GAMBARAN MIKROANATOMI SPERMATOGENESIS PADA MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) RATIH KOMALA DEWI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GAMBARAN MIKROANATOMI SPERMATOGENESIS PADA MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) RATIH KOMALA DEWI"

Transkripsi

1 GAMBARAN MIKROANATOMI SPERMATOGENESIS PADA MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) RATIH KOMALA DEWI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran Mikroanatomi Spermatogenesis pada Musang Luak (Paradoxurus Hermaphroditus) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari skripsi ini. Bogor, Oktober 2012 Ratih Komala Dewi B

3 ABSTRACT RATIH KOMALA DEWI. Study Microanatomy Spermatogenesis in The Asian Palm civet (Paradoxurus hermaphroditus). Under direction of SAVITRI NOVELINA and HERU SETIJANTO. ABSTRACT The study was conducted to observe the stages of spermatogenesis in the Asian palm civet. Testicular tissue collected from male Asian palm civet was processed histologically with staining Hematoxillin-Eosin. The eight stages of the seminiferous epithelium cycles were described using the tubular morphology method, which is based on the shape and location of the spermatid nuclei, the presence of meiotic divisions and the overall seminiferous epithelium composition. The relative frequency value of stages I-VIII were 7.23, 12.9, 18.36, 10.07, 11.26, 17.3, 13.5, and 9.72%, respectively frequencies for the pre-meiotic (stage I to III), meiotic (stage IV) and post meiotic (stage V to VIII) in this species were 38.49%,10.07%, and 51.43%, respectively. Keywords: Male Asian palm civet, testis, cell spermatogenic

4 RINGKASAN RATIH KOMALA DEWI. Gambaran Mikroanatomi Spermatogenesis pada Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus). Dibimbing oleh SAVITRI NOVELINA dan HERU SETIJANTO. Musang luak termasuk ke dalam genus Paradoxurus. Genus Paradoxurus memiliki beberapa spesies yang tersebar di seluruh penjuru negara, diantaranya adalah Paradoxurus hermaphroditus, Paradoxurus zeylonensis, Paradoxurus jerdoni, dan Paradoxurus lignicolor. Salah satu spesies di Indonesia yang termasuk genus ini yaitu spesies P. hermaproditus lebih dikenal dengan musang luak yang dimanfaatkan biji kopinya. Musang luak tersebar diseluruh Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pembentukan spermatozoa terjadi di dalam testis tepatnya pada tubuli seminiferi, melalui proses yang disebut spermatogenesis. Spermatogenesis merupakan suatu siklus perkembangan dari sel spermatogonia menjadi spermatozoa yang terjadi didalam tubuli seminiferi testis (O Day 2002). Proses spermatogenesis berguna dalam penyediaan sel gamet jantan. Pengetahuan tentang tahapan atau siklus spermatogenesis penting untuk mengetahui perubahan morfologi yang terjadi pada setiap tahapan dan durasi yang dibutuhkan dari sel spermatogenik (spermatogonia, spermatosit, spermatid) sampai menjadi spermatozoa yang dilepaskan di dalam lumen tubuli seminiferi (Pergiwa 2003). Pada pengamatan tahapan tubuli seminiferi dengan metode morfologi tubular, ditemukan delapan tahapan tubuli seminiferi pada hampir semua mammalia domestik. Delapan tahapan tersebut memperlihatkan komposisi seluler berbeda-beda yang menjadi ciri spesifik pada masing-masing spesies. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari spermatogenesis pada musang luak dengan mengamati morfologi sel-sel spermatogenik dalam proses spermatogenesis berdasarkan perbedaan komposisi seluler dari tiap tahapan tubuli seminiferi. Penelitian ini menggunakan sampel organ testis musang luak jantan (Paradoxurus hermaphroditus), dengan bobot badan 3 kilogram. Gambaran morfologi dan komposisi seluler dari tubuli seminiferi ditentukan dengan fokus pengamatan secara morfologi tubular terhadap preparat histologi testis dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Selanjutnya dilakukan perhitungan frekuensi relatif serta durasi dari masing-masing tahap spermatogenesis dengan menggunakan nilai durasi total spermatogenesis feret. Hasil penelitian menunjukkan proses spermatogenesis terbagi menjadi tahap pre-meiosis, meiosis dan post-meiosis yang memiliki nilai frekuensi relatif masing-masing 38.49%, 10.07%, dan 51.43%, dan durasi masing-masing tahapan adalah 5.01 hari, 1.31 hari, dan 6.68 hari.

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjaun suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.

6 GAMBARAN MIKROANATOMI SPERMATOGENESIS PADA MUASANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus) RATIH KOMALA DEWI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

7 LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NRP : Gambaran Mikroanatomi Spermatogenesis pada Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus) : Ratih Komala Dewi : B Disetujui Dr.Drh. Savitri Novelina, M.Si, PAVet Pembimbing I Dr.Drh. Heru Setijanto, PAVet(K) Pembimbing II Mengesahkan, Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Tanggal lulus :

8 PRAKATA Puji syukur kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gambaran Mikroanatomi Spermatogenesis pada Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus). Skipsi ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Riset Anatomi, FKH IPB pada bulan Juli 2011 sampai Juni Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ibu Dr. Drh. Savitri Novelina, M.Si, PAVet sebagai dosen pembimbing utama atas waktu, arahan, kritik, saran, bantuan, serta nasihat yang diberikan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Drh. Heru Setijanto, PAVet(K) atas waktu, arahan, kritik, saran, serta bantuan yang diberikan selaku dosen pembimbing. 3. Ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, M.Sc, Apt, dan Ibu Dr. Drh. Risa Tiuria sebagai dosen penguji pada Ujian Akhir Sarjana Kedokteran Hewan. 4. Bapak Prof. Drh, Arief Boediono, Ph.D, PAVet(K), selaku dosen pembimbing akademik atas nasihat dan bantuan selama masa perkuliahan. 5. Bapak Drh. Kusdiantoro, M.Si, PAVet selaku dosen penilai Seminar Skripsi. 6. Keluarga besar dosen Anatomi Dr. Drh Nurhidayat, MS, PAVet, Dr. Drh. Chairun Nisa, M.Si, PAVet, Drh. Supratikno, M.Si, PAVet atas saran dan bantuan serta fasilitas selama penelitian. 7. Dr. Drh. Sri Wahyuni. M.Si, PAVet atas saran, waktu, dan masukan selama penelitian. 8. Orang tua, adikku, Novi, dan Adi yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa. 9. Staf Laboratorium Riset Anatomi, Pak Rudi dan Pak Bayu yang membantu serta mempersiapkan fasilitas selama penelitian. 10. Teman-teman seperjuangan (Iin Nuraeni, Febriana Wulandari, Viranti Mandasari, Gita triwardani, Husna Kusnandar). 11. Teman-teman Tim anatomi (Fitria Apriliani, Arini Kusumastuti, Afdi Pratama, Hilda Susanti, Agustian Eka Saputra, Oki Kurniawan, Shandy Maha Putra). 12. Teman-teman Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Agriaswara Tim Festival Luar Negeri Finlandia. 13. Fahruli Rakhman atas waktu, dorongan, motivasi, suport, doa, serta menjadi tempat curahan hati penulis. 14. Teman teman FKH angkatan 45 AVENZOAR yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama penelitian. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih banyak atas kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Bogor, Oktober 2012 Ratih Komala Dewi

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Subang pada tanggal 31 Agustus Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari ayah H. Ir. Aris Munandar, M.Si dan ibu Hj. Ati Kustiati, SE. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di TK Uswatun Hasanah pada tahun 1994, lalu melanjutkan ke SDN Sukamenak Subang dan lulus pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Subang, dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Subang. Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan UKM paduan suara Agria Swara. Penulis juga berkesempatan mengikuti lomba paduan suara Nasional maupun Internasional. Selain itu, penulis juga menjadi anggota Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMAKAHI) dan Himpunan Minat Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB.

