KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI"

Transkripsi

1 KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari Komisi Pembiming. Karya ini belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2010 Heni Safitri NRP. A

3 ABSTRACT HENI SAFITRI. Anther Culture and Doubled Haploid Evaluation to Obtain New Upland Plant Type of Rice. Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO, ISWARI SARASWATI DEWI, and DESTA WIRNAS as advisory committee. Rice productivity rate in Indonesia has been leveling off, means that any cultivation technology is difficult to increase production because the genetic potential of rice production is saturated. Therefore, it requires high yielding varieties that yield higher than existing varieties. The way to obtain new high yielding varieties in the conventional method takes a long time (7-10 years), especially the selection process to obtain pure lines. Utilization of biotechnology such as anther culture is expected to shorten the acquisition of pure lines and the selection process so that it can save labor, time and cost. The objectives of this research were: (1) to obtain doubled haploid homozygous rice lines, (2) to obtain genetic control information of agronomic characters supporting the development of new upland plant type of rice, and (3) to obtain genotypes having potential as upland rice and new upland plant type of rice. The research consisted of three experiments: (1) The study of green plant regeneration in rice anther culture, (2) Genetic analysis of agronomic characters in rice, and (3) Evaluation of doubled haploid lines. A completely randomized design with 25 replications were used in Experiment 1, while randomized block design with four replications were used in Experiment 2. Material of experiments 1 and 2 were the new plant type of rice varieties and line i.e Fatmawati and BP360E-MR-79-2, Buru rice landraces i.e Fulan Telo Gawa and Fulan Telo Mihat, and F1 hybrid and their reciprocal crosses of new plant type of rice with Buru rice landraces. Anther culture medium for the experiment 1 is N6 for callus induction and MS for regeneration and rooting. Experiments 3 was carried out in Augmented randomized block design with seven replications of three check genotypes (Fatmawati, Fulan Telo Gawa and Limboto). Materials tested were 35 doubled haploid lines obtained from anther culture of Fulan Telo Gawa/Fatmawati and its resiprocal crosses. They were planted in upland condition. The results showed that: F1 genotypes derived from Fatmawati/Fulan Telo Gawa and its reciprocal crosses were the most efficient genotypes in rice anther culture. The F1 genotypes were easier to produce green and doubled haploid plants in rice anther culture than their parents. The F1 genotypes of Fulan Telo Gawa/Fatmawati and its reciprocal were the best cross combination. These crosses had possibility to produce genotypes with the desired characters in the next generation. Evaluation of 35 doubled haploid genotypes showed that there was variability of agronomic and yield characters among the doubled haploid lines. Selection of 35 doubled haploid genotypes produced a genotype with new plant type characters, i.e. FG1R and 14 genotypes were selected as upland rice lines. Keywords: upland rice, new plant type, doubled haploid, agronomic characters

4 RINGKASAN HENI SAFITRI. Kultur Antera dan Evaluasi Galur Haploid Ganda untuk Mendapatkan Padi Gogo Tipe Baru. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO, ISWARI SARASWATI DEWI dan DESTA WIRNAS. Laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (levelling off), artinya teknologi budidaya apapun yang diberikan sulit untuk meningkatkan produksi karena potensi genetik produksinya sudah jenuh. Oleh karena itu, diperlukan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi melebihi daya hasil varietas yang sudah ada. Cara memperoleh varietas unggul tipe baru secara konvensional memerlukan waktu yang lama (7-10 tahun), terutama proses seleksinya sampai diperoleh galur murni. Pemanfaatan bioteknologi seperti kultur antera diharapkan mampu mempersingkat perolehan galur murni dan proses seleksi sehingga dapat menghemat tenaga, waktu dan biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendapatkan galur padi haploid ganda homozigos, (2) mendapatkan informasi tentang kendali genetik terhadap karakter agronomi yang menunjang pembentukan padi gogo tipe baru, dan (3) mendapatkan genotipe yang berpotensi sebagai galur padi gogo dan galur padi gogo tipe baru. Penelitian terdiri atas tiga percobaan yaitu (1) Studi regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi, (2) Analisis genetik karakter agronomi pada padi, dan (3) Evaluasi galur-galur haploid ganda hasil kultur antera. Percobaan 1 dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap 25 ulangan, sedangkan percobaan 2 dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok empat ulangan. Materi percobaan 1 dan 2 adalah varietas dan galur harapan padi tipe baru yaitu Fatmawati dan BP360E-MR-79-2, padi varietas lokal Pulau Buru yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, dan F1 hasil persilangan Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 dengan varietas lokal Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat serta resiprokalnya. Media kultur antera untuk percobaan 1 yaitu N6 untuk induksi kalus dan MS untuk regenerasi dan perakaran. Percobaan 3 dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok augmented dengan tiga genotipe pembanding (Fatmawati, Fulan Telo Gawa dan Limboto) yang diulang tujuh kali. Materi percobaan adalah 35 galur haploid ganda hasil kultur antera F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiprokalnya, ditanam di lapang dalam kondisi gogo. Hasil kultur antera terhadap empat tetua dan delapan F1 hasil persilangan antar tetua menunjukkan bahwa genotipe memberikan respon yang berbeda pada kultur antera padi. Efisiensi pembentukan tanaman pada F1 berkisar antara persen, sedangkan efisiensi pembentukan tanaman pada keempat tetua berkisar antara persen. Genotipe F1 lebih efisien dalam menghasilkan tanaman hijau dan tanaman haploid ganda dibanding dengan genotipe tetua yang digunakan dalam persilangannya. Genotipe F1 yang berasal dari persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya merupakan genotipe yang paling efisien dalam menghasilkan tanaman pada kultur antera padi. Tanaman haploid ganda yang diperoleh dari penelitian ini sebanyak 161 tanaman atau persen dari total tanaman hijau yang berhasil diaklimatisasi Evaluasi karakter agronomi terhadap delapan F1 hasil persilangan padi gogo lokal dengan padi tipe baru menunjukkan bahwa genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya merupakan kombinasi persilangan terbaik dan menghasilkan gabah kering per rumpun paling tinggi di antara genotipe F1

5 yang lain. Genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya memiliki kemungkinan untuk menghasilkan genotipe-genotipe dengan karakter yang diinginkan pada generasi berikutnya. Peluang perbaikan genetik dapat dilakukan melalui karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai dan hasil gabah kering per rumpun. Karakter-karakter tersebut mempunyai variabilitas genetik yang luas. Evaluasi terhadap 35 genotipe haploid ganda menunjukkan bahwa terdapat keragaman karakter agronomi dan hasil antar genotipe haploid ganda hasil kultur antera. Karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai dan hasil gabah kering per rumpun mempunyai variabilitas genetik luas. Seleksi terhadap 35 genotipe haploid ganda hasil kultur antera menghasilkan satu genotipe yang terpilih sebagai galur padi gogo tipe baru, yaitu FG1R dan 14 genotipe terpilih sebagai galur padi gogo. FG1R mempunyai tinggi tanaman sedang (98.7 cm), berumur genjah (102.1 hari), mempunyai pengisian gabah yang baik (79.9 %) dengan gabah isi per malai sebanyak 122 butir, dan hasil gabah kering per rumpun yang tinggi (24.9 g). Galur-galur haploid ganda yang dihasilkan masih perlu dievalusi lebih lanjut, baik karakter agronomi maupun ketahanannya terhadap hama dan penyakit. Kata kunci: padi gogo, padi tipe baru, haploid ganda, karakter agronomi

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Judul Tesis Nama NRP : Kultur Antera dan Evaluasi Galur Haploid Ganda untuk Mendapatkan Padi Gogo Tipe Baru : Heni Safitri : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc. Ketua Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi Anggota Dr. Desta Wirnas, SP. MSi. Anggota Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Diketahui, Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal ujian: 19 Januari 2010 Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil penulis selesaikan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan galur-galur padi haploid ganda hasil kultur antera dan memperoleh galur padi gogo yang berpotensi sebagai padi gogo tipe baru. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc., Dr. Ir. Iswari S. Dewi dan Dr. Desta Wirnas, SP. MSi selaku pembimbing yang banyak memberi arahan, saran dan tambahan wawasan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. dan Dr. Ir. Darda Efendi, MSi. selaku koordinator Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, serta Dr. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa pendidikan, Pemerintah Kabupaten Buru yang telah menyediakan biaya penelitian, pimpinan, staf dan teknisi BB Biogen, KP Padi Muara Bogor dan BB Padi Sukamandi yang telah membantu pelaksanaan penelitian, serta rekan-rekan Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman atas semangat dan dukungannya. Penulis menyampaikan rasa hormat, terima kasih dan penghargaan kepada Bapak dan Ibu sebagai orang tua yang telah menanamkan dasar pendidikan yang baik dan berguna bagi penulis, seluruh keluarga besar atas segala doa dan dukungannya. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada suami tercinta Edy Suwarna dan kedua anak kami tersayang, Naura Azizah dan Naufal Fauzi atas segala pengertian, doa, motivasi, bantuan, pengorbanan dan kesabarannya dalam mendampingi penulis selama ini. Terima kasih juga kepada bibi yang sudah menjaga dan mengasuh anak-anak sehingga penulis dapat beraktifitas dengan baik. Akhirnya kepada semua pihak yang turut membantu selama penelitian hingga penulisan tesis ini, penulis ucapkan terima kasih. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Januari 2010 Heni Safitri

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 30 Agustus 1979 sebagai anak sulung dari pasangan Lanjar Jarwo Purnomo dan Sugiyah. Pendidikan SD dan SMP ditempuh di Yogyakarta, serta SMU di Klaten. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian UGM, lulus pada tahun Tahun 2007, penulis diterima di Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Kebun Percobaan Muara, Bogor sejak tahun 2003.

11 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Hipotesis... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Botani Tanaman Padi... 5 Padi Gogo dan Padi Tipe Baru... 6 Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Padi... 8 METODOLOGI Pembentukan materi genetik Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi.. 16 Percobaan 2: Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi Percobaan 3. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Padi Haploid Ganda Hasil Kultur Antera HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi.. 27 Percobaan 2: Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi Percobaan 3. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Padi Haploid Ganda Hasil Kultur Antera SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Analisis keragaman rancangan acak kelompok Analisis ragam rancangan augmented Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah kalus dan jumlah kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi Hasil induksi kalus beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru pada kultur antera padi Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah tanaman hijau, jumlah tanaman albino dan jumlah tanaman total pada kultur antera padi Hasil regenerasi tanaman beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru pada kultur antera padi Efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada kultur antera padi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru Hasil aklimatisasi dan tanaman haploid ganda yang dihasilkan pada kultur antera padi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru Hasil sidik ragam karakter agronomi genotipe padi persilangan padi gogo dan padi tipe baru Komponen agronomi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru beserta tetuanya Komponen hasil beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru beserta tetuanya Nilai komponen ragam dan nilai duga heritabilitas karakter agronomi dan hasil pada padi Hasil sidik ragam respon genotipe haploid ganda dan genotipe pembanding terhadap karakter agronomi dan hasil pada padi Nilai komponen ragam dan nilai duga heritabilitas karakter agronomi dan hasil pada genotipe padi hasil kultur antera Nilai koefisien korelasi antar karakter galur-galur haploid ganda hasil kultur antera Pengaruh langsung dan tidak langsung antara karakter agronomi terhadap hasil gabah per rumpun galur-galur haploid ganda hasil kultur antera xii

14 17. Tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, panjang malai dan panjang daun galur-galur haploid ganda hasil kultur antera Jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah bernas, hasil gabah kering per rumpun dan eksersi malai galur-galur haploid ganda hasil kultur antera Galur-galur haploid ganda hasil kultur antera yang terpilih sebagai padi gogo dan padi gogo tipe baru Nilai diferensial seleksi karakter agronomi galur-galur haploid ganda hasil kultur antera xiii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir penelitian Malai dan spikelet yang dipakai dalam kultur antera Hubungan antara karakter agronomi terhadap hasil (Y) Plantlet hasil kultur antera: tanaman hijau (kiri) dan tanaman albino (kanan) Tanaman yang dihasilkan dari kultur antera: tanaman haploid ganda (kiri) dan tanaman haploid (kanan) Warna gabah dan warna beras empat tetua padi gogo dan padi tipe baru dan hasil persilangannya Eksersi malai: terbuka (kiri), terbuka sebatas leher (tengah), dan tertutup (kanan) Penampilan galur terpilih FG1R : stadia vegetatif (a), stadia generatif (b), dan ketiga tetua pembanding: Fatmawati (c), Fulan Telo Gawa (d) dan Limboto (e) xiv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data luas lahan, produksi dan produktivitas padi nasional dan padi gogo tahun Karakteristik galur/varietas yang digunakan untuk tetua persilangan Komposisi kimia media dasar induksi kalus (N6) dan media dasar regenerasi (MS) pada kultur antera padi xv

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan sumber bahan makanan pokok di Indonesia. Kebutuhan beras dalam negeri terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Dengan pertambahan jumlah penduduk 1.66 persen per tahun, maka pada tahun 2020 penduduk Indonesia akan mencapai 288 juta jiwa (Haryanto 2008), oleh karena itu diperlukan peningkatan produksi padi sehingga dapat mendukung ketahanan pangan nasional. Laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (levelling off), artinya teknologi budidaya apapun yang diberikan sulit untuk meningkatkan produksi karena potensi genetik produksinya sudah jenuh. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya varietas unggul baru yang berpotensi lebih tinggi dibanding varietas yang selama ini ditanam oleh petani. Oleh karena itu, diperlukan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi melebihi daya hasil varietas yang sudah ada. Indonesia mempunyai lahan kering dengan luas lebih dari juta ha yang sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal (Soedjana 2005). Salah satu usaha memanfaatkan lahan kering yaitu dengan budidaya padi gogo. Data Departemen Pertanian selama sepuluh tahun terakhir (Lampiran 1) menunjukkan bahwa luas pertanaman padi gogo dari tahun ke tahun relatif tetap. Rata-rata produksi padi gogo selama sepuluh tahun sebesar 2.84 juta ton dengan produktivitas 2.59 ton/ha, sementara itu produksi padi nasional mencapai juta ton sehingga kontribusi padi gogo terhadap produksi padi nasional masih sangat kecil, yaitu 5.18 persen (Deptan 2009). Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas padi (Suwarno et al. 2002). Peningkatan 10 persen potensi hasil padi dapat dicapai salah satunya dengan memperbaiki idiotipe tanaman. IRRI telah merumuskan idiotipe tanaman padi sawah tipe baru (PTB) atau new plant type of rice (NPT) yaitu: jumlah malai 330 per m 2 (10-15 batang/rumpun), jumlah gabah per malai lebih dari 150 butir, 80 persen gabah bernas, bobot 1000 butir gabah 25

18 2 gram (kering oven), biomassa total 22 t/ha (kadar air 14 persen), indeks panen 0.5, daun tebal berwarna hijau tua dan lambat menua (Peng et al. 2008). Ketersediaan dan keragaman sumber daya genetik merupakan faktor penting dalam perakitan varietas unggul dengan sifat-sifat yang diinginkan. Padi gogo lokal merupakan sumber gen utama (primary gene pool) yang dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman. Karakteristik padi gogo lokal antara lain berumur panjang ( hari), berpostur tinggi (> 150 cm), anakan sedikit (< 8 batang), malai sedang, daun panjang terkulai dan berwarna hijau muda, kurang responsif terhadap pemupukan terutama nitrogen, namun lebih adaptif pada lingkungan tertentu (Barus 2008). Peningkatan produktivitas padi gogo dapat dilakukan dengan merakit varietas padi gogo tipe baru sehingga didapatkan padi gogo yang mempunyai sifat-sifat padi tipe baru, antara lain tinggi tanaman cm, jumlah anakan produktif 8-15 batang, jumlah gabah per malai lebih dari 150 butir, pengisian gabah baik (>75 persen), tanaman tegak tidak rebah, daun berwarna hijau tua, dan perakaran yang dalam. Penelitian dan perakitan padi tipe baru di Indonesia telah dimulai sejak tahun Program penelitian padi tipe baru menjadi program baru Balai Besar Penelitian Tanaman Padi pada tahun Program tersebut telah menghasilkan satu varietas unggul tipe baru yaitu Fatmawati (Abdullah et al. 2005). Perakitan padi gogo tipe baru belum banyak dilakukan mengingat berbagai kendala adaptasi lingkungan dan cekaman biotik. Cara memperoleh varietas unggul tipe baru secara konvensional memerlukan waktu yang lama (7-10 tahun), terutama proses seleksinya sampai diperoleh galur murni. Pemanfaatan bioteknologi seperti kultur antera diharapkan mampu mempersingkat perolehan galur murni dan proses seleksi sehingga dapat menghemat tenaga, waktu dan biaya. Beberapa peneliti telah mencoba menerapkan teknik ini dengan tujuan untuk mencari galur tahan terhadap hama/penyakit, mutu beras baik serta toleran terhadap suhu dingin (Kim 1986; Dewi dan Purwoko 2001; Abdullah et al. 2003).

19 3 Serangkaian penelitian dilakukan untuk mendapatkan galur haploid ganda padi gogo dan padi gogo tipe baru hasil kultur antera. Alur penelitian disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Bagan alir penelitian

20 4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan galur padi haploid ganda homozigos 2. Mendapatkan informasi tentang kendali genetik terhadap karakter agronomi yang menunjang pembentukan padi gogo tipe baru 3. Mendapatkan genotipe yang berpotensi sebagai galur padi gogo dan galur padi gogo tipe baru. Hipotesis 1. Terdapat genotipe F1 hasil persilangan padi gogo dengan padi tipe baru yang memiliki daya kultur antera yang baik 2. Terdapat keragaman antar galur haploid ganda hasil kultur antera 3. Terdapat potensi pada galur padi haploid ganda hasil kultur antera untuk dikembangkan ke arah padi gogo dan padi gogo tipe baru

21 5 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman serealia semusim. Secara taksonomi, padi termasuk dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, ordo Poales atau Glumiflorae, famili Gramineae atau Poaceae. Genus Oryza memiliki lebih dari 20 spesies, tetapi yang banyak dibudidayakan di lima benua adalah Oryza sativa L., sedangkan Oryza glaberrima Steud. hanya dibudidayakan terbatas di daerah Afrika Barat. Kedua spesies ini termasuk diploid (Gould 1968). Berdasarkan gambaran umum morfologi dan fisiologinya, Oryza sativa dibedakan menjadi tiga subspecies, yaitu indica, japonica dan javanica (Chang dan Bardenas 1965). Padi subspesies indica banyak ditanam di Sri Lanka, Cina bagian Selatan dan Tengah, India, Pakistan, Indonesia, Filipina, Taiwan dan negara-negara tropis lainnya, sedangkan subspesies japonica banyak ditanam di Cina, Korea dan Jepang. Padi subspesies javanica dapat dijumpai di daerah tertentu di Indonesia, diantaranya Jawa dan Sumatra sehingga disebut juga tropical japonica. Di Indonesia, subspesies javanica disebut sebagai padi bulu, sedangkan subspecies indica disebut sebagai padi cere. Pertumbuhan tanaman padi dibedakan dalam tiga fase, yaitu fase vegetatif, generatif dan pematangan. Fase vegetatif dimulai dari awal pertumbuhan sampai pembentukan malai, fase reproduktif dimulai dari pembentukan malai sampai pembungaan dan fase pematangan dimulai dari pembungaan sampai gabah matang. Di daerah tropis, fase generatif berlangsung 35 hari dan fase pematangan 30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan dibedakan berdasar lamanya fase vegetatif (IRRI 2008). Padi merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan frekuensi penyerbukan silang kurang dari satu persen. Umur berbunga padi bervariasi tergantung genotipenya, pada umumnya berkisar hari setelah benih ditabur. Bunga padi (spikelet) tersusun dalam rangkaian yang disebut malai. Bunga padi terdiri atas tangkai, bakal buah (ovary), lemma, palea, putik (pistil) dan benang sari (stamens). Pada pangkal bakal buah terdapat lodikula (lodicule) yang mengatur pembukaan lemma dan palea saat anthesis. Setiap bunga mempunyai satu putik

22 6 dan enam benang sari. Pada ujung benang sari terdapat kepala sari atau antera, merupakan bagian bunga jantan yang menghasilkan tepung sari (pollen) (IRRI 2004). Kondisi lingkungan seperti panjang hari, suhu dan air memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan morfologi tanaman. Air merupakan salah satu faktor lingkungan penting dalam proses evolusi tanaman. Padi dianggap sebagai tanaman budidaya yang memiliki karakter baik sebagai tanaman terrestrial maupun aquatik. Padi budidaya terdiferensiasi ke dalam beragam kultivar mulai dari padi rawa yang mampu tumbuh di kedalaman air 5-7 meter pada sebagian waktu siklus hidupnya sampai kultivar yang beradaptasi terhadap kondisi kering dimana sumber air hanya berasal dari hujan (Takahashi 1997). Padi Gogo dan Padi Tipe Baru Di Indonesia yang beriklim tropis, padi ditanam di seluruh daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Umumnya padi diusahakan sebagai padi sawah (85-90 persen) dan sebagian kecil sebagai padi gogo. Padi sawah dapat ditanam pada musim hujan maupun musim kemarau, sedangkan padi gogo hanya ditanam pada musim hujan saja karena risiko kekeringan di musim kemarau. Budidaya padi sawah memerlukan kebutuhan air yang cukup dengan cara menggenangi pertanaman padi sedalam 5-25 cm pada hampir seluruh fase pertumbuhannya, sedangkan budidaya padi gogo tidak memerlukan kebutuhan air yang banyak sehingga penanamannya tidak perlu penggenangan (Taslim dan Fagi 1988). Umur genjah sangat penting pada budidaya padi gogo agar pertanaman dapat terhindar dari bahaya kekeringan (Harahap 1982). Kendala utama yang dihadapi pada budidaya padi gogo adalah produktivitasnya yang rendah yang disebabkan oleh kondisi lahan yang kurang subur, keracunan Al, defisiensi P, Ca dan Mg (Kaher 1993), gulma, serta kekeringan. Serangan hama lalat bibit (Atherigona exigua), penyakit blas (Pyricularia grisea Cav.) dan penyakit bercak daun coklat (Helminthosporium oryzae) juga dapat menurunkan produktivitas padi gogo (Alluri 1986; Kaher 1993; Lubis et al. 1993).

23 7 Mutu beras yang kurang baik mengakibatkan padi gogo tidak disukai oleh petani dan konsumen. Varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi, bermutu beras baik dan berumur genjah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kontribusi padi gogo terhadap padi nasional. Beras yang bermutu baik dan bertekstur nasi pulen lebih disukai oleh konsumen dan mempunyai harga jual yang lebih tinggi (Allidawati dan Kustianto 1993). Peningkatan potensi hasil suatu tanaman dapat dilakukan dengan memodifikasi tipe tanaman (Donald 1968). Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya genetik padi dengan cara pemuliaan yaitu persilangan dan seleksi. Modifikasi tipe tanaman padi yang tepat dapat menghasilkan genotipe dengan kemampuan menghasilkan bahan kering tanaman dan indeks panen yang tinggi. Indeks panen varietas unggul baru (VUB) sekitar 0.5 sehingga untuk menghasilkan 10 t/ha gabah kering giling VUB harus didapatkan tanaman yang mampu menghasilkan 20 t/ha bahan kering. Indeks panen dapat ditingkatkan menjadi 0.6 dan hasil bahan kering menjadi 22 t/ha melalui modifikasi tipe tanaman sehingga potensi hasil varietas padi dapat ditingkatkan menjadi 13 t/ha gabah kering giling (Khush 1995). IRRI telah merumuskan idiotipe tanaman padi sawah tipe baru (PTB) atau new plant type of rice (NPT) untuk meningkatkan potensi hasil padi. Pemuliaan padi tipe baru dimulai pada tahun 1989 di IRRI. Secara genetik, sifat PTB tidak berbeda dengan varietas inbrida yang sudah biasa ditanam petani, tetapi potensi produksinya lebih unggul karena dirakit dengan mengkombinasikan sifat khusus yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan, dan produksi biji. Pada tahun 1993 dikembangkan galur PTB generasi pertama dengan menggunakan padi tropical japonica, tetapi PTB generasi pertama ini tidak memiliki hasil yang baik karena kurangnya produksi biomassa dan pengisian gabah yang kurang baik. PTB generasi pertama ini juga rentan terhadap hama dan penyakit serta mempunyai kualitas biji yang kurang baik sehingga galur-galur PTB generasi pertama tidak dapat dilepas sebagai kultivar, tetapi digunakan lagi sebagai bahan genetik pada program pemuliaan selanjutnya (Yang et al. 2007; Peng et al. 2008). Pengembangan PTB generasi kedua dimulai pada tahun 1995 dengan menyilangkan galur PTB generasi pertama (tropical japonica) dengan tetua

24 8 indica. Tetua indica meningkatkan jumlah anakan, menurunkan ukuran malai (jumlah gabah per malai), meningkatkan kualitas biji dan meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit galur-galur PTB generasi kedua. Meskipun demikian, galur-galur PTB generasi kedua ini ternyata belum meningkatkan potensi hasil padi sawah pada musim kemarau di daerah tropis (Yang et al. 2007; Peng et al. 2008). Peningkatan 10 persen potensi hasil padi sawah di daerah tropis dapat dilakukan dengan menggunakan PTB generasi kedua dengan target karakter antara lain: jumlah malai 330 per m 2 (anakan produktif batang), jumlah gabah per malai >150 butir, 80 persen gabah bernas, berat biji kering 25 mg, tinggi tanaman sedang ( cm), umur sedang ( hari), daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua dan harus mampu mempertahankan kehijauannya atau lambat menua (delayed senescence), perakaran dalam, dan tahan terhadap hama dan penyakit utama (Peng et al. 2008). Di Indonesia, penelitian ke arah perakitan PTB telah dimulai sejak tahun Varietas PTB yang sudah dilepas adalah varietas perdana Fatmawati (akhir 2003) yang memiliki potensi produksi di atas 8.0 ton per ha (Abdullah et al., 2005). Fatmawati sebagai varietas PTB masih mempunyai beberapa kelemahan diantaranya persentase gabah hampa yang tinggi (>25 persen), kerontokan gabah yang sulit dan tidak tahan terhadap penyakit (blas dan hawar daun bakteri). Hal ini diduga akibat berbagai faktor seperti suhu, respirasi tinggi, dan sifat-sifat yang lain seperti daun cepat menua. Hasil penelitian yang dilakukan Limbongan (2008) menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingginya kehampaan malai pada Fatmawati adalah tingginya dosis nitrogen dan kondisi cekaman suhu rendah (18 0 C). Program pemuliaan PTB terus dilakukan untuk mendapatkan galur-galur dengan sifat sesuai kriteria sehingga mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi dibanding varietas unggul sebelumnya. Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Padi Varietas tanaman menyerbuk sendiri seperti padi terdiri atas genotipegenotipe yang homogen dan homozigos sehingga persilangan dapat dibuat dari dua genotipe yang berbeda. Hasil rekombinasi sifat-sifat yang diinginkan dari

25 9 genom tetua yang disilangkan diseleksi pada generasi bersegregasi, dilanjutkan dengan penyerbukan sendiri 6-10 kali generasi untuk fiksasi gen sehingga diperoleh galur murni homozigos. Hal ini mengakibatkan pembentukan varietas memerlukan waktu yang lama (Dewi dan Purwoko 2001). Perkembangan bioteknologi di negara maju mendorong Indonesia untuk memanfaatkannya dalam pembangunan pertanian, misalnya dalam upaya perbaikan kultivar padi. Teknik aplikasi kultur antera tampaknya memberi harapan untuk membantu program pemuliaan padi. Pada tanaman padi, induksi haploid melalui kultur antera merupakan metode yang paling sederhana dan mudah dilaksanakan dibandingkan dengan kultur pollen dan kultur ovule/ovary (Zapata 1990). Teknik kultur antera memiliki beberapa keuntungan, yaitu (a) memperpendek siklus pemuliaan dengan diperolehnya homozigositas secara cepat, (b) menambah efisiensi seleksi, (c) memperluas variabilitas genetik melalui produksi variasi gametoklonal, (d) mempercepat terekspresinya gen resesif, (e) menyediakan sumber benih homozigos, dan (f) menghemat waktu, biaya dan tenaga (Fehr 1987; Zapata 1990; Dewi et al. 1996; Masyhudi 1997; Kim and Baenziger 2005). Teknik kultur antera juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu: (a) pelaksanaan teknik kultur antera memerlukan peralatan dan personil khusus, (b) regenerasi tanaman hijau rendah, karena dihasilkan tanaman albino di samping tidak semua genotipe responsif terhadap kultur antera, (c) beragamnya ploidi tanaman yang dihasilkan, (d) frekuensi haploid tidak dapat diprediksi dalam populasi, dan (e) penampilan galur inbred turunan haploid ganda mungkin lebih inferior dibanding penampilan galur inbred hasil pemuliaan konvensional (Callegarin et al. 1994; Dewi et al. 1996; Masyhudi et al. 1997; Somantri et al. 2003). Tanaman albino yang dihasilkan pada kultur anter serealia merupakan salah satu kendala bagi para peneliti kultur antera dan kultur mikrospora. Tanaman albino merupakan tanaman yang berwarna putih akibat tidak terbentuknya klorofil pada bagian tajuk sehingga hampir semua tanaman albino adalah lethal. Beberapa faktor yang menyebabkan albino antara lain faktor genotipe, fase perkembangan

26 10 mikrospora, suhu kultur dan praperlakuan sebelum antera dikulturkan. Tanaman albino hasil kultur antera padi disebabkan karena hilangnya sebagian besar produk gen plastid antara lain 23s dan 16s rrna (Jahne dan Lorz 1995). Menurut Bhojwani dan Razdan (1996), albino pada padi disebabkan oleh kegagalan proplastid berkembang secara normal menjadi kloroplast, tidak terbentuk grana dan kurangnya ribosom. Regenerasi tanaman albino merupakan hal yang spesifik pada kultur antera karena hanya sedikit tanaman albino yang dihasilkan dari regenerasi sel somatik. Regenerasi tanaman albino pada kultur antera padi dikendalikan oleh gen inti (Jahne dan Lorz 1995; Yamagishi 2002). Analisis QTL (Quantitative Trait Loci) menunjukkan bahwa satu QTL pada kromosom 10 mengendalikan frekuensi tanaman albino dan satu QTL pada kromosom 9 menyebabkan regenerasi tanaman albino (Yamagishi 2002). Tanaman haploid ganda pada kultur antera diperoleh secara spontan. Penggandaan kromosom secara spontan diduga terjadi selama kultur kalus embriogenik (Fu et al. 2008). Pembentukan tanaman haploid ganda secara spontan pada kultur antera sangat menguntungkan karena tidak perlu menggandakan kromosom tanaman haploid. Karakter tanaman haploid ganda yang dihasilkan secara spontan dengan kultur antera akan tetap stabil dari generasi ke generasi. Tanaman haploid ganda secara genetik identik dari generasi ke generasi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi tanaman (DH1) yang berasal dari generasi awal (DH0) hasil kultur antera (Hu 1988; Zhang 1989; Sasmita 2006). Karakter agronomi seperti hasil dan kualitas biji serta toleransi terhadap cekaman biotik dan abiotik dikendalikan oleh gen mayor sehingga genotipe haploid ganda dapat segera dievaluasi pada generasi awal, yaitu DH1 dan DH2 (Fehr 1987; Chung 1992). Penggunaan teknik kultur antera akan menghasilkan tanaman melalui proses androgenesis atau embriogenesis tidak langsung, yaitu kaulogenesis yang terdiri atas tahap induksi butir tepung sari menjadi embrioid atau kalus dan tahap diferensiasi kalus menjadi tanaman kecil (plantlet). Tanaman haploid ganda dapat diperoleh secara spontan dari kultur atau diinduksi dari tanaman haploid melalui pemangkasan (ratooning) ditambah pemberian kolkisin persen (Chung

27 ; Dewi 2003; Dewi et al. 2007). Tanaman haploid ganda dengan keragaman genetik tinggi dapat diperoleh dari sumber antera yang berasal dari tanaman F1 atau F2 yang sudah diseleksi (Poehlman dan Sleper 1995; Dewi dan Purwoko 2001; Dewi et al. 2007). Teknik kultur antera dapat mempercepat pembentukan galur homozigos tanaman padi. Galur murni dapat diseleksi dari populasi haploid ganda yang homogen dan homozigos. Hasil rekombinasi dari persilangan difiksasi melalui kultur antera sehingga galur-galur harapan homozigos dapat lebih cepat diseleksi berdasarkan keunggulan sifat-sifat agronominya. Populasi tanaman yang diseleksi juga akan lebih sedikit. Populasi haploid ganda minimum yang diperlukan untuk evaluasi bervariasi tergantung dari jumlah gen untuk seleksi. Jika perbedaan pada tetua persilangan adalah sejumlah n gen dan diasumsikan tidak ada pautan, maka minimum sebanyak 2 n tanaman harus ditanam agar semua genotipe homozigos dapat terwakili, sedangkan dengan pemuliaan konvensional diperlukan sebanyak 4 n tanaman (Dewi dan Purwoko 2001). Makin banyak gen yang mengontrol karakter yang diinginkan maka jumlah individu materi populasi untuk bahan seleksi akan semakin besar (Somantri et al. 2003). Keberhasilan kultur antera dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu genotipe tanaman, fase pembentukan mikrospora pada saat antera diambil, praperlakuan antera sebelum dikulturkan, komposisi media, kondisi tumbuh lingkungan tanaman yang akan diambil anteranya dan lingkungan pada saat pengambilan sampel malai (Chu 1978; Gupta dan Borthakur 1987; Cowen et al. 1992; Raina dan Zapata 1997; Lee et al. 2004). Genotipe tanaman mempunyai respon yang berbeda dalam menginduksi kalus dan regenerasi tanaman. Secara umum kultivar padi Japonica memberikan respon kultur antera lebih baik dibanding kultvar indica. Respon genotipe pada kultur antera padi membentuk pola sebagai berikut: japonica/japonica > japonica > indica/japonica > indica/indica > indica (Yan et al. 1996). Kultur antera hibrida F1 menghasilkan respon lebih baik dibanding tetua inbred yang digunakan (Chen 1983; Callegarin et al. 1994). Tahap perkembangan butir tepung sari pada saat antera dikulturkan merupakan saat paling kritis dalam keberhasilan kultur antera. Tahap tepung sari

28 12 yang optimum untuk kultur antera adalah pada tahap pertengahan uninukleat (mid-uninucleate), sebelum atau sesudah tahap tersebut akan memberikan penurunan respon yang nyata (Chung 1992). Perlakuan awal (pretreatment) terhadap malai padi sebelum antera dikulturkan dapat mempengarui frekuensi induksi kalus. Perlakuan suhu dingin dapat memperlambat senescence dan memberikan waktu yang cukup terhadap dinding antera untuk memelihara mikrospora yang berkembang di dalamnya. Perlakuan suhu dingin sebelum antera dikulturkan terbukti efektif meningkatkan induksi kalus embriogenik (Fu et al. 2008). Menurut Dewi et al. (1994), perlakuan suhu dingin bertujuan untuk menyeragamkan stadia polen sehingga dinding antera dapat mendukung perkembangan polen menjadi kalus. Media kultur merupakan faktor penting dalam keberhasilan kultur antera padi. Media berperan menyediakan hara lengkap yaitu unsur makro, unsur mikro, karbohidrat, asam amino, vitamin dan zat pengatur tumbuh yang diperlukan dalam proses induksi kalus maupun regenerasi tanaman. Media N6 terbukti paling sesuai dalam menginduksi kalus pada kultur antera padi (Chu 1978), sedangkan untuk regenerasi tanaman hijau digunakan media MS (Murashige dan Skoog 1962). Dewi et al. (1994) melaporkan bahwa media N6 dan modifikasinya dapat digunakan untuk induksi kalus dan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi subspesies indica dan hasil persilangannya. Poliamin merupakan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media kultur antera yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Poliamin yang umum ditemukan pada tanaman adalah putresin (butan-1, 4- diamin), spermidin [(N-3-aminopropil) butan-1, 4-diamin] dan spermin [NN -bis- (3-aminopropil) butan-1, 4-diamin]. Santos et al. (1996) menyatakan bahwa poliamin berperan dalam morfogenesis polen jagung pada teknik in vitro sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan mikrospora serta regenerasi tanaman tersebut. Dewi et al. (2004, 2007) melaporkan bahwa penambahan poliamin putresin 10-3 M pada media induksi kalus dan regenerasi dapat meningkatkan jumlah kalus yang diinduksi dari mikrospora dan regenerasi tanaman hijau dari kalus tersebut. Aplikasi putresin 10-3 M pada kultur antera padi

29 13 subspecies indica juga telah berhasil meregenerasikan tanaman hijau yang biasanya sukar atau rekalsitran in-vitro. Masyhudi (1994) menyatakan bahwa kondisi gelap diperlukan dalam induksi kalus dengan tujuan menghindari proses fotosintesis sehingga polen androgenik membelah dan membentuk kalus. Regenerasi tanaman memerlukan kondisi sebaliknya, ruang terang dengan cahaya kuat ( lux) diperlukan agar kalus dapat tumbuh dan berfotosintess menjadi tanaman. Kultur antera padi juga memerlukan suhu ruang yang stabil, yaitu 25 ± 2 0 C. Metode kultur antera telah lama digunakan pada pemuliaan padi dalam rangka mempercepat proses perakitan varietas karena dapat mengefisienkan siklus seleksi (Dewi et al. 1994). Metode kultur antera dalam pemuliaan tanaman padi telah berhasil mendapatkan varietas unggul di negara-negara produsen padi antara lain Cina dan Korea (Chung 1992). Kultivar Hua Yu no. 1 dapat menghasilkan 7.5 ton/ha gabah kering giling (GKG) di Cina. Sementara di Korea telah dihasilkan beberapa varietas melalui kultur antera diantaranya Hwaseongbyeo (1985), Hwacheongbyo (1986), Hwajinbyeo (1988) dan Hwayeongbyeo (1991). Teknik kultur antera juga digunakan pada pemuliaan padi di Italia untuk mendapatkan varietas padi yang memiliki bentuk beras panjang dan ramping, kering dan tidak lengket setelah dimasak (Callegarin et al. 1994). Perakitan varietas unggul baru melalui teknik kultur antera diharapkan dapat menunjang keberhasilan pemuliaan padi di Indonesia, khususnya padi gogo.

30 14 METODOLOGI Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan yaitu: 1. Studi regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi 2. Analisis genetik karakter agronomi pada padi 3. Evaluasi karakter agronomi galur-galur padi haploid ganda hasil kultur antera Pembentukan Materi Genetik Waktu dan Tempat Penelitian Pembentukan materi genetik terdiri atas dua kegiatan yaitu penanaman tetua dan persilangan di antara tetua untuk mendapatkan benih F1. Pembentukan materi genetik untuk Percobaan 1 dan Percobaan 2 dilakukan pada bulan Januari- Juni 2008 di Kebun Percobaan Muara, Balai Besar Penelitian Padi, Bogor. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan untuk pembentukan materi genetik adalah benih padi Fatmawati (varietas PTB), BP360E-MR-79-2 (galur harapan PTB), dan dua padi gogo lokal Pulai Buru yaitu Fulan Telo Gawa (FTG) dan Fulan Telo Mihat (FTM). Fulan Telo Gawa mempunyai warna beras putih, sedangkan Fulan Telo Mihat mempunyai warna beras merah. Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat dipilih sebagai tetua karena mempunyai karakter antara lain umur agak genjah, malai panjang dan pengisian gabah yang baik, sedangkan Fatmawati dan BP360E- MR-79-2 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru yang mempunyai karakter antara lain tanaman tegak, batang kekar dan malai lebat, tetapi pengisian gabah kurang baik (Lampiran 2). Metode Penelitian Materi genetik yang digunakan dalam Percobaan 1 dan Percobaan 2 adalah tetua yang berasal dari padi gogo lokal dan padi sawah tipe baru serta F1 hasil persilangan resiprok antara padi gogo lokal dengan padi sawah tipe baru. Padi gogo lokal Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat masing-masing disilangkan dengan Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 secara resiprok sehingga

31 15 diperoleh delapan persilangan, yaitu (1) Fulan Telo Gawa/Fatmawati, (2) Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, (3) Fulan Telo Mihat/Fatmawati, (4) Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, (5) Fatmawati/Fulan Telo Gawa, (6) Fatmawati/Fulan Telo Mihat, (7) BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Gawa dan (8) BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat. Pembentukan populasi F1 diawali dengan penanaman tetua persilangan. Benih tetua disemai dalam bak ukuran 30 cm x 50 cm, kemudian bibit dipindahtanam ke lapangan setelah berumur 21 hari. Bibit tetua ditanam di lapangan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, satu bibit per lubang tanam. Penanaman tetua diulang tiga kali dengan interval waktu dua minggu untuk sinkronisasi pembungaan saat persilangan. Tanaman dipupuk dengan 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP36 dan 100 kg/ha KCl. Setelah tanaman berbunga, tanaman yang dijadikan tetua betina dipindahkan ke dalam pot dan dibawa ke rumah kaca untuk dibuang bunga jantannya (kastrasi). Stadia bunga yang baik untuk diemaskulasi adalah pada saat benang sari berada pada pertengahan bunga. Stadia ini menunjukkan bahwa bunga akan mekar dalam 1-2 hari. Bunga digunting dengan kemiringan 60 0, kemudian benang sari dikeluarkan dengan cara dihisap dengan menggunakan pompa penghisap (putik tidak boleh rusak). Malai yang sudah diemaskulasi ditutup dengan kertas minyak dan diberi label. Persilangan dilakukan hari berikutnya pada pukul Bunga jantan diambil dari pertanaman di lapangan dengan cara memotong malai yang sebagian bunganya sudah pecah. Pengambilan malai dilakukan pada pukul Malai dari lapangan ini kemudian diletakkan dalam bak berisi air dalam ruang persilangan. Ruang persilangan merupakan ruang tertutup yang diberi lampu tembak (4 x 100 watt) dengan jarak m dari malai sehingga suhunya lebih tinggi dibanding suhu lapangan ( C). Hal ini bertujuan untuk mempercepat pecahnya bunga. Penyerbukan dilakukan dengan cara menggoyanggoyangkan malai tetua jantan di atas malai tetua betina yang sudah dikastrasi. Bunga yang sudah diserbuki ditutup dengan kertas minyak dan diberi label. Hasil persilangan (benih F1) dapat dipanen 3 minggu setelah persilangan dilakukan. Setelah dijemur 2 hari dan dibuang sekamnya, benih dioven dalam kantong kertas

32 16 pada suhu C selama 3 hari. Benih F1 ini dapat ditanam 15 hari setelah panen. Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan 1 dilakukan pada bulan September 2008 sampai April Penanaman bahan eksplan dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor, sedangkan kegiatan kultur antera dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam Percobaan 1 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru yaitu Fatmawati dan BP360E-MR-79-2, padi gogo lokal Pulau Buru yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, dan F1 hasil persilangan resiprok varietas/galur padi sawah tipe baru dengan padi gogo lokal, yaitu: (1) Fulan Telo Gawa/Fatmawati, (2) Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, (3) Fulan Telo Mihat/Fatmawati, (4) Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, (5) Fatmawati/Fulan Telo Gawa, (6) Fatmawati/Fulan Telo Mihat, (7) BP360E-MR- 79-2/Fulan Telo Gawa dan (8) BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat. Media kultur antera yaitu N6 (Chu 1978) untuk induksi kalus dan MS (Murashige dan Skoog 1962) untuk regenerasi dan perakaran. Metode Penelitian Percobaan kultur antera dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 25 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah 12 genotipe padi yang terdiri atas empat genotipe tetua dan delapan genotipe F1. Setiap ulangan merupakan satu cawan petri yang berisi antera dari 25 buah bulir bunga (spikelet). Sumber eksplan yaitu empat genotipe tetua dan delapan genotipe

33 17 F1 ditanam dalam pot masing-masing tanaman, 2 tanaman/pot. Pelaksanaan kultur antera mengikuti metode Dewi (2003). a. Pembuatan media Media dasar yang digunakan adalah N6 untuk induksi kalus dan media MS untuk regenerasi dan perakaran. Komposisi kimia kedua media yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3. Media induksi kalus adalah media N6 yang diberi 2.0 mg/l NAA dan 0.5 mg/l kinetin, sedangkan media regenerasi kalus adalah media MS yang diberi 0.5 mg/l NAA dan 2.0 mg/l kinetin. Putresin (salah satu jenis poliamin) 10-3 M dan sukrosa berturut-turut sebanyak 60 g/l dan 40 g/l ditambahkan ke dalam media induksi kalus dan media regenerasi. Media perakaran adalah media MS ditambah 0.5 mg/l IBA dan 10 g/l sukrosa. Pemadat yang digunakan adalah agar phytagel TM dengan ph media 5.8. Media disterilisasi dalam autoklaf selama 20 menit pada suhu C tekanan psi. b. Pemilihan dan inkubasi eksplan Malai yang diambil anteranya adalah malai yang masih dalam keadaan bunting dengan jarak aurikel daun bendera dengan aurikel daun di bawahnya 7-10 cm (Gambar 2). Malai yang masih terselubung dicuci bersih kemudian dibungkus dengan kertas tissue yang telah dibasahi dan aluminium foil. Selanjutnya malai disimpan dalam ruang dingin bersuhu 5 0 C selama 7-10 hari. Perlakuan suhu dingin berguna untuk menyeragamkan stadia polen sehingga lebih banyak polen pada stadia uninukleat yang dapat digunakan. Gambar 2. Malai dan spikelet yang dipakai dalam kultur antera

34 18 c. Sterilisasi eksplan Malai dibuka selubungnya, kemudian spikelet (bulir) yang berada di bagian tengah-atas dan berwarna kuning kehijauan diambil. Spikelet-spikelet yang terpilih kemudian disterilkan dengan 20% Clorox (Bayclin dengan kandungan NaCIO 5.25 %) selama 20 menit dan selanjutnya dicuci dengan air steril. Pencucian dilakukan sebanyak dua kali. Sterilisasi eksplan ini dilakukan dalam laminar air flow cabinet (LAF). d. Penanaman atau inokulasi eksplan Spikelet-spikelet yang sudah steril dipotong sepertiga bagian dari pangkalnya dan dikumpulkan dalam cawan petri steril, kemudian spikelet dijepit dengan menggunakan pinset dan diketuk-ketukkan pada cawan petri yang berisi 25 ml media induksi kalus sehingga antera akan keluar dan jatuh ke media. Setiap cawan petri berisi antera yang berasal dari spikelet atau berisi ± 150 butir antera. Kegiatan ini dilakukan dalam LAF. e. Inkubasi kultur antera Inkubasi antera dilakukan dalam ruang gelap bersuhu 25 ± 2 0 C untuk menginduksi keluarnya kalus yang berasal dari butir tepung sari (mikrospora) dalam antera. Kalus biasanya muncul sekitar 3-4 minggu setelah inokulasi. f. Regenerasi tanaman dari kalus Kalus yang berukuran 1-2 mm dipindahkan ke dalam botol yang berisi 25 ml media regenerasi untuk merangsang keluarnya tunas. Tunas/tanaman hijau yang tumbuh pada media regenerasi dipindahkan ke tabung kultur yang berisi 15 ml media perakaran setelah mencapai tinggi 3-5 cm. Sekelompok (cluster) tanaman yang tumbuh dari satu kalus tidak dipisahkan. Setelah akar tumbuh sempurna, maka tanaman siap untuk diaklimatisasi. g. Aklimatisasi Aklimatisasi dilakukan dengan menanam planlet hasil kultur antera dalam tabung reaksi berisi air selama ± 1 minggu, kemudian tanaman

35 19 dipindahkan ke dalam bak semai berisi tanah berlumpur selama 1 minggu. Selama proses aklimatisasi, tanaman diperlakukan pada keadaan cahaya dengan intensitas yang berangsur-angsur meningkat sehingga tanaman mampu beradaptasi dengan kondisi lapang. Bibit padi hasil kultur antera kemudian dipindahkan dari bak ke pot di rumah kaca. h. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus yang terbentuk, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman, jumlah tanaman hijau, jumlah tanaman albino, dan jumlah tanaman haploid ganda yang dihasilkan. i. Analisis data Data primer yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan persentase antera yang membentuk kalus, persentase kalus terhadap jumlah antera, persentase tanaman hijau terhadap jumlah tanaman total, persentase tanaman albino terhadap jumlah tanaman total dan efisiensi setiap perlakuan dalam menghasilkan tanaman hijau yaitu rasio tanaman hijau terhadap jumlah antera yang diinokulasi. Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam, jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT). Percobaan 2. Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan 2 dilakukan pada bulan Agustus-Desember Penanaman bahan percobaan dilakukan di Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Cikeumeuh, Bogor. Bahan Penelitian Bahan untuk Percobaan 2 adalah varietas dan galur harapan padi sawah tipe baru yaitu Fatmawati dan BP360E-MR-79-2, padi gogo lokal Pulau Buru

36 20 yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, dan F1 hasil persilangan resiprok varietas/galur harapan padi sawah tipe baru dengan padi gogo lokal yaitu: (1) Fulan Telo Gawa/Fatmawati, (2) Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, (3) Fulan Telo Mihat/Fatmawati, (4) Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, (5) Fatmawati/Fulan Telo Gawa, (6) Fatmawati/Fulan Telo Mihat, (7) BP360E-MR- 79-2/Fulan Telo Gawa dan (8) BP360E-MR-79-2/ Fulan Telo Mihat. Metode Penelitian Percobaan dilakukan di rumah kaca menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah 12 genotipe padi yang terdiri atas empat tetua dan delapan kombinasi persilangan. Benih padi dari 12 genotipe yang digunakan disemai dalam bak yang berisi lumpur. Setelah 21 hari, bibit dipindahtanam dalam pot yang berisi tanah sawah, 1 bibit/pot. Tanaman dipupuk dengan 200 kg/ha (5 g/pot) Urea, 100 kg/ha (2.5 g/pot) SP36 dan 100 kg/ha (2.5 g/pot) KCl. Pemeliharaan tanaman dilakukan berdasarkan budidaya padi sawah. Penanaman dilakukan pada kondisi sawah dimaksudkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman karena tidak semua genotipe mampu tumbuh baik pada kondisi gogo. Hal ini karena salah satu tetua yang digunakan dalam persilangan berasal dari varietas/galur harapan padi sawah. Pengamatan yang dilakukan meliputi: - tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai - jumlah anakan produktif, ditentukan dengan menghitung anakan yang menghasilkan malai - umur berbunga, dihitung dari saat tabur atau sebar benih sampai 50% malai (bunga) dalam satu rumpun telah keluar - umur panen, dihitung dari saat tabur atau sebar benih sampai 80% malai telah matang - panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai - jumlah gabah isi dan hampa per malai, dihitung jumlah gabah bernas atau berisi penuh dan gabah yang hampa (tidak berisi) tiap malai - bobot 1000 butir gabah bernas

37 21 - hasil gabah per rumpun, dihitung dari bobot gabah kering bernas yang berasal dari satu rumpun - warna gabah, diketahui dari warna sekam (gabah) - warna beras, diketahui setelah sekam dikupas. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, uji jarak berganda Duncan dan analisis komponen ragam (Singh dan Chaudhary 1979). Perhitungan sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis ragam rancangan acak kelompok Sumber Derajat Bebas Kuadrat Tengah Nilai Harapan Keragaman Ulangan (r) r-1 KTr Genotipe (g) g-1 KTg V e + rv g Galat (e) (g-1)(r-1) KTe V e Rumus komponen ragam dan heritabilitas yang digunakan adalah sebagai berikut (Singh dan Chaudhary 1979): dimana: V g = ragam genotipe V p = ragam fenotipe r = ulangan X = rataan umum genotipe KT e = kuadrat tengah galat

38 22 KT g = kuadrat tengah genotipe H 2 bs = heritabilitas arti luas KVG = koefisien keragaman genetik KVP = koefisien keragaman fenotip Pengelompokan nilai heritabilitas arti luas menurut Stanfield (1983): 0.50 < h 2 <1.00 : tinggi 0.20 < h 2 <0.50 : sedang h 2 < 0.20 : rendah Percobaan 3. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Haploid Ganda Hasil Kultur Antera Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan 3 dilakukan pada bulan Maret-Juni Penanaman bahan percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan, Institut Pertanian Bogor. Bahan Penelitian Bahan untuk Percobaan 3 adalah benih dari 35 genoipe haploid ganda hasil kultur antera padi (DH0) hasil persilangan resiprok Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan tiga genotipe kontrol (pembanding) yaitu Fatmawati, Fulan Telo Gawa dan Limboto. Ketiga genotipe pembanding berturut-turut merupakan varietas padi sawah tipe baru, padi gogo lokal Pulau Buru dan varietas padi gogo komersial. Metode Penelitian Percobaan dilakukan di lapangan dengan menggunakan rancangan augmented (IRRI 1997; Baihaki 1999; Sharma 2006). Benih DH0 dari 35 galur hasil kultur antera dan tiga varietas pembanding ditanam dalam baris pada kondisi gogo, 2 baris/genotipe, 25 tanaman/baris, 1 benih/lubang dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pertanaman dibagi menjadi 7 blok, setiap blok terdiri atas 5 galur DH0 dan 3 varietas kontrol. Tanaman dipupuk dengan 200 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP36 dan 100 kg/ha KCl. Pemeliharaan tanaman dilakukan berdasar budidaya padi gogo.

39 23 Evaluasi karakter agronomi galur-galur padi haploid ganda dilaksanakan di lapangan pada lahan gogo dengan tujuan melakukan pengujian terhadap daya adaptasi galur-galur haploid ganda sehingga dapat dilakukan seleksi terhadap galur-galur yang beradaptasi baik. Galur-galur yang terpilih dikelompokkan menjadi dua yaitu galur padi gogo dan galur padi gogo tipe baru. Pengamatan dilakukan terhadap karakter-karakter agronomi meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per rumpun, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi malai, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 butir biji bernas dan hasil gabah kering per rumpun. Data dianalisis dengan analisis ragam sesuai metode augmented (Sharma 2006). Perhitungan sidik ragam augmented dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis ragam rancangan augmented Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Blok (b) r-1 JKb KTb Perlakuan (t) t-1 JKt KTt Kontrol (c) c-1 JKc KTc Genotipe (g) g-1 JKg KTg Kontrol vs genotipe 1 JKcg KTcg Galat (e) (c-1)(b-1) JKe KTe Komponen ragam dan heritabilitas dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

40 24 dimana: FKg = faktor koreksi genotipe uji Y. = nilai pengamatan keseluruhan genotipe uji Y i = nilai pengamatan genotipe ke-i g = jumlah genotipe uji db = derajat bebas genotipe uji JK g = jumlah kuadrat KT g = kuadrat tengah genotipe uji V g = ragam genotipe V p = ragam fenotipe V e = ragam lingkungan X = rataan genotipe uji H 2 bs = heritabilitas arti luas KVG = koefisien keragaman genetik KVP = koefisien keragaman fenotip Rataan tersesuaikan (adjusted) genotipe haploid ganda yang diuji diperoleh setelah dihitung pengaruh blok dengan rumus: Pj = B M Nilai rataan tersesuaikan = Yi - Pj dimana: Pj = pengaruh blok ke-j Bj = rata-rata kontrol dalam satu blok j M = rata-rata umum kontrol Yi = nilai pengamatan genotipe ke-i

41 25 Beda nyata terkecil (BNT) antara nilai rata-rata tersesuaikan masingmasing karakter satu genotipe uji dengan rata-rata satu genotipe kontrol ditentukan dengan rumus: dimana: BNT = beda nyata terkecil KTE = kuadrat tengah galat b = jumlah blok c = jumlah kontrol Data yang diperoleh juga dianalisis korelasi dan sidik lintas antara karakter hasil gabah kering dengan karakter-karakter agronomi yang diamati (Singh dan Chaudhary 1979; Poespodarsono 1988). Analisis sidik lintas dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 3. Hubungan antara karakter agronomi terhadap hasil (Y)

42 26 dimana: Y = hasil gabah/rumpun X1, X2,... = karakter agronomi yang diamati P 1, P 2,... = koefisien lintas, yang menunjukkan pengaruh langsung karakter agronomi terhadap hasil (Y) r = korelasi antar karakter agronomi Koefisien lintas P 1Y, P 2Y,..., P 6Y dihitung melalui persamaan berikut: r 1Y r 1.1 r 1.2 r 1.3 r 1.4 r 1.5 r 1.6 P 1Y r 2Y r 2.1 r 2.2 r 2.3 r 2.4 r 2.5 r 2.6 P 2Y r 3Y = r 3.1 r 3.2 r 3.3 r 3.4 r 3.5 r 3.6 P 3Y r 4Y r 4.1 r 4.2 r 4.3 r 4.4 r 4.5 r 4.6 P 4Y r 5Y r 5.1 r 5.2 r 5.3 r 5.4 r 5.5 r 5.6 P 5Y r 6Y r 6.1 r 6.2 r 6.3 r 6.4 r 6.5 r 6.6 P 6Y Seleksi dilakukan terhadap genotipe-genotipe haploid ganda yang diuji untuk mendapatkan genotipe haploid ganda yang berpotensi sebagai galur padi gogo maupun galur padi gogo tipe baru. Nilai diferensial seleksi karakter-karakter agronomi yang diamati dihitung dengan rumus (Becker 1985): S = Xs X dimana: S = nilai diferensial seleksi Xs = nilai rata-rata karakter agronomi genotipe yang terseleksi X = nilai rata-rata karakter agronomi populasi

43 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1. Studi Regenerasi Tanaman Hijau pada Kultur Antera Padi Pembentukan Kalus Teknik kultur antera padi menghasilkan tanaman melalui proses embriogenesis tidak langsung, yaitu terbentuknya tanaman (plantlet) melalui tahap kalus terlebih dahulu. Inisiasi kalus ditandai dengan membesarnya ukuran antera sebagai akibat terjadinya pembelahan sel-sel mikrospora, kemudian dinding antera pecah dan kalus yang tumbuh akan muncul berwarna putih. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa respon genotipe terhadap jumlah kalus, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman, jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau dan jumlah kalus yang menghasilkan tanaman albino berbeda sangat nyata (Tabel 3). Dengan demikian terdapat keragaman respon terhadap kultur antera yang sangat tinggi pada genotipegenotipe yang dikulturkan. Bagheri dan Jelodar (2008) mendapatkan hasil bahwa respon genotipe sangat nyata pada induksi kalus kultur antera padi lokal Iran dan galur padi komersial serta F1 hasil persilangannya. Tabel 3. Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah kalus dan jumlah kalus menghasilkan tanaman pada kultur antera padi Sumber DB Kuadrat tengah Keragaman JK JKMT JKTH JKTA Genotipe ** 145.7** 28.7** 49.8** Galat Keterangan: ** beda sangat nyata, JK = jumlah kalus, JKMT = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman total, JKTH = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau, JKTA = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman albino Inisiasi Kalus Kalus pada kultur antera padi akan terbentuk pada hari setelah inokulasi antera (Dewi et al. 2004). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kalus pertama terbentuk setelah kultur diinkubasi selama 23.6 hari, yaitu terjadi pada persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa (Tabel 4).

44 28 Tetua Fulan Telo Gawa menghasilkan kalus dalam waktu paling lama, yaitu 35.0 hari, tidak berbeda nyata dengan salah satu persilangannya yaitu BP360E-MR-79-2 /Fulan Telo Gawa. Galur BP360E-MR-79-2 tidak mampu menghasilkan kalus, tetapi semua persilangan yang menggunakan BP360E-MR-79-2 sebagai salah satu tetua mampu menghasilkan kalus. Lama inisiasi kalus pada persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya berbeda, sedangkan ketiga persilangan resiprok yang lain mempunyai waktu inisiasi kalus yang sama antara F1 dengan resiproknya. Ketiga tetua, Fulan Telo Gawa, Fulan Telo Mihat dan Fatmawati berbeda dalam lama inisiasi kalus. Inisiasi kalus pada F1 umumnya lebih cepat dibanding tetua yang digunakan dalam persilangannya. Hal ini terjadi pada persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya, Fulan Telo Mihat/Fatmawati dan resiproknya, dan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR Tiga persilangan yang lain yaitu BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Gawa, Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2, dan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat mempunyai waktu inisiasi kalus yang tidak berbeda nyata dengan salah satu atau kedua tetuanya (Tabel 4). Tabel 4. Hasil induksi kalus beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru pada kultur antera padi IK KT* KTH* KTA* Genotipe JK JKT JKTH JKTA (hari) (%) (%) (%) FTG/Fatmawati 26.2 e 50.3 de 6.9 ab 3.0 a 3.9 a Fatmawati/FTG 23.6 f 81.1 c 7.2 a 3.5 a 3.7 ab FTG/BP360E-MR bc b 5.4 c 2.8 a 2.6 bc BP360E-MR-79-2 /FTG 32.8 ab 63.9 cd 3.1 de 1.7 b 1.4 def FTM/Fatmawati 27.4 de 57.2 cd 3.9 de 1.6 b 2.3 cd Fatmawati/FTM 26.0 e b 5.7 bc 1.9 b 3.8 ab FTM/ BP360E-MR bc 64.8 cd 3.0 de 1.2 bc 1.8 cde BP360E-MR-79-2 /FTM 29.6 cd 28.1 e 2.2 ef 1.4 bc 0.8 efg Fulan Telo Gawa 35.1 a a 1.1 fg 0.6 cd 0.5 fg Fulan Telo Mihat 29.3 cd b 0.8 fg 0.6 cd 0.2 fg Fatmawati 30.4 bc 72.5 cd 1.8 ef 0.6 cd 1.2 defg BP360E-MR f 0.0 g 0.0 d 0.0 g Keterangan: FTG = Fulan Telo Gawa, FTM = Fulan Telo Mihat, IK = inisiasi kalus, JK = jumlah kalus; JKT = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman; JKTH = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman hijau; JKTA = jumlah kalus yang menghasilkan tanaman albino; KT = persen kalus menghasilkan tanaman; KTH = persen kalus menghasilkan tanaman hijau, KTA = persen kalus menghasilkan tanaman albino, * tidak diuji statistik; angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

45 29 Jumlah Kalus Kemampuan setiap genotipe dalam membentuk kalus pada kultur antera padi berbeda-beda (Tabel 4). Fulan Telo Gawa mampu menghasilkan kalus paling banyak, yaitu kalus, berbeda nyata dengan Fulan Telo Mihat dan Fatmawati yang menghasilkan kalus berturut-turut dan 72.5 kalus. Genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2 dan Fatmawati/Fulan Telo Mihat menghasilkan kalus paling banyak dibanding genotipe F1 lainnya. Genotipe F1 pada umumnya menghasilkan kalus lebih sedikit dibanding tetuanya. Jumlah Kalus Menghasilkan Tanaman Kalus yang dihasilkan dari kultur antera dapat beregenerasi menjadi tanaman hijau dan tanaman albino (Gambar 4). Kalus yang mampu beregenerasi menjadi tanaman dari total kalus yang terbentuk ternyata hanya sedikit. Sebagian besar kalus tidak beregenerasi atau tidak menghasilkan tanaman. Gambar 4. Plantlet hasil kultur antera: tanaman hijau (kiri) dan tanaman albino (kanan) Kemampuan membentuk kalus pada kultur antera genotipe tetua ternyata tidak diimbangi dengan kemampuan meregenerasikan kalus menjadi tanaman. Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat yang mampu menghasilkan kalus dalam

46 30 jumlah banyak ternyata hanya sedikit kalus yang menghasilkan tanaman yaitu berturut-turut 0.70 dan 0.64 persen dari jumlah kalus yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan regenerasi kalus pada genotipe F1. Jumlah kalus yang dapat menghasilkan tanaman pada persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya lebih banyak dibanding kedua tetuanya, berturut-turut 7.2 (8.88 persen) dan 6.9 (13.77 persen) kalus. Demikian juga untuk genotipe F1 yang berasal dari persilangan yang lain. Kemampuan genotipe F1 dalam meregenerasikan kalus menjadi tanaman lebih tinggi dibanding genotipe tetua (Tabel 4). Penelitian Sasmita (2002) mendapatkan kalus menghasilkan tanaman berkisar kalus ( persen) pada keempat tetua dan kalus ( persen) pada F1 hasil persilangannya. Kemampuan kalus menghasilkan tanaman hijau berbeda-beda antar genotipe. Persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa mampu menghasilkan tanaman hijau paling banyak, tidak berbeda nyata dengan persilangan resiproknya yaitu Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan persilangan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, berturut-turut 3.5 (4.29 persen), 3.0 (5.97 persen) dan 2.8 (2.46 persen) kalus. Kalus menghasilkan tanaman hijau pada ketiga tetua yaitu Fulan Telo Gawa, Fulan Telo Mihat dan Fatmawati hanya sedikit, masing-masing 0.60 kalus atau kurang dari satu persen dari jumlah kalus total (Tabel 4). Persentase kalus yang menghasilkan tanaman hijau lebih kecil dibandingkan dengan persentase kalus yang menghasilkan tanaman albino. Hal ini terjadi pada lima persilangan, sedangkan tiga persilangan yang lain yaitu Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Gawa dan BP360E- MR-79-2/Fulan Telo Mihat menghasilkan persentase kalus yang menghasilkan tanaman hijau lebih tinggi dibanding persentase kalus yang menghasilkan tanaman albino. Tanaman hijau umumnya dihasilkan dari kalus yang berwarna kekuningan dan bertekstur kompak, sementara itu kalus yang berwarna putih dan bertekstur remah lebih banyak menghasilkan tanaman albino atau bahkan tidak menghasilkan tanaman. Kalus yang lebih awal muncul umumnya lebih mudah beregenerasi menjadi tanaman hijau. Hal ini sama dengan penelitian yang sudah dilaporkan Dewi et al. (2004).

47 31 Regenerasi Tanaman Respon genotipe dalam menghasilkan tanaman baik tanaman hijau maupun tanaman albino berbeda sangat nyata (Tabel 5). Hal ini berarti terdapat keragaman antar genotipe dalam menghasilkan tanaman hijau maupun tanaman albino. Persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya mampu menghasilkan total tanaman paling banyak yaitu 23.7 tanaman, sedangkan kedua tetuanya hanya mampu menghasilkan total tanaman berturut-turut 6.2 dan 2.3 tanaman. Rata-rata tanaman yang dihasilkan genotipe F1 lebih banyak dibanding kedua tetua. Hal ini terjadi pada semua persilangan (Tabel 6). Tabel 5. Hasil sidik ragam pengaruh genotipe terhadap jumlah tanaman hijau, jumlah tanaman albino dan jumlah tanaman total pada kultur antera padi Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah Tanaman hijau Tanaman albino Total tanaman Genotipe ** 873.5** ** Galat Keterangan: ** beda sangat nyata Tanaman Hijau Tanaman hijau yang dihasilkan berkisar antara tanaman pada F1 dan tanaman pada tetua. Tanaman hijau paling banyak dihasilkan oleh persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya yaitu berturut-turut 7.5 tanaman (31.53 persen) dan 5.5 tanaman (23.27 persen). Persilangan FTG/BP360E-MR-79-2 juga mampu menghasilkan tanaman hijau cukup banyak, tidak berbeda nyata dengan persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati. Ketiga persilangan yaitu Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2, Fulan Telo Mihat/ Fatmawati dan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 menghasilkan tanaman hijau yang tidak berbeda nyata dengan resiproknya (Tabel 6). Keempat tetua yang digunakan dalam persilangan hanya sedikit sekali menghasilkan tanaman hijau. Fatmawati hanya mampu menghasilkan rata-rata satu tanaman hijau, tidak berbeda nyata dengan Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo

48 32 Mihat (Tabel 6). Semua genotipe F1 menghasilkan tanaman hijau lebih banyak dibanding tetuanya. Sasmita (2002) menghasilkan kisaran ( persen) tanaman hijau pada delapan F1 dan ( persen) tanaman hijau pada keempat tetua. Hasil ini menguatkan bukti bahwa regenerasi tanaman hijau pada F1 lebih tinggi dibanding tetua yang digunakan dalam persilangannya. Tabel 6. Hasil regenerasi tanaman beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru pada kultur antera padi Genotipe Jumlah Tanaman Total Hijau Albino Hijau*(%) Albino*(%) FTG/Fatmawati 23.7 a 5.5 b 18.2 a Fatmawati/FTG 23.7 a 7.5 a 16.2 ab FTG/BP360E-MR bc 4.6 bc 7.4 de BP360E-MR-79-2 /FTG 9.1 cde 3.8 cd 5.2 defg FTM/Fatmawati 11.3 bcd 3.3 cd 8.0 cd Fatmawati/FTM 16.0 b 3.7 cd 12.3 bc FTM/ BP360E-MR cdef 1.5 ef 5.7 def BP360E-MR-79-2 /FTM 5.8 efg 2.8 de 2.9 efgh Fulan Telo Gawa 2.3 fgh 0.7 f 1.6 fgh Fulan Telo Mihat 1.4 gh 0.8 f 0.6 gh Fatmawati 6.2 defg 1.0 f 5.1 defg BP360E-MR h 0.0 f 0.0 h Keterangan: FTG = Fulan Telo Gawa, FTM = Fulan Telo Mihat, * tidak diuji statistik, angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Tanaman Albino Regenerasi tanaman hijau selalu diiringi dengan banyaknya tanaman albino. Banyaknya tanaman albino yang terbentuk memang merupakan kelemahan dalam kultur antera padi. Hal ini tidak akan menjadi persoalan jika tanaman hijau yang dihasilkan juga banyak, karena setiap tanaman hijau yang dihasilkan merupakan satu genotipe unik (Dewi dan Purwoko 2001). Menurut Chung (1992), tanaman albino dalam kultur antera dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor genotipe tanaman dan faktor fisiologis seperti komposisi media, suhu inkubasi dan intensitas cahaya. Persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya mampu menghasilkan tanaman hijau paling banyak, akan tetapi tanaman albino yang dihasilkan juga paling banyak di antara F1 lainnya. Fatmawati menghasilkan

49 33 tanaman albino paling banyak dibanding ketiga tetua lainnya, yaitu 5.1 (83.12 persen) tanaman albino (Tabel 6). Efisiensi Pembentukan Kalus dan Tanaman Hijau Efisiensi pembentukan kalus dari setiap genotipe yang dikulturkan dinyatakan dengan persentase jumlah kalus terhadap jumlah antera. Efisiensi pembentukan kalus paling tinggi dihasilkan oleh kedua tetua padi gogo lokal yaitu Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat, berturut-turut sebesar persen dan persen (Tabel 7), namun tingginya persentase pembentukan kalus tersebut tidak diimbangi dengan persentase kalus yang menghasilkan tanaman. Kedua genotipe tetua tersebut mempunyai persentase kalus menghasilkan tanaman yang sangat rendah (kurang dari satu persen). Tabel 7. Efisiensi pembentukan kalus dan tanaman hijau pada kultur antera padi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru Genotipe Persen kalus Persen Rasio Persen TH terhadap JA KMT TH/KMT terhadap JA FTG/Fatmawati Fatmawati/FTG FTG/BP360E-MR BP360E-MR-79-2 /FTG FTM/Fatmawati Fatmawati/FTM FTM/ BP360E-MR BP360E-MR-79-2 /FTM Fulan Telo Gawa Fulan Telo Mihat Fatmawati BP360E-MR Keterangan: FTG = Fulan Telo Gawa, FTM = Fulan Telo Mihat, JA = jumlah antera yang dikulturkan, KMT = kalus menghasilkan tanaman, TH = tanaman hijau Efisiensi pembentukan tanaman dari setiap genotipe yang dikulturkan dinyatakan dengan persentase kalus menghasilkan tanaman. Efisiensi pembentukan tanaman pada F1 berkisar antara persen, sedangkan efisiensi pembentukan tanaman pada keempat tetua berkisar antara persen (Tabel 7). Fatmawati mempunyai efisiensi pembentukan tanaman paling

50 34 tinggi di antara keempat tetua. Efisiensi pembentukan tanaman pada genotipe F1 lebih tinggi dibanding genotipe tetua. Kultur antera hibrida F1 lebih efektif dan lebih cepat dalam memperoleh galur-galur homozigos dari persilangan sehingga akan meningkatkan efisiensi seleksi (Callegarin et al. 1994). Efisiensi kultur antera yang terkait dengan produksi tanaman hijau dinyatakan dengan rasio tanaman hijau terhadap jumlah kalus yang menghasilkan tanaman (Rasio TH/KMT) dan persentase tanaman hijau yang dihasilkan terhadap jumlah antera yang dikulturkan (Zhang 1992). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Rasio TH/KMT tertinggi pada Fulan Telo Mihat (0.72) diikuti oleh persilangan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat (0.66), sedangkan persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang dikulturkan tertinggi diperoleh pada persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa (5.00 persen) diikuti oleh persilangan resiproknya (3.80 persen). Tetua Fulan Telo Mihat dan persilangan BP360E-MR- 79-2/Fulan Telo Mihat meskipun mempunyai rasio TH/KMT yang tinggi, tetapi mempunyai persentase tanaman hijau terhadap jumlah antera yang rendah sehingga dianggap kurang efisien dalam menghasilkan tanaman hijau (Tabel 7). Dengan demikian, persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan resiproknya merupakan genotipe yang paling efisien dalam menghasilkan tanaman hijau pada kultur antera padi atau mempunyai high anther culture ability. Aklimatisasi dan Tanaman Haploid Ganda Tanaman hasil kultur antera dapat berupa tanaman haploid, tanaman haploid ganda/dihaploid yang diperoleh secara spontan dan tanaman dengan berbagai tingkat ploidi (Zhang 1992). Tanaman haploid umumnya mudah dibedakan dari tanaman haploid ganda dari morfologi tanamannya (Gambar 5). Perbedaan utama tanaman haploid terhadap tanaman haploid ganda tampak pada tinggi tanaman yang lebih pendek dari normal, panjang dan lebar daun yang lebih kecil, serta bulir yang lebih kecil dan hampa (steril). Semua tanaman hasil kultur antera dapat diseleksi mulai pada generasi pertama (DH0) atau tanaman hasil aklimatisasi.

51 35 Gambar 5. Tanaman yang dihasilkan dari kultur antera: tanaman haploid ganda (kiri) dan tanaman haploid (kanan) Keberhasilan aklimatisasi tertinggi terjadi pada persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa, yaitu 150 tanaman (80.21 persen), diikuti oleh persilangan resiproknya sebanyak 97 tanaman (70.29 persen). Persentase tanaman haploid ganda yang terbentuk dari tanaman hijau yang hidup hanya persen (27 tanaman) pada persilangan Fatmawati/Fulan Telo Gawa dan persen (20 tanaman) pada persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati (Tabel 8). Secara keseluruhan, dari 12 genotipe yang dikulturkan diperoleh 884 tanaman hijau, 540 tanaman (61.09 persen) diantaranya berhasil diaklimatisasi. Hal ini berarti masih tingginya kegagalan aklimatisasi yang dilakukan, yaitu sekitar 40 persen. Kegagalan tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan maupun faktor genetik dari genotipe yang dikulturkan.

52 36 Tabel 8. Hasil aklimatisasi dan tanaman haploid ganda yang dihasilkan pada kultur antera padi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru Genotipe Total Hidup Jumlah tanaman Haploid ganda Hidup (%) Haploid ganda (%) FTG/Fatmawati Fatmawati/FTG FTG/BP360E-MR BP360E-MR-79-2 /FTG FTM/Fatmawati Fatmawati/FTM FTM/ BP360E-MR BP360E-MR-79-2 /FTM Fatmawati Fulan Telo Gawa Fulan Telo Mihat BP360E-MR Total Keterangan: FTG = Fulan Telo Gawa, FTM = Fulan Telo Mihat Tanaman yang dihasilkan dari kultur antera terdiri atas tanaman yang steril (haploid) dan tanaman fertil (haploid ganda). Tanaman haploid ganda yang diperoleh dari penelitian ini sebanyak 161 tanaman atau persen dari total tanaman hijau (540 tanaman) yang berhasil diaklimatisasi (Tabel 8). Jumlah tanaman haploid ganda yang dihasilkan pada penelitian ini lebih sedikit dibanding dengan penelitian yang sudah dilakukan Dewi (2003) pada kultur antera F1 padi persilangan indica/indica mampu menghasilkan 373 tanaman haploid ganda (48.76 persen) dari total tanaman hijau yang mampu diaklimatisasi. Sasmita (2002) menghasilkan 111 tanaman haploid ganda (9.64 persen) dari total tanaman hijau yang mampu diaklimatisasi dari kultur antera F1 padi persilangan resiprok antara P1 (Gajah Mungkur dan Way Rarem) dengan P2 (ITA-247 dan Jatiluhur). Rendahnya frekuensi tanaman haploid ganda yang dihasilkan pada penelitian ini selain disebabkan oleh faktor genetik juga disebabkan oleh tingginya kegagalan aklimatisasi yang dilakukan.

53 37 Percobaan 2: Analisis Genetik Karakter Agronomi pada Padi Sidik Ragam, Komponen Agronomi dan Komponen Hasil Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati (Tabel 9). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat keragaman antar genotipe yang diuji untuk semua karakter yang diamati. Tabel 9. Hasil sidik ragam karakter agronomi genotipe padi persilangan padi gogo dan padi tipe baru Karakter agronomi Kuadrat tengah genotipe ulangan Galat Tinggi tanaman ** tn Jumlah anakan produktif ** * 8.17 Umur berbunga ** * Umur panen ** 5.72 tn Panjang malai ** 0.19 tn 3.69 Jumlah gabah isi/malai ** tn Jumlah gabah hampa/malai ** tn Jumlah gabah total/malai ** tn Bobot 1000 butir gabah ** 5.35 tn 3.16 Hasil gabah/rumpun ** tn Keterangan: ** beda sangat nyata, * beda nyata, tn tidak nyata Tinggi Tanaman Tetua Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat merupakan genotipe yang mempunyai tinggi tanaman tertinggi yaitu berturut-turut cm dan cm, sedangkan BP360E-MR-79-2 mempunyai tinggi tanaman terpendek (91.5 cm). Fatmawati mempunyai tinggi tanaman cm (tergolong sedang). Semua genotipe F1 mempunyai tinggi tanaman yang besarnya di antara tinggi tanaman kedua tetua yang digunakan dalam persilangannya (Tabel 10). Hal ini berarti tinggi tanaman pada F1 bersifat intermediet. Sifat intermediet adalah sifat dominan yang dipengaruhi oleh sifat resesifnya apabila keduanya bertemu sehingga sifat F1 berada di antara sifat kedua tetuanya. Tinggi tanaman genotipe F1 pada umumnya masih tergolong tinggi (> 120 cm), tetapi dua persilangan Fatmawati/Fulan Telo Mihat dan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat

54 38 mempunyai tinggi tanaman yang tergolong sedang yaitu berturut-turut cm dan cm. Tabel 10. Komponen agronomi beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru beserta tetuanya Genotipe Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif (batang) Umur berbunga (hari) Umur panen (hari) Panjang malai FTG/Fatmawati d 8.5 b 74.3 de cde 36.4 a Fatmawati/FTG bc 8.8 b 74.8 de e 36.3 a FTG/BP360E-MR cd 12.3 b 73.8 de de 34.9 ab BP360E-MR-79-2 /FTG cd 10.8 b 71.8 e e 34.3 abc FTM/Fatmawati d 9.8 b 81.8 ab bc 32.5 bc Fatmawati/FTM e 9.8 b 81.3 ab bcde 32.8 bc FTM/BP360E-MR d 19.8 a 84.3 a bcd 32.5 bc BP360E-MR-79-2 /FTM ef 8.5 b 76.3 cd b 31.8 bc Fulan Telo Gawa (FTG) a 9.8 b 84.0 a bc 34.1 abc Fulan Telo Mihat (FTM) ab 12.0 b 79.0 bc a 31.3 c Fatmawati f 8.8 b 79.5 bc bcd 33.2 bc BP360E-MR g 13.0 b 81.0 ab bcd 27.8 d Keterangan: angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji DMRT 5%. (cm) Anakan Produktif Genotipe-genotipe yang diuji rata-rata menghasilkan anakan berkisar batang, kecuali persilangan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 menghasilkan anakan produktif paling banyak yaitu 19.8 batang, berbeda nyata dengan genotipe-genotipe yang lain (Tabel 10). Hal ini berarti genotipe F1 umumnya sudah mempunyai jumlah anakan yang tergolong sedang sehingga diharapkan pada generasi F2 akan dihasilkan cukup banyak genotipe dengan jumlah anakan sedang untuk diseleksi. Umur Berbunga dan Umur Panen Umur berbunga tergenjah dimiliki oleh persilangan BP360E-MR-79-2/ Fulan Telo Gawa dan resiproknya yaitu berturut-turut 71.8 hari dan 73.8 hari, lebih genjah dibanding kedua tetuanya BP360E-MR-79-2 dan Fulan Telo Gawa yang mempunyai umur berbunga paling lama yaitu berturut-turut 81.0 hari dan 84.0 hari (Tabel 10). Hal ini juga terjadi pada persilangan Fulan Telo

55 39 Gawa/Fatmawati dan resiproknya yang mempunyai umur berbunga lebih genjah dibanding kedua tetuanya. Kedua persilangan Fulan Telo Mihat/Fatmawati dan resiproknya justru mempunyai umur berbunga yang lebih lambat dibanding kedua tetuanya, sedangkan persilangan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 dan resiproknya mempunyai umur berbunga yang sama dengan salah satu tetuanya (BP360E-MR-79-2). Secara umum, umur panen padi dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan dihitung dari hari setelah sebar (HSS), yaitu umur genjah ( HSS), umur sedang ( HSS) dan umur dalam (>120 HSS) (BB Padi 2009a). Umur panen genotipe F1 yang diuji tergolong sedang dengan kisaran hari. Tiga genotipe tetua yang digunakan yaitu Fulan Telo Gawa, Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 mempunyai umur yang tergolong sedang, sedangkan Fulan Telo Mihat mempunyai umur panen yang tergolong dalam (Tabel 10). Panjang Malai Malai terpanjang dimiliki oleh genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati (36.4 cm) dan resiproknya (36.3 cm), tidak berbeda nyata dengan panjang malai tetua Fulan Telo Gawa (34.1 cm), sedangkan Fatmawati mempunyai panjang malai yang nyata lebih pendek (33.2 cm). Malai terpendek dimiliki oleh BP360E-MR-79-2 (27.8 cm), tetapi semua genotipe keturunannya memiliki malai yang nyata lebih panjang (Tabel 10). Jumlah Gabah per Malai Varietas PTB Fatmawati merupakan genotipe dengan jumlah gabah total per rumpun paling banyak yaitu butir, tetapi pengisian gabahnya kurang baik yaitu hanya butir per malai atau hanya sekitar persen (Tabel 11). Tetua Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat merupakan genotipe yang mempunyai jumlah gabah total per malai paling sedikit, tetapi mempunyai kemampuan pengisian gabah yang baik, yaitu mempunyai gabah isi per malai berturut-turut butir (71.6 persen) dan butir (69.7 persen). Semua genotipe F1 yang menggunakan Fatmawati sebagai salah satu tetuanya mempunyai jumlah gabah total per malai yang tidak berbeda nyata dengan Fatmawati, tetapi mempunyai persentase pengisian gabah per malai yang berbeda-

56 40 beda. Genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya mempunyai persentase gabah isi per malai lebih dari 50 persen, sedangkan genotipe F1 persilangan Fulan Telo Mihat/Fatmawati dan resiproknya memiliki persentase gabah isi per malai kurang dari 50 persen (Tabel 11). Tabel 11. Komponen hasil beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru beserta tetuanya Persilangan/varietas isi (butir) Jumlah gabah per malai hampa (butir) total (butir) isi (%) Bobot 1000 butir gabah (g) Gabah kering per rumpun (g) FTG/Fatmawati a abcd abc ab 49.0 a Fatmawati/FTG ab abc ab abc 48.5 ab FTG/ BP360E-MR bc abcd bcde ef 47.4 ab BP360E-MR-79-2 /FTG bc bcde cde e 45.1 ab FTM/Fatmawati bc abc abcd a 35.1 c Fatmawati/FTM abc ab abc bcd 39.7 bc FTM/ BP360E-MR c cdef def ab 45.8 ab BP360E-MR-79-2 /FTM 84.8 d cdef f ab 22.8 d Fulan Telo Gawa (FTG) bc 65.6 ef ef cde 33.8 c Fulan Telo Mihat (FTM) cd 58.3 f f ab 53.8 a Fatmawati ab a a de 32.2 c BP360E-MR bc 96.5 def def f 35.7 c Keterangan: angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji DMRT 5%. Bobot 1000 Butir Gabah Bernas Bobot 1000 butir gabah dapat menunjukkan ukuran gabah dan tingkat kebernasan biji. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bobot 1000 butir gabah bernas paling tinggi dimiliki oleh persilangan Fulan Telo Mihat/Fatmawati (33.5 g) dan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 (32.0 g), tidak berbeda nyata dengan tetua betinanya yaitu Fulan Telo Mihat (33.3 g). BP360E-MR-79-2 memiliki bobot 1000 butir gabah yang paling rendah (24.8 g). Semua genotipe F1 dengan Fulan Telo Mihat sebagai salah satu tetuanya memiliki bobot 1000 butir gabah yang tinggi, yaitu lebih dari 30 g. Genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya mempunyai bobot 1000 butir gabah yang tinggi, sedangkan genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2 dan resiproknya memiliki bobot 1000 butir gabah yang rendah (Tabel 11).

57 41 Hasil Gabah Kering per Rumpun Hasil gabah kering per rumpun dapat digunakan sebagai ukuran besarnya produksi yang dapat dihasilkan tanaman. Hasil gabah kering per rumpun paling tinggi dihasilkan oleh tetua Fulan Telo Mihat (53.8 g), tidak berbeda nyata dengan genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya, Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2 dan resiproknya, dan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR Ketiga tetua lainnya yaitu Fatmawati, Fulan Telo Gawa dan BP360E-MR-79-2 mempunyai hasil gabah per rumpun yang berbeda nyata lebih rendah dibanding Fulan Telo Mihat (Tabel 11). Genotipe F1 persilangan Fulan Telo Mihat/Fatmawati dan resiproknya memiliki hasil gabah kering per rumpun yang kecil, tidak berbeda nyata dengan Fatmawati, sedangkan genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya mempunyai hasil gabah kering per rumpun yang tinggi. Persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya memiliki kemungkinan untuk menghasilkan genotipe dengan hasil gabah kering per rumpun yang tinggi pada generasi selanjutnya. Persilangan BP360E-MR-79-2/Fulan Telo Mihat memiliki hasil gabah kering per rumpun yang paling rendah (22.8 g), tetapi F1 resiproknya menghasilkan hasil gabah kering per rumpun yang tinggi (45.8 g) (Tabel 11). Warna Gabah dan Warna Beras Secara fenotipik, warna gabah genotipe-genotipe yang diuji pada penelitian ini tidak jauh berbeda yaitu kuning kecoklatan. Perbedaan tampak pada bentuk dan ukuran gabah. Jika diamati pada keempat tetua yang digunakan, Fulan Telo Gawa mempunyai gabah yang agak bulat dan pendek, sedangkan Fulan Telo Mihat mempunyai gabah yang lebih panjang. Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 mempunyai bentuk gabah yang ramping, tetapi gabah Fatmawati lebih pendek dibanding BP360E-MR Genotipe F1 cenderung mempunyai gabah yang ramping dengan ukuran sedang-panjang (Gambar 6). Materi percobaan menggunakan padi dengan dua warna beras yang berbeda. Fulan Telo Gawa, Fatmawati dan BP360E-MR-79-2 mempunyai warna beras putih, sedangkan Fulan Telo Mihat mempunyai warna beras merah.

58 42 Persilangan resiprok antara Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan Fulan Telo Gawa/BP360E-MR-79-2 mempunyai warna beras yang putih karena kedua tetua mempunyai warna beras putih. F1 persilangan Fulan Telo Mihat/Fatmawati dan Fulan Telo Mihat/BP360E-MR-79-2 mempunyai warna beras merah, sedangkan kedua persilangan resiproknya mempunyai warna beras putih (Gambar 6). Apabila persilangan resiprok dilakukan dengan menggunakan tetua yang mempunyai warna beras berbeda, maka dapat dilihat bahwa warna beras F1 berbeda dengan warna beras F1R (resiproknya). Warna beras F1 ternyata sama dengan warna beras tetua betina yang digunakan pada persilangannya sehingga diduga terdapat pengaruh maternal (maternal effect) untuk karakter warna beras. Semua persilangan yang menggunakan Fulan Telo Mihat sebagai tetua betina menghasilkan keturunan F1 yang mempunyai warna beras merah. Gambar 6. Warna gabah dan warna beras empat tetua padi gogo dan padi tipe baru dan hasil persilangannya Pendugaan Komponen Ragam Pendugaan komponen ragam dan heritabilitas dilakukan untuk mengetahui proporsi keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Heritabilitas sangat menentukan keberhasilan seleksi untuk lingkungan yang sesuai, karena heritabilitas dapat memberikan gambaran suatu sifat dipengaruhi

59 43 oleh faktor genetik atau lingkungan. Heritabilitas yang tinggi menunjukkan secara relatif pentingnya pengaruh genetik yang dapat dipindahkan dari tetua kepada keturunannya yang sekaligus berguna untuk menentukan motede seleksi yang paling bermanfaat untuk memperbaiki suatu karakter (Falconer dan Mackay 1996). Nilai pendugaan parameter genetik tanaman ditampilkan pada Tabel 12. Nilai koefisien keragaman genetik (KVG) dan koefisien keragaman fenotipe (KVP) tanaman berkisar antara persen dan persen. Nilai KVG persen adalah nilai KVG absolut, dari nilai tersebut ditentukan nilai KVG relatif. Nilai KVG absolut persen adalah nilai KVG relatif 100 persen. Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994), kriteria nilai KVG relatif adalah rendah (0 < x < 25%), agak rendah (25% < x < 50%), cukup tinggi (50% < x < 75%) dan tinggi (75% < x < 100%). Berdasar kriteria tersebut, maka dapat ditentukan kriteria KVG absolut pada penelitian ini, yaitu rendah (0.00 < x < 7.78 %), agak rendah (7.78 % < x < %), cukup tinggi (15.56 % < x < %) dan tinggi (23.33 % < x < %). Murdaningsih et al. (1990) menyatakan bahwa nilai KVG rendah dan agak rendah digolongkan sebagai karakter yang variabilitas genetiknya sempit, sedangkan nilai KVG cukup tinggi dan tinggi digolongkan sebagai karakter yang mempunyai variabilitas genetik luas. Tabel 12. Nilai komponen ragam dan nilai duga heritabilitas karakter agronomi dan hasil pada padi Karakter Rata-rata Vg Vp KVG KVP H 2 bs (%) Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif Umur berbunga Umur panen Panjang malai Jumlah gabah isi/malai Jumlah gabah hampa/malai Jumlah gabah/malai Bobot 1000 butir gabah Hasil gabah kering/rumpun Keterangan: Vg = ragam genotipe, Vp = ragam fenotipe, KVG = koefisien keragaman genotipe, KVP = koefisien keragaman fenotipe, H 2 bs = heritabilitas arti luas

60 44 Berdasarkan kriteria KVG absolut, maka terdapat dua karakter yang mempunyai KVG tergolong tinggi yaitu jumlah anakan produktif dan jumlah gabah hampa per malai; empat karakter mempunyai KVG cukup tinggi yaitu tinggi tanaman, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah per malai dan hasil gabah kering per rumpun; dua karakter mempunyai KVG agak rendah yaitu panjang malai dan bobot 1000 butir gabah; serta dua karakter lainnya mempunyai KVG rendah yaitu umur berbunga dan umur panen. Dengan demikian terdapat enam karakter yang mempunyai variabilitas genetik yang luas dan empat karakter dengan variabilitas genetik sempit. Hal ini berarti terdapat peluang perbaikan genetik melalui karakter yang mempunyai variabilitas genetik luas yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai dan hasil gabah kering per rumpun. Hasil penelitian Lestari dan Nugraha (2007) juga menyebutkan bahwa peluang perbaikan genetik terhadap hasil biji dapat dilakukan melalui seleksi terhadap karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai dan hasil gabah kering. Nilai heritabilitas arti luas karakter-karakter yang diamati berkisar antara persen (Tabel 12). Menurut Stanfield (1983), nilai heritabilitas arti luas dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu heritabilitas tinggi (0.50 < h 2 <1.00), heritabilitas sedang (0.20 < h 2 <0.50) dan heritabilitas rendah (h 2 < 0.20). Nilai heritabilitas untuk karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah bernas dan hasil gabah kering per rumpun tergolong tinggi, sedangkan karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai dan jumlah gabah hampa per malai tergolong sedang. Hal ini berarti pengaruh lingkungan terhadap karakter agronomi yang diamati cukup kecil karena percobaan hanya dilakukan di rumah kaca dalam kondisi lingkungan terkontrol dan hanya dilakukan satu kali penanaman (satu musim). Percobaan 3. Evaluasi Karakter Agronomi Galur-galur Padi Haploid Ganda Hasil Kultur Antera Galur-galur haploid ganda yang digunakan pada penelitian ini berasal dari kultur antera persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati (FG1) dan resiproknya

61 45 (FG1R). Hal ini karena genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya merupakan genotipe yang paling efisien menghasilkan tanaman hijau pada kultur antera dibanding genotipe F1 persilangan yang lain (Percobaan 1), selain itu genotipe F1 persilangan Fulan Telo Gawa/Fatmawati dan resiproknya merupakan kombinasi persilangan terbaik dan menghasilkan gabah kering per rumpun paling tinggi dibanding persilangan yang lain (Percobaan 2). Sidik Ragam Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata pada semua karakter, sedangkan pengaruh kontrol (genotipe pembanding) nyata pada karakter agronomi yang diamati kecuali umur panen, jumlah gabah isi per malai dan hasil gabah kering per rumpun. Pengaruh blok tidak nyata pada semua karakter yang diamati. Interaksi antara genotipe haploid ganda dengan kontrol menunjukkan pengaruh nyata pada karakter yang diamati kecuali tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif (Tabel 13). Hal ini berarti terdapat keragaman antar genotipe haploid ganda yang diuji, kontrol (genotipe pembanding) dan interaksi antara genotipe haploid ganda dengan kontrol, sedangkan keragaman genotipe dalam populasi sangat kecil karena genotipe haploid ganda dan kontrol yang digunakan merupakan genotipe padi yang sudah homozigos. Tabel 13. Hasil sidik ragam respon genotipe haploid ganda dan genotipe pembanding terhadap karakter agronomi dan hasil pada padi Kuadrat tengah Karakter Blok Genotipe (G) Kontrol (K) G vs K Galat Tinggi tanaman tn * * 2.45 tn Jumlah anakan produktif 1.50 tn 6.86 * 6.55 * 0.00 tn 0.61 Umur berbunga 0.44 tn * * * 0.25 Umur panen 0.19 tn * tn * 0.19 Panjang malai 2.64 tn 7.74 * * 6.25 * 0.83 Panjang daun bendera 1.19 tn * * * 4.44 Jumlah gabah isi/malai tn * tn * Jumlah gabah/malai tn * * * Bobot 1000 butir gabah 0.55 tn 6.87 * * * 0.45 Hasil gabah kering/rumpun tn * tn * 8.36 Keterangan: * beda nyata, tn tidak nyata

62 46 Pendugaan Komponen Ragam Nilai pendugaan parameter genetik tanaman haploid ganda yang diuji dapat dilihat pada Tabel 14. Nilai koefisien keragaman genetik (KVG) berkisar antara persen, sedangkan nilai koefisien keragaman fenotipe berkisar antara persen. Nilai KVG absolut persen sama dengan nilai KVG relatif 100 persen. Berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh Moedjiono dan Mejaya (1994), maka nilai KVG absolut tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu rendah (0.00 < x < 9.14 %), agak rendah (9.14 % < x < %), cukup tinggi (18.28 % < x < %) dan tinggi (27.41 % < x < %). Berdasarkan kriteria KVG absolut, maka karakter umur berbunga dan umur panen mempunyai nilai KVG yang rendah, sementara itu karakter tinggi tanaman, panjang malai, panjang daun, jumlah gabah total per malai dan bobot 1000 butir gabah mempunyai nilai KVG agak rendah. Karakter jumlah gabah isi per malai dan hasil gabah kering per rumpun mempunyai nilai KVG yang cukup tinggi, sedangkan karakter jumlah anakan produktif mempunyai nilai KVG yang tinggi (Tabel 14). Tabel 14. Nilai komponen ragam dan nilai duga heritabilitas karakter agronomi dan hasil pada genotipe padi hasil kultur antera Karakter Rata-rata Vg Vp KVG KVP H 2 bs (%) Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif Umur berbunga Umur panen Panjang malai Panjang daun Jumlah gabah isi/malai Jumlah gabah/malai Bobot 1000 butir gabah Hasil gabah kering/rumpun Keterangan: Vg = ragam genotipe, Vp = ragam fenotipe, KVG = koefisien keragaman genotipe, KVP = koefisien keragaman fenotipe, H 2 bs = heritabilitas arti luas Karakter yang mempunyai nilai KVG yang rendah dan agak rendah merupakan karakter yang variabilitas genetiknya sempit, sedangkan karakter yang mempunyai nilai KVG yang tinggi dan cukup tinggi merupakan karakter yang variabilitas genetikya luas (Murdaningsih et al. 1990). Perbaikan genetik dapat

63 47 dilakukan pada karakter yang mempunyai variabilitas genetik luas yaitu jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi per malai dan hasil gabah kering per rumpun. Nilai duga heritabilitas arti luas yang diamati pada populasi galur-galur haploid ganda berkisar antara persen (Tabel 14). Suatu karakter dikatakan mempunyai heritabilitas tinggi jika nilai heritabilitas arti luas lebih dari 50 persen (Stanfield 1983). Dengan demikian, semua karakter yang diamati pada pengujian galur-galur haploid ganda tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan pengaruh lingkungan terhadap karakter agronomi yang diamati pada galur-galur haploid ganda cukup kecil karena percobaan hanya dilakukan pada satu lokasi dan pada satu musim tanam. Korelasi Antar Karakter dan Analisis Sidik Lintas Seleksi terhadap karakter yang memiliki keunggulan ekonomi tidak selalu dapat dilakukan karena nilai heritabilitas yang dimilikinya rendah atau baru dapat dilakukan saat panen sehingga memerlukan banyak biaya, waktu dan tenaga untuk pemeliharaannya. Seleksi dapat dilakukan dengan menggunakan karakter lain selain karakter yang ingin diperbaiki dengan syarat bahwa antar karakter yang digunakan sebagai kriteria seleksi dengan karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai korelasi yang tinggi (Falconer dan Mackay 1996). Korelasi adalah suatu analisis untuk mengukur derajat keeratan hubungan linear diantara kedua karakter atau lebih. Korelasi antara dua karakter dapat berupa korelasi genotipe atau berupa korelasi fenotipe. Analisis korelasi ini sering ditujukan untuk karakter kuantitatif yang sulit memberikan gambaran kemampuan genetik karena adanya pengaruh dari lingkungan yang mengaburkan. Bila ada hubungan yang erat antara karakter penduga yang tidak dituju dengan karakter yang diinginkan yang menjadi tujuan maka pekerjaan seleksi dapat menjadi lebih efektif (Falconer dan Mackay 1996). Nilai koefisien korelasi antara karakter hasil dengan karakter-karakter agronomi dapat dilihat di Tabel 15. Hasil gabah kering per rumpun mempunyai korelasi yang nyata dan positif dengan jumlah gabah isi per malai, panjang daun dan bobot 1000 butir gabah bernas, serta berkorelasi sangat nyata dan positif dengan tinggi tanaman. Hal ini berarti hasil gabah kering per rumpun yang tinggi

64 48 diperoleh pada genotipe-genotipe mempunyai tinggi tanaman lebih tinggi, jumlah gabah per malai lebih banyak dengan pengisian gabah yang baik, daun bendera yang panjang dan bobot 1000 butir gabah bernas yang tinggi. Umur berbunga mempunyai korelasi yang negatif meskipun tidak nyata, sedangkan umur panen mempunyai korelasi yang negatif nyata dengan hasil gabah per rumpun, dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa semakin genjah umur tanaman maka semakin tinggi hasil gabah kering per rumpun (Tabel 15). Umur yang lebih genjah pada padi gogo akan menghindarkan tanaman dari masalah kekeringan sehingga hasil yang diperoleh lebih tinggi. Tinggi tanaman mempunyai korelasi yang positif nyata dengan jumlah gabah isi per malai, serta berkorelasi positif sangat nyata dengan jumlah gabah per malai, panjang daun bendera, bobot 1000 butir gabah bernas dan hasil gabah kering per rumpun (Tabel 15). Hal ini berarti genotipe yang mempunyai tinggi tanaman lebih tinggi justru mempunyai jumlah gabah per malai yang banyak, daun bendera yang panjang, bobot 1000 butir gabah bernas yang besar dan hasil gabah kering per rumpun yang tinggi. Tabel 15. Nilai koefisien korelasi antar karakter galur-galur haploid ganda hasil kultur antera Karakter TT JAP UB UP PM JG GI PD B1000 Hasil TT ** 0.45* 0.47** 0.51** 0.59** JAP * UB ** 0.36* UP * -0.37* * PM ** 0.17 JG ** * 0.50** GI * PD * B * Hasil 1.00 Keterangan: ** sangat nyata, * nyata, TT = tinggi tanaman, JAP = jumlah anakan produktif per rumpun, UB = umur berbunga, UP = umur panen, PM = panjang malai, JG = jumlah gabah per malai, GI = jumlah gabah isi per malai, GH = jumlah gabah hampa per malai, PD = panjang daun bendera, B1000 = bobot 1000 butir gabah bernas, Hasil = hasil gabah kering per rumpun Umur panen berkorelasi sangat nyata dengan umur berbunga (Tabel 15). Hal ini terjadi karena fase generatif dan pematangan pada tanaman padi hampir sama untuk semua genotipe sehingga semakin panjang umur berbunga maka akan

65 49 semakin panjang pula umur panen suatu genotipe. Perbedaan masa pertumbuhan pada tanaman padi dibedakan berdasar lamanya fase vegetatif (IRRI 2008). Berdasarkan analisis sidik lintas, jumlah gabah per malai memberikan pengaruh langsung paling besar dan positif terhadap hasil gabah kering per rumpun. Jumlah gabah per malai juga memberikan pengaruh tidak langsung melalui jumlah gabah isi per malai yang besar dan positif (Tabel 16). Hal ini menguatkan informasi yang diperoleh pada analisis korelasi bahwa hasil yang tinggi dapat diperoleh dengan meningkatkan jumlah gabah per malai dengan pengisian malai yang baik. Jumlah gabah isi per malai justru memberikan pengaruh langsung yang negatif terhadap hasil, tetapi pengaruh tidak langsung jumlah gabah isi per malai melalui jumlah anakan produktif bernilai positif. Hal ini berarti jumlah anakan produktif yang banyak akan menghasilkan hasil gabah per rumpun yang lebih tinggi meskipun jumlah gabah isi per malainya lebih sedikit. Tabel 16. Pengaruh langsung dan tidak langsung antara karakter agronomi terhadap hasil gabah per rumpun galur-galur haploid ganda hasil kultur antera Karakter Pengaruh Pengaruh tidak langsung melalui langsung TT AP UB UP PM JG GI PD B1000 TT AP UB UP PM JG GI PD B Keterangan: TT = tinggi tanaman, JAP = jumlah anakan produktif per rumpun, UB = umur berbunga, UP = umur panen, PM = panjang malai, JG = jumlah gabah per malai, GI = jumlah gabah isi per malai, GH = jumlah gabah hampa per malai, PD = panjang daun bendera, B1000 = bobot 1000 butir gabah bernas Pengaruh jumlah gabah per malai terhadap hasil gabah kering per rumpun melalui tinggi tanaman dan bobot 1000 butir gabah bernas juga memiliki nilai yang cukup besar dan positif (Tabel 16), sejalan dengan analisis korelasi. Hal ini

66 50 berarti galur-galur haploid ganda dengan tinggi tanaman lebih tinggi cenderung memiliki jumlah gabah per malai yang banyak dan ukuran gabah yang lebih besar. Selain jumlah gabah per malai, tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif juga mempunyai pengaruh langsung terhadap hasil gabah kering per rumpun yang positif (Tabel 16). Seleksi terhadap galur-galur haploid ganda dapat dilakukan dengan lebih efektif melalui seleksi terhadap karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per rumpun dan jumlah gabah per malai. Karakter Agronomi Tinggi Tanaman Data komponen agronomi dan hasil dari 35 galur haploid ganda hasil kultur antera dan ketiga tetua disajikan pada Tabel 17. Tinggi tanaman genotipegenotipe yang diuji berkisar cm. Fatmawati dan Limboto mempunyai tinggi tanaman sedang, yaitu berturut-turut cm dan cm. Data tinggi tanaman menunjukkan bahwa terdapat lima galur haploid ganda yang mempunyai tinggi tanaman yang tergolong sedang, tidak berbeda nyata dengan Fatmawati, yaitu genotipe nomor 2, 5, 6, 7 dan 28. Anakan Produktif Jumlah anakan produktif berkisar batang. Menurut Peng et al. (2008), jumlah anakan produktif yang ideal untuk PTB yaitu batang untuk kondisi sawah, sehingga jumlah anakan ini diduga akan berkurang jika tanaman berada pada kondisi gogo. Fatmawati mempunyai potensi menghasilkan anakan 8-14 batang pada kondisi sawah (BB Padi 2009b). Jumlah anakan Fatmawati pada kondisi gogo yang dilakukan pada penelitian ini adalah 7.9 batang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 35 genotipe yang diuji, terdapat 8 genotipe yang mempunyai anakan produktif tidak berbeda nyata dengan Fatmawati, yaitu genotipe nomor 3, 4, 6, 15, 16, 30, 34 dan 35. Genotipe nomor 28 mempunyai anakan produktif paling banyak yaitu 18.2 batang (Tabel 16).

67 51 Umur Berbunga dan Umur Panen Umur berbunga genotipe yang diuji berkisar hari. Ketiga genotipe pembanding yaitu Fatmawati, Fulan Telo Gawa dan Limboto mempunyai umur berbunga berturut-turut 73.0, 77.9 dan 69.1 hari. Tujuh genotipe haploid ganda mempunyai umur berbunga yang nyata lebih cepat dari Fatmawati, yaitu genotipe nomor 3, 4, 8, 9, 15, 16 dan 17 (Tabel 17). Umur panen genotipe yang diuji berkisar hari (Tabel 17). Menurut BB Padi (2009a), umur panen padi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan dihitung dari hari setelah sebar (HSS), yaitu umur genjah ( HSS), umur sedang ( HSS) dan umur dalam (>120 HSS). Ketiga varietas kontrol yaitu Fatmawati, Fulan Telo Gawa dan Limboto mempunyai umur panen yang tergolong genjah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 35 genotipe yang diuji terdapat 29 genotipe berumur genjah (<104 hari) dan enam genotipe berumur sedang. Panjang Malai Panjang malai genotipe-genotipe yang diuji berkisar cm. Panjang malai Fulan Telo Gawa (30.5 cm) adalah yang paling panjang di antara ketiga genotipe kontrol, sedangkan di antara genotipe haploid ganda yang diuji, malai terpanjang dimiliki oleh genotipe nomor 20, 34 dan 35 yaitu berturut-turut 32.2 cm, 34.2 cm dan 33.6 cm (Tabel 17). Panjang Daun Panjang daun bendera genotipe yang diuji berkisar antara cm (Tabel 17). Fatmawati mempunyai daun bendera terpanjang di antara tiga genotipe pembanding, yaitu 37.3 cm. Tiga genotipe haploid ganda mempunyai panjang daun yang nyata lebih panjang dari Fatmawati, yaitu genotipe nomor 2, 17 dan 31. Daun bendera yang tegak dan panjang diharapkan dapat meningkatkan hasil gabah kering karena fotosintesis yang dilakukan lebih efektif. Hal ini dapat dilihat pada nilai korelasi panjang daun bendera terhadap hasil gabah kering per rumpun (Tabel 15). Panjang daun bendera berkorelasi positif nyata terhadap hasil gabah kering per rumpun.

68 52 Tabel 17. Tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, panjang malai dan panjang daun galur-galur haploid ganda hasil kultur antera No. Galur/varietas TT JAP UB UP PM PD (cm) (batang) (hari) (hari) (cm) (cm) 1 FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R FG1R Fatmawati Fulan Telo Gawa Limboto BNT Keterangan: + beda nyata lebih tinggi dari Fatmawati, - beda nyata lebih rendah dari Fatmawati, TT = tinggi tanaman, JAP = jumlah anakan produktif, UB = umur berbunga, UP = umur panen, PM = panjang malai, PD = panjang daun, BNT = beda nyata terkecil antara tetua dengan galur-galur yang diuji

69 53 Jumlah Gabah per Malai Fatmawati merupakan genotipe dengan jumlah gabah per malai paling banyak, yaitu butir, tetapi hanya 51.4 persen (158.4 butir) saja yang bernas. Kehampaan malai Fatmawati cukup tinggi yaitu 48.6 persen. Fulan Telo Gawa mempunyai gabah per malai, paling sedikit di antara genotipe pembanding tetapi mempunyai pengisian malai yang tinggi (84.7 persen). Genotipe nomor 19 mempunyai malai yang lebat (237.2 butir gabah per malai) dan pengisian gabah lebih dari 80 persen, sedangkan genotipe nomor 9, 11, 12, 14, 28, 29, 30 dan 35 mempunyai pengisian gabah persen dengan jumlah gabah per malai berkisar butir (Tabel 18). Bobot 1000 Butir Gabah Bernas Bobot 1000 butir gabah bernas berkisar antara g (Tabel 18). Ketiga genotipe kontrol mempunyai bobot 1000 butir gabah bernas berturut-turut 24.4 g (Fatmawati), 26.9 g (FTG) dan 25.2 g (Limboto). Bobot 1000 butir gabah bernas dari 35 genotipe haploid ganda bervariasi, empat genotipe mempunyai bobot 1000 butir yang tinggi (> 30 g), yaitu genotipe nomor 15, 20, 34 dan 35. Hal ini berarti keempat genotipe tersebut mempunyai ukuran gabah yang besar. Hasil Gabah Kering per Rumpun Hasil gabah kering per rumpun delapan genotipe haploid ganda berbeda nyata lebih tinggi dibanding Fatmawati (17.9 g) dan dua genotipe diantaranya berbeda nyata lebih tinggi dibanding Fulan Telo Gawa (20.7 g) (Tabel 18). Delapan genotipe tersebut adalah genotipe nomor 8, 15, 22, 24, 25, 28, 32 dan 35. Genotipe nomor 15 mempunyai persentase pengisian gabah yang rendah (45.7 persen), hasil yang tinggi pada genotipe ini disebabkan oleh jumlah anakan produktif yang dihasilkan (7.4 batang per rumpun) dan bobot 1000 butir gabah bernas yang tinggi (30.3 g).

70 54 Tabel 18. Jumlah gabah per malai, bobot 1000 butir gabah bernas, hasil gabah kering per rumpun dan eksersi malai galur-galur haploid ganda hasil kultur antera No. Galur/varietas GI GH GT GI B1000 HR Hasil Eksersi (butir) (butir) (butir) (%) (g) (g) (t/ha) malai 1 FG L 2 FG T 3 FG T 4 FG T 5 FG T 6 FG T 7 FG T 8 FG * T 9 FG * T 10 FG * T 11 FG T 12 FG * T 13 FG L 14 FG * T 15 FG * * 4.4 T 16 FG * L 17 FG B 18 FG * T 19 FG1R * T 20 FG1R T 21 FG1R * L 22 FG1R * L 23 FG1R * B 24 FG1R * L 25 FG1R L 26 FG1R B 27 FG1R L 28 FG1R * 4.1 L 29 FG1R T 30 FG1R T 31 FG1R T 32 FG1R T 33 FG1R T 34 FG1R * B 35 FG1R B Fatmawati T Fulan Telo Gawa B Limboto B BNT Keterangan: + beda nyata lebih tinggi dari Fatmawati, - beda nyata lebih rendah dari Fatmawati, * beda nyata lebih tinggi dari Fulan Telo Gawa, GI = jumlah gabah isi per malai, GH = jumlah gabah hampa per malai, GT = jumlah gabah total per malai, B1000 = bobot 1000 butir gabah bernas, HR = hasil gabah kering/rumpun, BNT = beda nyata terkecil antara tetua dengan galur yang diuji; Eksersi malai: T = tertutup, B = terbuka (leher malai keluar dari pelepah daun, kedudukannya berada di atas pangkal daun bendera), L = sebatas leher (leher malai keluar, kedudukannya tepat pada pangkal daun bendera)

71 55 Eksersi malai Eksersi malai genotipe haploid ganda yang diuji bervariasi yaitu terbuka, terbuka sebatas leher dan tertutup (Gambar 7). Varietas Fatmawati mempunyai eksersi malai tertutup yaitu leher malai tidak keluar dari pelebah daun. Fulan Telo Gawa dan Limboto mempunyai eksersi malai terbuka yaitu leher malai keluar dari pelepah daun dan kedudukan leher malai berada jauh di atas pangkal daun bendera. Genotipe-genotipe haploid ganda yang mempunyai eksersi malai terbuka adalah genotipe nomor 17, 23, 26, 34 dan 35. Sembilan genotipe haploid ganda mempunyai eksersi malai sebatas leher, artinya leher malai berada di luar pelepah daun tetapi kedudukannya tepat pada pangkal daun bendera. Genotipe-genotipe tersebut adalah genotipe nomor 1, 13, 16, 21, 22, 24, 25, 27 dan 28. Sebagian besar genotipe haploid ganda yang diuji mempunyai eksersi malai tertutup, artinya leher malai tidak keluar dari pelepah daun sehingga sebagian gabah yang berada di pangkal malai tertutup oleh pelepah daun (Tabel 18). Genotipe yang mempunyai eksersi malai tertutup pada umumnya mempunyai gabah yang hampa pada pangkal malai dan lebih rentan pada serangan blas terutama blas leher (neck blast) sehingga akan menurunkan hasil gabah. Gambar 7. Eksersi malai: terbuka (kiri), terbuka sebatas leher (tengah), dan tertutup (kanan)

72 56 Padi gogo tipe baru diharapkan mempunyai karakteristik hasil gabah kering tinggi, tinggi tanaman sedang ( cm), jumlah anakan produktif 8-15 batang, jumlah gabah isi per malai sedang-lebat ( butir) dengan pengisian gabah baik (75-80 %) dan bobot 1000 butir gabah sedang-tinggi (> 24 g). Berdasar pada hasil gabah kering per rumpun sebagai kriteria utama seleksi dan karakter agronomi lain sebagai kriteria pendukung, maka terpilih satu genotipe yang dapat diteruskan sebagai galur padi gogo tipe baru dan 14 genotipe dapat diteruskan sebagai galur padi gogo (Tabel 19). Tabel 19. Galur-galur haploid ganda hasil kultur antera yang terpilih sebagai padi gogo dan padi gogo tipe baru No. Galur/varietas Galur padi gogo tipe baru: TT JAP UP GT GI B1000 HR Eksersi (cm) (batang) (hari) (butir) (%) (g) (g) malai 28 FG1R * L Galur padi gogo: 8 FG T 9 FG T 11 FG T 15 FG * T 16 FG L 21 FG1R L 22 FG1R L 23 FG1R B 24 FG1R L 25 FG1R L 31 FG1R T 32 FG1R T 34 FG1R B 35 FG1R B Fatmawati T FTG B Limboto B BNT Keterangan: TT = tinggi tanaman, JAP = jumlah anakan produktif, UP = umur panen, GT = jumlah gabah total per malai, GI = persentase gabah isi per malai, B1000 = bobot 1000 butir gabah bernas, HR = hasil gabah kering per rumpun; Eksersi malai: T = tertutup, B = terbuka (leher malai keluar dari pelepah daun, kedudukannya berada di atas pangkal daun bendera), L = sebatas leher (leher malai keluar, kedudukannya tepat pada pangkal daun bendera)

73 57 Genotipe yang terpilih sebagai padi gogo tipe baru adalah galur nomor 28 (FG1R ), karena mempunyai tinggi tanaman sedang (98.7 cm), berumur genjah (102.1 hari), mempunyai pengisian gabah yang baik (79.9 %) dengan gabah isi per malai sebanyak 122 butir, dan hasil gabah kering per rumpun yang tinggi (24.9 g). Jika dibandingkan dengan Fatmawati, genotipe FG1R mempunyai jumlah gabah isi per rumpun yang lebih sedikit dibanding Fatmawati, tetapi galur ini mempunyai jumlah anakan produktif yang lebih banyak (18.2 batang per rumpun) dibanding Fatmawati (7.9 batang per rumpun) sehingga hasil gabah kering per rumpun genotipe tersebut nyata lebih tinggi dari Fatmawati (Tabel 19). Jumlah anakan produktif FG1R yang terlalu banyak sebenarnya kurang sesuai dengan idiotipe yang diharapkan, akan tetapi secara fenotipik galur ini sudah mempunyai karakter padi gogo tipe baru yang menonjol yaitu bentuk tanaman yang tegak, kekar dan daun yang berwarna hijau tua (Gambar 8). Gambar 8. Penampilan galur terpilih FG1R : stadia vegetatif (a), stadia generatif (b), dan ketiga tetua pembanding: Fatmawati (c), Fulan Telo Gawa (d) dan Limboto (e)

KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI

KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI KULTUR ANTERA DAN EVALUASI GALUR HAPLOID GANDA UNTUK MENDAPATKAN PADI GOGO TIPE BARU HENI SAFITRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi 5 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman serealia semusim. Secara taksonomi, padi termasuk dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledone, ordo Poales atau Glumiflorae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Gramineae dan genus Oryza (Grist, 1959). Padi dapat tumbuh pada berbagai lokasi dan iklim yang berbeda.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi Padi merupakan tanaman yang termasuk ke dalam genus Oryza Linn. Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan, yaitu O. sativa Linn. dan O. glaberrima Steud.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi Pertumbuhan tanaman padi dibagi kedalam tiga fase: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial); (2) reproduktif (primordial

Lebih terperinci

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP Pendahuluan Tanaman haploid ialah tanaman yang mengandung jumlah kromosom yang sama dengan kromosom gametnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu siklus hidupnya selama 80-150 hari. Bagian pertama dari siklus tersebut merupakan tahap pertumbuhan vegetatif

Lebih terperinci

Daya Kultur Antera Beberapa Persilangan Padi Gogo dan Padi Tipe Baru. Anther Culture Ability from Crossess Between Upland and New Plant Types of Rice

Daya Kultur Antera Beberapa Persilangan Padi Gogo dan Padi Tipe Baru. Anther Culture Ability from Crossess Between Upland and New Plant Types of Rice Daya Kultur Antera Beberapa Persilangan Padi Gogo dan Padi Tipe Baru Anther Culture Ability from Crossess Between Upland and New Plant Types of Rice Heni Safitri 1*, Bambang Sapta Purwoko 2, Desta Wirnas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih BAHAN DAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang penapisan galur-galur padi (Oryza sativa L.) populasi RIL F7 hasil persilangan varietas IR64 dan Hawara Bunar terhadap cekaman besi ini dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi Peningkatan hasil tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan teknik bercocok tanam yang baik dan dengan peningkatan kemampuan berproduksi sesuai harapan

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan terhadap pangan khususnya beras, semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sedangkan usaha diversifikasi pangan berjalan lambat. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Stabilitas Galur Sidik ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter pengamatan. Perlakuan galur pada percobaan ini memberikan hasil berbeda nyata pada taraf

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ragam Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter-karakter yang diamati. Hasil rekapitulasi analisis ragam (Tabel 2), menunjukkan adanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia. Hampir 90 % masyarakat Indonesia mengonsumsi beras yang merupakan hasil olahan

Lebih terperinci

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA

PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA PENGAMATAN PERCOBAAN BAHAN ORGANIK TERHADAP TANAMAN PADI DI RUMAH KACA HUSIN KADERI Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru Jl. Kebun Karet, Loktabat Banjarbaru RINGKASAN Percobaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. I. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera.

BAHAN DAN METODE. I. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera. 11 BAHAN DAN METODE I. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Babakan, Kecamatan Darmaga, Bogor Jawa Barat. Kebun terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padi Padi merupakan tanaman pertanian kuno yang sampai saat ini terus dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan merupakan tanaman pangan yang dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI ABSTRAK Aksesi gulma E. crus-galli dari beberapa habitat padi sawah di Jawa Barat diduga memiliki potensi yang berbeda

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Permintaan akan komoditas ini dari tahun ke tahun mengalami lonjakan

Lebih terperinci

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh 81 PEMBAHASAN UMUM Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selama cekaman suhu rendah diantaranya; (a) faktor fisiologi, faktor lingkungan sebelum dan sesudah fase penting pertumbuhan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Asam Salisilat 1. Struktur Kimia Asam Salisilat Struktur kimia asam salisilat dan turunannya dapat dilihat pada Gambar 2 : Gambar 2. Struktur kimia asam salisilat dan turunannya

Lebih terperinci

Perbaikan Varietas Padi melalui Kultur Anter

Perbaikan Varietas Padi melalui Kultur Anter Perbaikan Varietas Padi melalui Kultur Anter Ida H. Somantri, A. Dinar Ambarwati, dan Aniversari Apriana Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian ABSTRAK Kultur anter telah digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keanekaragaman sumber daya hayati yang tinggi, khususnya tumbuhan. Keanekaragaman genetik tumbuhan di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Padi Inbrida di Indonesia Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara definitif merupakan turunan pertama (F1) dari persilangan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul 147 PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul Karakter morfologi tanaman pada varietas unggul dicirikan tipe tanaman yang baik. Hasil penelitian menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan penghasil beras sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman hortikultura semusim yang mempunyai nilai ekonomi. Cabai rawit memiliki nilai tinggi untuk industri makanan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting karena beras masih

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Penduduk Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah, dengan pertumbuhan sekitar 1,6 % tahun -1, sehingga mendorong pemintaan pangan yang terus meningkat.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Padi (Varietas Ciherang) Padi merupakan kebutuhan vital bagi manusia Indonesia sehari-hari, disebabkan setiap hari orang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Untuk menjaga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Segregasi Varietas unggul galur murni dapat dibuat dengan menyilangkan dua genotipe padi yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil persilangan ditanam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Jagung (Zea mays L.) Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman. Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Bunga tanaman kedelai termasuk bunga sempurna dengan tipe penyerbukan sendiri yang terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemungkinan kawin silang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

KORELASI DAN SIDIK LINTAS KARAKTER FENOTIPIK GALUR- GALUR PADI HAPLOID GANDA HASIL KULTUR ANTERA

KORELASI DAN SIDIK LINTAS KARAKTER FENOTIPIK GALUR- GALUR PADI HAPLOID GANDA HASIL KULTUR ANTERA KORELASI DAN SIDIK LINTAS KARAKTER FENOTIPIK GALUR- GALUR PADI HAPLOID GANDA HASIL KULTUR ANTERA CORRELATION AND PATH ANALYSIS ON PHENOTYPIC CHARACTERS OF DOUBLED HAPLOID RICE LINES Heni Safitri *), Bambang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monotyledonae : Gramineae (Poaceae)

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan Februari-Juli 2016. Percobaan dilakukan di Rumah Kaca dan laboratorium Kimia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Jagung Manis Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah dari bunga betina pada

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Sesuai Prioritas Nasional

Sesuai Prioritas Nasional Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Peningkatan Effisiensi Pengisian Dan Pembentukan Biji Mendukung Produksi Benih Padi Hibrida id Oleh Dr. Tatiek Kartika Suharsi MS. No Nama Asal Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Lingkungan Tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Capsicum annuum L. merupakan tanaman annual berbentuk semak dengan tinggi mencapai 0.5-1.5 cm, memiliki akar tunggang yang sangat kuat dan bercabang-cabang.

Lebih terperinci

Pembentukan Galur Haploid Ganda Padi Gogo dengan Sifat-Sifat Tipe Baru melalui Kultur Antera

Pembentukan Galur Haploid Ganda Padi Gogo dengan Sifat-Sifat Tipe Baru melalui Kultur Antera Pembentukan Galur Haploid Ganda Padi Gogo dengan Sifat-Sifat Tipe Baru melalui Kultur Antera Development of Double Haploid Lines of Upland Rice with NewPlant Type Characters through Anther Culture Reny

Lebih terperinci

KARAKTER MORFOLOGI DAN AGRONOMI PADI VARIETAS UNGGUL

KARAKTER MORFOLOGI DAN AGRONOMI PADI VARIETAS UNGGUL 35 KARAKTER MORFOLOGI DAN AGRONOMI PADI VARIETAS UNGGUL Morphological and Agronomy Characters Of Various Types of Rice Cultivars Abstrak Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari karakter morfologi dan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai

II.TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai 9 II.TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai berikut : Regnum Divisio Sub Divisio Class Ordo Family Genus : Plantae

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija jenis

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija jenis I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Botani Kacang Tanah Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija jenis Leguminosa yang memiliki kandungan gizi sangat tinggi. Kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR Charles Y. Bora 1 dan Buang Abdullah 1.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur. Balai Besar Penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, umur masak, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta rasa nasi. Umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya Padi merupakan komoditas strategis yang mendapat prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Berbagai usaha telah

Lebih terperinci

Oleh: Totok Agung Dwi Haryanto Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 25 Agustus 2004, disetujui: 27 September 2004)

Oleh: Totok Agung Dwi Haryanto Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 25 Agustus 2004, disetujui: 27 September 2004) PERTUMBUHAN, HASIL, DAN MUTU BERAS GENOTIPE F5 DARI PERSILANGAN PADI MENTIK WANGI X POSO DALAM RANGKA PERAKITAN PADI GOGO AROMATIK GROWTH, YIELD, AND RICE QUALITY OF F5 GENOTYPES PROGENY OF CROSSING BETWEEN

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia. Daerah utama penanaman kedelai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat 18 BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di kebun percobaan Institut Pertanian Bogor, Sawah Baru Babakan Darmaga, selama 4 bulan, dari bulan Mei-September 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan

Lebih terperinci

J3V3 J1V3 J3V2 J1V2 J3V4 J1V5 J2V3 J2V5

J3V3 J1V3 J3V2 J1V2 J3V4 J1V5 J2V3 J2V5 Lampiran 1. Bagan Percobaan 1 2 3 J2V5 J1V2 J3V1 X X X X X X X X X X J1V4 J2V2 J3V3 X X X X X X X X X X J3V1 J3V4 J1V1 X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X J2V3 J1V5 J2V4 X X X X X X X X X X J1V2 J3V5

Lebih terperinci

Padi. Sistem budidaya padi, ada 4 macam

Padi. Sistem budidaya padi, ada 4 macam Padi Padi : salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Produksi padi dunia menempati urutan ke-3 dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Merupakan sumber karbohidrat utama bagi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

STUDI TINGGI PEMOTONGAN PANEN TANAMAN UTAMA TERHADAP PRODUKSI RATUN. The Study of Cutting Height on Main Crop to Rice Ratoon Production

STUDI TINGGI PEMOTONGAN PANEN TANAMAN UTAMA TERHADAP PRODUKSI RATUN. The Study of Cutting Height on Main Crop to Rice Ratoon Production 47 STUDI TINGGI PEMOTONGAN PANEN TANAMAN UTAMA TERHADAP PRODUKSI RATUN The Study of Cutting Height on Main Crop to Rice Ratoon Production ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tinggi pemotongan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Gandum

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Gandum 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Gandum Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan tanaman semusim yang mempunyai dua macam akar yaitu akar kecambah dan akar adventif. Akar adventif ini nantinya akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Padi Tanaman padi merupakan tanaman pangan yang dapat hidup dalam genangan air. Tanaman pangan lain seperti gandum, jagung kentang dan ketela rambat akan mati kalau

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

Regenerasi Tanaman dengan Kultur Anter Beberapa Persilangan Padi Hibrida. Yuniati P. Munarso, Iswari S. Dewi, dan Suwarno

Regenerasi Tanaman dengan Kultur Anter Beberapa Persilangan Padi Hibrida. Yuniati P. Munarso, Iswari S. Dewi, dan Suwarno Regenerasi Tanaman dengan Kultur Anter Beberapa Persilangan Padi Hibrida Yuniati P. Munarso, Iswari S. Dewi, dan Suwarno Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jl. Raya 9 Sukamandi, Jawa Barat ABSTRACT. Plant

Lebih terperinci

Pemuliaan Tanaman Serealia

Pemuliaan Tanaman Serealia Pemuliaan Tanaman Serealia Padi Padi : salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Produksi padi dunia menempati urutan ke-3 dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Merupakan

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) MELA WAHYUNI A

UJI DAYA HASIL GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) MELA WAHYUNI A UJI DAYA HASIL GALUR DIHAPLOID PADI SAWAH (Oryza sativa L.) MELA WAHYUNI A24080037 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN MELA WAHYUNI. Uji Daya

Lebih terperinci

LAMPIRAN B 1 C 4 F 4 A 4 D 1 E 2 G 1 C 1 C 3 G 2 A 1 B 4 G 3 C 2 F 2 G 4 E 4 D 2 D 3 A 2 A 3 B 3 F 3 E 1 F 1 D 4 E 3 B 2

LAMPIRAN B 1 C 4 F 4 A 4 D 1 E 2 G 1 C 1 C 3 G 2 A 1 B 4 G 3 C 2 F 2 G 4 E 4 D 2 D 3 A 2 A 3 B 3 F 3 E 1 F 1 D 4 E 3 B 2 Lampiran 1. Layout Penelitian LAMPIRAN B 1 C 4 F 4 A 4 D 1 E 2 G 1 C 1 C 3 G 2 A 1 B 4 G 3 C 2 F 2 G 4 E 4 D 2 D 3 A 2 A 3 B 3 F 3 E 1 F 1 D 4 E 3 B 2 Keterangan : A B C D E F G = Kontrol = Urea = Urea

Lebih terperinci

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al.

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. 2 memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. Analisis Root re-growth (RRG) Pengukuran Root Regrowth (RRG) dilakukan dengan cara mengukur panjang akar pada saat akhir perlakuan cekaman Al dan pada saat

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih Pengertian 2.2. Klasifikasi Umum Tanaman Padi

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih Pengertian 2.2. Klasifikasi Umum Tanaman Padi II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Benih 2.1.1. Pengertian Benih adalah biji tanaman yang dipergunakan untuk keperluan dan pengembangan di dalam usaha tani, yang mana memiliki fungsi secara agronomis atau merupakan

Lebih terperinci

Kultur Antera Padi Gogo Hasil Persilangan Kultivar dengan Galur Toleran Naungan

Kultur Antera Padi Gogo Hasil Persilangan Kultivar dengan Galur Toleran Naungan Hayati, September 2002, hlm. 89-93 Vol. 9, No. 3 ISSN 0854-8587 Kultur Antera Padi Gogo Hasil Persilangan Kultivar dengan Galur Toleran Naungan Anther Culture of Upland Rice Generated from Crosses of Cultivars

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan

I. PENDAHULUAN. secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemuliaan tanaman telah menghasilkan bibit unggul yang meningkatkan hasil pertanian secara signifikan. Melalui proses seleksi tanaman yang diikuti dengan penyilangan dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Tanaman padi termasuk famili Graminae dengan ciri batang yang tersusun dari beberapa ruas, rumpun dengan anakan yang tumbuh dari dasar batang. Semua anakan memiliki

Lebih terperinci

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 Perakitan Varietas dan Teknologi Perbanyakan Benih secara Massal (dari 10 menjadi 1000 kali) serta Peningkatan Produktivitas Bawang merah (Umbi dan TSS) (12

Lebih terperinci

INPARI 38, 39, DAN 41: VARIETAS BARU UNTUK LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

INPARI 38, 39, DAN 41: VARIETAS BARU UNTUK LAHAN SAWAH TADAH HUJAN INPARI 38, 39, DAN 41: VARIETAS BARU UNTUK LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Trias Sitaresmi, Yudhistira Nugraha, dan Untung Susanto BALAI BESAR PENELITIAN TANAMAN PADI Disampaikan pada seminar Puslitbangtan, Bogor

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rumah kaca University Farm, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Ketinggian tempat di lahan percobaan adalah 208 m dpl. Pengamatan pascapanen dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida Kegiatan pemuliaan diawali dengan ketersediaan sumberdaya genetik yang beragam. Keanekaragaman plasma nutfah tanaman jagung merupakan aset penting sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Budaya menggunakan tanaman hias dan bunga bagi tujuan kesenangan dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun akhirnya meluas hingga

Lebih terperinci

PENGARUH POLIAMIN TERHADAP INDUKSI KALUS. (Oiyza strtivn L) Oleh ARIANI MUFIDA A JURUSAN BUD1 DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

PENGARUH POLIAMIN TERHADAP INDUKSI KALUS. (Oiyza strtivn L) Oleh ARIANI MUFIDA A JURUSAN BUD1 DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN PENGARUH POLIAMIN TERHADAP INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TANAMAN PADA KULTUR ANTERA PAD1 (Oiyza strtivn L) Oleh ARIANI MUFIDA A. 30 0880 JURUSAN BUD1 DAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

: varietas unggul nasional (released variety) : 636/Kpts/TP.240/12/2001 tanggal 13 Desember tahun 2001 Tahun : 2001 : B6876B-MR-10/B6128B-TB-15

: varietas unggul nasional (released variety) : 636/Kpts/TP.240/12/2001 tanggal 13 Desember tahun 2001 Tahun : 2001 : B6876B-MR-10/B6128B-TB-15 Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Batutugi Nama varietas : Batutugi Kategori : varietas unggul nasional (released variety) SK : 636/Kpts/TP.240/12/2001 tanggal 13 Desember tahun 2001 Tahun : 2001 Tetua

Lebih terperinci

PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN

PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN PENGUJIAN TOLERANSI BEBERAPA GENOTIPE PADI PADA LAHAN SAWAH YANG MENGALAMI CEKAMAN KEKERINGAN Yummama Karmaita, SP Pembimbing Prof. Dr. Ir. Aswaldi Anwar, MS dan Dr. Ir. EttiSawasti, MS Lahan yang mengalami

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama, konsentrasi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BENIH DAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH

PENGEMBANGAN BENIH DAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH PENGEMBANGAN BENIH DAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH Oleh : Ir. Hj. Fauziah Ali A. Pendahuluan Varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya

Lebih terperinci

PERSILANGAN BUATAN PADA TANAMAN KACANG HIJAU (VIGNA RADIATA (L.) WILCZEK)

PERSILANGAN BUATAN PADA TANAMAN KACANG HIJAU (VIGNA RADIATA (L.) WILCZEK) PERSILANGAN BUATAN PADA TANAMAN KACANG HIJAU (VIGNA RADIATA (L.) WILCZEK) AGUS SUPENO Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang RINGKASAN Persilangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. I. Persilangan dialel lengkap dua tetua anggrek Phalaenopsis. Pengaruh media dasar dan arang aktif terhadap pengecambahan biji

METODE PENELITIAN. I. Persilangan dialel lengkap dua tetua anggrek Phalaenopsis. Pengaruh media dasar dan arang aktif terhadap pengecambahan biji III. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri 4 percobaan yaitu : I. Persilangan dialel lengkap dua tetua anggrek Phalaenopsis. II. Pengaruh media dasar dan arang aktif terhadap pengecambahan biji anggrek

Lebih terperinci