KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO- BATUANGUS, SULAWESI UTARA SAROYO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO- BATUANGUS, SULAWESI UTARA SAROYO"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO- BATUANGUS, SULAWESI UTARA SAROYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor, Desember 2005 Saroyo NIM B

3 RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sistem sosial monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) melalui kajian karakteristik dominansi di Cagar Alam Tangkoko- Batuangus. Penelitian dilaksanakan bulan Januari Desember Kelompok monyet yang diamati adalah Kelompok Rambo II (KRII) dan Kelompok Rambo I (KRI) dengan ukuran masing-masing pada awal pengamatan sebesar 51 ekor. Hasil pengamatan selama setahun, didapat nisbah jantan dan betina dewasa berkisar dari 1:1,9-1:7,5. Nilai nisbah ditentukan oleh filopatri betina dan faktor migrasi jantan. Daerah jelajah KRII seluas 232 ha, dan jelajah hariannya sepanjang 1,8-4,1 km dengan rata-rata 3,05 ± 0,58 km. Daerah jelajah KRI seluas 119 ha, dan jelajah hariannya sepanjang 1,7-3,3 km dengan rata-rata 2,09 ± 0,34 km. Dominansi ditentukan melalui pengamatan interaksi agonistik pada enam jantan KRII, enam jantan KRI, dan 14 betina KRI. Interaksi agonistik intrakelompok hanya mencakup 1,8% dari total waktu harian. Interaksi agonistik meliputi agresi ringan sebesar 59,5% dan agresi berat sebesar 40,5%. Agresi lunak diikuti dengan rekonsiliasi sebesar 75,8% dan tingkah laku arah diri/tad sebesar 24,2%, sedangkan agresi berat diikuti dengan rekonsiliasi sebesar 33,3% dan TAD sebesar 66,7%. Angka rekonsiliasi pada agresi lunak sebesar 75,8% dan pada agresi berat sebesar 33,3%. Inisiasi rekonsiliasi dilakukan oleh individu dominan sebesar 59,5% dan 40,5% dilakukan oleh individu subordinan. Hierarki dominansi jantan bersifat linear sempurna. Jika terjadi ketidakseimbangan hubungan antarjantan, hierarki dapat bersifat tidak linear. Ketidakseimbangan hubungan antarjantan terjadi pada saat terjadi perubahan tingkah laku agresif sampai terbentuknya hierarki baru. Hierarki dapat berubah karena faktor perubahan tingkah laku agresif jantan dan faktor migrasi. Dengan demikian, interaksi sosial jantan bersifat asimetris yang ditunjukkan melalui hubungan dominansi. Hirarki dominansi betina bersifat linear tidak sempurna karena terdapatnya beberapa hubungan segitiga. Tingkah laku menelisik pada betina tidak dipengaruhi oleh peringkat dominansi sehingga interaksi sosial antarbetina bersifat simetris dan menunjukkan sistem sosial egaliter atau pola dominansi yang rileks.

4 Koalisi dapat menurunkan peran dominansi untuk akses terhadap pakan, tempat, dan kawin, serta dapat meningkatkan status individu dalam hierarki dominansinya. Koalisi dapat terdiri dari 2-6 ekor monyet. Koalisi dapat bertipe konservatif jika dua individu dominan melawan individu subordinan, tipe jembatan jika individu dominan bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat menengah, dan tipe revolusioner jika individu-individu subordinan melawan individu dominan. Koalisi berbentuk konservatif sebesar 32,3%, berbentuk revolusioner sebesar 35,5%, dan berbentuk jembatan sebesar 32,3%. Migrasi terjadi pada individu jantan dewasa dan individu jantan pada saat mencapai umur dewasa. Empat jantan KRII bermigrasi ke KRI selama bulan Oktober dan November. Pada saat migrasi terjadi, terdapat 15 ekor betina KRI sedang estrus, sedangkan pada KRII hanya terdapat satu betina estrus. Migrasi jantan tampaknya disebabkan ketertarikan secara seksual dengan betina yang reseptif pada kelompok lain. Menelisik merupakan aktivitas yang mencakup 12,3% dari total waktu aktivitas harian monyet. Betina lebih banyak menelisik jantan daripada jantan menelisik betina. Menelisik berperan dalam: pendekatan dalam tingkah laku seksual, sarana rekonsiliasi, ikatan sosial, mencegah tertelisik pindah tempat, dan sebagai sarana TAD. Terdapat kecenderungan jantan dominan mendekati jantan subordinan, betina dominan mendekati betina subordinan, dan betina mendekati jantan. Interaksi antarkelompok dapat bersifat agonistik maupun afiliatif, bahkan terjadi perkawinan. Tingkah laku seksual monyet hitam Sulawesi sangat bervariasi terutama tingkah laku prakopulasi, pascakopulasi, dan durasi kopulasi. Frekuensi kawin pada jantan dewasa tidak dipengaruhi oleh peringkat dalam hierarki dominansinya. Akses kawin dimiliki oleh seluruh jantan dari semua kelas umur sebagai akibat dari karakter personal Jantan-á dan strategi kawin jantan peringkat rendah. Walaupun demikian, terdapat monopoli betina estrus oleh jantan peringkat tinggi yang juga dipengaruhi oleh faktor kesukaan jantan oleh betina maupun faktor kesukaan betina oleh jantan. Untuk mendapatkan akses kawin, jantan peringkat rendah menerapkan strategi dengan menjauhi kelompok dan kawin pada saat jantan dominan lengah.

5 ABSTRACT SAROYO. Dominance Characteristics of Sulawesi Crested Black Macaques (Macaca nigra) at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi. Under the supervision of SRI SUPRAPTINI MANSJOER, RUDY C. TARUMINGKENG, DEDY DURYADI SOLIHIN, and KUNIO WATANABE.

6 The social system of Sulawesi macaques is considered as egalitarian. Generally, social system patterns relate to females. The aims of this study were to investigate whether egalitarian social relationships also apply to Sulawesi crested black macaque males and the function of dominance to social interactions. For this, the male and female dominance pattern, dominance hierarchy changes, and its function to social interactions were studied. This study has been conducted on two identified and habituated groups at Tangkoko-Batuangus Nature Reserve, North Sulawesi from January to December Data were collected by focal animal sampling of six males of Rambo II, six males of Rambo I and 14 females of Rambo II. Linearity of male hierarchy was calculated with the Landau s index of linearity (h). The dynamic of dominance hierarchy was monitored by observation of changes in the direction of agonistic interactions. Results showed that: 1) during periods with stable male relationships, the male dominance hierarchy was linear and transitive, whereas during unstable periods, it was non-linear; 2) during one year, α- male replacements occurred two times on Rambo II and one times on Rambo I; 3) the female dominance hierarchy was imperfectly linear; 4) migration process only occurred in adult and growing adult males; 5) dominance determined priority for accessing to safety and comfortable place and food; 6) coalition might play a role in decreasing domination of dominant individual; 7) to decrease agonistic frequency and intensity, the Sulawesi black macaques used several behavioral mechanisms, such as allogrooming and postconflict affiliation; 8) females groomed males more frequently than males did, grooming among females was unrelated to their ranking; 9) there was a tendency for high rank males to approach lower rank males, for high rank females to approach lower rank females and for females to approach males; 10) intergroup interaction included agonistic and affiliative interactions between the two group members and intergroup mating; and 11) natural sexual behavior was varied; 12) mating frequency of the males was not influenced by their ranking; 13) there were mate choice factors and mating strategy of lower rank to avoid intervention by high rank. From the results, it can be concluded that contrary to females that have egalitarian society, in male Sulawesi crested black macaques, the dominance hierarchy is usually linear and male relationships are non- egalitarian. When defining a social system in primates, it should thus always be clear to which sex the definition is referring to. Key words: Dominance characteristics, Sulawesi crested black macaques (Macaca nigra), Tangkoko-Batuangus Nature Reserve KARAKTERISTIK DOMINANSI MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO-BATUANGUS, SULAWESI UTARA

7 SAROYO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Primatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 Judul Disertasi : Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara Nama : Saroyo NIM : B

8 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ketua Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng Anggota Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota Prof. Kunio Watanabe, Ph.D. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Ujian Tanggal: Tanggal Ujian: Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Lulus tanggal: Tanggal Lulus: PRAKATA

9 Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang atas berkat dan rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini berjudul Karakteristik Dominansi Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko- Batuangus, Sulawesi Utara, berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Desember Penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing, yaitu Ibu Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer, Bapak Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng, Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, serta Bapak Prof. Kunio Watanabe, Ph.D. yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama persiapan, penelitian, dan penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta staf dan pegawai, Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado beserta staf dan pegawai, Kepala Pusat Studi Satwa Primata LP-IPB beserta staf dan pegawai, serta PEMDA Sulawesi Utara yang telah memberi kesempatan dan bantuan untuk menunaikan tugas belajar di PS Primatologi SPS IPB. Dengan selesainya penelitian di CA. Tangkoko-Batuangus, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Kepala Balai KSDA Sulawesi Utara beserta staf dan pegawai atas bantuan dan kerjasama selama penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada PEMKOT Bitung, Lurah, dan masyarakat Batuputih yang banyak membantu penulis selama di lokasi penelitian. Banyak pihak telah membantu pendanaan penelitian, sehingga penulis menyampaikan terima kasih kepada DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS, Director of The Rufford Small Grant dan Primate Research Institute Kyoto University atas bantuan dana untuk penelitian. Kepada keluarga, sahabat, dan mahasiswaku penulis sampaikan terima kasih atas doa dan dorongannya. Semoga disertasi ini bermanfaat, terutama sebagai salah satu landasan konservasi monyet hitam Sulawesi dan pengelolaan kawasan konservasi. Bogor, 11 November 2005 Saroyo RIWAYAT HIDUP

10 Penulis dilahirkan di Boyolali pada tanggal 24 Juni Pendidikan menengah ditempuh di SMA I Boyolali Program A2 dan lulus pada tahun Lulus pendidikan sarjana dari Program Studi Pendidikan Biologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun Melanjutkan pendidikan Pra-S2 di Program Studi Biologi Institut Teknologi Bandung pada tahun 1993 melalui program Calon Tenaga Akademik Baru (CTAB), dilanjutkan dengan pendidikan magister tahun 1994 pada program studi yang sama pada bidang Biologi Perkembangan dengan beasiswa Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dari DIKTI. Lulus pendidikan magister pada tahun Menempuh program doktor di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Primatologi pada tahun 2001 dengan nomor mahasiswa B Pada tahun 1996, penulis diangkat sebagai staf pengajar di Universitas Sam Ratulangi, Manado di Fakultas Peternakan, Program Studi Ilmu Produksi Ternak. Pada tahun 2000 penulis dipindahkan sebagai staf pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Biologi. Beberapa kursus telah diambil, antara lain Method in Microbiology, Natural Product Chemistry, Field Course in Primate Behavior and Ecology Tangkoko Nature Reserve, Kursus Singkat Biologi Molekuler, Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Tingkat Nasional, Kursus Pekerti, Kursus AA, Penataran Calon Penulis Buku Ajar Perguruan Tinggi, Tinjil Island Primate Research Project Field Course: Primate Behavior and Ecology, Pelatihan Kiat-Kiat Penyusunan Proposal Penelitian Berdaya Saing Tinggi dan Penelusuran Informasi Ilmiah Mutakhir. Mulai bekerja untuk monyet hitam Sulawesi di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus dari tahun 1998 sebagai peneliti maupun pembimbing penelitian mahasiswa. Beberapa hasil penelitiannya telah dipublikasikan pada beberapa jurnal, yaitu Zootek, Jurnal Ilmiah Sains, Eugenia, dan Jurnal Primatologi Indonesia. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xi Halaman

11 DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Ruang Lingkup... 4 Manfaat Penelitian... 4 Kerangka Pemikiran... 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Hitam Sulawesi... 6 Cagar Alam Tangkoko-Batuangus Organisasi Sosial Monyet Hitam Sulawesi Definisi Istilah MATERI DAN METODE PENELITAN Tempat dan Waktu Materi dan Alat Metode Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kelompok Ukuran dan Komposisi Kelompok Pertumbuhan Kelompok Daerah Jelajah dan Jelajah Harian Aspek Karakteristik Dominansi Dominansi Jantan Dominansi Betina Aspek Tingkah Laku Sosial Peran Dominansi Terhadap Tempat Peran Dominansi Terhadap Pakan Pola Interaksi Intrakelompok Pola Interaksi Antarkelompok Aspek Reproduksi Tingkah Laku Seksual Peran Dominansi dalam Kawin Pemilihan Pasangan Kawin Strategi Kawin Jantan Peringkat Rendah SIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN GLOSARIUM DAFTAR TABEL

12 1 Perbandingan hubungan sosial primata betina keempat tipe 18 kompetisi... 2 Tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi (Widdig 2000) Komposisi KRII (Januari 2004) Komposisi KRI (Juli 2004) Rekapitulasi kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi KRII Komposisi KRII pada akhir pengamatan (Desember 2004) Komposisi KRI pada akhir penelitian (Desember 2004) Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRII Dinamika dalam nisbah jantan dan betina dewasa KRI Jarak jelajah harian KRII Jarak jelajah harian KRI Karakteristik jantan dewasa KRII Rekapitulasi hasil pertemuan agresif dan arah ancaman atau tunduk 60 pada jantan dewasa KRII Hasil interaksi agonistik dan arah ancaman atau tunduk pada jantan 60 dewasa KRI Dinamika hierarki jantan KRII Dinamika hierarki jantan KRI Komposisi individu dewasa KRII dan KRI pada bulan Oktober awal Perbandingan lama proses migrasi pada dua jantan KRII Matriks sosiometrik hasil interaksi agresif antarbetina KRII pada awal pengamatan (Juni 2004) Matriks sosiometrik hasil interaksi agresif antarbetina KRII pada 72 akhir pengamatan (Agustus 2004) Rekapitulasi pendekatan antarjantan KRII Hasil uji pakan pada enam jantan KRII Interaksi agonistik antarindividu KRII Hasil pengamatan koalisi Rekapitulasi pendekatan KRII Perkawinan antarkelompok KRI dan KRII Tingkah laku seksual dan variasinya Rekapitulasi variasi tingkah laku kawin Rekapitulasi frekuensi kawin jantan KRII Monopoli terhadap betina subur oleh jantan Halaman

13 DAFTAR GAMBAR 1 Monyet hitam Sulawesi Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi perebutan Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi pertandingan Peta lokasi penelitian Pertumbuhan KRII selama tahun Daerah jelajah KRII dan KRI Tipe-tipe vegetasi pada daerah jelajah KRII dan KRI Hubungan segitiga antarjantan KRII Migrasi jantan dewasa yang teramati selama penelitian Dinamika dalam hierarki dominansi betina dewasa KRII pada awal 74 pengamatan (Juni) dan akhir pengamatan (Agustus) Pergeseran daerah jelajah KRII selama tahun Interaksi antara KRII dan KRII pada daerah interseksi Halaman

14 DAFTAR LAMPIRAN 1 Dinamika dalam hierarki dominansi KRII Dinamika dalam hierarki dominansi KRI Proses migrasi jantan KRII Frekuensi menelisik silang antarindividu dewasa KRII Halaman

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Sulawesi termasuk salah satu pulau dalam daerah Wallacea. Daerah Wallacea adalah daerah peralihan antara Zoogeografi Oriental dan Zoogeografi Australia (Coates dan Bishop 2000). Satwa Sulawesi merupakan yang paling khas di seluruh Indonesia terutama di antara mammalia. Dari 127 spesies mammalia asli, 62% bersifat endemik (Whitten et al. 1987). Monyet (genus Macaca) adalah satwa khas Oriental yang daerah penyebarannya sampai di Sulawesi (Bynum 1999). Nenek moyang monyet Sulawesi menyeberang ke Pulau Sulawesi pada pertengahan Plestosen dari Pulau Kalimantan atau Jawa (Whitten et al. 1987). Pada saat ini terdapat enam spesies monyet endemik Sulawesi, yaitu M. nigra, M. nigrescens, M. hecki, M. tonkeana, M. maura (M. maurus), dan M. ochreata (Groves 2001), atau tujuh spesies menurut Fooden (1969 dalam Bynum 1999) dengan tambahan M. brunnescens. Penelitian tentang aspek sosial monyet Sulawesi belum banyak dilakukan, kecuali untuk M. maurus. Beberapa penelitian tentang aspek sosial pada M. maurus, antara lain: organisasi sosial (Watanabe dan Matsumura 1996), afiliasi pascakonflik (Matsumura 1996), hubungan dominansi rileks antarbetina (Matsumura 1996), faktor-faktor yang mempengaruhi proksimitas antaranggota kelompok selama makan, bergerak, dan istirahat (Matsumura dan Okamoto 1997), serta sejarah hidup dan demografi (Okamoto et al. 2000). Sistem sosial monyet dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan pola dominansinya, yaitu sistem sosial egaliter dan sistem sosial despotik (Hemelrijk 1999). Pada sistem sosial egaliter, keuntungan dalam memanfaatkan sumber tersebar merata pada semua peringkat dan interaksi sosialnya bersifat simetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999). Pada sistem sosial despotik, keuntungan dalam memanfaatkan sumber secara kuat dimiliki oleh individu peringkat tinggi, dengan interaksi sosial bersifat asimetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999). Penelitian pada M. maurus oleh

16 Matsumura (1998) didapatkan hasil bahwa hubungan sosial antarbetina dewasa bersifat egaliter atau mempunyai pola dominansi rileks. Hubungan sosial monyet Sulawesi betina dikategorikan sebagai dominansi rileks atau sistem sosial egaliter seperti pada monyet Barbary (M. sylvanus), monyet bonnet (M. radiata), dan monyet stumptail (M. arctoides) (Matsumura 1998). Hubungan sosial yang berbeda, yang disebut despotik ditemukan pada sistem sosial monyet Jepang (M. fuscata), monyet Rhesus (M. mullata), dan beruk (M. nemestrina) (Matsumura 1998). Masyarakat egaliter atau despotik pada satwa primata umumnya ditentukan dari interaksi antarbetina. Sistem sosial M. nigra (monyet hitam Sulawesi) betina bilamana termasuk sistem sosial egaliter seperti pada M. maurus atau despotik belum banyak diketahui. Sistem sosial monyet hitam Sulawesi jantan bilamana mempunyai pola yang sama atau berbeda dengan sistem sosial pada betina juga belum banyak diketahui. Demikian juga jika monyet hitam Sulawesi mempunyai sistem sosial seperti pada monyet Sulawesi lainnya, karakteristik dominansi pada monyet hitam Sulawesi juga masih harus diteliti. Oleh karena itu studi yang mendalam tentang sistem sosial monyet hitam Sulawesi, terutama tentang pola dominansi menjadi sangat penting. Monyet hitam Sulawesi menempati habitat hutan hujan tropis primer dan sekunder di beberapa lokasi di semenanjung utara Pulau Sulawesi dan beberapa pulau satelitnya (Lee dan Kussoy 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Penelitian Reed et al. (1997) pada tahun 1994 selama enam minggu pada Kelompok Rambo (97 ekor), menunjukkan bahwa dominansi pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam jantan dewasa. Frekuensi dan intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak peringkat. Jantan dari seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat agresivitas yang lebih tinggi terhadap betina, yang reseptif secara seksual dibandingkan dengan betina pada fase yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa monyet hitam Sulawesi jantan mempunyai organisasi sosial yang sama dengan kelompok banyak jantan-banyak betina seperti pada spesies Macaca lainnya. Ukuran kelompok monyet hitam Sulawesi pada saat ini tidak sebesar pada tahun Berdasarkan penelitian O Brien dan Kinnaird (1997) yang dilakukan pada tahun 1994, ukuran kelompok berkisar ekor. Pada penelitian pendahuluan (Saroyo 2002a), ukuran Kelompok Rambo I dan Kelompok Rambo II berkisar ekor.

17 Kelompok kecil yang disebut Kelompok Gila mempunyai ukuran 13 ekor. M. maurus mempunyai ukuran kelompok yang lebih kecil, yaitu (Matsumura 1998). Penelitian aspek dominansi pada spesies lain, misalnya pada monyet Jepang (M. fuscata) didapatkan hasil bahwa hierarki di antara individu dewasa dan remaja dari kedua jenis kelamin bersifat linear sempurna (Chaffin et al. 1995). Hasil yang sama juga didapatkan pada monyet Rhesus (M. mullata) dan monyet stumptail (M. arctoides) (Chaffin et al. 1995). Umumnya penelitian tentang dominansi terkonsentrasi pada jantan dewasa dibandingkan dengan pada betina dewasa (Chalmer 1980). Secara umum, pada satwa primata yang menunjukkan sifat dominansi, jantan dewasa mempunyai peringkat dominansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina dewasa, dengan kekecualian pada talapoin (Miopithecus talapoin) (Chalmer 1980) dan Lemur (Rowe 1996). Dominansi pada betina lebih terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pakan dan keberhasilan dalam reproduksi (Matsumura 1998, Range dan Noe 2002). Betina yang lebih dominan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pakan yang lebih banyak daripada betina yang kurang dominan, terutama untuk sumber pakan yang terbatas (Chalmer 1980). Betina peringkat tinggi mempunyai angka kelahiran dan angka kesintasan anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina peringkat yang lebih rendah (Chalmer 1980). Dominansi merupakan kedudukan yang penting dalam tingkah laku sosial, karena keuntungan didapat oleh individu peringkat tinggi, seperti prioritas untuk akses kawin, pakan, dan tempat aman (Hemelrijk 1999). Perbedaan dalam akses terhadap kawin ini akan mengakibatkan hanya beberapa jantan peringkat tinggi saja yang dapat melakukan kawin dengan betina yang secara seksual reseptif. Akibatnya hanya beberapa jantan saja yang menyumbangkan sumber genetik untuk generasi berikutnya. Walaupun demikian, karena jantan dan betina peringkat tinggi mempunyai sifat morfologi dan tingkah laku yang unggul atau superior (Napier dan Napier 1985, Reed et al. 1997), maka perkawinan dengan induk yang secara morfologi dan tingkah laku unggul akan menurunkan anakanak dengan gen yang unggul juga (Reed et al. 1997).

18 Perbedaan ukuran kelompok pada kondisi habitat di Cagar Alam Tangkoko- Batuangus kemungkinan akan berpengaruh terhadap karakteristik dominansi monyet hitam Sulawesi. Oleh karena itu masalah tersebut menarik untuk diteliti. Tujuan Penelitian 1) Mengkaji karakteristik dominansi sebagai dasar dalam penentuan sistem sosial monyet hitam Sulawesi. 2) Menentukan peran dominansi dalam berbagai interaksi sosial monyet hitam Sulawesi. Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif bidang tingkah laku satwa primata di alam. Salah satu ciri penelitian ini adalah tidak dapat dibuat hipotesis dan apabila dipaksakan maka hipotesisnya akan berbetuk sangat umum (Suratmo 2002). Penelitian ini dititikberatkan pada salah satu aspek sistem sosial monyet hitam Sulawesi, yaitu aspek karakteristik dominansi. Aspek pendukung yang juga diamati meliputi karakteristik kelompok yang mencakup ukuran dan komposisi kelompok, pertumbuhan kelompok, serta daerah jelajah dan jelajah harian. Aspek peran dominansi dalam interaksi sosial monyet meliputi aspek tingkah laku sosial dan aspek reproduksi. Luaran penelitian diharapkan dapat dijadikan rekomendasi bagi otoritas manajemen kawasan konservasi dan organisasi yang bergerak dalam bidang konservasi ex-situ. Manfaat Penelitian 1) Menambah informasi tentang karakteristik dan peran dominansi dalam berbagai interaksi sosial sebagai dasar dalam penentuan sistem sosial monyet hitam Sulawesi. 2) Dasar dalam pengelolaan populasi monyet hitam Sulawesi melalui pengelolaan tingkah laku kelompok, terutama yang berkaitan dengan sistem sosial bagi otoritas manajemen CA Tangkoko-Batuangus dan kawasan konservasi lainnya di Sulawesi Utara dan lembaga/organisasi konservasi ex-situ dalam pengelolaan kelompok, sehingga kelestarian spesies ini dapat dipertahankan. Kerangka Pemikiran

19 Sistem sosial monyet Sulawesi dikategorikan sebagai sistem sosial egaliter - Penelitian serupa banyak dilakukan pada M. maurus - Pada M. nigra jantan dilakukan oleh Reed et al. pada tahun 1994 pada kelompok Rambo (97 ekor) selama enam minggu Permasalahan: - Ada tidaknya perubahan sistem sosial dengan berubahnya ukuran kelompok - Sistem sosial jantan sama atau berbeda dengan sistem sosial pada betina - Karakteristik dominansi pada M. nigra Koleksi Data: - Pola dominansi - Peran dominansi dalam interaksi sosial Jantan Betina Analisis dan evaluasi hasil didasarkan pada kajian teoritis dan fakta di lapangan. Penyimpulan

20 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Hitam Sulawesi Klasifikasi Monyet hitam Sulawesi atau dalam bahasa lokal disebut yaki (Gambar 1) merupakan satu dari enam jenis monyet Sulawesi. Monyet Sulawesi meliputi dare (M. maura/maurus), yaki (M. nigra), dihe (M. nigrescens), dige (M. hecki), boti (M. tonkeana), hada (M. ochreata) (Groves 2001). Gambar 1 Monyet hitam Sulawesi Menurut Corbet dan Hill (1992) serta Collinge (1993), monyet hitam Sulawesi dimasukkan ke dalam Bangsa Primates, Suku Cercopithecidae, Marga Macaca, dan Jenis Macaca nigra. Pemberian nama yang salah untuk jenis ini, misalnya Celebes black ape didasarkan pada warna rambutnya yang hitam dan tanpa ekor yang terlihat jelas. Dalam

21 bahasa daerah, monyet ini disebut yaki (Tonsea, Bacan), wolai (Tondano), dan bolai (Mongondow) (Supriatna dan Wahyono 2000). Penyebaran Monyet hitam Sulawesi tersebar di semenanjung utara Pulau Sulawesi di sebelah timur Sungai Onggak Dumoga dan Gunung Padang yang berbatasan dengan penyebaran M. nigrescens (Groves 2001). Di Sulawesi Utara, monyet ini dapat dijumpai di CA Tangkoko-Batuangus, CA DuaSudara, SM Manembonembo, Kotamobagu, dan Modayak. Monyet ini juga ditemukan di CA Gunung Lokon, CA Gunung Ambang, CA Tanggale, Pulau Manado Tua, dan Pulau Talise (Lee dan Kussoy 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Monyet ini telah diintroduksi ke Pulau Bacan di Maluku Utara dan populasinya lebih banyak dibandingkan dengan populasi aslinya. Penelitian oleh Rosenbaum et al. (1998) didapatkan hasil bahwa kerapatan monyet hitam Sulawesi di Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan mencapai 170,3 ekor/km 2, sedangkan di hutan yang sudah terganggu mencapai 133,4 ekor/km 2. Pertelaan Monyet hitam Sulawesi mempunyai ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan jenis lainnya. Panjang tubuh betina dewasa mm dan pada jantan dewasa mm, ekor sepanjang 25 mm (Rowe 1996). Bobot tubuhnya 7-15 kg (Supriatna dan Wahyono 2000). Rambut yang menutupi seluruh tubuh berwarna hitam kelam, namun bagian belakang (punggung) dan paha berwarna lebih terang dibandingkan dengan bagian lain (Bynum 1999, Supriatna dan Wahyono 2000). Wajah berwarna hitam dan tidak ditumbuhi rambut. Moncong jauh lebih menonjol dibandingkan dengan monyet Sulawesi lainnya. Kepala mempunyai jambul merupakan ciri khas monyet tersebut. Warna tubuh betina dan monyet muda sedikit pucat bila dibandingkan dengan jantan dewasa. Bantalan tungging berbentuk suboval dan terbagi secara sempurna (Bynum 1999). Pantat membengkak merah pada monyet betina menandakan bahwa satwa tersebut sedang estrus (Rowe 1996, Kinnaird 1997). Kematangan seksual pada betina dicapai pada umur 49 bulan, siklus estrus sepanjang 36 hari, kebuntingan selama hari, umur pertama

22 melahirkan 65 bulan, interval kelahiran 18 bulan, dan lama hidup dapat mencapai 18 tahun (Rowe 1996). Bayi berambut putih pada wajah, lengan, dan bagian bawah badan. Warna ini akan berubah perlahan-lahan menjadi hitam sebelum umur empat sampai enam bulan (Kinnaird 1997). Indeks intermembran sebesar 94 dan bobot otak dewasanya mencapai 94,4 g (Rowe 1996). Ekologi 1. Habitat Monyet hitam Sulawesi hidup di hutan tropis primer dan sekunder (Rowe 1996) di Sulawesi Utara. Mereka dapat dijumpai pada hutan primer atau sekunder dataran rendah hingga dataran tinggi sampai dpl (Supriatna dan Wahyono 2000). Ular python (Python reticulatus) merupakan predator alaminya (Kilner 2001). 2. Pakan Seperti pada jenis monyet lain, monyet hitam Sulawesi termasuk omnivor. Monyet ini memakan berbagai bagian tumbuhan, mulai dari daun, pucuk daun, bunga, biji, buah, dan umbi, serta beberapa jenis serangga, moluska, dan invertebrata kecil. Terdapat lebih dari 145 jenis buah yang dimakan. Di CA Tangkoko-Batuangus, sekelompok monyet sering ditemukan di tepi laut untuk mencari moluska sebagai salah satu sumber pakannya (Supriatna dan Wahyono 2000). Pohon ara merupakan salah satu sumber pakan bagi monyet yang paling melimpah. Di CA Tangkoko-Batuangus dan CA DuaSudara terdapat 45 jenis. Buah ara merupakan 20 persen dari total pakan monyet (Kinnaird 1997). Beberapa jenis serangga yang dimakan monyet ini meliputi tawon, rayap, ulat dalam gulungan daun Pongamia sp., lebah, semut, dan belalang (Saroyo 2002b). 3. Tingkah Laku Monyet hitam Sulawesi merupakan spesies diurnal, terestrial, dan arboreal yang kadang-kadang disebut semiarboreal (Rowe 1996, Supriatna dan Wahyono 2000). Lokomosi terutama secara kuadrupedal (Rowe 1996), walaupun cara bergerak monyet ini sangat bervariasi, dari menggunakan kedua kakinya (bipedal), menggantung (brakiasi), ataupun memanjat (Supriatna dan Wahyono 2000). Daerah jelajahnya seluas ha,

23 dan jelajah hariannya dapat mencapai 5 km (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan penelitian pendahuluan (Saroyo 2002b, Saroyo et al. 2004b), Kelompok Rambo II di CA Tangkoko-Batuangus mempunyai daerah jelajah yang cukup sempit yaitu 59 ha dan jarak jelajah hariannya ± 423,6 m. Monyet hitam Sulawesi aktif pada siang hari (diurnal), dan sore hari menjelang tidur mereka memilih tumbuhan yang rimbun. Tidur dilakukan pada tajuk tinggi pepohonan yang ditinggalkan menjelang matahari terbit untuk segera turun mencari makan. Monyet ini menghabiskan setengah waktunya di tanah dan setengahnya lagi di pepohonan dengan bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makan (Kinnaird 1997). Status Konservasi Monyet hitam Sulawesi dilindungi oleh Pemerintah RI dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No. 421/Kpt/um/8/1970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 (Supriatna dan Wahyono 2000). Dalam daftar yang dikeluarkan IUCN, spesies ini digolongkan sebagai satwa genting dan dicantumkan dalam Appendix II CITES (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan kecenderungan hilangnya hutan, status spesies ini perlu diubah menjadi kritis (Lee et al. 2002). Populasi Habitat monyet hitam Sulawesi telah banyak mengalami penyusutan akibat penebangan dan pembukaan lahan perkebunan (Lee et al. 2001). Saat ini mereka telah kehilangan 60% habitatnya dari km 2 menjadi km 2, dan hanya menempati areal seluas km 2 dalam kawasan konservasi (Supriatna dan Wahyono 2000). Berdasarkan penelitian Lee dan Kussoy (1999), kerapatan populasi monyet hitam Sulawesi di Tangkoko sebesar 58,0 ekor/km 2, di Pulau Talise 21,5 ekor/km 2, di Manembonembo (22,8 ekor/km 2 ), dan di Manado Tua 34,0 ekor/km 2. Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, populasi monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko-Batuangus telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

24 Penelitian MacKinnon dan MacKinnon pada tahun 1978, kerapatan populasi monyet di CA Tangkoko-Batuangus-DuaSudara sebesar 300 ekor/km 2, dan berdasarkan penelitian Sugardjito et al. pada tahun 1988, kerapatannya menjadi 76 ekor/km 2 (Rosenbaum et al. 1998). Penelitian Rosenbaum et al. pada tahun 1994 menunjukkan bahwa kerapatan populasi monyet sebesar 66,7 ekor/km 2 (Rosenbaum et al. 1998). Berdasarkan hasil survei Kyes et al. (2002) pada tahun , kerapatannya sebesar 39,8 ekor/km 2. Cagar Alam (CA) Tangkoko-Batuangus Sulawesi Utara mempunyai beberapa kawasan perlindungan, baik cagar alam, taman nasional, maupun suaka margasatwa. CA Tangkoko-Batuangus terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan GB No. 6 Stbl 1919, tanggal 12 Februari 1919 (KSDA Sulawesi Utara). Luas cagar alam ini ha, terletak pada 1 o 30-1 o 34 N dan 125 o o 81 E (Sunarto et al. 1999). Sebagian dari wilayahnya digunakan sebagai daerah wisata alam, dan sampai saat ini belum diketahui pengaruh kegiatan tersebut terhadap kehidupan monyet. Beberapa kelompok monyet, seperti KRII dan KRI mempunyai daerah jelajah yang melalui daerah Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih (Saroyo 2002a). CA Tangkoko-Batuangus menyatu dengan CA DuaSudara, TWA Batuangus, dan TWA Batuputih. Luas keempat kawasan ini ha (KSDA Sulawesi Utara 2002). CA Tangkoko-Batuangus meliputi beberapa tipe habitat (Whitten et al. 1987, Saroyo 2003b) sebagai berikut ini. 1) Pantai, yaitu formasi barringtonia, meliputi tumbuhan: Barringtonia asiatica (bitung), Pandanus sp. (pandan), Callophyllum soulattri (nyamplung), Morinda citrifolia (mengkudu daun besar), Morinda bracteata (mengkudu daun kecil), Cycas rumphii (pakis haji), Terminalia catappa (ketapang), Hibiscus tiliaceus (waru laut), Ixora sp. (soka/suwing), Erythrina sp. (dadap), Pongamia pinnata (lakehe), Leea indica (momaling biasa), Kleinhovia hospita (bintangar), dan Barringtonia acutangula (salense). 2) Hutan sekunder dengan pohon khas Cocos nucifera (kelapa), Mangifera indica (mangga), Macaranga sp. (binunga), dan Tectona grandis (jati).

25 3) Semak-semak yang tersusun atas Imperata cylindrica (alang-alang), Saccharum spontaneum (glagah), Eupatorium odoratum, Lantana camara (tembelekan), Piper aduncum (sirih hutan), dengan diselingi pohon Macaranga sp. (binunga), dan Melia azedarach (mindi/bugis). 4) Semak-semak lain yang tersusun atas rumput Cyrtococcum oxyphyllum yang hampir tertutup oleh Piper aduncum (sirih hutan), Melia azedarach (mindi/bugis), Macaranga sp. (binunga), Lantana camara (tembelekan), Pterospermum diversifolium (wolo daun besar), Alstonia sp. (kayu telur), Laportea sp. (kemaduh), dan Tectona grandis (jati). 5) Hutan primer dengan berbagai jenis pohon, yang menyolok antara lain Ficus sp. (ara), Leea indica (momaling biasa), Palaquium amboinense (nantu), Ardisia sp. (kayu anoa), Eugenia sp. (gora hutan), Garuga floribunda (kayu kambing), Dracontomelum dao (rao), Livistona rotundifolia (woka), dan Baringtonia acutangula (salense). 6) Di atas ketinggian 800 m sudah merupakan vegetasi pegunungan. Organisasi Sosial Monyet Hitam Sulawesi Bangsa Primates merupakan salah satu Bangsa dalam Kelas Mammalia yang hidup dalam suatu kelompok sosial. Hidup bersosial memberikan beberapa keuntungan untuk akses terhadap pakan, proteksi terhadap predator, akses untuk kawin, dan mempermudah dalam pemencaran keturunan (Collinge 1993). Beberapa terminologi berikut merujuk pada Collinge (1993). Suatu Kelompok Sosial tersusun dari satwa-satwa yang berinteraksi pada suatu basis reguler. Primata mampu mengenal satu dengan yang lain dan menggunakan lebih banyak waktu dengan anggota kelompoknya. Struktur Sosial menunjukkan bentuk fisik kelompok berkaitan dengan kelompok umur dan jenis kelamin, serta hubungan interaksi satu dengan lainnya. Organisasi Sosial merupakan ekspresi yang lebih inklusif yang secara umum digunakan untuk mendeskripsikan beberapa aspek kelompok sosial, yang meliputi distribusi spasial, komposisi kelompok, serta hubungan sosial dan fisik di dalam kelompok. Perbedaan utama struktur sosial dan organisasi sosial, bahwa organisasi sosial juga mencakup komponen tingkah laku.

26 Berdasarkan sistem klasifikasi sosioseksual, struktur sosial monyet hitam Sulawesi termasuk kelompok banyak jantan-banyak betina. Di alam, monyet hitam Sulawesi hidup dalam kelompok besar, yaitu ekor (Supriatna dan Wahyono 2000). Mereka hidup dalam kelompok dengan nisbah (rasio) jantan dan betina dewasa 1:3,4 (Rowe 1996). Nisbah jantan dan betina ini merupakan fungsi dari pola emigrasi jantan dan filopatri betina (Napier dan Napier 1985). Filopatri betina berarti bahwa betina tetap berada dalam kelompok kelahirannya. Masyarakat monyet ini berpusat pada keluarga betina, sementara jantan keluar dari kelompok kelahirannya (Matsumura 1998). Interaksi Sosial Tingkah laku sosial monyet hitam Sulawesi sangat terorganisir dan kompleks. Jantan membentuk hierarki kekuasaan. Jantan paling dominan ditandai dengan ukuran tubuh besar dan paling kuat memegang prioritas dalam mendapatkan pakan dan pasangan (Kinnaird 1997). Betina dewasa menanggung sebagian besar tugas membesarkan anak, sehingga jantan sempat membersihkan segala parasit dari rambut tubuh mereka dan membantu kaum betina memperkuat ikatan sosial dengan anggota lainnya. Kaum remaja melewatkan waktu dengan berjumpalitan dan berkejar-kejaran atau bergumul dengan sebayanya. Meringis lebar merupakan senyuman mengajak bermain-main bukan menantang berkelahi (Kinnaird 1997). Interaksi sosial dibedakan menjadi dua tipe dasar yaitu kompetitif (antagonistik) dan kooperatif (positif atau afiliatif). Beberapa penelitian tentang interaksi sosial antaranggota kelompok pada satwa primata, antara lain: dominansi pada monyet Jepang (M. fuscata) (Chaffin et al. 1995), hubungan dominansi betina dewasa pada monyet Jepang di alam (Nakamichi et al. 1995), hubungan proksimitas pada monyet Jepang (Nakamichi 1996), dominansi pada monyet Assam (M. assamensis ) (Bernstein dan Cooper 1999), menelisik, ikatan sosial, dan agonistik pada monyet Rhesus (M. mullata) (Matheson dan Bernstein 2000), dan hubungan kekeluargaan dan dominansi betina pada sooty mangabey (Cercocebus atys) (Range dan Noe 2002). Penelitian tentang tingkah laku sosial jantan dan hierarki dominansi pada monyet hitam Sulawesi di CA Tangkoko- Batuangus telah dilakukan pada tahun 1994 selama enam minggu (Reed et al. 1997) pada

27 suatu kelompok besar (97 individu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominansi pada jantan berbentuk linear dan transitif di antara enam jantan dewasa. Frekuensi dan intensitas agresi di antara jantan berkorelasi kuat dengan jarak peringkat. Jantan dari seluruh peringkat secara signifikan menunjukkan pula tingkat agresivitas yang lebih tinggi terhadap betina yang secara seksual reseptif daripada terhadap betina pada fase yang lain. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa jantan monyet hitam Sulawesi mempunyai organisasi sosial yang sama dengan pada spesies Macaca lainnya (Reed et al. 1997). 1. Interaksi Kompetitif (Antagonistik) Jika hewan hidup dalam kelompok yang stabil, pesaing superior secara konsisten unggul terhadap pesaing inferior (Collinge 1993). Pasangan individu tersebut mempunyai hubungan dominansi. Hubungan dominansi dapat diukur melalui hasil perkelahian dalam pertemuan agresif antara dua individu atau arah sikap mengancam atau tunduk. Agresi mencakup agresi ringan (mengancam dengan membuka mulut, mengancam dengan suara, menerjang) dan agresi berat (mengusir, menendang, mencakar, menggigit) (Perry 1996) Hierarki Dominansi Menurut Martin dan Bateson (1999), pada banyak spesies primata, hubungan di antara sepasang individu berbentuk asimetris. Satu individu secara konsisten akan mengusir individu lain pada saat mereka berkompetisi untuk suatu sumber yang bermanfaat, misalnya pakan, tempat, atau kawin, atau secara sederhana satu individu menghindar pada saat mereka bertemu. Jika sejumlah kejadian dicatat untuk setiap pasangan dalam kelompok, seringkali menjadi jelas bahwa satu individu cenderung untuk mengusir seluruh individu lainnya, sedangkan individu lain akan diusir yang lainnya. Keseluruhan susunan individu dominan dan subordinan dalam kelompok dikenal sebagai hierarki dominansi (Martin dan Bateson 1999). Dominansi merupakan hal penting dalam tingkah laku sosial pada spesies hewan yang hidup berkelompok dengan keuntungan yang lebih besar diperoleh oleh individu yang mempunyai peringkat tinggi, misalnya akses untuk kawin, pakan, dan lokasi yang aman. Satwa primata hidup dalam

28 suatu kelompok, sehingga harus bersaing satu dengan yang lain dari waktu ke waktu untuk akses terhadap sumber-sumber di atas. Kompetisi ini menghasilkan kemantapan dalam hierarki dominansi yang mencakup perbedaan tingkah laku individu berdasarkan jenis kelamin, ukuran, umur, status, dan kekerabatan (Swindler 1998). Terdapat beberapa bentuk hierarki dominansi. Jika seluruh individu dalam kelompok dapat disusun dalam urutan dominansi yang pasti (misalnya C dominan terhadap A, A dominan terhadap D, D dominan terhadap E, dan E dominan terhadap B), maka hierarki dominansinya linear (Martin dan Bateson 1999). Dalam kenyataan, hanya beberapa hierarki ini yang linear sempurna. Kadang-kadang dominansi balik dapat terjadi, jika subordinan mengalahkan individu yang secara normal lebih dominan (Martin dan Bateson 1999). Lebih jauh untuk hierarki linear sempurna, seluruh hubungan diad harus asimetris. Pada beberapa kelompok, dua atau lebih individu dapat mempunyai status yang sama. Pada hierarki linear sempurna, seluruh kemungkinan hubungan triad harus transitif (jika A dominan terhadap B dan B dominan terhadap C, maka A harus dominan terhadap C) (Martin dan Bateson 1999). Pada saat ini kelompok monyet di CA Tangkoko-Batuangus tidak sebesar pada tahun Kelompok Rambo telah terfragmentasi menjadi dua kelompok yang lebih kecil, yaitu KRI (±60 ekor) dan KRII (51 ekor) (Saroyo 2002a). Pola dominansi betina pada monyet hitam Sulawesi digolongkan sebagai nepotistik-toleran (Slater 2002). Pola ini berarti bahwa betina bersifat filopatri dan terdapat kerjasama antarkerabat dalam kompetisi Pola Dominansi Pola dominansi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu despotik dan egaliter. Perbedaan antara keduanya, pada pola despotik keuntungan yang besar diperoleh oleh individu dengan peringkat tinggi, sementara pada pola egaliter keuntungan terdistribusi relatif merata (Hemelrijk 1999). Jika kompetisi antarkelompok rendah, atau resiko predasi tinggi, dominan mempunyai lebih banyak kesempatan dalam menggunakan sumber secara despotik (sangat protektif). Hal ini akan menyebabkan anggota kelompok

29 menunjukkan sedikit toleransi terhadap subordinan, menghasilkan hierarki dominansi yang jelas dan umumnya merupakan masyarakat despotik. Sebaliknya, jika kompetisi antarkelompok tinggi dan resiko predasi rendah, maka individu dominan akan lebih toleran terhadap subordinan, untuk mencegah mereka meninggalkan kelompok dan masuk ke kelompok lain. Pola hubungan yang kurang kompetitif ini akan menghasilkan masyarakat yang lebih toleran dan hubungan dominansi lebih egaliter (Hemelrijk 1999). Hasil penelitian yang sangat baik tentang peringkat, keberhasilan dalam reproduksi, dan dispersal telah dilakukan pada monyet Rhesus (M. mullata) di alam oleh Berard (1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan reproduksi pada jantan anggota tetap kelompok dan peringkat tinggi menurun selama periode penelitian. Di pihak lain terjadi peningkatan keberhasilan dalam perkawinan pada jantan emigran dari tahun ke tahun. Walaupun peringkat seekor jantan anggota tetap kelompok tersebut meningkat, tetapi keberhasilan dalam perkawinanya menurun. Jantan peringkat tinggi harus memutuskan untuk tetap tinggal dalam kelompok tetapi mempunyai keberhasilan dalam perkawinan rendah, atau bermigrasi ke kelompok lain menjadi peringkat rendah tetapi keberhasilan dalam perkawinannya tinggi. Aspek dominansi pada betina kurang mendapatkan perhatian untuk diteliti (Chalmer 1980). Secara umum, pada primata yang menunjukkan sifat dominansi, jantan dewasa mempunyai peringkat dominansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina dewasa, dengan kekecualian pada talapoin (Miopithecus talapoin). Dominansi pada betina lebih terkait dengan kesempatan untuk mendapatkan pakan dan keberhasilan dalam reproduksi (Koenig 2002). Betina yang lebih dominan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pakan yang lebih banyak daripada betina yang yang kurang dominan, terutama untuk sumber pakan yang terbatas. Betina dengan peringkat tinggi mempunyai angka kelahiran dan angka kesintasan anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina yang mempunyai peringkat lebih rendah (Chalmer 1980). Penelitian hubungan sosial antarbetina pada monyet capuchin muka putih (Cebus capucinus) oleh Perry (1996) diperoleh hasil yaitu betina membentuk hierarki dominansi linear yang stabil; betina dewasa lebih banyak menggunakan waktunya dalam proksimitas dengan betina dewasa lain daripada dengan jantan dewasa; mereka saling

30 menelisik dengan betina lain dua kali lebih banyak daripada yang dilakukan dengan jantan; betina cenderung menelisik kepada yang lebih dominan. Pada langur hanuman (Semnopithecus entellus) yang mempunyai sistem sosioseksual berpusat pada jantan tunggal, hubungan hierarki betina menunjukkan ketidakstabilan, inkonsisten, individualistik, dan angka koalisi agonistik rendah (Borries 1993) Tipe Kompetisi Kompetisi untuk suatu sumber dibedakan menjadi dua tipe dasar, yaitu Kompetisi perebutan atau kompetisi tidak langsung dan kompetisi pertandingan atau kompetisi langsung ( 4_26_02.html). Kompetisi perebutan terjadi jika hewan harus berbagi sumber yang terbatas tetapi tidak mempunyai cara untuk membatasi akses individu lain terhadap sumber tersebut. Seluruh individu dalam kelompok bersama-sama akan mengalami pengurangan pakan. Efek kompetisi tipe ini akan meningkat dengan meningkatnya ukuran kelompok (Gambar 2). Kompetisi tipe ini untuk pakan terjadi jika ketersediaan pakan sangat sedikit dan sangat jarang. Gambar 2 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi perebutan (K = ukuran kelompok kecil; S = ukuran kelompok sedang; B = ukuran kelompok besar) Kompetisi pertandingan terjadi jika individu yang lebih kuat dapat membatasi akses individu yang lebih lemah untuk suatu sumber ( Kompetisi tipe ini terjadi karena terdapatnya perbedaan kemampuan berkompetisi antarindividu. Individu dominan mempunyai akses yang lebih besar terhadap sumber (Gambar 3). Kompetisi tipe ini

31 terjadi jika pakan tersebar tidak merata. Sebagai contoh, pohon kecil yang sedang berbuah merupakan sumber yang menyebabkan rejim kompetisi tipe pertandingan. Gambar 3 Pengaruh ukuran kelompok pada kompetisi pertandingan (K = ukuran kelompok kecil; S = ukuran kelompok sedang; B = ukuran kelompok besar) Terdapat empat tipe kombinasi yang menghasilkan tipe masyarakat yang berbeda ( Untuk lebih jelasnya, Tabel 1 di bawah menunjukkan perbandingan hubungan sosial primata betina pada keempat tipe kompetisi. 1) Jika kompetisi perebutan intrakelompok lebih penting daripada kompetisi pertandingan, akan menghasilkan masyarakat tipe dispersal-egaliter. Masyarakat tipe ini ditemukan pada monyet howler, monyet bajing Costa Rica, dan gorilla. 2) Jika kompetisi pertandingan intrakelompok lebih penting daripada kompetisi perebutan intrakelompok dan kompetisi pertandingan interkelompok, akan menghasilkan masyarakat yang despotik. Pada masyarakat tipe ini, betina cenderung untuk membentuk aliansi dengan sanak dan kerabatnya. Tipe ini terutama terjadi pada primata frugivor dan mereka disebut residen-nepotistik. Sebagai contoh, misalnya pada monyet (Macaca), baboon, dan monyet capuchin. Tabel 1 Perbandingan hubungan sosial primata petina keempat tipe kompetisi ( Kategori Rejim kompetitif Respon sosial Pertandingan Pertandingan Filopatri Peringkat intrakelompok interkelompok betina betina Dispersal- Egaliter Rendah Rendah Tidak Egaliter

32 Residen- Egaliter Residen- Nepotistik Residen- Nepotistik- Toleran Rendah Tinggi Ya Egaliter Tinggi Rendah Ya Nepotistik dan despotik Tinggi Tinggi Ya Nepotistik dan toleran 3) Pada beberapa spesies, kompetisi pertandingan interkelompok dapat lebih penting daripada kompetisi intrakelompok. Akibatnya hubungan antaranggota kelompok menjadi lebih egaliter dan kurang nepotistik. Tipe masyarakat seperti ini disebut residen-egaliter. Sebagai contoh, misalnya guenon, monyet patas, dan langur hanuman. 4) Pada beberapa spesies, kompetisi pertandingan interkelompok dan intrakelompok sama pentingnya, akan menghasilkan masyarakat residen-nepotistik-toleran Pemilihan Pasangan Kawin Pemilihan pasangan kawin didefinisikan sebagai pola tingkah laku pada satu jenis kelamin yang dapat meningkatkan probabilitas perkawinan fertil dengan individu tertentu pada jenis kelamin yang berbeda (Soltis et al. 1997). Hasil penelitian Soltis et al. (1997) menunjukkan terdapat pemilihan betina oleh jantan dan pemaksaan seksual jantan oleh betina pada M. fuscata. Proksimitas betina terhadap jantan dan agresi jantan terhadap betina berkorelasi dengan peningkatan keberhasilan perkawinan. Kebanyakan agresi jantan dihasilkan dari peningkatan lama waktu dalam proksimitas oleh betina, dan sebagian disebabkan oleh pemaksaan seksual (Soltis et al. 1997). 2. Interaksi Kooperatif (Positif, Afiliatif) 2.1. Rekonsiliasi (Reuni) Selama dua dekade terakhir, penelitian tentang manajemen konflik pada hewan yang hidupnya berkelompok terfokus pada reuni pascakonflik atau rekonsiliasi. Individuividvidu yang bertengkar segera melakukan tingkah laku afiliasi setelah konflik agresif (de Wall 2000; Aureli 2002). Kejadian lain pada pascakonflik adalah terdapatnya koaliasi

33 pihak ketiga pascakonflik yang didefinisikan sebagai kontak afiliatif pascakonflik antara individu-individu yang bertengkar dan individu-individu di sekitarnya (Call et al. 2002). Rekonsiliasi pada satwa primata, suatu interaksi afiliatif pascakonflik di antara individu yang bertengkar mempunyai dua fungsi: (1) untuk memperbaiki kerusakan hubungan karena agresi, dan (2) untuk mereduksi ketidakpastian pascakonflik dan tekanan pada individu tersebut (Kutsukake dan Castles 2001). Hipotesis terintegrasi untuk rekonsiliasi terkait dengan fungsi tersebut melalui argumentasi bahwa kerusakan hubungan karena agresi akan menyebabkan tekanan yang tinggi, sehingga menimbulkan usaha untuk berekonsiliasi untuk menurunkan tekanan tersebut (Kutsukake dan Castles 2001). Beberapa hipotesis telah diajukan oleh beberapa ahli tingkah laku. Beberapa studi mengindikasikan bahwa rekonsiliasi berfungsi untuk memperbaiki kerusakan hubungan sosial karena agresi (hipotesis perbaikan hubungan) (Kutsukake dan Castles 2000). Sebagai contoh, rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan korban agresi mengalami serangan berikutnya yang dilakukan oleh penyerang pertama atau individu lain, serta meningkatkan toleransi untuk sumber pakan (Kutsukake dan Castles 2000). Pada kenyataannya agresi tidak selalu diikuti oleh rekonsiliasi. Beberapa peneliti berusaha menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya rekonsiliasi. Mereka mengemukakan bahwa kualitas hubungan individu yang bertengkar merupakan faktor penting untuk menentukan terjadinya rekonsiliasi. Rekonsiliasi sering terjadi mengikuti agresi di antara individu yang bertengkar. Individu-individu tersebut mempunyai hubungan dengan nilai biologis yang tinggi, suatu fungsi keuntungan kebugaran yang dapat dihasilkan dari hubungan tersebut (hipotesis nilai hubungan) (Kutsukake dan Castles 2000). Sebagai contoh, pada beberapa spesies monyet yang membentuk masyarakat ikatan betina yang didasarkan pada unit matrilineal, interaksi agresif di antara individu yang berkerabat lebih sering diikuti rekonsiliasi dibandingkan dengan pada individu yang tidak berkerabat. Bukti eksperimen yang juga mendukung hipotesis ini, rekonsiliasi secara dramatis meningkat mengikuti peningkatan nilai hubungan di antara pasangan monyet ekor panjang (Cord dan Thurnheer 1993).

34 Fungsi rekonsiliasi yang lain berperan untuk mereduksi tekanan pascakonflik. Pada satwa primata terdapat tingkah laku arah diri/tad seperti menggaruk, menelisik diri, dan menguap berkaitan dengan situasi tertekan (Cord dan Thurnheer 1993). Sebagai contoh, proksimitas oleh individu yang dominan dapat meningkatkan laju TAD pada monyet ekor panjang dan olive baboon (Papio anubis), sedangkan menelisik silang dapat mereduksi TAD dan detak jantung pada tertelisik. Oleh karena itu, proksimitas dalam rekonsiliasi menyebabkan reduksi ketidakpastian dan menurunkan kondisi tertekan (Cord dan Thurnheer 1993). Aureli (1997) mengajukan hipotesis terintegrasi untuk rekonsiliasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa agresivitas tidak hanya berpengaruh pada korban, pada penyerang juga akan meningkatkan TAD. Ini membuktikan bahwa kondisi tertekan pascakonflik tidak terbatas pada korban, tetapi juga dialami oleh penyerang. Sebagaimana terjadi pada korban, pada penyerang juga terjadi penurunan laju TAD pada rekonsiliasi (Aureli 1997). Tidak semua spesies satwa primata menunjukkan terjadinya afiliasi pascakonflik. Pada sebagian besar spesies Cercopithecine yang hidup dalam kelompok sosial kompleks, mereka membentuk afiliasi (Call et al. 2002). Pada red-bellied tamarin (Saguinus labiatus), agresi yang terjadi tidak merusak hubungan antaranggota kelompok, sehingga rekonsiliasi tidak diperlukan (Schaffner dan Caine 2002) Aliansi atau Koalisi Konflik di antara dua individu hewan sering kali diinterpretasikan sebagai kompetisi terhadap sumber yang terbatas (Widdig et al. 2000). Hasil interaksi agresif pada masyarakat primata sering kali dipengaruhi oleh intervensi pihak ketiga (Collinge 1993). Aliansi dibentuk saat satu individu luar membantu dalam bertahan atau menyerang. Pada monyet, baboon, dan chimpanzee, seekor individu yang sedang konflik dapat melihat sekilas ke individu lain untuk membantu melawan pihak musuh. Frekuensi aliansi bergantung pada struktur sosial spesies yang bersangkutan dan faktor terkait lainnya, seperti umur, kondisi reproduksi, dan hubungan individual.

35 Terdapat beberapa tipe aliasi tergantung pada hasilnya. Aliansi spesifik sumber ditemukan pada baboon savana di alam bebas (Collinge 1993). Jantan tua dan jantan peringkat rendah sering membentuk koalisi untuk mengusir hewan dominan yang sedang kopulasi dengan betina estrus. Koalisi ini bersifat resiprok terhadap kesempatan untuk kawin. Pada masyarakat banyak jantan-banyak betina, misalnya pada monyet Jepang dan monyet Rhesus, betina membentuk matrilineal yang besar bekerja sama dalam interaksi agonistik. Pada spesies dengan jantan tetap berada dalam kelompok kelahirannya (filopatri), seperti chimpanzee dan monyet colobus merah, jantan-jantan yang berkerabat bekerja sama melawan individu dominan atau untuk berkompetisi dalam akses terhadap betina estrus. Aliansi antara jantan dan betina terjadi terutama pada saat musim kawin dalam konteks pasangan kawin. Istilah aliansi xenofobik menunjukkan bahwa seluruh anggota kelompok bersama-sama mempertahankan teritorialnya dari kelompok lain (Collinge 1993). Berdasarkan fungsinya, terdapat dua penjelasan: (1) intervensi dapat bersifat altruistik atau (2) menguntungkan salah satu pihak saja (Widdig et al. 2000). Tingkah laku altruistik berkaitan dengan pengeluaran oleh pemberi/altruist (misalnya waktu, energi, resiko luka, dan pembalasan) dan keuntungan bagi penerima/resipien (misalnya akses terhadap sumber yang terbatas dan kurangnya perlukaan dalam perkelahian) (Widdig et al. 2000). Pembentukan koalisi dapat dijelaskan melalui tiga teori, yaitu seleksi sanak, altruisme resiprok, dan kooperasi (Widdig et al. 2000). Teori seleksi sanak memprediksi bahwa individu-individu yang mendukung kerabat akan meningkatkan kebugaran secara tidak langsung karena mereka membagi gennya dengan resipien. Seleksi diharapkan memberikan keuntungan di antara sanak, individu-individu yang berkerabat dekat, pengeluaran/ongkos yang rendah oleh altruist, dan keuntungan yang besar pada penerima. Terdapat bukti bahwa seleksi ini terjadi pada satwa primata (misalnya M. fuscata, M. radiata, dan Papio cynocephalus) meskipun pemencaran jantan dapat mengurangi ketersediaan sanak. Sebagai contoh, monyet Rhesus jantan lebih suka

36 bergabung dengan jantan saudaranya yang lebih tua dan membentuk koalisi (Widdig et al. 2000). Pada altruisme resiprok, pemberi berperan memberikan pengeluaran dan tanpa keuntungan segera, tetapi pemberi menerima keuntungan pada masa mendatang dari penerima. Jika keuntungan untuk penerima lebih besar daripada pengeluaran oleh pemberi, kedua pihak memperoleh kebugaran langsung untuk periode waktu yang lama meskipun tidak berhubungan lagi (Widdig 2000). Sebagai contoh, Pasangan baboon jantan yang tidak berkerabat memperoleh kesempatan untuk mengawini betina estrus. Tabel 2 Tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi (Widdig 2000) Tingkah laku altruistik Tingkah laku mandiri seleksi sanak keuntungan untuk penerima (sanak) pengeluaran oleh pendukung altruisme resiprok keuntungan untuk penerima (bukan sanak) pengeluaran oleh pendukung Kooperasi Keuntungan untuk penerima (bukan sanak) dan pendukung Tidak ada pengeluaran oleh pendukung kebugaran tidak langsung bagi pendukung (segera) kebugaran langsung bagi pendukung (ditunda) kebugaran langsung bagi pendukung (segera) Pada teori kooperasi, pendukung bukanlah pemberi karena menerima keuntungan langsung dari ikatan dengan individu yang tidak berkerabat (Widdig 2000). Chimpanzee jantan mendapatkan keuntungan saat membantu individu yang tidak berkerabat melawan individu lain, sehingga dapat menaikkan peringkat individu tersebut (Widdig et al. 2000). Perbandingan tiga teori untuk menjelaskan pembentukan koalisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan pada hierarki dominansi, aliansi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) tipe konservatif, (2) tipe jembatan, dan (3) tipe revolusioner ( html). Pada aliansi tipe konservatif, dua individu dominan melawan individu subordinan. Pada aliansi tipe jembatan, individu dominan bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat

37 menengah. Pada aliansi tipe revolusioner, individu-individu subordinan melawan individu dominan Menelisik Menelisik didefinisikan sebagai tindakan mengambil kotoran atau lainnya dari rambut dan kulit dengan menggunakan jari atau gigi (Rasmussen 1993). Menelisik merupakan bentuk komunikasi sentuhan yang secara intensif sudah dipelajari karena mempunyai peranan yang menonjol dalam kehidupan harian kebanyakan spesies primata (Collinge 1993). Di samping berfungsi untuk membersihkan kulit dan rambut dari kotoran dan parasit, menelisik juga berperan dalam interaksi sosial dalam berbagai konteks, misalnya dalam hal induk menenangkan bayinya, pasangan kawin untuk sinyal memulai kawin, persaudaraan, dan untuk rekonsiliasi. Menelisik oportunistik terhadap hewan dominan merupakan strategi yang sering digunakan oleh hewan subordinan sebagai sarana untuk membagi keuntungan aspek dominansi (Collinge 1993). Menelisik mencakup manipulasi oral dan manual pada kulit dan/atau rambut (Cooper dan Berstein 2000). Menelisik dapat dilakukan untuk diri sendiri (menelisik diri) dan dapat dilakukan untuk pasangan sosialnya (menelisik silang) (Chalmer 1980). Jika dilakukan untuk diri sendiri, menelisik berfungsi untuk membuang ektoparasit atau untuk membersihkan dan mempertahankan permukaan tubuh. Menelisik untuk fungsi ini sudah diamati pada monyet ekor singa (M. silenus), lemur ekor cincin (Lemur catta), monyet hitam Sulawesi (M. nigra), dan monyet bonnet (M. radiata) (Chalmer 1980). Menelisik sosial, di samping berfungsi seperti menelisik diri, juga untuk mempererat ikatan sosial. Menelisik sosial dapat berfungsi sebagai pembayaran oleh individu subordinan sebagai sarana dalam perjumpaan agonistik dengan individu dominan pada saat yang akan datang (Cooper dan Berstein 2000). Penelitian pada monyet Rhesus (M. mullata), mereka sering menelisik segera setelah terlibat perkelahian (Chalmer 1980). Pada M. arctoides, menelisik dapat mereduksi kecenderungan bagi tertelisik untuk berjalan. Dengan demikian menelisik berfungsi untuk meningkatkan imobilitas (efek plikatori) (Chalmer 1980).

38 Berdasarkan hipotesis ikatan sosial (Cooper dan Berstein 2000), betina sebagai anggota tetap dalam kelompok matrifokal saling menelisik satu sama lain dan dengan anak-anak lebih sering daripada antarjantan dan antara jantan dan anak-anak. Sebaliknya, jantan menelisik betina lebih sering dan lebih lama daripada betina menelisik jantan. Jantan dan betina lebih sering menelisik anak-anak daripada sebaliknya. Anak-anak lebih lama menelisik yang lebih tua daripada sebaliknya. Penelitian pada monyet Assam (M. assamensis), menelisik lebih berfungsi dalam memantapkan dan memelihara ikatan sosial afiliatif daripada sebagai mekanisme spesifik untuk kawin dan fungsi resiprok (Cooper dan Berstein 2000) Pendekatan Pendekatan mencakup frekuensi pendekatan dan arah pendekatan (Chaffin et al 1995). Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan non-agonistik per jam observasi fokus. Pendekatan didefinisikan sebagai pergerakan satu individu untuk jarak yang tercapai tangan terhadap individu lain dari berbagai arah. Hasil pendekatan dibuat skor sebagai positif/netral jika salah satu dari diad melakukan kontak tubuh positif (menelisik, berimpitian, atau kontak non-agonistik lainnya), atau duduk dalam jangkauan tangan selama 10 detik (pendekatan netral). Tanpa pendekatan jika penuju meninggalkan proksimitas dalam 10 detik dan tidak membuat kontak. Pendekatan negatif jika tertuju menjauh, ancaman gigi oleh salah satu partisipan, dan atau ancaman oleh tertuju. Jika penuju mengancam, perjumpaan diberi skor sebagai ancaman. Arah pendekatan adalah tendensi pendekatan oleh dominan vs. subordinan yang ditunjukkan dengan indeks atas/bawah (Chaffin et al. 1995). Definisi Istilah 1. Aspek karakteristik kelompok 1) Ukuran kelompok: jumlah individu dalam suatu kelompok (Chalmer 1980). 2) Komposisi kelompok: jumlah individu setiap kelompok umur dan jenis kelamin pada suatu kelompok (Chalmer 1980).

39 3) Pertumbuhan kelompok: perubahan ukuran kelompok selama waktu tertentu karena faktor natalitas, mortalitas, dan migrasi (Alikodra 2002). 4) Daerah jelajah: luas area yang dijelajahi monyet (kelompok monyet) selama hidup kelompok tersebut (Collinge 1993). 5) Jelajah harian: jarak yang ditempuh monyet (kelompok monyet) dalam satu hari (Collinge 1993). 2. Aspek Karakteristik Dominansi 1) Dominansi: kemampuan untuk mengintimidasi individu lain dalam suatu konflik dan kemampuan untuk mendapatkan prioritas yang lebih untuk akses terhadap berbagai sumber, seperti pakan, ruang, dan kawin (Collinge 1993, Bramblett 1994). Individu yang memperoleh akses terhadap sumber lebih banyak dibandingkan dengan individu lain disebut dominan, sedangkan yang memperoleh akses lebih sedikit disebut subordinan (Collinge 1993). 2) Sistem sosial despotik: sistem sosial dengan keuntungan dalam memanfaatkan sumber secara kuat dimiliki oleh individu peringkat tinggi, dengan interaksi sosial bersifat asimetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999). 3) Sistem sosial egaliter: sistem sosial dengan keuntungan dalam memanfaatkan sumber tersebar merata pada semua peringkat dan interaksi sosialnya bersifat simetris (Matsumura 1998, Hemelrijk 1999). 4) Hierarki dominansi: keseluruhan susunan individu dominan dan subordinan dalam kelompok (Martin dan Bateson 1999). 3. Aspek tingkah laku sosial 1) Tingkah laku agonistik: tingkah laku yang berkaitan dengan agresi (Collinge 1993). Dalam tingkah laku agresif, individu dibedakan menjadi dua, yaitu penyerang dan korban. Agresi mencakup agresi ringan (ancaman dengan membuka mulut, ancaman dengan suara, serangan mendadak) dan agresi berat (mengusir, memukul, mencakar, menggigit) (perry 1996, Matsumura 1998). 2) Frekuensi agresi: frekuensi ancaman dan serangan per jam (Chaffin et al. 1995). Mengancam didefinisikan sebagai menatap dengan berbagai tingkah laku yang

40 menyertainya, seperti membuka mulut, merendahkan kepala, telinga diarahkan ke belakang, vokalisasi deheman. Terjangan kurang dari dua meter dimasukkan sebagai mengancam Menyerang mencakup mengusir, menampar atau menggigit, atau menggigit dengan ganas. Menggigit dengan ganas didefinisikan sebagai menggigit non-ritual dan intensitasnya tinggi, diberi skor jika tingkah laku agresif ini dilakukan dengan gerakan kepala yang berulang menghasilkan luka pada lawan. 3) Rekonsiliasi: afiliasi yang dilakukan oleh penyerang dan korban segera setelah terjadinya konflik (Kutsukake dan Castles 2001). 4) Tendensi berekonsiliasi: tendensi pihak pertama untuk berasosiasi dengan pihak kedua, diukur sebagai persentase dari pasangan yang berasosiasi (Chaffin et al. 1995). 5) Aliansi/koalisi: kerjasama dalam agresi oleh dua individu atau lebih dalam menghadapi pihak ketiga (Perry 1996). Koalisi kadang-kadang terjadi pada dua individu yang mengusir atau menunjukkan muka mengancam dengan mulut terbuka terhadap individu ketiga. Secara umum, partner koalisi berada dalam kontak fisik satu sama lain mengancam pihak ketiga. Mereka berdampingan, berangkulan, atau melakukan suatu punjian. Punjian didefinisikan sebagai satu atau lebih individu berdiri di atas kepala yang lain, menatap/mengancam individu lain. Anggukan didefinisikan sebagai seekor monyet memajukan kepalanya ke arah partner koalisi dan kemudian menatap atau mengancam lawan; anggukan merupakan tingkah laku umum yang digunakan untuk merekrut partner. 6) Pada aliansi tipe konservatif: dua individu dominan melawan individu subordinan ( html). 7) Aliansi tipe jembatan: individu dominan bekerja sama dengan individu subordinan melawan individu peringkat menengah ( /bio359/4_26_02.html). 8) Aliansi tipe revolusioner: individu-individu subordinan melawan individu dominan ( html).

41 9) Menelisik: tindakan mengambil kotoran atau lainnya dari rambut dan kulit dengan menggunakan jari atau gigi (Rasmussen 1993). Menelisik merupakan bentuk komunikasi sentuhan yang secara intensif sudah dipelajari karena mempunyai peranan yang menonjol dalam kehidupan harian kebanyakan spesies primata (Collinge 1993). Individu yang menelisik individu lain disebut penelisik, sedangkan individu yang ditelisik (resipien) disebut tertelisik (Chalmer 1980). Penelisikan yang dilakukan sendiri disebut menelisik diri, sedangkan yang dilakukan untuk individu lain disebut menelisik silang (Chalmer 1980). 10) Pendekatan: pergerakan satu individu untuk jarak yang tercapai tangan terhadap individu lain dari berbagai arah (Martin dan Bateson 1999). Individu yang mendekati disebut penuju, sedangkan individu yang didekati disebut tertuju. Pendekatan disebut positif jika salah satu dari diad melakukan kontak tubuh positif (penelisikan, berimpitian, atau kontak non-agonistik lainnya). Pendekatan disebut netral jika diad duduk dalam jangkauan tangan selama 10 detik. Pendekatan disebut negatif jika tertuju menjauh, ancaman gigi oleh salah satu partisipan, dan atau ancaman oleh tertuju. Tanpa pendekatan terjadi jika penuju meninggalkan proksimitas dalam 10 detik dan tidak membuat kontak (Martin dan Bateson 1999). 11) Arah pendekatan: tendensi untuk mendekati individu dominan versus subordinan, ditunjukkan sebagai indeks atas/bawah (Chaffin et al. 1995). 4. Aspek reproduksi 1) Pemilihan pasangan kawin: pola tingkah laku pada satu jenis kelamin yang dapat meningkatkan probabilitas perkawinan fertil dengan individu tertentu pada jenis kelamin yang berbeda (Soltis et al. 1997). 2) Gangguan: gangguan terhadap aktivitas kawin oleh anak dari induk yang sedang kawin (Dixson 1977).

42 MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus (Gambar 4), Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara, dari bulan Januari-Desember Materi dan Alat Materi Penelitian Materi penelitian adalah Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) Kelompok Rambo II (KRII) sebesar 51 ekor dan Kelompok Rambo I (KRI) sebesar 51 ekor di CA Tangkoko-Batuangus. Alat Penelitian Alat untuk penelitian meliputi: binokuler, pita, jam, stop watch, lembar pengamatan, senter, penghitung (counter) tangan, kamera, alat ukur, kompas, dan alat perekam. Metode Penelitian Mengingat besarnya ukuran kelompok dan banyaknya aspek yang diteliti, pengambilan data dibantu oleh seorang staf teknisi dari Balai KSDA Manado, dua orang jagawana Resort KSDA Tangkoko, dan empat orang mahasiswa Universitas Sam Ratulangi. Tingkah laku didasarkan pada pengamatan interaksi antarindividu. Agar monyet tidak terganggu dengan kehadiran peneliti, maka dilakukan habituasi sebelum pengambilan data. Habituasi dilakukan dengan mengikuti kelompok target setiap hari sampai kelompok tersebut tidak terganggu lagi dengan kehadiran peneliti. Habituasi terhadap KRII dilaksanakan pada awal bulan Januari selama tiga hari. Kelompok ini sudah sangat terhabituasi dan sering digunakan dalam penelitian dan sering diikuti turis, sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk menghabituasinya. KRI memerlukan waktu yang lebih lama. Identifikasi kelompok dan habituasi sudah dimulai pada bulan Mei, dan baru setelah enam minggu kelompok ini menjadi terhabituasi dengan peneliti.

43 Prinsip pengamatan interaksi adalah who does what to whom. Dengan demikian langkah berikutnya setelah habituasi, identifikasi setiap individu-target berdasarkan ciri-ciri khasnya dan pemberian nama berdasarkan ciri-ciri khas tersebut, sehingga mudah diingat. Identifikasi jantan dewasa KRII dilakukan pada awal bulan Januari, sedangkan jantan dewasa KRI dilakukan pada bulan Juli. Gambar 4 Peta lokasi penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Di seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

PERBANDINGAN AKTIVITAS HARIAN DUA KELOMPOK MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO-BATUANGUS, SULAWESI UTARA

PERBANDINGAN AKTIVITAS HARIAN DUA KELOMPOK MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO-BATUANGUS, SULAWESI UTARA PERBANDINGAN AKTIVITAS HARIAN DUA KELOMPOK MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO-BATUANGUS, SULAWESI UTARA Deidy Katili 1) dan Saroyo 1) 1) Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Macaca nigra (Gambar 2) adalah salah satu dari tujuh monyet Sulawesi yaitu Dare (M. maura), Yaki (M. nigra), Dihe (M. nigrescens), Dige (M. hecki), Boti (M. tonkeana), Hada (M.

Lebih terperinci

Aktivitas Harian Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara

Aktivitas Harian Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara Aktivitas Harian Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus, Sulawesi Utara Saroyo 1), Sri Supraptini Mansjoer 2), Rudy C. Tarumingkeng 2), Dedy Duryadi Solihin 2) dan Kunio

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Di Seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian utara, Eropa, Rusia bagian tenggara, dan Asia (Nowak, 1999). Dari 20 spesies tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra) merupakan salah satu dari delapan jenis Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di Cagaralam Dua

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. melakukan grooming. Pola perilaku autogrooming tidak terbentuk. dikarenakan infant tidak terlihat melakukan autogrooming.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. melakukan grooming. Pola perilaku autogrooming tidak terbentuk. dikarenakan infant tidak terlihat melakukan autogrooming. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Jumlah Waktu dan Frekuensi Grooming Monyet Ekor Panjang Pelaku pada perilaku grooming monyet ekor panjang adalah Jantan Dewasa (JD), Betina Dewasa (BD),

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS TUMBUHAN PAKAN MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI TAMAN WISATA ALAM (TWA) BATUPUTIH, SULAWESI UTARA

INVENTARISASI JENIS TUMBUHAN PAKAN MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI TAMAN WISATA ALAM (TWA) BATUPUTIH, SULAWESI UTARA INVENTARISASI JENIS TUMBUHAN PAKAN MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI TAMAN WISATA ALAM (TWA) BATUPUTIH, SULAWESI UTARA Pamekas (1), J. S. Tasirin (1), Reynold P. Kainde (1), M. Y. M. A. Sumakud (1)

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN

KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN KAJIAN EKOLOGI, POPULASI DAN KRANIOMETRI BANGE (Macaca tonkeana) DI KABUPATEN MOROWALI SULAWESI TENGAH MOHAMAD IRFAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Jantan Dewasa/Adult (Macaca Maura).

Jantan Dewasa/Adult (Macaca Maura). Jantan Dewasa/Adult (Macaca Maura). Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulau-pulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia,

Lebih terperinci

POTENSI TUMBUHAN PAKAN ALAMI bagi MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) di HUTAN LINDUNG GUNUNG MASARANG

POTENSI TUMBUHAN PAKAN ALAMI bagi MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) di HUTAN LINDUNG GUNUNG MASARANG POTENSI TUMBUHAN PAKAN ALAMI bagi MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) di HUTAN LINDUNG GUNUNG MASARANG Potential Natural Plant Food for Sulawesi Black Monkey (Macaca nigra) in Mount Masarang Forest Preserve

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial 5.1.1 Peta Ketinggian Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-1351 meter dpl dengan tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI TINGKAH ALPHA MALE MONYET HITAM (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO

IDENTIFIKASI TINGKAH ALPHA MALE MONYET HITAM (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO Jurnal Zootek ( Zootek Journal ) Vol. 36 No. 1 : 95 104 (Januari 2016) ISSN 0852-2626 IDENTIFIKASI TINGKAH ALPHA MALE MONYET HITAM (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM TANGKOKO Ryan G. H. Mondoringin*, Rita S.H.Wungow,

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERILAKU KEWASPADAAN MONYET HITAM SULAWESI PULAU BACAN, MALUKU UTARA

PERILAKU KEWASPADAAN MONYET HITAM SULAWESI PULAU BACAN, MALUKU UTARA PERILAKU KEWASPADAAN MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra DESMAREST, 1822) DI HUTAN KONVERSI PULAU BACAN, MALUKU UTARA Ahmad, Zulkifli 1 dan Abdu Mas ud 1 1 Dosen Pada Prodi Pendidikan Biologi Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU HARIAN KUSKUS BERUANG (Ailurops ursinus) DI CAGAR ALAM TANGKOKO BATU ANGUS

TINGKAH LAKU HARIAN KUSKUS BERUANG (Ailurops ursinus) DI CAGAR ALAM TANGKOKO BATU ANGUS TINGKAH LAKU HARIAN KUSKUS BERUANG (Ailurops ursinus) DI CAGAR ALAM TANGKOKO BATU ANGUS Pratiwi A.A. Talumepa*, R. S. H. Wungow, Z. Poli, S. C. Rimbing Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi lutung Jawa Klasifikasi lutung Jawa menurut Groves (2001) dalam Febriyanti (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom Class Ordo Sub ordo Famili Sub famili Genus : Animalia

Lebih terperinci

Evaluasi Tatalaksana Pemeliharaan dan Tingkah Laku Sosial Macaca di Taman Marga Satwa Tandurusa Kecamatan Aertembaga Kota Bitung Sulawesi Utara

Evaluasi Tatalaksana Pemeliharaan dan Tingkah Laku Sosial Macaca di Taman Marga Satwa Tandurusa Kecamatan Aertembaga Kota Bitung Sulawesi Utara JURNAL MIPA UNSRAT ONLINE 2 (2) 88-93 dapat diakses melalui http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmuo Evaluasi Tatalaksana Pemeliharaan dan Tingkah Laku Sosial Macaca di Taman Marga Satwa Tandurusa Kecamatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

GROOMING BEHAVIOUR PATTERN OF LONG-TAILED MACAQUE (Macaca fascicularis, Raffles 1821) IN PALIYAN WILDLIFE SANCTUARY, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

GROOMING BEHAVIOUR PATTERN OF LONG-TAILED MACAQUE (Macaca fascicularis, Raffles 1821) IN PALIYAN WILDLIFE SANCTUARY, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA Pola Perilaku Berselisik... (Moh Galang Eko Wibowo) 11 POLA PERILAKU BERSELISIK (GROOMING BEHAVIOUR) MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis, RAFFLES 1821) DI SUAKA MARGASATWA PALIYAN, GUNUNG KIDUL, YOGYAKARTA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ilmiah Pengklasifikasian primata berdasarkan 3 (tiga) tingkatan taksonomi, yaitu (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 Kabupaten dan 2 Provinsi tentu memiliki potensi wisata alam yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

065 PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Mncncn fascic~lnris) Di BUM1 PERUMAHAN PRAMUKA CIBUBUR, JAKARTA LILA MULYATI

065 PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Mncncn fascic~lnris) Di BUM1 PERUMAHAN PRAMUKA CIBUBUR, JAKARTA LILA MULYATI 2cB8 065 PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Mncncn fascic~lnris) Di BUM1 PERUMAHAN PRAMUKA CIBUBUR, JAKARTA LILA MULYATI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

DAFTAR lsi. Variasi Sekuens Gen Mitokondrial Sitokrom C Oksidase I dari Siput Lola ( Trochus niloticus) Agus Nuryanto dan Dedy Duryadi Solihin

DAFTAR lsi. Variasi Sekuens Gen Mitokondrial Sitokrom C Oksidase I dari Siput Lola ( Trochus niloticus) Agus Nuryanto dan Dedy Duryadi Solihin Volume 23 (1) Januari 2006 ISSN : 0853-1625 MAJALAH ILMIAH BIOLOGI BIOSFERA A SCIENTIFIC JOURNAL Terakreditasi : SK DIRJEN DIKTI NO. 39/DIKTI/Kep/2004 DAFTAR lsi Beberapa Aspek Pertumbuhan Lamun Enha/us

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi 2) Alumni Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi * korespodensi:

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi 2) Alumni Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi * korespodensi: Penentuan Ukuran Kelompok dan Densitas Tangkasi (Tarsius tarsier) di Cagar Alam Tangkoko Batuangus, Kota Bitung, Sulawesi Utara (Group Size and Density Determination of Tankasi (Tarsius tarsier) in The

Lebih terperinci

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus) Lutung (Trachypithecus auratus cristatus) Oleh: Muhammad Faisyal MY, SP PEH Pelaksana Lanjutan Resort Kembang Kuning, SPTN Wilayah II, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Trachypithecus auratus cristatus)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

LAJU DEGRADASI HABITAT MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM GUNUNG DUASUDARA SULAWESI UTARA

LAJU DEGRADASI HABITAT MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM GUNUNG DUASUDARA SULAWESI UTARA LAJU DEGRADASI HABITAT MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM GUNUNG DUASUDARA SULAWESI UTARA Hanry J. Lengkong 1) 1)Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado 95115 e-mail:

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

ESTIMASI KEPADATAN KUSKUS BERUANG (Ailurops ursinus) DI CAGAR ALAM TANGKOKO BATUANGUS KOTA BITUNG

ESTIMASI KEPADATAN KUSKUS BERUANG (Ailurops ursinus) DI CAGAR ALAM TANGKOKO BATUANGUS KOTA BITUNG ESTIMASI KEPADATAN KUSKUS BERUANG (Ailurops ursinus) DI CAGAR ALAM TANGKOKO BATUANGUS KOTA BITUNG Fandy M. Wowor, H. J. Kiroh, V. Rawung, R. H. Wungow* Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Monyet ekor panjang memiliki klasifikasi ilmiah seperti yang dipaparkan oleh Napier dan Napier (1985) sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) 2.1.1. Klasifikasi Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut (Napier dan Napier, 1967): Filum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Macaca fascicularis Raffles merupakan salah satu jenis primata dari famili Cercopithecidae yang dikenal dengan nama monyet atau monyet ekor panjang (long tailed macaque)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

Pemetaan Distribusi dan Densitas Monyet Hitam Sulawesi (Macaca Nigra) di Sulawesi Utara

Pemetaan Distribusi dan Densitas Monyet Hitam Sulawesi (Macaca Nigra) di Sulawesi Utara Saroyo dan Koneri, Pemetaan, Densitas dan Distribusi Monyet Hitam :133-139 133 Pemetaan Distribusi dan Densitas Monyet Hitam Sulawesi (Macaca Nigra) di Sulawesi Utara Saroyo dan Roni Koneri Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paliyan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada kecamatan Paliyan, terdapat Suaka Margasatwa. Suaka Margasatwa

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN (THE SIZE OF LONG-TAILED MACAQUE GROUP (Macaca fascicularis)

Lebih terperinci

Strategi Adaptasi Macaca nigra (Desmarest, 1822) Melalui Perilaku Makan di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta

Strategi Adaptasi Macaca nigra (Desmarest, 1822) Melalui Perilaku Makan di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Strategi Adaptasi Macaca nigra (Desmarest, 1822) Melalui Perilaku Makan di Pusat Primata Schmutzer, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Luthfiralda Sjahfirdi 1 & Yuan A. Arbinery 1 1. Departemen Biologi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur (DAILY ACTIVITY OF BEKANTAN (Nasalis larvatus) IN MUARA KAMAN SEDULANG CONSERVATION AREA, EAST KALIMANTAN)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

" Fakultas Kedokternn Hewtln IPB, Bogor

 Fakultas Kedokternn Hewtln IPB, Bogor Media Konservasi Vol. V No. (I), April 1996 : 35-39 PEMBENTUKAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) YANG DIINTRODUKSI KE PULAU TINJIL, JAWA BARAT (Group Formation of the Long-Tailed Macaques

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

PERILAKU ANAK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, TAMAN MARGASATWA RAGUNAN DAN TAMAN SAFARI INDONESIA

PERILAKU ANAK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, TAMAN MARGASATWA RAGUNAN DAN TAMAN SAFARI INDONESIA 1 PERILAKU ANAK ORANGUTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, TAMAN MARGASATWA RAGUNAN DAN TAMAN SAFARI INDONESIA IDAM RAGIL WIDIANTO ATMOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ.

Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES. Upaya konservasi. In-situ. Anoa (Bubalus sp.) Fauna endemik sulawesi Populasi menurun Status endangered species IUCN Appendix I CITES Upaya konservasi In-situ Ex-situ PENANGKARAN PERJALANAN 2015 ANOA BREEDING CENTER 2009 EKOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM Edy Hendras Wahyono Penerbitan ini didukung oleh : 2 MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI ACEH Naskah oleh : Edy Hendras Wahyono Illustrasi : Ishak

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi 2.1.1 Taksonomi Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus : Animalia :

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara

Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara BAB I PENDAHULUAN 2 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara BAB I PENDAHULUAN A. Sekilas Sulawesi Utara Pulau Sulawesi dan kepulauan disekitarnya telah lama dikenal dan merupakan tempat yang melegenda,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

Burung Kakaktua. Kakatua

Burung Kakaktua. Kakatua Burung Kakaktua Kakatua Kakak tua putih Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Aves Ordo: Psittaciformes Famili: Cacatuidae G.R. Gray, 1840 Subfamily Microglossinae Calyptorhynchinae

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah

Lebih terperinci

KEBUTUHAN NUTRISI ANOA (Bubalus spp.) [The Nutritional Requirement of Anoa (Bubalus spp.)]

KEBUTUHAN NUTRISI ANOA (Bubalus spp.) [The Nutritional Requirement of Anoa (Bubalus spp.)] Media Konservasi Vol. VII, No. 2, Juni 2001 : 75-80 KEBUTUHAN NUTRISI ANOA (Bubalus spp.) [The Nutritional Requirement of Anoa (Bubalus spp.)] ABDUL HARIS MUSTARI DAN BURHANUDDIN MASY'UD Staf Pengajar

Lebih terperinci

HUBUNGAN DINAMIKA KELOMPOK TANI DENGAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA BUDIDAYA IKAN GURAMI

HUBUNGAN DINAMIKA KELOMPOK TANI DENGAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA BUDIDAYA IKAN GURAMI HUBUNGAN DINAMIKA KELOMPOK TANI DENGAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHA BUDIDAYA IKAN GURAMI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Menyelesaikan Program Sarjana pada Program Studi Sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT SKRIPSI TANTAN KERTANUGRAHA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci