HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A"

Transkripsi

1 HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN TOPAN LISTIAWAN. Hubungan Antara Kelas Jalan dengan Kecenderungan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor. Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan DIAR SHIDDIQ. Peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan yang cukup pesat menyebabkan kebutuhan akan ruang di Kota Bogor meningkat, peningkatan tersebut berdampak pada keragaman aktivitas dan penggunaan lahan terutama untuk ruang terbangun di masa depan. Beberapa bentuk penggunaan lahan dan beberapa bentuk inkonsistensi penggunaan lahan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di sepanjang jalan-jalan utama berpengaruh terhadap meningkatnya bangkitan lalu lintas dan beban yang ditanggung oleh jalan-jalan utama di Kota Bogor. Untuk mendukung upaya-upaya mengatasi permasalahan yang ada terkait dengan penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi diperlukan adanya informasi-informasi penyimpangan tata ruang, terutama penyimpangan peruntukan lahan di sepanjang jalan utama Kota Bogor dimana pada umumnya wilayah ruang terbangun di Kota Bogor berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan Kota Bogor tahun 2003 dan 2007, mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007, mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor tahun 2003 dan 2007, serta menganalisis pengaruh faktor kelas jalan dan faktor-faktor lainnya terhadap inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Penelitian dilakukan di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di P4W LPPM Kampus IPB Baranangsiang. Penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 sampai tahun 2007 mengalami perubahan yang cenderung bergeser ke arah ruang terbangun dengan peningkatan sebesar 10,34 % atau Ha dari tahun 2003 hingga 2007 yang disertai dengan terjadinya inkonsistensi dengan rencana tata ruang yang ada. Pada tahun 2003 jenis inkonsistensi yang paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain sebesar 124 Ha atau 67,50% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau dan pada tahun 2007 sebesar 148 Ha atau 80,37% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha). Di area buffer 200 m di sepanjang jalan utama pada tahun 2003 jenis inkonsistensi yang paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain sebesar 20 Ha atau 15,12% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer 200 m jalan utama dan menjadi 30 Ha atau 23,04% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer 200m jalan utama pada tahun Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi luas inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan utama Kota Bogor diantaranya adalah faktor kedekatan ke jalan kolektor sekunder dan terminal utama namun memiliki jarak lebih jauh ke jalan arteri primer, arteri sekunder, jalan kolektor primer, dan ke stasiun KA. Luasnya inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah

3 ruang terbangun juga cenderung luas pada lokasi dengan proporsi ruang terbangun yang tinggi namun proporsi ruang untuk kegiatan jasa komersial yang rendah. Kata Kunci ; Penggunaan Lahan, Ruang Terbangun, Inkonsistensi, Kelas Jalan

4 SUMMARY TOPAN LISTIAWAN. The Relationship Between Road Types with Spatial Planning Inconsistency Trends in Bogor Municipality. Under Supervision of ERNAN RUSTIADI and DIAR SHIDDIQ. Rapid development and increasing population led to the need for space in Bogor Municipality. The increase will impact on the diversity of activities and land uses, especially for the built up area. Various land use types, land use changes and inconsistencies of land use to Regional Spatial Plan (RTRW) impact on increasing rise of traffic and street load in the Bogor Municipality. In attempt to support efforts to overcome existing problems related to those issues, spatial information system to monitor the inconsistencies are required, especially the inconsistencies in areas along the main roads in Bogor Municipality. The spatial distribution pattern of built-up areas in the Bogor Municipality tend to grow linearly follow the main road structure. The aims of this study were namely, to identify changes in land use/land cover of Bogor Municipality in 2003 and 2007, to identify land use inconsistencies of the Bogor Municipality in 2003 and 2007, to identify land use inconsistencies along the main road of Bogor Municipality in 2003 and 2007, and to analyzes the influence of road types and other factors along the main road. The research is conducted at Division of Regional Development Planning, Department of Soil and Land Resource, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University and at Center for Regional Systems Analysis, Development and Planning (CrestPent/P4W) of Bogor Agricultural University. Land use changes in Bogor Municipality from 2003 until the 2007 have dominated by conversion into built up areas with an increase of 10.34% or 1167 Ha from 2003 to In 2003 the widest land use inconsistencies was occured in greenery/sport promotion areas which consist of 124 Ha or 67.50% of the total area of greenery/sport promotion areas and in 2007 was 140 Ha or 76.33% of the total area of of greenery/sport promotion areas (184 Ha). In 2003, within 200 m buffer areas along the main road, the widest inconsistencies occured in greenery/sport areas promoted areas, covering about 20 Ha or 15.12% of the planning areas. In 2007, the inconsistencies were increased, covering 30 Ha or 23.04% of greenery/sport areas promoted areas. Factors that significantly influence the spatial planing inconsistencies into built up area along the main roads were distances of locations to primary and secondary artery roads, to primary and secondary collector roads, to the railway station and main bus terminals, and proportion of commercial services and built up areas of total of village area. Keywords: land use, built-up area, spatial panning inconsistency, road types

5 HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

6 Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Hubungan Antara Kelas Jalan dengan Kecenderungan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor : Topan Listiawan : A Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr NIP Ir. Diar Shiddiq Mengetahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP Tanggal lulus:

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Topan Listiawan, dilahirkan di Pati, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 6 Agustus Penulis adalah putra tunggal dari pasangan Said Bastian dan Rini Arifiani. Penulis mengawali pendidikan formal di Tk Pertiwi Kab. Pati, SD Negeri Pati Kidul 02 pada tahun 1993, kemudian pindah di SD Negeri Pati Lor 04 pada tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri 3 Pati dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Pati dan menyelesaikan pada tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program SPMB di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi Mahasiswa penulis aktif menjadi pengurus pada Organisasi Mahasiswa Daerah Pati mulai tahun 2005 hingga 2009, aktif dalam setiap kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan juga setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh P4W LPPM IPB. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan pada tahun 2009.

8 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul Hubungan Kelas Jalan dengan Kecenderungan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku dosen pembimbing I dan Bapak Ir. Diar Shiddiq selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan, kesabaran dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2. P4W LPPM IPB yang telah sangat banyak membantu dan memfasilitasi proses penelitian sampai akhir penelitian. 3. Dinas Perhubungan dan PT Bina Marga, Kota Bogor yang banyak memberikan dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis. 4. Ayah, dan Ibu tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 5. Dosen dan staf Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah terutama Mbak Dian dan Mbak Emma yang banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. 6. Teman-teman program studi Ilmu Tanah angkatan 42, teman-teman di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah dan semua mahasiswa MSL yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas dukungan semangat dan kerjasamanya selama menempuh kuliah di Fakultas Pertanian IPB. 7. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-nya dan membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis.

9 Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, April 2010 Topan Listiawan

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Permasalahan Tata Ruang Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Konsep Dasar Ekonomi lahan Sistem Transportasi, Jalan dan Tata Guna Lahan Sistem Informasi Geografi (SIG) Penginderaan Jauh, Citra SPOT dan Ikonos Konsep Buffering III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Pengumpulan Data Pengolahan Data Peta dan Citra Pengecekan Lapang Teknik Analisis Analisis Spasial Penentuan Perhitungan Jarak dari Centroid Poligon (x 0,y 0 ) ke berbagai lokasi n (D 01n ) Analisis Regresi Berganda dengan Metode Forward Stepwise.. 21 IV. KEADAAN UMUM LOKASI STUDI Batas Administrasi Kondisi Fisik Struktur Tata Ruang... 27

11 4.4. Kependudukan Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Penggunaan Lahan di Kota Bogor Permukiman Pertanian Perkantoran Perdagangan Industri Keadaan Perekonomian Transportasi Kota Bogor (Jaringan Jalan) V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 65

12 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Bahan Penelitian Alat Penelitian Klasifikasi Generik Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun Variabel independen yang digunakan pada analisis regresi berganda dengan peubah dummy Kepadatan Penduduk Kota Bogor Tahun Klasifikasi hirarki jalan utama berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor (revisi) Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun.. 59

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 1. Diagram Alir Penelitian Peta Administrasi Kota Bogor Peta Hirarki Jalan Utama Kota Bogor Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2003 (%) Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2007 (%) Perbandingan Proporsi Total Penggunaan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (%) Alih Fungsi Beberapa Pemanfaatan Ruang Tahun 2003 ke Ruang Terbangun Tahun Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 (%) Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 (%) Perbandingan Proporsi Total Penggunaan Lahan di Sepanjang buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (%) Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (Ha) Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang di Kota Bogor Tahun 2007 (%) Peta RTRW Kota Bogor Periode Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun 2003 (a) dan 2007 (b) Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (Ha) Proporsi Total Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Proporsi Total Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2007 (%)... 51

14 21. Peta Inkonsistensi di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Arteri Kota Bogor Tahun 2003 (a) dan Tahun 2007 (b) Peta Inkonsistensi di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Kolektor Kota Bogor Tahun 2003 (a) dan Tahun 2007 (b)... 54

15 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Teks Halaman 1. Alih Fungsi Pemanfaatan Ruang ke Arah Ruang Terbangun (a) dan (b), Peruntukan Taman/Lapangan Olahraga/Jalur Hijau (c) dan (d) Salah Satu Bentuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang ke Arah Ruang Terbangun Peruntukan Hutan Kota/Kebun Raya (a), Peruntukan Pertanian/Kebun Campuran (b) Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Proporsi dihitung berdasarkan luas total peruntukan menurut RTRW periode Kota Bogor) Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Proporsi dihitung berdasarkan luas total peruntukan menurut RTRW periode di sepanjang Buffer 200 m jalan utama Kota Bogor)... 71

16 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan yang cukup pesat merupakan penyebab utama meningkatnya kebutuhan akan ruang di Kota Bogor selama beberapa periode terakhir ini, peningkatan kebutuhan ruang tersebut berdampak pada keragaman aktivitas dan penggunaan lahan terutama untuk ruang terbangun yang meliputi perumahan, permukiman, jasa komersial, industri, pusat pemerintahan dan perdagangan serta jasa di masa depan. Dampak lain dari pesatnya aktivitas pembangunan di Kota Bogor diantaranya tercermin dari berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, terjadinya konversi lahan produktif menjadi lahan terbangun serta terjadinya perubahan dalam segi kualitas, kuantitas serta pattern atau pola fisik penggunaan lahan secara keruangan. Pada dasarnya, perubahan yang terjadi ini secara tidak langsung memberikan argumen bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi terjadinya perubahan pola penggunaan lahan adalah adanya sistem transportasi yang berkembang di kawasan Kota Bogor. Berdasarkan data yang dihimpun BAPPEDA Kota Bogor untuk periode tahun , pola penyebaran daerah terbangun masih terkonsentrasi di pusat Kota Bogor (Kecamatan Bogor Tengah dan sekitarnya), sedangkan daerah pinggiran relatif lebih kecil dari penggunaan lahan terbangun, terutama di Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Barat, dan sebagian kecil di Tanah Sereal dan Bogor Utara. Hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di pusat-pusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk Bogor yang juga tinggal di pusat kota, walaupun kondisi perumahannya sudah tidak nyaman dan bersih. Untuk daerah pinggiran maka pola ruangnya adalah bersifat memita (ribbon) terutama pada ruas-ruas jalan utama seperti Jalan Pajajaran, Jalan Raya Tajur dan Jalan Raya Sholeh Iskandar. Hal ini mengakibatkan bangkitan perjalanan di Kota Bogor berpusat pada ruas-ruas jalan tersebut sehingga jalan-jalan tersebut yang seharusnya berfungsi arteri tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bermacam penggunaan lahan dan pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi ini akan semakin berpengaruh terhadap meningkatnya beban yang ditanggung oleh jalan-jalan utama di Kota Bogor.

17 2 Pola penggunaan lahan dari luas wilayah Kota Bogor yang terdistribusi ke dalam ruang terbangun (built up area) ini lebih mendominasi daripada penggunaan lahan lainnya seperti pertanian/kebun campuran dan ruang terbuka hijau (RTH). Menurut data Dinas Permukiman Kota Bogor, pada umumnya wilayah ruang terbangun ini berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada sehingga pada akhirnya pola jaringan jalan utama yang merupakan simpul prasarana transportasi dapat mempengaruhi perkembangan tata guna lahan dan berpotensi dalam menambah laju tingkat perkembangan wilayah Kota Bogor, dimana kebutuhan akan ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor juga meningkat sehingga menyebabkan terjadinya berbagai konversi lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang seperti ruang terbuka hijau dan pertanian/kebun campuran yang berubah menjadi ruang terbangun dengan rent yang tinggi, keadaan ini menimbulkan bangkitan lalu lintas yang sangat tinggi di sekitar sempadan jalan utama daripada sebelum terkonversi menjadi ruang terbangun hal ini dapat menyebabkan rendahnya kecepatan perjalanan, panjangnya rata-rata antrian, lamanya waktu perjalanan dan tingginya hambatan lalu lintas, sehingga kemacetan di sepanjang jalan utama Kota Bogor bukan merupakan hal yang baru melihat aktivitas pembangunan di Kota Bogor yang sangat pesat dewasa ini. Inkonsistensi pemanfaatan ruang yang ada di sepanjang jalan utama yang melintasi Kota Bogor ini merupakan suatu bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang dari RTRW yang telah ditetapkan. RTRW yang dibuat seringkali tidak sesuai pemanfaatannya dengan keadaan sebenarnya di lapang. Pembangunan yang cukup pesat di Kota Bogor telah menyebabkan terjadinya perubahan, dinamika pola penggunaan lahan dan inkonsistensi tata ruang yang merupakan ketidaksesuaian antara rencana arahan penataan pemanfaatan ruang menurut RTRW dengan pemanfaatan ruang saat ini. Inkonsistensi RTRW dari perspektif output dapat terlihat dari ketidakkonsistenan antara pemanfaatan ruang eksisting (penggunaan lahan saat ini) dengan RTRW (Rustiadi, 2007). Perubahan pengunaan lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun yang terjadi di sepanjang jalan utama Kota Bogor menyebabkan kesemrawutan ruang dan pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah seperti kemacetan akibat bangkitan lalu lintas yang begitu tinggi. Apabila hal yang terjadi

18 3 ini tidak dikendalikan dan ditindaklanjuti secara cepat dan terpadu maka dikhawatirkan cepat atau lambat Kota Bogor akan menjadi kota yang tidak menarik dan dihindari pengguna jalan serta adanya beban masyarakat Kota Bogor yang dihabiskan pada kebutuhan perjalanan. Karena lokasi dan transportasi merupakan unsur yang sangat mempengaruhi penggunaan lahan, maka bervariasinya jenis penggunaan lahan bila dikaitkan dengan aksesibilitas terhadap suatu lokasi memungkinkan untuk dilakukan analisis pola keterkaitan dengan penggunaan lahan yang ada. Proses penggunaan lahan secara nyata dapat diterangkan oleh faktor-faktor antara lain: karakteristik penduduk, jumlah sarana dan prasarana umum, aksesibilitas lokasi, struktur aktivitas industri dan intervensi kelembagaan pemerintah (Saefulhakim,1994). Pada akhirnya untuk mendukung upaya-upaya mengatasi permasalahan yang ada terkait dengan penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi diperlukan adanya informasi-informasi penyimpangan tata ruang, terutama penyimpangan peruntukan lahan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dimana pada umumnya wilayah built up area di Kota Bogor berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada sehingga menarik untuk diketahui sejauh mana tingkat penyimpangan dan inkonsistensi yang terjadi. Salah satu cara untuk mengetahui penyimpangan penataan ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor adalah dengan mengidentifikasi inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan di lapang terhadap arahan di dalam rencana tata ruang sebagaimana terdokumentasi di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu diperlukan sistem monitoring perubahan pemanfaatan ruang lebih dari satu titik tahun dan evaluasi konsistensi tata ruang yang kemudian dapat digunakan sebagai landasan dalam pengendalian tata ruang wilayah. Monitoring dapat dilakukan dengan memanfaatkan Citra Satelit SPOT 2003 dan Citra Satelit Ikonos 2007, untuk mengetahui pola penggunaan lahan eksisting yang kemudian dianalisis untuk mendeskripsikan inkonsistensi pola ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor dan dapat menentukan faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya penyimpangan arahan penataan ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor.

19 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 ke tahun 2007; 2. Mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bogor tahun 2003 dan 2007; 3. Mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan-jalan utama Kota Bogor; dan 4. Menganalisis pengaruh faktor kelas jalan dan faktor-faktor lainnya terhadap inkonsistensi pemanfaatan ruang.

20 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Pasal 1 butir 1 UU No. 26/2007). Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang (UU No. 26 Tahun 2007). Dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu berdasarkan pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, pemeliharaan lingkungan hidup dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanan keamanan. Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan 1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, 2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan 3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang (UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, Pasal 5). Berdasarkan UU No.26/2007, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang, baik untuk wilayah administratif (seperti propinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (seperti kawasan perkotaan dan perdesaan); pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme

21 6 perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Karakteristik penataan ruang terkait erat dengan ekosistem. Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan sistem yang tidak dibatasi oleh batasbatas administrasi wilayah, dengan dilandasi oleh 4 (empat) prinsip pokok penataan ruang yakni: (a) holistik dan terpadu, (b) keseimbangan antar kawasan (misal antar kota-desa atau hulu-hilir), (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah administratif, serta (d) pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang ( f) Permasalahan Tata Ruang Pemberlakuan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) telah memberikan arti yang cukup besar dalam pembangunan nasional, namun seiring dengan perkembangannya, banyak fakta empiris dan yuridis menunjukkan berbagai permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan, sehingga dewasa ini berkembang adanya tuntutan pemikiran di tengah masyarakat untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang yang lebih langsung menyentuh hal-hal yang terkait dengan permasalahan kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya menuntut dilakukannya perubahan pengaturan penataan ruang. Beberapa fakta empirik dan yuridis tentang berbagai permasalahan penyelenggaraan tata ruang yang terjadi hingga saat ini, seperti semakin tingginya konversi penggunaan lahan, meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor, urban sprawl, semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh serta semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau perkotaan, kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk, dan kurang seimbangnya pembangunan kawasan pedesaan dan perkotaan, masalah keamanan bangsa, posisi geostrategik, konflik perbatasan dan isu-isu keamanan internasional telah menguatkan kehendak seluruh pemangku kepentingan penataan ruang untuk melakukan restorasi penataan ruang (

22 Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktivitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuansi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: 1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap pengguanaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, dan 2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa). Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomis paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra, 1989) Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi, tumbuhan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena hampir semua aspek kehidupan

23 8 pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995). Terdapat perbedaan antara penutup lahan (land cover) dengan penggunaan lahan (land use). Penutup lahan didefinisikan sebagai bahan-bahan seperti vegetasi dan pondasi yang menutup tanah. Sedangkan inti dari penggunaan lahan adalah aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah industri, pertanian, atau pemukiman (Marsh,1991, dalam Saefulhakim, 1994). Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1997). Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Sepuluh kelas penggunaan lahan menurut Barlowe (1978) adalah sebagai berikut: 1) lahan pemukiman, 2) lahan industri dan perdagangan, 3) lahan bercocok tanam, 4) lahan peternakan dan penggembalaan, 5) lahan hutan, 6) lahan mineral/pertambangan, 7) lahan rekreasi, 8) lahan pelayanan jasa, 9) lahan transportasi dan 10) lahan tempat pembuangan. Perubahan penutupan lahan merupakan bentuk peralihan dari penutupan lahan sebelumnya ke penutupan lahan yang lain, yang berarti berubahnya luas dan lokasi penggunaan lahan tertentu pada suatu kurun waktu. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Secara umum Barlowe (1978) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan adalah faktor fisik dan biologi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), faktor ekonomi, dan kelembagaan. Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat tidak dapat diubah (irreversible), contohnya adalah lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah. Oleh karenanya proses-proses perubahan

24 9 penggunaan lahan harus selalu ditempatkan dalam perspektif perencanaan jangka panjang (Rustiadi, 2001). Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: 1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, 2) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan parsial, namun memerlukan pendekatan-pendekatan intregatif (Rustiadi et al, 2005) Konsep Dasar Ekonomi Lahan Suatu lahan yang diusahakan untuk penggunaan tertentu mempunyai nilai. Dalam bidang pertanian dikenal istilah richardian rent, yaitu rent yang nilainya sangat ditentukan oleh kualitas lahannya. Artinya, semakin baik kualitas suatu lahan, maka semakin tinggi nilai richardian rent nya, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini dikenal istilah rent yang lain, yaitu land rent. Land rent adalah sisa surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total (Barlowe, 1986). Produktivitas dari suatu lahan yang memiliki surplus ekonomi akibat kesuburan tanah (tingkat kesesuaian lahan sesuai), akan menghasilkan land rent yang tinggi. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan akibat kesuburan tanah tersebut mengakibatkan perbedaan output yang paling banyak dibandingkan dengan lahan yang tidak subur, sehingga land rent pada tanah yang subur akan lebih tinggi dari tanah atau lahan yang kurang subur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam hal besarnya rata-rata nilai produksi dan biaya produksi per unit lahan dengan tingkat kesuburan yang berbeda tersebut (Sitorus, 2004). Nilai land rent ditentukan oleh kisaran jarak terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah lahan yang berlokasi dekat pasar atau pusat kegiatan bisnis memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan alternatif penggunaan yang lebih banyak (Barlowe, 1986).

25 Sistem Transportasi, Jalan dan Tata Guna Lahan Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat dipecahkan menjadi beberapa sistem yang lebih kecil (mikro) yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut terdiri dari: a) Sistem Kegiatan, b) Sistem Jaringan Prasarana Transportasi, c) Sistem Pergerakan Lalu Lintas, d) Sistem Kelembagaan. Sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesbilitas dari sistem pergerakan tersebut (Rahmani, 2000). Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jalan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di suatu tempat karena menolong orang untuk pergi atau mengirim barang lebih cepat ke suatu tujuan. Dengan adanya jalan, komoditi dapat mengalir ke pasar setempat dan hasil ekonomi dari suatu tempat dapat dijual kepada pasaran di luar wilayah itu. Selain itu, jalan juga mengembangkan ekonomi lalu lintas di sepanjang lintasannya Jalan merupakan prasarana pembentuk struktur ruang (id.wikipedia.org/wiki/perencanaan_tata_ruang). Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada RTRW dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan. Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut: 1) menghubungkan pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan

26 11 lingkungan; dan 2) menghubungkan antarpusat kegiatan nasional. Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan RTRW kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil (id.wikipedia.org/wiki/jalan). Jalan arteri primer menghubungkan secara efisien antar Pusat Kegiatan Nasional, atau antara Pusat Kegiatan Nasional dengan Pusat Kegiatan Wilayah (serta menghubungkan Pusat Kegiatan Nasional dengan kota lain di negara tetangga yang berbatasan langsung). Ciri jalan arteri primer adalah: 1. Jalan arteri primer (antar kota) yang memasuki wilayah perkotaan tidak boleh terputus (menerus); 2. Jalan arteri primer melalui dan atau menuju kawasan primer; 3. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional (menerus); lalu lintas menerus tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik atau lalu lintas lokal (dari kegiatan bersifat lokal); 4. Kendaraan angkutan barang dan kendaraan angkutan umum jenis bus dapat diijinkan melalui jalan ini; 5. Jalan arteri primer sebaiknya dilengkapi/disediakan tempat istirahat menurut pedoman perencanaan tempat istirahat yang ada. Jalan kolektor primer menghubungkan secara efisien antar pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal, sedangkam jalan lokal primer menghubungkan secara efisien pusat kegiatan nasional dengan persil atau pusat kegiatan wilayah dengan persil atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal, pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan di bawahnya, pusat kegiatan lokal dengan persil, atau pusat kegiatan di bawahnya sampai persil. Pertambahan jumlah penduduk pada akhirnya juga akan mempengaruhi peningkatan keragaman aktivitas yang berpotensi untuk menimbulkan bangkitan dan beban transportasi di masa depan yang lebih dari saat ini. Bila peningkatan jumlah penduduk tesebut tidak diikuti prasarana transportasi seperti panjang dan

27 12 lebar jalan, jumlah jalur jalan, luasan maupun jumlah halte, stasiun dan terminal yang sebanding maka akan terjadi kemacetan yang lebih buruk lagi ( Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda yaitu jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil) dan lalu lintas pada waktu tertentu. Studi hubungan tata guna lahan dan transportasi pertama kali dilakukan di AS yaitu Detroit Area Tranportation Study (1953) dan Chicago Area Transportation Study (1956) dengan motif keraguan akan dampak negatif dari hasil interaksi tata guna lahan dan transportasi. Pelaksanaan studi biasanya didorong oleh tujuan efisiensi yaitu penyiapan rencana transportasi yang dapat menampung lonjakan permintaan perjalanan di suatu lokasi dalam jangka panjang (Lubis dan Karsaman, 1997) Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu produk ilmu komputer yang paling mutakhir saat ini. Pengertian tentang SIG sangat beragam. Hal ini sejalan dengan perkembangan SIG itu sendiri sejak pertama kali SIG dikembangkan oleh Tomlinson tahun Murai (1999) mengartikan SIG sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data berefrensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. Menurut Aronoff (1993), SIG merupakan sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. Sedangkan Bernhardsen (2001) mendefinisiskan SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisa data. Walaupun SIG tak lepas

28 13 dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer serta manajemen data dan informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi. Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) Sistem Informasi Geografi atau disingkat sebagai SIG, terjemahan dari Geographical Information System (GIS), pada saat ini sudah merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya maupun dalam berbagai bidang lainnya seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. SIG juga unggul dalam mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi Penginderaan Jauh, Citra SPOT dan Ikonos Ciri utama dari penginderaaan jauh adalah kemampuannya menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah yang besar. Pemanfaatan jumlah data spasial yang besar tersebut akan tergantung pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna. Perkembangan penginderaan jauh sekarang ini adalah penggunaan satelit yang mengorbit bumi secara terus-menerus sehingga mampu merekam data sesaat secara berulang-ulang dalam luasan yang sangat besar (synoptic) (Barus dan Wiradisastra, 2000). Ikonos merupakan satelit observasi komersial bumi yang dapat mendeteksi obyek sampai dengan ketelitian satu meter. Citra Ikonos diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 september 1999 di California ( SPOT (Satelite Probatoire de l`observation de la Terra) merupakan citra satelit resolusi tinggi keluaran Perancis yang melakukan perekaman ulang pada daerah yang sama setiap 26 hari sekali (CNES, 1989). Dalam penggunaannya

29 14 Citra SPOT memiliki beberapa kelebihan misalnya: untuk kawasan kota dengan foto udara skala 1: membutuhkan 28 lembar, sedangkan bila menggunakan Citra SPOT hanya dibutuhkan satu lembar citra dalam bentuk cetakan kertas Konsep Buffering Terminologi buffer sering kali digunakan di dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan regulasi lingkungan karena sangat penting dan dapat dimodelkan secara spasial, konsep-konsepnya sejak lama telah diadopsi dan kemudian diimplementasikan oleh sejumlah (hampir semua) paket perangkat lunak SIG. Buffer, biasanya dibangun dengan arah ke luar untuk melindungi elemen-elemen spasial (atau dimodelkan secara spasial) yang bersangkutan. Dengan membuat buffer, maka akan terbentuk suatu area, poligon, atau zone baru yang menutupi (atau melindungi) objek spasial (buffered object yang berupa objek-objek spasial titik, garis,atau area (poligon tertentu) dengan jarak tertentu (Murai, 1999). Zone-zone buffer ini digunakan untuk mendefinisikan fungsi kedekatankedekatan secara spasial suatu objek terhadap objek-objek lain yang berada di sekitarnya. Data spasial zone buffer dapat diperlakukan sebagaimana poligonpoligon biasa (theme di dalam perangkat SIG ArcView atau coverage milik ArcInfo) yang dapat dikenakan beberapa operasi-operasi spasial (misalnya overlay) dan atribut.

30 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Pengkajian dan Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM Kampus IPB Baranangsiang. Dimulai pada bulan Maret 2009 sampai Desember Lokasi yang diteliti adalah spesifik Kota Bogor berkaitan dengan hirarki jalan utama dan penggunaan/penutupan lahan yang ada di Kota Bogor Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan perangkat lunak yang digunakan disajikan pada Tabel 2 Tabel 1. Bahan Penelitian No Bahan Sumber Keterangan 1 Peta Jaringan Jalan Kota P4W LPPM IPB Untuk mengetahui hirarki Bogor Tahun 2006 jalan utama (arteri, kolektor) 2 Peta RTRW Kota Bogor BAPPEDA Kota Untuk mengetahui Periode Bogor penggunaan lahan menurut perencanaan tata ruang 3 Peta Administrasi Kota BAPPEDA Kota Untuk mengetahui batas Bogor Tahun 2005 Bogor wilayah administrasi Kota Bogor (Kecamatan) 4 Citra SPOT 5 Kota Bogor P4W LPPM IPB Untuk membuat Peta Land Tahun 2003 Use/Land Cover berdasarkan eksisting tahun Land Use/Land Cover Kota P4W LPPM Untuk mengetahui sebaran Bogor Tahun 2007 (Hasil IPB LandUse/Land Cover Digitasi Citra Ikonos Tahun berdasarkan eksisting tahun 2007) Data Potensi Desa Kota P4W LPPM IPB Sebagai peubah bebas (x) Bogor Tahun 2003 dan Bogor dalam analisis regresi 2006 berganda

31 16 Tabel 2. Alat Penelitian No Perangkat Lunak Keterangan ArcGIS 9.2 Map Info Profesional 9 Statistica 8.0 Microsoft Office Excel 2007 Microsoft Office Visio 2007 Mengolah Data Spasial (Peta dan Citra) Mengolah Data Spasial (Peta dan Citra) Mengolah Data Statistik Tabulasi Data Membuat Diagram Alir 3.3. Metode Penelitian Metode penelitian terdiri dari tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data peta dan citra, dan tahap pengecekan lapang Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan mulai dari tahap pengumpulan studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan tulisan ilmiah yang berkaitan dengan penataan ruang, hirarki jalan dan perubahan penggunaan lahannnya di wilayah Kota Bogor serta tahap pengumpulan data berupa Citra SPOT Kota Bogor tahun 2003, Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2007, Peta Jaringan Jalan Kota Bogor tahun 2006, Peta RTRW Kota Bogor tahun , Peta Administrasi Kota Bogor tahun 2006 dan Data Potensi Desa Wilayah Kota Bogor tahun 2003 dan Pengolahan Data Peta dan Citra pada tahap pengolahan data peta dan citra, peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2003 (peta land use/land cover 2003) diperoleh dari hasil digitasi Citra SPOT Kota Bogor Tahun Digitasi dibagi menjadi sepuluh klasifikasi kelas penggunaan/penutupan lahan yaitu pemukiman, gedung, rumput, belukar/semak, rawa, air tawar, kebun, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tanah ladang/tegalan (Tabel 3). peta land use/land cover 2007 diperoleh dari hasil digitasi Citra Ikonos Kota Bogor tahun Digitasi dibagi menjadi 14 kelas penggunaan/penutupan lahan yaitu industri, jalan, kolam, kuburan, ladang, lapangan olahraga, pepohonan, permukiman, perumahan, sawah, semak, situ, sungai, tanah kosong. Masing-masing dari pengklasifikasian land use/land cover dua titik tahun tersebut digeneralisasi menjadi tujuh klasifikasi kelas

32 17 penggunaan/penutupan lahan menjadi: badan air, belukar/semak, kebun/pepohonan, ladang/tegalan, ruang terbangun (built up area), sawah, tanah kosong sehingga diperoleh peta land use/land cover 2003 dan 2007 hasil generalisasi. Kedua peta land use/land cover 2003 dan 2007 akan dioverlay (union) masing-masing dengan Peta RTRW Kota Bogor dan Peta Administrasi Kota Bogor per kecamatan, kemudian data matrik logik inkonsistensi tata ruang land use 2003 dan 2007 dimasukkan dalam data atribut peta sehingga diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor setelah dilakukan export data dengan menggunakan ArcGIS 9.2. Pada peta jaringan jalan Kota Bogor Tahun 2006 akan dilakukan proses penyamaan batas luar dengan peta administrasi Kota Bogor tahun 2005 (crop) sehingga akan dihasilkan peta jaringan jalan hasil croping. Peta jaringan jalan tersebut masih harus diklasifikasikan menjadi empat hirarki jalan meliputi: 1. Jalan Arteri Primer 2. Jalan Arteri Sekunder 3. Jalan Kolektor Primer 4. Jalan Kolektor Sekunder Hirarki jalan utama yang telah diklasifikasikan ini akan di-buffer ruang sekitar jalan dengan definisi buffer sejauh 200 m dari badan jalan. Asumsi yang digunakan adalah berdasarkan kondisi ketika pengecekan lapang yang menunjukkan konsentrasi ruang terbangun yang tinggi pada kisaran m dari badan jalan. Peta jaringan jalan hasil buffer 200 m kemudian di-overlay (intersect) dengan peta inkonsistensi arahan pemanfaatan ruang Kota Bogor sehingga diperoleh peta inkonsistensi tata ruang di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor, kemudian peta inkonsistensi tata ruang di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor tersebut di intersect lagi dengan peta land use/land cover Kota Bogor tahun 2003 dan 2007 yang telah dilakukan generalisasi, sehingga diperoleh peta land use/land cover di sepanjang jalan utama Kota Bogor tahun 2003 dan Secara ringkas tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Dari data atribut inkonsistensi arahan penataan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor kemudian akan diperoleh variabel dependen (Y) yang merupakan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan utama (Ha). Penentuan

33 18 variabel independen terpilih (X) diperoleh dari data podes Kota Bogor tahun 2003 dan 2006, tahapan akhir melalui analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise dengan variabel dummy akan ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Tabel 3. Klasifikasi Generik No Klasifikasi Generik SPOT 2003 IKONOS 2007 Air Tawar (Sungai) Situ 1 Badan Air Kolam Rawa Sungai 2 Belukar/Semak Belukar/Semak Semak Gedung Permukiman Kompleks Perumahan 3 Ruang Terbangun/Built Up Area Pemukiman Industri Lapangan Olahraga Jalan 4 Tanah Kosong Rumput Tanah Kosong 5 Ladang/Tegalan Tanah Ladang/Tegalan Ladang 6 Sawah Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Sawah 7 Kebun/Pepohonan Kebun Pepohonan Kuburan Pengecekan Lapang Urgensi dari pengecekan lapang adalah untuk memperkuat hasil analisis data dan interpretasi terutama dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta penggunaan lahan sementara, sehingga hasil akhir data yang diperoleh memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang dibutuhkan pada proses analisis data penelitian. Cek lapang dilakukan dengan GPS (Global Positioning System) untuk mengambil data-data penggunaan lahan aktual, jaringan jalan aktual beserta hirarkinya. Dalam penelitian ini GPS berguna untuk mengetahui kesesuaian antara koordinat di peta/citra (UTM) dengan koordinat sebenarnya di lapang. Pada penelitian ini cek lapang dilakukan dengan pengambilan 16 titik yang mewakili di enam Kecamatan Kota Bogor, penentuan titik ini dilakukan berdasarkan pengambilan tiga luasan poligon penggunaan/penutupan lahan yang terbesar di masing-masing kecamatan dengan tujuan untuk monitoring land use/land cover

34 dan land use/land cover 2007 terkait dengan perubahan penggunaan/penutupan lahan eksisting baik itu di sepanjang buffer 200 m jalan utama maupun Kota Bogor secara keseluruhan. Citra SPOT Kota Bogor Tahun 2003 (terkoreksi) Citra Ikonos Kota Bogor Tahun 2007 (terkoreksi) Peta RTRW Peta Administrasi Peta Jaringan Jalan Data PODES Digitasi Land Use/Cover Digitasi Land Use/Cover Penyamaan Batas Luar Croping Peta Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2003 (10 Klasifikasi) Peta Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2007 (14 Klasifikasi) Penentuan 4 macam Jaringan Jalan Utama berdasarkan RTRW (Revisi) Klasifikasi generik Land Use/Cover 2003 dan 2007 (7 Klasifikasi) Overlay (Union) Buffering Jalan (jarak 200 m) Variabel Independen Terpilih (X) Matrik Logik Inkonsistensi Tata Ruang Peta Inkonsistensi Pemanfaaatan Ruang Kota Bogor Overlay (Intersect) Export Data Peta Inkonsistensi Tata Ruang di sepanjang buffer 200 m Jalan Utama Data Atribut Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di sepanjang buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor (Luas Inkonsistensi : Y) Analisis Regresi berganda dengan Metode Forward Stepwise Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

35 Teknik Analisis Analisis Spasial Analisis spasial digunakan untuk melihat perubahan pemanfaatan ruang secara spasial. Kesulitan awal dari analisis spasial ini adalah karena adanya perbedaan bentuk peta jaringan jalan Kota Bogor dengan peta administrasi Kota Bogor, oleh karena itu dilakukan penyamaan bentuk kedua peta. Peta land use/land cover 2003 diperoleh dari hasil digitasi layar Citra SPOT 2003 dan peta land use 2007 diperoleh dari hasil digitasi Citra Ikonos Skala ketelitian ketika melakukan digitasi dan pengeditan adalah 1:5000 sampai bervariasi tetapi masih berkisar di skala tersebut untuk memudahkan peneliti dalam menginterpretasi. Untuk land use/land cover 2003 dari 4121 poligon yang dibuat, semua poligon terdefinisi. Sedangkan pada land use/land cover 2007 dari 7108 poligon yang dibuat, semua poligon terdefinisi sehingga dari kedua land use/land cover tidak ditemukan bias hasil digitasi sehingga dianggap layak untuk dianalisis. Tujuan digitasi adalah untuk mengubah data raster menjadi data vektor. Setelah digitasi, tahap selanjutnya adalah memasukkan data atribut berupa tujuh kategori kelas penggunaan/penutupan lahan yaitu badan air, belukar/semak, kebun/pepohonan, ladang/tegalan, ruang terbangun, sawah, tanah kosong, kemudian dicari total luas lahan masing-masing penggunaan/penutupan lahan. Peta land use/land cover yang telah mengandung informasi luas lahan, selanjutnya di-overlay (union) dengan peta RTRW Kota Bogor dan peta administrasi Kota Bogor. Hasil overlay merupakan peta inkonsistensi tata ruang Kota Bogor, setelah ditentukan kriteria inkonsistensi didasarkan pada matrik logik inkonsistensi (Tabel 4 dan 5) yang merupakan penyempurnaan dan penyesuaian dari matriks logik Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor tahun 2002 dan telah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya (Bangun, 2008). Pada tahap berikutnya akan ditentukan kriteria klasifikasi empat hirarki jalan utama berdasarkan RTRW (revisi), jaringan jalan yang telah ditentukan selanjutnya dibuffer sejauh 200 m untuk di-overlay (intersect) dengan peta inkonsistensi tata ruang Kota Bogor sehingga diperoleh peta inkonsistensi tata ruang di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor.

36 Penentuan Perhitungan Jarak dari Centroid Poligon (X 0,Y 0 ) ke Berbagai Lokasi n (D 01n ) Centroid merupakan pusat geometrik suatu poligon. Selain itu, centroid juga dapat didefinisikan sebagai titik tengah (mid-point) antara awal dan akhir suatu jarak alamat (address range). Dalam penelitian ini penentuan perhitungan jarak dari titik centroid poligon ke berbagai lokasi digunakan untuk mengetahui jarak pusat masing-masing poligon inkonsistensi di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 ke keempat hirarki jalan utama di Kota Bogor, pasar terdekat, stasiun utama dan terminal utama (n). Teknis cara menentukan jarak poligon ke berbagai lokasi (n) adalah berdasarkan jarak terdekat pusat centroid poligon inkonsistensi ke berbagai lokasi tersebut (n). Berikut rumus perhitungan jarak antar poligon: Dimana : (x 0,y 0 ) = Koordinat posisi poligon yang diamati (x 1n,y 1n ) = Koordinat posisi objek lokasi n D 01n = Jarak dari centroid poligon (x 0,y 0 ) ke lokasi n (x 1n,y 1n ) n = 1,2,3,...,6,7 n : 1 = Jarak ke jalan arteri primer (m) n : 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) n : 3 = Jarak ke jalan kolektor primer (m) n : 4 = Jarak ke jalan kolektor sekunder (m) n : 5 = Jarak ke pasar terdekat (m) n : 6 = Jarak ke stasiun utama (m) n : 7 = Jarak ke terminal utama (m) Analisis Regresi Berganda dengan Metode Forward Stepwise Persamaan Regresi Berganda model hubungan antara luas poligon inkonsitensi pemanfaatan ruang dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah: Y k = b 0 + b 1 x b 1 x i +... b m x m + c 1 D 1 + c 2 D 2

37 22 Dimana : Y k = luas poligon bentuk model inkonsitentensi pemanfaatan ruang ke-k(ha) luas poligon inkonsistensi di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha) x i = Independent variable (variabel penduga) ke-i b i = Koefisien regresi peubah ke-i, dimana i = 1, 2, 3, m c 1, c 2 = Koefisien regresi peubah dummy D 1, D 2 = Peubah dummy ke-1 dan ke-2 Pada penelitian ini terdapat tiga model regresi yang diuji, yaitu model regresi untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder (Y 1 ), inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer (Y 2 ) dan inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor sekunder (Y 3 ). Dalam membangun persamaan model di atas, variabel-variabel yang dipilih didasarkan oleh pertimbangan yang logis bahwa karakteristik variabel-variabel tersebut terkait dengan inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Namun untuk menghindari terjadinya multikolinearitas (korelasi antar variabel independen) maka persamaan diduga dengan menggunakan metode forward stepwise multiple regression dengan software statistica 8.0 sehingga tidak semua variabel di atas digunakan dalam persamaan. Untuk lebih jelasnya keterangan dari tiap variabel yang digunakan ditampilkan pada Tabel 6.

38 23 Tabel 4. Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2003 Existing Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2003 (Klasifikasi Generik) Ruang Badan Belukar / Tanah Ladang / Klasifikasi Peruntukan RTRW Kota Bogor Terbangun / Sawah Air Semak Kosong Tegalan Built Up Area Kebun / Pepohonan Danau/Situ V X X X X X X 2 Fasilitas Kesehatan X V V V V V V 3 Fasilitas Pendidikan X V V V V V V 4 Gardu Induk X X/V V X/V V V X/V 5 Hutan Kota/Kebun Raya X X X X X X V 6 Industri X V V V V V V 7 Kolam Oksidasi V V V V V V X 8 Kompleks Militer X V V V V V V 9 Pasar X V V V V V V 10 Perdagangan dan Jasa X V V V V V V 11 Pergudangan X V V V V V V 12 Perkantoran/Pemerintahan X V V V V V V 13 Permukiman X V V V V V V 14 Permukiman KDB Rendah X V V V V V V 15 Pertanian/Kebun Campuran X V X V V V V 16 RPH/Pasar Hewan X V V V V V V 17 Stasiun KA X V V V V V V 18 Sub Terminal X V V V V V V 19 TPU/Kuburan X V V V V V V 20 Taman/Lap OR/Jalur Hijau V V X V X X V 21 Terminal Regional X V V V V V V Ket = V : Konsisten, X : Inkonsisten

39 24 Tabel 5. Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2007 Existing Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2007 (Klasifikasi Generik) Ruang Badan Belukar / Tanah Ladang / No Klasifikasi Peruntukan RTRW Kota Bogor Terbangun / Sawah Air Semak Kosong Tegalan Built Up Area Kebun / Pepohonan Danau/Situ V X X X X X X 2 Fasilitas Kesehatan X V V V V V V 3 Fasilitas Pendidikan X V V V V V V 4 Gardu Induk X X/V V X/V V V X/V 5 Hutan Kota/Kebun Raya X X X X X X V 6 Industri X V V V V V V 7 Kolam Oksidasi V V V V V V X 8 Kompleks Militer X V V V V V V 9 Pasar X V V V V V V 10 Perdagangan dan Jasa X V V V V V V 11 Pergudangan X V V V V V V 12 Perkantoran/Pemerintahan X V V V V V V 13 Permukiman X V V V V V V 14 Permukiman KDB Rendah X V V V V V V 15 Pertanian/Kebun Campuran X V X V V V V 16 RPH/Pasar Hewan X V V V V V V 17 Stasiun KA X V V V V V V 18 Sub Terminal X V V V V V V 19 TPU/Kuburan X V V V V V V 20 Taman/Lap OR/Jalur Hijau V V X V X X V 21 Terminal Regional X V V V V V V Ket = V : Konsisten, X : Inkonsisten

40 25 Tabel 6. Variabel Independent yang Digunakan pada Analisis Regresi Berganda dengan Peubah Dummy No Keterangan Simbol 1 Jarak ke Jalan Arteri Primer x 1 2 Jarak ke Jalan Arteri Sekunder x 2 3 Jarak ke Jalan Kolektor Primer x 3 4 Jarak ke Jalan Kolektor Sekunder x 4 5 Kepadatan Penduduk per Kelurahan x 5 6 % Ruang Terbangun per Kelurahan x 6 7 Jarak ke Pasar Terdekat x 7 8 % Jasa Komersial per Kelurahan x 8 9 Jarak ke Stasiun x 9 10 Jarak ke Terminal x Dummy Tahun D 1 12 Dummy Tahun D 2

41 IV. KEADAAN UMUM LOKASI STUDI 4.1. Batas Administrasi Kota Bogor terletak pada 106º º51 00 Bujur Timur dan 6º º41 00 Lintang Selatan. Kota Bogor berjarak sekitar 60 km dari Ibu Kota Negara DKI Jakarta. Secara administrasi Kota Bogor termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede dan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan, yaitu : Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah, Bogor Selatan dan Tanah Sereal. Dengan 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2712 RT. Luas wilayah Kota Bogor adalah ha atau 118,5 km 2. Peta administrasi Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar Kondisi Fisik Kondisi fisik daerah penelitian bervariasi atau bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara m dpl, titik tertinggi berada di sebelah Selatan dengan ketinggian 350 meter dpl dan titik terendah berada di sebelah Utara dengan ketinggian 190 meter di atas permukaan laut. Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0-15% dan sebagian kecil daerahnya memiliki kemiringan antara 15-30%. Jenis tanah yang dominan di Kota Bogor adalah Latosol coklat kemerahan. Lahan yang relatif datar terletak di bagian

42 27 Selatan dan Barat. Ditinjau dari kondisi fisik untuk wilayah potensial diarahkan ke bagian Utara, Timur dan Barat ( Kondisi iklim di Kota Bogor memiliki suhu rata-rata tiap bulan 26 C dengan suhu terendah 21,8 C dengan suhu tertinggi 30,4 C. Kelembaban udara 70%. Curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari. Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari produk gunung api di bagian Selatan seperti Gunung Salak (berupa lahar, breksi tufaan, lapili, tufa batu apung pasir) dan Gunung Pangrango (lahar dan lava), sedangkan bagian Utara ditutupi oleh endapan permukaan berupa kipas alluvium (lanau, pasir kerikil dan kerakal). Gambar 2. Peta Administrasi Kota Bogor 4.3. Struktur Tata Ruang Struktur tata ruang Kota Bogor terbagi menjadi lima bagian, yaitu: 1. Bagian Selatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) rendah dan ruang terbuka hijau (RTH).

43 28 2. Bagian Utara yaitu Kecamatan Bogor Utara cenderung berpotensi sebagai daerah industri non-polutan dan sebagai penunjangnya adalah permukiman beserta perdagangan dan jasa sedangkan Kecamatan Tanah Sereal cenderung berpotensi sebagai permukiman, perdagangan dan jasa, serta fasilitas pelayanan kota. 3. Bagian Barat, yaitu Kecamatan Bogor Barat cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman yang ditunjang oleh obyek wisata. 4. Bagian Timur, yaitu Kecamatan Bogor Timur cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman. 5. Bagian Tengah, yaitu Kecamatan Bogor Tengah cenderung berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah Kependudukan Perkembangan penduduk Kota Bogor tergolong di atas rata-rata pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan pertumbuhan penduduk nasional. Dalam kurun waktu laju pertumbuhan penduduk rata-rata adalah 3,76 % per tahun (BPS, 2002). Nilai ini melebihi laju pertumbuhan rata-rata penduduk Jawa Barat, sekitar 2,17 % per tahun dan laju pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1,5 % per tahun. Data terakhir tahun 2003 mununjukkan penduduk Kota Bogor telah berjumlah jiwa (BPS Kota Bogor, 2003). Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kepadatan rata-rata penduduk Kota Bogor adalah 69,94 jiwa per Ha. Secara umum, penduduk Kota Bogor belum tersebar secara merata. Sebagian penduduk masih terkonsentrasi di kawasan pusat kota, hal tersebut ditandai dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk di kawasan ini (Kecamatan Bogor Tengah), yakni 122,14 jiwa/ha. Tingkat kepadatan penduduk terendah terdapat pada Kecamatan Bogor Selatan (54,44 jiwa/ha).

44 29 Tabel 7. Kepadatan Penduduk Kota Bogor Tahun 2003 Kecamatan Luas Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (Ha) (jiwa) (jiwa/ha) Bogor Selatan ,44 Bogor Timur ,37 Bogor Utara ,35 Bogor Tengah ,14 Bogor Barat ,29 Tanah Sereal ,65 Kota Bogor ,94 Sumber: Hasil Analisis (2009) 4.5 Pemanfaatan Ruang Kota Pemanfaatan ruang di Kota Bogor ditandai oleh intensitas daerah terbangun (built up area) yang relatif tinggi, yakni sekitar 63,97%, yang terdiri dari penggunaan lahan untuk pemukiman (57,02%), perkantoran dan pergudangan (3,28%), perdagangan dan pertokoan (2,11%), serta industri (1,56%). Intensitas penggunaan lahan lain yang cukup tinggi di Kota Bogor adalah untuk pertanian (sawah dan tegalan) sekitar 25,66%, sedangkan penggunaan lainnya (kuburan, taman, dan sebagainya) memiliki presentase yang tidak terlalu signifikan Penggunaan Lahan di Kota Bogor Permukiman Penggunaan lahan permukiman merupakan penggunaan lahan yang paling dominan di Kota Bogor, ditandai dengan tingginya persentase penggunaan untuk kegiatan ini pada setiap kecamatan. Terdapat kecenderungan tumbuhnya pemukiman ke arah pinggiran karena terbatasnya lahan di pusat kota. Kenyataan ini dapat dilihat terutama pada Kecamatan Tanah Sereal, Bogor Utara dan Bogor Barat, dimana permukiman-permukiman baru dengan skala yang cukup besar kebanyakan berlokasi pada ketiga kecamatan ini. Permukiman di kawasan pusat kota pada umumnya merupakan permukiman lama dengan guna lahan campuran Pertanian Walaupun sebagian besar wilayah Bogor merupakan daerah urban, persentase guna lahan pertanian di kota ini masih cukup tinggi. Luas guna lahan

45 30 untuk pertanian (sawah dan tegalan) di Kota Bogor seluruhnya adalah 3040,2 ha. Penggunaan lahan pertanian sebagian besar berada di daerah-daerah pinggiran kota, dengan jumlah terbanyak terdapat pada Kecamatan Bogor Selatan, Tanah Sereal dan Bogor Barat Perkantoran Seperti kecenderungan yang terjadi di kota-kota pada umumnya, penggunaan lahan untuk kegiatan perkantoran berkembang pesat di sepanjang jalan-jalan utama kota. Di Kota Bogor, guna lahan perkantoran baik pemerintah maupun swasta, sebagian besar berlokasi di Jalan Raya Pajajaran, Jalan Sudirman, Jalan Ir. Juanda, Jalan Suryakencana, Jalan Siliwangi, serta Jalan Raya Tajur Perdagangan Adanya daya tarik pusat kota karena letak yang strategis menyebabkan sebagian besar kegiatan perdagangan yang ada di Kota Bogor berlokasi di daerah ini. Kawasan ini, misalnya daerah Merdeka dan Ramayana, memiliki intensitas kegiatan yang sangat besar, dicirikan oleh tingginya kepadatan penduduk dan arus pergerakan kendaraan. Pada keduanya terdapat pasar dengan skala pelayanan kota (Pasar Anyar dan Pasar Bogor), terminal sekunder (Terminal Merdeka dan Terminal Ramayana), serta stasiun Bogor yang melayani pergerakan regional (Depok dan Jakarta). Selain pada kedua daerah ini, kegiatan perdagangan dengan intensitas yang lebih kecil terdapat di daerah warung jambu (pusat perbelanjaan), Sukasari (pasar dan pusat perbelanjaan), Tajur (pusat perbelanjaan, dealer kendaraan, perbengkelan dan sebagainya), serta kegiatan perdagangan yang tumbuh di sepanjang Jalan Pajajaran (gerai, hotel dan restoran). Pada daerah Tajur terdapat peningkatan kegiatan perdagangan sejak beberapa tahun terakhir yang ditandai dengan menjamurnya gerai-gerai penjualan sepatu dan tas Industri Industri besar yang terdapat di Kota Bogor misalnya industri ban, tekstil dan garmen. Industri ban, yakni PT Good Year, berlokasi di Kecamatan Tanah Sereal, sedangkan industri tekstil atau garmen banyak berlokasi di Kecamatan Bogor Selatan, misalnya PT Unitex dan Garmen Perkasa. Industri kecil dan industri

46 31 sedang di Kota Bogor misalnya industri pengolahan makanan di Kecamatan Bogor Selatan dan Bogor Timur Keadaan Perekonomian Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bogor tahun 2003 sebesar 6,07% mengalami peningkatan 0,29% dari tahun 2002 yaitu sebesar 5,78%. Peningkatan LPE tersebut, diperoleh dari kontribusi 9 (sembilan) sektor lapangan usaha. Sedangkan laju inflasi tahun 2003 sebesar 2,80% lebih rendah 0,10% dibandingkan laju inflasi tahun Menurunnya laju inflasi tersebut disebabkan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi atau berhubungan terhadap laju inflasi pada kelompok pengeluaran seperti bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan umum Transportasi Kota Bogor (Jaringan Jalan) Panjang jalan yang ada di Kota Bogor pada tahun 1999 adalah sekitar 617,595 km, terdiri atas jalan Negara sepanjang 29,615 km dengan lebar m, jalan provinsi sepanjang 24,343 km dengan lebar 8-13 m, jalan kota sepanjang 256,860 km dengan lebar 3-10 m, jalan lingkungan sepanjang 284,461 km dengan lebar 2-8 m dan jalan non status sepanjang 22,286 km. Jaringan jalan tersebut secara keseluruhan yang sudah beraspal sepanjang 528,077 km atau sekitar 85% dari total panjang ruas jalan Kota Bogor, jalan batu sepanjang 36,707 km dan jalan beton/paving blok sepanjang 37,322 km. Jaringan jalan di Kota Bogor mempunyai pola radial konsentris dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Pada kawasan pusat kota terdapat jaringan jalan melingkari Kebun Raya Bogor (ring). Jaringan jalan yang melingkar tersebut merupakan gabungan dari ruas Jalan Juanda, Jalan Otista, sebagian Jalan Pajajaran, dan Jalan Jalak Harupat. 2. Jaringan jalan yang berasal dari kawasan lainnya terhubung secara konsentris ke jaringan jalan melingkar ini. Beberapa jalan tersebut diantaranya adalah Jalan Suryakencana, Jalan Sudirman, Jalan Pajajaran, Jalan Veteran, serta Jalan Empang.

47 32 3. ada bagian timur Kota Bogor yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, terdapat Jalan Tol Jagorawi, yang menghubungkan pusat Kota Bogor dan Ciawi dengan Jakarta maupun daerah lainnya. 4. Pada bagian utara Kota Bogor (Kecamatan Tanah Sereal dan Bogor Barat) terdapat jalan lingkar (ring road). Jalan lingkar ini menghubungkan Jalan Sindang Barang (di Kecamatan Bogor Barat) dengan Jalan Raya Bogor (di Kecamatan Tanah Sereal). Pemerintah Kota Bogor juga telah merencanakan pembangunan jalan lingkar dari bagian barat ke bagian selatan kota, yaitu jalan lingkar yang menghubungkan Jalan Sindang Barang ke daerah Rancamaya, selanjutnya terus menuju Ciawi (sebagian jalan lingkar yang direncanakan ini melewati Kabupaten Bogor). Disamping itu juga direncanakan pembangunan jalan lingkar di bagian utara, yang menghubungkan Jalan Raya Bogor dengan Jalan Tol Jagorawi. Jaringan jalan dengan pola radial konsentris memiliki konsekuensi berupa terakumulasinya seluruh pergerakan ke kawasan pusat kota, sebab kawasan ini merupakan satu-satunya akses untuk mencapai daerah lain. Pergerakan ini tidak hanya berupa pergerakan internal kota saja, tetapi termasuk juga pergerakan internal-eksternal dan eksternal-eksternal yang melintasi Kota Bogor, misalnya dari arah Ciawi (di bagian selatan) ke arah Rangkasbitung dan Ciomas (di bagian barat) atau ke arah Depok dan Cibinong (di bagian utara), maupun arah sebaliknya. Besar pergerakan ini mencapai perjalanan orang/hari (DLLAJ Kota Bogor, 2000: 9). Adanya akumulasi pergerakan ini (baik internal maupun eksternal) akan menyebabkan beban lalu lintas yang tinggi di kawasan pusat kota. Oleh sebab itu, dengan adanya jalan lingkar serta jalan tol tersebut, pergerakan yang memasuki kawasan pusat kota dapat dikurangi.

48 33 Tabel 8. Klasifikasi hirarki jalan utama berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor (revisi) Arteri Primer Arteri Sekunder Kolektor Primer Kolektor Sekunder Jl Entance-Exit Tol Bogor, Jl Tol Jagorawi, Jl Tol Bogor-Sukabumi Jl Menuju Sentul Selatan, Jl Raya Pajajaran(Cibuluh-Babakan- Bantarjati), Jl Raya Bogor-Jakarta, Jl Menuju Tangerang/Jakarta lewat Parung, Jl Raya Tajur, Jl Raya Cimanggu dan Jl Raya Sukabumi Jl Dr. Semeru, Jl Raya Bogor-Darmaga, Jl Pahlawan-Bondongan, Jl Raya Tanah Baru, Jl Batu Tulis, Jl Raden Saleh Bustaman, Jl Jalak Harupat, Jl Veteran-Kapten Muslihat, Jl Otto Iskandar Dinata, Jl Ir H. Juanda, Jl Jend Sudirman, Jl Suryakencana-Siliwangi, Jl Jend Ahmad Yani, Jl Raya Semplak, Jl Merdeka-Ciwaringin, Jl Raya KPP IPB-Bangbarung Raya Jl Pasir Kuda, Jl Ciomas Raya, Jl Muara Pancasan, Jl Aria Suryalaga, Jl RE Abdullah, Jl Tunjung Biru, Jl Manunggal- Ciwaringin, Jl Pulo Empang, Jl Darul Qur an, Jl Raya Cibereum, Jl Dadali, Jl Kebon Pedes, Jl Pemuda, Jl Cileubut Raya, Jl Sindangbarang-Gunung Batu, Jl Sindangbarang-Dramaga, Jl Raya Cimahpar, Jl Permata, Jl RE Martadinata, Jl ke Cikaret, Jl Cimanggu-Cibuluh, Jl Lawang Gintung, Jl Alternatif Katulampa- Tol Jagorawi Gambar 2. Peta Hirarki Jalan Kota Bogor

49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Barat, Bogor Selatan, Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Utara, dan Tanah Sareal. Berdasarkan hasil digitasi Citra SPOT 2003 dan Citra Ikonos 2007 Kota Bogor dengan tujuh klasifikasi penggunaan/penutupan lahan yaitu: badan air, belukar/semak, kebun/pepohonan, ladang/tegalan, ruang terbangun (built up area), sawah, tanah kosong maka didapatkan luas (Ha) masing-masing tipe penggunaan/penutupan lahan tersebut pada tahun 2003 dan 2007 yang disajikan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sebaran penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor didominasi oleh ruang terbangun (built up area) sebesar 36,89% (4.154 Ha), selanjutnya badan air merupakan luasan lahan paling rendah 1,63% (184 Ha). Selebihnya merupakan penggunaan/penutupan lahan belukar semak 2,51% (282 Ha), kebun/pepohonan 15,82% (1.783 Ha), ladang/tegalan 12,64% (1.424 Ha), sawah 23,03% (2.594 Ha), dan tanah kosong 7,49% (843 Ha). Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 Land Use/Land Cover Tahun 2003 Tahun 2007 Ha % Ha % Badan Air 184 1, ,03 Belukar/Semak 282 2, ,46 Kebun/Pepohonan , ,67 Ladang/Tegalan , ,59 Ruang Terbangun , ,23 Sawah , ,64 Tanah Kosong 843 7, ,38 Sumber: Hasil Analisis (2009)

50 35 Gambar 4. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Pada Tahun 2007, luas ruang terbangun meningkat menjadi 47,23% (5.322 Ha) diikuti oleh belukar/ semak 3,46% (390 Ha) dan badan air 2,03% (228 Ha) dari total luas daerah penelitian, sedangkan yang mengalami penurunan luas adalah kebun/pepohonan menjadi 14,67% (1.653 Ha), ladang/tegalan 6,59% (743 Ha) sawah 18,64% (2.100 Ha), dan tanah kosong menjadi 7,38% (832 Ha) (Gambar 5). Gambar 5. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2007 (%)

51 36 Peningkatan ruang terbangun dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari peningkatan kegiatan ekonomi termasuk jasa komersial meliputi industri, perdagangan dan jasa, perkantoran/pemerintahan dan pertambahan jumlah penduduk yang membutuhkan ruang sebagai tempat tinggal dan beraktivitas dari waktu ke waktu. Sedangkan penurunan luasan sawah dan ladang/tegalan mengindikasikan adanya tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi ruang terbangun, yakni berawal dari sawah kemudian menjadi ladang/tegalan terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi ruang terbangun. Penelitian Marisan (2006) di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor menyimpulkan bahwa peningkatan luasan area ruang terbangun sebagian besar (75,75%) berasal dari penutupan pertanian lahan kering, sementara itu peningkatan luasan area pertanian lahan kering sebagian besar berasal dari penutupan lahan basah (72,75%). Untuk badan air peningkatan lebih disebabkan perluasan area untuk kawasan/fasilitas olahraga di Kelurahan Rancamaya, Kecamatan Bogor Selatan dalam skala besar. Jika dilihat berdasarkan perbandingan dua titik tahun, secara keseluruhan penggunaan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 sampai tahun 2007 terbukti mengalami perubahan yang cenderung ke arah ruang terbangun yang mengalami peningkatan sebesar 10,34% atau 1167 Ha dari tahun 2003 hingga 2007 (Gambar 6). Gambar 6. Perbandingan Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (%)

52 37 Pada Gambar 6 terlihat bahwa peningkatan luasan ruang terbangun sebesar 10,34 % (1.167 Ha) diikuti oleh peningkatan belukar/semak 0,95% (107 Ha) dan badan air 0,4% (45 Ha) seiring dengan menurunnya luasan ladang/tegalan sebesar 6,05% (681 Ha), diikuti sawah 4,39% (495 Ha), kebun/pepohonan 1,15% (130 Ha) dan tanah kosong 0,10% (12 Ha). Penurunan jenis penggunaan/penutupan lahan tersebut diduga akan terus terjadi seiring dengan semakin tingginya kebutuhan akan ruang terbangun di Kota Bogor. Sebagai gambaran umum, untuk perubahan penggunaan/penutupan lahan menjadi ruang terbangun dari tahun 2003 ke tahun 2007 banyak terkonversi dari pertanian lahan kering dan basah meliputi sawah dan tegalan sekitar 304 Ha dan 393 Ha. Sedangkan konversi dari belukar/semak mempunyai luasan yang paling rendah sekitar 15 Ha, selebihnya merupakan konversi dari kebun/pepohonan sebesar 166 Ha dan tanah kosong sebesar 287 Ha (Gambar 7). Gambar 7. Alih Fungsi Beberapa Pemanfaatan Ruang Tahun 2003 ke Ruang Terbangun Tahun 2007 (Ha) Berdasarkan Gambar 8 dan 9, dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 hingga 2007 penggunaan lahan yang paling mendominasi adalah ruang terbangun. Ruang terbangun meliputi pemukiman dan jasa komersial cenderung memusat pada Kecamatan Bogor Tengah, hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di pusat-pusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk Bogor yang juga tinggal di pusat kota (Bappeda Kota Bogor).

53 38 Gambar 8. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 Gambar 9. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2007

54 Pola Sebaran Penggunaan Lahan dan Perubahan Luasannya di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Berdasarkan sebaran penggunaan/penutupan lahan Kota Bogor dari Tahun 2003 ke 2007, dapat dilihat secara garis besar dominasi penggunaan/penutupan lahan yang terdistribusi ke dalam ruang terbangun (built up area). Di Kota Bogor pada umumnya wilayah ruang terbangun ini berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada. Sehingga dari hasil intersect peta land use/land cover tahun 2003 dan 2007 dengan peta jaringan jalan utama Kota Bogor yang dibagi menjadi empat yaitu: 1) jalan arteri primer, 2) jalan arteri sekunder, 3) jalan kolektor primer, 4) jalan kolektor sekunder, dapat diketahui sebaran penggunaan/penutupan lahan di sepanjang jaringan jalan utama Kota Bogor dari tahun 2003 ke Pada Tabel 8 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa pada tahun 2003 sebaran penggunaan/penutupan lahan secara keseluruhan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dengan buffer 200 m didominasi oleh ruang terbangun sebesar 56,13% (3.607 Ha) sedangkan badan air merupakan luasan lahan yang paling rendah 1,18% (76 Ha) dari total luas area buffer. Selebihnya merupakan penggunaan/penutupan lahan ladang/tegalan 10,24% (658 Ha), kebun/pepohonan 9,63% (619 Ha), tanah kosong 11,45% (736 Ha), sawah 10,21% (656 Ha) dan belukar/semak 1,16% (75 Ha). Tabel 10. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha dan %) Land Use/Land Cover Tahun 2003 Tahun 2007 Ha % Ha % Badan Air 76 1, ,18 Belukar/Semak 75 1, ,59 Kebun/Pepohonan 619 9, ,26 Ladang/Tegalan , ,36 Ruang Terbangun , ,16 Sawah , ,53 Tanah Kosong , ,92 Sumber: Hasil Analisis (2009)

55 40 Gambar 10.Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 (%) Pada tahun 2007, luas ruang terbangun meningkat menjadi 66,16% (4.201,51 Ha) diikuti oleh kebun/pepohonan 10,26% (659 Ha), dan belukar/semak 2,59% (166 Ha) dari total luas area buffer sedangkan yang mengalami penurunan luas adalah ladang/tegalan menjadi 4,36% (280 Ha), lahan sawah menjadi 8,53% (548 Ha), dan tanah kosong menjadi 6,92% (445 Ha). Sedangkan badan air cenderung tetap atau tidak mengalami perubahan (Gambar 11). Gambar 11. Proporsi Total Penggunaan/Penggunaan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 (%)

56 41 Jika dilihat berdasarkan perbandingan luasan penggunaan/penutupan lahan tahun 2003 ke 2007 dapat dibuktikan, penggunaan/penutupan lahan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dengan buffer 200 m dari tahun 2003 sampai tahun 2007 mengalami perubahan yang cenderung ke arah ruang terbangun, yang mengalami peningkatan sekitar 10,03% (644 Ha) dari tahun 2003 hingga 2007 (Gambar 12). Dengan zona buffer sejauh 200 m, secara umum peningkatan ini cukup menggambarkan bahwa perkembangan ruang terbangun di Kota Bogor ini secara linier diduga mengikuti perkembangan jaringan jalan utama yang ada. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa peningkatan ruang terbangun sekitar 10,03% (644 Ha) diikuti oleh peningkatan belukar/semak 1,42% (92 Ha), kebun pepohonan 0,63% (40 Ha) seiring dengan menurunnya luasan ladang/tegalan sekitar 5,87% (377 Ha), lahan sawah sekitar 1,68 % (108 Ha) dan tanah kosong sekitar 4,53% (291 Ha). Berbeda dengan pola sebaran penggunaan/penutupan lahan secara keseluruhan, dalam pola sebaran dua titik tahun di sepanjang jalan utama Kota Bogor, luasan untuk kebun/pepohonan justru mengalami peningkatan 40 Ha. Hal ini mengindikasikan perkembangan pesat ruang terbangun yang diduga secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama telah membuat pemerintah kota berupaya mempertahankan kebun/pepohonan mencakup ruang terbuka hijau untuk mengurangi bangkitan lalu lintas yang sangat tinggi di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Gambar 12. Perbandingan Proporsi Total Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (%)

57 Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Dari hasil overlay peta RTRW Kota Bogor (Gambar 16) dengan informasi eksisting penggunaan/penutupan lahan (Gambar 8 dan Gambar 9), diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor tahun 2003 (Gambar 17) dan Tahun 2007 (Gambar 18) yang kemudian dianalisis. Pada analisis inkonsistensi tahun 2003, jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan dan sawah) yaitu seluas 124 Ha (1,10 % dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha atau 67,50% dari luas peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 184 Ha), dan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) yaitu seluas 13 Ha (0,12% dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha dan 5,11% dari luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya sebesar 260 Ha) (Tabel 11). Tabel 11. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap Olahraga/Jalur Hijau 184 1, ,10 67,50 Pertanian/Kebun Campuran 130 1, ,12 10,73 Hutan Kota 260 2, ,12 5,11 Sumber: Hasil Analisis (2009) Pada analisis inkonsistensi tahun 2007, sama halnya seperti tahun 2003 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan dan sawah) yaitu 148 Ha (1,31% dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha dan 80,37% dari luas peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 184 Ha), sedangkan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun, ladang/tegalan, sawah dan tanah kosong) yaitu seluas 17 Ha (0,15%

58 43 dari total luas wilayah Kota Bogor sebesar Ha dan 6,37% dari luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya sebesar 260 Ha) (Tabel 12). Tabel 12. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2007 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap Olahraga/Jalur Hijau 184 1, ,31 80,37 Pertanian/Kebun Campuran 130 1, ,19 16,79 Hutan Kota 260 2, ,15 6,37 Sumber: Hasil Analisis (2009) Besarnya jenis luasan inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau dapat dipahami sebagai suatu hal yang menggambarkan minimnya pengawasan pemerintah dan kesadaran masyarakat sekitar akan pentingnya ruang terbuka hijau di Kota Bogor yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi di tengah perkembangan pembangunan yang cukup pesat di Kota Bogor. Pada Gambar 13, 14, dan 15 dapat dilihat bahwa pada tahun 2003 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi penggunaan lahan ruang terbangun sekitar 104 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha) adalah sekitar 40,01%, sedangkan pada tahun 2007 jenis inkonsistensi ini mengalami luasan peningkatan menjadi 120 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha) adalah sekitar 46,25%. Untuk tiap jenis inkonsistensi peruntukan RTRW (taman/lapangan olahraga/jalur hijau) menjadi penggunaan/penutupan lahan ladang/tegalan, sawah dan tanah kosong juga mengalami peningkatan luasan inkonsistensi dari tahun 2003 ke 2007, kecuali untuk jenis inkonsistensi hutan kota/kebun raya menjadi ladang/tegalan yang justru mengalami penurunan sebesar 3 Ha dari tahun 2003 ke Penurunan luasan ladang/tegalan ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk konversi dari tanaman pertanian lahan kering yang pada akhirnya menjadi penggunaan lahan lain seperti ruang terbangun karena mempunyai land rent yang tinggi.

59 44 Gambar 13. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha) Keterangan: A = Hutan Kota/Kebun Raya Ladang/Tegalan B = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ladang/Tegalan C = Hutan Kota/Kebun Raya Ruang Terbangun D = Pertanian/Kebun Campuran Ruang Terbangun E = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ruang Terbangun F = Hutan Kota/Kebun Raya Sawah G = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Sawah H = Hutan Kota/Kebun Raya Tanah Kosong Gambar 14. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap peruntukan ruang di Kota Bogor Tahun 2003 (%)

60 45 Gambar 15. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap peruntukan ruang di Kota Bogor Tahun 2007 (%) Berdasarkan Gambar 17 dan 18 dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bogor pada tahun 2003 mendominasi pada Kecamatan Bogor Selatan dengan jenis inkonsistensi berupa taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan lain dan pada tahun 2007 sebaran inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan lain masih mendominasi di Kecamatan Bogor Selatan disertai peningkatan luasan dalam waktu empat tahun. Pada Kecamatan Tanah Sareal dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang yaitu taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan/penutupan lahan yang lain merupakan inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan luasan yang paling rendah dibandingkan dengan di Kecamatan yang lain baik pada tahun 2003 dan tahun Hal disebabkan Kecamatan Bogor Selatan yang diperuntukkan sebagai kawasan RTH dan Pemukiman dengan KDB rendah merupakan Kecamatan dengan tingkat pembangunan yang rendah, disamping jarak yang jauh dari pusat kota hal ini menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang. Sehingga tingkat inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi begitu tinggi. Dengan melihat peta RTRW (Gambar 16), dapat disimpulkan besarnya inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan

61 46 lahan lain di Kecamatan Bogor Selatan dikarenakan minimnya jumlah dan luasan penggunaan lahan dengan nilai rent tinggi (permukiman, perumahan, perdagangan dan jasa, dll) sehingga mendorong segala bentuk penyimpangan penggunaan lahan yang mempunyai nilai rent yang lebih tinggi. Begitu juga dengan yang terjadi di Kecamatan Tanah Sareal, total luasan inkonsistensi di Kecamatan Tanah Sareal merupakan yang paling rendah diantara kecamatan yang lain dikarenakan peruntukan di Kecamatan Tanah Sareal sudah didominasi oleh penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang tinggi (permukiman, perumahan, perdagangan dan jasa, jasa komersial, fasilitas pendidikan, kesehatan, industri dll) sehingga hanya sedikit mendorong bentuk inkonsistensi ke penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang lebih tinggi khususnya ke arah ruang terbangun. Gambar 16. Peta RTRW Kota Bogor Periode

62 47 (a) (b) Gambar 17. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun 2003 (a) dan 2007 (b)

63 Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Dari hasil overlay peta RTRW Kota Bogor (Gambar 16) dengan informasi eksisting penggunaan/penutupan lahan (Gambar 8 dan 9), diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor tahun 2003 (Gambar 17 a) dan Tahun 2007 (Gambar 17 b), kemudian dari peta inkonsistensi yang telah diperoleh masing masing akan di-intersect dengan empat macam hiraki jalan yang telah dilakukan buffer 200 m, sehingga didapatkan peta inkonsistensi di sepanjang jalan utama Kota Bogor dengan buffer 200 m untuk tahun 2003 dan 2007 (Gambar 21 dan Gambar 22). Berdasarkan hasil analisis, jenis inkonsistensi di sepanjang jalan utama Kota Bogor tahun 2003 paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) yaitu sekitar 20 Ha (0,37% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar Ha dan 15,12% dari total luas peruntukan taman/lap olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer jalan utama sebesar 130 Ha), dan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada hutan kota/kebun raya menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan tanah kosong) yaitu sekitar 7 Ha (0,13% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar Ha dan 7,49% dari total luas peruntukan untuk hutan kota/kebun raya di sepanjang buffer jalan utama sebesar 93 Ha) (Tabel 13). Tabel 13. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap OR/Jalur Hijau 130 2, ,37 15,12 Pertanian/Kebun Campuran 0,36 0, Hutan Kota/Kebun Raya 93 1,77 7 0,13 7,49 Sumber: Hasil Analisis (2009) Pada tahun 2007 jenis inkonsistensi paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain yaitu 30 Ha (0,57% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar

64 Ha dan 23,04% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau sebesar 130 Ha), sedangkan jenis inkonsistensi yang paling rendah luasannya terjadi pada peruntukan pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan lain yaitu 0,04 Ha (0,001% dari total luas buffer di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebesar Ha dan 12,15% dari total luas peruntukan pertanian/kebun campuran sebesar 0,36 Ha di sepanjang buffer jalan utama) (Tabel 14). Tabel 14. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 Peruntukan Menurut RTRW Luas Peruntukan Luas Inkonsistensi % Inkonsistensi dari Luas Peruntukan Ha % Ha % Taman/Lap OR/Jalur Hijau 130 2, ,57 23,04 Pertanian/Kebun Campuran 0,36 0,01 0,04 0,001 12,15 Hutan Kota/Kebun Raya 93 1,77 8 0,15 8,56 Sumber: Hasil Analisis (2009) Berdasarkan Gambar 19, 20, dan 21 dapat dilihat untuk tahun 2003 jenis inkonsistensi di sepanjang jalan utama paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan ruang terbangun sekitar 15,62 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (130 Ha) adalah sekitar 15,12%, sedangkan pada tahun 2007 jenis inkonsistensi ini mengalami peningkatan menjadi 23,20 Ha dengan besar proporsi berdasarkan peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (130 Ha) adalah sekitar 23,04%. Demikian halnya dengan hutan kota/kebun raya dan pertanian/kebun campuran yang mengalami perubahan yang identik, hal ini mencerminkan tingginya kebutuhan akan ruang terbangun di sepanjang jalan utama Kota Bogor sebagai tempat tinggal dan juga beraktivitas. Peningkatan inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan ladang/tegalan sekitar 2,62 Ha (2,82% dari peruntukan untuk taman/lapangan olahraga/jalur hijau sekitar 130 Ha) diindikasikan sebagai suatu tahapan perubahan pemanfaatan lahan menjadi penggunaan lahan lain seperti ruang terbangun yang mempunyai nilai rent tinggi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Begitu juga dengan inkonsistensi hutan kota/kebun raya

65 50 menjadi tanah kosong di tahun 2007 sekitar 0,95 Ha (0,74 % dari peruntukan hutan kota/kebun raya sekitar 93 Ha), dimana pada tahun 2003 belum terdapat jenis inkonsistensi ini di sepanjang jalan utama Kota Bogor, diduga karena perkembangan akan ruang terbangun di Kota Bogor secara linier mengikuti jaringan jalan utama yang ada maka kebutuhan akan ruang terbangun ini diawali dengan perubahan penggunaan lahan hutan kota/kebun raya ke tanah kosong terlebih dahulu untuk selanjutnya menjadi penggunaan lahan lain dengan nilai rent yang lebih tinggi daripada penggunaan lahan sebelumnya seperti ruang terbangun (built up area). Selain itu dibandingkan tahun 2003, pada tahun 2007 jenis inkonsistensinya bertambah, dimana pada tahun 2007 sudah terdapat jenis inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi ruang terbangun dan hutan kota/kebun raya menjadi tanah kosong sedangkan pada tahun 2003 belum ditemukan inkonsistensi jenis ini. Hal ini disebabkan semakin tingginya penggunaan lahan ke arah ruang terbangun sebagai tempat tinggal dan juga beraktivitas yang mendorong segala bentuk alih fungsi lahan. Gambar 18. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (Ha) Keterangan: A = Hutan Kota/Kebun raya Ruang Terbangun B = Hutan Kota/Kebun raya Tanah Kosong C = Pertanian/Kebun Campuran Ruang Terbangun

66 51 D = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ruang Terbangun E = Taman/Lap OR/Jalur Hijau Ladang/Tegalan Gambar 19. Proporsi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten Terhadap Peruntukan Ruang Berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2003 (%) Gambar 20. Proporsi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang Berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2007 (%)

67 52 Berdasarkan Gambar 21 dapat dilihat bahwa sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan arteri (arteri primer dan sekunder) Kota Bogor pada tahun 2003 didominasi dengan jenis inkonsistensi berupa taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan). Sedangkan pada tahun 2007 sebaran inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) masih mendominasi di sepanjang jalan arteri (arteri primer dan sekunder) disertai bertambahnya luasan dari tahun 2003 ke tahun Untuk jalan arteri primer dapat dilihat sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang yaitu taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan yang lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) merupakan inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan luasan yang rendah dibandingkan dengan di jalan arteri sekunder baik pada tahun 2003 dan tahun 2007 dengan jenis inkonsistensi yang sama (taman/lapangan olahraga/jalur hijau ke bentuk penggunaan lahan lain). Pada Gambar 22, menunjukkan bahwa sebaran inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan kolektor (kolektor primer dan sekunder) pada tahun 2003 masih didominasi oleh jenis inkonsistensi taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain (ruang terbangun dan ladang/tegalan) demikian halnya pada tahun 2007 dimana pada tahun 2007 semakin bertambah luasan inkonsistensinya. Tetapi di jalan kolektor sekunder pada tahun 2003 belum terdapat jenis inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan lain, sedangkan pada tahun 2007 di jalan kolektor sekunder sudah terdapat luasan kecil inkonsistensi pertanian/kebun campuran menjadi bentuk penggunaan lahan ruang terbangun. Baik inkonsistensi yang terjadi di sepanjang jalan arteri dan sekunder. Hal ini mengindikasikan kebutuhan ruang akan penggunaan lahan lain dan ruang terbangun khususnya telah meningkat yang mengakibatkan dan mendorong segala bentuk penyimpangan terhadap peruntukan penggunaan lahan termasuk pertanian/kebun campuran.

68 53 (a) (b) Gambar 21. Peta Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Kota Bogor (a) Tahun 2003 dan (b) Tahun 2007

69 54 (a) (b) Gambar 22. Peta Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Kota Bogor (a) Tahun 2003 dan (b) Tahun 2007

70 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi pertama yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ke arah ruang terbangun (Y 1 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder ke arah ruang terbangun yaitu persentase ruang terbangun per kelurahan dan persentase jasa komersial per kelurahan (%). Hasil analisis regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -0, , X2 3, , , X4 0, , , X8-1, , , X3 9, , , X6 0, , , X5 1, , , X7-8, , , Regression Summary for Dependent Variable: Y1 (inkonsistensi sepanjang jalan arteri primer dan arteri sekunder ruang terbangun) R= 0, R²= 0, Adjusted R²= 0, F(7,9)=16,579 p<,00018 Std.Error of estimate: 0,17860 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Y 1 = -0,81 1,10 X 8 + 0,73 X 6 R 2 = 0,928 Dimana : Y 1 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 6 = Persentase Ruang Terbangun per Kelurahan (%) X 8 = Persentase Jasa Komersial per Kelurahan (%)

71 56 Berdasarkan hasil analisis di atas faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder Kota Bogor (Y 1 ) adalah persentase ruang terbangun per kelurahan dan persentase jasa komersial per kelurahan (%), dimana dengan semakin bertambahnya persentase ruang terbangun per kelurahan sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder sebesar 0,73 Ha, sebaliknya dengan semakin berkurangnya persentase jasa komersial per kelurahan sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder sebesar 1,1 Ha. Pengaruh tingginya persentase ruang terbangun per kelurahan menunjukkan tingginya pertumbuhan dan perkembangan di daerah tersebut yang mencerminkan tingginya alih fungsi pemanfaatan ruang khususnya ke arah ruang terbangun dengan rent yang tinggi, hal tersebut pada akhirnya akan mendorong bentukbentuk penyimpangan/inkonsistensi arahan pemanfaatan ruang di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder dari RTRW Kota Bogor. Sedangkan nilai negatif dari persentase jasa komersial menunjukan bahwa aktivitas jasa komersial yang berada di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder tersebut tidak efektif untuk meningkatkan luasan penyimpangan/inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun dikarenakan kebijakan yang telah ditetapkan di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder Kota Bogor dimana tidak diperuntukkan jika penggunaan lahannya adalah jasa komersial yang meliputi industri, perdagangan dan jasa serta pusat pemerintahan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi kedua yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun (Y 2 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun yaitu jarak ke jalan arteri primer, jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke jalan kolektor primer, jarak ke stasiun Kereta Api (KA), persentase jasa komersial per kelurahan dan jarak ke terminal. Hasil analisis

72 57 regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan kolektor primer ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -2, , X4 0, , , X1 1, , , X3 0, , , X7-0, , , X6 0, , , X9-1, , , X2 0, , , X8-1, , , X10 0, , , X5 0, , , Regression Summary for Dependent Variable: Y2 (inkonsistensi sepanjang kolektor primer ruang terbangun) R= 0, R²= 0, Adjusted R²= 0, F(10,29)=4,1180 p<,00134 Std.Error of estimate: 0,39376 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y 2 = -2,86 + 1,64 X 1 + 0,90 X 3 1,28 X 9 + 0,84 X 2-1,10 X 8 + 0,43 X 10 R 2 = 0,586 Dimana : Y 2 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 1 = Jarak ke jalan arteri primer (m) X 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) X 3 = Jarak ke jalan kolektor primer (m) X 8 = Persentase jasa komersial per kelurahan (%) X 9 = Jarak ke terminal utama (m) X 10 = Jarak ke stasiun KA utama (m) Untuk analisis regresi inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer (Y 2 ), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi antara lain: jarak ke jalan arteri primer, arteri

73 58 sekunder, kolektor primer, jarak ke stasiun KA, persentase jasa komersial per kelurahan dan jarak ke terminal. Dimana dengan semakin dekatnya jarak ke terminal utama sebesar 1 m diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 1,28 Ha. Semakin dekat suatu daerah dengan terminal utama mencerminkan tingginya aksesibilitas di daerah tersebut yang berarti semakin tinggi juga pembangunan di daerah tersebut, hal ini tentunya mendorong segala bentuk penyimpangan tata ruang khususnya penyimpangan ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer. Semakin bertambah jauhnya jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, dan kolektor primer sebesar 1 m maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi sebesar masing-masing 1,64 Ha, 0,84 Ha, dan 0,9 Ha di sepanjang jalan kolektor primer. Begitu juga dengan semakin bertambah jauhnya jarak ke stasiun KA utama sebesar 1 m maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 0,43 Ha. Sebaliknya dengan semakin berkurangnya persentase jasa komersial sebesar 1% maka diduga akan menambah luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor primer sebesar 1,1 Ha. Pada model menunjukkan kecenderungan yang bernilai positif untuk jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, dan kolektor primer. Ketiga hirarki jalan utama ini diduga merupakan parameter perkembangan ruang terbangun di Kota Bogor yang berarti semakin jauh jarak dari ketiga hirarki jalan tersebut menimbulkan minimnya pengawasan dalam pelaksanaan pemanfaatan tata ruang di Kota Bogor. Sehingga semakin jauh jarak ke jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer maka akan semakin besar luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun Inkonsistensi ketiga yang dianalisis adalah inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun (Y 3 ), variabel independen yang digunakan relatif signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05% (p<0,05) dan berpengaruh nyata dalam meningkatkan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun yaitu jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke

74 59 jalan kolektor sekunder dan jarak ke stasiun. Hasil analisis regresi berganda untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang RTRW di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke arah Ruang Terbangun Beta B p-level Intercept -0, , X2 0, , , X4-0, , , X10 0, , , X7-0, , , X1 0, , , Regression Summary for Dependent Variable: Y3 (inkonsistensi sepanjang kolektor sekunder ruang terbangun) R= 0, R²= 0, Adjusted R²= 0, F(5,38)=3,4153 p<,01204 Std.Error of estimate: 0,67911 Dari Tabel di atas persamaan regresi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : Y 3 = -0,38 + 0,43 X 2 0,37 X 4 + 0,46 X 10 R 2 = 0,310 Dimana : Y 3 = Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun (Ha) X 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) X 4 = Jarak ke jalan kolektor sekunder (m) X 10 = Jarak ke stasiun KA utama (m) Pada inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor sekunder (Y 3 ), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi antara lain: jarak ke jalan arteri sekunder, jarak ke jalan kolektor sekunder dan jarak ke stasiun utama. Semakin dekat jarak ke jalan kolektor sekunder diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder ke arah ruang terbangun sebesar 0,37 Ha, dan semakin bertambah jauhnya jarak ke jalan arteri sekunder dan stasiun KA utama sebesar 1 m maka diduga akan meningkatkan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan kolektor sekunder sebesar masing-masing 0,43 dan 0,46 Ha.

75 60 Dengan semakin dekat jarak ke jalan kolektor sekunder menunjukkan tingginya aksesibilitas dari dan ke jalan kolektor sekunder, sedangkan jalan kolektor sekunder merupakan salah satu jalan utama dengan jejang hirarki tinggi. Ruang terbangun dengan rent tinggi cenderung untuk mendominasi wilayah dengan aksesibilitas tinggi sehingga pada akhirnya keadaan ini mendorong segala bentuk inkonsistensi/penyimpangan tata ruang menjadi penggunaan lahan dengan nilai rent tinggi khususnya di sepanjang jalan utama Kota Bogor.

76 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Secara keseluruhan, penutupan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 sampai tahun 2007 mengalami perubahan dimana kecenderungan yang terjadi adalah semakin meningkatnya persentase ruang terbangun (10,34%) atau Ha selama kurun waktu tersebut. Pada tahun 2003 jenis inkonsistensi yang paling besar terjadi adalah taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain, yaitu sebesar 124 Ha atau 67,50% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha). Sedangkan pada tahun 2007 sebesar 148 Ha atau 80,37% dari total luas peruntukan taman/lap olahraga/jalur hijau (184 Ha). Pada area buffer 200 m di sepanjang jalan utama tahun 2003 jenis inkonsistensi yang paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain sebesar 20 Ha atau 15,12% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer 200 m jalan utama (130 Ha) dan pada tahun 2007 menjadi 30 Ha atau 23,04% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer 200m jalan utama (130 Ha). Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi luasnya inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan utama Kota Bogor diantaranya adalah faktor kedekatan ke jalan kolektor sekunder dan terminal utama namun memiliki jarak lebih jauh ke jalan arteri primer, arteri sekunder, jalan kolektor primer, dan ke stasiun KA. Luasnya inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun juga cenderung luas pada lokasi dengan proporsi ruang terbangun yang tinggi namun proporsi ruang untuk kegiatan jasa komersial yang rendah Saran Perlunya pemantauan pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor yang patut diduga merupakan bentuk pelanggaran tata ruang karena pemanfaatannya inkonsisten dengan peruntukan tata ruang (RTRW). Lokasilokasi tersebut khususnya di daerah yang jauh dari jalan arteri primer, arteri

77 62 sekunder, jalan kolektor primer dan ke stasiun KA namun dekat dengan jalan kolektor sekunder dan terminal utama. Luasnya inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun juga cenderung luas pada lokasi dengan proporsi ruang terbangun yang tinggi namun proporsi ruang untuk kegiatan jasa komersial yang rendah. Penelitian lanjutan sangat disarankan terutama dengan menggunakan data lebih dari dua titik tahun sehingga laju perubahan pemanfaatan ruang dapat diketahui.

78 DAFTAR PUSTAKA Aronoff, S Geographic Information System. A Management Perspective. Third Printing, ISBN , P:294. Canada. Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Bappeda Kota Bogor] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor RTRW Kota Bogor Bogor. [BPS Kota Bogor] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Bogor Dalam Angka. Bogor Barlowe, R Land Resources Economics. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Barlowe, R Land Resorces Economics. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Barus, B. Dan US Wiradisastra Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Bernhardsen, T Geographic Information System: an introduction, third edition. ISBN , Canada. Bangun, E Analisis Inkonsistensi Tata Ruang dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pola Penggunaan Lahan di Kota Bogor. Skripsi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. IPB : Bogor. CNES The Cataloque of SPOT Products and Sevices. Center National d Etudes Spatiales (CNES), France. [DLLAJ Kota Bogor] Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Kota Bogor. Kajian Evaluasi Trayek dan Penyusunan Rencana Moda Transportasi Kota Bogor Tahun Bogor (6 Agustus 2009) (5 Mei 2009) (5 Mei 2009) (10 April 2009) (10 April 2009) (10 April 2009) Bogor. (21 Juni 2009)

79 64 citra digital. (6 Agustus 2009) Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Cetakan ketiga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Lubis, H.A.S. dan R.H. Karsaman Krisis Perencanaan Transportasi Kota. Jurnal PWK. Vol. 8, No. 3, hal 19-28/Juli Penerbit ITB Bandung. Marisan, M Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat Dari Aspek Fisik Wilayah : Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Tesis Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB : Bogor. Murai, S GIS Work Book. Institute of Industrial Science, University of Tokyo, Roppongi, Minotaku, Tokyo. Rahmani, U Analisis Perkembangan Transportasi dan Sistem Interaksi Spasial di Kota Bogor. Tesis Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB : Bogor. Rustiadi E, S Saefulhakim dan DR Panuju Perencanaan Pengembangan Wilayah. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rustiadi, E Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. Makalah Lokakarya Penyususnan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan di Cibogo, Bogor, Mei. Rustiadi, E Pembangunan Tata Ruang (Spatial) Wilayah Perdesaan dalam Rangka Pembangunan Regional. Jakarta Saefulhakim, S. dan Lutfi I. Nasoetion Kebijaksanaan Pengendalian Konversi Sawah Beririgrasi Teknis. Prosiding Penelitian Tanah No. 12/1996. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Saefulhakim, S A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land Use Management. Disertation of Regional Planning Laboratory. Division of Tropical Agriculture, Kyoto University. Japan. Sitorus, S Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Ketiga. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta: Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Wiradisastra, U.S Metodologi Evaluasi Lahan dalam Hubungan Sistem Informasi Sumberdaya Lahan. Lokakarya Sistem Informasi Lahan Untuk Perencanaan Tata Ruang ; Yogyakarta Desember 1989.

80 LAMPIRAN 65

81 66 (a) (b) (c) (d) Lampiran 1. Alih Fungsi Pemanfaatan Ruang ke Arah Ruang Terbangun (a) dan (b), Peruntukan Taman/Lapangan Olahraga/Jalur Hijau (c) dan (d)

82 67 Lampiran 2. Salah Satu Bentuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang ke Arah Ruang Terbangun (a) (b) Lampiran 3. Peruntukan Hutan Kota/Kebun Raya (a), Peruntukan Pertanian/Kebun Campuran (b)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan objek Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, seperti pada Gambar 2. Analisis spasial maupun analisis data dilakukan di Bagian

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian dengan judul Dampak Pembangunan Jalan Arteri Primer Tohpati-Kusamba Terhadap Penggunaan Lahan di Desa Gunaksa Kecamatan Dawan

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah atau lahan memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Manusia membutuhkan lahan untuk mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal serta melakukan aktivitasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

STUDI PENATAAN TERMINAL TAMBAK OSOWILANGUN SURABAYA DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

STUDI PENATAAN TERMINAL TAMBAK OSOWILANGUN SURABAYA DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS i STUDI PENATAAN TERMINAL TAMBAK OSOWILANGUN SURABAYA DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TUGAS AKHIR Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh Gelar Sarjana Teknik (S - 1) Dikerjakan Oleh : DANANG

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG bidang TEKNIK ANALISIS KEBUTUHAN JALAN DI KAWASAN KOTA BARU TEGALLUAR KABUPATEN BANDUNG MOHAMAD DONIE AULIA, ST., MT Program Studi Teknik Sipil FTIK Universitas Komputer Indonesia Pembangunan pada suatu

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No

28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No 28 Jurnal Sangkareang Mataram ISSN No. 2355-9292 IDENTIFIKASI PEMANFAATAN RUANG PADA KORIDOR JL. LANGKO PEJANGGIK SELAPARANG DITINJAU TERHADAP RTRW KOTA MATARAM Oleh : Eliza Ruwaidah Dosen tetap Fakultas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN www.bpkp.go.id DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 sampai bulan November 2009. Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kota Jakarta Timur.

Lebih terperinci

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK )

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK ) ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK 2008-2018) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN TEGALREJO DAN KECAMATAN WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN

ANALISIS PERUBAHAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN TEGALREJO DAN KECAMATAN WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN ANALISIS PERUBAHAN LAHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN TEGALREJO DAN KECAMATAN WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2007 2017 Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7,

Lebih terperinci

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis M. ABDUL BASYID, DIAN SURADIANTO Jurusan Teknik Geodesi FTSP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORI BAB 2 TINJAUAN TEORI Dalam bab ini akan membahas mengenai teori-teori yang berhubungan dengan studi yang dilakukan, yaitu mengenai pebgertian tundaan, jalan kolektor primer, sistem pergerakan dan aktivitas

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG An Analysis of Land Use Change and Regional Land Use Planning in Bandung Regency Rani Nuraeni 1), Santun Risma

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi terutama infrastruktur jaringan jalan merupakan salah satu modal utama dalam perkembangan suatu wilayah. Pada daerah perkotaan, terutama, dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta) Hapsari Wahyuningsih, S.T, M.Sc Universitas Aisyiyah Yogyakarta Email: hapsariw@unisayogya.ac.id Abstract: This research

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP, Menimbang : a. bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

Evaluasi Kondisi Tata Ruang Eksisiting Kota Bandung SWK Cibeunying

Evaluasi Kondisi Tata Ruang Eksisiting Kota Bandung SWK Cibeunying Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN: 2460-6480 Evaluasi Kondisi Tata Ruang Eksisiting Kota Bandung SWK Cibeunying 1 Indri Pebrianto, 2 Saraswati 1,2 Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SALINAN BUPATI BOGOR PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN AUDIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA

BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA BIMBINGAN TEKNIS PENGUMPULAN DATA NERACA LAHAN BERBASIS PETA CITRA OLEH : DR. M LUTHFUL HAKIM PUSAT DATA DAN SISTEM INFORMASI PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN Kondisi Kritis Ketahanan Pangan Nasional Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN 2010-2014 Publikasi Ilmiah Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi Oleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6, Pasal 7,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI Pada bab ini diuraikan beberapa kajian teoretis dari literature dan kajian normatif dari dokumen perundangan dan statutory product lainnya yang diharapkan dapat menjadi dasar pijakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom No.1513, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Audit Tata Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung Reka Geomatika No.1 Vol. 2016 14-20 ISSN 2338-350X Maret 2016 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Jurusan Teknik Geodesi Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau FERI NALDI, INDRIANAWATI Jurusan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI

KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI KARAKTERISTIK PEMEKARAN KOTA BOGOR DAN EVALUASINYA TERHADAP POLA RUANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: Muhammad Azzam NIM : E 100 14 0001

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto Pengertian SIG Sistem informasi yang menggunakan komputer untuk mendapatkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan data yang mengacu pada lokasi geografis

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) Oleh : ROSNILA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 4 ABSTRAK Rosnila. Perubahan Penggunaan

Lebih terperinci

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2.1. Tujuan Penataan Ruang Kota Bengkulu Tujuan penataan ruang wilayah kota dirumuskan berdasarkan: 1) visi dan misi pembangunan wilayah kota; 2) karakteristik wilayah kota;

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemacetan Lalu Lintas Kemacetan adalah kondisi dimana arus lalu lintas yang lewat pada ruas jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana jalan tersebut yang mengakibatkan

Lebih terperinci

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Nisfi Sasmita 1, Rina Reida 1, Ida Parida Santi 1, Daratun Nurahmah 1, Neny Kurniawati

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGHIJAUAN DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)

PERENCANAAN PENGHIJAUAN DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) PERENCANAAN PENGHIJAUAN DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) SKRIPSI Oleh : Agustiono Haryadi K Sitohang 051201013/Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A

ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS ARIEV BUDIMAN A34203009 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Transportasi memiliki peranan yang sangat besar dalam menunjang proses kehidupan manusia sebagai penunjang media perpindahan arus barang, orang, jasa serta informasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci