KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI"

Transkripsi

1 KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bawah disertasi Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2007 Desyanti NIM E

3 iii ABSTRAK DESYANTI. Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal. Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF dan TEGUH SANTOSO Rayap tanah Coptotermes spp. adalah salah satu dari banyak hama yang menyebabkan kerusakan serius pada produk hasil kayu khususnya sebagai material bangunan. Beberapa metode pengendalian rayap telah berhasil dilaksanakan di Indonesia, di antaranya penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah, impregnasi ke dalam kayu dan metode pengumpanan serta penghalang fisik. Namun pengendalian hayati menggunakan cendawan entomopatogen belum banyak dilakukan di Indonesia. Cendawan diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam seperti ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR., Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Fusarium oxysporum Link, dan Fusarium solani Link telah ditemukan dari berbagai sumber inokulum di alam. B. bassiana merupakan spesies yang paling dominan ditemukan. Uji tapis mengindikasikan bahwa cendawan yang ditemukan umumnya bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas rayap Coptotermes gestroi Wasmann lebih dari 60% setelah 6 hari diinokulasi. Bahkan M. anisopliae dari inang penghisap polong kedele, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari inang rayap tanah dapat membunuh rayap 100% setelah 6 hari inokulasi. Berkenaan dengan kerapatan konidia, hasil penelitian memperlihatkan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia menyebabkan mortalitas rayap lebih tinggi. Nilai lethal concentration (LC) dari masing-masing spesies berbeda. Dalam hal ini M. brunneum dari pasir memiliki LC 50 terendah, yaitu 1,8 x 10 5 konidia/ml. Aplikasi dengan metode kontak menyebabkan mortalitas dalam waktu yang lebih singkat (LT 50 = 2,01 hari) dibandingkan dengan metode pengumpanan (LT 50 = 4,83 hari). Uji penularan patogen di laboratorium terhadap rayap C. gestroi, mengindikasikan korelasi antara mortalitas dengan proporsi vektor: mortalitas rayap meningkat dengan meningkatnya proporsi vektor. Pada penggunaan proporsi vektor 10%, mortalitas yang disebabkan oleh B. bassiana, M. anisopliae dan M. brunneum pada LC 95 tidak berbeda nyata (>90%). Pada uji terhadap rayap tanah C. curvignathus, spesies cendawan M. brunneum hanya menyebabkan 60% mortalitas (mortalitas rayap pada kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) 15 hari setelah inokulasi. Sebagai kesimpulan penelitian ini, rayap yang diperlakukan (vector) dapat menyebarkan penyakit yang disebabkan cendawan terhadap individu rayap sehat lainnya. Key words: bio-kontrol, uji tapis, LC, LT, penularan, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.

4 iv ABSTRACT DESYANTI. Study on Bio-control of Subterranean Termites Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) using indigenous Isolates of Entomopathogenic Fungi. Under the Direction of YUSUF SUDO HADI, SULAEMAN YUSUF and TEGUH SANTOSO Subterranean termite Coptotermes spp. is one of the important pests causing serious damage of wood product especially as building material. Some methods for termite control currently practiced in Indonesia are the use of termiticides as soil treatment, impregnation in to the wood, baiting and physical barrier. The use of bio-control agent such entomopathogenic fungi is only at the beginning stage. The fungi were isolated from various hosts in nature such as cabbage heart caterpillar (Crocidolomia pavonana F.), army worm (Spodoptera litura F.), rice bug (Leptocorisa oratorius F.), pod-sucking bug (Riptortus liniaris L.), subterranean termite (Coptotermes curvignathus Holmgren.), soil and sand. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill, Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Myrothecium roridum Tode EXFR, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown and Smith, Penicillium citrinum Thom., Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link, Fusarium oxysporum Link, and Fusarium solani Link have been found from various hosts. B. bassiana was the most commonly fungus species found. The screening test indicated that the fungi are generally pathogenic to termite Coptotermes gestroi Wasmann and could cause termite mortality more than 60% within 6 days. M. anisopliae from infected pod-sucking bug, M. brunneum from sand, M. roridum from soil, B. bassiana from infected rice bug, F. oxysporum from infected army worm and A. flavus from infected subterranean termite could kill 100% termites within 6 days. Regarding the density of conidia, the result revealed that the higher level of density of conidia caused higher mortality of termite. The value of lethal concentration (LC) of each species are different. In this case M. brunneum from sand had the lowest LC 50, i.e. 1.8 x 10 5 conidia/ml. For application purpose, the contact method caused mortality in few days (LT days) as compared with baiting method (LT 50 4,83 days). Transmission tests of pathogen indicated that on C. gestroi in the laboratory, there was correlation between termite mortality with vector proportion, the mortality of termite increased as vector proportion increased. By using 10% termite vector, mortality caused by B. bassiana, M. anisopliae and M. brunneum at LC 95, termite mortality was not significantly different (>90%). Against subterranean termites of C. curvignathus, fungi M. brunneum only caused 60% mortality of termites within 15 days after application, while termite mortality in control was observed as 13.25% and specimens weight loss 11,27% (control 47,82%). It is concluded that in this study, treated termites (vector) could transmit the fungal disease to other healthy ones. Key words: bio-control, screening, LC, LT, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus.

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya v

6 vi KAJIAN PENGENDALIAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. (ISOPTERA: RHINOTERMITIDAE) DENGAN MENGGUNAKAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN ISOLAT LOKAL DESYANTI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr.Ir. Idham Sakti Harahap, MSi. Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Dodi Nandika, MS 2. Dr. Yanni Sudiyani, M.Agr. vii

8 viii Judul Disertasi : Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal Nama : Desyanti NIM : E Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. Ketua Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr. Anggota Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 15 Mei 2007 Tanggal Lulus: 16 Agustus 2007

9 ix PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga disertasi dengan judul Kajian Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ucapkan penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M. Agr. Bapak Dr. Sulaeman Yusuf. M. Agr. dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, kritik, saran dan fasilitas sarana maupun prasarana selama penulisan rancangan penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi hingga selesai. Semoga amal kebaikan yang disertai keikhlasan dari Bapak akan senantiasa dilimpahkan rahmat dan karunia Allah SWT, Amin. Ucapan yang sama juga penulis ucapkan ke pada Bapak Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, MSi, Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS dan Ibu Dr. Yanni Sudiyani, MAgr. yang telah berkenan sebagai penguji luar komisi, terima kasih atas saran dan masukannya pada penyempurnaan disertasi ini. Seterusnya penulis juga mengucapkan terima kasih Kepada Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Bapak Koordinator KOPERTIS wilayah X dan Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dan ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dan seluruh staf pengajar, pengelola BPPS Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, atas kesempatan dan dukungan dana yang telah diberikan hingga penyelesaian studi yang penulis jalankan dapat terlaksana dengan baik. Kepada Bapak Dr. Ir. Edi Suhaimi Bakar M.Agr, Ibu Dr. Yanni Sudiyani M.Agr., Didi Tarmadi S.Hut. diucapkan terima kasih atas pengarahan awal tentang materi penelitian, dan bantuan diawal penelitian sehingga dapat menapaki keberhasilan di dalam pelaksanaan penelitian ini. Kepada orang tua (Alm) terima kasih atas kasih sayang, motifasi untuk selalu mementingkan pendidikan yang senantiasa diberikan didalam menjalani kehidupan ini, doa, dan dorongan moril maupun material yang telah diberikan pada ananda dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan yang tiada berahir sampai ahir hayat. Selanjutnya kepada Ibu dan Ayah mertua, teristimewa buat Suami tercinta yang senantiasa memberi semangat serta telah dengan ikhlas mendampingi dengan suka maupun duka selama menjalani studi, seterusnya buat Adik-adikku, keponakan, keluargaku di Padang dan Solo, kakak dan adik Ipar serta semua keluarga di Jakarta, terimakasih atas semua bantuannya moril maupun material. Kepada Teman-temanku di program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Laboran di Laboratorium Kayu Solid, Keteknikan Kayu, Panel-panel Kayu dan Kimia Kayu Fakultas Kehutanan, Teman-teman serta adik-adik di Laboratorium Patologi Serangga, Teman-teman dan Laboran di Laboratorium Biologi Hasil Hutan PSIH IPB, serta teman-teman yang tidak bisa penulis sebut satu persatu di

10 sini juga diucapkan terimakasih atas bantuannya dan kebersamaan selama penulis mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal kebaikan kepada semuanya dengan balasan kebaikan yang tidak terhingga. Akhir kata, semoga karya tulisan ini bermanfaat untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di bidang Teknologi Hasil Hutan dan Patologi Serangga. x

11 xi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjung Bonai Kec. Lintau Buo, Kab. Tanah Datar Sumatera Barat 17 Desember 1964, anak pertama dari 3 bersaudara dari Bunda Rahma (almarhuma) dan Bapak Kaliman (almarhum). Beliau telah memberikan bekal pendidikan yang baik sehingga penulis dapat meraih pendidikan ini dan hidup mandiri. Pendidikan dari Taman kanak-kanak sampai dengan SMA penulis selesaikan di Lintau, kemudian tahun 1984 penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat dan pada tahun 1991 sampai dengan 1997 penulis bekerja sebagai asisten dosen pada Fakultas yang sama. Pada tahun 1997 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan memperoleh Magister of Science pada tahun 2000, kemudian pada tahun 2002 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi yang sama Sekolah Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dari tahun 2000 sampai sekarang. Selama menjalankan pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis telah menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) dan JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science. Penulis juga telah mengikuti Seminar Nasional yaitu pada Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) VI di Bukittinggi 1-3 Agustus 2003, MAPEKI VII di Makasar 5-7 Agustus 2004 dan MAPEKI IX di Banjarmasin Agustus 2006 (masing-masing makalah dipublikasi pada Proceeding MAPEKI VI, VII dan IX), Simposium Internasional yaitu The 6 th International Wood Science Symposium (IWSS), Bali, August 29-31, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding IWSS 6), publikasi pada proceeding Pacific Rim Termite Research Group (TRG 2), Bangkok, March 2005, Konferensi Internasional The 1 st International Conference of Crop Security (ICCS), Malang, September, 20 th 22 nd, 2005 (makalah dipublikasi pada proceeding ICCS 1), dan publikasi pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) sedang dalam peroses. Makalah pada MAPEKI ke 7, IWSS ke 6, TRG 2, ICCS ke 1 dan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah merupakan bahagian dari disertasi penulis.

12 xii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... halaman xiii xiv BAB I. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan dan Kegunaan Khusus... 3 Hasil yang Diharapkan... 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 5 Rayap... 5 Pengendalian Rayap... 7 Cendawan Entomopatogen... 9 BAB III. BAHAN DAN METODE Tahap Persiapan Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann 15 Metode Kontak dan Umpan Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium Analisis Data BAB IV. ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Isolasi dan Identifikasi Patogenisitas dan Virulensi Sporulasi in Vivo Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi Kesimpulan... 42

13 xiii BAB V. KEEFEKTIFAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMO- PATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN UMPAN Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Uji Patogenisitas Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium Kesimpulan BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RA- YAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM. 61 Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum Antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) 75 Kesimpulan BAB VII. PEMBAHASAN UMUM BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 97

14 xiv DAFTAR TABEL Tabel halaman 4.1. Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan dalam penelitian Lethal Concentration (LC) beberapa spesies cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan metode kontak dan pengumpanan Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan... 77

15 xv DAFTAR GAMBAR Gambar halaman 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah Coptotermes gestroi dan Coptotermes curvignathus di laboratorium Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal berumur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. Oxysporum (13 hari) Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran 1000 x Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen (10 7 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi (kontrol 11,25%) Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo) dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen (10 7 konidia/ml) Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi Laju mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann setelah 6 hari diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (10 7, , 10 6, , 10 5 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh B. bassiana (A) dan M. brunneum (B) Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomopatogen M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengumpanan (7 hari setelah aplikasi) Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (kontrol 5%)... 67

16 xvi Gambar halaman 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkontaminasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi) Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi.vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi) Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh uji pada perlakuan 10 % vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan Potensi cendawan entomopatogen yang diisolasi dari sumber inokulum di alam sebagai agens pengendalian hayati rayap tanah Coptotermes spp... 79

17 xvii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran halaman 1. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) yang Digunakan pada Penelitian 97

18 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang hangat sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sesuai bagi berbagai organisme perusak kayu seperti rayap, cendawan maupun serangga lainnya dengan keragaman yang tinggi. Diperkirakan hampir 80 85% dari luas daratan di Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika 1999). Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies rayap yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok ekologi yang berbeda: kayu lembab, kayu kering, tanah (subterranean), arboreal/mound builder dan pohon. Kurang 15% dari keragaman spesies rayap tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh manusia, dan sekitar 150 spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku kayu. Dari sekian banyak spesies rayap 10% atau 200 spesies lebih ditemukan di Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama perusak kayu dan tanaman (Tarumingkeng 2001; Nandika et al. 2003; Yusuf 2004; Lewis 2006). Diperkirakan berbagai spesies rayap perusak kayu dan bangunan akan terus menjadi bagian integral dari ekosistem Indonesia. Meluasnya pembangunan gedung dan pemukiman ke seluruh pelosok daerah cenderung meningkatkan integrasi antara koloni rayap dengan bangunan, yang berarti ancaman bahaya serangan rayap terhadap kayu dan bangunan di Indonesia semakin tinggi. Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes spp, merupakan spesies rayap perusak kayu bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangan spesies rayap ini paling mencolok dibandingkan dengan kerusakan oleh serangan organisme perusak yang lain, dan keadaan ini diperburuk dengan penggunaan spesies-spesies kayu yang keawetannya rendah. Oleh karena itu pengendalian rayap tanah sangat diperlukan untuk mempertahankan masa pakai kayu pada suatu bangunan. Sampai saat ini berbagai teknologi pengendalian rayap telah dicoba, antara lain adalah: 1) Penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah atau dengan cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), 2) Menggunakan penghalang fisik (physical barrier) yaitu untuk mencegah penetrasi rayap pada

19 2 bangunan dan 3) Teknologi pengumpanan (baiting), untuk mengeliminasi koloni rayap. Pemanfaatan bahan kimia seperti organochlorine sangat efektif untuk pengendalian rayap namun membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Persistensinya yang bertahan lama di lingkungan menyebabkan jenis pestisida ini masuk ke dalam rantai makanan manusia. Sebagai alternatif lain penggunaan organophosphates dan synthetic pyrethroids selain efektif dianggap mempunyai resiko rendah terhadap mammalia dan lingkungan. Di samping penggunaan penghalang fisik seperti penggunaan granit, pasir, koral dan termite mesh untuk pengendalian rayap, perkembangan termitisida saat ini telah mengarah pada penggunaan bahan kimia dengan reaksi lambat seperti hexaflumuron dan bistrifluron (Sornnuwat 1996; Tarumingkeng 2000; Kubota et al. 2007). Pengendalian rayap secara biologi menggunakan agens hayati dari golongan cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen merupakan alternatif lain pengendalian rayap tanah (Pearce 1997). Penggunaan agens hayati tersebut untuk pengendalian rayap merupakan suatu wacana baru yang belum digunakan di Indonesia (Yusuf et al. 2005). Namun dari beberapa publikasi di negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan Perancis, penggunaan agens hayati dari golongan cendawan entomopatogen tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap. Pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hayati rayap dengan proses atau metode penularan secara langsung maupun tidak langsung, merupakan suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik dikembangkan. Selain mempunyai arti strategis karena dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengendalian rayap secara hayati, juga tidak berbahaya bagi lingkungan maupun pemakainya. Studi pemakaian cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah spesies Coptotermes spp. telah dilakukan (Suzuki 1991; Jones et al. 1996; Delate et al. 1995). Cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin dan Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin yang termasuk kelas Hyphomycetes merupakan spesies yang paling cocok untuk pengendalian rayap (Khan et al. 1991; Suzuki 1991; Milner, et al. 1996). Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan

20 3 M. anisopliae adalah: C dengan kelembaban 70-95%, dengan demikian kondisi Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok. Pada penelitian ini dipelajari cendawan entomopatogen yang diisolasi dari beberapa sumber inokulum yang terdapat di alam dan dikaji potensinya sebagai bahan pengendalian rayap yang ramah lingkungan. Perumusan Masalah Kerusakan kayu bangunan yang diakibatkan oleh rayap di Indonesia sudah sangat besar, apalagi kayu-kayu bangunan pada masa kini hanya ditunjang oleh kayu-kayu yang mempunyai kualitas awet rendah. Bahan kimia yang digunakan untuk mengawetkan kayu kebanyakan berasal dari bahan kimia yang sangat berbahaya bukan hanya terhadap penghuninya melainkan juga terhadap lingkungan. Penggunaan mikrob untuk menekan laju perkembangan rayap adalah salah satu cara pengendalian yang sangat ideal agar keseimbangan lingkungan dapat tercapai dan tidak membahayakan terhadap pemakainya. Cendawan yang bersifat entomopatogen banyak ditemukan pada berbagai spesies hama tanaman yang telah mati di lapangan, diduga cendawan-cendawan tersebut mempunyai peranan besar atas kematian hama tersebut. Apabila cendawan dapat diisolasi dari tubuh serangga tersebut, maka hal ini akan membuka wacana baru dalam dunia pengawetan kayu, sehingga perkembangan rayap dapat dikendalikan dengan penggunaan cendawan entomopatogen. Tujuan dan Kegunaan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan tingkat keefektifan masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah Coptotermes spp.. Selain hal ini juga bertujuan untuk mengetahui metode penginfeksian serta penularan cendawan di dalam koloni rayap tanah. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar maupun sumber informasi bagi pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. dengan menggunakan beberapa spesies cendawan entomopatogen yang efektif dengan metode infeksi dan penularan yang sesuai. Sehingga teknologi proses pemanfaatan mikrob cendawan untuk pembuatan bahan pengendalian rayap diharapkan dapat mendukung industri pestisida. Di samping itu sejalan dengan perhatian dan kesadaran masyarakat akan

21 4 masalah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran akibat penggunaan bahan kimia anti rayap yang terus meningkat. Dengan demikian penelitian ini dapat mendukung perkembangan dan daya saing industri pengendalian rayap di masa mendatang. Secara umum penelitian ini terkait dengan pendayagunaan sumberdaya alam hayati yang lebih mengefisienkan pemanfaatan mikrob. Hasil yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan: 1. Informasi tentang keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. 2. Tingkat keefektifan cendawan dan persentase vektor efektif untuk pengendalian koloni rayap tanah Coptotermes spp. 3. Menemukan metode yang cocok untuk pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di laboratorium. 4. Langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di Indonesia

22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Rayap Indonesia merupakan wilayah sebaran rayap yang penting di dunia, baik ditinjau dari keragaman jenis serangga tersebut yang mencapai tidak kurang dari 200 jenis atau kurang lebih 10% dari keragaman jenis rayap di dunia, maupun ditinjau dari luasnya sebaran geografis dari Aceh sampai Papua. Kondisi iklim dan tanah serta keragaman jenis tumbuhan di Indonesia yang tinggi sangat mendukung kehidupan rayap, dan 80% daratan Indonesia merupakan habitat yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini (Nandika et al. 2003). Beberapa faktor dapat menyebabkan rayap menyerang bangunan, antara lain kayu yang tertimbun tanah pada waktu pembangunan, ada celah pada pondasi tembok, sistem ventilasi kurang baik, kayu yang berhubungan langsung dengan tanah dan kondisi biofisik tapak bangunan itu sendiri yang menguntungkan kehidupan rayap. Menurut Lewis (2006) perkiraan kerugian yang ditimbulkan oleh rayap secara global sulit ditemukan pada referensi tetapi pasti mencapai milyaran dollar Amerika setiap tahun. Di Indonesia, pada tahun 2000 kerugian ekonomi yang disebabkan oleh serangan rayap pada bangunan diperkirakan mencapai juta dollar Amerika (Yusuf 2004). Rayap merupakan serangga sosial yang tergolong ke dalam ordo Isoptera yang hidup dalam satu koloni dengan organisasi individu yang secara morfologi dibedakan menjadi bentuk dan kasta yang berlainan. Kasta yang terdapat di dalam koloni rayap meliputi kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif, masing-masing kasta melakukan fungsi yang berbeda satu dengan lainnya (Pearce 1997). Kasta pekerja merupakan anggota yang sangat penting dalam koloni rayap, tidak kurang dari 80 95% populasi dalam koloni rayap merupakan individuindividu kasta pekerja. Kasta pekerja umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga nampak menyerupai nimfa. Kasta prajurit berfungsi melindungi koloni terhadap gangguan dari luar, khususnya semut dan vertebrata predator. Kasta prajurit mampu menyerang musuhnya

23 6 dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Biasanya gigitan kasta prajurit pada tubuh musuhnya sukar dilepaskan sampai prajurit itu mati sekalipun (Nandika et al. 2003) Kasta reproduktif terdiri dari individu-individu seksual yaitu betina (ratu) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina. Kasta ini dibedakan menjadi kasta reproduktif primer dan kasta reproduktif suplementer atau neoten. Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga-serangga dewasa yang bersayap dan merupakan pendiri koloni. Menurut Richard dan Davies (1996) neoten muncul segera setelah kasta reproduktif primer mati atau hilang setelah pemisahan koloni. Neoten dapat terbentuk beberapa kali dalam jumlah yang besar sesuai dengan perkembangan koloni. Selanjutnya, neoten menggantikan fungsi kasta reproduktif primer untuk perkembangan koloni. Krishna dan Weesner (1969) menyatakan rayap adalah serangga sosial yang dapat diklasifikasikan ke dalam 6 famili dan 15 sub famili. Famili tersebut adalah: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Rayap tanah genus Coptotermes termasuk ke dalam sub famili Coptotermitinae famili Rhinotermitidae. Menurut Tambunan dan Nandika (1987), Coptotermes spp. merupakan salah satu rayap tanah paling luas serangannya di Indonesia, dan diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Sub-klas : Pterigota Ordo : Isoptera Famili : Rhinotermitidae Sub-famili : Coptotermitinae Genus : Coptotermes Thapa (1981) menyatakan genus Coptotermes memiliki kepala bewarna kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat, bentuk kepala bulat ukuran panjang sedikit lebih besar dari lebarnya, memiliki fontanel yang lebih lebar. Antena rata-rata terdiri dari 15 segmen; segmen kedua dan segmen ke empat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya; sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala

24 7 tanpa mandibel 1,56 mm 1,68 mm. Lebar kepala 1,40 mm 1,44 mm. Bagian abdomen yang bewarna putih kekuning-kuningan ditutupi rambut menyerupai duri. Suratmo (1974) menyatakan panjang badan kasta reproduktif 7,5 mm 8,0 mm, kasta pekerja 4,5 mm 5,0 mm dan prajurit 5,0 mm 5,3 mm. Tarumingkeng (2004) menyatakan, di Indonesia jenis Coptotermes yang telah teridentifikasi adalah a). Coptotermes curvignathus Holmgren merupakan jenis terbesar dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 14-16, panjang kepala prajurit (termasuk mandibel) 2,4-2,6 mm. b). Coptotermes travians Holmgren dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 13-15; panjang kepala prajurit 1,8-2,1 mm mandibel relatif pendek, kira-kira sepanjang setengah panjang kepala c). Coptotermes havilandi Holmgren (C. javanicus Kemner) dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit 15-18; panjang kepala prajurit 2,0-2,2. Mandibel lebih panjang dari pada C. travians d). Coptotermes kalshoveni Kemner dengan ciri, jumlah ruas antena prajurit panjang kepala prajurit 1,6-1,7 mm. Jenis ini merupakan yang terkecil di antara genus Coptotermes. Pengendalian Rayap Pengendalian rayap tanah di Indonesia telah banyak dilakukan dengan cara mengimpregnasikan bahan pengawet (termitisida) ke dalam kayu, melakukan penyemprotan ke dalam tanah (soil treatment), sistim pengumpanan dan kontak langsung. Yusuf (2001b), menyatakan bahwa sampai saat ini upaya pengendalian rayap yang populer di Indonesia adalah melalui penggunaan insektisida, baik metode perlakuan kayu maupun perlakuan tanah (soil treatment); dengan cara tersebut akan terbentuk rintangan kimiawi (chemical barrier) baik di kayu maupun tanah sekeliling bangunan. Menurut Pearce (1997), metode tradisional meliputi pencelupan kayu pada aspal batu bara, petrol, creosote atau pentachlorophenol, juga dapat memberikan perlindungan pada kayu untuk beberapa tahun. Selain hal tersebut membakar pada bahagian ujung kayu yang kontak dengan tanah atau melapisi kayu dengan minyak mesin atau diesel juga dapat memberikan perlindungan jangka pendek.

25 8 Garam metal dan oksida, seperti merkuri klorida, copper sulphate, merkuri, zinc oksida dapat efektif untuk 3-5 tahun. Chlorpyrifos, permethrin, bifenthrin, cypermethrin dan deltamethrin juga efektif, tetapi lebih mahal dan kegunaannya dibatasi untuk bangunan yang bernilai tinggi. Pearce (1997) menyatakan bahwa, teknik pengumpanan lebih menguntungkan karena tanah tidak lagi terkontaminasi oleh bahan kimia, dan dapat meringankan pekerjaan dari perlakuan yang intensif. Caranya yaitu menempatkan umpan yang tidak beracun dekat koloni rayap dan kemudian mengulangi penempatan umpan yang mengandung racun. Keefektifan umpan tergantung pada perilaku rayap, yang penting rayap harus dapat menemukan umpan dan dengan reaksi racun yang lambat rayap dapat menyebarkan ke koloninya. Hal tersebut dapat terlaksana jika umpan lebih menarik dari pada makanan di sekeli-lingnya. Gula, madu, penambahan jamur pelapuk, asam amino, sumber nitrogen bahkan feromon dapat meningkatkan laju konsumsi. Yusuf (2001a), melakukan penelitian pengendalian terhadap rayap tanah Coptotermes sp. dengan menggunakan chlorpenapyr pada berbagai konsentrasi dengan sistem pengumpanan, hasil penelitiannya menunjukan bahwa waktu aplikasi dan konsentrasi perlakuan sangat mempengaruhi mortalitas yang terjadi. Chlorpenapyr juga dapat diaplikasikan dengan metode duster (Yusuf, 2001b). Perlakuan pada kayu yang juga penting adalah fumigasi, baik dengan sulphuryl fluoride atau methyl bromides. Perlindungan museum, perpustakaan dan tempat penyimpanan dokumen cocok menggunakan cara fumigasi ini terutama untuk serangan rayap kayu kering. Selain ini juga digunakan electroguns yang mengandalkan gas galleries. Metode lebih baru yang sedang dicobakan adalah membakar propane (gas metan) dekat kayu yang terinfeksi rayap dengan menaikan suhu sampai 66 o C; cara ini bermanfaat untuk perlakuan khusus pada rayap kayu kering (Pearce 1997). Cara pengendalian lainnya, seperti dengan menggunakan nematoda entomopatogen Steinernema carpocapsae juga dapat dilakukan (Bakti 2004). Cates (2007) menyatakan bahwa, penggendalian serangga dapat juga menggunakan agens hayati lain, termasuk berbagai spesies cendawan, bacteria, nematoda dan virus.

26 9 Cendawan Entomopatogen Cendawan adalah organisme multi seluler yang berfilamen dan memiliki khitin, khitosan, glukan dan mannan dalam dinding selnya. Klasifikasinya didasarkan pada produksi konidia atau spora, struktur morfologi, alat reproduksi, ciri-ciri koloni dan sifat hifanya (Lay & Hastowo 1992). Cendawan entomopatogen pertama kali dilaporkan lebih dari 2000 tahun yang lalu, teridentifikasi di China pada cendawan Cordyceps (Ascomycota) yang menginfeksi larva Lepidoptera (Boucias & Pendland 1998). Carruthers dan Hurar 1990 dalam Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen merupakan cendawan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendalian hayati penting untuk banyak serangga hama. Pengendalian hayati lebih berhasil bila dilengkapi dengan pemanfaatan cendawan entomopatogen. Keragaman antar jenis cendawan entomopatogen sangat tinggi. Menurut klasifikasi yang dikemukakan oleh Ainsworth 1963 dalam Butt et al. (2001), cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi: Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan Deuteromycotina. Menurut Tanada dan Kaya (1993) Kebanyakan cendawan entomopatogen ditemukan pada sub-divisi Zygomycotina, klas Zygomycetes, ordo Entomophthorales; sub-divisi Ascomycotina, klas Pyrenomycetes, ordo Sphaeriales, klas Laboulbeniomycetes, ordo Laboulbeniales; dan pada sub-divisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales. Beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam subdivisi Deuteromycotina, klas Hyphomycetes, ordo Moniliales dan famili Moniliaceae, misalnya: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium (Boucias & Pendland 1998). Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994). Hal-hal yang mempengaruhi perbedaan keragaman intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah geografis asal isolat (Varela & Morales 1995; Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara fisiologis maupun genetik. Secara umum dikemukakan bahwa strain dari spesies

27 10 cendawan patogen yang diisolasi dari satu jenis inang lebih virulen untuk inang tersebut dibandingkan dengan strain yang diisolasi dari inang yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Boucias dan Pendland (1998), cendawan B. bassiana yang diisolasi dari lingkungan koloni rayap lebih tinggi virulensinya jika diinfeksikan terhadap rayap. Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehingga nutrisi di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat, sehingga menyebabkan inang akan mati. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: beauvericin oleh B. bassiana, Paecilomyces, Fusarium dan bassianolide oleh B. bassiana, cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium, Tolypocladium dan oosporein oleh B. bassiana, asam oksalat oleh Beauveria brongniartii, destruxins oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, cytochalasins oleh M. anisopliae, swainsonine oleh M. anisopliae, aflatoxins oleh Aspergillus, asam kojic oleh Aspergilus flavus dan restrictocin oleh Aspergillus fumigatus. Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam studi histopathological pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae memperlihatkan bahwa toxin (destruxin) membunuh serangga inang dengan merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang. Hal ini mengakibatkan keutuhan struktural membran hilang, kemudian terjadi dehidrasi sel akibat kehilangan cairan. Dalam hal ini memungkinkan terjadinya penyumbatan spiracles dan dapat menyebabkan kematian sebelum penyerbuan pada hemocoel terlihat nyata dan pembentukan tubuh hifa masih sedikit. Kemampuan patogen untuk bisa menimbulkan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan. Dari segi patogen, dosis dan cara aplikasi akan mempengaruhi mortalitas serangga. Dari segi inang, berbagai faktor fisiologi dan morfologi inang mempengaruhi kerentanan serangga terhadap cendawan entomopatogen, seperti kerapatan populasi, perilaku, umur, nutrisi,

28 11 genetika dan perlakuan. Salah satu faktor yang berperan penting dalam keberhasilan penggunaan cendawan entomopatogen adalah stadia perkembangan serangga karena tidak seluruh stadia dalam perkembangan serangga rentan terhadap infeksi cendawan. Dari segi lingkungan, berbagai faktor lingkungan seperti radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif, curah hujan dan tanah sangat mempengaruhi efikasi cendawan entomopatogen terhadap serangga hama. Semua faktor lingkungan saling berinteraksi, dan interaksi yang komplek dan dinamik ini menentukan efikasi cendawan (Inglis et al. 2001). Di antara cendawan entomopatogen yang dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap Coptotermes sp., Reticulitermes flavipes atau Odontotermes adalah M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua jenis cendawan ini telah diuji keefektifannya oleh Zoberi 1995 dalam Bayon et al. (2000) di laboratorium dengan sistem pengumpanan dan kontak secara langsung. Percobaan ini mengkontaminasi rayap R. flavipes dengan M. anisopliae yaitu menempatkan konidia cendawan pada rayap pekerja. Hal ini menghasilkan 100% mortalitas dalam waktu 5 hari, dan 12 hari pada metode pengumpanan. Penelitian lainnya yaitu dengan cara pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi sebagai vektor penyakit cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari. Dengan metode pengumpanan selembar kertas saring, Suzuki (1991) membuktikan keefektifan patogen M. anisopliae terhadap Coptotermes formosanus dan Reticulitermes speratus dengan hasil LT hari. Selain hal ini, kertas terkontaminasi spora M. anisopliae juga berperan penting untuk laju mortalitas rayap Cryptotermes brevis (Nash & Moein 1997 dalam Bayon et al. 2000). Milner et al. (1996) menyatakan spesies cendawan M. anisopliae dan B. bassiana tidak bersifat patogen terhadap mamalia dan spesifik terhadap rayap. Saat ini M. anisopliae telah secara komersil dikembangkan ke dalam suatu produk yang disebut dengan Bio-Blast TM, termitisida hayati yang telah di daftar oleh US EPA pada tahun 1994 (Rath & Tidbury 1996; Krueger et al dalam Bayon et al. 2000) untuk diaplikasikan di atas tanah. Cloyd (2003) menyatakan pada uji laboratorium, kematian rayap dapat terjadi pada hari ke 4 10,

29 12 tergantung pada temperatur. Viabilitas cendawan menurun pada temperatur tinggi dan virulensi cendawan menurun pada temperatur rendah. Maniania et al. (2002) telah melakukan studi di lapangan selama dua musim untuk menilai kemanjuran cendawan entomopatogen M. anisopliae. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa formulasi granular dapat bermanfaat sebagai pengendalian rayap di ekosistem pertanian jagung.

30 BAB III BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB), sejak Februari 2004 sampai dengan Desember Secara umum tahapan prosedur pelaksanaan diringkas pada Bab ini dan secara rinci dibahas pada bab-bab berikutnya. Tahap Persiapan Spesies Rayap yang Digunakan Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah spesies Coptotermes gestroi Wasmann (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong, dan spesies Coptotermes curvignathus Holmgren yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB. Sumber Isolat Isolat cendawan entomopatogen diperoleh dari serangga hama tanaman (inang) terinfeksi yaitu ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), penghisap polong kedele (Riptortus linearis L.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F), rayap tanah (C. curvignathus), tanah dan pasir. Isolat yang berasal dari tanah dan pasir terlebih dahulu dilakukan teknik perangkap (trapping technique) terhadap cendawan entomopatogen menggunakan hama gudang Tenebrio molitor (Keller & Zimmermann 1989). Masing-masing tanah dan pasir ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 15 cm, kemudian di tempatkan ke dalamnya 20 ekor hama gudang T. molitor dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 2 minggu. T. molitor yang mati dan dikolonisasi oleh cendawan entomopatogen diambil dan biarkan bersporulasi di dalam cawan petri yang diberi alas kertas tisu lembab.

31 14 Prosedur Isolasi Dalam tabung reaksi, sumber isolat cendawan entomopatogen ditambah air steril yang mengandung 0,05% triton X-100 dan diaduk selama 5 menit sehingga terbentuk suspensi konidia. Suspensi konidia tersebut diambil 0,5 ml, kemudian ditambahkan dengan 4,5 ml akuades steril di dalam tabung reaksi. Suspensi sebanyak 0,1 ml diinokulasikan pada media Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) di dalam cawan petri. Komposisi media SDAY adalah dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar-agar 20 g dalam akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloramphenicol (Samuels et al. 2002), dan diinkubasi pada suhu 24 0 C dan kelembaban relatif 95% selama 4-6 hari. Koloni yang membesar dengan bentuk berbeda atau warna berbeda pada media biakan, diambil dan masing-masing koloni tersebut diinokulasi secara terpisah pada media SDAY baru. Kultur murni didapatkan dengan suksesi inokulasi suatu koloni pada media SDAY. Kemudian stok kultur isolat disimpan pada suhu 4 0 C sampai waktu penggunaan (Sudiyani et al. 2002). Prosedur Identifikasi Identifikasi dilakukan secara visual terhadap pertumbuhan koloni isolat pada media SDAY dalam cawan petri. Untuk pengamatan mikroskopik terlebih dahulu isolat tersebut ditumbuhkan pada kaca objek cekung dengan metode slide culture (Becnel 1997). Identifikasi cendawan mengacu pada prosedur yang diurai oleh Barneet dan Hunter (1972), Domsch et al. (1980), Singh et al. (1991) dan Ellis (1993), yaitu dengan melihat ciri morfologi khas yang dimiliki oleh masingmasing cendawan. Persiapan Suspensi Konidia Sebelum digunakan, isolat hasil isolasi dibiakan kembali pada media SDAY di cawan petri berdiameter 9 cm dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0 C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Kemudian disiapkan suspensi menggunakan air steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 dengan kerapatan sebagai berikut: a) 10 7 konidia/ml untuk uji tapis (screening), b) 10 5

32 15 konidia/ml, konidia/ml, 10 6 konidia/ml, konidia/ml dan 10 7 konidia/ml untuk uji keefektifan (bioassay) terhadap rayap, c) LC 95 dari cendawan terseleksi pada uji keefektifan untuk uji metode kontak dan umpan. Uji Tapis dan Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen Terhadap Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann Suspensi konidia dari masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada setiap unit percobaan sebanyak 20 ekor rayap pekerja dan 2 ekor prajurit C. gestroi dicelupkan ke dalam suspensi konidia selama 4 detik sesuai perlakuan dan langsung ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan rayap. Seluruh unit percobaan dipelihara pada kondisi gelap pada suhu ruangan dan mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 6 hari setelah inokulasi. Metode Kontak dan Umpan Kontak (Contact method) Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Pada setiap unit percobaan 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit dicelupkan ke dalam LC 95 suspensi cendawan Metarhizium brunneum Petch, kemudian ditempatkan pada cawan petri Ø 9 cm yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Nilai LC 95 diketahui dari percobaan sebelumnya (uji keefektifan). Umpan (Baiting method) Suspensi konidia cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya. Kertas saring bewarna biru yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% kemudian diinokulasi dengan LC 95 cendawan M. brunneum, dikering anginkan dan ditempatkan di dalam cawan petri Ø 9 cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit untuk setiap ulangan dipelihara di dalamnya.

33 16 Uji Aplikasi dengan Penularan di Laboratorium Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. gestroi Dalam percobaan ini sebagian populasi rayap (vektor) diinokulasi dengan cendawan pada konsentrasi LC 95. Persentase populasi vektor yang digunakan adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50% terhadap populasi total. Populasi total yang digunakan adalah 20 ekor rayap pekerja dan dua ekor rayap prajurit. Cendawan entomopatogen yang digunakan adalah isolat yang menunjukkan patogenisitas tinggi pada uji tapis. Vektor dipelihara bersama-sama dengan rayap sehat pada unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah dialasi kertas saring sebagai sumber makanan. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai 2 minggu. Uji Penularan di dalam koloni rayap tanah C. curvignathus Pada penelitian ini digunakan spesies cendawan entomopatogen dan proporsi vektor (%) terseleksi pada uji penularan koloni rayap tanah C. gestroi. Rayap tanah C. curvignathus sebanyak 100 ekor pekerja dan 10 ekor prajurit ditempatkan ke dalam setiap unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi 10 cm) yang telah di beri kayu pinus (2 cm x 1 cm x 1 cm) sebagai sumber makanan dan 20 mg tanah (Falah 2005). Unit-unit percobaan tersebut dipelihara pada suhu ruangan dengan kondisi gelap selama 2 minggu. Pengamatan hanya dilakukan di akhir penelitian. Bagan alur penelitian ini disajikan pada Gambar 3.1

34 17 Koleksi Cendawan Koleksi Lab. Diisolasi dari Inang Pemeliharaan Rayap Peremajaan Perbanyakan Isolat murni Variabel: Identifikasi Pemurnian Keragaman isolat (spesies) Nile blue 0,05% Rayap Vektor: 10% 20% 30% 40% 50% Variabel: Mortalitasi, Sporulasi Variabel: Karakterisasi fisiologi cendawan Rayap uji Suspensi (10 7 konidium/ml ) I Isolat (spesies) terpilih II Kerapatan 0, 10 5, , , 10 7 konidium/ml Variabel: Mortalitas Lethal Concentration Metode: Kontak dan umpan Variabel: Mortalitas III III Variabel: Mortalitas Lethal Time & Metode terpilih Spesies cendawan entomopatogen dengan LC, metode dan % vektor efektif untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi dan C curvignathus di Laboratorium Keterangan: 1. Keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang digunakan: diisolasi dari sumber inang di alam dan koleksi Laboratorium Patologi Serangga Departemen HPT Fak. Pertanian IPB 2. I, II & III: Tahapan penelitian ke I, II & III 3. Vektor: Rayap terkontaminasi cendawan entomopatogen Gambar 3.1. Diagram cakupan penelitian proses pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai patogen untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium

35 18 Analisis Data Untuk setiap tahapan penelitian, data hasil penelitian dianalisis berdasarkan rancangan penelitian sebagai berikut: 1. Tahap penelitian I, data hasil penelitian variabel mortalitas rayap C. gestroi dan sporulasi in vivo dengan perlakuan 16 isolat cendawan entomopatogen, karakterisasi fisiologis cendawan (viabilitas, diameter koloni dan sporulasi in vitro) spesies cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals) Vuill., Fusarium oxysporum Link., Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode EXFR dan kontrol dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993). 2. Tahap penelitian II, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus) dengan tingkatan kerapatan konidia (10 5, , 10 6, , 10 7 konidia/ml dan kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi, lethal concentrations (LC) untuk uji keefektifan berbagai spesies cendawan dan lethal time (LT) pada uji metode kontak dan umpan adalah bersasarkan analisis probit (Finney 1971). 3. Tahap penelitian III, untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum ) dengan proporsi vektor (10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan kontrol) terhadap mortalitas rayap C. gestroi pada uji aplikasi dengan metode penularan di laboratorium dianalisis berdasarkan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000) sedangkan terhadap mortalitas rayap C. curvignathus dengan perlakuan proporsi vektor 10% yang diinokulasi dengan LC 95 M. brunneum dan kontrol di analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan s Multiple Range Test (Steel & Torrie 1993).

36 BAB IV ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN Abstrak Cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yaitu dari ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.), ulat grayak (Spodoptera litura F.), walang sangit (Leptocorisa oratorius F.), penghisap polong (Riptortus linearis L.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren.), tanah dan pasir telah diisolasi dan identifikasi untuk menentukan patogenisitasnya terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann, kemudian masing-masing isolat ditempatkan pada suhu 4 0 C. Sebelum digunakan, semua isolat dikulturkan kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan uji sidik ragam. Perbedaan antara isolat diuji lanjut menggunakan Duncan's Multiple Range Test. Hasil isolasi mengindikasikan keragaman spesies cendawan lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman terinfeksi dibandingkan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir, setelah diidentifikasi beberapa spesies cendawan yang ditemukan adalah: Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith, Penicillium citrinum Thom. Verticilium lecanii (Zimmermann), Aspergillus flavus Link., Myrothecium roridum Tode ExFR, Fusarium oxysporum Link., dan Fusarium solani Link., spesies B. bassiana paling dominan. Uji patogenisitas mengindikasikan bahwa umumnya isolat bersifat patogen terhadap rayap dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60% setelah 6 hari inokulasi. Mortalitas rayap tertinggi disebabkan oleh M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F. oxysporum dari inang ulat grayak, dan A. flavus dari inang rayap tanah yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100%, dan diikuti oleh kemampuan bersporulasi secara in vivo yang cukup tinggi (76,25% - 96,25%) kecuali spesies M. anisopliae dan M. roridum. Kemudian isolat-isolat terseleksi disiapkan untuk dipelajari karakterisasi fisiologisnya, hasilnya mengindikasikan: kemampuan berkecambah tertinggi oleh M. brunneum dari pasir, diameter koloni tertinggi oleh F. oxysporum dari inang ulat grayak dan kemampuan bersporulasi secara in vitro tertinggi oleh B. bassiana dari inang walang sangit. Kata kunci: Bio-kontrol, uji tapis, cendawan entomopatogen, patogenisitas, karakter fisiologis, C. gestroi

37 20 Pendahuluan Cendawan entomopatogen termasuk genera cendawan yang berasosiasi dengan serangga dan beberapa spesies arthropoda lainnya (seperti laba-laba dan kutu) dengan berbagai cara, yaitu sebagai saprofit, kommensalistik, parasit atau patogen (Boucias & Pendland 1998). Di pertanian dan perkebunan di Indonesia juga banyak ditemukan serangga terinfeksi oleh cendawan entomopatogen. Diharapkan cendawan tersebut dapat diisolasi dan dibiakkan pada media sintetik untuk dimanfaatkan sebagai agens pengendalian rayap secara hayati. Untuk tujuan ini diperlukan koleksi dan uji tapis cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam untuk mengetahui tingkat keragaman spesies dan keefektifannya terhadap rayap. Menurut Keller dan Zimmermann (1989), cendawan entomopatogen hanya dapat menginfeksi satu atau beberapa jenis serangga saja, karena jenis serangga secara umum jarang ditemukan mempunyai tingkat kerentanan yang serupa. Di samping hal tersebut juga perlu dipelajari kemampuan cendawan bersporulasi secara in vivo dan in vitro serta informasi tentang karakter fisiologis lainnya. Hal ini penting dilakukan karena cendawan entomopatogen bersifat spesifik dalam hubungannya dengan inang dan potensinya untuk dapat diperbanyak secara massal, serta dapat tersebar luas setelah bersporulasi pada inang sasaran di dalam koloni. Menurut Behle et al. (1999), cendawan entomopatogen mempunyai keuntungan-keuntungan dibanding migro organisme patogen lainnya diantaranya: cendawan cenderung mempunyai sebaran inang yang lebih luas, beberapa cendawan entomopatogen menghasilkan spora yang toleran terhadap proses pengawetan lewat pengeringan dan menghasilkan stabilitas yang bagus dalam masa penyimpanan. Pada penelitian pendahuluan, penggunaan cendawan entomopatogen yang diperoleh dari hama tanaman dengan kerapatan konidia 10 8 konidia/ml dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah inokulasi. Pada penelitian berikut, dicoba penggunaan cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau inokulum di alam yang meliputi isolasi, identifikasi, dan uji tapis cendawan

38 21 dengan tujuan untuk mendapatkan isolat cendawan entomopatogen yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendali rayap C. gestroi. Bahan dan Metode Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Pengawetan Kayu UPT Balai Litbang Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Jenis Rayap yang Digunakan Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan kasta prajurit spesies rayap tanah C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI Cibinong selama 2 tahun. Persiapan Isolat Cendawan Sumber isolat cendawan entomopatogen dikoleksi dan diisolasi dari hama tanaman terinfeksi, tanah dan pasir mengacu pada Bab III. Prosedur Isolasi Prosedur isolasi telah dijelaskan pada Bab III. Prosedur Identifikasi Prosedur identifikasi telah dijelaskan pada Bab III. Prosedur Perbanyakan Perbanyakan dilakukan pada media SDAY dengan cara menginokulasikan konidia kultur murni cendawan di dalam cawan petri. Biakan diinkubasikan selama 3 minggu dalam inkubator dengan suhu 24 0 C dan kelembaban relatif 95%. Untuk menjaga tingkat virulensinya sebelum perlakuan cendawan diremajakan dengan cara menginfeksikan ke serangga sasaran (rayap). Rayap

39 22 yang terinfeksi cendawan dibiarkan selama 2 minggu sampai bersporulasi (Ansari et al. 2004), kemudian cendawan dari tubuh rayap diisolasi lagi sampai didapatkan lagi kultur murni. Kultur murni tersebut dibiarkan bersporulasi sempurna kurang lebih 3 minggu sehingga siap digunakan sebagai bahan uji. Pada percobaan ini cendawan yang digunakan untuk pengujian adalah pada perbanyakan kedua (F2). Keberhasilan peremajaan ditentukan oleh berhasilnya cendawan menginfeksi dan bersporulasi pada tubuh rayap. Penyediaan Suspensi Konidia Suspensi konidia disiapkan dengan menambahkan 2 ml akuades steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100 ke dalam cawan petri berisi biakan cendawan yang telah berumur 3 minggu. Cawan digoyang-goyang, kemudian dengan bantuan kuas kecil steril konidia dapat terlepas. Konidia tersebut disaring dengan kain kasa dan dilakukan 4 kali pengenceran, selanjutnya dilakukan pengenceran dengan air sampai diperoleh konsentrasi yang diinginkan dengan kerapatan sebagai berikut: a) konidia/ml untuk uji patogenisitas dan uji sporulasi in vivo, b) konidia/ml untuk uji daya kecambah dan diameter koloni, c) konidia/ml untuk uji sporulasi in vitro. Konidia dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Uji Patogenisitas Suspensi konidia masing-masing isolat disiapkan seperti diterangkan di atas. Sebanyak 80 ekor kasta pekerja dan delapan ekor kasta prajurit rayap C. gestroi dicelupkan kedalam 0,50 ml suspensi konidia yang telah diaduk. Kontrol hanya dicelupkan dalam larutan 0,05% Triton X-100. Kertas saring Whatman no. 40 ditempatkan kedalam cawan petri sebagai sumber makanan kemudian rayap (20 ekor pekerja dan dua ekor prajurit) yang telah diinokulasi cendawan ditempatkan ke dalamnya. Semua perlakuan dipelihara pada ruangan dengan kondisi gelap dan mortalitas dihitung setiap hari selama satu minggu. Rayap yang mati diinkubasi pada suhu 24 0 C dan kelembaban relatif 95% selama 5-7 hari untuk melihat sporulasi cendawan pada tubuh rayap yang telah mati. Percobaan diulang 4 kali.

40 23 Sporulasi in Vivo Cendawan yang menyerang serangga akan bersporulasi yaitu miselianya tumbuh di permukaan tubuh rayap yang mati. Data untuk pengujian sporulasi in vivo diambil dari data rayap yang mati pada uji patogenisitas yang diinkubasi pada suhu 24 0 C dan RH 95% selama 5-7 hari. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Persentasi sporulasi dihitung dengan rumus: Sporulasi = Rayap terkolonisasi X 100% Jumlah rayap perlakuan Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen in Vitro Evaluasi daya kecambah konidia Pengamatan daya kecambah konidia menggunakan metode yang dilakukan oleh Junianto dan Sukamto 1995 dalam Trizelia (2005). Media SDAY (Ø 0,5 cm tebal 1-2 mm) yang telah ditetesi suspensi konidia berkerapatan 10 6 konidia/ml diletakkan di atas objek gelas steril, kemudian dimasukkan kedalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu 24 0 C selama jam. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Persentase konidia yang berkecambah dihitung dari 100 konidia. Konidia dinyatakan telah berkecambah apabila tabung kecambah (germ tubes) telah muncul lebih panjang dari diameter konidia. Diameter koloni Media SDAY yang telah ditumbuhi miselia masing-masing isolat berumur 5 hari dengan dimeter 0,8 cm ditumbuhkan pada media SDAY baru di dalam cawan petri dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 24 0 C. Diameter koloni dari masing-masing isolat diukur setelah hari ke 15. Sporulasi in vitro Untuk menghitung sporulasi masing-masing isolat pada media SDAY, disiapkan kerapatan suspensi konidia cendawan 10 5 konidia/ml. Suspensi konidia masing-masing isolat sebanyak 0,1 ml dikulturkan pada media SDAY dalam

41 24 cawan petri (Ø 9 cm), dan diinkubasi selama 15 hari pada suhu 24 0 C. Kemudian biakan cendawan dimasukkan ke dalam wadah erlenmeyer dan ditambahkan 40 ml aquades steril, dikocok dengan vortex selama 5 menit, disaring dan dilakukan pengenceran sampai 4 kali. Kerapatan konidia dihitung menggunakan haemocytometer dan rata-rata konidia untuk setiap cawan petri dibandingkan antar isolat. Analisis Data Data mortalitas, sporulasi in vivo dan karakterisasi fisiologis in vitro di analisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomize Design) satu faktor (keragaman isolat atau spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 16 isolat untuk uji mortalitas dan sporulasi in vivo, 6 spesies untuk uji karakterisasi fisiologis in vitro) dengan 4 x ulangan menggunakan analisis ragam (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test. Bentuk umum dari persamaannya adalah sebagai berikut: Y ij = µ + δ i + ε ij Dimana: i = 1,2,...17, t dan j= 1, 2,...4, r Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum δ i = pengaruh perlakuan ke-i ε ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j Hasil dan Pembahasan Isolasi dan Identifikasi Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam (Gambar 4.1) mengindikasikan keragaman spesies cendawan entomopatogen lebih tinggi pada inang yang berasal dari hama tanaman (ulat krop kubis, ulat grayak, penghisap polong, walang sangit dan rayap tanah sebanyak 81%) dibandingkan dengan yang berasal dari tanah (13%) dan pasir (6%). Berdasarkan hasil ini, untuk mendapatkan keragaman spesies cendawan

42 25 entomopatogen lebih mudah dilakukan dengan cara mengisolasi dari serangga inang yang terinfeksi di alam dibandingkan dengan mengisolasi dari sumber lainnya (tanah dan pasir). Diperkirakan spesies cendawan yang ada pada inang yang berasal dari hama tanaman umumnya bersifat sebagai cendawan entomopatogen. Menurut MacLeod dan Muller-Kogler 1973 dalam Butt et al. (2001), serangga inang dari cendawan entomopatogen dijumpai pada lebih dari 32 famili yang tersebar pada ordo Hemiptera, Homoptera, Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, dan Hymenoptera. Beberapa spesies mempunyai rentangan inang yang luas, dan yang lainnya terbatas pada satu spesies atau terbatas pada kelompok spesies tertentu saja. Tanah 13% Serangga Hama 81% Pasir 6% Gambar 4.1. Persentase isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari berbagai sumber inokulum di alam. Cendawan entomopatogen dari sumber inokulum tanah dan pasir mempunyai keragaman spesies yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena cendawan entomopatogen selain hidup sebagai patogen obligat juga banyak yang hidup sebagai patogen fakultatif yaitu disamping dapat meneruskan siklus hidupnya sebagai patogen pada serangga inang juga mampu bertahan hidup sebagai sapropit pada berbagai media di alam. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan bahwa beberapa cendawan entomopatogen hidup sebagai patogen obligat yang siklus hidupnya selalu pada serangga inang namun kebanyakan cendawan entomopatogen juga sebagai patogen fakultatif dan mampu hidup tanpa inang dan melanjutkan siklus hidupnya sebagai sapropit Menurut Keller dan Zimmermann (1989) cendawan entomopatogen juga dapat dikoleksi dari tanah dengan menggunakan serangga umpan. Metode ini terbukti sangat bermanfaat untuk mendeteksi cendawan entomopatogen

43 26 khususnya untuk mempelajari sejarah penyebarannya. Walaupun tanah merupakan habitat yang sangat menguntungkan untuk interaksi serangga dan cendawan entomopatogen, hanya sedikit spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada tanah. Beberapa spesies cendawan penting yang ditemukan pada tanah tercatat sebagai genera: Conidiobolus, Beauveria, Metarhizium dan Paecilomyces. Lebih lanjut dinyatakan keberhasilan cendawan entomopatogen di dalam tanah telah berkembang dengan melakukan adaptasi khusus, dimana siklus kehidupan cendawan entomopatogen terdiri dari fase parasit dan sapropit. Bila serangga terinfeksi cendawan mati dan secara umum siklus hidup cendawan akan berahir bila fase vegetatif atau organ reproduksi seksual terbentuk di luar inang. Namun fase kehidupan selanjutnya sebagai sapropit akan mengkolonisasi inang mati dan untuk sementara waktu berhenti pada pembentukan pseudosclerotium; tingkatan dormansi yang memungkinkan cendawan bertahan pada kondisi yang tidak menguntungkan. Jika faktor eksternal telah menguntungkan, hifa akan muncul lewat kutikula serangga. Beberapa spesies cendawan seperti Paecilomyces spp., B. bassiana, B. brongniartii atau Cordyceps spp. memproduksi untaian hifa, synnemata atau stromata di luar serangga inang. Elemen-elemen hifa ini sebagai adaptasi morfologi terhadap kondisi tanah yang memungkinkannya menginfeksi inang baru. Hasil isolasi cendawan entomopatogen dari masing-masing inang atau sumber inokulum di alam dikoleksi untuk selanjutnya diidentifikasi berdasarkan warna, pertumbuhan secara in vivo dan in vitro serta bentuk organ seksual masing-masing spesies. Berdasarkan hasil identifikasi pada penelitian ini ditemukan 16 isolat (10 spesies) (Gambar 4.2 dan Table 4.1). Keragaman antar spesies cendawan entomopatogen sangat luas sekali. Cendawan terdiri dari dua Divisi yaitu Myxomycota dan Eumycota. Cendawan entomopatogen ditemukan pada Divisi Eumycota yang terdiri dari sub-divisi: Mastigomycotina, Zygomycotina, Ascomycotina, Basidiomycotina dan Deuteromycotina. Umumnya mikroorganisme ini ada pada semua habitat tingkat perkembangan serangga (Ainsworth 1973 dalam Butt et al. 2001). Boucias dan

44 27 Pendland (1998) menyatakan beberapa genus cendawan entomopatogen yang tergolong ke dalam divisi Eumycota, sub-divisi Deuteromycota, klas Hyphomycetes dan ordo Moniliales adalah: Aspergilus, Beauveria, Fusarium, Metarhizium, Paecilomyces dan Verticilium. B. bassiana M. anisopliae M. brunneum M. roridum F. solani F. oxysporum V. lecanii A. flavus P. fumosoroseus P. citrinum Gambar 4.2. Koloni cendawan entomopatogen dari konidia tunggal berumur 3 minggu pada media SDAY kecuali F. oxysporum (13 hari) Spesies B. bassiana adalah spesies cendawan entomopatogen yang paling dominan ditemukan. Menurut Scholte et al. (2004), cendawan entomopatogen B. bassiana mempunyai sebaran inang yang luas dan mudah diperbanyak secara in vitro pada media sintetik, penyebarannya hampir di semua lokasi di dunia dan mempunyai spesies serangga inang lebih banyak dibandingkan spesies cendawan entomopatogen lainnya; kebanyakan inangnya berasal dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Hemiptera, Diptera dan Hymenoptera. Spesies B. bassiana menunjukkan pertumbuhan yang tidak cepat tetapi dengan mudah tumbuh pada media SDAY, permukaan biakan rata seperti tepung

45 28 dan bewarna putih, cendawan ini menginfeksi rayap dengan penyebaran yang tidak teratur, kemudian mengalami penyempurnaan yang tidak menyebar rata. Setelah kematian inang konidiofora tumbuh keluar dari tubuh rayap dan diiringi dengan munculnya konidia. Barron (1968) menjelaskan tentang deskripsi dari B. bassiana sebagai berikut: konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul langsung dari hipa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Gambar 4.3) Tabel 4.1 Cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam No. Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia inang Bb-Cr As-Cr Pe-Cr Bb-Sl Fu-Sl Ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana F.) (Lepidoptera: Pyralidae) Ulat grayak (Spodoptera litura F.} (Lepidoptera: Noctuidae) Larva Larva Spesies cendawan Geografi asal (tahun) Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Aspergillus flavus Link. Penicillium citrinum Thom. B. bassiana Fusarium oxysporum Link. Cibodas (2004) Cibodas (2004) Ma-Rl Ve-Rl Pa-Rl Fu-Rl Penghisap polong (Riptortus linearis L.) (Hemiptera: Alydidae) Penghisap polong Penghisap polong 10. Bb-Lo Walang sangit (Leptocorisa oratorius F) (Hemiptera: Coreidae) Bb-Co As-Co Pe-Co Rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok Verticilium lecanii (Zimmermann) Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown and Smith Fusarium solani Link. Probolinggo (2003) Imago B. bassiana Probolinggo (2003) Larva B. bassiana A. flavus P. citrinum Bogor (2004) 14. Bb-Tn Tanah - B. bassiana Bogor (2004) 15. My-Tn Tanah - Myrothecium roridum Tode Cibodas EXFR. (2004) 16. Mb-Ps Pasir - Metarhizium brunneum Petch Bogor (2004)

46 29 Isolat lainnya yang diisolasi dari inang atau sumber inokulum di alam seperti terlihat pada Tabel 4.1. juga diidentifikasi berdasarkan bentuk organ seksual, warna massa konidia secara in vitro dan in vivo, dan tipe pertumbuhannya (Deskripsi selengkapnya pada Lampiran 1). Gambar 4.3. Cendawan B. bassiana pada media SDAY dengan perbesaran 1000 x Patogenisitas dan Virulensi Tingkat patogenisitas antar spesies cendawan entomopatogen dan tingkat virulensi antar isolat di dalam satu spesies cendawan yang ditemukan pada penelitian ini umumnya berbeda nyata pada uji DUNCAN pada tingkat keragaman 5%. Spesies cendawan M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari inang walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus dari rayap tanah dapat menyebabkan mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi (Gambar 4.4). Hal ini berarti beberapa isolat cendawan entomopatogen bersifat sangat patogen dan berpotensi dijadikan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi. Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies dan perbedaan virulensi antar isolat cendawan entomopatogen diperkirakan disebabkan oleh perbedaan sifat dasar internal (genetik) antar spesies dan perbedaan sumber inang asal isolat. Selain hal ini juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan cendawan tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang. Menurut

47 30 Tanada dan Kaya (1993) biasanya cendawan menyebabkan mortalitas dengan satu atau lebih cara seperti: defisiensi nutrisi, menyerang dan merusak jaringan, dan melepaskan toksin. Beberapa di antaranya bersifat virulen dan membunuh serangga dalam waktu yang singkat dan yang lainnya menghasilkan infeksi kronik yang lama. Mortalitas (%) Waktu (hari) Bb-Sl Bb-Lo Bb-Tn Bb-Co Bb-Cr Mb-Ps Ma-Rl As-Co As-Cr Mortalitas (%) My-Tn Vl-Rl Pa-Rl Fu-Sl Fu-Rl Pe-Co Pe-Cr kontrol Waktu (hari) Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B..bassiana dari tanah, Bb-Co = B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = M. brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = M. roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis, Gambar 4.4. Laju mortalitas rayap C. gestroi oleh cendawan entomopatogen (10 7 konidia/ml) dari berbagai inang 6 hari setelah inokulasi (kontrol 11,25%).

48 31 Isolat cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang umumnya bersifat patogen terhadap rayap, dan dapat menyebabkan mortalitas lebih dari 60%. Yoshimura dan Takahashi (1998), menjelaskan bahwa penggunaan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap telah 25 tahun lebih menjadi target penelitian dan banyak spesies cendawan telah diuji tingkat patogenisitasnya terhadap rayap. Setelah tahun 1960-an banyak peneliti memulai investigasi patogenisitas cendawan terhadap rayap menggunakan A. flavus, Absidia coerulea Bainier, B. bassiana, Entomophthora sp. M. anisopliae, Conidiobolus coronatus dan Penicillium sp. Setiap spesies cendawan entomopatogen mempunyai sifat dan kemampuan spesifik untuk tumbuh dan berkembang pada rayap. Perbedaan ini juga terlihat pada karakterisasi fisiologisnya secara in vivo dan in vitro terutama pada kemampuan berkecambah, laju pertumbuhan koloni dan konidiogenesis (Tabel 4.2). Diduga setiap spesies juga menghasilkan jenis metabolit sekunder (toxin) yang bervariasi sehingga mempunyai daya toksisitas yang berbeda satu sama lainnya. Boucias dan Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang dan dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya sehingga nutrient di dalam hemolymph habis oleh pertumbuhan cendawan yang begitu cepat. Di samping itu cendawan dapat menghancurkan jaringan lainnya atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang secara normal. Beberapa di antara zat beracun (toxin) yang dihasilkan cendawan yang dapat membunuh serangga adalah: 1) Beauvericin oleh B. bassiana, Paecilomyces dan Fusarium, 2) Bassianolide oleh B. bassiana, 3) Cyclosporin A oleh B. bassiana, Verticillium, Fusarium dan Tolypocladium, 4) Oosporein oleh B. bassiana, 5) asam Oxalic oleh B. brongniartii, 6) Destruxins oleh M. anisopliae dan Aspergillus ochraceus, 7) Cytochalasins oleh M. anisopliae, 8) Swainsonine oleh M. anisopliae, 9) Aflatoxins oleh Aspergillus, 10) Asam kojic oleh A. flavus dan 11) Restrictocin oleh Aspergillus fumigatus. Selanjutnya dinyatakan bahwa penempelan mungkin melibatkan kekuatan electrostatik dan interaksi molekul, hemagglutins, glukosa, dan

49 32 N-acetylglucosamine merupakan substansi yang ditemukan pada permukaan spora, spora berkecambah dengan cepat tergantung pada kelembaban lingkungan, temperatur, kondisi cahaya yang kurang serta nutrisi lingkungan. Penetrasi terutama tergantung pada sifat kutikula serangga (ketebalan, sclerotization, dan kehadiran zat anti cendawan) dan substansi nutrisi. Setelah berkecambah hifa masuk ke dalam integumen serangga dan terus ke hemocoel, dan menghasilkan tubuh hifa (hyphal bodies), yang pada hakekatnya berupa blastospores yang berkembang dengan tunas (budding). Menurut Scholte et al. (2004), siklus cendawan entomopatogen hingga menyebabkan inangnya mati adalah sebagai berikut: konidia menempel pada kutikula kemudian berkecambah dan menembus kutikula. Kemudian di dalam hemocoel miselia tumbuh terus menerus pada inang membentuk tubuh hifa (blastospores). Kematian serangga sering disebabkan oleh kombinasi dari aksi toksin, terhalangnya sirkulasi darah, komsumsi nutrisi atau penyerangan organ dari serangga. Virulensi antar isolat juga menunjukkan perbedaan, seperti pada 5 isolat cendawan B. bassiana yang berasal dari sumber inang yang berbeda, isolat walang sangit (Bb-Lo) paling virulen dibanding isolat B. bassiana yang lainnya. Dua isolat cendawan A. flavus yang juga berasal dari inang berbeda, isolat rayap tanah (As-Co) lebih virulen dibanding isolat ulat krob kubis (As-Cr). Diperkirakan sifat virulensi yang berbeda ini dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan fisiologi serangga inang asal isolat dan lingkungan asal isolat yang berbeda. Menurut Tanada dan Kaya (1993), virulensi adalah kemampuan penyakit yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, dalam hal ini adalah kemampuan suatu organisme untuk menyerang dan menyebabkan luka pada inang, yang berhubungan dengan kesanggupan suatu mikroorganisme untuk mengatasi mekanisme pertahanan inang. Suatu patogen mungkin bersifat sangat virulen sebab rendahnya ketahanan atau tingginya kerentanan dari inang, dan sebaliknya patogen dapat mempunyai virulensi yang rendah sebab tingginya ketahanan atau rendahnya kerentanan dari inang. Patogenisitas secara dekat merupakan sinonim terhadap virulensi yaitu berkenaan dengan kemampuan menghasilkan penyakit oleh mikroorganisme.

50 33 Perbedaannya adalah bahwa patogenisitas diaplikasikan terhadap kelompok atau spesies dari organisme; sedangkan, virulensi digunakan pengertian tingkat dari patogenisitas di dalam kelompok atau spesies. Patogenisitas kadang-kadang dipandang sebagai kemampuan penetapan secara genetika untuk menghasilkan penyakit, dan virulensi tidak sebagai hasil secara genetika. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa patogenisitas B. bassiana adalah tinggi untuk isolat L. oratorius (Bb-Lo), tetapi virulensinya berbeda tergantung pada kondisi, seperti metode pembiakan, penyimpanan, formulasi, dan faktor lingkungan. Sebagai contoh di bawah kondisi nutrisi tertentu, virulensi dari patogen lebih tinggi dibanding pada nutrisi lainnya. B. bassiana mempunyai banyak strains, yang pada suatu waktu dipertimbangkan untuk berbeda spesies sebab berbeda karakteristik morfologinya. Strains akan bervariasi virulensinya dan tergantung pada kerentanan spesies serangga sasaran. Perbedaan mortalitas rayap sebagai akibat perbedaan tingkat virulensi disebabkan oleh asal dan kondisi sumber inang yang berbeda pula, hal ini menyebabkan perbedaannya dalam karakter menyerang rayap. Disamping juga tergantung pada lingkungan pada daerah asal, karakter dan struktur dari konidia juga berakibat terhadap perkecambahan. Perkecambahan yang sukses dan berpenetrasi pada inang tergantung pada total persentase perkecambahan, lamanya waktu berkecambah, cara dari perkecambahan, agresivitas cendawan, dan kerentanan inang (Samson et al dalam Tanada dan Kaya 1993). Spesies cendawan mempunyai banyak strains yang berbeda virulensinya. Pada umumnya, strains dari spesies yang diisolasi dari inang yang spesifik lebih virulen untuk inang yang sama dibandingkan isolat dari inang yang lainnya, dan suksesi penularan di dalam suatu inang dapat juga menghasilkan peningkatan virulensi atau menghasilkan strain yang lebih virulent. Pernyataan ini dipertegas oleh hasil penelitian ini yaitu pada kasus perbedaan virulensi antar isolat A. flavus, yang berasal dari serangga inang rayap tanah (As-Co) lebih virulen dibandingkan yang berasal dari serangga inang ulat krop kubis (As-Cr) terhadap mortalitas rayap C. gestroi. Namun tidak demikian pada kasus perbedaan virulensi antar isolat B. bassiana, isolat walang sangit (Bb-Lo) menunjukkan

51 34 tingkat virulensi yang lebih tinggi dibanding isolat dari rayap tanah (Bb-Co), ulat krop kubis (Bb-Cr), ulat grayak (Bb-Sl) dan tanah (Bb-Tn). Pada kasus seperti diterangkan di atas, tingkat virulensi ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh asal isolat yang secara umum ditentukan oleh faktor eksternal (lingkungan), akan tetapi juga oleh spesies cendawan yang secara umum lebih dipengaruhi oleh sifat internal, dengan pengertian bahwa setiap spesies cendawan entomopatogen masing-masingnya mempunyai spesies inang yang spesifik. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Trizelia (2005), bahwa pada spesies cendawan B. bassiana, isolat yang virulen terhadap serangga hama tidak selalu berasal dari hama yang sama. Hasil uji virulensi dari 13 isolat B. bassiana menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang sangat virulen terhadap ulat krop kubis C. pavonana dari Cibodas berasal dari serangga dan daerah lain yang bukan serangga inang uji yaitu berasal dari inang L. oratorius dari Cianjur. Mortalitas rayap C. gestroi yang disebabkan cendawan entomopatogen M. anisopliae dan F. oxysporum lebih cepat dibandingkan yang disebabkan oleh spesies lainnya yaitu dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam periode waktu yang lebih singkat. Hal ini diperkirakan spesies cendawan ini disamping kemampuannya mendegradasi inang, juga dengan sangat cepat menyebarkan metabolit sekundernya yang bersifat racun bagi rayap sehingga terjadi ketidak seimbangan fungsi organ tubuh. Agens hayati penyebab penyakit green muscardine M. anisopliae merupakan spesies patogen yang secara alami menginfeksi lebih dari 200 jenis serangga, termasuk rayap (Tanada dan Kaya 1993 dalam Strack 2003). Ferron 1981 di dalam Scholte et al. (2004), menyatakan bahwa di dalam studi histopatologi pada jaringan elaterid yang diinfeksi M. anisopliae memperlihatkan bahwa toksin (destruxin) membunuh serangga inang dengan merangsang atau memacu terjadinya kemerosotan jaringan serangga inang sehingga kehilangan keutuhan struktural membran dan kemudian terjadi dehidrasi sel. Dalam hal ini penyumbatan spirakel dimungkinkan terjadi sehingga dapat menyebabkan kematian sebelum serangan pada hemocoel. Menurut MacLeod 1963 dalam Tanada dan Kaya (1993), periode dari infeksi sampai pada kematian serangga dapat dalam waktu yang singkat 3 hari

52 35 dan selama-lamanya 12 hari, dan kebanyakan terjadi dalam rentangan 5-8 hari. Periode dapat bervariasi dan juga tergantung pada ukuran dari inang. Kebanyakan serangga mati setelah sore hari antara 1500 dan 1900 jam. Virulensi dan patogenisitas dari cendawan entomopatogen dapat berasosiasi dengan produksi enzim collagenolytic dan mycotoxins. Spesies cendawan M. anisopliae telah sangat populer keefektifannya di dalam pengendalian rayap, bahkan sampai saat sekarang telah banyak biopestisida yang berbasiskan konidia dari cendawan M. anisopliae diedarkan secara komersil. Namun spesies cendawan Fusarium spp. masih diragukan dalam penggunaan sebagai biopestisida walaupun mempunyai daya tinggi dalam membunuh serangga hama, hal ini sehubungan dengan sifatnya yang juga sebagai patogen pada tanaman. Teetor-Barsch dan Roberts (1993) menyatakan cendawan Fusarium diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di antaranya pada tanaman hidup dan yang telah mati serta pada banyak hewan. Cendawan ini terutama ditemukan berasosiasi dengan serangga. Perhatian khusus diberikan terhadap rentangan inang, teristimewa antara inang tanaman dan serangga, dan memungkinkan potensi cendawan ini untuk mengendalikan hama. Beberapa jenis Fusarium spp. yang bersifat entomopatogen bersifat lemah dan sebagai patogen fakultatif khususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera. Cendawan akan mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada segolongan kecil kasus tingkat patogenisitas terhadap tanaman dan serangga oleh satu isolat juga ditemukan. Tingkat potensi isolat Fusarium yang menyebabkan mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan spesifikasi inang yang tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman. Periode waktu kematian rayap oleh cendawan entomopatogen secara umum tidak menunjukkan tanda dan gejala yang nyata pada awal tingkatan infeksi. Hanya setelah infeksi menyebar ke dalam tubuh, rayap menjadi kurang aktif atau menunjukkan kegelisahan. Pada tahapan akhir infeksi, rayap kehilangan tenaga gerak dan diam ditempat lalu kemudian mati, pada tahapan paling ahir dari proses infeksi, kadang-kadang rayap dapat berganti warna menjadi gelap dan tidak dikolonisasi oleh miselia seperti pada kasus rayap yang diinfeksi oleh cendawan

53 36 M. anisopliae. Kadang-kadang rayap yang telah mati menjadi keras dan 3-4 hari setelahnya, rayap berubah warna sesuai warna konidia yang dihasilkan, rayap mati diselimuti warna konidia putih mengindikasikan terserang oleh B. bassiana. Sporulasi in Vivo Pada penelitian ini, sporulasi cendawan pada permukaan tubuh rayap (in vivo) tidak semua berkorelasi dengan mortalitas namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana dari walang sangit juga mampu bersporulasi yang tinggi secara in vivo ( 78,25% 97,25%) kecuali M. anisopliae dan M. roridum dari tanah. Dalam hal ini M. roridum menunjukan kemampuan bersporulasi in vivo paling rendah (Gambar 4.5). Diperkirakan hal ini juga dipengaruhi oleh spesies cendawan, sumber isolat dan faktor lingkungan; cendawan dapat tumbuh pada kondisi kelembaban yang tinggi namun tidak semua dapat bersporulasi dengan baik dan terlihat dengan jelas. Menurut Prior dan Perry 1980 di dalam Butt et al. (2001) dan Tanada dan Kaya (1993), pertama kali mikroorganisme ditemukan sebagai penyebab penyakit pada serangga adalah cendawan sebab pertumbuhannya secara makroskopis nampak dengan nyata pada permukaan serangga inang. Namun beberapa cendawan entomopatogen bentuk pertumbuhannya tipis atau jarang dan tidak nyata karena struktur eksternalnya yang sangat kecil dan sulit dideteksi oleh peneliti. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan terutama dibatasi oleh kondisi lingkungan eksternal, kususnya kelembaban yang tinggi atau kelembaban dan temperatur yang memadai untuk bersporulasi dan perkecambahan spora. Rombach (1988) menyatakan bahwa banyak spesies cendawan dapat ditemukan tumbuh pada serangga mati, namun kebanyakan merupakan cendawan saprofit yang menyerang setelah serangga mati. Akan tetapi hanya spesies entomopatogen yang dapat secara aktif menyerang serangga hidup, membunuh inang dan bersporulasi pada inang yang telah mati. Secara keseluruhan lebih dari 700 spesies cendawan dari perkiraan 90 genera adalah merupakan patogen terhadap serangga. Spesies cendawan entomopatogen tersebut ditemukan pada

54 37 klass Ascomycotina (Cordyceps, Hypocrella dan Torrubiella), Zygomycotina (Entomophthorales) dan Deuteromycotina (kebanyakan dari klass Hyphomycetes). Mortalitas dan sporulasi in vivo (%) Bb-Sl Bb-Lo Bb-Tn Bb-Co Bb-Cr Mb-Ps Ma-Rl As-Co Isolat cendawan entomopatogen Mortalitas (%) Sporulasi (%) Keterangan: Bb-Sl = B. bassiana dari ulat grayak, Bb-Lo = B. bassiana dari walang sangit, Bb-Tn = B..bassiana dari tanah, Bb-Co = B. bassiana dari rayap tanah, Bb-Cr = B. bassiana dari ulat krop kubis, Mb-Ps = Metarhizium brunneum dari pasir, Ma-Rl = M. anisopliae dari penghisap polong, As-Co = A. flavus dari rayap tanah, As-Cr = A..flavus dari ulat krop kubis, My-Tn = Myrothecium roridum dari tanah, Vl-Rl = V. lecanii dari penghisap polong, Pa-Rl = P. fumosoroseus dari penghisap polong, Fu-Sl = F. oxysporum dari ulat grayak, Fu-Rl = Fusarium solan dari penghisap polong, Pe-Co = P. citrinum dari rayap tanah, Pe-Cr = P. citrinum dari ulat krop kubis, Gambar 4.5. Sporulasi cendawan entomopatogen pada tubuh rayap (in vivo) dan mortalitas rayap C. gestroi 6 hari setelah diinokulasi dengan suspensi cendawan entomopatogen (10 7 konidia/ml). As-Cr My-Tn Vl-Rl Pa-Rl Fu-Sl Fu-Rl Pe-Co Pe-Cr Kontrol Di samping virulensi, kemampuan bersporulasi pada inang (in vivo) menjadi sangat penting bila untuk tujuan penularan di dalam koloni karena cendawan yang mampu bersporulasi pada inang dengan baik akan dapat membentuk infective propagul baru dan dapat tersebar luas ke seluruh individu di dalam koloni. Goettel dan Inglis 1997 dalam Scholte et al. (2004) menyatakan bahwa setelah inang mati, hifa biasanya muncul dari bangkai serangga dan di bawah kondisi abiotik yang menguntungkan, konidia dapat dihasilkan pada tubuh bahagian luar inang, ini kemudian akan tersebar oleh angin atau air. Menurut Yoshimura et al. (1992), pertumbuhan hifa dari tubuh rayap setelah diamati sampai mati tidak nyata, namun dua sampai 3 hari setelah kematian banyak hifa yang tumbuh ke luar, kira-kira 2-10 hari setelah kematian

55 38 dibutuhkan untuk pembentukan konidia baru. Pada kasus cendawan C. coronatus, banyak konidia terlihat setelah 2 hari pada rayap yang telah di ekspose selama 6 jam. M. roridum F. oxysporum P. fumosoroseus M. brunneum B. bassiana A. flavus Gambar 4.6. Sporulasi in vivo beberapa spesies cendawan entomopatogen pada tubuh rayap 9 hari setelah diinokulasi Karakterisasi Fisiologi Cendawan Entomopatogen Terseleksi pada Media SDAY (in vitro): Daya Kecambah, Diameter Koloni dan Sporulasi Karakter fisiologi adalah kemampuan cendawan untuk tumbuh dan berkembang pada media sintetik atau inang, dalam hal ini yang diamati antara lain adalah: daya kecambah, diameter koloni dan kemampuan berseporulasi. Di samping patogenisitas, karakterisasi fisiologi cendawan secara in vitro akan menjadi penting bila cendawan tersebut diperbanyak secara massal untuk tujuan bio-termitisida komersil. Umumnya cendawan entomopatogen yang mempunyai tingkat patogenisitas tinggi dapat direkomendasikan pada penelitian selanjutnya, walaupun dari hasil

56 39 analisis statistik ada perbedaan diameter koloni, daya berkecambah dan jumlah konidia dari masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen. Tabel 4.2. Karakterisasi fisiologi beberapa spesies cendawan entomopatogen terseleksi: diameter koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi. Inang atau Diameter koloni Daya kecambah Sporulasi (konidia/ Isolat sumber inokulum (cm) konidia (%) cawan petri x 10 7 ) M. anisopliae Penghisap polong 5,47 ± 0,26 b 27,20 ± 13,67 c 6,18 ± 2,70 c M. roridum Tanah 4,72 ± 0,78 c 92,50 ± 6,02 ab 285,33 ± 102,25 b M. brunneum Pasir 5,25 ± 0,17 bc 97,20 ± 1,70 a 223,66 ± 45,98 bc B. bassiana Walang sangit 4,67 ± 0,69 c 82,50 ± 7,76 b 1470,33 ± 291,34 a F. oxysporum. Ulat grayak 9,00 ± 00 a 95,70 ± 1,70 a 10,08 ± 1,25 c A. flavus Rayap tanah 8,32 ± 0,25 a 95,20 ± 4,27 a 19,8 ± 5,78 c Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%. Diameter koloni (cm) Diameter koloni dari masing-masing spesies setelah dua minggu berkisar antara 4,4 cm 9,0 cm, tertinggi diperoleh pada F. oxysporum (9 cm) dan kemudian diikuti oleh A. flavus (8,3 cm). Analisis statistik memperlihatkan kedua spesies cendawan ini tidak berbeda nyata, cendawan yang menunjukkan pertumbuhan koloni yang lebih cepat ini menunjukkan pertumbuhan yang lebih tipis dipermukaan media kultur SDAY. Hal ini ternyata berkaitan dengan jumlah konidia yang dihasilkan juga tidak berbeda nyata dan menghasilkan jumlah konidia lebih sedikit. Olsson (1997) mendefinisikan koloni cendawan adalah suatu kelompok hifa yang berasal dari satu spora atau satu individu atau yang berasal dari satu sumber miselia. Berdasarkan pernyataan ini, pertumbuhan koloni diawali oleh perkecambahan dan pertumbuhan miselia, cepatnya pertumbuhan miselia akan menyebabkan nutrisi yang diperoleh dari media tumbuh akan dimanfaatkan terlebih dahulu untuk pertumbuhan miselia sehingga diperkirakan pembentukan konidia akan dapat terhambat. Daya kecambah konidia (%) Daya kecambah cendawan entomopatogen dari masing-masing spesies cendawan lebih dari 80% kecuali M. anisopliae (27,2%) setelah jam

57 40 inkubasi. Hasil penelitian menunjukan secara umum semua isolat terseleksi tergolong mempunyai daya kecambah tinggi, hal ini akan sangat menguntungkan didalam keberhasilan cendawan menginfeksi inangnya, karena keberhasilan cendawan untuk dapat menyerang inang terutama sangat ditentukan oleh kemampuan cendawan menempel dan berkecambah pada kutikula serangga. Boucias dan Pendland (1998), mengemukakan cendawan entomopatogen dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kutikula inang serta dapat tumbuh ke bahagian internal inang (hemocoel). Menurut Leland 2001; Jenkins et al. 1998; Kassa 2003 dalam Trizelia (2005) evaluasi daya kecambah konidia cendawan entomopatogen perlu dilakukan terutama apabila cendawan tersebut akan dikembangkan sebagai bioinsektisida. Daya kecambah konidia merupakan salah satu kriteria dalam pemilihan isolat; cendawan yang memiliki daya kecambah konidia di atas 80% telah memenuhi syarat untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam pemilihan isolat yang akan digunakan, kecepatan perkecambahan juga harus diperhitungkan. Isolat yang berkecambah lebih cepat lebih berpotensi untuk menimbulkan infeksi, karena isolat ini dapat terhindar dari pengaruh kekeringan, pengaruh dari mikroorganisme lain dan terlepas dari kutikula serangga pada waktu ekdisis. Kemampuan konidia untuk berkecambah merupakan suatu faktor penting untuk berhasilnya melakukan penetrasi pada inang, namun hal ini akan sangat tergantung pada faktor lingkungan asal spesies atau isolat dan sifat genetik masing-masing spesies cendawan. Hal ini biasanya ditunjukkan oleh perbedaan viabilitas antar isolat di dalam spesies yang sama, pada penelitian ini terlihat bahwa daya kecambah M. anisopliae berbeda sangat nyata dengan M. brunneum (Tabel 4.2). Menurut Ekesi et al. (2003) viabilitas 4 isolat M. anisopliae yang berasal dari Kenya dan Congo berkisar antara 85 90%. Viabilitas antar spesies cendawan M. brunneum, F. oxysporum dan A. flavus tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan tingkat patogenisitas yang tidak berbeda (Gambar 4.4). Adanya keterkaitan antara tingkat patogenisitas dengan kemampuan berkecambah merupakan salah satu hal yang sangat menunjang di dalam adanya kemungkinan spesies cendawan ini untuk

58 41 dikembangkan ke penelitian yang lebih mendalam sehingga berpotensi sebagai biopestisida. Sporulasi (konidia / cawan petri). Sporulasi adalah kemampuan cendawan entomopatogen untuk menghasilkan konidia pada media sintetik atau inang. Untuk dapat melakukan proses infeksi dan menurunkan generasi berikutnya dengan cepat akan sangat tergantung pada kemampuan cendawan menghasilkan konidia. Pada penelitian ini setelah 2 minggu, B. bassiana menghasilkan jumlah konidia tertinggi (1,47 x konidia / cawan petri). Hasil ini berbeda nyata dengan jumlah konidia yang dihasilkan oleh spesies cendawan lainnya. Kemudian diikuti oleh M. brunneum, A. flavus, F. oxysporum dan M. anisopliae (Tabel 4.2). Spesies cendawan B. bassiana, menunjukkan laju pertumbuhan koloni yang lambat namun memperlihatkan pertumbuhan koloni yang lebih tebal, diperkirakan hal ini salah satu faktor penentu spesies cendawan ini dapat menghasilkan jumlah konidia lebih banyak dibandingkan spesies cendawan yang diujikan, yang bearti ada korelasi dengan karakter fenotip cendawan disamping juga ditentukan oleh faktor genetik. Hasil penelitian ini menunjang penelitian yang dilakukan oleh Trizelia (2005), 13 isolat B. bassiana dapat menghasilkan jumlah konidia antara 1,27 X ,79 X konidia / cawan petri. Hasil ini juga memperlihatkan perbedaan nyata antar isolat dan tertinggi ditemukan pada isolat yang berasal dari inang C. pavonana (1,79 X konidia/cawan petri) Kemampuan cendawan menghasilkan jumlah konidia yang banyak, merupakan salah satu faktor yang menguntungkan di dalam pemanfaatannya sebagai agens pengendalian hayati, karena konidia sangat penting untuk infeksi dan penyebaran cendawan. Sun et al dalam Trizelia (2005) menyatakan bahwa Isolat B. bassiana yang lebih cepat bersporulasi dengan total sporulasi yang tinggi menghasilkan epizootik yang lebih baik dalam koloni rayap C. formosanus. Karakter fisiologis (diameter koloni, viabilitas dan kemampuan bersporulasi) cendawan entomopatogen menunjukan keragaman antar spesies yang diuji. Selain faktor-faktor penentu yang telah diuraikan di atas, faktor media

59 42 tumbuh diperkirakan juga menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan secara fisiologis. Pada penelitian ini media yang digunakan adalah SDAY dengan komposisi dekstrosa 10 g, pepton 2,5 g, ekstrak khamir 2,5 g, agar 20 g dalam akuades 1 liter yang mengandung 250 ppm chloromphenicol (Samuels et al. 2002). Dalam hal ini masing-masing spesies cendawan entomopatogen memungkinkan dapat tumbuh lebih baik pada media yang lebih spesifik. Kesimpulan Hasil isolasi menunjukkan keragaman spesies yang didapatkan dari sumber inokulum di alam. Tertinggi ditemukan pada inang yang berasal dari serangga terinfeksi dibanding dari sumber tanah dan pasir. Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada berbagai inang atau sumber inokulum di alam adalah B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum, P. fumosoroseus, P. citrinum, M. roridum, V. lecanii, F. oxysporum, F. solanii dan A. flavus. Hasil uji patogenisitas menunjukkan pada umumnya cendawan bersifat patogen terhadap rayap C. gestroi. Cendawan entomopatogen yang ditemukan umumnya dapat dimanfaatkan sebagai agens pengendalian hayati rayap C. gestroi, khususnya: M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, M. roridum dari tanah, B. bassiana dari walang sangit, F. oxysporum dari ulat grayak dan A. flavus dari rayap tanah; pada penggunaan kerapatan konidia cendawan 10 7 konidia/ml dapat membunuh rayap C. gestroi 100% setelah 6 hari inokulasi. Kemampuan bersporulasi in vivo antar spesies umumnya tidak berkorelasi dengan mortalitas, namun spesies cendawan yang menunjukkan tingkat patogenisitas yang tinggi seperti A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir dan B. bassiana dari walang sangit juga menghasilkan kemampuan bersporulasi secara in vivo tinggi (78,25% 97,25%). M. roridum mempunyai kemampuan bersporulasi secara in vivo paling rendah (10%). Cendawan entomopatogen terseleksi jika ditumbuhkan pada media SDAY memperlihatkan daya kecambah konidia lebih dari 80% kecuali M. anisopliae.

60 43 Diameter koloni tertinggi setelah 2 minggu dicapai oleh F. oxysporum. (9 cm) dan sporulasi tertinggi dicapai oleh B. bassiana (1,47 X konidia/ml). Berdasarkan hasil uji tapis tingkat patogenisitas (laju mortalitas), sporulasi in vivo dan karakterisasi fisiologis, cendawan entomopatogen A. flavus dari inang rayap tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, M. brunneum dari pasir, B. bassiana dari walang sangit dan M. anisopliae dari penghisap polong kedele dapat dilanjutkan pada penelitian berikutnya.

61 BAB V KEEFEKTIVAN BEBERAPA SPESIES CENDAWAN ENTOMOPATOGEN TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN DENGAN METODE KONTAK DAN UMPAN Abstrak Beberapa spesies cendawan entomopatogen: Metarhizium anisoplia (Metsch.) Sorokin, Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin, Fusarium oxysporum Link dan Aspergillus flavus Link. telah diuji keefektifannya terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann. Kultur murni masing-masing spesies cendawan disimpan pada suhu 4 0 C. Sebelum digunakan, dikulturkan kembali pada media agar Sabouraud Dextrose Agar with Yeast Extract (SDAY) dan diinkubasikan pada suhu 24 0 C dan kelembaban relatif 95% selama 3 minggu. Untuk uji tingkatan patogenisitas untuk masing-masing jenis cendawan disiapkan suspensi dengan kerapatan konidia/ml (0, 10 7, , 10 6, dan 10 5 konidia/ml), dan untuk uji metode aplikasi digunakan LC 95 dari spesies cendawan M. brunneum, setiap perlakuan diulang 4 kali. Pada penelitian tingkat patogenisitas data mortalitas dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dua faktor dan untuk penelitian metode aplikasi data mortalitas dianalisis berdasarkan RAL satu faktor dengan uji sidik ragam (ANOVA). Perbedaan antar isolat diuji lanjut dengan DNMRT, untuk mengetahui hubungan regresi waktu aplikasi dan kerapatan konidia/ml dengan mortalitas (LT dan LC) dilakukan dengan analisis probit. Hasil penelitian menunjukkan, semakin tinggi kerapatan konidia/ml untuk setiap spesies cendawan yang diaplikasikan pada rayap C. gestroi semakin tinggi mortalitas yang dicapai. Semua spesies cendawan mampu menyebabkan mortalitas diatas 80% pada tingkatan kerapatan sama atau lebih dari konidia/ml, namun hanya cendawan M. brunneum yang mampu menyebabkan mortalitas diatas 80% sampai dengan kerapatan konidia yang lebih rendah ( konidia/ml), sehingga spesies cendawan ini menghasilkan Lethal Concentration (LC 50 ) terendah (1,8 x 10 5 konidia/ml). Pada uji metode aplikasi, mortalitas tertinggi didapatkan dengan metode kontak dengan lethal time (LT 50 ) tersingkat 2,01 (1,52 2,40) hari. Kata-kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, kerapatan, metode aplikasi, C. gestroi Pendahuluan Penggunaan agens hayati cendawan entomopatogen merupakan suatu upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik yang selama ini banyak menyebabkan masalah lingkungan. Agens hayati diharapkan dapat menjadi suatu solusi disamping dapat menggali potensi sumber daya hayati lokal yang diduga

62 45 keberadaannya berlimpah di alam Indonesia. Menurut Boucias dan Pendland (1998) tingkat patogenisitas masing-masing spesies Aspergilus, Beauveria, Fusarium dan Metarhizium, termasuk ke dalam Kingdom Mychota, Filum Deuteromycota, Klass Hyphomycetes dan Ordo Moniliales ditentukan oleh interaksi berbagai faktor seperti jenis inang, metode aplikasi dan faktor lingkungan. Adapun kemampuan dasarnya ditentukan oleh spesies cendawan itu sendiri yang dapat menyebabkan kematian inang dengan cepat atau sebaliknya. Pada penelitian terdahulu beberapa spesies cendawan entomopatogen dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam ternyata efektif dimanfaatkan sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi. Pada uji Laboratorium, dari 16 isolat (10 spesies) cendawan entomopatogen yang diuji tingkat patogenisitasnya terhadap rayap tanah, ternyata 14 isolat (9 spesies) dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih dari 60%. M. anisopliae, M. brunneum, F. oxysporum, A. flavus dan B. bassiana dapat menyebabkan mortalitas 100% setelah 6 hari inokulasi. Untuk dapat memanfaatkan cendawan entomopatogen sebagai bahan dasar agens hayati secara optimal, perlu dilakukan pengujian secara mendalam tentang keefektifan beberapa spesies cendawan yang mempunyai sifat patogen yang tinggi. Kebanyakan cendawan entomopatogen mempunyai sifat spesifik terhadap inang tertentu, yang kemampuan alaminya untuk menginfeksi serangga bervariasi. Pada banyak kasus, kespesifikan cendawan pada inang mempunyai karakteristik yang fleksibel yang dipengaruhi oleh metode perlakuan seperti dosis dan metode aplikasi. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan cendawan entomopatogen perlu diketahui kerapatan konidia secara optimal (konidia/ml) sebagai formulasi biotermitisida. Dengan mendapatkan LC yang optimal dalam aplikasi, diharapkan akan dapat mengendalikan rayap tanah C. gestroi sesuai yang diinginkan. Menurut Edwards dan Mill (1986) di dalam Eaton dan Hale (1993), berdasarkan pengamatan ada empat metode aplikasi pengendalian rayap yaitu: memasukkan pestisida ke dalam kayu, sistem pengumpanan, metode fisik dan pengendalian hayati. Di Indonesia metode aplikasi pengendalian rayap telah berkembang dengan baik diantaranya metode kontak langsung dan pengumpanan.

63 46 Menurut Jones et al. (1996), efikasi umpan tergantung pada keberhasilan penyampaian agens kontrol dengan aksi bioaktif lambat ke seluruh koloni. Patogen serangga adalah calon umpan yang menarik sebab mampu berbiak secara alami dan aman bagi serangga non target. Patogen serangga dalam jumlah yang sedikit dapat menyebar keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial (grooming dan berbagi makanan) diharapkan dapat menyebarkan inokulum. Berdasarkan hal tersebut di atas, telah dicoba penelitian menggunakan berbagai tingkatan kerapatan konidia beberapa spesies cendawan entomopatogen dari berbagai sumber dan metode aplikasi di laboratorium. Tujuan percobaan ini untuk mendapatkan kerapatan konidia yang efektif dari masing-masing spesies cendawan entomopatogen dan metode yang sesuai untuk aplikasi mengendalikan rayap tanah C. gestroi. Bahan dan Metode Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jenis Rayap yang Digunakan Jenis rayap yang digunakan pada penelitian ini adalah rayap tanah jenis C. gestroi yang dipelihara pada UPT Biomaterial LIPI selama 3 tahun. Persiapan Cendawan Cendawan entomopatogen yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil uji tapis pada penelitian sebelumnya. Spesies yang digunakan adalah: M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus (Tabel 5.1.)

64 47 Tabe Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum lainnya di Pulau Jawa, dan digunakan dalam penelitian. Isolat Inang atau sumber inokulum Stadia Jenis cendawan Asal geografi (Tahun) 1. Ma-Rl Penghisap polong (Riptortus. linearis) (Hemiptera:Alydidae) Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Probolinggo (2003) 2. Mb-Ps Pasir Metarhizium brunneum Petch 3. Bb-Lo Walang sangit (L. oratorius) Imago Beauveria bassiana (Hemiptera : Coreidae) (Bals) Vuillemin 4. Fu-Sl Ulat grayak (Spodoptera. litura) Larva Fusarium oxysporum (Lepidoptera : Noctuidae) Link. 5. As-Co Rayap tanah (C. curvignathus) Larva Aspergilus.flavus. (Isoptera : Rhinotermitidae) Link Bogor (2004) Probolinggo (2003) Cibodas (2004) Bogor (2004) Perosedur Perbanyakan Prosedur perbanyakan telah diuraikan pada Bab IV. Penyediaan Suspensi Konidia Suspensi konidia disiapkan sama seperti pada Bab IV, namun menggunakan berbagai kerapatan sebagai berikut: a) konidia/ml, konidia/ml, 10 6 konidia/ml, konidia/ml, 10 5 konidia/ml untuk uji tingkat patogenisitas dan b). LC 95 dari M. brunneum (cendawan terseleksi pada uji tingkat patogenisitas) untuk uji metode aplikasi. Konidia dihitung menggunakan haemocytometer. Metode Kontak dan Umpan Uji metode kontak (Contact method) dan metode umpan (Baiting method) dapat diacu pada Bab III. Uji Patogenisitas Mortalitas Suspensi konidia dari masing-masing spesies cendawan disiapkan seperti diterangkan sebelumnya, 80 ekor C. gestroi kasta pekerja dan 8 ekor kasta prajurit dicelupkan ke dalam 0,50 ml suspensi konidia masing-masing spesies cendawan. Kontrol hanya dicelupkan dalam aquades steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100. Kemudian larva dikeringkan dengan cara

65 48 menempatkan ke dalam cawan petri yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Rayap uji terdiri dari 20 ekor rayap kasta pekerja dan 2 ekor kasta prajurit untuk setiap unit percobaan. Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara C dan RH 70-95% dengan kondisi gelap. Mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 6 hari. Uji Lethal Concentration (LC) Lethal Concentration adalah konsentrasi yang dapat membunuh populasi organisme sejumlah tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Untuk mengetahui hubungan regresi kerapatan konidia/ml dengan mortalitas (LC) dilakukan dengan menggunakan analisis probit (Finney 1971). Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium Mortalitas Suspensi konidia cendawan M. brunneum disiapkan seperti diterangkan sebelumnya, kemudian untuk perlakuan metode kontak sebanyak 200 ekor rayap C. gestroi kasta pekerja dan 20 ekor kasta prajurit dicelupkan ke dalam 1 ml suspensi konidia cendawan M. brunneum. Kontrol hanya dicelupkan dalam akuades steril yang telah mengandung 0,05% Triton X-100. Sebanyak 50 ekor kasta pekerja dan 5 ekor prajurit dibagi dalam setiap unit percobaan yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Untuk perlakuan metode umpan kertas saring yang telah diwarnai dengan 0,05% Nile blue A untuk makanan rayap dicelupkan ke dalam suspensi konidia cendawan M. brunneum, kemudian dikering anginkan dan ditempatkan di dalam cawan petri berdiameter 9 cm. Sejumlah 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor prajurit untuk setiap ulangan dipelihara di dalamnya. Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara C dan RH 70-95% dengan kondisi gelap. Mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 6 hari.

66 49 Lethal Time (LT) Lethal Time adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh suatu populasi sejumlah tertentu yang dinyatakan dalam persen (%). Untuk mengetahui hubungan regresi waktu aplikasi dengan mortalitas (LT) dilakukan dengan menggunakan analisis probit (Finney 1971). Analisis Data Data pengamatan mortalitas pada uji patogenisitas dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dua faktor (faktor I spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 5 level: M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus dan faktor II tingkatan kerapatan konidia yang terdiri dari 5 level kerapatan: 10 5, , 10 6, , 10 7 konidia/ml dan kontrol) dan pada uji metode aplikasi dianalisis berdasarkan RAL satu faktor (faktor metode penginfeksian terdiri dari 2 level: kontak dan pengumpanan) dengan uji ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji DNMRT (Steel & Torrie 1993). Untuk mendapatkan korelasi antara masing-masing spesies cendawan dengan tingkatan kerapatan konidia terhadap mortalitas rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000), sedangkan untuk mengetahui hubungan regresi waktu aplikasi dan kerapatan konidia/ml dari masing-masing spesies cendawan dengan mortalitas (LT dan LC) dilakukan dengan analisis probit (Finney 1971). Hasil dan Pembahasan Uji Patogenisitas Mortalitas Spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana F. oxysporum dan A. flavus telah diuji keefektifannya terhadap pengendalian rayap tanah C. gestroi dengan perlakuan berbagai tingkatan kerapatan konidia/ml: 10 5 konidia/ml, konidia/ml, 10 6 konidia/ml, konidia/ml, 10 7 konidia/ml dan kontrol.

67 50 Pada pengujian keefektifan, ternyata B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus setelah 6 hari penginfeksian dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih dari 80% pada perlakuan kerapatan konidia konidia/ml. Mortalitas yang sama dicapai oleh M. anisopliae pada perlakuan kerapatan konidia 10 6 konidia/ml dan oleh M. brunneum pada kerapatan yang lebih rendah ( konidia/ml). Hal ini menunjukkan bahwa semua spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini sangat efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah dan spesies M. brunneum paling tinggi tingkat patogenisitasnya dibanding spesies lainnya (Gambar 5.1). Laju mortalitas C. gestroi sangat dipengaruhi oleh tingkatan kerapatan dan jenis cendawan entomopatogen, hal ini terlihat pada perbedaan bentuk grafik yang dihasilkan. Setiap jenis cendawan sesuai dengan tingkat patogenisitasnya, membutuhkan tingkat kerapatan konidia tertentu untuk dapat efektif sebagai agens hayati pengendalian rayap C. gestroi. Neves dan Alves (2004) menyatakan bahwa waktu kematian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi dan virulensi dari masing masing isolat. Tingkat patogenisitas cendawan patogen untuk dapat menyebabkan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk oleh sifat fisiologi dari inang seperti mekanisme pertahanan dari inang dan sifat fisiologi dari cendawan seperti faktor viabilitas, laju pertumbuhan, kemampuan bersporulasi dan metabolisme sekunder yang dihasilkan yaitu berupa kemampuan menghasilkan enzim dan toxin serta pengaruh lingkungan (Butt et al. 2001). Hal lainnya tentang patogenisitas spesies cendawan diduga terkait dengan kemampuan menghasilkan enzim dan mycotoxins selama berjalannya proses infeksi pada serangga seperti pada saat kontak dengan kutikula dan di dalam hemosoel (Tanada & Kaya 1993). Menurut Boucias dan Pendland (1998), tingkat patogenisitas cendawan entomopatogen ditentukan oleh berbagai interaksi faktor. Ada beberapa genus cendawan yang terdiri dari beberapa spesies yang masing-masingnya mempunyai kemampuan dasar yang dapat menyebabkan cepat atau lambatnya kematian inang. Selain hal tersebut patogenisitas juga tergantung pada berbagai karakteristik dari potensi serangga inang dan lingkungan disekelilingnya. Keadaan lingkungan seperti temperatur, cahaya, dan kelembaban relatif adalah

68 51 penting di dalam menetapkan kemampuan cendawan entomopatogen menyerang inangnya. Sebagai contoh, kelembaban relatif yang tinggi biasanya dibutuhkan konidia untuk berkecambah pada kutikula inang, sedangkan kelembaban relatif rendah dibutuhkan untuk pembentukan konidia yang siap menyebar ke inang baru. Mortalitas (%) M. anisopliae kontrol Waktu (hari) Mortalitas (%) M. brunneum kontrol Waktu (hari) Mortalitas (%) B. bassiana kontrol Waktu (hari) Mortalitas (%) F. oxysporum kontrol Waktu (hari) Mortalitas (%) A. flafus control Waktu (hari) Gambar 5.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah 6 hari diinokulasi dengan berbagai tingkatan kerapatan konidia (10 7, , 10 6, , 10 5 konidia/ml) beberapa spesies cendawan entomopatogen.

69 52 Untuk setiap spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini, tingkat kerapatan konidia memperlihatkan reaksi yang nyata terhadap mortalitas rayap C. gestroi. Secara umum ada korelasi antara tingkat kerapatan konidia dengan mortalitas, semakin tinggi kerapatan konidia yang di perlakukan juga menunjukkan tingkat mortalitas rayap C. gestroi yang tinggi. Dalam hal ini diperkirakan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia/ml yang diaplikasikan terhadap rayap, memungkinkan kontak konidia dengan tubuh rayap dalam jumlah yang lebih banyak. Keadaan ini memberi peluang yang lebih baik bagi konidia untuk berhasil berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh rayap C. gestroi. Selain tingkat kerapatan konidia, lamanya waktu pencelupan rayap ke dalam suspensi konidia diperkirakan juga akan berpengaruh, namun dalam penelitian ini lama pencelupan untuk semua tingkat kerapatan konidia dilakukan dalam waktu 4 detik. Penelitian oleh Yoshimura dan Takahashi (1998), menunjukan bahwa pada kontak selama satu menit dengan formulasi berkerapatan konidia B. brongniartii tinggi (3,3 x 10 8 konidia/cm 3 ) menghasilkan 100% mortalitas serangga uji dalam waktu 5 hari, sedangkan dengan formulasi konidia berkerapatan rendah kontak selama satu hari hanya menghasilkan 50% mortalitas dalam waktu yang sama. Yoshimura et al. (1992) menyatakan bahwa tingkat patogenisitas cendawan entomopatogen Conidiobolus coronatus terhadap rayap C. formosanus di laboratorium dengan pemaparan rayap kasta pekerja terhadap koloni cendawan di medium agar selama 3 jam menyebabkan 100% mortalitas dalam waktu 9 hari, walaupun hanya 2 atau 3 konidia yang menempel pada permukaan masingmasing tubuh rayap setelah pemaparan pada cendawan. Semua rayap pekerja mati hanya dalam 1 hari setelah pemaparan selama 6 atau 24 jam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa C. coronatus mempunyai potensi tinggi untuk membunuh rayap dalam waktu singkat. Lethal Concentration (LC) Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LC 95, 50 dan 25 dari cendawan M. brunneum paling rendah dibandingkan nilai LC dari spesies cendawan lainnya yang diuji pada penelitian ini, secara berurutan: 1,21 x 10 6 konidia/ml, 1,80 x 10 5

70 53 konidia/ml dan 8,60 x 10 4 konidia/ml. Hal ini mengindikasikan bahwa M. brunneum paling tinggi tingkat patogenisitasnya dibandingkan spesies cendawan entomopatogen lainnya terhadap rayap tanah C. gestroi (Tabel 5.2). Hasil penelitian Jones et al. (1996) dengan menggunakan 7 isolat B. bassiana dan M. anisopliae sebagai bio-kontrol rayap C. formosanus, menunjukkan bahwa umumnya strain M. anisopliae lebih virulen dengan nilai LT 50 lebih rendah dibandingkan strain B. bassiana. Menurut Cloyd (2004), spesies cendawan M. anisopliae dapat mengendalikan banyak spesies serangga hama pada percobaan-percobaan yang dilakukan, termasuk kumbang jepang (Japanese beetle), kumbang penghisap anggur (black wine weevil), nyamuk dan banyak jenis kutu. Tabel 5.2. Lethal concentration (LC) beberapa spesies cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah C. gestroi Spesies cendawan LC (konidia/ml) 95% 50% 25% M. anisopliae 3,12 x ,20 x ,26 x 10 5 M. brunneum. 1,21 x ,80 x ,60x 10 4 B. bassiana 1,08 x ,9 x ,40x 10 4 F. oxysporum 5,76 x ,78 x ,80 x 10 5 A. flavus 7,85 x ,97 x ,10 x 10 6 Masing-masing spesies cendawan entomopatogen mempunyai tingkat patogenisitas dan cara untuk menyerang rayap; cendawan mempunyai karakter spesifik untuk menyerang inangnya (Gambar 5.2). B. bassiana dan M. brunneum menunjukkan karakter berbeda di dalam mengkolonisasi inangnya, B. bassiana hanya bersporulasi pada sisi tertentu saja dari tubuh inang. Karakter cendawan didalam mengkolonisasi inang diduga juga berpengaruh pada tingkat patogenisitas masing-masing spesies cendawan. Di samping itu, cendawan entomopatogen juga menghasilkan beberapa metabolit sekunder sebagai toxin untuk dapat melumpuhkan pertahanan inangnya.

71 54 A B Gambar 5.2. Rayap tanah C. gestroi yang dikolonisasi oleh B. bassiana (A) dan M. brunneum (B) Destruxins merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan entomopatogen hyphomycetes M. anisopliae. Sedikitnya 26 jenis destruxin telah diidentifikasi, destruxin A, B dan E yang paling dominan (Pais, Das & Ferron 1981; Gupta et al. 1989; Roberts 1981 dalam Amiri-Besheli et al. 2000). Selain spesies cendawan Metarhizium sp., B. bassiana juga lebih intensif digunakan sebagai agens pengendalian rayap dan juga telah diformulasi sebagai bio-termitisida komersil, hal ini disebabkan spesies B. bassiana mempunyai beberapa sifat keunggulan dibandingkan kelemahannya jika dipersiapkan sebagai formulasi bio-termitisida. Pada penelitian ini juga terlihat bahwa spesies cendawan B. bassiana pada pengggunaan kerapatan konidia 10 5 konidia/ml dapat membunuh rayap lebih dari 40%; hasil ini tertinggi jika dibandingkan dengan spesies cendawan lainnya pada penggunaan kerapatan konidia yang sama. Disamping itu, B. bassiana lebih stabil sesuai dengan penurunan kerapatan konidia, mortalitas menurun secara berimbang seiring rendahnya kerapatan konidia yang diaplikasikan namun berbeda nyata dengan kontrol (Gambar 5.1). Pada penelitian terdahulu, 5 isolat B. bassiana dari inang yang berbeda: Coptotermes curvignathus (Bb-Co), Crocidolomia pavonana (Bb-Cp). Leptocorisa oratorius (Bb-Lo), Spodoptera litura (Bb-Sl) dan tanah perkebunan kubis (Bb-Soil) sebagai bio-control untuk rayap tanah Coptotermes sp., ditunjukkan bahwa masing-masing isolat dengan kerapatan 10 8 konidia/ml dapat membunuh 100% rayap dalam waktu 6 hari setelah aplikasi, kecuali isolat B. bassiana dari ulat grayak. Isolat B. bassiana dari walang sangit memperlihatkan

72 55 pertumbuhan yang lebih intensif pada permukaan tubuh rayap setelah 6 hari aplikasi. Bahkan pada kerapatan 10 7 konidia/ml isolat ini dapat membunuh 100% rayap. Berdasarkan analisis probit, nilai LC 50 dan LT 50 berturut-turut adalah 3,9 x 10 5 konidia/ml dan 2,06 hari (Desyanti et al. 2005) Jones et al. (1996), pada penelitiannya menggunakan 4 isolat B. bassiana dan 3 isolat M. anisopliae yang dievaluasi kemampuannya untuk digunakan sebagai perbaikan agens pengendalian rayap C. formosanus. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa strain B. bassiana 787 mempunyai nilai LC 50 paling rendah tetapi secara dekat diikuti oleh ke tiga isolat M. anisopliae. Nilai LC 50 dari empat isolat berkisar antara konidia/rayap. Strain B. bassiana 787 digagaskan mempunyai potensial tertinggi sebagai perbaikan agens pengendalian rayap C. formosanus sebab nilai LT 50 yang cukup rendah 2,9 hari dan nilai LC 50 juga rendah yaitu 33 konidia/rayap. Suzuki (1991) telah memperoleh respon termitisida yang nyata dari spesies, M. anisopliae, B. bassiana dan P. fumosoroseus. Namun spesies ini, secara umum menghasilkan tingkat patogenisitas bervariasi antar strain dan antar jenis inang isolat. Setiap spesies cendawan entomopatogen akan efektif sebagai agens pengendalian hama bila di dalam aplikasi menggunakan kerapatan konidia yang optimum, pada penelitian ini perlakuan menggunakan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan berbagai variasi kerapatan konidia, menghasilkan nilai Lethal Concentration yang bervariasi (Tabel 5.2). Setelah spesies M. brunneum secara berurutan diikuti oleh M. anisopliae, F. oxysporum, A. flavus dan B. bassiana namun hanya spesies M. brunneum yang memiliki nilai LC terendah dibandingkan spesies yang lainnya pada setiap tingkatan LC (LC 95, 50 dan 25 ), pada spesies cendawan lainnya terlihat tingkat LC 50 dan 25 yang tidak konstan. Hal ini juga tercermin pada pola kurva yang berbeda untuk setiap spesies cendawan, bahwa spesies cendawan yang hanya efektif pada kerapatan konidia tinggi akan memiliki nilai LC lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh spesies cendawan A. flavus dan F. oxysporum (Gambar 5.1).

73 56 Spesies cendawan A. flavus dan F. oxysporum selain tidak efektif pada tingkat kerapatan konidia yang lebih rendah juga mempunyai sifat yang merugikan. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan A. flavus juga menghasilkan aflatoxins yang dapat menghasilkan tumor pada organ hati vertebrata termasuk manusia, sedangkan F. oxysporum umumnya bersifat sebagai patogen pada banyak tanaman (Salleh 2005). Diduga hal ini sebagai penyebab A. flavus dan F. oxysporum tidak digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian hama. Sifat yang dapat merugikan terhadap pengguna, tanaman dan lingkungan hidup lainnya akan dapat menambah permasalahan baru. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan cendawan entomopatogen Aspergillus terdiri dari banyak spesies seperti A. flavus, A. parasiticus, A. tamari, A. ochraceus, A. fumigatus, A. repens dan A. versicolor, dan cendawan ini umumnya sebagai saprofit akan tetapi dapat menginfeksi serangga pada rentangan jenis yang luas. Salleh (2005), secara spesifik mengklasifikasikan cendawan Fusarium berdasarkan penyebarannya di alam: 94% sebagai penyebab penyakit tanaman atau berasosiasi dengan penyakit tanaman, 5% terdapat pada makanan, 1% pada sumber lainnya dan hanya 0,5% sebagai patogen pada hewan dan manusia. Menurut Teetor-Barsch dan Roberts (1993) cendawan spesies Fusarium diketahui kelimpahannya di alam dan juga keragaman tempat ia berasosiasi di antaranya pada tanaman hidup maupun yang telah mati serta pada banyak hewan, terutama serangga. Perhatian khusus diberikan terhadap rentangan inang dari Fusarium, teristimewa antara inang tanaman dan serangga, sehingga diharapkan cendawan ini memungkinkan berpotensi untuk mengendalikan hama. Selanjutnya dinyatakan bahwa dari sejumlah besar Fusarium spp. yang bersifat entomopatogen beberapa diantaranya bersifat lemah dan sebagai patogen fakultatif. Kususnya pada ordo Lepidoptera dan Coleoptera, cendawan akan mengkolonisasi inangnya yang mati sebagai sapropit. Pada segolongan kecil kasus, tingkat patogenisitas Fusarium terhadap tanaman dan serangga oleh isolat yang sama juga ditemukan. Dan tingkat potensi isolat Fusarium yang menyebabkan mortalitas tinggi terhadap serangga juga memperlihatkan sepesifik inang yang tinggi dan tidak berbahaya terhadap jenis tanaman.

74 57 Pada Tabel 5.2. juga terlihat bahwa, walaupun B. bassiana memiliki LC 95 tertinggi, namun memiliki LC 50 terendah setelah M. brunneum dan M. anisopliae serta LC 25 terendah setelah M. brunneum. B. bassiana mampu mengendalikan rayap tanah C. gestroi sampai pada penggunaan LC yang lebih rendah dibandingkan spesies A. flavus dan F. oxysporum. Respon cendawan terhadap kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembaban relatif dan khususnya pilihan terhadap serangga inang secara individu bervariasi tergantung strain, bermacam inang dan daerah asal isolat (Yoshimura et al. 1992). Uji Metode Kontak dan Umpan di Laboratorium Mortalitas (%) Mortalitas rayap oleh cendawan entomopatogen M. brunneum dengan menggunakan metode aplikasi kontak dan umpan dapat dilihat pada Gambar 5.3. Metode aplikasi dengan metode kontak dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam waktu satu minggu, hal ini diperkirakan bahwa dengan metode kontak konidia cendawan langsung mengenai tubuh serangga dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan metode pengumpanan sehingga konidia dengan cepat dapat menempel, berkecambah dan berpenetrasi menembus kutikula serangga sehingga menyebabkan kematian. Mortalitas (%) Mortalitas (%) Umpan Kontak Kontrol Periode (hari) Umpan Kontak Kontrol Metoda aplikasi Gambar 5.3 Mortalitas rayap tanah C. gestroi oleh cendawan entomopatogen M. brunneum pada perlakuan metode aplikasi kontak dan pengumpanan (7 hari setelah aplikasi).

75 58 Hasil penelitian menunjukkan pola yang sama dengan penelitian Trizelia (2005) bahwa mortalitas ulat krop kubis yang diinokulasi langsung dengan konidia B. bassiana lebih tinggi dibandingkan mortalitas larva yang makan atau berjalan pada daun yang disemprot konidia. Boucias dan Pendland (1998) menyatakan bahwa dengan metode kontak langsung konidia akan dapat langsung menempel dan berkecambah pada tubuh serangga. Penelitian Zoberi, 1995 dalam Bayon et al. (2000) di laboratorium, menunjukkan bahwa metode kontak secara langsung menggunakan M. anisopliae terhadap rayap pekerja Reticulitermes flavipes (Kollar) menghasilkan 100% mortalitas dalam waktu 5 hari dan pada metode pengumpanan dalam waktu 12 hari. Lethal Time (LT) LT (LT 25, 50, dan 95) cendawan entomopatogen pada perlakuan metode kontak lebih rendah dibandingkan pada metode pengumpanan (Tabel 5.3). Pada metode kontak konidia langsung dapat menempel, berkecambah dan penetrasi pada bahagian antar ruas tubuh serangga yang kondisi kelembabannya sangat mendukung perkecambahan konidia, sedangkan pada metode pengumpanan konidia harus melewati saluran pencernaan yang kondisinya kurang menguntungkan untuk cepat berkecambah. Ada kemungkinan konidia tidak dapat berkecambah optimum dalam saluran makanan, karena lingkungan kurang mendukung. Penelitian sebelumnya oleh Tefera dan Pringle (2003), menemukan mortalitas yang sama pada Chilo partellus (Lepidoptera: Pyralidae) yang diinokulasi dengan B. bassiana. Pada perlakuan kontak dengan pencelupan menghasilkan LT 50 terendah dengan waktu tersingkat. Selanjutnya Amiri-Besheli et al. (2000) menyatakan bahwa 3 strain cendawan M. anisopliae var. anisopliae (V 304, Me 1 dan V 245) virulensinya pada perlakuan metode injeksi dan metode kontak langsung dengan perendaman tinggi akan tetapi strain Ma 23 hanya pada metode injeksi saja. Penelitiannya juga mengindikasikan bahwa tidak semua strain M. anisopliae dapat berpenetrasi ke dalam kutikula serangga, dan ditegaskan bahwa kutikula merupakan salah satu penghambat penting untuk dapat terjadinya infeksi.

76 59 Lebih lanjut dinyatakan patogen harus cocok dengan inangnya dan menghasilkan kombinasi enzim yang baik untuk dapat berpenetrasi ke dalam kutikula inang. Hal ini memberi kesan bahwa berhasilnya infeksi tergantung kepada beberapa faktor patogenisitas. Keberhasilan beberapa strain M. anisopliae mungkin lebih tergantung pada kandungan destruxin dibandingkan dengan faktor patogenisitas lainnya, dan ini memungkinkan strain M. anisopliae sering dilaporkan sebagai pembunuh inangnya sebelum terjadi kolonisasi intensif. Metode injeksi dan kontak langsung dengan pencelupan pada var. V 245 menghasilkan sporulasi yang tinggi pada Galleria mellonella. Tabel 5.3 Lethal Time (LT) cendawan entomopatogen M. brunneum dengan metode kontak dan pengumpanan Metode Lethal Time (hari) Kontak (Contact) 4,37 (3,58 6,15) 2,01 (1,52 2,40) 1,46 (0,95 1,84) Pengumpanan (Baiting) 15,05 (12,81 18,64) 4,83 (4,56 5,13) 3,03 (2,77 3,26) Dari hasil penelitian lapangan menggunakan empat isolat cendawan M. anisopliae dengan perlakuan semprotan suspensi dan inokulum kering yang ditebar, Moslem et al. (1999) mendapatkan perlakuan dengan menggunakan suspensi secara ekonomi lebih menguntungkan dalam mengendalikan hama kelapa sawit Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). Delate et al. (1995) di dalam Yoshimura dan Takahashi (1998) mengevaluasi potensi penggunaan cendawan entomopatogen B. bassiana dan M. anisopliae dengan menggunakan metode pengumpanan. Semua rayap uji mati dalam waktu 4 hari untuk yang diperlakukan dengan M. anisopliae, yang diperlakukan dengan B. bassiana memperlihatkan toksisitas yang lebih lambat dibandingkan dengan M. anisopliae. Keberhasilan aplikasi cendawan entomopatogen dengan metode kontak, diperkirakan selain dapat dengan cepat menembus bahagian antar ruas dan kutikula serta masuk ke dalam bagian internal serangga inang, cendawan juga dapat masuk melalui celah alami yang ada pada tubuh serangga inang. Menurut Yoshimura dan Takahashi (1998), M. anisopliae secara umum masuk ke tubuh serangga lewat spirakel dan pori-pori pada seluruh organ. Di dalam tubuh

77 60 serangga, cendawan menghasilkan perpanjangan hifa secara lateral, yang ahirnya berkembang biak dan mengkonsumsi kandungan internal serangga. Pertumbuhan hifa berlanjut sampai serangga terisi dengan miselia. Bila kandungan internal serangga telah dikonsumsi, cendawan akan keluar melewati kutikula dan bersporulasi sehingga membuat serangga seperti berbulu halus. Sebagai tambahan, M. anisopliae dapat memperoleh nutrisi dari lemak pada kutikula. Pada keadaan yang memungkinkan, kadang kala serangga juga dapat mencegah serangan cendawan entomopatogen walaupun konidia telah sempat menempel pada permukaan tubuh. Beberapa serangga mempunyai mekanisme physiologi yang telah berkembang untuk mengurangi terjadinya infeksi oleh cendawan seperti M. anisopliae. Sebagai contoh, belalang gurun pasir memproduksi toksin anti cendawan yang dapat menghalangi perkecambahan konidia. Selain hal tersebut serangga dapat menghindari infeksi dengan berganti kulit dengan cepat atau mengembangkan integumen baru sebelum cendawan berpenetrasi ke kutikula (Boucias & Pendland 1998). Kesimpulan Cendawan entomopatogen M. brunneum merupakan spesies cendawan paling efektif sebagai agens pengendalian rayap tanah C. gestroi karena tingkat patogenisitasnya paling tinggi dengan nilai LC 50 paling rendah (1,80 X 10 5 konidia/ml) kemudian diikuti oleh spesies M. anisopliae (3,20 X 10 5 ), B. bassiana (3,9 X10 5 ), F. oxysporum (6,78 X10 5 ). Berdasarkan pengujian tingkat keefektifan keempat spesies ini dapat di uji pada penelitian selanjutnya. A. flavus memperlihatkan tingkat keefektifan paling rendah dengan nilai LC 50 paling tinggi (1,97 X10 6 ). Pada uji metode aplikasi, metode kontak lebih efektif dan dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih cepat dengan LT 50 2,01 (1,52 2,40) hari dibandingkan metode pengumpanan dengan LT 50 4,83 (4,56 5,13) hari.

78 BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM Abstrak Uji penularan cendawan entomopatogen di dalam koloni rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan Coptotermes curvignathus Holmgren telah dilaksanakan di laboratorium. Pada uji laboratorium terhadap rayap C. gestroi digunakan LC 95 dari spesies cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch., Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link., dengan proporsi vektor: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%, sedangkan terhadap C. curvignathus menggunakan LC 95 dari spesies cendawan M. brunneum dengan proporsi vektor 0% dan 10%. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas pada berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi. Sedangkan data mortalitas yang diperoleh pada penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan RAL satu arah dengan uji ragam yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji DNMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) dan lamanya waktu aplikasi (hari). Pada proporsi 10% pengamatan selama 5 hari menunjukkan bahwa spesies cendawan M. brunneum menyebabkan mortalitas tertinggi (55%) namun sampai pada pengamatan 15 hari, M. brunneum, B. bassiana dan M. anisopliae menyebabkan mortalitas rayap tidak berbeda nyata (91,25%-100%). Uji penularan di dalam koloni rayap C. curvignathus menggunakan 10% vektor yang diinokulasi dengan LC 95 cendawan M. brunneum hanya mampu menghasilkan 60% mortalitas (kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11, 27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari inokulasi. Kata kunci: bio-kontrol, cendawan entomopatogen, penularan, vektor, Coptotermes gestroi, Coptotermes curvignathus. Pendahuluan Rayap tanah Coptotermes spp. merupakan serangga hama yang banyak menyebabkan kerugian pada konstruksi hunian berbahan baku kayu. Pengendalian hama ini memerlukan teknik khusus sehubungan dengan kebiasaan hidupnya yang tersembunyi di bawah permukaan tanah dan dengan jumlah individu di dalam

79 62 koloni yang cukup besar. Serangga sosial ini memiliki perilaku dan tingkatan kasta serta pembahagian fungsi yang berbeda untuk menjalankan aktifitas kehidupannya di dalam suatu koloni. Perilaku demikian dapat dimanfaatkan untuk mencapai kesuksesan di dalam pengendalian menggunakan cendawan entomopatogen. Menurut Pearce (1997) tidak seperti kebanyakan serangga lainnya, rayap hidup di kegelapan sehingga komunikasi lewat sensory (sentuhan dan rasa) dan secara kimia adalah sangat penting. Komunikasi secara kimia di antaranya dengan menggunakan pheromon yaitu bahan kimia bersifat volatil yang dapat berfungsi sebagai bahan untuk merespon perilaku antar individu di dalam suatu koloni. Komunikasi ini memungkinkan rayap didalam koloni melakukan interaksi sosial lewat perilaku seperti grooming, trophallaxis dan cannibalistic. Perilaku ini diharapkan secara efektif dapat menularkan patogen antar individu di dalam suatu koloni rayap. Untuk mengaplikasikan patogen terhadap koloni rayap juga dibutuhkan vektor sebagai agens penularan inokulum antar individu di dalam suatu koloni. Berdasarkan perilaku rayap seperti yang telah diuraikan di atas, diharapkan dengan hanya menginokulasikan cendawan entomopatogen terhadap sebagian anggota koloni rayap, cendawan patogen akan dapat tersebar dari vektor ke individu lainnya di dalam koloni. Dengan demikian semua individu di dalam koloni akan dapat tereliminasi. Menurut Jones et al. (1996) berdasarkan aksi patogen serangga dengan jumlah yang sedikit memungkinkan dapat menyebar keseluruh koloni sebelum terdeteksi. Interaksi sosial terutama grooming dan berbagi makanan, diharapkan dapat menyebarkan inokulum. Kemampuan patogen untuk menyebabkan kematian terhadap berbagai jenis serangga berbeda, hal ini sehubungan dengan setiap jenis serangga mempunyai kemampuan daya tahan atau tingkat kerentanan yang tidak sama. Berdasarkan hal ini, telah dilakukan penelitian penggunaan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan LC 95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen yang telah diketahui keefektifannya terhadap rayap tanah. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari penularan cendawan entomopatogen dari vektor sebagai pembawa

80 63 patogen terhadap individu lainnya di dalam suatu koloni untuk mengendalikan rayap tanah C. gestroi dan C. curvignathus di laboratorium. Bahan dan Metode Penelitian ini telah dilakukan di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jenis Rayap yang Digunakan Rayap yang digunakan terdiri dari kasta pekerja dan prajurit rayap tanah spesies C. gestroi (Benson 2005) yang dipelihara di UPT Bio-material LIPI Cibinong, dan spesies C. curvignathus yang dipelihara di Laboratorium Biologi Hasil Hutan Pusat Studi Ilmu Hayati IPB. Persiapan Spesies Cendawan Spesies cendawan entomopatogen yang digunakan adalah Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok., Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.dan Fusarium oxysporum Link. Semua isolat murni disimpan pada suhu 4 0 C sampai masa penggunaan. Data selengkapnya mengenai asal cendawan dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabe Spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan dari berbagai inang atau sumber inokulum di alam. Isolat Inang atau sumber cendawan Stadia Jenis cendawan Asal geografi (Tahun) 1. Ma-Rl Penghisap polong (Riptortus. linearis) Imago Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Probolinggo (2003) (Hemiptera: Alydidae) 2. Mb-Ps Pasir Metarhizium brunneum Bogor (2004) Petch. 3. Bb-Lo Walang sangit (Leptocorisa oratorius) (Hemiptera : Coreidae) Imago Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin Probolinggo (2003) 4. Fu-Sl Ulat grayak (Sepodoptera. litura) (Lepidoptera: Noctuidae) Larva Fusarium oxysporum Link Cibodas (2004)

81 64 Prosedur Perbanyakan Prosedur perbanyakan dapat diacu pada Bab IV. Penyediaan Suspensi Konidia Prosedur penyediaan suspensi konidia dapat diacu pada Bab IV, namun penelitian ini menggunakan kerapatan konidia sebagai berikut: a). untuk pengujian terhadap rayap C. gestroi di laboratorium menggunakan LC 95 dari spesies cendawan B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum, dan b). untuk pengujian terhadap rayap C. curvignatus menggunakan LC 95 spesies cendawan M. brunneum. (1,21 x 10 6 konidia/ml). Konidia dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Uji Penularan Uji penularan terhadap C. gestroi Untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi proporsi vektor yang digunakan dari masing-masing perlakuan adalah: 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakukan adalah LC 95 dari spesies cendawan M. anisopliae, M. Brunneum, B. bassiana, dan F. oxysporum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (cawan petri Ø 9 cm) yang telah diberi alas kertas saring sebagai sumber makanan. Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 20 ekor kasta pekerja dan dua ekor kasta prajurit. Untuk tujuan penggunaan sebagai vektor pada uji penularan digunakan rayap yang diwarnai dengan Nile blue A 0,05% dan diinokulasi dengan LC 95 masing-masing spesies cendawan terseleksi. Uji penularan terhadap C. curvignathus Untuk rayap tanah C. curvignathus digunakan proporsi vektor 0% dan 10% untuk setiap satuan unit percobaan. Sebagai perlakuan adalah LC 95 spesies cendawan M. brunneum. Rayap vektor kemudian ditempatkan bersama-sama dengan individu rayap sehat di dalam unit percobaan (tabung glas Ø 7,5 cm dengan tinggi 10 cm) yang telah diberi isi 20 mg tanah dan kayu pinus (2 cm x 1

82 65 cm x 1 cm) sebagai sumber makanan (Falah et al. 2004). Jumlah individu untuk setiap unit percobaan adalah 100 ekor kasta pekerja dan 10 ekor kasta prajurit. Semua unit percobaan dipelihara pada suhu ruangan berkisar antara C dan kelembaban relatif 70-95% dengan kondisi gelap. Pengamatan terhadap rayap C. gestroi mortalitas rayap dihitung setiap hari selama 2 minggu dan mortalitas rayap C. curvignathus dihitung di akhir percobaan (setelah 2 minggu). Rayap mati diinkubasikan pada suhu 24 0 C dan kelembaban relatif 95% selama 5-7 hari. Rayap mati yang telah dikolonisasi oleh cendawan di amati dibawah mikroskop untuk memastikan rayap terkolonisasi oleh cendawan sesuai perlakuan. Uji Penurunan Berat Contoh Uji (%) Pengujian terhadap penurunan berat contoh uji kayu yang diumpankan terhadap rayap, dilakukan bersamaan dengan perlakuan uji penularan terhadap rayap C. curvignathus. Pengukuran dilakukan terhadap penurunan berat contoh uji (BKT) akibat serangan rayap. Untuk menghitung penurunan berat akibat serangan rayap pada contoh uji digunakan rumus: W = W 1 W 0 X 100% W 1 dimana: W = penurunan berat akibat serangan rayap (%) W 0 = berat contoh uji BKT sebelum pengujian (gr) W 1 = berat contoh uji BKT sesudah pengujian (gr) BKT = berat kering tanur Analisis Data Data mortalitas yang diperoleh pada perlakuan penularan di dalam koloni rayap C. gestroi dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor (faktor I spesies cendawan entomopatogen yang terdiri dari 4 spesies: M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum dan faktor ke II penggunaan proporsi vektor dengan 6 level: 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan kontrol). Untuk pengujian terhadap rayap C. curvignathus dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor (proporsi vektor: 10% dan kontrol) dengan uji ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan's Multiple

83 66 Range Test (DNMRT). Untuk mengetahui korelasi antara mortalitas dengan berbagai proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan masing-masing spesies cendawan digunakan analisis regresi (Mattjik & Sumertajaya, 2000). Hasil dan Pembahasan Penularan Cendawan Entomopatogen Antar Individu di Dalam Suatu Koloni Rayap Tanah Coptotermes gestroi Wasmann. Laju mortalitas rayap C. gestroi pada perlakuan berbagai proporsi vektor yang diperlakukan dengan 4 spesies cendawan entomopatogen (M. anisopliae, M. brunneum, B. bassiana dan F. oxysporum) sampai dengan hari ke 15 disajikan melalui Gambar 6.1. Pada perlakuan semua jenis cendawan, mortalitas meningkat seiring dengan meningkatnya persentase vektor dan lamanya waktu aplikasi. Perlakuan proporsi vektor 50%, 40%, 30%, 20% dan 10% dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi kecuali pada jenis F. oxysporum. Di antara cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan rayap Coptotermes spp., Reticulitermes flavipes dan Odontotermes spp. adalah: M. anisopliae dan B. bassiana. Kedua spesies cendawan ini telah diuji keefektifannya oleh Zoberi (1995) dalam Bayon et al. (2000). Penelitiannya yaitu pemindahan rayap kasta pekerja yang terkontaminasi cendawan ke rayap yang sehat di dalam cawan petri; rayap kasta pekerja disajikan sebagai vektor penyakit. Dengan cara ini rayap yang sehat mati setelah 8 hari. Pada penelitian ini, mortalitas dihitung dari semua individu di dalam koloni atau unit percobaan, yaitu individu yang diinokulasi awal (vektor) dan yang tidak diinokulasi (rayap sehat). Semua vektor mati dalam waktu 5 hari setelah inokulasi dengan M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum. Rayap yang diinokulasi dengan spesies B. bassiana hanya menyebabkan mortalitas 97,5%, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan spesies lainnya; hal ini diduga sebagai akibat kontak langsung dengan suspensi spesies cendawan entomopatogen. Pada perlakuan proporsi vektor, di akhir penelitian (setelah 15 hari) mortalitas individu sehat (yang terkontaminasi) lebih dari 78,7% kecuali pada perlakuan dengan F. oxysporum dengan proporsi 20% dan 10% hanya menyebabkan mortalitas kurang dari 45%.

84 67 Metarhizium brunneum Mortalitas (%) Waktu (hari) Metarhizium anisopliae 10% 20% 30% 40% 50% Mortalitas (%) % 20% 30% 40% 50% Waktu (hari) Beauveria bassiana Mortalitas (%) Waktu (hari) 10% 20% 30% 40% 50% Mortalitas (%) Fusarium oxysporum 10% 20% 30% 40% 50% Waktu (hari) Gambar 6.1. Laju mortalitas rayap tanah C. gestroi (hari) yang diperlakukan dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen dengan variasi tingkatan proporsi vektor (10, 20, 30, 40 dan 50%) setelah 15 hari inokulasi (mortalitas kontrol 5%) Bagian torax individu rayap yang mati terlebih dahulu, dimakan oleh individu yang masih sehat (Gambar 6.2c) sedangkan bagian abdomennya dikubur menggunakan sisa-sisa makanan dan material lainnya yang ada pada wadah unit percobaan (Gambar 6.2e). Hal ini mengindikasikan bahwa kontaminasi konidia

85 68 dari rayap terinfeksi (vektor) ke rayap sehat mencukupi dan trans-contamination disempurnakan oleh adanya prilaku grooming dan trophallaxis (Gambar 6.2). Hal ini hanya terjadi sebelum semua vektor mati. Kontaminasi selanjutnya memungkinkan terjadi jika cendawan dapat berseporulasi pada permukaan tubuh rayap yang telah mati oleh terinfeksi langsung maupun tertular dari vektor. Menurut Yoshimura et al. (1992), diperkirakan pembentukan konidia baru membutuhkan waktu sekitar 5 hari setelah kematian serangga. a b c d e Keterangan: a).grooming antara vektor dengan individu sehat, b). individu sehat yang tertular cendawan entomopatogen, c). Kanibalisme, d). Abdomen rayap yang tersisa akibat Kanibalisme dan e). Sisa abdomen rayap yang telah dikubur oleh individu sehat di dalam unit percobaan. Gambar 6.2 Penularan cendawan entomopatogen dari rayap yang terkontaminasi (vektor) terhadap individu rayap sehat di dalam unit percobaan Mortalitas individu rayap C. gestroi yang tertular meningkat sejalan dengan meningkatnya persentase proporsi vektor di dalam koloni. Kasus ini diduga disebabkan oleh lebih tingginya kesempatan kontak antara vektor dengan individu rayap sehat sehingga penularan patogen di dalam koloni lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian lebih cepat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yoshimura et al. (1992) pada uji penularan, satu ekor rayap pekerja terinfeksi cendawan Conidiobolus coronatus dapat mengakibatkan total kematian 20 ekor sampai dengan 50 ekor rayap kasta

86 69 pekerja yang sehat jika dipaksakan dekat secara individu di dalam ruangan yang sempit, sedangkan kontrol tidak ada yang mati selama penelitian berlangsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 50 ekor rayap dapat dibunuh oleh satu ekor individu rayap terinfeksi oleh C. coronatus. Hasil ini dapat sebagai pedoman untuk suatu wabah penyakit pada suatu koloni rayap bahkan pada sekala yang besar. Jumlah persentase mortalitas juga nyata terlihat dipengaruhi oleh spesies cendawan yang digunakan sebagai agens hayati, hal ini ditunjukkan oleh penampilan grafik yang tidak sama antar spesies cendawan terutama pada tingkat genus yang berbeda. Dalam hal ini ada interaksi antara spesies cendawan dengan proporsi vektor yang digunakan, setiap spesies cendawan membutuhkan persentase vektor tertentu untuk dapat menyebarkan propagul ke seluruh individu di dalam koloni. Laju mortalitas rayap C. gestroi pada tingkatan proporsi vektor, yang diperlakukan dengan spesies cendawan entomopatogen M. anisopliae dan M. brunneum melihatkan pola grafik sigmoid yang cenderung sama (Gambar 6.1). Diperkirakan hal ini disebabkan karena kedua spesies ini mempunyai kekerabatan yang dekat, sehingga cenderung mempunyai karakteristik dan pola yang sama di dalam menyebabkan mortalitas inang. Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya (1993) di dalam penyelidikannya mengklasifikasikan genus Metarhizium ke dalam 2 spesies yaitu M. anisopliae dan M. flavoviride, dan memasukan 2 spesies cendawan entomopatogen M. album dan M. brunneum sebagai sinonnim dari M. anisopliae. Selanjutnya dinyatakan bahwa karakter dari M. anisopliae: bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidia awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora. Strain lain dari Metarhizium membentuk warna koloni yang berbeda: strain album bewarna putih dan strain brunneum menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat. Barron dan George (1968) menyatakan bahwa Metarrhizium tercatat jarang berasal dari tanah, tetapi penelitiannya pada flora tanah Ontario mengindikasikan

87 70 bahwa M. anisopliae sangat umum pada tanah hutan. Tercatat tiga tipe fenotip yang nyata, yang lebih umum menghasilkan alur dan agregat spora hijau terang yang diskripsinya diakui sebagai M. anisopliae. Spesies yang jarang ditemui dengan warna massa spora pudar sampai coklat dan deskripsinya disetujui sebagai Metarhizium brunneum Petch. Tipe yang ke tiga tercatat hanya pada satu kali peristiwa, dengan kolum spora keungu-unguan dan muncul dari lempeng kuning muda. Latch 1965 dalam Barron dan George (1968) mencatat bahwa secara mikroskopik M. anisopliae dan M. brunneum sangat mirip dan menyarankan kedua spesies ini sebagai spesies yang sama. Selanjutnya menurut Tulloch 1979 dalam Moslem et al. (1999), M. anisopliae terdiri dari 2 varietas yaitu M. anisopliae var. anisopliae mempunyai spora pendek ( µm), dan M. anisopliae var. major mempunyai spora panjang (9 18 µm). Varietas major relatif homogen sedangkan varietas anisopliae sangat heterogen, virulensinya bervariasi tergantung pada serangga inang. Korelasi antara mortalitas dengan beberapa tingkatan proporsi vektor yang diinokulasi dengan LC 95 masing-masing spesies cendawan entomopatogen B. bassiana, M. anisopliae, M. brunneum dan F. oxysporum diringkas pada Gambar 6.3 dan 6.4. Pada Gambar 6.3 yaitu pengamatan sampai dengan hari ke 5 ditunjukkan mortalitas dengan berbagai proporsi vektor yang diinokulasi dengan masingmasing spesies cendawan berkorelasi positif. Semakin tinggi proporsi vektor yang digunakan menyebabkan terjadinya mortalitas rayap C. gestroi yang juga tinggi. Hal ini terjadi terhadap semua spesies cendawan yang diujikan. Spesies cendawan F. oxysporum paling nyata memperlihatkan respon akibat penurunan proporsi vektor seperti yang ditunjukkan oleh nilai R 2 = 0,9341, selanjutnya diikuti oleh M. anisopliae (R 2 = 0,9015), M. brunneum (R 2 = 0,7262), dan B. bassiana (R 2 = 0,4538). Spesies cendawan yang menunjukan respon yang tinggi pada perlakuan penurunan proporsi vektor mengindikasikan bahwa cendawan hanya efektif jika digunakan pada jumlah proporsi vektor yang tinggi saja. Penurunan jumlah vektor mengakibatkan menurunnya tingkat keefektifan cendawan terhadap pengendalian rayap C. gestroi.

88 71 Mortalitas (%) y = 0.55x R 2 = y = 0.312x R 2 = y = 1.024x R 2 = y = 0.999x R 2 = Vektor (%) Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. anisopliae Linear B. bassiana Linear M. brunneum Gambar 6.3 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (5 hari setelah inokulasi) Spesies cendawan B. bassiana pada penelitian ini menunjukan respon yang paling rendah terhadap perlakuan proporsi vektor. Penurunan proporsi vektor tidak memperlihatkan penurunan mortalitas yang kontras; hal ini ditunjukan oleh nilai R 2 paling rendah (R 2 = ). Walaupun B. bassiana secara umum mempunyai kemampuan membunuh lebih rendah jika dibandingkan dengan spesies M. brunneum dan M. anisopliae namun keefektifannya terlihat lebih stabil sampai penggunaan proporsi yang paling rendah. Spesies cendawan M. brunneum memperlihatkan keefektifan paling tinggi pada penggunaan proporsi vektor kurang dan sama dengan 30%. Berdasarkan analisis ragam dan DNMRT pada taraf nyata 5%, mortalitas sampai hari ke 5 memperlihatkan bahwa setiap spesies cendawan yang diinokulasi dengan berbagai tingkatan proporsi vektor dengan LC 95 umumnya berbeda nyata. Dapat dinyatakan bahwa semua spesies cendawan yang diuji pada penelitian ini bersifat patogen dan dapat ditularkan antar individu di dalam koloni dalam waktu yang singkat. Pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi juga terlihat bahwa semua sepesies cendawan yang sama dapat menyebabkan mortalitas rayap 100% dalam waktu 1 minggu setelah semua individu rayap di dalam satuan unit percobaan diinokulasi dengan kerapatan konidia sama dan lebih dari konidia/ml.

89 72 Pada tingkatan proporsi vektor yang berbeda, masing-masing spesies mempunyai kemampuan menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi yang berbeda pula kecuali mortalitas yang disebabkan oleh M. brunneum dan M. anisopliae sampai dengan proporsi 30% tidak berbeda nyata. Perbedaan mortalitas rayap terutama terlihat pada penggunaan proporsi vektor sama dan lebih rendah dari 30%. Perbedaan tingkat patogenisitas antar spesies cendawan yang diuji selain dipengaruhi oleh faktor kecocokan yang berbeda antara satu spesies dengan spesies yang lainnya terhadap jenis inang tertentu, diperkirakan juga disebabkan oleh keefektifan cendawan pada tingkat kerapatan konidia tertentu juga berbeda. Pada pengujian ini digunakan LC 95 dari masing-masing spesies cendawan. Hal ini terlihat pada penelitian sebelumnya tentang keefektifan cendawan entomopatogen terhadap pengendalian rayap C. gestroi bahwa masing-masing spesies menghasilkan nilai LC yang bervariasi. Semakin rendah nilai LC yang dihasilkan menunjukkan semakin tinggi tingkat patogenisitas dari spesies cendawan. Secara umum M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana dengan proporsi vektor sampai dengan 10% dapat menyebabkan mortalitas rayap C. gestroi lebih dari 90% pada pengamatan hari ke 15 namun F. oxysporum hanya dapat menyebabkan mortalitas 43.75%, sehingga F. oxysporum menyebabkan mortalitas paling rendah sampai penggunaan proporsi vektor 10% (Gambar 6.4). Tingkat patogenisitas F. oxysporum yang lebih rendah juga terlihat pada perlakuan penggunaan berbagai variasi kerapatan konidia (penelitian sebelumnya), hanya efektif pada kerapatan konidia yang lebih tinggi.

90 73 Mortalitas (%) y = 100 R 2 = #N/A y = 0.176x R 2 = 0.5 y = 0.226x R 2 = y = 1.55x R 2 = Vektor (%) Kontrol Linear F. oxysporum Linear M. brunneum Linear B. bassiana Linear M. anisopliae Gambar 6.4 Korelasi antara mortalitas rayap C. gestroi (%) dengan tingkatan proporsi vektor (%) yang diinokulasi dengan beberapa spesies cendawan entomopatogen (15 hari setelah inokulasi) Salleh (2005) menjelaskan bahwa keberadaan spesies Fusarium sp. di alam hanya 0.5% sebagai penyebab penyakit pada manusia dan hewan. Selanjutnya dinyatakan bahwa F. oxysporum pada umumnya adalah sebagai patogen pada banyak tanaman, seperti: pada kelapa sawit (Elaeis guineensis), dan beberapa spesies palm seperti: Date palm (Phoenix dactylifera), Canary palm (Phoenix canariensis) dan beberapa ornamental palms. Pada penelitian ini F. oxysporum mempunyai kemampuan seperti cendawan entomopatogen (Gambar 6.5), dan pada banyak penelitian, spesies Fusarium belum umum digunakan sebagai cendawan entomopatogen. Gambar 6.5. Rayap C. gestroi dikolonisasi oleh F. oxysporum

91 74 Tingkat keefektifan spesies cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana pada penggunaan LC 95 tinggi dengan proporsi vektor yang lebih rendah. Tampak bahwa cendawan ini akan sesuai digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian rayap tanah C. gestroi. Kemampuan patogen untuk mengendalikan inangnya sangat ditentukan oleh faktor kesesuaian patogen untuk dapat berkecambah, menembus kutikula inang dan juga ditentukan oleh faktor ketersediaan nutrisi pada tubuh inang. Di samping hal tersebut ditunjang oleh faktor lemahnya daya pertahanan inang terhadap spesies patogen tertentu. Dalam hal ini, tidak tersedianya mekanisme enzim yang dapat menghalangi patogen untuk berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh inang. Juga ditunjang oleh ketidak mampuan inang menghindar dari serangan patogen seperti kemampuan untuk berganti kulit sebelum patogen dapat menembus kutikula. Boucias dan Pendland (1998) menyatakan bahwa pada banyak kasus lainnya ada mekanisme kekebalan yang dimiliki oleh serangga untuk mencegah serangan mikroorganisme termasuk cendawan. Sehingga banyak cendawan entomopatogen yang menjadi lemah atau bersifat fakultatif yang hanya bisa menempel, melukai atau melemahkan saja. Selanjutnya Cloyd (2003) menyatakan serangga juga dapat melindungi dirinya dari serangan cendawan dengan menghasilkan toksin anti cendawan yang dapat menghambat perkecambahan spora. Serangga juga dapat berganti kulit dan mengembangkan integumen sebelum cendawan berpenetrasi ke bagian internal tubuh inang. Pada banyak penelitian penggunaan spesies M. anisopliae dan B. bassiana sukses digunakan sebagai agens pengendalian rayap. Namun demikian banyak peneliti masih mencari strain yang benar-benar sesuai untuk digunakan sebagai agens hayati untuk spesies rayap tertentu dan cocok diaplikasikan pada situasi dan iklim yang dikehendaki. Dengan demikian setiap produk bio-termitisida yang berbasiskan cendawan entomopatogen, dalam jangka waktu tertentu perlu mengadakan perbaikan kualitas terhadap agens hayati yang digunakan, karena dianggap tidak selalu stabil pada situasi dan iklim yang berbeda. Dalam hal ini perlu ditelaah lebih jauh tentang adanya keragaman strain di dalam spesies yang sama.

92 75 Keragaman intraspesies pada cendawan entomopatogen umum terlihat pada perbedaan virulensinya (Hajek & Leger 1994), dan hal-hal yang mempengaruhi perbedaan intraspesies di antaranya adalah sumber isolat, inang dan faktor daerah geografis asal isolat (Beretta et al. 1998). Hal ini akan berakibat pada keragaman karakter di dalam spesies baik secara fisiologi maupun genetik. Penularan Cendawan Entomopatogen M. brunneum antar Individu Rayap Tanah Coptotermes curvignathus (Holmgren) Mortalitas (%) Penularan cendawan entomopatogen antar individu rayap tanah C. curvignathus terkontaminasi (vektor) dengan individu rayap sehat di dalam satuan unit percobaan dapat terjadi. Setelah 15 hari dengan menggunakan 10% vektor diinokulasi M. brunneum, mortalitas rayap sebesar 60% dalam populasi dapat teramati (Gambar 6.6). Jika dibandingkan dengan jenis rayap C. gestroi, dengan proporsi vektor dan jangka waktu yang sama, terjadi penurunan mortalitas pada C. curvignathus. Diperkirakan hal ini dapat terjadi karena perbedaan spesies inang sasaran yang digunakan. Di samping itu, kehidupan rayap C. curvignathus dikondisikan hampir sama dengan lingkungan habitat aslinya yang diberi sumber makanan dari kayu pinus dan berada dalam jumlah populasi yang lebih banyak. Keadaan ini selain disebabkan oleh tingkat kerentanan jenis rayap C. gestroi yang diperkirakan berbeda dengan tingkat kerentanan C. curvignathus juga dengan kondisi lingkungan tersebut akan dapat membuat rayap lebih dapat bertahan di dalam menghadapi serangan cendawan M. brunneum. Eaton dan Hale (1993) menyatakan beberapa cendawan entomopatogen yang efektif untuk pengendalian rayap adalah Metarhizium dan Beauveria namun penelitian di lapangan mengindikasikan bahwa sifat patogenisitasnya tidak selalu stabil. Jumlah populasi yang lebih banyak di dalam satuan percobaan rayap C. curvignathus dimungkinkan juga membuat aktivitas sosialnya meningkat, sehingga rayap di dalam koloni lebih dapat mengatasi segala kemungkinan yang mengancam. Hasil penelitian Yanagawa dan Shimizu (2007), menunjukan bahwa prilaku grooming rayap tanah C. formosanus yang dipelihara dalam bentuk

93 76 koloni, sangat effektif memproteksi koloninya dari infeksi M. anisopliae. Dalam hal ini C. formosanus lebih resisten terhadap serangan M. anisopliae bahkan dalam waktu 3 jam, lebih dari 80% konidia yang ada dipermukaan tubuh C. formosanus dapat berpindah ke dalam saluran pencernaan. Kramm et al. 1982; Hanel dan Watson 1983 dalam Strack (2003) menjelaskan, secara alami konidia dapat menempel pada kutikula serangga, dan dengan mudah berpindah ke individu lainnya dengan lazimnya melalui interaksi prilaku koloni. Rayap merupakan serangga sosial yang menarik di dalam berbagai aktivitas yang memerlukan seringnya terjadi kontak fisik langsung dengan anggota koloni. Trophallaxis (pertukaran makanan yang dimuntahkan kembali), proctodeal trophallaxis (mengkonsumsi buangan anal) dan grooming secara teratur merupakan hal yang perlu di dalam koloni. Diperkirakan lewat prilaku grooming propagul cendawan dapat ditransfer dari satu individu vektor ke individu lainnya. Penelitian lain yang dilakukan Yoshimura et al. (1992) tentang uji penularan dengan satu ekor rayap pekerja mati terinfeksi C. coronatus ditempatkan di antara 20 atau 50 rayap pekerja sehat, secara berurutan mortalitas 100 % dapat dicapai dalam waktu 4 dan 5 hari. Penggunaan patogen C. coronatus dalam teknik penularan untuk mengendalikan rayap tanah seperti C. formosanus patut dipertimbangkan 70 Mortalitas dan Penurunan berat contoh uji (%) Mortalitas Vektor Kontrol Variabel pengamatan Penurunan berat contoh uji Gambar 6.6 Mortalitas rayap C. curvignathus dan penurunan berat contoh uji pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan.

94 77 Penurunan berat contoh uji (%) Pengujian penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan cendawan entomopatogen M. brunneum terhadap serangan rayap. Hasil penelitian pada perlakuan penularan dengan 10% vektor yang diinokulasi dengan M. brunneum di dalam koloni rayap C. curvignathus di laboratorium, menunjukkan penurunan berat contoh uji berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6.2 ). Tabe Penurunan berat contoh uji oleh serangan rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan. Perlakuan Penurunan berat (%) Vektor 10% 11,27 b Kontrol 47,82 a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5%. Penurunan berat contoh uji pada perlakuan vektor 10% mengindikasikan penurunan serangan rayap jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini disebabkan penularan cendawan M. brunneum di dalam koloni dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme tubuh rayap sehingga menurunkan aktifitas dan daya konsumsi. Menurut Sari et al. (2004) penghambatan aktifitas makan (antifeedant) diindikasikan oleh kehilangan berat contoh uji. Apabila kehilangan berat contoh uji kecil bearti penghambat aktifitas makannya tinggi. Berat contoh uji menurun pada perlakuan 10% vektor sebanyak 11,27% (Tabel 6.2 dan Gambar 6.6). Hal ini diperkirakan sebelum individu rayap sehat terkontaminasi cendawan M. brunneum akibat penularan dari rayap vektor, rayap mampu menyerang contoh uji secara aktif. Namun setelah penularan terjadi, aktifitas rayap dan kemampuan konsumsi menurun sampai terjadi mortalitas. Tanada dan Kaya (1993) menyatakan periode kematian serangga oleh cendawan entomopatogen umumnya tidak ditandai oleh gejala tertentu pada awal infeksi. Hanya setelah infeksi dan penyebaran cendawan terjadi di dalam tubuh, serangga menjadi kurang aktif. Gejala yang sama juga terlihat pada rayap, tahap ahir infeksi, rayap akan kehilangan tenaga, diam dan kemudian mati. Selanjutnya

95 78 dinyatakan bahwa periode dari infeksi sampai serangga mati sesingkat-singkatnya 3 hari dan selama-lamanya 12 hari, periode ini bervariasi tergantung juga dengan ukuran serangga. Serangan rayap C. curvignathus selain berakibat pada penurunan berat contoh uji, juga terlihat pada tingkatan serangan pada contoh uji (Gambar 6.7). Pada tingkat serangan, perlakuan dengan 10% vektor juga terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat serangan pada kontrol. Gambar 6.7. Tingkat serangan contoh uji oleh rayap C. curvignathus pada perlakuan 10% vektor diinokulasi dengan cendawan entomopatogen M. brunneum setelah 15 hari pengamatan. Kesimpulan Mortalitas rayap C. gestroi meningkat seiring dengan meningkatnya proporsi vektor (%) di dalam unit percobaan dan lamanya waktu pengamatan. Dengan penggunaan vektor sampai dengan 10% dalam 15 hari pengamatan, cendawan M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu menyebabkan mortalitas rayap lebih dari 90% sedangkan mortalitas pada rayap kontrol hanya 5%. Pada uji terhadap rayap C. curvignathus, perlakuan dengan 10% vektor diinokulasi dengan M. brunneum hanya dapat menyebabkan mortalitas 60% (mortalitas kontrol 13,25%) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) selama 15 hari pengamatan.

96 Maaf... Lembar Halaman Ini Pada Aslinya Memang Tidak Ada

97 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Keragaman spesies cendawan entomopatogen yang ditemukan pada sumber inokulum serangga hama mati terinfeksi di lapangan lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan dari sumber inokulum yang berasal dari tanah dan pasir. Spesies cendawan yang ditemukan pada berbagai inang dan inokulum di alam adalah: Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorok, Metarhizium brunneum Petch, Beauveria bassiana (Bals.) Vuill., Myrothecium roridum Tode ExFR, Aspergillus flavus Link., Penicillium citrinum Thom., Fusarium oxysporum Link, Fusarium solani Link., Verticilium lecanii (Zimmermann) dan Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith. Uji patogenisitas mengindikasikan umumnya cendawan yang ditemukan bersifat patogen terhadap rayap tanah C. gestroi. Spesies M. anisopliae dari inang penghisap polong, M. brunneum dari pasir, B. bassiana dari walang sangit, M. roridum dari tanah, F. oxysporum dari ulat grayak, dan A. flavus dari rayap tanah, pada kerapatan 10 7 konidia/ml dapat menyebabkan mortalitas 100 % dalam waktu 6 hari. Pada uji keefektifan dengan perlakuan beberapa kerapatan konidia, ternyata M. brunneum mampu menyebabkan mortalitas lebih dari 80% pada kerapatan konidia/ml dan memiliki LC 50 paling rendah (1.8 x 10 5 konidia/ml) kemudian diikuti oleh M. anisopliae, B. bassiana, F. oxysporum dan A. flavus. Metode kontak lebih cepat mematikan rayap tanah Coptotermes spp. dibandingkan metode pengumpanan; metode kontak mempunyai LT 50 2,01 hari sedangkan metode pengumpanan mempunyai LT 50 = 4,83 hari. Pada uji laboratorium dengan penularan pada rayap C. gestroi, mortalitas meningkat seiring dengan meningkatnya proposi vektor di dalam unit percobaan dan lamanya pengamatan. Dengan penggunaan rayap vektor sampai dengan 10% dalam 15 hari pengamatan, M. anisopliae, M. brunneum dan B. bassiana mampu menyebabkan mortalitas C. gestroi lebih dari 90% sedangkan kontrol hanya sebesar 5%. Perlakuan dengan 10% vektor diinokulasi dengan M. brunneum hanya dapat menyebabkan mortalitas 60% C. curvignathus (mortalitas kontrol

98 %) dan penurunan berat contoh uji 11,27% (kontrol 47,82%) setelah 15 hari inokulasi. Serangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat diarahkan pada pengujian yang potensial sebagai langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di Indonesia. Saran Penelitian ini perlu dilanjutkan pada uji semi lapangan dengan populasi rayap yang lebih banyak dan pada koloni rayap di lapangan, karena hasil penelitian pada laboratorium sering menunjukkan hasil yang tidak stabil jika diterapkan di lapangan. Sehubungan dengan keragaman virulensi antar isolat dalam spesies yang sama, perlu dilakukan pengujian terhadap isolat Metarhizium spp. dan Beauveria bassiana yang berasal dari berbagai sumber inokulum dengan kondisi iklim dan topografi yang berbeda di Indonesia. Untuk tujuan komersil perlu penelitian yang intensif tentang pembuatan formulasi biotermitisida berbasiskan isolat cendawan entomopatogen Metarhizium brunneum, Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana. Metode pengendalian dengan menggunakan individu vektor dapat dikembangkan.

99 DAFTAR PUSTAKA Amiri-Besheli B, Khambay B, Cameron S, Deadman ML, Butt TM Interand Intra-Specific Variation in Destruxin Production by Insect Pathogenic Metharhizium spp., and Its Significance to Pathogenesis. Crop Protection Unit, University of Reading United Kingdom Mycopathologia, 104(4): Ansari MA, Vestergaard S, Tirry L, Moens M Selection of a Highly Virulent Fungal Isolat, Metarhizium anisopliae CLO 53, for Controlling Hoplia philanthus, J. Invertebr Pathol 95: Bakti D Pengendalian Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren Menggunakan Nematoda Steinernema carpocapsae Weiser dalam Sekala Laboratorium. Jurnal Natur Indonesia 6 (2): Barnett HL, Hunter BB Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. New York: Macmillan Publishing Company. Barron, George L The Genera of Hyphomycetes from Soil. New York: Robert E. Krieger Publishing Company. Bayon IL, Ansard D, Brunet C, Girardi S, Paulmier I Biocontrol of Reticulitermes santonensis by Entomopathogenic Fungi Improvement of the Contamination Process. Stockholm Sweden, IRG Secretariat KTH SE Becnel JJ Complementary Techniques: preparations of entomopathogens and diseased specimens for more detailed study using microscopy. Di dalam: Lacey LA, editor. Biological Techniques, Manual of Techniques in Insect Pathology. San Diego: Academic Press. Behle RW, Tames-Guerra P, Shasha BS, McGuire MR Formulating Bioinsecti-cides to Improve Residual Activity, Presented at the Formulations Forum Symposium USDA-ARS-NCAUR N. University Peoria, Illinois Benson EP Termites Identification Workshop on Urban Pests Management, Center for Integrated Pest Management (CIPM) Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture - Bogor Agricultural University Collaboration with Clemson University; Bogor, July 19 th - 21 st. Berretta MF, Lecuona RE, Zandomeni RO, Grau O Genotyping Isolates of the Entomopathogenic Fungus Beauveria bassiana by RAPD with Fluorescent Labels. J. invertebr pathol 71: Boucias DG, Pendland JC Principles of Insect Pathology. London: Kluwer Academic Publishers.

100 91 Butt TM, Jackson C, Magan N Fungi as Biocontrol Agents: progress, problems and potential. United Kingdom: CABI Publishing. CABI Bioscience (1998) Entomopathogenic Fungi from Various Host in the World. CABI Genetic Resourse Collection. 375 hal. Cates J Termite Control without Chemicals. [terhubung berkala] on.htm.[7 Mei 2007] Cloyd RA Know Your Friends The Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae. University of Illinois VI (7): [terhubung berkala] [7 Januari 2005] Delate KM, Grace JK, Tome CHM Potential Use of Pathogenic Fungi in Baits to Control Formoson Subterranean Termite (Isoptera: Rhinotermitidae). J. Appl Entomol 119: Desyanti, Santoso T, Hadi YS, Yusuf S Virulence of Various Isolates of Entomopathogenic Fungi Beauveria bassiana (Balls.) Vuill. Against Subterranean Termite Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae), Proceedings of 1 st International Conference Crop Security (ICCS); Malang, September 19 th - 22 nd Domsch KH, Gams W, Anderson T-H Compendium of Soil Fungi. London: Academic Press. Eaton RA, Hale MDC Wood Decay, Pests and Protection. London: Chapman & hall, 2-6 Boundary Row. Ekesi S, Maniania NK, Lux SA Effect of Soil Temperature and Moisture on Survival and Infectivity of Metarhizium anisopliae to Four Tephritid Fruit Fly Puparia. J. Invertebr. Pathol. 83: Ellis D Mycology Online, [terhubung berkala ] Maret Ellis MB Dematiaceous Hyphomycetes. United Kingdom: CAB International. Falah S, Syafii W, Katayama T Antitermic of Extracts from the Bark of Some Tropical Hardwoods di dalam Sustainable Production and Effective Utilization of Tropical Forest Resources, Proceedings of the 5 th International Wood Science Symposium JSPS-LIPI Core University Program in the Field of Wood Science; Kyoto, September Finney DJ Probit Anlyisis. Ed ke-3. Combridge: University Press.

101 92 Hajek AE, Leger RJ Interactions Between Fungal Pathogens and Insect Hosts. Annu. Rev. Entomol 39: Inglis GD, Goettel MS, Butt TM, Strasser H Use of Hyphomycetous Fungi for Managing Insect Pests. Di Dalam: Butt TM, Jackson CW, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents: progress, problems and potential. London: CABI Publishing. Jones WE, Grase JK, Tamashiro M Virulens of Seven Isolates of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to Coptotermes formosanus (Isoptera : Rhinotermitidae). J. biol contr 25(2): Keller, Zimmermann Mycopathogens of Soil Insects. Di dalam: Wilding N, Collins NM, Hammond PM, Webber JF, Editor. Insect-Fungus Interactions, 14 th Symposium of the Royal Entomological Society of London in Collaboration with the British Mycological Society September 1987, London: Academic Press. Khan K, Jayaraj, Gopalan M Mycophatogenes for Biological Control of Odontotermes brunneus (Hagen). J. biol contr 5: Krishna K, Weesner FM Biologi of Termites. New York: Academic Press. Kubota S, Shono Y, Matsunaga T Termitisidal Efficacy of Bistrifluron to the Japanese Subterranean Termite. The Fourth Conference of Pacific Rim Termite Research Group (TRG 4); Kaohsiung, Taiwan 26 and 27 Februari Lay BW, Hastowo S Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Peres Lewis V Termite Damage and Detection: an American Perspective. The Third Conference of Pacific Rim Termite Research Group (TRG 3); Guangzhou, P. R. China 6 and 7 March. Maniania NK, Ekesi S, Songa JM Managing Termites in Maize With the Entomopathogenic Fungus Metarhizium anisopliae. T-Space Univ. of Toranto 22(1): [terhubung berkala]. [23 maret 2004]. Mattjik AA, Sumertajaya Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitap. IPB Press. Bogor. Milner RJ, Staples JA, Lenz M Option for Termite Management Using the Insect Pathogenic Fungus M. anisopliae. The International Research Group on Wood Preservation IRC/WP/10324 Rosenheim, June 7-11.

102 93 Moslem R, Wahid MB, Kamarudin N, Sharma M, Ali SRA Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) Applied by Wet and Dry Inoculum on Oil Palm Rhinoceros Beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Research II (2): Nandika D Status Bahaya Serangan Rayap pada Bangunan Gedung. Makalah Seminar Nasional Pemantapan Sistim Pengendalian Rayap pada Bangunan Gedung. Jakarta, 12 Mei. Nandika D, Rismayadi Y, Diba F Rayap: biologi dan pengendaliannya. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Neves PMOJ, Alves SB External events related to the infection process of Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the Entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomol 33(1): Oliveira CN de, Neves PMOJ, Kawazoe LS Compatibility Between the Entomopathogen Fungus Beauveria bassiana and Insecticides Used in Coffee Plantations. Sci. agric 60(4). [terhubung [24 Januari 2004]. Olsson S Nutrient Translocation and Electrical Signalling in Mycelia di Dalam The Fungal Colony Edited oleh Gow NAR, Robson GD, Gadd GM, British Mycological Society, Cambridge University Press (1): Pearce MJ Termite: biologi and management. New York: CAB International Publisher. Richard D Insect Societies. United Kingdom: CABI Publishing. Rombach Entomogenous Fungi. Laporan Kursus Singkat Isolasi Pencirian dan Pengawetan Biakan Murni Mikroorganisme. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Salleh B Plant Diseases Caused By Fusarium Species in the Tropics, Proceedings of 1 st International Conference Crop Security (ICCS). Malang, September 19 th - 22 nd Samuels R I, Corocini DLA, Santos CAM dos, Gava CAT Infection of Blissus antillus (Hemiptera: Lygaeidae) eggs by entomophatogenic fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana. J. bio contr 23: Sari K, Syafii W, Sofyan K, Hanafi M Sifat Antirayap Resin Damar Mata kucing dari Shorea javanica K.et V. J. Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2 (1): 8-15.

103 94 Scholte E-J, Knols BGJ, Samson RA, Takken W Entomopathogenic Fungi for Mosquito Control: A Review. J Sci 4(19): 1-24 [terhubung berkala]: insectscience.org/4.9 [3 April 2006] Singh K, Frisvad JC, Thrane U, Mathur SB An Illustrated Manual on Identification of Some Seed-borne Aspergilli, Fusaria, Penicillia and their Mycotoxins. Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries and Department of Biotechnology the Technical University of Denmark. Sornnuwat Y Studies on Damage of Construction Caused by Subterranean Termites and its Control in Thailand. Phd Disertation of Kyoto Yuniversity. Steel RGD, Torrie JH Prinsip dan Prosedur Statistik: suatu pendekatan biometrik. Sumantri B, penerjemah: Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Strack BH Biological Control of Termites by the Fungal Entomopathogen Metarrhizium anisopliae, Urban Entomology Laboratory University of Toranto. [terhubung berkala]. s.htm [4 Mei 2003]. Sudiyani Y, Horisawa S, Chen K, Doi S, Imamura Y Changes in Surface Properties of Tropical Wood Species Exposed to the Indonesian Climate in Relation to Mold Colonies; J. Wood Sci 48: Suratmo G Perlindungan Hutan. Bogor: Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Suzuki K Laboratory Trial of Biological Control Agents Subterranean Termite. International Research Group on Wood Preservation. IRC/WP/1476. Kyoto, May Tambunan B, Nandika D Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Tanada Y, Kaya HK Insect Pathology. Sandiago: Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Tarumingkeng RC Biologi dan Pengendalian Rayap Perusak Kayu Indonesia. Bogor: Lap LPPK. Tarumingkeng RC Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan, Topik-topik terpilih. Jakarta: Ukrida Press. Tarumingkeng RC Biologi dan Perilaku Rayap (Biology and ethology of termites). [terhubung berkala] [7 Maret 2007].

104 95 Tarumingkeng RC Pengenalan Rayap Perusak Kayu yang Penting di Indonesia, Manajemen Deteriorasi Hasil Hutan, [terhubung berkala] [7 Maret 2007] Teetor-Barsch GH, Roberts DW Entomogenous Fusarium Species. Mycopathologia 1;84(1):3-16 [terhubung berkala] [13 Februari 2006]. Tefera T, Pringle KL Effect of Exposure Method to Beauveria bassiana and Conidia Concentration on Mortality, Mycosis, and Sporulation in Cadavers of Chilo partellus (Lepidoptera: Pyralidae); J. Invertebr Pathol 84: Thapa RS Termites of Saba. India: Entomology Branch Forest Research Institute and Colleges Dehradun. Trizelia Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes): keragaman genetic, karakterisasi fisiologis, dan virulensinya terhadap Croccidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB Varela A, Morales E Characterization of Some Beauveria bassiana Isolate and Their Virulence Toward the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei, L. J. Invertebr pathol 67: Yanagawa A, Shimizu S Resistance of the termite, Coptotermes formosanus Shiraki to Metarhizium anisopliae due to Grooming. J. BioControl 52: Yoshimura T, Tsunoda K, Takahashi M, Katsuda Y Pathogenicity of An Entomopathogenous Fungus, Conidiobolus coronatus TYRRELL. and MACLEOD, to Coptotermes formosanus SHIRAKI; Jpn. J. Environ.Entomol.Zool, 4(1): Yoshimura T, Takahashi M Termiticidal Performance of An Entomogenous Fungus, Beauveria brongniartii (SACCARDO) PETCH in Laboratory Tests; Jpn. J. Environ, Entomol. Zool. 9(1): Yusuf S. 2001a. Pengujian Meganium 200 EC Terhadap Rayap Tanah Coptotermes sp. untuk Keperluan Bait System. Serpong: LIPI. Yusuf S. 2001b. Pengujian Meganium Duster 10 Terhadap Rayap Tanah. Serpong: LIPI. Yusuf S Current Termite Management in Indonesia. TRG 1, Pacific Rim Termite Research Group; Malaysia, 8-9 March.

105 Yusuf S, Desyanti, Santoso T, Hadi YS The Application of Entomopathogenic Fungi as Biocontrol for Subterranean Termites. TRG 2, Pacific Rim Termite Research Group; Bangkok, 28 February and 1 March. 96

106 LAMPIRAN

107 98 Lampiran. Koloni dan Deskripsi Mikroskopik Cendawan Entomopatogen pada Media Saboraud Dextrose Agar with Yeast extract (SDAY) yang Digunakan pada Penelitian 1. Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin. Bewarna putih diwaktu muda, setelah konidia matang warna berubah menjadi hijau gelap. Konidiofora bercabang, dan konidium awal dihasilkan oleh untaian sederhana di ujung konidiofora, untaian konidia dibentuk pada masing-masing konidiofora dengan konidia paling muda berdekatan dengan konidiofora, masa untaian konidia menjadi zigzag melekat satu sama lain yang masing-masingnya menghasilkan massa prismatic dari colum untaian konidia. (Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993). 2. Metarhizium brunneum Petch Warna koloni brunneum kuning sampai coklat dan pudar. Sedangkan secara mikroskopik M. brunneum dan M. anisopliae sangat mirip ( Latch 1965 dalam Barron dan George 1968; Tulloch 1976 dalam Tanada dan Kaya 1993). 3. Penicillium citrinum Thom. Warna koloni hijau, biru keabu-abuan, tangkai konidiofora (stipe) panjang rata, biverticillate, divergent, metulae sering spathulate, pialit ampulliform dengan collula pendek, konidia bulat rata (Singh et al. 1991) 4. Fusarium oxysporum Link Pertumbuhan koloni cepat, bewarna orange keputihan, sporodochia orange pucat, mono-pialit, makro konidia 3-septa dengan foot cell dan mikro konidia 0-septa berada didalam kepala palsu (false heads), sering berkelom-pok pada mono-pialit pendek, chlamydospores berlimpah biasanya tunggal pada hifa (Singh et al. 1991). 5. Myrothecium roridum Tode ExFR. Mycelium putih-kemerahan, sporodochia bertangkai seperti synnemata diameter µm, padat muncul dari perkembangan stroma. konidiofora hyaline, olivaceous ramping, muncul percabangan berulang dengan beberapa cabang pada setiap nodus. Cabang terahir merupakan pialit dengan lapisan parallel, berukuran X µm. Ada zona melingkar olivaceous-hitam, konidia ellipsoidal sempit dengan ujung membulat berukuran X µm (Tulloch et al dalam Domsch et al. 1980).

108 img Paecilomyces fumosoroseus (Wize) Brown dan Smith. Pertumbuhan koloni agak lambat, mencembung, pink, kadang-kadang memproduksi synnemata pada agar, konidiofora muncul beberapa dengan dasar pialit mencembung, tersusun seperti daun melingkar, konidia cylindrical-fusiform berukuran 3-4 x 1-2 µm (Brown, Smith dan Samson 1979 dalam Domsch et al. 1980). 7. Aspergillus flavus Link. Warna koloni hijau kekuningan dan semakin hijau dengan bertambahnya umur, bersinar, kepala konidia radiate kehilangan colum konidia dengan bertambahnya umur, stipe panjang, verrucose dan hyaline. Vesicle berbentuk kubah. Ada metula berukuran kecil, pialit berukuran kecil langsung pada vesicle, konidia globose - subglobose, biasanya kasar. (Singh et al. 1991). 8. Beauveria bassiana (Bals) Vuillemin konidiofora tidak begitu jelas; sel sporogenous sympodulae, muncul langsung dari hifa vegetatif, sederhana, hyaline - sub hyaline, secara berulang menghasilkan kuntum konidia berkelompok atau zigzag, terdiri dari satu sel basal yang sering mengembung, dan menghasilkan sympodulospores pada suksessi acropetal; muncul spora pada ujung, seperti rachis, kadang-kadang berliku; spora sangat kecil, bundar atau oval, hyaline - sub hyaline (Barron 1968). 9. Verticilium lecani (Zimmermann), Koloni bewarna putih kuning pucat, hifa fasciculate, reverse tidak bewarna - kuning. Pialit tunggal atau sangat sedikit melingkar muncul pada konidiofora dengan posisi tegak dan sedikit berbeda dengan kedudukan hifa. Konidia di ujung atau parallel berkelompok, silender, ujung membulat atau berbentuk ellip berukuran x µm (Domsch et al. 1980) 10. Fusarium solani Link. Pertumbuhan koloni cepat, berbentuk wol-cattun bewarna cream putih. Hifa bersepta dan hyaline. konidiofora tidak bercabang dan bercabang. monophialides. Macroconidia melengkung, gemuk, biasanya 3-5 septate, berukuran 4-6 x 65 µm, muncul pada konidiofora pendek yang segera membentuk sporodochia. Microconidia muncul dari monophialides panjang, satu - dua cel, cylindrical oval, berbentuk kuntum di ujung pialit. Ada Chlamydoconidia tunggal dan berpasangan. Mudah dikenal berdasarkan warnanya cream, mono pialit panjang dengan microkonidia hanya di false heads. ( maret 2007).

109 100

BAB VI. APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM

BAB VI. APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM BAB VI APLIKASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DENGAN TEKNIK PENULARAN UNTUK MENGENDALIKAN RAYAP TANAH COPTOTERMES Spp. DI LABORATORIUM Abstrak Uji penularan cendawan entomopatogen di dalam koloni rayap tanah

Lebih terperinci

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI

ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI BAB IV ISOLASI, IDENTIFIKASI DAN UJI TAPIS CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DARI BERBAGAI INANG DI ALAM DAN PATOGENISITASNYA TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN Abstrak Cendawan entomopatogen dari berbagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum , M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M.

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum , M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M. 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum, M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M. roridum terhadap C. curvignathus. Kerapatan konidia semua isolat cendawan

Lebih terperinci

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer Pathogenicity of Several Isolates of Entomopathogenic Fungi Toward

Lebih terperinci

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes. curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer.

Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes. curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer. Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen terhadap Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus Kemmer. Pathogenicity of several isolates of entomopathogenic fungi toward

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.))

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.)) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.)) C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi jalar (CIP 1991) dan tersebar di seluruh dunia seperti Amerika, Kenya,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap Mortalitas H. armigera Mortalitas larva H. armigera merupakan parameter pengukuran terhadap banyaknya jumlah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

Darussalam Banda Aceh Kata kunci : C. curvignathus, M. brunneum, tanaman pala, Biotermitisida.

Darussalam Banda Aceh   Kata kunci : C. curvignathus, M. brunneum, tanaman pala, Biotermitisida. Keefektifan Cendawan Metarhizium brunneum Petch Pada Hama Rayap Perusak Tanaman Pala Di Laboratorium (The Effectiveness Of Metarhizium brunneum Petch Fungi In Termite Pest Plant Destroyer Nutmeg In The

Lebih terperinci

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH :

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH : PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH : HENDRA SAMUEL SIBARANI 100301172 AGROEKOTEKNOLOGI/ HPT PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Selain memiliki kandungan protein yang tinggi, kedelai juga dapat diolah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah potensial untuk pengembangan komoditas kakao karena sumber daya alam dan kondisi sosial budaya yang mendukung serta luas areal kakao yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bunga anggrek adalah salah satu jenis tanaman hias yang mampu memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun, terus menghasilkan ragam varietas anggrek

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan

BAHAN DAN METODE. Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA ENTOMOPATOGEN PADA LARVA Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI. Oleh :

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA ENTOMOPATOGEN PADA LARVA Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI. Oleh : UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA ENTOMOPATOGEN PADA LARVA Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh : RIDHA HASANAH SIHOMBING 090301048 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) di LABORATORIUM

VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) di LABORATORIUM J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 96 Jurnal Agrotek Tropika 5(2): 96-101, 2017 Vol. 5, No. 2: 96 101, Mei 2017 VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan siklus hidup rayap dapat dilihat pada gambar:

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan siklus hidup rayap dapat dilihat pada gambar: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Coptotermes curvignathus Holmgren Menurut Nandika dkk (2003) klasifikasi rayap subteran sebagai berikut : Kingdom Phyllum Class Ordo Family Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius NASKAH SKRIPSI Diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Helicoverpa armigera Hubner merupakan serangga yang bersifat polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari 60 spesies tanaman budidaya

Lebih terperinci

UJI PATOGENITAS JAMUR

UJI PATOGENITAS JAMUR UJI PATOGENITAS JAMUR Metarhizium anisopliae DAN JAMUR Cordyceps militaris TERHADAP LARVA PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros) (Coleoptera; Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh : WIRDA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang penting dalam pertanian di Indonesia karena memiliki berbagai manfaat, baik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Hama Kedelai Cara Pengendalian

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Hama Kedelai Cara Pengendalian TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Hama Kedelai Seiring dengan berkembangnya industri makanan dan pakan ternak, permintaan terhadap komoditas kedelai meningkat pesat. Untuk memenuhi kebutuhan akan kedelai tersebut

Lebih terperinci

PENGENALAN RAYAP PERUSAK KAYU YANG PENTING DI INDONESIA

PENGENALAN RAYAP PERUSAK KAYU YANG PENTING DI INDONESIA PENGENALAN RAYAP PERUSAK KAYU YANG PENTING DI INDONESIA 4 Pengantar Jenis-jenis rayap (Ordo Isoptera) merupakan satu golongan serangga yang paling banyak menyebabkan kerusakan pada kayu yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014. 3.2 Alat dan Bahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika hama rayap (Coptotermes curvinagthus Holmgren) menurut

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika hama rayap (Coptotermes curvinagthus Holmgren) menurut TINJAUAN PUSTAKA Biologi Coptotermes curvignathus Holmgren Sistematika hama rayap (Coptotermes curvinagthus Holmgren) menurut Nandika, dkk (2003) adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patogen Serangga Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga. Patogen masuk ke dalam tubuh

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) PENGARUH MEDIA PERTUMBUHAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas imago C. formicarius oleh M. brunneum dan B. bassiana Secara umum data yang diperoleh menunjukan bahwa semakin banyak atau rapat konidia yang digunakan, maka semakin cepat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Rayap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Rayap 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Biologi Rayap Krishna dan Weesner (1969) menyatakan bahwa rayapdiklasifikasikan ke dalam 6 Famili(Mastotermitidae, Kalotermitidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae,

Lebih terperinci

Patogenitas Cendawan Entomopatogen Nomuraea rileyi (Farl.) Sams. terhadap Hama Spodoptera exigua Hübner (Lepidoptera: Noctuidae)

Patogenitas Cendawan Entomopatogen Nomuraea rileyi (Farl.) Sams. terhadap Hama Spodoptera exigua Hübner (Lepidoptera: Noctuidae) Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., September 2008, Vol. 5, No. 2, 108-115 Patogenitas Cendawan Entomopatogen Nomuraea rileyi (Farl.) Sams. terhadap Hama Spodoptera exigua Hübner (Lepidoptera:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hama Symphilid Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, berwarna putih dan pergerakannya cepat. Dalam siklus hidupnya, symphylid bertelur dan telurnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (C curvinagthus Holmgren) adalah sebagai berikut : Gambar 1 : Siklus hidup rayap Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. (C curvinagthus Holmgren) adalah sebagai berikut : Gambar 1 : Siklus hidup rayap Sumber : TINJAUAN PUSTAKA Biologi Coptotermes curvignathus Holmgren Menurut Nandika et al. (2003) sistematika dari rayap (C curvinagthus Holmgren) adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus

Lebih terperinci

SELEKSI NEMATODA PARASIT SERANGGA DARI TANAH DIPERTANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM SKRIPSI

SELEKSI NEMATODA PARASIT SERANGGA DARI TANAH DIPERTANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM SKRIPSI SELEKSI NEMATODA PARASIT SERANGGA DARI TANAH DIPERTANAMAN KAKAO DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh HENDRIKA SAHAT MANGAPUL SIAGIAN NIM 061510401079 JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Perbanyakan isolat jamur B. bassiana dilaksanakan

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN ENTOMOPATOGENIK

KEEFEKTIFAN ENTOMOPATOGENIK KEEFEKTIFAN ENTOMOPATOGENIK Beauveria bassiana Vuill. DARI BERBAGAI MEDIA TUMBUH TERHADAP Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae) Di Laboratorium Surtikanti dan M.Yasin Balai Penelitian Tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

UJI BEBERAPA KONSENTRASI

UJI BEBERAPA KONSENTRASI UJI BEBERAPA KONSENTRASI Metarhizium anisopliae (Metsch) Sorokin UNTUK MENGENDALIKAN HAMA KEPIK HIJAU (Nezara viridula L. ) PADA KACANG PANJANG (Vigna sinensis L.) Unik Susanti (1), Desita Salbiah (2),

Lebih terperinci

Lia Ni matul Ulya, Toto Himawan, Gatot Mudjiono

Lia Ni matul Ulya, Toto Himawan, Gatot Mudjiono Jurnal HPT Volume 4 Nomor 1 Januari 2016 ISSN : 2338-4336 UJI PATOGENISITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae (MONILIALES: MONILIACEAE) TERHADAP HAMA URET Lepidiota stigma F. (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia TINJAUAN PUSTAKA Pengendalian Hayati Di beberapa perkebunan kelapa sawit masalah UPDKS khususnya ulat kantong M. plana diatasi dengan menggunakan bahan kimia sintetik yang mampu menurunkan populasi hama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Blackman dan Eastop (2000), adapun klasifikasi kutu daun

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Blackman dan Eastop (2000), adapun klasifikasi kutu daun 5 TINJAUAN PUSTAKA Kutu Daun Kedelai (Aphis glycines) Menurut Blackman dan Eastop (2000), adapun klasifikasi kutu daun kedelai adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia

Lebih terperinci

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA,

PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, PEMANTAUAN DAN KAJIAN KEBERADAAN KUMBANG KHAPRA, Trogoderma granarium Everts., (COLEOPTERA: DERMESTIDAE) DAN HAMA GUDANG LAINNYA DI WILAYAH DKI JAKARTA, BEKASI, SERANG, DAN CILEGON MORISA PURBA SEKOLAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data tiga tahun terakhir pada Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia menunjukkan bahwa terjadi penurunan

Lebih terperinci

Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae)

Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae) Perhimpunan Entomologi Indonesia J. Entomol. Indon., September 2009, Vol. 6, No. 2, 53-59 Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae)

Lebih terperinci

Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu

Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu SNI 01-7207-2006 Standar Nasional Indonesia Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu ICS 79.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 UJI EFEKTIFITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN Steinernema spp. SEBAGAI PENGENDALI PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI Oleh : SELLY KHAIRUNNISA

Lebih terperinci

TOKSISITAS METABOLIT SEKUNDER PENICILLIUM SP. PADA BERBAGAI MEDIA KULTUR UNTUK MENGENDALIKAN SPODOPTERA SP. SECARA IN VITRO

TOKSISITAS METABOLIT SEKUNDER PENICILLIUM SP. PADA BERBAGAI MEDIA KULTUR UNTUK MENGENDALIKAN SPODOPTERA SP. SECARA IN VITRO 2 TOKSISITAS METABOLIT SEKUNDER PENICILLIUM SP. PADA BERBAGAI MEDIA KULTUR UNTUK MENGENDALIKAN SPODOPTERA SP. SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH : EKO MURI SANJAYA 090301010 / AET-HPT Skripsi merupakan salah

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA

PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA PENGARUH LAMA WAKTU PENUMPUKAN KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) TERHADAP SIFAT - SIFAT PAPAN PARTIKEL TRIDASA A SAFRIKA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang mempunyai peran dan sumbangan besar bagi penduduk dunia. Di Indonesia, tanaman kedelai

Lebih terperinci

BIOLOGI DAN PENGENDALIAN RAYAP HAMA BANGUNAN DI INDONESIA

BIOLOGI DAN PENGENDALIAN RAYAP HAMA BANGUNAN DI INDONESIA BIOLOGI DAN PENGENDALIAN RAYAP HAMA BANGUNAN DI INDONESIA 5 Rayap dalam biologi adalah sekelompok hewan dalam salah satu ordo yaitu ordo Isoptera dari kelas Artropoda. Ordo Isoptera beranggotakan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENULARAN BEBERAPA ISOLAT JAMUR PATOGEN. SERANGGA Metarhizium anisopliae OLEH RAYAP PEKERJA. Coptotermes curvignathus

EFEKTIVITAS PENULARAN BEBERAPA ISOLAT JAMUR PATOGEN. SERANGGA Metarhizium anisopliae OLEH RAYAP PEKERJA. Coptotermes curvignathus EFEKTIVITAS PENULARAN BEBERAPA ISOLAT JAMUR PATOGEN SERANGGA Metarhizium anisopliae OLEH RAYAP PEKERJA Coptotermes curvignathus (Effectiveness of Transmission of Some Isolates of Entomopathogenic Fungus

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kopi (Coffea spp.) Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% diekspor sedangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi TINJAUAN PUSTAKA Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh L. lecanii Terhadap Telur Inang yang Terparasit Cendawan L. lecanii dengan kerapatan konidia 9 /ml mampu menginfeksi telur inang C. cephalonica yang telah terparasit T. bactrae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) larva penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Arthropoda

Lebih terperinci

J. HPT Tropika. ISSN Trizelia et al. Virulensi Berbagai Isolat Jamur Entomopatogen 151 Vol. 13, No. 2: , September 2013

J. HPT Tropika. ISSN Trizelia et al. Virulensi Berbagai Isolat Jamur Entomopatogen 151 Vol. 13, No. 2: , September 2013 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Trizelia et al. Virulensi Berbagai Isolat Jamur Entomopatogen 151 Vol. 13, No. 2: 151 158, September 2013 VIRULENSI BERBAGAI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN METARHIZIUM SPP. TERHADAP

Lebih terperinci

Diselenggarakan Oleh LPPM UPN Veteran Jawa Timur

Diselenggarakan Oleh LPPM UPN Veteran Jawa Timur APLIKASI TEKNOLOGI PRODUKSI MASSAL NEMATODA ENTOMOPATOGEN SEBAGAI BIOPESTISIDA HAMA WERENG PADA KELOMPOK TANI PADI DI KECAMATAN REMBANG, KABUPATEN PASURUAN Sri Rahayuningtias dan Nugrohorini Progdi Agroteknologi

Lebih terperinci

UJI PENGARUH BEBERAPA HERBISIDA TERHADAP Trichoderma sp SECARA IN VITRO SKRIPSI MUHAMMAD MAJID

UJI PENGARUH BEBERAPA HERBISIDA TERHADAP Trichoderma sp SECARA IN VITRO SKRIPSI MUHAMMAD MAJID UJI PENGARUH BEBERAPA HERBISIDA TERHADAP Trichoderma sp SECARA IN VITRO SKRIPSI Oleh: MUHAMMAD MAJID 080302056 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 UJI PENGARUH

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hama Pengisap Polong Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA. Hama Pengisap Polong Kedelai 3 TINJAUAN PUSTAKA Hama Pengisap Polong Kedelai Hama pengisap polong kedelai ada tiga jenis, yaitu kepik hijau Nezara viridula (L.), kepik hijau pucat Piezodorus hybneri (Gmel.), dan kepik coklat Riptortus

Lebih terperinci

TANTY ERNINGTYAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R

TANTY ERNINGTYAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. dan Steinernema sp. Isolat Bogor Sebagai Bioinsektisida Terhadap Rayap Tanah Coptothermes curvignathus Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae) TANTY ERNINGTYAS

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Departemen Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Departemen Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Potensi Cendawan Metarhizium brunneum Petch sebagai Bio Insektisida untuk Pengendalian Rayap Macrotermes gilvus Hagen pada Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L) (Potential of Fungus Metarhizium brunneum

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Rayap Pada Kayu Umpan Di Kampung Babakan Cimareme Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur

BAB I PENDAHULUAN. Identifikasi Rayap Pada Kayu Umpan Di Kampung Babakan Cimareme Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kayu merupakan hasil hutan dari sumber kekayaan alam, berasal dari bahan mentah yang mudah diproses untuk dijadikan barang sesuai kemajuan teknologi. Kayu merupakan

Lebih terperinci

VIRULENSI FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE ISOLAT BAWANG MERAH PADA BAWANG PUTIH

VIRULENSI FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE ISOLAT BAWANG MERAH PADA BAWANG PUTIH VIRULENSI FUSARIUM OXYSPORUM F. SP. CEPAE ISOLAT BAWANG MERAH PADA BAWANG PUTIH Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama

SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama SEMINAR NASIONAL MASYARAKAT BIODIVERSITAS INDONESIA UNAND PADANG, 23 APRIL 26 Biodiversitas dan Pemanfaatannya untuk Pengendalian Hama Seminar Nasional Biodiversitas 23 April 26 Grand Inna Muara Hotel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI TINGKAT SERANGAN DAN JENIS RAYAP YANG MERUSAK BANGUNAN DI KOTA AMBON

IDENTIFIKASI TINGKAT SERANGAN DAN JENIS RAYAP YANG MERUSAK BANGUNAN DI KOTA AMBON Bimafika, 2012, 3, 393-398 IDENTIFIKASI TINGKAT SERANGAN DAN JENIS RAYAP YANG MERUSAK BANGUNAN DI KOTA AMBON Tekat Dwi Cahyono Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon Diterima 29-02-2012;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu TINJAUAN PUSTAKA Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu pada tepi sayapnya terdapat rambut yang berumbai-umbai ( Jumar, 2000). Thrips merupakan salah satu hama penting

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berbentuk pohon yang berasal

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berbentuk pohon yang berasal I. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berbentuk pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Di alam ketinggian pohonnya dapat mencapai 10 m,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS ISOLAT FUNGI PENYEBAB MIKOSIS PADA ULAT BULU SKRIPSI

IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS ISOLAT FUNGI PENYEBAB MIKOSIS PADA ULAT BULU SKRIPSI IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS ISOLAT FUNGI PENYEBAB MIKOSIS PADA ULAT BULU SKRIPSI Oleh Mahbub Al Qusaeri NIM. 071510401050 JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang dan Masalah Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat berpotensi dalam perdagangan buah tropik yang menempati urutan kedua terbesar setelah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kehilangan Berat Kehilangan berat dapat menjadi indikasi respon serangan rayap terhadap contoh uji yang diberi perlakuan dalam hal ini berupa balok laminasi. Perhitungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengendalian Hama Secara Hayati

TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengendalian Hama Secara Hayati I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengendalian Hama Secara Hayati Tuntutan masyarakat akan produk tanaman yang berkualitas, ekonomis, serta aman dikonsumsi semakin tinggi. Produk tersebut dapat diperoleh dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. setiap kecamatan di Kota Medan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data jumlah sekolah menengah pertama di setiap kecamatan

TINJAUAN PUSTAKA. setiap kecamatan di Kota Medan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data jumlah sekolah menengah pertama di setiap kecamatan TINJAUAN PUSTAKA Bangunan Sekolah Menengah Pertama Kota Medan memiliki 350 sekolah menengah pertama dengan perincian 45 buah milik pemerintah dan 305 buah milik pihak swasta. Rincian sebaran SMP di setiap

Lebih terperinci

The Effect of Lecanicillium lecanii on Armyworms (Spodoptera litura) Mortality by In Vitro Assays

The Effect of Lecanicillium lecanii on Armyworms (Spodoptera litura) Mortality by In Vitro Assays ISSN: 2252-3979 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio Pengaruh Pemberian Cendawan Lecanicillium lecanii terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura)secara In Vitro The Effect of Lecanicillium

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENELITIAN PEMANFAATAN AGENS HAYATI AKTINOMISET UNTUK MENGENDALIKAN ULAT KUBIS (Crocidolomia pavonana) DAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici) PADA

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Program Studi Entomologi, Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi, Kampus UNSRAT Manado korespondensi:

Program Studi Entomologi, Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi, Kampus UNSRAT Manado korespondensi: Efektivitas Cendawan Isolat Lokal Metarhizium sp. terhadap Hama Plutella xylostella Linn. pada Tanaman Kubis di Kota Tomohon (The effects of Local Isolates of the Fungus Metarhizium sp. against Pests Plutella

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap larva Spodoptera litura. Isolat lokal yang digunakan untuk adalah DKS-

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap larva Spodoptera litura. Isolat lokal yang digunakan untuk adalah DKS- BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Patogenisitas Nematoda Entomopatogen dengan Berbagai Konsentrasi Terhadap Mortalitas Larva Spodoptera litura Mortalitas merupakan indikator patogenisitas nematoda entomopatogen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) yang lebih dikenal dengan ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Natawigena,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014):

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014): 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengisap Polong Kedelai (Riptortus linearis) Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014): Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Hemiptera

Lebih terperinci

LAPORAN PENGUJIAN EFEKTIFITAS FUNGISIDA PADA JAMUR YANG MERUSAK ARSIP KERTAS

LAPORAN PENGUJIAN EFEKTIFITAS FUNGISIDA PADA JAMUR YANG MERUSAK ARSIP KERTAS LAPORAN PENGUJIAN EFEKTIFITAS FUNGISIDA PADA JAMUR YANG MERUSAK ARSIP KERTAS I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Kerusakan material akibat jamur pada ruang penyimpanan arsip merupakan masalah serius yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Tempat 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli Desember 2011 di Laboratorium Biomaterial dan Biodeteriorasi Kayu Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi

Lebih terperinci

APLIKASI EKSTRAK BIJI JARAK

APLIKASI EKSTRAK BIJI JARAK APLIKASI EKSTRAK BIJI JARAK (Ricinus communis L.) UNTUK MENGENDALIKAN HAMA PENGHISAP POLONG DAN ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) PADA TANAMAN KEDELAI SKRIPSI Oleh Denik Purwaningsih NIM. 021510401071

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang 8 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bidang Proteksi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung

Lebih terperinci

Rayap, Serangannya, dan Cara Pengendalian

Rayap, Serangannya, dan Cara Pengendalian Rayap, Serangannya, dan Cara Pengendalian Moh. Wahyu Taufiq/10612028 ( Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati) Salah satu serangga yang dapat menjadi hama dan mengganggu serta sangat merugikan bagi

Lebih terperinci