Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Hak Cipta Dilindungi Undang Undang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Hak Cipta Dilindungi Undang Undang"

Transkripsi

1

2 Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Hak Cipta Dilindungi Undang Undang Pengarah: Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP. Penanggungjawab: Drs. Daryoto, M.Sc Ir. Rr. Aisyah Gamawati, MM Koordinator Substansi: 1. Sukandar 2. Teuku Chaerul 3. Sudrajat 4. Agus Wicaksono 5. Diah Ratri Kushermini Penulis: 1. Dr Pieter George Manoppo M.Psi 2. Dr Syarifah Ema Rahmaniah M.Ed 3. Mohammad Iqbal Ahnaf Ph.D 4. Dwi Rubiyanti Kholifah MA 5. Dr Hasan Almutahar M.Si Desain Grafis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Percetakan Cetakan Pertama, November, 2016 KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI 2016

3 Post Conflict Need Assessment (PCNA) i EXECUTIVE SUMMARY Salah satu kendala penting dalam pemulihan wilayah paska konflik adalah belum tersedianya instrumen yang memadahi untuk mengukur kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik, terutama yang terkait dengan modal sosial (kerugian non-material) yang berdampak pada melemahnya ketahanan sosial dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan bidang penanggulangan bencana alam yang telah memiliki instrumen yang cukup mapan dalam pengukuran tingkat kerugian yang disebabkan oleh terjadinya bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengembangkan apa yang disebut Post Disaster Need Assessment (PDNA) sebagai sebuah instrumen baku dalam menghitung tingkat kerugian suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam. Dalam kerangka PDNA ada dua instrumen pengukuran yang tersedia, yaitu Damage and Lost Assesment (DALA) untuk mengukur tingkat kerusakan dan kehilangan yang diderita suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam dan Human Recovery Need Assessment (HRNA) yang mengukur

4 ii Executive Summary kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk memulihkan kondisi masyarakat paska terjadinya bencana alam. Dalam konteks konflik sosial, disamping instrumen PDNA (DALA dan HRNA) tersebut, sangat dibutuhkan pengukuran terhadap kerugian non-materiil dalam bentuk rusaknya modal sosial dalam berbagai bentuk misalnya melemahnya relasi sosial antar masyarakat, terjadinya segregasi sosial dalam masyarakat, rusaknya budaya yang dimiliki oleh masyarakat, trauma psikologis, luruhnya solidaritas,polarisasi, integrasi, jaringan. Alat ukur yang cermat dan detil atas kerusakan modal sosial paska terjadinya konflik akan sangat membantu masyarakat dan daerah dalam memulihkan kondisi sosial kemasyarakatan, mengembalikan kondisi damai dengan dengan demikian mencegah berulangnya konflik. Dalam konteks terjadinya konflik sosial, disamping instrument PDNA (DALA dan HRNA) tersebut, pengukuran terhadap kerugian non-materiil dalam bentuk rusaknya modal sosial dalam berbagai bentuk misalnya melemahnya relasi sosial antar masyarakat, terjadinya segregasi sosial dalam masyarakat, rusaknya budaya yang dimiliki oleh masyarakat, trauma psikologis, luruhnya solidaritas, polarisasi, integrasi, jaringan dll, menjadi persoalan yang sangat penting untuk dicermati dan diukur secara detil paska terjadinya konflik sosial untuk membantu masyarakat dan daerah dalam memulihkan kondisi sosial kemasyarakatan seperti sediakala. Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi melalui Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertentu (PDTU) mengembangkan instrument pengukuran dampak kerugian akibat terjadinya konflik sosial dalam bentuk Post Conflict Need Assessment (PCNA) yang menambahkan instrumen pengukuran dalam bentuk Social Recovery Need Assessment (SRNA). Post Conflict Need Assessment (PCNA) adalah suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak, dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi penyusunan rencana aksi pemulihan paska konflik.pengkajian dan penilaian yang

5 Post Conflict Need Assessment (PCNA) iii dimaksud dalam PCNA meliputi pengkajian dan penilaian kerusakan dan kerugian fisik (materiil) dan kerusakan dan kerugian non-fisik (non-materiil). PCNA sendiri terdiri dari tiga bagian utama, yakni: a) Damage and Loss Assessment (DALA) yang memberi tekanan pada aspek kerusakan yang bersifat material dan dapat dikuantifikasi. b) Human Recovery Need Assessment (HRNA) memberi tekanan pada kebutuhan manusia : akses dasar, pendapatan, kesehatan, makanan, shelter, dan perumahan. c) Social Recovery Need Assesasment (SRNA) memberi tekanan pada dampak segregasi, kohesi sosial, solidaritas, polarisasi, dsb. Pengembangan instrumen SRNA setidaknya didasarkan 5 (lima) variabel yang menggambarkan jenis kerusakan sosial akibat terjadinya konflik sosial. Kelima variabel tersebut meliputi: 1. Kerusakan kapasitas manusia (komunitas). 2. Kerusakan kapasitas lingkungan sosial Kemasyarakatan 3. Kerusakan kapasitas peradaban/tata nilai dan budaya masyarakat 4. Kerusakan kapasitas fisik dan tata ruang 5. Gangguan mental individu dan masyarakat (Trauma psikososial). Kelima variabel kerusakan modal sosial masyarakat tersebut menjadi sangat penting untuk diukur agar diperoleh data dan informasi yang akurat tentang bagaimana proses dan tahapan pemulihan yang perlu dilakukan (jangka pendek, menengah dan panjang) sebagai bahan pengambilan kebijakan pembangunan di daerah-daerah paska konflik di Indonesia.

6 iv Executive Summary

7 Post Conflict Need Assessment (PCNA) v Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia KATA PENGANTAR Indonesia merupakan Negara yang sangat beragam baik dari aspek geografis maupun social budaya. Dari aspek geografis, Indonesia memiliki lebih dari pulau yang tersebar mulai Provinsi Aceh sampai ke Provinsi Papua. Sedangkan dari aspek social-budaya, Indonesia kaya akan keragaman suku yang berjumlah lebih dari 75 kelompok suku yang tersebar hingga ke pelosokpelosok daerah terpencil. Kondisi ini disatu sisi merupakan modal social yang sangat luar biasa dalam mendukung dan mensukseskan proses pembangunan nasional. Namun disisi lain, keragaman ini juga dapat menjadi beban sekaligus ancaman bagi keberlangsungan pembangunan nasional, jika kekayaan tersebut tidak dapat dikelola secara optimal demi pencapaian kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, konflik sosial masih terus terjadi diberbagai daerah di Indonesia. dampak nyata dari terjadinya konflik sosial tersebut tidak hanya hancurnya infrastruktur ekonomi dan

8 vi Kata Pengantar hasil pembangunan lainnya, namun juga hancurnya pranata social dan hilangnya nyawa masyarakat yang tidak berdosa. Konflik sosial pada umumnya meninggalkan kerusakan tidak hanya dalam aspek material, seperti hancurnya infrastruktur dan hilangnya sumber kehidupan ekonomi, tetapi juga yang tidak kalah penting adalah hancurnya modal sosial bagi perdamaian. Pemulihan kembali modal sosial perdamaian adalah kebutuhan mendasar yang patut menjadi prioritas untuk mencegah konflik sosial berulang. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, mencoba menginisiasi penyusunan instrumen yang dapat dijadikan panduan dalam melakukan identifikasi kerusakan sosial akibat terjadinya konflik. Intrumen Post Conflict Need Assessment (PCNA) ini diharapkan dapat menjadi alat yang bisa dipakai oleh semua pihak, baik pemerintah maupun lembagalembaga non-pemerintah untuk melakukan penilaian dan pemetaan secara komprehensif kerusakan sosial akibat konflik dan menentukan kebutuhan prioritas yang harus diambil untuk memulihkan kembali kondisi sosial yang ada di masyarakat. Buku ini mencoba mengembangkan instrumen yang didorong oleh kesadaran bahwa sumberdaya dalam penanganan konflik seharusnya tidak hanya dikerahkan dalam proses penghentian kekerasan. Proses pemulihan paska konflik membutuhkan sumberdaya yang tidak kalah besar karena proses kerusakan basis perdamaian biasanya tidak semerta-merta bisa dipulihkan dengan berhentinya kekerasan atau perang. Instrumen PCNA ini juga memberikan gambaran bahwa, pemulihan paska konflik sosial tidak hanya terkonsentrasi pada pembangunan ekonomi dan infratruktur, tetapi juga memulihkan kembali modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat merupakan kebijakan yang sangat strategis untuk dilakukan agar konflik tidak terulang kembali pada masa yang akan datang. Akhirnya, atas nama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, saya menyampaikan ucapan terima

9 Post Conflict Need Assessment (PCNA) vii kasih serta apresiasi yang setinggi-tingginya, khususnya kepada Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertentu beserta seluruh jajarannya, yang telah menginisiasi buku pedoman penyusunan Post Conflict Need Assessment (PCNA) ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku pedoman ini. Besar harapan saya agar Buku Pedoman Penyusunan PCNA ini dapat dijadikan panduan semua pihak untuk melakukan identifikasi dan pemetaan kerusakan sosial akibat konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Jakarta, Nopember 2016 Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Republik Indonesia Eko Putro Sandjojo

10 viii Kata Pengantar

11 Post Conflict Need Assessment (PCNA) ix DAFTAR ISI EXECUTIVE SUMMARY... i KATA PENGANTAR...v DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...xv Bab. I. BAB II. PENDAHULUAN Latar Belakang...1 KONSEP DASAR DAN INSTRUMEN PEMETAAN DAMPAK KONFLIK Defisini dan Ruang Lingkup Konflik Sosial Konsep Dampak Sosial Dampak Konflik Sosial... 11

12 x Daftar Isi Konsep dan Peran Modal Sosial Model Pengkajian dan Penilaian: Akibat, Dampak dan Kebutuhan Pendekatan dan Metodologi PCNA BAB III. KERANGKA PENDEKATAN PCNA (DALA, HRNA DAN SRNA) Damage and Loss Assessment (DALA) Human Recovery Need Assessment (HRNA) Social Recovery Need Assessment (SRNA) Kerangka Konseptual Model Kajian (PCNA) BAB IV. KELEMBAGAAN, KOORDINASI DAN PENDANAAN Kelembagaan Pola Kelembagaan Perspektif Legal Pola Kelembagaan: Perspektif Reflektif untuk PCNA/SRNA Koordinasi ) Prinsip-prinsip Dasar Koordinasi ) Arah Koordinasi Dalam... Roadmap Penanganan Konflik ) Koordinasi Berbasis Perdamaian dan Ketangguhan Konflik Pendanaan ) Pendanaan Pemerintah ) Pendanaan Non Pemerintah ) Tantangan BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi... 69

13 Post Conflict Need Assessment (PCNA) xi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 77

14 xii Daftar Isi

15 Post Conflict Need Assessment (PCNA) xiii DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tahapan PCNA...5 Gambar 2. Korelasi Destruksi Sumber Daya Komunitas, Indeks Ketahanan dan Proses Recovery Gambar 3. Komponen PCNA Gambar 4. Cakupan Dampak Konflik Gambar 5. Destruksi dan Reproduksi Destruksi Kapasitas Sumber Daya Komunitas Gambar 6. Kerangka Konseptual Model PCNA Gambar 7. Struktur Tim Koordinasi Pembangunan Perdamaian Gambar 8. Gabungan Pola Kelembagaan Penanganan Bencana/Konflik Gambar 9. Roadmap Penanganan Konflik dan Tahapan Membangun Ketangguhan Gambar 10. Model Pengelolaan PCNA Berbasis Komunitas... 58

16 xiv Pendahuluan

17 Post Conflict Need Assessment (PCNA) xv DAFTAR LAMPIRAN Tabel 1.a Butir-Butir Pernyataan Kerusakan Kapasitas SDM Tabel 1.b. Butir-Butir Pertanyaan Kerusakan Kapasitas SDM Tabel 2.a. Butir-Butir Pernyataan Kerusakan Lingkungan Sosial Tabel 2.b. Butir-Butir Pertanyaan Kerusakan Lingkungan Sosial Tabel 3.a. Butir-Butir Pernyataan Keruskaan Budaya dan Peradaban Tabel 3.b. Butir-Butir Pertanyaan Kerusakan Budaya dan Peradaban Tabel 4.a. Butir-Butir Pernyataan Kerusakan Fisik dan Tata Ruang Tabel 4.b. Butir-Butir Pertanyaan Kerusakan Fisik dan Tata Ruang Tabel 5.a. Butir-Butir Pernyataan Depresi dan Trauma Psikososial Tabel.5.b. Butir-Butir Pertayaan Depresi dan Trauma Psikososial

18 xvi Daftar Lampiran

19 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanganan konflik di Indonesia memberikan penekanan pada pencegahan konflik. Hal ini ditunjukkan dalam UU 7/2012 dan RPJMN yang memberikan prioritas pada aspek pencegahan terhadap konflik. Dalam konteks pencegahan hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah pemulihan paska konflik yang sangat dibutuhkan untuk mencegah berulangnya kembali konflik. Konflik sosial pada umumnya meninggalkan kerusakan tidak hanya dalam aspek material, seperti hancurnya infrastruktur dan hilangnya sumber kehidupan ekonomi, tetapi juga yang tidak kalah penting adalah hancurnya modal sosial bagi perdamaian. Karena itu, pemulihan kembali modal sosial perdamaian adalah kebutuhan mendasar yang patut menjadi prioritas untuk mencegah konflik sosial berulang. Karena itu instrumen ini didorong oleh kesadaran

20 2 Pendahuluan bahwa sumberdaya dalam penanganan konflik seharusnya tidak hanya dikerahkan dalam proses penghentian kekerasan. Proses pemulihan paska konflik membutuhkan sumberdaya yang tidak kalah besar karena proses kerusakan basis perdamaian biasanya tidak semerta-merta bisa dipulihkan dengan berhentinya kekerasan atau perang. Secara legal formal, pentingnya pemulihan paska konflik ini telah menjadi tanggungjawab negara sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial di Indonesia yang tidak hanya meliputi tahapan Rekonsiliasi, tetapi juga tahapan paska konflik, yang disebut Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Dalam kerangka ini Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Direktorat Penanganan Daerah Paska Konflik (PDPK) memegang peranan penting karena agenda Rehabilitasi dan Rekonstruksi pada umumhya terjadi di level desa dan karena itu tidak bisa dilepaskan dari mandat pembangunan desa. Karena itu Kementerian ini mempunyai Direktorat Penanganan Daerah Paska Konflik (PDPK) -Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertentu (PDTU) yang memiliki kewenangan atau tanggungjawab untuk merumuskan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan yang secara khusus ditujukan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi di daerah yang pernah terjadi konflik. Untuk menjalankan amanat ini, buku ini disusun sebagai upaya perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan penanganan daerah paska konflik. Langkah ini sejalan dengan mandat UU 7/2012 dan RPJMN untuk mengupayakan sebagai bagian dari pencegahan konflik dengan memberikan perhatian kepada daerahdaerah yang memiliki tingkat kerawanan konflik yang tinggi. Salah satu kendala penting dalam pemulihan wilayah paska konflik adalah belum tersedianya instrumen yang memadai untuk mengukur kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik, terutama yang terkait dengan modal sosial (kerugian non-material) yang berdampak pada melemahnya ketahanan sosial dalam masyarakat. Hal ini

21 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 3 berbeda dengan bidang penanggulangan bencana alam yang telah memiliki instrumen yang cukup mapan dalam pengukuran tingkat kerugian yang disebabkan oleh terjadinya bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengembangkan apa yang disebut Post Disaster Need Assessment (PDNA) sebagai sebuah instrumen baku dalam menghitung tingkat kerugian suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam. Dalam kerangka PDNA ada dua instrumen pengukuran yang tersedia, yaitu Damage and Lost Assesment (DALA) untuk mengukur tingkat kerusakan dan kehilangan yang diderita suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam dan Human Recovery Need Assessment (HRNA) yang mengukur kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk memulihkan kondisi masyarakat paska terjadinya bencana alam. Dalam konteks konflik sosial, disamping instrumen PDNA (DALA dan HRNA) tersebut, sangat dibutuhkan pengukuran terhadap kerugian non-materiil dalam bentuk rusaknya modal sosial dalam berbagai bentuk misalnya melemahnya relasi sosial antar masyarakat, terjadinya segregasi sosial dalam masyarakat, rusaknya budaya yang dimiliki oleh masyarakat, trauma psikologis, luruhnya solidaritas,polarisasi, integrasi, jaringan. Alat ukur yang cermat dan detil atas kerusakan modal sosial paska terjadinya konflik akan sangat membantu masyarakat dan daerah dalam memulihkan kondisi sosial kemasyarakatan, mengembalikan kondisi damai dengan dengan demikian mencegah berulangnya konflik. Oleh karenanya, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi melalui Direktorat Penanganan Daerah Paska Konflik-Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertentu (PDTU) mengembangkan instrumen pengukuran dampak kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya konflik sosial yang disebut Post Conflict Need Assessment (PCNA) yang melengkapi instrumen serupa lain yang disebut Social Recovery Need Assessment (SRNA). Instrumen pengukuran SRNA dikembangkan berdasarkan pengalaman terjadinya konflik sosial di berbagai daerah yang berakibat hancurnya modal sosial yang

22 4 Pendahuluan dimiliki oleh masyarakat suatu daerah. Dokumen ini adalah adaptasi dari instrument SRNA yang diintegrasikan dengan pemetaan dampak sosial dari konflik yang kemudian disebut PCNA. Panduan assessmen ini merupakan konsekuensi dari perlunya dilaksanakan proses pemetaan dan pengenalan mendasar, faktual, konstekstual dan sistematis terhadap kondisi terkini yang dihadapi pasca konflik sosial pada wilayah tertentu. Khususnya kebutuhan social recovery untuk menemukan kondisi destruksi modal sosial dan psikososial masyarakat pasca konflik yang menyumbang pada ketahanan sosial masyarakat. Dengan demikian manfaat penyusunan Kerangka Kerja Post Conflict Need Assessment (PCNA) ini adalah untuk: 1) Memberikan panduan baku bagi aparat berwenang tingkat pusat dan daerah dalam mengukur dampak kerusakan sosial dan kebutuhan pemulihan akibat terjadinya konflik sosial di suatu wilayah. 2) Memberikan data dan informasi akurat yang berbasis data-data lapangan dalam rangka penyusunan rencana aksi pemulihan pasca konflik. 3) Memberikan dukungan bagi program-program pemulihan pasca konflik dan pencegahan konflik dalam jangka panjang. Adapun sasaran utama dirumuskannya post-conflict need assessment (PCNA) ini adalah kementerian-kementerian dan badan terkait yang memiliki program Rehabilitasi, Rekonstruksi dan Rekonsiliasi dalam penanganan konflik sosial baik di tingkat pusat maupun di daerah. Adapun langkah-langkah pengkajian kebutuhan pasca konflik/ PCNA dibagi dalam tiga tahap yang meliputi, pertama tahap pengkajian akibat konflik, kedua tahap pengkajian dampak konflik dan ketiga tahap kebutuhan pasca konflik. Seluruh tahap ini bertujuan agar pelaksanaan PCNA menjadi lebih logis, sistematis dan terstruktur sebagaimana digambarkan dalam Diagram 1 berikut:

23 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 5 Diagram 1. Tahapan PCNA. Konflik Pengkajian akibat (effect) konflik (DALA) 1.kerusakan 2.kerugian 3.kehilangan/gangguan akses 4. Gangguan Fungsi 5.Naiknya resiko Pengkajian dampak (impact) konflik (HRNA) 1. Ekonomi dan fiscal 2. Sosial, budaya dan politik 3. Pembangunan manusia 4. Lingkungan Penyusunan rencana aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pengkajian kebutuhan pemulihan (SRNA) 1. Pembangunan 2. Penggantian 3. Penyediaan bantuan akses 4. Pemulihan fungsi 5. Pengurangan resiko

24 6 Pendahuluan

25 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 7 BAB II KONSEP DASAR DAN INSTRUMEN PEMETAAN DAMPAK KONFLIK 2.1. Definisi dan Ruang Lingkup Konflik Sosial Konflik sosial terjadi ketika dua kelompok atau lebih memandang bahwa mereka mempunyai tujuan yang tidak bisa dipertemukan (incompatible goals) dan karena itu satu sama lain berusaha untuk mengalahkan atau mengeliminasi pihak lain. Puncak dari konflik sosial terjadi ketika salah satu atau kedua belah pihak memilih cara kekerasan terhadap pihak lain untuk memenuhi aspirasinya. Konflik bisa bisa terjadi antar kelompok dalam masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah dan antara masyarakat dengan organisasi bisnis di suatu wilayah. Sumber konflik bisa terkait dengan pertentangan nilai atau keyakinan, dan pertentangan kepentingan dalam memperebutkan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan. Konflik

26 8 Konsep Dasar dan Instrumen Pemetaan Dampak Konflik sosial bisa dibedakan dari konflik individu karena pihak-pihak yang bersengketa terdiri dari kelompok yang bisa dibedakan. Yang patut dicatat konflik berpotensi menciptakan situasi tegang dan perasaan tidak aman atau tekanan psikologis, tetapi tidak semua konflik mewujud dalam bentuk kekerasan. Situasi dan kondisi dimana terjadi kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, merupakan tahapan lanjut dari pertentangan pendapat yang berbeda-beda tersebut(pruitt, and Rubin, 2003). Kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Menurut Robin (P4K Untad, 2006), proses konflik dimulai ketika suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentinganya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Menurut pengertian tersebut, wujud konflik itu mencakup rentang yang amat luas, mulai dari ketidaksetujuan samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Dengan kata lain, setiap perbedaan itu merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara baik, potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka. Konflik bisa dibedakan dalam 6 tingkatan dari yang paling ringan ke yang paling berat, yaitu: 1) Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Setiap perbedaan itu merupakan sumber konflik. Konflik yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap sesuatu perkara. Perbedaan ini masih tersimpan dalam memori individu atau kelompok yang beriteraksi. 2) Mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggap berbeda, tetapi belum ada versi bahwa pihak lain itu keliru. 3) Mengajukan serangan secara lisan. Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada tuduhan bahwa pihak lain keliru atau bertanggungjawab. Pada tahap ini pihak yang bertikai belum

27 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 9 melakukan paksaan secara lisan agar pihak lain itu bersikap seperti apa yang dinginkannya. 4) Mengajukan ancaman. Ada tahap ini paksaan lisan sudah mulai muncul, artinya ada suatu upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya. 5) Pihak-pihak yang bertikai melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik. 6) Puncak atau ledakan konfik terjadi ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain Konsep Dampak Sosial Latar belakang dilakukannya studi dampak sosial bermula dari suatu pemikiran bahwa masyarakat merupakan bagian dari tiga ranah interaksi yang saling terkait, yakni sosial, ekonomi dan fisik. (Hadi, 1997: 23-24) Apabila terjadi perubahan dari salah satu ranah maka perubahan ini akan mempengaruhi ranah yang lain. Begitupula dengan kajian dampak di suatu daerah yang pernah mengalami konflik yang akan memberikan perubahan terhadap sistem relasi multidimensi dengan bermacam-macam komponen, variabel dan indikator terkait. Karena itu, kajian dampak konflik sosial menuntut pemahaman atas dampak konflik terhadap hubungan saling terkait antara ketiga ranah interaksi antar kelompok di atas dalam rentang waktu mulai dari berlangsungnya konflik hingga masa paska konflik. Popenoe (1978), Goodman dan Marx (1978) dalam Leistritz et al. (1981) menjelaskan dampak sosial merupakan dampak yang memberikan pengaruh terhadap pola interaksi sosial, baik bersifat formal atau informal, yang lahir dari interaksi sosial, termasuk bagaimana persepsi anggota satu kelompok atas hubungan mereka dengan kelompok lain dalam suatu sistem sosial. Sejalan dengan Popenoe, Burdge dan Vanclay menambahkan (1996:59) dampak sosial adalah dampak-dampak yang mencakup semua konsekuensi

28 10 Konsep Dasar dan Instrumen Pemetaan Dampak Konflik sosial dan budaya atas suatu kelompok manusia sebagai akibat dari rusaknya pola relasi antar kelompok yang mengubah cara hidup, bekerja,bermain, dan upaya pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang layak. Analisa dampak konflik sosial menggarisbawahi pentingnya merespon dampak kultural yang menciptakan perubahan norma-norma, nilai-nilai dan tradisi yang pada masa sebelumnya membimbing nalar pribadi dan masyarakat untuk hidup bersama secara damai dengan kelompok yang berbeda. Namun demikian, analisa dampak konflik sosial tidak selalu mudah karena apa yang diklaim sebagai dampak bisa saja diperbebatkan aktor atau korban konflik. Menurut Homencuk (1988: 1 & 3) dalam Sudharto P. Hadi (1997: 26-27) dampak konflik bisa bersifat nyata (real impact) dan dipersepsikan (perceived impact). Dampak nyata biasanya lebih mudah diidentifikasi karena berkaitan dengan perubahan-perubahan pada hal yang bersifat fisik seperti migrasi penduduk, hilangnya tempat tinggal, kematian, hilangnya harta benda dan komunitas. Adapun dampak yang dipersepsikan (perceived impact) membutuhkan kajian lebih mendalam karenaterkait dengan perubahan paska konflik yang berifat non-fisik, seperti perasaan takut atau tidak aman, trauma, berubahnya sistem nilai dan kebudayaan, dan lain-lain. Dampak-dampak jenis ini berasal dari persepsi atau penafsiran (interpretasi) yang bisa jadi tidak tunggal. Armour (1987:2) dalam Hadi (1997: 24-25), mengidentifikasi dua ranah dampak konflik sosial sebagai berikut: Cara hidup (way of life), termasuk didalamnya bagaimana manusia dan masyarakat hidup, bekerja, bermain, dan berinteraksi satu dengan yang lain. Budaya, termasuk di dalamnya sistem nilai, norma dan kepercayaan. Komunitas meliputi struktur penduduk, kohesi sosial, stabilitas masyarakat, estetika, sarana-prasarana yang diakui sebagai public facilities. Beberapa contoh public facilities adalah gedung sekolah, tempat ibadah seperti masjid dan gereja, balai rukun warga, balai kelurahan.

29 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 11 Dengan demikian dampak konflik sosial menyebabkan terjadinya perubahan sosial baik itu perubahan fisik dan psikososial pada individu dan kelompok atau komunitas. Dampak dalam kategori yang petama, cara hidup, bisa juga disebut dampak sosial dan kultural dalam sistem sosial dan kultural. Dampak sosial ini menekankan pada perubahan pola interaksi sosial dan cara hidup masyarakat untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi kehidupan yang lebih baik, sementara dampak kultural lebih banyak menekankan pada perubahan nilai, norma dan keyakinan dalam suatu komunitas. Adapun cakupan dampak itu sendiri sangat luas tidak hanya dampak individu atau personal namun juga dampak komunitas baik itu cara hidup maupun struktur penduduk, baik yang telah melekat maupun yang baru terbangun pasca konflik Dampak Konflik Sosial Dalam lingkup kedua kategori perubahan sosial paska konflik sebaga sebagaimana dijelaskan di atas, dampak konflik sosial bisa mencakup berbagai sektor kehidupan termasuk yang bersifat fisik seperti infrastruktur dan ekonomi, dan non-fisik seperti politik pemerintahan dan sosial budaya. 1) Dampak Ekonomi. Dampak ekonomi ini ditandai dengan menurunnya jumlah uang yang beredar, berkurangnya lapangan pekerjaan, menurunnya penerimaan daerah, menurunnya pendapatan masyarakat, terganggunya kegiatan ekonomi di daerah-daerah yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah-daerah konflik. Meningkatnya tekanan bagi dunia bisnis untuk bekerja baik secara komersial maupun sosial. Di hampir setiap sektor bisnis, perusahaanperusahaan berada di bawah tekanan yang semakin besar untuk memenuhi tuntutan para pemegang saham maupun tuntutan lebih luas dari stakeholder terhadap inefisiensi penanganan konflik.

30 12 Konsep Dasar dan Instrumen Pemetaan Dampak Konflik 2) Dampak Infrastruktur. Dampak infrastruktur ini ditandai dengan terjadinya kerusakankerusakan pada rumah penduduk, tempat ibadah, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Kerusakan-kerusakan yang terjadi menandai telah bergesernya penyebab dasar konflik dari terutama kepentingan geostrategis ke perbedaan-perbedaan ideologi berdasarkan akses terhadap sumber daya, isu-isu identitas, dan kegagalan peran pemerintah dalam penanganan konflik. 3) Politik dan Pemerintahan. Dampak dibidang politik dan pemerintahan ditandai dengan melemahnya fungsi kelembagaan pemerintahan, menurunnya pelayanan kepada masyarakat, membengkaknya pembelanjaan pemerintah, terganggunya pranata politik yang ada, menguatnya gejala separatisme dan lain-lain. Proses transisi politik dan sosial-ekonomi mempengaruhi pula dampak konflik politik dan pemerintahan, sehingga banyak milisi sipil dan telah terjadi peningkatan kekerasan secara dramatis. Adanya kekerasan yang terjadi di masyarakat Indonesia paska konflik, banyak disebabkan oleh penarikan tentara yang didemobilisasi dan belum berfungsinya kelembagaan pemerintahan sipil. 4) Sosial Budaya. Dampak sosial budaya ini ditandai dengan munculnya gelombang pengungsian, gangguan kesehatan, terganggunya proses pendidikan, serta trauma psikologis khususnya pada anak-anak dan perempuan, serta ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Migrasi penduduk akibat konflik berupa pertentangan pendapat hingga kekerasan fisik dan psikis membuat perubahan komposisi penduduk asli dan pendatang. Penduduk yang sudah merasa aman dan tinggal di daerah pengungsian, namun faktanya banyak menjadi korban kebijakan penanganan konflik yang mengharuskan mereka kembali

31 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 13 ke lokasi semula. Kembalinya mereka ke lokasi semula menimbulkan konflik-konflik sosial budaya baru yang lebih rumit untuk diatasi. Dalam kajian politik, perubahan sosial budaya biasanya merujuk pada satu konsep yang disebut modal sosial. Dampak sosial ini memegang peranan penting dalam pemulihan masyarakat paska konflik; tetapi sayangnya aspek ini seringkali kurang mendapat perhatian di tengah dominanya penanganan dampak fisik wilayah paska konflik. Karena itu di bawah ini dijelaskan secara lebih detil konsep modal sosial untuk mendapatkan gambaran tentang apa yang perlu diperhatiakn dalam penilaian kebutuhan paska konflik Konsep dan Peran Modal Sosial Istilah modal sosial digunakan oleh sejumlah ilmuan dengan pengertian yang tidak seragam.ada tiga ilmuan penting yang paling banyak dirujuk dalam kajian tentang modal sosial, yakni Pierre Bourdie, James Coleman dan Robert Putnam.Bourdieu (1986) menggunakan istilah modal sosial untuk merujuk pada kekuatankekuatan sosial yang dimiliki oleh individu dalam suatu masyarakat untuk mendapatan keuntungan atau dominasi.sebaliknya, istilah yang sama digunakan oleh Putnam (1993,2000) untuk merujuk pada nilai dan organisasi sosial seperti kepercyaan, norma dan jaringan sosial yang memungkinkan partisipasi dalam kehidupan publik kerjasama dan kolaborasi antar individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Suharto (2007 dalam Inayah 2012: 44) menambahkan modal sosial juga dipahami sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi individu dalam komunitas. Berdasarkan definisi modal sosial tersebut maka modal sosial merupakan sumberdaya yang lahir dari hasil interaksi suatu komunitas yang terikat secara emosional dari hubungan kekerabatan, kepercayaan, jaringan sosial, nilai dan norma yang membentuk struktur masyarakat sehingga memberi ruang terciptanya koordinasi, kolaborasi dan kerjasama yang sinergi. Untuk mengukur dan mengidentifikasi pola dan peran modal sosial dapat dilakukan melalui hasil interaksi tersebut seperti

32 14 Konsep Dasar dan Instrumen Pemetaan Dampak Konflik terawatnya kepercayaan yang terjalin antar warga masyarakat Sejumlah ilmuan (Woolcock, 2002; Putnam 1993; Varshney 2003) membagi tiga dimensi dari modal sosial yaitu bonding, bridging, dan linking. 1) Bonding social capital (modal sosial yang mengikat) merujuk kepada hubungan antar individu yang berada dalam kelompok atau lingkungan komunitas yang sama sehingga mempermudah tranformasi pengetahuan. 2) Bridging social capital (modal sosial yang menjembatani) hubungan antar-individu yang menjembatani hubungan antara anggota dari komunitas, budaya, latar belakang sosial ekonomi yang berbeda sehingga mempermudah terjadidnya pertukaran informasi dan antar kelompok. 3) Linking social capital (modal sosial yang mengaitkan) merujuk pada kaitan antara aktor atau lembaga yang bersifat krusial atau menentukan dalam terjadinya relasi positif antara pemegang kuasa (power structure). Berbeda dengan bridging yang lebih merujuk pada hubungan antara warga bisa, bridging lebih melibatkan lembaga atau aktor kunci sehingga dampanya dalam terciptanya situasi damai lebih menentukan. Dengan demikian berdasarkan definisi diatas maka terdapat enam unsur pokok dalam konsep modal sosial seperti yang dipaparkan Hasbullah (2006): 1) Participation in a network. Kemampuan dan upaya sekelompok orang terlibat dalam suatu jaringan sosial dari berbagai variasi hubungan yang terjalin berdasarkan prinsip kesukarelaan (voluntary), Kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). 2) Reciprocity. Saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompik dan antar kelompok 3) Trust. tindakan kolektif berdasarkan saling percaya agar partisipasi mansyarakat meningkat dalam berbagai bentuk dan dimensi

33 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 15 4) Social norms. Sekumpulan aturan yang disepakati bersama untuk dipatuhi oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu 5) Values. Ide yang lahir turun menurun dan diyakini memiliki kebenaran dan penting untuk diterapkan anggota masyarakat 6) Proactive action. Keinginan, energi dan semangat yang kuat dari anggota masyarakat untuk senantiasa berpartipasi dalam suatu kegiatan masyarakat. Jika enam unsur modal sosial masyarakat tersebut benar-benar telah terangkum dalam suatu aktvitas dan interaksi sosial masyarakat maka modal sosial akan dapat memberikan kontribusi konstruktif dalam pembangunan, baik pembangunan sosial, manusia,ekonomi maupun politik. Peran modal sosial dalam pembangunan manusia misalnya,akan berkaitan dengan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek, mendorong perubahan yang konstruktif dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan berupaya mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan (Inayah 2012:46 ). Dalam pembangunan sosial, modal sosial di tengah masyarakat dapat menciptakan situasi masyarakat yang menghargai toleransi, menumbuhkan empati dan simpati terhadap kelompok masyarakat di luar kelompoknya. Adapun peran modal sosial seperti semangat gotong royong, tolong menolong saling mengingatkan antar individu merupakan refleksi dari semangat saling memberi (reciprocity), saling percaya (trust) dan adanya jaringan sosial (social networking) sehingga membangun kebersamaan dan kekompakan dalam aktvitas ekonomi untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan dan mencari solusi bersama dalam meningkatkan perekonomian. Selanjutnya, dengan modal sosial yang tinggi tentu akan mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam mengawal proses politik dan pemerintahan yang tinggi akuntabilitas dan transparansinya sehingga terjalin relasi yang seimbang dan baik antara pemerintah dan masyarakat (Inayah 2012: 47 dan Hasbullah 2006).

34 16 Konsep Dasar dan Instrumen Pemetaan Dampak Konflik Model Pengkajian dan Penilaian: Akibat, Dampak dan Kebutuhan Paska Konflik Jenis-jenis dampak konflik sosial sebagaimana dijelaskan di atas patut menjadi landasan untuk melakukan pengkajian atas dampak konflik sosial. Meski demikian perlu diingat bahwa selain dampak negatif ada dampak-dampak positif yang menjadi sisi lain dari konflik. Wijono (2012:235) menambahkan bahwa konflik sosial dapat menimbulkan dua dampak utama, dampak positif dan negatif. Dampak positif konflik bisa dilihat dalam berbagai bentuk, seperti (1) membuka masalah-masalah yang diabaikan sebelumnya menjadi lebih terbuka (2) mendorong orang lain untuk memahami posisi dan kondisi orang lain (3) menstimulasi lahirnya ide-ide baru dan inovatif dan memfasilitasi perbaikan dan perubahan (4) meningkatkan kualitas keputusan dengan cara mendorong orang lain untuk membuat asumsi melakukan perbuatan. Sementara itu dampak negatif konflik adalah (1)dapat menimbulkan emosi dan stress negatif, (2) berkurangnya intensitas dan kualitas komunikasi yang digunakan sebagai persyaratan untuk koordinasi (3) munculnya pertukaran gaya partisipasi menjadi gaya yang otoritatif (4) menimbulkan prasangka negatif (5) menyebabkan adanya tekanan loyalitas terhadap suatu kelompok. Kerana itu pengkajian atas dampak konflik sosial juga dituntut untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan positif paska konflik yang patut diperkuat. Fokus dari upaya pengkajian dampak paska konflik bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi permasalahan sosial pasca konflik 2) memastikan agar intervensi sosial mempertimbangkan keseimbangan dan keberlanjutan faktor ekonomi dan sosial 3) menyediakan informasi penilaian resiko bagi keberlanjutan dan keseimbangan modal komunitas seperti modal sosial, modal ekonomi,modal politik, modal kultural, dan modal sumber daya alam.

35 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 17 Pada tahap lebih lanjut proses ini diharapkan bisa menghasilkan peta kebutuhan untuk merencanakan bentuk-bentuk intervensi atau pemulihan wilayah paska konflik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah: 1) menghasilkan suatu desain yang lebih strategis termasuk rencana pengurangan risiko dan langkah-langkah mitigasi yang dapat mengurangi kemungkinan gagalnya suatu program akibat adanya dampak negatif. 2) menghasilkan seperangkat indikator dan sistem monitoring terpercaya yang dapat menyokong proses pembelajaran dan manegemen adaptif 3) meningkatkan keterlibatan dan kepemilikan pemangku kepentingan lokal yang sangat berkontribusi terhadap keberlanjutan dan kesinambungan sosial suatu program 2.2. Pendekatan dan Metodologi PCNA. Kajian terhadap dampak sosial pasca konflik, dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dengan 4 metode sebagai berikut: 1) metode data sekunder; 2) metode survei (survey sampel dan survey Delphi); 3) metode observasi partisipasi; dan 4) metode penelitian tak kentara (unobtrusive). Pelaksanaan metode tersebut dilakukan dalam 6 langkah, yaitu: (1) Pemilihan metode; (2) Penentuan desain sampel; (3) Penyusunan kuesioner; (4) Pengujian kuesioner; (5) Pengoperasian kuesioner; dan (6) Analisis data (dalam Leistritz et al. 1981).Pada kenyataannya,patut diperhatikan bahwa kajian terhadap dampak sosial pasca konflik memiliki beberapa tantangan kontekstual yang mesti disikapi dengan bijaksana, seperti: 1) Sulitnya untuk membuktikan fakta-fakta sebab akibat 2) Dampak sosial baru akan terlihat dalam jangka panjang. Karena

36 18 Konsep Dasar dan Instrumen Pemetaan Dampak Konflik itu sulit secara faktualdapat diidetifikasi ekspresinya dalam jangka pendek 3) Dampak sosial bersifat tersembunyi (intangible) sebagai efek negatif tidak terduga 4) Dampak sosial berkaitan dengan kontestasi atau persaingan nilai sosial dan politik 5) Sulit membedakan antara dampak jangka panjang dan out come/ jangka menengah 6) Terbatasnya sumber daya yang diandalkan dalam mendeteksi mengenai dampak sosial pasca konflik sehingga data dasar yang ada tidak cukup akurat dalam memprediksi proses perubahan sosial dan hasilnya 7) Tidak ada pendekatan yang bersifat tunggal yang mampu diaplikasikan sehingga dianggap cocok untuk semua situasi. Merujuk pada uraian tersebut di atas, maka pengkajian dan penilaian terhadap dampak sosial ini sebaiknya dipahami sebagai upaya awal yang serius dan sistematis untuk melakukan mitigasi dan upaya pemulihan psikososial pasca konflik atau yang dikenal dengan post conflict need assessment (PCNA). Alasannya, karena usaha ini bermanfaat untuk: a. Menyediakan gambaran data dasar berkaitan dengan jenis kebutuhan daerah pasca konflik, yang karakteristik pendekatan dan jenis kebutuhannya berbeda dengan daerah yang dilanda bencana alam; b. Menjadi peta jalan yang dapat memandu pengalokasian (sejak dalam perencanaan) dan implementasi bantuan bagi daerah paska konflik, c. Memformulasi sinergi yang padu lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. d. Merupakan Tools yang digunakan untuk menilai tingkat kerusakan dan kerugian akibat terjadinya konflik sosial. e. Dokumen yang dapat dijadikan rujukan untuk melakukan

37 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 19 kegiatan-kegiatan Rehabilitasi dan Pemulihan paska konflik di suatu daerah; (Fisik dan Non Fisik). Kajian terhadap akibat dan dampak sosial pasca konflik ini menjadi penting karena dapat mengidentifikasi data yang mamadahi tentang kebutuhan-kebutuhan untuk pemulihan sosial. Karena penanganan masyarakat paska konflik terkait dengan penganggaran, maka data kuantitatif yang bisa memberikan penghitungan nominal kebutuhan untuk pemulihan sangat dibutuhkan. Meski demikian, data kuantitatif ini perlu dibuat dan diperlakukan secara hatihati, terutama yang berkaitan dengn dampak sosial, karena upaya pemulihan yang bersifat non-fisik seperti nilai dan kebudayaan biasanya tidak bisa bersifat kaku. Untuk memudahkan identifikasi berbagai bentuk dampak konflik sosial kami menawarkan 5 kategori kerusakan yang mungkin terjadi dalam masyarakat paska konflik.kelima kategori ini tidak berlaku ketat, dan indikator masing-maisng kategori bersifat berulang. Keberulangan ini bisa dipahami karena dampak konfik dalam berbagai bidang biasanya bersifat saling terkait.langkah sistematis untukmengidentifikasi korelasi kerusakan kapasitas sumber daya komunitas, indeks ketahanan dan proses pemulihan adalah perlu menjadi agenda lintas kementerian/lembaga. Prakarsa Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi merupakan upaya merumuskanstandard peilaian kebutuhan wilayah paska konflik yang bersifat menyeluruh.. Kelima variabel atau jenis kerusakan masyarakat konflik digambarkan dalam diagram berikut :

38 20 Konsep Dasar dan Instrumen Pemetaan Dampak Konflik Diagram 2. Korelasi Kerusakan Kapasitas Sumber Daya Komunitas,Berdasarkan Indeks Ketahanan dan Proses Recovery KORELASI DESTRUKSI KAPASITAS KOM UNITAS, INDEKS KETAHANAN & PROSES RECOVERY Destruksi Kapasitas Manusia Destruksi Kapasitas Ekologi Sosial Destruksi Peradaban Destruksi Fisik & Tata Ruang Trauma Psikososial Berkepanjangan Early Response Early Recovery Long Term Recovery

39 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 21 BAB III KERANGKA PENDEKATAN PCNA (DALA, HRNA DAN SRNA) Post Conflict Need Assessment (PCNA) adalah suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak, dan perkiraankebutuhan, yang menjadi dasar bagi penyusunan rencana aksi pemulihan paska konflik.pengkajian dan penilaian yang dimaksud dalam PCNA meliputi pengkajian dan penilaian kerusakan dan kerugian fisik (materiil) dan kerusakan dan kerugian non-fisik (non-materiil). Sebagaimana dijelaskan di awal, instrumen PCNA berupaya menggabungkan berbagai instrumen yang sudah ada terkait identifikasi dampak konflik. PCNA sendiri terdiri dari tiga bagian utama, yakni: a) Damage and Loss Assessment (DALA) yang memberi tekanan pada aspek kerusakan yang bersifat material dan dapat dikuantifikasi. b) Human Recovery Need Assessment (HRNA) memberi tekanan pada kebutuhan manusia : akses dasar, pendapatan, kesehatan, makanan,

40 22 Kerangka Pendekatan PCNA shelter, dan perumahan. c) Social Recovery Need Assessment (SRNA) memberi tekanan pada dampak segregasi, kohesi sosial, solidaritas, polarisasi, dsb. Tujuan utama PCNA adalah melakukan proses memulihkan paska konflik secara komprehensif dengan penekanan pada upaya-upaya pemulihan sosial masyarakat yang hancur akibat konflik. Adapun komponen PCNA ini terdiri dari 3 komponen yaitu komponen pengkajian akibat konflik, pengkajian dampak konflik dan pengkajian kebutuhan pemulihan, sebagaimana dijelaskan dalam diagram berikut: Diagram 3. Komponen PCNA Komponen PCNA Pengkajian akibat konflik Pengkajian dampak konflik Pengkajian kebutuhan pemulihan 3.1. Damage and Loss Assessment (DALA) Pengkajian Kerusakan dan Kerugian /Damage and Losses Assessment (DALA) memberi tekanan pada aspek kerusakan yang bersifat material sehingga dapat dikuantifikasi. DALA menekankan pada kajian akibat konflik. Berdasarkan kajian itu, maka DALA memperkirakan kebutuhan untuk melaksanakan upaya-upaya rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap kerusakan, kerugian, kehilangan atau gangguan akses sarana pra sarana, gangguan fungsi dan naiknya resiko yang diakibatkan oleh konflik.

41 Post Conflict Need Assessment (PCNA) Human Recovery Need Assessment (HRNA) Konsep Dasar Pengkajian Kebutuhan Pemulihan Pembangunan Manusia (Human Development Recovery Needs Assessment/ HRNA) adalah suatu metodologi berdasarkan kepada perspektif pembangunan manusia. HRNA memandang rehabilitasi dan rekonstruksi sebagai wahana menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan peluasan pilihan-pilihan hidup yang lebih komprehensif yang tidak hanya dipahami terbatas pada aspek ekonomi saja. Untuk merumuskan PCNA kami mengacu kepada model HRNA yang selama ini digunakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana berdasarkan Perka no 15 tahun 2011 tentang pedoman pengkajian kebutuhan pasca bencana. HRNA meletakan manusia sebagai fokus; asset dan proses yang terdampak konflik (dalam konteks PCNA) yang diasumsikan berkaitan dengan kepentingan manusia atau sekelompok manusia. HRNA menekankan pada kajian dampak konflik terhadap kehidupan manusia terutama dari aspek mata pencaharian, sosial, budaya,politik dan kepemerintahan, pembagunan sosial dan lingkungan. Berdasarkan kajian itu, maka HRNA memperkirakan kebutuhan untuk melaksanakan upaya-upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. HRNA dikembangkan secara kolektif oleh lembaga-lembaga PBB dan organisasi-organisasi kemanusiaan sebagai upaya kearah suatu transisi yang lebih baik dari respon kemanusiaan menuju pada pembangunan manusia. Pendekatan yang digunakan dalam HRNA adalah dengan memilah dan menggolongkan dampak konflik sosial dengan cara mengikuti konfigurasi sistem respons kemanusiaan atas konflik sosial yang kemudian disesuaikan dengan sektorsektor dalam neraca anggaran nasional dan regional. Berdasarkan pendekatan tersebut diatas, metoda HRNA menganalisis beberapa aspek utama berikut: 1. Pengkajian dampak Konflik Sosial. 2. Dalam HRNA, dampak pasca konflik cenderung dilihat dari karakteristik manusia setelah terjadi konflik, yaitu orang-

42 24 Kerangka Pendekatan PCNA perorangan, dan komunitas yang memiliki karakteristik tertentu sebagai dampak dari konflik Dari sudut pandang HRNA dampak konflik diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu : a. A: Hilangnya (A)kses untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya. Misalnya rumah yang rusak atau hancur karena konflik mengakibatkan orang kehilangan akses terhadap naungan sebagai kebutuhan dasar. Rusaknya rumah sakit atau layanan kesehatan mengakibatkan orang kehilangan akses terhadap pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan dasar. b. P: Gangguan terhadap (P)roses-proses kemasyarakatan dan fungsi pemerintahan. Konflik dapat mengakibatkan gangguan terhadap proses-proses kemasyarakatan dasar, seperti proses musyawarah, pengambilan keputusan masyarakat, proses perlindungan masyarakat, proses-proses sosial dan budaya. Demikian juga, misalnya, rusaknya suatu gedung pemerintahan mengakibatkan terganggu/terhentinya fungsi-fungsi administrasi umum maupun penyediaan keamanan, hukum dan pelayananpelayanan dasar. c. R: Meningkatnya (R)isiko dari memburuknya kerentanan masyarakat yang terdampak konflik. Fakta bahwa suatu keluarga atau masyarakat terdampak konflik adalah bukti bahwa mereka telah memiliki kerentanan 3.3. Social Recovery Need Assessment (SRNA) Social Recovery Need Assessment (SRNA) merupakan bagian integral dari kerja komprehensif Post Conflict Need Assessment (PCNA). Pada konstruk ini, pengembangan desain assessment berfokus pada elemen kedua, yakni: Social Recovery Need Assessment (SRNA) sebagai upaya memetakan dan mengenal kondisi nyata (existing condition) dari dampak sosial pasca konfik berupa: segregasi, kohesi sosial, luruhnya solidaritas, polarisasi, integrasi, jaringan, dsb.

43 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 25 Bila dicermati secara mendalam, indikator-indikator SRNA tersebut pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial pasca konflik berupa ciri-ciri khas dari modal sosial masyarakat (social capital) yang berpengaruh terhadap ketahanan sosial komunitas. Artinya, mengapa dan bagaimana kondisi nyata modal sosial masyarakat pasca konflik: segregasi/keikatan, kohesi sosial, solidaritas, polarisasi/keterbelahan, jaringan dan sumbangannya bagi kerja-kerja pemberdayaan serta penguatan kapasitas ketahanan masyarakatamat sangat mendasar dan strategis. Adapun konsep dasar SRNA adalah sebagai berikut: a) Social Recovery Berbasis MODAL SOSIAL. Para ahli manajemen SDM sepakat bahwa, berbicara tentang modal sosial, maka kita akan berbicara tentang relasi sosial. Dalam konteks ini, kita dapat memahami mengapa pentingnya segregasi/ keikatan, kohesi sosial, solidaritas, polarisasi/keterbelahan, jaringan dsb sebagai indikator SRNA sekaligus adalah ciri utama atau indikator dari relasi sosial. Menjadikan indikator-indikator relasi sosial tersebut sebagai perhatian utama dalam konteks penanganan pasca konflik sama artinya menegakkan dan memajukan hati modal sosial komunitas lokal atau para pihak berkonflik. Memulihkan, merekonstruksi dan merehabilitasi pilar-pilar relasi sosial komunitas lokal pasca konflik sebagai hati modal sosial berbasis pemberdayaan dengan demikian merupakan kerja strategis. Kebutuhan terhadap gambaran konkrit kondisi destruksi (kerusakan modal sosial) dan reproduksi destruksi (membangun kembali modal sosial) adalah syarat mutlak bagi penyusunan desain manajemen pasca konflik.dalam konteks itu,social recoveryakan berlangsung secara mendasar, kontekstual dan efektif melalui fase early response (rekonsiliasi dan konsolidasi), early recovery (rekonstruksi dan pemandirian) dan long term recovery (rehabilitasi dan transformasi konflik). Di sanalah SRNA memperoleh tempat dan fungsinya secara mendasar, kontekstual dan strategis.

44 26 Kerangka Pendekatan PCNA b) Tekanan Psikologis Manajemen Konflik: Klinikal (individu) ke Sosial. Pertengahan tahun 1970-an, para ahli psikologi (Witkin & Berry, 1975) menunjukkan bahwa membatasi tingkah laku atau perilaku manusia pada keadaan individu semata (motivasi, perhatian, ingatan, pikiran, persepsi, stereotip, dsb) tidak memadai lagi. Keadaan lingkungan, ternyata memegang peranan amat penting dalam membentuk karakter perilaku manusia lintas individu. Misalnya, dalam penelitian psikologis, manusia secara dominan banyak dipelajari terisolasi dari lingkungannya (Klabbers, 1972). H.A. Simon (1969) melihat tingkah laku manusia yang tampil setiap saat secara majemuk, sebagian besar adalah refleksi dari kemajemukan lingkungan dimana ia berada. Faktor lingkungan penting adalah: tata ruang, sosial dan budaya sebagai pola standar yang secara tradisional dianut lingkungannya (Benedict, 1934). Pendirian Benedict ini tidak hanya merupakan titik temu psikologi, antropologi dan filosofi menghadapi realitas mikro, tetapi juga pola standar kultural makro (globalisasi). E. A. Ross (1980, ahli sosiologi) dan Mac Dougall (1908, ahli psikologi) secara bersama melihat obyek khas penelitian psikologi sosial pada bagaimana tingkah laku individu dipengaruhi dan mempengaruhi orang lain, baik orang lain itu hadir di hadapannya atau tidak, maupun kehadiran orang lain itu diimplikasikan dalam refleksi tata ruang, tata sosial tata hukum, dan tata kultural yang dianut. Sementara O. Klineberg (1954) dengan diilhami Linton (1936) menyatakan betapa semakin nyata integrasi antara individu, masyarakat dan kebudayaan. Dengan begitu, integrasi antara filsafat/teologi dengan psikologi, sosiologi, antropologi dsb. Artinya, perspektif keilmuan dalam mempelajari tingkah laku atau perilaku manusia dan sosial dalam konteks konflik dan pasca konflik, tidak terutama berfokusperilaku indiividu, melalui kajian yang bersifat eksklusif dan terisoler antara satu disipilin ilmu dengan lainnya, tetapi lebih berfokus perilaku sosial, melalui kajian inklusif,

45 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 27 holistik dan integral. Dengan kata lain lebih menekankan perspektif survival of the symbiotic atau lintas pemangku krprntingan dimana masa depan penyelesaian produktif akan terwujud ketika seluruh pihak bekerjasama secara simbiotik. Perspektif ini semestinya menjadi acuan dalam upaya mengembangkan kerja-kerja social recoverypasca konflik melalui fase need assessment sebagai entry point bagi manajemen early response, early recovery dan long term recovery. c) Destruksi dan Reproduksi Destruksi Kapasitas Sumber Daya Komunitas. Pembentukan dan penguatan kapasitas ketahanan (ketangguhan) komunitas lokal pasca konflik, pentingmenekankan aspek bencana sosial sebagai bentuk man made disaster melalui peristiwa-peristiwa bencana sosial/konflik (social disaster events). Disadari pula bahwa, konflik sosial sebagai peristiwa bencana sosial juga berdampak pada terjadinya proses destruksi dan reproduksi destruksi kapasitas sumber daya komunitas lokal (the whole of community assets).destruksi dan reproduksi destruksi kapasitas sumber daya komunitas berkaitan dengan 5 (lima) variabel utama,yakni: kapasitas manusia, ekologi sosial, peradaban, fisik dan tata ruang serta trauma psikososial berkepanjangan.secara ilustratif nampak pada diagram 5 berikut.

46 28 Kerangka Pendekatan PCNA Diagram 4. Cakupan Dampak Konflik CAKUPAN AKIBAT DAN DAMPAK KONFLIK BAGI KEHANCURAN SUMBERDAYA KOMUNITAS (the whole of community assets & capacity destruction) Disaster/ Conflict Events (peristiwa konflik) Destruksi Kapasitas Manusia A C Trauma Psikososial Destruksi Ekologi Sosial B Destruksi Kapasitas Fisik - Tata Ruang Destruksi Kapasitas Peradaban Gambar tersebut menunjukkan bahwa, variabel dan indikator dari dampak destruksi (kerusakan) kapasitas sumber daya komunitas itu adalah sebagai berikut: a. Destruksi (kerusakan) kapasitas manusia (komunitas). Berbagai peristiwa konflik sosial menyebabkan komunitas lokal mengalami kehilangan kapasitasnya selaku manusia dan selaku rakyat lokal (human capacity dan capacity of the people). Kapasitas manusia/komunitas/rakyat lokal tersebut ditunjukan melalui indikator-indikator terukur sebagai acuan riset dan pemetaan sebagai berikut: a) Kondisi sumber daya kesehatan : fisik dan mental/psikologis; b) Kondisi pengetahuan dan keterampilan komunitas korban konflik;

47 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 29 c) Data jumlah dan kualitas keluarga secara real; d) Pengaruh jumlah dan kualitas keluarga bagi pertumbuhan keluarga; dsb. b. Destruksi (kerusakan) kapasitas lingkungan sosial Kemasyarakatan Konflik juga menimbulkan gangguan terhadap ekologi sosial komunitas lokal: a) Hubungan sosial antara keluarga: kohesi, integrasi, solidaritas, dsb. b) Hilangnya sumber-sumber dan struktur basis ekonomi serta perdata. c) Hilangnya status politik-kewargaan komunitas. d) Tantangan peran institusi sosial: agama dan budaya. e) Tantangan peran otoritas sipil, politik dan militer. c. Destruksi (kerusakan) kapasitas peradaban/tata nilai dan budaya masyarakat. Peristiwa konflik mereduksi peradaban lokal secara sistematis dan berkelanjutan (nilai, norma, dan budaya) komunitas/masyarakat. a) Orientrasi kemanusiaan berubah menjadi material dan kuasa. b) Krisis rasa peduli dampak konflik dan kekerasan. c) Tantangan terhadap keadilan sosial dan hak asasi (ecosoc). d) Perubahan struktur perilaku budaya, kepercayaan dan praktek hidup. d. Destruksi (kerusakan) kapasitas fisik dan tata ruang. Peristiwa konflik sosial berakibat pada hancurnya kondisi fisik dan tata ruang wilayah dalam skala luas. a) Seluruh infrastruktur fisik wilayah hancur dalam skala luas. b) Hilangnya batas-batas wilayah: desa, tanah keluarga, dsb. c) Muncul persoalan hukum perdata (hak kepemilikan tanah) dan kebutuhan untuk relokasi.

48 30 Kerangka Pendekatan PCNA d) Krisis manajemen pembangunan kembali tata pemukiman dan perumahan tidak berbasis karakter kultural, kearifan dan spiritualitas lokal (orientasi proyek), dsb. e. Gangguan mental individu dan masyarakat (trauma psikososial). Kerusakan dari keempat faktor kapasitas sumber daya komunitas sebelumnya (manusia, ekologi sosial, peradaban, serta fisik-tata ruang) sangat berpengaruh secara mendasar, holistik, kontekstual dan obyektif teradap destruksi kapasitas psikososial komunitas, masyarakat dan pemerintah lokal. Destruksi, atau depresi atau trauma psikososial akan menjadi lama atau cepat pemulihan serta penyembuhannya sangat tergantung apakah pendekatan elemenelemen fungsi sosial dalam setting kerja elemen masyarakat dan negara bekerja secara holistik atau parsial dalam menangani dampak destruksi kapasitas komunitas. Dalam konteks membangun ketahanan atau ketangguhan masyarakat korban dan komunitas lokal, sejauhmana elemen masyarakat dan negara secara konsekuen pada kekuatan budaya, kearifan dan spiritualitas lokal sebagai potensi psikososial shock-absorbing process. Beberapa indikator psikososial dengan mengacu pada Hirarkhi Kebutuhan Maslow: a) Aktualisasi diri: pertumbuhan personal/kelompok/komunitas, pengakuan, dsb. b) Pengembangan estetika: budaya, kearifan, nilai/norma, keseimbangan, kesetaraan, dsb. c) Pengembangan kognitif: pengetahuan, makna hidup, kesadaran diri, dsb d) Memiliki dan cinta: keluarga, kasih sayang, relasi, kohesi, solidaritas, kelompok kerja, jaringan, dsb. e) Keselamatan diri/kelompok/komunitas: perlindungan, keamanan, rasa nyaman, ketertiban, hukum, stabilitas, dsb.

49 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 31 f) Biologi dan fisiologi: udara segar, makanan, minuman, tempat tinggal, kehangatan, seks, tidur, tata ruang, dsb. Kerangka pemetaan dampak destruksi kapasitas sumber daya komunitas tersebut mengisyaratkan bahwa, mesti pula disadari sejak awal pentingnya memetakan pula kondisi destruksi dan reproduksi destruksi kapasitas sumber daya komunitas dalam konteks sosial pasca konflik. Konflik sosial tidak hanya mendestruksi kapasitas sumber daya (modal sosial) komunitas pada tahapan bencana pertama dan utama konflik (first disaster), tetapi juga terjadi gelombang kedua (second disaster) melalui proses reproduksi destruksi modal sosial atau ketahanan atau ketangguhan masyarakat lokal. Bencana kedua atau kondisi reproduksi destruksi ini yang kadang jauh lebih buruk dampaknya dan makin bertahan lamai berbanding kondisi disaster pertama dan utama. Hal itu digambarkan pada diagram berikut. Diagram 5 Destruksi dan Reproduksi Destruksi Kapasitas Sumber Daya Komunitas

50 32 Kerangka Pendekatan PCNA Diagram 5 menunjukkan bahwa, (1) Kondisi Destruksi Kapasitas Sumber Daya Komunitas terjadi, ketika konflik sosial berdampak terhadap: destruksi atau hancurnya kapasitas sumber daya manusia, kapasitas lingkungan (ekologi) sosial, budaya/ peradaban, fisik tata ruang, serta trauma psikososial berkelanjutan. (2) Sementara, Kondisi Reproduksi Destruksi Kapasitas Sumber Daya Komunitas terjadi ketika dalam manajemen penanganan pasca konflik, terabaikannya: a) penegakkan dan pemajuan atau pemulihan hak ecosoc (ekonomi, sosial dan budaya ekosob) dan Sipil Politik warga; b) penanganan sistematis kehancuran modal sosial masyarakat; c) penanganan konflik sosial memasuki tahapan manajemen peace making (membangun kesadaran kritis terhadap akar, pelaku dan dampak konflik) dan peace building (menangani akar struktural dan sistemik konflik); d) penanganan psikososial traumatik dan healing mendasar, holistik, integral dan tuntas. Karena itu, sebagaimana digambarkan pada Diagram 3 dan Diagram 4 sebelumnya, konstruk instrumen PCNA dan/atau SRNA yang didesain, mengintegrasikan : a) 5 (lima) dimensi destruksi kapasitas sumber daya komunitas, dengan (b) 3 (tiga) dimensi tahapan pemulihan sistematis: respon dini, pemulihan dini dan pemulihan berkelanjutan. Manfaat dari pendekatan dan metodologi kerja seperti ini ada dua, yakni: 1) Manfaat dasar. Bahwa dengan tersedianya hasil pendataan dan pemetaan kebutuhan PCNA dan/atau SRNA secara faktual, terpola dan teruji melalui instrumen yang dipersiapkan, maka akan lahir berbagai tindakan pemulihan pasca konflik dalam rangka mengatasi dan menyelesaikan kondisi destruksi dan reproduksi kapasitas sumber daya komunitas pasca konflik secara faktual, terukur dan terkontrol. 2) Manfaat strategis. Pada gilirannya, terwujudnya manfaat dasariah PCNA dan/atau SRNA, maka disadari atau tidak, akan menjadi pangkalan, atau iklim kondusif bagi terwujudnya dan

51 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 33 tercapainya KETAHANAN KOMUNITAS MASYARAKAT LOKAL secara mandiri, terpola dan berkelanjutan di bawah kontrol dan pengujian masyarakat lokal sendiri. 3) Manfaat dasar dan strategis tersebut, akan menjadi lingkungan manajemen dayaguna dan hasilguna PCNA dan/atau SRNA yang diinisiasi oleh Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi untuk memproteksi dan memberdayakan profil pembangunan desa di daerah rawan konflik, sementara berkonflik dan pasca konflik secara lebih berdayaguna dan berhasil guna Kerangka Konseptual Model Kajian PCNA Merujuk pada uraian konsep dasar serta pendekatan dan metodologi tersebut di atas, maka dikonstruksikan kerangka konseptual model pengkajian dan penilaian terhadap akibat, dampak dan kebutuhan pasca konflik, sebagaimana nampak pada Diagram 6:

52 34 Kerangka Pendekatan PCNA Diagram 6. Kerangka Konseptual Model PCNA MODEL PENGKAJIAN DAN PENILAIAN AKIBAT,DAMPAK DAN KEBUTUHAN PASCA KONFLIK Komponen yang diukur dalam PCNA PCNA DALA (Damage and Loss Assessment) Jenis kerusakan bersifat material yang dapat dikuantifikasi SRNA (Social Recovery Need Assessment) Dampak sosial paska konflik; segregasi, kohesi sosial, luruhnya solidaritas, polarisasi dll. HRNA (Human Recovery Need Assessment) Kebutuhan manusia terhadap akses dasar; income, kesehatan, makanan, shelter, perumahan dll TAHAPAN PCNA PROGRES HASIL KAJIAN 1. Integrasi Komponen Strategis DAERAH TANGGUH KONFLIK

53 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 35 Kerangka konseptual Model Kajian dan Penilaian PCNA sebagaimana diuraikan pada Diagram 6 menunjukkan bahwa fokus utamanya berkonsentrasi pada tersusunnya instrumen PCNA, dalam hal ini SRNA yang mengintegrasikan korelasi (a) dimensi holistik dan Integral SRNA dengan indikasi : sosial recovery, perdamaian dan pemberdayaan, dengan (b) tahapan strategis pemulihan : early response respons dini (terintegrasi dengan rekonsiliasi, proteksi dan konsolidasi), early recovery pemulihan dini (terintegrasi dengan rehabilitasi dan pemberdayaan sosial sistematis), dan (c) long term recovery pemulihan berkelanjutan (terintegrasi dengan rehabilitasi dan pembangunan perdamaian berkelanjutan). Muara dari kerangka strategis ini adalah, terwujudnya daerah tangguh konflik berbasis pada klaster-klaster wilayah konflik sosial di Indonesia Instrumen Pengukuran: Integrasi PCNA dan SRNA Kerangka Post-Conflict Need Assesment (PCNA) sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya menetapkan 5 variabel untuk identifikasi dampak sosial pasca konflik. Identifikasi masalah ini memberikan peta dampak yang berguna untuk menyusun langkah peanganan atau respon berdasarkan data hasil identifikasi menggunakna kerangka PCNA. Sebagai kerangka untuk menyusun perencanaan bentuk intervensi, Tim Kerja menggunakan model tahapan respon yang telah tersedia dalam kerangka Social Recoversy Need Assesment (SRNA). Dengan demikan kerangka pengukuran dampak sosial paca konflik ini adalah integrasi antara dua kerangka yang saling melengkapi, yakni PCNA dan SRNA. Sebagaimana telah dikemukakan juga pada bab sebelumnya, instrumen SRNA adalah kerangka untuk mengukur dampak sosial paska konflik yang memberikan fokus pada korelasi di antara dua hal, yakni: (a) faktor Kerangka Dasar Pemulihan Sosial (Social Recovery) pasca konflik, dengan (b) faktor Tahapan Pemulihan Sosial.

54 36 Kerangka Pendekatan PCNA 1) Kerangka Dasar Pemulihan Sosial. Melalui masukan narasumber dan peserta serial FGD dan lokakarya dalam lokakarya yang dilaksanakan secara bertahap di Bogor, Bandung dan Yogjakarta dalam rangka mengkaji faktor-faktor/dimensi utama dalam konteks SRNA, maka diperoleh kesepakatan bersama bahwa berbagai faktor/dimensi utama pembentuk Kerangka Dasar Pemulihan Sosial sangat berkaitan erat dengan kondisi kerusakan kapasitas sumber daya komunitas paska konflik. Sebagaimana dijelaskan di Bab II, ada 5 (lima) faktor utama pembentuk Kerangka Dasar Pemulihan Sosial yang meliputi: (1) destruksi/ penghancuran kapasitas sumber daya manusia, (2) ekologi sosial, (3) budaya dan peradaban, (4) fisik dan tata ruang, serta (5) trauma psikososial berkelanjutan. Mempertimbangkan masukan berbagai pihak dalam serial FGD dan lokakarya Tim Kerja penyusunan instrumen ini menetapkan agar 5 variabel kerusakan pasca konflik dalam framework ini dijadikan acuan dasar dalam rangka mengkonstruksikan instrumen SRNA. 2) Tahapan Pemulihan Sosial. Pada sisi lain, forum serial lokakarya juga memberikan arah mendasar dan strategis, bahwa dalam rangka implementasi pendekatan Post Conflict Need Assessment (PCNA) diintegrasikan dalam kerangka tahapan respon atau intervensi kerangka faktor Social Recovery Need Assessment. Kerangka ini SRNA membagi 3 tahapan strategis dalam pemulihan mesyarakat pasca konflik, yakni: Early Response (respon dini), Early Recovery (pemulihan dini) dan Long Term Recovery (pemulihan berkelanjutan). Ketiga tahapan ini, secara terintegrasi sangat berkaitan dengan tahapan dimensi pemberdayaan, yakni: proteksi sosial (emergensi), pemberdayaan sosial sistematik, dan budaya

55 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 37 perdamaian mandiri dan berkelanjutan. Bahkan dengan dimensi manajemen pemulihan bernuansa resolusi konflik, yakni: rekonsiliasi, rehabilitasi dan rekonstruksi. Merujuk pada korelasi di antara faktor kerusakan kapasitas sumber daya manusia dan tahapan pemulihan sebagaimana diuraikan di atas, kemudian Tim Kerja menyepakatinya sebagai kerangka dasar Social Recovery Need Assessment secara sederhana diterjemahkan dalam bentuk instrumen asesmen sebagai berikut: Faktor Destruksi Kapasitas Sumber Daya Komunitas Kapasitas SDM Ekologi Sosial Budaya dan Peradaban Fisik dan Tata Ruang Trauma Psikososial Tabel 1. Kerangka Instrumen PCNA Tahapan Pemulihan Terpola dan Sistematis Early Response (proteksi sosial dan rekonsiliasi) Early Recovery (pemberdayaan sosial sistematis dan rehabilitasi) Keterangan: Long Term Recovery (budaya perdamaian berkelanjutan dan rekonstruksi). Diisi dengan Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam waktu cepat, menengah dan jangka panjang untuk memetakan kerusakan sosial, akibat dan dampak konflik serta jenis pemulihan yang dibutuhkan. (pengumpulan data, penyusunan rencana tindakan, dan Pelaksanaan kegiatan pemulihan) Hasil perumusan instrumen akan diwujudkan dalam dua bentuk, yakni a) dalam bentuk butir-butir PERNYATAAN SRNA. Pada matriks instrumen, rumusannya berupa indikatir-indikator pernyataan tindakan pemulihan yang mengkorelasikan dimensi destruksi kapasitan sumber daya komunitas dengan tahapan pemulihan pasca konflik. b) dalam bentuk butir-butir PERTANYAAN

56 38 Kerangka Pendekatan PCNA SRNA. Pada matriks instrumen, rumusannya berupa indikatorindikator pertanyaan yang berfokus pada tindakan pemulihan yang mengkorelasikan faktor atau dimensi kerusakan kapasitas sumber daya komunitas dengan tahapan pemulihan.

57 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 39 BAB IV KELEMBAGAAN, KOORDINASI DAN PENDANAAN 4.1. Kelembagaan Pola Kelembagaan: Perspektif Legal. Dalam rangka memahami peran manajemen kelembagaan yang relevan dalam konteks kerja Post Conflict Need Assessment (PCNA) di lingkungan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, maka sudah semestinya upaya tersebut mengacu pada berbagai kebijakan nasional berkaitan dengan penanganan konflik sosial. Selain memberikan justifikasi mendasar, acuan ini juga bisa membantu seluruh lembaga pemerintah yang mendapatmandat penyelesaian konflik untuk merefleksikan ulang peranya dalam pengembangan pola kordinasi dansinergi pengelolaan anggaranyang mendukung agenda pemulihan masyarakat paska konflik. Lebih jauh,kerangka PCNA inidiharapkan dapat menjadi rujukankerjasama lintas lembaga

58 40 Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan dalam konteks kerja-kerja pemulihan pasca konflik lintas lembaga sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Sehubungan dengan maksud tersebut, tersedia tiga kebijakan yang dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan bagi pengembangan pola kelembagaan penanganan pasca konflik melalui dokumen PCNA. Berdasarkan formulasi bencana/konflik sosial dan penangannya ketiga kebijakan tersebut adalah: Pertama, UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Instrumen regulasi ini memberikan batasan definisi dan pengertian bencana yang bisa menjadi landasan bagi manajemen kelembagaan. Sebagaimana dikemukakan dalam Bab I Ketentuan Umum dari UU ini, batasan definisi bencana meliputi tiga jenis bencana yaitu: Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror. Berdasarkan batasan definisi di atas, Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana didefinisikan sebagai serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Kedua,UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS).Dalam UU konflik sosial, yang selanjutnya disebut

59 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 41 konflik, didefinisikan sebagai perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Sementara penanganan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik. Ketiga, Peraturan Presiden RI No. 18 tahun 2014 tentang Perlindungan danpemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. PPini didasarkan pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi dalam bentuk UU No. 7 tahun 1984 dan juga UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Pada bagian Bab I Ketentuan Umum, definisi Konflik Sosial sesuai dengan UU PKS. PP ini mendefinisikan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak sebagai berikut. Perlindungan perempuan dan anak yaitu upaya pencegahan dan penanganan dari segala bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi perempuan dan anak, serta memberikan layanan kebutuhan dasar dan spesifik bagi perempuan dan anak dalam penanganan konflik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan penangann konflik. Pemberdayaan perempuan dan anak adalah upaya penguatan hak asasi, peningkatan kualitas hidup dan peningkatan partisipasi perempuandan anak dalam membangun perdamaian Ruang lingkup makna ketiga kebijakan tersebut membantu memahami model kelembagaan penanganan konflik sebagaimana nampak pada tabel berikut.

60 42 Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan Tabel 2. Regulasi Pola Kelembagaan Penanggulangan dan/atau Penangananan Bencana UU No. 24 tahun 2008 UU No. 7 tahun 2012 Perpres No. 18 tahun 2014 Batasan definisi dan ruang lingkup pengertian Profil Lembaga yang bertanggungjawab Bentuk-Bentuk Kelembagaan Penanggulangan bencana alam, non alam dan sosial Lembaga Pemerintahan: 1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Bab IV) 2. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lembaga Non pemerintah: 1. Lembaga Usaha 2. Lembaga Internasional BNPB: Lembaga non departemen, setingkat Menteri (gabungan unsur pemerintah dan masyarakat sipil) Penanganan konflik sosialberupa: 1. Pencegahan konflik 2. Penghentian konflik 3. Pemulihan konflik Pasal 40 Kelembagaan 1. Pemerintah, 2. Pemerintah Daerah, 3. Pranata Adat dan /atau pranata sosial, 4. Satuan Tugas penyelesaian Konflik Sosial (Adhoc) 1. Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial (ADhoc) 2. Tim Kordinasi Pembangunan Perdamaian (TKPP) - SK No. 38 tahun 2013 oleh Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat ( Sekarang; Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) Perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak dalam konflik sosial Pasal 19 tentang Kordinasi 1) untuk melaksanakan perlindungan dan pemberdaayan perempuan dan anak dalam konflik ditingkat pusat dibentuk Tim Kordinasi Pusat, 2) Pasal 22, Tim Kordinasi pusat dibantu Pokja terdiri dari unsur pemerintah dan masyaraakt sipil 3) Pasal 23, ditingkat propinsi membentuk PokjaKementerian Tim Kordinasi Nasional dan Pokja yang terdiri dari Kementerian Lembaga dan masyarakat sipil

61 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 43 Struktur Inti Kelembagaan Lanjutan Tabel 2. UU No. 24 tahun 2008 UU No. 7 tahun 2012 Perpres No. 18 tahun 2014 Satuan Tugas Penyelesaian Konflik (Tidak ada struktur inti) Susunan Tim Kordinasi Nasional Inti: Saat Konflik (Nas +daerah) Penyelamatan darurat korban:.. Bantuan Keamanan : Polri Pemenuhan kebutuhan dasar korban:. Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi : Pengaturan mobilitas barang: Penyelamatan Harta Pengungsi: Ketua: Kordinator Pembangunan Manusia dan Kebudaya (Kemenko PMK) Wakil Ketua: Menko Polhukam Ketua Harian: Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Struktur BNPB: Ketua BNPB Sekretaris Umum Inspektorat Utama Pemulihan Konflik (Pemda) Rekonsiliasi Rehabilitasi Rekonstruksi Pencegahan Konflik (dilakukan oleh K/L Terkait) - deteksi dini - peringatan dini - membangun kohesi sosial - Kerukunan umat beragama dsb Tim Kordinasi Pembangunan Perdamaian 1. Tim Pengarah : Ketua: Deputi Bid. Lingkungan hidup dan kerawanan sosial - Wakil: Direjed kesatuan bangsa dan poltiik 2. Tim Pelaksana : Ketua: Asdep urusan konflik - Wakil: Direktur Bansos (Kemensos)

62 44 Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan Tugas-Tugas Lanjutan Tabel 2. UU No. 24 tahun 2008 UU No. 7 tahun 2012 Perpres No. 18 tahun 2014 perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindakcepat dan tepat, efektif dan efisien; serta pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencanasecara terencana, terpadu, dan menyeluruh Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Bertugas: - pengumpulan fakta-fakta, data dan informasi terkait konflik - kordinasi dengan instansi terkait untuk perlindungan korban - penghitungan jumlah kerugian - membuat laporan TIm Kordinasi Pembangunan Perdamaian Bertugas: - melakukan kordinasi antar KL terkait dengan pencegahan - Membuat road map pencegahan dan pemulihan konflik - menyelenggarakan dan mengkordinaiskan multi stakeholders - dsb Tugas - melakukan kordinasi pelaksanaan program perlindungan dan pemberdayanperempuandan anak dalam konflik - melakukan advokasi, pemantauan, evaluasi dan pelaporan - melaporkan hasil pelasanantugas kepada presiden

63 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 45 Berdasarkan uraian pada Tabel 2, diperoleh catatan kesimpulan dari ketiga instrumen regulasi tersebut sebagai berikut. 1) Batasan definisi dan ruang lingkup pengertian. Ketiga instrumen regulasi tersebut pada dasarnya berkaitan erat dengan persoalan pokok, yakni: (a) bencana: alam, non alam dan sosial, (b) konflik sosial, serta (c) perlindungan dan pemberdayaan: perempuan dan anak. Artinya, persoalan utama dalam konteks manajemen bencana dan koflik sosial adalah kaitannya secara erat dengan perlindungan dan pemberdayaan sumber daya manusia. 2) Dari perspektif profil Lembaga yang bertanggungjawab, diperoleh gambaran bahwa, terdapat tiga pola : a. lembaga pemerintahan (badan nasional dan daerah), dan non-pemerintah (lembaga usaha dan internasional). b. termasuk di dalamnya: pranata adat/sosial, satuan tugas yang bersifat ad-hoc. c. tim koordinasi pusat, pokja pada tingkat daerah. Artinya, dari profil kelembagaan, tercatat bahwa lembaga penanganan bencana, konflik sosial serta perlindungan dan pemberdayaan bagi sumber daya manusia, menunjukan keterkaitan beberapa lembaga atau entitas yakniantara lain: lembaga pemerintahan dan non pemerintah, pranata adat/ sosial, satuan tugas, tim koordinasi dan pokja. Secara struktural hal ini memberi isyarat bahwa penataan dan pemberdayaan kelembagaan dalam konteks PCNA setidaknya memperhatikan ciri-ciri dan struktur kelembagaan sebagaimana ditemukan pada tiga produk kebijakan nasional tersebut di awal bab ini. 3) Sementara dari bentuk kelembagaan,terdiri dari: a. lembaga non-departemen(setingkat menteri: gabungan unsur pemerintah dan masyarakat sipil). b. satuan tugas c. tim koordinasi d. pokja(kementerian, lembaga dan masyarakat sipil).

64 46 Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa bentuk dan/ atau kelembagaan penanganan bencana, konflik sosial serta perlindungan dan pemberdayaan sumber daya manusia pasca konflik dalam konteks PCNA menuntut integrasi atau kolaborasi lintas kelembagaan tersebut di atas. 4) Struktur inti kelembagaan, sebagaimana digambarkan dari tiga kebijakan tersebut mengandung elemen-elemen dasar sebagai berikut: a. Penanganan bencana - Ketua Badan - Sekretaris Umum dan - Inspektorat Utama b. Satuan Tugas Penanganan Konflik: - Saat konflik(nasional dan daerah) - Pemulihan konflik (pemda) - Pencegahan konflik - Tim koordinasi pembangunan perdamaian c. Tim koordinasi nasional. - Ketua : koordinator - Wakil ketua. - Ketua harian. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa, struktur inti kelembagaan setidaknya mengadung elemen unsur: (a) Tim Inti yang terdiri dari : Ketua/Koordinator, Wakil Ketua, Ketua Harian, Sekretaris, Inspektorat. (b) Satuan Tugas, yang meliputi fungsi pencegahan, saat konflik, pemulihan dan pembangunan perdamaian. 5) Sementara tugas-tugas (dan fungsi utama) sebagaimana nampak diatur dalam ketiga instrumen regulasi tersebut antara lain: a. Perumusan dan penetapan kebijakan b. Koordinasi pelaksanaan kegiatan/penyelesaian konflik c. Satuan tugas fungsional: a) penyelesaian konflik

65 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 47 b) pembangunan perdamaian c) perlindungan dan pemberdayaan SDM d) advokasi e) pemantauan, evaluasi dan pelaporan Sehubungan temuan profil kelembagaan sebagaimana nampak pada tabel 8., dan uraian analisisnya di atas, terdapat satu catatan penting yang mesti menjadi perhatian dalam konteks penataan dan pemberdayaan fungsional kelembagaan ini adalah, terkait peran Kemenko PMK sebagai Kementerian Kordinator yang memiliki Mandat Pencegahan dan Pemulihan Konflik secara mandiri membuat Tim Kordinasi Pembangunan Perdamaian dengan melibatkan 8 Kementerian terkait, yaitu: 1) Kementerian Agama; 2) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; 3) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; 4) Kementerian Kesehatan; 5) Kementerian Sosial; 6) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; 7) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; dan 8) Kementerian Pemuda dan Olahraga. Jika merujuk pada kebutuhan korban konflik yang tertera pada UU PKS, maka kedelapan kementerian diatas bekerja pada tiga tahap penanganan konflik, yaitu:a) Penghentian dan penyelamatan konflik (Kemensos, Kesehatan, KPPA), b) Pemulihan konflik (Kemenag, Kemendikbud, kesehatan, Kemendes, Kemenpora), c) Pencegahan (semua kementerian). Melalui jaringan strukturaltim Kordinasi Pembangunan Perdamaian (Menko PMK), nampak dengan jelas bahwa posisi dan penggunaan tool PCNA yang diinisiasi oleh Kemendesa, PDT dan

66 48 Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan Transmigrasi ini memperoleh tempat dan ruang strategis dalam kontekspemulihan konflik, untuk sosialisasi dan implementasinya ke lingkungan 8 kementerian terkait Pola Kelembagaan: perspektif reflektif untuk PCNA Deskripsi dan analisis pola kelembagaan sebagaimana dijelaskan pada Tabel 8 memberikan gambaran yang cukup jelas bagaimana bentuk penataan dan pemberdayaan pola kelembagaan yang memadai dalam rangka implementasi instrumen PCNA seharusnya dilakukan. Hal ini terutama penting digunakan dengan memperhatikan pola kelembagaan yang sudah ada, misalnya dengan menggabungkan kedua struktur yang memiliki rujukan hukum pada UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan konflik sosial. Secara teknis, ada dua pola kolaborasi lintas kelembagaan yang penting dipertimbangkan. Pertama, pola Tim Kordinasi Pembangunan Perdamaian yang dibentuk melalui SK No. 38 tahun 2013, sebagai berikut: Diagram 7. Struktur Tim Koordinasi Pembangunan Perdamaian Tim pengarah : Ketua: Deputi Bid. Lingkungan hidup dan kerawanan sosial - Wakil: Direjed kesatuan bangsa dan poltiik Anggota: Sekjed Kemendikbud Dep bid Polhukam Depbid Kesatuan Bangsa Polhukam Depbid PolhukamHan, Bappenas Dep Bid Pengembangan Regional Otonomi Daerah, BAppenas Dirjend Jaminan Sosial, Kemensos Kepala BAINTELKAM, Polri Dep Bid Pengambangan DAerah Khusus, Kemendes Deputi Perlindungan Perempuan, KPPPA Sekjed Kemenag Dep Bid Pemberdayaan Pemuda, Kemenpora Tim Pelaksana : Ketua: Asdep urusan konflik - Wakil: Direktur Bansos (Kemensos): Anggota: Dir. Kewaspadaan Nas, Kemendagri Kep. Biro Analisis Baintelkam, Polri Asdep Penanganan daerah rawan konflik/ kontijensi, Menkopolhukam Dir kawasan khusus / tertinggal, Bappenas Dir Pertahanan dan Keamanan, Bappenas Dir. pendidikan masy, Kemendikbud Kep Pusat Kerukuann umat beragama, Kemenag Asdep daerah rawan konflik, Kemendes Asdep penanganan KtP, KPPPA Asdep Organisasi kepemudaan, kemenpora Kep Pus Penelitian Politik, LIPI Dir Ex titian Perdamaian Dir Ex The Habibie Center KEtua Pusat Krisis Psikologi, UI PUSAD, PAramadina Ketua Perhimpunan Organisasi Perempuan

67 Post Conflict Need Assessment (PCNA) 49 Kedua,pola Tim Kordinasi Nasional RAN P3AKS yang dibentuk dengan menggunakan Permenko No. 8 tahun 2014 sesuai dengan Mandat dari Perpres No. 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam konflik sosial. Secara lengkap struktur sebagai berikut; Tim Kordinasi Nasional Ketua: : Menko PMK Wakil : Menko Polhukam Anggota/Ketua Harian: Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (KPPPA). Tugas-tugas pelaksanaan dibantu oleh Pokja Anggota: 1) Menteri membidangi urusan dalam negeri 2) Menteri yang membidangi urusan pertahanan 3) Menteri yang membidangi urusan agama 4) Menteri yang membidangi urusan hukum dan HAM 5) Menteri yang membidangi pendidikan dan kebudayaan 6) Menteri yang membidangi urusan sosial 7) Menteri yang membidangi urusan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian 8) Menteri yang membidangi urusan perdagangan 9) Menteri yang membidangi urusan komunikasi dan informatika 10) Menteri yang membidangi urusan koperasi, usaha kecil dan menengah 11) Menteri yang membidangi urusan perumahan rakyat 12) Menteri yang membidangi urusan pembangunan daerah tertinggal 13) Menteri yang membidangi urusan pekerjaan umum 14) Kepal kepolisian RI 15) Jaksa Agung RI 16) Panglima Tentanga Nasional indonesia

68 50 Kelembagaan, Koordinasi dan Pendanaan Secara legal kedua unit operasional ini memiliki kedudukan yang berbeda. Tim Kordinasi Pembangunan Perdamaian dilegalkan dengan SK Menko, sementara Tim Kordinasi Nasional RAN P3AKS mengunakan Permenko No. 8 tahun 2014 dimana pimpinan atau kordinator adalah Menteri sendiri. Tetapi peluang memadukan kedua struktur ini sangat memungkinkan. Bila kedua pola tersebut digabungkan, maka terdapat kemungkinan pola kelembagaandiilustrasikan seperti nampak pada digram dibawah ini. Diagram 8. Gabungan Pola Kelembagaan Penanganan Bencana/ Konflik

Post Conflict Need Assessment (PCNA)

Post Conflict Need Assessment (PCNA) Post Conflict Need Assessment (PCNA) ABDUL CHARIS Direktorat Penanganan Daerah Paska Konflik Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Yogyakarta, 20 Juli 2017 Pengantar Penanganan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL

PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP (suprayoga@bappenas.go.id / yogahadi@gmail.com)

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. No.1602, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT

Lebih terperinci

PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL

PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP (suprayoga@bappenas.go.id / yogahadi@gmail.com)

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASCA BENCANA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA Pedoman

Lebih terperinci

KEPALA PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BECANA DAERAH KABUPATEN LAMONGAN. SUPRAPTO, SH Pembina Tingkat I NIP

KEPALA PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BECANA DAERAH KABUPATEN LAMONGAN. SUPRAPTO, SH Pembina Tingkat I NIP Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT bahwa dengan limpahan rahmat dan karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Rencana Strategis (Renstra) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PERCEPATAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASCABENCANA GEMPA BUMI DI KABUPATEN PIDIE, KABUPATEN PIDIE JAYA, DAN KABUPATEN BIREUEN PROVINSI

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2013-2015 Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 33 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan bencana, baik yang disebabkan kejadian alam seperi gempa bumi, tsunami, tanah longsor, letusan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASKA BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 7 TAHUN 2017 TENTANG

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 7 TAHUN 2017 TENTANG WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 7 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

No.1553, 2014 BNPB. Pasca Bencana. Rekonstruksi. Rehabilitasi. Pedoman. PERATURAN

No.1553, 2014 BNPB. Pasca Bencana. Rekonstruksi. Rehabilitasi. Pedoman. PERATURAN No.1553, 2014 BNPB. Pasca Bencana. Rekonstruksi. Rehabilitasi. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia yang berada di salah satu belahan Asia ini ternyata merupakan negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembentukan,

Lebih terperinci

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA

PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN B. Wisnu Widjaja Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan TUJUAN PB 1. memberikan perlindungan kepada masyarakat

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1903, 2017 BNPB. Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana. PERATURAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

Pekerjaan Sosial PB :

Pekerjaan Sosial PB : Pekerjaan Sosial PB : Suatu bidang praktik profesi pekerjaan sosial dimana Peksos menggunakan keahlian khusus untuk membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat melaksanakan peran sosial mereka

Lebih terperinci

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis

Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia Oleh: Rudi Saprudin Darwis Pendahuluan Secara geografis, Indonesia berada di daerah rawan bencana; negara yang memiliki risiko gempa bumi lebih dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 19/2014 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN TUGAS BANTUAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM MENANGGULANGI BENCANA ALAM, PENGUNGSIAN DAN BANTUAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LEBAK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2011 Seri : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1220, 2012 KEMENTERIAN SOSIAL. Taruna. Siaga Bencana. Pedoman. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN UMUM TARUNA SIAGA BENCANA

Lebih terperinci

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif xvii Ringkasan Eksekutif Pada tanggal 30 September 2009, gempa yang berkekuatan 7.6 mengguncang Propinsi Sumatera Barat. Kerusakan yang terjadi akibat gempa ini tersebar di 13 dari 19 kabupaten/kota dan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) PEMERINTAH PROVINSI RIAU BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH Jalan Jendral Sudirman No. 438 Telepon/Fax. (0761) 855734 DAFTAR ISI BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Dipresentasikan pada The Indonesian Forum seri 3 The Indonesian Institute. Kamis, 3 Maret 2011 Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Ir.

Lebih terperinci

- ii - DAFTAR LAMPIRAN

- ii - DAFTAR LAMPIRAN - ii - DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran Nama Lampiran Hal Formulir 01 Formulir 02 : Surat Permohonan Keterlibatan dalam Pengkajian Kebutuhan Pascabencana (PDNA) : Surat Keputusan Pembentukan Tim Kerja Pengkajian

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN: 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI KERJASAMA TIM KAJIAN PAPUA P2P LIPI DAN TIM PEMANTAU OTSUS KOMISI I DPR-RI SENIN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG TARUNA SIAGA BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG TARUNA SIAGA BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG TARUNA SIAGA BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 PRAKIRAAN PENCAPAIAN TAHUN 2010 RENCANA TAHUN 2010 MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN BIDANG: WILAYAH DAN TATA RUANG (dalam miliar rupiah) PRIORITAS/ KEGIATAN PRIORITAS 2012 2013 2014 I PRIORITAS BIDANG PEMBANGUNAN DATA DAN INFORMASI SPASIAL A

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia sangatlah beragam baik jenis maupun skalanya (magnitude). Disamping

BAB 1 PENDAHULUAN. di Indonesia sangatlah beragam baik jenis maupun skalanya (magnitude). Disamping BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai daerah rawan bencana. Bencana yang terjadi di Indonesia sangatlah beragam baik jenis maupun skalanya (magnitude). Disamping bencana, Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011 BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNSI PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BLITAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1570, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana. Pencabutan. PERATURAN BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2017

Lebih terperinci

I. Permasalahan yang Dihadapi

I. Permasalahan yang Dihadapi BAB 34 REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI DI WILAYAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS PROVINSI SUMATRA UTARA, SERTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN PROVINSI JAWA TENGAH I. Permasalahan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Modal Sosial Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu

Lebih terperinci

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2012 SOSIAL. Stabilitas Nasional. Konflik. Penanganan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI Bagian ini akan menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran penelitian terhadap pengembangan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG KEGIATAN TANGGAP DARURAT DAN PERENCANAAN SERTA PERSIAPAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASCA BENCANA ALAM GEMPA BUMI DAN GELOMBANG TSUNAMI

Lebih terperinci

KAJIAN KONSEP RESILIENT CITY DI INDONESIA

KAJIAN KONSEP RESILIENT CITY DI INDONESIA KAJIAN KONSEP RESILIENT CITY DI INDONESIA BAB A PENDAHULUAN A.1 LATAR BELAKANG Salah satu masalah sosial dasar yang dihadapi oleh masyarakat kota adalah masalah pemenuhan kebutuhan akan keamanan lingkungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PB

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PB PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PB PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU TATANAN KELEMBAGAAN PB DI DAERAH PUJIONO CENTER, 3 JUNI 2017 RANIE AYU HAPSARI Peran Serta Masyarakat SFDRR: Prioritas 1 (Memahami Risiko Bencana):

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA 1 BEncANA O Dasar Hukum : Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 2 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

Lebih terperinci

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling

BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Koordinasi merupakan suatu tindakan untuk mengintegrasikan unit-unit pelaksana kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam hal penanggulangan bencana

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang P

2016, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang P No.379, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Penanganan Konflik Sosial. Penggunaan dan Pengerahan. Kekuatan TNI. Bantuan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional

Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional Kegiatan Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional SFDRR (Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana) dan Pengarusutamaan PRB dalam Pembangunan di Indonesia Tanggal 17 Oktober

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR :60 2014 SERI : D PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 60 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA SERTA RINCIAN TUGAS JABATAN PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

Lebih terperinci

Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator

Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator I. Dimensi Keamanan dari Bencana (Kebencanaan) Dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu pada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan peran organisasi internasional dalam peacebuilding.

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU DESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU DESA KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI

Lebih terperinci

Pengelolaan. Pembangunan Desa. Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN

Pengelolaan. Pembangunan Desa. Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN Berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa Buku Bantu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG BANTUAN SOSIAL BAGI KORBAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

Lebih terperinci

KERENTANAN (VULNERABILITY)

KERENTANAN (VULNERABILITY) DISASTER TERMS BENCANA (DISASTER) BAHAYA (HAZARD) KERENTANAN (VULNERABILITY) KAPASITAS (CAPACITY) RISIKO (RISK) PENGKAJIAN RISIKO (RISK ASSESSMENT) PENGURANGAN RISIKO BENCANA (DISASTER RISK REDUCTION)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan

Lebih terperinci

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN Untuk memberikan gambaran yang jelas pada visi tersebut, berikut ada 2 (dua) kalimat kunci yang perlu dijelaskan, sebagai berikut : Masyarakat

Lebih terperinci

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) 2 4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR SUMBAWA Nomor : SOP - 6 / I / 2016 / Sat.Intelkam STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) PENANGANAN KONFLIK SOSIAL I. PENDAHULUAN Bangsa

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA BADAN KESATUAN BANGSA, PERLINDUNGAN MASYARAKAT DAN PENANGGULANGAN BENCANA KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, 1 RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN

Lebih terperinci

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa Edisi Desember 2016 PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Lebih terperinci

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata

2017, No Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan ata No.1359, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-DPDTT. Dana Desa. Penetapan. Tahun 2018. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG 1 GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA PENERAPAN KERANGKA KERJA BERSAMA SEKOLAH AMAN ASEAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Ida Ngurah Plan International Indonesia Ida.Ngurah@plan-international.org Konteks Bencana dan Dampak Pendidikan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Wahyuningsih Darajati Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian PPN/Bappenas

Lebih terperinci

DESAIN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN (TKPP) DI INDONESIA

DESAIN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN (TKPP) DI INDONESIA DESAIN PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN (TKPP) DI INDONESIA TIM KOORDINASI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN (TKPP) DI INDONESIA Daftar Isi I. Latar Belakang... 4 II. Maksud dan Tujuan... 5 III.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN KABUPATEN BONE PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN KABUPATEN BONE PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Strategi sanitasi Kabupaten (SSK) Bone adalah suatu dokumen perencanaan yang berisi kebijakan dan strategi pembangunan sanitasi secara komprehensif pada tingkat kabupaten.

Lebih terperinci

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI PEMANGKU JABATAN STRUKTURAL DAN NONSTRUKTURAL PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

- 2 - MEMUTUSKAN : PERATURAN GUBERNUR TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 39 TAHUN 2016 TENTANG PERBAIKAN DARURAT PADA SAAT TRANSISI DARURAT BENCANA DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa untuk meminimalisasi

Lebih terperinci

VII KONFLIK DAN INTEGRASI

VII KONFLIK DAN INTEGRASI VII KONFLIK DAN INTEGRASI Pengertian Konflik Konflik adalah perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana. Sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 terjadi 647 bencana

Lebih terperinci

TUGAS POKOK & FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) PROVINSI SUMATERA BARAT

TUGAS POKOK & FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) PROVINSI SUMATERA BARAT TUGAS POKOK & FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BPBD) PROVINSI SUMATERA BARAT Sesuai UU No: 24 Thn 2007 Pasal 4, Badan Penanggulangan Bencana Daerah memiliki tugas : 1. Menetapkan pedoman dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 44 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 44 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH SALINAN NOMOR 44, 2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 44 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur No.104, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DIKBUD. Kebudayaan. Pemajuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6055) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hadirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 37 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 37 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 37 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SITUBONDO,

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, 1 BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 1/2017 WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KEMITRAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KEMITRAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG KEMITRAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka rnewujudkan peran

Lebih terperinci