BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Latar Candi Sukuh dan Candi Cetho. 1. Candi Sukuh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Deskripsi Latar Candi Sukuh dan Candi Cetho. 1. Candi Sukuh"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Latar Candi Sukuh dan Candi Cetho 1. Candi Sukuh a. Letak Candi Sukuh Candi Sukuh berada 38 kilometer arah Timur dari kota Surakarta, tepatnya terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Candi Sukuh berada di lereng Barat Gunung Lawu tepatnya pada elevasi 1186 di atas permukaan laut. Secara astronomis Candi Sukuh berada pada ,38 85 Lintang Selatan dan ,52 65 Bujur Timur. Kondisi batas lingkungan di sebelah Barat merupakan pemukiman penduduk, sebelah Timur kawasan hutan lindung Perhutani, sebelah Utara tebing atau lereng yang digunakan untuk lahan pertanian, merupakan lahan kas Desa Berjo, dan di sebelah Selatan berupa kawasan pemukiman penduduk. Daerah ini berupa perbukitan dengan suhu udara rata-rata 25 0 C. Curah hujan di kawasan Candi Sukuh cukup tinggi yaitu ratarata 88 mm perhari (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 1). Kompleks Candi Sukuh ini terletak di lereng Barat Gunung Lawu, tepatnya di sebuah bukit yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Bukit Sukuh. Bukit Sukuh ini dikelilingi oleh dua bukit yaitu Bukit Pringgondani dan Bukit Tambak (Joko Priyanto, 1991: 13). Candi Sukuh dapat dicapai dengan kendaraan bermotor yang jaraknya hanya 12 kilometer di sebelah Timur Karangpandan. Sarana angkutan umum untuk mencapai lokasi ini dengan menggunakan colt yang setiap saat lewat jalur Karangpandan ke Sukuh.

2 45 b. Seni Bangunan dan Relief Candi Sukuh Candi Sukuh ditemukan oleh Johnson, seorang Residen Surakarta pada tahun 1815 pada masa pemerintahan Raffles (Riboet Darmosoetopo, 1975: 33). Candi Sukuh mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang berbeda dengan bentuk dan susunan bangunan candi-candi lain di Jawa Tengah, bahkan dapat dikatakan mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang spesifik di Indonesia. Secara keseluruhan kompleks Candi Sukuh ini merupakan bangunan berteras yang membujur dari arah Timur ke Barat dengan pintu masuk berada di sebelah Barat. Susunan bangunan semacam ini mengingatkan kepada susunan bangunan dari zaman Prasejarah, khususnya dari zaman Megalithikum yang disebut dengan bangunan punden berundak (Riboet Darmosoetopo, 1975: 34). Orang-orang yang sering berkunjung ke situs-situs purbakala akan segera menangkap kesan sederhana pada arsitektur maupun relief-relief pada Candi Sukuh. Bentuk bangunan Candi Sukuh mirip dengan peninggalan budaya Maya di Mexico atau situs-situs sejenis di Peru, Amerika Selatan (Suwarno Asmadi, 2004: 8). Bahkan bilamana berdiri di depan candi induk bentuknya mirip dengan bentuk piramida terpotong sebagaimana yang banyak dijumpai di Mesir. Kesan sederhana pada Candi Sukuh ini menurut Stutterheim dalam Suwarno Asmadi (2004: 8), ada tiga argumen yang mendasari, pertama, si pemahat Candi Sukuh mungkin seorang ahli pemahat kayu (bukan ahli pemahat batu sebagaimana di candi-candi lainnya) yang berasal dari pedesaan dan bukan para empu istana. Kedua, adanya kebutuhan yang mendesak untuk tempat pemujaan sehingga dilakukan dengan agak tergesa-gesa, dan ketiga, karena situasi politik, ekonomi dan perdagangan menjelang keruntuhan Majapahit tidak memungkinkan membangun candi yang besar dan monumental. Candi Sukuh menghadap ke arah Barat dan mempunyai tiga bidang halaman (loka), seperti tata letak candi-candi di Jawa Timur, berderet ke belakang, makin ke

3 46 belakang makin tinggi dengan prinsip halaman yang paling suci terletak paling belakang (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 7). Kondisi bangunan saat ini terdiri dari tiga buah teras atau halaman dan masing-masing mempunyai gapura dan tangga masuk. Teras pertama adalah teras yang paling rendah, diikuti oleh teras kedua dan ketiga yang letaknya makin tinggi dengan masing-masing teras dihubungkan oleh anak tangga dan gapura yang berfungsi sebagai pintu masuk teras (Observasi, 5 Februari 2006). Teras I Sebelum memasuki halaman teras pertama, terlebih dahulu harus mendaki tangga masuk dalam bentuk gapura. Gapura pertama merupakan gapura terbesar dengan ukuran tinggi 8 m dan lebar kaki 12 m. Gapura ini mempunyai bentuk arsitektur yang khas, yaitu dinding disusun tidak tegak lurus, akan tetapi agak miring sehingga sepintas lalu mengingatkan pada bentuk trapesium dengan atap di atasnya (Observasi, 5 Februari 2006). Bentuk semacam inilah yang dapat dianggap mempunyai kesamaan dengan bentuk pylon (pintu masuk bangunan suci) di Mesir dan seni bangunan di Meksiko (Riboet Darmosoetopo, 1975: 36). Gapura pada teras I ini mempunyai 14 anak tangga yang disusun makin ke atas menuju sebuah lorong gapura yang lebarnya 1 m. Di kanan-kiri anak tangga terdapat dinding tangga dengan bagian bawah lebih menjorok ke depan, sehingga menyerupai sayap tangga. Di atas gapura terdapat hiasan berupa ular, dimana kepala ular dengan tubuh ular saling berlilitan yang menjadi batas pinggiran ketiga sisi atap pintu. Hiasan ular ini berlubang pada bagian tengah, dan oleh Stutterheim diperkirakan sebagai saluran air yang dipergunakan untuk mengalirkan air suci pada waktu upacara keagamaan (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 8). Pada gapura pertama ini terdapat beberapa relief, yaitu : 1. Relief yang menggambarkan seseorang dimakan raksasa. Relief ini dipahatkan pada dinding depan sebelah utara dan yang diperkirakan mempunyai arti sengkalan, yang berbunyi: Gapura buta aban wong = 1359

4 47 Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 36). Selain itu juga terdapat hiasan berupa sepasang burung sedang hinggap pada sebatang pohon, di bawahnya digambarkan seekor binatang anjing (Observasi, 5 Februari 2006). 2. Pada dinding depan sebelah selatan terdapat relief seorang tokoh laki-laki sedang lari dan menggigit ekor ular. Di atasnya terdapat hiasan makhluk sedang melayang-layang dan paling atas terdapat hiasan seekor binatang melata. Relief ini dibaca juga sebagai sengkalan yang berbunyi: Gapura buta nahut buntut = 1359 Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 37). 3. Baik pada dinding Utara maupun Selatan gapura ini terdapat juga relief seekor garuda dengan sayap terbuka sedang mencengkeram dua ekor ular. Relief ini tentunya berhubungan juga dengan relief-relief yang terdapat pada teras yang lain, yang menggambarkan cerita Garudeya. 4. Salah satu relief yang cukup menarik ialah yang dipahatkan pada lantai pintu masuk gerbang pertama. Relief ini berupa gambar phallus (kemaluan lakilaki) dihadapkan pada vagina (kemaluan wanita) yang berbentuk segitiga dan dihiasi dengan semacam karangan bunga. Oleh para sarjana relief tersebut dianggap sebagai lambang kesuburan (Riboet Darmosoetopo, 1975: 37). Teras II Kurang lebih 25 m dari gapura pertama ke Timur sampailah pada gapura masuk teras kedua. Seperti halnya teras pertama, pada teras kedua mempunyai gapura yang sudah dalam keadaan rusak dan sudah tidak beratap lagi. Ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan gapura pertama. Kalau gapura pertama mempunyai panjang lorong 2,10 m dan lebar 1 m serta tinggi sampai langit-langit atap 2,35 m, maka

5 48 panjang lorong gapura kedua 1,30 m dan lebar 60 cm dengan sembilan anak tangga (Observasi, 5 Februari 2006). Berbeda dengan teras pertama yang berbentuk persegi panjang, halaman teras kedua ini sebagian halamannya ada yang menjorok ke dalam (halaman di sebelah Selatan), sehingga halaman ini bentuknya seperti huruf L. Pada halaman kedua ini terdapat beberapa peninggalan yang berupa: 1. Sepasang arca penjaga pintu yang terletak di depan gerbang ketiga. Penggambaran arca ini kelihatan sangat kasar dan kaku, sehingga memberi kesan pada arca-arca dari zaman prasejarah. Arca ini digambarkan dalam ekspresi wajah yang mengerikan, mata melotot, gigi bertaring dan memegang gada atau tongkat. 2. Pada bagian halaman yang menjorok ke dalam terdapat sebuah pondasi bangunan yang membujur arah Barat-Timur, dan di dekatnya (di sebelah Utara pondasi) terdapat semacam dinding bangunan dengan pahatan-pahatan relief. Relief-relief tersebut ialah: a. Relief paling kanan (Selatan) menggambarkan seorang wanita berdiri menghadapi ubunan (peniup api pada pandai besi). b. Di sebelah Utaranya terdapat relief yang menggambarkan seorang pendeta berkepala gajah (Ganesa), tangannya menangkap ekor binatang anjing. Relief ini ada yang menganggap mempunyai nilai sengkalan yang berbunyi Gajah wiku anahut buntut = 1378 Saka atau 1456 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 40). c. Relief yang dipahatkan pada dinding paling Utara menggambarkan seorang laki-laki duduk jongkok dan kedua kaki terbuka sedang di dekatnya terdapat beberapa macam senjata seperti tombak, keris, pisau. Relief ini menggambarkan seorang pandai besi.

6 49 d. Sebagai latar belakang relief tersebut terdapat gambaran sebuah rumah pendapa yang besar. Teras III Untuk memasuki teras ke III, juga melewati gapura III yang kondisinya tidak utuh lagi dan sudah tidak beratap. Gapura ketiga ini mempunyai panjang lorong 1,53 m dan lebar 1 m. Teras ketiga ini merupakan teras yang terletak paling atas dan paling belakang. Teras ketiga merupakan halaman yang paling suci, karena di dalamnya terdapat bangunan candi. Pada pintu masuk halaman terdapat sebuah jalan yang terbuat dari batu dan ditata seperti lantai sepanjang kurang lebih 12 m. Lantai batu ini membujur ke arah Barat dan membagi halaman menjadi dua yaitu halaman sebelah Utara dan Selatan. Pada teras ketiga ini terdapat beberapa bangunan, termasuk bangunan induk, patung-patung, batu-batu candi dan relief-relief. 1. Halaman sebelah Utara. Pada halaman ini terdapat beberapa peninggalan yang berupa : a. Deretan batu-batu berelief, yaitu : (1) Relief binatang yang menyerupai badak yang bersurai pada punggungnya, bertaring, bertanduk dan berkalung genta. (2) Relief binatang gajah dengan belalai di atas kepala, memakai pelana dan berkalung genta.

7 50 (3) Beberapa relief yang merupakan adegan-adegan cerita Sudhamala, yaitu : Relief pertama : Seorang tokoh wanita dihadap oleh tokoh laki-laki yang diapit oleh dua punakawan. Relief ini menggambarkan adegan pada waktu dewi Kunti minta kepada Sahadewa agar mau meruwat dewi Durga yang dikutuk dewa Siwa. Relief kedua : Seorang tokoh laki-laki tinggi besar yang diiringkan oleh pengawalnya dengan membawa senjata dan perisai. Tokoh ini digambarkan sedang mengangkat raksasa dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan memegang senjata yang ditusukkan pada pinggang raksasa tersebut. Di atasnya terdapat prasati yang berangka tahun 1371 Saka. Relief ini menggambarkan suatu adegan pada waktu Bhima diiringkan Punakawan sedang berperang melawan raksas Kalantaka. Diceritakan bahwa pada waktu itu sedang terjadi perang antara Pandawa dan Kurawa. Di dalam peperangan itu Kurawa dibantu oleh raksasa Kalantaka dan Kalanjaya sehingga berhasil mengalahkan Pandawa. Baru setelah Sahadewa dan Nakula kembali dari Prangalas, kedua raksasa tersebut dapat dikalahkannya, yang berarti lepas dari kutuk dewa. Relief ketiga :

8 51 Seorang tokoh laki-laki berbadan kecil diikat pada sebatang pohon dan ditunggui oleh tokoh wanita dalam bentuk raksasa yang membawa pedang panjang. Relief ini menggambarkan adegan pada waktu Sahadewa diikat pada sebatang pohon karena menolak permintaan dewi Durga untuk meruwatnya. Nampak pada adegan tersebut para Punakawan sedang menunggui Sahadewa. Relief keempat : Seorang tokoh yang sama dengan relief ketiga berhadapan dengan seorang tokoh berpakaian pertapa, di depannya berdiri seorang wanita. Relief ini menggambarkan pada waktu Sahadewa akan dikawinkan dengan putri Padapa, anak Tambakpetra, seorang pertapa dari Prangalas sebagai hadiah karena telah meruwat dewi Durga. Pada relief ini juga digambarkan adanya tokoh-tokoh Punakawan yang mengikuti Sahadewa. Relief kelima : Seorang tokoh putri (dewi) berdiri di atas padmasena yang dihadap oleh tokoh lain. Relief ini menggambarkan adegan pada waktu dewi Durga setelah berhasil diruwat, dihadap dengan sembah oleh Sahadewa dan Punakawannya. b. Suatu soubasement setinggi 85 cm, panjang 11,60 m dan lebar 7,80 m. Di atas soubasement ini terdapat ornamen tapal kuda dan relief seekor garuda terbang dengan dua kakinya mencengkeram seekor gajah dan kura-kura. Relief ini menggambarkan suatu cerita pada waktu garuda mencari air amerta dengan ditemani seekor gajah dan kura-kura. Gajah dan kura-kura tersebut tidak lain adalah penjelmaan dari Supratika dan Wibhawasu.

9 52 Ornamen tapal kuda : Ornamen yang berbentuk tapal kuda ini bagian atas terdapat hiasan kepala kala dengan janggut panjang. Di kanan-kiri kala terdapat hiasan yang bentuknya seperti makara yang menjulur ke bawah. Di dalam ornamen terdapat hiasan dua tokoh yang berdiri berhadapan, di atas seekor naga yang berkepala dua. Tokoh yang di kiri digambarkan bertangan empat, dengan pakaian kebesaran dan bermahkota, berdiri di atas alas atau lapik yang berbentuk seperti perahu, diatas kepala naga. N.J.Krom berpendapat tokoh ini adalah dewa Siwa, sedang tokoh di depannya adalah Arjuna. Stutterheim mengatakan bahwa kedua tokoh tersebut adalah Betara Guru dan Bhima (Riboet Darmosoetopo, 1975: 51). Di bawah hiasan dua tokoh yang berdiri berhadapan tersebut terdapat hiasan seorang wanita dengan anak kecil dan di dekatnya terdapat hiasan rumah panggung. Di bawahnya lagi terdapat gambar dua tokoh yang tengah tarik-menarik seakan saling memperebutkan bayi. Gambaran relief tersebut nampaknya menceritakan tentang asal-usul manusia yang diawali dari terjadinya embrio dalam rahim perempuan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan ajaran mengenai dari mana manusia berasal dan kemana kelak manusia akan pergi setelah mati. Di masyarakat Jawa ajaran ini dinamakan Sangkan paranaing dumadi (Sangkan = asal, Paran = tujuan, Dumadi = ciptaan). Mengenai relief tokoh yang sedang memperebutkan bayi ini mengandung pengertian bahwa sejak embrio, calon manusia yang tinggal dalam rahim atau rumah memperoleh perawatan atau pemeliharaan fisik dari sang ibu, setelah lahir dan tumbuh dewasa, embrio ini akan menjadi

10 53 manusia dewasa. Kelak manusia ini akan di bawah pengaruh atau tarik menarik antara karma baik (subakarma) dan karma buruk (asubakarma), manusia sendirilah yang akan menentukan pilihannya dan tidak lagi berada di bawah pengaruh sang ibu. Sementara tujuan kehidupan atau kemana manusia pergi setelah mati dilukiskan dengan bersatunya roh atau dewa (Suwarno Asmadi, 2004: 21). Ornamen tapal kuda ini menggambarkan betapa tingginya intelektual dan jiwa seni mereka yang hidup pada masa abad ke 15 (Karanganyar Tenteram, 9 September 2003: 24). 2. Halaman sebelah Selatan Di halaman ini antara lain terdapat peninggalan-peninggalan berupa : a. Sebuah soubasement dengan ukuran panjang 5,62 m dan lebar 4,75 m serta tinggi 1 m. Berbeda dengan soubasement yang terdapat di halaman sebelah Utara, di sisi Barat soubasement ini terdapat sebuah tangga masuk selebar 44 cm menuju ke lantai soubasement. b. Di sebelah Timur soubasement, di atas permukaan tanah terdapat sebuah arca berdiri dengan tangan kiri memegang kemaluan dan tangan kanan memegang gada. c. Di sebelah Barat Daya soubasement, di atas permukaan tanah, terdapat tugu batu dengan relief berupa tumbuh-tumbuhan, seorang tokoh lakilaki dan seorang perempuan. d. Di sebelah Utara soubasement, terdapat arca dengan tangan kiri memegang kemaluan dan tangan kanan memegang senjata. e. Di Utara agak kedepan dari soubasement, terdapat suatu bangunan candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran lebar 2,40 m.

11 54 Candi ini mempunyai sebuah relung kecil di bagian depannya, seolaholah merupakan bilik candi. Di dalam bilik ini terdapat sebuah arca yang menurut kepercayaan setempat adalah arca kyai Sukuh yang menguasai candi ini (Wawancara dengan Pak Kemis, 1 Mei 2006). f. Di depan pintu masuk bangunan induk, terdapat tiga buah arca kura-kura yang sangat besar menghadap ke Barat. Dua kura-kura terletak tepat di depan pintu masuk, sedang kura-kura lainnya terdapat agak ke kiri. g. Di bawah sebatang pohon kelengkeng, terdapat dua buah arca garuda yang sudah rusak. Pada kedua arca garuda ini terdapat prasasti salah satunya berangka tahun 1361 Saka = 1441 Masehi. 3. Bangunan Induk Bangunan induk Candi Sukuh terletak pada teras ketiga pada ujung jalan masuk dari teras pertama sampai teras ketiga. Candi induk sebagai bangunan utama berada di bagian paling belakang dan menghadap ke arah Barat dengan ukuran 15 m x 15 m. Melihat bentuk bangunannya, candi ini mirip sekali dengan bentuk bangunan di Mesir dan bentuk bangunan di Meksiko, yaitu berbentuk piramid terpancung. Di bagian atas bangunan terdapat bangunan altar, dan untuk naik ke atas candi melewati tangga yang tegak dan panjang. Sesuai dengan arah kompleks candinya, bangunan ini mempunyai tangga masuk di sebelah Barat. Tangga masuk sangat tinggi, mempunyai sayap tangga dan di atasnya terdapat atap pintu. Pada keempat sudut atap pintunya terdapat hiasan ular (kepala ular) dengan tubuh ularnya saling berlilitan yang menjadi batas pinggiran ketiga sisi atap pintu. Hiasan ular ini

12 55 dibagian tengahnya berlubang, yang oleh Stutterheim diperkirakan sebagai saluran air yang dipergunakan untuk mengalirkan air suci pada waktu upacara keagamaan (Riboet Darmosoetopo, 1975: 58). Candi yang berbentuk piramid terpotong ini menggambarkan ketidaksempurnaan manusia. Manusia memang hebat, tapi terbatas, karenanya manusia tidak boleh sombong. Orang bisa saja mencapai langit, bisa saja memiliki cita-cita tinggi, tetapi kenyataannya semua serba terbatas (Karanganyar Tenteram, 9 September 2003: 24). Candi Sukuh, seperti yang telah dijelaskan di depan, relief-reliefnya merupakan gambaran dari cerita Sudhamala dan Garudeya. Adapun cerita Sudhamala dan cerita Garudeya yang terdapat di Candi Sukuh adalah sebagai berikut : Cerita Sudhamala Nama Sudhamala sebenarnya merupakan sebutan bagi salah satu tokoh Pandawa yang kelima, yang bernama Sahadewa. Menurut asal katanya Cuddhamala berarti bersih dari noda dosa. Nama ini diberikan kepada Sahadewa karena dia telah berhasil membersihkan (menghilangkan) noda dosa dewi Durga dari kutuk dewa Ciwa (Batara Guru). Kata cuddha-mala dapat juga diartikan pelepasan yang di dalam pewayangan disebut ruwat. Dengan kata lain, nama Sudhamala diberikan kepada Sahadewa setelah berhasil meruwat dewi Durga (Dewi Parwati). Dewi Durga adalah isteri dewa Ciwa. Karena ia elor ing lakine atau berbuat serong terhadap suaminya, maka ia kemudian dikutuk menjadi raksesi dan harus turun ke dunia. Dewi Durga ini dapat lepas dari kutuk suaminya bila telah diruwat oleh Sahadewa. Oleh karena itu raksesi tersebut kemudian datang kepada Kunti untuk minta tolong kepada Sahadewa agar mau meruwatnya. Permintaan itu pada mulanya ditolak oleh dewi Kunti, akan tetapi setelah dewi Durga mengutus Kalika untuk merasuk ke dalam jasad Kunti, akhirnya Kunti menerimanya. Kunti kemudian minta

13 56 kepada Sahadewa, tetapi Sahadewa menolaknya. Sebagai akibatnya Sahadewa kemudian diikat pada sebatang pohon dan ditakut-takuti akan dibunuh dengan pedang Durga. Akhirnya atas pertolongan dewa, Sahadewa dapat meruwat dewi Durga. Sejak saat itulah Sahadewa disebut Sudhamala, yang berarti orang yang telah berhasil meruwat (membebaskan seseorang dari dosa). Sebagai hadiahnya Sahadewa kemudian dikawinkan dengan dewi Padapa, putri Tambapatra, seorang pertapa dari Prangalas. Sepulangnya dari Prangalas, di tengah jalan Sahadewa dengan Nakula bertemu dengan raksasa Kalantaka dan Kalanjaya. Kalantaka dan Kalanjaya adalah dua bidadara yang dikutuk dewa Ciwa karena telah mengintip pada waktu dewa Ciwa mandi. Akibat kutukan itu, bidadara kemudian menjadi raksasa dan turun ke dunia. Dua raksasa itu akhirnya dapat diruwat oleh Nakula dan Sahadewa (Suwarno Asmadi, 2004: 24). Cerita Garudeya Cerita Garudeya ini berkisah tentang Kadru dan Winata. Kadru dan Winata ini adalah istri dari Resi Kasyapa. Kadru mempunyai anak seratus naga sedangkan Winata mempunyai dua anak yaitu Garudeya dan Aruna. Suatu hari Kadru dan Winata ini bertaruh tentang warna ekor kuda Ucchairawa, dan barang siapa yang kalah harus mengabdikan diri pada yang lain. Dewi Winata meyakini bahwa kuda Ucchairawa berwarna putih mulus, sementara dewi Kadru meyakini bahwa kuda itu berwarna putih namun ekornya berwarna hitam. Sebelum melihat kuda itu dewi Kadru bertemu dengan anak-anaknya dan menceritakan pertaruhan itu. Alangkah kagetnya dewi Kadru ketika anak-anaknya mengatakan bahwa memang benar warna kuda itu putih mulus. Akhirnya dewi Kadru menyuruh anak-anaknya yang berupa naga itu agar menyiram ekor kuda itu dengan bisanya yang beracun agar berwarna hitam, dengan demikian ia bisa terhindar dari status budak dewi Winata. Pertaruhan ini kemudian dimenangkan oleh dewi Kadru secara curang. Akibat kekalahan ini dewi Winata menjadi budak dewi Kadru. Namun kemudian dewi Winata dapat

14 57 dibebaskan dari perbudakan itu oleh anaknya yang bernama Garudeya. Sang Garudeya membebaskan ibunya dari penderitaan sebagai budak dengan cara mencari air amerta dengan membawa gajah dan kura-kura yang merupakan penjelmaan dari Supratika dan Wibhawasu. Karena jasanya, maka Garudeya kemudian diangkat menjadi kendaraan Wisnu dan berhak memakan naga-naga (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, 2003: 11). 2. Candi Cetho a. Letak Candi Cetho Candi Cetho terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, di sebelah Timur kota Surakarta berjarak kurang lebih 25 km. Candi ini terletak pada daerah lereng Barat Gunung Lawu dengan ketinggian 1470 meter di atas permukaan laut dan secara geografis terletak pada koordinat Lintang Selatan dan Bujur Timur. Luas situs ini kurang lebih m 2 (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, 2001: 3). Di daerah sekitarnya (di sebelah Barat Daya Candi Cetho) terdapat situs purbakala lainnya seperti Candi Sukuh dan Planggatan. Di sebelah Barat Candi Cetho berbatasan dengan lingkungan pemukiman penduduk, sebelah Timur dan Utara berbatasan dengan hutan pinus, dan sebelah Selatan terdapat perladangan. Untuk mencapai situs ini melewati jalan desa yang menanjak dan beraspal sampai di ujung Timur jalan desa tersebut. b. Seni Bangunan dan Relief Candi Cetho Seperti halnya Candi Sukuh, Candi Cetho ini terletak di lereng Barat Gunung Lawu. Candi Cetho mempunyai bentuk dan susunan bangunan yang menyerupai bangunan Candi Sukuh, yaitu dibangun dalam bentuk teras-teras bersusun, yang semakin ke belakang semakin ke atas. Jumlah teras ada 13 buah. Teras-teras ini

15 58 disusun berderet dari arah Barat ke Timur dengan pintu masuk di sebelah Barat, makin ke belakang makin tinggi terasnya dan teras tertinggi (paling belakang) merupakan teras yang terpenting dan dianggap paling suci. Antara teras yang satu dengan teras yang lain dihubungkan oleh pintu masuk teras. Masing-masing halaman teras seolah-olah dipisahkan menjadi dua (kiri dan kanan) oleh jalan dari teras pertama menuju teras terakhir. Jalan masuk antar teras dilapisi dengan susunan batuan terutama pada anak tangga dan ambang pintu masuk. Sedangkan jalan yang membelah setiap teras hanya berupa jalan tanah kecuali di teras-teras atas yang seluruh permukaan halaman dilapisi susunan batuan. Teras I Teras ini terletak paling bawah dan paling Barat dari kompleks Candi Cetho. Sebelum sampai ke halaman teras, terlebih dahulu harus naik tangga masuk yang cukup tinggi dengan jumlah anak tangga 35 buah. Pada halaman teras, baik halaman sebelah kanan maupun sebelah kiri jalan masuk, sekarang tidak ditemukan peninggalan apa-apa lagi. Halaman di kiri-kanan jalan tersebut ditanami rumputrumputan. Di tengah jalan yang membelah halaman, terdapat 3 buah arca dan batu umpak. Arca tersebut susunannya sudah tidak teratur, ada yang mengarah ke depan, membelakangi arca serta berada di samping kedua arca mengarah agak serong ke depan. Teras II Seperti halnya teras pertama, teras kedua ini hanya mempunyai tangga masuk tanpa gapura. Anak tangga pintu masuk teras II berjumlah 24 buah. Halaman teras juga terbagi menjadi dua oleh jalan, di tengahnya terdapat sebuah arca menghadap ke depan dalam posisi duduk kaki kiri dilipat ke belakang dan kaki kanan jongkok,

16 59 kedua tangan bertemu di perut dan kedua ibu jari mengarah ke atas dan jari lainnya menggenggam. Teras III Teras ini seolah-olah bukan merupakan teras tersendiri, karena selain halaman terasnya tidak luas, teras ini kelihatannya menjadi satu dengan teras berikutnya (teras IV). Pada teras ini terdapat tangga masuk tanpa gapura. Anak tangga pintu masuk tidak tinggi, hanya 7 buah. Di halaman teras ini tidak ditemukan peninggalan apa-apa lagi. Teras IV Untuk memasuki teras ini melewati 23 anak tangga, dan terdapat gapura bentar model Bali yang mengapit pintu masuk teras IV. Pada teras ini juga tidak terdapat benda-benda peninggalan. Teras V Ketinggian permukaan halaman teras V ini hampir sama (sejajar) dengan teras IV karena untuk memasukinya hanya melewati 4 buah anak tangga. Di kiri dan kanan pintu masuk masih terlihat bekas-bekas gapura. Di depan kanan pintu terdapat sebuah umpak batu, kemungkinan gapura tersebut dahulu dipayungi oleh bangunan yang bertiang kayu dan mempunyai atap. Di belakang gapura, sebelah kanan terdapat arca yang menghadap ke belakang, dengan posisi berdiri di atas lapik, tangan kanan mengepal diletakkan di depan perut dan ibu jari mengarah ke atas, tangan kiri menjulur ke bawah, kuku tangan panjang.

17 60 Teras VI Antara teras V dan VI hanya dibatasi oleh 2 susun batuan yang sama sekali tidak tinggi. Teras ini tidak mempunyai gapura pintu masuk. Di halaman sebelah kiri teras VI di bawah bangunan bertiang kayu dan beratap ijuk terdapat bentukan semacam altar berdiri di atas pondasi berdenah bujur sangkar. Altar itu berbentuk seperti candi namun bagian atap terpotong (tidak ada kemuncak), yang terdiri dari susunan batu (pelipit) yang pada bagian tengah tubuhnya menyempit. Pada keempat sudut bagian atas terdapat pahatan berbentuk burung garuda. Lantai altar tersebut masih berupa tanah dan di atasnya berdiri 15 tiang kayu yang mengelilingi pondasi latar dan menyangga atap tumpang 2 tingkat. Untuk memasuki lantai pondasi altar melewati 2 tingkat susunan batu yang berbentuk kurakura. Pondasi altar berada di tengah batur berbentuk seperti piramida yang terpancung bagian atasnya. Pada bagian batur tersebut tidak terdapat gapura dan anak tangga untuk memasuki altar ini terdiri dari 7 tingkat. Di depan anak tangga tersusun batuan yang dipakai sebagai jalan masuk. Penduduk setempat menamakan altar ini Kyai Krincing Wesi, dan sampai sekarang masih dikeramatkan serta dipakai oleh penduduk sekitarnya sebagai tempat pemujaan (Wawancara dengan Bp. Patmo, 1 Mei 2006). Di belakang halaman teras ini, di kanan bawah gapura pintu masuk teras VII terdapat sebuah arca yang menghadap ke depan dengan posisi setengah duduk, kaki kanan ditekuk ke atas dan kaki kiri ditekuk ke bawah di atas lapik, tangan kanan mengepal diletakkan di depan perut, tangan kiri menjulur ke bawah, kepala sudah hilang.

18 61 Teras VII Teras ini merupakan teras yang paling menarik karena terdapat banyak peninggalan baik berupa gapura, arca maupun bentukan tatanan batu dan prasasti. Teras ini mempunyai pintu masuk berupa gapura bentar dengan dinding di kirikanannya setinggi 3,5 m dari bagian terbawah susunan anak tangga II. Pintu masuk ini mempunyai 2 bagian susunan anak tangga. Susunan terbawah (I) mempunyai 6 anak tangga, susunan anak tangga II berada tepat di bawah gapura terdiri dari 7 anak tangga. Terdapat 8 buah arca di teras ini yang terletak di belakang gapura VII, di depan gapura teras VIII dan di belakang fitur. Terdapat juga alas kaki tangga berbentuk kura-kura di bawah gapura masuk teras VIII. Di tengah halaman, berurutan dari depan ke belakang, terdapat fitur yang terbuat dari batu-batu yang disusun mendatar (rebah) yang membentuk pola tertentu. Peninggalan tersebut antara lain : 1. Phalus (lingga) pada pangkal ujung depan melintang 3 bulatan/bola, satu bola berada tepat di tengah ujung phallus, lainnya menempel di samping kanan dan kirinya. Pada bagian batang/tubuh phallus di atasnya dipahatkan cicak dan belut (ular) yang saling berhadapan. Bagian ujung belakang melebar ke samping. Panjang phallus 1,85 m dan diameter kurang lebih 28 cm, dan bukan terbuat dari satu batu utuh tetapi terdiri dari beberapa bagian batuan. 2. Di belakang phallus, terdapat fitur segitiga sama kaki dengan satu sudut menghadap ke depan dan dua sudut lainnya mengarah ke samping. Kedua kaki segitiga panjangnya 3,05 m dan panjang alas 3,14 m. Di atas bidang segitiga pada bagian tengahnya terdapat hiasan 3 ekor katak menghadap ketiga titik sudut. Hiasan katak tadi dikelilingi oleh seekor ketam (kepiting) di sebelah kirinya, seekor belut di bagian belakangnya, dan seekor mimi di bagian kanannya, kesemuanya menghadap ke dalam.

19 62 Pada masing-masing sudut bidang segitiga dipahatkan seekor kadal menghadap ke dalam. Fitur yang menggambarkan ketam, belut dan mimi ini oleh K.C. Cruca dan A.J. Bernet Kempers dalam Riboet Darmosoetopo (1975: 94) dianggap sebagai sengkalan yang berbunyi welut wiku nahut iku, welut = 3, wiku = 7, kepiting = nahut = 3, dan mimi = iku = 1, jadi = 1373 Caka. Cruca juga mengatakan bahwa bentuk segitiga adalah lambang pelepasan dalam dunia seksual, bentuk segitiga ini berhubungan dengan lambang kesuburan, yang lebih dekat dengan lambang kewanitaan. Hal ini dapat dikembalikan pada lukisan yang dipahatkan pada lantai pintu masuk gapura pertama Candi Sukuh, yang berupa gambar phallus yang dihadapkan pada kemaluan wanita, yang bentuknya juga berupa gambar segitiga. 3. Terdapat 3 buah batu utuh berbentuk bundar yang tersusun melintang berjajar di belakang fitur segitiga tersebut. Di atas batu bundar itu dipahatkan lambang matahari (bola bersinar) seperti lambang Surya Majapahit. Lambang matahari yang berada di tengah (persis di belakang segitiga) memiliki 7 garis sinar, sedangkan dua lainnya (di kiri-kanannya) memiliki 9 garis sinar. Kedua bundaran (di kiri-kanan) berdiameter 85 cm dan tinggi dari permukaan tanah 20 cm, sedangkan diameter bundaran tengah 74 cm. Bundaran tersebut satu sama lain berjarak kurang lebih 3 m. 4. Tatanan batu di belakang batu bundar yang menggambarkan seekor garuda terbang (rentang sayap 6,71 m dan panjang 5,40 m) berada di bawah seekor kura-kura dengan batok pelindung tubuh berbentuk oval (panjang 4,15 m dan lebar 3,35 m). Tinggi tatanan batu dari permukaan tanah 15 cm. 5. Tatanan batu berbentuk persegi panjang di samping kanan dan kiri fitur garuda dan kura-kura, berukuran panjang 2,19 m, lebar 1,05 m, dan tinggi 40 cm buah tatanan batu seperti pondasi bangunan berukuran 3,64 m x 3,44 m dan berada di belakang agak menyamping dari fitur garuda dan kura-kura.

20 63 Teras VIII Di bagian halaman sebelah kiri jalan masuk terdapat bekas pondasi berdenah bujursangkar. Di atasnya terdapat batu-batu berelief yang disusun berjajar mengikuti bentuk pinggiran pondasi. Pondasi berukuran panjang 4,10 m, lebar 3,95 m dan tinggi 39 cm. Tatanan batu berelief di atasnya berukuran panjang 2,96 m x 2,55 m, sedangkan tiap fragmen relief berukuran tinggi 37 cm, lebar 17 cm dan tebal 16 cm. Di dalam kotak tatanan relief terdapat alas kaki tangga berbentuk kura-kura yang bagian kepalanya sudah hilang. Alas kaki tangga berbentuk kura-kura ini juga diletakkan di depan relief samping kanan serta pada bagian bawah kaki tangga masuk teras IX. Di bawah kaki tangga masuk teras IX terdapat sepasang arca penjaga pintu menghadap ke depan. Arca sebelah kanan dengan posisi setengah bersila di atas lapik, kaki kanan dilipat vertical dan kaki kiri bersila, tangan kanan diletakkan di atas lutut kaki kanan dan tangan kiri memegang gada, kepalanya sudah hilang. Sedang arca sebelah kiri dengan posisi setengah bersila di atas lapik, kaki kiri dilipat vertikal dan kaki kanan bersila, tangan kiri diletakkan di atas lutut kaki kiri dan tangan kanan memegang gada. Teras IX Bangunan pada teras ini sampai teras terakhir merupakan bangunan hasil renovasi tahun 1978, sehingga merupakan bangunan baru (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, 2001: 7). Bangunan baru tersebut berupa gapura, pendapa balai-balai maupun rumah arca. Pada teras ini hanya terdapat 2 buah bangunan pendopo di samping jalan masuk serta 3 arca menghadap ke depan. Arca tersebut yaitu, arca manusia menunggang binatang, dan dua arca gajah duduk dengan pelana di punggungnya, namun arca ini sudah dalam keadaan rusak dan tidak jelas. Teras ini sampai teras terakhir, lantai halaman dilapisi oleh tatanan ubin batu.

21 64 Teras X Pada teras ini hanya terdapat 2 buah bangunan pendopo. Anak tangga yang harus kita lewati sebelumnya berjumlah 21 anak tangga. Dan anak tangga yang paling bawah berbentuk kura-kura. Teras XI Pada teras ini terdapat 4 buah bangunan baru sebagai tempat arca dan 2 bangunan balai-balai sebagai tempat istirahat peziarah. Bangunan yang berada di sebelah kiri dan kanan jalan masuk dan berada di tengah halaman merupakan bangunan yang tidak berpintu, sehingga kedua arca dapat dilihat secara langsung dari depan. Sedangkan 2 buah bangunan yang berada di samping bangunan di halaman tengah, menempel pada dinding sampai teras, merupakan bangunan tertutup yang di dalamnya berisi kumpulan arca. Teras XII Bangunan di teras ini sama dengan bangunan di teras XI namun bangunan arca di teras ini berisi arca yang berbeda dengan teras sebelumnya, dimana 2 arca menghadap kedepan berupa arca manusia berdiri di atas lapik dengan posisi kedua tangan mengepal di depan dada dengan kedua ibu jari bertemu mengarah ke atas, dan arca phallus. Teras XIII Teras ini merupakan teras yang terakhir dan merupakan teras yang paling penting. Meskipun teras ini dianggap paling suci, akan tetapi di dalamnya sudah tidak terdapat peninggalan. Untuk naik kita melewati 18 anak tangga. Pada teras ini terdapat bangunan mirip Candi Sukuh yang merupakan bangunan baru. Dan pada

22 65 bagian atasnya terdapat bangunan batu atau altar yang digunakan sebagai tempat untuk pemujaan atau tempat berdoa. B. Latar Belakang Sejarah Candi Sukuh dan Candi Cetho 1. Candi Sukuh a. Latar Belakang Dibangunnya Candi Sukuh Candi Sukuh merupakan candi yang dibangun pada saat kerajaan Hindu yaitu Majapahit mulai kehilangan pengaruhnya dan mulai berkembangnya kerajaan Islam di Jawa. Berdasarkan prasasti yang terdapat pada bangunan, arca dan relief, Candi Sukuh diperkirakan dibangun pada abad ke 15 Masehi (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 5). Hal ini dapat diketahui dari beberapa relief yang ada di Candi Sukuh. Relief yang menggambarkan seseorang dimakan raksasa. Relief ini dipahatkan pada dinding depan sebelah Utara dan diperkirakan mempunyai arti sengkalan, yang berbunyi: Gapura buta aban wong, gapura = 9, buta = 5, mangan = 3, wong = 1, jadi 1359 Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 36). Pada dinding depan sebelah Selatan terdapat relief seorang tokoh laki-laki sedang lari dan menggigit ekor ular. Di atasnya terdapat hiasan makhluk sedang melayang-layang dan paling atas terdapat hiasan seekor binatang melata. Relief ini menurut K.C. Cruca dibaca juga sebagai sengkalan yang berbunyi: Gapura buta nahut buntut, gapura = 9, buta = 5, nahut = 3, buntut = 1, jadi 1359 Saka atau 1437 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 37). Selain itu pada teras ke II, halaman sebelah Selatan terdapat relief yang menggambarkan seorang pendeta berkepala gajah (Ganesa), tangannya menangkap ekor binatang anjing. Relief ini ada yang menganggap mempunyai nilai sengkalan yang berbunyi Gajah wiku anahut buntut, gajah = 8, wiku = 7, anahut = 3, buntut = 1, jadi 1378 Saka atau 1456 Masehi (Riboet Darmosoetopo, 1975: 40).

23 66 Pembuatan Candi Sukuh tidak dapat diketahui dengan pasti, namun demikian dengan diketemukannya beberapa relief dan sengkalan memet yang terdapat pada candi tersebut dapat ditafsirkan bahwa Candi Sukuh dibangun antara tahun 1437 sampai tahun 1456 Masehi. Pada tahun-tahun tersebut bersamaan dengan surutnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur, karena mulai berpengaruhnya agama Islam di pulau Jawa (Joko Priyanto, 1991: 22). Pendirian Candi Sukuh ini tidak tertutup kemungkinan adanya kepentingan politik yang ikut melatarbelakanginya. Hal ini berdasarkan keberadaan prasasti sebanyak 8 garis yang ditulis dengan bahasa dan huruf kawi berangka tahun 1363 Saka, yang dipahatkan di belakang arca Garuda. Adapun bunyi prasasti itu adalah : Lawese rajeg wesi du K pinerp kapeteg de Ne wong medang ki hempu ra Ma karubuh alabuh geni ha Rbut bumi kacaritane Babajang mara mari setra Hanag tang bango 1363 Terjemahannya : Lamanya Rajegwesi ketika diserang (dan) ditahan oleh orang Medang. Ki Hempu Rama terkalahkan (dan) menerjunkan (diri) ke api. Orang saling berebutan tanah. Ceritanya babajang datang di tempat pengruwatan ada bango (Riboet Darmosoetopo, 1975: 77). Rajegwesi adalah nama tempat. Di Mojokerta ada nama tempat dengan nama Pagerwesi, dulu wilayah kerajaan Majapahit. Pager (bahasa Indonesia: pagar)

24 67 memang sama artinya dengan rajeg (bahasa Indonesia: terali). Mungkin yang dimaksud Pagerwesi adalah Rajegwesi itu. Apabila penafsiran itu betul maka Rajegwesi terletak di daerah Mojokerto. Kata Medang juga berarti nama tempat, dulu merupakan nama daerah kekuasaan raja-raja pada jaman Majapahit. Pada intinya prasasti tersebut bercerita tentang upaya seseorang yaitu penguasa Rajegwesi yang berusaha merebut kembali daerahnya yang dikuasai musuh yaitu penguasa Medang, dengan cara mencari kekuatan spiritual yaitu dengan membangun Candi Sukuh yang memuat cerita ruwatan. Berdasarkan isi prasasti tersebut maka dapat disimpulkan adanya kepentingan politik yang ikut melatarbelakangi pendirian Candi Sukuh, yaitu pada saat terjadi peperangan antar dua orang raja yaitu raja Rajegwesi dan raja Medang yang saling memperebutkan daerah kekuasaan. Pada peperangan tersebut raja Rajegwesi akhirnya kalah dan menyingkir ke wilayah Jawa Tengah yang kemudian mendirikan daerah kekuasaan baru. Di daerah kekuasaan barunya ini raja Rajegwesi menyusun kekuatan agar dapat merebut kembali daerah kekuasaannya yang direbut oleh raja Medang. Di daerah kekuasaan barunya inilah raja Rajegwesi mendirikan Candi Sukuh yang dimaksudkan untuk mendapatkan air suci agar dapat menebus kekalahan perang dari raja Medang dan bebas dari kekuasaannya (Riboet Darmosoetopo, 1975: 78). Pembangunan Candi Sukuh ini tidak lagi memperoleh pengaruh kuat dari budaya Hindu, namun terlihat bahwa bangunan cenderung kembali pada konsep unsur Indonesia asli dari masa prasejarah. Situs purbakala Candi Sukuh mengungkapkan keperluan akan munculnya agama baru, yang tidak ada hubungan lagi dengan Hinduisme (Denys Lombard, 2005: 25). Menurut Von Heine Geldern, pembangunan candi-candi di Indonesia merupakan refleksi dari bangunan megalitik. Geldern menyatakan bahwa tradisi megalitik turut menentukan bentuk susunan percandian di Indonesia (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 6). Kompleks Candi Sukuh yang berbentuk teras berundak, dan didirikan di atas gunung, mengingatkan pada bentuk punden berundak serta kepercayaan yang

25 68 mendasari pendirian bangunan megalitik. Punden berundak mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang, sedang gunung dianggap sebagai pusat segala potensi. Berdasarkan anggapan tersebut, maka diperkirakan latar belakang dibangunnya Candi Sukuh ini adalah didorong adanya kepentingan religius atau kepercayaan yaitu sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang. Hal ini diperkuat dengan arca-arca yang mempunyai bentuk sederhana yang mengingatkan pada patung-patung sederhana dari masa megalitik. Patung-patung tersebut mempunyai fungsi sebagai alat pemujaan arwah nenek moyang (Riboet Darmosoetopo, 1975: 30). Selain kepercayaan mengenai pemujaan terhadap roh nenek moyang, ada suatu anggapan, bahwa pendirian suatu bangunan megalitik bertujuan untuk memohon perlindungan, kekuatan gaib serta kesuburan dari nenek moyang. Berpangkal pada kepercayaan tersebut, maka kemungkinan latar belakang pendirian Candi Sukuh adalah adanya keinginan untuk memohon kekuatan gaib serta kesuburan dari nenek moyang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya relief serta patungpatung yang dianggap sebagai lambang kesuburan, antara lain relief phallus, penggambaran sex yang menonjol (phallus yang dihadapkan pada kemaluan wanita). Di samping itu relief phallus dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat mengusir roh-roh jahat (Riboet Darmosoetopo, 1975: 31). Berdasarkan relief-relief yang menceritakan kisah Sudhamala dan Garudeya diperkirakan bahwa pendirian Candi Sukuh berhubungan dengan upacara pelepasan atau ruwatan. Upacara pelepasan tersebut berhubungan dengan kepercayaan arwah leluhur yang tampak pada susunan bangunan teras-teras berundak yang mirip bangunan punden berundak pada masa pra sejarah. Hal ini juga terlihat pada Candi Sukuh yang menggunakan konsep bahwa bangunan yang paling suci terletak di tempat paling atas, masing-masing halaman dikelilingi oleh tembok batu dan masingmasing penjuru mempunyai pintu gerbang (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2003: 7).

26 69 b. Fungsi Keberadaan Candi Sukuh Menilik fungsi pembangunan Candi Sukuh, maka secara keseluruhan bangunan itu lebih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan asli yang ada. Adapun secara umum keberadaan Candi Sukuh ini memiliki tiga fungsi, yaitu : 1. Fungsi religi atau yang berhubungan dengan kepercayaan. Fungsi religi di sini lebih berkaitan erat dengan pengaruh kepercayaan asli yang ada. Fungsi yang menampakkan pengaruh asli tersebut antara lain : (a) Tempat meruwat dari malapetaka Meruwat dalam kepercayaan Jawa adalah suatu upacara yang dimaksudkan untuk melindungi seseorang dari malapetaka. Meruwat di sini bisa juga diartikan upacara pembersihan atau pelepasan dari pengaruh buruk. Beberapa relief yang ada hubungannya dengan fungsi ruwat ini antara lain: kisah Sudhamala dan Garudeya. Sampai saat ini upacara ruwatan masih sering diadakan di Candi Sukuh. Biasanya ruwatan ini ditujukan kepada anak tunggal, anak dua laki-laki semua/wanita semua, anak tiga di mana perempuan berada di tengah (sendang kapit pancuran) dan sebaliknya anak tiga di mana laki-laki berada di urutan kedua (pancuran kapit sendang). Kaitannya dengan upacara pembersihan atau pelepasan, yang sampai saat ini masih diadakan adalah upacara Grebeg Sukuh, yaitu merupakan peringatan bersih desa yang diselenggarakan dalam rangka melestarikan tradisi budaya dan adat masyarakat desa Berjo, kecamatan Ngargoyoso. Grebeg Sukuh ini biasanya diperingati tiap hari Jum at Kliwon bulan Mulud (Rabiul Awal) (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). (b) Tempat upacara berhubungan dengan kesuburan dan memohon kekuatan gaib. Candi Sukuh sebagai tempat upacara kesuburan dapat diketahui dari relief pada lantai pintu pertama candi, yang berupa phallus (kemaluan laki-laki) berhadapan dengan kemaluan wanita. Di samping itu relief phallus juga

27 70 diyakini mempunyai kekuatan gaib yang dapat mengusir roh-roh jahat (Riboet Darmosoetopo, 1975: 31). (c) Tempat pemujaan roh nenek moyang Kompleks Candi Sukuh yang berbentuk teras berundak, dan didirikan di atas gunung, mengingatkan pada bentuk punden berundak serta kepercayaan yang mendasari pendirian bangunan megalitik. Punden berundak mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang, sedang gunung dianggap sebagai pusat segala potensi. Berdasarkan hal tersebut, maka fungsi Candi Sukuh adalah sebagai tempat pemujaan arwah nenek moyang. Hal ini diperkuat dengan arca-arca yang mempunyai bentuk sederhana yang mengingatkan pada patung-patung sederhana dari masa megalitik. Patung-patung tersebut mempunyai fungsi sebagai alat pemujaan arwah nenek moyang (Riboet Darmosoetopo, 1975: 30). Sebagai fungsi pemujaan terhadap roh nenek moyang bisa pula dilihat dari bentuk kura-kura yang pada bagian atasnya dibuat datar, yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesaji. Fungsi semacam ini juga merupakan peninggalan tradisi megalitik yang biasa disebut dolmen (meja batu untuk sesaji) (Joko Priyanto, 1991: 58). 2. Fungsi pendidikan Keberadaan Candi Sukuh dapat dimanfaatkan sebagai sarana kegiatan belajar mengajar bagi para pelajar, baik mereka yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun mereka yang sudah duduk di bangku perkuliahan. Kegiatan pembelajaran yang mereka lakukan biasanya adalah dengan mengunjungi situs Candi Sukuh ini dengan maksud untuk lebih memperjelas dan memperdalam materi bidang sejarah, khususnya yang berhubungan dengan Candi Sukuh, yang telah mereka terima secara teori di kelas. Mereka yang sudah duduk di bangku kuliah (mahasiswa), di samping untuk memperjelas materi, biasanya tujuan mereka ke Candi Sukuh adalah melakukan

28 71 penelitian untuk kepentingan tugas yang ada kaitannya dengan Candi Sukuh (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Selain itu tujuan kunjungan pelajar ke Candi Sukuh ini adalah agar mereka bisa mengambil nilai-nilai atau unsur-unsur filosofis dan kesejarahan yang terkandung di dalamnya, karena ternyata banyak nilai yang bisa kita ambil dari Candi Sukuh ini. Misalnya bangunan candi yang berbentuk piramid terpotong menggambarkan ketidak sempurnaan manusia. Manusia memang hebat tetapi terbatas, karenanya manusia tidak boleh sombong. Manusia bisa saja mencapai langit, memiliki cita-cita tinggi, tetapi kenyataannya semuanya serba terbatas (Karanganyar Tenteram, 09 September 2003: 24). Ornamen tapal kuda yang menceritakan tentang asal-usul manusia yang diawali dari terjadinya embrio dalam rahim perempuan. Kemudian mengenai relief tokoh yang sedang memperebutkan bayi mengandung pengertian bahwa sejak embrio, calon manusia yang tinggal dalam rahim atau rumah memperoleh perawatan atau pemeliharaan fisik dari sang ibu, setelah lahir dan tumbuh dewasa, embrio ini akan menjadi manusia dewasa dan akan di bawah pengaruh atau tarik menarik antara karma baik (subakarma) dan karma buruk (asubakarma). Manusia ini sendirilah yang akan menentukan pilihannya dan tidak lagi berada di bawah pengaruh sang ibu. Ornamen tapal kuda ini juga dapat diambil nilainya, yaitu bahwa manusia harus mampu memilih jalan hidup yang baik, harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Relief yang menceritakan kisah Garudeya yang mampu membebaskan ibunya (dewi Winata) dari perbudakan dewi Kadru, dapat diambil nilai dan maknanya, yaitu bahwa seorang anak harus berbakti pada orang tuanya. Demikian, karena Candi Sukuh ini banyak mengandung nilai-nilai filosofis yang berguna, maka candi ini dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan. 3. Fungsi pariwisata Keberadaan Candi Sukuh memiliki fungsi pariwisata, yaitu sebagai obyek wisata budaya. Hal ini jelas tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan sektor pariwisata yang menjadi salah satu andalan Kabupaten Karanganyar di samping

29 72 sektor industri dan pertanian. Keberadaan Candi Sukuh yang dekat dengan obyek wisata lainnya seperti Candi Planggatan, kebun teh Kemuning dan air terjun Jumok membuat wisatawan yang berkunjung ke sini rasanya belum lengkap kalau belum mengunjungi Candi Sukuh, karena memang candi ini dikenal dengan relief-reliefnya yang terlalu vulgar dan bersifat erotis (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Jalan menuju candi yang berkelok-kelok dan di kanan-kiri jalan yang mulus terhampar pemandangan indah, hamparan lahan pertanian yang menghijau, lekuk liku bukit-bukit kecil yang tergolek menambah indahnya pemandangan, dan tentu saja ini mampu menarik wisatawan untuk berkunjung ke lokasi ini. Wisatawan yang berkunjung ke Candi Sukuhpun dari berbagai kalangan dan dengan tujuan yang beragam pula. Ada dari mereka yang mengunjungi Candi Sukuh karena memang dengan tujuan mengadakan penelitian, namun banyak juga mereka yang berkunjung ke candi ini hanya sekedar ingin melihat-lihat saja, membuktikan sendiri seperti apa sebenarnya relief yang terkesan erotis itu (Wawancara dengan Adi, 1 Mei 2006). Candi Sukuh ini ramai dikunjungi oleh wisatawan pada hari Minggu atau hari-hari libur (Wawancara dengan Pak Kemis, 1 Mei 2006). Selain melihat bangunan candi, wisatawan yang datang bisa juga melihat atraksi-atraksi lokal yang setiap saat ditampilkan berdasarkan permintaan wisatawan, kalau ada wisatawan yang datang dalam jumlah besar (rombongan), misalnya atraksi reog, rebana, klenengan, tek-tek bambu dan seni tradisional kotekan lesung (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Di Candi Sukuh sendiri sering diadakan event-event yang mampu menarik kunjungan wisatawan, seperti yang sudah pernah diadakan adalah Gelar Budaya, Sendratari Tundhung Kala Durga dan Upacara Bayu Ruci. Upacara Bayu Ruci dan Bayu Aji yang diberi judul Making Love With The Winds of Solo merupakan salah satu bentuk sinergi budaya Jawa dan Jepang. Sinergi budaya Jawa dan Jepang ini mampu menarik kunjungan wisatawan ke Candi Sukuh. Selain itu juga pernah diadakan upacara Grebeg Sukuh, yaitu upacara peringatan bersih desa yang

30 73 diselenggarakan dalam rangka melestarikan tradisi budaya dan adat masyarakat Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso yang diperingati tiap hari Jum at Kliwon bulan Mulud (Rabiul Awal), selain sebagai upacara tradisional, Grebeg Sukuh ini juga mampu menarik kunjungan wisatawan yang ingin menyaksikan bagaimana prosesi upacara tersebut (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). Terlepas dari itu semua keberadaan Candi Sukuh sebagai fungsi pariwisata ini memiliki tujuan selain untuk melestarikan budaya juga sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat (Wawancara dengan Bp. Nugroho, 4 April 2006). 2. Candi Cetho a. Latar Belakang Dibangunnya Candi Cetho Keberadaan Candi Cetho yang terletak di sebelah Barat lereng Gunung Lawu masih diliputi banyak misteri. Para sejarawan, arkeolog berusaha menterjemahkan simbol-simbol kultural yang ada pada Candi Cetho sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing (Edy Suwiryo, 1997: 60). Pembangunan Candi Cetho sebagai kreasi budaya umat manusia sudah pasti banyak faktor yang melatarbelakanginya. 1. Aspek Politik Menurut Stutterheim bahwa Candi Cetho dibangun pada masa kerajaan Majapahit. Dasar analisa Stutterheim adalah ditemukan lambang kerajaan Majapahit yaitu bintang persegi (Edy Suwiryo, 1997: 61). Berdasarkan observasi yang telah dilakukan memang terbukti bahwa pada teras ketujuh Candi Cetho ditemukan tiga lingkaran yang di atasnya terdapat relief bintang, dimana satu lingkaran terdapat relief bintang bersegi tujuh dan dua lingkaran lainnya terdapat relief bintang bersegi sembilan. Kompleks percandian Cetho didirikan pada periode Indonesia Hindu terakhir yaitu abad 15 Masehi (Riboet Darmoseotopo, 1975: 116). Candi Cetho dibangun pada tahun 1475 Masehi (Stutterheim dalam Edy Suwiryo, 1997: 61). Raja Majapahit

SUKUH, CANDI DI LERENG GUNUNG LAWU

SUKUH, CANDI DI LERENG GUNUNG LAWU SUKUH, CANDI DI LERENG GUNUNG LAWU Di lereng Gunung Lawu di Desa Berjo Kabupaten Karanganyar, Jateng, terdapat sebuah candi yang memiliki struktur bangunan yang unik karena bentuknya mirip bangunan piramid

Lebih terperinci

BAB III IDENTIFIKASI DATA. A. Candi Cetho

BAB III IDENTIFIKASI DATA. A. Candi Cetho BAB III IDENTIFIKASI DATA A. Candi Cetho 1. Lokasi Candi Cetho terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di desa Cetho kelurahan Gumeng kecamatan Jenawi, kabupaten Karanganyar provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

APLIKASI PETA TEMATIK UNTUK PARIWISATA (KASUS APLIKASI PETA LOKASI DAN. Absatrak

APLIKASI PETA TEMATIK UNTUK PARIWISATA (KASUS APLIKASI PETA LOKASI DAN. Absatrak APLIKASI PETA TEMATIK UNTUK PARIWISATA (KASUS APLIKASI PETA LOKASI DAN WAKTU TEMPUH BAGI PELAKU JASA WISATA DI KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO KABUPATEN SEMARANG) Rahma Hayati Jurusan Geografi FIS UNNES Absatrak

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 145 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN HIASAN GARUDEYA DI KABUPATEN SIDOARJO SEBAGAI BENDA CAGAR BUDAYA PERINGKAT PROVINSI GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

di JAW A TE N GAH S E LATAN

di JAW A TE N GAH S E LATAN C AN D I C AN D I di JAW A TE N GAH S E LATAN CANDI MENDUT Letak : kec. Mungkid, kab. Magelang + 2 km dari Candi Borobudur Hubungan dengan Candi Borobudur Dari segi paleografis tulisan ada persamaan (tulisan-tulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Candi Cetho merupakan salah satu candi peninggalan jaman Hindu yang dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi,

Lebih terperinci

CAGAR BUDAYA. Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

CAGAR BUDAYA. Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan CAGAR BUDAYA Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Boyolali, 29 Maret 2017 1 April 2017 Daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Candi adalah bangunan yang menggunakan batu sebagai bahan utamanya. Bangunan ini merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu Budha di Indonesia. Candi dibangun

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN

BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN Para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pembagian gaya seni candi masa Majapahit maupun Jawa Timur antara lain adalah: Pitono Hardjowardojo (1981), Hariani Santiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam kebudayaan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peninggalan peninggalan sejarah yang tersebar luas hampir

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1 Tinjauan Tema Berikut ini merupakan tinjauan dari tema yang akan diterapkan dalam desain perencanaan dan perancangan hotel dan konvensi. 3.1.1 Arsitektur Heritage Perencanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... LEMBAR PERNYATAAN... INTISARI... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Verifikasi dan Validasi Pembelajaran, Warisan Budaya Tak Benda dan Kelembagaan. Kab. Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah

Verifikasi dan Validasi Pembelajaran, Warisan Budaya Tak Benda dan Kelembagaan. Kab. Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Verifikasi dan Validasi Pembelajaran, Warisan Budaya Tak Benda dan Kelembagaan. Kab. Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah Foto tanggal 06 07 Agustus 2016 Pusat Data dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata untuk dikembangkan dan diupayakan menjadi daya tarik wisata daerah. Potensi wisata tersebut

Lebih terperinci

Arsitektur Dayak Kenyah

Arsitektur Dayak Kenyah Arsitektur Dayak Kenyah Propinsi Kalimantan Timur memiliki beragam suku bangsa, demikian pula dengan corak arsitekturnya. Namun kali ini hanya akan dibahas detail satu jenis bangunan adat yaitu lamin (rumah

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ragam budaya dan nilai tradisi yang tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam peninggalan yang ditemukan dari berbagai provinsi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 6.1 Kesimpulan. sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 6.1 Kesimpulan. sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai 98 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai potensi

Lebih terperinci

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang BAB II METODE PERANCANGAN A. Analisis Permasalahan Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang muncul dalam mengembangkan relief candi menjadi sebuah motif. Pertama, permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain. Selain itu tinggal secara tidak menetap. Semenjak itu pula

Lebih terperinci

AVATARA, e-journal Pendidikan Sejarah Volume 5, No. 1, Maret 2017

AVATARA, e-journal Pendidikan Sejarah Volume 5, No. 1, Maret 2017 CANDRASENGKALA MEMET PADA CANDI SUKUH DAN CANDI CETHO SEBAGAI REPRESENTASI KEBUDAYAAN MASA AKHIR MAJAPAHIT SURA EDY IRAWAN Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Menara Kudus. (Wikipedia, 2013) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Menara Kudus terletak di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, sekitar 40 km dari Kota Semarang. Oleh penduduk kota Kudus dan sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB 3 KEPURBAKALAAN PADANG LAWAS: TINJAUAN GAYA SENI BANGUN, SENI ARCA DAN LATAR KEAAGAMAAN

BAB 3 KEPURBAKALAAN PADANG LAWAS: TINJAUAN GAYA SENI BANGUN, SENI ARCA DAN LATAR KEAAGAMAAN BAB 3 KEPURBAKALAAN PADANG LAWAS: TINJAUAN GAYA SENI BANGUN, SENI ARCA DAN LATAR KEAAGAMAAN Tinjauan seni bangun (arsitektur) kepurbakalaan di Padang Lawas dilakukan terhadap biaro yang masih berdiri dan

Lebih terperinci

INTERAKSI KEBUDAYAAN

INTERAKSI KEBUDAYAAN Pengertian Akulturasi Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Jawa kaya akan peninggalan-peninggalan purbakala, di antaranya ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini tersebar di

Lebih terperinci

Wilangan 17 Kota Emas

Wilangan 17 Kota Emas Wilangan 17 Kota Emas RANI BUKANLAH PECINTA CERITA FANTASI. Dia tidak pernah bermimpi untuk masuk ke dunia kerajaan raja singa yang bisa bicara di balik lemari atau dunia sekolah sihir di balik tembok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada

BAB I PENDAHULUAN. Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Majapahit merupakan kerajaan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia pada tahun 1293-1500M. Permasalahannya peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit ada yang belum

Lebih terperinci

BAB 2 DESKRIPSI UMUM DAN BENTUK PENGGAMBARAN BATU BERELIEF

BAB 2 DESKRIPSI UMUM DAN BENTUK PENGGAMBARAN BATU BERELIEF BAB 2 DESKRIPSI UMUM DAN BENTUK PENGGAMBARAN BATU BERELIEF Deskripsi terhadap batu berelief dilakukan dengan cara memulai suatu adegan atau tokoh dari sisi kiri menurut batu berelief, dan apabila terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istiadat dan cita rasa yang beraneka ragam pula.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istiadat dan cita rasa yang beraneka ragam pula. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pariwisata adalah perjalanan untuk sementara waktu, dari suatu tempat lain, bukan untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, dan semata-mata hanya menikmati

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah dan Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indra manusia. Semakin jelas harmonisasi dan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA JASA WISATA DAN KULINER DI KAWASAN CANDI CETO

PEMBERDAYAAN PENGUSAHA JASA WISATA DAN KULINER DI KAWASAN CANDI CETO PEMBERDAYAAN PENGUSAHA JASA WISATA DAN KULINER DI KAWASAN CANDI CETO Oleh: Wahyu Purwiyastuti, S.S., M.Hum Dra. Emy Wuryani, M.Hum Disampaikan dalam Seminar Hasil Pengabdian Masyarakat (IbM) Bekerjasama

Lebih terperinci

Lalu, Ada Makam Hoo Tjien Siong

Lalu, Ada Makam Hoo Tjien Siong Selain peninggalan situs kuno berupa lingga yoni, ternyata di wilayah banyak ditemukan situs Arca Megalit. Untuk batu berbentuk arca ini ditemukan di Dusun Kaum, Desa Pangayan, Kecamatan Doro. Situs tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya dipengaruhi oleh kebudayaan India. Salah satu pengaruh kebudayaan India ialah dalam aspek religi, yakni

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa

BAB I. PENDAHULUAN. Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara kronologis, sejarah Indonesia meliputi masa prasejarah, hindu-budha, masa pengaruh islam dan masa pengaruh eropa. Bagian yang menandai masa prasejarah, antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang terdiri dari ribuan pulau dan kepulauan serta penduduknya terdiri dari ratusan suku bangsa. Dilihat dari segi geografis, luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan

Lebih terperinci

MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami

MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami MASA BERCOCOK TANAM DAN DAN BERTERNAK a. Kehidupan sosial-ekonomi Manusia Purba pada Masa Bercocok Tanam Kehidupan manusia senantiasa mengalami perkembangan. Perkembangan itu dapat disebabkan karena ada

Lebih terperinci

87 Universitas Indonesia

87 Universitas Indonesia BAB 4 PENUTUP Kepurbakalaan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa merupakan perpaduan dari kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal atau kebudayaan lama yaitu kebudayaan Hindu-Buddha. Perpaduan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tinggalan budaya masa lalu sebagai hasil kreativitas merupakan buah pikiran yang dapat berbentuk fisik (tangible) dan non-fisik (intangible). Tinggalan fisik

Lebih terperinci

Disusun oleh Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi. halaman01

Disusun oleh Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi. halaman01 Di Indonesia terdapat berbagai macam candi. Terutama di pulau Jawa ada bermacam-macam candi yang tersebar mulai dari Jawa Timur sampai ke ujung Barat pulau Jawa. Namun ada beberapa kejanggalan yang bisa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Pengertian Megalitik telah banyak disinggung oleh para ahli sebagai suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar, mengacu pada etimologinya yaitu mega berarti

Lebih terperinci

VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA ARSITEKTUR TRADISIONAL NURYANTO, S.Pd., M.T.Ars. ARSITEKTUR VERNAKULAR-TA.428-SEMESTER GENAP-2007/2008 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ARSITEKTUR-S1 FPTK-UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2 0 1 0 RUMAH DALAM

Lebih terperinci

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM

INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM INTERAKSI LOKAL - HINDU BUDDHA - ISLAM AKULTURASI : menerima unsur baru tapi tetap mempertahankan kebudayaan aslinya jadi budaya campuran ASIMILASI : pernggabungan kebudayaan lokal dan unsur baru tapi

Lebih terperinci

Ciri-Ciri Candi Di Jawa Timur Bentuk bangunan ramping Atapnya merupakan perpaduan tingkatan Puncaknya berbentuk kubus Tidak ada makara dan pintu relung hanya ambang dan atasnya saja yang diberi kepala

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 178 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Situs Kabuyutan Ciburuy, terletak di Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Di dalam lingkungan situs ini terdapat artefak-artefak

Lebih terperinci

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad

pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad Prinsip keseimbangan yang dicapai dari penataan secara simetris, umumnya justru berkembang pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad renesans. Maka fakta tersebut dapat dikaji

Lebih terperinci

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten

Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 KASUS STUDI Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten Alya Nadya alya.nadya@gmail.com Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan

Lebih terperinci

TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH

TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH A. Pendahuluan Maluku merupakan propinsi dengan sebaran tinggalan arkeologis yang cukup beragam. Tinggalan budaya ini meliputi

Lebih terperinci

STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO

STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari rumah tradisional Jawa terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era modern saat ini sangat jarang terlihat rumah-rumah tradisional dibangun, namun cukup banyak ditemukan bangunan-bangunan yang diberi sentuhan tradisional

Lebih terperinci

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan

ANALISIS BATU BATA. A. Keletakan ANALISIS BATU BATA Berdasarkan pada hasil penelitian ini dapat dipastikan bahwa di Situs Sitinggil terdapat struktur bangunan berciri masa prasejarah, yaitu punden berundak. Namun, berdasarkan pada hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Peninggalan benda-benda purbakala merupakan warisan budaya yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Dengan demikian peninggalan purbakala

Lebih terperinci

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar. Pewayangan Pada Desain Undangan Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengandung unsur keindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang berlatar belakang Hindu atau Buddha di Indonesia, khususnya di Jawa. Orangorang di Jawa Timur menyebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan tempat wisata, meliputi wisata alam, budaya hingga sejarah ada di Indonesia. Lokasi Indonesia yang berada di daerah

Lebih terperinci

Danau Toba: Pesona Sumatera Utara

Danau Toba: Pesona Sumatera Utara Danau Toba: Pesona Sumatera Utara Danau Toba yang terletak di Sumatera Utara ini merupakan salah satu danau vulkanik terindah yang dimiliki Indonesia. Dengan luas yang mencapai 1.145 kilometer persegi,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 18 /KPTS/013/2015 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 18 /KPTS/013/2015 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 18 /KPTS/013/2015 TENTANG PENETAPAN SATUAN RUANG GEOGRAFIS KAWASAN PENANGGUNGAN SEBAGAI KAWASAN CAGAR BUDAYA PERINGKAT PROVINSI GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

SIMBOLISME KEPURBAKALAAN MEGALITIK DI WILAYAH PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN

SIMBOLISME KEPURBAKALAAN MEGALITIK DI WILAYAH PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN SIMBOLISME KEPURBAKALAAN MEGALITIK DI WILAYAH PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN AGUS ARIS MUNANDAR Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Disampaikan dalam Seminar Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid peninggalan Kesultanan Deli yang dibangun pada tahun 1906 M, pada masa pemerintahan sultan Maamun Al- Rasyid Perkasa Alamsjah.Masjid

Lebih terperinci

BAB IV KAJIAN UNSUR VISUAL NAGA PADA WAYANG DAN SENGKALAN YANG DIPENGARUHI KOSMIS-MISTIS

BAB IV KAJIAN UNSUR VISUAL NAGA PADA WAYANG DAN SENGKALAN YANG DIPENGARUHI KOSMIS-MISTIS BAB IV KAJIAN UNSUR VISUAL NAGA PADA WAYANG DAN SENGKALAN YANG DIPENGARUHI KOSMIS-MISTIS IV.1 Karakteristik Kosmis-Mistis pada Masyarakat Jawa Jika ditinjau dari pemaparan para ahli tentang spiritualisme

Lebih terperinci

Perkembangan Arsitektur 1

Perkembangan Arsitektur 1 Perkembangan Arsitektur 1 Minggu ke 5 Warisan Klasik Indonesia By: Dian P.E. Laksmiyanti, ST, MT Material Arsitektur Klasik Indonesia Dimulai dengan berdirinya bangunan candi yang terbuat dari batu maupun

Lebih terperinci

Potensi Budaya Indonesia Dan Pemanfaatannya

Potensi Budaya Indonesia Dan Pemanfaatannya Potensi Budaya Indonesia Dan Pemanfaatannya Selain kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga termasuk kaya akan keragaman budaya. Beraneka ragam budaya dapat dijumpai di Negara ini. Keragaman budaya tersebut

Lebih terperinci

ornamen yang disakralkan. Kesakralan ornamen ini berkaitan dengan lubang pintu kori agung yang difungsikan sebagai jalur sirkulasi yang sifatnya sakra

ornamen yang disakralkan. Kesakralan ornamen ini berkaitan dengan lubang pintu kori agung yang difungsikan sebagai jalur sirkulasi yang sifatnya sakra UNDAGI Jurnal Arsitektur Warmadewa, Volume 4, Nomor 2, Tahun 2016, Hal 48-55 ISSN 2338-0454 TIPOLOGI ORNAMEN KARANG BHOMA PADA KORI AGUNG PURA DI KECAMATAN BLAHBATUH, GIANYAR Oleh: I Kadek Merta Wijaya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. di Bengkalis, Indragiri Hulu, Kampar, dan wilayah Pekanbaruyang merupakan kekuatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Bangsa bisa disebut juga dengan suku,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Burung Garuda dalam sejarahnya merupakan makhluk mitologi yang banyak dimunculkan dalam ajaran agama Hindu dan Buddha. Dalam legenda agama Hindu, Garuda diyakini sebagai

Lebih terperinci

DASAR-DASAR FENG SHUI

DASAR-DASAR FENG SHUI DASAR-DASAR FENG SHUI Feng Shui adalah seni dan ilmu pengetahuan China tradisional tentang hidup harmonis dengan lingkungan. Berakar dalam kebudayaan China dan filosofi Tao, feng shui adalah cara melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ordinat 5º- 6º Lintang Selatan dan 131º- 133,5º Bujur Timur dan secara geografis,

BAB I PENDAHULUAN. ordinat 5º- 6º Lintang Selatan dan 131º- 133,5º Bujur Timur dan secara geografis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Langgur merupakan Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang terletak di Provinsi Maluku. Secara astronomi Kabupaten Maluku Tenggara terbentang pada ordinat 5º- 6º

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri dari berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Setiap suku memiliki kebudayaan, tradisi

Lebih terperinci

PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB ANALISIS BENTUK TAMANSARI III.1. TAMANSARI. GAMBAR III.1. Umbul Winangun

PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB ANALISIS BENTUK TAMANSARI III.1. TAMANSARI. GAMBAR III.1. Umbul Winangun PUSAT PERBELANJAAN KELUARGA MUSLIM Dl JOGJAKARTA BAB III.1. TAMANSARI GAMBAR III.1. Umbul Winangun Tamansari dibangun pada tahun 1749, oleh sultan Hamengkubuwomo I (Pangeran Mangkubumi) kompiek ini merupakan

Lebih terperinci

02/10/2012. Cupture 2. Sejarah Seni Rupa dan Kebudayaan Indonesia. Oleh: Handriyotopo, M.Sn NEOLITIKUM

02/10/2012. Cupture 2. Sejarah Seni Rupa dan Kebudayaan Indonesia. Oleh: Handriyotopo, M.Sn NEOLITIKUM Cupture 2 Sejarah Seni Rupa dan Kebudayaan Indonesia Oleh: Handriyotopo, M.Sn NEOLITIKUM 1 Kebudayaan Austronesia yang datang dari Yunan, Sungai Yan-Tse atau Mekong, dari Hindia Belakang telah mengubah

Lebih terperinci

Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud. Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK

Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud. Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK Rumah Tinggal Dengan Gaya Bali Modern Di Ubud Oleh: I Made Cahyendra Putra Mahasiswa Desain Interior FSRD ISI Denpasar ABSTRAK Rumah adat Bali adalah cerminan dari budaya Bali yang sarat akan nilai-nilai

Lebih terperinci

TINJAUAN PULO CANGKIR

TINJAUAN PULO CANGKIR BAB II TINJAUAN PULO CANGKIR II.1 GAMBARAN UMUM PROYEK Judul Proyek : Kawasan Rekreasi Kampung Pulo Cangkir dan Sekitarnya. Tema : Arsitektur Tradisional Sunda. Kecamatan : Kronjo. Kelurahan : Pulo Cangkir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Pulau Jawa yang memiliki kekayaan akan peninggalan kebudayaan. Bentuk dari peninggalan kebudayaan dibagi menjadi

Lebih terperinci

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2

PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2 PENDAHULUAN PERSEBARAN SITUS DI KABUPATEN BANTUL DAN ANCAMAN KERUSAKANNYA 1 OLEH: RIRIN DARINI 2 Indonesia merupakan negara yang kaya akan warisan budaya (cultural heritage), yang berasal dari berbagai

Lebih terperinci

Cagar Budaya Candi Cangkuang

Cagar Budaya Candi Cangkuang Cagar Budaya Candi Cangkuang 1. Keadaan Umum Desa Cangkuang Desa Cangkuang terletak di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang antara lain

Lebih terperinci

Pertemuan X & XI Contoh Kasus candi-candi Periode Jawa Timur

Pertemuan X & XI Contoh Kasus candi-candi Periode Jawa Timur Pertemuan X & XI Contoh Kasus candi-candi Periode Jawa Timur Universitas Gadjah Mada 1 X dan XI. Contoh Kasus Candi Periode Jawa Timur Candi Kidal Candi Kidal terletak di desa Rejokidul, Kecamatan Tumpang,

Lebih terperinci

BAB 6 HASIL PERANCANGAN. konsep Hibridisasi arsitektur candi zaman Isana sampai Rajasa, adalah candi jawa

BAB 6 HASIL PERANCANGAN. konsep Hibridisasi arsitektur candi zaman Isana sampai Rajasa, adalah candi jawa BAB 6 HASIL PERANCANGAN 6.1. Hasil Perancangan Hasil perancangan Pusat Seni dan Kerajinan Arek di Kota Batu adalah penerapan konsep Hibridisasi arsitektur candi zaman Isana sampai Rajasa, adalah candi

Lebih terperinci

PANDANGAN CIVITAS AKADEMIA UII MENGENAI CANDI KIMPULAN DI KAMPUS TERPADU UII YOGYAKARTA

PANDANGAN CIVITAS AKADEMIA UII MENGENAI CANDI KIMPULAN DI KAMPUS TERPADU UII YOGYAKARTA PANDANGAN CIVITAS AKADEMIA UII MENGENAI CANDI KIMPULAN DI KAMPUS TERPADU UII YOGYAKARTA Irfanuddin Wahid Marzuki (Balai Arkeologi Manado) Abstrak The slopes of Mount Merapi are found the remains of the

Lebih terperinci

SEJARAH SENI RUPA INDONESIA

SEJARAH SENI RUPA INDONESIA SEJARAH SENI RUPA INDONESIA SEJARAH CANDI SUKUH DAN CANDI BADUT Oleh : Ni Komang Tri Sintya Dewi 201306001 A. A. Gde Agung Triastika 201306002 Ni Putu Gita Rahayu Prasanthi 201306003 Ni Wayan Eka Putri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada sekitar abad IV sampai pada akhir abad XV M, telah meninggalkan begitu banyak peninggalan arkeologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sangat kaya akan peninggalan kebudayaan pada jaman Hindu Budha. Kebudayaan sendiri berasal dari bahasa sansekerta

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1. Menhir. Waruga. Sarkofagus. Dolmen

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1. Menhir. Waruga. Sarkofagus. Dolmen SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 3. PERADABAN AWAL INDONESIALatihan Soal 3.1 1. Bangunan megalithikum yang berbentuk batu bertingkat berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap nenek moyang disebut...

Lebih terperinci

Kandy City Sri Lanka. dataran tinggi Kandy. Saat ini kota Kandy menjadi ibu kota administratif dan kota suci Central Province, Sri Lanka.

Kandy City Sri Lanka. dataran tinggi Kandy. Saat ini kota Kandy menjadi ibu kota administratif dan kota suci Central Province, Sri Lanka. Kandy City Sri Lanka Kota Kandy adalah sebuah kota terbesar kedua setelah Colombo di Sri Lanka. Letaknya di Central Province, Sri Lanka. Kota yang dulunya merupakan ibukota terakhir dari era raja-raja

Lebih terperinci

ANGKA UKUR. Angka ukur diletakan di tengah-tengah garis ukur. Angka ukur tidak boleh dipisahkan oleh garis gambar. Jadi boleh ditempatkan dipinggir.

ANGKA UKUR. Angka ukur diletakan di tengah-tengah garis ukur. Angka ukur tidak boleh dipisahkan oleh garis gambar. Jadi boleh ditempatkan dipinggir. PEMBERIAN UKURAN ANGKA UKUR Angka ukur diletakan di tengah-tengah garis ukur. Angka ukur tidak boleh dipisahkan oleh garis gambar. Jadi boleh ditempatkan dipinggir. ANGKA UKUR Jika angka ukur ditempatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan bentuk industri pariwisata yang belakangan ini menjadi tujuan dari sebagian kecil masyarakat. Pengembangan industri pariwisata mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan pustaka yang berkaitan dengan topik yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. wujud hasil kebudayaan seperti nilai - nilai, norma-norma, tindakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman hasil kebudayaan. Keanekaragaman hasil kebudayaan itu bisa dilihat dari wujud hasil kebudayaan

Lebih terperinci

MENGAPRESIASI KARYA SENI LUKIS

MENGAPRESIASI KARYA SENI LUKIS SENI BUDAYA MENGAPRESIASI KARYA SENI LUKIS Nama : Alfina Nurpiana Kelas : XII MIPA 3 SMAN 84 JAKARTA TAHUN AJARAN 2016/2017 Karya 1 1. Bentuk, yang merupakan wujud yang terdapat di alam dan terlihat nyata.

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Negara Jepang adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak terdapat

Bab 5. Ringkasan. Negara Jepang adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak terdapat Bab 5 Ringkasan Negara Jepang adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak terdapat perayaan-perayaan ataupun festival yang diadakan setiap tahunnya. Pada dasarnya, perayaan-perayaan yang ada di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias

BAB I PENDAHULUAN. Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Ragam hias di Indonesia merupakan kesatuan dari pola pola ragam hias daerah atau suku suku yang telah membudaya berabad abad. Berbagai ragam hias yang ada di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Indonesia yang strategis terletak di antara benua Asia dan Australia, sehingga menyebabkan berbagai suku bangsa telah memasuki kepulauan nusantara mulai dari

Lebih terperinci

Kandy City Sri Lanka. di Indonesia.

Kandy City Sri Lanka. di Indonesia. Kandy City Sri Lanka Kota Kandy adalah sebuah kota terbesar kedua setelah Colombo di Sri Lanka. Letaknya di Central Province, Sri Lanka. Kota yang dulunya merupakan ibukota terakhir dari era raja-raja

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu

1. PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalitik Austronesia di masa lalu dan sekarang. Bangunan megalitik hampir tersebar di seluruh kepulauan Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 1 TAHUN 1971 TENTANG BENTUK LAMBANG DAERAH PROVINSI LAMPUNG

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 1 TAHUN 1971 TENTANG BENTUK LAMBANG DAERAH PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 1 TAHUN 1971 TENTANG BENTUK LAMBANG DAERAH PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Memperhatikan : 1. Surat Keputusan DPRD Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata itu sendiri, dimana pariwisata memiliki cerita tersendiri dalam sejarah

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata itu sendiri, dimana pariwisata memiliki cerita tersendiri dalam sejarah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang pariwisata tidak dapat lepas dari perkembangan sejarah pariwisata itu sendiri, dimana pariwisata memiliki cerita tersendiri dalam sejarah bangsa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata.

I. PENDAHULUAN. andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka percepatan pembangunan daerah, salah satu sektor yang menjadi andalan untuk memperoleh pendapatan asli daerah adalah sektor pariwisata. Pariwisata

Lebih terperinci

NISAN ARCA SITUS MAKAM KUNO MANUBA KECAMATAN MALLUSETASI KABUPATEN BARRU

NISAN ARCA SITUS MAKAM KUNO MANUBA KECAMATAN MALLUSETASI KABUPATEN BARRU NISAN ARCA SITUS MAKAM KUNO MANUBA KECAMATAN MALLUSETASI KABUPATEN BARRU Bau Mene (Balai Arkeologi Jayapua) Abstract Statue tomb at the site of Manuba ancient grave at Mallusetasi District in Barru Residence.

Lebih terperinci

BAB III CELENG SEBAGAI TEMA DALAM KARYA SENI LUKIS. A. Implementasi Teoritis

BAB III CELENG SEBAGAI TEMA DALAM KARYA SENI LUKIS. A. Implementasi Teoritis BAB III CELENG SEBAGAI TEMA DALAM KARYA SENI LUKIS A. Implementasi Teoritis Istilah kata celeng berasal dari sebagian masyarakat Jawa berarti babi liar. Jika dilihat dari namanya saja, sudah nampak bahwa

Lebih terperinci

WA H Y U 1 2. Pdt Gerry CJ Takaria

WA H Y U 1 2. Pdt Gerry CJ Takaria PEREMPUAN DAN NAGA WA H Y U 1 2 WAHYU 12:1-2 Seorang Perempuan sedang Mengandung Berselubung Matahari Bulan di bawah kakinya Mahkota dengan dua belas bintang ARTI DARI LAMBANG Perempuan melambangkan jemaat

Lebih terperinci

ARTIKEL TENTANG SENI TARI

ARTIKEL TENTANG SENI TARI NAMA : MAHDALENA KELAS : VII - 4 MAPEL : SBK ARTIKEL TENTANG SENI TARI A. PENGERTIAN SENI TARI Secara harfiah, istilah seni tari diartikan sebagai proses penciptaan gerak tubuh yang berirama dan diiringi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. A. Pendahuluan. B. Pengertian Warisan Budaya Tak BendaHasil. C. Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kabupaten Bogor

DAFTAR ISI. A. Pendahuluan. B. Pengertian Warisan Budaya Tak BendaHasil. C. Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kabupaten Bogor DAFTAR ISI A. Pendahuluan B. Pengertian Warisan Budaya Tak BendaHasil C. Penyusunan Data Awal Referensi Nilai Budaya Tak Benda Kabupaten Bogor a) Prasasti Batu Tulis Ciaruteun b) Rumah Tinggal Song Beng

Lebih terperinci