BIOREMEDIASI BENZENE, TOLUENE, DAN XYLENE (BTX) DARI LAHAN TERKONTAMINASI MINYAK BUMI OLEH BAKTERI AEROBIK PADA FASE SLURRY DALAM BIOREAKTOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BIOREMEDIASI BENZENE, TOLUENE, DAN XYLENE (BTX) DARI LAHAN TERKONTAMINASI MINYAK BUMI OLEH BAKTERI AEROBIK PADA FASE SLURRY DALAM BIOREAKTOR"

Transkripsi

1 TESIS - TK BIOREMEDIASI BENZENE, TOLUENE, DAN XYLENE (BTX) DARI LAHAN TERKONTAMINASI MINYAK BUMI OLEH BAKTERI AEROBIK PADA FASE SLURRY DALAM BIOREAKTOR MARIA ASSUMPTA NOGO OLE DOSEN PEMBIMBING Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN TEKNOLOGI PROSES DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017

2 THESIS - TK BIOREMEDIATION OF BENZENE, TOLUENE AND XYLENE (BTX) FROM PETROLEUM CONTAMINATED SOIL BY AEROBIC BACTERIA AT SLURRY PHASE IN BIOREACTOR MARIA ASSUMPTA NOGO OLE DOSEN PEMBIMBING Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng MAGISTER PROGRAM PROCESS OF TECHNOLOGY CHEMICAL ENGINEERING DEPARTMENT FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017

3

4 BIOREMEDIASI BENZENE, TOLUENE, DAN XYLENE (BTX) DARI LAHAN TERKONTAMINASI MINYAK BUMI OLEH BAKTERI AEROBIK PADA FASE SLURRY DALAM BIOREAKTOR ABSTRAK Kontaminasi tanah oleh kegiatan eksplorasi, produksi dan buangan limbah minyak bumi ke lingkungan menyebabkan kerusakan serius bagi ekosistem lingkungan, manusia dan hewan. Proses biodegradasi (bioremediasi) mengalami kesulitan terutama pada kompleksitas hidrokarbon yang terserap ke dalam tanah. Berbagai metode telah diterapkan untuk pemulihan tanah yang tercemar minyak bumi. Salah satu metode yang dikembangkan dalam bioremediasi tanah tercemar minyak bumi adalah bioremediasi ex-situ dengan fase slurry bioreactor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan efisiensi biodegradasi serta kinetika biodegradasi benzene, toluene, dan xylene (BTX) dalam proses pengolahan tanah yang tercemar minyak bumi oleh bakteri aerobik di mana bakteri yang digunakan adalah Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis. Residu BTX diukur dengan menggunakan metode kromatografi gas. Proses bioremediasi diamati selama 56 hari dengan menggunakan 10 jenis bioreaktor. Bioreaktor pertama tanpa penambahan bakteri, dan tiga bioreaktor dengan penambahan 12,5% (v/v); 15% (v/v) dan 17,5% (v/v) bakteri Bacillus cereus, tiga bioreaktor dengan penambahan 12,5% (v/v); 15% (v/v) dan 17,5% (v/v) bakteri Pseudomonas putida serta tiga bioreaktor dengan penambahan 12,5% (v/v); 15% (v/v) dan 17,5% (v/v) bakteri Rhodococcus erythropolis. Bioreaktor diagitasi dan diaerasi selama proses bioremediasi berlangsung. Pada hari ke-56, total degradasi terbaik pada bioreaktor dengan penambahan 17.5% Pseudomonas putida yang menghasilkan 97.5% total degradasi dimana kadar akhir BTX diperoleh μg/g. Kata kunci: biodegradasi, BTX, slurry bioreactor, bakteri aerob iii

5 Halaman ini sengaja dikosongkan iv

6 BIOREMEDIATION OF BENZENE, TOLUENE AND XYLENE (BTX) FROM PETROLEUM CONTAMINATED BY AEROBIC BACTERIA AT SLURRY PHASE IN BIOREACTOR ABSTRACT Land contamination by petroleum exploration, production and discharge of waste into the environment causing serious damage to the ecosystem of the environment, human and animal. Biodegradation (bioremediation) processes have difficulty focused on the complexity of the hydrocarbons that was adsorbed by the soil. Various methods have been applied to recovery the petroleum contaminated soil. A method that was developed in bioremediation of petroleumcontaminated soil in addition to in-situ bioremediation is the ex-situ bioremediation with slurry phase bioreactor. The objective of this research is to determine efficiency of bioremediation and bioremediation kinetics in biodegradation process by aerobic bacteria. The bacteria are Bacillus cereus Pseudomonas putida and Rhodococcus erythropolis. Residues of petroleum hydrocarbon (BTX) were measured by gas chromatography method. Process was identified in 56 days in 10 bioreactors. One without addition of bacteria, three bioreactors with addition of 12.5% (v/v), 15% (v/v) dan 17.5% (v/v) Bacillus cereus bacteria, three bioreactors with addition of 12.5% (v/v), 15% (v/v) and 17.5% (v/v) Pseudomonas putida bacteria and three bioreactors with addition of 12.5% (v/v), 15% (v/v) and 17.5% (v/v) Rhodococcus erythropolis bacteria. The bioreactors were agitated and aerated during bioremediation process. After 56 days, the best result for total degradation of BTX was in bioreactor with 17.5% Pseudomonas putida with 97.5% total degradation and final result of BTX degradation was μg/g. Keywords: biodegradation, BTX, slurry bioreactor, aerobic bacteria v

7 Halaman ini sengaja dikosongkan vi

8 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat karunia-nya sehingga laporan tesis ini dapat terselesaikan. Laporan tesis yang berjudul Bioremediasi Benzene, Toluene, Dan Xylene (BTX) dari Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi oleh Bakteri Aerobik pada Fase Slurry dalam Bioreaktor merupakan syarat untuk menyelesaikan program magister Teknik Kimia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Dalam kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Juwari, S.T., M.T., M.Eng, selaku Kepala Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 2. Bapak Dr. Tantular Nurtono, ST. M.Eng selaku Koordinator Pascasarjana Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 3. Ibu Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti selaku Kepala Laboratorium Pengolahan Limbah Industri dan dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dan saran serta support dan motivasi selama pengerjaan tesis ini. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Arief Widjaja, M.Eng, Bapak Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng, dan Bapak Dr. Ir. Susianto, DEA selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan selama pengerjaan laporan ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Teknik Kimia yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Orang tua (Bapak Bernardus Wato Ole dan Mama Cornelia Wasti Tamo Ina) serta saudara (Rinus & Talis) dan saudari (Nasti, Imel, Rima, Helena dan Yuni) atas doa, perhatian, serta kasih sayang yang selalu tercurah selama ini. 7. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai lembaga pemberi beasiswa yang telah memberikan dukungan secara materil dan non materil. 8. Keluarga Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, temanteman di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri (Bos Abu, Bos Ramli, Mbak Ira, Hamidah, Hilal, Fanny, Anissa, Dalyla, Tunny, Tika, Dwi, Dessy, Vivi, Bulloh, Adi, Yumna, Didit, Reynad, Rilya, Nora, April, Luqman, Rifki, vii

9 Hudha, Ibnu, John dan Sandrian), Kepompong (Maria, Helda, Cucuk), Mba Ernia, Mba Fitri, Mbak Puspita, dan Siblings from another parents (Delftya dan Imam). 9. Teman-teman alumni SDK St. Arnoldus Penfui 1997, SMPN 2 Bajawa 2003, SMAK Syuradikara 2006 dan Teknik Kimia ITN Malang 2009 atas doa dan dukungan selama proses kuliah dan penyelesaian tesis ini. 10. Maximilianus H. Nanga, teman spesial, yang selalu mendengarkan dan memerikan masukan dalam setiap masalah, serta teman-teman diskusi yang dengan ide cemerlangnya memperkenalkan saya pada dunia baru (Bonjo, Joe, Fr. Ageng). 11. Sahabat-sahabat yang lain tidak bisa disebutkan satu-persatu di sini, terima kasih atas support dan doa saat suka dan duka. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan penelitian dan mutu penulisan selanjutnya. Terimakasih. Surabaya, 27 Januari 2017 Penulis viii

10 DAFTAR ISI Halaman Lembar Pengesahan... i Abstrak... iii Abstract... v Kata Pengantar... vii Daftar Isi... ix Daftar Tabel... xiii Daftar Gambar... xv Daftar Notasi... xvii Bab 1. Pendahuluan Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian... 6 Bab 2. Kajian Pustaka Hidrokarbon Biodegradasi dan Bioremediasi Mikroba Pendegradasi Pengaruh Struktur Kimia Hidrokarbon Terhadap Biodegradasi Benzene, Toluene, dan Xilene (BTX) Slurry Bioreactor Baku Mutu Pengolahan Minyak Bumi Parameter Kinetika Mikroba ix

11 Kinetika Kultur Batch Substrate-Limited Growth Penelitian Terdahulu Bab 3. Metode Penelitian Rancangan Penelitian Variabel Penelitian Kondisi Operasi Variabel Percobaan Bahan, Alat dan Skema Alat Penelitian Bahan Penelitian Alat Penelitian Skema Alat Penelitian Diagram Alir Penelitian Tahapan Penelitian Preparasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi Biodegradasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi Pengambilan Sampel Prosedur Analisa Bab 4. Hasil dan Pembahasan Kondisi Awal Tanah Tercemar Minyak Bumi Pengaruh bakteri indigenous dan eksogenous terhadap penurunan konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) Pengaruh waktu reaksi terhadap penurunan konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) x

12 4.4. Pengaruh konsentrasi bakteri terhadap penurunan konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Bacillus cereus pada Masing-Masing Bioreaktor Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Pseudomonas putida pada Masing-Masing Bioreaktor Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Rhodococcus erythropolis pada Masing-Masing Bioreaktor Perhitungan Konstanta Laju Kematian(K d )...57 Bab 5. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Saran...62 Daftar Pustaka...63 Appendiks A...67 Appendiks B...73 xi

13 Halaman ini sengaja dikosongkan xii

14 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Kondisi optimal pertumbuhan mikroba dan biodegradasi hidrokarbon Tabel 2.2. Perkembangan metode yang diaplikasikan pada proses bioremediasi Tabel 2.3. Beberapa mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon Tabel 2.4. Hubungan struktur kimia hidrokarbon dan kemempuan terbiodegradasi Tabel 2.5. Sifat kimia dan Fisika BTX Tabel 2.6. Persyaratan nilai akhir hasil pengolahan sludge minyak bumi Tabel 4.1. Karakteristik Tanah di Lokasi Pengeboran Minyak Tabel 4.2. Degradasi BTX pada Bioreaktor Setiap 14 Hari Tabel 4.3. Hasil Perhitungan Konstanta Laju Kematian (k d ) xiii

15 Halaman ini sengaja dikosongkan xiv

16 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Struktur molekular hidrokarbon... 9 Gambar 2.2. Reaksi degradasi hidrokarbon alifatik Gambar 2.3. Reaksi degradasi hidrokarbon aromatik Gambar 2.4. Bakteri Bacillus cereus Gambar 2.5. Bakteri Pseudomonas putida Gambar 2.6. Bakteri Rhodococcus erythropolis Gambar 2.7. Plot Grafik Persamaan Henri untuk Kinetika Michaelis-Menten pada Reaktor Batch Gambar 2.8. Tipikal kurva pertumbuhan untuk populasi bakteri Gambar 2.9. Dependence of The Spesific Growth Rate in The Concentration of The Growth Limiting Nutrient Gambar 3.1. Rangkaian alat slurry bioreactor Gambar 3.2. Alur rancangan penelitian secara umum Gambar 3.3. Haemmocytometer Gambar 4.1. Tanah Tercemar Minyak Bumi di Lokasi Pengeboran PPEJ Gambar 4.2. Grafik Degradasi BTX oleh indigenous bacteria Gambar 4.3. Grafik degradasi (a) benzene, (b) toluene dan (c) toluene untuk penambahan 17.5% bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcuc erythropolis Gambar 4.4. Hubungan antara % Degradasi dan Waktu Gambar 4.5. Hubungan antara Kadar BTX dan Populasi Bakteri dengan Waktu Degradasi pada Penambahan Bakteri (a) Bacillus cereus, (b) Pseudomonas putida dan (c) Rhodococcus erythropolis Gambar 4.6. Grafik hasil degradasi BTX pada penambahan 17.5% bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis xv

17 Gambar 4.7. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5% Bacillus cereus Gambar 4.8. Hubungan antara k o dan K m dengan konsentrasi Bakteri Bacillus cereus Gambar 4.9. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Pseudomonas putida Gambar Hubungan antara k o dan K m dengan konsentrasi Bakteri Pseudomonas putida Gambar Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Rhodococcus erythropolis Gambar Hubungan antara k o dan K m dengan konsentrasi Bakteri Rhodococcus erythropolis Gambar Grafik perhitungan slope untuk Menentukan Nilai k d (a) Bakteri B. cereus, (b) Bakteri P.putida dan (c) bakteri R. erythropolis xvi

18 DAFTAR NOTASI a = surface area per unit volume ml -1 D = dilution rate hari -1 F = laju alir liter/jam k d = konstanta laju kematian hari -1 K m = konstanta Michaelis-Menten mg/hari K S = konstanta Monod mg/hari k o = konstanta laju pertumbuhan maksimum hari -1 Q o = laju alir influent liter/jam r fb = laju pembentukan biomass mg/l.hari r fi = laju pembentukan produk mg/l.hari r fs = laju pembentukan substrat mg/l.hari S = konsentrasi substrat mg/l S i = konsentrasi masuk mg/l S o = konsentrasi keluar mg/l S o = konsentrasi substrat mula-mula mg/l t = waktu hari V R = volume kultur liter X = konsentrasi biomassa mg/l X o = konsentrasi umpan solid mg/l Y = growth yield mg biomass/mg substrat μ = laju pertumbuhan spesifik mikroba hari -1 μ max = laju pertumbuhan max. spesifik mikroba hari -1 xvii

19 Halaman ini sengaja dikosongkan xviii

20 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Perkembangan pesat ekonomi dunia mengakibatkan kebutuhan manusia akan energi semakin meningkat. Setiap negara mempercepat eksploitasi dan penggunaan sumber daya minyak dan gas, menyebabkan semakin banyak sumur minyak dan gas muncul di dunia. Selama proses eksplorasi, eksploitasi, produksi, transportasi, penyimpanan dan proses pemurnian, oil-well blowing, kebocoran dan seterusnya akan membawa dampak kontaminasi pada tanah. Residu yang diperoleh dalam proses pengolahan minyak bumi telah meningkatkan perhatian beberapa tahun terakhir. Residu tersebut mengandung hidrokarbon minyak bumi dalam konsentrasi tinggi dan komponen rekalsitran lainnya. Permintaan global akan minyak bumi dan produk-produknya telah berkontribusi terhadap efek yang merugikan pada lingkungan ekosistem. Dan masalah umum baru serta pada jangka panjang menyebabkan kerusakan pada ekosistem air, tanah kesehatan manusia dan sumber daya alam serta lingkungan lainnya. Pencemaran ini, meskipun dengan konsentrasi hidrokarbon yang rendah akan sangat mempengaruhi bau dan rasa air tanah. Dikatakan bahwa setiap kali ladang minyak beroperasi, jumlah minyak yang tersisa di ladang minyak beberapa dekade menjadi beberapa ratus kilogram. Area terkontaminasi pada sumur pengeboran minyak bumi mencapai 0,5-2,1 m 2 (Chunrong dkk, 2013). Minyak bumi yang sebagian besar terdiri dari hidrokarbon, molekul organik, dapat mematikan dalam konteks ekologi jika dilepas atau dibuang ke lingkungan. Hal ini secara fisika, kimiawi dan biologis sangat berbahaya untuk tanah karena keberadaan senyawa beracun, seperti polisiklik hidrokarbon aromatik, benzen dan substitusi cincin sikloalkana dalam konsentrasi yang relatif tinggi. 1

21 Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak bumi terbesar (urutan ke-8) dengan produksi 1,27 juta barrel per hari pada tahun Kini produksi minyak mentah di Indonesia semakin menurun di kisaran 900 ribu barrel per hari. Dari angka tersebut, diperkirakan akan menimbulkan ton limbah per tahun, dimana ton di antaranya diperkirakan merupakan limbah B3. (Santosa, 2004 dalam Nugoho, 2006). Jumlah tanah yang terkontaminasi minyak bumi yang dihasilkan dalam proses produksi minyak telah meningkat ribuan ton setiap tahun di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan dengan perbaikan pada stem pengeboran, pengolahan, penyaluran minyak bumi dan pengolahan limbah. Proses remediasi mengarah pada proses removal hidrokarbon minyak bumi dari lingkungan yang melibatkan tiga metode, yaitu fisika, kimia dan biologi. Metode fisika dan kimia secara luas digunakan untuk clean up. Namun metode fisika-kimia memiliki keterbatasan, yaitu mahal untuk diterapkan pada skala besar, tidak ramah lingkungan, teknologinya kompleks dan menyebabkan kerusakan tekstur dan karakteristik tanah. Metode fisika-kimia hanya dapat dilakukan jika tumpahan minyak belum menyebar kemana-mana. Penanganan secara biologi merupakan salah satu alternatif dalam upaya mendegradasi kandungan minyak bumi di lingkungan. Karena keterbatasan teknologi kimiafisika di atas, maka penanganan secara biologi dengan metode bioremediasi (biodegradasi) adalah alternatif dan atau suplemen untuk metode ini. Ini karena biayanya efektif, ramah lingkungan, sederhana dalam teknologi dan konservasi dari tekstur dan karakteristik tanah. Bioremediasi secara ekonomis dan lingkungan sangat atraktif memberikan solusi untuk memulihkan lokasi tersebut. Polutan hidrokarbon di tanah yang terkontaminasi dapat berpotensi terdegradasi oleh aktivitas mikroba. Potensi mikroba sebagai agen degradasi beberapa senyawa dapat menunjukkan bahwa pengolahan secara biologis sebagai alternatif utama yang menjanjikan untuk mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh polutan. Breakdown mikroba polutan hidrokarbon umumnya merupakan proses yang sangat lambat tetapi dapat dioptimalkan untuk memungkinkan tingkat transformasi mikroba lanjut menjadi lebih cepat. 2

22 Pentingnya mikroorganisme dalam dekomposisi residu organik alami dalam ekosistem tanah, sedimen dan air sudah sejak lama diakui. Transformasi mikroba dan kontaminan organik bisa terjadi karena organisme dapat menggunakan kontaminan tersebut untuk kebutuhan energi sendiri, pertumbuhan dan reproduksi. Kemampuan mikroorganisme tertentu untuk mendegradasi minyak bumi tampaknya menjadi proses adaptif dan diatur oleh kondisi lingkungan. Keberadaan minyak bumi mungkin juga mempengaruhi komunitas mikroba melalui seleksi dari spesies. Degradasi hidrokarbon oleh komunitas mikroba tergantung pada komposisi dari komunitas dan responnya terhadap kehadiran hidrokarbon. Bakteri dan jamur adalah agen-agen kunci degradasi, dimana bakteri diasumsikan dominan berperan pada ekosistem air laut, sedangkan jamur pada ekosistem darat dan air tawar. Komunitas bakteri mengalami adaptasi, dimana bakteri yang sebelumnya terkena hidrokarbon akan menunjukkan laju biodegradasi yang lebih tinggi daripada komunitas tanpa kontaminasi hidrokarbon. Mikroorganisme ini akan mati seiring dengan habisnya minyak mentah. Biodegradasi hidrokarbon minyak bumi dalam lingkungan adalah proses kompleks, yang aspek kualitatif dan kuantitatif bergantung pada sifat dari sejumlah besar minyak bumi atau hidrokarbon yang ada, kondisi ambient, lingkungan dan komposisi dari autochthonous microbial community. Dalam proses biodegradasi minyak bumi, penggunaan mikroorganisme harus disesuaikan dengan isolat bakterinya, dengan modifikasi faktor mikro lingkungan untuk pertumbuhan mikroba, yang berdampak pada proses bioremediasi yang berlangsung dengan cepat. Untuk penyebaran dan kelangsungan hidup di lingkungan, mikroba bergantung pada nutrisi, ph, temperatur untuk produksi mikrobial indigenus dan ekskresi eksoenzim untuk memecah hidrokarbon dan produk mereka. Aktifitas mikroorganisme dalam merombak hidrokarbon ini sangat ditunjang oleh transfer massa oksigen di dalam bakteri yang menyebabkan kerja bakteri optimal, di samping keberadaan nutrien bagi bakteri tersebut. Berdasrkan tempat berlangsungnya, bioremediasi dapat diaplikasikan langsung (in situ) pada lingkungan yang tercemar. Mikroba remediator yang 3

23 digunakan adalah mikroba indigenous. Sifat remediasinya secara alamiah (natural attenuation) dan proses biodegradasi bahan pencemar berlangsung sangat lambat. Teknik bioremediasi dapat pula dilaksanakan di luar lingkungan tercemar (ex situ), yaitu dengan membawa tanah yang terkontaminasi tersebut ke lokasi pengolahan yang telah ditetapkan. Pengolahan secara ex situ dan in situ sebagian besar diterapkan ketika konsentrasi pencemarnya tinggi dan rekalsitran. Jika permeabilitas tanah rendah, dan/atau bahan organik tinggi, kondisi iklim akan menghambat perlakuan in situ sehingga teknologi ex situ lebih disukai. Pengembangan metode ex situ dengan slurry bioreactor berhasil diterapkan oleh Ayotamuno dkk (2007) pada degradasi lumpur minyak. Remediasi bioslurry dilakukan melalui penambahan extraneous microbes serta regular mixing and watering menghasilkan reduksi TPH dalam lumpur mencapai 40,7% - 53,2% pada 2 minggu pertama perlakuan dan 63,7% - 84,5% setelah 6 minggu. Dalam penelitian yang dilakukan Thavasi R dkk (2011) dengan menggunakan tiga jenis bakteri yaitu Bacillus meganterium, Corynebacterium kutscheri dan Pseudomonas aeruginosa dalam upaya mendegradasi crude oil dengan penambahan biosurfaktan dan fertilizer. Fertilizer yang digunakan adalah urea dan K 2 HPO 4 dengan perbandingan berat 1:1. Biosurfaktan yang digunakan berasal dari bakteri yang dipakai, sedangkan mineral yang dipakai sebagai media adalah K 2 HPO 4, MgSO 4 7H 2 O, FeSO 4 7H 2 O, CaCl 2 2H 2 O, Na 2 MoO 4 2H 2 O, dan NaCl. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah maksimum degradasi terjadi dengan menggunakan bakteri P. aeruginosa dengan persen degradasi 89% pada penambahan 0,1% biosurfaktan. El-Naas dkk, pada 2014 melakukan review terhadap perkembangan dan prospek biodegradasi BTEX secara aerobik, dengan menggunakan beberapa jenis bakteri. Penguraian BTEX dengan free Pseudomonas sp., Yarroia sp., Acinetobacter sp., Corynebacterium sp., dan Spingomonas sp. pada proses batch dengan konsentrasi 15 dan 75 mg/l BTEX. Efisiensi penguraian paling baik adalah 97% benzene, 93% toluene, 90% ethylbenzene dan 98% xylene pada kondisi ph 7 dan temperatur o C serta membutuhkan waktu tinggal selama 50 jam. Penguraian dengan bakteri Bacillus sphaericus, dengan konsentrasi 4

24 pencemar 0,0970; 0,0978; 0,0971 dan 0,0968 ml/l BTEX pada proses kontinyu menggunakan bench scale corn cob-based biofilter column memberikan lebih dari 98% penguraian pada suhu 30 ± 2 o C. Bambang Yudono pada tahun 2009 melakukan riset mengenai kinetika dari bakteri Bacillus myciodes yang diisolasi dan kemudian digunakan pada prosses biodegradasi ex situ. Degradasi dilakukan dengan 10% (v:w) bakteri dimasukkan ke dalam bioreaktor kemudian diinkubasi selama 14 hari. Hasil yang diperoleh adalah konsentrasi total petroleum hydrocarbon (TPH) akan menurun dengan konstanta reaksi 0,0361/hari dan model kinetika bioremediasi y = -0,0362x + 2,2448. Pada 1996, Kelly dkk. menemukan bahwa dengan mengacu pada persamaan Monod, untuk sistem batch, di bawah kondisi oxic, konstanta laju biodegradasi (k 1 ) untuk benzen adalah 1,32 mmol/l.jam, 1,42 mmol/l.jam untuk toluene dan 0,833 mmol/l.jam untuk xylene. Abbasi & Shquirat (2008) menggunakan bakteri indigenous Stenotophomonas multophilia dalam reaktor teraerasi untuk merombak tanah tercemar minyak bumi, menemukan bahwa konstanta kinetika orde pertama bervariasi, antara 0,041/hari dan 0,0071/hari (pada reaktor yang berbeda). Tuhuloula dan Juliastuti pada 2011 melakukan bioremediasi terhadap lahan terkontaminasi minyak bumi dengan bakteri Bacillus cereus dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% (v/v) pada slurry bioreactor. Pada awal perlakuan, konsentrasi BTEX secara berturut-turut adalah 35,28%; 42,25%; 9,57% dan 12,9%. Pada akhir proses degradasi, dilakukan analisa kadar BTEX dan diperoleh persen biodegradasi BTEX berturut-turut untuk konsentrasi bakteri 5% adalah 98,09%; 49,56%; 84,15% dan xylene 96,14%. Kemudian untuk konsentrasi bakteri 10%, secara berturut-turut persen degradasi BTEX adalah 98,29%; -%; 92,79% dan 96,22%. Sedangkan untuk kaonsentrasi bakteri 15%, persen degradasi BTEX adalah 98,51%; -%; -% dan 96,34%. Dari penelitian tersebut maka direncanakan penelitian berikutnya hanya memperhatikan penurunan konsentrasi benzene, toluene dan xylene (BTX) saja, mengingat konsentrasi etilbenzen dalam tanah sebelum proses degradasi sudah sangat kecil dan setelah hari ke 49 sudah tidak dapat terbaca konsentrasinya lagi. 5

25 Dalam upaya mecegah pencemaran minyak bumi pada tanah dalam konsentrasi rendah maupun tinggi, maka diperlukan suatu metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam mengolah polutan dan tidak merusak lingkungan. Dengan pengembangan proses secara biologis, degradasi kontaminan minyak bumi di tanah oleh mikroorganisme aerobik Bacillus cereus, Pesudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis pada lingkungan yang tercemar perlu dipahami efektivitas bakteri murni dalam mendegradasi limbah minyak bumi agar lebih efisien Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana efisiensi biodegradasi sebagai fungsi konsentrasi minyak (hingga jenuh) dengan parameter pengukuran: konsentrasi BTX dan populasi bakteri pada pengolahan tanah yang terkontaminasi secara ex situ? 2. Bagaimana kinetika biodegradasi (specific growth rate, konstantamichaelis- Menten dan Yield) pada pengolahan tanah yang tercemar minyak bumi oleh bakteri aerobik? 1.3. Tujuan 1. Menentukan efisiensi biodegradasi sebagai fungsi konsentrasi minyak (hingga jenuh) dengan parameter pengukuran: konsentrasi BTX, populasi bakteri (Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis pada pengolahan tanah yang terkontaminasi secara ex situ. 2. Menentukan kinetika biodegradasi (specific growth rate, konstantamichaelis- Menten dan Yield) dalam proses pengolahan tanah yang tercemar minyak bumi oleh bakteri aerobik Manfat Penelitian Penelitian ini dapat bermanfaat untuk: 1. Mengurangi jumlah limbah hidrokarbon akibat kebocoran dalam proses pengeboran, pipanisasi, tangki penyimpnan bawah tanah, rembesan alam dan tumpahan minyak yang terdampar dengan menggunakan metode biologi. 6

26 2. Mendapatkan informasi tentang pemanfaatan bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida, dan Rhodococcus erythropolis dalam proses biodegradasi baik untuk masing-masing bakteri atau jika dikombinasikan. 3. Mengetahui kinetika reaksi penguraian BTX oleh bakteri. 7

27 Halaman ini sengaja dikosongkan 8

28 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hidrokarbon Hidrokarbon merupakan senyawa organik yang terdiri dari karbon dan hydrogen (Desai & Vyas, 2006). Hidrokarbon terjadi secara alami, senyawa organik yang mudah terbakar dalam minyak mentah ditemukan dalam formasi geologis di bawah permukaan bumi. Hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah dikategorikan dalam komposisi molekuler sebagai alkana, naphthenes, aromatik dan alkena yang memiliki struktur molekul yang berbeda dan dapat dilihat pada gambar 2.1 (Scholz dkk, 1999). H H H H H C C C C H H 2 C C C H CH 2 H H H H CH 3 Alkana, C n H (2n+2) Alkena, C n H (2n-2) H 2 C H 2 C H 2 C CH 2 Napthenes, C n H 2n CH 2 H H C H C C C C C Aromatik, 6 cincin karbon, C n H n Gambar 2.1 Struktur molekular hidrokarbon Senyawa hidrokarbon dapat digolongkan berdasarkan jenis ikatan antara atom C dan atom H, yakni: 1) Hidrokarbon alifatik Hidrokarbon alifatik, yaitu senyawa hidrokarbon dengan ikatan antara rantai C dan H terbuka (tidak berbentuk cincin), sehingga dapat disebut hidrokarbon rantai. Hidrokarbon rantai terdiri dari alkana, alkena dan alkuna. Hidrokarbon alkana (paraffin) memiliki rumus kimia C n H 2n+2. Hidrokarbon alkena (C n H 2n ) biasa disebut olefin, memiliki satu atom karbon yang memiliki ikatan rangkap pada rantainya, sedangkan alkuna (C n H 2(n-1) ) disebut asetilen memiliki ikatan H H H 9

29 rangkap tiga pada rantai karbonnya. Senyawa alkana merupakan hidrokarbon jenuh, sedangkan alkena dan alkuna merupakan hidrokarbon tak jenuh. 2) Hidrokarbon alisiklik Hidrokarbon alisiklik merupakan senyawa dengan rumus C n H 2n dengan ikatan rantai C dan H yang tertutup (berbentuk cincin) sehingga bersifat lebih stabil. 3) Hidrokarbon aromatik Hidrokarbon aromatik merupakan hidrokarbon dengan keberadaan yang lebih sedikit dalam minyak bumi dibandingkan dengan paraffin. Contoh senyawa aromatik yang paling sederhana adalah benzena yang terdiri dari 6 atom karbon dengan ikatan rangkap di antara satu atom C dengan yang lainnya. (Nugroho A, 2006). Persentase komposisi utama minyak mentah adalah 80-89% karbon, 12-14% hydrogen, 2-3% oksigen, 0-3% sulfur, dan 0,3-1% nitrogen. Selain itu minyak mentah juga mengandung impurities Cl, Ni, Mo, Fe, Na dan unsur lain yang bervariasi tergantung pada asal minyak mentah tersebut (Nugroho A, 2006). Dengan adanya proses kimia dan fisika, minyak bumi mentah dapat diubah menjadi berbagai produk. Jenis ikatan antara atom C dan H mempengaruhi produk turunan minyak bumi. Produk-produk tersebut antara lain: (Nugroho A, 2006) 1) Gas, terdiri dari hidrokarbon C 1 hingga C 5 dari alkana rantai normal dan bercabang. 2) Bensin, terdiri dari hidrokarbon C 6 hingga C 10 dari alkana rantai normal dan bercabang serta sikloalkana dan alkil benzena. 3) Kerosin, terdiri dari hidrokarbon C 11 hingga C 12 dari alkana rantai normal dan bercabang, sikloalkana, serta campuran aromat-sikloalkana. 4) Minyak diesel ringan, terdiri dari hidrokarbon C 12 hingga C 18 dari alkana rantai normal, sikloalkana, olefin, serta campuran aromatik dengan olefin (stirena). 5) Minyak diesel berat dan minyak lumas ringan, terdiri dari hidrokarbon C 18 hingga C 25. 6) Pelumas, terdiri dari hidrokarbon C 26 hingga C 38 dari alkana rantai normal dan bercabang. 10

30 7) Aspal, terdiri dari senyawa polisiklik berat Biodegradasi dan Bioremediasi Biodegradasi merupakan proses penguraian oleh aktifitas mikroba, yang mengakibatkan transformasi struktur suatu senyawa sehingga terjadi perubahan integritas molekuler. Biodegradasi minyak bumi merupakan proses salami yang melibatkan mikroba yang dapat mentransformasikan dan mendekomposisikan hidrokarbon minyak bumi menjadi komponen-komponen lain yang lebih sederhana (Nugroho A, 2006). Bioremediasi adalah penggunaan organisme, khususnya mikroorganisme untuk mendegradasi kontaminan yang ada di lingkungan menjadi bentuk yang kurang berbahaya (less toxic). Dalam aplikasinya, proses bioremediasi menggunakan bakteri dan jamur atau tanaman untuk mendegradasi atau mendetoksifikasi substansi yang berbahaya, baik bagi kesehatan manusia dan/atau lingkungan. Mikroorganisme dapat berasal langsung dari daerah yang terkontaminasi, atau dapat pula diisolasi dari tempat lain kemudian diaplikasikan ke daerah yang terkontaminasi (Vidali, 2001). Laju degradasi mikroba terhadap minyak bumi bergantung pada beberapa faktor, yaitu faktor fisik dan lingkungan, faktor konsentrasi dan perbandingan berbagai struktur hidrokarbon yang ada serta faktor kemampuan mikroba pendegradasi. (Nugroho A, 2006). Gordon (1994) menyebutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi bioremediasi, yaitu mikroba, nutrient, dan faktor lingkungan. Ketiga faktor tersebut diuraikan sebagai berikut: (Nugroho A, 2006). a. Nutrisi Nutrient yang dibutuhkan oleh mikroba bervariasi menurut jenis mikrobanya, namun seluruh mikroba memerlukan nitrogen, fosfor dan karbon. Selain itu, ada beberapa mineral yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, seperti potassium, mangan, kalsium, besi, tembaga, kobalt dan seng. Pada struktur molekul minyak bumi, terdapat sejumlah karbon yang dapat didekomposisi mikroba. Kandungna karbon akan berkurang karena 11

31 digunakan sebagai sumber energi mikroba, dimana rantai karbon menghasilkan energi yang tinggi. b. Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju degradasi antara lain: 1. Oksigen Biodegradasi didominasi oleh proses oksidasi. Enzim-enzim bakteri akan mengkataliskan pemasukan oksigen ke dalam hidrokarbon sehingga molekul dapat dikonsumsi untuk metabolisme sel. Oleh sebab itu oksigen adalah kebutuhan terpenting dalam proses biodegradasi minyak bumi. Secara perhitungan teori, dalam degradasi aerobik, 3,5 gram minyak bumi dapat dioksidasi oleh 1 gram oksigen yang ada dalam bioreaktor (Atlas dan Bartha, 1985). Kebutuhan oksigen untuk mikroba aerobik diperoleh dari oksigen terlarut dimana DO (dissolved oxygen) untuk mikroba aerobik adalah > 2 mgo 2 /L. Sedangkan untuk proses anaerobik, kebutuhan oksigen diperoleh dari oksigen yang terikat sebagai NO 3 (Dou, 2008). 2. ph untuk mendukung kebutuhan mikroba, ph tanah harus berada antara 6-8 dengan ph optimal 7. Nilai ph tanah asam dapat dinaikkan dengan cara penambahan kapur dan ph tanah basa dapat diturunkan dengan penambahan sulfur. 3. Temperatur Pada temperatur rendah, pergerakan molekul cenderung lambat, dan molekul-molekul yang menyatu cenderung tidak ikut bereaksi. Peningkatan temperatur akan meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi dan meningkatkan laju difusi. Aktivitas mikroba biasanya mempunyai temperatur optimum antara o C. 4. Kelembapan Air diperlukan untuk proses biodegradasi karena kebanyakan reaksi enzim berlangsung pada fasa larutan. 12

32 5. Tekstur tanah Tekstur tanah mempengaruhi permeabilitas, kelembapan dan kepadatan dari tanah. Untuk meyakinkan bahwa penambahan oksigen, distribusi nutrient dan kelembapan tanah apat berlangsung dalam rentang yang tepat, maka tekstur tanah harus diperhatikan. Misalnya, tanah lempung sangat sulit diaerasi dan mengakibatkan rendahnya oksigen. Selain itu, sulit untuk mendistribusikan nutrient secara seragam dan menahan air untuk masuk ke dalam tanah (presipitasi) Kondisi lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan mikroba dan biodegradasi hidrokarbon diberikan pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Kondisi optimal pertumbuhan mikroba dan biodegradasi hidrokarbon Parameter Pertumbuhan Mikroba Biodegradasi Hidrokarbon kemampuan menahan air ph 5,5 8,8 6,5 8 oksigen 10% 10 40% nutrient (C:N:P) N dan P untuk pertumbuhan mikroba 100:10:1 temperatur ( o C) kontaminan tidak terlalu beracun 5 10% berat kering tanah logam berat 2000 ppm 700 ppm Vidali, Bioremediation: An Overview c. Mikroba Penambahan jumlah bakteri pada tumpahan minyak mempercepat proses degradasi dari minyak bumi dan tempat yang paling baik untuk menemukan mikroba pendegradasi minyak bumi adalah tumpahan minyak itu sendiri. Faktor-faktor pembatas ekologis bagi berlangsungnya proses bioremediasi minyak bumi daapt dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (Nugroho A, 2006). a. Faktor kimia - Kurang tersedia suatu nutrient, dapat diatasi dengan penambahan biosurfaktan. 13

33 - Tidak dijumpai senyawa penunjang pertumbuhan, dapat diatasi dengan suplai ko-substrat. - Tidak ada inductor enzim yang diperlukan, diatasi dengan pemberian induktor untuk peningkatan metabolisme. b. Faktor lingkungan - Kondisi fisik yang ekstrim (ph, kelembapan, redoks potensial), dapat diatasi dengan pengubahan kondisi lingkungan sehingga merangsang aktivitas mikroba. c. Faktor mikrobiologi - Tidak ada populasi mikroba dapat diatasi dengan bioaugmentasi, yaitu menginokulasi daerah tercemar dengan mikroorganisme perombak polutan. - Jumlah mikroba yang rendah, dapat diatasi dengan enrichment, yaitu merangsang pertumbuhan dan aktivitas mikroba setempat yang dapat merombak polutan, misalnya dengan penyuntikan nutrient ke daerah tercemar. Berdasarkan tempat berlangsungnya, teknik bioremediasi dapat diaplikasikan langsung (in situ) pada lingkungan yang tercemar. Mikroba remediator yang digunakan adalah mikroba indigenous. Sifat remediasinya alamiah dan proses biodegradasi bahan pencemar berlangsung sangat lambat. Teknik bioremediasi juga dapat dilakukan di luar lingkungan yang tercemar (ex situ), yaitu dengan membawa tanah yang terkontaminasi tersebut ke lokasi pengolahan yang telah ditetapkan. Bioremediasi ex situ dibedakan menjadi bioremediasi fase padat (solid phase bioremediation), bioremediasi fase cair (liquid phase remediation), dan bioremediasi semi padat (slurry phase remediation). Bioremediasi fase padat merupakan pengolahan untuk melenyapkan bahan pencemar yang berupa limbah cair atau padat yang mencemari suatu areal tanah. Bioremediasi fase cair dilakukan untuk menghilangkan bahan pencemar yang mengkontaminasi daerah perairan. Bioremediasi fase semi padat dilakukan dengan menggunakan bioreaktor, baik yang tertutup maupun yang terbuka. Bahan pencemar yang diremediasi dengan teknik ini bisa dalam bentuk padat maupun 14

34 semi padat. Bioremediasi dengan cara ini dapat memungkinkan suplai oksigen, nutrient, kelembapan, ph dan temperatur (Nugroho A, 2006). Perkembangan metode yang dapat diaplikasikan pada proses bioremediasi dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Perkembangan metode yang diaplikasikan pada proses bioremediasi Teknik Jenis manfaat Aplikasi Referensi in situ biosaparging paling efisien dan noninvasive kemempuan dari mikroorganisme indigenous untuk biodegradasi logam dan senyawa anorganik Sei et al (2001), Niu et al. (2009) ex situ Bioreaktor Presispitasi/ flokulasi mikrofiltrasi elektrodialisis bioventing bioaugmentation land farming composting biopiles Slurry reactors aqueous reactors tidak diarahkan secara kompleksasi reaksi fisika kimia antara kontamiann terlarut dan biaya komponen selular membrane mikrofiltrasi digunakan pada tekanan konstan menggunakan pasangan membrane kation dan aion exchange relatif pasif Naturally attenuated process, mengolah tanah dan air kinetika degradasi cepat, mengoptimalkan parameter lingkungan, meingkatkan transfer massa dan eektif penggunaan inokulan dan surfaktan parameter lingkungan biodegrability polutan Distribusi polutan Aplikasi permukaan, proses aerobik, aplikasi bahan organik untuk tanah alami dengan irigasi lebih cepat pengolahan dari tanah tercemar dengan biostimulation dan bioaugmentation, konsentrasi beracun kontaminan, eksavasi tanah relatif mahal dan operasi relatif mahal murah, sederhana, self-heating murah, laju reaksi cepat, selfheating dapat dilakukan di tempat Antizar- Ladislao et al. (2008) Behkis et al. (2007) biaya efektif (hemat) removal logam berat Natrajan (2008) remove dengan cepat padatan terlarut menahan suhu tinggi dan dapat digunakan kembali pengolahan air limbah, pemulihan dan penggunaan kembali lebih dari 90% air limbah yang asli efisienremoval padatan terlarut N. Das Microbial Degradation of Petroleum Hydrocarbon Contaminants 2.3. Mikroba Pendegradasi Suthersan (1999), mengatakan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon ada di maan-mana di alam akan tetapi dapat ditemukan pada jumlah relatif tinggi di dalam lokasi terkontaminasi minyak bumi. Mikroorganisme dapat diisolasi dari hamper semua kondisi lingkungan. Syarat utama adalah adanya sumber energi dan sumber karbon. Karena adanya adaptasi dari mikroba dan sistem biologis lainnya, maka mikroba dapat digunakan untuk mendegradasi atau memulihkan lingkungan yang berbahaya. Mikroorganisme ini dapat dibagi ke dalam grup sebagai berikut: 15

35 a. Aerobik Bakteri aerobik yang mampu mendegradasi adalah pseudomonas, alcaligenes, sphigomonas, rhodococcus dan mycobacterium. Mikroba ini mampu mendegradasi hidrokarbon dan pestisida, yang merupakan senyawa alkana dan poliaromatik. Kebanyakan bakteri ini menggunakan kontaminan sebagai saru-satunya sumber karbon dan energi. b. Anaerobik Bakteri anaerobik jarang digunakan seperti bakteri aerobik. Bakteri anaerobik dapat digunakan untuk bioremediasi polychlorinated biphenyls (PCBs) dalam sedimen sungai, deklorinasi dari pelarut trichloroethane (TCE) dan kloroform. c. Psychrophiles Organisme ini memiliki temperatur yang optimal 15 ± 5 o C dan temperatur minimum 0 o C atau di bawah. Dapat tumbuh pada 0 o C dan akan mati pada suhu kamar. d. Mesophiles Organisme ini memiliki temperatur optimal antara o C. Sebagian besar mikroorganisme penghuni subsurface adalah mesophiles. Mikroorganisme ini efektif dalam proses bioremediasi pada rentang temperatur o C e. Thermophiles Organisme ini memiliki temperatur optimal >45 o C. Degradasi senyawa alifatik (paraffin) melalui oksidasi pada gugus metal terminal membentuk alkohol primer dengan bantuan enzim oksigenase. Alkohol akan dioksidasi lebih lanjut menjadi aldehida, kemudian asam organik, dan akhirnya menghasilkan asam lemak dan asetil koenzim-a. Senyawa antara (asetil ko-a) akan masuk ke siklus Krebs, dan rantai karbon akan berkurang dari C n menjadi C n-2 dan terus berlanjut hingga semua molekul hidrokarbon teroksidasi. (Atlas & Bartha, 1998) Senyawa aromatik banyak digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh mikroorganisme seperti bakteri dari genus Pseudomonas. Metabolisme 16

36 senyawa ini oleh bakteri diawali pembentukan katekoll atau protokatekuat. Senyawa tersebut selanjutnya didegradasi menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs, yaitu asam suksinat, asetil ko-a dan asam piruvat. Gambar 2.2 Reaksi degradasi hirokarbon alifatik Gambar 2.3 Reaksi degradasi hidrokarbon aromatik 17

37 Rincian bakteri yang mampu merombak rantai hidrokarbon dapat dilihat pada tabel 2.3: Tabel 2.3 Beberapa mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon Komponen minyak mentah Saturates Monocyclic aromatic hydrocarbon Polycyclic aromatic hydrocarbon Mikroorganisme Arthrobacter sp., Acinetobacter sp., Candida sp., Rhodococcus sp., Streptomyces sp., Bacillus sp., Aspergillus japonicas Pseudomonas sp., Bacillus sp., B. stereothermophilus, Vibrio sp., Nocardia sp., Corynebacterium sp., Achromobacter sp. Arthrobacter sp., Bacillus sp., Burkholderia cepacia., Pseudomonas sp., Mycobacterum sp., Xanthomonas sp., Phanerochaete chrysosporium, Anabaena sp., Alcaligenes. Resin Pseudomonas sp., members of Vibrionaceae, Enterobacteriaceae, Moraxella Desai & Vyas, Applied Microbiology. Petroleum and Hydrocarbon Microbiology 2.4. Pengaruh Struktur Kimia Hidrokarbon Terhadap Biodegradasi Van Hamme dkk (2003) mengemukakan kemampuan degradasi oleh mikroba terhadap jenis-jenis produk hidrokarbon, dengan urutan sampai yang tersulit didegradasi, yaitu: n-alkana > alkana bercabang > alkena bercabang > n-alkil aromatik yang mempunyai berat molekul rendah > monoaromatik > siklik alkana > polinuklear aromatik > senyawa asfaltik. Tabel 2.4 menunjukkan hubungan struktur kimia dan kemampuan terbiodegradasnya. Tabel 2.4 Hubungan struktur kimia hidrokarbon dan kemempuan terbiodegradasi kemampuan produk pada konstituen terbiodegradasi konstituen Mudah terdegradasi n-butana, I-pentana, n-oktana, nonana bensin, diesel metal butana, dimetilpentana, metiloktana bensin benzene, toluene, etil benzen, xylene bensin propil benzen diesel, kerosin decana diesel dodecana kerosin tridecana heating fuels tetradecana minyak pelumas naphtalen diesel flourantenes kerosin sulit terdegradasi pyrenes heating oil acnapthenes minyak pelumas (sumber: EPA, 2009) 18

38 2.5. Benzena, Toluena dan Xilene (BTX) Monoaromatik hidrokarbon, terdiri atas benzen, toluene, etil benzen dan tiga isomer xilene, sehingga dapat disingkat menjadi BTEX. BTEX memasuki lingkungan terutama melalui proses yang terkait dengan bensin dan minyak bumi kebocoran tangki penyimpanan minyak bawah tanah dan tumpahan minyak di sumur tetapi juga dari dari limbah industri, pemrosesan kayu, dan pabrik pestisida, detergent, pabrik kimia, cat dan varnish. BTEX bersifat mudah larut dan merupakan zat beracun yang mudah menguap (Andreoni, 2007). BTEX dapat menjadi polutan bagi air, tanah dan udara. Keberadan BTEX akan memberikan dampak serius bagi air dan tanah karena sifatnya yang beracun dan mudah larut dalam air. Tabel 2.5. Sifat kimia dan Fisika BTX BTEX sangat rentan terhadap serangan mikroba sehingga dapat didegradasi, pada kondisi aerobik. Toluene merupakan senyawa yang paling mudah didegradasi, dibandingkan dengan lima senyawa lainnya. Proses degradasi membutuhkan dissolved oxygen (DO) untuk mengaktifkan ring dan merombak cincin aromatik serta menjadi aseptor elektron bagi reaksi degradasi lengkap oleh bakteri, jamur, maupun alga. Suatu senyawa aromatik hanya dapat dianggap terdegradasi sempurna apabila cincin aromatiknya telah pecah. (El-Naas, 2014). 19

39 Pada penelitian yang dilakukan oleh Deeb dkk (1999) menggunakan konsorsium bakteri dan R. rhodochorus, memberikan hasil bahwa laju degradasi benzene dan toluene akan meningkat jika di dalamnya terdapat o-xylene. Selain itu, keberadaan toluene, bezene dan etil benzene akan menghambat degradasi xilene. Etilbenzene menjadi penghambat dalam degradasi BTEX dan BTX memberikan efek hambatan bagi degradasi etilbenzen. (El-Naas, 2014). Bakteri yang berperan dalam proses degradasi BTEX antara lain: a. Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri gram positif yang bersifat aerobik dengan sel berbentuk batang dan bersifat facultative aerobic serta dapat membentuk spora. Bakteri ini dapat dibedakan dari spesies bacillus lainnya berdasarkan posisi serta tes biokimia. Bakteri ini tumbuh optimal pada range suhu o C dan ph antara 4,9 9,3. (Wong, 2009) Gambar 2.4. Bakteri Bacillus cereus b. Pseudomonas putida Pseudomonas putida merupakan bakteri aerobik gram negatif yang berbentuk batang berukuran 2 4 μm dan memiliki flagel. Bakteri ini hidup pada ph normal (±7) dan temperatur o C. (Elomari, 1997). Gambar 2.5. Pseudomonas putida 20

40 c. Rhodococcus erythropolis Merupakan bakteri aerobik dan tidak berspora serta termasuk dalam grup actinomycetes. Secara taksonomi, baktei ini dekat hubungannya dengan Nocardia dan Mycobacterium. Bakteri ini dapat hidup pada kondisi suhu o C dan pada ph normal. (Bicca dkk, 1999) Gambar 2.6. Rhodococcus erythropolis 2.6. Slurry Bioreactor Slurry reactor (suspended fine solid) merupakan reaktor yang berisi larutan dengan padatan yang tersuspensi dengan viskositas ± 12 cp pada suhu ruangan dengan konsentrasi solid 10% - 50% (v/w) (Nugroho, 2016). Untuk menjaga homogenitas padatan tersuspensi maka perlu dilakukan agitasi sehingga dapat meningkatkan transfer massa dan meningkatkan kontak antar partikel. Homogenisasi yang baik dan aerasi yang cukup dapat dicapai ketika kandungan slurry 10 30% berat solid (w/v) dimana solid sebelumnya dihancurkan menjadi partikel halus μm (Robles-Gonzalez dkk, 2008). Dalam bioremediasi, slurry bioreactor merupakan teknik yang didesain untuk mengoptimasi kondisi abiotik untuk biodegradasi. Bioreaktor ini terdiri atas campuran tanah dan air dengan rasio yang bervariasi dan dapat meningkatkan kecepatan pengolahan tanah dengan adanya kontak antara mikroorganisme, hidrokarbon, nutrient dan padatan (Machín-Ramírez dkk, 2008). Slurry bioreactor dapat didefinisikan sebagai bejana dan peralatan yang digunakan untuk membentuk kondisi pengadukan tiga fase (solid, liquid dan gas) untuk meningkatkan kecepatan bioremediasi dengan menggunakan biomassa (biasanya bakteri indigenous) sehingga mampu mendegradasi kontaminan. Secara umum, kecepatan dan tingkat biodegradasi di dalam sistem bioreaktor lebih tinggi 21

41 dibandingkan pada sistem in situ atau pada sistem fase solid karena lingkungan lebih mudah diatur, dikontrol dan diprediksi perubahannya. (Vidali, 2001). Proses bioremediasi dengan fase slurry mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan bioremediasi dengan kondisi tanah padat. Keuntungan tersebut antara lain: a. Proses yang terjadi lebih seragam b. Meningkatkan kelarutan dari bahan-bahan organik yang terlarut c. Menghancurkan partikel-partikel padat d. Meningkatkan kontak antara mikroba dan kontaminan e. Mampu meningkatkan kelarutan kontaminan dengan penambahan surfaktan f. Meningkatkan distribusi nutrient dan substrat g. Mempunyai laju biodegradasi yang lebih tinggi Adapun kelemahan slurry bioreactor ini antara lain: a. Memerlukan penambahan energi b. Memerlukan pengolahan yang lebih besar c. Memerlukan proses pemisahan antara zat padat dan cair setelah pengolahan d. Memerlukan biaya yang lebih besar. Kadar padatan dalam lumpur dapat mencapai 65 95% berat. Kadar padatan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penurunan difusi oksigen ke dalam cairan, akibatnya pertumbuhan mikroba akan terhambat. Apabila proses bioremediasi telah selesai, materi lumpur akan dikeluarkan dari bioreaktor. Sebagian lumpur yang mengandung mikroba tetap ditinggalkan dalam bioreaktor dan berfungsi sebagai sumber inokulum pada siklus remediasi selanjutnya (Nugroho, 2006). Dalam suatu reaktor batch, jika konsentrasi awal substrat dianggap moderat (So K m ) maka persamaan umum dapat dituliskan sebagai: ds k0 XS Laju reaksi substrat (2.1) dt Y K S m 22

42 Persamaan (2.1) kemudian diintegrasikan: 0 S S t ds Km S kx 0 dt S 0 Y (2.2) Gates dan Marlar (1968) mengembangkan metode trial-error untuk menghitung konstanta kinetika. Integrasi persamaan (2.2) kemudian disusun kembali menjadi: 1 S ln(1 ad) ln c b (2.3) 0 t S t Dimana: Y a 0 X k YK o 0 0 b X YS m 0 d S S (2.4) (2.5) 0 0 X YS c 1 (2.6) YK m (2.7) Dengan plot 1/t ln S/S o melawan ln (1+ad)/t, maka aka terbentuk garis lurus dimana c adalah slope dan b sebagai intercept. Nilai a ridak dapat ditetapkan hanya dengan satu pengukuran sehingga metode trial-error dapat digunakan. Nilai a dapat ditetntukan apabila garis lurus yang terbaik telah terbentuk. Konstanta kinetika kemudian dapat dihitung menggunakan nilai dari a, b dan c dari garis lurus terbaik, dimana: b k0 c 1 1 S K a m c 1 0 Y ax 0 (2.8) (2.9) (2.10) Apabila diasumsikan X X 0 maka persamaan (2.2) dapat diintegrasi untuk menghasilkan persamaan Henri: kx t S K t YK S S S ln 0 (2.11) m m 23

43 Dengan plot 1/t ln S o /S melawan (S 0 S)/t akan menghasilkan grafik persamaa Henri untuk kinetika Michaelis-Menten pada reaktor batch Gambar 2.7. Plot Grafik Persamaan Henri untuk Kinetika Michaelis-Menten pada reaktor Batch 2.7. Baku Mutu Pengolahan Minyak bumi (Sundstroms dan Klei, 1979) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 mengatur tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis. Persyaratan nilai akhir hasil pengolahan sludge minyak bumi ditampilkan dalam tabel 2.6. Tabel 2.6 Persyaratan nilai akhir hasil pengolahan sludge minyak bumi Parameter Satuan Nilai akhir hasil olahan Analisa limbah sludge *) 1. ph 2. TPH 3. Benzena 4. Toluene 5. Ethylbenzene 6. Xylene 7. Total PAH (μg/g) (μg/g) (μg/g) (μg/g) (μg/g) (μg/g) *) Hasil analisis kimia untuk nilai konsentrasi (μg/g) limbah sludge minyak bumi yang ditentukan dalam berat kering (Sumber: KEPMENLH 128, 2003) 24

44 2.8. Parameter Kinetika Mikroba Pertumbuhan suatu mikroorganisme dapat digambarkan sebagai suatu peningkatan rapi dalam semua unsur kimianya (Bailey, 1986), seperti pada gambar 2.3. Massa mikroba akan meningkat dengan waktu dan dapat diuraikan dengan sederhana: Substrates + Cells Extracellular Products + more cells Kurva pertumbuhan mikroorganisme ditunjukkan oleh gambar 2.8, dimana tahapan pertumbuhan bakteri adalah sebagai berikut: Lag phase Tidak ada pertumbuhan populai karena sel menglami perubahan komposisi kimiawi dan ukuran serta bertambahnya substansi intraseluler sehingga siap untuk membelah diri. Exponential / logarithmic phase Sel membelah diri dengan laju yang konstan, massa menjadi dua kali lipat dan keadaan pertumbuhan seimbang. Gambar 2.8. Tipikal Kurva Pertumbuhan untuk Populasi Bakteri 25

45 Deceleration phase Fase pertumbuhan lambat terjadi setelah fase eksponensial. Pada fase ini, pertumbuhan berlangsung lambat karena beberapa faktor seperti berkurangnya nutrisi penting atau akumulasi produk pertumbuhan yang bersifat racun bagi bakteri. Fase ini terjadi selama periode yang sangat singkat. Stationary phase Terjadinya penumpukan racun karena metabolime sel dan kandungan nutrien mulai habis. Akibatnya terjadi kompetisi nutrisi sehingga beberapa sesl mati dan yang lainnya tetap tumbuh. Jumlah sel menjadi konstan. Death phase Sel menjadi mati akibat penumpukan racun dan habisnya nutrisi menyebabkan jumlah sel yang mati lebih banyak sehingga mengalami penurunan jumlah sel secara eksponensial Kinetika Kultur Batch Keseimbangan substrat dalam suatu kultur batch untuk komponen i dalam volume kultur V R dan perubahan konsentrasi molar C i adalah sama dengan laju pembentukan produk: d V C V r dt (2.12) R i R fi Jika volume kultur konstan, maka persamaan (2.12) direduksi menjadi: dci rfi dt (2.13) Laju pembentukan produk, r fi, tergantung atas kondisi populasi sel, lingkungan, temperatur, ph, komposisi media dan morfologi dengan distribusi umur sel mikroorganisme. Fase eksponensial pertumbuhan mikroba kultur batch adalah: dx. X (2.14) dt μ adalah laju pertumbuhan spesifik. Jika persamaan (2.14) diturunkan terhadap waktu, maka: 26

46 X t X0 e t (2.15) Bila μ konstan dengan waktu sepanjang periode pertumbuhan secara eksponensial, persamaan (2.15) dapat diintegrasi dari waktu t o ke t, menghasilkan: X ln t t0 (2.16) X 0 Seperti dilihat pada persamaan (2.16) di atas, pertumbuhan yang bersifat eksponen ditandai oleh suatu garis lurus pada suatu plot semilogaritma ln X versus waktu Substrate-Limited Growth Efek konsentrasi substrat pada laju pertumbuhan spesifik (μ) dalam suatu kultur batch terkait dengan waktu dan μ max ; hubungan ini dikenal sebagai persamaan laju Monod. Kerapatan sel (ρ cell ) meningkat secara linier dalam fase exponent. Ketika substrat (S) dihabiskan, laju pertumbuhan spesifik akan berkurang. Persamaan Monod diuraikan (Ghasem D. Najafpour, 2007) : S max (2.17) K S S Dimana, μ max adalah specific growth rate maximum (h -1 ). K S adalah konstanta saturation atau konstanta Monod (mg/l) dan S adalah konsentrasi substrat (mg/l). Bentuk linearisasi dari persamaan Monod: K S S max max (2.18) Ketika μ = μ max /2, maka K S = S. Persamaan Monod adalah semiempiris dan sesuai dengan suatu cakupan data yang luas. Persamaan (2.17) menjadi model yang diterapkan dari substrate-limited microbial growth. Rata-rata konsentrasi biomass digambarkan sebagai produk hasil biomass dan perubahan konsentrasi substrat dalam arus masuk dan keluar. Neraca biomassa: X / S X / S i 0 X Y ( S) Y S S (2.19) 27

47 dimana, X merupakan rata-rata konsentrasi biomass (mg/l), S i dan S 0 adalah konsentrasi masuk dan keluar (mol/l) dan Y X/S merupakan yield pertumbuhan (mg biomass/mg substrat). laju pada persamaan Monod untuk mensuport substrat, diberikan oleh persamaan laju (2.17) K S. S atau K S (2.20) S max Persamaan (2.20) disusun kembali untuk substrat dengan laju spesifik: S K S max. S max (2.21) Pada kondisi steady-state, seperti yang telah dinyatakan pada (2.17), laju konsumsi substrat sama dengan generasi biomass, dengan asumsi laju kematian nol: KS. D D S0 D max (2.22) D merupakan kecepatan pengenceran (D = F/V R ), yang merupakan kebalikan dari waktu tinggal. Pada gambar 2.9, untuk persamaan Monod, peningkatan kontinyu dalam konsentrasi substrat setelah μ mencapai μ max tidak mempengaruhi laju pertumbuhan spesifik. Meskipun telah diamati bahwa laju pertumbuhan spesifik berkurang ketika konsentrasi substrate meningkat di luar suatu tingkatan tertentu, yang mana adalah situasi inhibisi substrate. Di bawah keadaan seperti itu, model inhibisi Haldane telah diusulkan untuk menyatakan laju pertumbuhan spesifik: 28

48 Gambar 2.9. Dependence of The Spesific Growth Rate in The Concentration of The Growth Limiting Nutrient (Shuler dan Kargi, 2002) Dalam beberapa hal, kematian terjadi dalam fase pertumbuhan sel. Laju spesifik netto untuk kematian mempunyai bentuk sebagai berikut: max S K ' d (2.23) K S S K d adalah konstanta laju kematian (h -1 ) Untuk lebh menguraikan kinetika pertumbuhan, hubungan stoikiometri antara pemanfaatan substrat dan produksi biomassa digambarkan sebagai (Schuler and Kargi, 2002): dx dt ds YX/ S (2.24) dt dimana Y X/S adalah koefisien yield (berat kering biomassa/berat substrat): dx YX/ S (2.25) ds Di dalam sistem kontinyu, koefisien yield adalah tetap untuk mikroorganisme Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi biodegradasi. Untuk pengembangan metode ex situ, penelitian telah dilakukan oleh Ayotamuno dkk (2007) yang mengaplikasikan pendekatan remediasi bioslurry untuk perlakuan lumpur minyak dengan penambahan extraneous microbes serta regular mixing and watering sehinga menghasilkan reduksi TPH dalam lumpur adalah 40,7 53,2% dan 63,7 84,5% secara berturut-turut setelah dua minggu dan enam minggu perlakuan. Ward dkk, (2003) menginvestigasi biodegradasi lumpur minyak dalam fase slurry dengan konsentrasi lumpur dalam rentang 1,55 12,8% dan menemukan bahwa degradasi TPH dalam rentang 80 99% dalam hari dengan menggunakan three different bio-surfactant producing microbial consortiums. Moliterni dkk, (2012) menguji kinetika biodegradasi minyak diesel dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diisolat dari tanah tercemar pada suhu 25, 30 dan 35 o C serta konsentrasi diesel 0,1; 1 dan 3% menghasilkan 80% substrat 29

49 terdegradasi selama 40 jam dengan μ max antara 0,17 0,3/jam. Omotayo (2012) mempelajari konstanta laju pertumbuhan dan laju biodegradasi dengan isolat bakteri Micrococus varians, Bacillus badius, Corynebacterium ulcerans dan Corynebacterium amycolatum sehingga diperoleh konstanta laju pertumbuhan secara berturut-turut antara 0,027 dan 25,5; 0,025 dan 27,5; 0,019 dan 36,3; 0,023 dan 30. Setelah 30 hari inkubasi, laju biodegradasi 93,10%, 89,22%, 88,22% dan 90,82%. Kelly dkk (1996) menemukan bahwa pada kondisi aerob konstanta laju biodegradasi (K 1 ) adalah 1,32 mmol/l.jam untuk benzen, 1,42 mmol/l.jam untuk toluene dan 0,833 mmol/l.jam untuk xilen, yang mengacu kepada persamaan Monod. Agarry dkk, (2013) dengan menggunakan bakteri Aeromonas, Micrococcus dan Serratir sp. pada biodegradasi lubricating motor oil mendapatkan konstanta laju biodegradasi (kinetika orde satu) untuk masingmasing bakteri adalah 0,015/hari, 0,033/hari dan 0,030/hari dengan half-life time adalah 46,2 hari, 21 hari dan 23 hari. Tuhuloula dan Juliastuti pada 2011 melakukan bioremediasi terhadap lahan terkontaminasi minyak bumi dengan bakteri Bacillus cereus dengan konsentrasi 5%, 10% dan 15% (v/v) pada slurry bioreactor. Pada awal perlakuan, konsentrasi BTEX secara berturut-turut adalah 35,28%; 42,25%; 9,57% dan 12,9%. Pada akhir proses degradasi, dilakukan analisa kadar BTEX dan diperoleh persen biodegradasi BTEX berturut-turut untuk konsentrasi bakteri 5% adalah 98,09%; 49,56%; 84,15% dan xylene 96,14%. Kemudian untuk konsentrasi bakteri 10%, secara berturut-turut persen degradasi BTEX adalah 98,29%; -%; 92,79% dan 96,22%. Sedangkan untuk konsentrasi bakteri 15%, persen degradasi BTEX adalah 98,51%; -%; -% dan 96,34%. Dalam penelitian ini juga diperoleh model kinetika biodegradasi untuk berbagai konsentrasi bakteri dalam bioreaktor. Untuk bioreaktor 5% (v/v) diperoleh Y= 1,745 mg biomass/mg substrat, k d = 0,028 hari -1 ; k o = -0,028 hari -1 ; dan K m = mg/l. untuk bioreaktor 10% (v/v), didapat nilai Y = 1,634 mg biomass/mg substrat, k d = 0,041 hari -1 ; k o = 0,318 hari -1 ; dan K m = 44501,6 mg/l. sedangkan untuk bioreaktor 15% (v/v), nilai Y = 2 mg biomass/mg substrat, k d = 0,032 hari -1 ; k o = 0,941 hari -1 ; dan K m = mg/l. 30

50 Pada tahun 2002, Reardon dkk., melakukan penelitian untuk mengetahui kinetika degradasi hidrokarbon aromatik dengan penambahan kultur tunggal dan campuran bakteri. Dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa pada penambahan pseudomonas memberikan rate pertumbuhan Pseudomonas putida berbeda-beda pada masing-masing substrat. Pada toluene, menghasilkan laju pertumbuhan (μ m ) sebesar 0.86 ± 0.01 per jam, dalam benzene sebesar 0.73 ± 0.03 dan pada phenol sebesar 0.11 ± 0.01per jam. Suschka dkk (2001) melakukan penelitian dengan membandingkan poses degradasi pada kondisi aerobik dan anarobik dengan memanfaatkan bakteri Aeromonas sobria, Bacillus stearothermophillus, Enterobacter sakazi, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus lentus, dan campuran mikroorganisme. Dari penelitian tersebut memberikan hasil di mana degradasi cepat terjadi pada kondisi aerobik di 7 hari pertama proses berlangsung. Selajutnya akan diikuti dengan proses degradasi lambat selama 28 hari. Dari penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa benzene merupakan senyawa yang paling sukar didegradasi dan yang bisa menegradasi benzene dengan baik adalah Bacillus stearothermophilus. Sedangkan senyawa aromatik yang paling mudah didegradasi adalah p-xylene. 31

51 Halaman ini sengaja dikosongkan 32

52 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan melakukan percobaan di laboratorium Pengolahan Limbah Industri, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya pada Februari 2016 Desember 2016, untuk menghasilkan data bioremediasi dengan menggunakan bakteri Bacillus cereus, Pseudomodas putida dan Rhodococcus erythropolis secara batch dalam fase slurry bioreactor. Alur penelitian seperti pada gambar Variabel Penelitian Kondisi Operasi - Suhu = o C - ph = 6,5 8 - tekanan = 1 atm - oksigen terlarut = 2 8 mgo 2 /L - rasio tanah : air = 20 : 80 (% w/w) - Agitasi = 100 rpm Variabel percobaan - Jenis bakteri = Bacillus cereus Pseudomodas putida Rhodococcus erythropolis - Waktu = 1 8 minggu - Konsentrasi bakteri = 12.5%; 15%; dan 17.5% (v/v) Dengan populasi bakteri sel/ml 33

53 3.3. Bahan, alat dan skema alat penelitian Bahan penelitian Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: - Aquadest - Biakan bakteri Bacillus Cereus - Biakan bakteri Pseudomonas putida - Biakan bakteri Rhodococcus erythropolis - Na 2 SO 4 - n-hexane - Tanah yang terkontaminasi minyak bumi Alat penelitian Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: - cawan porselin - ph meter, - counting chamber - pipet volume - DO meter, - rangkaian alat ekstraksi - Erlenmeyer, - saringan 10 mesh, - gelas beker, - serangkaian peralatan slurry - gelas ukur bioreactor (gambar 3.1), - kertas saring - termometer - oven Skema alat penelitian 3 2 v v Keterangan gambar: 1. Bioreaktor 2. Tangki nutrient 3. Motor pengaduk 4. Statip dan klem 5. Sumber listrik 6. Aerator 7. Valve 8. Spurger 7 Gambar 3.1. Rangkaian alat slurry bioreactor 34

54 3.4. Diagram Alir Penelitian Analisa ph, BTX, MLSS, MLVSS Tanah yang tercemar Sterilisasi selama menit. Mixing: Tanah dan air dengan rasio 20:80 Air Analisa ph, MLSS, MLVSS Analisa BTX Proses bioremediasi selama 7 minggu (DO >2 ppm) Ekstraksi sampel tanah Kajian: Kinetika reaksi Bakteri sesuai variabel (12,5%; 15%; 17,5% (v/v)) Nutrien (N danp); Udara Gambar 3.2. Alur rancangan penelitian secara umum 3.5. Tahapan penelitian Preparasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi Tanah yang tercemar minyak bumi diambil dari lokasi pengeboran dengan cara sampling di beberapa titik. Tanah tersebut kemudian dipersiapkan dengan memisahkan daun, puing, dan material besar lainnya, serta dipindahkan dari lokasi pencemaran. Tanah tercemar minyak bumi ini kemudian dicampur dengan air dengan rasio 20:80. 35

55 Biodegradasi Tanah yang Tercemar Minyak Bumi Tanah yang digunakan dalam penelitian ini mengandung hidrokarbon aromatik. Penambahan mikroba Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis dimaksudkan agar bakteri yang ditambahkan dapat mendegradasi benzene, toluene, dan xylene (BTX) dalam kondisi aerob dengan penambahan oksigen ke dalam bioreactor. Umpan awal diperoleh dengan cara mencampur tanah yang tercemar dengan air dengan perbandingan 20:80, kemudian dimasukkan ke dalam bioreactor dan ditambahkan bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis dengan konsentrasi 12.5% ; 15% dan 17.5% (v/v) serta nutrien (N dan P) lalu diaerasi. ph dipertahankan pada range dengan penambahan agen penetral. Temperatur juga dipertahankan pada o C. Proses biodegradasi akan dilakukan sampai hasil degradasi memenuhi syarat baku mutu sesuai dengan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 128 tahun Monitoring kondisi operasi dilakukan setiap hari Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan per 14 hari kemudian diekstraksi dengan pelarut n-hexane selama jam kemudian hasilnya dianalisa dengan metode GC Prosedur Analisa a. Analisa ph Pengukuran ph dengan menggunakan ph meter Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer alkohol yang dimasukkan ke dalam bioreaktor. b. Analisa Suhu dan Analisa Dissolved Oxygen (DO) Pengukuran suhu dan kadar oksigen dalam bioreaktor dilakukan dengan menggunakan DO-meter, dengan cara memasukkan elektroda 36

56 ke dalam bioreaktor. Suhu dan kadar oksigen yang terlarut akan terbaca pada display DO-meter. c. Analisa Populasi Bakteri Analisa populasi bakteri menggunakan haemocytometer dengan prosedur sebagai berikut: - Mengencerkan 0,1 ml sampel dengan aquadest 9,9 ml (pengenceran 100 kali) - Meneteskan ke permukaan counting chamber hingga dapat menutupi seluruh permukaannya. - Meletakkan haemocytometer di bawah lensa mikroskop untuk dihitung jumlah selnya. - Melakukan pengamatan di mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Gambar 3.3. Haemmocytometer d. Analisa BOD 5 (Biological Oxygen Demand) 1. Menyiapkan 4 buah botol winkler yang sudah dicuci bersih. 2. Mengambil 10 ml sampel sesuai variable dan memasukkannya ke dalam botol winkler yang telah disiapkan. 3. Menambahkan aquades ke dalam botol hingga volume 250 ml dan 1 botol yang kosong diisi dengan aquades saja sebanyak 250 ml. 4. Mengukur DO (Dissolve Oxygen) pada masing-masing botol menggunakan DO-meter sebagai pengukuran DO0. 5. Menginkubasi keempat botol selama 5 hari. 6. Setelah inkubasi, mengukur kembali DO pada masing-masing botol dan dicatat sebagai DO5. Perhitungan BOD menggunakan persamaan

57 BOD 5 = bioogical oxygen demand hari ke-5 DOs 0 = dissolved oxygen sampel pada hari ke-0 DOs 5 = dissolved oxygen sampel pada hari ke-5 DO f 5 mg 5 250mL 0 L BOD 5 = DOs -DO f DOf -DO s (3.1) 10mL = dissolved oxygen aquadest pada hari ke-5 e. Analisa MLSS (Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater 21 st Edition, 2005: Fixed and Volatile Solids Ignited at 550 C) Analisa dilakukan pada sampel setiap 3 hari untuk masing-masing bioreaktor. Prosedur analisa adalah sebagai berikut: - Memanaskan cawan krus yang sudah dibersihkan ke dalam oven pada suhu 105 o C untuk mendapatkan berat konstan kemudian mendinginkannya selama 15 menit dalam desikator. - Menimbang cawan tersebut (B1) - Memasukkan sejumlah sampel ke dalam cawan - Memasukkan cawan + sampel ke dalam oven sampai suhu 105 o C selama 3 jam, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator. - Menimbang cawan dan abu (B2) - Menghitung kadar abu dengan persamaan 3.2 MLSS mg B B 2 1 ( / L) 1000 (3.2) vol. sampel B 1 B 2 = berat cawan kosong = berat cawan + abu 38

58 f. Analisa MLVSS (Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater 21 st Edition, 2005: Fixed and Volatile Solids Ignited at 550 C) - Setelah analisa MLSS, memasukkan kembali cawan + abu ke dalam furnace pada suhu 550 o C selama menit - Memindahkannya ke dalam oven dengan suhu 105 o C selama 1 jam sebelum mendinginkannya ke dalam desikator selama 15 menit. Kemudian ditimbang - Menghitung MLVSS dengan persamaan 3.3. B 2 B 3 MLVSS mg B B 2 3 ( / L) 1000 (3.3) vol. sampel = berat cawan + abu sebelum masuk furnace = berat cawan + abu setelah masuk furnace g. Analisa kadar BTX (dengan metode uji standar EPA 8270) Analisa dengan Gas Chromatography (GC) dilakukan untuk mengetahui kadar BTX yang terkandung dalam ekstrak tanah yang tercemar sebagai hasil biodegradasi. Analisa dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Lingkungan universitas Surabaya dengan jenis HP-6890 GC method dan model number: HP 19095P-QO4 Metode yang digunakan yaitu uji standar EPA 8270 Persamaan 3.2 digunakan untuk menghitung persen biodegradasi. BTX BTX n 0 % biodeg radasi 100% (3.4) BTX 0 BTX 0 BTX n = BTX minggu ke-0 (g) = BTX minggu ke-n (g) 39

59 Halaman ini sengaja dikosongkan 40

60 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian dan analisa dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Industri Jurusan Teknik Kimia ITS. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: 4.1. Kondisi awal tanah tercemar minyak bumi Gambar 4.1. Tanah Tercemar Minyak Bumi di Lokasi Pengeboran PPEJ Sampel awal diambil dari lokasi pengeboran Pertamina-Petrocina East java Bojonegoro dengan karakteristik tertulis pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Karakteristik Tanah di Lokasi Pengeboran Minyak PPEJ Bojonegoro Parameter Karakteristik warna Coklat mengkilap ph 9,101 Suhu 28 o C kadar BTX: Benzene 26,44 ppm Toluene 121 ppm Xylene 129 ppm Kadar PAH Napphthalene Fluorene Anthrancene Fluoranthene Pyrene Chrysene 115,646 ppm 30,272 ppm 101,183 ppm 9,691 ppm 18,258 ppm 24,476 ppm 41

61 Konsentrasi (μg/g) Dari karakteristik di atas, tanah pengeboran tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan karena tidak memenuhi baku mutu yang disyaratkan dalam KepMenLH No. 128 tahun 2003, seperti yang tertera pada tabel Pengaruh Bakteri indigenous dan eksogenous terhadap penurunan konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) Hasil degradasi tanpa penambahan mikroorganisme dapat dilihat pada gambar 4.2: Benzene Toluene xylene Waktu (hari) Gambar 4.2. Grafik Degradasi BTX oleh indigenous bacteria Dari gamba 4.2 dapat dilihat bahwa penurunan konsentrasi benzene oleh bakteri indigenous berlangsung lambat sedangkan degradasi tolune dan xyle berlangsung lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bakteri indigenous mengandung bakteri yang lebih aktif mendegradasi toluene dan xylene dibandingkan benzene. Untuk mengupayakan kadar BTX dapat terdegradasi seluruhnya, maka dilakukan penggantian jenis bakteri, dengan dimasukkan bakteri eksogenous ke dalam bioreaktor yang berisi tanah terkontaminasi minyak bumi. Pemberian sejumlah mikroorganisme ke dalam bioreaktor kan berakibat pada perubahan laju degradasi BTX. Mikroorganisme yang dimasukkan ke dalam bioreaktor diharapkan mampu menggantikan fungsi bakteri indigenous dalam mendegradasi hidrokarbon bahkan mampu mendegradasi lebih baik lagi. Hasil 42

62 degradasi oleh bakteri eksogenous (Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis) dapat dilihat pada tabel 4.2: Tabel 4.2. Degradasi BTX pada masing-masing Bioreaktor Setiap 14 Hari Konsentrasi BTX (μg/g) Hari 12.5% Bacillus cereus 15.0% Bacillus cereus 17.5% Bacillus cereus total total total B T X B T X B T X BTX BTX BTX Konsentrasi BTX (μg/g) Hari 12.5% Pseudomonas putida 15.0% Pseudomonas putida 17.5% Pseudomonas putida total total total B T X B T X B T X BTX BTX BTX Konsentrasi BTX (μg/g) Hari 12.5% Rhodococcus 15.0% Rhodococcus 17.5% Rhodococcus erythropolis erythropolis erythropolis B T X total total total B T X B T X BTX BTX BTX Dari data pada tabel 4.2, dapat pula dilihat bahwa deradasi BTX oleh bakteri eksogenous berlangsung lebih cepat dibandingkan tanpa penambahan bakteri. Apabila dibuat grafik penurunan masing-masing komponen penambahan bakteri dengan konsentrasi 17.5% maka dapat dilihat pada grafik 4.3: 43

63 Konsentrasi xylene μg/g) Konsentrasi Benzene (μg/g) Konsentrasi Toluene (μg/g) (a) (b) Waktu (hari) Waktu (hari) 17.5% Bacillus cereus 17.5% Bacillus cereus 17.5% Pseudomonas putida 17.5% Pseudomonas putida 17.5% Rhodococcus erythropolis 17.5% Rhodococcus erythropolis (c) Waktu (hari) 17.5% Bacillus cereus 17.5% Pseudomonas putida 17.5% Rhodococcus erythropolis Gambar 4.3. Grafik degradasi (a) benzene, (b) toluene dan (c) xylene untuk penambahan 17.5% bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcuc erythropolis Dari grafik 4.3 dapat dilihat bahwa bakteri yang berbeda dapat memberikan hasil yang berbeda pada proses degradasi. Berdasarkan grafik 4.3 (a), degradasi benzene memberikan hasil yang terbaik pada penambahan bakteri Bacillus cereus yaitu mencapai %. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuhuloula dkk (2011) yang menyatakan bahwa Bacillus cereus mampu 44

64 memberikan penurunan benzene paling baik yaitu mencapai 98.51%. kemampuan mendegradasi benzene ini disebabkan oleh adanya biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus cereus yang lebih spesifik dan mampu memecah hidrokarbon dengan gugus yang sederhana seperti benzene. Penurunan konsentrasi toluene paling baik pada penambahan bakteri Pseudomonas putida dimana persen degradasi toluene mencapai 99.4%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Reardon dkk (2002). Bakteri Pseudomonas putida akan mengekskresi rhamnolipid sebagai biosurfaktan yang akan mampu memecah toluene dengan jalan dioxygenase. Degradasi xylene paling baik terjadi pada penambahan bakteri Rhodococcus erythropolis dengan persen degradas xylenei mencapai 96.83%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dkk (2005) dimana bakteri Rhodococcus sangat berperan pada degradasi xylene dan akan menyebabkan terjadinya pemutusan cincin aromatik pada senyawa tersebut dengan proses oksigenase Pengaruh waktu remediasi terhadap penurunan konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) Laju degradasi mikroba terhadap minyak bumi bergantung pada beberapa faktor, yaitu faktor fisik dan lingkungan, faktor konsentrasi dan perbandingan berbagai struktur hidrokarbon yang ada serta faktor kemampuan mikroba pendegradasi. (Nugroho A, 2006). Hasil degradasi BTX dalam penelitian ini dapat dibuat grafik seperti pada gambar 4.4: 45

65 Pesen Degradasi (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% Variabel Penelitian Hari 0 Hari 14 Hari 28 Hari 42 Hari 56 Gambar 4.4. Hubungan antara % Degradasi dan Waktu Penelitian yang dilakukan oleh Suschka (2001) menunjukkan penurunan BTX paling cepat terjadi pada awal proses, dimana pada tujuh hari pertama kadar BTX akan menurun dengan cepat kemudian diikuti dengan penurunan dengan kecepatan konstan pada 28 hari selanjutnya. Menurut Leahy dan Colwell (1990), pertumbuhan di minggu pertama disebut sebagai fase adaptasi, di mana akan terjadi tiga mekanisme, yaitu terjadinya induksi atau keluarnya enzim-enzim spesifik, terjadi perubahan genetik yang berdampak pada kemampuan metabolisme bakteri, sehingga berakibat pada meningkatnya kemampuan organisme untuk mereduksi komponen tertentu. Berdasarkan EPA tahun 2009, senyawa BTX berada pada urutan ke-3 berdasarkan kemampuan terbiodegradasi. Hal ini membuat bakteri pada fase adaptasi lebih memilih untuk mereduksi BTX terlebih dahulu. Apabila kadar BTX telah menurun dan bakteri memasuki fase log, maka senyawa hidrokarbon yang lain direduksi. Hal ini yang menyebabkan penurunan BTX yang sangat cepat pada minggu pertama dan reduksi BTX terus berlanjut hingga memenuhi baku mutu. Gambar 4.4 menunjukkan persentase degradasi yang terjadi pada masingmasing bioreaktor setiap minggunya. Pada 14 hari pertama, penurunan kadar BTX 46

66 Konsentrasi BTX (μg/g) Populasi bakteri (sel/ml) telah mencapai 50% pada masing-masing bioreaktor. Pada hari-hari selanjutnya, dengan didukung oleh asupan oksigen dari luar dan pengadukan, maka kadar BTX akan semakin menurun setiap minggunya. Persentase degradasi akan semakin meningkat dan pada akhir minggu ke-8, degradasi telah mencapai rata-rata 93%. Persentase degradasi terbesar terjadi pada bioreaktor dengan penambahan 17.5% Pseudomonas putida yaitu % Pengaruh Konsentrasi dan Jenis Bakteri terhadap Penurunan Konsentrasi Benzene, Toluene dan Xylene (BTX) Penambahan jumlah bakteri pada tumpahan minyak mempercepat proses degradasi dari minyak bumi dan tempat yang paling baik untuk menemukan mikroba pendegradasi minyak bumi adalah tumpahan minyak itu sendiri. (Nugroho A, 2006) (a) 1.40E E E E E E E E Waktu (hari) Indigenous bacteria 12.5% Bacillus cereus 15.0% Bacillus cereus 17.5% Bacillus cereus Populasi Indigenous bakteri Populasi Bacillus cereus 12.5% Populasi Bacillus cereus 15% Populasi Bacillus cereus 17.5% 47

67 Konsentrasi BTX (μg/g) Populasi bakteri (sel/ml) Konsentrasi BTX (μg/g) Populasi bakteri (sel/ml) (b) 1.40E E E E E E E E Waktu (hari) Indigenous bacteria 12.5% Pseudomonas putida 15.0% Pseudomonas putida 17.5% Pseudomonas putida Populasi Indigenous bakteri Populasi Pseudomonas putida 12.5% Populasi Pseudomonas putida 15% Populasi Pseudomonas putida 17.5% 300 (C) 1.50E E E Waktu (hari) 0.00E+00 Indigenous bacteria 12.5% Rhodococcus erythropolis 15.0% Rhodococcus erythropolis 17.5% Rhodococcus erythropolis Populasi Indigenous bakteri Populasi Rhodococcus erythropolis 12.5% Populasi Rhodococcus erythropolis 15% Populasi Rhodococcus erythropolis 17.5% Gambar 4.5. Hubungan antara Kadar BTX dan Populasi Bakteri dengan Waktu Degradasi pada Penambahan Bakteri (a) Bacillus cereus, (b) Pseudomonas putida dan (c) Rhodococcus erythropolis Gambar 4.5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi BTX dalam tanah tercemar pada semua bioreaktor. Baik pada bioreaktor tanpa penambahan 48

68 bakteri maupun pada bioreaktor dengan penambahan bakteri. Penurunan paling cepat terjadi pada dua minggu pertama. Apabila dibandingkan dengan fase hidup bakteri, maka dapat dikatakan bahwa penurunan kadar BTX paling besar terjadi pada saat bakteri berada pada fase adaptasi dan fase log. Berdasarkan gambar 4.5, bioreaktor yang memberikan hasil paling baik adalah biorekator dengan penambahan 17.5% bakteri, baik untuk Bacillus cereus, Pseudomonas putida, maupun dengan penambahan Rhodococcus erythropolis. Apabila dikaitkan dengan populasi ketiga bakteri, dapat terlihat di gambar 4.5 bahwa pada bioreaktor dengan konsentrasi 17.5% bakteri memiliki populasi bakteri paling tinggi dibandingkan dengan bioreaktor lain. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang dimasukkan ke dalam bioreaktor mempengaruhi kinerja bakteri dalam mendegradasi BTX. Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Tuhuloula dkk. pada 2011, dimana persen degradasi BTX akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi bakteri yang ditambahkan. Pada bioreaktor tanpa penambahan bakteri juga terjadi penurunan kadar BTX, meskipun hasil yang diperoleh tidak sebaik pada proses degradasi dengan bakteri eksogenous. Dalam bioreaktor tersebut terjadi penurunan kadar BTX dari μg/g menjadi μg/g. Hal ini menunjukan bahwa di dalam lumpur terdapat bakteri asli (indigenous) yang apabila diberikan tambahan oksigen akan mendegradasi hidrokarbon. Selain jumlah mikroorganisme dalam bioreaktor, jenis mikroorganisme juga mempengaruhi proses dan hasil biodegradasi. Perbandingan hasil biodegradasi untuk ketiga jenis bakteri dapat dilihat pada gambar 4.6: 49

69 Konsentrasi BTX (μg/g) Populasi bakteri (sel/ml) E % Bacillus cereus E E E E E E E Waktu (hari) 17.5% Pseudomonas putida 17.5% Rhodococcus erythropolis Populasi Bacillus cereus 17.5% Populasi Pseudomoanas putida 17.5% Populasi Rhodococcus erythropolis 17.5% Gambar 4.6 Grafik hasil degradasi BTX pada penambahan 17.5% bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis Gambar 4.6 menunjukkan perbandingan antara ketiga jenis bakteri dalam proses degradasi BTX. Dapat dilihat bahwa populasi bakteri terbaik diperoleh pada penambahan bakteri Pseudomonas putida kemudian Rhodococcus erythropolis dan yang terakhir adalah Bacillus cereus. Pseudomonas putida merupakan bakteri yang memiliki ketahanan terhadap serangan hidrokarbon. Menurut El-Naas (2014), dalam proses degradasi, Pseudomonas putida akan mengahasilkan rhamnolipids sebagai komponen biosurfaktan yang akan memecah hidrokarbon dengan cara meningkatkan area permukaan hidrokarbon yang akan didegradasi. Selain mampu medegradasi benzene, toluene dan xylene, Pseudomonas putida juga merupakan bakteri yang mampu bertahan pada konsentrasi hidrokarbon yang tinggi. Kemampuan Pseudomonas putida untuk tumbuh dapat disebabkan oleh kemampuannya yang sangat baik dalam mengikat oksigen meskipun dalam keadaan dissolved oxygen yang rendah (Ochoa, dkk 2010) sehingga dapat betumbuh dengan cepat dan proses degradasi memberikan hasil terbaik. Hal ini terlihat pada perhitungan kinetika penurunan substrat dengan bakteri Pseudomonas putida menghasilkan 50

70 specific growth rate yang sangat besar yaitu hr -1. Hal ini menyebabkan Pseudomonas putida mampu mereduksi 97.67% kadar BTX total. Rhodococcus erythropolis merupakan bakteri yang mampu memecah hidrokarbon dan biasanya digunakan sebagai mix culture bersama dengan Pseudomonas putida. Kemampuan Rhodococcus erythropolis untuk mengikat oksigen mengakibatkan populasinya dapat meningkat dengan baik (Ochoa, dkk 2010). Pacheco, dkk (2010) menyatakan bahwa bakteri Rhodococcus erythropolis menghasilkan biosurfaktan yang mampu memecah hidrokarbon dengan konsentrasi yang rendah. Hasil degradasi dengan bakteri Rhodococcus erythropolis menjadi tidak sebaik Pseudomonas putida dan Bacillus cereus karena selain mendegradasi BTX (mono aromatics hydrocarbons), bakteri ini juga turut aktif dalam degradasi poly aromatics hydrocarbons. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil degradasi di mana Rhodococcus erythropolis mendegradasi 95.97% total BTX. Bacillus cereus, sebagai bakteri yang juga berperan pada proses degradasi memiliki kemampuan mendegradasi BTX karena mampu menghasilkan glycolipid sebagai biosurfaktan (Das, 2011) sehingga penambahan bakteri Bacillus cereus pada bioreaktor juga mengakibatkan penurunan konsentrasi BTX dimana bakteri tersebut mampu mendegradasi 97.27% total BTX. Hasil yang diperoleh tidak jauh beda dengan bioreaktor dengan bakteri Pseudomonas putida sehingga bakteri Bacillus cereus dapat pula digunakan sebaai agen pendegradasi hidrokarbon dalam hal ini BTX Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bacillus cereus pada Masing-Masing Bioreaktor Analisa kadar substrat dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur BOD 5 pada masing-masing bioreaktor. Penurunan BOD 5 dapat dilihat pada appendix B. Hasil pengukuran kemudian diolah untuk mengestimasi nilai dari k o dan K m dengan metode Gates dan Marlar menggunakan persamaan (2.3). Grafik perhitungan dapat dilihat pada gambar

71 (1/t)ln(S/S 0 ) (1/t)ln(S/S 0 ) (1/t)ln(S/S 0 ) (a) y = x R² = ln [1+a(S 0 -S)/t] Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 12.50% (b) y = x R² = ln [1+a(S 0 -S)/t] Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 15.00% y = x R² = Gambar 4.7. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5% Bacillus cereus Berdasarkan slope dan intercept dari grafik di atas, maka dapat dihitung nilai konstanta Michaelis-Menten (K m ) dari masing-masing bioreaktor. Selain itu, nilai konstanta laju pertumbuhan maksimum (k o ) dan growth yield (Y) juga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.8), (2.9) dan (2.10). (c) ln [1+a(S 0 -S)/t] Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 17.50% Berdasarkan grafik 4.7 (a) di atas dan hasil perhitungan pada appendix B, maka untuk bioreaktor dengan penambahan 12.5% Bacillus cereus diperoleh k o sebesar hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar mg biomass/mg substrat. Untuk bioreaktor dengan penambahan 15% Bacillus cereus, perhitungan kinetika menggunakan grafik 4.7 (b) dan memperoleh hasil k o sebesar hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar mg biomass/mg substrat. Sedangkan pada bioreaktor dengan penambahan 17.5% Bacillus creus, dengan grafik 4.7 (c) 52

72 ko (hr -1 ) Km (mg/l) diperoleh data kinetika k o sebesar hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar 13.8 gg biomass/mg substrat. Data, grafik dan hasil perhitungan dapat dilihat pada appendix B. Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara konsentrasi bakteri yang dimasukkan ke dalam bioreaktor terhadap konstanta pertumbuhan dan konstanta Michaelis-Menten. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.8: % 15.00% 17.50% Konsentrasi bakteri Bacillus cereus ko Km Gambar 4.8. Hubungan antara k o dan K m dengan konsentrasi Bakteri Bacillus cereus Dari gambar 4.8 di atas dapat dilihat bahwa baik konstanta Michaelis-Menten (K m ) maupun konstanta laju pertumbuhan maksimum (k 0 ) akan meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi bakteri yang ditambahkan. Kenaikan ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah bakteri di dalam bioreaktor yang berkembang biak kemudian menjadi bakteri baru. Apabila didukung oleh kondisi lingkungan dan substrat yang memadai, maka pertumbuhan bakteri akan semkin baik hingga akhirnya mencapai fase kematian. 53

73 -(1/t)ln(S/S0) -(1/t)ln(S/S0) -(1/t)ln(S/S0) 4.6. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Pseudomonas putida pada Masing-Masing Bioreaktor (a) y = x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 12.50% (b) y = x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 15% (c) y = x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 17.50% Gambar 4.9. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5% Pseudomonas putida Gambar 4.9 merupakan grafik yang dibentuk menggunakan persamaan Gates and Marlar (2.3) untuk menghitung konstanta kinetika penurunan substrat untuk bioreaktor yang menggunakan bakteri Pseudomonas putida. Berdasarkan grafik 4.9 (a) untuk penambahan 12.5% bakteri, didapatkan k o sebesar hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar 12 mg biomass/mg substrat. Perhitungan kinetika untuk bioreaktor dengan penambahan 15% bakteri dapat menggunakan regresi pada grafik 4.9 (b) sehingga menghasilkan k o sebesar hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar 13 mg biomass/mg substrat. Grafik 4.9 (c) digunakan untuk menghitung konstanta kinetika pada bioreaktor dengan 54

74 ko (hr -1 ) Km (mg/l) penambahan 17.5% Pseudomonas putida. Berdasarkan hasil perhitungan dan data pada appendix B, diperoleh nilai k o sebesar hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar 14.4 mg biomass/mg substrat. Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara konsentrasi bakteri yang dimasukkan ke dalam bioreaktor terhadap konstanta pertumbuhan dan konstanta Michaelis-Menten. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.10 sebagai berikut: Gambar hubungan antara k o dan K m dengan konsentrasi Bakteri Pseudomonas putida Dari gambar 4.10 di atas dapat dilihat bahwa baik konstanta Michaelis-Menten (K m ) maupun konstanta laju pertumbuhan maksimum (k 0 ) akan meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi bakteri yang ditambahkan. Kenaikan ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah bakteri di dalam bioreaktor yang berkembang biak kemudian menjadi bakteri baru. Apabila didukung oleh kondisi lingkungan dan substrat yang memadai, maka pertumbuhan bakteri akan semkin baik hingga akhirnya mencapai fase kematian % 15.00% 17.50% Konsentrasi bakteri Pseudomonas putida ko Km

75 -(1/t)ln(S/S0) -(1/t)ln(S/S0) -(1/t)ln(S/S0) 4.7. Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Rhodococcus erythropolis pada Masing-Masing Bioreaktor (a) y = 1.065x R² = ln [1+a(S0-S)/t] (b) y = 1.093x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 12.5% Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 15.0% (c) y = x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 17.5% Gambar Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12.5%; (b) 15% dan (c) 17.5% Rhodococcus erythropolis Gambar 4.11 merupakan grafik yang dibentuk menggunakan persamaan Gates and Marlar (2.3) untuk menghitung konstanta kinetika penurunan substrat untuk bioreaktor yang menggunakan bakteri Rhodococcus erythropolis. Berdasarkan grafik 4.11 (a) untuk penambahan 12.5% bakteri, didapatkan k o sebesar 0.2 hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar 12 mg biomass/mg substrat. Perhitungan kinetika untuk bioreaktor dengan penambahan 15% bakteri dapat menggunakan regresi pada grafik 4.11 (b) sehingga menghasilkan k o sebesar hr -1 ; K m 1059 mg/l dan yield sebesar mg biomass/mg substrat. Grafik 4.11 (c) 56

76 ko (hr-1) Km (mg/l) digunakan untuk menghitung konstanta kinetika pada bioreaktor dengan penambahan 17.5% Pseudomonas putida. Berdasarkan hasil perhitungan dan data pada appendix B, diperoleh nilai k o sebesar hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar 13.2 mg biomass/mg substrat. Dari data tersebut dapat dibuat hubungan antara konsentrasi bakteri yang dimasukkan ke dalam bioreaktor terhadap konstanta pertumbuhan dan konstanta Michaelis-Menten. Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.12 sebagai berikut: % 15.00% 17.50% Konsentrasi bakteri Rhodococcus erythropolis ko Km Gambar hubungan antara k o dan K m dengan konsentrasi Bakteri Rhodococcus erythropolis Dari gambar 4.12 di atas dapat dilihat bahwa baik konstanta Michaelis- Menten (K m ) maupun konstanta laju pertumbuhan maksimum (k 0 ) akan meningkat seiring dengan kenaikan konsentrasi bakteri yang ditambahkan. Kenaikan ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah bakteri di dalam bioreaktor yang berkembang biak kemudian menjadi bakteri baru. Apabila didukung oleh kondisi lingkungan dan substrat yang memadai, maka pertumbuhan bakteri akan semkin baik hingga akhirnya mencapai fase kematian Perhitungan konstanta laju kematian (k d ) Perhitungan konstanta laju kematian dapat dilihat pada appendix B.VII dimamna perhitungannya menggunakan grafik hubungan antara biomass (ln[x/x 0 ]) dengan perubahan waktu (t) seperti pada grafik 4.13: 57

77 ln (x/x0) ln (x/x0) ln (x/x0) y = x R² = y = x R² = (a) y = x R² = Waktu (hari) Konsentrasi Bacillus cereus: 12.50% 15% 17.50% (b) y = x R² = y = x R² = y = x R² = Waktu (hari) Konsentrasi Pseudomonas putida: (c) y = x R² = y = x R² = Waktu (hari) y = x R² = Konsentrasi Rhodococcus erythropolis: 12.5% 15.0% 17.5% Gambar Grafik perhitungan slope untuk menentukan nilai k d untuk (a) bakteri Bacillus cereus; (b) bakteri Pseudomonas putida dan (c) bakteri Rhodococcus erythropolis 58

78 Slope dan hasil perhitungan dapat dijabarkan sebagai berikut: Konsentrasi bakteri (%) Tabel 4.3. Hasil perhitungan konstanta laju kematian (k d ) Bacillus cereus Pseudomonas putida Rhodococcus erythropolis Slope k d (hr -1 ) Slope k d (hr -1 ) Slope k d (hr -1 ) Berdasarkan tabel 4.3, nilai k d sangat kecil mendekati nol (0) sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh koefisien kematian (k d ) pada bakteri sangat kecil. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa bakteri berada pada fase pertumbuhan (fase log). 59

79 Halaman ini sengaja dikosongkan 60

80 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sementara sebagai berikut: 1. Tanah hasil pengeboran minyak bumi mengandung senyawa hidrokarbon di atas ambang batas yang diperbolehkan sehingga diperlukan pengolahan lanjut sebelum dilepaskan ke lingkungan. 2. Di dalam tanah tercemar minyak bumi terkandung bakteri indigenous yang berperan dalam mendegradasi hidrokarbon yang terkandung dalam tanah. 3. Penambahan bakteri dalam proses biodegradasi mampu meningkatkan persentasi degradasi, di mana bakteri indigenous mampu menurunkan hingga μg/g sedangkan dengn penambahan bakteri mampu menutunkan kadar total BTX hingga 6.43 μg/g. 4. Hasil terbaik pada penelitian ini adalah pada penambahan 17.5% Pseudomonas putida yang mampu menurunkan hingga 97.67% BTX seingga menghasilkan kadar akhir benzene μg/g; toluene μg/g dan xylene μg/g dimana kadar tersebut telah memenuuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah yaitu 1 μg/g untuk benzene; 10 μg/g untuk toluene dan 10 μg/g untuk xylene. 5. Konstanta kinetika reaksi bergantung pada jenis bakteri dan jumlah bakteri yang ditambahkan. Spesific growth rate (k o ) paling besar dihasilkan pada penambahan 17.5% bakteri Pseudomonas putida dengan k o hr -1 ; K m mg/l dan yield sebesar 14.4 mg biomass/mg substrat. 6. Pengaruh koefisien kematian (k d ) pada bakteri Bacillus cereus, Pseudomonas putida dan Rhodococcus erythropolis sangat kecil sehingga dapat dikatakan bahwa bakteri berada pada fase log saat proses degradasi. 61

81 5.2. Saran 1. Lama waktu degradasi perlu ditambahkan untuk bakteri Rhodococcus erythropolis sehingga hasil degradasi dapat memenuhi baku mutu. 2. Konsentrasi bakteri yang ditambahkan dapat ditingkatkan lagi sehingga diharapkan dapat mengurangi waktu degradasi. 3. Diharapkan dapat dilakukan pencampuran (mix bacteria) sehingga dapat mengurangi waktu degradasi dan meningkatkan persen degradasi. 4. Perlu dilakuan proses tambahan dengan memanfaatkan mikroorganisme lain seperti jamur (phytoremediation) sehingga diharapkan dapat menurunkan konsentrasi BTX agar mencapai baku mutu. 62

82 DAFTAR PUSTAKA Abbassi, B.E., Shquirqat, W.D., (2007), Kinetics of Indigenous Isolated Bacteria used for Ex-Situ Bioremediation of Petroleum Contaminated Soil, Water Air Soil Pollut., Vol.192, hal Agarry, S. E., Aremu, M.O., Aworanti, O.A., (2013), Kinetic Modeling and Half-Life Study on Bioremediation of Soil Co-Contaminated with Lubricating Motor Oil and Lead Using Different Bioremediation Strategies, Soil and Sediment Contamination, Vol. 22, hal Al-Baqer, D.S. & Madour, M., (2005), Bacillus cereus, King Saud University, Collage of Pharmacy, Section of Microbiology. Andreoni, V. & Gianfreda, L., (2007), Bioremediation and monitoring of aromaticpolluted habitats, Appl. Microbial Biotechnol, Vol. 76, hal Atlas, R.M., & Bartha, R., (1998) Microbial Ecology: Fundamentals & Applications, 4th edition, Benjamin/Cummings Pubs. Company Inc. Calif. Ayotamuno, M.J., Okparanma, R.N., Nweneka, E.K., Ogaji, S.O.T., Probert, S.D., (2007), Bio-remediation of a Sludge Containing Hydrocarbons, Appl. Energy, Vol. 84, hal Bailey, J.E. & Ollis, D.F., (1986), Biochemical Engineering Fundamental, 2 nd ed., McGraw-Hill, Toronto, p Bicca, FC., Fleck LC., Záchia MA., (1999), Production of Biosurfactant by Hydrocabon Degrading Rhodococcus Ruber And Rhodococcus Erythropolis, Revista de Microbiologia, Vol 30, page Bicca, FC., Fleck, LC., Ayub, MAZ., (1999), Production of Biosurfactant by Hydrocarbon Degrading Rhodococcus ruber and Rhodococcus erythropolis Revista de Microbiologia vol 30, p Chun-rong, L., Wen-ke, W., Yu-qing, C., Li-juan Wang, (2013), Bioremediation of Petroleum Contamines-Soil, Presented at The 34 th Congress of International Association of Hydrogeologists. 63

83 Das, N., Chandra, P., (2011), Microbial Degradation of Petroleum Hydrocarbon Contaminants: An Overview, Biotechnol. Res. Int., Vol. 2011, hal Deeb, RA., Alvarez-Choen, L., (1999), Temperature Effects and substrate Interactions During the Aerobic Biotransformation of BTEX Mixtures by Toluene-Enriched Consortia and Rhodococcus rhodochorus Biotechnol Bioeng 62(5), p Desai, A., Vyas, P., (2006), Applied Microbiology. Petroleum and Hydrocarbon Microbiology, Departement of Microbiology, M.S University of Baroda. Dou, J., Liu, X., Hu, Z., (2008), Anaerobic BTX Degradation in Soil Bioaugmented With Mixed Consortia Under Nitrate Reducing Conditions, Jurnal of Enviromental Sciences, Vol. 20, hal El-Naas, M.H., Acio, J.A., Telib, A.E.E., (2014), Aerobic Biodegradation: Progresses and Prospects, Journal of Enviromental Engineering 2, hal Elomari, M., Coroler, L., Verhille, S. Izard, D., Leclerc, H., (1997), Pseudomonas monteili sp. nov., Isolated from Clinical Specimens, International Journal of Systematic Bacteriology, Vol. Juli 1997, hal Gates, WE., Marlar, JT., (1968), Analysis of Batch Culture Data Using the Monod Expressions, Water Pollution Control Federation, Vol 40, No 11, Research Supplement to: 40, 11, part II (Nov., 1968) pp. R Grachia-Ochoa, F., Gomez, E., Santos, V E., Merchuk, J C., (2010), Oxygen Uptake Rate in Microbial Processes: An Overview, Biochemical Engineering Journal, 49: Kelly, W.R., Hornberger, G.M., Herman, J.S., Mills, A.L., (1996), Kinetics of BTX Biodegradation and Mineralization in Batch and Column Systems, Journal of Contaminant Hydrology, Vol. 23, Hal Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003, Tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi Secara Biologis. Kim, D., Chae, J., Zylstra, GJ., Sohn, H., Kwon, G., Kim, E., (2005), Identification of Two-Component Regulatory Genes Involved in o- 64

84 Xylene Degradation by Rhodococcus sp. Strain DK17, The Journal of Microbiology, p Leahy, J.G., Colwell, R.L., (1990), Microbial Degradation of Hydrocarbons in the Environment, Microbiological Reviews, Halaman Machin-Ramirez, C., Okoh, A.I., Morales, D., Deloisa, K.M., Quintero, R., Trejo- Hernández, M.R., (2008), Slurry-Phase Biodegradation of Weathered Oily Sludge Waste, Chemsophere, Vol.70, hal Moliterni, E., Jimenez-Tusset, R. G., Rayo, M.V., Rodriguez, L., Fernandez, F.J., Villasenor, J., (2012), Kinetics of Biodegradation of Diesel Fuel by Enriched Microbial Consortia from Polluted Soils, Int. J. Environ. Sci. Technol., Vol. 9, hal Nugroho, A., (2006), Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi, Graha Ilmu Universitas Trisakti, Indonesia. Nugroho, A., (2006), Bioremediasi Sludge Minyak Bumi dalam Skala Mikrokosmos: Simulasi Sederhana Sebagai Kajian Awal Bioremediasi Land Treatment, Makara Teknologi, Vol. 10, No. 2, hal Ochoa, FG., Gomez, E., Santos, VE., Merchuk, JC., (2010), Oxygen Uptake Rate in Microbial Processes: An Overview, Biochemical Engineering Journal 49, p Omotayo, A.E., Ojo, O.Y., Amund, O.O., (2012), Crude Oil Degradation Microorganisms in Soil Compost, Research J. of Microbiology, hal Pacheco, G J., Ciapina, E M P., Gomes, E db., Junior, N P., (2010), Biosurfactant Production by Rhodococcus erythropolis and Its Application to Oil Removal, Brazilian Journal of Microbiology, 41: Pacheco, GJ., Ciapina, EMP., Gomes, EdB., Junior, NP., (2010), Biosurfactant Production by Rhodococcus erythropolis and Its Application to Oil Removal, Brazilian Journal of Microbiology, Vol 41, p Reardon, KF., Mosteller, DC., Rogers, JB., DuTeau, NM., Kim, K., (2002) Biodegradation Kinetics of Aromatic Hydrocarbon Mixtures by Pure and Mixed Bacteria Cultures, Environmental Health Perspectives, Vol. 110, p

85 Roblez-Gonzalez, I.V., Fava, F., Poggi-Varaldo, H.M., (2008), A Review on Slurry Bioreactors for Bioremediation of Soils and Sediments, Microbial Cell Factories Vol. 7. Shuler, M.L. & Kargi, F., (2002), Bioprocess Engineering: Basic Concept, ed 2 nd, Prentice Hall P T R, Englewood Cliffs, New Jersey. Sundstom, D.W., Klei, H.E., (1979), Wastewater Treatment, Prantice-Hall Inc. Suschka, J., Machnicka, A., (2001), Activity of Selected Microorganisms and Mixture in BTX Biodeegradation Polish Journal of Environmental Studies, Vol 10, no 5, p Suthersan, S.S., (1999), Remediation Engineering Design Consepts, Lewis Publisher, CRC Press. N.W. Corporate Blvd., Florida. Thavasi, R., Jayalakshmi, S., Banat, I., (2011), Effect of Biosurfactant and Fertilizer on Biodegradation of Crude Oil by Marine Isolates of Bacillus megeterium, Corinebacterium kutscheri and Pseudomonas aeruginosa, Bioresource Technology, Vol. 102, hal Tuhuloula, A., (2011), Bioremediasi Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi dengan Menggunakan Bakteri Bacillus cereus pada Slurry Bioreactor, Thesis, Jurusan Teknik Kimia, FTI-ITS Tuhuloula, A., Juliastuti, S.R., (2010), Pemanfaatan Bakteri Bacillus cereus pada Proses Bioremediasi Tanah Terkontaminasi Minyak Bumi dengan Metode Slurry Bioreactor, EKSTRAK, Vol. 5, No. 2, hal Van Hamme, JD., Singh AM., Ward, OP., (2003) Recent advances in Petroleum Microbiology Microbial Mol. Biol. Rev. 6. P Vidali, M., (2001), Bioremediation. An Overview, Pure Appl.Chem., Vol. 73, No. 7, hal Ward,O., Singh, A., Van Hamme, J., (2003), Accelerated Biodegradation of Petroleum Hydrocarbon Waste, J. Ind. Microbial Biotechnol, Vol. 30, hal Yudono, B. Said, M., Hakstege, P., Suryadi, F.X., (2009), Kinetics of Indigenous Isolate Bacteria Bacillus mycoides used for Ex-situ Bioremediation of Petroleum Contaminated Soil in PT. Pertamina Sungai Lilin South Sumatera, J. Sustain. Dev., Vol.2. 66

86 APPENDIX A PROSEDUR PERHITUNGAN A.1. Pembuatan Umpan Kebutuhan sampel umpan: Volume umpan = 5 liter = 5000 ml Komposisi umpan = 20% tanah, 80% air Densitas tanah = 2,67 gr/ml Densitas air = 1 gr/ml Densitas campuran: 1 0, 2 0,8 mix soil air mix tan ah 1 1 1, 0667 gr 0, 2 0,8 0, 2 0,8 ml 2,67 1 soil M V M M mix air 7000mL1, 0667 gr ml 7466,9gr air 20% M 20% 7466,9 gr 1493,38 gr 80% M 80% 7466,9gr 5973,52 gr A.2. Perhitungan Penambahan Nutrient Rasio Nutrient C : N : P = 100 : 10 : 1 BOD contoh : 1550 mg/l 10 N= 1550=155 mg 100 L Mr CO NH2 2 Total penambahan urea = N Ar N 2 67

87 10 P= 1550=15,5 mg 100 L 60 = 155=332,1429 mg 28 L Mr KH PO Ar P 2 4 Total penambahan KH2PO 4= P A.3. Analisa Populasi Bakteri 136 = 15,5=68 mg 31 L Contoh perhitungan jumlah sel bakteri dengan menggunakan metode counting chamber: Jumlah sel dalam 3 kotak sedang diamati sebanyak 42, 41 dan 46 sel per kotak. Rata-rata jumlah sel adalah 43 sel/kotak. Pada haemacytometer diketahui total luas area adalah 9 mm 2 dimana terbagi menjadi 9 kotak sedang. Sehinggga luas 1 kotak sedang adalah 1 mm 2. Kotak yang dihitung adalah kotak kecil yang berjumlah 16 di dalam kotak sedang. Sehingga luasnya adalah 1/16 mm 2. Sementara kedalaman kotak adalah 0,1 mm. jumlah sel/kotak jumlah sel(sel/ml) = konversi faktor pengenceran 3 volume kotak mm volume kotak = luas kotak kedalaman kotak 1 2 = mm 0,1mm 25 = 0,04 mm kotak 43 sel 3 jumlah sel = kotak 1000 mm 1 3 ml 0,04 mm kotak = Dimana: B 1 = berat kertas saring dan cawan 3 B 2 = berat cawan + residu setelah dioven 105 o C selama 3 jam Hasil perhitungan MLSS dapat dilihat pada lampiran B. 68

88 A.4. Perhitungan Konsentrasi Contoh perhitungan untuk konsentrasi BTX dalam sampel awal: Senyawa Area (100%) Area (pa*s) a. Benzene Area Benzene ,15768 Toluene ,73215 Xylene ,84619 Benzene, FID1 A Area = *Amt +0 Rel. Res%(1): Correlation: Amount[%(v /v )] Persamaan Kurva = Area = 36752,2461 x Amt+0 Maka konsentrasi benzene: konsentrasi benzene = amount = Area terbaca Area10 0% 97,15768 = = % = 26,4358 ppm 36752,2461 b. Toluene Area Toluene, FID1 A Area = *Amt +0 Rel. Res%(1): Correlation: Amount[%(v /v )] 69

89 Persamaan Kurva = Area = 40988,5313 x Amt +0 Maka konsentrasi toluene: konsentrasi toluene = amount Area terbaca = Area100% c. Xylene 495,73215 = = 0, % =120,9441ppm 40989,5313 Area Xy lene, FID1 A Area = *Amt +0 Rel. Res%(1): Correlation: Persamaan Kurva = Area = ,266 x Amt + 0 Maka konsentrasi xylene: konsentrasi xylene = amount Area terbaca = Area100% 1491, = ,266 =0, % = 129,3161ppm A.5. Perhitungan % degradasi BTX 0 n % biodegradasi= 100% BTX -BTX BTX 0 276,44-99,05 = 100% = 64,1694% 276,44 Dimana: BTX 0 = kadar BTX minggu ke-0 (ppm) BTX n = kadar BTX minggu ke-n (ppm) Amount[%(v /v )] 70

90 A.6. Perhitungan BOD 5 mg 5 250mL 0 L BOD 5 = DOs -DO f DOf -DOs 10mL Dari pengukuran pada hai ke-0 di bioreaktor dengan 12.5% Pseudomonas putida diketahui bahwa: 0 DOs 5.09 mg L 5 DO mg s =2.13 L DO mg f 7.93 L Maka: 5 5 mg 250mL L 10mL mg mg L L BOD = BOD = A.7. Perhitungan Kinetika Pertumbuhan Bakteri Untuk Pseudomonas putida 17.5% 1 S ln(1 ad) ln c b (2.3) 0 t S t Dari data BOD appendiks B dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai 1 S ln(1 ad) ln ( sumbu y) dan ( sumbu x) 0 t S t menghasilkan data seperti pada tabel berikut: hasil perhitungan plot pada 17.5% Pseudomonas putida 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0-s)]/t (x) #DIV/0! #DIV/0! Hasil perhitungan kemudian diplotkan pada grafik : 71

91 -(1/t)ln(S/S0) Gambar B.1. Grafik perhitungan kinetika pada penambahan 17.5% Pseudomonas putida Slope yang diperoleh adalah dan intercept selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai konstanta kinetika (k o dan K m ). Trial error Nilai a yang agar grafik tersebut menghasilkan garis lurus memberikan nilai a sebesar kemudian digunakan untuk menghitung yield. k 0 K Y m b c jam S a c mg/ L ax y = x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 17.50% 14.4mg biomass / mgsubstrat (2.8) (2.9) (2.10) 72

92 APPENDIX B HASIL PENELITIAN DAN PERHITUNGAN B.I. Data Hasil Pengukuran Kadar BTX Hasil Bioremediasi Tabel B.1. Data Perhitungan Kadar BTX Hasil Biodegradasi oleh bakteri Bacillus cereus Konsentrasi BTX (μg/g) Hari Indigenous bacteria 12.5% Bacillus cereus B T X total BTX B T X total BTX Konsentrasi BTX (μg/g) Hari 15.0% Bacillus cereus 17.5% Bacillus cereus B T X total BTX B T X total BTX Tabel B.2. Data Perhitungan Kadar BTX Hasil Biodegradasi oleh bakteri Pseudomonas putida Konsentrasi BTX (μg/g) Hari Indigenous bacteria 12.5% Pseudomonas putida B T X total BTX B T X total BTX Konsentrasi BTX (μg/g) Hari 15.0% Pseudomonas putida 17.5% Pseudomonas putida B T X total BTX B T X total BTX

93 Tabel B.3. Data Perhitungan Kadar BTX Hasil Biodegradasi oleh bakteri Rhodococcus erythropolis Konsentrasi BTX (μg/g) Indigenous bacteria 12.5% Rhodococcus erythropolis Hari total total B T X B T X BTX BTX Konsentrasi BTX (μg/g) 15.0% Rhodococcus erythropolis 17.5% Rhodococcus erythropolis Hari total total B T X B T X BTX BTX B.II. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX Tabel B.4. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX oleh Bakteri Bacillus cereus Persen Degradasi BTX Indigenous bacteria 12.5% Bacillus cereus Hari total total B T X B T X BTX BTX 0 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0% 0% 0% 0% % 70.7% 64.4% 63.0% 6.921% % % % % 79.3% 74.0% 71.8% % % % % % 88.0% 85.9% 84.7% % % % % % 92.5% 87.6% 87.9% % % % % Persen Degradasi BTX 15.0% Bacilus cereus 17.5% Bacilus cereus Hari total total B T X B T X BTX BTX 0 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0% 0% 0% 0% % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % % 74

94 Tabel B.5. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX oleh Bakteri Pseudomonas putida Persen Degradasi BTX Hari Indigenous bacteria 12.5% Pseudomonas putida B T X total BTX B T X total BTX 0 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% % 70.7% 64.4% 63.0% 8.3% 76.0% 89.6% 75.9% % 79.3% 74.0% 71.8% 53.1% 91.2% 91.6% 87.7% % 88.0% 85.9% 84.7% 60.0% 96.6% 91.8% 90.9% % 92.5% 87.6% 87.9% 60.8% 96.7% 91.9% 91.04% Persen Degradasi BTX Hari 15.0% Pseudomonas putida 17.5% Pseudomonas putida B T X total BTX B T X total BTX 0 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% % 66.6% 74.6% 66.4% 54.0% 98.0% 89.5% 89.8% % 87.1% 83.2% 82.5% 95.6% 98.2% 93.5% 95.8% % 91.9% 93.8% 90.3% 96.1% 99.4% 96.0% 97.5% % 93.0% 93.9% 91.15% 96.5% 99.4% 96.3% 97.67% Tabel B.6. Data Hasil Perhitungan Persentase Degradasi BTX oleh Bakteri Rhodococcus erythropolis Persen Degradasi BTX Indigenous bacteria 12.5% Rhodococcus erythropolis Hari total total B T X B T X BTX BTX 0 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0% 0% 0% 0% % 65.9% 46.6% 63.0% 4.12% 66.46% 72.66% % % 70.7% 64.4% 71.8% 24.13% 82.87% 80.24% 76.02% % 71.0% 71.6% 84.7% 64.30% 91.41% 92.18% 89.18% % 79.3% 74.0% 87.9% 88.31% 92.53% 96.06% 93.77% Persen Degradasi BTX 15.0% Rhodococcus erythropolis 17.5% Rhodococcus erythropolis Hari total total B T X B T X BTX BTX 0 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 0% 0% 0% 0% % 74.17% 72.32% 70.21% 53.40% 83.44% 83.74% 80.71% % 78.79% 80.22% 77.52% 60.70% 91.55% 91.80% 88.71% % 91.16% 91.53% 89.99% 80.82% 93.31% 93.79% 92.34% % 92.53% 96.04% 94.50% 96.53% 94.92% 96.83% 95.97% 75

95 B.III. Data Hasil Perhitungan Populasi Bakteri Tabel B.7. Data Hasil Perhitungan Populasi Bakteri (sel/ml) Time Indigenous Bacillus cereus bacteria 12.5% 15.0% 17.5% E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E+08 Pseudomonas putida Rhodococcucs erythropolis 12.50% 15% 17.50% 12.50% 15% 17.50% 4.13E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E+08 B.IV. Data Pengukuran BOD 5 Tabel B.8. BOD pada penambahan Bacillus cereus (12.5%) Hari ke- DOs 0 DOs 5 5 DO f BOD 5 (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L)

96 Tabel B.9. BOD pada penambahan Bacillus cereus (15%) Hari ke- DOs 0 DOs 5 5 DO f BOD 5 (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) Tabel B.10. BOD pada penambahan Bacillus cereus (17.5%) Hari ke- DOs 0 DOs 5 5 DO f BOD 5 (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) Tabel B.11. BOD pada penambahan Pseudomonas putida (12.5%) Hari ke- DOs 0 (mgo 2 /L) DOs 5 (mgo 2 /L) DO f 5 (mgo 2 /L) BOD 5 (mgo 2 /L)

97 Tabel B.12. BOD pada penambahan Pseudomonas putida (15%) Hari ke- DOs 0 (mgo 2 /L) DOs 5 (mgo 2 /L) DO f 5 (mgo 2 /L) BOD 5 (mgo 2 /L) Tabel B.13. BOD pada penambahan Pseudomonas putida (17.5%) Hari ke- DOs 0 (mgo 2 /L) DOs 5 (mgo 2 /L) DO f 5 (mgo 2 /L) BOD 5 (mgo 2 /L) Tabel B.14. BOD pada penambahan Rhodococcus erythropolis (12.5%) Hari ke- DOs 0 DOs 5 5 DO f BOD 5 (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L)

98 Tabel B.15. BOD pada penambahan Rhodococcus erythropolis (15%) Hari ke- DOs 0 DOs 5 5 DO f BOD 5 (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) Tabel B.16. BOD pada penambahan Rhodococcus erythropolis (17.5%) Hari ke- DOs 0 DOs 5 5 DO f BOD 5 (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) (mgo 2 /L) B.V. Perhitungan Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Waktu (hari) Bacillus cereus Tabel B.17. Data hasil perhitungan kinetika dengan Penambahan Bakteri Bacillus cereus 12.5% 15% 17.5% 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0-s)]/t (x) 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0- S)]/t (x) 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0- S)]/t (x) 0 #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0!

99 (1/t)ln(S/S 0 ) (1/t)ln(S/S 0 ) (1/t)ln(S/S 0 ) Plot (x) dan (y) akan menghasilkan Grafik: (a) y = x R² = ln [1+a(S 0 -S)/t] Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 12.50% (b) y = x R² = ln [1+a(S 0 -S)/t] Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 15.00% (c) y = x R² = ln [1+a(S 0 -S)/t] Perhitungan Kinetika Bacillus cereus 17.50% Gambar B.1. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Bacillus cereus Dengan memperhatikan nilai slope dan intercept, maka dapat dihitung nilai konstanta kinetika, dan ditabelkan pada tabel B.18. Tabel B.18. Data Kinetika untuk penambahan bakteri Bacillus cereus Parameter Kinetika 12.5% 15% 17.5% Slope (c) Intercept (b) a K 0 (jam -1 ) K m (mg/l) Y (mg biomass/mg substrat)

100 -(1/t)ln(S/S0) -(1/t)ln(S/S0) -(1/t)ln(S/S0) Waktu (hari) B.VI. Perhitungan Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri Pseudomonas putida Tabel B.19. Data hasil perhitungan kinetika dengan Penambahan Bakteri Pseudomonas putida 12.5% 15% 17.5% 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0-s)]/t (x) 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0-s)]/t (x) 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0-s)]/t (x) 0 #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! Plot (x) dan (y) akan menghasilkan Grafik: (a) y = x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 12.50% (c) y = x R² = Gambar B.2. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Pseudomonas putida y = x R² = (b) ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 15% ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan Kinetika Pseudomonas putida 17.50% 81

101 -(1/t)ln(S/S0) -(1/t)ln(S/S0) Dengan memperhatikan nilai slope dan intercept, maka dapat dihitung nilai konstanta kinetika, dan ditabelkan pada tabel B.20. Tabel B.20. Data Kinetika untuk penambahan bakteri Pseudomonas putida Parameter Kinetika 12.5% 15% 17.5% Slope (c) Intercept (b) a K 0 (jam -1 ) K m (mg/l) Y (mg biomass/mg substrat) Waktu (hari) B.VII. Perhitungan Kinetika Penurunan Substrat pada Penambahan Bakteri 1/t ln S/S0 (y) Rhodococcus erythropolis Tabel B.21. Data hasil perhitungan kinetika dengan Penambahan Bakteri Rhodococcus erythropolis 12.5% 15% 17.5% ln[1+1(s0-s)]/t (x) 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0-s)]/t (x) 1/t ln S/S0 (y) ln[1+1(s0-s)]/t (x) 0 #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! Plot (x) dan (y) akan menghasilkan Grafik: (a) y = 1.065x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 12.5% (b) y = 1.093x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 15.0% 82

102 -(1/t)ln(S/S0) (c) y = x R² = ln [1+a(S0-S)/t] Perhitungan kinetika Rhodococcus erythropolis 17.5% Gambar B.3. Grafik Perhitungan Konstanta Kinetika pada Bioreaktor dengan Penambahan (a) 12,5%; (b) 15% dan (c) 17,5% Rhodococcus erythropolis Dengan memperhatikan nilai slope dan intercept, maka dapat dihitung nilai konstanta kinetika, dan ditabelkan pada tabel B.22. Tabel B.22. Data Kinetika untuk penambahan bakteri Rhodococcus erythropolis Parameter Kinetika 12.5% 15% 17.5% Slope (c) Intercept (b) a K 0 (jam -1 ) K m (mg/l) Y (mg biomass/mg substrat) B.VIII. Perhitungan konstanta laju kematian (k d ) Konstanta laju kematian dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini: dx ko XS Kd X...( B.1) dt K S m Berdasarkan hasil perhitungan, nilai Km sangat besar, maka penyederhanaan tidak dapat dilakukan. Persamaan di atas menjadi: 83

103 ln (x/x0) ln (x/x0) dx ks o Kd X...( B.2) dt Km S dx ks o Kd dt...( B.3) X Km S X ks o ln kd t t X 0 Km S 0...(B.4) Dari persamaan B.4 dapat dibuat grafik sebagai gambar B.3: y = x R² = (a) y = x R² = y = x R² = Waktu (hari) Konsentrasi Bacillus cereus: 12.50% 15% 17.50% (b) y = x R² = y = x R² = y = x R² = Waktu (hari) Konsentrasi Pseudomonas putida:

104 ln (x/x0) (c) y = x R² = y = x R² = y = x R² = Waktu (hari) Konsentrasi Rhodococcus erythropolis: Gambar B.3. Grafik perhitungan slope untuk menentukan nilai k d untuk bakteri (a) Bacillus cereus dan bakteri (b) Pseudomonas putida dan bakteri (c) Rhodococcus erythropolis ks o X di mana kd adalah slope grafik ln versus t t Km S X 0 Sehingga: k ks o K S d m m k d ks o K S slope...(b.5) slope...(b.6) 0 Slope dan hasil perhitungan dapat dijabarkan sebagai tabel B.14: Konsentrasi bakteri (%) Tabel B.23. Hasil perhitungan k d Bacillus cereus Pseudomonas putida Rhodococcus erythropolis Slope k d (hr -1 ) Slope k d (hr -1 ) Slope k d (hr -1 ) Berdasarkan tabel B.23, nilai k d sangat kecil mendekati nol (0) sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh koefisien kematian (k d ) pada bakteri sangat kecil. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa bakteri berada pada fase pertumbuhan (fase log). 85

105 Halaman ini sengaja dikosongkan 86

106 BIODATA PENULIS Maria Assumpta Nogo Ole, lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 15 Agustus Penulis menempuh jenjang pendidikan fomal di NTT, mulai dari Sekolah Dasar Katolik St. Arnoldus Penfui ( ) kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Katolik Ngedukelu, Bajawa ( ). Selanjutnya penulis menempuh sekolah lanjut di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Bajawa ( ) kemudian melanutkan ke Sekolah Menengah Atas Katolik Syuradikara, Ende ( ). Pada tahun 2013, penulis menyelesaikan pendidikan tinggi dengan gelar Sarjana Teknik dari Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai industri kimia dan pengolahan limbah, maka pada 2015 penulis melanjutkan pendidikan magister di Departemen Teknik Kimia, pada bidang keahlian Teknologi Proses, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Karena ketertarikan penulis pada isu lingkungan, maka penulis memilih menjalankan penelitian di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri, dengan judul penelitian Bioremediasi Benzene, Toluene dan Xylene dari Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi oleh Bakteri Aerobik pada Fase Slurry dalm Bioreaktor. Puji Tuhan, pada bulan Januari 2017 penulis telah mempertanggungjawabkan penelitian yang sudah dilakukan. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat berguna dan dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah lingkungan yang sedang marak saat ini. Penulis juga berharap agar ke depannya melalui pendidikan yang telah ditempuh, penulis dapat menjadi berkat bagi diri sendiri maupun bagi banyak pihak lainnya. DATA PRIBADI PENULIS Nama : Maria Assumpta Nogo Ole Tempat/tgl lahir : Kupang, 15 Agustus 1991 Alamat : Jl. Antonov, RT 24 / RW 09, Desa Oeltua, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Telp. : itaole@ymail.com / itaole15@gmail.com

Bioremediasi Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi Dengan Menggunakan Bakteri Bacillus cereus Pada Slurry Bioreaktor

Bioremediasi Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi Dengan Menggunakan Bakteri Bacillus cereus Pada Slurry Bioreaktor Bioremediasi Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi Dengan Menggunakan Bakteri Bacillus cereus Pada Slurry Bioreaktor Disusun oleh: Eko Yudie Setyawan 2308 100 512 Rizki Dwi Nanto 2308 100 543 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi akibat. kecerobohan manusia telah mengalami peningkatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi akibat. kecerobohan manusia telah mengalami peningkatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh tumpahan minyak bumi akibat kecerobohan manusia telah mengalami peningkatan dan mengganggu kehidupan organisme di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minyak bumi merupakan senyawa kimia yang sangat kompleks, sebagai gabungan antara senyawa hidrokarbon (unsur karbon dan hidrogen) dan nonhidrokarbon (unsur oksigen,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan sehari-hari manusia atau aktifitasnya akan selalu menghasilkan suatu bahan yang tidak diperlukan yang disebut sebagai buangan atau limbah. Diantara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Minyak Bumi Minyak bumi mengandung 50-98% komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Kandungannya bervariasi tergantung pada sumber minyak. Minyak bumi mengandung senyawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Tanah Tercemar HOW Minyak bumi jenis heavy oil mengandung perbandingan karbon dan hidrogen yang rendah, tinggi residu karbon dan tinggi kandungan heavy metal,

Lebih terperinci

SKRIPSI LOGO BIOREMEDIASI AIR LAUT TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA

SKRIPSI LOGO BIOREMEDIASI AIR LAUT TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA SKRIPSI LOGO BIOREMEDIASI AIR LAUT TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA oleh: 1.Lusiana Riski Yulia 2308 100 050 2.Bindanetty Marsa 2308 100 054 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buangan sebagai limbah yang dapat mencemari lingkungan (Fahruddin, 2010). Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. buangan sebagai limbah yang dapat mencemari lingkungan (Fahruddin, 2010). Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi merupakan energi utama yang sulit tergantikan sampai saat ini. Dalam produksi minyak bumi dan penggunaannya, dapat menghasilkan buangan sebagai limbah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) sampai saat ini masih merupakan sumber energi yang menjadi pilihan utama untuk digunakan pada industri, transportasi, dan rumah tangga.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia kaya akan sumber daya alam berupa minyak bumi yang tersebar di sekitar daratan dan lautan. Luasnya pengolahan serta pemakaian bahan bakar minyak menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2014). Badan Pusat Statistik (2013) menyebutkan, di provinsi Daerah Istimewa. satunya adalah limbah minyak pelumas bekas.

I. PENDAHULUAN. 2014). Badan Pusat Statistik (2013) menyebutkan, di provinsi Daerah Istimewa. satunya adalah limbah minyak pelumas bekas. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat migrasi di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyebabkan terjadinya peningkatan mobilitas yang akan berdampak pada kebutuhan

Lebih terperinci

Karakteristik Biologis Tanah

Karakteristik Biologis Tanah POLUSI TANAH DAN AIR TANAH Karakteristik Biologis Tanah Prof. Dr. Budi Indra Setiawan Dr. Satyanto Krido Saptomo, Allen Kurniawan ST., MT. Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor

Lebih terperinci

Desain & Pemantauan Kinerja Bioremediasi Hidrokarbon

Desain & Pemantauan Kinerja Bioremediasi Hidrokarbon MATERI KULIAH BIOREMEDIASI TANAH Prodi Agroteknologi UPNVY Pertemuan ke 12 Desain & Pemantauan Kinerja Bioremediasi Hidrokarbon Ir. Sri Sumarsih, MP. Sumarsih_03@yahoo.com Sumarsih07.wordpress.com Kriteria

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadi perubahan integritas molekuler (Sheehan 1997 dalam Sumarsono, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terjadi perubahan integritas molekuler (Sheehan 1997 dalam Sumarsono, 2011). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Biodegradasi Hidrokarbon Biodegradasi dapat diartikan sebagai proses penguraian oleh aktivitas mikroba, yang mengakibatkan transformasi struktur suatu senyawa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

ELIMINASI DIAZINON PADA LIMBAH CAIR SINTETIK MENGGUNAKAN BIOFILTER KOMPOS JAMUR TIRAM (SPENT MUSHROOM COMPOST)

ELIMINASI DIAZINON PADA LIMBAH CAIR SINTETIK MENGGUNAKAN BIOFILTER KOMPOS JAMUR TIRAM (SPENT MUSHROOM COMPOST) ELIMINASI DIAZINON PADA LIMBAH CAIR SINTETIK MENGGUNAKAN BIOFILTER KOMPOS JAMUR TIRAM (SPENT MUSHROOM COMPOST) DWI WIDANINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 ABSTRACT DWI WIDANINGSIH.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun yang lalu, sebagai dekomposisi bahan-bahan organik dari hewan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun yang lalu, sebagai dekomposisi bahan-bahan organik dari hewan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Umum Minyak Bumi Minyak bumi adalah campuran hidrokarbon yang terbentuk berjuta-juta tahun yang lalu, sebagai dekomposisi bahan-bahan organik dari hewan dan tumbuhan.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data-data yang dihasilkan selama penelitian adalah sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data-data yang dihasilkan selama penelitian adalah sebagai berikut : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Data-data yang dihasilkan selama penelitian adalah sebagai berikut : 1. Jumlah total bakteri pada berbagai perlakuan variasi konsorsium bakteri dan waktu inkubasi. 2. Nilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ppm. Tanah yang sudah terkontaminasi tersebut didiamkan selama 24 jam untuk penstabilan (Dahuru 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN. ppm. Tanah yang sudah terkontaminasi tersebut didiamkan selama 24 jam untuk penstabilan (Dahuru 2003). ppm. Tanah yang sudah terkontaminasi tersebut didiamkan selama 24 jam untuk penstabilan (Dahuru 2003). Inokulasi Bakteri dan Inkubasi Media Sebanyak dua ose bakteri diinokulasikan ke dalam 50 ml NB dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Pestisda Sejumlah bahan pencemar di lingkungan terdiri atas senyawa-senyawa kimia yang sangat kompleks. Senyawa pencemar yang satu dengan yang lain mungkin bersifat

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

Oleh : Abubakar Tuhuloula ( ) Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M.Eng

Oleh : Abubakar Tuhuloula ( ) Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M.Eng SIDANG THESIS BIOREMEDIASI LAHAN TERKONTAMINASI MINYAK BUMI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI BACILLUS CEREUS PADA SLURRY BIOREACTOR Oleh : Abubakar Tuhuloula (2309201012) Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS Oleh : Selly Meidiansari 3308.100.076 Dosen Pembimbing : Ir.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

APAKAH LUMPUR DI SIDOARJO MENGANDUNG SENYAWA HIDROKARBON?

APAKAH LUMPUR DI SIDOARJO MENGANDUNG SENYAWA HIDROKARBON? APAKAH LUMPUR DI SIDOARJO MENGANDUNG SENYAWA HIDROKARBON? Oleh: Didi S. Agustawijaya dan Feny Andriani Bapel BPLS I. Umum Hidrokarbon adalah sebuah senyawa yang terdiri dari unsur karbon (C) dan hidrogen

Lebih terperinci

BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR MINYAK BUMI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Bacillus cereus PADA SLURRY BIOREAKTOR

BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR MINYAK BUMI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Bacillus cereus PADA SLURRY BIOREAKTOR BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR MINYAK BUMI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERI Bacillus cereus PADA SLURRY BIOREAKTOR Nuniek Hendrianie, Eko Yudie Setyawan, Rizki Dwi Nanto, dan S. R. Juliastuti Jurusan Teknik Kimia,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

FOTOKATALISIS POLUTAN MINYAK BUMI DI AIR LAUT PADA SISTEM SINAR UV DENGAN KATALIS TiO 2

FOTOKATALISIS POLUTAN MINYAK BUMI DI AIR LAUT PADA SISTEM SINAR UV DENGAN KATALIS TiO 2 FOTOKATALISIS POLUTAN MINYAK BUMI DI AIR LAUT PADA SISTEM SINAR UV DENGAN KATALIS TiO 2 Oleh : Mohammad Khoirudin Alfan Nrp. 3307100080 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Yulinah T, MAppSc NIP 195307061984032004

Lebih terperinci

Bioremediasi Air Laut Terkontaminasi Minyak Bumi Dengan Menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa

Bioremediasi Air Laut Terkontaminasi Minyak Bumi Dengan Menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa 1 Bioremediasi Air Laut Terkontaminasi Minyak Bumi Dengan Menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa Lusiana Riski Yulia 1), Bindanetty Marsa 1), dan Sri Rachmania Juliastuti 1*) Jurusan Teknik Kimia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sampah yang menumpuk dan tidak terkelola dengan baik merupakan

I. PENDAHULUAN. Sampah yang menumpuk dan tidak terkelola dengan baik merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampah yang menumpuk dan tidak terkelola dengan baik merupakan sumber berbagai jenis permasalahan mulai dari dampaknya bagi kesehatan manusia sampai nilai estetika suatu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

MAKALAH KIMIA ANALITIK

MAKALAH KIMIA ANALITIK MAKALAH KIMIA ANALITIK Aplikasi COD dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Disusun oleh : Ulinnahiyatul Wachidah ( 412014003 ) Ayundhai Elantra ( 412014017 ) Rut Christine ( 4120140 ) Universitas Kristen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (2014) minyak bumi merupakan salah satu sumber energi utama dan salah satu

I. PENDAHULUAN. (2014) minyak bumi merupakan salah satu sumber energi utama dan salah satu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Minyak bumi merupakan campuran berbagai macam zat organik, tetapi komponen pokoknya adalah hidrokarbon (Kristianto, 2002). Menurut Kurniawan (2014) minyak bumi merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA 1 PENDAHULUAN Pelepasan senyawa-senyawa organik dan anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika ditinjau secara kimia, maka senyawa organik dan anorganik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Jaringan komunitas mikroba pendegradasi hidrokarbon minyak (Head et al. 2006). Produksi Biosurfaktan. Mineralisasi.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Jaringan komunitas mikroba pendegradasi hidrokarbon minyak (Head et al. 2006). Produksi Biosurfaktan. Mineralisasi. TINJAUAN PUTAKA Pencemaran minyak dan Bioremediasi Hidrokarbon minyak adalah polutan utama pada lingkungan laut sebagai akibat dari limbah kilang minyak, produksi minyak lepas pantai, aktivitas pelayaran,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

Oleh: Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, M. T.

Oleh: Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, M. T. SIDANG SKRIPSI Peran Mikroorganisme Azotobacter chroococcum, Pseudomonas putida, dan Aspergillus niger pada Pembuatan Pupuk Cair dari Limbah Cair Industri Pengolahan Susu Oleh: Fitrilia Hajar Pambudi Khalimatus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Heavy Oil

TINJAUAN PUSTAKA Heavy Oil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Heavy Oil Minyak bumi merupakan suatu senyawa organik yang berasal dari sisa sisa organisme tumbuhan dan hewan yang tertimbun selama berjuta-juta tahun. Umumnya minyak bumi berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia tahun 2014 memproduksi 29,34 juta ton minyak sawit kasar [1], tiap ton minyak sawit menghasilkan 2,5 ton limbah cair [2]. Limbah cair pabrik kelapa sawit

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. merupakan limbah yang berbahaya, salah satunya adalah limbah oil sludge yang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. merupakan limbah yang berbahaya, salah satunya adalah limbah oil sludge yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Kemajuan teknologi di berbagai bidang kehidupan khususnya dalam bidang industri menyumbangkan angka peningkatan pencemaran lingkungan tiap tahunnya. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK I PERCOBAAN III SIFAT-SIFAT KIMIA HIDROKARBON OLEH NAMA : HABRIN KIFLI HS. STAMBUK : F1C1 15 034 KELOMPOK ASISTEN : VI (ENAM) : HERIKISWANTO LABORATORIUM KIMIA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Limbah minyak bumi ( crude oil ) dapat terjadi disemua lini aktivitas perminyakan mulai dari eksplorasi sampai ke proses pengilangan danberpotensi menghasilkan

Lebih terperinci

Pengukuran TPH padat (EPA 1998) Analisis Kekeruhan (29 Palm Laboratory 2003) Pengukuran TPH cair (EPA 1999) HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keasaman

Pengukuran TPH padat (EPA 1998) Analisis Kekeruhan (29 Palm Laboratory 2003) Pengukuran TPH cair (EPA 1999) HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Keasaman Pengukuran TPH padat (EPA 1998) Nilai TPH diukur menggunakan metode gravimetri. Sebanyak 5 gram limbah minyak hasil pengadukan dibungkus dengan kertas saring. Timbel yang telah dibuat tersebut dimasukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lingkungan dapat menyebabkan pencemaran tanah.

I. PENDAHULUAN. lingkungan dapat menyebabkan pencemaran tanah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi (Soeparman & Soeparmin,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing :

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing : SKRIPSI Pengaruh Mikroorganisme Azotobacter chrococcum dan Bacillus megaterium Terhadap Pembuatan Kompos Limbah Padat Digester Biogas dari Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) Disusun Oleh: Angga Wisnu

Lebih terperinci

SIMULASI PROSES BIOREMEDIASI PADA LAHAN TERKONTAMINASI TOTAL PETROLEUM HIDROKARBON (TPH) MENGGUNAKAN SERABUT BUAH BINTARO DAN SEKAM PADI

SIMULASI PROSES BIOREMEDIASI PADA LAHAN TERKONTAMINASI TOTAL PETROLEUM HIDROKARBON (TPH) MENGGUNAKAN SERABUT BUAH BINTARO DAN SEKAM PADI SEMINAR NASIONAL 0 - WASTE MANAGEMENT I SIMULASI PROSES BIOREMEDIASI PADA LAHAN TERKONTAMINASI TOTAL PETROLEUM HIDROKARBON (TPH) MENGGUNAKAN SERABUT BUAH BINTARO DAN SEKAM PADI THE SIMULATION OF BIOREMEDIATION

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia dengan jumlah produksi pada tahun 2013 yaitu sebesar 27.746.125 ton dengan luas lahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri gula merupakan salah satu industri pertanian yang menghasilkan air

I. PENDAHULUAN. Industri gula merupakan salah satu industri pertanian yang menghasilkan air I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Industri gula merupakan salah satu industri pertanian yang menghasilkan air limbah dalam jumlah yang cukup besar. Sebagai bahan baku utama dari perindustrian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan energi tidak pernah habis bahkan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengurangan Senyawa Sulfur dalam Minyak Bumi Minyak bumi adalah campuran kompleks hidrokarbon ditambah senyawa anorganik dari sulfur, oksigen, nitrogen, dan senyawa-senyawa yang

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BIOREMEDIASI: Artikel review. Zulkifli *), Satriananda *) ABSTRAK

BIOREMEDIASI: Artikel review. Zulkifli *), Satriananda *) ABSTRAK BIOREMEDIASI: Artikel review Zulkifli *), Satriananda *) ABSTRAK Bioremediasi adalah proses pengolahan tanah yang tercemar dengan menggunakan mikroorganisme. Tujuan untuk mendegradasi zat pencemar menjadi

Lebih terperinci

PENENTUAN RASIO OPTIMUM C:N:P SEBAGAI NUTRISI PADA PROSES BIODEGRADASI BENZENA-TOLUENA DAN SCALE UP KOLOM BIOREGENERATOR

PENENTUAN RASIO OPTIMUM C:N:P SEBAGAI NUTRISI PADA PROSES BIODEGRADASI BENZENA-TOLUENA DAN SCALE UP KOLOM BIOREGENERATOR PENENTUAN RASIO OPTIMUM C:N:P SEBAGAI NUTRISI PADA PROSES BIODEGRADASI BENZENA-TOLUENA DAN SCALE UP KOLOM BIOREGENERATOR Praswasti PDK Wulan, Misri Gozan, Berly Arby dan Bustomy Achmad Departemen Teknik

Lebih terperinci

2016 BIOREMEDIASI LOGAM KROMIUM (VI) PADA LIMBAH MODEL PENYAMAKAN KULIT MENGGUNAKAN BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA

2016 BIOREMEDIASI LOGAM KROMIUM (VI) PADA LIMBAH MODEL PENYAMAKAN KULIT MENGGUNAKAN BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Perkembangan industrialisasi tidak dapat terlepas dari efek negatif yang ditimbulkannya. Adanya bahan sisa industri baik dalam bentuk padatan, cairan, maupun

Lebih terperinci

1 Security Printing merupakan bidang industri percetakan yang berhubungan dengan pencetakan beberapa

1 Security Printing merupakan bidang industri percetakan yang berhubungan dengan pencetakan beberapa Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Limbah cair dari sebuah perusahaan security printing 1 yang menjadi obyek penelitian ini selanjutnya disebut sebagai Perusahaan Security Printing X - memiliki karakteristik

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

PENGARUH RESIRKULASI LINDI BERSALINITAS TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH TPA BENOWO, SURABAYA

PENGARUH RESIRKULASI LINDI BERSALINITAS TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH TPA BENOWO, SURABAYA FINAL PROJECT RE 091324 PENGARUH RESIRKULASI LINDI BERSALINITAS TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH TPA BENOWO, SURABAYA Effect of Saline Leachate Recirculation on Solid Waste Degradation Rate in TPA Benowo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu kegiatan pertanian yang dominan di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an. Indonsia memproduksi hampir 25 juta matrik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

ANALISA KINETIKA PERTUMBUHAN BAKTERI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI MOLASES PADA CONTINUOUS REACTOR 3000 L

ANALISA KINETIKA PERTUMBUHAN BAKTERI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI MOLASES PADA CONTINUOUS REACTOR 3000 L LABORATORIUM PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 ANALISA KINETIKA PERTUMBUHAN BAKTERI DAN PENGARUHNYA TERHADAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mengancam pemukiman dan lingkungan, sehingga pemerintah membuat

BAB I PENDAHULUAN. dan mengancam pemukiman dan lingkungan, sehingga pemerintah membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peristiwa meluapnya lumpur panas yang terjadi di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menyebabkan tergenangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sektor industri menyebabkan peningkatan berbagai kasus

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan sektor industri menyebabkan peningkatan berbagai kasus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor industri menyebabkan peningkatan berbagai kasus pencemaran terhadap sumber-sumber air. Bahan pencemar air yang seringkali menjadi masalah

Lebih terperinci

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup Kompetensi: Setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat menjelaskan aktivitas makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan A. Sifat pertumbuhan

Lebih terperinci

Pengolahan Limbah Cair Industri secara Aerobic dan Anoxic dengan Membrane Bioreaktor (MBR)

Pengolahan Limbah Cair Industri secara Aerobic dan Anoxic dengan Membrane Bioreaktor (MBR) Pengolahan Limbah Cair Industri secara Aerobic dan Anoxic dengan Membrane Bioreaktor (MBR) Oleh : Beauty S.D. Dewanti 2309 201 013 Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Tontowi Ismail MS Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja

Lebih terperinci

A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi

A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi A. Pembentukan dan Komposisi Minyak Bumi Istilah minyak bumi diterjemahkan dari bahasa latin (petroleum), artinya petrol (batuan) dan oleum (minyak). Nama petroleum diberikan kepada fosil hewan dan tumbuhan

Lebih terperinci

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O PERAN MIKROORGANISME AZOTOBACTER CHROOCOCCUM, PSEUDOMONAS FLUORESCENS, DAN ASPERGILLUS NIGER PADA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU Hita Hamastuti 2308 100 023 Elysa Dwi Oktaviana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

PENGARUH RESIRKULASI LINDI TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH DI TPA KUPANG KECAMATAN JABON SIDOARJO

PENGARUH RESIRKULASI LINDI TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH DI TPA KUPANG KECAMATAN JABON SIDOARJO PENGARUH RESIRKULASI LINDI TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH DI TPA KUPANG KECAMATAN JABON SIDOARJO Amy Insari Kusuma 3308100103 Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Ellina S.P. MT. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas

Lebih terperinci

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Kimia Oleh : ENY PURWATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik tahu merupakan industri kecil (rumah tangga) yang jarang memiliki instalasi pengolahan limbah dengan pertimbangan biaya yang sangat besar dalam pembangunan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Perkembangan kebutuhan energi dunia yang dinamis di tengah semakin terbatasnya cadangan energi fosil serta kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menyebabkan

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG PERANCANGAN PABRIK PENGOLAHAN LIMBAH Oleh: KELOMPOK 2 M. Husain Kamaluddin 105100200111013 Rezal Dwi Permana Putra 105100201111015 Tri Priyo Utomo 105100201111005 Defanty Nurillamadhan 105100200111010

Lebih terperinci

Proses Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah

Proses Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah Proses Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah Salmah Fakultas Teknik Program Studi Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara BAB I 1.1 Nitrifikasi yang Menggunakan Proses Lumpur Aktif Dua

Lebih terperinci

X. BIOREMEDIASI TANAH. Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah

X. BIOREMEDIASI TANAH. Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah X. BIOREMEDIASI TANAH Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah A. Composting Bahan-bahan yang tercemar dicampur dengan bahan organik padat yang relatif mudah terombak,

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berupa karbohidrat, protein, lemak dan minyak (Sirait et al., 2008).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berupa karbohidrat, protein, lemak dan minyak (Sirait et al., 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Rustama et al. (1998), limbah cair merupakan sisa buangan hasil suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi, baik berupa sisa industri, rumah tangga, peternakan,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) Beauty S. D. Dewanti (239113) Pembimbing: Dr. Ir. Tontowi Ismail, MS dan Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun

I. PENDAHULUAN. bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah sakit merupakan institusi pelayanan bidang kesehatan dengan bidang preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif maupun promotif (Kusumanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oil sludge merupakan sedimen atau endapan pada dasar tangki

BAB I PENDAHULUAN. Oil sludge merupakan sedimen atau endapan pada dasar tangki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Oil sludge merupakan sedimen atau endapan pada dasar tangki penyimpanan bahan bakar minyak yang terbentuk akibat adanya kontak antara minyak, udara, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber pendapatan, juga memiliki sisi negatif yaitu berupa limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki diversitas mikroorganisme dengan potensi yang tinggi namun belum semua potensi tersebut terungkap. Baru

Lebih terperinci

Rekayasa Bioproses. Pertemuan Ke-2. Prinsip Bioreaktor & Sistem Batch

Rekayasa Bioproses. Pertemuan Ke-2. Prinsip Bioreaktor & Sistem Batch Rekayasa Bioproses (Kode MKA: 114151462) Pertemuan Ke-2 Prinsip Bioreaktor & Sistem Batch Dosen: Ir. Sri Sumarsih, MP. E-mail: Sumarsih_03@yahoo.com Weblog: Sumarsih07.wordpress.com Teknik Lingkungan-

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci