Unnes Journal of Public Health

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Unnes Journal of Public Health"

Transkripsi

1 UJPH 4 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health PERILAKU SEKSUAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBUTUHAN LAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI LINGKUNGAN KAMPUS (STUDI KASUS PADA MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG) Intan Zainafree Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: sexual behavior, student, services, reproductive health Abstrak Jenis penelitian ini termasuk explanatory research dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini orang, dengan minimal sample size 380 orang yang kemudian didistribusikan pada tiap-tiap fakultas secara proporsional. Sebagian besar mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD. Adapun yang perilaku seksualnya kategori berisiko PMS dan KTD adalah 12,1%. Banyak mahasiswa yang menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja adalah penting untuk diselenggarakan. Akses kebutuhan layanan kesehatan reproduksi oleh di kalangan mahasiswa dipengaruhi oleh persepsi-persepsi mereka yaitu persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD, keparahan/keseriusan akibat PMS dan KTD, manfaat layanan kesehatan reproduksi remaja, serta hambatan yang dihadapi bila mengakses layanan kesehatan reproduksi remaja di kampus. Disarankan universitas membentuk dan mengembangkan pusat layanan kesehatan reproduksi remaja di lingkungan kampus agar mahasiswa dapat akses layanan terkait kesehatan reproduksi remaja, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial yang berbasis Friendly Health Services Abstract This research is explanatory research with a quantitative approach. This study uses a cross sectional survey. The population people, with a minimum sample size 380 people who then distributed on each faculty proportionally. Most students have premarital sexual behavior is less risk of STDs and KTD. As for the category of risky sexual behavior and STDs KTD was 12.1%. Many students believed that the adolescent reproductive health services is essential to be held. Access to reproductive health care needs among students is influenced by their perceptions that the perception of vulnerability to STDs and KTD, severity / seriousness due to PMS and KTD, adolescent reproductive health care benefits, as well as the obstacles faced when accessing adolescent reproductive health services on campus. Advised universities to establish and develop adolescent reproductive health center on campus so that students can access to adolescent reproductive health related services, good information, education, treatment or psychosocial support based Friendly Health Services 2015 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, intan_zainafree@yahoo.com ISSN

2 Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa yang paling sulit untuk dilalui seorang individu. Masa ini dikatakan sebagai masa yang paling kritis bagi perkembangan pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya (BKKBN, 2003). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, jumlah remaja di Indonesia adalah jiwa atau sekitar 30,41 % dari total seluruh penduduk Indonesia (BPS, 2005). WHO mendefinisikan remaja sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan dari segi program pelayanan oleh Departemen Kesehatan, definisi remaja yang digunakan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sementara menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi), batasan usia remaja adalah 10 sampai 19 tahun (BKKBN, 2001). Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiousity). Karena didorong rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin berpetualang menjelajah segala sesuatu dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Selain didorong juga oleh keinginan menjadi seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan orang dewasa termasuk yang berkaitan dengan masalah seksualitas. Oleh karena itu, seksualitas dianggap sebagai masalah utama dalam perkembangan kehidupan remaja (Ali, 2006). Perkembangan jaman saat ini, ikut mempengaruhi perilaku seksual dalam gaya berpacaran remaja. Hal ini misalnya dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan oleh remaja pada beberapa tahun yang lalu, seperti berciuman dan bercumbu kini telah dibenarkan oleh remaja sekarang. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free sex. Perubahan terhadap nilai ini misalnya pandangan remaja tentang hubungan seks sebelum menikah. Pada era globalisasi yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini telah mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat terutama remaja. Menurut Wimpie Pangkahila, sejak lebih dari satu dekade terakhir ini, telah terjadi perubahan dalam pandangan dan perilaku seksual masyarakat, khususnya kalangan remaja di Indonesia (Purwati, 2004). Kasus mengenai perilaku seksual pada remaja dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan karena perilaku seksual remaja sekarang ini sudah melebihi batas dan cukup mengkhawatirkan terutama pada masa remaja akhir. Sekarang ini remaja cenderung bersikap permisif terhadap seks bebas. Hal ini disebabkan terbukanya peluang aktifitas pacaran yang mengarah kepada seks bebas. Sementara di masyarakat terjadi pergeseran nilai-nilai moral yang semakin jauh sehingga masalah tersebut sepertinya sudah menjadi hal biasa, padahal penyimpangan perilaku seksual merupakan sesuatu yang harus dihindari oleh setiap individu. Hasil studi kasus tentang perilaku seksual mahasiswa yang dilakukan oleh Pusat Informasi dan Pelayanan Remaja (PILAR) PKBI Jawa Tengah pada bulan Juni-Juli 2006, diketahui bahwa dari 500 responden mahasiswa di Semarang, 31 orang (6,2%) menyatakan pernah melakukan intercourse, 111 orang (22%) pernah melakukan petting (PKBI, 2006). Penelitian yang pernah dilakukan di UNNES oleh Unnes Sex Care Community (UseCC) tahun 2007 di salah satu fakultas di UNNES, dengan mengambil 97 responden, didapatkan 29 orang pernah melakukan kissing, 2 orang pernah necking, 2 orang pernah melakukan petting, 2 orang pernah intercourse, dan 57 orang melakukan pacaran di kampus. Hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) yang tercatat dalam Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 menunjukkan bahwa remaja yang setuju melakukan hubungan seks jika akan menikah mencapai 16,2%, saling mencintai sebanyak 12,0% dan suka sama suka 12,3%. Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, namun sikap 2

3 Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) permisif ini bisa menjadi faktor pendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (BPS, 2004). Fakta-fakta di atas disebabkan oleh banyak faktor, antara lain masih rendahnya pengetahuan yang dimiliki remaja mengenai seksualitas. Selain itu, meskipun banyak remaja mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan mengenai seksualitas di depan umum karena dianggap sesuatu yang tabu, akhirnya akan dapat menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap, di mana para remaja hanya mengetahui cara dalam melakukan hubungan seks tetapi tidak mengetahui dampak yang akan muncul akibat perilaku seks tersebut. Menurut PKBI, kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat perilaku tersebut dapat menyebabkan Kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang selanjutnya memicu praktik aborsi yang tidak aman, penularan PMS dan HIV/AIDS, bahkan kematian (PKBI, 2000). Data lain yang diperoleh dari PILAR PKBI Jawa Tengah, menyebutkan bahwa pada tahun 2010, telah tercatat 123 orang berkonsultasi karena kasus kehamilan tidak dinginkan (KTD). Dari jumlah tersebut, 78% di antaranya adalah kasus tersebut dialami oleh remaja yang belum menikah. Dilihat dari pendidikannya, kasus KTD tersebut 54,5% dialami oleh remaja SMA dan 11,4% remaja dalam status sebagai mahasiswa (PKBI, 2010). Sedangkan pada tahun 2011 data PILAR PKBI menyebutkan telah terdapat 146 kasus KTD yang berkonsultasi di PILAR PKBI, 73% dialami oleh remaja belum menikah. Jika dilihat dari pendidikannya, 37% dari pasien KTD tersebut adalah mahasiswa. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kasus KTD yang dialami remaja dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Demikian juga proporsi kasus KTD yang dialami oleh mahasiswa juga mengalami peningkatan. Masalah seksualitas merupakan masalah yang pelik bagi remaja, karena masa remaja merupakan masa di mana seseorang dihadapkan pada berbagai tantangan dan masalah baik itu masalah perkembangan maupun lingkungan. Tantangan dan masalah ini akan berdampak pada perilaku remaja, khususnya perilaku seksualnya. Masalah ini menjadi bahan yang menarik untuk diteliti dan dibahas, karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama serta latar belakang sosial ekonomi. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak baik orang tua, pengajar, pendidik maupun orang dewasa lainnya. Banyak fenomena tentang perilaku seksual di kalangan mahasiswa sekarang ini. Jika dikritisi masalah seks tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mahasiswa, karena seks sudah menjadi sebagian kecil kebutuhan mahasiswa dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Selain itu, jauhnya mereka dari pengawasan orangtua dan rendahnya kontrol sosial dari masyarakat setempat di mana mahasiswa tersebut bertempat tinggal, membuat mereka merasa bebas untuk bisa melakukan perilaku seks tersebut. Budaya global sekarang ini secara positif memiliki muatan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial dan kebudayaan, tetapi secara negatif juga bermuatan materi pornografi yang mempertontonkan unsur-unsur seksualitas melalui media majalah, surat kabar, tabloid, buku-buku, televisi, radio, internet, film-film dan video. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang benar sangat penting dipahami oleh remaja, agar tidak menjerumuskan mereka dalam tindakan melakukan hubungan seksual secara bebas pranikah, sehingga mengakibatkan terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), peningkatan aborsi, PMS, HIV/AIDS. Tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi, memaksa remaja mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Majalah, buku dan film pornografi dan pornoaksi memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab dan resiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga mempelajari seks dari internet. Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu 3

4 Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) kini sudah melakukan hubungan seks di usia dini, yakni tahun (BKKBN, 2004). Data PILAR PKBI Jawa Tengah, menyebutkan bahwa pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2011, telah tercatat 79 orang berkonsultasi masalah kehamilan tidak diinginkan (kehamilan pra nikah) dan 847 orang di antaranya berkonsultasi seputar kesehatan reproduksi. Di antara dari mereka adalah berusia tahun dengan tingkat pendidikan yaitu perguruan tinggi atau berstatus sebagai mahasiswa (PILAR, 2011). Data ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2010, telah tercatat 111 orang berkonsultasi karena kasus kehamilan tidak dinginkan (KTD). Dari jumlah tersebut, 78% di antaranya adalah kasus tersebut dialami oleh remaja yang belum menikah (PILAR, 2010). Data tersebut menunjukkan penurunan akses informasi kesehatan reproduksi oleh remaja sehingga yang ditakutkan adalah pencarian informasi dari sumber-sumber yang salah dan tidak bertanggungjawab semakin banyak terjadi. Penurunan akses tersebut mungkin disebabkan karena masih minimnya pusat-pusat layanan kesehatan reproduksi remaja, belum maksimalnya fasilitasi layanan serta masih rendahnya kesadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi remaja. Keadaan ini berbanding terbalik dengan kasus masalah kesehatan reproduksi remaja yang semakin hari semakin mengalami peningkatan. Ini menunjukkan informasi dan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang penting bagi remaja, tidak dibarengi dengan fasilitas layanan yang memadahi dan sesuai dengan kebutuhan remaja. Berdasarkan cut of point yang telah ditetapkan oleh WHO di atas, serta berdasarkan program pelayanan dari Departemen Kesehatan dan BKKBN, maka mahasiswa dapat dikategorikan sebagai salah satu kelompok remaja. Oleh karena itu kehidupan dan perilaku seksual mahasiswa tidak terlepas dari kehidupan remaja secara umum sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak termasuk dalam aspek layanan kesehatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan gambaran bagaimana perilaku seksual di kalangan mahasiswa serta implikasinya terhadap kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja bagi mahasiswa di lingkungan kampus Universitas Negeri Semarang. METODE Penelitian ini adalah explanatory research yang menggunakan metode survey dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Universitas Negeri Semarang usia remaja (18-24 tahun) yang berjumlah orang. Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus minimal sample size, didapatkan sampel 380 orang. Sampel tesebut kemudian didistribusikan pada tiap-tiap fakultas secara proporsional. Pengambilan sampel dilakukan secara random. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Perilaku Seksual Berisiko pada Mahasiswa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD. Adapun yang perilaku seksualnya kategori berisiko PMS dan KTD adalah 12,1%. Perilaku berisiko ini pada awalnya ditandai dengan pernahnya melakukan aktivitas seksual berupa kissing, necking dan petting dan pada akhirnya perilaku-perilaku tersebut mendorong terjadinya perilaku seksual berisiko PMS dan KTD yaitu dengan melakukan intercourse. Perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja khususnya mahasiswa adalah dikarenakan masa remaja adalah masa yang penuh gejolak dan mengalami perubahanperubahan baik fisik, emosi maupun sosial. Dalam masa ini mahasiswa memasuki masa peralihan dari masa remaja akhir menjadi dewasa muda. Salah satu perubahan terpenting 4

5 Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) dengan matangnya alat kelamin sekunder tadi mereka tertarik kepada lawan jenisnya. Kenikmatan tentang cinta dan seks yang ditawarkan oleh berbagai informasi, baik berupa majalah, film, internet yang mengakibatkan fantasi-fantasi seks mereka berkembang dengan cepat, dan bagi mereka yang tidak dibekali dengan nilai moral dan agama yang kukuh, fantasi-fantasi seks tersebut ingin disalurkan dan dibuktikan melalui perilaku seks bebas maupun perilaku seks pranikah saat mereka pacaran (Thornburg, 1982). 2. Kebutuhan Akses Layanan Kesehatan Reproduksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja adalah penting. Keterbatasan akses dan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja di Indonesia bisa dipahami karena masyarakat umumnya masih menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan tidak untuk dibicarakan secara terbuka. Secara umum, meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden adalah memiliki perilaku seksual yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD yang artinya sebagian besar mahasiswa masih bersikap tidak permisive terhadap perilaku seksual pranikah, ternyata justru mereka tersebut menyatakan bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja dinilai penting untuk diberikan di lingkungan mahasiswa. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah remaja mahasiswa tersebut tidak terjerumus dan mencari informasi-informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, dari penelitian ini juga diketahui bahwa mahasiswa yang memiliki perilaku berisiko cenderung menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja tidak penting karena mahasiswa bisa mengakses informasi secara bebas melalui media massa maupun internet. Selain itu, mahasiswa juga menganggap masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal inilah yang justru menyebabkan makin rumitnya permasalahan yang dihadapi oleh remaja karena tidak terdapat penanganan terhadap masalah tersebut. Perilaku seksual adalah hal yang sangat sensitif, sehingga tidak jarang mereka menutup-menutupinya meskipun itu bermasalah. Minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh terbatasnya akses informasi dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah terhadap remaja, belum adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah, serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja secara khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja merupakan kumpulan permasalahan yang sampai saat ini masih dihadapi oleh remaja (Depkes, 2003). Regulasi perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin kesulitan secara terbuka mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan reproduksi. Undang-Undang masih membatasi dan menyebutkan melarang pemberian informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah. Hal itu telah membatasi ruang pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan pada remaja mengenai seksualitas (Depkes, 2003). Selain itu, budaya telah menyebabkan remaja tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Ketika itu terjadi, akhirnya jalan lain yang berdampak negatif terhadap perkembangan remaja di pilih dan yang terjadi akhirnya banyak remaja yang memuaskan rasa keingintahuannya melalui berbagai macam sumber informasi mengenai seksualitas media massa dan internet (WHO, 2002). 3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kebutuhan Layanan Kesehatan Reproduksi Remaja bagi Mahasiswa di Lingkungan Kampus a. Persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD 5

6 Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Responden yang memiliki persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD yang tinggi, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi kerentanannya rendah. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p value = 0,000 (<0,05) Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982), yang menyatakan bahwa seseorang memiliki perceived susceptibility (kerentanan terhadap suatu masalah). Artinya persepsi individu tentang kemungkinan terjadinya suatu penyakit akan mempengaruhi perilaku mereka khususnya untuk melakukan pencegahan atau mencari pengobatan. b. Persepsi keparahan yang mungkin ditimbulkan akibat PMS dan KTD Responden yang memiliki persepsi keparahan terhadap PMS dan KTD yang tinggi, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi keparahannya rendah. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi keparahan terhadap PMS dan KTD dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p value = 0,000 (<0,05). Hasil penelitian ini sesuai denga teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982). Dalam teori ini dijelaskan bahwa dalam melakukan tindakan dalam mencegah terjadinya suatu penyakit maupun mencari pengobatan dipengaruhi oleh perceived severity yaitu persepsi keparahan yang mungkin dirasakan bila menderita suatu penyakit. c. Persepsi tentang manfaat layanan kesehatan reproduksi Responden yang memiliki persepsi manfaat layanan kespro yang tinggi, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi manfaatnya rendah. Sebaliknya, mereka yang persepsinya rendah banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang tidak penting. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi keparahan terhadap PMS dan KTD dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p value = 0,000 (<0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dan dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya. Ini sesuai dengan teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982) yang menyatakan dalam melakukan suatu tindakan pencegahan maupun pengobatan penyakit akan dipengaruhi oleh perceived benefit (persepsi tentang manfaat bila melakukan tindakan). d. Persepsi tentang hambatan VCT Responden yang memiliki persepsi hambatan rendah, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi hambatannya tinngi. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi hambatan dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p value = 0,007 (<0,05). Hasil penelitian ini sesuai denga teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982) yang menyatakan bahwa dalam melakukan tindakan pencegahan maupun pengobatan HIV/AIDS dipengaruhi oleh perceived cost yaitu merupakan persepsi terhadap biaya/aspek negatif yang 6

7 Intan Zainafree / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan termasuk dalam akses kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja oleh mahasiswa. Misalnya mahal, bahaya, pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit, harus menyediakan waktu, tempat jauh, rasa takut dan malu dengan bila permasalahan kesehatan reproduksinya diketahui petugas kesehatan/orang lain, dan lain-lain. SIMPULAN Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Sebagian besar mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD. Adapun yang perilaku seksualnya kategori berisiko PMS dan KTD adalah 12,1%. Perilaku berisiko ini pada awalnya ditandai dengan pernahnya melakukan aktivitas seksual berupa kissing, necking dan petting dan pada akhirnya perilaku-perilaku tersebut mendorong terjadinya perilaku seksual berisiko PMS dan KTD yaitu dengan melakukan intercourse. 2) Banyak mahasiswa yang menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja adalah penting untuk diselenggarakan. 3) Akses kebutuhan layanan kesehatan reproduksi oleh di kalangan mahasiswa dipengaruhi oleh persepsi-persepsi mereka yaitu persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD, keparahan/keseriusan akibat PMS dan KTD, manfaat layanan kesehatan reproduksi remaja, serta hambatan yang dihadapi bila mengakses layanan kesehatan reproduksi remaja di kampus. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad & Asrori, Mohammad Psikologi Remaja. Bandung. Bumi Aksara. BKKBN dan Yayasan Mitra Inti Tanya Jawab Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta. BKKBN dan Yayasan Mitra Inti. BKKBN Propinsi Jawa Tengah Membantu Remaja Memahami Dirinya. Semarang. BKKBN Propinsi Jawa Tengah. BPS Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia. Jakarta. BPS. BPS Sensus Penduduk Jakarta. BPS. Depkes Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Jakarta: Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. PKBI Remaja, Kesehatan Reproduksi, Resiko Reproduksi dan Perkembangan Seksualitas. Jakarta. PKBI. PKBI Jawa Tengah Info Kasus PILAR. Semarang : PKBI Jawa Tengah. PKBI Jawa Tengah Info Kasus PILAR. Semarang : PKBI Jawa Tengah. Purwati, Endang dkk. Studi Perbandingan Sikap dan Tindakan Remaja Terhadap Seksualitas Pada Siswa SMU Negeri 2 Makasar Dengan Siswa SMU Kartika VII-I Makasar Tahun Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Nomor 1, Volume 1, Tahun Rosenstock Historical Origins of the Health Belief Model. In : Becker, Marshall H. Eds. The Health Belief Model and Personal Health Behavior. Charles B. Slack Inc, Thorofare, New Jersey. Thornburg D.H. Development in Adolescence. Second Edition. California: Brook Cole Publishing Co WHO Adolescent Friendly Health Services. Geneva: WHO BKKBN dan Yayasan Mitra Inti Tanya Jawab Kesehatan Reproduksi Remaja bagi petugas KB. Jakarta. Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi. 7

8 UJPH 4 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health HIGIENE DAN SANITASI SERTA KUALITAS BAKTERIOLOGIS DAMIU DI SEKITAR UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Suci Wulandari, Arum Siwiendrayanti, Anik Setyo Wahyuningsih Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: bacteriological; depot; hygiene; sanitation Abstrak Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran terhadap higiene penjamah, kondisi fisik depot, kondisi peralatan depot, kualitas bakteriologis air minum isi ulang, dan peran serta puskesmas. Jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Populasinya depot di sekitar Universitas Negeri Semarang. Sampel berjumlah 12 depot. Instrumen menggunakan kuesioner, panduan wawancara, dan check list. Teknik pengambilan datanya observasi, wawancara dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan kondisi fisik memenuhi syarat 8 depot (66,7%), tidak memenuhi syarat 4 depot (33,3%), kondisi peralatan memenuhi syarat 11 depot (91,7%), tidak memenuhi syarat 1 depot (8,3%), higiene penjamah baik 1 responden (8,3%), higiene penjamah buruk 11 responden (91,7%), kualitas bakteriologis memenuhi syarat sebanyak 10 depot (83,3%), tidak memenuhi syarat 2 depot (16,7%), puskesmas belum pernah mengadakan pelatihan higiene penjamah, namun mengadakan inspeksi setiap tahun dengan sistem sampel. Saran untuk pemilik depot sebaiknya memeriksakan kualitas air secara berkala. Pemilik diharapkan menyediakan pakaian kerja dan memeriksakan kesehatan karyawan secara berkala. Bagi Puskesmas diharapkan meningkatkan pembinaan terhadap produsen depot. Abstract The purpose of study was to describe the handler hygiene, depot physical conditions, depot equipment conditions, the bacteriological quality of refill drinking water, and the role of the health centers. This study used descriptive quantitative methods. The population was depot around Semarang State University. The sample was 12 depots. The instrument used questionnaire, interview, and check list. The data were gathered using interview technique observation, documentation. The results showed physical condition qualifies 8 depots (66.7%), were not eligible 4 depots (33.3%), equipment condition qualifies 11 depots (91.7%), were not eligible 1 depot (8.3 %), good hygiene handlers 1 respondent (8.3%), poor hygiene handlers 11 respondents (91.7%), eligible bacteriological quality was 10 depot (83.3%), were not eligible 2 depots (16.7%), health centers has never been on training hygiene handlers, but doing inspection every year with a sample system. Suggestions for depot owners is periodically check the water quality. The owner is expected to provide work clothes and checked employee health periodically. For health centers expected to improve supervision of depot producer Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, suciwulandari12.sw@gmail.com ISSN

9 Suci Wulandari / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN Air merupakan sumber daya mutlak yang harus ada bagi kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan air dalam tubuh organisme. Tubuh manusia kurang lebih 70% terdiri atas air, karena air merupakan pelarut universal (Soemirat J, 2011:96). Tubuh manusia sebagian terdiri dari air, menurut penelitian kira-kira 60-70% dari berat badannya. Untuk kelangsungan hidupnya, tubuh manusia membutuhkan air yang jumlahnya antara lain tergantung berat badan. Untuk orang dewasa kira-kira memerlukan air gram setiap hari (Asmadi dkk, 2011:7). Air merupakan sumber daya yang terbatas, konsumsi air telah meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan kita gagal mencegah terjadinya penurunan mutu air. Dewasa ini 1,8 milyar penduduk dunia tidak mempunyai akses ke air bersih (Asmadi dkk, 2011:4). Pada skala nasional ketersediaan air bersih, hingga kini baru mencapai sekitar 60%. Artinya masih ada 40% atau sekitar 90 jutaan rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan untuk kehidupan sehari-hari (Asmadi dkk, 2011:4). Perusahaan penyedia air bersih PAM (Perusahaan Air Minum) atau PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) hanya mampu memasok kebutuhan di kota-kota saja dengan kuantitas yang juga masih kecil. Akibatnya, sebagian besar masyarakat yang tidak terjangkau oleh pelayanan air bersih umumnya menggunakan air tanah atau air permukaan untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Data persentase keluarga berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang memiliki akses air bersih di Jawa Tengah tahun 2008 menunjukkan bahwa masyarakat paling banyak memanfaatkan sumur gali sebagai sumber air bersih (52,33%), disamping memanfaatkan ledeng, SPT, PAH, air kemasan, dan sumber. Untuk memenuhi kebutuhan air minum saat ini masyarakat banyak mengkonsumsi air minum isi ulang yang tersedia di depot-depot air minum isi ulang. Depot air minum adalah badan usaha yang mengelola air minum untuk keperluan masyarakat dalam bentuk curah dan tidak dikemas. Berdasarkan hasil penelitian Athena dkk (2004) menyatakan bahwa dari 38 DAM di daerah Jakarta, Tangerang dan Bekasi yang diteliti ternyata terdapat 28,9% sampel air minum isi ulang yang tercemar oleh bakteri Coliform dan 18,4% tercemar oleh E. coli. Selain itu, pada penelitian Rido dkk (2012) menyatakan lima dari sembilan sampel mengandung bakteri Coliform dan tiga dari lima sampel tersebut juga mengandung E. coli. Hal ini menunjukkan bahwa 55,6% depot air minum di Kecamatan Bungus menghasilkan air minum yang kualitasnya tidak memenuhi persyaratan mikrobiologi yang telah ditetapkan pemerintah. Kualitas air produksi Depot Air Minum akhirakhir ini ditengarai semakin menurun, dengan permasalahan secara umum antara lain pada peralatan DAM yang tidak dilengkapi alat sterilisasi, atau mempunyai daya bunuh rendah terhadap bakteri, atau pengusaha belum mengetahui peralatan DAM yang baik dan cara pemeliharaannnya. Diare adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri golongan coliform, hal ini disebabkan oleh sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang kotor (Badan POM RI, 2003:6). WHO (2005: 2) melaporkan bahwa sekitar 70% kasus diare yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh kontaminasi. Kontaminasi silang dapat disebabkan penggunaan air, sarana, wadah, alat pengolahan yang tercemar, serta penjamah yang tidak menjaga kebersihan diri (Hariyadi P dan Ratih DH, 2009:25). Dari data yang diperoleh Dinas Kesehatan Kota Semarang dapat dilihat bahwa kejadian diare pada tahun 2007 terdapat penderita diare, tahun 2008 terdapat penderita diare, tahun 2009 terdapat penderita diare, tahun 2010 terdapat penderita diare dan tahun 2011 terdapat penderita diare. 9

10 Suci Wulandari / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Universitas Negeri Semarang berada pada wilayah kerja Puskesmas Sekaran. Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas Sekaran dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 terdapat 283 kasus diare. Dari data kunjungan pasien di Pusat Layanan Kesehatan UNNES dari bulan Agustus 2012 sampai Juli 2013 diketahui bahwa terdapat 214 pasien yang terkena penyakit diare. Mahasiswa dan masyarakat di sekitar Universitas Negeri Semarang saat ini sebagian besar menggunakan air minum isi ulang untuk dikonsumsi, ini dikarenakan air tidak perlu dimasak, harganya murah, tidak perlu membeli langsung ke depot karena ada layanan antar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui higiene dan sanitasi serta kualitas Bakteriologis pada depot air minum isi ulang di sekitar Universitas Negeri Semarang. METODE Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif mengenai fenomena yang ditemukan baik yang berupa faktor maupun efek atau hasil. Dengan demikian akan terlihat gambaran higiene dan sanitasi depot dan juga kualitas bakteriologis secara keseluruhan pada 12 depot yang ada di sekitar Universitas Negeri Semarang. Populasi pada penelitian adalah seluruh depot air minum isi ulang mineral di sekitar Universitas Negeri Semarang sebanyak 12 depot. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah total populasi yaitu 12 depot air minum isi ulang. Di dalam penelitian ini responden terbagi 3 yaitu pemilik depot, karyawan depot dan juga petugas puskesmas. Sumber data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengumpulan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang di cari (Azwar S, 2012:91). Data mengenai higiene penjamah dan sanitasi depot diperoleh dari observasi dan wawancara langsung kepada responden. Sedangkan data mengenai keberadaan bakteri E. coli dan Coliform yang diketahui dengan menggunakan pemeriksaan uji laboratorium. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitian (Azwar S, 2012:91). Pada penelitian ini data sekunder diperoleh dari puskesmas, pusat layanan kesehatan Universitas negeri Semarang, dan jurnal-jurnal penelitian yang mendukung. Teknik pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi, sedangkan instrumen yang digunakan yaitu panduan wawancara, kuesioner, check list. Langkah pengolahan data pada penelitian adalah editing, coding, dan entry. Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis univariat. Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dengan menggunakan distribusi frekuensi untuk mengetahui gambaran terhadap variabel yang diteliti, yang disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di sekitar Universitas Negeri Semarang yang berada di kelurahan Sekaran kecamatan Gunungpati. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 7 hari dimulai pada hari Selasa 26 November 2013 sampai dengan 3 Desember Penelitian lebih banyak dilakukan pada pagi hari, hal ini dikarenakan pada pagi hari karyawan depot belum terlalu banyak pekerjaan. Responden dalam penelitian ini adalah pemilik dan juga karyawan di 12 depot yang ada disekitar Universitas Negeri Semarang. Namun ada beberapa depot yang tidak memiliki karyawan sehingga yang menjalankan usaha adalah pemilik sendiri. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan check list. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik depot, kondisi peralatan, kondisi personal higiene penjamah dan juga bagaimana kondisi higiene dan sanitasi depot. 10

11 Suci Wulandari / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Untuk pengambilan sampel air minum isi ulang dilakukan pada tanggal 3 Desember 2013 pada pagi hari dan langsung diserahkan kepada petugas Balai Laboratorium Kesehatan untuk dilakukan pengujian bakteri coliform dan bakteri e.coli. Selain itu peneliti juga mewawancarai petugas puskesmas Sekaran untuk mengetahui peran serta puskesmas terhadap depot air minum isi ulang. Hal ini dikarenakan puskesmas merupakan salah bagian dari dinas kesehatan, yang bertanggung jawab dalam hal inpeksi sanitasi depot air minum isi ulang. Penelitian ini membahas higiene dan sanitasi depot serta bakteriologis air minum isi ulang. Sanitasi terbagi 2 yaitu kondisi fisik dan kondisi peralatan depot. Sedangkan untuk bakteriologis membahas bakteri coliform dan E. coli. selain itu juga melihat peran serta puskesmas terhadap depot air minum isi ulang. Karakteristik pemilik dan karyawan depot menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%) Pemilik Tamat SD 1 8,3 Tamat SMP 3 25,0 Tamat SMA 5 41,7 Perguruan 3 25,0 Tinggi Total Karyawan Tamat SD 2 16,7 Tamat SMP 2 16,7 Tamat SMA 8 66,7 Total Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan pada setiap variabel penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari setiap karakteristik yang diteliti. Berdasarkan hasil observasi, diperoleh hasil sebagai berikut: Karakteristik Frekuensi Persentase Kondisi Fisik Depot Memenuhi syarat 8 66,7 Tidak memenuhi 4 33,3 syarat Total Kondisi Peralatan Depot Memenuhi syarat 11 91,7 Tidak memenuhi 1 8,3 syarat Total Kondisi Higiene Penjamah Baik 1 8,3 Buruk 11 91,7 Total Keberadaan Coliform Negatif 10 83,3 Positif 2 16,7 Total Keberadaan E. Coli Negatif Positif 0 0 Total Kondisi Fisik Depot Kondisi fisik dilihat dari keadaan fisik depot mulai dari pintu, dinding, lantai, langitlangit, ventilasi dan juga dilihat dari keadaan sekitar depot seperti halaman depot. Selain itu juga dillihat fasilitas yang ada didepot, seperti tempat penyimpanan, ruang tunggu dan tempat sampah. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap 12 depot air minum isi ulang di sekitar Universitas Negeri Semarang, terdapat 8 depot (66,7%) memenuhi syarat dan 4 depot (33,3%) tidak memenuhi syarat. Hal ini dikarenakan lantai depot yang becek dan tidak rata, pintu depot tidak dapat mencegah masuknya serangga dan tikus, tidak terdapat Tabel 2. Analisis Univariat 11

12 Suci Wulandari / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) ventilasi, tidak ada langit-langit, tidak ada ruang khusus untuk pengolahan,penyimpanan dan penyediaan tidak terdapat sekat, tidak terdapat tempat sampah yang ada tutupnya. Kondisi fisik depot pada dasarnya telah diatur dalam Keputusan Menteri dan Perdagangan RI nomor 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan Teknis Depot Air Minum dan Perdagangannya. Dari hasil observasi pada depot-depot dapat diketahui bahwa lantai depot becek yang bisa menjadikan lantai menjadi licin. Harusnya lantai selalu dibersihkan, karena dalam keadaan becek dan licin dapat beresiko menimbulkan kecelakaan kerja. Pada beberapa depot terdapat dinding yang kotor karena tidak terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan. Bahan yang mudah dibersihkan yaitu bahan yang licin sehingga mudah dibersihkan seperti keramik sehingga tidak menyerap air. Apabila jenis dinding susah dibersihkan dapat mengakibatkan timbulnya lumut. Pada beberapa depot juga tidak memiliki langit-langit. Bagian atas depot langsung ditutupi atap, sehingga bagian atas akan sulit dibersihkan dan akan menyebabkan timbulnya debu (Kepmenperindag RI No: 651/MPP/Kep/10/2004). Untuk meminimalkan bau, gas atau uap berbahaya dalam ruang proses produksi diperlukan adanya ventiliasi. Pengecekan terhadap ventiliasi harus rutin dilakukan agar tidak terdapat debu dan selalu bersih. Namun hampir semua depot tidak mempunyai ventilasi dan hanya mengandalkan pintu untuk keluar masuknya udara (Kepmenperindag RI No: 651/MPP/Kep/10/2004). Pada semua depot yang diobservasi, tidak ada yang memiliki ruang khusus pengolahan air minum ini dikarenakan pengusaha depot hanya menyediakan ruangan yang cukup kecil sebagai tempat pengolahan air. Semua proses dilakukan didalam satu tempat, pengisian air baku, pembilasan botol, pengisian galon, hingga penyimpanan air minum. Dan tidak hanya itu, selain menyimpan air minum ada juga depot yang menyimpan tabung gas elpiji ditempat yang sama. Hal ini dapat menyebabkan kontaminasi terhadap air minum. Kondisi Peralatan Depot Kondisi peralatan depot menggambarkan bagaimana keadaan fisik dan perawatan pada peralatan yang digunakan. Dimulai dari tandon, filter yang digunakan dan juga desinfektan yang dipakai di depot. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kondisi peralatan depot sudah baik. Namun dalam penggunaannya belum dimaksimalkan. Masih ada depot yang menyalakan lampu ultraviolet hanya saat pengisian galon. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa terdapat 11 depot (91,7%) memenuhi syarat dan 1 depot (8,3%) tidak memenuhi syarat kondisi peralatan depot yang baik. Hal ini menggambarkan bahwa depot air minum yang ada disekitar Universitas Negeri Semarang sudah memiliki peralatan yang sesuai dengan yang ditentukan. Peralatan yang digunakan sudah berasal dari bahan yang food grade, yaitu bahan yang tara pangan seperti stainless steel dan polyvinyl carbonat (Kepmenperindag RI No: 651/MPP/Kep/10/2004). Perawatan pada peralatan depot masih kurang, seperti mengganti filter, mengganti ozon dan UV. Dari wawancara diketahui bahwa filter yang digunakan oleh pengusaha depot tidak ada waktu tertentu untuk menggantinya. Filter harus diganti minimal 3 bulan sekali. Namun apabila sebelum 3 bulan kualitas air yang dihasilkan sudah tidak bagus harus segera diganti. Dalam penggunaan alat desinfeksi seperti lampu ultraviolet, masih ada depot yang hanya menghidupkan lampu pada saat pengisian. Seharusnya lampu ultraviolet tersebut dinyalakan saat depot mulai beroperasi sampai tutup, baru setelah itu dimatikan (Kepmenperindag RI No: 651/MPP/Kep/10/2004). Semua depot yang diobservasi memiliki tempat untuk pencucian galon. Namun dalam prakteknya, mereka sering tidak mencuci galon. Apabila mereka tidak melihat adanya lumut didalam galon, maka mereka hanya membilas dan tidak mencuci galon tersebut secara benar. 12

13 Suci Wulandari / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Hal ini dapat menimbulkan kontaminasi terhadap air yang akan dimasukkan kedalam galon. Sandra C dan Lilis S (2007: 120) mengatakan bahwa kemasan air minum isi ulang seharusnya tidak terkontaminasi. Pasalnya kemasan yang terkontaminasi menjadi media berbagai kuman yang menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit diare, tifus, hepatitis A dan polio. Oleh karena itu seharusnya para karyawan depot mencuci semua galon sebelum diisi air minum isi ulang. Kondisi Higiene Penjamah Kondisi higiene penjamah ini meliputi semua hal yang digunakan dan dilakukan oleh karyawan. Dimulai dari kebersihan seragam, penggunaan tutup kepala, penggunaan celemek, penggunaan penutup mulut hingga kuku yang bersih. Selain itu juga dilihat perilaku karyawan seperti mencuci tangan, tidak meludah sembarangan, mengobrol, tidak makan dan minum, tidak merokok, dan tidak menggaruk selama kerja. Dari penelitian diketahui bahwa semua karyawan yang ada didepot sekitar Universitas Negeri Semarang tidak pernah memeriksakan kesehatan secara berkala (6 bulan sekali). Sesuai dengan Pedoman dan Pengawasan Higiene dan sanitasi depot air minum isi ulang, pengusaha depot harus memeriksakan kesehatan karyawannya minimal 6 bulan sekali. Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada air minum yang diproduksi apabila karyawan mengidap penyakit yang dapat ditularkan melalui udara atau droplet, misalnya penyakit TBC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 1 responden yang menggunakan seragam kerja dan 11 responden lainnya tidak menggunakan seragam. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fathonah S (2005:11) bahwa pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan higiene pengolahan karena tidak terdapat debu atau kotoran melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pencemaran. Sebaiknya pemilik depot menyediakan seragam kerja untuk karyawannya, sehingga dapat mengurangi resiko kontaminasi. Hampir semua karyawan tidak berbicara saat bekerja, karena mereka hanya bekerja sendiri di depot. Namun, ada juga karyawan yang berbicara saat ada pelanggan yang datang, mereka tidak menghentikan pekerjaannya terlebih dahulu. Berbicara pada saat bekerja berpotensi untuk terjadinya kontaminasi kuman yang berasal dari droplet karyawan. Berdasarkan penelitian Fatmawati S (2013:36) diketahui bahwa mulut merupakan salah satu tempat bersarangnya bakteri, untuk itu sebaiknya menggunakan masker dan tidak banyak berbicara saat pengolahan agar tidak ada penyebaran bakteri dari mulut. Dari penelitian dilapangan masih ada yang memiliki kuku yang panjang dan tidak bersih pada saat melakukan pekerjaan, hal ini dapat menyebabkan perpindahan bakteri dari tangan ke air minum. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Hartono B dan Dewi S (2003:27) yang menyatakan bahwa 36% memiliki kuku kotor. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fathonah S (2005:15) kuku tangan sering menjadi sumber kontaminasi atau mengakibatkan kontaminasi silang. Sebagian besar karyawan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum melakukan pekerjaan sehingga dapat menimbulkan kontaminasi. Purnawijayanti H (2001:41) mengemukakan bahwa tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feces, atau sumber lain ke makanan/minuman. Oleh karena itu pencucian tangan merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pekerja yang terlibat dalam penanganan. Pencucian tangan dengan sabun diikuti dengan pembilasan akan menghilangkan mikroba yang terdapat pada tangan. Untuk bisa selalu mencuci tangan perlu disediakan fasilitas tempat mencuci tangan, sehingga karyawan dapat mencuci tangan sebelum bekerja. Keberadaan Bakteri Coliform dan E. Coli 13

14 Suci Wulandari / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Laboratorium Dinas Kesehatan Daerah Semarang dari 12 sampel depot air minum isi ulang diperoleh hasil bahwa sebagian besar air minum isi ulang di sekitar Universitas Negeri Semarang memiliki kualitas bakteriologis yang bagus, karena 10 depot (83,3%) tidak terdapat bakteri coliform didalamnya dan hanya ada 2 depot (16,7%) yang didalam airnya terdapat bakteri coliform. Dan dari uji laboratorium juga diketahui bahwa semua air minum isi ulang di depot tidak terdapat bakteri E. coli. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010 diketahui bahwa air minum yang memenuhi syarat yaitu air minum yang total Coliform dan E.colinya 0/100 ml sampel air. Pada penelitian ini terdapat 10 depot (83,3%) yang air minum isi ulangnya memenuhi persyaratan secara bakteriologis. Coliform mencakup organisme yang dapat bertahan dan bekembang dalam air. Dengan demikian coliform dapat digunakan sebagai indikator keefektifan pengolahan dan untuk mengkaji kebersihan dan integritas distribusi serta keberadaan potensial biofilm. Oleh karena itu, adanya bakteri coliform di dalam makanan atau minuman menunjukkan adanya mikroorganisme patogen. Keberadaannya dalam jumlah tinggi adanya kemungkinan pertumbuhan dari salmonella, shigella dan staphylococcus (Badan POM RI, 2008:3). Eshecericia coli merupakan bakteri yang paling banyak digunakan untuk indikator sanitasi karena bakteri ini adalah bakteri komensial pada usus manusia. Keberadaan E.coli dalam air dianggap memiliki korelasi tinggi dengan ditemukannya pathogen pada pangan (Badan POM RI, 2008:3). Penyebaran bakteri ini adalah dari manusia ke manusia lain. Bakteri ini disebarkan oleh lalat, melalui tangan yang kotor, makanan yang terkontaminasi tinja. Keberadaan bakteri coliform di dalam air minum isi ulang dapat disebabkan oleh keadaan depot yang tidak bersih. Dinding depot yang kotor, lantai depot yang kotor dan terdapat genangan air. Karyawan depot juga tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum bekerja. Hal lain yang dapat menyebabkan adanya bakteri adalah penggunaan sinar UV yang dihidupkan pada saat air hendak diisikan kedalam galon. Hal ini menyebabkan keefektifan sinar UV untuk membunuh kuman berkurang. Peran Serta Puskesmas Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada petugas puskesmas Sekaran diketahui bahwa sampai saat ini pihak puskesmas belum pernah mengadakan penyuluhan maupun pelatihan mengenai higiene penjamah dan sanitasi depot air minum, baik kepada pemilik maupun karyawan depot yang ada di sekitar Universitas Negeri Semarang. Puskesmas Sekaran setiap tahunnya mempunyai program untuk menginspeksi depot air minum isi ulang. Program ini berdasarkan program dari dinas kesehatan kota Semarang. Namun inspeksi tidak dilakukan terhadap semua depot karena menggunakan sistem sampel. Hasil inspeksi langsung diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kota Semarang dan hasil tersebut tidak disampaikan kepada pemilik depot yang telah diinspeksi. Sehingga menyebabkan pemilik depot tidak mengetahui hasil higiene dan sanitasi sudah memenuhi syarat atau belum. Pihak puskesmas diharapkan untuk menyampaikan hasil yang telah didapat kepada pemilik depot dan juga diharapkan bisa memberikan pembinaan kepada depot yang hasilnya belum memenuhi syarat, sehingga nantinya depot tersebut dapat menjadi lebih baik. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian dapat hasil penelitian terhadap higiene dan sanitasi serta bakteriologis depot air minum isi ulang, dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan kurangnya sanitasi adalah karena lantai depot yang becek dan tidak rata, pintu depot tidak dapat mencegah masuknya serangga dan tikus, 14

15 Suci Wulandari / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) tidak terdapat ventilasi, tidak ada langit-langit, tidak ada ruang khusus untuk pengolahan, tidak terdapat tempat sampah yang ada tutupnya, penggantian peralatan tidak berkala, penggunaan lampu UV tidak sesuai aturan. Sedangkan yang menyebabkan higiene belum memenuhi syarat adalah karyawan tidak menggunakan seragam kerja, tidak mencuci tangan sebelum bekerja, tidak memeriksakan kesehatan secara berkala. Namun, dari uji bakteriologis hanya 2 depot yang airnya terdapat bakteri coliform, dan tidak ada depot yang terdapat bakteri e.coli. Bagi pemilik sebaiknya memasang hasil pemeriksaan tentang kualitas air minum maupun kualitas air baku dari laboratorium Dinas Kesehatan pada depot agar memberikan informasi kepada konsumen. Pemilik diharapkan memeriksakan secara berkala air baku maupun produk air minum isi ulang yang dihasilkan di laboratorium Dinas Kesehatan. Selain itu pemilik depot juga diharapkan menyediakan pakaian kerja yang bersih bagi karyawan serta memeriksakan kesehatan karyawan secara berkala. Bagi Puskesmas lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap produsen depot air minum isi ulang. Dan juga melakukan inspeksi sanitasi secara berkala terhadap depot air minum isi ulang. Hasil inspeksi yang telah didapatkan disampaikan kepada pemilik depot. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Bapak Dr. H. Harry Pramono, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Ibu Dr. dr. Oktio Woro KH, M.Kes, Dosen Pembimbing I Ibu Arum Siwiendrayanti S.KM,M.kes, Dosen Pembimbing II Ibu dr. Anik Setyo Wahyuningsih, Dosen Penguji Skripsi Bapak Eram Tunggul P S.KM,M.Kes, Keluarga, serta Teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Asmadi dkk, 2011, Teknologi Pengolahan Air Minum, Gosyen Publishing, Yogyakarta. Athena dkk, Kandungan bakteri total coli dan eschericia coli/ Fecal coli air minum dari depot air minum isi ulang di Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Volume 32, No. 3, 2004, hlm Azwar, S, 2012, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Balai Pengawas Obat dan Makanan, 2003, Higiene dan Sanitasi Pengolahan Pangan, , 2008, Pengujian Mikrobiologi Pangan, InfoPOM Vol.9 No.2 Maret 2008, diakses tanggal 12 September 2013, ( nya/buletin%20info%20pom/0208.pdf) Sandra, C dan Lilis S, Hubungan Pengetahuan dan Kebiasaan Konsumen Air Minum Isi Ulang dengan Penyakit Diare, Volume 3, No. 2, 2007, hlm Fathonah, S, 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan, Unnes Press, Semarang. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI no 651/MPP/Kep/10/2004, diakses tanggal 11 September 2013 ( s/files/regulations/f kepmen651mp-204.pdf) Purnawijayanti, H, 2001, Sanitasi, Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan, Kanisius, Yogyakarta. Hariyadi, P dan Ratih DH, 2009, Petunjuk Sederhana Memproduksi Pangan yang Aman, Dian Rakyat, Jakarta. Soemirat, J, 2011, Kesehatan Lingkungan, Gajahmada University, Yogyakarta. 15

16 UJPH 4 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN PADA PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGMUNDU KOTA SEMARANG Qorry Putri Rasajati, Bambang Budi Raharjo, Dina Nur Anggraini Ningrum Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: Hypertension; Treatment Adherenc; Health Center Kedungmundu Abstrak Hipertensi di Puskesmas Kedungmundu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 dari penderita hipertensi yang patuh melakukan pengobatan 33% dan yang tidak patuh 67%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan pada penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 90 responden yang diambil dengan teknik accidental sampling. Analisis data menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan hipertensi adalah status pekerjaan (p value=0,035), jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan (p value=0014), tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi (p value=0,000), motivasi untuk berobat (p value=0,000), dan dukungan keluarga (p value=0,000). Variabel yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (p value=0,444), tingkat pendidikan (p value=0,232), pendapatan keluarga (p value=1,000). Saran bagi Puskesmas untuk meningkatkan program pengobatan hipertensi. Bagi peneliti lain untuk menambah faktor lain yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan hipertensi. Abstract Hypertension at Kedungmundu Puskesmas was ascending from year to year. In 2013, of 1,179 hypertensive patients adherent to treatment 33% and 67% were non-adherent. The purpose of this study is to determine the factors associated with medication adherence in hypertensive patients in Puskesmas Kedungmundu Semarang. This is a research of analytical survey with cross sectional approach. Sample of 90 respondents who were taken using accidental sampling technique. Data analysis using chi square. The study results show that factors related to hypertension treatment adherence is employment status (p value=0.035), the distance to health services (p value=0.014), the level of knowledge about the management of hypertension (p value=0.000), motivation for treatment (p value=0.000), and family support (p value=0.000). Unrelated variables were gender (p value=0.444), education level (p value=0.232), family s income (p value=1.000). The advice for health centers to improve hypertension treatment program. For other researchers to add other factors related to hypertension treatment adherence Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, qorry.putri@gmail.com ISSN

17 Qorry Putri Rasajati / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN Hipertensi merupakan suatu gangguan pada sistem peredaran darah, yang cukup banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Secara global, prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 25 tahun dan lebih adalah sekitar 40% pada tahun Di seluruh dunia, hipertensi diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar 12,8% dari total seluruh kematian (WHO, 2012). Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan pengukuran tekanan darah pada orang usia 18 tahun ke atas di sejumlah daerah telah mencapai 31,7% dari total penduduk dewasa. Prevalensi kasus hipertensi essensial di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 sebesar 1,96% (Dinkes Jateng, 2012). Kota Semarang menempati urutan ke-5 penderita hipertensi terbanyak berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada penduduk berumur 18 tahun (Riskesdas Jateng, 2008). Prevalensi hipertensi di Kota Semarang pada tahun 2011 sebesar 42,4% (Dinkes Kota Semarang, 2012). Berdasarkan data rekapitulasi penyakit tidak menular puskesmas sekota Semarang dari Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2012, Puskesmas Kedungmundu menempati urutan ke-1 untuk jumlah kasus hipertensi tertinggi di Kota Semarang. Jumlah kasus hipertensi di Puskesmas Kedungmundu pada tahun terus mengalami peningkatan (Dinkes Kota Semarang, 2014). Berdasarkan hasil laporan kunjungan pasien hipertensi Puskesmas Kedungmundu bulan Januari Desember 2013, jumlah penderita hipertensi sebanyak pasien. Dari jumlah pasien hipertensi yang melakukan kunjungan ke Puskesmas Kedungmundu, pasien yang rutin melakukan pengobatan satu bulan sekali sebanyak 389 pasien (33%), sedangkan yang tidak rutin melakukan pengobatan sebanyak 790 pasien (67%) (Puskesmas Kedungmundu, 2014). Pelayanan yang terkait dengan hipertensi di Puskesmas Kedungmundu yaitu Prolanis (Program Penyakit Kronis) yang dilaksanakan setiap satu bulan sekali dan konsultasi diet penderita hipertensi (Puskesmas Kedungmundu, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ekarini (2011) ada hubungan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat motivasi dengan kepatuhan klien hipertensi dalam menjalani pengobatan. Penelitian lain yang dilakukan Alphonce (2012) ada hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi. Penelitian lain yang dilakukan Tisna (2009) ada hubungan usia dengan kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi. Penelitian lain yang dilakukan Manda (2011) ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien hipertensi terhadap terapi. Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. METODE Jenis penelitian ini adalah observasional dengan menggunakan studi analitik. Rancangan penelitian adalah cross sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan pada penderita hipertensi. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien hipertensi di Puskesmas Kedungmundu pada bulan Januari Desember 2013 yang berjumlah orang. Sampel berjumlah 90 responden yang diperoleh dengan menggunakan teknik accidental sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara terstrukutur yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 : 17

18 Qorry Putri Rasajati / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Tabel 1. Hasil Penelitian No Variabel 1. Jenis Kelamin 2. Tingkat Pendidikan Formal 3. Status Pekerjaan 4. Pendapatan keluarga Jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan Tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi 7. Motivasi untuk berobat 8. Dukungan keluarga Kepatuhan Pengobatan Kategori Patuh Tidak Patuh Jumlah f % f % f % Laki-laki 13 61,9 8 38, Perempuan 34 49, , Rendah 34 57, , Tinggi 13 41, , Bekerja 22 68, , Tidak bekerja 25 43, , Rendah 6 54,5 5 45, Menengah keatas 41 51, , Jauh Dekat 39 47, , Rendah 38 86,4 6 13, Tinggi 9 19, , Rendah 33 97,1 1 2, Tinggi 14 25, , Tidak ada 45 71, , Ada 2 7, , p value 0,444 0,232 0,035 1,000 0,014 0,000 0,000 0,000 OR 95%CI 1,67 0,62-4,54 1,88 0,78-4,54 2,9 1,17-7,22 1,11 0,31-3,94 2,1 1,67-2, ,43-80, , ,2 6,7-145 Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel tingkat pendidikan formal yang merancukan hubungan antara status pekerjaan dengan kepatuhan pengobatan dan variabel tingkat pendidikan formal juga merancukan hubungan antara tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi dengan kepatuhan pengobatan, sehingga untuk mengendalikan variabel tingkat pendidikan formal dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata. Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 : Tabel 2. Analisis Berstrata Hubungan antara Status Pekerjaan dengan Kepatuhan Pengobatan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal dan Hubungan antara Tingkat Pengetahuan tentang Tatalaksana Hipertensi dengan Kepatuhan Pengobatan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Tingkat Pendidikan Formal Rendah Tingkat Pendidikan Formal Tinggi Status Pekerjaan Status Pekerjaan Kepatuhan Pengobatan Jumlah Tidak Patuh Patuh f % f % f % Bekerja 14 41,2 2 8, ,1 Tidak Bekerja 20 58, , ,9 Bekerja 8 61,5 7 38, ,4 Tidak Bekerja 5 38, , ,6 p value 0,035 OR 95%CI 2,904 1,168-7,217 18

19 Qorry Putri Rasajati / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Tingkat Pendidikan Formal Rendah Tingkat Pendidikan Formal Tinggi OR=4,591; 95% CI=1,613-13,070; p value = 0,003(Mantel-Haenszel) Tingkat Pengetahuan Rendah 29 85,3 6 24, ,0 tentang Tatalaksana Tinggi 5 14, , ,7 Hipertensi Tingkat Rendah 9 62, ,0 Pengetahuan tentang Tatalaksana Tinggi 4 30, ,0 Hipertensi OR=28,644; 95% CI=8,254-99,399; p value = 0,000(Mantel-Haenszel) 0,000 26,037 8,429-80,426 Jenis Kelamin Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,444 (p>0,05). Dari 21 responden berjenis kelamin laki-laki yang patuh melakukan pengobatan 38,1% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 61,9%, sedangkan dari 69 responden berjenis kelamin perempuan yang patuh melakukan pengobatan 50,7% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 49,3%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tisna (2009) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan pasien dengan nilai p=1,000. Dalam hal menjaga kesehatan, biasanya kaum perempuan lebih memperhatikan kesehatannya dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan pola perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, perempuan lebih sering mengobatkan dirinya dibandingkan dengan laki-laki (Notoatmodjo, 2010). Hal ini dapat dikaitkan dengan ketersediaan waktu dan kesempatan bagi perempuan untuk datang ke Puskesmas lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Namun, saat ini perempuan tidak selalu memiliki ketersediaan waktu untuk datang ke Puskesmas karena banyak perempuan yang juga ikut bekerja/mempunyai kesibukan. Berdasarkan hasil analisis berstrata yang telah dilakukan menggunakan uji Mantel- Haenszel mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan berdasarkan status pekerjaan diperoleh p value = 0,913 (0,913<0,05) yang artinya status pekerjaan merupakan variabel perancu dalam hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan. Tingkat Pendidikan Formal Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,232 (p>0,05). Dari 59 responden yang berpendidikan rendah yang patuh melakukan pengobatan 42,4% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 57,6%, sedangkan dari 31 responden yang berpendidikan tinggi yang patuh melakukan pengobatan 58,1% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 41,9%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Alphonce (2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi dengan nilai p=0,277. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2010). Kepatuhan pengobatan hipertensi bisa disebabkan karena faktor lain selain tingkat pendidikan, dapat pula disebabkan karena perbedaan pekerjaan/ kesibukan sehingga penderita hipertensi tidak punya waktu untuk berobat ke Puskesmas. 19

20 Qorry Putri Rasajati / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Responden yang berpendidikan tinggi maupun yang berpendidikan rendah, sama-sama ingin sembuh dari penyakitnya sehingga tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kepatuhan melakukan pengobatan. Kepatuhan pengobatan hipertensi bisa juga disebabkan karena faktor perbedaan pengetahuan tentang penyakit hipertensi. Tidak semua penderita hipertensi yang berpendidikan rendah memiliki tingkat pengetahuan tentang penyakit hipertensi rendah dan tidak semua penderita hipertensi yang berpendidikan tinggi juga memiliki pengetahuan tentang penyakit hipertensi tinggi. Faktor informasi yang diperoleh dari penyuluhan maupun media dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Berdasarkan hasil analisis berstrata yang telah dilakukan menggunakan uji Mantel- Haenszel mengenai hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan kepatuhan pengobatan berdasarkan tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertennsi diperoleh p value = 0,558 (0,558<0,05) yang artinya tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi merupakan variabel perancu dalam hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan kepatuhan pengobatan. Status Pekerjaan Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan ada hubungan antara status pekerjaan dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,035 (p<0,05). Dari 32 responden yang bekerja yang patuh melakukan pengobatan 31,2% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 68,8%, sedangkan dari 58 responden yang tidak bekerja yang patuh melakukan pengobatan 56,9% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 43,1%. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alphonce (2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi dengan nilai p=0,908. Orang yang bekerja cenderung memiliki sedikit waktu bahkan tidak ada waktu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan (Notoatmodjo, 2007). Dari 90 responden yang diteliti terdapat 31 responden (34,4%) yang bekerja. Pekerjaan responden tersebut antara lain: buruh (32,2%), supir (22,6%), wiraswasta (19,3%), pegawai swasta (16,2%), dan PNS (9,7%). Responden yang tidak bekerja cenderung lebih patuh melakukan pengobatan dibandingkan dengan responden yang bekerja. Hal tersebut dikarenakan responden yang bekerja lebih memiliki kesibukan sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk memeriksakan diri ke Puskesmas. Responden yang bekerja juga minum obat tidak sesuai dengan anjuran dokter karena alasan padatnya aktivitas yang dilakukan setiap harinya sehingga membuat responden lupa untuk minum obat. Berdasarkan hasil analisis berstrata yang telah dilakukan menggunakan uji Mantel- Haenszel mengenai hubungan antara status pekerjaan dengan kepatuhan pengobatan berdasarkan tingkat pendidikan formal diperoleh p value 0,003 (0,003<0,05). Dari hasil tersebut didapat pula OR 4,591 (OR>1) dengan interval 1,613-13,070 (tidak mencakup angka 1), artinya setelah mengontrol tingkat pendidikan formal, responden yang bekerja memiliki risiko 4,6 kali tidak patuh melakukan pengobatan dibandingkan responden yang tidak bekerja. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa variabel tingkat pendidikan formal bukan merupakan variabel perancu dalam hubungan antara status pekerjaan dengan kepatuhan pengobatan Pendapatan Keluarga Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,869 (p>0,05). Dari 11 responden yang pendapatan keluarganya rendah yang patuh melakukan pengobatan 45,5% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 54,5%, sedangkan dari 79 responden yang pendapatan keluarganya menengah keatas yang patuh melakukan pengobatan 48,1% dan yang tidak patuh 20

21 Qorry Putri Rasajati / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) melakukan pengobatan 51,9%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tisna (2009) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sosial ekonomi (pendapatan) dengan tingkat kepatuhan pengobatan pasien dengan nilai p=0,757. Ketidakpatuhan pengobatan bisa disebabkan oleh faktor lain, misalnya motivasi dari dalam diri untuk mengontrol tekanan darahnya. Tingkat pendapatan keluarga yang rendah belum tentu sebagai penyebab ketidakpatuhan, karena saat ini masyarakat yang masuk kategori miskin bisa memperoleh pengobatan secara gratis tanpa harus mengeluarkan biaya untuk berobat. Dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, masyarakat miskin dapat tetap memperoleh pelayanan kesehatan. JKN diselenggarakan secara serentak untuk seluruh warga di Indonesia dengan azas gotong royong sehingga terjadi subsidi silang. Para peserta wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan, sedangkan bagi warga miskin iuran ditanggung pemerintah melalui program bantuan iuran (Depkes RI, 2014). Jarak Rumah Terhadap Pelayanan Kesehatan Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan ada hubungan antara jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,036 (p<0,05). Dari 8 responden yang jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan masuk kategori jauh yang patuh melakukan pengobatan 0% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 100%, sedangkan dari 82 responden yang jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan masuk kategori dekat yang patuh melakukan pengobatan 52,4% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 47,6%. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tisna (2009) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara persepsi jarak rumah ke puskesmas dengan tingkat kepatuhan pasien dengan nilai p=0,409. Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya, seringkali kesalahan atau penyebabnya dilemparkan pada faktor jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat yang terlalu jauh (baik jarak secara fisik maupun secara sosial), tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Jarak rumah yang dekat dengan pelayanan kesehatan membuat responden lebih mudah untuk berobat sehingga lebih rutin minum obat sesuai dengan anjuran dokter. Tingkat Pengetahuan tentang Tatalaksana Hipertensi Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Dari 44 responden yang memiliki pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi rendah yang patuh melakukan pengobatan 13,6% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 86,4%, sedangkan dari 46 responden responden yang memiliki pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi tinggi yang patuh melakukan pengobatan 80,4% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 19,6%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekarini (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kepatuhan klien hipertensi dengan nilai p=0,002. Menurut penelitian di lapangan, ditemukan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi yang masuk kategori tinggi cenderung lebih patuh melakukan pengobatan dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan rendah. Hal tersebut dikarenakan responden yang pengetahuan tentang tatalaksana hipertensinya tinggi lebih memahami bagaimana pengobatan hipertensi yang benar 21

22 Qorry Putri Rasajati / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) dan bahayanya apabila tidak rutin kontrol tekanan darah sehingga lebih patuh melakukan pengobatan dan mematuhi anjuran dokter untuk minum obat secara rutin. Berdasarkan hasil analisis berstrata yang telah dilakukan menggunakan uji Mantel- Haenszel mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi dengan kepatuhan pengobatan berdasarkan tingkat pendidikan formal diperoleh p value 0,000 (0,000<0,05). Dari hasil tersebut didapat pula OR 28,644 (OR>1) dengan interval 8,254-99,399 (tidak mencakup angka 1), artinya setelah mengontrol tingkat pendidikan formal, responden yang berpengetahuan rendah memiliki risiko 28,6 kali tidak patuh melakukan pengobatan dibandingkan responden yang berpengetahuan tinggi. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa variabel tingkat pendidikan formal bukan merupakan variabel perancu dalam hubungan antara tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi dengan kepatuhan pengobatan. Motivasi untuk Berobat Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan ada hubungan antara motivasi untuk berobat dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai dengan p=0,000 (p<0,05). Dari 34 responden yang memiliki motivasi untuk berobat rendah yang patuh melakukan pengobatan 2,9% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 97,1%, sedangkan dari 56 responden yang memiliki motivasi untuk berobat tinggi yang patuh melakukan pengobatan 75,0% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 25,0%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekarini (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat motivasi dengan tingkat kepatuhan klien hipertensi dengan nilai p=0,001. Jika kita masih sehat dan diminta untuk melakukan perilaku yang tidak menyenangkan, umumnya tidak akan kita lakukan. Karena pada saat sehat, menghindari penyakit adalah bukan tujuannya (Notoatmodjo, 2010). Responden yang memiliki motivasi untuk berobat tinggi cenderung lebih patuh melakukan pengobatan dibandingkan dengan responden yang memiliki motivasi berobat rendah. Penderita hipertensi yang memiliki motivasi tinggi untuk selalu mengontrol tekanan darahnya maka akan lebih patuh melakukan pengobatan karena mereka sadar bahwa pengontrol tekanan darah itu penting untuk menghindari terjadinya komplikasi. Dukungan Keluarga Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada tabel menunjukkan ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Dari 63 responden yang tidak memiliki dukungan keluarga yang patuh melakukan pengobatan 28,6% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 71,4%, sedangkan dari 27 responden yang memiliki dukungan keluarga yang patuh melakukan pengobatan 92,6% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 7,4%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Manda (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien hipertensi terhadap terapi dengan nilai p=0,000. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lain serta keluarga lain di sekitarnya (Mubarak dan Chayatin, 2009). Dukungan dari anggota keluarga pada penderita hipertensi sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan untuk berobat rutin, penderita hipertensi yang mendapat dukungan keluarga akan lebih rutin berobat dan minum obat sehingga tekanan darahnya dapat terkendali. Penderita hipertensi yang memiliki dukungan keluarga cenderung lebih patuh melakukan pengobatan dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki dukungan keluarga. 22

23 Qorry Putri Rasajati / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan pada penderita hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang, diperoleh simpulan sebagai berikut: (1) Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (76,7%), tingkat pendidikan formal rendah (65,6%), tidak bekerja (65,6%), pendapatan keluarga menengah keatas (87,8%), jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan dekat (91,1%), tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi tinggi (51,1%), motivasi untuk berobat tinggi (62,2%), tidak memiliki dukungan keluarga (70,0%). (2) Tidak ada hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan formal, dan pendapatan keluarga dengan kepatuhan pengobatan pada penderita hipertensi. (3) Ada hubungan antara status pekerjaan, jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan, tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi, motivasi untuk berobat, dan dukungan keluarga dengan kepatuhan pengobatan pada penderita hipertensi. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Pembimbing, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Kepala Puskesmas Kedungmundu, Pasien Hipertensi di Puskesmas Kedungmundu, Keluarga, serta Teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Alphonce, Angelina, Factors Affecting Treatment Compliance Among Hypertension Patients In Three District Hospitals - Dar Es Salaam. Disertasi: Universitas Muhimbili. Depkes RI, Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Dinkes Jateng, Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Dinkes Kota Semarang, Profil Kesehatan Kota Semarang Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Semarang , Jumlah Kasus Penyakit di Kota Semarang tahun Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Semarang. Ekarini, Diyah, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Klien Hipertensi dalam Menjalani Pengobatan di Puskesmas Gondangrejo Karanganyar. Tugas Akhir: STIKes Kusuma Husada Surakarta. Manda, Noorasani, Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Hipertensi Terhadap Terapi di Puskesmas Turen Kabupaten Malang. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Mubarak dan Chayatin, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi. Salemba Medika. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta , Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta. Puskesmas Kedungmundu, Data Demografi Puskesmas Kedungmundu. Puskesmas Kedungmundu. Kota Semarang , Rekap Data Pasien Hipertensi Puskesmas Kedungmundu. Puskesmas Kedungmundu. Kota Semarang. Riskesdas Jateng, Riset Kesehatan Dasar 2007 Laporan Provinsi Jawa Tengah. Laporan Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Tisna, Nandang, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Pasien dalam Minum Obat Antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan Propinsi Banten Tahun Skripsi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. WHO, Raised Blood Pressure. Organisasi Kesehatan Dunia. 23

24 UJPH 4 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health PENGGUNAAN METODE HAZARD IDENTIFICATION RISK ASSESSMENT CONTROL (HIRAC) DALAM PENYUSUNAN PROGRAM K3 UNTUK MENURUNKAN ANGKA KECELAKAAN KERJA PADA PEKERJA BAGIAN PENGAMPLASAN PT KOTA JATI FURNINDO DESA SUWAWAL KABUPATEN JEPARA Tsalas Yulianto Akbar, Sofwan Indarjo, Anik Setyo Wahyuningsih Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: Hazard Identification, Risk Assesment, HIRAC Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui potensi bahaya serta pengendalian yang tepat pada Bagian Pengamplasan PT Kota Jati Furnindo. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan observasional. Lokasi dan waktu penelitian adalah di Bagian Pengamplasan PT. Kota Jati Furnindo dilakukan pada bulan November Fokus penelitian ini yaitu penggunaan HIRAC dalam identifikasi bahaya dan penilaian risiko pada pekerja pengamplasan PT. Kota Jati Furnindo. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer hasil observasi pada proses kerja dan wawancara kepada supervisor, serta data sekunder yang digunakan yaitu instruksi kerja, data kecelakaan kerja dan investigasi kecelakaan kerja. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan observasional Abstract This study aimed to determine the potential hazards and appropriate controls in Section Sanding PT Jati Furnindo City. This study was included in the descriptive qualitative research with observational approach. The location and time of the study was in part Sanding PT. Teak City Furnindo conducted in November Focus of this study is the use of HIRAC in hazard identification and risk assessment on workers Sanding PT. Teak Furnindo city. Data used in the study is the observation of primary data on employment and interview process to the supervisor, as well as secondary data used are work instructions, work accident data and accident investigation work. Types of research used in this study was a qualitative descriptive study with an observational approach Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, thecuteboy_salas@yahoo.co.id ISSN

25 Tsalas Yulianto Akbar / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN Keselamatan pada dasarnya adalah kebutuhan setiap manusia dan dijadikan naluri dari setiap makhluk hidup. Sejak manusia bermukim di muka bumi, secara tidak sadar aspek keselamatan untuk antisipasi berbagai bahaya disekitar lingkungan hidupnya telah dikenal oleh mereka. Pada masa itu, tantangan bahaya yang dihadapi lebih bersifat natural seperti kondisi alam, cuaca, binatang buas dan bahaya dari lingkungan hidup lainnya (Soehatman Ramli, 2010:6). Risiko kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja selalu dipunyai setiap tempat kerja. Besar risiko tergantung kepada jenis industri, teknologi, serta upaya pengendalian risiko yang dilakukan. Saat ini angka kecelakaan di Indonesia masih cukup tinggi, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam pemasyarakatan keselamatan dan kesehatan kerja. Walaupun belum ada survei untuk penghitungan berapa besar kerugian yang timbul akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja ini, tapi dapat diperkirakan kerugian yang ditimbulkannya cukup besar (Syukri Sahab, 1997:103). Cedera atau kerugian materi diakibatkan oleh kecelakaan, oleh karena itu Tujuan utama penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah agar terkurangi atau tercegah kecelakaan itu sendiri. Karena itu, fenomena kecelakaan, faktor penyebab, serta cara efektif untuk pencegahan dipelajari oleh para ahli K3. Berbagai kendala masih dihadapi dalam upaya pencegahan kecelakaan di Indonesia, salah satu diantaranya adalah pola pikir yang masih tradisional dimana kecelakaan dianggap sebagai musibah sehingga masyarakat bersifat pasrah (Soehatman Ramli, 2010:27). Korban jiwa, kerusakan materi dan gangguan produksi ditimbulkan oleh ribuan kecelakaan yang terjadi di tempat kerja setiap tahunnya. Data pada tahun 2011 di Jawa Tengah menurut Depnaker tercatat kecelakaan kerja, 18 orang meninggal, 2029 orang luka ringan, 43 orang cacat. Dengan demikian, angka kecelakaan tercapai 3660 kejadian. Salah satu proses yang paling besar angka kecelakaan kerja adalah bagian V (pengamplasan) yang terdiri: a. Pengamplasan kasar, yaitu bagian yang memperhalus mebel dengan amplas yang kasar, bagian ini harus diulang dengan pengamplasan halus. Proses ini menghasilkan debu yang kasar dan b. Pengamplasan halus, yaitu bagian yang melakukan penghalusan mebel yang sudah dihaluskan dengan amplas kasar yang kemudian dihaluskan dengan amplas halus bagian ini juga menghasilkan debu halus. Dari hasil wawancara peneliti bulan Januari 2013 dengan 10 pekerja bagian pengamplasan di PT Kota Jati Furnindo tersebut ada sebanyak 3 orang tersayat pahat, 1 orang terjadi kecelakaan tangan mengelupas akibat gesekan dari amplas tersebut, 3 orang tersambar mesin amplas. Analisis sebab kecelakaan akibat kerja hanya ada dua golongan penyebab. Golongan pertama adalah faktor mekanis dan lingkungan, diantaranya segala sesuatu selain manusia. Golongan kedua adalah manusia itu sendiri yang merupakan sebab kecelakaan. Contoh analisa sebagai berikut: seorang pekerja mengalami kecelakaan disebabkan oleh kejatuhan benda tepat mengenai kepalanya, sesungguhnya ia tidak harus mendapat kecelakaan itu, seandainya ia mengikuti petunjuk untuk tidak berjalan di bawah alat angkat barang, jadi sebabnya dalam hal ini adalah faktor manusia (Suma mur P.K., 2010:212). Untuk menganalisa tingkat hazard, peneliti menggunakan metode Hazard Identification Risk Assessment Control (HIRAC). Metode Hazard Identification Risk Assessment Control (HIRAC) adalah salah satu metode teknik identifikasi, analisis bahaya dan pengendalian resiko yang digunakan untuk meninjau proses atau operasi pada sebuah sistem secara sistematis (John Ridley, 2008:50). Dengan menerapkan metode Hazard 25

26 Tsalas Yulianto Akbar / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Identification Risk Assessment Control (HIRAC), diharapkan dapat dilakukan usaha pencegahan dan pengurangan terjadinya kecelakaan kerja yang terjadi diperusahaan, dan menghindari serta menanggulangi risiko tersebut dengan cara yang tepat (Syukri Sahab, 1997:104). METODE (Skort) kemungkinan debu yang dapat mencemari baju pekerja. Kaca Mata (Safety Glasses) Earplug Berguna melindungi mata. dari bahaya debu Dapat mengurangi intensitas suara 10 s/d 15 db. Metode penilitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif karena fakta dan karaktereristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu digambarkan secara akurat (Soekidjo 2005:46). Penutup Kepala (Hats/cap) Mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat alat daerah steril dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala / rambut petugas dari debu. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyediaan Alat Pelindung Diri PT Kota Jati Furnindo menyediakan alat pelindung diri bagi tenaga kerja untuk menghindari kecelakaan kerja yang ditimbulkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Pemberian alat pelindung diri terhadap pekerja disesuaikan dengan proses pekerjaannya masing-masing. Tidak hanya untuk tenaga kerja, perusahaan juga mengeluarkan kebijakan bagi semua orang yang berada dilingkungan kerja untuk menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dengan potensi bahaya yang ada di area sekitar. Melakukan pekerjaan yang berbahaya atau yang dapat menimbulkan kecelakaan, perusahaan mewajibkan kepada seluruh tenaga kerja untuk mentaati petunjuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta memakai alat pelindung diri yang telah disediakan oleh perusahaan. Tabel 1. Alat Pelindung Diri yang Digunakan APD Masker (Respirator) Kegunaan Mencegah kontak debu dari mulut dan hidung pekerja agar tidak batuk-batuk. Clemek Melindungi petugas dari Sarung Tangan ( Hand Protector) Sebagai pelindung tangan di area pekerjaan ( Bahan dan bentuk sarung tangan di sesuaikan dengan fungsi masing-masing ) Safety Shoes Berfungsi untuk mencegah kecelakaan fatal yang menimpa kaki karena tertimpa benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia, dsb Potensi Bahaya pada Proses Pengamplasan Berdasarkan identifikasi bahaya yang telah dilakukan dan dengan mempelajari data kejadian kecelakaan yang pernah terjadi pada Proses Pengamplasan potensi bahaya yang terdapat yaitu: kejang otot, tergilas benda tajam, tangan mengelupas, iritasi, terbentur, terjepit, terpeleset, keseleo,,kejatuhan, tertabrak kendaraan dan tersambar benda bergerak. Faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pada proses pengamplasan yaitu : Unsafe Action Unsafe action merupakan faktor penyebab kecelakaan, dimana cara kerja yang dilakukan oleh pekerja dianggap kurang aman sehingga dapat menyebabkan pekerja tersebut atau pekerja lain yang masih dalam satu proses kerja terjadi kecelakaan (Anizar, 2009:3). Proses kerja pada proses pengamplasan dianggap kurang 26

27 Tsalas Yulianto Akbar / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) aman dan dapat berpotensi terjadinya kecelakaan kerja yaitu: 1. Membersihkan debu bagian fant belt tanpa menggunakan alat bantu sikat dan lupa menutup pelindung fant belt 2. Menggunakan peralatan yang tidak layak 3. Tidak mematikan mesin terlebih dahulu pada saat akan membersihkan 4. Mengangkat beban terlalu berlebihan 5. Kurang sadarnya fungsi pemakaian APD 6. Gagal menciptakan keadaan yang baik sehingga menjadi tidak aman atau memanas Unsafe Condition Unsafe Condition merupakan penyebab kecelakaan kerja dimana kondisi tempat kerja dianggap tidak aman, sehingga pekerja yang bekerja pada tempat tersebut dapat mengalami kecelakaan kerja (Anizar, 2009:3). Kondisi yang tidak aman pada proses pengamplasan yaitu: 1. Kondisi mesin yang terbuka 2. Adanya beberapa mesin yang tidak terjaga 3. Bagian mesin yang berputar dan bergerigi (mesin gerinda) 4. Kondisi lantai yang licin 5. Banyaknya kabel pada mesin amplas yang berserakan. Penentuan Tingkatan Risiko Setelah dilakukan penentuan tingkat risiko, selanjutnya harus dibuat skala prioritas risiko untuk setiap potensi bahaya yang diidentifikasi dalam usaha penyusunan rencana pengendalian risiko (Tarwaka, 2008:175) Setelah peringkat risiko diketahui maka dilakukan tindak lanjut yaitu E: Risiko sangat tinggi Extreme Risk Pekerjaan tidak dilaksanakan atau dilanjutkan sampai risiko telah direduksi. Jika tidak memungkinkan untuk mereduksi risiko dengan sumber daya yang terbatas, maka pekerjaan tidak dapat dilaksanakan. T: Risiko Tinggi Hight Risk Pekerjaan tidak dilaksanakan sampai risiko telah direduksi perlu dipertimbangkan sumber daya yang akan dialokasikan untuk mereduksi risiko. Bilamana risiko ada dalam pelaksanaan pekerjaan, maka tindakan segera dilakukan. S: Risiko Sedang Moderate Risk Perlu tindakan untuk mengurangi risiko, tetapi biaya pencegahan yang diperlukan perlu diperhitungkan dengan teliti dan dibatasi. Pengukuran pengurangan risiko perlu diterapkan dengan baik dan benar. R : Risiko Rendah Low Risk Pengendalian tambahan tidak diperlukan. Hal yang perlu diperhatikan adalah jalan keluar yang lebih menghemat biaya atau peningkatan yang tidak memerlukan biaya besar. Pemantauan diperlukan untuk memastikan bahwa pengendalian dipelihara dan diterapkan dengan baik dan benar. (Soehatman Ramli, 2007:99). Hasil penelitian diketahui terdapat 57 potensi bahaya kecelakaan kerja dengan peringkat risiko rendah (low) yaitu terpeleset (8%). Dampak risiko dengan peringkat sedang (moderate) yaitu Keseleo (8%), kejang otot (8%) dan terjepit (2%). Dampak risiko dengan peringkat tinggi (high) yaitu kejatuhan (8%), tergores benda tajam (1%), terbentur (8%), tersambar benda bergerak (3%), iritasi (4%), batuk (4%) dan tangan mengelupas (1%). Dampak risiko dengan peringkat extreme yaitu tergilas (1%), dan tertabrak kendaraan (1%). Pengendalian Risiko pada Pengangkutan Menggunakan Mobil Pengangkut Potensi bahaya pada tingkat risiko extreme yaitu tertabrak. Potensi bahaya pada tingkat risiko high yaitu kejatuhan dan terbentur. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu kejang otot dan keseleo. Potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Pengendalian bahaya pada tingkat risiko extreme yaitu potensi bahaya tertabrak mobil pengangkut yaitu dengan memasang jalur tanda kuning(jalur bahaya) untuk mobil melintas. Pengendalian pada tingkat risiko high yaitu terbentur dan kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Pengendalian pada tinggkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu 27

28 Tsalas Yulianto Akbar / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Pada resiko low yaitu potensi bahaya terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin dan menghilangkan risiko kabel-kabel mesin amplas yang tidak tertata. Pengendalian Risiko pada Peletakan Benda dari Mobil Pengangkut Bahaya pada proses meletakkan benda kayu tergolong dalam kategori high, moderate dan low. Untuk tingkat risiko high potensi bahayanya yaitu: terbentur dan kejatuhan benda kayu. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu kejang otot saat pengangkatan dan keseleo. Sedangakan potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Untuk pengendalian pada tingkat risiko high yaitu pada potensi terbentur dan kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Pengendalian pada tinggkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Pada resiko low yaitu potensi bahaya terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin dan menghilangkan risiko kabel-kabel mesin amplas yang tidak tertata. Pengendalian Risiko pada Proses Stamp Potensi bahaya pada tingkat risiko high yaitu kejatuhan benda dan terbentur. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu terjepit, kejang otot dan keseleo. Potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Pengendalian pada tingkat risiko high yaitu potensi terbentur dan kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Pengendalian pada tingkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Potensi bahaya terjepit dapat dilakukan pengendalian Penggunaan pelindung metal mesh. Pada resiko low yaitu potensi bahaya terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin dan menghilangkan risiko kabel-kabel mesin amplas yang tidak tertata. Pengendalian Risiko pada Penggunaan Pahat Kuku Bahaya pada penggunaan pahat kuku tergolong dalam kategori high, moderate dan low. Untuk tingkat risiko high potensi bahayanya yaitu: tergores pahat, terbentur dan kejatuhan benda kayu. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu kejang otot saat pengangkatan dan keseleo. Sedangakan potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Untuk pengendalian pada tingkat risiko high yaitu pada potensi bahaya tergores pahat langkah administrasi yang dapat dilakukan Membuat cara kerja yang lebih aman, pemeriksaan kesehatan pekerja dan APD sarung tangan ( hand protector). Pada potensi terbentur dan kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Pengendalian pada tinggkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Pada resiko low yaitu potensi bahaya 28

29 Tsalas Yulianto Akbar / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin. Pengendalian risiko pada Pengamplasan Mesin Gerinda Potensi bahaya pada tingkat risiko extreme yaitu tergilas. Potensi bahaya pada tingkat risiko high yaitu iritasi, batuk-batuk, tersambar mesin, kejatuhan, terbentur. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu kejang otot dan keseleo. Potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Pengendalian bahaya pada tingkat risiko extreme yaitu potensi bahaya tergilas yaitu dengan pastikan mesin dimatikan sebelum mengambil amplas pada alas gerinda dan mematikan dan menyalakan mesin hanya dilakukan oleh pekerja yang melakukan pekerjaan tersebut. Pengendalian pada tingkat risiko high yaitu iritasi pengendalian yang dapat dilakukan memasang sistem ventilasi yang baik. Pada potensi terbentur dan kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Potensi batuk pada pekerja pengendalian yang dapat dilakukan membatasi waktu pekerja terpapar oleh debu dan APD masker (respirator). Potensi tersambar mesin dapat dilakukan pengendalian pastikan menjaga jarak antara posisi badan dengan mesin pada saat menyalakan mesin dan pastikan yang menyelakan mesin adalah pekerja yang bersangkutan. Pengendalian pada tinggkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Pada resiko low yaitu potensi bahaya terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin. Pengendalian risiko pada Pengamplasan Mesin Amplas Standard Potensi bahaya pada tingkat risiko high yaitu iritasi, batuk, tersambar mesin, kejatuhan benda, terbentur. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu kejang otot dan keseleo. Potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Pengendalian pada tingkat risiko high yaitu iritasi pengendalian yang dapat dilakukan pengendalian yang dapat dilakukan memasang sistem ventilasi yang baik. Pada potensi terbentur dan kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Potensi batuk pada pekerja pengendalian yang dapat dilakukan membatasi waktu pekerja terpapar oleh debu dan APD masker (respirator). Potensi tersambar mesin dapat dilakukan pengendalian pastikan menjaga jarak antara posisi badan dengan mesin pada saat menyalakan mesin dan pastikan yang menyelakan mesin adalah pekerja yang bersangkutan. Pengendalian pada tinggkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Pada resiko low yaitu potensi bahaya terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin. Pengendalian risiko pada Pengamplasan Mesin Amplas Silinder Potensi bahaya pada tingkat risiko high yaitu iritasi, batuk-batuk, tersambar mesin, kejatuhan benda, terbentur. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu terjepit, kejang otot dan keseleo. Potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Pengendalian pada tingkat risiko high yaitu iritasi pengendalian yang dapat dilakukan pengendalian yang dapat dilakukan memasang sistem ventilasi yang baik. Pada potensi terbentur dan kejatuhan benda kayu 29

30 Tsalas Yulianto Akbar / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Potensi batuk pada pekerja pengendalian yang dapat dilakukan membatasi waktu pekerja terpapar oleh debu dan APD masker (respirator). Potensi tersambar mesin dapat dilakukan pengendalian pastikan menjaga jarak antara posisi badan dengan mesin pada saat menyalakan mesin dan pastikan yang menyelakan mesin adalah pekerja yang bersangkutan. Pengendalian pada tinggkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Pada resiko low yaitu potensi bahaya terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin. Pengendalian risiko pada Pengamplasan Manual Potensi bahaya pada tingkat risiko high yaitu iritasi, batuk-batuk, tangan mengelupas, kejatuhan benda, terbentur. Potensi bahaya pada tingkat risiko moderate yaitu terjepit. Potensi bahaya pada tingkat low yaitu terpeleset/tersandung. Pengendalian pada tingkat risiko high yaitu iritasi pengendalian yang dapat dilakukan memasang sistem ventilasi yang baik. Pada potensi terbentur dan kejatuhan benda kayu pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat prosedur kerja yang lebih aman dalam mengangkat benda kayu dan penggunaan APD helmet. Potensi tangan mengelupas dapat dilakukan pengendalian pastikan menggunakan sarung tangan (hand protector) pada saat pengamplasan. Pengendalian pada tinggkat risiko moderat yaitu pada kejang otot dan keseleo pengendalian yang dapat dilakukan yaitu membuat SOP (prosedur kerja) yang lebih aman pekerja pada saat mengangkat benda kayu dan istirahat pada saat otot sudah merasakan sakit. Pada resiko low yaitu potensi bahaya terpeleset/tersandung pengendaliannya yaitu membersihkan lantai agar tidak licin dan menghilangkan risiko kabel-kabel mesin amplas yang tidak tertata. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terdapat potensi bahaya sebanyak 57 yaitu peringkat risiko rendah (low) terpeleset (8%). Dampak risiko dengan peringkat sedang (moderate) yaitu Keseleo (8%), kejang otot (8%) dan terjepit (2%). Dampak risiko dengan peringkat tinggi (high) yaitu kejatuhan (8%), tergores benda tajam (1%), terbentur (8%), tersambar benda bergerak (3%), iritasi (4%), batuk (4%) dan tangan mengelupas (1%). Dampak risiko dengan peringkat extreme yaitu tergilas (1%), dan tertabrak kendaraan (1%). Faktor yang menyebabkan kecelakaan pada pekerja proses pengamplasan yaitu Unsafe Action dikarenakan pekerja yang tidak menerapkan intruksi kerja secara baik dan benar. Penyebab selanjutnya yaitu Unsafe Conditon yaitu kondisi mesin yang tidak terjaga dan bagian mesin yang tajam. Pengendalian yang diperlukan membuat prosedur kerja yang lebih aman, menghilangkan risiko kabel-kabel mesin amplas yang tidak tertata, memastikan pemasangan peralatan pengaman mesin amplas, penggunakan alat bantu dan alat pelindung diri yang disediakan perusahaan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami disampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Bapak Dr. H. Harry Pramono, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Ibu Dr. dr. Hj. Oktia Woro KH, M.Kes, Dosen Pembimbing Bapak Sofwan Indarjo, S.KM., M.Kes dan Ibu dr Anik Setyo Wahyuningsih, Pemilik PT Kota Jati Furnindo Jepara, 30

31 Tsalas Yulianto Akbar / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Responden dalam penelitian, Bapak dan Ibu beserta Keluarga, serta Teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Sukri Sahab, 1997, Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: PT. Bina Sumber Daya Manusia Soehatman Ramli, 2008, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja, Surakarta: Harapan Press. Suma mur P. K., 2010, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Gunung Agung. John Ridley, 2006, Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Jakarta: Erlangga. Artia Tamado Sitorus, 2010, Identifikasi Bahaya dan Penilaian Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tahun 2009 (Studi Kasus di Unit Utility PT. SK Keris Banten), Skripsi, Kota: Universitas Negeri Semarang. Soekidjo Notoatmodjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Anizar, 2009, Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri, Yogyakarta: Graha Ilmu.. 31

32 UJPH 4 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health EVALUASI IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PELARANGAN PEREDARAN GARAM KONSUMSI TIDAK BERIODIUM Nurul Laili Hidayati Rizqie, Mardiana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: Implementation of Policy; the Local Regulation of Magelang District No. 9 Year 2004; Salt Consumption; Non-Iodized. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pelaksanaan implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beriodium di Kabupaten Magelang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan informan secara purposive sampling. Informan berjumlah 10 pedagang garam konsumsi di Kabupaten Magelang dan 2 petugas instansi terkait pelaksanaan perda. Teknik pengambilan data menggunakan teknik wawancara mendalam dengan analisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan implementasi kebijakan ini belum berjalan secara maksimal. Dari enam (6) hal yang berpengaruh dalam pelaksanaan implementasi kebijakan, terdapat tiga hal yang belum berjalan secara maksimal sehingga menghambat pelaksanaan implementasi perda ini. Tiga hal tersebut adalah sumber daya kebijakan yang belum sepenuhnya terpenuhi, komunikasi yang kurang lancar antar organisasi, dan badan pelaksana kebijakan yang belum berjalan dengan kuat. Saran bagi instansi terkait, memperbaiki komunikasi antar organisasi dalam pelaksanaan implementasi perda ini serta segera melakukan pemenuhan sumber daya yang berkaitan dengan perda (seperti gudang penyitaan garam). Abstract This research aimed to find out the implementation process of Local Regulation of Magelang District No. 9 Year 2004 about the Prohibition of Circulating Non-Iodized Salt Consumption in Magelang District. This research used qualitative research method with informant sampling technique by purposive sampling. Total of the informants were 10 (ten) sellers of salt consumption in Magelang District and 2 (two) officers agencies related to the implementation of local regulation. The data retrieval technique used in-depth interview technique with descriptive analysis. The result of the research showed that the implementation of this policy implementation was not running optimally. From six (6) things that affect the implementation of policy implementation, there were three (3) things that had not run optimally thus inhibiting the effective implementation of this regulation. Those three (3) things were resource policies that have not been fully met, substandard communication among the organizations, and agency of policy that had not been running strong. Suggestions for relevant agencies, to fix communication among the organizations in implementing the local regulation, and immediate fulfillment of the resources related to regulation (such as the warehouse of salt confiscation) Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, nurulrizqie@gmail.com ISSN

33 Nurul Laili Hidayati Rizqie / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN Iodine Deficiency Disorders (IDD) atau Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) adalah seluruh akibat yang disebabkan oleh kurangnya iodium di dalam tubuh yang dapat dicegah dengan perbaikan asupan iodium (WHO, UNICEF, ICCIDD, 2007:3). Asupan iodium per hari yang disarankan adalah: 90 µg untuk usia anak usia 0-3 tahun, 120 µg untuk anak usia 4-12 tahun, 150 µg untuk pria dan wanita usia tahun. Sedangkan pada wanita hamil trimester 1-trimester 3 dan menyusui 6 bulan ke 1-6 bulan ke 2, angka kecukupan iodium hariannya adalah angka kecukupan iodium sesuai umur+100. Jika kecukupan ioium disajikan per kg berat badan maka dapat digunakan patokan: 1-6 tahun= 6 µg/kg/hr, 7-11 tahun= 4 µg/kg/hr, 12 tahun keatas= 2 µg/kg/hr, hamil-menyusui= 3,5 µg/kg/hr (POKJA AKG, 2012:22). GAKI masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius mengingat dampaknya sangat besar terhadap kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. Selain berupa pembesaran kelenjar gondok dan hipotiroidi, kekurangan iodium jika terjadi pada wanita hamil mempunyai resiko terjadinya abortus, lahir mati, sampai cacat bawaan pada bayi yang lahir berupa gangguan perkembangan syaraf, mental dan fisik yang disebut kretin. Dari sejumlah 20 juta penduduk Indonesia yang menderita gondok diperkirakan dapat kehilangan 140 juta angka kecerdasan (IQ points) (Tim Penanggulangan GAKI Pusat, 2004:1). Hal ini menunjukkan, jika 1 penduduk Indonesia menderita gondok, maka penderita tersebut akan kehilangan 7 angka tingkat kecerdasan atau sering disebut Intelligence Quotient (IQ points). Melihat besarnya dampak yang diakibatkan oleh kekurangan iodium, WHO menetapkan beberapa langkah evaluasi, diantaranya pemberian suplementasi iodium (minyak iodium atau iodized oil) dan penambahan iodium pada makanan (Food fortification with iodine) (WHO, UNICEF, ICCIDD, 2007:10-11). Berdasarkan pemantauan WHO, pemberian suplementasi iodium (iodized oil) dirasa kurang efektif dikarenakan langkah ini membutuhkan biaya yang banyak. Oleh karena itu, WHO memperkenalkan langkah penggunaan garam beriodium dalam skala besar untuk menggantikan pemberian suplementasi iodium terkecuali hanya direkomendasikan pada populasi tertentu yang tinggal di daerah endemik yang tidak memiliki akses garam beriodium (WHO, UNICEF, ICCIDD, 2007:12). Bentuk pemerintah dalam komitmen penanggulangan GAKI adalah telah adanya dasar hukum dan pelaksanaan program iodisasi garam yang telah dirintis sejak tahun 1977 dan diperkuat dengan adanya: Keputusan Presiden nomor 69 tahun 1994 tentang pengadaan garam beriodium, Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 yang bertujuan menjamin status kesehatan warganegara, Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2008 tentang perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan situasi otonomi daerah, serta Surat Keputusan Menperind nomor 29/M/SK/2/1995 tentang Pengesahan SNI dan penggunaan tanda SNI wajib pada 10 produk industri, serta dokumen SNI /Rev. 9 tentang Standar Nasional Indonesia Garam Beriodium. Kabupaten Magelang juga memiliki kebijakan khusus mengenai peredaran garam konsumsi yaitu Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beriodium di Kabupaten Magelang. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah mengenai survei desa atau kelurahan dengan garam beriodium yang baik menunjukkan, meskipun Kabupaten Magelang mengalami kenaikan persentase sebanyak 15,15% yaitu dari 44,30% pada tahun 2011 meningkat menjadi 59,45% pada tahun 2012, namun angka ini masih menunjukkan bahwa Kabupaten Mageang 33

34 Nurul Laili Hidayati Rizqie / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) masih jauh dari target USI dikarenakan <90% (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, :Tabel 81). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beriodium di Kabupaten Magelang dengan mengetahui penerapan standard dan tujuan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004, sumber daya kebijakan, keefektifan komunikasi antar organisasi, ketegasan badan pelaksana, pengaruh lingkungan, dukungan dan sikap pelaksana dalam pelaksanaan implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun Manfaat dari hasil penelitian ini bagi dinas terkait adalah sebagai bahan evaluasi dan bahan pertimbangan penyusunan rencana baru untuk pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beriodium di Kabupaten Magelang khususnya dan kebijakan-kebijakan lain umumnya. Bagi jurusan Kesehatan Masyarakat adalah sebagai bahan tambahan kepustakaan dan bahan tambahan informasi bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian selanjutnya. Serta bagi peneliti adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti mengenai implementasi sebuah kebijakan serta mampu menemukan faktor-faktor penghambat implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beriodium di Kabupaten Magelang. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus yaitu studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu (Saryono, Mekar Dwi.A, 2013:47). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan. Menurut Saryono, Mekar Dwi A. (2013:12), dalam penelitian kualitatif data primer dikumpulkan oleh peneliti dengan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari gambar dan dokumen. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling Total informan dalam penelitian ini adalah dua belas informan, terdiri dari: sepuluh informan utama dan dua informan triangulasi. Informan utama dalam penelitian ini adalah pedagang garam konsumsi di Kabupaten Magelang. Informan triangulasi dalam penelitian ini adalah petugas terkait dengan implementasi peraturan daerah ini, yaitu petugas dari Dinas Perdagangan dan Pasar Kabupaten Magelang serta petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah peneliti, asisten peneliti, pedoman wawancara, alat perekam, dan kamera. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan model Colaizzi, yaitu dengan membaca transkrip secara berulang, mengkelompokkan kata kunci, membuat kategori, mengelompokkan kategori dalam subtema, merumuskan tema, mengintegrasikan hasil analisis ke bentuk deskriptif (Saryono, Mekar Dwi A., 2013:92). HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 Hasil wawancara menunjukkan, sepuluh informan (100%) tidak mengetahui adanya Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beriodium di Kabupaten Magelang. Sembilan informan (90%) mengatakan tidak tahu dan satu informan (10%) menjelaskan mengetahui namun, tidak 34

35 Nurul Laili Hidayati Rizqie / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) tahu dengan tepat peraturannya. Berikut pernyataan informan utama: Nek peraturan nomer pinten kula mboten ngertos tapi ada peraturan saya tahu (YN, 52 th) Petugas menyatakan bahwa memang perda ini belum terlaksana secara maksimal dan masih dalam proses pertimbangan yang lebih lanjut. Berikut pernyataan petugas terkait: Perda ini belum sampai pada tahap implementasi ya mbak ya. Masih ada pertimbangan lebih lanjut. (Petugas Disdagsar Kabupaten Magelang, 51 th) Perda sudah berjalan mbak, tapi penerapan yang sesuai perdanya saja yang belum. (Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 49 th) Menurut Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin (1986) dalam Subarsono (2013:89) bahwa, Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain. Teori tersebut menunjukkan bahwa, keberhasilan pelaksanaan implementasi dipengaruhi oleh interaksi antar variabelvariabel perda. Variabel terkait Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 adalah pejabat pelaksana kebijakan dan para pedagang garam konsumsi di Kabupaten Magelang. Berdasarkan hasil wawancara, variabel dalam pelaksanaan implementasi perda ini belum berinteraksi dengan baik dalam memahami Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun Standar dan Tujuan Kebijakan dalam Pelaksanaan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 Berdasarkan hasil wawancara, sepuluh informan (100%) tidak memahami betul standar untuk garam beriodium yang boleh beredar. Tiga informan (30%) menganggap penting perda ini sedangkan tujuh informan (70%) lainnya tidak begitu yakin penting atau tidaknya perda ini. Berikut pernyataan dari informan: Garam beriodium ya yang ada tulisan e beriodium itu mbak di kemasan e. Perlu atau tidak, perlu ya mbak ada peraturan tentang garam. (EV, 24 th) Walah mboten ngertos kula, cuman biasane nek saking Pati, Rembang niko sae. Mboten ngertos. (AF, 23 th) Berkaitan dengan pernyataan informan utama tersebut, berikut pernyataan informan triangulasi: Pemberitahuan ya hanya garam beriodium yang sesuai itu garam yang ppm. Perda ini perlu ya mbak, untuk membatasi garam yang masuk di wilayah Kabupaten Magelang, yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. (Petugas Disdagsar Kabupaten Magelang, 51 th) Berdasarkan sebuah hasil penelitian, kebijakan yang hanya diinformasikan secara lisan dan alam bentuk tidak tertulis, dapat mengakibatkan timbulnya interpretasi yang lain yang diterima oleh para pelaksana (Heriyanto, 2013). Standar dan tujuan perda ini yang telah tertulis bukan merupakan sebuah hambatan pada pelaksanaan implementasinya. Standar dan tujuan kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) karena jika standar dan tujuan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono, 2013:90). Pemberian pegetahuan kepada pedagang garam konsumsi di Kabupaten Magelang dan seluruh lapisan masyarakat mengenai adanya perda ini, bertujuan agar perda dapat berjalan maksimal dikarenakan seluruh lapisan masyarakat juga ikut melakukan pengawasan terhadap peredaran garam konsumsi di Kabupaten Magelang, serta mempercepat tercapainya tujuan yang diinginkan dalam peraturan daerah ini. Sumberdaya Kebijakan dalam Pelaksanaan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 Hasil wawancara menunjukkan, terdapat tiga pedagang (30%) pernah didatangi oleh instansi terkait pengadaan garam konsumsi beriodium akan tetapi, sudah lama tidak ada 35

36 Nurul Laili Hidayati Rizqie / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) monitoring lagi dan tujuh pedagang lainnya (70%) mengatakan tidak pernah dikunjungi oleh instansi terkait. Berikut kutipan wawancaranya: Walah sampun suwe banget mboten nate mriki petugas e. biasane sing sok mriki niku ngecek trasi mbak, wonten pengawet e mboten, bakso kalih bakmi niko wonten formalin e mboten, uyah malah jarang mbak, mpun dangu nemen niku mboten nate. (YN, 52 th) Ndak pernah ada yang kesini.. (AN, 30 th) Menanggapi pernyataan tersebut, berikut pernyataan petugas:.kami membantu monitoring pas kami juga melakukan monitoring barang SNI (seperti terasi, dll) dan barang kadaluwarsa, jadi tidak hanya monitoring khusus garam beriodium. Monitoring itu kalau dari kami sering mbak, biasanya 1 minggu 2 kali tapi beda pasar ya mbak. Dendanya, kami masih manusiawi ya mbak, kasihan juga kalau harus dikenakan denda atau hukuman padahal kan penghasilannya nggak seberapa ya (Petugas Disdagsar Kabupaten Magelang, 51 th) Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi suksesnya pelaksanaan implementasi sebuah kebijakan (Tahir, 2010:20). Sumberdaya yang dimaksud adalah diantaranya sumberdaya manusia, sumberdaya finansial, dan sumberdaya sarana prasarana. Sumberdaya manusia dalam pelaksanaan perda ini sudah ada dan sudah jelas namun, masih belum berjalan secara optimal. Sumberdaya finansial masih menjadi kendala dalam pelaksanaan perda ini. Menurut pelaksana kebijakan, dana berkaitan dengan pelaksanaan perda ini semakin tahunnya semakin berkurang. Sumberdaya sarana dan prasarana juga belum tersedia secara maksimal sesuai dengan yang dibutuhkan misalnya, gudang atau bangunan tertutup yang digunakan sebagai tempat penyimpanan garam konsumsi sitaan. Hal ini memungkinkannya peredaran garam tidak sesuai standar di Kabupaten Magelang. Komunikasi Antar Organisasi dalam Pelaksanaan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 Hasil wawancara menunjukkan bahwa, terdapat tiga informan (30%) yang mengaku pernah mendapat kunjungan dari petugas untuk sosialisasi garam beriodium dan tujuh lainnya (70%) menyatakan tidak pernah ada personil petugas dari instansi manapun untuk pengecekan garam beriodium. Berikut kutipan wawancaranya:. Kalau habis dari sini itu setiap warung mesti dicek, kalau nggak dicek itu ya dikasih tetesan. Udah lama itu mbak, sekalian petugas e ngasih tau, nanti kalau yang beriodium warnane jadi biru, kalau yang nggak beriodium ya cuman ditanyai dari pabrik mana gitu mbak. Biasane sing mriki dua orang mbak. (YN, 52 th) Walah mbak mboten nate wonten ingkang mriki kagem ngoten niku (TM, 46 th) Hal ini diperkuat oleh pernyataan petugas yang terlihat tidak sepemahaman, berikut kutipan wawancaranya:.biasanya kami masukkan pada saat monitoring barang-barang SNI, sambil masuk pasar sambil monitoring garam beriodium itu mbak. Biasanya personil yang kami kirim, tiga sampai empat orang. (Petugas Disdagsar Kabupaten Magelang, 51 th).biasanya 2-3 orang yang kami kirim ke lapangan. Tapi, kembali lagi ini kan tupoksi disdagsar. (Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 49 th) Selain komunikasi antar pejabat pelaksana, pelaksanaan implementasi ini juga membutuhkan komunikasi yang baik antar pejabat pelaksana dan kelompok sasaran (pedagang garam konsumsi di Kabupaten Magelang). Komunikasi dalam upaya penyampaian informasi mengenai kebijakan ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi secara langsung dilakukan dengan melaksanakan sosialisasi kepada pedagang garam konsumsi di Kabupaten 36

37 Nurul Laili Hidayati Rizqie / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Magelang, sedangkan komunikasi tidak langsung dilakukan melalui penyebaran informasi baik media elektronik maupun media cetak (Tahir, 2010:13). Pelaksanaan komunikasi hanya berupa standar garam yang boleh beredar, belum komunikasi yang memberikan informasi mengenai adanya peraturan daerah yang mengatur tentang peredaran garam konsumsi di Kabupaten Magelang. Badan Pelaksana dalam Pelaksanaan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 Penentuan badan pelaksana merupakan bagian terpenting dalam pelaksanaan sebuah peraturan. Hal tersebut akan berpengaruh dalam pelaksanaan peraturan karena jika badan pelaksana telah ditetapkan maka instansi yang ditunjuk akan memiliki rasa tanggungjawab untuk melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan yang diberikan. Berikut kutipan pernyataan petugas: Instansi yang berwenang ya Dinas Perdagangan dan Pasar Kabupaten Magelang sama Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, saling terkait gitu. Instansi lain ya Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Magelang). Denda belum berjalan. Biasanya kalau yang tidak memenuhi syarat, kami ambil sampel. (Petugas Disdagsar Kabupaten Magelang, 51 th). Instansi yang mendapatkan tupoksi ini jelas Disdagsar. Namun memang ada tim program GAKI yang saling bekaitan. BP2GAKI cukup sebagai rujukan kami jika ada kasus GAKI di lapangan tapi, tidak berkaitan dengan monitoring di lapangan. (Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 49 th) Dalam melaksanakan kebijakan sesuai dengan standar dan tujuan maka diperlukan koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat, sehingga akan meminimalkan kesalahan (Subarsono, 2013: 101). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, peneliti menemukan bahwa belum adanya koordinasi antar pihak yang terkait dengan pelaksanaan implementasi perda. Pernyataan hasil wawancara diatas menunjukkan masih belum adanya koordinasi yang baik antar instansi sehingga, pelaksanaan implementasi perda masih terjadi banyak kesalahan (tidak sesuai perda). Menurut Edward III, struktur birokrasi menjadi sangat penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting yaitu struktur organisasi dan Standard Operating System (SOP) (Heriyanto, 2013). Pada kenyataannya, salah satu penyebab terhambatnya pelaksanaan implementasi perda ini adalah adanya perubahan struktur organisasi yang menyebabkan berubahnya pula pencermatan tupoksi dan berujung pada pelaksanaan implementasi yang tidak sesuai dengan SOP. Berikut kutipan wawancaranya: Karena perubahan SOTK, jadi banyak mutasi pegawai yang akhirnya kaya gini. (Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 49 th) Lingkungan Kebijakan dalam Pelaksanaan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelag Nomor 9 Tahun 2004 Lingkungan perda ini, Kabupaten Magelang, yang diwakili para pedagang garam konsumsi menunjukkan bahwa mereka mendukung adanya perda ini. Hal tersebut terlihat pada hasil wawancara berikut ini: Perda tentang garam ya mbak? Perlu itu ada perda tentang garam. (EV, 24 th) Hasil wawancara menunjukkan, sepuluh informan (100%) menyatakan perlu adanya peratutan tentang garam konsumsi. Selain dukungan dari para pedagang, petugas dari Dinas Perdagangan dan Pasar Kabupaten Magelang juga merasa perlu adanya perda ini, berikut wawancaranya:.menurut saya perlu untuk membatasi garam yang masuk di wilayah Kabupaten Magelang supaya yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada itu bisa tidak masuk kesini. (Petugas Dinas Perdagangan dan Pasar Kabupaten Magelang, 51 th). Oh ya jelas perlu. Terbukti semenjak adanya perda ini, peredaran garam beriodium 37

38 Nurul Laili Hidayati Rizqie / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) meningkat mbak.: (Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 49 th) Lingkungan kebijakan mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan (Subarsono, 2013: 101). Lingkungan ekonomi masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan kebijakan ini. Berkaitan dengan pelaksanaan hukuman dan denda kepada individu yang melakukan pelanggaran, instansi terkait masih belum bisa menjalankan sesuai dengan perda. Menurut pelaksana kebijakan, mereka masih menjalankan berdasarkan asas kemanusiaan. Pelaksanaan berdasarkan asas kemanusiaan ini dikarenakan target sasaran termasuk kedalam golongan ekonomi menengah kebawah. Dilihat dari pernyataan-pernyataan diatas, terlihat jelas bahwa semua kalangan yang merupakan bagian dari lingkungan kebijakan ini, baik para pedagang maupun petugas pelaksana, mendukung adanya perda yang mengatur tentang peredaran garam konsumsi di Kabupaten Magelang. Masingmasing pihak pun juga sudah menyadari mengenai pentingnya garam konsumsi beriodium yang memenuhi standar bagi tubuh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa perda ini telah mendapat dukungan penuh dari semua kalangan yang ikut serta dalam pelaksanaan implementasi perda ini. Sikap Pelaksana dalam Pelaksanaan Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 Sepuluh informan (100%) mengatakan bahwa siap melaksanakan perda ini apabila memang pada akhirnya ditetapkan dan mereka terlibat atau berperan dalam keberhasilan perda ini. Berikut kutipan wawancaranya: Ya kalau memang ada ya saya siap aja mbak, asalkan diberitahu dulu, jangan langsung ada monitoring, dikasih hukuman gitu mbak. (EV, 24 th) Sebagai warga Magelang yang baik ya saya siap mbak toh mesti pemerintah menetapkan itu demi kebaikan bersama to. (YN, 52 th) Pernyataan diatas selanjutnya dikonfirmasikan kepada petugas terkait mengenai tanggapan para pedagang sewaktu dulu diadakannya pemberitahuan mengenai standar garam beriodium sesuai perda. Berikut pernyataan petugas: Kami siap-siap aja. Kalau pedagang, menurut saya mereka dapat menerima jika perda ini dijalankan. (Petugas Dinas Perdagangan dan Pasar Kabupaten Magelang, 51 th). Oh lha kami siap aja tapi kan dari BAPPEDA mengingatkan kami bahwa perda ini tidak sesuai tupoksi kami ya bagaimana lagi. Tapi, dari kami tetap membantu karena monitoring ini kan kami juga perlu. (Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang, 49 th) Penilaian sikap pelaksana terdiri atas respons pelaksana terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksana kebijakan serta pemahamannya terhadap kebijakan itu sendiri (Subarsono, 2013:101). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua pelaksana yang terlibat dalam perda ini sudah siap jikalau nantinya perda ini akan dilaksanakan sesuai dengan isi perda yang ada. Begitu pula para pedagang juga siap jika ada peraturan tentang garam beriodium hanya saja, nantinya pedagang harus lebih sering diberikan sosialisasi agar benar-benar mengerti tentang perda ini yang kemudian akan memberikan dampak yang positif yaitu peredaran garam konsumsi di Kabupaten Magelang terhindar dari garam-garam konsumsi yang tidak memenuhi standar. Selain itu, antar organisasi juga harus berkoordinasi secara lebih mendalam jika perda ini berjalan sebagaimana mestinya. Koordinasi tersebut berguna untuk menghindari pelemparan tugas (dari instansi satu merasa bukan tugasnya melempar kepada instansi yang lain, instansi lain merasa bukan tugasnya juga 38

39 Nurul Laili Hidayati Rizqie / Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) melempar lagi kepada instansi yang lain lagi, begitu seterusnya). Aspek pemahaman terhadap kebijakan pun sudah berjalan dari segi pejabat pelaksana implementasi. Hasil wawancara menunjukkan, para pejabat pelaksana sudah mengetahui dan memahami dengan baik isi dari Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pelarangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beriodium di Kabupaten Magelang. Akan tetapi, untuk para pedagang garam konsumsi yang menjadi subyek dari perda ini, belum memahami bahkan belum mengetahui tentang adanya perda ini. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: (1) Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 9 Tahun 2004 belum berjalan sesuai dengan isi perda. Pada saat ini, perda berjalan dengan cara pendekatan sosial sehingga belum ada sosialisasi terkait perda kepada para pedagang garam konsumsi di Kabupaten Magelang, (2) Standar dan tujuan perda telah dipahami sepenuhnya oleh para pejabat pelaksana implementasi, hanya saja belum disampaikan kepada para pedagang sesuai dengan yang tertulis di dalam perda, (3) Sumber daya kebijakan masih belum sepenuhnya terpenuhi (sarana dan prasarana yang mendukung seperti gudang yang berguna untuk penyimpanan sitaan garam yang tidak memenuhi standar), (4) Komunikasi antar organisasi belum sepenuhnya berjalan lancar, (5) Badan pelaksana kebijakan ini juga belum berjalan dengan kuat. Hal ini dikarenakan adanya perubahan Struktur Organisasi Tata Kerja (SOTK) sehingga menyebabkan berubahnya pencermatan tupoksi dan berujung pada pelaksanaan implementasi yang tidak sesuai dengan standar operasional (SOP), (6) Lingkungan kebijakan ini belum sepenuhnya mendukung perda ini, dan (7) Sikap pelaksana juga sudah baik. Pejabat pelaksana sudah siap menjalankan peraturan sesuai dengan isi perda dan sudah memahami isi perda dengan baik. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dosen Penguji I, Dosen Penguji II, Dosen Penguji III sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi, serta keluarga dan temantemanku yang selalu memberikan motivasi dan dukungan untuk menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Heriyanto, Styawan, 2013, Analisis Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam Penghentian Suplementasi Kapsul Iodium di Kabupaten Magelang, JKM, Volume:2, No 1, Tahun 2013, hlm POKJA AKG, 2012, Penyempurnaan Kecukupan Gizi Untuk Orang Indonesia, 2012, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X, Jakarta. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2011, Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beryodium yang Baik Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah , 2012, Persentase Desa/Kelurahan dengan Garam Beryodium yang Baik Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Saryono, Mekar, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Dalam Bidang Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta. Subarsono, AG., 2013, Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Tahir, Arifin, 2010, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Gorontalo, Jurnal Fakultas Eknomi dan Bisni Universitas Negeri Gorontalo, hlm Tim Penanggulangan GAKY Pusat, 2004, Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program Penanggulangan GAKY (RAN-KPP GAKY), Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 39

40 UJPH2 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELUHAN COMPUTER VISION SYNDROME (CVS) PADA PEKERJA RENTAL KOMPUTER DI WILAYAH UNNES Melati Aisyah Permana, Herry Koesyanto, Mardiana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel SejarahArtikel: Diterima September 2014 Disetujui September 2014 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: Complaints Computer Vision Syndrome (CVS); Workers Computer Rental; Unnes Abstrak Komputer sebagai alat bantu yang banyak digunakan manusia, ternyata juga menimbulkan penyakit akibat kerja seperti halnya pemakaian mesin pada industri. Gangguan penglihatan yang disebabkan karena penggunaan komputer, oleh American Optometric Association (AOA) dinamakan Computer Vision Syndrome (CVS) sebagai masalah mata majemuk yang berkaitan dengan pekerjaan jarak dekat yang dialami seseorang selagi atau berhubungan dengan penggunaan komputer. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan antara lama kerja, jarak mata dengan monitor, intensitas penerangan, sikap kerja, dan mengidentifikasi kejadian keluhan CVS yang dialami pekerja rental komputer. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional. Jumlah populasi dan sampel berjumlah 36 orang pekerja rental komputer di wilayah kampus Unnes. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner, meteran, dan Lux meter. Hasil uji Chi square : (1) lama kerja (p=0,005); (2).jarak mata dengan monitor (p=0,012); (3) intensitas penerangan (p=0,001); (4) sikap kerja (p=0,014) dengan keluhan CVS pada pekerja rental komputer di wilayah kampus Unnes. Saran untuk pekerja adalah untuk memeriksakan mata secara rutin ke dokter apabila terjadinya keluhan CVS agar meminimalisasi terjadinya penyakit yang lebih parah. Sedangkan untuk peneliti lain diperlukan penelitian lebih lanjut dengan variabel yang berbeda untuk lebih mengetahui faktor lain yang berhubungan dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS). Abstract Computer as a tool that is widely used human beings, it also raises occupational diseases as well as the use of machine in industry. Vision problems caused bye the use of computers, the American Optometric Association (AOA) called Computer Vision Syndrome (CVS) as a compound eye problems related to employment experienced by a person at close range as or related to computer use. The purpose of this study was to analyze the relationship between the working length, the distance eye with the monitor, lighting intensity, work attitude, and identifity the incidence of complaints of CVS workers experienced computer rentals. This study used Cross Sectional approach. Number of population and sample of 36 peoples working computer rental in the area Unnes campus. The instruments used in the form of quetionnatires, meter, and Lux meter. Chi square test result : (1)the working length (p=0,005); (2) the distance eye with the monitor (p=0,012); (3) lighting intensity (p=0,001); (4) work attitude (p=0,014) with complaints of CVS in workers computer rental at the campus Unnes. Suggestion for worker is to check their eyes regulary to the doctor if the complaints of CVS in order to minimize the occurrence of more severe diseases. While other researchers needed for further studies with different variables to better determine other factors associated with symptoms of Computer Vision Syndrome (CVS). Alamatkorespondensi: GedungF1Lantai2 FIKUnnes KampusSekaran, Gunungpati, Semarang, memel_ndut@yahoo.com 2015 Universitas Negeri Semarang ISSN

41 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) PENDAHULUAN Komputer sudah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan bagi warga modern. Pemakaian komputer ini sudah sangat meluas, hampir di semua kegiatan manusia tidak terlepas dari pemakaian komputer. Manusia seolah-olah sudah sangat tergantung pada kemampuan komputer yang memang diciptakan untuk membantu aktivitasnya. Namun tidak disadari, komputer dapat mendatangkan penyakit baik di mata, kepala ataupun badan. Karena kesibukannya yang tidak dapat dihindari, kadang seseorang terpaksa harus memaksakan dirinya berjam-jam untuk berada di depan komputer (Anies, 2005:108). Komputer sebagai alat bantu yang banyak digunakan manusia, ternyata juga menimbulkan penyakit akibat kerja seperti halnya pemakaian mesin pada industri. Selain menampilkan gambar dan teks, monitor komputer juga mengeluarkan radiasi dan gelombang yang tidak dapat dideteksi oleh mata seperti sinar ultraviolet (UV) dan sinar X. Menurut John E. Batubara, radiasi komputer yaitu sinar X dapat menyebabkan gangguan fisiologis pada mata, jika mata terpapar dalam waktu yang lama (A. Setiono Mangoenprasodjo, 2005:144). Keluhan gangguan mata yang sering terjadi adalah pada seorang yang bekerja sebagai operator komputer, karena pada pekerjaan ini, mata selalu berhadapan dengan komputer, meskipun tidak selalu melihat komputer. Gangguan penglihatan yang disebabkan karena penggunaan komputer, oleh American Optometric Association (AOA) dinamakan Computer Vision Syndrome (CVS) sebagai masalah mata majemuk yang berkaitan dengan pekerjaan jarak dekat yang dialami seseorang selagi atau berhubungan dengan penggunaan komputer. Computer Vision Syndrome (CVS) berdampak pada kesehatan fisik seseorang, antara lain terhadap mata selain itu juga dapat mempengaruhi sistem muskuloskeletal. Gejala sistem muskuloskeletal yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri di daerah bahu, punggung, dan lengan (A. Fauzi, 2007:2). Computer Vision Syndrome (CVS) ternyata juga berdampak pada kesehatan mental seseorang. Survei yang dilakukan American Optometric Association (AOA) tahun 2004 membuktikan bahwa 61% masyarakat Amerika sangat serius dengan permasalahan mata akibat bekerja dengan komputer terlalu lama. AOA dan Federal Occupational Safety and Health Administration menyakini bahwa Computer Vision Syndrome, dimasa mendatang akan menjadi permasalahan yang mengkhawatirkan (Sheedy, 2004:197). Data organisasi kesehatan dunia (WHO) menunjukkan angka kejadian Computer Vision Syndrome (CVS) tahun 2004 berkisar 40-90% pada pekerja yang beraktivitas di depan komputer. Karena itu, penting diperhatikan posisi duduk, posisi mata terhadap monitor komputer, serta lamanya bekerja di depan komputer. Dalam penggunaan komputer sebagai alat bantu pekerjaan sebagaimana yang dinyatakan dalam WHO 2004 Bahwa pada orang-orang yang bekerja pada komputer sering menimbulkan kelelahan dan rasa ketidaknyamanan pada mata (ikatan dokter indonesia, seminar komputer dan keselamatan kerja : 2004). Dari hasil riset yang dilakukan National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) bahwa penggunaan komputer terlalu lama dapat menimbulkan ketingkatan stress yang lebih tinggi daripada pekerja lain. NIOSH juga menunjukkan, hampir 88% dari seluruh pengguna komputer mengalami Computer Vision Syndrome (CVS), yaitu suatu kondisi yang terjadi karena terlalu lama memfokuskan mata ke layar komputer lebih dari empat (4) jam sehari (Djunaedi, 2004). CVS dapat disebabkan oleh kurangnya refleks berkedip pada saat memusatkan penglihatan pada layar komputer. Studi menunjukkan bahwa tingkat mengedipkan mata para pekerja yang berhadapan dengan komputer masih sangat rendah. Pada pengguna VDT (Video Display Terminal) seperti komputer, refleks berkedipnya berkurang 66% yaitu 3-6 kali per menit. Ini menyebabkan mata menjadi kering. Selain itu juga menyebabkan ketegangan pada otot mata. Ini merupakan gejala dari asthenopia 49

42 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) dan kelelahan mata setelah berjam-jam bekerja. Pada keadaan normal mata manusia berkedip kali per menit (Affandi, 2005:294). Gejala CVS dikategorikan menjadi empat kategori: 1. Gejala astenopia Gejala astenopia terdiri dari mata lelah, mata tegang, mata terasa sakit, mata kering, dan nyeri kepala. Beberapa penelitian menyatakan bahwa mata lelah menjadi salah satu gejala dominan dari CVS, di antaranya penelitian oleh Bhanderi et al. terhadap operator komputer di NCR Delhi yang menyatakan 46,3% responden mengalami mata lelah dengan kejadian lebih banyak pada perempuan meskipun tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Kejadian mata lelah berasosiasi secara signifikan dengan usia saat menggunakan komputer, adanya kelainan refraksi, jarak penglihatan, posisi layar monitor terhadap mata, penggunaan layar antiglare, dan penyesuaian terhadap kontras dan kecerahan layar monitor (Affandi ES, 2005:296). Hasil penelitian terhadap pengguna komputer di Universitas Benin, Nigeria oleh Chiemeke et al. melaporkan bahwa 42,7% responden mengalami mata tegang, 22 responden yang mengeluhkan hal tersebut bekerja selama lebih dari 8 jam sehari di depan komputer dengan jarak penglihatan kurang dari 10 inci (25,4 cm) dan sudut penglihatan sebesar The International Headache Society mengemukakan ada beberapa tipe nyeri kepala, salah satunya adalah nyeri kepala tipe tegang yang sering dialami pekerja komputer. Nyeri kepala sering muncul di daerah kepala bagian frontal, timbul menjelang tengah dan atau akhir hari, jarang muncul di pagi hari, dan dalam pola yang berbeda pada hari libur dibandingkan hari kerja (Affandi, 2005:297). 2. Gejala yang berkaitan dengan permukaan okuler Gejalanya berupa mata berair, mata teriritasi, dan akibat penggunaan lensa kontak. Studi oleh Talwar et al. tentang keluhan penglihatan dan muskuloskeletal pada pekerja komputer di Delhi melaporkan bahwa kejadian mata berair (23,2%) lebih tinggi dari pada mata teriritasi (18,6%), berbeda dengan hasil penelitian Das et al. yang mendapatkan bahwa kejadian mata teriritasi lebih tinggi daripada mata berair meskipun perbedaannya tidak signifikan. Kedua hasil penelitian tersebut bertolak belakang, namun ternyata Das et al. dan Talwar et al. mendapatkan hasil yang sama tentang penyebab kejadian mata berair dan mata teriritasi, yaitu pantulan cahaya dan bayangan yang terbentuk pada monitor (Affandi, 2005:298). 3. Gejala visual Gejala visual terdiri dari penglihatan kabur, penglihatan ganda, presbiopia, kesulitan dalam memfokuskan penglihatan. Penglihatan kabur merupakan gejala yang banyak dikeluhkan oleh pekerja komputer. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Chiemeke et al. berupa 45,7% responden mengeluhkan hal tersebut, namun keluhan yang dirasakan bukan merupakan suatu keluhan yang berat. Presbiopia merupakan suatu keadaan akibat berkurangnya kemampuan akomodasi lensa dan pada umumnya dialami oleh seseorang yang telah berusia 40 tahun. Pekerjaan dengan menggunakan komputer dapat menyebabkan presbiopia muncul pada usia lebih muda karena terjadi perubahan kemampuan akomodasi yang berusaha menyesuaikan kebutuhan melihat monitor dalam jarak dekat. Gejala visual yang lain adalah kesulitan dalam memfokuskan penglihatan, yang menurut hasil penelitian oleh Cabrera et al., prevalensinya cukup tinggi (45,1%). Gejala tersebut berkorelasi sangat kuat dengan lama bekerja di depan komputer sehari dan lama bekerja di kantor (Affandi,2005:298) Gejala ekstraokuler Gejala ekstraokuler terdiri dari nyeri bahu, nyeri leher, dan nyeri punggung. Studi oleh Talwar et al. mengenai kelainan visual dan muskuloskeletal pada pekerja komputer mendapatkan gejala muskuloskeletal, seperti : nyeri leher, yang merupakan keluhan terbanyak (48,6%), nyeri punggung bawah (35,6%), dan nyeri bahu (15,7%) 50

