KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)"

Transkripsi

1 KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (Studi Kasus di IUPKHH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) Oleh: FERDIAN TEZAR NEVADA E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (Studi Kasus di IUPKHH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Oleh : FERDIAN TEZAR NEVADA E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

3 Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP Departemen Program Studi : KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). : Ferdian Tezar Nevada : E : Manajemen Hutan : Budidaya Hutan Menyetujui : Dosen Pembimbing (Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S.) NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan (Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) NIP Tanggal lulus :

4 RINGKASAN Ferdian Tezar Nevada. E Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan (Soerianegara dan Indrawan 1988). Dalam rangka pengusahaan hutan produksi guna menjamin kelestarian produksi dan fungsi ekologis hutan alam produksi di Indonesia, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Dalam Surat Keputusan tersebut antara lain ditetapkan bahwa pengelolaan hutan alam produksi dapat dilakukan dengan Sistem Silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Akan tetapi masih perlu diingat, kendatipun panduan sistem-sistem silvikultur diatas diberlakukan dan diikuti akan tetapi masih terdapat kelemahan-kelemahan terutama pada saat pelaksanaannya. Oleh karena itu, guna tercapainya kelestarian ekologi dan kelestarian hasil hutan yang produktif dan optimal maka Departemen Kehutanan mengembangkan suatu sistem silvikultur yang merupakan usaha penyempurnaan dari sistem-sistem sebelumnya yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau lebih dikenal dengan Sistem Silvikultur Intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dampak kegiatan pemanenan kayu dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) terhadap kondisi lingkungan terutama pada kondisi tegakan tinggal di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Objek penelitian ini adalah kondisi hutan sebelum pemanenan kayu, kondisi hutan setelah pemanenan kayu, kondisi hutan sebelum penjaluran dan kondisi hutan setelah penjaluran. Pada tiap-tiap kondisi hutan tersebut dibuat plot pengamatan pada tiga kelerengan yaitu kelerengan 0-15% (landai), 15-25% (sedang), 25-45% (curam), dengan masing-masing tiga ulangan. Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak dengan ukuran 100 m x 100 m. Dalam plot pengamatan dibuat sub-sub petak dengan ukuran tingkat pohon dengan ukuran petak 20 m x 20 m (menjadi 17 m x 20 m setelah dilakukan kegiatan penebangan jalur), tingkat tiang 10 m x 10 m, tingkat pancang 5 m x 5 m dan tingkat semai 2 m x 2 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jumlah jenis yang ditemukan pada tiap-tiap plot setelah dilaksanakan kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran secara umum mengalami penurunan. Penurunan jumlah jenis akibat masing-masing kegiatan terjadi pada semua tingkat vegetasi pada setiap kelerengan kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Hal ini terjadi karena adanya kegiatan pemanenan kayu dan kegiatan penebangan jalur (untuk membuat jalur bersih atau jalur tanam). Dan apabila dibandingkan dari tingkat penurunan jumlah jenisnya maka dapat dilihat bahwa penurunan jumlah jenis akibat kegiatan

5 pemanenan kayu lebih tinggi daripada penurunan jumlah jenis akibat kegiatan penebangan jalur. Tinggi rendahnya jumlah jenis pada berbagai tingkatan permudaaan vegetasi yang ada menunjukkan tingkat survival dari setiap tingkat permudaan untuk mempertahankan dan mencapai tingkat pertumbuhan selanjutnya. Jumlah permudaan yang terdapat pada plot pengamatan dikatakan cukup pada semua tingkatan vegetasi apabila dilihat berdasarkan kriteria ketercukupan permudaan dari pedoman TPTI. Akan tetapi tidak pada semua plot pengamatan memenuhi ketercukupan permudaan berdasarkan kriteria dari Wyatt-Smith (1963). Jenis-jenis yang mendominasi pada plot pengamatan merupakan jenisjenis komersial seperti Shorea parvifolia, Medang (Litsea firma), Keruing (Dipterocarpus crinitus), Nyatoh (Palaquium rostatum), dll. Selain itu ada juga jenis non komersial yang mendominasi pada beberapa tingkatan permudaan seperti jenis Kumpang (Diospyros sp) dan Kelampai (Elaterospermum tapos). Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada plot pengamatan termasuk pada kategori tinggi. Hal ini dapat dilihat dari besaran nilai indeks pada plot pengamatan yang berkisar antara 4,84 sampai 10,99. Sedangkan Indeks Kemerataan Jenis (E) pada plot pengamatan termasuk tinggi juda dengan besaran nilai indeks yang dimiliki yaitu antara 0,66 sampai 0,91. Untuk nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada plot pengamatan secara umum memiliki nilai diatas 3,00. Dengan demikian plot pengamatan tersebut memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi. Nilai indeks kesamaan komunitas (IS) pada tiap-tiap plot pengamatan memiliki nilai diatas 75%, kecuali pada plot pengamatan pemanenan kayu untuk tingkat vegetasi semai dan pancang. Dengan nilai IS diatas 75% maka keadaan komunitas sebelum dan setelah masing-masing kegiatan dianggap sama. Keterbukaan lahan akibat kegiatan pemanenan kayu dan pembuatan jalur tanam terbesar terjadi pada kelerengan 25-45% dengan persentase keterbukaan laha mencapai 41,53%. Sedangkan pada kelerengan 0-15% dan 15-25% persentase keterbukaan lahan mencapai 36,72% dan 39,36%. Struktur horizontal tegakan hutan setelah pemanenan kayu dan hutan setelah penebangan jalur membentuk huruf J terbalik yang menggambarkan suatu ekosistem berbagai kelas umur yang relatif seimbang (balanced unevenaged forest). Kerusakan tegakan tinggal terbesar akibat penebangan satu pohon produksi terjadi pada plot pengamatan kelerengan 25-45% dengan persentase kerusakan sebesar 4,51%. Sedangkan persentase kerusakan tegakan tinggal terbesar akibat penebangan jalur sebesar 3,58% dan juga terjadi pada plot pengamatan kelerengan 25-45%. Sementara untuk kerusakan tegakan terbesar akibat kegiatan pemanenan dan penjaluran terjadi pada plot dengan kelerengan 25-45% dengan persentase kerusakan sebesar 36,68% (tingkat kerusakan sedang). Dan persentase kerusakan tegakan akibat pemanenan dan penjaluran pada plot pengamatan kelerengan 0-15% dan 15-25% berturut-turut sebesar 21,83% dan 26,62%.

6 Untuk tingkat kesuburan tanah pada plot pengamatan tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat juga dari rendahnya nilai kejenuhan basa, kandungan bahan organik serta unsur hara lainnya, naik itu unsur hara makro ataupun mikro. Dan untuk nilai ph tanah pada plot pengamatan berkisar antara 4,2 sampai 4,8.

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut, Propinsi Jawa Barat pada 23 April 1983 dari Ayah Zafran Syamsudin dan Ibu Prita Rustianingsih. Penulis terlahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar ditempuh di TK Aisyiah II Garut pada tahun 1987 lalu melanjutkan ke SDN Leuwidaun II Garut tahun Setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar penulis melanjutkan pendidikan ke Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) 76 Garut dan lulus tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMUN 1 Tarogong dan lulus tahun Tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) di Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Tahun 2004 penulis mengikuti Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Kamojang dan Leuweung Sancang BKSDA Garut serta Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Tasikmalaya. Pada tahun 2005 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Inhutani II Unit Usaha Kalimantan Selatan. Selama kuliah penulis juga aktif sebagai asisten pada mata kuliah Ekologi Hutan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyusun skripsi dengan judul Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi Kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) di bawah bimbingan Bapak Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih karunia-nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penyusunan karya tulis ini. Karya tulis ini disusun berdasarkan hasil penelitian di bidang Budidaya Hutan dengan judul Komposisi dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) (Studi kasus di IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada : 1. Papa, Mama dan Adik-adik yang senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya, serta segenap keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material. 2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi. 3. Prof. Dr. Ir. M. Ali Rachman, MS dan Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Departemen Hasil Hutan. 4. Ir. Nana Suparna selaku Direktur Utama PT. Alas Kusuma Grup atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian ini. 5. Ir. Joko Widianto selaku Manager Pembinaan Hutan serta Dadi Kristanto, S.Hut selaku Koordinator TPTII PT. Suka Jaya Makmur atas bantuan yang telah diberikan. 6. Serta semua pihak yang telah menbantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

9 Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik selalu penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga banyak manfaat yang diperoleh baik bagi penulis maupun rekan-rekan yang menggunakan. Bogor, Januari 2007 Penulis

10 UCAPAN TERIMA KASIH Melalui lembaran ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Papa, Mama dan Adik-adik yang senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya, serta segenap keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material. 2. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi. 3. Prof. Dr. Ir. M. Ali Rachman, MS dan Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Departemen Hasil Hutan. 4. Ir. Nana Suparna selaku Direktur Utama PT. Alas Kusuma Grup atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian ini. 5. Keluarga besar Camp Gunung Bunga (Pak Joko, Pak Hermanto, Pak Dadi, Poer, Arif, Om Joni, Duryanti, Brekele, dll), Keluarga besar Arboretum (Agus, Bang Petrus, dll), Pak Cahyadi, Ibu Prasti, Bang Rolex, dll. 6. Keluarga besar laboratorium Ekologi Hutan atas bantuan, ilmu, pengalaman, kehangatan, serta semuanya. Hatur nuhun pisan Teman-teman residu peradaban atas persahabatan, pemikiran, kebahagian, penderitaan serta bantuannya selama ini. (Among, Bery, Fiki, Muchlis, semangat buat penelitiannya), Syuhada, Dika, Dery... akhirnya kita satu kasta. 8. All Cibanteng crews, yang telah sabar atas kegaduhan yang selama ini terjadi. 9. Beny (thanks buat bantuannya), Aziz, Dania, Anang, Danu, Aa Dasep, Ajay, Wempi, Andy, Pudy, Jupri, Loedy, Jack, Gin-gin (thanks buat petanya), Sandy, Welly, Nunu, Videl, Tutu, tulang-tulang rusuk ku yang patah, serta teman-teman lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. 10. Keluarga besar BDH 38 (except...) serta seluruh keluarga besar Fahutan, terima kasih atas kenangannya Rekan-rekan P3H serta PKL, terima kasih buat semuanya.

11 12. Keluarga besar kantin Kornita yang telah menemani lebih dari separuh masa kuliah penulis. 13. Ella Nurmila Novianty, atas kepercayaan, dukungan serta kasih sayangnya. 14. Muhammad Fauzan Putera Pertama Nevada, yang entah masih ada dimana. 15. Serta semua rekan-rekan yang membantu, mendukung dan mendoakan penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR TABEL... v DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Hutan Hujan Tropika... 3 B. Klasifikasi Hutan... 4 C. Stratifikasi Tajuk... 6 D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia... 8 E. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia F. Pemanenan Hasil Hutan Penebangan Penyaradan G. Kerusakan Tegakan Tinggal H. Perkembangan Hutan Bekas Tebangan I. Hubungan Tanah dengan Tegakan J. Analisis Tanah Sifat Fisik Tanah Sifat Kimia Tanah III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Bahan dan Alat C. Metode Pengambilan Data Analisa Vegetasi Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan

13 Kayu dan Penjaluran Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Pengambilan Contoh Tanah D. Analisa Data Analisa Vegetasi Analisa Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon Analisa Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Pengukuran Sifat Fisik Tanah Pengukuran Sifat Kimia Tanah IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Areal B. Topografi C. Geologi dan Tanah D. Hidrologi E. Iklim F. Kondisi Vegetasi Hutan G. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat H. Aksesibilitas V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi Jenis B. Dominansi Jenis C. Keanekaragaman Jenis D. Kesamaan Komunitas (Indeks Similarity) E. Struktur Tegakan F. Keterbukaan Lahan G. Kerusakan Tegakan Tinggal Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran H. Analisa Tanah Sifat Fisik Tanah... 80

14 2. Sifat Kimia Tanah VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 91

15 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi Gambar 2. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Pemanenan Kayu Gambar 3. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Pemanenan Kayu Gambar 4. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Penjaluran Gambar 5. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Penjaluran Gambar 6. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada LOA 1981/ Gambar 7. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Et Gambar 8. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran Gambar 9. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Kondisi Hutan Setelah Penjaluran... 72

16 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tahapan Kegiatan TPTI Tabel 2. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Didasarkan pada Populasi Pohon dan Tingkatan Perkembangan Vegetasi Tabel 3. Tingkat Kerusakan Didasarkan pada Ukuran Luka (Kerusakan) pada Setiap Individu Pohon Tabel 4. Penilaian Sifat Kimia Tanah Tabel 5. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Tabel 6. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran Tabel 7. Tally Sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penebangan Tabel 8. Tally Sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penyaradan Tabel 9. Penetapan Kesuburan Tanah Tabel 10. Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas Lereng Tabel 11. Deskripsi Satuan Peta Tanah yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Tabel 12. Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan Camp 128 pada Bulan Desember Tabel 13. Jumlah Jenis yang Ditemukan di LOA 1981/1982 dan Et+0 pada Berbagai Kelerengan Tabel 14. Jumlah Jenis yang Ditemukan pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Setelah Penjaluran pada Berbagai Kelerengan Tabel 15. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada Hutan Primer dan Et+0 Dilihat dari Kerapatan (N/Ha) Serta Frekuensi Tabel 16. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Dilihat dari Kerapatan (N/Ha) Serta Frekuensi... 54

17 Tabel 17. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada LOA 1981/1982 dan Et Tabel 18. Daftar Jenis INP Terbesar pada Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Tabel 19. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis pada LOA 1981/1982 dan Et Tabel 20. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Tabel 21. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada LOA 1981/1982 dan Et Tabel 22. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Setelah Penjaluran Tabel 23. Indeks Dominansi Jenis (C) pada LOA 1981/1982 dan Et Tabel 24. Indeks Dominansi Jenis (C) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Tabel 25. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada LOA 1981/1982 dan Et Tabel 26. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Tabel 27. Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada LOA 1981/1982 dan Et Tabel 28. Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Tabel 29. Indeks Similarity (IS) pada LOA 1981/1982 dan Et Tabel 30. Indeks Similarity (IS) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Setelah Penjaluran Tabel 31. Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran Per Hektar Tabel 32. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu Pohon Tabel 33. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran Tabel 34. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran TPTII... 78

18 Tabel 35. Persentase Tipe-Tipe Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran Tabel 36. Pengukuran Sifat Fisik Tanah Tabel 37. Pengukuran ph Tanah Tabel 38. Pengukuran Sifat Kimia Tanah dan Penetapan Tingkat Kesuburan Tanah... 82

19 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Jenis Tumbuhan Yang Ditemukan di Plot Pengamatan. Lampiran 2. Rekapitulasi INP di Setiap Plot Pengamatan. Lampiran 3. Foto-Foto Penelitian. Lampiran 4. Peta Lokasi Penelitian.

20 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Hutan dengan berbagai fungsi dan manfaatnya memberikan pengaruh yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial dan sebagainya. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertambahnya jumlah penduduk maka menyebabkan kebutuhan manusia menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada ketergantungan manusia terhadap sektor kehutanan menjadi semakin meningkat sehingga dapat mempengaruhi kondisi hutan secara ekologis. Oleh karena itu diperlukan konsep pengelolaan hutan secara lestari, yang dalam perkembangannya diharapkan dapat menambah nilai ekonomi namun tetap menjaga fungsi ekologis. Dalam rangka pengusahaan hutan produksi guna menjamin kelestarian produksi dan fungsi ekologis hutan alam produksi di Indonesia, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Dalam Surat Keputusan tersebut antara lain ditetapkan bahwa pengelolaan hutan alam produksi dapat dilakukan dengan Sistem Silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Dari pelaksanaan kegiatan pengusahaan hutan yang telah berjalan, jika diadakan penilaian umum maka secara garis besar dapat ditemukan dua hal yang tidak mungkin dipungkiri. Pada satu sisi, keterlaksanaan pengusahaan hutan telah menyebabkan meningkatnya peranan sektor kehutanan di dalam perekonomian negara. Tetapi disisi lain, keterlaksanaan tersebut telah menyebabkan timbulnya kerusakan pada sumberdaya hutan itu sendiri. Akan tetapi masih perlu diingat, kendatipun panduan sistem-sistem silvikultur diatas diberlakukan dan diikuti akan tetapi masih terdapat kelemahan-kelemahan terutama pada saat pelaksanaannya. Oleh karena itu,

21 guna tercapainya kelestarian ekologi dan kelestarian hasil hutan yang produktif dan optimal maka Departemen Kehutanan mengembangkan suatu sistem silvikultur yang merupakan usaha penyempurnaan dari sistem-sistem sebelumnya yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) atau lebih dikenal dengan Sistem Silvikultur Intensif. Penelitian ini dilaksanakan sebagai pemberi informasi awal pelaksanaan TPTII sehingga dapat diketahui dampak yang ditimbulkan serta tingkat keberhasilan dari pelaksanaan sistem ini. B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mempelajari pelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif yang dilaksanakan di PT. Suka Jaya Makmur. 2. Mempelajari dampak kegiatan pemanenan kayu dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif terhadap kondisi lingkungan terutama pada kondisi tegakan tinggal.

22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Hujan Tropika Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohonpohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau ekosistem. Hutan hujan tropika merupakan suatu komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m serta mengadung spesies-spesies efifit berkayu dan herba yang bersifat efifit (Schimper, 1903 dalam Mabberley, 1992). Richards (1966) juga menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efifit berkayu dalam berbagai ukuran. Hutan hujan tropika merupakan jenis wilayah yang paling subur. Hutan jenis ini terdapat di wilayah tropika atau di dekat wilayah tropika di bumi ini, yang menerima curah hujan berlimpah sekitar mm per tahun. Suhunya tinggi (sekitar o C), dengan kelembaban rata-rata sekitar 80%. Komponen dasar hutan itu adalah pohon tinggi dengan tinggi maksimum rata-rata sekitar 30 m. Salah satu corak yang menonjol adalah sebagian besar tumbuhannya mengandung kayu (Ewusie, 1990). Hutan hujan tropika ialah suatu komunitas yang kompleks dengan kerangka yang utama adalah pepohonan dengan berbagai ukuran. Adanya kanopi hutan menyebabkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan diluar, cahaya yang kurang, kelembaban yang tinggi, dan suhu yang rendah (Whitmore, 1986). Richards (1966) memberikan beberapa ciri hutan hujan tropika, sebagai berikut:

23 a. Hutan hujan tropika terdiri dari berjenis-jenis tumbuhan berkayu dan umumnya kaya akan jenis-jenis dengan ukuran tinggi dan diameter yang besar. b. Mempunyai banyak jenis-jenis kodominan, tetapi dapat juga hanya terdiri dari beberapa jenis saja. Jenis-jenis memperlihatkan gambaran umum yang sama, yaitu batangnya berbanir, lurus dan dekat tajuknya tidak bercabang. c. Pada umumnya susunan tajuknya terdiri dari dua sampai tiga lapisan, sedangkan tumbuhan bawah terdiri dari perdu, dan permudaan atau tunastunas dari jenis-jenis pohon lapisan bawah. d. Selain jenis pokok, pada umumnya mempunyai banyak jenis-jenis efifit, tumbuhan pemanjat, palma dan pandan. e. Merupakan susunan vegetasi klimaks di daerah khatulistiwa, masingmasing jenis tumbuh-tumbuhan di dalamnya mempunyai sifat-sifat hidup yang berbeda, tetapi dengan kondisi-kondisi edafis dan klimatologis tertentu mereka membentuk suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang seimbang. B. Klasifikasi Hutan Menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan dapat digolongkan bagi tujuan pengelolaan hutan menurut hal-hal berikut: a. Susunan jenis. Hutan murni adalah hutan yang hampir semua atau seluruhnya dari jenis yang sama. Hutan campuran ialah hutan yang terdiri dari atas dua atau lebih jenis pohon. Baik hutan murni atau campuran dapat berupa seumur, tidak seumur atau segala umur. b. Kerapatan tegakan. Pada umumnya, hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume per hektar, luas bidang dasar dan kriteria lain. Perbedaan antara sebuah tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat dengan kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan jumlah batang per hektar, dapat diketahui melalui

24 pengukuran. Untuk keperluan praktis, tiga kelas kerapatan telah dibuat, yaitu: 1. Rapat, bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk. 2. Cukup, bila terdapat % penutupan tajuk. 3. Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk. Hutan yang terlalu rapat, pertumbuhannya akan lambat karena persaingan yang keras terhadap sinar matahari, air, dan zat hara mineral. Kemacetan pertumbuhan akan terjadi. Tetapi tidak lama, karena persaingan diantara pohon-pohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan oleh yang kuat. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang, akan menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak, dengan yang pendek. Suatu hutan yang dikelola baik ialah hutan yang kerapatannya dipelihara pada tingkat optimum, sehingga pohon-pohonnya dapat dengan penuh memanfaatkan air, sinar matahari, dan zat hara mineral dalam tanah. Dengan demikian hutan yang tajuknya kurang rapat berfungsi kurang efisien kecuali bila celah terbuka yang ada, di isi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat-tempat terbuka tersebut biasanya ditumbuhi gulma yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis pohon utama atau tanaman pokok. c. Komposisi umur. Suatu lahan hutan disebut seumur, bila ditanam pada waktu bersamaan. Meskipun demikian, ukurannya dapat berlainan, karena laju pertumbuhan yang berbeda. Hutan segala umur terdiri dari pohon-pohon berukuran besar hingga tingkatan semai. Jadi meliputi berbagai umur maupun ukuran. Sedangkan hutan tidak seumur ialah hutan yang hanya mempunyai dua atau tiga kelompok umur atau ukuran. Misalnya hutan yang terdiri atas pohon-pohon yang sudah masak tebang, miskin riap, dan ukuran pancang saja. Hutan segala umur biasanya penyebaran ukurannya lebih beragam dan jenisnya umumnya lebih toleran terhadap naungan. Sementara hutan seumur umumnya terdiri dari jenis intoleran. Angin topan, penebangan

25 berlebihan, kebakaran dan bencana lain, menciptakan kelompok-kelompok yang tidak seumur. d. Tipe hutan. Tipe hutan ialah istilah yang digunakan bagi kelompok tegakan yang mempunyai ciri-ciri yang sama dalam susunan jenis dan perkembangannya. Tipe hutan diberi nama menurut satu atau lebih jenis pohon yang dominan. C. Stratifikasi Tajuk Kanopi dari hutan hujan tropika sering kali terdiri dari beberapa lapisan atau stratifikasi dan formasi hutan yang berbeda memiliki tingkatan strata yang berbeda pula. Strata (lapisan) terkadang terlihat mudah di hutan atau pada diagram profil, tetapi terkadang juga tidak. Pertentangan pendapat tentang konsep ini cukup hebat. Oleh sebab itu amat perlu ditinjau ciri-ciri yang terlibat dengan teliti (Whitmore, 1986). Dalam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau berbagai jenis, jika tumbuhantumbuhan tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sama dalam hal hara mineral, tanah, air, cahaya, dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai (dominan) daripada yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tumbuhan di dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas menguasai pohonpohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Richards (1966) menyatakan bahwa struktur hutan hujan tropika paling jelas dinyatakan dengan penampakan arsitekturnya, stratifikasi tajuk pohonpohonnya, semak dan tumbuhan bawah. Menurut Ewusie (1990), hutan hujan tropika terkenal karena adanya perlapisan atau stratifikasi. Ini berarti bahwa populasi campuran didalamnya disusun pada arah vertikal dengan jarak teratur secara tak-sinambung. Meskipun ada beberapa keragaman yang perlu diperhatikan kemudian, hutan

26 menampilkan tiga lapisan pohon. Lapisan pohon ini dan lapisan lainnya yang terdiri dari belukar serta tumbuhan terna di uraikan sebagai berikut: a. Lapisan paling atas (tingkat A) terdiri dari pepohonan setinggi m. Pepohonan yang muncul keluar ini mencuat tinggi, bertajuk lebar; dan umumnya tersebar sedemikian rupa sehingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang berkesinambungan. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk mengenali spesies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat ini sering berakar, agak dangkal dan berbanir. b. Lapisan pepohonan kedua (tingkat B) di bawah yang mecuat tadi, terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar m. Pepohonan ini tumbuh lebih berdekatan. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar seperti pohon yang mencuat. c. Lapisan pepohonan ketiga (tingkat C), terdiri dari pepohonan dengan tinggi sekitar 8-14 m. Pepohonan di sini sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian. d. Selain lapisan pepohonan tersebut, terdapat lapisan belukar yang terdiri dari spesies dengan ketinggiannya kurang dari 10 m. e. Dan yang terakhir adalah lapisan terna yang terdiri dari tumbuhan yang lebih kecil yang merupakan kecambah dari pepohonan yang lebih besar dari bagian atas, atau spesies terna. Sedangkan menurut Soerianegara dan Indrawan (1988), stratifikasi tajuk hutan hujan tropika misalnya sebagai berikut: a. Stratum A: Lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya 30 m keatas. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus, batang bebas cabang (clear bole) tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak. b. Stratum B: Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya m, tajuknya kontinyu, batang pohon biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang

27 tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran). c. Stratum C: Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m, tajuknya kontinyu. Pohon-pohon dalam stratum ini rendah, kecil, banyak bercabang. Disamping ketiga strata pohon itu terdapat pula strata perdu-semak dan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, yaitu : d. Stratum D: Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m. e. Stratum E: Lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah (ground cover), tingginya 0-1 m. Richards (1966) mengemukakan bahwa hutan primer dengan struktur yang teratur akan menjadi kelompok hutan-hutan sekunder yang tidak teratur setelah penebangan pohon yang terseleksi. Keadaan tegakan yang ditinggalkan akan menentukan struktur dan komposisi pohon selanjutnya. D. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) Untuk mengelola kawasan hutan alami fungsi produksi dengan berbagai karakteristiknya maka sistem silvikultur tebang pilih dianggap paling efisien, karena hanya menebang pohon besar yang kayunya dapat langsung dimanfaatkan saja tanpa mengubah ekosistem hutan terlalu keras. Sistem silvikultur tebang pilih merupakan sistem silvikultur yang paling luas di Indonesia. Sistem silvikultur ini dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dengan nama Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (Sutisna, 2001). Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dari pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan TPTI adalah sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dengan batas diameter dan permudaan hutan (Departemen Kehutanan, 1992). Sistem silvikultur TPTI merupakan sistem yang paling sedikit mengubah ekosistem hutan di hutan produksi yang merupakan hutan alami campuran tidak seumur, dibandingkan dengan sistem silvikultur lainnya.

28 Sistem TPTI diharapkan menjadi modifikasi dari peristiwa alami di dalam hutan, yaitu menyingkirkan pohon-pohon tua agar ruang yang dipakainya dimanfaatkan oleh pohon-pohon muda yang masih produktif (Sutisna, 2001). Satu sistem silvikultur ditetapkan untuk satu risalah hutan. Risalah hutan adalah kegiatan pendahuluan perencanaan yang memuat bahasan kritis terhadap tegakan hutan sebagai dasar penetapan kegiatan silvikultur atau bahkan sistem silvikultur yang sesuai. Penetapan ini harus selalu memperhatikan azas kelestarian hutan yang mencakup kelangsungan produksi, penyelamatan tanah dan air, perlindungan alam, dan aspek usaha yang menguntungkan (Sutisna, 2001). Tujuan dari sistem TPTI adalah untuk mengatur pemanfaatan hutan alam produksi serta meningkatkan nilai hutan, baik kualitas maupun kuantitas pada areal bekas tebangan, untuk rotasi berikutnya agar terbentuk tegakan hutan campuran yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penghasil kayu penghara industri secara lestari (Departemen Kehutanan, 1992). Sedangkan sasaran dari TPTI adalah tegakan hutan alam produksi tidak seumur dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Sutisna, 2001). Untuk mencapai tujuan ini maka tindakan-tindakan silvikultur dalam hal ini permudaan hutannya diarahkan kepada: 1. Pengaturan komposisi jenis pohon didalam hutan yang diharapkan dapat lebih menguntungkan baik ditinjau dari segi ekologi maupun ekonomi. 2. Pengaturan struktur/kerapatan tegakan yang optimal didalam hutan yang diharapkan dapat memberikan peningkatan produksi kayu bulat dari tegakan sebelumnya. 3. Terjaminnya fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air. 4. Terjaminnya fungsi perlindungan hutan. Untuk mencapai sasaran yang diharapkan, maka ditetapkan tahapan TPTI dan tata waktu pelaksanaannya sebagai berikut: Tabel 1. Tahapan Kegiatan TPTI. No Tahapan Kegiatan TPTI Waktu Pelaksanaan (dalam tahun) 1 Penataan Areal Kerja Et 3 Et 2 2 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan 3 Pembukaan Wilayah Hutan Et 1

29 4 Penebangan Et 5 Penebasan Et Inventarisasi Tegakan Tinggal Et Pengadaan bibit Et Penanaman/pengayaan Et Pemeliharaan tahap pertama Et + 3 Et + 4 Pemeliharaan tahap lanjutan Et a. Pembebasan Et + 14 b. Penjarangan Et Perlindungan dan penelitian Terus menerus (Sumber Departemen Kehutanan, 1992). Keterangan: Et adalah simbol tahun penebangan. Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI dalam pengusahaan hutan dimaksudkan untuk mengatur kegiatan penebangan dan pembinaan hutan alam produksi yang mempunyai jumlah pohon inti minimal 25 pohon per hektar. Pohon inti adalah pohon jenis komersial berdiameter minimal 20 cm yang akan membentuk tegakan utama yang akan ditebang pada rotasi tebangan berikutnya. Pohon inti yang ditunjuk, diutamakan terdiri dari pohon komersial yang sama dengan pohon yang ditebang. Seandainya jumlahnya masih kurang dari 25 pohon per hektar, dapat ditambah dari jenis kayu lain (Departemen Kehutanan, 1992). Pada unit kesatuan pengusahaan hutan alam produksi, yang mempunyai komposisi dan struktur tegakan yang khusus, dapat diadakan penyesuaian sistem silvikultur TPTI sebagai berikut: (Departemen Kehutanan, 1992) a. Pada hutan payau, pedoman sistem silvikultur yang dipergunakan tetap berdasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/1978. b. Pada hutan rawa dengan komposisi hutan terdiri dari jenis komersial khusus, misalnya jenisramin, perupuk, dan jenis komersial lainnya; dan pemegang HPH tidak sanggup/sulit melaksanakan kegiatan penanaman/pengayaan, maka hanya diijinkan menebang pohon sebanyakbanyaknya 2/3 dari jumlah pohon, sesuai dengan komposisi jenisnya. c. Pada kondisi hutan rawa yang tidak ditemukan pohon berdiameter 50 cm keatas dalam jumlah yang cukup, misalnya pada hutan ramin campuran,

30 maka khusus jenis ramin dapat dilakukan penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang menjadi 35 cm; dengan jumlah pohon inti paling sedikit 25 pohon per hektar, berdiameter 15 cm ke atas. Sedangkan rotasi tebangan ditetapkan 25 tahun. Pengaturan pohon yang dapat ditebang mengikuti ketentuan pada butir (b) tersebut. d. Pada kondisi hutan dengan jumlah pohon muda yang berdiameter cm, yang dapat ditunjuk sebagai pohon inti kurang dari 25 pohon per hektar, maka kekurangannya harus ditambah dengan pohon komersial lain, yang berdiameter di atas 50 cm dan berfungsi pula sebagai pohon induk. Batas diameter batang yang boleh ditebang adalah 50 cm, dengan jumlah pohon inti paling sedikit 25 pohon per hektar, sedangkan rotasi tebang ditetapkan 35 tahun. e. Pada kondisi hutan yang terdiri dari jenis-jenis komersial, yang memiliki pertumbuhan yang lambat dan sulit ditemukan pohon-pohon yang berdiameter 50 ke atas, seperti pada hutan eboni campuran, maka khusus untuk jenis eboni dapat dilakukan penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang menjadi 35 cm, dengan jumlah pohon inti paling sedikit 25 pohon per hektar, berdiameter 15 cm ke atas. Sedangkan rotasi tebang ditetapkan 45 tahun. TPI/TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon komersial dengan limit diameter 50 cm ke atas pada hutan produksi dan limit diameter 60 cm ke atas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPI/TPTI tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan jenis-jenis pohon komersial ditebang pada areal tebangan (Soerianegara, 1996). TPI/TPTI juga mensyaratkan diadakannya penanaman pengayaan pada areal hutan yang permudaannya kurang, pada areal bekas lahan sarad bekas tempat pengumpulan dan tanah-tanah terbuka lainnya. Pemilihan jenis pohon untuk penanaman pengayaan sesuai dengan kondisi daerah yang akan ditanami khususnya keadaan tanah dan cahaya sangat berperan dalam keberhasilan tanaman pengayaan yang dilakukan (Soerianegara, 1996).

31 Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang dan 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon /hektar jenis komersial dan sehat (Departemen Kehutanan, 1993). Sistem TPTI memerlukan struktur tegakan pohon-pohon jenis niagawi yang berimbang, artinya jenis-jenis pohon yang bakal dipanen harus memiliki jumlah permudaan segala tingkatan yang memadai. Namun struktur demikian pada umumnya tidak dimiliki oleh jenis-jenis pohon stratum atasan, karena jenis-jenis itu hanya berkembang tumbuh di dalam rumpang dengan sinar matahari yang cukup. Untuk memperbaiki struktur harmonis dari tegakan jenis-jenis niagawi, diperlukan pengaturan ruang tumbuh untuk mendukung sejumlah terbatas dari permudaan agar segala tingkatan permudaan memiliki jumlah yang memadai (Sutisna, 2001). E. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia (TPTII) Dalam mendorong tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif, serta dikelola dengan efektif dan efisien Departemen Kehutanan akan mengembangkan pembangunan Sistem Silvikultur Intensif atau Tebang Pilih Tanam Intensif Indonesia dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Silvikultur adalah cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-praktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan. Dengan demikian sistem silvikultur merupakan cara utama untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang dikehendaki, yang disesuaikan dengan lingkungan setempat. Sistem silvikultur intensif ini merupakan penyempurnaan dari sistem-sistem sebelumnya, yaitu Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, tanpa memperhatikan cukup atau tidaknya anakan yang tersedia dalam tegakan tinggal. Keunggulan dari Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) adalah (Departemen Kehutanan, 2004):

32 a. Kontrol pengelolaan baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak luar lebih efisien, mudah dan murah b. Pada awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis yang terpilih dan pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan, sehingga produktivitasnya bisa meningkat 5 kali, kualitas produk lebih baik. c. Target produksi lebih bisa fleksibel bergantung pada investasi tanaman (kayu, produk metabolisme sekunder). d. Keanekaragaman hayati, kondisi lingkungan lebih baik. e. Kemampuan perusahaan meningkat. F. Pemanenan Hasil Hutan Pemanenan kayu merupakan salah satu kegiatan pengelolaan hutan, pada dasarnya merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengubah pohon dari hutan dan memindahkannya ke tempat penggunaan/pengelolaan dengan melalui tahapan perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH), penebangan, penyaradan, pengangkutan dan pengujian sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat berdasarkan prinsip kelestarian (Conway, 1976). Pemanenan merupakan suatu kegiatan memanen kayu secara ekonomis untuk memasok industri dengan menjaga kelestarian hasil, kualitas lingkungan, dan keselamatan pekerja dan peralatan (Suparto, 1994). Sedangkan menurut Elias (1997), pemanenan adalah satu bagian yang dominan dalam manajemen hutan secara keseluruhan oleh karena itu feed back nya terhadap kesuksesan maupun kegagalan pengelolaan hutan yang lestari dalam jangka panjang sangatlah penting. Reduced Impact Timber Harvesting (RITH) ialah suatu teknik pemanenan kayu yang direncanakan secara intensif, dalam pelaksanaan operasinya menggunakan teknik pelaksanaan dan peralatan yang tepat serta diawasi secara intensif untuk meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal dan tanah (Elias, 2002). Dan tujuan dari implementasi RITH adalah meminimalkan pengaruh negatif terhadap lingkungan (erosi, sedimentasi, dan

33 pengeruhan air sungai), meningkatkan efisiensi pemanenan (penekanan terhadap volume limbah pemanenan, biaya pemanenan dan peningkatan kualitas produksi kayu), menciptakan ruang tumbuh yang optimal dalam tegakan (memaksimalkan pertumbuhan dan hasil hutan non kayu), meningkatkan pendapatan, kesehatan dan keselamatan kerja pekerja dan masyarakat dan menciptakan prasyarat/kondisi pengelolaan hutan alam lestari (Elias, 2002). Sistem pemanenan kayu jati dan rimba di Pulau Jawa menggunakan sistem manual, dengan menggunakan sub sistem penyaradan dengan sapi dan pemikulan oleh manusia. Sedangkan sistem pemanenan kayu di luar Jawa menggunakan sistem mekanis, dengan sub sistem penyaradan dengan traktor di tanah kering dan tanah rawa dengan sistem kuda-kuda (Elias, 1998). Kegiatan pemanenan kayu yang intensif dapat berpengaruh serius terhadap struktur hutan dan persentase serta kerusakan terbesar terjadi pada pohon-pohon yang memungkinkan untuk ditebang (Whitmore, 1986). Pemanenan kayu dengan sistem TPTI tidak menyebabkan perubahan stratifikasi tegakan, karena jumlah strata tegakan sebelum dan sesudah pemanenan kayu masih sama, yakni terdiri dari strata A, B dan C. Perubahan yang terjadi hanya pada tajuk terhadap lantai hutan yang berkisar % (Elias, 1997). Pemanenan kayu menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan struktur yang ditandai dengan bergesernya peringkat Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing jenis dalam petak. Jumlah yang hilang akibat pemanenan kayu terkendali dan konvensional berkisar antara 1-6 jenis (Sularso, 1996). Kegiatan penebangan dan penyaradan menyebabkan kerusakan tegakan tinggal yang berat. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa kegiatan penyaradan menimbulkan kerusakan yang lebih berat daripada penebangan. Hal ini tergantung dari keterampilan pekerja, tegakan dan tajuk hutan, serta keadaan area pemanenan (Bureau of Forestry Philippines, 1970). Menurut Elias (1994), kerusakan lingkungan yang dapat diakibatkan oleh pemanenan kayu antara lain: kerusakan tegakan tinggal, kerusakan tanah

34 sebagai tempat tumbuh pohon-pohon, erosi, menurunnya keragaman jenis (biodiversity) terjadinya limbah pemanenan kayu (logging waste) yang besar. 1. Penebangan Penebangan adalah pengambilan kayu dari pohon-pohon dalam tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari batas diameter yang ditetapkan (Departemen Kehutanan, 1993). Menurut Suparto (1979) dalam Budiaman (2003), penebangan merupakan langkah awal dari kegiatan pemanenan kayu, meliputi tindakan yang diperlukan untuk memotong kayu dari tunggaknya secara aman dan efisien. Maksud kegiatan penebangan melaksanakan pemanfaatan kayu secara optimal dari blok tebangan yang sudah disahkan atas pohon-pohon yang berdiameter lebih besar dari batas diameter yang ditetapkan dan meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal (Departemen Kehutanan, 1993). Kegiatan penebangan pohon meliputi pekerjaan penentuan arah rebah, pelaksanaan penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengupasan dan pengangkutan kayu bulat dari Tempat Pengumpulan (TPn), ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK) (Departemen Kehutanan, 1993). Tetapi pada dasarnya kegiatan penebangan pohon terdiri dari 3 kegiatan, yaitu: persiapan penebangan, penentuan arah rebah, pembuatan takik rebah dan balas (Budiaman, 2003). Asas-asas penebangan pohon dalam sistem TPTI (Sutisna, 2001) adalah: a. Menebang pohon besar yang telah mencapai ukuran siap panen untuk dijual agar perusahaan memperoleh keuntungan finansial, dan memberikan ruang tumbuhnya kepada permudaan yang menghasilkan riap kayu lebih besar daripada pohon-pohon tua. b. Pemanfaatan potensi hutan per satuan luas seoptimal mungkin dengan meminimalkan limbah pembalakan.

35 c. Penebangan pohon dalam tegakan menggunakan arah rebah menuju pangkal jalan sarad agar kerusakan dan tegakan tinggal dapat diminimalkan. d. Penomoran kayu bulat secara konsisten berdasarkan nomor pohon berdiri yang dibuat dan dipetakan dalam kegiatan ITSP. Teknik penebangan yang benar menurut Sinaga, et.al. (1984) dalam Putra (2003) adalah: 1. Menyingkirkan rintangan, yaitu untuk memudahkan pekerjaan dan mencegah kecelakaan. 2. Menentukan arah rabah pohon. Penentuan arah rebah pohon yang cermat sangat penting untuk menghindari kerusakan kayu, antara lain menghindari rebahnya pohon di atas parit, batu, tunggak dan masuk jurang. 3. Membuat takik rebah dan takik balas. Untuk mengurangi kerusakan pangkal pohon yang ditebang berupa serat kayu tercabut (barber chair) juga untuk mengarahkan rebah pohon sesuai dengan arah rebah yang telah ditentukan terlebih dahulu. 4. Penebangan. Untuk pohon yang tidak berbanir, penebangan dilakukan serendah mungkin yaitu sepertiga diameter pohon dari atas tanah, sedangkan pada pohon berbanir penebangan dilakukan di atas banir. 5. Pembagian dan pemotongan batang. Pekerjaan ini mencakup perataan takik rebah dan takik balas, membagi atau memotong batang menurut panjang sortimen yang dikehendaki. Wyatt-Smith (1963) menyatakan bahwa permudaan dianggap cukup apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Terdapat paling sedikit 40 % stocking permudaan semai jenis komersial aatau 400 petak ukur mili acre per acre (1000 petak ukur acre per hektar). b. Terdapat paling sedikit 60% stocking permudaan pancang jenis komersial atau 96 petak ukur per acre (240 petak ukur per hektar). c. Terdapat paling sedikit 75% stocking permudaan tingkat tiang jenis komersial atau 30 petak ukur per acre (75 petak ukur per hektar). 2. Penyaradan

36 Penyaradan (skidding, yarding) adalah suatu kegiatan pengeluaran kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu atau disebut TPn (Sastrodimedjo, 1992). Sedangkan Budiaman (2003) menjelaskan bahwa penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu atau ke pinggir jalan angkutan. Dan untuk mengurangi kerusakan lingkungan (tanah maupun tegakan) yang ditimbulkan, penyaradan seharusnya dilakukan sesuai dengan rute penyaradan yang telah direncanakan di atas peta kerja. Menurut Budiaman (2003), metode penyaradan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: 1. Secara manual. 2. Menggunakan hewan. 3. Memanfaatkan gaya gravitasi. 4. Skidding atau yarding (dengan traktor). 5. Menggunakan kabel, pesawat, helikopter. Berbagai cara penyaradan yang tergantung pada beberapa faktor antara lain kerapatan tegakan dan ketebalan tumbuhan bawah (Conway, 1976). Menurut Brown (1949) faktor lain yang perlu dipertimbangkan yaitu sistem silvikultur yang digunakan, keadaan iklim serta jarak ke tempat pengumpulan kayu. Sementara itu Sumitro (1980) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyaradan (terutama di luar Jawa), antara lain: alat dan cara penyaradan, keadaan medan (kelerengan, cuaca), serta keadaan tegakan sisa. Hutan alam diluar Jawa dengan sistem TPTI, menyulitkan jalannya penyaradan. Jalan sarad yang panjang menurut kontur dan kerapatannya rendah, terang akan mengurangi kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan tidak langsung berupa luka bekas traktor dan pemadatan pada lapisan atas tanah tergantung pada beratnya traktor. Sayangnya tanah hutan di luar Jawa umumnya peka sekali terhadap gangguan ini (Sumitro, 1980). Pada pelaksanaannya, penyaradan dapat dilakukan dua tahap. Tahap pertama, yaitu menarik kayu dari tunggak di tempat tebangan ke suatu tempat pengumpulan sementara, yang pada umumnya terletak di dalam hutan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempermudah tahap pekerjaan penyaradan

37 selanjutnya, yang dilaksanakan karena jarak sarad yang terlalu jauh sehingga bila dilakukan penyaradan secara langsung satu tahap saja, biayanya menjadi terlalu mahal (Sastrodimedjo, 1992). Kebanyakan HPH beroperasi di daerah yang berbukit-bukit. Untuk mengeluarkan kayu dari tegakan hutan ke tempat pengumpulan, peralatan yang sering digunakan di hutan alam tropis di Indonesia ialah traktor berban ulat, seperti Cat D7 dan Komatsu D 85 E-SS. Traktor ini dapat bekerja pada kelerengan yang curam (Elias, 1997). Menurut Elias (1999), ada beberapa kerusakan akibat penggunaan alat berat (seperti traktor), antara lain: a. Pemadatan tanah. Pemadatan tanah adalah proses dimana partikel-partikel tanah secara mekanik bergerak ke posisi yang lebih rapat satu sama lain. Pemadatan tanah diakibatkan oleh beban atau tekanan yang dialami tanah tersebut. Idris (1987) menyatakan bahwa pemadatan tanah hutan yang terjadi akibat penyaradan kayu dengan traktor berban baja ditunjukkan oleh besarnya kerapatan massa tanah hutan antara 0,703-1,960 g/cm 3 dengan rata-rata 1,158 g/cm 3. Porositas tanah pada kerapatan massa tanah tersebut adalah 56%. Pemadatan tanah ini merupakan fungsi dari intensitas penggunaan jalan sarad, kebecekan tanah hutan serta kemiringan memenjang jalan sarad. b. Keterbukaan Tanah. Keterbukaan tanah yang disebabkan penggunaan alat berat dalam pengelolaan hutan alam pada hanya terjadi pada kegiatan penyaradan dan pembukaan wilayah hutan (jaringan jalan angkutan). c. Erosi Setempat. Sistem pemanenan kayu dan PWH merupakan faktor dominan yang menyebabkan erosi setempat (terutama erosi parit). Menurut Arsyad (1989), erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau atau bagianbagian dari tanah dari sutau tempat yang diangkut oleh air atau angin ketempat lain. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur

38 dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. d. Kerusakan Pada Vegetasi Hutan. Kerusakan vegetasi hutan akibat operasi alat berat kehutanan terutama terjadi pada kegiatan penyaradan. Kerusakan vegetasi hutan, pertama terjadi pada kesulitan perakaran pohon untuk menembus tanah yang terpadatkan akibat dilewati oleh alat berat, sehingga usaha mencari bahan makanan, air dan menunjang batang pohonnya sendiri sering terganggu. e. Gangguan Terhadap Satwa Liar. Gangguan pengoperasian alat berat di hutan terhadap satwa liar terutam karena kebisingannya. Pada umumnya satwa liar akan menghilang pada waktu pengopersian alat berat, dan kembali lagi setelah operasi alat berat berhenti. G. Kerusakan Tegakan Tinggal Semua bentuk pemanenan kayu tanpa kecuali menimbulkan kerusakan pada lingkungan, baik itu lingkungan hutan itu sendiri maupun lingkungan sekitar hutan (Suparto,1994). Kerusakan tegakan tinggal secara umum disebabkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan. Tingkat kerusakan dari keterbukaan lahan tegakan tinggal yang disebabkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan tergantung dari luasan intensitas pemanenan, terutama keterbukaan lahan yang disebabkan penebangan. Intensitas terbesar dari pemanenan menyebabkan luasnya keterbukaan lahan pada tegakan tinggal (Elias, 1997). Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan sistem TPTI adalah kerusakan yang terjadi pada bagian yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu pemanenan kayu. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat berupa pohon roboh atau pohon masih berdiri tetapi bagian batang, banir atau tajuk dan diperkirakan tidak dapat tumbuh lagi dengan normal dan keterbukaan areal/tanah akibat penebangan dan penyaradan (Elias, 1997).

39 Pohon inti dinyatakan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut: (Departemen Kehutanan, 1993) a. Tajuk pohon rusak lebih dari 30% atau cabang pohon/dahan besar patah. b. Luka batang mencapai bagian kayu berukuran lebih dari 1/4 keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m. c. Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak. Menurut Elias (1993) dalam Sularso (1996), berdasarkan populasi pohon dalam petak, kerusakan tegakan tinggal dapat dikelompokkan sebagai berikut: tingkat kerusakan ringan (<25%), tingkat kerusakan sedang (25-50%) dan tingkat kerusakan berat (>50%). Beberapa tingkat kerusakan yang terjadi pada indivudu pohon yaitu: 1. Tingkat kerusakan berat a. Patah batang. b. Pecah batang. c. Roboh, tumbang atau miring sudut < 45 o dengan permukaan tanah. d. Rusak tajuk (>50% rusak tajuk), juga didasarkan atas banyaknya cabang pembentuk tajuk patah. e. Luka batang/rusak kulit (>1/2 keliling pohon atau cm kulit mengalami kerusakan). f. Rusak banir/akar (>1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong). 2. Tingkat kerusakan sedang a. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami kerusakan). b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak atau cm kulit rusak). c. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong). d. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut >45 o dengan tanah). 3. Tingkat kerusakan ringan a. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak).

40 b. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling dan panjang luka <1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang). c. Rusak banir/akar (<1/4 banir rusak atau perakaran terpotong). Menurut Elias (1993), tingkat kerusakan tegakan tinggal didasarkan pada populasi pohon dan tingkatan perkembangan vegetasi sebagai berikut: Tabel 2. Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Didasarkan pada Populasi Pohon dan Tingkatan Perkembangan Vegetasi. Tingkatan vegetasi PT. Narkata Rimba (%) PT. Kiani Lestari (%) Semai Pancang Tiang Pohon Berdasarkan pada ukuran luka (kerusakan) pada setiap individu pohon, tingkat kerusakan yang disebabkan pemanenan kayu sebagai berikut: Tabel 3. Tingkat Kerusakan Didasarkan pada Ukuran Luka (Kerusakan) pada Setiap Individu Pohon. PT. Narkata Rimba (%) PT. Kiani Lestari (%) Pohon luka berat Pohon luka sedang Pohon luka ringan Hasil penelitian Muhdi (2001), memperlihatkan bahwa kerusakan terhadap tegakan tinggal pada berbagai tingkatan vegetasi akibat pemanenan kayu konvensional sebagai berikut: semai 34,42% (akibat penebangan 13,55% dan akibat penyaradan 20,87%), pancang 35,13% (penebangan 8,73% dan penyaradan 26,40%), pohon 33,15% (penebangan 8,90% dan penyaradan 24,25%). Sedangkan kerusakan terhadap tegakan tinggal pada berbagai tingkatan vegetasi akibat pemanenan kayu RITH sebagai berikut: 23,17% (akibat penebangan 6,36% dan penyaradan 16,80%), pancang 21,72% (penebangan 5,43% dan 16,29%), pohon 19,53% (penebangan 6,63% dan penyaradan 12,89). Adapun hasil penelitian Sularso (1996), memperlihatkan bahwa persentase rata-rata kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan kayu (terkendali dan konvensional) berdasarkan tipe kerusakan berturut-turut adalah tipe batang sebesar 35,91%, patah tajuk 25,16%, patah cabang/ranting 19,99%, roboh 11,01%, condong 6,29% dan terkelupas kulit/pecah banir

41 5,64%. Sedangkan akibat penyaradan kayu urutan tipe kerusakan adalah sebagai berikut: kerusakan roboh 50,80%, patah batang 19,57%, patah tajuk 10,26%, patah cabang/ranting 7,15%, terkelupas kulit/pecah banir 6,75% dan condong 5,47%. Hasil percobaan minimalisasi kerusakan akibat pemanenan kayu menunjukkan bahwa penerapan cara pemanenan kayu berwawasan lingkungan dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal sampai 50% dan limbah pemanenan kayu 10-30%. Kenaikan biaya produksi/pemanenan kayu hanya 1,27% (Elias, 1997). H. Perkembangan Hutan Bekas Tebangan Suksesi ialah rangkaian perubahan kondisi pada komunitas tanaman bersamaan dengan perubahan habitatnya (Baker, 1950). Sedangkan Ewusie (1990) menyatakan bahwa suksesi merupakan hasil dari tumbuhan itu sendiri, dalam arti bahwa tumbuhan yang berada dalam daerah tersebut pada suatu waktu tertentu mengubah lingkungannnya, yang terdiri dari tanah, tumbuhan dan iklim mikro yang berada di atasnya, sedemikian rupa sehingga membuatnya lebih cocok untuk spesies yang lain daripada bagi tumbuhan itu sendiri. Richards (1966) membedakan suksesi atas dua bagian berdasarkan awal terjadinya, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer merupakan perkembangan vegetasi mulai dari yang tidak bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil. Sedangkan suksesi sekunder terjadi apabila klimaks atau suksesi normal terganggu, seperti terjadinya kebakaran, perladangan dan pembalakan. Soerianegara dan Indrawan (1988) mengemukakan bahwa selama proses suksesi berlangsung hingga tercapainya stabilitas atau keseimbangan dinamis dengan lingkungan, terjadi pergantian masyarakat tumbuhan hingga terbentuk masyarakat yang disebut vegetasi klimaks. Whitmore (1986) berpendapat bahwa siklus pertumbuhan dalam rangka regenerasi pohon di hutan hujan tropika dapat di bedakan dalam tiga tahapan, yaitu fase celah, fase pengembangan, dan fase tua. Fase-fase ini tidak

42 dapat dianggap sebagai fase-fase terpidah satu sama lainnya, melainkan berhubungan melalui kesinambungan pertumbuhan. Fase celah berisi permudaan ukuran semai dan pancang, fase pengembangan berisi tingkat tiang atau pohon muda, sedangkan fase tua terdiri dari pohon-pohon besar dan tua. Richards (1966) menyatakan menyatakan bahwa apabila pohon yang besar mati, pohon tersebut akan meninggalkan suatu celah (gap) atau opening (bukaan) di dalam stratum pohon tersebut. Pembentukan suatu celah (gap) menyebabkan perkembangan tumbuhan bawah yang cepat, karena dirangsang pertambahan penyinaran dan mungkin oleh berkurangnya persaingan akar setempat, jenis pohon muda yang intoleran yang terdapat di sekitar tumbuhan bawah itu akan lebih cepat tumbuh daripada jenis yang toleran. I. Hubungan antara Tanah dengan Tegakan Tanah adalah kumpulan bahan-bahan alami yang terdapat di permukaan bumi, tempat berpijak pohon-pohon, yang mempunyai ciri-ciri yang terjadi karena pengaruh iklim dan kehidupan pada bahan induk tergantung pula pada bentuk (relief) dan waktu (Loekito, D dan R. Hardjono, 1970). Dengan demikian faktor-faktor pembentuk tanah ialah iklim, organisme, relief, bahan induk dan waktu. Sementara Buckman dan Brady (1989) menyatakan bahwa tanah merupakan suatu tubuh alam, disintesakan dalam bentuk penampang dari berbagai campuran hancuran mineral dan bahan organik, bila mengandung cukup air dan udara akan menjadi tunjungan mekanik dan makanan bagi tumbuhan. Lebih lanjut lagi Buckman menyatakan bahwa larutan tanah mengandung garam-garam yang larut dan sebagian besar merupakan hara esensial bagi tumbuhan. Antara bagian pada tanah dengan larutan tanah terjadi pertukaran hara dan selanjutnya antara larutan tanah dengan tanaman. Pertukaran ini hingga batas-batas tertentu ditentukan oleh jumlah di dalam tanah dan kadar garam dalam larutan tanah. Tanah terdiri dari berbagai ukuran bahan mineral (seperti: pasir, debu dan liaat, yang dihasilkan oleh stratum geologis), bahan organik (dari

43 pembusukan tumbuh-tumbuhan dan binatang), air (dari presipitasi), udara (yang keluar dalam atmosfir) dan sejumlah besar jasad renik (Manan, 1976). Faktor tanah mempunyai peran memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanaman, yaitu: memberi dukungan mekanis dengan menjadi tempat berjangkarnya akar, menyediakan ruang untuk pertumbuhan dan perkembangan akar, menyediakan udara (oksigen) untuk respirasi, air, dan hara, serta menjadi media untuk memungkinkannya saling tindak dengan jasad lain (Purwowidodo, 2000). Sedangkan Baur (1968) menyatakan bahwa tanah sangat penting bagi tanaman untuk tumbuh dengan berbagai cara. Tanah menyediakan daya dukung fisik sebagai jangkar bagi akar yang dibutuhkan sebelum pohon tumbuh. Tanah juga menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman baik itu secara langsung ataupun tidak langsung. Kedua fungsi dari tanah tersebut sangatlah penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hutan hujan tropika. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh beberapa hal antara lain: kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinasi), terkumpulnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan atau menghasilkan barang atau jasa (Riquier, 1977 dalam Arsyad, 1989). Oliver dan Larson (1983) menyatakan bahwa tempat tumbuh dapat berubah seperti juga halnya dengan perkembangan hutan. Perkembangan tegakan akan meningkatkan kelembaban yang memungkinkan akar untuk melakukan penetrasi dalam menyerap mineral tanah dan akan meningkatkan ruang pori untuk menyimpan kelembaban. Oksigen tanah dan nutrisi akan meningkat seperti juga dengan peningkatan ruangan pori. Nutrisi meningkat sehingga akar, mikroorganisme dapat mengambilnya dari bahan induk tanah dan mengedarkan ke tanah dan akhirnya ke pohon. Total nitrogen akan meningkat sejalan dengan perkembangan tegakan karena semakin banyak nitrogen yang diikat dari udara oleh tumbuhan.

44 Keberhasilan pertumbuhan suatu tanaman hutan di lapangan dikendalikan oleh faktor-faktor pertumbuhan, yang terdiri dari faktor genetis dan faktor-faktor lingkungan. Pengendalian faktor genetis dimunculkan oleh gen-gen kromosom yang mempengaruhi proses-proses fisiologis melalui pengendalian pada sistesis ensim-ensim yang berperan ganda pada aneka reaksi fisiologis. Sedangkan pengendalian faktor lingkungan dimunculkan oleh peran aneka keadaan di luar tubuh suatu tanaman yang mempengaruhi proses-proses fisiologis (Poerwowidodo, 2000). Kegiatan tebang pilih dapat menyebabkan kelembaban tanah meningkat, intersepsi air hujan berkurang, evaporasi meningkat, lapisan permukaan lebih cepat kering daripada hutan alami tetapi lebih lambat daripada tebang habis, serta terjadinya peningkatan traspirasi (Baker, 1950). J. Analisis Tanah 1. Sifat Fisik Tanah Tekstur tanah adalah perbandingan relief dari berbagai golongan besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi kiat, debu, dan pasir (Sarief, 1985). Sedangkan menurut Poerwowidodo (2004) tekstur tanah adalah perbandingan nisbi aneka kelompok ukuran jarah/pisahan tanah yang menyusun massa tanah suatu bagian tubuh tanah. Kadar liat merupakan kriteria penting sebab liat mempunyai kemampuan menahan air yang tinggi. Tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya, dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butirbutir liat semakin tinggi nisbah liat maka laju infiltrasi semakin kecil (Arsyad, 2000). Tanah-tanah yang bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan air dan menyimpan unsur hara tinggi. Tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat (Hardjowigeno, 2003).

45 Struktur tanah adalah istilah untuk menunjuk pada fenomena penyusun jarah-jarah primer tanah untuk membentuk paduan jarah tanah (jarah-jarah sekunder tanah) (Poerwiwidodo, 2004). Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003) struktur tanah merupakan gumpalan-gumpalan kecil alami dari tanah, akibat melekatnya butir-butir primer tanah satu sama lain. Sarief (1985) menyatakan bahwa struktur tanah memegang peranan penting terhadap pertumbuhan tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila tanah padat, maka akar akan susah untuk menembus tanah tersebut. Bila srtuktur tanah remah, maka akar akan tumbuh dengan baik. Bobot isi tanah (Bulk Density) menunjukkan berat tanah kering persatuan volume tanah (termasuk pori-pori tanah). Bulk density biasanya dinytakan dalam g/cc (Hardjowigeno, 2003). Poerwowidodo (2000) menyatakan tanah-tanah yang mengandung lempung banyak cenderung mempunyai bobot isi tinggi. Bobot isi tanah merupakan petunjuk tidak langsung atas kepadatan tanah. 2. Sifat Kimia Tanah Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat-sifat yang perlu dianalisi untuk mengetahui kadar unsur hara dalam tanah adalah ph, C-organik, N-total, P 2 O 5, K 2 O, KTK dan KB. Evaluasi kesuburan tanah dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983) Sifat Tanah Rendah Sedang Tinggi BO (%) < > 5.19 C (%) N (%) C/N P 2O 5 HCl (mg/100 g) K 2O HCl (mg/100g) KTK (cmol (+)/Kg) KB (%) ph Sangat Masam Masam Agak Masam Netral Agak Alkalis Alkalis

46 < >8.5 Bahan organik tanah adalah bahan tanah yang mengandung C- organik lebih tinggi daripada ketentuan yang berlaku pada tanah mineral. Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya 3-5 % saja tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah sangat besar. Komponen bahan organik yang penting adalah kadar C dan N. Kandungan organik pada masing-masing horison merupakan petunjuk besarnya akumulasi bahan organik dalam keadaan lingkungan yang berbeda (Hardjowigeno, 2003). Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah didefinisikan sebagai kapasitas tanah untuk menjerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam miliekuivalen per 100 gram (Tan, 1991). Kapasitas Tukar Kation penting untuk kesuburan tanah maupun untuk genesis tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam Al, H (kejenuhan rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah (Hardjowigeno, 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur tanah, jumlah mineral liat, bahan organik, pengapuran serta pemupukan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). Kejenuhan basa adalah perbandingan dari jumlah kation basa yang ditukarkan dengan kapasitas tukar kation yang dinyatakan dalam persen. Kejenuhan basa rendah berarti kemasaman tinggi dan kejenuhan bisa mendekati 100% tanah bersifat alkalis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). Kejenuhan basa sering dianggap sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa. Suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya 80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 50-80%, dan tidak subur jika kejenuhan basanya

47 50% (Tan, 1991). Kejenuhan basa berhubungan erat dengan ph tanah, dimana tanah dengan ph rendah umumnya mempunyai kejenuhan basa endah, sedangkan tanah-tanah dengan ph tinggi mempunyai kejenuhan basa yang tinggi pula (Hadjowigeno, 2003). Unsur-unsur hara esensial adalah unsur hara yang sangat diperlukan oleh tanaman, dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain, sehingga bila tidak terdapat alam jumlah yang cukup di dalam tanah, tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal (Hardjowigeno, 2003). Unsur-unsur hara esensial tersebut diantaranya adalah : Unsur Hara Makro : C, H, O, N, S, P,K Ca, Mg Unsur Hara Mikro : Mn, Fe, B, Zn, Cu, Mo, Cl

48 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan selama empat bulan, yaitu bulan Februari sampai April 2006 serta Agustus sampai September B. Bahan dan Alat Objek penelitian ini, yaitu: 1. Keadaan hutan sebelum dilakukan pemanenan kayu dengan batas diameter 45 cm keatas pada tiga kelerengan yang berbeda (LOA 1981/1982). 2. Keadaan hutan yang baru dilakukan pemanenan kayu dengan batas diameter 45 cm keatas pada tiga kelerengan yang berbeda (Et+0). 3. Keadaan hutan sebelum dilakukan penebangan jalur untuk penyiapan jalur bersih pada tiga kelerengan yang berbeda (jalur tanam). 4. Keadaan hutan setelah dilakukan penebangan jalur untuk penyiapan jalur bersih pada tiga kelerengan yang berbeda (jalur tanam). Plot pengamatan pemanenan kayu terletak di petak 2 F areal blok TPTII. Sedangkan plot pengamatan sebelum dan setelah penjaluran terletak di petak 1 G areal blok TPTII. Kedua lokasi tersebut merupakan Log Over Area tahun 1981/1982. Sehingga plot pengamatan pemanenan kayu dan plot pengamatan penjaluran merupakan areal plot yang berbeda. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pita meter untuk mengukur areal penelitian. 2. Phiband meter untuk mengukur keliling pohon. 3. Haga Hypsometer/Christen meter untuk mengukur tinggi pohon. 4. Kompas Brunton untuk mengukur koordinat suatu titik dan menentukan kemiringan lereng. 5. Tali rapia/tambang untuk menandai plot dan petak pengamatan. 6. Patok untuk menandai batas-batas plot dan petak pengamatan.

49 7. Ring tanah dengan ukuran diameter 8 cm dan tinggi 4 cm sebanyak 10 buah, untuk pengambilan contoh tanah. 8. Golok dan cangkul. 9. Alat-alat bantu lainnya seperti penggaris, timbangan, kantong plastik, kertas label, tally sheet serta alat tulis. C. Metode Pengambilan Data Pada penelitian ini dilakukan pada satu lokasi penelitian yang sama yaitu lokasi pemanenan kayu dengan batas diameter 45 cm. Pada lokasi penelitian dibuat plot pengamatan permanen berukuran 100 X 106 m berdasarkan tiga kemiringan yang berbeda yaitu, landai (kemiringan 0-15%), sedang (kemiringan 15-25%) serta curam (kemiringan 25-45%). Pada masingmasing kemiringan tersebut dibuat tiga plot pengamatan permanen. Dalam plot pengamatan dibuat petak contoh dan sub-sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut tingkat pohon dengan ukuran petak 20 x 20 m (dan menjadi 17 x 20 m setelah dilakukan kegiatan penjaluran), tingkat tiang 10 x 10 m, tingkat pancang 5 x 5 m, dan tingkat semai 2 x 2 m. 1. Analisa Vegetasi Analisa vegetasi dilakukan pada empat kondisi hutan, yaitu hutan primer untuk kegiatan pemanenan kayu, hutan yang baru dilakukan kegiatan pemanenan kayu, hutan sebelum dilakukan penebangan jalur, dan hutan setelah dilakukan penebangan jalur. Analisa vegetasi pada hutan primer dilakukan sebagai pembanding tentang keadaan komposisi jenis, struktur tegakan, sebaran diameter, dan dominansi jenis. Selain itu juga dilaksanakan kegiatan pengukuran serta penghitungan jumlah dan jenis pohon, pemberian nomor, mengukur tinggi dan diameter pohon. Sedangkan analisa vegetasi pada ketiga kondisi hutan yang lainnya ialah untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi akibat pemanenan kayu dan penjaluran terutama terhadap mengenai komposisi dan struktur tegakan tinggal dan komposisi jenis dari permudaan yang ada. Metoda pengambilan data yang dilakukan untuk analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi

50 ini adalah nama jenis, jumlah, dan diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat pancang dan tingkat semai hanya diperlukan nama jenis dan jumlahnya saja. Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi 17 m Lebar jalur bersih 3 m 20 m Jalur Jalur kotor kotor a b c d

51 Keterangan: a = Sub petak pengamatan untuk tingkat semai (2 x 2 m) b = Sub petak pengamatan untuk tingkat pancang (5 x 5 m) c = Sub petak pengamatan untuk tingkat tiang (10 x 10 m) d = Sub petak pengamatan untuk tingkat pohon (20 x 20 m), tapi ukurannya menjadi 17 x 20 m setelah penjaluran. 2. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Analisa ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan tegakan (pohon non target) yang diakibatkan kegiatan penebangan satu pohon. Metode yang digunakan adalah mengamati dan mencatat pohonpohon yang rusak disekitar pohon yang ditebang. Pohon yang ditebang ialah pohon dengan diameter 45 cm keatas. Pengamatan ini dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Data yang diperlukan dalam analisa pengukuran kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon adalah: a. Jumlah pohon yang rusak dirinci menurut kelas diameter (tergantung pada lokasi pengamatan). b. Bentuk-bentuk kerusakan: patah, kulit batang terkelupas, tajuk rusak, perakaran/banir rusak, roboh dan condong. c. Persentasi kerusakan, dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak dibagi dengan pengurangan dari jumlah pohon sebelum dilakukan penebangan dengan jumlah pohon yang ditebang. Tabel 5. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon. No Jenis Pohon Diameter (cm) Tipe Kerusakan Tajuk Kulit Patah Pecah Batang Roboh/Condong Banir/Akar

52 3. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan tegakan hutan akibat pemanenan kayu dan penjaluran terutama yang diakibatkan oleh kegiatan penebangan, penyaradan serta pembuatan jalur bersih. Pengukuran kerusakan tegakan tinggal dilakukan setelah pemanenan kayu dan setelah penjaluran. Parameter yang dicatat dan diukur adalah jenis pohon yang rusak, diameter, tipe dan ukuran/tingkat kerusakan. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan pohon inti dan tingkat permudaan serta untuk melihat keberadaan pohon inti dan permudaan. Dalam melakukan pengukuran, kriteria kerusakan tegakan tinggal yang digunakan ialah berdasarkan sistem TPTI, dimana pohon inti digolongkan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut (Departemen Kehutanan, 1993) : a. Tajuk rusak lebih dari 30% atau cabang pohon/dahan patah. b. Luka batang mencapai bagian kayu yang berukuran lebih dari 1/4 keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m. c. Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak. Menurut Elias (1993) dalam Sularso (1996), berdasarkan populasi pohon dalam petak, kerusakan tegakan tinggal dapat dikelompokkan sebagai berikut: tingkat kerusakan ringan (<25%), tingkat kerusakan sedang (25-50%) dan tingkat kerusakan berat (>50%). Beberapa tingkat kerusakan yang terjadi pada indivudu pohon yaitu: 4. Tingkat kerusakan berat a. Patah batang. b. Pecah batang. c. Roboh, tumbang atau miring sudut < 45o dengan permukaan tanah. d. Rusak tajuk (>50% rusak tajuk), juga didasarkan atas banyaknya cabang pembentuk tajuk patah. e. Luka batang/rusak kulit (>1/2 keliling pohon atau cm kulit mengalami kerusakan).

53 f. Rusak banir/akar (>1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong). 5. Tingkat kerusakan sedang e. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami kerusakan). f. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak atau cm kulit rusak). g. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong). h. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut >45 o dengan tanah). 6. Tingkat kerusakan ringan d. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak) e. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling dan panjang luka <1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang). f. Rusak banir/akar (<1/4 banir rusak atau perakaran terpotong). Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang dan 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon /hektar jenis komersial dan sehat. Dengan demikian maka dapat diasumsikan bahwa dalam setiap petak pengamatan minimal harus terdapat 1 pohon, 3 tiang, 8 pancang dan 16 semai. Tabel 6. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran. No Jenis Pohon Diameter (cm) Tipe Kerusakan Tajuk Kulit Patah Pecah Batang Roboh/Condong Banir/Akar 4. Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Keterbukaan lahan hutan dapat disebabkan terutama oleh kegiatan penebangan dan penyaradan. Kegiatan penebangan itu sendiri terbagi dua yaitu penebangan produksi dan penebangan jalur. Keterbukaan lahan akibat penebangan merupakan luas daerah yang terbuka akibat

54 penebangan pohon berikut robohnya vegetasi lain. Keterbukaan lahan akibat penebangan dapat diketahui dengan cara mengukur jumlah areal yang terbuka akibat penebangan pohon dalam luasan satu hektar berdasarkan penjumlahan luas tajuk pohon yang ditebang dan luas tajuk pohon yang tumbang akibat penebangan. Keterbukaan lahan akibat penyaradan adalah luas tanah yang terbuka akibat jejak traktor atau bekas lintasan batang kayu yang disarad. Keterbukaan lahan akibat penyaradan dapat ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad dalam luasan satu hektar, kemudian dihitung luas jalan sarad tersebut. Dengan demikian keterbukaan lahan bekas tebangan per hektar merupakan penjumlahan antara keterbukaan lahan akibat penebangan dan penyaradan dalam luasan satu hektar. Tabel 7. Tally Sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penebangan. No. Jenis pohon yang ditebang Diameter (cm) Tinggi (m) Luas keterbukaan areal Tabel 8. Tally sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penyaradan. No. Arah ( 0 ) No. Titik pengamatan Panjang (m) Lebar (m) Keterangan Pengambilan Contoh Tanah Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan dua cara : a. Untuk dianalisis sifat fisik tanah (bulk density, porositas, kadar air, air tersedia, permiabilitas), dilakukan dengan menggunakan ring/tabung tembaga yang mempunyai diameter 8 cm dan tinggi 4 cm. Setiap plot pengamatan (jalur bersih dan jalur kotor) diambil satu contoh tanah dari tiga lapisan tanah. Lapisan pertama pada kedalaman 0-20 cm, lapisan kedua pada kedalaman cm dan lapisan ketiga pada kedalaman cm.

55 Cara pengambilan tanah utuh adalah sebagai berikut: 1. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah. 2. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop. 3. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung. 4. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah. 5. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm. 6. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawaah tabung dibersihkan. 7. Tabung ditutup dengan tutup plastik. Pengambilan contoh tanah utuh yang paling baik adalah sewaktu tanah dalam keadaan kandungan air disekitar kapasitas lapang. Kalau tanah terlalu kering dianjurkan untuk menyiramnya dengan air yang cukup sehari sebelum pengambilan contoh. Apabila tanahnya keras maka memasukkan tabung ke dalam tanah dapat dipukul perlahan-lahan dan diatas tabung harus memakai bantalan kayu. Masuknya tabung ke dalam tanah harus tetap tegak lurus dan jangan goncang. b. Untuk menganalisa sifat kimia tanah (keasaman tanah, kandungan bahan organik dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan mikro) diambil tanah biasa sebanyak 250 gram dari setiap petak pengamatan. Menurut Lembaga Penelitian Tanah (1979) cara pengambilan contoh tanah biasa (agregat tanah) dari suatu profil tanah adalah sebagai berikut : 1. Tanah dibersihkan dan diratakan. 2. Setiap lapisan tanah diambil 250 gram agregat tanah. Contoh tanah yang diambil dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label.

56 D. Analisa Data 1. Analisa Vegetasi a. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR) (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Kerapatan = Jumlah individu suatu jenis Luas plot pengamatan KR = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis Dominansi = Jumlah LBDS suatu jenis Luas plot pengamatan DR = Dominansi suatu jenis x 100% Dominansi seluruh jenis Frekuensi = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot FR = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis b. Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus: n n i n i H = - [ ln ] i =1 N N dimana : H = Indeks Keragaman Shannon-Wiener n i = Jumlah Jenis ke-n N = Total Jumlah Jenis Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,0 sampai 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) mendekati 3,5 maka menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi.

57 c. Indeks Kekayaan Jenis dari Margallef (R 1 ) S 1 R 1 = ln ( n) dimana : R 1 = Indeks Margallef S = Jumlah jenis N = Jumlah total individu Berdasarkan Maguran (1988) besaran R 1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R 1 = 3,5 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R 1 tergolong tinggi apabila > 5,0. d. Indeks Kemerataan Jenis H ' E = ln ( S) dimana : E = Indeks kemerataan jenis H = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis Berdasarkan Magurran (1988) besaran E<0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah, E = 0,3 0,6 menunjukkan kemerataan tergolong sedang dan E > 0,6 kemerataan tergolong tinggi. e. Indeks Dominansi Jenis n n i 2 C = ( ) i =1 N dimana : C = Indeks dominansi jenis n i N = Jumlah Jenis ke-n = Total Jumlah Jenis Indeks dominansi jenis digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis dominan. Nilai dominansi tertinggi ialah 1,0 yang menunjukan bahwa pada suatu tegakan hanya dikuasai oleh satu jenis atau terjadi pemusatan pada satu jenis pohon.

58 f. Koefisien Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui kesamaan komunitas dari dua komunitas yang dibandingkan dapat digunakan rumus Sorensen sebagai berikut (Costing, 1956; Bray dan Curtis, 1957; Greigh-Smith, 1964 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988) : 2W C (IS) = x 100 % a + b dimana : C(IS) = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan W komunitas = Jumlah nilai yang sama atau terendah ( ) dari dua jenis-jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan b = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua Dari nilai kesamaan komunitas (IS) dapat ditentukan koefisien ketidaksamaan komunitas (ID) yang besarnya 100 IS. 2. Analisa Kerusakan Pohon Akibat Penebangan Satu Pohon Kerusakan pohon akibat penebangan dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat penebangan dengan hasil pengurangan antara jumlah pohon sebelum penebangan dan jumlah pohon yang dipanen dalam satu petak contoh. R K p = x 100% P 1 dimana : K p = Kerusakan pohon akibat penebangan satu pohon R = Jumlah pohon yang mengalami kerusakan akibat P penebangan satu pohon = Jumlah pohon sebelum penebangan di plot pengamatan Perhitungan persentase kerusakan pohon akibat penebangan dirinci menurut kelas diameternya.

59 3. Analisa Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran Kerusakan tegakan akibat kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran dapat dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak/hilang akibat kegiatan pemanenan kayu (penebangan dan penyaradan) serta penjaluran dengan jumlah pohon sebelum penebangan dikurangi jumlah pohon yang ditebang. R Ks = x 100 % P n dimana : Ks = Persentase kerusakan akibat kegiatan pemanenan kayu atau penjaluran R = Jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu atau penjaluran P = Jumlah pohon sebelum penebangan n = Jumlah pohon yang ditebang 4. Analisa Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan Persen keterbukaan lahan akibat penebangan/penyaradan dihitung berdasarkan perbandingan antara luas lahan yang terbuka akibat kegiatan penebangan/penyaradan dengan luas petak pengamatan. L K = x 100% m 2 dimana : K L = Persentase keterbukaan lahan akibat penebangan/penyaradan = Luas lahan terbuka akibat penebangan/penyaradan Keterbukaan lahan per hektar dapat ditentukan dari hasil penjumlahan antara keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan dan keterbukaan lahan akibat kegiatan penyaradan. 5. Pengukuran Sifat Fisik Tanah Pengukuran kepadatan tanah merupakan pengukuran berat isi tanah. Berat isi adalah berat suatu volume tanah dalam keadaan utuh (undisturbed), dinyatakan dalam g/cc (Lembaga Penelitian Tanah, 1979). Penetapan berat isi tanah ditentukan dengan rumus:

60 Berat isi tanah keadaan lapang (g/cc) = a c V d Berat isi tanah keadaan kering oven (g/cc) = b c V d Pengukuran kandungan air tanah menggunakan rumus : Kandungan air = (a c) (b c ) (b c) dimana : a = Berat contoh tanah dalam tabung sebelum di oven b = Berat contoh tanah dalam tabung setelah di oven c = Berat tabung (ring tanah) V d = Volume tabung (bagian dalam) 6. Pengukuran Sifat Kimia Tanah Pengukuran sifat kimia tanah adalah untuk melihat komponenkomponen unsur hara tanah, terutama unsur-unsur hara yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan tanaman dan juga menentukan tingkat kesuburannya. Untuk kegiatan analisis tanah ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Dalam penentuan tingkat kesuburan tanah unsur-unsur hara beberapa unsur hara yang dijadikan parameter diantaranya adalah BO, C-org, P 2 O 5 dan K 2 O 5, KTK (Kapasitas Tukar Kation) dan kejenuhan Basa (KB). Dibawah ini adalah Tabel 9. yang digunakan untuk menetapkan tingkat kesuburan tanah. Tabel 10. Penetapan Status Kesuburan Tanah. No Sifat Kimia Tanah Status Kesuburan BO, C-org, P 2 O 5 dan K 2 O 5 KTK KB Tanah 1 > 2 T tanpa R T T Tinggi 2 > 2 T tanpa R T T Sedang 3 > 2 tanpa R T T Tinggi 4 > 2 S dengan R T T Sedang 5 > 2 R dengan T T T Tinggi 6 > 2 R dengan S T T Sedang 7 > 2 T tanpa R T S Tinggi 8 > 2 T dengan R T S Sedang 9 2 S T S Sedang 10 Panduan lain T S Rendah 11 > 2 T tanpa R T R Sedang 12 > 2 T dengan R T R Sedang 13 Panduan lain T R Rendah 14 > 2 T tanpa R S T Sedang

61 15 > 2 T dengan R S T Sedang 16 Panduan lain S T Rendah 17 > 2 T tanpa R S S Rendah 18 Panduan lain S S Sedang 19 ST S R Sedang 20 Panduan lain S R Rendah 21 > 2 T tanpa R R T Sedang 22 > 2 T dengan R R T Rendah 23 > S tanpa R R T Sedang 24 Panduan lain R T Rendah 25 > 2 T tanpa R R S Sedang 26 Panduan lain R S Rendah 27 Semua panduan R R Rendah Sumber: Lembaga Penelitian Tanah 1979

62 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Areal PT. Suka Jaya Makmur merupakan salah satu anak perusahaan yang tergabung dalam kelompok Alas Kusuma Group berdasarkan Surat Keputusan Hak Pengusahaan Hutan No. 106/KPTS-II/2000 tanggal 29 Desember Luas areal berdasarkan SK Menhut No 106/Kpts-II/2000 adalah seluas Ha, dimana luas Hutan Produksi Terbatas seluas Ha dan Hutan Produksi Tetap seluas Ha. Menurut pembagian wilayah Administrasi Pemerintahan, areal PT. Suka Jaya Makmur meliputi Kecamatan Tumbang Titi, Nanga Tayap, Sandai, Matan Hilir Selatan dan Nanga Sokan, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang, Propinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan pembagian Administrasi Kehutanan, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ketapang dan Sintang Selatan, Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan pembagian kesatuan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk ke dalam wilayah DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh. Wilayah ini termasuk dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Ketapang Dinas Kehutanan Kalimantan Barat tepatnya dikelompok Hutan Sungai Pesaguan dan Sungai Biya. Secara geografis, areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur merupakan areal kompak yang terletak diantara 110 o 27 BT o 25 BT dan 01 o 00 LS 01 o 55 LS. Sedangkan batas areal PT. Suka Jaya Makmur : Utara : IUPHHK PT. Duaja II dan PT. Wanasokan Hasillindo Timur : Hutan Lindung dan Hutan Negara Selatan : IUPHHK PT. Wanakayu Batuputih dan Hutan Negara Barat : HPT PT. Triekasari, PT. Kawedar dan Hutan Negara

63 B. Topografi Topografi areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur umumnya bergelombang, datar dan landai hingga agak curam dengan persentase kemiringan lapangan seperti pada Tabel 11. Areal tersebut memiliki ketinggian minimum 300 mdpl dan maksimum 700 mdpl. Tabel 10.Luas Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Berdasarkan Kelas Lereng. Klasifikasi Kelerengan (%) Luas (Ha) Persentase (%) Datar ,84 Landai ,56 Agak Curam ,48 Curam ,67 Sangat Curam > ,45 Jumlah C. Geologi dan Jenis Tanah Berdasarkan Peta Geologi Propinsi Dati I Kalimantan Barat, diketahui bahwa batuan yang terdapat pada areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur adalah (1) Efusif (2) Intrusif dan Plutonik asam serta Intrusif dan Plutonik basa menengah. Formasi-formasi tersebut mengandung sedikit kadar magnetik merupakan peleburan dari sisa-sisa letusan gunung api. Sesuai dengan peta tanah Propinsi Dati I Kalimantan Barat, jenis tanah yang terdapat pada areal pengusahaan hutan PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya terdiri atas jenis tanah Podsolik Merah Kuning. Sebagian besar jenis tanah di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Podsolik Merah Kuning (PMK), Latosol, Litosol dengan batuan induknya adalah batuan sedimen, batuan beku dan batuan metamorf. Untuk lebih jelas kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 12. berikut:

64 Tabel 11. Deskripsi Satuan Peta Tanah yang Terdapat di Wilayah Studi dan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur. SPT Macam Tanah Bahan Induk Fisiografi Bentuk Wilayah Uraian 1 Podsolik Merah Kuning Batuan endapan Dataran hingga perbukitan Bergelombang Bertekstur liat, solum dalam, drainase baik, masam, KTK rendah, KB rendah. 2 Podsolik Merah Kuning Batuan endapan, batuan beku, dan metamorf Perbukitan Berbukit Bertekstur liar berpasir, solum dalam, drainase baik, KTK rendah, KB rendah. 3 Podsolik Merah Kuning Batuan beku dan endapan Datara hingga perbukitan Datar dan bergelombang Bertekstur liat, solum dalam, drainase sedang hingga cepat, KTK sangat rendah, KB rendah. Sumber: Satuan Peta Tanah Tahun 1993 SEL IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur D. Hidrologi Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur pada dasarnya masuk dalam Kesatuan DAS Pawan, Sub DAS Pesaguan (Sub-sub DAS Pending, Sub-sub DAS Burung), Sub DAS Kerabai, Sub DAS Tayap dan Sub DAS Pinoh. Sungai utama adalah Sungai Pawan dengan lebar antara m dengan kedalaman antara 5-15 m dan Sungai Pesaguan dengan lebar m dengan kedalaman 4-10 m dimana kedua sungai tersebut bermuara ke Laut Cina Selatan. E. Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson 1951, kondisi iklim di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur termasuk tipe iklim A, dengan nilai Q = 0,4. Curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara mm/tahun. Hasil pengamatan cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Camp Arboretum dan Camp 128 adalah sebagai berikut :

65 Tabel 12. Hasil Pengamatan Cuaca di Stasiun Pengamat Cuaca Arboretum dan Camp 128 pada Bulan Desember No Parameter Stasiun PengamatCuaca Camp Arboretum Camp Jumlah hari hujan 18 hari 28 hari Curah hujan: 2 -Total 3720 ml 7250 ml -Rata-rata ml ml -Maksimum 510 ml 600 ml Suhu rata-rata: 3 -Pagi C C -Siang C C -Sore C C Kelembaban rata-rata: 4 -Pagi 90.39% 84.83% -Siang 78.26% 75.70% -Sore 85.74% 79.30% Sumber : Pengukuran Stasiun Pengamat Cuaca Camp Arboretum dan Camp 128 Desember 2004 Bulan-bulan basah (>100mm/bulan) yang merupakan musim penghujan terjadi hampir sepanjang tahun sedangkan bulan kering tidak sampai dibawah 60 mm/bulan. Suhu udara rata-rata tahunan berkisar antara 26 o Celcius - 28 o Celcius, kelembaban udara rata-rata 85% - 95%. F. Kondisi Vegetasi Hutan Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat sebagian besar merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang memiliki tipe Hutan Hujan Tropika Basah (Low Land Tropical Rain Forest) didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dengan komposisi jenis secara keseluruhan adalah sebagai berikut : 60 % Dipterocarpaceae yang terdiri dari 44,58 % jenis Meranti (Shorea spp.), 2,45 % Keruing (Dipterocarpus spp.), 1,40 % Kapur (Dryobalanops spp.) dan 11,57% Bangkirai/Bengkirai (Shorea laevolia). 30,14 % non Dipterocarpaceae yang terdiri dari Nyatoh (Palaqium spp.), Jelutung (Dyera costulata) dan Medang (Litsea firma Hook.f.). 6% jenis pisang-pisangan (Mizzetia spp.), Perupuk (Lophopetalum malaccencis) dan Benuang (Octomeles sumatrana).

66 Di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat inipun terdapat kelompok flora dan fauna yang dilindungi. Untuk kelompok flora antara lain adalah Tengkawang (Shorea stenoptera), Ulin (Eusideroxylon zwageri), dan Jelutung (Dyera costulata) serta jenis buah-buahan. Sedangkan kelompok fauna yang dilindungi antara lain adalah Beruang Madu (Helarctus malayanus), Owa/Klempiau (Hillpbates spp.), Rusa (Cervus spp.) dan Burung Rangkong/Rangkok (Bucherostidae spp.). Tipe hutan di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat termasuk dalam tipe hutan hujan tropika (Low Land Tropical Rain Forest). Dari tipe hutan tersebut sebaran jenisnya untuk jenis komersial didominasi oleh kelompok kayu meranti (Dipterocarpaceae) yang terdiri dari : Meranti (Shorea spp.), Kapur (Dryobalanops spp.), Mersawa (Anisoptera spp.), Nyatoh (Palaqium spp.), Durian burung (Durio spp.), Geronggang (Cratoxilon celebious), Jelutung (Dyera spp.), Resak (Vatica spp.), Melapi (Shorea spp.), Bengkirai (Shorea laevifolia), dan Keruing (Dipterocarpus spp.). Kelompok kayu rimba campuran yang terdiri dari : Benuang (Octomeles malaccensis), Bintangor (Callopylum spp.), Medang (Litsea firma Hook.f.), Kempas (Koompassia malaccensis), Ubar (Dillenia pulchella), Kulim (Scorodocarpus spp.), Kumpang, Sawang, Pulai (Alstonia spp.). dan kelompok kayu indah yang terdiri dari : Ulin (Eusideroxylon zwageri), Rengas (Gluta renghas), dan Sindur (Sindora spp.). G. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Penduduk desa yang berada disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur hampir seluruhnya merupakan Etnis Dayak dan sisanya merupakan Suku Melayu, Cina dan Jawa. Etnis Dayak yang berdomisili di wilayah IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur adalah Dayak Kapus, Dayak Laman Tawa, Dayak Laman Tuha dan Dayak Keluas. Mayoritas agama yang dipeluk oleh penduduk desa adalah agama Katolik. Kedua terbesar adalah agama Kristen Protestan dan sisanya pemeluk agama Islam dan agama lainnya. Pada umumnya mata pencaharian penduduk desa disekitar IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur mayoritas adalah petani tradisional yang lebih dikenal

67 sebagai peladang berpindah. Selain berladang sebagian penduduk desa juga mempunyai aktifitas di kebun karet, sawah dan mengumpulkan biji Tengkawang pada musim buah. H. Aksesibilitas Areal unit hutan produksi PT. Suka Jaya Makmur memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Untuk menuju areal tersebut dapat melalui dua macam rute, yaitu : 1. Jalan darat yang melalui ruas jalan Ketapang - Sinduk (60 km). Sinduk Desa Sei Kelly (61 km), dan Desa Sei Kelly-Base Camp (38 km). Sebagian besar keadaan jalan darat tersebut dapat dilalui kendaraan pada musim kemarau. 2. Jalan air melalui Sungai Pawan antara Ketapang Log Pond di Desa Sei Kelly (± 3 jam) dengan speed boat dan jalan darat antara Log Pond Base Camp (38 km). Untuk mencapai ke setiap bagian hutan dapat melalui jalan darat berupa jalan pengerasan yang keadaannya sangat baik. Sedangkan di dalam bagian hutannya bayak terdapat jalan-jalan pengerasan dan jalan tanah yang dalam rencana akan dikembangkan menjadi jalan cabang maupun jalan batas petak. Untuk menuju Ketapang lewat udara dapat melalui Lapangan Udara Rahardi Oesman. Lapangan udara tersebut dapat didarati pesawat jenis Twin Otter dari Pontianak, Jakarta dan Semarang. Hubungan antara Ketapang dengan Pontianak dilaksanakan oleh perusahaan penerbangan Deraya dan Dirgantara Air Sevice (DAS) dengan frekuensi penerbangan dua kali sehari dalam seminggu. Sedangkan dari Jakarta dan Semarang, hubungan udara tersebut hanya dilayani oleh Merpati Nusantara Airways (MNA) dengan frekuensi tiga kali seminggu.

68 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan pembaharuan dari sistem silvikultur sebelumnya, yaitu sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Indonesia (TPTI) dan juga Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem Silvikultur TPTII yang dilaksanakan di PT. Suka Jaya Makmur dilakukan pada areal bekas tebangan tahun 1981/1982 (LOA 1981/1982). Kegiatan penebangan pohon produksi yang dilaksanakan pada sistem silvikultur TPTII adalah pohon komersial ditebang dengan diameter >45 cm. Setelah dilakukan kegiatan penebangan produksi pada areal yang ditetapkan sebagai lokasi untuk kegiatan TPTII maka dilanjutkan dengan kegiatan penebangan jalur selebar tiga meter untuk keperluan jalur tanam. Jarak antar tepi jalur tanam ini selebar 17 m dan berfungsi sebagai jalur konservasi. Kegiatan pemanenan kayu dan pembuatan jalur tanam tersebut memberikan dampak pada lingkungan seperti tegakan tinggal, tanah, serta iklim mikro disekitarnya. A. Komposisi Jenis Keanekaragaman jenis di hutan tropika basah sangat besar dan kompleks, serta keberadaannya saling berpengaruh dan berinteraksi terhadap sifat genetik dan ekosistemnya. Jumlah jenis semai, pancang, tiang dan pohon yang ditemukan pada LOA 1981/1982 dan Et+0 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah Jenis yang Ditemukan di LOA 1981/1982 dan Et+0 pada Berbagai Kelerengan. Kondisi Hutan Kelerengan (%) Jumlah Jenis Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/ Et Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa komposisi jenis disetiap kelerengan pada semua tingkatan vegetasi mengalami penurunan kecuali pada vegetasi

69 tingkat tiang. Pada vegetasi tingkat tiang jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 dan pada Et+0 memiliki jumlah jenis yang sama. Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat semai pada Et+0 disetiap kelerengan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan LOA 1981/1982. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 39 jenis dan berkurang menjadi 29 jenis setelah dilakukan kegiatan pemanenan kayu. Pada kelerengan 15-25% ditemukan 45 jenis pada LOA 1981/1982 dan 35 jenis pada Et+0. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 51 jenis dan berkurang menjadi 42 jenis pada Et+0. Untuk vegetasi tingkat pancang pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 47 jenis, dan berkurang menjadi 37 jenis pada Et+0. Pada kelerengan 15-25% jumlah jenis yang ditemukan 45 jenis menjadi 38 jenis. Sedangkan pada kelerangan 15-25% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 54 jenis dan berkurang menjadi 48 jenis Et+0. Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat tiang, jumlah jenis yang ditemukan disetiap kelerengan pada LOA 1981/1982 tidak mengalami penurunan. Sehingga jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki jumlah jenis yang sama. Dan untuk vegetasi tingkat pohon pada setiap kelerengan mengalami penurunan. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 60 jenis dan berkurang menjadi 57 jenis pada Et+0. Pada kelerengan 15-25% ditemukan 50 jenis pada LOA 1981/1982 dan 44 jenis pada Et+0. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada LOA 1981/1982 sebanyak 63 jenis dan berkurang menjadi 42 jenis pada Et+0. Sedangkan untuk perubahan jumlah jenis yang terjadi akibat dari kegiatan pembuatan jalur tanam dapat dilihat pada Tabel 14.

70 Tabel 14. Jumlah Jenis yang Ditemukan pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Setelah Penjaluran pada Berbagai Kelerengan. Jumlah Jenis Kondisi Hutan Kelerengan (%) Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa komposisi jenis pada kondisi hutan sebelum penjaluran disetiap kelerengan pada semua tingkatan vegetasi mengalami penurunan kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Pada vegetasi tingkat tiang jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum dan setelah penjaluran memiliki jumlah jenis yang sama. Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat semai pada kondisi hutan setelah penjaluran disetiap kelerengan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kondisi hutan sebelum penjaluran. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum penjaluran sebanyak 52 jenis dan berkurang menjadi 48 jenis setelah dilakukan kegiatan penebangan jalur. Pada kelerengan 15-25% jumlah jenis juga berkurang dari 50 jenis menjadi 45 jenis. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada hutan sebelum penjaluran sebanyak 43 jenis dan berkurang menjadi 42 jenis pada kondisi hutan setelah penjaluran. Komposisi jenis untuk vegetasi tingkat pancang pada kelerengan 0-15% mengalami penurunan jumlah jenis dari 60 jenis menjadi 53 jenis. Pada kelerengan 15-25% jumlah jenis yang ditemukan menurun dari 58 jenis menjadi 56 jenis. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum penjaluran sebanyak 39 jenis dan berkurang menjadi 35 jenis pada kondisi hutan setelah penjaluran. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang, jumlah jenis yang ditemukan disetiap kelerengan pada kondisi hutan sebelum penjaluran tidak mengalami penurunan. Sehingga jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum dan setelah penjaluran memiliki jumlah jenis yang sama.

71 Dan komposisi jenis untuk vegetasi tingkat pohon pada setiap kelerengan juga mengalami penurunan. Pada kelerengan 0-15% jumlah jenis yang ditemukan 54 jenis pada kondisi hutan sebelum penjaluran dan berkurang menjadi 52 jenis setelah penjaluran. Pada kelerengan 15-25% ditemukan 65 jenis pada saat sebelum penjaluran dan 63 setelah penjaluran. Sedangkan pada kelerengan 25-45% jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan sebelum penjaluran sebanyak 58 jenis dan berkurang menjadi 56 jenis setelah kegiatan pembuatan jalur bersih atau jalur tanam. Penurunan jumlah jenis dari kedua kondisi hutan diatas terjadi pada semua tingkatan vegetasi pada setiap kelerengan kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Hal ini terjadi karena adanya kegiatan pemanenan kayu dan kegiatan penebangan jalur (untuk membuat jalur bersih atau jalur tanam). Dan apabila dibandingkan dari tingkat penurunan jumlah jenisnya maka dapat dilihat bahwa penurunan jumlah jenis akibat kegiatan pemanenan kayu lebih tinggi daripada penurunan jenis akibat kegiatan penebangan jalur. Tinggi rendahnya jumlah jenis pada berbagai tingkatan permudaan vegetasi yang ada menunjukan tingkat survival dari setiap tingkat permudaan untuk mempertahankan dan mencapai tingkat pertumbuhan selanjutnya. Tabel 15 memperlihatkan komposisi permudaan jenis komersial ditebang dilihat dari kerapatan (N/Ha) dan frekuensinya yang terdapat pada plot pengamatan disetiap kelerengan. Dari tabel tersebut dapat dilihat adanya penurunan jumlah kerapatan sebagai akibat dari kegiatan pemanenan kayu. Tabel 15. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada LOA 1981/1982 dan Et+0 Dilihat dari Kerapatan (N/Ha) Serta Frekuensi. Kondisi Hutan LOA 1981/1982 Et+0 Kelerengan Semai Pancang Tiang Pohon (%) K F K F K F K F Dari Tabel 15 diatas dapat dilihat bahwa kerapatan (N/Ha) di LOA 1981/1982 mengalami penurunan akibat kegiatan pemanenan kayu. Nilai frekuensi juga mengalami penurunan kecuali untuk vegetasi tingkat tiang pada

72 kelerengan 15-25%, dimana nilai frekuensinya tidak mengalami perubahan. Untuk lebih memudahkan membandingkan perubahan yang terjadi, dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang Kerapatan (N/Ha) 35000, , , , , ,0 5000,0 0, Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/1982 Et+0 Kondisi Hutan Gambar 2. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Pemanenan Kayu. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang Frekuensi 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0, Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/1982 Et+0 Kondisi Hutan Gambar 3. Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Pemanenan Kayu Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang dan 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon /hektar jenis komersial dan sehat (Departemen Kehutanan, 1993). Sedangkan menurut Wyatt-Smith (1963) permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 40% stocking permudaan tingkat semai (1000 petak ukur milliacre per hektar), 60% tingkat pancang (240 petak ukur milliacre per hektar) dan 75% tingkat tiang (75 petak ukur milliacre per hektar) dari jenis komersial. Berdasarkan kriteria tersebut maka hampir semua tingkatan vegetasi memenuhi persyaratan pedoman TPTI kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Hal

73 ini menunjukan permudaan yang terdapat pada plot pengamatan tersebar cukup dan merata. Akan tetapi kondisi diatas tidak memenuhi kriteria Wyatt- Smith karena permudaan jenis-jenis pohon komersil ditebang tersebut tidak tersebar secara merata (Nilai F <1). Sedangkan untuk perubahan yang terjadi akibat dari kegiatan penjaluran dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Komposisi Permudaan Jenis Komersial Ditebang pada Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran Dilihat dari Kerapatan (N/Ha) Serta Frekuensi. Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Kelerengan Semai Pancang Tiang Pohon (%) K F K F K F K F Dari Tabel 16 diatas dapat dilihat nilai kerapatan (N/Ha) mengalami penurunan akibat kegiatan penebangan jalur. Sedangkan untuk nilai frekuensinya secara umum mengalami penurunan kecuali pada vegetasi tingkat tiang pada kelerengan 15-25%, dimana nilai frekuensinya tidak mengalami perubahan. Perubahan nilai kerapatan (N/Ha) dan frekuensi akibat kegiatan penjaluran lebih kecil dibanding perubahan nilai yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu. Untuk lebih memudahkan membandingkan perubahan yang terjadi, dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Kerapatan Jenis Kom ersial Ditebang Kerapatan (N/Ha) Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Semai Pancang Tiang Pohon Kondisi Hutan Gambar 4. Kerapatan Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Penjaluran.

74 Frekuensi Jenis Komersial Ditebang Frekuensi 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0, Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Semai Pancang Tiang Pohon Kondisi Hutan Gambar 5 Frekuensi Jenis Komersial Ditebang pada Plot Pengamatan Penjaluran. Berdasarkan kriteria TPTI maka hampir semua tingkatan vegetasi memenuhi persyaratan pedoman TPTI kecuali pada vegetasi tingkat tiang. Hal ini menunjukan permudaan jenis-jenis komersial ditebang yang terdapat pada plot pengamatan tersebar cukup dan merata. Akan tetapi kondisi diatas tidak memenuhi kriteria Wyatt-Smith karena permudaan jenis-jenis pohon komersil ditebang tersebut tidak tersebar secara merata (Nilai F <1). B. Dominansi Jenis Dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan berdasarkan besaran-besaran berikut : (Soerianegara dan Indrawan, 1988) a. Banyaknya individu dan kerapatan (Density) b. Persen penutupan dan luas bidang dasar c. Volume d. Biomassa e. Indeks Nilai Penting (Importance Value Index) Untuk mendapatkan nilai yang lebih representative dan akurat digunakan Indeks Nilai Penting (INP) yang merupakan hasil penjumlahan dari kerapatan relatif, luas bidang dasar relatif dan frekuensi relatif. Penetapan dominansi jenis untuk tingkat pancang dan semai hanya berdasarkan nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif. Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai nilai INP tertinggi

75 merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dari jenis yang lainnya. Selebihnya Sutisna (1981), juga menyatakan bahwa suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10 %, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15 %. Pada Tabel 17 dan Tabel 18 dapat dilihat perubahan yang terjadi pada lima jenis pohon yang memiliki Indeks Nilai Penting yang paling tinggi untuk setiap tingkatan vegetasi disetiap plot pengamatan sebagai akibat dari kegiatan pemanenan kayu dan kegiatan penebangan jalur. Dari tabel terlihat sebagian besar jenis yang mendominasi pada setiap lokasi paling banyak berasal dari famili Dipterocarpaceae baik itu dari marga Shorea, Dipterocarpus, ataupun Hopea. Sedangkan jenis famili Non Dipterocarpaceae yang mendominasi hal ini dibuktikan dengan nilai INP yang tinggi adalah jenis Kumpang (Diospyros sp), Medang (Litsea firma), Nyatoh (Palaquium rostatum), Sawang dan Ubar (Dillenia pulchella).

76 Tabel 17. Daftar Jenis dengan INP Terbesar pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kondisi Hutan Kelerengan (%) LOA 1981/1982 Et Jenis-Jenis Dominan Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP(%) Pohon INP (%) Shorea parvifolia 45.4 Litsea firma 34.3 Litsea firma 69.5 Litsea firma 49.5 Litsea firma 32.6 Mizzettia parviflora 29.0 Castanopsis sp 30.0 Dillenia pulchella 25.8 Dillenia pulchella 15.3 Dillenia pulchella 19.4 Dillenia pulchella 26.2 Shorea parvifolia 16.8 Mizzettia parviflora 15.2 Diospyros sp 11.4 Diospyros sp 15.8 Nephelium sp 16.4 Berabakan 7.8 Berabakan 9.4 Sawang 13.1 Castanopsis sp 14.6 Shorea parvifolia 47.4 Litsea firma 29.4 Litsea firma 73.0 Litsea firma 52.5 Litsea firma 29.4 Dillenia pulchella 17.6 Dillenia pulchella 33.0 Elaterospermum tapos 48.5 Dipterocarpus crinitus 13.7 Mizzettia parviflora 17.0 Diospyros sp 22.9 Shorea parvifolia 27.7 Elaterospermum tapos 11.3 Diospyros sp 10.4 Mizzettia parviflora 19.4 Dillenia pulchella 26.3 Dillenia pulchella 10.3 Castanopsis sp 10.2 Castanopsis sp 15.9 Ochanostachys amentaceae 20.3 Shorea parvifolia 31.4 Litsea firma 29.4 Litsea firma 54.2 Litsea firma 48.0 Litsea firma 28.4 Mizzettia parviflora 19.5 Mizzettia parviflora 27.0 Dillenia pulchella 20.1 Dipterocarpus crinitus 20.2 Dillenia pulchella 11.5 Dillenia pulchella 20.4 Shorea parvifolia 18.4 Shorea laevifolia 12.0 Shorea parvifolia 9.2 Diospyros sp 17.5 Ochanostachys amentaceae 13.2 Palaquium rostratum 11.9 Castanopsis sp 8.8 Berabakan 17.3 Elaterospermum tapos 13.0 Shorea parvifolia 51.6 Litsea firma 29.5 Litsea firma 70.5 Litsea firma 38.9 Litsea firma 38.1 Mizzettia parviflora 29.5 Castanopsis sp 30.3 Dillenia pulchella 29.9 Dillenia pulchella 16.3 Dillenia pulchella 18.7 Dillenia pulchella 26.4 Nephelium sp 19.5 Mizzettia parviflora 12.3 Berabakan 11.4 Diospyros sp 16.2 Castanopsis sp 17.1 Berabakan 9.4 Diospyros sp 10.7 Kekalik 11.6 Mizzettia parviflora 15.9 Shorea parvifolia 35.4 Dillenia pulchella 23.7 Litsea firma 75.6 Elaterospermum tapos 57.2 Litsea firma 26.9 Mizzettia parviflora 19.5 Dillenia pulchella 31.2 Litsea firma 53.7 Dipterocarpus crinitus 16.3 Litsea firma 18.6 Diospyros sp 22.4 Dillenia pulchella 32.4 Elaterospermum tapos 13.1 Shorea parvifolia 12.4 Mizzettia parviflora 20.2 Ochanostachys amentaceae 24.9 Palaquium rostratum 12.4 Castanopsis sp 10.6 Castanopsis sp 15.3 Shorea parvifolia 19.0 Litsea firma 30.8 Litsea firma 28.3 Litsea firma 53.6 Eusideroxylon zwageri 14.6 Shorea parvifolia 27.5 Mizzettia parviflora 22.2 Mizzettia parviflora 25.7 Dillenia pulchella 23.4 Dipterocarpus crinitus 18.9 Dillenia pulchella 12.3 Dillenia pulchella 19.4 Surian 1.3 Shorea laevifolia 14.2 Shorea parvifolia 9.0 Berabakan 18.4 Sindora bruggemanii 1.2 Dillenia pulchella 10.4 Sindora bruggemanii 8.9 Diospyros sp 16.8 Dillenia excelsa 0.8

77 Tabel 18. Daftar Jenis INP Terbesar pada Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran. Jenis-Jenis Dominan Kondisi Hutan Kelerengan (%) Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP(%) Pohon Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Shorea parvifolia 18.7 Diospyros sp 15.4 Mizzettia parviflora 29.6 Litsea firma 33.1 Hopea sangal 16.2 Santiria tomentosa 14.1 Santiria tomentosa 20.4 Dillenia pulchella 25.0 Shorea leprosula 12.4 Mizzettia parviflora 9.1 Gluta rengas 18.3 Sawang 24.6 Gluta rengas 9.5 Gluta rengas 9.1 Dillenia pulchella 15.7 Diospyros sp 22.9 Artocarpus anisophyllus 9.0 Dipterocarpus crinitus 8.9 Palaquium rostratum 15.4 Dipterocarpus crinitus 20.2 Shorea leprosula 34.9 Diospyros sp 18.8 Palaquium rostratum 52.0 Litsea firma 28.1 Shorea parvifolia 34.5 Palaquium rostratum 18.2 Mizzettia parviflora 32.3 Sawang 24.4 Palaquium rostratum 12.4 Mizzettia parviflora 14.0 Blumeodendron sp 14.8 Diospyros sp 21.9 Gluta rengas 10.1 Kengkayas 12.3 Diospyros sp 14.8 Dipterocarpus crinitus 21.1 Diospyros sp 9.0 Berabakan 9.5 Kengkayas 14.1 Shorea leprosula 20.9 Shorea parvifolia 21.9 Palaquium rostratum 27.0 Palaquium rostratum 56.5 Sawang 37.4 Palaquium rostratum 16.1 Diospyros sp 23.9 Diospyros sp 40.2 Litsea firma 26.3 Macaranga hullettii 13.8 Mizzettia parviflora 20.6 Mizzettia parviflora 36.9 Diospyros sp 26.2 Mizzettia parviflora 12.2 Gluta rengas 11.4 Blumeodendron sp 19.0 Dipterocarpus crinitus 19.0 Lengkuham 10.8 Pentaspadon motleyi 10.3 Dracontomelon mangiferum 15.3 Dillenia pulchella 18.9 Shorea parvifolia 21.0 Diospyros sp 15.8 Mizzettia parviflora 30.2 Litsea firma 32.5 Hopea sangal 16.4 Santiria tomentosa 15.7 Santiria tomentosa 20.5 Dillenia pulchella 22.7 Shorea leprosula 14.5 Dipterocarpus crinitus 10.5 Gluta rengas 17.1 Sawang 22.1 Artocarpus anisophyllus 11.3 Mizzettia parviflora 10.5 Dillenia pulchella 16.2 Dipterocarpus crinitus 20.9 Gluta rengas 11.2 Gluta rengas 8.7 Palaquium rostratum 15.9 Diospyros sp 19.8 Shorea leprosula 35.6 Diospyros sp 20.3 Palaquium rostratum 51.0 Litsea firma 28.9 Shorea parvifolia 32.3 Palaquium rostratum 17.7 Mizzettia parviflora 31.4 Sawang 25.8 Palaquium rostratum 13.5 Mizzettia parviflora 15.1 Diospyros sp 15.4 Shorea leprosula 24.1 Gluta rengas 10.0 Kengkayas 11.0 Blumeodendron sp 14.6 Dipterocarpus crinitus 22.1 Mizzettia parviflora 8.6 Gluta rengas 9.2 Kengkayas 13.9 Shorea parvifolia 18.5 Shorea parvifolia 21.2 Palaquium rostratum 29.0 Palaquium rostratum 58.6 Sawang 35.7 Palaquium rostratum 16.1 Diospyros sp 23.9 Diospyros sp 40.5 Litsea firma 25.2 Macaranga hullettii 14.0 Mizzettia parviflora 17.3 Mizzettia parviflora 35.1 Diospyros sp 24.7 Mizzettia parviflora 11.0 Pentaspadon motleyi 11.9 Blumeodendron sp 19.2 Dipterocarpus crinitus 18.0 Lengkuham 9.7 Lengkuham 9.3 Dracontomelon mangiferum 15.5 Dillenia pulchella 17.9 INP (%)

78 Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak sebelum pemanenan, setelah pemanenan serta setelah pembuatan jalur tanam. Berkurangnya individu dalam satu jenis atau hilangnya jumlah jenis dalam kegiatan tersebut diatas menyebabkan bergesernya nilai INP jenis tersebut. Perubahan nilai INP ini juga mengakibatkan perubahan INP pada masing-masing jenis. Ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis yang lain, tetapi peringkat kedua jenis tersebut bisa berubah setelah kegiatan pemanenan. Berdasarkan data dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa pada LOA 1981/1982 dengan kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai didominasi oleh jenis Shorea parvifolia, Medang, dan Ubar dengan INP masing-masing 45,4%, 32,6% dan 15,3%. Untuk vegetasi tingkat pancang didominasi oleh Medang, Pisang-pisang (Mizzetia parviflora) dan Ubar dengan INP masingmasing sebesar 34,3%, 29% dan 19,4%. Sementara itu untuk vegetasi tingkat tiang didominasi oleh Medang, Sampa (Castanopsis sp) serta Ubar dengan INP masing-masing 69,5%, 30% dan 26,2%. Dan untuk tingkat pohon didominasi oleh Medang, Ubar dan S. parvifolia dengan INP sebesar 49,5%, 25,8% dan 16,8%. Jenis-jenis yang mendominasi vegetasi tingkat semai pada LOA 1981/1982 dengan kelerengan 15-25% antara lain S.parvifolia, Medang, dan Keruing (Dipterocarpus crinitus) dengan INP 47,4%, 29,4% dan 13,7%. Untuk tingkat pancang didominasi oleh Medang, Ubar serta Pisang-pisang dengan INP masing-masing 29,4%, 17,6% dan 17%. Sementara untuk tingkat tiang didominasi oleh Medang, Ubar dan Kumpang (Diospyros sp) dengan INP sebesar 73%, 33% dan 22,9%. Medang, Kelampai (Elaterospermum tapos) serta S. parvifolia merupakan jenis-jenis yang mendominasi pada vegetasi tingkat pohon dengan INP masing-masing sebesar 52,5%, 48,5% dan 27,7%. Jenis-jenis yang mendominasi vegetasi tingkat semai pada kelerengan 25-45% antara lain S. parvifolia, Medang, dan Keruing dengan INP sebesar 31,4%, 28,4% dan 20,2%. Vegetasi tingkat pancang didominasi oleh jenis Medang, Pisang-pisang, serta Ubar dengan INP 29,4%, 19,5% dan 11,5%.

79 Untuk vegetasi tingkat tiang jenis-jenis yang mendominasi hampir sama dengan tingkat pancang dengan INP yang berbeda yaitu sebesar 54,4%, 27% dan 20,4%. Sedangkan untuk vegetasi tingkat pohon didominasi oleh Medang, Ubar dan S. parvifolia dengan INP berturut-turut sebesar 48,0%, 20,1% dan 18,4%. Kegiatan pemanenan kayu menyebabkan perubahan peringkat pada beberapa jenis-jenis yang mendominasi. Sebagai contoh, pada kelerengan 15-25% untuk tingkat pancang, sebelum pemanenan kayu jenis medang berada pada peringkat pertama dengan INP 29,4%. Akan tetapi setelah dilakukan pemanenan kayu, jenis Medang turun ke peringkat ketiga dengan INP sebesar 18,6%. Dan peringkat pertama ditempati oleh Ubar dengan INP 23,7%. Perubahan peringkat INP pada sistem silvikultur TPTI tidak mencolok, penurunan jumlah individu dalam satu jenis dan hilangnya jenis dalam satu petak tidak banyak, hal ini disebabkan pohon-pohon yang ditebang berdiameter besar. Berbeda dengan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) dan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) yang bersifat monocyclic (siklus tunggal) dan intensitas penebangan sangat besar menyebabkan pengurangan jumlah jenis besar bahkan terjadi pergantian jenis dengan cara permudaan buatan (Sularso, 1996). Sedangkan berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada kondisi hutan sebelum penjaluran dengan kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai didominasi oleh jenis S. parvifolia, Emang (Hopea sangal) dan Pengerawan (Shorea leprosula) dengan INP 18,7%, 16,2% dan 12,4%. Untuk vegetasi tingkat pancang didominasi oleh Kumpang, Jamay (Santiria tomentosa) serta Pisang-pisang dengan INP masing-masing 15,4%, 14,1% dan 9,1%. Jenis Pisang-pisang, Jamay, dan Rengas (Gluta rengas) merupakan jenis-jenis yang mendominasi vegetasi tingkat tiang dengan INP 29,6%, 20,4% dan 18,3%. Dan untuk vegetasi tingkat pohon didominasi oleh Medang, Ubar dan Sawang dengan INP 33,1%, 25% dan 24,6%. Jenis-jenis yang mendominasi pada kondisi hutan sebelum penjaluran dengan kelerengan 15-25% untuk vegetasi tingkat semai antara lain

80 Pengerawan, S. parvifolia serta Nyatoh dengan INP berturut-turut sebesar 34,9%, 34,5% dan 12,4%. Sedangkan Kumpang, Nyatoh serta Pisang-pisang mendominasi vegetasi tingkat pancang dengan INP masing-masing 18,8%, 18,2% dan 41%. Pada vegetasi tingkat tiang INP tertinggi dimiliki oleh Nyatoh, Pisang-pisang, Sibau (Blumeodendron sp) dengan INP 52%, 32,3%, 14,8%. Dan untuk vegetasi tingkat pohon didominasi oleh Medang, Sawang, Kumpang dengan INP sebesar 28,1%, 24,4% dan 21,9%. Sedangkan pada kelerengan 25-45% vegetasi tingkat semai didominasi oleh S. parvifolia, Nyatoh, Purang dengan INP 21,9% 16,1%, 13,8%. Jenis Nyatoh, Kumpang, Pisang-pisang mendominasi vegetasi tingkat pancang dengan INP 27%, 23,9 dan 20,6%. Untuk vegetasi tingkat tiang didominasi oleh jenis-jenis yang mendominasi vegetasi tingkat pancang dengan nilai INP yang berbeda yaitu sebesar 56,5%, 40,2% dan 36,9%. Dan untuk vegetasi tingkat pohon didominasi oleh Sawang serta Kumpang dengan nilai INP 37,4% dan 26,3%. Kegiatan penjaluran juga menyebabkan perubahan peringkat pada beberapa jenis yang mendominasi. Sebagai contoh, pada kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat pohon, sebelum kegiatan penjaluran jenis keruing berada pada peringkat kelima dengan INP 20,2%. Dan setelah dilakukan penebangan jalur, jenis keruing naik ke peringkat ke empat dengan INP sebesar 20,9%. Bergesernya kedudukan ini disebabkan terdapat jumlah individu dalam suatu jenis yang berkurang atau beberapa jenis mengalami menghilang. Hilangnya jenis-jenis karena pemanenan kayu mempengaruhi komposisi dan struktur serta keseimbangan tegakan berhubungan dengan besarnya kerusakan tegakan tinggal. Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan waktu yang panjang dengan terbentuknya suksesi sekunder yang akan dipenuhi jenis-jenis pioneer atau pengembara seperti Macaranga sp, Anthocephalus sp, dan Dillania sp (Wiradinata et. al, 1985). Dari uraian diatas terlihat bahwa jenis-jenis yang mendominasi merupakan jenis-jenis komersial seperti Shorea parvifolia, Medang (Litsea firma), Keruing (Dipterocarpus crinitus), Nyatoh (Palaquium rostratum), dll.

81 Selain itu ada juga jenis non komersial yang mendominasi pada beberapa tingkat permudaan seperti jenis Kumpang (Diospyros sp) dan Kelampai (Elaterospermum tapos). Jenis-jenis yang ditemukan diatas, dapat juga dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu jenis komersial ditebang (KT), komersial tidak ditebang (KTT), dan non komersial (NK). Tingkat dominasi kelompok jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20. Tabel 19. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kondisi Kelerengan Kelompok Tingkatan Vegetasi Hutan (%) Jenis Semai Pancang Tiang Pohon KT KTT NK KT LOA KTT /1982 NK KT KTT NK KT KTT NK KT Et KTT NK KT KTT NK Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa pada LOA 1981/1982 kelompok jenis komersial tidak ditebang lebih mendominasi terutama pada vegetasi tingkat pancang, tiang dan pohon kecuali tingkat pohon pada kelerengan 15-25%. Sedangkan pada kondisi Et+0 kelompok jenis komersial tidak ditebang juga mendominasi pada vegetasi tingkat pencang, tiang dan pohon. Kelompok jenis komersial ditebang baik itu pada kondisi LOA 1981/1982 ataupun Et+0, hanya mendominasi pada vegetasi tingkat semai saja.

82 Tabel 20. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran. Kondisi Kelerengan Kelompok Tingkatan Vegetasi Hutan (%) Jenis Semai Pancang Tiang Pohon KT KTT NK KT Sebelum KTT Penjaluran NK KT KTT NK KT KTT NK Setelah Penjaluran KT KTT NK KT KTT NK Dari Tabel 20 terlihat bahwa baik pada kondisi hutan sebelum penjaluran atau setelah penjaluran, tidak ada satu kelompok jenis yang benarbenar mendominasi. Pada kelerengan 0-15% pada kedua kondisi hutan diatas kelompok jenis komersial ditebang mendominasi pada vegetasi tingkat semai dan pohon, sedangkan kelompok jenis komersial tidak ditebang mendominasi pada vegetasi tingkat pancang dan tiang. Pada kondisi hutan sebelum penjaluran dengan kelerengan 15-25% kelompok jenis komersial ditebang mendominasi pada vegetasi tingkat semai, tiang dan pohon. Sementara vegetasi tingkat pancang didominasi oleh kelompok jenis non komersial. Kegiatan penebangan jalur menimbulkan perubahan terutama pada vegetasi tingkat pohon. Untuk vegetasi tingkat pohon setelah penjaluran didominasi oleh kelompok jenis non komersial. Sedangkan pada kondisi hutan sebelum penjaluran dan setelah penjaluran dengan kelerengan 25-45%, kelompok jenis yang mendominasi ialah kelompok jenis non komersial. Kegiatan penebangan jalur tidak terlalu menimbulkan perubahan terhadap jenis-jenis yang mendominasi.

83 Besarnya nilai INP suatu jenis memperlihatkan peranan suatu jenis dalam komunitas. Suatu jenis yang mempunyai nilai lebih besar dibanding dengan jenis lainnya menandakan bahwa suatu jenis tersebut paa suatu komunitas bisa dikatakan menguasai ruang atau mendominasi suatu komunitas. Hal ini dimungkinkan karena jenis tersebut mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik serta mempunyai daya tahan hidup yang lebih baik jika dibanding dengan jenis yang lain. C. Keanekaragaman Jenis Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ). Tinggi rendahnya nilai H mencerminkan tingkat keanekaragaman pada suatu tegakan. Nilai indeks keanekaragaman akan maksimum jika jenis yang ada pada suatu tegakan mempunyai nilai kuantitatif atau kelimpahan yang sangat besar. Keanekaragaman suatu jenis ditentukan oleh dua komponen yaitu kelimpahan jenis dan kemerataannya. Dan untuk menentukan parameter pertama digunakan Indeks Kekayaan Margallef (R1). Indeks Kekayaan Margallef (R1) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas, dimana besarnya indeks kekayaan ini nilainya dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang pada areal tersebut. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R1 antara 3,5 sampai 5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang dan R1 tergolong tinggi apabila R1>5,0. Besarnya nilai Indeks Kekayaan Margallef (R1) untuk masing-masing lokasi plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 21 dan Tabel 22 dibawah ini. Tabel 21. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kelerengan Tingkatan Vegetasi Kondisi Hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/ Et

84 Dari Tabel 21 terlihat bahwa nilai Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang dimiliki oleh setiap plot pengamatan pada umumnya memiliki nilai diatas 5,00 kecuali vegetasi tingkat semai pada Et+0 dengan nilai 4,84. Berdasarkan kriteria Magurran (1988) kekayaan jenis di LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki tingkat kekayaan jenis yang tinggi kecuali pada vegetasi tingkat semai di Et+0. Vegetasi tingkat semai di Et+0 tersebut memiliki tingkat kekayaan jenis yang sedang dengan nilai R1 sebesar 4,84. Tabel 22. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Setelah Penjaluran. Kelerengan Tingkatan Vegetasi Kondisi Hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kekayaan Margallef (R1) yang dimiliki oleh setiap plot pengamatan pada umumnya memiliki nilai diatas 5,00. Sehingga berdasarkan kriteria Mugarran (1988) kekayaan jenis pada kondisi hutan sebelum penjaluran dan setelah penjaluran memiliki tingkat kekayaan jenis yang tinggi. Pola pemusatan dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai Indeks Dominansi Jenis (C) dan nilai Indeks Kemerataan Jenis (E). Nilai dominansi jenis menjelaskan pola dominansi jenis dalam suatu tegakan. Nilai dominansi tertinggi ialah 1,0 yang menunjukan bahwa pada suatu tegakan hanya dikuasai oleh satu jenis atau terjadi pemusatan pada satu jenis pohon. Sedangkan nilai indeks kemerataan jenis mencerminkan tingkat kemerataan jenis dalam suatu tegakan. Berdasarkan Magurran (1988) besaran E<0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah, E antara 0,3 sampai dengan 0,6 menunjukkan kemerataan tergolong sedang, dan E>0,6 kemerataan tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat dilihat besarnya nilai Indeks Dominansi Jenis (C) dan Indeks Kemerataan (E) pada masing lokasi plot pengamatan.

85 Tabel 23. Indeks Dominansi Jenis (C) pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kondisi Hutan Kelerengan Tingkatan Vegetasi (%) Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/ Et Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa pada kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai nilai C LOA 1981/1982 lebih rendah daripada Et+0. Dan untuk vegetasi tingkat pancang nilai C LOA 1981/1982 lebih tinggi daripada Et+0. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon nilai C untuk kedua kondisi hutan tersebut sama yaitu 0,11 dan 0,06. Pada kelerengan 15-25% untuk vegetasi tingkat semai dan pancang nilai C LOA 1981/1982 lebih tinggi dibanding Et+0. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang nilai C keduanya sama yaitu 0,12. Dan untuk vegetasi tingkat pohon nilai C LOA 1981/1982 lebih rendah dibanding Et+0. Pada kelerengan 25-45% untuk vegetasi tingkat semai dan pancang nilai C LOA 1981/1982 lebih tinggi daripada Et+0. Sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon nilai C untuk kondisi kedua hutan tersebut sama yaitu 0,07 dan 0,06. Tabel 24. Indeks Dominansi Jenis (C) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran. Kelerengan Tingkatan Vegetasi Kondisi Hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Dari Tabel 24 dapat dilihat bahwa pada kelerengan 0-15% untuk vegetasi tingkat semai dan pancang nilai C hutan sebelum penjaluran lebih rendah dibanding hutan setelah penjaluran. Dan untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon nilai C untuk kedua kondisi hutan tersebut sama. Sedangkan pada kelerengan 15-25% untuk setiap tingkatan vegetasi mempunyai nilai C yang sama untuk kedua kondisi hutan tersebut. Dan untuk

86 kelerengan 25-45% pun memiliki nilai C yang sama pada setiap tingkatan vegetasi untuk kedua kondisi hutan diatas. Dari kempat kondisi hutan diatas maka dapat terlihat bahwa nilai C yang dimiliki jauh lebih kecil dari 1,0. Hal ini menandakan bahwa pada keempat kondisi hutan tersebut tidak ada satu jenis yang mendominasi untuk setiap kondisi hutan. Tabel 25. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kondisi Hutan Kelerengan Tingkatan Vegetasi (%) Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/ Et Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kemerataan (E) pada LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki nilai diatas 0,6. Dengan demikian maka berdasarkan kriteria Magurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut memiliki kemerataan jenis yang tinggi. Tabel 26. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran. Kelerengan Tingkatan Vegetasi Kondisi Hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Dari Tabel 26 diatas terlihat bahwa Indeks Kemerataaan Jenis (E) pada kondisi hutan sebelum penjaluran dan setelah penjaluran menunjukan nilai diatas 0,6. Sehingga berdasarkan kriteria Magurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut memiliki kemeretaan jenis yang tinggi juga. Indeks Nilai Penting masing-masing jenis berkaitan erat dengan Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) dalam petak. Nilai H sebenarnya menggambarkan banyaknya jumlah individu jenis dan jumlah jenis. Perhitungan nilai (H ) menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Perubahan yang

87 terjadi akibat adanya suatu gangguan menyebabkan perubahan nilai H dan pada umumnya perubahan itu menurun. Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,0 sampai 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) mendekati 3,5 maka menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin tinggi. Nilai keanekaragaman jenis dari setiap tegakan hutan tersaji dalam Tabel 28 dan Tabel 29 dibawah ini. Tabel 27. Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kondisi Hutan Kelerengan Tingkatan Vegetasi (%) Semai Pancang Tiang Pohon LOA 1981/ Et Dari Tabel 27 terlihat bahwa secara umum keanekaragaman jenis pada LOA 1981/1982 dan Et+0 memiliki tingkat keanekaragaman diatas 2,0. Sehinggga berdasarkan Magurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut memiliki tingkat keanekaragaman yang sedang dan tinggi. Tingkat keanekaragaman yang tinggi dimiliki oleh vegetasi tingkat pacang pada kelerengan 15-25% dan 25-45%, vegetasi tingkat tiang pada kelerengan 25-45% serta vegetasi tingkat pohon pada kelerengan 0-15% dan 25-45%. Kegiatan pemanenan kayu menyebabkan perubahan pada besaran nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ). Penurunan nilai H terjadi pada vegetasi tingkat semai dengan kelerengan 0-15%, vegetasi tingkat tiang dan pohon dengan kelerengan 15-25%. Sedangkan peningkatan nilai H terjadi pada vegetasi tingkat semai untuk kelerengan 15-25% dan 25-45%, vetetasi tingkat pancang untuk kelerengan 0-15% dan 15-25% serta vegetasi tingkat tiang dan pohon untuk kelerengan 25-45%. Peningkatan nilai H ini terjadi karena penurunan jumlah jenis yang ditemukan (S) tidak sebanding dengan penurunan jumlah seluruh jenis (N). Penurunan jumlah jenis yang ditemukan (S) cenderung lebih sedikit. Bahkan pada beberapa kondisi penurunan jumlah seluruh jenis (N) tidak dibarengi dengan penurunan jumlah jenis ditemukan

88 atau nilai S nya tetap. Sebagai contoh, pada LOA 1981/1982 vegetasi tingkat semai dengan kelerengan 0-15% memiliki nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) sebesar 2,95 dengan jumlah S 45 jenis serta N sebanyak Setelah dilakukan pemanenan kayu nilai Indeks Keanekaragaman Jenis yang dimiliki menjadi 2,96 dengan jumlah S 35 jenis serta N sebanyak 668. Tabel 28. Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Hutan Setelah Penjaluran. Kelerengan Tingkatan Vegetasi Kondisi Hutan (%) Semai Pancang Tiang Pohon Sebelum Penjaluran Setelah Penjaluran Berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat pada pada kedua kondisi hutan diatas hampir pada semua tingkatan vegetasi memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi kecuali vegetasi tingkat semai sebelum dan setelah penjaluran dengan kelerengan 15-25% serta vegetasi tingkat tiang sebelum dan setelah penjaluran dengan kelerengan 25-45%. Secara umum kegiatan penjaluran menyebabkan terjadinya penurunan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H') kecuali pada vegetasi tingkat semai dengan kelerengan 0-15%. Meskipun mengalami kenaikan nilai H', jumlah jenis yang ditemukan (S) dan jumlah seluruh jenisnya (N) mengalami penurunan. Untuk jumlah jenis yang ditemukan mengalami penurunan dari 52 jenis menjadi 48 jenis. Sedangkan untuk jumlah seluruh jenis menurun dari 485 jenis menjadi 391 jenis. D. Kesamaan Komunitas (Indeks Similarity) Salah satu unsur untuk menentukan tipe hutan adalah melakukan perbandingan setiap dua tegakan atau komunitas petak berbeda. Cara mendapatkan nilai perbandingan terbaik dengan menggunakan koefisien kesamaan komunitas (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Indeks Kesamaan Komunitas (IS) merupakan suatu besaran yang dapat menunjukkan tingkat kesamaan komposisi jenis dari dua komunitas yang

89 dibandingkan. Nilai koefisien kesamaan (IS) berkisar antara 0-100%, jadi semakin dekat dengan 100% dua tegakan yang dibandingkan mempunyai kesamaan, makin dekat dengan 0% maka dua tegakan yang dibandingkan makin berlainan (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Sedangkan menurut Kusmana dan Istomo (2005) IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya adalah 0 dan umumnya dua komunitas dianggap sama apabila mempunyai IS 75%. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan maka dapat dilihat nilai IS antara dua keadaan yang dibandingkan berdasarkan tingkat vegetasi pada tiap kelerengan. Besarnya nilai Indeks Kesamaan (IS) dapat dilihat didalam Tabel 29 dan Tabel 30. Tabel 29. Indeks Similarity (IS) pada LOA 1981/1982 dan Et+0. Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Dari Tabel 29 dapat dilihat untuk vegetasi tingkat semai dan pancang pada setiap kelerengan memiliki nilai Indeks Similarity (IS) di bawah 75%. Sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon disetiap kelerengan memiliki nilai Indeks Similarity (IS) diatas 75%. Dengan hasil tersebut berdasarkan Kusmana dan Istomo (2005) maka dua komunitas yang dibandingkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang dikatakan relatif berbeda, sedangkan untuk vegetasi tingkat tiang dan pohon dua komunitas yang dibandingkan dapat dikatakan sama karena memiliki nilai IS 75%. Tabel 30. Indeks Similarity (IS) pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran dan Setelah Penjaluran. Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Sedangkan pada Tabel 30 terlihat bahwa semua tingkatan vegetasi disetiap kelerengan tersebut mempunyai nilai Indeks Kesamaan (IS) diatas

90 75%. Dengan besaran nilai IS pada kedua kondisi hutan atas maka dapat dikatakan bahwa dua komunitas yang dibandingkan sama. Dengan melihat hasil dari besaran nilai Indeks Similarity (IS) pada kondisi-kondisi hutan diatas maka dapat dilihat bahwa nilai-nilai IS hasil perbandingan hutan sebelum dan setelah penjaluran lebih tinggi daripada nilai-nilai IS hasil perbandingan LOA 1981/1982 dengan Et+0. Hal ini mengindikasikan bahwa gangguan yang ditimbulkan dari kegiatan penjaluran cenderung lebih kecil daripada kegiatan pemanenan kayu. E. Struktur Tegakan Grafik struktur tegakan untuk semua jenis yang menghubungkan antara jumlah pohon per hektar dengan kelas diameter pada masing-masing kondisi hutan dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7 dibawah ini. Kerapatan Pohon LOA 1981/1982 Kerapatan (N/Ha) cm cm cm cm 60 cm Up Kelas Diameter Gambar 6. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada LOA 1981/1982. Kerapatan Pohon Et+0 Kerepatan (N/Ha) cm cm cm cm 60 cm Up Kelas Diameter Gambar 7. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Et+0. Dari perbandingan grafik struktur tegakan pada Gambar 6 dan Gambar 7 diatas dapat dilihat bahwa kurva kondisi LOA 1981/1982 secara umum berada diatas kurva Et+0 pada setiap kelerengan. Hal ini menunjukkan bahwa

91 jumlah pohon (kerapatan pohon) pada LOA 1981/1982 lebih tinggi dibanding Et+0. Secara umum kegiatan pemanenan mengakibatkan terjadinya penurunan kerapatan hampir pada setiap tingkatan vegetasi diberbagai kelerengan. Penurunan terbesar terdapat pada pohon-pohon berdiameter cm dikelerengan 25-45% sebesar 15,3 pohon per hektar dan pada pohon-pohon berdiameter 60 cm keatas dikelerengan 15-25% sebesar 10,3 pohon per hektar. Penurunan kerapatan pohon yang terjadi pada pohon-pohon berdiameter cm disebabkan karena banyak pohon pada kelas diameter tersebut yang roboh akibat tertimpa pohon komersial yang ditebang. Sedangkan penurunan kerapatan pohon pada kelas diameter 60 cm keatas disebabkan penebangan pohon komersial ditebang pada kelas diameter tersebut. Kerapatan Pohon Sebelum Penjaluran Jumlah (N/Ha) cm cm cm cm 60 cm Up Kelas Diam eter Gambar 8. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Kondisi Hutan Sebelum Penjaluran. Kerapatan Pohon Setelah Penjaluran Jumlah (N/Ha) cm cm cm cm 60 cm Up Kelas Diam eter Gambar 9. Struktur Tegakan untuk Semua Jenis pada Kondisi Hutan Setelah Penjaluran. Gambar 8 dan Gambar 9 diatas menunjukkan terjadinya penurunan kerapatan pohon setelah kegiatan penebangan jalur. Penurunan terbesar terjadi

92 pada pohon dengan kelas diameter cm sebesar 22,5 pohon per hektar. Sedangkan untuk pohon pada kelas diameter cm serta 60 cm keatas, penurunan kerapatan pohon yang terjadi relatif sangat kecil. Bentuk kurva struktur tegakan untuk semua jenis pada berbagai kondisi hutan diatas mengikuti bentuk umum dari distribusi kelas diameter berbentuk "J" terbalik. Hal ini berarti bahwa jumlah pohon per satuan luas pada vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon berturut-turut semakin menurun dengan semakin menurun. Persaingan antar individu baik secara alami ataupun dengan campur tangan manusia seperti kegiatan pemanenan kayu, selalu mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah individu yang bertahan hidup pada setiap tingkat kelas diameter. Menurut Meyer et. al (1961), tegakan normal hutan tidak seumur mempunyai rasio yang konstan antara jumlah pohon per satuan luas dengan diameter meskipun selalu terjadi pengurangan jumlah individu pada setiap tingkat kelas diameter. F. Keterbukaan Lahan Keterbukaan lahan merupakan salah satu bentuk kerusakan yang terjadi pada tegakan tinggal. Keterbukaan lahan terbagi menjadi dua yaitu keterbukaan lahan akibat penebangan baik itu penebangan serta keterbukaan lahan akibat penyaradan. Kegiatan penebangan itu sendiri terbagi dua yaitu penebangan produksi dan penebangan jalur. Sedangkan untuk penyaradan hanya dilakukan pada kegiatan pemanenan kayu sebab kayu hasil penebangan jalur tidak disarad atau tidak diambil hasilnya. Keterbukaan lahan akibat penebangan yang terbentuk pada penelitian ini merupakan celah dalam areal Et+0 dan hutan setelah penjaluran. Selain terbuka karena areal yang ditebang, juga terbuka akibat pohon yang ditebang merobohkan pohon di sekitarnya. Hal ini disebabkan sebelum pohon rebah mencapai tanah, pohon telah menimpa pancang, tiang dan pohon di sekitarnya sehingga mengakibatkan pohon-pohon tersebut mengalami kerusakan atau tumbang hingga membuat areal terbuka.

93 Keterbukaan lahan akibat penebangan kayu relatif tidak membahayakan, hal ini disebabkan lapisan tanah atas masih tertutup tumbuhan bawah dan lapisan tanah sedikit terkelupas. Keterbukaan lahan seperti ini bahkan sangat mendukung tumbuhnya biji dan bagi pertumbuhan anakan tingkat semai. Sedangkan keterbukaan lahan akibat penyaradan disebabkan oleh kegiatan penyaradan diantaranya kegiatan pembuatan jalan sarad dan proses penyaradan itu sendiri. Kegiatan penyaradan merupakan kegiatan yang sangat besar pengaruhnya karena dapat menimbulkan dampak lanjutan yang sangat besar, misalnya dapat menyebabkan pemadatan tanah serta semakin memudahkan pengikisan tanah humus bila terjadi hujan. Muhdi (2001) menyatakan bahwa faktor kelerengan mempunyai peranan penting pada pergeseran waktu penyaradan berlangsung. Pada lapangan atau jalan sarad yang miring, traktor menggunakan pisaunya untuk memperoleh jalan yang lebih landai ataupun untuk menahan dorongan kayu yang disarad. Kerapatan tegakan yang menyusun areal sangat mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal dan keterbukaan lantai hutan. Sedangkan Sularso (1996) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi keterbukaan lahan akibat pemanenan kayu adalah kerapatan tegakan, kemiringan lahan, intensitas pemanenan kayu serta teknik pemanenan kayu. Apabila kedua lokasi plot pengamatan kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran diasumsikan terdapat pada satu lokasi yang sama, maka persentase keterbukaan lahan untuk kegiatan penyiapan lahan sistem silvilkultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Keterbukaan Lahan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran Per Hektar. Keterbukaan Lahan (m 2 ) Penebangan Penyaradan Penjaluran Jalur Bersih Total (m 2 ) Kelerengan (%) % Keterbukaan Lahan Dari Tabel 31 dapat dilihat bahwa kegiatan pemanenan dan penjaluran menyebabkan keterbukaan lahan diatas 35% disetiap kelerengan. Pada kelerengan 0-15% keterbukaan lahan mencapai 3671,92 m 2 /ha (36,72%).

94 Sedangkan pada kelerengan 15-25% menyebabkan keterbukaan lahan seluas 3935,63 m 2 /ha (39,36%). Dan pada kelerengan 25-45% kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran menyebabkan keterbukaan lahan seluas 4152,57 m 2 /ha (41,53%). Dengan demikian terlihat bahwa pada kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran, kemiringan lahan berpengaruh terhadap besarnya luasan keterbukaan lahan. Semakin curam kemiringan suatu lahan menyebabkan keterbukaan lahan yang terbentuk semakin besar pula. Keterbukaan lahan yang disebabkan oleh kegiatan penebangan produksi lebih besar daripada yang disebabkan oleh kegiatan penebangan jalur pada setiap kelerengan yang diamati. Hal ini dapat terjadi karena diameter pohon produksi yang ditebang lebih besar daripada diameter yang ditebang pada penebangan jalur. Pada kelerengan 0-15% keterbukaan lahan akibat kegiatan penebangan produksi seluas 938,18 m 2 /ha sedangkan akibat penebangan jalur seluas 747,71 m 2 /ha. Pada kelerengan 15-25% keterbukaan lahan akibat penebangan produksi seluas 941,88 m 2 /ha serta 755,22 m 2 /ha untuk keterbukaan lahan akibat penebangan jalur. Dan pada kelerengan 25-45% keterbukaan lahan akibat penebangan produksi dan penebangan jalur berturut-turut seluas 992,94 m 2 /ha dan 825,86 m 2 /ha. Penelitian Muhdi (2001) yang dilakukan di HPH PT. Suka Jaya Makmur memberikan hasil bahwa pada kegiatan pemanenan terkendali, kegiatan penebangan mengakibatkan keterbukaan lahan seluas 981,92 m 2 /ha (9,81%). Sedangkan penyaradan mengakibatkan keterbukaan lahan seluas 850,13 m 2 /ha (8,50%). Dengan demikian kegiatan pemanenan kayu terkendali mengakibatkan keterbukaan lahan seluas 1832,04 m 2 /ha (18,32%). G. Kerusakan Tegakan Tinggal 1. Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Analisa ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan tegakan atau pohon non target yang diakibatkan kegiatan penebangan satu pohon. Pengukuran kerusakan tegakan tinggal dilakukan pada penebangan produksi dan penebangan jalur. Berikut ini merupakan hasil dari pengukuran yang dilakukan.

95 Tabel 32. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu Pohon. Jenis Kegiatan Penebangan Produksi Penebangan Jalur Kelerengan (%) Pohon Ditebang Diameter Pohon Ditebang Σ Pohon Sebelum Ditebang Σ Pohon Ditebang Σ Pohon Rusak % Kerusakan 0-15 Bintangur Medang S. Parvifolia Medang Ubar Sawang Dari data diatas kerusakan terbesar akibat penebangan satu pohon produksi terjadi pada penebangan pohon Shorea parvifolia di kelerengan 25-45% dengan persentase kerusakan sebesar 4,51%. Penebangan satu pohon tersebut merusak 8 pohon disekitarnya dengan berbagai tipe kerusakan. Sedangkan akibat penebangan satu pohon Sawang pada saat penjaluran dikelerengan 25-45% menimbulkan kerusakan terbesar sebesar 3,58% dengan merusak 6 pohon disekitarnya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan yang terjadi diantaranya yaitu kerapatan disekitar pohon yang ditebang, kelerengan, serta pemilihan arah rebah yang dilakukan penebang pohon. Dalam pemilihan arah rebah selain memperhatikan kerapatan tegakan dan kelerengan lahan, seorang penebang pohon juga harus mempertimbangkan arah condong pohon, intensitas penutupan tajuk serta keselamatan dari penebangan itu sendiri. 2. Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran Pengamatan kerusakan tegakan tinggal yang diamati adalah kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan dan penjaluran. Hal ini disebabkan pekerjaan penebangan betapa pun dilakukan dengan hatihati namun kerusakan terhadap vegetasi disekitarnya tidak dapat dihindarkan. Untuk hasil pengamatan terhadap kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan dan penjaluran dapat dilihat pada Tabel 33.

96 Tabel 33. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran. Jenis Kegiatan Pemanenan Kayu Penjaluran Kelerengan (%) Σ Pohon Sebelum Ditebang Σ Pohon Ditebang Σ Pohon Rusak % Kerusakan Tingkat Kerusakan ringan ringan sedang ringan ringan ringan Dari data Tabel 33 dapat dilihat perbandingan persentase kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan kayu dengan penjaluran. Secara umum persentase kerusakan tegakan tinggal yang disebabkan kegiatan pemanenan kayu lebih besar kerusakan akibat penjaluran. Persentase kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu pada masing-masing kelerengan berturut-turut sebesar 15,07%, 19,50% dan 25,15%. Kerusakan tegakan tinggal yang terjadi pada kelerengan 0-15% dan 15-25% termasuk dalam kategori tingkat kerusakan ringan. Sedangkan kerusakan yang terjadi pada kelerengan 25-45% termasuk dalam kategori sedang. Tingginya persentase kerusakan tegakan tinggal pada kelerengan 25-45% sebagai akibat dari penebangan 38 pohon produksi (12,67 pohon/ha) serta rusaknya 125 pohon non target pada plot pengamatan (41,67 pohon/ha). Kerusakan tegakan tinggal yang ditimbulkan dari kegiatan penjaluran pada masing-masing kelerengan berturut-turut sebesar 6,76%, 7,12% dan 13,14%. Kegiatan penjaluran pada kelerengan 0-15% dilakukan dengan penebangan pohon di jalur bersih sebanyak 65 pohon (32,5 pohon/ha) dan menyebabkan rusaknya 20 pohon pada plot pengamatan (10 pohon/ha). Pada kelerengan 15-25% dilakukan penebangan pohon sebanyak 59 pohon (29,5 pohon/ha) yang diikuti dengan rusaknya 20 pohon pada plot pengamatan (10 pohon/ha). Dan pada kelerengan 25-45% yang mempunyai persentase kerusakan tertinggi dilakukan penebangan pohon di jalur bersih sebanyak 63 pohon (31,5 pohon/ha) dengan jumlah pohon yang rusak sebanyak 36 pohon (18

97 pohon/ha). Dengan besaran persentase kerusakan tegakan tinggal tersebut maka kerusakan pada ketiga kelerengan diatas termasuk dalam kategori tingkat kerusakan ringan. Dengan perbandingan diatas maka terlihat bahwa persentase kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu lebih besar daripada akibat penjaluran. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu kerapatan pada LOA 1981/1982 lebih tinggi, diameter pohon yang ditebang saat pemanenan kayu lebih besar dari pohon yang ditebang saat penjaluran, adanya kegiatan penyaradan pada kegiatan pemanenan kayu. Ketiga faktor menyebabkan jumlah pohon yang mengalami kerusakan akibat pemanenan kayu menjadi lebih banyak. Faktor kelerengan suatu areal juga mempengaruhi besaran persentase kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan kayu dan penjaluran. Pohon yang ditebang pada areal yang miring atau kelerengannya curam akan meluncur ke areal yang lebih rendah. Kondisi ini menyebabkan tegakan tinggal yang rusak menjadi lebih banyak. Apabila kedua lokasi plot pengamatan kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran diasumsikan terdapat pada satu lokasi yang sama, maka persentase kerusakan tegakan tinggal untuk kegiatan penyiapan lahan sistem silvilkultur TPTII dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran TPTII. Kelerengan (%) % Kerusakan Tingkat Kerusakan Ringan Sedang Sedang Dari data diatas terlihat bahwa semakin curam kondisi suatu areal hutan berbanding lurus dengan kerusakan tegakan tinggal yang terjadi. Pada kelerengan 0-15% persentase kerusakan tegakan tinggal yang ditimbulkan dari kedua kegiatan diatas sebesar 21,83% dan termasuk dalam kategori tingkat kerusakan ringan. Pada kelerengan 15-25% dan 25-45% kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dan penjaluran

98 termasuk dalam kategori tingkat kerusakan sedang dengan persentase kerusakan masing-masing sebesar 26,62% dan 36,68%. Kerusakan tegakan tinggal diatas dibedakan pada beberapa tipe kerusakan. Untuk mengetahui lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Persentase Tipe-Tipe Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran. Jenis Kegiatan Pemanenan Kayu Penjaluran Kelerengan (%) Tajuk Kulit Patah Pecah Batang Roboh / Condong Banir / Akar Total (%) Rata-Rata Rata-Rata Tipe kerusakan tegakan tingggal terbesar setelah kegiatan pemanenan kayu ialah roboh/condong sebesar 43,74%. Kerusakan tegakan tinggal yang kedua yang paling sering ditemukan yaitu rusak tajuk sebesar 25,73%, kemudian diikuti oleh rusak kulit sebesar 17,29%. Tingginya kerusakan roboh/condong disebabkan oleh ditebangnya pohon produksi dengan diameter yang besar serta banyaknya pohon yang tertabrak pada saat penyaradan. Selain itu penyaradan juga dapat menimbulkan kerusakan banir/akar akibat terkena pisau depan traktor atau terkena gesekan dari pohon yang disarad. Sedangkan pada kegiatan penjaluran kerusakan yang sering terjadi ialah kerusakan tajuk sebesar 46,85%. Kemudian diikuti dengan kerusakan kulit serta patah batang sebesar 23,89% dan 21,67%. Tidak adanya kegiatan penyaradan setelah penebangan jalur serta kecilnya diameter pohon yang ditebang menyebabkan persentase tipe kerusakan roboh/condong menjadi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kondisi setelah pemanenan kayu.

99 H. Analisa Tanah Untuk mengetahui nilai-nilai sifat fisik dan kimia tanah perlu dilakukan analisis laboratorium terhadap sampel tanah yang diambil dari lapangan. Sifat fisik dan kimia tanah yang diambil dari dua kedalaman tanah yang berbeda yaitu 0-20 cm dan cm. 1. Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah merupakan sifat yang bertanggung jawab atas peredaran udara, ketersediaan air dan zat terlarut melalui tanah. Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar, retensi air, drainase, aerasi dan nutrisi tanaman, sehingga pengaruhnya sangat besar terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman hutan. Poerwowidodo (2000) menyatakan bahwa perkembangan akar tanaman dapat terkendala oleh adanya hambatan fisik atau kimia. Hambatan fisik terutama disebabkan oleh keadaan tanah yang padat, sebagai akibat kandungan lempung yang tinggi atau karena adanya pemadatan. Tabel 36. Pengukuran Sifat Fisik Tanah. Kelerengan (%) Kedalaman (cm) Tekstur Struktur Bobot Isi (gr/cm 3 ) Kadar air (%) 0-20 Lempung Liat Berpasir Butiran Lempung Liat Berpasir Butiran Lempung Liat Berpasir Butiran Lempung Liat Berpasir Butiran Lempung Liat Berpasir Butiran Lempung Liat Berpasir Butiran Dari data diatas dapat dilihat bahwa tekstur tanah pada Et+0 semuanya bertekstur lempung liat berpasir. Sedangkan untuk struktur tanahnya adalah butiran dengan kelas halus sampai dengan sedang. Pengukuran bobot isi tanah berkisar antara 1,17-1,29 gr/cm 3 yang berarti pada kondisi tegakan hutan tersebut tanahnya termasuk kategori tanah longgar dan tanah normal. Dari hasil diatas juga dapat dilihat bahwa bobot isi tanah pada kedalaman cm lebih tinggi daripada bobot isi tanah pada kedalaman 0-20 cm. Hal ini dapat terjadi karena pada kedalaman 0-20 cm kondisi tanahnya relatif lebih gembur dengan kandungan bahan organik seperti serasah yang lebih banyak.

100 Sedangkan pada pengukuran kadar air berkisar antara 31,57% - 27,24%. Dari hasil diatas juga dapat dilihat bahwa kadar air pada kelerengan 0-15% lebih tinggi daripada kadar air pada kelerengan 15-25% dan 25-45%. Hal ini terjadi karena semakin curam kemiringan suatu areal dapat menyebabkan run off yang lebih besar. 2. Sifat Kimia Tanah Tanah sebagai media tumbuh bagi tumbuhan harus mampu mendukung tumbuh dan berkembangnya tumbuhan tersebut. Tanah yang demikian disebut dengan tanah yang subur yang secara tidak langsung berhubungan dengan sifat kimia tanah dan mineral-mineral anorganik primer. Kemasaman tanah ditunjukkan oleh ph H 2 O dan KCl yang mencirikan reaksi yang terjadi, ph ini dapat menentukan ketersediaan unsur hara, kelarutan racun, serta mempengaruhi kehidupan organisme di dalam tanah. Tanah-tanah yang mempunyai kandungan unsur hara tinggi, dicirikan oleh ph tanah yang relatif besar. Pengukuran ph dengan 1 N KCl (phs) sering dilakukan terutama untuk dibandingkan dengan ph air. Bila ph KCl lebih kecil setengah unit atau lebih dari ph air (untuk ph kurang dari enam) menunjukkan bahwa sejumlah Al dapat ditukar ditemukan. Menurunnya ph dengan KCl, karena akibat hidrolisis dari Al digabti oleh K (Hardjowigeno, 2003). Tanah podsolik merah kuning merupakan tanah yang sangat tercuci, lapisan atas berwarna abu-abu muda sampai kekuningan, lapisan bawah merah atau kuning, dengan ph antara 4,2-4,8 (Hardjowigeno, 2003). Data pengukuran ph terhadap tanah dari lokasi plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Pengukuran ph Tanah. ph Kondisi Hutan Kedalaman (cm) H 2 O KCl LOA 1981/ Et

101 Berdasarkan hasil analisis diatas terlihat bahwa ph pada kedalaman 0-20 cm lebih rendah daripada kedalaman cm. Nilai ph yang diperoleh berkisar antara 4,2-4,8 sehingga termasuk kedalam kategori sangat masam dan masam. Pada kisaran nilai tersebut terdapat cukup banyak Al yang dapat ditukar sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dan kejenuhan basa rendah. Reaksi tanah yang sangat masam disebabkan oleh merajainya kation-kation pengasam tanah (Fe, Al, H). Hal ini diakibatkan karena tingginya kation asam yang terkandung di dalam tanah, sedangkan kation basa yang terdapat di dalam tanah kandungannya rendah sehingga mengurangi kapasitas akar menyerap air, gas dan hara. Dan menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991), curah hujan yang sangat besar dan jauh melebihi kebutuhan tanah dan tanaman (evapotranspirasi) juga dapat mengakibatkan tanah permukaan menjadi agak masam atau masam (sedangkan lapisan dalam mungkin netral) karena terangkutnya sejumlah garam terlarut, hasil pelapukan mineral dan sejumlah basa-basa. Kegiatan analisis kimia tanah juga dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur hara yang berhubungan langsung dengan pertumbuhan tanaman sehingga dapat diketahui tingkat kesuburan tanah dari areal plot pengamatan. Analisis kimia tanahnya sendiri dilakukan di laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian IPB. Untuk hasil analisis kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Pengukuran Sifat Kimia Tanah dan Penetapan Tingkat Kesuburan Tanah. Kondisi Hutan LOA 1981/1982 Et+0 Kedalaman (cm) BO. Tanah C-org (%) P2O5 (ppm) K (ppm) KTK (me/100g) KB (%) Status Kesuburan (S) 2.20 (S) 2.81 (R) 0.21 (R) (S) 5.76 (R) Rendah (R) 1.51 (R) 2.97(R) 0.27 (R) (S) 7.51 (R) Rendah (R) 1.62 (R) 3.21 (R) 0.34 (R) (S) (R) Rendah (R) 1.03 (R) 3.43 (R) 0.38 (R) (S) (R) Rendah Tabel 38. Pengukuran Sifat Kimia Tanah dan Penetapan Tingkat Kesuburan Tanah (Lanjutan). Kondisi Hutan LOA 1981/1982 Et+0 Kedalaman (cm) Ca (me/100g) Mg (me/100g) Na (me/100g) Al (me/100g) Fe (ppm)

102 Dari Tabel 38 diatas dapat dilihat bahwa status kesuburan tanah pada areal plot pengamatan termasuk kategori rendah. Hal ini disebabkan rendahnya kandungan bahan organik tanah, C-org, P 2 O 5, K serta kejenuhan basanya. Hanya nilai dari KTK yang termasuk kategori sedang. Kandungan C-org pada LOA 1981/1982 kedalaman 0-20 cm termasuk kategori sedang dengan nilai sebesar 2,20%. Sedangkan kandungan C-org pada LOA 1981/1982 kedalaman cm, Et cm dan cm termasuk kategori rendah dengan nilai berturut-turut sebesar 1,51, 1,62 dan 1,03%. Bahan organik merupakan bahan yang sangat menentukan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Unsur ini memberikan respon yang cepat terhadap pertumbuhan tanaman. Kandungan bahan organik pada masingmasing horison merupakan petunjuk besarnya akumulasi bahan organik dalam keadaan lingkungan yang berbeda. Kandungan bahan organik tanah pada areal plot pengamatan berkisar antara 1,78-3,79%. Bahan organik pada LOA 1981/1982 dengan kedalaman 0-20 sebesar 3,79% (termasuk kategori sedang). Sedangkan pada LOA 1981/1982 dengan kedalaman cm, Et cm serta cm memiliki kandungan bahan organik berturut-turut sebesar 2,60, 2,79 dan 1,78% (termasuk kategori rendah). Kapasitas Tukar Kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut (Hardjowigeno, 2003). Pengaruh bahan organik terhadap KTK tanah sangat nyata karena selain daya jerap bahan organik yang sangat besar, bahan organik juga dapat menghasilkan humus yang mempunyai KTK jauh lebih tinggi daripada mineral liat. Oleh karena itu semakin tinggi kandungan bahan organik tanah semakin tinggi pula nilai KTK-nya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). Besaran nilai KTK pada areal plot pengamatan termasuk kategori sedang dengan kisaran antara 20,33-23,26%. Kejenuhan basa berhubungan erat dengan ph tanah, dimana tanah dengan ph rendah umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah, sedangkan tanah-tanah dengan ph tinggi mempunyai kejenuhan basa yang

103 tinggi pula (Hadjowigeno, 2003). Dari Tabel 38 diatas dapat dilihat bahwa kenaikan dari nilai ph tanah diikuti oleh kenaikan nilai kejenuhan basanya. Nilai kejenuhan basa pada areal plot pengamatan berkisar antara 5,76-13,43%. Nilai kejenuhan basa tertinggi didapat di areal Et+0 pada kedalaman cm. Phosfor (P) dan kalium (K) merupakan unsur hara makro selain nitrogen (N) yang dibutuhkan oleh tumbuhan bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Phosfor merupakan unsur yang reaktif terhadap koloid tanah sehingga keberadaannya selalu dalam keadaan terfiksasi dan sulit diambil oleh tanaman. Phosfor juga berperan penting dalam proses fotosintesis. Sedangkan kalium umumnya berupa senyawa yang mudah diambil oleh tanaman. Kalium berfungsi sebagai katalisator, mengatur proses fisiologis dan metabolisme di dalam sel dan dapat meningkatkan penyerapan unsur hara (Pritchett, 1979). Kandungan P yang tersedia pada plot pengamatan berkisar antara 2,81-3,43 ppm (termasuk kategori rendah). Kandungan P terbesar terdapat di Et+0 kedalaman cm sebesar 3,43 ppm. Untuk kandungan K pada plot pengamatan termasuk kategori rendah berkisar antara 0,21-0,38 ppm. Basa-basa yang dapat ditukarkan dalam tanah berfungsi sebagai unsur hara dan pengatur kemasaman tanah. Basa-basa yang dapat dipertukarkan selain dari kalium antara lain kalsium, magnesium dan natrium. Kandungan Ca pada plot pengamatan berkisar antara 0,72-1,27 me/100g, kandungan ini termasuk rendah. Untuk kandungan Mg pada plot pengamatan termasuk rendah berkisar antara 0,18-0,77 me/100g. Sedangkan untuk kandungan Na pada plot pengamatan berkisar 0,23-0,31 me/100g, dan kandungan ini termasuk rendah. Asam-asam yang dapat dipertukarkan (exchange acidity) terdiri dari H + dan Al 3+, keduanya terdapat pada tanah masam. Exchange acidity sebenarnya hampir seluruhnya disebabkan oleh Al, meskipun exchangeable hydrogen sering diinginkan sebagai padanan untuk exchange acidity. Exchnge acidity bertambah dengan bertambahnya pencucian dan pelapukan tanah terutama di daerah humid. Dan bila Al

104 yang dapat dipertukarkan lebih dari 60% KTK, maka merupakan racun bagi tanaman (Hardjowigeno, 2003). Kandungan Al pada plot pengamatan berkisar 1,98-2,07 me/100g. Kandungan Al terbesar terdapat di Et+0 pada kedalaman cm. Berdasarkan kondisi dari beberapa parameter sifat kimia tanah tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa status kesuburan tanah di areal plot pengamatan tergolong rendah. Rendahnya status kesuburan tanah tersebut disebabkan karena rendahnya kandungan hara-hara primer. Keadaan iklim yang basah karena curah hujan yang tinggi dibarengi suhu yang panas sepanjang tahun menyebabkan kegiatan jasad renik sangat aktif. Akibatnya proses pembusukan serasah hutan berlangsung sangat cepat dan proses humifikasi segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi. Akibat hujan yang banyak, pencucian hara mineral berjalan intensif terutama di tempat-tempat terbuka seperti bekas jalan sarad dan bekas tebangan.

105 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Komposisi vegetasi setelah kegiatan pemanenan kayu dan penjaluran baik itu permudaan dan pohon inti memiliki jumlah yang cukup berdasarkan kriteria pedoman dari pelaksanaan sistem TPTI dari Departemen Kehutanan. 2. Tingkat keanekaragaman jenis pada hutan setelah pemanenan kayu (Et+0) dan jalur konservasi memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi dengan rata-rata nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) diatas 3, Struktur horizontal tegakan hutan setelah penyiapan lahan Sistem Silvikultur TPTII membentuk "J" terbalik yang menggambarkan suatu ekosistem berbagai kelas umur tumbuhan yang relatif seimbang (balanced uneven-aged forest). 4. Pelaksanaan Sistem Silvikultur TPTII menyebabkan keterbukaan lahan dan kerusakan tegakan terbesar pada plot kelerengan 25-40% dengan persentase keterbukaan lahan mencapai 41,53% dan persentase kerusakan tegakan sebesar 36,68% dimana tingkat kerusakan termasuk kedalam tingkat kerusakan sedang. 5. Pada pengukuran sifat fisik dan kimia tanah belum terdapat perubahan yang signifikan antara hutan bekas tebangan dengan hutan primer sebagai pembanding. B. Saran 1. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut pada plot permanen yang telah dibuat. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap riap pertumbuhan bibit yang ditanam pada jalur tanam. 3. Dalam kegiatan penebangan jalur sedapat mungkin arah rebah diarahkan sejajar dengan jalur tanam agar tidak terlalu menambah kerusakan tegakan pada jalur konservasi.

106 DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Baker, F. S Priciples of Silviculture. The McGraw-Hill Book Company, Inc. New York. Baur, G. N The Ecological Basis of Rain Forest Management. V. C. N Blight, Goverment Printer. New South Wales. Brown, N. C Logging. John Wiley & Sons, Inc. New York. Buckman, H. O. And Brady, N. C The Nature and Properties of Soils. The MacMillan Company. New York. Budiaman, A Dasar-Dasar Pemanenan Hasil Hutan. Laboratorium Keteknikan Pemanenan Kayu IPB. Bogor. Bureau of Foresty Philippines Handbook on Selective Logging. Bureau of Foresty Philippines. Manila. Conway, S Logging Practices. Miller Freeman Publicaton, Inc. New York. Departemen Kehutanan Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada Hutan Alam Daratan. Direktorat Jenderal Pengusahaan Kehutanan. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kimia Tanah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Departemen Pertanian Penuntun Analisa Fisika Tanah. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor. Elias Ekologging. Tulisan disajikan pada Penataran Manajer Logging, di Bogor, tanggal Januari Studi Hasil Penerapan Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di Areal HPH PT. Kiani Lestari dan PT. Narkata Rimba, Kalimantan Timur. Tulisan disajikan pada pembahasan Evaluasi Hasil-hasil Penelitian Proyek Hibah Bersaing, di Cisarua, Bogor, tanggal 6-9 Januari State of Art of Timber Harvesting Operations in Tropical Natural Forests in Indonesia. Paper Presented on Exchange Meeting Between

107 Staffts of Faculcy of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia and Staffts of Shimane University, Japan 30 June 1997 in Shimane. Japan Percobaan Minimalisasi Kerusakan Akibat Pemanenan Kayu (Reduced Impact Timber Harvesting Experiment). Tulisan disajikan pada Workshop Growth and Yield oleh Balai Penelitian Kehutanan Samarinda, di Samarinda, tanggal 4-6 Desember Kerusakan Akibat Penggunaan Alat Berat Kehutanan dan Teknik Pengukurannya. Tulisan disajikan pada Pelatihan Manajemen Alat Berat Kehutanan pada Kegiatan Pemanenan Hasil Hutan, di Wisma Duta Berlian, Bogor, tanggal November Reduced Impact Logging. IPB Press. Bogor. Ewusie, J. Y Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB. Bandung. Hardjowigeno, S Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo Jakarta. Idris, M. M Pengaruh Penyaradan Kayu dengan Traktor Berban Ulat terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal, Pergeseran serta Pemadatan Tanah Hutan (Studi Kasus di Areal HPH PT. Kayu Lapis Indonesia, Kalimantan Barat). Tesis Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan Dampak Penebangan dan Penyaradan di Hutan Produksi Terbatas terhadap Erosi Tanah, Keadaan Iklim Mikro serta Permudaan Alam (Studi Kasus di HPH PT. Indexim Utama Corp., Kalimantan Tengah). Disertasi Pasca Sarjana IPB. Tidak Dipublikasikan. Loekito, D dan R. Hardjono Sendi-Sendi Silvilultur. Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Magurran, A.E., Ecological Diversity and Its Measurenment. Croom Helm Ltd. London. Manan, S Dasar-Dasar Ekologi (Suatu Pengantar untuk Memahami Ekosistem). Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Meyer, H.A., A.B. Recknagel, D.D Stevenson and R.A. Bartoo Forest Management. Second Edition. The Ronald Press Company. New York. Muhdi Studi Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu dengan Teknik Pemanenan Kayu Berdampak Rendah dan Konvensional di Hutan Alam (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). Tesis Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

108 Mabberley, D. J Tropical Rain Forest Ecology. Chapman and Hall, Inc. New York. Oliver, C. D. And B. C. Larson Forest Stand Dynamics. John Wiley & Sons, Inc. New York. Purwowidodo Mengenal Tanah Hutan : Metode Kaji Tanah. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Mengenal Tanah. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Santiaji, A Dinamika Masyarakat Tumbuhan Hutan Hujan Tropika pada Areal Bekas Tebangan di HPH PT. Ratah Timber Company, Kalimantan Timur. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Sastrodimedjo, S Eksploitasi Hutan. Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Jakarta. Soerianegara, I. dan A. Indrawan Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Soerianegara, I Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Sularso, H Analisis Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Pemanenan Kayu Terkendali dan Konvensional pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) (Studi Kasus di Areal HPH PT. Sumalindo Lestari Jaya IV, Kalimantan Timur). Tesis Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Sumitro, A Cara-Cara Penyaradan untuk Mengurangi Limbah dan Kerusakan Tegakan Tinggal di Hutan Luar Jawa. Tulisan disajikan pada Seminar Eksploitasi Hutan di Cisarua, Bogor 8 Juli Suparto, R. S Sistem-sistem Logging. Tulisan disajikan pada Penataran Manajer Logging, di Bogor, tanggal Januari Tan, K.H Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wahyuningsih, S Pengaruh Pemanenan Kayu dengan Sistem TPTI Terhadap Perkembangan Tegakan Tinggal (Studi Kasus di HPH PT. Narkata Rimba, Kalimantan Timur). Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Whitmore, T. C Tropical Rain Forest of the Far East. Oxford University Press. Oxford.

109 Wiradinata, S., et al Pengaruh Pembalakan Mekanis/Logging terhadap Kelestarian Lingkungan pada HPH di PT. Inhutani II Pulau Laut Kalimantan Selatan. Proyek Penelitian Pengembangan Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Siaran Pers No. S.533/II/PIK/2004, Departemen Kehutanan kembangkan Sistem Silvikultur Intensif pada Hutan Alam.

110 Lampiran

111 Lampiran 1. DAFTAR JENIS TUMBUHAN YANG DITEMUKAN DI PLOT PENGAMATAN No Nama Jenis Nama Latin Family Golongan Kelompok 1 Balau Dipterocarpus mundus V. Sl. Dipterocarpaceae KD KTT 2 Banitan Polyalthia laterifolia King Annonaceae KND KTT 3 Barah Shorea sp. Dipterocarpaceae KD KTT 4 Bayur Pterospermum javanicum Jungh. Sterculiaceae KND KTT 5 Bebara NK NK 6 Begatal Ficus vasculosa Wall Moraceae KND KTT 7 Bekasai Pometia sp. Sapindaceae NK NK 8 Belanti Cococeras sumatranas Euphorbiaceae NK NK 9 Belatung NK NK 10 Belubu Pterocybium tubulatum Ridl Sterculiaceae KND KTT 11 Belungai NK NK 12 Bengkirai Shorea laevifolia Endert Dipterocarpaceae KD KTT 13 Bentenung Plancenia valida Bl. Lecythidaceae NK NK 14 Benuang Octomeles sumatrana Miq. Datiscaceae KND KTT 15 Berabakan KND KTT 16 Bintangur Callophylum pulcherrimum Wall. Guttaceae KND KT 17 Bungkal Nauclea sp. Rubiaceae KND KTT 18 Bunyau Dipterocarpaceae KD KTT 19 Butat NK NK 20 Butun Teysmanniodendron sp. Verbenaceae NK NK 21 Celupu NK NK 22 Duku Lansium domesticum Corr. NK NK 23 Durian Durio zibeitinus Murray Bombacacea KND KTT 24 Durian batu Durio sp Bombacacea KND KTT 25 Emang Hopea sangal Korth Dipterocarpaceae KD KTT 26 Gaharu Aquilaria microcarpa Baill. Thymelaceae KND KTT 27 Gambir Trigonopleura malayana Hook.f. NK NK 28 Ganjik NK NK 29 Garung Macaranga sp Euphorbiaceae KND KTT 30 Gerunggang Cratocylon arborescens Bl. Guttaceae KND KTT 31 Glinsaray NK NK 32 Gmelina Gmelina arborea Roxb. Verbenaceae KND KTT 33 Hahanyir NK NK 34 Hopeifolia Shorea hopeifolia Sym. Dipterocarpaceae KD KT 35 Jabon Anthocephalus cadamba Miq. Anacardiaceae KND KTT 36 Jamay Santiria tomentosa Bl. Burseraceae KND KTT 37 Jambu cung-cung Eugenia sp. Myrtaceae NK NK 38 Jelutung Dyera costulata Hook.f. Apocynaceae KND KTT 39 Jering Pithecellobium jiringa Prain Mimmosaceae NK NK 40 Johorensis Shorea johorensis Foxw. Dipterocarpaceae KD KT 41 Kandis Cratoxylon formosum Dyer Guttaceae NK NK 42 Kapul Baccaurea dulois Muell.Arg. Euphorbiaceae KND KTT 43 Kapur Dryobalanops beccarii Dyer Dipterocarpaceae KD KTT 44 Kayu abu KND KTT 45 Kayu arang Diospyros campanulata Bakh. Ebenaceae KND KTT 46 Kayu asam KND KTT

112 47 Kayu batu Irvingia malayana ex. A.Benn. Simarobaceae KND KTT 48 Kayu buluh KND KTT 49 Kayu bunga Corallia brachiata Rhizoporaceae KND KTT 50 Kayu malam Diospyros ovata Ebenaceae KND KTT 51 Kayu minyak KND KTT 52 Kedundung Canarium caudatum King, forma Burseraceae NK NK 53 Kekalik NK NK 54 Kelampai Elaterospermum tapos Bl. Euphorbiaceae NK NK 55 Kelengkeng Euphoria longana Blume Sapindaceae NK NK 56 Kelukup Shorea ovalis Bl. Dipterocarpaceae KD KT 57 Kembayau Dacryodes rostrata H.J.L Burseraceae KND KTT 58 Keminting Mizzetia sp. Annonaceae NK NK 59 Kempas Koompassia malaccensis Maing Dipterocarpaceae KD KT 60 Kenajay NK NK 61 Kenenopung NK NK 62 Kengkayas NK NK 63 Kengkulung NK NK 64 Kenjilau NK NK 65 Kepuak Artocarpus sp. Moraceae NK NK 66 Keranji Diallium potens Baker Caesalpiniaceae NK NK 67 Keraya NK NK 68 Keruing Dipterocarpus crinitus Dyer Dipterocarpaceae KD KT 69 Ketanggang Dipterocarpus coriaceus V.Sl. Dipterocarpaceae KD KTT 70 Ketatai NK NK 71 Ketikal Ochanostachys amentaceae Mast. Olacaceae KND KTT 72 Kompening Quercus sundaica Bl,var Fagaceae NK NK 73 Kopi hutan Tricalysia sp. Rubiaceae NK NK 74 Kubing Tristania sp. Myrtaceae NK NK 75 Kulim Scorodocarpus borneensis Becc. Olacaceae KND KTT 76 Kumpang Diospyros sp. Ebenaceae NK NK 77 Kumpang arang Diospyros macrophylla Bl. Ebenaceae NK NK 78 Laban Vitex pubescens Vahl. Verbenaceae KND KTT 79 Laban darah Vitex sp Verbenaceae KND KTT 80 Langsat Lansium humale Meliaceae NK NK 81 Lemak beruk NK NK 82 Lempohung NK NK 83 Lengkuham NK NK 84 Limus Garcinia celebica L. Guttaceae NK NK 85 Lingis NK NK 86 Lundik NK NK 87 Lungkai Peronema canescens Jack. Verbenaceae KND KTT 88 Mayau Shorea palembanica Miq. Dipterocarpaceae KD KT 89 Medang Litsea firma Hook.f. Lauraceae KND KT 90 Melapi Shorea atrinerfosa Sym. Dipterocarpaceae KD KT 91 Menjalin Santiria rubiginosa Bl. Burseraceae NK NK 92 Mentawa Artocarpus anisophyllus Miq. Moraceae NK NK 93 Mentawa pintau Artcarpus rigidus Bl. Moraceae NK NK 94 Meranti batu Shorea uliginosa Fowx. Dipterocarpaceae KD KT 95 Mersawa Anisoptera marginata Korth. Dipterocarpaceae KD KT 96 Nyatoh Palaquium rostatum Burck. Sapotaceae KND KT

113 97 Pakit Shorea acuminatissima Sym. Dipterocarpaceae KD KT 98 Pampan Vitex sp. Verbenaceae KND KTT 99 Pangkilan semut Baccaurea sp. Euphorbiaceae KND KTT 100 Pansik Sandoricum omarginatum Hiern Meliaceae KND KTT 101 Parvifolia Shorea parvifolia Dyer Dipterocarpaceae KD KT 102 Pasak bumi KND KTT 103 Pekawai Durio kutejensis Becc. Bombacaceae KND KTT 104 Pekobungan Xylopia altissima Boerl. Annonaceae NK NK 105 Pelanjau Pentaspadon motleyi Hook.f. Anacardiaceae NK NK 106 Pengerawan Shorea leprosula Miq Dipterocarpaceae KD KT 107 Perut keli Dillenia excelsa Gilg.var Dilleniaceae NK NK 108 Petai hutan Parkia speciosa Hassk. Mimosaceae NK NK 109 Pisang-pisang Mizzetia parviflora Becc. Annonaceae KND KTT 110 Poga Dipterocarpaceae KD KTT 111 Pulai Alstonia scholaris R.Br. Apocynaceae NK NK 112 Pulai pipit Alstonia sp. Apocynaceae NK NK 113 Punuk Tetramerista glabra Miq Theacaceae NK NK 114 Purang Macaranga hullettii King Euphorbiaceae KND KTT 115 Putat Barringtonia spicata Bl. Lauraceae NK NK 116 Rambutan hutan Nephelium lapaceum Sapindaceae NK NK 117 Rangkung NK NK 118 Rengas Gluta rengas L. Anacardiaceae KND KTT 119 Rengkusa NK NK 120 Reriga Dillenia arimia Miq. Dilleniaceae KND KTT 121 Resak Vatica rassack Bl. Dipterocarpaceae KD KTT 122 Rukam Homalium longifolium V.Sl. Flaucortiaceae KND KTT 123 Rupis Ouratea sp. Och. KND KTT 124 S. fallax Shorea fallax Meijer Dipterocarpaceae KD KT 125 S. gimbosa Shorea gibbosa Brandis Dipterocarpaceae KD KT 126 S. mecistopteryx Shorea mecistopterix Ridl. Dipterocarpaceae KD KT 127 S. seminis Shorea seminis V.Slooten. Dipterocarpaceae KD KT 128 Sampa Castanopsis sp. Fagaceae KND KTT 129 Sanggau Bhesa paniculata Arn. Celastr. KND KTT 130 Sawang KND KT 131 Sedawak NK NK 132 Seloban NK NK 133 Semangkuk Scaphium borneensis Sterculiaceae KND KTT 134 Sengkuang Dracontomelon mangiferum Bl. Anacardiaceae NK NK 135 Sengkubak Knema forfuraceae Myristicaceae NK NK 136 Sengon Albizia moluccana Miq. NK NK 137 Sensibur NK NK 138 Serunai NK NK 139 Sibau Blumeodendron sp. Euphorbiaceae NK NK 140 Simpur Dillenia excelsa Gilg. Dilleniaceae KND KTT 141 Sindur Sindora bruggemanii De Wit. Caesalpiniaceae KND KTT 142 Sintok Cinnamomum coriaceum Camn. Lauraceae NK NK 143 Surian KND KTT 144 Tajur NK NK 145 Tapak dara NK NK 146 Tapang NK NK

114 147 Temaras Memecylon sp. Melast. NK NK 148 Tengkawang Shorea stenoptera Burck. Dipterocarpaceae KD KTT 149 Terantang Campnosperma auriculata Hook.f. Anacardiaceae NK NK 150 Teratungan NK NK 151 Teratungan burung NK NK 152 Torap Artocarpus elasticus Reinw. Moraceae KND KTT 153 Tubak abuh NK NK 154 Ubar Dillenia pulchella Gilg. Dilleniaceae KND KTT 155 Ulin Eusideroxylon zwageri T.ef.B Lauraceae KND KTT Ket. KD : Komersial Dipterocarpaceae KND : Komersial Non Dipterocarpaceae NK : Non Komersial KT : Komersial di Tebang KTT : Komersial Tidak di Tebang NK : Non Komersial

115 Lampiran 2. REKAPITULASI INP DI SETIAP PLOT PENGAMATAN Hutan LOA 1981/1982 Kelerengan 0% - 15% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Balau Banitan Bayur Bebara Belanti Belubu Bengkirai Benuang Berabakan Bintangur Bungkal Butun Duku Durian Emang Gerunggang Gibbosa Hopeifolia Johorensis Kapul Kapur Kayu arang Kayu batu Kayu buluh Kayu malam Kedundung Kekalik Kelampai Kelengkeng Kembayau Kempas Keraya 0.57

116 33 Keruing Ketatai Ketikal Kompening Kubing Kulim Kumpang Langsat Lempohung Pengerawan Lukus Mayau Mecistoptherix Medang Menjalin Mentawa Meranti batu Mersawa Nyatoh Pakit Fallax Pangkilan semut Parvifolia Petai hutan Pisang-pisang Poga Pulai Punuk Purang Putat Rambutan hutan Rengas Reriga Rupis Sampa Sawang Sengkuang Sengkubak Simpur Sindur Sintok Temaras Ubar Ulin Hutan LOA 1981/1982 Kelerengan 15% - 25% INP (%) No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan

117 2 Bekasai Belanti Belubu Bengkirai Berabakan Bintangur Bunyau Duku Durian Emang Gaharu Gerunggang Jelutung Johorensis Kandis Kapul Kapur Kayu arang Kayu batu Kayu malam Kekalik Kelampai Kelukup Kembayau Kempas Kengkulung Keranji Keruing Ketikal Kompening Kopi hutan Kubing Kulim Kumpang Kumpang arang Langsat Lempohung Lundik Mayau Medang Menjalin Mentawa Meranti batu Mersawa Nyatoh Pakit Pangkilan semut Parvifolia Pasak bumi Pekawai 0.42

118 52 Pengerawan Petai hutan Pisang-pisang Pulai Purang Rambutan hutan Rengas Reriga Resak Rukam Rupis Sampa Sawang Sengkuang Simpur Sindur Sintok Temaras Tengkawang Teratungan Torap Ubar Ulin Hutan LOA 1981/1982 Kelerengan 25% - 45% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan Bayur Bebara Belanti Belatung Belubu Bengkirai Bentenung Benuang Berabakan Bintangur Bunyau Butun Duku Durian batu Emang Fallax Ganjik Garung Gerunggang Jabon Jelutung Kandis

119 24 Kapul Kayu abu Kayu arang Kayu asam Kayu batu Kayu bunga Kayu malam Kedungdung Kelampai Kelengkeng Kelukup Kembayau Keminting Kempas Kengkulung Kenjilau Keranji Keruing Ketanggang Ketatai Ketikal Kompening Kopi hutan Kubing Kulim Kumpang Laban darah Langsat Lengkuham Mayau Medang Melapi Menjalin Mentawa Meranti batu Mersawa Nyatoh Pakit Pampan Pangkilan semut Parvifolia Pasak bumi Pekawai Pelanjau Pengerawan Petai hutan Pisang-pisang Poga Punuk Purang Rambutan hutan Rengas Reriga

120 77 Resak Rukam Rupis Sampa Sawang Sedawak Semangkuk Sengkuang Simpur Sindur Sintok Surian Tapak dara Temaras Teratungan burung Torap Ubar Ulin Hutan Et+0 Kelerengan 0% - 15% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Balau Banitan Bayur Bebara Belanti Belubu Bengkirai Benuang Berabakan Bintangur Bungkal Butun Duku Durian Emang Gerunggang Gibbosa Hopeifolia Johorensis Kapul Kapur Kayu arang Kayu batu Kayu buluh Kayu malam Kedundung Kekalik 10.47

121 28 Kelampai Kelengkeng Kembayau Kempas Keraya Keruing Ketatai Ketikal Kompening Kubing Kulim Kumpang Langsat Lempohung Pengerawan Lukus Mayau Mecistoptherix Medang Menjalin Mentawa Meranti batu Mersawa Nyatoh Pakit Fallax Pangkilan semut Parvifolia Petai hutan Pisang-pisang Poga Pulai Punuk Purang Putat Rambutan hutan Rengas Reriga Rupis Sampa Sawang Sengkuang Sengkubak Simpur Sindur Sintok Temaras Ubar Ulin

122 Hutan Et+0 Kelerengan 15% - 25% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan Bekasai Belanti Belubu Bengkirai Berabakan Bintangur Bunyau Duku Durian Emang Gaharu Gerunggang Jelutung Johorensis Kandis Kapul Kapur Kayu arang Kayu batu Kayu malam Kekalik Kelampai Kelukup Kembayau Kempas Kengkulung Keranji Keruing Ketikal Kompening Kopi hutan Kubing Kulim Kumpang Kumpang arang Langsat Lempohung Lundik Mayau Medang Menjalin Mentawa Meranti batu Mersawa Nyatoh

123 47 Pakit Pangkilan semut Parvifolia Pasak bumi Pekawai Pengerawan Petai hutan Pisang-pisang Pulai Purang Rambutan hutan Rengas Reriga Resak Rukam Rupis Sampa Sawang Sengkuang Simpur Sindur Sintok Temaras Tengkawang Teratungan Torap Ubar Ulin Hutan Et+0 Kelerengan 25% - 45% No Nama Jenis Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan Bayur Bebara Belanti Belatung Belubu Bengkirai Bentenung Benuang Berabakan Bintangur Bunyau Butun Duku Durian batu Emang Fallax Ganjik 0.34

124 19 Garung Gerunggang Jabon Jelutung Kandis Kapul Kayu abu Kayu arang Kayu asam Kayu batu Kayu bunga Kayu malam Kedungdung Kelampai Kelengkeng Kelukup Kembayau Keminting Kempas Kengkulung Kenjilau Keranji Keruing Ketanggang Ketatai Ketikal Kompening Kopi hutan Kubing Kulim Kumpang Laban darah Langsat Lengkuham Mayau Medang Melapi Menjalin Mentawa Meranti batu Mersawa Nyatoh Pakit Pampan Pangkilan semut Parvifolia Pasak bumi Pekawai Pelanjau Pengerawan

125 69 Petai hutan Pisang-pisang Poga Punuk Purang Rambutan hutan Rengas Reriga Resak Rukam Rupis Sampa Sawang Sedawak Semangkuk Sengkuang Simpur Sindur Sintok Surian Tapak dara Temaras Teratungan burung Torap Ubar Ulin Hutan Sebelum Penjaluran Kelerengan 0% - 15% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan Barah Bebara Belubu Belungai Bentenung Berabakan Bintangur Butun Duku Durian Emang Fallax Garung Gerunggang Glinsaray Hahanyir

126 18 Jabon Jamay Jelutung Jering Kandis Kapul Kayu batu Kedundung Kelampai Kelengkeng Kelukup Kembayau Kempas Kenajay Kenenopung Kengkayas Kepuak Keranji Keraya Keruing Ketanggang Ketatai Kompening Kubing Kumpang Kumpang arang Laban Laban darah Langsat Lengkuham Lingis Mayau Mecistoptherix Medang Melapi Menjalin Mentawa Mentawa pintau Nyatoh Pakit Parvifolia Pasak bumi Pekawai Pekobungan Pelanjau Pengerawan Petai hutan Pisang-pisang Pulai pipit Punuk

127 68 Purang Rengas Rupis Sampa Sanggau Sawang Seminis Sengkuang Serunai Sibau Sindur Sintok Tapang Tengkawang Torap Ubar Ulin Hutan Sebelum Penjaluran Kelerengan 15% - 25% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Balau Banitan Bebara Belubu Belungai Berabakan Bintangur Butat Butun Celupu Duku Emang Fallax Gambir Garung Glinsaray Hahanyir Jabon Jamay Jambu cung-cung Jelutung Jelutung Johoriensis Kapul Kayu minyak Kedundung Kelengkeng Kelukup Kembayau Kempas

128 31 Kenajay Kenenopung Kengkayas Keranji Keruing Kompening Kubing Kumpang Kumpang arang Laban Laban darah Langsat Lemak beruk Lempohung Lengkuham Limus Lingis Lungkai Mayau Mecistoptherix Medang Menjalin Mentawa Mentawa pintau Meranti batu Mersawa Nyatoh Pakit Parvifolia Pekawai Pekobungan Pelanjau Pengerawan Petai hutan Pisang-pisang Pulai Pulai putih Punuk Purang Putat Rangkung Rengas Rupis Sampa Sanggau Sawang Sedawak Semangkuk Sengkuang Sengkubak Sengon Sensibur Sibau

129 84 Sindur Sintok Tengkawang Terantang Torap Tubak abuh Ubar Ulin Hutan Sebelum Penjaluran Kelerengan 25% - 45% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan Bebara Begatal Bengkirai Benuang Berabakan Bintangur Duku Durian Garung Gerunggang Glinsaray Hahanyir Jabon Jamay Jambu cung-cung Jelutung Jering Kandis Kapul Kedundung Kelampai Kelengkeng Kelukup Kembayau Kempas Kenajay Kenenopung Kengkayas Keranji Keruing Ketatai Kompening Kubing Kumpang Kumpang arang Lengkuham Lingis Lundik 0.70

130 40 Lungkai Mayau Medang Melapi Menjalin Mentawa Mersawa Nyatoh Pakit Pansik Parvifolia Pasak bumi Pekobungan Pelanjau Pengerawan Perut keli Petai hutan Pisang-pisang Pulai Pulai pipit Purang Putat Rangkung Rengas Rengkusa Rupis Sampa Sawang Sedawak Seloban Sengkuang Sengkubak Sensibur Sibau Simpur Sindur Sintok Tajur Tapang Tengkawang Terantang Ubar Ulin Hutan Setelah Penjaluran Kelerengan 0% - 15% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan Barah Bebara Belubu Belungai Berabakan Bintangur

131 8 Butun Duku Durian Emang Fallax Garung Gerunggang Glinsaray Hahanyir Jabon Jamay Jelutung Jering Kandis Kapul Kayu batu Kedundung Kelampai Kelengkeng Kelukup Kembayau Kempas Kenajay Kenenopung Kengkayas Kepuak Keranji Keruing Ketanggang Kompening Kubing Kumpang Kumpang arang Laban Laban darah Langsat Lengkuham Lingis Mayau Mecistoptherix Medang Melapi Menjalin Mentawa Mentawa pintau Nyatoh Pakit Parvifolia Pasak bumi Pekawai Pekobungan Pelanjau Pengerawan

132 61 Petai hutan Pisang-pisang Punuk Purang Rengas Rupis Sampa Sanggau Sawang Seminis Sengkuang Serunai Sibau Sindur Sintok Tapang Torap Ubar Ulin Hutan Setelah Penjaluran Kelerengan 15% - 25% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Balau Banitan Bebara Bebara Belubu Belungai Berabakan Bintangur Butun Celupu Duku Emang Fallax Garung Glinsaray Gmelina Hahanyir Jabon Jamay Jambu cung-cung Jelutung Johoriensis Kapul Kayu minyak Kedundung Kelengkeng Kelukup Kembayau

133 29 Kempas Kenajay Kenenopung Kengkayas Keranji Keruing Kompening Kubing Kumpang Kumpang arang Laban Laban darah Langsat Lemak beruk Lengkuham Limus Lingis Lungkai Mayau Mecistoptherix Medang Menjalin Mentawa Mentawa pintau Meranti batu Mersawa Nyatoh Pakit Parvifolia Pekawai Pekobungan Pelanjau Pengerawan Petai hutan Pisang-pisang Pulai Pulai putih Punuk Purang Putat Rangkung Rengas Rupis Sampa Sanggau Sawang Sedawak Semangkuk Sengkuang Sengkubak Sengon Sensibur Sibau

134 82 Sindur Sintok Tengkawang Terantang Torap Tubak abuh Ubar Ulin Hutan Setelah Penjaluran Kelerengan 25% - 45% No Nama Jenis INP (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 Banitan Bebara Begatal Bengkirai Benuang Berabakan Bintangur Duku Durian Garung Gerunggang Glinsaray Hahanyir Jabon Jamay Jambu cung-cung Jelutung Jering Jering Kedundung Kelampai Kelengkeng Kelukup Kembayau Kempas Kenajay Kenenopung Kengkayas Keranji Keruing Ketatai Kompening Kubing Kumpang Kumpang arang Lengkuham Lingis 0.96

135 38 Lundik Lungkai Mayau Medang Melapi Menjalin Mentawa Mersawa Nyatoh Pakit Pansik Parvifolia Pasak bumi Pekobungan Pelanjau Pengerawan Perut keli Petai hutan Pisang-pisang Pulai Pulai pipit Purang Putat Rangkung Rengas Rengkusa Rupis Sampa Sawang Sedawak Seloban Sengkuang Sengkubak Sensibur Sibau Simpur Sindur Sintok Tapang Tengkawang Terantang Ubar Ulin

136 Lampiran 3. FOTO-FOTO PENELITIAN Kegiatan Pembuatan Plot Pengamatan

137 Kegiatan Analisis Vegetasi Kegiatan Penjaluran dan Jalur Tanam

138 Kegiatan Penebangan dan Penyaradan Beberapa Kerusakan Tegakan Tinggal

139 Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penebangan Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penyaradan

140

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Hujan Tropika

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Hujan Tropika II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Hujan Tropika Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohonpohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 1961 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh : PERKEMBANGAN KEADAAN TEGAKAN TINGGAL DAN RIAI' DIAMETER POHON SETELAH PEMANENAN KAYU DENGAl\' SISTEM TPTI DI AREAL HPH PT. KlANI LESTARI KALIMANTAN TIMUR Oleh : ROUP PUROBli\1 E 27.0932.IURUSAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Muhdi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropika yang

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) LAMPIRAN 2. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

Baharinawati W.Hastanti 2

Baharinawati W.Hastanti 2 Implementasi Sistem Silvikultur TPTI : Tinjauan eberadaan Pohon Inti dan ondisi Permudaannya (Studi asus di Areal IUPHH PT. Tunas Timber Lestari, Provinsi Papua) 1 Baharinawati W.Hastanti 2 BP Manokwari

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanenan Hasil Hutan Pemanenan kayu sebagai salah satu kegiatan pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengubah pohon

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu. kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu: TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hasil Hutan Conway (1982) dalam Fadhli (2005) menjelaskan bahwa pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan salah satu pusat keanekaragaman jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui dan perlu terus untuk dikaji. Di kawasan hutan terdapat komunitas tumbuhan yang

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Agar kayu dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis

Lebih terperinci

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah)

KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) KETERBUKAAN AREAL DAN KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT KEGIATAN PENEBANGAN DAN PENYARADAN (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah) ARIEF KURNIAWAN NASUTION DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) LAMPIRAN 3. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG RUMPANG (TR) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN SILVIKULTUR Metode Permudaan Metode permudaan merupakan suatu prosedur dimana suatu

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. No.24, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor :P.11/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) LAMPIRAN 4. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG HABIS PENANAMAN BUATAN (THPB) 1 PEDOMAN

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.65/Menhut-II/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.11/MENHUT-II/2009 TENTANG SISTEM SILVIKULTUR DALAM AREAL IZIN USAHA

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta sumberdaya manusia.das

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA

KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA KUANTIFIKASI KAYU SISA PENEBANGAN JATI PADA AREAL PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA PUTRI KOMALASARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT

EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT EVALUASI PERTUMBUHAN TANAMAN MERANTI PADA SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (KASUS DI KONSESI HUTAN PT. SARI BUMI KUSUMA UNIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH) IRVAN DALI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 27 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kualitas Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) 5.1.1 Kerapatan Jalan (WD) Utama dan Jalan Cabang Berdasarkan pengukuran dari peta jaringan jalan hutan PT. Inhutani I UMH Sambarata

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA

PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA PENGARUH POHON INDUK, NAUNGAN DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUREN (Toona sinensis Roem.) RIKA RUSTIKA DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Menurut Sessions (2007), pemanenan hutan merupakan serangkaian aktivitas penebangan pohon dan pemindahan kayu dari hutan ke tepi jalan untuk dimuat dan diangkut

Lebih terperinci

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. IV. METODOLOGI PENELITIAN A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Waktu penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994. B.

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU Diana Sofia 1 dan Riswan 1 Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Medan Staf Pengajar SMAN I Unggulan (Boarding

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM

DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM DAMPAK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DAN KONVENSIONAL TERHADAP KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN ALAM (Studi Kasus di Areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat) The Effect of Reduced Impact Timber

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan. TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH) RIKA MUSTIKA SARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis SISTEM SILVIKULTUR Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis Laboratorium Silvikultur &Agroforestry Jurusan Budidaya Hutan FakultasKehutanan, UGM Tebang Parsial (Seed tree dan Shelterwood method) Seedtree Shelterwood

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. A. Metode survei

II. METODOLOGI. A. Metode survei II. METODOLOGI A. Metode survei Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan di KPHP Maria Donggomassa wilayah Donggomasa menggunakan sistem plot, dengan tahapan pelaksaan sebagai berikut : 1. Stratifikasi

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT.

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT. PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT. BELAYAN RIVER TIMBER) Bogor, Mei 2018 LEGALITAS/PERIZINAN PT.

Lebih terperinci

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM

FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN ALAM Lampiran : I Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor : 51/KPTS/VI-PHP/2003 Tanggal : 28 Oktober 2003 BENTUK DAN ISI A. Bentuk FORMAT PROPOSAL TEKNIS PENAWARAN DALAM PELELANGAN IZIN USAHA

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak Pola Penyebaran dan Struktur Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan Asrianny, Arghatama Djuan Laboratorium Konservasi

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS

PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS PENGARUH JUMLAH SADAPAN TERHADAP PRODUKSI GETAH PINUS (Pinus merkusii) DENGAN METODE KOAKAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT YUDHA ASMARA ADHI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT

KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 21, No.1, Maret. 2014: 83-89 KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT (Residual Stand Damage Caused by Timber Harvesting in Natural Peat

Lebih terperinci

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT

PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT Pemadatan Tanah Akibat Penyaradan Kayu... (Muhdi, Elias, dan Syafi i Manan) PEMADATAN TANAH AKIBAT PENYARADAN KAYU DENGAN TEKNIK PEMANENAN KAYU BERDAMPAK RENDAH DI KALIMANTAN BARAT (Soil Compaction Caused

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pelaksanaan Tebang Habis Jati Kegiatan tebang habis jati di Perum Perhutani dilaksanakan setelah adanya teresan. Teresan merupakan salah satu dari beberapa rangkaian kegiatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Luas Areal Yang Terbuka 5.1.1. Luas areal yang terbuka akibat kegiatan penebangan Dari hasil pengukuran dengan menggunakan contoh pengamatan sebanyak 45 batang pohon pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara

MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara PENYARADAN KAYU DENGAN SISTEM KUDA-KUDA DI HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus di Areal HPH PT Kurnia Musi Plywood Industrial Co. Ltd, Prop. Sumatera Selatan) PENDAHULUAN MUHDI, S. Hut., M.Si Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

TEKNIK PENEBANGAN KAYU

TEKNIK PENEBANGAN KAYU TEKNIK PENEBANGAN KAYU Penebangan merupakan langkah awal dari kegiatan pemanenan kayu, meliputi tindakan yang diperlukan untuk memotong kayu dari tunggaknya secara aman dan efisien (Suparto, 1979). Tujuan

Lebih terperinci

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli KAJIAN SISTEM SILVIKULTUR DAN PERTUMBUHAN HUTAN BEKAS TEBANGAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DI SUMATERA BAGIAN UTARA 1) Oleh : Aswandi 2) dan Rusli MS Harahap 2) ABSTRAK Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di IUPHHK HA PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Propinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember

Lebih terperinci

TEKNIK PENYARADAN KAYU

TEKNIK PENYARADAN KAYU TEKNIK PENYARADAN KAYU Penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) atau ke pinggir jalan angkutan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengangkutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian Limbah Pemanenan Kayu, Faktor Eksploitasi dan Karbon Tersimpan pada Limbah Pemanenan Kayu ini dilaksanakan di IUPHHK PT. Indexim

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 PWH BAB II TINJAUAN PUSTAKA PWH adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi

Lebih terperinci

B. BIDANG PEMANFAATAN

B. BIDANG PEMANFAATAN 5 LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 145/Kpts-IV/88 Tanggal : 29 Februari 1988 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. PURUK CAHU JAYA KETENTUAN I. KETENTUAN II. TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI

PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI PENGUJIAN KUALITAS KAYU BUNDAR JATI ( Tectona grandis Linn. f) PADA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT TERSERTIFIKASI DI KABUPATEN KONAWE SELATAN, SULAWESI TENGGARA AHSAN MAULANA DEPARTEMEN HASIL HUTAN

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropika Menurut UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, hutan adalah adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Jenis Bambang Lanang Kajian Dampak Hutan Tanaman Jenis Penghasil Kayu Terhadap Biodiversitas Flora, Fauna, dan Potensi Invasif Paket Informasi Dampak

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 16 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber (DRT), Sei. Sinepis, Provinsi Riau. Waktu pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci