BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang dapat disejajarkan dengan keanekaragaman hayati di hutan hujan tropis (Ruitenbeek 1992). Terumbu karang adalah ekosistem dari kumpulan karang-karang dan jenis-jenis biota lain yang berasosiasi dengannya juga merupakan ekosistem yang unik karena aktivitas biologisnya. Terumbu karang merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih dan hangat (lebih dari 22 O C). Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO 3 ) terutama yang dihasilkan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Terumbu karang adalah ekosistem khas tropis (Nyabakken 1992). Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Tumbuhnya terumbu karang ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang yang berbeda yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang ahermatipik tersebar diseluruh dunia sedangkan karang hermatipik hanya tersebar di daerah tropis. Karang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu dan dikenal dengan nonreef building corals yang secara normal hidupnya tidak bergantung pada sinar matahari. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu dari kalsium kaborbonat (CaCo 3 ) sehingga sering disebut reef building corals, hal ini disebabkan karena dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan sejenis algae (zooxantellae) yang hidup di jaringan-jaringan polyp karang yang dapat bersimbiosis dan melakukan fotosintesa (Veron 1986). Karena proses fotosintesa bagi zooxantellae tergantung dari penetrasi radiasi matahari ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Radiasi matahari yang cukup untuk mendukung proses fotosintesa zooxanthellae adalah penetrasi hingga kedalaman kurang dari 25 meter, sehingga

2 pertumbuhan terumbu karang yang baik terjadi pada kedalaman tersebut. Hal inilah yang menyebabkan terumbu karang banyak terdapat di pinggiran pulaupulau dan benua-benua. Kejernihan air juga terkait dengan kandungan sedimen dalam perairan. Di satu sisi kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi radiasi matahari sehingga mengurangi jumlah radiasi yang diperlukan untuk proses fotosintesa, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesa untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang (Nyabakken 1992). Formasi terumbu karang mengikuti topografi yang terbentuk oleh proses geologi alam. Pemahaman mengenai formasi terumbu karang memberikan informasi kecenderungan bentuk pertumbuhan yang mendominasi suatu zona dengan memperhatikan jarak komunitas terumbu karang terhadap daratan ataupun terhadap laut lepas. Darwin (1842) dalam White (1987) menyatakan tiga perbedaan formasi yang dikenal dengan teori penenggelaman (Subsidence Theory): 1. Terumbu karang tepi (fringing reef) Terumbu karang tepi tumbuh dan berkembang di sepanjang pantai dengan kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan arah laut terbuka. 2. Terumbu karang penghalang (barrier reef) Terumbu karang jenis ini berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai. Terumbu karang ini disebut barrier karena membentuk batas antara laguna dan laut lepas. Terumbu karang terbesar adalah Great Barrier Reef di Australia, dengan panjang kurang lebih mencapai km di sepanjang pantai timur Australia, dimulai dari dekat nugini sampai di utara Brisbane. 3. Terumbu karang cincin (atol) Terumbu karang cincin atau sering disebut atol merupakan terumbu karang yang berbentuk melingkar seperti cincin atau berbentuk ouval yang

3 muncul dari perairan dalam dan mengelilingi gobah yang tumbuh di atas gunung berapi tua dan tenggelam di laut. Dalam proses pembentukan karang atol, mula-mula karang tumbuh sebagai fringing reef di bagian yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara alamiah perlahan-lahan pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap meneruskan pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati, sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa. Bila pulau vulkaniknya tenggelam seluruhnya maka yang akan tersisa atol melingkar mengelilingi laguna. Terumbu karang terdiri atas polip-polip karang dan organisme-organisme kecil lain yang hidup dalam koloni. Bila polip karang ini mati, ia meninggalkan struktur yang keras membatu terdiri atas bahan mineral yang mengandung kalsium (limestone). Terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung (shelter) untuk berbagai fauna yang hidup di dalam kompleks habitat terumbu karang ini seperti sponge (sponges), akar bahar, kima, berbagai ikan hias, ikan kerapu (grouper), anemone, teripang, bintang laut, lobster (crustacea), penyu laut, ular laut, siput laut, moluska dan lain-lain. Karakteristik yang paling mengemuka dari ikan-ikan yang hidup di lingkungan karang adalah keragamannya dalam hal jumlah spesies dan perbedaan morfologinya. Diperkirakan daerah Indo-Pasifik memiliki ikan-ikan karang sebanyak spesies (sebesar 18 %) dari ikan laut, jenis ikan-ikan ini berasosiasi dengan habitat terumbu karang, dan angka perkiraan ini cenderung meningkat dengan bertambahnya survei-survei eksplorasi daerah habitat karang yang baru (Murdiyanto 2003). Terumbu karang sudah ada sejak jaman Ordovician dan sepanjang 450 juta tahun hidup berbagi lautan dengan ikan (Sale 2002). Terumbu karang sebenarnya dapat juga ditemukan di berbagai laut di belahan dunia seperti di kutub utara maupun perairan Ugahari, namun terumbu karang hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah tropis (Nyabakken 1992).

4 2.2 Nilai Ekonomi Terumbu Karang Terumbu karang merupakan rumah bagi ribuan hewan dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Berbagai jenis hewan laut mencari makan dan berlindung pada ekosistem tersebut. Pada kondisi yang maksimal, terumbu karang menyediakan ikan-ikan dan moluska hingga mencapai ton/km 2 per tahunnya. Ekosistem ini merupakan sumber plasma nutfah bagi mahkluk hidup, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang (Kusmurtiyah 2004). Garces (1992) menyebutkan bahwa terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai nilai guna yang signifikan, baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut kurang lebih 10-15% dari total produksi. Terumbu karang juga merupakan pelindung pantai yang sangat penting dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas pantai bisa tetap terjaga. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem yang sangat penting dari berbagai segi. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang popular di masyarakat. Terumbu karang juga merupakan tempat hidup berbagai jenis kerang serta invertebrata lainnya yang menjadi sumber makanan dan dapat diperdagangkan. Diperkirakan antara 9-12 % produksi dunia bersal dari ikan karang (Soedharma 1997). Menurut Munro dan William dalam Dahuri (1996) dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000) menyebutkan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), 16 % dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang. Tingginya keanekaragaman (diversity) adalah karena kenyataannya kehidupan terumbu karang menyediakan habitat yang sangat beragam, masingmasing dengan pasangan spesies yang khas. Demikian pula perbedaan preferensi terhadap besar kecilnya gelombang air, kuat arus, intensitas cahaya, jumlah algae

5 dan plankton serta kandungan bahan makanan, kelimpahan, bentuk dan varietas karang membentuk gosong-gosong karang yang besar dan tersebar di berbagai kawasan. Tempat-tempat semacam ini biasanya selain dihuni oleh sejumlah besar spesies ikan disukai pula oleh burung-burung laut yang memakan ikan dan hewanhewan di habitat karang tersebut dan memperkaya kehidupan daerah terumbu karang. Kawasan habitat karang sering disamakan dengan hutan tropisnya lautan atau rainforest of the ocean sebagai tempat bermukim berbagai organisme laut yang beragam (Murdiyanto 2003). Terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Terumbu karang juga memiliki fungsi yang bernilai jasa keindahan dan kenyamanan (estetika) serta fungsi pendidikan dan penelitian karena merupakan suatu ekosistem yang khas dan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) (Bengen 1999). Coremap (1999) menyebutkan bahwa banyak orang menyadari pentingnya nilai terumbu karang bagi industri wisata. Dengan semakin berkembangnya industri wisata, jumlah turis yang tertarik pada olahraga air seperti diving dan snorkeling jumlahnya makin bertambah. Meski pada tahun 70-an hanya terdapat sekitar beberapa ratus penyelam-penyelam amatir, sekarang jumlahnya sudah mencapai ribuan. Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrumen yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui melalui metode nilai ekonomi total (total economic value). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat nilai non pasar (non market value) (Roberts 1996). Sedangkan jika dipandang dari sisi ekologi misalnya, nilai dari terumbu karang bisa berarti pentingnya terumbu karang sebagai tempat produksi bagi spesies ikan tertentu, ataupun fungsi ekologis lainnya. Demikian juga dari sisi teknik, nilai terumbu karang bisa saja sebagai pencegah abrasi atau banjir,

6 pemecah ombak dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan price tag (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut sebagai nilai ekonomi dari sumberdaya alam (Fauzi 2004). Pentingnya keberadaan ekosistem atau sumberdaya terumbu karang bagi manusia dapat dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan sekitarnya, produk berupa barang dan jasa ekosistem yang menghasilkan manfaat atau nilai ekonomi, seperti yang tersaji pada Tabel 1. berikut ini. Sumberdaya terbaharui Tabel 1. Barang dan Jasa Ekosistem Terumbu Karang Penambangan terumbu karang Jasa struktur fisik Jasa biotis (di dalam ekosistem) Jasa biotis (antar ekosistem) Produk makanan laut, material dasar dan obat-obatan, material dasar lainnya (seperti rumput laut), barang suvenir dan perhiasan, koleksi karang dan ikan hidup untuk perdagangan akuarium Pasir untuk bangunan dan jalan Perlindungan garis pantai, membentuk daratan, mendukung pertumbuhan mangrove dan padang lamun, pembangkitan pasir karang Merawat habitat, pustaka genetis dan biodiversitas, regulasi fungsi dan proses ekosistem, merawat daya kenyal kehidupan Mendukung kehidupan mobile links, ekspor produksi organik seperti jaring makanan (food web) pelagis Jasa Bio-geo-kimia Fiksasi nitrogen, kontrol neraca CO 2 /Ca Jasa informasi Memantau dan rekaman polusi, pengawasan iklim Jasa sosial dan budaya Dukungan rekreasi, turisme, nilai estetika dan inspirasi artistik, kelangsungan mata pencaharian masyarakat, dukungan budaya, nilai spiritual dan reliji Sumber: Moberg dan Folke (1999)

7 Kesemua nilai manfaat ekonomi terumbu karang yang mengalir dalam bentuk barang dan jasa ini dalam analisis ekonomi dapat diberikan nilai moneter sebagai manfaat untuk mengestimasi nilai ekonomi ekosistem atau sumberdaya terumbu karang. Nilai-nilai ini digolongkan dalam nilai manfaat (use value) dan nilai bukan manfaat (non-use value), yang secara keseluruhan membentuk nilai ekonomi total (total economic valuation) ekosistem terumbu karang (Adger et al. 1994). Secara umum manfaat ekosistem terumbu karang secara utuh dapat dilihat pada Gambar 2. berikut ini (Barton 1994). Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Nilai Manfaat (Use Value) Nilai Non-Manfaat (Non-Use Value) Nilai Manfaat Langsung (Direct Value) Nilai Manfaat Tidak Langsung (Indirect Value) Nilai Pilihan (Option Value) Nilai Eksistensi (Existence Value) Nilai Warisan (Bequest Value) - Perikanan - Marikultur - Ikan hias - Pengambilan karang - Farmasi - Pariwisata - Penelitian - Perlindungan pantai - Pemijahan ikan - Rantai makanan - Spesies - Habitat - Biodiversity - Diversifikasi - Rekreasi - Diversifikasi - Rekreasi Gambar 2. Manfaat Ekonomi Terumbu Karang Nilai ekonomi total dari sumberdaya alam, menurut Barton (1994) merupakan penjumlahan dari nilai penggunaan langsung dengan nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai warisan. Nilai penggunaan langsung terumbu karang adalah nilai ekonomi dari eksploitasi sumberdaya tersebut, baik yang konsumtif seperti penangkapan ikan konsumsi dan ikan hias, pengambilan karang, pemanfaatan karang untuk kebutuhan farmasi, maupun yang

8 non-konsumtif seperti pariwisata ataupun berlayar. Nilai penggunaan langsung biasanya dicerminkan harga pasar sehingga lebih mudah untuk dinilai. Nilai penggunaan tidak langsung merupakan nilai dari fungsi-fungsi ekosistem terumbu karang dalam mendukung sistem produksi dan konsumsi. Nilai ini sangat terkait dengan kondisi terumbu karang yang sehat (baik). Contohnya manfaat terumbu karang sebagai pelindung pantai atau sebagai nursery ground, spawning ground dan feeding ground bagi berbagai jenis biota air. Nilai pilihan merupakan ekspresi dari preferensi seseorang untuk membayar demi pelestarian terumbu karang agar bisa dimanfaatkan di masa depan. Nilai eksistensi merupakan manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan terumbu karang setelah manfaat lainnya dihilangkan. Kepedulian terhadap spesies-spesies yang terancam punah merupakan salah satu indikator terhadap pentingnya nilai keberadaan sumberdaya. Sedangkan nilai waris adalah kemauan seseorang untuk membayar demi pelestarian lingkungan dan sumberdaya yang diperuntukkan bagi generasi berikut. Nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai waris biasanya tidak diperjual-belikan di pasar, sehingga sering kali sulit untuk diukur. Bahkan ilmu ekonomi tidak mampu memberi nilai secara tepat bagi nilainilai tersebut, namun hal yang sangat penting bagi para pengambil keputusan bahwa nilai ekonomi total terumbu karang yang sehat (baik) adalah begitu tinggi, tidak sekedar terbatas pada nilai-nilai yang dicerminkan harga pasar dan transaksi pasar (Dixon 2001). 2.3 Konsep Nilai Ekonomi Nilai adalah merupakan persepsi manusia, tentang makna suatu objek (sumberdaya) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap suatu benda dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan di sini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Turner et al. 1994).

9 Menurut Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006), nilai atau value dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai interinsik (intrinsic value) atau sering juga disebut sebagai Kantian Value dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai interinsik apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang terkait dengan alam (nature) dan lingkungan (environments). Nilai instrumental dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu. Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ekologis dari ekosistem dengan menggunakan pengukuran ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya (Fauzi 2006). Pengertian nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat diperjualbelikan sehingga memberikan pendapatan. Dari konsep ekonomi kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh indivudu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi individu atau masyarakat tersebut (Pearce dan Moran 1994). Nilai ekonomi suatu komoditas (good) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai berapa yang harus dibayar dibanding berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumberdayanya eksis dan menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka keinginan membayar (willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa mempermasalahkan apakah kita secara nyata

10 melakukan proses pembayaran (payment) atau tidak (Barbier et al. 1997). Tergantung keadaannya kita perlu tempatkan value sumberdaya tersebut apakah flow (dapat diperbaharui) atau stock (tidak dapat terbarukan atau terhabiskan) (Tietenberg 2001). Ramdan (2003) menyebutkan bahwa penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai berapa besar nilai SDA ini bergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut antara lain mencakup apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilainya dan sebagainya. Menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use value. Dengan mengetahui nilai sumberdaya tersebut, seharusnya kita dapat memanfaatkan sumberdaya secara efisien. Oleh karena itu, perlu diketahui Nilai Ekonomi Total atau Total Economic Value (TEV) dari sumberdaya tersebut. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) adalah sebuah konsep yang sederhana yang ditetapkan untuk nilai total dari beberapa sumberdaya alam, yang tersusun dari komponen-komponen yang berbeda. Beberapa dari komponen tersebut mudah untuk dididentifikasi dan dinilai, dan yang lainnya ada yang tidak diketahui atau tidak bisa diraba. Lebih jauh lagi, Barton (1994) berpendapat bahwa Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) dari lingkungan sebagai asset merupakan jumlah dari nilai manfaat (use value) dan non-manfaat (non use value). Nilai manfaat adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya suatu fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem. Nilai manfaat terdiri dari nilai manfaat secara langsung (direct value), nilai manfaat secara tidak langsung (indirect value) dan nilai pilihan (option value). Nilai non-manfaat

11 biasanya terdiri dari nilai eksistensi (existence value) dan nilai masa depan (bequest value) (Dixon 1998). Beberapa sumber benefit yang biasa diperoleh bukan pengguna langsung jasa lingkungan adalah sebagai berikut: 1. Nilai Manfaat Secara Langsung (direct value) Nilai Manfaat Secara Langsung (direct value) dari sumberdaya alam biasanya digunakan untuk menunjuk pada pemanfaatan manusia berkaitan dengan konsumsi dan produksi. 2. Nilai Manfaat Secara Tidak Langsung (indirect value) Nilai Manfaat Secara Tidak Langsung (indirect value) biasanya berhubungan dengan minimum level dari infrastruktur ekosistem, yang tanpa hal itu tidak akan tersedia barang dan jasa. 3. Nilai Pilihan (Option Value) Seseorang memiliki keinginan untuk membayar jasa lingkungan meskipun tidak mempunyai rencana untuk menggunakan jasa lingkungan tersebut sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa datang. Contohnya seseorang yang memiliki mobil yang walaupun tidak ada rencana untuk memanfaatkan transportasi umum, berkeinginan untuk membayar sesuatu untuk mempertahankan operasi transportasi umum tersebut sebagai pilihan lain kalau suatu saat mobilnya mogok atau rusak, maka membayar sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa datang. 4. Nilai Eksistensi Keberadaan (Existence Value) Nilai atau haraga yang diberikan oleh seseorang terhadap eksistensi barang lingkungan tertentu misalnya objek tertentu, spesies atau alam dengan didasarkan pada etika atau norma tertentu. Contohnya orang mau membayar sesuatu agar ikan paus di lautan tetap ada atau hidup meskipun mereka tidak mempunyai niat untuk pergi melihat.

12 5. Nilai Masa Depan (Bequest Value) Orang biasa jadi membayar bagi ketersediaan barang-barang lingkungan tertentu seperti objek, spesies dan alam untuk generasi yang akan datang. Dengan demikian, nilai suatu barang lingkungan terdiri dari nilai yang diperoleh langsung oleh pengguna barang atau jasa tersebut (user values) dan nilai dari bukan pengguna jasa. Konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS). Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, produsers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa (Grigalunas dan Congar 1995; Freeman III 2003 dalam Adrianto 2004). Green (1992) diacu dalam Fauzi (2004) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumberdaya alam merupakan pengukuran yang tepat karena sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya (best alternative use). Surplus ekonomi dibedakan ke dalam surplus konsumen, surplus produsen dan resource rent (rente sumberdaya). P Supply Curve Consumers Surplus P e Producers Surplus Q e Sumber: Titienberg (2001) Demand Curve Q Gambar 3. Consumer Surplus dan Producer Surplus

13 2.4 Valuasi Ekonomi Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (Benefit-Cost Analysis atau CBA) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan yang terjadi pada sumberdaya dan lingkungan, sebab konsep ini sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Begitu juga ketika kita mengetahui kerusakan lingkungan terjadi akibat aktivitas ekonomi, misalnya pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan kerusakan tersebut dengan metode ekonomi yang konvensional. Permasalahan-permasalahan ini kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi (Fauzi dan Anna 2005). Pemikiran mengenai valuasi ekonomi sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Konsep ini sudah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan undang-undang River and Harbour Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan seluruh manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih berkembang setelah PD II, dimana konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau tidak langsung dan yang tidak nampak (intangible). Dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan pada 1980-an, konsep valuasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan kemudian menjadi meluas dan mampu menjembatani kelemahan-kelemahan yang ada pada metode Benefit Cost Analysis (Fauzi 2004). Lebih jauh lagi Fauzi (2005) menyebutkan bahwa valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tools) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apriesiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri.

14 Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi neo-klasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran neo-klasikal ini dikemukakan bahwa penilaian setiap individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier et al diacu dalam Fauzi 1999). Menurut suparmoko (2000) ada beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Tiga alasan utamanya adalah: 1. Satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan. 2. Satuan moneter dari manfaat dan biaya sumberdaya alam dan lingkungan dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan. 3. Satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternatif suatu kebijakan tertentu termasuk pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. Valuasi ekonomi adalah nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya. Sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Valuasi ekonomi dilakukan karena sumberdaya alam bersifat public good, terbuka dan tidak mengikuti hukum kepemilikan dan tidak ada mekanisme pasar dimana harga dapat berperan sebagai instrumen penyeimbang antara permintaan dan penawaran. Selain itu, manusia dipandang sebagai homoeconomicus yang cenderung memaksimalkan manfaat total (Kusumastanto 2000). Valuasi ekonomi merupakan analisis non-market (non-pasar) karena didasarkan pada mekanisme pemberian nilai moneter pada produk barang dan jasa yang tidak terpasarkan. Jika produk yang terpasarkan dapat digambarkan dalam kurva permintaan dengan kemiringan negatif (downward slopping) maka kurva permintaan menggambarkan marginal valuation yang merupakan gambaran keinginan membayar (Willingness to Pay = WTP) seseorang untuk memperoleh

15 barang daripada tidak sama sekali. Pada barang yang tidak terpasarkan seperti keanekaragaman hayati, nilai estetika dan sebagainya, kurva permintaan lebih menggambarkan trade off antara kualitas satu produk dengan karakteristik lainnya (Fauzi 2004). Fauzi (2006) menyebutkan bahwa secara umum, teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willingness to Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing dan Random Utility Model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik valuasi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method dan Discrete Choice Method. Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai beberapa metode valuasi yang tidak dapat dipasarkan: 1. Travel Cost Method Travel Cost Method atau TCM dapat dikatakan sebagai metode tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berbutu, hiking dan sebagainya. Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempattempat rekreasi di atas. 2. Hedonic Pricing Method Teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori atribut (karakteristik) Yang dikemukakan oleh Lancaster (1966). Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa.

16 3. Random Utility Model Secara konseptual random utility model memiliki kesamaan dengan travel cost method, namun random utility model tidak hanya fokus pada jumlah kunjungan rekreasi wisatawan ke suatu lokasi wisata pada waktu tertentu. Model ini fokus pada pilihan-pilihan yang berkaitan dengan alternatif lokasi wisata. Model ini digunakan pada saat faktor-faktor pengganti lokasi wisata tersedia untuk setiap individu, sehingga nilai dari karakteristik-karakteristik satu alternatif atau lebih lokasi wisata dapat diukur. 4. Contingent Valuation Method Metode ini disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun, misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayaran, dan sebagainya. Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (non-pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya perbaikan kualitas lingkuangan (air, udara dan sebagainya) dan keinginan menerima (Willingness to Accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan. 5. Discrete Choice Method Discrete choice model dapat digunakan untuk menganalisis atau memprediksi pembuat keputusan (responden) untuk memilih satu alternatif dari suatu kumpulan alternatif-alternatif secara menyeluruh. Model ini mempunyai banyak aplikasi pada saat beberapa respon bersifat terpisah atau kualitatif secara alami. Responden diminta untuk memilih satu dari beberapa alternatif-alternatif lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI

TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI TUJUAN, TAHAPAN PELAKSANAAN DAN PENDEKATAN VALUASI VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN FONDASI VALUASI EKONOMI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April Mei 2013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

KONSEP DASAR VALUASI EKONOMI

KONSEP DASAR VALUASI EKONOMI KONSEP DASAR VALUASI EKONOMI Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Yudi Wahyudin, S.Pi., M.Si. Makassar, 7-8 Juni 2007 ECONOMIC OF DISASTERS Sumber : Adger, et.al (2005) ECONOMICS OF EUTROPHICATION oligotrophic

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA EKOSISTEM TERUMBU KARANG EKOSISTEM PADANG LAMUN EKOSISTEM MANGROVE

II TINJAUAN PUSTAKA EKOSISTEM TERUMBU KARANG EKOSISTEM PADANG LAMUN EKOSISTEM MANGROVE 9 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistim Lamun Indonesia memiliki panjang garis pantai 81.000 km, mempunyai padang lamun yang luas bahkan terluas di daerah tropika. Luas padang lamun yang terdapat di perairan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990, yang dimaksud pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang 6.1.1 Nilai manfaat ikan karang Manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang adalah manfaat dari jenis-jenis komoditas yang langsung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. hutan mangrove non-kawasan hutan. Selain itu, adanya rehabilitasi hutan

METODE PENELITIAN. hutan mangrove non-kawasan hutan. Selain itu, adanya rehabilitasi hutan IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini berada di Kawasan Pesisir Pantai Tlanakan, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Menurut Yoeti (2006) pariwisata merupakan suatu perjalanan yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dari satu tempat ke tempat lain yang sifatnya sementara dan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi konsep ekonomi pencemaran, Contingent Valuation Method (CVM), eksternalitas, biaya produksi dan metode valuasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Nilai Sumberdaya Hutan Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek (sumberdaya hutan) bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Oleh karena

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

ENVIRONMENTAL VALUATION VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN PERTEMUAN 1

ENVIRONMENTAL VALUATION VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN PERTEMUAN 1 ENVIRONMENTAL VALUATION VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM & LINGKUNGAN (ESL 434) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN PERTEMUAN 1 PENDAHULUAN (1) Ahli ekonomi, philosophy dan lingkungan mempunyai pandangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sumberdaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI OLEH : NOVINDRA

VALUASI EKONOMI OLEH : NOVINDRA VALUASI EKONOMI OLEH : NOVINDRA PENDAHULUAN Penilaian terhadap barang lingkungan yg Non-Market mempunyai implikasi kebijakan yang penting. Dulu, barang tersebut dianggap bernilai nol atau bernilai rendah

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN P 1 0 Q 1. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998)

KERANGKA PEMIKIRAN P 1 0 Q 1. Kurva Opportunity Cost, Consumers Surplus dan Producers Surplus Sumber : Kahn (1998) III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Penelitian ini mengambil kerangka pemikiran teoritis dari berbagai penelusuran teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian. Adapun kerangka

Lebih terperinci

METODE VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM

METODE VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM METODE VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Yudi Wahyudin, S.Pi., M.Si. Makassar, 7-8 Juni 2007 APA ITU VALUASI EKONOMI Valuasi ekonomi adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai 2.1.1. Kawasan pesisir Menurut Dahuri (2003b), definisi kawasan pesisir yang biasa digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km 2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

METODE PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA KAWASAN

METODE PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA KAWASAN METODE PENILAIAN EKONOMI SUMBERDAYA KAWASAN Yudi Wahyudin, S.Pi., M.Si. Bogor, 28 Juni 2007 APA ITU VALUASI EKONOMI Valuasi ekonomi adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk menilai secara riil harga

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Karimunjawa yang terletak di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai Dahuri et al. (2004) mendefinisikan kawasan pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (shore

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.2. Pengertian Wilayah Pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.2. Pengertian Wilayah Pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan daerah yang unik, karena pada daerah ini hanya bisa dijumpai daerah pasang surut, hutan bakau, terumbu karang,

Lebih terperinci

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY MENUJU PELESTARIAN EKOSISTEM WISATA BAHARI KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH

ANALISIS WILLINGNESS TO PAY MENUJU PELESTARIAN EKOSISTEM WISATA BAHARI KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH ANALISIS WILLINGNESS TO PAY MENUJU PELESTARIAN EKOSISTEM WISATA BAHARI KARIMUNJAWA, JAWA TENGAH SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Program Sarjana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekonomi Lingkungan. manusia dalam memanfaatkan lingkungan sedemikian rupa sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekonomi Lingkungan. manusia dalam memanfaatkan lingkungan sedemikian rupa sehingga BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Ekonomi Lingkungan Ekonomi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari tentang kegiatan manusia dalam memanfaatkan lingkungan sedemikian rupa sehingga

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, 2000). 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, 2000). 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Gili Indah yang terletak di wilayah perairan laut bagian barat pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu kawasan pesisir di Indonesia yang mengalami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal tropis yang paling kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Pombo merupakan salah satu Pulau di Provinsi Maluku yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dengan kategori Kawasan Suaka Alam, dengan status

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; 5 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pulau Kecil Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Sumberdaya Pesisir dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai peringkat kedua Best of Travel 2010 (http://www.indonesia.travel).

BAB I PENDAHULUAN. sebagai peringkat kedua Best of Travel 2010 (http://www.indonesia.travel). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan daerah tujuan wisata terdepan di Indonesia. The island of paradise, itulah julukan yang disandang Pulau Dewata. Siapa yang tidak tahu Bali, sebagai primadona

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang berperan sebagai penyambung (interface) antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan karena peranannya inilah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dahuri (1996) dalam Syakya (2005) menyatakan garis besar konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai empat dimensi: 1. Dimensi ekologis yaitu bagaimana mengelola kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO

VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO Prosiding Seminar Nasional Volume 03, Nomor 1 ISSN 2443-1109 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO Muhammad Arhan Rajab 1, Sumantri 2 Universitas Cokroaminoto Palopo 1,2 arhanrajab@gmail.com

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Konsep Nilai Wisata dan Willingness To Pay Bermacam-macam teknik penilaian dapat digunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Konsep dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis dan maritim yang kaya akan sumber daya alam. Berada pada daerah beriklim tropis menjadikan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Mangrove Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci