BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah
|
|
- Yuliani Pranoto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Peredaran dan dampak penggunaan senjata konvensional merupakan salah satu isu yang selalu mewarnai konstelasi hubungan internasional. Kepemilikan senjata oleh militer dan polisi negara memang sangat penting untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara. Tetapi, disisi lain meningkatnya jumlah senjata yang beredar di berbagai kalangan, telah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan. Senjata konvensional merupakan instrumen utama yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mempercepat pencapaian tujuan, serta menaikkan posisi tawar militer dan polisi, kelompok pemberontak atau separatis, dan kelompok kriminal lainnya. Meningkatnya kejahatan transnasional, gerakan pemberontakan, dan konflik etnoreligi di berbagai negara, serta lemahnya mekanisme internasional untuk mengontrol transfer senjata konvensional, menyebabkan peredaran senjata di pasar gelap dalam jumlah besar, semakin meningkat dan sulit untuk dikendalikan. Senjata konvensional telah lama diketahui sebagai instrumen yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (HAM). Menurut Dewan Uni Eropa (EU Council), senjata konvensional termasuk Small Arms and Light Weapon (SALW) dapat dihubungkan dengan kematian hampir jiwa setiap tahun dan senjata tersebut merupakan senjata utama yang digunakan untuk merusak keamanan dan stabilitas dari pemerintah nasional negara-negara yang rentan. 1 International Institute of Security Studies dalam pengamatannya akan delapan konflik di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Caucasus dari Juni - Oktober 2004, menunjukan bahwa senjata api bertanggung jawab akan 60-90% kematian yang disebabkan oleh konflik langsung dan memainkan peranan penting akan kematian akibat konflik tidak langsung. 2 1 Institute For Foreign Policy Analysis, A Comprehensive Approach To Combating Illicit Trafficking, A Joint Report by Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Juni 2010, p Small Arms Survey, Small Arms Survey 2005: Weapons at War, Oxford University Press, Oxford, p
2 Pada tanggal 2 April 2013, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil mengadopsi Arms Trade Treaty (ATT) melalui jalur voting. ATT merupakan perjanjian pertama yang menetapkan standar global untuk mengatur perdagangan senjata konvensional, amunisi, dan suku cadangnya. Pembentukan ATT yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk proses negosiasi, merupakan suatu langkah maju yang berisi komitmen dari negara-negara untuk mengurangi kekerasan dan tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang diakibatkan oleh lemahnya peraturan transfer dan perdagangan senjata. ATT merupakan perjanjian yang diharapkan mampu memberikan fokus pendekatan yang lebih luas dalam pencegahan konflik bersenjata dan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia akibat penggunaan senjata konvensional. 23 negara menyatakan abstain dalam voting akhir pengadopsian regulasi ATT. Indonesia adalah salah satu negara yang menyatakan sikap abstain. Hingga tahun 2016, setelah 130 negara menandatangani dan 82 negara meratifikasi ATT, Indonesia belum menunjukan keinginan sama sekali untuk menandatangani perjanjian tersebut. 3 Dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara yang juga memiliki banyak permasalahan mengenai kepemilikan senjata api dan konflik separatisme yang serupa dengan Indonesia, seperti Thailand dan Filipina, keputusan Indonesia jelas kontradiktif. Thailand dan Filipina telah menandatangani ATT. Negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Kamboja, dan Singapura, juga turut menandatangani perjanjian tersebut. Keputusan Indonesia ini semakin menarik untuk ditelusuri lebih jauh, mengingat Indonesia merupakan negara yang awalnya memberikan dukungan penuh dalam negosiasi pembentukan ATT. Indonesia juga dikenal luas sebagai negara yang selalu mendukung dan menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya penegakan HAM dalam lingkup internasional, serta secara konsisten selalu merespon tindakan pelanggaran HAM internasional melalui kecaman yang dikemukakan oleh Pemerintah. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang merasakan dampak negatif dari kepemilikan senjata api ilegal. Indonesia menghadapi banyak kasus gerakan separatisme, konflik etnis dan agama, serta 3 The Arms Trade Treaty, United Nation Office for Disarmament Affair (UNODA) (daring), < diakses 19 Maret
3 aksi terorisme yang menyebabkan penyelundupan dan peredaran senjata api ilegal di daerah-daerah rawan, cukup sering terjadi. Semangat pencegahan peredaran senjata api yang tidak bertanggung jawab yang diusung oleh ATT, setidaknya bisa menjadi pilihan yang dapat membantu pemerintah Indonesia untuk mengkoordinir dan mengurangi transfer senjata konvensional, baik legal maupun illegal, untuk mencegah pelanggaran HAM. Namun kenyataannya, dukungan penuh Indonesia dalam tahapan negosiasi tersebut berubah haluan ketika naskah ATT telah terbentuk dan siap untuk diadopsi. Indonesia malah bersikap abstain dalam voting pada negosiasi akhir ATT dan menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut hingga saat ini. Dari uraian tersebut, maka peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mencari tahu makna apa yang ingin Pemerintah Indonesia nyatakan dibalik keputusan mereka untuk tidak menandatangani ATT dengan judul : "Penolakan Indonesia Menandatangani Arms Trade Treaty (ATT) Tahun 2013". 2. Rumusan Permasalahan Penelitian ini akan membahas faktor-faktor yang melatarbelakangi Pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap untuk tidak menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimana sikap Pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi pembentukan naskah ATT? 2. Mengapa Indonesia menolak untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) tahun 2013? 3. Review Literatur Belum ada tulisan ilmiah resmi yang telah diterbitkan yang membahas mengenai keputusan Indonesia yang menolak menandatangani ATT. Oleh karena itu dalam studi literatur kali ini, penulis berfokus pada tulisan ilmiah yang membahas mengenai semangat pencegahan dampak negatif dari tranfer senjata api yang diusung oleh ATT, serta tantangan dan kekurangan dalam ATT yang bisa menyebabkan pemaknaan yang berbeda-beda oleh negara. Literatur-literatur ini 3
4 akan memudahkan penulis untuk menyusun sebuah hipotesis dan membantu dalam penyusunan kerangka penulisan yang sistematis berdasarkan dengan tujuan penulis. Elli Kytömäki dalam The Arms Trade Treaty s Interaction with Other Related Agreements menyatakan bahwa ATT memiliki potensi untuk memperkuat efektivitas pengendalian senjata serta meningkatkan transparansi dan tanggung jawab dalam transfer senjata. ATT memungkinkan peningkatan kapasitas nasional dan internasional untuk mengendalikan peredaran senjata api, yang akhirnya akan mampu mengurangi perdagangan gelap, ketidakamanan, dan korupsi yang berhubungan dengan transfer senjata api. Oleh karena itu, untuk lebih melengkapi dan memperkuat dasar instrumen agar mampu lebih efektif, Kytömäki merekomendasikan negara dan departemen-departemen pelaksana agar mengambil langkah-langkah penting untuk mensinergikan aturan ATT dan mengurangi dampak dari bentrokan atau tumpang tindih dengan instrumen dan undang-undang terkait terutama undang-undang domestik negara tersebut. Lebih lanjut, Kytömäki merekomendasikan agar sekretariat ATT dapat membangun partisipasi negara pada instumen lain yang relevan dan kerjasama dengan organisasi seperti World Customs Organization (WCO), Interpol, dan agensi keamanan nasional negara lain dalam menjamin efektifnya pelaksanaan ATT. 4 ATT bukan merupakan perjanjian perlucutan senjata (disarmament), seperti yang ditegaskan oleh Yasuhito Fukui dalam The Arms Trade Treaty: Pursuit for the Effective Control of Arms Transfer. Perlucutan senjata merupakan proses yang mengarah pada semua langkah-langkah pada penghapusan persenjataan atau senjata api tertentu. Menurut Fukui, jika definisi disarmament diaplikasikan langsung pada ATT, maka negara-negara eksportir senjata, tidak akan mau ikut menandatangani perjanjian tersebut. Kenyataannya tidak demikian. ATT melarang transfer atau ekspor senjata api jika diketahui bahwa senjata tersebut akan digunakan dalam melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan sebagainya. Larangan terhadap transfer senjata tersebut 4 E. Kytömäki, The Arms Trade Treaty s Interaction with Other Related Agreements, International Security Department, February 2015, The Royal Institute of International Affairs, Chatham House, p.25 4
5 memastikan ATT akan mampu menjadi sebuah langkah yang efektif untuk perlucutan senjata dan non-ploriferasi, serta disetujui oleh berbagai negara besar. Lebih dari itu, ATT juga mengatur transfer senjata konvensional yang sering digunakan dalam konflik bersenjata dan mencegah perdagangan gelap senjata api. ATT dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mengendalikan peredaran senjata api konvensional dan mampu memainkan peran penting dalam mengatur transfer senjata api. Jenis senjata konvensional yang diatur perdagangan dan transfernya dalam ATT adalah 7 kategori senjata yang ditetapkan dalam UN Register of Conventional Arms (UNROCA) pada tahun Ketujuh ruang lingkup senjata konvensional tersebut adalah tank tempur; kendaraan tempur lapis baja; sistem artileri kaliber besar; pesawat tempur; helikopter serang; kapal perang; rudal dan peluncur rudal; dan small arms and light weapons (SALW). Negara yang menandatangani ATT harus mengendalikan transfer senjata tersebut dan mengimplementasi aturan-aturan ATT kedalam regulasi hukum nasional mereka. 5 Sebagai perjanjian pertama yang mengatur peredaran senjata konvensional, ATT masih memiliki banyak pengertian ambigu yang bermasalah. Yasuhito Fukui berpendapat bahwa Pasal 7, yang berkaitan dengan ekspor dan penilaian ekspor adalah unsur yang paling penting untuk ATT. Pasal tersebut menetapkan bahwa setelah melakukan penilaian dan mempertimbangkan langkahlangkah mitigasi yang tersedia, pihak negara pengekspor tidak akan memberikan izin ekspor senjata jika dirasa ada konsekuensi negatif atau resiko (an overriding risk) dari ekspor senjata tersebut, yang akan memicu krisis kemanusiaan dan konflik bersenjata disertai dengan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi, muncul ambiguitas sehubungan dengan kata an overriding risk tersebut. Pemaknaan kata tersebut telah menimbulkan perdebatan dan menjadikannya sebagai celah signifikan yang menyebabkan puluhan negara hingga kini belum mau menandatangani perjanjian tersebut. Perbedaaan definisi antara penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan dan hukuman, seringkali sulit untuk dibedakan. Contoh lain adalah kasus yang identik dengan pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, yang dapat membawa suatu 5 Y. Fukui, The Arms Trade Treaty: Pursuit for the Effective Control of Arms Transfer, Journal of Conflict & Security Law, 9 April 2015, Oxford University Press, Oxford, 2015, pp
6 penilaian atau penghakiman yang berbeda-beda. Pemaknaan yang berbeda akan merugikan salah satu pihak. Celah ambiguitas juga ditunjukkan dengan mengenai kata safeguards, yakni mana yang perlu dan mungkin atau sesuai dengan hukum nasional. Hal ini dapat melemahkan kewajiban ATT dan dapat menjadikanya celah bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan pelanggaran. 6 Salah satu tantangan terbesar bagi pelaksanaan ATT adalah peningkatan transparansi. Paul Holtom dan Mark Bromley dalam karya mereka Implementing an Arms Trade Treaty: Lessons on Reporting and Monitoring from Existing Mechanisms yang diterbitkan oleh SIPRI, menyatakan bahwa laporan nasional dari negara-negara mengenai transfer dan elemen dalam sistem kontrol senjata konvensional mereka baik lingkup regional maupun internasional akan memainkan peran penting dalam kesuksesan ATT. Laporan nasional tersebut penting untuk membantu ATT mencapai tujuan mempromosikan transparansi dan tindakan yang bertanggung jawab oleh pihak negara dalam perdagangan senjata konvensional dan akan dijadikan syarat wajib bagi negara yang meratifikasi ATT. 7 Legalitas ATT yang mengikat secara hukum terhadap negara yang meratifikasinya, secara dramatis akan meningkatkan transparansi dalam perdagangan senjata. Tapi transparansi ini juga bisa menjadi salah satu kelemahan ATT, di mana negara menjadikan keamanan nasional dan ketakukan akan hilangnya keunggulan kompetitif produksi senjata mereka, sebagai alasan untuk melalaikan tanggung jawab pelaporan mereka. Untuk mengatasi kekhawatiran mengenai transparansi, negara dapat memisahkan mana informasi yang hanya boleh disebar antar negara dan mana informasi yang bisa disebar ke publik. Akan tetapi, pembedaan akan memakan waktu yang panjang untuk diterapkan. Menurut Holtom dan Bromley, ATT mewakili sebuah kesempatan yang sangat langka untuk meningkatkan transparansi global dalam perdagangan senjata internasional 6 Y. Fukui, pp P. Holtom dan M. Bromley, Implementing an Arms Trade Treaty: Lessons on Reporting and Monitoring from Existing Mechanisms, SIPRI Policy Paper, 28 Juli 2011, p
7 dan negara harus mengambil kesempatan ini jika mereka memang serius untuk menanggulangi peredaran gelap dan menstabilkan transfer senjata konvensional Kerangka Pemikiran A. Foreign Policy Decision Making Foreign policy decision making merupakan model skema analisis yang berupaya untuk menelaah keputusan yang diambil oleh negara dalam dinamika politik internasional. Untuk dapat memahami mengapa suatu negara memutuskan suatu kebijakan tertentu, maka kita harus memahami mengapa atau apa yang melatar belakangi pembuat kebijakan membuat keputusan tersebut. Dalam pandangan K. J. Holsti (1983), ketika berbicara mengenai perilaku negara, maka hal itu sebenarnya merujuk kepada tindakan para pembuat kebijakan yang sedang melaksanakan pendefinisian tujuan, melakukan pilihan tindakan, dan memanfaatkan kapabilitas nasional untuk mencapai tujuan atas nama negara. Menurut Holsti, negara sebagai level analisis, berfokus pada ideologi, motivasi, cita-cita, persepsi, nilai-nilai, atau idiosinkretik dari pihak atau orang-orang yang mewakili atau dipilih untuk membuat keputusan bagi negara. 9 Oleh karena itu, teori decision making process tepat untuk dijadikan instrumen dalam melakukan analisis alasan dibalik penolakan Indonesia untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) tahun Foreign policy decision making mengacu pada pilihan yang diambil oleh individu, kelompok, dan koalisi, yang mempengaruhi tindakan suatu negara dalam kancah internasional. Keputusan kebijakan luar negeri sering ditandai dengan taruhan tinggi, ketidakpastian yang sangat besar, dan banyak resiko. 10 Adapun jenis-jenis keputusan luar negeri berbentuk keputusan tunggal (one-shot atau single decisions); keputusan interaktif (keputusan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan aktor lain); keputusan berurutan (sequential decisions); keputusan interaktif berurutan (sequential-interactive decisions); dan 8 P. Holtom dan M. Bromley, pp K.J. Holsti, dalam L. A. Afinotan, Decision Making ininternational Relations: A theoretical Analysis, Canadian Social Science, Vol. 10, No. 5, 2014, p J. Renshon dan S. Renshon. The Theory and Practice of Foreign Policy Decision Making, Political Psychology, Vol. 29, No. 4, 2008, p
8 keputusan kelompok. Pembuatan keputusan luar negeri dapat dilihat dari level analisis individual, kelompok, dan koalisi. 11 Menurut Alex Mintz dan Karl DeRouen Jr., terdapat 4 faktor yang menentukan dipilihnya suatu keputusan luar negeri. 1. Decision environment yang terdiri dari kendala waktu, kendala informasi, ambiguitas, keakraban, akuntabilitas, resiko, tekanan, pengaturan dinamis vs statis, dan pengaturan interaktif. 2. Faktor psikologis yakni kepribadian dan keyakinan dari para pemimpin, gaya kepemimpinan, emosi, citra atau images, konsistensi kognitif, dan penggunaan analogi pengaruh dan membentuk pengambilan keputusan luar negeri. 3. Faktor internasional, seperti pencegahan (deterrence), perlombaan senjata, strategic surprise, pembentukan aliansi, dan regime type of the adversary. 4. Faktor domestik, seperti kondisi ekonomi (taktik pengalihan), kepentingan ekonomi, opini publik, siklus pemilu, dan two-level games. 12 William D. Coplin menyatakan bahwa para pembuat kebijakan luar negeri adalah sekelompok orang yang dihadapkan pada situasi tertentu, bertanggung jawab kepada orang lain, ditekan oleh beragam situasi, dan diharuskan mengambil sebuah keputusan. Mereka dianggap sebagai pemecah masalah yang rasional dan tidak bertindak sembarangan. Pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam politik internasional bisa dipandang sebagai proses intelektual, proses psikologis, dan proses organisasional. Proses intelektual melibatkan penetapan situasi, pemilihan tujuan, pencarian alternatif, dan pemilihan alternatif. Proses psikologis melibatkan konsep citra atau image, karakteristik, dan pengalaman-pengalaman pribadi pembuat keputusan yang berkaitan dengan persepsi dan kalkulasi terhadap suatu kebijakan luar negeri. Proses organisasional berkaitan dengan permasalahan birokrasi para pengambil keputusan kebijakan luar negeri dalam menyaring dan memberikan informasi-informasi yang sesuai dengan berbagai citra atau image yang ada tentang lingkungan internasional. 11 A. Mintz dan K. DeRouen Jr., Understanding Foreign Policy Decision Making, Cambridge University Press, Cambridge, 2010, pp A. Mintz dan K. DeRouen Jr., pp
9 Menurut Coplin, terdapat tiga faktor yang setidaknya dapat mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam proses pengambilan keputusan luar negeri Kondisi politik domestik yaitu hubungan antara para pengambil kebijakan luar negeri dengan aktor-aktor politik dalam negeri. Coplin menamakan hubungan ini dengan sebutan policy influence system dan aktor-aktor politik dalam negeri tersebut disebut policy influencer. Lebih lanjut, Coplin membedakan policy influencer menjadi empat kategori. Bureaucratic influencer yakni berbagai individu serta organisasi di dalam lembaga-lembaga eksekutif pemerintah yang membantu para pengambilan kebijakan dalam memutuskan dan melaksanakan kebijakan luar negeri. Anggota birokrasi yang bertindak sebagai policy influencer juga terkadang bertindak sebagai pengambil keputusan. Bureaucratic influencer memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan luar negeri karena mereka memiliki akses langsung kepada para pembuat kebijakan dengan memberikan informasi-informasi penting bagi pembuatan suatu keputusan luar negeri dan kemudian melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pengambil keputusan tesebut. Partisan influencer yakni partai-partai politik dalam sistem politik terbuka, atau kelompok politik yang melanggar hukum maupun bagian dalam sistem satu partai dalam sistem politik tertutup. Influencer ini bertujuan untuk menerjemahkan tuntutan-tuntutan dari masyarakat menjadi tuntutantuntutan politis kepada para pengambil keputusan sehubungan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Interest influencer, yakni sekelompok orang yang bergabung karena memiliki kepentingan yang sama, yang tidak sebesar kelompok partai politik. Kebanyakan motif kelompok ini adalah ekonomi, walaupun terkadang kepentingan-kepentingan non-ekonomi juga biasa digunakan sebagai dasar tindakan, terutama jika terdapat ikatan etnis atau geografi. Mereka menggunakan metode seperti kampanye dengan menulis surat yang tidak hanya diarahkan kepada para pengambil keputusan, tapi juga 13 W. D. Coplin, Introduction to International Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis edisi ke-2, Sinar Baru, Bandung, 1992, p
10 bureaucratic dan partisan influencer, pendanaan atau dukungan finansial, serta memberikan kritik atau kecaman, untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan luar negeri. Mass influencer yakni pengaruh yang terwujud dalam opini publik yang dibentuk oleh media massa. Opini publik digunakan sebagai alat oleh pengambil keputusan dan policy influencers yang lain untuk memberikan dukungan atau tekanan untuk mengarahkan pada pengambilan keputusan. Para pengambil keputusan menggunakan opini publik bukan untuk membentuk kebijakan luar negeri tapi untuk merasionalisasinya. Pendapat dari kelompok ini sering menjadi pertimbangan para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan luar negeri. 14 Bagan 1 Proses Pengambilan Keputusan Politik Luar Negeri Policy Influencers Lingkungan Internasional Interaksi Bidang Isu Politik Luar Negeri Pengambilan Keputusan Luar Negeri Sumber : William D. Coplin, Introduction to International Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis edisi ke-2, Sinar Baru, Bandung, 1992, p Kapabilitas ekonomi dan militer domestik yakni pertimbangan kekuatan militer dan ekomoni, serta kelemahan negara ketika membuat suatu keputusan di kancah luar negeri. Penafsiran kapasitas ekonomi harus mencakup analisis tentang kemakmuran negara, sejauh mana negara mampu memenuhi 14 W. D. Coplin, pp
11 kebutuhan masyarakatnya dan pertumbuhan ekonomi. Untuk bidang militer, Coplin mengemukakan tiga aspek kekuatan dan kelemahan militer yang penting untuk dianalisis, yakni kapasitas relatif negara-negara untuk menggunakan kekuatan militer (senjata dan kelengkapan, serta jumlah dan keahlian militer); tingkat kebergantungan negara pada sumber-sumber luar negeri dalam perlengkapan militer; dan kestabilan militer dalam negeri. 3. Konteks internasional. Menurut Coplin, tiga elemen penting sehubungan dengan konteks internasional terhadap kebijakan luar negeri suatu negara adalah geografi, ekonomis, dan politis. Coplin kemudian menggambarkan dalam diagram, keterkaitan antara faktor-faktor determinan dengan para pembuat kebijakan dalam pengambilan sebuah kebijakan atau keputusan luar negeri. Bagan 2 Empat Determinan Mempengaruhi Tindakan Politik Luar Negeri Kondisi Politik Domestik Pengambil Kebijakan Kapabilitas ekonomi dan militer Tindakan keputusan luar negeri Konteks internasional : (suatu produk tindakan politik luar negeri seluruh negara - pada masa lampau, sekarang, dan masa mendatang yang mungkin atau yang hendak diantisipasi Sumber : William D. Coplin, Introduction to International Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis edisi ke-2, Sinar Baru, Bandung, 1992, p
12 B. Rezim Internasional Rezim mulai diperhitungkan sebagai aktor internasional yang memiliki peran signifikan pada tahun 1990-an, walaupun rezim telah ada jauh sebelum tahun tersebut. Arms Trade Treaty (ATT) merupakan salah satu bentuk rezim internasional yang bertujuan untuk mengatur peredaran persenjataan global. Menurut Stephen D. Krasner rezim internasional adalah sets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actors expectations converge in a given area of international relations. Prinsip adalah keyakinan akan fakta, sebab-akibat, dan kejujuran. Norma adalah standar perilaku dalam terminology hak dan kewajiban. Peraturan adalah rumusan atau larangan tindakan yang spesifik. Prosedur pengambilan keputusan adalah praktek yang dilakukan untuk membuat dan menerapkan pilihan bersama. 15 Cakupan rezim internasional tidak seluas struktur internasional dan tidak sesempit organisasi internasional. Beberapa ahli memberikan definisi yang lebih terbatas dengan memperlakukan rezim sebagai perjanjian multilateral antara negara-negara yang bertujuan untuk mengatur tindakan nasional dalam suatu isu tertentu. Rezim menetapkan kisaran dari tindakan negara yang diperbolehkan dengan menguraikan perintah-perintah eksplisit. Rezim mengandung peraturan yang mengatur atau menentukan perubahan dari perilaku negara-negara. 16 Pengertian rezim pada aspek ini lebih sesuai untuk mendefinisikan ATT. ATT merupakan rezim berbentuk perjanjian multilateral antar negara yang berisi peraturan eksplisit untuk mengatur perilaku negara dalam perdagangan dan transfer senjata api global. Rezim kemungkinan dapat berubah dari waktu ke waktu berdasarkan empat aspek yakni kekuatan, bentuk organisasional, ruang lingkup, dan mode alokasi. Kekuatan dapat diukur dengan tingkat kepatuhan terhadap ketentuan rezim, terutama dalam kasus di mana self-interest jangka pendek negara berbenturan dengan peraturan rezim. Bentuk organisasional berhubungan dengan 15 S. D. Krasner, Structural Causes and Regime Consequence: Regimes As Intervening Variables, in Stephen D., Krasner, ed., International Regimes, p S. Haggard dan B.A. Simmons, Theories of international regimes, International Organizatiol, Vol. 41, No. 3, 1987, p
13 proses pertukaran informasi, pengaturan tingkah laku, proses penyelesaian masalah oleh aparat administrasi, dan prinsip-prinsip pengambilan keputusan. Ruang lingkup berkenaan dengan cakupan isu yang bisa di cover oleh rezim dan mode alokasi berhubungan dengan dukungan mekanisme sosial yang berbeda untuk alokasi sumber daya. 17 Rezim internasional juga dapat diintepretasikan berdasarkan kategori types of order. Beberapa rezim dikategorikan sebagai spontaneous order di mana rezim ini tidak melibatkan koordinasi yang disengaja antar para anggota, tidak membutuhkan persetujuan eksplisit dari subjek anggota atau calon anggota, dan bersifat sangat tahan terhadap upaya rekayasa atau manipulasi sosial. Rezim ini memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi signifikan bagi pencapaian tujuan walaupun tidak ada proses transaksi tinggi atau pembatasan kebebasan dari anggota-anggotanya. Sedikit berbeda, rezim negotiated order ditandai dengan adanya upaya sadar untuk menyetujui ketentuan utama dalam rezim, persetujuan eksplisit bagi anggota individual, dan pernyataan resmi akan hasil keputusan rezim. Pada kategori ini, penting untuk membedakan beberapa tipe negotiated order yang terjadi pada sistem internasional, apakah proses tawar-menawar berbentuk kontrak konstitusional atau tawar-menawar legislatif, ataupun negosiasi komprehensif yang merupakan proses negosiasi yang lebih berhati-hati dan tertib. 18 Kategori ketiga adalah imposed orders. Kategori ini berbeda dengan spontaneous order dalam artian bahwa rezim dikembangkan secara sengaja oleh kekuatan-kekuatan dominan atau konsorsium dari aktor dominan. Order ini tidak melibatkan persetujuan eksplisit dari aktor sub-ordinate dan beroperasi efektif pada keadaan ketiadaan ekpresi formal. Atau dengan kata lain, rezim ini secara sengaja didirikan oleh aktor dominan yang berhasil membuat aktor lainnya untuk memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam rezim melalui kombinasi langkah paksaan, kooptasi, dan manipulation of incentive S. Haggard dan B.A. Simmons, pp O.R. Young, Regime Dynamics: The Rise and Fall of International Regimes, International Organization, Vol. 36, No. 2, 1982, pp O.R. Young, p
14 Untuk kategori types of order, ATT berbentuk negotiated order, di mana negara-negara calon anggota perjanjian memiliki upaya secara sadar atau sengaja dilakukan untuk memberikan persetujuan akan ketentuan rezim. Persetujuan berupa penandatangan perjanjian dan kemudian dikembangkan dengan meratifikasi untuk kemudian diadopsi dalam hukum dan undang-undang domestik negara anggota. Negara juga memiliki kesadaran untuk tidak setuju akan peraturan rezim, sehingga PBB sebagai pihak yang memfasilitasi ATT akan melakukan proses negosiasi komprehensif untuk meyakinkan negara yang tidak setuju agar mau masuk menjadi bagian dari ATT. Dalam prakteknya, walaupun pelaksanaan suatu rezim memiliki banyak tantangan dan hambatan serta rawan akan politisasi terutama dari aktor-aktor dominan, sulit untuk menyatakan bahwa suatu rezim memiliki arti yang negatif dalam masyarakat internasional. Beberapa rezim memberikan bukti bahwa mereka berhasil mempengaruhi bahkan mengubah perilaku aktor-aktor internasional. Adanya negara seperti Indonesia yang tidak setuju untuk menandatangani ATT, menunjukkan bahwa pelaksanaan suatu rezim tidaklah sempurna. Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat diambil dari implementasi politik suatu rezim. Pelajaran pertama adalah kompleksitas rezim internasional berkontribusi pada munculnya fragmentasi hukum internasional dan ambiguitas peraturan yang menyebakan pilihan negara yang berbeda-beda. Pilihan yang sama dengan tujuan rezim, akan berkoordinasi menciptakan seperangkat aturan yang jelas. Pada pilihan yang berbeda, ambiguitas akan bertahan, memungkinkan negara untuk memilih interpretasi yang lebih mereka sukai. Pelajaran kedua, karena negara-negara dapat memilih aturan mana yang hendak diikuti dan masing-masing international venue membolehkan proses politik aktor berbeda-beda, implementasi politik akan berakhir pada definisi dan arti perjanjian internasional mana yang paling menonjol atau sesuai keinginan aktor K. J. Alter dan S. Meunier, The Politics of International Regime Complexity, Symposium of International Regime Complexity, Vol. 7, No. 1, Maret 2009, p
15 5. Hipotesis Indonesia menolak untuk menandatangani Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) tahun 2013 karena adanya beberapa ketentuan dalam ATT yang memiliki makna yang ambigu dan seolah tidak memberikan keseimbangan antara kepentingan negara eksportir dan importir. Salah satunya adalah pasal 7 yang berkaitan dengan ekspor dan penilaian ekspor. Pasal ini memberikan kewenangan kepada negara eksportir untuk melakukan penilaian, sehingga negara pengekspor berhak untuk menghentikan atau tidak memberikan izin transfer jika dinilai senjata tersebut memiliki potensi akan dipakai atau memfasilitasi tindakan kekerasan dan pelanggaran akan hak asasi manusia. Parameter pelanggaran hukum humaniter dan hak asasi manusia menitikberatkan pada penilaian negara eksportir. Pemerintah Indonesia menilai bahwa tidak adanya parameter atau ketentuan yang jelas mengenai pembelian senjata guna memerangi kelompok separatis atau untuk melindungi batas kedaulatan territorial, akan menyebabkan ATT lebih berpihak pada kepentingan negara pengekspor dan dirasa akan sangat merugikan negara importir seperti Indonesia. 6. Metode Penelitian A. Teknik Pengumpulan Data Penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif yakni riset yang menekankan pada pemahaman secara mendalam terhadap suatu fenomena, dengan berfokus pada peristiwa dan proses dari fenomena tersebut. Dalam pengumpulan data, penulis akan menggunakan studi kepustakaan (library reseach) dan wawancara. Metode library reseach dilakukan dengan mengumpulkan dokumen dan literatur yang berisi penjelasan proses pembuatan dan isi perjanjian ATT, kelemahan ATT, alasan dibalik abstainnya beberapa negara, dan pernyataan dari pejabat resmi mengenai alasan Indonesia untuk tidak ikut menandatangani ATT. Dokumen berupa teks-teks tertulis seperti buku, artikel, jurnal, koran, tabloid, situs-situs resmi pemerintah yang diakses melalui internet, serta sumber-sumber lain yang relevan. 15
16 Wawancara dilakukan untuk pengumpulan data (primer) dan juga penunjang teknik pengumpulan data lainnya. Dalam wawancara, penulis menggunakan teknik wawancara bebas, dimana peneliti memberikan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan berupaya mengundang jawaban atau komentar subjek wawancara secara bebas. Wawancara langsung dilakukan terhadap pihak yang terkait dengan penelitian ini, yakni Ibu Yuniar, Kepala Subbidang Hukum Internasional, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan RI). Penulis juga melakukan pengumpulan data primer melalui wawancara via dan Whatsapp dengan Nanda Avalist, S.IP, M.Si., Head of Section, Conventional Weapons, Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI). B. Pengolahan Data Dalam pengolahan data, penulis akan menggunakan metode deskriptif analitis yang bertujuan untuk menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya. Dalam proses ini, penulis akan melakukan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan cara menggolongkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data yang telah dikumpulkan. Setelah direduksi, data-data tersebut kemudian disajikan atau disusun secara sistematis sehingga memungkinan adanya penarikan kesimpulan yang logis terhadap permasalahan dalam penelitian ini. 7. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang disesuaikan dengan proses pembahasan yang diperlukan. Penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut. Bab 1 : Pendahuluan. Bab ini menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, review literatur, kerangka pemikiran, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 16
17 Bab II Bab III Bab IV Bab V : Bab ini berisi penggambaran akan dampak negatif transfer dan penggunaan senjata, pembentukan ATT, ketentuan utama draf ATT, nilai yang diusung ATT, serta kelemahan dan ambiguitas ATT. : Objek Penelitian. Bab ini berisi pemaparan akan negosiasi awal pembentukan ATT, keterlibatan Indonesia dalam negosiasi awal ATT, kepentingan Indonesia dalam negosiasi pembentukan ATT, perubahan sikap Indonesia, dan dinamika politik domestik akibat penolakan Indonesia menandatangani ATT. : Pembahasan. Bab ini berisi analisis penulis yakni alasan dibalik keputusan Pemerintah Indonesia untuk tidak menandatangani ATT dan analisis potensi Indonesia untuk menandatangani ATT. : Kesimpulan. 17
Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.
BAB V KESIMPULAN Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Semenjak Arab Saudi didirikan pada tahun 1932, kebijakan luar negeri
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak Arab Saudi didirikan pada tahun 1932, kebijakan luar negeri Arab Saudi pada dasarnya berfokus pada kawasan Timur Tengah yang dapat dianggap penting dalam kebijakan
Lebih terperinciI. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. yang diperlukan bergantung pada keberhasilan kegiatan mitigasi. Masyarakat
BAB V KESIMPULAN Perubahan iklim telah berdampak pada ekosistem dan manusia di seluruh bagian benua dan samudera di dunia. Perubahan iklim dapat menimbulkan risiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan
Lebih terperinciDUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)
Fakta dan Kekeliruan April 2009 DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions) Kekeliruan 1: Bergabung dengan Konvensi Munisi Tandan (CCM) menimbulkan ancaman
Lebih terperinciKEBIJAKAN ANTIKORUPSI
Kebijakan Kepatuhan Global Maret 2017 Freeport-McMoRan Inc. PENDAHULUAN Tujuan Tujuan dari Kebijakan Antikorupsi ini ("Kebijakan") adalah untuk membantu memastikan kepatuhan oleh Freeport-McMoRan Inc ("FCX")
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperincimengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea
BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia
Lebih terperinciUMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME
BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan Indonesia secara langsung maupun tidak langsung
Lebih terperinciRio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.
Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang
Lebih terperinciBAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME
BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME A. KONDISI UMUM Keterlibatan dalam pergaulan internasional dan pengaruh dari arus globalisasi dunia, menjadikan
Lebih terperinciPemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia, selanjutnya disebut Para Pihak :
PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK POLANDIA TENTANG KERJASAMA PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL DAN KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah Republik Indonesia
Lebih terperinciJURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA
UPAYA JEPANG DALAM MENJAGA STABILITAS KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGGARA RESUME SKRIPSI Marsianaa Marnitta Saga 151040008 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
Lebih terperinciBAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan
99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki
Lebih terperinciPemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :
PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH ROMANIA TENTANG KERJASAMA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL, TERORISME DAN JENIS KEJAHATAN LAINNYA Pemerintah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan kajian pustaka yang berkaitan mengenai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Kajian Pustaka Penelitian ini menggunakan kajian pustaka yang berkaitan mengenai respon negara terhadap terorisme serta upaya-upaya yang dilakukan negara untuk menangani terorisme.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi telah menyentuh hampir seluruh aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Kehidupan ekonomi global kini bersifat bebas dan tidak dibatasi oleh teritorial antar
Lebih terperincisebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.
BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik
Lebih terperinciKERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN
LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disusun dalam suatu sistem pertahanan semesta, tidak agresif dan tidak. besar Indonesia ke dalam jajaran militer terkuat di dunia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan sistem pertahanan dan keamanan terbaik. Seperti menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap
Lebih terperinciBAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan
BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan
Lebih terperinciturut melekat bagi negara-negara di Eropa Timur. Uni Eropa, AS, dan NATO menanamkan pengaruhnya melalui ide-ide demokrasi yang terkait dengan ekonomi,
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan berbagai aspek yang telah dinilai oleh pembuat kebijakan di Montenegro untuk bergabung dalam NATO, terdapat polemik internal dan eksternal yang diakibatkan oleh kebijakan
Lebih terperincidalam membangun kekuatan pertahanan mengedepankan konsep pertahanan berbasis kemampuan anggaran (capability-based defence) dengan tetap
BAB V PENUTUP Sejak reformasi nasional tahun 1998 dan dilanjutkan dengan reformasi pertahanan pada tahun 2000 sistem pertahanan Indonesia mengalami transformasi yang cukup substansial, TNI sebagai kekuatan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.
BAB 4 KESIMPULAN Korea Utara sejak tahun 1950 telah menjadi ancaman utama bagi keamanan kawasan Asia Timur. Korea Utara telah mengancam Korea Selatan dengan invasinya. Kemudian Korea Utara dapat menjadi
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciUU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)
Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR
Lebih terperinciKEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke
KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA Penyunting Humphrey Wangke Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2011
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan
BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Runtuhnya Uni Soviet sebagai negara komunis utama pada tahun 1990-an memunculkan corak perkembangan Hubungan Internasional yang khas. Perkembangan pasca-
Lebih terperinciPOLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK
POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Lebih terperinciAnti-Suap dan Korupsi (ABC) Prosedur ini tidak boleh diubah tanpa persetujuan dari kantor Penasihat Umum dan Sekretaris Perusahaan Vesuvius plc.
VESUVIUS plc Kebijakan Anti-Suap dan Korupsi PERILAKU BISNIS UNTUK MENCEGAH SUAP DAN KORUPSI Kebijakan: Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Tanggung Jawab Perusahaan Penasihat Umum Versi: 2.1 Terakhir diperbarui:
Lebih terperinciDAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...
DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan
Lebih terperinciBAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK
BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah
Lebih terperinciPENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL
PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal
Lebih terperinciBONUS DEMOGRAFI SEBAGAI ANCAMAN KONFLIK. Disusun sebagai Karya Esai Kritis Limas Oleh: Elsa Safira Hestriana Ilmu Hubungan Internasional 2013
BONUS DEMOGRAFI SEBAGAI ANCAMAN KONFLIK Disusun sebagai Karya Esai Kritis Limas 2015 Oleh: Elsa Safira Hestriana Ilmu Hubungan Internasional 2013 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU PUITIK UNIVERSITAS INDONESIA
Lebih terperinciHUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *
HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda * Naskah diterima: 12 Desember 2014; disetujui: 19 Desember 2014 Trend perkembangan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pertahanan
Lebih terperinciKEKUASAAN,POLITIK, & KEPEMIMPINAN
KEKUASAAN,POLITIK, & KEPEMIMPINAN Kekuasaan: kemampuan mempengaruhi Perilaku mengubah peristiwa, mengatasi perla dan meminta orang melakukan sesua yang tidak ingin mereka lakukan (Pfeffer dalam Luthans
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciuntuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang
Bab V KESIMPULAN Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya, organisasi biasanya berusaha meningkatkan produktifitas, kemampuan berinovasi, dan kemampuan
Lebih terperincibilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika
BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan
BAB V KESIMPULAN Penelitian ini membahas salah satu isu penting yang kerap menjadi fokus masyarakat internasional yaitu isu ekonomi perdagangan. Seiring dengan berkembangnya isu isu di dunia internasional,
Lebih terperinciDiadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002
Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang
Lebih terperinciKonvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008
Konvensi Munisi Tandan (CCM) tahun 2008 Perangkat Ratifikasi International Committee of the Red Cross 19 Avenue de la Paix, 1202 Geneva, Switzerland T +41 22 734 6001 F+41 22 733 2057 www.icrc.org KETAATAN
Lebih terperinciEksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan
Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu
Lebih terperinciKEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA
KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. baru dengan adanya terobosan Kebijakan Pembangunan Pangkalan Militer
BAB V KESIMPULAN Perjalanan sejarah strategi kekuatan militer China telah memasuki babak baru dengan adanya terobosan Kebijakan Pembangunan Pangkalan Militer China di Djibouti, Afrika pada Tahun 2016.
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.996, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Manajemen Risiko. Penyelenggaraan. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN
Lebih terperincinegara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk
BAB IV KESIMPULAN Sejak berakhirnya Perang Dingin isu-isu keamanan non-tradisional telah menjadi masalah utama dalam sistem politik internasional. Isu-isu keamanan tradisional memang masih menjadi masalah
Lebih terperinciPROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA
PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA
Lebih terperinciK143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975
K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Media dan demokrasi merupakan dua entitas yang saling melengkapi. Media merupakan salah satu produk dari demokrasi. Dalam sejarah berkembangnya demokrasi, salah satu
Lebih terperinciPERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK Pemerintah-pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja,
Lebih terperinciKOMENTAR UMUM no. 08
1 KOMENTAR UMUM no. 08 KAITAN ANTARA SANKSI EKONOMI DENGAN PENGHORMATAN TERHADAP HAK- HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Komite Persatuan Bangsa-bangsa untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya E/C.12/1997/8
Lebih terperinciPENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017
PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017 Dalam perkembangan pergaulan internasional saat ini, tidak mungkin
Lebih terperinciPROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI
PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI 1 Introduksi: Isu proliferasi senjata nuklir merupaka salah satu isu yang menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pentingnya isu nuklir terlihat dari dibuatnya
Lebih terperinciMAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI
FOCUS GROUP DISCUSSION DAN WORKSHOP PEMBUATAN MODUL MATERI HAM UNTUK SPN DAN PUSDIK POLRI Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 17 18 Maret 2015 MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang telah membangun mitra kerjasama dengan Tiongkok dalam berbagai
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.
100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan
Lebih terperinciLAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN
LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN 1. Umum. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan
Lebih terperinciBULETIN ORGANISASI DAN APARATUR
BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika
Lebih terperinciPolitik Luar Negeri Indonesia dan Isu Terorisme Internasional
Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Terorisme Internasional i ii Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Terorisme Internasional Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Terorisme Internasional iii iv Politik
Lebih terperinciPERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
-1- PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktek serupa perbudakan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal
BAB V KESIMPULAN Malaysia merupakan negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, Malaysia merupakan salah satu pendiri organisasi di kawasan Asia Tenggara,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Rinrin Desti Apriani, 2013
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Invasi dan pendudukan Vietnam ke Kamboja yang dilakukan pada akhir tahun 1978 merupakan peristiwa yang begitu mengejutkan baik bagi Kamboja sendiri maupun
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990an merubah konstelasi politik dunia. Rusia
BAB V KESIMPULAN Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990an merubah konstelasi politik dunia. Rusia berubah dari super power state menjadi middle-power state (negara dengan kekuatan menengah). Kebijakan luar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. <http://www.japantimes.co.jp/news/2013/06/01/world/the-evolution-of-ticad-since-its-inception-in-1993/>, diakses 16 Juni 2016.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak kebijakan ODA Jepang mulai dijalankan pada tahun 1954 1, ODA pertama kali diberikan kepada benua Asia (khususnya Asia Tenggara) berupa pembayaran kerusakan akibat
Lebih terperinciKomunikasi Politik
Komunikasi Politik Definisi Steven H. Chaffee (1975) Political Communication...peran komunikasi dalam proses politik Brian McNair (1995) Introduction to Political Communication Setiap buku tentang komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)
BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam
Lebih terperinciRESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar
RESUME SKRIPSI Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar negara yang melintasi batas negara. Sebagian besar negara-negara di dunia saling
Lebih terperincimemperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.
BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya
Lebih terperinciHAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar
Lebih terperinci1.1 Latar Belakang. BAB I : Pendahuluan
BAB I : Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan barangkali merupakan salah satu kebijakan pemerintahan Obama yang paling dilematis. Keputusan untuk menarik pasukan
Lebih terperinciTelah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:
LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN
PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN 2013-2018 JL. RAYA DRINGU 901 PROBOLINGGO SAMBUTAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, korban jiwa
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Peristiwa terorisme pada tahun 2002 di Bali dikenal dengan Bom Bali I, mengakibatkan banyak korban jiwa baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada. tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World Trade Organization (WTO) secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization ditandatangani para
Lebih terperinciLAPORAN HASIL PENELITIAN
LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERSEPSI ATAS PENYELENGGARAAN SOSIALISASI KEPEMILUAN, PARTISIPASI DAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN BANGLI Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli dan Fakultas
Lebih terperinciBAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,
Lebih terperinciRENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK
RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK Sebagai para pemimpin partai politik, kami memiliki komitmen atas perkembangan demokratik yang bersemangat dan atas partai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan narkotika di seluruh
Lebih terperinciBAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Analisa penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan membuktikan jawaban awal yang telah dirumuskan. Penelitian ini menjelaskan alasan Venezeula menggunakan
Lebih terperinciMODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL
MODUL IV PENGATURAN KEAMANAN REGIONAL PENDAHULUAN Kajian tentang strategi keamanan juga melandaskan diri pada perkembangan teori-teori keamanan terutama teori-teori yang berkembang pada masa perang dingin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. konteks hubungan internasional guna mengatasi berbagai masalah dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peluang kerjasama dalam era globalisasi saat ini sangat diperlukan dalam konteks hubungan internasional guna mengatasi berbagai masalah dengan meningkatkan hubungan
Lebih terperinci