BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. harapan hidup, dari usia 67,8 tahun pada tahun menjadi usia 73 tahun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. harapan hidup, dari usia 67,8 tahun pada tahun menjadi usia 73 tahun"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini prevalensi penyakit yang muncul di Indonesia semakin berkembang dan bervariasi, sehingga kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dari peningkatan proyeksi usia harapan hidup, dari usia 67,8 tahun pada tahun menjadi usia 73 tahun pada tahun (Anonim, 2013). Untuk menunjang kebutuhan terhadap kesehatan, tak jarang masyarakat membeli obat-obatan bebas dan bebas terbatas yang dijual di apotek atau toko obat sesuai gejala yang dialami. Rasa nyeri merupakan salah satu gangguan yang paling sering dialami oleh masyarakat. Apabila rasa nyeri tidak terkontrol, hal ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien dan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dapat digunakan obat analgetika. bat analgetika atau yang biasa disebut obat pengurang rasa nyeri merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan dan mudah didapatkan. Namun, obat analgetika dapat menimbulkan efek samping jika penggunaannya dalam jangka waktu panjang maupun dosis tinggi. Efek samping yang paling umum terjadi akibat penggunaan obat analgetika diantaranya gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal, serta reaksi pada kulit. Kejadian toksisitas akibat efek samping penggunaan obat analgetika dilaporkan sebanyak 185 per 100 juta pada penggunaan aspirin, 592 per 100 juta pada penggunaan 1

2 2 diklofenak, dan 20 per 100 juta pada penggunaan parasetamol (Andradde dkk., 1998). bat analgetika yang biasa digunakan untuk menjadi pilihan adalah parasetamol. Parasetamol, turunan dari p-aminofenol mempunyai daya analgetik yang baik. Namun, senyawa ini memiliki efek samping utama hepatotoksik dalam pemakaian jangka panjang atau dosis berlebih (10 15 g dosis tunggal) ataupun pada pasien defisiensi glutation. Efek samping hepatotoksik disebabkan oleh metabolit parasetamol berupa NAPQI (N-asetil-p-benzoquinonimina), yang dapat dilihat pada Gambar 1 (Mutschler, 1986). Cincin inti benzena dari NAPQI bersifat elektrolit sedangkan adanya sifat nukleofilik pada sel-sel hepar akan menyebabkan berikatan dengan muatan positif dari NAPQI. leh karena itu, dapat terjadi kerusakan pada sel-sel hepar tersebut (Doerge, 1982). HN CH 3 HN CH 3 N CH 3 -e -, -H -e -, -H -e -, -H -e -, -H H - parasetamol NAPQI Gambar 1. Mekanisme Terbentuknya NAPQI Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan senyawa yang kurang toksisitas dan mempunyai daya analgetik yang sama atau bahkan lebih dari parasetamol melalui pengubahan atau penambahan gugus fungsi pada p-aminofenol

3 3 (Delgado and Romers, 1991). Modifikasi dapat dilakukan pada gugus amino, hidroksi fenolik, atau pada kedua gugus tersebut. Beberapa contoh senyawa hasil modifikasi senyawa p-aminofenol diantaranya adalah parasetamol (pengubahan pada gugus amina), anisidin dan fenaldin (pengubahan pada gugus hidroksi fenolik) serta fenasetin dan laktilfenetidin (pengubahan pada gugus amina dan hidroksi) (Susilowati dan Handayani, 2006). Adanya modifikasi gugus fungsi pada p- aminofenol akan menyebabkan perubahan sifat fisika kimia senyawa, yaitu sifat lipofilik, elektronik, dan sterik yang selanjutnya dapat meningkatkan respon biologis. Selain itu, adanya modifikasi pada gugus hidroksi dapat mengurangi atau menghilangkan kemampuan pembentukan NAPQI sehingga efek hepatotoksiknya menjadi lebih rendah (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Purnomo (2012) telah mensintesis dan menguji aktivitas analgetika senyawa HP2009 [1,3-bis(para-hidroksifenil)urea]. Senyawa HP2009 memiliki aktivitas analgetika 1,96 kali lebih poten dan efek samping hepatotoksik lebih kecil dibandingkan parasetamol. Berdasarkan molecular docking, aktivitas analgetika dapat diketahui dari kestabilan ikatan senyawa HP2009 dengan enzim CX-2, yang terlihat dari score docking bahwa senyawa HP2009 terhadap 6CX.PDB memiliki nilai yang lebih rendah yaitu (-85,1618) daripada parasetamol (-67,4556), sehingga senyawa HP2009 lebih stabil berinteraksi dengan enzim CX-2 (6CX.PDB) dibandingkan dengan parasetamol dan dapat dikatakan bahwa senyawa HP2009 lebih poten sebagai analgetika dibandingkan parasetamol. Adanya gugus ganda 4- hidroksi fenil pada senyawa HP2009 dapat menurunkan muatan positif pada

4 4 NAPQI karena terjadi resonansi pada gugus karbonil, sehingga dapat menurunkan efek samping hepatotoksik. Sintesis senyawa 4-benzamidofenil benzoat merupakan modifikasi lain terhadap gugus fungsi senyawa p-aminofenol, yang dapat diperoleh dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida. Berdasarkan perhitungan dengan program molecular docking PLANTS secara komputasi yang dilakukan oleh Drs. Hari Purnomo, M.S., Apt, diprediksi senyawa tersebut mempunyai score docking terhadap 6CX.PDB seperti pada Tabel I. Senyawa 4-benzamidofenil benzoat lebih stabil berikatan dengan enzim CX- 2 dibandingkan dengan parasetamol. Hal ini terlihat dari score docking terhadap 6CX.PDB bahwa senyawa 4-benzamidofenil benzoat memiliki score lebih rendah (-75,8784) dibandingkan parasetamol (-67,3827). leh karena itu, dapat dikatakan bahwa senyawa 4-benzamidofenil benzoat mempunyai efek analgetika yang lebih poten dibandingkan parasetamol. Tabel I. Score Docking 4-Benzamidofenil Benzoat dan Parasetamol Struktur kimia dan nama Score docking analgetika terhadap 6CX.PDB

5 5 N H -75, benzamidofenil benzoat CH 3 HN -67,4556 H Parasetamol Ligand-native -71,4036 Berdasarkan hasil score docking dan uraian beberapa penelitian, maka perlu dilakukan pengembangan penelitian terhadap sintesis senyawa turunan p- aminofenol dan aktivitas analgetikanya. Pada penelitian ini diharapkan reaksi antara p-aminofenol dan benzoil klorida mampu menghasilkan produk sintesis

6 6 senyawa 4-benzamidofenil benzoat yang memberikan aktivitas analgetika lebih poten dibandingkan parasetamol. B. Perumusan Masalah 1. Apakah senyawa 4-benzamidofenil benzoat dapat disintesis dari starting material p-aminofenol dan benzoil klorida? 2. Apakah senyawa 4-benzamidofenil benzoat memiliki aktivitas analgetika lebih poten dibandingkan parasetamol pada hewan uji mencit jantan galur BALB/c? C. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan senyawa 4-benzamidofenil benzoat dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida. 2. Mengetahui aktivitas analgetika senyawa 4-benzamidofenil benzoat dan membandingkannya dengan parasetamol. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan sintesis senyawa turunan p-aminofenol. leh karena itu, diharapkan sintesis senyawa 4- benzamidofenil benzoat yang diperoleh dengan mereaksikan antara p-aminofenol

7 7 dan benzoil klorida dapat menjadi salah satu alternatif obat analgetika yang lebih poten dibandingkan parasetamol. E. Tinjauan Pustaka 1. Nyeri Nyeri merupakan perasaan atau pengalaman emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan adanya kerusakan jaringan potensial atau akut. Rasa nyeri dapat muncul jika ada rangsang kimiawi, mekanik, panas, atau cidera melewati suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) sehingga menyebabkan pembebasan mediator rasa nyeri (Mustchler, 1986). Ambang rasa nyeri satu individu berbeda dengan individu lain, tergantung pada kondisi emosional, suasana hati, dan faktor psikologi. Patofisiologis nyeri dibedakan menjadi 4 tahap yaitu (Nugroho, 2014) : a. Stimulasi. Rangsangan nyeri akan merangsang pelepasan mediator nyeri yaitu bradikinin, ion kalium, histamin, serotonin, substance P, prostaglandin, dan leukotrien yang selanjutnya akan mengaktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) dan diteruskan melalui serabut syaraf aferen menuju sumsum tulang belakang. b. Transmisi. Penghantaran nosiseptif yang melibatkan serabut syaraf aferen C yang menghasilkan penghantaran lambat, sensasi nyeri tumpul, dan nyeri panas sedangkan serabut Aδ menghantarkan respon cepat, menghasilkan sensasi nyeri tajam dan terlokalisasi. Selanjutnya penghantaran impuls nyeri menuju ke talamus otak.

8 8 c. Persepsi. Impuls diteruskan ke bagian otak lain misalnya korteks, sistem limbik, dan otak kecil. d. Modulasi. Tubuh akan memodulasi sensasi nyeri melalui beberapa proses, diantaranya melalui neurotransmitter dan reseptor opioid untuk menghambat transmisi rasa nyeri. Prostaglandin merupakan salah satu mediator nyeri yang dapat merangsang reseptor nyeri. Saat terjadi kerusakan jaringan, prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah dengan cepat. Prostaglandin yang paling banyak ditemukan dalam tubuh yaitu prostaglandin E2 (PGE2). PGE2 menghasilkan efek setelah berinteraksi dengan reseptornya, antara lain reseptor EP1 (kontraksi otot polos bronkus dan saluran pencernaan), EP2 (relaksasi otot bronkus, vaskuler, dan saluran pencernaan), dan EP3 (penghambatan sekresi asam lambung, peningkatan sekresi mukosa lambung, kontraksi saluran pencernaan, penghambatan lipolisis dan pelepasan neurotransmitter syaraf otonom) (Nugroho, 2014). Jalur siklooksigenase (CX) memperantai pembentukan prostaglandin dan tromboksan. Enzim CX memiliki 2 isoforrm yaitu CX-1 dan CX-2. CX-1 merupakan enzim konstitutif dan berperan dalam pengaturan fungsi normal tubuh termasuk pengaturan sekresi asam lambung, sedangkan CX-2 diinduksi dalam sel inflamasi oleh rangsangan inflamasi. Distribusi CX-1 dalam tubuh sangat luas dan selalu ada. Namun, distribusi CX-2 tergantung pada stimulus dan dapat distimulasi kali oleh faktor pertumbuhan, promoter tumor, dan sitokin (Mutschler, 1986). Mediator nyeri yang lain

9 9 seperti bradikinin, ion kalium, histamin, dan serotonin juga terlibat dalam mengaktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) pada ujung saraf dan dapat menurunkan nilai ambang nyeri (Nugroho, 2014). Selain itu juga merupakan vasodilator kuat dan dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, mengakibatkan radang dan udema (Tjay dan Rahardja, 2002). 2. Analgetika Salah satu strategi terapi untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit atau nyeri yaitu secara farmakologi menggunakan obat analgetika. Analgetika merupakan salah satu golongan obat bebas, sehingga dapat digunakan sendiri tanpa saran maupun resep dari dokter atau apoteker. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa obat analgetika yang lazim digunakan tidak berbahaya, padahal penggunaan analgetika dalam jangka waktu panjang dan dosis yang berlebih dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius seperti penyakit ginjal dan hepar. Penggolongan obat analgetika bermacam-macam. Menurut Tjay dan Rahardja (2002) serta Mutschler (1986) penggolongan obat analgetika berdasarkan potensi kerja dan mekanisme kerja dibagi menjadi 2 golongan yaitu : a. Analgetika yang berkhasiat kuat Golongan ini sering disebut sebagai analgetika narkotik karena bekerja dengan cara mengurangi kesadaran (bersifat meredakan dan menidurkan), menimbulkan perasaan nyaman (euforia), mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi), serta ketergantungan fisik dan psikis

10 10 (ketagihan atau adiksi). Golongan ini bekerja di sistem saraf pusat (SSP) dengan menstimulasi reseptor sistem penghambat nyeri endogen. Secara kimiawi, golongan ini dibagi dalam beberapa kelompok, meliputi : 1). Alkaloida candu alamiah dan sintesis, misalnya morfin dan kodein, heroin, hidromorfin, hidrokodon, dan dionin. 2). Senyawa pengganti morfin yang terdiri dari petidin dan turunannya, metadon dan turunannya, serta fenantren dan turunannya. b. Analgetika yang bersifat lemah. Golongan ini sering digunakan dan disebut juga sebagai analgetika non-narkotik karena tidak mempunyai sifat psikotropik dan sifat sedasi. Golongan ini bekerja secara perifer dan tidak mempengaruhi sistem daraf pusat (SSP). Selain sebagai analgetika, juga mempunyai khasiat sebagai antipiretik, antiinflamasi, dan antireumatik. Secara kimiawi, penggolongan analgetika perifer adalah sebagai berikut : 1). Golongan pirazolon : natrium salisilat, asetosal, salisilamida, dan benorilat. 2). Derivat p-aminofenol : fenasetin dan parasetamol. 3). Derivat antranilat : glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat. 4). Derivat pirazolon : antipirin, aminofenazon, dipiron, fenilbutazon, dan turunan-turunannya yang semuanya mempunyai sifat anti radang kecuali antipirin.

11 11 3. Parasetamol HN CH 3 H Gambar 2. Struktur Parasetamol Parasetamol atau p-n-asetaminofenol (dalam Farmakope Indonesia Edisi IV) merupakan obat analgetik-antipiretika, yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin pada susunan saraf pusat, sehingga biasa digunakan untuk mengurangi bahkan menghilangan rasa sakit, nyeri, sengal-sengal, maupun demam. Parasetamol mempunyai rumus molekul C8H9N2, dengan bobot molekul 151,17 g/mol dan mempunyai struktur seperti Gambar 2. Parasetamol memiliki aktivitas sebagai analgetika dan antipiretik yang masing-masing aktivitas tersebut memiliki mekanisme aksi yang berbeda. Mekanisme kerja parasetamol sebagai analgetika yaitu melalui pengurangan kadar peroksida sitoplasma. Peroksida diperlukan untuk mengubah senyawa ferro menjadi ferri sehingga akan mengaktifkan enzim CX-2, yang selanjutnya berperan dalam pembentukan prostaglandin sebagai mediator nyeri. Dengan adanya penurunan kadar peroksida sitoplasma maka enzim CX-2 yang aktif menjadi sedikit. Selain itu, parasetamol juga bekerja secara selektif terhadap penghambatan enzim CX-2. Parasetamol efektif sebagai analgetika dalam kondisi tidak ada atau sedikit infiltrasi leukosit (Neal, 2009).

12 12 Aktivitas parasetamol sebagai antipiretik bekerja di pusat pengatur panas (termoregulasi) yang berada di hipotalamus yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer diikuti dengan pengeluaran panas dari dalam tubuh dan pengeluaran keringat (Tjay dan Rahardja, 2002). Parasetamol dapat menimbulkan efek samping pada pemberian dosis terapi maupun dosis besar. Pada dosis terapi, terjadi sedikit peningkatan enzim hepatik yang akan kembali menurun jika pemberian parasetamol dihentikan. Pada dosis tinggi akan menimbulkan gejala-gejala yang tidak diinginkan seperti pusing, kegelisahan, dan disorientasi. Pemberian parasetamol dosis 15 g atau lebih dalam sehari akan berakibat fatal hingga kematian karena terjadi kerusakan pada centrilobuter dan terkadang diikuti dengan kerusakan tubuler ginjal, yang selanjutnya berakibat hepatotoksik. leh karena itu, penggunaan parasetamol dosis >4 g dalam sehari tidak direkomendasikan. Gejala awal dari kerusakan hepar yaitu mual, muntah, diare, dan sakit pada abdomen (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada dosis terapi, 60-90% dari parasetamol mengalami metabolisme dengan proses konjugasi (Vale, 2007), sekitar 60% dikonjugasikan dengan glukoronida dan sekitar 30% dengan sulfat (Aripin and Choonara, 2009). Sebanyak 5-10% dari parasetamol mengalami oksidasi oleh enzim sitokrom P450 (CYP450) menghasilkan metabolit toksik N-asetil-p-benzoquinonimina (NAPQI). ksidasi parasetamol menghasilkan NAPQI lebih spesifik dilakukan oleh enzim CYP2E1 (famili dari enzim CYP450). NAPQI dengan cepat akan

13 13 mengalami konjugasi dengan glutation dan dieksresikan sebagai konjugat sistein dan merkapturat (Vale, 2007). Efek samping hepatotoksik parasetamol terjadi karena adanya ikatan kovalen antara muatan positif pada NAPQI dengan sel-sel hepar yang bersifat nukleofilik. Saat konsentrasi NAPQI dalam darah lebih banyak dibandingkan konsentrasi tripeptida GSH (darah yang ada di hepar) maka sisa NAPQI tersebut akan diserang oleh nukleofil-nukleofil lain yang ada di dalam hepar namun tidak berperan dalam proses metabolisme. Nukleofil tersebut berasal dari adanya gugus SH (thiol) yang terdapat di sel-sel hepar dan selanjutnya mempunyai kemampuan untuk menyerang sisa NAPQI yang bersifat elektrofil. Ikatan yang terbentuk antara NAPQI dan sel-sel hepar pada posisi orto dari gugus fenol parasetamol bersifat irreversible (tidak dapat diputus) dapat dilihat pada Gambar 3 (Doerge, 1982). Gambar 3. Ikatan antara NAPQI dengan Sel Hepar

14 14 4. p-aminofenol Para aminofenol atau p-hidroksianilin atau 4-amino-1-hidroksibenzena merupakan senyawa dengan gugus amina dan hidroksi yang terikat pada inti benzena pada posisi para. Senyawa ini mempunyai rumus molekul HC6H5NH2 dengan bobot molekul 109,12 g/mol dan mempunyai struktur pada Gambar 4. NH 2 H Gambar 4. Struktur p-aminofenol Kelarutan p-aminofenol berbeda-beda tergantung dari suhu dan pelarutnya. Senyawa p-aminofenol sedikit larut dalam air, larut dalam metil etil keton, larut dalam etanol absolut, tidak larut dalam benzena dan kloroform. Titik didih p-aminofenol yaitu 284 o C dengan mengalami penurunan dan titik leleh padaa 189 o 190 o C (Anonim, 1997). Senyawa ini bersifat amfoter, sehingga dapat membentuk garam dengan penambahan asam maupun basa. Bentuk garam p-aminofenol lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan bentuk awal p-aminofenol (Mitchell dkk., 2001). Sifat amfoter p-aminofenol ditunjukkan pada Gambar 5.

15 15 NH 2 NH 2 NH 2 HCl HCl NaH HCl NaH Na H Na p-aminofenol p-aminofenol p-aminofenol HCl Gambar 5. Amfoter p-aminofenol H Senyawa p-aminofenol memiliki aktivitas analgetika dan antipiretik yang kuat tetapi p-aminofenol terlalu toksik untuk digunakan sebagai obat, sehingga penggunaan p-aminofenol sebagai obat perlu dilakukan modifikasi struktur untuk mengurangi toksisitasnya. 5. Benzoil Klorida Cl Gambar 6. Struktur Benzoil Klorida Benzoil klorida atau benzena karbonil klorida merupakan senyawa dengan gugus klorida yang terikat pada inti asil. Senyawa ini dapat diperoleh dengan mereaksikan antara asam benzoat (C6H5CH) dengan fosfor pentaklorida atau tionil klorida. Benzoil klorida dapat bereaksi dengan berbagai senyawa, diantaranya reaksi dengan alkohol dan amina menghasilkan ester dan amida, reaksi dengan air menghasilkan asam klorida dan asam benzoat, serta reaksi dengan natrium peroksida menghasilkan benzoil peroksida dan natrium klorida (Wohler and Liebig, 1832).

16 16 Benzoil klorida berbentuk cairan tak berwarna dengan bau yang tajam. Senyawa ini mempunyai rumus molekul C7H5Cl dengan bobot molekul 140,57 g/mol, memiliki titik lebur 197,2 o C, dan mempunyai struktur seperti Gambar 6. Benzoil klorida mudah didegradasi dengan adanya air dan alkohol, serta sempurna tidak campur dengan pelarut eter, benzena, karbon disulfida, dan minyak (Anonim, 1968). 6. Kimia Komputasi Kimia komputasi merupakan suatu cabang kimia yang menggunakan hasil kimia teori yang diterjemahkan ke dalam program komputer untuk menghitung sifat-sifat molekul dan perubahannya maupun melakukan simulasi terhadap sistem-sistem besar (makromolekul seperti protein atau banyak molekul seperti gas, cairan, padatan, dan kristal cair) serta menerapkan program tersebut pada sistem kimia nyata (Anonim, 2008). Salah satu program kimia komputasi yang digunakan untuk mendukung penelitian sintesis suatu senyawa adalah Molecular Docking PLANTS. Molecular docking digunakan untuk memprediksi struktur kompleks ligan kecil dengan protein yang diaplikasikan secara luas dalam pemilihan virtual database besar dan dalam optimasi terbaik. Berdasarkan struktur protein, ligan, dan fungsi penilaian, tujuan molecular docking yaitu untuk menemukan konfirmasi energi ligan yang rendah di situs pengikatan protein yang sesuai dengan minimum penilaian fungsi global. PLANTS (Protein-Ligant ANT- System) merupakan salah satu software untuk molecular docking yang didasarkan pada kelas algoritma optimasi stokastik yang disebut optimasi

17 17 koloni semut (AC, Ant Colony ptimization), yang dilihat dari perilaku semut dalam meggunakan jejak feromon (sebagai komunikasi tidak langsung) untuk menandai jalur yang ditempuhnya, dalam upayanya menemukan jalan terpendek dari sarang menuju ke sumber makanan (Purnomo, 2011). Pada molecular docking menunjukkan nilai atau score yang menggambarkan energi total ikatan protein-ligan. Adanya perbandingan score antara satu senyawa dan senyawa yang lain dapat menjelaskan mengapa senyawa yang satu lebih poten dibandingkan senyawa lain. Makin kecil score suatu hasil docking maka kompleks protein-ligan akan semakin stabil sehingga ligan (senyawa) tersebut semakin poten. Dengan visualisasi dapat memperlihatkan asam amino apa saja yang berperan dalam menjaga stabilitas senyawa tersebut pada reseptornya (atau berupa enzim) (Purnomo, 2011). 7. Rekristalisasi Rekristalisasi merupakan suatu metode untuk memurnikan zat padat dengan mengkristalkan kembali dari solvent atau campuran solvent yang sesuai, sehingga didapatkan senyawa dalam bentuk kristal yang lebih baik. Pengotor-pengotor dalam suatu sampel dapat menyebabkan suatu gangguan dalam penataan kisi kristal, akibatnya pembentukan kristal menjadi tidak sempurna dan akan menurunkan titik lebur padatan organik. Rekristalisasi bergantung pada penurunan kelarutan padatan dalam suatu solvent atau campuran pada suhu yang rendah. Pada kasus sederhana, rekristalisasi dilakukan dengan melarutkan sejumlah bahan yang berbentuk padatan, minyak, atau semipadat ke dalam solvent, dengan adanya bantuan

18 18 pemanasan untuk melarutkan bahan tersebut secara sempurna. Larutan yang hangat tersebut kemudian dibiarkan mendingin hingga temperatur kamar (atau lebih rendah lagi). Kristal-kristal yang seragam dengan lambat bermunculan setelah semalam atau lebih. Kristal yang ada diisolasi (dengan penyaringan dan pengeringan udara) dan diperiksa kemurniannya (dengan pemeriksaan titik lebur, GC, NMR, KLT, dan sebagainya). Pertimbangan pertama dalam melakukan rekristalisasi adalah pemilihan solvent, dimana sampel padatan harus mempunyai kelarutan dalam solvent panas lima kali lebih besar dibandingkan solvent dingin (Shriner et al., 1980). Beberapa solvent yang sering digunakan dalam rekristalisasi adalah air (titik didih 100 C), metanol (titik didih 64,5 C) dan etanol (titik didih 78 C). 8. Penentuan titik lebur Titik lebur adalah besarnya suhu saat terjadi perubahan bentuk dari padatan menjadi cairan pada tekanan 1 atm. Titik lebur dapat digunakan sebagai parameter kemurnian dan sebagai parameter identifikasi suatu senyawa, sehingga titik lebur merupakan salah satu karakteristik penting untuk senyawa organik bentuk padatan. Senyawa dikatakan murni apabila memiliki rentang titik lebur yang sempit yaitu 1 o -2 o C (Sharp et al., 1989). Adanya pengotor dalam jumlah kecil baik yang bercampur sempurna maupun bercampur sebagian dengan senyawa sampel akan menghasilkan peningkatan jarak titik lebur. Selain itu, dapat juga menyebabkan mulainya peleburan berada pada suhu di bawah titik lebur senyawa murni (Vogel, 1956).

19 19 Jika rentang titik lebur lebih darii 2 o C maka senyawa tersebut harus direkristalisasi kembali (Shriner et al., 1980). 9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi dapat diartikan sebagai suatu metode analisis dimana fase gerak (mobile phase) akan melewati sebuah fase diam (stationary phase) sehingga campuran suatu zat dapat dipisahkan menjadi komponenkomponennya. Pemisahan senyawa dalam kromatografi didasarkan pada polaritas dari suatu senyawa. Komponen yang memiliki polaritas yang sama dengan fase diam akan tertinggal di fase diam, sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih cepat (Hahn, 2007). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu metode analisis lama yang hingga saat ini masih sering digunakan dalam analisis kualitatif karena mudah, murah, cepat, dan sederhana (Firdaus dan Utami, 2009). Prinsip dari KLT yaitu pemisahan komponen-komponen senyawa berdasarkan adanya perbedaan partisi atau adsorpsi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut fase gerak tunggal atau fase gerak campur (Mulja dan Suharman, 1995). Selain itu, metode ini sering digunakan dalam analisis senyawa kimia untuk pemeriksaan identitas dan kemurnian suatu senyawa obat (Handayani dkk., 2005). Fase diam yang digunakan dalam KLT berupa lapisan yang seragam pada permukaan suatu bidang datar yang didukung oleh suatu lempeng. Beberapa contoh fase diam diantaranya silika gel, selulosa, alumina, poliamida, dan penukar ion (Gocan, 2002). Fase gerak atau pelarut pengembang (eluen) dapat berupa pelarut tunggal atau campuran pelarut organik. Pemilihan fase gerak

20 20 yang sesuai memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pemisahan dengan KLT. Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh gaya kapiler pada pengembangan (elusi) secara menaik (ascending) atau pengaruh gravitasi pada pengembangan (elusi) secara menurun (descending). Komponen senyawa dapat berinteraksi dengan fase diam dan fase gerak pada tingkat yang berbeda-beda sehingga memiliki waktu retensi yang berbeda-beda dan dengan demikian komponen senyawa akan terpisah. Analisis secara kualitatif dalam KLT dilakukan berdasarkan karakteristik harga Rf (Retention factor), tetapi akan lebih baik jika dilakukan dengan pereaksi kimia atau pereaksi warna (Rohman, 2007). Perhitungan harga Rf merupakan perbandingan antara migrasi komponen dengan jarak migrasi fase gerak : Rf = jarak mgrasi solute jarak migrasi fase gerak Selanjutnya harga Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga Rf standar, namun harga Rf hanya berlaku untuk campuran tertentu dari pelarut dan penjerap yang digunakan (Sastrohamidjojo, 1991). 10. Elusidasi Struktur Elusidasi struktur atau spektroskopi merupakan suatu metode analisis struktur molekul yang didasarkan pada studi terkait interaksi antara energi cahaya dengan materi. Fokus utamanya pada kimia organik adalah adanya fakta bahwa panjang gelombang suatu senyawa organik dalam menyerap energi tergantung pada struktur senyawa tersebut. leh karena itu, tehnik-

21 21 tehnik elusidasi struktur dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tidak diketahui dan untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1994). a. Spektroskopi Infra Merah Spektroskopi infra merah merupakan metode spektroskopi yang memanfaatkan vibrasi dari suatu molekul yang tereksitasi menghasilkan suatu spektra infra merah. Penggunaan spektra infra merah untuk penentuan struktur senyawa organik biasanya antara cm -1. Daerah di atas frekuensi 4000 cm -1 disebut daerah dekat sedangkan daerah di bawah frekuensi 400 cm -1 disebut daerah jauh (Silverstein and Webster, 1998). Spektra infra merah ini berfungsi untuk memberikan informasi gugus fungsional molekul pada analisis kualitatif dan kuantitatif (Kaban, 2005). Pada dasarnya, hanya ikatan-ikatan yang memiliki momen dipol yang mampu mengabsorpsi radiasi inframerah. Setiap ikatan kimia memiliki frekuensi vibrasi alamiah yang spesifik sesuai dengan ikatan tersebut. Jika ikatan kimia yang dipapari radiasi infra merah memiliki frekuensi yang sesuai dengan frekuensi alaminya, maka akan terjadi interaksi medan listrik. Hal tersebut menyebabkan perubahan vibrasi yang menandakan absorpsi radiasi infra merah oleh molekul bersangkutan. Energi yang diserap digunakan untuk meningkatkan amplitudo vibrasi ikatan-ikatan dalam molekul (Pavia et al., 2001). b. Spektroskopi Massa

22 22 Spektroskopi massa (MS) merupakan suatu tehnik analisis kualitatif yang dapat memberikan informasi berat molekul (BM) suatu senyawa organik. Spektrum massa menggambarkan hubungan antara limpahan relatif lawan dengan perbandingan massa/muatan (m/z). Partikel-partikel netral yang dihasilkan dalam pecahan/fragmentasi berupa molekul tak bermuatan atau radikal tidak dapat dideteksi dalam spektrometer massa (Sastrohamidjojo, 2001). Ada beberapa cara ionisasi untuk menjadikan suatu ion agar dapat dideteksi oleh spektrometer massa, yaitu EI (Electron Impact), CI (Chemical Ionization), ESI (Electrospray Ionization), FAB (Fast Atom Bombardment), FD (Field Desorption), dan MALDI (Matrix Assisted Laser Desorption/Ionization) (Silverstein and Webster, 1998). Electron Impact (EI) merupakan hard ionization yang dilakukan dengan menembakkan elektron ke molekul yang dianalisis sehingga akan membentuk suatu ion molekul atau fragmen ion. Sedangkan soft ionization, sumber ion yang digunakan berupa reagen pengionisasi yang akan mengionisasi molekul-molekul dalam sampel (Pavia et al., 2001). Selanjutnya, Electrospray Ionization (ESI) merupakan salah satu soft ionization yang prosesnya merupakan mekanisme elektroforesis. Medan listrik tinggi akan menyebabkan analit bermuatan sama yang telah terionisasi sebelumnya membentuk droplet, selanjutnya terjadi pengecilan ukuran droplet akibat penguapan dari pelarut yang membawanya. Kemudian droplet-droplet tersebut disemprotkan melalui pipa ESI menuju

23 23 pipa kapiler. Ion-ion ini kemudian akan dibawa menuju detektor. Pada ESI model ionisasi positif, ion molekul yang terbentuk merupakan ion molekul dengan tambahan ion hidrogen (proton) [M+H] + atau berupa kation lain misalnya ion Na + [M+Na] +. ESI model ionisasi negatif berupa ion molekul yang kehilangan proton [M-H] -. Selain itu juga terdapat ion molekul dalam bentuk dimer atau trimernya ([2M+H] +, [2M-H] - (Kazakevich and LoBrutto, 2007). c. Spektroskopi 1 H-NMR Spektroskopi NMR merupakan salah satu tehnik yang paling sering digunakan untuk menentukan atau verifikasi struktur senyawa-senyawa organik dan biomolekul. Kualitas spektra NMR ditentukan oleh 2 parameter, yaitu sensitivitas dan resolusi alat (Zangger, 2015). 1). Spektroskopi 1 H-NMR ( 1 H-Nuclear Magnetic Resonance) Suatu inti atom dalam keadaan ground state memiliki nilai spin tertentu. Jika suatu inti dipaparkan pada suatu medan magnet, maka inti tersebut akan mengalami presesi di sekitar sumbu spin-nya dengan frekuensi angular ( ). Frekuensi presesi suatu proton berbanding lurus dengan kekuatan medan magnet yang digunakan. Jika gelombang radio memiliki frekuensi yang sama dipaparkan pada proton yang berpresesi maka energi gelombang tersebut dapat diserap. leh karena itu, adanya kesesuaian antara frekuensi komponen medan listrik dari radiasi yang dipaparkan dengan medan listrik yang ditimbulkan proton yang berpresesi, akan menimbulkan suatu kopling pada kedua

24 24 medan listrik tersebut. Selanjutnya akan terjadi perpisahan energi dari radiasi ke inti dan menimbulkan perubahan spin (Pavia et al., 2001). Kegunaan utama dari resonansi magnet ini ialah untuk mengetahui banyaknya lingkungan proton pada suatu senyawa, banyaknya hidrogen di masing-masing lingkungan dan banyaknya serta posisi proton tetangga, sehingga metode ini dapat digunakan untuk menetapkan struktur suatu senyawa. Tidak setiap proton dalam molekul senyawa beresonansi pada frekuensi yang sama. Hal ini disebabkan oleh berbagai proton dalam molekul dikelilingi elektron dan menunjukkan sedikit perbedaan lingkungan elektronik dari satu proton dengan proton lainnya, sehingga setiap inti memiliki perlindungan elektron yang berbeda yang mengakibatkan frekuensi resonansi yang berbeda pula (Pavia et al., 2001). Proton tersebut mengalami shielding oleh elektron disekitarnya. Dalam medan magnet, elektron valensi dari proton yang bergerak menimbulkan medan magnet yang berlawanan arah dengan medan magnet yang dipaparkan pada proton tersebut. Hal ini menyebabkan medan magnet yang dirasakan oleh proton tersebut berkurang. Shielding atau perlindungan suatu proton bergantung pada kerapatan elektron yang mengelilinginya (Silverstein and Webster, 1998). Perubahan frekuensi resonansi yang terjadi sangat kecil. leh karena itu, frekuensi resonansi diukur secara relatif terhadap frekuensi resonansi proton senyawa referensi. Referensi baku yang digunakan

25 25 secara universal adalah tetrametilsilan (TMS). Senyawa ini dipilih karena protonnya lebih shielded daripada kebanyakan senyawa organik lainnya. Selain itu, TMS mudah dihilangkan karena memiliki titik didih yang rendah (Silverstein and Webster, 1998). Pergeseran resonansi terhadap TMS dipengaruhi oleh kekuatan medan magnet yang digunakan. Agar tidak menimbulkan kesalahan saat membandingkan spektra yang dihasilkan oleh dua instrumen dengan kekuatan medan magnet yang berbeda, maka muncul suatu parameter baru berupa geseran kimia (δ) yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan medan magnet yang digunakan. Pergeseran kimia ini menggambarkan kedudukan dan jenis proton-proton tersebut dalam senyawa yang diukur (Sastrohamidjojo, 2001). 2). Spektroskopi 13 C-NMR ( 13 C-Nuclear Magnetic Resonance) Sekitar 98,9% atom karbon dalam alam adalah 12 6 C, suatu isotop yang intinya tidak mempunyai spin, sehingga tidak dapat dilakukan analisis spektroskopi NMR. Karbon-13 atau 13 6 C, merupakan atom dengan massa yang ganjil dan intinya mempunyai spin, dengan I = ½. Keberadaan karbon-13 dalam alam sangatlah sedikit hanya sekitar 1,08%. Di samping itu, transisi paralel ke antiparalel dari sebuah inti 13 C adalah transisi energi rendah (Pavia et al., 2001). Spektroskopi 13 C-NMR berbeda dengan 1 H-NMR, parameter yang digunakan hanya geseran kimia (chemical shift), sedangkan pada 1 H-NMR parameter yang digunakan meliputi geseran kimia,

26 26 nilai integrasi, dan pola splitting. Integral tidak reliabel dan tidak menunjukkan jumlah relatif dari atom karbon yang menghasilkan sinyal tersebut. Spin-spin antar karbon yang bersebelahan atau berdekatan sangat jarang karena kelimpahan atom 13 C yang bersebelahan relatif kecil. Atom 13 C mengalami interaksi spin-spin dengan atom H yang diikatnya. Dengan melihat harga geseran kimianya, dapat diketahui jenis atom karbon sesuai dengan hibridisasinya, yaitu sp, sp 2, atau sp 3. Selain itu, dapat diperkirakan pula gugus fungsional yang terikat pada atom karbon tersebut. Dengan demikian, spektrum 13 C-NMR akan memberikan informasi mengenai kerangka atom karbon dari suatu senyawa (Silverstein and Webster, 1998). Geseran-geseran kimia yang muncul pada spektra 13 C-NMR jauh lebih besar dibandingkan dengan geseran kimia dalam spektra 1 H-NMR, yang merupakan suatu faktor lain yang menyederhanakan spektra 13 C karena peluang terjadinya tumpang-tindih absorbsi lebih kecil. Kebanyakan proton dalam spektra 1 H-NMR menunjukkan absorbsi antara 0-10 ppm (nilai δ) di bawah-medan dari TMS (suatu pembanding-dalam), sedangkan absorbsi 13 C ditemukan dalam rentang ppm di bawah-medan dari TMS (Fessenden dan Fessenden, 1994). Terdapat dua tipe utama spektra 13 C yaitu spektra dekoplingproton 13 C dan spektra kopling proton, yang keduanya digunakan secara saling berkaitan. Suatu spektrum dekopling-proton 13 C

27 27 merupakan suatu spektrum dimana 13 C tidak terkopling dengan 1 H sehingga tidak menunjukkan pemisahan spin-spin. Dekopling dicapai secara elektronis dengan menggunakan suatu frekuensi kedua atau energi tambahan yang akan menyebabkan terjadinya interkonversi cepat antara keadaan spin paralel dan antiparalel dari proton-proton tersebut. Akibatnya sebuah inti 13 C hanya muncul pada suatu rata-rata dari dua keadaan spin proton dan isyaratnya tak akan terurai. Pada spektrum kopling-proton 13 C merupakan suatu spektra dimana kopling antara 13 C- 1 H tidak ditekan, sehingga isyarat untuk tiap karbon diurai oleh proton-proton yang terikat langsung pada karbon tersebut. Dalam 13 C-NMR ini berlaku aturan n+1 dimana n ialah banyaknya atom hidrogen yang terikat pada karbon (Fessenden dan Fessenden, 1994). 11. Diskoneksi Analisis retrosynthetic merupakan prosen pemutusan molekul target menjadi bahan awal yang tersedia secara FGI atau diskoneksi. Functional Group Interconvention (FGI) adalah proses konversi satu gugus fungsi menjadi gugus fungsi lain dengan cara subtitusi, eliminasi, oksidasi, atau reduksi, dan operasi dilakukan dengan reaksi terbalik yang digunakan dalam analisis, sedangkan diskoneksi merupakan operasi terbalik untuk reaksi dimana terjadi pemutusan suatu ikatan untuk memecah molekul menjadi bahan awal yang memungkinkan (Warrent, 1995).

28 28 Dari hasil analisis diskoneksi akan diperoleh sinton yang merupakan fragmen-fragmen dari molekul target dan pada umumnya berupa kation atau anion. Untuk sinton anion, reagen yang sering digunakan adalah hidrokarbon yang bersangkutan, sedangkan untuk sinton kationik, reagen yang umum digunakan merupakan halida yang bersangkutan (Warrent, 1995). Selanjutnya dilakukan penentuan ekivalen sintetik secara rasional untuk digunakan sebagai starting material. Ekivalen sintetik adalah molekul-molekul yang melaksanakan fungsi dari sinton. Melalui analisis diskoneksi, senyawa 4- benzamidofenil benzoat dapat diperoleh melalui jalur berikut ini (Gambar 7). Dari hasil analisis diskoneksi, diketahui bahwa untuk mensintesis senyawa 4-benzamidofenil benzoat diperlukan starting material p-aminofenol dan benzoil klorida.

29 29 C HN C C NH + C C NH H Cl C benzoil klorida C + H 2 N H p-aminofenol C Cl benzoil klorida Gambar 7. Mekanisme Diskoneksi Senyawa 4-Benzamidofenil Benzoat

30 Metode pengujian daya analgetika Rasa sakit atau nyeri sulit untuk didefinisikan atau diukur. leh karena itu, telah muncul berbagai cara untuk mengetahui intesitas rasa nyeri dengan menggunakan hewan uji. Menurut Turner (1965), pengujian daya analgetika dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan analgetika non-narkotik dan analgetika narkotik. Beberapa pengujian daya analgetika non-narkotik, yaitu : a. Metode induksi cara kimia Pada metode ini, respon nyeri hewan uji timbul karena adanya rangsang kimia yang disebabkan oleh zat kimia yang diinjeksikan secara intraperitoneal. Beberapa zat yang digunakan sebagai rangsangan rasa nyeri antara lain asam asetat dan fenilkuinon. Metode ini cukup peka untuk uji analgetika yang mempunyai daya analgetika lemah. Selain peka, metode ini cukup sederhana, reprodusibel, dan hasilnya spesifik. Adanya pemberian analgetika akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri hewan uji sehingga jumlah geliat hewan uji menjadi berkurang atau bahkan tidak terjadi geliat sama sekali. Uji analgetika dengan metode ini, biasanya digunakan senyawa pembanding yaitu analgesik non-narkotik seperti asetosal dan sodium asetilsalisilat. b. Metode pododolorimeter Pada metode ini, digunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya analgetika. Aliran listrik berasal dari alas kandang tikus yang terbuat dari kepingan metal. Kemudian tikus diletakkan pada kandang dan akan

31 31 timbul aliran listrik. Respon nyeri ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam. c. Metode rektodolometer Pada metode ini, tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan suatu penginduksi berupa kumparan. Ujung lain dari kumparan tersebut dihubungkan dengan suatu elektroda tembaga bersilinder. Pada bagian atas kumparan terdapat konduktor yang terhubung dengan suatu volumeter untuk mengatur tegangan yang diberikan. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan respon teriakan tikus adalah 1 sampai 2 volt. F. Landasan Teori Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengubahan atau penambahan gugus fungsi pada p-aminofenol dapat meningkatkan aktivitas analgetika yang lebih poten dan kurang toksisitasnya dibandingkan senyawa induknya. Senyawa 4- benzamidofenil benzoat dapat disintesis dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida, serta diprediksi memiliki daya analgetika yang lebih poten dibandingkan parasetamol secara in-vivo. Hal tersebut ditunjukkan dari score docking terhadap 6CX.PDB bahwa senyawa 4-benzamidofenil benzoat memiliki energi yang lebih rendah (-75,8784) daripada parasetamol (-67,3827) untuk berikatan dengan enzim CX-2. Adanya ikatan yang lebih stabil antara 4- benzamidofenil benzoat dengan enzim CX-2 dapat meningkatkan potensi daya analgetika.

32 32 G. Hipotesis 1. Senyawa 4-benzamidofenil benzoat dapat disintesis dengan mereaksikan antara p-aminofenol dan benzoil klorida. 2. Senyawa 4-benzamidofenil benzoat mempunyai aktivitas analgetika lebih poten dibandingkan parasetamol pada hewan uji mencit jalur BALB/c.

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Analgetika adalah zat-zat yang memiliki efek mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PEDAULUA 1.1 Latar Belakang Masalah yeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan, subjektif dan manifestasi dari kerusakan jaringan atau gejala akan terjadinya kerusakan jaringan (Dipiro et

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Nyeri adalah mekanisme protektif untuk menimbulkan kesadaran bahwa telah terjadi kerusakan jaringan (Guyton dan Hall, 2000). Nyeri merupakan salah satu keluhan

Lebih terperinci

Piroksikam merupakan salah satu derivat oksikam, dan merupakan obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang berkhasiat sebagai antiinflamasi,

Piroksikam merupakan salah satu derivat oksikam, dan merupakan obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, BAB 1 PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta pola penyakit di dunia menyebabkan semakin perlunya pengembangan obat baru, di mana obat baru tersebut bertujuan untuk mengurangi rasa

Lebih terperinci

mengakibatkan reaksi radang yang ditandai dengan adanya kalor (panas), rubor (kemerahan), tumor (bengkak), dolor (nyeri) dan functio laesa (gangguan

mengakibatkan reaksi radang yang ditandai dengan adanya kalor (panas), rubor (kemerahan), tumor (bengkak), dolor (nyeri) dan functio laesa (gangguan BAB 1 PEDAHULUA Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan dampak terhadap peradaban manusia. Kemajuan di setiap aspek kehidupan menuntut manusia untuk dapat beradaptasi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Banyaknya permasalahan yang ada pada masyarakat modern menjadi salah satu penyebab timbulnya keluhan sakit kepala atau nyeri. Rasa sakit atau nyeri adalah perasaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan jaringan yang paling sering ditemukan. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat

Lebih terperinci

turunan oksikam adalah piroksikam (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Piroksikam mempunyai aktivitas analgesik, antirematik dan antiradang kuat.

turunan oksikam adalah piroksikam (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Piroksikam mempunyai aktivitas analgesik, antirematik dan antiradang kuat. BAB 1 PENDAHULUAN Nyeri adalah suatu mekanisme proteksi bagi tubuh yang timbul apabila jaringan mengalami kerusakan. Rasa nyeri sering disertai oleh respon emosional dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda

Lebih terperinci

banyak digunakan tanpa resep dokter. Obat obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimiawi. Walaupun demikian obatobat ini

banyak digunakan tanpa resep dokter. Obat obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen secara kimiawi. Walaupun demikian obatobat ini BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini, perkembangan modifikasi molekul obat di dunia kefarmasian telah mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh obat atau senyawa baru yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Rasa nyeri merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada periode perkembangan obat telah banyak diberikan perhatian untuk mencari kemungkinan adanya hubungan antara struktur kimia, sifat-sifat kimia fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan salah satu gangguan yang sering dialami oleh banyak orang didunia. Sekitar 50 juta orang Amerika terganggu aktivitasnya karena nyeri (Dipiro et al.,2005).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan perasaan bahwa dia pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Nyeri adalah mekanisme protektif untuk

Lebih terperinci

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non BAB 1 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat memberikan dampak terhadap peradaban manusia. Hal ini, menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada umumnya, sebagian besar penyakit seringkali menimbulkan rasa nyeri. Walaupun nyeri ini sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi serta memudahkan

Lebih terperinci

pada penderita tukak lambung dan penderita yang sedang minum antikoagulan (Martindale, 1982). Pada penelitian ini digunakan piroksikam sebagai

pada penderita tukak lambung dan penderita yang sedang minum antikoagulan (Martindale, 1982). Pada penelitian ini digunakan piroksikam sebagai BAB 1 PENDAHULUAN Kemajuan penelitian beberapa tahun terakhir dalam bidang farmasi maupun kedokteran telah banyak menghasilkan obat baru dengan efek terapi yang lebih baik dan efek samping yang minimal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring berkembangnya kemajuan di Indonesia saat ini, menyebabkan berbagai macam dampak yang mempengaruhi kehidupan dan tingkah laku yang kemudian akan mengarah pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman saat ini, dimana kehidupan masyarakat semakin dimudahkan dengan perkembangan teknologi, secara tidak langsung mempengaruhi gaya hidup yang serba

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan obat mengalami kemajuan yang cukup pesat seiring dengan perkembangan jaman. Banyak penelitian yang dibutuhkan untuk mengatasi penyakit tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nekrosis merupakan proses degenerasi yang menyebabkan kerusakan sel yang terjadi setelah suplai darah hilang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang

Lebih terperinci

N N. Gambar 1.1. Struktur molekul piroksikam dan O-(3,4- diklorobenzoil)piroksikam.

N N. Gambar 1.1. Struktur molekul piroksikam dan O-(3,4- diklorobenzoil)piroksikam. BAB 1 PEDAHULUA Rasa nyeri merupakan perasaan tidak nyaman yang menyertai kerusakan jaringan dan timbul apabila rangsangan mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui nilai ambang nyeri. Rasa nyeri dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tan dan Rahardja, 2007). Rasa nyeri merupakan suatu

Lebih terperinci

DiGregorio, 1990). Hal ini dapat terjadi ketika enzim hati yang mengkatalisis reaksi konjugasi normal mengalami kejenuhan dan menyebabkan senyawa

DiGregorio, 1990). Hal ini dapat terjadi ketika enzim hati yang mengkatalisis reaksi konjugasi normal mengalami kejenuhan dan menyebabkan senyawa BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini, pengembangan obat obat baru terus dilakukan dengan upaya untuk meningkatkan potensi obat obatan yang ada. Adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang demikian pesatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman. Pada umumnya nyeri berkaitan dengan kerusakan jaringan yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (senyawa derivat p-aminofenol) sebagai analgesik dan antipiretik dideskripsikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (senyawa derivat p-aminofenol) sebagai analgesik dan antipiretik dideskripsikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Analgesik merupakan salah satu golongan obat yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, dan analgesik yang pemakaiannya terbanyak di Indonesia (bahkan di

Lebih terperinci

inflamasi non steroid turunan asam enolat derivat oksikam yaitu piroksikam (Mutschler, 1991; Gringauz, 1997). Piroksikam digunakan untuk pengobatan

inflamasi non steroid turunan asam enolat derivat oksikam yaitu piroksikam (Mutschler, 1991; Gringauz, 1997). Piroksikam digunakan untuk pengobatan BAB 1 PEDAHULUA Seiring dengan perkembangan zaman, banyak dilakukan pengembangan obat yang bertujuan untuk mendapatkan obat baru yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pasien. Modifikasi molekul pada

Lebih terperinci

Menurut Hansch, penambahan gugus 4-tersier-butilbenzoil dapat mempengaruhi sifat lipofilisitas, elektronik dan sterik suatu senyawa.

Menurut Hansch, penambahan gugus 4-tersier-butilbenzoil dapat mempengaruhi sifat lipofilisitas, elektronik dan sterik suatu senyawa. BAB 1 PEDAHULUA Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat. Perkembangan ini terjadi di segala bidang, termasuk bidang farmasi. Hal ini tampak dengan munculnya berbagai produk obat yang digunakan

Lebih terperinci

Gambar 1.2. Struktur molekul Asam O-(4-klorobenzoil) Salisilat (Rendy,2006)

Gambar 1.2. Struktur molekul Asam O-(4-klorobenzoil) Salisilat (Rendy,2006) BAB 1 PENDAHULUAN Seringnya rasa sakit atau nyeri yang dirasakan manusia menyebabkan sangat dibutuhkan obat yang lebih poten untuk mengatasi gejala yang timbul. Seiring dengan perkembangan zaman, para

Lebih terperinci

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006).

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006). BAB 1 PENDAHULUAN Demam dapat disebabkan gangguan pusat pengaturan suhu tubuh pada hipotalamus dari kerusakan atau ketidakmampuan untuk menghilangkan peningkatan produksi panas. Keadaan suhu tubuh di atas

Lebih terperinci

Hal ini disebabkan karena penambahan gugus-gugus pada struktur parasetamol tersebut menyebabkan perubahan sifat kimia fisika senyawa, yaitu sifat

Hal ini disebabkan karena penambahan gugus-gugus pada struktur parasetamol tersebut menyebabkan perubahan sifat kimia fisika senyawa, yaitu sifat BAB 1 PENDAHULUAN Dewasa ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mulai meningkat. Tak jarang masyarakat membeli obat-obat bebas dan bebas terbatas yang banyak dijumpai di apotek, sesuai gejala

Lebih terperinci

memodifikasi struktur senyawa obat dengan penambahan gugus yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan gugus tersebut dalam meningkatkan

memodifikasi struktur senyawa obat dengan penambahan gugus yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan gugus tersebut dalam meningkatkan BAB 1 PEDAULUA aat ini perkembangan obat sangat dibutuhkan oleh masyarakat. bat yang tersedia saat ini, terutama obat-obat analgesik sangat umum dan banyak digunakan. ebagian besar penyakit yang timbul

Lebih terperinci

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini : Kompetensi Dasar: Mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan metode pemisahan dengan KLT dan dapat mengaplikasikannya untuk analisis suatu sampel Gambaran Umum KLT Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan

Lebih terperinci

gugus karboksilat yang bersifat asam sedangkan iritasi kronik kemungkinan disebabakan oleh penghambatan pembentukan prostaglandin E1 dan E2, yaitu

gugus karboksilat yang bersifat asam sedangkan iritasi kronik kemungkinan disebabakan oleh penghambatan pembentukan prostaglandin E1 dan E2, yaitu BAB 1 PENDAHULUAN Pada periode perkembangan bahan obat organik telah banyak diberikan perhatian untuk mencari kemungkinan adanya hubungan antara struktur kimia, sifat-sifat kimia fisika dan aktivitas biologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Analgetik merupakan obat yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau dapat disebut pula sebagai obat penghalang rasa nyeri, misalnya sakit kepala, otot,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada jaman modern ini perkembangan obat sangat pesat, para ilmuan berlomba membuat rancangan obat baru sebagai usaha mengembangkan obat yang sudah ada. Modifikasi obat

Lebih terperinci

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA BAB 1 TIJAUA PUSTAKA 1.1 Glibenklamid Glibenklamid adalah 1-[4-[2-(5-kloro-2-metoksobenzamido)etil]benzensulfonil]-3- sikloheksilurea. Glibenklamid juga dikenal sebagai 5-kloro--[2-[4{{{(sikloheksilamino)

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Struktur turunan N-arilhidrazon (senyawa A) CH 3

Gambar 1.1. Struktur turunan N-arilhidrazon (senyawa A) CH 3 BAB 1 PENDAHULUAN Seiring berkembangnya penelitian yang mengarah pada penemuan senyawa obat baru melalui jalur sintesis dan kemudian di gunakan untuk mengobati berbagai penyakit yang timbul di masyarakat,

Lebih terperinci

Keterangan : R = H atau CH 3, Ar = fenil/3-piridil/4-piridil

Keterangan : R = H atau CH 3, Ar = fenil/3-piridil/4-piridil BAB 1 PEDAHULUA Dewasa ini ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan farmasi, khususnya untuk tujuan pengobatan mengalami kemajuan yang pesat. Pengobatan terhadap suatu penyakit mendapat perhatian yang

Lebih terperinci

penghambat prostaglandin, turunan antranilat dan turunan pirazolinon. Mekanisme kerja NSAID adalah dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase

penghambat prostaglandin, turunan antranilat dan turunan pirazolinon. Mekanisme kerja NSAID adalah dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase BAB 1 PEDAULUA yeri seringkali merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh sekaligus sebagai isyarat mengenai adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini perkembangan dibidang industri farmasi berkembang sangat pesat. Hal disertai oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Glibenklamid merupakan sulfonylurea generasi kedua yang digunakan sebagai obat antidiabetik oral yang berperan menurunkan konsentrasi glukosa darah. Glibenklamid merupakan salah satu senyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pemakaian obat analgesik sudah merupakan hal yang tidak asing bagi masyarakat pada umumnya. Hal ini dikarenakan sering timbulnya rasa nyeri serta peredaran

Lebih terperinci

),parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan

),parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan BAB 1 PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang farmasi dan obat-obatan, menyebabkan perlunya pengembangan obat baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Salah satu upaya

Lebih terperinci

banyak senyawa-senyawa obat yang diproduksi melalui jalur sintesis dan dapat digunakan dalam berbagai macam penyakit. Sintesis yang dilakukan mulai

banyak senyawa-senyawa obat yang diproduksi melalui jalur sintesis dan dapat digunakan dalam berbagai macam penyakit. Sintesis yang dilakukan mulai BAB 1 PENDAULUAN Nyeri merupakan salah satu masalah penting dalam kesehatan dan umumnya adalah gejala yang banyak diderita oleh masyarakat. Nyeri dapat didefinisikan sebagai perasaan sensoris dan emosional

Lebih terperinci

Prinsip dasar alat spektroskopi massa: ANALISIS MASSA. Fasa Gas (< 10-6 mmhg)

Prinsip dasar alat spektroskopi massa: ANALISIS MASSA. Fasa Gas (< 10-6 mmhg) Spektroskopi Massa Spektroskopi Masssa adalah alat untuk mendapatkan BERAT MOLEKUL. Alat ini mengukur m/z, yaitu perbandingan MASSA terhadap muatan (umumnya muatan +1). Contoh: Spektroskopi Massa Prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

Lebih terperinci

Daerah radiasi e.m: MHz (75-0,5 m)

Daerah radiasi e.m: MHz (75-0,5 m) NMR = NUCLEAR MAGNETIC RESONANCE = RESONANSI MAGNET INTI PENEMU: PURCELL, DKK (1945-1950), Harvard Univ. BLOCH, DKK, STANFORD. UNIV. Guna: - Gambaran perbedaan sifat magnet berbagai inti. - Dugaan letak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan berlangsung selama sintesis, serta alat-alat yang diperlukan untuk sintesis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan berlangsung selama sintesis, serta alat-alat yang diperlukan untuk sintesis. II TINJUN PUSTK 2.1 Rancangan nalisis Dalam sintesis suatu senyawa kimia atau senyawa obat yang baik, diperlukan beberapa persiapan. Persiapan tersebut antara lain berupa bahan dasar sintesis, pereaksi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masih terdapat dalam produk ruahan (Siregar,2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masih terdapat dalam produk ruahan (Siregar,2010). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Baku Bahan baku adalah semua bahan, baik yang berkhasiat (zat aktif) maupun tidak berkhasiat (zat Nonaktif/eksipien), yang berubah maupun tidak berubah, yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apabila kita lihat pengertian aslinya, sebenarnya apotek berasal dari bahasa Yunani apotheca, yang secara harfiah berarti penyimpanan. Dalam bahasa Belanda, apotek disebut

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Obat Tradisional Menurut peraturan menteri kesehatan nomor 007 tahun 2012 obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Parasetamol atau acetaminofen merupakan nama resmi yang sama dengan senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory drugs (NSAID) yang

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan

parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan BAB 1 PENDAHULUAN Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang farmasi dan obat-obatan, menyebabkan perlunya pengembangan obat baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Salah satu upaya

Lebih terperinci

SPEKTROMETRI MASSA. Kuliah Kimia Analisis Instrumen Pertemuan Ke 7.

SPEKTROMETRI MASSA. Kuliah Kimia Analisis Instrumen Pertemuan Ke 7. SPEKTROMETRI MASSA Kuliah Kimia Analisis Instrumen Pertemuan Ke 7 siti_marwati@uny.ac.id Spektrometri massa, tidak seperti metoda spektroskopi yang lain, tidak melibatkan interaksi antara radiasi ektromagnetik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Analgetika, didefinisikan menurut Purwanto dan Susilowati (2000) adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif untuk mengurangi

Lebih terperinci

kamar, dan didapat persentase hasil sebesar 52,2%. Metode pemanasan bisa dilakukan dengan metode konvensional, yaitu cara refluks dan metode

kamar, dan didapat persentase hasil sebesar 52,2%. Metode pemanasan bisa dilakukan dengan metode konvensional, yaitu cara refluks dan metode BAB 1 PEDAULUA Pengembangan suatu senyawa aktif dapat dilakukan dengan memodifikasi struktur suatu senyawa aktif atau memodifikasi senyawa induk dengan dasar pemilihan gugus atau substituen secara rasional.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Analgetika adalah zat yang bisa mengurangi rasa nyeri tanpa mengurangi kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2015). Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang mengganggu,

Lebih terperinci

(b) Gambar 1.1. Struktur asam mefenamat (a) dan struktur turunan hidrazida dari asam mefenamat (b) Keterangan: Ar = 4-tolil, 4-fluorofenil, 3-piridil

(b) Gambar 1.1. Struktur asam mefenamat (a) dan struktur turunan hidrazida dari asam mefenamat (b) Keterangan: Ar = 4-tolil, 4-fluorofenil, 3-piridil BAB I PEDAULUA Asam salisilat merupakan kelompok senyawa obat yang telah dipergunakan secara luas karena memiliki efek sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Turunan asam salisilat yang paling

Lebih terperinci

Sifat lipofilik mempengaruhi kemampuan senyawa tersebut menembus membran sel dan fase farmakodinamik obat, sifat elektronik mempengaruhi proses

Sifat lipofilik mempengaruhi kemampuan senyawa tersebut menembus membran sel dan fase farmakodinamik obat, sifat elektronik mempengaruhi proses BAB 1 PEDAULUA Epilepsi adalah penyakit kambuhan kronis, yang ditandai dengan datangnya serangan yang disebabkan oleh naiknya rangsangan pada neuron pusat, sehingga menyebabkan turunnya nilai ambang rangsang

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Struktur asam asetilsalisilat (Departemen Kesehatan RI, 1995).

Gambar 1.1. Struktur asam asetilsalisilat (Departemen Kesehatan RI, 1995). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Analgesik (obat penghilang rasa nyeri) merupakan suatu senyawa yang dalam dosis terapetik dapat meringankan atau menekan rasa nyeri yang timbul tanpa memiliki kerja

Lebih terperinci

SPEKTROMETRI MASSA INTERPRETASI SPEKTRA DAN APLIKASI. Interpretasi spektra dan aplikasi

SPEKTROMETRI MASSA INTERPRETASI SPEKTRA DAN APLIKASI. Interpretasi spektra dan aplikasi SPEKTROMETRI MASSA INTERPRETASI SPEKTRA DAN APLIKASI Interpretasi spektra dan aplikasi 1. Interpretasi spektra massa: penentuan struktur untuk senyawa sederhana 2. Interpretasi spektra massa: beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri merupakan modalitas sensorik yang memperingatkan tentang suatu tanda trauma atau pun cedera yang terjadi dalam tubuh. Nyeri juga merupakan sensasi enteroceptive

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tramadol HCl berikut: Menurut Moffat, dkk., (2004), uraian tentang tramadol adalah sebagai Gambar 1. Struktur Tramadol HCl Tramadol HCl dengan rumus molekul C 16 H 25 N 2, HCl

Lebih terperinci

Gambar 1.1. (a) Struktur asam mefenamat dan (b) Struktur turunan hidrazida dari asam mefenamat.

Gambar 1.1. (a) Struktur asam mefenamat dan (b) Struktur turunan hidrazida dari asam mefenamat. BAB I PEDAULUA Analgesik merupakan zat-zat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan aksi sentral atau perifer tanpa mengganggu kesadaran. Berdasarkan mekanisme kerjanya, analgesik dibagi

Lebih terperinci

Kelarutan & Gejala Distribusi

Kelarutan & Gejala Distribusi PRINSIP UMUM Kelarutan & Gejala Distribusi Oleh : Lusia Oktora RKS, S.F.,M.Sc., Apt Larutan jenuh : suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Kelarutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman herbal yang biasanya dijadikan sebagai menjadi tanaman hias. Tanaman patah tulang selain tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberculosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Mutschler, 1991). Tuberculosis (TB) menyebar antar individu terutama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obat Nama Generik 2.1.1. Pengertian Obat Generik Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan

Lebih terperinci

Chapter 20 ASAM KARBOKSILAT

Chapter 20 ASAM KARBOKSILAT Chapter 20 ASAM KARBOKSILAT Pengantar Gugus fungsi dari asam karboksilat terdiri atas ikatan C=O dengan OH pada karbon yang sama. Gugus karboksil biasanya ditulis -COOH. Asam alifatik memiliki gugus alkil

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel Temulawak Terpilih Pada penelitian ini sampel yang digunakan terdiri atas empat jenis sampel, yang dibedakan berdasarkan lokasi tanam dan nomor harapan. Lokasi tanam terdiri

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 19 Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Biodiesel Minyak jelantah semula bewarna coklat pekat, berbau amis dan bercampur dengan partikel sisa penggorengan. Sebanyak empat liter minyak jelantah mula-mula

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel Zat warna sebagai bahan tambahan dalam kosmetika dekoratif berada dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Paye dkk (2006) menyebutkan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 (5 September 2006)

PENDAHULUAN. 1  (5 September 2006) PENDAULUAN Makanan, kebutuhan pokok bagi manusia, dapat mengandung kontaminan kimia yang dapat mengganggu kesehatan. leh karena itu keamanan pangan (food safety) merupakan hal yang sangat penting. Akrilamida

Lebih terperinci

Gambar 1.2. Struktur senyawa N -(4-metilbenziliden)-2- metoksibenzohidrazida

Gambar 1.2. Struktur senyawa N -(4-metilbenziliden)-2- metoksibenzohidrazida BAB 1 PEDAULUA Pada umumnya penyakit yang terjadi pada manusia disertai dengan rasa nyeri. yeri merupakan gejala yang berfungsi mengingatkan bahwa di dalam tubuh kita terdapat gangguan pada jaringan. Selain

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH MODUL 1. TITRASI VOLUMETRI

TINJAUAN MATA KULIAH MODUL 1. TITRASI VOLUMETRI iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH MODUL 1. TITRASI VOLUMETRI Kegiatan Praktikum 1: Titrasi Penetralan (Asam-Basa)... Judul Percobaan : Standarisasi Larutan Standar Sekunder NaOH... Kegiatan Praktikum

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-Desember 2013, bertempat di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-Desember 2013, bertempat di 22 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-Desember 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Minyak goreng merupakan salah satu bahan yang termasuk dalam lemak, baik yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun dari

Lebih terperinci

Kondensasi Benzoin Benzaldehid: Rute Menujuu Sintesis Obat Antiepileptik Dilantin

Kondensasi Benzoin Benzaldehid: Rute Menujuu Sintesis Obat Antiepileptik Dilantin Laporan Praktikum Senyawa Organik Polifungsi KI2251 1 Kondensasi Benzoin Benzaldehid: Rute Menujuu Sintesis Obat Antiepileptik Dilantin Antika Anggraeni Kelas 01; Subkelas I; Kelompok C; Nurrahmi Handayani

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi KIMIA UNSUR (BAGIAN IV) A. UNSUR-UNSUR PERIODE KETIGA. a. Sifat Umum

KIMIA. Sesi KIMIA UNSUR (BAGIAN IV) A. UNSUR-UNSUR PERIODE KETIGA. a. Sifat Umum KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN KIMIA UNSUR (BAGIAN IV) A. UNSUR-UNSUR PERIODE KETIGA Keteraturan sifat keperiodikan unsur dalam satu periode dapat diamati pada unsur-unsur periode

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Obat Tradisional Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus April 2013, bertempat di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus April 2013, bertempat di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Agustus 2012 -April 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK ACARA 4 SENYAWA ASAM KARBOKSILAT DAN ESTER Oleh: Kelompok 5 Nova Damayanti A1M013012 Nadhila Benita Prabawati A1M013040 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PEMBUATAN ASAM ASETIL SALISILAT (ASPIRIN) Tanggal: 8 Oktober 2015 Dosen Pembimbing: Lina Elfita, M.Si, Apt Disusun oleh: Kelompok 3D Safizah Ummu Harisah (1112102000010)

Lebih terperinci

SPEKTROSKOPI RESONANSI MAGNET INTI (NMR = NUCLEAR MAGNETIC RESONANCE)

SPEKTROSKOPI RESONANSI MAGNET INTI (NMR = NUCLEAR MAGNETIC RESONANCE) SPEKTROSKOPI RESONANSI MAGNET INTI (NMR = NUCLEAR MAGNETIC RESONANCE) Spektrum inframerah suatu senyawa memberikan gambaran mengenai gugus fungsional dalam sebuah molekul organik. Spektroskopi resonansi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ataupun infeksi. Inflamasi merupakan proses alami untuk mempertahankan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ataupun infeksi. Inflamasi merupakan proses alami untuk mempertahankan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Terjadinya Inflamasi Inflamasi adalah salah suatu respon terhadap cedera jaringan ataupun infeksi. Inflamasi merupakan proses alami untuk mempertahankan homeostasis tubuh

Lebih terperinci

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan.

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan. B. Pelaksanaan Kegiatan Praktikum Hari : Senin, 13 April 2009 Waktu : 10.20 12.00 Tempat : Laboratorium

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan obat saat ini tengah mengalami kemajuan yang cukup pesat dengan semakin banyaknya peneliti yang melakukan penelitian dan menciptakan berbagai macam obat

Lebih terperinci

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. KROMATOGRAFI Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc. Tujuan Pembelajaran 1. Mahasiswa memahami pengertian dari kromatografi dan prinsip kerjanya 2. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis kromatografi dan pemanfaatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Parasetamol (asetaminofen) merupakan analgetika-antipiretika yang masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Parasetamol (asetaminofen) merupakan analgetika-antipiretika yang masih BAB I PEDAULUA A. Latar Belakang Parasetamol (asetaminofen) merupakan analgetika-antipiretika yang masih banyak digunakan, khususnya di Indonesia. Beberapa nama dagang berikut mengandung parasetamol seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Secara umum nyeri dibedakan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Dipiro dkk.,2005). Pembiayaan pada penanganan kasus nyeri di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Dipiro dkk.,2005). Pembiayaan pada penanganan kasus nyeri di Amerika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri merupakan alah satu gangguan yang sering dialami oleh banyak orang didunia. Sekitar 50 juta orang Amerika terganggu aktivitasnya karena nyeri (Dipiro dkk.,2005).

Lebih terperinci

PATEN NASIONAL Nomor Permohonan Paten :P Warsi dkk Tanggal Permohonan Paten:19 November 2013

PATEN NASIONAL Nomor Permohonan Paten :P Warsi dkk Tanggal Permohonan Paten:19 November 2013 1 PATEN NASIONAL Nomor Permohonan Paten :P00147 Warsi dkk Tanggal Permohonan Paten:19 November 13 2, bis(4 HIDROKSI KLORO 3 METOKSI BENZILIDIN)SIKLOPENTANON DAN 2, bis(4 HIDROKSI 3 KLOROBENZILIDIN)SIKLOPENTANON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Nyeri, demam dan radang merupakan gejala penyakit yang sering dialami manusia. Adanya rasa nyeri merupakan pertanda dimana terjadi kerusakan jaringan yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCBAAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk membuat, mengisolasi dan mengkarakterisasi derivat akrilamida. Penelitian diawali dengan mereaksikan akrilamida dengan anilin sulfat.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV asil Penelitian dan Pembahasan IV.1 Isolasi Kitin dari Limbah Udang Sampel limbah udang kering diproses dalam beberapa tahap yaitu penghilangan protein, penghilangan mineral, dan deasetilasi untuk

Lebih terperinci