BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan, Pidana, dan Pemidanaan 1. Tindak Pidana Pembunuhan a. Pengertian Pembunuhan Perkembangan kehidupan dalam suatu masyarakat serta pengaruh kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan iptek hingga pembangunan menimbulkan banyak perubahan dan bahkan menimbulkan culture shock, yang sedikit banyaknya membawa dampak bagi pergaulan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Berkembangnya kehidupan dalam suatu masyarakat dapat membawa dampak positif namun ada juga yang menimbulkan berbagai masalah sosial. Munculnya masalah sosial diiringi oleh semakin sulitnya kehidupan manusia. Mendorong orang bertingkah laku dengan melanggar norma norma yang berlaku dan berbuat sekehendak dirinya untuk mencapai kepentingannya pribadi. Keadaan tersebut bagi individu individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku, salah satunya adalah dengan melakukan tindak pidana pembunuhan. Membunuh tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa saja, seseorang yang masih dikategorikan masih anak anak pun bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun secara tidak sadar.

2 Menurut KUHP, Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dewasa ini disebut sebagai pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut, dari uraian diatas bahwa tindak pembunuhan itu merupakan suatu delik material. Dalam kamus besar bahasa indonesia pengertian pembunuhan adalah: 27 Pembunuhan adalah proses, perbuatan, atau cara membunuh (menghilangkan, menghabisi, mencabut nyawa) Menurut Black Law Dictionary pembunuhan adalah Tindakan yang melanggar hukum positif oleh orang lain dengan sengaja berniat jahat baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. 2. Pidana Pemahaman tentang Pemidanaan dan tujuan pemidanaan perlu dikemukakan mengingat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini menyangkut tentang pemidanaan. Maka haruslah terlebih dahulu dipahami hakekat dan pengertian pidana itu sendiri. Penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana untuk pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana Dekdipbud, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, hlm Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm 13

3 Beberapa sarjana telah memberikan penjelasan tentang hakekat dan pengertian pidana. Muladi dan Barda Nawawi Arief menarik kesimpulan bahwa pidana mengandung unsur unsur atau ciri sebagai berikut 29 ; a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan ( oleh yang berwenang ); c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang undang. Selanjutnya menurut Alf Ross sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief concept of punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu 30 : a. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan. b. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh 29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana, alumni, Bandung, 1984, Hlm 4 30 Ibid, hlm. 5

4 undang undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. 31 Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya merupakan suatu nestapa diantaranya menurut Hulsman, yang menyatakan bahwa, Hakekat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen); pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia 32 Menurut Sudarto mengatakan bahwa, perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah penghukuman. Penghukuman sendiri berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena itu istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. 33 Jimly Asshiddiqie 34 salah satu sarjana yang mengatakan dirinya mengikuti pendapat Sudarto dan beliau menggunakan istilah pidana bukan hukuman ataupun hukuman pidana. Menurut Jan Remmelink, pemidanaan 31 Satochid Kartanegara, , Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, hlm Ibid, hlm 9 33 P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I Hukum Pidan Material Bagian Umum, Binacipta, Bandung, 1987, Hlm Jimly Asshiddiqie, Op Cit, hlm 15

5 adalah pegenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan hukum 35. Dapat disimpulkan bahwa pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan maupun pelanggaran. a. Kejahatan (rechtsdelict) Orang baru menyadari hal tersebut merupakan tindak pidana karena perbuatan tersebut tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569. Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan (pasal 285 KUHP) b. Pelanggaran (wetsdelict) Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam undangundang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict (delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488. Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP) 3. Teori dan Tujuan Pemidanaan a. Teori pemidanaan Teori pemidanaan dapat digolongkan dalam empat golongan teori 36, yakni: 35 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hlm 7 36 Satochid Kartanegara, Op Cit, Hlm 56.

6 1. Teori Pembalasan atau teori Imbalan atau teori Absolut. Teori ini membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka terhadap pelaku pidana mutlak harus diadakan pembalasan berupa pidana dengan tidak mempersoalkan akibat pemidanaan bagi terpidana. 2. Teori Relatieve atau Teori Tujuan Teori tujuan membenarkan pemidanaan (rechtsvaardigen), pada tujuan pemidanaan, yakni untuk mencegah terjadinya kejahatan (nepeccetur). Dengan adanya ancaman pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat yang bersangkutan atau untuk prevensi umum. 3. Teori Gabungan Teori ini mendasarkan pemidanaan pada perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan, karena kedua teori tersebut bila berdiri sendiri-sendiri, masing-masing mempunyai kelemahan 4. Teori Negatif (Negativisme). Teori ini dipelopori oleh Hazelwinkel-Suringa mengatakan, bahwa kejahatan tidak boleh dilawan, dan musuh jangan dibenci karena hanya Tuhan yang paling berhak untuk mempidana pada mahluk-mahluknya. b. Tujuan Pemidanaan Pidana sebagai suatu reaksi yang sah atas perbuatan yang melanggar hukum, namun di dunia diterapkan berbeda beda atas dasar konteks hukum, agama, pendidikan, moral, alam, dan lain lain. Atas dasar kenyataan tersebut, diungkapkan oleh H.L.A Hart, bahwa pidana didalamnya harus:

7 a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi konsekuensi lain yang tidak menyenangkan; b. Dikenakan pada seseorang yang benar benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c. Dikenakan berhubung satu tindak pidana yang melanggar ketentuan umum; d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. 37 Pandangan pandangan tentang tujuan pemidanaan sesungguhnya tidak lepas dan erat kaitanya dengan perkembangan teori teori pemidanaan. Secara tradisional, teori teori pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu Teori Retributive (pembalasan) dan Teori Relative (tujuan). 38 Karl O. Christianse 39 menyatakan bahwa ada kedua pandangan konseptual diatas masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni ; a. Pandangan Retributif (Retributive View) Tujuan pemidanaan menurut pandangan ini antara lain 1. Tujuan pidana adalah semata mata untuk pembalasan 37 Muladi, lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hlm Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, Hlm Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op Cit, Hlm 16-17

8 2. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak ada mengandung sarana sarana untuk tujuan lain seperti tujuan untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Kesalahan merupakan satu satunya syarat untuk adanya pidan; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan sipelanggar; 5. Pidana melihat ke belakang. Merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, medidik atau memasyarakatkan sipelanggar. b. Pandangan utilitarian (utilitarian view). Tujuan pidana menurut pandangana ini antaralain; 1. Tujuan Pidana adalah pencegahan; 2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat; 3. Hanya pelanggaran pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada sipelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah kejahatan; 5. Pidana melihat ke muka, dan dapat mengandung unsur unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masayarakat.

9 Pada satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi kedepan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence). Tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orangorang lain melakukan kejahatan. 4. Jenis Jenis Sanksi Pidana Pasal 10 KUHP mengatur jenis pidana yang terdiri dari lima Pidana Pokok dan tiga pidana tambahan, yaitu 40 : c. Pidana Pokok, yang terdiri dari : 6. Pidana Mati Pidana Mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, yang hanya diancamkan pada kejahatan yang terkejam. Pidana mati dianggap pidana yang paling tua, setua umur manusia, sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam penggunanaanya. Menurut KUHP warisan belanda, ada 9 (sembilan) tindak pidana yang dapat dikenakan pidana mati yaitu; 41 a. Pasal 104 (makar terhadap Presiden dan wakil presiden) 40 Aruan Sakidjo, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) hlm Marlina, Op Cit, hlm 86

10 b. Pasal 111 ayat 2 ( Membujuk negara asing bermusushan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang) c. Pasal 124 ayat 1 (membantu musuh waktu perang) d. Pasal 124 bis ( menyebabkan atau memudahkan huru hara) e. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut) f. Pasal 340 ( Pembunuhan berencana) g. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan mati atau luka berat) h. Pasal 444 (pembajakan dilaut pesisir dan disungai yang mengakibatkan kematian) i. Pasal 479 k ayat 2 (kejahatan penerbangan) j. Pasal 479 ayat 2 (kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan) 7. Pidana Penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang dikenal juga dengan pidana pencabutan kemerdekaan. Didalam KUHP, jenis pidana ini digolongkan pidana pokok. Pada umumnya hukuman penjara dijalani dalam suatu ruangaan tertentu. 42 Pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada narapidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing narapidana agar bertobat, mendidik agar menjadi anggota masyarakat yang baik. 8. Pidana Kurungan Sama halnya dengan pidana penjara pidana kurungan juga merupakan pembatasan kebebasan bergerak dari seornag terpidan yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan tata tertib lembaga pemasyarakatan. Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok ataupun sebagai pengganti pidana denda Ibid, hlm Ibid, hlm

11 9. Pidana Denda Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang ketiga didalam Hukum pidana Indonesia yang pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan pada orang dewasa saja. Pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sehingga pidana denda dapat dipandang sebagai bentuk pidana pokok yang ringan Pidana Tutupan (berdasarkan Undang Undang RI No. 46 Tahun 1946) Berdasarkan Pasal 2 UU RI No 46. Tahun 1946 menyatakan, a. Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. b. Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya. Selanjutnya, Pasal 4 menyatakan bahwa, semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman tutupan, jika peraturan peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan. 45 d. Pidana Tambahan, yang terdiri dari : 4. Pencabutan Hak hak tertentu 5. Perampasan Barang barang tertentu dan atau tagihan 44 Ibid, hlm Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP Perubahan KUHP dan Undang undang Pidana sampai dengan Akhir Tahun 1980, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm 34

12 6. Pengumuman Putusan Hakim Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama sama dengan pidana tambahan lainnya. B. Pidana Bersyarat di Indonesia 1. Pengertian Pidana Bersyarat Selain sanksi Pidana yang terdapat pada Pasal 10 KUHP, terdapat juga sistem penjatuhan hukuman lain yaitu, Pidana Bersayarat. Pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana melainkan suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan itu tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat syarat tertentu. Pengertian Pidana bersyarat dikemukakan oleh beberapa ahli hukum antara lain, yaitu: a. Muladi 46 Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat syarat umum dan syarat syarat khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili berwenang untuk mengadakan perubahan syarat syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat syarat tersebut. Pidana bersyarat merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana. 46 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op Cit, hlm

13 b. P.A.F. Lamintang 47, sebagaimana yang dikutip oleh Marlina dikatakan bahwa; Pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaanya oleh hakim telah digantungkan pada syarat syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya. c. R. Soesilo 48 Pidana bersyarat yang biasa disebut perturan tentang hukum dengan pejanjian atau hukum dengan bersyarat atau hukum dengan janggelan artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada. Selain mengenai pengertian pidana bersyarat diatas, Soesilo juga berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat syarat) yang telah ditentukan kepadanya. 2. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia a. Pengaturan Pidana Bersyarat Berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum Pidana Belanda dan kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan 47 Marlina, Op Cit, hlm R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bogor, Politea, 1984, hal

14 lembaga lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat. Lembaga seperti ini pertama kali muncul di Amerika Serikat tepatnya di Massachusetts pada tahun 1878, dengan nama probation. 49 Selanjutnya perkembangan ini diikuti juga oleh Inggris. Di Eropa daratan, setelah melalui perbedaan perbedaan pandangan yang cukup tajam diantara para sarjana, telah diterima bentuk penundaan pidana bersyarat, yakni di Perancis pada tahun 1891 dan di Belgia pada tahun Menurut K. Poklewski : 174, sebagai mana yang dikutip oleh Muladi; Lembaga ini merupakan penundaan pelaksanaan pidana daripada merupakan penundaan penjatuhan pidana, seperti sistem probation. Perbedaan lain dengan sistem probation, bahwa lembaga penundaan pidana bersyarat ini sama sekali tidak mensyaratkan adanya pengawasan atau bantuan kepada terpidana, sebagai mana sistem probation. 50 Sehubungan dengan gambaran diatas, sistem probation menurut sistem Amerika Serikat dan Inggris dilakukan dalam dua fase. Pada fase pertama pelaku tindak pidana hanya dinyatakan bersalah dan ditetapkan dalam suatu masa percobaan. Bila ternyata dalam masa percobaan yang bersangkutan tidak berhasil memperbaiki kelakuannya maka pada fase kedua ia dipidana. Sebaliknya bilamana yang bersangkutan berhasil memperbaiki kelakuannya maka fase kedua tidak perlu dijalani. Selama menjalani masa percobaan ia dibantu dan diawasi oleh probation officers. Adapun yang berlaku di Perancis dan Belgia menujukkan perkembangan yang berbeda. Dimana pada fase pertama pelaku tindak pidana dipidana, tetapi pelaksanaan pidananya ditunda dan untuk itu ditentukan suatu masa percobaan. 49 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op Cit, hlm Ibid, hlm 65

15 Bilamana selama masa percobaan terpidana ternyatakan melakukan pelanggaran hukum lagi, maka pidana yang telah ditetapkan harus dilaksanakan. Selama masa percobaan ini terpidana tidak dibantu oleh pekerja pekerja sosial yang membantu terpidana dalam usahanya mejadi baik. 51 Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan. Berkaitan dengan penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat penerapan sanksi pidana lain yang di luar LP, yaitu: 52 a. Pelepasan bersyarat b. Bimbingan lebih lanjut c. Proses asimilasi/ integrasi d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau orang tua/ wali Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat pada: Ibid, hlm Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 2002, hal diakses melalui internet tanggal 24 Februari 2015

16 Pasal 14a KUHP 1. Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. 2. Kecuali dalam perkara pendapatan (penghasilan) dan gadai negara, maka hakim mempunyai kuasa itu juga, apabila dijatuhkan pidana denda, tetapi hanya jika ternyata kepadanya, bahwa bayaran denda itu atau rampasan yang diperintahkan dalam keputusan itu menimbulkan keberatan besar bagi orang yang dipidana itu. Untuk melakukan ayat ini maka kejahatan dan pelanggaran tentang candu hanyalah dipandang sebagai kejahatan dan pelanggaran tentang pendapatan negara, apabila tentang ini telah ditentukan, bahwa dalam hal menjatuhkan pidana denda tiada berlaku apa yang ditentukan dalam Pasal 30, ayat (2). 3. Apabila hakim tak menentukan lain, maka perintah tentang pidana pokok, mengenai juga hukuman tambahan yang dijatuhkan. 4. Perintah itu hanya diberikan, kalau sesudah pemeriksaan yang teliti hakim yakin, bahwa dapat dilakukan pengawasan yang cukup atas hal menetapi syarat umum, yaitu bahwa orang yang dipidana itu tak akan melakukan tindak pidana dan atas hal menetapi syarat khusus, jika sekiranya diadakan syarat itu. 5. Dalam putusan yang memberi perintah yang tersebut dalam ayat pertama itu, diterangkan pula sebab-sebabnya atau hal ihwal yang menjadi alasan putusan itu. Pasal 14b KUHP 1. Dalam perkara kejahatan dan pelanggara yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka percobaan itu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-lamanya dua tahun. 2. Masa percobaan itu mulai, segera putusan itu sudah menjadi tetap dan diberitahukan kepada orang yang dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang. 3. Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut : 1. Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang

17 akan ditentukan pada perintah itu dalam waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu. 2. Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu. 3. Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik. Pasal 14d 1. Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai negeri yang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari diperintahkan akan menjalankannya. 2. Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik Indonesia atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada seorang pegawai negeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu. Pasal 14e KUHP Pasal 14f KUHP Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal 14d, maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan atau waktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selamalamanya dapat ditentukan untuk masa percobaan itu. 1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal yang di atas, maka sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang diterangkan dalam ayat pertama Pasal 14d, hakim yang mula-mula memberi putusan dapat memerintahkan supaya putusan itu dijalankan., atau menentukan supaya orang yang dipidana itu ditegur atas namanya, yaitu jika dalam masa percobaan itu orang tersebut melakukan tindak pidana dan karena itu dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi, atau jika masa percobaan itu orang tersebut dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang dilakukannya sebelum masa

18 percobaan itu mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur. 2. Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, kecuali jika sebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana tersebut dituntut karena melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi. Pokok-pokok ketentuan yang diatur dalam Pasal 14a sampai Pasal 14f KUHP tentang pidana bersyarat, sebagai berikut: a. Pidana bersyarat dapat diterapkan jika Hakim menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun atau kurungan tidak termasuk kurungan pengganti. b. Masa percobaan paling lama tiga tahun terhadap tindak pidana yang disebut dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 KUHP, sedangkan tindak pidana lainnya paling lama dua tahun, dihitung sejak putusan menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana, sedangkan masa penahanan yang sah tidak diperhitungkan ke dalam masa percobaan. c. Hakim, di samping menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan mengulangi lagi tindak pidana, dapat juga menetapkan syarat khusus, seperti terpidana diperintahkan membayar ganti rugi kepada korban. d. Jaksa adalah pejabat yang mengawasi agar syarat-syarat terpenuhi, dan Hakim dapat memerintahkan lembaga yang berbentuk badan hukum, lembaga sosial, untuk memberikan bantuan kepada terpidana agar terpenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan.

19 e. Lamanya waktu berlakunya syarat-syarat khusus dapat diubah atas usul jaksa ataupun terpidana. Hakim dapat mengubah syarat-syarat khusus, dan dapat memperpanjang masa percobaan satu kali, dengan ketentuan paling lama setengah dari masa percobaan yang telah ditetapkan f. Hakim dapat memerintahkan pidana penjara untuk melaksanakan, dalam hal terpidana selama masa percobaan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bersifat tetap, atau jika salah satu syarat tidak terpenuhi, ataupun kaena penjatuhan pidana sebelum masa percobaan dimulai. g. Perintah melaksanakan pidana tidak dapat dilakukan apabila masa percobaan telah habis, kecuali sebelum amasa percobaan habis terpidana dituntut atas tindak pidana yang dilakukan pada masa percobaan dan dijatuhi pidana yang menjadi tetap, maka Hakim dalam waktu dua bulan setelah putusan, dapat memerintahkan terpidana melaksanakan pidana. Pasal 14a ayat (4) KUHP dikatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan hanyalah apabila hakim menyelidiki dengan teliti lalu mendapat keyakinan bahwa akan diadakan pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang umum, yaitu bahwa terhukum tidak akan melakukan perbuatan pidana dan tidak akan melanggar syarat-syarat yang khusus, jika hal ini diadakan. Selanjutnya ayat penghabisan dari Pasal 14a mengharuskan pada hakim supaya di dalam putusannya menyatakan keadaan atau alasan mengapa dijatuhkan penghukuman. Perlu diingat bahwa dalam pidana bersyarat ini pidana yang dijatuhkan adalah pasti, cuma saja pidana yang dijatuhkan itu tidak akan

20 dijalankan jika dipenuhi syarat-syarat yang tertentu. Dan sebaliknya pidana tetap akan dijalankan jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi. Hal yang mendukung dapat dijatuhkan pidana bersyarat adalah, Pertama dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun. Apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan pidana yang dilakukan itu adalah terlalu berat, maka sebenarnya pidana bersyarat tidaklah mungkin lagi dijatuhkan. Kedua, pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika dikenakan pidana kurungan. Dalam hal ini tidaklah termasuk pidana kurungan pengganti denda, sebab kemungkinan untuk dikenakan pidana bersyarat tidak selayaknya jika dihubungkan dengan pidana pengganti, melainkan dengan pidana pokok. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan. Ini memang tidak perlu, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun. Pidana bersyarat dapat dikenakan pada pidana denda, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terhukum. Berdasarkan penjabaran dari Pasal Pasal KUHP diatas oleh Muladi, sebagaimana yang dikutip oleh Marlina, disimpulkan menjadi persyaratan dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain: 54 a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat 54 Marlina, Op. cit, hal

21 dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut, tetap pada pidana yang dijatuhkan terhadap si terdakwa, dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim tersebut memiliki hak untuk memberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam Pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain: 1. Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan terpidana 2. Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan Negara 3. Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan. b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan pidana

22 bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan. c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa. Beberapa hal yang dikemukakan di atas adalah menyangkut persyaratan dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat. Selain itu juga perlu diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti (Pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepada terpidana sesuai dengan tata aturan hukum yang sah. Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu mempertimbangkan pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti berbuat, antara lain: 55 a. Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku b. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun) 55 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op. cit, hal

23 c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar d. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar e. Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar f. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya i. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain k. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar, baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya l. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non institusional m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga n. Tindak pidana terjadi karena kealpaan o. Terdakwa sudah sangat tua p. Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa

24 q. Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan kemampuan orang tua untuk mendidik. Selain mengatur mengenai Pidana bersyarat terhadap orang dewasa, KUH Pidana juga memuat beberapa pasal yang mengatur mengenai penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa, yaitu Pasal 45, dan pasal 46. Pasal 45 KUH Pidana; Dalam hal penuntutan pidan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan; Memerintahkan supaya si tersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatannya merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal Pasal 489, 490, 492, 496, 497, , 514, , 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karen melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap; Atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Pasal 46 KUH Pidana; 1. Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau dikemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau dikemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal diatas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. 2. Aturan untuk melaksanakan ayat 1 Pasal ini ditetapkan dengan Undang undang. Apabila hakim dalam keputusannya memerintahkan agar anak yang melakukan tindak pidana diserahkan kepada pemerintah, maka anak tersebut ditempatkan di rumah pendidikan negara. Hal tersebut dilakukan agar anak dapat menerima pendidikan dari pemerintah. Cara lain apabila, anak oleh perintah

25 hakim diserahkan kepada seorang tertentu, badan hukum, yayasan atau lembaga amal, yang berkedudukan di Indonesia, dimaksudkan agar anak dapat memperoleh pendidikan. Dalam hal apabila hakim memerintahkan anak yang bersalah diserahkan kepada pemerintah atau dengan cara lain yaitu menyerahkan anak kepada seorang tertentu, badan hukum, yayasan atau lembaga amal, maka hal ini dilaksanakan samapai dengan batas waktu anak itu mencapai usia delapan belas tahun. Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat di atas, maka Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana bersyarat tersebut antara lain: a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibatakibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna

26 e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus), g. Perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan. Dari penjabaran Pasal Pasal mengenai pengturan pidana bersyarat dalam KUHP hanya berlaku jika kejahatan yang dilakukan si terpidana tidak lebih dari satu tahun kurungan, jadi jika hakim sudah menilai bahwa perbuatan terpidana tergolong berat maka pidana bersyarat tidak dapat lagi dijatuhkan kepada terpidana. Pertimbangan menegenai berat tidaknya perbuatan terdakwa dalam penjatuhan pidana bersyarat, berhubungan dengan rasa pemenuhan keadilan, sebab jika dilihat penerapan pidana bersyarat ini tidaklah berat sebab, pidana penjara yang harusnya dijalani si terpidana di ganti dengan bentuk lain, misalnya anak yang melakukan tindak pidana dikembalikan kepada keluarga, dan tetap dalam pengawasan jaksa. Jadi memang selayaknya pidana bersyarat hanya dijatuhkan untuk tindak pidana yang ringan ringan saja. Khusus untuk terpidana anak KUHP mengatur agar anak diserahkan kepada orang tua, namun tidak diatur lebih lanjut apa bentuk tanggungjawab lebih lanjut yang bisa dikenakan kepada terpidana anak sebagai pengganti hukumannya. Seolah olah anak hanya dimaafkan begitu saja, diserahkan kepada orang tuanya, tidak dihukum, hanya disyaratkan untuk tidak melakukan perbuatan pidana lain selama

27 masa percobaannya. Dengan demikian bagaimana anak bisa belajar bahwa apa yang dilakukannya salah, jika tidak diberi sebuah tanggung jawab, misalnya pelayanan sosial, atau bentuk kegiatan lain yang positif yang mengajarkan anak untuk berubah menjadi lebih positif dan bertanggungjawab atas tiap tindakannya, sehingga kelak dia bisa terhindar dari perbuatan pidana lain. b. Pengaturan Pidana Bersyarat Berdasarkan Undang undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang undang nomor 3 tahun 1997 mengatur tentang penuntutan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Dalam undang undang ini dimuat dengan jelas mengenai tindakan dari penegak hukum dalam menghadapi perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Ketentuan pidana dalam undang undang nomor 3 tahun 1997 yaitu; Pasal Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. 2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah; a. Pidana penjara; b. Pidana Kurungan; c. Pidana Denda; d. Pidana pengawasan 3. Selain pidan pokok sebagaimana dimaksud ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi. 4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Selain pidana Pokok dan pidana tambahan diatas juga ada diatur mengenai Pidana Bersyarat terhadap anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 29; 1. Pidana bersyarat dijatuhkan oleh hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.

28 2. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus. 3. Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. 4. Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. 5. Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek dari masa pidana bersyarat bagi syarat umum. 6. Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 paling lama 3 (tiga) tahun. 7. Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan dan pembimbingan kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan. 8. Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai pemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan. 9. Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah. Undang Undang Nomor 3 tahun 1997 ini sebenarnya sudah di cabut dan diganti dengan Undang Undang Nomor 11 tahun Pencabutan Undang Undang dianggap perlu karena Undang Undang Nomor 3 tahun 1997 dianggap sudah tidak mampu lagi mengikuti perkembangan hukum dan gejala sosial dimasyarakat, serta tidak mampu lagi memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Khususnya dalam hal pidana bersyarat, undang undang ini lebih banyak mengatur mengenai penerapan pidana bersyarat itu sendiri jika pidana bersyarat sudah menjadi vonis hakim, tapi tidak menunjukkan pelanggaran atau kenakalan anak yang bagaimana yang dapat dijatuhi pidana besyarat, apakah semua jenis kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan anak dapat dijatuhi pidana bersyarat. c. Pengaturan Berdasarkan Undang undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Seiring dengan perkembangan dalam tata kehidupan masyarakat, maka oleh pemerintah telah dibentuk Undang undang baru yang mengatur mengenai

29 sistem peradilan pada anak yang melakukan tindak pidana, yang sebelumnya diatur dalam Undang undang nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak. Namun pada perkembangannya dirasa tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terlebih khusus pada anak. Maka dibentuklah Undang undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sistem peradilan Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Bab V Undang undang tentang Sistem Peradilan Anak memuat tentang pidana dan tindakan yang diterapkan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Pasal 71 Undang undang ini menjelaskan mengenai pidana apa saja yang dapat dijatuhkan kepada seorang anak.; Pasal 71; 1. Pidana pokok bagi anak terdiri atas: a. Pidana Peringatan b. Pidana dengan Bersyarat c. Pembinaan diluar lembaga d. Pelayanan Masyarakat e. Pengawasan f. Pelatihan Kerja g. Pembinaan dalam Lembaga, dan h. Penjara 2. Pidana tambahan terdiri atas: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat 3. Apabila dalam hukum materil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. 4. Pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.

30 Pidana dengan syarat dapat diterapkan kepada anak dengan mempertimbangkan beberapa syarat yang dalam undang undang ini dikenal dengan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat, sedangkan syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Dalam menjalani pidana bersyarat, seorang anak akan diawasi oleh penuntut umum seperti yang diatur dalam Pasal 73 ayat (7): Selama menjalani masa pidana dengan syarat, penuntut umum melakukan pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar anak menepati persyaratan yang ditetapkan. Undang Undang nomor 11 tahun 2012, sebagai pengganti dari Undang Undang sebelumnya, dalam hal pengaturan Pidana terhadap anak sudah lebih baik. Maksudnya Undang Undang ini sudah lebih memperhatikan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Selain itu juga memperhatikan dampak penjatuhan pidana terhadap anak. Hakim dalam undang undang ini dituntut untuk lebih memperhatikan harkat dan martabat anak, meskipun anak berstatus sebagi terdakwa. Pidana yang dijatuhkan hakim juga harus memberikan pelajaran terhadap anak, dengan memberikan tanggungjawab berupa pelatihan kerja kepada anak, atau berupa penyuluhan psikologis terhadap anak sehingga anak tidak hanya dijatuhi pidana bersyarat dan dikembalikan kepada orangtuanya begitu saja tanpa melakukan suatu bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya.

31 d. Pengaturan Berdasrkan Rancangan Undang undang Kitab Undang undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rancangan Undang-undang Hukum Pidana menggunakan istilah pidana pengawasan untuk menggantikan istilah pidana bersyarat ini. Adapun tentang pidana Pengawasan sebagaimana diatur dalam RUU KUHP 2012, yakni; Pasal 77 RUU KUHP Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan. Pasal 78 RUU KUHP 1. Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. 2. Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada (1) dijatuhkan untuk paling lama tiga tahun. 3. Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syaratsyarat: a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. 4. Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM. 5. Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampui maksmum dua kali masa pengawasan yang belum dijalani. 6. Jika dalam pengawasan terpidana menunjukan kelakuan baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya. 7. Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak. Pasal 79 RUU KUHP.

32 1. Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan. 2. jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakn kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara. Pasal 121 RUU KUHP Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasaan. Berbeda dengan peraturan peraturan sebelumnya, RUU KUHP mengganti istilah bersyarat dengan pengawasan. Selain itu lama hukuman terpidana yang sebelumnya bisa dijatuhi pidana bersyarat atau dalam RUUKUHP disebut pidana pengawasan ini sebelumnya hanya untuk terpidana yang lama hukumannya tidak lebih satu tahun, dirubah menjadi tujuh tahun. Menunjukkan perubahan sistem hukum pidana di Indonesia yang tidak lagi semata mata untuk memberikan siksaaan kepada terpidana melainkan sudah bertujuan untuk merubah terpidana ke arah perubahan sikap yang lebih positif. RUU KUHP juga menunjukkan bahwa pidana pengawasan ini juga tidak dilaksanakan begitu saja tanpa membawa dampak yang positif bagi terpidana, sebab dalam penerapannya terpidana diawasi dan diberikan suatu bentuk tanggungjawab yang harus dipenuhinya sebagai suatu bentuk ganti rugi atas tidak pidana yang dilakukannya. Terpidana yang telah menunjukkan perubahan dalam masa pengawasannya, dalam RUU KUHP ini berhak dikurangi masa pengawasannya. Menunjukkan perubahan arah UU Pidana Indonesia yang lebih manusiawi dan memperhatikan harkat dan martabat siterpidana. Namun sangat disayangkan RUU KUHP rancangan indonesia sampai saat ini belum juga disahkan karna dinilai masih belum layak untuk diundangkan.

BAB III PIDANA BERSYARAT

BAB III PIDANA BERSYARAT 36 BAB III PIDANA BERSYARAT A. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat yang biasa disebut dengan pidana perjanjian atau pidana secara jenggelan, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II PIDANA BERSYARAT INDONESIA DAN PERTIMBANGAN HAKIM DIDALAMNYA

BAB II PIDANA BERSYARAT INDONESIA DAN PERTIMBANGAN HAKIM DIDALAMNYA BAB II PIDANA BERSYARAT INDONESIA DAN PERTIMBANGAN HAKIM DIDALAMNYA A. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia 1. Pengaturan Pidana Bersyarat Dalam KUHP Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

DAMPAK PIDANA BERSYARAT BAGI TERPIDANA DAN MASYARAKAT

DAMPAK PIDANA BERSYARAT BAGI TERPIDANA DAN MASYARAKAT DAMPAK PIDANA BERSYARAT BAGI TERPIDANA DAN MASYARAKAT KETUT ABDIASA I GUSTI KETUT ADNYA WIBAWA Fakultas Hukum Universitas Tabanan ABSTRAK Secara yuridis pengertian pidana atau pemidanaan adalah merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan perilaku manusia dan kondisi lingkungan pada masa kini semakin tidak menentu. Perubahan tersebut bisa menuju ke arah yang baik atau lebih baik, juga kearah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Tujuan Hukum Pidana Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT UU No. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA 1 Oleh: Benny Laos 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN A. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana Pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh lembaga yang berwenang kepada orang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014 KEBERADAAN PIDANA BERSYARAT DALAM SISTEM PEMIDANAAN DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA 1 Oleh : Torro A. Pondaag 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah prinsipprinsip

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim adalah aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK [LN 1997/3, TLN 3668]

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK [LN 1997/3, TLN 3668] UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK [LN 1997/3, TLN 3668] BAB III PIDANA DAN TINDAKAN Pasal 22 Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 REPUBLIK INDONESIA TENTANG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan 24 BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU A. Defenisi Pidana Penjara Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu kota dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narapidana sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan tindak pidana pembunuhan, maka pembinaannya haruslah dilakukan sesuai dengan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014. PENGAWASAN DALAM PEMBINAAN HUKUMAN TAHANAN BERSYARAT 1 Oleh : Lanius Tabuni 2

Lex et Societatis, Vol. II/No. 4/Mei/2014. PENGAWASAN DALAM PEMBINAAN HUKUMAN TAHANAN BERSYARAT 1 Oleh : Lanius Tabuni 2 PENGAWASAN DALAM PEMBINAAN HUKUMAN TAHANAN BERSYARAT 1 Oleh : Lanius Tabuni 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang merupakan syarat-syarat untuk dapat dikenakannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Sejarah hukum pidana mengungkapkan bahwa pada masa lampau terdapat sikap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Mencuri 3 buah kakao dihukum 1,5 bulan penjara, mencuri semangka dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik ini, berdasarkan putusan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP - MADURA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ORIENTASI PRINSIP PEMIDAAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA MOH. ZAINOL ARIEF Dosen Fakultas Hukum Universitas Wiraraja Sumenep sobarchamim@gmail.com ABSTRAK Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang 20 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana 1. Jenis-jenis Tindak Pidana Kekerasan di dalam KUHP Kekerasan adalah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA RUU TENTANG KUHP ------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2015-2016. Masa Persidangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci