SKRIPSI. PEMANFAATAN LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) SEBAGAI BAHAN ANTIJAMUR DALAM SAMPO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI. PEMANFAATAN LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) SEBAGAI BAHAN ANTIJAMUR DALAM SAMPO"

Transkripsi

1 SKRIPSI PEMANFAATAN LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) SEBAGAI BAHAN ANTIJAMUR DALAM SAMPO OLEH : RINI BUDIARTI F DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 Rini Budiarti. F PEMANFAATAN LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) SEBAGAI BAHAN ANTIJAMUR DALAM SAMPO. Di bawah bimbingan Prof. Abdul Aziz Darwis dan Christina Winarti, MA. RINGKASAN Lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang memiliki komponen bioaktif yang berfungsi sebagai antijamur, yaitu 1 -Asetoksi khavikol asetat, eugenol, dan flavonol. Potensi bahan aktif antijamur dalam rimpang lengkuas merah merupakan salah satu solusi bagi merebaknya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Pemanfaatan lengkuas merah dalam sampo merupakan alternatif sumber sediaan sampo antijamur yang lebih aman bagi penderita infeksi kulit kepala. Selain itu, tingginya produksi lengkuas di Indonesia menjadikan pembuatan sampo lengkuas merah sebagai upaya peningkatan nilai tambah dari tanaman tersebut. Penelitian ini bertujuan : (1) untuk mengetahui pengaruh ekstrak lengkuas merah terhadap karakteristik produk sampo, (2) untuk mengetahui efektifitas sampo dengan ekstrak lengkuas merah terhadap jamur penyebab infeksi kulit kepala, dan (3) untuk mengetahui kesukaan konsumen terhadap produk sampo antijamur dengan ekstrak lengkuas merah. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama meliputi analisa bubuk lengkuas merah dan ekstraksi lengkuas merah. Tahap kedua, yaitu proses pembuatan sampo dengan menggunakan empat taraf perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah (0,5 persen, 1 persen, 2 persen, dan 3 persen), pengujian karaktersiatik sampo, pengujian daya antijamur, dan uji organoleptik sampo. Ekstraksi lengkuas merah dengan metode maserasi menghasilkan ekstrak kental berwarna coklat pekat dengan rendemen sebesar 24,85 persen. Hasil analisa terhadap bubuk lengkuas merah menghasilkan nilai kadar air sebesar 7,8 persen, kadar abu 9,16 persen, kadar abu tidak larut asam 2,93 persen, kadar sari larut dalam air 31,22 persen, dan kadar sari larut dalam etanol 21,6 persen. Sampo ekstrak lengkuas merah yang dihasilkan efektif menghambat pertumbuhan dua jenis jamur penyebab infeksi kulit kepala, yaitu Tricophyton mentagropytes dan Misrosporum canis Dari hasil pengujian antijamur, diperoleh nilai diameter daerah hambat untuk jamur T. Mentagropytes dengan kisaran mm, sedangkan M. canis dengan kisaran sebesar 32,3-36 mm. Nilai diameter daerah hambat terhadap jamur dipengaruhi oleh jenis jamur. Sampo ekstrak lengkuas merah memiliki rentang ph , nilai ini masih sesuai dengan baku mutu ph sampo menurut SNI (1992). Viskositas sampo yang dihasilkan berkisar cp. Nilai kadar air dengan rentang persen dan alkali bebas sampo (untuk semua tingkat konsentrasi = 0), pada semua tingkat konsentrasi ekstrak masih memenuhi nilai syarat mutu kadar air dan alkali bebas sampo. Nilai kestabilan emulsi sampo dengan ekstrak lengkuas merah memiliki nilai berkisar persen, nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan sampo kontrol, yaitu sampo Natur dan Merang. Pada pengujian umur simpan, nilai ph sampai akhir penyimpanan masih termasuk pada baku mutu sampo menurut SNI (1992), yaitu sekitar Nilai viskositas sampo selama penyimpanan untuk semua tingkat konsentrasi ekstrak berkisar cp.

3 Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa variasi konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh nyata terhadap nilai ph, kekentalan, kadar air, dan stabilitas emulsi sampo. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sampo ekstrak lengkuas merah yang paling disukai adalah sampo dengan konsentrasi ekstrak lengkuas merah 1 persen.

4 Rini Budiarti. F Application Red Galangal (Alpinia purpurata K. Schum) as Antifungal Agent in Shampoo. Supervised by Prof. Dr. Ir. Abdul Aziz Darwis, MSc dan Ir. Christina Winarti, MA. SUMMARY Red galangal (Alpinia purpurata K. Schum) has been proven as antifungal which bioactive compound such as 1 -Acetoxychavicol Acetate, eugenol, and.flavonol. Use red galangal extract in shampoo is effort to give added value for red galangal which at the moment still exploting for addition in food ingredient. Beside, to made new antifungal shampoo which more safe than antifungal shampoo with synthetic antifungal active material. The aim of this research were, (1) to observe the influence of red galangal extract on the characteristic of shampoo, (2) to know the effectivity of shampoo with red galangal extract for two kind fungi that caused scalp and hair infection, and (3) to know how far consumen s acceptance to shampoo with red galangal extract. The experiment was set up in in complete randomized single design, with two repetition. The treatment factor was red galangal extract concentration with four degrees, which were 0.5 percent; 1 percent; 2 percent; and 3 percent. This research consist of two steps. First step was red galangal extract production and analyze of red galangal powder. In the second step was produced shampoo using red galangal extract wuth four levels concentration, and analyze of shampoo s characteristic, and antifungal test. Result had shown the potential of red galangal extract as antifungal agent for Tricophyton mentagropytes and Microsporum canis. Value of inhibitors zone for T. Mentagropytes are mm and for M. canis are mm. Based on the result of susceptibility test, the growth of Tricophyton mentagropytes can be inhibited better than Microsporum canis. Difference result of antifungal agent by red galangal extract affected by characteristic of cell wall and viscosity of shampoo with red galangal extract. The shampoo analysis with red galangal extract treatments had average ph range ; viscosity cp ; zero free alkaly in all concentration red galangal extract ; water rate percen ; and emultion stability percen. From the analysis result showed that the outcome shampoo in this research had fulfilled the shampoo quality standart in the market and standart for shampoo from Indonesian National Standart about shampoo (SNI ). The ph stability during 30 days the extend are , whereas viscosity stability during 30 days the extend are cp. Result of the manner analysis has showed that the variation of red galangal extract influenced the ph value, water rate, viscosity, and emultion stability of shampoo with red galangal extract. Result of organoleptic test indicate that shampoo with red galangal extract which most accepted by the consumer is shampoo with 1 persen red galangal extract..

5 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Lengkuas (Alpinia galanga)... 4 B. Komposisi Kimia Lengkuas... 7 D. Khasiat Komponen Bioaktif Lengkuas... 8 E. Tinea Capitis F. Senyawa Antijamur G. Sampo H. Formulasi Sampo III. METODOLOGI A. ALAT DAN BAHAN B. METODE PENELITIAN B.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Pengolahan Simplisia Lengkuas Ekstraksi B.2. PENELITIAN UTAMA Pembuatan Sampo Antijamur Analisa Karakteristik Sampo Antijamur Pengujian Aktivitas Antijamur Uji Kesukaan Konsumen Uji Stabilitas Penyimpanan... 25

6 C. RANCANGAN PERCOBAAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERLAKUAN PENDAHULUAN A.1. Analisa Bubuk Lengkuas A.2. Ekstraksi Komponen Bioaktif Lengkuas Merah A.3. Analisa Ekstrak Lengkuas Merah B. PENELITIAN UTAMA B.1 Karakteristik Sampo Nilai ph Viskositas Alkali Bebas Kadar Air Stabilitas Emulsi B.2 UJI STABILITAS Stabilitas Nilai ph Stabilitas Viskositas B.3 DAYA ANTIJAMUR B.4 UJI KESUKAAN KONSUMEN Kesukaan Terhadap Penampakan Sampo Kesukaan terhadap Aroma Sampo Kesukaan terhadap Kekentalan Sampo Kesukaan terhadap Banyaknya Busa Sampo Kesukaan terhadap Kesan setelah Pemakaian Sampo V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

7 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Produksi Tanaman Obat di Indonesia Tahun Tabel 2. Aktivitas Beberapa Komponen Bioaktif Pada Rempah-Rempah Tabel 3. Standar Mutu Sampo (SNI ) Tabel 4. Formulasi Sampoo dengan Ekstrak Lengkuas Merah Tabel 5. Data Panduan untuk Uji Umur Simpan Produk Emulsi Tabel 6. Hasil Analisis Mutu Simplisia Lengkuas Merah (kadar bahan, % b/k) Tabel 7. Hasil Analisa Ekstrak Lengkuas Merah Tabel 8. Nilai Alkali Bebas Sampo Ekstrak lengkuas Merah Tabel 9. Hasil Uji Antijamur Sampo Ekstrak Lengkuas Merah v

8 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Tanaman Lengkuas dan Rimpang Lengkuas (Alpinia puepurata K. Schum)... 5 Gambar 2. Struktur Flavonol pada Alpinia sp Gambar 3. Diagram Alir Ekstraksi Simplisia Lengkuas Merah Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Sampo Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) Gambar 5. Bagan Persiapan Kultur Uji Gambar 6. Pengujian Antijamur Metode Difusi Agar Gambar 7. Bubuk Lengkuas Merah Hasil Penggilingan Gambar 8. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai ph Sampo Gambar 9. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai viskositas sampo Gambar 10. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai kadar air sampo Gambar 11. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai stabilitas emulsi sampo Gambar 12. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak lengkuas Merah (ELM) dan Lama Penyimpanan (hari) terhadap Nilai Stabilitas ph Produk Sampo Gambar 13. Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah (ELM) dan Lama Penyimpanan terhadap Stabilitas Viskositas Sampo Gambar 14. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap dengan Diameter Hambat terhadap Jamur Gambar 15. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Penampakan Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah Gambar 16. Penampakan Sampo dengan Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) vi

9 Gambar 17. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Aroma Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah.. 51 Gambar 18. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Kekentalan Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah Gambar 19. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Banyaknya Busa Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah Gambar 20. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Kesan Setelah Pemakaian Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah vii

10 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tata Cara Analisis Bubuk Lengkuas Merah Lampiran 2. Tata Cara Analisa Ekstrak Lengkuas Merah Lampiran 3. Tata Cara Analisis Karakter Sampo Ekstrak Lengkuas Merah Lampiran 4. Hasil Analisa Mutu Bahan Baku Bubuk Lengkuas Merah Lampiran 5a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa ph Sampo Lampiran 5b. Hasil Analisis Ragam ph Sampo Lampiran 5c. Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap ph Sampo Lampiran 6a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Viskositas Sampo Lampiran 6b. Hasil Analisa Ragam Viskositas Sampo Lampiran 6c. Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Viskositas Sampo Lampiran 7a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Kadar Air Sampo Lampiran 7b. Hasil Analisa Ragam Kadar Air Sampo Lampiran 7c. Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kadar Air Sampo Lampiran 8. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Alkali Bebas Sampo Lampiran 9a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Stabilitas Emulsi Sampo Lampiran 9b. Hasil Analisa Ragam Stabilitas Emulsi Sampo Lampiran 9c. Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Stabilitas Emulsi Sampo Lampiran 10a. Hasil Uji Efektivitas Antijamur Sampo Ekstrak Lengkuas Merah 77 Lampiran 10b. Hasil Uji Efektivitas Antijamur Sampo Ekstrak Lengkuas Merah pada Pengenceran 1000 ppm, 3000 ppm, dan 5000 ppm Lampiran 11. Hasil Analisa Ragam Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Daya Antijamur Sampo Lampiran 12. Foto Uji Antijamur Sampo dengan Ekstrak Lengkuas Merah pada Jamur Tricophyton mentagropytes dan Microsporum canis viii

11 Lampiran 13. Stabilitas Nilai ph Sampo Selama Penyimpanan Lampiran 14. Stabilitas Nilai Viskositas Sampo Selama Penyimpanan Lampiran 15. Lembar Uji Kesukaan Sampo Ekstrak Lengkuas Merah Lampiran 16. Prosedur Pengujian Organoleptik Sampo Lampiran 17a. Rekapitulasi Data Hasil Uji Organoleptik terhadap Kesukaan Penampakan Sampo Lampiran 17b.Hasil Uji Friedman Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kesukaan Penampakan Sampo Lampiran 17c. Hasil Analisa Metode Crosstabulation Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Penampakan Sampo Lampiran 18a. Rekapitulasi Data Hasil Uji Organoleptik terhadap Kesukaan Aroma Sampo Lampiran 18b. Hasil Analisa Ragam Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kesukaan Aroma Sampo Lampiran 18c. Hasil Analisa Metode Crosstabulation Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Aroma Sampo Lampiran 19a. Rekapitulasi Data Hasil Uji Organoleptik terhadap Kesukaan Viskositas Sampo Lampiran 19b. Hasil Analisa Metode Crosstabulation Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kesukaan Viskositas Sampo Lampiran 19c. Hasil Analisa Ragam Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kesukaan Viskositas Sampo Lampiran 20a. Rekapitulasi Data Hasil Uji Organoleptik terhadap Banyaknya Busa Sampo Lampiran 20b. Hasil Analisa Ragam Faktor Konsentrasi Ekstrak lengkuas Merah Terhadap Kesukaan Banyaknya Busa Sampo Lampiran 20c. Hasil Analisa Metode Crosstabulation Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Banyaknya Busa Sampo Lampiran 21a. Rekapitulasi Data Hasil Uji Organoleptik terhadap Kesukaan Kesan Setelah Pemakaian Sampo Lampiran 21b. Hasil Analisa Ragam Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kesukaan Kesan setelah Pemakaian Sampo ix

12 Lampiran 21c. Hasil Analisa Metode Crosstabulation Faktor Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kesan Setelah Pemakaian Sampo x

13 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tinea capitis merupakan jenis infeksi yang disebabkan oleh jamur yang menyerang daerah kulit kepala. Jamur yang menginfeksi kulit kepala dapat menyebabkan terjadinya kadas kulit kepala atau yang lebih dikenal sebagai infeksi ringworm, serta timbulnya gejala ketombe atau dandruff. Infeksi kulit kepala akibat jamur dapat mengakibatkan berbagai gangguan, mulai dari rambut dan kulit kepala menjadi kotor, berbau tidak sedap, rambut menjadi merah dengan ujung pecah-pecah serta mudah rontok, hingga pada tahap yang lebih serius dapat menyebabkan luka dalam yang jika sembuh akan meninggalkan bekas atau hilangnya rambut secara permanen (kebotakan permanen). Senyawa antijamur untuk jamur penyebab infeksi kulit kepala yang banyak digunakan saat ini adalah senyawa antijamur sintetis, seperti sampo yang mengandung zat Zinc-phyrithion (ZPT), sulfur, selenium, ketokonazol atau sampo yang mengandung 2 % clotrimezol. Penggunaan bahan antijamur sintetis dalam sampo oleh penderita infeksi kulit kepala menurut Marzuki (2002) ternyata memiliki efek samping, seperti membuat rambut menjadi kering dan pecah-pecah. Selain itu menurut Anon (2002), pemakaian bahan antijamur sintetis juga dapat menimbulkan kulit kepala menjadi kemerahan, meradang, dan nyeri. Efek samping bahan antijamur sintetis mendorong munculnya berbagai penelitian untuk menghasilkan bahan antijamur yang lebih aman, salah satunya adalah bahan antijamur alamiah. Salah satu sumber bahan nabati yang berkhasiat antijamur adalah lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum). Lengkuas merah merupakan tanaman obat yang telah dibuktikan melalui berbagai penelitian memiliki daya antijamur dibandingkan jenis lengkuas putih. Bentuk sediaan yang diuji cukup bervariasi, mulai dari perasan, infus, ekstrak etanol, maupun minyak atsirinya. Khasiat lengkuas sebagai bahan antijamur disebabkan oleh kandungan zat kimianya, seperti

14 basonin, eugenol, galangan, galangol, dan kandungan senyawa kimia 1 - asetoksi kavikol asetat dalam minyak atsirinya. Lengkuas merah merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang telah banyak dimanfaatkan sebagai produk fitofarmaka atau produk yang memanfaatkan sumber daya nabati sebagai sumber bahan obat-obatan. Selain berkhasiat sebagai antijamur, lengkuas merah juga dapat mengobati penyakit gangguan perut, demam, pembengkakan limfa, radang telinga, bronkhitis, rematik dan sebagai obat kuat (aprodisiak). Potensi lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schumm) sebagai bahan antijamur sangatlah penting mengingat infeksi kulit kepala yang disebabkan oleh jamur masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. Infeksi kulit oleh jamur tidak saja menyerang masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat di seluruh dunia. Data Lembaga Kesehatan di Amerika Serikat mencatat bahwa lebih dari 12 juta orang setiap tahunnya terjangkit penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur (Windono dan Setijadi, 2002). Menurut Elewski (2000), anak-anak yang tinggal di kota-kota besar sangat rentan menderita infeksi kulit kepala. Bahkan di negara maju seperti Amerika dan Kanada, diperkirakan 15-25% anak-anak yang berusia 5 sampai 10 tahun mengalaminya. Cara penularannya yang sangat mudah menyebabkan jumlah penderita infeksi ini terus bertambah. Penularan dapat melalui orang atau binatang peliharaan yang terinfeksi. Bahkan sisir rambut, topi, sikat, serta media di kepala lainnya, juga bisa menjadi alat penyebaran jamur. Tingginya produktivitas lengkuas merah di Indonesia memungkinkan pemanfaatan lengkuas merah sebagai produk antijamur komersil. Mengingat saat ini pemanfaatan lengkuas merah masih terbatas pada bidang pangan rumah tangga dan sebagai bahan obat tradisional tanpa adanya pemberian nilai tambah yang berarti bagi lengkuas merah. Data Badan Pusat Statistika (2006) mencatat produksi lengkuas dari tahun 2000 hingga 2005 berturut-turut sebesar : ton, ton, ton, ton, ton, dan ton. Penggunaan ekstrak lengkuas merah dalam produk sampo diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah lengkuas merah selain sebagai 2

15 upaya penemuan alternatif sumber sediaan obat yang lebih aman bagi penderita infeksi kulit kepala. Sampo antijamur dengan bahan aktif ekstrak lengkuas merah diperkirakan dapat menghambat jamur penyebab infeksi kulit kepala, yaitu Tricophyton mentagropytes dan Microsporum canis. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk, (1) mengetahui pengaruh ekstrak lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) terhadap karakteristik produk sampo, (2) mengetahui efektifitas sampo dengan ekstrak lengkuas merah terhadap jamur penyebab infeksi kulit kepala, dan (3) untuk mengetahui kesukaan konsumen terhadap produk sampo dengan ekstrak lengkuas merah. Tercapainya tujuan penelitian ini akan memberikan nilai tambah tersendiri dalam pemanfaatan lengkuas merah. 3

16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lengkuas (Alpinia galanga) A.1. Botani Lengkuas merupakan tanaman herba berumur panjang yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dan obat-obatan dan tergolong ke dalam simplisia rimpang (Sinaga, 2000). Klasifikasi tanaman lengkuas adalah sebagai berikut (Anon, 2000) : Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobioma Superdivisi : Spermathophyta Divisi : Magnoliophyta Klas : Liliopsida Subklas : Zingiberidae Ordo : Zingiberales Keluarga : Zingiberaceae Genus : Alpinia Roxb. Species : Alpinia purpurata K. Schum Berdasarkan warna rimpang, dikenal dua kultivar lengkuas, yaitu lengkuas berimpang putih dan berimpang merah. Lengkuas berimpang putih mempunyai batang semu setinggi 3 m, diameter batang 2.5 cm, dan diameter rimpang 3 4 cm. Sedangkan lengkuas berimpang merah memiliki batang semu berukuran tinggi m, diameter batang 1 cm, dan diameter rimpang 2 cm (Wardana et al., 2002). Rumpun dan bentuk lengkuas merah lebih kecil daripada lengkuas putih. Lengkuas merah juga memiliki serat yang lebih kasar dibandingkan lengkuas putih. Tanaman lengkuas berimpang putih sering dimanfaatkan dalam bidang pangan. Sedangkan lengkuas berimpang merah lebih sering digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional (Sinaga, 2000). Tanaman lengkuas memiliki batang yang sebagian besar dapat mencapai ketinggian sekitar 1-3,5 meter. Biasanya tumbuh dalam rumpun 4

17 yang rapat, memiliki batang tegak yang tersusun oleh pelepah-pelepah daun yang bersatu membentuk batang semu dan berwarna hijau agak keputihputihan. Batang muda keluar sebagai tunas dari pangkal batang tua. Daunnya tunggal, berwarna hijau, bertangkai pendek, dan tersusun berseling. Daun di sebelah bawah dan atas biasanya lebih kecil dari pada yang di tengah. Bentuk daun lanset memanjang, ujung runcing, pangkal tumpul, dengan tepi daun rata, dan pertulangan daun menyirip. Panjang daun sekitar cm, dan lebarnya cm. Buah dari tanaman lengkuas seperti buah buni, berbentuk bulat, keras. Sewaktu masih muda berwarna hijau-kuning, setelah tua berubah menjadi hitam kecoklatan dengan diameter lebih kurang 1 cm. Bijinya kecilkecil, berbentuk lonjong, dan berwarna hitam. Rimpang lengkuas bentuknya besar dan tebal, berdaging, berbentuk silindris dengan diameter sekitar 2-4 cm, dan bercabang-cabang. Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan atau kuning kehijauan pucat mempunyai sisik-sisik berwarna putih atau kemerahan, keras mengkilap, sedangkan bagian dalamnya berwarna putih. Daging rimpang yang sudah tua memiliki serat yang kasar. Rasanya tajam pedas, menggigit, dan berbau harum karena kandungan minyak atsirinya Untuk mendapatkan rimpang yang masih berserat halus, panen harus dilakukan sebelum tanaman berumur lebih kurang 3 bulan. (Sinaga, 2000). Tampilan tanaman dan bunga lengkuas serta rimpang lengkuas dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Gambar 1. Tanaman dan Bunga Lengkuas (Alpinia galanga) 5

18 Gambar 2. Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) A.2. Lokasi Tumbuh Lengkuas banyak tumbuh di hutan-hutan, tegalan, dan pekarangan. Lengkuas dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang subur, gembur, tidak tergenang air, berupa tanah liat yang berpasir, banyak mengandung humus, beraerasi, dan memiliki drainase yang baik. Umumnya tanaman lengkuas dapat tumbuh pada lahan terbuka sampai di tempat yang agak terlindung. Tumbuh pada ketinggian sampai dengan 1200 m diatas permukaan laut dengan curah hujan mm (Wardana et al., 2002). Menurut Sinaga (2000), lengkuas dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian tempat m diatas permukaan laut, dengan curah hujan tahunan mm/tahun, pada bulan basah di atas 100 mm/bulan, selama 7-9 bulan, sedangkan pada bulan kering dibawah 60 mm/bulan, selama 3-5 bulan. Suhu udara lingkungan yang ideal sekitar 29 o C 25 o C, dengan tingkat kelembapan sedang. Pertumbuhan lengkuas memerlukan intensitas penyinaran matahari yang tinggi. Jenis tanah sebagai media tumbuhnya adalah jenis latosol merah coklat, andosol, dan aluvial. Tekstur tanah lempung berliat, lempung berpasir, lempung merah, dan lateristik. Kedalaman air tanah yang dibutuhkan berkisar cm dari permukaan tanah dan kedalaman perakaran sekitar cm dari permukaan tanah. 6

19 A.3. Produksi Lengkuas Tanaman lengkuas termasuk tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan. Hal ini berdasarkan data produksi lengkuas dari Badan Pusat Statistika (2006) sampai tahun 2005 yang terus menunjukkan peningkatan. Produksi lengkuas merah serta beberapa tanaman obat di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Produksi Tanaman Obat di Indonesia Tahun Tahun Lengkuas (Ton) Jahe (Ton) Lempuyang wangi (Ton) Temu hitam (Ton) Kencur (Ton) B. Komposisi Kimia Lengkuas Rimpang lengkuas mengandung karbohidrat, lemak, sedikit protein, mineral (K, P, Na), komponen minyak atsiri, dan berbagai komponen lain yang susunannya belum diketahui. Rimpang lengkuas segar mengandung air sebesar 75 %, dalam bentuk kering mengandung % karbohidrat, 3.07 % protein dan sekitar 0.07 % senyawa kamferid (Darwis et al., 1991). Kandungan minyak atsiri lengkuas yang berwarna kuning kehijauan dalam rimpang lengkuas ± 1 %, dengan komponen utamanya metilsinamat 48 %, sineol %, 1 % kamfer, dan sisanya d-pinen, galangin, dan eugenol penyebab rasa pedas pada lengkuas (Darwis et al., 1991). Selain itu, lengkuas juga mengandung resin yang disebut galangol, amilum, kuersetin, kadinen, sesquiterpen, heksahidrokadalen hidrat, kristal kuning yang disebut kamferid, dan beberapa senyawa flavonoid, seperti flavonol (Sinaga, 2000). Komponen flavonol yang banyak tersebar pada tanaman misalnya lengkuas 7

20 adalah galangin, kaemferol, kuersetin, dan mirisetin (Rusmarilin, 2003). Gambar 3 menyajikan struktur komponen flavonol. Komponen bioaktif pada rempah-rempah, khususnya pada golongan Zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis terpenoid dan flavonoid (Sinaga, 2000). Komponen lainnya yang terdapat pada golongan Alpinia adalah alpinetin. Alpinetin merupakan jenis flavanon yang dikenal sebagai senyawa fungistatik dan fungisida. Bentuk senyawa bioaktif lainnya adalah dari golongan terpenoid. Golongan ini merupakan kelompok utama pada tanaman sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar (C 5 H 8 )n atau dengan satu unit isopren. Jumlah n menunjukkan klasifikasi pada terpenoid yang dikenal dengan monoterpen, diterpen, triterpen, tetraterpen, dan politerpen. Struktur terpenoid ada yang berbentuk siklik ada yang tidak (Bohm, 1975). R1 R2 OH A O B R3 OH OH O Gambar 3. Struktur Flavonol pada Alpinia sp (Rusmarilin, 2003). Menurut Shelef (1983), komponen antimikroba dalam rempahrempah adalah senyawa fenolik. Senyawa fenolik umumnya terdapat dalam minyak atsiri. Fenol merupakan monoterpen yang pada umumnya digunakan sebagai bahan antiseptik. Sedangkan beberapa senyawa terpen lainnya yang memiliki struktur sikloheksana dengan gugus hidroksil serta penambahan gugus lainnya juga memiliki kemmapuan yang sama dengan dalam menghambat kapang, khamir, dan bakteri. Salah satu senyawa bioaktif yang telah berhasil diperoleh dengan metode destilasi uap oleh De Pooter et al. (1985) dan kromatografi kinerja tinggi (HPLC) preparatif (Kondo et al., 1993) adalah 1 -Asetoksi chavikol 8

21 asetat (ACA). Senyawa ini bersifat antifungi dan antikarsinogenik yang terkandung sebesar ± % dalam minyak atsiri rimpang lengkuas segar (De Pooter et al., 1985) atau ± 0.11 % dalam per 100 gram bahan rimpang lengkuas segar. ACA larut dalam pelarut semipolar, seperti etil asetat, diklorometan atau kloroform. C. Khasiat Komponen Bioaktif Lengkuas Rimpang lengkuas putih lebih banyak digunakan dalam bidang pangan, yaitu sebagai pengempuk daging dalam masakan dan sebagai salah satu rempah untuk berbagai jenis bumbu masakan tradisional Indonesia (Rismunandar, 1988). Sedangkan lengkuas berimpang merah lebih sering digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional. Perbedaan fungsi ini dipengaruhi dari kandungan komponen bioaktif antara lengkuas putih dan lengkuas merah. Menurut Rahayu (1999) di dalam Rusmarilin (2003), lengkuas putih memiliki komponen larut air dan larut alkohol yang lebih tinggi dibandingkan lengkuas merah. Sebaliknya, kandungan minyak atsiri dan komponen antijamur pada lengkuas merah, memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada lengkuas putih. Sebagian besar komponen bioaktif pada tanaman rempah-rempah mempunyai khasiat terutama dalam bidang kesehatan. Tabel 2 memperlihatkan aktivitas beberapa senyawa bioaktif pada rempah-rempah. Komponen bioaktif yang menyebabkan aroma pedas menyengat pada lengkuas telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur. Komponen tersebut adalah linalool, geranyl acetate, dan 1,8- cineole, yang dapat menghambat water molds, seperti jenis Carassius auratus dan Xiphoporus maculates (Chukanhom et al., 2005). Selain itu, Chami et al. (2004), menyatakan bahwa eugenol dapat menghambat jamur Candida albicans secara efektif. Dalam farmakologi Cina dan dunia pengobatan tradisional disebutkan bahwa lengkuas merah memiliki sifat antijamur dan antikembung. Efek farmakologi ini umumnya diperoleh dari rimpang yang mengandung basonin, eugenol, galangan, dan galangol. Basonin dikenal dapat 9

22 menimbulkan efek merangsang semangat, eugenol dapat memiliki sifat antijamur terhadap jenis Candida albicans, antikejang, analgetik, anestetik, dan penekan pengendali gerak. Galangan dapat meredakan rasa lelah, antimutagenik, penghambat enzim siklo-oksigenase dan lipoksogenase, sementara galangal dapat merangsang semangat dan menghangatkan tubuh (Anon, 2003). Kegunaan rimpang lengkuas lainnya adalah untuk mengobati eksim, bronkhitis, masuk angin, radang anak telinga, radang lambung, khlorela, dan sebagai obat karminativ (obat yang dapat merangsang gerakan usus, memperbaiki pencernaan, dan menghilangkan kembung) (Darwis et al., 1991). Khasiat antijamur ekstrak lengkuas merah telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Parutan rimpang lengkuas merah telah banyak digunakan sejak zaman dahulu sebagai obat bagi beberapa penyakit kulit, seperti panu, kurap, eksim, jerawat, koreng, bisul, dan sebagainya (Anon, 2000). Hasil penelitian Hezmela (2006) menyatakan bahwa ekstrak lengkuas merah dapat menghambat pertumbuhan jamur penyebab penyakit kulit, yaitu jamur jenis Trichophyton mentagrophytes dan Microssporum canis. Ekstrak lengkuas merah yang diaplikasikan dalam salep dapat menghambat Trichophyton mentagropytes sebesar ± 0.22 mm dan Microsporum canis sebesar ± 0.22 mm. Selain itu, menurut Sundari dan Winarno (2002), beberapa bentuk sediaan ekstrak lengkuas merah dapat mengahmabat pertumbuhan 5 (lima) jenis jamur, yaitu : Trichophyton rubrum, Trichophyton ajelloi, Trichophyton mentagrophytes, Mycrosporum gypseum, dan Epidermo floccosum. Khasiat lengkuas merah sebagai antimikroba juga telah diteliti oleh Hedy (1980) yang mempelajari aktivitas lengkuas merah sebagai antimikroba penyakit panu, Pratiwi (1992) yang menguji lengkuas merah terhadap mikroba penyebab penyakit kulit, dan Rahmawati (1995) yang mengaplikasikan antijamur lengkuas merah pada jamur penyebab ketombe. 10

23 Tabel 2. Aktivitas Beberapa Komponen Bioaktif Pada Rempah-Rempah Jenis Rempahrempah Jenis Komponen Bioaktif 1) Lengkuas Kuersetin, kaemferol, 1,8- sineol, α-pinen, limonen, terpineol, tujon, dan mirsen. 1) Aktivitas Bioaktif 2) Antimikroba, antioksidan, antikarsinogenik, antifertilitas, antioksidan, dan antifeedant. Jahe Gingerol Antikoagulan, menurunkan kadar kolesterol Adas, Anis Anethole Ekspektoran, antiinflamsi Bintang Sereh Sitronelal, Sitronellol Insektisida Cengkeh Eugenol Antiinflamasi, antikarminativa, stimulan, antimikroba Kapulaga Terpineol Antialergik, antiseptik, bakterisida Kayu putih, Sineol Antiseptik, bakterisida, herbisida eucalyptus Akar wangi Vetiverol Diaferotik Kayu manis Sinamaldehid Antikarminativa, spasmolotik, antimikroba Sumber : 1) Ketaren (1985) 2) Malaysian Herbal Database (2003) D. Tinea Capitis Tinea capitis merupakan jenis infeksi yang disebabkan oleh jamur (dermatofitosis) dan menyerang daerah kulit kepala (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Menurut Volk dan Wheeler (1984), jamur penyebab dermatofitosis merupakan organisme-organisme yang membutuhkan keratin dalam pertumbuhannya. Keratin banyak terdapat di daerah kulit, rambut, dan kuku. Beberapa jenis jamur penyebab dermatofitosis adalah Trichophyton sp, Microsporum sp, dan Epidermophyton sp. Untuk jamur yang menyerang kulit 11

24 kepala, biasanya hanya jamur dari jenis Microsporum sp., terutama dari spesies Microsporum canis, serta Trichophyton sp., salah satunya dari spesies Trichophyton mentagropytes, yang juga dapat menginfeksi kuku (Tinea pedis) (Greenwood et al., 1995). Jamur yang menginfeksi kulit kepala dapat menyebabkan terjadinya kadas kulit kepala atau yang lebih dikenal sebagai infeksi ringworm (Volk dan Wheeler, 1984). Kadas kulit kepala ini muncul sebagai perluasan gelang-gelang di kulit kepala, dengan jamur yang tumbuh di dalam dan pada rambut. Reaksi-reaksi peradangan yang muncul dapat menyebabkan luka dalam yang jika sembuh akan meninggalkan bekas atau hilangnya rambut secara permanen (kebotakan permanen). Menurut Temple (1999), gejala ringworm berupa gatal/kudis atau sisik yang terbentuk pada kulit kepala. Jamur penyebab ringworm pada umumnya menyerang folikel rambut. Cara penularan infeksi ini dapat melalui berbagai media, seperti sisir yang digunakan secara acak/bergantian, bantal, topi, sikat, atau melalui binatang peliharaan, seperti anjing atau kucing. Gejala infeksi ini mirip seperti ketombe, yaitu berupa sisik yang muncul di kulit kepala. Infeksi ini banyak menyerang anak-anak usia 5-10 tahun. Menurut Anon (2006), sekitar % anak-anak yang berusia tahun (terutama pada anak laki-laki) di negara maju seperti Amerika dan Kanada, banyak terjangkit infeksi ringworm. Namun, tidak menutup kemungkinan penyakit ini menyerang orang dewasa. Selain ringworm, menurut Siswandono dan Soekardjo (1995), jamur penyebab Tinea capitis juga dapat menyebabkan timbulnya gejala ketombe atau dandruff. Menurut Anon (2006), ketombe atau ptiriasis sika (dandruff) merupakan suatu pertumbuhan berlebihan kulit kepala tanpa peradangan. Menurut Depkes RI (1985), ketombe merupakan bentuk kering dari kapitis saborea yang lazim dikenal sebagai saborea sika (kering), yaitu sisik kering berlapis-lapis yang rapuh, mudah terlepas, dan melekat menutupi epidermis kulit kepala. 12

25 E. Karakteristik M. canis dan T. mentagropytes Jamur penyebab infeksi kulit kepala dari spesies M. canis dan T. mentagropytes memiliki karakter khusus, yaitu : 1. Microsporum canis Microsporum canis termasuk fungi imperfecti (deuteromycetes), yaitu jamur yang pertumbuhan secara seksualnya belum diketahui (Pelczar dan Chan, 1986). Menurut Jawetz (1980), stadium seksual dari M. canis telah ditemukan dan diberi nama Arthroderma otae. Pada medium agar Sabouraud, jamur ini memiliki fase pertumbuhan koloni yang cepat dengan koloni yang berwarna putih pada permukaan agar dan berwarna kuning pada sisi sebaliknya. Koloni jamur ini akan tampak jelas pada masa inkubasi selama 5 7 hari. Jamur ini membentuk banyak makrokonidia multiseluler dengan ukuran µm yang terdiri dari 8-15 sel berdinding tebal yang biasanya mempunyai ujung-ujung melengkung atau kail berduri. Jamur ini berbentuk kumparan dan terbentuk pada konidiospora khusus, serta memiliki misellium seperti kapas atau wol. M. canis adalah jamur penyebab penyakit tinea capitis, yaitu dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut. Kelainan ini diatanda dengan kulit kepala yang bersisik, kemerah-merahan, kebotakan, dan kadangkadang terjadi gambaran klinis yang lebih berat atau disebut kerion yaitu reaksi peradangan yang berat, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah (Dubos, 1948). Morfologi koloni jamur M. canis ditampilkan pada Gambar Trichophyton mentagropytes Jamur ini termasuk pada kelompok fungi imperfecti (deuteromycetes) (Pelczar dan Chan, 1986). Jamur ini termasuk pada famili Moniliaceae yang telah memiliki stadium seksual yang diberi nama Arthroderma vanbreu seghemii. Dalam pertumbuhan secara invitro, koloni jamur ini berbentuk serbuk sampai bentuk granular. Biasanya menunjukkan banyak kelompok mikrokonidia subsferis yang menyerupai tangkai buah anggur pada cabang-cabang terminalnya. Koloni jamur ini 13

26 berbulu putih seperti kapas dan hanya sedikit mengandung makrokonidia berukuran 6-20 µm dengan 2-8 septa. Selain menyebabkan infeksi pada kulit kepala, spesies ini merupakan penyebab penyakit ringworm pada kaki (tinea pedis) dan pada kuku (tinea unguium). Infeksi pada kuku menyebabkan kuku menjadi kuning, rapuh, tebal dan hancur (Al-Doory, 1980). Morfologi koloni jamur T. mentagropytes ditampilkan pada Gambar 5. (a) (b) Gambar 4. Morfologi koloni (a) dan morfologi mikroskopis (b) M. canis (a) (b) Gambar 5. Morfologi koloni (a) dan morfologi mikroskopis (b) T.mentagropytes F. Senyawa Antijamur Senyawa antijamur untuk jamur penyebab infeksi kulit kepala yang banyak digunakan saat ini adalah senyawa antijamur sintetis, seperti sampo 14

27 anti ketombe yang mengandung zat anti ketombe, seperti zat Zinc-phyrithion (ZPT), sampo sulfur, sampo selenium (Anon, 2006). Selain itu, pengobatan juga dapat menggunakan sampo antijamur, seperti ketokonazol, atau sampo yang mengandung 2 % clotrimezol (Anon, 2006). Pengobatan infeksi kulit kepala juga dapat menggunakan Nizoral Sampo, yang digunakan 2-3 kali setiap minggu (Temple, 1999). Menurut Brock dan Madigan (1991), zat antijamur merupakan bahan yang dapat membasmi jamur pada umumnya, khususnya yang bersifat patogen bagi manusia. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, senyawa antifungi dibagi atas fungisida dan fungistatik. Fungisida yaitu senyawa antijamur yang mempunyai kemampuan untuk membunuh jamur sehingga dinding sel jamur menjadi hancur karena lisis, akibatnya jamur tidak dapat bereproduksi kembali, meskipun kontak dengan obat telah dihentikan. Fungistatik yaitu senyawa antijamur yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur sehingga jumlah sel jamur yang hidup relatif tetap. Pertumbuhan jamur akan berlangsung kembali bila kontak dengan obat dihentikan. Menurut Pelczar dan Reid (1979), berdasarkan mekanisme penghambatannya, obat antijamur dapat dibedakan menjadi 4 (empat), yaitu : a. Zat antijamur yang bekerja dengan merusak dinding sel jamur, sehingga menyebabkan dinding sel lisis. Zat antijamur berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini mengakibatkan kebocoran membran sel, sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan yang tetap pada sel jamur. b. Zat antijamur yang bekerja dengan mengganggu permebilitas membran sitoplasma, sehingga terjadi kebocoran zat nutrisi dari dalam sel. Permeabilitas dinding sel dirusak dengan mengganggu proses sintesis asam nuklat atau dengan menimbun senyawa peroksida dalam sel jamur sehingga terjadi kerusakan dinding sel yang mengakibatkan permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel meningkat c. Zat antijamur yang bekerja dengan menghambat proses mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel. 15

28 d. Zat antijamur yang bekerja dengan merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler. G. Sampo Sampo merupakan sediaan kosmetika yang digunakan untuk mencuci (keramas) rambut, sehingga kulit kepala dan rambut menjadi bersih, dan rambut menjadi lebih lembut, berkilau, dan mudah diatur. Sedangkan sampo antijamur adalah sampo yang digunakan selain untuk membersihkan juga untuk mencegah dan menghilangkan jamur penyebab infeksi kulit kepala. Sampo antijamur sering diedarkan dengan berbagi nama, seperti sampo obat (medicare) dan sampo klinik (Depkes RI, 1985). Kandungan dan persyaratan dari sampo antijamur tidak berbeda dengan sampo biasa, hanya pada sampo antijamur, mengandung zat untuk menghilangkan jamur pada kulit kepala. Menurut Depkes RI (1985), persyaratan umum yang harus dimiliki dari sediaan sampo antijamur adalah sebagai berikut. 1. Membersihkan rambut dan kulit kepala tanpa menjadikan rambut berlemak atau kering serta membuat rambut menjadi mudah diatur. 2. Tidak boleh merangsang kelenjar lemak, 3. Efektif sebagai germisidum atau fungisidum, sehingga dapat mencegah peningkatan pertumbuhan bakteri dan jamur, bahkan dapat mencegah infeksi, 4. Kadar zat manfaat yang digunakan tidak boleh meningkatkan kepekaan kulit kepala ; ini berarti zat manfaat dalam kadar penggunaan tidak boleh menyebabkan kegatalan, kulit mengelupas, atau pun peradangan. Menurut SNI , sampo adalah campuran dari bahanbahan membersihkan rambut dan kulit kepala serta tidak membahayakan pemakai. Standar mutu sampo menurut Badan Standarisasi Nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3. 16

29 Tabel 3. Standar Mutu Sampo (SNI ) Karakteristik Syarat Cara Pengujian Bentuk : Cair Tidak ada yang Organoleptik Emulsi mengendap Rata dan tidak pecah Organoleptik Pasta Tidak ada gumpalan Organoleptik Batangan Serbuk kertas Rata dan seragam Rata dan seragam Organoleptik Organoleptik Zat aktif permukaan dihitung sebagai natrium lauril sulfat (SLS) dan atau non ionik, % 4.5 Potentiometric titration assembly b/b min. Nilai ph dengan larutan 10 % (b/v) ph meter Kadar air dan zat lainnya yang menguap, % b/b maks Oven C Viskositas cp (Schmit dan William) Rheometer Brookfield Alkali Bebas 0 (Toaha, 1997) - H. Formulasi Sampo Bahan penyusun sampo terdiri dari dua komponen utama, yaitu bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama merupakan bahan dasar sampo yang biasanya berfungsi untuk membentuk busa dan sebagai pembersih (surfaktan/detergen). Daya bersih sampo dipengaruhi oleh jenis surfaktan, suhu, cara pencucian rambut, cara pembilasan, dan jenis air yang digunakan (Imron, 1985). Surfaktan yang memiliki sifat selain sebagai pembersih ini terdapat dalam beberapa macam, antara lain : 17

30 a. Surfaktan nonionik, jenis surfaktan ini jarang digunakan secara sendiri karena daya busanya lemah dan harganya relatif mahal. Jenis yang sering digunakan adalah C-12 metoksi polietilen glikol laurat yang berfungsi sebagai pelarut untuk zat pewangi (parfum). b. Surfaktan kationik, surfaktan ini sangat baik untuk digunakan dalam formulasi sampo, karena bersifat sebagai pelembab (conditioner) rambut sehingga rambut menjadi lebih lembut dan mudah diatur, busanya baik dan banyak, dan berfungsi sebagai pembersih kulit kepala. Kerugiannya adalah jika terkena mata bersifat pedih dan beracun. Jenis yang sering digunakan adalah olealkanium klorida, distearildimonium klorida, dan isostearil etildimonium etosulfat. c. Surfaktan anionik, surfaktan jenis ini sangat baik digunakan dalam formulasi sampo. Surfaktan anionik sering digunakan sebagai bahan pembersih. Jenis yang sering digunakan adalah natrium lauryl eter, natrium lauryl sulfat, dan senyawa amonium. d. Surfaktan amfoterik, jenis surfaktan ini tidak banyak diproduksi dan harganya cukup mahal. Surfaktan ini sering digunakan sebagai bahan aditif fungsional yang dapat mengontrol viskositas dan nilai ph sampo. Selain itu, berfungsi juga sebagai zat tambahan yang bekerja sebagai surfaktan sekunder. Jenis yang sering digunakan adalah cocoamidopropil hidrokdisultain (Depkes RI, 1985 ; Imron, 1985). Bahan-bahan yang sering terdapat dalam satu formula sampo terdiri dari zat pembersih (surfaktan), bahan aditif fungsional untuk mengontrol viskositas dan nilai ph, zat pengawet, bahan aditif estetik (pewarna dan parfum), serta bahan aditif medis, seperti zat antijamur atau antiketombe, dan zat untuk merangsang pertumbuhan rambut serta untuk meningkatkan kelembaban rambut (Ismunandar, 2006). Berdasarkan formulasi dari penelitian Ismayanti (2002), bahanbahan yang terdapat dalam satu formulasi sampo terdiri dari cocoamidopropil betain, bronidox L., natrium klorida, sodium lauryl eter sulfat, cocoamide DEA, parfum, asam sitrat, dan air deionisasi. Di bawah ini diuraikan fungsi bahan dalam formulasi sampo. 18

31 a. Cocoamidopropil betain (Dehyton K) Cocoamidopropil betain merupakan cairan dengan penampakan bening kekuningan dan memiliki bau yang khas. Bahan ini merupakan jenis surfaktan amfoterik dengan ph 6,0-7,5 yang umumnya digunakan untuk aplikais umum dalam sediaan surfaktan sebagai pembersih. Kombinasi antara surfaktan amfoterik dan surfaktan anionik dalam larutan akan memberikan efek sinergis yang sangat baik untuk perlindungan terhadap kulit dan dapat memperbaiki sifat produk. b. Sodium Lauryl Eter Sulfat Sodium Lauryl Eter Sulfat (SLES) yang memiliki rumus kimia C 12 H 25 (OCH 2 CH 2 ) n OSONa, merupakan surfaktan yang memiliki tampilan fisik berupa pasta kental dan larutan bening. Dalam bentuk pasta kental, SLES memiliki sifat 70 % detergen, sednagkan dalam bentuk larutan bening memilki daya detergensi sebesar 28 %. Selain sebagai pemebersih, SLES juga digunakan sebagai surfaktan yang dapat melembutkan rambut. c. Bronidox L. atau Propilen glikol 5-bromo-5-nitro-1,3 dioxane Bronidox L. adalah bahan yang berbentuk cairan bening yang umumnya tidak berwarna. Bahan ini memiliki ph minimum 5,0 dan sering digunakan sebagai pengawet pada sediaan surfaktan karena aman digunakan untuk kulit. Konsentrasi maksimum penggunaan Bronidox L. pada formula sampo sekitar 0,4 %. Pada konsentrasi tersebut sudah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu produk akhir. Bronidox L. bersifat stabil pada suhu maksimum 40 0 C dan zat ini tidak berubah pada saat diaplikasikan pada sediaan surfaktan pada ph antara 5,0-8,0. d. Natrium Klorida (NaCl) Natrium klorida merupakan elektrolit yang digunakan untuk meningkatkan kekentalan sampo. Penggunaannya harus dikombinasikan dengan sodium lauril eter sulfat (SLES). Penambahan NaCl yang tidak tepat dapat mempengaruhi tingkat kekentalan sampo yang dihasilkan. Konsentrasi NaCl yang berlebihan dapat menurunkan tingkat kekentalan. 19

32 e. Dietanolamida (DEA) Dietanolamida merupakan bahan yang berbentuk cairan padat berwarna bening dan memiliki bau yang khas. Penambahan bahan ini dapat meningkatkan kekentalan sampo. Dalam sediaan surfaktan, bahan ini berfungsi sebagai zat pengental. f. Parfum Parfum atau bahan pewangi (fragrance) merupakan bahan yang sering ditambahkan agar sampo memiliki bau yang menarik. Parfum yang digunakan dapat berupa minyak wangi yang dibuat secara alami, campuran antara minyak wangi yang dibuat secara alami atau sintetis, atau minyak wangi yang dibuat secara sintetis. g. Air deionisasi Air deionisasi merupakan air yang telah mengalami proses penghilangan ion-ion logam melalui lapisan-lapisan ressin aktif dan proses penyaringan melalui submicron filter utnuk menghilangkan suspensisuspensi berupa kotoran atau bahan pencemar. 20

33 BAB III METODOLOGI C. A. ALAT DAN BAHAN Penelitian ini menggunakan bahan berupa rimpang lengkuas merah segar (Alpinia purpurata K. Schum) berusia 11 bulan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Cibinong, Bogor. Bahan kimia yang digunakan, yaitu : etil asetat 60 persen, maltodekstrin, sodium lauryl eter sulfhate (SLES), cocoamidoproyl betain, NaCl, parfum, asam sitrat, DEA, bronidox, air deionisasi, dan alkohol. Media untuk uji mikrobiologi adalah Sabouraud Agar, dengan komposisi pepton, media agar, dan air. Peralatan yang digunakan adalah : IKA RW 47 D Pengaduk Telemechanique, pengering tipe rak, grinder, pipet pasteur, inkubator, jarum ose, Buchi Rotavapor R.114, Snijders Scientific Freeze Dryer, Christ Alpha 1-2 LD Freeze Dryer, Buchi Mini Spray Dryer B-191, Welch GEM 1.0 Vacum Pump, Samsung SRG-259 Freezer and refrigerator, L-C Incubator/lab-line Instrument, Hot plate Sybron Thermoline, vortex Thermoline Type mixer. Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam analisa, yaitu : tanur, Brookfield Rheometer, ph-meter 301 Hanna instrument, dan alat-alat gelas. D. B. METODE PENELITIAN B.1. PENELITIAN PENDAHULUAN 1.1 Pengolahan Simplisia Lengkuas Penanganan rimpang lengkuas setelah panen merupakan tahap awal yang menentukan mutu rimpang lengkuas dalam proses pengolahan berikutnya. Proses penanganannya dibagi menjadi 5 (lima) tahap (Wardana, et al., 2002), yaitu : Sortasi basah Penyortiran basah dilakukan dengan membersihkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing yang menempel pada rimpang lengkuas, seperti akar, kerikil, tanah dan rumput. 21

34 Pencucian Pencucian rimpang lengkuas menggunakan air mengalir. Pada proses ini, perlu memperhatikan banyaknya pembilasan. Selama rimpang lengkuas masih terlihat kotor, maka pencucian atau pembilasan perlu diulangi sekali atau dua kali lagi. Proses pencucian dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin Perajangan Perajangan rimpang lengkuas dilakukan dengan menggunakan pisau, dengan tebal perajangan sekitar 5-7 mm sehingga akan diperoleh ketebalan ideal simplisia kering, sekitar 3-5 mm Pengeringan Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan mesin pengering tipe rak. Simplisia disusun dalam suatu wadah dengan ketebalan tumpukan sekitar 1-2 cm. Proses pengeringan menggunakan suhu C selama ± 12 jam, sampai rimpang lengkuas memiliki tingkat kekeringan yang cukup Penggilingan Lengkuas hasil pengeringan digiling halus dengan menggunakan mesin penggiling yang dilengkapi ayakan berdiameter 0,25 mm (50 mesh). Hasil gilingan berupa lengkuas bubuk akan dianalisa untuk mengetahui karakteristiknya dan hasilnya dapat dijadikan sebagai parameter kualitas ekstrak dan produk sampo yang dibuat dengan campuran ekstrak lengkuas merah. Metode analisis bubuk lengkuas dapat dilihat pada Lampiran Ekstraksi Ekstraksi bubuk lengkuas dilakukan dengan metode maserasi berulang dengan proses pengadukan selama 3 jam dan menggunakan pelarut etil asetat 60 persen. Tahapan ekstraksi bubuk lengkuas dapat dilihat pada Gambar 6. Rasio bubuk dan pelarut yang digunakan (1:10) berdasarkan pada hasil trial error selama proses ekstraksi. Penggunaan rasio pelarut yang kurang dari 1:10 mengakibatkan proses ekstraksi 22

35 berjalan kurang optimal. Hal ini dipengaruhi oleh sifat bubuk lengkuas yang mudah menyerap pelarut, sehingga dibutuhkan volume yang cukup besar untuk mengoptimalkan proses maserasi dengan pengadukan. Bubuk Lengkuas Ekstraksi Bubuk : etil asetat 60 % = 1 : 10 Pengadukan ; 3 jam, 200 rpm Penyaringan Residu bubuk lengkuas Filtrat Penguapan : Rotavapor, suhu 77 0 C Pelarut Ekstrak Lengkuas merah Gambar 6. Diagram Alir Ekstraksi Simplisia Lengkuas Merah (Hezmela, 2006) Setelah proses ekstraksi, ekstrak lengkuas merah dianalisa nilai ph, sisa pelarut dengan metode oven vakum, dan kelarutan dalam etanol 80 persen. Metode analisa proksimat ekstrak lengkuas merah dapat dilihat pada Lampiran 2. Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan ekstrak menggunakan pengering semprot (spray dryer) tipe Buchi. Pengeringan ini bertujuan untuk membentuk ekstrak lengkuas merah bubuk sehingga mempermudah proses pencampuran ekstrak dalam formulasi sampo. 23

36 Untuk mengoptimalkan hasil pengeringan ekstrak, digunakan bahan pengisi maltodekstrin yang dilarutkan dalam air dan etil asetat 96 persen. Rasio yang digunakan adalah 12 gram maltodekstrin dalam 100 gram ekstrak. Hal ini berdasarkan trial error yang dilakukan pada konsentrasi 10 persen dan 15 persen. Pada konsentrasi 10 persen, ekstrak serbuk yang diperoleh sangat higroskopis, sedangkan pada konsentrasi 15 persen, aroma khas lengkuas sudah tertutupi aroma komponen gula dari maltodekstrin. Penggunaan maltodekstrin didasarkan pada sifatnya yang dapat memperbaiki mutu fisik dari suatu produk (Schenk dan Hebeda, 1992). Selain itu, menurut Mc Donald (1984), maltodekstrin juga tidak mempengaruhi warna dari prosuk yang dihasilkan. Roper (1996) menyatakan bahwa tampilan dan sifat-sifat organoleptik produk dengan bahan pengisi maltodekstrin dapat diterima dan memiliki konsistensi produk akhir yang cukup tinggi. B. 2. PENELITIAN UTAMA 1. Pembuatan Sampo Antijamur Formulasi sampo dibuat berdasarkan pada formula yang telah dibuat oleh Ismayanti (2002). Pada penelitian ini dilakukan beberapa modifikasi konsentrasi bahan, terutama untuk bahan-bahan yang diperkirakan akan mempengaruhi kualitas sampo setelah dicampur dengan ekstrak. Sampo yang dibuat diberikan penambahan ekstrak dengan berbagai tingkat konsentrasi sebesar 0,5 persen, 1 persen, 2 persen, dan 3 persen. Formulasi sampo antijamur dengan berbagai tingkat konsentrasi ekstrak disajikan pada Tabel 4, dan tahapan pembuatan sampo pada Gambar 7. Tabel 4. Formulasi Sampo dengan Ekstrak Lengkuas Merah (Modifikasi Ismayanti, 2002) 24

37 Konsentrasi Bahan Formula Dasar Formula 1 Formula 2 Formula 3 Formula 4 Dietanolamida 2 % 2 % 2 % 2 % 2 % Sodium Lauryl Eter Sulfate 20 % 20 % 20 % 20 % 20 % Cocoamidopropyl Betain 5 % 5 % 5 % 5 % 5 % NaCl 0,8 % 0,8 % 0,8 % 0,8 % 0,8 % Ekstrak Lengkuas Merah 0 % 0,5 % 1 % 2 % 3 % Bronidox 0,2 % 0,2 % 0,2 % 0,2 % 0,2 % Parfum 0,2 % 0,2 % 0,2 % 0,2 % 0,2 % Air qs qs qs qs qs : 0,8 persen NaCl + 10 persen air Pencampuran : 2 persen Dietanolamida (DEA) + 20 persen Natrium Lauryl Eter Sulfate Pemanasan hingga suhu o C Sediaan 1 Sediaan 2 5 persen Cocoamidopropyl betain Pengadukan hingga homogen Saat suhu campuran 60 o C, masukkan ekstrak lengkuas yang sudah dilarutkan dalam 10 persen air Saat suhu campuran 35 o C, masukkan 0,2 persen Bronidox dan 0,2 persen pewangi Sediaan Sampo Lengkuas Merah 25

38 Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Sampo Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) (Modifikasi Ismayanti, 2002) 2. Analisa Karakteristik Shampo Antijamur Analisa terhadap shampo antijamur meliputi ph, viskositas, kadar air, alkali bebas, dan stabilitas emulsi. Tata cara analisa karakter shampo dapat dilihat pada Lampiran Pengujian Aktivitas Antijamur (Brock dan Madigan, 1991) Pengujian aktivitas sampo dilakukan untuk mengetahui besarnya daya hambat sampo akibat penambahan ekstrak lengkuas merah pada beberapa taraf konsentrasi. Penentuan aktivitas antijamur sampo dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur. Metode difusi sumur merupakan metode penentuan daya antijamur suatu zat antijamur terhadap jenis jamur tertentu. Prinsip kerja metode ini berdasarkan pada kemampuan difusi zat antijamur pada bidang sumur yang telah diinokulasi pada jamur uji. Daya antijamur suatu zat dilihat dari terbentuk atau tidaknya zona hambat yang terbentuk di sekeliling sumur yang berisi zat. Dengan metode ini dapat terlihat daya hambat sampo terhadap jamur melalui munculnya zona bening di daerah sekeliling contoh sumur yang berisi sampo antijamur (Brock dan Madigan, 1991). Biakan jamur uji diambil dari agar miring menggunakan jarum ose secara aseptik dan diremajakan dalam media cair. Selanjutnya disiapkan agar Sabouraud di dalam cawan petri dan masing-masing biakan digoreskan di atas agar. Kemudian dibuat sumur-sumur menggunakan pipet pasteur. Diameter sumur yang dibuat sebesar 5 mm. Sampo yang akan diujikan dimasukkan ke 26

39 dalam lubang hingga kedalaman lubang terisi sempurna. Agar yang sudah berisi bahan diinkubasikan dengan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jamur uji. Suhu inkubator sesuai dengan suhu ruang, yaitu 37 0 C selama 5 hari. Aktivitas antijamur dari sampo dihitung dengan mengurangi diameter total zona bening dengan diameter sumur. Sistematika penyiapan kultur uji dan tahap pengujian antijamur sampo dapat dilihat pada Gambar 8 dan Persiapan Kultur Uji (Siswadi, 2002) Kultur murni jamur uji Inokulasi ke dalam 10 ml media Nutrient Broth (NB) Inkubasi pada suhu optimal pertumbuhan (37 o C) selama 5 (lima) hari Kultur uji siap digunakan Gambar 8. Bagan Persiapan Kultur Uji (Siswadi, 2002) 2. Pengujian Antijamur Metode Difusi Agar (Siswadi, 2002). Kultur Uji Inokulasi 0.2 persen ke dalam cawan petri steril Dituangkan 20 ml Nutrient Agar Dibekukan Dibuat 3 sumur menggunakan pipet pasteur, dengan diameter masingmasing 5 mm, 27

40 Masing-masing sumur diisi penuh dengan sampo ekstrak lengkuas merah Inkubasi pada suhu 37 o C selama 5 hari Ukur diameter daerah hambat Gambar 9. Pengujian Antijamur Metode Difusi Agar (Siswadi, 2002) 4. Uji Kesukaan Konsumen Pengujian kesukaan konsumen dilakukan melalui uji kesukaan (hedonik) secara organoleptik pada sampo. Panelis diminta untuk menilai kesukaan mereka terhadap beberapa karakter sampo, yaitu penampakan, aroma, kekentalan, banyaknya busa, dan kesan setelah pemakaian. Uji kesukaan dilakukan oleh 30 orang panelis di lingkungan mahasiswa IPB. Prosedur pengujian organoleptik sampo ekstrak lengkuas merah dapat dilihat pada Lampiran 16. Lembar uji kesukaan sampo ekstrak lengkuas merah dapat dilihat pada Lampiran 15. Penghitungan hasil uji organoleptik menggunakan perhitungan dengan analisis nonparametrik Friedman. 5. Uji Stabilitas Penyimpanan Uji stabilitas dilakukan untuk mengetahui umur simpan produk emulsi dan kestabilan emulsi produk selama penyimpanan. Uji stabilitas dilakukan di masa awal proses produksi produk untuk mengatasi masalah yang timbul sebelum uji akhir. Metode yang digunakan dalam uji stabilitas produk selama penyimpanan adalah metode akselerasi. Metode ini dilakukan dengan mengatur waktu dan suhu penyimpanan produk. Kondisi penyimpanan produk yang diuji diatur di luar kondisi normal, sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan proses penentuan umur simpan produk dapat ditentukan. Terdapat beberapa suhu dan waktu penyimpanan yang dapat digunakan pada uji stabilitas produk emulsi yang mengacu pada metode 28

41 akselerasi menurut Connors et al. (1992) seperti yang disajikan pada Tabel 5. Uji stabilitas sampo dengan ekstrak lengkuas merah dilakukan pada suhu 50 0 C selama satu bulan. Pengamatan dilakukan setiap 5 hari sekali yang meliputi pengamatan terhadap nilai ph dan kekentalan sampo. Tabel 5. Data Panduan untuk Uji Umur Simpan Produk Emulsi Suhu ( 0 C) Waktu Pengamatan Umur Simpan Produk 25 Satu tahun Satu tahun 37 Enam bulan Sembilan bulan 45 Tiga bulan Sembilan bulan 50 Satu bulan Sembilan bulan 4 Satu tahun Sembilan bulan -20 Satu bulan Sembilan bulan Sumber : Connors et al. (1992) C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal, dengan variasi konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Konsentrasi ekstrak lengkuas merah yang digunakan terdiri dari empat taraf, yaitu : 0.5 persen, 1 persen, 2 persen, dan 3 persen. Proses pengulangan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Model matematis rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Y ik = μ + A i + ε ik dengan : i = 0,5 persen, 1 persen, 2 persen, 3 persen k = 1, 2 Y ik = respon dari faktor A untuk taraf ke-i dan ulangan ke-k A i = pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah ke-i (i = 1, 2, 3, 4) pada produk sampo yang dihasilkan. 29

42 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN A.1. Analisa Bubuk Lengkuas Rimpang lengkuas hasil penggilingan secara visual memiliki bentuk serbuk halus dengan warna bubuk coklat agak kemerahan. Aroma bubuk lengkuas merah pedas menyengat khas rempah-rempah. Secara visual, bubuk lengkuas merah hasil penggilingan disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Bubuk Lengkuas Merah Hasil Penggilingan Bubuk lengkuas merah yang siap untuk diolah sebagai bahan campuran produk fitofarmaka, harus memiliki kriteria mutu bubuk simplisia rempah-rempah menurut Depkes RI (1989). Hasil analisa rimpang lengkuas bubuk disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Analisa Mutu Simplisia Lengkuas Merah (kadar bahan, persen b/k) Kandungan pada Bahan Bubuk Lengkuas Merah Baku Mutu berdasarkan Depkes RI (1989) Kadar air (persen b/b) 7,8 - Kadar abu 9,16 Maksimal 3,9 Kadar abu tidak larut dalam asam 2,93 Maksimal 3,7 Kadar sari larut dalam air 31,22 Minimal 5,2 Kadar sari larut dalam etanol 21,6 Minimal 1,7 30

43 Kadar air bubuk lengkuas yang diperoleh sebesar 7,8 persen. Kadar air ini merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Menurut Fardiaz et al. (1992), kandungan kadar air yang tinggi pada rimpang lengkuas segar merupakan kondisi yang memungkinkan mikrooganisme tumbuh dan dapat mengaktifkan enzim penyebab kerusakan bahan. Batas minimal kadar air bahan dimana mikroba masih dapat tumbuh berkisar persen. Kadar air bubuk lengkuas sebesar 7,8 persen diharapkan dapat menjaga keawetan bubuk selama penyimpanan selain untuk menjaga kualitas hasil ekstraksi bubuk lengkuas. Karena, menurut Sudarmadji dan Suhardi (1996) di dalam Kholid (2000), kadar air bahan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan proses ekstraksi tidak berjalan optimal. Kadar air yang tinggi menimbulkan hambatan pada masuknya pelarut dalam jaringan yang mengandung berbagai komponen aktif, sehingga pelarut sulit untuk mengekstrak bahan aktif dari bahan. Hal ini menyebabkan pelarut menjadi jenuh dengan air dan menurunkan keefisienan kerja pelarut. Hasil kadar abu bubuk lengkuas sebesar 9,12 persen, melebihi batas baku mutu simplisia menurut Depkes RI yang mengandung maksimal 3,9 persen bahan anorganik. Apriyantono et al. (1989) menyatakan bahwa uji kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan anorganik dalam rimpang lengkuas. Abu dalam suatu bahan merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik. Abu yang terbakar sempurna adalah abu yang berwarna putih keabuan Tingginya bahan anorganik pada rimpang lengkuas dapat dipengaruhi oleh kondisi lahan, pengolahan selama proses penanaman lengkuas, varietas lengkuas, dan umur panen.oleh proses awal rimpang lengkuas. Kandungan mineral yang tinggi dalam lahan dan proses pemupukan yang baik selama penanaman dapat menambah tinggi kandungan bahan anorganik dalam bahan (Wardhana et al., 2002). Hasil pengujian nilai kadar abu tidak larut asam dalam bubuk lengkuas sebesar 2,93 persen. Hasil ini mendekati nilai baku mutu kadar abu tidak larut asam menurut Depkes RI, yaitu maksimal sebesar 3,7 persen. 31

44 Pengujian kadar abu tidak larut asam dilakukan untuk melihat kandungan mineral yang tidak larut dalam pelarut asam kuat (HCl). Hasil pengujian kadar sari bubuk lengkuas larut dalam air sebesar 31,22 persen. Sedangkan kadar sari bubuk lengkuas larut etanol sebesar 21,6 persen. Kedua nilai ini sudah termasuk dalam baku mutu menurut Depkes RI, yaitu minimal sebesar 5,2 persen dan 1,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa komponen-komponen rimpang lengkuas yang larut dalam air lebih banyak jika dibandingkan dalam alkohol. Pengujian kadar sari yang larut dalam air atau alkohol bertujuan untuk melihat besarnya komponen kimia yang dapat larut dalam suatu jenis pelarut yang digunakan (Gaman dan Sherrington, 1992). Pelarut air lebih banyak mengekstrak komponen polar dari lengkuas merah, sedangkan pelarut etanol lebih optimal melarutkan komponen non polar (Siswadi, 2002). Komponen polar pada bubuk lengkuas seperti pati, gula sederhana, dan senyawa glikosida. Sedangkan komponen non polar, seperti oleoresin, alkaloid, glikon, dan beberapa senyawa glikosida (Rusmarilin, 2003). A.2 Ekstraksi Komponen Bioaktif Lengkuas Merah Hasil akhir dalam proses ekstraksi berupa ekstrak oleoresin berbentuk pasta berwarna coklat pekat dengan aroma khas lengkuas, yaitu aroma agak pedas. Dari bubuk lengkuas sebanyak 14,70 kg, diperoleh rendemen ekstrak sebesar 24,85 persen. Rendemen ekstrak menggambarkan besarnya bahan yang dapat diekstrak dari bubuk lengkuas. Bahan-bahan tersebut dapat berupa komponen flavour dan warna, resin, lemak, minyak atsiri, alkaloid, asam organik, garam anorganik, glikosida, dan lemak (Hezmela, 2006). Jokopriyambodo et al. (1999) menyatakan bahwa hasil ekstraksi khususnya dari rimpang lengkuas dipengaruhi oleh jenis dan rasio pelarut, derajat kehalusan simplisia, serta teknik dan waktu ekstraksi. Ekstraksi bubuk lengkuas dilakukan dengan metode maserasi dengan penambahan pengadukan menggunakan mesin pengaduk. Menurut Voight (1994), maserasi merupakan proses ekstraksi dengan mencampur 32

45 antara pelarut dan bahan yang akan diekstrak dengan perbandingan tertentu. Pengadukan bertujuan untuk mempercepat pelarutan zat padat dengan jalan membentuk suspensi serta melarutkan partikel-pertikel ke dalam medium pelarut. Proses ekstraksi bubuk lengkuas menggunakan pelarut etil asetat 60 persen dengan perbandingan bubuk lengkuas dan air sebesar 1:10. Besarnya perbandingan antara bubuk dan etil asetat berdasarkan sifat bubuk lengkuas yang sangat mudah menyerap pelarut, sehingga untuk mengoptimalkan proses ekstraksi dan melancarkan pengadukan, etil asetat yang ditambahkan mencapai 10 kali bubuk yang diekstraksi. Perbandingan rasio pelarut yang kurang dari 1:10 dapat menghambat proses maserasi dengan pengadukan, seperti pada penggunaan rasio 1:5 hingga 1:8, pelarut akan diserap oleh bubuk sehingga proses maserasi dengan pengadukan tidak dapat dilakukan. Pemilihan pelarut berdasarkan hasil penelitian Rusmarilin (2003), yang menyatakan bahwa zat aktif antijamur lengkuas merah dalam minyak atsiri, yaitu 1-asetoksi khavikol asetat, serta dari golongan sesquiterpen, merupakan senyawa yang bersifat semipolar, sehingga lebih mudah larut dalam pelarut etil asetat yang bersifat semi polar. Selain itu, Guenther et al. (1988) menyatakan bahwa syarat pelarut dalam proses ekstraksi harus memiliki titik didih yang tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. Persyaratan ini untuk memudahkan proses penguapan pelarut untuk memperoleh ekstrak lengkuas. Hal ini sesuai dengan sifat fisik pelarut etil asetat yang memiliki titik didih sebesar 77,1 0 C, lebih rendah jika dibandingkan titik didih etanol, 78,1 0 C. Penggunaan pelarut semipolar memungkinkan terekstraknya komponen lain yang bersifat polar maupun nonpolar, sehingga rendemen ekstrak yang diperoleh lebih banyak. Hasil rendemen dengan pelarut etil asetat 60 persen sebesar 24,85 persen, lebih banyak jika dibandingkan rendemen hasil ekstraksi dengan pelarut etanol 96 persen sebesar 7,63 persen pada penelitian Hezmela (2006). Persentase rendemen ekstrak lengkuas merah 33

46 menggambarkan kadar bahan aktif antijamur dari lengkuas merah. Semakin tinggi rendemen, maka kadar bahan aktif antijamur akan semakin tinggi. Bahan aktif antijamur lengkuas merah selain terdapat pada minyak atsiri juga terkandung dalam resin-resin lengkuas merah, seperti galangan, kaemferid, dan eugenol. Proses pengadukan dalam proses ekstraksi dilakukan selama 3 jam dengan kecepatan rpm. Waktu ini adalah waktu yang optimal dibandingkan pengadukan selama 2 dan 4 jam. Pemilihan waktu berdasarkan banyaknya rendemen ekstrak yang diperoleh setelah penguapan. Waktu ekstraksi yang terlalu singkat mengakibatkan tidak optimalnya waktu penetrasi pelarut ke dalam protoplasma bahan untuk melarutkan semua zat yang diinginkan untuk diekstrak. Sebaliknya, waktu ekstraksi yang terlalu lama hingga larutan mencapai titik jenuhnya, tidak menaikkan kandungan zat aktif dalam ekstrak. A.3 Analisa Ekstrak Lengkuas Merah Analisa proksimat ekstrak lengkuas merah bertujuan untuk mengetahui sifat ekstrak lengkuas merah yang dapat mempengaruhi sifat produk yang akan dicampurkan. Sifat ekstrak yang diuji adalah nilai ph, sisa pelarut, dan kelarutan dalam etanol. Nilai ph ekstrak lengkuas merah yang diperoleh adalah sebesar 4,31. ph ekstrak yang bersifat asam ini jika dicampurkan pada larutan sampo dapat mempengaruhi nilai ph dan viskositas sampo. ph dan viskositas merupakan dua sifat yang mempengaruhi mutu produk sampo. ph dan viskositas sampo harus diatur agar sesuai dengan baku mutu sampo menurut Standar Nasional Indonesia (1992) tentang sampo. Ekstrak lengkuas jika dicampurkan dalam sampo yang bersifat basa, dapat menyebabkan penurunan nilai ph sampo dan menaikkan viskositasnya. Penambahan ekstrak dalam sampo harus dapat memperhitungkan pengaruhnya terhadap penurunan ph dan peningkatan viskositas, agar mutu sampo tetap terjaga. Sisa pelarut dalam ekstrak lengkuas yang diekstrak dengan pelarut etil asetat adalah sebesar 10,65 persen atau 10, ppm. Nilai sisa pelarut 34

47 ekstrak lengkuas merah dengan konsentrasi yang cukup besar ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pada proses penguapan pelarut yang tidak sempurna sehingga pelarut masih banyak terdapat dalam ekstrak. Sisa pelarut dalam produk yang akan dikonsumsi harus diperhatikan, karena dapat mempengaruhi mutu produk dan kesehatan manusia sebagai penggunanya. Proses pencampuran ekstrak lengkuas merah dalam sampo sangat mempengaruhi kadar sisa pelarut dalam ekstrak. Hal ini disebabkan, karena ekstrak banyak melalui tahapan yang memungkinkan pelarut menguap, seperti pada proses pembentukan ekstrak bubuk dengan pengering semprot (spray dryer), kemudian proses pemanasan campuran ekstrak dalam sampo hingga suhu 60 o C. Beberapa perlakuan ekstrak pada suhu tinggi dapat menguapkan sisa pelarut yang masih terkandung dalam ekstrak. Bagi poduk hasil ekstraksi dengan pelarut organik seperti oleoresin atau minyak atsiri, Federal Food Drug and Cosmetic Act menetapkan batas aman sisa pelarut dalam produk yang masih aman untuk dikonsumsi. Namun, Federal Food Drug and Cosmetic Act belum menetapkan batas aman bagi produk dengan hasil ekstraksi yang menggunakan pelarut etil asetat. Sebagai pembanding, untuk pelarut dengan jenis semipolar (khloroform), memiliki nilai batas aman sebesar 30 ppm (Federal Food Drug and Cosmetic Act di dalam Farrel, 1990). Uji kelarutan ekstrak dalam alkohol 80 persen memberikan nilai 1:30, artinya 1 ml ekstrak dapat larut dalam 30 ml alkohol. Kelarutan ekstrak dalam alkohol menggambarkan dalam perbandingan berapa, ekstrak dapat larut dalam pelarut. Besarnya nilai perbandingan ini, disebabkan karena ekstrak yang dihasilkan dari proses ekstraksi bubuk lengkuas merupakan ekstrak kasar, yang tidak hanya mengandung minyak atsiri, tetapi juga masih mengandung resin, seperti pati, lemak, atau karbohidrat. Sehingga untuk melarutkannya dibutuhkan lebih banyak pelarut. Nilai kelarutan dengan perbandingan 1:30 ini, menurut Anon (1998) masih termasuk ekstrak yang dapat larut dengan baik pada etanol. Rekapitulasi hasil analisa ekstrak lengkuas merah disajikan pada Tabel 7. 35

48 Tabel 7. Hasil Analisa Ekstrak Lengkuas Merah Analisa Hasil ph 4,31 Sisa pelarut 10,65 % Kelautan 1:30 B. PENELITIAN UTAMA B.1 Karakteristik Sampo Analisa pada produk sampo antijamur ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak lengkuas merah terhadap karakter sampo. Analisa yang dilakukan, yaitu : nilai ph, kekentalan, kadar air, alkali bebas, stabilitas emulsi, umur simpan, dan uji daya antijamur sampo terhadap pertumbuhan jamur penyebab infeksi kulit kepala, yaitu Tricophyton mentagropytes dan Microsporum canis. 1. Nilai ph Nilai ph sampo yang dihasilkan memperlihatkan nilai ph yang terus mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Penurunan nilai ph sampo berkisar antara 7,6 hingga 5,9, Nilai ph pada konsentrasi ekstrak lengkuas merah 0 persen sebesar 7,7 ; 0,5 persen nilai ph 7,5 ; 1 persen nilai ph 7,2 ; 2 persen nilai ph 6,7 ; dan 3 persen nilai ph 5,9. Nilai ph ini masih sesuai dengan kisaran syarat mutu yang di tetapkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu antara 5,0 9,0. Sedangkan nilai ph pada produk sampo komersil, yaitu pada produk sampo Merang sebesar 7,60 dan sampo Natur nilai ph nya 6,0. Keduanya memiliki nilai ph yang berbeda, namun masih sesuai dengan rentang nilai ph menurut Standar Nasional Indonesia (SNI). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh nyata terhadap nilai ph 36

49 sampo yang dihasilkan, dengan nilai α = 0,05. Hasil analisa keragaman disajikan pada Lampiran 5b. Hasil uji lanjut Duncan dengan faktor perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah yang mempengaruhi nilai ph sampo, menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak 0,5 persen sangat berbeda nyata dengan konsentrasi ekstrak 2 persen dan 3 persen, dan tidak berbeda nyata dengan konsentrasi ekstrak 1 persen. Sedangkan konsentrasi ekstrak 3 persen berbeda nyata dengan konsentrasi ektrak 0,5 persen ; 1 persen ; dan 2 persen. Secara keseluruhan, penambahan konsentrasi ekstrak lengkuas merah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai ph sampo. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 5c. Perubahan nilai ph sampo disajikan pada Gambar 11. ph Konsentrasi Ekstrak Lengkuas (%) Gambar 11. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai ph sampo Perbedaan nilai ph sampo dari empat formulasi sampo tersebut dipengaruhi oleh penambahan ektrak lengkuas merah. Penambahan ekstrak lengkuas merah yang bersifat asam, ph ekstrak lengkuas merah sebesar 4,31, mengakibatkan penurunan ph sampo. Penambahan bahan yang bersifat asam dalam suatu campuran mengakibatkan pelepasan ion hidrogen (H + ) untuk berikatan dengan ion hidroksil (OH - ) suatu campuran dan membentuk air. Proses ini mengakibatkan pengurangan tingkat kebasaan 37

50 campuran tersebut sehingga menurunkan nilai ph campuran (Ismayanti, 2002). Sifat asam ekstrak lengkuas merah inilah yang mempengaruhi penurunan nilai ph sampo dengan penambahan ekstrak lengkuas merah. Selain juga ikut dipengaruhi oleh bahan-bahan penyusun sampo, seperti surfaktan dan bahan elektrolit seperti NaCl, walaupun tidak signifikan, karena konsentrasi bahan-bahan selain ekstrak lengkuas merah adalah tetap. 2. Viskositas Nilai viskositas dari formulasi sampo dengan konsentrasi ekstrak lengkuas merah sebesar 0,5 persen, 1 persen, dan 2 persen, berturut-turut sebesar : 1185 cp ; cp ; dan 3960 cp. Sedangkan sampo dengan konsentrasi ekstrak lengkuas merah 3 persen memiliki nilai viskositas sebesar 8486,5 cp. Nilai ini berada jauh di luar rentang nilai viskositas yang termasuk dalam syarat mutu sampo menurut Schmitt dan William (1996), dimana viskositas sampo yang baik memiliki nilai dengan rentang cp. Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah, dengan α = 0,05, memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai viskositas sampo yang dihasilkan. Artinya, penambahan konsentrasi ekstrak semakin meningkatkan nilai viskositas sampo secara signifikan. Hasil analisis keragaman terhadap nilai viskositas sampo disajikan pada Lampiran 6b. Pada uji lanjut Duncan menunjukkan hasil bahwa semua tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah sangat berbeda nyata dengan tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah lainnya. Masing-masing tingkat konsentrasi ekstrak memberikan perbedaan nilai viskositas yang sangat signifikan. Hasil uji lanjut Duncan terhadap viskositas sampo disajikan pada Lampiran 6c. Perubahan nilai viskositas sampo disajikan pada Gambar 12. Viskositas merupakan tahanan dalam suatu cairan untuk mengalir. Viskositas merupakan parameter penting dalam kualitas produk sampo. Viskositas mempengaruhi keefektifan dan keefisienan sampo dalam 38

51 penggunaannya. Nilai viskositas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi, suhu, tingkat dispersi, dan teknik perlakuan (Suryani et al., 2002). Ekstrak lengkuas merah yang memiliki kadar total padatan terlarut sebesar 62,82 persen, mempengaruhi nilai tahanan alir pada sampo. Semakin tinggi nilai padatan terlarut, mengakibatkan tahanan suatu cairan untuk mengalir semakin tinggi. Tahanan alir yang diartikan sebagai viskositas ini mengakibatkan nilai viskositas sampo semakin bertambah dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Selain itu, penambahan ekstrak lengkuas merah dalam formulasi sampo mengakibatkan pengurangan konsentrasi air yang digunakan. Pengurangan air ini juga mempengaruhi semakin meningkatnya nilai viskositas sampo pada setiap penambahan konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Nilai viskositas dari sampo komersil menunjukkan hasil, sampo Merang memiliki viskositas sebesar 3960 cp dan sampo Natur sebesar 8680 cp. Nilai sampo Natur terletak di luar rentang nilai baku mutu viskositas sampo menurut Schmit dan William, dan tidak terlalu berbeda jauh dengan nilai viskositas sampo dengan 3 persen ekstrak lengkuas merah. Nilai viskositas sampo berbanding terbalik dengan nilai ph. Semakin tinggi nilai ph maka nilai viskositas sampo akan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan Poppe (1992) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi nilai viskositas adalah nilai ph. 39

52 Viskositas (cp) Konsentrasi Ekstrak Lengkuas (%) Gambar 12. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai viskositas sampo Penambahan ekstrak sebanyak 3 persen dalam formulasi sampo harus memperhatikan konsentrasi bahan penyusun sampo lainnya. Karena viskositas sampo selain dipengaruhi oleh ekstrak lengkuas merah juga dipengaruhi oleh konsentrasi bahan seperti NaCl dan dietanolamida (DEA) yang dapat meningkatkan kekentalan sampo. 3. Alkali Bebas Hasil alkali bebas pada sampo dengan ekstrak lengkuas menunjukkan bahwa semua formulasi sampo tidak mengandung senyawa alkali bebas yang dihitung sebagai NaOH. Toaha (1997) menyatakan bahwa analisa alkali bebas dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa alkali bebas pada sampo. Kandungan alkali bebas sangat mempengaruhi mutu sampo sehingga konsentrasinya harus diperhatikan. Sampo dengan kandungan alkali bebas yang tinggi akan menyebabkan ph sampo menjadi basa dan akan menyebabkan iritasi kulit kepala, menyebabkan rambut kering dan mudah rusak, sehingga tidak dapat digunakan. Hal ini menjelaskan bahwa penambahan ekstrak lengkuas merah tidak menyebabkan perubahan senyawa kadar alkali bebas pada produk sampo yang dihasilkan. Artinya, sampo dengan ekstrak lengkuas merah relatif aman untuk digunakan karena tidak menimbulkan iritasi kulit kepala serta tidak membuat rambut menjadi kering atau mudah rusak. 40

53 Sesuai dengan hasil tersebut, hasil analisa ragam dengan faktor perlakuan ekstrak lengkuas merah (α=0,05) sangat tidak berpengaruh nyata terhadap kadar alkali bebas sampo. Data hasil analisa alkali bebas dari sampo dengan ekstrak lengkuas merah disajikan pada Lampiran 8. Tabel 8 memperlihatkan nilai alkali bebas sampo ekstrak lengkuas merah dan sampo komersil. Tabel 8. Nilai Alkali Bebas Sampo Ekstrak lengkuas Merah Konsentrasi ekstrak lengkuas merah (persen) Kadar Alkali Bebas (persen) 0 0 0, Merang 0 Natur 0 4. Kadar Air Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), kadar air sampo maksimum sebesar 95,5 persen. Hasil analisa kadar air pada sampo dengan ekstrak lengkuas merah pada tingkat konsentrasi 0,5 persen, 1 persen, 2 persen, dan 3 persen berturut-turut sebesar 80 persen, 70,5 persen, 70 persen, dan 77,5 persen. Kisaran kadar air yang dihasilkan dengan empat taraf konsentrasi ekstrak lengkuas merah seluruhnya masih masuk dalam syarat mutu kadar air menurut SNI. Nilai kadar air dari sampo Merang dan Natur sama besar, yaitu sebesar 83 persen. Nilai ini masih sesuai dengan nilai baku mutu kadar air. Untuk produk komersil, daya simpan dan ketahanan terhadap mikroorganisme sudah diperhitungkan dengan teliti. Nilai ini diperkirakan merupakan nilai optimal kadar air bagi sampo komersil. Hasil analisis ragam dengan faktor perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah (α=0,05) berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan, menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak 3 persen berbeda nyata dengan konsentrasi 0,5 persen, 1 persen, dan 2 persen. Sedangkan konsentrasi ekstrak 0,5 persen, 1 persen, dan 2 persen 41

54 tidak saling berbeda nyata. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan faktor perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah disajikan dalam Lampiran 7b dan Lampiran 7c. Perubahan nilai kadar air sampo dapat dilihat pada Gambar 13. Penurunan nilai kadar air pada setiap penambahan ekstrak lengkuas merah mengindikasikan bahwa nilai kadar air dipengaruhi oleh penambahan ekstrak lengkuas merah. Penambahan ekstrak lengkuas merah dalam formulasi sampo mengakibatkan pengurangan konsentrasi air deionisasi yang ditambahkan. Selain itu, kadar air sampo juga dipengaruhi oleh kandungan kadar air bahan-bahan penyusun. Pengurangan air sebagai pelarut hingga 3 persen ikut mempengaruhi kadar air sampo. Kadar air dalam suatu produk diatur dalam suatu rentang nilai tertentu untuk menjaga mutu produk. Kadar air yang terlalu tinggi merupakan tempat yang kondusif untuk berkembangnya mikroorganisme yang dapat merusak produk. Suryani et al. (2002) menyatakan bahwa kadar air bahan juga menunjukkan kestabilan emulsi. Kadar air yang tinggi dalam suatu produk emulsi menyebabkan semakin cepatnya proses pemisahan fase dan menunjukkan bahwa emulsi tersebut memiliki tingkat kestabilan yang rendah. Kadar Air (%) Konsentrasi Ekstrak Lengkuas (%) Gambar 13. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai kadar air sampo 5. Stabilitas Emulsi 42

55 Nilai rata-rata stabilitas emulsi sampo pada setiap peningkatan konsentrasi ekstrak lengkuas merah menunjukkan kestabilan emulsi yang semakin bertambah dengan peningkatan yang tidak terlalu signifikan. Nilai kestabilan emulsi terendah ditunjukkan oleh sampo dengan 0,5 persen ekstrak lengkuas merah, yaitu sebesar 21,24 persen. Sedangkan stabilitas emulsi tertinggi diperoleh dari sampo dengan 3 persen ekstrak lengkuas merah sebesar 23,29 persen. Nilai stabilitas emulsi pada konsentrasi ekstrak lainnya, yaitu konsentrasi 1 persen dan 2 persen, berturut-turut sebesar 22,48 persen dan 22,65 persen. Nilai stabilitas emulsi sampo ekstrak lengkuas merah jika dibandingkan dengan antijamur komersil, yaitu sampo Merang dan Natur, memiliki nilai stabilitas emulsi yang lebih tinggi. Nilai stabilitas emulsi sampo Merang dan Natur masing-masing sebesar 19,35 persen dan 18,8 persen. Perubahan nilai stabilitas emulsi sampo dapat dilihat pada Gambar 14. Salah satu karakteristik yang penting dari sistem emulsi adalah kestabilan emulsi. Stabilitas emulsi merupakan daya tahan suatu emulsi terhadap perubahan-perubahan fisik oleh faktor-faktor eksternal dan menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam sistem emulsi atau terdapat keseragaman ukuran molekul antara fase terdispersi dan fase pendispersi dengan konfigurasi yang terbaik (Suryani et al., 2002). Stabilitas emulsi akan berpengaruh terhadap umur simpan suatu produk emulsi. Konsentrasi ekstrak lengkuas merah yang bertambah menyebabkan terjadinya pengurangan konsentrasi air sebagai pelarut. Menurut Suryani et al. (2002), pengurangan kadar air menyebabkan semakin lambatnya proses pemisahan fase terdispersi dan fase pendispersi. Semakin lambat pemisahan fase, maka tingkat kestabilan emulsi semakin tinggi. 43

56 Stabilitas Emulsi (%) Konsentrasi Ekstrak Lengkuas (%) Gambar 14. Grafik pengaruh konsentrasi ekstrak lengkuas merah terhadap nilai stabilitas emulsi sampo. Hasil analisis ragam dengan faktor perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah (α=0,05) berpengaruh nyata terhadap nilai stabilitas emulsi sampo yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan, ditunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak 3 persen berbeda nyata dengan konsentrasi 0,5 persen, 1 persen dan 2 persen. Sedangkan konsentrasi 2 persen dan 3 persen tidak saling berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi 0,5 persen. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan faktor perlakuan konsentrasi ekstrak lengkuas merah disajikan dalam Lampiran 9b dan Lampiran 9c. C. UJI STABILITAS Uji stabilitas dilakukan untuk mengetahui kestabilan produk selama penyimpanan. Pengujian ini menggunakan metode akselerasi (Connors et al., 1992), yang dilakukan selama 30 hari, suhu penyimpanan 50 o C, dan rentang waktu pengujian setiap 5 hari sekali. Karakter yang diamati selama penyimpanan adalah nilai ph dan viskositas. 1. Stabilitas Nilai ph Nilai ph sampo selama penyimpanan pada konsentrasi ekstrak 0 persen berkisar antara 7,70-8,10 ; 7,35-7,60 pada konsentrasi 0,5 persen ; 44

57 6,35-7,25 pada konsentrasi 1 persen ; 5,50-6,65 pada konsentrasi 2 persen ; dan 5,15-5,95 pada konsentrasi ekstrak 3 persen. Kisaran nilai ph sampo selama penyimpanan masih sesuai dengan syarat mutu nilai ph sampo menurut Standar Nasional Indonesia (1992). Data hasil analisis stabilitas ph sampo selama penyimpanan pada masing-masing perlakuan disajikan pada Lampiran 12. Nilai ph sampo pada sampo non ekstrak (0 persen ekstrak) menunjukkan peningkatan selama penyimpanan. Sedangkan pada keempat formulasi sampo yang mengandung ekstrak lengkuas merah menunjukkan nilai ph yang semakin menurun, yang memberikan nilai ph terendah pada konsentrasi ekstrak lengkuas merah 3 persen dan ph tertinggi ditunjukkan oleh sampo dengan 1 persen ekstrak lengkuas merah. Nilai rata-rata ph sampo selama penyimpanan disajikan pada Gambar 15. Perubahan nilai ph sampo selama penyimpanan dipengaruhi oleh kandungan ekstrak lengkuas merah pada sampo. Ekstrak lengkuas merah yang bersifat asam memberikan pengaruh penurunan nilai ph sampo selama penyimpanan dengan reaksi asam basa yang menghasilkan air dan garam. Hari keph ELM 0 % ELM 0.5% ELM 1% ELM 2% ELM 3% Gambar 15. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak lengkuas Merah (ELM) dan Lama Penyimpanan (hari) terhadap Nilai Stabilitas ph Produk Sampo 45

58 Nilai viskositas sampo selama penyimpanan menunjukkan peningkatan secara kontinu hingga hari ke-30. Peningkatan viskositas pada konsentrasi ekstrak 0 persen dari 793,35 cp pada hari ke-1 dan mencapai nilai 6213 cp pada hari ke-30 ; pada konsentrasi 0,5 persen, peningkatan terjadi dari 1185 cp hingga 8853,5 cp ; pada konsentrasi 1 persen, peningkatan viskositas dari 2546,5 hingga cp ; 3960 cp hingga cp pada konsentrasi 2 persen ; dan 8486,5 cp hingga cp pada konsentrasi ekstrak 3 persen. Kisaran nilai viskositas sampo selama penyimpanan dari kelima formulasi sampo sudah tidak sesuai dengan syarat mutu nilai viskositas sampo menurut Schmitt dan William (1996), dimana viskositas sampo yang baik memiliki nilai dengan rentang cp. Nilai rata-rata viskositas sampo selama penyimpanan disajikan pada Gambar 16. Sampo tanpa ekstrak menunjukkan peningkatan nilai viskositas yang keluar dari rentang nilai viskositas mulai saat penyimpanan hari ke- 25. Sedangkan sampo dengan 0,5 persen ekstrak, terjadi penyimpangan nilai viskositas dengan standar dimulai pada hari ke-15. Peningkatan nilai viskositas sampo dengan 1 persen dan 2 persen ekstrak lengkuas merah dimulai pada hari ke-10 dan hari ke-5 penyimpanan. Pada sampo dengan 3 persen ekstrak lengkuas merah, sejak awal penyimpanan sudah tidak sesuai dengan standar nilai viskositas, yaitu sebesar 8486,5 cp. Data hasil analisis stabilitas viskositas sampo selama penyimpanan pada masingmasing perlakuan disajikan pada Lampiran 13. Kenaikan nilai viskositas sampo selama penyimpanan menunjukkan bahwa sistem emulsi sampo cukup stabil. Seperti menurut Suryani et al. (2002) yang menyatakan bahwa kestabilan emulsi ditunjukkan oleh tingginya nilai viskositas. Sistem emulsi yang tidak stabil akan mengalami penurunan viskositas selama masa penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem emulsi sampo ekstrak lengkuas merah merupakan suatu sistem emulsi yang cukup stabil. 46

59 Viskositas (cp) Hari Ke- ELM 0 % ELM 0.5 % ELM 1 % ELM 2 % ELM 3 % Gambar 16. Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah (ELM) dan Lama Penyimpanan (hari) terhadap Stabilitas Viskositas (cp) Sampo Ketidakstabilan viskositas sampo selama penyimpanan dipengaruhi faktor eksternal seperti kondisi lingkungan penyimpanan, yaitu suhu inkubator (50 0 C). Pemanasan sistem emulsi hingga 50 0 C menyebabkan terjadinya penguapan air yang terkandung dalam sampo yang menyebabkan meningkatnya nilai viskositas. Selain itu, menurut Suryani et al. (2002), pemanasan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimia pada sistem emulsi yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan emulsi. Pemanasan yang berlebihan menyebabkan kerusakan emulsi dengan terbentuknya 3 lapisan pada sistem emulsi. Lapisan atas merupakan fase terdispersi. Hal ini disebabkan karena pemanasan menyebabkan partikel terdispersi mengembang sedangkan partikel emulsifier mengkerut, sehingga partikel emulsifier pecah dan fase terdispersi pun terlepas. Lapisan tengah merupakan fase pendispersi sedangkan lapisan bawah merupakan partikel emulsifier yang pecah. Hal ini menjelaskan bahwa peningkatan nilai viskositas sampo yang menunjukkan kestabilan emulsi ternyata tidak seiring dengan kerusakan sistem emulsi akibat proses pemanasan selama proses penyimpanan. Hal ini sesuai dengan Suryani et al. (2002) yang menyatakan bahwa suatu emulsi jika ditinjau dari segi kinetika mungkin stabil, tetapi jika dilihat dari segi termodinamika sistem emulsi tersebut 47

60 tidak selalu stabil. Dengan kata lain, secara fisik sistem emulsi sampo ekstrak lengkuas merah terlihat stabil, namun belum tentu stabil jika dianalisis sifat kimianya. D. DAYA ANTIJAMUR Hasil uji antijamur sampo terhadap jamur Tricophyton mentagropytes dan Microsporum canis memperlihatkan adanya perbedaan nilai diameter hambat. Nilai diameter daerah hambat jamur M. canis memperlihatkan bahwa jamur ini memiliki nilai diameter hambatan yang cenderung meningkat dengan penambahan konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Nilai diameter daerah hambat untuk konsentrasi ekstrak 0,5 persen ; 1 persen ; 2 persen; dan 3 persen berturut-turut adalah sebesar 33 mm ; 32,3 mm ; 34,7 mm ; dan 36 mm. Sedangkan untuk jamur uji Tricophyton mentagropytes menghasilkan diameter hambat yang lebih kecil dibandingkan diameter hambat dari jamur Microsporum canis. Pengujian antijamur terhadap Tricophyton mentagropytes mengalami penurunan nilai diameter daerah hambat sampo mulai pada konsentrasi 2 persen. Nilai diameter daerah hambat jamur T. Mentagropytes untuk konsentrasi ekstrak 0,5 persen ; 1 persen ; 2 persen; dan 3 persen berturut-turut adalah sebesar 33,5 m ; 34 mm ; 32,7 mm; dan 29 mm. Perbedaan ini menjelaskan bahwa jenis jamur yang diujikan mempengaruhi keefektifan daya antijamur suatu produk yang mengandung zat antijamur. Tingkat kerentanan jamur terhadap zat antijamur dipengaruhi oleh karakter dinding spora jamur dan kecepatan germinasi spora. T. mentagropytes memiliki dinding spora yang tipis dan fase pertumbuhan yang sangat cepat, sedangkan M. canis memiliki dinding spora yang tebal dan fase germinasi spora yang lambat (Soltys, 1963). Proses penetrasi zat antijamur dengan difusi ikut dipengaruhi oleh tingkat kekentalan sampo, sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pada dua jenis jamur uji. M. canis yang memiliki dinding spora yang tebal, dapat menahan lebih lama suatu zat antijamur untuk berpenetrasi ke dalam sel. Namun, 48

61 karena fase germinasi sporanya lebih lambat, mengakibatkan sel-selnya lebih cepat untuk dihambat oleh zat antijamur. Sehingga nilai diameter daerah hambatnya terus meningkat dengan peningkatan konsentrasi zat antijamur dari lengkuas merah dalam sampo. Pada jamur T. mentagropytes, dengan dinding sel yang lebih tipis mengakibatkan senyawa antijamur lebih cepat untuk berpenetrasi ke dalam sel. Kecepatan penetrasi zat antijamur ke dalam sel tidak membuat jamur ini lebih mudah terhambat. Hal ini disebabkan oleh cepatnya germinasi spora pada T. mentagropytes yang dapat mengalahkan kecepatan hambat zat antijamur terhadap sel-sel barunya. Hal ini menyebabkan proses penghambatan zat antijamur terjadi lebih cepat pada M. canis dibandingkan pada T. mentagropytes. Perbandingan nilai diameter hambat dari dua jenis jamur ini dapat dilihat pada Gambar 17. Tampilan zona hambat pada medium tumbuh jamur dapat dilihat pada Lampiran 12. Hasil analisa ragam faktor konsetrasi ekstrak lengkuas merah terhadap daya antijamur sampo disajikan pada Lampiran Diameter hambat (mm) Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah T. mentagropytes M. canis Gambar 17. Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah dengan Diameter Hambat terhadap Jamur Selain itu, menurut Fardiaz (1985), kemampuan zat antijamur menghambat pertumbuhan jamur dipengaruhi pula oleh beberapa faktor antara lain : konsentrasi zat antijamur, jenis, jumlah, umur, dan keadaan jamur, suhu, waktu kontak, sifat-sifat kimia dan fisik media pertumbuhan, seperti ph, kadar 49

62 air, nutrisi, serta jumlah komponen didalamnya. Nilai diameter hambat sampo ekstrak lengkuas merah terhadap jamur Tricophyton mentagropytes dan Microsporum canis dapat dilihat pada Lampiran 10a. Tabel 9. Hasil Uji Antijamur Sampo Ekstrak Lengkuas Merah Konsentrasi Ekstrak Diameter Daerah Hambat terhadap Jamur (mm) Lengkuas Merah (persen) Tricophyton mentagropytes Microsporum canis 0,5 33, ,3 2 32,7 34,7 3 29,4 36 Daya antijamur ekstrak lengkuas merah disebabkan adanya gugus fenol (OH) dalam komponen penyusun kelompok flavonol (galangin, kuercetin, mircetin, dan kaemferid). Menurut Nychas (1995), komponen fenol dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap senyawa amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik yang memiliki berat molekul yang besar dapat menginaktifkan enzim essensial yang terdapat dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi rendah. Pelczar dan Reid (1979) menambahkan bahwa senyawa fenolik mampu menurunkan tegangan permukaan sel mikroba. Menurut Branen dan Davidson (1993), senyawa antijamur lengkuas mampu menurunkan tegangan permukaan karena memiliki grup lipofil dan hidrofil dalam molekulnya. Keseimbangan antara grup lipofil dan hidrofil sangat menentukan keoptimalan aktivitas antijamur dari sampo dengan ekstrak lengkuas merah. Voight (1994) menyatakan bahwa di dalam bahan aktif ekstrak lengkuas merah, yang termasuk dalam grup hidrofil adalah gugus hidroksil (OH), sedangkan cincin karbon merupakan grup lipofil. Selain komponen fenol, daya antijamur dalam ekstrak lengkuas merah juga disebabkan oleh komponen lain, seperti eugenol, 1 -Asetoksi khavikol asetat, dan galangol. Komponen-komponen dalam lengkuas merah, baik yang terdapat dalam minyak atsiri maupun resin, saling bersinergi memberikan daya hambat terhadap pertumbuhan jamur. 50

63 Komponen utama penyusun membran sitoplasma jamur merupakan senyawa protein dan lemak (Pelczar dan Chan, 1986). Karakteristik bahan penyusun membran sitoplasma ini menyebabkan rentannya membran terhadap bahan yang memiliki sifat dapat menurunkan tegangan permukaan (Jawetz et al., 1960). Kerusakan membran sitoplasma menyebabkan ion anorganik penting, nukleotida, koenzim, dan asam amino bergerak keluar sel. Selain itu, kerusakan membran juga dapat mencegah masuknya bahan-bahan penting yang diperlukan sel (Brock dan Madigan, 1991). Pada zat antijamur untuk kulit kepala, seperti ketokonazol (turunan imidazol), penggunaannya dapat menyebabkan ketidakteraturan pada membran sitoplasma jamur. Senyawa antijamur dapat membentuk interaksi hidrofob dengan asam lemak tidak jenuh (suatu komponen dalam membran jamur) dan mengakibatkan terjadinya perubahan pada permeabilitas membran dan fungsi pengangkutan senyawa essensial. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan metabolik sehingga menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan kematian sel jamur. Senyawa turunan imidazol juga dapat menghambat biosintesis sterol, trigliserida, dan fosfolipid pada jamur. Senyawa ketokonazol sendiri dapat mempengaruhi biosintesis ergosterol dalam sel jamur (Siswandono dan Soekardjo, 1995). E. UJI KESUKAAN KONSUMEN Uji kesukaan atau uji hedonik secara organoleptik merupakan uji yang bertujuan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap sampo yang dihasilkan, melalui pengamatan beberapa karakter sampo, yaitu aroma, kekentalan, penampakan, banyaknya busa, dan kesan setelah pemakaian (Rahayu, 1998). Pengujian dilakukan dengan menggunakan indera penciuman (aroma), indera peraba, indera penglihatan. Pada uji kesukaan sampo ekstrak lengkuas merah ini, sampo yang diujikan adalah sampo yang mengandung konsentrasi ekstrak lengkuas merah mulai dari 0,5 persen, 1 persen, 2 persen, hingga 3 persen. Saat uji kesukaan, panelis yang berjumlah 30 orang memberikan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaanya terhadap sampo ekstrak lengkuas merah. 51

64 Tingkat skala hedonik yang digunakan adalah 5 skala numerik, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = biasa, 4 = suka, dan 5 = sangat suka. Penilaian kesukaan panelis terhadap sampo untuk masing-masing tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah dihitung berdasarkan rata-rata persentase frekuensi panelis. 1. Kesukaan Terhadap Penampakan Sampo Nilai kesukaan panelis terhadap penampakan sampo pada berbagai tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah memberikan hasil bahwa sampo dengan konsentrasi ekstrak lengkuas merah 0,5 persen merupakan sampo yang paling direspon oleh panelis. Respon tersebut masuk pada tingkat kesukaan biasa yang mencapai 50 persen, tingkat suka sebanyak 36,7 persen, tingkat sangat suka mencapai 3,3 persen, dan tingkat tidak suka panelis hanya 10 persen. Sedangkan sampo dengan 3 persen ekstrak lengkuas merah merupakan sampo yang mendapatkan respon paling rendah dibandingkan sampo lainnya, dengan tingkat sangat tidak suka sebanyak 10 persen, tidak suka 33,3 persen, biasa 33,3, tidak suka 23,3 persen, dan 0 persen tingkat sangat suka. Hasil uji nonparametrik Friedman menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh secara signifikan terhadap kesukaan panelis terhadap penampakan sampo (p<0,05). Data hasil uji nonparametrik Friedman terhadap kesukaan panelis pada penampakan sampo dengan ekstrak lengkuas merah disajikan pada Lampiran 17b. Lampiran 17c merupakan hasil penghitungan uji kesukaan penampakan sampo dengan metode crosstabulation. Frekuensi kesukaan panelis dari uji hedonik terhadap penampakan sampo dapat dilihat pada Gambar 18. Data hasil uji kesukaan aroma sampo dapat dilihat pada Lampiran 17a. 52

65 100% 90% 80% Frekuensi Kesukaan 70% 60% 50% 40% 30% 20% Sangat Suka Suka Biasa Tidak Suka Sangat Tidak Suka 10% 0% % 1 % 2 % 3 % Konsentrasi Ekstrak lengkuas Merah Gambar 18. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Penampakan Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah Tingkat kesukaan panelis pada sampo dengan 0,5 persen ekstrak lengkuas merah, dipengaruhi oleh warna sampo yang lebih terang dan menarik dibandingkan sampo lainnya yang lebih pekat seiring dengan penambahan tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Tingkat konsentrasi ekstrak yang semakin tinggi mengakibatkan semakin banyaknya padatan yang terlarut dalam campuran sampo, sehingga mempengaruhi warna dan penampilan fisik sampo. Gambar 19 merupakan visualisasi sampo dengan ekstrak lengkuas merah. 53

66 Gambar 19. Penampakan Sampo dengan Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) 2. Kesukaan terhadap Aroma Sampo Nilai kesukaan panelis terhadap aroma sampo dengan berbagai tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah memberikan hasil bahwa sampo dengan konsentrasi ekstrak lengkuas merah 1 persen dan 2 persen merupakan sampo yang direspon paling baik oleh panelis. Respon tersebut masuk pada tingkat 2 (tidak suka) yang mencapai 30 persen, tingkat 3 (biasa) sebanyak 20 persen, tingkat 4 (suka) mencapai 43,3 persen, dan tingkat 5 (sangat suka) hanya 6,7 persen untuk sampo dengan 1 persen ekstrak. Sampo dengan 2 persen ekstrak lengkuas merah memiliki rentang nilai dengan 23,3 persen pada tingkat 2 (tidak suka), 36,7 persen pada tingkat 3 (biasa), 36,7 pada tingkat 4 (suka), dan 3,3 persen pada tingkat 5 (sangat suka). Sedangkan sampo dengan 3 persen ekstrak lengkuas merah merupakan sampo yang mendapatkan respon paling rendah dibandingkan sampo lainnya, dengan tingkat sangat tidak suka sebanyak 6,7 persen, tidak suka 53,3 persen, biasa 16,7 persen, tidak suka 16,7 persen, dan 6,7 persen tingkat sangat suka. Hasil uji nonparametrik Friedman menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh secara signifikan terhadap kesukaan panelis terhadap aroma sampo (p<0,05). Data hasil uji nonparametrik Friedman terhadap kesukaan panelis pada aroma sampo dengan ekstrak lengkuas merah disajikan pada Lampiran 18b. Lampiran 18c adalah hasil penghitungan uji kesukaan aroma sampo dengan metode crosstabulation. Data hasil uji kesukaan aroma sampo dapat dilihat pada Lampiran 18a. Frekuensi kesukaan panelis terhadap semua tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah diberikan pada Gambar

67 Frekuensi Kesukaan 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% Sangat Suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka 0% % 1 % 2 % 3 % Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah (%) Gambar 20. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Aroma Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah. Tingkat kesukaan aroma sampo pada pengujian dipengaruhi oleh komponen volatil alam minyak atsiri ekstrak lengkuas yang ditambahkan zat pewangi sintetis dan menghasilkan kombinasi aroma yang paling disukai pada sampo dengan 1 persen ekstrak lengkuas merah. Kombinasi aroma yang dihasilkan seperti aroma harum dan aroma khas rempah. Sedangkan sampo dengan 0,5 persen ekstrak tidak memberikan kombinasi aroma yang cukup kuat, sebaliknya kombinasi pada sampo 3 persen ekstrak memberikan aroma yang kuat namun tidak disenangi oleh panelis. Menurut Kubota et al. (1998), aroma lengkuas berasal dari senyawa asetoksi-1,8-sineol. Isomer Trans 2- asetoksi-1,8-sineol secara kualitatif menyebabkan aroma lengkuas lebih kuat (menyengat) dan dominan mempengaruhi karakteristik aroma lengkuas. 3. Kesukaan terhadap Kekentalan Sampo Nilai kesukaan panelis terhadap kekentalan sampo dengan konsentrasi 0,5 persen, 1 persen, dan 2 persen berturut-turut 6,7 persen, 26,7 persen, dan 20 persen pada tingkat 2 (tidak suka), 50 persen, 33,3 persen, dan 56,7 persen pada tingkat 3 (biasa), 43,3 persen, 40 persen, dan 23,3 55

68 persen untuk tingkat 4 (suka), dan 0 persen untuk ketiga formulasi sampo pada tingkat 5 (sangat suka). Sedangkan sampo dengan 3 persen ekstrak memiliki tingkat kesukaan 6,7 persen pada tingkat 1 (sangat tidak suka), 36,7 persen untuk tingkat 4 (tidak suka), 30 persen untuk tingkat 3 (biasa), 23,3 persen untuk tingkat 4 (suka), dan 3,3 persen untuk tingkat 5 (sangat suka). Gambar 21 menyajikan hasil frekuensi kesukaan panelis terhadap sampo dengan berbagai tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah. 100% Frekuensi Kesukaan 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% % 1 % 2 % 3 % Sangat Suka Suka Biasa Tidak Suka Sangat tidak suka Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah Gambar 21. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Kekentalan Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah. Hasil uji nonparametrik Friedman menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh secara signifikan terhadap kesukaan panelis terhadap kekentalan sampo (p<0,05). Data hasil uji nonparametrik Friedman terhadap kesukaan panelis pada kekentalan sampo dengan ekstrak lengkuas merah disajikan pada Lampiran 19b. Data hasil uji organoleptik terhadap kekentalan sampo diberikan pada Lampiran 19a. Lampiran 19c merupakan hasil penghitungan uji kesukaan kekentalan sampo dengan metode crosstabulation. 56

69 4. Kesukaan terhadap Banyaknya Busa Sampo Frekuensi kesukaan panelis terhadap banyaknya busa bervariasi untuk setiap tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas sampo. Sampo dengan 3 persen ekstrak lengkuas merah memiliki frekuensi kesukaan dengan 6,7 persen untuk tingkat 2 (tidak suka), 46,7 persen untuk skala 3 (biasa), 36,7 persen untuk skala 4 (suka), dan 10 persen untuk skala 5 (sangat suka). Sampo dengan 2 persen ekstrak lengkuas merah memberikan frekuensi kesukaan sebesar 3,3 persen untuk skala 1 (sangat tidak suka), 23,3 persen untuk skala 2 (tidak suka), 43,3 persen untuk skala 3 (biasa), 30 persen untuk skala 4 (suka), dan 0 persen untuk skala 5 (sangat suka). Sampo dengan 3 persen ekstrak merupakan sampo yang paling disukai oleh panelis dalam hal banyaknya busa. Hasil uji nonparametrik Friedman menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh secara signifikan terhadap kesukaan panelis terhadap banyaknya busa sampo (p<0,05). Data hasil uji nonparametrik Friedman terhadap kesukaan panelis pada banyaknya busa sampo dengan ekstrak lengkuas merah disajikan pada Lampiran 20b. Gambar 22 memperlihatkan frekuensi kesukaan untuk lima skala kesukaan banyaknya busa sampo dengan empat tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Data hasil pengujian kesukaan busa sampo dapat dilihat pada Lampiran 20a. Lampiran 20c merupakan hasil penghitungan uji kesukaan banyaknya busa sampo dengan metode crosstabulation. Busa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen terhadap suatu jenis sampo. Walaupun sebenarnya, banyaknya bus atidak menggambarkan daya bersih sampo. Banyaknya busa pada sampo dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi surfaktan yang berfungsi sebagai pembangkit busa (foam buster). Pada keempat formulasi sampo dengan penambahan ekstrak lengkuas merah ini, jenis dan konsentrasi surfaktan yang digunakan sama, dan ekstrak lengkuas merah tidak mengandung komponen yang berfungsi sebagai pembangkit busa. 57

70 100% % 80% Frekuensi kesukaan 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% % 1 % 2 % 3 % Sangat Suka Suka Biasa Tidak Suka Sangat Tidak Suka Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah Gambar 22. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Banyaknya Busa Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah. 5. Kesukaan terhadap Kesan setelah Pemakaian Sampo Hasil uji kesukaan kesan setelah pemakaian dengan metode crostabbulation memperlihatkan bahwa keempat formulasi sampo dengan penambahan ekstrak lengkuas merah tidak memiliki frekuensi kesukaan pada skala 5 (sangat suka) dan 1 (sangat tidak suka). Dari data frekuensi hasil uji hedonik, diketahui bahwa sampo dengan 1 persen ekstrak merupakan sampo yang paling disukai penelis dalam hal kesan setelah pemakaian. Sampo dengan 1 persen ekstrak lengkuas merah memiliki frekuensi sebesar 6,7 persen untuk skala 2 (tidak suka), 70 persen untuk skala 3 (biasa), dan 23,3 persen untuk skala 4 (suka). Sedangkan untuk sampo dengan 3 persen ekstrak lengkuas merah memiliki frekuensi 16,7 persen untuk skala 2 (tidak suka), 63,3 persen untuk skala 3 (biasa), dan 20 persen untuk skala 4 (suka). 58

71 Hasil uji nonparametrik Friedman menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh secara signifikan terhadap kesukaan panelis terhadap kesan setelah pemakaian sampo (p<0,05). Data hasil uji nonparametrik Friedman terhadap kesukaan panelis pada kesan setelah pemakaian sampo dengan ekstrak lengkuas merah disajikan pada Lampiran 21b. Gambar 23 memperlihatkan frekuensi kesukaan untuk lima skala kesukaan kesan setelah pemakaian sampo dengan empat tingkat konsentrasi ekstrak lengkuas merah. Data hasil uji kesukaan kesan setelah pemakaian dapat dilihat pada Lampiran 21a. Lampiran 21c merupakan hasil penghitungan uji kesukaan kesan setelah pemakaian sampo dengan metode crosstabulation. Frekuensi Kesukaan 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% % 1% 2% 3% Sangat Suka Suka Biasa Tidak Suka Sangat Tidak Suka Konsentrasi Ekstrak lengkuas Merah Gambar 23. Grafik Hubungan Rata-rata Persentase Frekuensi Kesukaan Panelis terhadap Kesan Setelah Pemakaian Sampo dan Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah. 59

72 Secara umum, panelis menyukai sampo dengan penampakan terang atau tidak terlalu pekat, aroma lembut, kekentalan tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi, dan tidak terlalu licin setelah dibilas dengan air. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 60

73 A. KESIMPULAN Hasil analisa sampo dengan ekstrak lengkuas merah menujukkan bahwa penambahan ekstrak lengkuas merah mempengaruhi karakteristik sampo. Sampo ekstrak lengkuas merah yang dihasilkan memiliki rentang ph , nilai ini masih termasuk dalam baku mutu ph sampo menurut SNI (1992). Viskositas sampo yang dihasilkan berkisar cp. Sampo dengan 3 % ekstrak lengkuas merah sudah tidak sesuai dengan baku mutu viskositas sampo yang memiliki rentang cp. Nilai kadar air, dengan rentang % dan alkali bebas sampo (untuk semua tingkat konsentrasi = 0), pada semua tingkat konsentrasi ekstrak masih memenuhi nilai syarat mutu kadar air dan alkali bebas sampo. Nilai kestabilan emulsi sampo dengan ekstrak lengkuas merah memiliki nilai berkisar %, sedangkan stabilitas emulsi sampo Natur dan Merang (kontrol), berturut-turut sebesar 18.8 % dan %. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa variasi konsentrasi ekstrak lengkuas merah berpengaruh nyata terhadap nilai ph, kekentalan, kadar air, dan stabilitas emulsi sampo Pada pengujian umur simpan, nilai ph sampai akhir penyimpanan masih termasuk pada baku mutu sampo menurut SNI (1992), yaitu sekitar Nilai viskositas sampo selama penyimpanan untuk semua tingkat konsentrasi ekstrak berkisar cp, nilai ini sudah tidak sesuai dengan baku mutu nilai viskositas sampo. Dari hasil pengujian antijamur sampo dengan ekstrak lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum), diperoleh nilai diameter daerah hambat untuk jamur M. canis dengan kisaran mm. Sedangkan untuk jamur uji Tricophyton mentagropytes, terjadi penurunan nilai diameter daerah hambat sampo mulai pada konsentrasi 2 %. Nilai diameter daerah hambat jamur T. Mentagropytes berkisar mm. Hasil ini menunjukkan bahwa sampo dengan ekstrak lengkuas merah memiliki khasiat antijamur terhadap dua jenis jamur penyebab infeksi kulit kepala. Nilai diameter daerah hambat zat antijamur sampo memberikan nilai yang berbeda tergantung pada jenis jamur uji. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sampo ekstrak lengkuas merah 61

74 yang paling disukai adalah sampo dengan konsentrasi ekstrak lengkuas merah 1 %. Dari hasil pengujian karakter sampo, daya antijamur, dan uji kesukaan sampo ekstrak lengkuas merah, diperoleh hasil bahwa formulasi sampo terbaik adalah pada sampo dengan penambahan 1 % ekstrak lengkuas merah. Untuk mendapatkan formulasi sampo ekstrak lengkuas terbaik, harus memperhatikan komposisi bahan penyusun lainnya yang berpengaruh terhadap karakteristik sampo. B. SARAN Untuk memperbaiki aroma dari sampo ekstrak lengkuas merah, disarankan untuk dilakukan proses penghilangan komponen bau. Bau khas lengkuas yang pedas menyengat berasal dari komponen Trans 2-asetoksi-1,8- sineol. Komponen ini dapat dihilangkan dengan metode pelarutan menggunakan pelarut resorsinol. Selain itu, dibutuhkan kajian lebih lanjut tentang pengujian daya antijamur sampo ekstrak lengkuas merah langsung kepada penderita infeksi kulit kepala (uji klinis). 62

75 DAFTAR PUSTAKA Anonymous Alpinia galangal (L.) Sw. Didalam /cgi_bin. Anonymous Antijamur dan Antikembung. Didalam /suplemen/cetak_detail.asp. 10 Juni Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.I. Puspitasari dan S. Budiyanto analisis Pangan. IPB Press, Bogor : 42. Backer, C.A. dan R.C.B.Van den Brink Flora of Java. Wolters- Noordohoff Groningen. The Netherlands. Badan Pusat Statistika Produksi Tanaman Obat di Indonesia. Jakarta. Balsam, M.S. dan E. Sagarin Cosmetics Science and Technology. 2 nd Edition Volume II. John Willey and Sons, Inc., New York. Bohm, G.M Chalcones, Aurones and Dihydrochalcons. Didalam Harborne, J.B., T.J. Marby and H. Marby (Ed.). The Flavonoids. Part 1. Academic Press. Newyork. Branen, A.L. and P.M. Davidson Introduction to use of Antimicrobials. Didalam Antimicrobials in Foods, 2 nd Edition. Branen, A.L. dan Davidsson, P.M (eds). Marcel Dekker Inc., Westport, Connecticut. Brock, T.D. dan M.T Madigan Iology of Microorganism. Sixth Edition. Prentice HallInternational Editions. Chami, N., F. Chami, S. Bennis; J. Trouillas, dan A. Remmal Antifungal Treatment with Carvacrol and Eugenol of Oral Candidiasis in Immunosuppressed Rats. Brazilian Journal of Infectious Diseases. Braz J Infect Dis vol.8 no.3 Salvador June Chukanhom, K., P. Borisuthpeth dan K. Hatai Antifungal Activities of Aroma Components from Alpinia galanga against Water Molds. Biocontrol Science Vol. 10 No. 3 September Japan Connors, K.A., L.A. Gordon, dan J.S. Valentino Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Penerjemah : Gunawan, D. dan Ahmad M.F. IKIP Semarang Press. Terjemahan dari Chemical Stability of Pharmaceutical. John Willey and Sons. New York.

76 Darwis, S.N., M. Indo dan S. Hasiyah Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. De Pooter, H.L., M.N. Omar, B.A. Coosaet dan N.M. Schamp The Essential Oil of Greater Galangal (Alpinia galanga) from Malaysia. Phytochem, 24 : Depkes RI Formularium Kosmetika Indonesia. Jakarta. Depkes RI Materia Medika Indonesia. Jakarta. Elewski, B.E. Tinea Capitis : A Current Perspective. Journal of the Amerucan Academy of Dermatology. 2000; 42 (1):-20. Fardiaz D., N. Andarwulan, dan N.I Puspitasari Teknis Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor : 20. Farrel, K.T Spice, Condiments, and Seasoning. 2 nd ed. Van Nostrand Reinhold. New York. Ganiswara, S.G Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta : Gotlieb, O.R Flavonols. Didalam Harborne, J.B. T.J. Marby dan H. Marby (Ed.). The Flavonoids. Part 1. Academic Press. New York. Hezmela, R Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) dalam Sediaan Shampo. Skripsi. TIN. FATETA. IPB. Bogor. Hernani, D. Mangunwidjaya, dan R. Hezmela Daya Antijamur Ekstrak Lengkuas Merah (Alpinia purpurata K. Schum) dalam Sediaan Salep. Departemen Teknologi Industri Pertanian. IPB. Bogor. Imron, H.S.S Sediaan Kosmetika. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud. Jakarta. Ismayanti Aplikasi Gelatin Tipe B sebagai Bahan Pengental (Thickening Agent) pada Shampoo. Skripsi. TIN. IPB. Bogor Ismunandar Apa Sih Uniknya Sampo 2 in 1? Didalam Kimi@net- 60

77 Jawetz, E., J.S. Melnick, dan E.A. Adelberg Review of Medical Microbiology. Fourth Edition. Lange Medical Publication. Los Angeles, California. Jokopriyambodo, W., S. Wahyono dan Katno Pengaruh Metode Ekstraksi terhadap Kadar Ekstrak total Laos (Alpinia galanga SW.). Buku Panduan Seminar Nasional XV Tumbuhan Obat indonesia. Pokjanas TOI. Depkes R.I. dan PT. Indofarma. Jakarta. Kholid, A Teknik Ekstraksi Komponen Antimikroba dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L. Swartz). Skripsi. ITP. IPB. Bogor. Kondo, A., H. Ohigashi, A. Murakami, J. Suratwadee, dan K. Koshimizu Acetoxychavicol acetateas a Potent Inhibitor of Tumor Promotor-Induced Epstein-Barr Virus Activation from Languas galanga Thai Condiemnt. J. Biosci. Biotech 57 (8) : Ketaren, S Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta. Laksono, Y.T Kajian Pengaruh Penggunaan Palm DEA (Dietanolamida) dari Asam Laurat Minyak Inti Sawit terhadap Mutu Shampoo. Skripsi. TIN. FATETA. IPB. Bogor. Malaysian Herbal Database Herbal Database. Didalam Mc Vicar, J Jekka s Complete Herb Book. Kylee Cathic limited. London : 83. Marzuki, N Memakai Shampo yang Tepat. April 2002 Tahun ke-1 No. 4. di dalam Nychas, G.J.E Natural Antimicrobial from Plants. Didalam New Mehod Food Preservative. Blakie Academic. London Pelczar, M.J. dan Reid, R.D Microbiology. Mc. Graw Hill Book Co. New York. Pooter, H.L., M. Nor Omar, B.A. Coolsaet, dan N.M Schamp The Essential Oil of Greater galanga (Alpinia galanga) from Malaysia. Phytochem. 24:93. 61

78 Poppe, J Gelatin Didalam Thickening and Gelling Agent for Food. Red Carnations Gums Ltd., London. Rahayu, W.P Penuntun Praktikum Perlakuan Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Rismunandar Rempah-rempah. Komoditi Ekspor Indonesia.Sinar Baru. Bandung. Rusmarilin, H Aktivitas Anti-Kanker Ekstrak Rimpang lengkuas Lokal (Alpinia galanga (L). Sw) Pada Alur Sel Kanker Manusia Serta Mencit yang Ditransplantasi dengan Sel Tumor Primer. Disertasi. Program Pasca Sarjana ITP. IPB. Bogor. Schmitt, W.H., and Williams D.F Chemistry and Technology of The Cosmetics and Toiletries Industry. 2 nd Ed. Balkie Academis & Proffesional an Imprint of Chapman and Hall. London. Shelef, L.A Antimicrobial Effect of Spices. J. Food Safety 6 : Sinaga, E Alpinia galangal (L.) Willd. Didalam /artikel/ttg_tanaman_obat/unas. Siswadi, I Mempelajari Aktivitas Antimikroba Ekstrak Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium D.C) terhadap Mikroba Patogen Perusak Makanan. Skripsi. ITP.IPB. Bogor. Siswandono dan Soekarjo Kimia Medisinal 2. Airlangga University Press, Surabaya : 71. Sudarmadji, S. Dan B.H. Suhardi Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty dan PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. Didalam Kholid, A Teknik Ekstraksi Komponen Antimikroba dari Rimpang lengkuas (Alpinia galanga L. Swartz). Skripsi. ITP. IPB. Bogor. Soltys, M.A Bacteria and Fungi Pathogenic to Man and Animals. Bailiere Tindal and Cox, london : SNI Standar Mutu Shampo Cair. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. Suryani, A., I. Sailah., dan E. Hambali Teknologi Emulsi. Jurusan TIN IPB. Bogor. Temple, M.E Pharmachoterapy of Tinea capitis. J Am Board Fam Pract MayJune : 12:

79 Toaha, J Ilmu Kecantikan dan Kosmetika Modern. CV Parisade. Jakarta. Voight, R Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Volk and Wheeler Mikrobiologi Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Wardana, H.D., N.S Barwa, A. Kongsjahju, M.A. Iqbal, M. Khalid, dan R.R. Taryadi Budi Daya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Penebar Swadaya. Jakarta. World Health Organization Quality Control Methods for Medicinal Plant Material. Geneva. 63

80 Lampiran 1. Tata Cara Analisis Bubuk Lengkuas Merah 1. Kadar Air (Voight, 1994) Ke dalam labu 500 ml, dimasukkan bahan secukupnya, sehingga menghasilkan 2-4 ml air. Ditambahkan dalm labu kira-kira 200 ml toluen dan juga di dalam perangakat penerima. Labu suling dipanaskan perlahan-lahan sampai toluen mendidih. Jika jumlah air tidak bertambah lagi, penyulingan dilanjutkan selama 15 menit. Selanjutnya penyulingan dihentikan, dan alat dibiarkan sampai dingin. Jika air dan toleun telah terpisah secara sempurna, volume dan persentase air dalam bahan dihitung. 2. Kadar Abu (Depkes RI, 1978). Lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus dan ditimbang dimasukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian diratakan. Zat kemudian dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, kemudian didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan air panas dan disaring memalui kertas saring bebas abu. Sisa zat dan kertas saring dipijarkan kembali dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus dan diuapkan, kemudian dipijarkan hingga bobot tetap ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. persen kadar abu = wa/wb x 100 persen wa = berat abu (g) wb = berat bubuk lengkuas 3. Kadar Abu tidak Larut Asam (Depkes RI, 1989) Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer (P) selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan. Bagian yang telah dikumpulkan disaring melalui kertas saring kemudiaan dicuci dengan air panas dan setelah itu dipijarkan kembali hingga bobot tetap lalu ditimbang. Kadar abu yang tidak larut asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. 65

81 persen kadar abu tidak larut asam = wa/wb x 100 persen wa = berat abu tidak larut asam wb = berat bubuk lengkuas 4. Kadar Sari Larut dalam Air (Depkes, 1989) Serbuk yang akan dianalisa dikeringkan di udara, kemudian 5 g serbuk di maserasi dengan 100 ml air menggunkaan labu bersumbat selama 24 jam sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan, sebanyak 20 ml filtrat yang diperoleh diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisa dipanaskan pada suhu C hingga bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. persen kadar sari larut dalam air = wa/wb x 100 persen wa = berat komponen larut air (g) wb = berat bubuk lengkuas (g) 5. Kadar Sari Larut dalam Air (Depkes RI, 1989) Serbuk yang akan dianalisis dikeringkan di udara, kemudian 2.5 g serbuk di maserasi dengan 100 ml etanol 95 persen menggunakan labu bersumbat selama 24 jam sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan cepat untuk menghindarkan penguapan etanol. 20 ml filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisanya dipanaskan pada suhu C hingga bobot tetap Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung sebagai persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. persen kadar sari larut dalam air = wa/wb x 100 persen wa = berat komponen larut etanol (g) wb = berat bubuk lengkuas (g) 66

82 Lampiran 2. Tata Cara Analisa Ekstrak Lengkuas Merah 1. ph (Apriyantono et al., 1989) ph meter dikalibrasi setiap akan melakukan pengukuran. Elektroda yang telah dibersihkan, dicelupkan dengan air suling ke dalam contoh yang akan diperiksa pada suhu 25 0 C. Nilai ph pada skala ph meter dibaca dan dicatat. 2. Kelarutan dalam Etanol (Apriyantono et al., 1989) Sebanyak 1 ml ekstrak lengkuas dimasukkan ke dalam tabung. Buret 100 ml yang telah berisi etanol 80 persen digunakan untuk melihat kelarutan ekstrak dalam etanol 80 persen. Etanol terus ditambahkan hingga ekstrak larut sempurna dalm etanol 80 persen. Nilai kelarutan merupakan perbandingan antara volume ekstrak dan volume etanol untuk melarutkan ekstrak. 3. Sisa Pelarut Sejumlah ekstrak dimasukkan ke dalam cawan porselen. Setelah itu cawan dan ekstrak dimasukkan ke dalam oven vakum, yang telah diatur tekanan dan suhunya selama waktu tertentu. Sisa pelarut dihitung dengan mengurangi bobot total sebelum di oven dengan bobot total setelah di oven dan dinyatakan dalam persen (persen). 67

83 Lampiran 3. Tata Cara Analisis Karakter Sampo Ekstrak Lengkuas Merah 1. Derajat Keasaman (ph) (SNI : ) ph meter dikalibrasi setiap akan melakukan pengukuran. Elektroda yang telah dibersihkan, dicelupkan dengan air suling ke dalam contoh yang akan diperiksa pada suhu 25 0 C. Nilai ph pada skala ph meter dibaca dan dicatat. 2. Alkali Bebas (SNI : ) Contoh sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam labu takar 250 ml, kemudian ditambahkan 100 ml alkohol 96 persen netral, batu didih, dan beberapa tetes larutan phenolptalein. Erlenmeyer direaksikan di atas penangas air dengan memakai pendingin tegak selam 30 menit hingga mendidih. Jika larutan berwarna merah, titrasi dengan larutan HCl 0.1 N dlam alkohol sampai warna merah tepat hilang. Kadar Alkali Bebas = Volume HCl (ml) x N HCl x 0.04 x 100 persen (dihitung sebagai NaOH) 3. Viskositas (British Standar 757) Pengukuran dilakukan dengan alat Brookfield Rheometer. Contoh diukur dengan kecepatan pengadukan 30 rpm untuk dua kali ulangan contoh. 4. Stabilitas Emulsi (Suryani et al., 2002) Sejumlah bahan emulsi yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam wadah. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45 0 C selama 1 jam. Setelah 1 jam, kemudian dimasukkan dalam lemari pendingin dengan suhu 0 0 C selama 1 jam. Satu jam kemudian dipanaskan kembali dengan oven bersuhu 45 0 C dan dibiarkan sampai beratnya konstan. Stabilitas emulsi dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut : Stabilitas Emulsi (persen) = bobot fase yang tersisa x 100 persen bobot total bahan emulsi 68

84 5. Kadar Air Sejumlah bahan dimasukkan ke dalam wadah. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven yang bersuhu C selama 24 jam. Setelah 24 jam, wadah dan bahan didinginkan, kemudian ditimbang. Pemanasan dilanjutkan hingga bobot konstan. 69

85 Lampiran 4. Hasil Analisa Mutu Bahan Baku Bubuk Lengkuas Merah 1. Kadar Air Bobot Pelarut Air terdestilasi Kadar Air Ulangan bubuk (g) (ml) (ml) (persen) Rata-rata (persen) Kadar Abu Bobot Bubuk Bobot cawan Bobot akhir Bobot Abu Kadar Abu Ulangan (g) Awal (g) cawan (g) (g) (persen) Rata-rata (persen) Kadar Sari Larut dalam Etanol Ulangan B. Bubuk (g) B. cawan Awal (g) B. akhir cawan (g) B. Kadar Sari (g) Kadar Sari (persen) Rata-rata (persen) Kadar Sari Larut dalam Air Bobot Bobot Bobot Kadar Ulangan Bobot Bubuk (g) cawan Awal (g) akhir cawan (g) Kadar Sari(g) Sari (persen) Rata-rata (persen)

86 5. Kadar Abu tidak Larut Asam Ulangan Bobot Bubuk (g) Bobot cawan Awal (g) Bobot akhir cawan (g) Bobot Abu tak Larut Asam (g) Kadar Abu tidak Larut Asam (persen) Rata-rata (persen)

87 Lampiran 5a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa ph Sampo Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah (%) Ulangan Nilai ph 0 1 7,67 2 7,66 0,5 1 7,57 2 7, ,06 2 7, ,95 2 6, ,1 2 5,8 NATUR 1 6,01 2 6,1 MERANG SARIAYU 1 7,63 2 7,6 Rata-rata 7,665 7,58 7,24 6,67 5,95 6,055 7,615 Lampiran 5b, Hasil Analisis Ragam ph Sampo Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Derajat Bebas (df) Kuadrat tengah (KT) Perlakuan 3, ,018 Galat 0, ,067 Jumlah 3,321 7 F Sig, Keterangan 15,262 0,012 Berbeda nyata Lampiran 5c, Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap ph Sampo Taraf Faktor N Rata-rata Keterangan % 2 5,95 A 2 % 2 6,67 B 1 % 2 7,24 7,24 BC 0,5 % 2 7,58 C 74

88 Lampiran 6a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Viskositas Sampo Konsentrasi EkstrakLengkuas Merah (%) Ulangan Nilai Viskositas (cp) Rata-rata ,7 793,35 0, , ,5 NATUR MERANG SARIAYU Lampiran 6b. Hasil Analisa Ragam Viskositas Sampo Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat (JK) Derajat Bebas (df) Kuadrat tengah (KT) Perlakuan ,67 Galat ,250 Jumlah F Sig, Keterangan 232,027 0,000 Sangat berbeda nyata Lampiran 6c. Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Viskositas Sampo Taraf N Rata-rata Keterangan Faktor ,5 % A 1 % ,5 B 2 % C 3 % ,5 D 75

89 Lampiran 7a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Kadar Air Sampo Konsentrasi EkstrakLengkuas Merah (%) Ulangan Nilai Kadar Air (%) Rata-rata , , , ,5 NATUR MERANG SARIAYU Lampiran 7b. Hasil Analisa Ragam Kadar Air Sampo Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Sig, Keterangan Keragaman Kuadrat (JK) Bebas (dk) tengah (KT) Perlakuan 7 3 2,333 Galat 1 4 0,250 9,333 0,028 Berbeda Jumlah 8 7 nyata Lampiran 7c. Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Kadar Air Sampo Konsentrasi Ekstrak (%) N Rata-rata Keterangan % 2 77,5 A 2 % 2 79 B 1 % 2 79,5 B 0,5 % 2 80 B 76

90 Lampiran 8. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Alkali Bebas Sampo Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah (%) Ulangan Nilai alkali Bebas (%) , NATUR MERANG SARIAYU

91 Lampiran 9a. Rekapitulasi Data Hasil Analisa Stabilitas Emulsi Sampo Konsentrasi EkstrakLengkuas Merah (%) Ulangan Nilai Stabilitas Emulsi Rata-rata ,65 20, ,51 0,5 1 21, ,38 21, ,42 22, , ,8 2 22,49 22, ,1 2 23,47 23,29 NATUR 1 18, ,88 18,88 MERANG SARIAYU 1 19, ,35 19,35 Lampiran 9b. Hasil Analisa Ragam Stabilitas Emulsi Sampo Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Sig, Keterangan Keragaman Kuadrat (JK) Bebas (df) tengah (KT) Perlakuan 4, ,470 Galat 0, ,041 35,734 0,002 Berbeda nyata Jumlah 4,576 7 Lampiran 9c. Hasil Uji Lanjut Wilayah Berganda Duncan Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Lengkuas Merah terhadap Stabilitas Emulsi Sampo Konsentrasi Ekstrak N Rata-rata Keterangan ,5 % 2 21,325 A 1 % 2 22,475 B 2 % 2 22,645 B 3 % 2 23,285 C 78

92 Lampiran 10a. Hasil Uji Efektivitas Antijamur Sampo Ekstrak Lengkuas Merah Jenis Jamur Konsentrasi Ekstrak Ulangan Diameter hambat (mm) Rata-rata (mm) Tricophton mentagrophytes 0,50 % 1 34, ,35 Microsporum canis Tricophton mentagrophytes 1 % Microsporum canis 1 26, ,3 Tricophton mentagrophytes 2 % ,3 32,7 Microsporum canis 1 42,7 2 26,7 34,7 Tricophton mentagrophytes 3 % 1 28, ,4 Microsporum canis

93 Lampiran 10b. Hasil Uji Efektivitas Antijamur Sampo Ekstrak Lengkuas Merah pada Pengenceran 1000 ppm, 3000 ppm, dan 5000 ppm Konsentrasi Pengenceran Jenis Jamur Ekstrak Ulangan 1000 ppm 3000 ppm 5000 ppm Tricophton mentagrophytes 0,50 % Microsporum canis Tricophton mentagrophytes 1 % Microsporum canis 1 1, Tricophton mentagrophytes 2 % Microsporum canis Tricophton mentagrophytes 3 % Microsporum canis Keterangan : - = tidak ada diameter hambat 80

94 Lampiran 11. Hasil Analisa Ragam Daya Antijamur Sampo terhadap T, mentagropytes Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Sig, Keterangan Keragaman Kuadrat (JK) Bebas (dk) tengah (KT) Perlakuan 25, ,541 6,404 0,052 Tidak Galat 5, ,334 berbeda Jumlah 30,959 7 nyata Hasil Analisa Ragam Daya Antijamur Sampo terhadap M, Canis Sumber Jumlah Derajat Kuadrat F Sig, Keterangan Keragaman Kuadrat (JK) Bebas (dk) tengah (KT) Perlakuan 16, ,475 0,076 0,970 Tidak Galat 289, ,461 berbeda Jumlah 306,269 7 nyata 81

95 Lampiran 12. Foto Uji Antijamur Sampo dengan Ekstrak Lengkuas Merah pada jamur Tricophyton mentagropytes dan Microsporum canis 1. Uji Antijamur Tricophyton mentagropytes Sampo 0.5 % Ekstrak Lengkuas Merah Sampo 1 % Ekstrak Lengkuas Merah Sampo 2 % Ekstrak Lengkuas Merah Sampo 3 % Ekstrak Lengkuas Merah 82

96 Lampiran 12. Foto Uji Antijamur Sampo dengan Ekstrak Lengkuas Merah pada jamur Tricophyton mentagropytes dan Microsporum canis (lanjutan) 2. Uji Antijamur Microsporum canis Sampo 0.5 % Ekstrak Lengkuas Merah Sampo 1 % Ekstrak Lengkuas Merah Sampo 2 % Ekstrak Lengkuas Merah Sampo 3 % Ekstrak Lengkuas Merah 83

SKRIPSI. PEMANFAATAN LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) SEBAGAI BAHAN ANTIJAMUR DALAM SAMPO

SKRIPSI. PEMANFAATAN LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) SEBAGAI BAHAN ANTIJAMUR DALAM SAMPO SKRIPSI PEMANFAATAN LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) SEBAGAI BAHAN ANTIJAMUR DALAM SAMPO OLEH : RINI BUDIARTI F34102057 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.) memberikan hasil sebagai berikut : Tabel 2 :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi Indonesia yang memiliki bagi perekonomian Nasional dalam berbagai bidang. Kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh kolonisasi jamur atau ragi. Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbang (essential oil, volatile oil) dihasilkan oleh tanaman. Minyak tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terbang (essential oil, volatile oil) dihasilkan oleh tanaman. Minyak tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Minyak atsiri yang juga dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak terbang (essential oil, volatile oil) dihasilkan oleh tanaman. Minyak tersebut mudah menguap pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman jeruk merupakan komoditas buah unggulan nasional karena memiliki nilai ekonomi tinggi, adaptasinya sangat luas, sangat populer dan digemari hampir seluruh

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri minyak atsiri memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan di Indonesia, karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam penyediaan bahan bakunya.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh dermatofit, yaitu sekelompok infeksi jamur superfisial yang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh dermatofit, yaitu sekelompok infeksi jamur superfisial yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tinea atau dermatofitosis adalah nama sekelompok penyakit kulit yang disebabkan oleh dermatofit, yaitu sekelompok infeksi jamur superfisial yang tumbuh di lapisan

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA KUNYIT Mono Rahardjo dan Otih Rostiana PENDAHULUAN Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat potensial, selain sebagai bahan baku obat juga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Naga Buah naga atau dragon fruit merupakan buah yang termasuk kedalam kelompok tanaman kaktus. Buah naga berasal dari Negara Mexico, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis

I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai: latar belakang, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, tempat dan waktu penelitian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kayu Manis Gambar 1. Kulit Batang Kayu Manis (Dwijayanti, 2011) 1. Sistematika Tumbuhan Sistematika tumbuhan kayu manis menurut Soepomo, 1994 adalah: Kingdom Divisi Kelas Ordo

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Manggis dan Syarat Tumbuh Manggis dengan nama latin Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan

Lebih terperinci

Si Musuh Kulit Kepala Anak-Anak

Si Musuh Kulit Kepala Anak-Anak Si Musuh Kulit Kepala Anak-Anak Microsporum canis Microsporum canis termasuk ke dalam organisme fungi dermatoifit zoofilik yaitu organisme fungi yang menyerang kulit (terutama kulit kepala dan rambut)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pedaging yang sering disebut sebagai ayam broiler merupakan jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pedaging yang sering disebut sebagai ayam broiler merupakan jenis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging Ayam pedaging yang sering disebut sebagai ayam broiler merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ketombe atau dalam bahasa medisnya ptiriasis banyak diderita oleh penduduk. penampilan seseorang akibat kotornya rambut (Harmanto, 2006).

PENDAHULUAN. Ketombe atau dalam bahasa medisnya ptiriasis banyak diderita oleh penduduk. penampilan seseorang akibat kotornya rambut (Harmanto, 2006). PENDAHULUAN Ketombe atau dalam bahasa medisnya ptiriasis banyak diderita oleh penduduk Indonesia yang beriklim tropis, suhu tinggi dan udara lembab. Penyakit ini lebih sering dialami oleh orang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daunnya digunakan untuk membuat teh yang sebelumnya mengalami

BAB I PENDAHULUAN. daunnya digunakan untuk membuat teh yang sebelumnya mengalami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman Teh adalah spesies tanaman yang daun dan pucuk daunnya digunakan untuk membuat teh yang sebelumnya mengalami proses pemanasan untuk menonaktifkan enzim- enzim

Lebih terperinci

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan

Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan tepat untuk mengurangi terbawanya bahan atau tanah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rempah basah (bawang putih, bawang merah, lengkuas, kunyit, dan jahe) serta rempah kering (kemiri, merica,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu bagian tanaman pepaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu bagian tanaman pepaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bagian tanaman pepaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah biji buah pepaya (Carica papaya L.). Secara tradisional biji pepaya dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Superficial mycoses merupakan hal yang lazim terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan pernyataan para ilmuan St. John's Institute of Dermatology London, memperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan yang dimanfaatkan dan diakui masyarakat dunia, hal ini menandai kesadaran untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan sebagai usaha tanaman industri. Rimpangnya memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan sebagai usaha tanaman industri. Rimpangnya memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu rempah-rempah penting. Oleh karena itu, jahe menjadi komoditas yang mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai usaha

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 0. manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh. masyarakat Indonesia. ruenuju masyarakat maju,

BAB I PENDAHULUAN 0. manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh. masyarakat Indonesia. ruenuju masyarakat maju, BAB I PENDAHULUAN 0 1.1. Latar Belakang Permasalahan Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. ruenuju masyarakat maju, adil dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai dari bulan Maret hingga Mei 2011, bertempat di Laboratorium Pilot Plant PAU dan Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT Feri Manoi PENDAHULUAN Untuk memperoleh produk yang bermutu tinggi, maka disusun SPO penanganan pasca panen tanaman kunyit meliputi, waktu panen,

Lebih terperinci

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK. Mono Rahardjo dan Otih Rostiana STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL BUDIDAYA TEMULAWAK Mono Rahardjo dan Otih Rostiana PENDAHULUAN Kegunaan utama rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah sebagai bahan baku obat, karena dapat merangsang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu sumber protein hewani. Ikan juga merupakan bahan makanan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu sumber protein hewani. Ikan juga merupakan bahan makanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan bahan makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat sebagai salah satu sumber protein hewani. Ikan juga merupakan bahan makanan yang cepat mengalami proses

Lebih terperinci

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt TANAMAN BERKHASIAT OBAT By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt DEFENISI Tanaman obat adalah jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat (sel) tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan/

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian. Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi : Spermatophyta ( tumbuhan berbiji ) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Durian 1. Taksonomi Dan Morfologi Tanaman Durian Menurut Rahmat Rukmana ( 1996 ) klasifikasi tanaman durian adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh tumbuhan ) Divisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan bahan alam yang berasal dari tumbuhan sebagai obat tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk menangani berbagai masalah kesehatan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan kekayaan alamnya. Tanahnya yang subur dan iklimnya yang tropis memungkinkan berbagai jenis tumbuhan dapat dibudidayakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Surat keterangan hasil identifikasi tumbuhan jahe merah

Lampiran 1. Surat keterangan hasil identifikasi tumbuhan jahe merah Lampiran 1. Surat keterangan hasil identifikasi tumbuhan jahe merah Lampiran 2. Gambar tumbuhan jahe merah Lampiran 3. Gambar makroskopik rimpang jahe merah Rimpang jahe merah Rimpang jahe merah yang diiris

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK LAOS PUTIH (ALPINIA GALANGAS) TERHADAP BAKTERI Escericia coli DAN Salmonella sp. Lely Adel Violin Kapitan 1

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK LAOS PUTIH (ALPINIA GALANGAS) TERHADAP BAKTERI Escericia coli DAN Salmonella sp. Lely Adel Violin Kapitan 1 AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK LAOS PUTIH (ALPINIA GALANGAS) TERHADAP BAKTERI Escericia coli DAN Salmonella sp Lely Adel Violin Kapitan 1 1 Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Kupang (*Jurusan Farmasi, Telp

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Karakteristik Minyak Atsiri Wangi Hasil penelitian menunjukkan minyak sereh wangi yang didapat desa Ciptasari Pamulihan, Kabupaten Sumedang dengan pengujian meliputi bentuk,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu jenis jeruk yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah buah jeruk nipis (Citrus aurantifolia) (Penicilla, 2011). Minyak atsiri dari buah jeruk nipis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis tumbuhan dari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis tumbuhan dari BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini digunakan bahan baku minyak atsiri daun sebagai bahan aktif gel antiseptik. Minyak atsiri daun ini berasal dari Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan rimpang lengkuas merah

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan rimpang lengkuas merah Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan rimpang lengkuas merah 69 Lampiran 2. Gambar tumbuhan rimpang lengkuas merah a b Keterangan: a. Gambar tumbuhan lengkuas merah b. Gambar rimpang lengkuas merah 70 Lampiran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1.

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1. BAB III METODOLOGI A. ALAT DAN BAHAN A.1. Alat yang digunakan : A.1.1 Alat yang diperlukan untuk pembuatan Nata de Citrullus, sebagai berikut: 1. Timbangan 7. Kertas koran 2. Saringan 8. Pengaduk 3. Panci

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang sering ditemui di dalam masyarakat adalah acne vulgaris atau biasa disebut dengan jerawat. Jerawat adalah suatu proses peradangan kronik kelenjar-kelenjar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULAN. kandungan protein per 100 gram-nya sebanyak 73,83 kadar air, protein 19,53,

BAB 1 PENDAHULAN. kandungan protein per 100 gram-nya sebanyak 73,83 kadar air, protein 19,53, BAB 1 PENDAHULAN 1.1 Latar Belakang Ikan merupakan hasil kekayaan alam Indonesia untuk dijadikan bahan pangan karena memiliki kandungan zat gizi yang tinggi seperti protein, lemak, vitamin-vitamin, mineral,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab terbesar penyakit kulit dengan manifestasi klinik berupa abses pada kulit, nanah dan bisul. Infeksi pada kulit

Lebih terperinci

Cirebon. Kata Kunci : Lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum), Lengkuas putih (Alpinia galanga L.), Candida albicans. ABSTRACT

Cirebon. Kata Kunci : Lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum), Lengkuas putih (Alpinia galanga L.), Candida albicans. ABSTRACT Perbandingan Efektivitas Lengkuas Merah (Alpinia Purpurata K Schum) dan Lengkuas Putih (Alpinia Galanga) Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida Albicans Secara In Vitro Yandri Naldi 1, Icka Siti Aisah 2 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kulit yang sering terjadi dikalangan masyarakat adalah jerawat. Jerawat atau Acne vulgaris adalah suatu prosen peradangan kronik kelenjar polisebasea yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SHAMPO ANTIJAMUR DENGAN EKSTRAK KULIT JERUK NIPIS. Characterization of Antifungal Shampoo Containing Jeruk Nipis of Skin Extract

KARAKTERISASI SHAMPO ANTIJAMUR DENGAN EKSTRAK KULIT JERUK NIPIS. Characterization of Antifungal Shampoo Containing Jeruk Nipis of Skin Extract KARAKTERISASI SHAMPO ANTIJAMUR DENGAN EKSTRAK KULIT JERUK NIPIS Characterization of Antifungal Shampoo Containing Jeruk Nipis of Skin Extract Faizah Hamzah dan Farida Hanum Hamzah Jurusan Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumberdaya hayati Indonesia sangat berlimpah dan beranekaragam.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumberdaya hayati Indonesia sangat berlimpah dan beranekaragam. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya hayati Indonesia sangat berlimpah dan beranekaragam. Sumbangsih potensi sumberdaya hayati yang ada di Indonesia terhadap kekayaan keanekaragaman sumberdaya hayati

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Tanaman sereh banyak dibudidayakan pada ketinggian dpl.

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Tanaman sereh banyak dibudidayakan pada ketinggian dpl. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sereh adalah tanaman rempah yang keberadaannya sangat melimpah di Indonesia. Tanaman sereh banyak dibudidayakan pada ketinggian 200 800 dpl. Sereh memiliki nama familiar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat

BAB I PENDAHULUAN. berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah negara berkembang di dunia yang masih berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat ini. Profil Kesehatan Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini telah dilaksanakan pada percobaan uji mikrobiologi dengan menggunakan ekstrak etanol daun sirih merah. Sebanyak 2,75 Kg daun sirih merah dipetik di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia tanaman seledri sudah dikenal sejak lama dan sekarang TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Seledri Kedudukan tanaman seledri dalam taksonomi tumbuhan, diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub-Divisi Kelas Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Minyak Atsiri Minyak atsiri atau yang dikenal sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang serta minyak aromatic adalah kelompok besar minyak

Lebih terperinci

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Produksi Kopi Biji Salak dengan Penambahan Jahe Merah dilaksanakan pada bulan Maret-April 2016 di Laboratorium Rekayasa Proses dan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Total Fenolat Senyawa fenolat merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pada tumbuh-tumbuhan, termasuk pada rempah-rempah. Kandungan total fenolat dendeng sapi yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Ekstrak Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.) Ekstark buah tomat memiliki organoleptis dengan warna kuning kecoklatan, bau khas tomat, rasa manis agak asam, dan bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

UJI EKSTRAK DAUN BELUNTAS

UJI EKSTRAK DAUN BELUNTAS UJI EKSTRAK DAUN BELUNTAS (Pluchea indica L. Less) TERHADAP ZONA HAMBAT BAKTERI Escherichia coli patogen SECARA IN VITRO Oleh: Ilma Bayu Septiana 1), Euis Erlin 2), Taupik Sopyan 3) 1) Alumni Prodi.Pend.Biologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1.Permono. Ajar Membuat detergen bubuk, Penebar swadaya. Jakarta.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1.Permono. Ajar Membuat detergen bubuk, Penebar swadaya. Jakarta. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di khasanah dunia ilmiah dikenal adanya produk yang disebut dengan synthetic detergent yang disingkat dengan istilah syndent. Kata synthetic (sintetik) sepertinya memberi

Lebih terperinci

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN EFEK PENGERINGAN TERHADAP PANGAN HASIL TERNAK PERLAKUAN SEBELUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Staphylococcus aureus merupakan salah satu mikroorganisme yang hidup di kulit (Jawetz et al., 1991). Kulit merupakan organ tubuh manusia yang sangat rentan terhadap

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BERTONI (Stevia rebaudiana) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BERTONI (Stevia rebaudiana) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK ETANOL DAUN BERTONI (Stevia rebaudiana) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH Dian Kartikasari 1, Nurkhasanah 2, Suwijiyo Pramono 3 1 Pasca sarjana prodi Farmasi Universitas Ahmad

Lebih terperinci

FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN SHAMPOO MAKALAH

FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN SHAMPOO MAKALAH FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN SHAMPOO MAKALAH Disusun Oleh : Apriana Rohman S 07023232 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2011 A. LATAR BELAKANG Lebih dari 60 persen populasi di dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Setiyawati, 2003; Kuntorini, 2005; dan Kasrina, 2014). esensial dengan senyawa utama berupa sabinene, terpinen-4-ol, γ-terpinene,

I. PENDAHULUAN. (Setiyawati, 2003; Kuntorini, 2005; dan Kasrina, 2014). esensial dengan senyawa utama berupa sabinene, terpinen-4-ol, γ-terpinene, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia kaya akan berbagai tanaman obat, lebih dari 940 spesies tanaman obat telah digunakan sebagai obat tradisional (Food and Agriculture Organization of the United

Lebih terperinci

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG. Oleh : MAULITA NOVELIANTI

SKRIPSI. APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG. Oleh : MAULITA NOVELIANTI SKRIPSI APLIKASI KOMBINASI EKSTRAK FULI PALA (Myristica fragrans Houtt) DAN NaCl SEBAGAI PENGAWET PADA MI BASAH MATANG Oleh : MAULITA NOVELIANTI F24103090 2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang banyak menyebabkan masalah pada kulit, terutama peradangan pada kulit (Daili et al., 2005). Kulit merupakan

Lebih terperinci

DEFINISI Ketombe (juga disebut sindap dan kelemumur; dengan nama ilmiah Pityriasis capitis) adalah pengelupasan kulit mati berlebihan di kulit

DEFINISI Ketombe (juga disebut sindap dan kelemumur; dengan nama ilmiah Pityriasis capitis) adalah pengelupasan kulit mati berlebihan di kulit KETOMBE DEFINISI Ketombe (juga disebut sindap dan kelemumur; dengan nama ilmiah Pityriasis capitis) adalah pengelupasan kulit mati berlebihan di kulit kepala, akibat peradangan di kulit karena adanya gangguan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang di seluruh dunia, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang di seluruh dunia, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan hal yang sering terjadi dan dapat mengenai semua orang di seluruh dunia, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa. Menurut Sumarji (2009), luka adalah

Lebih terperinci

NUR SIDIK CAHYONO AKTIVITAS ANTIFUNGI EKSTRAK ETANOL BIJI JARAK, DAUN URANG-ARING DAN KOMBINASINYA TERHADAP MALASSEZIA SP. SERTA EFEK IRITASINYA

NUR SIDIK CAHYONO AKTIVITAS ANTIFUNGI EKSTRAK ETANOL BIJI JARAK, DAUN URANG-ARING DAN KOMBINASINYA TERHADAP MALASSEZIA SP. SERTA EFEK IRITASINYA NUR SIDIK CAHYONO AKTIVITAS ANTIFUNGI EKSTRAK ETANOL BIJI JARAK, DAUN URANG-ARING DAN KOMBINASINYA TERHADAP MALASSEZIA SP. SERTA EFEK IRITASINYA Program Studi Sains dan Teknologi Farmasi INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lumut. Tumbuhan lumut merupakan sekelompok tumbuhan non vascular yang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lumut. Tumbuhan lumut merupakan sekelompok tumbuhan non vascular yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi masih menjadi permasalahan utama kesehatan di Indonesia (Kuswandi et al., 2001). Rendahnya tingkat ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya dan menduduki peringkat lima besar di dunia dalam hal keanekaragaman tumbuhan, dengan 38.000 spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Caisim (Brassica juncea L.) Caisim merupakan jenis sayuran yang digemari setelah bayam dan kangkung (Haryanto dkk, 2003). Tanaman caisim termasuk dalam famili Cruciferae

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bunga Rosella 1. Klasifikasi Dalam sistematika tumbuhan, kelopak bunga rosella diklasifikasikan sebagai berikut : Gambar 1. Kelopak bunga rosella Kingdom : Plantae Divisio :

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat

Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat Agroteknologi Tanaman Rempah dan Obat Syarat Tumbuh Tanaman Jahe 1. Iklim Curah hujan relatif tinggi, 2.500-4.000 mm/tahun. Memerlukan sinar matahari 2,5-7 bulan. (Penanaman di tempat yang terbuka shg

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I

EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I EKSTRAKSI MINYAK SEREH DAPUR SEBAGAI BAHAN FLAVOR PANGAN I N T I S A R I Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu teknologi proses ekstraksi minyak sereh dapur yang berkualitas dan bernilai ekonomis

Lebih terperinci

DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) DALAM SEDIAAN SALEP

DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) DALAM SEDIAAN SALEP DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK LENGKUAS MERAH (Alpinia purpurata K. Schum) DALAM SEDIAAN SALEP Oleh RIZKA HEZMELA F34101083 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR DAYA ANTIJAMUR EKSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman yang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman yang 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman yang mempunyai banyak kegunaan antara lain sebagai ramuan, rempah - rempah, bahan minyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. WAKTU DAN TEMPAT Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas

Lebih terperinci