BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelestarian kawasan lindung sangat ditentukan oleh kondisi lahan yang berada di dalamnya, dan peran masyarakat dalam usaha pelestarian sumberdaya lahan tersebut. Di sisi lain, masyarakat juga memiliki kebutuhan akan sumberdaya lahan dan air untuk kelangsungan hidup. Lahan dengan morfologi yang cenderung landai dan memiliki potensi air yang baik menjadi ketentuan yang digunakan masyarakat dalam mengembangkan lahan terbangun. Ketika kebutuhan akan lahan terbangun sudah melampaui daya dukungnya, sebagian masyarakat pada akhirnya berinisiatif untuk memanfaatkan lahan yang berada di kawasan lindung. Alih fungsi lahan banyak terjadi di wilayah perkotaan salah satunya Kota Tangerang Selatan. Sejak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, serta didukung dengan kondisi morfologi yang sesuai untuk lahan terbangun, pemerintah pusat menetapkan arahan pengembangan Kota Tangerang Selatan sebagai kawasan perkotaan pendukung dengan memantapkan peran dan fungsi permukiman baru berskala besar (PP No.26 Tahun 2008). Hal ini menjadikan adanya alih fungsi lahan secara besarbesaran di Kota Tangerang Selatan. Pusat kegiatan Kota Tangerang Selatan berada di Kecamatan Pamulang yang juga merupakan bagian tengah DAS Angke. Data penutupan lahan tahun 2007 menunjukkan sebanyak 33% dari kawasan lindung DAS Angke telah ditutupi oleh pemukiman dan areal terbangun lainnya. Peningkatan kebutuhan akan lahan tersebut pada akhirnya dipenuhi tanpa memperhatikan fungsi dari kawasan lindung pada suatu wilayah sungai, termasuk situ. Banyak wilayah manfaat situ yang telah hilang karena diubah menjadi lahan pertanian, pemukiman, dan industri, bahkan tempat

2 pembuangan sampah, limbah dan sebagainya hingga air situ menjadi keruh dan mengalami pendangkalan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2008 tentang RTRW Nasional, situ-situ di Tangerang Selatan merupakan kawasan lindung setempat. Data dari PKSA BBWS Ciliwung Cisadane menunjukkan bahwa situ-situ di Tangerang Selatan berada dalam kondisi kritis, salah satunya adalah Situ Ciledug. Awalnya Situ Ciledug merupakan Situ terbesar di Tangerang Selatan dengan luas 32 Ha dan berfungsi sebagai irigasi bagi sawah-sawah di sekitarnya. Seiring dengan tingginya permintaan lahan, luas situ semakin menyempit akibat sedimentasi. Penyempitan terjadi semenjak adanya alih fungsi lahan di hulu SUBDAS Cibendo dan semakin intensif terjadi setelah adanya ijin pengembangan pendirian bangunan dari pemerintah setempat sejak tahun Permasalahan tersebut meyebabakan luas Situ Ciledug saat ini tersisa 19,39 Ha (DBMSDA Tangsel, 2011). Alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian menyebabkan hilangnya sawah-sawah di sekitar Situ Ciledug, sehingga BBWS Ciliwung Cisadane menyatakan bahwa fungsi utama Situ Ciledug saat ini sebagai daerah resapan air untuk mengendalikan banjir. Masyarakat sekitar memanfaatkan Situ Ciledug dengan kegiatan pemancingan. Gambar 1.1. Situ Ciledug (Sumber: dokumentasi pribadi, 2014)

3 Situ Ciledug sebagai bentukan yang terjadi secara alami akibat proses fluvial memiliki karakteristik morfologi dengan proses aktif yang terus berjalan yaitu sedimentasi. Proses sedimentasi ini berujung pada perubahan morfologi situ, yaitu berubahnya lahan basah menjadi lahan kering, atau dapat dikatakan sebagai penyempitan situ. Dampak penyempitan situ berpengaruh pada penyerapan daya tahan tanah sehingga penyerapan air semakin berkurang dan fungsi situ sebagai sarana penyimpan air menjadi rusak. Pada musim kemarau cadangan air semakin menipis, sebaliknya pada musim hujan Situ Ciledug tidak bisa lagi menyimpan air sehinga berdampak pula terhadap pemukiman seperti terjadinya banjir. Lemahnya penegakan peraturan tata ruang dan tata kelola air juga menyebabkan situ Ciledug mengalami kerusakan fisik. Situ Ciledug mengalami pendangkalan yang cukup parah akibat berkurangnya luas ruang terbuka hijau sebagai zona penyangga. Keamanan sebagian tanggul juga mengkhawatirkan. Situ yang seharusnya menjadi lahan konservasi air bagi warga sekitarnya, telah kehilangan separuh lahannya. Perkembangan kawasan terbangun di sekitar Situ Ciledug memberikan dampak yang sangat besar bagi kelestarian situ. Berdasarkan kondisi tersebut, akan dilakukan kajian perubahan morfologi akibat alih fungsi lahan untuk menentukan keadaan awal Situ Ciledug yang dapat dilakukan dengan pemetaan partisipatif. Keadaan awal yang mampu diukur adalah keadaan pada tahun 1950 dan 1980, dengan pertimbangan masyarakat pribumi yang sudah hidup di kala itu. Sedangkan keadaan awal didirikannya dapat dianalisis berdasarkan Peta Situ Tjiledoek tahun Kajian tersebut akan menjadi acuan dalam perencanaan lanskap dengan membuat zonasi satuan lahan untuk rehabilitasi Situ Ciledug agar perannya nyata sebagai kawasan lindung setempat. Upaya rehabilitasi dan pengelolaan Situ Ciledug sudah dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Daerah mulai dari pendataan permasalahan-permasalahan yang terjadi, hingga pada upayaupaya untuk merehabilitasi situ. Pemerintah melakukan rehabilitasi situ

4 dengan mengeruk situ agar kembali normal. Pengelolaan situ juga dilakukan dengan menentukan garis sempadan dan melakukan monitoring terhadap pembangunan di luar garis sempadan. Upaya pengelolaan tersebut dirasa belum cukup, sebab masalah sedimentasi masih terus berlangsung, dan perkembangan lahan terbangun semakin melewati batas sempadan danau. Berdasarkan kenyataan tersebut maka diperlukan rehabilitasi Situ Ciledug yang berbasis pada kajian morfokonservasi dan membuat perencanaan lanskap yang tepat. Pendekatan morfokonservasi diperlukan dalam upaya rehabilitasi Situ Ciledug sebab konservasi dilakukan berdasarkan pada hasil kesesuaian antara penggunaan lahan dan morfologinya dengan fungsi kawasan dan kemampuan lahannya. Arahan rehabilitasi yang dihasilkan dengan kajian morfokonservasi tidak hanya mengembalikan lahan basah (wetland) Situ Ciledug kepada fungsi dan keadaan awalnya, tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan Situ Ciledug sebagai kawasan lindung setempat. Analisis perubahan morfologi dan perencanaan morfokonservasi pada Situ Ciledug sangat penting dalam membuat pola zonasi ruang yang tepat dalam upaya rehabilitasi Situ Ciledug. Terapan penginderaan jauh dan pemetaan partisipatif berbasis geomorfologi dapat memberikan detail informasi lanskap yang ada dan dijadikan sebagai referensi dalam penetapan zonasi satuan lahan untuk rehabilitasi kawasan situ melalui ciri-ciri fisik yang terekam pada citra. (Bloom, 1984; Faniran dan Jeje, 1984; Thomas, 1994). 1.2 Perumusan Masalah Penelitian Dinas Sumberdaya Air dan Pemukiman Provinsi Banten telah mendata seluruh situ di Banten mengenai kondisi terkini, dan pengelolaan yang perlu dilakukan. Kondisi terkini Situ Ciledug yang menimbulkan masalah, antara lain: 1. Luas area Situ Ciledug terkini sudah banyak berkurang dari 32 Ha (tahun 1950), menjadi berkisar 19,39 Ha (tahun 2011) dengan beberapa bagian

5 situ yang sudah dipetak-petak menjadi empang yang terdapat keramba ikan. 2. Terjadi pendangkalan akibat sampah yang dibuang ke badan air. Kedalaman air menyusut menjadi dua meter dari sebelumnya yang mencapai enam meter. Akibatnya, di musim kemarau debit air situ selalu menurun, sementara pada musim hujan air melimpah sehingga menyebabkan banjir. 3. Tanaman (ruang terbuka hijau) yang berada di kawasan lindung sempadan situ kurang terpelihara dan sebagian sudah beralih fungsi (tahun 1980) menjadi permukiman, pertokoan, dan lain-lain, sehingga luas kawasan lindung situ semakin berkurang 4. Beberapa tebing longsor dan bangunan-bangunan air kurang terpelihara: pintu air (outlet), dinding penahan tebing (plengsengan), gorong-gorong dan saluran/pintu inlet. 5. Belum adanya zonasi ruang yang tepat untuk merehabilitasi situ secara morfokonservasi agar peran Situ Ciledug nyata sebagai kawasan lindung setempat. Pengelolaan yang kurang tepat tersebut terjadi seiring dengan kurangnya pertimbangan kajian morfokonservasi dalam rencana tata ruang guna mencapai lingkungan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sehingga menyebabkan permasalahan lingkungan fisik yang baru, yaitu: a) Perubahan morfologi yang mengakibatkan berkurangnya luas situ akibat alih fungsi lahan dalam rangka pembangunan kawasan perumahan secara besar-besaran. Salah satunya pengerukan situ untuk dijadikan lahan kawasan perumahan, sehingga tidak sesuai dengan fungsi lindung situ. b) Perkembangan lahan terbangun pada sempadan danau yang mengakibatkan berkurangnya jumlah dan luas ruang terbuka hijau sebagai wilayah penyangga yang mampu mencegah bencana banjir. Kejadian banjir seringkali dialami di Kawasan Perumahan akibat meluapnya air sungai.

6 c) Menurunnya kualitas lingkungan kota, yang berdampak pada menurunnya nilai properti dan nilai prestise kawasan sebagai dampak proses alam yang tidak dapat dikelola dengan baik. d) Upaya rehabilitasi situ dengan berdasarkan peraturan pemerintah mengenai batas sempadan danau kurang lebih 50 meter tidak cukup membantu melestarikan situ sebagai kawasan lindung, sehingga perlu adanya kajian morfologi untuk mengembalikan keadaan awal situ dan fungsi utamanya. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan: 1) Bagaimana perubahan morfologi yang terjadi pada Situ Ciledug sejak kondisi awal (1950), transisi peralihan fungsi lahan (1980), hingga kondisi terkini? 2) Berapa luas lahan basah (wetland) yang mampu dikembalikan berdasarkan analisis kondisi terkini Kawasan Situ Ciledug? 3) Bagaimana bentuk perencanaan zonasi ruang yang tepat berdasarkan kajian morfokonservasi untuk rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug? Kajian ini juga menjelaskan tentang hubungan-hubungan antara perubahan morfologi dengan perubahan penggunaan lahan, serta memberikan berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan lahan yang sesuai zonasi satuan lahan dalam perencanaan lanskap Situ Ciledug. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan Penelitian Berawal dari rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian ini yakni: 1. Mengkaji perubahan morfologi yang terjadi pada lahan basah dan lahan kering Situ Ciledug tahun 1950, 1980, 2011 untuk mengetahui proses geomorfologi yang terjadi.

7 2. Menaksir luas lahan basah (wetland) yang mampu dikembalikan berdasarkan analisis kondisi terkini Kawasan Situ Ciledug sebagai acuan dalam perencanaan morfokonservasi. 3. Membuat zonasi ruang yang tepat untuk merehabilitasi Situ Ciledug secara morfokonservasi agar kembali pada keadaan alamiah dan mempertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung setempat Sasaran Penelitian Adapun sasaran dalam penelitian ini adalah: 1. Tergambarnya morfologi alamiah Situ Ciledug dan proses geomorfologi yang berkaitan 2. Terukurnya luas area lahan basah alamiah Kawasan Situ Ciledug yang dapat dikembalikan 3. Terciptanya bentuk perencanaan morfokonservasi yang tepat untuk Rehabilitasi Situ Ciledug Hasil dari penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu acuan dalam proses rehabilitasi situ-situ di Kota Tangerang Selatan dan berguna sebagai input dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah a. Memberikan gambaran mengenai perubahan morfologi yang terjadi pada Situ Ciledug selama tahun 1950 sampai tahun 2011, serta faktor-faktor penyebabnya. b. Memberikan informasi mengenai luas lahan basah yang harus dikembalikan untuk merehabilitasi Kawasan Situ Ciledug. c. Memberikan pengetahuan mengenai konsep zonasi ruang secara morfokonservasi untuk mempertahankan fungsi Situ Ciledug sebagai kawasan lindung setempat.

8 1.5 Ruang Lingkup Ruang Lingkup Substansial Ruang lingkup substansial dalam penelitian ini mencakup sistem pendekatan fenologis yang dianalisis berdasarkan morfologi wilayah. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengembangkan (induktif) dan selanjutnya mempersempit (deduktif) untuk menghasilkan kesimpulan. Pendekatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan fisik kawasan, yaitu dengan mengkaji perubahan morfologi Situ Ciledug, dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, serta dampak yang mungkin terjadi terhadap kondisi fisik Situ maupun terhadap manusia. 2. Pendekatan pelaksanaan, yaitu dengan membuat perencanaan lanskap untuk rehabilitasi Situ Ciledug Ruang Lingkup Spasial Ruang lingkup spasial penelitian adalah kawasan Situ Ciledug yang berada di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan. Ruang lingkup tersebut dapat dibagi menjadi: a. Wilayah yang mempengaruhi, adalah wilayah di sekitar kawasan Situ Ciledug yang proses-prosesnya baik proses antropogenik, maupun proses fluvial, mempengaruhi kondisi fisik Situ Ciledug. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan badan air Situ Ciledug, dan wilayah dengan batasan topografi. Perencanaan lanskap untuk rehabilitasi Situ Ciledug dilakukan pada wilayah ini. b. Wilayah yang terpengaruh adalah satuan lahan pengelolaan air Situ Ciledug. Kajian perubahan morfologi dilakukan di wilayah ini.

9 1.6 Tinjauan Pustaka Gomorfologi dan Lanskap Geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menafsirkan bentuk roman muka bumi dengan memperhatikan faktor-faktor pembentuk geomorfologi, yaitu: struktur, proses, dan stadia (Lobeck, 1939; Worcester, 1939). Geomorfologi dengan pendekatan genesis dapat dijadikan pedoman untuk melihat suatu wilayah secara spasial. Suatu kajian spasial dapat dibuktikan dengan pendekatan bentuklahan berdasarkan genesis dengan menemukenali ciri-ciri kenampakan fisik dan data hasil pembuktian. Pendekatan genesis dapat dilakukan berdasarkan kajian kualitatif dan kuantitatif (King, 1972; Kirkby, 1994; Leeder, 1982; Verstappen, 1983). Objek kajian yang menjadi pembahasan disiplin ilmu ini adalah bentangalam, sejarah terjadinya, dan proses-proses aktif yang mengakibatkan perubahan-perubahan yang dapat terjadi, sehingga membutuhkan pengenalan bentanglahan. Bentanglahan merupakan respon terhadap kombinasi antara proses alam dan antropogenik. Sejarah perkembangan suatu bentanglahan dapat diketahui dengan membandingkan kenampakan bentanglahan yang berdekatan dan didasarkan pada stadium prosesnya yang meliputi tingkat pelapukan dan tingkat pengikisan. Pengenalan bentanglahan di wilayah penelitian juga mempertimbangkam aspek morfografi, morfometri, morfogenesis, morfokronologi, dan morfospasial. Salah satu aspek dalam geomorfologi adalah fisiografis dan lanskap wilayah. Van Bemmelen (1970) menyatakan bahwa secara fisiografis Pulau Jawa dapat dibagi ke dalam 7 kondisi geomorfik, yaitu : (1) Vulkan-vulkan berusia kuarter, (2) Dataran alluvial Jawa Utara, (3) Antiklinorium Rembang Madura, (4) Antiklinorium Bogor, Serayu Utara, dan Antiklinorium Kendeng, (5) Dome dan Igir di Zona Depresi Sentral, (6) Zona Depresi Sentral Jawa dan Zona Randublatung, dan (7)

10 Pegunungan Selatan. Berdasarkan acuan tersebut, maka zona penelitian ini merupakan bagian dari morfologi daratan alluvial Jawa Utara. Dataran alluvial ini membentang dari Teluk Banten hingga ke Cirebon. Hubungan antara geomorfologi dan lanskap terkait pada identifikasi masalah lingkungan fisikal dan pengenbangan wilayah. Lanskap merupakan suatu bentanglahan hasil gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik tertentu, meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional, dan dinamika tanah (Irwan, 1992; Marsh, 1983; Simonds, 1983). Lanskap terbentuk dari beberapa faktor yag masing-masing saling berinteraksi. Faktor pembentuk lanskap meliputi vegetasi, tanah, batuan, air, bentuklahan, iklim makro maupun mikro, hewan dan manusia. Burton (1995) mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur pembentuk lanskap, yaitu: 1. Bentang alam yang membentuk permukaan bumi seperti sungai, danau dan laut yang dapat membentuk dan mempertajam landform. 2. Vegetasi alami dan binatang-binatang yang menempatinya. Vegetasi dan habitat binatang ini sangat tergantung dengan pola iklim dan karakteristik fisik tanah. 3. Penggunaan lahan. Unsur ketiga ini adalah hasil kreatifitas manusia dalam merubah atau memodifikasi kondisi alami suatu bentanglahan menjadi tanah lahan pemanfaatan seperti, usaha kehutanan, bangunanbangunan, jalan, dan lain sebagainya. Interaksi manusia dengan berbagai bentuk alam menciftakan bentang budaya (cultural lanskap). Ketiga elemen tersebut di atas tidak selalu ada di suatu tempat, bisa jadi salah satu elemen mendominasi, misalnya pada gurun yang kering unsur landform sangat dominan, sedangkan pada wilayah perkotaan unsur penggunaan tanah lebih dominan, dan pada hutan hujan tropis unsur vegetasi yang dominan menjadi pembentuk suatu lanskap. Lanskap terdiri dari dua elemen, yaitu lanskap utama dan lanskap penunjang. Lanskap atama merupakan bentuk lanskap alam yang fitur

11 dan kekuatannya sulit untuk diubah, seperti pegunungan, lembah, dataran pantai, danau, laut, dan komponen lain yang didominasi topografi. Fitur pada lanskap utama dapat berupa hujan, salju, kabut, dan suhu, sedangkan kekuatan lanskap meliputi angin, erosi, radiasi surya, gravitasi, pasang surut, dan gejala meteorologi. Lanskap penunjang merupakan elemen lanskap yang umumnya mudah diubah, seperti bukit, hutan, sungai, dan rawa Pengertian Situ (danau) dan Morfologi Fluvial Morfologi fluvial merupakan bentuklahan yang cara terjadinya berhubungan erat dengan proses fluvial (proses aliran sungai) yang terjadi pada suatu wilayah. Berdasarkan pengamatan para pakar geomorfologi, bentuklahan fluvial di suatu wilayah tidak selalu sama dengan bentuklahan fluvial di wilayah lain pada lokasi yang berjauhan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi iklim, letak geografi, struktur geologi penyusunnya dan komponen biotik yang terdapat di wilayah tersebut. Proses fluvial terjadi akibat adanya materi yang terbawa oleh aliran sungai dan terendapkan pada dataran yang lebih rendah. Faktor penyebab proses tersebut adalah karena daya angkut sedimen sungai sudah berkurang seiring dengan kecepatan aliran sungai menurun bahkan terkesan membentuk genangan. Akibat adanya genangan ini maka relatif besar volume sedimen yang dibawa sungai, akan diendapkan dan menghasilkan suatu bentuklahan yang disebut bentuklahan asal fluvial. Proses tersebut juga ditandai dengan adanya pola meandering pada sungai. Genangan air pada suatu cekungan sungai yang sangat lebar dan bermeander dapat mengalami proses cut off akibat aliran sungai mengalami perpindahan (shifted), sehingga genangan tersebut membentuk sebuah danau pada dataran alluvial. Morfologi dataran alluvial dapat dibagi menjadi lahan basah dan lahan kering. Pembagian zona lahan basah dan lahan kering ini

12 dipengaruhi oleh proses alam.lahan basah pada dataran alluvial dapat berupa badan sungai dan danau. Proses alam yang aktif terjadi pada suatu danau berupa proses sedimentasi. Proses sedimentasi pada danau menunjukkan adanya perubahan morfologi akibat proses eksogen baik itu alami maupun non-alami. Perubahan morfologi suatu bentuklahan fluvial dapat dikaji dengan pendekatan geomorfologi perairan. Pendekatan geomorfologi perairan pada dasarnya merujuk pada pendekatan yang berbasiskan bentukan asal-usul atau genesis (forms of origin). Pendekatan secara genesa dapat memenuhi untuk mengetahui sebaran sedimen dari daratan di sekitar danau ke arah danau. Danau danau kecil dan dangkal didaerah Jawa Barat dikenal dengan nama situ (Sulastri, 2003). Menurut KLH (2007), situ merupakan genangan air dalam satu cekungan dipermukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya bersumber dari air permukaan atau air tanah, berukuran relatif lebih kecil dibanding danau, tergolong ke dalam ekosistem perairan tawar terbuka dan bersifat dinamis. Air perairan ini umumnya jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas di pinggiran perairan (Suwignyo, 2003). Secara ekologi, situ bermanfaat sebagai sistem penyerapan air dan tendon air yang keberadaannya sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Keberlangsungan proses ekologis pada situ berhubungan dengan tata air dan drainase wilayah serta dipengaruhi oleh tipe pemanfaatan badan air situ dan pemanfaatan lahan di dalam wilayah tangkapannya. Ditinjau dari sudut tata air, situ berperan sebagai reservoir yang dapat dimanfaatkana sebagai alat pemenuhan irigasi dan perikanan, sebagai sumber air baku, sebagai tangkapan air untuk pengendalian banjir, serta penyuplai airtanah Proses Antropogenik dan Permasalahan Perkotaan Proses antropogenik merupakan proses yang berkaitan dengan aktivitas manusia yang membentuk suatu karakteristik wilayah dan

13 umumnya terjadi di perkotaan. Pengaruh aktivitas manusia terhadap morfologi danau dapat dikaji secara tepat dengan melakukan pendekatan mengikuti tata cara pandang disiplin bidang ilmu geomorfologi fluvial. Aktivitas manusia dapat berupa aktivitas yang disengaja dan direncanakan untuk membuat suatu bentuklahan yang baru dari bentuklahan yang telah ada, maupun aktivitas manusia yang secara tidak sengaja telah merubah bentuklahan yang telah ada. Cook dan Doornkamp (1994) Menyatakan bahwa perbedaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan wilayah akan memberikan intensitas pengaruh yang berbeda terhadap suatu bentuklahan. Seiring dengan berlangsungnya proses antropogenik, proses alam pada suatu kenampakan bentuklahan juga terus berlangsung. Keberlangsungan dari proses alam ini menjadi lebih aktif dengan adanya campur tangan manusia terlebih lagi dengan memanfaatkan teknologi untuk melakukan perubahan pemanfaatan lahan. Proses antropogenik mampu mengubah suatu bentuklahan yang telah ada menjadi bentukan yang baru, seperti yang terjadi pada lokasi penelitian ini yakni perkembangan pemanfaatan dataran aluvial menjadi sebuah kota dengan wilayah terbangun. Proses-proses antropogenik ini pula yang mempengaruhi keberadaan bentukan asal fluvial seperti sungai dan danau yang mengalami perubahan pemanfaatan. Proses antropogenik juga memberikan manfaat sosioekonomis bagi suatu kenampakan lahan. Manfaat sosioekonomis pada situ antara lain sebagai cadangan sumber air bersih, pengendali banjir, irigasi, sumber penyedia protein dari sektor perikanan darat, sebagai sarana rekreasi dan sebagainya. Akibat proses pembangunan di wilayah perkotaan, maka dapat memberikan penekanan sumberdaya lahan yang ada karena potensi lahannya telah beralih fungsi. Perubahan penggunaan lahan di sekitar danau juga mampu mempengaruhi ekosistem danau. Perubahan penggunaan lahan di wilayah perkotaan tidak dapat dihindarkan, terlebih lagi dengan adanya penetapan status kota sebagai

14 wilayah pendukung bagi Ibu Kota. Perubahan semakin dipercepat dengan adanya para pengembang serta isu strategis dari kalangan pengambil kebijakan yang memilih dan menetapkan prioritas pembangunan. Sumberdaya lahan yang ada telah dimanfaatkan melalui program pembangunan yang sudah disetujui oleh pemerintah. Program dari pemerintah umumnya mencakup pemulihan terhadap sumberdaya lahan yang mengalami permasalahan. Perkembangan dan perubahan morfologi perairan darat yang umumnya masih berjalan ditandai dengan adanya penambahan daratan ke arah perairan (sedimentasi danau) yang dominan terjadi pada lokasi penelitian Permasalahan lingkungan berupa sedimentasi danau umum terjadi di wilayah perkotaan. Sedimentasi pada perairan darat menandakan bahwa telah terdapat kelebihan muatan sedimen yang masuk ke wilayah perairan. Fenomena ini terlihat dengan adanya pendangkalan wilayah perairan darat. Terjadinya sedimentasi pada daerah penelitian mengindikasikan bahwa sedimen yang datang dari dataran aluvial di sekitarnya maupun dari hulu memiliki volume besar, dan ini dapat mengancam rusaknya ekosistem perairan darat. Sedimentasi pada danau di wilayah perkotaan mengakibatkan perubahan posisi garis sempadan danau. Perubahan posisi garis sempadan danau yang semakin mundur ke arah perairan mengindikasikan adanya proses erosi yang cukup serius di lahan sekitar danau. Faktor yang menyebabkan terjadinya erosi dari lahan sekitar tangkapan air dan sedimentasi pada badan air salah satunya adalah konversi lahan yang mengubah ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Kebutuhan lahan yang semakin meningkat untuk keperluan masyarakat maupun pembangunan, telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya lahan di Indonesia (Sandy, 1995; Harsono 1995). Akibat tekanan tersebut, maka manusia cenderung memanfaatkan lahan untuk membangun. Andreas (2011) dalam tesisnya menyatakan bahwa

15 perubahan penggunaan lahan bertujuan untuk memberikan hasil yang optimal dalam pemanfaatannya tetapi disisi lain memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan hidup. Keterbatasan lahan menyebabkan dilakukannya konversi terhadap kawasan lindung yang seharusnya menjadi penyangga wilayah di sekitarnya, sehingga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan fisik berupa terciptanya lahan kritis, erosi dan banjir. Permasalahan konversi lahan mengindikasikan bahwa sumberdaya lahan saat ini dan di masa mendatang semakin mendapat tekanan yang serius. Aktivitas pembangunan yang tidak terkendali oleh manusia menimbulkan degradasi lingkungan sekitarnya. Kondisi ini akan terus berjalan seiring dengan semakin meningktanya kebutuhan manusia untuk memanfaatkan sumberdaya lahan Penginderaan Jauh dalam Geomorfologi dan Pemetaan Partisipatif Pengendalian terhadap segala bentuk aktivitas pembangunan merupakan salah satu cara untuk membatasi konversi lahan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan sewaktu-waktu dapat menjadi bencana. Pendekatan penginderaan jauh berbasis geomorfologi menjadi salah satu alternatif pilihan yang cepat dan mampu memberikan informasi secara detail dengan baik dalam pemantauan sumberdaya lahan dengan memanfaatkan teknologi perekaman gambar permukaan bumi (Nossin dan Zuidam, 1993; Aiki, et al 1994; Louer, 1998). Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh telah berkembang dengan menghasilkan rekaman citra satelit dengan berbagai resolusi spektral, spasial, dan temporal. Penginderaan jauh telah dikenal mampu memberikan kontribusi dalam mendukung percepatan pengadaan informasi pembangunan wilayah dan sumberdaya lahan. (Edward, 1997; Florinsky,1998) Pemanfaatan penginderaan jauh digital yang telah dikembangkan menjadi solusi dalam upaya inventarisasi serta monitoring proses

16 pembangunan dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan fisik. (GOI, *tahun*, Miller R, et al 2005, Rencz, 1999). Teknik yang digunakan dalam penginderaan jauh adalah dengan interpretasi citra secara manual berbasis pada kajian geomorfologi untuk pengenalan bentuklahan dan proses-proses yang terjadi di daerah yang dijadikan lokasi penelitian (Meijerink, 1974; Verstappen, 1977; Zuidam, 1983) Interpretasi citra dilakukan berdasarkan unsur-unsur interpretasi dalam penginderaan jauh untuk pengenalan objek di wilayah penelitian, yakni bentuklahan menurut kajian geomorfologi, sehingga mampu menyajikan peta yang mengandung informasi fisik wilayah (Bostater, 1977; Hafelem et al., 1999; Pavlopoulus K et al. 2009). Nyoman (2010) dalam disertasinya menyatakan bahwa informasi wilayah melalui pendekatan analisa penginderaan jauh berdasarkan hasil satu rekaman citra maupun citra multi saluran memiliki ketelitian yang tinggi. Perekaman secara multi termporal pada wilayah yang sama dapat memberikan informasi secara historis perubahan-perubahan morfologi yang terjadi sebagai akibat proses alam maupun non alam. Atas dasar tersebut maka perubahan lanskap suatu danau pada daerah yang diteliti dapat dianalisis. Penentuan kondisi lingkungan fisik termasuk wilayah penelitian akan semakin cermat apabila ada ketersediaan citra satelit dengan resolusinya yang semakin tinggi. Kondisi terkini lanskap wilayah penelitian yang sudah mengalami perubahan akibat proses antropogenik dapat dianalisis dengan citra satelit Quickbird. QuickBird merupakan satelit yang diluncurkan oleh DigitalGlobe dengan tujuan untuk menghasilkan citra satelit resolusi tinggi. QuickBird memiliki resolusi spasial 0,61 meter untuk citra pankromatik serta 2,4 meter untuk citra multispektral (Digital Globe. Inc, 2009). Resolusi spasial tinggi ditujukan untuk mendukung aplikasi kekotaan, seperti pengenalan pola permukiman, perkembangan dan perluasan daerah terbangun, serta evaluasi pemanfaatan lahan di sempadan sungai dan danau. Saluran-saluran spektral yang dipilih dalam

17 citra Quickbird telah terbukti efektif dalam menyajikan variasi fenomena yang terkait dengan kota untuk keperluan perbaikan lingkungan. Selain citra satelit, terdapat citra foto (foto udara) untuk menyediakan informasi bentuklahan yang lebih detail. Ketelitian informasi pada foto udara tergantung pada skalanya. Daerah cakupan pada setiap lembar foto udara relatif lebih kecil dibandingkan daerah cakupan pada citra satelit (non foto). Oleh karena itu perlu dilakukan deliniasi dari beberapa foto udara yang meliput seluruh daerah penelitian untuk mengetahui kondisi morfologi berdasarkan foto udara. Perekaman objek-objek pada suatu wilayah melalui citra penginderaan jauh selain memiliki nilai praktis dalam menyajikan informasi, juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan dalam penyajian informasi dapat terjadi pada proses yang tidak dapat teridentifikasi pada citra. Kajian secara detail diperlukan untuk dijadikan sumber informasi dalam mencari solusi bagi masalah perubahan lanskap. Pemetaan partisipatif dalam observasi lapangan merupakan salah satu cara untuk melengkapi keterbatasan tersebut, sehingga infromasi yang kurang pada saat interpretasi dapat dilengkapi dan dibuktikan Zonasi Ruang, Perencanaan Lanskap, dan Rehabilitasi Perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang sistematis dan berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan dan pengetahuhan alami yang bergerak dalam kegiatan penelitian mengenai lahan dalam mencari ketepatan tata guna lahan untuk menentukan keadaan awal dan cara yang tepat untuk mencapai pada keadaan tersebut (Gold, 1980; Rachman, 1984). Untuk itu, dalam menentukan keadaan awal suatu kenampakan lanskap diperlukan kajian geomorfologi dengan menekankan aspek hidrologis. Konsep perencanaan lanskap kawasan situ dengan berdasarkan pada analisis perubahan morfologi bertujuan untuk mengembalikan keadaan awal (morfologi alami) situ dan fungsi utamanya sebagai daerah tangkapan air hujan. Konsep ini diperkirakan

18 mampu mengurangi kerusakan lingkungan fisik kota yang terjadi akibat proses antropogenik. Hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu kawasan menurut Nurisjah dan Pramukanto (1995), diantaranya: a. Mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar. b. Memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan. c. Menjadikan sebagai objek yang menarik. d. Merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan kesan masa lalunya. Perencanaan tidak dapat dipisahkan dari pengendalian pemanfaatan ruang, oleh karena itu dalam pelaksanaannya memerlukan instrument, yaitu peraturan zonasi (Zoning Regulation). Dalam Ketentuan Umum UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa peraturan zonasi dibuat sebagai penjabaran dari zona peruntukkan yang termuat di dalam rencana rinci. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Di berbagai Negara peraturan zoansi dapat terbagi menjadi dua unsur, yaitu zoning text/zoning statement dan zoning map. Zoning text/statement berisi aturan-aturan yang menjelaskan mengenai tata gua lahan dan kawasan, pemanfaatan yang diizinkan dan diizinkan sengan syarat, standar pengembangan, dan lain-lain. Zoning map merupakan penggambaran mengenai tata guna lahan dan lokasi tiap fungsi lahan dan kawasan, berisi blok-blok peruntukan dengan ketentuan aturan untuk tiap blok peruntukkan. Dalam prosesnya, pertimbangan-pertimbanan lokal juga akan menentukan teknik peraturan zonasi yang berlaku sesuai dengan kebutuhannya. Marsh (1991) mengemukakan konsep zonasi lahan dalam perencanaan lanskap sebagai pembagian satuan lahan berdasarkan fungsi

19 ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Konsep zonasi lahan menurut Marsh yaitu suatu kawasan pada DAS terbagi menjadi tiga satuan lahan yaitu satuan lahan pengembangan, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengelolaan air. Kajian geomorfologi akan menentukan keadaan awal fisik situ dengan zonasi satuan lahan yang sesuai sehingga mampu mengurangi risiko kerusakan lingkungan fisik dan mengembalikan lanskap kawasan situ sesuai fungsi hidrologi dan ekologi. Satuan lahan pengelolaan air yang dimaksud Marsh adalah batasan badan air. Di luar satuan lahan pengelolaan air adalah satuan lahan penyangga yang berupa ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah area memanjang atau jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka dan sebagai tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional). Batasan terluar dari zonasi ini adalah satuan lahan pengembangan yang dapat terdiri dari lahan terbangun maupun lahan pertanian. Zonasi satuan lahan berdasarkan fungsi ruang pada DAS menjadi acuan dalam kegiatan rehabilitasi situ. Rehabilitasi merupakan upaya untuk memperbaiki dan menjaga kelestarian seluruh komponen ekologi dan sistem perairan danau, sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai penampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih dan masukan air tanah, serta menyeimbangkan ekosistem. 1.7 Tinjauan Empiris Penelitian tentang analisis perubahan morfologi untuk zonasi satuan lahan dalam perencanaan lanksap yang bertujuan merehabilitasi kawasan lindung situ belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Beberapa hasil penelitian perencanaan lanskap kawasan situ umumnya belum mengkaji perubahan morfologi yang terjadi akibat gabungan proses antopogenik dan

20 proses fluvial. Referensi hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang ditelaah dalam penelitian ini dilakukan sebagai pengalaman empiris serta mendukung keaslian penelitian, yakni sebagai berikut: 1. Nurika Naulie Faizah (2011) Lokasi penelitian berada di Kawasan Lindung Situ Gintung dan sekitarnya sejauh wilayah di sekitarnya tersebut mempengaruhi kondisi lingkungan fisik Situ Gintung. Tujuan Penelitian ini adalah untuk untuk menyusun rencana lanskap Kawasan Situ Gintung pasca bencana. Ide penelitian ini didasarkan pada lanskap kawasan Situ Gintung yang awalnya memiliki fungsi hidrologi sebagai daerah resapan air untuk kawasan di sekitarnya, beralih fungsi menjadi permukiman tanpa memperhatikan keberlanjutan fungsi ekologis situ. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode skoring berdasarkan SK Menteri Pertanian, metode buffering berdasarkan Peraturan Pemerintah, metode wawancara berdasarkan kebutuhan air domestik, dan metode rasional untuk menentukan luas ruang terbuka hijau yang dibutuhkan. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini berupa rencana lanskap kawasan Situ Gintung Pasca Bencana yang penentuannya zonasinya dilakukan menurut teori Marsh dengan membagi kawasan situ menjadi 3 zona berdasarkan fungsi ruang DAS. Penelitian empiris dari teori Marsh akan dilakukan dengan mengaplikasikan teori ini sebagai upaya rehabilitasi kawasan Situ Ciledug, namun dengan berbasis pada ilmu geomorfologi. 2. I Nyoman Sukmantalya (2010) Penelitian yang dilakukan ialah mengenai morfodinamika kepesisiran Teluk Banten. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan teknologi survey dan pemetaan berupa pemanfaatan citra penginderaan jauh multi temporal yang mampu menyediakan informasi kepesisiran dengan baik. Penerapan metode ini membutuhkan pengalaman dalam interpretasi citra.

21 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa telah terjadi alih fungsi lahan yang menyebabkan proses erosi dan akresi yang cepat, sehingga memerlukan usaha konservasi di dalamnya. Salah satu bentuk upaya konservasi yang dilakukan adalah dengan mendasarkan pada karakteristik morfologi yang dinamai morfokonservasi. Nyoman (2010) menyatakan bahwa Morfokonservasi Teluk Benten ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam melindungi wilayah kepesisiran Teluk Banten terhadap kerusakan lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti bermaksud menerapkan kajian morfologi dalam upaya rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug. Upaya rehabilitasi ini juga memasukkan aspek konservasi di dalamnya. 1.8 Kerangka Pemikiran Seluruh proses-proses yang terjadi di Kawasan Situ Ciledug menyebabkan perubahan morfologi dan pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga memerlukan rehabilitasi. Perencanaan rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug, memerlukan zonasi ruang yang tepat, sesuai dengan kaidah morfokonservasi. Zonasi satuan lahan berdasarkan fungsi lindung setempat yaitu satuan lahan pengelolaan air, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengembangan. Indikator yang diperlukan untuk menentukan zonasi peruntukkan lahan Kawasan Situ Ciledug agar sesuai dengan kaidah morfokonservasi adalah dengan mengetahui perubahan morfologinya terhadap kondisi terkini, kondisi fisik seperti kemiringan lereng, kepekaan tanah terhadap erosi, dan intensitas hujan harian, serta area-area yang mengalami permasalahan kejadian banjir dan longsor. Perubahan morfologi dianalisis dengan melihat batas-batas badan air situ tahun 1950, 1980, dan Besarnya luas lahan yang megalami transformasi dianalisis untuk mengetahui area-area yang dapat dikembalikan sesuai dengan peruntukkannya dan menjadi inti dari zonasi Satuan

22 Pengelolaan Air. Kondisi fisik seperti kemiringan lereng, kepekaan tanah terhadap erosi, dan intensitas hujan harian, serta area-area yang mengalami permasalahan kejadian banjir dan longsor menjadi indikator dalam menentukan Satuan Lahan Penyangga yang disusun dalam perencanaan lanskap untuk rehabilitasi Situ Ciledug. Kerangka pemikiran disajikan secara lengkap dalam diagram alir berikut: Penyusutan Luas Lahan Basah Situ Ciledug Permasalahan Lingkungan dan Kejadian Banjir Perubahan Morfologi Situ Ciledug Analisis Kondisi Fisik, Kejadian Bencana, dan Kebijakan Kawasan Tahun 1950 Tahun 1980 Tahun 2011 Kepekaan Tanah Terhadap Erosi Intensitas Hujan Harian Rata-rata Titik Pasang tertinggi Peraturan Pemerintah Analisis Perubahan Morfologi Terhadap Kondisi Terkini Kemiringan Lereng Risiko Banjir Risiko Longsor Penentuan Lahan Basah yang Dapat Dikembalikan Penentuan Zonasi Peruntukkan Lahan Satuan Pengelolaan Air Satuan Lahan Penyangga Satuan Lahan Pengembangan Pola Zonasi Ruang Untuk Perencanaan Rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

23 1.9 Batasan Penelitian Batasan Operasional Penelitian ini difokuskan pada analisis perubahan morfologi dan kondisi terkini sehingga mampu menyusun perencanaan lasnkap yang tepat untuk rehabilitasi Kawasan Situ Ciledug. Penekanan pengkajian permasalahan penelitian pada aspek morfologi, aspek topografi, aspek jenis tanah, aspek hidrologi, aspek tata guna lahan, dan aspek vegetasi dan satwa di Kawasan Situ Ciledug. Wilayah operasional terdiri dari wilayah yang mempengaruhi dan wilayah yang dipengaruhi. Wilayah yang mempengaruhi adalah kawasan di luar badan air Situ Ciledug, sedangkan wilayah yang dipengaruhi adalah badan air Situ Ciledug. Penelitian ini mempertimbangkan bahwa perencanaan lanskap harus mempertimbangkan morfologi awal Situ Ciledug, sehingga mampu mengurangi permasalahan pendangkalan Situ Ciledug Batasan Istilah Geomorfologi merupakan ilmu yang menafsirkan bentuk roman muka bumi dengan memperhatikan faktor-faktor pembentuk geomorfologi, yaitu: struktur, proses, dan stadia (Lobeck, 1939; Worcester, 1939). Nilai perbandingan dispersi (NPD) adalah suatu nilai yang menunjukkan kemantapan agregat oleh ikatan lempung dan debu (Partoyo, 2005) Pendekatan genesis merupakan pendekatan berdasarkan kajian kualitatif dan kuantitatif (King, 1972; Kirkby, 1994; Leeder, 1982; Verstappen, 1983). Lanskap adalah suatu bentanglahan hasil gabungan fitur-fitur buatan dan alamiah yang membentuk karakteristik tertentu, meliputi aspek spasial, tekstural, komposisional, dan dinamika tanah (Irwan, 1992; Marsh, 1983; Simonds, 1983).

24 Unsur pembentuk lanskap adalah bentang alam, vegetasi alami dan binatang-binatang yang menempatinya, dan penggunaan lahan. (Burton,1995) Situ merupakan genangan air dalam satu cekungan di permukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya bersumber dari air permukaan atau air tanah, berukuran relatif lebih kecil dan dangkal dibanding danau, tergolong ke dalam ekosistem perairan tawar terbuka, bersifat dinamis, dan penamaannya hanya ada di Jawa Barat. (Sulastri, 2003; KLH, 2007) Penginderaan jauh berbasis geomorfologi merupakan alat yang memberikan informasi dalam pemantauan sumberdaya lahan dengan memanfaatkan teknologi perekaman gambar permukaan bumi (Nossin dan Zuidam, 1993; Aiki, et al 1994; Louer, 1998). Perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang sistematis dan berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan dan pengetahuhan alami yang bergerak dalam kegiatan penelitian mengenai lahan dalam mencari ketepatan tata guna lahan untuk menentukan keadaan awal dan cara yang tepat untuk mencapai pada keadaan tersebut (Gold, 1980; Rachman, 1984). Konsep zonasi lahan dalam perencanaan lanskap merupakan pembagian satuan lahan berdasarkan fungsi ruang pada Daerah Aliran Sungai. (Marsh, 1991)

POLA ZONASI RUANG UNTUK REHABILITASI KAWASAN SITU CILEDUG DENGAN KAJIAN MORFOKONSERVASI. Catherine Mary Nayuki

POLA ZONASI RUANG UNTUK REHABILITASI KAWASAN SITU CILEDUG DENGAN KAJIAN MORFOKONSERVASI. Catherine Mary Nayuki POLA ZONASI RUANG UNTUK REHABILITASI KAWASAN SITU CILEDUG DENGAN KAJIAN MORFOKONSERVASI Catherine Mary Nayuki catherine.mary.n@mail.ugm.ac.id Suratman ratman_woro@ugm.ac.id ABSTRACT Land conversion occurs

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran air, terutama di kelokan sungai.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Menurut Rachman (1984) perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alami yang bergerak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan sempadannya mulai dari awal mata air sampai di muara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 I-1 BAB I 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yang secara administratif berada di wilayah Kabupaten Brebes Provinsi Jawa

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung

Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung 50 BAB VI SINTESIS Untuk menetapkan zonasi perencanaan tapak diterapkan teori Marsh (2005) tentang penataan ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi tapak menjadi tiga satuan lahan, yaitu Satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses erosi dan sedimentasi merupakan proses yang memiliki peranan penting dalam dinamika permukaan Bumi. Verstappen dan van Zuidam (1968) mengklasifikasikan bentukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*) MODEL PENANGGULANGAN BANJIR Oleh: Dede Sugandi*) ABSTRAK Banjir dan genangan merupakan masalah tahunan dan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi masyarakat baik secara social, ekonomi maupun lingkungan.

Lebih terperinci

BANJIR DAN KEKERINGAN. Pertemuan 4

BANJIR DAN KEKERINGAN. Pertemuan 4 BANJIR DAN KEKERINGAN Pertemuan 4 BANJIR Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air. Peristiwa banjir timbul jika air menggenangi daratan yang biasanya kering. Banjir pada umumnya disebabkan

Lebih terperinci

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) Stadia Sungai Sungai adalah aliran air di permukaan tanah yang mengalir ke laut. Dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata sungai. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal kata stream dan river.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Situ dan manfaatnya Danau-danau kecil dan dangkal didaerah Jawa Barat dikenal dengan nama situ sedangkan di Jawa Timur dikenal dengan nama telaga (Sulastri, 2003). Secara

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air permukaan (water surface) sangat potensial untuk kepentingan kehidupan. Potensi sumber daya air sangat tergantung/berhubungan erat dengan kebutuhan, misalnya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA Disampaikan dalam Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Dosen: PELATIHAN DAN SOSIALISASI PEMBUATAN

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b

Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai. Muhammad Rijal a, Gun Faisal b Tema 7 Seminar Nasional Pengelolaan Pesisir & Daerah Aliran Sungai ke-1 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 9 April 2015 Morfologi Permukiman Pesisir pada Daerah Aliran Sungai di Kota Dumai Muhammad Rijal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian bencana mewarnai penelitian geografi sejak tsunami Aceh 2004. Sejak itu, terjadi booming penelitian geografi, baik terkait bencana gempabumi, banjir,

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang dikenal dengan sumberdaya alamnya yang sangat melimpah seperti sumberdaya lahan, hutan, air, hasil tambang, dan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1 1. Hasil penginderaan jauh yang berupa citra memiliki karakteristik yang

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu

BAB I PENDAHULUAN. Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia selalu dikaitkan dengan aktifitas pembabatan hutan (illegal logging) di kawasan hulu dari sistem daerah aliran

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah , I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bencana banjir dikatagorikan sebagai proses alamiah atau fenomena alam, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor penyebab: (a) Fenomena alam, seperti curah hujan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan wilayah yang dikelilingi dan dibatasi oleh topografi alami berupa punggung bukit atau pegunungan, dan presipitasi yang jatuh di

Lebih terperinci

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang

BAB VII PERENCANAAN a Konsep Ruang 62 BAB VII PERENCANAAN 7.1 KONSEP PERENCANAAN 7.1.1 Konsep Dasar Perencanaan Penelitian mengenai perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung ini didasarkan pada tujuan mengembalikan fungsi situ mendekati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam, dari daratan sampai pegunungan serta lautan. Keragaman ini dipengaruhi

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR Oleh: EVA SHOKHIFATUN NISA L2D 304 153 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Gorontalo merupakan salah satu kota di Indonesia yang rawan terjadi banjir. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi berkisar antara 106 138mm/tahun,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Konservasi Lahan Sub DAS Lesti Erni Yulianti PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG Erni Yulianti Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Realitas dinamika kehidupan pada masa lalu, telah meninggalkan jejak dalam bentuk nama tempat yang menggambarkan tentang kondisi tempat berdasarkan sudut filosofi,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 11 BAB BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Studi Studi mengenai perencanaan lanskap pasca bencana ini dilakukan di kawasan Situ Gintung dengan luas areal 305,7 ha, yang terletak di Kecamatan Ciputat

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir sudah menjadi masalah umum yang dihadapi oleh negaranegara di dunia, seperti di negara tetangga Myanmar, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapore, Pakistan serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2 Prosedur analisis citra untuk penggunaan tanah 1. Pra-pengolahan data atau pengolahan awal yang merupakan restorasi citra 2. Pemotongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PEMERINTAH KABUPATEN PAMEKASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR.TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAMEKASAN Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE PERANCANGAN SISTEM DRAINASE Perencanaan saluran pembuang harus memberikan pemecahan dengan biaya pelak-sanaan dan pemeliharaan yang minimum. Ruas-ruas saluran harus stabil terhadap erosi dan sedimentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Perencanaan

Lebih terperinci

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d). TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 14 Informasi Geologi Untuk Penentuan Lokasi TPA UU No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah 1. Melaksanakan k pengelolaan l sampah dan memfasilitasi i penyediaan

Lebih terperinci

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Kelurahan Mangunharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan) T U G A S A K H I R Oleh : LYSA DEWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah dataran yang dibatasi oleh punggung bukit yang berfungsi sebagai daerah resapan, penyimpanan air hujan dan juga sebagai pengaliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terjadinya bencana banjir, longsor dan kekeringan yang mendera Indonesia selama ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan lingkungan, terutama penurunan daya dukung

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang berpotensi untuk dikembangkan dan didayagunakan bagi pemenuhan berbagai kepentingan. Danau secara

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI 6 BAB II KONDISI UMUM LOKASI 2.1 GAMBARAN UMUM Lokasi wilayah studi terletak di wilayah Semarang Barat antara 06 57 18-07 00 54 Lintang Selatan dan 110 20 42-110 23 06 Bujur Timur. Wilayah kajian merupakan

Lebih terperinci

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan PETA SATUAN MEDAN TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan ALAT DAN BAHAN 1. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 25.000 2. Peta Geologi skala 1 : 100.000 3. Peta tanah semi detil 4. Alat tulis dan gambar 5. alat hitung

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci