JURNAL KELAUTAN TROPIS (Tropical Marine Journal)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JURNAL KELAUTAN TROPIS (Tropical Marine Journal)"

Transkripsi

1 ISSN Volume 19 No 2 November 2016 JURNAL KELAUTAN TROPIS (Tropical Marine Journal) JKT VOL. 19 No. 2 Hlm Semarang, November 2016 ISSN Masyarakat Ekositem Kelautan Indonesia Departemen Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro

2 ISSN Volume 19 No 2 November 2016 JURNAL KELAUTAN TROPIS (Tropical Marine Journal) Journal Kelautan Tropis (JKT) diterbitkan dua kali dalam setahun yang berisi hasil penelitian dan ulasan ilmiah dalam bidang Kelautan Tropis Jurnal Kelautan Tropis diterbitkan oleh kelompok dosen yang tergabung dalam Masyarakat Ekositem Kelautan Indonesia dan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang SUSUNAN PENGELOLA Ketua Dewan Redaksi Editor in Chief Ir. Chrisna Adhi Suryono, M.Phil Sekretaris Redaksi Editor Secretary Ir. Sugeng Widada, M.Si. Redaksi Pelaksana Executive Editor Dr. Agus Trianto, M.Sc Ir. Baskoro Rochaddi, M.T Elis Indrayanti,ST, M.Si Dra. Ken Suwartimah, M.Si Endang Sri Susilo S. ST. M.Sc. Anggota Dewan Rekasi Prof. Dr. Ir. Agus Sabdono, M.Sc Prof. Dr. Ir. M. Zainuri, DEA Dr. Rudi Pribadi Dr. Ir. Diah Permata Wijayanti, M.Sc Ir. Gunawan Widisantoso, M.Sc Ir. Retno Hartati, M,Sc Ir. Ali Djunaedi, M.Phil Ir. Adi Santoso,M.Sc Ir. Ita Riniatsih,M.Si Drs. Subagyo, M.Si ALAMAT REDAKSI Editor Address Departemen Ilmu Kelautan Gedung B FPIK UNDIP Semarang j.kelautantropis@gmail.com Foto Sampul : Pagi di Pantai Pasir Putih Situbondo Jawa Timur oleh : Chrisna

3 ISSN Volume 19 No. 2 November 2016 JURNAL KELAUTAN TROPIS (Tropical Marine Journal) DAFTAR ISI 1. Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut di Perairan Teluk Awur, Jepara dan Pantai Krakal, Yogyakarta Rini Pramesti, AB. Susanto, Wilis A S, Ali Ridlo, Subagiyo, Yohanes Oktaviaris 2. Kajian Pengamanan Dan Perlindungan Pantai Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk, Kota Semarang Retno Hartati, Rudhi Pribadi, Retno W. Astuti, Reny Yesiana, Itsna Yuni H 3. Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan di Padang Lamun Teluk Awur Jepara Ita Riniatsih 4. Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia Sugeng Widada 5. Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. (Bivalvia: Corbiculidae) dengan Vegatasi Mangrove di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah Chrisna Adhi Suryono 6. Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami Dengan Kedalaman Yang Berbeda Di Pantai Sukamade, Banyuwangi, Jawa Timur Edi Wibowo Kushartono, CB. Ronaldi Chandra E, Retno Hartati 7. Pertumbuhan ikan Nila Larasati (Oreochromis niloticus) di Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan dan Padat Penebaran yang Berbeda Ali Djunaedi, Retno Hartati, Rudhi Pribadi, Sri Redjeki, Retno W. Astuti, Bintang Septiarani 8. Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen dan Hubungannya dengan Organisme Dasar di Perairan Tugu Semarang Chrisna Adhi Suryono 9. Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara Warsito Atmodjo 10. Studi Pendahuluan Hubungan Panjang Berat Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) dari Perairan Semarang Adi Santoso, Endang Sri Susilo 11 Optimasi Suhu Dan Ph Pertumbuhan Lactococus lactic Isolat Ikan Kerapu Subagiyo, RiaAzizazh Tri Nuraeni, Wilis Ari Setyati, Adi Santoso 12 Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) dengan Sistem Budidaya yang Berbeda Ali Djunaedi, Heri Susilo, Sunaryo 13 Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupan Agus Trianto, Ni Komang Tri Utami, Ocky Karna Radjasa, Isai Yusidharta, Wiratno

4 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 ISSN Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut di Perairan Teluk Awur, Jepara dan Pantai Krakal, Yogyakarta Rini Pramesti*, AB. Susanto, Wilis A S, Ali Ridlo, Subagiyo, Yohanes Oktaviaris Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang rinipramesti63@gmail.com Abstract Seaweed has ecological benefits as well as economic value. Waters condition of Awur Bay and Krakal Beach supported this plant s growth. There s not yet the latest information about the vegetation. Utilization is still limited on some specieses. Tourist and inhabitant s activities who take this plant would give impact to this plant s vegetation. Therefore, it s necessary to have data collecting, monitoring, and controlling at both of location. This research was aim to inventarisasi of seaweed for morphologic and anatomic characteristics at both of location. The research of method is explorative descriptive. The results showed that the amount of seaweed which was found at Awur Bay based on the morphology characteristics consist of two divisions was Chlorophyta (3 species) and Phaeophyta (5 species). Beside that, the amount of seaweed which was found at Krakal Beach based on the morphology characteristics consist of three divisons was Chlorophyta (4 species), Phaeophyta (2 species) and Rhodophyta (11 species). Three types of cell (anatomy) i.e. epidermis, kortex and medulla. The results of seaweed which found at Krakal Beach are density, frequency, cover percentage, important value index, and ecology index was taller than Awur Bay. Key words : Community Structure, Seaweed, Awur Bay, Krakal Beach Abstrak Rumput laut bermanfaat secara ekologis maupun ekonomis. Kondisi perairan Teluk Awur, Jepara dan Pantai Krakal, Yogyakarta mendukung tumbuhan ini dapat tumbuh. Pemanfaatannya masih terbatas pada jenis tertentu. Aktivitas wisatawan dan penduduk sekitar yang mengambil tumbuhan ini akan berpengaruh sehingga perlu dilakukan penelitian tentang struktur komunitas di kedua lokasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas, inventarisasi jenis baik secara morfologi dan anatomi. Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif eksploratif. Hasil penelitian menunjukkan jumlah jenis rumput laut yang ditemukan di Teluk Awur terdiri dari dua divisi yaitu Chlorophyta (3 jenis) dan Phaeophyta (5 jenis). Jumlah jenis yang ditemukan di Pantai Krakal terdiri dari tiga divisi yaitu Chlorophyta (4 jenis), Phaeophyta (2 jenis) dan Rhodophyta (11 jenis). Tiga jenis sel penyusun thallus yaitu sel epidermis, korteks dan medulla. Struktur komunitas yang ditemukan di Pantai Krakal meliputi kepadatan, frekuensi, persentase penutupan, indeks nilai penting, dan indeks ekologi lebih tinggi daripada di Teluk Awur. Kata Kunci : Struktur Komunitas, Rumput Laut, Teluk Awur, Pantai Krakal PENDAHULUAN Rumput terbagi menjadi 3 divisi, yaitu Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta (Anggadiredja et al., 2009). Secara ekologis, komunitas ini berperan pada lingkungan sekitar yaitu sebagai tempat asuhan dan perlindungan (nursery grounds), tempat pemijahan (spawning grounds) serta tempat mencari pakan alami bagi ikan jenis tertentu *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

5 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 dan hewan herbivora (feeding grounds). Selain berperan dalam meningkatkan produktivitas primer, menyerap bahan polutan serta memproduksi bahan organik dan oksigen untuk organisme akuatik di lingkungan perairan. Secara ekonomis, tumbuhan ini dimanfaatkan secara luas baik dalam bentuk raw material (material mentah) seluruh bagian tumbuhan maupun dalam bentuk olahan. Dalam bentuk raw material digunakan sebagai lalapan, sayuran, manisan dan asinan. Dalam bentuk olahan, tumbuhan ini dimanfaatkan sebagai obat-obatan, bahan makanan dan bahan penambah dalam berbagai industri misalnya industri makanan, industri minuman, industri bioteknologi, industri tekstil dan lain-lain. Susanto et al. (1995), perairan Jepara termasuk perairan di daerah utara Pulau Jawa yang memiliki kandungan biotik dan abiotik melimpah meskipun kondisi perairannya tidak baik pada musim hujan. Perairan Teluk Awur, Jepara dan sekitarnya tergolong perairan yang masih baik dibandingkan dengan perairan lain di pantai utara Jawa sehingga rumput laut dapat tumbuh di tempat ini. Jenis rumput laut yang ditemukan antara lain, Halimeda macrophyssa, H. opuntia, H. discoida, H. stuposa, Caulerpa serrulata, C. racemosa, Jania sp., Padina sp., Dictyota sp., Udotea sp. dan Neomeris sp. Pantai Krakal memiliki karakteristik perairan yang jernih dan ombak besar sehingga tanaman ini dapat hidup dan berkembang biak. Selain komunitas rumput laut, komunitas lain yang dapat ditemukan yakni bivalvia, terumbu karang, ikan karang dan organisme invertebrata lainnya. Sebagai daerah tujuan wisata, pengambilan organisme intertidal yang dilakukan oleh wisatawan dan masyarakat sekitar secara terus menerus sepanjang tahun. Akibatnya, persen tutupan terumbu karang, struktur komunitas rumput laut, dan organisme invertebrata lainya mengalami perubahan. Menurut Stephani (2014), jenisjenis rumput laut yang dapat ditemukan di pantai ini antara lain, Chaetomorpha crassa, Boergesenia forbesii, Ulva lactuca, Padina australis, Sargassum polycystum, Hormophysa triquetra, Turbinaria conoides, Graciliria sp., G. salicornia, G. bangmeiana, Acanthophora muscoides dan A. specifera. Sebagai informasi tambahan, di Pantai Sepanjang, yang lokasinya tidak jauh dari Pantai Krakal, ditemukan jenis : Boergesenia forbesii, Boodlea sp., Bornetella sp., Caulerpa sp., Chaetomorpha crassa, Cladophora sp., Enteromorpha intestinalis, Ulva lactuca, Dictyota sp., Padina australis, Acanthopora spicifera, Amphiroa sp., Gelidiella acerosa, Gracilaria sp., G. coronopifolia, G. salicornia, Hypnea sp., H. pannosa, Laurencia sp. (Izharuddin, 2014). MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni September Materi yang digunakan adalah jenis rumput laut yang diperoleh di Perairan Teluk Awur, Jepara dan Pantai Krakal, Yogyakarta. Parameter lain yang diamati yaitu suhu, salinitas, derajat keasaman (ph), nitrat, fosfat dan termasuk predator serta kompetitor rumput laut yang ditemukan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif, yaitu untuk menguraikan sifat dari suatu fenomena sebagaimana adanya. Metode ini berkaitan dengan pengumpulan data untuk memberikan gambaran yang jelas tentang suatu gejala, serta menjadi dasar dalam mengambil kebijakan atau penelitian lanjutan (Arikunto, 2006). Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data kepadatan, frekuensi jenis, penutupan, indeks nilai penting, indeks keseragaman, indeks keanekaragaman, dan indeks dominansi. Cara pengambilan sampel bersifat Sample Survey Method yaitu pengumpulan data dengan cara mencatat sebagian kecil populasi tetapi dapat menggambarkan sifat populasi yang diamati. Metode ini merupakan metode yang secara kuantitatif menentukan generalisasi (pengambilan keputusan atau kesimpulan secara umum) dengan keadaan lingkungan alam yang dipelajari (Hadi, 1979). Penentuan stasiun pengamatan digunakan metode systematic sampling, 82 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.)

6 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 yaitu pengambilan sampel didasarkan dari populasi yang telah diberi nomor unit atau anggota sampel diambil dari populasi pada jarak interval waktu atau ruang dengan urutan yang seragam (Hadi, 1979). Dalam tahapan ini, digunakan metode petak tunggal yang merupakan salah satu bagian dari metode petak. Metode ini merupakan prosedur yang umum digunakan untuk pengambilan contoh berbagai tipe organisme termasuk komunitas tumbuhan (Indriyanto, 2006). Satu petak contoh dibuat dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan hutan atau suatu komunitas tumbuhan. Ukuran minimum petak contoh dapat ditentukan menggunakan kurva spesies area. Luas minimum petak contoh itu ditetapkan dengan dasar bahwa penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah spesies lebih dari 5% (Soegianto, 1994; Kusmana, 1997). Pengambilan sampel rumput laut dilakukan pada daerah pasang surut menggunakan transek dengan jarak antar transek garis 50 meter dan panjangnya 30 meter ke arah laut di setiap stasiun pengamatan. Teknik sampling yang digunakan mengikuti transek garis, kemudian setiap jarak 10 meter dilakukan pengamatan dengan menempatkan transek kuadran berukuran 2 2 meter yang masing-masing subtranseknya berukuran cm. Pengamatan dan pengambilan sampel di Pantai Krakal dilakukan pada saat pantai mengalami surut terendah karena kondisi topografinya cukup curam dan ombaknya besar. Sedangkan kondisi topografi di Teluk Awur cukup landai dan ombaknya kecil. Dalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu, jika satu koloni dari spesies yang sama dipisahkan oleh satu koloni lainnya maka tiap bagian yang terpisah itu dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di antara koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Kondisi dasar dan kehadiran substrat yang diketemukan di lokasi juga dicatat (English et al., 1994). Sampel yang diperoleh kemudian diidentifikasi secara morfologi dan anatomi. Pengambilan data parameter lingkungan berupa suhu, salinitas, ph, dan kecerahan yang dilakukan secara insitu setiap transek. Data substrat, predasi dan kompetitor rumput laut yang ditemukan di setiap transek dicatat sebagai data penunjang. Pengambilan sampel air digunakan untuk analisis kandungan nitrat dan fosfat di laboratorium (Romimohtarto dan Juwana, 2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan ukuran minimum petak contoh dengan menggunakan kurva spesies area. Luas minimum petak contoh itu ditetapkan dengan dasar bahwa penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah spesies lebih dari 5% (Indriyanto, 2006). Hasil perhitungan kurva spesies area di Teluk Awur dan Pantai Krakal dengan petak contoh berukuran 1x1 meter, 1x2 meter dan 2x2 meter menunjukkan bahwa jumlah spesies tidak mengalami kenaikan >5% pada ukuran petak contoh 2x2 meter. Dari hasil perhitungan tersebut, maka ditetapkan ukuran petak contoh yang relevan untuk digunakan adalah 2x2 meter. Komposisi rumput laut selama pengamatan di Teluk Awur terdiri atas 8 spesies yang berasal dari 5 genera. Spesies yang ditemukan termasuk didalam 2 divisi yang berbeda, yaitu Chlorophyta dan Phaeophyta. Spesies yang termasuk divisi Chlorophyta yaitu: (1) Halimeda macroloba, (2) H. opuntia dan (3) Udotea sp. Spesies yang termasuk divisi Phaeophyta yaitu (1) Dictyota divaricata, (2) Padina australis, (3) P. minor, (4) Sargassum natans dan (5) S. polycystum. Komposisi rumput laut selama pengamatan di Pantai Krakal terdiri atas 17 spesies dari 16 genera. Spesies yang ditemukan termasuk didalam 3 divisi yang berbeda, yaitu Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta. Spesies yang termasuk divisi Chlorophyta yaitu (1) Caulerpa sp., (2) Chaetomorpha crassa, (3) Cladophora sp. dan (4) Codium edule. Spesies yang termasuk divisi Phaeophyta yaitu Dictyota mertensii dan Turbinaria ornata. Spesies Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.) 83

7 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 yang termasuk divisi Rhodophyta yaitu (1) Acanthophora muscoides, (2) Amphiroa franciscana, (3) Corallina sp., (4) Galaxaura kjellmanii, (5) Gelidiella acerosa, (6) Goniolithon sp., (7) Gracilaria arcuata, (8) G. salicornia, (9) Hypnea pannosa, (10) Rhodymenia sp. dan (11) Titanophora sp. Hasil pengamatan pada waktu yang berbeda menghasilkan komposisi rumput laut yang berbeda. Halimeda macroloba tidak ditemukan pada waktu pengamatan pertama di Teluk Awur, Pada pengamatan kedua, tidak ditemukan D. divaricata dan S. natans. Selain pada pengamatan kedua, D. divaricata juga tidak ditemukan pada pengamatan ketiga dan keempat. A. franciscana dan Goniolithon sp. tidak ditemukan pada pengamatan kedua di Pantai Krakal. Pada pengamatan ketiga dan keempat, tidak ditemukan C. edule, Goniolithon sp. dan H. pannosa. Selain itu, G. kjellmanii juga tidak ditemukan pada pengamatan keempat. Hal ini diduga G. kjellmanii tidak sedang dalam musimnya. Hasil pengamatan pada jarak line transect yang berbeda menghasilkan komposisi yang berbeda. Halimeda opuntia dan Padina minor ditemukan pada setiap jarak transek semua stasiun di Teluk Awur. P. australis juga sering ditemukan pada jarak meter. Namun, H. macroloba dan D. divaricata tidak ditemukan pada jarak 10 meter. Pada jarak 30 meter, Udotea sp. juga sering ditemukan, sedangkan S. natans tidak ditemukan. C. crassa, Cladophora sp., D. mertensii dan A. muscoides ditemukan pada setiap jarak transek semua stasiun di Pantai Krakal, Pada jarak 10 meter, T. ornata dan Gelidiella acerosa juga sering ditemukan, sedangkan Corallina sp., Goniolithon sp., Gracilaria arcuata dan Hypnea pannosa tidak ditemukan. Pada jarak 20 meter, G. acerosa dan Gracilaria salicornia juga sering ditemukan, sedangkan Goniolithon sp. tidak ditemukan. Pada jarak 30 meter, Caulerpa sp., Corallina sp. dan Titanophora sp. juga sering ditemukan, sedangkan T. ornata tidak ditemukan. Hasil pengamatan secara morfologi rumput laut yang ditemukan di Teluk Awur memiliki ciri yang berbeda dengan yang ditemukan di Pantai Krakal. Perbedaan terletak pada percabangan thallus, tipe holdfast, warna, bentuk dan ukuran thallus. Perbedaan ini diduga untuk menyesuaikan diri dengan habitatnya. Secara umum, thallus rumput laut yang ditemukan di Teluk Awur berukuran lebih kecil dibanding dengan yang ditemukan di Pantai Krakal. Gelembung udara (air bladder) ditemukan pada spesies S. natans dan S. polycystum. Holdfast tidak ditemukan pada spesies Chaetomorpha crassa karena hidupnya bersifat epifit. Hasil pengamatan secara anatomi rumput laut yang ditemukan di Teluk Awur memiliki ciri yang berbeda dengan yang ditemukan di Pantai Krakal. Secara anatomi jenis penyusun thallus terdiri dari tiga jenis sel dari luar ke dalam yaitu, sel epidermis, korteks dan medulla. Terlihat bahwa epidermis terdiri dari satu atau dua lapis sel berukuran terkecil. Ukuran sel korteks lebih besar daripada sel epidermis dan sel korteks ini tersusun dari dua lapis sel. Semakin ke dalam, bentuk sel semakin besar yang dikenal sel medulla yang terletak di tengah atau paling dalam. Predator dan kompetitor rumput laut merupakan faktor biologis yang mempengaruhi pertumbuhannya. Predator yang mendominasi di Teluk Awur ialah ikan baronang, sedangkan di Pantai Krakal didominasi ikan baronang dan bulu babi. Ikan baronang dan bulu babi merupakan biota pemakan rumput laut yang sering dijumpai di kedua wilayah perairan ini. Populasi kedua biota ini mempengaruhi vegetasi rumput laut yang ada di kedua lokasi. Kondisi substrat di Teluk Awur didominasi oleh pasir dan lumpur, sedangkan di Pantai Krakal didominasi oleh pasir, batu, lumpur, karang mati dan masif. Kompetitor utama tumbuhan ini ialah lamun dan bintang ular. Lamun menjadi kompetitor rumput laut yang hidup di substrat pasir, sedangkan bintang ular menjadi kompetitor rumput laut yang hidup di substrat karang mati. Beberapa spesies rumput laut tidak ditemukan, hal ini diduga adanya predasi dari ikan baronang dan bulu babi serta persaingan mendapatkan substrat dengan lamun dan bintang ular. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat perbedaan nilai kepadatan 84 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.)

8 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 rumput laut pada setiap waktu pengamatan, baik itu di Teluk Awur (Gambar 1) maupun di Pantai Krakal (Gambar 2). Waktu pengamatan yang memiliki kepadatan rumput laut tertinggi di Teluk Awur ialah waktu pengamatan keempat dengan jumlah 687 individu, diikuti waktu pengamatan ketiga dengan jumlah 643 individu, sedangkan kepadatan terendah pada pengamaran ialah waktu pengamatan pertama dengan jumlah 394 individu. Bodlea sp Padina minor Dictyota divaricana Gracilaria gigas (Pramesti & Nirwani, 2007) Codium edule Laurencia sp. Bodlea sp. 1 Bodlea sp. 2 Gelidiella acerosa Gracilaria salicornia 1 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.) 85

9 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 Chaetomorpha sp.1 Chaetomorpha sp.2 Laurencia papillosa 1 Gracilaria coronopfilia 3 Hypnea sp.1 Hypnea sp 2 Cladophora sp Caulerpa sp. Amphiroa sp. Galaxaura kjelmanii Rhodymenia sp Turbinaria sp. 86 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.)

10 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 Caulid dari Sargassum sp. Udotea sp. Gambar 1. Hasil pengamatan rumput laut secara anatomi Gambar 2. Kepadatan Rumput Laut di Teluk Awur Gambar 3. Kepadatan Rumput Laut di Pantai Krakal Waktu pengamatan di Pantai Krakal yang memiliki kepadatan rumput laut tertinggi ialah waktu pengamatan kedua dengan jumlah 2604 individu, diikuti waktu pengamatan ketiga dengan jumlah 2587 individu, sedangkan kepadatan terendah ialah waktu pengamatan keempat dengan jumlah 2086 individu. Nilai kepadatan rumput laut di Pantai Krakal lebih tinggi dibanding Teluk Awur. Kepadatan rumput laut terlihat mengalami fluktuasi pada ke empat waktu pengamatan tersebut (Gambar 1 dan 2). Hal ini diduga waktu surut yang berbedabeda pada setiap periodenya. Waktu pasang surut diduga berpengaruh terhadap Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.) 87

11 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 nilai suhu dan salinitas di perairan. Waktu pengamatan 4 di Teluk Awur dan waktu pengamatan 2 di Pantai Krakal memiliki kepadatan tertinggi diduga waktu pantai surut terjadi di pagi dan sore hari, sehingga suhu dan salinitas memiliki nilai optimal untuk pertumbuhan tumbuhan ini. Waktu pengamatan 1 di Teluk Awur dan waktu pengamatan 4 di Pantai Krakal memiliki kepadatan paling rendah. Hal ini diduga perubahan cuaca yang terjadi akibat pergantian musim. Perubahan ini akan berdampak pada penurunan beberapa spesies rumput laut. Menurut Papalia dan Arfah (2013), rumput laut akan mengalami pergiliran generasi pada musim yang berbeda atau bersifat musiman. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan nilai persentase penutupan rumput laut pada setiap waktu pengamatan, baik itu di Teluk Awur (Gambar 3) maupun di Pantai Krakal (Gambar 4). Persentase penutupan rumput laut rerata terluas di Teluk Awur terdapat pada waktu pengamatan keempat (83,75 ± 29,48%), diikuti waktu pengamatan ketiga (72,08 ± 19,85%) dan penutupan terendah pada waktu pengamatan kedua (70,42 ± 24,55%). Persentase penutupan rumput laut rata-rata terluas di Pantai Krakal pada pengamatan pertama (99,37 ± 2,4%), diikuti waktu pengamatan kedua (98,54 ± 0,93%) dan penutupan terendah pada waktu pengamatan ketiga (91,25 ± 16,23%). Gambar 4. Persentase Penutupan Rumput Laut di Teluk Awur Gambar 5. Persentase Penutupan Rumput Laut di Pantai Krakal 88 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.)

12 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 Substrat di Teluk Awur didominasi lumpur, sedangkan substrat di Pantai Krakal didominasi oleh karang dan pasir. Rumput laut akan tumbuh dengan baik di daerah bersubstrat pasir dan pecahan karang mati (Langoy et al., 2011). Hal ini diduga persentase penutupan rumput laut di Pantai Krakal lebih tinggi daripada di Teluk Awur. Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat perbedaan indeks nilai penting rumput laut pada setiap waktu pengamatan, baik itu di Teluk Awur (Tabel 1) maupun di Pantai Krakal (Tabel 2). Indeks nilai penting di Teluk Awur dari divisi Chlorophyta mengalami peningkatan pada setiap waktu pengamatan, sedangkan divisi Phaeophyta mengalami penurunan pada setiap waktu pengamatan. Spesies P. minor memiliki nilai tertinggi pada setiap waktu pengamatan dengan nilai berurutan dari waktu pengamatan 1-4 ialah 144,07; 164,96; 172,03; dan 156,03. Spesies Sargassum natans memiliki nilai terendah pada setiap waktu pengamatan dengan nilai berurutan dari waktu pengamatan 1-4 ialah 3,45; 0,00; 1,51; dan 3,18. Indeks nilai penting dari divisi Chlorophyta, Phaeophyta, dan Rhodophyta di Pantai Krakal mengalami fluktuasi di setiap waktu pengamatan. Spesies A. muscoides memiliki nilai tertinggi pada setiap waktu pengamatan dengan nilai berurutan dari waktu pengamatan 1-4 ialah 105,05; 98,28; 112,74; dan 133,59. Spesies C. crassa mempunyai nilai tertinggi kedua pada setiap waktu pengamatan dengan nilai berurutan dari waktu pengamatan 1-4 ialah 98,75; 89,41; 103,49; dan 104,47. Spesies Goniolithon sp. memiliki nilai terendah pada setiap waktu pengamatan dengan nilai berurutan dari waktu pengamatan 1-4 ialah 0,60; 0,00; 0,00; dan 0,00. Hal ini diduga Goniolithon sp. tidak dalam musim pertumbuhannya. Indeks nilai penting rumput laut di Teluk Awur didapatkan dari penjumlahan kepadatan relatif, frekuensi relatif dan persentase penutupan relatif. Begitu pula di Pantai Krakal, indeks nilai penting didapatkan dari penjumlahan kepadatan relatif, frekuensi relatif dan persentase penutupan relative. Kepadatan relatif, luas penutupan relatif dan frekuensi relatif mengalami fluktuasi pada setiap waktu pengamatan di kedua lokasi. Di Teluk Awur, spesies P. minor memiliki nilai paling tinggi pada ketiga aspek yang dihitung. Begitu pula spesies A. muscoides di Pantai Krakal. Beberapa spesies nilai nol karena tidak ditemukan. Tabel 1. Indeks Nilai Penting Rumput Laut di Teluk Awur No. Jenis Rumput Laut Nilai INP pada Setiap Waktu Pengamatan Chlorophyta 49,49 83,36 106,21 115,35 1. Halimeda macroloba 0,00 73,85 70,43 74,51 2. Halimeda opuntia 35,13 7,78 23,59 27,85 3. Udotea sp. 14,36 1,73 12,18 12,99 Phaeophyta 253,31 216,64 193,79 184,65 4. Dictyota divaricata 72,09 0,00 0,00 0,00 5. Padina australis 27,14 45,08 9,17 13,66 6. Padina minor 144,07 164,96 172,03 156,03 7. Sargassum natans 3,45 0,00 1,51 3,18 8. Sargassum polycystum 6,56 6,60 11,09 11,77 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.) 89

13 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 Tabel 2. Indeks Nilai Penting Rumput Laut di Pantai Krakal Nilai INP pada Setiap Waktu Pengamatan No. Jenis Rumput Laut Chlorophyta 136,10 109,68 121,11 118,93 1. Caulerpa sp. 1,24 5,21 0,67 0,73 2. Chaetomorpha crassa 98,75 89,41 103,49 104,47 3. Cladophora sp. 34,95 14,03 16,95 13,73 4. Codium edule 1,15 1,03 0,00 0,00 Phaeophyta 14,97 24,15 14,64 11,16 5. Dictyota mertensii 11,38 21,48 5,05 5,33 6. Turbinaria ornata 3,59 2,67 9,59 5,83 Rhodophyta 146,83 166,17 164,24 169,91 7. Acanthophora muscoides 105,05 98,28 112,74 133,59 8. Amphiroa franciscana 2,21 0,00 5,29 0,82 9. Corallina sp. 0,55 7,52 1,34 1, Galaxaura kjellmanii 0,55 4,47 1,95 0, Gelidiella acerosa 26,64 38,15 28,43 16, Goniolithon sp. 0,60 0,00 0,00 0, Gracilaria arcuata 0,89 0,55 9,66 10, Gracilaria salicornia 4,93 5,26 2,48 1, Hypnea pannosa 1,26 9,25 0,00 0, Rhodymenia sp. 0,60 2,10 1,18 3, Titanophora sp. 3,55 0,59 1,18 1,26 Hasil indeks nilai penting tertinggi berdasarkan spesies yang ditemukan pada semua waktu pengamatan adalah P. minor di Teluk Awur dan A. muscoides di Pantai Krakal. Hal tersebut menunjukkan spesies ini memiliki peranan yang sangat tinggi dalam komunitas. Indriyanto (2006) menambahkan, semakin tinggi nilai penting suatu spesies maka peranannya di dalam komunitas semakin besar. P. minor dan A. muscoides memiliki indeks nilai penting tertinggi karena mempunyai nilai kepadatan relatif, frekuensi relatif dan penutupan relatif tertinggi juga. Spesies ini menjadi spesies tertinggi diduga sifatnya yang epifit dan ditemukan melimpah di semua waktu pengamatan. Hasil pengamatan di Teluk Awur menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman rumput laut tertinggi terdapat pada waktu pengamatan pertama dan keempat dengan nilai 0,65 dan terendah terdapat pada waktu pengamatan kedua dengan nilai 0,25. Nilai tersebut menunjukkan keanekaragaman dari seluruh waktu pengamatan di Teluk Awur termasuk kategori rendah H < 1,0. Suatu keanekaragaman termasuk kategori tinggi apabila H > 3 (Odum, 1993). Nilai keseragaman tertinggi terdapat pada waktu pengamatan pertama dengan nilai 0,46 dan terendah pada waktu pengamatan kedua dengan nilai 0,18. Nilai keseragaman pada waktu pengamatan kedua, ketiga, dan keempat termasuk kategori rendah (tertekan) 0,00 < E < 0,4, sedangkan nilai keseragaman pada waktu pengamatan pertama termasuk kategori 90 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.)

14 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 sedang (tidak stabil) 0,4 < E < 0,6 (Odum, 1993). Hasil pengambilan data juga menunjukkan nilai dominansi pada seluruh waktu pengamatan termasuk dalam kategori rendah 0 < C < 0,5 (Odum, 1993). Gambar 5 menunjukkan pola indeks ekologi rumput laut di Teluk Awur. Hasil pengamatan di Pantai Krakal menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman rumput laut tertinggi terdapat pada waktu pengamatan pertama dengan nilai 1,27 dan terendah terdapat pada waktu pengamatan keempat dengan nilai 0,93. Nilai indeks keanekaragaman pada waktu pengamatan pertama, kedua, dan ketiga termasuk kategori sedang 1,0 < H < 3,0, sedangkan nilai indeks keanekaragaman pada waktu pengamatan keempat termasuk kategori rendah H < 1,0. Suatu keanekaragaman termasuk kategori tinggi apabila H > 3 (Odum, 1993). Nilai keseragaman tertinggi terdapat pada waktu pengamatan pertama dengan nilai 0,60 dan terendah pada waktu pengamatan keempat dengan nilai 0,47. Nilai keseragaman pada waktu pengamatan kedua, ketiga, dan keempat termasuk kategori sedang (tidak stabil) 0,4 < E < 0,6, sedangkan nilai keseragaman pada Gambar 6. Pola Indeks Ekologi Rumput Laut di Teluk Awur Gambar 7. Pola Indeks Ekologi Rumput Laut di Pantai Krakal Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.) 91

15 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 waktu pengamatan pertama termasuk kategori tinggi (stabil) 0,6 < E < 1,0 (Odum, 1993). Hasil pengambilan data juga menunjukkan nilai dominansi pada seluruh waktu pengamatan termasuk dalam kategori rendah 0 < C < 0,5 (Odum, 1993). Gambar 6 menunjukkan pola indeks ekologi rumput laut di Pantai Krakal. Pola indeks ekologi menunjukkan bahwa waktu pengamatan yang memiliki indeks keanekaragaman tinggi akan memiliki indeks dominansi yang rendah. Begitu juga sebaliknya, waktu pengamatan yang memiliki indeks keanekaragaman rendah akan memiliki indeks dominansi yang tinggi. Hubungan seperti ini dalam persamaan matematika disebut dengan hubungan berbanding terbalik. Adanya dominansi suatu spesies dalam suatu komunitas disebabkan oleh adanya ketidakmerataan jumlah individu dalam setiap spesies. Gambar 5 menunjukkan bahwa rumput laut di Teluk Awur pada waktu pengamatan pertama dan keempat memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi dengan indeks dominansi yang rendah dan dengan nilai indeks keseragaman yang tinggi. Hal ini juga terjadi pada rumput laut di Pantai Krakal pada waktu pengamatan pertama dan kedua yang ditunjukkan dalam gambar 6. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies rumput laut di daerah ini diikuti oleh jumlah distribusi individu yang relatif merata pada setiap spesies. Hal yang sebaliknya terjadi pada waktu pengamatan kedua di Teluk Awur dan waktu pengamatan keempat di Pantai Krakal, waktu pengamatan ini memiliki indeks dominansi yang tertinggi. Dominansi ini terjadi karena tidak meratanya jumlah individu pada setiap spesies. Pengukuran parameter kualitas air di kedua lokasi ditunjukkan pada tabel 3 dan 4. Nilai suhu dan salinitas bergantung dengan waktu pantai mengalami surut terendah. Pengamatan kedua memiliki kisaran suhu terendah, sedangkan suhu tertinggi terdapat pada pengamatan ketiga. Kandungan nitrat di Teluk Awur tergolong dalam kategori kesuburan tinggi pada pengamatan kedua sampai keempat, sedangkan pada pengamatan pertama tergolong kategori sedang-tinggi. Kandungan fosfat di Teluk Awur tergolong dalam kategori cukup-baik pada pengamatan pertama sampai ketiga, sedangkan kandungan fosfat pada pengamatan keempat tergolong cukup. Di Pantai Krakal, kandungan nitratnya tergolong dalam kategori kesuburan rendah-sedang pada seluruh waktu pengamatan. Kandungan fosfat di Pantai Krakal tergolong dalam kategori cukup-baik pada pengamatan kedua sampai keempat, sedangkan kandungan fosfat pada pengamatan pertama tergolong rendah-baik. Berdasarkan data pasang surut Teluk Awur dan Pantai Krakal selama bulan Agustus sampai September tahun 2013, diketahui bahwa wilayah perairan ini mengalami 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam waktu 24 jam. Tinggi rendahnya pasang dan surut dalam periode tersebut bervariasi tergantung cuaca dan posisi bulan. Kecepatan arus di Teluk Awur pada bulan Agustus 2013 sebesar 5,72 cm/detik, Tabel 3. Parameter Kualitas Air di Teluk Awur Tanggal Pengamatan Parameter Kualitas Air Suhu (ºC) Salinitas ( ) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l) ph Waktu Kamis, 7/08/ ,066 0,02-0, :10-11:15 Kamis, 14/08/ ,066 0,055-0, :40-14:28 Kamis, 21/08/ ,066 0,0274-0, :57-12:30 Kamis, 28/08/ ,066 0,0542-0, :40-16:20 92 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.)

16 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 Tabel 4. Parameter Kualitas Air di Pantai Krakal Tanggal Pengamatan Parameter Kualitas Air Suhu (ºC) Salinitas ( ) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l) ph Waktu Senin, 11/08/ ,0683-0,1606 0,0643-0, :25-10:15 Senin,18/08/ ,2405-0,4177 0,0504-0, :35-13:00 Senin, 25/08/ ,4113-0,5605 0,0368-0, :28-11:50 Senin, 1/09/ ,4208-0,4942 0,0228-0, :25 sedangkan bulan September tahun 2013 sebesar 4,17 cm/detik. Kecepatan arus di perairan Gunung Kidul pada bulan Agustus 2013 sebesar 7,88 cm/detik, pada September 2013 sebesar 6,19 cm/detik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa jumlah spesies rumput laut yang ditemukan di Teluk Awur dilihat dari karakteristik morfologinya terdiri dari dua divisi yaitu Chlorophyta (3 spesies) dan Phaeophyta (5 spesies). Selain itu, jumlah spesies rumput laut yang ditemukan di Pantai Krakal dilihat dari karakteristik morfologinya terdiri dari tiga divisi yaitu Chlorophyta (4 spesies), Phaeophyta (2 spesies) dan Rhodophyta (11 spesies). Secara umum anatomi, terdapat tiga jenis sel penyusun dari bagian luar ke dalam yaitu epidermis (1/2 lapis sel), korteks (1/2 lapis sel) dan medulla (1 lapis dan berukuran paling besar). Struktur komunitas rumput laut yang ditemukan di Pantai Krakal meliputi kepadatan, frekuensi, persentase penutupan, indeks nilai penting, dan indeks ekologi lebih tinggi daripada di Teluk Awur. DAFTAR PUSTAKA Anggadireja, J.T, Zatnika, A., Purwoto, H. dan Istini Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. 147 p. Arikunto, S Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Renika Cipta. Jakarta. 370 hlm. English, S.C., Wilkinson, Baker, V Survey Manual for Tropical Marine Resources. Second edition. Australian Institute of Marine Science. Townsville Australia. Hadi, S Metodologi Research Jilid 3. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. 75 hlm. Indriyanto Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. Izharuddin, M Keanekaragaman dan Nilai Penting Rumput Laut di Wilayah Intertidal Pantai Sepanjang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, 97 hlm. Kadi, A Makroalgae di Paparan Terumbu Karang Kepulauan Anambas. Pusat Penelitian Oseanolog-LIPI. Jurnal Natur Indonesia 12(1) : Kusmana, C Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Langoy, M.L.D., Saroyo, F.N.J. Dapas, D.Y. Katili dan S.B. Hamsir Deskripsi Alga Makro di Taman Wisata Alam Batuputih, Kota Bitung. Jurnal Ilmiah Sains, FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado, 11(2): Odum, E.P Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Papalia, S. dan H. Arfah Produktivitas Biomasa Makroalga di Perairan Pulau Ambalau, Kabupaten Buru Selatan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, FPIK IPB, Bogor, 5(2): Pramesti R dan Nirwani Organ reproduksi G. gigas Harvey Pada Fase Karposporofit. Ilmu Kelautan. Vo. 12 (2) : Romimohtarto, K dan Sri Juwana Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. Soegianto, A Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.) 93

17 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2):81 94 Komunitas. Penerbit Djambatan. Jakarta. Stephani, W Distribusi Makroalgae di Wilayah Intertidal Pantai Krakal, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, 68 hlm. Susanto, AB., Suwartimah, Ken., Redjeki, Sri dan W. Widjatmoko Penelitian Tentang Ekologi Halimeda sp. di Perairan Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang. Yulianto, Kresna Rumput Laut dan Metoda Analisisnya. Karya Ilmiah Bidang Kelautan untuk Guru-Guru SMP dan SMA se-maluku. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Maluku, Maluku. 94 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut (Rini Pramesti et al.)

18 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Kajian Pengamanan Dan Perlindungan Pantai Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk, Kota Semarang Retno Hartati 1*, Rudhi Pribadi 1, Retno W. Astuti 2, Reny Yesiana 3, Itsna Yuni H 3 1 Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Mercy Corps Indonesia 3 Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang retnohartati.undip@yahoo.com Abstract Semarang is one of many cities which has high vulnerability, damage, and high risk affected by climate change. This study was aimed to determine securing, protecting of Semarang coastal area, especially in Tugu and Genuk Sub-district. Literature review was carried out to seek the proper seawall design and material which feasible to be built in coastal area of Tugu and Genuk Sub-district. Field observation was conducted to determine location characteristic to build seawall in Tugu and Genuk Sub-district. The study revealed that many area of Semarang coast was damage as impact of coastal building, the loss of natural protection as well as effect of global warming. The existing seawall was varied but mostly in damage condition. Therefore it is recommend to build seawall in Karanganyar and Tugurejo Village (in Tugu subdistrict) to support the eco-edutourism in Semarang City as well as ini Trimulyo Village (Genuk Subdistrict) to established sediment enrichment ready for mangroves replant. Keywords : securing, protection, coastal, Semarang Abstrak Semarang merupakan salah satu kota yang memiliki tingkat kerentanan, bahaya dan resiko tinggi akibat dampak perubahan iklim. Kajian ini bertujuan untuk melakukan kajian pengamanan dan perlindungan pantai di wilayah pesisir Kecamatan Tugu dan Genuk, Kota Semarang. Kajian dilakukan ini melalui review literatur dan observasi lapangan. Kajian literatur dilakukan terhadap desain alat penahan ombak (APO) yang memungkinkan dibangun di wilayah pesisir Kecamatan Genuk dan Tugu serta untuk mendapatkan informasi tentang bahan atau material yang dapat digunakan untuk membangun APO. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui karakteristik lokasi yang akan dibangun APO dan ketersediaan material sesuai desain yang telah direkomendasikan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kerusakan pantai yang terjadi di Kota Semarang cukup banyak yang diindikasikan sebagai dampak dari bangunan-bangunan yang menjorok ke laut, hilangnya perlindungan alam pantai dan juga merupakan efek dari pemanasan global. Kondisi APO dan breakwater saat ini sangat beragam, namun pada umumnya sudah rusak sehingga mengurangi fungsinya sebagai alat perlindungan pantai. Untuk itu disarankan dibangunnya alat penahan ombak di Kelurahan Karanganyar dan Tugurejo (Kecamatan Tugu) untuk mendukung program eco-eduwisata Kota Semarang dan Kelurahan Trimulyo (kecamatan Genuk) untuk sediment enrichment yang nantinya lokasi siap ditanami mangrove. Kata kunci : pengamanan, perlindungan, pantai, Semarang *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

19 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): PENDAHULUAN Kota Semarang memiliki panjang pantai 13,6 km dan luas 373,70 km serta memiliki potensi perikanan tangkap dan perikanan budidaya cukup besar. Namun, kondisi tersebut akan menjadi ancaman bagi penduduknya apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan. Kota Semarang juga merupakan salah satu kota yang memiliki tingkat kerentanan, bahaya dan resiko tinggi akibat dampak perubahan iklim (Subandono dalam Tempo, 2010). Secara khusus, hasil penelitian Friend of The Earth (FoE) Jepang menyebutkan bahwa sejak sepuluh tahun terakhir (1998) banyak warga pesisir di Kecamatan Tugu kehilangan lahan tambak akibat abrasi dan air laut masuk kedalam sungai dengan intensitas yang cukup tinggi sehingga menyebabkan akses jalan menjadi tenggelam (FoE Jepang, 2009). Selain itu Kota Semarang juga terbebani fenomena land subsidence yang semakin memperburuk kondisi lingkungan di pesisir. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat pesisir Kota Semarang, sebagai contoh masyarakat di Mangkang Wetan melakukan penanaman mangrove dan pembuatan pemecah ombak (break water) dengan bantuan dana dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Tengah dan Djarum Foundation. Masyarakat Dukuh Tapak Kelurahan Tugurejo juga melakukan penanaman mangrove dan mengurangi dampak abrasi dengan memasang ban bekas yang disusun rapi dan ditambah sedimen lumpur sebagai alat pemecah ombak (APO). Upaya tersebut ternyata cukup efektif, dengan adanya APO lahan tambak yang ada di belakangnya aman terlindungi dari abrasi yang mengikis daratan Pulau Tirang, selain itu APO juga dapat melindungi tanaman mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang. Masyarakat Dukuh Tapak Kelurahan Tugurejo dengan bantuan Friend of The Earth (FoE) Jepang dan Mercy Corps Indonesia melakukan peningkatan pengetahuan kelompok masyarakat, penanaman mangrove dan pembuatan alat penahan ombak. Pada tahun 2010 Dinas Kelautan & Perikanan serta Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang ikut terlibat memberikan bantuan kegiatan kepada masyarakat tersebut. Pada tahun Mercy Corps Indonesia bersama Tim Perubahan Iklim Kota Semarang mempunyai kegiatan untuk mewujudkan Peningkatan Ketahanan Masyarakat Pesisir Melalui Penguatan Ekosistem Mangrove dan Pengembangan Mata Pencaharian Berkelanjutan di Kota Semarang. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembangun untuk mendapatkan hasil yang optimal maka perlu dilakukan kajian yang mendalam terkait dengan peluang penghidupan berkelanjutan bagi kelompok masyarakat pesisir serta aplikasi alat pemecah ombak di Kecamatan Tugu dan Genuk, Kota Semarang. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian pengamanan dan perlindungan pantai di wilayah pesisir Kecamatan Tugu dan Genuk, Kota Semarang. Pembahasan dalam artikel ini meliputi kajian alat pemecah ombak, desain dan material untuk membangun APO dan merekomendasikan desain untuk lokasi terpilih. MATERI DAN METODE Penyusunan kajian ini melalui review literatur dan observasi lapangan. Kajian literatur dilakukan terhadap desain alat penahan ombak (APO) yang memungkinkan dibangun di wilayah pesisir Kecamatan Genuk dan Tugu serta untuk mendapatkan informasi tentang bahan atau material yang dapat digunakan untuk membangun APO. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui karakteristik lokasi yang akan dibangun APO dan ketersediaan material sesuai desain yang telah direkomendasikan. Lokasi kegiatan ini terkait dengan ruang lingkup wilayah Proyek Peningkatan Ketahanan Masyarakat Pesisir Melalui Penguatan Ekosistem Mangrove dan Pengembangan Mata Pencaharian Berkelanjutan di Kota Semarang, yaitu 96 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

20 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Kecamatan Genuk (Kelurahan Trimulyo) dan Kecamatan Tugu (Kelurahan Tugurejo, Karanganyar, Randugarut, Mangkang Wetan, Mangunharjo, dan Mangkang Kulon). Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Pantai, yang merupakan perbatasan antara daratan dan lautan, adalah sebuah perairan yang sangat dinamis. Dinamika perairan tersebut disebabkan oleh pengaruh angin, gelombang angin, gelombang pasang surut, gelombang badai, tsunami dan lainnya.pada dasarnya alam telah menyediakan mekanisme perlindungan pantai secara alamiah yang efektif, yaitu pantai pasir yang hamparan pasirnya berfungsi sebagai penghancur energi gelombang yang efektif dan bukit pasir (sand dunes) yang merupakan cadangan pasir yang juga berfungsi sebagai tembok laut. Daerah pantai merupakan kawasan yang paling produktif dan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi (Hidayat, 2005a;b), selain itu daerah pantai menyediakan ruang dengan aksebilitas lebih tinggi bagi kegiatan transportasi dan kepelabuhanan serta ruang yang relatif mudah dan murah bagi kegiatan industri, pariwisata dan pemukiman. Permasalahan yang terjadi pada daerah pantai dalam pemanfaatannya sering mengalami kerusakan/perubahan kualitas lingkungan fisik dan biofisik. Alam juga menyediakan pantai berlumpur dengan tumbuhan pantai seperti pohon bakau (Rhizophora), api-api (Avicenia sp.) ataupun nipah (Nypha sp.) sebagai pelindung pantai. Tumbuhan pantai ini akan memecahkan energi gelombang dan memacu pertumbuhan pantai. Gerakan air yang lambat di antara akar-akar pohon tersebut dapat mendukung proses pengendapan dan merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiaknya kehidupan laut, seperti ikan dan biota laut lainnya. Pantai dikatakan rusak apabila terjadi perubahan baik fisik maupun lingkungan yang dapat membahayakan atau merugikan kehidupan dan kegiatan perekonomian (Yuwono, 2004). Beberapa kerusakan pantai di antaranya adalah Sumber: Bappeda Kota Semarang, 2011 Gambar 1. Lokasi Penelitian untuk Pembangunan APO Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.) 97

21 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): erosi pantai, sedimentasi pada muara sungai, hilangnya pelindung alami pantai (seperti sand dunes, hutan bakau dan terumbu karang, matinya taman laut dan sebagainya). Tingkat kerusakan pantai dipengaruhi oleh beberapa parameter, di antaranya gaya luar dari ombak dan angin, kondisi sedimen, kondisi profil pantai dan keberadaan struktur di pantai. Kerusakan pantai yang terjadi di pantura Jawa Tengah di beberapa tempat sangatlah memprihatinkan. Kerusakan-kerusakan ini diindikasi merupakan dampak dari bangunanbangunan yang menjorok ke laut, hilangnya perlindungan alam pantai, dan merupakan efek dari pemanasan global (global warming). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi perubahan transport sedimen dan terjadilah abrasi disatu tempat dan akresi disisi lainnya. Upaya perlindungan terhadap daerah pantai umumnya dilakukan untuk melindungi berbagai bentuk penggunaan lahan seperti permukiman, daerah industri, daerah budidaya pertanian maupun perikanan, daerah perdagangan dan sebagainya yang berada di daerah pantai dari ancaman erosi (Hidayat, 2006). Menurut Suhardi (2002), terdapat beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan pantai, antara lain tidak melakukan sesuatu kegiatan atau proses yang mengusik pantai, dan membiarkan gelombang secara alami membuat keseimbangan baru. Yang kedua, menambahkan sedimen (beach nourishment) ke dalam sedimen sel bersangkutan. Pantai berpasir mempunyai kemampuan perlindungan alami terhadap serangan gelombang dan arus. Perencanaan suatu bangunan pelindung pantai memerlukan informasi mengenai kondisi gelombang pada saat breaking, antara lain tinggi gelombang pada saat breaking, kedalaman perairan dimana terjadi breaking dan arah gelombang pada saat breaking, dimana semua besaran tersebut dapat diperoleh dengan melakukan analisis transformasi gelombang dari perairan dalam menuju perairan pantai yang dangkal (Hutahaean, 2015). Perlindungan tersebut berupa kemiringan dasar pantai di daerah nearshore yang menyebabkan gelombang pecah di lepas pantai, dan kemudian energinya dihancurkan selama dalam penjalaran menuju garis pantai di surf zone. Dalam proses pecahnya gelombang tersebut sering terbentuk offshore bar di ujung luar surf zone yang dapat berfungsi sebagai penghalang gelombang yang datang (menyebabkan gelombang pecah). Yang ketiga adalah dengan membuat struktur bangunan (groyne, seawall, dan sebagainya) atau yang disebut sebagai hard solution. Pada prinsipnya, tindakan untuk pengelolaan dan perlindungan pantai dari abrasi/erosi adalah dengan (a) pencegahan, dengan melakukan pengaturan penggunaan lahan serta bangunan di daerah pantai terutama yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi kesetimbangan transport sedimen dan (b) perlindungan pantai, dilakukan dengan cara membuat bangunan non struktural seperti Kawasan Sabuk Hijau pantai (Green belt), atau bangunan struktural yang didesain untuk tujuan sebagai perkuatan pantai, misalnya adalah dinding laut (sea wall) atau revetment.faktor yang dijadikan dasar dalam pemilihan alternatif jenis perlindungan tersebut, adalah tujuan yang ingin dicapai,kondisi gelombang, sedimen,bathimetri kontur dasar pantai serta kondisi geologi di lokasi studi.tujuan yang ingin dicapai sangat ditentukan oleh pemanfaatan lahan di belakang garis pantai dan kondisi dinamis pantai yang ada saat ini.sebagai contoh untuk daerah pantai dengan pemukiman atau lokasi pelayanan umum seperti TPI/ PPI maka perlindungan menjadi sangat penting. Oleh karena itu pencegahan, jika belum terjadi kerusakan, harus dilakukan dan sebaliknya jika sudah ada tanda-tanda abrasi, maka perlindungan yang harus dilakukan. Data hidro-oseanografi sangat diperlukan dalam merencanakan penanggulangan permasalahan kerusakan pantai. Perubahan garis pantai yang berupa akresi maupun abrasi dipengaruhi 98 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

22 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): dua faktor utama yaitu faktor aktif (parameter hidro-oseanografi) serta faktor pasif (geomorfologi pantai beserta litologi penyusunnya). Pada kenyataannya kerusakan pantai lebih dominan dipengaruhi oleh kondisi gelombang setempat. Dalam hal ini perlu dilihat dengan seksama jenis gelombang tersebut apakah merupakan gelombang tegak lurus pantai (onshore-offshore) atau gelombang yang menyudut terhadap pantai sehingga menimbukan longshore transport. Dampak terhadap garis pantai akibat hempasan kedua jenis gelombang ini memerlukan tipe perlindungan yang berbeda. Penjalaran gelombang menuju pantai akan mengakibatkan terjadinya deformasi gelombang. Bentuk deformasi gelombang yang terjadi sangat ditentukan oleh kondisi batimetri dasar perairan yang bersangkutan. Dengan demikian dampak gelombang terhadap garis pantai juga ditentukan oleh kondisi bathimetri tersebut. Kondisi geologi lokasi juga penting. Misalkan pada pantai berlumpur akan mudah terjadi transport sediment baik dalam bentuk suspended load maupun bed load, sedangkan pada pantai berpasir transport sedimen akan lebih banyak sebagai bed load. Terkait dengan hal tersebut maka pemasangan penangkap sedimen tidak akan efektif dilakukan pada pantai berlumpur. (Gambar 2). Gambar 2. Skema Pengelolaan dan Perlindungan Pantai (Triatmodjo, 1999) Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.) 99

23 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Terdapat lima pendekatan dalam perencanaan pembangunan perlindungan pantai buatan, yaitu mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai dengan membangun bangunan groin, mengurangi energi gelombang yang mengenai pantai dengan membangun pemecah gelombang lepas pantai (break water/apo), memperkuat tepi pantai sehingga tahan terhadap gempuran gelombang dengan membangun revetment atau sea wall, menambah supply sedimen ke pantai dengan cara sand by passing atau beach nourishment, sertamelakukan penghijauan daerah pantai dengan pohon bakau, apiapi, atau nipah Pemilihan tipe bangunan pelindung pantai tergantung pada kondisi pantai, tanah dasar pantai yang dilindungi, ketersediaan material, dan peralatan untuk membuat bangunan. Menurut Balitbangda Provinsi Jawa Tengah (2004), bentuk-bentuk bangunan pelindung pantai yang dapat digunakan dalam penanganan kerusakan pantai di Pantura Jawa Tengahdapat berupa revetment, Sea Wall, Groin, atau APO. Fungsi, bahan/material pembangun dan posisi pada pantai dari bangunan pelindung pantai disajikan pada Tabel 1. Pemilihan tipe bangunan pelindung pantai berupa alat pemecah ombak (APO) ditentukan oleh kondisi pantai, tanah dasar pantai yang dilindungi, ketersediaan material, dan peralatan untuk membuat bangunan. Efektivitas struktur tipe alat pemecah gelombang dalam mereduksi energi gelombang dipengaruhi oleh bentuk geometris dan konfigurasi penempatan APO tersebut, serta kedalaman air, tinggi dan periode gelombang. Panjang pemecah gelombang dan jaraknya dari garis pantai menentukan perubahan garis pantai dan sedimen yang terkumpul dibelakang struktur APO yang bersangkutan. Untuk pesisir Kota semarang dengan tipe sedimen lumpur pasiran yang mempunyai daya dukung rendah maka terdapat beberapa tipe APO seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 1. Perbandingan beberapa bangunan pelindung dan perkuatan pantai (Poedjiastuti, 1996; Triatmodjo, 1999) No. Jenis Fungsi Bahan/material Penempatan 1 Tembok Penahan gaya batu alam/buatan, Sejajar atau laut (sea ombak yang relatif pasangan batu, beton, hampir sejajar wall), tinggi tumpukan buis beton, turap dengan garis beton, turap baja, atau turap pantai kayu 2 Revetment Melindung pantai pasangan batu kosong, plat sejajar atau dari erosi/abrasi beton, blok beton, dan hampir sejajar dan limpasan bronjong dengan garis gelombang pantai yang (overtopping) ke membatasi darat bidang daratan dengan laut 3 Groin Menahan transpor Batu kosong, pasangan batu, tegak lurus atau sedimen sepanjang atau blok beton, baja atau hampir tegak pantai sehingga buis beton lurus pantai bisa mengurangi atau menghentikan erosi yang terjadi 4 Alat Pemecah atau pasangan batu/beton, atau Tegak lurus atau Pemecah mengurangi energi tipe tidak masif berupa hampir tegak ombak (APO) ombak/gelombang susunan tumpukan batu, blok beton atau tetrapod lurus pantai 100 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

24 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 2. Tipe-tipe alat pemecah ombak (APO) (Yulistiyanto, 2009; Wiharja dan Nafiarta, 2015) No. Jenis Bahan/material Kelebihan Kekurangan 1 APO Tipe box-beton (kubus beton berbentuk Sangat efektif Biaya relatif beton) kubus sebagai peredam lebih mahal energi, mudahdibuat, mudah dalam penataan. 2 APO Tipe Kayu Berbentuk lengkung 3 APO Tipe kayu berbentuk lurus tiang-tiang kayu Melindungi bibit mangrove, dapat mengurangi laju erosi pantai dan menangkap sedimen di daerah yang dilindungi, cocok untuk daerah dengan arah gelombang bervariasi tiang-tiang kayu Untuk memperkuat APO Kayu Berbentuk lengkung yang diletakkan sekitar 20 meter dari garis pantai atau di belakang dari APO Kayu Berbentuk lengkung Bahanbahan relatif cepat rusak Bahanbahan relatif cepat rusak 4 APO Tipe Paralon dan Ban Paralon berisi pasir dan ban Mereduksi tinggi gelombang cukup signifikan dan membentuk sedimentasi dengan cepat di daerah yang dilindungi Bahanbahan relatif cepat rusak 5 APO Tipe Buis Beton Buis beton Mampu melindungi dan merehabilitasi pantai pada kondisi gelombang lebih besar dari 3 m dan pada perairan pantai untuk kedalaman yang lebih besar, material beton lebih bersifat kuat, tahan lama dan tidak cepat rusak Biaya lebih mahal, tidak cocok untuk daerah lumpur pasiran Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.) 101

25 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): No. Jenis Bahan/material Kelebihan Kekurangan 5 APO Tipe Bambu Ban Bambu dan ban bekas Material ban bekas mudah didapat dan Bahanbahan relatif harganya murah, cepat rusak dapat melindungi tambak dari gelombang dan pasang tinggi 6 APO tipe brushwood dam/tipe permeable dam/tipe Hybrid engineering kisi-kisi kayu/bambu yang diisi dengan ikatan-ikatan kecil ranting/ batang kayu yang bersifat permeable Bersifat meredam energy gelombang dan tidak memantulkan gelombang,mencipt akan kondisi air yang tenang untuk endapan lumpur, tidak perlu penampang atau landasan seperti pada APO tipe bambu ban, sangat cocok untuk tipe sedimen lumpur sebagai lokasi penanaman mangrove Bahanbahan relatif cepat rusak Berdasarkan kajian literatur dengan membandingkan beberapa bangunan pelindung dan perkuatan pantai (Tabel 1) dan membandingkan tipe-tipe APO yang dapat dibangun di pesisir Kota Semarang (Tabel 2) maka APO Tipe Bambu Ban dapat diaplikasikan dan dibangun di Kelurahan Tugurejo dengan pertimbangan dasar pantai yang beruoa lumpur berpasir, APO tipe bambu ban ini akan mampu melindungi tambak dari gelombak dan pasang tinggi. Berdasarkan pengalaman masyarakat di daerah tersebut maka bahan yang direkomendasikan digunakan adalah ban bekas ukuran 100 cm yang ditumpuk secara horizontal. Tumpukan 5-7 buah ban bekas disesuaikan dengan kedalaman genangan air yang ada ditopang dengan bambu pada bagian dalamnya agar ban tidak goyah. Setelah ban tersusun memanjang sejajar maka perlu ditambahkan sedimen lumpur sejajar dengan ketinggian ban. APO tipe bambu ban sebaiknya dikembangkan dengan penambahan penampang / landasan pada bagian bawah APO untuk menahan ban agar tidak masuk ke dalam sedimen dasar laut. Selain itu dilakukan juga penambahan Tali dan bambu untuk mengikat antara ban satu dan yang lainnya dengan tujuan agar ban bekas yang terpasang semakin kuat dan mampu menahan gelombang. Sedimentasi yang terbentuk sebagai dampak dibangunnya APO tipe banbu dan ban akan dapat digunakan sebagai aera penanaman mangrove, yang akan semakin memperkuat tambak dari rob. Pesisir Kelurahan trimulyo dengan tipe sedimen lumpur halus direkomendasikan APO tipe hybridengineering yang selain bertujuan untuk memulihkan pantai lumpur untuk daerah penanaman mangrovem juga untuk mengembalikan wilayah yang hilang karena erosi dan abrasi. Pembangunan APO tipe ini memungkinkan pemulihan habitat untuk mangrove yang membutuhkan pendangkalan sedimen 102 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

26 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): halus dan tingkat sedimentasi yang lebih besar sehingga pemulihan kerusakan pesisir akan dilakukan lebih cepat. Tingkat sedimentasi sebanding dengan konsentrasi sedimen di kolom air, dimana konsentrasi sedimen di kolom air dapat ditingkatkan dengan agitasi pengerukan, dan ini untuk mengatur restorasi menjadi gerak. Struktur yang masif tidak bekerja, atau terlalu mahal dan tidak mengembalikan ekosistem. Pantai lumpurmangrove sebagai hasil dari APO tipe hybrid-engineering secara alami menyediakan berbagai kebutuhan ekosistem, yaitu sebagai perlindungan pantai (tumbuh dengan kenaikan permukaan laut), sumber daya perikanan, sebagai tempat nursery biota laut, memperbaiki kualitas air. Pada dasarnya kegiatan rehabilitasi ekosistem merupakan upaya untuk memulihkan kembali ekosistem yang telah mengalami degradasi. Secara umum, prinsip dasar rehabilitasi ekosistem, yaitu (1) mengutamakan rehabilitasi berdasarkan kondisi ekologis dari suatu daerah yang akan dilakukan rehabilitasi; (2) melakukan rehabilitasi dengan langkah-langkah yang benar, yaitu rencanaan, pengkajian, prakondisi masyarakat, pelaksanaan rehabilitasi, monitoring dan evaluasi dan publikasi; (3) Tetap melakukan pendampingan dalam upaya montoring dan evaluasi terhadap rehabilitasi yang telah dilakukan; (4) Perhatikan kaidah ekologis jika melakukan rehabilitasi fisik, (5) Hidup lebih akrab dengan ekosistem, masyarakat setempat yang lokasinya terdekat dengan lokasi rehabilitasi hendaknya memiliki kesadaran yang tinggi akan arti pentingnya keberadaan ekosistem dan manfaatnya. Kelima prinsip tersebut direkomendasikan untuk dilakukan sebagai upaya perlindungan pesisir dan rehabilitasi kerusakan ekosistem pesisir. Areal pesisir merupakan tempat berlangsungnya berbagai aktivitas manusia sehingga memiliki potensi yang besar dan rentan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia, baik yang berlangsung pada wilayah pesisir sendiri maupun wilayah diatasnya. Garis pantai (coastline) merupakan garis batas antara laut dan daratan yang terbentuk dan dapat berubah dari berbagai aktivitas manusia. Garis pantai akan selalu mengalami perubahan sepanjang waktu dan mengalami dua macam perubahan, yaitu perubahan garis pantai maju (akresi) dan perubahan garis pantai mundur (rekresi) yang secara alami dapat terbentuk karena proses-proses oseanografi seperti gelombang, pasangsurut, proses pengangkatan (emerge), dan penenggelaman daratan (submerge). Dengan adanya ancaman terhadap daerah pesisir, maka kegiatan pengamanan dan perlindungan pantai bertujuan terutama untuk melindungi dan mengamankan: a) masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai dari ancaman gelombang, b) fasilitas umum yang berada di sepanjang pantai, misalkan jalan raya, rumah ibadah, pasar, kompleks pertokoan, dan kawasan rekreasi, c) dataran pantai terhadap ancaman erosi dan abrasi, d) perlindungan alami pantai (hutan mangrove, terumbu karang, sand dunes) dari perusakan akibat kegiatan manusia, dan terhadap pencemaran lingkungan perairan pantai (limbah rumah tangga, limbah industri), yang pada akhirnya pencemaran ini dapat merusakkan kehidupan biota pantai. Observasi lapangan telah dilakukan 2 kecamatan (tujuh kelurahan), yaitu Kecamatan Genuk (Kelurahan Trimulyo) dan Kecamatan Tugu (Kelurahan Tugurejo, Kelurahan Karanganyar, Kelurahan Randugarut, Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo, dan Kelurahan Mangkang Kulon) untuk memilih lokasi yang tepat untuk dilakukan perlindungan pantai. Trimulyo adalah kelurahan yang berada di bagian paling timur Kota Semarang, menjadi pembatas dengan Kabupaten Demak dengan luas wilayahnya mencapai 349 hektar. Kelurahan Trimulyo dibagian timur dibatasi Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.) 103

27 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): dengan Kali Penthol (sekarang telah hilang), bagian barat dibatasi oleh Sungai Sringin, sedang di bagian selatan dibatasi oleh Jalan Raya Semarang-Demak (Gambar 3). Gambaran umum dampak perubahan iklim (abrasi dan akresi) di Kelurahan Trimulyo adalah pada waktu tahun yang lalu rob dan abrasi telah merusak mangrove dan menghilangkan lahan tambak yang berada di pesisir Kelurahan Trimulyo, dan saat ini, terutama tiap bulan April atau Mei, rob atau pasang tinggi telah memasuki rumah warga. Kenaikan air laut yang disertai angin dan gelombang tinggi berdampak pada kegiatan para nelayan dari desa tersebut. Sebagai upaya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim tersebut maka masyarakat Kelurahan Trimulyo Kecamatan Genuk Kota Semarang melakukan penanaman mangrove pada lahan pemerintah kelurahan yang luasnya mencapai 8 hektar dan memerlukan penanggulangan kerusakan pesisir yang bersedimen lumpur tersebut. Area yang direncanakan ditanami mangrove dengan pola blocking seluas 20 hektar. Oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015 telah direncanakan pembangunan APO. Sementara pada tahun 2013 ini Kelompok Sringin sedang melaksanakan pekerjaan pembuatan Alat Penahan Ombak (APO) dari ban bekas sepanjang 100 meter yang diprakarsai oleh BLH Kota Semarang. Wilayah Kelurahan Karanganyar dan Kelurahan Tugurejo masing-masing seluas 349 dan 855,012 hektar. Rob yang terjadi sebagai akibat perubahan iklim di telah menenggelamkan tambak masyarakat. Bahkan pada tahun 2013 rob mencapai ketinggian 20 cm dari permukaan tanggul tambak, sehingga meminmukan kerugian ekonomi yang cukup besar. Sementara itu di Kelurahan Karangayar kenaikan air laut mencapai perkampungan yang paling dekat dengan tambak dengan ketinggian mencapai 25 cm. Di Kelurahan Tugurejo ketika musim penghujan akan terjadi banjir yang merupakan limpasan Sungai Tapak dan Sungai Tugurejo. Banjir dari Sungai Tapak menyebabkan tergenangnya beberapa wilayah permukiman warga yang berdekatan dengan rel kereta api dan permukiman yang dekat dengan pertambakan. Banjir dari Sungai Tapak mengakibatkan tergenangnya beberapa lahan tambak terutama yang berdekatan dengan percabangan Sungai Tapak (Gambar 4). Gambar 3. Kelurahan Trimulyo, Genuk, Semarang (A) dan rencana kegiatan perlindungan pantainya (B) 104 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

28 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gambar 4. Lahan budidaya (A) dan daerah rob, banjir dan kekeringan (B) di Kelurahan Tugurejo dan Karanganyar di Kelurahan Tugurejo dan Karanganyar Semarang Sedangkan di Kelurahan Karanganyar banjir tidak terlalu berdampak signifikan terhadap tambak yang dikelola oleh warga kelurahan ini, namun pada saat musim kemarau akan terjadi kekeringan di tambak karena tidak ada air yang mengelir ke daerah tersebut. Rob dan abrasi yang terjadi di pesisir Kelurahan Tugurejo mengakibatkan hilangnya 75% Pulau Tirang dan sekitar 50 hektar lahan tambak. Upaya untuk menanggulani abrasi dan rob telah dilakukan oleh masyarakat Tugurejo dan Karanganyar, diantaranya dengan membangun alat pemecahombak (APO) tipe bambu dan ban bekas serta melakukan penanaman mangrove. Sejak tahun 2006, berbagai tipe APO telah dicoba untuk dibangun untuk menanggulangi rob agar tambak tidak tenggelam, yaitu APO bambu, APO tipe bambu dan ban bekas, APO tipe beton dan semen berbentuk bundar, APO tipe beton dan semen berbentuk segi empat, APO dari anyaman bilah bambu yang dianyam. APO tersebut dibangun dengan swadaya masyarakat maupun dengan bantuan biaya yang berasal dari berbagai pihak (Tabel 3). Diantara APO tersebut, APO tipe bambu dan ban bekasmampu bertahan 1,5-2 tahun, namun harus dilakukan pemeliharaan dengan merapikan susunan ban, mengganti tiang bambu yang rusak serta mengisi sedimen lumpur. Lokasi APO di Kelurahan Tugurejo, Tugu, Semarang disajikan di Gambar 5. Kelurahan Randugarut, Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo Walaupun pada tahun 1987 wilayah Kelurahan Randugarut berupa tambak dan sawah, namun pada tahun 1996/1997 menjadi kawasan industri terbesar di kota Semarang.Saat ini tidak ada penduduk yang bekerja sebagai nelayan maupun petani tambak. Akibat perubahan iklim dan rob, sisa kawasan tambak yang ada telah tergenang oleh rob sehingga petambak harus memasang waring untuk Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.) 105

29 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): mencegah hilangnya bandeng/udang yang dipelihara. Selain itu masyarakat dan petani tambak juga melakukan penanaman mangrove untuk mencegah abrasi agar tidak berdampak pada daerah pemukiman warga. Kelurahan Mangkang Wetan berbatasan dengan Kelurahan Randugarut, dan 75% luas lahan pertambakan (150 hektar) terkena dampak perubahan iklim dan abrasi sehingga mengalami kerusakan dan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal (Gambar 5). Walaupun telah terjadi kerusakan lahan oleh abrasi, namun belum ada bangunan pelindung kawasan pantai di Kelurahan Mangkang Wetan. Pantai Kelurahan Mangunharjo sepanjang 35 km dibatasi oleh Sungai Beringin dan Sungai plumbon dengan wilayah tambak 326 Ha. Mulai tahun 1995 tambak tersebut terkena dampak abrasi dan rob oleh karena perubahan iklim sehingga sebagai akbitnya pada tahun 2010 seluas 171 Ha tambak hilang.laju hilangnya tambak selama tahun adalah 5 Ha/tahun.Luas tambak yang rusak berat adalah 80 Ha dan yang masih produktif adalah seluas 75 Ha. Kedalaman rata-rata tambak adalah 0,5 meter. Sebagai adaptasi terhadap perubahan iklim dan kerusakan pesisir oleh abrasi, masyarakat telah membangun sabuk pantai dengan penanaman mangrove sepanjang 2,5 km mulai dari Sungai plumbon dengan dana bantuan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah. Untuk mendukung perlindungan pesisir dan tambak mulai tahun 2000 telah dilakukan rehabilitasi ekosistem mangrove.jumlah luasan hutan mangrove adalah sekitar 30 Ha terdiri dari Mangrove, Api-api, Ketapang, Cemara laut dan tanaman perdu. Permasalahan yang dihadapi pantai Kelurahan Mangunharjo adalah abrasi, intrusi air asin, sedimentasi di muara sungai, penebangan hutan mangrove, pembangunan dermaga, pencemaran, abrasi dan akresi disekitar bangunan penahan gelombang di palabuhan PT Kayu lapis di Kendal, perubahan pola arus akibat pengembangan dermaga, subsidence dan intrusi air asin pada akuifer akibat penyerapan air tanah yang berlebihan, pemunduran garis pantai akibat pembabatan hutan mangrove, dan abrasi pantai akibat pengambilan karang pantai. Abrasi laut semakin membuat khawatir para petambak di pantai Mangunharjo karena jumlah tambak yang terkena abrasi semakin luas yang diperparah dengan kerusakan parah kawasan mangrove.meskipun sejak tahun 2000 telah digiatkan penanaman mangrove, luas kerusakan kawasan Tabel 3. Pembangunan Alat Penahan Ombak di Kelurahan Tugurejo dan Karanganyar No Instansi Tahun Volume (meter) 1. Swadaya Swadaya Friend of The Earth Friend of The Earth Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang Mercy Corps Dinas Kelautan & Perikanan Kota Semarang Friend of The Earth Friend of The Earth Dinas Kelautan & Perikanan Kota Semarang Angkasa Pura Pertamina - Undip Pertamina - Undip Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

30 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gambar 5. Lokasi pembangunan APO di Kelurahan Tugurejo, Tugu, Semarang mangrove mencapai 160 hektar dari total kawasan bakau pantai Mangunharjo 300 hektar.jumlah yang baru bisa dipulihkan adalah 55 hektar lahan.kondisi lingkungan di Kelurahan Mangunharjo mulai menurun terjadi pada kurun waktu tahun 2002, indikator ini dapat dilihat dari mulai menurunnya hasil budidaya para petani tambak.abrasi menjadi salah satu pemicu mulai mengendurnya budidaya ikan dan udang di Kelurahan Mangunharjo. Kajian yang dilakukan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Diponegoro mendapatkan bahwa kondisi pantai Mangunharjo sebelum pembangunan pabrik kayu yang menjorok ke laut dan pembelokan Sungai Wakak, relatif stabil. Abrasi masih diimbangi akresi (penimbunan sedimen yang menyebabkan penambahan daratan) (Kompas, 2003). Namun untuk mengurangi resiko abrasi, swadaya masyarakat maupun beberapa lembaga telah melakukan program rehabilitasi berupa pembangunan break water di sepanjang pantai Kelurahan Mangunharjo dan penanaman mangrove berupa sabuk pantai (Tabel 4). Kelurahan Mangkang Kulon merupakan kelurahan yang berada di ujung barat Kota Semarang yang menjadi perbatasan antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal.Luas lahan kelurahan Mangkang Kulon sebesar 339 hektar dan hampir 75 % adalah wilayah pertambakan dan persawahan (Gambar 6). Abrasi menjadi masalah mengakibatkan banyak tambak yang hilang. Walaupun demikian belum ada upaya melakukan perlindungan pesisir Kelurahan Mangkang Kulon dengaan Alat Pemecah ombak (APO). Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.) 107

31 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Berdasarkan hasil observasi lapangan maka daerah Kelurahan Trimulyo dan Tugurejo yang mendesak untuk dilakukan perlindungan pantai dan penanggulangan kerusakan pesisir. Kelurahan Trimulyo dengan sedimen berupa lumpur memerlukan kegiatan pembangunan APO yang mendesak untuk dilakukan untuk menjadi lokasi penanaman mangrove. Adanya penanaman mangrove diharapkan akan melindungi daerah persisir Kelurahan Trimulyo. Sedangkan Kelurahan Tugurejo, dengan lokasi dasar sedimen lumpur berpasir dan telah terjadi inisiasi masyarakat untuk membangun APO dan melindungi tambaknya dari rob maka memerlukan bantuan untuk melanjutkan program perlindungan pesisir yang telah dilakukan tersebut Rekomendasi wilayah pembangunan APO di kedua kelurahan tersebut disajikan pada Gambar 7. Tabel 4. Pembangunan breakwater dan Sabuk Pantai di Kelurahan Mangunharjo No Instansi Tahun Volume (meter) 1. BLH Provinsi Jawa Tengah (Jety) BLH Provinsi Jawa Tengah BLH Provinsi Jawa Tengah BLH Kota Semarang Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang Kementerian Kelautan Perikanan Dirjen KP3K Kementerian Kelautan Perikanan Dirjen KP3K BLH Provinsi Jawa Tengah Gambar 6. Lahan tambak di Kelurahan Mangkang Kulon 108 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

32 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Rekomendasi lokasi pembangunan APO A B Gambar 7. Rekomendasi lokasi pembangunan APO di Kelurahan Trimulyo, Kecamatan Genuk (A) dan Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu (B) KESIMPULAN Kesimpulan kajian pengaman dan perlindungan pantai di wilayah pesisir Kecamatan Tugu dan Genuk, Kota Semarang adalah : a. Sebelum dilakukan pengelolaan dan perlindungan pantai diperlukan identifikasi permasalahan sehingga dapat ditentukan tindakan yang akan dilakukan, yaitu pencegahan atau perlindungan. Perlindungan pantai dapat bersifat non struktural dan struktural. b. Kerusakan pantai yang terjadi di Kota Semarang, sangatlah memprihatinkan. Kerusakan tersebut diindikasikan merupakan dampak dari bangunanbangunan yang menjorok ke laut, hilangnya perlindungan alam pantai dan juga merupakan efek dari pemanasan global (global warming) c. Dari tujuh kelurahan (Kelurahan Trimulyo, Kelurahan Tugurejo, Kelurahan Karanganyar, Kelurahan Randugarut, Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo, dan Kelurahan Mangkang Kulon) yang diteliti, pembangunan APO hanya terdapat di 2 kelurahan, yaitu Kelurahan Tugurejo dan Kelurahan Karanganyar (13 APO yang dibangun tahun , Kelurahan Trimulyo (1 APO di tahun 2013), sedangkan pembangunan breakwater telah dilakukan di Kelurahan Mangunharjo (8 buah breakwater yang dibangun tahun ). Kondisi APO dan breakwater saat ini sangat beragam, namun pada umumnya sudah rusak sehingga mengurangi fungsinya sebagai alat perlindungan pantai. Kajian ini menyarankan hal-hal sebagai berikut : a. Berdasarkan beberapa pertimbangan praktis dan teknis, maka direkomendasikan lokasi untuk pembangunan APO adalah Kelurahan Karanganyar dan Tugurejo (Kecamatan Tugu) untuk mendukung program eco-eduwisata Kota Semarang dan Kelurahan Trimulyo (kecamatan Genuk) untuk sediment enrichment yang nantinya lokasi siap ditanami mangrove. b. Desain APO yang direkomendasikan di Kelurahan Tugurejo adalah APO tipe bambu dan ban seperti yang telah ada di lokasi tersebut, sedangkan di Kelurahan Trimulyo dibangun APO tipe hybrid engineering yang bersifat permeable c. Bahan APO dipilih dari material yang banyak tersedia di sekitar lokasi, yaitu ban, kayu dan bambu. DAFTAR PUSTAKA Bandaranayake, W.M., The Uses of Mangrove. AIMS Research. URL Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.) 109

33 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Institute of Marine Science. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. P.T. Pradnya Pramita, Jakarta. Dihantam Ombak, Sabuk Pantai Rusak hp/read/cetak/2008/11/06/37950/dih antam-ombak-sabuk-pantai-rusak Gunarto Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23(1): Maros. Hidayat, N., 2005a. Perlindungan dan Penanganan Daerah Pantai Terhadap Kerusakan Daerah Pantai (Garis Pantai), Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil I-2005, Surabaya, pp. E-14- E-22. Hidayat, N., 2005b. Kajian Hidro- Oseanografi Untuk Deteksi Proses- Proses Fisik di Pantai, Jurnal SMARTek, 3(2): Hidayat, N., Konstruksi bangunan laut dan pantai sebagai alternatif pertindungan daerah pantai. Jurnal SMARTek, 4(1): Hutahaean, S Aplikasi Model Shoaling dan Breaking pada Perencanaan Perlindungan Pantai dengan Metoda Headland Control. JURNAL TEKNIK SIPIL 22(3): Kompas, 2003.Tambak-tambak yang Terkoyak di Pantura Purnobasuki, H., Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat Ruzardi, Syaril Tamun dan Buana Rochman Persepsi Pemukim di Kawasan Pantai terhadap Kerusakan Pantai (Studi Kasus Pulau Batam). LOGIKA1(2): Sepi Tangkapan, Nelayan Mangkang Kulon Budidayakan Mangrove15 Juni :44 wib deka.com/v1/index.php/read/news/2 012/06/15/121373/Sepi-Tangkapan- Nelayan-Mangkang-Kulon-Budidaya kan- Mangrove Sukaryanto, A Pertahankan Hutan Mangrove di Laguna. Suara Merdeka, 18 Juli Triatmodjo, B.,1999, Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. Wahyudin, Yudi mencegah kerusakan pantai, melestarikan keanekaragaman hayati. PKSPL IPB. 11 halaman. Wiharja, P. dan H. Nafiarta Hybrid Engineering Sebagai Solusi Perlindungan Pantai dan Awal Penanaman Kembali Hutan Mangrove. Pusat Diklat Kehutanan. 10 hal. Yulistiyanto, Bambang Mangrove dengan Alat Pemecah Ombak (APO) sebagai Perlindungan Garis Pantai. Proseding pada Seminar Nasional Manajemen Sumberdaya Air Partisipatif Guna Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim Global, 8 Agustus 2009 Yuwono, Nur, 1997, Pengelolaan Daerah Pantai Terpadu (Integrated Coastal Zone Management), Pusat AntarUniversitas Ilmu Teknik, UniversitasGadjahMada, Yogyakarta Yuwono, Nur. 1998, Dasar-Dasar Penyusunan Master Plan Pengelolaan Dan Pengamanan daerah Pantai (Integrated Coastal Zone Management For Sustainable Development), Materi Kuliah Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Sipil Minat Studi Teknik Pantai, Kelautan dan Pelabuhan, Fakultas Teknik,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 110 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan PantaiDi Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk (Retno Hartati et al.)

34 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan di Padang Lamun Teluk Awur Jepara Ita Riniatsih Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Abstrak Ekosistem padang lamun sebagai salah satu ekosistem di wilayah pesisir mempunyai produktifitas yang tinggi. Proses produksi tegakan lamun sebagai hasil fotosintesa menghasilkan biomassa lamun yang relative tinggi. Sejalan dengan proses produksi tersebut, serasah lamun yang luruh di dasar perairan sebagai detritus mengalami proses dekomposisi oleh bakteri pengurai. Proses dekomposisi ini akan menghasilkan nutrien terlarut di perairan yang kemudian akan dimanfaatkan kembali oleh lamun untuk proses produksi. Penelitian tentang kajian distribusi jenis lamun yang dihubungkan dengan sebaran nutrien perairan di padang lamun Teluk Awur Jepara telah dilakukan dengan hasil yang menunjukkan sebaran nutrient lamun di empat stasiun dengan masing masing 3 kali ulangan menunjukkan bahwa lamun jenis Thalasisia hemprichii dan Enhalus acoroides cenderung menyebar pada habitat dengan substrat pasir berlumpur dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi.sedangkan lamun jenis Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium lebih banyak ditemukan di habitat dengan substrat pasir halus. Hasil analisa laboratorium untuk kandungan nutrient perairan dan sedimen menunjukkan hasil yang bervariasi dengan kisaran rata-rata antara 2,006-3,276 mg/l untuk nitrat dan 0,0025-0,0076 mg/l untuk phospat perairan serta 4,254-7,324 mg/l untuk nitrat dan 2,324-5,544 mg/l untuk phospat sedimen perairan. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi lamun menunjukan nilai rendah hingga sedang, bervariasi menurut distribusi jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian. Kata Kunci: distribusi jenis lamun, nutrient perairan, perairan Jepara PENDAHULUAN Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai produktivitas primer yang relative tinggi dan mempunyai peranan yang penting untuk menjaga kelestarian dan keanekaragaman orgnisme laut. Adi (2000) ; Chute et al (2001) dan Helfman et al, (2009) menjelaskan padang lamun banyak mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting sebagai daerah pemijahan dan asuhan bagi berbagai jenis oegnisme laut. Keaanekaragaman jenis dan biomassa perikanan pantai diantaranya sangat dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi lamun sebagai unsur penyusun padang lamun. Banyak organisme laut yang memanfaatkan padang lamun sebagai habitat hidup. Padang lamun mempunyai fungsi sebagai daerah pemijahan, daerah mencari makan dan daerah asuhan bagi organisme laut muda yang biasanya memanfaatkan daerah pasang surut dan padang lamun sebagai tempat berlindung dan mencari makan pada masa stadia larva (Sheppard et al, 1992 ; Riniatsih et al, 2007). Padang lamun mempunyai peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di perairan laut. Salah satu fungsi fisik padang lamun adalah sebagai pendaur ulang zat hara di perairan. Aktivitas mikroorganisme pengurai mengembalikan bahan anorganik ke perairan melalui proses dekomposisi dari bahan organik atau jaringan hidup yang berupa detritus serasah lamun. *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

35 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Keberadaan bahan anorganisk sebagai nutrien atau zat hara ini sangat dibutuhkan oleh lamun untuk proses produksi selanjutnya ((Larkum et al, 1989 : Nybakken, 1993) ; dan Riniatsih et al (2000). Kondisi habitat padang lamun sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter hidro- oseanografi perairan di sekitar habitat hidup lamun. Parameter perairan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun adalah kondisi fisika, kimia dan biologi perairan. Parameterparameter tersebut antara lain berupa: suhu perairan, kecepatan arus, kecerahan, salinitas perairan, dan fraksi substrat dasar. Kondisi perairan yang sangat mempengaruhi kerapatan jenis lamun adalah fraksi substrat serta kandungan nutrient atau zat hara substrat dasar tempat lamun tumbuh. Hal ini dikarenakan adanya pemanfaatan nutrient terlarut di perairan dan nutrient yang berada di substrat dasar yang sangat dibutuhkan lamun untuk proses produksi. Nutrien tersebut diserap oleh lamun melalui daun dan system perakaran lamun yang sudah mempunyai fungsi yang berkembang sangat baik ( Tomascik et al., 1997 ; Riniatsih et al, 2001). Selanjutnya Minerva (2014) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kerapatan lamun dan kualitas air di perairan Kepulauan Karimunjawa. Selain itu kerapatan jenis lamun sangat tergantung dari fraksi substrat serta kondisi kimia zat hara substrat dasar tempat lamun tumbuh ( Tomascik et al., 1997). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Riniatsih et al, (2001) menunjukkan bahwa substrat dasar yang didominasi oleh lumpur berpasir dengan kandungan hara yang tinggi di perairan sekitar mangrove lebih banyak disukai oleh lamun spesies Enhalus acoroides dan daerah dengan substrat pasir berlumpur lebih disukai lamun spesies Thalassia hemprichii di perairan Demeling Mororejo. Sedangkan habitat dengan substrat pasir halus lebih banyak disukai oleh lamun spesies Halodule uninervis, H. pinifolia dan Syringodium isoetifoium di Lokasi Bandengan (Riniatsih et al, 2007) Perairan Teluk Awur sebagai perairan pesisir mempunyai keanekaragaman jenis lamun yang relative tinggi. Namun dengan berjalannya waktu dan banyaknya aktivitas manusia yang memanfaatkan lokasi tersebut, dikhawatirkan akan berdampak pada kelestarian padang lamun di dalamnya. Pembangunan di daerah pesisir, banyaknya masukan bahan organik dari daratan, aktivitas perahu nelayan, aktivitas pengunjung wisata pantai, dan perubahan pola arus yang membawa timbunan sedimen dapat mempengaruhi keberadaan lamun di perairan tersebut. sumber nitrat dan phosfat sebagai nutrient di perairan yang berasal dari hasil dekomposisi oleh organism pengurai dan hasil masukan dari daratan diduga dapat mempengatuhi keberadaan dan keanekaragaman lamun di perairan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk :mengetahui distribusi jenis lamun berdasar pada sebaran nutrient perairan di lamun perairan Teluk Awur Jepara. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air laut dan substrat dasar yang diambil pada beberapa lokasi penelitian di padang lamun perairan Teluk Awur. Pada penelitian ini yang diamati adalah kandungan nitrat dan phospat pada kolom air dan pada substrat dasar. Selain materi utama tersebut di atas, juga dilakukan pengambilan data untuk mengtahui kerapatan lamun, % Penutupan lamun, struktur kuomunitas lamun dan beberapa parameter hidrooseanografi perairan, yang antara lain meliputi suhu perairan, kecerahan, kedalaman, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut, dan kandungan bahan organik substrat dasar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan cara pengumpulan data dengan menggunakan sample survey method, yaitu metoda pengumpulan data dengan cara pengamatan terhadap sebagian populasi yang hasilnya diharapkan dapat 102 Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan (Ita Riniatsih)

36 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): menggambarkan sifat populasi dari obyek penelitian, sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan suatu pupolasi di suatu habitat pada waktu tertentu (Mulyani, 1988) Lokasi penelitian ditentukan secara Purposif, yaitu penentuan titik sampling dengan terlebih dahulu melalui beberapa pertimbangan. Pertimbangan penentuan lokasi didasarkan pada distribusi jenis lamun. Lokasi penelitian meliputi perairan padang lamun di Teluk Awur Jepara yang terbagi menjadi empat stasium. Masingmasing stasiun dibagi menjadi tiga sub stasiun ( Derrmaga sebagai Stasiun I: I.1, I.2 dan I.3 ; daerah sekitar mangrove sebagai Stasiun II:: II.1., II.2 dan II.3 ; lokasi sekitar lapangan sebagai Stasiun III yang terbagi menjadi ; III.1, III.2 dan III.3).dan belakang asrama mahasiswa sebagai Stasiun IV yang terbagi IV1, IV2, IV3 dan IV4). Pengambilan sampel lapangan dilakukan selama bulan Mei 2012, dengan pengulangan 3 kali ulangan untuk setiap sub stasiunnya, Penghitungan kerapatan dan % penutupan lamun dilakukan dengan metoda line trnsect dengan pendekatan estimasi dari metoda Saito dan Atobe (English et al, 1997). Pengambilan sampel air laut dan sedimen substrat dasar dilakukan dengan menggunakan botol sampel dan sediment core di masingmasing stasiun penelitian. Sampel yang sudah diambil dimasukkan ke dalam cool box untuk diawetkan. Selanjutnya sampel dibawa ke Laboratorium Penelitian Teknik Lingkungan Jurusan Teknik Lingkungan FT Universitas Diponegoro untuk dilakukan analisa kandungan nitrat dan phospat air dan sedimen..selama pengambilan sampel juga dilakukan pengukuran parameter hidro-oseanografi (suhu, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, kandungan bahan organik, oksigen terlarut dan fraksi substrat. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi jenis lamun yang ditemukan dilokasi penelitian adalah Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, dan Syringodium isoetifolium. Rata-rata kerapatan jenis lamun di lokasi penelitian selama pengambilan sampel menunjukkan adanya perbedaan sebaran lamun di setiap sub stasiun (Tabel 1). Prosentase penutupan lamun selama penelitian menunjukkan bahwa penyebaran lamun terkait dengan sebaran jenis substrat dasar di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 1. Rata-rata Kerapatan Jenis Lamun di Lokasi Penelitian (tegakan/m 2 ) Jenis Lamun Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea serrulata Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Stasiun I II III iv 7,67 19,23 53,32 65,64 36,64 84, , ,56 6,42 54,21 43,25 23,87 31,35 11,13 23, Tabel 2. Prosentase Penutupan Lamun di Lokasi Penelitian (%) Jenis Lamun Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea serrulata Cymodocea rotundata Syringodium isoetifolium Stasiun I II III IV 5,42 3,31 14,67 5,67 30,21 43,22 50,75 13,54 27,25 26,46 64, , , , ,32 0 Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan (Ita Riniatsih) 103

37 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Hasil analisa untuk kandungan nitrat dan phospat perairan dan sedimen selama penelitian menunjukkan variasi yang berbeda. Hasil analisa menujukkan kandungan nitrat dan phospat perairan dan sedimen tertinggi diperoleh pada sub stasiun III. Susbstrat dasar sebagai tempat tumbuh lamun merupakan salah satu faktor pembatas bagi jenis lamun yang tumbuh di atasnya. Hasil analisa fraksi substrat dasar di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4 berikut ini. Adapun hasil perhitungan struktur komunitas lamun selama penelitian menunjukkan nilai indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan indeks Dominansi yang berbeda di setiap lokasi penelitian (Tabel 5) namun masih dalam kategori yang hampir sama, yaitu katagori rendah hingga sedang. Indeks Keanekaragaman tertinggi terlihat di sub stasiun 3 dan terendah pada sub station 4. Demikian juga untuk indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi. Rata-rata hasil perhitungan kerapatan lamun tertinggi terlihat di sub stasiun III, dengan 4 jenis lamun ditemukan di lokasi tersebut (Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium). Lokasi sub stasiun III merupakan lokasi pengamatan yang berdekatan dengan ekosistem mangrove sebagai lokasi replant mangrove Universitas Diponegoro di Teluk Awur. Diduga dengan adanya ekosistem mangrove di lokasi terebut banyak memberikan sumbangan nutrient yang masuk dari areal mangrove sebagai hasil dekomposisi dari serasah mangrove. Fortes (1990) dan Tomascick et al, (1997) menyampaikan bahwa sumbangan masukan nutrient dari daratan dapat memberikan tambahan nutrien yang sangat dibutuhkan oleh vegetasi lamun untuk proses produksinya. Sedangkan lokasi dengan sebaran lamun terendah terlihat di lokasi sub stasiun IV yang hanya ditemukan dua spesies lamun, yaitu Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Demikian juga untuk % Penutupan lamun. Lokasi sub stasiun IV merupakan sub stasiun yang terletak di belakang asrama mahasiswa, yang merupakan lokasi yang berdekatan dengan area wisata. Banyaknya kunjungan wisata lokal dan aktivitas pemancingan oleh penduduk sekitar Teluk Awur diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan kondisi perairan yang menyebabkan rendahnya jenis dan jumlah lamun di lokasi tersebut. Fraksi substrat dasar di sub stasiun IV lebih banyak mengadung lumpur hitam dan rendahnya kandungan nutrien terlarut di perairan dan sedimen, diduga juga merupakan faktor pembatas bagi keberadaan lamun di lokasi tresebut. Berdasarkan hasil pengukuran kandungan nitrat dan phospat di sedimen yang telah dianalisa di laboratorium menunjukan kandungan nutrient perairan dan sedimen bervariasi dengan kisaran rata-rata antara 3,006-3,276 mg/l untuk nitrat dan 0,0025-0,0076 mg/l untuk phospat perairan serta 4,254-7,324 mg/l untuk nitrat dan 2,324-5,544 mg/l untuk phospat sedimen perairan. Kisaran kandungan nitrat dan phospat perairan menunjukkan kisaran sedang. Menurut Monoarfa (1992), kisaran kandungan nitrat sedimen antara 3- Tabel 3. Rata-rata Kandungan Nitrat dan Phospat Air dan Sedimen di Lokasi Penelitian (mg/l) Sub Stasiun I II III IV Hasil Analisa Laboratorium Air Sedimen Nitrat Phospat Nitrat Phospat 3,584 0,043 6, ,107 0,042 6,334 3,546 4,276 0,076 7,324 4,544 3,006 0,043 5,345 2, Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan (Ita Riniatsih)

38 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 4. Komposisi Substrat Dasar di Lokasi Penelitian Sub Stasiun I II III IV Fraksi Substrat (%) Lumpur Pasir Kerikil Klasifikasi 20,14 76,42 3,44 Pasir berlumpur 12,34 74,48 13,18 Pasir berlumpur 6,83 87,65 5,52 Pasir berlumpur 23, ,64 Pasir berlumpur Tabel 5. Hasil Perhitungan Indek Keanekaragaman (H ), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi (c) untuk Jenis Lamun selama Penelitian Sub Stasiun H E c I1 I2 I3 II1 II2 II3 III1 III2 III3 IV1 IV2 IV3 1,1078 1,8755 1,4723 1,8768 2,1648 2,5583 2,5760 2,7896 2,6778 1,2236 1,5447 1,6545 0,5436 0,6324 0,5409 0,5650 0,6832 0,5738 0,5437 0,4539 0,3569 0,4423 0,2231 0,1123 0,3493 0,4332 0,1564 0,1236 0,5641 0,1240 0,6542 0,1314 0,2065 0,0112 0,0443 0, mg/l termasuk dalam kategegori sedang. Lokasi sub stasiun III padang lamun di Teluk Awur banyak dipengaruhi oleh masukan zat hara dari daratan. Adanya sungai yang mengalir di lokasi tersebut yang melewati areal mangrove sangat membatu dalam memperkaya nutrien terlarut di perairan dan sedimen di lokasi tersebut. Hasil analisa laboratoroum untuk kandungan phospat di perairan dan kandungan phospat di sedimen di ekosistem padang lamun Teluk Awur berkisar antara nilai 4,254-7,324 mg/l untuk nitrat dan 2,324-5,544 mg/l untuk phospat sedimen perairan. kisaran ini termasuk dalam kategori relative rendah. Menurut Sulaeman (2005), kandungan phospat terlarut dalam perairan merupakan mineral yang berasal dari hasil pelapukan batuan mineral yang mengandung fosfor serta bahan organik yang berasal dari hasil dekomposisi tumbuhan sebagai aktivitas bakteri pengurai. Phospat yang terdapat di laut biasanya berasal dari hasil dekomposisi dari serasah lamun atau mangrove, serta masukan dari daratan (hasil dari pencucian tanah atas akibat erosi daratan). Sebaran jenis lamun sangat dipengaruhi oleh substrat dasar sebagai tempat tumbuhnya. Substrat dasar di padang lamun di perairan Teluk Awur Jepara lebih didominasi oleh jenis pasir berlumpur. Kandungan lumpur di substrat dasar tersebut banyak mengandung bahan organik sebagai hasil pelapukan atau hasil dekomposisi vegetasi laut yang banyak mengandung nutrient. Thomascick et al, (1977) dan Larkum et al, (1988) menjelaskan bahwa kandungan bahan organik yang tinggi pada sediemen banyak menyumbang nutrient atau zat hara di sedimen. Kandungan nutrient yang berupa nitrat dan phospat di dalam sedimen ini dapat diserap oleh lamun melalui system perakarannya, sehingga dapat membantu proses pertumbuhan lamun. lamun jenis Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang paling umum ditemukan hampir di semua Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan (Ita Riniatsih) 105

39 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): perairan di Indonesia. Lamun jenis ini mempunyai sebaran yang paling luas, karena kemampuannya untuk dapat beradaptasi di semua kondisi perairan yang sangat tinggi (Larkum et al, 1988). Lamun jenis Cymodocea serrulata dan C. rotundata merupakan jenis lamun yang banyak ditemukan di habitat bersubstrat pasir halus yang kaya dengan kandungan bahan organik. Sedangkan jenis Syringodium isoetifolium banyak ditemukan di perairan dengan substrat dasar pasir berlumpur yang bercampur kerikil atau pecahan karang. Hal ini sesuai penelitian Riniatsih et al (2007) yang memperlihatkan hasil bahwa sebaran jenis lamun selain dipengaruhi oleh sebaran nutrien perairan dan sedimen juga dipengaruhi oleh jenis dan kandungan bahan organic dalam substrat dasar. Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi lamun menunjukan nilai rendah hingga sedang, bervariasi menurut distribusi jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian. Nilai indeks Keanekaragaman terendah terlihat pada sub stasiun IV dengan hanya ada 2 spesies lamun yang ditemukan di lokasi tersenbut. Keberadaan lokasi yang berdekatan dengan areal wisata dan area pemancingan diduga merupakan areal yang terganggu keseimbangannya karena aktivitas para wisatawan dan aktivitas pemancingan oleh masyarakat setempat. KESIMPULAN Hasil pengamatan dan perhitungan jenis lamun yang diperoleh selama penelitian serta hasil analisa laboratorium sebaran nutrient perairan dan sedimen menunjukkan adanya keterkaitan antara perbedaan kerapatan lamun dan % Penutupan lamun, Petbedaan kondisi parameter lingkungan khususnya kandungan nutrient di perairan dan sedimen menunjukkan perbedaan dan berpengaruh terhadap jumlah jenis lamun dan distribusinya di lokasi periran padang lamun Teluk Awur Jepara. DAFTAR PUSTAKA Adi, W Komposisi dan Kelimpahan Larva dan Juvenil Ikan yang Berasosiasi dengan Tingkat Kerapatan Lamun yang Berbeda di Pulau Panjang Jepara. Jurnal Sumberdaya Perairan. ISSN Vol 1. Edisi 1. Chute, A.S. & J.T. Turner Plankton Studies in Buzzards Bay Massachusetts, USA. V. Ichtyoplankton to Mar Ecol, Prog. Ser, 224: Dahuri, R Keanekaragaman Hayati Laut. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta XXXIII hlm. Fortes, M.D Seagrasses: A Resources Unknown in The Asean Region. Iclarm Education Series 5. International Center for Living Aquatic. Resources Management Manila, Philippines. Helfman, G.S., B.B. Collete, D.E. Facey & B.W. Bowen Diversity of Fishes: Biology, Evoluation and Ecology. 2 nd. Eds. Wiley-Blacwell: John Wiley and Sons Ltd. Chichester. UK.737 pp. Monoarfa, W.D Pemanfaatan Limbah Pabrikgula Blotong dalam Produksi Klekap pada Tambak Berstekstur Liat (Thesis). Program Studi Pasca Sarjana, Universitas Hassanudin, Makassar. Moriniere, E,C., B.J.A. Phollux, I. Nagelkerken, & G.V. Velde Post- Settelment Life Cycle Migration Patterns and Habitat Preference of Coral Reef Fish that Use Seagrass and Mangrove Habitat as Nurseries. Estuarine Coastal and Shelf Science (2002) 55, Netherlans. Riniatsih, I., Imza Hermawan dan Sri Sedjati Komunitas Pasca larva Udang Famili Penaeideae dan Hubungannya dengan Karakteristik Habitat di Padang Lamun Perairan Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 5 (19) September Riniatsih, I., Widianingsih & S. Sedjati Kandungan Nutrisi Substrat Dasar dan Hubungannya dengan Distribusi Spesies Lamun di Perairan Jepara. Hasil Penelitian (Tidak dipublikasikan) Lemlit Universitas Diponegoro. Semarang. Riniatsih, I., & Widianingsih Kelimpahan dan Pola sebaran 106 Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan (Ita Riniatsih)

40 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Kerang-kerangan (Bivalvia) di Ekosistem Padang Lamun Perairan Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol 12 (1) Maret Sulaeman, Analisa Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Tomascick, T., A.J. Mah, A. Nontji & M.K. Kasim Moosa The Ecology of the Indonesia Seas. Part One. Periplus Edition (HK) Ltd., Singapore. Distribusi Jenis Lamun Dihubungkan dengan Sebaran Nutrien Perairan (Ita Riniatsih) 107

41 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia Sugeng Widada Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Abstract The Banda Sea region is an active earthquakes area which indicated by mean monthly incident of quakes more than 220. The condition is caused the area being located in the triple jucntion. Earthquakes system in this region which occur during September 2015 up to October 2016 is analyzed by fractal approach to investigate the subduction system.earthquakes system is chaotic, so can be quantified using fractal concept. Quantify result of Banda Sea earthquakes system using Aki method is fractal dimension It indicates that the slab was fractured by some fault in form an angle or upright possition with the subduction strike. Such a thing also be proven by the fact that the length zone of slab moved during each earthquake is not same, the variation is about 6 1,056 m. Based on the fractal analysis, also be identified that about 6.25 magnitute six earthquakes are expected each year. The result of study support the previous studies which propose that the tectonic system in Banda Sea region is very complex. Keywards: Earthuakes system, fractal, Banda Sea Abstrak Kawasan Laut Banda merupakan daerah aktif gempa yang ditunjukan dengan kejadian gempa rata-rata bulanan Iebih dan 220. Keadaan ini dapat dimengerti mengingat kawasan tersebut merupakan pertemuan tiga buah lempeng yang bergerak. Pola kegempaan di daerah tesebut yang tejadi pada September 2015 hingga Oktober 2016 dicoba dianalisa menggunakan pendekatan fraktal untuk mengetahui pola subduksi di daerah tersebut. Pola kegempaan merupakan suatu kejadian yang chaos, sehingga dapat dilakukan kuantisasi berdasarkan konsep fraktal. Hasil kuantisasi pola gempa Laut Banda meggunakan metode Aki diperoleh dimensi fraktal 2,08. Hal ini menunjukan bahwa slab yang menunjam dan bergerak sehingga menimbulkan gempa terbagi dalarn beberapa bagian melalui suatu sesar yang menyududut / tegak lurus jurus subduksi. Keadaan ini dikuatkan oleh hasil perhitungan panjang daerah yang bergerak untuk setiap kejadian gempa tidak sama, yaitu bervariasi dari m. Berdasarkan analisa fraktal tersebut juga diketahui bahwa gempa dengan magnitudo 6,25 akan terjadi 6 kali dalam satu tahun. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa tatanan tektonik di daerah Laut Banda sangat kompleks. Kata Kunci: Pole gempa, fraktal, Laut Banda PENDAHULUAN Laut Banda dan sekitarnya merupakan daerah aktif gempa bumi. Stasiun Geofisika Ambon mencatat kejadian gempa rata-rata bulanan lebih dari 220. Tingkat seismisitas yang tinggi ini disebabkan oleh keadaan tatanan tektonik yang sangat kompleks di daerah ini. Katili (1984), Saver (1983), Widiwijyanti dkk. (1995) dan Bock, dkk. (2003) dalam Irsyam, dkk (2010) menyatakan bahwa daerah Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah pertemuan dan gerak tiga lempeng utama, yaitu : Lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat, Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke arah utara dan Lempeng Eurasia yang *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

42 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): relatif stabil (Gambar 1). Komponen gaya lain sebagai hasil bentukan gerak lempeng utama, yang juga berperan dalam pembentukan dinamika di daerah Sulawesi dan sekitarnya diantaranya adalah : Kontinen mikro Banggai-Sula, Kontinen mikro Tukang Besi, Lempeng Laut Sulawesi serta kemungkinan masih berlangsungnya proses pembukaan Selat Makasar (Widiwijayanti, 1995). Zona-zona tersebut memiliki aktifitas kegempaan yang sangat tinggi. Frekuensi terjadinya gempa berbanding lurus dengan frekuensi kejadian tsunami, dimana 92% tsunami di Indonesia dibangkitkan oleh gempa dengan magnitudo (Ms) lebih besar dari 6,0 dan 86% terjadi oleh gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 60 km serta 80% gempa yang terjadi dengan mekanisme sesar naik (Puspito, 2007). Sistem pergerakan Iempeng utama dan lempeng mikro tersebut di atas sangat. kompleks melalui jalur-jalur sesar geser dan subduksi, sehingga pola gempa yang ditimbulkan mempunyai karakteristik fisis yang kompleks dilihat baik dari segi domain ruang maupun domain waktu. Dengan semikian pola kejadian gempa bumi di daerah tersebut tidak saling terkait satu dengan yang lain dan berlangsung secara acak, sehingga tergolong sebagai proses chaotic. Konsep fraktal dapat digunakan untuk merepresentasikan obyek-obyek secara alamiah di alam yang bersifat chaos dan selanjutnya dapat diungkapkan sebagai fenomena matematis. Analisis fraktal untuk mengenali pola kegempaan di Indonesia telah dilakukan oleh Sukmono, dkk.(1995) yang melakukan analisis kegempaan Sesar Sumatera. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola turnbukan yang mengakibatkan terjadinya gempa di daerah Laut Sunda berdasarkan data seismisitas di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu analisa dilakukan terutama dalam domain ruang dengan mengkuantisasi pola gempa menggunakan pendekatan fraktal. MATERI DAN METODE Dalam penelitian ini data gempa di Laut Banda yang terjadi mulai bulan September 2015 hingga Oktober 2016 yang diperoleh dari Data Katalog Gempa Bumi USCS dicoba dikuantisasi dengan pendekatan fraktal. Metode yang digunakan dalam kuantisasi tersebut adalah metode Aki. Prinsip dasar metode ini adalah mencari dimensi fraktal suatu pola kejadian gempa dengan mendasarkan pada hubungan antara frekuensi kejadian dengan magnitudonya.. Menurut Turcotte (1992) magnitudo yang memenuhi syarat untuk dihitung dimensi fraktalnya adalah antara 4,5 hingga 6,5. OIeh karena itu data yang diambil adalah data yang bermagnitudo antara 4,5 6,5. sebagaimana tercantum pada Tabel 2. Dimensi fraktal yang diperoleh merupakan dimensi yang tidak utuh. Jika menurut dimensi apologi dimensi 1 berarti garis, dimensi dua berari bidang dan dimensi 3 berarti ruang, maka dimensi fraktal 1,2 berarti suatu garis bercabang dengan cabang yang jumlahnya 0,2 dari luas total. Dengan demikian nilai kuantisasi pola gempa yang diperoleh berupa dimensi fraktal yang selanjutnya dapat menggambarkan pola subduksi penyebabnya. Sedangkan luas lempeng yang bergerak selama terjadi gempa dapat dihitung berdasarkan hubungannya dengan momen gempa yang terjadi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan fraktal untuk seismisitas dan tektonik berpijak pada suatu kenyataan adanya hubungan antara frekuensi gempa dengan magnitudonya yang berhubungan secara log-linear (Guttenberg & Richter,1954 dalam Turmotte, 1992). Hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai: Log N = - b m + log a (1) dalam hal ini N merupakan jumlah kejadian gempa dengan magnitudo lebih besar dan m, b dan a merupakan suatu konstanta. Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia (Sugeng Widada) 109

43 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gambar 1. Peta tektonik kepulauan Indonesia dan sekitarnya (Bock, dkk., 2003 dalam Irsyam, dkk, 2010). Magnitudo merupakan ukuran empiris kekuatan gempa yang merupakan fungsi dari total energi melalui gelombang seismik akibat gempa, sehingga dapat dituliskan sebagai: Es = 144 m + 5,24 Joule (2) Sebagaimana diketahui bahwa tegasan balik selama kejadian gempa berhubungan langsung dengan momen gempa M yang ditunjukan oleh persamaan : dalam hal ini adalah modulus geser batuan dimana patahan terjadi, A merupakan luas daerah yang mengalami patahan dan e adalah rata-rata pergeseran yang terjadi sepanjang jurus patahan. pada persamaan ini nilai c dan d adalah konstanta. Kanamori & Anderson (1975) dalam Turcotte (1992) menyatakan bahwa nilai c ini secara teoritis adalah sebesar 1,5. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara moment gempa M dengan luas daerah patahan A yang ditunjukan oleh : M = A 3/2 (5) dimana a merupakan konstanta. Dengan mengkombinasikan persamaan (1), (4) dan ( 5) diperoleh: M = A e Iog N= -3b/2c IogA + log (6)(3) dengan log = b/c + log a b/c log (7) Dengan demikian persamaan ( 6 ) dapat ditulis sebagai: N = A -3b/2c (8) Dilain pihak momen gempa Mandelbrot (1967) dalam Turrcotte berkaitan juga dengan magnitudonya (1992) menyatakan bahwa terdapat yang dirumuskan dengan persamaan : hubungan antara jumlah obyek (N) Log M = c m+d dengan karakteristik dimensi (4) liniernya yang lebih besar dan r yang ditulis sebagai: N=C/r D (9) 110 Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia (Sugeng Widada)

44 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): dengan C merupakan konstanta dan D merupakan dimensi fraktalnya. Dengan mengambil A r 2, maka persamaan (8 ) dapat ditulis: D=3b/c (10) oleh karena c = 1,5 maka D=2b (11) Dengan memperhatikan persamaan (1) jelas bahwa dimensi fraktal pola gempa merupakan dua kali slope log frekwensi terhadap magnitudonya. Data gempa Laut Banda sebagaimana tercantum pada Tabel I dapat dihitung log frekuensi terhadap magnitudonya sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Grafik antara log frekuensi terhadap magnitudo tersebut ditampilkan sepeti pada Gambar 2, dan terlihat disini bahwa kemiringan grafiknya adalah sebesar 1,04. Dengan demikian dimensi traktai pola gempa Laut Banda adalah sebesar 2 x 1,04 = 2,08. Dimensi fraktal ini mengandung makna fisis bahwa slab (lempeng yang menunjam dan menimbulkan gempa) diduga kuat bercabang dalam arti telah tersesarkan dengan arah menyudut terhadap jurus penunjaman, dimana jurusjurus sesar tersebut tidak sebidang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini menunjukan betapa kompleksnya kondisi tektonik di wiiayah tersebut. Untuk mendapatkan gambaran besarnya zona yang bergerak saat terjadi gempa, maka dilakukan perhitungan Moment Gempa dengan menggunakan persamaan (4). Dalam hal ini nilai c dan d diambil masing-masing 1,5 dan 9,1 sebagaimana dikemukakan oleh Hanks dan Kanamori(1979) dalam Turcotte (1992). Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (5), luas zona lempeng yang bergerak dapat ditentukan. Dalam hal ini digunakan nilai 3,27 x 10 6 Pa sebagairnana yangd ianjurkan oleh Mandelbrot (Turcotte, 1992). OIeh karena nilai A dalam persamaan (5) merupakan suatu luasan, maka panjang dari zona subduksi yang bergerak dapat dihitung. yaitu membagi nilai tersebut dengan kedalaman pusat gempa (Tabel 2). Gambar 2. Gratik Log frekuensi (log N ) terhadap magnitudo ( m) Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia (Sugeng Widada) 111

45 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 1. Perhitungan log frekuensi untuk magnitudo yang bersesuaian Magnitudo N (m) Log N (m) 4, , , , , , , , , , , , , , , , , , , Memperhatikan hasil perhitungan panjang zona subduksi yang bergerak sehingga menimbulkan gempa sebagaimana tercantum pada Tabel 3, dimana nilainya bervariasi dari 6 m hingga m, maka dapat disimpulkan bahwa untuk setiap kali terjadi gempa tidak seluruh slab sepanjang bergerak. Hal ini hanya mungkin terjadi jika slab tersebut terpotong-potong menjadi beberapa bagian melalui suatu sesar yang menyudut maupun tegak lurus terhadap jurus subduksi. Sesar-sesar tersebut merupakan bidang diskontinuitas yang membatasi bagian bagian slab yang bergerak. Hal ini sesual dengan makna nilai dimensi fraktai 2,08 sebagaimana diuraikan diatas. Memperhatikan grafik pada Gambar 2. Terlihat bahwa persamaan (1) mempunyal nilai log a sebesar 6,5 yang berarti mempunyai nilai a = 3,16 X 10 6 per tahun. Hal ini mempunyai makna bahwa gempa bumi dengan magnitudo lebih besar 6,25 diperkirakan akan selalu terjadi sebanyak 6 kali setiap tahun. KESIMPULAN Pola gempa di Laut Banda yang terjadi pada September 2015 hingga Oktober 2016 dapat dikuantisasikan menggunakan pendekatan fraktai metode Aki. Hasil perhitungan menunjukan nilal Dimensi Fraktal 2,08. Nilai tersebut mempunyai makna fisis bahwa zona subduksi yang bergerak terbagi dalam beberapa bagian melalui suatu sesar yang menyudut ataupun tegak lurus jurus zubduksi dengan masing-masing jurus sesar tidak sebidang. Kondisi demikian didukung hasil perhitungan bahwa panjang zona subduksi yang bergerak pada setiap gempa selalu berubah yang 112 Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia (Sugeng Widada)

46 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 2. Hasil perhitungan Moment gempa dan panjang zona zubduksi penyebab gempa Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia (Sugeng Widada) 113

47 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): berkisar antara 6 m m, yang hanya mungkin terjadi jika slab sepanjang m tersebut terpotong oleh suatu bidang diskontinuitas. Sedangkan frekuensi kejadian gempa dengan magnitude lebih besar 6,25 diperkirakan terjadi sebanyak 6 kali setiap tahun. DAFTAR PUSTAKA Irsyam, M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H., Kertapati, E., Meilano, I., Suhardjono, Asrurifak, M., dan Ridwan, M., Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, Bandung. 43 hal. Katili, J.A., Evolution of Plate Tectonic Concepts and its Implication for The Exploration of Hydrocarbon and Minerals Deposits in Southeast Asia, Pangea No. 3, p Korvin, G., Fractal Models in the Earth Sciences, Elsevier, 396 p. Puspito, N. T., Karakteristik Gempa Pembangkit Tsunami di Kepulauan Indonesia dan sekitarnya, Jurnal Segara, 3(2), pp Prajuto, S., Earthquake Magnitude Distribution in Banda Sea and Its Surounding, Proccedings PIT HAGI IX, p Silver, E.A., Ophiolite Emplacement by Collision Between The Sula Platform and The Sulawesl Island Arc Indonsia, Journal of Gephysical Research Vol. 88, No. B 11 P Sukmono, S., Zen, MT., Hendrajaya, L., Kadir, W.G.A, and Santoso, D., Eartquake Prediction Along The Sumatra Fault flndonesia Using Fractal Approach, Technical Prograrn - Expended Abstract, International Gophysical Converence and Exposition, April 22 - May 2, 1996, P Turcotte, D.L., Fractals and Chaos in GeoIogy and Geophysics, Cambridge University Press, 321 p. Widiwijayanti, C., Nidayat, D., Pramuwijaya, S. and Solaheluweha, J., Aktititas Seismik di Sulawesi dan Sekitarnya Indikasi Gerakan Kerak Bumi Resen PIT HAGI Ke 20, Yogyakarta, Agustus Analisis Dimensi Fraktal Kejadian Gempa Dl Laut Banda Indonesia (Sugeng Widada)

48 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. (Bivalvia: Corbiculidae) dengan Vegatasi Mangrove di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah Chrisna Adhi Suryono Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang chrisna Abstrack Segera Anakan is the widest estuaries in Java Island and the famous high diversity. One of fauna found which associate with the mangroves was totok mussel Geloina sp. That mussel had economic value so that faced high exploited along season. Considering that condition a study of the correlation between Geolina distribution and the mangroves vegatiaon. The research was carried out at Ujung Alang areas in Segara Anakan Cilacap on different station which had different mangroves abbundancas. The case study type research and sampling area method was used to collect the data of information of the Geloina sp. The data collected in the field was mussel and mangroves population and water quality condition. The result of the study showed, Thad the Geloina sp was uniform distribute along the fourth station which had different diversity and numbers of mangrove. The class length of 6 6,9 cm was the highs number of mussel class on forth station in Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Keywords: Segara Anakan, Geloina sp, Mangrove Abstrak Segara Anakan merupakan salah satu estuaria terbesar di Pulau Jawa yang terkenal dengan keanekaragaman hayatinya. Diantara biota yang terdapat adalah kerang totok (Geloina sp) yang berasosiasi dengan hutan mangrove. Karena memiliki nilai ekonomis maka menjadi target penangkapan. Maka dari itu sangat tepat jika mempelajiti hubungan antara sebaran kerang Totok Geloina terhadap vegetasi mangrove. Penelitian dilakukan di Ujung Alang Segara Anakan di Cilacap pada empat stasiun yang berbeda lokasinya. Sifat penelitian adalah studi kasus, metoda pengambilan sampel yang digunakan adalah metoda sampling area. Data yang diambil meliputi kerang, manrove dan kondisi perairan setempat. Hasil penelitian menunjukan kerang totok Geloina yang didapat tidak terpengaruh oleh vegetasi mangrove baik jenis maupun jumlah pohon. Populasi kerang terbanyak pada semua stasiun adalah kelas ukuran 6 6,9 cm di Ujung Alang Seagara Anakan Cilacap Kata Kunci : Segara Anakan, Geloina sp, Mangrove PENDAHULUAN Hutan mangrove merupakan satu satunya penghubung antara daratan dan lautan di kawasan pesisir tropis dan subtropis, disamping itu memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga habitat organisme-organisme pesisir dari gangguan alam (Alongi, 2008 & Barbier et al, 2008). Ekosistem mangrove di Segrara Anakan dicirikan dengan tingginya keragaman fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrorove seperti bivalvia (Suryono, 2012). Lebih kusus lagi kelompok kerang dari famili Corbiculidae yang berasosiasi dengan mangrove seperti Geloina erosa, Geloina expansa dan Geloina bengales (Morton, 1984) *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

49 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Penelitian sebelumya yang dilakukan di Segara Anakan menunjukan bahwa kerang Geloina menyebar merata pada setiap perairan yang baik yang berslinitas tinggi meupun rendah (Suryono, 2012). Segara Anakan merupakan salah satu estuaria yang tersisa di Pulau Jawa, biasanya dicirikan dengan sebaran yang merata pada organisme yang khas di daerah tersebut dan menunjukan keanekaragaman yang sangat rendah (Kenish, 1990 dan Odum 1993). Untuk membuktikan bahwa daeah estuaria yang berhutan mangrove seperti Segara Anakan sangat rendah keanekaragaman biota dasar perairan seperti kerang Geloina maka perlu dilakukan penelitian hubungan antara ekosistem dominan (mangrove) terdahadap kerang Geloina. Tomlinson (1986), Kitamura, at al (1997) dan Wang at al (2003). Dalam penelitian ini dipilih 4 stasiun penelitian dimuara Sunagai Ujung Alang. Pengambilan sampel kerang Geloina sama dengan lokasi pengukuran mangrove. Pengambilan sampel mengacu pada Irwani dan Suryono (2006) dan Suryono (2012) dimana dilakukabn dengan transek seluas 10m 2 dan penghitungan sampel dilakukan dengan quadrant 1m 2 dan diambil pada 10 titik yang berbeda dan diulang 3 kali pada waktu berbeda. Penentuan letak quadran pada areal transek seluas 10m 2 terlebih dahulu ditentukan diatas kertas sebelum terjun mengambil sampel hal ini dilakukan untuk menghindari human bias akibat subjektifitas peneliti. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang Geloina dan Mangrove yang diambil dan diukur di daerah Ujung Alang Segara Anakan Cilacap dan beberapa parameter lingkunagn seperti Salinitas, Suhu, subtract dasar dan bahan organik. Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengukuran populasi vegetasi mangrove menggunakan metode sampling Point Centered Quarter Method (PCQM) (Cottam & Curtis, 1956 dalam Cintron & Novelli, 1984). Identifikasi spesies mangrove berpedoman pada HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap vegetasi mangrove di lokasi penelitian ditemukan 10 jenis mangrove yang menyusun populasi ekositem mangrove di daerah Ujung Alang Segara Anakan Cilacap. Jenis jenis mangrove tersebut adalah Avecinia marina, A. alba, Soneratia caseolaris, S. alba, Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera cylindrical, B. gymnorhiza, Aegiceras corniculatum dan Nypa fruticans. Vegetasi mangrove yang ditemukan lebih jelasnya dapat di lihat dalam Tabel 1. Gambar 1. Peta loakasi penelitian dan titik sampling di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah 116 Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. dengan Vegatasi Mangrove (Chrisna Adhi Suryono)

50 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 1. Jensis jenis vegetasi mangrove yang ditetemukan di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah No Jenis Stasiun I II III IV 1 Avicenia marina Avicenia alba Soneratia caseolaris Soneratia alba Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera cylindrical Aegiceras corniculatum Nypa fruticans Jml Jenis Pohon y = 6x + 60 R 2 = 0.6 I II III IV Stasiun Jml Jenis Pohon Jml Tegakan Pohon Linear (Jml Tegakan Pohon) Jml Tegakan Pohon Gambar 2. Jumlah jenis pohon dan tegakan pohon mangrove yang ditemukan di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah Jenis jenis mangrove yang ditemukan di daerah Ujunng Alang Segara Anakan dapat dikatakan menyebar merata di seluh stasiun pengamatan. Jumlah terbanyak ditemukan dalam stasiun III dimana kesepuluh tumbuhan mangrove di temukan sedangkan di stasiun I, II dan IV hanya di dapatkan antara 7 8 jenis mangrove. Hubungan antara jumlah pohon dan jumlah tegakan mengikukuti kecenderungan positip dimana semakin besar jumlah jenis pohon akan diikuti oleh peningkatan jumlah tegakan pohon mangrove (r = 0.77). Data yang diperoleh dari kerang Geloina menunjukan bahwa jumlah terbesar pada stasiun III = 104 ekor, II = 95 ekor, I = 91 ekor dan IV = 75 ekor. Jumlah terbesar pada kerang dengan ukuran 6 6,9 cm tersebar dan mendominansi pada setiap stasiun. Gambar 4 Menunjukan bahwa sebaran jumlah kerang Geloina di daerah Ujung Alang tidak mengikuti sebaran jumlah jenis dan sebaran jumlah pohan mangrove pada setiap stasiun hal tersebut juga dibuktikan dengan regresi seperti terlihat pada gambar 5 Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. dengan Vegatasi Mangrove (Chrisna Adhi Suryono) 117

51 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Jml Jenis & Tegakan Pohon I II III IV Stasiun Jml Kerang Jml Jenis Pohon Jml Tegakan Pohon Jml Kerang Gambar 3. Jumlah individu dan kelas panjang (cm) kerang Geloina yang ditemukan di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah Jml individu I II III IV Stasiun <3 3-3,9 4-4,9 5-5,9 6-6,9 7-7,9 >8 Gambar 4. Jumlah jenis dan jumlah tegakan pohon mangrove terhadap jumlah kerang Geloina yang ditemukan di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah Jumlah Kerang y = x R 2 = r= 0.56 Jumlah Kerang y = x + 90 R 2 = r= Jumlah Jenis Pohon Jumlah Pohon Gambar 5. Hubungan regresi antara jumlah kerang dengan jumlah jenis pohon dan jumlah kerang dengan jumlah pohon mangrove di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah 118 Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. dengan Vegatasi Mangrove (Chrisna Adhi Suryono)

52 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Hasil uji regresi menunjukan kurang eratnya hubungan antara jumalah kerang dan jumlah jenis pohon maupun jumlah pohon mangrove terbukti dari nilai r<0,6. Hal tersebut menunjukan banyak sedikitnya kerang Geloina yang terdapat di daerah Ujung Alang tidak kurang dipengaruhi oleh banyak sedikitnya jenis maupun jumlah pohon mangrove yang ada. Bila dilihat dari gambar 4 dan table 2 terlihat bahwa jumah kerang Geloina terbesar terdapat pada stasiun II (95 ekor) dan III (104 ekor) dengan salinitas pada stasiun tersebut II (15 ppt) dan III (30 ppt). Dilihat dari data tersebut terlhat bahwa sebaran terbanyak kerang Geloina cenderung pada daerah estuaria, namun bila jumlah kerang Geloina diregresekan dengan salinitas menunjukan tidak adanya hubungan keeratan diantara dua fariabel tersebut r= 0,23 seperti yang terlihat pada gambar 6. Penyebaran kerang Geloina di Ujung Alang Segara Anakan terlihat merata tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya jenis pohon maupun jumlah pohon. Demikian juga terhadap salinitas yang bersalinitas tinggi maupun rendah. Hal tersebut sesuai dengan Odum (1993) yang menyatakan bahwa penyebaran merata datap terjadi jika persaingan antar individu sangat keras yang mendorong pembagian ruang hampir sama. Kennish (1990) mengatakan bahhwa keanekaragaman di daerah estuaria biasanya rendah tetapi kepadatan organismennya yang ada bisa sangat tinggi. Kepadatan organisme yang tinggi baik antara spesies maupun sesame spesies itu sendiri menyebabkan adanya persaingan untuk mendapatkan ruang guna memeperoleh makanan, tempat berlindung dari predator dan tempat untuk berkembang biak. Dengan demikian Geloina sebagai organisme bentik Tabel 2. Kondisi linkungan masing masing stasiun penelitian di Ujung Alang Segaea Anakan Cilacap Jawa Tengah Stasiun Suhu ( o C) Salinitas (ppt) Subtrat Bahan Organik (%) Genangan I Lumpur berpasir 16,15 Terendam saat pasang II Lumpur berpasir 16,44 Terendam terus III Lumpur berpasir 15,27 Terendam terus IV Lumpur berpasir 14,90 Terendam terus Jumlah Kerang y = x R 2 = r= Salinitas Gambar 6. Hubungan regresi antara jumlah kerang dengan Salinitas di Ujung Alang Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. dengan Vegatasi Mangrove (Chrisna Adhi Suryono) 119

53 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): harus bersaing dengan organisme bentik lainnya yang hidup di daerah mangrove seperti dari golongan Polychaetha dan Crustacea (Kennish, 1990). Barnes dan Hughes (1988) menjelaskan bahwa predasi bukan merupakan salah satu faktor yang mengontrol kepadatan organisme bentik tetapi kepadatan organisme menthik lebih banyak dipengaruhi oleh kompetisi. Lebih lanjut Barnes dan Hughes (1988) menjelaskan bahwa kompetisi merupakan faktor untuk mempertahankan ekspansi yang terbatas, meskipun faktor fisik dan biologis dalam lingkungan dketahui berpengaruh langsung dan dapat menyebabkan berkurangnya jumlah individu dalam populasi. JIka melihat kondisi lingkungan selama penelitian pada ke empat stasiun pengamatan yang berbeda salinitasnya menunjukan perbedaan namun suhu, bahan organik mau pun vegetasi hampir sama sehingga dapat dikatakan bahwa daerah tersebut tidak memiliki perbedan yang ekstrim yang dapat menyebabkan organisme akan berbeda dalam jumlah karena penyesuaan terhadap lingkungannya. Dari data yang ada pada hasil penelitian menunjukan bahwa pada daerah yang bersalinitas ppt (stasiun II dan III) rata rata kepadatanya lebih tinggi dari pada stasiun I (13 ppt) dan stasiun IV (32 ppt) yang sasinitasinya lebih rendah dan lebih tinggi. Penurunan jumlah individu pada daerah bersalinitas rendah dan tinggi (stasiun I dan IV) diperkirakan karena pengaruh pengambilan oleh nelayan karena bila dilihat dari kondisi lingkungan dapat dikatakan keempatnya memiliki kondisi lingkungan yang relative sama. Dijumpainya Geloina dengan ukuran panjang cangkang yang bervariasi disemua stasiun hal tersebut diduga karena hampir seragamnya tipe subtrat dan bahan organik yang ada daerah tersebut. Subtrat Lumpur berpasir merupakan subtrat yang mendominansi di daerah Segaraanakan (Suryono, 2012). Di duga sutrtat jenis inilah yang cocok sebagai habitat kerang Geloinaa. Sumber makan juga tersedia di daerah ini karena hampir sebagian besar wilayah estuaria Segaraanakan bervegetasi mangrove yang merupakan sumber bahan organik dari hasil decomposisi daun mangrove Suryono (2006). Hal yang sama juga ditemukan oleh Ewusie (1990) di sepanjang pantai Malaysia, dimana pada bagian tepi didominasi oleh Avicenia dan Sonneratia. Natalia (1999) juga menemukan jenis tumbuhan yang mendoninasi adalah Avicenia dan Sonneratia pada penelitianya, dimana subtratnya berupa lumpur hasil sedimentasi, hal ini sangat persis dengan yang ada di Segara Anakan sekarang ini. Friess, et al, (2011) mengemukakan bahwa mangrove dapat ditemukan pada daerah yang perubahan lingkungannya sangat besar seperti adanya akresi dan erosi dan mangrove akan selalu ada pada daerah yang berbeda secara fisik dan geomorfologis. Oleh kerena itu kondisi yang mendukung untuk tumbuh dan kembangya kerang Geloina di Segara Anakan diduga karena habitat yang sesuai seperti subtrat dasar, bahan organik sebagai bahan makanan, salinitas yang payau, adanya pohon maangrove yang relatip lebat. Karana sesuai tersebut maka diduga pada daerah tersebut terdapat kerang dari berbagai ukuran, karena pada daerah yang bersalinitas lebih tinggi spat banyak hidup di daerah tersebut. Hartati dan Suryono (2000) menyebutkan bahwa bivalvia dari golongan tiram yang menempel pada subtrat di estuaria Mlonggo Jepara mencapai puncaknya pada akhir musim hujan yang salinitasnya mulai naik. Hal tersebut juga terlihat di Segaraanakan untuk kerang G. erosa dimana pada daerah yang salinitasnya tinggi terdapat banyak variasi kelas ukuran kerang. Bayne (1976) menginformasikan bahwa kerang yang hidup di daerah empat musim tumbuh dengan cepat pada musim semi dan panas dimana suhu dan salitas perairan meningkat dmikian juga terhadapt G. erosa yang yang hidup di Segar Anakan pada salinitas tinggi dan lebih tinggi akan memiliki ukuran dan variasi ukuran lebih besar hal ini membuktikan bahwa pada daerah yang bersalinitas tinggi cocok untuk hidup G. erosa hal tersebut terlihat dari ukuran variasi ukuran yang lebih besar 120 Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. dengan Vegatasi Mangrove (Chrisna Adhi Suryono)

54 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): dari pada daerah yang bersalinitas rendah. Tidak dijunpainya G. erosa dengan ukuran lebih kecil dari 2 cm di daerah penelitian mengindikasikan bahwa dimungkinkan individu muda kerang ini masih berada di bagian lain di hutan mangrove tersebut. Morton (1984) menyebutkan bahwa hal yang menarik dari struktur populasi G. erosa dan G. expansa adalah bahwa kedua spesies ini relative jarang ditemukan pada stadium mudanya dengan ukuran cangkang yang masih kecil. Banyaknya Geloina ditemukan didaerah mangrove dari pada jenis bivalvia lain diduga hanya jenis Geloina yang mampu beradaptasi pada daerah mangrove karena tingginya fluktuasi salinitas demikian juga lokoasi penelitian Segara Anakan. Berdasarkan kondisi umum daerah pengamatan diatas dapat diketahui bahwa daerah tersebut memang cocok untuk kehidupan G. erosa. Morton (1976) mengatakan bahwa kawasan hutan mangrove Asia Tenggara ditemukanan berbagai macam jenis bivalvia dimana G. erosa merupakan salah satu organisme yang tersebar luas dan biasanya ditemukan sepanjang sisi daratan hutan mangrove maupun didalam hutan mangrove itu sendiri. Habitat ditemukannya hutan G. erosa ini hanya tergenang saat terjadi pasang tinggi dan terjadinya banjir meskipun G. erosa dapat hidup pada daerah yang terekspos dalam waktu yang lama (Morto, 1976). Subtrat di daerah penelitian di semua stasiun sebagian besar adalah lumpur berpasir. Demikian pula pada G. erosa di Singapura diketahui subtrarnya dasarnya adalah pasir kwarsa. Dapat dimengerti bahwa habitat kerang tersebut adalah pasir yang mengandung lumpur seperti yang ada di Segara Anakan maupun tempat tempat lain. KESIMPULAN Berdasar hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebaran kerang Geloina di Ujung Alang Segara Anakan tidak tergantung dari banyaknya jenis tumbuhan mangrove maupun jumlah tegakan mangrove yang ada. DAFTAR PUSTAKA Alongi, D. M , Mangrove forests: resilience, protection from tsunamis,and responses to global climate change. Estuar Coast Shelf Sci 76:1 13 Barbier, E. B, Koch. E. W, and Silliman, B. R. 2008,. Coastal ecosystembased management with nonlinear ecological functions and values. Science 319: Bayne, B.L Marine mussels: Their ecology and physiology. Cambridge University Press. Cambridge. 351 p Cintron, G and Novelli, Y. C., Methods for studying mangrove structure in Snedakar, S. C and Snedaker, C. G. The Mangrove ecosystem research method. UNESCO. United Kingdom. pp: Ewusie, J.Y Elements of tropical ecology. Edisi Bahasa Indonesia. Penerbit ITB. Bandung. 369 hlm. Friess, D.A., Krauss, K.W and, Horstman, E.M., Are all intertidal wetlands naturally created equal? Bottlenecks, thresholds and knowledge gaps to mangrove and saltmarsh ecosystems. Bul Rev doi /j x Hartati, R dan Suryono. C.A Oyster spatfall in Mlonggo Waters Jepara, Indonesia. Phuket marine Biology Center. Special Publication, 21(1): pp. Irwani dan Suryono, C.A , Struktur populasi dan distribusi kerang totok Geloina sp. (Bivalvia: Corbiculidae) di Segara Anakan Cilacap ditinjau dari aspek degradasi salinitas, Ilmu Kelautan 11(1) : Kennish, M.J Ecology of estuaries; Biological aspects. Vol II. CRC Press Inc. New York 391 p. Kitamura, S., Anwar, C., Chaniago, A and Baba, S Hanbook of mangroves in Indonesia; Bali and Lombok. JICA/ISME, Okinawa, 120 p. Morton, B The biology and functional of The Southeast Asian Mangrove Bivalve, Polymesoda Gelonia erosa (Solander, 1976), (Bivalve: Corbiculidae). Can. J. Zool. 54: Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. dengan Vegatasi Mangrove (Chrisna Adhi Suryono) 121

55 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Morton, B A review of Polymesoda (Gelonia) Gray, 1842 (Bivalve: Corbiculidae) from Indo Pacific mangrove. Asian Mar. Biol. 1: Natalia, F Struktur hutan mangrove di kawasan hutan magrove Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap. J Kelautan Tropis I (3): Odum, E.P Dasar dasar ekologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 693 hal. Suryono. C.A Struktur vegetasi mangrove di laguna Segara Anakana Cilacap, Jawa Tengah. Ilmu Kelautan 11 (2): Siuryono, C. A,. 2012,. Bioekologi kerang Totok Geloina sp, (Bivalvia: Corbiculidae) di Seagara Ananakan Cilacap Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marine 1(5): Tomlinson, P.B The botani of mangroves. Cambridges University Press. Cambridge. 383 p. Wang, B.S., Liang, S.C., and Zhang WY., Mangrove flora of the world. Acta Bot Sin 45: Hubungan Sebaran Kerang Totok Geloina sp. dengan Vegatasi Mangrove (Chrisna Adhi Suryono)

56 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami Dengan Kedalaman Yang Berbeda Di Pantai Sukamade, Banyuwangi, Jawa Timur Edi Wibowo Kushartono, CB. Ronaldi Chandra E *, Retno Hartati Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang ronaldicb@gmail.com Abstract One of the conservation efforts undertaken to protect the green turtle (C. mydas L.) is by relocation of the nest where the eggs are removed from natural to semi-natural hatchery. The depth of proper needed to achieve the maximum level of hatching and emergence success.the purpose of this research that is to know the level of hatching catch and the emergence success of a nest at a different depth. The methods that used is an experimental research. Treatment that given is the different depth of nest with the green turtle as repetition. The depth of treatment is in 40 cm, 60 cm, and 80 cm, the amount of eggs is 30 eggs in each nest. Measurement and observation environmental conditions carried out during the incubation period. Observation the emergence of hatchlings started in day 50 of the incubation. Nest destruction was conducted on the 66th day incubation then eggs that failed to hatch were manually disected. The results showed that the levels of different depths does not effect the temperature inside the nest and hatching success, but the effect on the success rate of appearance. hatching success at all depths ranging between 93,33% % (the same height), but increasingly in the depth of the nest success rate of appearance tends to decrease. Figures shown good appearance at a depth of 40 cm (86.67%), followed by 60 and 80 cm depth is 64.44% and 48.89% (sequential). The results of visual observations of the morphometry and performance lokomotori, hatchlings hatched at a depth of 60 and 80 cm better than hatchlings hatched at a depth of 40 cm both in the size and aggressiveness lokomotori swing flipper. Keyword: hatching success, green turtle (Chelonia mydas L.), semi-natural hatchery Abstrak Salah satu usaha konservasi yang dilakukan untuk melindungi Penyu hijau (Chelonia mydas L.) yaitu dengan tindakan relokasi yang mana telur dipindahkan dari sarang alami ke tempat penetasan semi alami. Kedalaman yang tepat dibutuhkan untuk mendapatkan tingkat penetasan dan keberhasilan kemunculan yang maksimal. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat keberhasilan penetasan dan keberhasilan kemunculan pada kedalaman sarang yang berbeda. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah experimental research dengan 3 perlakuan yaitu penanaman telur penyu hijau pada kedalaman 40, 60 dan 80 cm, dengan kepadatan 30 butir telur setiap sarang. Pengukuran dan pengamatan kondisi lingkungan juga dilakukan selama masa inkubasi. Pengamatan munculnya tukik mulai dilakukan pada hari ke 50 masa inkubasi. Pembongkaran sarang dilakukan pada hari ke 66 masa inkubasi kemudian dilakukan pembedahan secara manual untuk mengamati telur yang gagal menetas. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tingkat kedalaman yang berbeda tidak berpengaruh terhadap suhu dalam sarang dan keberhasilan penetasan, tetapi berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan kemunculan. Angka keberhasilan penetasan pada semua kedalaman berkisar antara 93,33% - 94,44% (sama-sama tinggi), namun semakin dalam tingkat kedalaman sarang tingkat keberhasilan kemunculan cenderung mengalami penurunan. Angka kemunculan yang baik ditunjukkan *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

57 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): pada kedalaman 40 cm (86,67%), diikuti kedalaman 60 dan 80 cm yaitu 64,44% dan 48,89% (secara berurut). Hasil pengamatan secara visual terhadap morfometri dan performa lokomotori, tukik yang ditetaskan pada kedalaman 60 dan 80 cm lebih baik dibandingkan tukik yang ditetaskan pada kedalaman 40 cm baik dari ukuran maupun lokomotori agresifitas ayunan flipper. Kata kunci: Keberhasilan penetasan, Penyu hijau, Semi alami PENDAHULUAN Penyu merupakan salah satu reptil terbesar yang hidup di laut dan mempunyai umur sampai ratusan tahun. Ada tujuh spesies penyu didunia, dan enam spesies diantaranya bertelur diperairan Indonesia. Jenis Penyu yang bertelur di Pantai Sukamade yaitu, Penyu Hijau, Penyu Lekang, Penyu Belimbing dan Penyu Sisik. Data yang terkumpul sejak tahun 1980 menunjukkan jenis penyu yang banyak mendarat dan melakukan peneluran adalah jenis Penyu Hijau. Pemantauan populasi yang dilakukan secara intensif sejak tahun 1970 menunjukkan kecenderungan populasi yang semakin menurun (Dermawan et al., 2009). Fluktuasi pendaratan penyu hijau di Pantai Sukamade TNMB (Taman Nasional Meru Betiri) terjadi cukup signifikan, pada tahun 1994 dan 1997 mengalami jumlah pendaratan yang paling rendah yaitu secara berurut sebesar 260 dan 284 ekor. Pada tahun berikutnya secara berangsur mengalami kenaikan hingga pada tahun 2009 terhitung 1096 ekor, namun pada tahun 2010 kembali menurun terhitung 204 ekor (TNMB, 2011). Pantai Sukamade, Kabupaten Banyuwangi dengan panjang garis pantai ±3 km merupakan lokasi tempat bertelurnya penyu di kawasan TNMB, yang dikhususkan untuk menjadi sarang alami dari penyu yang bertelur. Di dalam pengelolaan Pantai Sukamade, dibentuk sebuah unit kerja yaitu Unit Pengelolaan Konservasi Penyu (UPKP) yang dilengkapi dengan ruang penetasan semi alami berupa bangunan dengan luas ±120 m 2 dengan atap berupa asbes. Salah satu usaha konservasi yang dilakukan adalah dengan melakukan upaya pengamanan dan relokasi telur. Kegiatan relokasi dilakukan setiap hari malam pada malam hari ( ) WIB dan pagi hari ( ) WIB secara rutin, kemudian telur-telur hasil pengamanan langsung ditanam di ruang penetasan dengan kedalaman cm. Kedalaman sarang erat kaitannya dengan suhu dan keberhasilan penetasan. Semakin dalam sarang, maka suhu semakin tetap bila dibandingkan dengan suhu permukaan sarang, dan suhu pada bagian tengah sarang lebih tinggi di-bandingkan suhu pada bagian permukaan dan samping sarang (Nuitja, 1992). Semakin dalam sarang semakin besar pula energi yang dibutuhkan tukik yang menetas untuk merangkak dan sampai dipermukaan sarang, sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan kemunculan tukik tersebut. MATERI DAN METODE Materi penelitian ini berupa 270 butir telur yang diambil dari 3 induk penyu berbeda yang mendarat di sepanjang pantai Sukamade. Data yang didapatkan adalah data keberhasilan penetasan dan keberhasilan kemunculan menurut Miller (1999). Parameter lain yang diukur dalam penelitian ini adalah suhu sarang semi alami, masa inkubasi, hasil pembongkaran, kegagalan penetasan. Metode yang digunakan adalah penelitian percobaan dengan pengamatan langsung dilapangan. Perlakuan yang di-gunakan dalam penelitian ini adalah tiga kedalaman sarang semi alami yang ber-beda, yaitu kedalaman 40, 60 dan 80 cm, terhadap tiga induk yang berbeda sebagai pengulangan, sehingga secara keseluruhan berjumlah 9 buah sarang. Masingmasing sarang diisi dengan jumlah telur 30 butir setiap satu sarang. 124 Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami (Edi Wibowo Kushartono et al.)

58 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Pengamatan Induk Penyu Penelitian diawali dengan kegiatan pengamatan terhadap induk penyu yang bertelur di sarang alami. Pengamatan bertujuan untuk memperoleh telur penyu hijau yang akan diujikan, data tentang induk dan mengetahui proses yang dilakukan oleh induk penyu. Pendataan terhadap induk meliputi pencatatan nomor tagging, panjang dan lebar karapaks penyu hijau, kedalaman sarang alami. Pemindahan Telur dari Sarang Alami ke Sarang Semi Alami Metode yang digunakan dalam memindahkan telur adalah metode transinkubasi, yaitu pemindahan telur- telur dari sarang alami ke dalam sarang semi alami. Telur penyu diangkat dari dalam sarang menggunakan tangan setelah diketahui induk selesai bertelur. Tanpa menghilangkan lendir dan pasir yang menempel pada cangkang, telur yang didapat dari masing- masing induk di tempatkan pada wadah (karung) yang berbeda. Telur- telur tersebut kemudian di bawa ke ruang penetasan sarang semi alami permanen yang ternaungi secara penuh, yang merupakan fasilitas Resort Sukamade. Penanaman Telur Penanaman telur dilakukan di ruang penetasan semi alami dengan letak dan posisi sarang mengikuti alur penanaman yang dilakukan dan ditentukan oleh pihak pengelola. Bentuk sarang semi alami dibuat menyerupai sarang alami yaitu berbentuk seperti labu ukur dengan lebar mulut sarang ±20 cm dengan kedalaman sesuai dengan perlakuan yang diujikan, yaitu 40 cm (perlakuan 1), 60 cm (perlakuan 2), 80 cm (perlakuan 3). Setelah pembuatan sarang dengan kedalaman yang ditentukan selesai kemudian telur-telur diletakkan pada masing-masing sarang semi alami dengan kepadatan 30 butir setiap sarang. Penanaman telur dilakukan bersamaan dengan pipa PVC yang sebelumnya telah dimodifikasi dengan diberi lubang tambahan yang nantinya diposisikan diantara tumpukan telur dengan tujuan sebagai media bantu alat pengukur suhu untuk merekam suhu didalam sarang tanpa menggali kembali sarang penetasan semi alami. Pemasangan Alat Pengukur Suhu Alat pengukur suhu yang digunakan adalah thermometer digital yang dilengkapi dengan kabel sensor dengan sensor panas diujung kabelnya. Sensor panas yang berada diujung kabel thermometer dimasukkan kedalam sarang melalui mulut pipa PVC dan diposisikan berada tepat di lubang bantuan (modifikasi), kemudian dibiarkan tertanam dalam sarang selama antara 7-10 menit. Pencatatan suhu di lakukan bila suhu yang diperlihatkan oleh citra digital dari thermometer menunjukkan suhu yang stabil. Pengamatan Suhu Sarang Penetasan Pengamatan sarang semi alami dialkukan setiap hari terhadap suhu dalam sarang semi alami. Pengambilan data dilakukan empat kali dalm satu hari, yaitu pagi (06.00), siang (12.00), sore (18.00), dan malam (00.00). Masa Inkubasi Masa inkubasi dihitung dari saat telur ditanam pada sarang semi alami sampai munculnya tukik yang pertama keluar di permukaan sarang. Pembongkaran Sarang Pembongkaran sarang semi alami dilakukan pada 66 hari masa inkubasi. Pembongkaran sarang dilakukan pendataan dengan mengkategorikan isi dalam sarang yaitu E (Emerged) = Tukik meninggalkan sarang, S (Shells) = Jumlah cangkang telur kosong (kondisi >50% sempurna), L (Live in nest) = Tukik hidup yang berhasil keluar dari cangkang (di dalam sarang), D (Dead in nest) = Tukik mati yang berhasil keluar dari cangkang (di dalam sarang), UD (Undeveloped) = Telur belum menetas dengan embrio yang tidak jelas. UH (Unhatched) = Telur belum menetas jelas ada embrio, UHT Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami (Edi Wibowo Kushartono et al.) 125

59 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): (Unhatched term) = Embrio yang belum menetas yang tampaknya telah cukup usianya di dalam telur, P (Depredated) = Terbuka, cangkang hampir lengkap dengan terdapat sedikit sisa telur (oleh predator) (Miller, 1999). Analisa DataKeberhasilan Penetasan Keberhasilan Kemunculan HASIL DAN PEMBAHASAN Masa Inkubasi Hasil pengamatan masa inkubasi pada masing- masing perlakuan beda kedalaman menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda. Rata- rata masa inkubasi, secara berurut pada kedalaman 80,60, dan 40 cm memiliki masa inkubasi 64, 64,3 dan 64,7 hari. Masa inkubasi yang tidak jauh berbeda tersebut diduga dikarenakan oleh suhu sarang secara umum tidak jauh berbeda pada masingmasing kedalaman yang dapat dilihat dari rerata suhu sarang harian yaitu 28,07 o C (40 cm), 28,11 o C (60 cm) dan 28,05 o C (80 cm). Hal ini sesuai dengan pendapat Du et.al. (2009) yang mengatakan suhu inkubasi yang relatif sama pada lapisan atas dan bawah sarang akan menghasilkan embrio yang menetas serentak. Tabel 1. Masa Inkubasi. Kedalaman (cm) Masa Ulangan Inkubasi (hari) Ratarata (hari) 64,7 64,3 64 Pada masing-masing perlakuan beda kedalaman juga menunjukkan bahwa semakin dalam sarang, maka semakin lama jarak antara masa inkubasi ter-pendek dengan masa inkubasi terpanjang yaitu 3 hari (40 cm), 4 hari (60 cm), dan 5 hari (80 cm). Hal ini diduga dikarenakan jarak tempuh pendakian kelompok tukik yang semakin panjang,sehingga semakin dalam sarang semakin lama pula masa inkubasi yang dibutuhkan. Hasil tersebut selaras dengan pernyataan Dermawan (2009) dimana kelompok tukik mem-butuhkan waktu 2 hari atau lebih untuk mencapai permukaan pasir. Lamanya masa inkubasi diduga turut dipengaruhi oleh keberadaan hama semut yang ditemukan pada saat memasuki minggu ke-8 dan pada tukik yang muncul kepermukaan sarang, yang diduga keberadaannya menghambat laju gerak tukik tersebut untuk sampai kepermukaan, bahkan dapat menyebabkan kematian masal pada kelompok tukik yang berusaha keluar sarang. Seperti yang dikatakan oleh Eckrich dan Owens (1995) yaitu selama inkubasi, keberadaan tukik dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik, seperti predasi. Keberhasilan Penetasan dan Keberhasilan Kemunculan Tingkat keberhasilan penetasan pada masing masing kedalaman yaitu 94,44% (40 cm), 93,33 (60 cm) 94,44 (80 cm). Tingkat keberhasilan penetasan yang tidak jauh berbeda diduga karena kondisi suhu pada masing-masing kedalaman tidak jauh berbeda dan masih termasuk dalam suhu yang toleran terhadap penetasan. Seperti yang dikatakan oleh Ackerman (1997) ketika diinkubasi pada suhu konstan, per-kembangan embrio penyu laut berada dalam kisaran suhu yang toleran dari C hingga C, sedangkan jika di atas atau di bawah kisaran suhu tersebut, perkembangan embrio akan terganggu. Hasil ini selaras dengan yang dikatakan oleh Goin et. al. (1978) bahwa perkembangan suhu secara teratur dan bertahap pada batas- batas 126 Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami (Edi Wibowo Kushartono et al.)

60 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 2. Data Penetasan dan Kemunculan Kedalaman (cm) Ulangan Jumlah Telur (Butir) Telur Menetas (Ekor) Telur Gagal Menetas (Butir) Keberhasilan (%) E L D UD UH UHT P Menetas Muncul , , ,67 Rerata 94,44 86, ,67 26, , ,67 86,67 Rerata 93,33 64, ,67 96, ,33 23, ,33 26,67 Rerata 94,44 48,89 Keterangan: E (Emerged) = Tukik meninggalkan sarang. L (Live in nest) = Tukik hidup yang berhasil keluar dari cangkang (di dalam sarang). D (Dead in nest) = Tukik mati yang berhasil keluar dari cangkang (di dalam sarang). UD (Undeveloped) = Telur belum menetas dengan embrio yang tidak jelas. UH (Unhatched) = Telur belum menetas jelas ada embrio. UHT (Unhatched term) = Embrio yang belum menetas yang tampaknya telah cukup usianya di dalam telur. P (Depredated) = Terbuka, cangkang hampir lengkap dengan terdapat sedikit sisa telur (oleh predator). suhu yang baik akan menghasilkan laju tetas terbaik dan waktu pengeraman yang relatif singkat. Tingkat keberhasilan kemunculan cenderung menurun pada setiap tingkatan sarang yang bertambah dalam. Diduga, tingkat kemunculan tukik yang rendah disebabkan oleh jarak antara dasar sarang menuju permukaan yang terlalu dalam sehingga energi tukik tidak cukup untuk mencapai permukaan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kematian tukik di dalam sarang terutama pada kedalaman 80 cm sebesar 45,55%, yang lebih besar dibandingkan kedalaman lainnya. Temuan semut pada tukik yang muncul dan hasil pembongkaran sarang mengindikasikan adanya predasi (semut) seperti yang dikatakan Dermawan et.al. (2009) yang mengatakan kondisi tukik yang mati dengan kondisi melekat pada cangkang yang terbuka sebagian atau sempurna mengindikasikan adanya keberadaan predator. Hasil pengamatan secara visual terhadap tukik yang muncul ke permukaan terdapat perbedaan secara morfometri dan performa lokomotori tukik. Secara morfometri, tukik yang muncul dari sarang dengan kedalaman 60 dan 80 cm memiliki ukuran yang lebih besar dengan kondisi cadangan telur yang sudah hampir habis sepenuhnya dibandingkan tukik yang muncul dari kedalaman 40 cm yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil dengan cadangan telur yang masih menonjol keluar dan terlihat berdenyut- denyut. Secara lokomotori, agresifitas ayunan flipper pada tukik yang muncul dari sarang dengan kedalaman 60 dan 80 cm cenderung lebih agresif dengan ayunan flipper yang cepat dan bertenaga, dibandingkan tukik hasil penetasan sarang dengan kedalaman 40 cm yang cenderung pasif dan ayunan flipper yang terlihat sangat lambat. Rowe (1997) mengatakan durasi (masa) dan intersitas suhu inkubasi akan memberikan efek secara komulatif terhadap fenotipe tukik berupa performa. Berdasarkan data, intensitas suhu dan masa inkubasi dari setiap sarang tidak jauh berbeda, maka faktor tingkat kedalaman sarang diduga berpengaruh Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami (Edi Wibowo Kushartono et al.) 127

61 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): terhadap morfometri dan fenotip tukik. Diduga proses pendakian menuju permukaan pasir secara langsung melatih insting gerak tukik setelah menetas dan mempengaruhi laju metabolismenya sehingga kondisi cadangan makanan tukik telah hilang sebagian karena terkonversi menjadi tenaga dalam proses pendakian. Hal itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap laju gerak (lokomotori) ayunan flipper dari tukik-tukik tersebut ketika sampai dipermukaan sarang. Dengan menetaskan telur di sarang dengan kedalaman 40 cm, akan dihasilkan tukik dengan cadangan makanan (energi) yang relatif lebih banyak sehinggga memungkinkan kelangsungan tukik tersebut sebelum mendapatkan makanan. Sedangkan pada kedalaman 60 cm, akan menghasilkan tukik berukuran besar dengan ayunan flipper yang kuat, sehingga akan memungkinkan tukik terhindar dari predator saat berenang dilaut lepas. Kegagalan Penetasan Kegagalan penetasan merupakan dampak dari hasil proses penetasan yang tidak optimal, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Baik faktor internal yaitu pada perkembangan telur itu sendiri, maupun faktor eksternal yaitu dari lingkungan disekitar telur. Dari 270 butir yang digunakan, diketahui 254 butir (94,07 %) berhasil menetas dengan 16 butir (5,93 %) telur gagal menetas.kegagalan telur hasil penetasan pada tabel 3 menunjukkan bahwa kategori UD (Undeveloped) mempunyai angka yang paling tinggi. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh gerakan berupa rotasi dan guncangan pada tahap awal perkembangan telur sehingga proses pembelahan terganggu dan tidak ada embrio yang terbentuk. Gerakan yang melibatkan rotasi dan atau mengguncang dari telur setelah fase perkembangan dapat menyebabkan pecahnya membran halus dan kematian pada embrio (Miller, 2003). Cangkang yang tidak berisi tukik dapat terjadi karena berbagai faktor alam. Salah satunya adalah adanya masalah dengan induk (infertile, gagal membelah dalam tahap diapause embrio setelah oviposisi), dan dampak biologis eksternal pada telur (predasi, invasi mikroba) (Limpus, 2008). Suhu Sarang Semi Alami Secara umum kondisi suhu sarang pada masing masing perlakuan di penetasan semi alami memiliki nilai yang tidak jauh berbeda antara sarang satu dengan lainnya, yang ditunjukkan oleh data rerata harian suhu sarang. Rincian rata-rata suhu harian pada masing-masing kedalaman yaitu 28,07 o C (40 cm), 28,11 o C (60 cm) dan 28,05 o C (80 cm). Meskipun terjadi fluktuasi suhu, tetapi tidak secara tajam dimana fluktuasi terbesar yaitu 0,47 C, sehingga masih dalam suhu yang toleran untuk suhu penetasan sehingga masa inkubasi dan laju tetas telur pada masing- masing kedalaman tidak jauh berbeda. Diduga ini dikarenakan penetasan dilakukan di ruang penetasan beratap (ternaungi) sehingga sinar matahari tidak langsung masuk tetapi melalui proses konduksi suhu ruang terhadap pasir. Ariane (1994) menyebutkan bahwa suhu yang dipancarkan oleh sinar matahari secara efektif diteruskan dalam proses radiasi, konveksi, konduksi melalui pasir ke tempat yang lebih dalam. Selain terjadinya fluktuasi suhu, terjadi juga peningkatan suhu bersifat bertahap hingga terjadinya fase peningkatan suhu yang cukup signifikan, dimungkinkan fase ini merupakan fase embrionik dimana suhu sarang merupakan gabungan antara suhu pasir sarang dengan panas metabolisme telur. Fase peningkatan suhu yang signifikan pada P1 dengan kedalaman 40 cm terjadi lebih lambat dua minggu dibandingkan dengan P2 (60 cm) dan P3 (80 cm), yaitu pada minggu ke-9, sedangkan P2 dan P3 sama- sama pada minggu ke-7 seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1. Hal ini diduga karena kedalaman 40 cm masih mendapatkan 128 Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami (Edi Wibowo Kushartono et al.)

62 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): (a) (b) (c) Gambar 1. (a) Grafik Suhu Sarang pada Kedalaman 40 cm. (b) Grafik Suhu Sarang pada Kedalaman 60 cm. (c) Grafik Suhu Sarang pada Kedalaman 80 cm. Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami (Edi Wibowo Kushartono et al.) 129

63 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): pengaruh dari faktor luar seperti suhu saat sore hingga pagi hari yang cenderung rendah. Sedangkan pada kedalaman 60 cm dan 80 cm yang relatif stabil sehingga mempercepat laju proses embrionik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat pengaruh yang besar oleh perbedaan kedalaman sarang terhadap terhadap suhu sarang dimana fluktuasi suhu yang terjadi masih dalam rentan suhu toleran untuk penetasan. Pada semua kedalaman sama-sama memiliki angka penetasan yang tinggi, yaitu 94,44% (40 cm),93,33% (60 cm) dan 94,44% (80 cm). Kedalaman terbaik terjadi pada kedalaman 40 cm dimana angka kemunculannya tinggi yaitu 86,67%. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimaksih kepada Balai Taman Nasional Meru Betiri (TMNB) atas izin yang diberikan untuk melakukan penelitian, para petugas Resort Sukamade dan petugas Unit Pengelolaan Konservasi Penyu (UPKP) atas segala fasilitas dan bantuan yang diberikan, dan semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu. DAFTAR PUSTAKA Ackerman, R.A The Nest Environment and The Embryonic Development of Sea Turtles. In: Peter L. Lutz, John A. Musick, and Jeanette Wyneken (Eds.). The Biology of Sea Turtles. Vol. II, CRC Press, 472 p. Ariane, I Studi Masa Inkubasi dan Keberhasilan Penetasan Semi Alami Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) di Pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Airlangga, Surabaya, 88 hlm. (Tidak Dipublikasikan). Dermawan, A., Nyoman S. N., Dedi S., Matheus H.H., Mirza D.K., Syamsul B.L., Rofi A., M. Khazali., Mimi M., Poppi L., Wahjuhardini, Setiabudiningsih, dan Ali M., Pedoman Teknis Pengelolaan Konservasi Penyu. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta. Du WG, Radder RS, Sun B, Shine R Determinants of incubation period: do reptilian embryos hatch after a fixed total number of heart beats Journal of Experimental Biology 212: Eckrich CE, Owens DW Solitary versus arribadas nesting in the olive ridley sea turtles (Lepidochelys olivacea): a test of the predator-satiation hypothesis. Herpetologica. 51(3): Goin, C.J, O.B. Goin and G.R. Zug Introduction to Herpetology, Third Ed. W.E. Freeman and Co, San Fransisco. Limpus, C.J A Biological Review of Australian Marine Turtles Species. 2. Green Turtle, Chelonia mydas (Linnaeus). The Enviromental Protection Agency, Queensland, 74 p. Miller, J.D., C.J. Limpus and M.H. Godfrey Nest Site Selection, Ovipotision Eggs, Development, Hatching, and Emergence of Loggerhead Turtles. In: A. Bolten and B. Witherington (Eds.). Smithsonian Institution Press, Washington, DC, 125 p. Rowe JW Growth rate, body size, sexual dimorphism and morphometric variation in four populations of painted turtles (Chrysemys picta bellii) from Nebraska. American Midland Naturalist. 138 (1): [TNMB] Taman Nasional Meru Betiri Darmadja, B, N. Rohmah, A. A. Danu, dan Nugroho (Eds.). Buku Informasi Penyu Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri 130 Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dalam Sarang Semi Alami (Edi Wibowo Kushartono et al.)

64 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Pertumbuhan ikan Nila Larasati (Oreochromis niloticus) di Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan dan Padat Penebaran yang Berbeda Ali Djunaedi 1*, Retno Hartati 1, Rudhi Pribadi 1, Sri Redjeki 1*, Retno W. Astuti 2, Bintang Septiarani 3 1 Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Mercy Corps Indonesia 3 Yayasan Bintari, Semarang alidjunaedi@ymail.com Abstract Red Nile Tilapia of Larasati strain (Oreochromis niloticus)have capability to digest feed quite efficient, able to grow faster and diseases resistant. They are also tolerant to high salinity and more resilent to environmental change, therefore very prospecytive to be cultivated in tambaks (brackishwater pond). The objective of present work was to determine the effect of larvae stocking density and feed ration on the growth and survival rate of Nile Tilapia in brackishwater pond. The larvae was hacthed in freshwater and acclimatized gradually in brackishwater media and then reared ini cage size of 1x1x1,5meter 3 with different food ration (3, 5 and 7% body weight)andstocking density of 10, 15, 20 indv./m 2 ).The result showed that the more food ration gave the better growth rate of larvae in stocking density of 10 and 15 indv./m 2, the best food ration in 20 indv./m 2 was 5% body weight. Upon that result it is recommended to stock the alvae at level of 20 indv./meter and gave food of 5% per body weight. The treatments was not influenced the survival rate of fish cultured. Keywords :Fish Nila Larasati, growth, feed ration, stocking density Abstrak Ikan Nila Larasati memiliki kemampuan mencerna makanan secara efisien, memiliki pertumbuhan yang cepat serta lebih resisten terhadap penyakit, daya adaptasi luas dan toleransinya yang tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan sehingga prospektif dibudidaya di tambak. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian tentang pengaruh padat tebar dan ransum pakan terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan ikan Nila Larasati yang dipelihara pada tambak air payau. Ikan Nila Larasati dibenihkan di lingkungan air tawar dan diaklimatisasi secara bertahap di media air payau sebelum digunakan dalam penelitian ini. Percobaan pemeliharaan ikan Nila Larasati dilakukan pada karamba berukuran 1x1x1,5meter 3 dengan ransum pakan(3, 5 dan 7% bobot biomasa ikan) dan padat penebaran yang berbeda (10, 15, 20 ekor/m 2 ).Hasil penelitian menunjukkan pemberian ransum pakan harian baik 3, 5 dan 7% perhari pada ikan nila dengan kepadatan 5, 10 dan 20 ekor/meter menunjukkan hasil pertumbuhan berat mutlak yang relatif baik, namun untuk efisiensi pakan disarankan untuk melakukan penebaran 20 ekor/meter dengan ransum 5% berat biomasa ikan perhari. Kelulushidupan ikan Nila Larasati tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Kata Kunci : Ikan Nila Larasati, pertumbuhan, pakan, padat penebaran PENDAHULUAN Salah satu jenis komoditas yang potensial dibudayakan di tambak dalam rangka pemanfaatan lahan yang tidak produktif adalah ikan Nila, khususnya Nila Larasati (Oreochromisniloticus). Keunggulan komparatif, terutama pada *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

65 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): sifat biologis Ikan nila Larasati memiliki beberapa kelebihan seperti mampu mencerna makanan secara efisien, memiliki pertumbuhan yang cepat serta lebih resisten terhadap penyakit, daya adaptasi luas dan toleransinya yang tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan, sehingga ikan ini selain di air tawar, sangat cocok pula dikembangkan di perairan payau (tambak), asin (laut) dengan kisaran salinitas 0 40 ppt (Suyanto, 2009). Selain itu Nila Larasati juga memiliki daging putih yang tebal dan kenyal, yang mirip dengan tekstur ikan kakap merah (Lovell, 1989). Agar dapat dicapai produksi yang tinggi dan menguntungkan, maka dalam budidaya perlu dilakukan dengan sistem intensif. Menurut Ronald et al. (2014)budidaya intensif dengan menggunakan padat penebaran dan jumlah pakan yang tinggi akan berdampak pada menurunnya kualitas air budidaya dikarenakan semakin bertambahnya tingkat buangan dari sisa pakan dan kotoran (feses). Sedangkan menurut Helpher dan Pruginin (1981), peningkatan kepadatan akan diikuti dengan penurunan pertumbuhan sehingga pada kepadatan tertentu pertumbuhan akan terhenti karena suplai nutrisi sudah tidak mencukupi. Untuk memperoleh hasil yang optimal, peningkatan kepadatan harus juga diikuti dengan peningkatan jumlah pakan. Akan tetapi peningkatan jumlah pakan, akan meningkatkan buangan metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan dapat menurunkan kualitas air. Penurunan kualitas air akan mengakibatkan ikan menjadi stress sehingga pertumbuhan menurun dan ikan rentan mengalami kematian. Penelitian tentang pengaruh padat penebaran dan pakan terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan ikan Nila telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, akan tetapi kebanyakan dilakukan pada lingkungan air tawar. Penelitian tersebut antara lain adalah tentang kepadatan (Alhassanet al., 2012; Ronald et al., 2014), pakan (Adewolu, 2008; Ogunji et al., 2008), serta kombinasi padat penebaran dan pakan yang berbeda (El-Sayed, 1999;Yakubu et al., 2012). Sedangkan penelitan yang dilakukan pada lingkungan air payau baru dilakukan oleh Clark et al. (1990) yang memelihara ikan Tilapia Merah di kolam air laut dan Mardiana dan Syakirin (2013)yang memelihara berbagai strain ikan Nila dilahan sawah puso akibat rob Desa Pecakaran, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, serta Saha dan Khatun (2014) yang memelihara Tilapia monoseks di tambak udang. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian tentang pengaruh padat tebar dan ransum pakan terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan ikan Nila Larasati yang dipelihara pada tambak air payau. MATERI DAN METODE Benih ikan Nila Larasati berukuran 0,8-1,2gram sebanyak 1000 ekor diperoleh dari BBI Ngrajeg-Janti-Jogjakarta yang diperlihara pada kolam air tawar dan diaklimatisasi pada kondisi perairan payau di Hatchery Laboratorium Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP Semarang. Penelitian pemeliharaan ikan nila ini dilaksanakan di tambak Desa Mangkang Wetan-Tugu, Semarang pada bulan Januari April Proses aklimatisasi pada media air payau dilakukan pada 5 buah akuarium dengan kepadatan masing-masing 200 ekor. Proses adaptasi salinitas secara bertahap dengan menambahkan air laut pada akuarium tempat penampungan benih sedikit demi sedikit sehingga dicapai kenaikan salinitas 5 o /oo setiap minggu. Adaptasi dilakukan sampai salinitas mencapai 30 o /oomenyesuaikan tambak di lokasi penebaran benih. Aklimatisasi dilakukan selama 5 minggu.pemberian pakan selama aklimatisasi dilakukan dua kali sehari (pagi dan sore hari) sebesar5% bobot ikan. Pakan yang digunakan adalah pellet ikan mengapung dengan kandungan protein kurang lebih 30%. Selama adaptasi dilakukan pula penyiponan untuk membersihkan sisa pakan dan kotoran/faeses ikan pada pagi hari sebelum diberi pakan. 132 Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.)

66 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Metode penelitian ini adalah percobaanl lapangan dengan Rancangan Acak Lengkap dengan pola faktorial dengan 2perlakuan dan 3 taraf, yaitu ransum pakan yang berbeda (3, 5 dan 7% bobot biomasa ikan) dan padat penebaran 10, 15, 20 ekor/m 2, masingmasing dengan 3 ulangan. Pakan yang diberikan berupa pellet ikan komersial yang diperoleh dari BBI Janti Klaten dengan kandungan protein 31-33%, lemak 4%, serat 5%, kadar abu 13% dan kadar air 12 %. Pakan diberikan 3 kali sehari yaitu pada pagi, siang dan sore hari. Percobaan pemeliharaan ikan nila dilakukan pada karamba berukuran 1x1x1,5meter 3 di Tambak milik Bapak H. Hambali di Desa Mangkang Wetan. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan kondisi tambak yang relatif baik posisinya serta konstruksinya. Diharapkan kualitas air yang ada bisa mendukung pertumbuhan ikan nila. Posisi penempatan karamba didekat dengan pondok tempat jaga dan dibawah tegakan pohon mangrove dengan pertimbangan supaya karamba ternaungi, sehingga suhu air tidak terlalu tinggi. Pada awal percobaan, penebaran benih di karamba pemeliharaan dilakukan pada sore hari dengan padat penebaran sesuai perlakukan, yaitu 10, 20, dan 30 ekor/m 2. Pada saat ditebar rata-rata berat ikan nila adalah 3,39gram. Selama penelitian, penimbangan terhadap bobot ikan uji akan dilakukan seminggu sekali, bersamaan dengan pengukuran kualitas air yang meliputi suhu air, oksigen terlarut, ph, dan amonia. Pengukuran suhu air, salinitas, dan ph menggunakan water quality checker dilakukan bersamaan dengan pengukuran berat tubuh ikan uji. Variabel yang dikaji meliputi pertumbuhan berat mutlak, laju pertumbuhan spesifik (SGR), kelulushidupan (SR), dan kualitas air sebagai data pendukung. Pertumbuhan berat mutlak dan laju pertumbuhan spesifik (SGR) dihitung berdasarkan (Adewolu, 2008; Ogunji et al., 2008; Effiong et al., 2009) dan Kelulushidupan dihitung berdasarkan Effendie (1997). Berat mutlak = Lt L0 Lt = Berat ikan awal pemeliharaan (gram) L0 = Berat ikan akhir pemeliharaan (gram) Laju pertumbuhan spesifik : SGR(%/hari) = LnWt LnWo T Wo = Bobot rata-rata benih nila pada awal penelitian (gram) Wt = Bobot rata-rata benih nila pada hari ke-t (gram) T = Lama pemeliharaan (hari). Kelulushidupan (Survival Rate): SR = NT / No X 100% SR = Kelulushidupan (%) Nt = Jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah ikan pada awal penelitian (ekor) Data yang diperoleh terlebih dahulu dilakukan uji F (ragam) dengan taraf kepercayaan 95%. Bila perlakuan berpengaruh nyata pada analisis ragam (ANOVA) (Steel dan Torrie, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sudah dikenal sebagai ikan konsumsi air tawar oleh masyarakat sehingga tingkat penerimaan konsumen akan mudah. Ikan Nila bersifat eurihaline (Suyanto, 2009) yang menyebabkan ikan Nila dapat hidup di dataran rendah yang berair tawar hingga perairan bersalinitas tinggi. Semarang merupakan kota pesisir yang memilki potensi dikembangkan untuk budidaya perikanan. Tingginya tingkat kerusakan di wilayah pesisir, secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap keberlanjutan kegiatan budidaya ikan. Solusi yang cukup efektif untuk diterapkan dalam menjaga keberlanjutan budidaya serta memperbaiki kualitas lingkungan pesisir adalah dengan penerapan tambak wanamina yaitu budidaya ikan pada tambak bervegetasi mangrove (Budihastuti, 2013) dan menyarankan jenis kultivan ikan bandeng dan ikan nila. Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.) 133

67 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Budidaya Ikan Nila juga disarankan oleh Pribadi et al. (2013) dengan hasil kajiannya untuk mengidentifikasi ikan yang tahan terhadap salinitas dan temperatur tinggi di wilayah pesisir.ikan Nila Larasti merupakan benih hibrid generasi ketiga hasil persilangan induk ikan Nila betina strain Gift dengan induk jantan strain Singapura pada kegiatan pemuliaan ikan Nila di Satuan Kerja Perbenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar Janti Klaten(Satker PBIAT, 2009) yang merupakan strain terbaik setelah melalui uji pertumbuhan, multi lokasi, salinitas, dan hama penyakit. Berdasarkan penelitianmardiana dan Syakirin (2013) ikannilastrain Larasatiyang dipelihara pada karamba di sawah yang tidakproduktifakibat rob mempunyaipertumbuhantertinggi dibandingkan denganikanstrain lain, yaitu NilaGiftdan Sultana. Adaptasi benih ikan Nila Larasati pada media air payau Pada percobaan ini, sebelum dibudidayakan di tambak, ikan Nila Larasati yang dibenihkan di lingkungan air tawar diaklimatisasi pada media berair payau secara bertahap (kenaikan 5 o /oo per minggu). Ikan Nila adalah salah satu jenis ikan yang termasuk bersifat eurihaline. Ikan eurihaline merupakan ikan yang memiliki kemampuan besar untuk mentoleransi perubahan salinitas medium dengan rentang yang luas (Susilo, 2012). Hasil pertumbuhan benih ikan nila yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan nila selama adaptasi salinitas berkisar antara 1,0 1,2 gr perminggu dari berat awal 1,5 gram. Pertumbuhan benih tersebut tergolong masih relatif rendah, hal tersebut diduga dikarenakan karena energi pakan yang masuk banyak digunakan untuk adaptasi lingkungan terutama penaikan salinitas, sehingga pertumbuhannya belum bisa maksimal. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pakan, wadah budidaya, suhu, salinitas, musin dan aktivitas fisik. Karena ikan bersifat poikilothermal dan hidup di air, maka sangat dipengaruhi oleh media budidaya (Weatherly and Gill, 1987). Perubahan kondisi media, misalnya salinitas akan berpengaruh terhadap tubuh ikan yang dipelihara. Pemeliharaan ikan Nila Larasati yang berasal perairan tawar ke perairan payau (tambak) akan mempengaruhi pertumbuhan dan rasa dari ikan tersebut. Hal yang sama dilakukan oleh Ali et al. (2005) dalam penelitiannya memelihara ikan Catla catla, Cirrhinus mrigala, Cyprinus carpio, Hypophthalmicthys molitrix, Labeo rohitayang merupakan ikan air tawar di lingkungan air payau dan menemukan bahwa variable kondisi media payau berpengaruh terhadap pertumbuhan dan komposisi nutrient tubuh seperti kadar air, bahan organik, protein dan lipid. Hal ini berhubungan erat dengan adaptasi fisiologis pada saat beraklimatisasi pada tambak air payau. Secara langsung, salinitas media akan mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan. Apabila osmotik lingkungan (salinitas) berbeda jauh dengan tekanan Gambar 1. Proses adaptasi benih pada media air payau 134 Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.)

68 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gambar 2. Ikan Nila Larasati (Oreochromis niloticus) yang digunakan pada penelitian osmotik cairan tubuh (kondisi tidak ideal) maka osmotik media akan menjadi beban bagi ikan sehingga dibutuhkan energi yang relatif besar untuk mempertahankan osmotik tubuhnya agar tetap berada pada keadaan yang ideal. Pembelanjaan energi untuk osmoregulasi, akan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan dan konversi menjadi berat tubuh (Sharaf et al., 2004). Pertumbuhan ikan Nila Larasati di tambak Pada penelitian ini, setelah mengalami masa aklimatisasi, ikan Nila Larasati dipindah dan dibudidayakan pada tambak air payau dengan salinitas o /oo. Keberhasilan adaptasi salinitas ditunjukkan oleh kelangsungan hidup yang tinggi dan pertumbuhan yang normal. Dalam kondisi lingkungan yang buruk, ikan membutuhkan energi lebih dalam bentuk ATP yakni senyawa biokimia berenergitinggi yang langsung dapat digunakan untuk energi sel (Uchida et al., 1997). Intensifikasi budidaya ikan Nila adalah solusi yang baik untuk meningkatkan produksi ikan, danuntuk mengoptimalkan intensifikasi ikan, maka padat penebaran dan kualitas serta kuantitas pakan harus dipertimbangkan. Pakan buatan memainkan peran penting terutama dalam kondisi padat penebaran yang tinggi dan ketika pasokan pakan alami telah menurun atau benar-benar menghilang. Pakan yang ditambahkan harus kaya protein, karbohidrat dan lemak, dan juga harus mengandung vitamin, mineral sehingga menjamin pertumbuhan ikan yang dibudidaya (Huisman et al., 1979). Malnutrisi pada ikan akan mengurangi kinerja pertumbuhan dan dapat menyebabkan penyakit atau bahkan kematian (Lovell, 1989). Sehingga sangat penting untuk mengembangkan pakan yang cocok dalam budidaya ikan sebagai penyeimbang padat penebaran ikan budidaya. Padat penebaran merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan pada usaha budidaya ikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan (Papst et al. (1992). Hal ini akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti interaksi sosial antar ikan (Irwin et al., 1999; Silva et al., 2000), persaingan pakan dan ruang gerak (Papst et al., 1992). Lebih lanjut, menurut Lovell (1989) pertumbuhan Tilapia/Nila dipengaruhi oleh padat penebaran, kualitas proteindan kandungan energi pakan, kondisi fisiologis ikan, seperti umur, tahap reproduksi dan faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan lain-lain. Pada penelitian ini, pertumbuhan ikan nilai pada kepadatan 10 ekor/m 2 dengan pemberian jumlah pakan yang berbeda memberikan hasil sedikit variasi, yaitu berkisar 19,71-21 gram (Tabel 1). Semakin tinggi jumlah pemberian pakan memberikan laju pertumbuhan yang lebih cepat. Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.) 135

69 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan prosentase ransum harian berbeda pada ikan nila dengan kepadatan 10 ekor/meter menghasilkan berat ikan yang dipelihara selama 4 minggu menghasilkan pertumbuhan yang relatif baik. Pertumbuhan paling tinggi dicapai pada pemberian pakan dengan ransum 7% perhari yaitu 21,00 gram dengan laju pertumbuhan 6,08 %/hari. Sedangkan pertumbuhan yang rendah terjadi pada perlakuan dengan pemberian ransum pakan 3% perhari yaitu 19,71 gram, namun hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) antar perlakuan (Gambar 3). Pemberian pakan yang berbeda pada ikan Nila dengan kepadatan 15ekor/meter menunjukkan hasil yang hampir sama dengan kepadatan 10ekor/meter (Tabel 2). Semakin tinggi jumlah pemberian pakan memberikan pertumbuhan yang sedikit lebih tinggi pertumbuhannya. Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan prosentase ransum harian berbeda pada ikan nila dengan kepadatan 15 ekor/meter menghasilkan yang dipelihara selama 4 minggu menghasilkan pertumbuhan yang relatif baik. Pertumbuhan paling tinggi dicapai pada pemberian pakan dengan ransum 7% perhari yaitu 20,91 gram. Sedangkan pertumbuhan yang rendah terjadi pada perlakuan dengan pemberian ransum pakan 3% perhari yaitu 18,40 gram. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) antar perlakuan. Untuk lebih Jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini. Sedangkan pertumbuhan ikan nila pada padat penebaran 20 ekor/meter disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan prosentase ransum harian berbeda pada ikan nila dengan kepadatan 20 ekor/meter menghasilkan yang dipelihara selama 4 minggu menghasilkan pertumbuhan yang relatif baik. Pertumbuhan paling tinggi dicapai pada pemberian pakan dengan ransum 7%/hari yaitu 20,55 gram. Sedangkan pertumbuhan yang rendah terjadi pada perlakuan dengan pemberian ransum pakan 3% perhari yaitu 18,78 gram. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) antar perlakuan (Gambar 5). Pengukuran parameter lingkungan, yaitu salinitas, suhu dan ph dilakukan selama masa pemeliharaan Ikan Nila di tambak. Kondisi salinitas di tambak pemeliharaan ikan nila relatif tinggi yaitu berkisar o /oo (Tabel 4). Hal tersebut disebabkan pada waktu tebar pada kondisi musim kemarau, sedangkan tambak tidak ada sumber air tawar untuk menurunkan salinitas media pemeliharaan. Suhu pada pagi hari berkisar dari C dan pada sore hari berkisar C. Kisaran suhu tersebut masih layak untuk mendukung kehidupan ikan Nila Larasati. Sedangkan nilai ph adalah 8 yang juga menunjukkan layak untuk pertumbuhan ikan Nila Larasati. Tabel 1. Rata-rata berat dan Pertumbuhan Ikan Nila di tambak dengan kepadatan 10 ekor/meter % Pakan Rata-rata berat (gram) Minggu ke Pertumbuhan (gram) Laju pertubuhan (%/hari) 3 3,39 3,8 9 14,22 19,71 16,32 5,87 5 3,39 4 9,67 15,13 20,75 17,36 6,04 7 3,39 3,86 9,63 15, ,61 6, Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.)

70 Rata-rata Berat ikan (gram) Rata-rata berat ikan (gram) Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): % 5% 7% Minggu ke - Gambar 3. Pertumbuhan Ikan Nila pada padat penebaran 10 ekor/meter dengan jumlah pakan yang berbeda (3, 5 dan 7% berat ikan/hari) Tabel 2. Rata-rata berat dan Pertumbuhan Ikan Nila di tambak dengan kepadatan 15 ekor/meter % Pakan Rata-rata berat (gram) Minggu ke Pertumbuhan (gram) Laju pertubuhan (%/hari) 3 3,39 3,64 8,50 13,40 18,40 15,01 5,64 5 3,39 4,11 9,50 14,80 20,20 16,81 5,95 7 3,39 3,78 9,50 15,27 20,91 17,52 6, % 5% 7% Minggu ke- Gambar 4. Pertumbuhan Ikan Nila pada padat penebaran 15 ekor/meter dengan jumlah pakan yang berbeda (3, 5 dan 7% berat ikan/hari) Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.) 137

71 Rata-rataBerat ikan (gram) Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Tabel 3. Rata-rata berat dan Pertumbuhan Ikan Nila di tambak dengan kepadatan 20 ekor/meter % Pakan Rata-rata berat (gram) Minggu ke Pertumbuhan (gram) Laju pertubuhan (%/hari) 3 3,39 3,67 8,73 13,64 18,78 15,39 5,71 5 3,39 4 9,73 14,92 21,27 17,88 6,12 7 3,39 4 9,45 15,09 20,55 17,16 6, % 5% 7% Minggu ke - Gambar 5. Pertumbuhan Ikan Nila pada padat penebaran 20 ekor/meter dengan jumlah pakan yang berbeda (3, 5 dan 7% berat ikan/hari) Tabel 4. Nilai rata-rata parameter kualitas air tambak pemeliharaan ikan Nila Larasati Minggu ke Salinitas ( o /oo) pagi Suhu( C) sore ph Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum pakan harian baik 3, 5 dan 7% bobot ikan per hari pada ikan Nila Larasati dengan kepadatan 5, 10 dan 20 ekor/meter menunjukkan hasil pertumbuhan berat mutlak yang relatif baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa ransum pakan yang diberikan mampu memberikan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan nila di tambak. Huisman et al. (1979) menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi pertumbuhan adalah pakan dan pemberian pakan yang berkualitas baik dapat menunjang pertumbuhan ikan. Sedangkan pakan yang digunakan adalah pakan ikan dengan kandungan protein 30%, kandungan protein tersebut 138 Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.)

72 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): telah mencukupi kebutuhan nutrisi ikan Nila Larasati. Pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ikan terutama protein serta sesuai dengan sifat dan kebiasaan makan ikan dapat meningkatkan efisiensi pakan (Nofyan, 2005). Dikatakan Ali et al. (2005) pertumbuhan ikan pada tambak dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor seperti makanan, ruang, suhu, salinitas, musim dan aktifitas fisik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan padat penebaran tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan Ikan Nila Larasati di tambak air payau. Hasil yang sama juga diperlihatkan oleh penelitian Alhassan et al. (2012) yang memelihara benih ikan Nila pada hapa di dalam kolam beton dengan media air tawar dengan kepadatan 8, 10 and 12 ekor/m 3. Pada penelitiannya tersebut konversi pakan, laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nila tidak dipengaruhi oleh padat penebaran yang berbeda. Bahkan padat penebaran yang semakin tinggi menyebabkan pertumbuhan yang heterogen sehingga berat ikan nila yang diperlihara menjadi sangat bervariasi. Laju pertumbuhan Ikan Nila Larasari yang dipelihara di tambak berkisar 5,64-6,12%/hari. Hasil ini cukup baik dibandingan dengan pertumbuhan Tilapia monosex yang dibudidaya di tambak udang dengan laju pertumbuhan 6.73%/hari (Saha dan Khatund, 2014).Pada pemeliharaan ikan Nila Larasati di tambak sebaiknya digunakan monoseks jantan untuk mendapatkan pertumbuhan yang lebih baik. Pertumbuhan ikan Nila jantan dua kali lebih cepat dari ikan betina. Bahkan kehadiran ikan nila betina menyebabkan reproduksi yang tidak terkendali, terjadinya rekrutmen benih yang berlebihan, kompetisi makanan, dan produksi ikan yang lebih kecil dari yang ditebar sehingga mungkin tidak mencapai ukuran konsumsi yang dikehendaki. Hasil penelitian Saha dan Khatund (2014) memperlihatkan bahwa pada pemeliharan di tambak air payau pertumbuhan dan produksi Tilapia monoseks lebih tinggi dibandingkan dengan pemeliharaan di air tawar, dan dianjurkan pula bahwa ikan tersebut dapat di budidaya sebagai diversifikasi biota budidaya di tambak air payau, dimana budidaya udang saat inio sangat beresiko terkena invasi penyakit. Dari hasil kajian ini, meskipun kelangsungan hidup tidak dipengaruhi oleh padat penebaran (P > 0.05) (Tabel 4), namun secara umum kelangsungan hidup ikan Nila Larasati yang dipelihara cukup tinggi, yaitu berkisar antara 83-89% dan tidak berlawanan dengan padat penebaran. Tingginya kelangsungan hidup ikan Nila Larasati yang dipelihara selain didukung oleh kondisi lingkungan tambak yang baik selama penelitian, Hal ini sama dengan hasil penelitan Huang dan Chiu (1997), El-Sayed (1999), El-Sherif dan El-Feky (2009) dan Alhassan et al. (2012) dengan kelulushidupan %. Perairan pesisir merupakan wilayah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap aliran antropogenik yang berasal dari limbah aktivitas manusia di wilayah sekitar pesisirmaupun lahan atas. Pesisir Semarang merupakan salah satu wilayah di pesisir utarajawa yang perkembangan tata guna lahannya sangat progresif (Rositasari dan Lestari, 2013). Peran vegetasi mangrove yang berada dipertambakan sangat berpotensi utnuk menyerap limbah-limbah tersebut mengingat bahwa salah satu peran mangrove adalan sebagai penyerap berbagai limbah di wilayah pesisir. Kariada dan Irsadi (2014) mengatakan bahwa mangrove berperan sebagai penampung terakhir bagi limbah yang terbawa aliran sungai dari industri di Tabel 4. Kelulushidupan Ikan Nila Larasati yang dipelihara di tambak dengan kepadatan dan ransum pakan yang berbeda % Pakan Padat penebaran (ekor/meter) Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.) 139

73 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): perkotaan dan perkampungan hulu dan mengurangi resiko masuknya limbah ke wilayah pertambakan (Heriyanto dan Subiandono, 2011).Oleh karena itu, budidaya ikan nila di tambak bervegetasi mangrove akan mengurangi resiko adanya serapan limbah pada ikan yang dibudidaya. KESIMPULAN Pemberian ransum pakan harian baik 3%, 5% dan 7% perhari pada ikan nila dengan kepadatan 5, 10 dan 20 ekor/meter menunjukkan hasil pertumbuhan berat mutlak yang relatif baik, namun untuk efisiensi pakan disarankan untuk melakukan penebaran 20 ekor/meter dengan ransum 5% berat biomasa ikan perhari. Kelulushidupan ikan Nila Larasati tidak dipengaruhi oleh perlakuan. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan Enhancing coastal community resilience by strengthening mangrove ecosystem services and developing sustainable livelihoods in Semarang City yang dibiayai oleh Rockeffeler Foundation. DAFTAR PUSTAKA Adewolu, M.A Potentials of sweet potato (Ipomoea batatas) leaf meal as dietary ingredient for Tilapia zillii fingerlings. Pak. J. Nutr., 7(3): Alhassan, E.H., E.D. Abarike & C.L. Ayisi Effects of stocking density on the growth and survival of Oreochromis niloticus cultured in hapas in a concrete tank. African Journal of Agricultural Research 7(15): ;m. DOI: /AJAR Ali, M., F. Iqbal, A. Salam, S. Iram, & M. Athar, Comparative study of body composition of different fish speciesm from brackish water pond. Int. J. Environ. Sci. Tech. 2( 3): Clark, A.E., W.O. Watanabe, B.Olla, &R.I. Wicklund Growth, feed conversion and protein utilization of Florida red tilapia fed isocaloric diets with different protein levels in seawater pools. Aquacult. 88(1): doi: / (90)90321-d Effiong, B.N., Sanni, A, &Fakunle J.O Effect of partial replacement of fishmeal with duckweed (Lemna pauciscostata) meal on the growth performance of Heterobranchus longifilis fingerlings. Report and Opin., 1(3): Effendie, M.I Biologi Perikanan. Cetakan Pertama. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta El-Sayed, A Effects of stocking density and feeding levels on growth and feed efficiency of Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.) fry. Aquaculture Res. 33: El-Sherif, M.S.& El-Feky, A.M.I Performance of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) fingerlings. I. Effect of ph. Inter. J. Agric. Biolo., 11: Hepher, B. & Y. Priguinin Commercial Fish Farming with Special Reference to Fish Culture in Israel. John Willey and Sons Inc., New York. 112 p. Heriyanto, N.M. & Subiandono, E Penyerapan polutan logam berat (Hg, Pb dan Cu) oleh jenis-jenis mangrove. J. Penelitian hutan dan konservasi alam 8(2): Huang, W-B. & Chiu, T.-S Effects of stocking density on survival, growth, size variation, and production of Tilapia fry. Aquacult. Res., 28: Huisman, E.J., M. Breterler & A. Vismans Retention of energy, protein, fat and ashin growing carp (Cyprinus carpio) under different feeding and temperature regimes. Proceeding World Symposium on Fish Nutrition and Fish. Irwin, S., Halloran, J.O. &Fitzgerald, R.D Stocking density, growth and growthvariation in juvenile turbot, Scophthalmus maximus (Rafinesque). Aquacult., 178: Lovell, T Nutrition and Feeding of Fish. An AVI Book, Van Nostrand Reinhold, New York. 260 p. Kariada, N. & Irsadi, A Peranan Mangrove sebagai biofilter 140 Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.)

74 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): pencemaran air wilayah tambak bandeng Tapak, Semarang. J. Manusia dan Lingkungan. 21(2): Mardiana, T.Y. & M.B.Syakirin Pemanfaatan lahan sawah puso akibat rob melalui budidaya ikan nikan berbagai strain di Desa Pecakaran kecamatan Wonokertyo Kabpupaten Pekalongan. Laporan penelitian. Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. 35 hal. Ogunji, J., Toor, R., Schulz, C., &Kloas, W Growth performance, nutrient utilization of Nile tilapia Oreochromis niloticus fed housefly maggot meal (Magmeal) diets. Turkish J. Fish. Aquat. Sci., 8: Papst, M.H., Dick, T.A., Arnason, A.N. & Engel, C.E Effect of rearing density onthe early growth and variation in growth of juvenile Arctic charr, Salvelinus alpinus(l.). Aquacult. Fish. Manag., 23: Pribadi, R., R. Hartati, A. Djunaidi, Sri Redjeki,& A. Roviq Resilience fish assessment. Fakulty of Fisheries and Marine Science, Diponegoro University. Semarang. 16 p. Ronald, N., Gladys, B., & Gasper, E The Effects of Stocking Density on the Growth and Survival of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Fry at Son Fish Farm, Uganda. J Aquac Res Development 5: 222. doi: / Rositasari, R. & Lestari Evaluasi lingkungan perairan pesisir Semarang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 5(1): Saha, S.B. & M.S. Khatun Production performance of monosex Nile Tilapia Oreochromis niloticus in brackishwater ponds. Bangladesh J. Zool. 42(2): Satuan Kerja Perbenihan dan Budidaya Ikan Air Tawar (SATKER PBIAT) Janti Buku Panduan SPO (Standar Prosedur Operasional) Nila Merah Strain Janti LARASATI (Oreochromis niloticus). Balai Budidaya Air Tawar. 60 hal. Sharaf, M.M., Sharaf, S.M., & El Marakby, H.I The effect of acclimatization of freshwater Red Hybrid Tilapia in marine Water. Pakistan J. Biol. Sci. 7(4): Silva, P.C., Souza, V.L., Padua, D.M.C., Dalacorte, P.C. & Goncalves, D.C Effectof stocking density on growth and fillet composition of tetra hybrid red tilapia, Israelistrain. pp In: K. Fitzsimmons and J.C. Filho (eds.). Tilapia Aquaculturein the 21st Century. Proceedings from the 5th International Symposium on TilapiaAquaculture. Vol Sept. 2000, Rio de Janeiro, Brazil. Steel, K.G.D. & J.H. Torrie Principles and Procedures of Statistic, Biometrical Approach. McGraw-Hill Book Company, New York. 633 pp. Susilo, U., W. Meilina, & S. B. I. Simanjuntak Regulasi Osmotik dan Nilai Hematokrit Ikan Nila (Oreochromis sp.) pada medium dengan salinitas dan temperatur air berbeda. Penelitian Hayati. 18: Suyanto, Rachmatun Pembenihan dan Pembesaran Nila. Panebar Swadaya. Jakarta. Uchida, K., Kaneko. T., Yamaguchi, A., Ogasawara. Y., & Hirano. T., Reduced hypoosmoregulatory ability and alteration in gill chloride distribution in mature chum salmon (Oncorhynchus keta) migrating upstream for spawning. Mar. Biol. 129: Weatherly A. H. & Gill H. S The Biology of Fish Growth. Academic Press, London.567 pp. Budihastuti, Rini Model dan Strategi Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina Berwawasan Lingkungan di Pesisir Semarang. PhD thesis, Program Doktor Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. 278 hal. Yakubu,A.F., A. Obi, V.A. Okonji,1O.O. Ajiboye, T.E. Adams, E.D. Olaji, & N.A. Nwogu Growth Performance of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) as Affected by Stocking Density and Feed Types in Water Flow Through System. World Journal of Fish and Marine Sciences 4 (3): DOI: /idosi.wjfms Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.) 141

75 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Yi, Yang A Bioenergetics growth model for Nile Nilapia (Oreochromis niloticus) in a cage-cum-pond integrated culture. Fifteenth Annual Technical Report : South East Asia. Pp Pertumbuhan ikan Nila Larasatidi Tambak dengan Pemberian Ransum Pakan (Ali Djunaedi et al.)

76 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen dan Hubungannya dengan Organisme Dasar di Perairan Tugu Semarang Chrisna Adhi Suryono Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang chrisna Abstract The concentrations of metals in the marine sediment were found in coatal areas of Tugu Semarang. Three metals (Cr, Pb and, Cu) has found in coastal areas in research area. Shingly significantly those heavy metals have significantly influences on the abundance and diversity of benthic organisms. That has been proved by regression test which number of r= 0,99 on abundance and r= 0,92 on diversity. The increasing of heavy metals concentration will following of the number of abundance and diversity of benthic organisms in that area. Keywords: Metals, sediment,benthick organisms Abstrak Konsentrasi logam berat telah ditemukan dalam sedimen laut ut di daerah pesisir Tugu Semarang. Tiga logam berat seperti (Cr, Pb, dan Cu) telah ditemukan di lokasi penelitian. Secara nyata terlihat bahwa logam tersebut berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragaman organisme dasar perairan. Hal tersebut dibuktikan dengan regresi berganda antara kelimpahan organisme dengan logam berat dalam sedimen dengan nilai r = 0,99, sedangkan hubungan antara keanekaragaman dengan dengan logam berat dalam sediemen dengan nilai r = 0,92. Peningkatan konsentrasi logam berat dalam sediiemen akan diikuti penurunan kelimpahan dan keanekaragaman organisme dasar perairan. Kata Kunci: Logam berat, sedimen, organisme dasar PENDAHULUAN Semarang selama 30 tahun terakir telah berkembang dengan cepat bayak lahan telah berubah fungsi menjadi area pemukiman dan industri (Suryono, et al., 2008 dan Suryono, 2016). Tambak dan rawa pantai di sekitar kota Semarang banyak diuruk untuk kepentingan industri maupun pemukiman (Suryono, 2016). Daerah baru tersebut relatif belum stabil kondisi kimiawinya dimana airtanah masih payau dan masukan polutan baik dari tanah reklamasi yang menjadi sedimen di dasar perairan (Suryono, 2016). Wulft et al (1997) mengatakan sedimen pada perairan dangkal di daerah pesisir sangat produktip karena mengandung bayak bahan organik dari hancuran vegetasi dan berbagai mikro alagae. Namun tidak hanya bahan organik saja yang megendap dalam sedimen namun berbagai mineral dan logam berat juga mengendap. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa reklamasi memberi efek buruk pada lingkungan karena terjadinya reaksi kimiawi atantara pore water dan sedimen di kawasan reklamasi tersebut yang berdampak buruk pada lingkungan pesisir (Pagliai et al., 1985; Hall, 1989; Smith et al., 1995). Sedimen laut banyak dipercaya bertindak selaku filter bagi banyak logam yang berasal dari daratan sebelum menetap di dasar laut dan mengakumulasinya (Tam and Wong, 2000; Yu et al., 2000; Morillo et al., 2004). *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

77 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Akumulasi logam berat dalam sedimen laut seharusnya menjadi perhatian karena beberapa jenis logam akan menjadi sumber kontaminan bila karakteristik kimiawi fisik lingkungan terjadi perubahan. Markiewicz-Patkowska et al. (2005) menginformasikan dalam penelitian di laboratorium menunjukan penyerapan dan pelepasan metal tanah ke dalam meterial tanah menjadi solusion (belum terlarut). Simpson et al (2004) menginformasikan pergerakan metal di sedimen ke dalam airtanah di daerah estuarine/ pesisir sangat di pengaruhi dan dikontrol oleh ph dan salinitas air. Kawasan pesisir Tugu Semarang merupakan daerah yang masih tersisa lahan pasang surut yang dipergunakan untuk tambak (Suryono, 2016). Perbatasan sebelah barat kawasan tersebut adalah komplek industri kayu lapis sedangkan perbatsan sebelah timur adalah daerah bandara dan reklamasi Marina sedangkan sebelah selatan berupa pemukiman dan darah industri (Suryono, 2016). Melihat kondisi tersebut dimana perairan terebut masih dimanfatkan untuk usaha dudidaya maupun perikanan tangkap. Dengan peningkatan industri, pemukiman yang juga mengalirkan pembuanganya kelaut. Ditambah oleh peningkatan aktivitas reklamasi di daerah pesisir tentunya akan memberi dampak pada organisme dasar perairan yang ada di daerah Tugu Kota Semarang. Sebagian besar penelitian yang dikakukan di perairan Semarang terfokus pada jenis jenis logam berat yang ada belum mengkaitkan kontaminasi sedimen oleh logam berat dan hubungannya dengan organsime dasar perairan. Maka dalam penelitian ini bertujuan mencari kaitan antara logam berat dalam sedimen laut terhadap organisme dasar di perairan Tugu Semarang. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sedimen laut dan organisme dasar yang diambil dari dasar perairan Tugu Semarang. Sampel sedimen dan organisme dasar laut diambil pada lima titik di perairan. Sampel sedimen dan organisme dasar diambil dengan mengunakan ekman grab. Pengulangan pengambilan sample dilakukan sebanyak tiga kali. Sampel yang diambil berupa sedimen dan organisme dasar laut pada kelima titik tersebut untuk diamati kandungan logam berat dari jenis Chromium (Cr), Lead (Pb) dan Cuprum (Cu) serta organisme dasar perairan. Sampel yang berupa sedimen laut yang didapat dianalisa di laboratorium untuk menentukan kandungan logam berat dengan menggunakan alat AAS (Atomic Absorption Spectophotometry). Sampel sedimen yang diambil dikeringkan pada suhu 80 o C selama 2 hari kemudian dihancurkan dan dilarutkan dengan KNaCO3 dan HCl. Prosedur analisa kandungan logam berat dalam sediment dan air meliputi proses destruksi dan penentuan kadar logam berat didalamnya. Prosedur analisa mengacu pada Greenberg, et al. (1985) dan Galanopoulou (2005). Organisme dasar leut yang didapat diidentifikasi berdasar Fauchald (1977), Arnold dan Birtles (1989), Edmonds (2000), dan Glasby dkk (2000). Selanjutnya dihitung kelimpahanya (Bakus, 1990) maupun keanekaragamananya (Krebs, 1985). Parameter kunci yang diukur pada air adalah Oksigen terlarut dan salinitas dilakukan secara in-situ dengan menggunakan portable electronic instruments (Horiba). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukan bahwa sedimen yang berasal dari dasar palut daerah Tugu Semarang terkontaminasi oleh loham berat Cr Pb dan Cu. Hasil pengeamatan terhadap logam berat Cr, Pb dan Cu terdapat perbedan diantara kelima stasiun pengamatan. Secara umum konsentrasi logam berat dalam sedimen biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada di dalam air, meskipun dala artikel ini logam berat dalam air tidak di tampilkan. Appelo, & Postma (1996) menyatakan 144 Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen (Chrisna Adhi Suryono)

78 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gambar 1. Lokasi penelitian di wilatah perairan Tugu Semarang tingginya logam berat dalam sedimen dibandingakan dengan di dalam air dikarenakan penyerapan sedimen terhadap partikel partikel logam lebih dominan karena logam mempunyai kecenderungan untuk berikatan dengan hidroksida dan bahan organik dalam sedimen. Banyak penelitian menyatakan bahwa banyak logam berat perakumulasi dalam sedimen di perairan laut. Galapoulou & Vgenopoulus (2009) menginformasikan tingginya Cd, Zn, Pb, Cr, Cu, Mn, As dan Se dalam sedimen di pelabuhan Keratsini Yunani. Ong & Din (2001) polusi logam berat telah menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan di wilayah pesisir Malaysia. Adapun hasil pengamatan logam berat dapat dilihat dalam Gambar 2. Organisme dasar yang ditemukan terdisri dari kelas Bivalvia: Anadara sp, Tellina sp, Siliqua sp; kelas Gastropoda : Hebra sp, Turriella sp, Neritopsis sp, Fusinus sp, Cheritidea sp, Nassarius sp, Polinices sp, Rhinochavis sp, Nassarius sp, Fusinus sp; Kelas Polychaeta: Pionosyllis sp, Torrea sp Kelas Ophiurida: Ophioneresis sp Hasil penelitian menunjukan bahwa kelimpahan dan keanakeragaman terbedar terdapat pada stasiun tiga untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 3 dibawah ini. Dari gambar tersebut terlihat bahwa keanekaragaman semakin meningkat bila kelimlahan juga meningkat. Hasil uji regresi menunjukan bakwa kedua penigkatan kelimpahan akan selalu diikuti oleh peningkatan keanekaragaman biota yang ada dengan hubungan keeratan (r= 0.79). Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat dilihat dalam Gambar 4 dibawah ini. Hasil analisa hubungan antara logam berat dengan kelimpahan organisme dasar menunjukan adanya hubungan semakin meningkat konsentrasi logam berat dalam sedimen akan diikuti Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen (Chrisna Adhi Suryono) 145

79 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): penurunan kelimpahan organisme dasar dengan hubungan keeratan (r=0,99) dengan persamaan regresi Y= Cr Pb Cu. Sedangkan hubungan logam berat dalam sedimen dengan keanekaragaman menunjukan hal yang sama. Semakin tinggi kandungan logam berat dalam sedimen akan semakin kecil nilai keanekaragamanya dengan hubungan keeratan (r=0,92) dengan persamaan regresi Y= Cr Pb Cu. Untuk lebih jelasnya hubungan logam berat dalam sedimen dengan kelimpahan dan keanegaragaman biaota dasar dapat dilihat dalam Gambar Konsentrasi (ppm) Cr Pb Cu Stasiun Gambar 2. Rata Rata konsentrasi logam berat dalam sedimen laut di perairan Tugu Semarang Kelimpahan Kelimpahan Diversity Stasiun Kelimpahan Diversity Diversisy Gambar 3. Hubungan kelimpahan jenis dan keanekaragaman jenis organisme dasar di perairan Tugu Semarang 146 Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen (Chrisna Adhi Suryono)

80 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Diversity y = x R 2 = r= Kelimpahan Gambar 4. Regresi kelimpahan organisme dan keanekaragaman jenis organisme dasar di perairan Tugu Semarang Matrix Plot of Kelimpahan vs Cr, Pb, Cu Matrix Plot of Diversity vs Cr, Pb, Cu Kelimpahan Diversity Cr 12 Pb 4 8 Cu Cr 12 Pb 4 8 Cu 12 Gambar 5. Matrik hubugan kelimpahan, keanekaragaran dengan logam berat Cr, Pb dan Cu dalam sedimen di perairan Tugu Semarang Karena kurangnya informasi penelitian pengaruh logam berat dan organisme dasar yang ada di Semarang maka sebagai pembanding di gunakan informasi dari barbagai area. Watling (1978) dan Ong & Din (2001) menginformasikan bahwa kerang Anadara akan mati pada konsertarasi Cu=0,31 ppm, Cd=1,86 ppm dan Zn=3,61. Dari informasi tersebut dapat diketahui daya racun Cu > Cd > Zn. Sehingga adanya logam Cu di sedimen perairan Tugu Semarang sebesar 1,7 11,91 ppm diduga yang menyebabkan sedikitnya organisme dasar di perairan tersebut karena mengalami kematian. Tingginya konsentrasi logam berat Pb (23,6 203,3 ppm), Cu (7,2 602,7 ppm) dan Cr (46,5 124,3 ppm) juga ditemukan di teluk Jiaozhou Cina Utara juga menimbulkan permasalahan pada biota yang ada maupun permasalahan lingkungan (Deng et al, 2010) Dengan keberadaan logam berat Cr, Pb dan Cu dalam sedimen Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen (Chrisna Adhi Suryono) 147

81 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): tersebut yang menyebabkan rendahnya keanekaragaman dan kelimpahan organisme dasar perairan. Pengaruh logam berat dalam sedimen yang menimbulkan dampak pada organisme dasar baik binatang maupun tumbuhan juga terjadi di Laut Tengah Mesir (Abdallah & Abdallah, 2008). Hal tersebut juga diperparah dengan adanya perubahan ph dalam sedimen yang mengarah ke kondisi asam yang menyebabkan semakin reaktifnya logam berat demikian juga peningkatan salinitas juga dapat menyebabkan daya racun lolam berat meningkat, hal ini senada dengan pernyatan (Jiao et al. 2001) and (Jiao, 2002). KESIMPULAN Logam berat Cr, Pb dan CU dalam sedimen berpengaruh pada kelimpahan. Peningkatan konsentrasi logam berat dalam sediiemen akan diikuti penurunan kelimpahan dan keanekaragaman organisme dasar perairan. DAFTAR PUSTAKA Abdallah, M.A.M and Abdallah, M.A, , Biomonitoring study of heavy metals in biota and sediments in the South Eastern Coast of Mediterranean Sea, Egypt. Environ. Monit. Assess, 146: Appelo, C.A.J and D. Postma Geochemistry, groundwater and pollution. A.A. Balkema. Rotterdam. P:536. Arnold, P.W and Birtles, R.A Sedimen marine invertebrates of Southeast Asia and Austalia. A guide to identification. Australian Institute of Marine Science. Townsvill. 272 p Bakus, G.J Quantitative ecology and marine biology. Oxford and IBH Publishing Company. New Delhi. 157 p Deng, B., Zhong, J., Zhong, G. And Zhou, J., 2010., Enhanced anthropogenic heavy metal dispersal from tidal disturbance in Jinzhou Bay, Noth China. Environ Monit Assess, 161: Edmonds, S.J., 2000., Phylum Sipuncula In Polychaeta and Alies. CSIRO Publishing Australia. Auatralia pp Fauchald, K., 1977., The Polychaetea worms definitions and keys to the orders, family and genera. Natural History Museum of Los Angles County. Los Angles. 188 p. Galanopoulou, S and Vgenopoulos, A., 2009., Anthropogenic heavy metal pollution in the surficial sediments of the Keratsini Harbor, Saronikos Gulf, Greece., Water Air Soil Pollut. 202 ( ) Galanopoulou, S., 2005., Mineralogical and geochemical study of surface sediments of Keratsini harbour. Ph.D Thesis, National Technical University of Athens, Greece. Glasby, G.J., Hutchings, P.A., Fauchald, K., Payton, H., Rouse, G.W., Russel, C.W,. and Wilson, R. S., Class Polychaeta In Polychaeta and Alies. CSIRO Publishing Australia. Auatralia pp Greenberg, A.E., Trussell, R.R and. Clesseri, L.S Standard methods for the examination of water and wastewater. 16 th edition. American Public Health Association, th street NW, Washington, DC Hall, L.A., The effects of dredging and reclamation on metal levels in water and sediments from an estuarine environment off Trinidad, West Indies. Environmental Pollution 56, Jiao, J.J., Preliminary conceptual study on impact of land reclamation on groundwater flow and contaminant migration in Penny s Bay. Hong Kong., Geologist (8): Jiao, J.J., Nandy, S., Li, H.L., Analytical studies on the impact of reclamation on groundwater flow. Ground Water 39 (6), Krebs, C.J Ecology the experimental analysis of distribution and abundance. Harper and Row Publisher. New York. 799 p Markiewicz-Patkowska, J., Hursthouse, A., Przybyla-Kij, H., The interaction of heavy metals with urban soils: sorption behaviour of Cd, Cu, Cr, Pb and Zn 148 Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen (Chrisna Adhi Suryono)

82 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): with a typical mixed brownfield deposit. Environment International 31, Morillo, J., Usero, J., Gracia, I., Heavy metal distribution in marine sediments from Southwest coast of Spain. Chemosphere 55, Ong, E.S and Din, Z.B,. 2001,. Cadmium, Cupper and Zinc toxicity to the clam, Donax faba C., and the blood cockle Anadara granosa L. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 66:86 93 Simpson, S.L., Maher, E.J., Jolley, D.F., Processes controlling metal transport and retention as metal-contaminated groundwaters efflux through estuarine sediments. Chemosphere 56, Smith, J.A., Millward, G.E., Babbedge, N.H., Monitoring and management of water and sediment quality changes caused by a harbour impoundment scheme. Environment International 21 (2), Suryono, C.A, , Polusi logam berat antropogenik (As, Hg, Cr, Pb, Cu dan Fe) pada Pesisir Kecamatan Tugu Kota Semarang Jawa Tengah Suryono, C.A., Rochaddi, B , Arsenic Contamination of the Coastal Aquifer in the North Coast of Java Indonesia, Ilmu Kelautan 13 (1): Suryono, C.A., Sabdono, A., Rochaddi, B and Susanti, B. T., 2007., Physicochemical Characteristic and Heavy Metal Content in Shallow Groundwater of Semarang Coastal Region., Ilmu Kelautan 12 (4): Tam, N.F.Y., Wong, Y.S., Spatial variation of metals in surface sediments of Hong Kong mangrove swamps. Environmental Pollution 110, Watling, H.R., 1978., Effect od cadmium on larvae and spats of the oyster, Crassostrea gigas (Thunberg). Trans roy Soc S Afr, 43: Wulft, A,. Sundback, K,. Nilson, C,. Carlson, B and Jonsson, B., 1997., Effec of sedimen load on the microbenthic community of a shallow water sandy sediment. Estuaries 20(3): Yu, K.T., Lam, M.H.W., Yen, Y.F., Leung, A.P.K., Behavior of trace metals in the sediment pore waters of intertidal mudflats of a tropical wetlands. Environmental Toxicology and Chemistry 19 (30) : Akumulasi Logam Berat Cr, Pb dan Cu dalam Sedimen (Chrisna Adhi Suryono) 149

83 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara Warsito Atmodjo Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang yahoo.com Abstract The dynamics of coastal geomorphology depending on the rock making up the coastal and oceanographic processes that work. Coastal geomorphology dynamic process influenced by oceanographic processes and can result in the accretion process and coastal erosion. This study aims to determine the dynamics of the process of coastal geomorphology and oceanographic factors that influence the process.. This study uses the case with the analysis of dynamics of geomorphological and oceanographic processes that influence in the region penlitian. The research data in the form of tides, currents and sediments in coastal areas. The results of the study be a type of tidal Daily Single with water level Z0 = 55.90; (MSL) cm; (HHWL) = cm; (LLWL) = 0.78 cm. Waves as high as 0.62 meters and wave period 4.1 seconds. The waves come from the Northeast will burst burst as high as 0.81 meters at a depth of 0.78 meters. Breaking waves at an angle of degrees to the shoreline, will result in flow velocity along the coast is 0.98 m / sec.coastal geomorphology consists of rugged coastal hills of volcanic material composed of tuffaceous sand and clastic limestone and non clastics limestone and limestones; type of geomorphologys was coastal flat composed of silty sand; coastal river estuary composed of silty sand; coastal erosion occurs berm erosion. Geomorphology dynamic process influenced by longshore currents that cause abrasion dominant in the study area. Keywords: coastal geomorphology; dinamikai coast; Portuguese fort Jepara Abstrak Dinamika geomorfologipesisirpantai tergantungpada batuan penyusun pesisir pantai dan proses oseanografi yang bekerja. Proses dinamika geomorfologi pesisir pantai di pengaruhi oleh proses oseanografi dan dapat berakibat terjadinya proses akresi dan erosi pesisir. Penelitianinibertujuan mengetahui dinamika proses geomorfologi pesisir pantai dan proses faktor oseanografi yang berpengaruh.. Penelitianinimenggunakan metode kasusdengananalisis dinamika proses geomorfologi dan oceanografi yang berpengaruh di daerah penlitian. Data penelitian berupa pasang surut, arus dan sedimen di wilayah pesisir pantai.hasilpenelitianberupatipe pasang surut Harian Tunggal denganelevasi muka air Z0 = 55,90; (MSL) 69,14 cm; (HHWL) = 135,48 cm; (LLWL) = 0,78 cm.gelombang setinggi 0,62 meter dan periode gelombang 4,1 detik. Gelombang datang dari arah Timur Laut akan pecah pecah setinggi 0,81 meter pada kedalaman sebesar 0,78 meter. Gelombang pecah dengan sudut datang 19,22 derajat terhadap garis pantai, akan mengakibatkan kecepatan arus sepanjang pantai 0.98 m/detik. Geomorfologi pesisir terdiri dari pesisir pantai bukit terjal tersusun material volkanik pasir tufaan dan batugamping klastik dan batugamping non klastik ;pesisir landai/datartersusun pasir lanauan; pesisir pantai muara sungaitersusun oleh pasir lempungan; pesisir pantai erosi terjadi erosi berm. Proses dinamika geomorfologi dipenaruhi oleh arus longshore yang menyebabkan adanya dominan abrasi di daerah penelitian. Kata kunci : geomorfologi pesisir; dinamikai pesisir; benteng portugis Jepara. *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

84 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): PENDAHULUAN Wilayah pesisir dan perairan pantai Benteng Portugis, Kecamatan Donorojo, Jepara merupakan salah satu wilayah wisata yang dikenal masyarakat sebagai wisata Benteng Portugis. Benteng Portugis terletak di pesisir dan perairan pantai yang terletak di lereng sebalah Barat Gunung Muria. Wilayah tersebut secara administrasi pemerintahan Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis merupakan pantai yang didepannya terdapat Pulau Mondoliko. Pesisir pantai Benteng Portugis terdapat beberapa bangunan pantai berupa turap muara sungai, turup pantai terjal dan ada bangunan groin serta pelabuhan nelayan semi alami. Secara astronomis letak lokasi penelitian terletak pada koordinat ,927 E hingga ,601 E dan ,891 S hingga ,57 S (Gambar 1). Proses dinamis pantai sangat dipengaruhi oleh littoral transport. Littoral transport dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu transpor sepanjang pantai (longshore transport) dan transpor tegak lurus pantai (onshore-offshore transport). Material pasir yang ditranspor disebut dengan littoral drift. Pada saat gelombang pecah sedimen di dasar pantai terangkat yang selanjutnya terangkut oleh dua macam gaya penggerak, yaitu komponen energi gelombang dalam arah sepanjang pantai dan arus sepanjang pantai yang dibangkitkan oleh gelombang pecah (Triatmodjo, 1999).Menurut Pettijohn (1975), sedimentasi merupakan proses pembentukan sedimen atau proses menuju terbentuknya batuan sedimen yang diakibatkan oleh pengendapan pada suatu tempat yang disebut lingkungan pengendapan. Proses erosi yang terjadi di pantai akan menimbulkan sedimentasi pada tempat lain karena materi yang tergerus oleh gelombang akan diangkut oleh aliran litoral dan didepositkan di tempat lain, arti aliran litoral tersebut adalah gerakan pasir atau sedimen yang berada di daerah litoral (kawasan pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut). Bambang Triatmodjo,1999, menyatakan bahwa gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Dinamika geomorfologi pesisir pantai yang sangat tergantung oleh stabilitas batuan pesisir dan perairan pantai serta proses hidrooseanografi yang bekerja di wilayah tersebut. Sumber: Peta LPI Lembar Godong Gambar 1. Lokasi Penelitian Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo) 151

85 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan bulan 20 September 2013 sampai bulan 30 Nopember Data dalam penelitian ini meliputi dataoseanografi dan data geomorfologi pesisir.data hoseanografi meliputi data pasang surut dan gelombang.data pasang surut diperoleh dengan cara pengukuran pasang surut menggunakan palm pasang surut sselama 15 hari dan dioleh dengan metode admiraltyakan diperoleh komponen pasang surut. Selanjutnya dari komponen pasang surut dihitung dengan rumus sebagai berikut : MSL=A(So) LLWL=A(So) [A(M2)+A(S2)+A(K1)+ A(O1)+A(P1)+A(K2)+A(M4)+A(MS4)] HHWL=A(So)+[A(M2)+A(S2)+A(K1)+A(O1)+ A(P1)+A(K2) Tipe pasang surut dengan F = (K1 +O1)/K2+S2) Data gelombang datang diperoleh dari data angin dan kelandaian pantai, akan pecah gelombang dengan membentuk sudut terhadap garis menghasilkan arus sepanjang pantai. Longuet-Higgins dalam Komar (1985) menurunkan rumus untuk menghitung arus sepanjang pantai berikut ini: Untuk mencari besar longshore current dapat dilakukan dengan menghitung nilai: Nilai tinggi gelombang pecah (Hb): Hb Ho' 0.56 Ho' Lo 1 5 Kedalaman gelombang pecah (db) : db = Hb 2 ; gt Panjang Gelombang pecah (Lb): Lb T g db Sudut gelombang pecah (αb) sin b sin : o ; Lb L Kecepatan arus sepanjang pantai : V 1.17 g Hb 2 sin b cos b 1 ; dimana: g = percepatan gravitasi bumi (m/detik 2 ); T = periode gelombang (detik); L = panjang gelombang (m); Lo = panjang gelombang di laut dalam (m); d = kedalaman perairan; Hb = tinggi gelombang pecah (m); Ho = tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m); db = kedalaman gelombang pecah (m); Lb = panjang gelombang pecah (m); αb = sudut datang gelombang pecah ( o ); αo = sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam dan garis pantai ( o ); V = kecepatan arus sepanjang pantai (m/detik) Sedangkan data geomorfologi meliputi profil pantai, data sedimen pesisir, geomorfologi pesisir beserta jenis batuan serta data hidrooseanografi.data profil pantai diperoleh dengan cara pengukuran transek mulai dari daratan pantai sampai perairan pantai. Metode penentuan transek pengukuran profil pantai dilakukan dengan dengan menggunkan metode stratified purposive sampling yaitu dengan cara membagi daerah menjadi dua bagian. Bagian yang pertama merupakan transek di wilayah gisik pantai dan bagian kedua adalah perairan pantai. Pada bagian gisik pantai dilakukan pengukuran kedalaman secara manual dengan menggunakan tongkat berskala dengan lebar pantai dibagi 10 transek dengan jarak 100 meter dan lebar panati 200 meter dibagi dengan jarak 25 meter atau 4 transek. Data sedimen dieroleh dari pengambilan sampel sedimen dipesisir dan perairan pantai dengan menggunakan grab sampler dan cor sampler. Data geomorfologi pesisir diperoleh dari pemetaan langsung di wilayah pesisir dengan digitasi wilayah pesisir dengan GPS Garmin tipecx60dengan bantuan peta dasar 152 Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo)

86 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): peta rupa bumi skala 1:25.00 dan peta Lingkungan Pantai Indonesia skala 1 : sedangkan pemerian jenis batuan pada setiap kenampakan morfologi dilakukan dengan pemeteaan jenis batuan pada setiap lokasi observasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pasang Surut Berdasarkan hasil elevasi fluktuasi air laut dapat dilihat pada Gambar 2, sedingkan komponenpasang dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil perhitungan dari elevasi muka air pasang surut, maka diperoleh variabel pasang surut yaitu Nilai Z0 = 55,9055; muka air laut rata-rata (MSL) sebesar 69,14 cm; Air Tinggi Tertinggi (HHWL) sebesar = 135,4796 cm; Air Tertinggi (HWL) = 115 cm; Air Rendah Terendah (LLWL) = 0,7793 cm; Air Terendah (LWL) = 28 cm. Berdasarkan hasil perhitungan tipe pasang surut dengan bilangan Formzal, maka diperoleh nilai bilangan Formzal sebesar 4,28 sehingga tipe pasang surut di daerah penelitian adalah tipe Pasang Surut Harian Tunggal. Tabel 1. Komponen Pasang Surut No Komponen Pasang Surut Amplitudo (cm) 1 S0 69,14 2 M2 7,25 3 S2 2,97 4 N2 0,79 5 K1 34,94 6 O1 8,84 7 M4 0,70 8 MS4 0,52 9 K2 0,80 10 P1 11,53 Gambar 2. Grafik Pasang Surut di daerah Penelitian Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo) 153

87 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gelombang Berdasarkan hasil pengukuran angin diketahui bahwa kondisi angin dominan di daerah penelitian berasal dari Timur Laut menuju Barat Daya (gambar 3). Selanjutnya angin tersebut akan membangkitkan gelombang dengan arah sama dengan arah angin yaitu Timur Laut menuju Barat Daya akan membangkitkan gelombangsetinggi 0,62 meter dan periode gelombang 4,1 detik. Gelombang yang datang dari arah timur akan pecah dengan tinggi gelombang pecah sebesar 0,81 meter dengan kedalaman gelombang pecah dengan dengan tinggi sebesar 0,78 meter. Gelombang pecah dengan sudut datang sebesar 19,22 derajat terhadap garis pantai, sehingga akan mengakibatkan terjadinya kecepatan arus sepanjang pantai kea rah barat dengan kecepatan sebesar 0.98 m/detik. Geomorfologi Pesisir Secara umum kondisi geomorfologi di wilayah pesisir pantai Benteng Portugis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara merupakan daerah dengan geomorfologi di daerah penelitian terbagi menjadi : a. Pantai Bukit Berbatu Geomorfologi Semenjanjung Pantai Bukit Terjal Tererosi dengan ciri-ciri morfologi berupa morfologi semenjang pantai dengan bukit terjal tersusun oleh material volkanik pasir tufaan dan batugamping batugamping klastik maupun non klastik (Gambar 3). Pada tebing pantai terjal tersusun oleh batuan keras, kompak, dengan kekarkekar dan menunjukkan kenampakan tanjung Blunderan yang mengalami abrasi atau erosi akibat aksi gelombang, arus serta fluktuasi air laut pasang surut.. Pesisir pantai tanjung Blunderan nampak bahwa posisi batuan pada tebing terjal dengan ketinggian tertentu diakibatkan energi abrasi ini, bila beda elevasi terlalu besar dan beban tidak dapat tertahan lagi, bagian atas tebing runtuh.kenampakan pesisir panatai berbatu nampak pada bagian mulai bagian tebing terjal dan dedepannya pada perairan pantai terdapat bongkah-bongkah batu hasil runtuhan tebing terjal. Kondisi kenampakan tersebut merupakan petuunjuk bahwa pasisir pantai bukit berbatu dengan tebing terjal sering mengalami runtuh. Gambar 3. Pesisir Pantai Berbatu Terjadi Erosi 154 Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo)

88 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): b. Pesisir Pantai landai Pesisir landai menempati bagian barat dari pesisir pantai bukit berbatu. Peisir ini mempnyai kelerengan landai permukaan halus dan tersusun oleh sedimen lepas pasir lanauan menunjukkan gejala erosi (Gambar 4). Pesisir pantai selalu mengalami agitasi gelombangyang kuat,menyebabkan gejala garis pantai melengkung ke arah barat dari bangunan groin yang telah ada. Sehingga arah aksi arus longshore berasal dari arah barat laut menuju selatan dan berbelok ke arah barat daya. c. Pesisir Pantai Muara Sungai Pesisir Pantai Muara Sungaiditandai dengan kenampakan geomorfologi adanya muara sungai di pesisir pantai. Pesisir tersebut dicirikan dengan kondisi kelerengan landai, adanya muara sungai K. Gelis (Gambar 5). Pesisir panati muara sungai tersusun oleh sedimen pasir lempungan pada bagian tengah sungai dan ditepi kanan kiri tebing sungai berupa pasir lanauan. Bagian pesisir dalam ditandai dataran lahan basah pada mulut sungai dengan sedimen pasir lempungan menunjukkan interaksi proses sedimentasi di bagian tengah sungai akibat energi laut dan energi sungai. Pada muara sungai mengalami pembelokan ke arah barat daya selatan diakibarkan oleh adanya arus longshore yang berasal dari arah Utara. d. Pesisir Pantai Erosi Pesisir Pantai Erosi ditandai dengan adanya gejala geomorfologi pesisir terjadi bekas erosi berm pesisir (Gambar 6 sampai Gamabr 8) Pesisir ini terusun oleh sedimen pasir, menunjukan kenampakan berm tererosi dei depan bekas berm psesisir mengalami pengikis membentul bentkan negatif atau parit dan pada ujung terdapat scarp..erosi pesisir diakibatkan oleh adanya gerak air dalam hal ini bisa berupa arus yang mengikis endapan atau agitasi gelombang yang menyebabkan abrasi pada batuan. Erosi tidak hanya berlangsung di permukaan, namun juga yang terjadi di permukaan sedimen dasar perairan. Erosi maksimum terjadi bila enersi dari agen erosi mencapai titik paling lemah materi tererosi. Erosi yang terjadi pada dasar perairan akan mengubah lereng yang berdampak pada perubahan Gambar 4. Pantai Landai Dan Berpasir Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo) 155

89 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): posisi jatuhnya enersi gelombang pada pantai. Selanjutnya agitasi gelombang dapat merusak titik terlemah dari apapun yang ditemukan dengan enersi maksimal. Pencapaian titik terlemah dapat terjadi bila saat badai dengan gelombang kuat terjadi bersamaan dengan posisi paras muka laut jatuh pada sisi paling lemah, yaitu permukaan rataan pasir pantai. Erosi diperparah bila sedimen sungai yang menjadi penyeimbang tidak cukup mengganti sedimen yang tererosi. e. Sedimen Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan pengambilan sampel sedimen pesisir pantai di daerah penelitian menunjukkan bahwa kondisi sedimen pesisir pantai di daerah penelitian dominan berukuran pasir lanau kerikilan.(gamber 9 dan Gambar 10).Sedangkan sedimen pasir lanau terdapat pada (Gambar 11).Secara umum kondisi pesisir pantai di daerah penelitian tersusun oleh pasir, hal itu menunjukkan bahwa energy yang Gambar 5. Pantai Landai tersusun oleh pasir lempungan Gambar 6. Pantai Erosi tersusun oleh pasir lanauan 156 Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo)

90 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): bekerja di wilayah ini berupa energy cukup besar dari gelombang laut dari arah Timur laut menuju barat daya membentuk arus longshore berarah Timur ke arah barat. Arus longshore ini akan mengakibarkan adanya deposisi atau akresi di bagian timur. Abrasi dan Akresi Pantai Dinamika geomorfologi pesisir dengan adanya tanjung yang tersususn oleh batuan kompak, keras membentuk semenjang Benteng Portugis berfungsi hampir sama adengan bangunan groin yang di bagian di bagian kiri depan semenjung tersebut. Kondisi geomorfologi tersebut dengan adanyagelombang yang datang dari arah timur akan pecah dengan tinggi gelombang pecah sebesar 0,81 meter dengan kedalaman gelombang pecah dengan dengan tinggi sebesar 0,78 meter. Gelombang pecah dengan sudut datang sebesar 19,22 derajat terhadap garis pantai, sehingga akan mengakibatkan terjadinya kecepatan arus sepanjang pantai ke arah barat dengan kecepatan sebesar 0.98 m/detik.gelombang akan bertumbukan denganadnya semenjung Belukan, sehingga akan mengerosi tanjung. Adanya yang datang dari Timur laut Gambar 7. Pantai Erosi tersusun oleh pasir lanauan Gambar 8. Sedimen pasir lanauan Wilyah Pesisir Pantai Erosi Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo) 157

91 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): gelombang yang mengakibatkan arus longshore tersebut pada bagian kanan atau Timur semenjung akan terjadi akresi denganadanya proses deposisi. Sebaliknya sebelah kiri semenjung atau bagian barat akan terjadi erosi. Hal tersebut nampak pada hasil trecking pesisir pantai dan perbandingan peta rupa bumi tahun 2000 sampai tahun 2013 saat penelitian atau selama sepuluh tahun luasabrasi-akresi diketahui bahwa pantai lebih dominan mengalami abrasi. Luas totalpantai yang terabrasi, dari pada akresi pantai.( Gambar 12) Gambar 9. Sedimen pasir lanau kerikilan Wilyah Pesisir Pantai Gambar 10. Sedimen pasir lanau kerikilan Wilyah Pesisir Pantai 158 Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo)

92 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gambar 11. Sedimen pasir lanauan Wilyah Pesisir Pantai EROSI/ABRASI SEDIMENTASI/AKRESI Gambar 12. Daerah Abrasi Dan Akresi Pesisir Pantai KESIMPULAN Kondisi geomorfologi di wilayah pesisir pantai Benteng Portugis, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara dibedakan menjadigeomorfologi semenjanjung pantai bukit terjal Tererosi dengan ciri-ciri morfologi berupa morfologi semenjang pantai dengan bukit terjal tersusun oleh material volkanik pasir tufaan dan batugamping batugamping klastik maupun non klastik ; pesisir landai/datar mempnyai kelerengan landai permukaan halus dan tersusun oleh sedimen lepas pasir lanauan menunjukkan gejala erosi ; pesisir pantai muara sungaiditandai dengan kenampakan geomorfologi adanya muara sungai di pesisir pantai dan pesisir pantai erosi ditandai dengan adanya gejala geomorfologi pesisir terjadi bekas erosi berm. Gelombang yang datang dari arah timur akan pecah dengan tinggi gelombang pecah sebesar 0,81 meter dengan kedalaman Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo) 159

93 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): gelombang pecah dengan dengan tinggi sebesar 0,78 meter. Gelombang pecah dengan sudut datang sebesar 19,22 derajat terhadap garis pantai, sehingga akan mengakibatkan terjadinya kecepatan arus sepanjang pantai kea rah barat dengan kecepatan sebesar 0.98 m/detik.selama periode sepuluh tahun pesisir.dari periode tahun 2000 sampai tahun 2013 pantai daerah penelitian dominan mengalami abrasi dibandingkan akresi. DAFTAR PUSTAKA Folk, F.J Petrology of Sedimentary Rock. Hemphill Pub. And Co Austin. Hutabarat, S. dan S.M. Evans Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta. 159 hlm. Kennet, John, 1985, Marine Geology, John Willey and Sons Inc. New York, 285 hal. Komar, P.D Beach Processes and Sedimentation. Printice Hall, New Jersey. Lisitzin, E Sea-Level Changes. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. McIntyre, A.D and N.A Holme Methods for The Study of Marine Benthos. Blackwel Scientific Publications. Oxford. Pethick, J An Introduction Geomorphology. Chapman and Hall. USA. 245 hlm. Pettijohn, F J Sedimentary Rocks.Harper & Row, Publishers. New York, Evanston, San Fransisco, and London. 640 hlm. Triatmodjo, Bambang Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. Zheng, J and Hu, J, 2003, Calculation Of Longshore Sediment Transport In Shijiu Bay, International, Conference on Estuaries and Coast, November, 9 Nopember 2003, China 160 Geomorfologi Pesisir Pantai Benteng Portugis (Warsito Atmodjo)

94 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Studi Pendahuluan Hubungan Panjang Berat Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) dari Perairan Semarang Adi Santoso*, Endang Sri Susilo Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Abstract Length-weight relationship study of narrow-barred spanish mackerel (Scomberomorus commerson) from Semarang waters was commenced in October-November The result showed that the fish growth at both the months of October and November 2014 was a negative allometric growth. There was uncertainty to answer the low value for b component during November although at this month was a peak of the fish catching at Java Sea. Due to small fish landed, it indicated that narrow-barred Spanish mackerel of Semarang waters were not proper to be caught. Keywords : narrow-barred Spanish mackerel, length-weight relationship, allometric growth Abstrak Studi hubungan panjang-berat ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) dari perairan Semarang sudah dilakukan selama bulan Oktober dan November Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tenggiri selama bulan Oktober maupun November 2014 adalah bersifat allometrik negative. Tidak diketahui dengan pasti penyebab kecilnya nilai b terutama pada bulan November, meskipun pada periode tersebut merupakan salah satu puncak musim penangkapan ikan tenggiri di Laut Jawa. Kecilnya ukuran ikan yang didaratkan, menunjukkan bahwa ukuran ikan tenggiri di perairan Semarang belum layak tangkap. Kata kunci: ikan tenggiri, hubungan panjang-berat, pertumbuhan allometrik PENDAHULUAN Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson)merupakan jenis ikan yang tergolong ekonomis penting dan menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia. Ikan epipelagis dan bersifat migratory ini penyebarannya mencakup seluruh wilayah Pasifik Barat dari Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke perairan Indonesia, Australia,dan Fiji ke utara sampai ke perairan China dan Jepang (McPherson, 1993). Spesies ikan ini menyukai habitat dangkal di continental shelf terutama dikaitkan dengan keberadaan terumbu karang sampai kedalaman m (McPherson, 1985; Myers, 1991). Ikan tenggiri juvenile dan masih muda hidup dalam gerombolan kecil, sedangkan yang sudah dewasa sebagai individual (Collette, 2001). Menurut Widodo & Burhanuddin (2003), salah satu sumberdaya perikanan yang telah lama dieksploitasi di perairan Laut Jawa adalah ikan dari suku scombridae termasuk didalamnya jenis ikan tenggiri (Scomberomorus commerson), tongkol komo (Euthynnus affinis), maupun kembung (Rastrelliger brachisoma). Khusus ikan tenggiri, yang dikenal dalam perdagangan internasional sebagai narrow-barred spanish mackerel, memiliki nilai ekonomis tinggi karena permintaan domestik dan dunia yang terus meningkat dan harga yang semakin *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

95 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): tinggi (Kasim dan Triharyuni, 2014). Pada tahun 2011 produksi perikanan Laut Jawa hanya mencapai ton atau sebesar 16,1% dari total produksi perikanan nasional dimana ikan tenggiri yang didaratkan berkonntribusi sebesar 2,6% dari total pendaratan ikan di utara Jawa. Produksi ini ditunjang unit kapal penangkap ikan yang beroperasi di Laut Jawa atau sekitar 14% dari total jumlah kapal tangkap ikan yang beroperasi di seluruh perairan Indonesia (Statistik perikanan Tangkap, 2013). Hubungan antara panjang-berat sering digunakan untuk mengestimasi biomasa stok ikan tertentu, menghitung indek kondisi dan perubahan-perubahan ontogegeny (Safran, 1992) dan studi pertumbuhan (Moutopoulos and Stergion, 2002). Bahkan, Froese (2006) menyatakan bahwa dengan studi hubungan panjangberat suatu spesies akan lebih menajamkan dalam mempelajari ekologinya. Untuk tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan, pengetahuan berbagai parameter populasi mutlak diperlukan. Dalam konteks ini, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi hubungn panjang-berat dari ikan tenggiri yang ada di perairan Semarang. MATERI DAN METODE Sampel ikan tenggiri tanpa membedakan jenis kelaminnya dikoleksi selama bulan Oktober dan November 2014 dari pengepul di Tambaklorok, Semarang. Pengepul memperoleh ikan dari nelayan yang menangkap ikan di perairan Semarang dan didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tambaklorok Semarang. Panjang ikan (mm) yang diukur adalah panjang total, yaitu panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Berat ikan (g) diukur sebagai berat basah. Analisis data sampel dilakukan dengan mengamati hubungan panjangberat ikan sehingga kita dapat mengetahui pola pertumbuhan ikan, serta berat ikan dapat dianggap sebagai fungsi dari panjangnya (Effendie, 1997): W = a L b Log W = log a + b(log L) Dimana: W = berat ikan L= panjang ikan a dan b = konstanta Aplikasi terbaik dalam hubungan panjang-berat, menurut Ricker (1975) terjadi bila panjang dan berat ikan secara individu diukur dalam waktu beberapa tahun secara berturutan (successive years). Nilai b ditentukan dari plotting logarima berat terhadap logaritma panjang dari sejumlah besar ikan dari berbagai ukuran, maka slope yang dihasilkan merupakan nilai b yang diestimasikan (koefisien regresi). Apabila b = 3 maka dinamakan dengan isometrik yang menunjukkan ikan tidak berubah bentuknya dan pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya. Apabila b < 3 dinamakan alometrik negatif, bila pertumbuhan panjangnya lebih cepat dibandingkan pertumbuhan beratnya, jika b > 3 dinamakan alometrik positif yang menunjukkan bahawa pertumbuhan beratnya lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjangnya (Effendie,1997). HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel ikan yang dikoleksi dari pengepul di Tambaklorok Semarang selama bulan Oktober 2014 sebanyak 28 ekor dan selama bulan November 2014 sebanyak 29 ekor (Tabel 1). Secara umum panjang total ikan tenggiri rata-rata pada bulan Oktober (279, 9 mm) lebih besar dibandingkan bulan November 2014 (254 mm), demikian juga dalam berat basah. Rata-rata berat basah pada bulan Oktober 2014 sebesar 157,2 g, dan pada bulan November 2014 sebesar 129,6 g. Tetapi, variasi penyebaran data lebih besar terjadi pada bulan November Studi Pendahuluan Hubungan Panjang Berat Ikan Tenggiri (Adi Santoso dan Endang Sri Susilo)

96 Berat (g) Berat (g) Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Analisa beda nilai tengah panjang total ikan dengan uju T sampel berpasangan hasilnya berbeda nyata (Sig 0,002<0,05). Hubungan panjang-berat dapat dilihat pada Gambar 1, yang digambarkan dalam matriks scatter plot, dan Gambar 2. Dari total 28 ekor ikan tenggiri pada bulan Oktober didapatkan panjang ratarata 279,9 + 44,84 mm dan berat rata-rata 157, ,03 g. Pertumbuhan S. commerson pada bulan tersebut adalah allometrik negative dengan nilai b terhitung 2,73 (R 2 =0,950). Sedangkan, dari total 29 ekor ikan tenggiri pada bulan November didapatkan panjang rata-rata 254,0 + 78,34 mm dan berat rata-rata 129, ,97 g. Pertumbuhan S. commerson pada bulan November seperti halnya pada bulan sebelumnya, yaitu allometrik negative dengan nilai b terhitung yang lebih kecil lagi sebesar 2,34 (R 2 =0,975). Rendahnya nilai b mengindikasikan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat. Keadaan seperti ini ditunjukkan dengan keadaan ikan yang terlihat lebih langsing, terutama untuk ikan-ikan sampel bulan November. Selama penelitian, untuk bulan Oktober sebetulnya bukan musim penangkapan ikan tenggiri di Laut Jawa, sebab dari bulan Juli sampai Oktober merupakan bulan yang bukan musim ikan tenggiri (Kasim dan Triharyuni, 2014). Sebaliknya, masih menurut Kasim dan Triharyuni (2014) untuk bulan November bersama-sama bulan April merupakan bulan puncak musim penangkapan ikan tenggiri di Laut Jawa, termasuk juga perairan Semarang tentunya. Adanya variasi suhu dan salinitas secara tahunan antara perairan Laut Jawa dan perairan oseanik, akan mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan tenggiri khususnya pada musim peralihan sehingga pada bulan April dan November ikan tenggiri cenderung melimpah sepanjang tahun. Sangat sulit untuk menjelaskan alasan bahwa nilai b nilainya kecil (2,34) saat ikan melimpah. Justru ikan-ikan pelagis besar bermigrasi dengan tujuan mencari makan (Sumadhiharga, 2009), dan ikan tenggiri bermigrasi ditandai dengan melimpahnya makanan (Noegroho, 2013). Tabel 1. Analisa data panjang dan berat basah ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) di perairan Semarang selama bulan Oktober dan November 2014 Bulan n Panjang Total (mm) Rata-rata Standard Deviasi Rata-rata Berat Basah (g) Standard Deviasi Oktober ,9 44,84 157,29 69,03 November ,0 78,34 129,55 110, Panjang Total (mm) Panjang Total (mm) (a) (b) Gambar 1. Matriks scatter plot hubungan panjang-berat ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) di perairan Semarang selama bulan Oktober (a) dan November (b) 2014 Studi Pendahuluan Hubungan Panjang Berat Ikan Tenggiri (Adi Santoso dan Endang Sri Susilo) 163

97 Log Berat Log Berat Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): (a) Y = X R² = Log Panjang Total Y = X R² = Log Panjang Total (b) Gambar 2. Hubungan panjang-berat ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) di perairan Semarang selama bulan Oktober (a) dan November (b) 2014 Dari ukuran panjang tubuh sampel ikan, baik untuk bulan Oktober maupun November, dapat dikategorikan ikan tenggiri yang ditangkap di perairan Semarang berukuran relative kecil dan belum layak tangkap. Ukuran panjang ikan hasil tangkapan dapat digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya ikan tersebut untuk ditangkap dengan mengetahui batasan ukuran panjang ikan tersebut pertama kali matang gonad (length at first maturity). Penelitian Noegroho (2013) menunjukkan bahwa tenggiri matang gonad untuk pertama kali berukuran panjang sekitar 80 cm di perairan Laut Sulawesi, sekitar 75 cm di Laut Jawa, dan sekitar 65 cm di Bangka Belitung. KESIMPULAN Dari hasil analisis hubungan panjangberat S. commerson di perairan Semarang dapat diketahui bahwa pertumbuhan ikan selama bulan Oktober dan November 2014 adalah bersifat allometrik negative. Pengambilan sampel seharusnya selama satu tahun penuh (yearly), sehingga penelitian ini baru merupakan penelitian pendahuluan karena hanya dalam periode waktu 2 bulan yang perlu ditindak lanjuti. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada mahasiswa kami terkasih, Ikhwan Mussadad Cholid, yang membantu di lapangan. Sadad sendiri saat itu sedang disibukkan dengan penyusunan draft skripsinya. DAFTAR PUSTAKA Collette, B.B., Tunas (also, Albacore, Bonitos, Mackerels, Seerfishes and Wahoo). In: FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes: The Living Marine Resources of the Western Central Pacific, Carpenter, K.E. and V. Niem (Eds.). Food and Agricultural Organization, Rome, pp: Collette, B.B. and Nauen, C.E., FAO Species Catalogue. Vol 2. Scombrids of the world and annotated and illustrated catalogue of tunas, Mackerels, Bonitos and related species known to date. FAO Fisheries Synopsis 125(2), 137. Effendie, M. I Metoda Biologi Perikanan, Edisi 1. Yayasan Dewi Sri, Bogor, 112 hlm. Froese, R Cube law, condition factor and weight length relationships: history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology 22 (4): Kasim, K. dan S. Triharyuni Status pemanfaatan dan musim penangkapan ikan tenggiri (Scomberomorus spp.)di Laut Jawa. J. Lit. Perikan. Ind. Vol.20 No. 4: Martin-Smith K.M. (1996). Length/weight relationships of fishes in a diverse tropical freshwater community, 164 Studi Pendahuluan Hubungan Panjang Berat Ikan Tenggiri (Adi Santoso dan Endang Sri Susilo)

98 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Sabah, Malaysia. Journal of Fish Biology, 49: McPherson, G.R., Northern line fishery for mackerels still important. Aust. Fish., 8: McPherson, G.R., Reproductive biology of the Narrow- Barred Spanish Mackerel(Scomberomorus commerson) in Queensland waters. Asian fisheries. Sci.. 6: Moutopoulos D.K., Stergiou K.I Length-weight and length-length relationships of fish species from Aegean Sea (Greece). Applied Ichthyology, 18: Myers, R.F., Micronesian Reef Fishes: A Practical Guide to the Identification of the Coral Noegroho, T Penelitian aspek biologi dan penangkapan ikan tenggiri (S. commerson, Lacepede 1800) di perairan teluk Kuandang, laut Sulawesi. Tesis, Fakultas MIPA Universitas Indonesia, Depok: 82 hlm. Reef Fishes of the Tropical Central and Western Pacific. 2nd Edn., Coral Graphics, Guam,USA.,, Pages: 299. Ricker, W.E Computation and Interpretation of Biological Statistics of Fish Populations. Bulletin of the Fisheries Research Board of Canada 191, Department of Fisheries and Oceans Canada. Ottawa. Safran P. (1992). Theoretical analysis of the weight length relationship in fish juveniles. Marine Biology. 112: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Vol 12. No.1. Studi Pendahuluan Hubungan Panjang Berat Ikan Tenggiri (Adi Santoso dan Endang Sri Susilo) 165

99 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Optimasi Suhu Dan Ph Pertumbuhan Lactococus Lactic Isolat Ikan Kerapu Subagiyo*, Ria Azizazh Tri Nuraeni, Wilis Ari Setyati, Adi Santoso Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Abstract Temperature and ph is one of the environmental factors that influence microbial growth, so it needs to be optimized in order to obtain optimum values for cell production. The experiments were performed using the medium of ROGOSA and Sharpe (MRS). The ph value is set with the addition of 1 N NaOH and 1N HCl to obtain a ph value of 4, 5, 6, 7, and 8. Optimization of temperature performed by incubation at 25, 30, 35 and 40 o C. Bacterial growth was measured by changes in optical density at 600 nm wave-lengh. The results showed that the initial ph of 7 is the initial ph value which produces the most rapid growth, while the initial ph 4 provides the slowest growth. Temperature that produces the most rapid growth is 30 and 35 C while the temperature 40 o C produce the slowest growth. Keywords : Lactococcus lactis, temperature, ph, growth Abstrak Suhu dan ph merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikrobia, sehingga perlu untuk dilakukan optimasi guna mendapatkan nilainilai yang optimum untuk produksi sel. Percobaan dilakukan menggunakan medium deman, Rogosa and Sharpe (MRS). Nilai ph diatur dengan penambahan NaOH 1 N dan HCL 1N hingga diperoleh nilai ph 4, 5, 6, 7, dan 8.. Optimasi suhu dilakukan dengan inkubasi pada suhu 25, 30, 35 dan 40 o C. Pertumbuhan bakteri diukur berdasarkan perubahan optical density pada panjang geliombang 600 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ph awal 7 merupakan nilai ph awal yang menghasilkan pertumbuhan yang paling cepat sedangkan ph awal 4 memberikan pertumbuhan yang paling lambat. Suhu yang menghasilkan pertumbuhan paling cepat adalah 30 dan 35 o C sedangkan suhu 40 o C menghasilkan pertumbuhan yang paling lambat. Kecepatan agitasi yang menghasilkan pertumbuhan paling cepat adalah 100 rpm dan paling lambat 150 rpm. Kata kunci : Lactococcus lactis, suhu, ph, pertumbuhan PENDAHULUAN Lactococcus memiliki status GRAS (generally recognized as safe) sehingga tidak berbahaya untuk kesehatan manusia dan hewan (Nuryshev et al, 2016). Lactococcus adalah bakteri gram positif, mikroaerofilik, homofermentatif, tumbuh pada suhu 10 o C tetapi tidak tumbuh pada suhu 45 o C, menghasilkan L(+) asam laktat dari glukosa. Lactococcus memiliki sel berbentuk bulat tampak secara individual, dalam pasangan atau dalam rantaian (Samaržija et al, 2001). Bakteri dari kelompok ini telah dikembangkan menjadi probiotik. Probiotik memiliki berbagai macam mekanisme kerja seperti produksi bakteriosin dan asam lemak rantai pendek, menurunkan ph saluran pencernaan, kompetisi nutrient dan stimulasi fungsi barrier dan immunomodulasi (Kechagia et al, 2013). L. lactis sebagai probiotik telah dikaji oleh banyak peneliti (Monteagudo-Mera et al, 2012 ; Nuryshev et al, 2016; Gad et al, *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

100 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ; Loh dan Ting, 2016; Nejati dan Oelschlaeger, 2016). Kajian bioproses untuk produk sel memerlukan penentuan nilai-nilai parameter pertumbuhan diantaranya adalah suhu dan ph. Suhu dan ph secara umum merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh pada pertumbuhan bakteri. Setiap spesies bahkan strain dapat memiliki nilai suhu dan ph optimum yang berbeda. Penelitian mengenai suhu dan ph pertumbuhan telah dilaporkan oleh Adamberg et al, (2003), Zaitseva et al, (2004 ). Pada penelitian ini ditentukan pengaruh suhu dan ph terhadap pertumbuhan L. lactis isolat ikan Kerapu. Optimasi suhu Medium MRS dalam erlenmeyer diinokulasi dengan starter isolat yang memberikan OD 0,1 pada A600. Inkubasi pada variasi suhu 25 o C, 30 o C, 35 o C, 40 o C selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan pengukuran OD pada A600. Optimasi ph Medium MRS dalam erlenmeyer diinokulasi dengan starter isolat yang memberikan OD 0,1 pada A600. ph awal medium diatur pada variasi 4, 5, 6, 7 dan 8. Inkubasi selama 24 jam Selanjutnya dilakukan pengukuran OD pada A600. MATERI DAN METODE Media Media yang akan digunakan untuk produksi sel adalah medium MRS (Triptone (10.0 g/l), ekstrak khamir (5.0 g/l), Glukosa (20.0 g/l), K2HPO4 (2.0 g/l), sodium acetate (5.0 g/l), MgSO4-7H2O (0.2 g/l), MnSO4-H2O (0.05 g/l), ammonium sulfat (2.0 g/l), Tween 80 (1ml/l)). Prosedur pengukuran pertumbuhan Pertumbuhan bakteri ditentukan berdasarkan pengukuran OD pada A600. Satu ml kultur BAL disentrifugasi untuk menghilangkan medium, kemudian dicuci dengan akuades steril dan disentrifugasi kembali untuk menghilangkan sisa medium yang masih ada, kemudian diukur OD nya pada A600. Penyiapan kultur Kultur bakteri probiotik yang dipreservasi di dalam larutan gliserol dan skim milk pada suhu -80oC diaktifkan secara bertahap dengan cara memindahkannya ke suhu -20 o C dan suhu 5 o C (suhu refrigerator. Setelah itu baru dipindahkan ke medium MRS cair dan diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam. Selanjutnya dilakukan sub kultur pada medium yang sama dan diinkubasi pada suhu kamar. HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan melalui mekanisme terkait dengan laju reaksi metabolism dan stabilitas konformasi molekul-molekul fungsional. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan energy kinetic rata-rata molekul reaktan sehingga menyebabkan peningkatan laju reaksi. Hal ini berlaku terhadap reaksi metabolisme. Metabolisme merupakan reaksi kimia yang terarah yang berlangsung didalam sel yang dikatalisis oleh enzim, maka reaksi enzimatik dipengaruhi oleh suhu. Suhu berpengaruh terhadap kinetika dan stabilitas molekul enzim (Thomas dan Scopes, 1998), sehingga aktivitas enzim bergantung pada suhu (Peterson et al, 2007). Menurut Daniel et al (2008) ada 2 hal terkait dengan pengaruh suhu terhadap enzim yaitu energy aktivasi dan stabilitas thermal. Pengaruh terhadap metabolisme selanjutnya akan berpengaruh pada pertumbuhan. Membre et al (2005) telah mengkaji pengaruh suhu terhadap laju pertumbuhan berbagai bakteri yaitu Listeria monocytogenes, Salmonella, Escherichia coli, Clostridium perfringens and Bacillus cereus. Suhu optimum untuk pertumbuhan bervariasi antar spesies. Pertumbuhan L. lactis pada penelitian ini bervariasi bergantung suhu Optimasi Suhu Dan Ph Pertumbuhan Lactococus Lactic Isolat Ikan Kerapu (Subagiyo et al.) 167

101 OD600 OD600 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): inkubasi. Berdasarkan hasil pengukuran (Gambar 1) tampak bahwa ke tiga isolat L.lactis menunjukkan pertumbuhan yang baik pada rentang nilai suhu o C dan menunjukkan pertumbuhan yang lambat ada suhu 40 o C. Suhu optimum yang berbeda pada tingkat strain menunjukkan adanya variabilitas pada tingkat strain. Fenomena ini telah direview oleh (Lianou dan Koutsoumanis, 2013). Ahmed et al (2006) melaporkan suhu optimum untuk pertumbuhan L. lactis o C dan Aslam et al, (2012) melaporkan 37 C. Nilai suhu bervariasi antar spesies ditunjukkan antara lain oleh Lactobacillus curvatus LTH 1174 memiliki suhu optimum 34.5 o C (Messens et al. 2003), Streptococcus macedonicus ACA-DC ,3 o C (Van den Berghe et al (2006)). Variasi intraspesies ditunjukkan oleh laporan Calderón-Santoyo et al (2001) bahwa Pediococcus acidilactici ITV 126 memiliki suhu optimum untuk pertubuhannya 40 o C., sedangkan Zhang et al (2012) melaporkan bahwa suhu optimum untuk pertubuhan P. acidilactici PA003 adalah 35 o C KEPADATAN LC-01 LC-02 LC-03 Suhu (oc) Gambar 1. Pertumbuhan L.lactis pada berbagai nilai suhu KEPADATAN SEL LC-01 LC-02 LC-03 ph Gambar 2. Pertumbuhan L. lactis pada berbagai nilai ph 168 Optimasi Suhu Dan Ph Pertumbuhan Lactococus Lactic Isolat Ikan Kerapu (Subagiyo et al.)

102 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ph berpengaruh terhadap pertumbuhan melalui pengaruhnya terhadap derajat ionisasi asam amino basa dan asam. Jika derajat ionisasi asam amino dalam protein berubah maka ikatan ion yang ikut menentukan struktur 3 dimensi protein juga akan berubah. Perubahan struktur protein ini dapat menyebabkan gangguan fungsionalnya. Perubahan pada protein enzim akan menyebabkan perubahan pada pengenalan protein atau inaktivasi enzim. Perubahan ph tidak hanya menyebabkan perubahan bentuk enzim tetapi juga menyebabkan perubahan bentuk dan sifat muatan dari substrat. Sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan bagian aktif enzim atau tidak dapat dikatalisis. Hasil pengukuran pertumbuhan pada berbagai nilai ph awal (Gambar 2) menunjukkan bahwa L. lactic tumbuh baik pada nilai ph awal 7-8, pertumbuhan yang lambat terjadi pada ph asam (4 dan 5). Hasil yang sama ditunjukkan oleh Lactococcus piscium CNCM I-4031 yang memiliki ph optimum pada nilai netral (Leroi et al, 2012). Hal ini berbeda dengan pernyataan O sullivan dan Condon, (1997) bahwa ph optimal untuk pertumbuhan Lactococcus 6.3-6, dan Hofvendahl et al, (1999) melaporkan ph optimum untuk lactococci dan lactobacilli berada di sekitar nilai 6, sedangan Aslam et al, ( 2012) ph optimum pertumbuhan L. lactis adalah 5.0. KESIMPULAN Berdasarkan pertumbuhan (perubah-an optical density /OD600) selama 24 jam menunjukkan L. lactic isolat ikan kerapu tumbuh baik pada rentang nilai suhu o C dan nilai ph awal 7-8. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini Dibiayai dengan sumber dana PNBP DIPA Universitas Diponegoro Nomor : SP DIPA /2016, tanggal 7 Desember 2015, Tahun Anggaran 2016 DAFTAR PUSTAKA Alexandra Lianou, Konstantinos P. Koutsoumanis, 2013,Strain variability of the behavior of foodborne bacterial pathogens:a review, Int. J. Food Microbiol., 167: Ademberg K, Kask S, Laht TM, Paalme T (2003). The effect of temperature and ph on the growth of lactic acid bacteria: a ph-auxostat study. Int. J. Food Microbiol. 85: Ahmed T, Kanwal R, Ayub N (2006). Influence of temperature on growth pattern of Lactococcus lactis, Streptococcus cremoris and Lactobacillus acidophilus isolated from camel milk. Biotechnology, 5(4): Hofvendahl K, Van Niel EWJ, Hahn- Hagerdal B (1999). Effect of temperature and ph on growth and product formation of Lactococcus lactis spp. lactisatcc growing on maltose. Appl. Micobiol. Biotechnol. 51: Kim WS, Ren J, Dunn NW (2001). Assessment of the tolerance of Lactococcus lactiscells at elevated temperatures. Biotechnol. Lett. 23: O sullivan,e., S. Condon, 1997, Intracellular Ph Is A Major Factor In The Induction Of Tolerance To Acid And Other Stresses In Lactococcus Lactis, Appl. Environ. Microbiol., 63: Booth, I. R., 1985, Regulation Of Cytoplasmic ph In Bacteria, Microbiological Reviews, 49: Jeanne-Marie Membré, J,M., B. Leporq, M. Vialette, E. Mettler, L. Perrier, D. Thuault, M. Zwietering, 2005, Temperature effect on bacterial growth rate: quantitative microbiology approach including cardinal values and variability estimates to perform growth simulations on/in food, Int. J. Food Microbiol. 100: Thomas, M.T., K. R. Scopes,1998, The Effects Of Temperature On The Kinetics And Stability Of Mesophilic And Thermophilic 3-Phosphoglycerate Kinases, Biochem. J. 330 : Optimasi Suhu Dan Ph Pertumbuhan Lactococus Lactic Isolat Ikan Kerapu (Subagiyo et al.) 169

103 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Peterson, M.E., R. M. Daniel, M. J. Danson, R. Eisenthal, 2007, The dependence of enzyme activity on temperature: determination and validation of parameters, Biochem. J. 402 : Leroi, F., P. A. Fall, M. F. Pilet, F. Chevalier, R. Baron, 2012, Influence of temperature, ph and NaCl concentration on the maximal growth rate of Brochothrix thermosphacta and a bioprotective bacteria Lactococcus piscium CNCM I-4031, Food Microbiology, 31: Nuryshev, M. Z., L. G Stoyanova and A. I. Netrusov, 2016, New Probiotic Culture of Lactococcus lactis ssp. lactis: Effective Opportunities and Prospects, J Microb Biochem Technol, Volume 8(4): (2016) 290 Gad,S.A., R. M. A. E-Baky, A. B. F. Ahmed and G. F. M. Gad, 2016, In vitro evaluation of probiotic potential of five lactic acid bacteria and their antimicrobial activity against some enteric and food-borne pathogens, African J. Microbiol. Res.10: Monteagudo-Meraa, A., L. Rodrı guez- Aparicioa, J. Ru aa, H. Martı nez- Blancoa, N. Navasaa, M. R. Garcı a- Armestob, M. A. Ferrero, 2012, In vitro evaluation of physiological probiotic properties of different lactic acid bacteria strains of dairy and human origin, J. Funtional Foods. 4: Loh, J.Y.,A.S.Y. Ting, 2016, Effects of potential probiotic Lactococcus lactis subsp. lactis on digestive enzymatic activities of live feed Artemia franciscana, Aquacult. Int. 24: Nejati, F., T. A. Oelschlaeger, 2016, In Vitro characterization of Lactococcus lactis strains Isolated from Iranian Traditional Dairy Products as a Potential Probiotic, Appl. Food Biotechnol. 3 : Zaitseva, S.V., Kozyreva, L.P. & Namsaraev, 2004, The Effect of Temperature and ph on the Growth of Aerobic Alkalithermophilic Bacteria from Hot Springs in Buryatia, B.B Microbiol.73: 372. Adamberg K, Kask S, Laht TM, Paalme T. 2003, The effect of temperature and ph on the growth of lactic acid bacteria: a ph-auxostat study, Int J Food Microbiol. 85: Samaržija,., N. Antunac, J. Luka_ Havranek, 2001, Taxonomy, physiology and growth of Lactococcus lactis: a review, Mljekarstvo 51:35-48, 170 Optimasi Suhu Dan Ph Pertumbuhan Lactococus Lactic Isolat Ikan Kerapu (Subagiyo et al.)

104 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) dengan Sistem Budidaya yang Berbeda Ali Djunaedi, Heri Susilo, Sunaryo Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Abstract Medium rearing of the P. monodon Fabricius seed at the hatcheries usually used closed system and without water changes during culture period, until certain time the water quality could deterioted. The purpose of this research was to understand the effects of recirculation system on the water qualities (total suspended solids, ammonia, ammonium, nitrite and dissolved oxygen) of tiger shrimp (P. monodon Fabricius) seed medium. This research was conducted in the hatchery of Marine Science of Diponegoro University at Teluk Awur. The research used experimental method with two treatments, recirculation and non-recirculation system. Concentrations of total suspended solids (TSS), ammonia, nitrite and dissolved oxygen (DO) were descriptive analyzed. Average concentration on recirculation system of TSS was 0,570 mg/l, ammonia was 0,039 mg/l, nitrite was 0,076 mg/l and DO was 6,00 mg/l. Average concentration on without recirculation system of TSS was 0,983 mg/l, ammonia was 0,09 mg/l, nitrite was 0,2 mg/l and DO was 3,86 mg/l. The resirculation rearing system was improve water quality on tiger shrimp seed medium. Keywords : Water Quality, Recirculation System, Tiger Shrimp (P. monodon Fabricius) Abstrak Budidaya benih udang windu (P. monodon Fabricius) pada bak pembenihan umumnya menggunakan sistem tertutup dan air media tidak diganti, sehingga dalam waktu tertentu dapat terjadi penurunan kualitas air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kualitas air (MPT, amonia, amonium, nitrit dan DO) pada pemeliharaan benih udang windu (P. monodon Fabricius) dengan sistem resirkulasi dan tanpa resirkulasi. Penelitian dilakukan di Marine Center, Jurusan Ilmu Kelautan, Teluk Awur, Jepara. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan dua perlakuan yaitu penggunaan sistem resirkulasi dan tanpa resirkulasi. Data konsentrasi material padatan tersuspensi (MPT), amonia, nitrit, oksigen terlarut (DO), ph dan suhu selama penelitian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sistem resirkulasi konsentrasi rata rata MPT 0,570 mg/l, amonia 0,039 mg/l, nitrit 0,076 mg/l dan DO 6,00 mg/l, sedangkan pada bak tanpa sistem resirkulasi konsentrasi rata rata MPT 0,983 mg/l, amonia 0,09 mg/l, nitrit 0,2 mg/l dan DO 3,86 mg/l. Sistem resirkulasi mampu memperbaiki kualitas air media pemeliharaan benih udang windu. Kata kunci: Kualitas Air, Sistem Resirkulasi, Udang Windu (Pennaeus monodon Fabricius). PENDAHULUAN Budidaya udang windu masih menjadi tumpuan harapan bagi petani tambak di berbagai wilayah pesisir Indonesia, baik melalui usaha budidaya berpola tradisional, semi intensif, maupun intensif. Dengan makin banyaknya petani tambak yang mengembangkan usahanya dalam produksi udang ini, maka *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

105 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): kebutuhan akan benih udang juga semakin meningkat. Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani tambak dalam budidaya udang adalah tingginya kematian benih udang sewaktu penebaran di tambak. Hal ini terjadi karena benih yang ditebar ukurannya terlalu kecil, dimana benih dari hatchery atau bachyard langsung ditebar ke tambak (Budiarti dkk, 2005). Untuk itu, setiap saat harus tersedia benih berkualitas yang dibutuhkan oleh pembudidaya dalam jumlah yang cukup, sebab dengan menebar benih yang berkualitas dan ditunjang dengan lingkungan budidaya yang baik akan diperoleh tingkat produksi yang diharapkan (Hendrajad dan Pantjara, 2012). Disamping itu pula lokasi hatchery yang cukup jauh dari areal pertambakan, sehingga benih udang tidak tahan terhadap perubahan lingkungan yang mendadak seperti perubahan kualitas air, diantaranya suhu, salinitas dan parameter kualitas air lainnya yang bersifat fluktuatif. Salah satu cara untuk menekan tingkat kematian benih udang yang tinggi sebelum ditebar ke tambak adalah dengan sistem pentokolan yaitu memelihara benih udang selama periode tertentu pada bak dengan kondisi kualitas air yang terkontrol. Pengontrolan kualitas air ini dilakukan supaya persyaratan hidup benih udang windu secara optimal bisa terpenuhi yaitu dengan mengatur sirkulasi air. Tujuan sistem ini adalah menghasilkan benih udang windu yang mempunyai kemampuan hidup yang tinggi, sehingga kelangsungan dan pertumbuhannya setelah ditebar di tambak akan baik (Hendrajad, 2008). Pemeliharaan pada benih udang umumnya menggunakan sistem tertutup dan selama pemeliharaan benih umumnya air media pemeliharaan tidak diganti. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas air media yang pada akhirnya dapat mengganggu atau membahayakan kehidupan benih udang yang dipelihara. Kualitas air cenderung semakin jelek sebanding dengan lamanya waktu budidaya karena terjadi kenaikan input pakan dan pertambahan berat udang. Kenaikan input pakan dan pertambahan berat udang tersebut selanjutnya akan meningkatkan konsentrasi bahan organik dan faeses di dalam media pemeliharaan. Hal ini akan meningkatkan pelepasan senyawa senyawa yang bersifat toksik dan membahayakan udang yang dipelihara, seperti amonia dan nitrit (Furwoko, 2001) Optimalisasi produksi benih udang perlu diupayakan melalui penggunaan sistem yang efektif untuk mengatasi memburuknya kualitas air media. Salah satu cara yang memungkinkan dalam mengatasi turunnya kualitas air yaitu menggunakan sistem resirkulasi dengan menerapkan berbagai komponen filter dan penyerap bahan organik baik dalam air maupun dasar bak pembenihan (Kaul, 1987). Prinsip metode ini yaitu dengan memanfaatkan kembali air yang sudah digunakan dalam budidaya untuk disaring atau difilter dan kemudian dimanfaatkan kembali dalam kegiatan budidaya tersebut. Penggunaan sistem resirkulasi tersebut diharapkan mampu mengembalikan kondisi kualitas air bekas pakai semaksimal mungkin kembali ke kondisi awalnya (Sumantadinata et al., 1986). Selain itu, dengan penggunaan sistem resirkulasi tersebut diharapkan juga mampu menyerap bahan pencemar atau bahan organik dalam air buangan sehingga akan mampu mengurangi konsentrasinya dalam media. Pengaruh penggunaan sistem resirkulasi terhadap perbaikan kualitas air media budidaya dan pengurangan senyawa beracun belum banyak diterapkan di dalam pemeliharaan benih udang, dengan demikian sangat perlu adanya penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan sistem resirkulasi terhadap kualitas air media pemeliharaan benih udang windu (P. monodon Fabricius). MATERI DAN METODE Hewan uji dalam penelitian ini berupa benih udang windu (P. monodon Fabricius) yang diperoleh dari Balai Besar 172 Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Ali Djunaedi et al.)

106 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Benih yang digunakan sebanyak 9600 dengan berat rata-rata 0,030 ± 0,001 g. Jenis pakan yang digunakan yaitu pakan pellet dengan kandungan protein 42%, lemak 5% dan serat 3%. Benih uji diberi pakan sebanyak 10% dari biomassa. Pemberian pakan diberikan 3 kali sehari. Wadah penelitian berupa bak-bak beton yang berjumlah 2 buah dengan ukuran 2,5 x 1,7 x 1,5 m yang terdapat pada laboratorium pembenihan kampus Ilmu Kelautan. Sistem resirkulasi yang digunakan sebagai perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari protein skimmer dan filter karbon aktif yang menggunakan bahan arang tempurung kelapa. Penggunaan arang tempurung kelapa tersebut diharapkan mampu menyerap bahanbahan sisa metabolit maupun sisa pakan yang terdapat dalam bak yang dapat menurunkan kualitas air. Pengaktifan bahan karbon dilakukan menggunakan oven dengan suhu C selama 70 menit (Hartoko, 1995). Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Penelitian menggunakan dua perlakuan, meliputi: pemeliharan benih dengan penerapan sistem resirkulasi (A) dan pemeliharaan benih tanpa penerapan sistem resirkulasi (B). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : muatan padatan tersuspensi (MPT), amonia (NH3 - N), amonium (NH4 + - N), nitrit (NO2 - N), oksigen terlarut (DO), salinitas, derajat keasaman (ph) dan suhu. Pengukuran kualitas air meliputi suhu, salinitas serta ph dilakukan setiap hari, sedangkan untuk pengukuran MPT, DO, nitrit, amonia dan amonium diukur satu minggu sekali selama 6 minggu penelitian. Penentuan konsentrasi oksigen terlarut menggunakan metode Winkler dan penentuan konsentrasi amonia, amonium dan nitrit menggunakan metode spektrofotometrik, sedangkan penentuan konsentrasi padatan tersuspensi (MPT) menggunakan metode gravimetri. Data konsentrasi MPT, amonia, nitrit, amonium, oksigen terlarut (DO), salinitas, ph dan suhu selama penelitian dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN MPT (Material Padatan Tersuspensi) Perlakuan penggunaan sistem resirkulasi maupun tanpa sistem resirkulasi di dalam pemeliharaan benih udang windu pada tiap minggu menunjukkan adanya perubahan nilai konsentrasi MPT pada masing-masing perlakuan. Konsentrasi MPT pada bak resirkulasi cenderung menurun selama penelitian, sedangkan pada bak tanpa resirkulasi cenderung menaik setiap minggu selama penelitian. Konsentrasi MPT selama penelitian pada bak resirkulasi lebih rendah daripada konsentrasi MPT pada bak tanpa resirkulasi selama penelitian. Nilai konsentrasi MPT pada bak yang menggunakan sistem resirkulasi pada minggu pertama mencapai 0,796 mg/l, dan pada minggu ke enam 0,316 mg/l. Sedangkan nilai konsentrasi MPT pada bak tanpa sistem resirkulasi pada minggu pertama mencapai 0,816 mg/l, pada minggu ke enam 1,350 mg/l (Gambar 1). Data konsentrasi MPT yang terukur selama penelitian adanya perbedaan konsentrasi MPT pada kedua perlakuan (Gambar 1). Perbedaan konsentrasi tersebut disebabkan oleh perbedaan system budidaya yang digunakan. Hal tersebut diduga dengan sistem resirkulasi penggunaan filter karbon aktif dan protein skimmer mampu mengurangi MPT yang membahayakan benih udang windu yang diakibatkan oleh sisa-sisa pakan maupun sisa hasil metabolisme yang mengendap di dasar bak. Wheaton (1977) menyatakan bahwa fungsi karbon aktif dan protein skimmer dalam pengurangan bahan organik yaitu melalui proses penyerapan bahan organik yang dilakukan oleh karbon aktif mengadsorpsi bahan organik sehingga jumlahnya dapat berkurang. Sedangkan protein skimmer mengadsorpsi melalui kontak antara air dan udara dengan menggunakan Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Ali Djunaedi et al.) 173

107 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): gelembung gelembung yang dihasilkan 1.6 oleh aerasi sehingga kotoran tersebut MPT (mg/l) Resirkulasi Tanpa resirkulasi Minggu Gambar 1. Diagram batang konsentrasi MPT (mg/l) pada air media pemeliharaan benih udang windu (P. monodon Fabricius) dengan sistem resirkulasi dan tanpa resirkulasi dapat terangkat dan dibuang di tempat penampungan kotoran pada protein skimmer. Hartoko (1995) menyatakan bahwa filter karbon aktif mampu mengurangi partikel padatan dalam air melalui proses adsorpsi, yaitu proses terkonsentrasinya molekul molekul adsorpbat (zat yang akan diserap) ke permukaan karbon aktif sehingga akumulasi bahan organik dalam air media pemeliharaan dapat berkurang. Sedangkan pada bak tanpa sistem resirkulasi, terjadi akumulasi bahan organik di dasar bak yang disebabkan oleh sisa pakan yang tidak termanfaatkan dan feses udang. Proses akumulasi tersebut akan mempengaruhi konsentrasi MPT dalam bak pemeliharaan sehingga konsentrasi MPT pada bak tanpa sistem resirkulasi lebih tinggi daripada bak dengan sistem resirkulasi. Konsentrasi MPT pada minggu pertama sampai pada minggu ke empat pada bak resirkulasi mengalami tingkat penurunan yang signifikan tetapi mulai pada minggu ke lima sampai minggu ke enam, penurunan yang terjadi tidak signifikan. Hal ini diakibatkan oleh proses adsorpsi yang dilakukan oleh karbon aktif yang mulai tidak optimal. Hal tersebut diduga disebabkan oleh proses adsorpsi yang dilakukan secara terus menerus oleh karbon aktif mengakibatkan adanya penumpukan partikel pertikel padatan bahan organik pada pori pori karbon aktif sehingga proses adsorpsi berkurang. Hal ini mengakibatkan bahan organik dapat lolos dan kembali ke media pemeliharaan. DO (Oksigen Terlarut) Perlakuan penggunaan sistem resirkulasi maupun tanpa sistem resirkulasi di dalam pemeliharaan paska larva udang windu pada tiap minggu menunjukkan adanya perubahan nilai konsentrasi oksigen terlarut pada masingmasing perlakuan. Diagram batang konsentrasi DO menunjukkan bahwa pada bak resirkulasi, konsentrasi DO cenderung lebih tinggi dibandingkan pada bak tanpa resirkulasi selama penelitian. Nilai konsentrasi oksigen terlarut pada bak tanpa system resirkulasi pada minggu pertama mencapai 6,18 mg/l, dan pada minggu ke enam 3,40 mg/l. Sedangkan konsentrasi oksigen terlarut pada bak yang menggunakan sistem resirkulasi pada minggu pertama mencapai 6,34 mg/l, pada minggu ke enam 5,60 mg/l. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang terukur selama penelitian menunjukkan konsentrasinya pada bak 174 Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Ali Djunaedi et al.)

108 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): resirkulasi lebih tinggi dibandingkan pada bak tanpa resirkulasi (Gambar 2) DO (mg/l) Resirkulasi Tanpa resirkulasi Minggu Gambar 2. Diagram batang konsentrasi oksigen terlarut (mg/l) pada air media pemeliharaan benih udang windu (P. monodon Fabricius) dengan sistem resirkulasi dan tanpa resirkulasi. Perbedaan konsentrasi oksigen terlarut dalam pemeliharaan menggunakan sistem resirkulasi dan tanpa sistem resirkulasi tersebut akibat adanya pergerakan air pada sistem resirkulasi, maka akan memungkinkan terjadinya proses agitasi oksigen dari udara pada saat air mengalir sehingga konsentrasi oksiken akan meningkat. Disamping itu Sistem ini mampu mengurangi akumulasi bahan organik dan senyawa - senyawa toksik yang akan menggunakan oksigen yang terlarut dalam air dalam proses perombakannya. Sebaliknya pada bak tanpa sistem resirkulasi, bahan organik yang berasal dari feses maupun hasil metabolisme serta sisa pakan yang tidak termanfaatkan oleh udang terakumulasi di dasar bak sehingga dapat memicu peningkatan konsentrasi senyawa beracun dalam air media budidaya. Akumulasi bahan organik tersebut dapat menurunkan nilai DO. Penurunan ini terjadi karena DO tersebut digunakan oleh bakteri aerob, yaitu nitrosomonas dan nitrobacter untuk melakukan dekomposisi bahan organik. Sedangkan menurut Lesmana (2004) resirkulasi (perputaran) air dalam pemeliharaan udang sangat berfungsi untuk membantu keseimbangan biologis dalam air, menjaga kestabilan suhu, membantu distribusi oksigen serta menjaga akumulasi atau mengumpulkan hasil metabolit beracun sehingga kadar atau daya racun dapat ditekan. Amonia dan Nitrit Kandungan Amonia, Nitrit, selama penelitian menunjukkan bahwa secara umum kandungannya pada media non resirkulasi selalu meningkat dan lebih tinggi dibandingkan dengan media resirkulasi. Sedangkan pada media resirkulasi pada minggu pertama sampai ke empat mengalami penurunan dan mengalami peningkatan pada minggu kelima sampai akhir penelitian. Data Amonia dan Nitrit yang terukur selama penelitian menunjukkan konsentrasinya pada perlakuan resirkulasi lebih rendah dibandingkan konsentrasi amonia pada bak tanpa resirkulasi (Gambar 3). Perbedaan konsentrasi Amonia dan Nitrit dalam sistem pemeliharaan menggunakan sistem resirkulasi dan tanpa sistem resirkulasi tersebut akibat pengaruh penggunaan filter karbon aktif dan protein skimmer dalam sistem resirkulasi. Sistem ini mampu mengurangi akumulasi bahan organik dan Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Ali Djunaedi et al.) 175

109 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): senyawa-senyawa toksik yang membahayakan paska larva udang windu yang diakibatkan oleh sisa-sisa pakan maupun sisa hasil metabolisme yang mengendap di dasar bak. Disamping itu penurunan kadar ammonia dan nitrit pada system resirkulasi juga diakibatkan oleh aktifitas bakteri yang ada system filter. Kecepatan penurunan tergantung dari permukaan media yang ada serta kecepatan aliran air pada system resirkulasi (Helfrich dan Libey, 1991) Konsentrasi amonia dan Nitrit pada minggu pertama sampai pada minggu ke empat pada bak resirkulasi terus mengalami kecenderungan penurunan, tetapi mulai pada minggu ke lima dan ke enam konsentrasi amonia mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan oleh adanya penumpukan partikel padatan bahan organik pada filter karbon aktif sehingga mengalami penyumbatan dan proses adsorpsi yang dilakukan menjadi kurang optimal. Peningkatan konsentrasi bahan organik dalam media pemeliharaan akibat kurang optimalnya adsorpsi karbon aktif akan memicu timbulnya senyawa toksik yang membahayakan, seperti amonia dan nitrit. Suhu dan ph Suhu media air pemeliharaan pada kedua media pemeliharaan relative stabil pada minggu pertama sampai minggu ketiga. Serdangkan pada minggu kempat dan kelima mengalami penurunan, akan tetapi pada minggu keenam naik kembali. Sedangkan kandungan ph pada kedua media berfluktuatif, mengalami penurunan dari minggu pertama sampai ketiga dan naik pada minggu ke lima sampai akhir penelitian (Gambar 4). Nilai ph pada bak resirkulasi dan tanpa resirkulasi mempunyai kisaran nilai yang cenderung stabil, hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme sistem penyangga pada air laut sehingga 176 Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Ali Djunaedi et al.)

110 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Gambar 3. Diagram batang konsentrasi amonia dan Nitrit (mg/l) pada air media pemeliharaan benih udang windu (P. monodon Fabricius) dengan sistem resirkulasi dan tanpa resirkulasi Suhu (*C) Resirkulasi Tanpa resirkulasi Minggu ph Resirkulasi Tanpa resirkulasi Minggu Gambar 4. Diagram batang konsentrasi Suhu dan ph pada air media pemeliharaan benih udang windu (P. monodon Fabricius) dengan sistem resirkulasi dan tanpa resirkulasi. perubahan ph secara drastis dapat dihindari (Effendi, 2003). Nilai ph yang terukur menunjukkan kondisi yang cenderung basa. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ph masih layak dan aman untuk kegiatan budidaya udang windu serta mendukung untuk penerapan sistem resirkulasi. Nilai ph rendah (6,4) menyebabkan udang menjadi keropos dan selalu lembek karena tidak dapat membentuk kulit baru. Nilai ph 6,4 dapat menurunkan laju pertumbuhan sebesar 60%. Nilai ph tinggi (9,0 9,5) menyebabkan peningkatan konsentrasi amonia, secara tak langsung dapat membahayakan kehidupan udang (Boyd, 1992). Fluktuasi nilai suhu air selama penelitian tersebut diduga disebabkan oleh volume air dalam bak yang berkurang karena proses penyiponan maupun penguapan secara alami. Hal ini telah diantisipasi dengan menutup bak pemeliharaan udang selama penelitian dengan jaring untuk menghindari fluktuasi suhu yang tinggi sehingga dapat mendukung kehidupan udang yang dipelihara serta mendukung penerapan sistem resirkulasi. Tricahyo (1994) menjelaskan bahwa suhu air yang terbaik bagi pertumbuhan dan kehidupan udang windu adalah berkisar antara C. Suhu air sangat berpengaruh terhadap proses kimia dan biologi perairan. Daya Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Ali Djunaedi et al.) 177

111 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): kelarutan oksigen di dalam air akan semakin rendah jika suhu air semakin meningkat dan sebaliknya tingkat konsumsi oksigen akan semakin tinggi. Hal ini dapat menyebabkan tingkat oksigen terlarut berkurang sehingga dapat mempengaruhi kehidupan udang windu (Effendi, 2003). KESIMPULAN Sistem resirkulasi budidaya benih udang windu dapat meningkatkan kualitas air, akan tetapi mulai kurang optimal pada minggu ke lima selama pemeliharaan. DAFTAR PUSTAKA Boyd, C. E Water Quality Management For Pondfish Culture. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. 318 pp. Budiardi, T, R. D. Salleng dan N. B. P. Utomo., Pentokolan Udang Windu Penaeus monodon Fab dalam Hapa Pada Tambak Intensif dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal Aquakultur Indonesia, 4(2): Darmono Budidaya Udang Penaeus. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 104 hlm. Effendi, H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Jakarta. 200 hlm. Furwoko, A Memahami kembali tambak sistem resirkulasi tertutup. Majalah Mitra Bahari. Jakarta. V (4) : Hartoko, A Studi pemakaian karbon aktif dan zeolit sebagai upaya pengurangan limbah amonia dan nitrit pada hatchery udang. Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang. 89 hlm. Helfrich LA and G. Libey.,1991. Fish Farming in Resirculation Aquaculture System (RAS). Department of Fisheries and Wildlife Sciences. Virginia. Hendrajat, E.A Pentokolan udang vaname (Litopenaeus vannamei) menggunakan sistem hapa tanpa aerasi dengan padat penebaran berbeda. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Budidaya Perikanan, hlm Hendrajat, E.A dan Brata Pantjara., Pentokolan Udang Windu Penaeus monodon Fab. Sistem Hapa dengan Ukuran Pakan Berbeda. Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Hal Kaul, B. K Adsorption Equilibrium Data Handbook. Ind. Eng. Chem. Res P Tricahyo, E Biologi dan Kultur Udang Windu (Penaeus monodon FAB). Akademika Pressindo. Jakarta. 128 hlm. 178 Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Ali Djunaedi et al.)

112 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): ISSN Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupang Agus Trianto 1,2 *, Ni Komang Tri Utami 1, Ocky Karna Radjasa 1,2 Isai Yusidharta 3, Wiratno 3 1 Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang Laboratorium Marine Natural Product, UPT Lab terpadu, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, SH. Kampus UNDIP Tembalang, Semarang BALAI BESAR KSDA Nusa Tenggara Timur Jl. Perintis Kemerdekaan, Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur agustrianto.undip@gmail.com Abstract Recently, many research proved that bacteria Escherichia coli and Staphylococus aureus have resistant to antibiotics, called Multi Drug Resistance (MDR). The bacteria cause various diseases both in humans and animals. Exploration and development of new antibiotics is needed, one which is derived from a sea sponge. This research aims to determine the potential of antibacterial sponge extracts from the waters of Kupang, East Nusa Tenggara against E. coli and S. aureus MDR, as well as being able to identify the sponge. Maceration method was employed on extraction of the sponges, then the extract were tested against E. coli and S. aureus. The extracts content of sponge varied from 0.4% to 5,19%. Anti bacterial test showed that the sponge K14-52 has the highest inhibition zone of 10,43 ± 0,26 mm and 9,38 ± 0,57 mm and against the E. coli and S. Aureus, respectively, at a concentration of 500 ug/disk. Based on macroscopic and microscopic anayses, the K14-52 sponge is identified as Rhabdastrella globostellata. a Demospongia sponge. The sponge has special characteristic i.e. globular shape with large oscula on the top of the sponge and ostia along the surface. The sponge also characterized with makrosclera monoaxon spikule (hastate oxea, centrotylote oxea, oxea fusiform gyrus) and mikrosclera tertaxon oxyaster spikule. Keywords: Antibacterial, Sponges, Staphylococcus aureus, Escherichia coli Abstrak Saat ini banyak ditemukan bakteri Escherichia coli dan Staphylococus aureus yang resisten terhadap antibiotik atau disebut Multi Drugs Resistance (MDR). Bakteri tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit baik pada manusia maupun hewan. Eksplorasi dan pengembangan sumber antibiotik baru sangat diperlukan, salah satunya yang berasal dari sponge laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi antibakteri ekstrak sponge dari Perairan Kupang, Nusa Tenggara Timur terhadap bakteri E. coli dan S. aureus MDR, serta mampu mengetahui jenis sponge. Ekstraksi dilakukan dengan metoda maserasi kemudian ekstrak diuji terhadap bakteri patogen. Uji antibakteri menunjukkan bahwa sponge K14-52 memiliki potensi antibakteri paling tinggi dengan zona hambat sebesar 10,43±0,26 mm terhadap bakteri E. coli dan 9,38±0,57 mm terhadap bakteri S. aureus pada konsentrasi 500 µg/disk. Sponge K14-52 diidentifikasi sebagai Rhabdastrella globostellata berdasarkan analisis secara makroskopis dan mikroskopis. Ciri khas sponge tersebut adalah mempunyai bentuk bulat dengan ostia yang tersebar pada permukaan dan satu Oskula besar pada bagian atas sponge. Secara mikroskopis sponge tersebut memiliki makrosklera monoaxon spikula (hastate oxea, centrotylote oxea, fusiform oxea) dan mikrosklera tertaxon spikula Oxyaster. Kata kunci: Antibakteri, Sponge, Identifikasi Sponge *) Corresponding author Diterima/Received : , Disetujui/Accepted :

113 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): PENDAHULUAN Saat ini banyak ditemukan bakteri Stapylococcus aureus dan Escherichia coli yang resisten terhadap antibiotik atau biasa disebut Multi Drugs Resistance (MDR) (Satari, 2012). Bakteri S. aureus dan E.coli menyebabkan berbagai penyakit pada manusia dan hewan ternak. Berubahnya sifat pathogen menjadi MDR menyebabkan obat yang biasa digunakan menjadi tidak efektif, sehingga tidak dapat menanggulangi penyakit tersebut (Widagdo et al., 2002). Resistensi pathogen timbl akibat penggunaan obat yang tidak tepat, naik dosis maupun jenisnya (Pastra et al., 2012). Pencarian obat baru dengan mode of action yang baru adalah salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan pathogen MDR. Banyak sumber daya laut dikembangkan untuk mencari antibakteri alami dari sponge (Mehbub et al., 2016) Sponge adalah salah satu biota laut yang paling potensial sebagai sumber senyawa antibakteri. Senyawa bioaktif sponge dihasilkan oleh metabolit sekunder yang dimanfaatkan sebagai bahan obatobatan, misalnya antibakteri, antitumor, antikanker, antijamur, anti-inflamantori, sitotoksik, antimikroba, antivirus, antimalaria, antifauling, dan immunosupresif (Mayer et al., 2009). Tulisan ini akan membahas eksplorasi sponge sebagai sumber bahan antibakteri. MATERI DAN METODE Koleksi Spesimen Sponge Sponge yang dikoleksi dari perairan Kupang, Nusa Tenggara Timur dengan metoda SCUBA Diving. Sponge disimpan dalam coolbox yang diberi es hingga dibawa ke laboratorium untuk selanjutnya disimpan dalam freezer hingga proses ekstraksi (Trianto et al., 2011). Ekstraksi Sponge Sebelum melakukan ekstraksi, sampel dibersihkan dari kotoran yang menempel, kemudian dipotong kecil-kecil. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menggunakan methanol. Proses perendamanan dilakukan selama 24 jam dengan tiga kali ulangan pada suhu ruangan. Hasil ekstraksi disaring dan selanjutnya dipekatkan menggunakan Rotary Evaporator pada suhu 37 o C. Ekstrak yang tertinggal dalam labu dipindahkan kedalam vial dan ditimbang (Trianto et al., 2014). Kultur Bakteri Uji Bakteri uji yaitu bakteri E. coli dan S. aureus dikultur dalam media Zobell 2216E dalam media miring. Bakteri uji dikultur kembali dalam media Zobell cair untuk uji antibakteri terhadap ekstrak (Radjasa et al., 2006). Uji Aktivitas Antibakteri Uji aktivitas antibakteri dilakukan dalam media Zobell padat selama 2x24 jam. Uji antibakteri pada 11 sampel ekstrak kasar sponge terhadap bakteri E. coli dan S. aureus pada konsentrasi 500 µg/disk, 250 µg/disk, 100 µg/disk, dan 50 µg/disk. Ektsrak yang diaplikasikan sebanyak 10 µl/disk. Pengukuran zona hambat pada jam ke 24 (Radjasa, 2006). Identifikasi Sponge Identifikasi sponge dilakukan pada sponge yang memiliki aktivitas antibakteri. Identifikasi makroskopis berdasarkan morfologi dan tekstur sponge yang meliputi ukuran, oskula, konsistensi, permukaan tubuh dan warna sponge. Sedangkan identifikasi mikroskopis meliputi bentuk dan jenis spikula sponge (Hooper, 2003). Preparat disiapkan dengan memotong sedikit sampel dan dilarutkan dengan sodium hypoklorit. Materi dibilas menggunakan aquades 2-3 kali untuk menghilangkan sisa kaporit, selanjutnya spikula diamati dengan mikroskop pada perbesaran 100 x dan 400 x (Khoshkhoo et al., 2012). HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi Ekstraksi berbagai jenis sampel sponge menggunakan metode maserasi, yaitu melakukan perendaman sampel 180 Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupang (Agus Trianto et al.)

114 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): sponge dengan pelarut metanol selama 48 jam. Berat sampel dan ekstrak yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 1. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa sampel sponge K14-52 menghasilkan rendemen ekstrak tertinggi yaitu 5,19 % dari berat basah, sedangkan rendemen terkecil pada sampel sponge K14-35 yaitu hanya sebesar 0,48 % dari berat basahnya. Uji Antibakteri Ekstrak Kasar Ekstrak kasar sponge kemudian diuji bioaktvitasnya terhadap bakteri E. coli dan S. aureus. Hasil uji antibakteri menunjukan ekstrak kasar semua jenis sponge tersebut mampu menghambat pertumbuhan koloni bakteri uji. Hasil pengukuran diameter zona hambat pada pengamatan ke-24 jam ditampilkan pada Ttabel 2 dan 3. Hasil uji ekstrak kasar terhadap bakteri S. aureus menunjukkan bahwa sampel K14-52 menghasilkan zona hambat tertinggi sebesar 9,38±0,12 mm pada konsentrasi 500 µg/disk, sedangkan yang terendah dihasilkan oleh sponge K14-45 sebesar 0,72 ± 1,01 mm pada konsentrasi yang sama. Hasil pengukuran diameter zona hambat ekstrak kasar berbagai sponge terhadap bakteri E. coli dan S. aureus. Tabel 1. Berat Sampel dan Ektrak Kasar Sponge No. Kode Sampel Berat Basah Berat Ekstrak Rendemen Ekstrak Sponge Sampel (gr) Kasar (gr) (%) 1. K K K K K K K K K K K Tabel 2. Diameter Zona Hambat Ekstrak Kasar Sponge terhadap Bakteri E. coli Kode Sampel Diameter Zona Hambatan E. coli (mm) 500 µg/disk 250 µg/disk 100 µg/disk 50 µg/disk K ,22 ± 0,99 2,92 ± 0,07 1,37 ± 1,93 2,23 ± 0,38 K ,73 ± 0,61 2,65 ± 0,12 2,67 ± 0,90 3,23 ± 0,38 K ,97 ± 0,19 1,22 ± 1,72 1,00 ± 1,41 3,03 ± 0,05 K ,70 ± 0,28 2,75 ± 0,31 2,27 ± 0,09 1,22 ± 1,72 K ,28 ± 1,86 4,10 ± 0,05 2,60 ± 0,94 2,52 ± 0,97 K ,83 ± 0,85 1,90 ± 0,09 0,68 ± 0,97 0,70 ± 0,99 K ,88 ± 1,67 3,40 ± 0,94 2,22 ± 1,11 3,02 ± 0,87 K ,68 ± 0,78 1,45 ± 2,05 1,30 ± 1,84 1,17 ± 1,65 K ,43 ± 1,98 2,43 ± 0,42 2,83 ± 1,60 1,83 ± 0,24 K ,37 ± 1,93 1,45 ± 2,05 2,38 ± 0,26 3,68 ± 1,11 K ,43 ± 0,24 8,57 ± 0,19 6,32 ± 0,26 4,82 ± 0,07 Keterangan : - Rata-rata ± Standar Deviasi - Data tersebut telah dikurangi diameter paper disk sebesar 5 mm Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupang (Agus Trianto et al.) 181

115 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Identifikasi Sponge Sponge K14-52 berwarna kuningoranye, bentuk tubuh globular dengan permukaan sponge yang kasar. Ostia tampak jelas tersebur tidak beraturan pada permukaan. Sponge untuk mempunyai konsistensi yang keras (incompressible). Berdasarkan pengamatan preparat spikula, ditemukan dua jenis spikula yaitu makroskelra dan mikroskelra. Jenis makrosklera yang ditemukan yaitu hastate oxea, centrotylote oxea, dan fusiform oxea, merupakan monoaxon spikula berbentuk spikula memanjang dan ada yang agak melengkung dengan ujung runcing di kedua ujungnya. Sedangkan Tabel 3. Diameter Zona Hambat Ekstrak Kasar Sponge terhadap Bakteri S. aureus. Kode Sampel Diameter Zona Hambatan S. aureus (mm) 500 µg/disk 250 µg/disk 100 µg/disk 50 µg/disk K ,22 ± 0,92 2,92 ± 0,07 1,37 ± 2,23 2,23 ± 0,38 K ,73 ± 0,61 2,65 ± 0,12 2,67 ± 0,90 3,23 ± 0,38 K ,97 ± 0,19 1,22 ± 1,72 1,00 ± 1,41 3,03 ± 0,05 K ,70 ± 0,28 2,75 ± 0,31 2,27 ± 0,09 1,22 ± 1,72 K ,52 ± 0,08 4,75 ± 4,45 2,77 ± 1,41 1,68 ± 0,35 K ,02 ± 1,44 2,47 ± 0,05 0,00 ± 0,00 0,00 ± 0,00 K ,72 ± 1,01 0,98 ± 1,39 1,83 ± 0,01 3,00 ± 0,05 K ,30 ± 0,71 2,70 ± 0,05 1,85 ± 2,62 2,57 ± 0,47 K ,38 ± 0,73 2,57 ± 0,94 1,88 ± 0,16 2,07 ± 0,14 K ,45 ± 0,12 2,53 ± 0,05 3,45 ± 0,78 4,78 ± 1,11 K ,38 ± 0,12 7,73 ± 0,57 6,45 ± 0,07 4,57 ± 0,14 Keterangan: - Rata-rata ± Standar Deviasi - Data tersebut telah dikurangi diameter paper disk sebesar 5 mm (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 1. Foto sponge K14-52 (a), mikrosklerit (b) dan makroskerit (c-e). makrosklerit (c-e). b. Tetraxon (Oxyasters) c. Monoaxon spikula Hastate oxea, d. Centrotylote oxea, e. Fusiform oxea. Foto mikroskelarit diambil pada perbesaran 100x dan makrosklerit dengan perbesaran 40x. 182 Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupang (Agus Trianto et al.)

116 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): yang mikroskela yang ditemukan yaitu oxyaster, masuk ke dalam jenis tetraxon spikula berbentuk bulat dengan beberapa ujung runcing yang mengelilingi sisi-sisinya. Hasil pengamatan makrosklera, dapat dilihat pada Gambar 10 dan mikrosklera pada Gambar 11. Spikula penyusun sponge K14-52 mengandung silikat atau seperti kaca bukan kapur sehingga tidak mudah hancur pada saat dilarutkan pada larutan pemutih. Ekstraksi menggunakan metanol menghasilkan prosentase rendemen ekstrak yang berbeda pada tiap sampel. Rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan oleh sampel sponge K14-52 yaitu sebesar 5,19 % dari berat basah sampel sebesar 22,36 gram. Sedangkan yang rendemen ekstrak terendah dihasilkan oleh sponge K14-35 yaitu sebesar 0,48 % dari berat basah sampel sebesar 47,60 gram. Hasil pengamatan zona hambat setelah 24 jam inkubasi menunjukkan bahwa seluruh ekstrak kasar yaitu 11 sampel ekstrak kasar yang diuji mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan koloni bakteri dengan besar zona hambat yang berbeda-beda. Ekstrak kasar sampel sponge K14-52 memiliki zona hambat yang paling besar dengan diameter zona hambat mencapai 10,43±0,26 mm pada konsentrasi 500 µg/disk terhadap bakteri E.coli, dan semakin mengecil pada konsentrasi yang lebih rendah. Sedangkan uji terhadap bakteri S. aureus menghasilkan zona hambat dengan diameter 9,38±0,57 mm. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa sampel sponge K14-52 mempunyai zona hambat yang masuk ke dalam kategori kuat dengan membentuk daerah hambatan mm. Menurut Tinambunan et al. (2012), antibakteri dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap mikroba apabila konsentrasi hambat minimumnya rendah tetapi mempunyai daya hambat yang besar. Fraksinasi dengan etil asetat dan air menghasilkan pemisahan senyawa nonpolar dan senyawa polar yang terkandung dalam ekstrak tersebut. Air merupakan pelarut polar sehingga akan menarik senyawa yang bersifat polar, sedangkan etil asetat merupakan pelarut semi-polar sehingga akan mengikat senyawa yang tingkat polaritasnya rendah. Pemisahan tersebut juga dapat dikatakan sempurna apabila kedua lapisan memiliki perbedaan warna yang jelas dan larutan tidak keruh. Pada ekstrak sampel K14-52, fraksi air berwarna kuning pekat sedangkan fraksi etil asetat berwarna kuning bening. Berat ekstrak fraksi etil asetat yaitu 330,6 mg sedangkan berat ekstrak fraksi air adalah 732,6 mg. Berat ekstrak fraksi etil asetat lebih kecil dibandingkan dengan fraksi air menunjukkan bahwa ekstrak sponge K14-52 lebih banyak larut pada pelarut polar dibandingkan dengan pelarut semi-polar. Berdasarkan hasil identifikasi morfologi sponge, yaitu sponge K14-52 berwarna kuning-oranye, bentuk tubuh agak membulat dengan permukaan sponge yang kasar. Saluran masuk air ke dalam tubuh sponge melalui pori-pori kecil (ostia) terletak tidak beraturan tampak lebih jelas karena memiliki ukuran yang lebih besar dan berada pada bagian atas tubuh sponge. Saluran air keluar melalui oskula yang terdapat pada ujung atas sponge. Konsistensi sponge keras dan agak padat (non-kompressible). Menurut Hooper (2003) family Ancorinidae (SCHMIDT, 1870.) dicirikan dengan bentuk pertumbuhan encrusting hingga masif atau lebih spesifik berbentuk bulat atau pipa dengan saluran air memanjang dimana saluran masuk dan keluar pada sisi yang berlawanan. Lebih spesifik genus Rhabdastrella dalam family Ancorinidae yang dicirikan tidak adanya oskula yang memanjang pada koloni yang berbentuk pipa panjang. Makroskela yang ditemukan yaitu monoaxon spikula (hastate oxea, centrotylote oxea, dan fusiform oxea). Hastate oxea merupakan spikula dengan bentuk panjang dan ujung tidak terlalu runcing di kedua bagian ujungnya, centrotylote oxea merupakan spikula dengan bentuk memanjang dan runcing di kedua bagaian ujungnya dan memiliki bentuk bulatan pada bagian sentral atau tengah spikula, sedangkan fusiform oxea Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupang (Agus Trianto et al.) 183

117 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): merupakan spikula memanjang dan memiliki ujung runcing di kedua ujungnya. Pada pengamatan yang dilakukan pada sponge K14-52 ditemukan sedikit mikrosklera tetraxon yaitu spikula berbentuk bulat dengan beberapa ujung runcing di bagian sisinya yang berjumlah enam buah, disebut dengan oxyasters. Lebih lanjut hooper menjelaskan bahwa family Ancorinidae dicirikan dengan megascleres long-shafted triaenes dan oxea megascleres; microscleres euasters and microrhabds, tetapi tidak memiliki sterrasters atau amphiasters. Pada genus Rhabdastrella tidak ditemui spikula triene. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, diduga sponge K14-52 termasuk kelas Demospongia dan genus Rhabdastrella. Beberapa penelitian membuktikan bahwa sponge R. globostelata adalah pengahasil bahan bioaktif antikanker. Sponge R. globostelata dilaporkan mengandung senyawa globostellatic acid X methyl esters yang bersifat sebagai antiangiogenic dengan menghambat pertumbuhan vascular endothelial growth factor (VEGF) dan basic fibroblast growth factor (bfgf). Selain itu senyawa tersebut juga bersifat selective anti-proliferative agents terhadap human umbilical vein endothelial cells (HUVECs). Dengan demikian globostellatic acid X methyl esters berpotensi sebagai senyawa antikanker padat, karena pertumbuhan kanker padat berkorelasi dengan pertumbuhan/proses vaskularisasi (Aoki et al., 2007). Namun, sepanjang pengetahuan penulis, sejauh ini belum ada laporan tentang kandungan senyawa antibakteri pada sponge R. globostellata. Kesimpulan Ekstrak sponge yang dikoleksi dari Perairan Kupang, Nusa Tenggara Timur memiliki potensi antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphyloccocus aureus. Berdasarkan hasil identifikasi makroskopis dan mikroskopis sampel sponge diketahui bahwa sponge K14-52 masuk ke dalam kelas Demospongia dengan spesies Rhabdastrella globostellata, dikarenakan memiliki makroskela monoaxon spikula (Hastate oxea, Centrotylote oxea, dan Fusiform oxea) dan mikrosklera jenis tetraxon spikula (oxyastes). Daftar Pustaka Aoki, S., Sanagawa, M., Watanabe, Y., Setiawan, A., Arai, M., & Kobayashi, M. (2007). Novel isomarabarican triterpenes, exhibiting selective antiproliferative activity against vascular endothelial cells, from marine sponge Rhabdastrella globostellata. Bioorganic and Medicinal Chemistry, 15(14), /j.bmc Hooper, J.N.A Sponguide : Guide to Sponge Collection and Identification. Queensland Museum. South Brisbande, Australia Indrayanti, E., Maskulah, M., dan Trianto, A Skrining pada Beberapa Jenis Sponge sebagai Upaya Pencarian Bahan Bioaktif Jamur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang. Khoshkhoo, Z., M. Nazemi, A. Motalebi, M. Mahdabi, A. Ashja Ardalan, and R. Hemati Matin Fisrt Record of Siliceous and Calcareous Sponges from Larak Island, Persian Gulf-Iran. Middle-East J. Sci. Res. 11 (7) : Aoki, S., Sanagawa, M., Watanabe, Y., Setiawan, A., Arai, M., & Kobayashi, M. (2007). Novel isomarabarican triterpenes, exhibiting selective antiproliferative activity against vascular endothelial cells, from marine sponge Rhabdastrella globostellata. Bioorganic and Medicinal Chemistry, 15(14), /j.bmc Mayer, A. M. S., Rodríguez, A. D., Berlinck, R. G. S., & Hamann, M. T. (2009). Marine pharmacology in : Marine compounds with anthelmintic, antibacterial, anticoagulant, antifungal, anti-inflammatory, antimalarial, antiprotozoal, antituberculosis, and antiviral activities; affecting the cardiovascular, immune and nervous syste. Biochimica et Biophysica Acta - General Subjects, 1790(5), Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupang (Agus Trianto et al.)

118 Jurnal Kelautan Tropis November 2016 Vol. 19(2): Mehbub, M. F., Perkins, M. V., Zhang, W., & Franco, C. M. M. (2016). New marine natural products from sponges (Porifera) of the order Dictyoceratida (2001 to 2012); a promising source for drug discovery, exploration and future prospects. Biotechnology Advances Pastra, D.A., Melki, dan Heron S Penapisan bakteri yang Bersimbiosis dengan Sponge Jenis Aplysina sp sebagai Penghasil Antibakteri dari Perairan Pulau Tegal Lampung. Maspari Journal, 4 (1) : Radjasa, O.K., Sabdono A., Duhita S.K., Rory A.H., dan.lestari E.S Antibacterial Activity of Marine Bacteria Associated with Sponge Aoptos sp. Against Multi Drugs Resistant (MDR) Strains. Jurnal Matematika dan Sains, 12 (4). Satari, M. H Multidrugs Resistance (MDR) Bakteri Terhadap Antibiotik. Prosiding Temu Ilmiah Bandung. Bagian Oral Biologi/Mikrobiologi FKG Universitas Padjadjaran. Suriani, Hanapi U., dan Alyar A Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Bioaktifitas Metabolit Sekunder dari Sponge Callyspongia sp. Marina Cimica Arta, 12 Tinambuan, H., Melki dan Isnaini Efektifitas Ekstrak Bakteri yang Berasosiasi dengan Sponge dan Karang Lunak sebagai Antibakteri dari Perairan Pulau Tegal Lampung. Maspari Journal, 4 (2) : Trianto, A., Hermawan I., De Voogd N.J., and Tanaka J., 2011, Halioxepine, A New Meroditerpene From An Indonesian Spons Haliclona sp. Chem. Pharm. Bull.. 59(10): Trianto, A., De Voodg N.J., and Tanaka J Two new compound from an Indonesian Sponge Dysea sp. J. Asian Natural Product Research. J. Asian Nat. Prod. Res., 16(2): DOI: / Uriz, M. J., Turon X., Mikel A.B, and Agell G Siliceous Spicules and Skeleton Frameworks in Sponges : Origin, Diversity, Ultrastructural Patterns, and Biological Functions. Microscopy Research and Technique. 62 : Widagdo, S.N., Haryadi M., dan Widya A Patogenesis Isolat Escherichia coli Positif Congo Red pada Telur Ayam Berembrio Umur 12 Hari. Jurnal Sain Veteriner, XX (1) :25-28 Skrining Aktivitas Antibakteri Dan Identifikasi Sponge Dari Teluk Kupang (Agus Trianto et al.) 185

119 ISSN JURNAL KELAUTAN TROPIS (Tropical Marine Journal) PEDOMAN PENYUSUNAN ARTIKEL 1. Penulisan dilakukan dalam bahasa Indonesia atau Inggris, setiap naskah berisi 6-10 halaman. 2. Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris diikuti dengan kata kunci (key words) sebanyak empat kata. 3. Ketentuan penulisan menurut ketentuan sebagai berikut: Tulisan dalam MS Words for Windows Font Century Gothic size 10 Abstrak ditulis dengan huruf Century Gothic size 10 dalam 1 kolom 1 spasi Isi puiblikasi dan daftar pustaka ditulis dengan huruf tegak, size 10 dalam 2 kolom dengan line spacing auto Margin kiri : 3 cm Margin Kanan : 2 cm Margin atas : 3 cm Margin bawah : 2,5 cm 4. Penulisan dibuat dengan ketentuan format sebagai berikut: Abstrak (maksimal 250 kata) Pendahuluan (berupa latar belakang, masalah dan tinjauan teori) Materi dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan (kalau ada) Daftar Pustaka (Ditulis dengan ketentuan Vancouver) 5. Penyerahan naskah publikasi kepada redaksi dalam bentuk hard copy dan soft copy. 6. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan 7. Redaksi berhak mengatur tataletak gambar dan tabel dalam naskah.

120

Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut di Perairan Teluk Awur, Jepara dan Pantai Krakal, Yogyakarta

Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut di Perairan Teluk Awur, Jepara dan Pantai Krakal, Yogyakarta ISSN 0853-7291 Struktur Komunitas dan Anatomi Rumput Laut di Perairan Teluk Awur, Jepara dan Pantai Krakal, Yogyakarta Rini Pramesti*, AB. Susanto, Wilis A S, Ali Ridlo, Subagiyo, Yohanes Oktaviaris Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. panjang pantai sekitar km dan luas laut mencapai 5,8 juta km 2. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. panjang pantai sekitar km dan luas laut mencapai 5,8 juta km 2. Wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km dan luas laut mencapai 5,8 juta km 2. Wilayah pantai ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549.

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN 0854-4549. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan pertemuan antara wilayah laut dan wilayah darat, dimana daerah ini merupakan daerah interaksi antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP Moh Hadi Hosnan 1, Apri Arisandi 2, Hafiludin 2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Makroalga, Chlorophyta, Phaeophyta, Rhodophyta, Pulau Serangan

ABSTRAK. Kata Kunci: Makroalga, Chlorophyta, Phaeophyta, Rhodophyta, Pulau Serangan ABSTRAK Pulau Serangan merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kelurahan Serangan Kecamatan Denpasar Selatan, dan berdekatan dengan kawasan wisata Sanur dan Nusa Dua. Perairan Pulau Serangan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dengan luas daratan ± 1.900.000 km 2 dan laut 3.270.00 km 2, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan ditinjau dari luasnya terdiri atas lima pulau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

DISTRIBUSI MAKROALGAE DI WILAYAH INTERTIDAL PANTAI KRAKAL, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

DISTRIBUSI MAKROALGAE DI WILAYAH INTERTIDAL PANTAI KRAKAL, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA DISTRIBUSI MAKROALGAE DI WILAYAH INTERTIDAL PANTAI KRAKAL, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA Wandha Stephani *), Gunawan Widi Santosa, Sunaryo Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN DEMAK

STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN DEMAK Journal of Marine Research. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 19-23 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA STUDI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA Oleh: BAYU ADHI PURWITO 26020115130110 DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Volume 9, Nomor 2, Oktober 2013 ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN USAHA MINA PEDESAAN PERIKANAN BUDIDAYA DI KECAMATAN KEI KECIL KABUPATEN MALUKU TENGGARA KONSENTRASI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pesisir Pantai Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Daerah daratan merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai

Lebih terperinci

Kajian Pengamanan Dan Perlindungan Pantai Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk, Kota Semarang

Kajian Pengamanan Dan Perlindungan Pantai Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk, Kota Semarang ISSN 0853-7291 Kajian Pengamanan Dan Perlindungan Pantai Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tugu Dan Genuk, Kota Semarang Retno Hartati 1*, Rudhi Pribadi 1, Retno W. Astuti 2, Reny Yesiana 3, Itsna Yuni H 3

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI

BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 87 BAB VI ALTERNATIF PENANGGULANGAN ABRASI 6.1 Perlindungan Pantai Secara alami pantai telah mempunyai perlindungan alami, tetapi seiring perkembangan waktu garis pantai selalu berubah. Perubahan garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km 2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir (coast) dan pantai (shore) merupakan bagian dari wilayah kepesisiran (Gunawan et al. 2005). Sedangkan menurut Kodoatie (2010) pesisir (coast) dan pantai (shore)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI KELURAHAN TONGKAINA MANADO

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI KELURAHAN TONGKAINA MANADO Jurnal Pesisir dan Laut Tropis Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016 STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI KELURAHAN TONGKAINA MANADO (Structure Community of Mangrove at Tongkaina Village, Manado) Juwinda Sasauw 1*, Janny

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 STRUKTUR KOMUNITAS MAKROALGA EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERAIRAN PANTAI AIR BERUDANGN KABUPATEN ACEH SELATAN Soraya Ulfah 1), Elita Agustina

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH OLEH : ARIF MAA RUF AL AYYUB 26020115130151 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan I. PENDAHULUAN Mangrove adalah tumbuhan yang khas berada di air payau pada tanah lumpur di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi) Mario P. Suhana * * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Email: msdciyoo@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi, termasuk keanekaragaman hayati lautnya. Salah satu organisme laut yang banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi yang unik dan layak untuk dipertahankan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

Perbedaan Presentasi Penutupan Karang di Perairan Terbuka dengan Perairan yang Terhalang Pulau-Pulau. di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu Jakarta.

Perbedaan Presentasi Penutupan Karang di Perairan Terbuka dengan Perairan yang Terhalang Pulau-Pulau. di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu Jakarta. Perbedaan Presentasi Penutupan Karang di Perairan Terbuka dengan Perairan yang Terhalang Pulau-Pulau di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu Jakarta Suryanti dan Fredy Hermanto Jurusan Perikanan FPIK UNDIP Jl

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan transisi ekosistem terestrial dan laut yang ditandai oleh gradien perubahan ekosistem yang tajam (Pariwono, 1992). Kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR Lili Kasmini 11 ABSTRAK Desa Ladong memiliki keanekaragaman mangrove yang masih tinggi yang berpotensi untuk tetap

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKRO ALGA DI PESISIR PULAU KECAMATAN BULANG. Notowinarto, Ramses Firdaus dan Mulhairi

STRUKTUR KOMUNITAS MAKRO ALGA DI PESISIR PULAU KECAMATAN BULANG. Notowinarto, Ramses Firdaus dan Mulhairi STRUKTUR KOMUNITAS MAKRO ALGA DI PESISIR PULAU KECAMATAN BULANG Notowinarto, Ramses Firdaus dan Mulhairi Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau Kepulauan Koresponden : notowinarto@unrika.ac.id

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia termasuk kedalam negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Panjang garis pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas wilayah lautan lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total panjang

Lebih terperinci

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Sebaran sedimen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

JurnalIlmiahPlatax Vol. 3:(1),Januari 2015 ISSN:

JurnalIlmiahPlatax Vol. 3:(1),Januari 2015 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS MAKRO ALGA DI PANTAI DESA MOKUPA KECAMATAN TOMBARIRI KABUPATEN MINAHASA SULAWESI UTARA Community Structure of Macro Algae in Mokupa Village, Tombariri Sub-district, Minahasa District,

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo

DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo DINAMIKA PANTAI (Abrasi dan Sedimentasi) Makalah Gelombang Yudha Arie Wibowo 09.02.4.0011 PROGRAM STUDI / JURUSAN OSEANOGRAFI FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2012 0 BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pada wilayah ini terdapat begitu banyak sumberdaya alam yang sudah seharusnya dilindungi

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci