BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Berkelanjutan Kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia yang berfungsi sebagai tempat pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup. Menurut Jayadinata (1999), secara geografis, kota adalah suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok kompak, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian. Dalam pengertian teknis, kota itu mempunyai jumlah penduduk tertentu, misalnya di Indonesia yang disebut kota adalah wilayah yang memiliki penduduk atau lebih. Dalam pengertian hukum Indonesia terdapat 4 macam kota yaitu Propinsi, (1) Kota sebagai ibukota Nasional, (2) Ibukota (3) Ibukota Kabupaten dan Kotamadya, (4) Kota Administratif. Dalam pengertian umum, kota adalah tempat yang mempunyai prasarana kota, yaitu bangunan-bangunan besar, banyak bangunan perkantoran, jalan yang lebar, pasar yang luas serta pertokoannya, jaringan kawat listrik, jaringan air minum dan sebagainya. Menurut Simonds (1983) kota merupakan suatu tempat yang mempunyai populasi besar dan cukup rapat, merupakan pusat aktivitas ekonomi,

2 sosial dan politik, memiliki posisi geografis yang tetap serta pemerintahan yang spesifik tertulis dan diakui oleh negara. Adisasmita (2006) menjelaskan bahwa untuk menuju kota yang berkelanjutan, kota yang dalam perkembangan dan pembangunannya harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global dan mempertahankan keserasian lingkungan, vitalitas sosial, budaya, politik, dan pertahanan keamanannya tanpa mengabaikan atau mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Menurut Hadi (2005) makna pembangunan berkelanjutan adalah 1) Dalam pembangunan berkelanjutan sumber daya alam yang digunakan dijaga keutuhan fungsi ekologisnya. 2) Dampak pembangunan terhadap lingkungan diperhitungkan dengan menerapkan sistem analisis mengenai dampak lingkungan sehingga dampak negatif dapat dikemdalikan dan dampak positif dikembangkan. 3) Mempertimbangkan kepentingan generasi masa depan. 4) Pembangunan dengan wawasan jangka panjang karena perubahan lingkungan pada umumnya berlangsung dalam jangka panjang. 5) Hasil pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan sumber alam harus memperhitungkan sumber alam yang semakin berkurang akibat proses pembangunan.

3 2.2. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Pengertian Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang membentuk jalur atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dalam Permendagri No.1 Tahun 2007 dijelaskan ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan, sedangkan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan atau tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Ruang terbuka hijau di dalam kota pemanfaatannya bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah atau budidaya tanaman oleh manusia. Jenis ruang terbuka hijau meliputi taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung, bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun

4 binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa; jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; kawasan dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara dan taman atap (roof garden). Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) dibagi menjadi 2, yaitu RTHKP Publik dan RTHKP Privat. RTHKP Privat adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan atau masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota/Kabupaten. Sedangkan RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ditetapkan bahwa luas ideal RTHKP ialah minimal 20 % dari luas wilayah perkotaan. 2.3.Fungsi Ruang Terbuka Hijau Hasni (2009) menjelaskan penyelenggaraan ruang terbuka hijau kota bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial dan budaya, sehingga diharapkan bahwa ruang terbuka hijau kota dapat berfungsi untuk mencapai:

5 1) Identitas Kota. Jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol atau lambang suatu kota dapat dikoleksi pada areal ruang terbuka hijau kota. 2) Ameliorasi Iklim. Ruang terbuka hijau dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu hutan sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan cuaca dan posisi lintang (Wisnubroto, dkk., 1983). Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh ruang terbuka hijau adalah kelembaban. Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu udara 3-10 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman pohon pada suatu areal akan mengurangi temperatur atmosfer pada wilayah yang panas (Grey dan Deneke; Robinette, 1983). 3) Upaya Pelestarian Plasma Nutfah. Dengan adanya pengembangan ruang terbuka hijau maka diharapkan dapat diharapkan dapat diterapkan program penghijauan pada ruang-ruang terbuka hijau kota. Hal ini memungkinkan adanya penerapan berbagai jenis tanaman yang dapat memberikan keanekaragaman hayati. Dengan demikian ruang terbuka hijau dapat

6 berfungsi sebagai tempat pelestarian keanekaragaman jenis flora maupun fauna dalam upaya pelestarian plasma nutfah. 4) Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara. Dengan adanya ruang terbuka hijau kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting. Manfaat dari adanya tajuk pada RTH kota adalah untuk menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk di ruang terbuka hijau kota. 5) Mengatasi genangan air. Jenis tanaman yang mempunyai jumlah daun banyak, memiliki kemampuan evapotranspirasi tinggi karena memiliki mempunyai stomata (mulut daun) yang banyak pula sehingga cocok untuk mengatasi daerah yang sering digenangi air ataupun banjir. 6) Pengelolaan Sampah. Ruang terbuka hijau kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah, yaitu dapat berfungsi sebagai penyekat bau, penyerap bau, pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah, dan penyerap

7 zat yang berbahaya (dan beracun/b3) yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta B3 lain. 7) Pelestarian Air Tanah. Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi, menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah di lingkungan sekitarnya. Pada musim hujan laju aliran permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di lingkungan perkotaan. Ruang terbuka hijau dengan luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan meresapkan air ke dalam tanah sejumlah m 3 setiap tahun (Kartasapoetra, 2006). 8) Penapis Cahaya Silau. Pohon yang memiliki ketinggian optimal dan tajuk yang rimbun sangat efektif dalam meredam cahaya. 9) Meningkatkan Keindahan. Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat menciptakan komposisi yang indah. 10) Sebagai Habitat Hidupan Liar. Ruang terbuka hijau berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Ruang terbuka hijau merupakan tempat perlindungan dan penyedia nutrisi bagi beberapa jenis satwa terutama burung, mamalia kecil dan serangga. Ruang terbuka hijau dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang lainnya.

8 11) Mengamankan Pantai terhadap Abrasi. Ruang terbuka hijau kota berupa formasi tanaman (hutan) mangrove yang bermanfaat dalam meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai. 12) Mengurangi Stress (Kejiwaan). Ruang terbuka hijau dapat menciptakan suasana sejuk serta nyaman bagi kejiwaan manusia karena adanya sirkulasi udara yang sejuk dan keindahan dari flora dan fauna yang dapat mengurangi gangguan syaraf dan suasana tegang dari rutinitas manusia. 13) Meningkatkan Industri Pariwisata. Bunga bangkai (Amorphophallus titanum) di Kebun Raya Bogor yang berbunga setiap 2-3 tahun dan tingginya dapat mencapai 1,6 m, dan bunga Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik bagi turis domestik maupun mancanegara Bentuk Ruang Terbuka Hijau Menurut Grey dan Denneke (1986) berdasarkan kriteria sarana, fungsi penting, jenis vegetasi, intensitas menejemen, status pemilik, serta pengelolaannya, maka komponen penyusun ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan dalam empat bentuk yaitu hutan kota, taman kota, jalur hijau serta kebun atau pekarangan. Irwan (2008) mengelompokkan ruang terbuka hijau berdasarkan bentuk, sebagai berikut: 1) Jalur, komunitas vegetasinya tumbuh mengikuti jalur bentukan alam (seperti pantai, sungai dan lembah) dan bentuk manusia (seperti jalan dan saluran).

9 2) Menyebar, komunitas vegetasinya tumbuh menyebar berupa rumpun atau gerombol kecil, seperti yang tumbuh di pekarangan atau halaman-halaman bangunan maupun yang ditanam pada lahan sisa dan median jalan. 3) Bergerombol atau menumpuk, komunitas vegetasinya terkonsentrasi di suatu tempat dengan paling sedikit 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan yang tumbuh seperti bentukan hutan alam. Berdasarkan bobot kealamian, bentuk ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Bentuk ruang terbuka hijau alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan 2) Bentuk ruang terbuka hijau non alami atau ruang terbuka hijau binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olahraga dan pemakaman). Status kepemilikan ruang terbuka hijau diklasifikasikan menjadi raung terbuka hijau publik, yaitu ruang terbuka hijau yang beralokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat maupun daerah) dan ruang terbuka hijau privat atau non publik, yaitu ruang terbuka hijau yang beralokasi pada lahan-lahan milik privat Iklim Mikro Kota Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata yang terdapat pada waktu dan tempat tertentu. Ilmu yang mempelajari kondisi dari atmosfer disebut meteorologi, sedangkan ilmu yang mempelajari karakteristik kondisi meteorologi yang berlangsung selama periode waktu tertentu pada area

10 tertentu disebut klimatologi. Istilah klimatologi dan meteorologi dibagi menjadi makro, meso, dan mikro. Maka mikroklimatologi didefenisikan sebagai iklim (kondisi yang berlaku) pada satu kawasan yang berukuran kecil, yang dapat dibedakan dari iklim kawasan secara keseluruhan (Brown dan Gilesspie, 1995). Iklim ideal bagi kenyamanan manusia telah dirumuskan sebagai berikut: udara yang bersih, suhu antara 10-26,7 0 C, kelembaban antara 45-75%, udara yang tidak terperangkap dan tidak berupa angin yang kencang dan keterlindungan terhadap hujan. Menurut Danoedjo (1990) iklim mikro adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi iklim setempat yang dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kenikmatan (fisik) dan kenyamanan (rasa) pemakai. Sedangkan menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, iklim mikro adalah keberadaan ekosistem setempat yang mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat sehingga temperatur menjadi terkendali, termasuk radiasi matahari dan kecepatan angin. Pada umumnya iklim mikro dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, kelembaban udara, angin, penguapan, dan lain-lain (Fandeli, et.al., 2004). Keberadaan vegetasi juga berfungsi sebagai pengendali iklim. Menurut Carpenter, et.al (1975) fungsi vegetasi antaralain: 1) Kontrol radiasi sinar matahari dan suhu

11 Tanaman dapat menyerap panas dan memantulkan pancaran sinar matahari sehingga dapat mengendalikan iklim mikro. 2) Pengendali angin Tanaman berguna sebagai penahan, penyerap dan pengalir tiupan anin sehingga menimbulkan iklim mikro yang nyaman. 3) Kontrol prestipitasi dan kelembaban udara Tanaman mampu menyerap suara kebisingan bagi kawasan atau areal yang memerlukan ketenangan 4) Penyaring udara Tanaman sebagai filter atau penyaring debu, bau dan memberikan udara segar. 2.5.Suhu Udara Menurut Kartasapoetra (2006) suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan thermometer. Secara fisis suhu dapat didefenisikan sebagai tingkat gerakan molekul benda, semakin cepat gerakan molekul, semakin tinggi suhunya. Panas bergerak dari sebuah benda yang mempunyai suhu tinggi ke benda dengan suhu rendah. Untuk menyatakan suhu dipakai berbagai skala. Dua skala yang sering dipakai dalam pengukuran suhu udara adalah skala Fahrenheit dan skala Celcius atau skala perseratusan (centigrade) yang dipakai sebagian besar di dunia (Tjahyono, 2004).

12 Skala celcius sekarang banyak dipakai dalam pelaporan dan analisisis data cuaca dan iklim Kelembaban Relatif Udara Kelembaban udara merupakan salah satu analisis iklim yang mengendalikan iklim mikro. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air. Menurut Wisnubroto (1983) variabilitas kandungan uap air dalam udara penting berdasarkan tempat maupun waktu karena: 1) Besarnya jumlah uap air dalam udara merupakan indikator kapasitas potensial atmosfer tentang terjadinya presipitasi. 2) Uap air mempunyai sifat menyerap radiasi bumi sehingga ia akan menentukan cepatnya kehilangan panas dari bumi dan dengan sendirinya juga akan mengatur temperatur. 3) Semakin besar jumlah air dalam udara makin besar jumlah energi potensial yang laten tersedia dalam atmosfer dan merupakan sumber terjadinya hujan angin (storm), sehingga dapat menentukan apakah udara itu kekal atau tidak. 2.7.Vegetasi Vegetasi merupakan bagian hidup yang tersusun dari tumbuhan yang menempati suatu ekosistem (Tjitrosoepomo, 2000). Jenis vegetasi

13 yang direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan sebagai tanaman penghijauan kota (Dephut, 2007) adalah Flamboyan (Delonix regia), Angsana (Pterocarpus indicus), Ketapang (Terminalia cattapa), Kupukupu (Bauhinia purpurea), Kere payung (Filicium decipiens), Johar (Cassia multiyoga), Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni (Swientenia mahagoni), Akasia (Acacia auriculiformis), Bungur (Lagerstroemia loudonii), Kenari (Canarium commune), Johar (Cassia sp.), Damar (Agathis alba), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Jakaranda (Jacaranda filicifolia), Liang liu (Salix babilinica), Kismis (Muehlenbeckia sp.), Ganitri (Elaeocarpus spahaericus), Saga (Adenanthera povoniana), Anting-anting (Elaeocarpus grandiflorus), Asam kranji (Pithecelobium dulce), Johar (Cassia grandis), Cemara (Cupresus papuana), Pinus (Pinus merkusii), dan Beringin (Ficus benjamina). Beberapa jenis pohon yang mampu menyerap CO 2 dalam jumlah besar sesuai dengan lampiran 1 (satu) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-V/2004 Tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota gerakan nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antaralain pohon Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinea purpurea), Lamtorogung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia auriculiformis) dan Beringin (Ficus benyamina), merupakan tanaman

14 yang digunakan dalam penghijauan kota sebagai penyerap CO 2 dan penghasil O 2. Tanaman Beringin (Ficus benjamina) sebagai tanaman yang direkomendasikan oleh Dephut (2007), selain sebagai tanaman penghijauan, beringin juga bermanfaat untuk pelestarian air tanah. Dengan demikian, Beringin memiliki peran yang tepat di perkotaan, yaitu penyerap CO 2, penghasil O 2, dan pelestari air tanah Suhu dan Kenyamanan Manusia Keadaan cuaca atau iklim sangat mempengaruhi aktivitas manusia. Lebih spesifik lagi bahwa aktivitas metabolisme tubuh dipengaruhi oleh suhu udara. Bahkan pengaruh suhu bagi kehidupan manusia dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berkenaan dengan kenyamanan udara, sedangkan secara tidak langsung misalnya berkenaan dengan kerentanan tubuh terhadap gangguan kesehatan, dan sebagainya. Beberapa ahli telah berusaha untuk menyatakan pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim, misalnya indeks ketidaknyamanan (discomfort). Iklim ideal bagi kenyamanan manusia telah dirumuskan sebagai berikut: udara yang bersih, suhu antara 10-26,7 0 C, kelembaban udara antara 45-75%, udara yang tidak terperangkap dan tidak berupa angin

15 yang kencang dan keterlindungan terhadap hujan (Tjasyono, 2004). 2.9.Hirarki dan Standar Luas Ruang Terbuka Hijau Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota menjelaskan bahwa penunjukan lokasi dan luas hutan kota didasarkan pada pertimbangan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran, dan kondisi fisik kota. Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar dan persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Hakim (2007) menjelaskan standar luasan taman kota sangat bervariasi tergantung kondisi kota, besaran kota yang dipengaruhi topografi, luas areal kota, jumlah penduduk, kebiasaan sosial masarakat dan kebijakan pemerintah setempat. The greater London Council membagi taman pada luas dan jarak jangkau dari pemukiman rumah tinggal, m 2, m 2 dan m 2 (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Standar Luas Taman The Greater London Council (Hakim, 2007). No. Jenis Taman Ukuran Luas Jarak Hunian 1. Small Park m 2 Jarak dapat ditempuh dengan berjalan kaki 2. Intermediete Park m 2 Jaraknya 1,5 km dari hunian 3. Large Park m 2 Jaraknya 8 km dari hunian Menurut Dirjen Cipta Karya dalam Hakim (2007) luas taman lingkungan perumahan dibagi dalam 3 golongan berdasarkan jumlah

16 keluarga/penduduk, yaitu keluarga/ penduduk, keluarga/ penduduk dan keluarga/ penduduk (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Standar Taman Kota Menurut Dirjend Cipta Karya (Hakim, 2007). No. Jumlah Keluarga/Penduduk Ukuran Luas RTH keluarga/ penduduk 200 m keluarga/ penduduk 800 m keluarga/ penduduk m 2 Untuk menentukan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Pengadaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas ruang terbuka hijau per kapita (Tabel 2.3). Tabel 2.3. Standar Luas Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Jumlah Penduduk (Kepmen PU Nomor 5/PRT/M/2008). No Unit Li ng ku ng an (Jiwa) Taman RT Tipe RTH Luas 250 M in i m al U ni t ( m 2 ) Lokasi Di Tengah Lingkungan RT Taman RW Di Pusat Kegiatan RW

17 Taman Kelurahan Dikelompokkan dengan Sekolah/Pusat Kelurahan Taman Kecamatan Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kecamatan Pemakaman Disesuaikan Tersebar Hutan Kota Disesuaikan Di dalam/kawasan pinggiran Untuk fungsi-fungsi Tertentu Disesuaikan Disesuaikan dengan kebutuhan Sedangkan menurut standar Perencanaan perumahan perumnas dalam Hakim (2007) ditentukan standar sebagai berikut: 1. Untuk jumlah rumah ± 300 unit dibutuhkan tempat bermain seluas 500 m 2 2. Untuk jumlah rumah ± 700 wajib menyediakan saraana olahraga seluas 2000 m 2 3. Untuk jumlah rumah ± 3000 unit wajib menyediakan taman seluas 8000 m Kondisi Umum Kota Pematangsiantar Batas Geografis Kota Pematangsiantar secara astronomis berada di bagian tengah Sumatera Utara, terletak pada garis Lintang Utara (LU) dan Bujur Timur (BT) pada peta bumi dan berada di tengah-tengah kabupaten Simalungun (Gambar 2.1). Luas wilayah administrasi Kota Pematangsiantar adalah 79,971 km 2 (Tabel 2.4).

18 Gambar 1. Peta Batas Administrasi Kota Pematangsiantar

19 Tabel 2.4. Luas wilayah Kota Pematangsiantar ( Kota Pematangsiantar Dalam Angka, 2011) No Kecamatan Kelurahan Luas (Km 2 ) Persentase Sukamaju Pardamean 1 Sukaraja SIANTAR BP. Nauli MARIHAT Mekar Nauli Parhorasan Nauli Suka Makmur 7,825 9, SIANTAR MARIMBUN SIANTAR SELATAN SIANTAR BARAT SIANTAR UTARA Simarimbun Nagahuta Pematang Marihat Tong Marimbun Marihat Jaya Nagahuta Timur Aek Nauli Martimbang Kristen Toba Karo Simalungun Sipinggol-pinggol Teladan Dwikora Proklamasi Timbanggalung Simarito Banjar Bantan Martoba Melayu Baru Suka Dame Bane Sigulang-gulang Kahean 18,006 22,52 2,020 2,53 3,205 4,01 3,650 4, SIANTAR TIMUR SIANTAR MARTOBA SIANTAR SITALASARI Kebun Sayur Tomuan Pahlawan Siopat Suhu Merdeka Pardomuan Asuhan Sumber Jaya Nagapita Pondok Sayur Tambun Nabolon Nagapitu Tambun Tonga Tanjung Pinggir Bah Kapul Gurilla Bukit Shofa 4,520 5,65 18,022 22,45 22,723 28,41

20 Setia Negara Bah Sorma J U M L A H 79, Kependudukan Pada Tahun 2011, penduduk Kota Pematangsiantar berjumlah jiwa dengan kepadatan sebesar jiwa/km 2 (sumber: Kota Pematangsiantar Dalam Angka Tahun 2011). Penduduk Kota Pematangsiantar tersebar pada 8 kecamatan. Adapun kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Siantar Barat yaitu masingmasing jiwa/km 2, dimana hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk tertinggi di Kota Pematangsiantar berlangsung pada kecamatan tersebut (Tabel 2.5). Tabel 2.5. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2011 (Kota Pematangsiantar Dalam Angka, 2011) No. Kecamatan Luas Wilayah (km 2 ) Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Pend uduk (Jiwa/km 2 ) 1. Siantar Barat Siantar Marihat Siantar Marimbun Siantar Selatan Siantar Utara Siantar Timur Siantar Martoba Siantar Sitalasari Total Struktur Pendidikan

21 Struktur pendidikan penduduk Kota Pematangsiantar Tahun 2011 dapat dicirikan dengan besarnya proporsi penduduk tamat SMTA (42,33%), diikuti oleh kelompok penduduk tamat SD (42,33%) dan tamat SMTP (26,34%). Sementara kelompok tamat diploma/sarjana hanya sebesar 2,27% ( Tabel 2.6).

22 Tabel 2.6. Struktur Pendidikan Penduduk Kota Pematang Siantar No. Tingkat Pendidikan Persentase (%) 1. Sekolah Dasar (SD) 25,24 2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 23,16 3. Sekolah Menengah Atas (SMA) 42,33 4. Diploma / Sarjana 2,27 Total 100 Berdasarkan Tabel 2.6 dapat dilihat bahwa penduduk Kota Pematang Siantar pada umumnya memiliki kualitas SDM yang relatif baik dengan tamatan SMA paling mendominasi (42,33%), dimana hal ini berimplikasi dengan berbagai hal yaitu menunjukkan tingginya kesempatan berkembang dan mengembangkan kegiatan ekonomi baru dan menunjukkan tingginya potensi pengembangan sektor-sektor perkotaan yang membutuhkan tenaga kerja terdidik Komposisi Etnis Komposisi etnis penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku Tapanuli, suku Jawa, suku Simalungun, suku Mandailing dan Cina (Tabel 2.7). Tabel 2.7. Komposisi Etnis Di Kota Pematang Siantar No. Suku Persentase (%) 1. Tapanuli 47,50 2. Jawa 25,61 3. Simalungun 6,65 4. Mandailing 5,66 5. Cina 3,79 Total

23 Pada Tabel 2.7 dapat dilihat bahwa persentase terbesar adalah suku Tapanuli (47,50%), diikuti oleh suku Jawa (25,61%). Sementara suku-suku lainnya hanya mencakup proporsi yang relatif kecil seperti suku Simalungun (6,65%), Mandailing (5,66%), China (3,79%) dst. Data BPS mencatat bahwa secara spesifik terdapat 11 suku/etnis di Kota Pematangsiantar. Komposisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran komposisi etnis yang sangat signifikan dibandingkan awal abad ke-20 dimana Suku Simalungun masih mendominasi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sistem nilai pola perilaku dan aktivitas kemasyarakatan penduduk Kota Pematangsiantar sangat diwarnai oleh suku dominan, yaitu Tapanuli dan Jawa Pola Persebaran Pola persebaran penduduk merupakan salah satu elemen yang menunjukkan struktur spasial suatu wilayah. Struktur tersebut pada gilirannya mencerminkan pola perkembangan dan potensi/permasalahan wilayah. Kepadatan penduduk dilakukan dengan menggolong-golongkan angka kepadatan penduduk menurut 3 golongan, yaitu Tinggi, Sedang dan Rendah. Cara penggolongan adalah sebagai berikut: Rendah (R) = 10,342 15,142 jiwa/km 2 Sedang (S) = 5,540 10,341 jiwa/km 2 Tinggi (T) = 738 5,539 jiwa/km 2

24 Gambar 2.2. Pola Persebaran Penduduk di Kota Pematang Siantar

BAB I KONDISI GEOGRAFIS DAN KEADAAN IKLIM KondisiGeografis

BAB I KONDISI GEOGRAFIS DAN KEADAAN IKLIM KondisiGeografis BAB I KONDISI GEOGRAFIS DAN KEADAAN IKLIM 1.1. KondisiGeografis Secara umum, kondisi geografis suatu wilayah adalah keadaan muka b suatu wilayah dilihat dari beberapa aspek, antara lain: letak, cuaca,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan

ke segala arah dan melepaskan panas pada malam hari. cukup pesat. Luas wilayah kota Pematangsiantar adalah km 2 dan Kota memiliki keterbatasan lahan, namun pemanfaatan lahan kota yang terus meningkat mengakibatkan pembangunan kota sering meminimalkan ruang terbuka hijau. Lahan-lahan pertumbuhan banyak yang dialihfungsikan

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : a. bahwa perkembangan

Lebih terperinci

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut : BENTUK DAN FUNGSI HUTAN KOTA 1. Bentuk Hutan Kota Pembangunan hutan kota dan pengembangannya ditentukan berdasarkan pada objek yang dilindungi, hasil yang dicapai dan letak dari hutan kota tersebut. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA UMUM Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah

TINJAUAN PUSTAKA Lanskap Sekolah TINJAUAN PUSTAKA 1. Lanskap Sekolah Menurut Eckbo (1964) lanskap adalah ruang di sekeliling manusia mencakup segala hal yang dapat dilihat dan dirasakan. Menurut Hubbard dan Kimball (1917) dalam Laurie

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43),

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kuantitas lingkungan. Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (2012: 43), BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kota berupa pembangunan infrastruktur, namun sayangnya terdapat hal penting yang kerap terlupakan, yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perencanaan dan Perancangan Lanskap Planning atau perencanaan merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau adalah area memanjang baik berupa jalur maupun mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, sebagai tempat tumbuhnya vegetasi-vegetasi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang

TINJAUAN PUSTAKA. waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk dapat

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 10 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI, Menimbang : a. bahwa perkembangan dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Mengenal Kotamadya Pematangsiantar 2.1.1. Sejarah Kota Pematangsiantar Kota Pematangsiantar yang kini menjadi daerah asal yang ditakuti di Indonesia ini, ternyata

Lebih terperinci

BAB III KEPENDUDUKAN, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelam

BAB III KEPENDUDUKAN, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelam BAB III KEPENDUDUKAN, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN 3.1. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Rasio Jenis Kelam Menurut konsep demografi, penduduk adalah setiap orang, baik negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting dan Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Jepara Jenis ruang terbuka hijau yang dikembangkan di pusat kota diarahkan untuk mengakomodasi tidak hanya fungsi

Lebih terperinci

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI

RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN KEMILING KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2016 (JURNAL) Oleh FADELIA DAMAYANTI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017 Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Sri Sutarni Arifin 1 Intisari Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau khususnya pada wilayah perkotaan sangat penting mengingat besarnya

Lebih terperinci

BAB II Gambaran Umum Kotamadya Tingkat II Pematangsiantar

BAB II Gambaran Umum Kotamadya Tingkat II Pematangsiantar BAB II Gambaran Umum Kotamadya Tingkat II Pematangsiantar 2.1 Letak Geografis Dilihat dari letak geografisnya Pematangsiantar sebagai Kotamadya tingkat II terletak di 3.01-2.54, 40 Lintang Utara dan 99.06,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Central Business District (CBD) Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai penataan ruang, pada Pasal 1 disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1986

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1986 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1986 TENTANG PERUBAHAN BATAS WILAYAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II PEMATANG SIANTAR DAN KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SIMALUNGUN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU.

MEMUTUSKAN : : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU. WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN DAERAH SAMPANG NOMOR : 11 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMPANG, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami

I. PENDAHULUAN. sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 7 TAHUN 2008 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN PERKOTAAN (RTHKP) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMENEP Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan

Lebih terperinci

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN. dan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Medan. Karena letak

BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN. dan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Medan. Karena letak BAB II LETAK DAN LOKASI PENELITIAN 2.1 Kota Pematang Kota Pematang adalah salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara, dan kota terbesar kedua di provinsi tersebut setelah Medan. Karena letak Pematang yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas

IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas 42 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis dan Aksesibilitas Secara geografis, perumahan Bukit Cimanggu City (BCC) terletak pada 06.53 LS-06.56 LS dan 106.78 BT sedangkan perumahan Taman Yasmin terletak pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Pertumbuhan penduduk di Indonesia disetiap tahun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan perekonomian di kota-kota besar dan metropolitan seperti DKI Jakarta diikuti pula dengan berkembangnya kegiatan atau aktivitas masyarakat perkotaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU)

Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) PENGADAAN TANAH UNTUK RUANG TERBUKA HIJAU DI KAWASAN PERKOTAAN Disajikan oleh: LIA MAULIDA, SH., MSi. (Kabag PUU II, Biro Hukum, Kemen PU) Sekilas RTH Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Kota menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2003 adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Kota menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2003 adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2003 adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA KUPANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. RTH dalam Penataan Ruang Wilayah Perkotaan Perkembangan kota merepresentasikan kegiatan masyarakat yang berpengaruh pada suatu daerah. Suatu daerah akan tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM SALINAN WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SINTESIS

ANALISIS DAN SINTESIS 55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT

Lebih terperinci

REKOMENDASI Peredam Kebisingan

REKOMENDASI Peredam Kebisingan 83 REKOMENDASI Dari hasil analisis dan evaluasi berdasarkan penilaian, maka telah disimpulkan bahwa keragaman vegetasi di cluster BGH memiliki fungsi ekologis yang berbeda-beda berdasarkan keragaman kriteria

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh. Pembangunan daerah telah berlangsung

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA)

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA POSO (STUDI KASUS : KECAMATAN POSO KOTA) Juliana Maria Tontou 1, Ingerid L. Moniaga ST. M.Si 2, Michael M.Rengkung, ST. MT 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 63/2002, HUTAN KOTA *39929 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2002 (63/2002) TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TENTANG BUPATI NGANJUK, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi t'r - PEMERINTAH KABUPATEN NGANJUK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 09 TAHUN 2OO5 TENTANG PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGANJUK, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1.1 Kesimpulan Kesimpulan dari konsep ruang terbuka hijau pada kawasan pusat kota Ponorogo adalah : 1. Adanya kebutuhan masyarakat pada kawasan pusat kota Ponorogo akan ruang

Lebih terperinci

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010

SALINAN BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 5 TAHUN 2010 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 5 TAHUN 2010 Menimbang : PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN BUNDARAN MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA DENGAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri dan Klasifikasinya Industri merupakan suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MADYA PEMATANG SIANTAR

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MADYA PEMATANG SIANTAR BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MADYA PEMATANG SIANTAR 2.1. Letak Geografis. Wilayah Kota Madya Pematang Siantar terletak di tangah-tengah Kabupaten Simalungun dengan keadaan topografi berbukit-bukit rendah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Ruang Terbuka Ruang terbuka merupakan suatu tempat atau area yang dapat menampung aktivitas tertentu manusia, baik secara individu atau secara kelompok (Hakim,1993).

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, bahwa hutan kota mempunyai fungsi dan peran yang penting dalam menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

I. PENDAHULUAN. beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang cukup luas dengan penduduk yang beragam adat istiadat, bahasa, agama serta memiliki kekayaan alam, baik yang ada di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat terjadinya kehidupan dan aktivitas bagi penduduk yang memiliki batas administrasi yang diatur oleh perundangan dengan berbagai perkembangannya.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.71/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.71/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.71/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 1981 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN BINJAI UTARA, KECAMATAN BINJAI KOTA DAN KECAMATAN BINJAI SELATAN DI KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II BINJAI, KECAMATAN SIANTAR TIMUR, KECAMATAN

Lebih terperinci

BAB X DATA MAKRO DOKUMEN PERENCANAAN Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar Tahun

BAB X DATA MAKRO DOKUMEN PERENCANAAN Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar Tahun BAB X DATA MAKRO DOKUMEN PERENCANAAN 10.1. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pematangsiantar Tahun 2012-2032 Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 1 Tah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 60 TAHUN TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN RUANG TERBUKA HIJAU

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 60 TAHUN TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN RUANG TERBUKA HIJAU GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 60 TAHUN 201424 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN RUANG TERBUKA HIJAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR

HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR HUTAN DIKLAT RUMPIN SEBAGAI SALAH SATU RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN BOGOR MH. Tri Pangesti Widyaiswara Utama, Balai Diklat Kehutanan Bogor Abstrak Sejalan dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG RUANG TERBUKA HIJAU KOTA BANJARMASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik yang mengesampingkan. keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Biasanya kondisi padat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah perkotaan pada umumnya tidak memiliki perencanaan kawasan yang memadai. Tidak terencananya penataan kawasan tersebut ditunjukkan oleh proporsi bangunan fisik

Lebih terperinci

PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR

PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR PROFIL KOTA PEMATANGSIANTAR Kota Pematangsiantar merupakan wiliyah Kota yang berada tepat di tengah-tengah Kabupaten Simalungun LETAK GEOGRAFIS Kota Pematangsiantar terletak pada garis 2 53 20-3 01 00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. penyedia fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Lingkungan perkotaan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan perwujudan aktivitas manusia yang berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, dan pendidikan, serta penyedia fasilitas

Lebih terperinci

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 )

Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) 8 Tabel 3 Kecamatan dan luas wilayah di Kota Semarang (km 2 ) (Sumber: Bapeda Kota Semarang 2010) 4.1.2 Iklim Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Semarang tahun 2010-2015, Kota

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA PALANGKA RAYA WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA RAYA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA PEMATANG SIANTAR

KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA PEMATANG SIANTAR KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA PEMATANG SIANTAR Nilva Elysa Siregar Alumnus S1 Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Jl. Willem Iskandar Psr V Medan Estate

Lebih terperinci

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO

TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO TIPOLOGI KEPEMILIKAN RTH DI PERKOTAAN TOBELO Ristanti Konofo 1, Veronica Kumurur 2, & Fella Warouw 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Universitas Sam Ratulanggi Manado 2 & 3 Staf

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Permukiman Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. Permukiman perlu ditata agar dapat berkelanjutan dan

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa hutan kota

Lebih terperinci

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D

KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR. Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D KAJIAN PENATAAN POHON SEBAGAI BAGIAN PENGHIJAUAN KOTA PADA KAWASAN SIMPANG EMPAT PASAR MARTAPURA TUGAS AKHIR Oleh: SRI ARMELLA SURYANI L2D 300 377 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan usaha-usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal ini penting sebab tingkat pertambahan penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 30 APRIL 2004 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK 01 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikim Kota Daerah Tropis Menurut Petterssen (1941), iklim merupakan rata-rata atau kondisi normal cuaca dalam jangka waktu panjang, 30 tahun atau lebih. Iklim suatu wilayah ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas. Dalam Kota terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Adakalanya kota didirikan sebagai tempat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. permukaan tanah dan atau air (Peraturan Pemeritah Nomor 34 Tahun 2006). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

===================================================== PERATURAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG

===================================================== PERATURAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG ===================================================== LEMBARAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR TAHUN 2012 NOMOR 12 PERATURAN DAERAH KOTA PEMATANGSIANTAR NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU KAWASAN JEMBATAN TENGKU AGUNG SULTANAH LATIFAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHM AT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK,

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo

Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Kebutuhan Masyarakat akan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Pusat Kota Ponorogo Fungsi Ekologis Terciptanya Iklim Mikro 81% responden menyatakan telah mendapat manfaat RTH sebagai pengatur iklim mikro.

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci