TUGAS AKHIR OLEH : BAMBANG PISCESA DOSEN PEMBIMBING : Ir. IMAN WIMBADI, MS. Ir. MUDJI IRMAWAN, MS.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUGAS AKHIR OLEH : BAMBANG PISCESA DOSEN PEMBIMBING : Ir. IMAN WIMBADI, MS. Ir. MUDJI IRMAWAN, MS."

Transkripsi

1 TUGAS AKHIR STUDI KOMPARATIF DESAIN PENAMPANG ELEMEN BETON AKIBAT KOMBINASI AKSIAL DAN LENTUR BERDASARKAN UNIFIED DESIGN PROVISION (ACI ) DAN LIMIT STATE METHOD (SNI 00) OLEH : BAMBANG PISCESA DOSEN PEMBIMBING : Ir. IMAN WIMBADI, MS. Ir. MUDJI IRMAWAN, MS. PROGRAM SARJANA (S-1) JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 006

2 TUGAS AKHIR STUDI KOMPARATIF DESAIN PENAMPANG ELEMEN BETON AKIBAT KOMBINASI AKSIAL DAN LENTUR BERDASARKAN UNIFIED DESIGN PROVISION (ACI ) DAN LIMIT STATE METHOD (SNI 00) Mengetahui/Menyetujui Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Ir. Iman Wimbadi, MS. Ir.Mudji Irmawan, Ms. NIP NIP PROGRAM SARJANA (S-1) JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA Juli 006

3 i STUDI KOMPARATIF DESAIN PENAMPANG ELEMEN BETON AKIBAT KOMBINASI AKSIAL DAN LENTUR BERDASARKAN UNIFIED DESIGN PROVISION (ACI ) DAN LIMIT STATE METHOD (SNI 00) Oleh : Bambang Piscesa ( ) Dosen Pembimbing : Ir. Iman Wimbadi, Ms. Ir. Mudji Irmawan, Ms. ABSTRAK Tata cara perhitungan struktur beton bertulang di Indonesia (SNI ) yang dipakai saat ini menggunakan metode keadaan batas (Limit State Method) dalam menganalisa dan mendesain penampang beton bertulang, sedangkan perkembangan tata cara perhitungan struktur beton bertulang terbaru saat ini yakni ACI & ACI sudah menggunakan metode desain terpadu (Unified Design Method). Studi ini bertujuan untuk mengantisipasi penggunaan perhitungan beton dengan menggunakan metode desain terpadu (Unified Design Method) yang sudah masuk kedalam code ACI & ACI Studi ini juga akan mengaplikasikan factor reduksi ( berdasarkan code ACI yang sudah ditetapkan, aplikasi bentuk daripada hubungan factor reduksi ( dan regangan tarik (t) didapat dari hasil pendekatan teori probabilitas yang lebih rational (Material Science & Mathematic Science) dengan didasarkan atas variable statistik baik itu variable beban maupun variable tahanan. Studi ini dilengkapi dengan contoh cara analisa dan desain perhitungan elemen struktur kolom dengan menggunakan metode limit state dan unified dimana juga akan mempertimbangkan pengaruh dan penentuan sway dan non sway elemen struktur kolom dengan cara yang baru (SNI & ACI ) yang menggunakan Stabilitas Index (Q) dan perbedaanya dengan cara yang lama (SNI-1991). Hasil studi dengan tiga model gedung yakni untuk 3,6 dan 9 tingkat didapatkan bahwa perbedaan s (Perbesaran) bila dihitung dengan menggunakan Stabilitas Index,Q, mencapai % bila dibandingkan dengan cara yang lama. Studi yang dilakukan ini lebih dititik beratkan pada elemen struktur kolom, yang merupakan kelanjutan daripada studi studi unified. Harapan kami dari pembahasan studi ini bisa dipakai sebagai landasan dalam memperkenalkan teori unified, misalkan untuk elemen struktur yang lainnya seperti prestress ataupun precast. Kata kunci : Load Resistance Factor Design (LRFD), Unified Design Method, Limit State Method, Brace & Unbrace, Sway & Non Sway, Faktor Reduksi.

4 ii Daftar Isi ABSTRAK... i Daftar Isi... ii Daftar Gambar... iv Daftar Tabel... vi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Batasan Permasalahan Metodologi... 5 BAB II PERKEMBANGAN METODE PERENCANAAN ELEMEN STRUKTUR BETON BERTULANG Working Stress Method Strength Design Method ( Utimate Strength Design ) Limit State Method Unified Design Method BAB III DASAR TEORI KOLOM Perilaku Kolom Spiral dan Kolom Bersengkang Kekuatan Kolom yang Diberi Beban Aksial Diagram Interaksi Kolom Beton Bertulang Konsep dan Asumsi Diagram Interaksi Kolom Beban Aksial Tekan Maksimum Beban Aksial Tarik Maksimum Kapasitas Beban Aksial Tekan Konsentris dan Kapasitas Beban aksial Maksimum Kolom Langsing Tekuk Kolom Elastis Akibat Beban Aksial Perilaku dan Analisa Kolom dengan Ujung Sendi - Sendi Kekakuan Kolom, EI, k, BAB IV DASAR TEORI STATISTIK & PROBABILITAS Nilai Rata-Rata, Varians, Standar Deviasi dan Koefisien Variasi Distribusi Normal, Beta Index, Safety Factor dan Reliabilitas Performance Density Function Beton (f c) dan Baja (fy) Load Resistance Factor Design (LRFD) BAB V METODOLOGI Studi Literatur Perencanaan Bentuk Elemen Struktur Pembebanan Elemen Struktur Sebagai Akibat Kombinasi Beban Aksial dan Lentur Peninjauan Tentang Kolom dalam Keadaan Sway dan Non Sway Studi LRFD untuk Mendapatkan Trend Faktor Reduksi yang Digunakan oleh Metode Unified Design Design sebagai Akibat Kombinasi Beban Aksial dan Lentur Penentuan Besarnya Faktor Reduksi Kekuatan Nominal untuk Beban Aksial dan Lentur Analisa Desain Elemen Struktur Akibat Beban Aksial dan Lentur Pembuatan Diagram Interaksi Elemen Struktur Kolom dengan Analisa Berdasarkan Metode Unified Design Pembahasan Perbedaan Desain Penampang Elemen Struktur Akibat Aksial dan Lentur Menurut SNI 00 dan ACI Kesimpulan BAB VI ANALISA KELANGSINGAN ELEMEN STRUKTUR AKIBAT TEKAN DAN LENTUR PADA STRUKTUR 3, 6, DAN 9 TINGKAT Perencanaan dan Spesifikasi Struktur Bangunan Preliminary Desain Elemen Struktur Balok Bangunan Perencanaan Tebal Pelat Atap dan Lantai Perencanaan Tebal Pelat Atap Perencanaan Tebal Pelat Lantai Preliminary Desain Elemen Struktur Kolom Model I (3 Tingkat) Model II (6 Tingkat) Model III (9 Tingkat) Pembebanan Struktur Utama Pembebanan Struktur Utama Akibat Pelat Pembebanan Struktur Utama Akibat Beban Mati Pembebanan Struktur Utama Akibat Beban Hidup Pembebanan Struktur Utama Akibat Angin Hasil Analisa Drift Struktur Akibat Beban Mati, Hidup dan Angin Analisa Kelangsingan Struktur dengan SKSNI T , SNI dan ACI Analisa Kelangsingan Struktur 3, 6 dan 9 Lantai Dengan SKSNI T Analisa Kelangsingan Struktur 3 Lantai Dengan Metode Perbesaran Momen (Approximate Method) Analisa Kelangsingan Struktur 6 Lantai Dengan Metode Perbesaran Momen (Approximate Method) Analisa Kelangsingan Struktur 9 Lantai Dengan Metode Perbesaran Momen (Approximate Method).. 101

5 6.7. Analisa Kelangsingan Struktur 3, 6 dan 9 Lantai Dengan SNI dan ACI Analisa Kelangsingan Struktur 3 Lantai Dengan Metode Approximate Second Order Analysis Analisa Kelangsingan Struktur 6 Lantai Dengan Metode Approximate Second Order Analysis Analisa Kelangsingan Struktur 9 Lantai Dengan Metode Approximate Second Order Analysis Perbandingan s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) Perbandingan s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) pada Gedung 3 Lantai s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) pada Gedung 6 Lantai s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) pada Gedung 9 Lantai BAB VII PERBANDINGAN ANALISA DAN DESAIN PENAMPANG ELEMEN BETON BERTULANG AKIBAT TEKAN DAN LENTUR BERDASARKAN SNI DAN ACI Perbandingan Nilai Faktor Reduksi () SNI Limit State Method dengan ACI Unified Design Provision Pengambilan Nilai Faktor Reduksi () SNI pada Analisa dan Desain Penampang Elemen Beton Bertulang Akibat Aksial dan Lentur Pengambilan Nilai Faktor Reduksi () ACI pada Analisa dan Desain Penampang Elemen Beton Bertulang Akibat Aksial dan Lentur Perbandingan Analisa Penampang Elemen Struktur Kolom Dua Sisi Perbandingan Analisa Penampang Elemen Struktur Kolom Empat Sisi Perbandingan Analisa Penampang Elemen Struktur Kolom Spiral Perbandingan Desain Penampang Elemen Kolom Persegi Empat Sisi Perbandingan Desain Penampang Elemen Kolom Persegi Dua Sisi Perbandingan Desain Penampang Elemen Kolom Lingkaran BAB VIII STUDI FAKTOR REDUKSI ELEMEN BETON BERTULANG DENGAN MENGGUNAKAN LOAD RESISTANCE FACTOR DESIGN (LRFD) Metode Box dan Muller untuk Random Data f c dan fy Kekuatan Kolom Beton Bertulang untuk Studi Eksentrisitas Kolom Load Resistance Factor Design untuk Studi Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Studi Kekuatan Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Dua Sisi Pengaruh Variabilitas Beton dan Baja Tulangan Pengaruh Mutu Beton Pengaruh Mutu Baja Pengaruh Kualitas Baja Pengaruh Kualitas Beton Pengaruh Rasio Tulangan Pengaruh Dimensi Kolom Hubungan Rasio Kekuatan Rata Rata dengan Kekuatan nominal (R/Rn) Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Studi Faktor Reduksi Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Dua Sisi Hubungan Faktor Faktor Desain Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Pengaruh Pemilihan Tingkat Keandalan atau Reliability Index Pengaruh Rasio L/D Pengaruh Rasio Penulangan Hubungan Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Terhadap Regangan Tulangan Serat Terluar, t Studi Kekuatan Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Empat Sisi Pengaruh Variabilitas Beton dan Baja Tulangan Pengaruh Mutu Beton Pengaruh Mutu Baja Pengaruh Kualitas Baja Pengaruh Kualitas Beton Pengaruh Rasio Tulangan Pengaruh Dimensi Kolom Hubungan Rasio Kekuatan Rata Rata dengan Kekuatan nominal (R/Rn) Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Studi Faktor Reduksi Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Empat Sisi Hubungan Faktor Faktor Desain Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Pengaruh Pemilihan Tingkat Keandalan atau Reliability Index Pengaruh Rasio L/D Pengaruh Rasio Penulangan Hubungan Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Terhadap Regangan Tulangan Serat Terluar, t BAB IX PENUTUP Kesimpulan Saran LAMPIRAN A Diagram Interaksi Kolom ACI & SNI LAMPIRAN B (Program Studi Eksentrisitas) LAMPIRAN C (Program Studi Faktor Reduksi ACI ) LAMPIRAN D (Program PiscesaCol Version 1.00) iii

6 iv Daftar Gambar Gambar 1.1 Variasi yang terjadi berdasarkan ε t yang terjadi (f y = 400Mpa)... Gambar.1 Asumsi analisa penampang beton bertulang pada WSM... 7 Gambar. Regangan dan distribusi tegangan ekivalen untuk penampang yang menerima lentur dan tekan... 9 Gambar.3 Faktor Reduksi SNI 00 untuk beban Aksial dan Lentur (Limit State)... 1 Gambar.4 Variasi yang terjadi berdasarkan ε t yang terjadi (f y = 400Mpa) Gambar.5 Berbagai macam criteria regangan pada penampang beton menurut Unified Design method Gambar 3.1 Gaya Triaxial pada Inti Kolom Spiral Gambar 3. Perilaku Beban dan Defleksi Kolom Spiral dan Bersengkang Gambar 3. 3 Resistance Kolom yang dibeban secara Aksial Gambar 3.4 Beban Aksial dan Momen pada Kolom... 0 Gambar 3.5 Diagram Interaksi untuk Kolom Elastis... Gambar 3. 6 Kalkulasi Pn dan Mn untuk Kondisi Regangan Tertentu... 3 Gambar 3.7 Distribusi Regangan berkaitan dengan Titik pada Diagram Interaksi... 4 Gambar 3.8 Ketentuan Tanda dan Notasi... 6 Gambar 3.9 Kalkulasi Gaya yang Bekerja pada Tulangan... 7 Gambar 3.10 Gaya Gaya Internal dan Lengan Momen... 8 Gambar 3.11 Gaya Gaya pada Kolom yang Berdefleksi... 9 Gambar 3.1 Beban dan Momen Pada Diagram Interaksi Kolom Gambar 3.13 Keadaan Keseimbangan Gambar 3.14 Tekuk yang Terjadi pada Kolom dengan Ujung Sendi-Sendi... 3 Gambar 3.15 Panjang Efektif Kolom... 3 Gambar Panjang Efektif Kolom yang Diidealisasikan Gambar 3.17 Kegagalan Bahan dan Stabilitas Gambar Momen pada Kolom yang Mengalami Defleksi Gambar Nomograf untuk Faktor Panjang efektif Gambar 4.1 Distribusi Normal dengan Kelas kelas deterministik Gambar 4. Distribusi Normal dengan menggunakan Distrbusi Gauss f(x) Gambar 4.3 Standar Normal Density Function... 4 Gambar 4.4 Standar Normal Variasi Gambar 4.5 PDF daripada beton dengan Lower Tail 9 % Gambar 4.6 PDF daripada baja dengan Lower Tail 13 % Gambar 4.7 Permukaan keruntuhan dan tahanan kolom Gambar 4.8 Dispersi tahanan kolom pada suatu diagram interaksi Gambar 5.1 Portal Sederhana 3 Tingkat dengan 3 Bays Gambar 6.1 Denah struktur bangunan yang digunakan dalam studi ini Gambar 6. Tampak portal 3 tingkat dua dimensi Gambar 6.3 Pelat atap yang menumpu pada balok induk Gambar 6.4 Tributary area beban yang diterima oleh kolom... 7 Gambar 6.5 Beban pelat segitiga yang akan bekerja pada struktur utama Gambar 6.6 Beban pelat segitiga yang akan bekerja pada struktur utama Gambar 6.7 Pembebanan Portal C1-C7 akibat beban mati, hidup dan angin... 8 Gambar 6.8 Displacement yang terjadi padi Struktur Tiga Lantai... 8 Gambar 6.9 Displacement yang terjadi padi Struktur Enam Lantai Gambar 6.10 Displacement yang terjadi padi Struktur Sembilan Lantai Gambar 6.11 Displacement yang terjadi padi Struktur Tiga Lantai Gambar 6.1 Displacement yang terjadi padi Struktur Enam Lantai Gambar 6.13 Displacement yang terjadi padi Struktur Sembilan Lantai Gambar 7.1 Faktor Reduksi SNI (Limit State Method) Gambar 7. Faktor Reduksi ACI , fy = 400 Mpa... 1 Gambar 7.3 Faktor Reduksi ACI untuk nilai fy yang beragam Gambar 7.4 Diagram Regangan dan Tegangan yang terjadi pada penampang Gambar 7.5 Diagram Interaksi Kolom Sisi dengan 10 dia.3mm Gambar 7.6 Diagram Interaksi Menggunakan PiscesaCol V Gambar 7.7 Diagram Interaksi Menggunakan PCACOL V Gambar 7.8 Diagram Regangan dan Tegangan yang terjadi pada penampang Gambar 7.9 Diagram Interaksi Kolom 4 Sisi dengan 16 dia.3mm Gambar 7.10 Diagram Interaksi Menggunakan PiscesaCol V Gambar 7.11 Diagram Interaksi Menggunakan PCACOL V Gambar 7.1 Diagram Regangan dan Tegangan yang terjadi pada penampang Gambar 7.13 Diagram Interaksi Spiral dengan 6 dia.3mm Gambar 7.14 Diagram Interaksi Menggunakan PiscesaCol V Gambar 7.15 Diagram Interaksi Menggunakan PCACOL V

7 v Gambar 7.16 Diagram Interaksi Kolom f c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa Gambar 7.17 Diagram Interaksi Kolom f c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa Gambar 7.18 Diagram Interaksi Kolom f c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa Gambar 8.1 Pengaruh variasi tahanan kolom akibat variabilitas beton dan baja Gambar 8. Pengaruh mutu beton terhadap variasi global tahanan kolom Gambar 8.3 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Gambar 8.4 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Gambar 8.5 Pengaruh kualitas baja terhadap koefisien variasi tahanan global kolom Gambar 8.6 Pengaruh kualitas beton terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Gambar 8.7 Pengaruh rasio tulangan terhadap koefisien variasi tahanan global kolom Gambar 8.8 Pengaruh perubahan dimensi vs koefisien variasi tahanan global kolom Gambar 8.9 Hubungan rasio Rn/R terhadap rasio eksentrisitas (e/h) Gambar 8.10 Hubungan faktor faktor desain terhadap rasio eksentrisitas (e/h) Gambar 8.11 Pengaruh reabilitas index terhadap factor reduksi kolom Gambar 8.1 Pengaruh rasio L/D terhadap factor reduksi kolom Gambar 8.13 Pengaruh rasio tulangan terhadap factor reduksi kolom Gambar 8.14 Hubungan factor reduksi kekautan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 30 Mpa Gambar 8.15 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 400 Mpa Gambar 8.16 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 500 Mpa Gambar 8.17 Pengaruh variasi tahanan kolom akibat variabilitas beton dan baja Gambar 8.18 Pengaruh mutu beton terhadap variasi global tahanan kolom Gambar 8.19 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Gambar 8.0 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Gambar 8.1 Pengaruh kualitas baja terhadap koefisien variasi tahanan global kolom Gambar 8. Pengaruh kualitas beton terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Gambar 8.3 Pengaruh rasio tulangan terhadap koefisien variasi tahanan global kolom Gambar 8.4 Pengaruh perubahan dimensi vs koefisien variasi tahanan global kolom Gambar 8.5 Hubungan rasio Rn/R terhadap rasio eksentrisitas (e/h) Gambar 8.6 Hubungan faktor faktor desain terhadap rasio eksentrisitas (e/h) Gambar 8.7 Pengaruh reabilitas index terhadap factor reduksi kolom Gambar 8.8 Pengaruh rasio L/D terhadap factor reduksi kolom Gambar 8.9 Pengaruh rasio tulangan terhadap factor reduksi kolom Gambar 8.30 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 30 Mpa Gambar Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 400 Mpa Gambar 8.3 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 500 Mpa Gambar 9.1 Diagram Interaksi SNI dan ACI Gambar 9. Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 400 Mpa 193

8 vi Daftar Tabel Tabel 5.1 Momen Inersia elemen struktur ( SNI ) Tabel 6.1 Dimensi Balok 1,,3 dan Tabel 6. Drift yang terjadi pada Portal Dimensi 3 Tingkat Tabel 6.3 Drift yang terjadi pada Portal Dimensi 6 Tingkat Tabel 6.4 Drift yang terjadi pada Portal Dimensi 9 Tingkat Tabel 6.5 Besarnya beban mati yang bekerja pada struktur Tabel 6.6 Besarnya beban hidup yang bekerja pada struktur Tabel 6.7 Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur Tabel 6.8 Beban Ultimate = 0.75 x (1. D L W) Tabel 6.9 Perhitungan Momen Minimum Ms Tabel 6.10 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.11 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.1 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.13 Beban Ultimate U = 1. D L Tabel 6.14 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tabel 6.15 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tabel 6.16 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.17 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tabel 6.18 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.19 Besarnya beban mati yang bekerja pada struktur Tabel 6.0 Besarnya beban hidup yang bekerja pada struktur Tabel 6.1 Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur Tabel 6. Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.3 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.4 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.5 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.6 Beban Ultimate U = 1. D L Tabel 6.7 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tabel 6.8 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tabel 6.9 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.30 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tabel 6.31 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.3 Besarnya beban mati yang bekerja pada struktur Tabel 6.33 Besarnya beban hidup yang bekerja pada struktur Tabel 6.34 Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur Tabel 6.35 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.36 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.37 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.38 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.39 Beban Ultimate U = 1. D L Tabel 6.40 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tabel 6.41 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tabel 6.4 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.43 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tabel 6.44 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel Besarnya displacement yang terjadi akibat gaya angin Tabel 6.46 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.47 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.48 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tabel 6.49 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.50 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.51 Besarnya displacement yang terjadi akibat gaya angin Tabel 6.5 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.53 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.54 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tabel 6.55 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.56 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.57 Besarnya displacement yang terjadi akibat gaya angin Tabel 6.58 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.59 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.60 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tabel 6.61 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.6 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tabel 6.63 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.64 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.65 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) Tabel 6.66 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) Tabel 6.67 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.68 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W)

9 vii Tabel 6.69 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) Tabel 6.70 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) Tabel 6.71 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L+1.6W) Tabel 6.7 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W) Tabel 6.73 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) Tabel 6.74 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) Tabel 8.1 Jumlah Random Data Simulasi Monte Carlo Tabel 8. Hubungan rasio L/D dengan nilai, D dan L Tabel 9.1 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W)

10 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Perkembangan perhitungan struktur beton bertulang telah dikenal beberapa metode yang telah berkembang saat ini. Perkembangan metode tersebut diikuti pula dengan perkembangan tata cara perhitungan struktur beton bertulang yang berlaku. Di Amerika penyesuaian tata cara ini dilakukan oleh suatu badan yaitu American Concrete Institute (ACI). Dalam perkembangannya tata cara perhitungan struktur beton bertulang di Amerika,ACI 318, telah mengalami beberapa perubahan diantaranya ACI , ACI , ACI , ACI , ACI , ACI , ACI , ACI , ACI Perubahan daripada tata cara perhitungan struktur beton bertulang dimulai dari ACI yang menggunakan Metode Beban Kerja atau Working Stress Method (WSM) dan pada ACI menggunakan Metode Kekuatan Ultimat atau Ultimate Strength Design (USD) yang sudah diperkenalkan pada peraturan sebelumnya diperlakukan sama dengan WSM pada ACI , seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, menunjukkan bahwa kedua teori diatas (WSM & USD) mempunyai perspektif dan tujuan masing masing yang kemudian disatukan dalam Metode Keadaan Batas atau Limit State Method (LSM), dimana metode LSM ini menggunakan prinsip teori elastis pada saat keadaan batas layannya dan prinsip teori beban ultimat pada keadaan batas ultimat. Teori ini kemudian digantikan dengan Metode Desain Terpadu atau Unified Design Method pada ACI Tata cara perhitungan beton di Indonesia (SNI) memakai rujukan dari berbagai peraturan di negara maju seperti Amerika, Belanda dan Selandia Baru. Di Indonesia perkembangan perhitungan struktur bertulang didasarkan pada peraturan peraturan yang pernah ada di Indonesia mulai dari PB-55, PBI-71 yang mengadopsi sebagian besar dari Eropa dan menggunakan Metode Elastis, Perubahan acuan beton Indonesia berubah pada tahun 1991 dimana saat itu Indonesia mengeluarkan peraturan baru SKSNI-1991 yang menggunakan Metode Keadaan Batas (LSM) yang merujuk pada ACI dan Metode ini tetap dipakai pada tata cara perhitungan struktur beton bertulang yang paling baru saat ini yakni SNI

11 , dimana tata cara yang baru ini merujuk pada ACI dan untuk faktor bebannya mengadopsi dari ACI Dengan adanya perubahan pada tata cara perhitungan struktur betondi Amerika, ACI , yang menjadi rujukan peraturan beton Indonesia, sehingga penulis merasa perlu untuk mengadakan studi komparatif tentang metode desain yang baru (Unified Design Profision,ACI ), dengan metode desain yang sekarang berlaku di Indonesia (Limit State Method, SNI ). Perhitungan struktur beton bertulang dengan menggunakan Metode Design Terpadu atau Unified Design Method ( UDM ) ini tidak lagi membedakan apa yang disebut dengan elemen struktur atas balok, kolom pada beton bertulang biasa maupun pratekan. Berbeda halnya dengan metode yang kita pakai saat ini, LSM, dimana metode ini mengklasifikasikan elemen struktur yang terbebani lentur murni dan lentur dengan aksial. Sebagai gantinya metode yang baru ini, UDM, menggunakan regangan Tarik bersih (t) yang diukur dari tulangan tarik terjauh terhadap serat tekan terjauh sebagai dasar dalam menetukan Faktor reduksi kekuatan () untuk elemen yang mengalami beban lentur dan aksial beton bertulang maupun pratekan. Gambar 1.1 Variasi yang terjadi berdasarkan εt yang terjadi (fy = 400Mpa) Mengingat akan terus berkembangnya tata cara perhitungan struktur beton yang ada di Indonesia dan sampai saat ini masih menrujuk pada ACI maka

12 3 diharapkan studi komparatif desain dapat digunakan untuk mengantisipasi daripada perubahan perhitungan struktur beton bertulang yang akan datang. 1. Perumusan Masalah Perumusan masalah yang akan dibahas pada Tugas Akhir ini meliputi : Bagaimana cara mendapatkan factor reduksi yang tergantung pada regangan tarik bersih pada penampang elemen beton sebagai akibat dari kombinasi beban aksial dan lentur dengan menggunakan Load Resistance Factor Design (LRFD)? Bagaimana cara menerapkan teori Unified Desain yang akan digunakan? Bagaimana perbedaan kekuatan rencana yang dihasilkan dengan menggunakan dua metode Desain yang berbeda ( Unified Design Method ACI-00 dan Limit State Method SNI-00)? 1.3 Tujuan Tujuan dilakukannya tugas akhir studi literatur mengenai Unified Design (ACI 00) adalah untuk mengikuti trend yang ada didunia saat ini mengenai perhitungan yang berdasarkan hal hal yang rasional, khususnya membahas tentang unified design untuk balok. Dalam ACI belum disajikan perubahan yang terjadi akibat ketetapan yang baru ini. Karena itu akan dilakukan suatu studi sebagai berikut : Melakukan studi Load Resitance Factored Desain (LRFD) untuk mendapatkan bentuk trend dari factor reduksi sesuai ACI yang berubah tergantung pada regangan tarik bersih yang terjadi sebagai akibat kombinasi beban lentur dan aksial. Menerapkan teori teori unified design yang ada dalam suatu perhitungan. Menunjukkan perbedaan kekuatan rencana yang dihasilkan setelah dihitung dengan menggunakan dua metode yakni Unified Design Method (ACI-00) dan Limit State Method (SNI-00). Menggambarkan diagram interaksi daripada perencanaan desain penampang akibat kombinasi beban aksial dan lentur dengan menggunakan metode Unified Design.

13 4 1.4 Batasan Permasalahan Batasan permasalahan yang ada pada tugas akhir ini meliputi : Studi hanya dilakukan untuk elemen akibat kombinasi aksial dan lentur (kolom) pada elemen struktur beton bertulang. Studi terbatas pada penampang persegi dengan tulangan sisi dan 4 sisi. Nilai nilai dari factor beban disesuaikan dengan ketentuan yang ada pada SNI untuk mendapatkan pembebanan ultimat yang sama.

14 5 1.5 Metodologi Start Studi Literatur : Unified Design & Limit State Design Beban Tahanan Permodelan Struktur : 3,6,9 Tingkat & 3 Bays Frame Sederhana Pembeban Elemen Struktur SNI dan ACI Studi LRFD Mencari trend faktor reduksi daripada Unified Design Method (ACI ) Analisa Struktur Menggunakan SAP SNI Pengambilan Faktor Reduksi ACI Pengambilan Faktor Reduksi Peninjauan Tentang Kolom Sway & Non Sway ACI &SNI vs SNI 1991 Rekapitulasi Gaya-Gaya Dalam Struktur Mc= ns *M U Proses Envelope (Kapasitas Penampang) SNI DI,PCACOL & Manual ACI DI,PCACOL & Manual SNI Mn,Pn ACI Mn, Pn Pembahasan Perbedaan Desain Penampang SNI & ACI Kesimpulan

15 6 BAB II PERKEMBANGAN METODE PERENCANAAN ELEMEN STRUKTUR BETON BERTULANG.1 Working Stress Method Working Sress Method (WSM), dapat juga dikatakan sebagai metode tegangan ijin, metode ini diatur dalam ACI Metode desain ini mulai dikenalkan dan digunakan sekitar awal 1900-an sampai awal 1960-an. Saat Menggunakan Metode ini, suatu elemen struktur direncanakan sedemikian rupa sehingga elemen tersebut mampu menahan atau menerima daripada beban sesungguhnya yang telah diantisipasi ( Beban Kerja atau Desain ) tanpa adanya tegangan yang bekerja pada beton ataupun pada tulangan yang melebihi tegangan ijin yang didapat dari setiap material. Atau lebih sederhananya dapat dilihat dibawah ini : f f izin dimana : f = tegangan diakibatkan oleh beban kerja yang dihitung secara elastis. fizin = suatu tegangan pembatas yang ditetapkan oleh peraturan bangunan sebagai suatu persentase dari kekuatan tekan (f c) untuk beton atau dari tegangan leleh (fy) dari baja tulangan. (Reinforced Concrete Design, 1963, Everard and Tanner) Keamanan yang ada dalam metode ini didefusikan ke dalam suatu faktor keamanan sebagai berikut: Factor of safety = f f izin Untuk material yang daktail (besi tulangan), tegangan leleh dipakai sebagai tegangan hancur, dan untuk material yang getas (beton), tegangan ultimat diambil sebagai tegangan hancurnya. Dalam metode ini digunakan perilaku meterial yang elastis (Hukum Hooke berlaku). Struktur yang didesain menggunakan metode tegangan kerja ini aman untuk bekerja dibawah beban kerja (layan) dan diasumsikan atau diharapkan untuk menerima atau menahan beban ultimat.

16 7 Asumsi asumsi dasar daripada metode ini harus dipenuhi saat menghitung dengan menggunakan metode ini, asumsi asumsi dasar tersebut adalah : Beton dan baja menggunakan hokum Hooke Regangan yang terjadi proporsional terhadap jarak daripada garis netral. Kuat tarik daripada beton diabaikan. Ikatan yang kuat antara beton dan baja harus dilakukan supaya tidak terjadi slip antara kedua material tersebut. Asumsi dasar lain yang mengenai deformasi dan lentur daripada elemen yang homogen berlaku. 1.5 Modulus Elastisitas daripada beton harus w 33 f ' c psi Modulus Elastisitas daripada tulangan harus psi (Reinforced Concrete Design, 1963, Everard and Tanner) Potongan dasar dari WSM sebagai akibat dari tekan dan lentur dapat dilihat pada gambar 5.1. Potongan tersebut terdiri dari persegi empat area beton bkd dan area tulangan As yang menerima tekan dan area tulangan AS yang menerima tarik. Karakter dari tegangan berubah dari tegangan tekan yang ekstrim pada serat terluar dari area beton menuju pada tegangan tarik yang bekerja pada area tulangan AS = ρ bd. Pada suatu titik tegangan adalah sama dengan 0, garis yang melalui titik tersebut disebut garis netral (Neutral Axis). Gambar.1 Asumsi analisa penampang beton bertulang pada WSM

17 8. Strength Design Method ( Utimate Strength Design ) Strength design method (metode perencanaan kekuatan) ini dahulu dinamakan ultimate strength method (metode kekuatan ultimat). Dimana dalam metode ini beban kerja dinaikkan secukupnya dengan beberapa faktor untuk mendapatkan beban pada waktu keruntuhan dinyatakan sebagai "telah di ambang pintu (imminent)". Beban ini dinamakan sebagai beban berfaktor (factored service load). Struktur atau unsurnya lalu diproporsikan sedemikian hingga mencapai kekuatannya pada saat bekerjanya beban berfaktor. Perhitungan dari kekuatan ini memperhitungkan sifat hubungan yang tidak linear antara tegangan dan regangan dari beton. Metode rencana kekuatan dapat dinyatakan sebagai berikut: Kekuatan yang tersedia kekuatan yang diperlukan untuk memikul beban berfaktor Dimana "kekuatan yang tersedia" (seperti kekuatan momen) dihitung sesuai dengan peraturan dan permisalan dari sifat yang ditetapkan oleh suatu peraturan bangunan, dan "kekuatan yang diperlukan" adalah kekuatan yang dihitung dengan menggunakan suatu analisa struktur dengan menggunakan beban berfaktor. Dalam metode ini, beban berfaktor (momen, geser, gaya aksial, dan lain - lain) didapat_ dengan jalan mengalikan beban kerja dengan faktor U sedangkan kekuatan rencana diperoleh dengan jalan mengalikan kekuatan nominal dengan suatu faktor reduksi kekuatan ( ). Daktilitas dicapai pada saat regangan tulangan tarik mencapai titik leleh sebelum beton mencapai regangan ultimate yaitu 0,003. Kondisi tersebut didefinisikan sebagai kondisi regangan seimbang. b adalah rasio penulangan yang menghasilkan kondisi regangan seimbang. Dasar dari kekuatan lentur nominal dari metode ini didahului oleh pernyataan F. Stussi (193) yang mengatakan bahwa sifat tegangan - regangan umum untuk beton memperlihatkan hubungan yang nonlinear untuk tegangan diatas 0,5f c.

18 9 Perhitungan kekuatan lentur Mn yang didasarkan pada distribusi tegangan yang mendekati parabola dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan - persamaan yang ditetapkan (Chu Kia Wang dan Charles G.Salmon, 1985, Desain Beton Bertulang). C.S.Whitney dan Edward Cohen ("Guide for Ultimate Strength Design of Reinforced Concrete", ACI Journal, November 1956) menyarankan penggunaan suatu distribusi tegangan tekan pengganti yang berbentuk persegi seperti gambar., dipakai suatu tegangan persegi dengan besar rata - rata 0,85 f c dan tinggi a = β1 c. Dengan menggunakan tegangan persegi ekivalen, kekuatan momen nominal dapat diperoleh sebagai berikut : T = Asfs = As (Ess) saat s < y atau T = Asfy saat s y Cs = As fs = As (Ess ) saat s < y atau Cs = As fy saat s y Cc = 0.85 fc ba Gambar. Regangan dan distribusi tegangan ekivalen untuk penampang yang menerima lentur dan tekan Dari keseimbangan gaya didapatkan : Pn = Cc + Cs T

19 10 Dari keseimbangan momen di tengah penampang : M n h a h h Pn e Cc ( ) Cs ( d') T( d ) Kekuatan nominal dicapai pada saat regangan pada serat tekan ekstrim sama dengan regangan runtuh beton (εcu). Pada waktu itu regangan pada tulangan tarik As kemungkinan lebih besar atau lebih kecil atau sama dengan y = fy/es, tergantung pada perbandingan relatif dari tulangan terhadap beton. Jika jumlah tulangan cukup sedikit (underreinforced), maka tulangan akan meleleh sebelum beton hancur, ini akan menghasilkan suatu ragam keruntuhan yang daktail (ductile) dengan deformasi yang besar. Sedangkan jika jumlah tulangan cukup banyak (overreinforced) sehingga tulangan tetap dalam keadaan elastis pada saat kehancuran beton maka ini akan menghasilkas suatu ragam keruntuhan yang tiba - tiba atau getas (brittle). Perbedaan mendasar dari metode kekuatan ini dari WSM adalah penggunaan distribusi tegangan yang berbeda. Pada metode ini (USD) tegangan tidak proporsional dengan regangannya dan prosedur beban desain merupakan beban layan yang dikalikan dengan suatu faktor beban. Sedangkan pada metode WSM tegangan yang terjadi proporsional dengan regangan yang terjadi dan beban desain sama besarnya dengan beban layan. (Reinforced Concrete Design, 1963, Everard and Tanner).3 Limit State Method Perkenalan daripada teori beban ultimat untuk beton bertulang pada awalnya adalah untuk menggantikan teori yang lama yaitu teori elastis, namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan membawa setiap teori tersebut ke persepektifnya masing masing dan telah menunjukkan aplikasi teori teori tersebut kepada konsep yang lebih luas yang kemudian disatukan dalam teori limit state. Dimana Service Ability Limit State menggunakan teori elastis dan Ultimate Limits State of Colapse menggunakan teori beban ultimat. (Limit State Theory for Reinforced Concrete design, 1976, P.B. Hughes) SNI 00 kita yang sekarang ini menggunakan metode perencanaan batas ini (Limit State Method). Limit state adalah sebuah kondisi batas dimana

20 11 sebuah stuktur menjadi tidak layak digunakan sebagaimana mestinya. Tujuan daripada desain ini adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya keadaan limit state selama umur design sampai pada tingkat yang bisa diterima. Kondisi - kondisi batas ini dibagi menjadi dua kategori: 1. Batas limit ultimate ini berkaitan dengan kapasitas untuk menerima beban maksimum (kekuatan dari struktur).. Batas limit kelayanan (serviceability limit state); ini berkaitan dengan kriteria (ketahanan) pada kondisi dibawah beban normal/kerja (Limit State Theory for Reinforced Concrete design, 1976, P.B. Hughes) Desain penampang dengan metode keadaan batas ultimate memiliki asumsi bahwa panampang beton bertulang didisain dalam kondisi regangan plastisnya. Dalam hal ini beton mencapai kekuatan tekan maksimumnya dan baja mencapai leleh. Kekuatan nominal penampang tersebut setelah dikalikan dengan faktor reduksi kekuatan harus mampu menerima beban berfaktor. Untuk menjamin keamanan struktur, metode ini menggunakan filosofi keamanan LRFD (Load Resistance Factor Design), yaitu : kuat rencana > kuat perlu ( R Q ) dimana : = factor reduksi, R = resistance atau kekuatan nominal, = faktor beban, dan Q = beban kerja Pada metode batas ultimate, faktor keamanan didasarkan pada suatu metode desain probabilistik dimana parameter - parameter dasarnya (beban, kekuatan dari material, dimensi, dsb) diperlakukan sebagai suatu nilai yang acak (random). Dimana ada beberapa faktor yang dapat digolongkan didalam dua kategori umum: faktor yang berhubungan dengan pelampauan beban dan faktor yang berhubungan dengan kekurangan kekuatan. Beban berlebih dapat terjadi akibat kemingkinan perubahan dari penggunaan dari tujuan semula struktur tersebut direncanakan, dapat juga akibat penaksiran yang kurang dari pengaruh beban akibat terlalu disederhanakannya prosedur perhitungan, dan akibat pengaruh dari urut - urutan dari metoda pelaksanaan. Kekurangan kekuatan

21 1 dapat diakibatkan oleh variasi yang merugikan dari kekuatan bahan, pengerjaan, dimensi, pengendalian, dan pengawasan, sekalipun masih didalam toleransi yang disyaratkan. Sedangkan metode batas kelayanan bertujuan untuk melihat tingkat kelayanan elemen struktur sebagai akibat daripada adanya defleksi, ketahanan atau durabilitas, kerusakan local akibat retak, belah maupun spalling yang semuanya di control terhadap beban kerja yang ada atau sesuai dengan teori elastis. Ketentuan mengenai factor reduksi pada elemen struktur akibat tekan dan lentur yang ada pada SNI 00 atau pada Limit State ini mengacu pada pasal dimana : Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur : Komponen struktur tulangan spiral 0.7 Komponen struktur lainnya 0.65 Namun bila beban aksial yang bekerja lebih kecil dari 0.1f c Ag maka faktor reduksi tersebut boleh ditingkatkan hingga 0.8 (SNI-00) atau 0.9 (ACI ), hal ini untuk menunjukkan bahwa struktur mengalami beban aksial yang kecil dan mengalami beban lentur yang besar, atau pada saat itu kolom hampir berperilaku sama dengan balok. 0.8 Kolom Bertulangan Spiral 0.1Pu f ' cag Aksial Tarik Aksial Tekan Kecil Kolom Bersengkang 0.15Pu f ' cag 0 0.1f'cAg P Gambar.3 Faktor Reduksi SNI 00 untuk beban Aksial dan Lentur (Limit State)

22 13.4 Unified Design Method Konsep perhitungan menggunakan ketetapan unified design (Unified Design Provisions) ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert F. Mast (`Unified Design Provisions for Reinforced and Prestressed Concrete Flexural and Compression Members', ACI Journal, Maret - April 199). Konsep utama yang berubah dalam unified design ini adalah tentang bagian lentur diganti dengan konsep "tension controlled sections". Selain itu, juga dibuat satu konsep tentang "compression controlled sections". Tension dan compression controlled sections didefinisikan dalam hubungannya dengan regangan tarik tulangan pada kekuatan nominal. Rasio penulangan dalam keadaan seimbang (pb) tidak lagi diperlukan. Keuntungan dari cara berpikir ini adalah memperjelas perlakuan untuk bagian - bagian yang menerima beban aksial yang kecil maupun yang menerima beban aksial yang besar. Ketentuan tentang faktor reduksi kapasitas () juga diganti. Tujuan pemakaiaan faktor reduksi adalah: Adanya kemungkinan variasi dari kekuatan material dan dimensi. Adanya kemungkinan ketidaktelitian dalam perencanaan. Mencerminkan arti pentingnya suatu bagian dalam struktur. Diharapkan struktur mampu menerima beban yang direncanakan. Gambar.4 Variasi yang terjadi berdasarkan εt yang terjadi (fy = 400Mpa)

23 14 Nilai menurut unified design: Tension Controlled Members : 0.9 Compression Controlled Members : 0.65 Atau 0.7 (untuk tulangan Spiral), dengan transisi diinterpolasikan secara lurus berdasarkan regangan yang ada. Faktor reduksi yang lebih rendah diberikan untuk kondisi compression daripada kondisi tension karena kondisi compression memberikan daktilitas yang lebih rendah. Kondisi compression juga lebih sensitif terhadap variasi dari kekuatan beton. Bagian yang menggunakan tulangan spiral diberikan faktar reduksi yang lebih tinggi karena mereka memiliki daktilitas yang lebih tinggi.(aci 318-0) Regangan tarik bersih di atas diukur pada dekstrem (jarak dari tulangan pratekan atau non pratekan yang terjauh ke serat tekan terluar). Regangan pada dekstrem ini sebagai tanda yang baik untuk menunjukkan daktilitas, potensial keretakan, maupun lebar keretakan dari elemen struktur beton. Gambar.5 Berbagai macam criteria regangan pada penampang beton menurut Unified Design method Jadi dengan adanya konsep unified design ini perhitungan - perhitungan untuk mendesign penampang elemen beton dapat disederhanakan dengan menggunakan kondisi regangan untuk menjelaskan batas - batas antara kelakuan "tension controlled sections" dan "compression controlled sections", yaitu dengan satu perubahan dalam menentukan jarak dari serat tekan terluar ke pusat tulangan tarik (d) yang nantinya digunakan untuk membuat batas - batas tersebut

24 15 untuk menentukan besarnya faktor reduksi () dalam menghitung kapasitas penampang. Dengan konsep dan definisi yang baru tersebut berarti nantinya hanya akan ada satu batasan - untuk menghitung kapasitas penampang untuk semua elemen beton. Baik itu kolom, balok, beton bertulang biasa, maupun beton pratekan. Dan hal tersebut berlaku sama untuk berbagai macam bentuk penampang. Dalam menganalisa penampangnya metode unified design ini menggunakan metode kekuatan batas sama seperti halnya di SNI 00.

25 16 BAB III DASAR TEORI KOLOM Istilah daripada elemen struktur tertekan atau elemen struktur yang diperuntukkan untuk menerima beban aksial dan lentur biasanya disebut kolom, dinding dan elemen struktur rangka beton. Elemen struktur tersebut bisa vertikal, berinklinasi ataupun horizontal. Kolom merupakan kasus khusus dimana kolom merupakan elemen struktur tekan yang berdiri tegak lurus atau vertical. Kolom merupakan elemen struktur vertical yang menyalurkan beban aksial tekan, dengan atau tanpa adanya momen. Dimensi penampang daripada kolom biasanya lebih kecil daripada tingginya. Dalam perencanaan elemen struktur tekan, pengaruh daripada stabilitas harus dipertimbangkan. Jika momen yang dinduksikan oleh efek kelangsingan membuat kolom semakin lemah maka kolom tersebut disebut sebagai kolom langsing atau kolom panjang. Untuk kolom yang cukup gemuk (Stocky) maka pengaruh kelangsingan dapat diabaikan, kolom kolom tersebut digolongkan sebagai kolom pendek. Lebih dari 95 % kolom yang bangunannya berada pada daerah yang tidak rawan gempa adalah kolom bersengkang. Biasanya bila diperlukan kekuatan ataupun daktilitas yang lebih tinggi digunakan kolom dengan sengkang berbentuk helix atau spiral. Kolom seperti itu disebut kolom spiral. Kolom spiral biasanya berbentuk lingkaran, walaupun bentuk peregi dan polygon kadang kadang digunakan. Sengkang spiral akan beraksi untuk mengekang gaya ekspansive kearah radial daripada inti kolom dalam kondisi beban aksial bekerja yang menyebabkan kehancuran, dengan adanya sengkang spiral ini maka kegagalan daripada inti akan tertunda dan membuat kolom semakin daktail. 3.1 Perilaku Kolom Spiral dan Kolom Bersengkang Gambar 3.1a menunjukkan bagian daripada inti kolom spiral yang ditutup oleh satu setengah lingkaran tulangan spiral. Dalam kondisi beban tekan kolom akan menjadi semakin pendek dilihat dari arah memanjang dibawah gaya f1, dan akibat daripada rasio poisson maka kolom akan meluas kearah lateral. Perluasan kearah lateral ini terjadi pada saat gaya yang bekerja melebihi daripada 70 % kekuatan silinder. Perluasan kearah lateral kolom pada inti beton yang berada didalam tulangan spiral akan dikekang oleh tulangan spiral itu sendiri.

26 17 Gambar 3.1 Gaya Triaxial pada Inti Kolom Spiral Perluasan tersebut akan menyebabkan gaya yang bekerja pada tulangan spiral, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1b. Untuk keseimbangan beton diberikan gaya tekan lateral f. Bila sebuah elemen ditarik keluar dari inti (Gambar 3.1b) dan dikerjakan gaya tekan triaksial. Gaya tekan triaksial bertujuan untuk meningkatkan kekuatan daripada beton : f 1 f ' c 4. 1 f... (3.1) Untuk kolom bersengkang pada daerah tidak rawan gempa, sengkang diletakkan pada sisi kolom dan terpisah satu sama lain, dan sebagai hasilnya, memberikan kekangan yang relatif lebih kecil terhadap inti beton. Tekanan keluar pada sisi sisi kolom sebagai akibat daripada perluasan inti kearah lateral akan menyebabkan sengkang bengkok keluar. Namun sengkang biasa hanya memberikan efek yang kecil terhadap kekuatan inti daripada kolom bersengkang. Bagaimanapun, sengkang mengurangi daripada unsupported length daripada tulangan memanjang, dan mengurangi bahaya tekuk daripada tulangan saat gaya yang bekerja mendekati titik leleh tulangan.

27 18 Gambar 3. menunjukkan hubungan antara beban dan defleksi yang terjadi pada kolom bersengkang dan kolom spiral yang dikenakan beban aksial. Kondisi awal daripada kedua diagram ini adalah sama. Dimana pada saat beban maksmum tercapai, retak vertikal dan kehancuran terlihat pada kulit beton diluar sengkang dan spiral, dan kemudian terjadi spalling. Saat kondisi ini tercapai pada kolom bersengkang, kapasitas daripada inti yang tersisa lebih kecil daripada beban dan inti beton hancur dan tulangan bengkok kearah luar diantara sengkang. Hal ini terjadi secara langsung, tanpa peringatan, dan dengan cara yang rapuh. Gambar 3. Perilaku Beban dan Defleksi Kolom Spiral dan Bersengkang Pada saat kulit beton mengalami spalling, pada kolom spiral tidak terjadi kegagalan secara langsung dikarenakan kekuatan inti beton telah ditingkatkan dengan adanya gaya triaksial yang dihasilkan sebagai akibat daripada adanya

28 19 tulangan spiral. Sebagai hasilnya kolom dapat mengalami deformasi yang besar, dan secepatnya mencapai kapasitas beban maksimum kedua pada saat dimana tulangan spiral mencapai titik leleh dan kolom mengalami kehancuran (Gambar 3.a). Kegagalan seperti itu memberikan lebih daktilitas dan peringatan terhadap kegagalan yang segera terjadi bersamaan dengan redistribusi beban ke elemen struktur lainnya. Pada saat kolom spiral dibebani secara eksentris maka beban maksimum kudua akan lebih kecil daripada keadaan awal, tetapi deformasi yang terjadi pada saat kegagalan tetap besar (Gambar 3.b). Dikarenakan daktilitas yang lebih besar, kolom spiral diperbolehkan untuk menggunakan faktor reduksi yang lebih besar dibandingkan dengan kolom bersengkang. 3. Kekuatan Kolom yang Diberi Beban Aksial Bila Kolom yang simetris diberikan beban aksial konsentris, P, regangan memanjang,, terjadi secara bersamaan sepanjang potongan yang ditunjukkan pada Gambar 3.3a. Tulangan dan beton yang terikat satu sama lain, regangan pada beton dan tulangan adalah sama. Untuk berbagai regangan yang ada adalah mungkin untuk menghitung gaya yang bekerja pada beton dan tulangan dengan menggunakan kurva gaya dan regangan dari kedua bahan tersebut. Pc dan Ps, pada beton dan baja sama dengan gaya yang bekerja dikalikan dengan luasan yang bersangkutan. Gambar 3. 3 Resistance Kolom yang dibeban secara Aksial Total gaya yang bekerja pada kolom, Po, merupakan penjumlahan dari kedua gaya tersebut. Kegagalan yang terjadi pada saat beban Po mencapai nilai maksimum.

29 0 Untuk tulangan yang dapat diketahui kekuatan lelehnya (Gambar 3.3b), terjadi pada saat Pc=fc Ac dan Ps=fyAst. Sehingga dapat diketahui kapasitas untuk kolom dengan titik leleh tulangan yang diketahui dan dibebani terhadap beban aksial adalah : P o 0.85 f ' ( A A ) f A... (3.) c g st y st Dimana Ag adalah luas bruto beton dan Ast merupakan luas tulangan baja. Persamaan ini menunjukkan penjumlahan keadaan plastis penuh pada tulangan baja dan beton. Bila tulangan baja terletak pada tidak elastis-plastis penuh, kegagalan terjadi pada saat Po mencapai maksimum, tetapi tidak secara kebetulan dengan regangan pada saat maksimum Po terjadi. 3.3 Diagram Interaksi Kolom Beton Bertulang Hampir semua elemen struktur tekan pada struktur beton diperlakukan untuk menerima momen sebagai tambahan terhadap beban aksial. Hal ini bisa diakibatkan oleh beban yang tidak terletak pada tengah kolom seperti pada Gambar 3.4b, atau juga sebagai hasil dari penahan daripada keadaan tidak seimbang momen pada ujung balok yang didukung oleh kolom. Gambar 3.4 Beban Aksial dan Momen pada Kolom Jarak e diartikan sebagai eksentrisitas terhadap beban. Kedua kasus ini pada dasarnya sama, Beban P eksentris pada Gambar 3.4b bisa diganti dengan beban p yang bekerja pada aksis centroidal, ditambah dengan momen, M=Pe terhadap

30 1 sumbu centroid. Beban P dan momen M dapat dikalkulasi dengan memperhatikan geometri daripada aksis centroid karena momen dan gaya yang didapatkan dari analisa struktur dihitung terhadap aksis ini. Untuk mengilustrasikan konsep hubungan antara momen dan beban aksial pada kolom, penyederhanaan keseragaman dan kolom elastis dengan kekuatan tekan, fcu, sama dengan kekuatan tarik, ftu, akan diperhitungkan. Kegagalan kolom dalam kondisi tersebut akan terjadi pada tekanan dimana maksimum gaya yang bekerja mencapai fcu, seperti dibawah ini: P My f cu... (3.3) A I Dimana A, I y P = Luas dan momen inersia daripada penampang bruto beton = Jarak dari aksis centroidal kepermukaan tekan tertinggi (permukaan A-A Gambar 3.4a) = beban Aksial, Tertekan positif M = Momen, Positif Gambar 3.4c Beban maksimum aksial yang dapat didukung oleh kolom terjadi pada saat M = 0, dan Pmax = fcua. Dengan cara yang sama, momen maksimum yang dapat didukung oleh kolom terjadi pada saat P = 0, dan Mmax = fcui/y. Dengan mensubtitusikan Pmax dan Mmax didapatkan : P P max M M max 1... (3.4) Rumus 3.4 dikenal sebagai Rumus Interaksi karena Rumus ini menunjukkan interaksi, hubungan antara, P dan M pada saat terjadi kegagalan. Rumus ini digambarkan sebagai garis AB pada gambar 3.5. Dengan cara yang sama persamaan untuk beban aksial tarik, P, yang diambil alih oleh ftu, digambarkan sebagai garis BC. Dan garis AD dan DC merupakan hasil jika momen meberikan tanda terbalik. Gambar 3.5 biasanya disebut sebagai diagram interaksi. Titik yang berada dalam kurva interaksi ini menunjukkan kombinasi daripada P dan M yang bersesuaian dengan tahanan penampang. Titik yang berada didalam diagram, Titik E, menunjukkan kombinasi P dan M yang tidak akan menyebabkan kegagalan. Beban kombinasi yang jatuh diluar kurva interaksi, Titik F. Akan sama atau melebihi tahanan penampang dan menyebabkan kegagalan.

31 Gambar 3.5 Diagram Interaksi untuk Kolom Elastis Gambar 3.5 digambarkan untuk bahan elastis dengan ftu=-fcu. Gambar 3.6a menunjukkan diagram interaksi daripada bahan plastis dengan nilai fcu yang terbatas tetapi dengan nilai kuat tarik, ftu, sama dengan nol, dan Gambar 3.6b menunjukkan diagram untuk material dengan ftu=-fcu/. garis AB dan AD mengindikasikan kombinasi beban yang bersesuaian dengan kegagalan yang terjadi akibat tekanan (Akibat dari fcu), sementara garis BC dan DC mengindikasikan kegagalan yang diakibatkan oleh tarik. Beton bertulang tidak elastis dan memiliki kuat tarik yang lebih kecil daripada kuat tekannya. Kuat tarik efektif telah dikembangkan, bagaimanapun, dengan menggunakan tulangan pada muka tarik kolom. Karena alasan ini maka kalkulasi daripada diagram interaksi Konsep dan Asumsi Diagram Interaksi Kolom Walaupun mungkin memperoleh persamaan kekuatan kolom yang dikenakan beban kombinasi aksial dan lentur untuk dievaluasi (Rumus 3.4), Rumus ini boleh digunakan. Oleh karena itu, diagram interaksi untuk kolom umumnya dihitung dengan mengasumsikan regangan yang didistribusikan, setiap regangan yang bersesuaian dengan titik tertentu pada diagram interaksi, dan mengitung nilai yang

32 3 bersesuaian dengan P dan M. Bila titik titik tersebut telah dihitung barulah hasilnya ditunjukkan dengan diagram interaksi. Gambar 3.6 Kalkulasi Pn dan Mn untuk Kondisi Regangan Tertentu Proses kalkulasi ditunjukkan pada gambar 3.6 untuk satu regangan tertentu. Potongan penampang digambarkan pada Gambar 3.6a, dan satu regangan distribusi diasumsikan seperti pada Gambar 3.6b. Maksimum regangan tekan beton di atur ke 0.003, bersesuaian dengan kegagalan kolom. Lokasi garis netral dan regangan pada tiap level tulangan dihitung dari distribusi regangan. Hasilnya kemudian digunakan untuk menghitung besarnya blok tekanan dan besarnya gaya yang bekerja pada tiap tulanga, sperti pada Gambar 3.6c. gaya yang pada beton dan tulangan, ditunjukkan pada Gambar 3.6d, dihitung dengan mengalikan gaya dengan luas dimana gaya tersebut bekerja. Akhirnya, gaya aksial Pn dihitung dengan menjumlahkan gaya gaya individual pada beton dan tulangan., dan momen Mn dihitung dengan menjumlahkan gaya gaya ini terhadap titik pusat daripada potongan penampang. Nilai Pn dan Mn ini menggambarkan satu titik di diagram interaksi. Gambar 3.7 menggambarkan beberapa seri dari distribusi regangan dan menghasilkan titik titik pada diagram interaksi. Distribusi regangan A dan titik A menunjukkan keadaan murni aksial tekan. Titik B menunjukkan hancurnya satu muka kolom dan nol gaya tarik pada muka lainnya. Bila kuat tarik daripada beton

33 4 diabaikan pada kalkulasi, hal ini menunjukkan terjadinya retak pada bagian bawah muka penampang. Gambar 3.7 Distribusi Regangan berkaitan dengan Titik pada Diagram Interaksi Semua titik yang berada dibawah ini pada diagram interaksi menunjukka kasus dimana penampang terjadi retak pada bagian bagain tertentu. Titik C menunjukkan regangan distribusi dengan rengangan tekan maksimum sebesar pada satu sisi penampang dan regangan tarik y, leleh daripada tulangan, pada tulangan tarik. Hal ini menunjukkan keruntuhan balanced dengan terciptanya kehancuran pada beton dan melelehnya tulangan tarik yang terjadi secara bersamaan.titik C merupakan titik terjauh kekanan daripada diagram interaksi yang menunjukkan perubahan dari kegagalan tekan untuk beban yang lebih tinggi dan kegagalan tarik untuk beban yang lebih kecil Beban Aksial Tekan Maksimum Kolom dalam keadaan beban konsentris dapat dituliskan sebagai rumus dibawah ini: P 0.85 f ' )( A A ) f ( A )...(3.5) o ( c g st y st

34 5 Dimana: f c = Kuat tekan maksimum beton Ag Fy Ast = Penampang bruto kolom = Kuat leleh tulangan = Luas tulangan pada penampang Pertimbangan daripada momen yang terjadi secara tiba tiba sebagai akibat dari meningkatnya eccentricitas dari ketidak seimbangan momen pada balok dan ketidak sesuai kolom daripada tiap lantai maka kekuatan tekan maksimum kolom tidak boleh lebih besar dari 0.85 untuk kolom spiral dan 0.8 untuk kolom. Kolom Spiral : P.85 (0.85 f ' )( A A ) f ( A )... (3.6) o 0 c g st y st Kolom Bersengkang : P.80 (0.85 f ' )( A A ) f ( A )... (3.7) o 0 c g st y st Batasan ini akan dimasukkan kedalam diagram interaksi, perbedaan besarnya gaya ini pada kolom spiral dan kolom bersengkang merefleksikan keadaan lebih daktailnya kolom spiral daripada kolom bersengkang Beban Aksial Tarik Maksimum Kekuatan kolom dalam keadaan murni tarik di hitung dengan mengasumsikan penampang sepenuhnya retak dan regangan yang terjadi sama atau kurang dari y, sehingga semua gaya yang ada pada tulangan sama dengan fy, dan Pnt dapat dirumuskan sebagai berikut : P nt n i1 f y A si... (3.8) Kekuatan tarik daripada beton tentu diabaikan, untuk penampang yang simetris maka momen yang bersesuaian sama dengan nol. untuk penampang yang ridak simetris gunakan Rumus 3.17 untuk menghitung momen Kapasitas Beban Aksial Tekan Konsentris dan Kapasitas Beban aksial Maksimum Kekuatan maksimum daripada diagram interaksi dihitung dengan menggunakan Rumus 3.5. untuk penampang simetris mak momennya sama dengan nol. Kasus umum dalam perhitungan daripada Pn yang bekerja pada centroid, dan Mn yang

35 6 bekerja pada centroid,dan asumsi daripada distribusi regangan cu = Penampang porongan kolom dan asumsi daripada distribusi regangan ditunjukkan pada Gambar 3.8a dan b. Gambar 3.8 Ketentuan Tanda dan Notasi Empat sisi tulangan, lapisan 1 menunjukkan regangan s1 dan luas tulangan As1, dan seterusnya. lapisan 1 merupakan tulangan tertekan dan terletak sejarak d1 dari permukaan serat tertekan. Distribusi regangan didefinisikan dengan ecu = dan emngasumsikan nilai daripada s1. karena kalkulasi yang berulang berulang diperlukan diperlukan untuk mendapat beberapa kasus, Gambar 3.8, hal ini dapat diselesaikan dengan menentukan s1=zy, dimana Z adalah nilai yang dipilih secara sembarang. Nilai positif daripada Z menunjukkan nilai positive (Tekan) regangan (Gambar 3.8b). Sebagai contoh, Z=-1 bersesuaian dengan s1=-1y, titik leleh regangan tark. Distribusi regangan seperti ini akan sesuai dengan kondisi kegagalan seimbang. Dari Gambar 3.8b dengan menggunakan perbandingan segitiga didapatkan, c d Z... (3.9) y dan c di esi (3.10) c Dimana esi dan di adalah regangan ke-i lapisan tulangan dan jaraknya kelapisan serat tekan terluar. Setelah nilai C dan s1,s dan seterusnya diketahui, maka gaya yang bekerja pada beton dan pada tiap lapisan tulangan bisa dihitung. Untuk elastisplastis tulangan dengan kurvaregangan-gaya seperti pada Gambar 3.9, f si si Es tetapi y si y f f f...(3.11)

36 7 Gambar 3.9 Kalkulasi Gaya yang Bekerja pada Tulangan Gaya yang bekerja pada beton diwakili dengan blok stress persegi. Dimana besarnya stress blok adalah a=1c dimana a, Gambar 3.8c, yang mana tidak bisa melebihi keseluruhan tinggi daripada penampang, h. Faktor daripada 1 didapatkan seperti dibawah ini : f ' c (3.1) 8 tetapi tidak lebih dari 0.85 dan tidak kurang dari Langkah selanjutnya ialah menghitung gaya teka pada beton, Cc, dan gaya pada tiap lapisan tulangan, Fs1, Fs, dan seterusnya.hal ini dapat diselesaikan dengan mengalikan gaya yang bekerja dengan luas daripada gaya yang bekerja tersebut, Cc ( 0.85 f ' c )( ab)... (3.13) Untuk penampang tidak persegi panjang, luas (ab), bisa digantikan dengan luas daripada daerah tekan yang memiliki depth, a, diukur dari tegak lurus terhadap garis netral. Jika a lebih kecil dari di, F f A (positif tekan)... (3.14) si si si Jika a lebih daripada di untuk lapisan tulangan tertentu, luas tulangan pada beton yang yang termasuk dalam luas (ab) digunakan untuk menghitung Cc, sebagai

37 8 hasilnya, perlu adanya pengurangan 0.85f c dari fsi sebelum menghitung Fsi, Fsi dapat dihitung sebagai berikut : F ( f 0.85 f ' ) A... (3.15) si si c si Gaya gaya yang bekerja Cc dan Fs1 sampai Fs4 ditunjukkan pada Gambar 3.10b. Kapasitas beban aksial, Pn, untuk distribusi regangan yang diasumsikan merupakan penjumlahan dari gaya gaya aksial, Rumus Pn dapat dilihat sperti dibawah ini : P n C c n i1 F si... (3.16) Gambar 3.10 Gaya Gaya Internal dan Lengan Momen Kapasitas momen, Mn, untuk distribusi regangan yang diasumsikan didapatkan dengan menjumlahkan semua momen daripada gaya gaya dalam terhadap centroid kolom. Momen dijumlahkan terhadap centroid penampang dimana hal ini merupakan aksis dimana momen yang dihitung dengan analisa struktur. Pada tahun 1950-an dan 1960-an momen kadang kadang dihitung sekitar plastic centroid, lokasi daripada penjumlahan gaya pada kolom yang meregang secara bersamaan dalam kondisi tekan, kasus A dalam Gambar 3.8. Centroid dan plastic centroid merupakan titik yang sama pada kolom simetris dengan penempatan tulangan yang simetris pula.

38 9 Semua gaya ditunjukkan positif (tekan) pada gambar 3.8 dan Positif momen sesuai dengan permukaan atas tertekan, dan Mn dapat dihitung sperti dibawah ini : M n C c h a n h F di si i1... (3.17) 3.4 Kolom Langsing Beban aksial eksentris yang bekerja pada kolom dengan ujung sendi ditunjukkan pada Gambar Momen pada ujung kolom adalah : Me = Pe... (3.18) Gambar 3.11 Gaya Gaya pada Kolom yang Berdefleksi Saat beban P diaplikasikan, kolom akan berdefleksi kearah lateral sebesar. Untuk keseimbangan maka momen internal pada tengah bentang harus sebesar (Gambar 3.1b). Mc = P(e+)... (3.19) Defleksi yang terjadi akan meningkatkan momen dimana akan digunakan untuk mendesain kolom. Dalam kolom yang simetris momen maksimum terjadi pada tengah bentang dimana defleksi terbesar terjadi. Pada gambar 3.1 menunjukkan

39 30 diagram interaksi kolom beton bertulang, diagram ini menunjukkan kombinasi beban aksial dan momen yang dibituhkan untuk menyebabkan kegagalan pada kolom yang sangat pendek. Gambar 3.1 Beban dan Momen Pada Diagram Interaksi Kolom Garis putus putus O-A merupakan hasil dari momen ujung kolom pada Gambar 3.1. dimana garis ini diaplikasikan dengan eksentrisitas yang konstan, e, momen ujung, Me, merupakan fungsi linear dari P, seperti yang ditunjukkan pada Persamaan Kurva garis solid O-B merupakan momen Mc pada tengah bentang, Persamaan 3.19, dengan nilai P sembarang, momen pada tengah bentang merupakan penjumlahan daripada momen ujung, Pe, dan momen yang terjadi akibat defleksi, P.Garis O-A disebut sebagai Load-Momen Curve untuk momen ujung, sedangkan O-B merupakan Load-Momen Curve untuk momen maksmum kolom. Kegagala terjadi pada saat kurva beban-momen O-B untuk titik dimana momen maksimum berpotongan dengan diagram interaksi penampang kolom. Dengan begitu beban dan momen pada saat terjadi kegagalan ditandai dengan titik B pada Gambar 3.1. Karena adanya peningkatan momen akibat defleksi, beban aksial berkurang dari A ke B. Berkurangnya kapasitas beban aksial ini merupakan hasil daripada apa yang disebut dengan efek kelangsingan. Kolom langsing didefinisikan sebagai kolom yang memiliki pengurangan yang signifikan pada kapasitas beban aksial dan akibat momen sebagai hasil daripada

40 31 adanya defleksi lateral pada kolom. Dalam asal usulnya pada code ACI Pengurangan yang signifikan diambil secara langsung terjadinya perbesaran momen sebesar lebih dari 5 % Tekuk Kolom Elastis Akibat Beban Aksial Pada Gambar 3.13 mengilustrasikan tiga kondisi keseimbangan. Jka bola pada Gambar 3.13a dipindahkan kearah lateral dan dilepaskan, bola tersebut akan kembali keposisi awal. Keadaan ini disebut sebagai keseimbangan yang stabil. Jika bola diletakkan seperti gambar 3.13c dipindahkan kearah lateral maka bola akan menggelinding jatuh dari bukit, kondisi ini disebut keseimbangan yang tidak stabil. Transisi antara stabil dan tidak stabil disebut keseimbangan netral, seperti diilustrasikan pada Gambar 3.13b. Keadaan yang sama juga terjadi pada kolom dimana keseimbangan yang ada bila diberi beban aksial seperti pada Gambar 3.14a. Bila kolom kembali keposisi awalnya pada saat didorong kearah lateral pada tengah bentang dan dilepaskan, ini disebut keadaan stabil dan seterusnya. Gambar 3.13 Keadaan Keseimbangan Gambar 3.14b menunjukkan sebagian dari kolom yang berada dalam keadaan netral. Sehingga persamaan diferensiasi kolom adalah : d y EI Py... (3.0) dx Pada tahun 1744, Euler Leonhard dari Persamaan 3.0 mendapatkan solusi bahwa : P c n EI... (3.1) l Dimana : EI = Kekakuan Lentur L = Panjang Kolom n = Jumlah setengah gelombang sinus sepanjang kolom

41 3 Gambar 3.14 Tekuk yang Terjadi pada Kolom dengan Ujung Sendi-Sendi Kasus dimana n =1, dan tiga diilustrasikan pada Gambar 3.14c. Nilai terendah Pc akan terjadi bila n = 1.0. Hal ini disebut sebagai beban tekuk Euler : P E EI... (3.) l Gambar 3.15 Panjang Efektif Kolom

42 33 Kolom seperti ini ditunjukkan pada Gambar 3.15a. Bila kolom ini tidak dapat bergerak pada tengah bentangnya ditunjukkan seperti gambar 3.15b. Kolom terebut akan tertekuk dengan nilai n = sehingan persamaan yang ada menjadi : P c EI... (3.3) l Gambar Panjang Efektif Kolom yang Diidealisasikan Dimana besarnya Pc lebih besar 4 kali daripada kolom yang tengahnya tidak diberi pengaku. Panjang efektif merupakan panjang daripada kolom dengan perletakan ujung sendi dan memiliki bentuk tekuk yang sama. Kemudian kolom pada Gambar 3.16c memiliki panjang efektif kolom l/ dalam kasus ini, dimana l/ merupakan panjang tiap gelombang setengah sinus dalam bentuk defleksi daripada kolom seperti pada Gambar 3.15b. Panjang efektif, kl, sama dengan l/n. Sehingga faktor panjang efektif k = 1/n. Persamaan 3.1 secara umum dituliskan sebagai : P c EI... (3.4) kl Empat kasus ideal lainnya ditunjukkan pada Gambar 3.16 bersamaan dan bersesuaian dengan nilai panjang efektif,kl. Frame a dan b ditahan terhadap defleksi

43 34 kearah lateral sehingga disebut dikekang terhadap pergoyangan. Frame c dan d dapat bergoyang bebas secara lateral saat tertekuk sehingga disebut tidak dikekang terhadap pergoyangan Perilaku dan Analisa Kolom dengan Ujung Sendi - Sendi Kurva beban-momen diplottkan pada Gambar 3.17 dimana tiga kolom dengan panjang yang berbeda, tetapi dengan eksentrisitas yang sama. Kurva beban momen O-A relatif merupakan kolom pendek yang praktis hampir sama dengan garis Pe. Untuk kolom dengan panjang menengah, garis O-B, dimana defleksi menjadi signifikan, mengurangi beban yang menyebabkan kegagalan. Kolom mengalami kegagalan pada saat kurva beban momen memotong diagram interaksi pada titik B. Gambar 3.17 Kegagalan Bahan dan Stabilitas Hal ini dikatakan sebagai kegagalan material. Bila kolom menjadi sangat langsing dimana defleksi yang terjadi dan nilai daripada dm/dp mendekati tak hingga atau menjadi negatif maka kolom menjadi tidak stabil dan dengan terjadinya defleksi yang lebih jauh, kapasitas momen akan jatuh. Kegagalan seperti ini disebut sebagai kegagalan stabilitas dan terjadi hanya pada kolom struktur yang sangat langsing dan ditahan terhdap pergoyangan kesamping atau pada kolom langsing pada struktur bergoyang.

44 35 Defleksi maksimum pada tengah bentang adalah = 0 + a. Defleksi total ini disebut sebagai second-order deflection. Diagram momen primer, M0, ditunjukkan pada Gambar 3.18b, dan momen sekunder, P, ditunjukkan pada Gambar 3.18c. Sejak bentuk defleksi diasumsikan sebagai gelombang sinus, diagram P momen juga berbentuk gelombang sinus. Dengan menggunakan metode momen area didapatkan bahwa bentuk defleksi juga simetris, defleksi daripada Da adalah momen pada bagian diagram M/EI diantara perletakan dengan tengah bentang, ditunjukkan berarsir pada Gambar 3.18 c. Daerah pada bagian ini adalah : P l Area 0 a x EI... (3.5) dan titik tengahnya terletak pada l/ dari perletkan. Sehingga didapatkan : a P EI Pl a 0 EI l l 0... (3.6) a a... (3.7) Gambar 3.18 Momen pada Kolom yang Mengalami Defleksi Dimana EI / l P merupakan tekuk Euler untuk kolom dengan ujung sendi sendi sehingga : P a 0 a... (3.8) P E E

45 36 a P P E 0... (3.9) 1 P PE Karena defleksi akhir merupakan penjumlahan daripada 0 dan a maka : a P PE (3.30) atau 1 P PE 0 1 P P E... (3.31) Persamaan ini menunjukkan second-order defleksi,, meningkat bila P/PE meningkat, mencapai tak hingga pada saat P = PE. Momen maksimum adalah : M c M 0 P... (3.3) Dimana Mc merupakan momen orde kedua, dan M0 merupakan momen orde pertama, dengan mensubsitusikan Persamaan 3.9 didapatkan : M c P 0 M 0...(3.33) 1 P P E Untuk diagram momen seperti ditunjukkan pada Gambar 3.18b, M 0l 0... (3.34) 8EI Dengan mensubtitusikan didapatkan : M M 1 0.3P / P 0 E c... (3.35) 1 P / PE P P P EI / l kedalam Persamaan 3.33 Koefisien 0.3 merupakan fungsi dari bentuk diagram M0, nilai faktor 0.3 dihilangkan karena bervariasi dengan adanya diagram momen pada Persamaan 3.35 dan diubah menjadi : Mc = M0...(3.36) Dimana disebut sebagai perbesaran momen dan diberikan sebagai : 1... (3.37) 1 P / P c Dimana Pc diberikan pada Persamaan 3.4 dan sama besarnya dengan PE pada kolom dengan ujung ujung sendi. Bila momen momen ujung tidak sama maka E

46 37 diambil sebuah nilai koefisien momen ekuivalen Cm yang pada dasarnya diambil dari desain kolom baja dan diadopsi tanpa perubahan dimana besarnya Cm : M1 b C m (3.38) M b Dimana M1b merupakan momen ujung terkecil dan Mb merupakan momen ujung terbesar, untuk kolom pada rangka bergoyang Cm diambil sama dengan Kekakuan Kolom, EI, k, Perhitungan beban kritis, Pc, menggunakan Persamaan 3.4 menggunakan kekakuan lentur, EI, pada kolom. Nilai daripada EI dipilih berdasarkan penampang kolom, tingkat beban aksial, dan kelangsingan dimana perkiraan EI terjadi pada saat kegagalan, dimana kegagalan dapat berupa kegagalan bahan atau kegagalan stabilitas, efek daripada retak, rangkak, dan ketidaklinearnya daripada kurva regangan dan tegangan yang terjadi pada saat kegagalan. Dimana nilai EI bisa didapatkan dengan cara yaitu : EcI g / 5 Es Ise EI... (3.39) dan 1 E c I g /. 5 EI... (3.40) 1 d d Dimana : Ec,Es = modulus elastisitas beton dan baja. Ig = Momen inersia bruto daripada penampang beton terhadap aksis sentroid dengan mengabaikan tulangan. Ise = Momen Inersia daripada tulangan terhadap aksis sentroid penampang. d = Rasio antara beban aksial mati terfaktor dengan beban aksial terfaktor total. Keadaan panjang efektif pada kolom dengan ujung tidak berupa sendi sendi akan menjadi semakin besar ketimbang nilai panjang efektif pada kolom dengan ujung ujung sendi sehingga nilai aktual dari k untuk kolom elastis merupakan fungsi daripada kekakuan relatif,, pada balok dan kolom pada tiap ujung ujung kolom dimana adalah :

47 38 Ec I c / lc EbI b / lb... (3.41) Perhitungan daripada k dapat dilakukan dengan menggunakan nomograph, sedangankan dihitung dengan persamaan 3.41 dan nilai k yang sesuai didapat dari perpotongan antara garis yang berlabel k dengan garis yang menggabungkan nilai daripada pada kedua ujung kolom. Nomogram ini dapat dilihat pada Gambar 3.19a untuk takbergoyang dan 3.19b untuk bergoyang. Gambar 3.19 Nomograf untuk Faktor Panjang efektif Untuk kolom tak bergoyang nilai faktor panjang efektif (k) boleh diambil dari kedua nilai yang terkecil dibawah ini : 1. 0 k (3.4) A k min (3.43) B Dimana nilai A dan B merupakan nilai pada kedua ujung kolom dan min merupakan nilai terkecil dari kedua nilai tersebut. Untuk kolom tak bergoyang dimana kedua ujungnya dikekang, faktor panjang efektif bisa diambil sebagai berikut : 0 m Bila m : k 1 m... (3.44) 0

48 39 Bila : k m... (3.45) m Dimana nilai m merupakan rata rata dari kedua nilai pda kedua ujung kolom. Untuk anggokta elemen struktur tertekan tak bergoyang dimana salah satu ujungnya sendi dan ujung lainnya bebas maka faktor panjang efektif, k, boleh diambil sebagai : k (3.46) Dimana nilai diambil dari ujung kolom terkekang. Untuk kolom yang ujungnya merupakan pondasi footing maka nilai dari kekakuan relatif,, pada ujung kolom tersebut yang berhubungan langsung dengan footing adalah : 4E I / l c c c... (3.47) I f k s

49 40 BAB IV DASAR TEORI STATISTIK & PROBABILITAS 4.1 Nilai Rata-Rata, Varians, Standar Deviasi dan Koefisien Variasi Nilai rata rata (Mean Value) daripada sebuah populasi harus selalu mengacu kepada nilai rata rata arithmetiknya dimana dapat dijabarkan dalam perumusan dibawah ini : xi mean... (1) n Dimana: xi = adalah nilai tiap anggota populasi n = banyaknya anggota populasi Varians digunakan untuk mengetahui berapa besarnya variasi daripada penyebaran yang terjadi, dimana varians didefinisikan seperti dibawah ini : n x i x... () i1 Standar Defiasi digunakan untuk menyatakan besarnya nilai variasi daripada penyebaran yang terjadi disekitar titik rata rata, dimana standar deviasi ini didefinisikan seperti dibawah ini : n x i x... (3) i1 Koefisien variasi merupakan suatu konstanta yang menyatakan besar kecilnya penyebaran yang terjadi. Hal ini dikarenakan standar deviasi yang lebih besar terhadap standar deviasi yang lainnya belum tentu penyebaran yang terjadi juga lebih besar, sehingga perlu adanya koefisien variasi ini untuk mengukur besar atau kecilnya penyebaran tersebut. Koefisien variasi didefinisikan sebagai berikut :... (4) Koefisien variasi didefinisikan sebagai nilai rata rata dari suatu populasi dibagi dengan besarnya nilai standar deviasi dari populasi tersebut.

50 41 4. Distribusi Normal, Beta Index, Safety Factor dan Reliabilitas Bila dalam sebuah populasi tes compressive beton yang hasilnya ditabelkan dan diurutkan sesuai dengan interval kelas tertentu, kemudian digambarkan grafiknya perinterval kelas dan titik tengah daripada interval kelas tersebut ditarik garis seperti pada Gambar 4.1. Garis tersebut disebut sebagai distribusi normal. Penjabaran Gambar 4.1 dibawah ini menggunakan cara deterministik. ) /40 7,5% 4/40 10% 6/40 15% 5/40 1,5% 8/40 0% 7/40 17,5% 4/40 10% /40 5% 1/40 1% Gambar 4.1 Distribusi Normal dengan Kelas kelas deterministik Dengan mengetahui daripada parameter parameter distribusi yaitu nilai rata rata dan nilai standar deviasi, maka dengan menggunakan rumus distribusi gauss didapatkan sebuah distribusi normal yang sesuai dengan parameter yang ada. Dimana distribusi tersebut dapat digambarkan dengan perumusan sebagai berikut : 1 1 x f ( x) exp... (5) Gambar 4. Distribusi Normal dengan menggunakan Distrbusi Gauss f(x)

51 4 Bila x = 0 dan x = 1 maka akan didapatkan bentuk khusus daripada Performance Density Function (f(x)). Maka rumus daripada Distribusi Gauss menjadi sebagai berikut : 1 1 f ( x) exp x - <x<... (6) Sehingga disebut sebagai Standar Normal Density Function. f(x) A 0 B Gambar 4.3 Standar Normal Density Function Luas Total PDF = f ( x) dx 1 P ( xa ) P ( xa ) P ( xa ) A = f (x) dx - = 1 P (xa) = f A (x) dx P ( AxB ) B = f A Bila : P ( xa ) ; maka : (x) dx A 1 1 x - (1) exp - x dx x x - () Misal : y = x - x x dy = 1 dx x atau dx = x. Dy

52 43 (3) Batas integrasi : x = - y = - x = A y = A - x Jika persamaan () dan (3) disubstitusikan ke (1) ; maka : x P ( xa ) = A - x x 1 exp - 1 y dy 1 1 = exp - y dy = A - x x..(7) A - = x A - = x = x x Sehingga perumusan dibawah ini disebut sbagai Standar Normal Variasi : f ( x) 1 1 exp y dy y=0 y=1 f(y) - 0 Gambar 4.4 Standar Normal Variasi Nilai Index Reliability ini biasa disebut Beta Index dimana hubungannya dapat diketahui dengan besarnya nilai Safety Factor (SF) dimana SF merupakan nilai mean daripada tahanan (R) dibagi dengan nilai mean daripada beban (S). SF dirumuskan seperti dibawah ini : R SF S

53 Performance Density Function Beton (f c) dan Baja (fy) Peraturan Beton yang kita gunakan saat SNI menggunakan beta Index sebesar 1.34 atau dengan kata lain menggunakan Lower Tail sebesar 9 %, maksud dari lower tail ini adalah diperbolehkannya terjadi mutu beton dibawah f c sebesar 9 % dari total keseluruhan. Performance Density Function daripada beton dapat dilihat pada Gambar f'c Lower Tail 9 % f'c fcr Gambar 4.5 PDF daripada beton dengan Lower Tail 9 % Untuk baja besarnya beta index ini diambil dari Reliability of Structures (Nowak,A.S dan Kevin R. Collins, 000) dimana besarnya adalah 1.15, dengan besar nilai tersebut dapat dicari dengan menggunakan tabel hubungan antara Resiko dan Beta Index dan didapatkan kemungkinan terjadinya nilai kuat tarik baja tulangan dibawah fy sebesar 0.13 atau Lower Tail Sebesar 13 %. Performance Density Function daripada baja dapat dilihat pada Gambar fy Lower Tail 13 % fy fyr Gambar 4.6 PDF daripada baja dengan Lower Tail 13 %

54 Load Resistance Factor Design (LRFD) Tujuan utama dari perencanaan dan desain teknik adalah untuk memastikan kemampuan dari sebuah system atau produk teknik. Hal ini harus dicapai dalam suatu kondisi yang tidak pasti, kepastian dari suatu kemampuan itu secara realistis dapat terjadi hanya pada kondisi probabilitas tertentu (Probability Concepts in Engginering Planning and Design, Alfredo dan Wilson). Pada umumnya, untuk tujuan mendesain struktur secara rutin, kriteria atau format mendesain dapat ditentukan sebagai sesuatu ketetapan dalam peraturan atau standar bangunan. Format tersebut dinamakan Load Resistance Factor Design. Format peraturan ACI 00 yang digunakan untuk mendesain komponen komponen struktur menggunakan Load Reesistance Factor Design (LRFD) didalam menentukan faktor factor desain yang nantinya yang nantinya digunakan sebagai suatu batasan dan aturan untuk mendesain suatu komponen struktur dimana akan ada suatu tingkat reabilitas atau resiko. Dengan begitu dapat dikatakan untuk mendapatkan suatu peraturan (code) mengenai batasan batasan design berupa factor factor tersebut, perlu kita tetapkan suatu level resiko atau reabilitas tertentu. Ide dasar yang menggaris bawahi kriteria tahanan dan persyaratan beban berbasis probabilitas relative sederhana adalah kegagalan struktural terjadi jika tahanan R lebih kecil dari beban S yang terjadi, dengan fungsi Kinerja atau keadaaan batas: {g(r,s)=r-s}. Dimana R dan S memiliki nilai yang beragam sehingga dapat digambarkan distribusi normalnya dengan mengetahui daripada standar deviasi sebagai akibat dari keanekaragaman. Dalam menentukan besarnya factor desain tahanan dan beban digunakan metode nilai rata rata (Diktat Kuliah Statistik Terapan, Ir.Iman Wimbadi,MS). Perumusan metode nilai rata rata ditunjukkan pada persamaan berkut ini : R S R S R D L R D L Pada Studi ini parameter D dan L ditetapkan dan dinyatakan dalam rasio beban hidup rata rata terhadap beban mati rata rata (L/D). Kedua parameter ini merupakan data masukan pada perhitungan, sehingga satu satunya parameter

55 46 statistic yang belum diketahui adalah nilai R. Nilai R R R *, Nilai R ini yang akan dicari melalui analisis penampang yang berasal dari diagram interaksi. Gambar 4.7 Permukaan keruntuhan dan tahanan kolom Pada gambar 4.7, tahanan kolom dicirikan sebagai panjang garis dari titik asal ke permukaan kegagalan (failure surface) dari kurva interaksi kolom. Menurut Diniz dan Frangopol, tahanan kolom didefinisikan sebagai : ( h M ) P R Dengan M merupakan kapasitas lentur, P merupakan kapasitas aksial dan h merupakan tinggi kolom. Sedangkan menurut Ellingwood (1997), Israel et.al (1987) menetapkan kinerja beban sebagai : 1 h e L D L D S Sehingga fungsi keadaan batas dapat dirumuskan menjadi : 1 1 ), ( h e L D L D h M P S R S R G Studi terdahulu yang sudah dilakukan oleh Endang Kosasih menunjukkan bahwa Koefisien variasi ( Gambar 4.8 ) daripada perencanaan desain kolom dapat diambil dari diagram interaksi dimana variable variable yang ada tersebut memiliki koefisien variasi sendiri sendiri. Variabel yang berpengaruh tersebut terdiri dari beton dan baja tulangan.

56 47 Dalam studi ini akan dilakukan hal yang sama sehingga nantinya trend daripada factor reduksi unified design dapat dicari dan koefisien variasi setiap variable yang berpengaruh yang digunakan code terbaru dapat diketahui. Gambar 4.8 Dispersi tahanan kolom pada suatu diagram interaksi

57 48 BAB V METODOLOGI 5.1 Studi Literatur Pada tahap ini dilakukan studi literatur mengenai perencanaan metode elemen struktur kolom dengan menggunakan dua metode yang berbeda yaitu Limits State Method (SNI 00) dan Unified Design Method (ACI 00). Literatur literature yang digunakan dapat dilihat dibawah ini : 1. P. B. Hughes, 1976, Limit State Theory for Reinforced Concrete Design.. Ferguson & Breen & Jirsa, Reinforced Concrete Fundamentals. 3. Everard and Tanner, Reinforced Concrete Design. 4. ACI ( Ketentuan Perencanaan Beton Bertulang dengan Metode Limit State Method ) 5. ACI ( Ketentuan Perencanaan Beton Bertulang dengan metode Unified Design Method ). 6. SNI ( Ketentuan Perencanaan Beton Bertulang dengan metode Limit State Method ). 7. PCA Notes 1999 ( Perhitungan dengan menggunakan Metode Unified Design Method ). 8. Prof.Ir.Rachmat Purwono, M.Sc, Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa. 9. Alfredo H-S. Ang & Wilson H.Tang, Probability Concepts in Engginering Planning and Design. 10. Iman Wimbadi, Faimun, Yoseph Nabaiho, 00, Studi Hubungan Faktor Reduksi Tahanan dan Eksentrisitas pada Kolom Persegi dari Beton Mutu Tinggi dengan Model Blok Tegangan menurut ACI. 11. Richard W.Furlong, ACI Appendix B: Beam Design Application. 1. Endang Kosasih,1999, Tinjauan Tentang Reduction Factor pada Elemen Beton Bertulang Akibat Lentur dan Aksial Sesuai dengan Metode Unified Design. 13. Phill M Ferguson, John E.Breen, James O.Jirsa, Reinforced Concrete Fundamental

58 49 5. Perencanaan Bentuk Elemen Struktur Sosialisasi daripada penggunaan metode yang baru nantinya akan dimodelkan sebagai bentuk struktur portal sederhana untuk lebih mudah memahami perencanaan desain sebagai akibat beban aksial dan lentur dengan menggunakan metode desain terpadu (Unified Design Method) yang dibandingkan dengan metode keadaan batas (Limit State Method). Pembebanan Elemen struktur sebagai akibat beban aksial dan lentur didapatkan dari gaya aksial yang memiliki eksentrisitas yang mengakibatkan adanya gaya aksial dan lentur pada elemen struktur kolom, sedangkan tinggi kolom, mutu beton, mutu tulangan baja bervariasi hingga tujuan yang dinginkan tercapai. Permodelan struktur yang digunakan merupakan struktur frame dengan tiga,enam dan sembilan tingkat dan 3 bays seperti diilustrasikan pada gambar 6.1. Gambar 5.1 Portal Sederhana 3 Tingkat dengan 3 Bays 5.3 Pembebanan Elemen Struktur Sebagai Akibat Kombinasi Beban Aksial dan Lentur. SNI Pembebanan pada SNI diambil dari pasal 11. dimana beban yang ada dikalikan dengan suatu faktor beban : U = 1.4 ( D + F ) U = 1. D L ( A atau R ) U = 1. D E L

59 50 Dimana : D = Beban Mati ; L = Beban Hidup ; A = Beban Atap ; R = Beban Hujan E = Beban Gempa ACI Pembebanan pada ACI diambil dari pasal 9. dimana beban yang ada dikalikan dengan suatu faktor beban : U = 1.4 D U = 1. ( D + F + T ) ( L + H ) ( Lr atau S atau R ) U = 1. D E L + 0. S Dimana : D = Beban Mati; L = Beban Hidup; Lr = Beban Atap; R = Beban Hujan; F = Beban Fluida; S = Beban Salju; E = Beban Gempa 5.4 Peninjauan Tentang Kolom dalam Keadaan Sway dan Non Sway Setelah dilakukan analisa struktur dengan menggunakan SAP dan didapatkan gaya gaya dalam struktur yang berupa Pu,Vu,Mu dengan kombinasi beban seperti pada Bab 6.3 diatas maka akan dihitung besarnya pergoyangan yang terjadi pada struktur tersebut dan membandingkan antara perhitungan pergoyangan ang baru dengan metode unified (ACI ) dan limit state (SNI ), dan perhitungan pergoyangan yang lama dengan menggunakan peraturan SNI SNI-00 Perbesaran momen (umum), diatur dalam pasal 1.11 : o Besarnya modulus elastisitas = Ec o Besarnya momen inersia : Momen Inersia Balok 0.35 Ig Kolom 0.70 Ig Dinding : Tidak Retak : Retak 0.70 Ig 0.35 Ig Pelat datar dan lantai datar 0.5 Ig Luas 1.0 Ag Tabel 5.1 Momen Inersia elemen struktur ( SNI )

60 51 Besarnya momen inersia harus dibagi dengan (1+bd): 1. Bila beban lateral yang bekerja bersifat tetap, atau. untuk pengecekan stabilitas sesuai dengan 1.13(6) o Radius girasi (r) = 0.3 kali dimesi total dalam arah stabilitas, untuk komponen struktur persegi dan r = 0.5 kali untuk komponen struktur tekan bulat. o Kolom atau tingkat pada struktur dikelompokkan menjadi tidak bergoyang atau bergoyang berdasarkan ketentuan berikut : 1. Kolom satu struktur boleh dianggap tak bergoyang bila perbesaran momen momen ujung akibat pengaruh orde dua tidak melebihi 5% dari momen momen ujung orde satu.. Suatu tingkat pada struktur boleh dianggap tidak bergoyang bila nilai: Q P u o /( Vuc ) <0.05, dengan Pu dan Vu masing masing adalah beban vertikal total dan gaya geser lantai total pada tingkat yang ditinjau, dan o adalah simpangan relatif pada tingkat orde pertama pada tingkat yang tinjau akibat Vu. Perbesaran momen (Rangka Portal Tak Bergoyang), diatur dalam pasal 1.1 : o Faktor panjang efektif (k) = 1,0 o Pengaruh kelangsingan diabaikan bila : K u r M 34 1( M 1 ) M1 dengan suku 34 1( ) 40 M, dan M1/M bernilai positif bila kolom melentur dengan kelengkungan tunggal dan bernilai negatif bila kolom melentur denga kelengkungan ganda. o Komponen struktur tekan harus direncanakan dengan menggunakan beban aksial terfaktor Pu dan momen terfaktor yang diperbesar, Mc, yang didefiniskan sebagai : Mc nsm, dengan

61 5 Cm EI ns 1.0 ; Pc Pu ( k ) 1 u 0.75P c Bila tidak menggunakan perhitungan yang lebih akurat, EI dalam persamaan 3 boleh diambil sebesar : (0.Ec I g Es I EI 1 d sc ) atau EI 0. 4E c I g 1 Untuk komponen struktur tanpa beban tranversal diantara tumpuannya maka harga Cm diambil sebesar : C m M M Untuk komponen struktur beban tranversal diantara tumpannya maka harga Cm diambil sama dengan 1. Momen Terfaktor M tidak boleh diambil lebih kecil dari : M, min Pu ( h) Perbesaran momen (Rangka Portal Bergoyang),diatur dalam pasal 1.13 : o Faktor panjang efektif (k) harus ditentukan dengan menggunakan nilai d nilai E dan I yang sesuai dengan 1.11(1) dan harus lebih besar dari 1,0 o Untuk Komponen tekan yang tidak ditahan terhadap goyangan ku samping, pengaruh kelangsingan boleh diabaikan apabila. r o Momen M1 dan M pada ujung ujung komponen struktur tekan harus diambil sebesar : M1 M1 ns sm1s M M ns sm s o Cara menghitung sm s : M s 1. sm s M s 1 Q M s. sm s M s Pu P c

62 53 o Sebuah komponen struktur tekan dengan kelangsingan : r u 35 c P u f ' A g ; harus direncanakan memikul beban aksial berfaktor Pu dan momen Mc yang dihitung menurut 1.1(3) dimana M1 dan M dihitung menurut 1.13(3). d ditentukan sesuai dengan kombinasi beban yang digunakan, dan k ditentukan menurut 1.1(1). ACI Perbesaran momen (umum), diatur dalam pasal 10.11: o Besarnya modulus elastisitas = Ec o Besarnya momen inersia : Balok 0.35 Ig Kolom 0.70 Ig Dinding : Tidak Retak 0.70 Ig Retak 0.35 Ig Pelat datar dan lantai datar 0.5 Ig Luas 1.0 Ag Besarnya momen inersia harus dibagi dengan (1+bd): 1. Bila beban lateral yang bekerja bersifat tetap, atau. untuk pengecekan stabilitas sesuai dengan 1.13(6) o Radius girasi (r) = 0.3 kali dimesi total dalam arah stabilitas, untuk komponen struktur persegi dan r = 0.5 kali untuk komponen struktur tekan bulat. o Kolom atau tingkat pada struktur dikelompokkan menjadi tidak bergoyang atau bergoyang berdasarkan ketentuan berikut : 1. Kolom satu struktur boleh dianggap tak bergoyang bila perbesaran momen momen ujung akibat pengaruh orde dua tidak melebihi 5% dari momen momen ujung orde satu.. Suatu tingkat pada struktur boleh dianggap tidak bergoyang bila nilai: Q P u o /( Vuc ) <0.05, dengan Pu dan Vu masing masing adalah beban vertikal total dan gaya geser lantai total pada tingkat

63 54 yang ditinjau, dan o adalah simpangan relatif pada tingkat orde pertama pada tingkat yang tinjau akibat Vu. Perbesaran momen (Rangka Portal Tak Bergoyang), diatur dalam pasal 10.1 : o Faktor panjang efektif (k) = 1,0 o Pengaruh kelangsingan diabaikan bila : K u r M 34 1( M 1 ) M1 dengan suku 34 1( ) 40 M, dan M1/M bernilai positif bila kolom melentur dengan kelengkungan tunggal dan bernilai negatif bila kolom melentur denga kelengkungan ganda. o Komponen struktur tekan harus direncanakan dengan menggunakan beban aksial terfaktor Pu dan momen terfaktor yang diperbesar, Mc, yang didefiniskan sebagai : Mc nsm, dengan Cm EI ns 1.0 ; Pc Pu ( k ) 1 u 0.75P c Bila tidak menggunakan perhitungan yang lebih akurat, EI dalam persamaan 3 boleh diambil sebesar : (0.Ec I g Es I EI 1 d sc ) atau EI 0. 4E c I g 1 Untuk komponen struktur tanpa beban tranversal diantara tumpuannya maka harga Cm diambil sebesar : C m M M Untuk komponen struktur beban tranversal diantara tumpannya maka harga Cm diambil sama dengan 1. Momen Terfaktor M tidak boleh diambil lebih kecil dari : M, min Pu ( h) d

64 55 Perbesaran momen (Rangka Portal Bergoyang), diatur dalam pasal : o Faktor panjang efektif (k) harus ditentukan dengan menggunakan nilai nilai E dan I yang sesuai dengan 10.11(1) dan harus lebih besar dari 1,0 o Untuk Komponen tekan yang tidak ditahan terhadap goyangan ku samping, pengaruh kelangsingan boleh diabaikan apabila. r o Momen M1 dan M pada ujung ujung komponen struktur tekan harus diambil sebesar : M1 M1 ns sm1s M M ns sm s o Cara menghitung sm s : M s 1. sm s M s 1 Q M s. sm s M s Pu P c o Sebuah komponen struktur tekan dengan kelangsingan : r u 35 c P u f ' A g ; harus direncanakan memikul beban aksial berfaktor Pu dan momen Mc yang dihitung menurut 10.1(3) dimana M1 dan M dihitung menurut 10.13(3). d ditentukan sesuai dengan kombinasi beban yang digunakan, dan k ditentukan menurut 10.1(1).

65 Studi LRFD untuk Mendapatkan Trend Faktor Reduksi yang Digunakan oleh Metode Unified Design Design sebagai Akibat Kombinasi Beban Aksial dan Lentur. Diagram Alir Studi Load Resistance Factor Design Mencari nilai Direction Cosines : Mencari nilai Beta Indeks : Start Input data f c,fy, Ntul, cov f c, cov fy, b, h, L/D, rasio tulangan dan decking Input data fci dan fyi sebanyak n data Analisa Penampang (DI) 1 1 ), ( h e L D L D h M P S R S R G L D R S R L D R S R L D R R R Hitung tahanan Ri, pada setiap e/h yang ditinjau Didapatkan nilai mean, standar deviasi dan koefisien variasi tahanan Ri Mencari nilai faktor reduksi : Algoritma ini diulangi dengan data yang berbeda - beda R R R v 1 Kesimpulan

66 57 Studi LRFD untuk mendapatkan factor reduksi daripada metode desain terpadu tersebut melalui beberapa tahapan yaitu : Penentuan Dimensi kolom beserta tulangannya dengan berbagai bentuk yakni kolom berpenampang persegi dengan tulangan sisi, 4 sisi dan kolom berpenampang lingkaran. Memasukkan data daripada f c, fy, Ntul, cov f c, cov fy, b, h, L/D, rasio tulangan dan decking daripada penampang kolom yang akan dicari. Data daripada koefisien variasi mutu beton dan baja diambil dari data data tes Laboratorium Bahan dan Bangunan Teknik Sipil ITS. Memasukkan nilai fci dan fyi sebanyak n (jumlah) Data. Pembuatan (Analisis penampang) diagram interaksi dengan dimensi yang telah ditentukan dengan menggunakan rumus yang sudah baku (Dinnis dan Frangopol, Elling wood dan Israel) dimana : 1 1 ), ( h e L D L D h M P S R S R G Menghitung tahanan Ri, pada tiap titik e/h yang ditinjau dan membuat grafiknya sehingga diketahui hubungan koefisien variasi daripada tahanan Ri dan ratio eksentrisitas terhadap h. Dari analisis penampang diatas didapatkan nilai mean, standar deviasi, dan koefisien tahanan R. n Xi mean R ; R Menggunakan LRFD untuk mendapatkan factor reduksi setelah standar deviasi tahanan disubsitusikan sebagai koefisien variasi dikalikan dengan tahanan. Dimana rumus yang digunakan : L D R S R L D R S R ; L D R S R L D R R S R

67 58 Dengan menentukan Beta Index akan kita dapatkan nilai koefisien variasi sehingga nilai standar deviasi tahanan diketahui, dan R dapat dicari, dimana: R R R D L Setelah R didapatkan barulah factor reduksi dapat kita cari dengan menggunkan rumus : 1 R v R R Setelah faktor reduksi kita dapatkan, ulangi lagi mulai dari awal dengan kondisi tahanan yang berbeda dan hasilnya dapat diplot sebagai perbandingan antara factor reduksi dan regangan tarik bersih pada penampang. Algoritma ini merupakan jenis analitis sehingga bila memiliki variable yang cukup banyak seperti permasalahan diatas dapat dilakukan simulasi monte carlo. 5.6 Penentuan Besarnya Faktor Reduksi Kekuatan Nominal untuk Beban Aksial dan Lentur. SNI Penentuan besarnya factor reduksi kekuatan () struktur yang diakibatkan kekuatan aksial dan lentur diatur dalam pasal dimana : Aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur 0.8 Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur : Komponen struktur tulangan spiral 0.7 Komponen struktur lainnya 0.65 Untuk nilai aksial tekan yang rendah, nila boleh ditingkatkan berdasarkan aturan berikut : Untuk komponen struktur dimana fy tidak melampaui 400 Mpa, dengan tulangan simetris, dan dengan (h-d-ds)/h tidak kurang dari 0.7, maka nilai boleh ditingkatkan secara linear menjadi 0.8 seiring dengan berkurangnya nilai Pn dari 0.10 fc Ag ke nol.

68 59 Untuk komponen struktur beton bertulang yang lain, nilai boleh ditingkatkan secara linier menjadi 0.8 seiring dengan berkurangnya Pn dari nilai terkecil antara 0.10 fc Ag dan Pb ke nilai nol. ACI Penentuan besarnya factor reduksi kekuatan () struktur yang diakibatkan kekuatan aksial dan lentur diatur dalam pasal dimana : Tension-Controlled Section 0.9 Compression-Controlled Section : Komponen struktur tulangan spiral 0.7 Komponen struktur lainnya 0.65 Untuk penampang dimana regangan tarik bersih pada tulangan ekstrim yang tertarik pada kekuatan nominal berada diantara compression-controlled section dan tension-controlled section, boleh ditingkatkan secara linear dari compression-controlled section ke 0.90 dimana regangan tarik bersih pada tulangan ekstrim yang tertarik pada kekuatan nominal juga meningkat dari regangan batas compression-controlled section ke Analisa Desain Elemen Struktur Akibat Beban Aksial dan Lentur SNI Asumsi dalam perencanaan elemen struktur akibat tekan dan lentur, diatur dalam pasal 1. : o Regangan minimum diambil sama dengan o Bila fs < fy, maka diambil fs = Es x s Bila s > y, maka diambil fs = fy o Kuat tarik beton dalam perhitungan aksial dan lentur diabaikan. o Ketentuan distribusi tegangan ekuivalen 1. Tegangan beton sebesar 0.85fc diasumsikan terdistribusi secara merata dan jarak dari regangan tekan maksimum adalah a = 1c.. Faktor 1 diambil dengan ketentuan sebagai berikut : Bila fc ' 30 Mpa maka 1 = 0.85

69 60 Bila fc' 30 Mpa 1 harus direduksi sebesar 0.05 untuk setiap kelebihan 7 Mpa diatas 30 Mpa. Tetapi 1 tidak boleh diambil kurang dari Prinsip perencanaan elemen struktur akibat tekan dan lentur, diatur dalam pasal 1.3 : o Kondisi b tecapai saat tulangan tarik leleh dan pada saat yang bersamaan terjadi regangan batas pada bagian beton yang tertekan. o Untuk Komponen struktur lentur dan kombinasi tekan dan lentur maka: Bila Pn < 0.10fc Ag dan Pb, maka ada < 0.75 b. o Kuat rencana Pn dari komponen struktur tekan tidak boleh diambil sebesar : Untuk tulangan spiral : P n 0.85 (0.85 fc'( A A ) g st f y A st Untuk tulangan sengkang pengikat : P n 0.80 (0.85 fc'( A A ) g st f y A st Pembatasan untuk tulangan komponen struktur tekan, diatur dalam pasal 1.9 : o Untuk Luasan tulangan longitudinal diatur sebagai berikut : 0.01 Ag < Atul Longitudinal < 0.08 Ag o Rasio tulangan spiral s tidak boleh kurang dari nilai yang diberikan oleh persamaan : Ag f s 0.45( 1) A f c c y ' ACI Asumsi dalam perencanaan elemen struktur akibat tekan dan lentur,diatur dalam pasal 10. : o Regangan minimum diambil sama dengan o Bila s < y, maka diambil As fs = As Es s Bila s > y, maka diambil As fs = As fy o Kuat tarik beton dalam perhitungan aksial dan lentur diabaikan. o Ketentuan distribusi tegangan ekuivalen

70 61 1. Tegangan beton sebesar 0.85fc diasumsikan terdistribusi secara merata dan jarak dari regangan tekan maksimum adalah a = 1c.. Faktor 1 diambil dengan ketentuan sebagai berikut : Bila fc ' 30 Mpa maka 1 = 0.85 Bila fc' 7. 5 Mpa 1 harus direduksi sebesar 0.05 untuk setiap kelebihan 7 Mpa diatas 30 Mpa. Tetapi 1 tidak boleh diambil kurang dari Prinsip perencanaan elemen struktur akibat tekan dan lentur, diatur dalam pasal 10.3 o Kondisi b tecapai saat tulangan tarik leleh dan pada saat yang bersamaan terjadi regangan batas pada bagian beton yang tertekan. o Penampang masuk kedalam Compression Controlled bila regangan tarik berih sama atau lebih kecil dari atau untuk besi tulangan dengan mutu 40 Mpa diperbolehkan sama dengan o Penampang masuk kedalam Tension Controlled Section bila rengangan tarik bersih pada besi tulangan tarik sama atau lebih besar dari o Untuk elemen lentur yang tidak pratekan dan elemen yang tidak pratekan dimana beban aksial lebih kecil dari 0.10 fc' Ag. Regangan tarik bersih pada kekuatan nominal tidak boleh kurang dari o Kuat rencana Pn dari kompnen struktur tekan tidak boleh diambil sebesar : Untuk tulangan spiral : P n 0.85 (0.85 fc'( A A ) Untuk tulangan sengkang pengikat : P n 0.80 (0.85 fc'( A A ) g g st st f f y y A A st st Pembatasan untuk tulangan komponen struktur tekan, diatur dalam pasal 10.9 : o Untuk Luasan tulangan longitudinal diatur sebagai berikut : 0.01 Ag < Atul Longitudinal < 0.08 Ag

71 6 o Rasio tulangan spiral s tidak boleh kurang dari nilai yang diberikan oleh persamaan : Ag f s 0.45( 1) A f c c y ' 5.8 Pembuatan Diagram Interaksi Elemen Struktur Kolom dengan Analisa Berdasarkan Metode Unified Design Pembuatan diagram interaksi daripada elemen struktur kolom melalui beberapa tahapan yaitu : Gaya yang bekerja hanya aksial tekan sentris saja, hal ini dilakukan untuk mendapatkan kekuatan nominal kolom dalam menahan gaya aksial tekan yang bekerja. Gaya yang bekerja hanya aksial tarik sentris saja, hal ini dilakukan untuk mendapatkan kekuatan nominal kolom dalam menahan gaya aksial tarik yang bekerja. Bagian daripada penampang beton yang mengalami gaya aksial tarik diabaikan sehingga beton tidak ikut memikul tarik akibat gaya yang bekerja. Gaya yang bekerja pada penampang merupakan kombinasi dari gaya aksial (Pu) dan Lentur (Mu), dimana dalam kondisi ini penampang dibagi menjadi tiga kondisi sebagai berikut : o Kondisi seimbang (Balance) o Kondisi Under Reinforced o Kondisi Over Reinforced Menggambar diagram interaksi Pu dan Mu dengan berbagai kondisi penampang, mutu beton dan tulangan baja yang ada. 5.9 Pembahasan Perbedaan Desain Penampang Elemen Struktur Akibat Aksial dan Lentur Menurut SNI 00 dan ACI Setelah dilakukan perencanaan desain dari beberapa studi kasus terhadap kolom dengan prosedur yang telah baku barulah penulis membahas letak perbedaan daripada kedua metode perencanaan (Limit State Method dan Unified Design Method) daripada struktur yang dibebani beban aksial dan lentur.

72 Kesimpulan Setelah dilakukan sebuah studi daripada faktor reduksi dan pembahasan antara kedua desain tersebut maka akan dibuat beberapa kesimpulan tentang studi yang dilakukan oleh penulis.

73 64 BAB VI ANALISA KELANGSINGAN ELEMEN STRUKTUR AKIBAT TEKAN DAN LENTUR PADA STRUKTUR 3, 6, DAN 9 TINGKAT 6.1 Perencanaan dan Spesifikasi Struktur Bangunan Strutktur bangunan yang akan digunakan dalam studi analisa kelangsingan struktur ini berupa bangunan tiga tingkat (Story) dengan tiga bentang (bays) sepanjang 8m dimana tinggi antar tingkat (h) sebesar 4m. Dalam studi ini struktur bangunan dianggap berada didekat pantai (gaya anginnya besar) sehingga drift yang terjadi pada tiap tingkat bangunan cukup besar untuk menimbulkan adanya P- efek pada bangunan yang menimbulkan momen sekunder. Studi ini hanya dititikberatkan pada elemen struktur tekan dan lentur saja. Gambar 6.1 Denah struktur bangunan yang digunakan dalam studi ini Spesifikasi Struktur : Jumlah tingkat (Story) : 3 tingkat Tinggi tingkat (m) : 4 m Mutu Beton (f c) : 40 Mpa Mutu Baja (fy) : 400 Mpa Lebar Bentang (bays) : 8 m Kegunaan Struktur : Perpustakaan

74 65 Dalam analisa struktur akan dimodelkan sebagai portal dua dimensi dan beban angin yang bekerja pada bangunan dikerjakan secara merata pada bangunan dan permodelan struktur yang digunakan pada studi ini sebanyak tiga buah dengan variasi jumlah tingkat 3 buah yakni Model I (3 tingkat),model II (6 tingkat) dan Model III (9 tingkat). Gambar 6. Tampak portal 3 tingkat dua dimensi Dalam studi ini akan dibandingkan analisa kelangsingan dengan menggunakan tiga peraturan yaitu : SKSNI T dimana menggunakan metode Limit States dan perbesaran momen yang terjadi menggunakan brace dan unbrace (ditahan terhadap goyangan kesamping atau tidak). SNI dimana menggunakan metode Limit States dan perbesaran momen yang terjadi menggunakan sway dan nonsway (bergoyang dan tidak bergoyang). ACI dimana menggunakan metode Unified Design dan perbesaran momen yang terjadi menggunakan sway dan nonsway (bergoyang dan tidak bergoyang). 6. Preliminary Desain Elemen Struktur Balok Bangunan Preliminary design ini bertujuan untuk menentukan dimensi awal daripada elemen struktur bangunan yakni balok dan kolom sehingga dalam analisa strukturnya tidak didapati elemen struktur yang terlalu kecil maupun terlalu besar sehingga tercipta elemen struktur bangunan yang efesien dan efektif.

75 66 Dalam preliminary dimensi balok digunakan tinggi daripada balok dihitung dengan menggunakan pendekatan sebesar h = L/16 dimana h adalah tinggi balok dan L adalah panjang bentang balok. Sedangkan batasan daripada b (Lebar badan balok) berada pada rentang 0.4h~0.6h, dalam preliminary ini digunakan 0.4h. Preliminary Balok melintang dan memanjang : Balok Memanjang Las-as = 800 cm L 800 h 50cm Diambil h = 50 cm b = 0.6 h = 0.6 x 50 = 30 cm Diambil b = 30 cm Jadi dimensi Balok Memanjang = 30cm x 50cm Balok Melintang Las-as = 800 cm L 800 h 50cm Diambil h = 50 cm b = 0.6 h = 0.6 x 50 = 30 cm Diambil b = 30 cm Jadi dimensi Balok Melintang = 30cm x 50cm Balok Anak Las-as = 400 cm L 400 h 5cm Diambil h = 5 cm b = 0.6 h = 0.6 x 5 = 15 cm Diambil b = 15 cm Jadi dimensi Balok Anak = 15cm x 5cm

76 Perencanaan Tebal Pelat Atap dan Lantai Perencanaan daripada tebal pelat pada atap dan lantai dimaksudkan selain untuk mendapatkan tebal pelat yang dibutuhkan juga sebagai input pembebanan terhadap komponen elemen struktur lainnya yang merupakan pendukung daripada pelat tersebut namun disini lebih ditekankan kepada elemen struktur tekan dan lentur atau kolom. Hal ini dimaksudkan karena yang akan dipelajari adalah kelangsingan daripada elemen tekan dan lentur tersebut (Kolom) Gambar 6.3 Pelat atap yang menumpu pada balok induk Tabel 6.1 Dimensi Balok 1,,3 dan 4 Balok bw (cm) h (cm) Perencanaan Tebal Pelat Atap Tebal rencana pelat atap = 10 mm Ln = 400 ( 30/ + 15/ ) = cm. Sn = 400 ( 30/ + 15/ ) = cm. = Ln / Sn = 377.5/377.5 = 1 s = ( ) = 1 ( ) ( menerus pada keempat sisi )

77 68 Balok Induk 1&4 b b eff eff b w ( h t) 30 (50 1) cm beff bw 8t 30 (81) 16cm Diambil beff = 106 cm K = 1 (( be bw t t t be 1)( )(4 6( ) 4( ) ) ( h 1 (( h be bw 1)( h t h )) bw 1)( t h ) 3 ) 1 (( K = )( 1 50 )(4 6( 1 (( ) 4( 1)( ) ) ( )) )( 1 50 ) 3 ) = h Ib = K.bw. 1 3 t Is = bs = = cm = 400. = 57600cm 4 1 = Ecb. Ib Ecs. Is ( Ecb=Ecs ) 4 Ib cm = = Is 4 = cm Balok Anak &3 b b eff eff b w ( h t ) 15 ( 5 1 ) cm beff b w 8t 15 ( 8 1) 111cm Diambil beff = 41m

78 69 K = 1 (( be bw t t t be 1)( )(4 6( ) 4( ) ) ( h 1 (( h be bw 1)( h t h )) bw 1)( t h ) 3 ) K = 1 (( )( 1 5 )(4 6( 1 (( ) 4( 1)( ) ) ( )) )( ) 3 ) = h Ib = K.bw. 1 3 t Is = bs = = cm = 400. = 57600cm 4 1 = Ecb. Ib Ecs. Is ( Ecb=Ecs ) 4 Ib 3080cm = = Is 4 = cm Kontrol tebal pelat atap dengan SNI m = ( ) = m > ; tmin = 9cm tmin= Ln.(800 fy ) (800 ) 1,5 1,5 = =7.901cm Jadi berdasarkan SNI tebal pelat 1 cm memenuhi syarat 6.3. Perencanaan Tebal Pelat Lantai Tebal rencana pelat lantai = 10 mm Ln = 400 ( 30/ + 15/ ) = cm. Sn = 400 ( 30/ + 15/ ) = cm. = Ln / Sn = 377.5/377.5 = 1 s = ( ) = 1 ( ) ( menerus pada keempat sisi )

79 70 Balok Induk 1&4 b b eff eff b w ( h t) 30 (50 1) cm beff bw 8t 30 (81) 16cm Diambil beff = 106 cm K = 1 (( be bw t t t be 1)( )(4 6( ) 4( ) ) ( h 1 (( h be bw 1)( h t h )) bw 1)( t h ) 3 ) 1 (( K = )( 1 50 )(4 6( 1 (( ) 4( 1)( ) ) ( )) )( 1 50 ) 3 ) = h Ib = K.bw. 1 3 t Is = bs = = cm = 400. = 57600cm 4 1 = Ecb. Ib Ecs. Is ( Ecb=Ecs ) 4 Ib cm = = Is 4 = cm

80 71 Balok Anak &3 b b eff eff b w ( h t ) 15 ( 5 1 ) cm beff b w 8t 15 ( 8 1) 111cm Diambil beff = 41m K = 1 (( be bw t t t be 1)( )(4 6( ) 4( ) ) ( h 1 (( h be bw 1)( h t h )) bw 1)( t h ) 3 ) K = 1 (( )( 1 5 )(4 6( 1 (( ) 4( 1)( ) ) ( )) )( ) 3 ) = h Ib = K.bw. 1 3 t Is = bs = = cm = 400. = 57600cm 4 1 = Ecb. Ib Ecs. Is ( Ecb=Ecs ) 4 Ib 3080cm = = Is 4 = cm Kontrol tebal pelat lantai dengan SNI m = ( ) = m > ; tmin = 9cm tmin= Ln.(800 fy ) (800 ) 1,5 1,5 = =7.901cm Jadi berdasarkan SNI tebal pelat 1 cm memenuhi syarat

81 7 6.4 Preliminary Desain Elemen Struktur Kolom Prelinary desain elemen struktur kolom ini bertujuan untuk mendapatkan dimensi kolom yang efektif dan efisien. Setelah preliminary ini didapatkan dimensi kolom yang sesuai yang akan dipakai untuk analisa gaya gaya dalam struktur. Untuk mendapatkan displacement yang dihubungkan dengan pengaruh kelangsingan nantinya. Gambar 6.4 Tributary area beban yang diterima oleh kolom Kolom direncanakan dengan dimensi yang sama sehingga dalam menentukan bebannya dipakai beban pelat terbesar yaitu 400cm x 400cm. Sedangkan beban hidup yang dipakai untuk perpustakaan sebesar 550 kg/m Model I (3 Tingkat) Beban yang bekerja pada kolom paling bawah Model I (3 Tingkat) menggunakan peraturan PPIUG-Tabel.1. Beban yang bekerja diuraikan sebagai berikut : Beban mati : Pelat = 8m * 8m * 400 kg/m 3 * 0.1m * 3 = 5596 kg Plafon = 8m * 8m * 11 kg/m * 3 = 11 kg Penggantung = 8m * 8m * 7 kg/m * 3 = 1344 kg Balok Induk = 0.3m * 0.5m * 400 kg/m 3 * 16 * 3 = 1780 kg Spesi (cm) = 8m * 8m * 0.0m * 00 kg/m 3 * 3 = 8448 kg Tegel (cm) = 8m * 8m * 0.0m * 400 kg/m 3 * 3 = 916 kg Dinding Partisi = 16m * 4 m * 50 kg/m * 3 = 9600 kg + Wd = kg

82 73 Beban hidup (SK-SNI 1989) At = 16m < m Atap Datar F = 0 Beban Hidup Atap Lo = 0.96 * 1000/10 = 96 kg/m R1 = 1 ; R = 1 Lr (Beban atap minimum) = Lo * R1 * R = 96 kg/m L = 1.44 * 1000/10 = 144 kg/m Beban hidup Lantai L L o =3.934kN/m K LL AT 4*16 L = * 1000/10 = kg/m Atap = 8m * 8m * 144 kg/m = 916 kg Lantai = 8m * 8m * kg/m * = kg + Jadi berat total = 1. Wd Wl = kg * kg = 1969 kg Mutu beton = 40 Mpa = 408 kg/cm Rencana Awal A = Dimensi Awal W f ' c * 408 = cm Wl = kg b = cm ; b = cm diambil b = 35 cm Beban yang diterima oleh kolom = 1969 kg + (0.35* 0.35 * 1 * 400) kg Dimensi kolom : A = Dimensi Akhir W f ' c = 1969 kg kg = 797 kg * 408 = cm b = cm ; b = cm diambil b = 35 cm

83 Model II (6 Tingkat) Beban yang bekerja pada kolom paling bawah Model II (6 Tingkat) menggunakan peraturan PPIUG-Tabel.1. Beban yang bekerja diuraikan sebagai berikut : Beban mati : Pelat = 8m * 8m * 400 kg/m 3 * 0.1m * 6 = kg Plafon = 8m * 8m * 11 kg/m * 6 = 44 kg Penggantung = 8m * 8m * 7 kg/m * 6 = 668 kg Balok Induk = 0.3m * 0.5m * 400 kg/m 3 * 16 * 6 = kg Spesi (cm) = 8m * 8m * 0.0m * 00 kg/m 3 * 6 = kg Tegel (cm) = 8m * 8m * 0.0m * 400 kg/m 3 * 6 = 1843 kg Dinding Partisi = 16m * 4 m * 50 kg/m * 6 = 1900 kg + Wd = 0657 kg Beban hidup (SK-SNI 1989) At = 16m < m Atap Datar F = 0 Beban Hidup Atap Lo = 0.96 * 1000/10 = 96 kg/m R1 = 1 ; R = 1 Lr (Beban atap minimum) = Lo * R1 * R = 96 kg/m L = 1.44 * 1000/10 = 144 kg/m Beban hidup Lantai L L o =3.934kN/m K LL AT 4*16 L = * 1000/10 = kg/m Atap = 8m * 8m * 144 kg/m = 916 kg Lantai = 8m * 8m * kg/m * 5 = kg + Wl = kg Jadi berat total = 1. Wd Wl = kg * kg = kg Mutu beton = 40 Mpa = 408 kg/cm

84 75 Rencana Awal A = W f ' c * 408 = 57.5 cm Dimensi Awal b = 57.5 cm ; b = 50.7 cm diambil b = 55 cm Beban yang diterima oleh kolom = kg + (0.55 * 0.55 * 4 * 400) kg = kg kg = kg Dimensi kolom : A = W f ' c * 408 = 6.4 cm Dimensi Akhir b = 6.4 cm ; b = 51.1 cm diambil b = 55 cm Model III (9 Tingkat) Beban yang bekerja pada kolom paling bawah Model III (9 Tingkat) menggunakan peraturan PPIUG-Tabel.1. Beban yang bekerja diuraikan sebagai berikut : Beban mati : Pelat = 8m * 8m * 400 kg/m 3 * 0.1m * 9 = kg Plafon = 8m * 8m * 11 kg/m * 9 = 6336 kg Penggantung = 8m * 8m * 7 kg/m * 9 = 403 kg Balok Induk = 0.3m * 0.5m * 400 kg/m 3 * 16 * 9 = kg Spesi (cm) = 8m * 8m * 0.0m * 00 kg/m 3 * 9 = 5344 kg Tegel (cm) = 8m * 8m * 0.0m * 400 kg/m 3 * 9 = 7648 kg Dinding Partisi = 16m * 4 m * 50 kg/m * 9 = 8800 kg + Wd = kg Beban hidup (SK-SNI 1989) At = 16m < m Atap Datar F = 0 Beban Hidup Atap Lo = 0.96 * 1000/10 = 96 kg/m R1 = 1 ; R = 1 Lr (Beban atap minimum) = Lo * R1 * R = 96 kg/m L = 1.44 * 1000/10 = 144 kg/m

85 76 Beban hidup Lantai L L o =3.934kN/m K LL AT 4*16 L = * 1000/10 = kg/m Atap = 8m * 8m * 144 kg/m = 916 kg Lantai = 8m * 8m * kg/m * 8 = 0140 kg + Jadi berat total = 1. Wd Wl = kg * kg = kg Mutu beton = 40 Mpa = 408 kg/cm Rencana Awal A = Dimensi Awal W f ' c * 408 = cm Wl = kg b = cm ; b = 6.14 cm diambil b = 65 cm Beban yang diterima oleh kolom = kg + (0.65 * 0.65 * 36 * 400) kg Dimensi kolom : A = Dimensi Akhir W f ' c = kg kg = kg * 408 = cm b = cm ; b = 63.7 cm diambil b = 65 cm

86 Pembebanan Struktur Utama Pembebanan Struktur Utama Akibat Pelat Beban yang bekerja pada struktur utama akibat pelat dianggap sebagai beban trapesium dan segitiga yang bekerja pada balok anak dan balok induk yang diteruskan kekolom. Gambar 6.5 Beban pelat segitiga yang akan bekerja pada struktur utama Besarnya beban pelat tersebut adalah sebesar W = 0.5 q Lx dimana q adalah berat pelat persatuan luas dan Lx adalah panjang terpendek dari lebar pelat yang ada, sehingga : Pelat Lantai = 0.1 * 400 kg/m 3 = 88 kg/m Spesi = 0.0 * 00 kg/m 3 = 44 kg/m Tegel = 0.0 * 400 kg/m 3 = 48 kg/m Plafon = 11 kg/m Penggantung = 7 kg/m + q = 398 kg/m Lx W = 400 cm = 4 m = 0.5 q Lx = 0.5 * 398 * 4 = 796 kg/m qeqiv = 1/3 * 398 * 4 = 531 kg/m

87 Pembebanan Struktur Utama Akibat Beban Mati Portal arah x dan y sama sehingga untuk perhitungan pembebanan ditinjau dari arah x saja. Portal yang ditinjau untuk analisa plane (Dimensi) adalah portal C1-C7. Beban Mati Lantai dan Atap Beban segitiga akibat plat lantai yang bekerja langsung pada balok induk di as C1-C7 adalah : W = 796 kg/m Beban merata akibat balok induk sepanjang C1-C7 adalah : q1 = 400 * 0.30 * 0.5 = 360 kg/m Beban terpusat akibat pelat lantai yang bekerja pada balok anak yang menumpu pada balok induk (C,C4,C6) adalah : P1 = W * 8 * / = 6368 kg Beban terpusat akibat pelat lantai yang bekerja pada balok Induk yang menumpu pada balok induk (C1,C3,C5,C7) adalah : P = W * 8 * / = 6368 kg Beban terpusat akibat balok Induk pada C1,C3,C5,C7 adalah : P3 = 400 * 0.30 * 0.50 * 8 = 880 kg Beban terpusat akibat balok Anak pada C,C4,C6 adalah : P4 = 400 * 0.15 * 0.5 * 8 = 70 kg Beban terpusat akibat beban pelat dan balok anak pada B,D yang menumpu pada balok Induk adalah : P5 = W * 8 * / = 6368 kg P6 = 400 * 0.15 * 0.5 * 8 * = 1440 kg Maka beban mati yang bekerja pada portal C1-C7 adalah : Qtot = q1 = 360 kg/m = 360 kg/m PC1&C7 = 0.5 P + P P P6 = (0.5 * * * 1440) kg = 9968 kg

88 79 PC3&C5 = P + P3 +P5 + P6 = ( ) kg = kg PC,C4,C6 = P1 + P4 = ( ) kg = 7106 kg Pembebanan Struktur Utama Akibat Beban Hidup Portal arah x dan y sama sehingga untuk perhitungan pembebanan ditinjau dari arah x saja. Portal yang ditinjau untuk analisa plane ( Dimensi) adalah portal C1-C7. Beban hidup yang bekerja pada struktur utama dianggap sebagai beban trapesium dan segitiga yang bekerja pada balok anak dan balok induk yang diteruskan kekolom. Gambar 6.6 Beban pelat segitiga yang akan bekerja pada struktur utama Besarnya beban pelat tersebut adalah sebesar W = 0.5 q Lx dimana q adalah berat pelat persatuan luas dan Lx adalah panjang terpendek dari lebar pelat yang ada, sehingga : Beban hidup atap : q = 144 kg/m Lx W = 400 cm = 4 m = 0.5 q Lx = 0.5 * 144 * 4 = 88 kg/m qeqiv = 1/3 * 88 * 4 = 384 kg/m

89 80 Beban hidup Lantai : q = kg/m Lx W = 400 cm = 4 m = 0.5 q Lx = 0.5 * * 4 = kg/m qeqiv = 1/3 * * 4 = kg/m Lantai Atap Beban Segitiga akibat beban hidup yang bekerja langsung pada balok induk di as C1-C7 adalah : W = 88 kg/m Beban terpusat akibat pelat lantai yang bekerja pada balok Induk yang menumpu pada balok induk (C1,C3,C5,C7) adalah : P1 = W * 8 * / = 304 kg Beban terpusat akibat pelat lantai yang bekerja pada balok anak yang menumpu pada balok induk (C,C4,C6) adalah : P = W * 8 * / = 304 kg Beban terpusat akibat beban pelat dan balok anak pada B,D yang menumpu pada balok Induk adalah : P3 = W * 8 * / = 304 kg Maka beban mati yang bekerja pada portal C1-C7 adalah : PC1&C7 = 0.5 P P3 = (0.5 * * 304 ) kg = 304 kg PC3&C5 = P1 + P3 = ( ) kg = 4608 kg PC,C4,C6 = P = 304 kg

90 81 Lantai Lainnya Beban segitiga akibat beban hidup yang bekerja langsung pada balok induk di as C1-C7 adalah : W = kg/m Beban terpusat akibat pelat lantai yang bekerja pada balok Induk yang menumpu pada balok induk (C1,C3,C5,C7) adalah : P1 = W * 8 * / = kg Beban terpusat akibat pelat lantai yang bekerja pada balok anak yang menumpu pada balok induk (C,C4,C6) adalah : P = W * 8 * / = kg Beban terpusat akibat beban pelat dan balok anak pada B,D yang menumpu pada balok Induk adalah : P3 = W * 8 * = kg Maka beban mati yang bekerja pada portal C1-C7 adalah : PC1&C7 = 0.5 P P3 = (0.5 * * ) kg = kg PC3&C5 = P1 + P3 = ( ) kg = kg PC,C4,C6 = P = kg Pembebanan Struktur Utama Akibat Angin Perhitungan Struktur Utama akibat beban angin didasarkan pada peraturan PPIUG 1983 dimana untuk bangunan yang berada didekat pantai besarnya gaya angin W = 50 kg/m. sehingga besarnya gaya angin yang bekerja pada portal struktur adalah : Qangin = W * b = 50 kg/m * 8 m = 400 kg/m

91 8 Gambar 6.7 Pembebanan Portal C1-C7 akibat beban mati, hidup dan angin Untuk struktur 6 tingkat dan 9 tingkat bentuk pembebanannya identik dengan struktur portal tiga tingkat dimana letak perbedaan daripada struktur tersebut hanya pada dimensi kolomnya saja. 6.6 Hasil Analisa Drift Struktur Akibat Beban Mati, Hidup dan Angin Portal 3 Lantai Gambar 6.8 Displacement yang terjadi padi Struktur Tiga Lantai Dari hasil analisa struktur dengan menggunakan program Bantu Sap 000 versi 9.03 didapatkan data displacement daripada joint joint antar tingkat sebagai

92 83 akibat dari beban mati, hidup dan angin yang bekerja. Hasil daripada drift tersebut dapat ditabelkan sebagai berikut : Tingkat 0.75x(1.6W) 1.6W Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Tabel 6. Drift yang terjadi pada Portal Dimensi 3 Tingkat Portal 6 Lantai Tingkat Gambar 6.9 Displacement yang terjadi padi Struktur Enam Lantai 0.75x(1.6W) 1.6W Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Tabel 6.3 Drift yang terjadi pada Portal Dimensi 6 Tingkat

93 84 Portal 9 Lantai Gambar 6.10 Displacement yang terjadi padi Struktur Sembilan Lantai Tingkat 0.75x(1.6W) 1.6W Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Tabel 6.4 Drift yang terjadi pada Portal Dimensi 9 Tingkat

94 Analisa Kelangsingan Struktur dengan SKSNI T , SNI dan ACI Analisa kelangsingan struktur dapat dilakukan dengan 3 metode yang lazim digunakan dimana setiap metode memiliki pendekatan yang berbeda beda, dalam tugas akhir ini akan dibahas dua dari tiga metode yang ada sehingga dapat diaplikasikan dalam analisa struktur yang lainnya. Ketiga metode tersebut adalah : Approximate Method (ACI ) Second-Order Elastic Analysis (ACI ). Approximate Second-Order Elastic Analysis (ACI ). Batasan daripada sebuah struktur tersebut adalah bergoyang atau tidak tergantung daripada keadaan struktur itu sendiri dimana keadaan Braced dan Unbraced (SKSNI T ) ditentukan daripada adanya shearwall, bracing, buttstressed, stairwell, elevator shaft dimana keadaan struktur daripada penahan gaya lateral tersebut lebih kaku daripada kolom struktur yang ada. Sedangkan yang menjadi batasan daripada sebuah struktur tersebut dapat dikelompokkan menjadi Braced apabila kekakuan daripada Lateral Bracing lebih besar 6 kali daripada kekakuan daripada jumlah kolom struktur bangunan yang ada (Mac.Gregor). Sedangkan pada peraturan SNI dan ACI dimana keadaan daripada struktur dapat dikategorikan menjadi sway (bergoyang) dan nonsway (tidak bergoyang) dapat diketahui daripada stabilitas index (Q) struktur bangunan tersebut Analisa Kelangsingan Struktur 3, 6 dan 9 Lantai Dengan SKSNI T Analisa Kelangsingan Struktur 3 Lantai Dengan Metode Perbesaran Momen (Approximate Method) Karena tidak adanya lateral bracing pada struktur ini maka dapat disimpulkan bahwa struktur tersebut merupakan struktur dengan kategori unbraced. Urutan pengerjaan daripada metode perbesaran momen dapat dilhat seperti dibawah ini : a. Hitung besar beban dan momen terfaktor Analisa perhitungan struktur menggunakan program bantu SAP000 versi 9.03 sehingga secara otomatis gaya gaya yang bekerja pada struktur diambil langsung dari program Bantu tersebut.

95 86 Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.5 Besarnya beban mati yang bekerja pada struktur Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.6 Besarnya beban hidup yang bekerja pada struktur Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.7 Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur Load Case yang akan dihitung adalah : 1. U = 1. D L. U = 0.75 x (1. D L W) 3. U = 0.75 x (1. D L W) 4. U = 0.9 D W 5. U = 0.9 D 1.6 W Untuk contoh perhitungan digunakan kombinasi pembebanan, sedangkan hasil daripada kombinasi pembebanan yang lain akan ditabelkan. Hal ini dikarenakan yang berbeda pada analisis ini hanyalah bebannya saja sedangkan prosedur perhitungannya tetap sama. Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.8 Beban Ultimate = 0.75 x (1. D L W)

96 87 b. Analisa Kelangsingan Kolom Kolom Lantai 1,,3 Lu = 4 m 0.50 m = 3.50 m r = 0.3 h = 0.3 * 0.35 = k pada tahap ini belum dketahui tetapi karena k tidak akan kurang dari 1. untuk unbraced frame maka k diambil sama dengan 1.. klu = = 40 r klu 100> >, kolom langsing r c. Kontrol Momen jika Momen NonSway > Momen Minimum Minimum eksentrisitas e = ( h)in = ( h) = 7 mm = m Tingkat 1 3 Kolom d. Perhitungan Panjang Efektif Axial emin Mmin = Pu*e kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.9 Perhitungan Momen Minimum Ms Ec = = Mpa 3 Ig =0.7x 1 1 bh =0.7x = x 10 9 mm Kolom Lantai 1,,3 Lc = 4m EI/Lc = x x 10 9 / 4000 = Nmm Balok Lantai 1,,3 3 Ib = 0.35x 1 1 bh =0.35x =1.094 x 10 9 mm L = 8 m ( x 0.5 x 0.35) m = 7.65 m EI/Lc = x x 10 9 / 7650 = Nmm

97 88 e. Perhitungan dan k EcIc / lc EcIc / lc ; EbIb / lb I k f s Pondasi diasumsikan footing dengan luas kontak dengan tanah 1.6m x 1.6m dan subgrade modulus ks = 4.43 kg/cm 3 = N/mm 3 If = /1 = x 10 1 mm 4 Lantai 1 Eksterior Top = Bottom = k = 1.56 (Sway) k = 0.83 (Non Sway) Lantai Eksterior Top = Bottom = k = 1.8 (Sway) k = 0.89 (Non Sway) Lantai 3 Eksterior Top = Bottom = k = 1.6 (sway) k = 0.85 (Non Sway)

98 89 Lantai 1 Interior Top = Bottom = k = 1.39 (Sway) k = 0.8 (Non Sway) Lantai Interior Top = Top = k = 1.47 (Sway) k = 0.8 (Non Sway) Lantai 3 Interior Top = Top = k = 1.3 (Sway) k = (Non Sway) f. Perhitungan d dan EI terhadap beban Mati dan Hidup E c I g /. 5 EI 1 d Ec = = Mpa 3 Ig = 1 1 bh = = 1.51 x 10 9 mm E c I g x N-mm

99 90 Kolom Lantai 1 Eksterior d EI N-mm Kolom Lantai 1 Interior d EI N-mm Kolom Lantai Eksterior d EI N-mm Kolom Lantai Interior d EI N-mm Kolom Lantai 3 Eksterior d EI N-mm Kolom Lantai 3 Interior 84.9 d EI N-mm

100 91 g. Perhitungan d dan EI terhadap beban angin Kolom Lantai 1,,3 Eksterior & Interior d EI N-mm 1 h. Perhitungan s Kolom Lantai 1 Pu = 1 x x = kn Pc kolom interior : EI Pc kl u Pc kolom Eksterior : 1.486x = 5401 kn EI Pc kl u 1.486x = 488 kn Pc = 1 x x 5401 = kn s = s = 1.34 Pu Pc Kolom Lantai Pu = 1 x x = kn Pc kolom interior : EI Pc kl u Pc kolom Eksterior : 1.486x = 489 kn EI Pc kl u 1.486x = 3150 kn Pc = 1 x x 489 = kn s = s = 1.51 Pu Pc

101 9 Kolom Lantai 3 Pu = 1 x x = kn Pc kolom interior : EI Pc kl u Pc kolom Eksterior : 1.486x = 5989 kn EI Pc kl u 1.486x = 3976 kn Pc = 1 x x 5989 = kn s = s = Pu Pc i. Perhitungan b Kolom Lantai 1 Eksterior Cm = (M1/M) = x (8.33/36.17) = 0.69 EI Pc kl u 0.69 b Pu 1 P c x = = 8798 kn = = b = 0.771, maka b = 1 karena b tidak boleh kurang dari 1. Kolom Lantai 1 Interior Cm = (M1/M) = x(-.0/31.07) = Cm = 0.4, Cm harus lebih besar dari 0.4. Pc EI kl u x = 9685 kn

102 93 b 0.4 Pu 1 P c 0.40 = = =0.489 b = 0.489, maka b = 1 karena b tidak boleh kurang dari 1. Kolom Lantai Eksterior Cm = (M1/M) = x(-50.41/55.03) = 0.34 Cm = 0.4, Cm harus lebih besar dari 0.4. EI Pc kl u 0.4 b Pu 1 P c x = = 7546 kn 0. 4 = = b = 0.433, maka b = 1 karena b tidak boleh kurang dari 1. Kolom Lantai Interior Cm = (M1/M) = x(3.56/-3.66) = 0.0 Cm = 0.4, Cm harus lebih besar dari 0.4. EI Pc kl u 0.4 b Pu 1 P c x = = 9050 kn 0. 4 = = b = 0.457, maka b = 1 karena b tidak boleh kurang dari 1. Kolom Lantai 3 Eksterior Cm = (M1/M) = x(-56.89/70.14) = 0.76 Cm = 0.4, Cm harus lebih besar dari 0.4.

103 94 EI Pc kl u 0.4 b Pu 1 P c x = = = 7846 kn =0.413 b = 0.413, maka b = 1 karena b tidak boleh kurang dari 1. Kolom Lantai 3 Interior Cm = (M1/M) = x(-10.46/-14.86) = Cm = 0.4, Cm harus lebih besar dari 0.4. EI Pc kl u 0.4 b Pu 1 P c = = 9514 kn 0. 4 = = b = 0.4, maka b = 1 karena b tidak boleh kurang dari 1. j. Perhitungan Mc Kolom Lantai 1 Eksterior Mns = 47.3 knm > Mmin = knm maka digunakan Mns Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x = knm Kolom Lantai Eksterior Mns = knm > Mmin = knm maka digunakan Mns Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x = knm

104 95 Kolom Lantai 3 Eksterior Mns = knm > Mmin = 4.80 knm maka digunakan Mns Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x = knm Kolom Lantai 1 Interior Mns =.67 knm < Mmin = knm maka digunakan Mmin Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x 8.39 = knm Kolom Lantai Interior Mns = knm < Mmin = knm maka digunakan Mmin Mc = b x M + s x Ms = 1 x x = knm Kolom Lantai 3 Interior Mns = knm > Mmin = -9.9 knm maka digunakan Mns Mc = b x M + s x Ms = 1 x x -6.3 = knm Bila Perhitungan Diatas Ditabelkan Maka : Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.10 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W)

105 96 Untuk kombinasi pembebanan yang lain hasilnya akan ditabelkan sebagai berikut : Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.11 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.1 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.13 Beban Ultimate U = 1. D L Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.14 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.15 Beban Ultimate U = 0.9 D W

106 97 Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.16 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.17 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tingkat 1 3 Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.18 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Analisa Kelangsingan Struktur 6 Lantai Dengan Metode Perbesaran Momen (Approximate Method) Pada struktur 6 lantai dilakukan perhitungan dengan cara yang sama hanya saja terdapat letak perbedaan daripada dimensi kolom pada struktur 3 lantai, hasil perhitungan analisa kelangsingan dapat dilihat sebagai berikut: Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.19 Besarnya beban mati yang bekerja pada struktur

107 98 Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.0 Besarnya beban hidup yang bekerja pada struktur Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.1 Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6. Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.3 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W)

108 99 Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.4 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.5 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.6 Beban Ultimate U = 1. D L Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.7 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L

109 100 Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.8 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.9 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.30 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.31 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W

110 Analisa Kelangsingan Struktur 9 Lantai Dengan Metode Perbesaran Momen (Approximate Method) Pada struktur 9 lantai dilakukan perhitungan dengan cara yang sama hanya saja terdapat letak perbedaan daripada dimensi kolom pada struktur 6 lantai, setelah penulis melakukan analisa didapatkan s >.5 dimana kestabilan struktur tidak memenuhi dengan dimensi balok yang ada yang berfungsi sebagai pengekang daripada kolom sehingga dimensi balok dibesarkan menjadi 30cm x 60cm dari awalnya sebesar 30cm x 50 cm untuk memenuhi syarat kestabilan, hasil perhitungan analisa kelangsingan struktur dapat dilihat sebagai berikut : Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.3 Besarnya beban mati yang bekerja pada struktur Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.33 Besarnya beban hidup yang bekerja pada struktur

111 10 Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom kn knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.34 Besarnya beban angin yang bekerja pada struktur Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.35 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.36 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W)

112 103 Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.37 Beban Ultimate U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.38 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.39 Beban Ultimate U = 1. D L

113 104 Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.40 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.41 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.4 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W

114 105 Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom M1 M M1ns Mns M1s Ms kn knm knm knm knm knm knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.43 Beban Ultimate U = 0.9 D W Tingkat Kolom Axial Momen Top Momen Bottom (top) (bottom) ks kns s b Mc kn knm knm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.44 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W 6.7. Analisa Kelangsingan Struktur 3, 6 dan 9 Lantai Dengan SNI dan ACI Pada code SNI dan ACI untuk perbesaran momen bisa menggunakan metode yang sama seperti pada SKSNI T sehingga pada sub bab ini tidak ditampilkan lagi. tetapi pada sub bab ini lebih ditekankan pada second order analysis dengan menggunakan stabilitas index (Q), dimana batasan daripada sebuah struktur bergoyang atau tidak adalah daripada nilai Q < 0.05.

115 Analisa Kelangsingan Struktur 3 Lantai Dengan Metode Approximate Second Order Analysis Gambar 6.11 Displacement yang terjadi padi Struktur Tiga Lantai Stabilitas Index (Q) dapat dihitung dengan mengetahui drift daripada setiap lantai dan juga besarnya base shear yang diakibatkan oleh gaya angin yang bekerja pada struktur. Langkah langkah pengerjaan dengan metode ini sebagai berikut : a. Hitung besarnya drift yang terjadi dengan analisa struktur Didapatkan dari Analisa Struktur SAP 000 drift yang terjadi sebagai berikut : Tingkat 0.75x(1.6W) 1.6W Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Tabel Besarnya displacement yang terjadi akibat gaya angin b. Hitung besarnya base shear tiap tingkat yang terjadi akibat gaya angin Sedangkan besarnya base shear yang terjadi pada tiap tingkat dihitung berdasarkan besarnya gaya angin yang bekerja pada tiap lantai dimana besarnya gaya angin W = 400 kg/m = 400 x 9.86 / 1000 kn/m = kn/m sehingga besarnya base shear akibat angin yang terjadi : Lantai 3 Vu = x kn = kn Lantai Vu = x 4 kn kn = kn

116 107 Lantai 1 Vu = x 4 kn kn = kn c. Hitung besarnya jumlah gaya pada kolom Pu Lantai 1 Pu = 1 x x = kn Lantai Pu = 1 x x = kn Lantai 3 Pu = 1 x x = kn d. Hitung Stabilitas Index (Q) Lantai 1 Q P u u = V u Lantai Q u L u u = V c P Lantai 3 Q u L u u = V c P L c e. Hitung s Lantai s = = Q Lantai 1 1 s = = Q Lantai s = = Q =0.03 > 0.05 (Bergoyang) =0.193 > 0.05 (Bergoyang) =0.099 > 0.05 (Bergoyang)

117 108 f. Hitung Mc = s x Ms Kolom Lantai 1 Eksterior Mns = 47.3 knm > Mmin = knm maka digunakan Mns Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x = knm Kolom Lantai Eksterior Mns = knm > Mmin = knm maka digunakan Mns Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x = knm Kolom Lantai 3 Eksterior Mns = knm > Mmin = 4.80 knm maka digunakan Mns Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x = knm Kolom Lantai 1 Interior Mns =.67 knm < Mmin = knm maka digunakan Mmin Mc = b x Mns + s x Ms = 1 x x 8.39 = knm Kolom Lantai Interior Mns = knm < Mmin = knm maka digunakan Mmin Mc = b x M + s x Ms = 1 x x = knm Kolom Lantai 3 Interior Mns = knm > Mmin = -9.9 knm maka digunakan Mns Mc = b x M + s x Ms = 1 x x -6.3 = knm

118 109 Bila Perhitungan Diatas Ditabelkan Maka : Tingkat 1 3 Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q ds Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.46 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) berikut : Untuk kombinasi pembebanan yang lain hasilnya akan ditabelkan sebagai Tingkat 1 3 Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.47 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat 1 3 Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.48 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tingkat 1 3 Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.49 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tingkat 1 3 Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.50 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W

119 Analisa Kelangsingan Struktur 6 Lantai Dengan Metode Approximate Second Order Analysis Gambar 6.1 Displacement yang terjadi padi Struktur Enam Lantai Pada struktur enam lantai besarnya drift yang terjadi pada struktur akibat gaya angin yang didapatkan dari analisa dengan program SAP 000 ditabelkan sebagai berikut : Tingkat 0.75x(1.6W) 1.6W Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Tabel 6.51 Besarnya displacement yang terjadi akibat gaya angin Prosedur perhitungan stabilitas index (Q) untuk struktur pada enam lantai pada dasarnya sama sehingga untuk analisa stabilitas index struktur enam lantai perhitungannya tidak ditampilkan hanya dalam bentuk tabel saja. Letak perbedaan daripada struktur enam lantai dan tiga lantai terletak pada besarnya kolom saja. Untuk hasil perhitungan analisa stabilitas index dengan berbagai macam tipe pembebanan dapat dilihat pada table dibawah ini :

120 111 Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.5 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.53 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W) Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.54 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.55 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W

121 11 Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.56 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Analisa Kelangsingan Struktur 9 Lantai Dengan Metode Approximate Second Order Analysis Gambar 6.13 Displacement yang terjadi padi Struktur Sembilan Lantai

122 113 Pada struktur enam lantai besarnya drift yang terjadi pada struktur akibat gaya angin yang didapatkan dari analisa dengan program SAP 000 ditabelkan sebagai berikut : Tingkat 0.75x(1.6W) 1.6W Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Story Drift (s) mm Total Drift (tot) mm Tabel 6.57 Besarnya displacement yang terjadi akibat gaya angin Rekapitulasi perhitungan pembesaran momen dengan menggunakan metode stabilitas index (Q) dapat dilihat pada tabel tabel berikut : Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.58 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L+1.6W) Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.59 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.75 x (1.D+1.0L-1.6W)

123 114 Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.60 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 1.D + 1.6L Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.61 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W Tingkat Kolom Axial Mns Ms Pu b Vu Q s Mc kn knm knm kn kn mm knm Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.6 Rekapitulasi Perhitungan Perbesaran Momen U = 0.9 D W

124 Perbandingan s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) Setelah melakukan analisa kelangsingan dengan kedua metode tersebut didapat kan perbedaan nilai s yang dinyatakan dalam persen (%), perbedaan ini mencapai hingga % bila dibandingkan dengan perhitungan approximate method biasa (AM). Besarnya nilai perbedaan ini mencapai lebih dari 10 % pada saat nilai s (AM) memiliki nilai lebih dari 1.3 ~ 1.5. Hal ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan daripada ACI sendiri mengenai penggunaan metode diagram P dengan menggunakan metode kurva momen diagram P yang menghasilkan nilai lebih besar 15 % daripada menggunakan metode garis lurus P. Efek ini dapat dimasukkan kedalam persamaan dibawah ini : Ms sms sms menjadi, 1 Q Ms sms sms 11.15Q Tetapi nilai ini diabaikan dengan tujuan untuk mempertahankan konsistensi dengan program computer yang sudah ada. Perhitungan dengan cara ini dapat menunjukkan prediksi yang mendekati Second Order Moment pada portal bergoyang sampai pada nilai s melebihi Perbandingan s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) pada Gedung 3 Lantai Pada gedung 3 lantai didapatkan besarnya perbedaan antara s dengan menggunakan AM dan ASOA sebesar 6 %. Perbedaan ini dapat dilihat pada table table dibawah ini : U = 0.75 x (1. D L W) Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % 1 3 Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.63 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L+1.6W)

125 116 U = 0.75 x (1. D L W) Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % 1 3 Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.64 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W) U = 0.9 D W Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % 1 3 Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.65 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) U = 0.9 D W Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % 1 3 Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.66 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) pada Gedung 6 Lantai Pada gedung 6 lantai didapatkan besarnya perbedaan antara s dengan menggunakan AM dan ASOA sebesar %. Perbedaan ini dapat dilihat pada table table dibawah ini : U = 0.75 x (1. D L W) Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.67 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L+1.6W)

126 117 U = 0.75 x (1. D L W) Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.68 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W) U = 0.9 D W Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.69 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) U = 0.9 D W Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.70 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W)

127 s dengan menggunakan Approximate Method (AM) dan Approximate Second Order Analysis (ASOA) pada Gedung 9 Lantai Pada gedung 9 lantai didapatkan besarnya perbedaan antara s dengan menggunakan AM dan ASOA sebesar 1 %. Perbedaan ini dapat dilihat pada table table dibawah ini : U = 0.75 x (1. D L W) Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.71 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L+1.6W) U = 0.75 x (1. D L W) Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.7 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W)

128 119 U = 0.9 D W Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.73 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W) U = 0.9 D W Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 6.74 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.9D+1.6W)

129 10 BAB VII PERBANDINGAN ANALISA DAN DESAIN PENAMPANG ELEMEN BETON BERTULANG AKIBAT TEKAN DAN LENTUR BERDASARKAN SNI DAN ACI Perbandingan Nilai Faktor Reduksi () SNI Limit State Method dengan ACI Unified Design Provision Perbedaan mendasar daripada metode desain keadaan batas (Limit State Method) dengan metode desain terpadu (Unified Design Provision) adalah pada besarnya nilai faktor reduksi,, dimana besarnya nilai ini pada tiap tiap metode dipengaruhi oleh parameter parameter yang berbeda. Dalam subbab ini akan disajikan perbedaan parameter parameter yang mempengaruhi besarnya nilai faktor reduksi kekuatan penampang yang ada Pengambilan Nilai Faktor Reduksi () SNI pada Analisa dan Desain Penampang Elemen Beton Bertulang Akibat Aksial dan Lentur Pada SNI pengambilan nilai factor reduksi untuk elemen yang tertekan aksial dan lentur dapat dilihat pada Gambar 7.1, dimana parameter parameter yang mempengaruhi terjadinya perubahan nilai factor reduksi hanyalah berupa pembatasan daripada nilai tekan aksial penampang yang merupakan nilai terkecil dari kedua nilai tekan aksial dibawah ini : Pn < 0.1 f c Ag atau Pn < Pb Bila terjadi perubahan daripada mutu baja tulangan tidak akan mengubah batasan aksial tekan kecil yang pertama, 0.1 f c Ag, hal ini dikarenakan tidak adanya hubungan nilai tersebut dengan perubahan mutu baja tulangan, berbeda halnya dengan nilai aksial tekan kecil yang kedua, Pb, dimana dengan adanya perubahan mutu baja tulangan nilai Pb juga mengalami perubahan tetapi parameternya tetap adalah kondisi penampang balance tereduksi (Pb) dengan nilai factor reduksinya 0.65 untuk elemen aksial dan lentur bersengkang dan 0.70 untuk yang spiral.

130 Kolom Bertulangan Spiral 0.1Pu f ' cag Aksial Tarik Aksial Tekan Kecil Kolom Bersengkang 0.15Pu f ' cag 0 0.1f'cAg Gambar 7.1 Faktor Reduksi SNI (Limit State Method) P 7.1. Pengambilan Nilai Faktor Reduksi () ACI pada Analisa dan Desain Penampang Elemen Beton Bertulang Akibat Aksial dan Lentur Pada ACI pengambilan factor reduksi didasarkan pada regangan tarik bersih tulangan tarik terluar, dimana nilai nilai batasannya sangat tergantung sekali dengan besarnya nilai mutu baja tulangan yang dipakai. Daerah factor reduksi ini dibagi kedalam tiga bagian yaitu : Compression Controlled Section Batasan daerah ini adalah nilai regangan tarik bersih tulangan tarik terluar sama dengan besarnya regangan tarik leleh baja tulangan yang dipakai. Sehingga bila terjadi perubahan mutu, maka nilai batasan ini juga berubah. Untuk mutu baja 400 Mpa, nilai regangan tarik bersih t sama dengan fy/es, dimana nilai Es merupakan Modulus baja (Es = Mpa). Sehingga nilai t = Besarnya nilai t ini dapat dihubungkan dengan ratio antara garis netral dengan jarak antara serat tertekan terluar dengan tulangan tarik terluar atau c/dt. Nilai c/dt ini juga berubah ubah sesuai dengan mutu baja tulangan yang digunakan. Hal ini dikarenakan nilai c/dt

131 1 tersebut merupakan fungsi terhadap regangan yang terjadi. Besarnya nilai c/dt ini dapat dihitung sebagai berikut : c dt sehingga, t c dt (7.1) t Untuk fy = 400 Mpa dan t = 0.00 maka, c dt Pada Gambar 7., dapat dilihat bahwa besarnya nilai c/dt = pada saat et = perlu diketahui bahwa tanda minus pada Persamaan 7.1 menjadi positif saat perhitungan dikarenakan nilai t pada dasarnya adalah negative atau mengalami tarik. Untuk daerah ini bila menggunakan mutu baja yang lain dapat dilihat pada Gambar 7.3. Kolom Bertulangan Spiral t Kolom Bersengkang t Compression Controlled Transition Tension Controlled t=0.00 c dt=0.600 t=0.005 c dt=0.375 Gambar 7. Faktor Reduksi ACI , fy = 400 Mpa P

132 13 Transition Controlled Section Pada daerah transisi batas bawah yang digunakan adalah daerah Compression Controlled Section dan batas atas adalah Tension Control Section. Maka dengan menarik garis lurus dan di Interpolasi terhadap kedua nilai tersebut dan sesuai dengan regangan tarik yang ada didapatkan nilai factor reduksi pada daerah transisi sebagai berikut : o Untuk Kolom Spiral : = t o Untuk Kolom Tied : = t Sedangkan untuk mutu baja yang lain dapat dicari melalui persamaan yang dijabarkan sebagai berikut : Kolom Spiral : Bila = 0.7 maka = a + b*t = 0.7 (7.) Bila = 0.9 maka = a + b*( = (7.3) Dengan mengeliminasi Persamaan 7. dan 7.3 diatas didapatkan nilai a dan b sebagai berikut : 0. b.. (7.4) dan t a 0. 7 b t.(7.5) atau a 0.9 b (7.6) Kolom Tied : Bila = 0.7 maka = a + b*t = 0.65 (7.7) Bila = 0.9 maka = a + b*( = (7.8) Dengan mengeliminasi Persamaan 7.7 dan 7.8 diatas didapatkan nilai a dan b sebagai berikut : 0. 5 b.. (7.9) dan t a b t.(7.10) atau a 0.9 b (7.11)

133 14 Sehingga bila mutu baja tulangan sama dengan 500 Mpa maka factor reduksi,, pada daerah transisi untuk tulangan spiral dapat dihitung sebagai berikut : fy = 500 Mpa, maka t = fy/es = 500 / = b t b t a 0.7 b a 0.9 Sehingga persamaan untuk mencari persamaan reduksi bila fy = 500 Mpa dapat disimpulkan menjadi persamaan berikut : t (7.1) Tension Controlled Section Untuk menjamin daktilitas yang cukup pada daerah Tension Controlled Section ini, maka ACI membatasi besarnya regangan tarik bersih yang terjadi sebesar yang tidak dipengaruhi oleh perubahan mutu tulangan yang terjadi. Bila pada SNI kita membatasi perilaku daktail ini dengan mengalikan rasio tulangan balance dengan 0.75 atau 0.75 b maka bila menggunakan metode ini nilai et sebesar setara dengan nilai 0.63b, untuk mutu baja fy = 400 Mpa. Besarnya nilai 0.63 b ini bergantung pada nilai c/dt dan dapat diketahui sebagai berikut : a b( SNI ) b( ACI ), dimana a = konstanta a f ' c f ' c fy 600 fy fy c 600 fy a (7.13) dt 600 c dt, maka Sehingga untuk mutu baja tulangan fy = 400 Mpa dimana nilai c/dt dihitung dengan Persamaan (7.1) dengan nilai t untuk daerah ini sama dengan sehinga nilai c/dt = maka dengan menggunakan Persamaan 7. didapatkan nilai a sebagai berikut: a

134 15 Nilai a ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan perhitungan b 0.8 yang lama bisa didapatkan nilai yang sama dengan perhitungan b yang baru dimana cara yang baru menggunakan metode unified dengan mengalikan nilai a pada perhitungan b yang lama. Untuk mutu baja selain 400 Mpa maka batasan daerah ini dapat dilihat pada Gambar Kolom Bertulangan Spiral t t t t Kolom Bersengkang t t t t Compression Controlled Transition Tension Controlled t=y c dt= et t=0.005 c dt=0.375 P Gambar 7.3 Faktor Reduksi ACI untuk nilai fy yang beragam

135 16 7. Perbandingan Analisa Penampang Elemen Struktur Kolom Dua Sisi Sebuah elemen struktur kolom akan dianalisa dengan menggunakan dua teori desain penampang elemen beton yang ada pada dua peraturan yang berbeda yakni SNI dan ACI dimana data data bahan penampang sebagai berikut : Gambar 7.4 Diagram Regangan dan Tegangan yang terjadi pada penampang Data Data Penampang : f c = 40 Mpa n = 10 buah fy = 400 Mpa As = mm tul = 3 mm Astot = mm Es = Mpa = 3.16 % Pu Mu = 750 kn = 650 knm Kondisi dimana t = c 440 = 64 mm = a 1 c = x 64 =00.38 mm Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c 64 f E Mpa > fy s1 s1 s f s1 f y 400 Mpa

136 17 f E Mpa = fy s s s f s f y -400 Mpa F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n Pn C F F kn c s1 s M M n n M n M n C c ( h a h h ) Fs 1 ( d1) Fs ( d ) ( ) Fs ( 60) Fs ( (149.81) (190) ( 190) knm 440) Untuk ACI saat t = 0.00, = 0.65 Pn = 14.4 kn Mn knm Untuk SNI dimana Pn > 0.1f c Ag maka = 0.65 Pn = 14.4 kn Mn knm Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x = mm Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c f E Mpa > fy s1 s1 s f s1 f y 400 Mpa

137 18 f E Mpa = fy s s s f s f y -400 Mpa F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n Pn C F F kn c s1 s M M n n M n M n C c ( h a h h ) Fs 1 ( d1) Fs ( d ) ( ) Fs ( 60) Fs ( (149.81) (190) ( 190) kNm 440) Untuk ACI saat t = c d Pn = kn Mn knm Untuk SNI dimana Pn > 0.1f c Ag maka = 0.65 Pn = kn Mn knm Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x = mm

138 19 Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c f E Mpa < fy s1 s1 s f s1 314 Mpa f E Mpa < -fy s s s f s f y -400 Mpa F F fy A kn s1 s n fy E A kn s y s n Pn C F F kn c s1 s M M n n M n M n C c ( h a h h ) Fs 1 ( d1) Fs ( d ) ( ) Fs ( 60) Fs ( (0.915) (190) ( 190) kNm 440) Untuk ACI saat t > 0.005, = 0.9 Pn = kn Mn knm Untuk SNI dimana Pn > 0.1f c Ag maka = 0.65 Pn = f ' c Ag 1000 Pn = kn Mn knm

139 130 Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x = mm Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c f E Mpa < fy s1 s1 s f s1 46 Mpa f E Mpa < -fy s s s f s f y -400 Mpa F F fy A kn s1 s n fy E A kn s y s n Pn C F F kn c s1 s M M n n M n M n C c ( h a h h ) Fs 1 ( d1) Fs ( d ) ( ) Fs ( 60) Fs ( (11.467) (190) ( 190) knm 440) Untuk ACI saat t > 0.005, = 0.9 Pn = kn Mn knm

140 131 Untuk SNI dimana Pn > 0.1f c Ag maka = 0.65 Pn = f ' c Ag 1000 Pn = kn Mn Pn knm ACI SNI Mn Gambar 7.5 Diagram Interaksi Kolom Sisi dengan 10 dia.3mm Dari Gambar 7.5 didapatkan bahwa pada peraturan SNI Limit State Method analisa diagram interaksi daripada kolom sisi tidak dapat memenuhi kriteria desain bila kolom dibebani beban Pu sebesar 750 kn dan Mu sebesar 650 knm, sedangkan dengan menggunakan ACI Unified Design Provision dapat memenuhi kriteria tersebut. Bila Menggunakan Program PiscesaCol V 1.05 maka akan didapatkan seperti Gambar 7.6 menggunakan PCACOL V 3.00 akan didapatkan Seperti Gambar 7.7

141 13 Gambar 7.6 Diagram Interaksi Menggunakan PiscesaCol V 1.05 Gambar 7.7 Diagram Interaksi Menggunakan PCACOL V 3.00

142 Perbandingan Analisa Penampang Elemen Struktur Kolom Empat Sisi Sebuah elemen struktur kolom akan dianalisa dengan menggunakan dua teori desain penampang elemen beton yang ada pada dua peraturan yang berbeda yakni SNI dan ACI dimana data data bahan penampang sebagai berikut : Gambar 7.8 Diagram Regangan dan Tegangan yang terjadi pada penampang Data Data Penampang : f c = 40 Mpa n = 16 buah fy = 400 Mpa As = mm tul = 3 mm Astot = 1687 mm Es = Mpa Rho = % Pu Mu = 900 kn = 800 knm Kondisi dimana t = c 440 = 64 mm = a 1 c = x 64 =00.38 mm Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c 64 f E Mpa > fy s1 s1 s f s1 f y 400 Mpa

143 134 c d s c 64 f E Mpa < fy s s s f s Mpa c d s c 64 f E Mpa < fy s3 s3 s f s Mpa d s c 64 f E Mpa > -fy s4 s4 s f s Mpa f E Mpa = -fy s5 s5 s f s5-400 Mpa F F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n fy A kn s5 s n Pn C c Fs i n i kn M n C c h a ( ) n F h d si i1 M x x x x -95 n M n x knm Untuk ACI saat t = 0.00, = 0.65 Pn 0.65 x = 314. kn Mn 0.65 x = 79.0 knm i

144 135 Untuk SNI dimana Pn > 0.1f c Ag maka = 0.65 Pn 0.65 x = 314. kn Mn 0.65 x = 79.0 knm Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x = mm Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c f E Mpa > fy s1 s1 s f s1 f y 400 Mpa c d s c f E Mpa < fy s s s f s Mpa d s c f E Mpa > -fy s3 s3 s f s Mpa d s c f E Mpa < -fy s4 s4 s f s 4 fy = -400 Mpa f E Mpa < -fy s5 s5 s f s fy 5 = -400 Mpa

145 136 F F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n fy A kn s5 s n Pn C c Fs i n i kn M n C c h a ( ) n F h d si i1 M 433 x x x x -95 n M n x knm Untuk ACI saat t = c d 3 i Pn x = kn Mn x = knm Untuk SNI dimana Pn > 0.1f c Ag maka = 0.65 Pn 0.65 x = kn Mn 0.65 x = knm Kondisi dimana t = c 440 = mm =

146 137 a 1 c = x = mm Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c f E Mpa < fy s1 s1 s f s Mpa c d s c f E Mpa < fy s s s f s Mpa d s c f E Mpa > -fy s3 s3 s f s Mpa d s c f E Mpa < -fy s4 s4 s f s 4 fy = -400 Mpa f E Mpa < -fy s5 s5 s f s 5 fy = -400 Mpa F F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n fy A kn s5 s n Pn C c Fs i n i kn

147 138 M n C c h a ( ) n F h d si i1 M 004 x x x x -95 n M n x knm Untuk ACI saat t > 0.005, = 0.9 Pn 0.9 x = kn Mn i 0.9 x = knm Untuk SNI Pn = f ' c Ag 1000 Pn x = kn Mn x = knm Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x =10.5 mm Cc 0.85 a b f ' c kn 0.1f ' c A g 1000 kn c d s c f E Mpa > fy s1 s1 s f s Mpa d s c f E Mpa > -fy s s s f s Mpa

148 139 d s c f E Mpa > -fy s3 s3 s f s 3 fy = -400 Mpa d s c f E Mpa < -fy s4 s4 s f s 4 fy = -400 Mpa f E Mpa < -fy s5 s5 s f s 5 fy = -400 Mpa F F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n fy A kn s5 s n Pn C c Fs i n i kn M n C c h a ( ) n F h d si i1 i M x x x x -95 n M n x knm Untuk ACI saat t > 0.005, = 0.9 Pn 0.9 x = kn Mn 0.9 x = knm

149 140 Untuk SNI Pn = f ' c Ag 1000 Pn x = 8.15 kn Mn Pn x = knm ACI SNI Mn Gambar 7.9 Diagram Interaksi Kolom 4 Sisi dengan 16 dia.3mm Dari Gambar 7.9 didapatkan bahwa pada peraturan SNI Limit State Method analisa diagram interaksi daripada kolom 4 sisi tidak dapat memenuhi kriteria desain bila kolom dibebani beban Pu sebesar 900 kn dan Mu sebesar 800 knm, sedangkan dengan menggunakan ACI Unified Design Provision dapat memenuhi kriteria tersebut. Bila Menggunakan Program PiscesaCol V1.05 maka akan didapatkan seperti Gambar 7.10 dan menggunakan PCACOL V 3.00 akan didapatkan Seperti Gambar 7.11.

150 141 Gambar 7.10 Diagram Interaksi Menggunakan PiscesaCol V 1.05 Gambar 7.11 Diagram Interaksi Menggunakan PCACOL V 3.00

151 Perbandingan Analisa Penampang Elemen Struktur Kolom Spiral Sebuah elemen struktur kolom akan dianalisa dengan menggunakan dua teori desain penampang elemen beton yang ada pada dua peraturan yang berbeda yakni SNI dan ACI dimana data data bahan penampang sebagai berikut : Gambar 7.1 Diagram Regangan dan Tegangan yang terjadi pada penampang Data Data Penampang : f c = 40 Mpa n = 6 buah fy = 400 Mpa As = mm tul = 3 mm Astot = mm Es = Mpa Rho =.45 % Pu = 600 kn Mu = 350 knm Kondisi dimana t = c 440 = 64 mm = a 1 c = x 64 =00.38 mm Karena a < h/ maka : h a 1 Cos h = Cos = o Sin Cos 1.84 Sin73.56 Cos73.56 A h = 500 =73538 mm 4 4

152 Y h Sin A 1 = 500 Sin = mm Cc 0.85 A f ' c kn f ' c A g kn c d s c 64 f E Mpa > fy s1 s1 s f s1 f y 400 Mpa c d s c 64 f E Mpa < fy s s s f s Mpa d s c 64 f E Mpa > -fy s3 s3 s f s Mpa f E Mpa = -fy s4 s4 s f s4-400 Mpa F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n Pn C c Fs i n i kn M n C c Y n F h d si i1 i M x x x x -95 n M n x knm

153 144 Untuk ACI saat t = 0.00, = 0.70 Pn 0.70 x = kn Mn 0.70 x = knm Untuk SNI dimana Pn > 0.1f c Ag maka = 0.70 Pn 0.70 x = kn Mn 0.70 x = knm Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x = mm Karena a < h/ maka : h a 1 Cos h = Cos =64.69 o Sin Cos 1.19 Sin64.69 Cos64.69 A h = 500 = mm Y h Sin A 1 = 500 Sin = mm Cc 0.85 A f ' c kn f ' c A g kn c d s c f E Mpa > fy s1 s1 s f s1 f y 400 Mpa c d s c f E Mpa < fy s s s f s Mpa

154 145 d s c f E Mpa < -fy s3 s3 s f s 3 fy = -400 Mpa f E Mpa < -fy s4 s4 s f s 4 fy = -400 Mpa F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n Pn C c Fs i n i kn M n C c Y n F h d si i1 i M x x x x -95 n M n x knm Untuk ACI saat t = c d Pn x = kn Mn x = knm

155 146 Untuk SNI dimana Pn < 0.1f c Ag maka, Pn = f ' c Ag Pn 0.76 x = kn Mn 0.76 x = knm Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x = mm Karena a < h/ maka : h a 1 Cos h = Cos =58.09 o Sin Cos Sin58.09 Cos58.09 A h = 500 = mm Y h Sin A 1 = 500 Sin = mm Cc 0.85 A f ' c kn f ' c A g kn c d s c f E Mpa < fy s1 s1 s f s Mpa c d s c f E Mpa < fy s s s f s Mpa

156 147 d s c f E Mpa < -fy s3 s3 s f s 3 fy = -400 Mpa f E Mpa < -fy s4 s4 s f s 4 fy = -400 Mpa F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n Pn C c Fs i n i kn M n C c Y n F h d si i1 i M x x x x -95 n M n x knm Untuk ACI saat t > 0.005, = 0.9 Pn 0.9 x = kn Mn 0.9 x = knm Untuk SNI Pn = f ' c Ag Pn x = kn Mn x = knm

157 148 Kondisi dimana t = c 440 = mm = a 1 c = x =10.5 mm Karena a < h/ maka : h a 1 Cos h = Cos A h Sin Cos =53.77 o Sin53.77 Cos53.77 A 500 = mm Y h Sin A 1 = 500 Sin = mm Cc 0.85 A f ' c kn f ' c A g kn c d s c f E Mpa > fy s1 s1 s f s Mpa d s c f E Mpa > -fy s s s f s Mpa d s c f E Mpa < -fy s3 s3 s f s 3 fy = -400 Mpa f E Mpa < -fy s4 s4 s

158 149 f s 4 fy = -400 Mpa F F F F fy A kn s1 s n fy A kn s s n fy A kn s3 s n fy A kn s4 s n Pn C c Fs i n i kn M n C c Y n F h d si i1 i M x x x x -95 n M n x knm Untuk ACI saat t > 0.005, = 0.9 Pn 0.9 x = kn Mn 0.9 x = knm Untuk SNI Pn = f ' c Ag Pn x = kn Mn x = 7.94 knm

159 150 Pn SNI ACI Mn Gambar 7.13 Diagram Interaksi Spiral dengan 6 dia.3mm Dari Gambar 7.13 didapatkan bahwa pada peraturan SNI Limit State Method analisa diagram interaksi daripada kolom Spiral tidak dapat memenuhi kriteria desain bila kolom dibebani beban Pu sebesar 600 kn dan Mu sebesar 350 knm, sedangkan dengan menggunakan ACI Unified Design Provision dapat memenuhi kriteria tersebut.

160 151 Gambar 7.14 Diagram Interaksi Menggunakan PiscesaCol V 1.00 Gambar 7.15 Diagram Interaksi Menggunakan PCACOL V 3.00

161 Perbandingan Desain Penampang Elemen Kolom Persegi Empat Sisi Sebuah kolom didesain untuk menerima beban aksial tekan dan lentur masing masing sebesar 150 kn (Pu) dan 45 knm (Mu). Mutu baja 400 Mpa (fy) dan mutu beton 35 Mpa (f c). Untuk mendesain kolom digunakan diagram interaksi seperti pada Gambar 7.14 dengan nilai = 0.6. Langkah langkah desain yang digunakan adalah sebagai berikut : Preliminary Desain Pu f A 0.45 ' c * mm b = h = 81.7 mm, diambil b = h = 300 mm Gambar 7.16 Diagram Interaksi Kolom f c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa Cek Penampang dengan diagram Interaksi Pn Ag Pu Ag

162 153 Mn Agh Mu Ag * Dari diagram interaksi didapatkan bahwa > 8 % maka penampang over strength, penampang diperbesar. Coba b = h = 400 mm Pn Ag Pu Ag Mn Agh Mu Agh * Dari diagram interaksi didapatkan bahwa > 8 % maka penampang over strength, penampang diperbesar. Coba b = h = 500 mm Pn Ag Pu Ag Mn Agh Mu Agh * Dari diagram interaksi dengan menggunakan kurva SNI didapatkan =.6 %, As = 6500 mm, dipakai 0 Dia 1 atau As = mm (=.77%). Dengan menggunakan kurva ACI didapatkan = 1.8 %, As = 4500 mm, dipakai 16 Dia 19 As = 4536 mm (= 1.81 %). Dari desain diatas didapatkan bahwa ada penghematan sebesar 34.5 % bila dihitung dengan parameter SNI Perbandingan Desain Penampang Elemen Kolom Persegi Dua Sisi Sebuah kolom didesain untuk menerima beban aksial tekan dan lentur masing masing sebesar 150 kn (Pu) dan 500 knm (Mu). Mutu baja 400 Mpa (fy) dan mutu beton 35 Mpa (f c). Untuk mendesain kolom digunakan diagram interaksi seperti pada Gambar 7.15 dengan nilai = 0.6. Langkah langkah desain yang digunakan adalah sebagai berikut : Preliminary Desain Pu f A 0.45 ' c * mm b = h = 81.7 mm, diambil b = h = 300 mm

163 154 Cek Penampang dengan diagram Interaksi Pn Ag Pu Ag Mn Agh Mu Ag * Dari diagram interaksi didapatkan bahwa > 8 % maka penampang over strength, penampang diperbesar. Coba b = h = 400 mm Gambar 7.17 Diagram Interaksi Kolom f c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa Pn Ag Pu Ag Mn Agh Mu Agh * Dari diagram interaksi didapatkan bahwa > 8 % maka penampang over strength, penampang diperbesar. Coba b = h = 500 mm

164 155 Pn Ag Pu Ag Mn Agh Mu Agh * Dari diagram interaksi dengan menggunakan kurva SNI didapatkan =.9 %, As = 750 mm, dipakai 1 Dia 5 atau As = 7503 mm (= 3.00%). Dengan menggunakan kurva ACI didapatkan = 1.95 %, As = 4875 mm, dipakai 16 Dia 1 As = 5541 mm (=. %). Dari desain diatas didapatkan bahwa ada penghematan sebesar 3.6 % bila dihitung dengan parameter SNI Perbandingan Desain Penampang Elemen Kolom Lingkaran Sebuah kolom didesain untuk menerima beban aksial tekan dan lentur masing masing sebesar 981 kn (Pu) dan 70 knm (Mu). Mutu baja 400 Mpa (fy) dan mutu beton 35 Mpa (f c). Untuk mendesain kolom digunakan diagram interaksi seperti pada Gambar 7.15 dengan nilai = 0.6. Langkah langkah desain yang digunakan adalah sebagai berikut : Preliminary Desain Pu f A 0.45 ' c mm 0.45* 35 Diameter = 81.7 mm, diambil d = 300 mm Cek Penampang dengan diagram Interaksi Pn Ag Pu Ag Mn Agh Mu Ag * Dari diagram interaksi didapatkan bahwa > 8 % maka penampang over strength, penampang diperbesar. Coba Diameter = 400 mm Pn Ag Pu Ag , Mn Agh Mu Agh *

165 156 Dari diagram interaksi didapatkan bahwa > 8 % maka penampang over strength, penampang diperbesar. Coba Diameter = 500 mm Gambar 7.18 Diagram Interaksi Kolom f c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa Pn Ag Pu Ag , Mn Agh Mu Agh ,63.10 * Dari diagram interaksi dengan menggunakan kurva SNI didapatkan =.1 %, As = 413 mm, dipakai 1 Dia 1 atau As = 4156 mm (=.11%). Dengan menggunakan kurva ACI didapatkan = 1.75 %, As = 3436 mm, dipakai 10 Dia 1 As = 3463 mm (= 1.76 %). Dari desain diatas didapatkan bahwa ada penghematan sebesar % bila dihitung dengan parameter SNI

166 157 BAB VIII STUDI FAKTOR REDUKSI ELEMEN BETON BERTULANG DENGAN MENGGUNAKAN LOAD RESISTANCE FACTOR DESIGN (LRFD) 8.1 Metode Box dan Muller untuk Random Data f c dan fy k k Metode Box dan Muller ini digunakan untuk merandom nilai daripada f c dan fy sehingga tercapai sebuah populasi yang diinginkan sesuai dengan standar deviasi dan rata rata dari kedua nilai tersebut tanpa melakukan pengetesan benda uji sebanyak yang akan disimulasikan. Dalam bab ini jumlah random data untuk perhitungan studi eksentrisitas dan studi faktor reduksi diuraikan pada Tabel 8.1 berikut : Tulangan Kolom Studi Eksentrisitas Studi Faktor Reduksi Sisi Sisi Tabel 8.1 Jumlah Random Data Simulasi Monte Carlo Untuk setiap nilai f c dan fy yang dimasukkan merupakan nilai mean daripada hasil pengetesan benda uji yang ada, dimana untuk beton miniman 30 buah benda uji. Hal ini dilakukan untuk mengetahui daripada nilai standar deviasi yang ada. Nilai mean f c dan fy dengan mengacu kepada peraturan yang ada. Dimana nilai mean f c dan fy dapat dilihat sebagai berikut : f ' c f ' c dan 1.34 fy fy 1 fy 1.15 fy 100 Variable Random yang digunakan oleh metode box dan muller adalah variabel k dimana nilai k ini merupakan sebuah nilai standar deviasi yang dikalikan oleh sebuah random nilai. Sehingga k dapat didefinisikan sebagai berikut : Untuk Mutu Beton nilai k : 1 v1 f ' c log Cos v ; k f ' c log Sin v Untuk Mutu baja nilai k : 1 v1 1 v fy log Cos v ; k fy log Sin v 1 v

167 158 Dimana nilai v1 dan v merupakan nilai random yang berada pada interval 0 sampai dengan 1. Sehingga nilai k akan bernilai positif dan negatif disekitar nilai mean atau nilai random mean f c = f c + k dan untuk nilai random mean fy = f c + k. Diagram Alir daripada metode Box dan muller untuk mutu beton dapat dilihat sebagai berikut : Flowchart Function Random f'c Using Box & Muller Method, Ranganathan 7.1 & 7. Start Input Data : Mean f'c (f'c) & Deviation Standard (f'c) n, where n are variabel integer of 1 & Calculate v1 & v, where v1 & v ara random variabel between 0 and 1. No n = 1 Yes k = f'c * ((*log(1/v1))^0.5)*cos(**v) n = k = f'c * ((*log(1/v1))^0.5)*cos(**v) n = 1 Random f'c = f'c + k Finish

168 159 Untuk mencari random data mutu baja (fy) cukup dengan mengganti variable f c diatas dengan fy, atau lebih jelasnya dijabarkan lebih jauh di lampiran. Contoh perhitungan random variabel f c dan fy dapat dilihat sebagai berikut : Random Variabel f c Mutu Beton (f c) = 30 Mpa Koefisien Variasi (f c) = 0 % Kuat tekan f cr (f c) = 30 / ( 1 - ( ( 1.34 * 0 ) / 100 ) ) ) = Mpa Standar Deviasi(f c) = f c * f c / 100= 0 * / 100 = Mpa v1 = rnd(1) = v = rnd() = n = 0 1 maka k = f c * ((*Log(1/v1))) 0.5 * cos ( * * v ) k = * ((*Log(1/0.865))) 0.5 * cos ( * 180 * ) k = * (0.1597) 0.5 * k = Mpa Random f c = f c + k = = Mpa Random Variabel fy Mutu Beton (fy) = 400 Mpa Koefisien Variasi (fy) = 8 % Kuat tekan frata-rata (fy)= 400 / ( 1 - ( ( 1.15 * 8 ) / 100 ) ) ) = Mpa Standar Deviasi(fy) = fy * fy / 100= 8 * / 100 = Mpa Call Function Random fy v1 = rnd(1) = v = rnd() = n = 0 1 maka k = f * ((*Log(1/v1))) 0.5 * cos ( * * v ) k = * ((*Log(1/0.865))) 0.5 * cos ( * 180 * ) k = * (0.1597) 0.5 * k = -1 Mpa Random fy = fy + k = = Mpa

169 Kekuatan Kolom Beton Bertulang untuk Studi Eksentrisitas Kolom Perhitungan kekuatan kolom beton bertulang dilakukan setelah mengetahui variabel random f c dan fy, dan urutan pengerjaannya sudah dibahas pada dasar teori dan kalkulasinya sudah dilakukan pada bab sebelumnya. Hanya saja pada bab sebelumnya sampai pada perhitungan Pn dan Mn sehingga untuk mendapatkan titik permukaan keruntuhan perlu dicari nilai R untuk setiap variabel random f c dan fy pada ratio eksentrisitas yang diinginkan. Contoh diambil perhitungan subbab 7. untuk kolom dua sisi dan didapatkan nilai Pn = 3406 kn dan Mn = knm dengan nilai mutu beton (f c) sebesar 40 Mpa dan nilai mutu baja (fy) sebesar 400 Mpa. Sehingga nilai daripada R dapat dicari sebagai berikut : M R R kN h 0.4 e M maka nilai dimana nilai t = 0.00 yang artinya h Ph pada saat itu kolom berada dalam keadaan balance. Sehingga dengan melakukan simulasi yang terdiri dari jumlah random data f c dan fy maka pada setiap titik e/h yang ditinjau akan didapatkan nilai R dan nilai daripada koefisien variasi tahanan kolom (R) juga dapat diketahui. Dengan demikian hubungan antara R dan rasio eksentrisitas (e/h) dapat digambarkan dalam bentuk grafik pada subbab 8.4.

170 Load Resistance Factor Design untuk Studi Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Setelah mengetahui nilai daripada koefisien variasi kekuatan kolom, R, maka kita dapat melakukan studi faktor reduksi kekuatan dengan metode LRFD. Untuk perumusan dan urutan sudah dijabarkan di dasar teori sehingga pada subbab ini penggunaan daripada LRFD ini akan diaplikasikan kedalam contoh perhitungan seperti Dibawah ini : Beta Index () = 3 ; L = D VR = 0.95 ; VD = 0.95 ; VL = 1.18 R = 0.11 ; D = 0.1 ; L = 0.5 g( x) R D L R = R * R = 0.11 * R D = D * D = 0.1 * D L = L * L = 0.5 * L = 0.5 * * D Hitung Besarnya R : R D L R D 0.11R 0.1D 0. D * D 5 R D L 0.011R 0.011R R 3D 0.01D R 3D 0.01D R 6RD 9D R 0.6D 0.5D 0.5D R.34D R 6RD 9D R 0.011R 6RD 9D 0.01D 0.5D R 6RD 6.66D 0 R R 1, 6.733RD 7.474D 6.733D D 4*7.174D R 1, 6.733D D R 1, 6.733D D

171 16 R 1, 6.733D 3.99D R 3.367D D 1, R D R 1. 40D Diambil yang terbesar. R 5.33D D R L D D D 0.1D 0.5D R R D L 0.5D D 0.1D 0.5D R L D L 0.1D D 0.1D 0.5D R D D L R D L R D D L L Karena Nilai diatas masih rata rata maka untuk mencari nilai nominal perlu dbagi dengan nilai VR,VD dan VL dimana nilai ini merupakan perbandingan nilai nominal dan rata rata. n V R Dn V D D Ln L V L Dengan mengganti nilai L/D diatas menjadi 1.5,1.0,0.5,0.5,0 maka akan didapatkan nilai nilai pada Tabel 8.. sehingga grafik hubungan antara faktor reduksi (n), load faktor beban mati (Dn), load faktor beban hidup (Ln) dengan rasio L/D (Gambar 8.1). Dalam subbab berikutnya yang membahas permasalahan faktor reduksi dengan nilai rasio e/h dan regangan tarik bersih (t) perhitungan yang digunakan sama dengan diatas.

172 163 L/D D L Tabel 8. Hubungan rasio L/D dengan nilai, D dan L Hubungan Rasio L/D,, D, L Rasio L/D Phi GammaD GammaL Gambar 8.1 Hubungan rasio L/D dengan nilai, D dan L 8.4 Studi Kekuatan Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Dua Sisi Dalam studi ini akan dievaluasi kekuatan kolom beton bertulang berpenampang persegi dengan tulangan dua sisi. Pengaruh yang dievaluasi meliputi variasi beton, baja tulangan, perbedaan penampang, kualitas baja, kualitas beton dan rasio tulangan. Studi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer Microsoft Visual Basic 6.0 yang di kombinasikan dengan Microsoft Excel untuk memudahkan dalam hal plotting dari data data yang ada kedalam bentuk grafik.

173 Pengaruh Variabilitas Beton dan Baja Tulangan Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 5000 Koefisien Variasi (%) Ratio Eksentrisitas (e/h) Koefisien Variasi Tahanan Kolom Koefisien Variasi Baja Koefisien Variasi Beton Gambar 8.1 Pengaruh variasi tahanan kolom akibat variabilitas beton dan baja Dari Gambar 8.1 dapat ditunjukkan bahwa variasi kekuatan kolom atau Cov global tahanan kolom akan berharga maksimum pada saat kolom mengalami beban aksial murni atau eksentrisitas gaya aksial sama bernilai nol. Dengan meningkatnya rasio eksentrisitas (e/h) maka variasi tahanan kolom akan menurun sampai dicapai nilai yang konstan. Pada kondisi beban aksial menjadi pengaruh penting bagi kolom (kolom dominan terhadap gaya aksial ketimbang momen lenturnya), maka variasi tahanan kolom akan banyak dipengaruhi oleh variasi beton daripada variasi baja. Demikian sebaliknya, variasi baja akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya nilai rasio eksentrisitas (e/h) sedangkan variasi beton akan menurun.

174 Pengaruh Mutu Beton Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40,50,60 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 5000 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) f'c = 40 M pa f'c = 50 M pa f'c = 60 M pa Gambar 8. Pengaruh mutu beton terhadap variasi global tahanan kolom Dengan properti kolom yang sama, untuk mutu beton yang berbeda beda tampak bahwa semakin besar mutu beton maka akan semakin besar juga nilai variasi tahanan kolom. Hal ini dapat dipahami karena kolom adalah sebuah elemen yang terbebani tekan, sehingga sumbangan kekuatan beton akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kekuatan global kolom Pengaruh Mutu Baja Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 30,400,500 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 5000

175 166 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) fy = 30 M pa fy = 400 M pa fy = 500 M pa Gambar 8.3 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Mutu baja tidak terlalu berpengaruh terhadap kekuatan global seperti pada Gambar 8.3, namun mutu baja akan memberikan pengaruh terhadap variasi baja itu sendiri, walaupun pengaruh ini tidak begitu penting. Semakin besar mutu baja, maka koefisien variasi baja tulangan akan semakin besar. Dapat dilihat dalam gambar 8.4 (Cov f c = 0 %), bahwa koefisien variasi untuk ketiga mutu baja mempunyai nilai yang hampir sama besar pada saat rasio eksentrisitas (e/h) kecil. Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) fy = 30 M pa fy = 400 M pa fy = 500 M pa Gambar 8.4 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom

176 Pengaruh Kualitas Baja Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 6,8,10 % Jumlah Random = 5000 Koefisien Variasi (%) Ratio Eksentrisitas (e/h) Cov fy = 10 % Cov fy = 8 % Cov Fy = 6 % Gambar 8.5 Pengaruh kualitas baja terhadap koefisien variasi tahanan global kolom Tidak seperti pengaruh akibat kualitas beton, kualitas baja banyak mempengaruhi koefisien variasi baja itu sendiri dan secara global koefisien variasi tahanan tidak begitu dipengaruhi oleh parameter ini terutama pada kondisi dimana nilai rasio eksentrisitas kecil atau kondisi dimana gaya kasial menjadi dominan bagi kolom (lihat Gambar 8.5) Pengaruh Kualitas Beton Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 10,0,30 % Cov Baja (Normal) = 0 % Jumlah Random = 5000

177 168 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) Cov fc = 10 % Cov fc = 0 % Cov fc = 30 % Gambar 8.6 Pengaruh kualitas beton terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Dalam evaluasi ini meningkatnya variasi f c maka koefisien varisai kekuatan yang disumbangkan oleh beton juga akan meningkat, terutama pada kondisi dimana ratio eksentrisitas kecil atau gaya aksial menjadi dominan pada kolom lihat Gambar Pengaruh Rasio Tulangan Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3,4,5,6,7,8 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 10 % Jumlah Random = 5000 Rasio tulangan akan berpengaruh terhadap nilai variasi global tahanan kolom (lihat Gambar 8.7). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa semua kurva mempunyai titik belok atau titik temu pada kondisi dimana ratio eksentrisitas (e/h) pada keadaan balancenya, pada eksentrisitas lebih kecil daripada eksentrisitas balance maka variasi kolom banyak dipengaruhi oleh sumbangan beton bila dibandingkan dengan baja, sehingga koefisien variasi tahanan global kolom akan mengecil dengan meningkatnya rasio eksentrisitas.

178 169 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) Rho = 3 % Rho = 4 % Rho = 5 % Rho = 6 % Rho = 7 % Rho = 8 % Gambar 8.7 Pengaruh rasio tulangan terhadap koefisien variasi tahanan global kolom Sebaliknya pada kondisi dimana eksentrisitas lebih besar dari eksentrisitas balance, maka sumbangan baja akan menjadi lebih dominan dibandingkan beton, sehingga koefisien variasi tahanan global kolom juga akan banyak dipengaruhi oleh akibat variabel ini Pengaruh Dimensi Kolom Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 10,0,30 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 5000 Dimensi kolom tidak meberikan pengaruh yang berarti pada variasi tahanan kolom, hal ini dapat dilihat pada gambar 8.8.

179 170 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) K500x500 K600x600 K700x700 Gambar 8.8 Pengaruh perubahan dimensi vs koefisien variasi tahanan global kolom Hubungan Rasio Kekuatan Rata Rata dengan Kekuatan nominal (R/Rn) Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Nilai tahanan rata rata dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 10 % Jumlah Random = 5000 Nilai tahanan nominal dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 0 % Jumlah Random = 5000 Hubungan antara rasio tahanan rata rata terhadap tahanan nominalnya dapat dilihat pada Gambar 8.9 dimana tahanan rata rata dihitung dari rata rata nilai tahanan yang diperoleh dari nilai variabel variabel random beton dan baja, sedangkan nilai nominal merupakan tahanan yang dihitung pada nilai spesifik beton (mutu beton) dan kekuatan leleh baja (mutu baja).

180 171 1 Strength Rasio (R/Rn) Rasio Eksentrisitas (e/h) Rn/R Gambar 8.9 Hubungan rasio Rn/R terhadap rasio eksentrisitas (e/h) 8.5 Studi Faktor Reduksi Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Dua Sisi Setelah mengetahui hubungan hubungan dan pengaruh akibat variabilitas beton dan baja tulangan untuk mendapatkan nilai nominal, maka variasi daripada beban yang bekerja dengan index keandalan tertentu dapat dianalisa faktor reduksi kolom beton bertulang yang berhubungan dengan regangan tarik bersih untuk mendapatkan trend line daripada faktor reduksi desain terpadu (Unified Design). Untuk bagan alir program dan contoh perhitungan dapat dilihat di lampiran Hubungan Faktor Faktor Desain Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Hubungan ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 10 buah Rasio Tulangan () = % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 500 L/D =.5 Beta Index () = 3 Pada gambar 8.10 memperlihatkan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi desain kolom beton bertulang berubah sesuai dengan berubahnya rasio eksentrisitas. Pada saat rasio eksentrisitas kecil dimana gaya aksial menjadi

181 17 dominan, nilai faktor reduksi kekuatan akan menjadi minimum begitu pula sebaliknya pada saat rasio eksentrisitas berubah menjadi semakin besar maka nilai faktor reduksi kekuatan menjadi maksimum, hal ini sesuai dengan teori unified design. Teori ini menyatakan bahwa faktor reduksi kekuatan kolom beton bertulang berkaitan erat dengan nilai regangan pada serat terluar dari tulangan tarik yang terjadi pada kekuatan nominalnya, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan rasio eksentrisitas diikuti pula dengan perubahan nilai regangan pada tulangan. Faktor - Faktor Desain Rasio Eksentrisitas Faktor Reduksi Kekuatan Faktor Beban Mati Faktor Beban Hidup Gambar 8.10 Hubungan faktor faktor desain terhadap rasio eksentrisitas (e/h) 8.5. Pengaruh Pemilihan Tingkat Keandalan atau Reliability Index Pengaruh ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 10 buah Rasio Tulangan () = % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 500 L/D =.5 Beta Index () = 3,3.5,4 Dapat dilihat pada Gambar 8.11 dimana reabilitas index yang semakin tinggi yang berhubungan dengan safety faktor yang semakin tinggi juga akan memberikan pengaruh kepada faktor reduksi kekuatan kolom yang semakin

182 173 mengecil, begitu pula sebaliknya dengan semakin rendahnya reabilitas index maka faktor reduksi kekuatan kolom juga meningkat. Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Rasio Eksentrisitas (e/h) Beta Index = 3.0 Beta Index = 3.5 Beta Index = 4.0 Gambar 8.11 Pengaruh reabilitas index terhadap factor reduksi kolom Pengaruh Rasio L/D Pengaruh ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 10 buah Rasio Tulangan () = % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 500 L/D = 1.5,.0,.5 Beta Index () = 3 Pengaruh perubahan rasio L/D tidak memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap faktor reduksi kekuatan kolom sepert terlihat pada Gambar 8.1.

183 174 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Rasio Eksentrisitas (e/h) L/D = 1.5 L/D =.0 L/D =.5 Gambar 8.1 Pengaruh rasio L/D terhadap factor reduksi kolom Pengaruh Rasio Penulangan Hubungan ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 10,16,6 buah Rasio Tulangan () = 3,5,8 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 500 L/D =.5 Beta Index () = 3 Pada Gambar 8.13 dapat dilihat bahwa rasio tulangan yang semakin besar akan menyebabkan faktor reduksi kekuatan kolom yang semakin besar terutama pada eksentrisitas kecil, hal ini dikarenakan semakin besarnya gaya aksial yang diterima oleh tulangan, sebaliknya pada rasio tulangan yang lebih kecil faktor reduksi kekuatan kolom akan semakin kecil karena sebagian besar gaya aksial yang bekerja dipikul oleh luasan beton.

184 175 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Rasio Eksentrisitas (e/h) Rho = 3 % Rho = 5 % Rho = 8 % Gambar 8.13 Pengaruh rasio tulangan terhadap factor reduksi kolom Hubungan Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Terhadap Regangan Tulangan Serat Terluar, t. Hubungan ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 8 buah Rasio Tulangan () = % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 30,400,500 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 500 L/D =.5 Beta Index () = 3,3.5,4 Perubahan rasio eksentrisitas juga berarti perubahan nilai regangan tarik bersih pada serat tarik terluar, t. Oleh karenanya faktor reduksi beton bertulang juga berhubungan erat dengan regangan tarik bersih tersebut. Gambar 8.14,8.15 dan 8.16 menunjukkan hubungan antara faktor reduksi kekuatan kolom terhadap perubahan regangan tarik serat terluar, dimana pada saat eksentrisitas kecil dimana koefisien variasi tahanan global besar didapatkan faktor reduksi tahanan yang kecil dikarenakan besarnya variasi yang ada, namun pada eksentrisitas yang besar koefisien variasi daripada tahanan gloal kecil shingga daktor reduksi daripada kekuatan kolom juga besar. Hal ini tidak lepas dengan studi nilai eksentrisitas sebelumnya.

185 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Regangan Tarik Bersih (et) Studi LRFD Beta Index = 3 ACI00 Studi LRFD Beta Index = 3.5 Studi LRFD Beta Index = 4 Gambar 8.14 Hubungan factor reduksi kekautan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 30 Mpa Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Regangan Tarik Bersih (et) Studi LRFD Beta Index = 3 ACI00 Studi LRFD Beta Index = 3.5 Studi LRFD Beta Index = 4 Gambar 8.15 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 400 Mpa

186 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Regangan Tarik Bersih (et) Studi LRFD Beta Index = 3 ACI00 Studi LRFD Beta Index = 3.5 Studi LRFD Beta Index = 4 Gambar 8.16 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 500 Mpa 8.6 Studi Kekuatan Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Empat Sisi Dalam studi ini akan dievaluasi kekuatan kolom beton bertulang berpenampang persegi dengan tulangan Empat sisi. Pengaruh yang dievaluasi meliputi variasi beton, baja tulangan, perbedaan penampang, kualitas baja, kualitas beton dan rasio tulangan. Studi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer Microsoft Visual Basic 6.0 yang di kombinasikan dengan Microsoft Excel untuk memudahkan dalam hal plotting dari data data yang ada kedalam bentuk grafik. Untuk bagan alir program dan contoh perhitungan dapat dilihat dilampiran Pengaruh Variabilitas Beton dan Baja Tulangan Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 000

187 178 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) Koefisien Variasi Tahanan Kolom Koefisien Variasi Baja Koefisien Variasi Beton Gambar 8.17 Pengaruh variasi tahanan kolom akibat variabilitas beton dan baja Dari Gambar 8.17 dapat ditunjukkan bahwa variasi kekuatan kolom atau Cov global tahanan kolom akan berharga maksimum pada saat kolom mengalami beban aksial murni atau eksentrisitas gaya aksial sama bernilai nol. Dengan meningkatnya rasio eksentrisitas (e/h) maka variasi tahanan kolom akan menurun sampai dicapai nilai yang konstan. Pada kondisi beban aksial menjadi pengaruh penting bagi kolom (kolom dominan terhadap gaya aksial ketimbang momen lenturnya), maka variasi tahanan kolom akan banyak dipengaruhi oleh variasi beton daripada variasi baja. Demikian sebaliknya, variasi baja akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya nilai rasio eksentrisitas (e/h) sedangkan variasi beton akan menurun Pengaruh Mutu Beton Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40,50,60 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 000

188 179 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) f'c = 40 Mpa f'c = 50 Mpa f'c = 60 Mpa Gambar 8.18 Pengaruh mutu beton terhadap variasi global tahanan kolom Dengan properti kolom yang sama, untuk mutu beton yang berbeda beda tampak bahwa semakin besar mutu beton maka akan semakin besar juga nilai variasi tahanan kolom. Hal ini dapat dipahami karena kolom adalah sebuah elemen yang terbebani tekan, sehingga sumbangan kekuatan beton akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kekuatan global kolom Pengaruh Mutu Baja Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 30,400,500 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 000 Mutu baja tidak terlalu berpengaruh terhadap kekuatan global seperti pada Gambar 8.19, namun mutu baja akan memberikan pengaruh terhadap variasi baja itu sendiri, walaupun pengaruh ini tidak begitu penting. Semakin besar mutu baja, maka koefisien variasi baja tulangan akan semakin besar. Dapat dilihat dalam gambar 8.0 (Cov f c = 0 %), bahwa koefisien variasi untuk ketiga mutu baja mempunyai nilai yang hampir sama besar pada saat rasio eksentrisitas (e/h) kecil.

189 180 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) fy = 30 Mpa fy = 400 Mpa fy = 500 Mpa Gambar 8.19 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom 8 7 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) fy = 30 Mpa fy = 400 Mpa fy = 500 Mpa Gambar 8.0 Pengaruh mutu baja terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Pengaruh Kualitas Baja Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 6,8,10 % Jumlah Random = 000

190 181 Tidak seperti pengaruh akibat kualitas beton, kualitas baja banyak mempengaruhi koefisien variasi baja itu sendiri dan secara global koefisien variasi tahanan tidak begitu dipengaruhi oleh parameter ini terutama pada kondisi dimana nilai rasio eksentrisitas kecil atau kondisi dimana gaya kasial menjadi dominan bagi kolom (lihat Gambar 8.1). 8 7 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) Cov fy = 10 % Cov fy = 8 % Cov Fy = 6 % Gambar 8.1 Pengaruh kualitas baja terhadap koefisien variasi tahanan global kolom Pengaruh Kualitas Beton Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 10,0,30 % Cov Baja (Normal) = 0 % Jumlah Random = 000 Dalam evaluasi ini meningkatnya variasi f c maka koefisien varisai kekuatan yang disumbangkan oleh beton juga akan meningkat, terutama pada kondisi dimana ratio eksentrisitas kecil atau gaya aksial menjadi dominan pada kolom lihat Gambar 8..

191 18 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) Cov fc = 10 % Cov fc = 0 % Cov fc = 30 % Gambar 8. Pengaruh kualitas beton terhadap koefisien variasi global tahanan kolom Pengaruh Rasio Tulangan Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 8,16,4,3 buah Rasio Tulangan () =,4,6,8 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 000 Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h)` Rho = 3 % Rho = 4 % Rho = 5 % Rho = 6 % Rho = 7 % Rho = 8 % Gambar 8.3 Pengaruh rasio tulangan terhadap koefisien variasi tahanan global kolom

192 183 Rasio tulangan akan berpengaruh terhadap nilai variasi global tahanan kolom (lihat Gambar 8.3). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa semua kurva mempunyai titik belok atau titik temu pada kondisi dimana ratio eksentrisitas (e/h) pada keadaan balancenya, pada eksentrisitas lebih kecil daripada eksentrisitas balance maka variasi kolom banyak dipengaruhi oleh sumbangan beton bila dibandingkan dengan baja, sehingga koefisien variasi tahanan global kolom akan mengecil dengan meningkatnya rasio eksentrisitas. Sebaliknya pada kondisi dimana eksentrisitas lebih besar dari eksentrisitas balance, maka sumbangan baja akan menjadi lebih dominan dibandingkan beton, sehingga koefisien variasi tahanan global kolom juga akan banyak dipengaruhi oleh akibat variabel ini Pengaruh Dimensi Kolom Pengaruh ini dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 10,0,30 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = Koefisien Variasi (%) Rasio Eksentrisitas (e/h) K500x500 K600x600 K700x700 Gambar 8.4 Pengaruh perubahan dimensi vs koefisien variasi tahanan global kolom

193 184 Dimensi kolom tidak meberikan pengaruh yang berarti pada variasi tahanan kolom, hal ini dapat dilihat pada gambar Hubungan Rasio Kekuatan Rata Rata dengan Kekuatan nominal (R/Rn) Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Nilai tahanan rata rata dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 000 Nilai tahanan nominal dievaluasi dengan mengampil sampel sebagai Kolom 500x500 mm dengan data data penampang sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 0 % Jumlah Random = 000 Rn/R Rn/R Ratio Eksentrisitas (e/h) Rn/R Gambar 8.5 Hubungan rasio Rn/R terhadap rasio eksentrisitas (e/h) Hubungan antara rasio tahanan rata rata terhadap tahanan nominalnya dapat dilihat pada Gambar 8.5 dimana tahanan rata rata dihitung dari rata rata nilai tahanan yang diperoleh dari nilai variabel variabel random beton dan

194 185 baja, sedangkan nilai nominal merupakan tahanan yang dihitung pada nilai spesifik beton (mutu beton) dan kekuatan leleh baja (mutu baja). 8.7 Studi Faktor Reduksi Kolom Beton Bertulang pada Penampang Persegi dengan Tulangan Empat Sisi Setelah mengetahui hubungan hubungan dan pengaruh akibat variabilitas beton dan baja tulangan untuk mendapatkan nilai nominal, maka variasi daripada beban yang bekerja dengan index keandalan tertentu dapat dianalisa faktor reduksi kolom beton bertulang yang berhubungan dengan regangan tarik bersih untuk mendapatkan trend line daripada faktor reduksi desain terpadu (Unified Design). Untuk bagan alir program dan contoh perhitungan dapat dilihat di lampiran Hubungan Faktor Faktor Desain Terhadap Rasio Eksentrisitas (e/h) Hubungan ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 00 L/D =.5 Beta Index () = 3 Pada gambar 8.6 memperlihatkan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi desain kolom beton bertulang berubah sesuai dengan berubahnya rasio eksentrisitas. Pada saat rasio eksentrisitas kecil dimana gaya aksial menjadi dominan, nilai faktor reduksi kekuatan akan menjadi minimum begitu pula sebaliknya pada saat rasio eksentrisitas berubah menjadi semakin besar maka nilai faktor reduksi kekuatan menjadi maksimum, hal ini sesuai dengan teori unified design. Teori ini menyatakan bahwa faktor reduksi kekuatan kolom beton bertulang berkaitan erat dengan nilai regangan pada serat terluar dari tulangan tarik yang terjadi pada kekuatan nominalnya, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan rasio eksentrisitas diikuti pula dengan perubahan nilai regangan pada tulangan.

195 186 Faktor - Faktor Desain Rasio Eksentrisitas Faktor Reduksi Kekuatan Faktor Beban Mati Faktor Beban Hidup Gambar 8.6 Hubungan faktor faktor desain terhadap rasio eksentrisitas (e/h) 8.7. Pengaruh Pemilihan Tingkat Keandalan atau Reliability Index Pengaruh ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 00 L/D =.5 Beta Index () = 3,3.5,4 Dapat dilihat pada Gambar 8.7 dimana reabilitas index yang semakin tinggi yang berhubungan dengan safety faktor yang semakin tinggi juga akan memberikan pengaruh kepada faktor reduksi kekuatan kolom yang semakin mengecil, begitu pula sebaliknya dengan semakin rendahnya reabilitas index maka faktor reduksi kekuatan kolom juga meningkat Pengaruh Rasio L/D Pengaruh ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1 buah Rasio Tulangan () = 3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 %

196 187 Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 00 L/D = 1.5,.0,.5 Beta Index () = 3 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Rasio Eksentrisitas (e/h) Beta Index = 3.0 Beta Index = 3.5 Beta Index = 4.0 Gambar 8.7 Pengaruh reabilitas index terhadap factor reduksi kolom Pengaruh perubahan rasio L/D tidak memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap faktor reduksi kekuatan kolom sepert terlihat pada Gambar 8.8. Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Rasio Eksentrisitas (e/h) L/D = 1.5 L/D =.0 L/D =.5 Gambar 8.8 Pengaruh rasio L/D terhadap factor reduksi kolom

197 Pengaruh Rasio Penulangan Hubungan ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 1,0,3 buah Rasio Tulangan () = 3,5,8 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa Mutu Baja (fy) = 400 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 00 L/D =.5 Beta Index () = 3 Pada Gambar 8.9 dapat dilihat bahwa rasio tulangan yang semakin besar akan menyebabkan faktor reduksi kekuatan kolom yang semakin besar terutama pada eksentrisitas kecil, hal ini dikarenakan semakin besarnya gaya aksial yang diterima oleh tulangan, sebaliknya pada rasio tulangan yang lebih kecil faktor reduksi kekuatan kolom akan semakin kecil karena sebagian besar gaya aksial yang bekerja dipikul oleh luasan beton. Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Rasio Eksentrisitas (e/h) Rho = 3 % Rho = 5 % Rho = 8 % Gambar 8.9 Pengaruh rasio tulangan terhadap factor reduksi kolom Hubungan Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Terhadap Regangan Tulangan Serat Terluar, t. Hubungan ini dievaluasi dengan mengambil sampel kolom 500x500 dengan data data penampang dan statistik sebagai berikut : Tebal decking = 50 mm Jumlah Tulangan (n) = 8,1 buah Rasio Tulangan () =,3 % Mutu Beton (f c) = 40 Mpa

198 189 Mutu Baja (fy) = 30,400,500 Mpa Cov Beton (Normal) = 0 % Cov Baja (Normal) = 8 % Jumlah Random = 500 L/D =.5 Beta Index () =.5,3,3.5,4 1.0 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Regangan Tarik Bersih (et) Studi LRFD Beta Index =.5 ACI00 Studi LRFD Beta Index = 3 Studi LRFD Beta Index = 3.5 Gambar 8.30 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 30 Mpa. 1.0 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Regangan Tarik Bersih (et) Studi LRFD Beta Index = 3 ACI00 Studi LRFD Beta Index = 3.5 Studi LRFD Beta Index = 4 Gambar Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 400 Mpa

199 190 Perubahan rasio eksentrisitas juga berarti perubahan nilai regangan tarik bersih pada serat tarik terluar, t. Oleh karenanya faktore reduksi beton bertulang juga berhubungan erat dengan regangan tarik bersih tersebut. Gambar 8.30,8.31 dan 8.3 menunjukkan hubungan antara faktor reduksi kekuatan kolom terhadap perubahan regangan tarik serat terluar, dimana pada saat eksentrisitas kecil dimana koefisien variasi tahanan global besar didapatkan faktor reduksi tahanan yang kecil dikarenakan besarnya variasi yang ada, namun pada eksentrisitas yang besar koefisien variasi daripada tahanan gloal kecil shingga daktor reduksi daripada kekuatan kolom juga besar. Hal ini tidak lepas dengan studi nilai eksentrisitas sebelumnya. 1.0 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Regangan Tarik Bersih (et) Studi LRFD Beta Index = 3 ACI00 Studi LRFD Beta Index = 3.5 Studi LRFD Beta Index = 4 Gambar 8.3 Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 500 Mpa

200 191 BAB IX PENUTUP 9.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis dari Tugas Akhir ini meliputi sebagai berikut : 1. Analisa kelangsingan dengan menggunakan Stabilitas Index (SNI & ACI ), Q, atau biasa disebut Approximate Second Order Analysis memberikan perbedaan hasil hingga % bila kita bandingkan dengan menggunakan Approximate Method Moment Magnification. Hasil ini dapat dilihat pada saat menganalisa kelangsingan kolom pada struktur 6 tingkat yang ditunjukkan pada tabel 9.1. U = 0.75 x (1. D L W) Tingkat Kolom s (Q) s(app.) ds) % Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Eksterior Interior Tabel 9.1 Perbandingan s pada AM dan ASOA (U=0.75(1.D+1.0L-1.6W). Penggunaan Stabilitas Indeks (Q) pada perhitungan kelangsingan struktur memberikan gambaran yang lebih rasional sesuai kondisi eksisting struktur saat mengukur dan menentukan suatu struktur masuk dalam kategori bergoyang (Q > 0.05) atau tidak tidak bergoyang (Q < 0.05), bila dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang menyatakan bahwa sebuah struktur dikatakan braced bila besarnya kekakuan pengaku (Shear Wall, Stair Wall, Elevator Shaft, dll) lebih besar enam kali daripada total kekakuan seluruh kolom yang ada. 3. Perlu diketahui bahwa pada saat menghitung kelangsingan dengan menggunakan indeks stabilitas,q, hanya akurat hingga nilai perbesaran

201 19 momen, s, mencapai nilai 1.5 dengan perbedaan nilai sebesar 15 %. Hal ini dijelaskan dalam ACI Analisa penampang elemen struktur aksial dan lentur dengan menggunakan metode Unified Design Provision (ACI ) akan menghasilkan nilai kapasitas momen elemen struktur yang lebih besar bila dibandingkan dengan metode Limit State method (SNI ). Keadaan ini tercapai pada saat lentur mulai dominan dalam elemen struktur yang terbebani aksial dan lentur. Hasil ini dapat dilihat pada Subbab 7.4, dimana hasil desain menunjukkan perbedaan hasil perhitungan rasio tulangan,, yang dibutuhkan bila digunakan kurva SNI sebesar.6 %, dan dengan menggunakan kurva ACI sebesar 1.8 %. Perbedaan ini dapat dilihat pada grafik diagram interaksi dibawah ini. Gambar 9.1 Diagram Interaksi SNI dan ACI Faktor reduksi kolom yang didapatkan dengan menggunakan pendekatan studi LRFD menunjukkan bahwa faktor reduksi tersebut sangat terpengaruh dengan besarnya indeks keandalan (index) yang ditetapkan pada elemen

202 193 struktur. Semakin tinggi tingkat keandalannya maka semakin rendah nilai faktor reduksinya, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan studi LRFD faktor reduksi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti mutu baja, mutu beton, variasi baja, variasi beton dan jumlah tulangan. Hasil studi (Gambar 9.) menunjukkan bahwa faktor reduksi dengan menggunakan metode Unified Design Provision yang ditetapkan dalam ACI dapat didekati dengan studi LRFD yang pendekatannya menggunakan cara yang lebih rasional, yaitu meliputi faktor faktor yang mempengaruhi tahanan suatu kolom yang diambil dengan teori statistik dan probabilistik. 6. Hasil studi ini menunjukkan bentuk LRFD yang ideal dan sesuai dengan ACI sedangkan untuk kondisi di Indonesia perlu adanya studi lebih lanjut mengenai adanya perbedaan kualiatas pencampuran mutu beton dan baja yang ada di Indonesia dengan yang ada di Amerika hal ini disebabkan dengan adanya perbedaan tersebut maka pengunaan daripada Faktor reduksi yang ada pada ACI menjadi tidak relevan lagi 1.0 Faktor Reduksi Kekuatan Kolom Regangan Tarik Bersih (et) Studi LRFD Beta Index = 3 ACI00 Studi LRFD Beta Index = 3.5 Studi LRFD Beta Index = 4 Gambar 9. Hubungan factor reduksi kekuatan kolom beton bertulang,, terhadap regangan tarik serat terluar, t. Fy = 400 Mpa

203 Saran Setelah melakukan studi terhadap elemen struktur yang terkena aksial dan lentur maka penulis memberikan beberapa saran yaitu : 1. Perlu adanya studi lebih lanjut mengenai permasalahan metode Unified Design Provision pada beton prategang dan precast, sehingga perilaku keduanya dapat diketahui bila dianalisa dengan menggunakan metode yang baru ini, hal ini dikarenakan pada saat melakukan desain prategang menggunakan teori elastis.. Pendekatan dengan menggunakan teori probabilitas merupakan salah satu teori yang rasional berdasarkan dengan keadaan yang ada, namun dengan banyaknya variabel yang mempengaruhi yang menyebabkan semakin kompleksnya suatu perhitungan maka penulis menyarankan penggunaan teori ini dikombinasikan dengan simulasi monte carlo yang bisa menyelesaikan permasalahan permasalahan yang rumit. Sehingga penggunaan simulasi ini tidak hanya digunakan dalam bidang struktur saja tetapi juga dalam bidang ketekniksipilan lainnya. 3. Perlu adanya tinjauan ulang tentang metode perhitungan yang saat ini digunakan dalam SNI yang menggunakan Limits State Method hal ini dikarenakan perkembangan perhitungan beton diluar Indonesia yang maju begitu pesat (ACI ). Sudah saatnya SNI menggunakan metode yang baru (Unified Design Provision) agar supaya tidak tertinggal dengan pesatnya perkembangan perhitungan beton diluar Indonesia.

204 LAMPIRAN A DIAGRAM INTERAKSI KOLOM ACI & SNI F c = 40 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6 F c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6

205 F c = 30 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6 F c = 5 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6

206 F c = 0 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6 F c = 40 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6

207 F c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6 F c = 30 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6

208 F c = 5 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6 F c = 0 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6

209 F c = 40 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6 F c = 35 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6

210 F c = 30 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6 F c = 5 Mpa, fy = 400 Mpa, = 0.6

Bambang Piscesa *, Ir. Iman Wimbadi, Ms.**,Ir. Mudji Irmawan, Ms.** ABSTRAK

Bambang Piscesa *, Ir. Iman Wimbadi, Ms.**,Ir. Mudji Irmawan, Ms.** ABSTRAK STUDI KOMPARATIF DESAIN PENAMPANG ELEMEN BETON AKIBAT KOMBINASI AKSIAL DAN LENTUR BERDASARKAN UNIFIED DESIGN PROVISION (ACI 1-) DAN LIMIT STATE METHOD (SNI 7-) Bambang Piscesa *, Ir. Iman Wimbadi, Ms.**,Ir.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Faktor Reduksi, Unified Design Method, Rasio Eksentrisitas. * Dosen Teknik Sipil FTSP-ITS, ** Mahasiswa S2 Teknik Sipil FTSP-ITS

ABSTRAK. Kata Kunci : Faktor Reduksi, Unified Design Method, Rasio Eksentrisitas. * Dosen Teknik Sipil FTSP-ITS, ** Mahasiswa S2 Teknik Sipil FTSP-ITS ABSTRAK STUDI PERBANDINGAN DESAIN PENAMPANG ELEMEN STRUKTUR AKIBAT BEBAN AKSIAL DAN LENTUR BERPENAMPANG LINGKARAN BERDASARKAN UNIFIED DESIGN METHOD ACI 1-5 DAN LIMIT STATE METHOD SNI 7- Ir. Iman Wimbadi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kolom Kolom beton murni dapat mendukung beban sangat kecil, tetapi kapasitas daya dukung bebannya akan meningkat cukup besar jika ditambahkan tulangan longitudinal. Peningkatan

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH EKSENTRISITAS TERHADAP FAKTOR REDUKSI PADA KOLOM BETON BERTULANG BUJURSANGKAR DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM VISUAL BASIC 6.

STUDI PENGARUH EKSENTRISITAS TERHADAP FAKTOR REDUKSI PADA KOLOM BETON BERTULANG BUJURSANGKAR DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM VISUAL BASIC 6. STUDI PENGARUH EKSENTRISITAS TERHADAP FAKTOR REDUKSI PADA KOLOM BETON BERTULANG BUJURSANGKAR DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM VISUAL BASIC 6.0 RADITYA ADI PRAKOSA 3106 100 096 Bab I Pendahuluan Latar Belakang

Lebih terperinci

KONSEP DAN METODE PERENCANAAN

KONSEP DAN METODE PERENCANAAN 24 2 KONSEP DAN METODE PERENCANAAN A. Perkembangan Metode Perencanaan Beton Bertulang Beberapa kajian awal yang dilakukan pada perilaku elemen struktur beton bertulang telah mengacu pada teori kekuatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENULISAN Umumnya, pada masa lalu semua perencanaan struktur direncanakan dengan metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan dipikul

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembebanan Struktur Dalam perencanaan struktur bangunan harus mengikuti peraturanperaturan pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman. Pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut : 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembebanan Struktur Perencanaan struktur bangunan gedung harus didasarkan pada kemampuan gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam Peraturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan Berdasarkan Pasal 3.25 SNI 03 2847 2002 elemen struktural kolom merupakan komponen struktur dengan rasio tinggi terhadap dimensi lateral terkecil melebihi tiga,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Berfikir Sengkang merupakan elemen penting pada kolom untuk menahan beban gempa. Selain menahan gaya geser, sengkang juga berguna untuk menahan tulangan utama dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Struktur Dalam perencanaan suatu struktur bangunan gedung bertingkat tinggi sebaiknya mengikuti peraturan-peraturan pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu

Lebih terperinci

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG Bobly Sadrach NRP : 9621081 NIRM : 41077011960360 Pembimbing : Daud Rahmat Wiyono, Ir., M.Sc FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan BAB III LANDASAN TEORI A. Pembebanan Dalam perancangan suatu struktur bangunan harus memenuhi peraturanperaturan yang berlaku sehingga diperoleh suatu struktur bangunan yang aman secara konstruksi. Struktur

Lebih terperinci

LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS

LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS Ketentuan Perencanaan Pembebanan Besar beban yang bekerja pada struktur ditentukan oleh jenis dan fungsi dari struktur tersebut. Untuk itu, dalam menentukan jenis beban

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Gempa adalah fenomena getaran yang diakibatkan oleh benturan atau pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan (fault zone). Besarnya

Lebih terperinci

EVALUASI PERBANDINGAN KONSEP DESAIN DINDING GESER TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI BETON

EVALUASI PERBANDINGAN KONSEP DESAIN DINDING GESER TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI BETON EVALUASI PERBANDINGAN KONSEP DESAIN DINDING GESER TAHAN GEMPA BERDASARKAN SNI BETON TUGAS AKHIR SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENYELESAIKAN PENDIDIKAN SARJANA TEKNIK DI PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka struktur yang memikul beban dari balok. Kolom merupakan suatu elemen struktur tekan yang memegang peranan penting dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman Judul... i Lembar Pengesahan... ii Kata Pengantar... iii Daftar Isi... iv Daftar Notasi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Abstraksi... BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Masalah...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah I.4. Batasan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah I.4. Batasan Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut SNI 1726-2002, sistem struktur utama bangunan di Indonesia dibagi dalam empat sistem, yaitu Sistem Dinding Penumpu, Sistem Rangka Gedung, Sistem Rangka Pemikul

Lebih terperinci

DESAIN TAHAN GEMPA BETON BERTULANG PENAHAN MOMEN MENENGAH BERDASARKAN SNI BETON DAN SNI GEMPA

DESAIN TAHAN GEMPA BETON BERTULANG PENAHAN MOMEN MENENGAH BERDASARKAN SNI BETON DAN SNI GEMPA DESAIN TAHAN GEMPA BETON BERTULANG PENAHAN MOMEN MENENGAH BERDASARKAN SNI BETON 03-2847-2002 DAN SNI GEMPA 03-1726-2002 Rinto D.S Nrp : 0021052 Pembimbing : Djoni Simanta,Ir.,MT FAKULTAS TEKNIK JURUSAN

Lebih terperinci

PERHITUNGAN DAN PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BETON BERTULANG DENGAN PENAMPANG PERSEGI. Oleh : Ratna Eviantika. : Winarni Hadipratomo, Ir.

PERHITUNGAN DAN PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BETON BERTULANG DENGAN PENAMPANG PERSEGI. Oleh : Ratna Eviantika. : Winarni Hadipratomo, Ir. PERHITUNGAN DAN PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BETON BERTULANG DENGAN PENAMPANG PERSEGI Oleh : Ratna Eviantika NRP : 0221028 Pembimbing : Winarni Hadipratomo, Ir. UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembebanan Komponen Struktur Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur direncanakan cukup kuat untuk memikul semua beban kerjanya. Pengertian beban itu

Lebih terperinci

1.6 Tujuan Penulisan Tugas Akhir 4

1.6 Tujuan Penulisan Tugas Akhir 4 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN i ii in KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI INTISARI v viii xii xiv xvii xxii BAB I PENDAHIJLUAN 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi DAFTAR SIMBOL a tinggi balok tegangan persegi ekuivalen pada diagram tegangan suatu penampang beton bertulang A b luas penampang bruto A c luas penampang beton yang menahan penyaluran geser A cp luasan

Lebih terperinci

= keliling dari pelat dan pondasi DAFTAR NOTASI. = tinggi balok tegangan beton persegi ekivalen. = luas penampang bruto dari beton

= keliling dari pelat dan pondasi DAFTAR NOTASI. = tinggi balok tegangan beton persegi ekivalen. = luas penampang bruto dari beton DAI'TAH NOTASI DAFTAR NOTASI a = tinggi balok tegangan beton persegi ekivalen Ab = luas penampang satu bentang tulangan, mm 2 Ag Ah AI = luas penampang bruto dari beton = luas dari tulangan geser yang

Lebih terperinci

Perencanaan Kolom Beton Bertulang terhadap Kombinasi Lentur dan Beban Aksial. Struktur Beton 1

Perencanaan Kolom Beton Bertulang terhadap Kombinasi Lentur dan Beban Aksial. Struktur Beton 1 Perencanaan Kolom Beton Bertulang terhadap Kombinasi Lentur dan Beban Aksial Struktur Beton 1 Perilaku Kolom terhadap Kombinasi Lentur dan Aksial Tekan Momen selalu digambarkan sebagai perkalian beban

Lebih terperinci

Bab V Studi Kasus Studi Kasus Ketahanan Kolom Terhadap Eksentrisitas berdasarkan Kekuatan Beton Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.1 Gambar 5.

Bab V Studi Kasus Studi Kasus Ketahanan Kolom Terhadap Eksentrisitas berdasarkan Kekuatan Beton Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.1 Gambar 5. Bab V Studi Kasus Studi Kasus Ketahanan Kolom Terhadap Eksentrisitas berdasarkan Kekuatan Beton Input Data: 1. Mutu beton, ƒ c = 30 Mpa dan 40 Mpa 2. Mutu tulangan, ƒ y = 400 Mpa 3. Dimensi kolom, b =

Lebih terperinci

STUDI DIAGRAM INTERAKSI SHEARWALL BETON BERTULANG PENAMPANG C DENGAN BANTUAN VISUAL BASIC 9

STUDI DIAGRAM INTERAKSI SHEARWALL BETON BERTULANG PENAMPANG C DENGAN BANTUAN VISUAL BASIC 9 TUGAS AKHIR STUDI DIAGRAM INTERAKSI SHEARWALL BETON BERTULANG PENAMPANG C DENGAN BANTUAN VISUAL BASIC 9 SWANDITO PURNAIUDA 3106 100 088 Dosen Pembimbing : Ir. Iman Wimbadi, MS Tavio, ST. MT. Ph.D PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan Tahap Sarjana pada

Lebih terperinci

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA. Oleh : KEVIN IMMANUEL KUSUMA NPM. :

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA. Oleh : KEVIN IMMANUEL KUSUMA NPM. : PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA Laporan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Oleh : KEVIN IMMANUEL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Konsep Perencanaan Struktur Beton Suatu struktur atau elemen struktur harus memenuhi dua kriteria yaitu : Kuat ( Strength )

BAB I PENDAHULUAN Konsep Perencanaan Struktur Beton Suatu struktur atau elemen struktur harus memenuhi dua kriteria yaitu : Kuat ( Strength ) BAB I PENDAHULUAN 1. Data Teknis Bangunan Data teknis dari bangunan yang akan direncanakan adalah sebagai berikut: a. Bangunan gedung lantai tiga berbentuk T b. Tinggi bangunan 12 m c. Panjang bangunan

Lebih terperinci

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek DAFTAR NOTASI A g = Luas bruto penampang (mm 2 ) A n = Luas bersih penampang (mm 2 ) A tp = Luas penampang tiang pancang (mm 2 ) A l =Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi (mm 2 ) A s = Luas

Lebih terperinci

MODUL KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG I LENTUR PADA PENAMPANG 4 PERSEGI. Oleh Dr. Ir. Resmi Bestari Muin, MS

MODUL KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG I LENTUR PADA PENAMPANG 4 PERSEGI. Oleh Dr. Ir. Resmi Bestari Muin, MS MODUL KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG I Minggu ke : 2 LENTUR PADA PENAMPANG 4 PERSEGI Oleh Dr. Ir. Resmi Bestari Muin, MS PRODI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL dan PERENCANAAN UNIVERSITAS MERCU BUANA

Lebih terperinci

ANALISA RASIO TULANGAN KOLOM BETON 6.0

ANALISA RASIO TULANGAN KOLOM BETON 6.0 ANALISA RASIO TULANGAN KOLOM BETON BERPENAMPANG BULAT MENGGUNAKAN VISUAL BASIC 6.0 Oleh : Indra Degree Karimah 3106 100 125 Dosen Pembimbing : Tavio, ST, MT, PhD. Ir. Iman Wimbadi, MS BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

STUDI KOLOM BIAKSIAL BERPENAMPANG BUJUR SANGKAR TANPA PENGEKANGAN DENGAN PEMROGRAMAN VISUAL BASIC 6.0

STUDI KOLOM BIAKSIAL BERPENAMPANG BUJUR SANGKAR TANPA PENGEKANGAN DENGAN PEMROGRAMAN VISUAL BASIC 6.0 STUDI KOLOM BIAKSIAL BERPENAMPANG BUJUR SANGKAR TANPA PENGEKANGAN DENGAN PEMROGRAMAN VISUAL BASIC 6.0 Oleh 1.Ir. Iman Wimbadi, M.S, 2.Tavio, S.T., M.T., Ph.D, 3. Riaditya Dwi Aryadi 1Dosen /Staf pengajar

Lebih terperinci

DAFfAR NOTASI. = Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi ( batang. = Luas dari tulangan geser dalam suatu jarak s. atau luas dari tulangan

DAFfAR NOTASI. = Luas total tulangan longitudinal yang menahan torsi ( batang. = Luas dari tulangan geser dalam suatu jarak s. atau luas dari tulangan NOTASI 1 DAFfAR NOTASI a = Tinggi blok tegangan beton persegi ekivalen Ab = Luas penampang satu batang tulangan. mm 2 Ag Ah AI = Luas penampang bruto dari beton = Luas dari tulangan geser yang pararel

Lebih terperinci

03. Semua komponen struktur diproporsikan untuk mendapatkan kekuatan yang. seimbang yang menggunakan unsur faktor beban dan faktor reduksi.

03. Semua komponen struktur diproporsikan untuk mendapatkan kekuatan yang. seimbang yang menggunakan unsur faktor beban dan faktor reduksi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan Perancangan struktur suatu bangunan gedung didasarkan pada besarnya kemampuan gedung menahan beban-beban yang bekerja padanya. Disamping itu juga harus memenuhi

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL BANDUNG

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL BANDUNG GRAFIK UNTUK ANALISIS DAN DESAIN KOLOM BETON BERTULANG TERHADAP BEBAN AKSIAL DAN LENTUR BERDASARKAN TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BETON UNTUK BANGUNAN GEDUNG (RSNI 03-XXXX-2002) Oleh : David Simon NRP

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Pendekatan. Untuk mengetahui besarnya pengaruh kekangan yang diberikan sengkang

BAB III METODOLOGI. 3.1 Pendekatan. Untuk mengetahui besarnya pengaruh kekangan yang diberikan sengkang BAB III METODOLOGI 3.1 Pendekatan Untuk mengetahui besarnya pengaruh kekangan yang diberikan sengkang terhadap kekakuan dan kekuatan struktur beton bertulang berlantai banyak pada studi ini melalui beberapa

Lebih terperinci

Pedoman Pengerjaan PERANCANGAN STRUKTUR BETON

Pedoman Pengerjaan PERANCANGAN STRUKTUR BETON Pedoman Pengerjaan PERANCANGAN STRUKTUR BETON I. Kriteria & Jadwal Pedoman ini disusun dengan tujuan untuk: Memberi gambaran tahapan dalam mengerjakan tugas Perancangan Struktur Beton agar prosedur desain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan SNI Untuk mendukung penulisan tugas akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan SNI Untuk mendukung penulisan tugas akhir ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pada saat ini kolom bangunan tinggi banyak menggunakan material beton bertulang. Seiring dengan berkembangnya teknologi bahan konstruksi di beberapa negara, kini sudah

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. silinde beton dapat digunakan rumus berikut: f c = (3.1)

BAB III LANDASAN TEORI. silinde beton dapat digunakan rumus berikut: f c = (3.1) BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kuat Tekan Beton Untuk memperoleh kuat tekan beton digunakan benda uji silinder beton berdiameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Untuk perhitungan kuat desak benda uji silinde beton

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembebanan Komponen Struktur Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur direncanakan cukup kuat untuk memikul semua beban kerjanya. Pengertian beban itu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Pembebanan merupakan faktor penting dalam merancang stuktur bangunan. Oleh karena itu, dalam merancang perlu diperhatikan beban-bean yang bekerja pada struktur agar

Lebih terperinci

Yogyakarta, Juni Penyusun

Yogyakarta, Juni Penyusun KATA PENGANTAR Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, dengan segala kerendahan hati serta puji syukur, kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala kasih sayang-nya sehingga

Lebih terperinci

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG TRANS NATIONAL CRIME CENTER MABES POLRI JAKARTA. Oleh : LEONARDO TRI PUTRA SIRAIT NPM.

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG TRANS NATIONAL CRIME CENTER MABES POLRI JAKARTA. Oleh : LEONARDO TRI PUTRA SIRAIT NPM. PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG TRANS NATIONAL CRIME CENTER MABES POLRI JAKARTA Laporan Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Oleh

Lebih terperinci

PERENCANAAN PORTAL BAJA 4 LANTAI DENGAN METODE PLASTISITAS DAN DIBANDINGKAN DENGAN METODE LRFD

PERENCANAAN PORTAL BAJA 4 LANTAI DENGAN METODE PLASTISITAS DAN DIBANDINGKAN DENGAN METODE LRFD PERENCANAAN PORTAL BAJA 4 LANTAI DENGAN METODE PLASTISITAS DAN DIBANDINGKAN DENGAN METODE LRFD TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan melengkapi syarat untuk menempuh Ujian Sarjana Teknik

Lebih terperinci

BAB II DASAR-DASAR DESAIN BETON BERTULANG. Beton merupakan suatu material yang menyerupai batu yang diperoleh dengan

BAB II DASAR-DASAR DESAIN BETON BERTULANG. Beton merupakan suatu material yang menyerupai batu yang diperoleh dengan BAB II DASAR-DASAR DESAIN BETON BERTULANG. Umum Beton merupakan suatu material yang menyerupai batu yang diperoleh dengan membuat suatu campuran yang mempunyai proporsi tertentudari semen, pasir, dan koral

Lebih terperinci

T I N J A U A N P U S T A K A

T I N J A U A N P U S T A K A B A B II T I N J A U A N P U S T A K A 2.1. Pembebanan Struktur Besarnya beban rencana struktur mengikuti ketentuan mengenai perencanaan dalam tata cara yang didasarkan pada asumsi bahwa struktur direncanakan

Lebih terperinci

Jenis-jenis Kolom : Kolom Ikat ( tied column Kolom Spiral ( spiral column Kolom Komposit

Jenis-jenis Kolom : Kolom Ikat ( tied column Kolom Spiral ( spiral column Kolom Komposit Pendahuluan Jenis-jenis Kolom : Wang (1986) 1. Kolom Ikat (tied column) biasanya berbentuk bujursangkar/lingkaran dimana tulangan utama memanjang kedudukannya dipegang oleh pengikat lateral terpisah yang

Lebih terperinci

tegangan tekan disebelah atas dan tegangan tarik di bagian bawah, yang harus ditahan oleh balok.

tegangan tekan disebelah atas dan tegangan tarik di bagian bawah, yang harus ditahan oleh balok. . LENTUR Bila suatu gelagar terletak diatas dua tumpuan sederhana, menerima beban yang menimbulkan momen lentur, maka terjadi deformasi (regangan) lentur. Pada kejadian momen lentur positif, regangan tekan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pemilihan Struktur Desain struktur harus memperhatikan beberapa aspek, diantaranya : Aspek Struktural ( kekuatan dan kekakuan struktur) Aspek ini merupakan aspek yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beton Beton didefinisikan sebagai campuran antara sement portland atau semen hidraulik yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan yang

Lebih terperinci

ANALISA PERBANDINGAN PERILAKU STRUKTUR PADA GEDUNG DENGAN VARIASI BENTUK PENAMPANG KOLOM BETON BERTULANG

ANALISA PERBANDINGAN PERILAKU STRUKTUR PADA GEDUNG DENGAN VARIASI BENTUK PENAMPANG KOLOM BETON BERTULANG ANALISA PERBANDINGAN PERILAKU STRUKTUR PADA GEDUNG DENGAN VARIASI BENTUK PENAMPANG KOLOM BETON BERTULANG TUGAS AKHIR Oleh: Riskiawan Ertanto NIM: 1104105018 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DAFTAR NOTASI... xviii

Lebih terperinci

ANALISIS KEKUATAN KOLOM PENDEK akibat BEBAN AKSIAL DAN LENTUR

ANALISIS KEKUATAN KOLOM PENDEK akibat BEBAN AKSIAL DAN LENTUR ANALISIS KEKUATAN KOLOM PENDEK akibat BEBAN AKSIAL DAN LENTUR 1. Analisa Kolom Pendek dgn Aksial Lentur. Keruntuhan Kolom 1. Kondisi Balanced. Kondisi Tekan Menentukan 3. Kondisi Tarik Menentukan Kapasitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Struktur Dalam perencaaan struktur bangunan harus mengikuti peraturan pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan struktur bangunan yang aman. Pengertian beban adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang aman. Pengertian beban di sini adalah beban-beban baik secara langsung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang aman. Pengertian beban di sini adalah beban-beban baik secara langsung BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Struktur Dalam perencanaan struktur bangunan harus mengikuti peraturanperaturan pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman. Pengertian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Prosedur Penelitian Untuk mengetahui penelitian mengenai pengaruh pengekangan untuk menambah kekuatan dan kekakuan dari sebuah kolom. Perubahan yang akan di lakukan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Dalam perencanaan suatu struktur bangunan harus memenuhi peraturanperaturan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan yang aman secara konstruksi berdasarkan

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²).

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²). DAFTAR NOTASI A cp Ag An Atp Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton (mm²). Luas bruto penampang (mm²). Luas bersih penampang (mm²). Luas penampang tiang pancang (mm²). Al Luas total tulangan

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. TINJAUAN UMUM Pada Studi Pustaka ini akan membahas mengenai dasar-dasar dalam merencanakan struktur untuk bangunan bertingkat. Dasar-dasar perencanaan tersebut berdasarkan referensi-referensi

Lebih terperinci

TUGASAKHffi PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KANTOR Y.KP.P. DENGAN SISTEM PRACETAK. Luas bagian penampang antara muka serat lentur tarik dan titik berat

TUGASAKHffi PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG KANTOR Y.KP.P. DENGAN SISTEM PRACETAK. Luas bagian penampang antara muka serat lentur tarik dan titik berat TUGASAKHffi DAF TAR NOTASI A Luas bagian penampang antara muka serat lentur tarik dan titik berat penampang bruto (mm 2 ) Ab Luas penampang satu batang tulangan (mm 2 ) Ac Luas penampang yang menahan pemindahan

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR 3.1. Pemodelan Struktur Pada tugas akhir ini, struktur dimodelkan tiga dimensi sebagai portal terbuka dengan penahan gaya lateral (gempa) menggunakan 2 tipe sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Tata Cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Tata Cara 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Struktur Dalam perencanaan komponen struktur terutama struktur beton bertulang harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Tata Cara Perhitungan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR KONSTRUKSI BAJA GEDUNG DENGAN PERBESARAN KOLOM

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR KONSTRUKSI BAJA GEDUNG DENGAN PERBESARAN KOLOM TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR KONSTRUKSI BAJA GEDUNG DENGAN PERBESARAN KOLOM Diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknik Setrata I (S-1) Disusun oleh : NAMA : WAHYUDIN NIM : 41111110031

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. xxvii. A cp

DAFTAR NOTASI. xxvii. A cp A cp Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b bo bw C C m Cc Cs d DAFTAR NOTASI = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas bruto penampang (mm²) = Luas bersih penampang (mm²) = Luas penampang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Struktur bangunan bertingkat tinggi memiliki tantangan tersendiri dalam desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang memiliki faktor resiko

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Struktur Bangunan Suatu sistem struktur kerangka terdiri dari rakitan elemen struktur. Dalam sistem struktur konstruksi beton bertulang, elemen balok, kolom, atau dinding

Lebih terperinci

PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BAJA BERDASARKAN TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG (SNI ) MENGGUNAKAN MATLAB

PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BAJA BERDASARKAN TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG (SNI ) MENGGUNAKAN MATLAB PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BAJA BERDASARKAN TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG (SNI 03-1729-2002) MENGGUNAKAN MATLAB R. Dhinny Nuraeni NRP : 0321072 Pembimbing : Ir. Ginardy

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²)

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²) DAFTAR NOTASI A cp Acv Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas bruto penampang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beban Struktur Pada suatu struktur bangunan, terdapat beberapa jenis beban yang bekerja. Struktur bangunan yang direncanakan harus mampu menahan beban-beban yang bekerja pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembebanan Komponen Struktur Pada perencanaan bangunan bertingkat tinggi, komponen struktur direncanakan cukup kuat untuk memikul semua beban kerjanya. Pengertian beban itu

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450 PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI 02-1726-2002 DAN FEMA 450 Eben Tulus NRP: 0221087 Pembimbing: Yosafat Aji Pranata, ST., MT JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. LEMBAR JUDUL... i KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... ABSTRAK...

DAFTAR ISI. LEMBAR JUDUL... i KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... ABSTRAK... DAFTAR ISI HALAMAN LEMBAR JUDUL... i KATA PENGANTAR...... ii UCAPAN TERIMA KASIH......... iii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR TABEL...... v DAFTAR GAMBAR...... vi ABSTRAK...... vii BAB 1PENDAHULUAN... 9 1.1.Umum...

Lebih terperinci

Penerbit Universiras SematangISBN X Judul Struktur Beton

Penerbit Universiras SematangISBN X Judul Struktur Beton Penerbit Universiras SematangISBN. 979. 9156-22-X Judul Struktur Beton Struktur Beton Ir. H. Armeyn, MT Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil dan Geodesi Institut Teknologi Padang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tengah sekitar 0,005 mm 0,01 mm. Serat ini dapat dipintal menjadi benang atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tengah sekitar 0,005 mm 0,01 mm. Serat ini dapat dipintal menjadi benang atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fiber Glass Fiber glass adalah kaca cair yang ditarik menjadi serat tipis dengan garis tengah sekitar 0,005 mm 0,01 mm. Serat ini dapat dipintal menjadi benang atau ditenun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beton Beton pada dasarnya adalah campuran yang terdiri dari agregat kasar dan agregat halus yang dicampur dengan air dan semen sebagai pengikat dan pengisi antara agregat kasar

Lebih terperinci

BAB IV POKOK PEMBAHASAN DESAIN. Perhitungan prarencana bertujuan untuk menghitung dimensi-dimensi

BAB IV POKOK PEMBAHASAN DESAIN. Perhitungan prarencana bertujuan untuk menghitung dimensi-dimensi BAB IV POKOK PEMBAHASAN DESAIN 4.1 Perencanaan Awal (Preliminary Design) Perhitungan prarencana bertujuan untuk menghitung dimensi-dimensi rencana struktur, yaitu pelat, balok dan kolom agar diperoleh

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. beban hidup dan beban mati pada lantai yang selanjutnya akan disalurkan ke

BAB III LANDASAN TEORI. beban hidup dan beban mati pada lantai yang selanjutnya akan disalurkan ke BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Pelat Pelat beton (concrete slabs) merupakan elemen struktural yang menerima beban hidup dan beban mati pada lantai yang selanjutnya akan disalurkan ke balok dan kolom sampai

Lebih terperinci

Struktur Baja 2. Kolom

Struktur Baja 2. Kolom Struktur Baja 2 Kolom Perencanaan Berdasarkan LRFD (Load and Resistance Factor Design) fr n Q i i R n = Kekuatan nominal Q = Beban nominal f = Faktor reduksi kekuatan = Faktor beban Kombinasi pembebanan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN BAB III METODOLOGI PERENCANAAN III.. Gambaran umum Metodologi perencanaan desain struktur atas pada proyek gedung perkantoran yang kami lakukan adalah dengan mempelajari data-data yang ada seperti gambar

Lebih terperinci

FAKTOR KEAMANAN (Safety Factor)*

FAKTOR KEAMANAN (Safety Factor)* TKS 6112 Keandalan Struktur FAKTOR KEAMANAN (Safety Factor)* * www.zacoeb.lecture.ub.ac.id Pendahuluan Faktor keamanan atau Safety Factor (SF) adalah suatu hal yang sangat penting dalam analisis dan perencanaan

Lebih terperinci

TULANGAN GESER. tegangan yang terjadi

TULANGAN GESER. tegangan yang terjadi TULANGAN GESER I. PENDAHULUAN Semua elemen struktur balok, baik struktur beton maupun baja, tidak terlepas dari masalah gaya geser. Gaya geser umumnya tidak bekerja sendirian, tetapi berkombinasi dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembebanan Komponen Struktur Dalam perencanaan bangunan tinggi, struktur gedung harus direncanakan agar kuat menahan semua beban yang bekerja padanya. Berdasarkan Arah kerja

Lebih terperinci

Struktur Beton Bertulang

Struktur Beton Bertulang Struktur Beton Bertulang Beton dan Beton Bertulang Beton adalah campuran pasir, kerikil atau batu pecah, semen, dan air. Bahan lain (admixtures) dapat ditambahkan pada campuran beton untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA ( )

Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA ( ) Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA (3109 106 045) Dosen Pembimbing: BUDI SUSWANTO, ST.,MT.,PhD. Ir. R SOEWARDOJO, M.Sc PROGRAM SARJANA LINTAS JALUR JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. dibebani gaya tekan tertentu oleh mesin tekan.

BAB III LANDASAN TEORI. dibebani gaya tekan tertentu oleh mesin tekan. BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Kuat Tekan Beton Berdasarkan SNI 03 1974 1990 kuat tekan beton merupakan besarnya beban per satuan luas, yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani gaya tekan tertentu

Lebih terperinci

STUDI DAKTILITAS DAN KUAT LENTUR BALOK BETON RINGAN DAN BETON MUTU TINGGI BERTULANG

STUDI DAKTILITAS DAN KUAT LENTUR BALOK BETON RINGAN DAN BETON MUTU TINGGI BERTULANG 9 Vol. Thn. XV April 8 ISSN: 854-847 STUDI DAKTILITAS DAN KUAT LENTUR BALOK BETON RINGAN DAN BETON MUTU TINGGI BERTULANG Ruddy Kurniawan, Pebrianti Laboratorium Material dan Struktur Jurusan Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kolom adalah batang tekan vertikal dari rangka struktural yang memikul beban dari balok. Kolom meneruskan beban-beban dari elevasi atas ke elevasi yang lebih bawah hingga akhirnya

Lebih terperinci

Bab II STUDI PUSTAKA

Bab II STUDI PUSTAKA Bab II STUDI PUSTAKA 2.1 Pengertian Sambungan, dan Momen 1. Sambungan adalah lokasi dimana ujung-ujung batang bertemu. Umumnya sambungan dapat menyalurkan ketiga jenis gaya dalam. Beberapa jenis sambungan

Lebih terperinci

DAFTAR ISTILAH. Al = Luas total tulangan longitudinal yang memikul puntir

DAFTAR ISTILAH. Al = Luas total tulangan longitudinal yang memikul puntir DAFTAR ISTILAH A0 = Luas bruto yang dibatasi oleh lintasan aliran geser (mm 2 ) A0h = Luas daerah yang dibatasi oleh garis pusat tulangan sengkang torsi terluar (mm 2 ) Ac = Luas inti komponen struktur

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman Judul i Pengesahan ii Persetujuan iii Surat Pernyataan iv Kata Pengantar v DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR NOTASI xviii DAFTAR LAMPIRAN xxiii ABSTRAK xxiv ABSTRACT

Lebih terperinci

3.4.5 Beban Geser Dasar Nominal Statik Ekuivalen (V) Beban Geser Dasar Akibat Gempa Sepanjang Tinggi Gedung (F i )

3.4.5 Beban Geser Dasar Nominal Statik Ekuivalen (V) Beban Geser Dasar Akibat Gempa Sepanjang Tinggi Gedung (F i ) DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... iv KATA PENGANTAR... v HALAMAN PERSEMBAHAN... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xii

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK SENGKANG TERHADAP KAPASITAS BEBAN AKSIAL MAKSIMUM KOLOM BETON BERPENAMPANG LINGKARAN DAN SEGI EMPAT

PENGARUH JARAK SENGKANG TERHADAP KAPASITAS BEBAN AKSIAL MAKSIMUM KOLOM BETON BERPENAMPANG LINGKARAN DAN SEGI EMPAT PENGARUH JARAK SENGKANG TERHADAP KAPASITAS BEBAN AKSIAL MAKSIMUM KOLOM BETON BERPENAMPANG LINGKARAN DAN SEGI EMPAT Febrianti Kumaseh S. Wallah, R. Pandaleke Fakultas Teknik, Jurusan Sipil Universitas Sam

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. A cp. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

DAFTAR NOTASI. A cp. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom DAFTAR NOTASI A cp Acv Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b bo bw C Cc Cd = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom (mm²) = Luas bruto

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom A cp Acv Ag An Atp Al Ao Aoh As As At Av b bo bw C Cc Cs d DAFTAR NOTASI = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom (mm²) = Luas

Lebih terperinci

Desain Elemen Lentur Sesuai SNI

Desain Elemen Lentur Sesuai SNI DesainElemenLentur Sesuai SNI 03 2847 2002 2002 Balok Beton Bertulang Blkdik Balok dikenal sebagai elemen lentur, yaituelemen struktur yang dominan memikul gaya dalam berupa momen lentur dan juga geser.

Lebih terperinci

STRUKTUR BETON BERTULANG II

STRUKTUR BETON BERTULANG II MODUL KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG II Bahan Kuliah E-Learning Kelas Karyawan Minggu ke : 1 PENDAHULUAN Oleh Dr. Ir. Resmi Bestari Muin, MS PRODI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL dan PERENCANAAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

STRUKTUR BETON BERTULANG II

STRUKTUR BETON BERTULANG II MODUL KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG II Bahan Kuliah E-Learning Kelas Karyawan Minggu ke : 2 KOLOM PENDEK Oleh Dr. Ir. Resmi Bestari Muin, MS PRODI TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL dan PERENCANAAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci