Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani)"

Transkripsi

1 Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani) Nama Mahasiswa: Abimantrana Yangki Sadputra Pembimbing: Suharnoko ABSTRAK Nama : Abimantrana Yangki Sadputra Program Studi : Hukum Perdata Judul Skripsi : Beralihnya Hak Milik Tanah Sebagai Jaminan Hutang Piutang (Studi Kasus: Nunung Herlina dengan Hani Haryani). Skripsi ini membahas mengenai perlihan hak milik yang diilakukan kreditur berdasarkan perjanjian Hak Tanggungan antara Debitur dan Kreditur secara melawan hukum. Hal ini terjadi dalam kasus Perjanjian Hak Tanggungan antara Nunung Herlina dan Hani Haryani, dimana objek yang diperjanjikan adalah tanah milik Nunung untuk ditanggungkan namun yang terjadi adalah peristiwa hukum jual beli tanah milik Nunung Herlina tersebut. Metodologi yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Pokok permasalahan yang dibahas antara lain: 1. Bagaimana ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian hutang piutang dalam hal tanah menjadi jaminan hutang menurut peraturan yang berlaku. 2. Bagaimana pengaturan peralihan hak milik tanah yang terdapat dalam suatu perjanjian hutang piutang terkait dengan kasus Nunung Herlina dengan Hani Haryani. Kesimpulan dari penulisan ini adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Hani Haryani dengan merubah konsep perjanjian hutang piutang menjadi perjanjian jual beli. 1

2 2 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 1 Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law. 2 Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 3 Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 4 Dalam perumusan yang diberikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu: 5 Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Sedangkan persetujuan tersebut sebagaimana diatur dalam KUH Perdata adalah: 6 Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 1 R. Subekti (a), Hukum Perjanjian, Cet. 21, (Jakarta: Internusa, 2005), hal Salim (a), Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. 1, (Bandung: Bina Cipta, 1979), hal. 4 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Cet. 2, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hal Indonesia (a), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), ps Ibid., ps

3 3 Verbintenis merupakan suatu istilah dalam bahasa Belanda yang oleh para sarjana Indonesia diterjemahkan ke dalam berbagai istilah, seperti istilah perikatan, perutangan, dan perjanjian. 7 Akan tetapi, istilah perikatan dianggap cenderung lebih tepat karena pengertian dari verbintenis lebih sesuai dengan istilah perikatan di mana di dalam perikatan itu para pihak saling terikat oleh hak dan kewajiban atas suatu prestasi. 8 Penerjemahan istilah verbintenis ke dalam istilah perikatan dan perjanjian inilah yang mengakibatkan sebagian orang menganggap istilah perjanjian dan perikatan merupakan dua istilah yang memiliki pengertian yang sama walaupun kedua istilah itu sebenarnya berbeda. Di dalam buku yang ditulisnya, Prof. Subekti mengartikan perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 9 Pihak yang berhak menuntut sesuatu hal diistilahkan sebagai kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan kreditur atau si berpiutang diistilahkan sebagai debitur atau si berutang. 10 Kreditur dan debitur ini merupakan para pihak yang menjadi subjek dalam suatu perikatan, sedangkan yang menjadi objek dalam suatu perikatan merupakan hak dari kreditur dan kewajiban dari debitur yang umumnya disebut sebagai prestasi Perumusan Masalah Maka berdasarkan seluruh latar belakang diatas, perumusan masalah yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian hutang piutang dalam hal tanah menjadi jaminan hutang menurut peraturan yang berlaku? 7 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal Ibid. 9 Subekti (b), Hukum Perjanjian (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal Ibid. 11 Hartono Hadisoeprapto, Op.cit., hal. 29.

4 4 2. Bagaimana pengaturan peralihan hak milik tanah yang terdapat dalam suatu perjanjian hutang piutang terkait dengan kasus Nunung Herlina dengan Hani Haryani? 1.4. Metode Penulisan Penelitian ini merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah, yang membutuhkan data penunjang. Untuk dapat memperoleh data tersebut maka dilakukan metode tertentu yaitu metode penelitian hukum. Fungsi dari metode penelitian hukum tersebut adalah menentukan, merumuskan, dan menganalisa serta memecahkan masalah tertentu untuk dapat mengungkapkan kebenarankebenaran. 12 Adapun Tipe penelitian ini deskriptif yang apabila dilihat dari sudut sifatnya merupakan penelitian hukum normatif yang terkait dengan keberlakuan atas syarat sahnya perjanjian dalam surat perjanjian serta kemungkinan akibat yang akan ditimbulkannya. 13 Penelitian hukum yang normatif (legal research) biasanya hanya merupakan studi dokumen, yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan pendapat para sarjana. 14 Itu pula sebabnya digunakan analisis secara kualitatif (normatif-kualitatif) karena datanya bersifat kualitatif. Penelitian ini ditujukan utama hanya kepada pasal-pasal dan butir-butir dalam perjanjian yang dianggap melanggar dengan ketentuan asas-asas perjanjian dan ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini juga menitik beratkan kepada teori-teori kepastian hukum serta norma-norma yang berlaku umum di perjanjian sesuai dengan ilmu disiplin hukum. Data pendukung teori juga akan diambil melalui studi kepustakaan, sehingga dalam teknik pengumpulan data mulai mengumpulkan data, mempelajari literatur-literatur, buku-buku, tulisan-tulisan dari para ahli yang berkaitan dengan objek penelitan. untuk mendukung teori dan mencari kesimpulan dari hasil penelitian. hal Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), 13 Ibid., hal Ibid.

5 5 Adapun bentuk lain dari penelitian ini menggunakan metode bentuk penelitian kepustakaan yang berdasarkan metode normatif (studi kepustakaan) artinya hanya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat umum. Metode normatif dalam penulisan ini dilakukan dengan cara mengadakan analistis terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan buku seperti artikel dan makalah yang berhubungan dengan penulisan ini. Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bahan Hukum Primer Adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Bahan hukum primer yang dipakai dalam melakukan penelitian ini adalah ketentuan perundang-undangan mengenai hukum perdata, khususnya dalam bidang perkawinan, harta kekayaan, dan hibah. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgelijk Wetboek. 2. Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, yang isinya tidak mengikat. Bahan sekunder tersebut antara lain meliputi jurnal, majalah, artikel, surat kabar, buku, serta hasil karya ilmiah lainnya yang membahas mengenai masalah perjanjian. Data sekunder yang akan diperoleh adalah salah satunya dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang diterjemahkan oleh Subekti dan menurut Lembaran Negara berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Data lain yang diperoleh dari penelitian surat perjanjian atau bahan pustaka tersebut akan dianalisa melalui pendekatan kualitatif dan untuk mendukung data dan bahan maka akan menggunakan alat pengumpul data lain yaitu wawancara dengan narasumber. 3. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier memberikan petunjuk atau 15 Ibid., hal. 22.

6 6 penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain Analisa Kasus Pada dasarnya setiap orang dapat membuat perjanjian, namun setiap orang yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pasal Pasal ini berlaku untuk setiap jenis perjanjian yang ada, termasuk perjanjian tersebut adalah perjanjian hutang piutang. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa isi perjanjian harus memperhatikan pada prinsip-prinsip perjanjian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu prinsip tersebut harus dilihat dari asas kebebasan berkontrak, bahwa isi-isi dari suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas, namun asas ini juga membatasi bahwa suatu perjanjian tidak boleh menyimpang dari apa yang telah diatur dalam undang-undang. Berdasarkan hal ini maka jelaslah bahwa asas ini menghendaki para pihak untuk membuat isi perjanjian tidaklah melawan hukum. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjianperjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu: 16 perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang; perjanjian untuk berbuat sesuatu; dan perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan tersebut dinamakan prestasi. Untuk mengetahui hal-hal apa yang wajib dilaksanakan oleh pihak yang terikat dapat dilihat dari beberapa sumber: 17 1) Dari sumber undang-undang sendiri pada umumnya undang-undang hukum perjanjian telah mengatur beberapa ketentuan tentang kewajibankewajiban yang mesti dilaksanakan dengan sempurna. 2) dari akta/surat perjanjian yang dibuat berdasarkan persetujuan dari kehendak para pihak. 16 R. Subekti, Op.ci., hal Yahya Harahap, Op.cit, hal. 56.

7 7 Sebagaimana kasus Nunung dan Hani ini juga perlu memperhatikan pengaturan mengenai perjanjian yang berlaku di KUH Perdata, dimana para pihak dalam mengikatkan diri kepada suatu perikatan tersebut harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pasal Adapun ketentuan yang diatur dalam pasal ini yang terdiri atas syarat subjektif dan syarat objektif. Nunung dan Hani telah memenuhi apa yang diatur dalam KUH Perdata pasal Dapat dilihat bahwa para pihak yang membuat perjanjian tersebut adalah subjek hukum yang sudah cakap hukum, mereka adalah orang yang mengikatkan diri dalam perikatan tersebut berdasarkan kesepakatan. Adapun hal yang membuat mereka sepakat terikat dalam perjanjian tersebut dikarenakan adanya suatu sebab yaitu Nunung membutuhkan modal untuk usaha namun ia tidak memiliki modal tersebut dan untuk memperoleh modal tersebut ia meminjam uang kepada Hani dengan menjaminkan Sertifikat tanah miliknya. Maka berdasarkan hal ini jelas bahwa telah terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yang ketiga. Syarat sahnya perjanjian yang terakhir adalah adanya suatu sebab hal yang halal, dimana maksud dari syarat ini menghendaki bahwa perjanjian yang dibuat para pihak tersebut adalah perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana dilihat dari kasus ini perjanjian yang dibuat para pihak adalah perjanjian hutang piutang yang memang diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku. Melihat kepada ketentuan yang mengatur syarat sahnya perjanjian terkait dengan kasus diatas maka jelas perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut adalah perjanjian hutang piutang yang sah menurut KUH Perdata pasal Lahirnya perikatan dari perjanjian ini juga membawa para pihak kepada akibat hukum yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Adanya hak dan kewajiban para pihak yang terikat juga dapat dilihat menurut tujuan (strekking) dari perjanjian dan sifat perjanjian. Hal ini sesuai dengan apa yang ditentukan dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata, antara lain yang disebutkan dalam KUH Perdata Pasal 1348 menyebutkan bahwa: si persetujuan harus disimpulkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan maksud tujuan perjanjian. Dapat disimpulkan bahwa pasal ini mengatur setiap orang yang membuat perjanjian pada dasarnya memiliki tujuan yang hendak dicapai, dan untuk mewujudkan

8 8 tujuan tersebut harus dibuat secara jelas apa saja yang menjadi perangkatperangkat pendukung terciptanya tujuan tersebut. Sebagaimana adanya hak dan kewajiban yang lahir dari perjanjian tersebut, maka perlu memperhatikan terlebih dahulu jenis perjanjian apa yang teradapat dalam kasus ini. Mengingat dalam kasus ini adanya pengakuan telah terjadi perjanjian hutang piutang berdasarkan bukti yang dilampirkan oleh Penggugat di Pengadilan tidak sesuai dengan jenis perjanjian yang diberikan oleh Tergugat. Berdasarkan pengakuan Tergugat perjanjian yang telah terjadi tersebut adalah perjanjian jual beli tanah. Namun disini terdapat kelemahan Tergugat, dimana perjanjian jual beli yang dapat meyakinkan hakim, namun perbuatan tergugat tersebut tidak memenuhi unsur perjanjian jual beli melainkan telah terjadi perjanjian hutang piutang. Hal ini dapat dilihat dengan tindakan yang dilakukan oleh Tergugat yang selalu menerima uang cicilan yang dibayarkan oleh Penggugat untuk tujuan pelunasan hutang piutang tersebut. Dalam kasus ini putusan yang diberikan adalah menyatakan sahnya perjanjian jual beli, sedangkan menganggap bahwa tidak pernah terjadi perjanjian hutang piutang. Disini hakim terlihat tidak memahami perbedaan perjanjian. Hakim tidak melihat bahwa perbuatan Tergugat dengan menerima uang cicilan dari Penggugat adalah suatu perbuatan dimana secara tidak langsung bahwa Tergugat telah mengakui bahwa perjanjian yang dibuat kedua belah pihak tersebut dihadapan Turut Tergugat I adalah perbuatan yang termasuk dalam sifat perjanjian hutang piutang, bukan perjanjian jual beli. Berdasarkan perbuatan hakim ini jelas merugikan Penggugat karena hakim tidak memahami bagaimana keberlakuan serta sifat-sifat dari perjanjian yang berlaku di Indonesia. Akibat dari putusan ini jelas maka Penggugat kehilangan haknya, yang juga jelas timbul karena adanya ketidakpahaman hakim terhadap pelaksanaan perjanjian. Namun berdasarkan keseluruhan pembahasan diatas ini, jelas maka perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat adalah perjanjian hutang piutang, bukan perjanjian jual beli. Hak Nunung sebagai debitur dalam kasus ini berdasarkan perjanjian hutang piutang adalah menerima sejumlah uang yang telah disepakati yaitu sebesar Rp ,-, (dua puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah), sedangkan kewajiban Nunung adalah mengembalikan uang pinjaman tersebut selambat-

9 9 lambatnya 20 bulan setelah Nunung menerima pinjaman tersebut. Kewajiban lainnya adalah untuk mendapatkan pinjaman tesebut Nunung wajib menyerahkan sertifikat tanah miliknya kepada Hani sebagai jaminan. Sementara itu hak yang dimiliki Hani adalah menerima uang yang dipinjam oleh Nunung selambatlambatnya setelah Hani menyerahkan uang kepada Nunung yaitu dalam jangka waktu 20 bulan, selain itu Hani juga berhak untuk menahan sertifikat milik Nunung sampai Nunung selesai melaksanakan kewajibannya. Berdasarkan penjelasan hak dan kewajiban para pihak tersebut dapat dilihat bahwa jelas para pihak harus melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dan dapat menuntut haknya masing-masing. Setiap pelaksaaan perjanjian yang tidak dilakukan oleh salah satu pihak adalah jelas suatu perbuatan ingkar janji atau wanprestasi. Sedangkan bila salah satu pihak melakukan perbuatan yang tidak ada dalam perjanjian tersebut dan mengakibatkan kerugian kepada pihak lainnya, maka dapat dikatakan perbuatannya tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan perjanjian hutang piutang, perjanjian hutang piutang mengatur bahwa jika salah satu pihak melakukan wanprestasi maka piutang tersebut dapat beralih kepada kreditur atau dimiliki kepada kreditur, namun peralihan hak milik tersebut tidak dapat berpindah begitu saja, harus diketahui dan disepakati kedua belah pihak sekalipun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi. Penggugat tidak memenuhi unsur wanprestasi, jika diperhatikan dalam putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian tersebut tidak dicantumkan ketentuan waktu untuk pembayaran setiap bulannya, hanya dicantumkan waktu terakhir pelunasan hutang tersebut. Hal ini juga dilihat dari adanya bukti yang dapat diberikan oleh Penggugat bahwa tidak adanya pencantuman pembayaran setiap bulannya. Berdasarkan hal ini maka jelas pembayaran hutang tersebut dapat dibayarkan seluruhnya pada tanggal 20 Desember Dalam kasus ini sekalipun Penggugat tidak melakukan pembayaran setiap bulannya, namun Penggugat memberikan pelunasan hutang tersebut pada tanggal 20 Desember 2002, maka jelas bahwa pengugat tidak melakukan wanprestasi atau memenuhi unsur wanprestasi.

10 10 Sebagaimana yang terjadi dalam kasus ini, Penggugat datang kepada Tergugat untuk menyerahkan hutangnya, namun ternyata Tergugat memperlihatkan foto kopi sertifikat kepemilikan tanah atas nama Tergugat miliki Penggugat. Adanya foto kopian tersebut jelas membuat Penggugat keberatan, dikarenakan ia merasa tidak pernah menyerahkan kepemilikan tanah miliknya tersebut kepada tergugat, ia hanya menyerahkan sertifikat tersebut sebagai jaminan hutang piutang kepada tergugat. Hal ini dikatakan Tergugat bahwa Penggugat telah menyerahkan kepada Tergugat melalui perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan Tergugat I pada tanggal 9 April Jika diperhatikan dalam kasus ini, Penggugat yang merasa tidak melakukan perjanjian jual beli kepada Tergugat dapat membuktikan bahwa perjanjian yang dilakukan para pihak tersebut adalah jelas perjanjian hutang piutang, namun hal ini disangkal oleh tergugat yang mengaku bahwa perjanjian yang terjadi adalah perjanjian jual beli tanah milik Penggugat yang akan beralih kepada Tergugat tanpa adanya bukti yang dapat ditunjukan kepada Penggugat Pengaturan Mengenai Hipotik Dan UUHT Perjanjian hutang piutang atas tanah sebagai jaminan hutang menurut KUH Perdata diatur dalam beberapa pasal yang mengatur mengenai Hipotik. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1162 KUH Perdata Hipotik diartikan bahwa Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Maksud dari pasal ini adalah memberikan hak kebendaanatas suatu benda tidak bergerak yang di peroleh seorang berpiutang dan memberikan kekuasaan bagi si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari hasil eksekusi barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut, (biaya mana harus didahulukan) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut dan utang-utang fiscal, biayabiaya dan utang-utang mana yang harus didahulukan. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa terhadap suatu wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak karena tidak bisa melunai hutangnya kepada kreditur, ia tetap memiliki hak untuk mendapatkan bagian atas sisa penjualan tanah sebagai objek hutang piutang dari

11 11 debitur. Namun hal ini berlaku bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu. Terkait dengan kasus diatas, Penggugat jelas tidak melakukan wanprestasi karena pada saat Penggugat menyerahkan hutangnya, ia berada pada waktu jatuh temponya hutang tersebut harus dibayarkan, maka berdasarkan hal ini seharusnya ketika Penggugat telah selesai melaksanakan kewajibannya, Tergugat juga melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dengan itikad baik sebagaimana itikad baik adalah hal yang penting dilaksanakan dalam suatu perjanjian. Adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat. Hal ini dapat dilihat dengan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat dan Tergugat I dengan adanya sertifikat jual beli tanah yang dilakukan mereka tanpa seijin penggugat. Sebagaimana jelasnya perjanjian ini adalah perjanjian ini adalah perjanjian yang memenuhi unsur perjanjian hutang piutang. Perjanjian ini dibantah oleh Tergugat dan Tergugat yang menyebutkan perjanjian yang telah terjadi ini adalah perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan tergugat I. Hal ini juga dapat dilihat dengan adanya bukti cicilan pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat kepada Tergugat sebagai bukti bahwa perjanjian yang telah terjadi adalah perjanjian yang memenuhi unsur perjanjian hutang piutang. Hal lain adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat adalah diterimanya oleh Tergugat setiap kali pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat. Namun pada kenyataannya pada saat persidangan Tergugat mengatakan tidak pernah terjadi perjanjian hutang piutang melainkan adanya perjanjian jual beli. Apabila diperhatikan kasus ini lebih teliti, maka seharusnya jikalau memnag telah terjadi perjanjian jual beli seperti yang dikatakan Tergugat, seharusnya ia tidak menerima cicilan pembayaran dari Penggugat. Adanya sikap tergugat dengan menerima uang dari Penggugat tersebut adalah suatu sikap yang mengakui telah terjadi perjanjian hutang piutang. Namun sayangnya dalam kasus ini, hakim pada tingkat Pengadilan Negeri tidak memeriksa dengan teliti perbuatan yang dilakukan Tergugat adalah suatu perbuatan yang menyatakan sikap telah terjadinya kesepakatan perjanjian hutang piutang sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Selain itu hakim juga tidak memperhatikan adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh Tergugat. Sama halnya dengan hakim pada tingkat Pengadilan Tinggi seperti kurang memahami

12 12 sifat dari perjanjian hutang piutang dan perjanjian jual beli yang berlaku menurut KUH Perdata. Sebagaimana pengaturan mengenai Hipotik di Indonesia diatur dalam KUH Perdata, Hipotik ini pun merupakan hak yang bersifat accesoir. KUH Perdata Pasal 1168 menentukan bahwa hipotik hanya dapat dilakukan oleh pemilik barang dan pemasangan hipotik atau kuasa memasang hipotik harus dilakukan dengan akta Notaris, sebagaimana ketentuan KUH Perdata Pasal Objek hipotik sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1164 adalah barang tidak bergerak. Hipotik tidak dapat dibebankan atas benda bergerak. Melihat perjanjian ini dibuat dihadapan Tergugat I sebagai Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah memenuhi syarat formil sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata mengenai Hipotik. Namun dalam kasus ini ternyata telah terjadi persekongkolan yang dilakukan oleh Tergugat dan turut Tergugat I dengan membuat suatu perjanjian jual beli yang dikuatkan dalam Akta Jual Beli tanah. Dimana Penggugat merasa tidak pernah melakukan perjanjian jual beli tanah oleh Tergugat, maka Penggugat merasa perlu mempertahankan apa yang menjadi haknya yaitu tanah sebagai objek hutang piutang tersebut kembali kepadanya. Hal ini memperlihakan bahwa perbuatan Tergugat dan Tergugat I adalah perbuatan yang merugikan Penggugat dan adanya itikad tidak baik, dimana turut Tergugat I dalam kasus ini adalah orang yang memiliki jabatan sebagai pejabat Negara yang seharusnya menerapkan kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata. Menilik waktu pembuatan Akta Jual Beli tersebutpun jatuh pada saat yang sama ketika Penggugat hanya melakukan perjanjian hutang piutang dengan Tergugat sebagaimana hal ini wajib dilakukan para pihak dihadapan turut Tergugat I sebagai pejabat yang berkompeten menurut KUH Perdata. Namun ternyata kedudukan turut Tergugat I disini merugikan Penggugat atau dapat dikatakan turut Tergugat I telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Notaris dan PPAT. Pada prinsipnya isi akte hipotek itu dapat di bagi atas dua bagian yaitu isi yang wajib dan isi yang fakultatif. Isi yang wajib yaitu berisi hal-hal yang wajib dimuat. Yang memuat pertelaan mengenai barang apa yang dibebani hipotik itu (tanah rumah dan lain-lain), luasnya/ukuranya berapa, letaknya di mana,

13 13 berbatasan dengan milik siapa, jumlah barang dan lain-lain. Sedangkan Isi yang fakultatif yaitu yang berisi hal-hal yang secara fakultatif dimuat. Yaitu yang berisi janji-janji/beding yang diadakan antara pihak-pihak (debitur dan kreditur). Tetapi sekalipun janji-janji ini merupakan isi yang fakultatif dari hipotik namun janjijanji demikian lazim dimuat dalam akte demi kepentingan para pihak sendiri agar lebih zeef/kuat. Sebagaimana Hipotik yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1186 ayat 2 menetapkan janji-janji yang dimuat dalam suatu akte hipotik salah satunya ialah Janji untuk menjual sendiri yang diatur dalam KUH Perdata pasal 1178 ayat (2). Maksud dari pasal ini adalah jika debitur itu nanti tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) maka kreditur itu nanti atas kekuasaan sendiri berhak untuk menjual benda yang dihipotikkan untuk pelunasan hutang-hutangnya. Dengan ketentuan bahwa menjualnya harus di muka umum dan hasil penjualan itu setelah dikurangi dengan hutang debitur sisanya di kembalikan kepada debitur. Janji yang demikian ini terutama ialah untuk melindungi kepentingan si kreditur. Karena baik pada hipotik maupun pada pand, kreditur tidak dapat mengadakan verval beding. Yaitu suatu janji untuk memiliki barang yang dihipotikkan dalam hal si debitur melakukan wanprestasi. Janji untuk menjual barang-barang tersebut untuk pelunasan hutangnya. Hanya saja bedanya dengan pand/gadai, wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri itu pada gadai adanya dan diberikan oleh undang-undang sedangkan pada hipotik wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri itu adanya harus diperjanjikan lebih dahulu. Maka berdasarkan hal ini, jika memang Penggugat telah melakukan wanprestasi, Tergugat tetap tidak memiliki hak untuk melakukan peralihan hak miliki tanah milik Penggugat melalui perjanjian hutang piutang. Dalam halnya Tergugat sebagai kreditur diberikan hak untuk menjual tanah sebagai jaminan hutang sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian, namun tetap saja Tergugat tidak memiliki hak untuk mengalihkan kepemilikan tanah tersebut tanpa seijin Penggugat. Dalam kasus ini hakim juga membenarkan tindakan Tergugat berdasarkan keyakinan bahwa perbuatan dan bukti yang tidak benar oleh Tergugat adalah suatu hal benar. Disini hakim tidak memahami bagaiman perlihan kepemilikan tanah yang lahir berdasarkan Hipotik. Sekali lagi dapat dilihat,

14 14 bahwa hakim merugikan Penggugat sebagai pemilik tanah. Lahirnya pengaturan mengenai jaminan benda tidak bergerak yang diatur dalam KUH Perdata tidak seluruhnya berlaku lagi sejak disahkannya Undangundang Hak Tanggungan (UUHT). Sebagaimana pengertian hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 1 angka ke-1 Undang-Undang Hak Tanggungan 18 disimpulkan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Pengaturan mengenai Hak Tanggungan yang terdapat dalam UUHT Pasal 8 ayat (1) ini menyebutkan bahwa pemberian hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Berdasarkan pasal ini maka jelas bahwa orang dapat melakukan penjaminan kepada perorangan lainnya atas suatu benda tidak bergerak atas kreditur dan debitur keduanya adalah subjek hukum yang bukan badan hukum. Terkait dengan kasus diatas, maka jelas bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat adalah perbuatan yang boleh dilakukan menurut UUHT. Sebagaimana hak tanggungan mengatur bahwa objek dalam UUHT adalah benda yang tidak bergerak, maka terkait dengan kasus diatas bahwa apa yang menjadi objeknya adalah tanah milik Penggugat yang menjadi jaminan. Dalam UUHT menjelaskan bahwa Pengaturan mengenai hak tanggungan tersebut tidak hanya mengatur mengenai subjek dan objek hukum dalam Hak Tanggungan tetapi juga mengatur bagaimana sifat, tahapan dan pelaksanaan hak tanggungan. Salah satu dari beberapa sifat hak tanggungan menurut UUHT pasal 6 menyebutkan bahwa apabila debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk untuk menjual objek hak tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dengan adanya 18 Indonesia (d), Undang-undang Tentang Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996, ps. 1 ayat (1) berbunyi Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

15 15 sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Ketentuan ini memang jelas mengatur pemberian hak tanggungan kepada kreditur, namun ketentuan ini menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap akibat hukum yang timbul. Hal ini dapat diartikan bahwa jika debitur tidak melakukan prestasinya, maka kreditur tidak memerlukan izin dari debitur untuk melakukan pelelangan terhadap objek yang diperjanjikan dalam hak tanggungan. Kembali melihat kepada kasus diatas, dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan tergugat dengan mengalihkan sertifikat hak milik atas nama penggugat adalah perbuatan yang timbul atas penafsiran yang berbeda dari arti yang dimaksudkan oleh undang-undang ini. Dalam kasus ini perbuatan tergugat adalah perbuatan atas dasar penafsiran yang berbeda dari maksud UUHT pasal 6 ini. Dimana tergugat mengalihkan hak kepemilikan sertifikat milik penggugat berdasarkan penafsiran bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum dengan mengalihkan atas namanya jika penggugat melakukan cidera janji. Sebagaimana perbuatan tergugat dalam kasus ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana maksud dari undang-undang ini. Dalam kasus ini tergugat mengalihkan kepemilikan tersebut dengan menafsirkan ketentuan ini dengan berdiri sendiri, dimana seharusnya ia menafsirkan ketentuan ini tidak lepas dari ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan hal ini jelas bahwa tergugat tidak berhak untuk mengalihkan kepemilikan sertifikat rumah tanpa seijin penggugat apabila memang ditemukan penggugat melakukan wanprestasi terhadap perjanjian hutang piutang tersebut. Adanya perbuatan lain yang dilakukan tergugat dengan mengatakan bahwa tidak terjadinya perjanjian hutang piutang tersebut dalam kasus ini dapat dilihat adanya itikad tidak baik yang ditunjukan oleh tergugat. Hal ini didasarkan dengan perbuatan yang dilakukan tergugat dengan menyatakan bahwa tidak terjadinya perjanjian hutang piutang. Adapun dalil yang dikatakan tergugat bahwa yang terjadi adalah perjanjian jual beli yang dilakukan dihadapan turut tergugat I melalui bukti Akta Jual Beli (AJB). Sebagaimana dalam kasus ini tergugat memang dapat membuktikan adanya AJB tersebut tanpa memperlihatkan adanya perjanjian hutang piutang yang telah disepakati para pihak tersebut. Namun itikad

16 16 tidak baik yang dapat dilihat dari tergugat disini dapat dilihat dengan cicilan pembayaran yang selalu diterima oleh tergugat dari penggugat. Apabila perjanjian yang dilakukan tergugat dan penggugat adalah perjanjian jual beli, maka seharusnya tergugat tidak menerima seluruh cicilan yang diberikan penggugat. Untuk perjanjian hutang piutang perseorangan atas tanah maka pengaturan tersebut haruslah memperhatikan ketentuan yang diatur dalam UUHT. UUHT mengatur bahwa yang menjadi objek perjanjian hutang piutang tidak dapat berpindah begitu saja. Hal ini dapat berpindah kepada kreditur apabila waktu perjanjian tersebut juga sudah melampaui batas perjanjian. Namun untuk peralihannya pun tetap harus memperhatikan apa yang diatur dalam UUHT, yaitu bahwa jika objek sengketa adalah tanah, dan debitur tidak dapat membayar tetap pada waktu, maka peralihan hak milik atas tanah tersebut tidak dapat begitu saja berpindah, seharusnya Kreditur memberitahukan kepada debitur bahwa terhadap tanah tersebut apakah akan ditindaklanjuti atau tidak sebagaimana yang diatur dalam UUHT mengenai tahapan peralihan hak milik. Dalam kasus ini peralihan yang terjadi adalah peralihan tanpa seijin debitur yang jelas peralihan tersebut adalah peralihan yang bertentangan dengan hukum. Pengaturan mengenai hak tanggungan mengatur bahwa ada beberap hal yang tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian. Salah satunya adalah Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. 19 Penjelasan Pasal 12 Ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak Tanggungan melebihi besar-nya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik obyek Hak Tanggungan karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli obyek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20. Dalam kasus ini sekalipun Penggugat mungkin kedapatan wanprestasi namun ia sebenarnya tetap dilindungi oleh undang-undang untuk mempertahankan hak milik tanahnya, tetapi pada 19 Ibid., ps. 12.

17 17 kenyataannya ia kehilangan hak milik tanahnya atas perbuatan yang dilakukan tergugat. Berdasarkan hal ini maka dapat dilihat bahwa memang tergugat telah memiliki itikad tidak baik dari awal perjanjian ini dibuat. mengenai peralihan milik yang terjadi dalam kasus ini jelas batal demi hukum sebagaimana yang diatur dalam UUHT pasal 12. Oleh sebab itu maka seharusnya peralihan hak milik tanah tersebut dianggap tidak pernah ada dan batal demi hukum. Dan terhadap kepemilikan tanah tersebut seharusnya kembali kepada Penggugat. Namun yang disayangkan dalam kasus ini, hakim di setiap tingkat peradilan tidak memperhatikan apa yang diatur dalam UUHT yang akhirnya mengakibatkan kerugian kepada Penggugat Kesimpulan 1. Hipotik merupakan suatu perjanjian accesoir, jika hubungan pokok berakhir maka berakhir pula jaminan hipotiknya. Berlakunya Undangundang No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan, maka hipotik tentang tanah dan segala sesuatu yang berada dan tetap ada di atas tanah tersebut, maka tidak dapat menggunakan hipotik dikarenakan telah ada Undangundang No. 4 tahun Berlakunya ketentuan ini berlaku untuk perjanjian tanah sebagai jaminan yang dilakukan oleh perorangan dan badan hukum. Maka berdasarkan ketentuan ini jelas berlaku terhadap siapa saja yang melakukan perjanjian Hak Tanggungan. 2. Pengaturan mengenai hak kepemilikan tanah dalam kasus Nunung dan Yani ini telah melanggar apa yang diatur dalam UUHT, tidak hanya itu tetapi juga melanggar syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata pasala Dimana kasus ini telah melanggar syarat objektif yang diatur dalam KUH Perdata. Berdasarkan hal ini maka jelas bahwa seharusnya kepemilikan tanah milik Yani dengan cara melawan hukum ini seharusnya batal demi hukum, dan tanah tersebut seharusnya kembali kepada Nunung Saran 1. Seharusnya hakim dalam memeriksa perkara mengenai perjanjian hak tanggungan lebih teliti dan memahami sifat-sifat perjanjian. Jika hakim

18 18 tidak dapat memahami ini dengan baik, maka akan banyak kasus yang merugikan pihak yang memang memiliki hak-hak kepemilikan tersebut. 2. Peralihan hak milik tanah dalam kasus ini jelas adalah peralihan yang tidak sesuai dengan hukum, maka terhadap peralihan ini, seharusnya hakim memberikan putusan untuk menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan tergugat adalah perbuatan yang tidak seharusnya dibenarkan dan harus dibatalkan. DAFTAR PUSTAKA Buku: Hadisoeprapto. Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta: Liberty, Prodjodikoro. Wirjono (a), Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet. 10, Bandung: Bale Bandung, (b), Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. 8, Bandung: Mandar Maju, (a), Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetjuan Tertentu, Bandung: Sumur Bandung, Satrio. J. (a), Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya, Setiawan. Rachmat. (a), Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cet. 1, Bandung: Bina Cipta, Subekti. R. (a), Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cet. 1, Bandung: Alumni, 1976.

19 19 (b), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke Wetboek), Cet. 1. (c), Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, (d), Hukum Perjanjian, Jakarta: Internusa, (e), Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: PT. Intermasa, (f), Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, (g), Hukum Perjanjian, Cet. 21, Jakarta: Internusa, Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Edisi 1, Cet. 4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004., Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty: Yogyakarta, Soekanto. Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: UI-Press, S. Salim H., Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 5, Jakarta: Sinar Grafika, Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjamahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 31, Jakarta: Pradnya Paramita, Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN. No. 1 Tahun 1974, TLN No

20 20 Indonesia, Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, UU No. 4 Tahun 1996, LN No. 42 Tahun 1996, TLN No Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan yang harus dipenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.dalam usaha untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang memiliki hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan ekonomi dan perdagangan dewasa ini, sulit dibayangkan bahwa pelaku usaha, baik perorangan maupun badan hukum mempunyai modal usaha yang cukup untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik langsung untuk kehidupan seperti bercocok tanam atau tempat tinggal,

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Konsepsi harta kekayaan di dalam perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 1 adalah sebagai suatu persekutuan harta bulat, meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract) Definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam keadaan yang sedang dilanda krisis multidimensi seperti yang sedang dialami negara Indonesia sekarang ini, tidak semua orang mampu memiliki sebuah rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang hidup dengan saling berdampingan satu dengan yang lainnya, saling membutuhkan dan saling

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah ditempatkan sebagai suatu bagian penting bagi kehidupan manusia. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus meningkat.

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) yang bersumber pada Pancasila dan bukan

Lebih terperinci

HAK KREDITUR ATAS PENJUALAN BARANG GADAI

HAK KREDITUR ATAS PENJUALAN BARANG GADAI HAK KREDITUR ATAS PENJUALAN BARANG GADAI Oleh Pande Made Ayu Dwi Lestari I Made Tjatrayasa Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The title of this journal is creditur s right

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jual beli tanah merupakan suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah (penjual) berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum BAB I PENDAHULUAN Hukum perjanjian adalah bagian dari Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum Perdata, karena Hukum Perdata banyak mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing lagi di masyarakat dan lembaga jaminan memiliki peran penting dalam rangka pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pembangunan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan berkelanjutan mencakup berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat. Pembangunan Nasional merupakan usaha peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi.

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran Lembaga Pembiayaan dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi. Maka sudah semestinya mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia 7 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya perekonomian suatu bangsa, menyebabkan pemanfaatan tanah menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN A. Pengertian Hak Tanggungan Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang Eksekusi 1. Kekuatan Eksekutorial Pengertian kekuatan Eksekutorial menurut Pasal 6 UUHT dapat ditafsirkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya.

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu. mengatasi bahaya-bahaya yang dapat mengancam eksistensinya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia memiliki naluri self preservasi yaitu naluri untuk mempertahankan eksistensinya di dunia. Naluri self preservasi selalu berhadapan dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alat transportasi yang banyak dibutuhkan oleh manusia adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan memegang peranan sangat penting dalam bidang perekonomian seiring dengan fungsinya sebagai penyalur dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana kepada

Lebih terperinci

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA Oleh : Dr. Urip Santoso, S.H, MH. 1 Abstrak Rumah bagi pemiliknya di samping berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, juga berfungsi sebagai aset bagi

Lebih terperinci

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH Oleh : Gostan Adri Harahap, SH. M. Hum. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhanbatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, Aditya Bakti, 2001), hlm Ibid., hlm

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembatalan akta..., Rony Fauzi, FH UI, Aditya Bakti, 2001), hlm Ibid., hlm 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk individu mempunyai berbagai macam kebutuhan dalam hidupnya dimana kebutuhan tersebut kadangkala bertentangan dengan kebutuhan dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada

BAB I PENDAHULUAN. Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada BAB I PENDAHULUAN Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada umumnya, Perjanjian Pinjam Meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI 2.1 Asas Subrogasi 2.1.1 Pengertian asas subrogasi Subrogasi ini terkandung dalam ketentuan Pasal 284 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN. dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN. dahulu dijelaskan apa yang dimaksud engan perjanjian. Masalah perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN UTANG PIUTANG DIBAWAH TANGAN 2.1. Perjanjian 2.2.1. Pengertian Perjanjian Sebelum berbicara masalah perjanjian Utang piutang terlebih dahulu dijelaskan apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat dilakukan secara sendiri tanpa orang lain. Setiap orang mempunyai

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Oetarid Sadino, Pengatar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hlm. 52.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Oetarid Sadino, Pengatar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2005, hlm. 52. BAB I PENDAHULUAN Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan, maka penggunaan hak dengan tiada suatu kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi utama Bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan melaksanakan pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HAK RETENSI BENDA GADAI OLEH PT. PEGADAIAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI

KEDUDUKAN HAK RETENSI BENDA GADAI OLEH PT. PEGADAIAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI KEDUDUKAN HAK RETENSI BENDA GADAI OLEH PT. PEGADAIAN DALAM HAL DEBITUR WANPRESTASI oleh Mauritius Gusti Pati Runtung I Gusti Ngurah Parwata Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Pasal 1234 KHUPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaiknya dianggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya zaman negara Indonesia telah banyak perkembangan yang begitu pesat, salah satunya adalah dalam bidang pembangunan ekonomi yang dimana sebagai

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hal ini dikarenakan manusia diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Hal ini menyebabkan setiap manusia di dalam kehidupannya senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS Bambang Eko Mulyono Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan. ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya perekonomian di suatu Negara merupakan salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, oleh karena itu dapat dikatakan hukum tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. patut, dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. 1 Salah satu bidang hukum

BAB I PENDAHULUAN. patut, dinyatakan sebagai penyalahgunaan hak. 1 Salah satu bidang hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang bertujuan untuk melindungi kepentingankepentingan, maka penggunaan hak dengan tiada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian dan Syarat Sah Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan ini, maka banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan zaman di bidang teknologi telah memacu perusahaan untuk menghasilkan produk electronic yang semakin canggih dan beragam. Kelebihan-kelebihan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D

REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D REVIEW OF THE LAW AGAINST DEBT ABSORPTION BANKING CREDIT AGREEMENT YUYUK HERLINA / D 101 09 397 ABSTRAK Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah akibat-akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum, dimana Negara hukum memiliki prinsip menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kepada kebenaran dan

Lebih terperinci

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian

BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG. A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian BAB II KONTRAK PENGADAAN BARANG A. Pengertian Kontrak Menurut KUHPerdata Didalam perundang-undangan tidak disebutkan secara tegas pengertian kontrak, tetapi menurut Para pakar hukum bahwa kontrak adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, globalisasi ekonomi guna mencapai kesejahteraan rakyat berkembang semakin pesat melalui berbagai sektor perdangangan barang dan jasa. Seiring dengan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Untuk menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Untuk menghadapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Untuk menghadapi kebutuhuan ini, sifat manusia

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan perekonomian terus berlangsung di manapun dan oleh siapapun sebagai pelaku usaha, baik pribadi, badan hukum privat atau publik, bahkan oleh gabungan

Lebih terperinci

PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH SEBAGAI OBYEK JAMINAN

PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH SEBAGAI OBYEK JAMINAN PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH SEBAGAI OBYEK JAMINAN I KADEK ADI SURYA KETUT ABDIASA I DEWA NYOMAN GDE NURCANA Fakultas Hukum Universitas Tabanan Email :adysurya10@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan dalam kehidupan dewasa ini bukanlah merupakan sesuatu yang asing lagi. Bank tidak hanya menjadi sahabat masyarakat perkotaan, tetapi juga masyarakat perdesaan.

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN Oleh : Dewa Made Sukma Diputra Gede Marhaendra Wija Atmadja Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG 0 KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 318.K/Pdt/2009 Tanggal 23 Desember 2010) TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sains dan teknologi membawa dampak yang signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah membawa kontribusi yang begitu domain

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi 142 PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT Deny Slamet Pribadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ABSTRAK Dalam perjanjian keagenan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Akibat Hukum dari Wanprestasi yang Timbul dari Perjanjian Kredit Nomor 047/PK-UKM/GAR/11 Berdasarkan Buku III KUHPERDATA Dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Nomor

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Didalam masyarakat yang sedang berkembang seperti sekarang ini, kebutuhan manusia akan semakin kompleks jika dibandingkan dengan kebutuhan manusia pada zaman dahulu

Lebih terperinci