HIDROLISIS PATI PALMA MENGGUNAKAN PULLULANASE DAN β-amilase SKRIPSI SITI AMINAH OKTAVIYANI F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HIDROLISIS PATI PALMA MENGGUNAKAN PULLULANASE DAN β-amilase SKRIPSI SITI AMINAH OKTAVIYANI F"

Transkripsi

1 HIDROLISIS PATI PALMA MENGGUNAKAN PULLULANASE DAN β-amilase SKRIPSI SITI AMINAH OKTAVIYANI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 HYDROLYSIS OF PALM STARCH BY USING PULLULANASE AND β-amylase Siti Aminah Oktaviyani and Titi Candra Sunarti Department of Agro-Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. ABSTRACT Palm trees are unexplored carbohydrate sources that wiidely spread in Indonesia. Palm starches are still under utilized since lacked information about their pysico-chemical properties. Hydrolysis of these starches are the right application without concerning their characteristics. This research investigated the starches from five types of palm trees, namely Metroxylon sago (commersial sago), Metroxylon sp. (sagu rumbia), Arenga pinnata, Arenga microcarpa (sagu baruk), and Caryota mitis; and the hydrolysis of palm starches by using degrading enzymes, i.e. pullulanase and β- amylase. The result showed that palm starches are normal starch which contain17-21% of amylose or 83-79% of amylopectin which differed in branch-chain lengths, and caused typical products from each type of palm. Pullulanase as debranching enzymes, cleaveged the starch to produce DP of Short-Chains Amylose (SCA). The starch contained % of β-limit dextrins as the residue of β-amylolysis. Simultaneous hydrolysis by using β-amylase and pullulanase mainly produced maltose for all starch with DP of Key words : palm starches, hydrolysis, pullulanase, β-amylase

3 Siti Aminah Oktaviyani. F Hidrolisis Pati Palma Menggunakan Pullulanase dan β- Amilase. Di bawah bimbingan Titi Candra Sunarti RINGKASAN Pati merupakan salah satu substansi yang tersebar luas di alam sebagai cadangan karbohidrat pada tanaman. Pati dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti umbi-umbian, serealia, dan empulur batang palma. Tanaman palma merupakan tanaman yang potensial sebagai sumber pati alami dan dapat menjadi alternatif pengganti beras, jagung, maupun gandum karena jumlahnya melimpah di Indonesia. Dari 2800 jenis palma di dunia, sekitar 460 jenis tersebar merata di daerah-daerah Indonesia. Sagu merupakan salah satu contoh tanaman palma penghasil pati dimana 60% lahan sagu dunia berada di Indonesia yang 90 % areanya tersebar di Papua (Matanubun 2005). Selain sagu masih banyak tanaman palma lain yang belum termanfaatkan secara optimal, seperti aren, sagu baruk, dan Caryota mitis. Pengembangan dan pemanfaatan tanaman palma sebagai bahan baku industri, baik pangan maupun non-pangan, dapat berupa hidrolisat pati yang diperoleh dari proses hidrolisis pati secara enzimatis. Hidrolisat pati merupakan produk turunan pati hasil pemutusan rantai-rantai glukosidik pada pati oleh enzim. Hidrolisat pati merupakan produk yang lebih mudah dan telah banyak digunakan di industri dibandingkan pati alami karena memiliki sifat yang lebih konsisten yang memudahkan dalam pengontrolan dan pembuatan produk dengan kualitas yang baik. Pada penelitian ini pati palma sebagai substrat hidrolisis yang digunakan terdiri atas sagu rumbia (Metroxylon sp.), sagu baruk (Arenga microcarpa), sagu komersial, aren (Arenga pinnata), dan Caryota mitis. Enzim yang digunakan, yaitu β-amilase (EC ) dari barley (SIGMA) yang dapat menghasilkan produk hidrolisat pati berupa maltosa dan β-limit dekstrin serta pullulanase (A.aerogenes, Hayashibara Biochemical Lab.) yang dapat menghasilkan produk maltooligosakarida dan Short-Chain Amylose (SCA). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hidrolisis secara enzimatis dengan pullulanase dan β- amilase beberapa jenis pati palma di Indonesia yang berpotensi dan belum tereksplorasi untuk bahan baku industri dengan melihat perubahan nilai Derajat Polimerisasi (DP), Dextrose Equivalent (DE), dan tingkat hidrolisis. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap proses hidrolisis. Pada tahap persiapan dilakukan pengujian kadar amilosa untuk masing-masing pati palma, penghilangan kandungan protein dan lemak pada pati, serta karakterisasi enzim yang digunakan. Tahap hidrolisis dibuat larutan pati tergelatinisasi 0,4% yang dihidrolisis oleh 0,2 U/g β-amilase dan 0,45 U/g pullulanase. Proses hidrolisis dengan kedua enzim tersebut dilakukan selama 48 jam. Selama proses hidrolisis dilakukan sampling untuk analisa total gula dengan metode Fenol-Sulfat dan gula pereduksi dengan modifikasi metode Park Johnson yang digunakan untuk menghitung tingkat hidrolisis, persentase kandungan β-limit dekstrin, DE, dan DP. Pati palma termasuk tipe pati normal dengan kandungan amilosa berkisar antara 20,1-26,7% dengan kandungan amilosa tertinggi pada sagu rumbia. Hidrolisis pati palma dengan β-amilase terjadi pada ikatan α-1,4-glukosidik yang menghasilkan maltosa dan residu β-limit dekstrin yang merupakan bagian rantai percabangan pada ikatan α-1,6-glukosidik yang tidak terhidrolisis oleh β-amilase. Adapun kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan dari ketujuh pati palma yang digunakan berkisar antara 22,2 38,8% dari total pati. Hidrolisis pati palma dengan pullulanase terjadi pada ikatan percabangan pada gugus amilopektin, yaitu pada ikatan α-1,6-glukosidik sehingga menghasilkan produk yang memiliki rantai-rantai lurus yang cukup pendek dan memiliki bobot molekul yang lebih

4 rendah. Produk yang dihasilkan ini berupa Short-Chain Amylose (SCA) atau maltooligosakarida. Berdasarkan hasil hidrolisis yang dilakukan diperoleh nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 100% untuk masing-masing pati palma berkisar antara 13,9-20,8 dan nilai DE rata-rata berkisar antara 4,8 7,2. Hidrolisis dengan menggunakan kedua enzim tersebut yang ditambahkan secara suksesif akan menghasilkan kerja enzim yang simultan dalam memecah rantai-rantai pada ikatan α-1,4- glukosidik dan α-1,6-glukosidik sehingga dapat menghasilkan produk hidrolisat pati yang memiliki rantai pendek-pendek berupa maltosa. Berdasarkan hasil hidrolisis masing-masing pati palma yang dilakukan oleh β-amilase dan pullulanase ini diperoleh nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 100% berkisar antara 1,7 2,9 dengan nilai DE rata-rata berkisar antara 35,1 57,3 yang menunjukkan produk hidrolisat pati mengandung campuran maltosa, maltotriosa, dan glukosa. Berdasarkan nilai DP dan DE yang dihasilkan hidrolisat pati dari tujuh pati palma yang digunakan oleh masing-masing enzim terlihat adanya keragaman yang diakibatkan oleh keragaman kandungan fraksi amilopektin yang menyusun masing-masing pati palma. Keragaman hasil ini dapat dimanfaatkan oleh industri-industri hidrolisat pati untuk menghasilkan produk hidrolisat sesuai kebutuhan dan kegunaan yang diinginkan. Dari hasil-hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa berbagai jenis pati palma berpotensi untuk diolah menjadi hidrolisat pati yang dapat dimanfaatkan pada berbagai bidang aplikasi terutama bidang pangan.

5 HIDROLISIS PATI PALMA MENGGUNAKAN PULLULANASE DAN β-amilase SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : SITI AMINAH OKTAVIYANI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

6 Judul Skripsi : Hidrolisis Pati Palma Menggunakan Pullulanase dan β-amilase Nama : Siti Aminah Oktaviyani NIM : F Menyetujui, Pembimbing, Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti NIP Tanggal lulus : 26 November 2012

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Hidrolisis Pati Palma Menggunakan Pullulanase dan β-amilase adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2012 Yang membuat pernyataan Siti Aminah Oktaviyani F

8 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 BIODATA PENULIS Siti Aminah Oktaviyani dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1990 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Hendi Setiawan dan Etty Eliyani. Penulis menamatkan sekolah dasar di Negeri Pekayon 018 Jakarta pada tahun 2002 lalu melanjutkan ke SMP Negeri 91 Jakarta pada tahun Pada tahun 2008, penulis lulus dari SMA Negeri 39 Jakarta dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan mengambil pilihan mayor Teknologi Industri Pertanian. Penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2009 hingga Selama masa kuliah penulis pernah menjadi asisten praktikum Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia serta Teknologi Minyak, Lemak, dan Oleokimia. Selain menjalani aktivitas akademik, penulis pernah terlibat dalam kegiatan RAMP 2012 sebagai tutor dan aktif mengikuti beberapa organisasi kampus, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM-F) sebagai bendahara departemen Minat Bakat Mahasiswa (MBM) tahun , Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai bendahara departemen Public Relation tahun , anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) tahun , serta anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Sunda Gentra Kaheman tahun Penulis melaksanakan praktik lapang di PT Tirta Marta Serang dengan judul Mempelajari Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Shopping Bag Berbahan Baku Starch-Based Biodegradable Plastics.

10 KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Hidrolisis Pati Palma Menggunakan Pullulanase dan β-amilase. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Bioindustri dan Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB sejak bulan Februari hingga September Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, bantuan, serta kesabaran dalam membimbing penulis. 2. Dr. Ir. Liesbetini Haditjaroko, MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan yang membangun dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Muslich, M.Si, selaku dosen penguji atas segala saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Kedua orang tua (Hendi Setiawan dan Etty Eliyani), kakak-kakak (Teh Aci dan A Bobi), serta adik-adik (Lia dan Iqbal) penulis yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan nasihat yang membangun. 5. Seluruh laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu, memberi masukan, dan mengajari penulis selama penelitian berlangsung. 6. Cici, Mia, Rathi, Bunga, Fira, Niza, Cecha sebagai teman yang bersedia membantu dan memberi semangat kepada penulis semasa kuliah dan penelitian serta Puja Dwi Sari dan Dony Noor Romadona sebagai rekan sebimbingan yang telah membantu kelancaran selama penelitian. 7. Keluarga besar TIN 45 dan para HSL (Himpunan Solidaritas Lab), atas kebersamaan, semangat, dan bantuannya. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Dengan segala kekurangan yang masih banyak terdapat di dalamnya, penulis berharap tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang membutuhkannya. Semoga tulisan ini menjadi salah satu amalan baik penulis di hadapan Allah SWT. Amin. Bogor, November 2012 Siti Aminah Oktaviyani i

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG TUJUAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA PATI PATI PALMA HIDROLISIS PATI ENZIM (β-amilase DAN PULLULANASE)... 8 III. METODOLOGI WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ALAT DAN BAHAN Alat Bahan METODE PENELITIAN Persiapan Bahan Penentuan Aktivitas Enzim Hidrolisis Pati Palma oleh β-amilase dan Pullulanase IV. HASIL DAN PEMBAHASAN KANDUNGAN AMILOSA PADA PATI PALMA HIDROLISIS ENZIMATIS PATI PALMA Hidrolisis Pati Palma dengan Pullulanase Hidrolisis Pati Palma dengan β-amilase dan Pullulanase secara Suksesif APLIKASI HIDROLISAT PATI PALMA V. PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbedaan amilosa dan amilopektin... 4 Tabel 2. Komposisi fisiko-kimia tepung sagu (per 100 g)... 5 Tabel 3. Komponen kimia pati sagu... 6 Tabel 4. Nilai gizi tepung sagu baruk basah asal Kepulauan Sangihe... 7 Tabel 5. Aplikasi produk hidrolisat pati secara umum... 8 Tabel 6. Produk hidrolisat enzimatis dan aplikasinya Tabel 7. Rasio amilosa dan amilopektin pada pati palma Tabel 8. Aktivitas dan kondisi optimum enzim Tabel 9. Nilai DP dan DE rata-rata pada hidrolisis 10, 40, dan 100% dengan pullulanase Tabel 10. Nilai β-limit dekstrin pati palma Tabel 11. Nilai DP dan DE rata-rata pada hidrolisis 10, 40, dan 100% dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif iii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur kimia (a) amilosa (b) amilopektin... 3 Gambar 2. Daerah persebaran tanaman sagu di Indonesia... 5 Gambar 3. Titik pemutusan rantai amilosa pada pati oleh β-amilase... 9 Gambar 4. Pembentukan β-limit dekstrin... 9 Gambar 5. Titik pemutusan percabangan rantai amilopektin oleh pullulanase Gambar 6. Produk-produk hidrolisat pati enzimatis Gambar 7. Pola hidrolisis pati palma dengan pullulanase Gambar 8. Model klaster pada fraksi amilopektin Gambar 9. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 1 dengan pullulanase Gambar 10. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 2 dengan pullulanase Gambar 11. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu 3 dengan pullulanase Gambar 12. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu rumbia dengan pullulanase Gambar 13. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu komersial dengan pullulanase Gambar 14. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati aren dengan pullulanase Gambar 15. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati Caryota mitis dengan pullulanase Gambar 16. Pola hidrolisis pati palma dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 17. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 1 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 18. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 2 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 19. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 3 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 20. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu rumbia dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 21. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu komersial dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 22. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati aren dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 23. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati Caryota mitis dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif iv

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Jenis-jenis pati palma yang digunakan Lampiran 2. Prosedur analisa kadar amilosa Lampiran 3. Prosedur analisa hidrolisat pati Lampiran 4. Rumus perhitungan hasil analisa hidrolisat pati Lampiran 5. Perhitungan aktivitas enzim Lampiran 6. Hasil analisa nilai DE, DP, dan tingkat hidrolisis pati palma dengan pullulanase Lampiran 7. Hasil analisa nilai DE, DP, β-limit dekstrin dan tingkat hidrolisis pati palma dengan β- amilase dan pullulanase secara suksesif v

15 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pati merupakan salah satu substansi yang tersebar luas di alam sebagai cadangan karbohidrat pada tanaman. Pati dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti umbi-umbian, serealia, dan empulur batang palma. Tanaman palma merupakan tanaman yang potensial sebagai sumber pati alami dan dapat menjadi alternatif pengganti beras, jagung, maupun gandum karena jumlahnya melimpah di Indonesia. Dari 2800 jenis palma di dunia, sekitar 460 jenis tersebar merata di daerah-daerah Indonesia. Sagu merupakan salah satu contoh tanaman palma penghasil pati dimana 60% lahan sagu dunia berada di Indonesia yang 90 % areanya tersebar di Papua (Matanubun 2005). Selain sagu masih banyak tanaman palma lain yang belum termanfaatkan secara optimal, seperti aren, sagu baruk, dan Caryota mitis. Pati hasil ekstraksi tanaman penghasilnya disebut pati alami. Pemanfaatan pati alami ini masih sangat terbatas karena sifat fisik dan kimianya kurang sesuai untuk digunakan secara luas pada produk-produk di industri. Oleh karena itu, pati alami akan lebih mudah diolah dalam upaya menghasilkan produk dengan kualitas baik sehingga nilai ekonomisnya meningkat jika dimodifikasi sifat-sifatnya melalui perlakuan fisik, kimia, atau kombinasi keduanya. Modifikasi pati bertujuan mengubah sifat kimia atau fisik pati secara alami, yaitu dengan memotong struktur molekul, menyusun kembali struktur molekul, oksidasi, serta substitusi gugus kimia pada molekul pati. Modifikasi pati ini akan menghasilkan produk-produk turunan pati yang dapat diolah menjadi produk pangan maupun non-pangan. Adapun modifikasi pati yang dilakukan pada penelitian ini adalah hidrolisis secara enzimatis. Pada umumnya enzim yang digunakan untuk menghasilkan hidrolisat pati di industri adalah α- amilase. Akan tetapi, α-amilase biasanya digunakan sebagai enzim dengan hidrolisis secara sempurna yang menghasilkan produk akhir glukosa sedangkan pada penelitian ini ingin diketahui kerja enzim pada proses hidrolisis secara parsial serta pola hidrolisis dan perubahan komposisi gula yang terjadi pada tingkat hidrolisis 10,40,dan 100% pada tiap pati palma yang digunakan untuk menghasilkan beberapa produk hidrolisat pati, seperti maltosa, β-limit dekstrin, dan maltooligosakarida. Hidrolisis parsial dapat dilakukan oleh beberapa enzim tertentu, seperti β-amilase dan pullulanase. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan kedua enzim tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hidrolisis secara enzimatis dengan pullulanase dan β- amilase beberapa jenis pati palma di Indonesia yang berpotensi dan belum tereksplorasi untuk bahan baku industri dengan melihat perubahan nilai Derajat Polimerisasi (DP), Dextrose Equivalent (DE), dan tingkat hidrolisis. Pada proses hidrolisis, struktur pati yang terdiri atas fraksi amilosa maupun amilopektin akan berubah karena rantai-rantai lurus ataupun yang bercabang akan terputus-putus menjadi rantai yang lebih pendek yang mengindikasikan terbentuknya rantai-rantai yang mengandung gula-gula sederhana penyusun pati. Perubahan ini perlu diamati berdasarkan peningkatan konsentrasi gula pereduksi dan penurunan derajat polimerisasi. Produk berupa hidrolisat pati merupakan turunan pati yang dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk tergantung nilai derajat polimerisasi, dextrose equivalent, tingkat hidrolisis, dan jenis enzim yang digunakan untuk hidrolisis. Penelitian hidrolisis enzimatis pati palma Indonesia sangat penting dilakukan untuk mendapatkan beberapa informasi penting yang diperlukan dalam memanfaatkan lebih lanjut pati palma tersebut. Karena produk hidrolisat pati palma diprediksikan berpotensi menjadi sumber karbohidrat di masa depan. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tidak perlu takut kehabisan sumber 1

16 bahan pangan karena melimpahnya areal perkebunan tanaman palma di Indonesia dan berpotensinya produk-produk turunan dari tanaman palma tersebut. 1.2 TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji hidrolisis beberapa jenis pati palma di Indonesia secara enzimatis menggunakan pullulanase dan β-amilase. 2

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PATI Pati merupakan senyawa yang memiliki berat molekul tinggi yang terdiri atas polimer glukosa yang bercabang-cabang yang diikat dengan ikatan glukosidik. Pati termasuk salah satu jenis polisakarida penting yang banyak terkandung pada beberapa tanaman yang tersebar di alam dan dapat diekstrak dari sumbernya, seperti serealia (beras, gandum, jagung), umbi-umbian (ketela pohon, ubi jalar, kentang), dan empulur batang palma (sagu, aren, sagu baruk). Pati yang terdapat pada sebagian besar tanaman ini terdiri atas tiga fraksi penyusun, yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti protein dan lemak. Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri atas molekul-molekul glukosa yang berikatan dengan α-1,4-d-glukosidik. Jumlah molekul glukosa pada rantai amilosa berkisar antara unit. Panjang rantai polimer akan mempengaruhi berat molekul amilosa dan panjang rantai polimer ini sangat dipengaruhi oleh sumber pati. Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara unit glukosa tergantung sumber pati. Struktur kimia amilopektin pada dasarnya sama seperti amilosa terdiri atas rantai pendek α- (1,4)-D-glukosidik. Perbedaannya adalah amilopektin memiliki tingkat percabangan yang tinggi dan memiliki bobot molekul yang lebih besar dengan adanya ikatan α-1,6-d-glukosidik dimana setiap cabang mengandung unit glukosa. Derajat polimerisasi amilopektin juga lebih tinggi dibandingkan amilosa, yaitu antara 10 5 sampai 3x10 6 unit glukosa (Hustiany 2006). Amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar daripada amilosa, tetapi tingkat kekentalannya lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur molekul amilopektin lebih kompak apabila terdapat dalam larutan. Begitu juga dengan kemampuan untuk membentuk kompleks lebih terbatas. Struktur kimia amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 1. Ikatan α-1,4 Ikatan α-1,6 a b Gambar 1. Struktur kimia (a) amilosa (b) amilopektin Fraksi amilosa dan amilopektin berada dalam granula pati. Kedua fraksi tersebut dapat dipisahkan dalam air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa karena banyak mengandung gugus hidroksil dan membentuk lapisan transparan apabila dipanaskan dalam air sedangkan fraksi tidak larut dan cenderung tidak terjadi retrogradasi disebut amilopektin. Perbedaan amilosa dan amilopektin secara umum dapat dilihat pada Tabel 1. 3

18 Tabel 1. Perbedaan amilosa dan amilopektin Sifat-sifat Amilosa Amilopektin Struktur Linier Bercabang Kestabilan dalam larutan Teretrogradasi Stabil Derajat Polimerisasi x10 6 Pembentukan kompleks iodin biru merah Hidrolisis β-amilase 87% 54% Sumber : Aiyer (2005) Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati dapat mempengaruhi sifat pati. Rasio antara amilosa dan amilopektin berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin rendah amilosa yang terkandung dalam pati, maka pati akan semakin kental, begitu pula sebaliknya. Kandungan amilopektin yang tinggi menyebabkan tekstur sumber pati lebih lunak dengan rasa yang enak. Berdasarkan kandungan amilosa dan amilopektin, pati digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu high-amilose maize starch, waxy maize starch, dan normal starch. Menurut Stoddard (1999), pati normal mengandung amilosa berkisar antara 17-21% sedangkan amilopektin berkisar antara 79-83%. Untuk pati tipe waxy-maize memiliki kandungan amilopektin yang melebihi 99% hingga 100% sedangkan pati tipe high-amilose memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi sekitar 70% (Kearsley 1995). Pati terdiri atas butiran-butiran kecil yang disebut granula. Granula pati memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda tergantung sumbernya. Amilosa dan amilopektin merupakan fraksi yang terdapat dalam tiap granula pati. Granula pati menentukan karakteristik fisik pati dan pengaplikasian yang cocok dalam produk pangan. Ukuran granula juga menjadi salah satu faktor yang menentukan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana suspensi pati dipanaskan hingga mengembang dan membentuk gel. Ukuran granula berpengaruh pada mutu pati yang dihasilkan dalam skala industri. Ukuran granula pati juga mempengaruhi proses produksi modifikasi pati saat dihidrolisis. Ukuran granula pati yang kecil menyebabkan proses hidrolisis secara asam maupun enzimatis lebih efektif dan memiliki kecepatan reaksi yang lebih baik dibandingkan ukuran granula yang besar. 2.2 PATI PALMA Suku (famili) Arecaceae atau pinang-pinangan adalah kelompok tumbuhan yang biasa disebut palma. Diperkirakan terdapat sekitar 2800 jenis keluarga palma yang terdiri atas ± 215 genus. Jenisjenis tanaman palma pada umumnya tersebar di daerah tropik dan subtropik. Sebagai negara tropik Indonesia memiliki sekitar 460 jenis tanaman palma dari ± 35 genus yang tersebar merata di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Irian Jaya, dan pulau-pulau kecil lainnya. Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman palma yang sulit untuk dibedakan sehingga sering disebut tanaman palem saja. Jenis-jenis tanaman palma yang banyak ditemui di Indonesia, antara lain enau atau aren (Arenga pinnata), gebang (Corypha utan), kelapa (Cocos nucifera), Caryota mitis, nibung (Oncosperma tigillarium), nipah (Nypa fruticans), rotan (Calamus rottan), salak (Salacca zalacca), sagu rumbia (Metroxylon sago), sagu baruk (Arenga microcarpa), dan siwalan (Borassus flabellifer) (Alamendah 2009). 4

19 Sagu (Metroxylon sp.) banyak terdapat di Maluku dan Irian Jaya serta beberapa daerah lainnya yang dapat dilihat pada Gambar 2. Area panen lahan sagu di Indonesia mencapai Ha dengan tingkat produktivitas U/Ha dan produksi Ton/tahun (BPS 2010). Tepung sagu dari tanaman ini sudah sejak lama dijadikan makanan pokok oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia bagian Timur. Tanaman sagu di Indonesia dikenal dengan beberapa nama, seperti kirai di Jawa Barat, bulung, kresula, bulu, atau resula di Jawa Tengah, lapia di Ambon, tumba di Gorontalo, serta rambiam atau rabi di Aru. Tanaman ini memiliki banyak manfaat mulai dari bagian pelepah yang dapat dipakai sebagai dinding atau pagar rumah, daunnya sebagai atap, kulit dan batangnya sebagai kayu bakar, aci sagu, bubuk yang dihasilkan dengan mengekstraksi pati dari empulur atau batangnya dapat diolah menjadi makanan dan pakan ternak, dan seratnya sebagai hardboard atau papan untuk bangunan dan dapat diolah menjadi bahan bakar (bioetanol) (Haryanto 1992). Tanaman sagu termasuk tanaman yang mampu menghasilkan pati kering sebanyak 25 ton per Ha. Satu batang pohon sagu dapat menghasilkan kg tepung sagu basah dengan komponen pada tepung sagu yang tercantum pada Tabel 2. Sago area Gambar 2. Daerah persebaran tanaman sagu di Indonesia (Matanubun 2005) Tabel 2. Komposisi fisiko-kimia tepung sagu (per 100g) Komponen Jumlah (%) Air 13,69 Karbohidrat 84,89 Protein 0,46 Lemak 0,76 Serat 0,20 Abu 0,20 Sumber : Jading et al. (2011) 5

20 Komponen terbesar yang terkandung dalam batang sagu adalah pati. Pati sagu merupakan hasil ekstraksi empulur batang sagu (Metroxylon sp.) yang sudah cukup tua sekitar umur 8-16 tahun. Pati sagu tersusun atas dua fraksi penting, yaitu amilosa yang merupakan fraksi linier dan amilopektin yang merupakan fraksi bercabang. Kandungan amilopektin pati sagu sebesar 72,25% sedangkan kandungan amilosa sebesar 27,75% seperti pemaparan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Komponen kimia pati sagu Karakteristik Komposisi (%) Kadar Pati 82,13 Amilosa 27,75 Amilopektin 72,25 Kadar Serat 0,01 Kadar Air 5,76 Kadar Abu 0,12 Kadar Lemak 0,36 Kadar Protein 0,38 Sumber : Haryanto (1988) Aren (Arenga pinnata) termasuk suku (famili) Arecaceae merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yang memiliki bentuk menyerupai pohon kelapa. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah dengan kondisi tanah yang subur (kadar asamnya tidak terlalu tinggi) pada ketinggian m di atas permukaan laut. Berdasarkan daerah tumbuh yang cocok untuk aren, tanaman ini tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua. Total luas area tanaman aren ini sekitar Ha (Purwantana 2008). Di Indonesia tanaman aren dikenal dengan beberapa nama lain, seperti enau dan kawung di Jawa, hanau di Lampung dan Kalimantan, anau di Sumatera Barat, serta semaki di Papua. Pengembangan tanaman aren sangat prospektif karena dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan meningkatkan pendapatan petani aren serta dapat melestarikan sumber daya alam (A) dan lingkungan hidup. Tanaman aren banyak digunakan sebagai bahan-bahan industri, seperti nira, kolang-kaling, dan pati aren. Pati aren diperoleh dari batang tanaman aren. Secara umum pembuatan pati aren dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pemarutan empulur batang, perendaman dan pengadukan, penyaringan, pengendapan, dan pengeringan. Tahap pengadukan dan penyaringan merupakan proses yang memerlukan banyak input energi dan sangat menentukan kualitas produk. Kualitas tepung biasanya ditentukan oleh ukuran butiran (granula pati) dan komponen yang terkandung dalam pati tersebut. Ukuran butiran dinyatakan dalam keseragaman butiran tepung (indeks keragaman) serta modulus kehalusan (fineness modulus). Keseragaman bentuk, jenis, ukuran, dan rasa sangat penting untuk keperluan industri baik industri pangan, industri farmasi, industri bangunan, ataupun industri lainnya karena dapat mempengaruhi hasil akhir dari suatu produk (Purwantana 2008). Tanaman aren terdiri atas beberapa jenis, yaitu aren (Arenga pinnata), aren gelora (Arenga undulatifolia), dan sagu aren (Arenga microcarpa). Sagu aren (Arenga microcarpa) merupakan salah satu jenis aren yang termasuk tanaman palma Indonesia yang juga memiliki potensi sebagai sumber pangan. Tanaman ini berbatang tinggi, ramping, 6

21 dan berumpun banyak. Sagu aren tumbuh liar di hutan-hutan Maluku dan Irian Jaya. Sagu aren juga banyak terdapat di Kepulauan Sangihe dan Taulud, Sulawesi Utara yang dikenal dengan nama sagu baruk. Sagu baruk sudah lama dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah tersebut sebagai makanan pokok yang merupakan alternatif substitusi beras maupun sagu (Sunanto 1993). Sagu baruk tergolong dalam famili Palmae dimana batang tanaman ini dapat menghasilkan pati. Sagu baruk memiliki perbedaan dengan sagu sejati (Metroxylon sp.), yaitu hanya tumbuh di lahan kering dengan iklim kering dan basah tidak sama dengan sagu sejati yang tumbuh di daerah rawa. Sagu baruk memiliki struktur batang berbentuk silinder dan soliter berfungsi sebagai penyimpan makanan cadangan dalam bentuk karbohidrat. Diameter batang beragam antara cm tergantung pada kondisi kesuburan tanah. Tinggi batang dapat mencapai 6-15 m. Daun berwarna hijau tua mengkilat dan berbentuk pelepah yang tersusun dari daun (leaflet). Bunga sagu baruk mirip dengan bunga tanaman aren (Arenga pinnata). Bunga tanaman sagu baruk tersusun dalam satu rangkaian bunga (inflorescensia) dimana bunga pertama muncul pada bagian pucuk (terminalis), sedangkan bunga kedua muncul pada ketiak daun di bawah bunga pertama demikian seterusnya sampai kurang lebih 6 rangkaian bunga. Umur berbunga antara 8 15 tahun tergantung kesuburan tanah. Tanaman sagu baruk memperbanyak diri dengan tunas. Tanaman sagu baruk sebagai penghasil pati (karbohidrat) mampu menghasilkan tepung sagu basah antara 25 sampai 30 kg/batang. Tepung sagu baruk dapat dimanfaatkan untuk berbagai panganan, seperti papeda, bagea, dan aneka kue kering lainnya (Miftahorachman 2009). Dilihat dari nilai gizi tepung sagu baruk asal Kepulauan Sangihe, sagu baruk mengandung air, karbohidrat, pati, serat, dan sebagainya yang dipaparkan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai gizi tepung sagu baruk basah asal Kepulauan Sangihe Kandungan gizi Komposisi (%) Air 12,54 Karbohidrat 56,11 Abu 0,32 Lemak 0,33 Serat Kasar 0,12 Kalsium 0,014 Sumber : Miftahorachman (2009) Caryota mitis (fish-tail palm) merupakan tanaman palma yang memiliki tinggi pohon 5-12 m dengan diameter batang 5-15 cm. Tanaman ini menyebar di beberapa daerah tropis di Indonesia, seperti Sumatera (Aceh dan Sumatera Utara), Jawa, dan Kalimantan. Caryota mitis memiliki beberapa nama lain di beberapa daerah di Indonesia, seperti genduru di Jawa Tengah, saray di Jawa Barat, dan bulung talang di Kalimantan. Tanaman ini memiliki kandungan pati pada bagian batangnya dan sukrosa pada air bunganya, yaitu sebesar 83,5%. Dengan memanfaatkan bunganya Caryota mitis dapat dikelola sebagai tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit, yang dapat dipanen terus-menerus selama waktu reproduktif tanaman tersebut. Air bunga (nira) pada Caryota mitis dapat digunakan sebagai sumber gula alternatif pengganti tebu. Proses untuk mendapatkan sukrosa murni dari air bunga pohon tersebut dapat dilakukan melalui proses ekstraksi air bunga, pengendapan kotoran, pemurnian air gula dan pemisahan dari kandungan senyawa lainnya, kristalisasi, dan penyimpanan untuk selanjutnya diproses menjadi kristal gula murni. 7

22 2.3 HIDROLISIS PATI Sebagian besar pati yang diperoleh langsung dari tanaman penghasilnya merupakan pati alami. Namun sebagian besar penggunaan pati di industri berupa hidrolisat pati karena memiliki karakteristik dan sifat yang mudah dikontrol dalam pembuatan produk-produk tertentu dengan kualitas yang baik. Salah satu alasannya karena hidrolisat pati merupakan pati alami yang telah mengalami modifikasi seperti penghilangan komponen-komponen minor pada pati sehingga hanya tersisa kandungan amilosa dan amilopektin yang lebih mudah diolah menjadi beberapa produk turunan pati yang dapat diaplikasikan di industri. Prinsip hidrolisis pati adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa. Pada umumnya hidrolisat pati dikarakterisasi berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya yang dinyatakan dengan nilai DE (dextrose equivalent) yang menunjukan persentase kandungan dekstrosa murni dalam basis bobot kering pada produk hidrolisis (Kearsley 1995). Dextrose Equivalent (DE) merupakan parameter kemurnian sirup glukosa atau maltosa yang didefinisikan sebagai persentase perbandingan antar gula pereduksi dengan bobot kering sirup glukosa atau maltosa. Jika nilai DE sebesar 100%, maka dapat diartikan seluruh bahan kering pada sirup glukosa merupakan gula pereduksi. Gula pereduksi merupakan golongan gula yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron. Pada umumnya gula pereduksi mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Contoh dari gula pereduksi, antara lain semua monosakarida (glukosa, fruktosa, dan galaktosa) dan disakarida (laktosa dan maltosa). Tinggi rendahnya gula pereduksi suatu produk dipengaruhi oleh sumber pati dan aktivitas enzim pada tiap komoditas sumbernya. Hubungan antara aktivitas enzim dan gula pereduksi yang dihasilkan menunjukkan bahwa semakin tinggi aktivitas enzim, maka semakin tinggi juga gula pereduksi yang dihasilkan (Lehninger 1982). Nilai DE berhubungan dengan derajat polimerisasi (DP). Nilai DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. Hasil hidrolisis pati menjadi produk hidrolisat pati dapat diketahui dari nilai DE yang dihasilkan. Adapun beberapa contoh produk hidrolisat pati berdasarkan nilai DE yang dihasilkan beserta aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Aplikasi produk hidrolisat pati secara umum Produk Hidrolisat Pati DE Aplikasi Sirup Maltosa Pengeras permen, mencegah sifat higroskopis pada bahan, media fermentasi Sirup Glukosa Soft drink, media untuk fermentasi Sirup Fruktosa - Produk susu, soft drink, industri makanan dan minuman kaleng Sirup Campuran Soft drink, bahan baku industri campuran Maltodekstrin 3-20 Stabilizer, filler, lem, dan pasta Sumber : Kennedy et al. (1995) 2.4 ENZIM (β-amilase DAN PULLULANASE) Enzim adalah suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi biologis atau disebut biokatalisator. Enzim berfungsi mengatur kecepatan dan kekhususan reaksi kimia yang berlangsung di dalam sel. Walaupun enzim dibuat di dalam sel, tetapi untuk bertindak sebagai katalis tidak harus berada di dalam sel. Reaksi yang dikendalikan oleh enzim, antara lain respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, serta fotosintesis. Enzim sebagai katalis memiliki nilai ekonomis tinggi karena sangat 8

23 diperlukan untuk menunjang berbagai proses industri, misalnya industri pangan. Degradasi pati membutuhkan enzim amilase yang akan memecah atau menghidrolisis menjadi polisakarida yang lebih pendek (dekstrin) lalu menjadi maltosa. Hidrolisis akhir maltosa menghasilkan glukosa terlarut yang dapat ditransport masuk ke dalam sel. Amilase merupakan enzim pendegradasi pati yang dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan enzim, yaitu α-amilase, β-amilase, dan glukoamilase. β-amilase (E.C ) merupakan enzim golongan hidrolase yang digunakan dalam proses sakarifikasi pati (sejenis karbohidrat). Sakarifikasi banyak berperan dalam pemecahan makromolekul karbohidrat. Pemecahan makromolekul karbohidrat ini akan menghasilkan molekul karbohidrat rantai pendek (sederhana). Enzim β-amilase disebut juga α-l,4-glukan maltohidrolase E.C karena bekerja pada ikatan α-1,4-glikosidik dengan menginversi konfigurasi posisi atom C nomor 1 molekul glukosa dari α menjadi β. Enzim ini memutus ikatan amilosa maupun amilopektin dari luar molekul dan menghasilkan maltosa dari ujung non-pereduksi pada rantai polisakarida. Pada ikatan α-1,6 glikosidik aktivitas enzim ini akan berhenti (Sadikin 2002). Pola pemutusan yang dilakukan enzim ini seperti Gambar 3. β-amilase Gambar 3. Titik pemutusan rantai amilosa pada pati oleh β-amilase (Thomas 1999) Enzim β-amilase banyak ditemukan pada tanaman tingkat tinggi, seperti gandum, barley, kentang, ubi, dan kacang kedelai. Di samping itu, β-amilase juga dapat ditemui pada beberapa mikroorganisme, antara lain Pseudomonas, Bacillus, Streptococcus, dan Clostridium thermosulfurigenes. Enzim yang berasal dari C. thermosulfurigenes umumnya lebih disukai karena memiliki toleransi suhu dan ph yang lebih tinggi. Mekanisme kerja dari enzim β-amilase akan memotong ikatan glikosidik pada gugus amilosa, amilopektin, dan glikogen. Amilosa merupakan struktur rantai lurus dari pati, sedangkan amilopektin merupakan struktur percabangan dari pati. Hasil pemotongan oleh enzim ini akan didominasi oleh molekul maltosa dan β-limit dekstrin seperti terlihat pada Gambar 4. Dalam industri pangan, pembentukan senyawa β-limit dektrin seringkali dihindari karena membentuk viskositas atau kekentalan yang terlalu pekat. Produk samping ini tetap dapat digunakan sebagai bahan pengental dan tambahan pada produk-produk diet rendah kalori. Maltosa β-limit dekstrin Gambar 4. Pembentukan β-limit dekstrin (Tester 2011) 9

24 Menurut Tester (2011), β-limit dektrin merupakan produk samping yang dihasilkan dari hidrolisis pati yang tidak sempurna oleh β-amilase yang memiliki sifat bioadesif yang cocok digunakan sebagai perekat alami. Ukuran dan bentuk β-limit dektrin tiap pati berbeda dimana senyawa ini dihasilkan dari 40 60% berat molekul amilopektin. Pada pati waxy maize berat molekul β-limit dektrin mencapai 3,4 x 10 6 dan 3,0 x 10 6 pada normal waxy maize. Meskipun memiliki bobot molekul yang cukup tinggi β-limit dektrin memiliki tekanan osmosis yang rendah, viskostas yang tinggi, dan kemampuan dispersi kelarutan yang tinggi pada larutan. β-limit dektrin juga merupakan produk yang free sugar sehingga cocok untuk diaplikasikan pada berbagai produk diet dan pengontrol diabetik. Amilosa merupakan komponen linier pada pati sehingga dapat terhidrolisis secara sempurna, tetapi hanya 55% dari amilopektin yang merupakan percabangan yang dapat dikonversi menjadi β- maltosa sedangkan 45% lainnya adalah limit dekstrin dengan bobot molekul yang tinggi yang keseluruhannya termasuk bagian percabangan dari amilopektin awal. β-amilase merupakan enzim yang memiliki pemecahan tipe ganda. Enzim tersebut memecah secara berulang pada rantai substrat yang tersedia beberapa kali. Untuk amilosa dengan berat molekul rendah memiliki jumlah rata-rata pemecahan sebanyak 4 sedangkan amilosa dengan berat molekul tinggi memiliki jumlah pemecahan yang lebih banyak. Enzim ini digunakan untuk memproduksi maltosa dengan tingkat kemurnian yang tinggi dari pati (Kainuma 1995). Reaksi yang terjadi adalah : Pati + n H 2 O n β-maltosa + β-limit dekstrin Menurut Hii (2012), enzim perombak pullulan sebagai enzim debranching terdiri atas lima kelompok yang dikelompokkan berdasarkan spesifikasi substrat dan produknya, yaitu : 1. Pullulan hidrolase tipe I (EC ), yaitu enzim yang menyerang ikatan α-1,4 glukosidik dalam pullulan membentuk panosa. 2. Pullulan hidrolase tipe II (EC ), yaitu enzim yang menyerang ikatan α-1,4 glukosidik dalam pullulan membentuk isopanosa. 3. Pullulanase tipe I (EC ), yaitu enzim yang spesifik menghidrolisis ikatan α-1,6 glukosidik dalam pullulan membentuk maltotriosa. Enzim ini juga menyerang ikatan α-1,6 glukosidik pada amilopektin membentuk pati tinggi amilosa atau Short-Chain Amylose (SCA). 4. Pullulanase tipe II, yaitu enzim yang menyerang ikatan α-1,6 dan α-1,4 glukosdidik pada polisakarida. Enzim ini disebut juga amilopullulanase. 5. Glukoamilase (EC ), yaitu enzim yang menghidrolisis pullulan dan secara berurutan dari ujung gugus non-pereduksi sehingga menghasilkan glukosa. Enzim pullulanase (EC ) merupakan salah satu jenis enzim yang tergolong kelompok enzim debranching yang memiliki aktivitas pada titik percabangan pati pada amilopektin dengan memecah ikatan α-1,6 glikosidik dengan spesifitas substratnya. Gambar 5 menunjukkan titik percabangan pemutusan yang dilakukan oleh enzim ini. Pullulanase (EC , pullulan 6- glucanohydrolase) merupakan enzim yang dapat digunakan pada hidrolisis pati agar dapat stabil. Pullulanase dapat memecahkan molekul pullulan dan memiliki aktivitas pada amilopektin dan limit dekstrin, tetapi terdapat kesulitan untuk memecahkan glikogen. Hal ini yang membedakan pullulanase dengan enzim debranching lainnya, seperti isoamilase. Enzim pullulanase dapat menghidrolisis pati menjadi SCA atau maltooligosakarida pada proses hidrolisis enzimatis. Pullulan termasuk polisakarida ekstraseluler yang diproduksi oleh Aureobasidium pullulans atau Pullularia pullulans. Pullulanase dapat dihasilkan dari Klebsiella pneumoniae atau Aerobacter 10

25 aerogenes, Escherichia intermedia, dan Streptococcus mitis. Pullulanase yang berasal dari Klebsiella pneumoniae merupakan enzim yang sangat bermanfaat untuk mempelajari struktur pati dan glikogen yang terdiri atas ikatan α-1,4 dan α-1,6 glikosidik. Polisakarida yang dipecah oleh enzim ini akan menghasilkan rantai-rantai lurus dan lebih pendek. Reaksi : Pullulan + n H 2 O n Maltotriosa Pati (Glikogen) + n H 2 O n Maltooligosakarida Pullulanase Gambar 5. Titik pemutusan percabangan rantai amilopektin oleh pullulanase (Thomas 1999). Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan menggunakan asam ataupun enzim. Proses ini akan menghasilkan glukosa sebagai produk akhir. Hidrolisis secara parsial dapat dilakukan dengan menggunakan enzim tertentu yang dapat memotong rantai karbon pada pati. Beberapa contoh produk hidrolisat pati yang dapat dihasilkan antara lain sirup glukosa, maltosa, maltodekstrin, dan maltooligosakarida. Enzim yang digunakan adalah enzim-enzim hidrolase yang termasuk kelompok enzim yang sangat penting dalam pengolahan pangan. Gula yang dihasilkan melalui pemecahan oleh enzim hidrolase ini disebut gula pati. Adapun beberapa contoh hidrolisat pati enzimatis dapat dilihat pada Gambar 6 berikut. Maltitol 6 Maltosa 2 β-limit dekstrin Maltooligosakarida 4,5 PATI 1, 3 Glukosa 1 Maltodekstrin Keterangan : 1 = α-amilase 2 = β-amilase 3 = Glukosamilase 4 = Pullulanase 5 = Isoamilase 6 = Hidrogenasi Gambar 6. Produk-produk hidrolisat pati enzimatis (Kainuma 1995) 11

26 Dari Gambar 6 dapat diketahui bahwa tiap enzim hidrolase memiliki sifat yang spesifik dalam menghasilkan produk hidrolisat. Adapun produk hidrolisat pati yang dihasilkan oleh beberapa enzim serta aplikasinya di industri dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produk hidrolisat enzimatis dan aplikasinya Produk Hidrolisat Pati Enzim Aplikasi Maltosa β-amilase Pengeras permen, mencegah sifat higroskopis pada bahan, media fermentasi, pembuat permen jelly, bahan pengental saus, pudding, dan digunakan pada industri tekstil dan kertas. a β-limit Dekstrin β-amilase Stabillizer, pengental rendah kalori. b Maltooligosakarida (MO s) Sumber : a) Said (2008) b) Poliana (2007) c) Patel (2010) Pullulanase, isoamilase, dan amilase Pengemulsi kosmetika, makanan berkalori rendah, agen enkapsulasi. c 12

27 III. METODOLOGI 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan selama delapan bulan, yaitu sejak akhir bulan Februari hingga September 2012 di Laboratorium Teknologi Bioindustri dan Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB. 3.2 ALAT DAN BAHAN Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat untuk pengujian, seperti spektrofotometer Hach dan untuk analisa, seperti erlenmeyer, termometer, 3G-filter glass, penyaring vakum, ph-meter Beckman, inkubator waterbath, neraca analitik, gelas piala, alat pengaduk, penangas air, tabung reaksi, sentrifuse, tabung ulir, dan mikropipet Bahan Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tujuh pati palma Indonesia yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado, meliputi pati sagu rumbia (Metroxylon sp.), sagu komersial, Caryota mitis, Arenga pinnata, Arenga microcarpa 1 (sagu baruk 1), Arenga microcarpa 2 (sagu baruk 2), dan Arenga microcarpa komersial (sagu baruk 3) tersaji pada Lampiran 1. Enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah β-amilase dari barley (SIGMA) dan pullulanase (A.aerogenes, Hayashibara Biochemical Lab.). Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pemurnian pati (deproteinase dan defatting starch), antara lain : Dimetil Sulfoksida (DMSO), metanol, eter, dan larutan NaOH 0,1 N. Bahan-bahan kimia lain yang digunakan adalah untuk analisa total gula, seperti larutan fenol dan H 2 SO 4 97% dan analisa gula pereduksi, seperti Na 2 CO 3, NaHCO 3, KCN, potasium ferrisianida (K 3 Fe(CN) 6 ), dan ferric amonium sulfat ((NH 4 ) 2 Fe(SO 4 ) 2.6H 2 O). 3.3 METODE PENELITIAN Persiapan Bahan 1.a. Penentuan Kadar Amilosa Penentuan kadar amilosa dilakukan dengan metode IRRI yang menggunakan prinsip pengikatan iodin (iodine binding) berdasarkan reaksi antara amilosa dengan senyawa iod yang prosedur pengujiannya tersaji pada Lampiran 2. 1.b Penghilangan Protein pada Pati (Sunarti et al. 2001) Deproteinisasi pati dilakukan dengan menggunakan metode denaturasi protein. Sebanyak 10 g pati ditambahkan dengan ml NaOH 0,1 N sampai semua bagian pati terendam. Pati yang telah dicampur NaOH dikocok hingga terlarut homogen. Campuran yang terbentuk dipisahkan dengan alat sentrifus. Selanjutnya pati yang terpisah dicuci dengan air lalu disentrifugasi kembali untuk memisahkan pati dari air pencuci. Pemisahan pati dengan alat sentrifus ini dilakukan berulang sebanyak tiga kali. Pati akhir yang diperoleh dinetralkan dengan akuades sebelum disaring dengan 13

28 3G-3 filter glass. Pati yang sudah ber-ph netral disaring lalu dibilas dengan metanol. Pati hasil penyaringan dikering-anginkan hingga kering. 1.c. Penghilangan Lemak pada Pati (Sunarti et al. 2001) Sebanyak 5 g pati yang telah dideproteinisasi dilarutkan ke dalam 100 ml DMSO (Dimethyl sulfoxide) lalu dikocok dengan shaker pada suhu 37 o C selama semalam. Larutan tersebut kemudian dituang secara perlahan-lahan dalam 100 ml metanol lalu didiamkan semalam pada suhu 4 o C. Endapan yang terbentuk seperti butiran pati disaring dengan menggunakan 3G-3 filter glass lalu dibilas dengan metanol dan eter di akhir. Apabila pada larutan sebelum disaring belum terdapat endapan seperti butiran pati, ditambahkan terus metanol dan diaduk-aduk. Selanjutnya pati yang dihasilkan dikering-anginkan Penentuan Aktivitas Enzim 2.a. Uji Aktivitas Pullulanase (Sunarti et al. 2001) Sebanyak 3 ml larutan glutinous rice-defatted starch 0,4% ditambahkan dengan 1,5 ml buffer fosfat 0,1 M pada ph optimal (ph 6,0) lalu diinkubasi pada suhu optimal (40 o C). Kemudian larutan ditambahkan 1,5 ml pullulanase dan dihidrolisis selama 3 jam. Selama proses dilakukan pengambilan sampel setiap 15 menit. Tiap sampel diinaktivasi pada air mendidih selama 10 menit lalu diukur konsentrasi gula pereduksinya. Selisih kenaikan konsentrasi gula pereduksi terbesar ditetapkan sebagai nilai aktivitas optimum enzim. 2.b. Uji Aktivitas β-amilase (Sunarti et al. 2001) Larutan soluble starch 2% sebanyak 5 ml ditambahkan dengan 3,75 ml buffer asetat 0,2 M pada ph optimal enzim (ph 4,8) dan 1,25 ml akuades yang kemudian diinkubasi pada suhu optimal enzim (40 o C). Setelah itu, ditambahkan 5 ml β-amilase yang kemudian dihidrolisis selama 3 jam. Selama proses dilakukan pengambilan sampel setiap 15 menit kemudian tiap sampel diinaktivasi pada air mendidih selama 10 menit lalu diukur konsentrasi gula pereduksinya. Selisih kenaikan konsentrasi gula pereduksi terbesar ditetapkan sebagai nilai aktivitas optimum enzim. Satu unit didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 µmol gula pereduksi dalam bentuk glukosa per menit pada kondisi yang telah ditentukan. Adapun rumus untuk menghitung aktivitas masing-masing enzim sebagai berikut Hidrolisis Pati Palma oleh Pullulanase dan β-amilase 3.a. Persiapan Larutan Pati (Pati Tergelatinisasi 0,4%) (Sunarti et al. 2001) Persiapan pati untuk tahap hidrolisis menggunakan metode gelatinisasi pati 0,4%. Pati yang telah dihilangkan lemaknya (defatted starch) sebanyak 30 mg dilarutkan dalam 0,5 ml akuades dan 0,75 ml NaOH 1 N lalu didiamkan dengan inkubasi pada es (4 o C) hingga pati tergelatinisasi. Pati yang tergelatinisasi ditambahkan secara perlahan-lahan dengan akuades sebanyak 5,35 ml kemudian dinetralkan oleh 0,75 ml 1 M HCl dan ditambahkan dengan 0,15 ml NaN 3 3%. 14

29 3.b. Hidrolisis Pati Tergelatinisasi oleh Pullulanase (Sunarti et al. 2001) Sebanyak 22,5 ml pati yang telah tergelatinisasi 0,4% ditambahkan dengan 22,5 ml buffer fosfat 0,1 M yang mengandung 0,45 U/g pullulanase kemudian diinkubasi selama 48 jam. Secara periodik dilakukan pengambilan sampel. Setelah jam ke-48 dilakukan hidrolisis selama semalam. Tiap sampel yang disampling tiap waktunya dianalisa total gula dengan metode Fenol-Sulfat dan gula pereduksi dengan metode Park Johnson dengan prosedur pengujian yang tersaji pada Lampiran 3. Setelah dianalisa masing-masing hidrolisat pati palma dihitung nilai DE, DP, dan tingkat hidrolisis dengan rumus perhitungan yang tersaji pada Lampiran 4. 3.c. Hidrolisis Pati Tergelatinisasi oleh β-amilase dan Pullulanase secara suksesif (Sunarti et al. 2001) Sebanyak 67,5 ml pati yang telah tergelatinisasi 0,4% ditambahkan dengan 67,5 ml buffer asetat 0,2 M yang mengandung 2 U/g β-amilase lalu diinkubasi selama 48 jam. Secara periodik dilakukan pengambilan sampel. Pada jam ke-24 dilakukan penambahan β-amilase berlebih dengan konsentrasi 20 U/g kemudian hidrolisis dilanjutkan sampai jam ke-36. Pada jam ke-36 dilakukan penambahan pullulanase 2 U/g dan dihidrolisis kembali sampai jam ke-48 kemudian sisa larutan dihidrolisis selama semalam. Tiap sampel yang disampling tiap waktunya dianalisa total gula dengan metode Fenol-Sulfat dan gula pereduksi dengan metode Park Johnson dengan prosedur pengujian yang tersaji pada Lampiran 3. Setelah dianalisa masing-masing hidrolisat pati palma dihitung nilai β- limit dekstrin, DE, DP, dan tingkat hidrolisis dengan rumus perhitungan yang tersaji pada Lampiran 4. 15

30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KANDUNGAN AMILOSA PADA PATI PALMA Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri atas dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Selain kedua fraksi tersebut terdapat juga bahan antara yang menyusun pati, yaitu protein dan lemak. Komponen protein dan lemak serta bahan antara lainnya ini terdapat berkisar 5-10% (Banks et al. 1975). Pati yang digunakan terdiri atas tujuh pati palma yang berasal dari Balai Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado, yaitu pati sagu rumbia (Metroxylon sp.), sagu komersial (Metroxylon sagoo), Caryota mitis, aren (Arenga pinnata), serta sagu baruk 1,2, dan 3 (Arenga microcarpa). Untuk pati sagu baruk dibedakan menjadi tiga kode karena adanya perbedaan sumber pohon sagu baruk, tekstur dan penampakan fisik, serta penggunaannya. Untuk sagu baruk 1 memiliki tekstur agak halus dengan warna putih bersih, sagu baruk 2 memiliki tekstur yang lebih kasar dan berwana kecoklatan, sedangkan sagu baruk 3 merupakan pati yang sudah diperdagangkan dengan tekstur yang paling halus yang berwarna putih. Oleh karena itu, nilai derajat polimerisasi awal untuk masing-masing pati palma akan menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Pada tahap awal penelitian dilakukan penentuan kadar amilosa pati palma yang digunakan. Ketujuh pati palma dikarakterisasi kandungan amilosa dan amilopektinnya untuk mengetahui tipe pati. Adapun nilai amilosa dan amilopektin masing-masing pati palma disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan data tersebut pati palma yang digunakan memiliki kandungan amilosa berkisar antara 20,1-26,7% dengan kandungan amilopektin antara 73,3-79,9%. Hasil ini menunjukkan bahwa ketujuh pati palma memiliki rasio amilosa dan amilopektin : artinya pati palma yang digunakan termasuk tipe pati normal. Tabel 7. Rasio amilosa dan amilopektin pada pati palma Jenis Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) Sagu baruk 1 23,2 76,8 Sagu baruk 2 25,8 74,2 Sagu baruk 3 23,7 76,3 Sagu rumbia 26,7 73,3 Sagu komersial 21,8 78,2 Aren 20,1 79,9 Caryota mitis 20,6 79,4 Keragaman jumlah amilosa dan amilopektin yang menyusun tiap pati akan mempengaruhi kerja enzim hidrolase yang digunakan. Semakin tinggi kandungan amilosanya, maka rantai lurus yang dimiliki pati semakin banyak sehingga lebih memudahkan enzim hidrolase, seperti β-amilase dalam menghidrolisis substrat (pati). Berdasarkan data tersebut pati sagu rumbia memiliki kandungan 16

31 amilosa paling tinggi, yaitu 26,67%. Oleh karena itu, pati tersebut akan lebih mudah dihidrolisis dibandingkan pati palma lainnya. Sebaliknya, pati aren dan Caryota mitis memiliki kandungan amilosa paling rendah, yaitu 20,04% sehingga akan lebih lambat dihidrolisis terutama oleh enzim β- amilase. Hal ini didukung oleh pendapat Said (2008) yang mengatakan bahwa laju hidrolisis oleh enzim amilase akan lebih cepat terjadi pada rantai lurus (amilosa) jika dibandingkan pada rantai bercabang (amilopektin) sehingga semakin banyak rantai lurus pada suatu polisakarida, maka semakin cepat laju hidrolisisnya. Pada proses hidrolisis, enzim yang digunakan bersifat spesifik dan hanya memutus ikatanikatan pada rantai amilosa dan amilopektin. Oleh karena itu, perlu dilakukan persiapan pati sebelum dihidrolisis berupa proses pemurnian pati. Pemurnian pati bertujuan menghilangkan sejumlah komponen minor pada pati, seperti lemak, protein, dan air untuk mempermudah proses hidrolisis karena enzim dapat langsung memutus rantai glukosidik pada amilosa dan amilopektin. Pemurnian pati terdiri atas dua tahapan, yaitu penghilangan komponen protein dan lemak. Penghilangan komponen protein atau disebut deproteinisasi menggunakan metode denaturasi. Protein yang terkandung dalam suatu bahan dapat terdenaturasi pada suhu ataupun ph tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini penghilangan protein pada pati palma dilakukan dengan penambahan larutan alkali kuat, yaitu NaOH disertai pemisahan dengan metode sentrifugasi. Protein yang telah terdenaturasi akan dipisahkan dengan proses pencucian dengan air. Untuk penghilangan komponen lemak (defatting) menggunakan penambahan larutan kimia untuk menghilangan internal lipid yang membentuk kompleks dengan amilosa dan ekstenal lipid yang menyelimuti granula pati. Penghilangan internal lipid pada pati palma dilakukan dengan penambahan larutan DMSO (Dimetil Sulfoksida) disertai pengadukan dengan shaker pada suhu 37 o C. Selanjutnya penambahan metanol dan disimpan pada suhu rendah (T=4 o C) bertujuan untuk menghilangkan eksternal lipid pada pati palma. Lemak yang telah terangkat dan sisa lemak yang belum hilang dicuci dengan metanol dan eter. Penambahan kedua bahan kimia tersebut juga sekaligus mengikat air yang terkandung pada pati. 4.2 HIDROLISIS ENZIMATIS PATI PALMA Hidrolisis pati dilakukan untuk memodifikasi pati alami sehingga menghasilkan produk berupa hidrolisat pati yang memiliki karakteristik yang dapat disesuaikan dengan keperluan-keperluan tertentu yang dibutuhkan. Karena pati yang banyak digunakan untuk berbagai kebutuhan sebagian besar dalam bentuk hidrolisat pati bukan pati alami. Mekanisme hidrolisis yang dipilih adalah hidrolisis secara enzimatis karena memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan secara asam. Enzim merupakan katalis yang cocok untuk berbagai produk pangan maupun non-pangan. Kelebihan hidrolisis secara enzimatis antara lain enzim bekerja secara spesifik pada substrat, lebih efisien, produk yang dihasilkan lebih murni dan sedikit menghasilkan produk samping, kondisi proses dapat dikontrol, serta biaya pemurnian lebih murah. Kondisi kerja dan aktivitas optimum enzim pullulanase dan β-amilase sebagai enzim hidrolase yang digunakan pada penelitian ini sangat penting untuk diketahui sebelum melakukan proses hidrolisis. Hal ini dikarenakan kondisi hidrolisis harus diatur sesuai kondisi ideal enzim supaya dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan produk yang diharapkan. Kondisi kerja enzim, meliputi ph dan suhu optimum yang telah diketahui berdasarkan penelitian terdahulu yang dapat dilihat pada Tabel 8, yaitu untuk β-amilase pada suhu 40 o C dengan ph 4,8 dan pullulanase pada suhu 40 o C dengan ph 6,0. Nilai ph (Power of Hydrogen) merupakan parameter penting dalam proses enzimatis karena aktivitas optimum enzim dikondisikan pada ph tertentu dengan menggunakan buffer tertentu yang memiliki ph tersebut. Struktur ion enzim tergantung pada ph lingkungannya karena ph berpengaruh terhadap efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim. Nilai ph 17

32 juga berkaitan dengan nilai pi (Power of Isoelectric) enzim. Titik isoelektrik adalah nilai ph dimana protein memiliki muatan netral sehingga protein akan diam dan tidak bermigrasi kemanapun. Apabila ph larutan penyangga (buffer) lebih besar dari titik isoelektriknya, maka molekul protein akan bermigrasi menuju kutub positif sementara jika ph buffer lebih rendah dari titik isoelektrik, maka protein akan bermigrasi ke kutub negatif. Apabila kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka aktivitas enzim dalam memutus ikatan-ikatan glukosidik pada pati tidak optimum (Lehninger 1982). Perlakuan awal subtrat pati yang digunakan dalam menentukan aktivitas enzim dengan metode gelatinisasi. Gelatinisasi merupakan proses yang menyebabkan granula pati mengembang karena ikatan hidrogen melemah ketika suhu suspensi pati dinaikan. Umumnya metode gelatinisasi dilakukan dengan pemanasan. Akan tetapi, pada penelitian ini digunakan metode gelatinisasi dengan menggunakan basa yang dikondisikan pada suhu rendah untuk mempercepat terjadinya gelatinisasi pati. Metode ini juga dilakukan karena dikhawatirkan proses gelatinisasi pada suhu tinggi dapat merusak struktur pati dengan terjadinya pemutusan ikatan-ikatan antar molekul pati yang tidak diinginkan. Tabel 8. Aktivitas dan kondisi optimum enzim Enzim Kondisi Kerja *) Aktivitas Optimum Suhu ( o C) ph (U/ml) β-amilase 40 4,8 11,6 Pullulanase 40 6,0 19,3 *) Sumber : Sinaga (2004) Dari hasil perhitungan aktivitas β-amilase diperoleh aktivitas optimum enzim sebesar 11,6 U/ml enzim sedangkan untuk aktivitas optimum pullulanase diperoleh sebesar 19,3 U/ml enzim. Adapun satu unit enzim menyatakan jumlah enzim yang dapat mengkatalisis 1 μmol substrat per menit pada suhu dan ph optimum enzim (Winarno 2010). Data hasil penghitungan aktivitas masingmasing enzim disajikan pada Lampiran Hidrolisis Pati Palma dengan Pullulanase Pullulanase merupakan salah satu enzim debranching yang menghidrolisis ikatan α-1,6- glikosidik dari pati, pulullan, dan oligosakarida yang akan menghasilkan pati dengan rantai-rantai lurus dan lebih pendek. Pullulanase bekerja memecah ikatan-ikatan percabangan, maka enzim ini hanya akan menyerang fraksi amilopektin pada substrat pati yang digunakan. Oleh karena itu, semakin beragam jumlah rantai percabangan yang dimiliki oleh pati palma sebagai substrat, maka semakin tinggi tingkat hidrolisis yang terjadi pada pati tersebut. Hidrolisis pati dengan menggunakan enzim ini akan menghasilkan produk hidrolisat berupa Short-Chain Amylose (SCA) atau maltooligosakarida. Panjang rantai percabangan yang dimiliki tiap pati berbeda-bede tergantung sumber tanamannya. Pati dengan rasio amilopektin yang hampir sama belum tentu memiliki panjang rantai cabang yang sama. Dari hasil penelitian Srichuwong (2005), untuk sejumlah pati yang sering digunakan sebagai bahan baku pada industri hidrolisat pati diketahui bahwa panjang rantai cabang dengan 6-8 unit dekstrosa untuk pati beras dengan rasio amilosa 13,2% sekitar 8,0%, untuk pati 18

33 tapioka dengan rasio amilosa 17,9% sekitar 9,9%, untuk pati jagung dengan rasio amilosa 23,4%sekitar 5,1% dan untuk pati sagu dengan rasio amilosa 21,9% sekitar 9,0%. Rata-rata pati tersebut memiliki sedikit rantai cabang yang sangat pendek dan rantai cabang yang sangat panjang dengan unit dekstrosa penyusunnya. Namun, pada rantai percabangan yang cukup panjang dengan jumlah unit 9-12 dekstrosa pati beras, tapioka, jagung, dan sagu memiliki jumlah panjang rantai cabang tersebut sekitar 28,1-36,3% dimana pati tapioka memiliki panjang rantai dengan 9-12 unit dekstrosa paling banyak sedangkan pati sagu paling sedikit. Panjang rantai cabang dengan jumlah unit dekstrosa untuk pati beras sekitar 52,1%, pati tapioka sekitar 48,3%, pati jagung sekitar 56,7%, dan pati sagu sekitar 56,2%. Dari data tersebut terlihat bahwa tiap pati memiliki panjang rantai percabangan dengan jumlah unit dekstrosa penyusun rantai yang berbeda-beda sehingga selain jumlah rantai percabangan, panjang rantai percabangan yang dimiliki tiap jenis pati juga beragam yang akan mempengaruhi penurunan derajat polimerisasi dan peningkatan nilai dextrose equivalent yang terbentuk dari proses hidrolisis enzimatis terutama dengan enzim debranching seperti pullulanase. Rantai cabang yang panjang akan menghasilkan penurunan nilai DP yang lebih rendah dibandingkan pada rantai cabang yang lebih pendek dan sebaliknya akan menghasilkan nilai DE produk yang lebih sedikit. Pada penelitian ini, di awal hidrolisis dilakukan sampling untuk analisa total karbohidrat sedangkan tiap waktu tertentu juga dilakukan sampling untuk analisa gula pereduksinya. Kedua analisa dilakukan untuk menghitung nilai Derajat Polimerisasi (DP), Dextrose Equivalent (DE), dan tingkat hidrolisis. Nilai DP, DE, dan tingkat hidrolisis pada tiap waktu hidrolisis yang dilakukan oleh pullulanase untuk masing-masing pati palma tersaji pada Lampiran 6. Derajat Polimerisasi (DP) menunjukkan jumlah rata-rata monomer (monosakarida) dalam suatu molekul sedangkan Dextrose Equivalent (DE) menunjukkan jumlah gula pereduksi dalam persen dekstrosa murni dalam basis kering. Pada proses hidrolisis semakin lama waktu hidrolisis berlangsung, maka nilai DP produk yang dihasilkan akan semakin menurun akibat kerja enzim yang memutus ikatan-ikatan α-1,6-glikosidik pada amilopektin sehingga menghasilkan rantai-rantai pati yang lurus dan lebih pendek yang ditunjukkan dengan penurunan berat molekul pati. Perubahan nilai DP berbanding terbalik dengan perubahan nilai DE selama proses hidrolisis. Sejalan waktu hidrolisis berlangsung terjadi peningkatan nilai DE pada produk akibat adanya peningkatan pembentukan gula pereduksi yang dihasilkan dari pemecahan rantai-rantai cabang yang panjang. Kandungan gula pereduksi yang dihasilkan dari kerja enzim pullulanase yang memutus ikatan α-1,6-glikosidik pada amilopektin pati juga dapat mengukur tingkat hidrolisis yang terjadi. Semakin terhidrolisis secara sempurna, maka semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan. Pada Gambar 7 terlihat bahwa tingkat hidrolisis semakin meningkat secara perlahan mulai dari jam ke-0 hingga jam ke-48. Dari ketujuh pati palma terlihat bahwa pati aren memiliki peningkatan tingkat hidrolisis yang paling tinggi karena pati aren memiliki keragaman rantai amilopektin yang paling tinggi. Hal ini didukung oleh data pada Lampiran 6, peningkatan hidrolisis pati aren selama 48 jam waktu inkubasi mencapai tingkat hidrolisis 68,3% jauh lebih tinggi dibandingkan keenam pati palma lainnya. Begitu juga untuk pati sagu rumbia meskipun termasuk pati palma dengan rasio amilopektin paling rendah, pati sagu rumbia termasuk pati yang memiliki jumlah percabangan cukup banyak tetapi tiap rantai percabangannya pendek-pendek sehingga saat jam ke-48 hidrolisis pati sagu rumbia mencapai tingkat hidrolisis 50,7%. Kedua pati tersebut memiliki indikasi memiliki jumlah rantai percabangan yang cukup banyak pada bagian pertengahan klaster fraksi amilopektin. Hal ini dikarenakan pati aren telah mencapai tingkat hidrolisis 40% pada jam ke-10 sedangkan pati sagu rumbia terjadi pada jam ke-24. Berbeda dengan kelima pati palma lainnya yang mencapai tingkat hidrolisis 40% pada jam ke-40 hingga jam ke

34 Keterangan: A1a= Sagu baruk 1; A1b= Sagu baruk 2; A1c= Sagu baruk 3; A2a= Sagu rumbia; A2b= Sagu komersial; A3= Aren; A4= Caryota mitis Gambar 7. Pola hidrolisis pati palma dengan pullulanase Berikut ini adalah model klaster pada fraksi amilopektin secara umum yang tersaji pada Gambar 8 untuk memudahkan penjelasan mengenai struktur dan keragaman rantai percabangan dari hasil hidrolisis pati palma oleh pullulanase. Ujung rantai non-pereduksi Ujung rantai pereduksi Keterangan: A= rantai percabangan terluar; B1,B2= rantai percabangan pertengahan; B3= rantai percabangan bagian dalam Gambar 8. Model klaster pada fraksi amilopektin (Hizukuri 1986) 20

35 Perubahan tingkat hidrolisis yang terjadi mengalami peningkatan yang cukup signifikan karena enzim pullulanase bekerja dengan cepat memutus ikatan-ikatan pada rantai percabangan pati pada gugus amilopektin, yaitu mulai dari percabangan pada rantai A lalu ke rantai B1, B2, dan terakhir memutus ikatan percabangan pada rantai B3 hingga seluruh percabangan terputus menjadi rantairantai pendek amilosa. Tingkat hidrolisis dihitung untuk mengetahui berapa lama waktu hidrolisis dibutuhkan untuk menghasilkan produk dengan nilai DP dan DE yang diinginkan sesuai kebutuhan sehingga untuk membuat suatu produk hidrolisat pati dapat digunakan waktu yang sesuai dengan tingkat hidrolisis yang dibutuhkan. Nilai Derajat Polimerisasi (DP) dan Dextrose Equivalent (DE) pada hidrolisis untuk masing-masing pati palma dengan pullulanase dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 15. Dari Gambar 9 sampai 15 terlihat terjadinya penurunan nilai DP terjadi karena polimer dari pati terpecah-pecah menjadi oligosakarida dengan jumlah unit-unit yang lebih sederhana oleh enzim sehingga menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa gula pereduksi yang ditandai dengan meningkatnya nilai DE. Pada proses hidrolisis peningkatan nilai DE tiap pati terjadi cukup cepat hingga terbentuknya hidrolisat pati yang diharapkan. Nilai DP dan DE hidrolisat pati dengan pullulanase menghasilkan nilai yang berbeda-beda antara pati palma dengan pati lainnya. Hal ini karena tiap pati memiliki keragaman amilosa dan amilopektin tergantung sumber patinya. Berdasarkan hasil penelitian Sinaga (2004), pati umbi-umbian, seperti ubi jalar, ubi kayu, ganyong memiliki nilai DP pada tingkat hidrolisis 100% berkisar antara 21,5-36,7 sedangkan nilai DP untuk waxy potato sebesar 35 (Cai 2010). Dari nilai DP tersebut dapat diketahui bahwa pati umbi-umbian memiliki panjang rantai percabangan yang lebih panjang dibandingkan dengan pati palma. Karena untuk menghasilkan Short-Chains Amylose (SCA) dari pati umbi-umbian nilai DP yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan hasil hidrolisat SCA oleh pullulanase pada pati palma, yaitu sebesar 21,5-36,7. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini diketahui bahwa pati palma memiliki keragaman rantai amilopektin yang cukup tinggi dengan panjang rantai percabangan yang lebih pendek-pendek dari pati umbi-umbian. Oleh karena itu, nilai DP hidrolisat pati palma oleh pullulanase pada tingkat hidrolisis 100% yang dihasilkan akan lebih rendah dibandingkan pati umbi-umbian. Dari ketujuh pati palma yang digunakan pun memiliki nilai DP dan DE yang beragam tergantung dari rasio amilopektin yang terkandung dalam struktur patinya. Nilai-nilai DP dan DE untuk masing-masing pati palma pada tingkat hidrolisis 10, 40, dan 100% tersaji pada Tabel 9. Dari hidrolisat pati yang dihasilkan, diperoleh nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 10% untuk masing-masing pati palma berkisar antara 132,9-227,4 dari kisaran nilai DP awal 273,4 untuk sagu baruk 1 hingga untuk Caryota mitis 1592,3. Hal ini menunjukkan pada hampir semua pati palma mengandung sedikit rantai percabangan pada rantai A gugus amilopektin sehingga enzim belum bekerja terlalu optimum dalam memecah polimer dari pati yang menyebabkan nilai DP rata-rata tiap pati masih tinggi. Pada tingkat hidrolisis 40% nilai DP rata-rata untuk masingmasing pati palma berkisar antara 34,9-51,5 dan nilai DE untuk masing-masing pati berkisar antara 1,9 2,6. Pada tingkat hidrolisis ini telah terbentuk rantai-rantai pendek amilosa hasil pemutusan rantai percabangan pada amilopektin hingga bagian rantai B3 di semua pati palma. Tingkat hidrolisis 40% ini terjadi pada jam ke-40 sampai jam ke-48 untuk hampir semua jenis pati palma yang digunakan, kecuali pati aren dan sagu rumbia. Pati aren mengalami tingkat hidrolisis 40% pada jam ke-10 karena memiliki rantai percabangan yang paling banyak terhidrolisis oleh pullulanase di bagian rantai A dan B1. 21

36 Gambar 9. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 1 dengan pullulanase Gambar 10. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 2 dengan pullulanase 22 Gambar 11. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 3 dengan pullulanase Gambar 12. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu rumbia dengan pullulanase 22

37 Gambar 13. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu komersial dengan pullulanase Gambar 14. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati aren dengan pullulanase 23 Gambar 15. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati Caryota mitis dengan pullulanase 23

38 Meskipun memiliki tingkat hidrolisis yang paling tinggi, pati aren memiliki nilai DP akhir pada produk yang paling tinggi karena pati aren memiliki jumlah percabangan yang sangat banyak dan panjang rantai percabangan dengan unit dekstrosa dan unit dekstrosa penyusun rantai tersbut yang paling banyak pada rantai B1 dan B2 sehingga nilai DP yang dihasilkan akan lebih tinggi dibandingkan pati Caryota mitis dan sagu komersial yang juga memiliki jumlah rantai percabangan tinggi tetapi tiap cabangnya terdiri dari rantai-rantai yang lebih pendek. Untuk pati sagu rumbia tingkat hidrolisis 40% terjadi pada jam ke-24 karena rantai percabangannya termasuk rantai yang pendek yang tersusun atas 6-8 unit dekstrosa dan 9-12 unit dekstrosa dengan jumlah yang cukup banyak terdapat di bagian rantai B1sehingga nilai DP yang dihasilkan termasuk paling rendah setelah pati sagu baruk 1. Pada tingkat hidrolisis 100% nilai DP tiap pati palma berkisar antara 13,9-20,8 dan nilai DE berkisar antara 4,8-7,2 sebagai excess produk yang mengandung SCA lebih banyak lagi karena seluruh bagian pati hingga rantai cabang B3 telah terhidrolisis sempurna. Berdasarkan nilai DP pada tingkat hidrolisis 10, 40, dan 100% pati sagu baruk 1 memiliki nilai DP produk yang paling rendah berbeda dengan sagu baruk 3 yang sama-sama memiliki rasio amilopektin sekitar 76%. Hal ini dikarenakan pati sagu baruk 1 memiliki panjang rantai percabangan yang jauh lebih pendek dibandingkan pada pati sagu baruk 3 sehingga meskipun sejumlah rantai percabangan yang sama dengan panjang rantai yang berbeda diputus oleh pullulanase menjadi rantai-rantai lurus, maka pati dengan rantai percabangan yang lebih pendek akan memiliki nilai DP yang lebih rendah. Tabel 9. Nilai DP dan DE rata-rata pada hidrolisis 10, 40, dan 100% dengan pullulanase DP rata-rata DE rata-rata Jenis Pati Tingkat Hidrolisis 10% 40% 100% 10% 40% 100% Sagu Baruk 1 132,9 34,9 13,9 0,7 2,9 7,2 Sagu Baruk 2 162,6 40,7 16,4 0,6 2,5 6,1 Sagu Baruk 3 169,2 41,9 17,1 0,6 2,4 5,8 Sagu Rumbia 166,6 39,1 15,6 0,6 2,6 6,4 Sagu Komersial 186,6 48,3 19,3 0,5 2,1 5,2 Aren 227,4 51,5 20,8 0,4 1,9 4,8 Caryota mitis 188,2 47,9 19,5 0,5 2,1 5,1 Hidrolisis pati palma dengan enzim pullulanase menghasilkan hidrolisat pati berupa maltooligosakrida. Untuk masing-masing pati palma, produk maltooligosakarida rata-rata telah terbentuk pada tingkat hidrolisis 40%. Oleh karena itu, pada skala industri yang membutuhkan maltooligosakarida dengan tingkat kekentalan yang tinggi dari pati palma tidak perlu dilakukan sampai tingkat hidrolisis 100% cukup dilakukan hidrolisis hingga tingkat hidrolisis 40%. Karena untuk mencapai tingkat hidrolisis 100% dibutuhkan waktu yang lebih lama dimana semakin lama waktu yang digunakan, maka biaya produksi yang dikeluarkan akan semakin tinggi. 24

39 4.2.2 Hidrolisis Pati Palma dengan β-amilase dan Pullulanase secara Suksesif β-amilase disebut juga α-l,4-glukan maltohidrolase (E.C ) merupakan tipe ekso-enzim yang memutus ikatan α-1,4-glukosidik pada gugus amilosa dan amilopektin pati mulai dari bagian rantai luar molekul, yaitu tiap dua molekul pada ujung rantai non-pereduksi. Mekanisme kerja enzim ini akan mencari dan memutus seluruh ikatan α-1,4-glukosidik pada rantai di percabangan terluar terlebih dahulu kemudian memutus ikatan α-1,4-glukosidik yang berada di rantai lurus amilosa sehingga waktu yang dibutuhkan untuk hidrolisis dengan enzim ini sangat lama. Karena β-amilase tidak dapat menghidrolisis ikatan α-1,6-glukosidik pada titik percabangan, maka pada hidrolisis dengan enzim ini akan dihasilkan produk samping berupa β-limit dekstrin. Hidrolisis dilakukan secara kontinu selama 48 jam hingga substrat (pati palma) terhidrolisis sempurna pada tingkat hidrolisis 100%. Pada awal hidrolisis dilakukan sampling untuk analisa total karbohidrat sedangkan tiap waktu tertentu juga dilakukan sampling untuk analisa gula pereduksinya. Kedua analisa dilakukan untuk menghitung nilai Derajat Polimerisasi (DP), Dextrose Equivalent (DE), tingkat hidrolisis, dan persentase kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan. Nilai DP, DE, tingkat hidrolisis, dan persentase kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan pada tiap waktu hidrolisis yang dilakukan oleh β-amilase dan pullulanase yang dilakukan secara suksesif untuk masing-masing pati palma tersaji pada Lampiran 7. Selama proses hidrolisis nilai DP mengalami penurunan yang signifikan pada menit ke-5 untuk semua pati palma setelah ditambahkan enzim β-amilase kemudian terus menurun secara perlahan hingga substrat (pati) mencapai tingkat hidrolisis 100% pada jam ke-48. Sebaliknya terjadi peningkatan nilai DE secara perlahan mulai dari jam ke-0 hingga jam ke-24. Pada jam ke-24 ditambahkan β-amilase berlebih dengan konsentrasi enzim sebesar 20 U/g pati dari sisa larutan pati yang dihidrolisis. Penambahan β-amilase berlebih ini dilakukan untuk meningkatkan kerja enzim dalam memutus ikatan α-1,4-glukosidik pada sisa larutan pati sehingga diperoleh kandungan gula pereduksi yang semakin meningkat. Namun, seiring dengan waktu inkubasi, β-amilase mulai berhenti bekerja yang ditandai dengan pola grafik tingkat hidrolisis yang stasioner pada Gambar 16 dari jam ke-28 sampai jam ke-36 sebelum penambahan enzim pullulanase karena β-amilase tidak dapat memutus ikatan α-1,6-glukosidik pada titik percabangan. Hal ini menyebabkan terbentuknya β-limit dekstrin dengan berat molekul yang tinggi berisi seluruh ikatan α-1,6. Kandungan β-limit dekstrin yang terkandung pada pati kentang mencapai 54,5% dan pati tapioka sebesar 58,3% (Bertoft 2008) sedangkan menurut Hizukuri (1981), persentase β-limit dekstrin yang dihasilkan dalam pati kentang sebesar 68% dan pati tapioka sebesar 64%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Nilsson (2001) dimana β-limit dekstrin yang dihasilkan pada Potato Amylopectin Starch (PAP) sebesar 54%. Dari nilai tersebut diketahui bahwa pada umbi-umbian memiliki kandungan β-limit dekstrin yang sangat tinggi pada hidrolisis dengan β-amilase karena rantai percabangan pati umbi-umbian cukup panjang dengan jumlah rantai percabangan yang lebih banyak dibandingkan pada pati palma. Karena rantai cabang inilah yang menyebabkan enzim β- amilase tidak dapat menghidrolisis pati secara sempurna sehingga dihasilkan β-limit dekstrin. Semakin banyak dan panjang rantai percabangan pada struktur amilopektin pati, maka semakin banyak bagian pati yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim β-amilase. Berbeda dengan pati umbiumbian, hampir semua pati palma memiliki keragaman amilopektin yang tinggi tetapi rantai cabang yang dimiliki pendek-pendek sehingga β-limit dekstrin yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan pati umbi-umbian. Untuk masing-masing pati palma yang digunakan diperoleh persentase kandungan β-limit dekstrin yang berbeda. Persentase kandungan β-limit dekstrin tiap pati palma yang disajikan pada Tabel

40 Tabel 10. Kandungan β-limit dekstrin pati palma Jenis Pati β-limit Dekstrin (%) Sagu Baruk 1 30,1 Sagu Baruk 2 38,8 Sagu Baruk 3 29,9 Sagu Rumbia 22,2 Sagu Komersial 27,4 Aren 29,4 Caryota mitis 28,2 Nilai-nilai pada Tabel 10 merupakan persentase bagian pati yang tidak terhidrolisis oleh β- amilase. Semakin besar nilai β-limit dekstrin yang dihasilkan, maka semakin banyak ikatan 1,6- glikosidik pada amilopektin pati yang tidak dapat terhidrolisis oleh β-amilase. Nilai β-limit dekstrin ketujuh pati palma yang digunakan berkisar antara 22,2 38,8% dari total pati. Berdasarkan nilai-nilai tersebut diketahui bahwa pati sagu baruk 2 merupakan pati palma yang memiliki kandungan amilopektin yang tidak terhidrolisis oleh β-amilase paling tinggi dibandingkan keenam pati palma lainnya sedangkan sagu rumbia memiliki persentase kandungan β-limit dekstrin paling rendah karena keragaman amilopektin pada rantai patinya paling rendah sehingga β-amilase dapat menghidrolisis lebih optimum dan menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak dibandingkan pati palma lainnya. Keberadaan β-limit dekstrin sebagai hasil samping hidrolisis yang tidak sempurna dan biasanya diminimalisir pembentukannya, tetapi β-limit dekstrin memiliki beberapa fungsi yang dapat diaplikasikan sebagai pengental rendah kalori dan stabilizer (Poliana 2007) serta sebagai bulking agent, texture providers, pembentuk lapisan film, dan freeze-control agent (Tester 2011). pullulanase β-amilase berlebih Keterangan: A1a= Sagu baruk 1; A1b= Sagu baruk 2; A1c= Sagu baruk 3; A2a= Sagu rumbia; A2b= Sagu komersial; A3= Aren; A4= Caryota mitis Gambar 16. Pola hidrolisis pati palma dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif 26

41 Pada Gambar 16 terlihat bahwa tingkat hidrolisis meningkat secara perlahan hingga jam ke-10 dan mulai stasioner hingga jam ke-24. Selanjutnya setelah penambahan β-amilase berlebih pada jam ke-24 mulai mengalami peningkatan kandungan gula pereduksi yang signifikan hingga jam ke-28 lalu kembali stasioner hingga jam ke-36. Peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan terus terjadi setelah penambahan pullulanase. Pada gambar tersebut terlihat pola hidrolisis dengan peningkatan yang lambat pada awal proses hidrolisis karena kerja enzim β-amilase mencari dan memutus seluruh gugus non-pereduksi pada rantai terluar pati terlebih dahulu lalu setelah itu memutus bagian tengah rantai pati hingga semua bagian rantai pati terhidrolisis sehingga kerja enzim ini sangat lambat. Berdasarkan hasil peningkatan tingkat hidrolisisnya, pada jam ke-48 ketujuh pati palma telah mengalami 92,3-99% hidrolisis karena adanya kerja enzim β-amilase dan pullulanase yang berlangsung suksesif sehingga hampir semua rantai baik pada gugus amilosa maupun amilopektin pati telah terputus menjadi gulagula pereduksi, yaitu maltosa seperti yang diharapkan. Hasil dari hidrolisis semakin lama waktu inkubasi, maka semakin banyak gula pereduksi yang dihasilkan sehingga semakin tercapai tingkat hidrolisis yang sempurna. Tingkat hidrolisis dihitung untuk mengetahui berapa lama waktu hidrolisis dibutuhkan untuk menghasilkan produk dengan nilai DP dan DE yang diinginkan sesuai kebutuhan sehingga untuk membuat suatu produk hidrolisat pati dapat digunakan waktu yang sesuai dengan tingkat hidrolisis yang dibutuhkan. Pada jam ke-36 ditambahkan sejumlah enzim pullulanase dengan konsentrasi yang sama dengan jumlah β-amilase yang diberikan diawal proses hidrolisis, yaitu sebesar 2 U/g pati dari sisa larutan pati yang dihidrolisis. Penambahan enzim ini untuk memecah titik percabangan pada pati sehingga menghasilkan rantai-rantai lurus. Hal ini menyebabkan meningkatnya kandungan maltosa pada hasil akhir hidrolisis. Setelah dilakukan penambahan enzim ini terlihat pada Gambar 17 sampai 23 bahwa untuk masing-masing pati palma mengalami peningkatan kandungan gula pereduksi (maltosa) yang signifikan yang ditandai dengan peningkatan nilai DE dari jam ke-36 hingga jam ke- 38. Pullulanase yang ditambahkan bekerja memutus rantai percabangan pati menjadi rantai-rantai lurus sehingga keberadaan rantai lurus yang dihasilkan menyebabkan β-amilase kembali bekerja dimana pada titik inilah kerja kedua enzim berlangsung secara suksesif. Terbentuknya produk maltosa dari masing-masing pati palma rata-rata terjadi pada jam ke-37 sampai jam ke-38, yaitu pada tingkat hidrolisis 70-80%. Hal ini tidak jauh berbeda pada hidrolisis pati kedelai dengan β-amilase yang menghasilkan produk maltosa pada tingkat hidrolisis 80-88% (Bird 1953). Untuk nilai DE dan DP dari hidrolisat pati oleh β-amilase yang diperoleh tiap sumber pati berbeda-beda tergantung pada karakteristik kandungan rantai percabangan pati. Untuk pati umbiumbian, seperti ubi kayu, ubi jalar, ganyong, talas, kimpul, dan suweg masing-masing pati memiliki nilai DP berturut-turut sebesar 2,2; 2,7; 2,8; 1,7; 2,5; dan 2,2 (Sinaga 2004). Dari nilai DP tersebut menunjukkan bahwa pada tiap jenis pati umbi-umbian memiliki keragaman rantai percabangannya dimana pati talas memiliki jumlah rantai percabangan yang paling sedikit dibandingkan pati umbi lainnya. Tidak jauh berbeda nilai DP yang dihasilkan oleh pati palma dari hasil proses hidrolisis dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif diperoleh nilai DP dan DE rata-rata pada tingkat hidrolisis 10, 40, dan 100% yang disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan data tersebut diketahui nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 10% berkisar antara 17,2-31,3 untuk masing-masing pati palma. Nilai DP pada tingkat hidrolisis 10% menunjukkan tiap pati palma masih memiliki rantai-rantai pati yang cukup panjang karena β-amilase baru memutus ujung-ujung gugus amilosa maupun amilopektin pada bagian terluar rantai pati sehingga gula pereduksi yang dihasilkan pun masih sedikit. Hal ini ditunjukkan dari nilai DE rata-rata untuk masing-masing pati pada tingkat hidrolisis 10% masih berkisar antara 3,6-5,7 dimana pati sagu baruk 1 termasuk pati palma yang memiliki nilai DP paling rendah dan DE paling tinggi pada tingkat hidrolisis 10%. Sebaliknya pati Caryota mitis merupakan 27

42 pati palma yang memiliki nilai DP paling tinggi dan nilai DE paling rendah karena pati ini termasuk pati yang memiliki keragaman amilopektin yang tinggi selain pati aren. Untuk nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 40% berkisar antara 4,4-7,7 dengan nilai DE berkisar antara 14,1-22,4 untuk masingmasing pati palma. Pada tingkat hidrolisis 40% telah terjadi peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan yang ditandai dengan semakin tingginya nilai DE untuk tiap pati palma. Dan pada tingkat hidrolisis 100% nilai DP rata-rata yang dihasilkan berkisar antara 1,7 2,9. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh rantai pada pati palma telah terhidrolisis secara sempurna dan menghasilkan produk akhir yang sebagian besar memiliki rantai yang terdiri atas 2 unit monosakarida, yaitu glukosa. Produk dengan 2 unit glukosa ini merupakan disakarida yang disebut maltosa. Selain itu, nilai DE yang dihasilkan pada masing-masing pati menunjukkan produk akhir yang dihasilkan adalah maltosa dimana nilai DE rata-rata berkisar antara 35,1 57,3. Karena menurut Kennedy (1995), nilai DE untuk produk maltosa sekitar Berdasarkan Gambar 21 nilai DP pada tingkat hidrolisis 10, 40, hingga 100% pati Caryota mitis memiliki nilai peningkatan DE yang paling rendah bahkan jika dibandingkan dengan pati aren. Padahal dari rasio amilosa dan amilopektin kedua pati pada Tabel 7 keduanya memiliki rasio amilopektin yang sama-sama berkisar 79%. Hal ini sama dengan hasil yang terjadi pada hidrolisis kedua pati oleh pullulanase karena pati aren memiliki rantai percabangan yang jauh lebih panjang dibandingkan pati Caryota mitis sehingga pati aren memiliki ikatan α-,14-glukosidik yang lebih banyak pada gugus amilopektin pati aren dibandingkan pada pati Caryota mitis. Karena banyaknya ikatan α-,14-glukosidik pada pati aren menyebabkan enzim β-amilase bekerja lebih optimum dalam memecah rantai tersebut dan menghasilkan lebih banyak gula-gula pereduksi yang berdampak pada peningkatan nila DE yang lebih tinggi pada produk hidrolisat pati aren dibandingkan pada pati Caryota mitis. Untuk hasil hidrolisat pada pati sagu baruk 1 pun demikian, meskipun termasuk pati yang memiliki rasio amilopektin yang cukup tinggi, pati ini merupakan pati palma yang memiliki nilai DP yang paling rendah dan DE yang paling tinggi dibandingkan pati sagu baruk 3 yang memiliki rasio amilopektin sama sekitar 76%. Karena pati sagu baruk 1 memiliki rantai percabangan yang jauh lebih pendek dibandingkan pada pati sagu baruk 3 dan pati palma lainnya sehingga setelah kedua enzim yang digunakan, yaitu β-amilase dan pullulanase selesai memecah seluruh rantai-rantai amilosa dan amilopektin pati menjadi beberapa unit amilosa yang pendek-pendek, maka penurunan DP yang terjadi akan paling tinggi dan dekstrosa-dekstrosa yang terbentuk pun semakin banyak yang menyebabkan nilai DE sagu baruk 1 paling tinggi dibandingkan pada keenam pati palma lainnya. 28

43 Tabel 11. Nilai DP dan DE rata-rata pada hidrolisis 10, 40, dan 100% dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Jenis Pati DP rata-rata Tingkat Hidrolisis DE rata-rata 10% 40% 100% 10% 40% 100% Sagu Baruk 1 17,2 4,4 1,7 5,7 22,4 57,3 Sagu Baruk 2 20,3 5,1 2,0 4,9 19,9 49,9 Sagu Baruk 3 25,7 7,5 2,8 3,9 14,2 36,2 Sagu Rumbia 19,9 5,3 2,1 5,0 19,2 46,8 Sagu Komersial 17,9 4,7 1,8 5,6 22,1 55,3 Aren 24,9 5,8 2,3 4,4 17,6 43,9 Caryota mitis 31,3 7,7 2,9 3,6 14,1 35,1 Pada Tabel 11 nilai DP rata-rata untuk ketujuh pati palma pada tingkat hidrolisis 100% berkisar antara 1,7-2,9. Menurut Kearsley (1995), nilai DP menunjukkan jumlah dari unit glukosa sebagai komponen individual dalam hidrolisat pati, DP 1= dekstrosa/glukosa (1 unit), DP 2= maltosa (2 unit), DP 3= maltotriosa (3 unit). Adapun maksud dari nilai-nilai tersebut adalah untuk pati sagu baruk 2 dengan nilai DP rata-rata= 2,0 artinya dalam produk hidrolisat yang dihasilkan mengandung banyak maltosa sedangkan sagu baruk 1 dan sagu komersial dengan nilai DP rata-rata= 1,7 dan 1,8 artinya dalam produk hidrolisat yang dihasilkan mengandung sejumlah maltosa dan glukosa sehingga rata-rata derajat polimerisasi yang dimiliki produk akhir hidrolisat pati tersebut sekitar 1,7 dan 1,8. Untuk pati sagu rumbia dan aren dengan nilai DP 2,1 dan 2,3 artinya mengandung sejumlah maltosa dan maltotriosa dimana kandungan maltosa mendominasi produk hidrolisat yang dihasilkan. Untuk pati sagu baruk 3 dan Caryota mitis dengan nilai DP rata-rata= 2,8 dan 2,9 artinya terkandung maltosa dan maltotriosa pada produk akhir hidrolisat pati yang didominasi oleh kandungan maltotriosa. 4.3 APLIKASI PRODUK HIDROLISAT PATI PALMA Berdasarkan hasil hidrolisis dengan masing-masing enzim yang digunakan terlihat adanya keragaman komponen amilopektin sebagai rantai percabangan yang menyusun struktur polimer pati palma. Keragaman komponen amilopektin pada masing-masing pati palma menyebabkan perbedaan derajat polimerisasi dan jumlah dekstrosa yang terbentuk sehingga dapat dirancang produk hidrolisat pati palma yang diinginkan. Dari nilai-nilai DP dan DE untuk tiap produk hidrolisat pati yang dihasilkan dari beberapa jenis pati palma dapat diketahui beberapa proses-proses potensial yang dapat diaplikasikan pada industri. Untuk industri yang ingin menghasilkan produk maltosa dari pati palma dapat digunakan enzim pullulanase terlebih dahulu lalu ditambahkan β-amilase supaya dihasilkan maltosa yang murni tanpa ada produk samping. Karena menurut Hii (2012), sirup high-maltose akan efisien diproduksi dengan menghidrolisis pati dengan enzim pullulanase terlebih dahulu untuk memotong seluruh rantai percabangan yang terdapat pada struktur patinya. Selanjutnya setelah dihasilkan rantai-rantai pati yang lurus dapat dipecahkan lagi oleh β-amilase menjadi senyawa-senyawa gula pereduksi sederhana berupa sirup yang kaya akan kandungan maltosa dan dapat mencegah terbentuknya β-limit dekstrin. 29

44 pullulanase pullulanase β-amilase berlebih β-amilase berlebih Gambar 17. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 1 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 18. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 2 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif pullulanase pullulanase β-amilase berlebih β-amilase berlebih 30 Gambar 19. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu baruk 3 dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 20. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu rumbia dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif 30

45 pullulanase pullulanase β-amilase berlebih β-amilase berlebih Gambar 21. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati sagu komersial dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif Gambar 22. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati aren dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif pullulanase β-amilase berlebih 31 Gambar 23. Perubahan nilai DP dan DE pada hidrolisis pati Caryota mitis dengan β-amilase dan pullulanase secara suksesif 31

46 Pullulanase diharapkan memutus semua rantai percabangan sehingga terbentuknya β-limit dekstrin. Untuk menghasilkan hidrolisat pati palma berupa maltosa, pati palma yang paling potensial digunakan sebagai substrat adalah pati sagu baruk 1, sagu baruk 2, sagu rumbia, dan sagu komersial. Karena pada penelitian ini kedua pati tersebut memiliki nilai DP pada tingkat hidrolisis 100% yang paling mendekati nilai DP maltosa sebesar 2. Namun, jika industri membutuhkan produk maltosa yang tidak terlalu murni dapat dilakukan proses hidrolisis sampai tingkat hidrolisis 70-80% karena pada tingkat hidrolisis tersebut pati-pati palma yang digunakan telah menghasilkan produk hidrolisat berupa maltosa sehingga industri dapat menghemat biaya dengan menghemat waktu untuk mencapai tingkat hidrolisis 70-80%. Maltosa adalah disakarida yang terdiri atas ikatan glukosa dan glukosa. Sifat dan pemanfaatannya hampir sama dengan sirup glukosa. Maltosa memiliki karakteristik yang khas, yaitu tekanan osmotik dan kelarutan yang tinggi, tidak mempengaruhi flavor, dan tidak mengubah tekstur produk. Maltosa sebagai produk hidrolisat yang dihasilkan pada penelitian ini secara alami dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan maltitol dan kristal maltitol serta pada industri farmasi sebagai bahan yang digunakan untuk infus. Selain itu, dapat juga diproduksi sirup highmaltose yang memiliki tingkat kemanisan yang ringan dengan viskositas yang rendah dalam larutan, sifat higroskopi rendah, dan stabilitas panas yang baik. Pada penelitian Hartanto (2005) kondisi sebenarnya yang dilakukan pada industri seperti di PT Tainesia Jaya, Wonogiri, sirup high-maltose berbahan baku tapioka diproses melalui beberapa tahapan, yaitu likuifikasi, sakarifikasi, filtrasi, penukaran ion, dan evaporasi. Pada tahap likuifikasi tapioka diencerkan dalam tangki khusus yang ditambahkan enzim α-amilase pada suhu 94,5 o C selama 126 menit. Selanjutnya pada tahap sakarifikasi dilakukan dalam tangki tunggal dengan alat pengaduk dan ditambahkan enzim β-amilase dan pullulanase pada suhu 50 o C. Setelah terbentuk larutan sirup yang mengandung maltosa dilanjutkan ke tahap filtrasi dengan menggunakan vacuum filter untuk menghilangkan partikel-partikel karbon aktif dan anorganik lainnya. Tahap selanjutnya dilakukan penukaran ion untuk pelunakan sirup kemudian sirup maltosa murni hasil penukaran ion yang ingin dibentuk dalam produk kristal maltosa dipekatkan di dalam alat vacuum evaporator single effect. Tahapan proses pada PT Tainesia Jaya tidak berbeda jauh dengan sejumlah industri sirup highmaltose di Amerika dengan metode hidrolisis secara enzimatik yang melalui beberapa tahap, yaitu likuifikasi, filtrasi (pemisahan), dan sakarifikasi. Pada tahap likuifikasi dilakukan dengan penambahan enzim α-amilase dalam sebuah alat pemanas seperti autoklaf pada suhu o C selama 5-7 menit atau pada suhu 95 o C selama 1-2 jam. Pada tahap ini enzim α-amilase bekerja memotong-motong polisakarida menjadi oligosakarida sedangkan pemanasan tinggi dilakukan juga untuk memisahkan protein dalam pati. Selanjutnya pada tahap pemisahan dilakukan pemisahan protein yang terkoagulasi oleh panas dari larutan hidrolisat pati. Larutan hidrolisat pati yang telah mengandung sejumlah oligosakarida masuk ke tahap sakarifikasi yang menggunakan enzim β-amilase dan pullulanase pada suhu o C dengan ph 4-6 untuk menghasilkan sirup high-maltose dengan nilai DE sekitar untuk substrat pati beras (Chang 2009). Sirup high-maltose sangat cocok diaplikasikan pada sejumlah produk makanan, seperti permen dan es krim dengan kualitas yang tinggi (Hii 2012). Untuk industri yang ingin menghasilkan produk utama dari hidrolisat pati palma berupa β-limit dekstrin dapat menggunakan enzim β-amilase terlebih dahulu lalu pullulanase. Namun, produksi β- limit dekstrin dengan metode tersebut juga akan menghasilkan produk samping berupa maltosa. Berdasarkan hasil penelitian ini pati sagu baruk 1 dan sagu baruk 2 merupakan pati palma yang paling potensial sebagai substrat karena kedua pati tersebut memiliki kandungan β-limit dekstrin yang paling tinggi dibandingkan kelima pati palma lainnya.β-limit dekstrin umumnya dibutuhkan untuk digunakan sebagai bahan tambahan pada berbagai produk di industri. Karena β-limit dekstrin memiliki sifat free 32

47 sugar, bioadesif yang baik, viskositas yang tinggi, serta laju browning yang rendah sehingga cocok digunakan sebagai pengental rendah kalori untuk produk-produk diabetik dan bahan perekat alami pada kertas. β-limit dekstrin juga dapat diaplikasikan sebagai bulking agent, texture providers, pembentuk lapisan film, dan freeze-control agent (Tester 2011). Untuk industri yang ingin menghasilkan produk maltooligosakarida sebagai produk hidrolisat pati palma dapat digunakan enzim pullulanase saja. Maltooligosakarida umumnya digunakan sebagai bahan pengental karena memiliki viskositas yang tinggi. Pembuatan produk hidrolisat ini disesuaikan kembali dengan kebutuhan industri produk hilir yang menggunakan produk hidrolisat maltooligosakarida sebagai bahan tambahannya. Untuk produk yang tidak memerlukan bahan pengental dengan tingkat viskositas yang tinggi seperti industri produk-produk diabetik, sambel, dan kecap dapat dibuat maltooligosakarida dengan proses hidrolisis pati palma dengan pullulanase hingga tingkat hidrolisis 100% karena dari hasil penelitian ini pada tingkat hidrolisis 100% nilai DP rata-rata ketujuh pati palma yang digunakan berkisar antara 13,9-20,8 sehingga karakteristik maltooligosakarida yang dihasilkan akan memiliki daya kekentalan cukup rendah. Namun, apabila industri hilir yang membutuhkan bahan pengental dengan daya kekentalan yang tinggi seperti industri lem dan krim kosmetika proses hidrolisis yang digunakan untuk menghasilkan maltooligosakarida cukup dengan tingkat hidrolisis 40% karena dari hasil penelitian ini pada tingkat hidrolisis tersebut ketujuh pati palma yang diguanakan memiliki nilai DP yang lebih tinggi yang menyebabkan produk hidrolisat lebih viskos (kental). Pati palma yang paling potensial digunakan untuk menghasilkan produk hidrolisat berupa maltooligosakarida dengan daya viskositas yang paling tinggi adalah pati aren, Caryota mitis, dan sagu komersial. 33

48 V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Pati palma termasuk tipe pati normal dengan kandungan amilosa berkisar antara 20,1-26,7% dengan kandungan amilosa tertinggi pada sagu rumbia. Hidrolisis pati palma dengan β-amilase terjadi pada ikatan α-1,4-glukosidik menghasilkan maltosa dan residu β-limit dekstrin yang merupakan bagian rantai percabangan pada ikatan α-1,6-glukosidik yang tidak terhidrolisis oleh β-amilase. Adapun kandungan β-limit dekstrin yang dihasilkan dari ketujuh pati palma yang digunakan berkisar antara 22,2 38,8% dari total pati. Hidrolisis pati palma dengan pullulanase terjadi pada ikatan percabangan pada gugus amilopektin, yaitu pada ikatan α-1,6-glukosidik sehingga menghasilkan produk yang memiliki rantai-rantai lurus yang cukup pendek dan memiliki bobot molekul yang lebih rendah. Produk yang dihasilkan ini berupa Short-Chains Amylose (SCA) atau maltooligosakarida. Berdasarkan hasil hidrolisis yang dilakukan diperoleh nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 100% untuk masing-masing pati palma berkisar antara 13,9-20,8 dan nilai DE rata-rata berkisar antara 4,8 7,2. Hidrolisis dengan menggunakan kedua enzim tersebut yang ditambahkan secara suksesif akan menghasilkan kerja enzim yang simultan dalam memecah rantai-rantai pada ikatan α-1,4-glukosidik dan α-1,6-glukosidik sehingga dapat menghasilkan produk hidrolisat pati yang memiliki rantai pendek-pendek berupa maltosa. Berdasarkan hasil hidrolisis masing-masing pati palma yang dilakukan oleh β-amilase dan pullulanase ini diperoleh nilai DP rata-rata pada tingkat hidrolisis 100% berkisar antara 1,7 2,9 dengan nilai DE rata-rata berkisar antara 35,1 57,3 yang menunjukkan produk hidrolisat pati mengandung campuran maltosa, maltotriosa, dan glukosa. Berdasarkan nilai DP dan DE yang dihasilkan hidrolisat pati dari tujuh pati palma yang digunakan oleh masing-masing enzim terlihat adanya keragaman yang diakibatkan oleh keragaman kandungan fraksi amilopektin yang menyusun masing-masing pati palma. Keragaman hasil ini dapat dimanfaatkan oleh industri-industri hidrolisat pati untuk menghasilkan produk hidrolisat sesuai kebutuhan dan kegunaan yang diinginkan. Dari hasil-hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa berbagai jenis pati palma berpotensi sebagai sumber pati alami untuk diolah menjadi hidrolisat pati yang dapat dimanfaatkan pada berbagai bidang aplikasi terutama bidang pangan. 5.2 Saran Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai produksi hidrolisat enzimatis dari pati palma supaya nilai DP dan DE yang diketahui dari hasil penelitian ini dapat diterapkan pada pengolahan di industri-industri hidrolisat pati. 34

49 DAFTAR PUSTAKA Aiyer PV Amylases and their applications. Afr Biotechnol 4 (13) : Alamendah Jenis-jenis Palem Arecaceae di Indonesia. [29 Desember 2011]. AOAC Official Methods of Analysis 16 th ed. AOAC International, Gaithersbug, Maryland. Banks W dan Greenwood CT Starch and Its Components. Helsted Press, John Willey and Sons, New York. Bertoft E, Piyachomkwan K, Chatakanonda P, dan Sriroth K Internal unit chain composition in amylopectins. Carbohydr Polym 74 : Bird R dan Hopkins RH The Mechanism of β-amylase action. Biochem 56 : [BPS] Badan Pusat Statistik Data Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Sagu Seluruh Provinsi Indonesia. Cai L dan Shi YC Structure and digestibility of crystalline short-chain amylose from debranched waxy wheat, waxy maize, and waxy potato starches. Carbohydr Polym 79 : Chang SW, Chang WH, Lee MR Simultaneous production of trehalose, bioethanol, and highprotein product from rice by an enzymatic process. Agric Food Chem 30 : 1-7. Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, dan Smith F Colorimetric method for determination of sugar and related substances. Anal Chem 28 (3) : Hartanto, Adhi P Proses Pembuatan Sirup Maltosa, Fruktosa, dan Glukosa di PT Tainesia Jaya Wonogiri [skripsi]. Fakultas Teknik Universitas Negeri Surakarta, Surakarta. Haryanto B Kualitias pati sagu asal bogor, riau, dan serawak. Majalah Insinyur Indonesia, Jakarta. Haryanto B dan Pangloli P Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Hii SL, Tan JS, Ling TC, dan Arif A Pullulanase:role in starch hydrolysis and potential industrial applications. Enzyme Res 2012:1-14. Hizukuri S, Takeda Y, Yasuda M, dan Suzuki A Multi-branched nature of amylose and the action of debranching enzymes. Carbohydr Res 94: Hizukuri S Polymodal distribution of the chain lengths of amylopectin and its significance. Carbohydr Res 147: Hustiany R Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai Bahan Enkapsulasi Komponen Flavor [disertasi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jading A, Eduard T, Paulus P, dan Sarman G Karakteristik fisiko-kimia pati sagu hasil pengeringan secara fluidisasi menggunakan alat pengering cross flow fluidized bed bertenaga surya dan biomassa. J Teknol Pert Universitas Negeri Papua 13 (3) :

50 Kainuma K The Enzymatic Process. Gordon and Breach Science Publisher, New York. Kearsley MW dan Dziedzic SZ Handbook Of Starch Hydrolysis Product And Their Derivatives First Edition. Great Britain by University Press, Cambridge. Kennedy JF, Knill CJ, dan Taylor DW Maltodextrins. Di dalam Kearsley MW dan Dziedzic SZ. Handbook Of Starch Hydrolysis Product And Their Derivatives. Blackie Academic & Professional, London. Lehninger AL Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Erlangga, Jakarta. Matanubun H dan Maturbongs L Sago palm potential, biodiversity, and socio-cultural concideration for industrial sago palm plantation at south sorong papua, indonesia. The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Miftahorachman B Potensi sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan 15 (3) : Nilsson GS, Richardson S, Huber A, Torto N, Laurell T, dan Gorton L Microdialysis clean-up and sampling in enzyme-based methods for the characterisation of starch. Carbohydr Polym 46: Patel S dan Goyal A Functional oligosaccharides: production, properties, and applications. Microbiol Biotechnol 27 (5) : Poliana J dan Mac CAP Industrial enzymes: structure, function, and applications. Dordrecht: Springer Hal: 24. Purwantana B dan Bintoro N Kajian kinerja mesin ekstraksi tipe ulir pada proses pembuatan pati aren (Arenga pinnata). Makalah pada Seminar Nasional Teknik Pertanian, November 2008, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Sadikin M Biokimia Enzim. Widya Medika, Jakarta. Said ZA Produksi gula dari jagung dengan proses enzimatik secara fermentasi kultur padat. Teknologi Proses 7 (2) : Sinaga K Hidrolisis Pati Umbi-umbian Asli Indonesia dengan β-amilase dan Pullulanase [skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, dan Hisamatsu M Starches from diferrent botanical sources I : contribution of amylopectin fine structure to thermal properties and enzyme digestibility. Carbohydr Polym 60 : Stoddard FL Survey of Starch Particle Size Distribution on Wheat and Related Species. Academic Press Inc, New York. Sunanto H Aren Budidaya dan Multiguna. Kanisius Press, Yogyakarta. Sunarti TC, Nunome T, Yoshio N, dan Hisamatsu M Study on outer chains released from amylopectin between immobilized and free debranching enzymes. Appl Glycosci 48 (1) : Tester RF dan Qi X β-limit dextrin properties and applications. Food Hydrocolloid Res 25 (8) : Thomas DJ dan Atwell WA Starches : Practical for the Food Industry. Eagan Press, USA. Winarno Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta. 36

51 LAMPIRAN 37

52 Lampiran 1. Jenis-jenis pati palma yang digunakan Kode A1a Sagu baruk 1 (Arenga microcarpa 1) Kode A1b Sagu baruk 2 (Arenga microcarpa 2) Kode A1c Sagu baruk 3 (Arenga microcarpa 3) Kode A2a Sagu rumbia (Metroxylon sp.) Kode A2b Sagu komersial Kode A3 Aren (Arenga pinnata) Kode A4 Caryota mitis 38

53 Lampiran 2. Prosedur analisa kadar amilosa modifikasi metode IRRI (AOAC 1995) Sebanyak 100 mg sampel dilarutkan dalam 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N. Kemudian larutan dipanaskan pada suhu o C selama ± 10 menit sampai tergelatinisasi. Larutan didinginkan lalu ditera pada labu takar 100 ml dengan akuades sebagai larutan induk. Selanjutnya diambil 1 ml sampel yang telah diencerkan dari larutan induk. Sampel tersebut ditambahkan dengan 0,1 ml iod 0,2%, 0,2 ml asam asetat 1N, dan 3 ml akuades. Setelah didiamkan selama 20 menit lalu diukur nilai absorbansi pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm. Untuk kurva standar dibuat dengan cara yang sama dengan penentuan kadar amilosa pada sampel. Sebanyak 40 mg amilosa standar ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N lalu dipanaskan pada suhu o C selama ± 10 menit sampai tergelatinisasi. Kemudian larutan didinginkan lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditera dengan akuades. Selanjutnya dari labu takar tersebut dibuat beberapa konsentrasi mulai dari 50, 100, 150, sampai 200 ppm. Sampel diambil sebanyak 1ml dari masing-masing konsentrasi lalu ditambahkan 0,1 ml iod 0,2%, 0,2 ml asam asetat 1N, dan 3 ml akuades. Setelah didiamkan selama 20 menit, diukur nilai absorbansi pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm. Kurva Standar Kadar Amilosa Persamaan kurva standar : y = 0,004x + 0,019 Keterangan : x = konsentrasi pati y = nilai absorbansi Cara menentukan kadar amilosa : 1.) Data hasil pembacaan spektrofotometer adalah nilai y 2.) Tentukan nilai x dengan menggunakan persamaan linier kurva standar amilosa 3.) Perhitungan dengan rumus : 39

54 Lampiran 3. Prosedur analisa hidrolisat pati 1. Analisa gula pereduksi dengan modifikasi metode Park Johnson (Hizukuri et al. 1981) Prinsip : Tereduksinya ferrisianida menjadi ferrosianida oleh senyawaan gula reduksi. Jumlah ferrosianida yang terbentuk ekuivalen dengan jumlah gula reduksi dalam sampel. Prosedur : Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan 0,5 ml pereaksi A atau buffer sodium karbonat-sodium hidrogen bikarbonat (4,8 g Na 2 CO 3, 9,2 g NaHCO 3, dan 0,65 g KCN ditera 1L) dan 0,5 ml pereaksi B (0,5 g potasium ferrisianida (K 3 Fe(CN) 6 ) dalam 500 ml akuades). Larutan dipanaskan pada air mendidih (±100 o C) selama 15 menit. Selanjutnya sampel didinginkan pada air mengalir selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 2,5 ml pereaksi C (3 g ferric ammonium sulfat ((NH 4 ) 2 Fe(SO 4 ) 2.6H 2 O) dalam 1 L 50 mm H 2 SO 4 ) dan dihomogenkan dengan vorteks. Setelah didiamkan selama 20 menit dilakukan pengukuran nilai absorbansi pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 715 nm. Untuk kurva standar dibuat dengan cara yang sama dengan analisa gula pereduksi pada sampel. Sebanyak 1 ml akuades ditambahkan dengan 0,5 ml pereaksi A (4,8 g Na 2 CO 3, 9,2 g NaHCO 3, dan 0,65 g KCN ditera 1L) dan 0,5 ml pereaksi B (0,5 g potasium ferrisianida (K 3 Fe(CN) 6 ) dalam 500 ml akuades). Larutan dipanaskan pada air mendidih (±100 o C) selama 15 menit. Selanjutnya sampel didinginkan pada air mengalir selama 10 menit. Kemudian ditambahkan 2,5 ml pereaksi C (3 g ferric ammonium sulfat ((NH 4 ) 2 Fe(SO 4 ) 2.6H 2 O) dalam 1 L 50 mm H 2 SO 4 ) dan dihomogenkan dengan vorteks. Setelah didiamkan selama 20 menit dilakukan pengukuran nilai absorbansi pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 715 nm. Kurva Standar Gula Pereduksi Persamaan kurva standar : y = 0,138x + 0,040 Keterangan : x = nilai gula pereduksi y = nilai absorbansi 40

55 2. Analisa total gula dengan modifikasi metode Fenol-Sulfat (Dubois et al. 1956) Prinsip : Terjadinya dehidrasi pada karbohidrat yang membentuk furfural dan hidroksi-metilfurfural (HMF). Dehidrasi pentosa oleh asam akan dihasilkan furfural, dehidrasi heksosa menghasilkan hidroksi metil furfural, dan dehidrasi ramnosa menghasilkan metil furfural. Prosedur : Sebanyak 1 ml sampel (mengandung 100 µg karbohidrat) ditambahkan dengan 0,5 ml larutan fenol 5% lalu dikocok dengan vorteks hingga tercampur homogen. Selanjutnya ditambahkan 2,5 ml larutan H 2 SO 4 pekat dan didiamkan selama 10 menit tanpa adanya gangguan. Setelah didiamkan, larutan diukur nilai absorbansi pada spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Untuk kurva standar dibuat dengan cara yang sama dengan analisa total karbohidrat pada sampel. Sebanyak 1 ml akuades ditambahkan dengan 0,5 ml larutan fenol 5% lalu dihomogenkan dengan vorteks lalu ditambahkan 2,5 ml larutan H 2 SO 4 pekat. Setelah didiamkan selama 10 menit tanpa adanya gangguan diukur nilai absorbansi pada spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Kurva Standar Total Karbohidrat Persamaan kurva standar : y = 0,0198x + 0,0445 Keterangan : x = nilai total gula y = nilai absorbansi 41

56 Lampiran 4. Rumus perhitungan hasil analisa hidrolisat pati 1. Perhitungan nilai β-limit dekstrin % β-limit Dekstrin = 2. Perhitungan nilai DE (Dextrose Equivalent) dan DP (Derajat Polimerisasi) Nilai DE dihitung berdasarkan perbandingan nilai gula pereduksi terhadap total gula sampel sedangkan DP dihitung berdasarkan perbandingan antara total gula dengan gula pereduksi sampel. 3. Perhitungan %tingkat hidrolisis 42

57 Lampiran 5. Perhitungan aktivitas enzim 1. Aktivitas β-amilase Waktu (Menit ke-) Gula Pereduksi Σ Gula Pereduksi Absorbansi (μg/ml) (μmol) 0 0 7,0 - - Aktivitas Enzim (U/ml) 15 0, ,2 0,5 11,6 30 0, ,5 0,2 3,7 45 0, ,4 0,1 2,5 60 0, ,0 0,2 3,5 75 0, ,6 0,1 1, , ,0 0,1 1, , ,3 0,02 0, , ,8 0,1 2, , ,2 0,1 2, , ,1 0,04 0,8 Cara Perhitungan : Menit ke-0 : Persamaan kurva standar : y = 0,138x + 0,040 Gula pereduksi (x) = (0,048-0,040)/0,138 = 0,058 Faktor pengenceran enzim (120x) = 0,058 x 120 = 6,957 Menit ke-15 : Gula pereduksi (x) = (0,161-0,040)/0,138 = 0,877 Faktor pengenceran enzim (120x) = 0,877 x 120 = 105,217 Selisih gula pereduksi (menit ke-0 dan ke-15) = 105,217 6,957 = 98,261 Gula pereduksi (μg/ml) 98,261μg/ml Σ mol gula pereduksi = = = = 0,546 0,5 μmol/ml BM glukosa (μg/μmol) 180 μg/μmol 43

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PATI Pati merupakan senyawa yang memiliki berat molekul tinggi yang terdiri atas polimer glukosa yang bercabang-cabang yang diikat dengan ikatan glukosidik. Pati termasuk salah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KANDUNGAN AMILOSA PADA PATI PALMA Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri atas dua fraksi, yaitu amilosa dan amilopektin. Selain kedua fraksi tersebut

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN KARBOHIDRAT KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati,

Lebih terperinci

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis)

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis) Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis) Disarikan dari: Buku Petunjuk Praktikum Biokimia dan Enzimologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n KARBOHIDRAT Dr. Ai Nurhayati, M.Si. Februari 2010 Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n Karbohidrat meliputi sebagian zat-zat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaplek (Manihot esculenta Crantz) Gaplek (Manihot Esculenta Crantz) merupakan tanaman perdu. Gaplek berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Industri tapioka merupakan salah satu industri yang cukup banyak menghasilkan limbah padat berupa onggok. Onggok adalah limbah yang dihasilkan pada poses pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126 Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126 Program Studi : Pendidikan Tata Boga Pokok Bahasan : Karbohidrat Sub Pokok Bahasan : 1. Pengertian karbohidrat : hasil dari fotosintesis CO 2 dengan

Lebih terperinci

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis 1) I Wayan Arnata, 1) Bambang Admadi H., 2) Esselon Pardede 1) Staf Pengajar PS. Teknologi Industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu hasil pertanian tanaman pangan di daerah tropika yang meliputi Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian wilayah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu 1. Analisa Proksimat a. Kadar Air (AOAC 1999) Sampel sebanyak 2 g ditimbang dan ditaruh di dalam cawan aluminium yang telah diketahui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai usaha untuk meningkatkan produksi gula selain gula tebu karena gula tebu

I. PENDAHULUAN. berbagai usaha untuk meningkatkan produksi gula selain gula tebu karena gula tebu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gula merupakan senyawa organik yang penting sebagai sumber kalori karena mudah dicerna di dalam tubuh dan mempunyai rasa manis. Gula juga digunakan sebagai bahan baku pembuat

Lebih terperinci

UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase

UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase TUGAS AKHIR UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase (Enzymatic Reactor Performance Test in the Manufacture of Corn Starch Dextrin Using Enzyme α-amylase

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin menipis seiring dengan meningkatnya eksploitasi manusia untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan bakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tongkol jagung merupakan limbah tanaman yang setelah diambil bijinya tongkol jagung tersebut umumnya dibuang begitu saja, sehingga hanya akan meningkatkan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Karena dengan memahami ciptaan-nya, keimanan kita akan senantiasa

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Karena dengan memahami ciptaan-nya, keimanan kita akan senantiasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Islam mengajarkan kita untuk merenungkan ciptaan Allah yang ada di bumi. Karena dengan memahami ciptaan-nya, keimanan kita akan senantiasa bertambah. Salah satu tanda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus

I. PENDAHULUAN. Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat. mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bioetanol merupakan suatu bentuk energi alternatif, karena dapat mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak dan sekaligus pemasok energi nasional. Bioetanol

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1).

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu jenis tanaman hias yang memiliki ciriciri daun yang memanjang menyerupai lidah dan memiliki duri dibagian pinggirnya. Lidah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan negara bagian tropis yang kaya akan sumber daya alamnya terutama pada tanaman penghasil karbohidrat berupa serat, gula, maupun pati. Pada umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Krisis energi yang terjadi di dunia dan peningkatan populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7)

Lebih terperinci

Analisa Karbohidrat. Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc

Analisa Karbohidrat. Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc Analisa Karbohidrat Oleh: Ilzamha Hadijah Rusdan, S.TP., M.Sc Definisi Karbohidrat Turunan aldehida atau keton yang memiliki rumus umum (CH 2 O) n atau C n H 2n O n. Karbohidrat terbentuk dari sintesa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis

Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Uji Kualitatif Karbohidrat dan Hidrolisis Pati Non Enzimatis Disarikan dari: Buku Petunjuk Praktikum Biokimia dan Enzimologi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput

BAB I PENDAHULUAN. luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang luas dan kaya akan sumber daya alam salah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan komoditas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hijau yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara Gunung Mas di Bogor. Bahan-bahan yang digunakan

Lebih terperinci

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto

BIOETHANOL. Kelompok 12. Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto BIOETHANOL Kelompok 12 Isma Jayanti Lilis Julianti Chika Meirina Kusuma W Fajar Maydian Seto PENGERTIAN Bioethanol adalah ethanol yang bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses farmentasi.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber energi berbasis fosil (bahan bakar minyak) di Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 23 tahun lagi dengan cadangan yang ada sekitar 9.1 milyar barel (ESDM 2006),

Lebih terperinci

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan

PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI. Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan PENENTUAN KADAR GULA METODE NELSON-SOMOGYI Kelompok 8 Dini Rohmawati Nafisah Amira Nahnu Aslamia Yunus Septiawan Latar Belakang Tujuan: Menentukan kadar gula pereduksi dalam bahan pangan Prinsip: Berdasarkan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan yaitu umbi garut kultivar creole berumur 10 bulan yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ubi kayu, ubi jalar, sorgum, dan talas. Kemanisan gula yang terbuat dari pati juga hampir

BAB I PENDAHULUAN. ubi kayu, ubi jalar, sorgum, dan talas. Kemanisan gula yang terbuat dari pati juga hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya kita mengenal gula yang dihasilkan dari tebu sehingga disebut dengan gula tebu. Padahal gula juga dapat dibuat dari bahan yang mengandung pati, seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jagung (Zea mays) Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon bentuk liar tanaman jagung disebut pod maize, telah tumbuh 4.500 tahun yang lalu di Pegunungan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN

PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMANFAATAN LIMBAH POD KAKAO UNTUK MENGHASILKAN ETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN BIDANG KEGIATAN : PKM-GT DIUSULKAN OLEH : LILY KURNIATY SYAM F34052110 (2005) JIHAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) Pengujian daya serap air (Water Absorption Index) dilakukan untuk bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki TINJAUAN PUSTAKA Ubi jalar ungu Indonesia sejak tahun 1948 telah menjadi penghasil ubi jalar terbesar ke empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki kandungan nutrisi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi permintaan. Artinya, kebijakan energi tidak lagi mengandalkan pada ketersediaan pasokan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS.

ABSTRAK. Kata Kunci : Amilase, Zea mays L., Amonium sulfat, Fraksinasi, DNS. i ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenaipenentuan aktivitas enzim amilase dari kecambah biji jagung lokal Seraya (Zea maysl.). Tujuan dari penelitian ini adalahuntuk mengetahui waktu optimum dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tebu, bit, maple, siwalan, bunga dahlia dan memiliki rasa manis. Pohon aren adalah

I PENDAHULUAN. tebu, bit, maple, siwalan, bunga dahlia dan memiliki rasa manis. Pohon aren adalah I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar 123 kalori per 100 g bahan (Rukmana, 1997). Berdasarkan kandungan tersebut, ubi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biji Jali Tanaman jali termasuk dalam tanaman serealia lokal. Beberapa daerah menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. Klasifikasi

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar

II TINJAUAN PUSTAKA. yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih tinggi dibandingkan ubi jalar 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu Ubi jalar ungu merupakan salah satu jenis ubi jalar yang memiliki warna ungu pekat. Ubi jalar ungu menjadi sumber vitamin C dan betakaroten (provitamin A) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

DIVERSIFIKASI PRODUK AREN UNTUK PANGAN DAN PROSPEK PASAR

DIVERSIFIKASI PRODUK AREN UNTUK PANGAN DAN PROSPEK PASAR DIVERSIFIKASI PRODUK AREN UNTUK PANGAN DAN PROSPEK PASAR Prof. Dr. Ir. Eni Harmayani, M.Sc & Tim Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Disampaikan pada Pertemuan Pengembanan dan Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kelapa sawit di Indonesia cukup besar, data tahun1999 menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kelapa sawit di Indonesia cukup besar, data tahun1999 menunjukkan 11 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq) dari famili Arecaceae merupakan salah satu sumber minyak nabati, dan merupakan primadona bagi komoditi perkebunan. Potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nangka merupakan salah satu buah tropis yang keberadaannya tidak mengenal musim. Di Indonesia, pohon nangka dapat tumbuh hampir di setiap daerah. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN PALMA. 1. Sagu Rumbia

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN PALMA. 1. Sagu Rumbia II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN PALMA Keluarga tanaman palma (Arecaceae) merupakan tumbuh-tumbuhan yang sudah lama terdapat di Indonesia.Tanaman palma sudah dikenal sebagai tanaman yang mempunyai banyak

Lebih terperinci

PRODUK BIOETANOL DARI PATI MANGGA (Mangifera Indica L.) DENGAN PROSES HIDROLISA ENZIM DAN FERMENTASI

PRODUK BIOETANOL DARI PATI MANGGA (Mangifera Indica L.) DENGAN PROSES HIDROLISA ENZIM DAN FERMENTASI PRODUK BIOETANOL DARI PATI MANGGA (Mangifera Indica L.) DENGAN PROSES HIDROLISA ENZIM DAN FERMENTASI Oleh : Dewi Istiqoma S. (2308 030 016) Pradita Anggun S. (2308 030 018) Dosen Pembimbing : Prof. Dr.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan

I. PENDAHULUAN. Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Permintaan tapioka di Indonesia cenderung terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut karena terjadi peningkatan jumlah industri makanan dan nonmakanan

Lebih terperinci

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih ANALISIS KARBOHIDRAT Analisis Zat Gizi Teti Estiasih 1 Definisi Ada beberapa definisi Merupakan polihidroksialdehid atau polihidroksiketon Senyawa yang mengandung C, H, dan O dengan rumus empiris (CH2O)n,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kolagen alami hewan yang terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, dan

BAB I PENDAHULUAN. kolagen alami hewan yang terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gelatin merupakan salah satu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen alami hewan yang terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan, dan jaringan ikat. Sumber

Lebih terperinci

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim JURNAL EDUKASI KIMIA e-issn: 2548-7825 p-issn: 2548-4303 Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim Ainun Mardhiah 1* dan Marlina Fitrika 2 1 Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

PRODUKSI DEKSTRIN DARI UBI JALAR ASAL PONTIANAK SECARA ENZIMATIS

PRODUKSI DEKSTRIN DARI UBI JALAR ASAL PONTIANAK SECARA ENZIMATIS Produksi Dekstrin dari Ubi Jalar Asal Pontianak secara Enzimatis (Nana Supriyatna) PRODUKSI DEKSTRIN DARI UBI JALAR ASAL PONTIANAK SECARA ENZIMATIS (Dextrin Production by Enzimatic Process from Various

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong ( Manihot esculenta) merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan telah banyak dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.

BAB I PENDAHULUAN. Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Jumlah energi yang dibutuhkan akan meningkat seiring berjalannya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk.

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor II. TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott) termasuk famili dari Araceae yang dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, subtropis, dan sedang. Beberapa kultivarnya dapat beradaptasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Anon (2005) menyatakan bahwa pisang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pisang Kepok Pisang adalah tanaman buah yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA Agus Budiyanto, Abdullah bin Arif dan Nur Richana Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian n Disampaikan Pada Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional 2016

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Analisis Kimia.1.1 Kadar Air Hasil analisis regresi dan korelasi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah dekstrin yang ditambahkan pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ini tumbuh tegak dengan tinggi 1 m atau lebih. Talas merupakan tanaman pangan

TINJAUAN PUSTAKA. ini tumbuh tegak dengan tinggi 1 m atau lebih. Talas merupakan tanaman pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Talas Di Indonesia talas biasa dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan di atas 1000 m dari permukaan laut.tanaman ini tumbuh tegak

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa Universitas Lampung

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhui sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan

Lebih terperinci

III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2014 bertempat di

III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2014 bertempat di 31 III METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa, Universitas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

PRODUKSI MALTODEKSTRIN DARI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN ENZIM Α- AMILASE. [The Production of Maltodextrin of Sagoo Flour using α-amylase]

PRODUKSI MALTODEKSTRIN DARI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN ENZIM Α- AMILASE. [The Production of Maltodextrin of Sagoo Flour using α-amylase] KOVALEN, 2(3):33-38, Desember 2016 ISSN: 2477-5398 PRODUKSI MALTODEKSTRIN DARI TEPUNG SAGU MENGGUNAKAN ENZIM Α- AMILASE [The Production of Maltodextrin of Sagoo Flour using α-amylase] Sunari 1*, Syaiful

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, umumnya daerah sepanjang pesisir pantai di Indonesia banyak ditumbuhi pohon kelapa. Kelapa memberikan banyak hasil misalnya kopra yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang

TINJAUAN PUSTAKA. Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Onggok Onggok merupakan limbah dari industri tapioka yang berbentuk padatan yang diperoleh pada proses ekstraksi. Pada proses ekstraksi ini diperoleh suspensi pati sebagai filtratnya

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di 13 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Materi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan November Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan untuk pembuatan produk, menguji total bakteri asam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Jumlah kalori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Jumlah kalori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karbohidrat 1. Definisi karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk dunia, khususnya bagi penduduk negara yang sedang berkembang karena

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L. LAMPIRAN Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) 47 Lampiran. Oven Lampiran 4. Autoklaf 48 Lampiran 5. Tanur Lampiran

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa sekarang produksi bahan bakar minyak (BBM) semakin menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak mentah nasional menipis produksinya.

Lebih terperinci

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI MAKALAH PENELITIAN PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI Oleh : Arnoldus Yunanta Wisnu Nugraha L2C 005 237

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat dan Kegunaan Penelitian, (5) Kerangka pemikiran,

Lebih terperinci

PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO

PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO Laporan Praktikum Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan PENENTUAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO DAN PENGUKURAN DAYA CERNA PATI SECARA IN VITRO Dosen: Dr. Ir. Endang Prangdimurti, Msi dan Ir. Sutrisno Koswara,

Lebih terperinci

KARBOHIDRAT II (KARAKTERISTIK ZAT PATI)

KARBOHIDRAT II (KARAKTERISTIK ZAT PATI) Jurnal BIOKIMIA Praktikum ke-2, 2011 KARBOHIDRAT II (KARAKTERISTIK ZAT PATI) Riska Pridamaulia, Hafiz Alim, Eka Martya Widyowati, dan Maharani Intan Kartika Program Studi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, disebabkan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sedangkan ketersediaan cadangan BBM semakin berkurang, karena

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995)

Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Lampiran 1. Analisis Kadar Pati Dengan Metode Luff Schroll (AOAC, 1995) Bahan sejumlah kurang lebih 1 g ditimbang. Sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 200 ml HCl 3%. Sampel kemudian

Lebih terperinci