DEDI DAMHUDI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DEDI DAMHUDI"

Transkripsi

1 UNIVERSITAS INDONESIA EFEKTIFITAS PENGKAJIAN METODE NIHSS DAN ESS (FOKUS NEUROLOGI) DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT DI RSUP FATMAWATI JAKARTA TESIS Diajukan sebagai persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Oleh : DEDI DAMHUDI PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2008

2 LEMBAR PERSETUJUAN Tesis ini telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di hadapan penguji Tesis Program Magister Kekhususan Medikal Bedah, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jakarta, Juli 2008 Pembimbing I,.. Dewi Irawaty, MA., PhD Pembimbing II,... Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS

3 PANITIA SIDANG UJIAN TESIS PROGRAM MAGISTER KEKHUSUSAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN, UNIVERSITAS INDONESIA Jakarta, Juli 2008 Penguji I,.... Dewi Irawaty, MA., PhD Penguji II,..... Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS Penguji III,.... Sri Purwaningsih, S.Kp., M.Kep Penguji IV,. Sri Yona, S.Kp., MN

4 PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Tesis, Juni 2008 Dedi Damhudi Efektifitas Pengkajian Metode NIHSS dan ESS (Fokus Neurologi) Dalam Membuat Diagnosa Keperawatan Aktual Pada Pasien Stroke Berat Fase Akut di RSUP Fatmawati Jakarta xiii + 84 hal + 8 tabel + 4 skema + 7 lampiran Abstrak Faktor yang sangat penting pada tahap awal perawatan pada pasien stroke berat fase akut adalah mengetahui kondisi pasien sedini mungkin untuk mencegah komplikasi yang lebih parah dan kematian, oleh sebab itu diperlukan suatu metode pengkajian fokus sistem syaraf yang lengkap dan akurat seperti metode NIHSS dan ESS. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan keakuratan kedua metode ini hampir sama untuk melihat kondisi pasien stroke fase akut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain praeksperimen Postest only design sering juga disebut The one shot case study. Besarnya sampel menggunakan teknik Non Random jenis Purposive Sampling sehingga didapat 18 responden yang merupakan total sampel yaitu pasien yang dipilih sesuai kriteria inklusi. Kemudian dilakukan analisis dengan α = 0,05 menunjukkan hubungan sangat kuat (r = 0,904 ) berpola positif pada nilai NIHSS dan berpola negatif ( r = -0,912 ) dan p value = Penelitian ini menyimpulkan tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut. Hal ini terjadi karena komponen pemeriksaan pada NIHSS juga terdapat pada ESS. Oleh sebab itu sebagai seorang perawat di ruang unit stroke sangatlah penting untuk menguasai pengkajian metode ini dalam rangka meningkatkan mutu asuhan keperawatan sehingga mempercepat proses penyembuhan pasien. Kata kunci : Diagnosa keperawatan, efektifitas, NIHSS, ESS Daftar Pustaka : 41 ( )

5 POST GRADUATE PROGRAM FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Thesis, July 2008 Dedi Damhudi The Effect of the NIHSS and ESS Assessment Method on the Developing Actual Nursing Diagnosis on the Acute Phase Severe Stroke s Patient in Fatmawati Hospital Jakarta xi + 84 pages + 8 tables + 4 schemes + 7 appendices Abstract The most important factor on early stage of caring patient with severe stroke is identifying patient condition as early as possible to prevent serious complication and death. Therefore, it is important to have assessment method that is focused on neurology system, comprehensive and accurate like NIHSS and ESS assessment method. The previous study shows that both NIHSS and ESS methods are effective to distinguish acute phase severe stroke s patient. The goal of this study is to identify the effect of NIHSS and ESS assessment method on the developing actual nursing diagnosis on the acute phase severe stroke s patient in Fatmawati Hospital Jakarta. This study uses experiment with post-test only design which is commonly called as the one shot case study. Non-random purposive sampling is the sampling method that is used in this study. Based on the inclusive criteria eighteen respondents were identified as samples in this study. The data analysis using α = 0,05 shows the strong positive relationship (r = 0,904) for NIHSS assessment value and negative pattern (r = -0,912) for ESS assessment value with the p value = There is no significant different the effect of using NIHSS and ESS methods on developing actual nursing diagnosis on the acute phse severe stroke s patient. This possibly happens since some of assessment components of NIHSS are the same with ESS assessment method. Therefore, it is important for the nurses to be able to use both assessment methods in order to improve the quality of nursing care and shorten the recovery process of the patient. Keywords: Nursing diagnosis, the effect, ESS, NIHSS Reference: 41 ( )

6 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, dengan petunjuk dan hidayah- Nya peneliti dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS (fokus neurologi) dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Selama proses penyusunan tesis ini, peneliti banyak sekali mendapat bantuan dan dukungna dari berbagai pihak. Bersama ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dewi Irawaty, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan masukan serta konsep-konsep dalam proses penyusunan tesis ini 2. Krisna Yetty, S.Kp., M.App.Sc., selaku Ketua Program studi Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Rr. Tutik Sri Haryati, S.Kp., MARS, selaku Pembimbing II yang telah banyak untuk memberikan arahan dan masukan serta konsep-konsep dalam proses penyusunan tesis ini. 4. Direktur RSUP Fatmawati Jakarta beserta staf, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan studi pendahuluan dalam penyusunan proposal tesis ini.

7 5. Direktur Poltekkes Pontianak beserta staf, yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta kesempatan bagi peneliti untuk melanjutkan pendidikan di Program studi Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 6. Pada Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan proposal tesis ini. 7. Orang tua, istri dan anak tercinta yang selalu secara ikhlas memberikan doa dan dukungan moral kepada penulis. 8. Rekan-rekan seperjuangan, mahasiswa Program Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah pada Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Tahun 2006 atas dukungan dan motivasinya. Menyadari akan keterbatasan yang dimiliki, peneliti meyakini bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran maupun masukan yang konstruktif sangatlah diharapkan demi perbaikan bagi peneliti di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-nya kepada kita semua. Amin. Jakarta, Juli 2008 Peneliti

8 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL. LEMBAR PERSETUJUAN. PANITIA UJIAN SIDANG TESIS ABSTRAK... KATA PENGANTAR.. DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR SKEMA.. DAFTAR LAMPIRAN i ii iii iv vi viii xi xii xiii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah.. C. Tujuan. D. Manfaat Penulisan BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Penyakit Stroke Defenisi Etiologi.. 3. Patofisiologi 4. Klasifikasi stroke 5. Tanda dan gejala 6. Pemeriksaan diagnostik. 7. Penatalaksanaan. B. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Stroke Fase Akut.. 1. Manajemen Keperawatan.. 2. Pengkajian Keperawatan

9 3. Diagnosa Keperawatan.. C. National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). D. Eropean Stroke Scale (ESS) E. Kerangka Teori BAB III : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep B. Hipotesis. C. Definisi Operasional BAB IV : METODE PENELITIAN A. Disain Penelitian. B. Populasi dan Sampel... C. Tempat Penelitian... D. Waktu Penelitian. E. Etika Penelitian... F. Alat Pengumpul Data.. G. Prosedur Pengumpulan Data H. Analisis Data BAB V : HASIL PENELITIAN A. Analisis Univariat.... B. Analisa Bivariat C. Analisiskomponen Penilaian Metode NIHSS daness

10 BAB VI : PEMBAHASAN A. Interprestasi dan Diskusi Hasil.. B. Keterbatasan Penelitian. C. Implikasi Untuk Keperawatan BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1. Defenisi operasioanal variabel penelitian Tabel 5.1. Nilai Hasil Pengkajian Metode NIHSS dan ESS. 67 Tabel 5.2. Perolehan Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS & ESS Tabel 5.3. Korelasi Nilai NIHSS Terhadap Perolehan Diagnosa Aktual Tabel 5.4. Korelasi Nilai ESS Terhadap Perolehan Diagnosa Aktual Tabel 5.5. Selisih Diagnosa Aktual NIHSS dan ESS.. 70 Tabel 5.6. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS. 71 Tabel 5.7. Komponen Penilaian NIHSS dan ESS 72

12 DAFTAR SKEMA Halaman Skema 2.1. Fatofisiologi stroke Skema 2.2. Kerangka Teoritis Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Skema 4.1. Desain Penelitian... 57

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lembar Persetujuan Responden Tabel National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) Tabel Eropean Stroke Scale (ESS) Instrumen penelitian pengkajian metode NIHSS Instrumen penelitian pengkajian metode ESS Rencana waktu penelitian Lampiran 7. Daftar riwayat hidup

14 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak. Stroke dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu iskemik (85 %) terjadinya penyumbatan pembuluh darah, terjadi penurunan perfusi yang nyata dan perdarahan (15 %) terjadinya ektravasasi perdarahan ke dalam otak atau ruangan sub araknoid (Smeltzer & Bare, 2008, hlm. 2206). Data WHO tahun 2007, menunjukkan 15 juta orang menderita stroke di seluruh dunia setiap tahun. Sebanyak 5 juta orang mengalami kematian dan 5 juta mengalami kecacatan yang menetap (Stroke center, 2007, Population stoke in the world, 1, diperoleh tanggal 10 Januari 2008). Diperkirakan setiap tahun terjadi orang penduduk Indonesia terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. (Yastroki, 2007, tahun 2020 angka kejadian stroke meningkat tajam, 1, diperoleh tanggal 10 Januari 2008). Berdasarkan hasil catatan medis RSUP Fatmawati Jakarta, dari bulan Januari 2007

15 2 sampai Desember 2007 berjumlah 557 pasien stroke yang terbagi menjadi stroke non hemoragik 266 orang dan stroke hemoragik 291orang. Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) (2004, hlm.6), Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien dengan stroke. Sedangkan American Heart Association (AHA) dan National Stroke Association (NSA) memberikan rekomendasi dalam memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3-6 jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang. Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologi, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder). Manifestasi klinis dari stroke itu antara lain: kehilangan motorik, kehilangan komunikasi, gangguan persepsi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, disfungsi kandung kemih (Smeltzer & Bare 2008; Black & Hawks, 2005; Ignativius & Workman, 2006; Hickey, 2003; Lemone & Burke, 1996; Polaski & Tatro, 1996). Sekitar 30%-40% penderita stroke dapat sembuh sempurna (bisa bekerja seperti biasa) asalkan penanganan terhadap mereka dilakukan dalam jangka waktu 6 jam setelah terjadinya serangan agar pasien tidak mengalami kecacatan. Bahkan ada yang berpendirian bahwa penderita stroke dapat sembuh bila ditangani kurang dari 3 jam setelah terjadi serangan. Hal ini disampaikan oleh dokter spesialis saraf dan konsultan Neurologi RSPAD Gatot Subroto, dr Sutarto, Pd.SpS dalam Seminar Pencegahan

16 3 Stroke dan Penyakit Jantung, di Jakarta, Senin ( ). (Sinar Harapan, 2003, penderita stroke dapat disembuhkan, 1, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007). Gejala sisa seperti jalannya pincang atau berbicaranya pelo masih bisa disembuhkan. Sayangnya, sebagian besar penderita stroke datang ke rumah sakit setelah 48 jam terjadinya serangan. Ini sangat memprihatinkan mengingat Insan Pasca Stroke (IPS) biasanya merasa rendah diri dan emosinya tidak terkontrol dan selalu ingin diperhatikan. (Sinar Harapan, 2003, penderita stroke dapat disembuhkan, 1, diperoleh tanggal 29 Oktober 2007). Fase akut pada stroke iskemik antara 1-3 hari, tetapi pengawasan yang berkelanjutan terhadap semua sistem tubuh masih diperlukan selama pasien memerlukan perawatan (Smeltzer & Bare, 2008, hlm.2215). Pasien yang terkena stroke sangat beresiko terhadap komplikasi yang banyak meliputi pengkondisian dan masalah muskulo skletal, kesulitan menelan, disfungsi BAB/BAK, ketidakmampuan perwatan diri sendiri dan kerusakan kulit. Selama fase akut pemeriksaan neurologi tetap dipertahankan untuk memberikan data tentang kondisi pasien saat itu juga. Langkah pertama pada proses keperawatan adalah pengkajian, yaitu pengumpulan data oleh perawat. Informasi dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan intuisi serta dari sumber lain termasuk, pasien, keluarga atau orang lain yang dekat dengan pasien, catatan kesehatan, tim kesehatan lain serta sumber kepustakaan (Craven & Hirnle, 2007). Pengkajian meliputi aspek

17 4 bio-psiko-sosial dan spritual. Hasil pengkajian yang baik menentukan pembuatan diagnosa yang tepat, begitu seterusnya terhadap langkah perencanaan, implementasi dan evaluasi keperawatan. Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah sakit atau ruangan perawatan (Polaski & Tatro,1996). Faktor yang sangat penting dalam tahap awal perawatan dan pengobatan pada pasien stroke adalah mengetahui kondisi pasien sedini mungkin. Metode pengkajian harus lengkap dan akurat untuk digunakan sebagai dasar pengkajian selanjutnya (Black & Hawks, 2005). Pasien stroke yang masuk ke ruangan bisa dalam kondisi stroke ringan, sedang dan berat. Pada pasien stroke berat fase akut penanganan harus cepat untuk mencegah komplikasi yang lebih parah dan kematian, oleh sebab itu diperlukan suatu alat pengkajian yang cepat, tepat dan akurat. Pada stroke berat fase akut, pengkajian yang sangat penting dilakukan oleh seorang perawat adalah pengkajian neurologi karena pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien saat itu. Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus dan bersifat darurat karena lingkup pengkajian hanya sistem persarafan dengan waktu yang singkat dan dapat mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa pasien. Pengumpulan data pada pengkajian neurologis dilakukan dengan wawancara, observasi dan

18 5 pemeriksaan fisik dengan teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem persarafan). Sampai saat ini metode yang digunakan untuk mengkaji kondisi pasien stroke fase akut adalah National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) dan Eropean Stroke Scale (ESS). (Edwards, 2007, acute assessment Scales, 1, ttp:// diperoleh tanggal 10 Januari 2008). Berdasarkan hasil penelitian Adams, et al, (1999) dan Muir, et al, (1996), menyatakan bahwa penggunaan metode NIHSS dapat digunakan untuk melihat kondisi pasien stroke fase akut, dapat dilakukan dengan cepat, sensitivitas 0,71 (95% CI, 0,64 0,79), spesifisitas 0,90 (95% CI, 0,86 0,94) dan mempunyai kaitan yang erat dengan metode pengukuran lain seperti Bartel Index dan GCS. Hasil penelitan Hanton, et al. (1994) dan Muir, et al. (1996), disimpulkan bahwa metode ESS berguna untuk melihat perkembangan pasien stroke akut, dapat dilakukan dengan cepat, mudah dipelajari dan skor yang dipakai sederhana, sensitivitas 0,70 (95% CI, 0,62 0,77), spesifisitas 0,89 (95% CI, 0,85 0,93) dan mempunyai hubungan yang erat dengan skala pengukuran lain seperti MCA Neurological Scale, The Canadian Stroke Scale, The Scandinavian Stroke Scale, The Bartel Index, The Rankin Scale. Merujuk pada hasil penelitian Adams, et al, (1999) dan Muir, et al, (1996), disimpulkan bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS sangatlah baik untuk menentukan kondisi pasien stroke fase akut. Oleh sebab itu seorang perawat unit stroke atau perawat mahir stroke sangat perlu menggunakan metode ini dalam melakukan pengkajian neurologi terhadap pasien

19 6 yang masuk ke ruangan perawatan saraf untuk mendukung perumusan diagnosa yang tepat. Hasil studi pedahuluan di RSUP Fatmawati Jakarta, pengkajian pasien stroke fase akut menggunakan format secara umum meliputi bio, psiko, sosial dan spiritual. Sedangkan untuk pemeriksaan neurologi tidak mempunyai format khusus sehingga hasil pemeriksaan neurologi kurang spesifik dan memerlukan waktu lama dalam proses pengkajian pasien. Menurut NANDA (2005, dalam Craven, 2007, hlm.171) Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah-masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan intervensi untuk mendapatkan hasil yang menjadi tanggung gugal perawat. Diagnosa keperawatan aktual adalah diagnosa keperawatan yang menyajikan keadaan secara klinis telah divalidasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi (Carpenito, 1997, hlm.12). Diagnosa aktual menjadi prioritas yang harus segera di tangani oleh seorang perawat karena sangat menentukan kondisi pasien selanjutnya. Sampai saat ini penelitian tentang efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan yang aktual belum pernah dilakukan. Karena belum adanya penelitian serta terbatasnya informasi tentang manfaat pengkajian

20 7 neurologis dengan metode NIHSS dan ESS mendorong peneliti untuk meneliti efektifitas pengkajian neurologis dengan metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. B. Rumusan Masalah Pada stroke berat penangan harus cepat untuk mencegah komplikasi yang lebih parah dan kematian, maka diperlukan suatu alat pengkajian neurologi yang cepat, tepat dan akurat untuk mengetahui perkembangan pasien saat itu. Untuk meningkatkan hasil pelayanan kesehatan pada pasien stroke memerlukan kerjasama tim yang baik antara dokter, perawat dan tim kesehatan lainnya. Perawat unit stroke adalah mitra dokter neurologi dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien stroke. Oleh sebab itu diperlukan suatu wawasan yang luas dalam bermitra dengan dokter neurologi salah satunya dalam melakuan pengkajian neurologi dengan metode NIHSS dan ESS untuk membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. Studi tentang penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pengkajian untuk pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual belum pernah dilakukan, sehingga belum diketahui efektifitas penggunaan kedua metode ini terhadap pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat pada fase akut. C. Tujuan 1. Umum

21 8 Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. 2. Khusus a. Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. b. Mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. c. Mengidentifikasi selisih perolehan diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut pada pengkajian metode NIHSS dan ESS. D. Manfaat Penelitian 1. Perawat a) Sebagai penambah wawasan bagi perawat unit stroke tentang manfaat pengkajian fokus neurologi dengan menggunakan pengkajian metode NIHSS dan ESS pada pasien dengan stroke berat fase akut b) Dapat dengan mudah merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien stroke berat fase akut menggunakan pengkajian metode NIHSS dan ESS. 2. Pengetahuan Sebagai bahan rujukan khususnya mengenai efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam menyusun rencana asuhan keperawatan khususnya

22 9 pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada asuhan keperawatan pasien dengan stroke berat fase akut. 3. Penelitian Sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya, terkait dengan perawatan pasien stroke khususnya untuk pengembangan studi keperawatan medikal bedah spesialis keperawatan medikal bedah saraf.

23 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Penyakit Stroke 1. Definisi Stroke adalah gangguan tiba-tiba terhadap aliran darah ke otak (Stroke center, 2007, Defenition of Stroke, diperoleh tanggal 10 Januari 2008). Menurut smeltzer & Bare (2008, hlm.2206) Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak. Sedangkan menurut Black & Hawks (2005, hlm.2107) Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke suatu bagian otak. 2. Etiologi Stroke biasanya disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian ini, yaitu: a. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher) b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak c. Iskemia (penurunan alirah darah ke area otak) d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak)

24 11 3. Patofisiologi Trombus dan embolus pada pembuluh darah otak mengakibatkan aliran darah ke otak berkurang sehingga otak kekurangan oksigen. Iskemia terjadi ketika aliran darah menurun kurang dari 25 ml per 100 g/menit. Akibatnya neuron tidak bisa mempertahankan respirasi aerob. Mitokondria diubah menjadi respirasi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat dan perubahan ph. Perubahan ini juga mengakibatkan penurunan neuron dalam memproduksi adenosin triphospat (ATP) yang akan dijadikan bahan bakar dalam proses depolarisasi. Keseimbangan elektrolit mulai terjadi dan fungsi sel mulai berhenti. Penurunan aliran darah yang berkurang menuju menjadi penumbra dan berkembang menjadi area infark. Bagian penumbra adalah jaringan otak yang iskemik dan bisa diselamatkan dengan penanganan yang cepat. Alirahan yang iskemik mengancam sel dan penumbra karena membran yang mengalami depolarisasi pada dinding sel menyebabkan peningkatan kalsium yang masuk ke dalam sel dan mengeluarkan glutamat. Jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan bertambahnya kerusakan pada selaput sel, kalsium dan glutamat banyak terbuang, vasokontriksi dan menghasilkan radikal bebas. Proses ini memperbesar area infark pada penumbra dan memperluas stroke iskemik. Area infark akan menimbulkan edema otak sehingga menyebabkan gangguan saraf yang bersifat sementara. Area edema akan berkurang dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari sehingga gangguan saraf secara perlahan dapat kembali normal. Apabila

25 12 stroke non hemoragik tidak diatasi dengan cepat dan tepat akan mengakibatkan stroke hemoragik. Stroke hemoragik tergantung pada penyebab dan jenis penyakit alirah darah di otak. Gejala stroke hemoragik diakibatkan oleh pendarahan primer pada otak, aneurisma atau kelainan bentuk arterivena yang menekan saraf kranial atau jaringan otak atau lebih parah lagi ketika aneurisma atau kelainan arterivena pecah menyebabkan pendarahan sub araknoid. Pendarahan sub araknoid dapat terjadi sebagai akibat trauma atau hipertensi, tetapi penyebab paling utama adalah kebocoran aneurisma pada area sirkulus willis dan kelainan bentuk arteri-vena. Aneurisma dan kelainan bentuk arterivena akan menekan pada saraf kranial atau jaringan otak atau lebih parah lagi ketika aneurisma atau arteriovenous malformations (AVM) pecah, akan menyebabkan pendarahan sub araknoid. Dengan meningkatnya tekanan dalam otak yang diakibatkan oleh masuknya darah yang tiba-tiba kedalam ruangan sub araknoid akan menekan dan merusak jaringan otak. Pendarahan sub araknoid juga disebabkan oleh efek sekunder iskemia pada otak akibat terjadinya penurunan tekanan perfusi dan vasospasme. Perdarahan intraserebral paling umum pada pasien dengan hipertensi dan atersoklerosis, karena perubahan degeneratif menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Pendarahan intraserebral juga bisa disebabkan oleh tumor otak dan

26 13 penggunaan obat-obatan seperti obat oral antikoagulan dan amphetamine. Pendarahan bisanya terjadi pada lobus otak, basal ganglia, thalamus, pons dan serebellum. Adakalanya, pendarahan dapat memecahkan dinding ventrikular lateral dan menyebabkan pendarahan intraventrikular yang fatal (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005). Skema 2.1. Patofisiologi stroke Oklusi (trombosis, emboli) Iskemia Kekurangan energi Asidosis Ketidakseimbangan ion Glutamat Depolarisasi Peningkatan kalsium ke dalam sel Sel membrane dan protein rusak membentuk radikal bebas. Produksi protein menurun Trauma, aneurisma, kelainan bentuk arteri-vena Pembuluh darah otak pecah Sel rusak dan mati Stroke iskemi Hipertensi, aterosklerosis serebral Perdarahan sub araknoid Perdarahan intraserebral Pembuluh darah otak pecah Sumber: (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005)

27 14 4. Klasifikasi Stroke Pembagian jenis stroke dapat dibagi menurut etiologi dan perjalanan penyakitnya a. Pembagian stroke menurut etiologinya 1) Stroke non hemoragik b) Trombosis c) Emboli 2) Stroke hemoragik a) Pendarahan intra serebral b) Pecahnya aneurisma dan kelainan bentuk arteri-vena (pendarahan sub araknoid) c) Lain-lain seperti: tumor otak yang mengalami perdarahan b. Pembagian stroke menurut perjalanan penyakitnya Sesuai dengan perjalanan penyakit tersebut, atau keadaan temporal (yang didefinisikan sebagai sebagai pola kronologis perkembangan dan regresi klinis, tanda-tanda dan gejala-gejala), maka stroke dapat dibagi menjadi tiga jenis 1) Transient Ischemic Attacks (TIA) Ini merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa detik sampai beberapa jam. a) Gangguan neurologis setempat b) Terjadi selama beberapa detik - jam c) Gejala hilang kurang dari 24 jam

28 15 2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) Terjadi lebih lama dari TIA, gejala hilang lebih dari 24 jam tetapi tidak lebih dari 1 minggu 3) Progresif, (Stroke ini evolution) Perkembangan stroke perlahan lahan sampai akut. a) Munculnya gejala makin lama makin bertambah buruk b) Proses progresif beberapa jam sampai beberapa hari 4) Stroke lengkap (Stroke complete) Gangguan neurologis maksimal sejak awal serangan dan sedikit memperlihatkan perbaikan. a) Didahului dengan TIA yang berulang-ulang dan stroke in evolution b) Bentuk kelainan neurologi sudah menetap c) Gangguan neurologi sudah maksimal / berat sejak awal serangan. d) Perbaikan hanya tampak sedikit c. Pembagian stroke berdasarkan tingkat keparahan, (Rasyid dan Seortidewi, 2007, hlm.35). 1) Stroke ringan: nilai NIHSS kurang dari 4 2) Stroke sedang: nilai NIHSS ) Stroke berat: nilai NIHSS lebih dari 15

29 16 5. Tanda dan gejala Stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologi, tergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya kurang dan jumlah alirah darah kolateral. Gambaran klinik utama dikaitkan dengan insufisiensi aliran darah ke otak dapat dihubungkan dengan tanda-tanda dan gejala-gejala di bawah ini, (Black & Hawks, 2005) : a. Vertebro basilaris (sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral) 1) Kelemahan salah satu dari empat anggota tubuh 2) Peningkatan refleks tendon 3) Ataksia 4) Tanda Babinski bilateral 5) Tanda-tanda serebelar 6) Disfagia 7) Disartria 8) Sinkope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan 9) Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis gerakan satu mata) 10) Muka terasa baal b. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gejala-gejalanya biasanya unilateral). Lokasi lesi yang paling sering biasanya pada bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna. Dapat berbagai sindroma, polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral.

30 17 1) Kebutaan monokular, disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke retina. 2) Terasa baal pada ekstremitas atas, dan mungkin juga menyerang wajah. Hal ini disebabkan karena insufisiensi diantara arteri serebri arteri dan serebri media. Kalau terjadi pada hemisfer yang dominan maka akan timbul gejala-gejala afasia ekspresif. c. Arteri serebri anterior, gejala yang paling primer adalah kebingungan : 1) Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal mungkim ikut terserang. Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu. 2) Gangguan sensori k ontra lateral. 3) Dimensia, reflek mencekram dan reflekspatologis (disfungsi lobus frontalis). d. Arteri serebri posterior ( dalam lobus otak tengah atau talamus) 1) Koma 2) Hemiparesis kontralateral 3) Afasia visual atau buta kata (aleksia). 4) Kelumpuhan saraf kranial ketiga -hemianopsia, koreo-athetosis. e. Arteri Serebri media. 1) Mono paresis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai lengan) 2) Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan). 3) Afasia global (kalau hemisfier dominan yang terkena) gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi. 4) Disfsagia.

31 18 6. Pemeriksaan diagnostik Menurut Smeltzer & Bare, (2008); Black & Hawks, (2005), pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada pasien strok antara lain: a. CT Scan. Pemeriksaan awal untuk nenentukan apakah pasien termasuk stroke hemoragik atau non hemoragik. Pemeriksaan ini dapat melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan infark. b. Angiografi Serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik, seperti perdarahan atau obstruksi arteri, ada tidaknya oklusi atau rupture. c. Pungsi Lumbal. Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosisi, emboli serebral, TIA. d. MRI. Menunjukkan daerah yang mengalami infakr, hemoragik, kelainan bentuk arteri-vena. e. EEG. Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik. 7. Penatalaksanaan pasien stroke fase akut Pasien yang koma saat masuk ke rumah sakit dinilai mempunyai prognosis yang buruk. Sebaliknya pasien sadar penuh akan mempunyai harapan yang lebih baik. Dengan mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang cukup adalah prioritas utama pada fase akut. Menurut Smeltzer,et.al, (2002),.Intervensi yang dilakukan pada fase akut antara lain:

32 19 a. Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala di tempat tidur ditinggikan derajat sampai tekanan vena serebral berkurang b. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien dengan stroke massif, karena pada situasi ini henti pernafasan dapat mengancam kehidupan. c. Memantau adanya komplikasi pulmonal (aspirasi, atelektasis, pneumonia) yang mungkin berkaitan dengan kehilangan reflek jalan nafas, imobilitas atau hipoventilasi. d. Periksaan jantung untuk melihat abnormalitas ukuran, irama serta tanda gagal jantung kongestif. B. Asuhan Keperawatan Pasien dengan stroke fase akut 1. Manajemen keperawatan Manajemen keperawatan pada pasien stroke tergantung pada gejala stroke dan gangguan neurologi yang terjadi. Penanganan yang dini pada pasien stroke adalah faktor kunci dalam mengoptimalkan hasil perawatan seperti di ruangan ICU atau perawatan khusus unit stroke akut. Pemberian trombolitik atau neuroprotektif dilakukan minimal 3-6 jam setelah terkena stroke iskemik (Hickey, 2003, hlm.556). Menurut Smeltzer & Bare (2008, hlm, 2215), Fase akut pada stroke iskemik antara 1-3 hari, tetapi pengawasan yang berkelanjutan terhadap semua sistem tubuh masih diperlukan selama pasien memerlukan perawatan. Pasien yang

33 20 terkena stroke sangat beresiko terhadap komplikasi yang banyak meliputi pengkondisian dan masalah muskulo skletal, kesulitan menelan, disfungsi BAB/BAK, ketidakmampuan perawatan diri sendiri dan kerusakan kulit. Selama fase akut pemeriksaan neurologi tetap dipertahankan untuk memberikan data tentang kondisi pasien meliputi: a. Perubahan tingkat kesadaran atau tingkat respon yang ditunjukkan melalui pergerakan, pertahanan terhadap perubahan posisi, respon terhadap stimulus, orientasi waktu, tempat dan orang. b. Ada atau tidak adanya gerakan yang di sengaja atau tidak di sengaja pada ektrimitas; kekuatan otot, postur tubuh, dan posisi kepala. c. Kekakuan atau kelemahan leher d. Pembukaan mata, perbandigan ukuran pupil, rekasi pupil terhadap cahaya dan posisi mata e. Warna wajah dan ektrimitas; suhu dan kelembaban kulit. f. Kualitas dan jumlah nadi dan pernafasan; analisa gas darah, suhu tubuh dan tekanan arterial. g. Kemampuan bicara. h. Jumlah cairan yang diberikan, volume urin yang keluar selama 24 jam. i. Adanya pendarahan. j. Tekanan darah dalam rentang yang normal. Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien dengan stroke, (AANN, 2004, hlm. 6). AHA dan NSA memberikan

34 21 rekomendasi dalam memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3-6 jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang. Intervensi keperawatan stroke fase akut meliputi langkah-langkah sebagai berikut: a. Monitor jalan nafas dan pastikan kelengkapannya tersedia. b. Monitor tanda-tanda gangguan pernafasan dan antisipasi adanya tindakan intubasi. c. Pertahankan saturasi oksigen lebih dari 90 %. d. Pertahankan pemasangan intra vena. e. Monitor sesering mungkin seperti tanda-tanda vital tiap 15 menit, gangguan neurologi, saturasi oksigen dan irama jantung. f. Berikan posisi pasien dengan kepala tegaklurus dan kepala tinggikan 30 derajat untuk mencegah aspirasi dan arus balik vena. g. Kolaborasi pemeriksaan CT Scan untuk menentukan apakah pasien memerlukan trombolitik atau intervensi akut yang lain. h. Kolaborasi pemberian Insulin bila gula darah melebihi 150 mg/dl. Glukosa yang tinggi dapat memperburuk keadaan. i. Turunkan suhu bila lebih dari 38 C, karena suhu yang tinggi memperburuk keadaan. j. Jika pasien diberikan terapi trombolitik, pasien perlu diobservasi ketat karena bisa mendapatkan reaksi anapilaktik seperti sumbatan total saluran pernafasan.

35 22 2. Pengkajian keperawatan a. Definisi Menurut Carpenito (1997, hlm. 45), Pengkajian adalah pengumpulan data yang sengaja dilakukan secara sistematis untuk menentukan keadaan kesehatan pasien sekarang dan masa lalu dan untuk mengevaluasi pola koping pasien sekarang dan masa lalu. Langkah pertama pada proses keperawatan disebut pengkajian, yaitu pengumpulan data oleh perawat. Informasi dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, pemeriksaan fisik dan intuisi dan dari sumber lain termasuk, pasien, keluarga atau orang lain yang dekat dengan pasien, catatan kesehatan, tim kesehatan lain dan sumber kepustakaan (Craven & Hirnle, 2007). Tahap ini semua data/informasi tentang pasien yang dibutuhkan, dikumpulkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Pengkajian keperawatan terdiri dari tiga tahap yaitu; pengumpulan, pengelompokan atau pengorganisasian serta menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan. b. Jenis pengkajian Pengkajian memiliki banyak bentuk, tergantung pada situasi klinis, keadaan Pasien, waktu yang tersedia dan tujuan pengumpulan data. Jenis pengkajian

36 23 antara lain: pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang dan pengkajian darurat (Craven & Hirnle, 2007). 1) Pengkajian awal Pengkajian ini dilakukan saat pasien masuk ke rumah sakit. Tujuannya adalah untuk melihat kondisi pasien, mengidentifikasi fungsi pola kesehatan yang bermasalah dan mendapatkan data yang dasar yang mendalam dimana data ini penting untuk mengevaluasi keadaan pasien baik data aktual ataupun potensial. 2) Pengkajian fokus Pengumpulan data tentang masalah yang sudah diidentifikasi. Pengkajian ini mempunyai lingkup yang lebih sedikit dan memerlukan waktu yang singkat. Seorang perawat biasanya hanya mengkaji masalah khusus yang ditemukan selama proses pengkajian. 3) Pengkajian ulang Pengkajian yang dilakukan setelah pengkajian awal untuk mengevaluasi perubahan pada fungsi kesehatan pasien. Pengkajian ini membandingkan status pasien dengan data dasar pada masa lalu untuk melihat perubahan pada semua fungsi pola kesehtan setelah beberapa waktu yang lalu. 4) Pengkajian darurat Mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa pasien dimana penyelamatan nyawa menjadi prioritas utama.

37 24 c. Pengumpulan data 1) Tipe data Ada 2 tipe data pada pengkajian yaitu: a) Data subjektif Data yang didapatkan dari Pasien sebagai suatu pendapat terhadap suatu situasi dan kejadian. Misalnya penjelesan pasien tetang nyeri, lemah, frustasi, mual atau malu. b) Data objektif Data yang didapat dari observasi dan diukur. Misalnya frekuensi pernafasan, tekanan darah, edema, berat badan. 2) Karateristik data Pengumpulan data Pasien memiliki karakteristik seperti lengkap, akurat, nyata dan relevan. d. Sumber data Sumber dalam pengkajian bisa berasal dari Pasien, orang terdekat, catatan Pasien, riwayat penyakit, konsultasi, hasil pemeriksaan diagnostik, catatan medis dan anggota tim kesehatan lainnya, perawat lain serta kepustakaan. (Nursalam, 2001)

38 25 e. Metode pengumpulan data Ada tiga metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada tahap pengkajian yaitu: wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik. 1) wawancara Wawancara adalah pola komunikasi yang dilakukan untuk tujuan spesifik dan difokuskan pada area dengan isi yang spesifik. Dalam keperawatan, tujuan utama dari mewawancara adalah mendapatkan riwayat kesehatan keperawatan, mengidentifikasi kebutuhan kesehatan dan faktor resiko serta menentukan perubahan spesifik dalam tingkat kesejahteraan dan pola kehidupan. Ada empat tahap dalam wawancara yaitu: persiapan, pembukaan atau perkenalan, isi atau tahap kerja dan terminasi. 2) Observasi Observasi adalah mengamati perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data tentang kesehatan dan keperawatan pasien. Kegiatan observasi meliputi 2S HFT (sight, smell, hearing, feeling dan taste). Kegiatan ini mencakup aspek fisik, mental, sosial dan spiritual. 3) pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dipergunakan untuk memperoleh data objek dari riwayat keperawatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik yang dilakukan perawat adalah pada kemampuan fungsional pasien. Sebagai contoh, jika ada pasien dengan gangguan system persarafan, maka perawat mengkaji apakah gangguan tersebut mempengaruhi pasien dalam melaksanakan

39 26 kegiatan sehari-hari. Tujuan dari pengkajian fisik adalah untuk menentukan status kesehatan pasien, mengidentifikasi masalah kesehatan dan mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan keperawatan (Potter & Perry, 2006). Metode atau teknik pemeriksaan fisik terdiri dari: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.sedangkan ada tiga pendekatan yang digunakan pada pemeriksaan fisik yaitu pertama head-to-toe (kepala sampai ke kaki), kedua review of system (sistem tubuh seperti sistem penafasan, pencernaan, kardiovaskuler, persyarafan, pekencingan, muskuloskletal, integument dan reproduksi), dan ketiga pola fungsi kesehatan Gordon (Crafen & Hirnle, 2007). Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah sakit atau ruang perawatan meliputi aspek bio-psiko-sosial dan spritual. Pada stroke berat fase akut salah satu aspek pengkajian yang sangat penting dilakukan oleh seorang perawat adalah pengkajian neurologi karena pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien sedini mungkin (Polaski & Tatro, 1996). Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus karena pengkajian ini mempunyai lingkup yang lebih sedikit yaitu sistem persarafan saja dan memerlukan waktu yang singkat. Pengkajian neurologi juga termasuk jenis pengkajian darurat karena mengidentifikasi situasi yang menyakut

40 27 penyelamatan nyawa pasien dimana penyelamatan nyawa menjadi prioritas utama. Kita ketahui banyak sekali pasien stroke berat fase akut yang meninggal karena kesalahan pengkajian sehingga penangannya juga salah yang berakibat kematian pasien lebih cepat. Pengumpulan data pada pengkajian neurologis dilakukan dengan teknik wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik dengan teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem tubuh persarafan). Pengkajian neurologi dilakukan 1 jam sekali di ruangan intensive care unit, 2 jam sekali di ruangan transisi dan 4 jam sekali di ruangan biasa (AANN, 2004,hlm. 4) Pengkajian dilakukan dengan metode NIHSS dan ESS. Hasil pengkajian ini, akan didapatkan diagnosa aktual terhadap pasien dengan stroke berat fase akut. Pengkajian neurologi adalah suatu proses yang membutuhkan ketelitian dan pengalaman, yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan pada fungsi yang spesifik. Walaupun pemeriksaan neurologi sering terbatas pada pemeriksaan yang sederhana, namun hal ini penting diketahui oleh orang yang melakukan pemeriksaan, sehingga mampu untuk melakukan pemeriksaan neurologi dengan teliti dengan melihat riwayat penyakit dan keadaan fisik lainnya. Menurut (Priharjo,1996; Bates, 1998; Jarvis, 2000; Smeltzer & Bare, 2002; Lumbantobing, 2006), pengkajian neurologi terdiri dari:

41 28 a. Fungsi serebral Serebral yang tidak normal dapat menyebabkan gangguan dalam komunikasi, fungsi intelektual, dan dalam pola tingkah laku emosional. Pemeriksaan fungsi serebral meliputi: 1) Status mental Fungsi serebral yang adekuat ditentukan melalui pengkajian status mental pasien. Pengkaji mengobservasi penampilan pasien dan tingkah lakunya, dengan melihat cara berpakaian pasien, kerapihan, dan kebersihan diri. Observasi postur, sikap, gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah dan aktivitas motorik, semuanya ini sering memberikan informasi penting tentang pasien. Gaya bicara pasien dan tingkat kesadaran juga diobservasi. Apakah gaya bicara pasien jelas atau masuk akal? Apakah pasien sadar dan berespons atau mengantuk dan stupor? 2) Fungsi intelektual Fungsi intelektual dikaji bila ragu-ragu terhadap kompetensi intelektual pasien. Sering pasien dalam kondisi toksik atau mereka yang mempunyai kerusakan korteks frontal pada saat dikaji kelihatan tidak benar-benar normal atau kehilangan sam atau lebih dari kapasitas integritas intelektual yang ada. Pertama, pengkaji menentukan apakah pasien diorientasikan pada wakm, tempat, dan orang. Apakah pasien mengetahui hari apa hari ini, tahun berapa, dan siapa nama pasien sekarang? Apakah pasien tahu dimana ia berada? Apakah pasien mengetahui siapa yang mengkaji dan apa tujuan ia berada di ruangan?

42 29 3) Daya pikir Mengkaji kemampuan berpikir pasien sangat penting selama melaksanakan kegiatan wawancara. Apakah pikiran pasien bersifat spontan, alamiah, jernih, relevan, dan masuk akal? Apakah pasien mempunyai kesulitan berpikir, khayalan dan keasyikan sendiri? Apa yang menjadi pikiran pasien? Pikiran pasien asik sendiri dengan hal kematian, kejadian-kejadian tidak masuk akal, hal-hal yang bersifat halusinasi, dan pikiran paranoid, semuanya penting dan membutuhkan evaluasi yang lebih teliti. 4) Status Emosional Pengkajian fungsi emosional juga mencakup status emosional pasien. Apakah tingkah laku pasien alamiah dan datar atau peka dan pemarah, cemas, apatis atau euforia? Apakah alam perasaannya berubah-ubah secara normal atau iramanya tidak dapat diduga dan gembira menjadi sedih selama wawancara? Apakah tingkah lakunya sesuai dengan katakata atau isi dan pikirannya? Apakah komunikasi verbal sesuai dengan tampilan komunikasi non-verbal? 5) Persepsi Pengkaji kini dapat mempertimbangkan daerah yang lebih spesifik dan fungsi kortikal yang lebih tinggi. Agnosia adalah ketidakmampuan menginterprestasikan atau mengenal benda yang dilihat dengan menggunakan perasaan spesial. Pasien dapat melihat sebuah pulpen tetapi tidak tahu disebut apa atan apa yang dapat dilakukan dengan benda itu.

43 30 Pasien mampu untuk menggambarkan benda tersebut tetapi tidak untuk menginterpretasikan fungsinya. Pasien ada yang mengalami agnosia auditori dan agnosia taktil, demikian pula agnosia visual. Masing-masing kelainan fungsi melibatkan bagian dan korteks. 6) Kemampuan Motorik Pengkajian terhadap integrasi motor kortikal dapat terlihat dengan memerintabkan pasien üntuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan keterampilan (melempar sebuah bola, menggerakkan kursi). Keberhasilan dalam melakukannya bergantung pada kemampuan orang tersebut untuk mengerti aktivitas yang diinginkan dan kekuatan normal dan motorik. Kegagalan yang ada merupakan tanda gangguan fungsi serebral. 7) Kemampuan bahasa Orang-orang dengan fungsi neurologi normal mampu mengerti dan berkomunikasi dalam pembicaraan dan bahasa tulisan. Apakah jawaban pasien terhadap pertanyaan yang diberikan relevan? Dapatkah ia membaca kalimat dan surat kabar dan menjelaskan artinya? Dapatkah pasien menuliskan namanya atan mengulang gambaran sederhana dan yang digambarkan penguji? Defisiensi fungsi bahasa disebut afasia. Afasia terbagi dua yaitu sensory/receptive aphasia: hilangnya kemampuan Pasien untuk memahami tulisan dan perkataan. Aphasia ini terdiri atas auditori dan visual. Motor/expressive aphasia: hilangnya kemampuan

44 31 mengekpresikan: kata-kata, kata atau kalimat dalam tulisan, symbol symbol. 8) Glasgow Coma Scale Skala koma Glasgow (GCS), memberikan tiga bidang fungsi neurologi, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologi pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini tidak dapat digunakan dalam pengkajian neurologi yang lebih dalam, cukup hanya mengevaluasi motorik pasien, verbal, dan respons membuka mata. Nilai terendah adalah 3 (respons paling sedikit), nilai tertinggi adalah 15 (paling berespons). Nilai 7 atau nilai di bawah 7 umumnya dikatakan sebagai koma dan membutuhkan intervensi keperawatan bagi pasien koma tersebut. Adapun penilaian GCS adalah sebagai berikut: Membuka mata Nilai a) Spontan 4 b) Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3 c) Dengan rangsangan nyeri 2 d) Tidak ada reaksi 1 Respon verbal Nilai a) Baik dan tidak ada disorientasi 5 b) Kacau (disorientasi waktu dan tempat) 4 c) Tidak tepat (tidak berupa kalimat dan tidak tepat) 3

45 32 d) Mengerang (hanya suara mengerang) 2 e) Tidak ada jawaban 1 Respon motorik Nilai a) Menurut perintah (contoh, disuruh angkat tangan ) 6 b) Mengetahui lokasi nyeri 5 c) Reaksi menghindar nyeri 4 d) Reaksi fleksi (dekortikasi) 3 e) Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2 f) Tidak ada reaksi 1 b. Saraf-saraf cranial 1) N. I (Olfaktorius). Berfungsi sebagai saraf sensory untuk penghiduan. Perawat dapat mengkaji dengan cara : minta pasien untuk menghidu sesuatu yang aromatik dan tidak bersifat iritatif (Kopi, alkohol, pasta gigi) dengan menutup mata. Bila pasien tidak mampu menyebutkan aroma yang dihidu disebut dengan anosmia. 2) N. II (Optikus). Berfungsi sebagai saraf sensory. Perawat mengkaji dengan cara : a). Inspeksi : katarak, inflamasi atau keabnormalitasan yang lain b). Test ketajaman penglihatan dengan snellen s chart c). Test lapang pandang d). Memeriksa fundus mata dengan alat opthalmoscope

46 33 3) N. III (Okulomotorius). Hal yang dikaji ukuran kedua pupil dan pergerakan pupil. Konstriksi pupil dapat dikaji perawat dengan penlight. Normalnya bila diberi rangsangan maka akan terjadi kontriksi. 4) N. IV (Troklear). Untuk pergerakan mata ke arah inferior dan medial. Pengkajian saraf ini dilakukan bersamaan dengan pengkajian saraf VI 5) N. V (Trigeminal). Memiliki divisi motorik dan sensorik. Untuk pemeriksaan fungsi motorik denganmenggerakkan kedua dagu ke sisi atau tersenyum, normal semua gerakan dapat dilakukan. Sedangkan untuk pemeriksaan fungsi sensorik dilakukan dengan cara menyentuhkan kapas lembut yang steril ke kornea atau sentuhan agak keras ke kelopak mata, normal reaksi mata akan berkedip. 6) N. VI (Abdusen). Mengontrol pergerakan bola mata ke arah lateral. Bersama N. III, dan N. IV dapat dikaji 6 posisi kardinal dari penglihatan. 7) N. VII (Fasial). Memiliki divisi sensorik dan motorik, divisi motorik untuk mengontrol ekspresi wajah. Perawat dapat mengkaji dengan cara minta pasien untuk mengerutkan dahi, tersenyum, mengembungkan pipi, menaikkan alis mata, memejamkan mata dengan rapat dan rasakan adanya tahanan pada saat membuka mata. 8) N. VIII (Vestibulokoklear). Merupakan saraf sensory yang terdiri dari 2 divisi yaitu : koklear dan vestibular. Koklear untuk pendengaran. Test pendengaran dapat dilakukan dengan cara minta pasien untuk mendengar bisikan lalu minta untuk melaporkan apa yang didengarkan atau dengarkan bunyi garpu tala. Test bone dan air conduction dilakukan

47 34 dengan garpu tala. Audiometry dapat digunakan untuk pengkajian yang tepat. Vestibular untuk membantu mempertahankan keseimbangan melalui koordinasi otot-otot mata, leher dan extremitas. Tes keseimbangan dapat dilakukan dengan cara Romberg test, calori test (oculovestibular reflex) dan electronystagmography. Kemungkinan keabnormalan yang ditemukan dapat disebabkan oleh Meniere,s syndrome dan neuroma acoustic. 9) N. IX (Glosofaringeus) dan N. X (Vagus). Merupakan saraf sensorik dan motorik. Karena kedua saraf ini masuk ke pharynx maka pengkajian kedua saraf ini bersamaan. Perawat dapat mengkaji N. IX dengan cara: minta pasien untuk membuka mulut lebar-lebar sambil menyebutkan ah, observasi posisi dan pergerakan dari uvula dan palatum, normalnya berada di garis tengah. Kaji reflex gag dengan cara sentuh bagian pharynx dengan spatel lidah, maka akan didapatkan respon gag ( respon muntah ). Kaji respon menelan dengan memberikan Pasien sedikit minum. Kaji 1/3 bagian belakang lidah terhadap rasa. 10) N. XI (Aksesorius spinal). Merupakan saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius. Perawat dapat mengkaji dengan cara : a). Minta pasien menaikkan bahu dengan dan tanpa tahanan b). Minta pasien untuk memutarkan kepala ke kedua sisi secara bergantian. c). Dorong dagu ke belakang ke arah garis lurus d). Dorong kepala ke depan dan lawan dengan tahanan

48 35 11) N. XII (Hipoglosus). Merupakan saraf motorik yang mempersarafi lidah. Perawat dapat mengkaji dengan cara: minta pasien untuk membuka mulut lebar-lebar dan lidah dikeluarkan dan dengan cepat lidah digerakkan ke kiri kanan, keluar- ke dalam, amati adanya deviasi. Minta pasien untuk mendorong lidahnya ke daerah pipi dan apakah ada tekanan di daerah luar. Kemungkinan keabnormalan yang ditemukan dapat disebabkan kerusakan pembuluh darah besar di daerah leher. c. System motorik Pemeriksaan yang teliti pada sistem motorik mencakup pengkajian pada ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, koordinasi dan keseimbangan. Pasien diinstruksikan untuk berjalan menyilang di dalam ruangan, sementara pengkaji mencatat postur dan gaya berjalan. Lihat keadaan ototnya, dan bila perlu lakukan palpasi untuk melihat ukuran dan keadaan simetris. 1) Kekuatan Otot. Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan pasien untuk melakukan fleksi dan ekstensi ekstremitas sambil dilakukan penahanan. Fungsi pada otot individu atau kelompok otot dievaluasi deugan cara menempatkan otot pada keadaan yang tidak menguntungkan. Adapun penilaian kekuatan otot adalah sebagai berikut: a) Nilai 5: Gerakan normal penuh menentang gravitasi degan penahanan penuh

49 36 b) Nilai 4: Gerakan normal penuh menentang gravitasi degan sedikit penahanan c) Nilai 3: Gerakan normal menentang gravitasi d) Nilai 2: Gerakan otot penuh menentang gravitasi dengan sokongan e) Nilai 1: Tidak ada gerakan, tapi terlihat kontraksi otot f) Nilai 0: Paralisis otot 2) Keseimbangan dan Koordinasi Pengaruh serebelum pada sistem motorik terlihat pada kontrol keseimbangan dan koordinasi. Koordinasi tangan dan ekstremitas atas dikaji dengan cara meminta pasien melakukan gerakan cepat, berselangseling, dan uji menunjuk satu titik ke titik lain. Pertama, pasien diminta untuk menepukkan tangan ke paha secepat mungkin. Masing-masing tangan diuji secara terpisah. Kemudian pasien diinstruksikan untuk membalikkan tangan dari posisi telentang ke posisi telungkup dengan gerakan cepat. 3) Tes Romberg Tes Romberg, adalah pemeriksaan pengukuran untuk keseimbangan. Pasien berdiri dengan menggunakan sam kaki dengan taügan diturunkan pada sisi yang sama, sementara kaki yang satu diangkat dan tangan yang satunya dinaikkan ke atas, mula-mula kedua mata terbuka dan kemudian kedua mata tertutup selama 20 sampai 30 detik. Penguji berdiri dekat pasien dan meyakinkan pasien bahwa ia siap menyokong pasien jika pasien akan jatuh. Bila sedikit goyang adalah normal. Selain tes serebelum

50 37 untuk keseimbangan pada saat pasien berjalan termasuk juga melompat di tempat, menekuk lutut selang seling, dan berjalan dengan tumit dan kaki. d. System sensorik Sistem sensorik lebih kompleks dan sistem motorik karenä modal dan sensori mempunyai perbedaan traktus, lokasi pada bagian yang berbeda pada medula spinalis. Pengkajian sensori adalah secara subjektif, dengan luas dan membutuhkan kerja sama pasien. Dianjurkan penguji mengenali penyebaran saraf perifer yang berasal dan medula spinalis. 1) Sensasi taktil Dikaji dengan menyentuh lembut gumpalan kapas pada masing-masing sisi tubuh. Sensitivitas ekstremitas bagian proksimal dibandingkan dengan bagian distal. 2) Sensasi nyeri dan suhu Sensasi nyeri dan suhu ditransmisi bersama di bagian lateral medula spinalis. Sehingga sensasi suhu tidak perlu dalam keadaan ini. Nyeri superfisial dapat dikaji dengan menentukan sensitivitas pasien terhadap objek yang tajam. Pasien diinstruksikan untuk membedakan antara ujung yang tajam dan tumpul dengan menggunakan lidi kapas yang dipatahkan atau spatel lidah, untuk keamanan hindari penggunaan peniti karena dapat nierusak integritas kulit. Kedua sisi objek tajam dan tumpul digunakan

51 38 dengan intensitas yang sama pada semua pelaksanaan dan kedua sisi diuji dengan simetris. 3) Vibrasi dan propriosepsi Getaran dan propriosepsi ditransmisi bersama-sama pada bagian posterior medulla. Getaran dapat dievaluasi melalui penggunaan garpu tala frekuensi rendah (128 atau 256 Hertz). Letakkan garpu tala yang bergetar pada sebuah tulang yang menonjol dan pasien ditanya apakah ia merasakan sensasi dan instruksikan untuk memberi tanda pada penguji bila sensasi dirasakan. Jika pasien tidak merasakan getaran pada tulang yang menonjol bagian distal, penguji menaikkan getaran garpu tala sampai dirasakan Idien. Setelah semua pengukuran sensasi, dibuat perbedaan dan sam sisi ke sisi yang lain. 4) Merasakan posisi Merasakan posisi, dapat ditentukan dengan menanyakan pasien saat pasien tertutup matanya, kemudian jan kaki digerakkan ke arah mana pasien mampu menunjukkan dengan gerakan. Vibrasi dan sensasi posisi sering hilang bersamaan, sering terjadi di mana yang lain masih berfungsi. 5) Integrasi sensasi Integrasi sensasi, di otak perlu dievaluasi. Hal ini dapat dilakukan dengan membedakan dua titik. Jika pasien disentuh dengan dua objek tajam

52 39 bersamaan pada posisi tubuh yang berlawanan, apakah pasien merasakan dua atau sam sentuhan? Pasien dengan keadaan normal melaporkan bahwa sentuhan itu ada pada dua tempat. Jika hanya satu tempat yang dilaporkan, yang satunya tidak diakui, hal ini menunjukkan terjadi kepunahan (extinction). Uji yang baik terhadap kemampuan sensorik kortikal yang lebih tinggi adalah stereognosis. Pasien diinstruksikan untuk menutup kedua mata dan mengidentifikasi variasi objek (seperti kunci atau uang logam) yang ditempatkan pada satu tangan oleh penguji. e. Status reflek Refleks motorik merupakan kontraksi yang tidak disadari dan respons otot atau kelompok otot yang meregang tibatiba dekat daerah otot yang dirangsang. Tendon terpengaruh langsung dengan palu refleks atau secara tidak lang- sung melalui benturan pada ibu jan penguji yang ditempatkan rekat pada tendon. Uji refleks ini memungkinkan orang yang menguji dapat mengkaji lengkung refleks yang tidak disadari, yang bergantung pada adanya reseptor bagian aferen, sinaps spinal, serabut eferen motorik dan adanya beberapa pengaruh perubahan yang bervariasi pada tingkat yang lebih tinggi. Biasanya refleks yang dapat diuji mencakup refleks bideps, brakhioradialis, triseps, patela, dan pergelangan kaki (atau Achilles)

53 40 Derajat reflek mempunyai nilai antara 0 sampai 4+. Adapun penilian derajat reflek adalah sebagai berikut: 4 +: hiperaktif dengan kionus terus menerus 3 +: hiperaktif 2 +: normal 1+ : hipoaktif 0: tidak ada refleks 1) Refleks Biseps. Refleks biseps didapat melalui peregangan tendon biseps pada saat siku dalam keadaan fleksi. Orang yang menguji menyokong lengan bawah dengan satu tangan sambil menempatkan jari telunjuk dengan menggunakan palu refleks. 2) Refleks Triseps Pemeriksaan refleks triseps dilakukan dengan cara lengan pasien difleksikan pada siku dan diposisikan di depan dada. Pemeriksan menyokong lengan pasien dan mengidentifikasi tendon triseps dengan mempalpasi 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pemukulan langsung pada tendon normalnya menyebabkan kontraksi otot triseps dan ekstensi siku.

54 41 3) Refleks Brakhioradialis Pada saat pengkajian refleks brankhioradialis, penguji meletakkan lengan pasien di atas meja laboratorium atau disilangkan di atas perut. Ketukan palu dengan lembut 2,5 sampai 5 cm di atas siku. Pengkajian ini dilakukan dengan lengan dalam keadaan fleksi dan supinasi. 4) Refleks Patella Refleks patella ditimbulkan dengan cara mengetok tendon patella tepat di bawah patella. Pasien dalam keadaan duduk atau tidur telentang. Jika pasien telentang, pengkaji menyokong kaki untuk memudahkan relaksasi otot. Kontraksi quadriseps dan ekstensi lutut adalah respons normal 5) Refleks Ankle Pemeriksaan refleks ankle dilakukan dengan posisi pergelangan kaki dalam keadaan rileks, kaki dalam keadaan dorsi fleksi pada pergelangan kaki dan palu diketok pada bagian tendon Achilles. Refleks normal yang muncul adalah fleksi pada bagian plantar. Jika pepguji tidak dapat menimbulkan refleks pergelangan kaki dan kemungkinan tidak dapat rileks, pasien diinstruksikan untuk berlutut pada sebuah kursi atau tingginya sama dengan penguji.

55 42 6) Refleks Kontraksi Abdominal Refleks superfisial yang ada ditimbulkan oleh goresan pada kulit dinding abdomen atau pada sisi paha untuk pria. Hasil yang didapat adalah kontraksi yang tidak disadari otot abdomen, dan selanjutnya menyebabkan skrotum tertarik. 7) Respons Babinski Refleks yang diketahui jelas, sebagai indikasi adanya penyakit SSP yang mempengaruhi traktus kortikospinal, disebut respons Babinski. Bila bagian lateral telapak kaki seseorang digores, maka terjadi kontraksi kaki dan menarik bersama-sama. Pasien yang mengalami penyakit susunan saraf pusat pada sistem motorik, jari-jari kaki menyebar dan menjauh. Keadaan mi normal pada bayi tetapi bila ada pada orang dewasa keadaan mi abnormal. Beberapa variasi refleks-refleks lain memberi informasi. Dan yang lainnya juga perlu diperhatikan tetapi tidak memberi inforrnasi yang teliti. 3. Diagnosa keperawatan a. Defenisi Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah-masalah keseahtan/proses kehidupan yang actual atau potensial (Nanda, 2005, dalam Craven & Hirnle,

56 , hlm.171). Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan intervensi untuk mencapat hasil yang menjadi tanggung gugat perawat. Menurut Carpenito (1997, hlm.45). Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menguraikan respon manusiawi (keadaan kesehatan atau pola interaksi yang bergantian antara actual dan potensial) dari individu atau kelompok di mana perawat dapat secara legal mengidentifikasi dimana perawat dapat meminta suatu intervensi yang pasti untuk memelihara keadaan kesehatan, untuk mengurangi, menghilangkan atau mencegah perubahan b. Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan 1) Klasifikasi data dan analisa data Data tersebut bisa diperoleh dari keadaan baik yang tidak sesuai atau pun sesuai dengan standar criteria yang sudah ada. Untuk itu perawat harus jeli dan memahami tentang standar keperawatan sebagai bahan perbandingan, apakah keadaan kesehatan pasien sesuai atau tidak dengan standar yang ada. Pengelompokan data bisa berdasarkan pola respon manusia (taksonomi NANDA) atau pola fungsi kesehatan (Gordon) 2) Interpretasi data a) Menentukan kelebihan Pasien Jika pasien memenuhi standar kriteria kesehatan, perawat kemudian menyimpulkan bahwa pasien memiliki kelebihan dalam hal tertentu

57 44 dan kelebihan tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan atau membantu memecahkan masalah pasien yang dihadapinya. b) Menentukan masalah Pasien Jika pasien tidak memenuhi standar kriteria, maka pasien tersebut mengalami keterbatasan dalam aspek kesehatannya dan memerlukan pertolongan. c) Menentukan masalah Pasien yang pernah dialami Pada taham ini penting untuk menentukan masalah potensial pasien. Misal, adanya tanda-tanda infkesi pada luka, tetapi tes laboratorium tidak menunjukkan kelainan, sesuai dengan teori maka akan timbul suatu infeksi. Perawat kemudian menyimpulkan bahwa daya tahan tubuh pasien tidak mampu melawan infeksi. d) Menentukan keputusan (1) Tidak ada masalah tapi perlu peningkatan status dan fungsi (2) Masalah yang kemungkinan terjadi (3) Masalah actual atau resiko atau sindrom (4) Masalah kolaboratif 3) Validasi data a) Apakah data dasar mencukupi, akurat dan berasar dari beberapa konsep keperawatan? b) Apakah data yang signifikan menunjukkan gangguan pola? c) Apakah ada data-data subyektif dan objektif mendukung terjadinya gangguan pola pada pasien?

58 45 d) Apakah diagnosa keperawatan yang ada berdasarkan pemabahan ilmu keperawatn dan keahlian klinik? e) Apakah diagnosa keperawatan yang ada dapat dicegah, dikurangi dan diselesaikan dengan melakukan tindakan keperawatan yang independent? 4) Perumusan diagnoa keperawatan Setelah perawat mengelompokkan, mengidentifikasi data-data yang signifikan maka tugas perawat pada tahap ini adalah merumuskan suatu diagnosa keperawawatan. Perumusan diagnosa keperawatan terdiri dari aktual, resiko, kemungkinan (possible) dan perbaikan (wellness). (Craven & Hirnle, 2008). a) Aktual Menjelaskan masalah nyata saat ini dengan data klinik yang ditemukan. Syarat menegakkan diagnosa ini harus ada unsur masalah, penyebab dan tanda gejala. Contoh: Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan secara abnormal, ditandai dengan muntah, diare, turgor jelek selama 3 hari. b) Resiko Menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi. Syarat menegakkan diagnosa ini ada unsur masalah, dan etiologi. Contoh: Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan diare yang terus menerus.

59 46 c) Kemungkinan (Possible) Menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan masalah keperawatan kemungkinan. Pada keadaan ini masalah dan faktor pendukung belum ada tapi sudah ada faktor yang dapat menimbulkan masalah. Syarat menegakkan diagnosa ini adanya unsure masalah dan faktor yang mungkin dapat menimbulkan masalah tapi belum ada. Contoh: Kemungkinan gangguan konsep diri; rendah diri berhubungan dengan diare. d) Perbaikan (wellness) Diagnosa perbaikan adalah keputusan klinik tentang keadaan individu, keluarga dan masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi. Syarat menegakkan diagnosa ini harus ada sesuatu yang menyenangkan pada tingkah kesejahteraan yang lebih tinggi dan adanya status dan fungsi yang efektif. Contoh: potensial peningkatan hubungan dalam keluarga ( Ollivieri,1991; Crisp & Jackie, 2001; Potter & Perry, 2006; Craven, F.R, & Hirnle, J.C. 2007). Pada Pasien dengan stroke fase akut, banyak sekali diagnosa keperawatan yang bisa muncul baik aktual, resiko, kemungkinan dan perbaikan. Diagnosa keperawatan yang menjadi fokus perhatian perawat pada masa akut tanpa mengabaikan diagnosa yang lain adalah diagnosa aktual karena menjadi prioritas yang harus segera di tangani dan sangat menentukan kondisi pasien selanjutnya.

60 47 Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005; Ignativius & Workman, 2006; Hickey, 2003; Lemone & Burke, 1996; Polaski & Tatro,1996), dari hasil data pengkajian ditemukan diagnosa keperawatan aktual yang sering muncul pada fase akut adalah: 1) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran. 2) Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK. 3) Perubahan persepsi atau sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan penurunan kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan penglihatan. 4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau penurunan kesadaran. 5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 6) Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia. 7) Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular. 8) Inkontinensia uri dan alvi berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi. 9) Gangguan proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah

61 48 10) Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke C. NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale) NIHSS adalah suatu pengkajian yang dilakukan pada pasien stroke fase akut untuk melihat tingkat keparahan kerusakan neurologis. Skala ini juga bisa digunakan untuk untuk melihat kemajuan hasil perawatan fase akut dimana penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat masuk (hari pertama perawatan) dan saat keluar dari perawatan. Perbedaan nilai saat masuk dan keluar dapat dijadikan salah satu patokan keberhasilan perawatan. NIHSS dikembangkan oleh para peneliti (Brott, et. al, 1989; Goldstein, et.al, 1989) dari Universitas of Cincinati Stroke Center dan telah dipakai secara luas pada berbagai variasi terapi stroke. Tahun 1994 di lakukan revisi oleh Lyden et.al. Validasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti (Brott, et. al, 1989; Goldstein, et.al, 1989; Haley, 1993) dan dikatakan mempunyai reliabilitas tinggi dari beberapa kalangan antara lain dari para neurolog, dokter dan perawat mahir stroke. Menurut Smeltzer & Bare (2008); Black & Hawks, (2005), nilai NIHSS adalah antara 0-42, terdiri dari 11 komponen. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: ( Lampiran 2 ) D. ESS (Eropean Stroke Scale) ESS adalah suatu pengkajian yang dilakukan pada pasien stroke fase akut untuk melihat keadaan pasien secara khusus. ESS dikembangkan oleh Hanton, et.al,

62 49 (1994), berisikan 14 komponen penilaian yang spesifik dan prognostik terhadap pasien stroke akut yang mengalami pendarahan arteri dibagian tengah. Hasil penelitan Hanton, et.al,. (1994) dan Muir, et.al, (1996), disimpulkan bahwa metode ESS berguna untuk melihat perkembangan pasien stroke akut, dapat dilakukan dengan cepat, mudah dipelajari dan skor yang dipakai sederhana, sensitivitas 0,70 (95% CI, 0,62 0,77), spesifisitas 0,89 (95% CI, 0,85 0,93) dan mempunyai hubungan yang erat dengan skala pengukuran lain seperti MCA Neurological Scale, The Canadian Stroke Scale, The Scandinavian Stroke Scale, The Bartel Index, The Rankin Scale. Menurut Edwards, (2007), nilai ESS adalah antara 0 100, terdiri dari 14 komponen. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: ( Lampiran 3 ). E. Kerangka Teori Kerangka teori pada penelitian ini akan membahas tentang pengkajian neurologi yang spesifik menggunakan metode NIHSS dan ESS dapat membantu menegakkan diagnosa keperawatan yang aktual atau utama pada pasien stroke berat fase akut. Pengkajian sistem saraf mulai dilakukan perawat saat pasien masuk ke rumah sakit atau ruang perawatan (Polaski & Tatro, 1996, hlm.321). Pengkajian neurologi termasuk jenis pengkajian fokus karena pengkajian ini mempunyai ruang lingkup yang lebih spesifik yaitu sistem persarafan saja dan memerlukan waktu yang cepat. Pengkajian neurologi juga termasuk jenis pengkajian darurat yang mengidentifikasi situasi yang menyakut penyelamatan nyawa Pasien

63 50 karena penyelamatan nyawa menjadi prioritas utama. Pengumpulan data pada pengkajian neurologis dilakukan dengan teknik wawancara, observasi dan pemeriksaan fisik dengan teknik pemeriksaan review of system (khusus sistem tubuh persarafan). Pengkajian yang baik akan menghasilkan diagnosa keparawatan yang tepat sehingga sangat membantu dalam proses keperawatan selanjutnya Skema Kerangka Teroritis Pengkajian dengan metode NIHSS & ESS Wawancara Pemeriksaan fisik Observasi review of system (sistem persyarafan) Data subjektif Pengelompokan data Data objektif Validasi tanda dan gejala mayor Diagnosa Aktual Sumber: Model diagnosa keperawatan aktual (Carpenito, 1997; dan Nursalam, 2001)

64 BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini adalah berdasarkan konsep tipe diagnosa keperawatan (Carpenito, 1997) dan Nursalam (2001). Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien dengan stroke, (AANN, 2004, hlm.6). AHA dan NSA memberikan rekomendasi dalam memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3-6 jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang. Selama fase akut pemeriksaan neurologi tetap dipertahankan untuk memberikan data tentang kondisi pasien saat itu juga (Smeltzer & Bare, 2008, hlm.2215). Metode Pengkajian harus lengkap dan akurat untuk digunakan sebagai dasar pengkajian selanjutnya (Black & Hawks, 2005, hlm.2116). Pengkajian yang bersifat fokus dan darurat pada pasien stroke berat fase akut menggunakan metode NIHSS dan ESS sangatlah penting untuk mencegah kerusakan jaringan otak yang lebih parah dan mempercepat kematian karena data hasil pengkajian tersebut digunakan untuk kelanjutan proses perawatan. Hasil pengkajian 51

65 52 ini, diharapkan dapat menghasilkan rumusan diagnosa keperawatan aktual yang tepat terhadap pasien dengan stroke berat fase akut sehingga intervensi dan implementasi keperawatan dapat dilakasanakan sedini mungkin. Berdasarkan konsep-konsep diatas, maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut : Skema 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Variabel Dependen Pengkajian neurologis pada pasien stroke fase akut Metode NIHSS Metode ESS 11 komponen yaitu: 1. Tingkat Kesadaran, menjawab pertanyaan, mengikuti perintah 2. Pandangan/tatapan mata 3. Penglihatan 4. Kelemahan Wajah 5. Motorik lengan kanan / kiri 6. Motorik kaki kiri / kanan 7. Ataksia anggota badan 8. Sensorik 9. Bahasa terbaik 10. Disartria 11. Unilateral negleg 14 komponen yaitu: 1. Tingkat kesadaran: 2. Pengertian 3. Bicara 4. Pandangan mata: 5. Tatapan mata: 6. Gerakan wajah: 7. Lengan tangan menahan posisi 8. Peningkatan gerak lengan tangan 9. Keluasan gerakan pergelangan tangan 10. Jari 11. Kaki (mempertahankan posisi): 12. Kaki (fleksi) 13. Dorsofleksi pada kaki: 14. Gaya berjalan 10 buah diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran. 2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK 3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan perubahan tingakt kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan penglihatan 4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau perubahan tingkat kesadaran 5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan defisit neurologi 6. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia 7. Kelemahan menelan berhubungan kelemahan neuromuskular (disphagia) 8. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi. 9. Gg proses pikir berhubungan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah 10. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke

66 53 B. Hipotesis Ho: Tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase akut. Ha: Ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan yang actual pada pasien stroke fase akut. C. Definisi Operasional Dibawah ini akan diuraikan mengenai definisi operasional, cara ukur, hasil ukur dan skala pengukuran yang akan digunakan untuk masing-masing variabel penelitian. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam menentukan metodelogi untuk melakukan analisis terhadap variabel-variabel yang diteliti. Tabel 3.1. Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur Variabel Penelitian Variabel Definisi Penelitian Operasional Independen : Cara Ukur Hasil ukur Skala Metode pengkajian NIHSS dan ESS NIHSS adalah suatu format pengkajian neurologis yang terdiri dari 11 komponen sedangkan ESS adalah Suatu format pengkajian neurologis yang terdiri dari 14 komponen Studi pengkajian dengan metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen yaitu: 1. Tingkat Kesadaran, menjawab pertanyaan, mengikuti perintah 2. Pandangan/tatapan mata 3. Penglihatan 1) Nilai NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale Rasio

67 54 Variabel Penelitian Independen : Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala 4. Kelemahan Wajah 5. Motorik lengan kanan / kiri 6. Motorik kaki kiri / kanan 7. Ataksia anggota badan 8. Sensorik 9. Bahasa terbaik 10. Disartria 11. Unilateral negleg Metode ESS yang terdiri dari 14 komponen yaitu: 1. Tingkat kesadaran 2. Pengertian 3. Bicara 4. Pandangan mata 5. Tatapan mata 6. Gerakan wajah 7. Mempertahankan posisi lengan tangan 8. Peningkatan gerak lengan tangan 9. Keluasan grakan pergelangan tangan 10. Jari 11. Kaki (mempertahankan posisi): 12. Kaki (fleksi) 13. Dorsofleksi pada kaki: 14. Gaya berjalan 1. Nilai ESS (Eropean Stroke Scale )

68 55 Variabel Penelitian Dependen Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur Skala Diagosa aktual pada stroke berat fase akut Diagnosa yang menunjukkan masalah yang ada dari pengkajian pada pasien stroke fase akut yang terdiri dari: 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk sebagai akibat sekunder dari ketidaksadaran. Studi dokumentasi dengan menghitung jumlah diagnosa aktual yang diperoleh dari hasil pengkajian tiap komponen Jumlah diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh antara 1-10 buah pada pasien stroke berat fase akut Interval 2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK (Lampiran 4 dan lampiran 5) 3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan perubahan tingakt kesadaran, gangguan sensasi atau gangguan penglihatan 4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau perubahan tingkat kesadaran 5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan defisit neurologi

69 56 Variabel Penelitian Dependen Definisi Operasional Cara Ukur Hasil ukur 6. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia 7. Kelemahan menelan berhubungan kelemahan neuromuskular 8. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan mobilitas, gangguan kognitif, gangguan komunikasi. 9. Gangguan proses pikir berhubungan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah 10. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke Skala

70 57 BAB IV METODE PENELITIAN A. Disain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain pra-eksperimen postest only design. Dalam rancangan ini perlakuan atau intervensi yang dilakukan (X), kemudian dilakukan pengukuran observasi atau postest (02). Rancangan ini sering juga disebut The one shot case study (Notoatmodjo, 2002, hlm.163). Dalam rancangan ini sama sekali tidak ada kontrol dan hasil observasi hanya memberikan informasi yang bersifat deskriptif. Rancangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Skema 4.1. Desain penelitian Eksperimen X 1 1 NIHSS Postest 02 1 X3 X ESS Keterangan: Pengambilan data dilakukan pada setiap pasien stroke berat pada fase akut. Setiap pasien dilakukan dengan dua metode pengkajian.

71 58 (X1 1 ): pengkajian metode NIHSS (X1 2 ): pengkajian metode ESS (02 1 ): jumlah perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode NIHSS (02 2 ): jumlah perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode ESS (X 3 ): perbandingan (02 1 ) dengan (02 2 ) B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien stroke yang masuk ke ruang perawatan saraf pada fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Sampel penelitian dengan kriteria inklusi sebagai berikut: pasien stroke berat dengan nilai NIHSS lebih dari 15 pada fase akut (1-3 hari masuk ke ruangan perawatan), stroke hemoragik dan non hemoragik. Adapun kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pasien stroke ringan dan sedang, pasien stroke berat dengan nilai NIHSS kurang dari 15 pada fase akut, pasien stroke berat dengan nilai NIHSS lebih dari 15 pada fase pemulihan. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non Random jenis consecutive sampling, dimana semua pasien yang masuk ke ruang perawatan dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan menjadi sampel penelitian sampai batas waktu penelitian terpenuhi (Sabri & hastono, 2006; Sastroasmoro & Ismael, 2006). Setelah dilakukan penelitian selama 4 minggu didapat 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi sehingga jumlah sampel yang menjadi subyek penelitian berjumlah 18 responden.

72 59 C. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati Jakarta dengan alasan rumah sakit ini merupakan rumah sakit rujukan untuk daerah Jakarta dan sekitarnya sehingga banyak pasien stroke yang di rawat di rumah sakit tersebut. Ruangan yang digunakan adalah ruangan IGD, ICU, Unit stroke dan kelas III penyakit saraf. D. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, terhitung mulai minggu keempat bulan April sampai minggu ketiga bulan Mei. Jadual kegiatan yang telah dilakukan dalam penelitian ini secara rinci ada di lampiran 6. E. Etika Penelitian Sebelum pasien menandatangani surat persetujuan menjadi responden (informed consent), peneliti terlebih dahulu menjelaskan tujuan penelitian, petunjuk pengisian kuesioner, hak-hak atas privacy, anonimity, kerahasiaan, self determination dan bebas dari rasa tidak nyaman (Pollit & Hungler, 1999). 1. Self determination. Responden diberi kebebasan untuk memilih apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela. Setelah peneliti menjelaskan maksud, tujuan serta prosedur penelitian pasien atau keluarganya diberikan kebebesan untuk menjadi responden atau tidak. Kalau pasien atau keluarganya setuju maka langsung menandatangi lembar persetujuan responden.

73 60 2. Privacy respondent. Privasi responden dijaga dengan ketat dengan cara merahasiakan informasi-informasi yang didapat hanya untuk kepentingan penelitian. Seluruh data responden yang telah didapat dari hasil pemeriksaan dengan metode NIHSS dan ESS disimpan dan dirahasiakan sepenuhnya oleh peneliti. Data tersebut hanya peneliti gunakan dalam proses penelitian. 3. Anonymity. Selama penelitian nama responden tidak digunakan diganti dengan nomor responden. Dalam pengisian data pada instrumen penelitian, nama pasien tidak dicantumkan tetapi hanya inisial saja. Sebagai contoh Tn.A, Ny.B dan seterusnya. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dari responden. 4. Confidentiality. Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi yang diberikan. Selama proses penelitian, peneliti tidak membuka dan menyebar luaskan identitas responden dan informasi dari hasil pemeriksaan. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan identitas responden dan informasi yang didapat dari hasil penelitian. 5. Protection from discomfort. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan menciptakan suasana yang nyaman agar responden terhindar dari perasaan tidak nyaman dan terancam. Disaat proses pemeriksaan dengan metode NIHSS dan ESS dan menemukan responden yang merasa tidak nyaman maka proses pemeriksaan dihentikan sejenak untuk istirahat sebentar dan dilanjutkan kembali kalau kondisi responden sudah baik dan siap. Responden diberi hak untuk menolak melanjutkan kembali pemeriksaan tersebut atau membatalkan menjadi responden apabila pemeriksaan ini dianggap membahayakan responden.

74 61 F. Alat Pengumpul Data Alat pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan format pengkajian metode NIHSS dan ESS yang terdiri: 1. Data demografi, yang terdiri dari: tanggal dan jam pengkajian, inisial responden, umur, jenis kelamin dan jenis stroke. 2. Pengkajian metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen, pengkajian metode ESS yang terdiri dari 14 komponen, data hasil pengkajian metode NIHSS dan ESS, konversi data hasil pengkajian NIHSS dan ESS ke diagnosa keperawatan aktual. G. Prosedur Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, dilakukan oleh peneliti sendiri. Langkah-langkah pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tahap persiapan Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari pembimbing penelitian, uji etik oleh komite etik di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dan Direktur RSUP Fatmawati Jakarta. Setelah itu, peneliti melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan instansi terkait, perawat serta tenaga kesehatan lainnya di ruangan IGD, ICU, Unit stroke dan kelas III penyakit saraf RSUP Fatmawati Jakarta.

75 62 2. Tahap pelaksanaan Sebelum pengambilan data, peneliti terlebih dahulu berdiskusi dengan perawat di ruangan untuk memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi. Setelah itu peneliti menemui pasien dan keluarga untuk memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan penelitian, petunjuk pengisian kuesioner, hak-hak atas self determination, privacy, anonimity, confidentiality dan protection from discomfort. Adapun tahap pengambilan data adalah sebagai berikut: a. Setiap responden dilakukan dua kali pengkajian yaitu menggunakan metode NIHSS dan ESS. Tahap pertama pengkajian mengunakan metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen (terlampir). Setelah itu 15 menit kemudian dilakukan pengkajian menggunakan metode ESS yang terdiri dari 14 komponen (terlampir). Hasil pengkajian berupa data kelainan neurologi yang terdapat pada komponen penelitian dari metode NIHSS dan ESS. b. Terhadap hasil pengkajian metode NIHSS dan ESS dilakukan analisis untuk perumusan diagnosa keperawatan aktual. c. Setiap responden dihitung jumlah diagnosa keperawatan aktual yang diidentifikasi berdasarkan hasil pengkajian NIHSS dan ESS. Diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dari tiap komponen bisa berjumlah 0 sampai 5 buah dan jumlah total dari metode NIHSS dan ESS bisa berjumlah 1-10 buah. d. Diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dari metode NIHSS dan ESS di bandingkan.

76 63 H. Analisis Data Pengolahan dan analisis data hasil penelitian dilakukan dengan cara: 1. Pengolahan data a. Editing Memeriksa kelengkapan, kejelasan jawaban, relevansi dan konsistensi data. Hasil pengkajian dari setiap respoden yang telah diisi pada intrumen penelitian diperiksa kembali satu persatu untuk memastikan kelengkapan dan kejelasan hasil pemeriksaan sehingga data yang di dapat relevan dengan kondisi pasien saat itu juga. b. Coding Merubah atau mengkonversi data ke dalam bentuk kode sehingga mempermudah saat meng-entry dan menganalisis data. Data yang sudah diperoleh pada tiap komponen pemeriksaan dikonversi menjadi jumlah diagnosa aktual yang muncul pada tiap komponen pemeriksaan dari metode NIHSS dan ESS. c. Processing Memproses data yang dilakukan dengan cara meng-entry data dari hasil pengkodean dengan bantuan komputer menggunakan program pengolahan data statistik. Mengolah hasil jumlah diagnosa aktual yang muncul dari metode NIHSS dan ESS menggunakan program komputer dengan Uji Tanda Wilcoxon.

77 64 d. Cleaning Memeriksaan kembali data yang telah di- entry untuk memastikan semua prosedur pengumpulan data dilakukan dengan baik dan benar. 2. Analisis data a. Analisis pertama menggunakan univariat dilakukan pada Nilai NIHSS, ESS dan diagnosa keperawatan aktual yang muncul dari hasil pengkajian dengan metode NIHSS dan ESS. Dari hasil analisis ini akan diperoleh distribusi frekuensi dan persentase dari masing-masing komponen. Dengan demikian, diperoleh gambaran karakteristik dari masing-masing variabel. b. Analisis kedua menggunakan Uji Korelasi untuk mengetahui keeratan hubungan antara nilai NIHSS dan ESS terhadap diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dan Uji Tanda Wilcoxon untuk mengetahui efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. Menurut (Pagano & Gauvreau, 1993; Budiarto, 2002; Sulaiman, 2005), Uji Tanda Wilcoxon digunakan untuk membandingkan dua proporsi melalui dua sampel yang berpasangan atau satu sampel yang diperlakukan dua kali perlakuan. Adapun cara analisis Uji Tanda pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menentukan derajat kemaknaan, α = ) Melakukan pengkajian dengan metode NIHSS dan ESS pada tiap responden.

78 65 3) Catat perolehan jumlah diagnosa aktualnya pada setiap responden dari pengkajian metode NIHSS dan ESS. Kedua hasil kemudian dibandingkan. 4) Bila metode ESS lebih banyak dalam perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode NIHSS, maka diberi tanda (+) 5) Bila metode ESS lebih sedikit dalam perolehan diagnosa keperawatan aktual dari metode NIHSS, maka diberi tanda (-) 6) Bila metode NIHSS dan ESS sama banyak dalam perolehan diagnosa keperawatan aktual diberi tanda (0). Hasil ini tidak dianalisis. 7) Tanda negatif (-) dijumlahkan = T 8) Lihat tabel Uji Tanda yang sesuai dengan besarnya sampel (n) dan (α). 9) Untuk menolak hipotesis nol maka tanda (-) hasil pengamatan harus dari nilai yang terdapat dalam tabel untuk Uji Tanda (Lampiran 7). Selain analisis Uji Tanda Wilcoxon bisa juga menggunakan rumus Uji Tanda Wilcoxon sebagai berikut: z + = D n/ 2) ( n/ 4) Z + : Perbedaan rata-rata efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut.uji Tanda Wilcoxcon D : Jumlah tanda (+) n/2 : Jumlah mean tanda (+) (n / 4) : Standar deviasi tanda (+) n : Jumlah sampel yang dapat dianalisis, yaitu tanda (+) atau (-).

79 BAB V HASIL PENELITIAN Pada bab ini akan akan dibahas analisis hasil peneltian tentang Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta. Pengumpulan data dilakukan selama 30 hari kerja yaitu dari tanggal 30 April sampai dengan 30 Mei Dari 18 responden diperoleh data distribusi normal. Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer. Tahap pertama penyajian hasil penelitian disajikan dengan analisis univariat meliptui nilai NIHSS, ESS dan diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh dari hasil pengkajian dengan metode NIHSS dan ESS untuk melihat karakteristik dari masing-masing komponen. Tahap kedua dilakukan analisis bivariat Uji Korelasi untuk mengetahui keeratan hubungan nilai NIHSS terhadap diagnosa aktual NIHSS dan nilai ESS terhadap diagnosa aktual ESS, kemudian dilakukan Uji Tanda Wilcoxon untuk mengetahui efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. 66

80 67 A. Analisis Univariat 1. Nilai NIHSS Gambaran nilai hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.1. Nilai Hasil Pengkajian Menggunakan Metode NIHSS dan ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18) Variabel Mean SD Min-Max 95 % CI NIHSS 33,06 6, ,63 36,48 ESS 19,78 17, ,96 28,59 Berdasarkan tabel 5.1, hasil analisis didapatkan nilai NIHSS rata-rata 33,06 (95 % CI: ) dan nilai ESS rata-rata 19,78 (95 % CI: 10,96 28,59), dengan standar deviasi nilai NIHSS 6,89 dan nilai ESS 17,73. Nilai terendah NIHSS adalah 24, nilai ESS adalah 0 dan nilai tertinggi NIHSS adalah 41, nilai ESS adalah 47. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini rata-rata nilai NIHSS antara dan ESS antara 29,63-36,48 pada pasien stroke berat fase akut. 2. Jumlah Diagnosa Keperawatan Aktual dengan Metode NIHSS dan ESS Gambaran jumlah diagnosa keperawatan aktual hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

81 68 Tabel 5.2. Perolehan Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan Metode NIHSS dan Metode ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18) Variabel Mean SD Jumlah Jumlah 95 % CI Minimal n Maksimal n Diagnosa NIHSS , Diagnosa ESS , Berdasarkan tabel 5.2, hasil analisis diperoleh jumlah diagnosa keperawatan aktual menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS rata-rata 9,67 buah (95 % CI: 9,43-9,91), dengan standar deviasi 0,485. Perolehan diagnosa paling sedikit 9 buah berjumlah 6 responden dan paling banyak 10 buah berjumlah 12 responden. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini rata-rata perolehan jumlah diagnosa keperawatan aktual menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS adalah diantara 9,43 9,91 pada pasien stroke berat fase akut. B. Analisis Bivariat 1. Korelasi nilai NIHSS dengan Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS Keeratan hubungan antara nilai NIHSS terhadap diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh pada pasien stroke berat fase akut, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

82 69 Tabel 5.3. Korelasi nilai NIHSS terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan Metode NIHSS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18) VARIABEL Diagnosa NIHSS Nilai NIHSS Diagnosa NIHSS Korelasi Pearson 1 0,904(**) p value 0,000 Nilai NIHSS Korelasi Pearson 0,904(**) 1 p value 0,000 Berdasarkan tabel 5.3, hasil analisis diperoleh nilai r = 0,904 dengan nilai p value = 0,0005. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan bermakna antara nilai NIHSS dengan diagnosa keperawatan aktual NIHSS. Hubungan nilai NIHSS dengan perolehan diagnosa keperawatan sangat kuat atau sempurna dan berpola positif artinya semakin besar nilai NIHSS semakin banyak diagnosa keperawatan aktual yang diperolah pada pasien stroke berat fase akut. 2. Korelasi nilai ESS dengan Diagnosa Keperawatan Aktual ESS Keeratan hubungan antara nilai ESS terhadap diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh pada pasien stroke berat fase akut, dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.4. Korelasi nilai ESS terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Menggunakan Metode ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18) VARIABEL Diagnosa NIHSS Nilai NIHSS Diagnosa ESS Korelasi Pearson 1-0,912(**) p value 0,000 Nilai ESS Korelasi Pearson -0,912(**) 1 p value 0,000

83 70 Berdasarkan tabel 5.4, hasil analisis diperoleh nilai r = -0,912 dengan nilai p value = 0,0005. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan bermakna antara nilai ESS dengan diagnosa keperawatan aktual ESS. Hubungan nilai ESS dengan perolehan diagnosa keperawatan sangat kuat atau sempurna dan berpola negatif artinya semakin kecil nilai ESS semakin banyak diagnosa keperawatan aktual yang diperolah pada pasien stroke berat fase akut. 3. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS Terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Gambaran selisih diagnosa keperawatan aktual yang didapat dari hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dapat dilihat pada tabel di bawah ini : No. Responden Tabel 5.5. Selisih Diagnosa Keperawatan Aktual NIHSS dan ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18) Dianosa Keperawatan aktual NIHSS ESS Selisih Diagnosa Keperawatan Aktual (O2 1 ) - (O2 2 ) X 3 Tanda ( T ) (O2 1 ) (O2 2 )

84 71 Berdasarkan tabel 5.5, hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah diagnosa aktual yang muncul dari hasil pengkajian dengan menggunakan metode NIHSS (O2 1 ) dan metode ESS (O2 2 ) paling sedikit 9 buah dan paling banyak 10 buah. Kemudian selisih diagnosa aktual yang dihasilkan dari masing-masing metode pengkajian (X 3 ) tidak ada. Jumlah tanda negatif (-) dan tanda (+) tidak ditemukan, yang ada hanya tanda (0), hal ini menunjukkan bahwa jumlah diagnosa aktual yang yang dihasilkan dari kedua metode adalah sama sehingga data dari 18 responden tidak bisa dianalisis (n = 0 ) dan ( T = 0 ). Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa dengan n = 0 akan memperoleh nilai h = 0. Maka secara statistik hipotesa nol diterima. Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS terhadap diagnosa keperawatan aktual yang didapat pada pasien stroke berat fase akut dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.6. Efektifitas Metode NIHSS dan ESS Terhadap Diagnosa Keperawatan Aktual Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 (n=18) Variabel Mean SD Min-Max p value Diagnosa NIHSS Diagnosa ESS 9,67 0, ,67 0, ,000 1,000 Berdasarkan tabel 5.6, hasil analisis diperoleh jumlah diagnosa keperawatan aktual menggunakan pengkajian metode NIHSS dan metode ESS rata-rata 9,67 buah, dengan standar deviasi 0,485. Perolehan diagnosa paling sedikit 9 buah dan paling banyak 10 buah. Hasil analisis lebih lanjut didapatkan p value 1,000

85 72 dengan α=0,005. Penelitian ini menyimpulkan bawah tidak ada perbedaan bermakna dalam penggunaan metode NIHSS dan metode ESS untuk pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke. Kedua metode ini sama baiknya untuk merumuskan diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut. C. Analisis Komponen Pengkajian Metode NIHSS dan ESS Gambaran komponen pengkajian metode NIHSS dan ESS dapat terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5.7 Komponen penilaian NIHSS dan ESS Di RSUP Fatmawati Bulan Mei 2008 No. Komponen NIHSS Komponen ESS 1. Derajat kesadaran Derajat kesadaran Menjawab pertanyaan Mengikuti perintah Pengertian/ Mengikuti perintah 2. Gerakan mata konyugat Gerakan mata konyugat horizontal horizontal 3. Lapangan pandang Lapangan pandang Unilateral negleg 4. Paresis wajah dan Sensorik Gerakan wajah 5. Motorik lengan kanan Motorik lengan (kemampuan lengan Motorik lengan kiri tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan) Lengan tangan (peningkatan gerak, tangan dibentangkan dengan posisi 90º vertikal.) Keluasan gerakan pergelangan tangan. 6. Motorik tungkai kanan Motorik tungkai kiri Kemampuan jari mencubit Motorik kaki (mempertahankan posisi) Kaki (fleksi) Dorso fleksi pada kaki 7. Ataksia anggota badan Gaya berjalan 8. Bahasa terbaik Bicara Disartria TOTAL SKOR NIHSS: 0 42 TOTAL SKOR ESS: 0 100

86 73 Berdasarkan tabel 5.7, hasil analisis diperoleh bahwa komponen pemeriksaan pada metode NIHSS juga terdapat pada metode ESS. Dari metode NIHSS yang terdiri dari 11 komponen dan metode ESS yang terdiri dari 14 komponen dapat digabung menjadi 8 komponen yang sama yaitu: derajat kesadaran, gerakan mata konyugat, lapangan pandang, sesorik, motorik tangan, motorik kaki, ataksia anggota badan dan bahasa. Dari analisis tabel diatas dapat disimpulkan bahwa komponen pengkajian metode NIHSS dan metode ESS adalah sama.

87 BAB VI PEMBAHASAN Bab ini akan membahas mengenai hasil-hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilaksanakan serta akan dikaitkan dengan literatur yang ada dan hasil-hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan. Selain itu, juga akan dibahas tentang keterbatasan-keterbatasan penelitian dan implikasi hasil penelitian ini terhadap keperawatan. A. Interpretasi dan Diskusi Hasil Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. Oleh sebab itu, pembahasan hasil penelitian difokuskan pada nilai NIHSS dan ESS, diagnosa aktual yang diperoleh serta efektifitas pengkajian dengan metode ini. Interpretasi dan diskusi hasil penelitian secara lengkap akan dibahas sebagai berikut: 1. Nilai NIHSS dan ESS Berdasarkan analisis data sebelumnya, didapatkan nilai tertinggi dari metode NIHSS adalah 41 dan nilai terendah dari metode ESS adalah 0. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pasien sedang mengalami stroke sangat berat dengan tingkat kesadaran koma. Hasil analisis juga didapatkan nilai terendah NIHSS

88 75 adalah 24 dan nilai tertinggi ESS adalah 47. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pasien sedang mengalami stroke berat dengan tingkat kesadaran somnolen sampai prekoma. Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005) mengatakan bahwa dari 11 komponen pemeriksaan pada metode NIHSS dan 14 komponen pemeriksaan metode ESS terdapat satu komponen yang sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan komponen lain yaitu komponen tingkat kesadaran karena dengan tingkat kesadaran somnolen, prekoma dan koma menunjukkan kondisi pasien dalam keadaan stroke berat sampai sangat berat. Pada pasien stroke berat dengan nilai NIHSS diatas 22 sangat beresiko tinggi terjadinya pendarahan dan hasil akhir yang buruk sehingga akan mengakibatkan gangguan neurologi seperti penurunan kesadaran somnolen sampai dengan koma, hemianopsia, hemiparise, hemiplegi, ataksia, disartria, disphagia, parestesia, apasia, kehilangan memori dan intelektual, emosi tidak stabil (Black & Hawks, 2005; Smeltzer & Bare, 2008). Kondisi seperti ini memberikan tanda bahwa pasien memerlukan perawatan intensif seperti di ruangan ICU atau unit stroke dan dilakukan pemeriksaan NIHSS 1 jam sekali untuk mencegah kerusakan saraf yang lebih parah dan kematian (AANN (2004, hlm.4). Gangguan neurologi yang terjadi akibat stroke, tergantung pada lokasi lesi dan ukuran area infark yang terjadi. Menurut penelitian Bamford J. et.al (

89 76 mengatakan bahwa dari 675 pasien yang mendapat serangan stroke pertama dapat dikelompokkan menjadi Total Anterior Circulation Infarct (TACI) 92 orang (17%), Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) 185 orang (34%), Posterior Circulation Infarct (POCI)129 orang (24%) dan Lacunar Infarct (LACI) 137 orang (25%). Sedangkan hasil penelitian Orgogozo et.al, (1983) menyatakan bahwa, pasien yang mengalami stroke % akan menderita kekacauan mental, gangguan penglihatan dan gangguan sensori. 2. Jumlah Diagnosa Aktual dengan Metode NIHSS dan ESS Jumlah diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut sangat erat kaitannya dengan hasil pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS. Semangkin tinggi nilai NIHSS semangkin banyak diagnosa aktual yang akan diperoleh dan semangkin rendah nilai ESS semangkin banyak diagnosa aktual yang akan diperoleh. Hubungan yang sangat kuat atau sempurna antara nilai NIHSS dengan diagnosa keperawatan aktual terlihat pada r = 0,904 dan nilai ESS dengan diagnosa keperawatan aktual terlihat pada r = -0,912. Hal ini terlihat dari analisis data sebelumnya yaitu pada pasien dengan tingkat kesadaran somnolen akan memiliki nilai NIHSS antara 24 sampai dengan 25 dan nilai ESS antara 41 sampai dengan 47 akan mempunyai 9 diagnosa aktual. Sedangkan pada pasien dengan tingkat kesadaran prekoma dan koma akan memiliki nilai NIHSS antara 32 sampai dengan 41 dan nilai ESS antara 0 sampai dengan 18 akan mempunyai 10 diagnosa aktual. 76

90 77 Menurut (Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2005), menyatakan bahwa pada kondisi prekoma dan koma komponen penilaian yang mengalami gangguan antara lain: derajat kesadaran, gerakan mata konyugat horizontal, lapangan pandang, paresis wajah, motorik lengan dan kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, disartria dan unilateral negleg. Semua penilaian komponen NIHSS dan ESS terisi penuh dengan nilai yang maksimal sehingga diagnosa keperawatan aktual yang diperoleh 10 buah. Sedangkan pada kondisi somenolen semua penilaian komponen NIHSS dan ESS terisi penuh tetapi nilainya tidak maksimal sehingga diagnosa keprawatan aktual yang diperoleh sebanyak 9 buah. Menurut (Hickey, 2003) mengatakan bahwa masalah keperawatan yang akan mucul pada pasien stroke berat fase akut dengan penurunan tingkat kesadaran adalah; gangguan bersihan jalan nafas, perubahan persepsi atau sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik), gangguan komunikasi verbal, gangguan mobilitas fisik, gangguan pola eliminasi uri dan alvi, gangguan proses pikir dan ketidakmampuan merawat diri sendiri. Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS sangat baik dalam perumusan diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke fase akut. Penggunaan metode NIHSS dan ESS untuk membuat diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut belum pernah dilakukan sehingga informasi tentang manfaatnya dalam proses pembuatan 77

91 78 diagnosa keperawatan masih sangat kurang, oleh sebab itu perlu adanya sosialisasi dan pelatihan yang intensif tentang manfaat pengkajian dan kemudahan merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien stroke berat fase akut sehingga perawat unit stroke dapat menggunakan metode ini dengan baik dan benar. 3. Efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS Berdasarkan analisis terdahulu menunjukkan bahwa perolehan jumlah diagnosa aktual menggunakan metode NIHSS dan metode ESS sama banyaknya. Setelah dianalisis lebih lanjut didapatkan bawah metode NIHSS dan ESS sama baiknya untuk merumuskan diagnosa aktual pada pasien stroke berat fase akut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan metode ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase akut pada. Persamaan efektifitas pengkajian pada metode NIHSS dan ESS disebabkan oleh persamaan komponen penilaian yang terdiri dari tingkat kesadaran, gerakan mata konyugat horizontal, lapangan pandang, paresis wajah, motorik lengan, motorik kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, disartria dan unilateral negleg. Walaupun ada sedikit perbedaan elemen pemeriksaan tetapi tujuan sama seperti pada NIHSS komponen paresis wajah, ataksia dan bahasa terbaik sedangkan pada ESS komponen gerakan wajah, gaya berjalan dan bicara sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan ini sama. 78

92 79 Hasil analisis diatas sejalan dengan hasil penelitian Berger et.al, (1999) menyatakan bahwa penggunaan metode NIHSS dapat digunakan untuk melihat kondisi pasien stroke fase akut dengan tingkat reabilitas mean kappa NIHSS 0.80 dan ESS Hasil penelitian ini menunjukkan keakuratan kedua metode ini hampir sama sehingga hasil dari kedua metode pengkajian ini juga akan sama. Hasil penelitian Luo Zuming dan Hu Wanbao (2000), sejalan dengan analisis peneliti yang menyatakan bahwa nilai Bartel Index mempunyai korelasi yang kuat terhadap metode NIHSS ( r = 0,721) dan ESS (r = -,827). Dapat disimpulkan bahwa metode NIHSS dan ESS sama baiknya untuk menilai Bartel Index (Scholar, 2000, Assessment on validity,reliability and simplicity of stroke scales and design ora new scale, 1, diperoleh tanggal 2 Juli 2008). Penelitian lain yang sejalan dengan analisis peneliti adalah hasil penelitian Adam et.al (1999), mengatakan bahwa dengan metode NIHSS didapatkan OR 3,1 (95 % CI: antara 1,5 6,4). Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode NIHSS sangat bagus memprediksi hasil akhir pasien yang menderita stroke dari fase akut sampai fase pemulihan. Sedangkan hasil penelitian Loewen SC & Anderson BA (1990), mengatakan bahwa penggunaan metode ESS mempunyai nilai korelasi (r = 0.83) terhadap Barthel Index. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara nilai ESS terhadap Barthel Index artinya adalah metode ESS dapat menilai kemampuan aktivitas sehari-hari pasien dengan baik. Menurut (Smeltzer & Bare, et.al, 2008; Black & Hawks 2005), mengatakan bahwa pengkajian dengan metode NIHSS dan metode ESS dilakukan dengan tiga 79

93 80 teknik yaitu observasi, wawancara dan pemeriksaan fisik. Pada saat pelaksanaan penelitian ditemukan bahwa penilaian pengkajian metode NIHSS dan ESS pada pasien stroke berat fase akut tidak selamanya dilakukan dengan tiga teknik sekaligus. Pada kondisi koma pemeriksaan hanya dilakukan dengan teknik observasi dan pemeriksaan fisik. Hal ini disebabkan karena pada pasien dalam keadaan koma sulit untuk melakukan teknik wawancara. B. Keterbatasan Penelitian 1. Waktu pemeriksaan instrumen pengkajian Waktu adalah faktor yang sangat penting dalam mengoptimalkan penanganan pasien dengan stroke. Menurut AHA dan NSA memberikan rekomendasi dalam memberikan perawatan harus dilakukan dalam waktu 3-6 jam pertama terkena serangan untuk mendapatkan hasil yang baik saat pasien pulang (AANN, 2004, hlm.6). Menurut Smeltzer & Bare (2008, hlm.2215), mengatakan bahwa fase akut yang dialami pasien stroke antara 1-3 hari. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS pada pasien stroke fase akut sangat bagus jika dilakukan pada waktu 3-6 jam pertama terkena serangan karena dapat mengetahui kondisi pasien secepat mungkin sehingga dapat mencegah komplikasi yang lebih parah dan kematian. Pada saat penelitian, pemeriksaan dengan metode NIHSS dan ESS dilakukan antara 1-3 hari pertama saat pasien masuk ke rumah sakit. Hal ini hal ini terjadi karena sebagian besar responden baru datang ke rumah sakit anatara 6-24 jam 80

94 81 setelah terjadinya serangan. Disisi lain penelitian ini hanya dilakukan oleh peneliti sendiri dan peneliti tidak menetap di ruangan 24 jam dimana tempat penelitian ada 4 ruangan yaitu IGD, ICU, Unit Stroke dan ruangan perawatan saraf kelas III. Hal ini berdampak pada keterlambatan data yang diperoleh dari hasil pengkjian dengan metode ini sehingga penanganan keperawatan untuk mengurangi komplikasi akibat stroke dan berupaya mengembalikan keadaan penderita kembali normal seperti sebelum serangan stroke agak sulit dilakukan. C. Implikasi Untuk Keperawatan Berdasarkan hasil beberapa uraian pada bab ini, peneliti berpendapat bahwa penggunaan metode NIHSS dan ESS sangat bagus untuk menentukan diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut dan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas penggunaan metode NIHSS dan ESS terhadap pembuatan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase akut. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kedua metode ini sama-sama baik untuk dipakai dalam proses pengkajian syaraf pada pasien stroke berat fase akut. 81

95 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan dan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Pengkajian dengan metode NIHSSS dan ESS sangat baik untuk melihat perkembangan pasien stroke fase akut. Kedua metode ini dapat melihat tingkat keparahan gangguan sistem saraf termasuk perubahan-perubahan pada gangguan system saraf dari waktu ke waktu dari nilai total yang didapat pada masingmasing metode pengkajian. Penilaian ini meliputi pengkajian perubahan tingkat kesadaran, gerakan mata konyugat horizontal, lapangan pandang, paresis wajah, motorik lengan, motorik kaki, ataksia anggota badan, sensorik, bahasa, disartria dan unilateral negleg. 2. Terdapat hubungan yang sangat kuat antara nilai NIHSS (r = 0,904) dan nilai ESS (r = -0,912) terhadap diagnosa aktual yang diperoleh. Hal ini terlihat pada pasien dengan tingkat kesadaran somnolen memiliki nilai NIHSS antara 20 sampai dengan 25 dan nilai ESS antara 41 sampai dengan 47 memiliki 9 diagnosa aktual. Sedangkan pada pasien dengan tingkat kesadaran prekoma dan koma memiliki nilai NIHSS antara 32 sampai dengan 41 dan nilai ESS antara 0 sampai dengan 18 memiliki 10 diagnosa aktual. 82

96 83 3. Tidak ada perbedaan efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. Dari metode NIHSS terdapat 11 komponen dan ESS terdapat 14 komponen penilaian. Sekilas terlihat komponen penilain yang dilakukan pada kedua metode ini berbeda, tetapi setelah di interpretasikan ternyata penilaiannya sama. Dengan kata lain, kedua metode ini sama-sama baik dalam perumusan diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke fase akut pada derajat kemaknaan Pengkajian metode NIHSS dan ESS pada pasien stroke berat fase akut dalam keadaan koma tidak dapat dilakukan dengan tiga teknik sekaligus (wawancara, observasi, pemeriksaan fisik) tetapi bisa dilakukan dengan dua teknik yaitu observasi dan pemeriksaan fisik. Hal ini disebabkan karena pada pasien dalam keadaan koma sulit untuk melakukan teknik wawancara. B. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti mempunyai beberapa saran sebagai berikut: 1. Teman sejawat perawat a. Menggunakan metode NIHSS atau ESS sebagai salah satu cara dalam melakukan pengkajian system saraf pada pasien stroke karena dengan metode ini hasil pengkajian akan lebih akurat dan diagnosa aktual yang muncul akan lebih tepat sehingga proses asuhan keperawatan akan lebih baik.

97 84 b. Perlu adanya sosialisasi dan pelatihan yang intensif tentang manfaat pengkajian dan kemudahan merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada pasien stroke berat fase akut menggunakan pengkajian metode NIHSS dan ESS. c. Saran tambahan yang bukan dihasilkan dari hasil penelitian. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa metode NIHSS dan ESS sama baiknya dalam membuat diagnosa keperawatan yang aktual pada pasien stroke berat fase akut. Tetapi berdasarkan pengalaman peneliti saat pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS, peneliti menganjurkan untuk menggunakan metode NIHSS karena dapat dilakukan dengan cepat yaitu antara 5 sampai 10 menit, mudah dipelajari dan dilaksanakan, skor yang dipakai sederhana serta cakupan pemeriksaan lebih luas. 2. Pengetahuan Sebagai rujukan khususnya mengenai efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada asuhan keperawatan pasien dengan stroke berat fase akut. 3. Penelitian Sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya yang terkait tentang pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan pada pasien stroke seperti:

98 85 a. Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan aktual pada asuhan keperawatan pasien dengan stroke ringan dan sedang fase akut. b. Efektifitas pengkajian menggunakan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan resiko pada asuhan keperawatan pasien dengan stroke ringan, sedang dan berat fase akut. c. Perbandingan keunggulan dan kelemahan penggunaan metode NIHSS dan ESS dalam pembuatan diagnosa keperawatan aktual dan resiko pada asuhan keperawatan pasien dengan stroke ringan, sedang dan berat fase akut.

99 DAFTAR PUSTAKA AANN. (2004). Guide to the care of the patient with Ischemic Stroke. USA: PDL BioPharma. Adams, H.P Jr., Davis, P.H., Leira, E.C., Chang, K.C., Bendixen, B.H., Clarke, W.R., Woolson, R.F., Hansen, M.Dl. (1999), Baseline NIHSS stroke scale score strongly predicts outcome after stroke: A report of the trial of org in acute stroke treatment (TOAST). Neurology, 53, (1), Bamford, J., Sandercock, P., Dennis, M., Burn, J., Warlow, C., (1991), Classification and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction Lancet, 337, (8756), Bates, Barbara, (1998), Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan, edisi 2, Jakarta: EGC Budiarto, E. (2002), Biostatistik untuk kedokteran dan kesehatan Masyarakat, edisi 1. Jakarta: EGC. Black, M.J & Hawks, H.J. (2005). Medical-surgical nursing: Clinical management for positive outcome. (7 th ed). St.Louis: Elsevier Inc. Berger K, Weltermann B, Kolominsky-Rabas P, Meves S, Heuschmann P, Böhner J, Neundörfer B, Hense HW, Büttner T. (1999), The reliability of stroke scales. The german version of NIHSS, ESS and Rankin scales. Fortschr Neurol Psychiatri. 67(2), Brott, T., Adams, H.P., Olinger, C.P., Marler, J.R., Barsan, W.G., Biller, J., Spilker, J., Holleran, R., Eberle, R., Hertzberg, V., Rorick, M., Moomaw, C.J., Walker, M., (1989), Measurements of acute cerebral infarction: a clinical examination scale. Stroke, (20), Carpenito, J.L. (1997). Application to clinical practice, (7 th ed). Philadelphia: Lippincott- Raven Publishers. Craven, F.R, & Hirnle, J.C. (2007). Fundamentals of nursing: Human health and function.(5 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. Edwards. (2007), Acute assessment scales, index.htm, diperoleh tanggal 10 Januari Hantson L, et al. (1994), The eropean stroke scale. Stroke, 25, (1), Hastono, S.P., (2007), Analisa data kesehatan. Depok: FKM-UI.

100 Hickey, V.J. (2003). The clinical practice of neurological and neurosurgical nursing. (5 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. Ignatavicius, D.D & Workman, M.L. (2006). Medical-surgical nursing: Critical thingking for colaborative care. St.Louis: Elsevier Inc. Jarvis, C. (2000), Physical examination and health assessment, (3 Philadelphia: WB Saunders Company. th ed). Loewen, S.C., Anderson, B.A., (1990) Predictors of stroke outcome using objective measurement scales. Stroke, 21(1), Lemone, P & Burke, M.K. (1996). Medical-surgical nursing: Critical thinking in client care. St.Louis: Cummings Publishing Company Inc. Luo Zuming & Hu Wanbao.(2000), Assessment on validity, reliability and simplicity of stroke scales and design ora new scale. A=zglcsjkx 2000z1064, diperoleh tanggal 2 Juli Lumbantobing, S.M. (2006), Neurologi klinik: Pemeriksaan fisik dan mental, edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Muir,K.W., Weir,C.J., Murray, G. D., Povey, C., Lees, K.R. (1996), Comparation of neurological scale and scoring system for acute stroke prognosis. Ahajournals, 27, (10), Nursalam. (2001). Proses & dokumentasi keperawatan: Konsep dan praktik. edisi 1. Jakarta: Salemba medika. Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi penelitian kesehatan, edisi 2. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ollivieri. (1991).Fundamentals of nursing : Conceps process and practise. California : Addisson-Wesley. Orgogozo,J.M., Capildeo,R., Anagnostou, C.N., Juge, O., Péré, J.J., Dartigues, J.F., Steiner, T.J., Yotis, A., Rose, F.C., Development of a neurological score for the clinical evaluation of sylvian infarctions. Press Med, 12, (48), Pagano, M., & Gauvreau, K. (1993). Principles of biostatistics. California: Wadsworth Publishing Company. Priharjo, R. (1996), Pengkajian Fisik Keperawatan. edisi 2.Jakarta: EGC. Polaski, L.A & Tatro, E.S. (1996). Luckmann s core principles and practice of medicalsurgical nursing. (1 st ed). Philadelphia: WB. Sauders Company.

101 Polit D.F. & Hungler B.P. (1999). Nursing research: principles and methods. (6 th ed). Philadelphia: Lippincott william & Wilkins. Potter., & Perry. (2006). Buku ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik, Vol 1, Alih bahasa Asih Yasmin, et.al. Jakarta: EGC. Rasyid, A & Soertidewi, L. (2007). Unit stoke: Manajemen stroke secara komprehensif. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Ilmu Kedokteran. Reeves, C. J, et al, (1999), Medical surgical nursing, New York: McGraw Hill Companies. Sabri, L., dan Hastanto, S.P. Statistik kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sastroasmoro, S. (2006), Dasar-dasar metodelogi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto. Smeltzer, C.S., et al. (2008). Brunner & suddarth s texbook of medical-surgical nursing. (11 th ed). Philadelphia: Lippincott and Wilkins.. Smeltzer, C.S.,et al. (2002), Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa Agung Waluyo et.al, editor edisi bahasa indonesia monica ester, ellen pangabean, Ed 8, Jakarta, EGC Sinar Harapan. (2003). Penderita stroke dapatd disembuhkan. diperoleh tanggal 29 Oktober Stroke center, (2007). Population stoke in the world, diperoleh tanggal 10 Januari Sulaiman, W. (2005). Statistik non parametrik. Contoh kasus dan pemecahannya dengan SPSS, edisi 2. Yagyakarta: Andi. Talley, O Connor. (1993). Clinical examination : A Guidep physical diagnosis. Sydney: Mc Lennan & Petty. Yastroki. (2002). Tahun 2020, Penderita stroke meningkat 2 Kali diperoleh tanggal 29 Oktober 2007

102 Lampiran 1 LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN Judul penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta Peneliti : Dedi Damhudi, S.Kp Nomor Hp: Pembimbing : 1. Dewi Irawaty, MA., PhD 2. Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS Tujuan : Saya diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian bagaimana efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut Prosedur : Tahap pertama saya akan dikaji menggunakan metode NIHSS. Setelah itu, 15 menit kemudian dikaji menggunakan metode ESS. Disaat pengkajian saya bersedia bekerjasama dengan peneliti. Gambaran resiko dan ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi : Saya mengerti bahwa resiko yang akan terjadi sangat kecil. Apabila selama proses pengkajian saya merasa tidak enak atau tidak nyaman, maka peneliti dan tim kesehatan yang ada di ruangan akan menangani saya dengan profesional. Manfaat bagi subjek penelitian : Peran serta saya dalam penelitian ini akan membantu saya untuk mengerti bagaimana pengaruh pengkajian yang baik akan menghasilkan diagnosa yang tepat sehingga sangat menentukan kualitas asuhan keperawatan terhadap penyakit saya. Kerahasiaan identitas/catatan penelitian : Saya mengerti bahwa catatan penelitian akan dirahasiakan. Saya berhak menolak untuk berperan serta dalam penelitian ini atau mengundurkan diri tanpa adanya hukuman atau kehilangan hak saya. Jakarta,... Tanda tangan responden/wali responden Tanda tangan peneliti......

103 Lampiran 4 Nomor responden:... INSTRUMEN PENELITIAN Pengkajian metode National Institute of Health Stroke (NIHSS) Petunjuk khusus bagian 1 : a. Berisikan tentang data tentang data demografi pasien. b. Setiap pertanya dijawab dengan singkat dan jelas c. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu jenis stroke 1. Data Responden a. Tanggal dan jam pengkajian :. b. Initial responden :. c. Umur :. d. Jenis kelamin :. e. Jenis stroke : 1) Hemoragik 2) Non hemoragik Petunjuk khusus bagian 2 : a. Lakukan pengkajian sesuai cara pemeriksaan/petunjuk pada tiap-tiap komponen b. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu hasil pemeriksaan di komponen tersebut c. Data hasil pemeriksaan dikompersi menjadi diagnosa aktual yang telah tersedia sesuai dengan komponen masing masing d. Jumlahkan seluruh diagnosa aktual yang diperoleh dari metode pengkajian NIHSS.

104 2. Pengkajian metode NIHSS No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual 1. a. Derajat kesadaran Pemeriksa harus menilai apapun respon pasien jika saat pemeriksaan terdapat halangan pada pasien seperti selang endotrakeal, trauma /balutan orotrakeal. Nilai 3 hanya diberikan jika pasien tidak bergerak dalam merespon stimulus berbahaya/menyakitkan. b. Menjawab pertanyaan Tanyakan pada pasien tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Jawaban haruslah benar. Pasien apasia dan stupor yang tidak dapat menjawab dengan benar diberi nilai 2. Pasien yang tidak mampu bicara karena intubasi endotrakeal, trauma orotrakeal, disatria berat dari penyebab lain, gangguan bahasa atau penyebab lain bukan dari akibat apasia diberi nilai 1. 0= sadar penuh 1= somnolen 2= stupor 3= koma 0= dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misalnya, bulan apa sekarang dan usia pasien) 1= hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar atau tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk akibat sekunder dari ketidaksadaran 2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK 3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan penurunan kesadaran. 4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan kesadaran. 5. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, penurunan kesadaran. 1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah 2. Tidak ada diagnosa aktual

105 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual Hanya jawaban awal yang dinilai dan pemeriksa tidak membantu pasien dengan petunjuk verbal atau non verbal. 2= tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor c. Mengikuti perintah Anjurkan pasien menutup dan membuka mata kemudian menggenggam dan melepaskan tangan pada tangan yang tidak paresis. Mengganti salah satu perintah dapat dilakukan jika tangan tidak dapat digunakan. Penilaian dapat diberikan jika usaha maksimal sudah dilakukan walaupun tidak lengkap karena kelemahan. Jika pasien tidak berespon terhadap perintah, tugas itu harus di contohkan kepada dia (tanpa suara) dan hasilnya dinilai (seperti tidak mengikuti, mengikuti satu atau dua perintah). Pasien dengan trauma, amputasi atau halangan fisik harus diberikan penyesuaian dengan salah satu perintah. Hanya jawaban pertama yang dinilai. 0= dapat melakkan dua perintah dengan benar (misalnya buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat) 1= hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar 2= tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar 1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah 2. Tidak ada diagnosa aktual

106 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual 2. Gerakan mata konyugat horizontal Hanya gerakan horizontal mata yang di periksa. Jika pasien mempunyai deviasi konyugat pada mata yang terjadi secara reflek, dapat diberi nilai 1. Jika pasien mempunyai paresis saraf perifer yang terisolasi (N III, N IV, VI) diberi nilai 1. Gerakan mata konyugat horizontal dapat dilakukan pada semua pasien apasia. Pasien dengan trauma mata, yang diperban, sebelum terjadi kebutaan atau atau penyakit ketajaman penglihatan atau lapangan pandang harus dilakukan pemeriksaan dengan gerakan reflek yang di sesuaikan oleh pemeriksa. Kemampuan mempertahankan kontak mata dan diikuti gerakan dari sisi ke sisi akan sangat membantu dalan melihat adanya kelemahan gerakan mata konyugat sebagian. 3. Lapangan pandang Lapangan pandang (bagian atas dan bawah) di uji dengan menggunakan hitungan jari. Jika pasien dapat melihat pada sisi jari yang bergerak dengan tepat, bisa beri nilai normal. Jika terdapat kebutaan sebelah atau enuklasi dapat diberi nilai apa adanya. Nilai 1 diberikan jika melihat 0= normal 1= gerakan abnormal hanya pada satu mata 2= deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mat 0= tidak ada gangguan 1= kuandranopia 2= hemianopia total 3= hemianopia bilateral atau buta kortikal 1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan 2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia

107 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual dengan jelas tapi tidak simetris, termasuk jika terdapat quadranopia. Jika pasien buta oleh penyebab lain diberi nilai 3. Jika hal ini terkait dengan tingkat kesadaran (somnolen) hasilnya bisa untuk menilai point unilateral negleg. 4. Paresis Wajah Gunakan pertanyaan atau gunakan pantomime untuk mendorong pasien menunjukkan gigi atau mengangkat alis mata adan menutup mata. Nilai simetris wajah yang menyeringai adalah respon dari stimulus yang berbahaya terhadap kurangnya respon atau ketidak pahaman pasien. Jika wajah trauma atau terbalut, selang orotrakeal, atau penghalang lainnya pada wajah harus diangap normal terhadap penilaian. 5. a. Motorik lengan kanan Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi 0= normal 1= paresis ringan 2= paresis sebagian 3= paresis total 0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik 1= Lengan jatuh ke bawah sebelum 10 detik 2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke 2. Tidak ada diagnosa aktual

108 No Komponen dan cara pemeriksaan atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. b. Motorik lengan kiri Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. 6. a. Motorik tungkai kanan Pasien mengangkat kaki 30º (di uji dengan posisi telentang). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Pada kasus amputasi / kaki yang mengalami penyambungan maka tidak dapat diperiksa. Hasil pemeriksaan 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa 0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik 1= Lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik 2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa 0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 10 detik dan diangkat bergantian. 1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik 2= Kaki terjatuh ke kasur / tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa Diagnosa Keperawatan aktual 1. Self care defisit (kebersihan diri, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke 1. Tidak ada diagnosa aktual Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 3. Tidak ada diagnosa aktual

109 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual b. Motorik tungkai kiri Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. 7. Ataksia anggota badan Bagian ini bertujuan untuk menemukan lesi serebral sepihak. Saat pemeriksaan, pasien membuka mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara gerakan tangan pasien dari jarihidung-jari dan tumit-mata kaki-lutut. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi dan penilaian adanya ataksia ditemukan jika ada kelemahan yang terlalu kuat. Ataksia tidak ditemukan pada pasien yang tidak paham terhadap instruksi atau paralisis. Hanya pada kasus amputasi atau penyambungan, 0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 5 detik dan diangkat bergantian. 1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik 2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa jika amputasi, penyambungan paha. 0= tidak ada 1= pada satu ekstrimitas 2= pada dua atau lebih ekstrimitas X= tidak dapat diperiksa jika amputasi, penyambungan. 1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 2. Tidak ada diagnosa aktual

110 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. Pada kasus kebutaan, pemeriksaan dilakukan dengan pasien menyentuh hidung dari posisi tangan dibentangkan. 8. Sensorik Adanya sensasi atau menyeringai apabila di lakukan tes dengan ujung jarum. Pemeriksa harus menguji pada banyak bagian tubuh seperti pada lengan, kaki, wajah dan badan untuk mendapatkan hasil yang akurat terhadap kehilangan hemisensorik. Nilai 2 berat atau kehilangan sensorik total diberikan pada pasien yang mengalami kehilangan sensorik total atau sangat parah. Pasien stupor dan aphasia diberi nilai 1 atau 0. Pasien dengan stroke yang memiliki kehilangan sensasi bilateral diberi nilai 2. Jika pasien tidak berespon atau koma atau quadriplegi diberi nilai Bahasa terbaik Instruksikan pasien untuk melihat gambar dari pemeriksa. Tanyakan apa apa yang terjadi terkait dengan gambar, nama dari gambar tersebut dan membaca apa yang terdapat pada gambar tersebut. Pemahaman bahasa didapat dari respon 0= normal 1= defisit parsial yaitu merasa tetapi berkurang 2= defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral 0= tidak ada afasia 1= afasia ringansedang 2= afasia berat 3= tidak dapat bicara (bisu) atau global afasia atau koma 1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak atau penurunan kesadaran. 2. Inkontinensia uri dan BAB total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan komunikasi.

111 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual seperti halnya perintahperintah pada proses pemeriksaan neurologi secara umum. Jika terdapat kekurangan penglihatan saat pemeriksaan, tanyakan pada pasien untuk mengidentifikasi benda yang diletakkan di tangan, ulangi dan hasilkan pembicaraan. Pasien yang mengalami intubasi sebaiknya ditanya dengan tulisan. Pasien dengan koma otomatis di beri nilai 3. Nilai 3 diberikan jika pasien bisu dan tidak dapat mengikuti perintah apapun Disartria Kekurangan saat bicara dapat terlihat dengan menganjurkan untuk membaca atau mengulang kalimat yang ada dibacaan. Jika pasien memiliki afasia berat, kejelasan artikulasi dapat dinilai dari pembicaraan secara spontan. Jika pasien mempunyai intubasi atau halangan fisik lain terkait dengan bicara, pemeriksa harus mencatat tidak dapat diperiksa. 0= artikulasi normal 1= disartria ringansedang 2= disartria berat X= tidak dapat diperiksa jika intubasi atau halangan fisik lain terkait bicara. 2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak 3. Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular

112 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa Keperawatan aktual 11. Unilateral Negleg atau tidak ada atensi Kurangnya informasi untuk mengidentifikasi adanya negleg perlu di prioritaskan selama pemeriksaan. Jika pasien mempunyai masalah penglihatan yang berat, dan stimulus pada kulit normal maka nilainya adalah normal. Jika pasien apasia tetapi mampu mengenali adanya benda di kedua sisinya berarti nilainya normal. Adanya pengabaian sepihak atau anosagnosia adalah suatu tanda yang tidak normal. 0= tidak ada 1= parsial 2= total 1. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan atau hemianopsia 2. Tidak ada diagnosa aktual Total perolehan diagnosa aktual:...buah

113 Lampiran 5 Nomor responden:... INSTRUMEN PENELITIAN Pengkajian metode Eropean Stroke Scale (ESS) Petunjuk khusus bagian 1 : a. Berisikan tentang data tentang data demografi pasien. b. Setiap pertanyaan dijawab dengan singkat dan jelas c. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu jenis stroke 1. Data Responden a. Tanggal dan jam pengkajian :. b. Initial responden :. c. Umur :. d. Jenis kelamin :. e. Jenis stroke : 1) Hemoragik 2) Non hemoragik Petunjuk khusus bagian 2 : a. Lakukan pengkajian sesuai cara pemeriksaan/petunjuk pada tiap-tiap komponen b. Beri tanda silang ( X ) pada salah satu hasil pemeriksaan di komponen tersebut c. Data hasil pemeriksaan dikompersi menjadi diagnosa aktual yang telah tersedia sesuai dengan komponen masing masing d. Jumlahkan seluruh diagnosa aktual yang diperoleh dari metode pengkajian ESS.

114 2. Pengkajian metode ESS No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual 1. Derajat kesadaran: mengukur tingkat kesadaran pasien mulai dari kompos mentis, apatis, somnolen, stupor/pre coma dan koma. 10 = sadar penuh, merespon dengan baik 8= somnolen/mengantuk tetapi dapat dibangunkan dengan stimulus ringan, menjawab atau berespon 6= diperlukan stimulus yang berulang atau pasien lesu, diperlukan stimulus keras atau stimulus yang sedikit menyakitkan (nyeri ringan) untuk membuat pasien bergerak 4= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang agak menyakitkan (nyeri sedang) untuk membuat pasien bergerak. 2= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak 0= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, dan tidak bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan tidak efektifnya reflek batuk akibat sekunder dari ketidaksadaran. 2. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan iskemia, edema otak atau peningkatan TIK. 3. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinestetik) berhubungan dengan penurunan kesadaran. 4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan kesadaran 5. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, penurunan kesadaran

115 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual 2 Pengertian: Anjurkan pasien untuk mengikuti perintah seperti: (a) mengeluarkan lidah, (b) meletakkan jari ke hidung, (c) menutup kelopak mata. Pemeriksa tidak mencontohkan perintah tersebut. 3 Bicara: pemeriksa membuat percakapan umum dengan pasien 4. Lapangan pandang: pemeriksa berdiri dekat lengan pasien dan bandingkan pandangan mata pasien dengan mempercepat pergerakan jari dari batas luar ke arah dalam. Pasien di diminta untuk menatap pupil pemeriksa. Tes dilakukan dengan membuka satu mata menutup satunya dan begitu sebaliknya. 8 = pasien melaksanakan 3 perintah 4= pasien melaksanakan 1-2 perintah 0= pasien tidak melaksanakan perintah 8 = bicara normal 6= agak sulit bicara, permbicaraan masih bisa dilakukan 4= sangat sulit bicara, pembicaraan sulit dilakukan 2= hanya ya dan tidak 0= tidak ada suara 8 = normal 0= kurang/gangguan 1. Gg proses pikir berhubungan dengan kerusakan otak, atau ketidak mampuan mengikuti perintah 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak 2. Kelemahan menelan berhubungan dengan kelemahan neuromuskular 3. Inkontinensia uri dan alvi total berhubungan dengan disfungsi neurologi, gangguan komunikasi. 1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan 2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan

116 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual 5. Gerakan mata konyugat horizontal: pemeriksa melihat kepada pasien dan bertanya kepada pasien dengan mengikuti jari pemeriksa. Pemeriksa mengobservasi posisi mata pasien istirahat/berhenti sejenak dan sesudah itu pergerakan penuh dengan mengikuti pergerakan jari dari kiri ke kanan lalu sebaliknya. 6. Gerakan wajah: wajah pasien di dilihat pada saat berbicara dan senyum, dengan catatan ke tidaksemetrisan. Hanya otot-otot setengah bagian bawah pada wajah yang dikaji. 7. Lengan tangan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan/angkat tangan): Anjurkan pasien menutup mata. Pasien yang tangannya aktif diangkat 45º dengan posisi datar horizontal, dengan kedua tangan pada posisi tengah 8 = normal 4= posisi mata di tengah, ada penyimpangan ke salah satu sisi 2= posisi mata di samping, bisa kembali ke ke posisi tengah 0= posisi mata di samping, tidak bisa kembali ke posisi tengah 8= normal 4= paresis 0= paralisis 4 = lengan tangan mampu bertahan 5 detik 3= lengan tangan mampu bertahan 5 detik tapi posisi tangan telungkup 2= lengan tangan mampu mengapung kurang dari 5 detik tapi bisa dipertahankan dengan posisi lebih rendah 1= lengan tangan tidak mampu mempertahankan posisi tapi mampu melawan gravitasi. 1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan penglihatan 2. Unilateral negleg (pengabaian sepihak) berhubungan dengan efek gangguan kemampuan penglihatan 1. Perubahan persepsi/sensori (penglihatan, perabaan, kinesthetik) berhubungan dengan gangguan sensasi 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke 2. Tidak ada diagnosa aktual

117 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual berhadapan satu sama lain. Pasien di anjurkan untuk mempertahankan posisi selama 5 detik setelah pemeriksa melihat kekuatannya. Hanya sisi yang aktif yang dievaluasi 8. Lengan tangan (peningkatan gerak) Letakkan lengan tangan pada kaki dengan tangan di posisi tengah. Pasien diminta untuk mengangkat lengan tangan lalu dibentangkan dengan posisi 90º (vertikal). 9. Keluasan grakan pergelangan tangan: pasien di uji dengan lengan bawah dialas. Tangan tidak di alas tetapi di lemaskan pada posisi telentang (pronasi). Pasien di diminta untuk mengangkat tangan. 10. Jari: pasien diminta untuk mencubit dengan ibu jari dan telunjuk untuk melawan tarikan yang lemah. 0= lengan tangan jatuh / tidak mampu melawan gravitasi 4 = normal 3= lengan tangan lurus, pergerakan tidak penuh 2= lengan tangan fleksi/benkok 1= pergerakan sedikitsedikit/lambat 0= tidak bergerak 8= normal (pergerakan terisolasi penuh, tidak ada penurunan kekuatan) 6= pergerakan terisolasi penuh, ada penurunan kekuatan 4= pergerakan tidak terisolasi 2= pergerakan sedikitsedikit/lambat 0= tidak ada pergerakan 8= kekuatan seimbang 4= kekuatan berkurang pada sisi aktif 0= Jari tidak bisa mencubit pada sisi aktif 1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke 2. Tidak ada diagnosa aktual 1. Self care defisit (personal hygiene, nutrisi, eliminasi) berhubungan dengan dampak stroke 2. Tidak ada diagnosa aktual

118 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual 11. Kaki (mempertahankan posisi): pemeriksa mengangkat kaki pasien pada posisi yang aktif, dengan paha yang tegak lurus pada tempat tidur dan kaki yang lebih rendah sejajar pada tempat tidur. Pasien diminta untuk menutup mata dan mempertahankan posisi kaki selama 5 detik tanpa di alas. 4= kaki bisa diangkat tinggi dan dapat mempertahankan posisi selama 5 menit 2= kaki turun pada posisi tengah, dapat mempertahankan posisi selama 5 menit 1= kaki dapat mempertahankan posisi selama 5 menit lalu jatuh pada tempat tidur tetapi tidak secara tiba-tiba. 0= kaki jatuh tiba-tiba pada tempat tidur 1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 2. Tidak ada diagnosa aktual 12. Kaki (fleksi): pasien posisi telentang (supinasi) dengan kaki di bentangkan. Pasien diminta untuk menekuk pinggul dan lutut. 4= normal 3= bergerak melawan tahanan, kekuatan menurun 2= bergerak melawan gravitasi. 1= bergerak perlahan 0= tidak ada gerakan 1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 2. Tidak ada diagnosa aktual 13. Dorsofleksi pada kaki: kaki pasien di bentangkan, dengan pasien diminta untuk menekukkan punggu kaki. 8= normal (kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, tidak ada penurunan kekuatan) 6= kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, ada penurunan kekuatan 4= kaki dapat di bentangkan, pergerakan tidak penuh atau lutut fleksi atau kaki telentang 2= pergerakan perlahan 0= tidak ada gerakan 1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 2. Tidak ada diagnosa aktual

119 No Komponen dan cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Diagnosa keperawatan aktual 14. Gaya berjalan: Instruksikan pasien untuk berjalan seperti biasa dan lihat kondisi saat berjalan. 10= normal 8= gaya berjalan tidak normal atau terbatas atau kecepatan terbatas 6= pasien dapat berjalan dengan bantuan 4= pasien dapat berjalan dengan batuan orang lain satu atau dua orang 2= pasien tidak dapat berjalan tapi dapat berdiri dengan bantuan 0= pasien tidak dapat berjalan/berdiri 1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologi 2. Tidak ada diagnosa aktual Total perolehan diagnosa aktual:...buah

120 Lampiran 2 Tabel National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 1. a. Derajat kesadaran Pemeriksa harus menilai apapun respon pasien jika saat pemeriksaan terdapat halangan pada pasien seperti selang endotrakeal, trauma /balutan orotrakeal. Nilai 3 hanya diberikan jika pasien tidak bergerak dalam merespon stimulus berbahaya/menyakitkan. b. Menjawab pertanyaan Tanyakan pada pasien tentang bulan dan tanggal kelahirannya. Jawaban haruslah benar. Pasien apasia dan stupor yang tidak dapat menjawab dengan benar diberi nilai 2. Pasien yang tidak mampu bicara karena intubasi endotrakeal, trauma orotrakeal, disatria berat dari penyebab lain, gangguan bahasa atau penyebab lain bukan dari akibat apasia diberi nilai 1. Hanya jawaban awal yang dinilai dan pemeriksa tidak membantu pasien dengan petunjuk verbal atau non verbal. c. Mengikuti perintah Anjurkan pasien menutup dan membuka mata dan kemudian menggenggam dan melepaskan tangan bukan pada tangan paresis. Mengganti salah satu perintah dapat dilakukan jika tangan tidak dapat digunakan. Penilaian dapat diberikan jika usaha maksimal sudah dilakukan walaupun tidak lengkap karena kelemahan. Jika pasien tidak berespon terhadap perintah, tugas itu harus di contohkan kepada dia (tanpa suara) dan hasilnya dinilai (seperti tidak mengikuti, mengikuti satu atau dua perintah). 0= sadar penuh 1= somnolen 2= stupor 3= koma 0= dapat menjawab dua pertanyaan dengan benar (misalnya, bulan apa sekarang dan usia pasien) 1= hanya dapat menjawab satu pertanyaan dengan benar atau tidak dapat berbicara karena terpasang pipa endotrakea atau disartria 2= tidak dapat menjawab kedua pertanyaan dengan benar atau afasia atau stupor 0= dapat melakkan dua perintah dengan benar (misalnya buka dan tutup mata, kepal dan buka tangan pada sisi yang sehat) 1= hanya dapat melakukan satu perintah dengan benar 2= tidak dapat melakukan kedua perintah dengan benar

121 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 2. Gerakan mata konyugat horizontal Hanya gerakan horizontal mata yang di periksa. Jika pasien mempunyai deviasi konyugat pada mata yang terjadi secara reflek, dapat diberi nilai 1. Jika pasien mempunyai paresis saraf perifer yang terisolasi (N III, N IV, VI) diberi nilai 1. Gerakan mata konyugat horizontal dapat dilakukan pada semua pasien apasia. Pasien dengan trauma mata, yang diperban, sebelum terjadi kebutaan atau atau penyakit ketajaman penglihatan atau lapangan pandang harus dilakukan pemeriksaan dengan gerakan reflek yang di sesuaikan oleh pemeriksa. Kemampuan mempertahankan kontak mata dan diikuti gerakan dari sisi ke sisi akan sangat membantu dalan melihat adanya kelemahan gerakan mata konyugat sebagian. 3. Lapangan pandang Lapangan pandang (bagian atas dan bawah) di uji dengan menggunakan hitungan jari. Jika pasien dapat melihat pada sisi jari yang bergerak dengan tepat, bisa beri nilai normal. Jika terdapat kebutaan sebelah atau enuklasi dapat diberi nilai apa adanya. Nilai 1 diberikan jika melihat dengan jelas tapi tidak simetris, termasuk jika terdapat quadranopia. Jika pasien buta oleh penyebab lain diberi nilai 3. Jika hal ini terkait dengan tingkat kesadaran (somnolen) hasilnya bisa untuk menilai point unilateral negleg. 4. Paresis Wajah Tanya atau menggunakan pantomime untuk mendorong pasien menunjukkan gigi atau mengangkat alis mata adan menutup mata. Nilai simetris wajah yang menyeringai adalah respon dari stimulus yang berbahaya terhadap kurangnya respon atau ketidak pahaman pasien. Jika wajah trauma atau terbalut, selang orotrakeal harus diangap normal terhadap penilaian. 0= normal 1= gerakan abnormal hanya pada satu mata 2= deviasi konyugat yang kuat atau paresis konyugat total pada kedua mata 0= tidak ada gangguan 1= kuandranopia 2= hemianopia total 3= hemianopia bilateral atau buta kortikal 0= normal 1= paresis ringan 2= paresis sebagian 3= paresis total

122 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 5. a. Motorik lengan kanan Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. b. Motorik lengan kiri Pasien mengangkat tangan 90º (jika duduk) atau 45º (jika baring telentang). Penilaian adanya ganguan apabila tangan tidak bisa mengapung dan jatuh sebelum 10 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime. Setiap lengan di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau bahu yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. 6. a. Motorik tungkai kanan Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. 0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik 1= Lengan jatuh ke bawah sebelum 10 detik 2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa 0= tidak ada kelainan bila pasien bisa mengangkat kedua lengannya selama 10 detik 1= Lengan menyimpang ke bawah sebelum 10 detik 2= Lengan terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa 0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 10 detik dan diangkat bergantian. 1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik 2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa.

123 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai b. Motorik tungkai kiri Pasien mengangkat kaki 30º (selalu di uji dengan posisi telentang/supinasi). Penilaian adanya ganguan apabila kaki jatuh sebelum 5 detik. Pasien apasia di anjurkan menggunakan alat bantu suara atau pantomime, tetapi tidak dengan stimulus yang berbahaya. Setiap tungkai di uji dengan diputar, dimulai dengan lengan yang tidak paresis. Hanya pada kasus amputasi atau kaki yang mengalami penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. 0= tidak ada gangguan bila pasien bisa mengangkat kedua tungkai selama 5 detik dan diangkat bergantian. 1= Kaki jatuh ke bawah sebelum 5 detik 2= Kaki terjatuh ke kasur atau badan atau tidak dapat diluruskan secara penuh 3= tidak dapat melawan gravitasi 4= tidak ada gerakan X= tidak dapat diperiksa jika amputasi, penyambungan paha. 7. Ataksia anggota badan Bagian ini bertujuan untuk menemukan lesi serebral sepihak. Saat pemeriksaan, pasien membuka mata. Pemeriksaan dilakukan dengan cara gerakan tangan pasien dari jari-hidung-jari dan tumit-mata kaki-lutut. Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi dan penilaian adanya ataksia ditemukan jika ada kelemahan yang terlalu kuat. Ataksia tidak ditemukan pada pasien yang tidak paham terhadap instruksi atau paralisis. Hanya pada kasus amputasi atau penyambungan, pemeriksa harus memberikan penilaian tidak dapat diperiksa. Pada kasus kebutaan, pemeriksaan dilakukan dengan pasien menyentuh hidung dari posisi tangan dibentangkan. 0= tidak ada 1= pada satu ekstrimitas 2= pada dua atau lebih ekstrimitas X= tidak dapat diperiksa jika amputasi, penyambungan.

124 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 8. Sensorik Adanya sensasi atau menyeringai apabila di lakukan tes dengan ujung jarum. Pemeriksa harus menguji pada banyak bagian tubuh seperti pada lengan, kaki, wajah dan badan untuk mendapatkan hasil yang akurat terhadap kehilangan hemisensorik. Nilai 2 berat atau kehilangan sensorik total diberikan pada pasien yang mengalami kehilangan sensorik total atau sangat parah. Pasien stupor dan aphasia diberi nilai 1 atau 0. Pasien dengan stroke yang memiliki kehilangan sensasi bilateral diberi nilai 2. Jika pasien tidak berespon atau koma atau quadriplegi diberi nilai Bahasa terbaik Anjurkan pasien untuk melihat gambar dari pemeriksa. Tanyakan apa yang terjadi terkait dengan gambar, nama dari gambar tersebut dan membaca apa yang terdapat pada gambar tersebut. Pemahaman bahasa didapat dari respon seperti halnya perintahperintah pada proses pemeriksaan neurologi secara umum. Jika terdapat kekurangan penglihatan saat pemeriksaan, tanya pasien untuk mengidentifikasi benda yang diletakkan di tangan, ulangi dan hasilkan pembicaraan. Pasien yang mengalami intubasi sebaiknya ditanya dengan tulisan. Pasien dengan koma otomatis di beri nilai 3. Nilai 3 diberikan jika pasien bisu dan tidak dapat mengikuti perintah apapun. 10. Disartria Kekurangan saat bicara dapat terlihat dengan menganjurkan untuk membaca atau mengulang kalimat yang ada dibacaan. Jika pasien memiliki afasia berat, kejelasan artikulasi dapat dinilai dari pembicaraan secara spontan. Jika pasien mempunyai intubasi atau halangan fisik lain terkait dengan bicara, pemeriksa harus mencatat tidak dapat diperiksa. 0= normal 1= defisit parsial yaitu merasa tetapi berkurang 2= defisit berat yaitu jika pasien tidak merasa atau terdapat gangguan bilateral 0= tidak ada afasia 1= afasia ringan-sedang 2= afasia berat 3= tidak dapat bicara (bisu) atau global afasia atau koma 0= artikulasi normal 1= disartria ringan-sedang 2= disartria berat X= tidak dapat diperiksa jika intubasi atau halangan fisik lain terkait bicara.

125 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 11. Unilateral Negleg atau tidak ada atensi Kurangnya informasi untuk mengidentifikasi adanya negleg perlu di prioritaskan selama pemeriksaan. Jika pasien mempunyai masalah penglihatan yang berat, dan stimulus pada kulit normal maka nilainya adalah normal. Jika pasien apasia tetapi mampu mengenali adanya benda di kedua sisinya berarti nilainya normal. Adanya pengabaian sepihak atau anosagnosia dapat dijadikan sebagai sesuatu yang tidak normal. 0= tidak ada 1= parsial 2= total

126 Lampiran 3 Tabel Eropean Stroke Scale (ESS) No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 1. Derajat kesadaran mengukur tingkat kesadaran pasien mulai dari kompos mentis, apatis, somnolen, stupor/pre coma dan koma. 2 Pengertian: anjurkan pasien untuk mengikuti perintah seperti: (a) mengeluarkan lidah, (b) meletakkan jari ke hidung, (c) menututup kelopak mata. Pemeriksa tidak mencontohkan perintah tersebut. 10 = sadar penuh, merespon dengan baik 8= somnolen/mengantuk tetapi dapat dibangunkan dengan stimulus ringan, menjawab atau berespon 6= diperlukan stimulus yang berulang atau pasien lesu, diperlukan stimulus keras atau stimulus yang sedikit menyakitkan (nyeri ringan) untuk membuat pasien bergerak 4= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang agak menyakitkan (nyeri sedang) untuk membuat pasien bergerak. 2= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak 0= tidak dapat dibangunkan dengan berbagai rangsangan, dan tidak bereaksi dengan stimulus yang sangat menyakitkan (nyeri berat) untuk membuat pasien begerak 8 = pasien melaksanakan 3 perintah 4= pasien melaksanakan 1-2 perintah 0= pasien tidak melaksanakan perintah

127 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 3 Bicara: pemeriksa membuat percakapan umum dengan pasien 8 = bicara normal 6= agak sulit bicara, permbicaraan masih bisa dilakukan 4= sangat sulit bicara, pembicaraan sulit dilakukan 2= hanya ya dan tidak 0= tidak ada suara 4. Lapangan pandang: pemeriksa berdiri dekat lengan pasien dan bandingkan pandangan mata pasien dengan mempercepat pergerakan jari dari batas luar ke arah dalam. Pasien di diminta untuk menatap pupil pemeriksa. Tes dilakukan dengan membuka satu mata menutup satunya dan begitu sebaliknya. 8 = normal 0= kurang/gangguan 5. Gerakan mata konyugat horizontal: pemeriksa melihat kepada pasien dan bertanya kepada pasien dengan mengikuti jari pemeriksa. Pemeriksa mengobservasi posisi mata pasien istirahat/berhenti sejenak dan sesudah itu pergerakan penuh dengan mengikuti pergerakan jari dari kiri ke kanan lalu sebaliknya. 8 = normal 4= posisi mata di tengah, ada penyimpangan ke salah satu sisi 2= posisi mata di samping, bisa kembali ke ke posisi tengah 0= posisi mata di samping, tidak bisa kembali ke posisi tengah 6. Gerakan wajah: wajah pasien di dilihat pada saat berbicara dan senyum, dengan catatan ke tidaksemetrisan. Hanya otot-otot setengah bagian bawah pada wajah yang dikaji. 8= normal 4= paresis 0= paralisis

128 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 7. Lengan tangan (kemampuan lengan tangan untuk mempertahankan posisi dibentangkan/angkat tangan): Anjurkan pasien menutup mata. Pasien yang tangannya aktif diangkat 45º dengan posisi datar horizontal, dengan kedua tangan pada posisi tengah berhadapan satu sama lain. Pasien di anjurkan untuk mempertahankan posisi selama 5 detik setelah pemeriksa melihat kekuatannya. Hanya sisi yang aktif yang dievaluasi 4 = lengan tangan mampu bertahan 5 detik 3= lengan tangan mampu bertahan 5 detik tapi posisi tangan telungkup 2= lengan tangan mampu mengapung kurang dari 5 detik tapi bisa dipertahankan dengan posisi lebih rendah 1= lengan tangan tidak mampu mempertahankan posisi tapi mampu melawan gravitasi 0= lengan tangan jatuh / tidak mampu melawan gravitasi 8. Lengan tangan (peningkatan gerak) Letakkan lengan tangan pada kaki dengan tangan di posisi tengah. Pasien diminta untuk mengangkat lengan tangan lalu dibentangkan dengan posisi 90º (vertikal). 4 = normal 3= lengan tangan lurus, pergerakan tidak penuh 2= lengan tangan fleksi/benkok 1= pergerakan sedikitsedikit/lambat 0= tidak bergerak 9. Keluasan grakan pergelangan tangan: pasien di uji dengan lengan bawah dialas. Tangan tidak di alas tetapi di lemaskan pada posisi telentang (pronasi). Pasien di diminta untuk mengangkat tangan. 8= normal (pergerakan terisolasi penuh, tidak ada penurunan kekuatan) 6= pergerakan terisolasi penuh, ada penurunan kekuatan 4= pergerakan tidak terisolasi 2= pergerakan sedikitsedikit/lambat 0= tidak ada pergerakan 10. Jari: pasien diminta untuk mencubit dengan ibu jari dan telunjuk untuk melawan tarikan yang lemah. 8= kekuatan seimbang 4= kekuatan berkurang pada sisi aktif 0= Jari tidak bisa mencubit pada sisi aktif

129 No Komponen cara pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai 11. Kaki (mempertahankan posisi): pemeriksa mengangkat kaki pasien pada posisi yang aktif, dengan paha yang tegak lurus pada tempat tidur dan kaki yang lebih rendah sejajar pada tempat tidur. Pasien diminta untuk menutup mata dan mempertahankan posisi kaki selama 5 detik tanpa di alas. 12. Kaki (fleksi): pasien posisi telentang (supinasi) dengan kaki di bentangkan. Pasien diminta untuk menekuk pinggul dan lutut. 13. Dorsofleksi pada kaki: kaki pasien di bentangkan, pasien diminta untuk menekukkan punggu kaki. 14. Gaya berjalan: Instruksikan pasien untuk berjalan seperti biasa dan lihat kondisi saat berjalan. 4= kaki bisa diangkat tinggi dan dapat mempertahankan posisi selama 5 menit 2= kaki turun pada posisi tengah, dapat mempertahankan posisi selama 5 menit 1= kaki dapat mempertahankan posisi selama 5 menit lalu jatuh pada tempat tidur tetapi tidak secara tiba-tiba. 0= kaki jatuh tiba-tiba pada tempat tidur 4= normal 3= bergerak melawan tahanan, kekuatan menurun 2= bergerak melawan gravitasi. 1= bergerak perlahan 0= tidak ada gerakan 8= normal (kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, tidak ada penurunan kekuatan) 6= kaki dapat di bentangkan, pergerakan penuh, ada penurunan kekuatan 4= kaki dapat di bentangkan, pergerakan tidak penuh atau lutut fleksi atau kaki telentang 2= pergerakan perlahan 0= tidak ada gerakan 10= normal 8= gaya berjalan tidak normal atau terbatas atau kecepatan terbatas 6= pasien dapat berjalan dengan bantuan 4= pasien dapat berjalan dengan batuan orang lain satu atau dua orang 2= pasien tidak dapat berjalan tapi dapat berdiri dengan bantuan 0= pasien tidak dapat berjalan/berdiri

130 LEMBAR KONSULTASI Judul Penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Mahasiswa : Jurusan: Dedi Damhudi. Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah NPM: Pembimbing I: Dewi Irawaty, MA., PhD No. Tanggal Materi konsul Saran dan perbaikan Paraf

131 LEMBAR KONSULTASI Judul Penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Mahasiswa : Jurusan: Dedi Damhudi. Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah NPM: Pembimbing II : Rr. Tutik Sri Hayati, S.Kp., MARS No. Tanggal Materi konsul Saran dan perbaikan Paraf

132 UNIVERSITAS INDONESIA TESIS EFEKTIFITAS PENGKAJIAN METODE NIHSS DAN ESS (FOKUS NEUROLOGI) DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT DI RSUP FATMAWATI JAKARTA Oleh : DEDI DAMHUDI PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2008

133 Lampiran 7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Dedi Damhudi Tempat & Tanggal Lahir : Tekarang, 26 Februari 1976 Alamat Rumah : Perumahan Dosen Akper Singkawang. Jl. Dr. Sutomo No.46, RT. 32/RW.13, Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Singakwang. Kalimantan Barat. Kode Pos : Telepon / HP : dedi_skp@yahoo.co.id Asal Institusi : Poltekkes Pontianak, Jurusan Keperawatan Singkawang Jl. Dr. Sutomo No.46, RT. 32/RW.13, Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat, Singkawang. Kalimantan Barat. Kode Pos : Telp. (0562) , Fax: (0562) Riwayat Pendidikan : 1. S-2 Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI, Angkatan tahun FIK-UI Jakarta, lulus tahun AKTA Mengajar IV, UT Pontianak, tahun Akper Muhammadiaya Pontianak, lulus tahun SMA Negeri 1, Tebas, lulus tahun SMP Negeri 1 Tebas, lulus tahun SD Negeri 27 Tebas, lulus tahun 1988 Riwayat Pekerjaan : 1. AKPER YARSI Pontianak, Poltekkes Pontianak, Jurusan Keperawatan Singkawang sekarang

BAB I PENDAHULUAN. Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem

BAB I PENDAHULUAN. Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah ketidaknormalan fungsi sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan kenormalan aliran darah ke otak. Stroke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Penyakit Stroke 1. Definisi Stroke adalah gangguan tiba-tiba terhadap aliran darah ke otak (Stroke center, 2007, Defenition of Stroke, http://www.strokecenter.org/patients/stats.htm,

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN Pada bab ini akan akan dibahas analisis hasil peneltian tentang Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini adalah berdasarkan konsep tipe diagnosa keperawatan (Carpenito, 1997) dan Nursalam (2001).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Berdasarkan data dilapangan, angka kejadian stroke meningkat secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke sebagaimana pernyataan Iskandar (2004) Stroke sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, ekonomi, dan sosial, serta membutuhkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORETIS

BAB II TINJAUAN TEORETIS BAB II TINJAUAN TEORETIS 2.1 Stroke 2.1.1 Defenisi Stroke Stroke adalah berhentinya pasokan darah ke bagian otak sehingga mengakibatkan gangguan pada fungsi otak (Smeltzer dan Bare, 2002). Kurangnya aliran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak (Junaidi, 2011). Menurut Organisasi

Lebih terperinci

Gejala Awal Stroke. Link Terkait: Penyumbatan Pembuluh Darah

Gejala Awal Stroke. Link Terkait: Penyumbatan Pembuluh Darah Gejala Awal Stroke Link Terkait: Penyumbatan Pembuluh Darah Bermula dari musibah yang menimpa sahabat saya ketika masih SMA di Yogyakarta, namanya Susiana umur 52 tahun. Dia sudah 4 hari ini dirawat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab utama kematian di. Indonesia (Sagita, 2013). Adapun stroke adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab utama kematian di. Indonesia (Sagita, 2013). Adapun stroke adalah penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab utama kematian di Indonesia (Sagita, 2013). Adapun stroke adalah penyakit yang disebabkan karena terhambatnya aliran darah ke otak, biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya dan dapat menyebabkan terjadinya disfungsi motorik dan sensorik yang berdampak pada timbulnya

Lebih terperinci

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. Saya dr. Azwita Effrina Hasibuan, saat ini sedang menjalani Program

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN. Saya dr. Azwita Effrina Hasibuan, saat ini sedang menjalani Program LAMPIRAN 1 LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Selamat pagi Bapak/Ibu Yth, Saya dr. Azwita Effrina Hasibuan, saat ini sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Saraf di FK USU

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG A. DEFINISI CKR (Cedera Kepala Ringan) merupakan cedera yang dapat mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau

BAB 1 PENDAHULUAN. terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan (stroke iskemik) atau BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (defisit neurologik) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Secara sederhana stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun, yakni mencapai 15,9% dan meningkat menjadi 26,8% pada kelompok umur 55-64 tahun. Prevalensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Corwin (2009) menyatakan dalam Buku Saku

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Corwin (2009) menyatakan dalam Buku Saku BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang ditandai dengan perubahan tanda klinis secara cepat baik fokal maupun global yang mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat mengakibatkan kematian atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Vaskular Accident (CVA) sangat kurang, mulai personal hygiene sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Vaskular Accident (CVA) sangat kurang, mulai personal hygiene sampai 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama ini sering terjadi bahwa perawatan tubuh pada pasien Cerebro Vaskular Accident (CVA) sangat kurang, mulai personal hygiene sampai nutrisi (Fundamental,

Lebih terperinci

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN Lampiran 1 LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN Judul penelitian : Efektifitas pengkajian metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa keperawatan pada pasien stroke berat fase akut di RSUP Fatmawati Jakarta Peneliti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada disfungsi motorik dan

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada disfungsi motorik dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah penyakit neurologis terbanyak yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius dan berdampak pada disfungsi motorik dan sensorik. Kelemahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran. yang menyumbat arteri. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah otak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan gangguan aliran darah otak. Terdapat dua macam stroke yaitu iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan penyakit dengan defisit neurologis permanen akibat perfusi yang tidak adekuat pada area tertentu di otak atau batang otak. Stroke dibagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke masih menjadi pusat perhatian dalam bidang kesehatan dan kedokteran oleh karena kejadian stroke yang semakin meningkat dengan berbagai penyebab yang semakin

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan. kesehatan manusia, salah satu diantanranya stroke.

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan. kesehatan manusia, salah satu diantanranya stroke. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern menimbulkan berbagai macam penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia, salah satu diantanranya stroke.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akibat gangguan fungsional otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akibat gangguan fungsional otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan suatu kondisi klinis yang berkembang dengan cepat akibat gangguan fungsional otak fokal maupun global dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah suatu disfungsi neurologis akut (dalam beberapa detik) atau setidak-tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala - gejala dan tanda

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n

BAB 3 METODE PENELITIAN. Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal. U1n. U2n BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Rancang Bangun Penelitian Jenis penelitian : observasional Desain penelitian : prospektif dengan pembanding internal Sembuh P N M1 U1n mg I mg II mg III mg IV mg V mg VI Tidak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Stroke WHO mendefinisikan stroke sebagai gangguan saraf yang menetap baik fokal maupun global(menyeluruh) yang disebabkan gangguan aliran darah otak, yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Defenisi Stroke Stroke adalah suatu sindrom klinis dengan karakteristik kehilangan fungsi otak dengan gejala lebih dari 24 jam, dapat menyebabkan kematian dan dihubungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan dan efisiensi. Dengan kata lain, harus memiliki kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan dan efisiensi. Dengan kata lain, harus memiliki kontrol yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, namun banyak orang dalam hidupnya tidak ingin menghabiskan kegiatan yang bersangkutan dengan nilai kesehatan. Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otak, biasanya akibat pecahnya pembuluh darah atau adanya sumbatan oleh

BAB I PENDAHULUAN. otak, biasanya akibat pecahnya pembuluh darah atau adanya sumbatan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Menurut World Health Organization (WHO), stroke didefinisikan sebagai sebuah sindrom yang memiliki karakteristik tanda dan gejala neurologis klinis fokal dan/atau global

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. juga perlu, seperti halnya di Negara berkembang seperti Indonesia banyak orang yang

BAB 1 PENDAHULUAN. juga perlu, seperti halnya di Negara berkembang seperti Indonesia banyak orang yang BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan suatu hal yang paling penting. Dengan pola hidup sehat kita dapat melakukan segala hal sehat, tidak hanya sehat jasmani saja namun kesehatan rohani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suplai darah kebagian otak (Baughman, C Diane.dkk, 2000). Menurut europen

BAB I PENDAHULUAN. suplai darah kebagian otak (Baughman, C Diane.dkk, 2000). Menurut europen BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang di akibatkan oleh berhentinya suplai darah kebagian otak (Baughman, C Diane.dkk, 2000). Menurut europen stroke initiative (2003),

Lebih terperinci

LEAF. Book Bacaan ringkas & terpercaya. & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE

LEAF. Book Bacaan ringkas & terpercaya. & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE LEAF Book Bacaan ringkas & terpercaya & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE & apa yang harus anda ketahui untuk mencegah STROKE Oleh: Yudi Garnadi [FamiliaMedika] Hak cipta milik Yudi Garnadi

Lebih terperinci

Metodologi Asuhan Keperawatan

Metodologi Asuhan Keperawatan Metodologi Asuhan Keperawatan A. Pendahuluan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit neurologik yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua. setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua. setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyebab kematian terbesar kedua setelah penyakit jantung, menyumbang 11,13% dari total kematian di dunia. Pada tahun 2010, prevalensi stroke secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). Menurut data Word Health Organization (WHO, 2010), menyebutkan setiap

BAB I PENDAHULUAN. gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008). Menurut data Word Health Organization (WHO, 2010), menyebutkan setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul secara mendadak dan terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Status sehat sakit para anggota keluarga dan keluarga saling

BAB I PENDAHULUAN. Status sehat sakit para anggota keluarga dan keluarga saling BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status sehat sakit para anggota keluarga dan keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu penyakit dalam keluarga mempengaruhi jalannya suatu penyakit dan status

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (2001) stroke adalah tanda tanda klinis mengenai gangguan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (2001) stroke adalah tanda tanda klinis mengenai gangguan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut WHO (2001) stroke adalah tanda tanda klinis mengenai gangguan fungsi serebral secara fokal ataupun global yang berkembang dengan cepat, dengan gejala berlangsung

Lebih terperinci

- Seluruh perilaku, gerak dan aktivitas kita dikontrol oleh otak, yang terdiri dari bermilyard-milyard sel otak.

- Seluruh perilaku, gerak dan aktivitas kita dikontrol oleh otak, yang terdiri dari bermilyard-milyard sel otak. Written by Dr. Aji Hoesodo Stroke adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah di otak. Stroke merupakan suatu kerusakan pada system sentral yang diawali dengan penyakit darah tinggi

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS METODE NIHSS DAN ESS DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT

EFEKTIFITAS METODE NIHSS DAN ESS DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT EFEKTIFITAS METODE DAN ESS DALAM MEMBUAT DIAGNOSA KEPERAWATAN AKTUAL PADA PASIEN STROKE BERAT FASE AKUT Dedi Damhudi 1,2*, Dewi Irawaty 3, Rr. Tutik Sri Hariyati 3 1. Poltekes Kemenkes Pontianak Jurusan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Depresi Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1988). bergantung sepenuhnya kepada orang lain (WHO, 2002).

BAB I adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 1988). bergantung sepenuhnya kepada orang lain (WHO, 2002). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu penyakit serebrovaskuler yang paling sering terjadi sekarang ini adalah stroke. Stroke dapat didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami cacat ringan sampai berat. Indonesia merupakan Negara dengan angka stroke tertingi di Asia dan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami cacat ringan sampai berat. Indonesia merupakan Negara dengan angka stroke tertingi di Asia dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan pembuluh darah otak, timbul mendadak dan biasanya mengenai pasien usia 45-80 tahun ( Rasyid, 2006, hlm. 8). Di Amerika

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Stroke telah menjadi penyebab utama kedua terhadap kejadian disabilitas

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Stroke telah menjadi penyebab utama kedua terhadap kejadian disabilitas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke telah menjadi penyebab utama kedua terhadap kejadian disabilitas setelah demensia. Setiap tahun, lima belas juta orang di dunia terkena serangan stroke. Data

Lebih terperinci

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatnya tingkat sosial dalam kehidupan masyarakat dan ditunjang pula oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak pada peningkatan usia harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke memiliki serangan akut yang dapat dengan cepat menyebabkan kematian. Penderita stroke mengalami defisit neurologis fokal mendadak dan terjadi melebihi dari 24

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Premier Jatinegara, Sukono Djojoatmodjo menyatakan masalah stroke

BAB 1 PENDAHULUAN. Premier Jatinegara, Sukono Djojoatmodjo menyatakan masalah stroke BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau

Lebih terperinci

DIAGNOSIS STROKE HEMORAGIK DENGAN ALGORITMA STROKE GAJAH MADA

DIAGNOSIS STROKE HEMORAGIK DENGAN ALGORITMA STROKE GAJAH MADA DIAGNOSIS STROKE HEMORAGIK DENGAN ALGORITMA STROKE GAJAH MADA Dibuat oleh: Indah Widyasmara,Modifikasi terakhir pada Mon 23 of Aug, 2010 [00:17 UTC] ABSTRAK stroke adalah gangguan fungsional otak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung sebagai pemompa, kelainan dinding pembuluh darah dan komposisi

BAB I PENDAHULUAN. jantung sebagai pemompa, kelainan dinding pembuluh darah dan komposisi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut World Health Organization (WHO), stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh yang berlangsung dengan cepat lebih dari

Lebih terperinci

STROKE Penuntun untuk memahami Stroke

STROKE Penuntun untuk memahami Stroke STROKE Penuntun untuk memahami Stroke Apakah stroke itu? Stroke merupakan keadaan darurat medis dan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat. Terjadi bila pembuluh darah di otak pecah, atau yang lebih

Lebih terperinci

TINGKAT KECEMASAN KELUARGA DALAM MENGHADAPI ANGGOTA KELUARGA YANG MENGALAMI SERANGAN STROKE DI RUANG STROKE RUMAH SAKIT FAISAL MAKASSAR

TINGKAT KECEMASAN KELUARGA DALAM MENGHADAPI ANGGOTA KELUARGA YANG MENGALAMI SERANGAN STROKE DI RUANG STROKE RUMAH SAKIT FAISAL MAKASSAR 892 TINGKAT KECEMASAN KELUARGA DALAM MENGHADAPI ANGGOTA KELUARGA YANG MENGALAMI SERANGAN STROKE DI RUANG STROKE RUMAH SAKIT FAISAL MAKASSAR * Yourisna Pasambo * Dosen Tetap Akademi Keperawatan Sandi Karsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif (Ropper & BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam bidang neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Gangguan pembuluh darah otak (GPDO) adalah salah satu gangguan

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Gangguan pembuluh darah otak (GPDO) adalah salah satu gangguan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ( IPTEK ) memiliki berbagai dampak dalam kehidupan masyarakat, salah satunya adalah meningkatnya kemakmuran masyarakat yang diikuti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke kini telah menjadi perhatian dunia, menurut World Stroke

BAB I PENDAHULUAN. Stroke kini telah menjadi perhatian dunia, menurut World Stroke 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke kini telah menjadi perhatian dunia, menurut World Stroke Organization (WSO) telah menetapkan stroke sebagai wabah dunia. Angka kejadian stroke dunia saat ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke yang disebut juga sebagai serangan otak atau brain attack ditandai dengan hilangnya sirkulasi darah ke otak secara tiba-tiba, sehingga dapat mengakibatkan terganggunya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. detik seseorang akan terkena stroke. 6 Sementara di Inggris lebih dari. pasien stroke sekitar milyar dolar US per tahun.

BAB 1 PENDAHULUAN. detik seseorang akan terkena stroke. 6 Sementara di Inggris lebih dari. pasien stroke sekitar milyar dolar US per tahun. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Stroke menurut World Health Organization (WHO) 1995 adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat kontrol seperti pengendalian fisik, intelektual,

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. 1. Tinjauan Pustaka. Definisi stroke menurut WHO adalah suatu gangguan. fungsional otak dengan tanda dan gejala fokal maupun

BAB II. Tinjauan Pustaka. 1. Tinjauan Pustaka. Definisi stroke menurut WHO adalah suatu gangguan. fungsional otak dengan tanda dan gejala fokal maupun BAB II Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Pustaka 1.1. Definisi Stroke Definisi stroke menurut WHO adalah suatu gangguan fungsional otak dengan tanda dan gejala fokal maupun global, yang terjadi secara mendadak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyakit penyebab kecacatan nomor satu di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyakit penyebab kecacatan nomor satu di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan penyakit penyebab kecacatan nomor satu di dunia, sehingga stroke menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting saat ini. Dua pertiga stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kematian akibat stroke. Pada keadaan tidak adanya pertambahan

BAB I PENDAHULUAN kematian akibat stroke. Pada keadaan tidak adanya pertambahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penelitian Stroke merupakan salah satu penyebab utama kematian dan disabilitas di dunia (Carlo, 2009). Setiap tahunnya terdapat 16.000.000 kasus baru dan 5.700.000 kematian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. di Jalan Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja mempunyai visi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. di Jalan Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja mempunyai visi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta atau yang terkenal dengan nama Rumah Sakit Jogja adalah rumah sakit milik Kota Yogyakarta yang

Lebih terperinci

HALAMAN PERSETUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M DENGA KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN SEREBRAL ET CAUSA STROKE HEMORAGIK

HALAMAN PERSETUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M DENGA KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN SEREBRAL ET CAUSA STROKE HEMORAGIK HALAMAN PERSETUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M DENGA KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI JARINGAN SEREBRAL ET CAUSA STROKE HEMORAGIK DI RUANG KENANGA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr.r GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan sistem simbol (Wilkinson, 2012) keseluruhan terhenti. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan sistem simbol (Wilkinson, 2012) keseluruhan terhenti. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis yaitu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG KASUS Hambatan komunikasi verbal adalah penurunan, keterlambatan, atau tidak adanya kemampuan untuk menerima, memproses, menghantarkan, dan menggunakan sistem simbol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stroke Menurut World Health Organization (WHO) (2001) seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. Stroke Menurut World Health Organization (WHO) (2001) seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke Menurut World Health Organization (WHO) (2001) seperti yang dikutip Junaidi (2011) adalah suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan, fungsi otak secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dunia modern di abad ke 21 ini, banyak kemajuan yang telah dicapai, baik pada bidang kedokteran, teknologi, sosial, budaya maupun ekonomi. Kemajuan-kemajuan

Lebih terperinci

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan PENGANTAR KESEHATAN DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY PENGANTAR Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan meningkatkan kesehatan, cara mencegah penyakit, cara menyembuhkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menurut WHO MONICA project, stroke didefinisikan sebagai gangguan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menurut WHO MONICA project, stroke didefinisikan sebagai gangguan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO MONICA project, stroke didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda klinis fokal atau global yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (Misbach, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (Misbach, 2011). BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Stroke adalah salah satu sindrom neurologi yang merupakan ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia (Misbach, 2011). Stroke merupakan penyebab

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Stroke dan Dampaknya 2.1.1.1. Pengertian stroke Black dan Hawks, (2005) mengatakan bahwa stroke adalah perubahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur dibawah 45 tahun, perbandingan laki-laki dan wanita adalah 2 : 1. Penyebab paling

Lebih terperinci

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012 Penelitian Keperawatan Jiwa SITI FATIMAH ZUCHRA BP. 1010324031

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. besar. Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke berpengaruh pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN UKDW. besar. Kecacatan yang ditimbulkan oleh stroke berpengaruh pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Stroke merupakan masalah medis yang serius karena dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat, kecacatan dan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Kecacatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cerebrovaskular accident atau yang sering di sebut dengan istilah stroke adalah gangguan peredaran darah di otak yang mengakibatkan terganggunya fungsi otak yang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tubuh memiliki pusat pengaturan yang diatur oleh otak. Otak merupakan organ paling besar dan paling kompleks pada sistem saraf. Sistem saraf merupakan sistem fungsional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Teori 1. Stroke Non Hemoragik Menurut kriteria WHO, stroke secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsional otak yang terjadi mendadak dengan tanda dan gejala klinis

Lebih terperinci

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita Saat menemukan penderita ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menentukan tindakan selanjutnya, baik itu untuk mengatasi situasi maupun untuk mengatasi korbannya. Langkah langkah penilaian pada penderita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Peningkatan pelayanan di sektor kesehatan akan menyebabkan usia harapan

BAB 1 PENDAHULUAN. Peningkatan pelayanan di sektor kesehatan akan menyebabkan usia harapan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan pelayanan di sektor kesehatan akan menyebabkan usia harapan hidup semakin meningkat dan sebagai konsekuensinya maka masalah kesehatan berupa penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kardiovaskuler merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot dan bekerja menyerupai otot polos, yaitu bekerja di luar kemauan kita (dipengaruhi oleh susunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan stroke iskemik sebagai kasus utamanya (Fenny et al., 2014). Penderita penyakit

BAB I PENDAHULUAN UKDW. dan stroke iskemik sebagai kasus utamanya (Fenny et al., 2014). Penderita penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembunuh kedua dari daftar penyebab kematian di dunia setelah penyakit jantung iskemik adalah stroke. Stroke telah bertanggung jawab atas kematian 6.7 juta manusia

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini diperoleh 70 subyek penelitian yang dirawat di bangsal

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini diperoleh 70 subyek penelitian yang dirawat di bangsal BAB HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.1 Hasil Penelitian.1.1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian Pada penelitian ini diperoleh 0 subyek penelitian yang dirawat di bangsal B1 Saraf RS Dr. Kariadi Semarang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. klinis cedera kepala akibat trauma adalah Glasgow Coma Scale (GCS), skala klinis yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala Akibat Trauma Cedera kepala umumnya diklasifikasikan atas satu dari tiga sistem utama, yaitu: keparahan klinis, tipe patoanatomi dan mekanisme fisik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit serebrovaskuler atau yang lebih dikenal dengan stroke merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek kedokteran. Data epidemiologis menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1 Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang sedang terjadi atau telah terjadi atau yang digambarkan dengan kerusakan jaringan. Rasa sakit (nyeri) merupakan keluhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Undang-undangKesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu keadaan sehat fisik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Undang-undangKesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu keadaan sehat fisik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-undangKesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu keadaan sehat fisik, jasmani (mental) dan spritual serta sosial, yang memungkinkan setiap induvidu dapat hidup secara

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. M DENGAN STROKE HEMORAGIK DI RUANG CEMPAKA BAWAH RSUD SUKOHARJO

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. M DENGAN STROKE HEMORAGIK DI RUANG CEMPAKA BAWAH RSUD SUKOHARJO ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. M DENGAN STROKE HEMORAGIK DI RUANG CEMPAKA BAWAH RSUD SUKOHARJO Disusun oleh : ADITYA PURWANTA J200090053 KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Guna Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi

Lebih terperinci

BANTUAN HIDUP DASAR (BHD) DAN RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)

BANTUAN HIDUP DASAR (BHD) DAN RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP) BANTUAN HIDUP DASAR (BHD) DAN RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP) Artikel ini merupakan sebuah pengetahuan praktis yang dilengkapi dengan gambar-gambar sehingga memudahkan anda dalam memberikan pertolongan untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM KELAS D KOJA Jl. Walang Permai No. 39 Jakarta Utara PANDUAN ASESMEN PASIEN TERMINAL

PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM KELAS D KOJA Jl. Walang Permai No. 39 Jakarta Utara PANDUAN ASESMEN PASIEN TERMINAL PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA RUMAH SAKIT UMUM KELAS D KOJA Jl. Walang Permai No. 39 Jakarta Utara PANDUAN ASESMEN PASIEN TERMINAL I. DEFINISI Pelayanan pada tahap terminal adalah pelayanan yang diberikan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH LATIHAN MENGUNYAH DAN MENELAN TERSTRUKTUR TERHADAP KEMAMPUAN MENGUNYAH DAN MENELAN DALAM KONTEKS ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN STROKE DENGAN DISFAGIA DI RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intensive Care Unit (ICU) menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial, dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Stroke a. Definisi Stroke Stroke adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak secara akut dan dapat menimbulkan kematian (World Health

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Definisi Stroke adalah suatu manifestasi neurologik yang terjadi mendadak dalam waktu yang singkat karena adanya gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa ABSTRAK Halusinasi adalah gangguan jiwa pada individu yang dapat ditandai dengan perubahan persepsi sensori, dengan merasakan sensasi yang tidak nyata berupa suara, penglihatan, perabaan, pengecapan dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG PENENTUAN KEMATIAN DAN PEMANFAATAN ORGAN DONOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Stroke merupakan penyebab kematian ke tiga setelah penyakit jantung dan kanker serta merupakan penyebab kecacatan tertinggi pada manusia, terutama usia dewasa. Insidensi

Lebih terperinci