BAB VI. APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI. APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM"

Transkripsi

1 BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM Abstrak Uji penularan cendawan entomopatogen di dalam koloni rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan Coptotermes curvignathus Holmgren telah dilaksanakan di laboratorium. Pada uji laboratorium terhadap rayap C. gestroi digunakan LC 95 dari spesies cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link., dengan proporsi vektor: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%, sedangkan terhadap C. curvignathus menggunakan LC 95 dari spesies cendawan M. brunneum dengan proporsi vektor 0% dan 10%. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas pada berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi. Sedangkan data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan RAL satu arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji DNMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) dan lamanya waktu aplikasi (hari). Pada proporsi 10% pengamatan selama 5 hari menunjukkan bahwa spesies cendawan M. brunneum menyebabkan mortalitas tertinggi (55%) namun sampai pada pengamatan 15 hari, M. brunneum, B. bassiana dan M. anisopliae menyebabkan mortalitas rayap tidak berbeda nyata (91,25%-100%). Uji penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus menggunakan 10% vektor yang diinokulasi dengan LC 95 cendawan M. brunneum hanya mampu menghasilkan 60% mortalitas (kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11, 27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari inokulasi. Kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, penularan, vektor, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus. Pendahuluan Rayap tanah Coptotermes spp. merupakan serangga hama yang banyak menyebabkan kerugian pada konstruksi hunian berbahan baku kayu. Pengendalian hama ini memerlukan teknik khusus sehubungan dengan kebiasaan hidupnya yang tersembunyi di bawah permukaan tanah dan dengan jumlah individu di dalam

2 62 koloni yang cukup besar. Serangga sosial ini memiliki perilaku dan tingkatan kasta serta pembahagian fungsi yang berbeda untuk menjalankan aktifitas kehidupannya di dalam suatu koloni. Perilaku demikian dapat dimanfaatkan untuk mencapai kesuksesan di dalam pengendalian menggunakan cendawan entomopatogen. Menurut Pearce (1997) tidak seperti kebanyakan serangga lainnya, rayap hidup di kegelapan sehingga komunikasi lewat sensory (sentuhan dan rasa) dan secara kimia adalah sangat penting. Komunikasi secara kimia di antaranya dengan menggunakan pheromon yaitu bahan kimia bersifat volatil yang dapat berfungsi sebagai bahan untuk merespon perilaku antar individu di dalam suatu koloni. Komunikasi ini memungkinkan rayap didalam koloni melakukan interaksi sosial lewat perilaku seperti grooming, trophallaxis dan cannibalistic. Perilaku ini diharapkan secara efektif dapat menularkan patogen antar individu di dalam suatu koloni rayap. Untuk mengaplikasikan patogen terhadap koloni rayap juga dibutuhkan vektor sebagai agens penularan inokulum antar individu di dalam suatu koloni. Berdasarkan perilaku rayap seperti yang telah diuraikan di atas, diharapkan dengan hanya menginokulasikan cendawan entomopatogen terhadap sebagian anggota koloni rayap, cendawan patogen akan dapat tersebar dari vektor ke individu lainnya di dalam koloni. Dengan demikian semua individu di dalam koloni akan dapat tereliminasi. Menurut Jones et al. (1996) berdasarkan aksi patogen serangga dengan jumlah yang sedikit memungkinkan dapat menyebar keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial terutama grooming dan berbagi makanan, diharapkan dapat menyebarkan inokulum. Kemampuan patogen untuk menyebabkan kematian terhadap berbagai jenis serangga berbeda, hal ini sehubungan dengan setiap jenis serangga mempunyai kemampuan daya tahan atau tingkat kerentanan yang tidak sama. Berdasarkan hal ini, telah dilakukan penelitian penggunaan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan LC 95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen yang telah diketahui keefektifannya terhadap rayap tanah. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari penularan cendawan entomopatogen dari vektor sebagai pembawa

3 63 patogen terhadap individu lainnya di dalam suatu koloni untuk mengendalikan rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium. Bahan dan Metode Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jenis Rayap yang Digunakan Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah spesies C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Bio-material LIPI Cibinong, dan spesies C. curvignathus yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB. Persiapan Spesies Cendawan Spesies cendawan entomopatogen yang digunakan adalah Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link. Semua isolat murni disimpan pada suhu 4 0 C sampai masa penggunaan. Data selengkapnya mengenai asal cendawan dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabe Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam. Isolat Inang atau sumber cendawan Stadia Jenis cendawan Asal geografi (Tahun) 1. Ma-Rl Penghisap polong (Riptortus. linearis) Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Probolinggo (2003) (Hemiptera: Alydidae) 2. Mb-Ps Pasir Metarhizium brunneum Bogor (2004) Petch. 3. Bb-Lo Walang sangit (Leptocorisa oratorius) (Hemiptera : Coreidae) Imago Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin Probolinggo (2003) 4. Fu-Sl Ulat grayak (Sepodoptera. litura) (Lepidoptera: Noctuidae) Larva Fusarium oxysporum Link Cibodas (2004)

4 64 Prosedur Perbanyakan Prosedur perbanyakan dapat diacu pada Bab IV. Penyediaan Suspensi Konidia Prosedur penyediaan suspensi konidia dapat diacu pada Bab IV, namun penelitian ini menggunakan kerapatan konidia sebagai berikut: a). untuk pengujian terhadap rayap C. gestroi di laboratorium menggunakan LC 95 dari spesies cendawan B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum, dan b). untuk pengujian terhadap rayap C. curvignatus menggunakan LC 95 spesies cendawan M. brunneum. (1,21 x 10 6 konidia/ml). Konidia dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Uji Penularan Uji penularan terhadap C. gestroi Untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi proporsi vektor yang digunakan dari masing-masing perlakuan adalah: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakukan adalah LC 95 dari spesies cendawan M. anisopliae, M. Brunneum, B. bassiana, dan F. oxysporum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 20 ekor kasta pekerja dan dua ekor kasta prajurit. Untuk tujuan penggunaan sebagai vektor pada uji penularan digunakan rayap yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% dan diinokulasi dengan LC 95 masing-masing spesies cendawan terseleksi. Uji penularan terhadap C. curvignathus Untuk rayap tanah C. curvignathus digunakan proporsi vektor 0% dan 10% untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakuan adalah LC 95 spesies cendawan M. brunneum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi 10 cm) yang telah diberi isi 20 mg tanah dan kayu pinus (2 cm x 1

5 65 cm x 1 cm) sebagai sumber makanan (Falah et al. 2004). Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 100 ekor kasta pekerja dan 10 ekor kasta prajurit. Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara C dan kelembaban relatif 70-95% dengan kondisi gelap. Pengamatan terhadap rayap C. gestroi mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 2 minggu dan mortalitas rayap C. curvignathus dihitung di akhir percobaan (setelah 2 minggu). Rayap mati diinkubasikan pada suhu 24 0 C dan kelembaban relatif 95% selama 5-7 hari. Rayap mati yang telah dikolonisasi oleh cendawan di amati dibawah mikroskop untuk memastikan rayap terkolonisasi oleh cendawan sesuai perlakuan. Uji Penurunan Berat Contoh Uji (%) Pengujian terhadap penurunan berat contoh uji kayu yang diumpankan terhadap rayap, dilakukan bersamaan dengan perlakuan uji penularan terhadap rayap C. curvignathus. Pengukuran dilakukan terhadap penurunan berat contoh uji (BKT) akibat serangan rayap. Untuk menghitung penurunan berat akibat serangan rayap pada contoh uji digunakan rumus: W = W 1 W 0 X 100% W 1 dimana: W = penurunan berat akibat serangan rayap (%) W 0 = berat contoh uji BKT sebelum pengujian (gr) W 1 = berat contoh uji BKT sesudah pengujian (gr) BKT = berat kering tanur Analisis Data Data mortalitas yang diperoleh pada perlakuan penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor (faktor I spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 4 spesies: M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum dan faktor ke II penggunaan proporsi vektor dengan 6 level: 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan kontrol). Untuk pengujian terhadap rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor (proporsi vektor: 10% dan kontrol) dengan uji ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple

6 66 Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas dengan berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000). Hasil dan Pembahasan Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann. Laju mortalitas rayap C. gestroi pada perlakuan berbagai proporsi vektor yang diperlakukan dengan 4 spesies cendawan entomopatogen (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum) sampai dengan hari ke 15 disajikan melalui Gambar 6.1. Pada perlakuan semua jenis cendawan, mortalitas meningkat seiring dengan meningkatnya persentase vektor dan lamanya waktu aplikasi. Perlakuan proporsi vektor 50%, 40%, 30%, 20% dan 10% dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi kecuali pada jenis F. oxysporum. Di antara cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap Coptotermes spp., Reticulitermes flavipes dan Odontotermes spp. adalah: M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua spesies cendawan ini telah diuji keefektifannya oleh Zoberi (1995) dalam Bayon et al. (2000). Penelitiannya yaitu pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri; rayap kasta pekerja disajikan sebagai vektor penyakit. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari. Pada penelitian ini, mortalitas dihitung dari semua individu di dalam koloni atau unit percobaan, yaitu individu yang diinokulasi awal (vektor) dan yang tidak diinokulasi (rayap sehat). Semua vektor mati dalam waktu 5 hari setelah inokulasi dengan M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum. Rayap yang diinokulasi dengan spesies B. bassiana hanya menyebabkan mortalitas 97,5%, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan spesies lainnya; hal ini diduga sebagai akibat kontak langsung dengan suspensi spesies cendawan entomopatogen. Pada perlakuan proporsi vektor, di akhir penelitian (setelah 15 hari) mortalitas individu sehat (yang terkontaminasi) lebih dari 78,7% kecuali pada perlakuan dengan F. oxysporum dengan proporsi 20% dan 10% hanya menyebabkan mortalitas kurang dari 45%.

7 67 Metarhizium brunneum Mortalitas (%) Waktu (hari) Metarhizium anisopliae 10% 20% 30% 40% 50% Mortalitas (%) % 20% 30% 40% 50% Waktu (hari) Beauveria bassiana Mortalitas (%) Waktu (hari) 10% 20% 30% 40% 50% Mortalitas (%) Fusarium oxysporum 10% 20% 30% 40% 50% Waktu (hari) Gambar 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (mortalitas kontrol 5%) Bagian torax individu rayap yang mati terlebih dahulu, dimakan oleh individu yang masih sehat (Gambar 6.2c) sedangkan bagian abdomennya dikubur menggunakan sisa-sisa makanan dan material lainnya yang ada pada wadah unit percobaan (Gambar 6.2e). Hal ini mengindikasikan bahwa kontaminasi konidia

8 68 dari rayap terinfeksi (vektor) ke rayap sehat mencukupi dan trans-contamination disempurnakan oleh adanya prilaku grooming dan trophallaxis (Gambar 6.2). Hal ini hanya terjadi sebelum semua vektor mati. Kontaminasi selanjutnya memungkinkan terjadi jika cendawan dapat berseporulasi pada permukaan tubuh rayap yang telah mati oleh terinfeksi langsung maupun tertular dari vektor. Menurut Yoshimura et al. (1992), diperkirakan pembentukan konidia baru membutuhkan waktu sekitar 5 hari setelah kematian serangga. a b c d e Keterangan: a).grooming antara vektor dengan individu sehat, b). individu sehat yang tertular cendawan entomopatogen, c). Kanibalisme, d). Abdomen rayap yang tersisa akibat Kanibalisme dan e). Sisa abdomen rayap yang telah dikubur oleh individu sehat di dalam unit percobaan. Gambar 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkontaminasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan Mortalitas individu rayap C. gestroi yang tertular meningkat sejalan dengan meningkatnya persentase proporsi vektor di dalam koloni. Kasus ini diduga disebabkan oleh lebih tingginya kesempatan kontak antara vektor dengan individu rayap sehat sehingga penularan patogen di dalam koloni lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian lebih cepat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yoshimura et al. (1992) pada uji penularan, satu ekor rayap pekerja terinfeksi cendawan Conidiobolus coronatus dapat mengakibatkan total kematian 20 ekor sampai dengan 50 ekor rayap kasta

9 69 pekerja yang sehat jika dipaksakan dekat secara individu di dalam ruangan yang sempit, sedangkan kontrol tidak ada yang mati selama penelitian berlangsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 ekor rayap dapat dibunuh oleh satu ekor individu rayap terinfeksi oleh C. coronatus. Hasil ini dapat sebagai pedoman untuk suatu wabah penyakit pada suatu koloni rayap bahkan pada sekala yang besar. Jumlah persentase mortalitas juga nyata terlihat dipengaruhi oleh spesies cendawan yang digunakan sebagai agens hayati, hal ini ditunjukkan oleh penampilan grafik yang tidak sama antar spesies cendawan terutama pada tingkat genus yang berbeda. Dalam hal ini ada interaksi antara spesies cendawan dengan proporsi vektor yang digunakan, setiap spesies cendawan membutuhkan persentase vektor tertentu untuk dapat menyebarkan propagul ke seluruh individu di dalam koloni. Laju mortalitas rayap C. gestroi pada tingkatan proporsi vektor, yang diperlakukan dengan spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae dan M. brunneum melihatkan pola grafik sigmoid yang cenderung sama (Gambar 6.1). Diperkirakan hal ini disebabkan karena kedua spesies ini mempunyai kekerabatan yang dekat, sehingga cenderung mempunyai karakteristik dan pola yang sama di dalam menyebabkan mortalitas inang. Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya (1993) di dalam penyelidikannya mengklasifikasikan genus Metarhizium ke dalam 2 spesies yaitu M. anisopliae dan M. flavoviride, dan memasukan 2 spesies cendawan entomopatogen M. album dan M. brunneum sebagai sinonnim dari M. anisopliae. Selanjutnya dinyatakan bahwa karakter dari M. anisopliae: bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidia awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora. Strain lain dari Metarhizium membentuk warna koloni yang berbeda: strain album bewarna putih dan strain brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat. Barron dan George (1968) menyatakan bahwa Metarrhizium tercatat jarang berasal dari tanah, tetapi penelitiannya pada flora tanah Ontario mengindikasikan

10 70 bahwa M. anisopliae sangat umum pada tanah hutan. Tercatat tiga tipe fenotip yang nyata, yang lebih umum menghasilkan alur dan agregat spora hijau terang yang diskripsinya diakui sebagai M. anisopliae. Spesies yang jarang ditemui dengan warna massa spora pudar sampai coklat dan deskripsinya disetujui sebagai Metarhizium brunneum Petch. Tipe yang ke tiga tercatat hanya pada satu kali peristiwa, dengan kolum spora keungu-unguan dan muncul dari lempeng kuning muda. Latch 1965 dalam Barron dan George (1968) mencatat bahwa secara mikroskopik M. anisopliae dan M. brunneum sangat mirip dan menyarankan kedua spesies ini sebagai spesies yang sama. Selanjutnya menurut Tulloch 1979 dalam Moslem et al. (1999), M. anisopliae terdiri dari 2 varietas yaitu M. anisopliae var. anisopliae mempunyai spora pendek ( µm), dan M. anisopliae var. major mempunyai spora panjang (9 18 µm). Varietas major relatif homogen sedangkan varietas anisopliae sangat heterogen, virulensinya bervariasi tergantung pada serangga inang. Korelasi antara mortalitas dengan beberapa tingkatan proporsi vektor yang diinokulasi dengan LC 95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum diringkas pada Gambar 6.3 dan 6.4. Pada Gambar 6.3 yaitu pengamatan sampai dengan hari ke 5 ditunjukkan mortalitas dengan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan masingmasing spesies cendawan berkorelasi positif. Semakin tinggi proporsi vektor yang digunakan menyebabkan terjadinya mortalitas rayap C. gestroi yang juga tinggi. Hal ini terjadi terhadap semua spesies cendawan yang diujikan. Spesies cendawan F. oxysporum paling nyata memperlihatkan respon akibat penurunan proporsi vektor seperti yang ditunjukkan oleh nilai R 2 = 0,9341, selanjutnya diikuti oleh M. anisopliae (R 2 = 0,9015), M. brunneum (R 2 = 0,7262), dan B. bassiana (R 2 = 0,4538). Spesies cendawan yang menunjukan respon yang tinggi pada perlakuan penurunan proporsi vektor mengindikasikan bahwa cendawan hanya efektif jika digunakan pada jumlah proporsi vektor yang tinggi saja. Penurunan jumlah vektor mengakibatkan menurunnya tingkat keefektifan cendawan terhadap pengendalian rayap C. gestroi.

11 71 Mortalitas (%) y = 0.55x R 2 = y = 0.312x R 2 = y = 1.024x R 2 = y = 0.999x R 2 = Vektor (%) Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. anisopliae Linear B. bassiana Linear M. brunneum Gambar 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi) Spesies cendawan B. bassiana pada penelitian ini menunjukan respon yang paling rendah terhadap perlakuan proporsi vektor. Penurunan proporsi vektor tidak memperlihatkan penurunan mortalitas yang kontras; hal ini ditunjukan oleh nilai R 2 paling rendah (R 2 = ). Walaupun B. bassiana secara umum mempunyai kemampuan membunuh lebih rendah jika dibandingkan dengan spesies M. brunneum dan M. anisopliae namun keefektifannya terlihat lebih stabil sampai penggunaan proporsi yang paling rendah. Spesies cendawan M. brunneum memperlihatkan keefektifan paling tinggi pada penggunaan proporsi vektor kurang dan sama dengan 30%. Berdasarkan analisis ragam dan DNMRT pada taraf nyata 5%, mortalitas sampai hari ke 5 memperlihatkan bahwa setiap spesies cendawan yang diinokulasi dengan berbagai tingkatan proporsi vektor dengan LC 95 umumnya berbeda nyata. Dapat dinyatakan bahwa semua spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini bersifat patogen dan dapat ditularkan antar individu di dalam koloni dalam waktu yang singkat. Pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi juga terlihat bahwa semua sepesies cendawan yang sama dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam waktu 1 minggu setelah semua individu rayap di dalam satuan unit percobaan diinokulasi dengan kerapatan konidia sama dan lebih dari konidia/ml.

12 72 Pada tingkatan proporsi vektor yang berbeda, masing-masing spesies mempunyai kemampuan menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi yang berbeda pula kecuali mortalitas yang disebabkan oleh M. brunneum dan M. anisopliae sampai dengan proporsi 30% tidak berbeda nyata. Perbedaan mortalitas rayap terutama terlihat pada penggunaan proporsi vektor sama dan lebih rendah dari 30%. Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies cendawan yang diuji selain dipengaruhi oleh faktor kecocokan yang berbeda antara satu spesies dengan spesies yang lainnya terhadap jenis inang tertentu, diperkirakan juga disebabkan oleh keefektifan cendawan pada tingkat kerapatan konidia tertentu juga berbeda. Pada pengujian ini digunakan LC 95 dari masing-masing spesies cendawan. Hal ini terlihat pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi bahwa masing-masing spesies menghasilkan nilai LC yang bervariasi. Semakin rendah nilai LC yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi tingkat patogenisitas dari spesies cendawan. Secara umum M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana dengan proporsi vektor sampai dengan 10% dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih dari 90% pada pengamatan hari ke 15 namun F. oxysporum hanya dapat menyebabkan mortalitas 43.75%, sehingga F. oxysporum menyebabkan mortalitas paling rendah sampai penggunaan proporsi vektor 10% (Gambar 6.4). Tingkat patogenisitas F. oxysporum yang lebih rendah juga terlihat pada perlakuan penggunaan berbagai variasi kerapatan konidia (penelitian sebelumnya), hanya efektif pada kerapatan konidia yang lebih tinggi.

13 73 Mortalitas (%) y = 100 R 2 = #N/A y = 0.176x R 2 = 0.5 y = 0.226x R 2 = y = 1.55x R 2 = Vektor (%) Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. brunneum Linear B. bassiana Linear M. anisopliae Gambar 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi) Salleh (2005) menjelaskan bahwa keberadaan spesies Fusarium sp. di alam hanya 0.5% sebagai penyebab penyakit pada manusia dan hewan. Selanjutnya dinyatakan bahwa F. oxysporum pada umumnya adalah sebagai patogen pada banyak tanaman, seperti: pada kelapa sawit (Elaeis guineensis), dan beberapa spesies palm seperti: Date palm (Phoenix dactylifera), Canary palm (Phoenix canariensis) dan beberapa ornamental palms. Pada penelitian ini F. oxysporum mempunyai kemampuan seperti cendawan entomopatogen (Gambar 6.5), dan pada banyak penelitian, spesies Fusarium belum umum digunakan sebagai cendawan entomopatogen. Gambar 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum

14 74 Tingkat keefektifan spesies cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana pada penggunaan LC 95 tinggi dengan proporsi vektor yang lebih rendah. Tampak bahwa cendawan ini akan sesuai digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi. Kemampuan patogen untuk mengendalikan inangnya sangat ditentukan oleh faktor kesesuaian patogen untuk dapat berkecambah, menembus kutikula inang dan juga ditentukan oleh faktor ketersediaan nutrisi pada tubuh inang. Di samping hal tersebut ditunjang oleh faktor lemahnya daya pertahanan inang terhadap spesies patogen tertentu. Dalam hal ini, tidak tersedianya mekanisme enzim yang dapat menghalangi patogen untuk berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh inang. Juga ditunjang oleh ketidak mampuan inang menghindar dari serangan patogen seperti kemampuan untuk berganti kulit sebelum patogen dapat menembus kutikula. Boucias dan Pendland (1998) menyatakan bahwa pada banyak kasus lainnya ada mekanisme kekebalan yang dimiliki oleh serangga untuk mencegah serangan mikroorganisme termasuk cendawan. Sehingga banyak cendawan entomopatogen yang menjadi lemah atau bersifat fakultatif yang hanya bisa menempel, melukai atau melemahkan saja. Selanjutnya Cloyd (2003) menyatakan serangga juga dapat melindungi dirinya dari serangan cendawan dengan menghasilkan toksin anti cendawan yang dapat menghambat perkecambahan spora. Serangga juga dapat berganti kulit dan mengembangkan integumen sebelum cendawan berpenetrasi ke bagian internal tubuh inang. Pada banyak penelitian penggunaan spesies M. anisopliae dan B. bassiana sukses digunakan sebagai agens pengendalian rayap. Namun demikian banyak peneliti masih mencari strain yang benar-benar sesuai untuk digunakan sebagai agens hayati untuk spesies rayap tertentu dan cocok diaplikasikan pada situasi dan iklim yang dikehendaki. Dengan demikian setiap produk bio-termitisida yang berbasiskan cendawan entomopatogen, dalam jangka waktu tertentu perlu mengadakan perbaikan kualitas terhadap agens hayati yang digunakan, karena dianggap tidak selalu stabil pada situasi dan iklim yang berbeda. Dalam hal ini perlu ditelaah lebih jauh tentang adanya keragaman strain di dalam spesies yang sama.

15 75 Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994), dan hal-hal yang mempengaruhi perbedaan intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah geografis asal isolat (Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara fisiologi maupun genetik. Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) Mortalitas (%) Penularan cendawan entomopatogen antar individu rayap tanah C. curvignathus terkontaminasi (vektor) dengan individu rayap sehat di dalam satuan unit percobaan dapat terjadi. Setelah 15 hari dengan menggunakan 10% vektor diinokulasi M. brunneum, mortalitas rayap sebesar 60% dalam populasi dapat teramati (Gambar 6.6). Jika dibandingkan dengan jenis rayap C. gestroi, dengan proporsi vektor dan jangka waktu yang sama, terjadi penurunan mortalitas pada C. curvignathus. Diperkirakan hal ini dapat terjadi karena perbedaan spesies inang sasaran yang digunakan. Di samping itu, kehidupan rayap C. curvignathus dikondisikan hampir sama dengan lingkungan habitat aslinya yang diberi sumber makanan dari kayu pinus dan berada dalam jumlah populasi yang lebih banyak. Keadaan ini selain disebabkan oleh tingkat kerentanan jenis rayap C. gestroi yang diperkirakan berbeda dengan tingkat kerentanan C. curvignathus juga dengan kondisi lingkungan tersebut akan dapat membuat rayap lebih dapat bertahan di dalam menghadapi serangan cendawan M. brunneum. Eaton dan Hale (1993) menyatakan beberapa cendawan entomopatogen yang efektif untuk pengendalian rayap adalah Metarhizium dan Beauveria namun penelitian di lapangan mengindikasikan bahwa sifat patogenisitasnya tidak selalu stabil. Jumlah populasi yang lebih banyak di dalam satuan percobaan rayap C. curvignathus dimungkinkan juga membuat aktivitas sosialnya meningkat, sehingga rayap di dalam koloni lebih dapat mengatasi segala kemungkinan yang mengancam. Hasil penelitian Yanagawa dan Shimizu (2007), menunjukan bahwa prilaku grooming rayap tanah C. formosanus yang dipelihara dalam bentuk

16 76 koloni, sangat effektif memproteksi koloninya dari infeksi M. anisopliae. Dalam hal ini C. formosanus lebih resisten terhadap serangan M. anisopliae bahkan dalam waktu 3 jam, lebih dari 80% konidia yang ada dipermukaan tubuh C. formosanus dapat berpindah ke dalam saluran pencernaan. Kramm et al. 1982; Hanel dan Watson 1983 dalam Strack (2003) menjelaskan, secara alami konidia dapat menempel pada kutikula serangga, dan dengan mudah berpindah ke individu lainnya dengan lazimnya melalui interaksi prilaku koloni. Rayap merupakan serangga sosial yang menarik di dalam berbagai aktivitas yang memerlukan seringnya terjadi kontak fisik langsung dengan anggota koloni. Trophallaxis (pertukaran makanan yang dimuntahkan kembali), proctodeal trophallaxis (mengkonsumsi buangan anal) dan grooming secara teratur merupakan hal yang perlu di dalam koloni. Diperkirakan lewat prilaku grooming propagul cendawan dapat ditransfer dari satu individu vektor ke individu lainnya. Penelitian lain yang dilakukan Yoshimura et al. (1992) tentang uji penularan dengan satu ekor rayap pekerja mati terinfeksi C. coronatus ditempatkan di antara 20 atau 50 rayap pekerja sehat, secara berurutan mortalitas 100 % dapat dicapai dalam waktu 4 dan 5 hari. Penggunaan patogen C. coronatus dalam teknik penularan untuk mengendalikan rayap tanah seperti C. formosanus patut dipertimbangkan 70 Mortalitas dan Penurunan berat contoh uji (%) Mortalitas Vektor Kontrol Variabel pengamatan Penurunan berat contoh uji Gambar 6.6 Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh uji pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.

17 77 Penurunan berat contoh uji (%) Pengujian penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan cendawan entomopatogen M. brunneum terhadap serangan rayap. Hasil penelitian pada perlakuan penularan dengan 10% vektor yang diinokulasi dengan M. brunneum di dalam koloni rayap C. curvignathus di laboratorium, menunjukkan penurunan berat contoh uji berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6.2 ). Tabe Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan. Perlakuan Penurunan berat (%) Vektor 10% 11,27 b Kontrol 47,82 a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%. Penurunan berat contoh uji pada perlakuan vektor 10% mengindikasikan penurunan serangan rayap jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan penularan cendawan M. brunneum di dalam koloni dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme tubuh rayap sehingga menurunkan aktifitas dan daya konsumsi. Menurut Sari et al. (2004) penghambatan aktifitas makan (antifeedant) diindikasikan oleh kehilangan berat contoh uji. Apabila kehilangan berat contoh uji kecil bearti penghambat aktifitas makannya tinggi. Berat contoh uji menurun pada perlakuan 10% vektor sebanyak 11,27% (Tabel 6.2 dan Gambar 6.6). Hal ini diperkirakan sebelum individu rayap sehat terkontaminasi cendawan M. brunneum akibat penularan dari rayap vektor, rayap mampu menyerang contoh uji secara aktif. Namun setelah penularan terjadi, aktifitas rayap dan kemampuan konsumsi menurun sampai terjadi mortalitas. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan periode kematian serangga oleh cendawan entomopatogen umumnya tidak ditandai oleh gejala tertentu pada awal infeksi. Hanya setelah infeksi dan penyebaran cendawan terjadi di dalam tubuh, serangga menjadi kurang aktif. Gejala yang sama juga terlihat pada rayap, tahap ahir infeksi, rayap akan kehilangan tenaga, diam dan kemudian mati. Selanjutnya

18 78 dinyatakan bahwa periode dari infeksi sampai serangga mati sesingkat-singkatnya 3 hari dan selama-lamanya 12 hari, periode ini bervariasi tergantung juga dengan ukuran serangga. Serangan rayap C. curvignathus selain berakibat pada penurunan berat contoh uji, juga terlihat pada tingkatan serangan pada contoh uji (Gambar 6.7). Pada tingkat serangan, perlakuan dengan 10% vektor juga terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat serangan pada kontrol. Gambar 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan. Kesimpulan Mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) di dalam unit percobaan dan lamanya waktu pengamatan. Dengan penggunaan vektor sampai dengan 10% dalam 15 hari pengamatan, cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu menyebabkan mortalitas rayap lebih dari 90% sedangkan mortalitas pada rayap kontrol hanya 5%. Pada uji terhadap rayap C. curvignathus, perlakuan dengan 10% vektor diinokulasi dengan M. brunneum hanya dapat menyebabkan mortalitas 60% (mortalitas kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) selama 15 hari pengamatan.

19 Maaf... Lembar Halaman Ini Pada Aslinya Memang Tidak Ada

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum , M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M.

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum , M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M. 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum, M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M. roridum terhadap C. curvignathus. Kerapatan konidia semua isolat cendawan

Lebih terperinci

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI BAB IV ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN Abstrak Cendawan entomopatogen dari berbagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap Mortalitas H. armigera Mortalitas larva H. armigera merupakan parameter pengukuran terhadap banyaknya jumlah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas imago C. formicarius oleh M. brunneum dan B. bassiana Secara umum data yang diperoleh menunjukan bahwa semakin banyak atau rapat konidia yang digunakan, maka semakin cepat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.))

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.)) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.)) C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi jalar (CIP 1991) dan tersebar di seluruh dunia seperti Amerika, Kenya,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan

BAHAN DAN METODE. Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

Gambar 3. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Gambar 3. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) m. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau dan Rumah Kasa Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau,

Lebih terperinci

Darussalam Banda Aceh Kata kunci : C. curvignathus, M. brunneum, tanaman pala, Biotermitisida.

Darussalam Banda Aceh   Kata kunci : C. curvignathus, M. brunneum, tanaman pala, Biotermitisida. Keefektifan Cendawan Metarhizium brunneum Petch Pada Hama Rayap Perusak Tanaman Pala Di Laboratorium (The Effectiveness Of Metarhizium brunneum Petch Fungi In Termite Pest Plant Destroyer Nutmeg In The

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius NASKAH SKRIPSI Diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah potensial untuk pengembangan komoditas kakao karena sumber daya alam dan kondisi sosial budaya yang mendukung serta luas areal kakao yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi TINJAUAN PUSTAKA Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan pada rata-rata suhu laboratorium 28,25'^C dan kelembaban udara laboratorium 95,9% dengan hasil sebagai berikut: 4.1. Waktu Muncul Gejala Awal Terinfeksi

Lebih terperinci

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer Pathogenicity of Several Isolates of Entomopathogenic Fungi Toward

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patogen Serangga Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga. Patogen masuk ke dalam tubuh

Lebih terperinci

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes. curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer.

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes. curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer. Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer. Pathogenicity of several isolates of entomopathogenic fungi toward

Lebih terperinci

UJI BEBERAPA KONSENTRASI

UJI BEBERAPA KONSENTRASI UJI BEBERAPA KONSENTRASI Metarhizium anisopliae (Metsch) Sorokin UNTUK MENGENDALIKAN HAMA KEPIK HIJAU (Nezara viridula L. ) PADA KACANG PANJANG (Vigna sinensis L.) Unik Susanti (1), Desita Salbiah (2),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bunga anggrek adalah salah satu jenis tanaman hias yang mampu memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, terus menghasilkan ragam varietas anggrek

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Perbanyakan isolat jamur B. bassiana dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Lebih terperinci

VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) di LABORATORIUM

VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) di LABORATORIUM J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 96 Jurnal Agrotek Tropika 5(2): 96-101, 2017 Vol. 5, No. 2: 96 101, Mei 2017 VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang penting dalam pertanian di Indonesia karena memiliki berbagai manfaat, baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Selain memiliki kandungan protein yang tinggi, kedelai juga dapat diolah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu TINJAUAN PUSTAKA Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu pada tepi sayapnya terdapat rambut yang berumbai-umbai ( Jumar, 2000). Thrips merupakan salah satu hama penting

Lebih terperinci

Keterangan : Yijk = H + tti + Pj + (ap)ij + Sijk. Sijk

Keterangan : Yijk = H + tti + Pj + (ap)ij + Sijk. Sijk m. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau Kampus Bina Widya Jin. Bina Widya Km 12,5 Kelurahan Simpang Baru,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama lima bulan yaitu dari bulan Maret sampai dengan Juni dan dilanjutkan kembali bulan November sampai dengan Desember 2011

Lebih terperinci

KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI

KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hama Symphilid Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, berwarna putih dan pergerakannya cepat. Dalam siklus hidupnya, symphylid bertelur dan telurnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedelai (Glycines max L. Merril) Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman eksotik yang diperkirakan berasal dari Manshukuw (Cina) yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Tanaman Phalaenopsis pada setiap botol tidak digunakan seluruhnya, hanya 3-7 tanaman (disesuaikan dengan keadaan tanaman). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan siklus hidup rayap dapat dilihat pada gambar:

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan siklus hidup rayap dapat dilihat pada gambar: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Coptotermes curvignathus Holmgren Menurut Nandika dkk (2003) klasifikasi rayap subteran sebagai berikut : Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli Desember 2011 di Laboratorium Biomaterial dan Biodeteriorasi Kayu Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis BAB III METODE PERCOBAAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis isolat (HJMA-5

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. kehidupannya sangat dekat dengan aktifitas manusia. Kita dapat menemukannya

BABI PENDAHULUAN. kehidupannya sangat dekat dengan aktifitas manusia. Kita dapat menemukannya 1 BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecoa Jerman (Blattella germanica) merupakan serangga hama yang kehidupannya sangat dekat dengan aktifitas manusia. Kita dapat menemukannya di rumah, hotel, restoran,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014):

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014): 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengisap Polong Kedelai (Riptortus linearis) Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014): Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Hemiptera

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh L. lecanii Terhadap Telur Inang yang Terparasit Cendawan L. lecanii dengan kerapatan konidia 9 /ml mampu menginfeksi telur inang C. cephalonica yang telah terparasit T. bactrae

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel buah kopi penelitian dilakukan pada perkebunan kopi rakyat

III. BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel buah kopi penelitian dilakukan pada perkebunan kopi rakyat III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel buah kopi penelitian dilakukan pada perkebunan kopi rakyat di Sumberjaya. Kumbang penggerek buah kopi (H. hampei) diambil dan dikumpulkan

Lebih terperinci

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.1, Desember (553) :

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.1, Desember (553) : Uji Efektivitas Metarhizium anisopliae Metch. dan Beauveria bassiana Bals. terhadap Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Kedelai (Glicyne max L.) di Rumah Kassa Effectivity test Metarhizium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and Development, PT Gunung Madu Plantations (PT GMP), Kabupaten Lampung Tengah.

Lebih terperinci

Departemen Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Departemen Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Potensi Cendawan Metarhizium brunneum Petch sebagai Bio Insektisida untuk Pengendalian Rayap Macrotermes gilvus Hagen pada Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L) (Potential of Fungus Metarhizium brunneum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi (Coffea spp.) Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% diekspor sedangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis

PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis PENDAHULUAN Latar belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Industri minyak sawit merupakan kontributor penting dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Kesehatan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Lapangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hama Pengisap Polong Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA. Hama Pengisap Polong Kedelai 3 TINJAUAN PUSTAKA Hama Pengisap Polong Kedelai Hama pengisap polong kedelai ada tiga jenis, yaitu kepik hijau Nezara viridula (L.), kepik hijau pucat Piezodorus hybneri (Gmel.), dan kepik coklat Riptortus

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENULARAN BEBERAPA ISOLAT JAMUR PATOGEN. SERANGGA Metarhizium anisopliae OLEH RAYAP PEKERJA. Coptotermes curvignathus

EFEKTIVITAS PENULARAN BEBERAPA ISOLAT JAMUR PATOGEN. SERANGGA Metarhizium anisopliae OLEH RAYAP PEKERJA. Coptotermes curvignathus EFEKTIVITAS PENULARAN BEBERAPA ISOLAT JAMUR PATOGEN SERANGGA Metarhizium anisopliae OLEH RAYAP PEKERJA Coptotermes curvignathus (Effectiveness of Transmission of Some Isolates of Entomopathogenic Fungus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

BABHI BAHAN DAN METODE

BABHI BAHAN DAN METODE BABHI BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di rumah kasa dan Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan

Lebih terperinci

APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF?

APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF? APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF? Annisrien Nadiah, SP POPT Ahli Pertama Balai Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya Kesadaran masyarakat akan dampak penggunaan pestisida sintetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Helicoverpa armigera Hubner merupakan serangga yang bersifat polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari 60 spesies tanaman budidaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan 15 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Bactrocera sp. (Diptera : Tephtritidae) Siklus hidup lalat buah mengalami 4 stadia yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Lalat buah betina memasukkan telur ke dalam kulit buah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kedelai (Glycine max L. Merril) Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dan rendah kolesterol dengan

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN ENTOMOPATOGENIK

KEEFEKTIFAN ENTOMOPATOGENIK KEEFEKTIFAN ENTOMOPATOGENIK Beauveria bassiana Vuill. DARI BERBAGAI MEDIA TUMBUH TERHADAP Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) Di Laboratorium Surtikanti dan M.Yasin Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Serangga Vektor

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Serangga Vektor HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Serangga Vektor Kutudaun Aphis craccivora yang dipelihara dan diidentifikasi berasal dari pertanaman kacang panjang, sedangkan A. gossypii berasal dari pertanaman cabai.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) yang lebih dikenal dengan ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Natawigena,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. 3.2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

PENGARUH MACAM MEDIA DAN JENIS ISOLAT Beauveria bassiana TERHADAP PRODUKSI SPORA KERING KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

PENGARUH MACAM MEDIA DAN JENIS ISOLAT Beauveria bassiana TERHADAP PRODUKSI SPORA KERING KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) PENGARUH MACAM MEDIA DAN JENIS ISOLAT Beauveria bassiana TERHADAP PRODUKSI SPORA KERING KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Proram Pendidikan Strata Satu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di Rumah Kasa Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 m dpl pada Bulan Mei

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi Agroekoteknologi,

Lebih terperinci

Suprayogi, Marheni*, Syahrial Oemry

Suprayogi, Marheni*, Syahrial Oemry Uji Efektifitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae terhadap Kepik Hijau (Nezara viridula L.) (Hemiptera ; Pentatomidae) pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa

Lebih terperinci

The Effect of Lecanicillium lecanii on Armyworms (Spodoptera litura) Mortality by In Vitro Assays

The Effect of Lecanicillium lecanii on Armyworms (Spodoptera litura) Mortality by In Vitro Assays ISSN: 2252-3979 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio Pengaruh Pemberian Cendawan Lecanicillium lecanii terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura)secara In Vitro The Effect of Lecanicillium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Di beberapa perkebunan kelapa sawit masalah UPDKS khususnya ulat kantong M. plana diatasi dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang mampu menurunkan populasi hama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap larva Spodoptera litura. Isolat lokal yang digunakan untuk adalah DKS-

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap larva Spodoptera litura. Isolat lokal yang digunakan untuk adalah DKS- BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Patogenisitas Nematoda Entomopatogen dengan Berbagai Konsentrasi Terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura Mortalitas merupakan indikator patogenisitas nematoda entomopatogen

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan November 2011 di Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas

Lebih terperinci

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Isolasi dan perbanyakan sumber inokulum E. carotovora dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae)

Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae) Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., September 2009, Vol. 6, No. 2, 53-59 Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data tiga tahun terakhir pada Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia menunjukkan bahwa terjadi penurunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang dan Masalah Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat berpotensi dalam perdagangan buah tropik yang menempati urutan kedua terbesar setelah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Benih Indigofera yang digunakan dalam penelitian ini cenderung berjamur ketika dikecambahkan. Hal ini disebabkan karena tanaman indukan sudah diserang cendawan sehingga

Lebih terperinci

Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5% setelah di transformasi log Y.

Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5% setelah di transformasi log Y. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan pada rata-rata suhu rumah kasa 26-27 C dan kelembaban udara rumah kasa 85-89% dengan hasil sebagai berikut: 4.1. Waktu Muncul Gejala Awal (Jam) Hasil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2011, bertempat di Laboratorium Biomaterial dan Biodeteriorasi Kayu, Pusat Penelitian

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS JAMUR Beauveria bassiana TERHADAP HAMA Helopeltis sp. YANG MENYERANG TANAMAN KAKAO. Syamsul Makriful Akbar 1 dan Mariani 2 ABSTRAK

EFEKTIVITAS JAMUR Beauveria bassiana TERHADAP HAMA Helopeltis sp. YANG MENYERANG TANAMAN KAKAO. Syamsul Makriful Akbar 1 dan Mariani 2 ABSTRAK EFEKTIVITAS JAMUR Beauveria bassiana TERHADAP HAMA Helopeltis sp. YANG MENYERANG TANAMAN KAKAO Syamsul Makriful Akbar 1 dan Mariani 2 1 Alumni Fakultas Pertanian Universitas Nahdlatul Wathan Mataram 2

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia kopi merupakan salah satu komiditi ekspor yang mempunyai arti

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia kopi merupakan salah satu komiditi ekspor yang mempunyai arti 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kopi merupakan salah satu komiditi ekspor yang mempunyai arti yang cukup penting. Selain sebagai komoditi ekspor, kopi juga merupakan komoditi yang dikonsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepik hijau (Nezara viridula L.) merupakan salah satu hama penting pengisap

I. PENDAHULUAN. Kepik hijau (Nezara viridula L.) merupakan salah satu hama penting pengisap 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kepik hijau (Nezara viridula L.) merupakan salah satu hama penting pengisap polong pada pertanaman kedelai, padi, dan kacang panjang. Hama kepik hijau termasuk

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola adalah sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta : Eumycotina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) TINJAUAN PUSTAKA Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae) Biologi Gambar 1. Telur C. sacchariphagus Bentuk telur oval, datar dan mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Suryanto, 2007). Hama diartikan sebagai organisme baik mikroba, tanaman,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Suryanto, 2007). Hama diartikan sebagai organisme baik mikroba, tanaman, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Serangga Hama dan Pengendaliannya Masalah yang diakibatkan hama tanaman sudah tidak asing bagi para petani baik tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan (Surachman dan Suryanto,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang mempunyai peran dan sumbangan besar bagi penduduk dunia. Di Indonesia, tanaman kedelai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

HAMA DAN PENYAKIT BENIH Oleh: Eny Widajati

HAMA DAN PENYAKIT BENIH Oleh: Eny Widajati HAMA DAN PENYAKIT BENIH Oleh: Eny Widajati SERANGGA HAMA Di lapang Di gudang Menyerang benih dengan kadar air masih tinggi Mampu menyerang benih berkadar air rendah Serangga hama di penyimpanan dibedakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

Patogenitas Cendawan Entomopatogen Nomuraea rileyi (Farl.) Sams. terhadap Hama Spodoptera exigua Hübner (Lepidoptera: Noctuidae)

Patogenitas Cendawan Entomopatogen Nomuraea rileyi (Farl.) Sams. terhadap Hama Spodoptera exigua Hübner (Lepidoptera: Noctuidae) Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., September 2008, Vol. 5, No. 2, 108-115 Patogenitas Cendawan Entomopatogen Nomuraea rileyi (Farl.) Sams. terhadap Hama Spodoptera exigua Hübner (Lepidoptera:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) larva penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai 77 PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai Varietas cabai yang tahan terhadap infeksi Begomovirus, penyebab penyakit daun keriting kuning, merupakan komponen utama yang diandalkan dalam upaya pengendalian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB (PKBT-IPB) Pasir Kuda, Desa Ciomas, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Wawancara Pengamatan dan Pengambilan Contoh

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Wawancara Pengamatan dan Pengambilan Contoh 21 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di enam perkebunan buah naga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari tiga kabupaten. Kebun pengamatan di Kabupaten

Lebih terperinci

J. HPT Tropika. ISSN Trizelia et al. Virulensi Berbagai Isolat Jamur Entomopatogen 151 Vol. 13, No. 2: , September 2013

J. HPT Tropika. ISSN Trizelia et al. Virulensi Berbagai Isolat Jamur Entomopatogen 151 Vol. 13, No. 2: , September 2013 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Trizelia et al. Virulensi Berbagai Isolat Jamur Entomopatogen 151 Vol. 13, No. 2: 151 158, September 2013 VIRULENSI BERBAGAI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN METARHIZIUM SPP. TERHADAP

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. I. MATERI DAN METODE 1.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium Patologi, Entomologi dan Mikrobiologi Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam

Lebih terperinci

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter PEMBAHASAN UMUM Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatam dalam upaya mendapatkan genotipe tahan. Salah satu metode pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan

Lebih terperinci