SAINS INFORMASI GEOGRAFIS: KEDUDUKAN, PERKEMBANGAN DAN KONTRIBUSINYA DALAM ILMU GEOGRAFI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SAINS INFORMASI GEOGRAFIS: KEDUDUKAN, PERKEMBANGAN DAN KONTRIBUSINYA DALAM ILMU GEOGRAFI"

Transkripsi

1 SAINS INFORMASI GEOGRAFIS: KEDUDUKAN, PERKEMBANGAN DAN KONTRIBUSINYA DALAM ILMU GEOGRAFI Projo Danoedoro 1. Pendahuluan Topik diskusi mengenai substansi geografi dan kompetensi geografi di kalangan geografiwan sebenarnya sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang aktual dan mendesak untuk diperdebatkan. Setidaknya ada dua alasan untuk itu. Pertama, pada tingkat dunia, geografi sebagai suatu disiplin dengan ciri-ciri khas dan lingkup kajian yang unik sudah dapat diterima oleh berbagai pihak di luar disiplin geografi. Pada tingkat nasional pun pemahaman masyarakat umum mengenai geografi sudah jauh lebih baik dibandingkan dua dekade yang lalu. Hal ini dapat terlihat dari tersedianya berbagai formasi lapangan kerja yang mensyaratkan kualifikasi lulusan geografi baik pada jenjang diploma maupun sarjana/ pascasarjana. Kedua, organisasi profesi geografi seperti IGI dan juga Fakultas Geografi UGM sebagai salah satu institusi pendidikan dan penelitian terbesar di Indonesia telah berkali-kali menyelenggarakan acara semacam ini, meskipun dengan fokus yang agak berbeda-beda. Rutinitas penyelenggaraan acara semacam ini justru dikhawatirkan akan menimbulkan kebosanan dan apatisme di kalangan geografiwan sendiri serta membangun pertanyaan yang kurang perlu di kalangan luar geografi, misalnya, Ada masalah apa dengan disiplin geografi? Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa tekanan-tekanan internal dan eksternal terhadap institusi pendidikan geografi kadangkala berhasil memaksa para geografiwan untuk melakukan perubahan kurikulum dan restrukturisasi organisasi penyelenggara pendidikan sedemikan rupa, sehingga untuk keperluan itu diperlukan berbagai justifikasi akademis bagi munculnya kurikulum dan struktur organisasi baru. Tulisan mengenai substansi dan kompetensi geografi dari perspektif sains informasi geografis berikut ini barangkali diharapkan untuk dapat membantu mendudukkan kembali pemahaman tentang konsep geografi, perkembangan ilmunya, serta kompetensi akademis yang diperlukan untuk menjawab tantangan zaman. Makalah kecil ini penulis bagi menjadi lima bagian. Bagian pertama mencoba menjawab pertanyaan tentang kategori geografi sebagai suatu disiplin ilmu: apakah idiografik atau nomotektik. Pada bagian kedua, penulis mencoba untuk meninjau lebih spesifik posisi sains informasi geografis dalam disiplin geografi. Beberapa macam pendekatan dalam geografi diuraikan secara ringkas dalam bagian ketiga, meliputi pendekatan klasik menurut Hagget yang saat ini banyak dianut oleh geografiwan di Indonesia, diikuti dengan pendekatan yang lebih spesifik pada penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) baik dari cara pandang konsep multi maupun dikotomi holistik-reduksionistik. Dalam bagian keempat, penulis mendudukkan kembali perbedaan bidang kajian sains informasi geografis dengan bidang kajian lain (dengan mengambil contoh bidang geografi fisik), untuk memperjelas perbedaan keduanya yang sama-sama bernaung di bawah disisplin geografi, melalui kacamata tujuan sains. Bagian kelima mencoba menjelaskan implikasi pemahaman posisi sains informasi geografis dalam Disampaikan dalam Seminar dan Sarasehan tentang Substansi dan Kompetensi Geografi, Januari 2008 di Fakultas Geografi UGM Yogyakarta 1

2 geografi dengan memberikan rekomendasi pengembangan kurikulum, arah penelitian, serta kemampuan akademis minimal yang harus dikuasai oleh seorang lulusan program pendidikan sains informasi geografis. 2. Disiplin Geografi: Idiografik atau Nomotetik? Kadangkala muncul pertanyaan, apakah geografi itu merupakan disiplin ilmu yang bersifat idiografik (deskriptif) atau nomotetik (law-giving)? Menanggapi pertanyaan itu, sering muncul pendapat bahwa geografi pada dasarnya bersifat idiografik. Jawaban bahwa geografi bersifat nomotetik sering memperoleh sanggahan, karena selama ini hampir tidak ada bukti bahwa geografi mampu menghasilkan suatu hukum atau rumus yang bersifat universal. Tulisan-tulisan mengenai geografi dan sains informasi geografis dalam dua dekade terakhir, misalnya Johnston (1991), Holt-Jensen (1999), Longley et al (2005), dan Lo dan Yeung (2002) menunjukkan bahwa geografi selain bersifat idiografik juga bersifat nomotetik. Ada satu hukum yang sering menjadi referensi, yang menjadi Hukum Geografi yang Pertama (The First Law in Geography), yang dikemukakan oleh Waldo Tobler. Tobler merumuskan Hukum Pertama dalam Geografi pada tahun 1971 (Longley et al., 2005). Substansi hukum ini berbunyi Obyek yang berdekatan dalam ruang selalu lebih mirip daripada yang saling berjauhan. Hukum Pertama dalam Geografi ini menemukan revelansinya dalam banyak kajian spasial. Autokorelasi spasial merupakan substansi dari hukum ini. Penggunaan metode-metode interpolasi spasial non-linier seperti kriging yang mampu melakukan prediksi nilai suatu variabel secara spasial berdasarkan jumlah sampel yang jauh lebih terbatas dibandingkan interpolasi linier-- jelas sekali menunjukkan bahwa Hukum Pertama dalam Geografi dimanfaatkan dalam teknik-teknik analisis spasial dengan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis. 3. Ciri-ciri dan Fondasi Keilmuan Zen (1979) mengemukakan ciri-ciri agar suatu pengetahuan dapat disebut sebagai sains. Menurut Zen, sains merupakan bidang pengetahuan yang melakukan eksplorasi ke alam materi. Sains juga memperhatikan keteraturan dalam fenomena kajian, dan mencoba untuk memformulasikannya. Selain itu, sains juga dapat dibedakan dari pengetahuan lain jika ditinjau dari mekanismenya untuk mampu menguji diri sendiri (self testing). Mekanisme menguji diri sendiri juga ada dalam geografi. Seperti disiplin ilmu lainnya, geografi mampu mengembangkan hipotesis, menguji hipotesis, serta menguji dan memperbaiki teori yang sudah ada. Sains informasi geografis juga demikian. Uji akurasi hasil interpretasi dan pemodelan merupakan bagian inheren dalam proses analisis data penginderaan jauh dan estimasi berdasarkan pemodelan spasial dengan sistem informasi geografis. Melalui kajian-kajian semacam ini, sains informasi geografis dapat memberikan pemahaman tentang metode apa saja yang efektif dan akurat untuk suatu aplikasi, dan metode apa yang lebih sesuai untuk aplikasi yang lain. Sains informasi geografis dapat membantu para geografiwan untuk menyeleksi spatial analytical tools yang paling bermanfaat, merangkumnya, dan mengelompokkannya ke dalam kesatuan fungsi dan atau pendekatan/teori yang sama yang melandasinya. 2

3 Goodchild (1992) mencoba secara longgar memberikan pengertian sains informasi geografis sebagai bidang sains yang menghimpun berbagai isyu dasar mengenai pemanfaatan dan penanganan informasi geografis. Isyu-isyu dasar yang diangkat ini antara lain ialah (1) karakteristik unik data geografis, (2) ciri spesifik penelitian yang membutuhkan pemecahan masalah dalam perspektif geografis, (3) interaksi antara penelitian tentang informasi geografis dengan berbagai disiplin akademis yang berkaitan, dan (4) dampak sosial pemanfaatan informasi geografis. Lo dan Yeung (2002) menegaskan bahwa perkembangan sains informasi geografis bertujuan untuk mendefinisikan kembali geografi dan aplikasinya dalam konteks SIG. Dari kacamata ini pula Longley et al. (2005) menegaskan bahwa kehadiran sains informasi geografis telah memberi bobot fondasi keilmuan teknologi SIG, mendukungnya, serta mengendalikan arah perkembangan sains dalam disiplin geografi. 4. Pendekatan dalam Geografi dan Sains Informasi Geografis Pendekatan Geografi: Spasial, Ekologis dan Kompleks Wilayah Secara resmi, dalam kebijakan pendidikannya, Fakultas Geografi UGM menganut pemahaman disiplin geografi sebagai suatu sintesis baru suatu gagasan yang diangkat oleh Hagget (1983). Pemahaman semacam ini dicoba untuk dijadikan acuan bagi seluruh program pendidikan geografi di perguruan tinggi di Indonesia. Hagget di kemudian hari merumuskan kembali gagasan ini sebagai sintesis global. Dalam gagasannya, Hagget menjelaskan bahwa disiplin geografi dicirikan oleh tiga macam pendekatan, yaitu spasial, ekologis dan kompleks wilayah. Gagasan Hagget ini sebenarnya dilandasi oleh upaya menarik keluar berbagai subdisisplin geografi dari tradisi keterkotak-kotakan mereka dalam bentuk geografi sistematik (Holt- Jensen, 1999). Hagget selanjutnya berpendapat bahwa tradisi pembagian sub-sub disiplin semacam itu (misalnya hidrologi, geomorfologi, geografi penduduk, kartografi) menjadi penting hanya jika subjek-subjek tersebut masih sering dipakai sebagai basis kuliah-kuliah lanjutan. Rekomendasi Hagget berikutnya ialah bahwa sebaiknya pembagian atau pengelompokan bidang kajian geografi sebaiknya mengacu pada ketiga pendekatan tersebut. Baru-baru ini, pembentuan divisi baru dalam Fakultas Geografi UGM telah menghasilkan tiga sub-bidang: Geografi dan Ilmu Lingkungan, Sains Informasi Geografis, serta Pengembangan Wilayah. Penyusunan divisi baru ini masih membutuhkan justifikasi akademis yang memadai, agar wadah-wadah akademis baru yang muncul bukan hanya merupakan kompromi atas perkembangan ilmu dengan tekanan efisiensi administrasi yang berujung pada penghematan keuangan. Di sini gagasan Hagget dipandang masih relevan, yaitu dengan memberi makna setiap divisi sesuai dengan penonjolan salah satu pendekatan yang ada. Pada Gambar 1, penulis mencoba menandai divisi Geografi dan Ilmu Lingkungan dengan penonjolan pada pendekatan ekologis, sementara divisi Sains Informasi Geografis (penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan kartografi) menonjolkan pendekatan spasial. Divisi Pembangunan Wilayah dengan demikian akan lebih tepat untuk menonjolkan pendekatan kompleks wilayah sebagai ciri utamanya. Pendekatan Sains Informasi Geografis: Multitingkat, Multiwaktu, Multispektral, Multisumber Sains Informasi Geografis merupakan bidang kajian yang unik, di mana berbagai konsep multi digunakan secara serentak untuk mendekati masalah dan memberikan solusi. Konsep 3

4 multi ini didominasi oleh sub-bidang penginderaan jauh, meskipun sistem informasi geografis dan kartografi juga memanfaatkannya dalam tingkat kelengkapan yang lebih rendah. Pendekatan Kompleks Wilayah Secara relatif, peran pendekatan spasial berkurang, peran pendekatan kompleks wilayah meningkat Pembangunan Wilayah Secara relatif, peran pendekatan kompleks wilayah berkurang, peran pendekatan ekologis meningkat Geografi Terpadu Pendekatan Spasial Sains Informasi Geografis Geografi dan Ilmu Lingkungan Pendekatan Ekologis Secara relatif, peran pendekatan ekologis berkurang, peran pendekatan spasial meningkat Gambar 1. Divisi-divisi dalam program pendidikan di Fakultas Geografu UGM dan saran penonjolan pendekatan yang dijadikan ciri-cirinya, mengacu pada konsep sintesis geografi menurut Hagget Penginderaan jauh secara serentak mampu menggunakan pendekatan multitingkat (baik multiskala maupun multiresolusi), multiwaktu, multispektral, dan multisumber secara serentak. Kajian sistem informasi geografis dan kartografi jelas tidak pernah menggunakan pendekatan multispektral, karena konsep multispektral berkaitan sangat erat dengan penggunaan spektrum panjang gelombang dan kadang-kadang juga diekspresikan dalam bentuk pendekatan multisensor, yang merupakan lingkup kajian khas penginderaan jauh. Penggunaan pendekatan multitingkat dalam kajian geografi secara efektif dapat dilakukan dengan penginderaan jauh. Kehadiran berbagai macam citra yang diproduksi oleh berbagai macam sensor dalam resolusi spasial yang berbeda-beda telah menunjukkan efektivitas pendekatan ini. Meskipun demikian, pada umumnya terdapat perbedaan yang cukup jelas dalam penggunaan pendekatan ini, antara penginderaan jauh dan SIG. Penginderaan jauh lebih ditujukan untuk memproses data mentah sehingga menghasilkan peta, sementara SIG memanfaatkan peta-peta dengan resolusi dan atau skala yang berbeda untuk kajian yang lebih terfokus secara spasial dan secara bertahap. Kartografi menerapkan cara serupa untuk analisis dan penyajian data spasialnya. 4

5 Berbagai metode analisis spasial multitingkat telah dikembangkan untuk bidang sains informasi geografis. Analisis campuran spektral (spectral mixture analysis, atau kadang-kadang disebut dengan spectral unmixing) merupakan contoh aktual dari penggunaan pendekatan multitingkat yang memanfaatkan observasi langsung di lapangan (dengan spektroradiometer, misalnya) atau citra resolusi tinggi untuk menggali informasi sub-piksel pada citra dengan resolusi yang lebih rendah (Campbell, 2002; Mather, 2004; Jensen, 2007). Analisis multitingkat dengan SIG antara lain dilakukan dalam bentuk agregasi spasial (Danoedoro, 2006a). Perkembangan penggunaan data multiskala/multiresolusi juga telah menunjukkan adanya model-model kajian baru yang membantu terbentuknya teori baru dalam bidang geografi. Dua di antara temuan teoretis terpenting saat ini adalah konsep upscaling-downscaling dan konsep modifiable areal unit problem (Longley et al., 2005). Konsep upscaling dan downscaling dapat digunakan pada pemilihan skala/resolusi spasial peta dan atau citra yang paling fektif dan akurat untuk pembandingan variabel ataupu kajian ekologis lainnya. Gambar 1 dapat memperjelas uraian tentang upscaling dan downscaling ini. Sementara itu, modifiable areal unit problem (MAUP) yang ditemukan oleh geografiwan Inggris Stan Openshaw pada tahun 1984 menunjukkan bahwa pemilihan skala/resolusi dan sekaligus metode agregasi atau zonasi spasial yang berbeda pada wilayah yang sama dapat menghasilkan informasi yang sangat berlainan. Gambar 2 memperjelas uraian tentang MAUP ini. Pendekatan multiwaktu juga merupakan hal yang biasa digunakan dalam geografi. Meskipun demikian, kajian multiwaktu secara spasial hanya dapat secara efektif diterapkan dengan bantuan sains informasi geografis. Data dengan frekuensi perubahan tinggi pada rentang waktu tertentu dengan cepat dapat dimodelkan dan dianalisis kecenderungannya dengan bantuan analisis citra dan peta. Data penginderaan jauh multispektral dan sekaligus multiwaktu dapat dimanfaatkan scara cepat dan akurat dalam pemetaan pola rotasi tanaman pertanian beserta estimasi produksinya (Danoedoro et al., 1998). Analisis data dengan jumlah variabel yang banyak dalam geografi biasa dilakukan dengan pendekatan statistik, misalnya menggunakan analisis faktor. Apabila data tersebut tersaji secara spasial, maka penggunaan analisis multivariat dengan bantuan pengolah citra dan SIG sangat diperlukan. Dalam konteks penginderaan jauh, penggunaan analisis komponen utama (principal component analysis, PCA) mampu mengurangi dimensionalitas data sehingga jumlah variabel dapat direduksi dan lebih mudah diinterpretasi atau dianalisis lanjut. Proses tumpangsusun dengan bantuan SIG untuk variabel spasial atau peta dalam jumlah besar biasanya mensyaratkan model data raster, meskipun dewasa ini penggunaan perangkat lunak vektor telah banyak yang mampu menerapkan analisis serupa dengan kemampuan yang memadai. Data multisumber biasanya juga tersedia dalam bentuk dan karakteristik yang berbedabeda pula. Banyak kajian geografis dengan bantuan penginderaan jauh memerlukan data pendukung yang bersumber dari citra optik dan non-optik (misalnya radar/laser), serta peta pendukung lain dengan sifat data yang jauh berbeda (non-spektral, misalnya elevasi, kedalaman tanah). Analisis multivariat dengan metode klasifikasi multispektral data penginderaan jauh jelas tidak mampu menangani kumpulan data multisumber semacam ini, sehingga kehadiran metode klasifikasi non-parametrik seperti jaringan saraf tiruan atau artificial neural network (Baret, 1997) menawarkan solusi yang memerlukan kajian manfaat dan keterbatasan yang lebih mendalam. Pendekatan multisumber dengan menggunakan citra juga bisa diakomodasi melalui analisis lain seperti misalnya dengan logika Fuzzy dan teori bukti dari Dempster-Shaffer (Danoedoro, 1993). 5

6 PETA VARIABEL A (resolusi 20m) PETA VARIABEL B (resolusi 20 m) Koefisien korelasi r = 0,645 Fungsi persamaan linier: B = 3, ,452 A PETA VARIABEL A (resolusi 40 m) PETA VARIABEL B (resolusi 40 m) Koefisien korelasi r = 0,988 Fungsi persamaan linier: B = ,930 A Gambar 2. Konsep upscaling dan downscaling dalam kajian geografis. Penurunan resolusi spasial (downscaling) dua macam variabel spasial (diekspresikan oleh Peta A dan Peta B) dapat mengubah kekuatan hubungan keduanya dan bentuk persamaan regresi yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya, apabila resolusi spasial dinaikkan (upscaled). 6

7 Gambar 3. Metode agregasi atau zonasi spasial yang berbeda untuk mengkaji hubungan antara dua variabel dapat menghasilkan kesimpulan mengenai kekuatan hubungan yang berbeda pula. Hal ini dapat menjadi perhatian bagi para geografiwan yang akan merumuskan satuan-satuan analisis berupa satuan pemetaan dengan bantuan penginderaan jauh dan atau sistem informasi geografis dalam kajian mereka. Pendekatan Holistik atau Reduksionistik? Penurunan informasi spasial dapat dilakukan dengan pendekatan holistik maupun reduksisonistik. Pendekatan holistik dikembangkan pada sekitar akhir tahun 1950-an. Pendekatan yang pada awalnya dikembangkan oleh Autoritas Konservasi Tanah Australia dan kemudian diadopsi oleh ITC (Belanda) ini memandang setiap satuan pemetaan lahan (land mapping unit) merupakan satu kesatuan dari berbagai karakteristik lahan. Sekali satuan pemetaan tersebut terdefinisi, maka berbagai karakteristik lahan yang ada dapat dideduksi 7

8 melalui proses interpretasi dan pengambilan sampel lapangan secara terstrata. Hasil dari observasi semacam ini kemudian dijadikan dasar untuk memahami keseluruhan wilayah kajian. Dengan demikian, pendekatan holistik atau satuan lahan secara efektif dapat diterapkan dengan menggunakan interpretasi fotografik atas citra penginderaan jauh. Sebaliknya, pendekatan reduksionistik memandang bahwa satuan lahan muncul sebagai konsekuensi logis dari proses analisis peta multitema, khususnya dalam bentuk analisis tumpangsusun peta. Skidmore (1997) menyebutkan bahwa secara konseptual kedua metode tersebut berseberangan. Pendekatan holistik diterapkan dengan menggunakan penginderaan jauh (khususnya interpretasi visual), sementara pendekatan reduksionistik memerlukan SIG. Pendekatan holistik lebih sesuai diterapkan pada wilayah yang data tematiknya terbatas atau tidak ada, sehingga survei cepat terintegrasi merupakan syarat mutlak; sementara pendekatan reduksionistik menuntut data masukan dalam bentuk peta-peta tematik yang telah terkontrol kualitasnya serta melalui proses analisis tumpangsusun yang hati-hati. Dalam praktek, kedua macam pendekatan ini dapat dikombinasikan. Kajian-kajian spasial dengan menggunakan citra penginderaan jauh dapat menggunakan pendekatan (semi)holistik untuk menurunkan informasi satuan medan atau satuan lahan, sementara beberapa informasi tematik lain dapat diperoleh dengan metode yang berbeda, atau dengan memanfaatkan peta-peta yang sudah tersedia, sejauh cara perolehan dan kualitasnya sudah diketahui dan dinilai layak pakai. Proses analisis multisumber berikutnya dapat menggunakan metode-metode pemodelan standar dalam SIG, misalnya model biner, indeks, regresi, proses ataupun jaringan (Chang, 2008). 6. Tugas Keilmuan Sains mempunyai tugas untuk dapat memberikan empat hal berikut (Montello dan Sutton, 2006): - Deskripsi - Prediksi - Eksplanasi - Kontrol. Apapun domainnya, ilmuwan harus dapat membedakan dan mendeskripsikan fenomena dasar kajiannya. Selanjutnya, ilmuwan juga harus dapat memprediksi fenomena yang tidak bisa mereka amati langsung misalnya untuk masa depan atau masa lalu, namun dapat pula fenomena yang secara spasial berada di luar jangkauan. Sekali ilmuwan dapat memberikan deskripsi dan kemudian prediksi, mereka juga harus dapat memberikan penjelasan (eksplanasi) mengenai apa yang ada di balik semua itu. Dengan dapat memberikan deskripsi, prediksi, dan eksplanasi, ilmuwan akhirnya juga harus dapat melakukan kontrol atas fenomena yang dikaji. Penjelasan di atas juga berlaku untuk geografi dan geografiwan. Meskipun demikian, secara rinci bentuk dan isi tugas keilmuan ini bisa tidak sama untuk sub-disiplin atau divisi yang berbeda dalam geografi. Penulis mencoba menggunakan Tabel 1 berikut untuk memberikan contoh mengenai perbedaan tugas keilmuan antara sains informasi geografis dan sub-disiplsin geografi lain (misalnya geografi fisik) dalam hal deskripsi, prediksi, eksplanasi dan kontrol yang dilakukan. Perlu diperhatikan bahwa contoh berikut ini hanyalah suatu simplifikasi. 8

9 Tabel 1. Perbedaan antara tugas keilmuan geografi fisik dan sains informasi geografis untuk kajian yang berhubungan dengan fenomena longsorlahan. TUGAS KEILMUAN Deskripsi Prediksi Eksplanasi Kontrol CONTOH UNTUK GEOGRAFI FISIK CONTOH UNTUK SAINS INFORMASI GEOGRAFIS Longsorlahan dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya curah hujan, kemiringan lereng, tingkat pelapukan batuan, struktur geologi, kedalaman tanah, serta penutup lahan Longsorlahan dapat terjadi pada wilayah berlereng curam yang menerima curah hujan tinggi, terkombinasi dengan salah satu atau beberapa faktor berikut: batuan yang sangat lapuk, struktur geologi tertentu misalnya sesar aktif, pola perlapisan batuan tertentu), solum tanah tebal menumpang di atas batuan kedap, serta penutup lahan yang tidak efektif Pada waktu musim hujan, kandungan air yang berlebih menyebabkan lapisan tanah menjadi lebih berat; lapisan kedap di bawahnya menjadi bidang peluncur, penutup lahan yang tidak efektif tidak mampu mengikat agregat-agregat tanah; arah perlapisan yang sejajar kemiringan lereng juga membantu mempermudah lepasnya lapisan tanah dari ikatannya dengan massa batuan lainnya Rekomendasi perencanaan wilayah, zonasi tingkat risiko, perlakuan atas lahan berisiko dengan perlakuan yang tepat Informasi lereng, litologi, struktur geologi, kedalaman dan tingkat pelapukan tanah, serta penutup lahan dapat diperoleh melalui interpretasi citra, baik manual atau digital. Penyajian informasi dapat secara kuantitatif maupun kualitatif. Analisis multitema/multivariabel dapat dilakukan dengan pemodelan spasial berupa model proses maupun model indeks dalam lingkungan SIG Model tumpangsusun akan memberikan satuan pemetaan indeks terbesar/terkecil tergantung cara pengharkatan yang mengindikasikan wilayah-wilayah yang paling rawan/berisiko longsor. Tetapi, model analisis mutitema juga akan menimbulkan akumulasi kesalahan melalui proses error propagation pada hasil akhir, yang juga berpengaruh pada akurasi model Setiap peta memuat kesalahan pada tingkat tertentu, dan kesalahan ini akan terbawa serta terakumulasi pada proses penggabungan/integrasi dengan peta-peta lain dalam analisis multitema dengan SIG Setiap peta dengan tema tertentu harus diproduksi dengan kontrol kualitas/akurasi yang ketat dan dapat dikuantifikasi, misalnya melalui suatu nilai ambang kesalahan tertentu mengacu ke suatu referensi lapangan, sehingga proses perambatan kesalahan dapat dikendalikan pada tingkat yang dapat diterima 7. Penutup: Implikasi dalam Membangun Kompetensi Pendidikan Sains Informasi Geografis Uraian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya geografi sebagai suatu disiplin telah dan sedang berevolusi. Geografi mempunyai wilayah kajian yang jelas dan pendekatan yang spesifik, yang dapat dibedakan dari bidang ilmu lainnya. Sama halnya dengan bidang ilmu lain, telah terjadi pergeseran fokus kajian dan juga paradigma dalam geografi, yang tidak perlu diperdebatkan berlebihan. Dari berbagai cara pandang tentang geografi, cara pandang Peter Hagget mengenai geografi sebagai suatu sintesis yang menggunakan pendekatan spasial, 9

10 ekologis dan kompleks wilayah masih mempunyai relevansi terhadap restrukturisasi kelembagaan pendidikan geografi di Fakultas Geografi UGM. Melalui perspektif ini penulis menekankan pentingnya pembangunan identitas masing-masing divisi atau sub-disiplin dalam geografi dengan memperhatikan cara pandang Hagget tentang ketiga pendekatan tersebut, serta konsistensi lingkup kajian dan tugas pokok setiap divisi yang telah dirumuskan. Peningkatan spesialisasi Peningkatan aplikasi Sains informasi geografis Sains informasi geografis terapan Bidang-bidang kajian lain dalam geografi Misal: Pengembangan model analisis spasial, analisis dan metode ekstraksi citra, teori informasi spasial Misal: Evaluasi manfaat dan keterbatasan model spasial berbasis peta/citra dalam menyelesaikan masalah geografis Misal: Penyusunan spesifikasi teknis kebutuhan data spasial untuk menjawab permasalahan geografis Misal: Integrasi penginderaan jauh dan SIG untuk pemetaan wilayah rawan banjir Misal: Kajian tingkat kerawanan longsor lahan dengan bantuan data penginderaan jauh Penelitian dasar Penelitian terapan Gambar 4. Spektrum lingkup kajian Sains Informasi Geografis (Danoedoro, 2006b) Mengutip gagasan penulis terdahulu (Danoedoro, 2006b), pendidikan dan penelitian sains informasi geografis sebaiknya memperhatikan spektrum kajian yang berkisar dari penelitian dasar ke penelitian terapan, atau dari peningkatan spesialisasi ke peningkatan aplikasi (Gambar 4). Saat ini, penulis masih melihat bahwa porsi penelitian dasar/peningkatan spesialisasi relatif masih terbatas, sehingga intensitas riset yang berciri-khas sains informasi geografis masih dapat ditingkatkan. Penelitian-penelitian yang bersifat analitis-spasial untuk penginderaan jauh, SIG dan kartografi juga masih perlu ditingkatkan, untuk mempertegas perbedaan lingkup kajian sains informasi geografis dengan sub-disiplin geografi lainnya di satu sisi, dan sekaligus untuk mempertegas kedudukan sains informasi geografis yang berbeda dengan bidang-bidang teknologi informasi lain, yang sekadar memanfaatkan metode pemrosesan data geospasial dari sisi pengembangan teknologi itu sendiri, lepas dari konteks pendalaman kajian geografi. Peningkatan kompetensi ini secara ringkas dimaksudkan untuk membentuk sarjana sains informasi geografis yang mampu memberikan kontribusi pada pengembangan geografi dari perspektif application-driven dan technology-driven. Dari perspektif application-driven, sarjana sains informasi geografis harus mampu memanfaatkan konsep-konsep yang dibangun oleh 10

11 berbagai sub-disiplin dalam geografi (dan juga disiplin lain) dan menerapkannya dengan menggunakan berbagaia macam pendekatan, metode dan teknik analisis data spasial. Di sisi lain, menurut perspektif technology-driven, sarjana sains informasi geografis harus mampu memberikan kontribusi pengembangan teori, metode, dan teknik baru dalam analisis geografi berdasarkan pemahaman mendalam tentang bentuk, sifat dan perlakuan yang diperlukan pada berbagai data spasial. Contoh perspektif application-driven ialah upaya spasialisasi formula kehilangan tanah menurut USLE (Universal Soil Loss Equation) (Wischmeier, 1986), di mana suatu model nonspasial dijalankan dengan menggunakan SIG. Contoh bidang kajian yang bersifat technologydriven misalnya model AGNPS (Agricultural Non-point Source) untuk polusi dan erosi dalam suatu DAS, indeks vegetasi dengan menggunakan Normalised Difference Vegetation Index (NDVI) atau Modified Soil-adjusted Vegetation Index (MSAVI), di mana justru ketersediaan teknologi penginderaan jauh dan SIG-lah yang mendorong munculnya model-model baru, yang sebelumnya tidak pernah dikonseptualisasikan. REFERENSI Baret, F. (1995). Use of Spectral Reflectance Variation to Retrieve Canopy Biophysical Characteristics. In: Danson, F.M. and Plummer, S.E. (eds). Advances in Environmental Remote Sensing. Singapore: John Wiley and Sons Campbell, J. B. (2002). Introduction to Remote Sensing, 3rd edition.new York: Guildford Press. Chang, Kang-tsung. (2008). Introduction to Geographic Incformation Systems. 2 nd New York: John Wiley and Sons Edition. Chrisman. N. (1997). Exploring Geographic Information Systems. New York: John Wiley and Sons Danoedoro, P. (1993). The Use of Knowledge-based Approaches in the Integration of Remote Sensing and Geo-information Systems for Land-use Mapping: A Case Study of the Buffer Zone of the Cibodas Biosphere Reserve, West Java, Indonesia. MSc Thesis, ITC Enschede Danoedoro, P., Heru Murti, S., and Hidayati, B. (1998). Integration of Spectral-based and Spatio-ecological Models in Satellite Image Analysis for Estimating Annual Crops Production. The Indonesian Journal of Geography, 30(74) Danoedoro, P. (2006a). Versatile Land-use Information for Local Planning in Indonesia: Contents, Extraction Methods and Integration based on Moderate- and High-spatial Resolution Satellite Imagery. PhD Thesis. Brisbane: The University of Queensland Danoedoro, P. (2006b). Pendidikan Sains Informasi Geografis: Meningkatkan relevansi Geografis atau Meningkatkan Kompetensi Lulusan? Makalah untuk Sarasehan dalam Rangka Dies Natalis Fakultas Geografi UGM ke-43, 28 Agustus 2006 di Yogyakarta. 11

12 Goodchild, M.F. (1992). Geographical Information Science. International Journal of Geographical Information Science, Vol. 6 No.1, pp Hagget, P. (1983). Geography A Modern Synthesis. 2nd Edition. New York: Harper and Row Holt-Jensen, A. (1999). Geography Its History and Concept, Third Edition. London: Sage Publications Jensen, J. R. (2007). Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource Perspective. 2 nd Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Johnston, R.J. (1991). Geography and Geographers. Anglo-American Human Geography Since th Edition. New York: Edward Arnold. Lo, C. P., and Yeung, A.K.W. (2002). Concepts and Techniques of Geographical Information Systems.New Delhi: Prentice Hall of India. Longley, P. A., Goodchild, M.F., Maguire, D.J., and Rhind, D.W. (2005). Geographic Information Systems and Science, 2nd edition. New York: Wiley. Mather, P. M. (2004). Computer Processing of Remotely Sensed Data: An Introduction, 3rd edition.brisbane: John Wiley and Sons. Montello, D.R., and Sutton, P.C. (2006). An Introduction to Scientific Research Methods in Geography. London: Sage Publications Skidmore, A. K. (1997). The World Apart. ITC Journal(1), Wischmeier, W. H. (1976). Use and Misuse of the Universal Soil Loss Equation. Journal of Soil and Water Conservation(3), 5-9. Zen, M.T. (1979). Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia. Jakarta: Gramedia 12

POSISI PENGINDERAAN JAUH DALAM PERKEMBANGAN ILMU GEOGRAFI

POSISI PENGINDERAAN JAUH DALAM PERKEMBANGAN ILMU GEOGRAFI POSISI PENGINDERAAN JAUH DALAM PERKEMBANGAN ILMU GEOGRAFI Projo Danoedoro Jurusan Sains Informasi Geografis dan Pengembangan Wilayah PENGANTAR Diskusi tentang perkembangan ilmu geografi pada tingkat nasional

Lebih terperinci

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE)

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) Oleh: Tri Mulyadi 134130071 Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kecamatan Kejajar merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Pegunungan Dieng Kabupaten Wonosobo dengan kemiringan lereng > 40 %. Suhu udara Pegunungan Dieng

Lebih terperinci

RPKPS (Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester) Penginderaan Jauh Non-Fotografi Fakultas Geografi UGM

RPKPS (Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester) Penginderaan Jauh Non-Fotografi Fakultas Geografi UGM RPKPS (Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester) Penginderaan Jauh Non-Fotografi Fakultas Geografi UGM 1. NAMA MATA KULIAH Penginderaan Jauh Non Fotografi 2. KODE/SKS GKP 2204 / 2 SKS 3. PRASYARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SKKNI IG 2016 SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SKKNI IG 2016 SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO PUSPICS/Departemen Sains Informasi Geografis, Fakultas Geografi UGM

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang harus ditanggulangi. Fenomena alam ini menjadi penyebab utama terbentuknya lahan kritis, terutama jika didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

Remote Sensing KKNI 2017

Remote Sensing KKNI 2017 Remote Sensing KKNI 2017 JOB DESC/ JENJANG/ SIKAP KERJA Asisten Operator/ 3/ 6 Operator/ 4/ 13 UNJUK KERJA (UK) INTI URAIAN UNJUK KERJA (UK) PILIHAN URAIAN BIAYA SERTIFIKASI M.71IGN00.161.1 Membaca Peta

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH DIGITAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN SURVEI PEMETAAN DI INDONESIA: BEBERAPA ASPEK MANFAAT DAN KETERBATASANNYA

PENGINDERAAN JAUH DIGITAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN SURVEI PEMETAAN DI INDONESIA: BEBERAPA ASPEK MANFAAT DAN KETERBATASANNYA PENGINDERAAN JAUH DIGITAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN SURVEI PEMETAAN DI INDONESIA: BEBERAPA ASPEK MANFAAT DAN KETERBATASANNYA Projo Danoedoro Abstrak Penginderaan jauh digital merupakan suatu kerangka kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan TINJAUAN PUSTAKA Kesesuaian Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya termasuk

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA Tanggal Penyusunan 29/01/2016 Tanggal revisi - Kode dan Nama MK KI064303 Sistem Informasi Geografis SKS dan Semester SKS

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013

RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013 RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013 PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI LAHAN KRITIS DAN EROSI (SILKER) MENGGUNAKAN FREE OPEN SOURCES SOFTWARE FOSS-GIS ILWIS Tahun ke 1 dari

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

Stella Swastika Putri Projo Danoedoro Abstract

Stella Swastika Putri Projo Danoedoro Abstract Pemetaan Fraksi Penutup Lahan Kota Yogyakarta Menggunakan Teknik NMESMA Pada Citra Landsat 8 OLI Stella Swastika Putri stella.swastika.p@mail.ugm.ac.id Projo Danoedoro projo.danoedoro@geo.ugm.ac.id Abstract

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembukaan lahan untuk perumahan dan pemukiman pada daerah aliran sungai (DAS) akhir-akhir ini sangat banyak terjadi khususnya pada kota-kota besar, dengan jumlah dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

KEBUTUHAN BASIS DATA UNTUK APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM ERA OTONOMI DAERAH

KEBUTUHAN BASIS DATA UNTUK APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM ERA OTONOMI DAERAH KEBUTUHAN BASIS DATA UNTUK APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Ahmad Yani PENDAHULUAN Dalam sepuluh tahun terakhir ini Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berbasis komputer

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (S I G )

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (S I G ) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (S I G ) Sistem Informasi Geografis (S I G ) 1 Pengertian Terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang terdapat

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

TOPIK I Pengantar Sistem Informasi Geografi

TOPIK I Pengantar Sistem Informasi Geografi TOPIK I Pengantar Sistem Informasi Geografi Judul Dosen : MATA KULIAH SIG (TKW-330) : 1. Drs. Suprajaka, MTP 2. Taufik Hidayatulah, S.Si Perpaduan dua teknologi yang menciptakan perkembangan aplikasi yang

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012

Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 ANALISIS CAMPURAN SPEKTRAL SECARA LINIER (LSMA) CITRA TERRA MODIS UNTUK KAJIAN ESTIMASI LIMPASAN PERMUKAAN (STUDI KASUS SUB DAS RIAM KANAN DAN SEKITARNYA) MB-16 AbdurRahman* 1, Projo Danoedoro 2 dan Pramono

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (S I G )

Sistem Informasi Geografis (S I G ) Sistem Informasi Geografis (S I G ) 1 Pengertian Terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang terdapat di dunia nyata. Jenis data yang merepresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 OLI DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 OLI DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 OLI DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR Anisa Nurwidia Akbari anisa.nurwidia@gmail.com Retnadi Heru Jatmiko

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah di wilayah Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah di wilayah Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah di wilayah Indonesia, Kabupaten Lamongan sangat perlu penggalian akan potensi daerah, terutama untuk pembuatan perencanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA Artan Niki Alunita artan_niki@yahoo.com Projo Danoedoro projo.danoedoro@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 SEBAGAI PENUNJANG DATA DASAR UNTUK RENCANA DETAIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) Heri Setiawan, Yanto Budisusanto Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ APLIKASI TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ESTIMASI KOEFISIEN LIMPASAN PERMUKAAN SUB DAS PADANG JANIAH DAN PADANG KARUAH PADA DAS BATANG KURANJI KECAMATAN PAUH KOTA PADANG

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO Rahmadi Nur Prasetya geo.rahmadi@gmail.com Totok Gunawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH MULTITEMPORAL UNTUK KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (Kasus di Sub DAS Karang Mumus, Kalimantan Timur)

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH MULTITEMPORAL UNTUK KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (Kasus di Sub DAS Karang Mumus, Kalimantan Timur) PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH MULTITEMPORAL UNTUK KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (Kasus di Sub DAS Karang Mumus, Kalimantan Timur) M. Adi Fatmaraga adhie_fatmaraga@yahoo.com Retnadi Heru Jatmiko retnadi@yahoo.com

Lebih terperinci

Sarono Sigit Heru Murti B.S

Sarono Sigit Heru Murti B.S ESTIMASI PRODUKSI PADI DENGAN MENGGUNAKAN NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEXS) PADA LAHAN SAWAH HASIL SEGMENTASI CITRA ALOS DI KABUPATEN KARANGANYAR Sarono sarono34@gmail.com Sigit Heru Murti

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Panumbangan yang merupakan salah satu wilayah kecamatan di bagian Utara Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Zonasi Kerawanan Longsoran Proses pengolahan data sampai ke tahap zonasi tingkat kerawanan longsoran dengan menggunakan Metode Anbalagan (1992) sebagai acuan zonasi dan SIG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan material. DAS kodil bagian tengah terdiri dari Kecamatan Bener,

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan material. DAS kodil bagian tengah terdiri dari Kecamatan Bener, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Longsorlahan (landslide) mewakili bencana yang luas pada wilayah pegunungan dan perbukitan yang telah menyebabkan hilangnya nyawa dan kerusakan material. DAS kodil

Lebih terperinci

MEMBUAT SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PEMBELAJARAN GEOGRAFI DI SMA

MEMBUAT SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PEMBELAJARAN GEOGRAFI DI SMA MEMBUAT SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK PEMBELAJARAN GEOGRAFI DI SMA Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar, M.Si. Jurusan Pendidikan Geografi FISE Universitas Negeri Yogyakarta PENGANTAR Sitem Informasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit parasit tropis yang penting didunia dan masih merupakan masalah utama didunia. Malaria adalah penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah infeksi

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM. APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK PEMETAAN ZONA RAWAN BANJIR DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI CELENG KECAMATAN IMOGIRI KABUPATEN BANTUL Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN TAMBAK GARAM MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SAMPANG

KESESUAIAN LAHAN TAMBAK GARAM MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SAMPANG KESESUAIAN LAHAN TAMBAK GARAM MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SAMPANG Oleh : Firman Farid Muhsoni, S.Pi, M.Sc Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail : firman_fmm@yahoo.com.sg

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

Latar Belakang. Penggunaan penginderaan jauh dapat mencakup suatu areal yang luas dalam waktu bersamaan.

Latar Belakang. Penggunaan penginderaan jauh dapat mencakup suatu areal yang luas dalam waktu bersamaan. SIDANG TUGAS AKHIR PEMANFAATAN CITRA RESOLUSI TINGGI UNTUK MENGIDENTIFIKASI PERUBAHAN OBYEK BANGUNAN (STUDI KASUS UPDATING RENCANA DETAIL TATA RUANG KOTA UNIT PENGEMBANGAN RUNGKUT SURABAYA) Oleh Dewi Nur

Lebih terperinci

TerraMath Profil Perusahaan

TerraMath Profil Perusahaan TerraMath Profil Perusahaan Perkenalan TerraMath didirikan pada tahun 2003 dan berlokasi di Vienna / Austria. Secara singkat, kemampuan inti kami adalah : Pengembangan software Penginderaan Jauh GIS (Geography

Lebih terperinci

TINGKAT KERAWANAN LONGSORLAHAN DENGAN METODE WEIGHT OF EVIDENCE DI SUB DAS SECANG KABUPATEN KULONPROGO. Aji Bangkit Subekti

TINGKAT KERAWANAN LONGSORLAHAN DENGAN METODE WEIGHT OF EVIDENCE DI SUB DAS SECANG KABUPATEN KULONPROGO. Aji Bangkit Subekti TINGKAT KERAWANAN LONGSORLAHAN DENGAN METODE WEIGHT OF EVIDENCE DI SUB DAS SECANG KABUPATEN KULONPROGO Aji Bangkit Subekti adjie_2345@yahoo.com Danang Sri Hadmoko danang@gadjahmada.edu Abstract This research

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH DAN METODE PENGAMBILAN TITIK SAMPEL PENGUJI TERHADAP TINGKAT AKURASI KLASIFIKASI CITRA DIGITAL PENGINDERAAN JAUH

PENGARUH JUMLAH DAN METODE PENGAMBILAN TITIK SAMPEL PENGUJI TERHADAP TINGKAT AKURASI KLASIFIKASI CITRA DIGITAL PENGINDERAAN JAUH PENGARUH JUMLAH DAN METODE PENGAMBILAN TITIK SAMPEL PENGUJI TERHADAP TINGKAT AKURASI KLASIFIKASI CITRA DIGITAL PENGINDERAAN JAUH Projo Danoedoro 1 1 PUSPICS Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Sleman,

Lebih terperinci

PENERAPAN MODUL PRATIKUM SIG UNTUK MEMBERIKAN KETERAMPILAN PEMETAAN BAGI MAHASISWA FISIKA SAINS UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO

PENERAPAN MODUL PRATIKUM SIG UNTUK MEMBERIKAN KETERAMPILAN PEMETAAN BAGI MAHASISWA FISIKA SAINS UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 PENERAPAN MODUL PRATIKUM SIG UNTUK MEMBERIKAN KETERAMPILAN PEMETAAN BAGI MAHASISWA FISIKA SAINS UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO Andi Jumardi¹,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode telah terjadi 850 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah longsor merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Selama periode 2011-2015 telah terjadi 850 kejadian bencana tanah longsor di Indonesia (BNPB, 2015).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan berkelanjutan merupakan tuntutan mendesak yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan berkelanjutan merupakan tuntutan mendesak yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berkelanjutan merupakan tuntutan mendesak yang diperlukan untuk mewujudkan perubahan dan perbaikan pendidikan. Perubahan merupakan keniscayaan pada

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG Vembri Satya Nugraha vembrisatyanugraha@gmail.com Zuharnen zuharnen@ugm.ac.id Abstract This study

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

MATRIKS SKEMA SERTIFIKASI LSTP MAPIN BIDANG INFORMASI GEOSPASIAL SUB BIDANG PENGINDERAAN JAUH 2017

MATRIKS SKEMA SERTIFIKASI LSTP MAPIN BIDANG INFORMASI GEOSPASIAL SUB BIDANG PENGINDERAAN JAUH 2017 ASISTEN OPERATOR JAUH / 3 a. Lulusan D 1 Penginderaan Jauh, b. Lulusan SMK Surta/ Geomatika dengan pengalaman kerja bidang Penginderaan Jauh minimal 1 tahun efektif, c. Lulusan SMK /SMU dan sederajat yg

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS Danang Budi Susetyo, Aji Putra Perdana, Nadya Oktaviani Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Email: danang.budi@big.go.id

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh dalam hal penggunaan dan pengelolaan suatu lahan, maka hal pokok yang perlu diperhatikan adalah tersedianya informasi faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Longsoran adalah salah satu jenis bencana yang sering dijumpai di Indonesia, baik skala kecil maupun besar. Upaya penanggulangan longsoran biasanya dilakukan setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu sistem informasi yang dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan analisis data sehingga dihasilkan gambaran yang

Lebih terperinci

Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Satelit FORMOSAT-2 Di Daerah Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Timur)

Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Satelit FORMOSAT-2 Di Daerah Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Timur) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Apr, 2013) ISSN: 2301-9271 1 Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Satelit FORMOSAT-2 Di Daerah Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Timur) Agneszia Anggi Ashazy dan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH: POSISI, PARADIGMA, DAN PEMODELANNYA DALAM KAJIAN GEOGRAFI

PENGINDERAAN JAUH: POSISI, PARADIGMA, DAN PEMODELANNYA DALAM KAJIAN GEOGRAFI PENGINDERAAN JAUH: POSISI, PARADIGMA, DAN PEMODELANNYA DALAM KAJIAN GEOGRAFI Projo Danoedoro dalam rangka Pidato Pengukuhan Jabatan Lektor Kepala Disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Fakultas Geografi

Lebih terperinci

Daftar Isi RUMUSAN SPESIFIKASI PROGRAM STUDI...1 RUMUSAN KOMPETENSI LULUSAN PROGRAM STUDI GEOGRAFI, FAKULTAS GEOGRAFI...3

Daftar Isi RUMUSAN SPESIFIKASI PROGRAM STUDI...1 RUMUSAN KOMPETENSI LULUSAN PROGRAM STUDI GEOGRAFI, FAKULTAS GEOGRAFI...3 DRAFT Daftar Isi Halaman RUMUSAN SPESIFIKASI PROGRAM STUDI...1 RUMUSAN KOMPETENSI LULUSAN PROGRAM STUDI GEOGRAFI, FAKULTAS GEOGRAFI...3 KURIKULUM PROGRAM STUDI GEOGRAFI FAKULTAS GEOGRAFI...5 RUMUSAN SPESIFIKASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu bagian sistem biometrika adalah face recognition (pengenalan wajah). Sistem

BAB I PENDAHULUAN. satu bagian sistem biometrika adalah face recognition (pengenalan wajah). Sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem biometrika merupakan teknologi pengenalan diri dengan menggunakan bagian tubuh atau perilaku manusia yang memiliki keunikan. Salah satu bagian sistem biometrika

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Realitas dinamika kehidupan pada masa lalu, telah meninggalkan jejak dalam bentuk nama tempat yang menggambarkan tentang kondisi tempat berdasarkan sudut filosofi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA)

ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) ANALISIS PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN TANAH DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA DAN AQUA MODIS (STUDI KASUS : DAERAH KABUPATEN MALANG DAN SURABAYA) Oleh : Dawamul Arifin 3508 100 055 Jurusan Teknik Geomatika

Lebih terperinci