Memahami Subjek Pajak Penghasilan Secara Umum. Memahami Objek Pajak Penghasilan Secara Umum. Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Memahami Subjek Pajak Penghasilan Secara Umum. Memahami Objek Pajak Penghasilan Secara Umum. Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)"

Transkripsi

1 PAJAK PENGHASILAN 2 Memahami Subjek Pajak Penghasilan Secara Umum Memahami Objek Pajak Penghasilan Secara Umum Menghitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Menerapkan Tarif Pajak; Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21; Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22; Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23;

2 Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 26; Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan; Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan; Menerapkan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi; Menerapkan Mata Anggaran Penerimaan Pajak Penghasilan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 2

3 Uraian dan Contoh Pajak penghasilan dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), yang berlaku sejak 1 Januari Undang-Undang ini telah mengalami 4 (empat) kali perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap Subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak Subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Subjek Pajak Subjek pajak dalam pajak penghasilan, adalah: 1. a. Orang pribadi b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif. 3. Badan Usaha Tetap (BUT) Subjek pajak dapat dibedakan menjadi : 1. Subjek pajak dalam negeri, terdiri dari : a. Subjek pajak orang pribadi, yaitu : - Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan atau - Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 3

4 b. Subjek pajak badan, yaitu : Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai berikut. 1) pembentukannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan; 2) pembiayaanya bersumber dari APBN/APBD; 3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah; 4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. c. Subjek pajak warisan, yaitu Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Subjek pajak luar negeri, terdiri dari : a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui badan usaha tetap di Indonesia. b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui badan usaja tetap di indonesia. Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut. Tabel 2.1. Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Luar Negeri Wajib Pajak Dalam Negeri Dikenakan pajak atas penghasilan baik diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar indonesia Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (tarif UU PPh pasal 17) Wajib menyampaikan SPT Wajib Pajak Luar negeri Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan brutto Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal 26) Tidak wajib menyampaikan SPT Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 4

5 Selain subjek pajak yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa orang pribadi maupun badan yang dikecualikan/tidak termasuk ke dalam subjek pajak penghasilan, antara lain: a. Kantor perwakilan negara asing; b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat : 1) Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya; 2) Negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat : 1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; 2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat : 1) Bukan warga negara Indonesia; 2) Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. Objek Pajak Berdasarkan Pasal 4 ayat (1), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pengertian objek pajak penghasilan di atas, menunjukkan bahwa Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan tersebut menganut prinsip pemungutan pajak atas penghasilan dalam arti luas, yaitu pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, dari manapun asal atau sumbernya, selama penghasilan tersebut dapat dipergunakan untuk konsumsi atau dapat menambah nilai kekayaan merupakan objek pemungutan pajak penghasilan. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 5

6 Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi : 1. Penghasilan dari pekerjaan dan pekerjaan bebas (gaji, honorarium, dan penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli); 2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan; 3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, bunga, deviden, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan 4. Penghasilan lain, yaitu penghasilan yang tidak diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas : a. Keuntungan karena pembebasan utang; b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; d. Hadiah undian. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan kena pajak. Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk orang pribadi dalam negeri adalah penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan PMK 101/PMK.010/2016 PTKP dalam satu tahun pajak yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut. 1. Rp ,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi. 2. Rp ,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. 3. Rp ,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dengan syarat: a. Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang PPh Pasal 21; dan b. Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. 4. Rp ,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 orang). Besarnya PTKP bagi wanita berlaku ketentuan sebagaimana tabel berikut : Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 6

7 Tabel 2.2. PTKP bagi Wanita Status Diri sendiri Tambahan Keterangan Kawin PTKP untuk dirinya sendiri Tidak Kawin PTKP untuk dirinya sendiri - - PTKP untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang Menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah daerah serendahrendahnya camat Pengitungan PTKP ditentukan menurut keadaan awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Contoh cara menghitung PTKP a. Khoirul Amri status sudah menikah dan mempunyai seorang anak (K/1). Maka perhitungan PTKP dari Khoirul Amri adalah PTKP satu tahun Untuk wajib pajak sendiri Rp Tambahan wajib pajak kawin Rp Tambahan satu anak Rp Jumlah Rp b. Bambang Pradana status sudah menikah dan mempunyai 3 anak (K/3). Maka perhitungan PTKP dari Bambang Pradana adalah PTKP satu tahun Untuk wajib pajak sendiri Rp Tambahan wajib pajak kawin Rp Tambahan tiga anak Rp Jumlah Rp Tarif Pajak Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut: Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 7

8 Tabel 2.3. Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Sampai dengan Rp ,00 5% Di atas Rp ,00 sampai dengan Rp ,00 15% Di atas Rp ,00 sampai dengan Rp ,00 25% Di atas Rp ,00 30% Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Contoh tarif pajak a. Dr. Irawan Yoga, SH, MH, mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp , maka perhitungan pajak penghasilannya adalah Lapisan Penghasilan Tarif Besaran PPh Rp x 5% = Rp Rp x 15% = Rp Rp x 25% = Rp Rp x 30% = Rp Total PPh = Rp Berdasarkan perhitungan diatas pajak terutang Dr. Irawan yoga, SH, MH adalah Rp ,- b. Intan Pratiwi, SE mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp ,00 maka perhitungan pajak penghasilannya adalah Penghasilan kena pajak dibulatkan menjadi Rp ,00 Jadi Pajak Penghasilan yang harus dibayarkan Intan Pratiwi adalah Rp x 5% = Rp ,- Berdasarkan perhitungan diatas pajak terutang Intan Pratiwi sebesar Rp Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 8

9 Pajak Penghasilan Pasal Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. Pajak Penghasilan Pekerjaan atau jabatan Jasa dan Kegiatan Yang Dilakukan Subjek Pajak Orang Pribadi Atas Penghasilan Berupa: Gaji, Upah, Honorarium, Tunjangan, dan Pembayaran Lain dengan Nama/Bentuk Apapun Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri PPh Pasal 21 PPh Pasal 26 Gambar 2.1. Pengertian Pajak Penghasilan 2. Ruang Lingkup Pemotongan Penghasilan Pasal 21 Bendahara Bendahara pemerintah berkewajiban untuk memotong PPh Pasal 21 kepada Wajib Pajak yang menerima penghasilan berupa gaji, honorarium, tunjangan, uang makan, uang lembur, dan pembayaran-pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang anggarannya dibebankan kepada APBN/APBD. Ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 yang dilakukan oleh bendahara pemerintah, adalah: a. Pemotongan PPh Pasal 21 Kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pensiunannya; Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 9

10 b. Pemotongan PPh Pasal 21 kepada yang bukan Pejabat Negara/ Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tidak termasuk subjek pajak yang dipotong PPh pasal 21 oleh bendahara adalah : a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakukan timbal balik b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 3. Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya a. Sumber Penghasilan Sumber penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sumber penghasilan yang diperoleh dari penghasilan yang berkaitan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang mana penghasilan tersebut dibayarkan secara tetap dan teratur setiap bulan dan penghasilan lain yang berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN/APBD. Penghasilan tetap dan teratur adalah penghasilan yang dibayarkan setiap bulannya yang dibebankan pada APBN/APBD, penghasilan tetap tersebut, antara lain: 1) Gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau 2) Imbalan tetap lain yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku,yang diterima oleh Pejabat Negara,PNS,TNI,POLRI dan pensiunannya. Penghasilan tersebut tidak termasuk biaya perjalanan dinas. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 10

11 b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pejabat Negara, PNS, TNI, dan POLRI dan Pensiunannya yang Bersifat Tetap dan Teratur Dasar Pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan adalah Penghasilan Kena Pajak. Besarnya Penghasilan Kena Pajak ditentukan dari penghasilan neto dikurangi dengan PTKP, sedangkan penghasilan neto diperoleh dari penghasilan bruto yang diterima setiap bulannya, dikurangi dengan biaya jabatan dan iuran pensiun. Penghasilan bruto xxxxx Biaya Jabatan/Iuran pensiun xxxxx Iuran pensiun xxxxx + xxxxx _ Penghasilan Neto xxxxx PTKP xxxxx _ Penghasilan Kena Pajak xxxxx Berdasarkan Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, terhadap Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atas penghasilan yang diperoleh secara tetap dan teratur setiap bulan dikenakan tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% dari tarif pemotongan PPh Pasal 21 yang seharusnya. Tarif lebih tinggi sebesar 20% tersebut, dipotong dari penghasilan yang seharusnya diterima setiap bulan dibayarkan. PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan secara tetap dan teratur kepada PNS,Pejabat Negara,TNI, POLRI dan pensiunannya berdasarkan PP 80 tahun 2010 ditanggung pemerintah. Apabila PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya diangkat sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga yang tidak termasuk dalam kriteria Pejabat Negara, maka atas penghasilan yang menjadi beban APBN/APBD. Terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga tersebut, tetap dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan Pajak penghasilan yang berlaku dan PPh Pasal 21 yang terutang tidak ditanggung pemerintah. Tata cara perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur, disajikan dalam tahapan seperti gambar di bawah ini. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 11

12 Penghasilan Bruto - Gaji Kehormatan - Gaji - Tunjangan yang Terkait Penghasilan Neto Dikurangi: - Biaya Jabatan, 5% dari Penghasilan Bruto Maksimal Rp ,-/ Thn atau Rp ,-/Bln - Iuran yang Terikat dengan Penghasilan Tetap (Iuran Pensiun, Iuran Tht) Penghasilan Neto X 12 Dikurangi PTKP Penghasilan Kena Pajak Pajak Terutang Ditanggung oleh Pemerintah Tarif (Pasal 17 UU PPh) Gambar 2.2. Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan Tetap dan Teratur Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 12

13 CONTOH 1 Drs.Irwan Prayitno merupakan PNS golongan III/d yang menduduki jabatan struktural sebagai eselon IV. Dia telah menikah dan memiliki 2 orang anak. Dia telah memiliki NPWP dan menerima penghasilan yang sifatnya tetap dan teratur, maka PPh Pasal 21 yang terutang sebagai berikut: 1 Gaji pokok Tunjangan istri = 10% x , Tunjangan anak = 2 x 2% x , Jumlah Tunjangan jabatan Tunjangan beras Pembulatan 88 7 Gaji kotor/penghasilan Bruto (Jumlah baris 1 sd baris 6) 8 Pengurangan : a. Biaya jabatan = 5% x Rp = Rp b. Iuran pension = 4,75% x Rp = Rp Penghasilan bersih (netto) sebulan (baris 7) (baris 8) Penghasilan bersih (netto) setahun 12 x (baris 9) PTKP (diri sendiri + istri + 2 anak) Penghasilan kena pajak setahun (baris 10) (barsi 11) Penghasilan kena pajak setahun dibulatkan PPh terutang dalam setahun : 5% x Rp PPh terutang dalam sebulan = : PPh Pasal 21 yang terutang sebesar Rp24.692,00 ditanggung pemerintah, namun apabila Drs. Iman Arifin tidak memiliki NPWP, maka dari dikenakan tambahan tarif 20% dari Rp yakni sebesar Rp.4.938,00, tarif lebih tinggi sebesar Rp4.938,00 (20%) tersebut, tidak dibayarkan oleh pemerintah, melainkan dipotong oleh bendahara dari penghasilan yang dibayarkan (gaji dan tunjangan). Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 13

14 CONTOH 2 Terkait dengan contoh 1, maka perhitungan untuk PPh Pasal 21 untuk gaji ke 13 yang diterima oleh Drs. Irwan Prayitno pada bulan Juli 2016 adalah: 1 Gaji pokok Tunjangan istri = 10% x , Tunjangan anak = 2 x 2% x , Jumlah Tunjangan jabatan Tunjangan beras Pembulatan 88 P7 Gaji kotor/penghasilan Bruto (Jumlah baris 1 sd baris 6) P 8 Penghasilan Bruto Setahun h x GAJI KE 13 P Gaji pokok a s a l Tunjangan istri = 10% x ,- Tunjangan anak = 2 x 2% x ,- Tunjangan jabatan Pembulatan Penghasilan Bruto JUMLAH PENGHASILAN SETAHUN Rp Rp Pengurangan : a. Biaya jabatan = 5% x Rp = Rp b. Iuran pension = 12 X 4,75% x Rp = Rp Penghasilan Netto setahun PTKP Penghasilan Kena Pajak Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 14

15 Pembulatan Pph pasal 21 setahun dengan gaji ke PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan ke yang terutang sebesar Rp ,00 ditanggung pemerintah, namun apabila Drs. Irwan Prayitno tidak memiliki NPWP, maka dari dikenakan tambahan tarif 20% dari Rp ,00 yakni sebesar Rp ,00, tarif lebih tinggi sebesar Rp ,00 (20%) tersebut, tidak dibayarkan oleh pemerintah, melainkan dipotong oleh bendahara dari penghasilan yang dibayarkan (gaji dan tunjangan). c. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pejabat Negara, PNS, TNI, dan POLRI dan Pensiunannya yang Bersifat Tidak Tetap dan Tidak Teratur Penghasilan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya yang berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN/APBD, dipotong PPh Pasal 21 oleh bendahara atau pejabat lain yang ditunjuk melaksanakan pembayaran honorarium atau imbalan lain tersebut. Pemotongan yang dilakukan oleh bendahara pemerintah atau pejabat lain tersebut bersifat final. Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya ditetapkan sebagai berikut: 1) Tarif 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain yang dibayarkan kepada: PNS golongan I(satu) dan Golongan II (dua); dan TNI dan POLRI dengan pangkat Tamtama dan Bintara dan pensiunannya. 2) Tarif 5% (lima Persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain yang dibayarkan kepada: PNS golongan III (tiga); dan TNI dan POLRI golongan /pangkat Perwira Pertama dan pensiunannnya. 3) Tarif 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain yang dibayarkan kepada: Pejabat Negara; PNS golongan IV (empat); Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 15

16 TNI dan POLRI golongan/pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi dan pensiunannya. Penghasilan yang tidak tetap dan teratur - Honorarium - Imbalan Lain dengan Nama Apapun yang Diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/Polri Dibebankan kepada Keuangan Negara/ Daerah Dipotong PPh Pasal 21 : 0%/5%/15% Dari Penghasilan Bruto (Final) Gambar 2.3. Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 PNS dan Pensiun yang bersifat tidak tetap dan teratur Contoh Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan membayar kepada Saudara Monang Sitorus selaku pengajar bela negara pada diklat Kuasa Pengguna Anggaran, sebesar Rp ,00. Saudara Monang Sitorus berkedudukan sebagai pensiunan Brigadir Jenderal. Maka PPh pasal 21 yang harus dipotong bendahara sebesar 15% x Rp ,00 = Rp ,00 4. Pajak Penghasilan Pasal 21 Selain Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya a. Subjek Pajak 1) Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga lepas, yang bekerja berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 16

17 atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah. Subjek pajak pegawai digolongkan menjadi dua golongan, yakni: a) Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, artinya penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji, tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun, yang diberikan secara periodik. Selain penghasilan yang diperoleh pegawai tetap secara teratur, terdapat pula penghasilan pegawai tetap yang diperoleh secara tidak teratur, yakni penghasilan yang diperoleh sekali dalam satu tahun atau dalam satu periode, misalnya Tunjangan Hari Raya (THR), bonus, dll. b) Pegawai tidak tetap /Tenaga lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja. Perhitungan upah didasarkan pada jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suati pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja. 2) Bukan pegawai, adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan meliputi : a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; b) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; c) olahragawan d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; e) pengarang, peneliti, dan penerjemah; f) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan; g) agen iklan; h) pengawas atau pengelola proyek; i) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara; j) petugas penjaja barang dagangan; k) petugas dinas luar asuransi; Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 17

18 l) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya; Dari susunan di atas dapat dikatakan bahwa daftar tersebut berbentuk positive list yang berarti sudah jelas siapa yang dimaksud Bukan Pegawai. Pemberi jasa yag tidak termasuk dalam daftar tersebut berarti bukan Bukan Pegawai. 3) Peserta kegiatan termasuk penerima penghasilan yang tidak dapat digolongkan ke dalam golongan pegawai dan bukan pegawai. Hal tersebut dikarenakan, peserta kegiatan tidak memiliki karakteristik seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan keikutsertaannya dalam kegiatan. Pegawai Bukan Pegawai Peserta Kegiatan Subjek Pajak Gambar 2.4. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 Selain Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Selain Profesi Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya yang Bersifat Tetap dan Teratur Pemotongan PPh Pasal 21 untuk golongan Wajib Pajak bukan pegawai, dibedakan berdasarkan sifat penghasilannya, yakni penghasilan yang berkesinambungan dan penghasilan yang tidak berkesinambungan. Bagi Wajib Pajak yang berstatus bukan pegawai yang memenuhi syarat 1) menerima penghasilan berkesinambungan dan telah memiliki NPWP 2) hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21, serta tidak memperoleh penghasilan lain, maka PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah: Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 18

19 PPh Pasal 21 = Pasal 17 ayat (1) huruf a atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender. Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah 50% dari penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan. Yang dimaksud dengan bersifat berkesinambungan adalah pembayaran yang dilakukan secara bulanan atau berkala lebih dari satu kali pembayaran yang sesuai dengan maksud perikatan/pemberian kerja. Untuk golongan Wajib Pajak bukan pegawai yang tidak memenuhi dua syarat diatas maka PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah: PPh Pasal 21 = Pasal 17 ayat(1) huruf a, atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender. Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto yang bersangkutan. Contoh: Penghitungan PPh Pasal 21 atas Imbalan kepada Bukan Pegawai yang hanya menerima penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dan bersifat berkesinambungan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengadakan kontrak selama setahun dengan dr. Dewi Warastuti (memiliki NPWP, bukan PNS), spesialis penyakit dalam, (status TK) sebagai dokter kesehatan di Poliklinik. Imbalan per bulan dengan kehadiran empat kali dalam seminggu dibayar sebesar Rp 20juta. Dr. Dewi Warartuti hanya menerima penghasilan dari Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan Dalam hal ini, dr. Dewi Warastuti termasuk Bukan Pegawai yang menerima penghasilan (berdasarkan perikatan) bersifat berkesinambungan dan hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut: DPP PPh Pasal 21 per bulan = 50% x Rp ,00 PTKP sebulan = Rp ,00 - (Rp ,00 : 12) = Rp ,00 - Rp ,00 = Rp ,00 Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 19

20 Untuk menentukan besarnya PPh pasal 21 terutang per bulan dibuat perhitungan sebagai berikut: PPh Pasal DPP DPP Kumulatif Bulan Tarif 21 Rp Rp Rp Januari 5,500,000 5,500,000 5% 275,000 Februari 5,500,000 11,000,000 5% 275,000 Maret 5,500,000 16,500,000 5% 275,000 April 5,500,000 22,000,000 5% 275,000 Mei 5,500,000 27,500,000 5% 275,000 Juni 5,500,000 33,000,000 5% 275,000 Juli 5,500,000 38,500,000 5% 275,000 Agustus 5,500,000 44,000,000 5% 275,000 September 5,500,000 49,500,000 5% 275,000 Oktober 500,000 50,000,000 5% 25,000 5,000,000 55,000,000 15% 750,000 5,500, ,000 November 5,500,000 60,500,000 15% 825,000 Desember 5,500,000 66,000,000 15% 825,000 Contoh : Penghitungan PPh Pasal 21 atas Imbalan kepada Bukan Pegawai yang menerima penghasilan lebih dari satu Pemberi Kerja dan bersifat Berkesinambungan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengadakan kontrak selama setahun dengan dr. Dewi Warastuti (bukan PNS, memiliki NPWP), spesialis penyakit dalam, (status TK) sebagai dokter kesehatan di Poliklinik. Imbalan per bulan dengan kehadiran empat kali dalam seminggu dibayar sebesar Rp 20juta. Dr. Dewi Warartuti selain menerima penghasilan dari Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan juga menerima dari tempat lain Dalam hal ini, dr. Dewi Warastuti termasuk Bukan Pegawai yang menerima penghasilan (berdasarkan perikatan) bersifat berkesinambungan dan tidak hanya menerima penghasilan dari satu pemberi kerja, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut: DPP PPh Pasal 21 per bulan = 50% x Rp ,00 = Rp ,00 Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 20

21 Untuk menentukan besarnya PPh pasal 21 terutang per bulan dibuat perhitungan sebagai berikut: PPh Pasal DPP DPP Kumulatif Bulan Tarif 21 Rp Rp Rp Januari 10,000,000 10,000,000 5% 500,000 Februari 10,000,000 20,000,000 5% 500,000 Maret 10,000,000 30,000,000 5% 500,000 April 10,000,000 40,000,000 5% 500,000 Mei 10,000,000 50,000,000 5% 500,000 Juni 10,000,000 60,000,000 15% 1,500,000 Juli 10,000,000 70,000,000 15% 1,500,000 Agustus 10,000,000 80,000,000 15% 1,500,000 September 10,000,000 90,000,000 15% 1,500,000 Oktober 10,000, ,000,000 15% 1,500,000 November 10,000, ,000,000 15% 1,500,000 Desember 10,000, ,000,000 15% 1,500,000 c. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Selain Profesi Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI, dan Pensiunannya yang Bersifat Tidak Tetap dan Tidak Teratur Selain penghasilan yang berkesinambungan seperti yang telah dipaparkan di atas, terdapat pula penghasilan tidak berkesinambungan yang diperoleh oleh Wajib Pajak bukan pegawai. Yang dimaksud dengan penghasilan tidak berkesinambungan yakni honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan. PPh Pasal 21 yang dikenakan terhadap golongan ini adalah: Tarif PPh Pasal 21 = Pasal 17ayat 1 huruf a x 50% dari penghasilan bruto. Perhitungan PPh pasal 21 untuk Bukan Pegawai dapat dilihat pada tabel berikut. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 21

22 Bukan Pegawai Tidak Berkesinambungan Tarif Ps 17 X 50% x Jumlah Bruto Berkesinambungan 1. Tidak mendapat penghasilan di tempat lain 2. Ber-NPWP Tidak Memenuhi syarat 50% Jml bruto x Tarif Pasal 17 (lapisan tarif berdasar 50%x Jumlah bruto kumulatif) Memenuhi syarat (50% Jml bruto- PTKP) x Tarif Pasal 17 (lapisan tarif berdasar Jumlah PKP kumulatif) Gambar 2.5. Perhitungan PPh Pasal 21 untuk Bukan Pegawai Contoh : Dalam acara Capacity Building, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan mengundang seorang motivator dengan pembayaran honor sebesar Rp ,00. Maka PPh Pasal 21 yang dipotong kepada motivator tersebut sebesar : - Dasar Pengenaan Pajak = 50 % x Rp ,00 = Rp Pajak terutang : 5% x Rp ,- = Rp ,- 15% x Rp ,- = Rp ,- Rp ,- Sehingga PPh 21 yang harus dipotong terhadap motivator tersebut adalah Rp ,-. Namun Apabila motivator tersebut tidak mempunyai NPWP maka dikenakan 20% lebih tinggi 120% x Rp ,- = Rp ,- d. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Jasa yang Dibayarkan Bulanan, Satuan, Harian, Mingguan, dan Borongan Pemotongan PPh Pasal 21 yang terkait dengan pekerjaan jasa, dan kegiatan orang pribadi yang menerima upah harian, mingguan dan borongan, seperti penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga lepas yang menerima upah Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 22

23 berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan, maka berdasarkan PMK 102/PMK.010/2016 berlaku ketentuan sebagai berikut : 1) Apabila penghasilan bruto tidak melebihi Rp ,- maka tidak dipotong PPh pasal 21 2) Apabila penghasilan bruto melebihi Rp ,- dan masih dibawah Rp ,- maka 3) PPh pasal 21 = 5% x (Upah sehari Rp ,-) 4) Apabila penghasilan bruto melebihi Rp ,- dan masih dibawah Rp ,- maka 5) PPh pasal 21 = 5% x (Upah sehari PTKP/360) 6) Apabila penghasilan melebihi Rp ,- dalam 1 bulan maka PPh pasal 21 = (disetahunkan PTKP) /12 Secara ringkas penghitungan PPh pasal 21 penghasilan secara bulanan, mingguan, satuan, borongan, harian dapat dilihat pada gambar berikut. Penghitungan PPh Pasal 21 Lainnya Pegawai tidak tetap, tenaga lepas,honorer, yang dibayar bulanan gaji, uang pensiun, tunjangan, dan sejenisnya Dikali 12 Penerima Upah harian, mingguan,satuan, borongan. Rp /hari TIDAK DIPOTONG >Rp /hari; = 5% x (upah sehari Rp ) Peserta Kegiatan Tarif Pasal 17 X Jumlah Bruto Dikurangi PTKP kali Tarif Pasal 17 dibagi 12 =PPh Pasal 21 sebulan Saat >Rp ; dlm 1 bln = 5% x (upah sehari PTKP/360) Saat > dlm 1 bln = (disetahunkan PTKP) / 12 Gambar 2.6. Perhitungan PPh Pasal 21 Lainnya Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 23

24 Contoh 1 Seto adalah seorang pria dengan status belum nikah, pada bulan November bekerja sebagai buruh harian di kegiatan pembersihan halaman kantor Balai Diklat Keuangan, pekerjaan tersebut dilakukan selama 6 (enam) hari dengan upah per hari Rp ,00, (Lima ratus ribu rupiah), maka perhitungan PPh 21 bagi Seto adalah sebagai berikut: Penghitungan PPh Pasal 21 terutang: Upah sehari Rp ,00 Upah harian tidak dikenakan PPh Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak per hari Rp ,00 PPh Pasal 21 (5% x Rp ,00) = Rp ,00 PPh Pasal 21 yang harus dipotong selama 6 hari = 6 hari x Rp = Rp Contoh 2 Seto adalah seorang pria dengan status belum nikah, pada bulan November bekerja sebagai buruh harian di Kegiatan Pemeliharaan Halaman Gedung Balai Diklat Keuangan Yogyakarta. Seto bekerja selama 12 hari dan menerima upah harian sebesar Rp ,00, maka perhitungan PPh 21 bagi Seto adalah sebagai berikut: Perhitungan PPh Pasal 21 terutang : Upah sehari Rp ,00 Upah s.d. hari ke 10 Rp ,00 Sampai hari ke 10 karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp ,00 maka tidak ada PPh pasal 21 yang dipotong Upah s.d. hari ke 11( x 11) Rp PTKP Sebenarnya 11 x ( / 360) Rp Rp PPh pasal 21 terutang s.d. hari ke 11 5% x Rp PPh pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke 10 Rp 0 Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 24

25 PPh pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke 11 Rp Sehingga pada hari ke 11, upah bersih yang diterima Seto adalah Rp Rp = Rp ,00 Penghitungan PPh pasal 21yang harus dipotong pada hari ke 12 sebagai berikut : Upah sehari Rp ,00 PTKP Sehari Rp / 360 Rp ,00 Rp ,00 PPh pasal 21 terutang s.d. hari ke 12 5% x Rp ,00 Rp ,00 Sehingga upah bersih seto pada hari ke 12 adalah Rp ,00 Rp ,00 = Rp Contoh 3 Seto bekerja sebagai satpam pada Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Seto sudah menikah tetapi belum mempunyai anak. Seto mendapat upah yang dibayarkan secara bulanan sebesar Rp ,00 Perhitungan PPh pasal 21 Penghasilan neto setahun = Rp ,00 x 12 Rp ,00 PTKP (K/0) adalah - Untuk WP sendiri Rp ,00 - Tambahan kawin Rp ,00 Rp ,00 Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 PPh pasal 21 setahun adalah sebesar 5% x Rp ,00 = Rp ,00 Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 25

26 Contoh 4 Seto bekerja memasang gebalan rumput. Upah dibayar sebesar Rp ,00 setiap 1 meter. Dalam seminggu (6 hari kerja) Seto memasang sebanyak 24 meter. Sehingga upah yang dibayarkan sebesar Rp ,00 Maka perhitungan PPh pasal 21 : Upah sehari : - Rp ,00 : 6 = Rp ,00 Upah diatas Rp ,00, sehingga penghasilan kena pajak - Rp ,00 Rp ,00 = Rp ,00-6 hari x Rp ,00 = Rp ,00 PPh pasal 21-5% x Rp ,00 = Rp ,00 (selama seminggu) e. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Jasa yang Diterima Peserta Kegiatan Peserta kegiatan adalah 1. Peserta Perlombaan dalam segala bidang 2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan atau kunjungan kerja 3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu 4. Peserta Pendidikan dan pelatihan 5. Peserta Kegiatan lainnya Penghasilan yang diterima peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun baik uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dan penghasilan sejenis lainnya. Penghasilan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan perhitungan sebagai berikut: Tarif PPh Pasal 21 = Pasal 17 ayat 1 huruf a x penghasilan bruto. Contoh Saudara Retno mengikuti kegiatan bimbingan teknis merangkai bunga yang diselenggarakan oleh Badan Latihan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dia menerima upah sebesar Rp ,00. Saudara Retno telah memiliki NPWP. Maka PPh pasal 21 yang harus dipotong bendahara adalah PPh Pasal 21 = 5% x Rp ,00 = Rp ,00. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 26

27 Berikut disajikan tabel dasar perhitungan untuk menghitung PPh pasal 21 Yang Dipotong Tabel 2.4. Dasar Penghitungan PPh pasal 21 Dasar Pengenaan Pajak Pegawai tetap Penghasilan kena pajak = Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp belum melebihi Rp Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp jumlah seluruh penghasilan bruto setelah dikurangi dengan: a. biaya jabatan, sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggitingginya Rp ,00 sebulan atau Rp ,00 setahun; b. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Dikurangi PTKP Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto Dikurangi PTKP Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto dikurangi Rp Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto dikurangi PTKP sebenarnya (PTKP yang sebenarnya adalah adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.) Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto (disetahunkan) dikurangi PTKP Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 27

28 Yang Dipotong Bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan dan memenuhi syarat Bukan pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan Selain di atas Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Kena Pajak = 50% dari jumlah penghasilan bruto Dikurangi PTKP perbulan 50% dari jumlah penghasilan Bruto Jumlah penghasilan bruto 5. Kewajiban Bendahara sebagai Pemotong PPh Pasal 21 Kewajiban bendahara sebagai pemotong PPh Pasal 21, antara lain: a. Menghitung, memotong, menyetor, dan melapor hal-hal yang terkait dengan PPh Pasal 21; b. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21, baik diminta atau tidak pada saat dilakukan pemotongan PPh Pasal 21. c. Memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan (formulir 1721 A2), kepada Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI dan para Pensiunan, dalam jangka waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan anggota ABRI berhenti bekerja/pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti potongan diberikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan anggota ABRI tersebut berhenti/pensiun. 6. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 Bendahara menyetor PPh Pasal 21 yang tidak ditanggung Pemerintah dengan menggunakan kode billing ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 21 yang terutang bagi pejabat negara, PNS, anggota ABRI yang PPh-nya ditanggung Pemerintah, Bendahara melaporkan penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang dalam daftar gaji kepada KPPN. Bendahara melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang sekalipun nihil dengan menggunakan SPT Masa (F ) paling lambat tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, pelaporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Contoh: Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan memotong honorarium yang diterima oleh Kelompok Kerja ULP Paket Renovasi Gedung Anggrek pada tanggal 25 Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 28

29 Maret Atas pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang dan yang telah dipotong oleh bendahara tersebut wajib disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 di bulan berikutnya yaitu tanggal 10 April 2016, laporan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 di bulan berikutnya atau tanggal 20 April 2016 dengan menggunakan dan melampirkan formulir yang ditentukan (SPT Masa PPh Pasal 21/F , Daftar Bukti Potong PPh Pasal 21 Final/F , Bukti Potong PPh Pasal 21 Final/F dan Bukti elektronik penyetoran pajak. Pajak Penghasilan Pasal Pengertian Pasal 22 Undang Undang Pajak Penghasilan mengatur pemungutan pajak atas penghasilan terkait dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU PPh tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk 1) menetapkan pemungut PPh terkait dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan 2) menentukan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan. 2. Objek PPh Pasal 22 Objek PPh Pasal 22 adalah pembayaran yang berkenaan dengan penyerahan barang yang dibeli dari sumber dana APBN/APBD. Namun terdapat pengecualian pembayaran atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah/ KPA/Penerbit SPM/Bendahara Pengeluaran lain antara lain a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp ,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; b. pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; dan pemakaian air dan listrik; c. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). d. Pembayaran kepada pengusaha dengan jumlah peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun g. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 29

30 (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenakan pungutan PPh atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. h. Pembelian gabah dan/atau beras 3. Tarif Pemungutan PPh Pasal 22 Tarif PPh pasal 22 yang dipungut Bendahara Pengeluaran termasuk oleh KPA Tarif PPh Pasal 22 1,5% X Harga Pembelian Barang (harga tidak termasuk PPN) Atas penyerahan barang adalah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 Pasal 22 ayat (3), besarnya pungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak PPh Pasal 22 yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif lebih tinggi sebesar 100%. Dengan demikian, tarif PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah 1,5% ditambah 1,5% = 3%. Apabila rekanan/penyedia barang/jasa tidak memiliki NPWP, maka penulisan NPWP dalam SSP dapat dilakukan dengan cara : a xxx.000 untuk Wajib Pajak badan Usaha; dan b xxx.000 untuk Wajib Pajak orang pribadi. xxx diisi dengan Nomor Kode Kantor Pelayanan Pajak domisili bendahara terdaftar. PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah/KPA/Penerbit SPM/,Bendahara Pengeluaran terutang dan dipungut pada saat pembayaran. 4. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22 Tata cara pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22, terdiri dari: a. PPh Pasal 22 dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran oleh Bendahara, atau KPA atau Penerbit SPM yang telah mendapat pendelegasian dari KPA atas penyerahan barang oleh Wajib Pajak (Penyedia barang/jasa). b. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran atau pejabat penandatangan SPM harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayarannya melalui KPPN. c. PPh pasal 22 yang dipungut oleh bendahara pengeluaran harus disetor paling lama 7(tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos atas rekening Kas Negara atas nama rekanan. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 30

31 5. Tata Cara Pelaporan PPh Pasal 22 Bendahara sebagai Pemungut PPh Pasal 22 wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22, yang harus disampaikan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah bulan takwim berakhir. Apabila hari ke-14 jatuh pada hari libur, maka pelaporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. SPT Masa tersebut disampaikan ke KPP dimana Bendahara yang bersangkutan terdaftar dengan dilampiri bukti penyetoran elektronik sebagai Bukti Pemungutan dan bukti setoran, beserta daftar SSP PPh Pasal 22. Contoh 1. Bendahara Universitas Negeri Jakarta membayarkan pembelian buku pelajaran umum dari UD Buku Pintar (ber NPWP) dengan harga Rp ,00. Maka besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut bendahara adalah: Rp ,00 1,5% = Rp ,00 Catatan : Buku pelajaran umum merupakan salah satu jenis barang kena pajak yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Sehingga bendahara tidak memungut PPN 2. Sekolah Dasar Negeri 11 Jakarta Selatan mengadakan pengadaan komputer senilai Rp ,00. Pembayaran dilaksanakan dengan dana BOS, maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010, tidak dipungut PPh Pasal 22. Pajak Penghasilan Pasal 23 PPh Pasal 23 adalah Pemotongan Pajak Penghasilan atas pembayaran atau disediakan untuk dibayar kepada wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) atas penghasilan yang bersumber dari pemanfaatan modal, penggunaan harta dan Jasa. 1. Objek PPh Pasal 23 Objek PPh Pasal 23 adalah: a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan bangunan; b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan Harta Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 31

32 a. Merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. b. Saat terutangnya adalah pada saat pembayaran dan jatuh tempo. Berdasarkan SE Dirjen pajak No SE-35/PJ/2010 imbalan sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Konsultan dijelaskan sebagai berikut : a. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : 1) pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik; 2) pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau 3) pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa. b. Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. c. Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya. Berdasarkan PMK 141/PMK.03/2015 kriteria Jenis-jenis jasa lain, antara lain: Tabel 2.5. Jenis-Jenis Jasa Lain 1. Jasa penilai (appraisal); 2. Jasa aktuaris; 3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; 4. Jasa hukum 5. Jasa arsitektur 28. Jasa maklon; 29. Jasa penyelidikan dan keamanan; 30. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; 31. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa,media luar 6. Jasa perencanaan kota dan ruang atau media lain untuk arsitektur landscape penyampaian informasi ; Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 32

33 7. Jasa perancang (design); 8. Jasa pengeboran (drilling) dibidang penambangan minyak dan gas bumi, kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT); 9. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas) 10. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; 11. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara; 12. Jasa penebangan hutan; 13. Jasa pengolahan limbah ; 14. Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga hli (outsourcing services) 15. Jasa perantara dan/atau keagenan; 16. Jasa di bidang perdagangan surat berharga (kecuali Bursa efek,ksei dan KPEI) 17. Jasa kustodian/penyimpanan/penitip an, kecuali yang dilakukan oleh KSEI 18. Jasa pengisian suara (dubing); 19. Jasa mixing film; 20. Jasa pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner, pamflet, baliho dan folder 21. Jasa sehubungan dengan 32. Jasa pembasmian hama ; 33. Jasa kebersihan/cleaning Service; 34. Jasa sedot septic tank 35. Jasa pemeliharaan kolam; 36. Jasa katering atau tata boga; 37. Jasa freight faro.jarding; 38. J asa logistik; 39. Jasa pengurusan dokumen; 40. Jasa pengepakan; 41. Jasa loading dan unloading; 42. Jasa laboratorium dan/ atau dilakukan oleh lembaga atau rangka perielitian akademis; 43. Jasa pengelolaan parkir; 44. Jasa penyondiran tanah; 45. Jasa penyiapan dan/ atau pengolahan lahan; 46. Jasa pembibitan dan/ atau penanaman bibit; 47. Jasa pemeliharaan tanaman; 48. Jasa pemanenan; 49. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/ atau perhutanan; 50. Jasa dekorasi; 51. Jasa pencetakan/penerbitan; 52. Jasa penerjemahan; 53. Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan; 54. Jasa pelayanan kepelabuhanan; 55. Jasa pengangkutan melalui jalur pipa; 56. Jasa pengelolaan penitipan anak; 57. Jasa pelatihan dan/ atau kursus; 58. Jasa pengiriman dan pengisian uang Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 33

34 software komputer (termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan); 22. Jasa pembuatan dan atau pengelolaan website; 23. Jasa internet termasuk sambungannya; 24. Jasa penyimpanan, pengolahan dan atau penyaluran data, informasi dan atau program 25. Jasa instalasi/pemasangan AC, mesin, peralatan, listrik, telepon, TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi; 26. Jasa perawatan/ perbaikan/ pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,gas, AC. TV kabel, alat transportasi/ kendaraan dan atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang Lingkupnya di bidang Konstruksi; 27. Jasa perawatan kendaraan dan atau transportasi darat laut dan udara ke ATM; 59. Jasa sertifikasi; 60. Jasa survey; 61. Jasa tester, dan 62. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Selain pembayaran-pembayaran tersebut di atas terdapat beberapa pembayaran yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23, yaitu penghasilan yang diterima oleh badan/lembaga pemerintah dalam melaksanakan tugas pokoknya. Badan/lembaga pemerintah tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Badan/lembaga pemerintah yang pendiriannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU, PP, PerPres, KepPres); b. Badan/lembaga pemerintah yang sumber dananya berasal dari APBN/APBD; Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 34

35 c. Pemeriksa badan/lembaga tersebut dilakukan oleh BPK, BPKP, ITJEN, atau BAWASDA; dan d. Sumber penerimaan yang diterima badan/lembaga tersebut merupakan penerimaan negara. 2. Tarif PPh Pasal 23 Tarif yang ditetapkan adalah sebesar 2% dari penghasilan bruto (nilai pembayaran atas jasa yang tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai). Dalam hal wajib pajak tidak memiliki NPWP, maka dikenakan tarif lebih tinggi 100% dari tarif yang dikenakan terhadap wajib pajak yang memiiki NPWP, yaitu menjadi 4% dari jumlah bruto. Jumlah brutto adalah seluruh jumlah penghasilan tidak termasuk Pembayaran gaji, upah, honorarium dan pembayaran lain. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) Namun ketentuan tersebut tidak termasuk jasa catering 3. Waktu Terutang PPh Pasal 23 Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 tahun 2008 Pasal 23 ayat (1), menyatakan bahwa PPh Pasal 23 terutang pada bulan dilakukannya pembayaran penghasilan yang bersangkutan. 4. Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 23 Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat pembayaran dengan memberikan bukti pemotongan yang telah diisi lengkap. 5. Tata Cara Penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 yang dipotong bendahara harus disetorkan oleh bendahara selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) di bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila pada tanggal tersebut jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya. Terhadap penyetoran PPh Pasal 23 harus dilaporkan ke KPP selambatlambatnya tanggal 20 di bulan berikutnya. Jika tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 35

36 Tata cara pelaporan dilakukan sebagai berikut a. Lembar ke-2 bukti pemotongan PPh Pasal 23 yang dibuat dalam satu bulan takwim dicatat rangkap dua pada formulir Daftar Bukti Pemotongan Pajak; b. Bendahara mengisi dengan lengkap dan benar formulir SPT Masa PPh Pasal 23, rangkap 2 (dua) dan dilampiri dengan: 1) Bukti setor elektronik; 2) Daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23; c. Bendahara menerima kembali satu set lembar ke-2 SPT Masa PPh Pasal 23, sebagai bukti telah melapor. Contoh Perhitungan PPh pasal Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan membayar jasa service kendaraan pada bengkel mobil Tokcer (ber NPWP) untuk memperbaiki kendaraan dinas. Besarnya biaya yang dikeluarkan Rp ,00 (belum termasuk PPN) pembayaran tersebut sudah termasuk penggantian suku cadangnya. Terhadap transaksi tersebut Bendahara memungut PPh Pasal 23 sebesar : Rp ,00 2% = Rp ,00 2. Dalam rangka penyelenggaraan rapat dinas, bendahara Pendidikan Anggaran dan Perbendaharaan melakukan pembayaran atas penyediaan konsumsi oleh pengusaha jasa catering Enak dengan biaya sebesar Rp ,00. PPh Pasal 23 yang terutang dan harus dipotong oleh bendahara adalah: Rp ,00 x 2% = Rp ,00 Catatan : Jasa catering termasuk jenis jasa yang tidak dipungut PPN. Pajak Penghasilan Pasal 26 Ketentuan pasal 26 Undang Undang mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (baik orang pribadi maupun badan) selain Badan Usaha Tetap. 1. Objek PPh Pasal 26 PPh Pasal 26 dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), baik itu orang pribadi maupun badan, selain Badan Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 36

37 2. Tarif PPh Pasal 26 Tarif PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri. Pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran yang sehubungan dengan jasa, penggunaan harta, sewa, pekerjaan, kegiatan atau pembayaran lain dengan nama atau bentuk apapun. PPh Pasal 26 = Penghasilan Bruto x 20% Pemotongan/pemungutan pajak penghasilan Pasal 26 yang dilakukan oleh bendahara tersebut bersifat final. Besarnya tarif tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. 3. Tata Cara penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 26 Terhadap pemotongan PPh pasal 26, bendahara harus menyetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pelaporan hasil pemungutan PPh pasal 26 dilakukan oleh bendahara dengan membuat SPT Masa PPh pasal 26. Pelaporan tersebut harus dilaksanakan paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir. SPT Masa PPh pasal 26 dibuat dalam 2 rangkap. a. Lembar pertama untuk Kantor Pelayanan Pajak; dan b. Lembar kedua untuk arsip bendahara. Contoh Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan membayarkan honorarium kepada Mr. Paul Lambert seorang narasumber yang berasal dari Australia dalam pelaksanaan Diklat Logic Model sebesar 3000 US $ (catatan kurs 1US $ = ,00. Terhadap pembayaran tersebut bendahara memotong PPh pasal 26 sebesar (3000 US $ x Rp ,00) x 20% = Rp ,00. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 37

38 Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) 1. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan a. Pengertian Persewaan tanah dan/atau bangunan adalah sewa berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan termasuk bagian-bagiannya, gedung dan bangunan industri termasuk areal baik di dalam maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut. Pemotongan pajak oleh bendahara atas pembayaran yang sumber dananya dari APBN/APBD, dilakukan terhadap semua nilai pembayaran atau jumlah bruto nilai persewaan yaitu semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apa pun juga yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. b. Tarif Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun Menurut ketentuan tersebut, penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong adalah 10% baik atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak badan maupun orang pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan. PPh (final) = 10% x Bruto c. Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Tata cara pemungutan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Sewa Tanah dan/atau Bangunan, antara lain meliputi: 1) Bendahara sebagai penyewa wajib, memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu; 2) Pada saat dilakukannya pemotongan PPh, bendahara memberikan bukti pemotongan PPh Final kepada orang atau badan yang menyewakan; 3) Bendahara menyetorkan PPh yang telah dipotong secara elektronik pada Bank Persepsi atau Kantor Pos, selambat-lambatnya tanggal 10 di bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa; Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 38

39 4) Bendahara wajib melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor ke Kantor Pelayanan Pajak, tempat Bendahara terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambatlambatnya tanggal 20 di bulan berikutnya, setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa Contoh Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan melakukan pembayaran kepada CV Maju Hidayat untuk sewa gedung dalam rangka penyelenggaraan Diklat Teknis Umum dengan harga Rp ,00. (termasuk PPN) pada tanggal 19 Juli Bagaimana kewajiban perpajakan bendahara? Pemotongan PPh Pasal 4 (2) Terhadap pembayaran tersebut bendahara memotong PPh final sebesar : Dasar Pengenaan Pajak Rp ,00 x 100/110 = Rp ,00 PPh pasal 4 (2) = Rp ,00 x 10% = Rp ,00 Pemungutan PPN Atas pembayaran sewa wajib dipungut PPN dengan tarif 10% PPN = Rp ,00 x 10% = Rp ,00 Kewajiban Bendahara a. melakukan pengecekan keabsahan Faktur Pajak yang telah diisi dengan data Wajib Pajak PT Maju Hidayat; b. membuat bukti potong PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas nama PT Maju Hidayat; c. membuat bukti setor elektonik PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN atas nama PT Maju Hidayat; e. menyerahkan copy bukti setor elektronik PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN, Faktur pajak lembar ke-2; dan bukti potong PPh Final Pasal 4 ayat (2), kepada PT Maju Hidayat; f. melaporkan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2) ke KPP Pratama Bogor paling lama tanggal 20 Agustus 2016; g. melaporkan SPT Masa PPN ke KPP Pratama Manado paling lama tanggal 31 Agustus PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan a. Pengertian Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 39

40 a. Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah; b. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus; dan c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. b. Tarif Bendahara dalam melaksanakan pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan atas beban APBN/APBD dilakukan sesuai dengan nilai yang disepakati atau jumlah bruto nilai penjualan atau pengalihan hak. Jumlah bruto nilai penjualan atau pengalihan hak adalah nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak termasuk bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi pembeli dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. Jumlah bruto nilai pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan. Apabila pelaksanaannya melalui lelang, maka jumlah bruto nilai pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang adalah nilai menurut risalah lelang tersebut. Sesuai PP 34 Tahun 2016 besarnya pajak penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah sebesar: 1) 2,5 % dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah sederhana atau Rusun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan 2) 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunanberupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan 3) 0% atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 40

41 kepentingan umum Ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan sesuai dengan UU No.2 Tahun 2012 adalah pengadaan tanah dalam rangka : 1. Pertahanan dan keamanan nasional 2. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur KA, Stasiun KA dan fasilitas operasi KA 3. Waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air, sanitasi dan bangunan pengairan lainnya 4. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; 5. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; 6. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; 7. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; 8. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah; 9. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; 10. Fasilitas keselamatan umum; 11. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; 12. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; 13. Cagar alam dan cagar budaya; 14. Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; 15. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; Nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah. Sedangkan kriteria rumah sederhana dan rumah susun sederhana sesuai dengan kriteria rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai ketentuan perpajakan. c. Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Tata cara pemungutan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, antara lain meliputi: 1) Bendahara atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui pengalihan hak tersebut, wajib memungut PPh yang terutang dan menyetorkannya ke Bank Persepsi atau Kantor Pos sebelum pembayaran kepada orang pribadi atau badan atau sebelum pengalihan hak dilaksanakan. 2) Bendahara atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui pengalihan hak, wajib menyampaikan laporan mengenai transaksi Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 41

42 pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Kantor Pelayanan Pajak, tempat Bendahara atau pejabat yang bersangkutan terdaftar sebagai Wajib Pajak. Pelaporan dilaksanakan paling lambat tanggal 20 di bulan berikutnya, setelah bulan dilakukannya pembayaran kepada orang pribadi atau badan dengan menggunakan bentuk laporan yang ditentukan. CONTOH: Suatu Satker melakukan pembayaran atas pembebasan tanah bukan untuk kepentingan umum kepada bapak Nasrun seluas 800 m sebesar Rp ,00/m2 pada tanggal 25 September 2016 Pemotongan PPh pasal 4 (2) PPh final yang harus dipungut/dipotong dan disetor oleh Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan atas pembayaran tersebut adalah: (800 m x Rp ,00) x 2,5% = Rp ,00 Pemungutan PPN PPN tidak dipungut oleh bendahara pemerintah dalam hal pembayaran untuk pembebasan tanah, kecuali atas pengadaan tanah dari real estate atau industrial estate. Kewajiban Bendahara a. membuat bukti penyetoran elektronik PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas nama Bapak Nasrun b. menyerahkan copi bukti setor elektronik PPh Final Pasal 4 ayat (2) c. melaporkan pemungutan PPh Final Pasal 4 ayat (2) tersebut ke KPP Pratama Bogor paling lama tanggal 20 Oktober Usaha Jasa Konstruksi a. Pengertian Berikut ini beberapa pengertian yang terkait dengan jasa konstruksi, antara lain: 1) Jasa konstruksi merupakan layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan konstruksi; 2) Pekerjaan konstruksi merupakan keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain; 3) Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh pribadi atau badan yang Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 42

43 dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain. 4) Pelaksana konstruksi adalah pemberian jasa oleh pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build). 5) Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan. b. Tarif Berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya tarif pajak final tersebut adalah: JASA KONSTRUKSI PPh Bersifat Final Pelaksana Kontruksi Perencana/Pengawas Kontruksi Mempunyai Kualifikasi Usaha Tidak Mempunyai Kualifikasi Usaha Dengan Kualifikasi Usaha Tanpa Kualifikasi Usaha Kecil Non Kecil 2 % 3 % 4 % 4 % 6 % Gambar 2.7. Perhitungan PPh Pasal 21 Lainnya Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 43

44 Yang dimaksud dengan memiliki kualifikasi adalah pengusaha jasa konstruksi yang telah memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Dasar pengenaan pajak untuk jasa kontruksi adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh bendahara, tidak/belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai. Perhitungannya dapat dilakukan dengan cara: PPh = Jumlah Pembayaran (tidak/belum termasuk PPN) x Tarif Contoh Pada Tanggal 10 Mei 2016 dilakukan pembayaran termin I atas kegiatan pembangunan Asrama Melati Barat kepada rekanan PT. Karya Persada, NPWP , Tanggal Pengukuhan PKP 20 Juni 1998, Alamat Jl. Puncak No.27 Bogor sebesar Rp ,00. (termasuk PPN) PT. Karya Persada merupakan pelaksana konstruksi yang tergolong usaha kecil dan memiliki kualifikasi. PT Karya Persada menerbitkan Faktur Pajak bernomor seri tertanggal 8 Mei Bagaimana perhitungan pajak yang harus dikenakan? Pemungutan PPN Nilai Pembayaran Termin I = Rp ,00 (termasuk PPN) Dasar Pengenaan Pajak : Rp ,00 x 100/110 = Rp ,00 Nilai PPN = Rp ,00 x 10% = Rp ,00 Pemungutan PPh pasal 4 ayat (2) = 2% x (Rp ,00) = Rp ,00 c. Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Tata cara pemungutan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi, antara lain meliputi: 1) Bendahara memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran penghasilan berupa imbalan atas penyerahan jasa konstruksi; 2) Bendahara memberikan bukti pemotongan PPh final untuk penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang memenuhi syarat pengusaha kecil dan nilai kontrak sampai dengan Rp ,00 3) Bendahara menyetor PPh yang telah dipotong ke bank persepsi atau Kantor Pos selambat- lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 44

45 pembayaran imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP); dan 4) Bendahara melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh yang terutang kepada Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran. Mata Anggaran Penerimaan dan Kode Jenis Setoran Mata anggaran penerimaan adalah kode akun pajak untuk jenis-jenis pajak. Berikut ini tabel yang berisikan beberapa mata anggaran penerimaan untuk jenis pajak penghasilan sebagai berikut. Tabel 2.6. Mata Anggaran Penerimaan/Kode Akun Pajak PPh Mata Anggaran Penerimaan Jenis Pajak Pajak Penghasilan Pasal Pajak Penghasilan Pasal Pajak Penghasilan Pasal Pajak Penghasilan Pasal Pajak Penghasilan Final dan Fiskal Luar Negeri Pajak Pertambahan Nilai Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran Bendahara Pengeluaran adalah sebagai berikut : terkait dengan tugas perpajakan 1. Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 21 Tabel 2.7. Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 21 Kode Jenis Setoran Jenis Setoran Keterangan 100 Masa PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 21 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan. 402 PPh Final Pasal 21 atas untuk pembayaran PPh Final Pasal 21 atas honorarium atau imbalan honorarium atau imbalan lain yang diterima lain yang diterima Pejabat Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI Negara, PNS, anggota dan para pensiunnya. TNI/POLRI dan para pensiunnya Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 45

46 2. Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Kode Jenis Setoran Tabel 2.8. Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Jenis Setoran Keterangan 100 Masa PPh Pasal 22 untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan. 900 Pemungut PPh Pasal 22 non bendahara 910 Pemungut PPh pasal 22 Bendahara APBN 920 Pemungut PPh pasal 22 Bendahara APBD 930 Pemungut PPh pasal 22 Bendahara Dana Desa untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut selain bendahara untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut bendahara APBN untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut bendahara APBD untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut bendahara dana desa 3. Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23 Kode Jenis Setoran Tabel 2.9. Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23 Jenis Setoran Keterangan 100 Masa PPh Pasal 23 untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor (selain PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa) yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan. 104 PPh Pasal 23 atas Jasa untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas jasa yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Final Tabel Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPh Final Kode Jenis Setoran Jenis Setoran 402 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 403 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan 409 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Jasa Konstruksi 410 PPh Final Pasal 15 atas Jasa Pelayaran Dalam Negeri Keterangan untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi. untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas jasa pelayaran dalam negeri. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 46

47 Kode Jenis Setoran Jenis Setoran 411 PPh Final Pasal 15 atas Jasa Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri Keterangan untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri. 499 PPh Final Lainnya untuk pembayaran PPh Final lainnya 5. Kode Akun Pajak Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeri Kode Jenis Setoran Tabel Kode Akun Pajak Untuk Jenis PPN Dalam Negeri Jenis Setoran 100 Pemungut PPN Dalam Negeri non Bendahara 910 Pemungut PPN Dalam Negeri bendahara APBN 920 Pemungut PPN Dalam Negeri Bendahara APBD 930 Pemungut PPN dalam Negeri Bendahara Dana Desa Keterangan untuk penyetoran PPN dalam negeri yang dipungut oleh pemungut selain bendahara untuk penyetoran PPN dalam negeri yang dipungut oleh pemungut bendahara APBN untuk pembayaran PPN dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut bendahara APBD untuk pembayaran PPN dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut bendahara dana desa Simulasi Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan, Pengisian formulir Pajak Bendahara Belanja Pegawai 1. Belanja Pegawai Gaji dan Tunjangan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan melakukan pembayaran gaji bulan Maret 2016 kepada Hendra Zain dengan daftar penghasilan sebagai berikut : No Nama NPWP Gaji (Rp) Tunjangan Jabatan Status 1 Hendra Zain ( Kawin tanpa anak Bagaimana kewajiban perpajakan bagi bendahara? Atas pembayaran gaji bulan Maret 2016 tersebut terutang PPh pasal 21 dengan penghitungan sebagai berikut : Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 47

48 1 Gaji pokok Tunjangan istri = 10% x , Jumlah Tunjangan jabatan Tunjangan beras Pembulatan 28 6 Gaji kotor/penghasilan Bruto (Jumlah baris 1 sd baris 6) Gaji pokok Pengurangan : a. Biaya jabatan = 5% x Rp = Rp b. Iuran pension = 4,75% x Rp = Rp Penghasilan bersih (netto) sebulan (baris 7) (baris 8) Penghasilan bersih (netto) setahun 12 x (baris 9) PTKP (diri sendiri + istri) Penghasilan kena pajak setahun (baris 10) (barsi 11) Penghasilan kena pajak setahun dibulatkan PPh terutang dalam setahun : 5% x Rp PPh terutang dalam sebulan = : Kewajiban bendahara Pusdiklat Anggaran atas pembayaran gaji bulan Maret 2016 tersebut adalah: a. Memotong PPh pasal 21 atas pembayaran gaji b. Melaporkan SPT Masa PPh pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor paling lama tanggal 20 April Belanja Honorarium a. Simulasi Transaksi Pusdiklat anggaran membayarkan honorarium kelompok kerja Paket Pekerjaan Renovasi Gedung Anggrek pada tanggal 25 Maret 2016, dengan rincian sebagai berikut : Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 48

49 Nama Golongan Jabatan Honorarium Hendra Zain IV / a Ketua Rp ,00 Dodi Santoso III / c Sekretaris Rp ,00 Heri II / d Anggota Rp ,00 Bagaimana pemotongan pajak atas honorarium yang diterima anggota Pokja tersebut? Perhitungan PPh pasal 21 Penghitungan PPh pasal 21 atas honor tersebut didasarkan pada golongan dari penerima honor sebagai berikut. Nama Golongan Honorarium Tarif PPh terutang Hendra Z IV / a Rp ,00 15% Rp ,00 Dodi S III / c Rp ,00 5% Rp ,00 Heri II / d Rp ,00 0% Rp. 0,00 Kewajiban Bendahara Kewajiban bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan atas pembayaran honor tersebut : 1) memotong PPh Pasal 21 Final atas pembayaran honor; 2) membuat bukti potong PPh Pasal 21 Final atas pembayaran honor; 3) menyetorkan PPh Pasal 21 Final paling lama tanggal10 April 2016; 4) melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor Kota paling lama tanggal 20 April b. Pengisian Formulir 1) Mengisi Surat Setoran Elektronik Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 49

50 NPWP Surat Setoran Elektronik Nama Alamat Kota Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan Jalan raya Puncak KM 72 Gadog Bogor Jenis Pajak PPh pasal 21 (411121) Jenis Setoran Final / 402 Masa Pajak April s.d. April Tahun Pajak 2016 Mata Uang Rupiah (Rp) Jumlah Setor Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 50

51 2) Membuat Bukti Potong Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 51

52 3) Pengisian SPT Masa Pajak Maret 2016 untuk Melaporkan Pemotongan PPh Pasal 21 Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 52

53 NPWP PEMOTONG : B FORMULIR 1721 C. OBJEK PAJAK FINAL NO PENERIMA PENGHASILAN JUMLAH KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK PENERIMA PAJAK BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp) PENGHASILAN (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. PENERIMA UANG PESANGON YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS PENERIMA UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA DAN PEMBAYARAN SEJENIS Y ANG DIBAYARKAN SEKALIGUS PEJABAT NEGARA, PEGAWAI NEGERI SIPIL, ANGGOTA TNI/POLRI DAN PENSIUNAN Y ANG MENERIMA HONORARIUM DAN IMBALAN LAIN YANG DIBEBANKAN KEPADA KEUANGAN NEGARA/DAERAH PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 FINAL LAINNYA JUMLAH BAGIAN C (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D. 4) , , D. LAMPIRAN 1. FORMULIR I 5. FORMULIR IV X (Untuk Satu Masa Pajak) 1 LEMBAR X D.01 D.02 D.09 D FORMULIR I LEMBAR 6. FORMULIR V D.03 (Untuk Satu Tahun Pajak) D.04 D FORMULIR II 7. SURAT SETORAN PAJAK (SSP) LEMBAR X D.05 D.06 D.12 DAN/ATAU BUKTI PEMINDAHBUKUAN (Pbk) D LEMBAR LEMBAR X 4. FORMULIR IIII 8. SURAT KUASA KHUSUS 1 LEMBAR D.07 D.08 D.14 E. PENYATAAN DAN TANDA TANGAN PEMOTONG Dengan menyadari sepenuhnya atas segala akibatnya termasuk sanki-sanki sesuai dengan ketentuan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap, dan jelas. 1. X E.01 PEMOTONG E.02 KUASA 6. TANDA TANGAN 2. NPWP : E NAMA : E.02 Bendahara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 4. TANGGAL : E TEMPAT : E.02 Bogor Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 53

54 4) Melengkapi SPT Masa dengan Daftar Bukti Potong Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 54

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA Contributed by Administrator Friday, 07 August 2015 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Pengertian PPh PASAL 21/26 TATA CARA PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DIATUR DALAM PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR : PER-31/PJ/2012 PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 I. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi PPh Pasal 21 Menurut PER-31/PJ/2012 Pasal 1 ayat 2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat atas penghasilan berupa gaji,

Lebih terperinci

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II BAB II BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II BAB II BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 1. DASAR HUKUM a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN

Lebih terperinci

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir) 1. PT ABC mempekerjakan Tuan A (Status K3, tanpa NPWP) seorang tukang bangunan, untuk mengganti lantai keramik

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1 SUSUNAN SATU NASKAH PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 57/PJ/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JEDNERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo, 6 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 2.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 PPh PASAL 21/26 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN - PEKERJAAN ATAU HUBUNGAN KERJA, KEGIATAN ORANG PRIBADI PENGHASILAN BERUPA : - GAJI, BONUS, THR, GRATIFIKASI,

Lebih terperinci

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM Disusun oleh : 1. Nanda Rosyid F0311082 2. Nur Aini Kusumaningrum F0311087 3. Nur Chayati

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN. Subjek Pajak. Tabel 2.1 Subjek pajak

PAJAK PENGHASILAN. Subjek Pajak. Tabel 2.1 Subjek pajak 1. PAJAK PENGHASILAN Subjek Pajak Tabel 2.1 Subjek pajak Subjek Pajak Dalam Negeri a. Subjek pajak orang pribadi, yaitu : Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Pajak Penghasilan Pasal 21/26 PPh PASAL 21/26 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN - PEKERJAAN ATAU HUBUNGAN KERJA, KEGIATAN ORANG PRIBADI PENGHASILAN BERUPA : - GAJI, BONUS, THR, GRATIFIKASI,

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Pajak Penghasilan Pasal 21/26 PPh PASAL 21/26 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN - PEKERJAAN ATAU HUBUNGAN KERJA, KEGIATAN ORANG PRIBADI PENGHASILAN BERUPA : - GAJI, BONUS, THR, GRATIFIKASI,

Lebih terperinci

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

DASAR-DASAR PERPAJAKAN DASAR-DASAR PERPAJAKAN A. Definisi dan Unsur Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

Lebih terperinci

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah

Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Peraturan pelaksanaan Pasal 21 ayat (5) Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor, tanggal 80 Tahun 2010 20 Desember 2010 Mulai berlaku : 1 Januari

Lebih terperinci

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21 Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya setipa masyarakat yang hidup di suatu negara memiliki potensi untuk menjadi wajib pajak.

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG PERUBAHAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-545/PJ/2000 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com 1 PPh PASAL 21 Pemotongan pajak atas penghasilan yg diterima/diperoleh WP Orang Pribadi Dalam Negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20 Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2013 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20 /PJ/2012 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN

Lebih terperinci

Pengertian Pajak Penghasilan 21

Pengertian Pajak Penghasilan 21 Pajak Penghasilan Pasal 21/26 PPh PASAL 21/26 PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN - PEKERJAAN ATAU HUBUNGAN KERJA, KEGIATAN ORANG PRIBADI PENGHASILAN BERUPA : - GAJI, BONUS, THR, GRATIFIKASI,

Lebih terperinci

PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK OLEH BENDAHARA PEMERINTAH KPP PRATAMA JAKARTA SETIABUDI TIGA

PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK OLEH BENDAHARA PEMERINTAH KPP PRATAMA JAKARTA SETIABUDI TIGA PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK OLEH BENDAHARA PEMERINTAH KPP PRATAMA JAKARTA SETIABUDI TIGA APBN/APBD DIKELOLA INSTANSI PEMERINTAH PUSAT INSTANSI PEMERINTAH DAERAH LEMBAGA NEGARA BENDAHARA /PEMEGANG KAS WAJIB

Lebih terperinci

AGENDA. PPh Pasal 26

AGENDA. PPh Pasal 26 1 AGENDA 1. PPh Pasal 21 2. PPh Pasal 26 2 Landasan Hukum: UU No 36 Th 2008, Psl 21 UU PPh Peraturan Dirjen Pajak No. PER-31/ PJ/ 2012 3 DEFINISI Pajak yang dikenakan terhadap WP Orang Pribadi Dalam Negeri

Lebih terperinci

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH 3.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) 3.1.1 Dasar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Definisi atau pengertian pajak menurut Soemitro (Mardiasmo, 2012:7) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undangundang

Lebih terperinci

No II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Ayat (1) Ayat (2) Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, se

No II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Ayat (1) Ayat (2) Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, se TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5424 EKONOMI. Pajak. Penghasilan. Usaha. Peredaran Bruto. Tertentu. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH 3.1 Pajak 3.1.1 Pengertian Pajak Definisi Pajak menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak Penghasilan 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan sumber terpenting dalam penerimaan negara dan dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan Keputusan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORETIS. 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum

BAB II LANDASAN TEORETIS. 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum 6 BAB II LANDASAN TEORETIS 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum Undang-undang pajak, sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN II.1. Rerangka Teori dan Literatur II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Liberti Pandiangan (2010:v) adalah salah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2013 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengungkapan beberapa para ahli mengenai pajak sebagai berikut :

BAB II LANDASAN TEORI. Pengungkapan beberapa para ahli mengenai pajak sebagai berikut : BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Pajak Pengungkapan beberapa para ahli mengenai pajak sebagai berikut : Menurut P.J.A Andriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

Lebih terperinci

No dan investasi Harta ke dalam wilayah NKRI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, dan bagi Wajib Pajak yang tidak mengik

No dan investasi Harta ke dalam wilayah NKRI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, dan bagi Wajib Pajak yang tidak mengik TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6120 KEUANGAN. PPH. Penghasilan. Diperlakukan. Dianggap. Harta Bersih. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 202) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian, Pembagian dan Sistem Pemungutan Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu alat yang digunakan oleh pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu

BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK 3.1 Bidang Pelaksanaan Kerja Praktek Penulisan pelaksanaan kerja praktek pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa. berdasarkan norma-norma hukum, guna untuk menutup biaya produksi

BAB II DASAR TEORI. wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa. berdasarkan norma-norma hukum, guna untuk menutup biaya produksi BAB II DASAR TEORI A. Pengertian pajak Menurut Soemahamidjaja dalam Suandy (2009: 9) pajak adalah iuran wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

Update. Pajak Penghasilan Sehubungan dengan. Pekerjaan atau Jabatan, Jasa dan kegiatan, Yang dilakukan Wajib Pajak Orang Pribadi

Update. Pajak Penghasilan Sehubungan dengan. Pekerjaan atau Jabatan, Jasa dan kegiatan, Yang dilakukan Wajib Pajak Orang Pribadi Pasal 21 UU No. 7 Th 1983 std UU No. 17 Th 2000 Update UU No. 36 Th 2008 Juklak PMK No. 252/PMK.03/2008 ttg PER. 14/PJ/2013 tgl 18 April 2013 PER. 31/PJ/2012 tgl 27 Des 2012 PMK No. 162/PMK.11/2012 PER.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan Yang termasuk subjek pajak Orang pribadi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan

Lebih terperinci

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26

SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 SPT Masa Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Formulir ini digunakan untuk melaporkan kewajiban Pemotongan Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 SPT rmal SPT Pembetulan Ke- - Tahun Kalender Formulir

Lebih terperinci

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur dalam Undang - Undang No.28 tahun 2007 yaitu perubahan ketiga atas Undang-Undang No.16 tahun 2000 A.

Lebih terperinci

MODUL PPh PASAL 21/26 & espt PPh Pasal 21

MODUL PPh PASAL 21/26 & espt PPh Pasal 21 PRISMA UTAMA CONSULTANT MODUL PPh PASAL 21/26 & espt PPh Pasal 21 SERI PERPAJAKAN Ivan Christian K, S.E., M.M. 2010 J L. J U P I T E R U T A M A N O. 10 B A N D U N G 4 0 2 8 6 PENGERTIAN PPh PASAL 21

Lebih terperinci

PPh Pasal 21. Lingkungan Kewajiban Pajak 12/21/2017

PPh Pasal 21. Lingkungan Kewajiban Pajak 12/21/2017 PPh Pasal 21 Lingkungan Kewajiban Pajak sehubungan dengan: 1. Pekerjaan 2. Jabatan PPh Pasal 21 (dikenakan PPh 26 oleh Orang Pribadi 3. Jasa jika diterima oleh 4. Kegiatan Orang Pribadi SPLN) sehubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian, Fungsi, Pembagian, dan Sistem Pemungutan Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak digunakan untuk membiayai

BAB II LANDASAN TEORI. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak digunakan untuk membiayai BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan utama bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak digunakan untuk membiayai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pengaruh Pengertian pengaruh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991;747) yaitu: Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar

BAB II LANDASAN TEORI. Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar 11 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Landasan Teori II.1.1 Wajib Pajak Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 yang menjadi Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Penghasilan 1) Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi, badan, Bentuk Usaha

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. No.691, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Pemotongan PPH Pasal 21. Tata Cara Pemotongan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN

Lebih terperinci

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Lebih terperinci

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah. BAB II PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 DAN PASAL 26

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah. BAB II PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 DAN PASAL 26 17 BAB II PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 DAN PASAL 26 PENGERTIAN PPh Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan

Lebih terperinci

KULIAH PERPAJAKAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) Oleh : Mustofa, S.Pd., M.Sc. Dosen Pendidikan Ekonomi FE UNY. PPh UMUM 1

KULIAH PERPAJAKAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) Oleh : Mustofa, S.Pd., M.Sc. Dosen Pendidikan Ekonomi FE UNY. PPh UMUM 1 KULIAH PERPAJAKAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) Oleh : Mustofa, S.Pd., M.Sc. Dosen Pendidikan Ekonomi FE UNY PPh UMUM 1 STANDAR KOMPETENSI: Mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan konsep dan prosedur dalam

Lebih terperinci

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II BAHAN RUJUKAN BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pengertian Umum Perpajakan Ketentuan umum dan tata cara perpajakan diatur dalam undang-undang No. 6 tahun 1983 yang telah di ubah dengan undang-undang No.9 tahun 1994 dan terakhir

Lebih terperinci

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/PMK.011/2013 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 1 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 Adalah pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi, yaitu pajak atas penghasilan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS A. Perpajakan 1. Pengertian pajak Menurut Rochmat Soemitro seperti dikutip oleh Waluyo ( 2007 : 3 ) mengemukakan bahwa : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang

Lebih terperinci

Perpajakan Bendahara Pengeluaran

Perpajakan Bendahara Pengeluaran Perpajakan Bendahara Pengeluaran Diklat Bendahara Pengeluaran APBN Kementerian Keuangan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan Pengantar Perpajakan Iuran dari rakyat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian-Pengertian Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian-Pengertian Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara 7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian-Pengertian Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Beberapa istilah atau pengertian umum dalam membicarakan perpajakan sesuai pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 adalah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI,

Lebih terperinci

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE

IBNU KHAYATH FARISANU 1 / 9 STIE PASAL 04 AYAT 02 1. Bunga Deposito dan Tabungan Lainnya a. Obyek PPh Final adalah bunga deposito, bunga tabungan lainnya dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). b. Besar tarif pemotongan adalah 20%

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum. BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pajak Menurut S.I. Djajadiningrat (dalam Siti Resmi, 2011:1), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Mardiasmo, (2011:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlihat bahwa salah satu sumber penerimaan negara adalah bersumber dari sektor

Lebih terperinci

Pajak Penghasilan psl 21

Pajak Penghasilan psl 21 LOGO Pajak Penghasilan psl 21 Hari Gini Korupsi PAJAK. Apa Kata DUNIA...??!! Mengenal Lebih Dekat Pendahuluan (Kronologi perubahan UU PPh) PAJAK PENGHASILAN Katanya Orang Bijak Taat Pajak.. UU. 7 Th. 83

Lebih terperinci

I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN

I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 262/PMK.03/2010 TENTANG : TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pajak BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pajak menurut UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Lebih terperinci

PEMOTONGAN PPh PASAL 21

PEMOTONGAN PPh PASAL 21 PEMOTONGAN PPh PASAL 21 1 Dasar Hukum 1. Pasal 21, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang,

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pertemuan 1 6 P1.1 Teori Pajak Penghasilan Umum Dan Norma Perhitungan Pajak Penghasilan A. UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III. SISTEM INFORMASI AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 PADA PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN PEMERINTAH KOTA MEDAN

BAB III. SISTEM INFORMASI AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 PADA PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN PEMERINTAH KOTA MEDAN BAB III SISTEM INFORMASI AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 PADA PEGAWAI DINAS PERINDUSTRIAN PEMERINTAH KOTA MEDAN A. Pengertian Sistem Informasi Akuntansi Sistem adalah sekelompok unsur yang erat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Perpajakan Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Pajak menurut Soemitro (Resmi, 2016:1) merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. 2011. Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 57/PJ/2009 tentang Pedoman

Lebih terperinci

DASAR HUKUM. KEP -545/PJ./1998 jo. PER-15/PJ./2006. PMK No. 252/PMK.03/2008. UU No. 7 Th stdd. Update. UU No. 36 Th UU No. 17 Th 2000.

DASAR HUKUM. KEP -545/PJ./1998 jo. PER-15/PJ./2006. PMK No. 252/PMK.03/2008. UU No. 7 Th stdd. Update. UU No. 36 Th UU No. 17 Th 2000. PPH PASAL 21 1 DASAR HUKUM UU No. 7 Th 1983 stdd UU No. 17 Th 2000 Update UU No. 36 Th 2008 Juklak Juklak KEP -545/PJ./1998 jo. PER-15/PJ./2006 ttg JUKLAK PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPh Ps 21

Lebih terperinci

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Kelompok 3 Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan Pajak penghasilan, subjek, objek pajak dan objek pajak BUT Tata cara dasar pengenaan pajak Kompensasi Kerugian PTKP, Tarif pajak dan cara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pemahaman Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Definisi pajak menurut Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan bertugas memberikan layanan kesehatan kepada pasien dalam rangka membantu menyembuhkan

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN

ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN Thomas Sumarsan Goh Dosen FE Universitas Methodist Indonesia ABSTRAK PPh Pasal 21 merupakan salah satu sumber pendapatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

BAB II LANDASAN TEORI. sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar-dasar Perpajakan Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam Siti Resmi (2009: 1):

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam Siti Resmi (2009: 1): digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak Pajak telah banyak didefinisikan oleh beberapa pakar. Definisi pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam Siti Resmi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang. digunakan untuk menjawab masalah penelitian.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang. digunakan untuk menjawab masalah penelitian. BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian. 2.1 Landasan Teori Landasan teori dalam penelitian ini terdiri

Lebih terperinci

BENDAHARA PEMERINTAH Jakarta, 5 Februari 2018

BENDAHARA PEMERINTAH Jakarta, 5 Februari 2018 KEWAJIBAN PERPAJAKAN BENDAHARA PEMERINTAH Jakarta, 5 Februari 2018 BENDAHARA PENGELUARAN Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-32/PJ/2009 TENTANG BENTUK FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU

Lebih terperinci

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21. JUMLAH PENERIMA PENGHASILAN (Orang)

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21. JUMLAH PENERIMA PENGHASILAN (Orang) SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 0 IDENTITAS PEMOTONG PAJAK NAMA NO. TELEPON - NO. FAKS - JENIS USAHA KLU NAMA PIMPINAN PERUBAHAN DATA ADA, PADA LAMPIRAN TERSENDIRI TIDAK ADA A. DALAM YANG BERSANGKUTAN

Lebih terperinci

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS A. Pajak Penghasilan Pasal 21 Adalah pajak penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi,

Lebih terperinci

BAGIAN PERTAMA: PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21. I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN

BAGIAN PERTAMA: PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21. I. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PENGHASILAN TETAP DAN TERATUR SETIAP BULAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 262/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA OLEH: Yulazri M.Ak. CPA Pajak Penghasilan (PPh) Dasar Hukum : No. Tahun Undang-Undang 7 1983 Perubahan 7 1991 10 1994 17 2000 36 2008 SUBJEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK PENGHASILAN 1. a. Orang Pribadi b. Warisan

Lebih terperinci