BAB I PENDAHULUAN. Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner, 3 Hakikat ini kita ketahui

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner, 3 Hakikat ini kita ketahui"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner, 3 Hakikat ini kita ketahui dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat. Hukum tidak mudah untuk dipahami oleh masyarakat, maka diperlukan ilmu pengetahuan selain hukum yang mendukung keberdaannya di dalam masyarakat. Berbagai aspek dari hukum yang ingin kita ketahui ternyata tidak dapat dijelaskan dengan baik tanpa memanfaatkan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan, seperti politik, anthropologi, ekonomi dan lain-lainnya. Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu menyembabkan perubahan, bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur. 4 Sehubungan dengan fungsi dan peranan hukum yang sering kali tertinggal dari perkembangan masyarakat, hal ini sesuai dengan adagium hukum yang menyatakan: Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan. Perkembangan globalisasi di berbagai aspek di samping menimbulkan manfaat positif bagi kehidupan 3 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 7 4 Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, hlm.1

2 2 manusia juga harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yaitu timbulnya globalisasi kejahatan dan meningkatnya kuantitas (jumlah) serta kualitas (modus operandi) tindak pidana di berbagai negara dan antar negara. 5 Pemberlakuan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada akhir tahun 2015 merupakan tantangan tersendiri aparat penegak hukum yang secara langsung dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada, apakah mampu mengatasi masalah setelah MEA diterapkan, apakah sistem pemidanaan yang telah ada selama ini menjadi kewenangan pengadilan sudah mampu memberi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan kepada kedua belah pihak dan masyarakat yang seluas-luasnya. Perubahan tujuan pemidanaan dari balas dendam, membuat jera yang hanya melihat keadilan dengan pemidanaan terhadap pelaku, namun bagaimana dengan korban, masyarakat dan kerusakan yang telah diakibatkan oleh perbuatan pelaku. Pembentukan sebuah peraturan perundang-undang di Indonesia akan selalu berpedoman dan tidak boleh bertentangan dengan Ideologi atau dasar Negara Indonesia yaitu PANCASILA, substansi dari peraturan perundangundangan harus selalu berpedoman kepada Pancasila terutama masalah keadilan sebagaimana dalam butir ke-5 dari Pancasila berbunyi : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Hukum pidana merupakan hukum yang masuk ke dalam kategori hukum publik, yaitu: hukum yang mengatur kepentingan umum. Karena mengatur 5 Nyoman Serikat Putra Jaya, Globalisasi Ham Dan Penegakan Hukum, Makalah disampaikan pada matrikulasi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) tahun 2010, tanggal 18 September Termasuk dalam hal tindak pidana korporasi, tindak pidana korporasi dapat terjadi di dalam lingkup suatu Negara dapat pula terjadi secara lintas batas Negara (antarnegara).

3 3 tentang kepentingan umum maka negara hadir untuk menjaga ketertiban dan keseimbangan hukum dalam masyarakat, Hukum pidana sendiri memiliki pengertian, yaitu: Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya. Dalam perkembangannya kebijakan hukum publik negara juga hadir dalam sengketa yang terjadi pada daerah privat (pribadi) antara orang perorangan ada persinggungan dengan hukum perdata, maka sebagai pembatas campur tangan negara munculah delik aduan dalam hukum pidana yang mewajibkan adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Penestapaan pelanggar terbukti tidak dapat mengurangi kejahatan dan tidak dapat memulihkan kerusakan yang terjadi akibat suatu kejahatan, sehingga konsep keadilan restoratif yang memprioritaskan pemulihan terhadap korban, pelaku dan masyarakat sebagai sebuah solusi. Walaupun pengaturan keadilan restoratif dalam hukum pidana kita masih sebatas diversi pada sistem peradilan anak, sehingga dalam penerapannya akan bersinggungan dengan kepastian hukum. Persoalan lain tentang kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana tersebut diberlakukan dan berkesesuaian dengan nilai-nilai keadilan yang dimiliki masyarakat. Sebagaimana kita ketahui hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, merupakan warisan peninggalan bangsa Belanda dahulu. KUHP kita sekarang ini masih merupakan terjemahan dari

4 4 KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht), sehingga diperlukan sebuah kebijakan dalam hukum pidana yang mampu mengikuti perkembangan global. Sudarto, Pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 6 a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Hukum positif Indonesia belum memberikan ruang perkara pidana dapat diselesaikan di luar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal-hal tertentu dimungkinkan pelaksanaanya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesia, walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar proses pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan sebagainya. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses pidana 6 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, hlm (lihat juga, hukum dan Hukum Pidana, 1981, hlm.161) dalam Barda Nawawi Arief, 2011, Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Semarang, hlm. 3

5 5 menunjukkan bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi. 7 Menurut Romli Atmasasmita 8, terjadinya musibah dalam kehidupan hukum di Indonesia pada akhir-akhir ini, seperti peradilan terhadap Hakim dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum serta friksi yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat pelaksanaan penegakan hukum, tampaknya tidak (harus) selalu dikembalikan kepada masalah mentalitas aparat pelaksana penegak hukum sebagaimana lazimnya dilontarkan masyarakat, melainkan juga ada kemungkinan disebabkan karena memang nilai keadilan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini sudah jauh dari memadai, bahkan bertentangan dengan pendapat dan rasa keadilan masyarakat kita. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, dengan konsep ini, kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi pedoman. Moeljatno, mengatakan bahwa hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik, yang mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau kepentingan umum. 9 Sependapat dengan hal tersebut Andi Zainal Abidin yang mengatakan, bahwa sebagian besar kaedah dalam hukum pidana bersifat publik, sebagian lagi bercampur dengan hukum publik dan hukum privat, memiliki sanksi istimewa karena sifatnya yang melebihi sanksi bidang 7 Barda Nawawi Arief, 2008,Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang, hlm Romli Atmasasmita, 2010,Sistem Peradilan Pidana Kontenporer, Kencana Prenadamedia Goup, Jakarta, hlm Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan kedelapan, Renika Cipta, Jakarta,hlm.2

6 6 hukum lainnya, berdiri sendiri, dan kadangkala menciptakan kaidah baru yang bersifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada. 10 Dunia peradilan belakangan ini banyak membuat terobosan yang dilakukan oleh Hakim dalam memutus sebuah perkara untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan, dengan melakukan terobosan hukum menyampingkan peraturan perundang-undangan yang ada karena peraturan yang telah ada kurang mencerminkan perkembangan global saat ini, dengan mengutamakan restorative justice dalam penanganan perkara pidana. Sejalan dengan hal tersebut Ketua Balai Pertimbangan Permasyarakatan Departemen Kehakiman, Muhamad Mustofa 11 menegaskan Restorative Justice mengutamakan perbaikan terhadap kerusakan yang terjadi dan memberikan perhatian pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuan adalah pemberian malu kalau pelaku mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya. Menurut Setyo Utomo, tentang pengaturan tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan sanksi alternatif baru diatur dalam Rancangan Kitab Undang- 10 Andi Azainal Abidin Farid, 2007,Hukum Pidana I, Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal Terhadap perkara KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta, hlm

7 7 undang hukum pidana dimana terdapat konsep restorative justice. 12 Restorative Justice sebagai suatu bentuk perkembangan terakhir dari berbagai pemikiran tentang hukum pidana dan pemidanaan, sehingga saat ini masih menjadi suatu konsep yang diperdebatkan. 13 Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistem moral nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis suatu masyarakat manusia pada suatu zaman, sehingga permasalahan mengenai sistem pemidanaan paling tidak harus meliputi tiga perspektif yaitu filosofis, sosiologis dan kriminologis. 14 Dalam pelaksanaannya tidak semua aparat penegak hukum dapat mewujudkan terciptannya keadilan restoratif, dikarenakan tidak ada payung hukum bagi mereka di dalam penerapannya. Hakim salah satu aparat penegak hukum, beberapa tahun belakangan ini banyak memutus perkara dengan pertimbangan di luar hukum formal. Apakah hal tersebut merupakan sebuah menemuan hukum?. Penemuan hukum (rechtsvinding) bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktikan selama ini oleh Hakim, pembentuk undang-undang, dan para sarjana hukum yang tugasnya memecahkan masalahmasalah hukum. 15 Hakim bukan merupakan terompet undang-undang, sebagaimana dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) menyebutkan: Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan 12 Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justice, Majalah Hukum Nasiomal Nomor 01 Tahun 2011, BPHN, Jakarta,hlm Eva Achjani Zulfa, 2011,Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, hlm.3 14 Ibid. 15 Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm.1

8 8 memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim dalam hal terjadinya kekosongan hukum atau menafsirkan undang-undang dari tujuan pembentuk undang-undang, merupakan suatu keharusan, dikarenakan Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, namun akan timbul pertanyaan bagaimana jika Hakim menyampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada apakah bisa disebut sebuah penemuan hukum yang akan menciptakan suatu norma baru sehingga dapat memberikan kepastian hukum di dalam menangani kasus yang serupa. Penanganan delik aduan dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Terdakwa Sudarta bin Wahid yang didakwa melanggar dalam dakwaan kesatu melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dakwaan kedua melanggar pasal 44 ayat (4) Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kemudian pasal 51 Undangundang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbunyi Tindak Pidana Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan, dalam putusan Pengadilan Negeri Sumber Nomor 336/Pid.B/2012/PN/.Sbr. tanggal 7 Agustus 2012 jo Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 372/Pid.Sus/2012/PT.BDG. tanggal 3 Oktober 2012 jo Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2238 K/Pid.Sus/2013 tanggal 5 Maret 2014, menyatakan penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima.

9 9 Putusan yang serupa juga pernah dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 317/Pid.B/2008/PN.YK. tanggal 3 Desember 2008 jo Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 01/PID/Plw/2009/PT.Y. tanggal 2 Maret 2009 jo putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009 tanggal 24 Nopember 2009 dalam perkara atas nama Terdakwa Ismayawati, yang mengabulkan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh korban (Emiwati) dan menyatakan penuntutan perkara Nomor: 317 / Pid.B / 2008 / PN.Yk. atas nama Terdakwa Ismayawati tidak dapat diterima. Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan. 16 Sementara hapusnya kewenangan menuntut pidana diatur dalam bab VIII KUHP yaitu : Pasal 76 tentang nebis in idem, Pasal 77 jika tertuduh meninggal dunia, Pasal 78 karena daluwarsa, 78 ayat (1) tentang kewenangan menuntut menjadi hapus jika pelanggaran yang diancam pidana denda saja, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya. Untuk delik aduan, kewenangan menuntut menjadi hapus karena dikabulkannya pencabutan perkara yang dilakukan oleh korban. Untuk perkara delik aduan diatur dalam pasal 72 KUHP yang secara garis besar menyebutkan selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh 16 Pasal 1 butir 7 UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

10 10 dituntut atas pengaduan, mengenai pencabutan pengaduan dalam delik aduan diatur dalam pasal 75 KUHP yang berbunyi orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Namun dalam perkara diatas, Majelis Hakim mengabulkan pencabutan pengaduan yang telah lewat dari batas waktu (daluwarsa). Pengecualian batas waktu pencabutan delik aduan diatur untuk kejahatan aduan perzinahan, dimana pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belumlah dimulai (284 ayat 4), jadi tidak tunduk pada tenggang waktu tiga bulan menurut pasal 75. Berdasarkan uraian diatas maka penulis berkeinginan mengkaji lebih mendalam dengan melakukan penelitian yang berjudul Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pengadilan Yang Menyampingkan Batas Waktu Pencabutan Pengaduan. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas mengenai penerapan keadilan restoratif dalam putusan pengadilan yang menyampingkan batas waktu pencabutan pengaduan dalam penelitian ini ada beberapa permasalahan yang perlu mendapat penjelasan yaitu: a. Bagaimanakah penerapan penyampingan batas waktu pencabutan pengaduan dalam putusan pengadilan? b. Bagaimanakah metode yang digunakan Hakim dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan keadilan restoratif?

11 11 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk : 1. Tujuan Umum : a). Memperoleh data dan pemahaman bagaimanakah penerapan penyampingan batas waktu pencabutan pengaduan dalam putusan pengadilan. b). Memperoleh informasi dan data tentang metode yang digunakan Hakim dalam mengambil keputuskan untuk mewujudkan keadilan restoratif. 2. Tujuan Khusus : Untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik guna mencapai derajat Magister Hukum dalam bidang Ilmu Hukum, minat utama Hukum Litigasi pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat atau kegunaan baik yang bersifat praktis maupun teoritis. Dari segi praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya menegakkan hukum. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman di bidang akademik, di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana dalam delik aduan, serta penerapan keadilan restoratif.

12 12 E. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, namun apabila ternyata ditemukan tesis dengan tema yang sama, maka tesis ini akan melengkapi tulisan yang sudah ada. Berdasarkan hasil penelusuran penulis di perpustakaan secara langsung maupun lewat online ada beberapa penelitian hukum yang terkait dengan obyek penelitian hukum penulis yang berjudul Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pengadilan Yang Menyampingkan Batas Waktu Pencabutan Pengaduan dengan Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah penerapan penyampingan batas waktu pencabutan delik aduan dalam putusan pengadilan? 2. Bagaimanakah metode yang digunakan Hakim dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan keadilan restoratif? Penelitian Hukum lainnya: 1. Judul : KEBIJAKAN FORMULASI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN ANAK 17 Jenis Penelitian Hukum : Tesis Peneliti : I MADE WAHYU CHANDRA SATRIANA Asal : Pascasarjana Universitas Udayana Rumusan Masalah: a. Apakah ide dasar keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak? 17 I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Anak, Tesis, Universitas Udayana.

13 13 b. Bagaimanakah kebijakan formulasi keadilan restoratif dalam Undang - Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? Kesimpulan: 1. Ide dasar keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak adalah ditinjau dari aspek filosofis yaitu: anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan untuk memberikan perlindungan hukum dan untuk kesejahteraan anak yang berhadapan dengan hukum. Aspek yuridis ide dasar keadilan restoratif tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang secara singkat menyatakan: untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila serta mengingat bangsa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (UN s Convention on the Rights of the Child) pada tanggal 20 November 1989 yang merupakan suatu instrumen internasional yang secara hukum mengikat negara-negara peratifikasi dan juga mempunyai kewajiban hukum internasional untuk menerapkannya ke dalam norma hukum. Sedangkan ditinjau dari aspek sosiologis ide dasar keadilan restoratif adalah mensyaratkan agar adanya keseimbangan fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. 2. Kebijakan formulasi keadilan restoratif dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan suatu kebijakan preventif yaitu kebijakan yang diberikan oleh undang-undang

14 14 kepada aparat penegak hukum untuk mencegah atau tidak mengajukan tersangka ke pengadilan. Sesuai dengan landasan filosofis yang terdapat dalam Undang undang ini yaitu untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, dalam upaya mewujudkan keadilan restoratif (pemulihan) melalui upaya diversi dari proses penerimaan laporan oleh pihak kepolisian sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan besar Terdakwa dikenakan pidana penjara sehubungan dengan adanya sistem perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif. Kebijakan ini dapat ditempuh dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan seleksi terhadap para tersangka yang akan diajukan ke pengadilan walaupun orang itu jelas-jelas telah melakukan suatu tindak pidana. Terlihat secara jelas perbedaan mengenai pokok pembahasan dengan tesis penulis dalam hal obyek pembahasan: penulis membahas delik aduan, metode penemuan hukum yang digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara, keadilan restoratif dalam putusan Hakim, sedangkan I Made wahyu Chandra Satriana membahas tentang ide dasar keadilan restoratif dan kebijakan formulasi dalam sistem peradilan anak 2. Judul: IMPLEMENTASI PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 18 Jenis Penelitian Hukum : Tesis 18 Redwin Darwis, 2014, Implementasi Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makasar.

15 15 Penulis : REDWIN DARWIS Asal: KONSENTRASI HUKUM PIDANA PROGRAM STUDI MEGISTER ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASAR Rumusan Masalah: a. Bagaimana relevansi penerapan diversi dengan penyelesaian perkara dalam hukum acara pidana anak? b. Bagaimana penerapan keadilan restoratif dengan cara diversi dalam penegakan hukum pidana anak? Kasimpulan: 1. Penerapan diversi memiliki relevansi dengan penyelesaian perkara dalam hukum acara pidana, karena ketika diupayakan diversi oleh penegak hukum (baik oleh pihak kepolisian, kejaksaan, dan hakim), dan upaya diversi tersebut berhasil, maka secara otomatis perkara tersebut selesai pada tahap itu (tanpa harus lanjut ke proses selanjutnya). Jika upaya diversi tidak berhasil, barulah perkara tersebut berlanjut ke tahapan proses hukum selanjutnya.terkait dengan hal itu, UU SPPA telah mengatur tentang penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan atas dasar diversi, sehingga dengan demikian berdasarkan asas lex specialis maka pengaturan tentang penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dalam KUHAP dapat dikesampingkan. 2. Penerapan keadilan restoratif dengan cara diversi dalam penegakan hukum pidana anakoleh para penegak hukum telah diupayakan, baik itu ditingkat

16 16 kepolisian, kejaksaan, maupun ditingkat pengadilan, dan hal tersebut sudah banyak yang 142 berhasil, hanya saja terkendala pada pembuatan penetapan pengadilan. Selain berpedoman pada UU SPPA dan SKB tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Dalam mengupayakan diversi, Hakim berpedoman juga pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 4 Tahun 2014 yang sayangnya peraturan internal tersebut hingga kini belum dimiliki oleh penegak hukum lainnya (Kepolisian dan Kejaksaan). Perbedaan mengenai pokok pembahasan dengan penelitian ini dalam hal obyek pembahasan: penulis membahas masalah delik aduan, metode penemuan hukum yang digunakan oleh Hakim dalam memutus perkara, keadilan restoratif dalam putusan pengadilan, sedangkan Redwin Darwis membahas tentang keadilan restoratif dalam penerapan diversi, sistem peradilan anak. 3. Judul : PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, Analisa Putusan No. 21 / PID.B / 2009 / PN.Srln Dan No. 22 / PID.B / 2009 / PN.Srln) 19 Jenis Penelitian Hukum : Tesis Penulis : NOFITA DWI WAHYUNI Asal : Program Pascasarjana Universitas Indonesia 19 Nofita Dwi Wahyuni, 2013, Penerapan Keadilan Restoratif Justice Dalam Putusan Pengadilan Sebagai Tujuan Pemidanaan (studi kasus terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln), Tesis, Universitas Indonesia.

17 17 Rumusan Masalah: a. Bagaimanakah eksistensi restoratif justice di pengadilan? Dan apakah restoratif justice dapat sebagai tujuan pemidanaan? b. Bagaimanakan sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme adat?dan apakah ada hubungannya restoratif justice dengan nilai hukum adat? c. Bagaimana penerapan restoratif justice dalam putusan pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat? Kesimpulan: 1. Indonesia belum mengatur konsep restoratif justice (kecuali dalam Undangundang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak). Pada tahun sebelum berlakunya undang-undang tersebut, penulis mencatat setidaknya ada lima putusan yang menerapkan restoratif justice sebagai tujuan pemidanaan. Putusan tersebut antara lain: Putusan No K/Pid.B/2009, Putusan No.2238 K/Pid.B/2009 dan Putusan No. 307K/Pid.B/2010, sedangkan dua putusan yang menjadi analisa dalam penelitian ini yaitu Putusan No. 21/Pid.b/2009/PN.Srln dan Putusan No. 22/Pid.B/2009/PN.Srln adalah putusan yang diputus di tingkat pertama. Penelitian ini memang tidak mencari berapa banyak putusan pengadilan yang menerpakan restoratif justice namun menegaskan bahwa walaupun belum ada pengaturannya, Hakim dapat menerapkannya dalam putusannya. Hal ini didasarkan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara karena hukum yang tidak ada atau tidak jelas. Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai yang hidup (living law)

18 18 di dalam masyarakat untuk menemukan hukum tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa restorative justice telah diakui keberadaannya/ eksistensinya dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. 2. Adanya nilai-nilai hukum adat dalam restorative justice. Restorative justice yang bertujuan menyelesaikan konflik antara korban, pelaku dan masyarakat, adalah sama dengan tujuan sanksi adat yaitu mengembalikan keseimbangan, keharmonisan, kerukunan antara pihak yang berkonflik. Dengan sistem penyelesaian dalam hukum adat yang tidak membedakan pidana dengan perdata, sehingga korban dan masyarakat ikut berpartisipasi untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dan hukum adat ini adalah jelas merupakan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Penyelesaian konflik dengan mempertimbangkan kepentingan dari pelaku, korban dan masyarakat maka keadilan pun dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan yang dimana tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan, keadilan sebagai fairness. 3. Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln dan No.22/Pid.B/2009/PN.Srln telah menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, walaupun tidak disebutkan secara tegas dan jelas. Dalam kedua putusan tersebut yang merupakan suatu kejadian yang sama (bentrokan dua kelompok suku anak dalam) namun karena berdasarkan fakta hukum pembuktian, maka berkas dipisahkan, telah berhasil menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat. Majelis

19 19 Hakim telah melihat dan mempertimbangkan permanfaatan yang terjadi antara kelompok Celitai/Terdakwa dengan kelompok Majid/korban. Majelis Hakim melihat bahwa sudah tidak ada permasalahan diantara mereka, karena tidak adanya tuntutan dari kedua kelompok (kedua kelompok samasama menjadi korban). Penyelesaian adat yang telah terjadi diantara kedua kelompok, membantu Majelis untuk menyelesaikan konflik tersebut dan berkeyakinan bahwa sudah tidak ada masalah lagi antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan dari obyek pembahasan yaitu: penulis pembahasan tentang delik aduan, metode penemuan hukum oleh Hakim dan keadilan restoratif, sedangkan Nofita Dwi Wahyuni membahas tentang hukum adat, restorative justice sebagai tujuan pemidanaan.

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan semata, hal ini berdasarkan penjelasan umum tentang sistem pemerintahan negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 amandemen keempat, khususnya Pasal 28 B ayat (2) berisi ketentuan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya mengharuskan manusia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang

BAB I PENGANTAR. Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, berkembang pula modus kejahatan yang terjadi di Indonesia sebagai dampak negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan baik sosial, budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang menganut paham nomokrasi atau negara hukum, yaitu paham yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi sekaligus menempatkan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus pembangunan, yaitu generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN 1 TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN Suriani, Sh, Mh. Fakultas Hukum Universitas Asahan, Jl. Jend Ahmad Yani Kisaran Sumatera Utara surianisiagian02@gmail.com ABSTRAK Pasal

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Oleh : Keyzha Natakharisma I Nengah Suantra Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Mediation is generally known as a form

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini perdagangan terhadap orang di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat dan sudah mencapai taraf memprihatinkan. Bertambah maraknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah

Lebih terperinci

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Permasalahan keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk direalisasikan. Salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal dengan Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan pancasila dan Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mempunyai permasalahan atau berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial sesuai dengan apa yang termuat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (1) menyebutkan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi, pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karakteristik anak yang sedang dalam pertumbuhan atau mengalami proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri tanpa perlindungan.

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kenakalan anak atau (juvenile deliuencya) adalah setiap

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kenakalan anak atau (juvenile deliuencya) adalah setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman kenakalan anak telah memasuki ambang batas yang sangat memperihatinkan. Menurut Romli Atmasasmita sebagaimana dikutip Wagiati Soetodjo,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang selanjutnya disebut dengan UU SPPA menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA 1 BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA A. Sejarah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara manapun di dunia ini, militer merupakan organ yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap Negara, salah satu penopang kedaulatan suatu Negara ada pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu hangat untuk diperbincangkan dari masa ke masa, hal ini disebabkan karakteristik dan formulasinya terus

Lebih terperinci

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan Delik Pembunuhan Tidak Disengaja Oleh Anak di Bawah Umur Menurut

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN PADA TAHAP PENUNTUTAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE. (Studi Kasus Penganiyayaan di Kota Malang)

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN PADA TAHAP PENUNTUTAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE. (Studi Kasus Penganiyayaan di Kota Malang) PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN PADA TAHAP PENUNTUTAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Kasus Penganiyayaan di Kota Malang) PENULISAN HUKUM Oleh: SLAMET SANTOSO 08400214 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hampir setiap hari surat kabar maupun media lainnya memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas selalu menjadi bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. 2 Hukum sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 1 Oleh: Karen Tuwo 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp TAMBAHAN BERITA NEGARA RI MA. Uang Pengganti. Tipikor. Pidana Tambahan. PENJELASAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PIDANA TAMBAHAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia dan sering menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan ancaman hukuman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering) 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering) Penyampingan Perkara adalah bentuk pelaksanaan dari asas oportunitas

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa beban target penerimaan pajak yang terlalu berat telah melahirkan kebijakan pemeriksaan yang menghambat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Copyright@2017 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Barangsiapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci