BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI. Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN HAK ISTIMEWA DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN GARANSI A. Perjanjian Pemberian Garansi/Jaminan Setiap ada perjanjian pemberian garansi/ jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian pokok karena tidak mungkin ada perjanjian pemberian garansi/jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian pemberian garansi/jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian garansi/jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan accessoir. Kedudukan perjanjian pemberian garansi/jaminan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri: 64 a. Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok; b. Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok; c. Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok. Lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan kredit, jaminan yang ideal (baik) itu adalah: Edy Putra Tje Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberti, 1985), hal Rachmadi Usman, Op.,Cit. hal

2 30 1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya; 2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya; 3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur. Adapun perjanjian pemberian garansi/jaminan ini bersifat accesoir, yang berarti bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan ini dapat terjadi atau terbentuk karena adanya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok. Dalam hal ini jelas bahwa harus tetap ada perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok yang menjadi landasan atau dasar terbentuknya perjanjian pemberian garansi/jaminan ini. Namun seorang penjamin/guarantor tidak dapat mengikatkan untuk syarat yang lebih berat daripada perjanjian pokok, artinya perjanjian pemberian garansi/jaminan ini hanya dapat dibentuk dan sebagai suatu keseluruhan syarat dalam perjanjian pokok. Namun tidak boleh melebihi dari perjanjian pokok, seperti yang disebutkan bahwa tidak mungkin ada borgtocht untuk kewajiban perikatan yang isinya lain daripada menyerahkan sejumlah uang atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Orang hanya menjamin perikatan sekunder yang muncul dari perikatan bersangkutan. 66 hal J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),

3 31 Hal ini tidak akan mengakibatkan batal secara langsung terhadap perjanjian pemberian garansi/jaminan atau perjanjian penanggungan itu, melainkan perjanjian pemberian garansi/jaminan itu hanya sah sebatas apa yang diliputi atas syarat dari perjanjian pokok, selain itu tidak sah (dapat dibatalkan). 67 Hal ini logis bila dilihat dari sifat perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri, juga didukung oleh dasar bahwa suatu perikatan dalam suatu perjanjian yang sifatnya tunduk kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu. Sesuai dengan sifat accesoir dari perjanjian pemberian garansi/jaminan ini, maka jaminan ini turut beralih apabila pokoknya beralih. Masalah peralihan ini baru berarti apabila disertai dengan diberikan kepada orang lain yang juga mengalihkan perjanjian pokoknya. Dalam hal ini hak kreditor tidak mengalami perubahan yang berarti sepanjang tidak ditentukan lain. Dalam rumusan yang diberikan oleh Pasal 1820 KUH Perdata mengenai penjamin/borgtocht mengandung tiga unsur, yaitu: Ciri sukarela Seorang pihak ketiga yang sama sekali tidak mempunyai urusan dan kepentingan apa-apa dalam suatu persetujuan yang dibuat antara debitor dan kreditor, dengan sukarela membuat pernyataan mengikatkan diri akan menyanggupi pelaksanaan perjanjian, apabila nanti si debitor tidak melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap kreditor. 67 Megarita, Op. Cit., hal M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Jakarta: Alumni, 2002), hal. 6.

4 32 2. Ciri subsidair Yakni dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari borg/ penjamin, seolah-olah konstruksi perjanjian dalam hal ini menjadi dua, tanpa saling bertindih. Yang pertama ialah perjanjian pokok itu sendiri antara kreditor dan debitor. Perjanjian yang kedua, yang kita anggap perjanjian subsidair ialah perjanjian pemberian garansi/ jaminan tersebut antara si penjamin/guarantor dengan pihak kreditor. 3. Ciri accesoir Sebenarnya dengan memperhatikan ciri subsidair diatas, sudah jelas terlihat accesoir yang melekat atau menempel pada perjanjian pokok yang dibuat oleh debitor dan kreditor. Apabila debitor sendiri telah melaksanakan kewajibannya kepada debitor, hapuslah kewajiban penjamin/guarantor. 4. Perjanjian pemberian garansi/jaminan batal, apabila perjanjian pokoknya batal. Dalam prakteknya untuk mencegah agar perjanjian pemberian garansi/jaminan tidak batal disebabkan batalnya perjanjian pokok, maka perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dikumulasikan dengan pemberian indemnity ex Pasal 1316 KUHPerdata. Pemberian indemnity ex Pasal 1316 KUHPerdata adalah perjanjian pokokyang berdiri tersendiri di samping perjanjian utang piutangnya, sehingga bila perjanjian utang piutang itu batal, maka pemberian indemnity ini tidak akan ikut menjadi batal. Lahirnya suatu perjanjian pemberian garansi/penjaminan dapat juga dikatakan sebagai terbentuknya atau telah dilakukan atas dibuatnya suatu penjaminan baik

5 33 oleh perseorangan (personal guarantee) maupun suatu badan usaha (corporate guarantee). Seperti yang telah disebutkan lahirnya perjanjian pemberian garansi/jaminan ini harus diikuti dengan perjanjian pokok terlebih dahulu, baik itu perjanjian kredit bank maupun perjanjian lainnya. Sesuai dengan sifat dari perjanjian pemberian garansi/jaminan itu sendiri yang senantiasa diikuti dan didahului oleh perjanjian pokok. Jadi jelas bahwa perjanjian pemberian garansi/jaminan timbul sebagai adanya akibat perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya penjaminan tersebut. B. Pentingnya Perjanjian pemberian Garansi/Jaminan Setiap kredit yang diberikan oleh Bank atau fasilitas kredit yang diberikan oleh kreditor lainnya kepada debitor diharapkan oleh bank atau kreditor lainnya untuk dibayar kembali oleh debitor tepat pada waktunya, Setelah masa pembayaran kredit tiba, Bank mengharapkan agar debitor membayar kredit dan bunga yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit. Kredit yang diberikan oleh Bank biasanya disertai dengan adanya pemberian garansi/jaminan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan yang berbunyi Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

6 34 Oleh karena itu pada umumnya Bank menggunakan instrumen analisa yang terkenal dengan the fives of credit atau 5C, yaitu: Character (watak) Watak dapat diartikan sebagai kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit. Debitor yang mempunyai watak yang tidak baik seperti tidak jujur, kemungkinan besar akan melakukan penyimpangan dalam menggunakan kredit. Kredit yang digunakan tidak sesuai tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian kredit akibatnya proyek yang dibiayai dengan kredit tidak menghasilkan pendapatan sehingga mengakibatkan kredit macet. 2. Capital (modal) Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Seorang yang akan mengajukan permohonan kredit baik untuk kepentingan produktif atau konsumtif maka orang itu harus memiliki modal. Pemohon kredit yang berbentuk badan usaha, besarnya modal yang dimiliki pemohon kredit ini dapat dicermati dari laporan keuangannya. Semakin besar jumlah modal yang dimiliki maka menunjukkan perusahaan tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban membayar utangnya Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2003), hal. 93-

7 35 3. Capacity (kemampuan) Untuk dapat memenuhi kewajiban pembayaran, debitor harus memiliki kemampuan yang memadai yang berasal dari pendapatan pribadi jika debitor perorangan atau pendapatan perusahaan bila debitor berbentuk badan usaha. 4. Collateral (jaminan) Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan utang jika di kemudian hari debitor tidak melunasi utangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan itu. Jaminan meliputi jaminan yang bersifat materil berupa barang atau benda yang bergerak atau benda yang tidak bergerak misalnya tanah, bangunan, mobil, motor, saham dan jaminan yang bersifat immateril seperti jaminan pribadi. 5. Condition of Economy (kondisi ekonomi) Selain faktor-faktor di atas, yang perlu mendapat perhatian penuh dari analis adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu dimana kredit itu diberikan oleh Bank kepada pemohon. Apakah kondisi ekonomi pada kurun waktu kredit dapat mempengaruhi usaha dan pendapatan pemohon kredit untuk melunasi utangnya. Bermacam-macam kondisi diluar pengetahuan Bank dan diluar pengetahuan pemohon kredit. Kondisi

8 36 ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit mengembalikan utangnya sering sulit untuk diprediksi. Kondisi ekonomi negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit dan pendapatan perorangan yang akibatnya berdampak pada kemampuan pemohon kredit untuk melunasi utangnya. Bank tidak akan memberikan kredit kepada siapapun tanpa disertai dengan garansi/jaminan dengan disyaratkan adanya suatu garansi/jaminan di dalam permohonan kredit. Diharapkan apabila ternyata di kemudian hari debitor lalai yaitu tidak membayar utang beserta bunga, maka garansi/jaminan inilah yang akan dipergunakan oleh pihak kreditor (bank) untuk melunasi utang debitor. Karena sesuai dengan pengertian dari Pasal 1820 KUHPerdata yang menentukan bahwa pemberian garansi/penjaminan adalah suatu perjanjian/persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya. 70 Pemberi garansi/penjamin ini merupakan jaminan berupa orang pribadi/badan hukum dengan tujuan melindungi kepentingan kreditor atau Bank yang bersifat umum artinya dapat mengakibatkan seluruh harta kekayaan pemberi garansi/penjamin menjadi jaminan dari debitor yang bersangkutan. Perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat diminta oleh kreditor dengan menunjuk pemberi garansi/penjamin tertentu, atau yang 70 Pasal 1820 KUHPerdata.

9 37 diajukan debitor. Dalam pemberian garansi/jaminan ini bukan berarti setiap orang atau badan hukum bisa menjadi penjamin, melainkan orang atau badan hukum yang betul-betul mampu membayar utangnya debitor. Agar dapat menjadi pemberi garansi/penjamin seseorang atau badan hukum harus memenuhi syarat-syarat yaitu: Cakap atau mampu untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian artinya tidak dibawah umur, dibawah pengampuan atau pailit. 2. Mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai pemberi garansi/penjamin artinya yang bersangkutan dinilai mampu dan mempunyai harta yang cukup untuk memenuhi kewajibannya. 3. Berdiam di wilayah Indonesia, syarat ini bertujuan untuk memudahkan bagi kreditor (bank) di dalam menagih utang tersebut. Sebab bila pemberian garansi/penjamin berada di luar negeri tentunnya akan menyulitkan untuk menyelesaikan masalah penjaminan tersebut. Dengan adanya perjanjian pemberian garansi antara kreditor dengan pemberi garansi/jaminan, maka lahirlah akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan baik oleh pemberi garansi/penjamin maupun oleh kreditor. Bentuk akta perjanjian pemberian garansi/jaminan dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau dengan akta otentik karena Undang-undang tidak mensyaratkan atau menentukan secara formal mengenai bentuk akta 71 Pasal 1827 KUHPerdata.

10 38 perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut. Namun pada umumnya dalam praktek perbankan akta perjanjian pemberian garansi/jaminan selalu dibuat dengan akta notaris karena lebih menjamin kebenaran dan kelengkapan isi akta perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut dan dapat menjamin kekuatan pembuktian sebagai akta otentik sekaligus agar para pihak mengetahui masing-masing yang menjadi hak dan kewajibannya. 72 C. Akibat Hukum Perjanjian Pemberian Garansi/jaminan Suatu perjanjian pemberian garansi/jaminan akan membawa akibat hukum, sebagai berikut: 1. Akibat hukum antara guarantor/penjamin dengan kreditor Perjanjian pemberian garansi/jaminan merupakan perjanjian antara seorang penjamin/guarantor dengan kreditur yang menjamin pembayaran kembali utang debitor manakala debitor sendiri tidak memenuhinya (cidera janji). Penjamin/guarantor merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri kepada kreditor untuk menjamin pembayaran kembali utang debitor. Penjamin yang mengikatkan diri kepada kreditor dapat dilakukan dengan sepengetahuan debitor atau diluar pengetahuan debitor. Seorang guarantor/penjamin yang telah mengikatkan diri sebagai guarantor/penjamin membawa akibat hukum bagi 72 Sutarno, Op. Cit., hal. 243.

11 39 guarantor/penjamin untuk melunasi utang debitor (si berutang utama) manakala debitor cidera janji. Kewajiban guarantor/penjamin untuk melunasi utang debitor tersebut baru dilakukan setelah kreditor mengeksekusi harta kekayaan milik debitor yang hasilnya tidak mencukupi untuk melunasi utangnya. 73 Selama kreditor belum melakukan eksekusi atau penjualan harta kekayaan debitor, guarantor/penjamin tidak memiliki kewajiban membayar utang debitor yang dijaminnya. Jadi meskipun guarantor/penjamin telah mengikatkan diri sebagai guarantor/penjamin tidak serta merta memiliki kewajiban uuntuk membayar utang debitor. Bisa dikatakan bahwa tanggung jawab guarantor/penjamin hanyalah sebagai cadangan atau subsider, dalam hal penjualan harta kekayaan debitor tidak mencukupi atau sama sekali debitor tidak memiliki harta benda yang dapat dijual. Hal ini sesuai Pasal 1831 KUHPerdata yang mengaskan bahwa guarantor/penjamin tidaklah diwajibkan membayar kepada kreditor, selain jika debitor lalai sedangkan harta benda debitor ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. 74 Pasal 1832 KUHPerdata memberikan pengecualian terhadap ketentuan pasal 1831 KUHPerdata sehingga memberikan peluang kepada kreditor untuk dapat menuntut langsung kepada seorang guarantor/penjamin untuk melunasi utang seluruhnya tanpa harus menjual harta benda debitor terlebih dahulu, dalam hal 73 Sutarno, Op. Cit., hal Ibid.

12 40 penjamin/guarantor telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut dilakukan lelang-sita lebih dahulu atas harta benda debitor. Bagi penjamin/guarantor yang telah melepaskan hak istimewanya yang dinyatakan secara tegas dalam akta pemberian garansi atau penjaminan maka kreditor dapat melakukan sita-lelang harta kekayaan guarantor/penjamin tanpa harus menunggu sita-lelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu. 75 Dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian pemberian garansi/penjaminan ini membawa akibat hukum bagi guarantor/penjamin dan kreditor yaitu: 76 a. Penjamin/guarantor berkewajiban untuk melunasi utang debitor manakala debitor cidera janji. b. Sebelum penjamin/guarantor membayar utang debitor, penjamin/guarantor dapat meminta kepada kreditor untuk menyita dan melelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu, baru kemudian harta kekayaan penjamin/guarantor jika hasil lelang harta debitor tidak cukup unruk melunasi utangnya. Permintaan guarantor/penjamin harus disampaikan pertama kali saat memberikan jawaban atas gugatan kreditor di pengadilan. c. Namun hak istimewa penjamin/guarantor untuk meminta supaya harta kekayaan debitor disita atau dilelang terlebih dahulu, menjadi hapus 75 Ibid. 76 Ibid.,hal. 252.

13 41 manakala guarantor dengan tegas melepaskan hak istimewanya yang dinyatakan dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan. d. Penjamin/guarantor yang meminta kepada kreditor agar menyita dan melelang harta kekayaan debitor terlebih dahulu mempunyai kewajiban menunjukkan harta kekayaan debitor dan wajib menyediakan biaya sita dan lelang. 2. Akibat hukum antara penjamin/guarantor dan debitor Jika penjamin/guarantor telah membayar utang debitor ia dapat menuntut kembali pembayaran tersebut dari si debitor, baik pemberian garansi/penjaminan itu terjadi dengan pengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitor. Hak menuntut kembali tersebut lazim juga disebut hak regres, timbul karena diberikan oleh Undang-undang. Hak regres demikian tetap ada sekalipun tidak tercantum secara khusus dalam akta perjanjian pemberian garansi/jaminan. Hak regres itu timbul setelah penjamin/guarantor membayar utang debitor, baik pembayaran itu terjadi secara sukarela maupun atas dasar keputusan hakim yang memutuskan/menghukum penjamin/guarantor untuk membayar utang tersebut. 77 Hak regres itu dilakukan baik mengenai utang pokok, bunga maupun biaya-biaya yang timbul. Penjamin/guarantor juga berhak menuntut penggantian kerugian (yang berupa biaya, kerugian dan bunga) jika ada alas an untuk itu Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberti Offset, 1980). hal Pasal 1839 Ayat 4 KUHPerdata.

14 42 Dari ketentuan Undang-undang dapat disimpulkan bahwa guarantor/penjamin yang telah membayar itu mempunyai dua macam hak menuntut kembali terhadap si berutang, yaitu: a. Penjamin/guarantor mempunyai hak menuntut kembali yang merupakan haknya sendiri terhadap debitor. 79 b. Penjamin/guarantor yang telah membayar itu karena hukum bertindak menggantikan kedudukan kreditor mengenai hak-haknya terhadap debitor, menggantikan hak-hak kreditor karena subrogasi. 80 Dari kedua macam penuntutan kembali dari penjamin/guarantor tersebut dapat disimpulkan ada perbedaan mengenai akibat hukumnya. Pada hak regres yang merupakan hak sendiri dari guarantor, disini penjamin/guarantor mempunyai hak untuk menuntut kembali tidak hanya mengenai utang yang telah dibayarnya, melainkan juga berhak untuk menuntut penggantian kerugian yang timbul karena akibat penjualan terhadap barang penjamin/guarantor. Hak menuntut penggantian kerugian demikian tidak ada pada penjamin/guarantor yang menggantikan kedudukan kreditor. Sebaliknya pada penjamin/guarantor yang menggantikan hak-hak kredir yang karena subrogasi, memperoleh hak-hak kreditor terhadap si berutang, termasuk jaminan-jaminan accesoir yang melekat pada hak kreditor yang digantinya. Misalnya jika utang pokok itu dijamin dengan 79 Pasal 1839 KUHPerdata. 80 Pasal 1840 KUHPerdata.

15 43 hipotik maka penjamin/guarantor juga memperoleh hak hipotik yang melekat pada utang tersebut Akibat hukum antar penjamin/guarantor Apabila ada beberapa penjamin/guarantor yang telah mengikatkan diri untuk menjamin debitor yang sama dan untuk utang yang sama, maka bagi guarantor/penjamin yang telah melunasi utang debitor tersebut mempunyai hak menuntut kepada penjamin/guarantor lainnya masing-masing sesuai bagiannya. Beberapa penjamin/guarantor yang menjamin debitor yang sama dan untuk satu utang yang sama diperlakukan seperti orang-orang yang berutang secara jamin menjamin, kecuali mereka menggunakan hak istimewa untuk meminta pemecahan utangnya. 82 D. Akibat Hukum Terhadap Penjamin/Guarantor yang Melepaskan Hak Istimewanya. Penjamin/guarantor memiliki hak istimewa. Hak istimewa penjamin ini membawa akibat hukum bahwa penjamin tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum harta kekayaan debitor yang cidera janji tersebut, yang ditunjuk oleh penjamin, telah disita dan dijual, dan hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban 81 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal Sutarno, Op.Cit., hal. 254.

16 44 debitor kepada kreditor. Dalam hal yang demikian berarti penjamin hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum dipenuhinya kepada kreditor. 83 Penjamin/guarantor tidak dapat menuntut supaya harta debitor disita terlebih dahulu dan dijual untuk melunasi utangnya jika penjamin telah melepaskan hak istimewanya yang diatur dalam Pasal 1831 KUHPerdata. 84 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1832 KUHPerdata yang menentukan bahwa penjamin tidak dapat menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya: 1. Apabila penjamin telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual; 2. Apabila penjamin telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitor utama secara tanggung menanggung; dalam hal mana akibatakibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utangutangnya secara tanggung renteng.; 3. Jika debitor dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi; 4. Jika debitor dalam keadaan pailit; 5. Dalam hal penjaminan yang diperintahkan oleh hakim. Ternyata kreditor juga diberikan hak yang cukup seimbang. Ketentuan tersebut memungkinkan kreditor untuk seketika menagih kepada penjamin untuk melunasi semua kewajiban, prestasi, atau perikatan debitor, tanpa ia perlu terlebih dahulu menyita dan menjual harta kekayaan debitor yang telah cidera janji atau wanprestasi tersebut Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op. Cit., hal Sunarmi, Op. Cit., hal Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op. Cit., hal. 25.

17 45 Dalam praktek perbankan, umumnya hak istimewa yang dimiliki seorang penjamin sebagaimana tercantum pada Pasal 1831, Pasal 1837, Pasal 1848 dan Pasal 1849 KUHPerdata tersebut biasanya dilepaskan sehingga dengan pelepasan hak istimewa tersebut penjamin tidak berhak untuk menuntut supaya dilakukan sita dan lelang lebih dahulu harta kekayaan debitor. Melepaskan hak-hak istimewa penjamin harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian pemberian garansi/penjaminan. Dengan melepaskan hak-hak istimewa tersebut membawa akibat hukum, yaitu: 86 a. Kreditor dapat menuntut atau menggugat langsung kepada penjamin sendiri atau bersama-sama dengan debitor agar penjamin sendiri atau bersama-sama debitor, tanggung renteng untuk membayar utang debitor kepada kreditor. b. Hak istimewa penjamin menjadi hapus. Dalam hal seorang penjamin/guarantor melepaskan hak istimewa yang dimiliki olehnya berdasarkan Pasal 1831 KUHPerdata, juga membawa akibat hukum yaitu dapat saja dimintakan kepailitannya, tanpa harus dimintakan terlebih dahulu kepailitan dari debitornya. Sebab, dengan melepaskan hak-hak istimewanya yang dimiliki oleh penjamin/guarantor itu sebenarnya sama saja kedudukannya dengan seorang debitor, sekalipun secara formal ia tetap dinamakan sebagai penjamin/guarantor Sutarno, Op. Cit., hal Sunarmi. Op. Cit., hal. 197.

18 46 E. Pengaturan Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi/ Jaminan. Dalam pemberian garansi/jaminan, penjamin wajib memenuhi kewajibannya debitor sejak debitor cidera janji atau tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan. Penjamin yang telah mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban debitor, berada dalam posisi yang lemah. Hal ini disebabkan karena pemberian garansi/jaminan dibuat untuk melindungi kepentingan kreditor, sehingga pada saat debitor mengalami kegagalan dalam pemenuhan kewajibannya, penjamin/guarantor segera dapat dimintakan untuk pemenuhannya berdasarkan perjanjian pemberian garansi/jaminan yang telah dibuat. 88 Dalam Memberikan perlindungan bagi guarantor dalam melaksanakan kewajibannya, Undang-undang memberikan beberapa hak istimewa kepada seorang penjamin/guarantor. Dalam perjanjian pemberian garansi/jaminan biasanya diatur mengenai hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penjamin/guarantor yang pengaturannya sesuai dengan yang terdapat pada KUHPerdata, hak istimewa tersebut yaitu: Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning). 90 Hak untuk menuntut lebih dahulu ini adalah agar harta debitorlah yang harus lebih dulu disita untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian. Tidaklah langsung 88 Samsul Rais Siregar, Pelaksanaan Penanggungan Utang Sebagai Jaminan Dalam Pemberian Kredit, (Magister Kenotariatan USU: Tesis, 2007), hal M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Penerbit Alumni: 1986), hal Pasal 1831 KUHPerdata.

19 47 dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaan si penjamin, barulah nanti penyitaan dapat dilakukan terhadap harta si penjamin umtuk memenuhi kekurangan apabila ternyata harta kekayaan debitor tidak mencukupi. Hanya kekurangan itu sajalah yang dibebankan kepada harta penjamin/gurantor. Kalau harta kekayaan debitor ternyata mencukupi untuk melunasi tagihan, harta kekayaan penjamin harus bebas dari penyitaan dan penjualan. 91 Hak untuk lebih dahulu menuntut harta kekayaan debitor harus dimajukan penjamin sebagai jawaban pertama pada persidangan di muka hakim. apabila dia lalai memajukannya pada jawaban pertama, dan baru kemudian dimajukan pada sidang atau jawaban berikutnya, maka hak untuk menuntut lebih dahulu kekayaan debitor, tidak lagi dapat diterima Hak untuk membagi hutang (vorrecht van schuldsplitsing). 93 Hak untuk membagi hutang ini terdapat pada penjamin yang penjaminannya lebih dari satu orang penjamin terhadap seorang debitor. Maka para penjamin masing-masing dapat memajukan hak untuk membagi debitor-debitor tadi diantara para penjamin. Sehingga utang debitor yang mereka jamin, dibagidibagi diantara mereka masing-masing. Seperti halnya hak mendahulukan penuntutan/penyitaan terhadap harta debitor, pada hal untuk membagi-bagi utang inipun harus dimajukan pada jawaban pertama dalam sidang 91 Sutarno, Op. Cit., hal Pasal 1833 KUHPerdata. 93 Pasal 1837 KUHPerdata.

20 48 pengadilan. 94 Apabila terlambat memajukannya maka hak untuk membagi utang harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam hal membagi utang ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 95 a. Apabila ternyata salah seorang dari penjamin/guarantor tidak mampu untuk membayar bahagian yang ditentukan kepadanya, penjamin yang cukup mampu tidak wajib memikul pembayaran itu. Dia cukup membayar bahagiannya saja. b. Apabila pembahagian utang itu datangnya atas kemauan sendiri dari pihak kreditor, kemudian ternyata salah seorang dari penjamin/guarantor sedang dalam keadaan tidak mampu, kreditor tetap terikat atas pembahagian yang telah diperbuatnya. 3. Hak untuk diberhentikan dari penjaminan 96 Seorang penjamin/guarantor berhak minta kepada kreditor untuk diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin/guarantor jika ada alasan untuk itu. Alasan yang bisa digunakan sebagai dasar hukum meminta diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukan seorang penjamin/guarantor ialah kemungkinan penjamin/guarantor tidak dapat menggunakan hak-hak subrogasi. Hak subrogasi timbul setelah penjamin/guarantor membayar atas utang debitor. Hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena penjamin telah meneliti bahwa jaminan seperti hak 94 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal Pasal 1838 KHUPerdata. 96 Pasal 1848 dan Pasal 1849 KUHPerdata.

21 49 tanggungan, hipotik, fiducia, dan lainnya yang menjamin utang tersebut telah hapus atau tidak ada lagi. Tidak adanya jaminan hipotik, hak tanggungan dikarenakan kreditor membiarkan debitor menjual atau menghilangkan jaminan. Dengan kata lain kreditor tidak mengamankan jaminan-jaminan atas utang debitor itu sehingga bila penjamin/guarantor membayar utang debitor, penjamin/guarantor yang demi hukum menggantikan hak kreditor (subrogasi) tidak memperoleh jaminan hipotik, hak tanggungan dan garansi/jaminan lainnya. 97 Dalam praktek perbankan baik di Nederland maupun di Indonesia, ternyat bahwa antara kreditor dan guarantor/penjamin justru senantiasa diadakan janji agar guarantor/penjamin melepaskan hak istimewanya, sehingga adanya hak istimewa tersebut praktis tidak ada artinya. Janji untuk melepaskan hak istimewa ini dalam praktek senantiasa diperjanjikan, sehingga dapat dikatakan bahwa disini terjadi kebiasaan yang senantiasa diperjanjikan. Hak istimewa tersebut baru ada artinya, jika hak tersebut dengan tegas-tegas tercantum dalam perjanjian pemberian garansi M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., hal. 93.

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY Atik Indriyani*) Abstrak Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) diatur dalam buku III, bab XVII mulai pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUHPerdata tentang penanggungan utang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L.

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L. KEWENANGAN PIHAK KETIGA SEBAGAI PENJAMIN DALAM PERJANJIAN KREDIT 1 Oleh : Sarah D. L. Roeroe 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kewenangan pihak ketiga dalam perjanjian

Lebih terperinci

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian

Lebih terperinci

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D 101 09 397 ABSTRAK Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah akibat-akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap perusahaan membutuhkan dana investasi sebagai modal untuk membangun dan mengembangkan bisnis perusahaan itu sendiri. Hal tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992

PENDAHULUAN. mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Kondisi ekonomi nasional semakin hari kian memasuki tahap perkembangan yang berarti. Ekonomi domestik indonesia pun cukup aman dari dampak buruk yang diakibatkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan pesatnya pembangunan berkelanjutan dewasa ini, meningkat pula kebutuhan akan pendanaan oleh masyarakat. Salah satu cara untuk mendapatkan dana

Lebih terperinci

BAB II JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT. Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUHPerdata (Burgerlijk

BAB II JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT. Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUHPerdata (Burgerlijk BAB II JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) mulai Pasal 1313 sampai

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN

BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN BAB III BADAN HUKUM SEBAGAI JAMINAN TAMBAHAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BPR ALTO MAKMUR SLEMAN A. Pelaksanaan Penanggungan dalam Perjanjian Kredit di BPR Alto Makmur Bank Perkreditan Rakyat adalah bank

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 15 BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN 1. Guarantor dengan Personal Guarantee : 1.1 Definisi Guarantor is a person or entity that agrees to be responsible for another s debt or a

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan yang sangat penting dan mendesak

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemberian kredit atau penyediaan dana oleh pihak perbankan merupakan unsur yang terbesar dari aktiva bank, dan juga sebagai aset utama sekaligus menentukan maju mundurnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis. Perjanjian merupakan terjemahan dari Toestemming yang

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D101 07 022 ABSTRAK Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Tanpa perjanjian kredit yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

BENTUK-BENTUK JAMINAN MENURUT HUKUM INDONESIA

BENTUK-BENTUK JAMINAN MENURUT HUKUM INDONESIA BENTUK-BENTUK JAMINAN MENURUT HUKUM INDONESIA PENGERTIAN JAMINAN Kesimpulan Kelompok A mengenai Sistem Hukum Jaminan Nasional dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional mengenai Hipotik dan Lembaga-Lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian Indonesia, khususnya dunia perbankan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat baik, walaupun kegiatan bisnis bank umum sempat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

O Pembingbing. 1. Ida Bagus Putra Atmadja 2. Ida Ayu Sukihana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana. Abstract

O Pembingbing. 1. Ida Bagus Putra Atmadja 2. Ida Ayu Sukihana Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana. Abstract PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENJAMIN UNTUK MEMPEROLEH PEMBAYARAN KEMBALI DARI DEBITUR YANG WANPRESTASI JIKA PENJAMIN TELAH MELAKSANAKAN KEWAJIBANNYA PADA BANK BNI CABANG DENPASAR I Gede Krisna Adi Yasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah negara berkembang yang senantiasa melakukan pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di segala bidang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu menunjukkan arah untuk menyatukan ekonomi global, regional ataupun lokal, 1 serta dampak terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT. dikembalikan oleh yang berutang. Begitu juga halnya dalam dunia perbankan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN KREDIT A. Pengertian dan Unsur-Unsur Jaminan Kredit Pengertian jaminan dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari adanya suatu utang piutang yang terjadi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang terjadi, juga terjadi dalam dunia perekonomian, bahkan perkembangan kebutuhan masyarakat semakin tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kebutuhan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha akan penyediaan dana yang cukup besar dapat terpenuhi dengan adanya lembaga perbankan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN A. Pengertian Hukum Jaminan Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan - jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Menurut J.Satrio

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa, Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Koperasi berperan positif dalam pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi diantaranya dalam peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara tentu memerlukan suatu pembangunan untuk menjadi suatu Negara yang maju. Pembangunan yang dilaksanakan Bangsa Indonesia mengacu pada salah

Lebih terperinci

JAMINAN PERSONAL (PERSONAL GUARANTEE) SEBAGAI JAMINAN POKOK DALAM KREDIT KORPORASI DAN PRAKTEKNYA DALAM KEGIATAN PERBANKAN

JAMINAN PERSONAL (PERSONAL GUARANTEE) SEBAGAI JAMINAN POKOK DALAM KREDIT KORPORASI DAN PRAKTEKNYA DALAM KEGIATAN PERBANKAN JAMINAN PERSONAL (PERSONAL GUARANTEE) SEBAGAI JAMINAN POKOK DALAM KREDIT KORPORASI DAN PRAKTEKNYA DALAM KEGIATAN PERBANKAN YUDHI IRVIANDI, SUHARNOKO, dan ENDAH HARTATI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA

PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA PENYELESAIAN SECARA HUKUM PERJANJIAN KREDIT PADA LEMBAGA PERBANKAN APABILA PIHAK DEBITUR MENINGGAL DUNIA Oleh : A. A. I. AG. ANDIKA ATMAJA I Wayan Wiryawan Dewa Gde Rudy Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso rochadi.santoso@yahoo.com STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam

Lebih terperinci

PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG

PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG (Studi pada Kantor Notaris dan PPAT Harti Virgo Putri, S.H.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit 1. Pengertian Bank Membicarakan bank, maka yang terbayang dalam benak kita adalah suatu tempat di

Lebih terperinci

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA BERDASAR UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Retno Puspo Dewi Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI 1. Ketentuan Dalam Pasal 21 UUJF Mengenai Benda Persediaan yang Dialihkan dengan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Jayapura, apabila perjanjian kredit macet dan debitur wanprestasi yaitu: (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring).

BAB III PENUTUP. Jayapura, apabila perjanjian kredit macet dan debitur wanprestasi yaitu: (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, dan analisis serta pembahasan yang telah penulis lakukan, berikut disajikan kesimpulan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (dalam tulisan ini, undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Setiap perusahaan pasti terlibat dalam suatu transaksi. Karena hal tersebut sejalan dengan kegiatan perusahaan yang secara terus menerus dan tanpa putus serta sifatnya

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali )

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali ) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Serta Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA http://www.thepresidentpostindonesia.com I. PENDAHULUAN Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengertian kredit menurutundang-undang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peranan perbankan dalam lalu lintas bisnis, dapat dianggap sebagai kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh hampir semua pelaku bisnis, baik pengusaha besar maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi utama Bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Salah satu tantangan terbesar bagi hukum di Indonesia adalah terus berkembangnya perubahan di dalam masyarakat yang membutuhkan perhatian dan pengaturan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan II.1.1 Pengertian Jaminan

II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan II.1.1 Pengertian Jaminan 8 BAB II TINJAUAN TEORITIS GADAI DALAM JAMINAN KEBENDAAN DAN KETENTUAN PELAKSANAAN LELANG EKSEKUSI TERHADAP JAMINAN GADAI REKENING BANK SERTA ANALISA KASUS II.1 Tinjauan Teoritis Gadai dalam Jaminan Kebendaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. kepada kreditor (si berpiutang)). Berdasarkan Hukum Positif Indonesia, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor berhenti melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada para kreditornya. Ketidakmampuan debitor dalam melakukan pembayaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia bidang hukum yang meminta perhatian serius dalam pembinaan hukumnya di antara lembaga jaminan karena perkembangan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT

TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT TANGGUNG JAWAB PENANGUNG TERHADAP DEBITOR YANG DINYATAKAN PAILIT ( Putusan Pengadilan Niaga Jak.Pst Nomor : 1 / PKPU / 2006. JO Nomor : 42 / PAILIT /2005 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam meminjam telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pihak pemberi pinjaman yang

Lebih terperinci

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA, SH.MH 1 Abstrak : Eksekusi Objek Jaminan Fidusia di PT.Adira Dinamika Multi Finance Kota Jayapura

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peran bank sebagai salah satu lembaga keuangan sangat penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK 1. Pengaturan Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian secara umum dapat dilihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu suatu perbuatan

Lebih terperinci

kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur.

kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dana merupakan oksigen bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usahanya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa oksigen, perusahaan juga akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan modal sebagai salah satu sarana dalam pengembangan unit usaha oleh para

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan modal sebagai salah satu sarana dalam pengembangan unit usaha oleh para BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ekonomi yang semakin pesat membuat kebutuhan akan biaya untuk kehidupan sehari-hari juga semakin besar. Seiring dengan perkembangan ekonomi tersebut, masyarakat

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata : BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang ataulebih. Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah penduduk di Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama, masyarakat mengenal uang sebagai alat pembiayaan yang sah. Dapat kita ketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian merupakan landasan utama yang menopang kehidupan dari suatu negara. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa

BAB I PENDAHULUAN. nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penghimpunan tabungan dari masyarakat dan pemberian kredit kepada nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa bank lainnya untuk menunjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Surety Bond memiliki konsep sebagai penyedia jaminan, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Surety Bond memiliki konsep sebagai penyedia jaminan, merupakan BAB I PENDAHULUAN Surety Bond memiliki konsep sebagai penyedia jaminan, merupakan alternatif lain dari Bank Garansi. Surety Bond diterbitkan oleh Perusahaan Asuransi ditujukan untuk membantu pengusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi menyebabkan meningkatnya usaha dalam sektor Perbankan. Fungsi perbankan yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yakni menghimpun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Agustina Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gresik ABSTRAK Fidusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA DI DALAM PERJANJIAN KREDIT

AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA DI DALAM PERJANJIAN KREDIT AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN OBJEK JAMINAN FIDUSIA DI DALAM PERJANJIAN KREDIT Oleh I Dewa Gede Indra Eka Putra Made Gde Subha Karma Resen Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pembangunan terutama pembangunan secara fisik, dana selalu merupakan masalah baik bagi pengusaha besar, menengah ataupun kecil. Dalam hal ini jasa perbankan melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usahanya mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak

BAB I PENDAHULUAN. usahanya mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini kredit merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh setiap orang atau badan usaha untuk memperoleh pendanaan guna mendukung peningkatan usahanya

Lebih terperinci