BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran. 1. Pengertian Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran. 1. Pengertian Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran 1. Pengertian Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran Menurut Jantz & McMurray (2003) emotional abuse sulit ditemukan dan mudah untuk mengingkarinya. Kekerasan fisik dan seksual memiliki ciri yang jelas, sedangkan emotional abuse menyerang harga diri seseorang. Emotional abuse sengaja dilakukan oleh orang lain untuk mengubah pandangan diri korban, dengan tujuan mengontrol diri korban. Memperlakukan secara tidak adil dengan pola konsisten yang terjadi dalam kurun waktu cukup lama, jika ini dibiarkan akan menimbulkan trauma pada korban. Emotional abuse menurut The Advocacy Center and The Domestic Abuse Project (2010) dalam Paludi (2011) adalah perilaku seseorang di dalam suatu hubungan yang bertujuan untuk mengontrol pasangan. Emotional abuse dalam pacaran menurut Worell (2002) yaitu berbagai bentuk tekanan, agresifitas, atau trauma yang lebih bersifat psikologis dibandingkan bersifat fisik, walaupun pasangan tidak memiliki kontrol kemungkinan terjadinya emotional abuse tetap ada. Pengertian yang serupa diungkap oleh Paludi (2011) yaitu perilaku tersembunyi yang bertujuan untuk mengontrol, mendominasi dan mengisolasi. Menurut Alberta (2008) emotional abuse adalah tindakan untuk mendominasi, mengisolasi, dan emosional yang berlebihan. Di sisi lain menurut Murray (2007), emotional abuse dalam berpacaran remaja yaitu tipe kekerasan berfokus pada kontrol dan kekuatan yang paling merusak, yang dapat memicu timbulnya kekerasan fisik dan seksual. Jadi dapat disimpulkan bahwa emotional 13

2 14 abuse pada remaja yang berpacaran adalah kekerasan berfokus pada kontrol dan kekuatan yang dilakukan oleh remaja kepada pasangannya. Peneliti mengacu pada definisi dari Murray (2007), karena peneliti berfokus terhadap bentuk kekerasan emosional yang terlihat dari kontrol dan sumber kekuatan didalam hubungan berpacaran. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran Menurut Gallopin dan Leigh (dalam Paludi, 2011), remaja yang menjalin hubungan berpacaran sadar akan adanya kekerasan dalam berpacaran namun cenderung tidak ditanggapi serius dan diterima. Penyebab yang mempengaruhi emotional abuse pada remaja dalam hubungan berpacaran adalah: a. Salah satu cara untuk menyelesaikan argumen b. Hubungan yang terburu-buru c. Sedikit pengalaman d. Kesulitan membedakan antara cinta dan nafsu e. Tidak adanya tuntunan dari orang tua f. Tidak ada contoh yang baik Ditegaskan pula menurut Paludi (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah: a. Pengaruh keluarga Remaja cenderung untuk mengikuti perilaku yang dilihat di rumah serta remaja yang tumbuh dengan keluarga yang penuh kekerasan akan memiliki kecenderungan melihat kekerasan menjadi hal yang normal yang akhirnya membuat remaja mengikuti gaya orang tua dan tidak memiliki resolusi dalam menghadapi konflik. Peran saudara pun turut mempengaruhi, seperti seorang adik yang dibully oleh kakak.

3 15 b. Pengaruh teman sebaya Walaupun individu tidak pernah mendapat kekerasan di keluarga tetapi individu tersebut mempunyai teman yang melakukan kekerasan terhadap pasangan. Invididu cenderung untuk tidak mempedulikan permasalahan tersebut. Hal itu dapat menjadi salah satu faktor pengaruh dikarenakan ketika individu melihat teman melakukan kekerasan seperti emotional abuse kepada pasangan, individu melihat perilaku teman tersebut menjadi hal yang biasa dan tidak mempermasalahkan perilaku yang dilakukan. c. Budaya Kekerasan dalam hubungan berpacaran bisa dipengaruhi oleh faktor budaya yang menganggap kekerasan sebagai bentuk yang normal dan dapat diterima. Ada sebuah penelitian menyatakan bahwa kekerasan yang dianut dalam budaya menjadi penyebab utama dari kekerasan berpacaran remaja. Faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam berpacaran remaja menurut Murray (2007) peran orang tua sebagai contoh dalam mendidik harus mampu berpikir objektif untuk mengetahui kebutuhan akan kata-kata dan perilaku yang diperlukan oleh anak karena dapat menjadi salah satu faktor yang membentuk karakteristik anak. Peneliti menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi emotional abuse dalam berpacaran remaja adalah adanya peranan contoh dari orang tua, yang mengacu pada Murray (2007). Dikarenakan aspek yang diungkapkan oleh Murray (2007) relevan dengan dinamika dalam penelitian ini. 3. Bentuk-Bentuk Emotional Abuse pada Remaja Akhir yang Berpacaran Bentuk-bentuk emotional abuse yang dialami oleh pasangan yang menjalin hubungan berpacaran menurut Paludi (2011) seperti perilaku agresif yaitu:

4 16 a. Mengintimidasi secara verbal b. Memaki c. Mengejek dan menghina d. Mempermalukan secara sosial e. Over-protektif f. Mengancam Worell (2011) mengungkapkan bentuk-bentuk emotional abuse dalam berpacaran tidak berbeda jauh seperti menurut Paludi (2011) yaitu: a. Ancaman verbal dan hinaan b. Kekerasan finansial c. Manipulasi psikis d. Membatasi kebebasan e. Membuat pemikiran bahwa hanya pasangan tersebut yang dapat diandalkan f. Tidak memperbolehkan keluar rumah sendiri g. Mengkritik penampilan, keluarga dan kognitif h. Waktu untuk menelepon orang dibatasi Menurut Alberta (2008) dalam bentuk-bentuk emotional abuse dalam hubungan berpacaran adalah: a. Memperlakukan tanpa rasa hormat : 1) Memanggil nama, menghina, menuduh, dan mempermalukan. 2) Menyumpahi atau berteriak. 3) Mengatakan sesuatu yang kasar atau tidak sopan yang dapat membuat individu merasa malu. 4) Mengganggu atau mengejek keyakinan spiritual.

5 17 b. Emosi tidak stabil : 1) Menjadi pemarah dan suasana hati menjadi liar. 2) Suasana hati yang cepat berubah. 3) Bertukar antara baik menjadi kejam. 4) Memanipulasi emosi, seperti: jika kamu mengasihani aku, maka aku akan melakukan apapun yang kamu inginkan. c. Mengisolasi pasangan : 1) Menjadi posesif. 2) Tidak menginginkan pasangan untuk bersama dengan orang lain. 3) Mengatur kepada siapa dapat menghabiskan waktu atau jumlah waktu. 4) Membatasi gerak pasangan dari teman dan keluarga. Hasil serupa diungkapkan oleh Murray (2007) bentuk kekerasan dalam berpacaran pun dikemukakan sebagai berikut: a. Kekerasan kemarahan atau emosional: merendahkan, membuat pasangan merasa diri buruk, memanggil pasangan dengan sebutan yang buruk, membuat pasangan berpikir diri gila, menghina, membuat pasangan merasa bersalah. b. Menggunakan status sosial: memperlakukan pasangan seperti pelayan, membuat semua keputusan, menjadi orang yang menentukan peran pria dan wanita. c. Intimidasi: membuat takut dengan tatapan dan gerak tubuh, merusak benda-benda kesayangan, menyiksa hewan kesayangan, memamerkan senjata. d. Menyangkal atau menyalahkan: menyepelekan kekerasan dan tidak memperdulikannya secara serius, mengatakan bahwa kekerasan itu tidak ada, melemparkan tanggung jawab atas perilaku kekerasan, mengatakan pasangan penyebab dari masalah.

6 18 e. Ancaman: membuat dan melakukan ancaman untuk melakukan sesuatu yang menyakiti pasangan, mengancam akan pergi atau melakukan bunuh diri, membuat tuduhan, membuat pasangan melakukan hal yang melanggar hukum, mengancam akan melaporkan pasangan ke polisi. f. Tekanan teman sebaya: mengancam akan mengekspos kelemahan pasangan atau menyebarkan gosip, mengatakan kebohongan yang jahat tentang pasangan kepada kelompok. g. Pemaksaan seksual: melakukan manipulasi atau ancaman untuk mendapatkan seks. h. Isolasi pengucilan: mengontrol kegiatan yang dilakukan, mengontrol siapa yang ditemui dan diajak bicara, mengontrol apa yang dibaca dan mengontrol kemana pasangan pergi, membatasi keterlibatan pihak luar, menggunakan rasa cemburu untuk membenarkan tindakan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk-bentuk dari emotional abuse dalam berpacaran remaja kekerasan kemarahan atau emosional, menggunakan status sosial, intimidasi, menyangkal atau menyalahkan, ancaman, tekanan teman sebaya pemaksaan seksual, isolasi pengucilan. Peneliti mengacu pada Murray (2007) dikarenakan, bentukbentuk emotional abuse dalam berpacaran remaja menurut Murray (2007) memiliki bentuk-bentuk serupa yang telah diungkap oleh tokoh lain sehingga membuat bentukbentuk emotional abuse menjadi lebih lengkap. B. Pola Komunikasi Dalam Keluarga 1. Pengertian Pola Komunikasi Dalam Keluarga Menurut Friedman (1998), pola komunikasi dalam keluarga sebagai sebuah simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga. Setiap orang memiliki gaya komunikasinya sendiri begitu pula dengan keluarga.

7 19 Tugas dari keluarga yaitu membantu anggota keluarganya dalam memelihara lingkungan yang sehat dan mampu mengembangkan harga diri yang baik. Pola komunikasi menggambarkan nilai-nilai peran keluarga dan pengaturan kekuasaan. Komunikasi yang tidak jelas diyakini sebagai penyebab utama berfungsinya keluarga yang sangat memprihatinkan (Holman & Satir) dalam Friedman (1996). Sedangkan menurut Koerner dan Fitzpatrick dalam Vangelisti (2004), pola komunikasi dalam keluarga adalah gambaran keluarga dalam menciptakan kestabilan dan pengembangan komunikasi antara anggota keluarga yang dapat diprediksi. Tidak dapat terhindar dari pengaruh anggota keluarga dan norma keluarga. Peneliti menyimpulkan bahwa pola komunikasi dalam keluarga adalah sebuah simbolik dari nilai-nilai peran anggota keluarga dalam menciptakan kestabilan dan pengembangan komunikasi antara anggota keluarga yang dapat diprediksi. 2. Bentuk Pola Komunikasi Dalam Keluarga Terdapat empat pola komunikasi antar suami dan istri menurut Devito (2013) diantaranya: a. Pola keseimbangan Pola keseimbangan ini lebih terlihat pada teori dari pada prakteknya, tetapi ini merupakan awal yang bagus untuk melihat komunikasi pada hubungan yang penting. Komunikasi yang terjalin antara suami istri sangat terbuka, jujur, langsung dan bebas. b. Pola keseimbangan terbalik Dalam pola keseimbangan terbalik, masing-masing anggota keluarga (suami dan istri) mempunyai orientasi diatas daerah atau wewenang yang berbeda. Masing-masing suami atau istri adalah sebagai pembuat keputusan konflik yang terjadi antara

8 20 keduanya, dianggap bukan ancaman oleh suami atau istri karena keduanya memiliki keahlian sendiri-sendiri untuk menyelesaikannya. c. Pola pemisah tidak seimbang Pola pemisah tidak seimbang merupakan pola komunikasi yang hanya memiliki satu anggota keluarga yang mendominasi anggota keluarga lainnya. d. Pola Monopoli Dalam pola monopoli ini, suami atau istri sama-sama menganggap dirinya sebagai penguasa. Keduanya lebih suka memberi nasehat dari pada berkomunikasi untuk saling bertukar pendapat. Pengelompokan yang berbeda pada pola komunikasi dalam keluarga menurut Friedman (1998) sebagai berikut: a. Komunikasi Fungsional Dalam Keluarga Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci dari keberhasilan keluarga yang sehat dan berhasil. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang mencocokan arti, mencapai konsistensi, dan mencapai kesesuaian antara pesan yang diterima dengan yang diharapkan. Pola komunikasi memiliki pengaruh besar di dalam anggota individu. Individualisasi, belajar tentang orang lain, perkembangan dan mempertahankan harga diri, dan mampu membuat pilihan, semua tergantung pada informasi yang masuk melewati anggota keluarga. Dengan adanya keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas, anggota keluarga mampu mengakui kebutuhan dan emosi satu sama lain. Faktor-faktor komunikasi fungsional dalam keluarga sebagai berikut: a. Interaksinya menyatakan adanya suatu toleransi dan memahami ketidaksempurnaan dan individualitas anggota.

9 21 b. Dengan adanya suatu keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas, anggota keluarga mampu mengakui kebutuhan dan emosi satu sama lain. c. Pola-pola komunikasi dalam sebuah keluarga fungsional menunjukkan adanya penyambutan terhadap perbedaan, dan juga penilaian minimum serta kritik yang tidak realistis. d. Penilaian terhadap perilaku individual diharuskan oleh tekanan tuntutan sosial eksternal atau perlunya sistem keluarga atau perkembangan pribadi, melahirkan penilaian yang sehat dalam keluarga secara keseluruhan. e. Pengiriman terhadap pesan oleh anggota keluarga kepada anggota keluarga lain jelas. f. Penerimaan terhadap pesan yang disampaikan anggota keluarga oleh anggota keluarga jelas. b. Pola komunikasi disfungsional Berbeda dengan pola komunikasi disfungsional didefinisikan sebagai pengirim dan penerima isi dan perintah dari pesan yang tidak jelas atau tidak langsung atau ketidaksepadanan antara tingkat isi dan perintah dari pesan. Aspek tidak langsung dari komunikasi disfungsional mengarah kepada pesan-pesan yang ditujukan oleh orang lain. Jika penerimanya tidak berfungsi, maka akan terjadi kegagalan penerima mendengar, menggunakan diskualifikasi, memberikan respons yang tidak sesuai, gagal menggali pesan pengirim, gagal menvalidasi pesan. Faktor-faktor yang melahirkan pola-pola komunikasi yang disfungsional adalah: a. Harga diri yang rendah dari keluarga maupun anggota, khususnya orangtua. Tiga nilai terkait yang terus menerus menghidupkan harga diri rendah adalah pemusatan pada diri sendiri, perlunya persetujuan penuh, dan kurangnya empati.

10 22 b. Pemusatan pada diri sendiri dicirikan oleh memfokuskan pada kebutuhan sendiri, mengesampingkan kebutuhan, perasaan dan sudut pandang orang lain. c. Kurangnya empati, keluarga yang berpusat pada diri sendiri dan tidak dapat mentoleransi perbedaan juga tidak dapat mengenal efek dari pikiran perasaan dan perilaku mereka sendiri terhadap anggota keluarga yang lain, dan juga mereka tidak dapat memahami pikiran, perasaan dan perilaku dari anggota keluarga lain. Mereka begitu menghabiskan waktu hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menjadi empati. d. Ekspresi perasaan tak jelas, dari komunikasi disfungsional yang dilakukan oleh pengirim adalah pengungkapan perasaan yang tidak jelas karena takut ditolak, pengungkapan perasaan dari pengirim diluar kebiasaan atau diungkapkan dengan suatu cara yang tidak jelas sehingga perasaan tersebut tidak dapat diketahui. e. Kemarahan terpendam, ungkapan perasaan yang tidak jelas, pengirim merasa marah dengan penerima tetapi tidak mengungkapkan marahnya secara jelas dan bisa saja melampiaskan kepada orang lain atau barang. f. Ekspresi menghakimi, pernyataan menghakimi selalu membawa kesan penilaian moral dimana jelas bagi penerima bahwa pengirim sedang mengevaluasi nilai dari pesan orang lain. g. Ketidakmampuan mengungkapkan kebutuhan, pengirim yang disfungsional tidak hanya dapat mengungkapkan kebutuhannya, tetapi karena takut ditolak, maka tidak mampu mendefinisikan prilaku yang diharapkan dari penerima untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.

11 23 h. Penerima disfungsional, jika penerima tidak berfungsi maka akan terjadi kegagalan komunikasi karena pesan tidak diterima sebagaimana diharapkan, mengingat kegagalan penerima mendengar. Baumrind dan Stafford & Bayer (dalam Segrin dan Jeanne, 2011) mengemukakan tiga jenis pola komunikasi dalam keluarga dengan hubungan pola asuh. a. Authoritative style yaitu disesuaikan dengan jenis umur anak, mengkomunikasikan kepada anak apa yang mereka butuhkan, adanya kepandaian dalam mengungkap fakta yang dilakukan oleh orang tua untuk mempertahankan kepatuhan dan kontrol, adanya negosiasi adanya perbedaan pendapat antara orang tua dan anak. b. Permissive style yaitu orangtua menegakkan beberapa aturan, membuat beberapa tuntutan, dan memungkinkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri. Orang tua ini melihat diri mereka sebagai sumber daya untuk anak daripada penegak standar. Ketika mereka mencoba untuk mencari kepatuhan dari anak, sering melalui taktik koersif bersalah atau pengalihan perhatian anak daripada melalui percakapan. c. Authoritarian style yaitu orang tua biasanya responsif terhadap kebutuhan anak, mencegah respon verbal dari anak, dan anak tidak memiliki kemampuan untuk mengubah tuntutan orang tua. Para orang tua menggunakan hukuman untuk mengendalikan kemauan anak. Anak harus menerima kata-kata yang disampaikan orang tua. Menurut hasil penelitian Fitzpatrick & Ritchie (dalam Segrin dan Jeanne, 2011) pola komunikasi dalam keluarga dibedakan menjadi 4 macam, yaitu: a. Pluralistic yaitu memiliki tingkat intensitas yang tinggi dalam berkomunikasi keluarga berupa komunikasi yang terbuka dan tidak membatasi serta anggota keluarga didorong untuk berpikir secara mandiri.

12 24 b. Consensual yaitu adanya tekanan untuk menurut dengan aturan dan pendapat keluarga dalam melakukan komunikasi yang terbuka dan eksplorasi ide-ide baru. Keluarga Consensual ditandai dengan tekanan untuk menyetujui dan menuruti kepentingan saat komunikasi yang terbuka dan eksplorasi ide-ide baru, konflik dalam keluarga yang menganut pola ini menyebabkan perasaan negatif. Namun, ini tidak membahayakan kedekatan anggota karena mereka juga mencari dukungan sosial dari anggota keluarga lain dan mencoba untuk menangani konflik secara positif. c. Laissez-Faire yaitu anggota keluarga dalam pola Laissez-Faire memiliki sedikit interaksi dan sedikit untuk mendiskusikan sejumlah topik. Keterlibatan emosional di antara anggota biasanya rendah dan anggota mencari di luar keluarga untuk hubungan emosional. Dalam pola ini anggota keluarga lebih menghindari konflik dalam keluarga. Apabila konflik terjadi, biasanya akan berjalan lancar karena anggota keluarga tidak peduli untuk mencari persetujuan atau dukungan. Dengan demikian, ada sedikit alasan untuk mengekspresikan permusuhan. d. Protective adalah pola komunikasi yang menekankan pada kesesuaian dan ketaatan pada keluarga. Anggota keluarga pada pola ini sebagian besar menghindari konflik, tetapi terkadang melampiaskan perasaan negatif dalam konflik menjadi bermusuhan dan tidak produktif. Gambar 1. Ilustrasi Pola komunikasi Dalam Keluarga

13 25 Jadi pola komunikasi dalam keluarga dapat dibedakan menjadi Pluralistic, Consensual, laissez faire, Protective. Peneliti mengacu pada Fitzpatrick & Ritchie (1994), dikarenakan dimensi dalam penelitian ini mengacu pada pola komunikasi dalam keluarga yang disampaikan oleh Fitzpatrick & Ritchie (1994). 3. Faktor-Faktor Pembentuk Pola Komunikasi Dalam keluarga Menurut Sigrin dan Jeanne (2011) faktor-faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga: a. family systems theory adalah terkait dengan sistem yang diterapkan oleh keluarga. b. symbolic interaction theory adalah bentuk yang digunakan keluarga untuk berinteraksi dengan anggota keluarganya. c. social learning theory adalah teori tentang pembelajaran yang didapat oleh anggota keluarga yang mempengaruhi. d. attachment theory adalah adanya pengaruh kedekatan oleh anggota keluarga. e. the dialectic perspective adalah pengaruh dari cara berbicara anggota keluarga. Ditambahkan oleh Koerner dan Fitzpatrick dalam Vangelisti (2004) faktor-faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga sebagai berikut: a. Gaya pengasuhan Orang tua memiliki pengaruh besar pada bagaimana keluarga berkomunikasi bukan hanya karena anak-anak model perilaku mereka, tetapi juga karena mereka bersosialisasi kepada anak-anak mereka dengan aktif mengajarkan bagaimana untuk berkomunikasi. Burleson, Delia, dan Applegate dalam Vangelisti (2004) membahas pengaruh sosialisasi dari orang tua pada gaya komunikasi anak-anak mereka dan mengidentifikasi dua strategi komunikasi yang berlawanan dari orang tua yang digunakan untuk mengatur perilaku anak.

14 26 b. Tipe pernikahan Keluarga utuh khususnya, hubungan antara orang tua dianggap sangat penting, karena menyangkut hubungan antara orang tua dan anak-anak serta antara saudara kandung. Selain itu, anak-anak biasanya mencontoh perilaku orang tua ke orang lain. Dengan demikian, keyakinan orang tua tentang hubungan suami istri dan bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain memiliki pengaruh besar tentang bagaimana sebuah keluarga secara keseluruhan berkomunikasi. Selain itu, orang tua mengambil peran aktif dalam mensosialisasikan anak-anak mereka dalam hal perilaku komunikasi, penghargaan mereka untuk beberapa perilaku dan menghukum mereka untuk orang lain. Akibatnya, harus ada korelasi positif antara skema perkawinan dan keluarga serta komunikasi dengan keluarga. Menurut Ritchie & Fitzpatrick dalam Sigrin dan Jeanne (2011) faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga terdiri dari: a. Conformity orientation adalah hubungan antara anggota keluarga yang terdapat homogenitas dalam etika, nilai dan kepercayaan. b. Conversation orientation adalah hubungan antara anggota keluarga yang mementingkan kebebasan dalam berpendapat. Jadi dapat disimpulkan faktor pembentuk pola komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi dua pendekatan yaitu dilihat dari conformity orientation dan conversation orientation. C. Hubungan Antar Variabel Menurut Lauren (dalam Papalia, dkk, 2009) kedekatan sesama jenis akan meningkat pada remaja awal, sedangkan kedekatan lawan jenis meningkat pada remaja akhir. Membina hubungan berpacaran dalam remaja akhir, memandang lawan jenis sebagai

15 27 orang yang dicintai tanpa pamrih (Feist & Feist, 2010). Dalam hubungan berpacaran kerap diikuti adanya konflik seperti, emotional abuse, physical abuse, dan sexual abuse. Emotional abuse merupakan kekerasan yang sering terjadi dalam hubungan berpacaran dan dapat memicu adanya physical abuse dan sexual abuse. Cara remaja memperlakukan pasangan tidak luput dari adanya pengaruh peran keluarga khususnya orang tua yang memiliki fungsi sebagai pengontrol tindakan dan pembentukan karakter anak salah satunya dalam berkomunikasi (Jantz & McMurray, 2003). Orang tua memberikan contoh langsung dan tidak langsung sehingga anak secara langsung maupun tidak langsung meniru dan membawa hal tersebut ke lingkungan. Perkembangan anak dipengaruhi oleh peran keluarga khususnya orang tua yakni berperan dalam mengontrol tindakan, pembentukan karakter serta pembentukan pola komunikasi dalam keluarga. Setiap keluarga memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda. Pola komunikasi dalam keluarga yang baik dapat membantu mengurangi depresi yang dialami anak remaja (Zuhri, 2009). Pola komunikasi juga dapat mempengaruhi perkembangan emosi pada anak (Setyowati, 2005). Secara langsung maupun tidak langsung pola komunikasi dalam keluarga memiliki pengaruh terhadap ada atau tidaknya emotional abuse dalam berpacaran remaja. Pola komunikasi yang cenderung buruk atau tidak sesuai dengan kebutuhan anak memiliki peluang besar dalam meningkatkan kecenderungan seseorang melakukan emotional abuse dalam berpacaran. Menurut Fitzpatrick & Ritchie (dalam Segrin dan Jeanne, 2011) pola komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi Conversation Orientation dimana melihat hubungan antara anggota keluarga yang mementingkan kebebasan dalam berpendapat dan lebih berfokus pada percakapan verbal dan Conformity Orientation dimana melihat hubungan antara anggota keluarga yang

16 28 terdapat homogenitas dalam etika, nilai dan kepercayaan. Bentuk dari komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi empat yaitu Pluralistic, Consensual, Laissez Faire, dan Protective. Pola komunikasi Pluralistic adalah anggota keluarga dalam pola komunikasi ini diberi kebebasan dalam aktif berpendapat. Pola komunikasi Consensual adalah anggota keluarga dalam pola komunikasi ini dalam komunikasi terbuka dituntut adanya tekanan untuk menyetujui pendapat, hal ini dapat menyebabkan timbulnya perasaan negatif apabila terjadi konflik keluarga. Pola komunikasi Laissez Faire adalah anggota keluarga memiliki kecenderungan yang rendah dalam tingkat kepedulian antar anggota keluarga yang dapat menurunkan resiko konflik di dalam keluarga. Sedangkan pola komunikasi Protective yaitu dalam berkomunikasi anggota keluarga ditekanan pada ketaatan dan kesesuaian biasanya keluarga dengan pola komunikasi seperti ini lebih terhindar dari konflik. Saat anak mendapatkan pola komunikasi yang diberikan orang tua sesuai dengan kebutuhan, maka anak akan meniru dan menerapkan pola komunikasi tersebut ke dalam hubungan berpacaran. Sehingga emotional abuse yang memiliki dasar dari percakapan verbal secara langsung dipengaruhi oleh pola komunikasi dalam keluarga pada dimensi Conversation Orientation yang memiliki dasar percakapan verbal. Apabila skor pada dimensi Conversation Orientation tinggi maka tingkat emotional abuse yang dilakukan remaja dalam membina hubungan berpacaran akan rendah. Berdasarkan tinjauan terhadap dinamika kedua variabel dalam penelitian ini, maka dapat diasumsikan mengenai adanya perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi dalam keluarga.

17 29 Conversation orientation Conformity Orientation Pluralistic Consensual Laissez Faire Emotional Abuse Protective Gambar 2. Ilustrasi Non Verbal Perbedaan Emotional Abuse Ditinjau pada Pola Komunikasi Keterangan.. : dimensi pola komunikasi dalam keluarga : membandingkan emotional abuse pada satu pola komunikasi dengan pola komunikasi lainnya : emotional abuse dalam masing-masing pola komunikasi : variabel yang diteliti D. Hipotesis 1. Hipotesis Mayor Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi keluarga. Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran berdasarkan pola komunikasi keluarga. 2. Hipotesis Minor a. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire. Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Laissez-Faire. b. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Consensual.

18 30 Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Consensual. c. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Protective. Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Pluralistic dan Protective. d. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective. Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Protective. e. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Laissez-Faire. Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Consensual dan Laissez-Faire. f. Ho : Tidak terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Protective dan Laissez-Faire. Ha : Terdapat perbedaan emotional abuse pada remaja akhir yang berpacaran antara pola komunikasi dalam keluarga kelompok Protectivel dan Laissez-Faire.

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak

TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Ayah-Anak Dalam kehidupan berkeluarga, ayah biasanya diidentikkan sebagai orang tua yang banyak meninggalkan rumah, menghukum, mempunyai pengetahuan yang lebih luas, berkedudukan

Lebih terperinci

BULLYING. I. Pendahuluan

BULLYING. I. Pendahuluan BULLYING I. Pendahuluan Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Frannery, Rowe, & Gulley (dalam Santrock, 2007) anak laki-laki dan perempuan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Frannery, Rowe, & Gulley (dalam Santrock, 2007) anak laki-laki dan perempuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja pada umumnya diawali dengan pubertas. Dalam sebuah penelitian Frannery, Rowe, & Gulley (dalam Santrock, 2007) anak laki-laki dan perempuan yang lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEKERASAN EMOSI 1. Pengertian Kekerasan Emosi Kekerasan emosi didefinisikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan secara sengaja tujuan untuk mempertahankan dan menguasai individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Menurut Coopersmith (1967 ; dalam Sert, 2003; dalam Challenger, 2005; dalam Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y

S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PERKEMBANGAN SOSIAL : KELUARGA S A N T I E. P U R N A M A S A R I U M B Y PENGANTAR Keluarga adalah tempat dan sumber perkembangan sosial awal pada anak Apabila interaksi yang terjadi bersifat intens maka

Lebih terperinci

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01 Coffee Morning Global Sevilla School Jakarta, 22 January, 2016 Rr. Rahajeng Ikawahyu Indrawati M.Si. Psikolog Anak dibentuk oleh gabungan antara biologis dan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan salah satu tempat bertumbuh dan berkembangnya anak-anak. Anak menghabiskan hampir separuh harinya di sekolah, baik untuk kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap perkembangan yang harus dilewati. Perkembangan tersebut dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

Lebih terperinci

Human Relations. Faktor Manusia dalam Human Relations (Learning how to Learn)-Lanjutan. Ervan Ismail. S.Sos., M.Si. Modul ke: Fakultas FIKOM

Human Relations. Faktor Manusia dalam Human Relations (Learning how to Learn)-Lanjutan. Ervan Ismail. S.Sos., M.Si. Modul ke: Fakultas FIKOM Modul ke: Human Relations Faktor Manusia dalam Human Relations (Learning how to Learn)-Lanjutan Fakultas FIKOM Ervan Ismail. S.Sos., M.Si. Program Studi Public Relations http://www.mercubuana.ac.id Isi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kekerasan adalah semua bentuk perilaku verbal maupun non verbal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya dunia pendidikan, kini orangtua semakin memiliki banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk mendaftarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia mencapai 243,8 juta jiwa dan sekitar 33,9 persen diantaranya adalah anakanak usia 0-17 tahun (Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1.Latar Belakang Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat dari sekolah bagi siswa ialah melatih kemampuan akademis siswa,

Lebih terperinci

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 133 134 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 135 136 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 137 138

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya pendidikan yang efektif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya

BAB II KAJIAN TEORI. adalah bercintaan atau berkasih-kasihan sehingga dapat disimpulkan. perempuan, adanya komitmen dari kedua belah pihak biasanya 2.1 Kekerasan dalam pacaran 2.1.1 Konsep Pacaran BAB II KAJIAN TEORI Menurut KBBI (1986) pacar adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Sedangkan berpacaran adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena kekerasan semakin marak dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian individu dapat mengatasi pengalaman akan kekerasannya, namun sebagian besar mencari solusi kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri. Interaksi dengan lingkungan senantiasa dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu

Lebih terperinci

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017 oleh: Dr. Rohmani Nur Indah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angket 1: Beri tanda berdasarkan pengalaman anda di masa kecil A. Apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena berpacaran sudah sangat umum terjadi dalam masyarakat. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orang Tua 1. Pengertian Orang tua adalah orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, terdiri dari ayah dan ibu yang merupakan guru dan contoh utama untuk anakanaknya karena

Lebih terperinci

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY 1. Definisi Permasalahan Perkembangan Perilaku Permasalahan perilaku anak adalah perilaku anak yang tidak adaptif, mengganggu, bersifat stabil yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana anak mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan akademik (kognitif) saja namun juga harus diseimbangkan dengan kecerdasan emosional, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kebutuhan tersebut tidak hanya secara fisiologis

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI Disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, remaja menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap relasi dengan teman

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan koloni terkecil di dalam masyarakat dan dari keluargalah akan tercipta pribadi-pribadi tertentu yang akan membaur dalam satu masyarakat. Lingkungan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Modul ke: Fakultas Psikologi Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode untuk mendisiplinkan anak. Cara ini menjadi bagian penting karena terkadang menolak untuk

Lebih terperinci

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Identitas Responden Responden dalam penilitian ini adalah keluarga yang tinggal di Wilayah Kelurahan Kaliawi Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung, yang melaporkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia dihadapkan dengan berbagai konteks komunikasi yang berbeda-beda. Salah satu konteks komunikasi yang paling sering dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang giatgiatnya membangun. Agar pembangunan ini berhasil dan berjalan dengan baik, maka diperlukan partisipasi

Lebih terperinci

BAB XVIII. Kekerasan terhadap perempuan. Kisah Laura dan Luis. Mengapa laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan? Jenis kekerasan pada perempuan

BAB XVIII. Kekerasan terhadap perempuan. Kisah Laura dan Luis. Mengapa laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan? Jenis kekerasan pada perempuan BAB XVIII Kekerasan terhadap perempuan Kisah Laura dan Luis Mengapa laki-laki melakukan kekerasan pada perempuan? Jenis kekerasan pada perempuan Tanda-tanda yang harus diwaspadai Siklus kekerasan pada

Lebih terperinci

tua Tentang Verbal Abuse (Kekerasan Verbal) pada Anak. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam mengambil data untuk

tua Tentang Verbal Abuse (Kekerasan Verbal) pada Anak. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam mengambil data untuk Lampiran 1 LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth. Calon responden Penelitian Di Tempat Dengan hormat, Saya mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo, bermaksud melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Meningkatnya tingkat kekerasan seksual terhadap anak di Kota Bekasi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Meningkatnya tingkat kekerasan seksual terhadap anak di Kota Bekasi pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya tingkat kekerasan seksual terhadap anak di Kota Bekasi pada tahun 2016 membuat keprihatinan bagi seluruh masyarakat Bekasi. Catatan pada Badan Pemberdayaan

Lebih terperinci

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita

Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 121 122 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 123 124 Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita Pssst... Ada Bahaya di Sekitar Kita 125 126

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 101 BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk memperoleh gambaran mengenai kebutuhan intimacy melalui wawancara mendalam. Berdasarkan hasil analisis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan karakter manusia sebagai makhluk sosial. membutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan karakter manusia sebagai makhluk sosial. membutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan karakter manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi. Untuk berhubungan dengan orang lain dibutuhkan komunikasi yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA BAB IV HASIL PENELITIAN A. Orientasi dan Kancah Penelitian Penelitian ini dilakukan pada remaja berusia 17-21 tahun. Para remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA Ksatrian dan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan, sebab seseorang tidak bisa dikatakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kekerasan 2.1.1. Pengertian Kekerasan Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, dan Lozano (2002) kesengajaan menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, mengancam,

Lebih terperinci

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT Dwi Retno Aprilia, Aisyah Program Studi PGPAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang Email:

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat lebih dari 200% (persen) dari tahun sebelumnya. Kasus kekerasan yang dialami perempuan, sebagian besar

Lebih terperinci

QuizNona: Apakah Nona Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran?

QuizNona: Apakah Nona Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran? QuizNona: Apakah Nona Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran? Dear Nona, masihkah Nona ragu tentang kekerasan dalam pacaran yang mungkin tengah Nona alami? Jika iya, Nona bisa mengisi kolom di bawah ini untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 KONTEKS MASALAH Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia yang tidak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Kita mengetahui bahwa manusia merupakan makhluk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang memiliki permasalahan dalam hidupnya, dan mereka memiliki caranya masing-masing untuk menangani masalah tersebut. Ada orang yang bisa menangani masalahnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelepah dasar terbentuknya kepribadian seorang anak. Kedudukan dan fungsi

I. PENDAHULUAN. pelepah dasar terbentuknya kepribadian seorang anak. Kedudukan dan fungsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga memegang peran penting dalam membentuk watak dan kepribadian anak. Karena pendidikan dikeluarga menjadi risalah awal sekaligus sebagai pelepah dasar terbentuknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil dalam masyarakat, tetapi menempati kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai

TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Menurut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT JUDUL : Memahami Pengalaman Komunikasi Konselor dan Perempuan Korban KDRT Pada Proses Pendampingan di PPT Seruni Kota Semarang NAMA : Sefti Diona Sari NIM : 14030110151026 Abstraksi Penelitian ini dilatarbelakangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia, saat ini sudah tidak mengenal kata usai dan terus bertambah setiap tahunnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

PSIKOLOGI SOSIAL. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA

PSIKOLOGI SOSIAL. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA PSIKOLOGI SOSIAL Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA Pengantar Manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak berkembang dengan sendiri. Kita tidak memiliki tempurung pelingdung, dan bulu apa yang kita miliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

(Elisabeth Riahta Santhany) ( ) 292 LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMBERITAHUAN AWAL FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONUSA ESA UNGGUL JAKARTA Saya mengucapkan terima kasih atas waktu yang telah saudara luangkan untuk berpartisipasi dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres pada Wanita Karir (Guru) 1. Pengertian Istilah stres dalam psikologi menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mendengar terjadinya sebuah kekerasan dalam kehidupan sehari-hari

BAB 1 PENDAHULUAN. Mendengar terjadinya sebuah kekerasan dalam kehidupan sehari-hari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mendengar terjadinya sebuah kekerasan dalam kehidupan sehari-hari bukanlah hal yang asing lagi. Akhir-akhir ini media banyak dihebohkan dengan maraknya pemberitaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Suami Rosa biasa memukulinya. Ia memiliki dua anak dan mereka tidak berani berdiri di hadapan ayahnya karena mereka takut akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S 1 Psikologi Diajukan oleh : Alfan Nahareko F 100 030 255 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan PEDOMAN WAWANCARA I. Judul Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan pada pria WNA yang menikahi wanita WNI. II. Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan mental memiliki arti penting dalam kehidupan seseorang, dengan mental yang sehat maka seseorang dapat melakukan aktifitas sebagai mahluk hidup. Kondisi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Perilaku Asertif Perilaku assertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku assertif

Lebih terperinci