10 DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus)... 4 Perkembangan gonad... 7 Spermatogenesis... 8 Tahapan spermatogenesis MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Hewan Penelitian Bahan dan Alat Pembuatan Preparat Histologi Pengamatan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Histologi Testis Tahapan Spermatogenesis Frekuensi dan Durasi Tahapan Spermatogenesis Pembahasan Tahapan Spermatogenesis Frekuensi Tahapan Spermatogenesis SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi xii xiii

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta persebaran musang luak di Indonesia (Paradoxurus hermaphroditus) Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) Proses spermatogenesis yang terbagi atas tahap proliferasi, meiosis dan diferensiasi Proses diferensiasi spermatid pada mencit Morfologi tubuli seminiferi pada tahapan I sampai tahap VIII pada kucing domestik (Felis Catus) Gambaran tubuli seminiferi dengan menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin eosin) Morfologi tubuli seminiferi musang luak pada tahap I sampai tahap VIII Skematik tahapan spermatogenesis pada tahap I sampai tahap VIII musang luak

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Data biologis dan reproduksi Paradoxurus hermaphroditus Frekuensi dan durasi tahapan tubuli seminiferi pada musang luak Perubahan kinetik dari spermatogenesis pada berbagai spesies mamalia... 27

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Diagram alir pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)... 33

14 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah baik flora maupun faunanya, sehingga disebut negara megabiodiversitas. Keanekaragaman hayati tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar tidak punah. Pemanfaatan kekayaan melalui penelitian dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pelestarian dalam mendukung usaha konservasi. Musang luak termasuk ke dalam genus Paradoxurus. Genus Paradoxurus memiliki beberapa spesies yang tersebar di seluruh penjuru negara, diantaranya adalah Paradoxurus hermaphroditus, Paradoxurus zeylonensis, Paradoxurus jerdoni, dan Paradoxurus lignicolor. Salah satu spesies di Indonesia yang termasuk genus ini yaitu spesies P. hermaproditus lebih dikenal dengan musang luak yang dimanfaatkan biji kopinya. Musang Luak atau Asian Palm Civet (Paradoxurus hermaphroditus) tersebar luas mulai dari Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, China, Filipina, India, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Singapura, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia Musang Luak tersebar secara alami mulai dari Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Selain itu juga telah ditemukan di daerah Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku (Schreiber et al 1989). Musang luak dikenal sebagai hewan pemakan buah kopi dan biji kopi yang dikeluarkan bersama feses dikenal sebagai kopi luak. Kopi luak terkenal karena mempunyai cita rasa yang enak dan harganya mahal. Harga kopi luak sangat beragam tergantung dari kopi luak yang dihasilkan dari feses musang luak yang di pelihara atau dari alam liar. Harga biji kopi luak berkisar antara Rp Rp per Kg tergantung dari jenis musangnya. Musang yang dibiarkan di alam liar akan memilih kopi yang terbaik, sehingga harganya akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan musang yang sengaja di pelihara dan di penangkaran. Selain itu, kopi luak juga diekspor ke berbagai negara contohnya Taiwan dan Korea. Karena cita rasa kopi yang enak, harga secangkir kopi luak di Korea mencapai won, atau setara Rp (Ahmad 2011).

15 2 Musang luak merupakan hewan nokturnal atau hewan yang melakukan aktivitas di malam hari dan merupakan mamalia yang bersifat arboreal atau hidup dipepohonan. Musang luak termasuk hewan omnivora (Joshi et al. 1995). Habitat asli dari musang luak sendiri adalah hutan dan savana yang hampir seluruhnya tertupi oleh tanah yang tebal. Musang luak memiliki panjang tubuh yang sekitar 50 cm dengan ekor mencapai panjang 45 cm dan berat rata-rata 3,2 kg. Tubuh Luak ditutupi rambut berwarna kecoklatan dengan moncong dan ekor berwarna kehitaman. Bagian sisi atas tubuh berwarna abu-abu kecoklatan, dengan berbagai variasi warna dari coklat merah tua sampai kehijauan. Wajah, kaki, dan ekor berwarna coklat gelap sampai hitam. Dahi dan sisi samping wajah hingga di bawah telinga berwarna keputih-putihan, seperti beruban. Satu garis hitam samar-samar lewat di tengah dahi, dari arah hidung ke atas kepala (Bhima 2010). Reproduksi bertujuan untuk mempertahankan keturunan genetik baik melalui perkawinan alami atau dengan inseminasi buatan (Senger 2003). Penelitian di bidang reproduksi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan atau menjaga populasi suatu spesies dari kepunahan. Reproduksi pada hewan jantan berhubungan dengan pembentukan spermatozoa yang terjadi didalam testis tepatnya pada tubuli seminiferi, melalui proses yang disebut spermatogenesis. Spermatogenesis merupakan suatu siklus perkembangan dari sel spermatogonia menjadi spermatozoa yang terjadi didalam tubuli seminiferi testis (O Day 2002). Proses spermatogenesis berguna dalam penyediaan sel gamet jantan. Pengetahuan tentang tahapan atau siklus spermatogenesis penting untuk mengetahui perubahan morfologi yang terjadi pada setiap tahapan dan durasi yang dibutuhkan dari sel spermatogenik (spermatogonia, spermatosit, spermatid) sampai menjadi spermatozoa yang dilepaskan di dalam lumen tubuli seminiferi (Pergiwa 2003). Penelitian mengenai tahapan spermatogenesis pada hewan lain sudah pernah dilakukan antara lain pada muncak (Silalahi 2011; Wahyuni 2012), domba Garut (Basrizal 2007), Kucing domestik (Franca dan Godinho 2003), feret (Nakai et al. 2004), babi liar (Almeida et al 2006), kambing (Franca et al. 1999), babi

16 3 (Franca dan Cardoso 1998) tetapi penelitian serupa pada musang luak belum pernah dilaporkan. 2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan morfologi sel-sel spermatogenik dan tahapan spermatogenesis musang luak (Paradoxurus hermaphroditus). 3. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini akan memperkaya data biologi satwaliar di Indonesia khususnya musang luak dan sebagai data dasar untuk penelitian lanjutan di bidang reproduksi dalam upaya konservasi.

17 4 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan klasifikasi Klasifikasi Musang Luak Paradoxurus hermaphroditus menurut Schreiber et al.1989, adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Carnivora Famili : Viverridae Subfamili : Paradoxurinae Genus : Paradoxurus Spesies : Paradoxurus hermaphroditus Nama umum : Musang Luak (Asian Palm Civets) Klasifikasi musang luak dalam International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, ada empat spesies musang dari genus Paradoxurus, yaitu: 1. Paradoxurus hermaphroditus (musang luak), menyebar luas mulai dari India dan bagian utara Pakistan di barat, Sri Lanka, Bangladesh, Burma, Asia Tenggara, Tiongkok Selatan, Semenanjung Malaya hingga Filipina. Di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan, serta Taliabu dan Seram di Maluku. 2. Paradoxurus zeylonensis, menyebar terbatas di Sri Lanka. 3. Paradoxurus jerdoni, menyebar terbatas di negara bagian Kerala, India Selatan. 4. Paradoxurus lignicolor, menyebar terbatas di Kepulauan Mentawai. (Schreiber et al 1989)

18 5 Persebaran musang luak Musang luak atau Asian Palm Civet (Paradoxurus hermaphroditus) tersebar luas mulai dari Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, China, Filipina, India, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Singapura, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Di Indonesia musang luak tersebar mulai dari Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Selain itu juga telah ditemukan di daerah Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku (Schreiber et al 1989). Gambar 1 Peta persebaran musang luak di Indonesia. Hijau musang luak sudah ditemukan. Merah: musang luak baru ditemukan (Modifikasi dari Duckworth et al. 2008). Morfologi Musang luak memiliki panjang tubuh sekitar 50 cm dengan ekor mencapai panjang 45 cm dan berat rata-rata 3,2 kg. Tubuh ditutupi rambut berwarna kecoklatan dengan moncong dan ekor berwarna kehitaman. Bagian sisi atas tubuh berwarna abu-abu kecoklatan, dengan berbagai variasi warna dari coklat merah tua sampai kehijauan. Wajah, kaki, dan ekor berwarna coklat gelap sampai hitam. Dahi dan sisi samping wajah hingga di bawah telinga berwarna keputih-putihan, seperti beruban. Satu garis hitam samar-samar terlihat di tengah dahi, dari arah hidung ke atas kepala (Bhima 2010) (Gambar 2). Ciri khas dari spesies ini adalah ekor yang tidak memiliki pola belang sampai diujung ekornya, dan adanya warna putih diwajah menyerupai topeng. Musang jantan dan betina memiliki kelenjar anal yang terletak di bawah ekornya (Baker et al. 2008).

19 6 Gambar 2 Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus). Ciri khas dari spesies ini adalah ekor yang tidak memiliki pola belang sampai diujung ekornya, dan adanya warna putih diwajah menyerupai topeng. Habitat dan perilaku reproduksi Habitat asli musang luak adalah hutan dan savana yang hampir seluruhnya ditutupi oleh tanah yang tebal. Musang termasuk mamalia yang seluruh aktivitasnya di pepohonan disebut juga dengan mamalia aboreal (Joshi et al. 1995). Perilaku reproduksi P. hermaphroditus secara umum mirip dengan viveridae lainnya. Pada beberapa spesies puncak kelahiran terjadi pada musim hujan yaitu bulan September-Januari. Sekelompok musang betina, akan dipimpin oleh seekor jantan. Pemimpin jantan tersebut mendekati salah satu betina yang sedang estrus. Perkawinan ditunjukan dengan adanya kontak vokal. Salah satu spesies musang luak yaitu gabon, melakukan kontak vokal atau panggilan kawin hanya saat aktivitas perkawinan. Aktivitas ini dilakukan selama beberapa bulan saat musim hujan. Saat jantan bertemu dengan salah satu betina yang belum mencapai masa estrus, maka jantan akan mengendus bau betina dan mengeluarkan bunyi meows. Selain itu, jantan akan mengelilingi betina, dan mengikuti betina. Jantan akan memakan buah pada pohon yang sama dengan betina yang akan dikawininya. Jantan akan mengikuti betina sampai betina mencapai masa estrus dan siap untuk dikawini. Aktivitas ini dilakukan oleh pemimpin jantan, sampai

20 7 betina siap dikawini (masa estrus). Lama kebuntingan betina sekitar 64 hari dan jumlah anak yang dikandung rat-rata sekitar 4 ekor (Estes 1997). Siklus Hidup Masa dewasa kelamin musang yaitu sekitar umur bulan. Musang luak dapat hidup hingga 22 tahun dan biasanya melahirkan 2-5 anak per siklus masa kebuntingan. Musang luak beranak sepanjang tahun, walaupun pernah ada catatan bahwa anak musang luak lebih sering ditemukan antara bulan Oktober hingga Desember. Biasanya anak-anak musang luak berada di dalam lubang pohon atau gua. Selama mating (perkawinan) yang cukup singkat, biasanya pasangan musang tetap tinggal bersama sampai anak musangnya lahir. Musang luak betina memiliki tiga pasang puting susu (Grassman 1998). Berdasarkan hasil penelitian Weigl (2005), diperoleh data biologis tentang musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Data biologis dan reproduksi Paradoxurus hermaphroditus Nama Latin Paradoxurus hermaphroditus Status Konservasi Least Concern Lokasi Asia Warna Abu-abu Panjang Badan cm (19-23 inchi) Panjang Ekor 44 53,5 cm (17 21 inchi) Bobot Badan 2,4 4 kg Lama Hidup + 22 tahun Masa Kebuntingan + 60 hari Suhu Tubuh + 36,85 0 C Sumber: Weigl (2005) Perkembangan Gonad Organ reproduksi primer atau gonad, terdiri dari sepasang testis pada jantan dan sepasang ovarium pada betina. Gonad menghasikan sel gamet, yaitu spermatozoa pada hewan jantan dan ovum pada hewan betina dan hormon kelamin yaitu testosteron pada hewan jantan dan hormon estrogen serta progesteron pada betina (Dorland 1998).

21 8 Gonad merupakan kumpulan dari sel-sel germinal yang berkembang menjadi spermatozoa atau telur dan sel-sel somatik yang kemudian berubah menjadi penyusun kelenjar endokrin atau sel-sel yang lain yang berperan penting dalam proses gametogenesis (Evans & Claiborne 2006). Menurut Balinsky (1970) gametogenesis merupakan serangkaian proses transformasi sel-sel germinal menjadi sel telur pada betina (oogenesis) dan spermatozoa pada jantan (spermatogenesis). Periode gametogenesis terbagi atas dua fase, yaitu fase sebelum diferensiasi dan setelah diferensiasi. Pada sebagian besar organisme, gonad yang belum berdiferensiasi terdiri atas dua komponen sel somatik yaitu korteks dan medula. Korteks berasal dari dinding peritoneal dan medula berasal dari mesonephric blastema. Selama proses diferensiasi gonad menjadi sel ovari, korteks akan mengalami perkembangan dan medula mengalami degenerasi. Sedangkan pada diferensiasi sel testikular, korteks akan mengalami degenerasi dan medula mengalami perkembangan. Proses Spermatogenesis Sistem reproduksi pada hewan jantan dimulai dengan sekresi gonadotropine releasing hormone ( GnRH ) yang dipengaruh oleh sistem regulasi hipothalamus yang terjadi secara frekuen dan diikuti dengan pelepasan LH dan FSH dari kelenjar hipofise bagian anterior. Hormon ini akan berikatan dengan reseptornya pada sel leydig testis dan menghasilkan progesteron. Hormon ini sebagian besar akan dikonversi menjadi testosteron dan menginisiasi pembentukan serta diferensiasi spermatogonia pada membran basal dari tubuli seminiferi (Senger 2003). Organ reproduksi jantan, yaitu testis memproduksi sperma dan menghasilkan hormon testosteron (Guyton 2007). Proses spermatogenesis merupakan suatu proses yang kompleks untuk menghasilkan spermatozoa yang haploid dari sel spermatogonia diploid. Proses ini memiliki tiga fase penting, yaitu fase proliferasi dan pertumbuhan (spermatositogenesis), fase meiosis atau tahap pematangan dan fase diferensiasi (spermiogenesis) (Russell 1990).

22 9 Gambar 3 Proses spermatogenesis yang terbagi atas tahap proliferasi, meiosis dan diferensiasi (Modifikasi dari: Senger 2003) Tahap pertama yaitu fase proliferasi dimulai sejak sebelum lahir sampai beberapa waktu setelah lahir. Bakal sel kelamin yang ada pada lapisan basal dari tubuli seminiferi melepaskan diri dan membelah secara mitosis sampai dihasilkan banyak sel spermatogonia. Selanjutnya adalah tahap pertumbuhan dimana tahap ini spermatogonia membagi diri secara mitosis sebanyak empat kali sehingga dihasilkan 1 spermatosit primer. Tahap kedua adalah fase meiosis atau tahap pematangan, pada tahap ini terjadi pembelahan meiosis sehingga sel spermatosit sekunder dan jumlah kromosom menjadi separuhnya, kemudian spermatosit sekunder akan berubah menjadi spermatid. Pada fase ini, dihasilkan spermatid yang bersifat haploid (1n). (Pergiwa 2003). Tahap ketiga adalah fase diferensiasi atau spermiogenesis dicirikan dengan adanya spermatid yang semula berbentuk bulat akan mengalami transformasi bentuk dengan keberadaan kepala yang mengandung materi genetik, ekor dan midpiece yang mengandung mitochondrial helix (Senger 2003). Proses spermatogenesis berlangsung di dalam tubuli seminiferi epitel tubuli seminiferi di bentuk oleh spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan spermatozoa. Sel spermatogonia terletak di basal tubuli seminiferi. Bentuk dari spermatogonia bulat dan terlihat paling besar di antara sel spermatogenik lainnya.

23 10 Menurut Lacerda et al (2010) spermatogonia ditemukan pada setiap fase perkembangan testis. Spermatogonia mempunyai kemampuan untuk membelah secara terus menerus (self renewal) sehingga dapat di temukan sepanjang daur kehidupan hewan. Di basal tubuli seminiferi juga terdapat sel Leydig atau sel Sertoli yang berfungsi memberi nutrisi kepada sel spermatogenik. Sel Leydig mempunyai bentuk sel polihedral dengan inti bulat. Sel Leydig mengandung kolestrol yang digunakan untuk sintesis testosteron. Letak spermatosit lebih sentral dari spermatogonia dan bentuknya bulat, sedangkan spermatid letaknya lebih sentral dari spermatosit, bentuknya bulat kecil dengan inti bulat di tengah. Spermatozoa letaknya di lumen tubuli, bentuknya lebih jelas karena strukturnya berbeda dari sel spermatogenik yang lainnya yaitu mempunyai ekor dan kepala (Mauluddin 2009 ; Quintana et al). Proses diferensiasi spermatid terjadi dalam empat fase, yaitu : 1. Golgi phase (acrosomic vesicle formation) atau tahap proliferasi Pada fase ini, akrosom akan membentuk suatu selubung yang jelas pada bagian depan nukleus dan golgi akan bermigrasi ke kaudal nukleus dan menghilang. Primitive-flagellum terbentuk dari sentriol distal. Akrosom juga akan semakin menebal dan membentuk outer-acrosomalmembrane dan inner-acrosomal-membrane. 2. Cap phase (acrosomic vesicle spreading over the nucleus) Pada fase ini, akrosom akan membentuk suatu selubung yang jelas pada bagian depan nucleus dan golgi akan bermigrasi ke kaudal nukleus dan menghilang. Primitive-flagellum terbentuk dari sentriol distal. Akrosom juga akan semakin menebal dan membentuk outer-acrosomalmembrane dan inner-acrosomal-membrane. 3. Acrosomal phase (nuclear and cytoplasmic elongation) atau tahap pertumbuhan Pada fase ini akrosom akan terus menyebar dan menutupi dua pertiga anterior nucleus. Kemudian nukleus akan mulai memanjang dan bergeser pada sisi sel. Suatu bentukan unik dari mikrotubul, yaitu manchette akan terbentuk pada bagian posterior nukleus dan sebagian dari

24 11 mikrotubul tersebut menjadi postnuclear cap. Spermatid akan tertanam dan menempel pada sel Sertoli dan ekornya akan menonjol ke arah lumen dari tubulus seminiferus. 4. Maturation phase (final assembly that forms spermatozoon) Pada fase ini mitokondria akan membentuk suatu kumpulan spiral dan memberi bentuk middle piece. Annulus membentuk suatu pemisah antara middle piece (leher) dan principle piece (ekor). Setelah itu, spermatozoa akan dilepaskan dari sel Sertoli menuju lumen yang dikenal sebagai spermiasi (Kwan 2002). Gambar 4 Proses diferensiasi spermatid pada mencit: (1-5) fase golgi, (6-9) fase tudung, (10-13) fase akrosomal, (14-16) fase maturasi. (Sumber: Schatten dan Constantinescu 2007) Tahapan Spermatogenesis Tahapan spermatogenesis merupakan suatu tahapan yang didalamnya terdapat rangkaian perubahan pada potongan tubuli seminiferi diantara dua

25 12 kenampakan yang berbeda pada tahap yang sama (de Krester and Kerr 1994). Kriteria utama yang diperhatikan dalam identifikasi tahapan tubuli seminiferi (staging) adalah karakteristik morfologi spermatid, khususnya pada bagian nukleus dan sistem akrosom yang terbentuk (Russell 1990). Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi tahapan pada setiap spesies dengan melihat morfologi tubular yang didasarkan pada bentuk nukleus dan spermatid dibandingkan dengan keseluruhan germ cell, penilaian pada proses spermatid dan susunan dari spermatid epitel tubular, menghasilkan delapan stage pada semua mamalia domestik (Berndtson 1977). Berbagai penelitian telah dilakukan dalam mengidentifikasi perbedaan berbagai spesies dari tahapan spermatogenesi. Pada kucing lokal (Felis Catus ) ada delapan tahapan (Franca dan Godinho 2003), tikus putih ada dua belas tahapan (Segatelli et al. 2002), pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) ada dua belas tahapan (Dreff et al. 2007), pada babi delapan tahapan (Costa et al ), dan pada muncak ada delapan tahapan (Silalahi 2011; Wahyuni 2012). Delapan tahapan yang dapat diamati berdasarkan morfologi tubular pada kambing (Franca 1999) : 1. Tahap I Ditandai dengan kehadiran generasi awal dari spermatid dengan nukleus bulat (round spermatid) dan membentuk beberapa lapisan pada epitel tubuli seminiferi. Selain itu, epitel mengandung sel Sertoli yang memiliki nukleus yang kecil, spermatogonia tipe A dan B pada daerah lamina basalis, dan spermatosit pachytene. 2. Tahap II Epitel tubuli terdiri atas spermatid dengan nukleus yang memanjang dengan kepala mengarah kepada sel Sertoli, spermatosit primer tipe preleptotene yang berada pada daerah yang dekat dengan lamina basalis dan spermatosit pachytene yang mengalami transisi menjadi spermatosit diplotene. Spermatogonia A juga dapat ditemui seperti pada tahap sebelumnya.

26 13 3. Tahap III Dapat ditemukan spermatid memanjang (elongated spermatid), dua generasi dari spermatosit primer, yaitu spermatosit zygotene awal dan spermatosit diplotene. Sel Sertoli dan spermatogonia tipe A ditemui pada lamina basalis. 4. Tahap IV Karakteristik yang dapat dijumpai dari tahap ini adalah adanya dua tahap pembelahan dari meiosis. Spermatosit diplotene membentuk spermatosit sekunder yang kemudian membelah menjadi spermatid bulat haploid. Disamping itu terdapat spermatogonia tipe A, kumpulan spermatid memanjang dan spermatosit zygotene. Dapat ditemukan juga spermatogonia tipe intermediet, dengan nukleus yang bulat dan lebih gelap dibandingkan dengan spermatogonia tipe A. 5. Tahap V Ditemukan dua generasi spermatid, yaitu spermatid bulat yang baru terbentuk dan kumpulan spermatid memanjang. Spermatid bulat memiliki morfologi yang sama dengan sepermatosit sekunder, namun nukleinya lebih kecil. Spermatosit zygotene dalam masa transisi menjadi spermatosit pachytene. 6. Tahap VI Semua sel germinal pada tahap sebelumnya dapat diamati pada tahap ini. Kumpulan spermatid memanjang mengarah ke lumen tubuli seminiferi dan mulai berpencar. Nukleus spermatosit primer pachytene lebih besar dibandingkan dengan tahap sebelumnya. Nukleus sel Sertoli lebih besar dengan sumbu yang relatif tegak lurus dengan lamina basalis. 7. Tahap VII Pada tahap ini spermatid memanjang telah terpencar dan berada dekat dengan lumen tubuli seminiferi. Spermatosit primer pachytene memiliki nukleus yang lebih besar dibandingkan dengan tahap sebelumnya. Sel-sel lain yang dapat diamati adalah spermatid bulat, spermatogonia tipe A dan B serta sel Sertoli.

27 14 8. Tahap VIII Ciri khas dari tahap ini adalah spermatid memanjang telah lepas dari epitel tubuli seminiferi (spermiasis). Sitoplasma dan residual bodies dapat teramati pada bagian bawah spermatid memanjang dengan ukuran yang lebih besar daripada tahapan sebelumnya. Sel lain yang dapat diamati adalah spermatogonia tipe A dan B, sel Sertoli, spermatosit pachytene dan spermatid bulat. Gambar 5 Morfologi tubuli seminiferi pada tahap I (a) sampai tahap VIII (h) pada kucing domestik (Felis catus) bar= 20 µm (Franca dan Godinho 2003).

28 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 sampai Maret 2012 di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hewan Penelitian Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah satu ekor musang luak jantan yang memiliki bobot badan sekitar 3 kg. Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan adalah peralatan bedah, gelas ukur, selang infus, gelas sampel, perlatan tulis, alat pendukung nampan, tempat penyimpanan organ, dan label. Proses parafinisasi dan pemotongan jaringan menggunakan gelas piala, inkubator, microtome, dan kaca preparat. Untuk pewarnaan Hematoksilin Eosin digunakan rak slide yang sesuai dengan masing-masing pewarnaan dan cover glass. Mikroskop cahaya yang dilengkapi dengan kamera digunakan untuk pengamatan hasil. Bahan yang digunakan adalah xylazine dan ketamin sebagai anastetikum, larutan NaCL fisiologis, larutan formaldehide 4%, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, absolut, xylol, Parafin, air keran, aquades, Entelan, dan pewarna Hematoksilineosin (HE). Metode Penelitian 1. Pembuatan preparat Histologi Musang luak di anastesi dengan menggunakan xylazine 2% dengan dosis 2mg/kg BB dan ketamine 10% dengan dosis 10 mg/kg BB. Eksanguinasi dilakukan dengan mengeluarkan darah dari a.carotis communis. Kemudian melakukan laparotomi medianus di daerah inguinal untuk mendapatkan organ reproduksi jantan. Testis secara lengkap dipisahkan dan direndam kemudian

29 16 difiksasi dengan larutan paraformaldehid 4% selama 3 hari. Selanjutnya dimasukkan ke dalam alkohol 70% sebagai stopping point. Jaringan testis kemudian di potong menjadi 4 bagian, pertama bagian ductus efferent dengan caput epididymis, kedua sebagian caput dan corpus epididymis, ketiga corpus epididymis, keempat sebagian corpus dan cauda epididymis. Pembuatan blok jaringan melalui beberapa proses, yakni: proses dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan menggunakan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%) masing-masing selama 24 jam dan alkohol 100% (I, II, dan III) berturut turut masing-masing selama 12 jam, 6 jam, dan 3 jam. Selanjutnya clearing atau penjernihan dengan menggunakan larutan xylol I, II,dan III berturut turut masing-masing 1 jam, ½ jam, ½ jam. Tahapan berikutnya adalah infiltrasi parafin ke dalam jaringan dengan memasukan sampel jaringan ke dalam parafin cair I,II,III masing-masing secara berturut turut adalah 1 jam, ½ jam, ½ jam dengan suhu 60 C setelah itu dilanjutkan embedding dalam parafin cair kemudian potongan testis yang didapat langsung dibuat kedalam blok kayu, yang selanjutnya akan dibuat slide yang dipotong dengan menggunakan microtome dengan ketebalan 3 µm. Hasil potongan dikeringkan di atas hot plate dan selanjutnya disimpan di dalam inkubator 37 C selama minimal 24 jam sampai jaringan menempel sempurna pada gelas objek. Gelas objek dikeluarkan dari inkubator untuk selanjutnya dilakukan proses pewarnaan. Proses ini dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) untuk melihat morfologi tubuli. Setelah itu dilakukan dehidrasi sekaligus pemucatan eosin, clearing dengan menggunakan xylol, dan penutupan sediaan dengan cover glass menggunakan perekat Entellan. 2. Pengamatan Preparat yang telah dibuat kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus CH30) pada perbesaran lensa objektif 20 dan 40. Pengamatan dilakukan untuk melihat morfologi dari tubuli seminiferi, sel germinal dalam tubuli seminiferi,dan tahapan spermatogenesis. Selanjutnya, masing-masing tahapan dihitung pada 422 tubuli seminiferi dari setiap sampel testis. Sehingga total yang diamati berjumlah 844. Dari semua tubuli yang

30 17 diamati, dibedakan tahapan-tahapan spermatogenesisnya. Jumlah setiap tahapan dipersentasikan, kemudian untuk mengetahui durasi tahapan, hasil persentasi dikali dengan durasi total spermatogenesis ferret domestik (Mustela putorius fulo) yaitu 13.0 hari (Nakai et al. 2004). Frekuensi tahapan dan durasi siklus tahapan spermatogenesis 1. Frekuensi tahapan (%) = Jumlah tubuli pada masing-masing tahapan X 100 Jumlah total tubuli 2. Durasi siklus spermatogenesis = Frekuensi masing-masing tahapan X 13.0 hari Analisis Data Data dari hasil penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif (perhitungan data sederhana) kemudian dikomparasikan dengan data pada hewan lain maupun literatur yang terkait.

31 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Histologi testis Gambaran histologi testis musang luak tersusun atas tubuli seminiferi yang dipisahkan oleh jaringan interstitial. Terdapat tiga komponen penyusun tubuli seminiferi yaitu membran basal tubuli, sel Sertoli, dan sel-sel spermatogenik (spermatogonia, spermatosit, dan spermatid) yang dapat dilihat pada Gambar 6. Spermatogonia terletak di membran basal dekat dengan sel Sertoli. Menurut Wahyuni (2012) spermatogonia mempunyai ciri inti pucat dan sebagian besar sitoplasma tertutupi oleh inti. Spermatosit primer mempunyai ukuran lebih besar daripada spermatogonia. Spermatosit primer akan berdiferensiasi menjadi spermatosit sekunder. Sel berikutnya yang dapat diamati adalah spermatid berbentuk bulat, spermatid berbentuk memanjang, dan spermatozoa yang terdapat pada lumen tubuli. Sel Sertoli dapat diamati diantara sel-sel spermatogonia. Fungsi dari sel Sertoli adalah pemberi nutrisi sebagai pendukung berlangsungnya spermatogenesis dibawah kontrol hormon testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig (Johnson dan Everitt 1995). Gambaran umum dari penampang melintang tubuli seminiferi dapat diamati pada gambar berikut ini: Sp Sg L E Ss R Sl Gambar 6 Gambaran tubuli seminiferi dengan pewarnaan HE. Interstisial sel atau Sel Leydig (Sl), spermatogonia (Sg), spermatosit primer (Sp), spermatid bulat (R), spermatid memanjang (E), sel Sertoli (Ss), lumen (L). Bar = 25µm

32 19 2. Tahapan Spermatogenesis Karakteristik morfologi komponen tubuli seminiferi dapat digunakan untuk menentukan staging atau tahapan satu siklus dari spermatogenik atau siklus epitel tubuli seminiferi pada testis musang luak. Berdasarkan pengamatan dari karakteristik morfologi tubular dengan menggunakan pewarnaan HE (Hematosilin-Eosin), pada musang luak dapat diamati delapan tahapan tubuli seminiferi (Gambar 7). Delapan tahapan tubuli seminiferi pada musang luak yang diamati dapat di uraikan sebagai berikut : Tahap I Tahap pertama ditemukan spermatid generasi awal yang berinti bulat atau round spermatids yang membentuk beberapa lapis sel pada tubuli seminiferi. Selain itu, dapat ditemukan sel Sertoli dengan nukleus yang kecil. Terdapat spermatogonia tipe A pada lamina basal, dan spermatosit primer tipe pachytene dan leptotene (Gambar 7a). Tahap II Pada tahap ini, ditemukan spermatid yang pada tahap sebelumnya berbentuk bulat menjadi spermatid memanjang atau elongated spermatids (E). Selain itu, ditemukan spermatogonia tipe A dengan ciri inti pucat dan sebagian sitoplasma besar tertutupi inti pada lamina basal. Terdapat spermatosit primer tipe pachytene dan spermatosit primer tipe zygotene (Gambar 7b). Tahap III Spermatid memanjang atau elongated spermatids berada dekat dengan lamina basalis dan mengarah kepada sel Sertoli. Spematosit primer tipe pachytene pada tahap II telah mencapai spermatosit primer tipe diplotene. Generasi kedua dari spermatosit primer tipe zygotene yang bentuknya seperti bulan sabit terdapat di bagian basal. Terdapat spermatogonia tipe A dan sel Sertoli (Gambar 7c). Tahap IV Pada tahap keempat, terdapat ciri khas yang terlihat dari tahap ini yaitu adanya proses pembelahan meiosis dari spermatosit primer tipe diplotene menjadi spermatosit sekunder (haploid) yang akan berdiferensiasi menjadi spermatid bulat. Spermatids elongated dan sel Sertoli juga ditemukan pada tahap ini (Gambar 7d).

33 20 Tahap V Karakteristik dari tahap ini adalah ditemukannya dua generasi dari spermatid yaitu spermatid bulat yang berasal dari pembelahan meiosis spermatosit sekunder, dan spermatid memanjang. Spermatid bulat dan spermatosit sekunder memiliki ukuran dan bentuk sel yang sama, namun nukleus dari spermatid bulat lebih kecil. Spermatosit primer tipe pachytene dan zygotene juga dapat terlihat pada tahap ini (Gambar 7e). Tahap VI Pada tahapan ini memperlihatkan gambaran yang hampir sama dengan tahap sebelumnya yaitu, ditemukannya spermatid tipe bulat dan spermatid memanjang. Selain itu, nukleus spermatosit primer tipe pachytene lebih besar dibandingkan dengan tahap V. Ciri khas dari tahap ini adalah adanya spermatid memanjang yang mulai memisahkan diri dan mengarah ke lumen tubuli seminiferi (Gambar 7f). Tahap VII Karakteristik dari tahap ini adalah ditemukannya spermatid memanjang berada pada posisi yang sejajar di permukaan lumen tubuli. Sel germinal yang dapat ditemukan pada tahapan ini adalah spermatosit primer tipe pachytene yang bentuk nukleusnya lebih besar dari pada tahap sebelumnya. Selain itu, residual bodies pada tahap ini sudah terlihat. Spermatogonia A, spermatid bulat, dan sel Sertoli dapat ditemukan pada tahapan ini (Gambar 7g). Tahap VIII Tahap ini merupakan tahapan terakhir dari tubuli seminiferi. Spermatid memanjang mengalami diferensiasi menjadi spermatozoa (spermiasis). Spermatozoa lepas dari epitel tubuli menuju lumen tubuli. Selain itu, ditemukan spermatogonia tipe A, spermatid bulat, spermatosit primer tipe preleptotene, spermatosit primer tipe pachytene, dan sel Sertoli (Gambar 7h).

34 21

35 22 R E E E E E Rb E Sz Rb P P D D R R R R L L Z Z P P P P Pl A A A A A I II III IV V VI VII VIII Gambar 8 Skematik tahapan spermatogenesis pada tahap I sampai tahap VIII musang luak. Spermatogonia A (A); spermatogonia B (B); Spermatosit tipe preleptotene (Pl); spermatosit tipe leptotene (L); spermatosit tipe zygotene (Z); spermatosit tipe pachytene (P); spermatosit primer tipe diplotene (D), spermatid bulat/round (R); spermatid panjang/elongated (E); spermatosit sekunder (Ss); spermatozoa (Sz); residual bodies (Rb). A A A 3. Frekuensi dan Durasi Tahapan Spermatogenesis Penetapan nilai durasi dari masing masing tahapan pada musang luak dihitung dengan menggunakan asumsi nilai durasi spermatogenesis feret domestik (Mustela putorius fulo) (Nakai et al. 2004), yaitu 13.0 hari, dikalikan dengan nilai frekuensi relatif dari masing-masing tahapan. Tabel 2 menampilkan nilai frekuensi dan durasi dari masing-masing tahapan pada musang luak. Tabel 2 Frekuensi dan durasi tahapan tubuli seminiferi pada musang Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV Tahap V Tahap VI Tahap VII Tahap VIII Total Musang testis kanan Musang testis kiri Total Rataan±SD 30.5± ± ± ± ± ± ± ±0 422±0 Frekuensi (%) Durasi Spermatogenesis (hari)

36 23 Pembahasan 1. Tahapan Spermatogenesis Pengamatan mikroanotomi terhadap karakteristik sel-sel germinal dari setiap tahapan epitel tubuli seminiferi musang luak dapat digunakan dengan menggunakan dua pewarnaan, yaitu pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) dan pewarnaan PAS (Periodic Acid Schiff). Pengamatan yang dilakukan pada epitel tubuli yang diwarnai dengan HE memberikan hasil yang signifikan karena dengan pewarnaan ini, inti dan sitoplasma dari sel Sertoli ataupun sel germinatif akan memberikan bentuk yang jelas sehingga mempermudah dalam mempelajari morfologinya. Pewarnaan PAS dapat digunakan untuk mengamati morfologi tubular dengan mengamati perkembangan spermatid. Perkembangan spermatid dari spermatid bulat hingga spermatozoa akan terlihat menggunakan pewarnaan ini, bagian tudung akrosom dari spermatid akan terwarnai, sehingga morfologi spermatid akan terlihat lebih jelas (Dreff et al. 2007). Beberapa spesies hewan memberikan hasil yang beragam dengan menggunakan pewarnaan ini. Seperti pada tikus putih terdapat dua belas tahapan (Segatelli et al. 2002), pada kucing terdapat enam tahapan (Pergiwa 2003), pada Macaca fasicularis atau monyet ekor panjang terdapat dua belas tahapan (Dreff et al. 2007), dan pada babi terdapat delapan tahapan dari perkembangan spermatid (Costa et al. 2009). Metode dari pengamatan morfologi tubular dengan menggunakan pewarnaan HE telah banyak diaplikasikan pada berbagai spesies hewan lainnya seperti babi (Franca dan Cardoso 1998), kambing (Franca et al. 1999), kucing domestik (Franca dan Godinho 2003), babi liar (Almeida et al. 2006), domba garut (Basrizal 2007), dan Muncak (Silalahi 2011; Wahyuni 2012). Menurut Almeida et al. 2006, pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) merupakan pewarnaan umum yang sering digunakan. Gambar 7 memperlihatkan delapan tahapan perkembangan sel germinatif tubuli seminiferi testis musang yang dimulai dari spermatogonia hingga spermatozoa terdiri atas tahap I-VIII. Gambaran hasil dari pengamatan pada sel germinatif tubuli seminiferi pada musang luak memperlihatkan kemiripan pada beberapa spesies yaitu, pada feret domestik (Mustela putorius fulo) (Nakai et al.

37 ), babi liar (Sus scrofa scrofa) (Almeida et al. 2006), kucing domestik (Felis catus) (Franca dan Godinho 2003), dan pada muncak (Silalahi 2011; Wahyuni 2012). Membran basal dari tubuli pada tahapan I sampai tahap VI memperlihatkan gambaran spermatogonia A yang akan berdiferensiasi menjadi spermatogonia B pada tahap VII dengan ciri terjadinya perubahan nukleus yang lebih tebal dan struktur kromatinnya memadat (Wahyuni 2012). Pada tahap VIII spermatogonia B berdiferensiasi menjadi spermatosit primer tipe preleptotene. Spermatosit ini kemudian akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer tipe leptotene yang terlihat pada tahap I dan II, dan spermatosit tipe zygotene pada tahap III dan IV dengan ciri kromatinnya menepi seperti bulan sabit. Selanjutnya, spermatosit primer tipe zygotene akan berkembang menjadi spermatosit primer tipe pachytene pada tahap I-II dan tahap V-VIII yang kemudian akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer tipe diplotene (tahap III dan IV) dicirikan dengan inti yang lebih besar dari pada spermatosit primer tipe pachytene. Tahap IV spermatosit primer tipe diplotene mengalami pembelahan meiosis yang akan berubah menjadi spermatosit sekunder, namun pada tahap ini spermatosit sekunder tidak dapat jelas teramati karena bentuk dan ukuran selnya mirip dengan spermatid bulat. Selain itu menurut Senger (2005) yang diacu oleh Wahyuni (2012), spermatosit sekunder sulit diamati karena waktu pembelahan dari spermatosit primer tipe diplotene menjadi spermatosit sekunder yang selanjutnya akan berkembang menjadi spermatid bulat sangat singkat. Spermatid bulat hasil diferensiasi dari spermatosit sekunder teramati pada tahap V-VIII dan pada tahap I. Spermatid bulat akan berkembang menjadi spermatid memanjang pada tahap II yang selanjutnya akan terus berkembang sampai spermatozoa pada tahap VIII. Pada tahap VII dan VIII, terlihat adanya residual bodies (Rb) dekat dengan lumen tubuli. Menurut Kwan (2002), perubahan dari spermatid bulat sampai spermatozoa atau disebut dengan proses spermiogenesis distimulasi karena adanya suatu mekanisme fisiologi pemadatan inti yang telah diselubungi oleh akrosom dan akhirnya berdiferensiasi menjadi spermatozoa. Proses dari tahapan spermatogenesis yang terjadi pada epitel tubuli seminiferi diatur oleh hormone LH dan FSH yang disekresi oleh hipofise dan

38 25 hormon testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig yang terdapat pada jaringan intertsisial tubuli seminiferi. Kedua hormon akan menginisiasi proses spermatogenesis pada testis, dimana LH akan menstimulasi terbentuknya hormon testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig yang berfungsi untuk memicu munculnya tanda kelamin sekunder pada organ lain, dan FSH akan menstimulasi sel Sertoli untuk menghasilkan androgen binding protein (ABP) yang mempunyai fungsi mengikat dan mengkonsentrasikan testosteron (Tomaszewska et al. 1991). 2. Frekuensi dan Durasi Tahapan Tubuli Seminiferi Perhitungan frekuensi relatif tahapan tubuli seminiferi dari tahap I-VIII dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu, pertama tahap premeiosis terdiri atas tahap I-III, tahap meiosis pada tahap IV, dan postmeiosis terdiri atas tahap V- VIII. Berdasarkan hasil dari perhitungan frekuensi yang ditampilkan pada Tabel 1, frekuensi pada tahap premeiosis, meiosis, dan postmeiosis berturut-turut adalah 38.49%, 10.07%, dan 51.43%. Tahap postmeiosis memberikan hasil frekuensi paling tinggi, sedangkan tahap meiosis memberikan nilai frekuensi relatif yang paling rendah. Menurut Basrizal (2007), perbedaan tinggi rendahnya frekuensi disebabkan oleh lamanya sel dalam membelah. Hasil perhitungan frekuensi dari tahap premeiosis adalah sepertiganya dari total frekuensi, sedangkan tahap postmeiosis hasilnya adalah setengahnya dari total frekuensi. Hasil ini mirip dengan babi liar (Sus scrofa scrofa) (Almeida et al. 2006), feret domestik (Mustela putorius furo) (Nakai et al. 2004), dan pada babi hutan (Franca dan Cardoso 1998). Hasil dari perhitungan frekuensi relatif setiap tahapan dari epitel tubuli dengan nilai frekuensi paling tinggi terdapat pada tahap III yaitu, 18.36%, sedangkan nilai frekuensi yang paling rendah pada tahap I yaitu, 7.23%. Setiap spesies spesifik memiliki perbedaan nilai frekuensi dari setiap tahapan spermatogenesis, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh genetik, perilaku kawin spesies (musiman atau terjadi sepanjang tahun), dan lamanya waktu yang dibutuhkan spesies untuk berkembang sampai dewasa kelamin (Neves et al. 2002). Proses spermatogenesis dikelompokan menjadi tiga tahapan yaitu, kelompok pertama terdiri atas tahap I-III disebut juga dengan tahapan premeiosis

39 26 atau dikenal sebagai proses spermatositogenesis. Proses ini merupakan suatu proses proliferasi satu spermatogonia secara mitosis dan menghasilkan dua spermatogonia yang lain dengan tipe yang sama bersifat diploid. Kelompok kedua adalah tahap meiosis (tahap IV). Meiosis merupakan suatu proses dihasilkannya spermatid haploid dari spermatosit primer yang masih bersifat diploid. Kelompok tahap ketiga adalah tahap postmeiosis yang terdiri atas tahap V-VIII atau biasa disebut dengan spermiogenesis adalah suatu proses diferensiasi dari spermatid bulat sampai terbentuk spermatozoa yang akan dilepaskan pada lumen tubuli seminiferi (Senger 2005 diacu oleh Wahyuni 2012). Durasi dari puncak siklus spermatogenesis dan perkembangan dari spermatogenesis selama periode ini, selalu memberikan durasi yang konstan namun hasilnya bervariasi pada beberapa spesies yang berbeda (Tabel 3). Perhitungan nilai durasi masing masing tahapan pada musang luak diperoleh dengan menggunakan asumsi nilai durasi dari satu siklus epitel tubuli seminiferi pada feret domestik (Mustela putorius furo) (Nakai et al. 2004) yaitu 13.0 hari (Nakai et al. 2004) dikalikan dengan nilai frekuensi relatif dari masing-masing tahapan. Hal ini bertujuan untuk memprediksi durasi spermatogenesis atau waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus epitel tubuli seminiferi pada musang luak. Nilai dari durasi satu siklus pada feret hampir sama dengan semua karnivora yang telah dilaporkan (Nakai et al. 2004). Durasi terlama terjadi pada tahap III dan durasi tersingkat terjadi pada tahap I. Total durasi pada tahap premeiosis terdiri atas tahap I-III adalah 5.01 hari, sedangkan untuk durasi pada tahap meiosis adalah 1.31, dan pada tahap postmeiosis adalah 6.68 hari. Terdapat perbedaan variasi durasi siklus epitel tubuli dari berbagai spesies yang dapat dilihat pada Tabel 3.

40 27 Tabel 3 Perubahan kinetik dari spermatogenesis pada berbagai spesies mamalia Hewan Durasi spermatogenesis (hari) Durasi dari siklus (hari) Tahapan dari tubuli seminiferi Tahapan dari spermiogenesis Manusia Monyet? 10 12? Anjing Kerbau ? Domba ? Babi Kucing Tikus Mencit (Schatten dan Constantinescu 2007). Durasi dan frekuensi tahapan premeosis memberikan hasil yang lebih pendek dibandingkan dengan postmeosis. Menurut de Kretser dan Kerr (1994) yang diacu oleh Wahyuni (2012), hal ini berhubungan nilai life span dari spermatosit primer lebih pendek dibandingkan dengan nilai life span dari spermatosit sekunder. Pengetahuan mengenai durasi spermatogenesis pada suatu spesies bermanfaat untuk menentukan efisiensi spermatogenesis atau produksi spermatozoa harian yang dapat dibandingkan dengan spesies hewan lainnya (Costa et al. 2008).

41 28 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan morfologi tubular dan pengamatan sel germinatif yang diwarnai dengan HE pada musang luak dapat digolongkan dalam delapan tahap. Tahapan frekuensi yang paling tinggi terdapat pada tahap postmeiosis (51.43%), sedangkan tahapan yang paling rendah terdapat pada tahap meiosis (10.07%). Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan jenis pewarnaan yang lebih spesifik untuk mengetahui gambaran spesifik dari setiap perubahan pada sel germinal dan sel lain serta peranannya dalam proses spermatogenesis musang luak. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai durasi spermatogenesis musang luak dengan metode injeksi bromodeoxyuridine imunohistokimia.

42 D Sg P R Sg E Sg E E Ss Ss Ss P a Ss D Z Sg M Z L b d c Pl R R E Sz Rb E R E R Ss e P Ss P P Sg Rb P Ss Sg Sg f Ss g h Gambar 7 Morfologi tubuli seminiferi musang luak pada tahap I sampai tahap VIII. (a) Tahap I: spermatogonia (Sg); spermatosit leptotene (L); spermatosit pachytene (P); spermatid bulat (R); sel Sertoli (Ss). (b) Tahap II : Sg, L, P, R, Ss, spermatid memanjang (E). (c) Tahap III: Sg, Z, D, E, Ss. (d) Tahap IV: Z, D, E, pembelahan Meiosis (M), R, E, Ss. (e) Tahap V: Z, R, E, P, Sg, Ss. (f) Tahap VI : Sg, P, R, E, Ss. (g) Tahap VII: P, R, E, Rb, Sg, Ss. (h) Tahap VIII: spermatosit preleptotene (Pl), P, R, residual body (Rb), Sg, Ss, dan spermatozoa (Sz). Pewarnaan HE. Bar = 10µm

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 18 HSI DN MBHSN Hasil 1. Histologi testis Gambaran histologi testis musang luak tersusun atas tubuli seminiferi yang dipisahkan oleh jaringan interstitial. Terdapat tiga komponen penyusun tubuli seminiferi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Carnivora. : Paradoxurus : Paradoxurus hermaphroditus : Musang Luak (Asian Palm Civet)

TINJAUAN PUSTAKA. : Carnivora. : Paradoxurus : Paradoxurus hermaphroditus : Musang Luak (Asian Palm Civet) TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Klasifikasi Klasifikasi musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) menurut Schreiber et al. (1989), adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus

Lebih terperinci

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT BASRIZAL B

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT BASRIZAL B GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT BASRIZAL B04103026 DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Kucing Domestik Kucing domestik (Felis catus, Linneaus 1758) (Gambar 1) menempati sebagian besar penjuru dunia. Bukti arkeologi menunjukkan domestikasi kucing terjadi di

Lebih terperinci

MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI MUSANG LUAK JANTAN (Paradoxurus hermaphroditus) SHANDY MAHA PUTRA

MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI MUSANG LUAK JANTAN (Paradoxurus hermaphroditus) SHANDY MAHA PUTRA MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI MUSANG LUAK JANTAN (Paradoxurus hermaphroditus) SHANDY MAHA PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRACT SHANDY MAHA PUTRA. Morphology of Reproductive

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu :

Tahap pembentukan spermatozoa dibagi atas tiga tahap yaitu : Proses pembentukan dan pemasakan spermatozoa disebut spermatogenesis. Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup pematangan sel epitel germinal melalui proses pembelahan dan

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI

GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI GAMBARAN HISTOLOGIS TESTIS MUDA DAN DEWASA PADA IKAN MAS Cyprinus carpio.l RAHMAT HIDAYAT SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI

STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI STUDI MENGENAI MORFOLOGI DAN KOMPOSISI SEL TESTIKULAR IKAN GURAME Osphronemus gouramy Lac. MAULUDDIN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Paradoxurus, yaitu: (1) Paradoxurus zeylonensis, menyebar terbatas di Sri Lanka,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Paradoxurus, yaitu: (1) Paradoxurus zeylonensis, menyebar terbatas di Sri Lanka, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Musang 1. Taksonomi dan Klasifikasi Menurut Schreiber et al., (1989), terdapat empat spesies musang dari genus Paradoxurus, yaitu: (1) Paradoxurus zeylonensis, menyebar terbatas

Lebih terperinci

Sistem Reproduksi Pria meliputi: A. Organ-organ Reproduksi Pria B. Spermatogenesis, dan C. Hormon pada pria Organ Reproduksi Dalam Testis Saluran Pengeluaran Epididimis Vas Deferens Saluran Ejakulasi Urethra

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) EVALINA

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) EVALINA KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PENCERNAAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) EVALINA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK EVALINA. Kajian Morfologi Saluran Pencernaan Burung

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT BASRIZAL B

GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT BASRIZAL B GAMBARAN MORFOLOGI DAN FREKUENSI TAHAPAN SPERMATOGENESIS PADA DOMBA GARUT BASRIZAL B04103026 DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA ANOA (Bubalus Sp) DENGAN PEWARNAAN WILLIAMS DAN EOSIN-NIGROSIN ADITYA

KAJIAN MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA ANOA (Bubalus Sp) DENGAN PEWARNAAN WILLIAMS DAN EOSIN-NIGROSIN ADITYA KAJIAN MORFOLOGI DAN MORFOMETRI SPERMATOZOA ANOA (Bubalus Sp) DENGAN PEWARNAAN WILLIAMS DAN EOSIN-NIGROSIN ADITYA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 RINGKASAN ADITYA. Kajian

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM EMBRIOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM EMBRIOLOGI LAPORAN PRAKTIKUM EMBRIOLOGI Oleh: Connie AstyPakpahan Ines GustiPebri MardhiahAbdian Ahmad Ihsan WantiDessi Dana Yunda Zahra AinunNaim AlfitraAbdiGuna Kabetty T Hutasoit Siti Prawitasari Br Maikel Tio

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN SARI TOMAT

PENGARUH PEMBERIAN SARI TOMAT PENGARUH PEMBERIAN SARI TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) TERHADAP STRUKTUR TESTIS MENCIT (Mus musculus L.) STRAIN BALB C SETELAH PAPARAN METHOXYCHLOR SKRIPSI Oleh: Firda Lutfiatul Fitria NIM 061810401043

Lebih terperinci

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II.

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II. REPRODUKSI SEL AMITOSIS REPRODUKSI SEL Pembelahan I Profase I Metafase I Anafase I Proleptotene Leptotene Zygotene Pachytene Diplotene Diakinesis MEIOSIS Interfase Telofase I Pembelahan II Profase II Metafse

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran Universitas

BAB 3 METODE PENELITIAN. Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran Universitas BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1. Lingkup Tempat Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Negeri Semarang, Laboratorium Sentral Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dan Penyebaran Bandikut

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika dan Penyebaran Bandikut TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Penyebaran Bandikut Sistematika zoologis Bandikut adalah sebagai berikut (Petocz 1994) (Gambar 1): Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mammalia

Lebih terperinci

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan 05 MATERI DAN LATIHAN SBMPTN TOP LEVEL - XII SMA BIOLOGI SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

Lebih terperinci

SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN MUNCAK SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH. Abstrak

SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN MUNCAK SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH. Abstrak SPERMATOGENESIS DAN KUALITAS SEMEN MUNCAK SELAMA PERIODE PERTUMBUHAN RANGGAH Abstrak Aktivitas spermatogenesis dan kualitas semen pada muncak diduga berhubungan erat dengan periode pertumbuhan ranggahnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati, 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Spermatogenesis Spermatogenesis adalah suatu proses pembentukan spermatozoa (sel gamet jantan) yang terjadi hanya di tubuli seminiferi yang terletak di testes (Susilawati,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN Tim Penyusun: Dr. Agung Pramana W.M., MS. Dr. Sri Rahayu, M.Kes. Dr. Ir. Sri Wahyuningsih, MS. Drs. Aris Soewondo, MS. drh. Handayu Untari drh. Herlina Pratiwi PROGRAM KEDOKTERAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya

I. PENDAHULUAN. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk hamil setelah sekurang-kurangnya satu tahun berhubungan seksual, sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi (Straight,

Lebih terperinci

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS Titta Novianti OOGENESIS Pembelahan meiosis yang terjadi pada sel telur Oogenesis terjadi dalam dua tahapan pembelahan : yaitu mitosis meiosis I dan meiosis II Mitosis : diferensaiasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorium, dengan rancangan percobaan post-test only control group design. Pengambilan hewan uji sebagai sampel

Lebih terperinci

SDP. YG MENDPT TEKANAN CUKUP BERAT

SDP. YG MENDPT TEKANAN CUKUP BERAT MEMBERIKAN TEKANAN THDP SDA & LH PERTUMBUHAN PENDUDUK YG SEMAKIN CEPAT KBUTUHAN AKAN PROTEIN HWNI MENINGKAT PENDAHULUAN - LAHAN SEMAKIN SEMPIT - PENCEMARAN PERAIRAN SDP. YG MENDPT TEKANAN CUKUP BERAT UTK

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik. B. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Diameter Tubulus Seminiferus Hasil pengukuran diameter tubulus seminiferus pada gonad ikan lele jantan setelah dipelihara selama 30 hari disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Entok (Cairina moschata) Entok (Cairina moschata) merupakan unggas air yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Entok lokal memiliki warna bulu yang beragam

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Anatomi. Penelitian ini meliputi bidang Ilmu Gizi, Farmakologi, Histologi dan Patologi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Hewan coba yang digunakan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi terdiri dari beberapa proses yaitu dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan alkohol konsentrasi bertingkat,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burung Puyuh Ciri khas burung puyuh ( Coturnix-Coturnix Japonica ) adalah bentuk badannya relatif lebih besar dari jenis burung-burung puyuh lainnya. Burung puyuh ini memiliki

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Pengambilan sampel dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan berturutturut, yakni pada tanggal 10-11 Februari 2012, 7 Maret 2012 dan 7 April 2012. Pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah

I. PENDAHULUAN. Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan rokok sebagai konsumsi sehari-hari kian meningkat. Jumlah konsumen rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Tidak

Lebih terperinci

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA Oleh: Wini Wardani Hidayat C64103013 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Beberapa tahun terakhir ini, para peneliti mencoba mengatasi masalahmasalah reproduksi pada hewan melalui teknologi transplantasi sel germinal jantan atau disebut juga transplantasi

Lebih terperinci

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRACT AMILIA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Musang Luak ( Paradoxurus hermaphroditus 1 Klasifikasi dan Distribusi

TINJAUAN PUSTAKA Musang Luak ( Paradoxurus hermaphroditus 1 Klasifikasi dan Distribusi TINJAUAN PUSTAKA Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus) 1 Klasifikasi dan Distribusi Genus Paradoxurus diklasifikasikan ke dalam empat spesies menurut Schreiber et al. 1989 dalam International Union

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Domba Lokal Domba merupakan hewan ternak yang pertama kali di domestikasi. Bukti arkeologi menyatakan bahwa 7000 tahun sebelum masehi domestik domba dan kambing telah menjadi

Lebih terperinci

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan

Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan LAMPIRAN 30 Lampiran 1 Proses Dehidrasi Jaringan Dehidrasi merupakan proses mengeluarkan air dari dalam jaringan/organ dengan menggunkan bahan-bahan kimia tertentu. Dehidrasi jaringan dilakukan untuk mengikat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI

STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI STUDI KASUS LEIOMIOSARKOMA PADA ANJING : POTENSIAL METASTATIK HANI FITRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN HANI FITRIANI. Studi Kasus Leiomiosarkoma pada Anjing: Potensial

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK Asep

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) MEETHA RAMADHANITA PARDEDE SKRIPSI DEPARTEMEN ANATOMI,

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL EFEK PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) TERHADAP PROFIL IMUNOHISTOKIMIA ANTIOKSIDAN SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) PADA JARINGAN GINJAL TIKUS DIABETES MELLITUS NOVITA SARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 1 Peta distribusi musang luak di Indonesia = alami = Introduksi (Modifikasi dari IUCN 2011).

Gambar 1 Peta distribusi musang luak di Indonesia = alami = Introduksi (Modifikasi dari IUCN 2011). TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Distribusi Musang Menurut Schreiber et al. (1989), terdapat empat spesies musang dari genus Paradoxurus, yaitu: 1. Paradoxurus zeylonensis, menyebar terbatas di Sri Lanka.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa negara berkembang seperti Indonesia memiliki kepadatan penduduk yang cukup besar sehingga aktivitas maupun pola hidup menjadi sangat beraneka ragam. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Monosodium glutamat (MSG) yang lebih dikenal dengan merk dagang. Ajinomoto telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan.

BAB I PENDAHULUAN. Monosodium glutamat (MSG) yang lebih dikenal dengan merk dagang. Ajinomoto telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Monosodium glutamat (MSG) yang lebih dikenal dengan merk dagang Ajinomoto telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan. Penggunanya bukan hanya ibu-ibu rumah

Lebih terperinci

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI

ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI ASPEK KEHl DUPAM DAN BlQLOGI REPRODUKSI BURUNG CEMDRAWASIH KUNlNG KECIL ( Paradisaea minor ) SKRIPSI Oleh RlSFlANSYAH B 21.0973 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITWT PERTANIAN BOGOR 1990 RINGKASAN RISFIANSYAH.

Lebih terperinci

4.DINAMIKA DISTRIBUSI GLIKOKONJUGAT PADA GONAD WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

4.DINAMIKA DISTRIBUSI GLIKOKONJUGAT PADA GONAD WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN 4.DINAMIKA DISTRIBUSI GLIKOKONJUGAT PADA GONAD WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan Ovarium merupakan tempat perkembangan folikel, ovulasi dan luteinisasi. Semua proses tersebut meliputi proses

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan hewan coba, sebagai bagian dari penelitian eksperimental lain yang lebih besar. Pada penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBUATAN PREPARAT SMEAR SEL SPERMA

TEKNIK PEMBUATAN PREPARAT SMEAR SEL SPERMA TEKNIK PEMBUATAN PREPARAT SMEAR SEL SPERMA LAPORAN PRAKTIKUM diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Mikroteknik disusun oleh: Kelompok 1 Kelas C Adam Andytra (1202577) Devi Roslina (1200351)

Lebih terperinci

Function of the reproductive system is to produce off-springs.

Function of the reproductive system is to produce off-springs. Function of the reproductive system is to produce off-springs. The Gonad produce gamets (sperms or ova) and sex hormones. All other reproductive organs are accessory organs Anatomi Sistem Reproduksi Pria

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Besar Veteriner Wates sebagai tempat pembuatan preparat awetan testis.

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Besar Veteriner Wates sebagai tempat pembuatan preparat awetan testis. BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2004 Pebruari 2005 di Sub Laboratorium Biologi Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta sebagai tempat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merusak alat pendengaran (Marpaung, 2006). Diketahui bahwa. fisik, psikis dan tingkah laku manusia (Chusna, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. merusak alat pendengaran (Marpaung, 2006). Diketahui bahwa. fisik, psikis dan tingkah laku manusia (Chusna, 2008). 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan 1. Definisi Kebisingan Kebisingan adalah suatu bunyi intensitas tinggi, merupakan pencemaran yang mengganggu dan tidak disukai, dan mengganggu percakapan dan merusak

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

EFEK PEMAPARAN KEBISINGAN TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L.)

EFEK PEMAPARAN KEBISINGAN TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L.) EFEK PEMAPARAN KEBISINGAN TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L.) Mustika Apriliani 1, Nuning Nurcahyani 1 dan Hendri Busman 1 Jurusan Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI

5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI 5. PARAMETER-PARAMETER REPRODUKSI Pengukuran parameter reproduksi akan menjadi usaha yang sangat berguna untuk mengetahui keadaan kelamin, kematangan alat kelamin dan beberapa besar potensi produksi dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone

D. Uraian Pembahasan. Sistem Regulasi Hormonal 1. Tempat produksinya hormone SATUAN ACARA PENGAJARAN (SAP) IX A. 1. Pokok Bahasan : Sistem Regulasi Hormonal A.2. Pertemuan minggu ke : 12 (2 jam) B. Sub Pokok Bahasan: 1. Tempat produksi hormone 2. Kelenjar indokrin dan produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di masa modern ini, alkohol merupakan minuman yang sangat tidak asing lagi dikalangan masyarakat umum. Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi alkohol dianggap dapat memberikan

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian Materi yang diteliti adalah ikan nilem ( Osteochilus hasselti C. V.), pada tahap perkembangan juvenil berumur 13 minggu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

DETEKSI SENYAWA MUKOPOLISAKARIDA PADA TUBULUS SEMINIFERUS DAN DUKTUS EPIDIDIMIS DALAM TESTIS TIKUS Rattus norvegicus DENGAN PEWARNAAN HISTOKIMIA

DETEKSI SENYAWA MUKOPOLISAKARIDA PADA TUBULUS SEMINIFERUS DAN DUKTUS EPIDIDIMIS DALAM TESTIS TIKUS Rattus norvegicus DENGAN PEWARNAAN HISTOKIMIA DETEKSI SENYAWA MUKOPOLISAKARIDA PADA TUBULUS SEMINIFERUS DAN DUKTUS EPIDIDIMIS DALAM TESTIS TIKUS Rattus norvegicus DENGAN PEWARNAAN HISTOKIMIA Adrien Jems Akiles Unitly, Dece Elisabeth Sahertian Jurusan

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

MAKALAH BIOLOGI PEMBELAHAN MEIOSIS

MAKALAH BIOLOGI PEMBELAHAN MEIOSIS MAKALAH BIOLOGI PEMBELAHAN MEIOSIS Ditulis pada Kamis, 24 Oktober 2013 23:26 WIB oleh fatima dalam katergori Keperawatan tag http://fales.co/blog/makalah-biologi-pembelahan-meiosis.html MAKALAH BIOLOGI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing Kambing diklasifikasikan ke dalam kerajaan Animalia; filum Chordata; subfilum Vertebrata; kelas Mammalia; ordo Artiodactyla; sub-ordo Ruminantia; familia Bovidae; sub-familia

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Penelitian Kandang Hewan Coba Laboratorium Histopatologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai April 2011 bertempat di Kandang Hewan Laboratorium dan Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Gelombang Elektromagnetik Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walaupun tidak memiliki medium atau dapat merambat melalui ruang

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Texel di Indonesia telah mengalami perkawinan silang dengan domba lokal seperti Domba Ekor Gemuk (DEG) maupun Domba Ekor Tipis (DET) dan kemudian menghasilkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel yang telah dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain rancangan acak lengkap (RAL). B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci