EVALUASI LAHAN SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN BERBASIS EKOREGION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI LAHAN SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN BERBASIS EKOREGION"

Transkripsi

1 PENDAHULUAN EVALUASI LAHAN SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN BERBASIS EKOREGION Sukarman Pembangunan pertanian berbasis ekoregion adalah pembangunan pertanian dengan pendekatan terpadu dalam suatu wilayah yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi. Ekoregion mulai dikenal sejak diundangkannya UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memandatkan bahwa untuk menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus berbasis ekoregion yang mempertimbangkan karakteristik wilayah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, ekoregion didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Ekoregion merupakan geografi ekosistem yang mempunyai pola susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang terikat dalam suatu satuan geografis. Sesuai dengan definisi tersebut, maka penetapan batas ekoregion tidak berdasarkan pada batas wilayah administrasi. Pada dasarnya dalam penetapan Ekoregion Nasional Indonesia dilakukan pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan berdasarkan karakteristik fisik yang terbentuk oleh sejarah geologi yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan pada karakteristik biotiknya yang saling berinteraksi baik di wilayah darat maupun laut. Pembangunan berbasis ekoregion dengan demikian merupakan suatu konsep perencanaan tata ruang (spatial planning) dengan mempertimbangkan jasa tata ruang pada suatu wilayah dan masyarakat yang tinggal didalamnya. UNECD dengan Agenda di Rio De Janeiro menekankan pentingnya koherensi antara pengelolaan sumber daya alam, ekologi, ekonomi, kehidupan sosial yang berlanjut, dan kebijakan pembangunan. Perkembangan ekonomi yang pesat dalam suatu wilayah telah menyebabkan terjadinya pergeseran pemanfaatan sumber daya alam dalam suatu wilayah yang menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem yang menyebabkan tidak saja penurunan produktifitas pertanian tetapi juga menurunnya kemampuan jasa ekosistem yang pada gilirannya mempengaruhi kinerja produksi pertanian (Pasandaran, et al., 2011). Dalam perencanaan pembangunan pertanian faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya banyak ditentukan oleh pengelolaan sumber daya lahan yang terdiri dari tanah, air, iklim dan lingkungan pertanian. Kekeliruan terhadap pengelolaan sumber daya lahan dapat menyebabkan degradasi sumber daya lahan yang pada akhir akan menurunkan produksi dan produktivitas lahan. Dengan demikian lahan perlu dikelola secara baik agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan dan tidak merusak lingkungan. Salah satu konsep perencanaan pemanfaatan sumber daya lahan untuk pengembangan pertanian adalah konsep evaluasi lahan. Berkaitan dengan konsep tersebut di atas, maka pengembangan pertanian pada suatu wilayah tidak boleh lagi hanya didasarkan kepada wilayah administratif tetapi harus berdasarkan konsep pembangunan pertanian berbasis ekoregion. Di bidang sumber daya lahan konsep pengembangan wilayah pertanian didasarkan kepada konsep evaluasi lahan. Dengan konsep ini maka memanfaatkan sumber daya lahan ini dapat dilakukan secara optimal, terarah, efisien dan berkelanjutan. Dengan menggunakan konsep evaluasi lahan, maka akan diperoleh suatu penilaian yang memberikan informasi potensi dan atau penggunaan lahan serta harapan produksi yang mungkin diperoleh. 140

2 Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membahas, dan menelaah kegunaan evaluasi lahan dalam mendukung pembangunan pertanian berbasis ekoregion. DAMPAK AKTIVITAS PERTANIAN TAK RAMAH LINGKUNGAN Pembangunan pertanian konvensional yang dilakukan pada masa lalu nampaknya belum menjamin keberlanjutan program pembangunan pertanian yang ramah lingkungan. Hal tersebut dikarenakan salah satunya adalah pengembangan pembangunan pertanian tidak dirancang berbasis ekoregion dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah. Beberapa indikator yang menandakan belum terjaminnya keberlanjutan tersebut diantaranya : (1) tingkat produktivitas lahan menurun, (2) tingkat kesuburan lahan merosot, (3) konversi lahan pertanian semakin meningkat, (4) luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas, (5) tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan pertanian meningkat, (6) daya dukung likungan merosot. Dari evaluasi tersebut degradasi lahan yang berupa penurunan daya dukung lahan dan pencemaran lahan pertanian nampaknya menjadi ancaman yang serius yang harus perlu kita hindari. Ancaman Degradasi Lahan Erosi. Erosi tanah merupakan penyebab kemerosotan tingkat produktivitas lahan DAS bagian hulu, yang akan berakibat terhadap luas dan kualitas lahan kritis semakin meluas. Penggunaan lahan diatas daya dukungnya tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perbaikan kondisi lahan sering menyebabkan degradasi lahan. Misalnya lahan didaerah hulu dengan lereng curam yang hanya sesuai untuk hutan, apabila mengalami alih fungsi menjadi lahan pertanian tanaman semusim akan rentan terhadap bencana erosi dan atau tanah longsor. Erosi tanah oleh air di Indonesia (daerah tropis), merupakan bentuk degradasi lahan yang sangat dominan. Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen (hutan) menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforesterisasi) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS). Sebagai contoh, pada tahun 2000 banyak terjadi deforesterisasi atau penebangan hutan liar baik di hutan produksi ataupun dihutan rakyat, yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan dan lahan. Pada tahun 2000, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia mencapai 56,98 juta ha, sedangkan tahun 2002 mengindikasikan berkembang menjadi 94,17 juta ha, atau meningkat 65,5 % selama 2 tahun. Kerusakan yang disebabkan erosi tidak hanya dirasakan dibagian hulu (on site) saja, akan tetapi juga berpengaruh dibagian hilir (off site) dari suatu DAS. Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis. Dibagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat terjadinya banjir dimusim penghujan, dan terjadi kekeringan di musim kemarau (Sukarman dan Suryani, 2013). Salah satu ciri dari pertanian ramah lingkungan adalah rendah emisi gas rumah kaca (GRK). Tingginya emisi GRK umumnya terjadi pada pertanian di lahan gambut. Konversi tanah gambut dari hutan menjadi lahan pertanian dapat merubah stabilitas tanah gambut dan mempercepat dekomposisi. Dalam proses dekomposisi tanah gambut dihasilkan gas metan dan karbon dioksida yang diemisikan sebagai gas rumah kaca, yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global (Global Warming). Untuk menurunkan gas rumah kaca yang diemisikan ke udara, diperlukan upaya-upaya dari berbagai sektor. Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang ditargetkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca antara lain melalui kegiatan pengelolaan gambut di lahan pertanian tanaman pangan maupun perkebunan. Agar program penurunan emisi gas rumah kaca di lahan gambut dapat terlaksana dengan baik maka perlu dilakukan perencanaan 141

3 mitigasi lahan gambut secara benar. Kegiatan mitigasi gas rumah kaca di lahan gambut tersebut harus dilakukan melalui kegiatan yang dapat diukur (measureable), dilaporkan (reportable) dan diverifikasi (verifiable) atau disingkat MRV. Dalam proses penilaian kesesuaian lahan untuk pengembangan pertanian yang berkaitan dengan gambut, terdapat dua karakteristik yang dinilai yaitu adalah ketebalan gambut dan kematangan gambut. Ketebalan gambut berkaitan dengan jumlah simpanan karbon dari gambut yang cukup tinggi, sedangkan tingkat dekomposisi berkaitan dengan besaran GRK yang dapat diemisikan dari gambut. Berdasarkan tingkat kesesuaian lahannya untuk pengembangan pertanian, lahan-lahan yang mempunyai ketebalan gambut diatas 3 meter diketegorikan sebagai lahan yang tidak sesuai untuk pengembangan pertanian. Demikian halnya dengan lahan-lahan yang mempunyai tingkat dekomposisi fibrik digolongkan sebagai lahan yang tidak sesuai. Hal ini didasarkan atas pertimbangan lingkungan bahwa lahan yang demikian jika diusahakan untuk pertanian akan memberikan emisi GRK yang sangat tinggi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdapat satu karakteristik lain dari gambut yang sangat mempengaruhi emisi gas rumah kaca. Menurut Supiandi dan Sukarman (2012) kadar abu tanah gambut sangat mempengaruhi besarnya emisi yang terjadi. Semakin tinggi kadar abu dari tanah gambut, semakin rendah GRK yang diemisikan dari tanah gambut tersebut. Oleh karena itu dalam penilaian kesesuaian lahan, kadar abu perlu dimasukkan sebagai karakteristik lahan yang digunakan untuk penilaian kelas, sub kelas maupun unit. Dalam kesesuaian lahan, selain dilakukan penilaian juga diberikan saran dan rekomendasi agar lahan gambut jika digunakan untuk pertanian tidak menghasilkan emisi GRK yang tinggi. Lahan gambut merupakan lahan yang tergolong marjinal atau Kelas S3 baik untuk tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman perkebunan. Subiksa, et al. (2011) telah memberikan saran dan rekomendasi berkaitan dengan pengelolaan lahan gambut untuk meningkatkan produktivitas dan menjadikan lahan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Upaya meningkatkan produktivitas tersebut adalah: menerapkan teknologi pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan serta pemilihan komoditas yang tepat. Perubahan iklim merupakan suatu keadaan yang tidak hanya perkiraan atau dugaan tetapi sudah merupakan kejadian yang sebenarnya terjadi di permukaan bumi. Pertanian ramah lingkungan harus adaptif terhadap perubahan iklim, yaitu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan iklim yang sekarang sudah berubah. Dampak dari perubahan ini selain menyebabkan terjadinya kejadian-kejadian iklim yag ekstrim, tetapi juga menyebabkan perubahan pola cuaca baik berupa hujan maupun suhu udara. Dalam penilaian kesesuaian lahan, karakteristik lahan yang dinilai adalah unsur suhu udara dan curah hujan. Data yang digunakan untuk penilaian ini haruslah data mutakhir sehingga sudah mengikuti perkiraan perubahan iklim. Oleh karena pemilihan komoditas yang akan dikembangkan sudah disesuaikan dengan kemungkinan perubahan iklim yang terjadi. Dengan demikian maka penilaian kesesuaian lahan memberikan pilihan tanaman adaptif terhadap perubahan iklim. Penerapan pengendalian hama terpadu merupakan salah satu ciri dari pertanian ramah lingkungan. Dalam penilaian kesesuaian lahan, tidak ada karakteristik lahan yang dinilai dan secara langsung berhubungan dengan pengendalian hama terpadu. Tetapi dengan memilih jenis komoditas yang sesuai, diharapkan hama dan penyakit yang menyerang tidak akan terjadi secara endemik. Untuk kelengkapan penilaian kesesuaian lahan, maka dalam rekomendasi penggunaan lahan, isyarat-isyarat tentang kemungkinan adanya serangan hama dan penyakit endemik yang didasarkan kepada pengalaman dan kondisi iklim dan perubahannya perlu dilakukan. Hal tersebut, dalam penilaian kesesuaian lahan pada saat ini jarang dilakukan. 142

4 Cemaran logam berat di lahan pertanian dapat terjadi karena bahan cemaran berasal dari luar wilayah pertanian atau dapat juga berasal dari penggunaan berbagai input pertanian saat ini. Tinggi rendahnya cemaran logam berat dapat ditetapkan dari kandungan berbagai logam berat yang ada di dalam tanah atau dalam air yang terbawa dari tempat lain ke lahan pertanian. Kandungan logam berat ini seharusnya dapat dijadikan salah satu karakeristik lahan yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan. Dalam daftar karakteristik lahan yang digunakan untuk penilaian kesesuaian lahan seperti yang dikemukakan oleh Ritung, et al. (2011), dari dua puluh lima karakteristik lahan, logam berat belum termasuk dalam daftar karakteristik lahan yang digunakan untuk penilaian kesesuaian lahan. Untuk kedepan, kandungan logam berat agar dimasukkan sebagai karakteristik lahan yang dinilai. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP EVALUASI LAHAN Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu, baik di bidang pertanian maupun non pertanian dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji (Mulyani dan Nur, 2011). Evaluasi lahan dilakukan dengan cara mencocokkan (matching) antara kualitas/karakteristik lahan (LQ/LC) dengan persyaratan penggunaan lahan (LUR) yang diinginkan oleh penggunaan lahan tertentu (LUT). LUR memiliki 3 syarat: 1) persyaratan tumbuh tanaman, 2) persyaratan pengelolaan (management requirement), 3) persyaratan konservasi/lingkungan (conservation/environment requirement). Dalam evaluasi lahan diperlukan informasi berupa data sifat-sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah, yang dirinci kedalam kualitas lahan (land qualities). Informasi tersebut berasal dari data dasar sumber daya lahan baik bersifat tabular maupun yang bersifat spasial. Dalam pembuatan data spasial, delineasi satuan peta selain didasarkan kepada karateristik tanah sebagai tempat media tumbuh tanaman juga didasarkan kepada unsur geologi yang menyangkut bahan induk tanah dan landform atau satuan fisograf dan lerengi. Oleh karena itu dalam delineasi satuan peta, karakteristik wilayah suatu daerah merupakan unsur utama penentuan satuan peta. Setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas beberapa karakteristik lahan (land characteristics). Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi baik secara langsung di lapangan ataupun hasil analisis di laboratorium. Sebagai contoh kualitas lahan yang menyangkut persyaratan tumbuh tanaman adalah media perakaran yang terdiri atas beberapa karakteristik lahan yaitu tekstur, kandungan bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan dan kematangan gambut. Kelima karakteristik lahan tersebut dapat ditentukan atau diestimasi di lapangan. Sedangkan karakteristik lahan lainnya seperti kandungan P 2O 5, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), kandungan N, kandungan C-organik harus ditetapkan di laboratorium. Karakteristik lahan yang merupakan persyaratan konservasi/lingkungan adalah bentuk wilayah/lereng, iklim, keadaan gambut. Unsur lereng menyangkut kemiringan lereng yang berkaitan dengan tingkat bahaya erosi, dan bahaya longsor. Unsur iklim meliputi temperatur udara, kelembaban udara dan curah hujan. Sedangkan keadaan gambut meliputi ketebalan gambut, tingkat dekomposisi gambut dan jenis landform gambut (misal dome). Salah satu cara evaluasi lahan adalah melalui penilaian kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah dilakukan perbaikan (kesesuaian lahan potensial) 143

5 Klasifikasi kesesuaian lahan Klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya kedalam empat tingkat, yaitu ordo, kelas, subkelas dan unit. Ordo adalah menggambarkan kesesuaian lahan secara umum. Pada kategori ini kesesuaian lahan dibedakan atas lahan tergolong sesuai (S) dan lahan tergolong tidak sesuai (N). Kelas menggambarkan tingkat kesesuaian lahan dalam ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong sesuai (S) dipilah lagi menjadi lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3). Sedangkan lahan yang tidak sesuai (N) tidak dibedakan. Subkelas menggambarkan tingkat kesesuaian lahan dalam setiap kelas. Subkelas kesesuaian lahan dibedakan berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Sedangkan unit menggambarkan tingkat kesesuaian lahan dalam sub kelas yang didasarkan kepada sifat tambahan yang berpengaruh terhadap pengelolaannya. Dengan diketahuinya pembatas pada tingkat unit, maka akan memudahkan penafsiran secara detail dalam perencanaan usaha tani. Agro Ecological Zone (AEZ) Konsep AEZ diperkenalkan oleh FAO (1978) untuk evaluasi lahan di Afrika yang menggunakan peta tanah FAO 1974, skala 1 : dengan parameter panjang periode tumbuh dan suhu. Selanjutnya FAO merekomendasikan penggunaan AEZ pada tingkat nasional dan provinsi pada skala 1 : : AEZ didefinisikan sebagai pembagian wilayah ke dalam zona-zona berdasarkan kemiripan karakteristik iklim, terrain dan tanah yang memberikan keragaman tanaman tidak berbeda secara nyata. Tiga parameter yang digunakan dalam penyusunan peta AEZ tersebut adalah iklim, terrain dan tanah (FAO, 1996). Dalam penyusunan AEZ, satuan-satuan peta didasarkan atas keadaan tanah, hidrologi, dan iklim yang dapat membantu dalam mencapai sasaran pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan melalui pemilihan komoditas yang sesuai (Amien et al., 1995). Selanjutnya Amien (1995) menyatakan bahwa pemilahan wilayah ke dalam zona-zona agroekologi ini juga akan banyak membantu dalam penerapan paket teknologi yang dirakit untuk kondisi fisik lingkungan tertentu. Peta AEZ skala 1 : tersebut menyajikan zonasi potensi sumber daya lahan secara makro sehingga pemanfaatannya dibatasi pada tingkat perencanaan. Zona agroekologi tersebut membedakan wilayah untuk pengembangan wilayah pertanian dan non pertanian berdasarkan pengelompokkan ketinggian tempat dari permukaan laut, rejim suhu tanah, rejim kelembaban tanah, fisiografi dan lereng (Mulyani, 2001). Untuk memanfaatkan peta AEZ skala 1 : secara operasional, perlu ditindaklanjuti melalui penelitian lebih detail pada skala 1 : dengan mempertimbangkan sifat dan karakteristik tanah sebagai prasyarat utama. Faktor-faktor tanah dan fisik lingkungan yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan adalah tanah (media perakaran, retensi hara, toksisitas), iklim (suhu udara, elevasi, curah hujan) terrain (lereng, singkapan batuan, batuan dipermukaan), bahaya banjir dan bahaya erosi. Hasil penilaian kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk penyusunan peta pewilayahan berbagai komoditas pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif pada berbagai zona agroekologi. Pada skala 1 : data dan informasi yang disajikan akan mempunyai akurasi yang tinggi bersifat operasional. Oleh karena itu penilaian kesesuaian lahan pada berbagai zone agroekologi akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pemanfaatan peta AEZ yang telah disusun. Pewilayahan komoditas pertanian adalah suatu bentuk usaha untuk membuat suatu wilayah atau kelompok komoditas dengan mempertimbangkan kualitas dan ketersediaan sumber daya lahan, manusia, dan infrastruktur yang tersedia agar diperoleh produk pertanian yang optimal dan berwawasan lingkungan dengan melalui pendekatan sistem dan usaha 144

6 agribisnis (Hartomi dan Suhardjo, 2001). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Puslitbangtanak ternyata terdapat beberapa komoditas yang sama yang dapat dikembangkan di berbagai provinsi. Hal ini menimbulkan permasalahan mengenai penentuan suatu komoditas di suatu provinsi. Oleh karena itu diperlukan penataan yang dapat mengatasi permasalahan tersebut agar tidak terjadi persaingan antar daerah untuk pengembangan suatu komoditas. Penataan tersebut dapat dilakukan dengan melalui konsep Pewilayahan Komoditas Pertanian : yang didasarkan pada kesesuaian lahan, agar dapat ditentukan suatu wilayah yang memungkinkan memberikan keuntungan biofisik dan sosial ekonomi tertinggi untuk suatu komoditas. Data dan informasi mengenai komoditas yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat sangat penting dalam perencanaan pengkajian teknologi untuk pengembangan komoditas unggulan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan sehingga pengembangan komoditas tersebut berkelanjutan (Sudaryanto dan Syafa at, 2000). Dengan demikian jelas sekali bahwa informasi dan data AEZ merupakan informasi dan data dasar penting bagi perencanaan pengembangan sistem usaha pertanian komoditas unggulan spesifik lokasi. KONDISI PETA EKOREGION Untuk perencanaan pembangunan pertanian berbasis ekoregion diperlukan peta dalam berbagai skala tergantung dari kepentingannya. Untuk perencanaan nasional diperlukan peta dan deskripsi ekoregion pada skala 1 : : atau pada skala eksplorasi. Sedangkan untuk perencanaan pada tingkat regional atau provinsi diperlukan peta dan deskripsi ekoregion pada skala 1 : atau skala tinjau dan untuk perencanaan di tingkat Kabupaten diperlukan pada skala 1 : atau skala tinjau mendalam dan untuk perencanaan di tingkat Kota diperlukan pada skala 1 : atau pada skala semi detail. Pada saat ini, sudah disusun peta dan deskripsi ekoregion pulau/kepulauan dan laut dengan skala 1: mencakup Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Papua, Kepulauan Bali Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku serta dikelilingi oleh 18 Ekoregion Laut seperti yang tercantum dalam Gambar 1. Peta tersebut di atas merupakan peta yang telah dibuat untuk perencanaan di tingkat nasional. Peta ini dapat digunakan sebagai dasar penyusunan pada tingkat Regional/Provinsi dan pada tingkat Kabupaten Kota (Direktorat Kemitraan Lingkungan Hidup, 2013). Gambar 1. Peta ekoregion nasional skala 1 : (Sumber: 145

7 Peta Ekoregion dilengkapi dengan deskripsi yang berisi karakteristik geologi, flora dan fauna, kerentanan bencana, jasa ekosistem, potensi pencemaran, iklim, potensi sumber daya alam, tanah dan penggunaan lahan serta sosial budaya. Tabel 1 menyajikan deskripsi dari peta ekoregion skala 1 : Dalam Pasal 7 UU Nomor 32 tahun 2009 ditentukan bahwa terdapat 8 (delapan) pertimbangan untuk penetapan ekoregion, yaitu (a) karakteristik bentang alam; (b) daerah aliran sungai; (c) iklim; (d) flora dan fauna; (e) ekonomi, (f) kelembagaan masyarakat; (g) sosial budaya, dan (h) hasil inventarisasi lingkungan hidup. Berdasarkan analisis dan kesepakatan para ahli terhadap 8 faktor tersebut, proses penetapan ekoregion darat menggunakan parameter deliniator bentang alam, yaitu morfologi (bentuk muka bumi) dan morfogenesa (asal usul pembentukan bumi). Sedangkan proses penetapan ekoregion laut menggunakan parameter deliniator morfologi pesisir dan laut, keanekaragaman hayati yang sifatnya statis, seperti karang keras, oseanografi, pasang surut, dan batas NKRI. Parameter lainnya yang disebutkan di atas, terutama yang sifatnya dinamis digunakan sebagai atribut untuk mendeskripsikan karakter ekoregion tersebut Tabel 1. Deskripsi Peta Ekoregion skala 1 : No. Ekoregion Dikelilingi oleh ekoregion laut 1. Sumatera Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera (EL 1) No. Ekoregion Dikelilingi oleh ekoregion laut 5. Sulawesi Laut Sulawesi (EL 7) Selat Malaka (EL 3) Selat Makassar (EL 8) Selat Karimata (EL 5) Teluk Tomini (EL 10) Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa (EL 2) Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi (EL 12) Laut Jawa (EL 6) Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone (EL 13) 2 Jawa Laut Jawa (EL 6) 6 Maluku Laut Halmahera (EL 11) Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa (EL 2) Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi (EL 12) 3 Kalimantan Selat Karimata (EL 5) Laut Banda (EL 15) 4 Bali Nusa Tenggara Sumber : Laut Sulawesi (EL 7) 7 Papua Laut Seram dan Teluk Bintuni (EL 14) Selat Makassar (EL 8) Laut Natuna (EL 4) Perairan Bali dan Nusa Tenggara Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua (EL 16) Teluk Cendrawasih (EL 17) Laut Arafura (EL 18) Dalam menetapkan ekoregion darat, unsur-unsurnya terdiri dari: karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai (DAS), iklim dan hasil inventarisasi lingkungan hidup. Unsur-unsur yang berkaitan dengan pertanian adalah unsur ekoregion untuk ekoregion darat. Unsur karakteristik bentang lahan meliputi morfologi muka bumi dan morfogenesa. Unsur ini jika 146

8 dijabarkan untuk pertanian adalah bentuk wilayah atau lereng dan karakteristik lahannya/tanahnya. Peta ekoregion yang sudah dibuat selain untuk tingkat nasional, juga sudah dibuat untuk tingkat regional (skala 1 : ) tetapi baru terbatas untuk beberapa provinsi yaitu Jawa Timur, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara. PERKEMBANGAN PENYUSUNAN PETA AEZ SKALA 1: Pada periode awal 1990-an, penyusunan peta AEZ skala 1: berbasis pulau Sumatera dan skala 1: berbasis provinsi telah disusun (Amien et al., 1993; Amien et al., 1994). Teknik penyusunan dilakukan secara manual dengan menggunakan peta dasar peta topografi Joint Operation Graphic (JOG) yang didijitasi. Sumber peta berasal dari Peta Tanah Tinjau atau Peta Satuan lahan dan Tanah Pulau Sumatera skala 1: (CSAR, 1990) yang sudah tersedia di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Sedangkan untuk daerah yang belum tersedia peta tanahnya menggunakan peta Land System skala 1: (RePProT 1988). Peta AEZ skala 1: menjadi peta pertama yang dimiliki oleh sebagian besar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Penyusunan peta tersebut dibantu sepenuhnya oleh tenaga peneliti dan teknisi litkayasa Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan tujuan untuk memberikan modal dasar bagi BPTP untuk mengenal dan mempelajari lebih detail tentang potensi sumber daya lahan di provinsi masing-masing dan modal untuk melakukan diseminasi dan kerjasama pengkajian dan penelitian sumber daya lahan yang lebih detail dengan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten masing-masing. Tahun 2002, peta AEZ skala 1: Pulau Sulawesi dan Maluku telah disusun oleh Badan Litbang Pertanian dengan metode penyusunan peta yang sama dengan sebelumnya. Tingkat informasi pada peta AEZ skala 1: masih bersifat umum dan diperuntukkan perencanaan tingkat provinsi. Perkembangan selanjutnya pada tahun 2013, peta AEZ 1: telah diperbaharui kembali untuk seluruh wilayah provinsi di Indonesia dengan menggunakan data/peta tanah tinjau terbaru skala 1: , digital Shuttle Radar Topographic Mission/ Digital Elevation Model (SRTM/DEM), dan peta dasar digital Rupabumi Indonesia (RBI) yang seragam bersumber dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta AEZ edisi 2013 telah diterbitkan dalam bentuk atlas yang dilengkapi dengan penjelasan karakteristik lahannya (Badan Litbang Pertanian, 2013). Contoh Peta AEZ skala 1: edisi 2013 disajikan pada Gambar

9 Gambar 2. Contoh peta AEZ Provinsi Sulawesi Barat skala 1: , edisi 2013 (Sumber: Badan Litbang Pertanian, 2013) Guna memenuhi permintaan informasi geospasial tematik skala besar yang makin meningkat, melengkapi basisdata tanah dan sekaligus mendukung program pemerintah menuju gerakan One Map Policy, maka peta AEZ skala 1: perlu didetilkan delineasinya menjadi peta skala 1: berbasis kabupaten, yang dikenal pula sebagai Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian. Peta ini mengandung informasi sumber daya lahan yang lebih rinci dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung perencanaan pertanian dan tata ruang tingkat kabupaten. Dalam penyusunan peta pewilayahan tersebut sebaiknya memasukkan informasi Peta Status Kawasan Hutan dan Peta Penggunaan Lahan Sekarang (seperti sawah, perkebunan, tegalan, tambang, pemukiman, dan lain-lain), sehingga dapat didelineasi lahanlahan potensial untuk perencanaan intensifikasi dan perluasan areal pertanian. Berdasarkan pengalaman dan kemajuan teknologi SIG, telah disusun model evaluasi lahan dalam program SPKL (Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan), yang secara langsung menilai kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas pertanian (Bachri 2012), yang merupakan penyempurnaan modul pewilayahan komoditas sebelumnya (Bachri et al., 2002). Dengan memasukkan data karakteristik lahan hasil pengamatan lapang dan analisis laboratorium dengan lengkap dan benar, maka akan diperoleh secara otomatis kelas kesesuaian lahan dengan faktor pembatasnya dan hasil pewilayahan komoditas pertanian sesuai dengan model yang dibangun. Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala 1: secara sistematis berbasis kabupaten/kota masih dilanjutkan dan ditargetkan sudah dapat diselesaikan pada tahun

10 Tabel 2. Perkembangan Penyelesaian Pemetaan Tanah di Indonesia Jenis Peta (Skala Peta) Status Output (Utama dan turunan) Peta Tanah Eksplorasi Selesai tahun Peta Tanah. (Skala 1 : ) - Peta Turunan: Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional, Arahan Tata Ruang Peta Tanah Tinjau (Skala 1 : ) Peta Tanah Semi Detail (Skala 1 : ) Peta Tanah Detail (Skala 1 : atau lebih besar) Sumber : Sulaeman (2015) Pertanian Selesai tahun Peta Tanah - Peta Turunan: AEZ, Kesesuaian Lahan berbagai Komoditas Pertanian - s/d 2014 telah SELESAI dipetakan 181 kab/kota - TA 2015 akan dipetakan 152 kab/kota - TA 2016: tersisa 125 kab/kota (Total kab/kota 458: BPS, 2011) SELESAI - Baru diselesaikan lebih kurang 5% KETERSEDIAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN - Peta Tanah (utama) - Peta Turunan: Peta AEZ, Peta Kesesuaian Lahan berbagai Komoditas, Peta Arahan/ Rekomendasi Penggunaan Lahan, (dll, semua jenis peta yang ingin dihasilkan) - Mendukung Penyusunan/Revisi Peta Tata Ruang Wilayah Daerah (RTRWD) Kabupaten/Kota - Peta Tanah (utama) - Peta Turunan: Peta Kesesuaian Lahan, Peta Rekomendasi Pemupukan, Perencanaan Kebun Percobaan, Perencanaan Penelitian, dll. Data dan informasi sumber daya lahan hasil pemetaan tanah disertai dengan evaluasi lahannya, baru mencerminkan potensi lahan yang dapat dikembangkan untuk pertanian dan belum menggambarkan tentang ketersediaan lahan yang sesunguhnya baik luasan maupun peyebaran lokasi tersebut. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian berdasarkan peta skala 1 : telah menyusun peta ketersediaan lahan di Indonesia berdasarkan lahan potensial secara biofisik yang dapat dikembangkan untuk pertanian. Dalam pengertian tersebut lahan tersedia untuk pertanian adalah lahan potensial (sesuai) secara biofisik untuk pertanian yang saat ini belum dimanfaatkan, baik untuk pertanian maupun non-pertanian. Lahan tersedia dalam batasan ini sudah mempertimbangkan status kawasan hutan, namun belum mempertimbangkan status kepemilikannya, baik secara adat maupun undang-undang agraria (BBSDLP, 2014). Namun demikian angka-angka yang diperoleh dari BBSDLP (2014) menunjukkan angka yang sangat luas, misalnya lahan potensial tersedia di lahan kering pada kawasan yang statusnya sebagai APL seluas 18,08 juta ha, pada kawasa HPK (hutan yang dapat dikonversi) seluas 7,08 juta ha dan pada hutan produksi (HP) seluas 14,063 juta ha, dengan total seluas 39,79 juta ha. Pada kenyataannya lahan tersebut sulit diperoleh di lapangan, karena meskipun tergolong sebagai lahan potensial tersedia, tetapi umumnya sudah dipunyai oleh para Investor dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha) atau masih dalam bentuk Izin Lokasi. Oleh karena itu untuk mendapatkan angka dan lokasi yang lebih pasti tentang lahan tersedia adalah perlu ditumpang tempatkan dengan peta HGU atau peta Izin Lokasi. Gambar 3 memperlihatkan diagram alir penyempurnaan penyusunan peta ketersediaan lahan untuk pengembangan pertanian. 149

11 PENENTUAN LOKASI (PETA KETERSEDIAAN LAHAN) PETA LAHAN POTENSIAL TERSEDIA PETA HGU/Izin Lokasi PETA PENGGUNAAN LAHAN (Present Land Use) CETAK BIRU PETA KETERSEDIAAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN Gambar 3. Diagram alir penyempurnaan penyusunan peta ketersediaan lahan untuk pengembangan pertanian Dari gambar 3 di atas menunjukkan bahwa meskipun secara biofisik data lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian sudah diketahui, tetapi untuk mendapatkan lahan tersebut di lapangan masih memerlukan prosedur yang panjang. Proses lanjutan tersebut banyak melibatkan aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek kepemilikan lahan di bidang keagrariaan, dan masalah hukum. Oleh karena itu diperlukan sinergi dan koordinasi dengan institusi terkait untuk mendapatkan lahan yang clean and clear untuk pengembangan pertanian di Indonesia. KESIMPULAN 1. Perencanaan pengembangan pertanian di Indonesia berbasis ekoregion perlu dilakukan sebagai implemetasi dari pelaksanaan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Dalam proses perencanaan pengembangan pertanian, salah satu pendekatan yang menjadi acuan utama adalah melalui pendekatan evaluasi lahan, yaitu suatu penilaian yang memberikan informasi potensi dan atau penggunaan lahan serta harapan produksi yang mungkin diperoleh serta penggunaan lahan yang ramah lingkungan. 150

12 3. Agro Ecological Zone (AEZ). Peta ini sudah dihasilkan dalam bentuk skala 1 : untuk seluruh Indonesia dan sudah tersedia baik dalam bentuk peta hard copy maupun dalam bentuk digital. 4. Peta ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk perencanaan pembangunan pertanian berbasis ekoregion. Peta AEZ skala 1 : sudah dapat diselesaikan pada tahun Peta ini dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan pertanian di tingkat provinsi. 5. Peta AEZ skala 1 : akan dapat diselesaikan untuk seluruh untuk Indonesia pada tahun Peta ini dapat digunakan untuk dasar perencanaan di tingkat Kabupaten/kota. 6. Perlu dilakukan penyempurnaan prosedur penetapan lahan tersedia dengan menyertakan peta-peta HGU dan Izin lokasi yang sudah diberikan oleh Pemerintah Daerah serta instansi terkait lainnya diantaranya adalah di Bidang Agraria. DAFTAR PUSTAKA Amien, I., H. Sosiawan, dan E. Susanti Agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian di P. Jawa dan Madura. Hlm Dalam Pros. Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Buku 3. Bidang Konservasi Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Amien, I Agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian di Sumatera. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 13(1):1-8. Badan Litbang Pertanian Atlas Zona Agro-Ekologi Provinsi Sulawesi Barat Skala 1: Edisi Kementerian Pertanian RI. Bogor. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Sumber daya Lahan Pertanian Indonesia, Luas, Penyebaran dan Potensi Ketersediaan. Laporan Teknis No.1/2014. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 62 Hlm. Bachri, S., N. Suharta, A.B. Siswanto, dan Irawan Modul Pewilayahan Komoditas, versi 1.2. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Bachri, S Sistem Penilaian Kesesuaian Lahan (SPKL) Versi 1.2. Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. CSAR (Centre for Soil and Agroclimate Research) Land Unit and Soil Map of Sumatra, scale 1:250,000. LREP Project, Soil Data Base Management, CSAR, Bogor. Direktorat Kemitraan Lingkungan Hidup Kebijakan Ekoregion untuk memperkuat Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Diakses tanggal 9 September 2015) FAO Agro-ecological zoning guidelines. Soil Bulletin 73. Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water Development Division, Rome. Ekoregion skala 1: Diakses 19 Oktober Mulyani, A Proposal Penelitian Pembinaan Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zona Agroekologi (ZAE) Skala 1 : Bagian Proyek Penelitian Sumber daya Lahan dan Agroklimat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. 151

13 Pasandaran, E., M. Syam dan I. Las Degradasi Sumber Daya Alam: Ancaman bagi kemandiran pangan Nasional. Dalam: Pasaribu, S.M., et al. (edt) Konversi dan Fragmentasi Lahan Ancaman Terhadap Kemandirian Pangan. Badan Litbang Pertanian. IPB Press hal: RePProT Tinjauan Hasil-Hasil Tahap I Sumatra. Direktorat Bina Program, Ditjen Penyiapan Pemukiman, Dep. Transmigrasi. Jakarta. Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani, dan E. Suryani Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian (Edisi Revisi). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 168 hlm. Sabiham, S. dan Sukarman Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa sawit di Indonesia. Jurnal Sumber daya Lahan, Vol 6 No. 2. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian. Halaman Subiksa, I G.M., W. Hartatik, dan F. Agus Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Dalam Nurida et al. (edt). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hal Sudaryanto, T. dan N. Syafa at Prosfektif Sektor Pertanian dan Peranan Kegiatan ZAE dalam Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Komoditas Unggulan. Hal dalam Prosiding Pemberdayaan Potensi Regional melalui Pendekatan Zone Agroekolog menunjang Gema Prima. Mataram, 8-9 Maret Sukarman dan E. Suryani Evaluasi lahan salah satu upaya menuju pertanian ramah lingkungan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan. Hal Sulaeman, Y Soil Mapping In Indonseia : Its Status and Use For Agricultural Development. Paper In Workshop Soil Information to Support Sustainable Agriculturae and Foor Security in Indonesia. Bogor October 8 th

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah KUALITAS LAHAN SUNARTO ISMUNANDAR Umum Perlu pertimbangan dalam keputusan penggunaan lahan terbaik Perlunya tahu kemampuan dan kesesuaian untuk penggunaan ttt Perlu tahu potensi dan kendala EL : pendugaan

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 5 2013, No.1041 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) 1. Karakteristik Tanaman Ubi Jalar Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, dan terdiri dari 400 species. Ubi jalar

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan 22 TATACARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan di empat lokasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN NOMOR 54 TAHUN 2015 TENTANG KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL,

KEPUTUSAN NOMOR 54 TAHUN 2015 TENTANG KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL, BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Jl. Raya Jakarta-BogorKM. 46. Cibinong 69 Telepon. (0) 875 06-06. Faksimile. (0) 875 064 PO. Box. 46 CBI Website: http://www.big.go.id BADAN INFORMASI GEOSPASIAL KEPUTUSAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa kesesuaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Evaluasi Lahan Lahan mempunyai pengertian yang berbeda dengan tanah (soil), dimana lahan terdiri dari semua kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi potensi penggunaannya, sedangkan

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Widiarti 1 dan Nurlina 2 Abstrak: Kalimantan Selatan mempunyai potensi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak dengan pendekatan Zonasi Agroekologi (ZAE) yang

Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri 0lahannya sebagai Pakan Ternak dengan pendekatan Zonasi Agroekologi (ZAE) yang POTENSI SUMBER DAYA LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN INTEGRASI SAPI SAWIT DI KALIMANTAN TIMUR HERIANSYAH, AGUs HERU WIDOW dan SRIWULAN P.R Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur Jl. Pangeran M.

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI

BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI BAB III METODE PEMETAAN EKOREGION PROVINSI 3.1 Konsep Dasar Penetapan Ekoregion Provinsi Konsep dasar dalam penetapan dan pemetaan ekoregion Provinsi Banten adalah mengacu pada Undang-Undang No.32/2009,

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan Oleh : Idung Risdiyanto 1. Konsep dan Batasan Evaluasi Lahan dan Zonasi Pertanian 1.1. Pengertian Dasar (dikutip dari Evakuasi Lahan Puslitanak) Dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

Pemetaan Tanah.

Pemetaan Tanah. Pemetaan Tanah nasih@ugm.ac.id Peta Geologi dan Fisiografi Daerah Istimewa Yogyakarta Peta : alat pemberita visual suatu wilayah Peta ilmu bumi (geografi) Peta topografi Peta geologi dan sebagainya Peta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB.

SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air. Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : WIB. SESI : 7. Kualitas Air dan Pemulihan Ekosistem Topik : 7.1. Konservasi Tanah dan Air Jadwal : Selasa, 25 November 2014 Jam : 08.00 12.00 WIB. Oleh : HARRY SANTOSO Kementerian Kehutanan -DAS adalah : Suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Foto : Kantor PPE Kalimantan. Foto : Rempah/ramuan obat - obatan. Foto : Bekantan - Kalimantan. Foto : Sungai Lesan - Berau

PENDAHULUAN. Foto : Kantor PPE Kalimantan. Foto : Rempah/ramuan obat - obatan. Foto : Bekantan - Kalimantan. Foto : Sungai Lesan - Berau PENDAHULUAN Foto : Kantor PPE Kalimantan Foto : Danau Sentarum Foto : Sungai Lesan - Berau Foto : Bekantan - Kalimantan Foto : Rempah/ramuan obat - obatan STATUS LINGKUNGAN HIDUP EKOREGION KALIMANTAN LAPORAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis yang memegang peranan penting di Kalimantan Tengah; salah satunya sebagai kontribusi dengan nilai tertinggi terhadap total

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Banten adalah salah satu daerah pemekaran yang dulu termasuk dalam wilayah Karesidenan Banten, Provinsi Jawa Barat, dan terbentuk melalui Undang undang No.

Lebih terperinci

LAPORAN KEMAJUAN TERMIN I X.46

LAPORAN KEMAJUAN TERMIN I X.46 LAPORAN KEMAJUAN TERMIN I X.46 AGROEKOLOGI WILAYAH PENGEMBANGAN VARIETAS TEBU DI LAHAN KERING SULAWESI SELATAN MENDUKUNG PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA GULA BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan iklimnya, lahan kering

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini PENDAHULUAN Latar Belakang Degradasi tanah merupakan isu penting dalam AGENDA 21, hal ini terkait dengan aspek ketahanan pangan dan kualitas lingkungan. Degradasi tanah menyebabkan penurunan LQ (land quality

Lebih terperinci

Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian

Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian Degradasi lahan & ancaman bagi pertanian (SOLO POS, Selasa pon, 7 Nopember 2006) Prof.Dr.Ir.H. Suntoro Wongso Atmojo. MS. Saat ini pemerintah telah menetapkan program ketahanan pangan sebagai prioritas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN KATA PENGANTAR Pedoman Desain Optimasi Lahan Rawa dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi para

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

ANALISA POTENSI LAHAN UNTUK KOMODITAS TANAMAN KEDELAI DI KABUPATEN SITUBONDO

ANALISA POTENSI LAHAN UNTUK KOMODITAS TANAMAN KEDELAI DI KABUPATEN SITUBONDO ANALISA POTENSI LAHAN UNTUK KOMODITAS TANAMAN KEDELAI DI KABUPATEN SITUBONDO Kustamar Dosen Teknik Sipil (Teknik Sumber Daya Air) FTSP ITN Malang ABSTRAKSI Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau dengan garis pantai sepanjang km, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau dengan garis pantai sepanjang km, merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, merupakan garis pantai terpanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang adalah pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan

Lebih terperinci

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003

BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 BUKU INDIKASI KAWASAN HUTAN & LAHAN YANG PERLU DILAKUKAN REHABILITASI TAHUN 2003 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai eknmi, eklgi dan ssial

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang. sumber. Sedangkan adaptasi adalah upayauntuk meminimalkan dampak melalui penyesuaian pada sistem alam dan manusia.

1.1 Latar Belakang. sumber. Sedangkan adaptasi adalah upayauntuk meminimalkan dampak melalui penyesuaian pada sistem alam dan manusia. SUMBER DAYA AIR 1.1 Latar Belakang Banyaknya bencana alam yang berhubungan dengan perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir menjadi latarbelakang diselenggarakannya konvensi internasional.tahun 1992

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 Maret 2017.

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 Maret 2017. 17 IV. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 Maret 2017. Penelitian dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN MARET 2015

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Lahan Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu adanya persamaan dalam hal geologi, geomorfologi,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. luas, yang mengkaji sifat-sifat dan organisasi di permukaan bumi dan di dalam

BAB I. PENDAHULUAN. luas, yang mengkaji sifat-sifat dan organisasi di permukaan bumi dan di dalam 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Geografi sebagai salah satu disiplin ilmu mempunyai cakupan sangat luas, yang mengkaji sifat-sifat dan organisasi di permukaan bumi dan di dalam ruang, dengan pertanyaan-pertanyaan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1 of 8 08/07/2009 20:16 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan HAM Teks tidak dalam format asli. Kembali LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 65, 2001 Keuangan.Tarif.Bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA

BAB II TINJAUN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Konsep Evaluasi Kesesuain Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi, bahkan keadaan vegetasi

Lebih terperinci

RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN (RODHP) GUGUS TUGAS KALENDER TANAM TERPADU DI PROVINSI BENGKULU

RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN (RODHP) GUGUS TUGAS KALENDER TANAM TERPADU DI PROVINSI BENGKULU RENCANA OPERASIONAL DISEMINASI HASIL PENELITIAN (RODHP) GUGUS TUGAS KALENDER TANAM TERPADU DI PROVINSI BENGKULU BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERANAN SUMBERDAYA ALAM DALAM PERTANIAN

PERANAN SUMBERDAYA ALAM DALAM PERTANIAN PAB245 (3-0) PERANAN SUMBERDAYA ALAM DALAM PERTANIAN Prof. Dr. Ir. ZULKIFLI ALAMSYAH, M.Sc. Program Studi Agribisnis FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JAMBI Sumberdaya Alam Sumberdaya alam adalah segala unsur

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Pasir Pantai Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim relief/topografi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembukaan lahan untuk perumahan dan pemukiman pada daerah aliran sungai (DAS) akhir-akhir ini sangat banyak terjadi khususnya pada kota-kota besar, dengan jumlah dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Geomorfologi Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi, baik diatas maupun dibawah permukaan air laut dan menekankan pada asal mula

Lebih terperinci