1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acuan hukum dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah Undang- Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi terhadap Undang-Undang No. 22 tahun Secara de facto, pemberlakuan otonomi daerah telah dimulai sejak 1 Januari Berdasarkan pasal 22 Undang- Undang No.32 tahun 2004 ditegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, daerah memiliki kewajiban antara lain : (1) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI, (2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, (3) mengembangkan kehidupan demokrasi, (4) mewujudkan keadilan dan pemerataan, dan (5) mengembangkan sumber daya produktif di daerah. Dalam pembagian urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah yang bersangkutan. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang secara nyata ada adalah sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi daerah antara lain : pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata. Secara filosofis, urusan pemerintahan yang secara nyata ada adalah untuk menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya dan untuk itulah kesesuaian antara kebutuhan nyata masyarakatnya atas pelayanan yang diberikan pemerintah daerah akan merupakan realitas otonomi daerah yang sebenarnya (Suwandi, 2002). Selanjutnya Suwandi (2003) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah harus memahami dengan benar sektor-sektor mana yang menjadi andalan daerah yang bersangkutan untuk dikembangkan, karena dengan pemahaman sektor unggulan tersebut akan menjadi acuan bagi daerah dalam menentukan isi otonomi atas dasar core competence daerah yang bersangkutan,

2 2 dan dengan pengembangan core competence serta berbagai varian-nya akan memberikan dampak besar dalam pembangunan daerah tersebut. Kebijakan otonomi daerah merupakan paradigma baru pengelolaan pemerintahan yang dilaksanakan sebagai penyempurnaan atas segala bentuk pemusatan wewenang dan tidak lepas dari tuntutan keadilan dan perbaikan nasib rakyat, khususnya di daerah untuk meningkatkan taraf hidup, penghargaan terhadap kondisi sosial dan budaya lokal, dan kelestarian lingkungan. Perubahan tersebut mempengaruhi secara langsung bentuk-bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan sebab telah memberikan kewenangan pengelolaan wilayah laut dari pemerintah pusat ke daerah. Keadaaan tersebut seperti yang diatur pada pasal 18 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Kewenangan daerah tersebut meliputi : (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, (b) pengaturan administrasi, (c) pengaturan tata ruang, (d) penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, (e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan (f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Selanjutnya ditegaskan bahwa kewenangan yang dimaksud adalah paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan / atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota; akan tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil. Nelayan kecil yang adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional, tidak dikenakan surat ijin dan bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia. Untuk menunjang konsepsi pembangunan yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut, diperlukan beberapa prasyarat. Prasyarat tersebut dijelaskan oleh Kusumastanto (2003) yaitu sebagai berikut: pertama, kebebasan politik (political freedom) yang bermakna bagi masyarakat pesisir yang implementasinya berlandaskan pada prakarsa mereka sendiri (local initiatives). Prakarsa ini tidak mungkin berkembang secara produktif, jika masyarakat nelayan dan pesisir

3 3 umumnya berada di bawah tekanan ; kedua, penyediaan fasilitas fasilitas ekonomi (economic facilities) yang menunjang pengembangan sektor kelautan dan perikanan menjadi sebuah persoalan politik yang diproyeksikan guna menunjang proses ekonomi yang berkeadilan. Oleh karena itu otonomi yang dikembangkan tanpa dibarengi perbaikan pelayanan justru akan menjadi beban. Hal tersebut sama maknanya dengan memberikan kewenangan ke daerah, tetapi tanpa disertai dukungan sumber daya yang memadai; ketiga, terbukanya peluang sosial (social opportunities) yang mendukung otonomi daerah di wilayah laut ; keempat, perluasan partisipasi (expansion of participation) masyarakat pesisir dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan ekonomi politik yang berkaitan dengan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di daerah. Dengan desentralisasi atau penyerahan wewenang dari pemerintah ke pemerintah daerah, maka terdapat keuntungan sekaligus pemerintah daerah menghadapi tantangan. Manfaat langsung dari penyerahan wewenang di bidang kelautan dan perikanan menurut Dahuri (2003) adalah pemerintah daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing pemerintah pusat dan daerah dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan tantangan yang dihadapi adalah tanggung jawab dan pembiayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah berupa pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lainlain. Kusumastanto (2003) menyatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah, mekanisme dan proses penyelenggaraan negara serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sangat dekat dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya yang seharusnya tidak perlu dijalankan sepenuhnya oleh negara. Dalam konteks ini otonomi termasuk wilayah laut yang merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dan memiliki wawasan yang jelas terhadap perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan.

4 4 Secara implisit, penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di sektor kelautan dan perikanan (desentralisasi) meliputi beberapa aspek di antaranya yang bersifat umum, aspek kelautan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan dan pengendalian, pengolahan dan pemasaran, investasi dan peluang usaha, serta pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan. Khusus pada aspek penyuluhan perikanan, hal yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat propinsi di antaranya adalah : (1) penetapan/perumusan kebijakan, norma, standar dan pedoman penyuluhan perikanan tingkat propinsi, (2) perencanaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan tingkat propinsi dan/atau lintas kabupaten/kota, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan di propinsi, (4) melaksanakan kerjasama penyuluhan perikanan dengan pihak lain, baik instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat, (5) menyelenggarakan penyuluhan perikanan di tingkat propinsi. Kewenangan penyuluhan perikanan yang diserahkan menjadi urusan daerah tingkat kabupaten/kota meliputi : (1) merumuskan kebijakan, perencanaan, program dan kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota setelah mendapat masukan dari penyuluh, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan dan unsur masyarakat lainnya, (2) menyusun pedoman teknis penyuluhan perikanan, (3) melakukan koordinasi, supervisi dan distribusi sumberdaya penyuluhan perikanan, (4) menyelenggarakan kegiatan penyuluhan perikanan, (5) menetapkan, mengangkat, membina dan mensupervisi petugas penyuluh yang berada di kabupaten/kota, (6) menetapkan lokasi dan memfasilitasi Pos Pelayanan Penyuluhan Perikanan, (7) melaksanakan pembinaan, pemantauan, pengawasan, penilaian dan evaluasi kegiatan penyuluhan perikanan di kabupaten/kota. Perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi penyerahan kewenangan penyuluhan perikanan kepada pemerintah daerah (desentralisasi) berdampak pada masalah yang berkaitan lansung dengan institusionalisasi otonomi daerah. Secara teoritis dapat diterangkan dengan mensitir pendapat Dahuri (2003) tentang persoalan institusional di daerah dalam konteks pengelolaan wilayah laut untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan sebagai berikut:

5 5 1) Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah penyelengaraan penyuluhan perikanan di daerah. Implikasinya tidak tersedianya instrumen hukum penyelenggaraan penyuluhan perikanan. Selain itu, belum lengkapnya pedoman, standar, kebijakan, strategi dan manajemen penyuluhan di daerah guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2) Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang penyuluhan perikanan. Ini menimbulkan kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap penyelenggaraan penyuluhan perikanan. 3) Pemahaman sistem penyuluhan dan karakteristik pelaku utama. Selama ini program penyuluhan lebih banyak didesain oleh Pemerintah, telah menyebabkan kemampuan daerah dalam merancang program penyelenggaraan penyuluhan perikanan menjadi rendah. Hal ini akan berkaitan dengan masalah programa penyuluhan, mekanisme kerja dan metode, materi penyuluhan, peran serta dan kerjasama dalam penyelenggaraan peyuluhan perikanan. 4) Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan dan perikanan. Akibatnya, upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum bisa terwujud. Pada sisi lain, penyelenggaraan penyuluhan perikanan selama ini merupakan bagian dari sistem penyuluhan pertanian. Mengingat bahwa sifat dan bentuk kegiatan perikanan bersifat spesifik, maka menurut Purnomo (2006) diperlukan penyelenggaraan tersendiri untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Wawasan, pengetahuan, kesadaran sumberdaya manusia perikanan masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, kesadaran kritis (critical awareness) masyarakat semakin meningkat di era reformasi sedangkan tingkat kepercayaan pada sistem birokrasi yang ada menurun, sehingga mereka berupaya mencari penyelesaian masalahnya dari berbagai sumber alternatif yang belum tentu dapat dipertanggung jawabkan. Masyarakat dari berbagai lapisan makin mudah dalam mengakses informasi lokal, nasional dan global

6 6 makin mudah dan intensif, serta secara utuh/tanpa saringan. Di sisi lain tingkat kedewasaan/kematangan sangat beragam dalam menyikapi penyelenggaraan penyuluhan sehingga rentan terhadap konflik. 2) Selama ini sistem penyuluhan yang ada bersifat polivalen sedangkan substansi perikanan bersifat khas, dimana kondisi teknis, lingkungan, ekologis dan sosial perikanan sangat spesifik, sehingga perlu tersedia kelembagaan, fasilitas, tenaga penyuluh, yang secara khusus menangani bidang perikanan dan dapat dilaksanakan secara tersendiri. 3) Kondisi saat ini menunjukkan bahwa nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan belum memanfaatkan teknologi terapan secara optimal untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya, sehingga pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasi yang dimiliki dipandang perlu untuk ditingkatkan melalui penyuluhan. Di sisi lain, sistem penyuluhan perikanan baku belum efektif implementasinya, sehingga dalam pelaksanaannya belum diselenggarakan dalam konteks jejaring kerja. 4) Saat ini terdapat perubahan sosial yang lebih demokratis dan tata pemerintahan yang lebih banyak melimpahkan kewenangan kepada daerah (prinsip otonomi daerah), namun demikian, implementasi otonomi daerah berimplikasi pada penempatan kegiatan dan kelembagaan penyuluhan (termasuk perikanan) bukan sebagai prioritas penanganan, karena dianggap sebagai overhead cost daerah (kata lain dari menjadi beban daerah dan bukan pemasok PAD). Secara pemerintahan, keberadaan kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai unit administrasi pangkal di daerah menjadi beragam. 5) Tuntutan masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang lebih demokratis, seiring dengan kesadaran untuk keluar dari keterpurukan ekonomi yang membebani dan fungsi birokrasi yang selama ini kurang berpihak pada rakyat. Adanya semangat dan kesadaran membangun masyarakat setempat serta akses informasi yang mudah didapat, juga gencarnya agen pemasaran swasta dan institusi pendidikan dan penelitian di sektor perikanan, telah menempatkan penyuluh fungsional PNS bukan sebagai satu-satunya agent of change.

7 7 Dalam konteks desentralisasi penyuluhan perikanan yang harus dilaksanakan secara spesifik sesuai tuntutan pelaku utama di daerah memerlukan suatu perencanaan dan pengembangan yang terpadu yang mencakup aspek-aspek seperti kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta kebutuhan pelaku utama. Untuk memperoleh gambaran yang komprehensip mengenai status (kondisi) pengembangan penyuluhan perikanan di daerah pada era desentralisasi sekaligus bisa mengidentifikasi berbagai masalah serta arah pemecahannya bagi pengambilan keputusan dan penentuan prioritas kebijakan, maka penelitian ini dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat diidentifikasikan permasalahan-permasalahan pada pengembangan sistem penyuluhan perikanan yang terjadi pada era desentralisasi sebagai berikut: 1) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan belum berfungsi dan berjalan secara optimal di daerah karena kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan perikanan belum terbentuk. Kalaupun ada, tugas pokok dan fungsinya masih polivalen serta programnya tidak terfokus ke penyelenggaraan penyuluhan perikanan. 2) Banyaknya alih tugas penyuluh perikanan ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh perikanan. 3) Materi dan metoda penyuluhan perikanan belum sepenuhnya mendukung pengembangan perikanan sebagai komoditas unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan sumberdaya. 4) Terbatasnya dukungan sarana dan prasarana penyuluhan perikanan dari pemerintah daerah maupun dukungan pembiayaan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan. 5) Kurangnya keberpihakan kepada pelaku utama sehingga penyuluhan perikanan yang dioperasionalkan belum sepenuhnya menggairahkan peran

8 8 pelaku utama untuk turut serta dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan. Dengan melihat berbagai permasalahan yang kompleks dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan di era desentralisasi, maka diperlukan suatu solusi melalui pendekatan yang bersifat multidimensi/integral yang mencakup aspek-aspek yang mempengaruhi penyuluhan perikanan era desentralisasi sehingga pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dapat diwujudkan secara optimal. Kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah antara lain: (1) sulitnya merubah paradigma stakeholder yang berperan dalam pengembangan sistem penyuluhan di daerah dan adanya perbedaan persepsi tentang penyuluhan perikanan, (2) belum fokusnya prioritas pemerintah daerah terhadap penanganan penyuluhan perikanan, (3) sistem operasionalisasi penyuluhan perikanan belum terintegrasi dan dijabarkan dalam aturan/pedoman yang dapat dijadikan acuan desentralisasi penyuluhan bagi daerah. Dengan demikian permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah upaya merancang suatu sistem yang terintegrasi menyangkut berbagai dimensi pengembangan penyuluhan perikanan sebagai upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia perikanan (pelaku utama) di daerah. Pertanyaan selanjutnya dalam penelitian ini adalah: 1) Apa saja atribut/indikator yang dapat digunakan untuk menunjukkan pengembangan penyuluhan perikanan dari masing-masing dimensi (kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama/sosial)? 2) Seberapa besar performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini? 3) Apakah ada perbedaan performa pengembangan penyelenggaraan penyuluhan antar wilayah di Indonesia? 4) Bagaimana rumusan kebijakan yang dapat menjadi pedoman dasar bagi daerah dalam pengembangan penyuluhan perikanan?

9 9 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian berjudul Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia Terkait dengan judul tersebut maka tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk merancang kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan di daerah. Kebijakan dasar tersebut hanya dapat diformulasikan secara tepat jika diketahui kondisi eksisting dari sistem penyuluhan yang ada. Oleh karenanya ditetapkan tujuan-tujuan spesifik yang pada garis besarnya berupaya mengungkap kondisi eksisting penyuluhan perikanan era desentralisasi berikut rekomendasi strategi yang akan diambil. Adapun tujuan spesifik peneltian ini yaitu: 1) Mengidentifikasi atribut/indikator yang dapat mencerminkan pengembangan penyuluhan perikanan yang mencakup dimensi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan serta respons pelaku utama (sosial) 2) Mengukur tingkat perkembangan penyuluhan perikanan di daerah 3) Membandingkan nilai indeks pengembangan penyuluhan perikanan di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat 4) Merumuskan rekomendasi kebijakan dan skenario strategi implementasi pengembangan penyuluhan perikanan di daerah 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini secara umum adalah sebagai bahan rujukan dalam penyusunan rencana pembangunan perikanan, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan penyuluhan perikanan. Secara khusus penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi: 1) Stakeholders, sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk memanfaatkan peluang penyuluhan perikanan dalam konteks dan kebutuhannya. 2) Pemerintah, sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan dan prioritas program yang operasional, khususnya dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah tingkat II Kabupaten/Kota 3) Ilmu Pengetahuan, sebagai referensi pembanding, data awal dan dapat menjadi katalisator bagi penelitian-penelitian sejenis sehingga niat untuk menciptakan

10 10 model penyuluhan perikanan yang efektif dan efisien di era desentralisasi dapat diwujudkan dalam tempo yang relatif cepat 4) Pengelolaan perikanan tangkap, sebagai informasi acuan dan bahan pertimbangan dalam penentuan sumbangsih penyuluhan perikanan terhadap pengembangan dan efektifitas pengelolaan perikanan tangkap 1.5 Hipotesis Hipotesis umum yang menyusun penelitian ini adalah kebijakan dasar pengembangan penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia akan berbeda di masing-masing daerah dan sangat tergantung pada cara pandang pemerintah daerah terhadap nilai strategis penyuluhan dalam rangka optimalisasi potensi sumberdaya. Adapun hipotesis khusus yang dibangun dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat perbedaan fokus pengembangan dimensi yang akan dikembangkan oleh daerah dalam era desentralisasi penyuluhan 2) Terdapat perbedaan status keberlanjutan penyuluhan perikanan era desentralisasi di wilayah Indonesia Timur, Tengah dan Barat; 1.6 Kerangka Pikir Penelitian Pencapaian tujuan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah membutuhkan serangkaian kajian secara integral yang meliputi variabel-vaeriabel multidimensional seperti kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sapraspembiayaan dan sosial. Berbagai faktor akan turut mempengaruhi dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah terutama yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan menyangkut kelembagaan penyuluhan perikanan, ketenagaan dan pembiayaan yang harus menjadi tanggung jawab daerah. Pada saat bersamaan kebijakan penyelenggaraan penyuluhan perikanan sudah harus berdiri sendiri (dipisahkan dari pertanian) karena kekhasan dan karakteristik yang berbeda antara perikanan dan pertanian. Salah satu dampak desentralisasi penyelenggaraan penyuluhan perikanan ke daerah adalah adanya stagnasi atau kesenjangan. Dipandang dari dimensi

11 11 kelembagaan, penyuluhan yang selama ini difungsikan sebagai rumah para penyuluh bersifat variatif di masing-masing daerah. Kelembagaan dinas pun beragam dan ada yang tidak melaksanakan fungsi penyuluhan perikanan. Keragaman ini tentunya akan berpengaruh pada tugas dan fungsi kelembagaan itu sendiri dan berdampak pada penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah. Di sisi lain masalah keberadaan dan pemanfaatan para penyuluh menjadi beragam pula. Karir dan kompetensi para penyuluh (fungsional) menjadi tidak jelas dan beberapa di antaranya beralih fungsi kegiatan yang lebih banyak berada di luar bidang penyuluhan. Dalam situasi yang tidak menentu itu, motivasi kerja para penyuluh turun drastis dan bahkan ada yang tidak melaksanakan tugasnya lagi. Keprofesionalan penyuluh perikanan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena implementasi regulasi dalam penilaian angka kredit penyuluh perikanan belum berjalan. Hal ini makin diperparah dengan tidak adanya pengaturan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dan program-program penyuluhan yang wajib mereka lakukan di lapangan, di samping tidak adanya dukungan Biaya Operasional Penyuluh (BOP) yang memadai untuk melayani kebutuhankebutuhan kelompoknya, apalagi biaya khusus yang di alokasikan dalam rangka penyelenggaraan penyuluhan perikanan dikatakan hampir tidak disediakan oleh semua daerah. Berdasarkan deskripsi kondisi di atas, maka telah terjadi stagnasi/kesenjangan dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah, sehingga perlu dicari solusi alternatif pengembangannya. Kesenjangan antar daerah kemungkinan makin diperparah oleh adanya pola pembangunan kewilayahan pada masa lalu yang difokuskan berdasarkan wilayah timur, tengah dan barat sehingga kemungkinan adanya perbedaan di masing-masing wilayah masih ada. Oleh karenanya perlu pula dalam analisis dilakukan kajian mengenai perbedaan pengembangan penyuluhan perikanan di masing-masing wilayah. Alternatif pengembangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dikaji dalam pengembangan sistem penyuluhan perikanan berdasarkan 5 dimensi yaitu: kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama (sosial) dan diharapkan adanya perubahan paradigma stakeholder, peningkatan peran pemerintah dan peningkatan operasional penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah. Selanjutnya rancangan

12 12 skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dilakukan dengan mengubah kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh pada masingmasing dimensi untuk menghasilkan rekomendasi bagi pihak-pihak pengambil keputusan. Kerangka pikir tersebut seperti terlihat pada Gambar 1. Penyelenggaraan Penyuluhan Spesifik Perikanan Desentralisasi Kelembagaan Ketenagaan Pembiayaan Kesenjangan Penyelenggaraan Penyuluhan Perikanan Alternatif Pengembangan Penyuluhan Perikanan Kajian Pengembangan sistem Penyuluhan Perikanan Kelembagaan Ketenagaan Penyelenggaraan Sarana & Biaya Pelaku Utama Perubahan Paradigma Peran PEMDA Operasional Penyuluhan Rancangan Skenario Kebijakan Pengembangan Penyuluhan di Daerah Rekomendasi Gambar 1 Kerangka pikir penelitian kajian pengembangan sistem penyuluhan perikanan era desentralisasi di Indonesia.

13 13 Dalam penyusunan kajian pengembangan sistem penyuluhan perikanan terlebih dahulu diawali dengan menentukan kondisi saat ini (existing condition). Penentuan dan penilaian terhadap kondisi saat ini dianalisis dengan menggunakan metode Rapid Appraisal Index Development System of Fisheries Extension on Decentralize Circumstance in Indonesia/Pengembangan sistem Penyuluhan Perikanan Era Desentralisasi di Indonesia (Rap- INSINYURKANIN) yang dikembangkan dari metode Rapfish (Kavanagh, 2001). Selanjutnya berdasarkan hasil exsisting condition serta stakeholders assesment maka dirancang skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dengan menggunakan analisis prospektif. Analisis prospektif menghasilkan rekomendasi yang dapat dioperasionalkan dalam pengembangan penyuluhan perikanan di daerah. 1.7 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah, khususnya daerah Kabupaten/Kota yang berdasarkan kebijakan desentralisasi mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah yang bersangkutan. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan di daerah didasarkan pada 5 (lima) dimensi yaitu: dimensi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana/prasarana dan pembiayaan, serta respons pelaku utama (sosial). Untuk mengetahui gambaran umum dan keberadaan penyelenggaraan penyuluhan perikanan saat ini dilakukan analisis menggunakan metode Rap- INSINYURKANIN sehingga memperoleh nilai indeks dan divisualisasikan dalam 5 (lima) dimensi. Selanjutnya pengaruh error hasil Rap- INSINYURKANIN yang berupa nilai indeks tersebut divalidasi dengan analisis Monte Carlo. Berdasarkan hasil analisis dan pertimbangan faktor penentu dari stakeholder assesment serta dengan memperhatikan atribut yang sensitif, dapatlah dirancang skenario kebijakan pengembangan penyuluhan perikanan di daerah dan rekomendasi operasionalnya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH OTONOMI DAERAH NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Geografi Politik Sri Hayati Ahmad Yani PEMERINTAH DAERAH Pasal 2 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah Deddy Supriady Bratakusumah * Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah I. Pendahuluan Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi, motivasi

Lebih terperinci

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Daerah Provinsi merupakan Otonomi yang

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Daerah Provinsi merupakan Otonomi yang Pengertian Otonomi Daerah adalah hak dan kewajiban Daerah Otonomi, untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 28 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 28 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 28 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN

Lebih terperinci

Bab II Perencanaan Kinerja

Bab II Perencanaan Kinerja Bab II Perencanaan Kinerja 2.1. Visi Misi Daerah Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Gorontalo seperti tercantum dalam RPJMD Provinsi Gorontalo tahun 2012-2017 adalah Terwujudnya Percepatan Pembangunan

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demokratisasi. Tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. demokratisasi. Tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan kualitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah adalah salah satu produk terpenting reformasi politik yang berlangsung di Indonesia sejak tahun 1998 yang bermuatan demokratisasi. Tujuan Otonomi Daerah

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat? LAMPIRAN Pedoman Wawancara: 1. Bagaimana kinerja aparat desa, terutama dari Sekretaris desa dan juga kaur yang berada dibawah pemerintahan bapak? 2. Bagaimana Hubungan kepala desa dengan BPD di Desa Pohan

Lebih terperinci

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011 DINAMIKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH HUBUNGANNYA DENGAN PENETAPAN KEBIJAKAN STRATEGIS Oleh: Prof. Dr. Deden Mulyana, SE.,M.Si. Disampaikan Pada Focus Group Discussion Kantor Litbang I. Pendahuluan Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN -1- PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, perlu perubahan secara mendasar, terencana dan terukur. Upaya

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

PENYULUHAN DAN KEBERADAAN PENYULUH

PENYULUHAN DAN KEBERADAAN PENYULUH PENYULUHAN DAN KEBERADAAN PENYULUH Latar Belakang Berdasarkan Ketentuan Umum UU SP3K No.16 Tahun 2006 pasal 1 ayat (2) Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang selanjutnya disebut Penyuluhan

Lebih terperinci

TELAAHAN PENINGKATAN KAPASITAS PENYULUHAN PERIKANAN: TUGAS PUSAT ATAU TUGAS DAERAH?

TELAAHAN PENINGKATAN KAPASITAS PENYULUHAN PERIKANAN: TUGAS PUSAT ATAU TUGAS DAERAH? TELAAHAN PENINGKATAN KAPASITAS PENYULUHAN PERIKANAN: TUGAS PUSAT ATAU TUGAS DAERAH? Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo, API, MPS PENYULUH PERIKANAN MADYA PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN A. JUSTIFIKASI

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013

EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 Evaluasi Pelaksanaan Renja Tahun 2013 2.1 BAB 2 EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 2.1. EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN 2013 DAN CAPAIAN RENSTRA SAMPAI DENGAN

Lebih terperinci

1 of 5 02/09/09 11:41

1 of 5 02/09/09 11:41 Home Galeri Foto Galeri Video klip Peraturan Daerah Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH A. VISI DAN MISI Kebijakan Pemerintahan Daerah telah termuat dalam Peraturan Daerah Nomor 015 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota pada seluruh pemerintahan daerah bahwa pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo, APi, MPS Anggota Komisi Penyuluhan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 16 TAHUN 2015 T E N T A N G TUGAS POKOK, FUNGSI DAN URAIAN TUGAS BADAN KETAHANAN PANGAN DAN KOORDINASI PENYULUHAN PROVINSI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.244, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Otonomi. Pemilihan. Kepala Daerah. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1136, 2014 KEMEN KP. Penyuluh Perikanan. Swasta. Swadaya. Pemberdayaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31/PERMEN-KP/2014

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2011 2010 TENTANG BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa penyuluhan sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN PELALAWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PELALAWAN,

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU TUGAS AKHIR Oleh : HENNI SEPTA L2D 001 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K)

UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K) UU Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SISTEM PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (SP3K) PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN 2013/11/02 08:31 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan PEMANTAPAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN Mendiskusikan sistem penyuluhan perikanan yang membumi

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH KEPULAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH KEPULAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH KEPULAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 39 TAHUN 2007

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 39 TAHUN 2007 GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATAKERJA SEKRETARIAT BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN PROVINSI LAMPUNG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Sesuai dengan Permendagri 54/2010, visi dalam RPJMD ini adalah gambaran tentang kondisi Provinsi Sulawesi Selatan yang diharapkan terwujud/tercapai pada akhir

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1 PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN DAERAH 1 Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2 URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PASCA UU NO. 23/2014 1. Urusan Pemerintahan Absolut Menurut ketentuan UU baru, yaitu UU No. 23 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN KETAHANAN PANGAN DAN KOORDINASI PENYULUHAN PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke 20 M telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Strategi pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam rangka memacu dan mempercepat

I. PENDAHULUAN. Strategi pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam rangka memacu dan mempercepat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam rangka memacu dan mempercepat pembangunan daerahnya adalah merupakan bagian strategi pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia merupakan kota megapolitan yang sibuk dan berkembang cepat, dalam satu hari menghasilkan timbulan sampah sebesar

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia yang didasari UU No. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 dan UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Dede Mariana ABSTRAK

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 dan UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Dede Mariana ABSTRAK MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 dan UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Dede Mariana ABSTRAK Pemberlakuan dua paket UU Otonomi Daerah, yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Negara

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi Sulawesi Selatan (Lembaran Negara PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN KABUPATEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, TUGAS POKOK, FUNGSI DAN SUSUNAN ORGANISASI BADAN PELAKSANA PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BIMA BUPATI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG POLA HUBUNGAN KERJA ANTAR PERANGKAT DAERAH DAN ANTARA KECAMATAN DENGAN PEMERINTAHAN DESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945)

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut paham demokrasi, sehinggga semua kewenangan adalah dimiliki oleh rakyat. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 5 2009 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANJAR. BAB I KETENTUAN UMUM.

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANJAR. BAB I KETENTUAN UMUM. Menimbang : BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BANJAR NOMOR 25 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. dan GUBERNUR JAWA BARAT

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT. dan GUBERNUR JAWA BARAT RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SEKRETARIAT BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu pulau yang terletak di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudera,

Lebih terperinci

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 1 TAHUN RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN ABSTRAKSI : bahwa dalam rangka menata dan mengendalikan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, perlu dilakukan

Lebih terperinci

docking kapal perikanan; (2) mengkaji kelayakan finansial di bidang usaha pelayanan jasa docking kapal perikanan sebagai bagian upaya dalam

docking kapal perikanan; (2) mengkaji kelayakan finansial di bidang usaha pelayanan jasa docking kapal perikanan sebagai bagian upaya dalam RINGKASAN EKSEKUTIF WAHYUDIN. 2001. Perencanaan Strategis UPT. UPMB Muara Angke Dalam Bidang Pembinaan, Pelayanan Jasa Perawatan dan Docking Kapal Perikanan. Di bawah bimbingan SYAMSUL MA ARIF dan WAHYUDI.

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci