BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan"

Transkripsi

1 24 BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU A. Defenisi Pidana Penjara Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana penjara dilaksanakan dibelakang tembok yang tebal yang sama sekali asing bagi narapidana. Lain halnya dengan pidana penjara yang mengandung pengertian tata perlakuan terhadap narapidana tersebut di buat jera agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum Hal ini akan mengandung persepsi yang berbeda-beda karena membuat orang jera akan di tempuh berbagai macam cara. Padahal tidak demikian maksud dari pidana penjara, yang sebenarnya adalah satu-satunya derita yang diberikan oleh negara adalah dihilangkannya kemerdekaan bergerak dan di bimbing terpidana agar bertaubat, di didik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna. Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem hukum pidana Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 KUHP. Pidana penjara menurut Pasal 12 ayat (1) KUHP terdiri dari pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Menurut Andi Hamzah, pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan Andi Hamzah, loc.cit.

2 25 Jan Remmelink, sehubungan dengan pidana penjara juga menyatakan bahwa pidana penjara adalah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan (pidana badan) terpenting. 25 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negatif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri. 26 Pidana penjara merupakan suatu sistem perlakuan pelanggaran hukum yang pada dasarnya memberi pola perlakuan reintegrasi yang bertujuan memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana dalam kapasitasnya sebagai mahluk pribadi dan mahluk sosial dalam konteks hak asasinya sebagai manusia. Pemulihan kesatuan ini memiliki masalah yang sangat kompleks. Masalah pembinaan pelanggar hukum adalah pembinaan manusia dari segala sisi termasuk yang paling prinsip yakni sisi hak asasi manusianya. Dalam upaya pemulihan kesatuan ini, yang terpenting adalah proses yang berfungsi sebagai katalisator pencapaian tujuan tersebut. 27 Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada prinsipnya bahwa pidana penjara berkaitan erat dengan pidana perampasan kemerdekaan yang dapat memberi cap jahat dan dapat menurunkan derajat dan harga diri manusia apabila seseorang dijatuhi pidana penjara. 25 Jan Remmelink, loc.cit. 26 Barda Nawawi Arief, loc.cit. 27 Yahya AZ., Eksistensi Pidana Penjara Dalam Perspektif HAM. Dalam Akses terakhir pada tangga l 0 Januari 2009.

3 26 B. Pengaturan Pidana Penjara Dalam KUHP Dan Konsep KUHP Baru 1. Dalam KUHP Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu (Pasal 12 ayat (1) KUHP). Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut (Pasal 12 ayat (2) KUHP. Pasal 12 ayat (3) KUHP menyatakan bahwa : pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal 52. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun (Pasal 12 ayat (4) KUHP. 28 Batas dua puluh tahun harus dipandang sebagai batas absolut, argumen ini muncul dari MvT yang merupakan penjelasan dari Pasal 10 ayat (4) WvS Belanda bahwa orang-orang berapun umurnya yang menjalani pidana penjara dua puluh (20) tahun tanpa terputus-putus kemungkinan besar akan kehilangan kemampuan dan kesiapan untuk kembali menjalani kehidupan bebas. Sebab itu ditetapkan bahwa dengan alasan apapun juga tidak diperkenankan menjatuhkan pidana penjara lebih dari apa yang ditetapkan ketentuan Pasal 10 ayat (4) Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bina Aksara, Cet. 20, Jakarta, 1999, hlm Jan Remmelink, ibid, hlm Pasal 10 ayat (4) ini diatur dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP Indonesia.

4 27 Penjatuhan pidana seumur hidup diterima namun dengan sejumlah kritik. Alasan menurut (mantan) Menteri Kehakiman Belanda, Modderman, adalah karena pada prinsipnya pidana demikian tidak akan berdaya guna (efektif). Akan tetapi karena takut masuknya kembali pidana mati ke dalam sistem hukum (Belanda), ia kemudian mencakupkan sanksi pidana ini, yakni tindakan membuat terpidana tidak berdaya secara permanen poena proxima morti (pidana yang berada paling dekat dengan pidana mati). Dalam arti juridical murni, seumur hidup akan berarti sepanjang hayat dikandung badan. Hanya melalui upaya hukum luar biasa, grasi, pidana penjara seumur hidup dapat diubah menjadi pidana penjara sementara, misal untuk selama 20 tahun. 30 Apabila dilihat lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP dikenal pidana penjara dengan sistem minimum umum (paling pendek satu hari) dan maksimum umum (paling lama lima belas tahun berturut-turut). Sedangkan ketentuan pada ayat (3) jo. ayat (4), Pasal 12 KUHP mengenal pidana penjara dengan sistem maksimum khusus (boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut). Pasal 13 KUHP menyatakan bahwa : para terpidana dijatuhi pidana penjara dibagi-bagi atas beberapa golongan. Pasal 14 KUHP, terpidana yang dijatuhkan pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan Pasal 29. Pasal 29 KUHP menyatakan : Hal menunjuk tempat untuk menjalani pidana penjara, pidana kurungan, atau kedua-duanya, begitu juga hal mengatur dan mengurus tempat-tempat itu, hal membedakan orang terpidana dalam golongan-golongan, hal mengatur pemberian 30 Ibid, hlm. 466.

5 28 pengajaran, penyelenggaraan ibadat, hal tata tertib, hal tempat untuk tidur, hal makanan, dan pakaian, semuanya itu diatur dengan undangundang sesuai dengan kitab undang-undang sesuai dengan kitab undang-undang ini. Jika perlu, Menteri Kehakiman menetapkan aturan rumah tangga untuk tempat-tempat orang terpidana. Ketentuan yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan termasuk peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Ketentuan yang masih berhubungan dengan pidana penjara adalah tentang pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14a sampai dengan 14f KUHP, dan ketentuan tentang lepas bersyarat yang diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 KUHP. Khusus tentang lepas bersyarat yang berkaitan erat dengan pelaksanaan pidana penjara diatur dalam Pasal 15 KUHP, yang menyatakan : Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.

6 29 Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan. Pasal 15a KUHP juga menentukan adanya syarat umum yaitu terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan perbuatan lain yang tidak baik (ayat (1)). Di samping itu juga terdapat syarat khusus tentang kelakuan terpidana, asal tidak mengurangi kemerdekaan agama, dan kemerdekaan politik baginya (ayat (2)). Jenis sanksi yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut pola KUHP, menggunakan sembilan bentuk perumusan ancaman pidana, yaitu : a. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu ; b. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu ; c. Diancam dengan pidana penjara (tertentu) ; d. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan ; e. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda ; f. Diancam dengan pidana penjara atau denda ; g. Diancam dengan pidana kurungan ; h. Diancam dengan pidana kurungan atau denda ; i. Diancam dengan pidana denda.

7 30 Dari kesembilan perumusan di atas terlihat, khususnya untuk perumusan pidana penjara, KUHP menempuh dua sistem perumusan, yaitu : 31 a. Sistem perumusan tunggal, yaitu pidana penjara dirumuskan sebagai satusatunya jenis sanksi pidana untuk delik yang bersangkutan ; dan b. Sistem perumusan alternatif, yaitu pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya sampai yang paling ringan. Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal. Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai yang paling ringan. Pidana tambahan bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik. 2. Konsep KUHP Baru Pengaturan pidana penjara dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang baru, dimulai pada Pasal 69 dan diakhiri pada Pasal 79. Jadi ada 11 pasal yang secara khusus mengatur pidana penjara. Di bawah ini akan di berikan rincian pasal demi pasal dari pidana penjara itu sendiri. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut : Pasal 69 (1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. (2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus. 31 Barda Nawawi Arief, ibid, hlm. 152.

8 31 (3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut. (4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun. Pasal 70 (1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 10 (sepuluh) tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka sisa pidana tersebut dapat diubah menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan perubahan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 71 Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : a. Terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun ; b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana ; c. Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar ; d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban ; e. Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar ; f. Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain ; g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut ;

9 32 h. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi ; i. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain ; j. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya ; k. Pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa ; l. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa ; m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga ; atau n. Terjadi karena kealpaan. Pasal 72 (1) Narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat sebagai Klien Pemasyarakatan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum. (2) Terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut, jumlah pidananya dianggap sebagai 1 (satu) pidana. (3) Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.

10 33 (4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun. (5) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain, waktu tahanannya tidak diperhitungkan sebagai masa percobaan. (6) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 73 (1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) adalah : a. Klien Pemasyarakatan tidak akan melakukan tindak pidana ; dan b. Klien Pemasyarakatan harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik. (2) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir b dapat diubah, dihapus, atau diadakan syarat baru, yang semata-mata bertujuan membina terpidana. (3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 74 (1) Pembebasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika sebelum waktu 3 (tiga) bulan, Klien Pemasyarakatan dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

11 34 (3) Jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana. Pasal 75 (1) Keputusan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum setelah mendapat pertimbangan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan hakim pengawas. (2) Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat, maka Balai Pemasyarakatan memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas. (3) Pencabutan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum atas usul hakim pengawas. (4) Jika Klien Pemasyarakatan melanggar syarat-syarat yang diberikan, maka hakim pengawas dapat mengusulkan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum agar pembebasan bersyarat dicabut. (5) Jika hakim pengawas mengusulkan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka hakim pengawas dapat memberi perintah kepada polisi agar Klien Pemasyarakatan ditahan dan hal tersebut diberitahukan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum. (6) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) paling lama 60 (enam puluh) hari. (7) Jika penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat, maka Klien Pemasyarakatan dianggap meneruskan menjalani pidana sejak saat ditahan.

12 35 (8) Selama masa percobaan, pengawasan, dan pembinaan Klien Pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Pidana Tutupan Pasal 76 (1) Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan. (2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara. Pidana Pengawasan Pasal 77 Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan. Pasal 78 (1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. (2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat : a. Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana ;

13 36 b. Terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan ; dan/atau c. Terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. (4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. (5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani. (6) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya. (7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak. Pasal 79 (1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidan dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan. (2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.

14 37 C. Masalah Maksimum Dan Minimum Pidana Dalam menetapkan jumlah atau lamanya ancaman pidana, pembuat Konsep pertama dihadapkan pada dua alternatif sistem, yaitu : Sistem atau pendekatan absolut. Yang dimaksud disini ialah, untuk setiap tindak pidana ditetapkan bobot/kualitasnya nya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman minimumnya) untuk setiap tindak pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap tindak pidana ini kenal pula dengan sebutan sistem indefinite atau sistem maksimum. Dapat juga disebut dengan sistem atau pendekatan tradisional, karena selama ini memang biasa digunakan dalam praktik legislatif di Indonesia. 2. Sistem atau pendekatan relatif. Yang dimaksud ialah, bahwa untuk tiap tindak pidana tidak ditetapkan bobot/kualitas (maksimum pidananya) sendiri-sendiri, tetapi bobotnya di- relatif -kan, yaitu dengan melakukan penggolongan tindak pidana dalam bebapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana itu. Sistem ini dapat juga disebut pendektatan imaginatif. Kedua sistem di atas masing-masing mempunyai segi positif dan segi negatif. Menurut Colin Howard, segi positif dari sistem yang pertama (yang olehnya disebut sistem indefinite atau sistem maksimum ) ialah adanya tiga keuntungan yang menyolok, yaitu : 33 1 Dapat menunjukkan tingkat keseriusan masing-masing tindak pidana ; 2 Memberikan fleksibilatas dan diskresi kepada kekuasaan pemidanaan ; 32 Barda Nawawi Arief, ibid, Colin Howard, dalam Barda Nawawi Arief, ibid, hlm. 117.

15 38 3 Melindungi kepentingan si pelanggar itu sendiri dengan menetapkan batasbatas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan. Ketiga keuntungan di atas secara teoritis mengandung aspek perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan individu. Aspek perlindungan masyarakat terlihat dengan ditetapkannya ukuran objektif berupa maksimum pidana sebagai simbol kualitas norma-norma sentral masyarakat yang ingin dilindungi dalam perumusan delik yang bersangkutan, dan aspek perlindungan individual terlihat dengan ditentukannya batas-batas kewenangan dari aparat kekuasaan dalam menjatuhkan pidana. 34 Dengan tetap akan dianutnya sistem absolut (sistem maksimum/indefinite), mau tidak mau Konsep mengahadapi masalah penentuan lamanya maksimum dan minimum pidana, khususnya untuk pidana penjara dan denda. Adapun pola maksimum dan minimum pidana yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Untuk pidana penjara tetap dibedakan antara pidana penjara seumur hidup dan untuk waktu tertentu ; 2. Pidana penjara untuk waktu tertentu, minimal (umum) satu hari kecuali ditentukan lain maksimal berturut-turut 15 tahun yang dalam hal-hal tertentu dapat mencapai 20 tahun ; 3. Pidana minimal untuk denda adalah 1.500,- kecuali ditentukan lain dan maksimalnya ditetapkan dalam enam katagori, yaitu (Pasal 77 Konsep 1987/1988 ; Pasal 73 Konsep 1993) : Ibid. 35 Dalam perkembangan Konsep berikutnya, sejak Konsep 2000 s/d 2006/2007 katagori denda ini telah mengalami perubahan : minimal umum denda adalah Rp ,- ; Katagori 1 maksimal Rp ,- ; Katagori I Rp ,- ; Katagori II Rp ,- ; Katagori III Rp ,- ; Katagori IV Rp ,- ; Katagori V

16 39 a. Katagori 1 maksimal Rp ,- ; b. Katagori 2 maksimal Rp ,- ; c. Katagori 3 maksimal Rp ,- ; d. Katagori 4 maksimal Rp ,- ; e. Katagori 5 maksimal Rp ,- ; f. Katagori 6 maksimal Rp ,-. Pola maksimum dan minimum pidana di atas diatur dalam Aturan Umum (Buku I). Adapun perumusannya dalam dalam Buku I (yang memuat perumusan tindak pidana) digunakan pola perumusan sebagai berikut : 1. Apabila suatu tindak pidana yang menurut penilaian dianggap tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobot dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana sangat ringan. Golongan ini hanya diancam dengan pidana denda menurut katagori ke-1 sampai katagori ke-2 ; 2. Apabila suatu tindak pidana yang semula atau selama itu diancam pidana penjara atau kurungan kurang dari 1 tahun tetap dinilai patut untuk diancam pidana penjara, maka akan diancam dengan maksimum pidana penjara paling rendah 1 tahun ; 3. Semua tindak pidana yang menurut penilaian patut diancam dengan pidana penjara maksimum 1 tahun sampai dengan 7 tahun, selalu akan dialternatifkan dengan pidana denda dengan penggolongan sebagai berikut : a. Untuk golongan ringan (maksimum penjara 1 sampai 2 tahun), diancam dengan maksimum denda katagori ke-3 ; Rp ,- ; dan Katagori VI rp ,-. Dalam Konsep 2006/2007, tercantum dalam Pasal 80.

17 40 b. Untuk golongan sedang (maksimum penjara 2 sampai 4 tahun) diancam dengan maksimum denda katagori ke-4 ; 4. Semua tindak pidana yang tergolong sangat serius (di atas 7 tahun penjara) tidak dialternatifkan dengan pidana denda, kecuali dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan maksimum denda menurut katagori ke-5 untuk delik yang diancam pidana penjara 7 tahun ke atas samapi dengan 15 tahun, dan menurut katagori ke-6 untuk yang diancam pidana penjara 20 tahun atau seumur hidup. berikut : Untuk lebih jelasnya, pola di atas digambarkan dalam skema sebagai Tabel 1. Skema Pola Maksimum Khusus Dalam Konsep 2006/2007 No. Tindak Pidana Penjara Denda 1. Sangat Ringan - Katagori 1 dan Katagori 2 2. Ringan 1-2 tahun Katagori 3 3. Sedang 2-4 tahun Katagori 3 4. Berat 4-7 tahun Katagori 4 5. Sangat Serius Di atas 7 tahun Tanpa denda, kecuali korporasi (dapat kena katagori 5 atau katagori 6) Dengan pola di atas, hanya akan ada tiga katagori pengelompokan tindak pidana, yaitu : 1. Yang hanya diancam pidana denda (untuk delik yang bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara) ; 2. Yang hanya diancam pidana penjara atau denda secara alternatif (untuk delik yang diancam dengan penjara 1-7 tahun) ; 3. Yang hanya diancam pidana penjara (untuk delik yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 7 tahun).

18 41 Dari pola maksimum dan minimum pidana yang dikemukakan di atas, terlihat beberapa perbedaan dengan pola menurut KUHP yang saat ini berlaku, yaitu : 1. Ancaman pidana maksimum khusus yang paling rendah untuk pidana penjara 1 (satu) tahun. Menurut pola KUHP, maksimum khusus pidana penjara yang paling rendah adalah 1 hari, dan yang di bawah 1 tahun sangat bervariasi dengan menggunakan bulan dan minggu ; 2. Konsep menganut sistem ancaman pidana minimum khusus yang selama ini tidak dikenal dalam KUHP. Dianutnya pidana minimum ini didasarkan pada pokok pemikiran : a. Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya ; b. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat ; c. Dianalogkan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidana pun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal tertentu. 3. Konsep menggunakan ukuran 7 tahun sebagai batas maksimum yang cukup tinggi untuk pidana penjara. Alasan atau latar belakang pemikirannya adalah : a. Batasan maksimum yang tidak terlalu tinggi dilatarbelakangi pula oleh pemikiran untuk menghindari ekses negatif dari pidana penjara yang terlalu lama ;

19 42 b. Juga dilandasi pemikiran introspektif, bahwa pembinaan atau melakukan rehabilitasi terpidana tidak dapat sepenuhnya diharapkan dari terlalu lamanya terpidana berada di dalam lembaga, pembinaan masih dapat dilakukan dan dicapai di dalam masyarakat itu sendiri, dengan melakukan program-program perbaikan dan pembinaan di luar lembaga. Jadi dilatarbelakangi pula oleh gagasan deinstitusionalisasi dan sistem peradilan pidana yang humanis (a humane system of criminal justice). 4. Konsep menggunakan sistem katagori denda dalam merumuskan ancaman pidananya. Artinya, yang diancamkan dalam perumusan delik bukan suatu jumlah denda tertentu seperti dalam KUHP sekarang, tetapi hanya disebutkan katagori dendanya saja seperti tersebut dalam Aturan Umum Buku I (ada enam katagori denda). Mengenai pola minimum khusus untuk pidana penjara dapat dikemukakan sebgai berikut : 1 Pada primsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu perkecualian, yaitu untuk delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat dan delik-delik yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) : sebagai ukuran kuantitatif adalah delik-delik yang diancam pidana di atas 7 tahun (sampai pidana mati) sajalah yang dapat dikenakan minimum khusus, karena delik-delik itulah yang golongkan sangat serius, namun dalam halhal tertentu patokan itu dapat diturunkan pada delik-delik yang tergolong berat (yaitu yang diancam 4-7 tahun penjara.

20 43 2 Lamanya minimum khusus, pada mulanya dikembangkan pola yang berkisar antara 3-7 tahun. Hal ini didasarkan pada perbandingan pola yang ada di berbagai negara, antara lain Norwegia berkisar antara 2 bulan-8 tahun, Yugoslavia berkisar antara 3 bulan-10 tahun, Polandia berkisar antara 6 bulan- 10 tahun, Korea berkisar antara 1 tahun-10 tahun, dan Jepang berkisar antara 3 bulan-7 tahun. D. Pola Lamanya (Berat-Ringannya) Pidana Penjara 1. Pidana Penjara Seperti halnya dengan KUHP (WvS), Konsep juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu. Untuk pidana penjara dalam waktu tertentu, pola sebagai berikut : Tabel 2. Perbandingan KUHP Dan Konsep KUHP 2006/2007 Mengenai Waktu Pidana Penjara Pola Minimum Pola Maksimum Umum Khusus Umum Khusus KUHP 1 Hari - 15/20 Thn Bervariasi Sesuai Dengan Deliknya KONSEP 1 Hari Bervariasi Antara 1-5 Thn 15/20 Thn Bervariasi Sesuai Dengan Deliknya Pola minimum khusus menurut Konsep pada mulanya berkisar antara 3 bulan sampai 7 tahun, namun dalam perkembangannya mengalami perubahan antara 1-5 tahun dengan kategori sebagai berikut : Tabel 3. Ancaman Maksimum Dan Minimum Terhadap Tindak Pidana Katagori Delik Ancaman Maksimum Ancaman Minimum 1. Berat 4 s.d. 7 Tahun 1 Tahun 2. Sangat Serius 7 s.d. 10 Tahun 2 Tahun 12 s.d. 15 Tahun 3 Tahun Mati/Seumur Hidup 5 Tahun

21 44 Dari pola di atas terlihat, bahwa penentuan minimum khusus didasarkan atau diberdakan menurut ancaman maksimum khusus untuk delik yang bersangkutan. Ini hanya sekedar patokan objektif atau patokan formal. Tidak setiap delik yang termasuk dalam kategori seperti di atas, harus diberi minimum khusus. Dalam menetapkan minimum khusus perlu dipertimbangkan akibat dari delik yang bersangkutan terhadap masyarakat luas (antara lain ; menimbulkan bahaya keresahan umum, bahaya bagi kesehatan/lingkungan atau menimbulkan akibat mati) atau faktor pengulangan tindak pidana (recidive). Pola umumnya delik-delik yang sangat serius sajalah yang diberi ancaman minimum khusus. Catatan lain yang perlu disampaikan adalah, bahwa menurut Konsep ancaman minimum khusus ini pun dalam hal-hal tertentu tetap dapat dikurangi atau diperingan apabila ada hal-hal yang memperingan pemidanaan. Pola minimum khusus pidana penjara di dalam KUHP dan Konsep adalah sebagai berikut : a. Menurut KUHP : berkisar antara 3 minggu (paling rendah) dan 15 tahun yang dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan ; b. Menurut Konsep : berkisar antara 1 tahun (maksimum paling rendah) dan 15 tahun yang dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan. Untuk minimum khusus dibawah 1 tahun menurut pola KUHP digunakan bulan dan minggu. Pola demikian tidak ada dalam Konsep karena maksimum paling rendah adalah 1 tahun. Untuk delik yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana sangat ringan dan hanya diancam denda. Pola maksimum khusus paling rendah 1 tahun menurut Konsep dikecualikan

22 45 untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagai kejahatan ringan. Menurut pola KUHP, maksimum penjara untuk delik-delik kejahatan ringan ini adalah 3 bulan, sedangkan menurut Konsep 6 bulan yang dialternatifkan dengan pidana denda Kategori II. Pola pemberatan dan peringanan pidana menurut Konsep tidak berbeda dengan KUHP, yaitu ditambah atau dikurangi sepertiga. Hanya menurut Konsep, pemberatan/peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap ancaman maksimum tetapi juga terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal tertentu, pola peringanan menurut Konsep dapat juga dikurangi setengahnya 36 (jadi diancam dengan pidana separuh dari maksimum delik yang bersangkutan), yaitu untuk : a. Anak (di bawah 18 tahun) ; dan b. Percobaan tidak mampu 37 Pola ancaman pidana untuk delik dolus dan delik culpa, menurut KUHP adalah sebelum perubahan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1960, di dalam KUHP tidak ada keseragaman atau kesebandingan maksimum pidana untuk delik culpa dibandingkan dengan delik dolusnya. Misalnya untuk delik-delik dolus dengan maksimum 4 tahun penjara (lihat Pasal-Pasal 231, 408, 426, 427, 477), delik culpanya ada yang diancam 1 bulan kurungan (Pasal 426 ayat (4) dan 409) dan ada yang 2 bulan kurungan (Pasal 426 ayat (2) dan 477 ayat (2)). Ancaman maksimum 3 bulan kurungan ini pun ternyata diancam juga untuk delik culpa di dalam Pasal 334 yang delik dolusnya (Pasal 333) diancam dengan pidana 36 Dalam perkembangan berikutnya (mulai Konsep 2004), ada yang dikurangi 2/3 dari maksimum, yaitu untuk delik persiapan dan permufakatan jahat. 37 Dalam penjelasan Konsep KUHP, ketentuan dalam pasal percobaan ini tidak memberikan definisi tentang percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana, pembuat tindak pidana telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana dan pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang dilarang.

23 46 penjara 8 tahun. Dilihat dari sudut akibatnya (misalnya timbul bahaya bagi umum), memang terlihat ada keseragaman maksimum pidana untuk delik culpanya, yaitu 4 bulan 2 minggu penjara atau 3 bulan kurungan, tetapi tidak sebanding dengan delik dolusnya yang diancam dengan pidana penjara yang berbeda-beda, yaitu ada yang maksimumnya 9 bulan (Pasal 191 bis), ada yang 9 tahun (Pasal 192) dan ada yang 12 tahun (Pasal 196 dan Pasal 200). Namun di samping itu, terlihat pola umum menurut KUHP sebagai berikut : a. Untuk perbuatan dengan culpa, diancam dengan pidana kurungan (maksimum 1 sampai 3 bulan) atau denda ; b. Untuk yang menimbulkan akibat, terlihat pola sebagai berikut : Tabel 4. Ancaman Maksimum Pidana Dalam KUHP Ancaman Maksimum Pidana Akibat Delik Dolus Delik Culpa (Penjara) Penjara Kurungan Denda Bahaya Umum 7-12 Thn. 4 Bln. 2 Mggu. 3 Bln. Ada Bahaya Bagi 15 Thn. 9 Bln. 6 Bln. Ada Nyawa/Kesehatan Mati SH/20 Thn. 1 Thn. 4 Bln. 1 Thn. Tidak Ada 2. Pidana Denda Pola pidana denda dalam KUHP tidak mengenal minimum khusus dan maksimum umum. Yang ada hanya minimum umum dan maksimum khusus. Minimum umum pidana denda sebesar 25 sen (Pasal 30 ayat (1)) yang berdasarkan perubahan menurut Undang-Undang No. 18 Prp dilipatgandakan menjadi 15 kali, sehingga menjadi Rp. 3, 75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Maksimum khususnya bervariasi sebagai berikut : a. Untuk kejahatan ; maksimumnya berkisar antara Rp.900,- (dahulu 60 Gulden) dan Rp ,- ( Gulden), namun ancaman pidana denda yang sering diancamkan ialah sebesar Rp.4.500,- (500 Gulden) ;

24 47 b. Untuk pelanggaran ; denda maksimum berkisar antara Rp.225,- (dua ratus dua puluh lima rupiah) (Gulden) dan Rp ,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) (5.000 Gulden), namun yang terbanyak hanya diancam dengan denda sebesar Rp.375,- (tiga ratus tujuh puluh lima rupiah) (25 Gulden) dan Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) (300 Gulden). Dari pola di atas terlihat, bahwa menurut pola KUHP (WvS) maksimum khusus denda yang paling tinggi untuk kejahatan ialah Rp ,- (seratus lima puluh ribu rupiah) ( Gulden), dan untuk pelanggaran paling banyak Rp ,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) (5000 Gulden). Jadi maksimum khusus kejahatan adalah 2 (dua) kali lipat yang diancamkan untuk pelanggaran. Konsep mengenal minimum umum, minimum khusus dan maksimum khusus pidana denda. Minimum umum sebesar Rp.1.500,- (seribu lima ratus rupiah). Ancaman maksimum khusus dibagi enam kategori. Minimum khusus pidana denda dapat ditentukan berdasarkan keenam kategori 38 itu. Adapun pengancaman maksimum khusus denda sebagai berikut : Tabel 5. Ancaman Maksimum Khusus Pidana Penjara Dan Denda Dalam Konsep KUHP 2006/2007 No. Bobot Delik Penjara Denda 1. Sangat Ringan Katagori I/II 2. Ringan 1-2 Tahun Katagori III 3. Sedang 2-4 Tahun Katagori IV 4. Berat 4-7 Tahun Katagori IV 5. Sangat Serius Di atas 7 Tahun Untuk orang tanpa denda ; Untuk korporasi terkena Katagori V. 38 Dalam perkembangan berikutnya sudah mengalami perubahan. Denda minimal Rp ,- dan Kategorinya berkisar dari Rp.1.5 juta (Kategori I) sampai dengan Rp. 3 milyar (Katefori VI).

25 48 Dari pola di atas terlihat, bahwa baik menurut KUHP maupun menurut Konsep tidak ada maksimum umum untuk pidana denda. Inilah yang menyebabkan sangat bervariasinya maksimum denda di luar KUHP. Dari pembahasan pengaturan pidana penjara menurut Konsep KUHP, masalah maksimum dan minimum pidana, dan pola lamanya (berat-ringannya) pidana terlihat bahwa, jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan. Bentuk perumusannya tidak berbeda dengan pola KUHP di atas, hanya dengan catatan bahwa di dalam Konsep : 39 a. Pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman minimumnya ; b. Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori ; c. Ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan alternatif diterapkan secara kumulatif. 39 Ibid, hlm. 161.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA RUU TENTANG KUHP ------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2015-2016. Masa Persidangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGATURAN PIDANA DENDA DI DALAM KUHP DAN TINDAK PIDANA DI LUAR KUHP. Oleh : Diana Tri Iriani ABSTRAK

PERBANDINGAN PENGATURAN PIDANA DENDA DI DALAM KUHP DAN TINDAK PIDANA DI LUAR KUHP. Oleh : Diana Tri Iriani ABSTRAK PERBANDINGAN PENGATURAN PIDANA DENDA DI DALAM KUHP DAN TINDAK PIDANA DI LUAR KUHP Oleh : Diana Tri Iriani ABSTRAK Pidana denda merupakan salah satu pidana pokok dalam stelsel pemidanaan di Indonesia yang

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP 2012 A. Pengertian Zina Lajang Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul yang sekarang

Lebih terperinci

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana Dosen Pengampu: Ahmmad Bahiej, S.H., M.Hum. PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Pidana dalam KUHP Pidana merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM KUHP DAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM RUU KUHP

PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM KUHP DAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM RUU KUHP PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM KUHP DAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM RUU KUHP Oleh: Nandang Kusnadi, S.H., M.H. 1 ABSTRAK Di dalam KUHP, jenis-jenis pidana diatur di dalam Pasal 10 Kitab Undang-

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN)

LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM KUHP DAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM RUU KUHP

PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM KUHP DAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM RUU KUHP PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM KUHP DAN PENGATURAN SANKSI DENDA DALAM RUU KUHP Oleh: Nandang Kusnadi, S.H., M.H. 1 ABSTRAK Di dalam KUHP, jenis-jenis pidana diatur di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH

BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH 33 BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH A. Pengaturan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana Substantif. Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT UU No. 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA 1 Oleh: Benny Laos 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698] BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

Pasal 48 yang berbunyi :

Pasal 48 yang berbunyi : 41 BAB III PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM TERHADAP MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN A. Persyaratan Teknis Modifikasi Kendaraan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BUKU KESATU ATURAN UMUM

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BUKU KESATU ATURAN UMUM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BUKU KESATU ATURAN UMUM Bab I Batas-batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan Bab II Pidana Bab III Hal-hal yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik berwenang melakukan penahanan kepada seorang tersangka. Kewenangan tersebut diberikan agar penyidik dapat melakukan pemeriksaan secara efektif dan efisien

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tapi juga merupakan suatu usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara kesatuan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Narkotika Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang

Lebih terperinci

BUKU KESATU ATURAN UMUM BAB I BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

BUKU KESATU ATURAN UMUM BAB I BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN BUKU KESATU ATURAN UMUM BAB I BATAS-BATAS BERLAKUNYA ATURAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 1 (1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang- Undang dasar 1945 hasil

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS

BAB II PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS BAB II PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS A. Kerangka Teori Pidana Denda dalam Hukum Pidana Pidana denda merupakan salah satu jenis dari pidana pokok dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT TIMUS KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kepastian hukum serta penegakan hukum yang baik demi terwujudnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671] Pasal 59 (1) Barang siapa : a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) 1 ; atau b. memproduksi

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Sanksi Pidana Seumur Hidup Dalam Peraturan Perundang-undangan a. Sanksi Pidana Seumur Hidup Dalam KUHP Perumusan sanksi pidana seumur hidup

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PROSPEK PIDANA DENDA DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA KARYA TULIS ILMIAH

EKSISTENSI DAN PROSPEK PIDANA DENDA DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA KARYA TULIS ILMIAH EKSISTENSI DAN PROSPEK PIDANA DENDA DALAM SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA KARYA TULIS ILMIAH Oleh : HANS C. TANGKAU NIP. 19470601 197703 1 002 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2011 0 PENGESAHAN

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 REPUBLIK INDONESIA TENTANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam

Lebih terperinci

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara Pasal-pasal Delik Pers KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA I. Pembocoran Rahasia Negara Pasal 112 Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB III PIDANA BERSYARAT

BAB III PIDANA BERSYARAT 36 BAB III PIDANA BERSYARAT A. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat yang biasa disebut dengan pidana perjanjian atau pidana secara jenggelan, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) B U K U P E R T A M A : ATURAN UMUM.

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) B U K U P E R T A M A : ATURAN UMUM. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) (Wetboek van Strafrecht) (S. 1915-732 jis. S. 1917-497, 645, mb. 1 Januari 1918, s.d.u.t. dg. UU No. 1/1946). Anotasi: Sebutan "Kitab Undang-undang Hukum Pidana"

Lebih terperinci

EKSISTENSI PIDANA DENDA MENURUT SISTEM KUHP 1 Oleh : Aisah 2

EKSISTENSI PIDANA DENDA MENURUT SISTEM KUHP 1 Oleh : Aisah 2 EKSISTENSI PIDANA DENDA MENURUT SISTEM KUHP 1 Oleh : Aisah 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan pidana denda di Indonesia dan bagaimanakah eksistensi

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya Bab XXII : Pencurian Pasal 362 Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR :02 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai pengurangan masa pidana (remisi)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci