KONDISI GEOLOGI REGIONAL. 1. Kondisi Umum Kecamatan Bayat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONDISI GEOLOGI REGIONAL. 1. Kondisi Umum Kecamatan Bayat"

Transkripsi

1 KONDISI GEOLOGI REGIONAL 1. Kondisi Umum Kecamatan Bayat Lokasi daerah Bayat berada kurang lebih 25 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Secara umum fisiografi Bayat dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah di sebelah utara Kampus Lapangan terutama di sisi utara jala raya Kecamatan Wedi yang disebut sebagai area Perbukitan Jiwo (Jiwo Hills), dan area di sebelah selatan Kampus Lapangan yang merupakan wilayah Pegunungan Selatan (Southern Mountains). 2 Kondisi Geomorfologi 2.1 Perbukitan Jiwo Perbukitan Jiwo merupakan inlier dari batuan Pre-Tertiary dan Tertiary di sekitar endapan Quartenary, terutama terdiri dari endapan fluvio-volcanic yang berasal dari G. Merapi. Elevasi tertinggi dari puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 m di atas muka air laut, sehingga perbukitan tersebut merupakan suatu perbukitan rendah. Perbukitan Jiwo dibagi menjadi dua wilayah yaitu Jiwo Barat dan Jiwo Timur yang keduanya dipisahkan oleh Sungai Dengkeng secara antecedent. Sungai Dengkeng sendiri mengalir mengitari komplek Jiwo Barat, semula mengalir ke arah South-Southwest, berbelok ke arah East kemudian ke North memotong perbukitan dan selanjutnya mengalir ke arah Northeast. Sungai Dengkeng ini merupakan pengering utama dari dataran rendah di sekitar Perbukitan Jiwo.Gambar 4.2. Pembagian fisiografi daerah Bayat di mana Perbukitan Jiwo Barat dan Timur dipisahkan oleh Sungai Dengkeng Dataran rendah ini semula merupakan rawa-rawa yang luas akibat air yang mengalir dari lembah G. Merapi tertahan oleh Pegunungan Selatan. Genangan air ini, di utara Perbukitan Jiwo mengendapkan pasir yang berasal dari lahar. Sedangkan di selatan atau pada bagian lekukan antarbukit di Perbukitan Jiwo merupakan endapan air tenang yang berupa lempung hitam, suatu sedimen Merapi yang subur ini dikeringkan (direklamasi) oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk dijadikan daerah perkebunan. Reklamasi ini dilakukan degan cara membuat saluran-saluran yang ditanggul cukup tinggi sehingga air yang datang dari arah G. Merapi akan tertampung di sungai sedangkan daerah dataran rendahnya yang semula berupa rawa-rawa berubah menjadi tanah kering yang digunakan untuk perkebunan. Sebagian dari rawayang semula luas itu disisakan di daerah yang dikelilingi Puncak Sari, Tugu, dan Kampak di Jiwo Barat, dikenal sebagai Rawa Jombor. Rawa yang disisakan itu berfungsi sebagai tendon untuk keperluan irigasi darah perkebunan di dataran sebelah utara Perbukitan Jiwo Timur.

2 Untuk mengalirakan air dari rawa-rawa tersebut, dibuat saluran buatan dari sudut Southwest rawa-rawa menembus perbukitan batuan metamorfik di G. Pegat mengalir ke timur melewati Desa Sedan dan memotong Sungai Dengkeng lewat aqueduct di sebelah seatan Jotangan menerus ke arah timur. Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping menunjukkan perbukitan memanjang dengan punggung yang tumpul sehingga kenampakan punca-puncak tidak begitu nyata. Tebing-tebing perbukitannya tidak terlalu terbiku sehingga alur-alurnya tidak banyak dijumpai (Perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan Tugu-Kampak di Jiwo Barat). Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorfik perbukitannya menunjukkan relief yang lebih nyata dengan tebing-tebing yang terbiku kuat. Kuatnya hasil penorehan tersebut menghasilkan akumulasi endapan hasil erosi di kaki perbukitan ini yang dikenal sebagai colluvial. Puncak-puncak perbukitan yang tersusun dari batuan metamorfik terlihat menonjol dan beberapa diantaranya cenderung berbentuk kerucut seperti puncak Jabalkat dan puncak Semanggu. Daerah degan relief kuat ini dijumpai daerah Jiwo Timur mulai dari puncak Konang kea rah timur hingga puncak Semanggu dan Jokotuo. Daerah di sekitar puncak Pendul merupakan satu-satunya tubuh bukit yang seluruhnya tersusun oleh batuan beku. Kondisi morfologinya cukup kasar mirip perbukitan metamorfik namun relief yang ditunjukkan puncaknya tidak sekuat perbukitan metamorfik. n2.2 Daerah Jiwo Barat Jiwo Barat terdiri dari deretan perbukitan G. Kampak, G. Tugu, G. Sari, G. Kebo, G. Merak, G. Cakaran, dan G. Jabalkat. G. Kampak dan G. Tugu memiliki litologi batugamping berlapis, putih kekuningan, kompak, tebal lapisan cm. Di daerah G. Kampak batugamping tersebut sebagian besar merupakan suatu tubuh yang massif, menunjukkan adanya asosiasi dengan kompleks terumbu (reef). Di antara G. Tugu dan G. Sari batugamping tersebut mengalami kontak langsung dengan batuan metamorfik (mica schist). Daerah Jiwo Barat memiliki puncak-puncak bukit berarah utara-selatan yang diwakili oleh puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo, Sari, dan Tugu dengan di bagian paling utara membelok ke arah barat yaitu G. Kampak. Batuan metamorf di daerah ini mencakup daerah di sekitar G. Sari, G. Kebo, G. Merak, G. Cakaran, dan G. Jabalkat yang secara umum berupa sekis mika, filit, dan banyak mengandung mineral kuarsa. Di sekitar daerah G. Sari, G. Kebo, dan G. Merak pada sekis mika tersebut dijumpai bongkah-bongkah andesit dan mikrodiorit. Zona-zona lapukannya berupa spheroidal weathering yang banyak dijumpai di tepi jalan desa. Batuan beku tersebut merupakan batuan terobosan yang mengenai tubuh sekis mika. singkapan yang baik dijumpai di dasar sungai-sungai kecil yang menunjukkan kekar kolom (columnar joint).

3 Batuan metamorfik yang dijumpai juga berupa filit sekis klorit, sekis talk, terdapat mieral garnet, kuarsit serta marmer di sekitar G. Cakaran, dan G. Jabalkat. Sedangkan pada bagian puncak dari kedua bukit itumasih ditemukan bongkah-bongkah konglomerat kuarsa. Sedangkan di sebelah barat G. Cakaran pada area pedesaan di tepian Rawa Jombor masih dapat ditemukan sisa-sisa konglomerat kuarsa serta batupasir. Sampai saat ini batuan metamorfik tersebut ditafsirkan sebagai batuan berumur Pre-Tertiary, sedagkan batupasir dan konglomerat dimasukkan ke dalam Formasi Wungkal. Di daerah ini dijumpai dua inlier (isolated hill) masing-masing di bukit Wungkal dan bukit Salam. Bukit Wungkal semakin lama semakin rendah akibat penggalian penduduk untuk mengambil batu asah (batu wungkal) yang terdapat di bukit tersebut. 2.3 Daerah Jiwo Timur Daerah ini mencakup sebelah timur Sungai Dengkeng yang merupakan deretan perbukitan yang terdiri dari Gunung Konang, Gunung Pendul, Gunung Semangu, Di lereng selatan Gunung Pendul hingga mencapai bagian puncak, terutama mulai dari sebelah utara Desa Dowo dijumpai batu pasir berlapis, kadang kala terdapat ragmen sekis mika ada di dalamnya. Sedangkan di bagian timur Gunung Pendul tersingkap batu lempung abu-abu berlapis, keras, mengalami deformasi lokal secara kuat hingga terhancurkan. Hubungan antar satuan batuan tersebut masih memberikan berbagai kemungkinan karena kontak antar satuan terkadang tertutup oleh koluvial di daerah dataran. Kepastian stratigrafis antar satuan batuan tersebut barn dapat diyakini jika telah ada pengukuran umur absolut. Walaupun demikian berbagai pendekatan penyelidikan serta rekontruksi stratigrafis telah banyak dilakukan oleh para ahli. Daerah perbukitan Jiwo Timur mempunyai puncak-puncak bukit berarah barat-timur yang diwakili oleh puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, Gunung J okotuo dan Gunung T emas. Gunung Konang dan Gunung Semangu merupakan tubuh batuan sekis-mika, berfoliasi cukup baik, sedangkan Gunung Pendul merupakan tubuh intrusi mikrodiorit. Gunung Jokotuo merupakan batuan metasedimen (marmer) dimana pada tempat tersebut dijumpai tanda-tanda struktur pense saran. Sedangkan Gunung Temas merupakan tubuh batu gamping berlapis. Di sebelah utara Gunung Pendul dijumpai singkapan batu gampmg nummulites, berwarna abu-abu dan sangat kompak, disekitar batu gamping nummulites tersebut terdapat batu pasir berlapis. Penyebaran batugamping nummulites dijumpai secara setempat-setempat terutam di sekitar desa Padasan, dengan percabangan ke arah utara yang diwakili oleh puncak Jopkotuo dan Bawak.

4 Di bagian utara dan tenggara Perbukitan Jiwo timur terdapat bukit terisolir yang menonjol dan dataran aluvial yang ada di sekitamya. Inlier (isolited hill) ini adalah bukit Jeto di utara dan bukit Lanang di tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batu gamping Neogen yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang secara keseluruhan tersusun oleh batu gamping Neogen. 2.4 Daerah Pegunungan selatan Di sebelah selatan Kampus Lapangan hingga mencapai puncak Pegunungan Baturagung, secara stratigrafis sudah tennasuk wilayah Pegunungan Selatan. Secara struktural deretan pegunungan tersebut, pada penampang utara-selatan, merupakan suatu pegunungan blok patahan yang membujur barat-timur. Untuk daerah di sekitar kampus lapangan, litologi yang dijumpai merupakan bagian dari Fonnasi Kebo, Butak dan Semilir. Beberapa lokasi singkapan penting penting antard lain sekitar Lanang dan desa Tegalrejo dijumpai batu pasir tufan dengan sisipan serpih. Di selatan desa Banyuuripan, yaitu desa Kalisogo, ditemukan breksi autoklastik dengan pola retakan radial yang ditafsirkan sebagai produk submarine breccia. Semakin ke selatan, sekitar desa Tanggul, Jarum dan Pendem, terdapat singkapan endapan kip as aluvial. Di bagian barat daya, sekitar desa Tegalrejo, dijumpai batu pasir berlapis dengan pelapukan mengulit bawang. Di bagian timumya terdapat batu lempung abu-abu dengan zona kekar. Naik ke arah puncak Baturagung, perlapisan-iperlapisan batuan sedimen akan dijumpai dengan baik, dapat berupa batu pasir, batu lempung, batu pasir krikilan, batu pasir tufa maupun sisipan breksi. Pengamtan sepanjang jalan ini sangat penting untuk melacak keaadaan strtigrafis serta struktur geologi di daerah selatan Kampus Lapangan. 3 Kondisi Statigrafi Regional Batuan tertua yang tersingkap di daerah Bayat terdiri dari batuan metamorf berupa filtit, sekis, batu sabak dan marmer. Penentuan umur yang tepat untuk batuan malihan hingga saat ini masih belum ada. Satu-satunya data tidak langsung untuk perkiraan umurnya adalah didasarkan fosil tunggal Orbitolina yang diketemukan oleh Bothe (1927) di dalam fragmen konglomerat yang menunjukkan umur Kapur. Dikarenakan umur batuan sedimen tertua yang menutup batuan malihan tersebut berumur awal Tersier (batu pasir batu gamping Eosen), maka umur batuan malihan tersebut disebut batuan Pre-Tertiary Rocks. Secara tidak selaras menumpang di atas batuan malihan adalah batu pasir yang tidak garnpingan sarnpai sedikit garnpingan dan batu lempung, kemudian di atasnya tertutup oleh batu gamping yang mengandung fosil nummulites yang melimpah dan bagian atasnya diakhiri oleh batu gamping Discocyc1ina, menunjukkan lingkungan laut dalarn. Keberadaan forminifera besar ini bersarna dengan foraminifera plangtonik yang sangat jarang ditemukan di dalam batu lempung gampingan, menunjukkna umur Eosen Tengah hingga

5 Eisen Atas. Secara resmi, batuan berumur Eosen ini disebut Formasi Wungkal-Garnping. Keduanya, batuan malihan dan Formasi Wungkal-Gamping diterobos oleh batuan beku menengah bertipe dioritik. Diorit di daerah Jiwo merupakan penyusun utam Gunung Pendul, yang terletak di bagjn timur Perbukitan Jiwo. Diorit ini kemungkinan bertipe dike. Singkapan batuan beku di Watuprahu (sisi utara Gunung Pendul) secara stratigrafi di atas batuan Eosen yang miring ke arah selatan. Batuan beku ini secara stratigrafi terletak di bawah batu pasir dan batu garnping yang masih mempunyai kemiringan lapisan ke arah selatan. Penentuan umur pada dike! intrusi pendul oleh Soeria Atmadja dan kawan-kawan (1991) menghasilkan sekitar 34 juta tahun, dimana hasil ini kurang lebih sesuai dengan teori Bemmelen (1949), yang menfsirkan bahwa batuan beku tersebut adalah merupakan leher/ neck dari gunung api Oligosen. Mengenai genetik dan generasi magmatisme dari diorit di Perbukitan Jiwo masih memerlukan kajian yang lebih hati-hati. Sebelum kala Eosen tangah, daerah Jiwo mulai tererosi. Erosi tersebut disebabkan oleh pengangkatan atau penurunan muka air laut selama peri ode akhir oligosen. Proses erosi terse but telah menurunkan permukaan daratan yang ada, kemudian disusul oleh periode transgresi dan menghasilkan pengendapan batu garnping dimulai pada kala Miosen Tengah. Di daerah Perbukitan Jiwo tersebut mempunyai ciri litologi yang sarna dengan Formasi Oyo yang tersingkap lenih banyak di Pegunungan Selatan (daerah Sambipitu Nglipar dan sekitarnya). Di daerah Bayat tidak ada sedimen laut yang tersingkap di antara Formasi Wungkal- Gampingan dan Formasi Oyo. Keadaan ini sang at berbeda dengan Pegunungan Baturagung di selatannya. Di sini ketebalan batuan volkaniklastik-marin yang dicirikan turbidit dan sedimen hasil pengendapan aliran gravitasi lainnya tersingkap dengan baik. Perbedaanperbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kompleks sistem sesar yang memisahkan daerah Perbukitan Jiwo dengan Pegunungan Baturagung yang telah aktif sejak Tersier Tengah. Selama zaman Kuarter, pengendapan batu gamping telah berakhir. Pengangkatan yang diikuti dengan proses erosi menyebabkan daerah Perbukitan Jiwo berubah menjadi daerah lingkungan darat. Pasir vulkanik yang berasal dari gunung api Merapi yang masih aktif mempengaruhi proses sedimentasi endapan aluvial terutama di sebelah utara dan barat laut dari Perbukitan Jiwo.Keadaan stratigrafi Pegunugan Selatan, dari tua ke muda yaitu : 1. Formasi Kebo, berupa batu pasir vulkanik, tufa, serpih dengan sisipan lava, umur Oligosen (N2-N3), ketebalan formasi sekitar 800 meter. 2. Formasi Butak, dengan ketebalan 750 meter berumur Miosen awal bagian bawah (N4), terdiri dari breksi polomik, batu pasir dan serpih.

6 3. Formasi Semilir, berupa tufa, lapili, breksi piroklastik, kadang ada sisipan lempung dan batu pasir vulkanik. Umur N5-N9. Bagian tengah mej1iari dengan Formasi Nglanggran. 4. Formasi Nglanggran, berupa breksi vulkanik, batu pasir vulkanik, lava dan breksi aliran. 5. Dari puncak Baturagung ke arah selatan, yaitu menuju dataran Wonosari akan dijumpai Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari dan 6. Formasi Kepek. Tinjauan Umum : Perbukitan Jiwo adalah daerah perbukitan rendah yang terletak diantara kota Klaten dengan Pegunungan Selatan. Perbuktian ini yang mencuat dari daerah rendah di sekitarnya, yang merupakan kaki selatan tenggara dari Gunung Merapi. Oleh karena kota kecamatan Bayat terletak pada kaki perbukitan Jiwo ini, daerah perbuktian Jiwo juga sering dikenal dengan daerah Bayat. Kota kecil Bayat sendiri terletak 14 km di selatan kota Klaten, dan dapat dicapai dengan kendaraan roda empat melewati jalur jalan raya Bendogantungan, Wedi, Birit ke Bayat. Dari Bayat, jalan raya ini menerus ke arah timur hingga ke Cawas, dan dari Cawas ini dapat meneruskan ke arah Pedan dan juga ke arah Semin, Wonosari di Gunung Kidul. Daerah Perbukitn Jiwo merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks. Semua jenis batuan dapat dijumpai di daerah ini pada tempattempat singkapan yang mudah dicapai. Salah satuan batuan yang tertua di Jawa, yang berupa kompleks batuan metamorf dan batuan Paleogen yang banyak mengandung fosl juga tersingkapdi daerah ini. Adanya kompleksitas dan pencapaian yang mudah ini menjadikan daerah perbukita Jiwo merupakan daerah yang tepat untuk melakukan latihan geologi lapangan. Untuk keperluan itu, maka pada tahun 1984 Jurusan Teknik Geologi FT UGM dengan dukungan danan dari Pertamina mendirikan Stasiun lapangan Geologi Prof.R.Soeroso Notohadiprawiro. Sejak saat dibukanya, Stasiun Lapangan ini telah banyak digunakan untuk latihan lapangan dari mahasiswa geologi dan jurusan lain yang berkaitan dengan kajian kebumian dari sejumlah Universitas dan Perguruan Tinggi, baik daru Yogyakarta maupun tempat lain di Indonesia, bahkan dari beberapa Universitas di luar negeri. II.Fisiografi

7 Secara fisiografis Perbukitan Bayat merupakan suatu inlier dari batuan Pra Tersier dan Tersier di sekitar endapan Kuarter, yang terutama terdiri dari endapan flufio-vulkanik dari Merapi. Elevasi tertinggi dari Puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 meter diatas muka laut, sehingga perbukitan tersebut dapat disebut perbukitan rendah. Perbukitan itu tersebar menurut jalur yang arahnya berbeda. Di bagian barat (Jiwo Barat), jalur puncakpuncak bukit berarah utara selatan, yang diwakili oleh puncak-puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo Sari, dan Tugu dengan di bagian paling utara membelok ke arah barat, yaitudaerah perbukitan Kampak. Di sebelah timur (Jiwo Timur) arah jalurnya adalah barat-timur, dengan puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, dengan percabangan kearah utara, yang terwakili oleh puncak Jokotuo dan Bawak. Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping menunjukkan perbukitan memanjang dengan pegunungan yang tumpul sehingga kenampakan puncak tidak begitu nyata. Tebingtebing perbukitannya tidak terlalu terbiku sehingga alur-alur tidak banyak dijumpai. Sebagai contoh adalah perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan perbukitan Tugu-Kapak di Jiwo Barat. Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorf, ini terisi oleh campuran endapan pasir Merapi, endapan lempung hitam dan endapan rombakan dari Pegunungan Selatan. Endapan lepas yang berumur kuater ini diduga menutup lembah sesar yang membatasi Pegunungan Selatan dengan perbuukitan Jiwo. enis dan arah gerakan sesar ini belum diketahui dengan pasti karena singkapannya saat ini belum ditemukan. III.Stratigrafi Batuan tertua yang tersingkap didaerah Perbukitan Jiwo adalah kompleks batuan metamorf yang diduga berumur Pra Tersier. Kompleks Batuan ini merupakan basement dari cekungan sedimen Paleogen, dan merupakan salah satu batuan yang tertua di Jawa, serupa yang dijumpai di daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah dan Ciletuh di Jawa Barat. Endapan Paleogen yang dijumpai berupa batupasir dengan sisipan batugamping yang kaya akan foraminifera besar. Batuan tersebut diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit. Penerobosan ini diduga terjadi pada Paleogen akhir. Secara tidak selaras di atas batuan beku dan batuan sedimen Paleogen tersebut terdapat batuan karbonat berumur Neogen yang dijumpai dlam bentuk 2 fasies yang berbeda, yaitu fasies laut dan fasies laut dangkal. Erosi yang terjadi pada Neogen atas berakibat bahwa batuan Kuarter menumpang secara tidak selaras pada batuan dibawahnya. Batuan yang terbentuk pada jaman Kuarter berturut-turut adalah breksi vulkanik, endapan koluvial, endapan fluvio vulkanik dan endapan aluvial. Pra Tersier

8 Batuan yang tertua di perbukitan Jiwo berupa kompleks batuan metamorf, terutama berupa filit, sekis dan marmer. Filit dan sekisnya menunjukkan foliasi yang secara umum mempunyai jurus barat-daya timur laut. Kedudukan filit terhadap sekis sangat sukar ditentukan karena kebanyakan singkapan sudah lapuk dan di banyak tempat terpotong oleh sesar yang sangat kompleks. Disamping itu dijumpai pula kuarsit yang mempunyai kedudukan baik memotong maupun sejajar atau mengisi celah diantara bidang foliasi. Erosi dari kuarsit ini menghasilkan butiran kuarsa susu, berukuran kerikil sampai berangkal dan merupakan penciri khas daerah batuan metamorf. Batuan metamorf ini tersebar membentuk perbukitan dengan relief yang kuat dan terbiku sedang sampai kuat, dengan puncak-puncak yang meruncing, beberapa diantaranya membentuk kerucut. Di daerah Jiwo Barat penyebaran batuan ini meliputi perbukitan Jabalkat di selatan hingga Sari di utara. Di lereng baratdaya Jabalkat, didaerah Pagerjurang, dijumpai Serpentinit diantara filit dan sekis, yang menunjukkan mineralisasi garnet. Di dekat puncak Cakaran, Kebo, dan Pegat batuan metamorf ini diterobos oleh tubuh diorit, mikrodiorit dan gabro. Intrusi gabro juga dijumpai lereng selatan dari G. Jabalkat. Sedangkan pada aliran sungai Kebo diantara puncak G.Kebo dengan G.Cakaran dan G.Merak, dijumpai batuan terobosan yang berupa diorit dan basalt. Pertanggalan absolut dari batuan beku di tempat ini menunjukkan umur 36 jtl., yaitu Oligosen (Soeria Atmaja,1991). Di daerah Jiwo Timur batuan metamorf dijumpai dari daerah G.Konang di ujung barat, membentuk bukit yang memanjang kearah timur. Perbukitannya menunjukkan relief yang lebih nyata, dengan tebing-tebing terbiku kuat. Kuatnya penorehan tebing tersebut berakibat bahwa di kaki perbukitan ini banyak teronggok endapan hasil erosi yang dikenal sebagai endapan colluvial. Puncak-puncak perbukitan yang tersusun oleh batuan metamorf ini kelihatan lebih menonjol dan beberapa diantaranya cenderung berbentuk kerucut, misalnya puncak Jabalkat dan puncak Semangu. Daerah dengan relief kuat ini dijumpai di Jiwo Barat antara daerah puncak Jabalkat ke utara hingga daerah puncak Sari, sedang di Jiwo Timur mulai dari daerah puncak Konang ke arah timur hingga puncak Semangu dan Jokotuo. Daerah sekitar puncak Pendul adalah satu-satunya tubuh bukit yang seluruhnya tersusun oleh batuan beku. Kondsi morfologinya cukup kasar mirip perbukitan batuan metamorf, namun relief yang ditunjukkan puncak-puncaknya tidak sekuat perbukitan metamorf. Di utara dan di tenggara Perbukitan Jiwo Timur terdapat bukit yang terisolir yang mencuat dari dataran aluvial yang ada di sekitarnya. Inlier atau isolated hills ini adalah bukit Jeto di utara dan bukit Lanang di Tenggara. Bukit Jeto secara umum tersusun oleh batugamping Neogen, yang bertumpu secara tidak selaras di atas batuan metamorf, sedangkan bukit Lanang secara keseluruhan tersusun oleh batugamping Neogen tersebut. Di daerah Jiwo Barat juga dijumpai inlier, masing-masing bukit wungkal (So) dan bukit Salam. Bukit Wungkal semakin lama semakin rendah akibat penggalian penduduk untuk mengambil batu

9 asah (batu wungkal) yang terdapat di bukit tersebut. Daerah Jiwo Barat dan Jiwo Timur dipisahkan oleh aliran sungai Dengkeng, yang memotong deretan perbukitan secara anteseden. Sungai Dengkeng sendiri mempunyai aliran yang memutari kompleks Jiwo Barat, bermula mengalir ke arah selatan tenggara, berbelok kearah timur kemudian ke utara, memotong perbuktian untuk kemudian mengalir kearah timur laut. Sungai Dengkeng ini merupakan pengering utama dari dataran rendah di sekitar Perbukitan Jiwo. Dataran rendah ini semula merupakan rawa yang luas, akibat air yang mengalir dari Gunung Merapi tertahan oleh Pegunungan Selatan. Genangan air ini di daerah utara, yang lebih dekat ke arah Gunung Merapi mengendapkan pasir yang berasal dari lahar, sedangkan di bagian selatan atau pada lekukan antar bukit di Perbukitan Jiwo mengendapkan endapan air tenang yang berupa lempung hitam, suatu ciri khas suasana rawa. Pada pertengahan kedua abad ke 19, daerah rawa yang mengandung sedimen Merapi yang subur ini dikeringkan (direklamasi) oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk dijadikan daerah perkebunan, terutama untuk tanaman tembakau dan tebu. Reklamasi ini dilakukan dengan jalan membuat saluran-saluran sungai yang ditanggung cukup tinggi, sehingga air yang datang dari arah gunung Merapi tetap tertampung di sungai, sedang daerah rendahnya yang semula berupa rawa berubah menjadi tanah kering yang digunakan untuk perkebunan. Sebagian dari rawa yang semula lebar disisakan di daerah yang dikelilingi oleh puncak Sari, Tugu dan Kampak di Jiwo Barat, dan dikenal dengan nama Rowo Jombor. Rawa yang disisakan ini berfungsi sebagai tandon (reservoir) untuk keperluan irigasi daerah perkebunan di dataran di utara Perbkitan Jiwo Timur. Untuk menyalurkan air rawa tersebut, dibuat saluran buatan dari sudut tenggara rawa, menembus perbukitan batuan metamorf di Gunung Pegat mengalir ke timur melewati desa Sedan dan memotong sungai Dengkeng lewat aquaduct di selatan desa Jotangan terus ke arah timur laut melewati jalur yang hampir sejajar dengan kaki utara dari Perbukitan Jiwo Timur. Di selatan Perbukitan Jiwo, terdapat dataran rendah yang berarah memanjang barat-timur, sejajar dengan kaki Pegunungan Selatan yang berada di selatannya. Dataran Bukit ini terpotong oleh sesar dan singkapan batuan metamorf tergeser ke arah timur laut di daerah Padasan, G. Semangu dan berbelok ke utara hingga daerah Jokotuo, dijumpai marmer yang merupakan kantong diantara filit. Umur batuan metamorf secara tepat belum dapat diketahui. Bothe (1929) menyatakan bahwa di daerah Santren di kawasan Jiwo Timur dijumpai konglomerat yang mengandung fragmen marmer, dan di dalam marmer tersebut dijumpai fragmen foraminifera besar yang berupa Orbitolina. Atas dasar data ini maka ia menyatakan bahwa batuan metamorf tersebut berasal dari batugamping yang terbentuk pada jaman Kapur. Namun karena data ini merupakan satu-satunya data yang tidak disertai dengan ilustrasi yang meyakinkan, maka kesimpulan asal jaman kapur tersebut belum dapat dipegang. Untuk amannya, karena batuan metamorf tersebut terletak tidak selaras di bawah batuan Tersier, maka

10 secara umum dikatakan bahwa batuan metamorf tersebut berasal dari jaman Pra Tersier. Paleogen Secara tidak selaras di atas batuan metamorf terdapat seri batuan klastika dan karbonat yang kaya akan kandungan fosil foraminifera besar. Bothe (1929) menyebut batuan ini sebagai Wungkal Beds untuk bagian bawah dan Gamping Beds di bagian atas. Perbedaan diantara dua beds tersebut bukan atas dasar perbedaan Litologinya, melainkan lebih didasarkan pada perbedaan kandungan fosilnya, sehingga nama wungkal dan Gamping pada dasarnya adalah nama untuk satuan biostratigrafi. Walaupun batuan neogen ini tersingkap di beberapa tempat, namun posisi stratigrafi satu terhadap yang lain sangat sukar untuk ditetapkan. Singkapan utama dari batuan ini adalah di Watuprahu-Padasan, lereng selatan G.Pendul, di dekat desa Gamping Gede dan di daerah Dowo, keempat-empatnya terletak di kawasan Jiwo Timur. Di Jiwo Barat batuan Paleogen tersingkap di lereng timur G.Jabalkat, lereng barat G.Cakaran dan di dua perbuktian yang berupa inlier diantara endapan fluvio-vulkanik Merapi yaitu di G.Wungkal (G.So) dan di Salam. Rekonstruksi sementara dari hasil korelasi singkapan-singkapan yang etrpencar tersebut menunjukkan bahwa lapisan terbawah berupa konglomerat kuarsa yang tersingkap di sekitar puncak Cakaran. Semakin ke atas, konglomerat ini berangsur berubah menjadi batupasir kuarsa. Di atas batupasir kuarsa ini terdapat batugamping yang kaya akan kandungan Numulites javanus, N. bagelensis, Assilina spira, seperti yang tersingkap di G.Wungkal dan G. Salam, menunjukkan umur Tb atau Eosen atas (Bothe,1929 ; Kurniawan, 1977). Singkapan serupa juga dijumpai pada singkapan di Dowo, lereng baratdaya dari G.Pendul. Semakin ke atas disamping fosil foraminivera juga dijumpai fosil coraline algae dan echinoid, seperti yang dijumpai pada singkapan di Padasan. Algae tersebut biasanya membentuk struktur lapisan yang konsentris seperti bola (oncoid) dengan inti foraminifera besar, menunjukkan hasil pengendapan laut dangkal. Ke arah atas, batugamping ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan dan mengandung fosil foraminifera plangton yang berjumlah sedikit dengan pengawetan yang buruk. Seluruh rangkaian batuan ini mulai konglomerat, batupasir kuarsa, batugamping berfosil hingga batupasir gampingan oleh Bothe disebut sebagai Wungkal Beds. Nama ini diberikan karena singkapannya yang khas dijumpai di daerah G.Wungkal. Di dekat desa Gamping Gede dijumpai singkapan batugamping lempungan dan napal, yang hanya sedikit mengandung Numulites javanus tetapi melimpah dengan kandungan Discocyclina dispansa, D. omphalus serta Orthophragmina sp. dan foraminifera plankton. Oleh Bothe batuan ini dianggap lebih muda dari Wungkal Beds dan disebut dengan Gamping Beds. Namun penetapan urutan stratigrafi ini sangat meragukan, karena kedudukan Gamping beds ini terhadap anggota dari Wungkal beds tidak diketahui secara pasti, letaknya berjauhan dan terpisah oleh sesar. Dari fosil foraminifera yang dijumpai

11 masih menunjukkan umur yang sama, yaitu Tb atau Eosen Atas, sehingga diduga bahwa hubungan antara Wungkal beds dan Gamping beds bukan hubungan vertikal dengan umur yang berbeda dari dua formasi batuan yang berbeda (lihat Sumarso & Ismoyowati, 1973), tetapi lebih bersifat hubungan lateral dengan fasies yang berbeda. Numulites yang terbentuk lentikuler-eliptik bersama dengan oncoid alga mencirikan kondisi laut yang dangkal, jernih dan tertampi dengan baik, sedangkan Discocyclina dan Orthopragmina yang berbentuk pipih tipis dan agak melebar dan terdapat batugamping lempungan mencirikan zone laut dangkalyang lebih keruh tetapi lebih tenang (Hallock & Glenn, 1928). Dengan demikian untuk batuan Paleogen di Perbukitan Jiwo ini lebih tepat disebut sebagai fasies wungkal dan fasies gamping. Namun untuk kepentingan tatanama stratigrafi, sebelum urutan stratigrafi yang pasti dapat diperoleh, diusulkan agar kedua fasies tersebut dianggap sebagai satu formasi, dan untuk sementara disebut dengan Formasi Wungkal- Gamping, berumur Eosen Atas. Batuan metamorf Pra Tersier dan batuan Paleogen keduanya diterobos oleh tubuh batuan beku yang terutama terdiri dari mikrodiorit. Karena singkapan utama batuan beku ini terdapat di G.Pendul, maka untuk selanjutnya secara umum akan disebut sebagai Mikrodiorit Pendul atau Formasi Pendul. Selain berupa mikrodiorit, batuan beku ini menunjukkan variasi berupa diorit, dasit dan monzonit tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Didaerah Jiwo Barat yaitu di aliran S. Kebo dijumpai variasi yang berupa basalt sedang di selatan G. Jabalkat dijumpai dalam bentuk Gabbro. Batuan beku ini telah mengalami retakan dan pelapukan. Retakan kebanyakan telah mengalami pengisian yang berupa kalsit. Akibat retakan tersebut maka terjadi pelapukan mengulit bawang (sphaeroidal weathering) yang banyak dijumpai di lereng selatan dan timur G.Pendul. Di lereng utara dan timur laut G.Pendul dijumpai bongkah batupasir dari formasi Wungkal- Gamping yang berada di dalam batuan beku sebagai xenolith. Sedangkan di kaki timur G. Pendul dijumpai efek bakar (baking effect) pada daerah kontak antara batuan beku ini dengan batupasir tersebut. Sedangkan di lereng G.Cakaran dijumpai batugamping Numulites telah mengalami rekristalisasi menjadi marmer pada daerah kontak antara singkapan batugamping ini dengan batuan beku. Di daerah G. Pegat di selatan G. Sari di Jiwo Barat dijumpai singkapan diorit memotong batuan metamorf pada arah yang hampir tegak lurus bidang foliasi. Atas dasar semua data tersebut diambil kesimpulan bahwa batuan beku yang termasukdalam Formasi Pendul tersebut bersifat menerobos batuan yang lebih tua. Neogen: Di bagian utara dari Jiwo Barat yaitu di G. Tugu, G. Kampak dan daerah Ngembel serta bagian utara, timur dan tenggara dari Jiwo Timur, msing-masing di G. Jeto, G. Bawak, G. Temas dan di G. Lanang, tersingkap batugamping yang menumpang secara tidak selaras di

12 atas batuan yang lebih tua. Di bagian tenggara G. Kampak dan di G. Jeto, batugamping ini menumpang di atas batuan metamorf, sedang di Temas menumpang di atas batuan beku. Batugamping ini terdiri dari dua fasies yang berbeda. Fasies yang pertama terdiri dari batugamping algae, kenampakan perlapisan tidak begitu jelas. Algae membentuk struktur onkoid dalam bentuk bola-bola berukuran 2 hingga 5 cm. Fasies seperti ini dijumpai di G.Kampak, bagian selatan G.Tugu, G. Jeto, G. Bawak dan di bagian barat G.Temas. Fasies yang kedua berupa batugamping berlapis, yang merupakan perselingan antara kalkarenit dengan kalsilutit. Fasies batugamping berlapis ini dijumpai di Ngembel, utara G. Tugu, bagian timur G. Temas dan di G. Lanang. Di beberapa tempat kalsilutitnya menebal kearah lateral dan berubah menjadi napal, seperti yang terdapat di utara G. Tugu. Fasies ini tidak menunjukkan struktur alga dan kaya akan kandungan foraminifera plangon, kemungkinan diendapkan di dangkalan karbonat yang lebih dalam ditandai dengan adanya struktur nendatan (slump structures) seperti yang terlihat di bagian timur Temas dan di G. Lanang. Di selatan G. Temas dijumpai kontak antara batuan beku dengan batugamping. Batuan bekunya sudah sangat lapuk, menunjukkan tanda-tanda retakan yang kebanyakan telah terisi oleh oksida besi (limonit) dan sebagian terisi oleh kalsit. Retakan pada batuan beku tersebut tidak menerus pada batugamping. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengendapan batugamping, batuan bekunya telah mengalami retakan, terisi oleh hasil pelapukannya sendiri yang berupa limonit. Setelah terjadi pengendapan batugamping, sebagian dari karbonatnya mengisi celah akibat retakan tersebut membentuk urat kalsit. Belakangan setelah batugamping terangkat dan tererosi, sebagian dari urat kalsit pada batuan beku ini bersama batuan bekunya tersingkap dan mengalami pelapukan, membentuk tanah. Urat kalsit yang ada mengalami pelarutan dan pengendapan kembalidalam bentuk caliche, seperti yang banyak dijumpaidi barat G. Temas dan lereng timur dan selatan G.Pendul. Berdasarkan kandungan fosilnya, batugamping neogen di Perbukitan Jiwo ini menunjukkan umur N12 atau Miosen Tengah (Sumarno & Ismoyowati, 1973, Resiwati, 1985). Berdasarkan atas umur ini maka batugamping tersebut dapat dikorelasikan dengan Formasi Wonosari untuk fasies batugamping algae, sedangkan fasies batugamping berlapis adalah sepadan dengan formasi Oya. Kuarter : Setelah pengendapan batugamping, di Perbukitan Jiwo tidak diketemukan lagi batuan lain yang berumur Tersier. Jaman Kuarter terwakili oleh breksi lahar, endapan pasir fluviovulkanik Merapi serta endapan lempung hitam dari lingkungan rawa. Breksi lahar dijumpai pada bagian utara dari perbukitan Ngembel, berupa breksi dengan

13 fragmen andesit yang berukuran aneka ragam, mulai dari kerikil hingga bongkah. Fragmen tersebut tersebar umumnya mengapung pada matriks yang berukuran lanau sampai pasir halus, bersifat tufan. Gejala perlapisan dan fosil tida ditemukan pada breksi ini. Breksi ini diduga berasal dari aktifitas aliran lahar dari G. Merapi dari arah barat laut, yang berhenti karena me

14 GEOLOGI REGIONAL II.1 Geomorfologi regional Secara fisiografis Perbukitan Bayat merupakan suatu inlier dari batuan Pra Tersier dan Tersier di sekitar endapan Kuarter, yang terutama terdiri dari endapan flufio-vulkanik dari Merapi. Elevasi tertinggi dari Puncak-puncak yang ada tidak lebih dari 400 meter diatas muka laut, sehingga perbukitan tersebut dapat disebut perbukitan rendah. Perbukitan itu tersebar menurut jalur yang arahnya berbeda. Di bagian barat (Jiwo Barat), jalur puncakpuncak bukit berarah utara selatan, yang diwakili oleh puncak-puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo Sari, dan Tugu dengan di bagian paling utara membelok ke arah barat, yaitu daerah perbukitan Kampak. Di sebelah timur (Jiwo Timur) arah jalurnya adalah barat-timur, dengan puncak-puncak Konang, Pendul dan Temas, dengan percabangan kearah utara, yang terwakili oleh puncak Jokotuo dan Bawak. Di sebelah selatan(jiwo selatan) arah jalurnya adalah timur-selatan dengan puncak-puncak Watutumpeng,Eyangkuto,Watugenuk,Watukucing,Joyo,Semilir.Bentang alam daerah Bayat merupakan bentuk lanjut dari suatu Pegunungan Lipatan, terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan, perbukitan intrusi dan perbukitan lembah antiklin dengan sungai-sungai konsekuen, subsekuen dan obsekuen mengalir yang secara membentuk pola aliran dendritik. Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping menunjukkan perbukitan memanjang dengan pegunungan yang tumpul sehingga kenampakan puncak tidak begitu nyata. Tebingtebing perbukitannya tidak terlalu terbiku sehingga alur-alur tidak banyak dijumpai. Sebagai contoh adalah perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan perbukitan Tugu-Kapak di Jiwo Barat. Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorf, ini terisi oleh campuran endapan pasir Merapi, endapan lempung hitam dan endapan rombakan dari Pegunungan Selatan. Endapan lepas yang berumur kuater ini diduga menutup lembah sesar yang membatasi Pegunungan Selatan dengan perbukitan Jiwo. Jenis dan arah gerak sesar saat ini belum ditemukan. II.2 Strarigrafi Geologi Regional Dari penyimpulan hasil peneliti terdahulu, secara garis besar stratigrafi daerah Pegunungan dapat dinyatakan dalam dua macam urutan. Yang pertama adalah stratigrafi bagian barat, yang pada dasarnya bersumber kepada hasil penelitian Bothe (1929). Sedangkan bagian timur, yang terletak di sebelah selatan dan tenggara depresi Wonogiri-Baturetno urutan stratigrafinya disusun oleh Sartono (1958). Pegunungan Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen volkaniklastik dan batuan karbonat. Batuan volkaniklastiknya sebagian besar terbentuk oleh pengendapan gayaberat (gravity depositional processes) yang menghasilkan endapan kurang lebih setebal 4000 meter. Hampir seluruh batuan sedimen tersebut mempunyai kemiringan ke selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan bagian barat dari tua ke muda

15 adalah : 1. Formasi Kebo-Butak 2. Formasi Semilir 3. Formasi Nglanggran 4. Formasi Sambipitu 5. Formasi Oyo-Wonosari 6. Endapan Kuarter 1. Formasi Kebo-Butak Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah, yang oleh Bothe disebut sebagai Kebo beds tersusun atas perselang selingan antara batupasir, batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku. Bagian atas dari Formasi ini, yang disebut sebagai Anggota Butak, tersusun oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau, ketebalan total dari Formasi iin kurang lebih 800 m. Urutan batuan yang membentuk Formasi Kebo-Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Rahardjo, 1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1987). 2. Formasi Semilir Secara umum Formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat tufan, ringan, kadang-kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang membentuk breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang baik, struktur-struktur yang mencirikan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapanyya berlangsung secara cepat atau pengendapan tersebut terjadi pada lingkungan yang sangat dalam, berada di bawah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum dapat mencapai dasar pengendapan. Umur dari Formasi ini diduga adalah awal dari Miosen (N4) berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius pada bagian yang bersifat lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel, 1987). Formasi Semilir ini menumpang secara selaras di atas Anggota Butak dari Formasi Kebo-Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu di tebing gawir baturagung di bawah puncak Semilir. 3. Formasi Nglanggran Berbeda dengan formasi yang sebelumnya, formasi Nglanggran ini tercirikan oleh penyusun utama berupa breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Bagian yang terkasar dari breksinya hampir

16 seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit dan juga bom andesit. Diantara masa breksi tersebut ditemukan sisipan lava yang sebagian besar telah mengalami breksiasi. Formasi ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang berasal dari gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses pengendapan berjalan cepat, yaitu hanya selama awal Miosen (N4). Singkapan utama dari Formasi ini ada di gunung Nglanggranpada perbukitan Baturagung. Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal ini berakibat bahwa formasi Nglanggran sering dianggap tidak selaras di atas Semilir, namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi akibat berubahnya mekanisme pengendapan akibat gayaberat. Van Gorsel (1987) menganggap bahwa pengandapan Nglanggran ini dapat diibaratkan sebagai proses runtunhnya gunungapi semacam Krakatau yang berada di lingkungan laut. Ke arah atas yaitu ke arah Formasi Sambipitu, Formasi Nglanggran berubah secara bergradasi, seperti yang terlihat di singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi lain sungai Putat, dimana kontak kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural. 4. Formasi Sambipitu Di atas Formasi Nglanggran terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri terbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnyamasih menunjukkan sifat vulkanik sedang ke atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupair yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan forminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang terseret masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus turbid. Ke arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi Wonosari (Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan pada sungai Widoro di dekat Bunder. Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman Miosen, yaitu antara N4-N8 (Kadar, 1986) atau NN2-NN5 (Kadar, 1990). 5. Formasi Oyo-Wonosari Selaras di atas formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo-Wonosari. Formasi ini terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah bagian selatan dari Pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke arah utara di sebelah timur perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat dari daearh depresi Wonogiri-Baturetno. Bagian terbawah dari Formasi Oyo-Wonosari terutama terdiri dari batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang diendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara sungai batugamping berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak

17 tipe burrow yang terdapat pada bidang permukaan perlapisan ataupun memotong sejajar dengan perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai Anggota Oyo dari Formasi Wonosari (Bothe, 1929) atau Formasi Oyo (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk,1994). Ke arah lebih muda, Anggota Oyo ini bergradasi menjadio dua Fasies yang berbeda. Di daerah Wonosari, batugamping ini makin ke arah selatan semakin berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, dan floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai Anggota Wonosari dari Formasi Oyo-Wonosari (Bothe, 1929) atau Formasi Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994). Sedangkan di baratdaya kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah fasies menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebut sebagai Anggota Kepek dari Formasi Wonosari. Anggota Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri-Baturetno, di bawah endapan Kuarter seperti yang terdapat di daerah Erokomo. Secara keseluruhan, Formasi Wonosari ini terbentuk selama Miosen Akhir (N9-N18). 6.Endapan Kuarter Di atas seri batuan sedimen Tersier seperti tersebut di depan terdapat suatu kelompok sedimen yang sudah agak mengeras sehingga masih lepas. Karena kelompok sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proises pembentukannya masih berlanjut hingg saat ini, maka secara keseluruhan sedimen ini disebut sebagai Endapan Kuarter. Penyebarannya meluas mulai dari daerah timurlaut Wonosari hingga daerah depresi Wonogiri-Baturetno. Singkapan yang baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah Erokomo sekitar waduk Gadjah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati. Secara stratigrafis endapan kuarter di daearh Eropkromo, Wonogriri terletak tidak selaras di atas sedimen Tersier yang berupa batugamping berlapis dari Formasi Wonosari atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan Kuarter tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14 meter. Umur endapan Kuarter tersebut diperkirakan Plistosen Bawah. Stratigrafi endapan kuarter di daerah Erokomo, Wonogiri secara vertikal tersusun dari perulangan antara tuf halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batuipasir kasar ke batupasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batupasir tersebut berstruktur silangsiur tipe palung, sedangkan lapisan tuf terdapat di bagian bawah tengah dan atas. Pada saat lapisan tuf terbentuk, terjadi juga aktivitas sungai yang menghasilkan konglomerat. II.3 Struktur Geologi Regional Di selatan Bayat, terdapat dataran rendah yang berarah memanjang barat-timur, sejajar dengan kaki Pegunungan Selatan yang berada di selatannya. Dataran Bukit ini terpotong oleh sesar dan singkapan batuan metamorf tergeser ke arah timur laut di daerah Padasan, G. Semangu dan berbelok ke utara hingga daerah Jokotuo, dijumpai marmer yang merupakan kantong diantara filit.di bagian utara dari Jiwo Barat yaitu di G. Tugu, G.

18 Kampak dan daerah Ngembel serta bagian utara, timur dan tenggara dari Jiwo Timur, msing-masing di G. Jeto, G. Bawak, G. Temas dan di G. Lanang, tersingkap batugamping yang menumpang secara tidak selaras di atas batuan yang lebih tua. Di bagian tenggara G. Kampak dan di G. Jeto, batugamping ini menumpang di atas batuan metamorf, sedang di Temas menumpang di atas batuan beku. Batugamping ini terdiri dari dua fasies yang berbeda. Fasies yang pertama terdiri dari batugamping algae, kenampakan perlapisan tidak begitu jelas. Algae membentuk struktur onkoid dalam bentuk bola-bola berukuran 2 hingga 5 cm. Fasies seperti ini dijumpai di G.Kampak, bagian selatan G.Tugu, G. Jeto, G. Bawak dan di bagian barat G.Temas. Fasies yang kedua berupa batugamping berlapis, yang merupakan perselingan antara kalkarenit dengan kalsilutit. Fasies batugamping berlapis ini dijumpai di Ngembel, utara G. Tugu, bagian timur G. Temas dan di G. Lanang. Di beberapa tempat kalsilutitnya menebal kearah lateral dan berubah menjadi napal, seperti yang terdapat di utara G. Tugu. Fasies ini tidak menunjukkan struktur alga dan kaya akan kandungan foraminifera plangon, kemungkinan diendapkan di dangkalan karbonat yang lebih dalam ditandai dengan adanya struktur nendatan (slump structures) seperti yang terlihat di bagian timur Temas dan di G. Lanang. Di selatan G. Temas dijumpai kontak antara batuan beku dengan batugamping. Batuan bekunya sudah sangat lapuk, menunjukkan tanda-tanda retakan yang kebanyakan telah terisi oleh oksida besi (limonit) dan sebagian terisi oleh kalsit. Retakan pada batuan beku tersebut tidak menerus pada batugamping. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pengendapan batugamping, batuan bekunya telah mengalami retakan, terisi oleh hasil pelapukannya sendiri yang berupa limonit. Setelah terjadi pengendapan batugamping, sebagian dari karbonatnya mengisi celah akibat retakan tersebut membentuk urat kalsit. Belakangan setelah batugamping terangkat dan tererosi, sebagian dari urat kalsit pada batuan beku ini bersama batuan bekunya tersingkap dan mengalami pelapukan, membentuk tanah. Urat kalsit yang ada mengalami pelarutan dan pengendapan kembalidalam bentuk caliche, seperti yang banyak dijumpaidi barat G. Temas dan lereng timur dan selatan G.Pendul. Berdasarkan kandungan fosilnya, batugamping neogen di Perbukitan Jiwo ini menunjukkan umur N12 atau Miosen Berdasarkan atas umur ini maka batugamping tersebut dapat dikorelasikan dengan Formasi Wonosari untuk fasies batugamping algae, sedangkan fasies batugamping berlapis adalah sepadan dengan formasi Oya.Setelah pengendapan batugamping, di Perbukitan Jiwo tidak diketemukan lagi batuan lain yang berumur Tersier. Jaman Kuarter terwakili oleh breksi lahar, endapan pasir fluvio-vulkanik Merapi serta endapan lempung hitam dari lingkungan rawa. Breksi lahar dijumpai pada bagian utara dari perbukitan Ngembel, berupa breksi dengan fragmen andesit yang berukuran aneka ragam, mulai dari kerikil hingga bongkah. Fragmen tersebut tersebar umumnya mengapung pada matriks yang berukuran lanau sampai pasir halus, bersifat tufan. Gejala perlapisan dan fosil tida ditemukan pada breksi ini. Breksi ini diduga berasal dari aktifitas aliran lahar dari G.

19 Merapi dari arah barat laut, yang berhenti karena membentur bukit batugamping Ngembel, dan terjadi pada kala Pleistosen.

Metode Penentuan Posisi Terestrial untuk Pemetaan Geologi di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

Metode Penentuan Posisi Terestrial untuk Pemetaan Geologi di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah Jurnal Ilmiah Geologi Pangea Vol. 4 No. 2, Desember 2017 ISSN 2356-024X 111 Metode Penentuan Posisi Terestrial untuk Pemetaan Geologi di Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pegunungan Selatan merupakan daerah dengan kondisi geologi yang menarik. Walaupun sudah banyak penelitan yang dilakukan di Pegunungan Selatan, namun kondisi

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Pada dasarnya Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat bagian (Gambar 2.1) berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya, yaitu: a.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Propinsi Jawa Tengah secara geografis terletak diantara 108 30-111 30 BT dan 5 40-8 30 LS dengan batas batas sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Jawa dianggap sebagai contoh yang dapat menggambarkan lingkungan busur kepulauan (island arc) dengan baik. Magmatisme yang terjadi dihasilkan dari aktivitas

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografis Regional Secara fisiografis, Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 zona, yaitu Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Antiklinorium Bandung, Zona Depresi Bandung,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Menurut Kastowo (1973), Silitonga (1975), dan Rosidi (1976) litologi daerah Padang dan sekitarnya terdiri dari batuan Pratersier, Tersier dan Kwarter. Batuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bayat merupakan salah satu daerah yang menarik sebagai obyek penelitian geologi karena pada daerah ini banyak terdapat singkapan batuan yang terdiri atas berbagai

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum Jawa Barat dibagi menjadi 3 wilayah, yaitu wilayah utara, tengah, dan selatan. Wilayah selatan merupakan dataran tinggi dan pantai, wilayah tengah merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara umum wilayah utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan merupakan bukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Zona Antiklinorium Bogor,

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geomorfologi Secara fisiografis, Jawa Tengah dibagi menjadi enam satuan, yaitu: Satuan Gunungapi Kuarter, Dataran Aluvial Jawa Utara, Antiklinorium Bogor - Serayu Utara

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang relatif bergerak ke arah Barat Laut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan metode peninjauan U-Pb SHRIMP. Smyth dkk., (2005) menyatakan dari BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Semilir merupakan salah satu formasi penyusun daerah Pegunungan Selatan Pulau Jawa bagian timur. Dalam distribusinya, Formasi Semilir ini tersebar dari bagian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya) 3.2.2.1 Penyebaran Satuan batuan ini menempati 2% luas keseluruhan dari daerah

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PETROLOGI DAN SIFAT KETEKNIKAN BREKSI DAN BATUPASIR DI GEDANGSARI, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Muhammad Dandy *, Wawan Budianta, Nugroho Imam Setiawan Teknik Geologi UGM Jl. Grafika No.2 Kampus

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

PETROGENESIS BATUAN BEKU INTRUSI DI DAERAH PERBUKITAN JIWO BARAT DAN TIMUR, KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN, PROVINSI JAWA TENGAH

PETROGENESIS BATUAN BEKU INTRUSI DI DAERAH PERBUKITAN JIWO BARAT DAN TIMUR, KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN, PROVINSI JAWA TENGAH PETROGENESIS BATUAN BEKU INTRUSI DI DAERAH PERBUKITAN JIWO BARAT DAN TIMUR, KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN, PROVINSI JAWA TENGAH Mohammad Aditya Akbar *, Nugroho Imam Setiawan Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Judul Penelitian I.1. Judul Penelitian BAB I PENDAHULUAN Litostratigrafi dan Dinamika Sedimentasi Batuan di Gunung Temas, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah I.2. Latar Belakang Masalah Perbukitan Jiwo,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Daerah Jawa Barat memiliki beberapa zona fisiografi akibat pengaruh dari aktifitas geologi. Tiap-tiap zona tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1...

Gambar Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1... Gambar 5.15. Lokasi pengambilan sampel X-Ray Diffraction batu hornfels, marmer, dan skarn pada lereng barat daya Gunung Jabalkat STA 1... 64 Gambar 5.16. Lokasi pengambilan sampel mikrodiorit pada puncak

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI REGIONAL II.1 FISIOGRAFI DAN MORFOLOGI Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi lima zona yang berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci