BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan penduduk menimbulkan berbagai implikasi yang bersifat multidimensi dan multisektor, seperti mengakibatkan pesatnya pertumbuhan wilayah perkotaan yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan kebutuhan perumahan. Namun di lain pihak, peruntukan lahan untuk perumahan di wilayah perkotaan tidak mengalami penambahan, namun malah cenderung semakin berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan pada akhirnya akan berdampak pada timbulnya kawasan permukiman baru dan kota baru. Kondisi ini terjadi di kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Oleh karena itu di sekitar DKI Jakarta bermunculan permukiman baru dan kota baru. Permukiman baru muncul di berbagai lokasi dengan jumlah yang cukup banyak, sedangkan kota baru yang ada di sekitar DKI Jakarta ada dua yakni Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dan Kota Baru Cibinong. Namun demikian dilihat dari morfologinya Kota Baru BSD mempunyai berbagai keunikan dan kelebihan dibanding Kota Baru Cibinong, sehingga Kota Baru BSD menarik untuk dikaji lebih jauh. Adapun salah satu cara untuk memotret kota baru ini dapat dilakukan dengan melihat kualitas lingkungannya yang dilihat dari kualitas air dan kualitas udara, melihat keberlanjutannya serta membuat model pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD. 5.. Kualitas Lingkungan BSD Pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan rumah dan kebutuhan untuk hidup layak serta pada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, kegiatan di dalam kota dan pinggiran kota besar (kota satelit) menimbulkan berbagai implikasi negatif yang mendorong pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan seperti terjadinya polusi udara dan air. Adapun kualitas udara dan kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel 0 dan. Kondisi atmosfir di Kawasan Kota Baru BSD tercemar gas beracun CO, serta tercemar oleh SO x, NO x, ozon (O 3 ) dan TSP. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat udara merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia, adanya bahan pencemar tersebut akan mengakibatkan kondisi kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya yang melakukan pernafasan akan terganggu kesehatannya. Disamping hal tersebut tingginya SO x, NO x dan CO juga akan

2 64 mengakibatkan terjadinya hujan asam yang dapat mengakibatkan berbagai masalah muncul seperti terjadinya kerusakan bangunan, kerusakan ekosistem daratan dan kerusakan ekosistem perairan. Tabel 0. Kualitas udara di BSD Lokasi Parameter kualitas udara (µg/m 3 ) SO 2 NO 2 O 3 CO TSP Pb Permukiman < Pertokoan < Industri < Baku mutu* Keterangan: * = PP No.4 Thn. 999 No Parameter Satuan Fisika suhu Tabel. Kualitas air di BSD Perumahan luar Lokasi Perumahan Pertokoan BSD Industri BM II * o C dev. 3 Kimia ph *) BOD 5 mg/l COD + mg/l Nitrat- NO 3 -N mg/l Total Fosfat mg/l (PO 4 -P) 6 Kadmium- Cd mg/l <0,00 <0,00 <0,00 <0, Deterjen mg/l Timah 0.03 mg/l <0,005 <0,005 <0,005 <0,005 Hitam- Pb 9 Air Raksa (Hg) mg/l Arsen-As mg/l Fenol mg/l <0, BM II * = Baku Mutu Air kelas II Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 200 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran ) memperlihatkan bahwa BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan

3 65 industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan. Sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-no 3 -N, total fosfat (PO 4 -P), kadmium (Cd), deterjen, timah hitam (Pb), air raksa (Hg), arsen (As) dan fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan (Lampiran ) Analisis Keberlanjutan Keberlanjutan pembangunan di kota baru ini merupakan hal yang menarik untuk dikaji, mengingat keberlanjutan kota baru dapat berpengaruh pada berbagai hal seperti pada peningkatan pembangunan fisik dan ekonomi. Walau dampak dari pembangunan ekonomi tersebut pada akhirnya akan semakin menarik para migran yang ingin mencari penghidupan yang lebih layak di perkotaan. Selain hal tersebut pembangunan fisik juga dapat berdampak negatif pada berbagai hal, terutama yang ada kaitannya dengan lingkungan. Bahkan tidak hanya itu akibat pembangunan fisik, malah dapat terbentuk lokasi-lokasi yang mungkin malah menjadi rawan terjadinya bencana, dapat mengganggu kestabilan lingkungan seperti menimbulkan masalah banjir, dsb. Analisis keberlanjutan Kota Baru BSD ini dilakukan berdasarkan modifikasi dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan. Hasil analisis keberlanjutan Kota Baru BSD dinyatakan dalam indeks keberlanjutan Kota Baru BSD (ikb-koba). Adapun hasil dari analisis yang dinyatakan sebagai indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan pada Kota Baru BSD berdasarkan kondisi eksisting. Nilai tersebut ditentukan dari pendapat pakar, dengan kisaran nilai antara 0 00 %. Kriteria tidak berkelanjutan atau buruk, jika nilai indeks terletak antara 0 24,99 %. Kriteria kurang berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara 25 49,99 %. Kriteria cukup berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara 50 74,99 %. Kriteria berkelanjutan atau baik, jika nilai indeksnya % (Kavanagh, 200). Pada analisis keberlanjutan ini, yang dianalisis adalah dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Pada analisis keberlanjutan Kota Baru BSD, sifatnya multidimensi, karena menggabungkan seluruh atribut yang ada pada enam dimensi penentuan indeks keberlanjutan yaitu dimensi

4 66 ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan Dimensi Ekologi Hasil analisis keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada Gambar 4 terlihat bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah 42,22 % (dengan skala sustainabilitas 0 00, dan nilai indeks < 50). Hal ini memperlihatkan bahwa berdasarkan kriteria Kavanagh (200), maka status keberlanjutan untuk dimensi ekologi di Kota Baru BSD termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. 60 RAPPERUMTES Ordination Up Bad Good ,22 % Down Status Permukiman Gambar 4. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD Gambar 4 memperlihatkan bahwa walaupun Kota Baru BSD masuk ke dalam kota baru yang relatif hijau dan relatif asri, namun aspek lingkungan masih harus mendapat perhatian yang lebih serius, sehingga harus dicari upaya-upaya agar dimensi ekologi menjadi berkelanjutan. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut ekologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage yang bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dimensi ekologinya, hasil analisis leverage ini dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan wawancara terhadap pakar, agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikanperbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks

5 67 dimensi ekologi. Atribut-atribut yang diperkirakan dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi di Kota Baru BSD ada lima dari sebelas atribut. Adapun ke sebelas atribut tersebut adalah: () keadaan perumahan, (2) ketersediaan instalasi pengolah limbah cair, (3) ketersediaan TPS sampah, (4) kondisi drainase, (5) ketersediaan RTH, (6) ketersediaan air bersih, (7) kondisi jalan Kota Baru BSD, (8) pencemaran udara/emisi, (9) penggunaan lahan BSD, (0) manajemen banjir/bencana dan () permasalahan transportasi. Untuk lebih jelasnya atribut-atribut dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 5. Leverage of Attributes Keadaan perumahan 0.78 Ketersediaan instalasi pengolah limbah cair 3.0 Ketersediaan TPS Sampah 0.39 Attribute Kondisi drainase Ketersediaan RTH Ketersediaan air bersih 4.94 Kondisi jalan Kota baru BSD 2.7 Pencemaran udara/emisi 3.2 Psnggnaan lahan BSD.47 Managemen Banjir/bencana Permasalahan transportasi Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 00) Gambar 5. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) Pada Gambar 5 terlihat adanya atribut-atribut sensitif yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi ekologi (hasil analisis laverage). Berdasarkan hasil analisis laverage tersebut diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu () ketersediaan air bersih, (2) manajemen banjir/bencana, (3) permasalahan transportasi, (4) pencemaran udara/emisi, dan (5) ketersediaan pengolah limbah cair. Hasil analisis laverage dapat dilihat pada Gambar 6. Ketersediaan air bersih di Kota Baru BSD merupakan hal yang harus diutamakan, mengingat di kota baru terjadi alih fungsi lahan yang cukup drastis, dalam

6 68 hal ini lahan yang tadinya terbuka, menjadi kawasan terbangun sehingga memungkinkan terjadinya run off air pada saat hujan, sehingga air yang masuk ke dalam tanah, untuk menjadi air tanah menjadi minimal, oleh karena itu maka air tanah yang umumnya relatif bersih akan menjadi masalah dilokasi ini. Selain air tanah, di Kota Baru BSD juga terdapat air sungai, namun kondisi air sungai dan air drainase di lokasi penelitian juga kurang menggembirakan mengingat di lokasi ini apabila dilihat dari bau dan warnanya, memberikan indikasi sudah tercemar berat, sehingga ketersediaan air bersih menjadi masalah di kota baru. Di lain pihak, kebutuhan air di Kota Baru akan cenderung semakin meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga kelangkaan air bersih akan semakin meningkat. Oleh karena itu maka sumberdaya air harus dikelola, dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya, untuk melakukan hal tersebut, agar semuanya dapat terlaksana dengan baik, maka hal yang lebih ideal adalah dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan sumberdaya air. Atribut sensitif ke dua adalah harus memperhatikan manajemen banjir/bencana. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat dari hasil survay terlihat bahwa wilayah di sekitar Kota Baru BSD relatif pemanfaatan ruangnya masih belum terkendali dengan baik, sehingga kondisi ini memungkinkan terjadinya bencana, seperti bencana banjir, sehingga apabila pengelolaan dan pemanfaatan ruang tidak terkendali akan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan tersebut, yang pada akhirnya akan berdampak ke Kota Baru BSD. Oleh karena itu maka kesesuaian lahan di kota baru yang diperuntukan untuk berbagai kepentingan harus benar-benar memperhatikan dan mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah, seperti yang tercantum pada Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada pasal 29 ayat() dijelaskan bahwa: Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat dan selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa: Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Pada ayat (3) disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota. Atribut sensitif ketiga adalah permasalahan transportasi. Permasalahan transportasi tersebut nampak jelas terutama pada saat pagi hingga menjelang malam,

7 69 yakni di beberapa lokasi terjadi antrian kendaraan yang cukup panjang. Walau kendaraan-kendaraan berat sudah dialihkan ke pinggir kota, masalah transportasi di Kota Baru BSD ternyata masih menjadi masalah yang masih harus dipecahkan dengan baik, mengingat selain akan terjadi kemacetan, juga akan mengakibatkan terjadinya pencemaran dan terjadinya peningkatan GRK terutama NO x, SO x dan CO 2. Terjadinya pembakaran bahan bakar fosil (BBF) yang aktif pada kegiatan transportasi ini pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan berbagai bencana. Selain menyumbang GRK, dari pembakaran BBF transportasi ini juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Di lain pihak adanya pencemaran juga dapat berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan sebagai akibat adanya masalah kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk menanggulanginya (Syahril et al. 2002). Berdasarkan hal tersebut, maka dengan meningkatnya transportasi, bukan saja akan meningkatkan pembakaran BBF, namun logam berat Pb yang berasal dari pembakaran BBF tersebut juga akan memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat. Atribut sensitif keempat adalah pencemaran udara/emisi. Terjadinya pencemaran atau emisi GRK di Kota Baru harus menjadi perhatian yang serius, mengingat di wilayah ini transportasi belum dapat dikelola secara baik, apalagi jika di lokasi tersebut terjadi kemacetan, sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya peningkatan GRK terutama NO x, SO x dan CO 2. Selain adanya pencemaran yang berasal dari Kota Baru, pencemaran udara ini juga ditambah dengan bahan pencemar dan emisi dari lokasi lain, terutama dari jaringan jalan yang berada di pinggiran Kota Baru BSD, mengingat kendaraan dari kota baru di alihkan ke pinggir kota, namun mengingat udara bersifat dinamis, maka udara yang berasal dari pinggiran kota tersebut, dengan adanya angin, pada akhirnya akan masuk ke dalam wilayah Kota Baru BSD. Atribut sensitif kelima adalah ketersediaan pengolah limbah cair. Limbah cair pada dasarnya dapat dihasilkan dari berbagai kegiatan seperti dari pertokoan, industri, perhotelan, rumah sakit, permukiman, dsb. Namun sayangnya walaupun Kota Baru BSD adalah hunian hijau, namun limbah domestik yang ada di lokasi kajian mengindikasikan tidak pernah dilakukan pengelolaan, sehingga limbah cair domestik

8 70 akan masuk ke dalam sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Kondisi yang sama juga terjadi pada limbah lain seperti limbah industri dan limbah perkotaan, limbah rumah sakit, dsb yang hampir semuanya langsung masuk ke dalam badan air tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu maka ketersediaan instalasi pengolah limbah cair (IPAL) harus mendapat perhatian yang sangat serius. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kemungkinan terjadinya kerentanan dan kerawanan ekologis di lokasi penelitian yang merupakan lokasi yang relatif asri menjadi tidak terhindarkan dalam pengembangan kawasan Kota Baru BSD. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penataan daerah, baik di dalam kota baru itu sendiri, maupun di wilayah sekitar kawasan Kota Baru BSD secara terpadu, sesuai fungsi lahan Dimensi Ekonomi Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan terhadap dimensi ekonomi memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,7 (Gambar 6). Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ini lebih besar dibanding nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Selain itu besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi lebih besar dari 50. Hal ini mengandung arti bahwa dimensi ekonomi pada pengelolaan kawasan Kota Baru BSD masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 200). Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan kawasan Kota Baru BSD lebih memberikan manfaat secara ekonomi dibanding aspek ekologi. Indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi cukup berkelanjutan, namun demikian pada dimensi ekonomi juga masih terdapat berbagai kelemahan yang masih perlu diperbaiki, sehingga menjadi sangat berlanjut. Adapun perbaikan-perbaikan tersebut, idealnya harus dilakukan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekonomi, sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status sangat berkelanjutan. Adapun atribut-atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu: () peluang usaha, (2) kelayakan lingkungan usaha, (3) kemampuan daya beli masyarakat, (4) tingkat pengangguran, (5) kawasan industri, (6) tingkat pendapatan, (7) keberadaan pertokoan, dan (8) keberdaaan kawasan bisnis.

9 7 60 UP BAD GOOD DOWN -60 Gambar 6. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-atribut keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas, namun demikian atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Dalam rangka melihat atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indek keberlanjutan ekonomi, dilakukan analisis laverage. Hasil analisis laverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu () keberadaan kawasan bisnis, (2) tingkat pengangguran, (3) keberadaan kawasan industri, dan (4) keberadaan pertokoan kawasan. Hasil analisis laverage dapat dilihat seperti Gambar 7. Atribut sensitif pertama adalah keberadaan kawasan bisnis. Pada kota baru, selain adanya zonasi perumahan masyarakat identik, juga harus terdapat kawasan bisnis, mengingat dengan tersedianya kawasan bisnis, maka di perumahan tersebut juga identik dengan relatif dapat terpenuhinya tuntutan-tuntutan dari penghuni perumahan tersebut untuk berusaha dan untuk mencari nafkah ke lokasi yang tidak terlalu jauh. Keberadaan kawasan bisnis yang strategis akan memudahkan masyarakat untuk mendapat barangbarang kebutuhannya, untuk menjual barang-barang yang diproduksinya atau untuk bertransaksi di berbagai bidang. Selain hal tersebut dengan adanya kawasan bisnis yang

10 72 berkembang di kota baru ini berarti ada tempat usaha yang baik, mudah ditemukan dan dijangkau, sehingga akan menarik baik bagi konsumen perumahan kota baru itu sendiri maupun untuk penghuni yang mata pencahariannya atau yang hobbinya berbisnis. Keberadaan kawasan bisnis di area kota baru yang relatif dekat dengan kawasan permukiman tentunya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, namun juga keberadaan kawasan bisnis tersebut juga harus memperhatikan aspek lingkungan sekitar, sehingga kawasan kota baru tetap berkelanjutan walau dalam kondisi apapun. Leverage of Attributes Peluang usaha 0.44 Kelayakan lingk usaha 0.66 Kemampuan daya beli masy Attribute Tingkat pengangguran Pertokoan kawasan.9 Tingkat pendapatan 0.3 Keberadaan industri.48 Kawasan bisnis Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 00) Gambar 7. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) Atribut sensitif ke dua adalah tingkat pengangguran. Walaupun Kota Baru BSD adalah kota baru yang sudah modern dengan kondisi keberlanjutan yang masuk pada kategori cukup, namun ternyata juga tidak pernah terlepas dari masalah pengangguran. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat diketahui bahwa pada umumnya masyarakat yang ada di lokasi tersebut mempunyai pekerjaan tetap, namun demikian diantara masyarakat tersebut terutama yang berada di sekitar perumahan terencana cukup banyak yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (pengangguran), sehingga dapat mengganggu ketentraman. Berdasarkan wawancara juga terungkap bahwa penganggur yang paling banyak terutama berasal dari masyarakat pendatang yang datang ke kota baru untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu maka terjadinya urbanisasi dari desa ke

11 73 kota merupakan salah satu aspek yang perlu diwaspadai mengingat urbanisasi seringkali meningkatkan jumlah penganggur, di lain pihak meningkatnya jumlah penganggur ini seringkali berdampak pada ketidak kondusifan di dalam kawasan. Hingga saat ini pengangguran masih menjadi masalah besar di berbagai lokasi, bahkan di kota besar sekalipun, oleh karena itu maka harus dicari jalan keluar yang tepat, mengingat pengangguran dapat menjadi persoalan yang berakibat pada terganggunya stabilitas sosial, politik dan ekonomi. Oleh karenanya apabila masalah pengangguran tidak dapat terpecahkan, maka suatu saat akan sangat membahayakan kelangsungan pemerintahan suatu negara, mengingat pengangguran akan mengakibatkan timbulnya kerawanan sosial. Atribut sensitif ke tiga adalah keberadaan kawasan industri. Pada dasarnya Kota Baru BSD merupakan kota baru mandiri, dalam arti masalah ekonomi dan sosial, berupaya untuk dipecahkan sendiri, termasuk di dalamnya masalah pengangguran. Dalam rangka menunjang Kota Baru BSD menjadi wilayah yang mandiri, maka selain harus terdapat kawasan bisnis. Hal yang juga sangat perlu ada adalah terdapatnya kawasan industri, mengingat kawasan industri merupakan kawasan yang dapat menggairahkan kondisi ekonomi kawasan, dapat meningkatkan PAD, dan PDRB serta akan membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu maka kawasan industri mutlak harus ada di kota baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Miranti (2007) yang mengatakan bahwa industri ini merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja cukup besar. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi sebesar,7 % terhadap total ekspor nasional, 20,2 % terhadap surplus perdagangan nasional, dan 3,8 % terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional. Selain hal tersebut di atas, keberadaan kawasan industri juga perlu mendapat perhatian yang cukup serius, mengingat di lokasi ini akan terjadi aktifitas antropogenik yang begitu tinggi, termasuk di dalamnya pembakaran BBF, pembuangan sampah dan pembuangan limbah cair. Hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup serius karena menurut Abou et al. (2002) pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan jumlah umumnya lebih tinggi dibanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) seperti yang terjadi di Kota Baru BSD, relatif lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 999).

12 74 Atribut sensitif ke empat adalah keberadaan pertokoan di kawasan kota baru. Di pertokoan banyak transaksi yang terjadi, dan di kawasan pertokoan pula peredaran uang sangat besar, sehingga pertokoan idealnya harus mengikuti pusat permukiman berada, begitu pula dengan kebalikannya. Hal ini terjadi karena masyarakat merupakan faktor penting dalam penentuan keberadaan pertokoan, mengingat keberadaan pertokoan disamping dapat memberi manfaat tapi juga dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, terutama yang tinggal berdekatan dengan pertokoan pada khususnya. Oleh karena itu penerimaan masyarakat akan keberadaan pertokoan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, mengingat bukan tidak mungkin di lokasi tersebut dapat terjadi konflik dengan masyarakat Dimensi Sosial dan Budaya Pada penelitian ini didapatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 %. Nilai dimensi sosial budaya ini jauh di bawah nilai 50, sehingga termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 200). Selain hal itu nilai dimensi sosial budaya ini juga berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi maupun dimensi ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa di kawasan kota baru terdapat indikasi bahwa adanya kegiatan yang mendekati gaya metropolitan di kota baru mengakibatkan relatif melunturnya aspek sosial budaya, yang terlihat dari tidak terdapat lagi budaya asli wilayah tersebut, sehingga budaya masyarakat setempat sudah luntur dan tidak didapati lagi di kawasan Kota Baru BSD. Selain itu masyarakat di Kota Baru BSD juga relatif lebih bersifat individual, sehingga perlu dilakukan berbagai hal untuk meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini, terutama dalam hal perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif yang akan mempengaruhi nilai indeks tersebut secara nyata. Untuk lebih jelasnya nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial dan budaya dapat dilihat pada Gambar 8. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya terdiri dari lima atribut, yaitu: () kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya, (2) status kesehatan masyarakat, (3) pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (4) keragaman budaya dalam masyarakat dan (5) konflik dengan masyarakat lokal.

13 75 60 RAPPERUMTES Ordination Up Bad 0 26,49 % 26,49 Good Down Status Permukiman Gambar 8. Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota Baru BSD Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh tiga atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya yaitu () pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (2) keragaman budaya dalam masyarakat, dan (3) konflik dengan masyarakat lokal. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dan terus ditingkatkan dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini meningkat di masa yang akan datang. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya dalam pengembangan permukiman tepi sungai di Jakarta. Hasil analisis laverage dapat dilihat seperti Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa atribut yang paling sensitif yang harus benarbenar diperhatikan adalah adanya pengaruh keberadaan Kota Baru BSD pada nilai sosial budaya lokal, keragaman budaya dalam masyarakat, dan konflik antara masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman Kota Baru BSD dengan masyarakat lokal. Hal ini dapat dimengerti mengingat masyarakat yang tinggal di suatu kawasan perumahan perkotaan, seperti halnya di BSD pada umumnya terdiri dari beragam etnik, adat juga latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu maka keragaman tersebut

14 76 harus menjadi modal dasar untuk melakukan pembangunan, mengingat apabila keragaman itu tidak dikelola dengan baik, pada umumnya akan memudahkan terjadinya konflik. Leverage of Attributes Keberadaan BSD pada sosial budaya Attribute Konflik dengan Masyarakat lokal Keragaman budaya dlm masyarakat Status kesehatan masyarakat.88 Kepedulian&tg.jawab Pada sumberdaya Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 00) Gambar 9. Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) Dalam rangka menjaga agar tidak terjadi konflik, maka masyarakat yang mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama seperti yang terjadi di Kota Baru BSD harus selalu menggali wawasan kebangsaan, sehingga dapat menghindari adanya berbagai ketegangan dan dapat menghindarkan terjadinya konflik masyarakat. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di kawasan permukiman seharusnya bisa dihindari apabila ada rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada. Kondisi tersebut terjadi karena adanya toleransi antara etnis yang satu dengan etnis yang lain tidak pernah hadir dengan sendirinya. Dalam hal ini toleransi baru akan muncul jika dari lubuk hati masing-masing terdapat empati. Adapun yang dimaksud dengan empati di sini adalah hati nurani manusia untuk ikut serta merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; seperti turut bergembira pada saat melihat orang lain bahagia, dan turut berduka apabila orang lain ada yang sedang mendapatkan masalah/musibah/kedukaan atau dengan kata lain empati merupakan rasa kepedulian terhadap sesama. Oleh karena itu maka apabila masing-masing anggota masyarakat

15 77 memiliki rasa empati terhadap orang lain, maka akan terbangun rasa untuk saling menerima dan menghargai orang lain, sehingga nilai toleransi akan terbangun dengan baik. Pada suatu kawasan permukiman yang terdapat di perkotaan, kemungkinan adanya keranekaragaman etnis sangat tinggi, mengingat masyarakat yang ada di kota baru berasal dari berbagai daerah, dengan adat istiadat dan bahkan mungkin agama yang beranekaragam. Oleh karena itu maka pada kawasan permukiman baru, seperti halnya di Kota Baru BSD, potensi bahaya konflik selalu tinggi. Adapun konflik yang mungkin muncul di kawasan kota baru antara lain adalah konflik ketenaga kerjaan, konflik agama, konflik budaya (adat istiadat dan kebiasaan), konflik pertanahan (walau awalnya lebih ke antara pengembang dan masyarakat lokal), konflik atas sumber daya alam, dsb. Satu jenis atau berbagai jenis konflik tersebutpada umumnya akan muncul ke permukaan dalam bentuk konflik antar etnis dan konflik antar agama. Adanya ketidak adilan baik dalam hal aspek sosial, budaya, maupun ekonomi seringkali menjadi lahan subur untuk terjadinya konflik. Oleh karena itu dalam satu kawasan permukiman di kota baru seperti BSD harus selalu dijaga agar masyarakat yang ada di dalamnya merasa diperlakukan adil, dan jangan sampai membiarkan terjadinya kepentingan dari luar yang sengaja memanaskan suasana dalam kawasan permukiman tersebut, sehingga akan meredam terjadinya konflik. Kenyataan yang ada saat ini, baik di kota baru, maupun di seluruh peloksok perkotaan, cenderung terdapat kesenjangan yang diakibatkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang mendukung. Hal ini terjadi karena adanya perubahan yang sangat cepat, sementara kondisi budaya bangsa belum dapat mengimbangi perubahan yang sangat cepat tersebut. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan krisis ekonomi merambah ke aspek-aspek lainnya, sehingga krisis ekonomi tersebut akhirnya berkembang menjadi krisis moral, krisis sosial, krisis politik, dan krisis multidimensional yang mengakibatkan terbentuknya konflik sosial, bahkan malah pada akhirnya mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu maka agar hal tersebut tidak sampai terjadi, maka hal yang harus benar-benar diperhatikan sedini mungkin adalah melakukan pengelolaan terhadap keragaman budaya yang ada pada suatu kawasan permukiman dan kota baru sebaik dan secermat mungkin.

16 78 Dalam rangka menciptakan terwujudnya masyarakat yang merasa diperlakukan adil dan damai serta terwujudnya masyarakat yang kondusif di kawasan kota baru dengan masyarakat sekitarnya, adalah harus memahami adanya ragam budaya atau multikulturalisme, yakni mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu maka masyarakat harus dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan, dan kebudayaan sendiri merupakan modal dasar pembangunan, sehingga adanya kebudayaan yang beranekaragam menjadi modal pembangunan yang sangat besar untuk memajukan sebuah kota baru, bahkan bangsa dan negara. Selain hal tersebut pada konteks keragaman budaya, multikulturalisme jangan diartikan sebagai konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, mengingat multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Oleh karena itu maka pemahaman multikulturalisme harus mengedepankan kesederajatan dan keadilan dengan memperhatikan dan menekankan pada proses penegakan hukum, memungkinkan terbukanya kesempatan untuk bekerja dan berusaha, mengedepankan HAM, mengakui hak budaya komunitas dan golongan minoritas, mengedepankan prinsip-prinsip etika dan moral, namun tetap menekankan pada mutu dan produktivitas Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Analisis terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada Kota Baru BSD menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yang cukup tinggi, yakni sebesar 52,20 %. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan Kota Baru BSD masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 200). Adapun atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu: () ketersediaan sarana dan prasarana penanganan bencana, (2) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (3) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, (4) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah padat, (5) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas perairan, (6) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas udara, (7) ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas sosial, (8) penggunaan sarana transportasi, (9) ketersediaan sarana dan prasarana menurunkan emisi GRK, (0) ketersediaan sarana

17 79 dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, () akses masyarakat terhadap utilitas ekonomi, (2) ketersediaan sarana dan prasarana komuter, dan (3) ketersediaan sarana dan prasarana early warning system. 60 RAPPERUMTES Ordination Up Bad Good ,20 % 52,20 % Down Status Permukiman Gambar 20. Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi Kota Baru BSD Adapun peran masing-masing aspek pada atribut infrastruktur dan teknologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage. Atribut-atribut yang lebih sensitif yang memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi hasil analisis laverage ini diperoleh empat atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yaitu () ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (2) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, (3) ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan (4) ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi, maka atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi ini meningkat untuk masa yang akan datang, dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi. Hasil analisis laverage tersebut dapat dilihat seperti Gambar 2.

18 80 Atribut yang paling penting dari dimensi infrastruktur dan teknologi adalah ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair. Hal ini merupakan satu petunjuk bahwa dalam rangka melestarikan lingkungan Kota Baru BSD sarana pendukung seperti pengolahan limbah domestik cair di suatu kawasan kota baru tidak dapat diabaikan bahkan harus mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena hampir setiap aktivitas masyarakat di permukiman akan menghasilkan limbah domestik cair. Selain itu dalam satu kawasan permukiman, jumlah rumah yang ada di dalamnya tidak mungkin jumlahnya sedikit, sehingga limbah domestik yang akan dihasilkan juga jumlahnya akan sangat banyak. Leverage of Attributes Sarana monitoring kualitas udarak Sarana early warning Ketersediaan sarana komuter Attribute Sarana fasilitas sosial Sarana penanganan bencana Sarana Pengolah limbah domestic cair Sarana pengolah limbah industry cair Sarana monitoring kualitas air Penggunaan sarana transportasi Akses terhadap utilitas ekonomi Sarana pengolah limbah padat Jalan yang efektif&efisien Sarana penurun emisi GRK Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 00) Gambar 2. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS). Menurut Sitepu (2009) pada limbah domestik ini tidak sekedar hanya terdapat limbah organik mudah urai (BOD), TSS, Minyak dan lemak, namun dapat mengakibatkan tercemarnya lingkungan adalah H 2 S, orthofosfat, ammonia, nitrit, DO, BOD, COD, phenol dan detergen serta fecal coli. Selanjutnya disarankan agar dalam rangka menghindari terjadinya pencemaran akibat limbah domestik di kawasan perumahan yang dibutuhkan bukan hanya persepsi semata, namun perlu tindakan nyata untuk mewujudkan persepsi tersebut dalam berbagai aksi, seperti aksi melakukan

19 8 pembangunan IPAL domestik, melakukan pengolahan limbah domestik cair yang efisien dan efektif sehingga dapat menurunkan bahan pencemar dalam limbah cair yang jenisnya semakin beragam. Oleh karena itu maka tersedianya sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair yang memadai di suatu kawasan permukiman atau di kota baru tentunya bukan hanya akan menciptakan suasana yang nyaman bagi penghuninya, namun juga akan dapat menyelamatkan lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan secara makro. Dalam kota baru selain harus tersedia sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, juga perlu disediakan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, mengingat di kota baru selain terdapat permukiman juga terdapat kawasan bisnis, yang di dalamnya terdapat kegiatan industri. Pada kawasan industri hal yang paling sering terjadi adalah sangat sulitnya menghilangkan limbah. Hal ini terjadi karena industri yang ada di kota baru pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, belum menerapkan konsep produksi bersih, seperti yang diinginkan oleh masyarakat dunia yang tertuang pada Agenda 2 yang menganjurkan dilaksanakannya teknologi bersih, sehingga dapat mengurangi jumlah limbah dan memudahkan pembuangan limbah secara aman (Memahami KTT Bumi, 992). Limbah industri seringkali banyak disoroti oleh berbagai kalangan, karena limbah industri pada umumnya mengandung berbagai senyawa baik dalam bentuk padat, gas maupun cair yang mengandung senyawa organik dan anorganik yang umumnya termasuk ke dalam limbah yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan jumlah yang seringkali melebihi batas yang ditentukan. Kondisi tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya pencemaran, sehingga akan menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan. Industri pada umumnya berpotensi untuk mencemari lingkungan. Oleh karena itu maka salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian di kawasan industri yang ada di Kota Baru BSD adalah belum terdapatnya pengolah air buangan (limbah cair industri). Dalam pengolahan air buangan ini, berdasarkan pengamatan di lapang, ada indikasi bahwa perusahaan yang memiliki IPAL di lokasi penelitian relatif hampir tidak ada. Hal ini disebabkan operasional IPAL dan pemeliharaannya membutuhkan keterampilan tenaga-tenaga pelaksana dan biaya pengoperasian IPAL tersebut relatif

20 82 sangat mahal, sehingga menjadi kendala bukan hanya untuk kota baru, namun juga di kawasan industri lainnya yang tersebar di seluruh peloksok tanah air. Kesadaran masyarakat industri dalam melakukan pengelolaan terhadap lingkungan, dalam hal ini terhadap limbah cair yang dihasilkannya juga pada umumnya masih minim. Bahkan tidak hanya itu masih ada beberapa perusahaan (secara umum terjadi di Indonesia) yang beranggapan bahwa program lingkungan dianggap sebagai penghalang oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Kondisi ini terjadi karena pengetahuan dan kesadaran para pelaku industri yang relatif minim. Selain hal tersebut, khusus untuk perusahaan yang sudah melakukan program lingkungan, pada umumnya perusahaan tersebut juga sangat tertutup dalam hal informasi kualitas air buangannya. Oleh karenanya, maka perusahaan-perusahaan seringkali tidak mau memberikan informasi yang sebenarnya tentang kondisi kualitas limbah cairnya. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan seringkali relatif tidak melaksanakan pengelolaan terhadap lingkungan, atau kalaupun melakukan pengelolaan, maka pengelolaan yang dilakukan relatif tidak optimal, sehingga kualitas limbah cair yang dihasilkannya dan selanjutnya dibuang ke perairan masih relatif jelek. Relatif tidak adanya IPAL di industri-industri Kota Baru BSD diduga karena tingginya biaya investasi dan biaya operasional IPAL. Pada saat ini sebenarnya sudah ada aturan (namun bersifat sukarela) untuk industri-industri yang mengekspor produknya ke berbagainegara. Dalam hal ini apabila industri tersebut melakukan ekspor produknya ke negara-negara Eropa. Negara Eropa umumnya sudah menerapkan agar perusahaan pengekspor ecolabelling sudah menerapkan ecolabelling, sehingga mulai dari input, proses dan out put tidak akan menghasilkan bahan pencemar dan tidak akan merusak lingkungan. Oleh karena itu, maka berapapun mahalnya instalasi dan operasionalnya, industri tersebut pada umumnya akan berupaya membangun IPAL dan melaksanakan produksi bersih, sehingga produknya dapat diekspor. Oleh karena itu, maka ada baiknya jika perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Kota Baru BSD didorong agar melakukan ekspor ke negara-negara Eropa, sehingga perusahaan tersebut dituntut oleh konsumennya untuk melaksanakan program ecolabelling secara sukarela. Atribut sensitif lain yang harus diperhatikan pada pengelolaan lingkungan di kota baru adalah ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Hal ini disebabkan keberadaan sarana

21 83 transportasi yang memadai dan sistem transportasi dan terutama infrastruktur jalan raya yang efektif dan efisien merupakan salah satu alat terpenting untuk mencapai standar kehidupan yang tinggi, tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karenanya sangat wajar jika pada akhirnya membawa konsekuensi penggunaan teknologi baru yang lebih canggih, seperti interchanges, jalan-jalan layang (fly overs), jalan bebas hambatan (freeways), jalur kereta layang (elevated railways track). Adapun tanda-tanda lalu lintas yang terkoordinasi, dan sebagainya untuk menampung kecepatan yang lebih tinggi dan aliran (jumlah) lalu lintas yang lebih besar, terutama di daerah perkotaan, sehingga efektifitas tersebut tidak terlalu mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu lintas dan pencemaran udara dan kebisingan. Dalam rangka menciptakan jaringan jalan yang efektif dan efisien, maka harus dibuat perencanaan tata guna lahan atau perencanaan sistem transportasisedemikian rupa, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang efisien antara potensi tata guna lahan dengan kemampuan transportasi. Selain hal tersebut dalam melakukan pengembangan teknologi di bidang transportasi juga hendaknya adalah teknologi prasarana transportasi berupa jaringan jalan, mengingat sistem transportasi yang berkembang semakin cepat menuntut perubahan tata jaringan jalan yang dapat menampung kebutuhan lalu lintas yang berkembang tersebut. Transportasi juga memegang peran strategis untuk berfungsinya suatu metropolitan, yang di dalamnya bukan hanya metropolitan semata sebagai kota induk, namun juga terdapat kota di sekitarnya yang bersifat satelit, yang mandiri atau masih erat terkait dengan kota induknya. Adapun kota tersebut, tidak lain adalah kota baru. Jaringan transportasi penumpang untuk menghubungkan antara kawasan permukiman di kota baru dengan tempat kerja merupakan fungsi yang amat menentukan struktur transportasi antara kota induk dan kota satelitnya. Tingginya peradaban masyarakat kota metropolitan yang didukung oleh tingginya pendapatan, pada umumnya akan mendorong meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi. Hal ini disebabkan penggunaan kendaraan pribadi merupakan cerminan peningkatan taraf hidup seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan mobilitas yang tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang disatu sisi merupakan keberhasilan dari penyediaan sistem jaringan transportasi (jalan) dengan peningkatan kemakmuran dan mobilitas penduduk, disisi lain menimbulkan kerusakan

22 84 kualitas kehidupan karena terjadinya kemacetan, polusi udara dan polusi suara (Tamin, 2005). Oleh karena itu maka untuk menghindari pemakaian kendaraan pribadi yang berlebihan maka perlu diciptakan kendaraan pengangkut penumpang masal yang aman, nyaman dan cepat. Khusus untuk masyarakat Kota Baru BSD yang umumnya bekerja di kota utama atau di kota satelit lainnya, dalam rangka menjaga efisiensi dan efektitas serta untuk menghindari terjadinya pencemaran maka harustersedia sarana dan prasarana komuter, atau dengan kata lainperlu tersedia kendaraan yang dapat mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak dan mobilitasnya tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Dardak (2006) yang mengatakan bahwa diperlukan jaringan transportasi massal (mass transit) yang beragam jenis dan kombinasinya dengan ongkos yang mampu dibayar oleh masyarakat dan tidak terlalu membebani anggaran daerah. Oleh karena itu maka kapasitas sistem jaringan transportasi komuter harus didesain sedemikian rupa untuk dapat menampung bangkitan lalu lintas dari sistem kegiatan sehingga tidak terjadi kemacetan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Hasil analisis terhadap dimensi hukum dan kelembagaan (Gambar 22) mendapatkan hasil bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan adalah 59,95 % (Kavanagh, 200). Hal ini menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi hukum dan kelembagaan adalah cukup berkelanjutan. Seperti pada dimensi lainnya, peran masing-masing aspek pada atribut hukum dan kelembagaan ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage seperti yang terlihat pada Gambar 23. Walaupun dimensi hukum dan kelembagaan sudah cukup berkelanjutan, maka perlu dilakukan lagi upaya agar dimensi hukum dan kelembagaan menjadi sangat berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan sangat perlu dilakukan sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting wilayah.

23 85 60 RAPPERUMTES Ordination Up Bad Good ,95 % Down Status Permukiman Gambar 22. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kota Baru BSD Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari delapan atribut, yaitu: () tersedianya organisasi pengelola lingkungan, (2) keberadaan peraturan perundangundangan tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di lingkup kawasan kota baru, (3) kompetensi pengelola kawasan kota baru, (4) sinkronisasi peraturan dengan pusat, (5) kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan, (6) intensitas pelanggaran hukum, (7) egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, dan (8) konsistensi penegakan hukum. Dalam rangka melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dilakukan analisis laverage. Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh enam atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan yaitu () kompetensi pengelola kawasan kota baru, (2) egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, (3) konsistensi penegakan hukum, (4) tersedianya organisasi pengelola lingkungan, (5) intensitas pelanggaran hukum, dan (6) sinkronisasi peraturan dengan pusat. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks

24 86 keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini meningkat untuk masa yang akan datang. Adapun hasil analisis laverage dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23. Leverage of Attributes Konsistensi penegakan hukum 4.48 Egosektoral dalam pengelolaan lingkungan 4.68 Kompetensi pengelola kota baru 4.82 Attribute Sinkronisasi peraturan dgn pusat 3.6 Organisasi pengelola lingkungan 4.24 Kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan.5 Keberadaan peraturan pengelolaan SDA.45 Intensitas pelanggaran hukum Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 00) Gambar 23. Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS). Pada dasarnya terdapat berbagai hal yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan kelestarian lingkungan di kawasan kota baru, baik di kawasan permukimannya maupun di lokasi lain di kota baru. penting tersebut adalah kompetensi pengelola kawasan kota baru. Adapun hal-hal yang sangat Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat keberhasilan pengelolaan lingkungan akan sangat tergantung pada kompetensi pengelolanya. Pengelola yang kompeten di bidangnya pada umumnya akan memahami apa yang harus dilakukan dalam melakukan pengelolaan lingkungan sekaligus akan mengetahui parameter kunci dan trik-trik implementasi pengelolaan lingkungan, sehingga pengelolaan dapat dilakukan dengan baik dan relatif akan berhasil dengan baik. Pada pengelolaan lingkungan, termasuk di kota baru, seringkali egosektoral dalam pengelolaan lingkungan sangat kental terjadi terutama antara dinas-dinas di kabupaten atau kota yang berkepentingan. Kondisi ini seringkali mengakibatkan gagalnya pengelolaan lingkungan di satu wilayah. Selain adanya egosektoral, hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah konsistensi penegakan hukum. Ada indikasi bahwa

25 87 penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik, sehingga kondisi ini mengakibatkan tidak menariknya masyarakat atau perusahaan untuk berpartisipasi melakukan pengelolaan lingkungan. Untuk itu maka hal ini harus menjadi perhatian yang cukup serius bukan hanya di lokasi penelitian namun untuk Indonesia secara keseluruhan. Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan berlanjut dengan baik atau bahkan sangat baik adalah tersedianya organisasi pengelola lingkungan. Adanya kelembagaan ini secara tidak langsung juga akan membangun wadah jaringan kerjasama antara stakeholders yang berfungsi sebagai jaringan kerjasama dan koordinasi. Pihak yang membentuk wadah tersebut dapat terdiri dari beberapa unit seperti masyarakat, pengembang, pemerintah dan instansi terkait. Adapun prinsip organisasi tersebut adalah pelibatan stakeholders yang peduli dan berkepentingan terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, danketerlibatan stakeholder akan lebih bersifat terbuka, berdasarkan kesetaraan dan partisipasi, mekanisme negosiasi yang saling menguntungkan, berkeadilan, keputusan berdasarkan prinsip demokrasi. Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan berlanjut dengan baik adalah masih tingginya intensitas pelanggaran hukum. Hal ini terjadi karena kompetensi pengelola kawasan kota baru, para penegak hukum serta pihak eksekutif dan legislatif yang relatif belum mempunyai kompetensi yang baik dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan relatif kurang dapat membedakan mana yang betul-betul benar dan mana yang sesungguhnya salah/keliru/kurang pas. Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan berlanjut dengan baik adalah sinkronisasi peraturan dengan pusat. Dalam hal ini seringkali tata tertib dalam masyarakat dan di kawasan kotabaru dapat saja tidak sinkron, sehingga akan membuat kebingungan masyarakat bawah yang pada akhirnya berujung pada gagalnya pengelolaan lingkungan di kawasan kota baru Multidimensi Hasil analisis Rap-KOBA multidimensi pengelolaan lingkungan kota baru yang keberlanjutan dilakukan berdasarkan kondisi eksisting, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 46,75 % dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Nilai

26 88 ini diperoleh berdasarkan penilaian 45 atribut dari lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, dan infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Hasil analisis multidimensi dengan Rap-KOBA mengenai pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa diantara kelima dimensi tersebut, dimensi yang mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi adalah dimensi hukum dan kelembagaan, diikuti dimensi ekonomi dan infrastruktur dan teknologi yang keduanya masuk pada kategori berkelanjutan. Hasil analisis memperlihatkan bahwa dimensi hukum dan kelembagaan, dimensi ekonomi dan infrastruktur serta dimensi teknologi dan ketiga dimensi tersebut masuk pada kategori cukup berkelanjutan. Namun dimensi ekologi masuk pada kategori belum berlanjut, serta dimensi sosial budaya masuk pada kategori buruk Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis laverage masing-masing dimensi sebanyak 22 atribut. Atribut-atribut ini perlu dilakukan perbaikan ke depan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD. Perbaikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas atribut yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan menekan sekecil mungkin atribut yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai indeks keberlanjutan kawasan. Hasil analisis dengan menggunakan Rap-KOBA (MDS) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,7 % dengan status cukup berkelanjutan, dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar tersebut didasarkan pada kondisi eksisting wilayah. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-KOBA dapat dilihat pada Gambar 24. Pada konsep pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasikan setidaknya aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep ini pada dasarnya telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation Conference on The Human Environment di Stockholm tahun 972, dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan generasi

27 89 sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 987). Selain hal tersebut menurut Komisi Burtland, pembangunan berkelanjutan bukanlah kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan agar eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Kaitan pernyataan tersebut di atas dengan nilai keberlanjutan pada setiap dimensi pada penelitian ini, bahwa semua nilai indeks keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut tidak harus memiliki nilai yang sama besar. 60 RAPPERUMTES Ordination Up Bad Good ,75 % 46, Down Status Permukiman Multidimensi Gambar 24. Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota Baru BSD Hal ini disebabkan kawasan Kota Baru BSD memiliki masalah yang berbedabeda, sehingga prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian pun juga akan berbeda. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan gabungan dari kelima dimensi yang dilihat di sini masih berada pada kategori kurang berlanjut. Oleh karena itu maka dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada setiap dimensi harus benarbenar memperhatikan atribut-atribut sensitif terutama pada dimensi ekologi dan sosial budaya. Namun demikian pada dimensi lainnya pun tetap harus ditingkatkan status keberlanjutannya, dengan cara memperhatikan atribut-atribut sensitif yang dapat meningkatkan status keberlanjutan dari semua dimensi pada Rap-KOBA tersebut.

28 90 Hukum dan Kelembagaan (59,95 (59,95 %) %) 0 Ekologi 00 (42,22 %) Ekonomi (53,7%) %) Infrastruktur dan Teknologi Sosial dan Budaya (52,20 (52,20 %) %) (26,49%) %) Gambar 25. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan Kota Baru BSD Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD pada taraf kepercayaan 95 %, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-KOBA (multidimensional scaling). Hal ini mengandung arti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring akibat terjadinya perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 2. Hasil analisis Rap-KOBA tersebut di atas, juga menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, cukup akurat, sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini terbukti dari nilai stress yang hanya antara 3 sampai 4 % dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh antara 0,94 dan 0,97. Hal ini sesuai dengan pendapat Fisheries (999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari ketetapan yang ada, yakni nilai 0,25 (25 %).

29 9 Tabel 2. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-KOBA Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo Perbedaan Ekologi 42,22 42,29 0,07 Ekonomi 43,7 43,24 0,47 Sosial-Budaya 26,49 27,02 0,53 Infrastruktur dan Teknologi 52,20 46,46 5,74 Hukum dan Kelembagan 59,95 58,23,72 Multi-Dimensi 46,69 45,05,64 Nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang dihasilkan dari penelitian ini mendekati nilai,0. Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati ). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai R 2 -nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai stress dan R 2 ) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan lingkungan kota baru di kawasan Kota Baru BSD, Kabupaten Tangerang Selatan masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis Rap-KOBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R 2 ) Parameter Dimensi keberlanjutan A B C D E F Stress 0,4 0,3 0,3 0,4 0,3 0,3 R 2 0,94 0,96 0,97 0,94 0,97 0,94 Iterasi Keterangan : A = Dimensi Ekologi, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Sosial-Budaya, D = Dimensi Infrastruktur-Teknologi, E = Dimensi Hukum-Kelembagaan, dan F = Multidimensi Pada penelitian ini selanjutnya dilakukan pengujian terhadap tingkat kepercayaan nilai indeks multidimensi serta pada setiap dimensi yang digunakan, dengan analisis Monte Carlo. Adapun yang dimaksud dengan analisis Monte Carlo

30 92 adalah analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 994 dengan menggunakan teknik random number dan didasarkan pada teori statistika, sehingga dari sini akan didapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA 997). Pada penelitian ini penggunaan analisis Montecarlo dimaksudkan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada setiap dimensi yang digunakan pada penelitian ini, terutama untuk melihat pengaruh kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang (missing data), dan nilai stress yang terlalu tinggi. Adanya analisis Montecarlo ini, harapannya agar hasil akhir analisis keberlanjutan ini dapat mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi (Kanvanagh, 200 serta Fauzi dan Anna, 2002). Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo (Tabel 4) terlihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ada pada selang kepercayaan 95% dengan hasil antara analisis MDS dengan analisis Monte Carlo yang hampir mirip. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut dapat dikatakan relatif kecil; variasi pemberian skor akibat perbedaan opini juga relatif kecil. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa proses analisis yang dilakukan pada penelitian ini mempunyai ulangan yang cukup dan relatif stabil pada setiap ulangan; serta dapat dikatakan terhindar dari kesalahan pemasukan data dan data yang hilang (Kanvanagh, 200). Tabel 4. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%. Status Indeks Hasil analisis MDS Monte Carlo Perbedaan Multidimensi 36,86 36,43 0,43 Ekologi 36,4 36,44 0,30 Ekonomi 53,8 52,74 0,44 Sosial-Budaya 40,42 4,38 0,96 Infrastruktur dan Teknologi 23,7 24,04 0,87 Hukum dan Kelembagaan 26, ,03 Perbedaan yang relatif kecil ini juga memperlihatkan bahwa hasil analisis keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dengan menggunakan metode

31 93 MDS memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Pitcher, 999). Oleh karena itu maka hasil analisis ini dapat direkomendasikan untuk dijadikan salah satu alat evaluasi dalam menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari sistem pengelolaan lingkungan kota baru di suatu wilayah/daerah Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan Pada proses pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ini, semua atribut sensitive yang merupakan faktor pengungkit ini harus diperhatikan dengan seksama dan harus dilakukan berbagai upaya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan faktor pengungkit tersebut, sehingga status keberlanjutan dari setiap dimensi dapat ditingkatkan dan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD menjadi berkelanjutan. Dalam arti dalam melakukan pembangunan kota baru ini secara ekonomi akan sangat menguntungkan, secara ekologi akan membuat lingkungan kawasan kota baru menjadi lestari, namun tetap berkeadilan dan memberikan kemakmuran dan tidak terdapat konflik pada masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Munasinghe (993) bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, paling tidak harus menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan yakni secara ekonomi harus menguntungkan, berkeadilan, namun tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan. Untuk lebih jelasnya faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dapat dilihat pada Tabel 5. Secara operasional, seluruh faktor pengungkit tersebut memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD secara berkelanjutan. Namun mengingat cukup banyak faktor pengungkit yang didapat, dan pasti ada yang lebih dominan yang akan menentukan keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, maka pada penelitian ini dilakukan analisis lanjutan dalam rangka menentukan faktor dominan penentu keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dengan menggunakan analisis prospektif. Untuk selanjutnya faktor dominan yang dihasilkan dari analisis prospektif tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan prioritas kebijakan dalam pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD.

32 94 Tabel 5 Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD Dimensi Faktor pengungkit Ekologi. ketersediaan air bersih 2. manajemen banjir/bencana 3. permasalahan transportasi 4. pencemaran udara/emisi 5. ketersediaan pengolah limbah cair Ekonomi 6. keberadaan kawasan bisnis Sosialbudaya Infrastruktur dan Teknologi Hukum dan Kelembagaan 7. tingkat pengangguran 8. keberadaan kawasan industri 9. keberadaan pertokoan kawasan 0. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal. keragaman budaya dalam masyarakat 2. konflik dengan masyarakat lokal 3. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair 4. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair 5. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien 6. ketersediaan sarana dan prasarana komuter 7. kompetensi pengelola kawasan kota baru 8. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan 9. konsistensi penegakan hukum 20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan 2. intensitas pelanggaran hukum 22. sinkronisasi peraturan dengan pusat Pada penelitian ini penentuan faktor dominan didasarkan pada faktor pengungkit yang mempunyai pengaruh besar, namun tingkat ketergantungannya rendah. Hasil analisis prospektif yang dilakukan pada penelitian ini, diperoleh lima faktor kunci (faktor penentu) keberhasilan pengelolaan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD yaitu faktor-faktor yang mempunyai pengaruh yang besar dengan tingkat ketergantungan yang kecil (Bourgeois dan Jesus, 2004). Adapun faktor-faktor kunci tersebut adalah () pencemaran udara/emisi, (2) ketersediaan pengolah limbah cair, (3) ketersediaan sarana dan prasarana komuter, (4) tersedianya organisasi pengelola

33 95 lingkungan, dan (5) ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien. Untuk lebih jelasnya hasil analisis prospektif ini dapat dilihat pada Gambar 26. Mengingat ke lima faktor tersebut di atas merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, maka faktor-faktor tersebut perlu sangat diperhatikan dan ditindaklanjuti, seperti pada uraian di bawah ini. Pencemaran Udara/Emisi Kota metropolitan DKI Jakarta dengan kota satelitnya, seperti Kota Baru BSD merupakan kota-kota yang melaksanakan pembangunan ekonomi cukup pesat. Di lain pihak peningkatan pembangunan ekonomi tersebut selalu diikuti dengan meningkatnya kegiatan industri dan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Peningkatan kedua hal tersebut, umumnya tidak hanya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, namun juga menyebabkan menurunnya kualitas udara terutama di wilayah perkotaan, termasuk di dalamnya di Kota Baru BSD. Menurunnya kualitas udara wilayah perkotaan dari sektor transportasi dan industri ini, disebabkan tingginya pembakaran bahan bakar fosil (BBF). Bahkan menurut Lvovsky et al. (2000), dari sektor transportasi saja di wilayah kota baru dapat terjadi peningkatan penggunaan BBF hingga 53 persen. Tingginya penggunaan bahan bakar fosil (BBF) tersebut menyebabkan kontribusi sektor transportasi terhadap turunnya kualitas udara di berbagai kota besar di dunia yang rata-rata mencapai 70 persen atau lebih (Tietenberg, 2003). Selain adanya peningkatan transportasi yang signifikan dari kegiatan di kota, di kota metropolitas dan kota satelitnya seringkali untuk mempercepat terjadinya pertumbuhan ekonomi, maka aktivitas industri atau aktivitas ekonomi lainnya juga semakin meningkat. Bahkan bukan hanya itu kawasan perkotaan (dan daerah manapun) pada umumnya selalu berupaya untuk mencari investor yang akan berinvestasi di bidang industri. Namun kenyataannya karena sarana dan prasarana di perkotaan cukup mendukung, maka kegiatan industri dan kegiatan ekonomi lainnya lebih terpusat di kota-kota besar dan kota satelitnya. Di lain pihak dampak dari terkonsentrasinya pembangunan ekonomi dan industri di perkotaan ini adalah tingginya arus urbanisasi. Tingginya urbanisasi di perkotaan juga seringkali tidak diimbangi dengan penyediaan sarana transportasi umum yang memadai menyebabkan meningkatnya penggunaan kendaraan yang berdampak pada meningkatnya kemacetan dan degradasi kualitas udara

34 96 (Panyacosit, 2000). Oleh karenanya maka kegiatan ekonomi dan industri yang terdapat di wilayah perkotaan dan kota satelitnya seperti Kota Baru BSD seringkali menanggung masalah tingginya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca (GRK). Adapun jenis polutan yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dan industri akibar dari pembakaran BBM sangat bergantung pada kondisi mesin industri, kondisi kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakannya. Mesin yang menggunakan bahan bakar bensin sebagian berkontribusi terhadap gas buang Karbon monoksida (CO), Nitrogen oksida (NO x ), dan Hidrokarbon (HC) serta logam berat timbal (Pb), sedangkan mesin yang menggunakan bahan bakar solar mengemisikan debu/partikulat dan Sulfur dioksida (SO 2 ) (Volesky, 990). Dampak terparah dari menurunnya kualitas udara adalah pada kesehatan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi (Ostro, 994; Small dan Kazimi, 995; Lvovsky et al., 2000). Mengingat tingginya pembakaran BBF akibat tingginya kegiatan transportasi dan industri serta telah memberi dampak negatif pada lingkungan dan dampak negatif pada aspek sosial, terutama kesehatan, maka pencemaran udara dari emisi mesin kendaraan bermotor dan industri tersebut harus ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD maupun secara nasional, dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk pengendalian pencemaran. Ketersediaan Pengolah Limbah Cair. Air merupakan sumber kehidupan sehingga tidak akan ada kehidupan yang tidak membutuhkan air. Namun seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat yang menghasilkan limbah cair dan di dalamnya terdapat berbagai bahan pencemar, telah mengakibatkan langkanya sumberdaya air yang kualitasnya baik. Idealnya bahwa walaupun air ada dalam jumlah yang tetap, namun kualitasnya telah menurun, sehingga terjadinya kelangkaan air yang sudah jadi masalah yang cukup serius. Di sisi lain, rendahnya kualitas air ini dapat membawa dampak negatif baik pada biota yang hidup di dalamnya, maupun untuk manusia yang mengkonsumsi biota tersebut. Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh adanya limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan antropogenik seperti dari kawasan permukiman, kegiatan perkotaan, industri, rumah sakit, rumah makan yang

35 97 umumnya tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu, namun langsung membuangnya ke badan air seperti ke sungai. Oleh karena itu maka kualitas badan air seperti sungai, situ, kolam dan lain sebagainya di kota-kota besar berada jauh di bawah persyaratan yang diijinkan, yang dapat dilihat secara kasat mata berupa perubahan warna, tingkat kekeruhan air dan dari baunya, serta seringkali setelah dibuktikan di laboratorium, kualitas berbagai parameter kualitas air, menjadi buruk (di luar ambang batas yang sudah ditentukan) yang dikenal dengan istilah pencemaran. Pencemaran air terjadi sebagai akibat adanya dampak negatif karena masuknya zat pencemar ke dalam suatu perairan, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan ekosistem peairan serta kesehatan manusia yang hidup di sekitar perairan tersebut (Sutamiharja 978). Selanjutnya Sutamiharja (978) menyatakan bahwa bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi menjadi dua yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal dari kegiatan manusia. Pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian. Dalam rangka mengetahui apakah suatu badan air sudah tercemar atau belum dan bagaimana tingkat pencemarannya, perlu diuji sifat-sifat air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai dengan kriterianya yang umumnya dilakukan baik secara langsung dilakukan pengukuran di lapangan maupun dengan cara terlebih dahulu dibawa ke laboratorium. Di daerah perkotaan, tercemarnya sumberdaya air ini umumnya terjadi sebagai akibat adanya aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini terjadi karena seringkali manusia hanya berorientasi pada proses produksi dan konsumsi saja. Dalam hal ini setelah selesai memproduksi atau mengkonsumsi suatu barang, pada umumnya manusia tidak peduli lagi dengan limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Terjadinya pencemaran badan air di perkotaan ini umumnya terjadi karena manusia seringkali membuang limbahnya secara langsung ke dalam saluran air atau kalaupun mengalami pengolahan, maka pengolahan yang dilakukan umumnya hanya bersifat alakadarnya. Air tercemar ini selanjutnya akan mengalir ke dalam parit, untuk kemudian terbawa masuk ke dalam badan air (sungai maupun danau). Bahkan apabila turun hujan, bahan pencemar ini akan terbawa hingga ke laut. Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan antropogenik yang langsung dibuang ke dalam badan air tersebut seringkali mengakibatkan menjadi sangat tercemarnya

36 98 badan air baik oleh bahan organik maupun oleh bahan berbahaya dan beracun (B3). Oleh karenanya maka air buangan ini tidak boleh dibuang begitu saja karena akan mengganggu ekosistem air penerimanya. Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan instalasi pengolah air limbah (IPAL) di kawasan kota baru sangat diperlukan keberadaannya dalam rangka mempertahankan atau bahkan memperbaiki kualitas lingkungan ekosistem air penerima limbah cair dari kegiatan kegiatan antropogenik tersebut. Kondisi tersebut di atas terjadi karena kurang terencananya kondisi infrastruktur pembuangan air limbah cair untuk pengolah limbah cair dari industri, domestik, rumah sakit, rumah makan, hotel, dsb. Selain itu jika infrastruktur ada, pada umumnya belum mempertimbangkan kapasitas dan spesifikasi yang sesuai menyebabkan rendahnya kualitas output air limbah di perkotaan. Melihat kondisi tersebut maka perlu dipikirkan kembali suatu sistim penanganan air limbah domestik yang memenuhi baku mutu yang ditentukan, dengan meminimalkan tingkat bahan pencemar hingga berada di bawah ambang maksimal. Penanganan air limbah cair tersebut tidak saja dilakukan dengan memperbaiki teknik penanganan air limbah namun termasuk sistim pengelolaan air secara terpadu yang dikenal dengan waste water treatment plant. Dengan adanya pengelolaan secara terpadu tersebut diharapkan kualitas badan air dapat dikembalikan pada ambang normal dan meminimalkan polusi yang timbul. Berdasarkan hal tersebut maka maka pencemaran badan air tersebut harus ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD maupun secara nasional, dengan cara menyediakan pengolah limbah cair, baik limbah cair yang berasal dari kegiatan kawasan permukiman, industri, rumah sakit, perkantoran, perhotelan, pertokoan, rumah makan dan kegiatan ekonomi lainnya. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Komuter Pengembangan jaringan transportasi pada awalnya merupakan usaha untuk memfasilitasi pergerakan dari asal (origin) ke tujuan (destination) yang timbul akibat kegiatan sosial dan ekonomi. Pergerakan transportasi merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang mencoba untuk meningkatkan nilai ekonomis suatu barang. Oleh karena itu kebutuhan sistem transportasi yang efisien dan efektif menjadi dasar dalam

37 99 melakukan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan pengembangan sistem transportasi. Dalam rangka menciptakan sistem transportasi yang efisien dan efektif tersebut, hal yang pertama harus digaris bawahi dan perlu dibuat dengan sebaik mungkin adalah perencanaan transportasi, baik yang menyangkut tata ruang pada zona wilayah maupun pada penyediaan sarana transportasinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kenworthy dan Laube (2002) yang menyatakan bahwa ada korelasi antara pola tata guna lahan dengan sistem transportasi dan kepadatan penduduk. Selain itu perencanaan transportasi juga sangat berkaitan dengan perencanaan atau sistem ekonomi dari suatu wilayah. Oleh karena itu maka perencanaan, pengembangan dan pembangunan prasarana dan sarana transportasi merupakan implikasi dari proses pemenuhan kebutuhan manusia dan peningkatan nilai ekonomis dari suatu barang. Adapun salah satu sarana dan prasarana transportasi yang perlu direncanakan dengan baik untuk kota satelit seperti halnya Kota Baru BSD yang merupakan kota satelit pada wilayah metropolitan DKI Jakarta adalah tersedianya sarana dan prasarana untuk angkutan umum yang memuat banyak penumpang dan melayani hampir seluruh lokasi perkotaan yang disebut komuniter (selanjutnya disebut komuter). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian JICA (200) yang mengatakan bahwa jumlah keseluruhan perjalanan oleh komuter yang terjadi di dalam DKI Jakarta sebanyak 6 juta orang setiap hari dan 25% diantaranya adalah komuniter komuter dari Kota Satelit Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Hal ini juga sangat wajar, mengingat hasil penelitian Luo (2007) di tiga negara kota metropolitan di Asia yang mempunyai income tinggi, memperlihatkan bahwa rata-rata panjang perjalanan yang dilakukan masyarakat di kota metropolitan dari tiga negara yang diteliti untuk Kota Kuala Lumpur-Malaysia 2,7 km, untuk masyarakat Kota Manila-Filipina 4 km, dan panjang perjalanan masyarakat Kota Chengdu-Cina mencapai 9 km. Khusus untuk Kota Metropolitan DKI Jakarta, saat ini telah tersedia moda angkutan umum penumpang komuter berupa BRT Transjakarta. Khusus untuk kota satelit, pada umumnya tidak terjangkau oleh komuter berupa BRT Transjakarta, namun beberapa kota satelit sudah menyediakan feeder untuk Transjakarta tersebut. Mengingat kinerja angkutan umum penumpang harus memenuhi syarat dan mencakup berbagai hal yang meliputi daerah pelayanan dan jangkauan rute, struktur dan ruang rute, rute secara

38 00 langsung dan mudah, panjang rute, duplikasi rute, headway, frekuensi, standar muatan, dan kecepatan perjalanan (NCHRP, 980). Mengingat tingginya calon penumpang dari kota satelit dan di kota utama, maka semuanya harus dilayani dengan baik, dengan tetap mengikuti konsep pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini tanpa merusak kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 987). Adapun konsep pembangunan berkelanjutan pada bidang transportasi, harus dapat memberikan kenyamanan bagi warga kota dan lingkungan dengan beberapa kriteria. Kriteria-kriterianya antara lain pengoperasian transportasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara, mengurangi pencemaran, mengurangi kebisingan dan mengurangi dampak lalu lintas, meningkatkan keselamatan, mengurangi kecelakaan lalu lintas, dan mengurangi konsumsi energi. Transportasi berkelanjutan dalam arti yang lebih luas merupakan usaha untuk menurunkan tingkat kemacetan, menghemat biaya fasilitas, meningkatkan keselamatan, meningkatkan pergerakan non kendaraan, menggunakan lahan secara efisien, sehingga menghasilkan mobilitas yang tinggi untuk setiap kendaraan (Litman, 2004). Berdasarkan hal tersebut maka masalah transportasi harus ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD dengan tetap mengikuti konsep pembangunan transportasi yang berkelanjutan, yang salah satu caranya dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana komuter sebaik mungkin. Tersedianya Organisasi Pengelola Lingkungan, Pada pengelolaan lingkungan, harus ada yang mengerakan agar dilakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini berlaku untuk berbagai lokasi, termasuk di dalamnya untuk Kota Baru BSD. Agar pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan untuk menjamin kelestarian lingkungan, maka di lokasi kota baru harus tersedia organisasi pengelola lingkungan, atau dengan kata lain harus dibentuk kelembagaannya. Dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kelembagaan pengelolaan lingkungan kawasan kota baru yaitu: () pengelolaan kegiatan pengelolaan

39 0 lingkungankawasan memerlukan hubungan antar lembaga yang terintegrasi, (2) pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan partisipasi stakeholder, (3) pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan sumber dana yang memadai, (4) memerlukan media konsultatif antara stakeholder kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, (5) memerlukan kepedulian masyarakat dan institusi masyarakat lokal untuk mengontrol jalannya kelembagaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, (6) memerlukan perangkat hukum yang jelas agar pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan (7) memerlukan kolaborasi dengan pemerintah setempat dan pemerintah pusat serta dengan pihak lain, misalnya perguruan tinggi, kalangan industri dan pengelola kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan lainnya. Untuk itu maka dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, maka hal yang harus diperhatikan dan harus segera diadalkan adalah membentuk struktur organisasi kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan Kota Baru BSD. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Jalan yang Efektif dan Efisien Pada sistem transportasi hal yang ideal dilakukan adalah menyesuaikan dengan tujuan proyek transportasi, tetapi harus tetap mengacu pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga sistem transportasi tersebut menjadi berkelanjutan, dan mampu mewujudkan agar orang tidak bergantung pada penggunaan kendaraan pribadi. Oleh karena itu maka keberlanjutan transportasi harus dapat memenuhi beberapa tujuan: ) dapat meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan transportasi umum; 2) tersedia lokasi untuk berjalan dan bersepeda yang lebih menarik; 3) dapat mengurangi kebutuhan perjalanan; 4) dapat mengurangi bahkan membuang hambatan psikologi dan mendukung kebijakan publik untuk menggunakan kendaraan alternatif; dan 5) membuat image bahwa transportasi menjadi sebuah komponen penting untuk strategi perencanaan ruang suatu wilayah (Paulley dan Pedler, 2000). Oleh karena itu maka harus ada pelayanan sebaik mungkin pada penumpang. Adapun faktor penting dalam menentukan kualitas pelayanan adalah perceived quality yaitu tingkat kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pengguna, dimana kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pengguna dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman layanan sebelumnya (Cronin dan Taylor, 992).

40 02 Pada dasarnya menciptakan transportasi berkelanjutan tidaklah mudah, dan tidak hanya sekedar keberadaan jalan padat atau tidak padat. Hal ini sesuai dengan pendapat Cook et al. (2004) yang mengatakan bahwa kriteria evaluasi masyarakat terhadap sistem transportasi berkelanjutan adalah: ) teknologi baru; 2) sangat cepat; 3) langsung; 4) tidak menunggu; 5) antrian sedikit; 6) dapat memilih perjalanan sendiri; 7) tidak mengalami frustasi; 8) baik bagi lingkungan; 9) tidak berdebat dengan supir; 0) tidak kuatir seorang diri berada di angkutan; ) mudah dinaiki; 2) tidak ada supir; dan 3) lebih dapat diakses dari pada moda angkutan umum lain. Hal ini sejalan dengan pendapat (Jeon dan Amekudzi, 2005) yang mengatakan bahwa sistem transportasi dikatakan berkelanjutan apabila dapat memberikan penyelesaian yang efektif dan efisien kepada pemakainya seperti adil dan aman mengakses pelayanan ekonomi dan sosial mendasar, harus meningkatkan pembangunan ekonomi dan tidak membahayakan lingkungan. Menurut Litman (2008) keberlanjutan mobilitas tersebut dapat dicapai dengan cara: ) meningkatkan aksesibilitas dan memaksimalkan penggunaan ruang; 2) meningkatkan bagian moda transportasi yang bersahabat secara lingkungan misalnya angkutan umum, sepeda, berjalan dan lain-lain; 3) mengurangi kemacetan; 4) meningkatkan keselamatan; 5) mengurangi pencemaran udara, kebisingan dan gangguan pemandangan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada konsep transportasi berkelanjutan, kegiatan manusia yang berkaitan dengan pergerakan manusia dan barang seharusnya terjadi dengan cara-cara yang berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomika. Berdasarkan hal tersebut maka dalam rangka membuat transportasi yang berkelanjutan, sehingga dapat mendukung pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD yang baik, maka hal yang harus diperhatikan dan harus segera diadakan adalah menyediakan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien di kawasan Kota Baru BSD dan menuju ke atau dari kota utama dan kota satelit lainnya. Pada penelitian ini, selain terdapat lima parameter kunci seperti diuraikan di atas, pada analisis prospektif juga diperoleh enam buah faktor penghubung yakni faktor yang mempunyai pengaruh yang besar namun juga ketergantungannya juga besar (Bourgeois dan Jesus, 2004). Adapun ke enam faktor penghubung yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD,

41 03 namun memiliki ketergantungan pada faktor lainnya yang cukup besar. Mengingat ke enam faktor pengungkit tersebut mempunyai pengaruh yang besar, maka jika kita menginginkan keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, ke enam faktor pengungkit tersebut juga harus diperhatikan dengan seksama. Adapun faktor-faktor tersebut adalah keberadaan kawasan bisnis, keberadaan kawasan industri, ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, kompetensi pengelola kawasan kota baru dan egosektoral dalam pengelolaan lingkungan (Gambar 26) Gambar 26. Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan kawasan Kota Baru BSD

42 04 Keterangan gambar:. ketersediaan air bersih 2. manajemen banjir/bencana 3. permasalahan transportasi 4. pencemaran udara/emisi 5. ketersediaan pengolah limbah cair 6. keberadaan kawasan bisnis 7. tingkat pengangguran 8. keberadaan kawasan industri 9. keberadaan pertokoan kawasan 0. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal. keragaman budaya dalam masyarakat 2. konflik dengan masyarakat lokal 3. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair 4. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair 5. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien 6. ketersediaan sarana dan prasarana komuter 7. kompetensi pengelola kawasan kota baru 8. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan 9. konsistensi penegakan hukum 20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan 2. intensitas pelanggaran hukum 22. sinkronisasi peraturan dengan pusat Berdasarkan hasil analisis prospektif tersebut diatas, memperlihatkan bahwa hasil analisis prospektif pada dasarnya telah sesuai dengan kondisi lapangan di lokasi tersebut, pada saat dilakukan penelitian. Ke lima faktor kunci tersebut harus benarbenar diperhatikan dalam pengembangan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD. Hal ini diperlukan mengingat kondisi eksisting pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD memperlihatkan kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum dan kelembagaan

43 05 yang memperlihatkan status yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial budaya dan dimensi ekologi masih ada dalam status yang kurang berkelanjutan. Upayaupaya untuk meningkatkan status berkelanjutan kawasan kota baru ini sangat perlu dilakukan mengingat kawasan Kota Baru BSD dalam kondisi seperti ini saja sudah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD Pertumbuhan kota metropolitan dan kota satelitnya seperti kota baru yang cepat seringkali menimbulkan berbagai implikasi negatif, seperti kurang mampunya infrastruktur perkotaan dalam menampung aktivitas warga, pelayanan publik yang kurang baik akibat dari minimnya SDM yang tersedia, timbulnya masalah sosial seperti pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan berupa terjadinya polusi udara, tanah dan air, dsb. Adapun salah satu permasalahan rendahnya kualitas lingkungan seringkali berhubungan erat dengan besarnya jumlah penduduk, besarnya kegiatan bisnis seperti industri, pertokoan, dsb serta tingginya kegiatan pembakaran BBF terutama pada kegiatan transportasi dan kegiatan industri. Dalam rangka mensukseskan pengelolaan lingkungan yang baik di kotabaru, maka terlebih dahulu dibuatmodel dinamikpengelolaan lingkungan kota baruyang berkelanjutan, yang nantinya diharapkan akan memberikan arah pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru. Pada pembuatan model ini terlebih dahulu dilakukan identifikasi sistem yakni suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan. Hasil identifikasi sistem dengan menggunakan model diagram input output atau diagram lingkar sebab-akibat. Adapun diagram sebab akibat model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru dapat dilihat pada Gambar 27 sedangkan stockflow diagram-nya dapat dilihat pada Gambar 28. Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru pada penelitian ini dibedakan atas dua submodel yaitu () submodel lingkungan, (2) submodel ekonomi dan sub model sosial. Ketiga sub model tersebut merupakan rangakian dari beberapa variabel-variabel yang saling berhubungan dan berinteraksi antara satu elemen dengan elemen lainnya sehingga terbentuk suatu model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru.

44 Submodel lingkungan Submodel lingkungan dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabelvariabel dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruterhadap keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem kemudian disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 27. Gambar 27. Diagram lingkar sebab-akibat pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan

45 07 roda dua roda empat biaya pekerja kerusakan Kapasitas Jalan perbaikan kendaraan bermotor Drainase PDRB Tangsel PangsaAngkKom PangsaPHR infrastrukfur PDRBAngKom PDRBPHR PDRBJasa PangsaJasa PangsaBankSewa PDRBBankSewa PangsaEkLain AngkKom PHR Jasa BankSewa PDRBEkLain EkLain penduduk pekerja kepedulian lingkungan % kesadaran lingkungan % pendidikan penduduk komuter Populasi Tangsel IPAL diperlukan jumlah rumah pertumbuhan pengurangan fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan KonsPO4perHari emisisox KonsNO3perhari bebanpo4 limbah cair bebanno3 emisi udara emisinox KonsCODperHari bebancod bebanbod KonsBODperhari emisicox Gambar 28. Diagram stock-flow model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan

46 08 Gambar 29. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa pada sub model lingkungan, tingginya penduduk kota baru menyebabkan tingginya kegiatan antropogenik. Di lain pihak tingginya kegiatan antropogenik mengakibatkan tingginya limbah cair dan tingginya emisi gas, yang mengakibatkan tingginya pencemaran lingkungan. Tingginya pencemaran lingkungan ini pada akhirnya akan berdampak terhadap tingginya biaya pengelolaan dan memburuknya kualitas lingkungan. Pencemaran sendiri akan terjadi apabila total bahan pencemar yang masuk ke lingkungan baik yang berasal dari limbah cair maupun yang berasal dari emisi gas tinggi. Tingginya biaya pengelolaan lingkungan akibat adanya pencemaran ini pada akhirnya akan mempengaruhi masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh apabila biaya pengelolaan tersebut ada pada sisi industri, maka biaya pengelolaan tersebut akan dibebankan pada masyarakat, karena biaya tersebut akan dimasukan sebagai ongkos produksi. Di lain pihak terjadinya pencemaran di kota baru juga akan berdampak langsung pada masyarakat misalnya dapat mengganggu terjadinya kesehatan pada masyarakat yang ada di dalam kota baru tersebut. Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota barukhususnya sub model lingkungan yang selanjutnya digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat pada Gambar 30.

47 09 Populasi Tangsel pertumbuhan pengurangan fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan KonsPO4perHari emisisox KonsNO3perhari bebanpo4 limbah cair bebanno3 emisi udara emisinox KonsCODperHari bebancod bebanbod KonsBODperhari emisicox Gambar 30. Diagram stock-flow submodel lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan Pada Gambar 30 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model lingkungan di atas, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk berdampak pada terjadinya peningkatan bahan pencemar perairan yang dicerminkan oleh terjadinya peningkatan bahan pencemar organik seperti terjadinya peningkatan BOD, COD, posfat, dan nitrat. Pertumbuhan penduduk juga berdampak pada terjadinya peningkatan bahan pencemar udara yang dicerminkan dari terjadinya peningkatan emisi gas di udara dan peningkatan konsentrasi CO x, NO x dan SO x. Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi lingkungan kaitannya dengan jumlah masyarakat dan kegiatan antropogenik di Kota Baru BSD dibuat simulasinya yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya dan pada kondisi eksisting. Simulasi yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam model, sehingga data yang bersangkutan dapat disimulasikan. Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap model pengelolaan lingkungan

48 0 yang berkelanjutan di kota baru antara lain pertumbuhan penduduk, beban pencemaran perairan dankualitas udara. Kondisi (state) faktor-faktor tersebut di masa yang akan datang, disusun pada simulasi yang mungkin terjadi. Adapun Submodel lingkungan mengenai kondisi di masa datang disajikan pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 39. : 2: 3: 4: : bebancod 2 2: bebanbod 2 3: bebanno3 2 4: bebanpo : 2: 3: 4: : 2: 3: 4: Gambar Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter BOD, COD, NO3 dan PO4 : : bebanbod 25 : 5 : Gambar 32. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter BOD

49 Pada Gambar 3 dan 32 terlihat bahwa bahan pencemar organik mudah urai atau bahan pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi (BOD) yang masuk ke dalam perairan memperlihatkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi (BOD) pada tahun 2008 sebesar 6,7 ton per hari, pada saat dilaksanakan penelitian mencapai 9,53 ton/hari, dan pada tahun 206 berdasarkan hasil simulasi akan menjadi 9,67 ton/hari. Hal ini disebabkan kegiatan apapun pada akhirnya akan menghasilkan limbah berupa limbah padat atau sampah dan limbah cair. Di lain pihak, baik limbah padat maupun limbah cair masih banyak yang membuang ke dalam sungai/badan air/perairan umum. Selain itu setiap orang dan setiap kegiatan juga akan menyumbang bahan organik ke dalam badan air tempat bermuaranya limbah cair baik yang berasal dari kegiatan domestik, kegiatan industri atau kegiatan perkotaan lainnya, sehingga sangat wajar jika jumlah penduduk makin meningkat maka nilai BOD akan semakin meningkat. Kondisi ini juga akan semakin diperparah akibat meningkatnya kemakmuran dan peradaban. Hal ini sesuai dengan pendapat Metcalf dan Eddy (99) yang mengatakan bahwa semakin meningkat gaya hidup dan semakin makmur, maka sisa bahan organik yang terbuang ke lingkungan juga akan semakin meningkat. Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat bahwa selain adanya peningkatan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologi, bahan organik yang sulit terurai dan hanya dapat diuraikan secara kimia juga (COD) juga akan terjadi peningkatan. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan COD dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 33 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai beban pencemaran COD pada perairan di lokasi penelitian adalah 4,4 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 23,4 ton/hari, dan dari hasil simulasi pada tahun 206 beban COD menjadi 52,08 ton/hari. Terjadinya peningkatan COD ini dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik lainnya di perkotaan terutama pada kegiatan industry, dan pada kegiatan bisnis lainnya yang menggunakan produk bahan organik yang sulit terurai, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula bahan organik sulit terurai sehingga meningkatkan nilai COD (Metcalf dan Eddy, 99).

50 2 : : bebancod 60 : 35 : Gambar 33. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter COD Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan bahan organik yang tercermin dari konsentrasi nitrat (NO 3 ) yang terdapat pada perairan. Seperti pada parameter bahan organik lainnya, konsentrasi nitrat juga terjadi peningkatan dari waktu ke waktu. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan nitrat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 34 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai beban pencemaran nitrat pada perairan di lokasi penelitian adalah 0,05 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 0,08 ton/hari, dan dari hasil simulasi pada tahun 206 beban COD menjadi 0,33 ton/hari. Terjadinya peningkatan nitrat dari tahun ke tahun juga disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula nitrat yang terbuang ke dalam perairan.

51 3 : : bebanno3 0 : 0 : Gambar 34. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter NO 3 Hasil pemodelan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga memperlihatkan kandungan posfat yang cenderung semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan nilai beban pencemaran fosfat pada tahun 2008 sebesar 0,4 ton/hari menjadi 0,22 ton/hari pada tahun 20 (saat dilakukan penelitian), kemudian peningkatan juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya hingga perkiraan tahun 206 mencapai 0,44 ton/hari. Kondisi ini sangat membahayakan kehidupan badan air penerimanya (Martin, 985) mengingat menurut Odum (97) kandungan posfor yang tinggi dalam ekosistem akan mengakibatkan terjadinya blooming fitoplankton yang dapat memfiksasi nitrogen secara langsung dari atmosfir. Untuk lebih jelasnya hasil pemodelan dan simulasi beban pencemaran posfat dapat dilihat pada Gambar 35 dan Lampiran 3. Kota Metropolitan DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang dikelilingi oleh kota satelit Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Mengingat DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian maka dinamika di kota utama dan kota satelitnya akan sangat tinggi. Dalam hal ini akan semakin meningkatkan perjalanan antar kota yang pada umumnya saling bergantung satu sama lain. Di lain pihak perjalanan ini merupakan aktivitas setiap manusia untuk melakukan berbagai kebutuhan misalnya kegiatan usaha harian seperti kegiatan dasar (basic activity) dan kegiatan jasa (services activity) serta kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan berkala (periodic activity). Tingginya dinamika di kota metropolitan dan di

52 4 kota baru ini akan semakin meningkatkan terjadinya pencemaran udara yang terutama berasal dari sisa pembakaran BBF seperti NO x, SO x dan CO x (Gambar 36). Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika dari tahun ke tahun terjadi peningkatan bahan pencemar udara seperti tersebut di atas, seiring dengan meningkatnya jumlah manusia dan kegiatan antropogenik yang dilakukannya. : : bebanpo4 : 0 : Gambar 35. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter PO 4 Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi NO x yang terdapat pada atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi NO x di atmosfir ini juga dapat dilihat pada Gambar 36 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai konsentrasi NO x di atmosfir 53,38 µg/ Nm 3, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 8,4 µg/ Nm 3, dan dari hasil simulasi pada tahun 206 konsentrasinya akan meningkat menjadi 63,2 µg/ Nm 3. Terjadinya peningkatan NO x di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula NO x di atmosfir.

53 5 : 2: 3: : emisisox 2: emisicox 3: emisinox : 2: 3: : 2: 3: Gambar 36. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/nm 3 ) parameter NO x, CO x dan SO x 3 : : emisinox 250 : 50 : Gambar 37. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/nm 3 ) parameter NO x Pada submodel lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi CO x yang terdapat pada atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi CO x di atmosfir ini juga dapat dilihat pada Gambar 38 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008

54 6 nilai konsentrasi CO x di atmosfir 236,96 µg/ Nm 3, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 3523,77 µg/ Nm 3, dan dari hasil simulasi pada tahun 206 konsentrasinya akan meningkat menjadi 7087,59 µg/nm 3. Terjadinya peningkatan CO x di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula CO x di atmosfir. : : emisicox 8000 : 5000 : Gambar 38. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/nm 3 ) parameter CO x Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi SO x yang terdapat pada atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi SO x di atmosfir ini juga dapat dilihat pada Gambar 39 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai konsentrasi SO x di atmosfir 06,58 µg/ Nm 3, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 62,09 µg/ Nm 3, dan dari hasil simulasi pada tahun 206 konsentrasinya akan meningkat menjadi 326,03 µg/ Nm 3. Terjadinya peningkatan SO x di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula SO x di atmosfir.

55 7 : : emisisox 400 : 250 : Gambar 39. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/nm 3 ) parameter SO x Kota besar merupakan kota yang mempunyai anekaragam kegiatan ekonomi yang tercermin dari tingginya kegiatan antropogenik. Tingginya kegiatan antropogenik ini mengakibatkan tingginya motorisasi, bahkan hasil penelitian Jraiw (2003) di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia menunjukkan bahwa laju motorisasi lebih tinggi dari laju peningkatan penduduk. Oleh karena itu maka dapat dimengerti jika kepadatan lalu lintas di kota besar terutama yang ada pada negara sedang berkembang menyebabkan emisi karbon dan menghasilkan bahan pencemar udara yang luar biasa. Oleh karena itu maka sumber pencemaran udara di negara berkembang 8 % -nya berasal dari sektor transportasi. Hal ini juga ditunjukkan oleh terus bertambahnya laju kemacetan di negara berkembang, juga di Kota Baru BSD yang merupakan lokasi penelitian penulis. Oleh karena itu maka sangat wajar jika dari penelitian ini terlihat adanya kenaikan bahan pencemar udara baik dilihat dari parameter NO x, CO x maupun SO x. Bahan-bahan pencemar tersebut cenderung akan naik terus pada masa-masa mendatang seperti ditunjukan oleh hasil simulasi penelitian ini. Hal ini sesuai dengan laporan WHO (2000) bahwa di pusat-pusat kota,dari proses pembakaran bahan bakar fosil di dalam mesin kendaraan akan dihasilkan 95% CO, 70% NO x, 60% tembaga dan 50% hidrokarbon (HC). Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu lingkungan mengingat bahan-bahan tersebut termasuk ke dalam GRK yang nantinya akan menyumbang terjadinya pemanasan global dan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Di lain pihak bahan-bahan tersebut juga jika tercuci oleh air hujan akan mengakibatkan terjadinya hujan asam.

56 Submodel Ekonomi Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model ekonomi pada model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruadalah infrastruktur, jumlah perumahan/rumah, jumlah industri, dan aktifitas ekonomi yang akan berpengaruh terhadap komponen pendapatan kota baru. Adanya kegiatan-kegiatan tersebut yang pada umumnya merupakan aktifitas ekonomi di kota baru, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Tangerang Selatan. Adapun sub model ekonomi dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di Kota Baru BSD dapat dilihat pada Gambar 40. Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru khususnya sub model ekonomi tersebut selanjutnya digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 4. Gambar 40. Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunan kota baru berkelanjutan

57 9 roda dua roda empat biaya pekerja kerusakan Jalan perbaikan kendaraan bermotor Drainase PDRB Tangsel PangsaAngkKom PangsaPHR infrastrukfur PDRBAngKom PDRBPHR PDRBJasa PangsaJasa PangsaBankSewa PDRBBankSewa PangsaEkLain AngkKom PHR Jasa BankSewa PDRBEkLain EkLain penduduk pekerja Gambar 4. Diagram stock-flow submodel ekonomi dalam pembangunan kota baru Berkelanjutan Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Tangerang Selatan (2009), sektor ekonomi yang berkembang di Tangerang Selatan sebenarnya bukan berasal dari kegiatan bisnis yang terdapat di dalamnya seperti dari industri, namun berasal dari sektor ekonomi tersier. Dalam hal ini hampir 60% PDRB di Kabupaten Tangerang Selatan disumbangkan oleh sektor pengangkutan, sektor komunikasi serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selanjutnya berasal dari sektor jasa (3%) dan sektor bank, persewaan dan jasa perusahaan, dan sisanya adalah sektor ekonomi lain. Adapun keterkaitan antara PDRB yang terdapat di Tangerang Selatan pada umumnya dan di Kota Baru BSD pada umumnya dapat dilihat pada SFD. Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi ekonomi kaitannya dengan PDRB dan kegiatan yang menyumbang PDRB di Kota Baru BSD dibuat simulasinya yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya. Simulasi yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap sub model ekonomi pada pengelolaan lingkungan yang

58 20 berkelanjutan di kota baru. Adapun sub model ekonomi mengenai kondisi di masa datang secara keseluruhan disajikan pada Gambar 42. Pada Gambar 42 dan Lampiran 3 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan transportasi dan komunikasi lebih tajam dibandingkan dengan pendapatan dari hasil lainnya. Namun demikian kurva peningkatan pendapatan yang berasal dari perdagangan dan hotel merupakan penyumbang PDRB ke dua, sedang penyumbang PDRB ke tiga adalah dari sektor jasa, diikuti dari kegiatan bank sewa dan terakhir dari kegiatan ekonomi lainnya. : 2: 3: 4: 5: : PDRBAngKom 2: PDRBPHR 3: PRDBJasa 4: PDRBBankSewa 5: PDRBEkLain : 2: 3: 4: 5: : 2: 3: 4: 5: Gambar 42. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (jutaan rupiah) Pada Gambar 42 dan 43 terlihat bahwa PDRB yang berasal dari kegiatan transportasi dan kegiatan telekomunikasi di lokasi penelitian. Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari berbagai kegiatan yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan transportasi dan telekomunikasi pada tahun 2008 jumlahnya mencapai Rp ,-. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan transportasi dan tekomunikasi besarnya mencapai Rp ,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 206 diperkirakan akan mencapai Rp ,-.

59 2 : : PDRBAngKom : : Gambar 43. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatan transportasi dan komunikasi (jutaan rupiah) Penyumbang ke dua terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor hotel dan restoran (Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan hotel dan restoran yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan hotel dan restoran pada tahun 2008 jumlahnya mencapai Rp PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan hotel dan restoran besarnya mencapai Rp ,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 206 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan hotel dan restoran akan melonjak secara tajam mencapai Rp ,-. Penyumbang ke tiga terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor jasa (Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 5 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan jasa besarnya mencapai Rp ,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 206 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan jasa mencapai Rp ,-.

60 22 : : PDRBPHR : : Gambar 44. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB perdagangan hotel dan restoran (jutaan rupiah) : : PDRBJasa : : Gambar 45. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa (jutaan rupiah) Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor bank, persewaan dan jasa perusahaan (Gambar 46). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan jasa besarnya mencapai Rp ,- dan dari hasil simulasi PDRB

61 23 tahun 206 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan jasa mencapai Rp ,-. : : PDRBBankSewa : : Gambar 46. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank, persewaan dan jasa perusahaan (jutaan rupiah) Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor ekonomi lainnya (Gambar 47). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan ekonomi lainnya pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan ekonomi lainnya besarnya mencapai Rp ,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 206 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya mencapai Rp ,-. Pada kota baru, jalan merupakan salah satu infrastruktur terpenting sebagai salah satu faktor daya tarik investasi di suatu daerah. Jalan kota Tangerang Selatan berdasarkan kompilasi data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008) memiliki total panjang 5,8 km dengan 70,36% dari panjang total tersebut dalam kondisi baik, 8,37% dalam kondisi sedang dan,28% dalam kondisi rusak. Data ini berbeda dengan data Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan yang menyatakan bahwa total panjang jalan kota adalah 37,773 km dan diperkirakan 5% rusak ringan, 5% rusak sedang dan 20% rusak berat. Berdasarkan kewenangannya, di Kota

62 24 Tangerang Selatan terdapat satu ruas jalan negara dengan panjang 9.60 km, kemudian jalan provinsi sebanyak 2 ruas dengan panjang km dan jalan kota sebanyak 75 ruas dengan panjang km. Total panjang jalan di Tangerang Selatan adalah km. Salah satu kondisi yang menyebabkan kemacetan adalah kerusakan jalan serta proses perbaikan jalan. Perbaikan jalan yang tidak tuntas juga menjadi penyebab kembali rusaknya jalan di Tangerang Selatan. : : PDRBEkLain : : Gambar 47. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektor ekonomi lain (jutaan rupiah) Seperti halnya di kota-kota besar dan pada kota satelit lainnya, di kawasan Tangerang Selatan juga terdapat titik-titik rawan kemacetan. Titik rawan kemacetan utama di Tangerang Selatan terdapat pada 2 titik yang umumnya terdapat pada sekitar persimpangan jalan atau pasar. Stasiun kereta rel listrik (KRL) berjumlah lima buah dan tersebar di tiga kecamatan yaitu Serpong, Ciputat dan Ciputat Timur. Titik rawan kemacetan dan titik lokasi stasiun KRL didapatkan dari Kompilasi Data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008). Di lokasi penelitian terdapat tiga buah yaitu Sungai Cisadane, Angke dan Pasanggrahan sepanjang 78 kilometer. Sementara untuk anak sungai sebanyak sembilan buah dengan panjang 38,5 kilometer. Mengingat di Tangerang Selatan sektor transportasi dan telekomunikasi merupakan kegiatan yang menyumbang PDRB paling tinggi, maka pada penelitian ini juga dilihat simulasi pada sub model ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan seperti terlihat pada Gambar 48, serta berdasarkan kerusakan jalan. Berdasarkan infrastruktur

63 25 dan total panjang jalan terlihat bahwa PDRB akan dibantu meningkat apabila perumbuhan infrastrukturnya meningkat dan jalan yang dibangun semakin banyak. Namun demikian apabila jalannya rusak, maka dapat berakibat pada menurunnya PDRB, karena kerusakan jalan sangat besar pengaruhnya pada kemacetan lalulintas dan lamanya daya tempuh perjalanan. Oleh karena itu maka pada penelitian ini juga dilihat simulasi kerusakan jalan dengan maka persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan seperti yang tercantum pada Gambar 49. Adapun besarnya persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dapat dilihat pada Gambar 50. Seiring dengan waktu dan relatif murahnya kendaraan dan baiknya akses jalan, maka akan terjadi peningkatan jumlah kendaraan baik yang roda dua maupun kendaraan roda empat. Untuk lebih jelasnya simulasi pertumbuhan kendaraan roda dua dan roda empat dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 5 dan Lampiran 3. : : Jalan 704 : 702 : Gambar 48. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan (km)

64 26 : : kerusakan jalan 3 : 30 : Gambar 49. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur (persentase kerusakan jalan) : : biay a tambahan transport 6 : 6 : Gambar 50. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan.

65 27 : 2: : roda empat 2: roda dua : 2: : 2: Gambar 5. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat Berdasarkan pemodelan yang dibuat, kondisi jalan (panjang total) adalah tetap, sedangkan kerusakan dan perbaikan jalan selalu dilakukan sehingga berpotensi meningkatkan kemacetan jalan yang akan dilintasi oleh pekerja yang sebagian besar komuter, yakni tinggal di kawasan Tangerang Selatan tetapi berkerja di wilayah utama yakni DKI Jakarta. Adanya kemacetan tersebut akan meningkatkan biaya konsumsi bahan bakar yang berakibat pada peningkatan biaya transportasi serta meningkatkan buangan gas (CO x, NO x dan SO x ) yang sifatnya akan merusak lingkungan. Hal ini akan semakin diperparah oleh tingginya pertumbuhan pembelian kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan/pembuatan jalan di Tangerang Selatan. tinggi. Tingkat pertumbuhan sepeda motor adalah yang paling Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kecelakaan yang terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara sepeda motor, ditambah lagi dengan rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara moda kendaraan lain seperti truk, mobil pribadi, dan angkutan umum Submodel Sosial Submodel sosial dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru terhadap keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem tersebut disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 52. Pada Gambar 52 terlihat bahwa

66 28 pertumbuhan penduduk, pendidikan dan penduduk komuter akan mempengaruhi penduduk kota baru, selanjutnya sub model sosial ini digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) (Gambar 53). Gambar 52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan kepedulian lingkungan % kesadaran lingkungan % penduduk pekerja penduduk komuter pendidikan Populasi Tangsel infrastrukfur IPAL diperlukan jumlah rumah pertumbuhan pengurangan fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan Gambar 53. Diagram stock-flow submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan

67 29 Pada Gambar 52 dan 53 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model sosial di atas, terlihat bahwa pengurangan dan penambahan populasi berdampak pada pertumbuhan penduduk kota baru. Penduduk komuter juga akan mempengaruhi penduduk kota baru, dalam hal ini jika semua fasilitas komuter baik, diduga dapat meningkatkan penduduk kota baru dan sebaliknya. Selain hal itu pendidikan penduduk kota baru juga akan mempengaruhi kesadaran penduduk itu sendiri terhadap kesadaran lingkungan. Dalam hal ini semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka kecenderungan kesadaran lingkungannya akan semakin meningkat, sehingga bukan tidak mungkin masyarakat sendiri yang akan meminta kota baru untuk melestarikan lingkungannya secara lebih baik lagi, misalnya dengan cara melakukan pembangunan IPAL untuk limbah cair bagi berbagai kegiatan antropogenik, sehinggapada akhirnyaakan berdampak positif pada penduduk kota baru itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori Kuznet yang mengatakan bahwa semakin meningkat kesejahteraan, semakin tinggi kepeduliannya terhadap lingkungan. Adapun populasi Tangerang Selatan berdasarkan hasil simulasi, penduduk usia kerja, jumlah rumah dan penduduk komuter mulai tahun 2008 hingga tahun 206 dapat dilihat pada Gambar 54. Pada sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, besarnya peningkatan populasi Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya populasi Tangerang Selatan orang, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi dan pada tahun 206 diperkirakan menjadi orang. Pada sub model sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk usia kerja (5-65 tahun), besarnya peningkatan penduduk usia kerja ditangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya penduduk usia kerja (5-65)Tangerang Selatan orang, yakni setengahnya dari jumlah populasi yang ada di Tangerang Selatan. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi orang dan pada tahun 206 diperkirakan menjadi orang. Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah rumah, besarnya peningkatan jumlah rumah di Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 57 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 jumlah rumah di Tangerang Selatan

68 rumah. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi rumah dan pada tahun 206 diperkirakan menjadi rumah. : 2: 3: 4: : Populasi Tangsel 2: penduduk pekerja 3: jumlah rumah 4: penduduk commuter : 2: 3: 4: : 2: 3: 4: Page Years 7:52 30 Okt 20 Gambar 54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan penduduk usia kerja (5-65), jumlah rumah serta penduduk komuter : : Populasi Tangsel : : Gambar 55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk

69 3 : : penduduk pekerja : : Gambar 56. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja (5-65) : : jumlah rumah : : Gambar 57. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk yang commuter, besarnya peningkatan jumlah penduduk yang komuter di Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 58 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya jumlah penduduk yang komuter Tangerang Selatan orang, yakni jumlahnya mencapai 2/3 dari dari jumlah penduduk usia kerja yang ada di Tangerang Selatan. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi orang dan pada tahun 206 diperkirakan menjadi orang yakni mencapai tiga kali lipat dari tahun 2008.

70 32 : : penduduk commuter : : Gambar 58. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang komuter Validitas Model Seperti dijelaskan di atas bahwa validasi model dalam sistem dinamik dapat dilakukan atas dua yaitu validasi struktur model dan validasi kinerja model. (). Validasi Struktur Model Validitas atau keabsahan merupakan kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah yang dalam pemodelan ditunjukkan dari sejauhmana model dapat menirukan fakta. Validasi model ini akan dapat menyimpulkan apakah model dari sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 999). Dalam pemodelan, hasil simulasi adalah perilaku variabel yang diinteraksikan dengan bantuan komputer. Tampilan perilaku variabel tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data simulasi dan bersifat tidak terukur yang disusun menjadi pola simulasi. Keserupaan dunia model dengan dunia nyata ditunjukkan dari sejauhmana data simulasi dan pola simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Adapun proses melihat keserupaan tersebut dikenal sebagai validasi output atau kinerja model. Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem. Pada saat melakukan perancangan dan justifikasi, pembuat model dituntut untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian. Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami

71 33 mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 993). Hal ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model. (2). Validasi Kinerja/Output Model Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: ) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual. a. Sub Model Lingkungan Pada validasi dari sub model lingkungan, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi untuk lingkungan perairan yang dilihat dari beban pencemaran perairan diwilayah yang dikaji, dengan hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, untuk sub model lingkungan pada perairan memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) untuk beban pencemaran BOD menyimpang 0,67% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0,5%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk beban pencemaran CODmemiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang % dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.25%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk beban pencemaran NO 3 memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang % dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.632%. Pada sub model lingkungan di perairan untuk beban pencemaran PO 4 memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang % dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.462%. Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari beban pencemaran perairan total diwilayah yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang % dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.46%. Adapun validasi kinerja model untuk pencemaran air yang dilihat dari beban pencemarannya dapat dilihat pada Tabel 6.

72 34 Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, untuk sub model lingkungan pada pencemaran udara, pencemaran CO x memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.03% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.07%. Khusus untuk sub model lingkungan pada pencemaran udara, pencemaran SO x memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.02% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.8%. Pada pencemaran udara, pencemaran NO x memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%. Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari pencemaran udara total di wilayah yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%. Adapun validasi kinerja model untuk pencemaran air yang dilihat dari beban pencemarannya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Pada validasi dari sub model ekonomi, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi untuk ekonomi lingkungan yang dilihat dari PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa di wilayah yang dikaji, dan dilihat berdasarkan PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain, dengan hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 20. Khusus untuk sub model ekonomi pada PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasamemiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.97%. Adapun nilai total PDRB dari PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang 0.76% Pada sub model ekonomi pada PDRB dari bank sewa memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.05% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.50%. Pada sub model ekonomi pada PDRB dari ekonomi lain memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.33%. Adapun nilai total PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.04% dan Absolute Variation Error (AVE)menyimpang 0.07%. Adapun validasi kinerja model untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 20.

73 35 Pada sub model sosial pada jumlah penduduk memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.049% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.343%. Pada sub model sosial pada usia kerja memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang % dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.95%. Adapun untuk jumlah rumah memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.003% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang 0.377%. Adapun validasi kinerja model untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 20.

74 36 Tabel 6. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air Beban (Ton/hari) Tahun BOD COD NO3 PO4 Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi Mean AME Varian AVE Tabel 7. Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara Udara Ambien (µg/ Nm 3 ) Tahun CO x SO x NO x Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi , , , Mean AME Varian AVE

75 37 Tabel 8. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Tahun Angkutan & Komunikasi PHR Jasa Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi 2008,508,827.7,504,093.7,496,249.28,344, , , ,795,403.9,729,707.77,586,935.03,546,65.74,03,260.29,063, ,980,050.97,989,63.93,786,29.34,778,649.50,33,47.77,222, Mean,887,727.44,859,435.85,686,532.8,662,650.62,073,339.03,42, AME Varian AVE Tabel 9. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Tahun Bank Sewa Ekonomi Lain Total Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi , , , , ,275, ,55, , , , , ,70, ,928, ,070,088.8,084, , , ,568, ,87,75.38 Mean 969,995.73,04, , , ,39, ,373,5.42 AME Varian AVE

76 38 Tabel 20. Submodel sosial Penduduk Tahun Jumlah Usia Kerja Jumlah Rumah Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi ,783 98, ,86 459,392 35,688 32, ,055,25,056, , , , ,80 200,250,780,25,09 588, , , ,282 Mean,52,997,35, , ,923 40, ,546 AME Varian 9,22,844,430 2,559,698,54 3,898,778,89 3,39,885,03 2,470,722,978,538,57,392 AVE

77 Skenario Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, pada penelitian ini dibuat skenario dan simulasinya. Skenario yang diambil di sini berupa empat alternatif kebijakan yang diikuti dengan pelaksanaan serta pengawasan yang tepat yaitu :. Alternatif kebijakan untuk tidak mengadakan perubahan (skenario do nothing) Alternatif ini diambil sebagai pembanding dalam pengambilan alternatif kebijakan lainnya, juga sebagai alternatif kebijakan apabila kebijakan lainnya kenyataannya tidak lebih baik dari yang sudah ada sekarang. Dalam pemilihan alternatif kebijakan ini tidak ada perubahan parameter yang dilakukan 2. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 3%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 20% b. Ekonomi: peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 0%. c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana. 3. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten

78 40 sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 40% b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%. c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. 4. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 7%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 50% b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 30%. Pada kebijakan ini juga Kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Kebijakan tambahan untuk pembangunan pemukiman terpadu sehat Adapun hasil simulasi dari setiap skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar 59 sampai dengan Gambar 78 dan pada Lampiran 5.

79 4 Simulasi skenario submodel lingkungan Pada penelitian ini dibuat simulasi dari skenario submodel lingkungan yang terdiri dari kualitas air dan kualitas udara. Kualitas Air Hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 tentang beban COD dapat dilihat pada Gambar 59. Pada Gambar 59 terlihat trend penurunan COD pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan COD yang sangat signifikan. Gambar 59. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario, 2, 3 dan 4 Beban pencemaran BOD (ton/hari) Hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 tentang beban BOD dapat dilihat pada Gambar 60. Pada Gambar 60 terlihat trend penurunan BOD pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan BOD yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran bahan organik.

80 42 Gambar 60. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario, 2, 3 dan 4 Beban pencemaran NO 3 (ton/hari) Hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 tentang beban NO 3 dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat trend penurunan NO 3 pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan NO 3 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan kelewat subur, seperti terjadinya blooming plankton Gambar 6. Beban pencemaran NO 3 (ton/hari) skenario, 2, 3 dan 4

81 43 Beban pencemaran PO 4 (ton/hari) Hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 tentang beban PO 4 dapat dilihat pada Gambar 62. Pada Gambar 62 terlihat trend penurunan PO 4 pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan PO 4 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan dan mengurangi adanya faktor pembatas akibat unsur phosphor yang meningkat. Gambar 62. Beban pencemaran PO 4 (ton/hari) skenario, 2, 3 dan 4 Kualitas Udara Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap kualitas udara pada skenario, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 tentang emisi CO x (µg/ Nm 3 ) dapat dilihat pada Gambar 63. Pada Gambar 63 terlihat trend penurunan CO x pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan CO x yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.

82 44 Gambar 63. Emisi CO x (µg/nm 3 ) skenario, 2, 3 dan 4 Emisi NO x (µg/ Nm 3 ) Hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 tentang emisi NO x (µg/nm 3 ) dapat dilihat pada Gambar 64. Pada Gambar 64 terlihat trend penurunan CO x pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan NO x yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Gambar 64. Emisi NO x (µg/nm 3 ) skenario, 2, 3 dan 4

83 45 Emisi SO x (µg/nm 3 ) Hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 tentang emisi SO x (µg/nm 3 ) dapat dilihat pada Gambar 65. Pada Gambar 65 terlihat trend penurunan SO x pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan SO x yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Gambar 65. Emisi SO x (µg/nm 3 ) skenario, 2, 3 dan 4 Simulasi skenario submodel ekonomi Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap sub model ekonomi pada skenario, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario, 2, 3, dan 4 dapat dilihat pada Gambar 66. Pada Gambar 66 terlihat trend peningkatan PDRB pengangkutan dan komunikasi pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan PDRB pengangkutan dan komunikasi yang meningkat secara sangat signifikan, sehingga akan sangat membantu meningkatkan PDRB Kota Tangsel. Kondisi yang sama juga terjadi kegiatan ekonomi lainnya seperti yang tersaji pada Gambar

84 46 Gambar 66. Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dan komunikasi skenario, 2, 3 dan 4 Gambar 67. Submodel ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel dan Restoran skenario, 2, 3 dan 4 PDRB Jasa : jasa-jasa Di Kota Tangerang Selatan, selain terdapat kegiatan ekonomi seperti tersebut di atas, juga terdapat penelirimaan PDRB yang berasal dari bidang jasa yang hasil simulasi skenario, 2, 3 dan 4 nya seperti ditunjukan oleh Gambar 68. Selain itu PDRB juga dapat berasal dari bank, persewaan dan jasa perusahaan

85 47 (Gambar 69) serta dari kegiatan ekonomi lainnya yang skenarionya dapat dilihat pada Gambar 70. Gambar 68. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario, 2, 3 dan 4 Gambar 69. Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasa perusahaan skenario, 2, 3 dan 4

86 48 Gambar 70. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario, 2, 3 dan 4 Infrastruktur, total panjang jalan (km) Hasil simulasi skenario, 2, 3 dan 4 dalam hal infrastruktur panjang jalan dari tahun 2008 hingga 206 dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan simulasi kerusakan jalannya dapat dilihat pada Gambar 72. Gambar 7. Infrastruktur jalan skenario, 2, 3 dan 4

87 49 Gambar 72. Infrastruktur kerusakan jalan skenario, 2, 3 dan 4 Adapun hasil simulasi persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dengan skenario, 2, 3 dan 4 tersaji pada Gambar 73. Gambar 73. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan skenario, 2, 3 dan 4 Hasil simulasi jumlah kendaraan roda dua pada skenario, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 74. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario, 2, 3, dan 4 akan terjadi kenaikan kendaraan roda dua, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.

88 50 Gambar 74. Jumlah kendaraan roda dua, skenario, 2, 3 dan 4 Hasil simulasi jumlah kendaraan roda empat pada skenario, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 75. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada kendaraan roda dua, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario. jumlah kendaraan roda empat, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario. Selain itu kenaikan jumlah kendaraan roda empat lebih rendah dibanding roda dua. Gambar 75. Jumlah kendaraan roda empat, skenario, 2, 3 dan 4

89 5 Simulasi skenario submodel sosial Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk pada skenario, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 76. Gambar 76. Skenario sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario, 2, 3 dan 4 Hasil simulasi terhadap jumlah rumah pada skenario, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 77. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi lainnya yakni akan terjadi peningkatan jumlah rumah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario. Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk komuter pada skenario, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 78. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi lainnya yakni akan terjadi peningkatan jumlah jumlah penduduk komuter seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tangerang Selatan, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.

BAB V. kelembagaan bersih

BAB V. kelembagaan bersih 150 BAB V ANALISIS KEBERLANJUTAN 5.1 Analisis Dimensional Analisis keberlanjutan pengelolaan air baku lintas wilayah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta mencakup empat dimensi yaitu dimensi

Lebih terperinci

Lampiran 1: Data kualitas air dan udara Kawasan Pemukiman di Cisauk dan sekitarnya. Pengambilan data Agustus 2011

Lampiran 1: Data kualitas air dan udara Kawasan Pemukiman di Cisauk dan sekitarnya. Pengambilan data Agustus 2011 143 Lampiran 1: Data kualitas air dan udara Kawasan Pemukiman di Cisauk dan sekitarnya. Pengambilan data Agustus 2011 No Parameter Satuan I II Perumahan Luar Lokasi Perumahan Pertokoan BSD Industri Baku

Lebih terperinci

MODEL PENGENDALIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BARU BERKELANJUTAN : Studi Kasus Pengembangan Kotabaru Bumi Serpong Damai

MODEL PENGENDALIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BARU BERKELANJUTAN : Studi Kasus Pengembangan Kotabaru Bumi Serpong Damai J. Tek. Ling Vol. 13 No. 1 Hal. 1-12 Jakarta, Januari 2012 ISSN 1441-318X MODEL PENGENDALIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BARU BERKELANJUTAN : Studi Kasus Pengembangan Kotabaru Bumi Serpong Damai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan budaya dengan sendirinya juga mempunyai warna

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sosial dan budaya dengan sendirinya juga mempunyai warna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota merupakan daerah yang memiliki mobilitas yang tinggi. Daerah perkotaan menjadi pusat dalam setiap daerah. Ketersediaan akses sangat mudah didapatkan di

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai, Provinsi Banten, serta di wilayah sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan Mei September

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH 4.1. Strategi dan Tiga Agenda Utama Strategi pembangunan daerah disusun dengan memperhatikan dua hal yakni permasalahan nyata yang dihadapi oleh Kota Samarinda dan visi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS dan 105º10-105º22 BT, mempunyai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik wilayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM BAB 6 TUJUAN DAN KEBIJAKAN No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM Mengembangkan moda angkutan Program Pengembangan Moda umum yang saling terintegrasi di Angkutan Umum Terintegrasi lingkungan kawasan permukiman Mengurangi

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS 3.1 Identifikasi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kondisi Saat Ini sebagaimana tercantum dalam BAB II maka dapat diidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) Sub Bidang Sumber Daya Air 1. Pengembangan, Pengelolaan, dan Konservasi Sungai, Danau, dan

Lebih terperinci

BAB IV ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV ARAH, TAHAPAN DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH 4.1 Arah Pembangunan Daerah Tujuan pembangunan jangka panjang daerah Kota Bandung 2005-2025 adalah mewujudkan masyarakat kota Bandung yang Bermartabat

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG

VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 133 VIII. ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI TANAMAN HORTIKULTURA PADA LAHAN BERLERENG DI HULU DAS JENEBERANG 8.1. Pendahuluan Kabupaten Gowa mensuplai kebutuhan bahan material untuk pembangunan fisik, bahan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Masalah Air Limbah Rumah Sakit Pencemaran air limbah sebagai salah satu dampak pembangunan di berbagai bidang disamping memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Selain itu peningkatan

Lebih terperinci

DAMPAK PENGOPERASIAN INDUSTRI TEKSTIL DI DAS GARANG HILIR TERHADAP KUALITAS AIR SUMUR DAN AIR PASOKAN PDAM KOTA SEMARANG

DAMPAK PENGOPERASIAN INDUSTRI TEKSTIL DI DAS GARANG HILIR TERHADAP KUALITAS AIR SUMUR DAN AIR PASOKAN PDAM KOTA SEMARANG DAMPAK PENGOPERASIAN INDUSTRI TEKSTIL DI DAS GARANG HILIR TERHADAP KUALITAS AIR SUMUR DAN AIR PASOKAN PDAM KOTA SEMARANG Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

kabel perusahaan telekomunikasi dan segala macam (Setiawan, 2014).

kabel perusahaan telekomunikasi dan segala macam (Setiawan, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi yang sangat pesat menyebabkan kemajuan di segala bidang, dan sekaligus menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Dampak kemajuan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah 2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation antara kinerja pembangunan yang dicapai saat inidengan yang direncanakan serta antara apa yang ingin dicapai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa. bersama akan maksimal, dengan demikian kemakmuran sebuah bangsa dapat

I. PENDAHULUAN. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa. bersama akan maksimal, dengan demikian kemakmuran sebuah bangsa dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa pembangunan adalah sesuatu yang bersahabat, pembangunan seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan mahluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Sungai adalah sumber daya alam yang bersifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada Pemerintahan Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Endah Murniningtyas Deputi Bidang SDA dan LH Kementerian PPN/Bappenas Lokakarya Mengarusutamakan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Agenda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan ruang untuk

Lebih terperinci

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN Visi dan misi merupakan gambaran apa yang ingin dicapai Kota Surabaya pada akhir periode kepemimpinan walikota dan wakil walikota terpilih, yaitu: V.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena pemanasan bumi, degradasi kualitas lingkungan dan bencana lingkungan telah membangkitkan kesadaran dan tindakan bersama akan pentingnya menjaga keberlanjutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang terus meningkat membawa konsekuensi semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan-lahan untuk menyediakan permukiman, sarana penunjang ekonomi

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP Ikhtisar Eksekutif Pembangunan sistem administrasi modern yang andal, professional, partisipatif serta tanggap terhadap aspirasi masyarakat, merupakan kunci sukses menuju manajemen pemerintahan dan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Transportasi juga diharapkan memiliki fungsi untuk memindahkan obyek sampai tujuan dengan

I. PENDAHULUAN. Transportasi juga diharapkan memiliki fungsi untuk memindahkan obyek sampai tujuan dengan I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Transportasi merupakan fasilitas pendukung kegiatan manusia, transportasi tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek aktivitas manusia tersebut. Transportasi sudah menjadi

Lebih terperinci

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan

Lebih terperinci

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP - 216 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

TUJUAN 1. TERWUJUDNYA KOTA BOGOR SEBAGAI KOTA YANG CERDAS, BERDAYA SAING DAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI MELALUI SMART GOVERMENT DAN SMART PEOPLE

TUJUAN 1. TERWUJUDNYA KOTA BOGOR SEBAGAI KOTA YANG CERDAS, BERDAYA SAING DAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI MELALUI SMART GOVERMENT DAN SMART PEOPLE C. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PENCAPAIAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2015-2019 MISI 1. MEWUJUDKAN BOGOR KOTA YANG CERDAS DAN BERWAWASAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI TUJUAN 1. TERWUJUDNYA KOTA

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG Setyo S. Moersidik Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Indonesia (smoersidik@yahoo.com) DDL Adalah kemampuan lingkungan hidup untuk

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 KABUPATEN MAGETAN. INDIKATOR KINERJA Meningkatkan kualitas rumah ibadah dan

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 KABUPATEN MAGETAN. INDIKATOR KINERJA Meningkatkan kualitas rumah ibadah dan PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 KABUPATEN MAGETAN No SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET 1 2 3 4 1 Meningkatkan kualitas rumah ibadah dan 1. Jumlah rumah ibadah yang difasilitasi 400 jumlah kegiatan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi tumbuh dan kembangnya pembangunan suatu kota, disamping faktor-faktor lain. Jumlah penduduk yang cenderung hidup di

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi tumbuh dan kembangnya pembangunan suatu kota, disamping faktor-faktor lain. Jumlah penduduk yang cenderung hidup di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi tumbuh dan kembangnya pembangunan suatu kota, disamping faktor-faktor lain. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR Oleh : Elfin Rusliansyah L2D000416 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah.

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. mengembangkan otonomi daerah kepada pemerintah daerah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka landasan administrasi dan keuangan diarahkan untuk mengembangkan otonomi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat

BAB I PENDAHULUAN. dimensi ekonomi dibandingkan dengan dimensi ekologi. Struktur alami sebagai tulang punggung Ruang Terbuka Hijau harus dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan menuju berkurangnya ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan dimensi ekonomi

Lebih terperinci

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI Pada bab ini akan dibahas mengenai strategi pengembangan sanitasi di Kota Bandung, didasarkan pada analisis Strength Weakness Opportunity Threat (SWOT) yang telah dilakukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan

BAB I PENDAHULUAN Tujuan Penulisan Laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tujuan Penulisan Laporan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environment and Development UNCED) di Rio

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2007-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden 6.1.1 Penilaian Responden terhadap Kebersihan Desa Galuga Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan industri merupakan salah satu kegiatan di sektor ekonomi yang dilakukan oleh manusia yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimana didalamnya

Lebih terperinci

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif MINGGU 7 Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan : Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan : a. Permasalahan tata guna lahan b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif Permasalahan Tata Guna Lahan Tingkat urbanisasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.

BAB I PENDAHULUAN. biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum perkembangan jumlah penduduk yang semakin besar biasanya disertai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut membawa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 4.1 Permasalahan Pembangunan Capaian kinerja yang diperoleh, masih menyisakan permasalahan dan tantangan. Munculnya berbagai permasalahan daerah serta diikuti masih banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum BPLH Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum BPLH Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum BPLH Kota Bandung I su-isu kerusakan lingkungan saat ini bukan lagi hanya merupakan isu lokal daerah, akan tetapi sudah menjadi isu global, dimana negara-negara di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

LAMPIRAN Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 122 Tahun 2005

LAMPIRAN Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 122 Tahun 2005 LAMPIRAN Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 122 Tahun 2005 GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 122 TAHUN

Lebih terperinci

BAB III KONDISI DAN ANALISIS LINGKUNGAN

BAB III KONDISI DAN ANALISIS LINGKUNGAN BAB III KONDISI DAN ANALISIS LINGKUNGAN 3.1 Kondisi Umum Kondisi kualitas udara jika dilihat dari parameter debu masih cukup baik. Berdasarkan pemantauan parameter debu di 13 titik menunjukkan bahwa kesemua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

DAMPAK AKTIVITAS PELABUHAN DAN SEBARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG DAN KAWASAN SEKITARNYA

DAMPAK AKTIVITAS PELABUHAN DAN SEBARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG DAN KAWASAN SEKITARNYA DAMPAK AKTIVITAS PELABUHAN DAN SEBARAN PENCEMARAN LINGKUNGAN PELABUHAN TANJUNG EMAS SEMARANG DAN KAWASAN SEKITARNYA Oleh : BOBY REYNOLD HUTAGALUNG L2D 098 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1990-an paradigma pembangunan ekonomi Indonesia mengarah kepada industrialisasi. Sektor industri makin berperan sangat strategis sebagai motor penggerak pada

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia, namun keberadaannya pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia, namun keberadaannya pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan salah satu komponen sumber daya alam yang paling dibutuhkan oleh manusia, namun keberadaannya pada sumber-sumber air mempunyai risiko mudah tercemar,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Transportasi 2. 1. 1 Pengertian Transportasi Konsep transportasi didasarkan pada adanya perjalanan ( trip) antara asal ( origin) dan tujuan (destination). Perjalanan adalah pergerakan

Lebih terperinci

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) BPPT 1

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) BPPT 1 Bab i pendahuluan Masalah pencemaran lingkungan oleh air limbah saat ini sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan seperti halnya di DKI Jakarta. Beban polutan organik yang dibuang ke badan sungai atau

Lebih terperinci

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Lampiran E: Deskripsi Program / Kegiatan A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Nama Maksud Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka pemakaian sumberdaya air juga meningkat.

1.2 Perumusan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, maka pemakaian sumberdaya air juga meningkat. 37 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang menjabarkan pembangunan sesuai dengan kondisi, potensi dan kemampuan suatu daerah tersebut.

Lebih terperinci