BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PEWARIS DALAM HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA. A. Pengertian Hutang Pewaris menurut Hukum Islam dan KUH Perdata

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PEWARIS DALAM HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA. A. Pengertian Hutang Pewaris menurut Hukum Islam dan KUH Perdata"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUTANG PEWARIS DALAM HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA A. Pengertian Hutang Pewaris menurut Hukum Islam dan KUH Perdata Utang pewaris sebenarnya bukan termasuk dalam lingkup hukum waris. Utang pewaris pada dasarnya berkaitan dengan hal-hal yang harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta pusaka dibagikan. Di samping hal-hal lain yang harus dipenuhi, seperti biaya perawatan jenazah, biaya penguburan jenazah dan lain sebagainya. Sedangkan hukum waris lebih memfokuskan pembahasannya pada aturan dan ketetentuan pembagian harta warisan, yang menyangkut siapa yang berhak mendapat harta warisan dan berapa kadar yang mereka peroleh dari pembagian itu. Apabila seseorang meninggal dunia, meninggalkan harta dan ahli waris, maka tidaklah mutlak secara seluruh harta yang ditinggalkan oleh si pewaris tersebut menjadi hak ahli waris, sebab di dalam harta peninggalan, si pewaris tersebut masih ada hak-hak lain yang harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris, di antara pelunasan hutang pewaris. 1 Jadi, pelunasan hutang pewaris adalah hal yang sangat urgen yang harus dipenuhi oleh ahli waris sebelum harta itu dibagikan. 1 Dalam Islam ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dan dipenuhi ketika si pewaris meninggal dan sebelum harta bendanya dibagikan adalah mencakup empat hal, yaitu: biaya perawatan, harta pewaris, wasiat pewaris, dan utang pewaris. (Lihat, Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001), hal. 39) 22

2 23 1. Pengertian Hutang dan Pewaris dalam Islam dan KUH Perdata Hutang atau utang secara etimologis berarti uang yang dipinjam dari orang lain: kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima: membayar;- harus dikembalikan 2, sedangkan secara istilah utang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu tertentu. Kewajiban pelunasan utang timbul sebagai prestasi (imbalan) yang telah diterima oleh si berutang. 3 Jadi utang adalah suatu tanggungan yang harus dilunasi oleh seseorang sebagai akibat dari menerima imbalan Dalam al-qur an, utang atau hutang disebut dengan ungkapan dain (). 4 Dain adalah bentuk masdar dari kata asalnya dainan ( ). Ia berakar kata dari huruf-huruf dal, ya, alif dan nun. Dan tercatat 29 kali dalam al-qur an, maka yang dapat diidentifikasikan dari ayat-ayat tersebut adalah tiga macam. Pertama, ia bermakna kredit harta tidak secara tunai. Kedua, ia dapat juga berarti akidah. Ketiga, ia bahkan dapat bermakna ketaatan. 5 Dalam kajian ini, hutang di sini dibatasi pada pengertian yang pertama, yakni kredit itu wajib dikembalikan kepada yang berhak. Ini berarti, da in dapat bermakna utang atau pinjaman yang dilakukan oleh pewaris semasa hidupnya dan ia wafat sebelum melunasinya. 6 Oleh karena 2 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa: Balai Pustaka, 1990), hal Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, op. cit., hal. 45 dan lihat, Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-ma arif, 1981), hal Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-qur an, 1973), hlm Ali Parman, Kewarisan Dalam al-qur an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal Ibid.

3 24 itu, maka dapat dikatakan bahwa utang yang dilakukan oleh pewaris tidak hanya sebatas berupa uang, namun juga meliputi benda milik, kredit bank, cicilan dan sebagainya. Sementara itu dalam KUH Perdata tidak dijelaskan tentang definisi hutang. KUH Perdata hanya menyebutkan dua istilah yang dipakai dalam perutangan, yaitu orang yang berhutang dan orang yang mengutangi. Atau dalam pengertian lain, bahwa utang itu ada dan sering kali seseorang yang berhutang (debitor) terhadap seorang yang lain (kreditor) diwajibkan untuk suatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui pengadilan. Sehingga perhutangan adalah hubungan hukum yang atas dasar itu, seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seorang yang lain atau jika perlu dengan perantaraan hakim. Prestasi (imbalan) dibebankan (wajib) kepada debitor yang dapat berupa memberi, berbuat atau tidak berbuat sesuatu prestasi juga harus tertentu atau dapat ditentukan (terutama perhutangan berdasarkan perjanjian). Di samping itu prestasi harus mungkin dan halal dapat berupa suatu perbuatan satu kali, serentetan perbuatan sehingga bersifat terus menerus atau bahkan prestasi dapat juga berupa tingkah laku yang pasif belaka. 7 Pengertian hutang yang lainnya menurut KUH Perdata didasarkan pada Pasal tentang perjanjian pinjam mengganti (verbruikleen) atau pinjam pakai habis. Dalam perjanjian ini, yang dikembalikan bukan 7 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perhutangan Bagian A, (Yogyakarta; Seksi Hukum Perdata FH. UGM, 1980), hlm. 4.

4 barang yang sama yang telah dipinjam, tetapi barang yang macamnya sama. Orang yang memberi pinjaman menjadi penagih dan orang yang diberi pinjaman berkewajiban untuk menyerahkan barang yang sejenis, sehingga barang yang yang dipinjam dalam perjanjian ini harus dapat diganti. Maka benda-benda yang tidak bergerak tidak dapat dijadikan obyek perjanjian pakai habis atau pijam pengganti. Dengan demikian, pengertian hutang dalam arti pinjaman mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada pengertian perhutangan yang didasarkan pada Pasal 1234 KUH Perdata, sebab dalam perikatan verbruikleen ini benda-benda yang tak bergerak tidak dapat dijadikan sebagai objek perjanjian. Lebih jauh Hartono Soerjopratiknjo memberikan pengertian verbruikleen sebagai berikut : Verbruikleen atau pinjam pakai habis (yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi perjanjian yang pinjam pengganti) adalah suatu perjanjian pada mana pihak yang satu (kreditur) melepaskan atau menyerahkan (afstand) pada pihak yang lainnya (debitur) suatu jumlah uang tertentu atau jumlah barang tertentu yang habis apabila dipakai dengan janji bahwa di kemudian hari harus dikembalikan jumlah sama atau jumlah barang yang sama yang jenis atau keadaannya adalah sama. 8 Pengertian hutang dari kedua kelompok pasal di atas pada dasarnya adalah sama, bahwa hutang merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum atau lebih dengan hak dan kewajiban masing-masing, serta 25 8 Hartono Soerjopratiknjo, Hutang Piutang Perjanjian Pembayaran dan Pinjaman Hipotik, (Yogyakarta: Pt Mustika Wikasa, 1994), hlm, 1.

5 akan selesai bila salah satu pihak sudah memenuhi prestasinya atau karena sebab-sebab lain yang diperbolehkan undang-undang. Sementara itu kata pewaris dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang mewariskan. Sedangkan A. Pitlo mendefinisikan pewaris sebagai berikut: Adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan. Orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai kekayaannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding, dinamakan waris atau ahli waris. 9 Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan hutang pewaris adalah tanggungan si mati (orang yang mewariskan) yang harus dilunasi (dipenuhi) oleh ahli warisnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT. dalam surat an-nisa ayat 11 sebagai berikut:! 26 Artinya: Setelah diambil untuk wasiat, yang diwasiatkannya atau sesudah dibayar utangnya (Q.S. an-nisa : 11) 10 Jadi, pada prinsipnya pelunasan utang pewaris harus bersumber pada nilai hartanya. Apabila jumlah uang melampaui jumlah harta pusakanya, maka pelunasannya harus melalui sumber pendapatan lain yang diurus oleh masyarakat A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, terj. M. Isa Arief, (Jakarta: Intermesa, 1990), hal Soenarjo dkk., Al-Qur an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal Ali Parman, op. cit., hal. 99

6 27 2. Macam-Macam Utang dalam Islam dan KUH Perdata Sebagaimana telah dijelaskan bahwa seseorang yang meninggal dengan meninggalkan tanggungan utang kepada orang lain, maka harus dibayar utang tersebut atau dilunasi terlebih dahulu (dari harta peninggalan si pewaris) sebelum hartanya tersebut dibagikan kepada ahli warisnya. Para fuqaha mengelompokkan hutang seseorang itu kepada dua kelompok: a. Utang terhadap sesama manusia, atau dalam istilah hukum Islam disebut juga dengan dain al- ibad (). b. Utang kepada Allah SWT. atau dalam istilah hukum Islam disebut juga dengan dain Allah (). 12 Utang terhadap sesama manusia apabila dilihat dari segi pelaksanaannya dapat dipilih kepada: a. Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (da in ainiyah). b. Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (da in mutlaqah). 13 Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan ini dilihat dari segi waktu pelaksanaannya dapat pula dikelompokkan kepada: a. Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam keadaan sehat dan dibuktikan keabsahannya, disebut dengan da in sihah. 12 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, loc. cit. 13 Ibid., hal. 46

7 28 b. Utang mutlaqah apabila dilakukan pada waktu si pewaris dalam keadaan sakit, serta tidak pula didukung oleh bukti-bukti yang kuat, disebut juga dengan da in marad. 14 Di samping hutang si mati yang menyangkut pengklasifikasian sebagaimana di atas (dain Allah dan dain al- Ibad), perhutangan juga dibagi menjadi dua jenis. Pertama, adalah hutang yang ada sangkut pautnya dengan harta tirkah, seperti gadai, barang yang sudah dibeli oleh si mati semasa hidupnya. Kedua, hutang yang tidak ada sangkut pautnya dengan harta tirkah, seperti hutang mahar, hutang tanpa gadai dan sebagainya. 15 Atau dalam pengertian lain, bahwa hutang si mati itu meliputi hutang yang disertai dengan jaminan kebendaan dan hutang yang tidak disertai kebendaan. a. Hutang yang disertai jaminan kebendaan Ada dua macam jaminan kebendaan yang digunakan untuk menjamin suatu hutang, yaitu: 16 1) Hipotik Pada Pasal 1162 KUH Perdata menyebutkan: Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak guna mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. 17 Dengan kata lain hipotik adalah hak kebendaan yang sengaja diletakkan atas benda tak bergerak milik orang lain dengan maksud 14 Ibid. 15 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (t.kp: Pustaka Jaya, t.th.), hal Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Inter Masa, 1987). Hal KUH Perdata Pasal Hartono soerjopratikjo, op cit. hlm 49

8 untuk dapat mengambil pelunasan hutangnya dari hasil penjualan benda tersebut, dengan mendahului hak-hak para kreditur yang lain. Adapun barang-barang yang dapat dibebankan atau dijadikan benda hipotik adalah: a) Benda-benda bergerak yang dapat diperdagangkan dengan segala perlengkapannya, sepanjang yang terakhir itu dipandang sebagai benda tak bergerak. b) Hak pungut atas benda-benda tersebut beserta perlengkapanya. c) Hak apsdtal (hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman atas tanahnya orang lain) dan erfpacht (hak untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk jangka waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atas penghasilan setiap tahunnya kepada pemilik tanah tersebut. d) Bunga tanah baik yang harus dibayar dengan uang, maupun dengan sesuatu benda yang dihasilkan dari tanah tersebut. e) Bunga sepersepuluh. f) Pasar-pasar yang diakui pemerintah beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya. 18 Dari keterangan di atas tampak bahwa tidak hanya barang atau benda saja yang dapat dijadikan objek dalam hipotik. Melainkan juga hak asalpun bisa dikategorikan dalam benda tak bergerak. Seorang yang akan nengadakan perjanjian hipotik haruslah memenuhi syarat tertentu sesuai Pasal 1171 KUH Perdata berbunyi : Hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk undang-undang 19 Berdasarkan stanblat 1947 No. 53 hipotik harus dengan akta yang dibuat di muka kepala kantor pendaftaran tanah, dan setelah itu hipotik harus didaftarkan. Akan tetapi setelah berlakunya UU PA, Ibid., 19 KUH Perdata Pasal 1171

9 1981, hlm. 110) pembebanan hipotik harus dibuat dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh menteri agraria. Selanjutnya didaftarkan dalam buku tanah. 20 Pejabat yang dimaksud itu ialah pejabat pembuat akta tanah (PPAT) mereka itu adalah : a) Notaris b) Pegawai dalam lingkungan Departemen Agraria c) Pamong praja yang pernah melaksanakan tugas seorang pejabat d) Orang yang sudah lulus ujian yang diadakan oleh Menteri Agraria (PMA No. 10 Th Pasal 3). 21 Dengan demikian, hipotik lahir pada saat dibuatnya akta tersebut oleh pihak berwenang (PPAT), meskipun hal itu belum merupakan alat bukti yang lewat tentang adanya perjanjian hipotik selanjutnya untuk sampai pada tingkat alat bukti yang kuat harus didaftarkan kepada kepala seksi pendafataran tanah. Sebuah sertifikat hipotik yang disertai salinan akta mempunyai fungsi grase akta hyphoteek serta mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu mempunyai kekuatan sebagai putusan pengadilan. Perjanjian hipotik hanya dapat berakhir dengan adanya roya hipotik, yaitu pencoretan hipotik dari pendaftaran dalam register umum oleh kepala seksi pendaftaran tanah, sesudah mendapat laporan dari bank bahwa piutangnya telah dibayar lunas. Hal itu dilakukan berdasarkan persetujuan antara pihak yang bersangkutan dan berdasarkan putusan hakim. Sesuai dengan Pasal 1195 KUH Perdata: 20 PP No. 10 Tahun 1961 Pasal 19 dan 22 Ayat 3 21 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 30

10 Segala pembukuan hapus dengan dicoretnya di dalam register. Pencoretan dilakukan atas biaya si berhutang dengan ijinnya para pihak yang berkepentingan, atau menurut keputusan hakim yang dijatuhkan dalam tingkatan penghabisan atau yang telah memperoleh kekuatan mutlak. 22 2) Gadai (pand) Pasal 1150 KUH Perdata menyebutkan: 31 Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh lain atas namanya dengan memberikan kekuasaan kepadaaa orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya. 23 Adapun benda-benda yang dapat dijadikan jaminan gadai adalah semua jenis benda bergerak yang bukan milik kreditur itu sendiri seperti perabot rumah, hak vreghtbuik (hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari sesuatu benda milik orang lain seolah-olah benda itu miliknya sendiri dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaan semula), dan sesuatu benda bergerak penagihan atas sejumlah uang atau sesuatu benda bergerak, suratsurat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara dan sebagainya. 24 Gadai baru dianggap lahir dengan penyerahan kekuasaan (bezit) atas barang yang dijadikan tanggungan pada pandnemer (penerimaan gadaaai). 22 KUH Perdata Pasal Ibid, Pasal Subekti, op. cit., hlm. 62

11 32 Pengertian ini oleh undang-undang dianggap sebagai sangat mutlak untuk lahirnya suatu perjanjian gadai. 25 Berdasarkan Pasal 1151 KUH Perdata menyebutkan bahwa: Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan yang pokok. 26 Gadai haruslah ada surat perjanjian, meskipun dalam KUH Perdata tidak mensyaratkan apa-apa oleh karenanya bentuk perjanjian gadai dapat bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu. Artinya, perjanjian bisa dilakukan secara tertulis atau lisan saja. Secara tertulis bisa diadakan dengan akta notaris (otentik), bisa juga diadakan dengan akta di bawah tangan saja. 27 Perjanjian gadai dapat dihapus dengan dibayarnya hutang debitur, dan apabila barangnya gadai keluar dari kekuasaan si penerima gadai (Pandnemer). 28 b. Hutang yang tidak disertai jaminan kebendaan Yang termasuk dalam jenis hutang ini adalah seluruh hutang yang ditimbulkan akibat tidak atau belum terpenuhinya sesuatu prestasi dari pihak debitur. Jadi, hutang semacam ini tidak disertai pemberian suatu jaminan apapun, baik berupa hipotik ataupun gadai. 25 Ibid, hlm KUH Perdata Pasal Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hlm Ibid., hlm. 102

12 Di samping perhutangan di atas, perhutangan dapat pula dibedakan dari aspek yang berbeda antara lain: 1) Perhutangan perdata, ialah perhutangan yang pemenuhannya dapat digugat lewat pengadilan. 2) Perhutangan wajar, ialah perhutangan yang tidak ada pemaksaan untuk memenuhinya melalui gugat hukum. 3) Perhutangan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi, ialah perhutangan yang prestasinya dapat atau tidak dapat dibagi dalam artian yuridis, bukan dalam artian wajar. 4) Perhutangan pokok (principal), ialah perhutangan yang merupakan pokok sesuatu hubungan hukum, seperti kewajiban seorang penjual menyerahkan barang dan menanggung bebas. 5) Perhutangan tambahan, ialah perhutangan yang timbul dari keawajiban seorang pembeli yang membua janji untuk membeli kembali jika jual beli diadakan. 6) Perhutangan spesifik, ialah perhutangan mengenai benda tertentu satu persatu (individual bepald). 7) Perhutangan generik, ialah perhutangan mengenai benda yang ditentukan menurut jenisnya. Dalam perhutangan ini debitur dapat memilih benda mana dari jenis yang ditetapkan itu akan dilevernya. 8) Perhutangan sederhana, ialah perhutangan yang hanya membutuhkan satu prestasi tertentu yang menjadi kewajiban debitur. 9) Perhutangan berlipat ganda, ialah perhutangan yang meliputi lebih dari satu prestasi yang nampak untuk dipenuhi dapat berupa alternatif maupun komulatif. 10) Perhutangan murni, ialah perhutangan yang prestasinya terulang seketika. 11) Perhutangan bersyarat, ialah perhutangan yang tergantung suatu syarat, yakni peristiwa yang masih akan terjadi dan tidak pasti atau dengan bantuan waktu. 29 Dari sekian banyak jenis perhutangan menurut KUH Perdata, tentu saja tidak semuanya termasuk dalam pengertian hutang pewaris, sebab hutang murni, misalnya jelas prestasinya sudah terpenuhi ketika seorang masih hidup Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hlm. 5-7

13 34 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa macam hutang pewaris itu dibagi menjadi dua, yaitu hutang yang berkaitan dengan Allah (dain Allah), dan hutang yang berkaitan dengan manusia (dain ibad). Hutang si mati dengan sesamanya, ini meliputi dua hal, baik itu yang berkaitan dengan kebendaan maupun yang tidak berkaitan dengan kebendaan yang disertai dengan jaminan atau tidak. B. Harta Kekayaan Pewaris yang Berpindah kepada Ahli Waris Harta peninggalan pewaris secara keseluruhan sebelum dikurangi biayabiaya yang tercantum dalam privilege 30 dan ongkos-ongkos untuk biaya penguburan pewaris disebut dengan boedel. Termasuk di dalamnya pajak suksesi yang harus ditunaikan oleh ahli waris, haruslah diselesaikan lebih dahulu harta peninggalan (boedel) yang sudah dikurangi dengan hak istimewa (privilage Pasal 1139 sub 1 dan Pasal 1149 sub 1), juga ongkos-ongkos tersebut di atas barulah disebut dengan harta warisan. Sebagai harta warisaan menurut KUH Perdata bukanlah kekayaan bersih sesudah dilunasinya hutang pewaris pada masa hidupnya, melainkan juga hutang-hutang dari orang yang meninggal dunia. Burgerlijk Wetboek memandang harta warisan seseorang itu dari sudut hakekatnya, bahwa yang diwarisi oleh ahli waris itu bukan hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, melainkan juga hutang-hutang dari orang yang 30 Privilege adalah hak yang oleh UU diberikan kepada orang yang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat piutangnya, Lihat, Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Prandnya Paramita, 2002), hal. 91

14 35 meninggal dalam arti bahwa kewajiban membayar hutang-hutang itu pada hakekatnya beralih juga kepada ahli waris. Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas bahwa apabila seseorang meninggal maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang berpindah kepada ahli waris. Namun demikian ada hak-hak dan kewajiban yang berkaitan dengan hukum kekayaan tetapi tidak dapat diwariskan,. yaitu perikatan-perikatan yang berasal dari hukum keluarga dan hubungan hukum tertentu yang bersifat pribadi. 31 Seperti hak material, kewajiban kurator, hak wali atas orang yang berada di bawah perwaliannya. 32 Juga keanggotaan dalam suatu perseroan lastgeving atau pemberi kuasa berakhir dengan meninggalnya pemberi kuasa maupun si penerima kuasa. Begitu pula hal-hak dan kewajiban yang terletak dalam lapangan perbendaan atau perjanjian, tetapi tidak beralih pada ahli waris. Seperti suatu perjanjian perburuhan yang akan dikerjakan dengan tenaganya sendiri atau suatu perjanjian pengkongsian dagang baik yang berbentuk perseroan maupun firma yang menurut undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salah satu anggota persero. 33 Akan tetapi terdapat pengecualian dalam hak kewajiban yang bersifat pribadi, seorang bapak untuk menyangkal sahnya anaknya, dan dipihak lain hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah 31 J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1992), hlm Ibid, hlm Subekti, op. cit., hlm. 96

15 36 dari bapak atau ibunya. Hal tersebut menurut undang-undang beralih (diwarisi oleh) ahli waris dan masing-masing dari orang yang mempunyai hak tersebut. 34 Dengan demikian harta kekayaan pewaris yang berpindah kepada ahli waris dapat berupa : 1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih (aktiva). 2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang yang harus dibayar pada saat meninggal dunia (passiva). 3. Serangkaian hak dan kewajiban seseorang pewaris yang dapat dinilai dengan uang atau kekayaan dengan beberapa pengecualian serta pengecualian dalam lapangan pribadi, berupa hak untuk menyangkal sahnya anaknya dan dipihak lain hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari orang tuanya. C. Tanggung Jawab Ahli Waris terhadap Hutang Pewaris 1. Kedudukan Ahli Waris terhadap Harta Peninggalan Sistem hukum KUH Perdata memberikan objek pewarisan itu tidak hanya kekayaan pewaris yang berwujud aktiva melainkan juga segala hutang yang dimilikinya (passiva) sehingga yang beralih kepada ahli waris itu meliputi seluruh harta dan hutang pewaris. 35 hlm J. Satrio, op. cit., hlm R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Jakarta: Sumur Bandung, 1983),

16 37 Akibat dari ketentuan tersebut, maka undang-undang memberikan hak kepada ahli waris untuk berfikir dan menentukan sikap. Adapun jangka waktu yang diberikan untuk berfikir dan menentukan sikap tersebut adalah empat bulan. Bila sudah lewat waktu empat bulan, ahli waris masih belum menentukan sikapnya, maka pengadilan negeri dapat memperpanjang waktu berfikir dan menentukan sikap tersebut untuk satu atau beberapa kali atas permintaan ahli waris yang bersangkutan. Biasanya hak berfikir hanya digunakan oleh ahli waris yang dipaksa oleh kreditur untuk segera menentukan sikapnya, yaitu menerima secara murni, menerima beneficier 36 atau menolak warisan. Sebaliknya bila ahli waris tidak dalam keadaan terpaksa, maka ia dapat mengulur waktu hingga 30 tahun. Tetapi apabila selama kurun waktu tersebut ahli waris belum juga dapat menentukan sikapnya, maka ahli waris berikutnya diberikan hak untuk menerima harta warisan tersebut. 37 Bagi ahli waris yang sedang berfikir, maka ia diberikan kesempatan oleh undang-undang untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan serta menginvertarisirnya, sesudah itu ia dapat menyatakan sikapnya. Sebagaimana telah disebutkan, menyatakan sikap itu dapat berupa: a. Menolak warisan. Menurut Pasal 1058 KUH Perdata, seorang ahli waris yang bersikap menolak ahli warisan dianggap tidak pernah ada, sehingga 36 Beneficier adalah penerimaan harta warisan dengan memberikan hak istimewa kepada ahli waris untuk mengadakan pendaftaran terhadap harta peninggalan agar diketahui bagiannya setiap waktu. Lihat, Subekti dan Tjitrosoedibio, op. cit., hal A. Pitlo, op. cit., hlm. 2

17 secara otomatis ia tidak berhak atas harta peninggalan, sebaliknya ia juga tidak dibebani untuk membayar hutang-hutang pewaris. Akibat penolakan tersebut, maka berdasarkan Pasal 1059 KUH Perdata yang berbunyi: Bagian pada seseorang yang menolak, jauh pada mereka yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si penolak itu tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan Sebagai bagian yang semestinya jatuh kepada ahli waris tersebut dikembalikan kepada harta warisan, hanya saja kalau penolakan itu kemudian disusul dengan meninggalnya ahli waris itu sendiri, maka dalam hal ini timbul penggantian ahli waris (plaatvervulling). b. Menerima secara murni Menurut Pasal 1048 KUH Perdata yang berbunyi: Penerimaan suatu warisan dapat dilakukan secara tegas atau dengan diam-diam, terjadilah dengan tegas penerimaan itu, jika seseorang dalam tulisan otentik atau tulisan di bawah tangan menamakan dirinya waris atau mengambil kedudukan sebagai waris, diam-diam terjadilah penerimaan itu. Jika seorang waris melakukan suatu perbuatan yang dengan jelas menunjukkan maksudnya untuk menerima warisan tersebut dan yang memang hanya dapat dilakukannya dalam kedudukannya sebagai ahli waris. 39 Penerimaan secara murni sesuai Pasal di atas dapat terjadi secara tegas, yaitu membuat surat resmi (otentik) atau surat di bawah tangan, secara diam-diam, yaitu apabila ahli waris tersebut melakukan sesuatu yang dirinya dapat disimpulkan maksudnya penerimaan yang tanpa syarat tersebut. 38 KUH Perdata Pasal Ibid, Pasal 1048

18 39 Dalam penerimaan secara diam-diam, maka undang-undang menetapkan dua syarat: 1) Bahwa persyaratan itu menunjukkan adanya kehendak untuk menerima warisan. 2) waktu melakukan perbuatan itu kedudukannya semata-mata hanya sebagai ahli waris. Sementara itu menurut Pasal 1049 KUH Perdata ada beberapa perbuatan yang tidak termasuk penerimaan secara diam-diam ialah: 1) Segala perbuatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan jenazah. 2) Perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan hanya untuk menyimpan, mengawasi dan mengurus sementara sesuatu benda tertentu dari harta peninggalan. Menurut Pasal 1046 ayat 1 KUH Perdata, bahwa untuk menyatakan penerimaan terhadap sesuatu harta warisan adalah apabila ahli waris itu seorang perempuan yang bersuami haruslah dibantu atau diwakili oleh suaminya, apabila ahli waris itu seorang yang belum dewasa haruslah dibantu oleh orang tua atau walinya, sedangkan apabila ahli waris itu seorang berada di bawah pengampuan, maka ia harus dibantu atau diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Sebagai akibat penerimaan secara murni ini adalah bahwa harta peninggalan yang diterimanya itu bercampur menjadi satu dengan harta atau kekayaan pribadi di ahli waris itu sendiri. Ini berarti hutang-

19 hutang pewaris ini juga beralih kepada ahli waris tersebut. Sehingga para krediturpun dapat langsung mengajukan tagihannya kepada ahli waris tersebut. 40 c. Penerimaan secara Beneficier Penerimaan dengan cara ini memberikan hak istimewa kepada ahli waris untuk mengadakan pendaftaran terhadap harta pendaftaran agar bisa diketahui bagian-bagiannya setiap waktu. Penerimaan itu sendiri mestilah dilakukan dengan cara memberikan keterangan di kepaniteraan pengadilan negeri, untuk kemudian didaftarkan di pengadilan tersebut. Sesuai Pasal 1031 KUH Perdata, ahli waris yang telah menerima secara beneficier dapat dianggap menerima secara murni apabila: 1) Jika ia dengan sengaja dan dengan itikad buruk telah memasukkan sementara benda yang termasuk harta peninggalan dalam pendaftaran tentang harta itu. 2) Jika ia telah bersalah melakukan penggelapan terhadap bendabenda yang termasuk harta warisan. 41 Akibat penerimaan secara beneficier lebih lanjut diterangkan dalam Pasal 1032 KUH Perdata yang berbunyi : Hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan mempunyai akibat : 1. Bahwa si waris tidak diwajibkan membayar hutang-hutang dan beban-beban warisan yang melebihi jumlah harga benda-benda yang termasuk warisan itu, dan bahkan ia dapat emmbebaskan R. Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hlm KUH Perdata Pasal 1031

20 dirinya dari pembayaran itu, dengan menyerahkan semua benda yang termasuk warisan kepada kekuasaan para berhutang. 2. Benda-benda pribadi si waris tidak dicampur dengan bendabenda warisan dan bahwa ia tetap berhak menagih piutangnya pribadi dari warisan Dengan demikian, ahli waris semacam ini tidak dapat dianggap sebagai orang yang memiliki hutang terhadap kreditur pewaris, tetapi ia dapat digugat oleh para kreditur, hanya saja gugatan itu sematamata untuk menetapkan jumlah hutang pewaris. Pembayaran atas hutang-hutang pewaris hanya dapat diambilkan dari peninggalan. Ahli waris tidak dapat dituntut atau dipaksa untuk membayar atau melunasi seluruh hutangnya, tetapi apabila sudah dilunasi seluruh hutang-hutang pewaris dan masih terdapat sisa harta, maka sisa tersebut menjadi hak ahli waris itu sendiri. Seorang ahli waris beneficier, di samping melakukan pencatatan-pencatatan terhadap harta peninggalan dapat empat bulan setelah pernyataan diri bahwa ia menerima secara beneficier, juga harus mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya, sebebas-bebasnya membereskan urusan warisan dan apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan, memberikan jawabanjawaban kepada sekalian penagih hutang dan orang-orang yang menerima pemberian secara legaat, serta memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal dalam surat kabar Ibid., Pasal Subekti, op. cit., hlm. 105

21 42 2. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada hakekatnya dalam sistem KUH Perdata yang berpindah kepada ahli waris itu tidak hanya hal-hal yang bermanfaat saja melainkan juga tanggung jawab terhadap hak-hak untuk membayar atau melunasi hutang-hutang mereka. Sehingga yang beralih kepada ahli waris itu meliputi seluruh harta kekayaan baik berupa aktiva maupun passiva yang berupa harta benda dan hutang-hutang. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris tergantung pada sikap mereka terhadap harta warisan ketika terluang: a. Bagi yang menolak warisan, maka ia tidak dapat dibebani hukum sama sekali,karena ia dianggap bukan sebagai seorang ahli waris lagi. Sehingga ia tidak berhak lagi atas hatra warisan, oleh karenanya ia pun tidak dibebani kewajiban untuk membayar hutang-hutang pewaris, baik secara tegas maupun diam-diam. b. Menerima warisan, maka kewajiban membayar dan melunasi hutanghutang pewaris itu dibebankan seluruhnya kepadanya. Selanjutnya Pasal 1033 KUH Perdata menyatakan bahwa: Si waris yang telah menerima warisannya dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan diwajibkan mengurus benda-benda yang termasuk harta itu sebagai bapak rumah yang baik, dan menyelesaikan urusaan itu selekas-lekasnya. Ia juga bertanggung jawab kepada para berpiutang dan semua penerima hibah wasiat KUH Perdata Pasal 1033

22 43 Sehingga ahli waris yang bersikap menerima diwajibkan untuk mengurus dan menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan harta warisan secapatnya. Ia juga bertanggung jawab kepada kreditur dan legataris. c. Menerima secara beneficier, maka kewajiban membayar hutanghutang maksimal hanya ternatas pada besarnya bagian warisan yang diperolehnya. Apabila masih belum mencukupi, maka ia tidak dikenai kewajiban untuk menutupi kekurangan-kekurangannya. Apabila hanya ada satu ahli waris dan ia bersikap menolak warisan, maka menurut Pasal 1058 KUH Perdata ia tetap dianggap tidak pernah ada. Dalam hal ini pewaris beralih kepada para ahli waris golongan berikutnya. Apabila ahli waris itu lebih dari jumlah seorang, sedangkan mereka yang menolak di lain pihak ada yang menerima, maka kreditur hanya dapat mengajukan tagihannya kepada ahli waris yang bersikap menerimanya itu saja. Berdasarkan Pasal 1058 KUH Perdata kecuali dan jika terjadi ahli waris pengganti di lain pihak kalau di antara ahli waris yang bersikap menerima warisan itu ada yang menerima secara murni dan ada yang menerima secara beneficier, maka sesuai dengan Pasal 1050 ayat 2 KUH Perdata, seluruh harta peninggalan dianggap diterima secara beneficier, dengan demikian harta peninggalan akan diselesaikan secara beneficier pula. Tetapi jika ahli waris yang menerima secara murni telah terlebih dahulu membayar dan melunasi hutang-hutang pewaris dengan

23 mengorbankan harta kekayaan pribadinya, maka menurut hukum itu tetap dianggap menerima secara murni, tetapi hanya sekedar mengenai bagiannya saja. Sedangkan ahli waris yang lain tetap dianggap menerima secara beneficier. Dalam hal ini Hartono Soerjo Pratiknjo berpendapat: Dengan tidak mempedulikan apakah dia akan berpikir atau tidak ahli waris mempunyai wewenang untuk menerima secara beneficier (Pasal 1042 BW) kalau sudah diterima dengan murni maka tidak mungkin lagi diterima secara beneficier, akan tetapi sesudah ahli waris menerima secara beneficier ia masih dapat menerima secara murni. Siapa yang sudah menerima secara murni atau secara beneficier tidak dapat lagi menolak siapa yang sudah menolak tidak dapat menerima dengan cara bagaimanapun juga 45 Di lain pihak, R. Wirjono Prodjodikoro menegaskan: Setelah A. menerima tanpa syarat para berpiutang dan para legataris dapat menuntut haknya terhadap kekayaan pribadi dari A. Hak ini lenyap apabila sebagai akibat dari penerimaan bersyarat dari B, penerimaan tanpa syarat dari A, sekaligus menjelma menjadi penerimaan bersyarat. Pelenyapan hak para kreditur dan para legataris ini oleh semua ahli hukum di negeri Belanda dianggap tidak adil, maka dari itu konsekuensi ini tidak ditarik oleh mereka, melainkan dianggap A tetap diberlakukan sebagai ahli waris yang menerima warisan tanpa syarat tetapi hanya sekedar mengenai bagiannya dalam harta warisan. Artinya, kreditur dan legataris dapat menuntut haknya terhadap barang-barang milik pribadi A Hartono Soerjo Pratiknjo, op. cit., hlm

24 tetapi hanya sebagian saja, misalnya A berhak atas separoh dari hutanghutang pewaris dapat dituntut pembayarannya kembali dari si A itu Selanjutnya Hartono Soerjo Pratiknjo menambahkan: Seseorang ahli waris serta (mederfgenaam) yang sudah menerima secara murni tetap menjadi ahli waris murni dan bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan untuk bagiannya dalam hutang dan hibah wasiat dari harta peninggalan. 47 Akhirnya Pasal 832 ayat 2 KUH Perdata menerangkan bahwa: apabila pewaris itu tiadk meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta peninggalannya menjadi milik negara dengan kewajiban pembayaran hutang-hutang pewaris sekedar peninggalan tersebut mencukupinya. Dalam hal ini para kreditur dapat mengajukan tagihannya kepada negara, yaitu melalui balai harta peninggalan, sedangkan tagihan tersebut dapat dipenuhi selagi jumlah harta peninggalan cukup melunasinya. 46 R. Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hlm Hartono Soerjo Pratiknjo, op. cit., hlm. 63

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB II SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. A. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. A. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 23 BAB II SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Pengertian kuasa secara umum terdapat pada pasal 1792 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.

Benda??? HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M. HUKUM BENDA Benda??? Benda merupakan OBYEK HUKUM/OBYEK HAK Pengertian Benda secara yuridis : Segala sesuatu yang dapat menjadi obyek Hak Milik (Sri soedewi M.,1981:13) Aspek yang diatur dalam Hukum Benda

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. Perjanjian merupakan terjemahan dari Toestemming yang

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya..

PERJANJIAN JUAL BELI. Selamat malam. Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. PERJANJIAN JUAL BELI Selamat malam Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Perjanjian Jual Beli ya.. 1. PENGERTIAN PERJANJIAN JUAL BELI Dalam suatu masyarakat, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan 46 BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata Sebelum penulis membahas waris anak sumbang dalam KUH Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan yang mana

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu

BAB I PENDAHULUAN. Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang utang, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH Oleh : Gostan Adri Harahap, SH. M. Hum. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhanbatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Konsepsi harta kekayaan di dalam perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 1 adalah sebagai suatu persekutuan harta bulat, meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia ( naturlijk person) sebagai subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajban

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani)

Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani) Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani) Nama Mahasiswa: Abimantrana Yangki Sadputra Pembimbing: Suharnoko ABSTRAK Nama : Abimantrana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN 31 BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN A. PENANGGUNGAN ADALAH PERJANJIAN Sesuai defenisinya, suatu Penanggungan adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan a. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan P engertian mengenai

Lebih terperinci

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN A. Pelaksanaan Penanggungan dalam Perjanjian Kredit di BPR Alto Makmur Bank Perkreditan Rakyat adalah bank

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR A. Pengertian Kreditur dan Debitur Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adapun pengertian

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

BAB II DEPOSITO SEBAGAI SALAH SATU SURAT BERHARGA. deposito di Bank lazimnya di letakkan pada persyaratan jangka waktu

BAB II DEPOSITO SEBAGAI SALAH SATU SURAT BERHARGA. deposito di Bank lazimnya di letakkan pada persyaratan jangka waktu BAB II DEPOSITO SEBAGAI SALAH SATU SURAT BERHARGA A. Pengertian Deposito Seperti diketahui salah satu aktivititas perbankan dalam usaha untuk mengumpulkan dana adalah mengarahkan aktivitas deposito. Di

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin BAB III JAMINAN GADAI PERSPEKTIF HUKUM PERDATA A. Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa belanda, yaitu zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah penduduk di Indonesia yang

Lebih terperinci

HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN. Oleh Herlindah, SH, M.Kn

HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN. Oleh Herlindah, SH, M.Kn HJ-3 MACAM-MACAM JAMINAN Oleh Herlindah, SH, M.Kn 1 JAMINAN JAMINAN UMUM JAMINAN KHUSUS 1131 BW JAMINAN PERORANGAN JAMINAN KEBENDAAN 1132 BW BORGTOCH PENANGGUNGAN BENDA TETAP BENDA BERGERAK TANAH BUKAN

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, ditegaskan bahwa setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

07/11/2016 SYARAT DALAM CESSIE. Pengalihan Hak dalam Kontrak (cessie) & Pengalihan Kewajiban (delegasi) CESSIE

07/11/2016 SYARAT DALAM CESSIE. Pengalihan Hak dalam Kontrak (cessie) & Pengalihan Kewajiban (delegasi) CESSIE Pengalihan Hak dalam Kontrak (cessie) & Pengalihan Kewajiban (delegasi) Disusun oleh : 1. Bambang Arif Dermawan Katili 156010200111087 (35) 2. Cesari Harnindya Mukti 156010200111021 (07) 3. Hamzah Ibnu

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan

Lebih terperinci

Upik Hamidah. Abstrak

Upik Hamidah. Abstrak Pembaharuan Standar Prosedure Operasi Pengaturan (SOP) Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak Milik Atas Tanah Karena Hibah Wasiat Berdasarkan Alat Bukti Peralihan Hak Upik Hamidah Dosen Bagian Hukum Administrasi

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 IMPLEMENTASI HUKUM BENDA/KEBENDAAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM PERDATA 1 Oleh : Mohamad Govinda Khan 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana hak kebendaan terhadap anak

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM. Hukum Jaminan 4 HAK-HAK YANG MEMBERIKAN JAMINAN. Herlindah, SH, M.Kn UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2012

FAKULTAS HUKUM. Hukum Jaminan 4 HAK-HAK YANG MEMBERIKAN JAMINAN. Herlindah, SH, M.Kn UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2012 FAKULTAS HUKUM Hukum Jaminan 4 HAK-HAK YANG MEMBERIKAN JAMINAN Herlindah, SH, M.Kn UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2012 Herlindah, SH, M.Kn 1 Hak-hak yg memberikan Jaminan 1.Hak Privilegi 2.Hak Retensi 3.Cessi sebagai

Lebih terperinci

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NO. 14 TAHUN 1982 TENTANG LARANGAN PENGGUNAAN SURAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli Sebelum membahas tentang pengertian dan pengaturan juali beli, terlebih dahulu perlu dipahami tentang

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi Indonesia, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyahkt yang adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek kehidupan serta penghidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus. AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI KELALAIAN DEBITUR DALAM JUAL BELI TANAH 1 Oleh : Rael Wongkar 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah akibat hukum yang timbul dari kelalaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian, demikian juga

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian, demikian juga BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian, demikian juga manusia akan meninggalkan dunia ini tanpa membawa suatu apapun juga. Dia lahir ke dunia dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA BAB II TINJAUAN TENTENG LEVERING SEBAGAI CARA UNTUK MEMPEROLEH HAK MILIK DALAM JUAL BELI MENURUT HUKUM PERDATA Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan usaha-usaha yang dapat menghasilkan barang-barang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu : 1. hubungan hukum ; 2. kekayaan ; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi.

Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu : 1. hubungan hukum ; 2. kekayaan ; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi. HUKUM PERIKATAN 1. Definisi Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya

Lebih terperinci

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 120 PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN. Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN. Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN A. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security of law, zekerheidstelling, atau zekerheidsrechten. Istilah hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pembagunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau 26 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wakaf dan Tujuannya Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka

Lebih terperinci

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D 101 09 397 ABSTRAK Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah akibat-akibat

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2 PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 1 Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pendaftaran Pemberian

Lebih terperinci

KEPAILITAN DEBITUR DITINJAU DARI KACAMATA HUKUM

KEPAILITAN DEBITUR DITINJAU DARI KACAMATA HUKUM ISSN 0000-0000 KEPAILITAN DEBITUR DITINJAU DARI KACAMATA HUKUM Soeprapti *) ABSTRAK Dalam dunia usaha utang piutang adalah suatu yang wajar. Suatu usaha yang ingin berkembang kemudian mencari utang, itu

Lebih terperinci

HUKUM KEBENDAAN PERDATA

HUKUM KEBENDAAN PERDATA HUKUM KEBENDAAN PERDATA Hukum Kebendaan Perdata Barat (HPE 20103) I. Posisi Hukum Kebendaan dlm KUHPerdata Pembidangan hukum perdata: 1. KUHPerdata Buku I : Tentang Orang Buku II : Tentang Benda Buku III

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : perlu diadakan peraturan tentang pendaftaran tanah sebagai yang dimaksud dalam

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT PERJANJIAN KREDIT Yang bertanda tangan di bawah ini : I. ------------------------------------- dalam hal ini bertindak dalam kedudukan selaku ( ------ jabatan ------- ) dari

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan II.1.1 Pengertian Jaminan

II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan II.1.1 Pengertian Jaminan 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS GADAI DALAM JAMINAN KEBENDAAN DAN KETENTUAN PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP JAMINAN GADAI REKENING BANK SERTA ANALISA KASUS II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah

BAB I PENDAHULUAN. sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu. 1. perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah Suatu perjanjian adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian pada hakikatnya sering terjadi di dalam masyarakat bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Perjanjiaan itu menimbulkan suatu hubungan hukum yang biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial tidak terlepas dari adanya pembangunan ekonomi bangsa indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT 56 BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1. Hak Tanggungan sebagai Jaminan atas Pelunasan Suatu Utang Tertentu Suatu perjanjian utang-piutang umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan BAB IV PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini karena masyarakat sekarang sering membuat perikatan yang berasal

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci