Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1..."

Transkripsi

1 Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA Gambar Lokasi pengambilan sampel mikrodiorit pada puncak Gunung Merak STA Gambar Lokasi pengambilan sampel serpentinit pada lereng barat laut Gunung Jabalkat STA Gambar Lokasi pengambilan sampel gabro pada lereng tenggara Gunung Jabalkat STA Gambar Lokasi pengambilan sampel filit pada lereng timur Gunung Jabalkat STA Gambar Kenampakan mikroskopis hornfels klinopiroksen Gambar Kenampakan mikroskopis marmer kalsit Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde garnet klinopiroksen Gambar Kenampakan mikroskopis mikrodiorit klinopiroksen Gambar Kenampakan mikroskopis serpentinit Gambar Kenampakan mikroskopis gabro olivin Gambar Kenampakan mikroskopis filit kuarsa Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde Gambar 6.1. Hubungan antara struktur ekstensi dan mineralisasi (Corbett dan Leach). 80 Gambar 6.2. Interpretasi pola struktur pada daerah penelitian Gambar 6.3. Model endapan mineral (Corbett, 2004 dengan modifikasi) Gambar 6.4. Tekstur sisa (relict texture) pada hornfels Gambar 6.5. Kenampakan secara mineragrafi mineral-mineral sulfida dan oksida Gambar 6.6. Kenampakan mineral garnet dan klinopiroksen pada conto tangan Gambar 6.7. Kenampakan zona proksimal prograde eksoskarn di lapangan Gambar 6.8. Pembagian zonasi skarn Gambar 6.9. Peta zonasi ubahan batuan skarn pada Desa Pagerjurang Gambar Profil sayatan zonasi ubahan batuan skarn Desa Pagerjurang Gambar Kenampakan zona retrograde eksoskarn xi

2 Gambar Model genetik pembentukan endapan skarn pada daerah Desa Pagerjurang xii

3 DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Jadwal penelitian... 6 Tabel 3.1. Zonasi pada skarn (Kerrick, 1977 dalam Winter, 2001) Tabel 3.2. Mineral-mineral skarn (Meinert, 1992) Tabel 4.1. Peralatan lapangan Tabel 5.1. Data hasil analisis menggunakan metode X-Ray Diffraction (XRD) STA Tabel 5.2. Mineral-mineral logam yang dijumpai pada daerah penelitian Tabel 6.1. Paragenesis mineral pada endapan skarn Pagerjurang xiii

4 SARI Daerah Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks. Salah satu batuan yang tertua di Jawa, yang berupa kompleks batuan metamorf dan batuan Paleogen juga tersingkap di daerah ini. Metamorfisme yang terdapat di daerah ini secara umum merupakan metamorfisme regional yang ditandai oleh kehadiran dari batuan-batuan metamorf berfoliasi seperti sekis mika. Namun demikian, pada daerah penelitian juga dijumpai kehadiran metamorfisme kontak yang merupakan indikasi dari keberadaan batuan skarn. Ubahan batuan tipe skarn disebabkan oleh metamorfisme kontak dan proses metasomatisme oleh karena adanya larutan hidrotermal yang berasal dari intrusi yang menerobos batugamping dan batulanau. Karakteristik mineralogi dan paragenesis mineral di daerah penelitian merupakan kumpulan hasil interpretasi data petrografi, mineragrafi, dan XRD pada tiap sampel batuan yang mewakili zona skarn prograde dan zona skarn retrograde. Mineralisasi endapan skarn yang ada pada daerah penelitian terjadi pada kontak litologi batugamping dengan batulanau yang telah terubah menjadi marmer dan hornfels. Mineralisasi pada daerah penelitian dikontrol oleh tren geologi struktur dengan arah NE-SW dan NW-SE, yaitu struktur geologi Sesar Mendatar Dekstral Melikan dan Sesar Mendatar Sinistral Pagerjurang. Pembagian zonasi skarn pada daerah penelitian dibagi menjadi 3, yaitu 1) zona proksimal prograde eksoskarn yang dicirikan dengan kehadiran mineral garnet (grosular) yang lebih melimpah dibandingkan kehadiran klinopiroksen (wolastonit-augit-diopsid-hedenbergit); 2) zona distal prograde eksoskarn yang dicirikan oleh kehadiran garnet lebih sedikit dibandingkan dengan kehadiran klinopiroksen; dan 3) zona retrograde eksoskarn yang dicirikan oleh kehadiran mineral epidot, kaolin, klorit, dan goetit. Sistem endapan skarn pada daerah penelitian yaitu skarn Fe-Cu-Pb-Zn. Kata kunci: metamorfisme kontak, skarn Fe-Cu-Pb-Zn, Perbukitan Jiwo, Bayat xiv

5 ABSTRACT Jiwo Hills area in the Bayat District, Klaten Regency, Central Java Province is a relatively small area but with a complex geological condition. Some of the oldest rocks in Java, that consist of metamorphic rocks and Paleogene sedimentary rocks, are exposed in this area. Metamorphism is generally of a regional metamorphism style characterized by the presence of mica schist. However, at Pagerjurang village we found a contact metamorphism as indicated by the occurence of skarn rocks. Skarn is likely to be formed by contact metamorphism and metasomatism by hydrothermal solutions derived from magma (intrusion) that affected limestone and siltstone. Characteristics of mineralogy and mineral paragenesis of the skarn are studied by petrography, mineragraphy, and XRD analysis on rock samples representing different zone of prograde and retrograde skarn. Skarn alteration and mineralization focus at the bedding contact of limestone and siltstone, that has been altered to marble and hornfels. Mineralization is controlled by the NE-SW and NW- SE trending geological structures, there are Melikan Dextral Strike Slip Fault and Pagerjurang Sinistral Strike Slip Fault. The skarn can be divided into three zones, namely 1) proximal prograde exoskarn zone characterized by the presence of garnet (grossular) more abundant than clinopyroxene (wollastonite-augitediopside-hedenbergite); 2) distal prograde exoskarn zone, characterized by the presence of garnet which is less than clinopyroxene; and 3) retrograde exoskarn zone, that is characterized by the presence of epidote, kaolin, chlorite, and goethite. Skarn system in the research area is characterized by Fe-Cu-Pb-Zn skarn system. Keywords: contact metamorphism, Fe-Cu-Pb-Zn skarn, Jiwo Hills, Bayat xv

6 BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. I.2. Latar Belakang Masalah Daerah Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks. Semua jenis batuan dapat dijumpai di daerah ini pada tempat-tempat singkapan yang mudah dicapai. Salah satu batuan yang tertua di Jawa, yang berupa kompleks batuan metamorf dan batuan Paleogen juga tersingkap di daerah ini. Metamorfisme yang terdapat di daerah ini secara umum merupakan metamorfisme regional yang ditandai oleh kehadiran dari batuan-batuan metamorf berfoliasi seperti sekis mika. Namun demikian, pada daerah penelitian dijumpai indikasi kehadiran metamorfisme kontak yang merupakan tipe metamorfisme yang berlangsung pada daerah intrusi batuan beku sebagai akibat dari panas yang merupakan efek dari magma yang mengintrusi batuan dingin yang berada di sekitarnya. Fenomena ini, yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, dijumpai di Desa Pagerjurang dan sekitarnya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Tersingkapnya batuan yang dimaksud merupakan akibat dari suatu kegiatan pembukaan lahan untuk pembangunan areal pertokoan gerabah yang menjadi komoditi dagang sebagian besar warga Desa Pagerjurang dan sekitarnya, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Di sekitar Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, batuan yang dijumpai didominasi oleh batuan metamorf, batuan sedimen Eosen, dan intrusi batuan beku. Batuan sedimen berumur Eosen yang dijumpai berupa batupasir dengan sisipan batugamping yang kaya akan foraminifera besar (Samodra dan Sutisna, 1997). Batuan tersebut diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit anggota dari Diorit Pendul (Surono dkk., 2006). Penerobosan ini diduga terjadi pada Oligosen Awal (Soeria- 1

7 Atmadja dkk., 1991), yang menjadi fokus penelitian akan keterdapatan batuan skarn yang ada di daerah penelitian. Namun demikian, bukti efek dari intrusi seperti metamorfisme kontak sangatlah sulit untuk ditemukan. Endapan skarn pertama kali dinyatakan sebagai batuan metamorf hasil kontak antara batuan sedimen karbonatan dengan intrusi magma oleh ahli petrologi metamorf, dengan terjadinya perubahan kandungan batuan sedimen yang kaya karbonat, besi, dan magnesium menjadi kaya akan kandungan Si, Al, Fe dan Mg akibat proses metasomatisme pada intrusi atau di dekat intrusi batuan beku (Best, 2003). Pada penelitian ini akan dilakukan pemetaan penyebaran alterasi tipe skarn serta analisis mineralogi pada endapan skarn yang terdapat pada daerah penelitian. Hal ini penting dilakukan untuk memahami karakteristik dan genesa atau asal mula terbentuknya skarn yang terdapat pada daerah penelitian serta penentuan batuan asal dari endapan skarn serta batuan penorobos. I.3. Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik dan genesa batuan skarn di daerah penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui karakterstik ubahan batuan tipe skarn yang terdapat di daerah penelitian. 2. Mengetahui genesa atau asal mula terbentuknya ubahan batuan tipe skarn di daerah penelitian, termasuk batuan asalnya. 3. Mengetahui penyebaran batuan skarn di daerah penelitian. I.4. Batasan Masalah Masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini terfokus pada penyebaran ubahan batuan tipe skarn dan karakteristiknya, serta genesa atau asal mula terbentuknya ubahan batuan tipe skarn di daerah penelitian. Batasan masalah pada penelitian ini yaitu pemetaan penyebaran skarn di daerah penelitian dan penggunaan analisis laboratorium berupa petrografi, mineragrafi, dan analisis X- Ray Diffraction (XRD). Kemudian, untuk penentuan umur batuan yang terdapat 2

8 pada daerah penelitian, digunakan data sekunder yaitu geologi regional Perbukitan Jiwo dan Pegunungan Selatan. I.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian mengenai Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah ini, diharapkan dapat memberikan Gambaran mengenai genesa terbentuknya ubahan batuan skarn, tipe batuan skarn, karakteristik mineralisasi endapan skarn berdasarkan pada studi megaskopis, mikroskopis, dan analisis X-Ray Diffraction (XRD) serta penyebarannya yang terdapat di daerah penelitian. Selain berguna untuk keperluan ilmu pengetahuan, harapannya hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi tambahan dan bahan pembelajaran dalam Kuliah Lapangan Geologi Bayat yang diselenggarakan oleh Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada tiap tahunnya, maupun penyelenggara dari institusi lain. Selain itu juga dapat memberikan informasi mengenai kegunaan mineral-mineral endapan skarn yang terdapat di daerah penelitian pada industri-industri yang bernilai ekonomis. I.6. Ruang Lingkup I.6.1. Ruang Lingkup Wilayah Wilayah penelitian (Gambar 1.1) berada pada Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Daerah penelitian termasuk ke dalam peta geologi regional lembar Surakarta-Giritontro, Jawa (Surono dkk., 1992), peta geologi regional lembar Klaten (Bayat), Jawa (Samodra dan Sutisna, 1997), dan peta Rupabumi Digital Indonesia lembar Cawas. Daerah penelitian dapat dicapai dengan menempuh selama 45 menit dari Kota Yogyakarta dengan menggunakan kendaraan darat. 3

9 Gambar 1.1. Lokasi daerah penelitian I.6.2. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian berupa identifikasi tipe dan karakterisasi ubahan batuan tipe skarn, pemetaan penyebaran ubahan batuan skarn serta genesanya, dan melakukan pemetaan geologi dengan areal daerah penelitian sebesar 1,5x2 km dengan skala 1: (Gambar 1.2). Pemetaan geologi dilakukan pada bagian selatan dari Perbukitan Jiwo Barat. Kemudian pada daerah fokus penelitian ubahan batuan skarn dilakukan pemetaan penyebaran skarn secara lebih detail dan sistematik. Pemetaan pada daerah fokus penelitian tersebut dilakukan dengan skala 1:350 (Gambar 1.3). Daerah fokus penelitian berada pada lereng sisi barat daya dari Gunung Jabalkat, tepatnya pada Desa Pagerjurang. 4

10 Gambar 1.2. Peta topografi daerah Jiwo Barat Gambar 1.3. Peta topografi daerah Pagerjurang 5

11 I.6.3. Ruang Lingkup Waktu Penelitian diawali dengan studi pustaka dan pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Mei 2013 September 2013, setelah itu dilakukan analisa dan interpretasi data dan dilanjutkan dengan pembuatan laporan. Di bawah ini rincian waktu penelitian. Tabel 1.1 Jadwal penelitian 6

12 BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Geologi Regional Pegunungan Selatan Zona regional Pegunungan Selatan merupakan suatu barisan bukit yang memanjang di selatan Pulau Jawa tepatnya dari bagian tenggara dari Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan memanjang ke arah timur di sepanjang pantai selatan Jawa Timur. Litologi penyusun dari zona Pegunungan Selatan ini merupakan batuan sedimen dengan jenis vulkaniklastik, karbonat, dan batuan terobosan. Litologi penyusun zona ini lebih didominasi oleh batuan karbonat berumur Neogen, yang melampar luas dan menumpang di atas batuan vulkaniklastik berumur Paleogen dan Neogen awal secara tidak selaras di atas bidang erosi (Rahardjo, 2004). Secara umum, batuan yang terendapkan di zona ini termiringkan ke arah selatan dengan kemiringan terjal di bagian utara dan landai di bagian selatan. Struktur sesar dan kekar yang berkembang mengontrol pola pengaliran yang ada di daerah Pegunungan Selatan (Rahardjo, 2004). II.1.1 Geomorfologi Secara garis besar Fisiografi Jawa Bagian Tengah-Timur dan Pulau Madura (Gambar 2.1) dapat dibagi menjadi lima zona fisiografis menurut van Bemmelen (1970), yaitu: 1. Zona Pegunungan Selatan 2. Zona Solo atau Depresi tengah 3. Zona Kendeng 4. Depresi Randublatung 5. Zona Rembang Zona Pegunungan Selatan merupakan pegunungan struktural yang memanjang timur-barat searah bentuk geometri Pulau Jawa dan terbagi menjadi Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Pegunungan Selatan Jawa Barat. Daerah penelitian termasuk pada bagian barat Pegunungan Selatan Jawa Timur, yang 7

13 secara fisiografi masih dapat dibagi menjadi 3 bagian morfologi (Toha dkk., 1994 dalam Wartono, 2004), yaitu : 1. Bagian utara yang ditandai oleh rangkaian Baturagung Masif - Panggung Masif, dicirikan oleh relief yang kuat dan tersusun dominan oleh batuan vulkaniklastik. 2. Bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang tersusun oleh perselingan batugamping berlapis dan napal. 3. Bagian selatan yang disebut sebagai kompleks Gunung Sewu, memiliki karakteristik bentang alam kars, tersusun oleh batugamping terumbu dan batugamping berlapis. Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Bagian Tengah Timur dan Pulau Madura (Van Bemmelen, 1970 dengan modifikasi) II.1.2 Stratigrafi Secara stratigrafi Pegunungan Selatan tersusun oleh 8 formasi yang ditutup oleh endapan-endapan alluvium Holosen. Hampir keseluruhan batuan sedimen penyusun ke 8 formasi tersebut mempunyai kemiringan ke arah selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda (Surono dkk., 1992; lihat Gambar 2.2) adalah Formasi Wungkal-Gamping, Formasi Kebo Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, kemudian dilanjutkan Formasi 8

14 Sambipitu dan Formasi Oyo. Selanjutnya, di atasnya diendapkan batugamping terumbu dan asosiasinya secara menjari dan tidak selaras setempat yang disebut Formasi Wonosari. Selanjutnya formasi ini di bagian barat pada Kala Miosen Akhir berubah menjadi Formasi Kepek. Kemudian dilanjutkan oleh Endapan Kuarter yang tidak selaras menumpang di atasnya (Samodra dan Sutisna, 1997). 1. Formasi Wungkal-Gamping Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dkk., 2004). Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, Nummulittes bagelensis VERBEEK, dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam. Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan Kali Oyo di utara Gunung Gede, menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di atasnya secara tidak selaras dan tertutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi (volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu (Samodra dan Sutisna, 1997). 9

15 2. Formasi Kebo Butak Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain, dan bersifat andesitan sampai dasitan (Toha dkk., 1994 dalam Rahardjo, 2004). Di bagian bawah disebut sebagai Kebo beds yang tersusun antara batupasir, batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit dengan perselingan batupasir, batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004). Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota Butak yang tersusun oleh pengulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau. Ketebalan rata rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Litologi yang membentuk Formasi Kebo Butak ini diinterpretasikan mengendap di daerah submarine fan dengan interupsi sesekali oleh mid fan (Rahardjo, 1983 dalam Rahardjo 2004), serta terbentuk saat Oligosen Akhir (N2/N3) (Sumarso & Ismoyowati, 1975; van Gorsel, 1987 dalam Rahardjo, 2004). 3. Formasi Semilir Secara umum formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat tufaan, ringan, dan kadang-kadang diselingi oleh selaan breksi vulkanik (Rahardjo, 2004). Tuff yang menjadi penyusun Formasi ini berada di bagian tengah dengan warna abu abu cerah dan dapat dijejaki hingga jauh ke arah timur (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004). Di lapangan biasanya dijumpai pelapisan yang begitu baik, dan struktur yang mencirikan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapan berlangsung secara cepat atau berada pada daerah yang sangat dalam dan berada pada daerah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum mencapai dasar pengendapan. Formasi Semilir ini menumpang secara selaras di atas anggota Butak dari Formasi Kebo-Butak yang tersingkap secara baik di wilayahnya yaitu di tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir (Rahardjo, 2004). Umur dari formasi ini diduga adalah awal Miosen (Samodra dan Sutisna, 1997). 10

16 4. Formasi Nglanggran Formasi ini berbeda dengan formasi-formasi sebelumnya yang dicirikan oleh penyusun utamanya berupa breksi dengan penyusun material vulkanik dan tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar pada bagian yang terkasar. Breksi hampir seluruhnya tersusun oleh bongkahbongkah lava andesit sebagian besar telah mengalami breksiasi. Formasi ini ditafsirkan sebagai pengendapan dari aliran rombakan yang berasal dari gunungapi bawah laut, dalam lingkungan laut, dan proses pengendapan berjalan cepat hanya selama Awal Miosen (Rahardjo, 2004). Singkapan utama dari formasi ini adalah di Gunung Nglanggran pada Perbukitan Baturagung. Kontak dengan Formasi Semilir pada bagian bawah merupakan kontak yang tajam. Hal inilah yang menyebabkan Formasi Nglanggran dianggap menumpang tidak selaras di atas Formasi Semilir. Namun harus diperhatikan bahwa pengendapan formasi ini terjadi akibat adanya peningkatan kekuatan pengendapan dari sedang atau rendah ke energi yang jauh lebih tinggi, sehingga sangat dimungkinkan hal ini terjadi sebagai dampak dari gaya berat (van Gorsel, 1987 dalam Rahardjo, 2004). 5. Formasi Sambipitu Di atas Formasi Nglanggran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke arah atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbid (Rahardjo, 2004). Perubahan menjadi Formasi Oyo yang berada di atasnya adalah secara gradasional seperti yang tersingkap di Sungai Widoro dekat Hutan Bunder. 11

17 Formasi ini mengalami pembentukan pada Kala Miosen, yaitu N4 N8 (Kadar, 1986 dalam Rahardjo, 2004). Gambar 2.2. Tatanan stratigrafi Pegunungan Selatan menurut Bothe (1929), Van Bamelen (1949), Sumarso (1976), Surono (1992) 6. Formasi Oyo Formasi ini terutama terdiri dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah bagian dari Pegunungan Selatan memanjang ke timur, membelok ke arah utara di sebelah Perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri-Baturetno. Formasi ini merupakan formasi yang tertua di antara seri Formasi Oyo Wonosari dan Kepek. Bagian terbawah dari Formasi Oyo terutama tersusun dari batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang terendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan di daerah dekat muara sungai Widoro masuk ke Sungai Oyo (Rahardjo, 2004). Di lapangan, batugamping Formasi Oyo terlihat sebagai batugamping berlapis. Pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burial yang 12

18 terdapat pada bidang permukaaan perlapisan ataupun memotong sejajar perlapisan (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004). Umur dari formasi ini adalah N8 N11 dan memiliki tebal 140 m (Surono dkk., 1992). 7. Formasi Wonosari Selaras di atas Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo, terdapat Formasi Wonosari. Lokasi tipenya berada di daerah Wonosari. Litologi penyusun dari formasi ini semakin ke selatan berupa batugamping berlapis yang berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, floatstone, bersifat lebih keras (Bothe, 1929 dalam Rahardjo, 2004). Selain itu secara setempat ditemukan batupasir tuffan, napal tuffan, serta batulanau. Sifat tuffan akan semakin dominan pada batuan anggota formasi ini di bagian utara. Umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah Miosen Akhir (N12 N17) dan memiliki tebal 750 m (Surono dkk., 1992). 8. Formasi Kepek Di barat daya Kota Wonosari, batugamping terumbu anggota Formasi Wonosari berubah menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, yang disebut sebagai Formasi Kepek. Formasi Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri Baturetno, di bawah endapan Kuarter seperti yang terdapat pada daerah Eromoko (Rahardjo, 2004). Formasi ini berdasarkan kandungan fosil foraminifera memiliki umur awal Pliosen (Rahardjo, 2007). Selain itu, satuan ini memiliki tebal sekitar 200 m (Surono dkk., 1992). 9. Endapan Kuarter Di atas seri batuan Tersier menumpang kelompok sedimen yang sudah agak mengeras hingga masih lepas secara tidak selaras (Samodra dan Sutisna, 1997). Proses pembentukannya masih berlanjut hingga saat ini, sehingga disebut sebagai endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari timur laut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri-Baturetno serta dataran Bantul. Singkapan yang baik dari endapan Kuarter ini terdapat di daerah Eromoko sekitar Waduk Gadjah Mungkur. Secara stratigrafi endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri terletak tidak selaras di atas Endapan Tersier yang berupa batugamping berlapis dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari Formasi 13

19 Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan Kuarter tersebut adalah lebih dari 25 meter (Samodra dan Sutisna, 1997). Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan Plistosen Bawah. Stratigrafi endapan Kuarter di daerah Eromoko, Wonogiri secara vertikal tersusun dari perulangan tufa halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batupasir kasar ke batupasir sedang dengan lensalensa konglomerat. Batupasir tersebut mempunyai struktur silang-siur tipe palung, sedangkan lapisan tufa terdapat di bagian bawah, tengah dan atas. Pada saat lapisan tufa terbentuk, terjadi juga aktivitas sungai yang menghasilkan konglomerat (Surono dkk., 1992). II.1.3 Struktur Geologi Menurut penelitian Sudarno (1997), pola struktur geologi yang berkembang di Pegunungan Selatan dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu : 1. Arah timur laut barat daya yang umumnya menyebabkan sesar geser sinistral akibat penunjaman lempeng Indo-Australia selama Eosen Akhir- Akhir Meosen Tengah. Arah ini juga ditunjukkan oleh kelurusan di sepanjang Sungai Opak dan Bengawan Solo. 2. Arah Utara Selatan yang sebagian besar juga menyebabkan sesar geser sinistral, kecuali pada batas barat Pegunungan Selatan sebagian besar merupakan sesar turun. 3. Arah Barat Laut - Tenggara yang umumnya menyebabkan sesar geser dekstral. Tahapan kedua dan ketiga ini tampak seperti pasangan rekahan yang terbentuk akibat gaya kompresi berarah Barat Laut - Tenggara yang berkembang selama Pliosen Akhir. 4. Arah Timur Barat yang sebagian besar menyebabkan sesar turun akibat gaya regangan berarah Utara Selatan yang berkembang selama Pleistosen Awal. Gaya regangan ini pula yang mengaktifkan kembali sesar- sesar yang telah ada sebelumnya menjadi patahan normal. II.2 Geologi Regional Perbukitan Jiwo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah Perbukitan Jiwo adalah merupakan serangkaian perbukitan rendah yang terletak di sebelah selatan Kota Klaten. Perbukitan ini merupakan perbukitan 14

20 terisolir, mencuat pada dataran rendah di sebelah utara dari perbukitan Baturagung dan merupakan bagian dari Pegunungan Selatan di Jawa Tengah. Dataran rendah yang mengelilinginya terutama tersusun oleh endapan limpahan dari Sungai Dengkeng dan bercampur dengan endapan fluvio-volcanic dari Gunung Merapi. Sedangkan perbukitannya sendiri tersusun dari komplek batuan metamorf yang di perkirakan terbentuk pada Pra-Tersier, batuan sedimen baik klastik non karbonat maupun batuan karbonat. Batuan sedimen yang ada umumya berkisar antara Eosen hingga Miosen Atas. Batuan metamorf yang ada diterobos oleh batuan beku yang bersifat basa hingga menengah (intermediate), kemudian di atasnya diendapkan secara tidak selaras oleh batuan karbonat yang berumur Eosen (Rahardjo, 2004). Adanya berbagai jenis batuan yang komplek ditambah dengan adanya struktur akibat gaya endogen yang bekerja di daerah Bayat serta gaya eksogen yang kemudian mengenainya membentuk bentang alam yang beraneka ragam yang terwujudkan dalam kenampakan yang dapat terlihat sekarang. II.2.1 Geomorfologi Secara morfologis dan geografis, Perbukitan Jiwo terbagi menjadi dua bagian, masing-masing perbukitan Jiwo Barat dan Jiwo Timur. Kedua bagian ini terpisah oleh aliran Sungai Dengkeng dari desa Bayat ke utara. Perbukitan Jiwo Barat merupakan perbukitan yang mempunyai arah memanjang selatan ke utara kemudian membelok ke arah barat di sekitar Gunung Tugu, mengelilingi bagian selatan, timur dan timur laut Rawa Jombor. Pada bagian utara Rawa Jombor terdapat keterlanjutan dari pebukitan tersebut yang menpunyai arah memanjang timur-barat yaitu Perbukitan Gunung Kapak dan sekitarnya. Dari daerah sekitar desa Bayat ke utara sampai dengan Gunung Sari, perbukitan ini terutama tersusun oleh batuan metamorf dengan terobosan batuan beku. Kelompok ini umumnya mudah lapuk membentuk tanah hasil pelapukan berupa lempung dan lempung pasiran yang bersifat rapuh, dan mudah tererosi, ditambah dengan terjadinya gejala struktur yang mengenai kelompok batuan ini yang berupa kekar, sesar, yang mengakibatkan bahwa aliran permukaan berkembang relatif baik berupa alur-alur dan sungai kecil. Berkembangnya aliran permukaan ini, berakibat terbentuknya relief yang nyata pada perbukitan Jiwo barat berupa puncak-puncak yang 15

21 membulat dan meruncing seperti yang terlihat pada Gunung Jabalkat dan daerah sekitar Gunung Pegat. Pembentukan relief ini masih terus terjadi, terwujudkan dalam proses longsoran tanah yang banyak dijumpai di lembah dan alur kaki bukit yang menyebabkan pencuraman dan pelebaran lembah itu sendiri. Adanya penerobosan batuan beku sering ditunjukkan dengan adanya puncak dan di sekitarnya terdapat bongkah-bongkah batuan beku yang seolah-olah mengambang pada batuan sekitarnya (Rahardjo, 2004). Di sekitar Gunung Tugu dan Gunung Kapak, perbukitan tersusun oleh batuan karbonat. Pada jenis batuan ini aliran permukaan tidak berkembang secara baik, sehingga sungai dan alurnya hanya beberapa saja yang dijumpai. Relief tidak berkembang sehingga perbukitan yang tersusun oleh batuan karbonat ini umumnya memiliki puncak-puncak yang relatif rata dan luas. Pada bagian lereng timur, di sekitar Perbukitan Tugu, terdapat gawir yang relatif curam. Perbukitan Jiwo Timur umumnya mempunyai arah memanjang barat dayatimur laut di bagian barat sekitar gunung Konang dan perbukitannya menunjukkan gejala terbiku (dissected) seperti halnya perbukitan Jiwo Barat sebelah selatan. Lebih ke arah timur yaitu sekitar Gunung Pendul, perbukitan tersusun oleh batuan beku. Pelapukan yang intesif terutama pada bagian barat menghasilkan tanah hasil pelapukan yang tebal, sebagian telah terangkut ke ketinggian yang lebih rendah. Erosi kuat yang mengikutinya mengakibatkan longsoran tanah dan pembentukan lembah yang sangat curam (Rahardjo, 2004). Di sekitar Gunung Temas di ujung timur laut merupakan kenampakan morfologi menyerupai dengan apa yang terlihat di sekitar Gunung Tugu. Perbukitan Jiwo Barat maupun Jiwo Timur dikelilingi oleh dataran rendah. Di sebelah barat Jiwo Barat, dataran rendah tersebut terisi oleh endapan pasir yang merupakan endapan fluvio volcanic dari Merapi. Rawa Jombor yang terdapat di sebelah utara merupakan sisa dari rawa besar yang pernah ada di sebelah barat Perbukitan Jiwo, di sebelah utara Perbukitan Baturagung. Dataran di antara Jiwo Barat dan Jiwo Timur serta dataran yang ada di sebelah utara Jiwo Timur tersusun oleh endapan aluvial hasil limpahan banjir dari Sungai Dengkeng serta hasil pengendapan erosi Perbukitan Jiwo tersebut, sedangkan dataran yang ada di sebelah selatan Perbukitan Jiwo terutama tersusun oleh pengendapan hasil erosi dari 16

22 perbukitan yang ada di sebelah selatan yaitu perbukitan Baturagung, bercampur dengan endapan luapan sungai Dengkeng terutama di bagian barat. Di sebelah utara dan di sebelah selatan dari Perbukitan Jiwo timur terdapat bukit-bukit kecil yang letaknya terisolir. Bukit-bukit ini, oleh Sunusumosusastro (1956) dalam Rahardjo (2004), ditafsirkan terpisah dari Perbukitan Jiwo akibat sesar, dan bidang sesar telah tertutup endapan aluvial yang menyusun dataran tersebut. II.2.2 Stratigrafi Penyelidikan stratigrafi di daerah Perbukitan Jiwo untuk pertama kali dilakukan oleh Bothe (1929), dalam rangkaian laporannya tentang Pegunungan Selatan. Peneliti berikutnya adalah Sunusumosusastro (1956) dan penelitian paleontologi di Gambar 2.3. Peta geologi Perbukitan Jiwo (Rahardjo, 2004 dengan modifikasi) 17

23 daerah ini masing-masing dilakukan oleh Purwoko (1960), Sumarso & Ismoyowati (1975) dalam Rahardjo (2004). Gambar 2.4. Stratigrafi Pegunungan Baturagung dan Perbukitan Jiwo (Sudarno, 1997 dalam Rahardjo 2004) 18

24 1. Komplek batuan metamorf Batuan metamorf yang tersingkap di daerah Perbukitan Jiwo merupakan landasan dari pada cekungan sedimentasi tersier yang terjadi pada bagian selatan dari Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan nama cekungan sedimentasi Pegunungan Selatan (Southern Mountains sedimentary basin), stratigrafi dari cekungan ini telah dikemukakan oleh Bothe (1929) dalam Rahardjo (2004). Dari seluruh satuan lithostratigrafi yang disebutkan oleh Bothe tersebut adalah Formasi Nglangran, Sambipitu, dan Formasi Kepek yang tidak tersingkap di daerah Perbukitan Jiwo. 2. Formasi Wungkal-Gamping Di sekitar Desa Gamping di Jiwo Timur, tersingkap suatu komplek batuan yang terdiri dari napal, batupasir kuarsa dan batugamping yang kaya akan foraminifera besar. Di tempat ini dijumpai spesimen lepas dari Diskosiklina javana, Discosielina dispansa dan Numulites bagelensis. Assilina tidak dijumpai lagi. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya Pelatispira mandrazi, bersama dengan spesies foraminifera plangtonik Truntorotaloides rohri, Truntorotaloides topilensis, Globorotalia pameroi dan Globorotalia spinulosa dimana semuanya menunjukkan umur Eosen Atas bagian bawah (Sumarso & Ismoyowati, 1975 dalam Rahardjo, 2004). Tebal satuan tidak kurang dari 150 m. Nama satuan pertama kali diusulkan oleh Bothe (1929) dalam Samodra dan Sutisna (1997), dengan tipe lokasi tipe di Gunung Gamping dan Gunung Wungkal. 3. Formasi Kebo Formasi ini tersingkap di sebelah selatan dari perbukitan Jiwo, yaitu di bagian bawah dari kaki perbukitan Baturagung. Litologinya terutama tersusun oleh perselingan antara batupasir jenis greywacke, batupasir konglomeratan, konglomerat polimik dan batulanau. Di samping itu terdapat pula batulanau tuffan yang terkloritkan berwarna kehijauan. Formasi ini hanya sedikit sekali mengandung fosil. Dari fosil foraminifera plangtonik yang ditemukan disimpulkan bahwa Formasi Kebo ini terbentuk pada kala Oligosen Atas (Purwoko, 1969; Sumarsono & Ismoyowati,1975 dalam Rahardjo, 2004). Di antara perselingan batupasir pada formasi ini, dijumpai dua buah sill andesit 19

25 piroksen. Berdasarkan atas struktur dan tekstur sedimen serta banyaknya dijumpai struktur sedimen biogenik tipe nereites, Formasi Kebo ini diduga terendapkan di laut yang relatif dalam. Karena letak singkapannya yang terpisah dari perbukitan Jiwo, maka jenis kotak antara formasi ini dengan Formasi Wungkal-Gamping tidak dijumpai (Muhamadi, 1978 dalam Rahardjo, 2004). 4. Formasi Butak Selaras di atas Formasi Kebo, terdapat Formasi Butak. Singkapannya juga di lereng utara perbukitan Baturagung menempati lereng bagian tengah. Litologinya terutama terdiri dari konglomerat, breksi, batupasir tuffan, batulanau, dan batupasir. Beberapa peneliti (Bothe, 1929; Sumarso & Ismoyowati, 1975 dalam Rahardjo, 2004) tidak memisahkan formasi ini dengan Formasi Kebo secara bersama-sama yang disebut sebagai Formasi Kebo-Butak. Dengan ditemukannya Globigerinoides primordius dan Globigerinita dissinilis pada formasi ini, ditafsirkan bahwa formasi ini terbentuk pada kala Miosen bagian bawah. 5. Formasi Semilir Formasi ini menempati bagian teratas dari lereng utara perbukitan Baturagung. Posisinya adalah selaras menumpang di atas Formasi Butak. Secara litologis, formasi ini tersusun terutama dari perselingan antara batupasir tuffan, breksi dengan fragmen tuff dan batuapung, serpih tuffan, dan sisipan tuff halus. Formasi ini bercirikan warna yang cerah putih kekuning- kuningan. Di bagian tengah dijumpai perlapisan batu pasir tuffan yang kompak yang relatif tahan terhadap pelapukan. Perlapisan ini sangat homogen dan penyebarannya ke samping dengan mudah diikuti sampai jarak yang cukup jauh. Dari bawah gawir Baturagung, perlapisan ini nampak jelas sebagai sabuk putih yang menonjol pada arah memanjang dari lereng perbukitan. Pada sisipan serpih yang bersifat gampingan dijumpai fosil Globigerina tripartite dan Orbulina universa. Atas dasar ini ditafsirkan bahwa formasi Semilir ini diendapkan pada kala Miosen Tengah (Rahardjo, 2004). 20

26 6. Formasi Oyo Formasi ini tersingkap di daerah Gunung Tugu dan di sekitar Gunung Temas di sebelah barat dan utara. Secara litologis, formasi ini tersusun dari perulangan dari kalkarenit tuffan, batupasir tuffan, napal tuffan, kalsirudit dengan fragmen koral dan algae serta sisipan tuff gelas. Formasi ini tercirikan dengan kenampakan perlapisan yang baik dan terdapat gradasi butir. Pada bagian pasir tuffan gampingan yang halus, sering ditemukan struktur sedimen biogenik dari tipe Fodinichania (feeding-burrows). Pada sisipan napal, formasi ini banyak dijumpai foraminifera plangtonik yang bertipe Globorotalia Foshi dan Globigerinoides subguandratus yang menunjukkan bahwa formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah bagian tengah (Rahardjo, 2004). 7. Formasi Wonosari Secara selaras, makin ke arah atas Formasi Oyo berubah menjadi Formasi Wonosari. Formasi ini bercirikan litologi yang berupa batugamping terumbu yang masif berseling dengan kalkarenit dan kalsirudit yang tersusun oleh hancuran koral dan algae. Sifat tufaannya lebih rendah dibandingkan Formasi Oyo. Demikian pula gejala perlapisannya kurang berkembang dibandingkan formasi yang ada di bawahnya tersebut. Di sekitar Gunung Kapak dan Desa Temas, batugamping dari formasi ini banyak digali oleh penduduk setempat untuk dibakar dan dijadikan kapur. Dengan dijumpainya fosil foraminifera besar dari spesies Tribliolepidina ruttoni, Nephrolopidina feroroi, Nephrolopidina inflata, Miogypsina ihecideifermis dan Myogisina polintorpha, menunjukkan bahwa batugamping tersebut diendapkan pada kala Miosen Tegah bagian atas (Rahardjo, 2004). 8. Kelompok Batuan Beku Di muka telah dinyatakan bahwa baik di Perbukitan Jiwo Barat maupun Jiwo Timur dijumpai tubuh batuan beku. Tubuh batuan beku ini tersingkap relatif luas, yaitu di sekitar Gunung Pendul dan juga di sekitar Gunung Temas. Batuan ini umumnya mempunyai komposisi menengah berupa andesit, diorit, mikrodiorit dan diabas yang tersingkap dalam keadaan lapuk. Singkapan segar hanya dijumpai pada dasar-dasar lembah yang curam. Di samping itu, banyak batuan beku tersebut telah mengalami ubahan hidrotermal, yang kemudian 21

27 menghasilkan mineral ubahan, misalnya yang tersingkap di Bendungan (Jiwo barat). Tubuh batuan beku ini menerobos komplek batuan metamorf dan juga batuan yang berumur Eosen. Oleh karenanya batuan beku ini terjadi setelah kala Eosen. Di samping itu pada batuan beku tersebut banyak dijumpai terobosan yang berupa retas dari batuan yang kemungkinan bersifat basa. Umumnya retasretas ini sudah lapuk lanjut sehingga komposisi aslinya sudah sukar dikenal (Bronto dkk., 2004). II.2.3 Struktur Geologi Secara regional, daerah Perbukitan Jiwo merupakan perbukitan yang terbentuk sebagai akibat terjadinya sesar bongkah (block-faulting) yang terjadi pada Pegunungan Selatan pada akhir Tersier. Sesar bongkah ini pula yang menyebabkan pembentukan gawir Baturagung yang curam dengan serangkaian hogbag yang ada di depannya. Sistem sesar ini pula yang menyebabkan terdapatnya singkapan Formasi Semilir di dekat Gunung Lanang, serta terendapkannya Formasi Oyo dan Formasi Wonosari yang lebih muda dari Formasi Semilir di daerah Perbukitan Jiwo yang secara topografis jauh lebih rendah dari pada posisi tempat tersingkapnya Formasi Semilir tersebut. Di daerah Perbukitan Jiwo, pengaruh aktifitas tektonik terwujud dalam bentuk kekar dan sesar. Foliasi pada batuan metamorf di perbukitan Jiwo Barat bagian selatan dan Jiwo Timur bagian barat menunjukkan perlipatan pada foliasi tersebut yang umumnya menunjam ke arah selatan dan barat daya dengan sudut penunjaman 18 hingga 26 (Wisoko, 1972 dalam Rahardjo, 2004). Kekar banyak dijumpai pada batuan beku dan kekar ini umumnya bersifat terbuka. Sebagai akibatnya, air mudah masuk dan batuan tersebut menjadi lapuk dan membentuk gejala pelapukan membola (speroidal weathering.) Di samping itu kekar-kekar yang ada terisi oleh mineral sekunder yang umumnya adalah kalsit. Akibat kuatnya pelapukan di daerah Jiwo ini, maka sesar yang ada sangat sukar dilihat secara jelas. Indikasi sesar dapat dilihat dari orientasi bidang perlapisan seperti di sekitar Gunung Temas, terbentuknya lembah yang menunjukkan kelurusan seperti di sekitar Gunung Jokotuo, dan terdapatnya secara berdampingan dua macam litologi yang generasinya lain sama sekali seperti yang terdapat di sekitar Gunung Sari (Wisoko, 1972 dalam Rahardjo, 2004). 22

28 BAB III DASAR TEORI III.1. Metamorfosis Pada pemanasan lempung hingga suhu 1000 C, mineral lempung terubah sehingga atom dan ion yang ada di dalamnya mengalami reaksi atau berikatan untuk membentuk mineral baru, sehingga membentuk suatu sifat yang keras dan kuat. Proses perubahan sifat fisik ini terjadi tanpa melalui fase cair atau disebut dengan solid state reaction karena berlangsung dalam fase padat. Walaupun demikian, kehadiran dari sedikit fluida tetap terjadi. Fluida dalam hal ini berfungsi mempermudah proses perpindahan ion. Tanpa fluida ion-ion dan molekul dalam batuan tidak dapat berpindah sehingga reaksi kimia tidak dapat berlangsung (Winter, 2001). Metamorfosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti perubahan bentuk, sedangkan metamorfosis sendiri diartikan sebagai suatu proses di mana batuan dan mineral berubah sebagai respon dari perubahan temperatur, tekanan serta kondisi lingkungan yang lain. Mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan mengalami perubahan selama proses metamorfosis berlangsung. Seperti pada pemanasan lempung, proses metemorfosa berlangsung pada fase padat namun kehadiran air/ fluida tetap terjadi untuk mempermudah proses reaksi kimia yang berlangsung (Winter, 2001). Ketika batuan mengalami proses metamorfosis, akan terjadi perubahan pada batuan di antaranya adalah perubahan tekstur maupun mineralogi sebagai akibat dari pengaruh tekanan dan temperatur yang dialami oleh batuan seperti halnya perubahan yang terjadi pada pemanasan lempung. Pada proses metamorfosis terkadang juga diikuti oleh adanya perubahan kimia pada batuan. Perubahan ini terjadi pada kondisi yang berbeda dari kondisi permukaan dan terjadi proses sedimentasi maupun proses diagenesis di bawah permukaan serta sering berasosiasi dengan proses partial melting (Winter, 2001). 1. Perubahan Tekstur Batuan tersusun oleh individu kristal dan selama proses metamorfosis terjadi perubahan ukuran kristal, susunan, maupun bentuk mineral juga 23

29 mengalami perubahan. Sebagai contoh pada batugamping berfosil yang mengalami proses metamorfosis akibat pengaruh suhu dan tekanan, maka mineral-mineral kalsit yang menyusun butiran fosil maupun sebagai matriks mengalami rekristalisasi sehingga bentuk maupun tekstur awal dari batuan tidak tampak. Batuan metamorf yang dihasilkan adalah marmer yang masih tersusun oleh mineral kalsit, tetapi dengan tekstur ukuran butir yang lebih kasar, bentuk yang tidak teratur, butiran yang saling interlocking, walaupun komposisinya sama dengan batugamping tetapi marmer memiliki sifat yang lebih kompak. 2. Perubahan Mineralogi Ketika batuan mengalami metamorfosis, mineral- mineral penyusun batuan akan mengalami perubahan dan menghasilkan mineral baru, sebagai contoh pada shale yang mengandung mineral lempung, kuarsa dan feldspar. Ketika mengalami pemanasan, mineral lempung mengalami perubahan membentuk batuan yang disebut hornfels yang terbentuk sebagai hasil dari metamorfosis serpih dan terjadi perubahan tekstur maupun komposisi mineral pada batuan asal. Dalam hal ini terdapat dua jenis reaksi pada batuan metamorf, yang pertama yaitu reaksi saat mineral lama mengalami rekristalisasi membentuk mineral yang sama hanya dengan ukuran kristal yang lebih kasar. Kedua, mineral lama mengalami perubahan yang ditandai dengan reaksi antar atom penyusun membentuk mineral baru yang berbeda. Kedua jenis reaksi tersebut sama-sama berlangsung pada fase padat. Dari kedua kasus perubahan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika batuan induk tersusun oleh satu jenis mineral, proses metamorfosis akan berlangsung membentuk batuan dengan komposisi mineral yang sama namun dengan ukuran kristal yang berbeda, sebagai contohnya adalah metamorfosis pada marmer. Sedangkan metamorfosis yang berlangsung pada batuan induk dengan komposisi mineralogi yang beragam seperti pada shale akan dihasilkan mineralmineral baru yang berbeda dan terjadi pula perubahan tekstur pada batuan asal. III.1.1. Batasan Metamorfosis Batas maksimum dari proses metamorfosis adalah kondisi pada tekanan dan temperatur di mana mineral dalam batuan mengalami pelelehan menghasilkan 24

30 magma. Pada kebanyakan batuan dengan berbagai komposisi akan mengalami pelelehan secara keseluruhan pada suhu dan temperatur tertentu. Posisi dari fase solidus maupun fase liquidus tergantung dari komposisi batuan asal yang mengalami proses metamorfosis dan juga dipengaruhi oleh kehadiran dari H2O, sehingga dalam hal ini akan dapat dijumpai overprint antara proses kristalisasi sebagai akibat metamorfosis dengan kristalisasi pada pembentukan batuan beku, dan kembali lagi posisi dari overprint ini akan sangat ditentukan oleh komposisi batuan asal dan kehadiran air pada kondisi dan temperatur tertentu (Winkler, 1974) Batasan minimum dari proses metamorfosis sebagian dipengaruhi oleh kondisi gradient geothermal suatu tempat pada suatu periode selama terjadi proses metamorfosis, sejalan dengan bertambahnya kedalaman akan menyebabkan semakin besarnya tekanan dan temperatur yang bekerja. Suatu daerah dengan kondisi tekanan yang besar namun dengan kondisi temperatur rendah sangat jarang dijumpai kehadiranva di alam. Demikian juga pada kedalaman yang besar batuan tidak akan berada pada kondisi temperatur rendah. Pada tekanan rendah batasan minimum dari proses metamorfosis adalah pada kondisi tekanan dan temperatur di atas proses kristalisasi, reaksi, maupun deformasi yang berlangsung pada batuan yang disebut sebagai proses diagenesis pada penimbunan batuan sedimen, proses deformasi brittle- ductile, rekristalisasi pada temperatur rendah, serta diikuti oleh proses pelapukan (weathering). Pada batuan yang sangat reaktif dengan komposisi yang komplek sebagai contohnya tufaceous graywackes, batas antara proses metamorfosis dengan proses diagenesis berada pada temperatur 200 C dengan tekanan rendah yang pada bagian terbawah masih dijumpai kehadiran mineral yang terbentuk sebagai hasil dari proses diagenesis tingkat lanjut (Turner, 1980). Proses migrasi kimia difasilitasi oleh kehadiran intergranular fluids. Jika proses migrasi berlangsung tidak lebih dari skala hand specimen, maka proses metamorfosis termasuk dalam proses yang isokimia. Proses redistribusi komponen kimia pada skala kecil merupakan salah satu ciri dari proses metamorfosis. Sebagian proses segregasi beberapa mineral menghasilkan mineral baru yang merupakan bagian dari proses metamorphic differentiation. Jika di dalamnya melibatkan lebih banyak kehadiran fluida dalam batuan, dan boleh dikatakan proses migrasi kimia dan perubahan yang menyertainya berlangsung lebih dari skala hand 25

31 specimen, proses ini dapat dikatakan sebagai proses metasomatic metamorphism (Beach, 1979). Kehadiran dari fluida yang sangat besar yang tercampur dengan air dalam proses disebut dengan proses hidrothermal yang juga dapat sebagai penciri hidrothermal metasomatism. Metamorfosis sering diikuti oleh proses hydrothermal. Reaksi hidrothermal berlangsung pada kisaran tekanan dan temperatur yang sama dengan proses metamorfosis. Dalam hal ini kehadiran asosiasi mineral yang terbentuk sebagai hasil dari reaksi hidrothermal tidak akan mencerminkan komposisi batuan asal baik batuan beku ataupun batuan sedimen sebagai batuan asal. Sebagai contohnya adalah batuan dengan kandungan mineral andradite garnet atau serisitik mika yang tidak dijumpai baik pada batuan beku maupun batuan sedimen. Kehadiran mineral yang sangat melimpah merupakan suatu indikasi terjadinya perubahan kimia yang melibatkan fluida dalam jumlah yang besar. Perbedaan mineralogi baik pada proses isokimia maupun metasomatic hydrothermal akan semakin sulit ditentukan apabila dalam batuan terdapat kumpulan mineral yang dapat terbentuk oleh kedua proses tersebut, diantaranya adalah kuarsa, klorit, K-feldspar, albit, epidot, klinozoisit, muskovit, biotit, kalsit, dan dolomit. Pada kondisi tertentu mineral penting sebagai penciri proses isokimia dapat terbentuk sebagai hasil proses aktivitas hydrothermal, sebagai contohnya adalah glaukophan. III.1.2. Faktor yang Berpengaruh pada Proses Metamorfosis Faktor yang berpengaruh pada proses metamorfosis antara lain adalah suhu, tekanan, proses migrasi fluida, dan besarnya tegangan atau proses deformasi (Winter, 2001). Reaksi pada fase padat dengan jenis fluida yang umum adalah jenis pore fluid serta dijumpai material terlarut di dalam fluida. Temperatur adalah faktor utama yang berpengaruh dalam proses metamorfosis. Kenampakan umum yang sering dijumpai pada batuan metamorf adalah ditandai dengan kenaikan temperatur yang ditunjukkan perubahan ukuran butir ditambah kehadiran asosiasi mineral tertentu sebagai penciri suhu yang tertentu pula. Reaksi yang terjadi pada kenaikan suhu menyebabkan devolatilization (dehydration dan decarbonation). Mineral pertama yang terbentuk akibat dari dehydration dan decarbonation adalah zeolit, 26

32 klorit dan serpentin sehingga pada metamorfosis derajat tinggi akan terdiri dari mineral non volatile. 1. Temperatur Temperatur akan bertambah sesuai dengan bertambahnya kedalaman (gradien geothermal) yang besarnya rata-rata C per kilometer. Reaksi pada batuan metamorf berlangsung sebagai akibat dari sifat-sifat mineral yang stabil hanya pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu. Jika temperatur dan tekanan meningkat di atas batas kondisi stabil suatu mineral, maka mineral akan mengalami perubahan dengan komponen penyusun saling berinteraksi membentuk suatu kumpulan mineral yang baru yang lebih stabil pada kondisi tersebut. Perubahan pada proses metamorfosis berlangsung lebih cepat pada kondisi suhu yang tinggi. Batas atas dari proses metamorfosis berlangsung saat mulai terjadi proses pelelehan parsial membentuk magma yang besarnya suhu bervariasi tergantung dari komposisi batuan, tekanan, serta jumlah kehadiran air dalam batuan. Namun, secara umum berkisar pada suhu antara C untuk sebagian besar batuan kerak serta mantel atas. Kristalisasi meliputi pembentukan mineral baru dan rekristalisasi mineral yang sudah ada (neo crystalization). Pada suhu tinggi, proses reaksi berlangsung sehingga hanya terdapat kumpulan mineral yang hanya dijumpai pada kondisi equilibrium di mana kondisi ini tidak tercapai pada proses diagenesis maupun pada metamorfosis derajat rendah sehingga mineral stabil dapat hadir bersama dengan mineral kurang stabil. 2. Tekanan Reaksi kimia yang berlangsung pada batuan sangat dipengaruhi oleh perubahan tekanan. Jika atom-atom pada batuan mengalami tekanan yang besar maka ikatan-ikatan di dalamnya dapat terputus dan membentuk ikatan antar atom yang baru serta dihasilkan mineral baru yang lebih stabil pada kondisi tekanan dan temperatur baru. Beberapa mineral lebih sensitif terhadap perubahan tekanan bila dibandingkan dengan perubahan suhu. Namun demikian, tekanan merupakan faktor yang kurang berperan di dalam proses metamorfosis. Tekanan dinyatakan dalam Kilobar yang besarnya setara dengan 1000 ATM. Tekanan yang diterima oleh batuan tiap pertambahan kedalaman 27

33 sebesar 1 km, besarnya rata-rata adalah 0,3 kbar. Oleh karena itu, besarnya tekanan sebanding dengan kedalaman dan dapat disimpulkan bahwa besarnya tekanan batuan menunjukkan kedalaman dari batuan pada saat batuan mengalami metamorfosis. Tekanan terdiri dari: a. Lithostatic pressure atau confining pressure Tekanan akibat beban batuan yang ada di atasnya dengan gradien geothermal kecil, misalnya terjadi pada zona subduksi, sedangkan gradien geothermal tinggi banyak terjadi pada lingkungan intrusi, hotspot, crustal thickening, ekstension. Pusat orogen dicirikan dengan adanya asosiasi mineral yang hadir pada tekanan dan temperatur tinggi. b. Lithostatic stress atau hydrostatic Tekanan yang besarnya sama ke segala arah seperti tekanan hidrostatik pada kedalaman air. Karena besarnya sama ke segala arah, maka tekanan ini tidak menghasilkan deformasi pada batuan. Yang terjadi adalah pengurangan volume (peningkatan densitas batuan) tanpa terjadinya perubahan bentuk. c. Diavatorik stress Tekanan yang besar dan arahnya tidak seragam ke segala arah sehingga menghasilkan deformasi pada batuan (kebalikan dari lithostatic stress). Diavatorik stress dibedakan menjadi tiga gaya utama yaitu σ 1,2,3 yang pada hydrostatic atau lithostatic besarnya sama ke segala arah. Deviatorik stress banyak terjadi pada daerah sepanjang sabuk orogenik, rift, shear zone atau dekat dengan batas plate. Batuan yang terdeformasi akibat strain diavatorik stress menyebabkan perubahan tekstur dan struktur batuan, namun tidak berpengaruh terhadap kumpulan asosiasi mineral yang ada di dalamnya. Deformasi dapat bertindak sebagai katalitik dalam penghilangan kchadiran mineral yang kurang stabil, mineral ini disebut dengan antistress mineral (Harker 1932 dalam Winter, 2001). Tekanan dan temperatur hanya berasal dari hasil interpretasi, karena proses yang berlangsung tidak dapat diamati. 3. Deformasi Deformasi adalah perubahan bentuk dari mineral sebagai akibat dari gaya atau tenaga yang bekerja terutama pada daerah tektonik aktif. Ketika 28

34 metamorfosis bekerja tanpa adanya deformasi, maka mineral akan tumbuh dengan orientasi yang acak. Ketika batuan mengalami deformasi akibat pergerakan tektonik, akan dihasilkan batuan metamorf dengan orientasi penjajaran mineral (metamorphic layering) atau disebut juga dengan ibliasi. Sebagai contoh perlapisan pada shale yang mendatar berubah menjadi terlipatlipat dan jika metamorfosis bekerja bersamaan dengan proses deformasi maka mineral lempung yang ada di dalamnya terubah menjadi mika dan klorit yang pipih dengan arah tumbuh mineral yang tegak lurus terhadap arah kompresi yang bekerja. Foliasi adalah istilah yang sering dipakai untuk menyebut tipetipe layering pada batuan metamorf hasil dari penjajaran mineral pipih sebagai hasil deformasi batuan, sedangkan komposisi dari batuan metamorf ditentukan oleh komposisi batuan asal, temperatur, dan tekanan. 4. Migrasi fluida Batuan sedimen banyak mengandung air yang mengisi pori batuan. Air juga hadir dalam sebagian besar kerak bumi dan juga dalam magma. Air dan fluida yang lain dapat bermigrasi dari batuan yang satu ke batuan yang lain dengan membawa ion-ion yang terlarut di dalamnya. Ion dapat bereaksi dengan batuan menghasilkan komposisi mineralogi maupun kimia yang berbeda. Sebagai contoh magma granit mengandung silika (Si02) melimpah dan sedikit kandungan air. Jika magma granit menerobos batuan gamping, maka pada zona kontak terjadi reaksi antara larutan silika (Si02+air), dengan batugamping dalam hal ini silika tertambahkan dalam kalsium karbonat dengan reaksi (Winter, 2001): CaCO3 + Si02 CaSiO3 + CO2 Kalsit + Kuarsa (silika) Wolastonit Proses metamorfosis pada kasus ini ditandai dengan penambahan ion yang berasal dari luar. Proses ini yang disebut dengan metasomatisme, sedangkan material pembawa ion disebut dengan metasomatik fluid. Dengan demikian, fenomena di atas merupakan komposisi mineral dari batuan metamorf yang dipengaruhi oleh komposisi batuan induk dan penambahan oleh proses metasomatik, ataupun perubahan mineral selama proses metamorfosis. 29

35 III.1.3. Tipe-tipe Metamorfosis Terdapat beberapa pendekatan dalam pengklasifikasian batuan metamorf, di antaranya adalah agen geologi yang berperan di dalamnya yang meliputi proses thermal metamophism, yaitu sebagai hasil dari agen perpindahan panas yang dominan bekerja pada batuan. Metamorfosis dinamik yaitu jika diavatorik stress dominan bekerja pada batuan yang menyebabkan deformasi dan rekristalisasi pada batuan. Dinamothermal metamorfosis dihasilkan ketika terjadi kombinasi antara temperatur dan tekanan, seperti berlangsung pada orogenic belt. Dari ketiga pengelompokan klasik tersebut masih ditambahkan lagi satu jenis metamorfosis yaitu metasomatisme yang terjadi karena perpindahan fluida dan alterasi pada batuan. Proses ini berbeda dengan ketiga proses yang ada di atas. Berdasarkan klasifikasi IUGS-SCMR dalam Winter (2001), metamorfosis dibagi lagi menjadi beberapa tipe di antaranya adalah: 1. Contact metamorphism Metamorfosis kontak berlangsung pada daerah intrusi batuan beku sebagai akibat dari panas (kemungkinan terjadi metasomatisme) yang merupakan efek dari magma yang mengintrusi batuan dingin yang berada di tempat yang lebih dangkal. Metamorfosis kontak dapat berlangsung pada semua tempat di mana terdapat aktivitas magma dan tidak hanya dibatasi oleh lokasi pada setting tektonik tertentu, seperti hanya pada batas plate dikarenakan magma dapat naik dan mentransfer panas sampai pada kedalaman yang dangkal (epizone). Pada jenis metarmorfosa ini berlangsung pada kisaran tekanan yang luas bahkan dapat terjadi pada tekanan mendekati permukaan. Pyrometamorphism adalah tipe minor dari kontak metamorfosis yang dicirikan oleh temperatur yang sangat tinggi dan tekanan sangat rendah yang disebabkan oleh tubuh batuan vulkanik-subvulkanik. Secara umum dijumpai dalam xenolith yang terdapat dalam suatu tubuh batuan, tetapi juga dapat ditemukan pada kontak batuan dinding. Pyrometamorphism adalah tipe yang sering berasosiasi dengan berbagai variasi tingkatan partial melting. 2. Regional Metamorphism Metamorfosis regional pada pengertian umum adalah proses metamorfosis yang melibatkan sejumlah besar masa batuan dan meliputi 30

36 penyebaran lateral yang sangat luas (10 km atau lebih). Dengan definisi ini metamorfosis regional dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu orogenic metamorphism, burial metamorphism, dan ocean floor metamorphism. a. Orogenic metamorphism adalah tipe metamorfosis yang berasosiasi dengan batas plate convergen, terjadi selama perkembangan pembentukan busur kepulauan, continental arc, dan zona tumbukan benua. Sebagian besar studi batuan metamorf terkonsentrasi pada daerah sabuk orogenik. b. Burial metamorphism merupakan istilah yang digunakan oleh Coombs (1967) untuk menyatakan metamorfosis derajat rendah yang terdapat di dalam cekungan sedimentasi yang terkubur oleh lapisan batuan sedimen di atasnya. c. Ocean floor metamorphism yaitu batuan metamorf yang terbentuk sebagai akibat dari proses pemekaran pada kerak samudra (mid oceanic ridge center). Pada lokasi ini dijumpai adanya batuan metamorfosis dari basal maupun gabro sebagai penyusun (Humphirs and Thompson 1978, dalam Winter, 2001). 3. Hydrothermal metamorphism Prinsip umumnya adalah jika batuan mengalami perubahan akibat proses metamorfosis yang di dalamnya melibatkan hot water/ larutan hydrothermal, disebut dengan istilah hydrothermal metamorphism. 4. Fault zone metamorphism Merupakan tipe metamorfosis yang berlangsung pada area di mana terjadi deformasi sangat intensif dan dengan efek rekristalisasi termal yang rendah. Fault zone metamorphism belangsung pada daerah dengan shear stress yang tinggi. 5. Impact atau shock metamorphism Jenis metamorfosis ini terdapat pada zona meteorite impact. Baik antara fault zone dan impact metamorphism saling berhubungan dengan dynamik metamorphism atau high stress metamorphism (Spers, 1993 dalam Winter, 2001). 31

37 III.2. Pengertian Skarn Skarn merupakan suatu istilah untuk menyebut suatu batuan alterasi kalksilikat yang kaya akan silikat Ca, Fe, Mg, dan Al, terbentuk akibat dari penggantian batuan yang kaya karbonat hasil dari proses metasomatisme (Einaudi dkk, 1981 dalam Best, 2006). Proses tersebut merupakan hasil respon batuan dari intrusi batuan beku. Proses metasomatisme sendiri adalah suatu proses perubahan semua komposisi kimia batuan akibat dari masuknya (perkolasi) larutan hidrotermal ke dalam batuan saat proses metamorfisme terjadi (Best, 2006). Masuknya larutan hidrotermal ini dapat melalui rekahan atau pori pori yang ada dari batuan tersebut, sedangkan terminologi dari skarnoid dapat dijelaskan sebagai batuan dengan kenampakan seperti skarn tetapi memiliki genesis yang sangat komplek. Endapan skarn umumnya terbentuk pada lingkungan geologi yang berumur Pre-Kambrian sampai Tersier Akhir. Endapan yang bernilai ekonomis umumnya memiliki umur relatif muda dan berhubungan dengan aktifitas hidrotermal-magmatik yang berasosiasi dengan intrusi granitik hingga dioritik pada sabuk orogenik. Yang membedakan endapan skarn dari model endapan lainnya adalah skarn memiliki ukuran kristal relatif kasar, kaya akan kandungan besi, merupakan campuran antara Ca-Mg-Fe-Al silikat, dan terbentuk akibat proses metasomatisme yang terjadi pada suhu tinggi (Einuadi dan Burt, 1982). Batuan ini dapat terbentuk sebagai hasil proses metasomatisme pada batuan karbonat yang memiliki banyak pengotor atau juga dapat merupakan hasil overprinting dari skarn menjadi hornfels atau reaction skarn. Skarn terbentuk pada metamorfisme kontak atau regional dan pada proses metasomatisme yang berkaitan dengan fluida magmatik, metamorfik, meteorik, ataupun air laut. Skarn umumnya ditemukan di dekat tubuh plutonik, sepanjang sesar atau rekahan yang bersifat regional, pada sistem panas bumi, di bawah lantai samudera, dan pada kerak yang terkubur di bagian bawah bentang lahan metamorfik. Dari berbagai lingkungan yang berbeda ini dapat didefinisikan sebagai skarn umumnya didominasi oleh garnet dan piroksen. Tidak semua skarn menghasilkan mineralisasi yang bernilai ekonomis (Meinert, 1992). Winter (2001) berpendapat bahwa skarn adalah batuan yang didominasi oleh Ca-Fe-Mg-Si yang terbentuk karena proses replacement batuan karbonat 32

38 selama proses metamorfisme regional atau metamorfisme kontak. Skarn sebagian besar terbentuk karena proses metasomatisme, baik itu bimetasomatisme antara kontak dua litologi maupun infiltrasi fluida silika ke dalam batuan karbonat. Pada saat ini istilah tersebut berkembang untuk penamaan batuan yang berkomposisi calc-silicate akibat adanya proses pengubahan pada batuan sedimen akibat intrusi batuan beku (Antoro dan Wahab, 1999) Kerrick (1977) dalam Winter (2001) mengungkapkan adanya zona-zona skarn. Zona-zona ini bergantung pada kondisi temperatur dan tekanannya. Tabel 3.1. menunjukkan adanya beberapa kemungkinan zonasi pada skarn. Tabel 3.1. Zonasi pada skarn (Kerrick, 1977 dalam Winter, 2001) 33

39 Secara umum skarn terbentuk akibat dari penggantian batuan yang kaya akan unsur karbonat. Skarn juga dapat terbentuk akibat dari penggantian batuan vulkanik yang kaya akan unsur kalsium seperti tuff (Ray dan Webster, 1991). Skarn menurut Ray dan Webster (1991) dapat terbentuk dari beberapa proses, yaitu : 1. Rekristalisasi isokimia dari batuan yang kaya unsur karbonat sebagai hasil dari proses metamorfisme regional atau metamorfisme kontak. 2. Reaksi metasomatisme antara dua litologi yang berbeda, misal argilit dan batugamping. 3. Masuknya larutan hidrotermal pada batuan dari proses magmatisme atau metamorfisme. III.3. Jenis-jenis Endapan Skarn Skarn dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan jenis batuan asal, jenis mineral penyusunnya, dan jarak pembentukan dari sumber panas (Lawless dkk, 1996). Berdasarkan jenis batuan asalnya (protolith), skarn di bagi menjadi dua, yaitu: 1. Endoskarn Endoskarn adalah skarn yang terbentuk akibat penggantian atau perubahan mineral di dalam intrusi batuan beku pembawa mineralisasi itu sendiri. 2. Eksoskarn Eksoskarn adalah skarn yang terbentuk akibat penggantian atau perubahan mineral di luar intrusi batuan beku pembawa mineralisasi itu sendiri, baik itu di dalam batuan dinding maupun di sepanjang kontak antara intrusi dengan batuan dinding. Biasanya sebagian besar mineral logam terkonsentrasi pada endapan eksoskarn daripada endoskarn (Evans, 1993). Eksoskarn masih dibagi lagi menjadi dua berdasarkan mineralogi, yaitu: a. Magnesian Skarn, yaitu skarn yang terbentuk oleh replacement dolomit yang menghasilkan alterasi yang kaya akan Mg (Mg-rich alteration) seperti fosterit, serpentin, phlogopit dan diopsid. 34

40 b. Calcic Skarn, yaitu skarn yang terbentuk oleh replacement batugamping yang menghasilkan alterasi yang kaya akan Ca (Ca rich alteration) seperti garnet (grossular, andradit), klinopiroksen (hedenbergit, diopsid), wollastonit. Berdasarkan jenis mineralnya, skarn dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Skarn prograde Skarn prograde adalah skarn yang terbentuk pada fase awal pembentukan skarn. Suhu pembentukan tinggi dan masih dipengaruhi oleh air magmatik. Mineral penciri dari skarn prograde yaitu mineral yang terbentuk pada suhu tinggi seperti garnet dan piroksen. 2. Skarn retrograde Skarn retrograde adalah skarn yang terbentuk pada fase sesudah pembentukan endapan prograde (fase lanjut atau fase pendinginan). Suhu pembentukan rendah dan sudah dipengaruhi oleh air meteorik. Menurut Robb (2005) skarn retrograde ini ditandai dengan munculnya mineral epidot, biotit, klorit, plagioklas, kalsit, kuarsa (ubahan semua varian garnet), tremolit-aktinolit dan talk (ubahan dari piroksen) dan serpentin (ubahan dari olivin). Berdasarkan jarak pembentukan dari sumber panas, skarn dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Skarn proksimal Skarn proksimal adalah skarn yang terbentuk di dekat dengan sumber panas atau intrusi. Mineral penciri dari skarn proksimal hampir sama dengan mineral penciri pada skarn prograde yaitu garnet dan piroksen. 2. Skarn distal Skarn distal adalah skarn yang terbentuk jauh dari sumber panas atau intrusi. Karena terbentuk jauh dari sumber panas, maka mineral mineral yang terbentuk merupakan mineral yang terbentuk pada suhu yang relatif rendah. Terminologi untuk skarn distal ini dapat disamakan dengan skarn retrograde karena kesamaan mineral pencirinya. Menurut Meinert (1992) skarn dibedakan berdasarkan jenis mineral ekonomis yang ditemukan pada endapan tersebut, misalnya skarn Fe, skarn Au, skarn Cu, skarn W, skarn Mo, skarn Pb-Zn, dan skarn Sn. Bahkan dimungkinkan 35

41 untuk memperoleh dua mineral ekonomis pada satu endapan, misalnya skarn Au- Cu. III.4. Mineralogi Endapan Skarn Identifikasi dan klasifikasi dari endapan skarn adalah berdasarkan mineraloginya. Walaupun beberapa mineral-mineral skarn adalah tipe-tipe mineral pembentuk batuan, mineral-mineral yang lain sebagian besar memiliki variasi komposisi yang dapat memberikan informasi lapangan yang signifikan tentang lingkungan formasinya. Ciri mineralogi dari masing-masing jenis skarn secara umum terbagi menjadi dua yaitu: 1. Skarn prograde yang terbentuk pada suhu tinggi, umumnya dijumpai mineralmineral bersuhu tinggi, seperti garnet, klinopiroksen, biotit, humit, montiselit dan sebagainya. 2. Skarn retrograde yang terbentuk pada suhu rendah, umumnya tersusun oleh mineral-mineral serpentin, amfibol, tremolit, epidot, klorit, kalsit dan sebagainya. Urat-urat mineralogi skarn mungkin hadir baik pada intrusi dan sedimen karbonat. Secara umum skarn kalsik terbentuk oleh penggantian batugamping dan menghasilkan alterasi yang kaya akan Ca, seperti garnet (grosularit-andradit), klinopiroksen (diopsid-hedenbergit), vesuvianit, dan wolastonit, sedangkan skarn magnesian terbentuk oleh penggantian dolomit dan menghasilkan alterasi yang kaya akan Mg, seperti diopsid, forsterit, dan flogopit. Beberapa mineral seperti kuarsa dan kalsit hadir di sebagian besar skarn. Skarn biasanya menampilkan kumpulan mineral yang kompleks dan polifase. Skarn dapat terbentuk selama proses metamorfisme kontak dan regional dari proses-proses metasomatisme yang melibatkan larutan magma, metamorfik dan air meteorik ataupun air laut. Skarn ditemukan berdekatan dengan batuan plutonik, sepanjang sesar dan zona rekahan utama, pada sistem geothermal dangkal, dan di dasar laut. Suatu skarn akan mempunyai hubungan yang bermacam-macam dengan lingkungannya sesuai dengan kondisi mineraloginya, yang termasuk di dalamnya beberapa jenis mineral kalk-silikat dan mineral- 36

42 mineral asesorinya, tapi biasanya didominasi oleh garnet dan piroksen. Perkembangan skarn mengindikasikan bahwa kombinasi dari temperatur, tekanan, fluida dan host rock dapat menentukan mineral-mineral skarn. Dari mineraloginya juga dapat diketahui asal/genesis skarn tersebut serta dalam membedakan endapan yang penting secara ekonomi dan mineral yang menarik namun tidak ekonomis. Tabel 3.2. Mineral-mineral skarn (Meinert, 1992) Kelompok Utama Anggota Terakhir Singkatan Komposisi Seri Garnet Grossularit Gr Ca 3Al 2(SiO 4) 3 Andradit Ad Ca 3Fe 2(SiO 4) 3 Spessartin Sp Mn 3Al 2(SiO 4) 3 Almandin Al Fe 3Al 2(SiO 4) 3 Pyrope Py Mg 3Al 2(SiO 4) 3 Piroksen Diopsid Di CaMgSiO 6 Hedenbergit Hd CaFeSi 2O 6 Johannsenit Jo CaMnSi 2O 6 Fassait Fas Ca(Mg,Fe,Al)(Si,Al) 2O 6 Grandit Sub-Calcic Garnet Salit Olivin Larnit Ln Ca 2SiO 4 Forsiterit Fo Mg 2SiO 4 Monticelit Fayalit Fa Fe 2SiO 4 Knebelit Tephroit Tp Mn 2SiO 4 Piroksenoid Ferrosilit Fs FeSiO 3 Pyroxemanganit Rhodonit Rd MnSiO 3 Wollastonit Wo CaSiO 3 Bustamit Amfibol Tremolit Tr Ca 2Mg 5Si 8O 22(OH) 2 Ferroactinolit Ft Ca 2Fe 5Si 8O 22(OH) 2 Mn- Actinolit Ma Ca 2Mn 5Si 8O 22(OH) 2 Hornblenda Hb Ca 2(Mg,Fe) 4Al 2Si 7O 22(OH) 2 Pargasit Pg NaCa 2(Mg,Fe) 4Al 3Si 6O 22(OH) 2 Cummingtonit Cm Mg 2(Mg,Fe) 5Si 8O 22(OH) 2 Dannemorit Dm Mn 2(Mg,Fe) 5Si 8O 22(OH) 2 Grunerit Gru Fe 2(Mg,Fe) 5Si 8O 22(OH) 2 Actinolit Sub-Calcic Amfibol Epidot Plemontit Pm Ca 2(Mn,Fe,Al) 3(SiO 4) 3(OH) Allanit All (Ca,REE) 2(Fe,Al) 3(SiO 4) 3(OH) Epidot Ep Ca 2(Fe,Al) 3(siO 4) 3(OH) Klinozoisit Cz Ca 2Al 3(SiO 4) 3(OH) Plagioklas Anortit An CaAl 2Si 2O 8 Scapolit Marialit Ml Na 4Al 3Si 9O 24(Cl,CO 3,OH,SO 4) Meionit Me Ca 4Al 3Si 6O 24(CO 3,Cl,OH,SO 4) Axinit Ax (Ca,Mn,Fe,Mg) 3Al 4BSi 4O 15(OH) Lain - lain Vesuvianit (Idocrase) Vs Ca 10(Mg,Fe,Mn) 2Al 4Si 9O 34(OH,Cl,F) 4 Prehnit Pr Ca 2Al 2Si 3O 10(OH) 2 37

43 III.5. Genesis Endapan Skarn Menurut Evans (1993), endapan skarn secara sederhana dapat dijelaskan terbentuk akibat adanya intrusi batuan beku yang membawa larutan hidrotermal masuk ke dalam rekahan batuan yang reaktif dan menggantikan mineral batuan dinding selama proses skarnisasi terjadi (Gambar 3.1). Proses ini terjadi melalui beberapa tahapan pembentukan seperti yang dijelaskan lebih rinci pada uraian berikut ini : 1. Fase isokimia Fase pertama dari tahapan pembentukan skarn yaitu pada saat intrusi ataupun larutan hidrotermal menerobos masuk batuan induk yang menyebabkan batuan induk mengalami proses metamorfisme. Proses metamorfisme pada tahap ini dikenal dengan istilah isokimia yaitu perubahan batuan menjadi batuan metamorf yang dicirikan dengan perubahan sifat fisik batuan namun komposisi mineral penyusun batuan tetap sama. Metamorfisme isokimia ditunjukkan dengan pembentukan hornfels dari batulempung, marmer dari batugamping ataupun kuarsit dari batupasir kuarsa. 2. Fase Prograde Fase ini merupakan fase di mana larutan hidrotermal masuk dan menghasilkan mineral-mineral seperti seperti garnet dan piroksen yang menggantikan posisi dari mineral asli penyusun batuan induk. 3. Fase Retrograde Fase ini merupakan lanjutan dari fase prograde. Akhir fase prograde dan awal fase retrograde ditandai dengan mulai berperannya air meteorik dalam proses skarnisasi yang menghasilkan mineral-mineral hidrous seperti epidot dan klorit. Dalam beberapa endapan skarn dangkal, perubahan retrograde yang luas hampir sepenuhnya melenyapkan garnet dan piroksen yang terbentuk sebelumnya pada fase prograde (Einaudi, 1982a, 1982b). 38

44 A B C Gambar 3.1. Tahap pembentukan endapan skarn. (a) Intrusi magma menghasilkan aureole matamorfik. (b) Larutan hidrotermal keluar dari magma membentuk endoskarn dan eksoskarn, beberapa mineralisasi sulfida terjadi. (c) Dalam sistem pendinginan air mateorik masuk ke tubuh intrusi dan skarn menghasilkan seritisasi pada intrusi dan terjadi reaksi retrograde dalam skarn dan hornfels. Penggantian sulfida terjadi pada tahap ini (Evans, 1993). Endapan skarn retrograde yang berkembang pada host rock batuan karbonat, morfologi stratiform, alterasi kalk-silikat hingga hornfels, zona proksimal dan ore pada sulfida dan sebagian pada zona oksida merupakan ciri khas dari endapan skarn Zn-Pb-Cu-Ag, sedangkan untuk endapan skarn retrograde pada zona supergen umumnya mineral lempung yang lebih berkembang. Untuk endapan gossan, umumnya berkembang setelah mineral yang kaya sulfida terbentuk dan mengkonsentrasikan ore. III.6. Kedalaman Pembentukan Endapan Skarn Salah satu kontrol yang penting dalam ukuran skarn, geometri dan cara alterasi adalah kedalaman pembentukan. Geobarometrik kuantitatif mempelajari kegunaan tipe-tipe keseimbangan mineral (Anovitz dan Essene, 1990 dalam Meinert, 1992), inklusi fluida (Guy dkk., 1988 dalam Meinert, 1992) atau 39

45 kombinasi dari metode-metode ini (Hames dkk., 1989 dalam Meinert, 1992) untuk memperkirakan kedalaman dari suatu metamorfisme. Metode kualitatif yang digunakan adalah stratigrafi atau rekonstruksi-rekonstruksi geologi lain dan interpretasi tekstur batuan bekunya. Observasi sederhana dari ukuran butir massa dasar porfiri, morfologi pluton dan kehadiran breksiasi dan retakan-retakan rapuh dapat membedakan antara lingkungan dangkal dan lingkungan yang lebih dalam. Dampak dari kedalaman pada metamorfisme akan mempengaruhi suhu batuan dinding sebelum, selama dan setelah intrusi. Jika diasumsikan rata-rata gradien geotermal sebuah zona orogenik sekitar 35 o C per km (Blackwell dkk., 1990 dalam Meinert, 1992), suhu batuan dinding sebelum intrusi pada kedalaman 2 km dapat mencapai 70 o C, pada kedalaman 12 km akan menjadi 420 o C. Dengan penambahan perubahan panas oleh aktifitas batuan beku volume batuan yang dipengaruhi oleh kisaran suhu o C akan menjadi besar dan efeknya akan lebih besar pada lingkungan skarn yang lebih dalam daripada yang dangkal. Selain itu, suhu yang tinggi dapat mempengaruhi kristalisasi suatu pluton dan pengurangan jumlah alterasi retrograde mineral-mineral skarn. Pada kedalaman 12 km dengan temperatur sekitar 400 o C, skarn tidak dapat terbentuk di bawah keseimbangan garnet dan piroksen tanpa adanya pengangkatan atau perubahan tektonik lain. Besar dan intensitas metamorfisme pada tempat yang dalam dapat mempengaruhi permeabilitas batuan yang diterobos (host rock) dan mengurangi jumlah karbonat yang ada untuk bereaksi dengan fluida metasomatisme. Kedalaman formasi skarn juga akan memberikan efek properti mekanik host rock. Pada suatu lingkungan skarn yang dalam batuan-batuan cenderung menjadi ductile daripada mengalami retakan. Kontak intrusi dengan batuan sedimen pada tempat yang dalam cenderung menjadi subparalel sampai berlapis. Contoh skarn dengan kedalaman berkisar 5 10 km adalah Pine Creek di California (Brown dkk., 1985 dalam Meinert, 1992) dan pegunungan Osgood di Nevada (Taylor, 1976 dalam Meinert, 1992). Pada penemuan seperti ini di mana kontak intrusi subparalel sampai berlapis, skarn biasanya terbatas pada daerah yang sempit, tapi meluas secara vertikal. 40

46 III.7. Morfologi Endapan Skarn Bentukan morfologi endapan skarn dikontrol oleh beberapa faktor yaitu : ukuran dari sistem hidrotermal yang bekerja, permeabilitas batuan induk, dan juga kontrol dari struktur geologi yang ada. Secara umum menurut Ray dan Webster (1991), bentukan morfologi skarn dapat dibagi menjadi 3 : 1. Skarn masif dan pervasif Bentukan dari skarn ini cukup tidak beraturan dan dikontrol oleh bentukan dari batuan beku yang mengintrusi, sedangkan struktur geologi yang ada tidak begitu mengontrol bentukan skarn ini (Gambar 3.2). Gambar 3.2. Morfologi skarn masif dan pervasif (Ray dan Webster, 1991) 2. Skarn urat Bentukan dari skarn ini dikontrol oleh urat. Urat tersebut dapat berupa urat kuarsa ataupun urat sulfida. Urat tersebut secara menyeluruh merubah batuan dinding yang ada di sekitar urat membentuk skarn. Kontrol utama dari bentukan skarn ini adalah struktur geologi berupa kekar yang membentuk urat tersebut, sedangkan intrusi batuan beku yang membawa mineralisasi juga akan ditemukan tidak jauh dari skarn yang ada (Gambar 3.3). 41

47 Gambar 3.3. Morfologi skarn urat (Ray dan Webster, 1991) 3. Skarn stratiform Bentukan skarn ini mengikuti pola stratigrafi dari suatu perlapisan batuan. Intrusi batuan beku pembawa mineralisasi dapat ditemukan dekat atau jauh dari bentukan skarn (Gambar 3.4). Gambar 3.4. Morfologi skarn stratiform (Ray dan Webster, 1991) Pembentukan bentukan skarn ini dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses metasomatisme dari larutan magmatik yang mengalir melalui lapisan batuan yang sangat permeabel, meskipun sebenarnya pembentukan bentukan skarn ini masih menjadi perdebatan. 42

48 BAB IV HIPOTESIS DAN METODOLOGI PENELITIAN IV.1. Hipotesis Dari hasil tinjauan pustaka dan peninjauan awal lapangan didapatkan hipotesis awal yaitu : 1. Pada daerah penelitian telah terjadi alterasi atau ubahan batuan tipe skarn yang disebabkan oleh metamorfisme kontak dan proses metasomatisme. 2. Skarn yang terdapat pada daerah penelitian terbentuk oleh karena adanya intrusi batuan beku yang menerobos batuan sedimen (batugamping dan batulanau). IV.2. Metodologi Penelitian dan Analisis IV.2.1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk melakukan penelitian dibagi menjadi dua, yaitu alat yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan dan alat yang digunakan dalam proses analisis dan pembuatan laporan. Alat-alat yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan (Tabel 4.1) adalah peralatan geologi lapangan di lokasi penelitian. Data sekunder berupa peta geologi regional dan peta Rupabumi Digital Indonesia (RBI) dibawa di lokasi sebagai pangkal kerja. Peralatan untuk pemetaan menggunakan Global Positioning System (GPS). Kegiatan selanjutnya yakni pengambilan sampel dengan palu, lup, kompas. Sampel diambil dan disimpan dalam plastik sampel dan diberi kode dengan menggunakan spidol dan kertas label. Dokumentasi dilakukan secara manual maupun digital. Dokumentasi data dengan kamera dilakukan untuk memberikan Gambaran tentang keadaan sesungguhnya di lapangan. Tabel 4.1. Peralatan lapangan NO JENIS JUMLAH 1 Peta RBI 1 2 GPS 1 3 Palu Geologi Batuan Beku 1 4 Altimeter 1 43

49 5 Lup 1 6 Kompas 1 7 Clip-board 1 8 Notes / buku catatan lapangan 1 9 Kamera 1 10 Spidol 1 11 Penggaris, busur derajat 1 12 Plastik sampel 3 pak Alat-alat yang digunakan untuk melakukan proses analisis dan pembuatan laporan adalah sebagai berikut: 1. Seperangkat komputer dengan program pendukungnya 2. Mikroskop polarisasi untuk pengamatan sayatan tipis 3. Mikroskop refleksi untuk pengamatan sayatan poles 4. Peralatan uji X-Ray Diffraction (XRD) Bahan-bahan yang diperlukan adalah: 1. Peta Rupabumi Digital Indonesia lembar Cawas 1: Peta geologi regional lembar Surakarta Giritontro, Jawa 1: (Surono dkk., 1992) 3. Peta geologi regional lembar Klaten (Bayat), Jawa 1: (Samodra dan Sutisna, 1997) 4. Data geologi, geomorfologi, struktur geologi, dan ubahan batuan atau alterasi di daerah penelitian. 5. Sayatan tipis 6. Sayatan poles IV.2.2. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian yang berjudul Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 6 tahapan (Gambar 4.1). Tahapan tersebut antara lain: 44

50 1. Tahap Perumusan Masalah Hal ini merupakan hasil diskusi antara penyusun dengan dosen pembimbing sehingga diperoleh tema penelitian tentang Studi Ubahan Batuan Tipe Skarn di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. 2. Tahap Persiapan Meliputi kajian pustaka dari beberapa literatur untuk mencari landasan teori dan kondisi serta Gambaran secara umum daerah penelitian, pengumpulan data sekunder, pengumpulan dan studi peta yang berhubungan dengan penelitian, pengumpulan alat yang diperlukan untuk menunjang penelitian, dan peninjauan lapangan awal (reconnaisance). 3. Tahap Pengumpulan Data, meliputi : a. Pengumpulan Data I Pengumpulan data I merupakan tahapan dalam mengidentifikasi ubahan batuan atau alterasi yang menjadi fokus penelitian pada singkapan utama pada lereng sebelah barat daya Gunung Jabalkat atau tepatnya pada Desa Pagerjurang serta pembuatan peta topografi. - Data Geologi dan Ubahan Batuan Pada tahapan ini menyangkut pengambilan data sebaran litologi pada daerah fokus penelitian serta pengambilan sampel berupa sampel untuk kepeluan analisa petrografi (sayatan tipis), mineragrafi (sayatan poles), dan XRD. Pengambilan sampel petrografi dilakukan pada setiap variasi batuan dan pada batuan yang masih segar. Jumlah sampel petrografi yang diambil yaitu sebanyak 13 buah. Untuk pengambilan sampel mineragrafi dilakukan pada setiap variasi batuan yang diduga mengandung mineral logam yang tidak dapat diamati secara petrografi dan diambil pada batuan yang masih segar. Jumlah sampel mineragrafi yang diambil yaitu sebanyak 7 buah. Pengambilan sampel XRD dilakukan pada batuan yang sukar diidentifikasi secara megaskopis maupun mikroskopis seperti pada batuan yang berukuran lempung maupun batuan yang telah mengalami pelapukan. Pengambilan sampel XRD juga dilakukan pada beberapa batuan yang kondisinya masih 45

51 relatif segar dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Jumlah sampel XRD yang diambil yaitu sebanyak 16 buah.pada tahapan ini juga dilakukan pengambilan data struktur geologi. - Data Ketinggian dan Koordinat Pemetaan sebaran alterasi ini yaitu melakukan pemetaan sebaran dari alterasi atau ubahan batuan tipe skarn yang ada pada daerah penelitian. Pemetaan sebaran batuan dilakukan dengan metode yang lebih detail dan sistematik. Metode pemetaan tersebut disesuaikan dengan kondisi penelitian dengan areal dan penelitian yang tidak begitu luas dan juga agar mendapatkan hasil data yang lebih spesifik. Pemetaan tersebut dilakukan dengan skala 1:350 pada daerah fokus penelitian yaitu pada lereng sisi barat daya Gunung Jabalkat tepatnya pada Desa Pagerjurang. Dalam pemetaan yang lebih detail ini diperlukan peta kontur sebagai peta dasar dalam pembuatan peta sebaran ubahan batuan. Peta kontur dibuat dengan cara pengambilan data koordinat serta ketinggian secara manual. Pengambilan data koordinat (x dan y) dilakukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Sedangkan untuk pengambilan data ketinggian (z) dilakukan dengan menggunakan bantuan alat pengukur ketinggian atau altimeter. b. Pengumpulan Data II Pengumpulan data II merupakan tahapan selanjutnya setelah pengumpulan data pada daerah fokus penelitian. Tahapan berikutnya yaitu pengumpulan data geologi pada daerah dengan areal yang lebih luas di luar daerah fokus penelitian. Pemetaan geologi yang dilakukan adalah pemetaan geologi dengan memetakan variasi serta sebaran batuan, geomorfologi, dan struktur geologi yang ada dengan skala 1: Pemetaan geologi dilakukan pada kapling dengan area 1,5x2 km pada bagian selatan Perbukitan Jiwo Barat. Pengambilan sampel petrografi diambil sebanyak 6 sampel. 4. Tahap Analisis Data dan Pekerjaan Laboratorium a. Pengamatan sayatan tipis dengan mikroskop polarisasi b. Pengamatan sayatan poles dengan mikroskop poles c. Analisis data XRD 46

52 d. Pembuatan peta - Peta topografi 1:350 Hasil dari pengumpulan data koordinat (x dan y) yang dilakukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) dan data ketiinggian (z) yang dilakukan dengan menggunakan bantuan alat pengukur ketinggian atau altimeter, kemudian diolah dengan menggunakan software Surfer 10 untuk menghasilkan peta kontur dengan skala yang diinginkan. - Peta geologi dan sebaran ubahan batuan Pengerjaan peta geologi dan sebaran ubahan batuan dilakukan dengan menggunakan software ArcMap 10.2 dan Corel Draw X6. - Peta elevasi dan kemiringan lereng Pengerjaan peta tersebut dilakukan dengan melakukan pembagian kelas atau klasifikasi lereng pada peta kontur yang telah ada menggunakan software ArcMap Peta pola kelurusan struktur geologi Pembuatan peta pola kelurusan struktur geologi dilakukan dengan fungsi hillshade pada ArcMap 10.2 untuk memperlihatkan kenampakan morfologi punggungan serta lembah sehingga dapat memperjelas polapola kelurusannya. 5. Tahap Integrasi dan Interpretasi Tahapan ini berupa pengitegrasisan hasil pekerjaan lapangan (pemetaan geologi dan pemetaan tipe alterasi) dan hasil analisis laboratorium (mineralogi), serta data-data sekunder serta kajian pustaka untuk membuat interpretasi mengenai karakteristik endapan skarn dan genesanya yang terdapat pada daerah penelitian. 6. Tahap Pembuatan Laporan a. Perumusan hasil evaluasi dan analisa data b. Penyusunan hasil penelitian yang dituangkan sebagai draft skripsi. 47

53 Gambar 4.1. Bagan alir rancangan penelitian IV.2.3. Metode Analisis Analisis mineralogi batuan pada penelitian ini dilakukan dengan analisis petrografi, mineragrafi, dan X-Ray Diffraction (XRD). 1. Petrografi Analisis petrografi yang dilakukan pada 19 sampel yaitu dengan membuat sayatan tipis dari batuan. Sayatan tipis tersebut kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi baik polarisasi pada nikol sejajar maupun polarisasi pada nikol bersilang. Dengan analisis ini diharapakan dapat diperoleh informasi mengenai karakteristik dan jenis batuan dasar meliputi 48

54 tekstur dan komposisinya, serta adanya alterasi yang menyebabkan berubahnya tekstur serta komposisi batuan asal. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui genesis ubahan batuan, karakteristiknya serta pengaruh komposisi batuan asal terhadap pembentukkan zona alterasi. Preparasi sampel untuk sayatan tipis dilakukan oleh salah satu instansi di Bandung dan juga dilakukan di Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. 2. Mineragrafi Analisis mineragrafi yang dilakukan pada 7 sampel yaitu dengan membuat sayatan poles yang kemudian diamati melalui mikroskop refleksi. Dari pengamatan akan diperoleh informasi mengenai kandungan mineralmineral logam berupa unsur tunggal atau senyawa (sulfida, oksida dan lainlain), kandungan mineral penyerta dan tekstur mineralogi. Hasil tersebut digunakan untuk mengetahui hubungan antra pembentukan zona alterasi terhadap mineralisasi dan paragenesis endapan logam. Preparasi sampel untuk sayatan poles dan pengamatan mikroskopisnya dilakukan di Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. 3. X-Ray Diffraction (XRD). Data mineralogi batuan berikutnya diperoleh dengan analisis X-Ray Diffraction (XRD). Analisis XRD ini nantinya akan akan menghasilkan data berupa himpunan mineral yang hadir dalam zona tertentu sehingga dapat dipakai untuk interpretasi zona alterasi hidrotermal pada daerah penelitian. Analisis XRD akan melengkapi hasil pengamatan lapangan dan pengamatan petrografi dan dapat digunakan untuk mengetahui jenis dan nama batuan. Selain itu, tujuan dari analisis ini adalah mengidentifikasi jenis mineral pada batuan secara semi-kuantitatif, terutama mineral-mineral yang sulit diamati dengan mikroskop polarisasi maupun refleksi, seperti mineral lempung. Dari 16 sampel yang digunakan untuk anlisis XRD, dilakukan analisis bulk pada keseluruhan sampel dan 8 sampel dilakukan analisis clay. Pada analisis clay dibagi lagi menjadi 2 analisis, yaitu analisis Ethylene Glycol (EG) dan Air Drained (AD). Preparasi sampel XRD dilakukan di Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada. 49

55 BAB V PEMAPARAN DATA V.1. Geologi Daerah Penelitian V.1.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Daerah penelitian meliputi sebagian daerah Perbukitan Jiwo Barat yaitu Gunung Jabalkat, Gunung Kebo, Gunung Cakaran, dan Gunung Merak. Letak Perbukitan Jiwo Barat ini berada pada sebelah barat Sungai Dengkeng yang menjadi pemisah dengan Perbukitan Jiwo Timur. Sebagian besar daerah penelitian berupa bukit-bukit dengan lereng sedang hingga curam. Perbukitan pada daerah penelitian merupakan perbukitan yang mempunyai arah relatif memanjang selatan ke utara. Gambar 5.1. Peta elevasi daerah penelitian Berdasarkan kenampakan pada peta elevasi (Gambar 5.1), daerah penelitian merupakan daerah yang ketinggiannya berkisar antara 100 hingga 250 meter di atas permukaan air laut. Daerah penelitian didominasi oleh ketinggian >120 meter. 50

56 Pembagian satuan relief berdasarkan kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 5.2. Berdasarkan pembagian kemiringan kelerengan tersebut, dapat diketahui bahwa daerah penelitian sebagian besar adalah topografi dengan kemiringan lereng sedang hingga curam dan dijumpai pada bagian timur daerah penelitian. Sedangkan topografi dengan kelerengan landai dijumpai pada bagian barat daya daerah penelitian. Pembagian kelas lereng pada daerah penelitian mengacu pada klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam (1983) seperti yang tertera pada Gambar 5.3. Gambar 5.2. Peta kemiringan lereng daerah penelitian Hadirnya struktur yang mengenai batuan berupa kekar dan sesar mengakibatkan adanya aliran permukaan yang berkembang relatif baik berupa aluralur dan sungai kecil. Berkembangnya aliran permukaan ini berakibat terbentuknya relief yang nyata pada Perbukitan Jiwo Barat ini berupa puncak-puncak yang membulat dan meruncing seperti yang terlihat pada Gunung Jabalkat. Pembentukan relief ini masih terus terjadi, terwujudkan dalam proses longsoran tanah yang banyak dijumpai di lembah dan kaki gunung. 51

57 Gambar 5.3. Klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam 1983 V.1.2. Litologi Daerah Penelitian Penentuan litologi pada daerah penelitian dilakukan dengan metode pemetaan geologi yang sistematik dan detail. Pemetaan geologi yang dilakukan dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemetaan geologi pada daerah perbukitan Jiwo Barat dan pemetaan geologi pada daerah Desa Pagerjurang dengan skala yang lebih besar dan dengan areal yang lebih sempit. Pelaksanaan pemetaan geologi sebanyak dua tahap ini dilakukan dengan tujuan unutk mendapatkan hasil pemetaan dan identifikasi litologi yang lebih spesifik khususnya pada daerah Desa Pagerjurang. Pada pemetaan geologi daerah perbukitan Jiwo Barat, peneliti mengacu pada peta geologi daerah Jiwo yang telah dibuat oleh Wijanarko (2008) pada penelitian tugas akhir sebelumnya dengan beberapa perubahan berdasarkan datadata yang diperoleh peneliti di lapangan secara langsung. Berdasarkan Gambar 5.4, dapat diketahui bahwa areal pemetaan daerah Desa Pagerjurang berada di dalam areal Jiwo Barat. Pemaparan tentang litologi daerah penelitian akan dibagi menjadi dua. 52

58 Gambar 5.4. Peta geologi Jiwo Barat (mengacu pada Wijanarko, 2008 dengan modifikasi) (kiri) dan peta zonasi ubahan skarn Desa Pagerjurang (kanan) 53

59 Gambar 5.5. Profil sayatan geologi Jiwo Barat (atas) dan profil sayatan zonasi ubahan batuan skarn Desa Pagerjurang (bawah) V Litologi Daerah Jiwo Barat Dari peta geologi Jiwo Barat yang ditunjukkan pada Gambar 5.4, diketahui bahwa satuan litologi yang menyusun daerah penelitian berdasarkan pengamatan langsung di lapangan yaitu satuan endapan aluvial, satuan intrusi mikrodiorit, satuan batugamping, satuan batulanau, satuan intrusi gabro dan serpentinit, dan satuan filit. A. Satuan Endapan Aluvial Satuan ini melampar cukup luas pada bagian barat, barat daya, dan selatan Perbukitan Jiwo Barat pada daerah penelitian. Satuan ini berada pada lokasi dengan ketinggian rendah serta membentuk pola morfologi dataran. Karakteristik satuan endapan aluvial yang dijumapai pada daerah penelitian berupa endapan lepas berwarna abu-abu kecoklatan, berukuran lempung hingga pasir. Satuan endapan ini merupakan hasil dari limpahan endapan Sungai Dengkeng dan juga berasal dari pelapukan batuan yang tersusun pada daerah penelitian dan membentuk tanah hasil pelapukan berupa lempung pasiran yang bersifat rapuh dan mudah tererosi. 54

60 B. Satuan Intrusi Mikrodiorit Satuan intrusi batuan beku mikrodiorit dijumpai pada Gunung Merak, Gunung Kebo, dan lereng Gunung Cakaran. Satuan ini banyak ditemukan pada puncak gunung dalam bentuk bongkah-bongkah berukuran cm serta dalam bentuk tubuh intrusi dalam skala kecil. Kondisi satuan batuan ini (Gambar 5.6) mengalami pelapukan dengan tingkat lemah hingga sedang. Pada beberapa lokasi, singkapan mikrodiorit ditemukan dalam keadaan telah mengalami pelapukan membola. Deskripsi megaskopis satuan ini yaitu berwarma abu-abu, tekstur interlocking, masif, porfiroafanitik, holokristalin, inequigranular, porfiritik lemah hingga sedang, tidak dijumpai gelas, ukuran fenokris 0,2-0,5 cm terdiri dari plagoklas, hornblende, dan piroksen, ukuran masa dasar <0,1 cm yang tersusun oleh mineral-mineral basa dan mempunyai sifat magnetik lemah. Gambar 5.6. Kenampakan megaskopis mikrodiorit C. Satuan Batugamping Satuan ini dijumpai dalam keadaan telah termetamorfisme menjadi marmer dan diinterpretasikan berasal dari batugamping Formasi Wungkal-Gamping. Satuan ini dijumpai di lereng sisi barat daya Gunung Jabalkat yaitu pada Desa Pagerjurang. Pelamparan dari satuan ini tidak luas, dengan dimensi singkapan 55

61 yang dijumpai yaitu 10x5 meter. Kondisi satuan ini (Gambar 5.7) relatif segar dengan tingkat pelapukan lemah. Deskripsi megaskopis pada satuan batuan ini yaitu berwarna abu-abu, tidak mempunyai foliasi, memperlihatkan struktur granulose dan bertekstur granoblastik. Komposisi satuan tersebut berupa kalsit dan dijumpai adanya urat kuarsa yang tidak begitu intensif dengan dimensi lebar urat kurang dari 0,5 cm. Sataun marmer ini merupakan hasil dari proses metamorfisme kontak. D. Satuan Batulanau Satuan ini dijumpai dalam keadaan telah termetamorfisme menjadi hornfels dan diinterpretasikan berasal dari batulanau Formasi Wungkal-Gamping. Satuan batuan ini dijumpai di lereng sisi barat daya Gunung Jabalkat yaitu pada Desa Pagerjurang. Pelamparan satuan ini tidak begitu luas, dengan dimensi singkapan yang dijumpai yaitu 50x8 meter. Kondisi satuan ini (Gambar 5.7) mengalami pelapukan dengan tingkat lemah hingga sedang. Deskripsi megaskopis pada satuan batuan ini yaitu berwarna coklat kekuningan, tidak mempunyai foliasi, memperlihatkan stuktur horfelsik, tekstur granoblastik, dan terkadang memperlihatkan tekstur sisa (relict texture) dari batuan sebelumnya yaitu berupa perlapisan dan laminasi. Komposisi yang menyusun satuan batuan ini adalah kuarsa, feldspar, dan mineral opaq. Satuan batuan ini terbentuk sebagai akibat proses metamorfisme kontak. Gambar 5.7. Kenampakan megaskopis marmer (kiri) dan hornfels (kanan) E. Satuan Intrusi Gabro dan Serpentinit Satuan intrusi batuan beku gabro dijumpai di lereng sisi tenggara Gunung Jabalkat. Kondisi batuan yang dijumpai (Gambar 5.8) relatif segar dengan tingkat pelapukan yang lemah. Deskripsi megaskopis satuan batuan ini yaitu 56

62 berwarna abu-abu cerah, tekstur interlocking, masif, holokristalin, equigranular, porfiritik kuat, tidak dijumpai gelas, ukuran kristal relatif seragam 0,5-1 cm didominasi tersusun oleh mineral plagioklas dan piroksen, dan mineral lain seperti hornblende, olivin, dan mineral opaq. Kemudian, pada sebagian tubuh intrusi gabro tersebut diantaranya telah mengalami metamorfisme sehingga terubah menjadi serpentinit. Serpentinit ini dijumpai di lereng sisi barat laut Gunung Jabalkat. Dimensi singkapan yang dijumpai adalah 15x7 meter. Pelamparan serpentinit ini tidak begitu luas. Kondisi batuan telah mengalami pelapukan dengan tingkat lemah hingga sedang. Deskripsi megaskopisnya yaitu berwarna hijau keabuan, memiliki kilap lemak, tidak memiliki foliasi, dan memperlihatkan struktur liniasi. Komposisi batuan berupa serpentin, olivin, dan talk. Gambar 5.8. Kenampakan megaskopis gabro (kiri) dan serpentinit (kanan) F. Satuan Filit Satuan batuan metamorf filit merupakan satuan batuan yang paling banyak dijumpai pada daerah penelitian dan pelamparannya paling luas. Kondisi batuan yang dijumpai (Gambar 5.9) pada daerah penelitian sebagian besar telah mengalami pelapukan dengan tingkat sedang hingga kuat yang merupakan batuan tertua pada daerah penelitian. Pada satuan batuan metamorf ini sering menunjukkan foliasi yang baik. Pada beberapa lokasi dapat dijumpai urat kuarsa baik dalam kondisi sejajar maupun memotong bidang foliasi yang merupakan produk alterasi hidrotermal yang disebabkan oleh aktivitas magmatisme terobosan batuan beku. Deskripsi megaskopis satuan batuan ini yaitu berwarna coklat muda, mempunyai foliasi, ukuran butir halus, memperlihatkan struktur philitic dan bertekstur lepidoblastik yang didominasi oleh mineral-mineral 57

63 tabular. Batuan telah terjadi pemisahan mineral granular (segregasi) namun belum sempurna. Komposisi berupa kuarsa dan mika. Batuan ini merupakan hasil dari proses metamorfisme regional. Gambar 5.9. Kenampakan megaskopis filit V Litologi Daerah Desa Pagerjurang Pada lereng sisi barat daya Gunung Jabalkat (Desa Pagerjurang), dapat dijumpai ubahan batuan yang bertipe skarn yang menjadi fokus penelitian (Gambar 5.10). Pada daerah ini, dilakukan pengamatan litologi dan pembuatan peta yang lebih detail dengan menggunakan skala peta yang lebih besar. Karena skala yang digunakan cukup besar, maka litologi dapat dipisahkan menjadi zonasi-zonasi litologi. Pada peta zonasi ubahan batuan skarn daerah Desa Pagerjurang, dapat diketahui bahwa zonasi tersebut antara lain zona marmer, zona hornfels, zona retrograde eksoskarn, zona distal prograde eksoskarn, dan zona proksimal prograde eksoskarn yang akan dibahas lebih lanjut pada pembahsan bab selanjutnya mengenai karakter dan genesanya. 58

64 Gambar Singkapan skarn pada Desa Pagerjurang A. Zona Marmer Pelamparan dari zona ini tidak luas, dengan dimensi singkapan yang dijumpai yaitu 10x5 meter. Kondisi zona ini relatif segar dengan tingkat pelapukan lemah. Deskripsi megaskopis pada zona ini yaitu berwarna abu-abu, tidak mempunyai foliasi, memperlihatkan struktur granulose dan bertekstur granoblastik. Komposisi zona tersebut berupa kalsit dan dijumpai adanya urat kuarsa yang tidak begitu intensif dengan dimensi lebar urat kurang dari 0,5 cm. Zona marmer ini merupakan hasil dari proses metamorfisme kontak. B. Zona Hornfels Pelamparan zona hornfels ini tidak begitu luas, dengan dimensi singkapan yang dijumpai yaitu 50x8 meter. Kondisi zona ini mengalami pelapukan dengan tingkat lemah hingga sedang. Deskripsi megaskopis pada zona ini yaitu berwarna coklat kekuningan, tidak mempunyai foliasi, memperlihatkan stuktur horfelsik, tekstur granoblastik, dan terkadang memperlihatkan tekstur sisa (relict texture) dari batuan sebelumnya yaitu berupa perlapisan dan laminasi. Komposisi yang menyusun satuan batuan ini adalah kuarsa, feldspar, dan mineral opaq. Zona ini terbentuk sebagai akibat proses metamorfisme kontak. C. Zona Retrograde Eksoskarn Zona ini melampar kurang lebih 2 meter pada singkapan Desa Pagerjurang. Kondisi zona ini mengalami pelapukan dengan tingkat kuat (Gambar 5.11). Kenampakan lapangan pada zona ini sebagian besar telah berwujud material lempung pasiran. Zona ini dicirikan mineral epidot, klorit dalam jumlah yang banyak. Kehadiran mineral epidot dan klorit dalam jumlah banyak seringkali 59

65 dinamakan dengan skarn epidot-klorit yang merupakan mineral hasil penggantian mineral-mineral skarn prograde yang telah terbentuk sebelumnya. D. Zona Distal Prograde Eksoskarn Zona ini melampar kurang lebih 2-3 meter pada singkapan. Kondisi zona ini mengalami pelapukan tingkat rendah hingga sedang (Gambar 5.11). Deskripsi megaskopis zona ini yaitu berwarna hitam, sebagian besar komposisinya berupa klinopiroksen yang sangat melimpah. Zona distal prograde eksoskarn ditandai dengan kehadiran klinopiroksen relatif banyak dan kehadiran garnet menurun. Mineral lain yang hadir adalah antara lain epidot, kalsit, kuarsa, serta mineral sulfida seperti pirit, kalkopirit, terkadang galena dan sfalerit. E. Zona Proksimal Prograde Eksoskarn Zona ini melampar kurang lebih 1,5-2 meter pada singkapan. Kondisi zona ini mengalami tingkat pelapukan rendah hingga sedang. Zona ini berbatasan dengan marmer dan dicirikan oleh dominasi kehadiran mineral garnet terhadap mineral klinopiroksen berdasarkan pengamatan megaskopis dan mikroskopis. Disamping garnet dan klinopiroksen, mineral lain yang hadir adalah epidot, kuarsa, serta mineral sulfida. Garnet zona proksimal berukuran kristal lebih besar (2-10 mm). Mineral sulfida terutama pirit dan kalkopirit umumnya hadir dan terkadang sfalerit berasosiasi dengan zona proksimal prograde eksoskarn ini. Gambar Kenampakan zona retrograde eksoskarn (kiri atas), zona distal prograde eksoskarn (kanan atas), dan proksimal prograde eksoskarn (bawah) 60

66 V.1.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, dijumpai adanya struktur geologi berupa kekar berpasangan namun tidak dijumpai bukti di lapangan adanya sesar. Daerah penelitian didominasi oleh endapan lepas yang berasal dari hasil pelapukan batuan penyusun yang sangat intensif, sehingga bukti struktur geologi di lapangan, terutama sesar, sangatlah sulit untuk dijumpai.. Gambar Pola kelurusan (kiri) dan peta struktur geologi (kanan) pada daerah penelitian berdasarkan interpretasi pola kelurusan Karena tidak dapat melihat kenampakan struktur sesar secara langsung, maka struktur sesar tersebut diperkirakan berdasarkan analisis sesar yang hanya dapat dilakukan dari interpretasi pola-pola kelurusan yang ada pada daerah penelitian. Dapat diketahui bahwa pola-pola kelurusan tersebut dominan berarah timur laut-barat daya dan barat laut-tenggara (Gambar 5.12) yang berperan sebagai pembentuk morfologi yang ada sekarang dan juga terdapat keterkaitannya pada pembentukan endapan skarn pada daerah fokus penelitian yang akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan bab berikutnya. Kemudian penarikan struktur geologi perkiraan pada daerah penelitian dapat ditarik berdasarkan pola-pola kelurusan 61

67 yang ada serta topografi. Analisis tersebut diperkuat dengan adanya kekar-kekar berpasangan yang dapat terukur pada daerah penelitian mempunyai arah gaya yang relatif dapat membentuk pola-pola kelurusan yang ada berikut perkiraan arah gayanya. Tujuan dari analisis kekar ini sebenarnya adalah untuk menafsirkan arah gaya tektonik yang bekerja, sehingga diharapkan dapat membantu interpretasi struktur sesar dan lipatan yang ada pada daerah penelitian. Hubungan antara kekar, sesar dan lipatan dikemukakan oleh Moody dan Hill (1956) pada Gambar Berdasarkan hasil analisa kekar berpasangan dengan menggunakan metode kipas, dapat diketahui bahwa arah gaya pembentuk struktur pada daerah penelitian berarah relatif utara-selatan (Gambar 5.13). Data pengukuran kekar berpasangan dapat dilihat pada bagian lampiran data kekar. Gambar Analisa kekar berpasangan menggunakan metode kipas (kanan) dan hubungan antara struktur sesar, kekar, dan lipatan yang dikemukakan oleh Moody dan Hill (1956) (kiri) V.2. Lokasi Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada lokasi-lokasi yang mewakili perbedaan litologi pada seluruh daerah penelitian pada Perbukitan Jiwo Barat yaitu tepatnya pada sekitar Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Lokasi pengambilan sampel secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 62

68 5.14. Penjelasan tentang lokasi pengambilan sampel diwakili oleh satu STA pada setiap satuan batuan yang berbeda. Gambar Peta geologi daerah penelitian & lokasi pengambilan sampel A. STA 1 Lokasi STA 1 terletak pada Desa Pagerjurang (lereng sisi barat daya Gunung Jabalkat) pada koordinat me mn. Pada STA ini dilakukan metode pengambilan sampel secara khusus. Hal ini dilakukan karena pada lokasi inilah yang menjadi titik fokus penelitian, sehingga pengambilan sampel dilakukan secara sistematik dan detail. Sampel yang diambil berupa sampel hornfels, marmer, dan sampel alterasi skarn. Sampel yang diambil digunakan untuk keperluan laboratorium antara lain analisis petrografi untuk mengamati kandungan mineral secara mikroskopis, analisis mineragrafi untuk mengamati kandungan mineral logam secara mikroskopis, dan analisis XRD. Lokasi pengambilan sampel pada STA 1 dapat dilihat pada Gambar

69 Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1 (kamera menghadap timur) B. STA 2 Lokasi STA 2 terletak pada puncak Gunung Merak pada koordinat me mn. Sampel yang diambil pada lokasi ini yaitu berupa sampel intrusi mikrodiorit. Sampel diambil pada bongkah-bongkah mikrodiorit yang berukuran cm. Pengambilan sampel diperlukam untuk analisis petrografi. Kondisi batuan pada lokasi pengambilan sampel dalam keadaan lapuk tingkat lemah hingga sedang. Lokasi pengambilan sampel pada STA 2 dapat dilihat pada Gambar C. STA 5 Lokasi STA 5 terletak pada lereng sebelah barat laut Gunung Jabalkat pada koordinat me mn. Sampel yang diambil berupa batuan metamorf serpentinit pada singkapan dengan dimensi 15x7 meter. Pengambilan sampel diperlukam untuk analisis petrografi. Kondisi batuan pada lokasi pengambilan sampel dalam keadaan lapuk tingkat lemah hingga sedang. Lokasi pengambilan sampel pada STA 5 dapat dilihat pada Gambar D. STA 6 Lokasi STA 6 terletak pada lereng sebelah tenggara Gunung Jabalkat pada koordinat me mn. Sampel yang diambil berupa intrusi gabro dengan kondisi batuan yang masih relatif segar. Pengambilan sampel diperlukam untuk analisis petrografi. Lokasi pengambilan sampel pada STA 6 dapat dilihat pada Gambar

70 Gambar Lokasi pengambilan sampel mikrodiorit pada puncak Gunung Merak STA 2 (kamera menghadap utara) Gambar Lokasi pengambilan sampel serpentinit pada lereng barat laut Gunung Jabalkat STA 5 (kamera menghadap utara) 65

71 E. STA 8 Gambar Lokasi pengambilan sampel gabro pada lereng tenggara Gunung Jabalkat STA 6 (kamera menghadap timur laut) Lokasi STA 8 terletak pada lereng sebelah timur Gunung Jabalkat pada koordinat me mn. Sampel yang diambil berupa batuan metamorf filit. Pengambilan sampel diperlukam untuk analisis petrografi. Kondisi batuan pada lokasi pengambilan sampel dalam keadaan lapuk tingkat sedang hingga kuat. Hampir seluruh satuan batuan filit pada daerah penelitian dalam keadaan tidak segar. Lokasi pengambilan sampel pada STA 7 dapat dilihat pada Gambar

72 Gambar Lokasi pengambilan sampel filit pada lereng timur Gunung Jabalkat STA 8 (kamera menghadap timur) V.3. Analisis Petrografi Analisis petrografi diperlukan untuk mengetahui kandungan mineral yang ada pada suatu batuan yang diamati secara mikroskopis sehingga hasil dari analisis tersebut dapat digunakan untuk memberikan penamaan secara lebih signifikan dan untuk kepeluan interpretasi genesa dari batuan tersebut. Deskripsi secara lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran petrografi. Hasil analisis petrografi yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: A. STA 1 Pada STA 1 terdapat beberapa variasi litologi, yaitu batuan metamorf hornfels, marmer, dan batuan alterasi skarn. Pada batuan metamorf setelah dilakukan pengamatan mikroskopis atau analisis petrografi, dapat diketahui bahwa pada sayatan hornfels berwarna abu-abu gelap pada nikol bersilang dan abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar (Gambar 5.20). Ukuran mineral antara 0,1mm 1mm. Komposisi sayatan berupa mineral kuarsa (50%), klinopiroksen (40%), dan mineral opak (10%). Mineral opak yang hadir adalah grafit. Pada sayatan secara umum nampak adanya struktur hornfelsik dan memperlihatkan 67

73 tekstur granoblastik. Penamaan sesuai sesuai analisis petrografi adalah hornfels klinopiroksen. Gambar Kenampakan mikroskopis hornfels klinopiroksen Untuk batuan metamorf marmer didapatkan hasil analisis yaitu berwarna abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar dan abu-abu gelap pada nikol bersilang (Gambar 5.21). Ukuran mineral antara 0,5mm 1mm. Komposisi sayatan berupa mineral kalsit (100%). Tekstur dari batuan menunjukkan adanya triple junction dan granoblastik. Penamaan batuan sesuai analisis petrografi adalah marmer kalsit. Gambar Kenampakan mikroskopis marmer kalsit Kemudian pada batuan alterasi skarn didapatkan hasil analisis yaitu berwarna hijau kuning kebiruan pada nikol bersilang dan abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar (Gambar 5.22). Ukuran mineral antara 0,5mm 4mm. Komposisi sayatan berupa mineral wolastonit (45%), hedenbergit (30%), garnet (20%), dan mineral opak (5%). Wolastonit dan hedenbergit merupakan mineral dari grup klinopiroksen. Kemudian penamaan batuan sesuai analisis petrografi adalah skarn prograde garnet klinopiroksen. 68

74 Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde garnet klinopiroksen B. STA 2 Pada STA 2, sampel yang dilakukan analisis petrografi adalah batuan beku mikrodiorit intrusi. Hasil dari analisis petrografinya yaitu berwarna abu-abu gelap pada nikol bersilang dan abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar (Gambar 5.23). Ukuran mineral antara 0,1mm 1mm. Komposisi sayatan berupa mineral andesin (45%), pigeonit (50%), dan mineral opak (5%). Secara umun sayatan memperlihatkan tekstur interlocking. Andesin merupakan mineral dari grup plagioklas. Sedangkan pigeonit adalah mineral dari grup klinopiroksen. Penamaan batuan sesuai analisis petrografi adalah mikrodiorit klinopiroksen. Gambar Kenampakan mikroskopis mikrodiorit klinopiroksen C. STA 5 Pada STA 5 sampel batuan yang dilakukan analisis petrografi yaitu batuan metamorf serpentinit. Hasil analisis petrografinya yaitu berwarna hijau kekuningan nikol bersilang dan abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar (Gambar 5.24). Ukuran mineral antara 0,1mm 1mm. Komposisi sayatan berupa mineral antigorit (40%), lizardit (50%), picotit (5%), dan mineral opak (5%). Secara umum pada sayatan memperlihatkan adanya tekstur liniasi. Antigorit dan lizardit 69

75 merupakan mineral dari grup serpentin. Sedangkan picotit merupakan mineral opaq dari grup spinel. Gambar Kenampakan mikroskopis serpentinit D. STA 6 Pada STA 6 sampel batuan yang dilakukan analisis petrografi adalah batuan beku gabro. Hasil analisis petrografinya yaitu berwarna abu-abu kebiruan pada nikol bersilang dan abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar (Gambar 5.25). Ukuran mineral antara 0,5mm 2mm. Komposisi sayatan berupa mineral sepentin (15%), hornblenda (25%), labradorit (25%), olivin (30%), dan mineral opak (5%). Secara umum pada sayatan memperlihatkan adanya tekstur interlocking. Sedangkan labradorit adalah mineral dari grup plagioklas. Penamaan batuan sesuai analisis petrografi adalah gabro olivin. Gambar Kenampakan mikroskopis gabro olivin E. STA 8 Pada STA 8 sampel batuan yang dilakukan analisis petrografi adalah batuan metamorf filit. Hasil analisis petrografinya yaitu berwarna abu-abu gelap pada nikol bersilang dan abu-abu kecoklatan pada nikol sejajar (Gambar 5.26). Ukuran mineral antara 0,5mm 2mm. Komposisi sayatan berupa mineral kuarsa (50%), muskovit (40%), dan mineral opak (10%). Secara umum pada sayatan 70

76 memperlihatkan struktur foliasi. Penamaan batuan sesuai analisis petrografi adalah filit. Gambar Kenampakan mikroskopis filit V.4. Analisis Mineragrafi Analisis mineragrafi diperlukan untuk mengetahui kandungan mineral logam yang ada pada suatu batuan yang diamati secara mikroskopis sehingga hasil dari analisis tersebut dapat digunakan untuk memberikan penamaan secara lebih signifikan dan untuk kepeluan interpretasi genesa dari batuan tersebut. Deskripsi secara lebih lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran mineragrafi. Pengambilan sampel untuk analisis mineragrafi hanya dilakukan pada STA 1 dan hanya dilakukan pada batuan skarn prograde. Hasil analisis mineragrafi pada sampel pertama skarn prograde yaitu berwarna keabu abuan dengan memperlihatkan tekstur massif (Gambar 5.27). Sayatan mempunyai ukuran kristal berkisar antara 0,05mm 0,50mm. Sampel batuan tersusun oleh gangue mineral berupa kuarsa (30 %) dan mineral logam (70 %) berupa pirit (20 %), galena (10%), dan sfalerit (40 %). Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde 71

77 Kemudian untuk hasil analisis mineragrafi pada sampel kedua yaitu berwarna keabu abuan dengan memperlihatkan tekstur massif (Gambar 5.28). Sayatan mempunyai ukuran kristal berkisar antara 0,05mm 0,50mm. Sampel batuan tersusun oleh gangue mineral berupa kuarsa (20 %) dan mineral logam (80 %) berupa pirit (15 %), hematit (20 %), galena (10 %), dan sfalerit (35 %). Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde Hasil analisis mineragrafi pada sampel ketiga yaitu berwarna keabu abuan dengan memperlihatkan tekstur massif (Gambar 5.29). Sayatan mempunyai ukuran kristal berkisar antara 0,05mm 0,50mm. Sampel batuan tersusun oleh gangue mineral berupa kuarsa (15 %) dan mineral logam (85 %) berupa pirit (20 %), kalkopirit (15%), hematit (10 %), galena (5 %), dan sfalerit (35 %). Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde Hasil analisis mineragrafi pada sampel keempat yaitu berwarna keabu abuan dengan memperlihatkan tekstur massif (Gambar 5.30). Sayatan mempunyai ukuran kristal berkisar antara 0,05mm 0,50mm. Sampel batuan tersusun oleh gangue mineral berupa kuarsa (15 %) dan mineral logam (85 %) berupa pirit (15 %), kalkopirit (15 %), hematit (15 %), galena (10 %), dan sfalerit (30 %). 72

78 Gambar Kenampakan mikroskopis skarn prograde V.5. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) Pengambilan sampel untuk keperluan analisis X-Ray Diffraction (XRD) hanya dilakukan pada STA 1. Pengambilan sampel dilakukan secara detail dan sistematik. Sampel yang diambil untuk keperluan analisis ini sebanyak 16 sampel. Analisis yang dilakukan antara lain analisis bulk untuk keseluruhan sampel dan analisis clay untuk 8 sampel. Analisis clay tersebut meliputi Ethylene Glycol (EG) dan Air Drained (AD). Hasil pembacaan analisa kesuluruhan grafik XRD dapat dilihat pada tablel 5.1. Dari Tabel tersebut dapat diketahui variasi mineral yang ada pada. Kemudian grafik kesuluruhan dapat dilihat pada bagian lampiran XRD. Tabel 5.1. Data hasil analisis menggunakan metode X-Ray Diffraction (XRD) pada STA1 73

79 V.6. Karakteristik Mineralogi V.6.1. Mineral Logam Pengamatan lapangan dan pengamatan sayatan poles terhadap 7 sampel mengindikasikan bahwa endapan skarn pada Desa Pagerjurang dicirikan oleh kehadiran mineral-mineral kelompok sulfida dan oksida (Tabel 5.2). Mineral sulfida terdiri dari mineral pirit, kalkopirit, sfalerit, dan galena. Sedangkam mineral oksida berupa hematit. Tabel 5.2. Mineral-mineral logam yang dijumpai pada daerah penelitian Kelompok Mineral Mineral Logam Singkatan Rumus Kimia Sulfida Pirit Py FeS2 Kalkopirit Ccp CuFeS2 Galena Gn PbS Sfalerit Sp (Zn, Fe)S Oksida Hematit Hem Fe2O3 Pembahasan sifat-sifat fisik optis mineral-mineral logam tersebut adalah sebagai berikut: A. Pirit (FeS2) Pirit memiliki warna kuning terang keemasan dengan kilap logam, cerat hitam, ketembusan cahaya opak, belahan tidak jelas, pecahan uneven, dan bentuk kubik bila diamati secara megaskopis. Dalam mikroskop refleksi, pirit memiliki warna kuning terang keputihan, ukuran 0,1mm 0,25mm, bentuk kubik euhedral, belahan tidak terlihat, dan sifat isotropik. Pada nikol bersilang memiliki warna gelap dan tidak ada pleokroisme. Kehadiran pirit cukup melimpah sebagai mineral tunggal maupun dalam tubuh kalkopirit. B. Kalkopirit (CuFeS2) Secara megaskopis, kalkopirit berwarna kuning keemasan, kilap logam, cerat hitam, ketembusan cahaya opak, sifat dalam rapuh, belahan tidak jelas, dan pecahan uneven. Dalam mikroskop refleksi, kalkopirit memiliki warna kuning terang, ukuran 0,1mm 0,25mm, bentuk anhedral, belahan tidak terlihat, dan memiliki sifat anisotropik lemah. Pada nikol bersilang memiliki warna coklat dan tidak ada pleokroisme. Kalkopirit dijumpai sebagai mineral tunggal ataupun dijumpai dalam tubuh sfalerit. Pada beberapa sampel, kalkopirit dijumpai telah 74

80 mengalami perubahan akibat proses eksogenik yang menyebabkan kalkopirit tersebut tergantikan menjadi mineral hematit. Umumnya kalkopirit mrngalami pergantian menjadi hematit akibat proses oksidasi dan pelapukan. C. Galena (PbS) Secara megaskopis, galena berwarna abu-abu metalik, kilap logam, cerat hitam, ketembusan cahaya opak, sifat dalam rapuh, belahan tiga arah sempurna, dan pecahan uneven. Secara megaskopis, galena memiliki warna abu abu keputihan pada nikol sejajar dan berwarna abu-abu gelap pada nikol bersilang, ukuran 0,1mm 0,25mm, bentuk subhedral dengan ciri khas kenampakan triangular pits, dan sifat isotropik. Triangular pits merupakan kenampakan segitiga hitam (gelap) dalam tubuh galena akibat pola tiga arah belahan yang berbeda yang dilihat dari nikol sejajar. D. Sfalerit ((Zn, Fe)S) Sfalerit berwarna hitam secara megaskopis, kilap logam-tanah, cerat hitam, ketembusan cahaya opak, sifat dalam rapuh, pecahan dan belahan tidak jelas. Sfalerit memiliki warna coklat keabu abuan, ukuran 0,25mm 0,50mm, bentuk subhedral, belahan tidak terlihat, dan memiliki sifat isotropik. Pada nikol bersilang memiliki warna coklat gelap dan tidak ada pleokroisme. Di dalam kristal sfalerit tumbuh kristal kalkopirit berukuran lebih kecil. Kondisi ini sering disebut sebagai chalcopyrite disease. Kojima (1991) mengartikan istilah chalcopyrite disease sebagai taburan kalkopirit berukuran submikron dan berdensitas tinggi dalam sfalerit. Kondisi ini terjadi pada sfalerit yang kaya akan Fe. Meningkatnya Fe dalam sfalerit menyebabkan terbentuknya inklusi kalkopirit. Hal ini terjadi akibat reaksi antara Cu dalam larutan dengan kandungan FeS dalam sfalerit sehingga membentuk kalkopirit (CuFeS2). E. Hematit (Fe2O3) Secara megaskopis hematit berwarna merah kecoklatan, kilap tanah, cerat merah bata, ketembusan cahaya opak, dan sifat dalam rapuh. Secara mikroskopis, Hematit memiliki warna abu-abu, ukuran 0,25mm 0,50mm, bentuk euhedral, dan memiliki sifat anisotropik lemah. Pada nikol bersilang memiliki warna gelap. 75

81 V.6.2. Mineral Alterasi Hidrotermal Mineral alterasi di daerah penelitian dicirikan oleh kehadiran mineral utama anhydrous seperti garnet (grosular) dan klinopiroksen (wolastonit-hedenbergitdiopsid-augit), dan dalam jumlah kecil mineral kalsit, kuarsa, klorit, dan epidot pada fase prograde. Mineral-mineral tersebut, pada fase retrograde kemudian terubah menjadi mineral-mineral hidrous seperti epidot, aktinolit, dan mineral lainnya. Kehadiran mineral-mineral tersebut berdasarkan pengamatan megaskopis batuan, analisis petrografi, dan analisis XRD. Berikut adalah pembahsan sifat-sifat fisik dan sifat optis dari mineral-mineral alterasi yang dijumpai pada daerah penelitian: A. Garnet Garnet yang dijumpai pada daerah penelitian adalah garnet tipe grosular. Secara fisik garnet grosular memiliki ciri warna coklat kemerahan, berukuran halus hingga kasar. Secara optis garnet menunjukkan warna coklat kehijauan pada nikol bersilang dan coklat pada nikol sejajar. Garnet berbentuk euhedral, memperlihatkan zoning garnet, tidak dijumpai belahan dan relief tinggi. Ukuran mineral bervariasi 0,5mm 2mm. B. Klinopiroksen Klinopiroksen yang dijumpai cukup beragam yaitu tipe wolastonit, hedenbergit, diopsid, dan augit. Secara megaskopis keseluruhan berwarna hijau berukuran halus hingga kasar. Sedangkan pada pengamatan mikroskopis dibedakan dari teksturnya. Secara keseluruhan tipe klinopiroksen berwarna hijau-merah-biru pada nikol sejajar dan memiliki gelapan miring. C. Epidot Epidot berwarna hijau pucat dan memiliki kilap sutra pada pengamatan megaskopis. Pada pengamatan nikol sejajar epidot memperlihatkan warna abuabu dan hijau kekuningan pada pengamatan nikol bersilang, belahan satu arah atau paralel, fibrous. D. Klorit Klorit merupakan mineral mika, warna hijau tua, kilap sutra, struktur lembaran. Sifat optis klorit memiliki warna abu-abu pada pengamatan nikol sejajar dan 76

82 coklat gelap dengan nikol bersilang. Belahan yang dijumpai yaitu satu arah, fibrous. E. Kuarsa Pada pengamatan megaskopis, kuarsa memperlihatkan warna putih hingga bening, kilap kaca, dan bentuk kristal trigonal piramida. Pada pengamtan mikroskopis dengan nikol sejajar, kuarsa tidak berwarna, relief rendahm dan memperlihatkan gelapan bergelombang. F. Kalsit Kalsit yang dijumpai pada daerah penelitian mempunyai kenampakan yang mirip dengan mineral kuarsa dengan warna putih hingga bening dan memiliki kilap kaca. Namun, mineral kalsit tidak sekeras kuarsa dan dapat dengan mudah diidentifikasi di lapangan karena sangat mudah bereaksi dengan HCl. Pada pengamtan mikroskopis kalsit mempuyai warna abu-abu gelap pada nikol bersilang dan tidak berwarna pada nikol sejajar. Berbentuk anhedral hingga subhedral dan relief rendah. Ukuran mineral 0,5mm 1mm. Kalsit mempunyai belahan 3 arah dan jenis gelapan yaitu gelapan miring. 77

83 BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Ubahan Batuan Skarn Ubahan batuan tipe skarn pada daerah fokus penelitian berada di Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat, tepatnya pada lereng Gunung Jabalkat sisi barat daya. Singkapan ubahan batuan tersebut tersingkap cukup ideal pada tepi jalan raya Bayat-Cawas di sekitar pusat industri gerabah Desa Pagerjurang. Ubahan batuan tersebut dicirikan oleh kehadiran mineral utama anhydrous seperti garnet (grosular) dan klinopiroksen (wolastonit-hedenbergit-diopsid-augit), dan dalam jumlah kecil mineral kalsit, kuarsa, klorit, dan epidot pada fase prograde. Mineral-mineral tersebut, pada fase retrograde kemudian terubah menjadi mineralmineral hidrous seperti epidot dan mineral lainnya. Singkapan yang masih segar dapat dijumpai pada daerah penelitian dan dapat diamati secara jelas perkembangan mulai dari skarn prograde hingga retrograde. Pada sekitar zona skarn ini terdapat batuan metamorf yang dihasilkan dari proses metamorfisme kontak yaitu hornfels dan marmer. Dimensi singkapan yang menjadi fokus penelitian berukuran kurang lebih 5x20 meter. Singkapan batuan skarn pada daerah penelitian dalam kondisi terlapukkan tingkat lemah hingga sedang, berwarna coklat tua kehitaman dan didominasi oleh kehadiran mineral klinopiroksen dan garnet. Kemudian hornfels yang dijumpai telah mengalami pelapukan dengan tingkat lemah hingga sedang, berwarna coklat kekuningan, tidak mempunyai foliasi, memperlihatkan stuktur horfelsik, tekstur granoblastik, dan terkadang memperlihatkan tekstur sisa (relict texture) dari batuan sebelumnya yaitu berupa perlapisan dan laminasi, dan komposisi yang menyusun batuan ini adalah kuarsa, feldspar, dan mineral opaq. Hornfels ini merupakan hasil dari proses metamorfisme kontak. Batuan lainnya yang terdapat di sekitar skarn adalah marmer yang relatif ditemukan dalam kondisi segar dengan tingkat pelapukan lemah, berwarna abu-abu, tidak mempunyai foliasi, memperlihatkan struktur granulose dan bertekstur granoblastik. Komposisi batuan tersebut berupa kalsit dan dijumpai adanya urat kuarsa yang tidak begitu intensif 78

84 dengan dimensi lebar urat kurang dari 0,5 cm. Marmer ini juga merupakan hasil dari proses metamorfisme kontak. VI.2. Kontrol Struktur Geologi dan Litologi Menurut Sibson (2001), kontrol struktur geologi sangat kuat berpengaruh terhadap penambahan permeabilitas akibat pembentukan rekahan. Alterasi pada daerah penelitian dikontrol oleh adanya struktur yang dapat dilihat dari pola-pola kelurusan berarah NE-SW (N 30 o E) maupun NW-SE (N 150 o E) dan menjadi jalur injeksi fluida dan jalur naiknya magma pemebentuk endapan skarn pada daerah penelitian oleh satuan intrusi mikrodiorit. Pola-pola kelurusan tersebut kemudian dilakukan interpretasi dan menghasilkan struktur-struktur geologi perkiraan. Interpretasi struktur geologi juga dilakukan berdasarkan data gores garis namun tidak cukup banyak, pola topografi, analisa arah gaya struktur kekar, dan juga mengacu pada pemodelan struktur geologi oleh Moody dan Hill (1956). Struktur geologi yang diperoleh yang menjadi kontrol pembentukan endapan skarn pada daerah penelitian antara lain struktur geologi Sesar Mendatar Dekstral Malikan dan Sesar Mendatar Sinistral Pagerjurang. Sesar geser berpasangan ini berperan membentuk rekahan dan bukaan dari bawah sehingga dapat menjadi zona lemah dan menjadi jalur naiknya magma maupun larutan hidrotermal dan mengenai batuan diatasnya. Pola struktur tersebut dinamakan splay (Corbett dan Leach, 1997) seperti pada Gambar 6.1. Pemodelan struktur splay tersebut secara garis besar sesuai dengan interpretasi daerah penelitian (Gambar 6.2). Pola struktur splay tersebut merupakan pola struktur yang berada pada kedalaman yang cukup dalam dan setara dengan kedalaman level porfiri. Mengacu pada pemodelan yang dihasilkan oleh Corbett, 2004, bahwa kedalaman pembentukan endapan skarn adalah pada kedalaman yang cukup dalam dan berada pada level porfiri (Gambar 6.3). 79

85 Gambar 6.1. Hubungan antara struktur ekstensi dan mineralisasi pada beberapa kedalaman kerak (Corbett dan Leach, 1997 dengan modifikasi) Gambar 6.2. Interpretasi pola struktur pada daerah penelitian 80

86 Gambar 6.3. Model endapan mineral (Corbett, 2004 dengan modifikasi), zona endapan tipe skarn ditunjukkan pada kotak merah Kemudian, kontrol litologi juga sangatlah berpengaruh pada pembentukan endapan skarn pada daerah penelitian. Batuan yang diterobos diduga kuat adalah batuan sedimen klastik berukuran halus (batulanau) dan batugamping anggota dari Formasi Wungkal Gamping. Dalam hal ini, diperkuat dengan ditemukannya singkapan batuan pada hornfels yang memperlihatkan tekstur sisa (relict texture) yaitu tekstur batuan sedimen perlapisan dan laminasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.4. Hal tersebut dapat memperkuat dugaan bahwa batuan asal dari hornfels tersebut adalah batuan sedimen. Sedangkan marmer yang dijumpai, merupakan batugamping yang termetamorfisme kontak. Endapan skarn pada daerah penelitian terbentuk akibat adanya batuan samping berupa batuan karbonat yang diterobos oleh intrusi mikrodiorit. Hal tersebut dikarenakan oleh sifat batuan karbonat yang sangat reaktif terhadap larutan hidrotermal. Gambar 6.4. Tekstur sisa (relict texture) pada hornfels (kiri) dan kontak antara skarn dan marmer (kanan) yang dijumpai pada Desa Pagerjurang 81

87 VI.3. Mineralisasi Skarn Mineralisasi yang terjadi di Desa Pagerjurang merupakan tipe endapan skarn yang dikontrol oleh alterasi hidrotermal, kontrol struktur dan litologi yang ada. Kehadiran mineral logam pada daerah penelitian dapat diketahui secara megaskopis, analisis mineragrafi ataupun analisis kimia. Pembentukan sebagian besar mineral sulfida dan oksida diantaranya pirit, kalkopirit, sfalerit, galena, hematit dikontrol oleh struktur utama berarah NE-SW dan NW-SE. Tren ini terkait dengan pembentukan zonasi skarn garnet-klinopiroksen pada daerah penelitian. Kalkopirit dan pirit merupakan mineral-mineral sulfida dan oksida utama yang hadir cukup melimpah. Kalkopirit dan pirit umumnya hadir dalam jumlah yang cukup melimpah pada batas proksimal prograde eksoskarn dengan marmer. Gambar 6.5. Kenampakan secara mineragrafi mineral-mineral sulfida dan oksida Mineralisasi pada skarn Pagerjurang diawali dengan terbentuknya mineral skarn prograde seperti garnet dan klinopiroksen pada zona proksimal. Berdasarkan hasil analisis XRD, mineral garnet merupakan jenis grosular yang menunjukkan bahwa pembentukan mineral tersebut terjadi pada suhu yang tinggi (400 0 C C). Mineral piroksen merupakan jenis wolastonit, augit, hedenbergite dan diopsid berdasarkan hasil analisis XRD dan petrografi. Mineral ekonomis pada skarn Pagerjurang berupa mineral hematit jenis spekularik yang mineral yang menggantikan mineral klinopiroksen yang ada, terutama mineral hedenbergite, ditunjukkan pada pengamatan sayatan poles yang masih menunjukkan belahan khas pada piroksen pada mineral hematit itu sendiri. Mineral lain yang dijumpai berupa 82

88 mineral galena dan sfalerit. Mineral sulfida yang ditemukan berupa mineral pirit dan kalkopirit. Mineral goetit juga ditemukan sebagai mineral pembawa mineralisasi besi namun dianggap tidak ekonomis karena kadar besinya sangat sedikit. Mineral skarn retrograde yang ditemukan pada sistem endapan skarn Pagerjurang berupa mineral epidot dan klorit serta mineral lempung jenis montmorillonit, illite, smektit, haloysit, dan kaolin berdasarkan pada hasil analisis XRD. Berdasarkan mineralmineral yang hadir seperti kalkopirit (CuFeS2), sfalerit (Zn,Fe)S, galena (PbS), hematit (Fe2O3), dan goetit (FeOOH), maka sistem endapan skarn pada daerah penelitian dapat disimpulkan yaitu system endapan skarn Fe-Cu-Pb-Zn. Penentuan sistem endapan skarn Pagerjurang ditentukan berdasarkan mineralisasi yang terbentuk pada endapan tersebut. Pada sistem endapan skarn Pagerjurang mineralisasi dihasilkan oleh aktivitas fluida magmatik dari intrusi mikrodiorit Gunung Merak yang melewati rekahan yang ada serta menghasilkan mineralisasi pada zona di antara batugamping dan batulanau, dengan zona prograde yang dekat dengan pusat intrusi (zona proksimal) dicirikan dengan mineral kalksilikat seperti grosular, augit, hedenbergite, diopsid dan wolastonit dan zona retrograde yang dicirikan oleh mineral epidot, klorit dan mineral lempung jenis montmorillonite, illite, smectite dan kaolin. VI.4. Zonasi Skarn Pembagian zonasi skarn pada daerah penelitian mengacu pada kehadiran mineral utama berupa garnet dan klinopiroksen berdasarkan data analisis menggunakan metode X-Ray Diffraction (XRD) dan juga data pengamatan petrografi maupun mineragrafi. Namun, dalam hal ini data dari pengamatan petrografi dan mineragrafi lebih dapat memberikan informasi yang lebih signifikan karena pada data XRD tidak memberikan informasi kelimpahan atau prosentase mineral pada suatu batuan. Sedangkan data dari pengamatan petrografi dan mineragrafi dapat diketahui kelimpahan mineral dalam suatu batuan. Zonasi skarn pada daerah penelitian berturut-turut dari batas marmer ke arah hornfels adalah proksimal prograde eksoskarn (garnet > klinopiroksen), distal prograde eksoskarn (garnet < klinopiroksen), dan retrograde eksoskarn. Mineral garnet hadir melimpah 83

89 di sekitar marmer dan secara bertahap berkurang ke arah hornfels. Sebaliknya, klinopiroksen hadir bertambah bertahap ke arah hornfels. Perkembangan zonasi skarn ini mulai dari proksimal hingga distal nampak jelas pada singkapan yang berada di lereng Gunung Jabalkat sisi barat daya (Gambar 6.8). Peta zonasi ubahan batuan skarn serta profil sayatannya dapat dilihat pada Gambar 6.9 dan Gambar A. Zona Proksimal Prograde Eksoskarn (Garnet>Klinopiroksen) Zona ini berbatasan dengan marmer dan dicirikan oleh dominasi kehadiran mineral garnet terhadap mineral klinopiroksen berdasarkan pengamatan megaskopis dan mikroskopis. Disamping garnet dan klinopiroksen, mineral lain yang hadir adalah epidot, kuarsa, serta mineral sulfida. Garnet zona proksimal berukuran kristal lebih besar (2-10 mm). Mineral sulfida terutama pirit dan kalkopirit umumnya hadir dan terkadang sfalerit berasosiasi dengan zona proksimal prograde eksoskarn ini. Gambar 6.6. Kenampakan mineral garnet dan klinopiroksen pada conto tangan zona proksimal prograde eksoskarn (kiri dan kanan atas), kenampakan zona proksimal prograde eksoskarn pada sayatan tipis yang menunjukkan kehadiran mineral garnet, wolastonit, dan hedenbergit yang cukup melimpah (kiri dan kanan bawah). 84

90 Diinterpretasikan kehadiran zona ini akibat adanya aktivitas air hidrotermal pada zona kontak batugamping yang sangat reaktif dengan batuan sedimen volkaniklastik. Zona ini melampar kurang lebih 1,5-2 meter pada singkapan tersebut (Gambar 6.8) B. Zona Distal Prograde Eksoskarn (Garnet<Klinopiroksen) Distal prograde eksoskarn ditandai dengan kehadiran klinopiroksen relatif banyak dan kehadiran garnet menurun. Mineral lain yang hadir adalah antara lain epidot, kalsit, kuarsa, serta mineral sulfida seperti pirit, kalkopirit, terkadang galena dan sfalerit. Pada zona ini sering pula ter-overprint oleh skarn retrograde yang ditandai kehadiran mineral-mineral seperti epidot dan klorit. Zona ini melampar kurang lebih 2-3 meter pada singkapan tersebut (Gambar 6.8) Gambar 6.7. Kenampakan zona proksimal prograde eksoskarn di lapangan (kiri atas), kenampakan zona proksimal prograde eksoskarn pada sayatan tipis yang menunjukkan kehadiran mineral garnet yang cukup melimpah dan berukuran cukup besar (kanan atas), kenampakan zona distal prograde eksoskarn di lapangan (kiri bawah), dan kenampakan zona distal prograde eksoskarn pada sayatan tipis yang menunjukkan kehadiran mineral-mineral klinopiroksen sangat dominan (kanan bawah). 85

91 Gambar 6.8. Pembagian zonasi skarn (kamera menghadap timur laut) 86

92 Gambar 6.9. Peta zonasi ubahan batuan skarn pada Desa Pagerjurang 87

93 Gambar Profil sayatan zonasi ubahan batuan skarn pada Desa Pagerjurang 88

94 C. Zona Retrograde Eksoskarn Seiring penurunan temperatur, fluida hidrotermal akan didominasi oleh uap air dan pada fase retrograde ini pembentukan mineral hidrous terjadi. Fase ini dicirikan mineral epidot, klorit, dan aktinolit dalam jumlah yang banyak. Kenampakan lapangan pada zona ini sebagian besar telah berwujud material lempung pasiran. Kehadiran mineral epidot dan klorit dalam jumlah banyak seringkali dinamakan dengan skarn epidot-klorit yang merupakan mineral hasil penggantian mineral-mineral skarn prograde yang telah terbentuk sebelumnya. Zona ini melampar kurang lebih 2 meter pada singkapan tersebut (Gambar 6.8) Gambar Kenampakan zona retrograde eksoskarn VI.5. Paragenesis Mineral Penentuan paragenesis mineral atau urutan pembentukan dari mineral penyusun endapan skarn Pagerjurang dapat diinterpretasikan berdasarkan pengamatan tekstur secara megaskopis pada sampel batuan yang memiliki tekstur kasar. Penentuan paragenesis mineral logam untuk tekstur yang lebih halus dapat dilakukan dengan pengamatan mineragrafi dan petrografi. Paragenesis mineral endapan skarn Pagerjurang pada daerah penelitian mula-mula diawali dengan pembentukan mineral kalk-silikat (paragenesis primer) 89

95 garnet, piroksen dan wolastonit yang terbentuk pada suhu yang sangat tinggi (400 0 C C) ditandai dengan adanya kemunculan mineral garnet grosular. Paragenesis sekunder terjadi pada pembentukan mineral logam, kuarsa dan mineral-mineral retrograde yang menggantikan mineral kalk-silikat yang telah terbentuk sebelumnya. Paragenesis mineral supergen (sekunder) diakibatkan oleh proses oksidasi, pelapukan dan lain sebagainya seperti mineral epidot, klorit dan mineral lempung. Secara lebih rinci, paragenesis mineral endapan skarn Pagerjureang dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel 6.1. Paragenesis mineral pada endapan skarn Pagerjurang 90

96 VI.6. Sekuen Paragenesis dan Model Genetik Pembentukan Endapan Secara umum, kronologi pembentukan endapan skarn di daerah Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat adalah sebagai berikut (penjelasan Gambar 6.12): A. Intrusi Pada tahap proses intrusi ini, mikrodiorit menerobos ke atas melalui rekahan-rekahan atau struktur geologi yang telah ada yaitu Sesar Mendatar Dekstral Malikan dan Sesar Mendatar Sinistral Pagerjurang yang membentuk pola struktur splay. Struktur tersebutlah yang juga menjadi jalur fluida hidrotermal pembentuk endapan skarn pada daerah penelitian. B. Metamorfisme Kontak Pada tahap proses metamorfisme ini, produk yang dihasilkan adalah batuan metamorf hornfels dan marmer. Batuan-batuan tersebut diduga kuat berasal dari jenis batuan sedimen klastik berperan sebagai batuan dinding dan termetamorfosis menjadi hornfels. Dugaan ini diperkuat dengan keterdapatan tekstur-tekstur sisa pada batuan hornfels berupa perlapisan dan laminasi. Keterdapatan hornfels pada daerah penelitian cukup melimpah. Batuan asal marmer juga diduga kuat berasal dari batuan sedimen karbonatan tepatnya batugamping yang juga berperan sebagai batuan dinding yang termetamorfosis. Marmer yang ada pada daerah penelitian tidak terlalu banyak keterdapatannya dan memiliki tekstur khas berupa triple junction pada pengamtan petrografi. Kedua batuan tersebut diperkirakan merupakan anggota dari Formasi Wungkal Gamping yang tersingkap pada lereng Gunung Jabalkat. Pada tahap ini juga sering disebut fase isokimia, fase dimana terjadi perubahan batuan secara fisik namun tidak secara kimiawi pada zona sepanjang kontak batugamping yang sebagian terubah menjadi marmer dan batupasir yang sebagian terubah menjadi hornfels. C. Prograde Skarn Pada fase akhir magmatisme, fluida hidrotermal yang didominasi oleh fase gas akan bergerak dari tubuh intrusi ke arah batuan samping bagian atas. Proses interaksi fluida hidrotermal dengan batuan samping dan bagian tepi intrusi menghasilkan prograde skarn. Prograde skarn Desa Pagerjurang dicirikan oleh hadirnya mineral garnet (grosular) dan klinopiroksen (wolastonit-augit-diopsid- 91

97 hedenbergit) disertai epidot, kalsit, kuarsa, dan klorit. Tahapan ini sering disebut fase prograde, fase dimana fluida magmatik mulai berpengaruh dan menghasilkan mineralisasi. D. Retrograde Skarn Seiring penurunan temperatur, fuida hidrotermal akan lebih didominasi oleh uap air dan bertanggung jawab terhadap pembentukan retograde skarn. Fluida pada fase retrograde ini mempunyai salinitas yang rendah, temperatur 370 o -380 o C, terkait dengan zona pendidihan pada tekanan 20 Mpa, di bawah kondisi hidrostatik (Meinert et al. 2003). Alterasi pada fase retrograde ini, diyakini masih merupakan evolusi dari satu sistem hidrotermal magmatik pada fase prograde, dikarenakan tidak ada bukti-bukti yang signifikan bercampurnya komponen fluida meteorik (Meinert et al. 2003). Fase ini dicirikan oleh hadirnya mineral-mineral kalsit, epidot, garnet, kalkopirit, dan pirit. Gambar Model Genetik atau skema pembentukan endapan skarn pada daerah Desa Pagerjurang, Kecamatan Bayat Endapan skarn Pagerjurang memiliki skema pembentukan endapan skarn dengan kontrol struktur utama berupa kelurusan berarah N30 0 E dan N150 0 E. Intrusi batuan beku pembawa mineralisasi berupa batuan mikrodiorit menerobos 92

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan, namun kondisi

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian geologi karena pada daerah ini banyak terdapat singkapan batuan yang terdiri atas berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

Metode Penentuan Posisi Terestrial untuk Pemetaan Geologi di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

Metode Penentuan Posisi Terestrial untuk Pemetaan Geologi di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah Jurnal Ilmiah Geologi Pangea Vol. 4 No. 2, Desember 2017 ISSN 2356-024X 111 Metode Penentuan Posisi Terestrial untuk Pemetaan Geologi di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Jawa dianggap sebagai contoh yang dapat menggambarkan lingkungan busur kepulauan (island arc) dengan baik. Magmatisme yang terjadi dihasilkan dari aktivitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1)

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) terbatas pada Daerah Komplek Luk Ulo dan Perbukitan Jiwo (Jawa Tengah), Ciletuh (Jawa Barat),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1).

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Struktur Geologi Trembono terdapat pada Perbukitan Nampurejo yang terletak pada bagian utara gawir Pegunungan Selatan (lihat Gambar 1.1). Sumosusastro (1956)

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pegunungan Selatan merupakan suatu daerah di bagian selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan zona subduksi antara Lempeng Eurasia di sebelah utara dan

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian baratlaut. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian I.1. Judul Penelitian BAB I PENDAHULUAN Litostratigrafi dan Dinamika Sedimentasi Batuan di Gunung Temas, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah I.2. Latar Belakang Masalah Perbukitan Jiwo,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Pulau Sumbawa bagian baratdaya memiliki tipe endapan porfiri Cu-Au yang terletak di daerah Batu Hijau. Pulau Sumbawa

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan bagian dari lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

KONDISI GEOLOGI REGIONAL. 1. Kondisi Umum Kecamatan Bayat

KONDISI GEOLOGI REGIONAL. 1. Kondisi Umum Kecamatan Bayat KONDISI GEOLOGI REGIONAL 1. Kondisi Umum Kecamatan Bayat Lokasi daerah Bayat berada kurang lebih 25 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Secara umum fisiografi Bayat dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah 15 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Daerah Bangunjiwo yang merupakan lokasi ini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas

BAB I PENDAHULUAN. terus berkembang bukan hanya dalam hal kuantitas, namun juga terkait kualitas PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Air merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama air tanah. Kebutuhan manusia yang besar terhadap air tanah mendorong penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Semilir merupakan salah satu formasi penyusun daerah Pegunungan Selatan Pulau Jawa bagian timur. Dalam distribusinya, Formasi Semilir ini tersebar dari bagian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci