gambar 20 terlihat bahwa kelas habitat pasir bercampur lamun paling banyak dijumpai, kemudian kelas pasir, lamun kerapatan sedang, lamun kerapatan tinggi, pasir dengan pecahan karang (rubble), karang bercampur karang mati (Karang DCA), dan yang paling kecil kelas karang.

39 % 2.21% 7.45% Karang 27.22% 18.57% 14.32% 17.55% Karang-DCA Lamun Rapat Lamun Sedang Pasir Pasir-Lamun Pasir-Rubble Gambar 20 Persentase luasan klasifikasi habitat dasar perairan dangkal Hasil klasifikasi Habitat dasar perairan P. Panggang dan persebarannya dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 21). Pasir bercampur lamun tersebar merata diseluruh daerah penelitian. Lamun yang tumbuhpun beragam jenisnya. Sebelah barat pulau didominasi kelas pasir yang dari hasil survei lapangan terlihat bahwa pasir tersebut berbentuk gumuk-gumuk kecil. Hal ini menandakan energi gelombang berperan dalam pembentukannya. Selain itu, kelas pasir juga banyak terdapat pada daerah gobah. Pasir bercampur pecahan karang (pasir-rubble) merupakan kelas campuran antara pecahan karang dan pasir. Kelas tersebut tersebar merata di belakang tepi lereng. Biasanya rubble banyak terdapat dibelakang terumbu karang. Patahan karang atau karang mati terangkut oleh energi gelombang sehingga terkumpul pada suatu lokasi. Habitat karang dan karang yang tercampur dengan karang mati death coral algae (DCA) banyak dijumpai di tepi lereng. Sebagian terdapat didalam gobah. Karang yang dijumpai dari beragam bentuk dan tipe seperti massive, sub massive, foliose, branching, dan sebagainya. Padang lamun dengan kerapatan tinggi banyak ditemukan disekitar daratan. Seringkali dalam satu habitat ditemukan beberapa jenis lamun dengan dominasi jenis tertentu. Sedikitnya ditemukan 5 jenis lamun selama survei lapangan antara lain Enhalus accoroides, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata, Syringodium isotifolium, dan Halodule uninervis. Mereka membentuk satu habitat lamun campuran yang didominasi jenis tertentu. Beragamnya bentuk suatu obyek, habitat campuran, dan variasi kedalaman lokasi habitat berpengaruh terhadap variasi nilai reflektansi. Beragamnya jenis lamun yang menyusun satu habitat lamun (mixed species meadows) menyebabkan salah satu kesulitan dalam klasifikasi dari citra satelit. Perbedaan mencolok bentuk daun lamun (misalnya E. accoroides dan S. Isoetifolium) menyebabkan bervariasinya nilai spektral citra sehingga menghasilkan bias dalam klasifikasi.

40 28 Gambar 21 Hasil klasifikasi habitat perairan dangkal P. Panggang Klasifikasi habitat perairan dangkal menggunakan citra multispektral WV-2 menghasilkan 7 kelas habitat dengan akurasi total 65,35% (Tabel 3). Hasil akurasi total yang didapat lebih rendah dibandingkan penelitian Siregar (2010) di perairan Karang Lebar dan Karang Congkak menggunakan citra Quickbird dengan akurasi total 79% untuk 6 kelas habitat. Green et al. (2000) menyatakan bahwa citra satelit (Landsat MSS dan Spot pankromatik) hanya mampu memberikan informasi ekologi perairan dangkal dengan akurasi berkisar 55-70%, bahkan dengan 4 kelas utama (habitat karang, pasir, alga dan seagras) mempunyai akurasi total tidak lebih dari 60 %. Akurasi yang lebih rendah diduga karena citra WV-2 yang digunakan hanya saluran multispektral tanpa menggabungkan dengan pankromatiknya (tanpa pansharpen). Resolusi spasial saluran multispektral WV-2 sebesar 1,84-2,08 m sedangkan citra Quickbird yang dipansharpen mempunyai resolusi spasial 0,61 m. Besarnya resolusi spasial citra sangat berkaitan dengan tingkat kemampuannya dalam mengenali obyek terkecil yang tertangkap sensor. Penelitian Mellin et al. (2009) menunjukkan bahwa penggunaan citra resolusi tinggi akan meningkatkan deteksi terhadap habitat kelas karang. Selain itu jumlah kelas yang lebih banyak menjadikan tingkat akurasi lebih kecil. Danoedoro (2012) menyatakan bahwa klasifikasi pada citra satelit dengan jumlah kelas yang lebih banyak cenderung menghasilkan tingkat akurasi yang lebih rendah. Semakin banyak kelas mengharuskan pengelompokkan suatu obyek secara homogen pada spektral citra juga semakin meningkat

41 Tabel 3 Confusion matrix klasifikasi habitat dasar perairan dangkal Lapangan User Prod Citra Total acc acc K KD LR LS PL PR P (%) (%) K KD LR LS PL PR P Total Keterangan : K=karang; KD=karang dengan karang mati DCA; LR=lamun rapat; LS=lamun sedang; PL=pasir lamun; PR=pasir rubble; P=pasir Akurasi total : total benar/total sampel x 100% = 83/127 x 100% = 65,35% 29 Perhitungan Luas Area Model Pada umumnya luasan hasil klasifikasi didapat dengan menghitung area polygon. Hasilnya akan menggambarkan luas area suatu bidang datar saja. Padahal secara kenyataan wilayah suatu kajian tidak hanya berupa dataran bahkan seringkali mempunyai relief yang bervariasi. Beberapa lokasi membentuk kelerengan tertentu (slope). Akibatnya terdapat perbedaan antara hasil perhitungan luas dengan kenyataan di lapangan. Penggabungan tumpang susun model batimetri dengan citra satelit dapat memberikan penampakan dasar perairan secara tiga dimensi (Gambar 22a). Dasar perairan menjadi lebih mudah dipahami dan secara geomorfologi lebih mudah dikenali. Adanya daratan, reef flat, gosong pasir, dan gobah dapat terlihat dengan jelas. Hasil klasifikasi secara tiga dimensi (3-D) dari lokasi penelitian diperoleh dengan menggabungkan model batimetri dengan hasil klasifikasi (Gambar 22b). Pendekatan ini digunakan untuk menghadirkan kondisi nyata daerah penelitian sehingga diperoleh pengukuran luas yang lebih akurat. Penelitian yang dilakukan Jennes (2004) menghasilkan estimasi luas yang lebih baik pada pengukuran luas habitat hewan dengan pendekatan DEM daripada dihitung secara planimetri. Secara visual model baru yang diperoleh pun memudahkan dalam memahami karakteristik suatu dasar perairan dibandingkan jika disajikan dalam 2 dimensi (2- D) saja.

42 30 (a) (b) Gambar 22 Model batimetri ditumpang susun dengan citra satelit (a) dan hasil klasifikasi habitat dasar perairan (b) Model batimetri yang dihasilkan dari algoritma Stumpf (Gambar 15) masih berupa raster sehingga belum bisa digunakan secara langsung untuk menghitung luasan 3-D pada perangkat lunak pengolahan citra. Raster tersebut perlu diekstrak menjadi titik (point) dan digunakan untuk membangun TIN (Gambar 23). TIN merupakan struktur 3-D yang merepresentasikan permukaan dengan membangun jejaring segitiga-segitiga sehingga tampak berbukit dan lembah. Struktur TIN digunakan untuk model yang menghendaki presisi tinggi dalam wilayah yang sempit (Bhargava et al. 2013). Pembangunan TIN melalui titik (point) mampu memberikan hasil TIN yang lebih halus karena struktur segitiga yang terbentuk menjadi sangat banyak sesuai dengan jumlah piksel pada citra. Hasil 3-D TIN dipotong menggunakan kelas habitat sehingga diperoleh luas secara 3-D pada masing-masing kelas.

43 31 (a) (b) Gambar 23 Hasil konversi raster batimetri ke TIN: (a) raster yang langsung dikonversi ke dalam format TIN; (b) raster diekstrak ke titik dan dikonversi keformat TIN Hasil penghitungan luas wilayah penelitian dengan mempertimbangkan topografi (3-D) didapatkan jumlah m 2. Hasil yang diperoleh lebih luas m 2 dibandingkan jika kita hanya mengukur secara planimetri. Perhitungan ini merepresentasikan luas sebenarnya. Luas yang diperoleh dari perhitungan planimetri menghasilkan angka dibawah kenyataan (under estimate). Penelitian yang dilakukan Zhiming (2012) bahkan menemukan perbedaan signifikan pada pengukuran wilayah pegunungan. Kelas Tabel 4 Perbandingan luas 2 dimensi dengan 3 dimensi Luas 2-D Luas 3-D Selisih m 2 % m 2 % m 2 % Krg KrgDCA LmnRpt LmnSdg Psr PsrLmn PsrRbl Total Keterangan : Luas 2-D = luas diukur secara planimetrik Luas 3-D = luas diukur dengan mempertimbangkan topografi Perbedaan luas terbesar ditemukan pada kelas karang 2,85% (1055 m 2 ) kemudian kelas karang bercampur karang mati (krgdca) sebesar 1,08% (1352 m 2 ). Habitat kedua kelas tersebut banyak terdapat di bagian tepi lereng dan didalam gobah yang berbentuk lereng (slope) dengan variasi topografi. Pada Gambar 24 terlihat bahwa didalam gobah terdapat banyak variasi kelerengan. Selain itu, pada tepi lereng sebelum perairan dalam didominasi

44 32 dengan kelerengan lebih besar dari 15%. Semakin banyak variasi topografi, elevasi, dan semakin besar kelerengan suatu wilayah akan menghasilkan perbedaaan luas planimetri dengan luas permukaan 3-D yang semakin besar. Gambar 24 Kelas kelerengan di perairan P. Panggang Pengukuran luas 2-D dan 3-D pada kelas pasir, pasir lamun dan pasir rubble memiliki perbedaan yang sangat kecil. Kondisi topografi dasar perairan pada habitat tersebut cenderung seragam (datar) dengan tingkat kelerengan 0 3% sehingga luasan yang diperoleh hampir sama. Pada daerah dengan variasi topografi kecil maka pengukuran luas antara 2-D dan 3-D dapat dianggap sama. Metode penghitungan luas menggunakan ekstrak nilai batimetri terbatas pada kemampuan perekaman citra satelit. Pada daerah yang terlalu dalam sehingga energi tidak mampu mencapai dasar perairan atau pada daerah yang berbentuk dinding (wall) maka pengukuran tidak bisa dilakukan.

45 33 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan di perairan P. Panggang menggunakan citra satelit Worldview-2 dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Metode pemetaan untuk memperoleh luas habitat perairan dangkal dengan mempertimbangkan topografi dasar perairan menunjukkan hasil estimasi luas yang lebih besar dibandingkan jika dilakukan pengukuran secara planimetri. Perbedaan luas terbesar ditemukan pada kelas karang yaitu 2,85% sedangkan terkecil terdapat pada 2 kelas pasir bercampur lamun dan pasir bercampur rubble masing-masing sebesar 0,06%. Perbedaan hasil yang lebih besar dianggap sebagai hasil yang lebih merepresentasikan kenyataan lapangan sehingga lebih akurat. 2. Perbedaan hasil perhitungan antara metode planimetri dengan permukaan kulit berdasarkan profil 3 dimensi akan semakin besar seiring beragamnya topografi suatu daerah. Semakin besar tingkat kelerengan akan menghasilkan perbedaan yang signifikan. Sedangkan hasil pengukuran luas pada daerah yang datar (topografi seragam) tidak memberikan perbedaan yang nyata. 3. Klasifikasi habitat bentik perairan P. Panggang menggunakan citra satelit Worldview-2 mampu menghasilkan 7 kelas dengan akurasi total 65,35%. Saran Pada penelitian selanjutnya untuk memberikan hasil yang lebih baik maka disarankan : 1. Klasifikasi habitat bentik secara 3-D belum dilakukan uji akurasi sehingga perlu penelitian lebih lanjut. 2. Penelitian lanjutan dapat diuji cobakan pada daerah yang mempunyai variasi topografi besar dan daerah yang relatif seragam untuk memperoleh besarnya perbedaan hasil luasan pada beberapa tingkat skala peta. Hal ini penting untuk memberikan koreksi terhadap luas suatu obyek yang ditampilkan pada peta planimetri. 3. Menggunakan beberapa metode untuk menghitung luas kulit secara 3 dimensi sehingga dapat dipilih untuk memberikan hasil perhitungan yang terbaik. Selain itu, penggunaan beberapa macam perangkat lunak dapat dilakukan untuk membandingkan hasil terbaik.

46 34 DAFTAR PUSTAKA Agus SB, Siregar VP, Bengen DG, Hanggono A Profil Batimetri Habitat Pemijahan Ikan Terumbu Hasil Integrasi Data Inderaja Satelit dan Akustik: Studi Kasus Perairan Sekitar Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 2(2): Alsubaie NM Thesis : The Potential of Using Worldview-2 Imagery for Shallow Water Depth Mapping. Departement of Geomatics Enggineering. Calgary: University of Calgary. Bhargava N, Bhargava R, Tanwar PS Triangulated Irregular Network Model from Mass Points. International Journal of Advance Computer Research. 3(2): Danoedoro P Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta (ID): Andi. Digitalglobe White Paper The Benefits of the 8 Spectral Bands of Worlview-2. [diunduh 2013 Juli 3]. Tersedia pada: Band_Applications_Whitepaper.pdf. Doxani G, Papadopoulou M, Lafazani P, Pikridas C, Tsakiri-Strati M Shallow Water Bathymetry Over Variable Bottom Types Using Multispectral Worldview-2 Image. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XXII ISPRS Congress. 39(B8): Golden Soft a re Surfer User s Guide. Colorado US : Golden Soft a re, Inc. Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD Remote sensing handbook for tropical coastal management. Paris (FR): UNESCO. Guntur, Prasetyo D, Wawan Pemetaan Terumbu Karang Teori, Metode, dan Praktek. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Hedley JD, Harborne AR, Mumby PJ Simple and robust removal of sun glint for mapping shallow-water benthos. International Journal of Remote Sensing. 26(10): Hengel WV, Spitzer D Multi-temporal water depth mapping by means of Landsat TM. Int. J. Remote Sensing. 12(4): Hochberg, Andrefouet ES, Tyler M Sea Surface Correction of High Spatial Resolution Ikonos Images to Improve Bottom Mapping in Near-Shore Environments. IEEE Trans. Geosci. and Remote Sense. 41(7): Jennes JF Calculating Landscape Surface Area From Digital Elevation Models. Wildlife Society Bulletin. 32(3): Katoppo, P Kamus Hidrografi. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Loomis MJ Thesis: Depth Derivation From The Worldview-2 Satellite Using Hyperspectral Imagery. Monterey, California (US): Naval Postgarduate School. Lyzenga DR, Malinas NP, Tanis FJ Multispectral Bathymetry Using a Simple Physically Based Algorithm. IEEE Geoscince and Remote Sensing. 44(8):

47 Madden CK Thesis : Contribution to Remote Sensing of Shallow Water Depth With The Worldview-2 Yellow Band. Monterey, California (US): Naval Postgarduate School. Medwin H, Clay CS Fundamentals of Acoustical Oceanography- Applications of Modern Acoustics. San Diego (US): Academic Press. Mellin C, Andrefouet S, Kulbicki M, Dalleau M, Vigliola L Remote Sensing and Fish Habitat Relationship in Coral Reef Ecosystem: Review and Pathways for Systematic Multiscale hierarchical research. Marine Pollution Bulletin. 58: Mumby PJ, Skirving W, Strong AE, Hardy JT, LeDrew EF, Hochberg EJ, Stumpf RP, David LT Review Remote Sensing of Coral Reefs and Their Physical Environment. Marine Pollution Bulletin. 48: Pramono, GH Akurasi Metode IDW dan Kriging Untuk Interpolasi Sebaran Sedimen Tersuspensi Di Maros, Sulawesi Selatan. Jurnal Forum Geografi. 22(1): Seoane JCS, Arantes RCM, Castro CB Benthic Habitat Mapping at Recife de Fora, Brazil: Imagery and GIS. Proceedings of the 12 th International Coral Reef Symposium. Cairns, Australia (AU): 9-12 July Siregar VP Pemetaan Substrat Dasar Perairan Dangkal Karang Congkak Dan Lebar Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Satelit Quick Bird. E- Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(1): Siregar VP, Selamat MB Interpolator dalam Pembuatan Kontur Peta Batimetri. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 1(1): Siregar VP, Selamat MB Evaluasi Citra Quickbird untuk Pemetaan Batimetri Gobah Dengan Menggunakan Data Perum: Studi Kasus Gobah Karang Lebar dan Pulau Panggang. Jurnal Ilmu Kelautan. 2(1): Ed Khusus. SNI No 7646 tahun 2010 tentang survei hidrografi. SNI No Pemetaan Habitat Perairan Laut Dangkal, Bagian 1: Pemetaan Terumbu Karang dan Padang Lamun. Stumpf RP, Holderied K Determination of water depth with highresolution satellite imagery over variable bottom types. Limnology and Oceanogrphy. The American Society of Limnology and Oceanography, Inc. 48(1, part 2): Wicaksono P The Effect of Sunglint on Satellite Based Benthic Habitat Identification. International Journal of Advanced Research in Computer and Communication Engineering IJARCCE, 1: Yang CS, Kao SP, Lee FB, Hung PS Twelve Different Interpolation Methods: A Case Study of Surfer 8.0. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences XX ISPRS Congress. 38(B2): Zhiming Z, Coillie FV,.Wulf RD, De Clercq EM, Xiaokun O Comparison of Surface and Planimetric Landscape Metrics for Mountainous Land Cover Pattern Quantification in Lancang Watershed, China. Mountain Research and Development. 32(2):

48 36 Lampiran 1 Spesifikasi citra satelit worldview-2 yang digunakan dalam penelitian <?xml version="1.0" encoding="utf-8" standalone="yes"?> <isd> <IMD> <VERSION>23.7</VERSION> <GENERATIONTIME> T16:21: Z</GENERATIONTIME> <PRODUCTORDERID> _01_P001</PRODUCTORDERI D> <PRODUCTCATALOGID> D7F00</PRODUCTCATALO GID> <IMAGEDESCRIPTOR>ORStandard2A</IMAGEDESCRIPTOR> <BANDID>Multi</BANDID> <PANSHARPENALGORITHM>None</PANSHARPENALGORITHM> <NUMROWS>2263</NUMROWS> <NUMCOLUMNS>3683</NUMCOLUMNS> <PRODUCTLEVEL>LV2A</PRODUCTLEVEL> <PRODUCTTYPE>Standard</PRODUCTTYPE> <NUMBEROFLOOKS>1</NUMBEROFLOOKS> <RADIOMETRICLEVEL>Corrected</RADIOMETRICLEVEL> <RADIOMETRICENHANCEMENT>Off</RADIOMETRICENHANCE MENT> <BITSPERPIXEL>16</BITSPERPIXEL> <COMPRESSIONTYPE>None</COMPRESSIONTYPE> <OUTPUTFORMAT>GeoTIFF</OUTPUTFORMAT> <BAND_C> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 03</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>24</TDILEVEL> </BAND_C> <BAND_B> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT>

49 37 Lampiran 1 (lanjutan) <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 02</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>10</TDILEVEL> </BAND_B> <BAND_G> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 02</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>10</TDILEVEL> </BAND_G> <BAND_Y> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON>

50 38 Lampiran 1 (lanjutan) <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 03</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>18</TDILEVEL> </BAND_Y> <BAND_R> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 02</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>6</TDILEVEL> </BAND_R> <BAND_RE> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 03</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>18</TDILEVEL> </BAND_RE>

51 39 Lampiran 1 (lanjutan) <BAND_N> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 02</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>6</TDILEVEL> </BAND_N> <BAND_N2> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <ULHAE> e+01</ULHAE> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <URHAE> e+01</URHAE> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LRHAE> e+01</LRHAE> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <LLHAE> e+01</LLHAE> <ABSCALFACTOR> e- 03</ABSCALFACTOR> <EFFECTIVEBANDWIDTH> e- 02</EFFECTIVEBANDWIDTH> <TDILEVEL>24</TDILEVEL> </BAND_N2> <IMAGE> <SATID>WV02</SATID> <MODE>FullSwath</MODE> <SCANDIRECTION>Forward</SCANDIRECTION> <CATID> E863100</CATID> <FIRSTLINETIME> T03:39: Z</FIRSTLINETIME>

52 40 Lampiran 1 (lanjutan) <AVGLINERATE> e+03</AVGLINERATE> <EXPOSUREDURATION> e- 04</EXPOSUREDURATION> <MINCOLLECTEDROWGSD> e+00</MINCOLLE CTEDROWGSD> <MAXCOLLECTEDROWGSD> e+00</MAXCOLL ECTEDROWGSD> <MEANCOLLECTEDROWGSD> e+00</MEANCO LLECTEDROWGSD> <MINCOLLECTEDCOLGSD> e+00</MINCOLLEC TEDCOLGSD> <MAXCOLLECTEDCOLGSD> e+00</MAXCOLLE CTEDCOLGSD> <MEANCOLLECTEDCOLGSD> e+00</MEANCOL LECTEDCOLGSD> <MEANCOLLECTEDGSD> e+00</MEANCOLLEC TEDGSD> <ROWUNCERTAINTY> e+01</ROWUNCERTAIN TY> <COLUNCERTAINTY> e+01</COLUNCERTAINT Y> <MINSUNAZ> e+02</MINSUNAZ> <MAXSUNAZ> e+02</MAXSUNAZ> <MEANSUNAZ> e+02</MEANSUNAZ> <MINSUNEL> e+01</MINSUNEL> <MAXSUNEL> e+01</MAXSUNEL> <MEANSUNEL> e+01</MEANSUNEL> <MINSATAZ> e+02</MINSATAZ> <MAXSATAZ> e+02</MAXSATAZ> <MEANSATAZ> e+02</MEANSATAZ> <MINSATEL> e+01</MINSATEL> <MAXSATEL> e+01</MAXSATEL> <MEANSATEL> e+01</MEANSATEL> <MININTRACKVIEWANGLE> e+00</MININTRACKVIEWANGLE> <MAXINTRACKVIEWANGLE> e+00</MAXINTRACKVIEWANGLE> <MEANINTRACKVIEWANGLE> e+00</MEANINTRACKVIEWANGLE> <MINCROSSTRACKVIEWANGLE> e-01</MINCROSSTRACKVIEWANGLE> <MAXCROSSTRACKVIEWANGLE> e-01</MAXCROSSTRACKVIEWANGLE> <MEANCROSSTRACKVIEWANGLE> e-01</MEANCROSSTRACKVIEWANGLE> Lampiran 1 (lanjutan)

53 41 Lampiran 1 (lanjutan) <MINOFFNADIRVIEWANGLE> e+00</MINOFFNADIRV IEWANGLE> <MAXOFFNADIRVIEWANGLE> e+00</MAXOFF NADIRVIEWANGLE> <MEANOFFNADIRVIEWANGLE> e+00</MEANO FFNADIRVIEWANGLE> <PNIIRS> e+00</PNIIRS> <CLOUDCOVER> e+00</CLOUDCOVER> <RESAMPLINGKERNEL>CC</RESAMPLINGKERNEL> <POSITIONKNOWLEDGESRC>R</POSITIONKNOWLEDGESRC> <ATTITUDEKNOWLEDGESRC>R</ATTITUDEKNOWLEDGESRC> <REVNUMBER>10634</REVNUMBER> </IMAGE> <MAP_PROJECTED_PRODUCT> <EARLIESTACQTIME> T03:39: Z</EARLIESTACQTIME> <LATESTACQTIME> T03:39: Z</LATESTACQTIME> <DATUMNAME>WE</DATUMNAME> <SEMIMAJORAXIS> e+06</SEMIMAJORAXIS> <INVERSEFLATTENING> e+02</INVERSEFLATT ENING> <DATUMOFFSETList> <DATUMOFFSET> e e e+00</DATUMOFFSET> </DATUMOFFSETList> <MAPPROJNAME>UTM</MAPPROJNAME> <MAPPROJCODE>1</MAPPROJCODE> <MAPZONE>48</MAPZONE> <MAPHEMI>S</MAPHEMI> <MAPPROJPARAMList> <MAPPROJPARAM> e e e e e e e e e e e e e e e+00</MAPPROJPARAM> </MAPPROJPARAMList> <PRODUCTUNITS>M</PRODUCTUNITS> <ORIGINX> e+05</ORIGINX> <ORIGINY> e+06</ORIGINY> <ORIENTATIONANGLE> e+00</ORIENTATIONA NGLE> <COLSPACING> e+00</COLSPACING> <ROWSPACING> e+00</ROWSPACING>

54 42 Lampiran 1 (lanjutan) <PRODUCTGSD> e+00</PRODUCTGSD> <ULX> e+05</ULX> <ULY> e+06</ULY> <ULH> e+01</ULH> <URX> e+05</URX> <URY> e+06</URY> <URH> e+01</URH> <LRX> e+05</LRX> <LRY> e+06</LRY> <LRH> e+01</LRH> <LLX> e+05</LLX> <LLY> e+06</LLY> <LLH> e+01</LLH> <DEMCORRECTION>Base Elevation</DEMCORRECTION> <TERRAINHAE> e+01</TERRAINHAE> <NUMGCP>0</NUMGCP> </MAP_PROJECTED_PRODUCT> </IMD> <TIL> <BANDID>Multi</BANDID> <NUMTILES>1</NUMTILES> <TILESIZEX>3683</TILESIZEX> <TILESIZEY>2263</TILESIZEY> <TILEUNITS>Pixels</TILEUNITS> <TILEOVERLAP>0</TILEOVERLAP> <TILE> <FILENAME>11OCT M2AS _01_P001.TIF</FILENAME> <ULCOLOFFSET>0</ULCOLOFFSET> <ULROWOFFSET>0</ULROWOFFSET> <URCOLOFFSET>3682</URCOLOFFSET> <URROWOFFSET>0</URROWOFFSET> <LRCOLOFFSET>3682</LRCOLOFFSET> <LRROWOFFSET>2262</LRROWOFFSET> <LLCOLOFFSET>0</LLCOLOFFSET> <LLROWOFFSET>2262</LLROWOFFSET> <ULLON> e+02</ULLON> <ULLAT> e+00</ULLAT> <URLON> e+02</URLON> <URLAT> e+00</URLAT> <LRLON> e+02</LRLON> <LRLAT> e+00</LRLAT> <LLLON> e+02</LLLON> <LLLAT> e+00</LLLAT> <ULX> e+05</ULX>

55 43 Lampiran 1 (lanjutan) <ULY> e+06</ULY> <URX> e+05</URX> <URY> e+06</URY> <LRX> e+05</LRX> <LRY> e+06</LRY> <LLX> e+05</LLX> <LLY> e+06</LLY> </TILE> </TIL> <RPB> <SATID>WV02</SATID> <BANDID>Multi</BANDID> <SPECID>RPC00B</SPECID> <IMAGE> <ERRBIAS> e+01</ERRBIAS> <ERRRAND> e-01</ERRRAND> <LINEOFFSET>1131</LINEOFFSET> <SAMPOFFSET>1842</SAMPOFFSET> <LATOFFSET> e+00</LATOFFSET> <LONGOFFSET> e+02</LONGOFFSET> <HEIGHTOFFSET>17</HEIGHTOFFSET> <LINESCALE>1138</LINESCALE> <SAMPSCALE>1845</SAMPSCALE> <LATSCALE> e-02</LATSCALE> <LONGSCALE> e- 02</LONGSCALE> <HEIGHTSCALE>501</HEIGHTSCALE> <LINENUMCOEFList> <LINENUMCOEF> e e e e e e e e e e e e e e e e e e e e+00</LINENUMCOEF> </LINENUMCOEFList> <LINEDENCOEFList> <LINEDENCOEF> e e e e e e e e e e e e e e e e-08

56 44 Lampiran 1 (lanjutan) e e e e+00</LINEDENCOEF> </LINEDENCOEFList> <SAMPNUMCOEFList> <SAMPNUMCOEF> e e e e e e e e e e e e e e e e e e e e+00</SAMPNUMCOEF> </SAMPNUMCOEFList> <SAMPDENCOEFList> <SAMPDENCOEF> e e e e e e e e e e e e e e e e e e e e+00</SAMPDENCOEF> </SAMPDENCOEFList> </IMAGE> </RPB> </isd>

57 45 Lampiran 2 Foto peralatan lapangan (a) (b) (c) (d) Keterangan gambar: (a) GPS Handheld 62S, (b) GPS Map Sounder 420S dan transducer, (c) peralatan SCUBA, (d) transek ukuran 2m x 2m

58 46 Lampiran 3 Titik sampel kelas habitat perairan P. Panggang No Lintang Bujur Kelas Habitat DCA DCA DCA DCA DCA DCA DCA DCA-makroalga DCA-makroalga DCA-makroalga Karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang

59 No Lintang Bujur Kelas Habitat karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang karang 47

60 48 No Lintang Bujur Kelas Habitat karang karang karang karang mix beton karang mix beton karang mix DCA karang mix DCA karang mix DCA karang mix DCA karang mix DCA karang mix DCA karang mix DCA karang mix rubble karang mix rubble lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun rapat lamun sedang

61 No Lintang Bujur Kelas Habitat lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang lamun sedang makroalga makroalga makroalga pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir 49

62 50 No Lintang Bujur Kelas Habitat pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir pasir mix lamun pasir mix lamun pasir mix lamun pasir mix lamun pasir mix lamun pasir mix lamun pasir mix lamun pasir mix lamun pasir mix rubble pasir mix rubble pasir mix rubble pasir mix rubble pasir mix rubble rubble rubble rubble rubble mix karang rubble mix karang rubble mix karang rubble mix karang rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir rubble mix pasir

63 51 Lampiran 4 Spesifikasi GPS Map Sounder 420S Temp. Range Receiver GPS Accuracy : - Position - Velocity WAAS Accuracy - Position - Velocity - Dynamics Power source Usage Fuse Sonar power : - Dual frequency - Dual beam Frequency Depth 5oF to 131 F(-12oC to 55 oc) Differential ready 12 parallel channel WAAS capable receiver <49 feet (<15 meter), 95% typical 0.05 meter/sec steady state <10 feet (<3 meter), 95% typical 0.05 meter/sec steady state 6gs VDC 15 watts max at 13.8 VDC AGC/3AG-3.0 Amp 500 W(RMS), 4000W (peak to peak) 400 W(RMS), 3200 W (peak to peak) 50/200 khz (dual frequency) 80/200 khz (dual beam) 1500 ft (dual frequency) 900 ft (dual beam)

64 52 Lampiran 5 Data pasang surut pada saat akuisisi citra satelit WV-2 di lokasi penelitian Tinggi (cm) Waktu (UTC) pasut *Akuisisi citra satelit WV-2 di lokasi penelitian pada tanggal 19 Oktober 2011 pukul 3:39 UTC terjadi pasang sebesar 26,5 cm digunakan untuk koreksi batimetri berdasarkan ekstrak citra satelit

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

PEMETAAN PROFIL HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL BERDASARKAN BENTUK TOPOGRAFI: Studi Kasus Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta

PEMETAAN PROFIL HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL BERDASARKAN BENTUK TOPOGRAFI: Studi Kasus Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta Pemetaan Profil Habitat Dasar Perairan Dangkal... (Setyawan dkk.) PEMETAAN PROFIL HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL BERDASARKAN BENTUK TOPOGRAFI: Studi Kasus Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta (Shallow

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian. BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 sampai bulan Desember 2006. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Gugus Pulau Pari, Kepulauan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012 JUDUL KEGIATAN: PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGITAS PEMANFAATAN DATA INDERAJA UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI KUALITAS DANAU BAGI KESESUAIAN BUDIDAYA PERIKANAN DARAT

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

Aplikasi Algoritma Klasifikasi Mean Shift untuk Pemetaan Habitat Bentik Studi Kasus Kepulauan Karimunjawa

Aplikasi Algoritma Klasifikasi Mean Shift untuk Pemetaan Habitat Bentik Studi Kasus Kepulauan Karimunjawa Aplikasi Algoritma Klasifikasi Mean Shift untuk Pemetaan Habitat Bentik Studi Kasus Kepulauan Karimunjawa PramadityaWicaksono 1, Nur Mohammad Farda 1 1 Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi,

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

EVALUASI CITRA WORLDVIEW-2 UNTUK PENDUGAAN KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL PULAU KELAPA-HARAPAN MENGGUNAKAN ALGORITMA RASIO BAND

EVALUASI CITRA WORLDVIEW-2 UNTUK PENDUGAAN KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL PULAU KELAPA-HARAPAN MENGGUNAKAN ALGORITMA RASIO BAND OPEN ACCESS Vol 2, No 1, 2015, 30-37 Geoplanning Journal of Geomatics and Planning E-ISSN: 2355-6544 http://ejournal.undip.ac.id/index.php/geoplanning EVALUASI CITRA WORLDVIEW-2 UNTUK PENDUGAAN KEDALAMAN

Lebih terperinci

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul Dinamika Karakteristik

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pantai Teritip hingga Pantai Ambarawang kurang lebih 9.5 km dengan koordinat x = 116 o 59 56.4 117 o 8 31.2

Lebih terperinci

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI 1. Perhitungan Ketelitian Ketelitian dari semua pekerjaan penentuan posisi maupun pekerjaan pemeruman selama survei dihitung dengan menggunakan metoda statistik tertentu

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Juli 2017, 9(2):77-84 PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN BATIMETRY MAPPING USING ACOUSTIC METHOD

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN ANALISIS PARAMETER KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN SUMENEP UNTUK PEMBUATAN PETA SEBARAN POTENSI IKAN PELAGIS (Studi Kasus : Total Suspended Solid (TSS)) Feny Arafah, Muhammad Taufik, Lalu Muhamad

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah 13,466 pulau yang memiliki nama dan koordinat, serta garis pantai kepulauan sepanjang 99,093 km (BIG 2015). Dari kondisi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan arus informasi yang semakin transparan, serta perubahan-perubahan dinamis yang tidak dapat dielakkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK ALGORITMA UNTUK ESTIMASI KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM + (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) Algorithm to estimate shallow water depth by using

Lebih terperinci

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 20 No. 2 Desember 2014: 165-170 TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI (Surveying Technology for Coastal Mapping) Imam Mudita Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Pengukuran Kekotaan Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Contoh peta bidang militer peta topografi peta rute pelayaran peta laut

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED CORYELISABETY DIANOVITA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Iva Nurwauziyah, Bangun Muljo Sukojo, Husnul Hidayat Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di daerah Teluk Hurun, Lampung. Teluk Hurun merupakan bagian dari Teluk Lampung yang terletak di Desa Hanura Kec. Padang Cermin Kabupaten

Lebih terperinci

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG (SPATIAL PATTERN OF BATHYMETRY IN BUNGUS BAY, PADANG CITY) Oleh YULIUS, H. PRIHATNO DAN I. R. SUHELMI Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya

Lebih terperinci

PEMISAHAN ANTARA RADIANSI DASAR PERAIRAN DAN RADIANSI KOLOM AIR PADA CITRA ALOS AVNIR-2

PEMISAHAN ANTARA RADIANSI DASAR PERAIRAN DAN RADIANSI KOLOM AIR PADA CITRA ALOS AVNIR-2 PEMISAHAN ANTARA RADIANSI DASAR PERAIRAN DAN RADIANSI KOLOM AIR PADA CITRA ALOS AVNIR-2 Muhammad Anshar Amran 1) 1) Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) A554 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni Ratnasari dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

KAJIAN GEOMORFOLOGI HABITAT BENTIK PERAIRAN DANGKAL PULAU HARAPAN-KELAPA, KEPULAUAN SERIBU TARLAN SUBARNO

KAJIAN GEOMORFOLOGI HABITAT BENTIK PERAIRAN DANGKAL PULAU HARAPAN-KELAPA, KEPULAUAN SERIBU TARLAN SUBARNO KAJIAN GEOMORFOLOGI HABITAT BENTIK PERAIRAN DANGKAL PULAU HARAPAN-KELAPA, KEPULAUAN SERIBU TARLAN SUBARNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan III. METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan laporan kembali dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2009. Pengamatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 14 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu pengukuran iluminasi cahaya pada medium udara, pengoperasian bagan apung, dan pengukuran iluminasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Georeferencing dan Resizing Enggar Budhi Suryo Hutomo 10301628/TK/37078 JURUSAN S1 TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015 BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai BATIMETRI Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 Modul 2. Batimetri TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) merupakan bagian dari Provinsi Maluku yang sebagian besar terletak di Pulau Seram yang secara geografis terletak pada 1 19'-7 16'

Lebih terperinci

PEMETAAN BENTIK HABITAT DAN TUTUPAN LAHAN PULAU TUNDA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT WORLDVIEW-2 IRPAN PIDIA PUTRA

PEMETAAN BENTIK HABITAT DAN TUTUPAN LAHAN PULAU TUNDA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT WORLDVIEW-2 IRPAN PIDIA PUTRA PEMETAAN BENTIK HABITAT DAN TUTUPAN LAHAN PULAU TUNDA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT WORLDVIEW-2 IRPAN PIDIA PUTRA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN AKURASI METODE BAND TUNGGAL DAN BAND RASIO UNTUK PEMETAAN BATIMETRI PADA LAUT DANGKAL OPTIS

PERBANDINGAN AKURASI METODE BAND TUNGGAL DAN BAND RASIO UNTUK PEMETAAN BATIMETRI PADA LAUT DANGKAL OPTIS PERBANDINGAN AKURASI METODE BAND TUNGGAL DAN BAND RASIO UNTUK PEMETAAN BATIMETRI PADA LAUT DANGKAL OPTIS Pramaditya Wicaksono Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

Lebih terperinci

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi Hal yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan survey hidrografi adalah ketentuan teknis atau disebut juga spesifikasi pekerjaan. Setiap pekerjaan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-399 PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

RSNI-3 Rancangan Standar Nasional Indonesia-3

RSNI-3 Rancangan Standar Nasional Indonesia-3 RSNI-3 Rancangan Standar Nasional Indonesia-3 Pemetaan habitat perairan laut dangkal Bagian 1: Pemetaan terumbu karang dan padang lamun (Hasil Rapat Konsensus 1 Maret 2011) ICS 07.040 Badan Standardisasi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga September 2010 dan mengambil lokasi di wilayah DAS Ciliwung Hulu, Bogor. Pengolahan data dan analisis

Lebih terperinci