43 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Patogenesis Computer Vision Syndrome (CVS): Keluhan mata kering bisa terjadi karena peningkatan penguapan air mata dan berkurangnya sekresi air mata. Kedua hal tersebut diakibatkan oleh kebutuhan untuk dapat memusatkan penglihatan pada monitor. Keadaan ini diperberat oleh beberapa faktor antara lain: penggunaan air conditioner (AC) atau alat pemanas sentral yang akan mengalirkan udara kering dengan aliran cepat, pencahayaan ruangan dengan tingkat iluminasi tinggi sehingga terjadi kontras yang berlebihan antara monitor dengan lingkungan kerja yang dapat mengganggu fungsi akomodasi dan berakibat pada ketidaknyamanan terhadap mata, dan monitor komputer yang diposisikan lebih tinggi dari ketinggian horizontal mata menyebabkan area permukaan mata yang terpajan oleh lingkungan menjadi lebih luas (Affandi, 2005:297) Keluhan mata tegang dan mata lelah terutama disebabkan oleh aktivitas akomodasi dan konvergensi mata yang berlebihan ketika bekerja di depan komputer. Aktivitas yang berlebihan itu terjadi karena mata membutuhkan penyesuaian terhadap jarak mata dengan layar monitor serta karakter huruf dan gambar pada komputer. Berbagai faktor yang memperberat keluhan ini antara lain astigmatisma, hipermetropia, mopia, cahaya berlebihan, kesulitan koordinasi mata, dan lain-lain. Penggunaan AC juga berkontribusi terhadap kejadian mata tegang karena AC yang digunakan di ruangan berdebu dapat mengalirkan partikel debu ke mata sehingga keluhan mata tegang menjadi lebih parah (Affandi, 2005:297). Nyeri kepala pada pekerja pengguna komputer dipicu oleh berbagai macam stress, seperti kecemasan dan depresi. Faktor lain yang berpengaruh yaitu kondisi mata (astigmatisma dan hipermetropia) dan kondisi lingkungan kerja yang tidak layak ( silau, kurang pencahayaan, dan penyusunan letak komputer yang tidak layak) (Affandi, 2005:298). Nyeri pada leher dan punggung bisa diakibatkan oleh postur tubuh yang kurang tepat ketika bekerja di depan komputer. Postur tubuh tersebut bisa berasal dari usaha untuk menyesuaikan monitor yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ketinggian horizontal mata, selain itu juga sebagai usaha untuk menyesuaikan penglihatan akibat kelainan refraksi atau keadaan presbiopia (Affandi, 2005:298). Penglihatan kabur terjadi bila mata tidak dapat memfokuskan objek penglihatan secara tepat di retina sehingga tidak terbentuk bayangan yang jelas. Penglihatan kabur disebabkan oleh kelainan refraksi seperti hipermetropia, miopia, dan astigmatisma, selain itu bisa disebabkan oleh kacamata. Suatu keadaan yang disebut dengan presbiopia juga berkaitan dengan timbulnya keluhan penglihatan kabur. Faktor lingkungan kerja dapat berpengaruh pula terhadap timbulnya keluhan ini, yaitu layar monitor yang kotor, sudut penglihatan yang kurang baik, adanya refleksi cahaya yang menyilaukan atau monitor komputer yang berkualitas buruk atau rusak (Affandi, 2005:299). Computer Vision Syndrome sebenarnya bukan merupakan suatu sindrom yang mengancam nyawa. Manifestasi klinis dari sindrom ini mungkin dirasa tidak parah dan tidak mengganggu bagi sebagian orang. Hal tersebut memicu ketidakperdulian masyarakat dalam memeriksakan kesehatannya sehingga sindrom ini tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Dampak yang selanjutnya terjadi jika sindrom Computer Vision Syndrome (CVS) ini tidak diatasi adalah adanya hambatan dalam aktivitas seharihari seperti penurunan produktivitas kerja seseorang, peningkatan tingkat kesalahan dalam bekerja, dan penurunan kepuasan kerja (Affandi, 2005:297). Di wilayah UNNES terdapat berbagai macam usaha salah satunya rental komputer. Seiring dengan perkembangan UNNES dan meningkatnya aktivitas mahasiswa, maka rental komputer semakin banyak berdiri. Tempat rentalan komputer yang diambil dalam penelitian ini di wilayah kampus UNNES yang meliputi area banaran, sekaran, dan patemon berjumlah 20 rental komputer. Rental tersebut yaitu: Siba Comp (Sekaran), Azizah 1 (sekaran), Azizah 2 (sekaran), Ramm (banaran), Setia (sekaran), Media (patemon), Mitra Comp 51

44 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) (banaran), Dana Comp (banaran), Sinergi (sekaran), Permata (sekaran), Bonafide (sekaran), BMC Comp (patemon), Java (patemon), Atha Comp (sekaran), Ponm Comp (sekaran), dan Zero Comp (banaran). Survei awal yang dilakukan pada tanggal Mei 2012 pada pekerja rental komputer dilakukan wawancara pada 20 pekerja dan didapat hasil 40% pekerja mengeluhkan mata lelah, 20% pekerja mengeluhkan mata terasa kering, 35% pekerja mengalami penglihatan kabur, 50% pekerja mengeluhkan sakit kepala, 65% pekerja mengeluhkan pegal di bagian leher, dan 35% pekerja mengalami nyeri punggung. Dalam setiap satu tempat rental komputer terdiri dari 2-3 orang operator komputer. Sistem kerjanya terbagi menjadi 2 shift kerja dalam sehari yaitu shift pagi dimulai dari jam sampai WIB dan shift sore dimulai dari jam sampai WIB. Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja rental komputer diantaranya memberikan pelayanan rental, instal, pengetikan, olah data, pemprograman baik skripsi maupun tugas mahasiswa khususnya mahasiswa Universitas Negeri Semarang. Setiap pekerja rental komputer bekerja selama 5 hingga 6 jam dalam sehari, bahkan bisa lebih ketika berlembur. Berdasarkan pengakuan dari responden, waktu istirahat dalam setiap shift (pagi dan sore) selama 1 jam per shift (15 menit dan 45 menit) yang disesuaikan dengan sedikit banyaknya jumlah pelanggan. Itupun tidak berlaku apabila pekerja rental komputer mengalami kejenuhan saat bekerja di depan layar monitor, kejenuhan yang dialami pekerja rental komputer saat bekerja diluar jam istirahat yang telah ditentukan diantaranya: berkomunikasi dengan teman melalui handphone, merokok, memakan cemilan, menonton televisi, membuka jaringan sosial media, smsan, dan berbicara dengan pelanggan. Dengan keadaan seperti ini, pekerja rental komputer mempunyai waktu istirahat yang kurang teratur. Alasan peneliti memilih pekerja rental komputer di wilayah kampus Universitas Negeri Semarang sebagai obyek penelitian di karenakan dilihat dari survei awal yang sudah dilakukan, ternyata pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES memiliki keluhan Computer Vision Syndrome (CVS). Keluhan yang dialami pekerja rental komputer diantaranya mata lelah, mata kering, penglihatan kabur, sakit kepala, nyeri leher, dan nyeri punggung. Berdasarkan uraian, maka peneliti tertarik untuk memilih judul mengenai Faktor yang berhubungan dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian explanatory research (penjelasan) yaitu peneliti ingin menjelaskan hubungan antara variabel bebas (lama kerja, jarak mata dengan monitor, intensitas penerangan, dan sikap kerja) dan variabel terikat (keluhan CVS) melalui uji statisitik. Sedangkan rancangan penelitian yang akan digunakan adalah dengan menggunakan metode Cross Sectional. Penelitian ini dilakukan di kampus UNNES meliputi wilayah Banaran, Sekaran, dan Patemon. Subjek dalam penelitian ini adalah pekerja rental komputer. Populasi dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 36 responden. Sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden atau tempat kerja, dilakukan untuk mencari data tentang lama kerja, jarak mata dengan monitor, intensitas penerangan, dan sikap kerja. Data sekunder diperoleh dari ketua perkumpulan rental komputer. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Kuesioner. Teknik pengambilan data menggunakan pengukuran dengan menggunakan meteran, lux meter dan kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (uji Chi-Square dengan α 0,05). HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lama Kerja (Sumber: Data penelitian 2013) 52

45 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jarak Mata dengan Monitor No. Jarak Mata dengan Monitor 1. Tidak optimal (Sumber: Data penelitian 2013) Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Intensitas Penerangan No. Intensitas penerangan Frekuensi Frekuensi Prosentase (%) 1. < 300 lux lux 7 19 Jumlah (Sumber: Data penelitian 2013) Prosentase (%) Optimal Jumlah No. Lama Bekerja Frekuensi 1. < 4 jam > 4 jam Jumlah (Sumber: Data penelitian 2013) Tabel 5. Distribusi Frekuensi Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) No. Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) 1. Tidak ada keluhan 2. Ada keluhan Frekuensi (Sumber: Data penelitian 2013) Prosentase (%) Prosentase (%) Jumlah Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Sikap Kerja No. Sikap Kerja Frekuensi Prosentase (%) 1. Tidak ada gejala 2. Ada Gejala Jumlah Tabel 6. Hubungan antara lama kerja dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) No. Lama Kerja Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Total Tidak ada keluhan Ada keluhan Jumlah % p- value f % f % 1. < 4 jam 3 60,0 2 40, > 4 jam 3 9, , Jumlah 6 16, , (Sumber: Data penelitian 2013) 0,005 53

46 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Tabel 7. Hubungan antara Jarak Mata dengan Monitor dengan Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) No. Jarak Mata dengan Monitor Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Tidak ada keluhan Ada keluhan Total Jumlah % f % f % 1. > 50 cm 1 0, , < 50 cm 5 35,7 9 64, Jumlah 6 16, , (Sumber: Data penelitian 2013) p-value 0,012 Tabel 8. Hubungan antara Intensitas Penerangan dengan Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) No. Intensitas penerangan Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Tidak ada keluhan Ada keluhan Total Jumlah % f % f % 1. < 300 lux 1 0, , lux 5 71,4 2 28, Jumlah 6 16, , (Sumber: Data penelitian 2013) p-value 0,001 Tabel 9. Hubungan antara sikap kerja dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) No. Sikap kerja Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Tidak ada keluhan Ada keluhan Total Jumlah % f % f % 1. Tidak ada gejala 5 35,7 9 64, Ada gejala 1 0, , Jumlah 6 16, , (Sumber: Data penelitian 2013) p-value 0,014 Hubungan antara Lama Kerja dengan Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Berdasarkan Tabel 6, hasil analisis lama kerja dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) diketahui bahwa dari 5 responden yang bekerja < 4 jam per hari terdapat 3 responden (60,0%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) dan 2 responden (40,0%) mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS). Dan 31 responden yang bekerja > 4 jam per hari terdapat 28 responden (90,3%) mengalami keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) dan 3 responden (9,7%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS). Uji Chi square yang dilakukan menunjukkan ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES. Dengan nilai p-value 0,005 (p < 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Bambang dalam buku A. Setiono Mangoenprasodjo yang menyatakan bahwa penggunaan komputer tidak boleh lebih dari 4 (empat) jam dalam sehari. Bila lebih dari waktu 54

47 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) tersebut, mata cenderung akan mengalami refraksi. Jika penggunaan dalam jangka waktu lebih dari 4 (empat jam) tidak bisa dihindari, maka frekuensi istirahat harus lebih sering (A. Setiono Mangoenprasodjo, 2005:118). Hubungan antara Jarak Mata dengan Monitor dengan Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Berdasarkan Tabel 7, hasil analisis jarak mata dengan monitor dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) diketahui bahwa dari 22 responden yang jarak mata dengan monitor < 50 cm terdapat 21 responden (95,5%) mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) dan 1 responden (0,5%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) sedangkan 14 responden yang jarak mata dengan monitor > 50 cm terdapat 9 responden (64,5%) mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) dan 5 responden (35,7%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS). Uji Chi square yang dilakukan menunjukkan adanya hubungan antara jarak mata dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES. Dengan nilai p-value 0,012 (p < 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Dennis R. Ankrum (2006) yang menyatakan bahwa ketika melihat obyek pada jarak dekat, lensa mata akan menebal pada fokus pada sasaran yang dekat. Jika mata melihat obyek yang dekat dalam waktu yang lama akan menyebabkan ketegangan otot siliar sehingga menyebabkan kelelahan pada mata. Tidak ada batasan pasti tentang jarak ini, dan masih banyak faktor lain yang mempengaruhinya seperti besar monitor, namun para ahli mematok paling tidak jarak cm harus tercapai antara mata dengan monitor. Hubungan antara Intensitas Penerangan dengan Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Berdasarkan Tabel 8, hasil analisis intensitas penerangan dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) diketahui bahwa 29 responden yang intensitas penerangannya < 300 lux terdapat 28 responden (96,6%) mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) dan 1 responden (0,4%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) sedangkan 7 responden yang intensitas penerangannya lux terdapat 5 responden (71,4%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) dan 2 responden (28,6%) mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS). Uji Chi square yang dilakukan menunjukkan adanya hubungan antara intensitas penerangan dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES. Dengan nilai p-value 0,001 (p < 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Suma mur PK (2009:174) yang menyatakan bahwa pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan dalam waktu yang lama harus mendapatkan penerangan yang intensitasnya tinggi, untuk pekerjaan yang demikian penerangan sedikitnya 1000 lux. Pada pekerjaan yang memerlukan perbedaan untuk waktu yang pendek dan kontras yang sedang mendapatkan penerangan sedikitnya 300 lux. Pekerjaan yang tidak menimbulkan perbedaan yang besar harus mendapatkan penerangan sedikitnya 100 lux. Pekerjaan kasar yang tidak memerlukan penglihatan kritis harus mendapat penerangan sedikitnya 50 lux. Hubungan antara Sikap Kerja dengan Keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) Berdasarkan Tabel 9, hasil analisis sikap kerja dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) diketahui bahwa 14 responden yang tidak ada gejala terdapat 9 responden (64,3%) mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) dan 5 responden (35,7%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) sedangkan 22 responden yang ada gejala terdapat 21 responden (95,5%) tidak mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS) dan 1 responden (0,5%) mengalami keluhan computer vision syndrome (CVS). Uji Chi square yang dilakukan menunjukkan adanya hubungan antara sikap 55

48 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) kerja dengan keluhan computer vision syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES. Dengan nilai p-value 0,014 (p < 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Gempur Santoso (2004:53) yang menyatakan bahwa Sikap kerja tidak alamiah, yaitu sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja SIMPULAN Dari 36 responden pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara lama kerja dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES dengan nilai p value= 0,005. Ada hubungan antara jarak mata dengan monitor dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES dengan nilai p value= 0,012. Ada hubungan antara intensitas penerangan dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES dengan nilai p value= 0,001. Ada hubungan antara sikap kerja dengan keluhan Computer Vision Syndrome (CVS) pada pekerja rental komputer di wilayah kampus UNNES dengan nilai p value= 0,014. DAFTAR PUSTAKA Anies, dkk, 2005, Penyakit Akibat Kerja, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. A.Fauzi, 2007, Penyakit Akibat Kerja Karena Komputer. /13/laptunilapp-gdl-jou-2007-afauzi-617 penyakit-pdf.diakes 25 mei Affandi, 2005, Kesehatan Mata Pengguna Komputer. Elektro/kompt6.html.diakses 25 Mei AM. Sugeng Budiono, dkk, 2003, Bunga Rampai Hiperkes dan Kesehatan Kerja, Semarang: Badan Penerbit Undip. American Optometric Association, 2006, The Effects of Video Display Terminal Use on Eye, Health, and Vision. diakses 25 mei A. Setiono Mangoenprasodjo, 2005, Mata Indah Mata Sehat, Yogyakarta. Dennis R. Ankrum, 2006, Viewing Distance at Computer Workstations, diakses 25 Mei Djunaedi, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eyestrain pada Operator Komputer di Pertamina Unit III Jakarta, Jakarta: Universitas Indonesia. Edi S. Affandi, 2005, Sindrom Penglihatan Komputer, =mki.mki_dl&smod=mki&sp=publicmjatm TE.diakses 25 Mei Gempur Santoso, 2004, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Prestori Pustaka. Ikatan Dokter Indonesia, Seminar Komputer dan Keselamatan Kerja, health.com/health-article-what-is- CVS-Computer-Vision-Syndrome-and-is-there-asolution.html. diakses 25 Mei Sheddy EJ, 2004, Computer Vision Syndrome: Survey Americans Cancerned About Vision 56

49 Melati Aisyah Permana / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Problem from Computer Use Health and Medicine Week. Atlanta. Suma mur PK, 2009, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta: Gunung Agung. No. Nama Pengarang Tahun 1. Anies A. Setiono Mangoenoprasodjo A. Fauzi Djunaedi Affandi Sheddy Dennis R. Ankrum Gempur Santoso Suma mur PK

50 UJPH2 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PENDERITA KUSTA DI KABUPATEN BREBES Naeli Robikhati Zakiyyah, Irwan Budiono, Intan Zainafree Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel SejarahArtikel: Diterima September 2014 Disetujui September 2014 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: Leprosy, Medication Adherence Abstrak Tahun 2013 jumlah kasus baru kusta di Kabupaten Brebes sebanyak 301 penderita, 48 penderita pausi basiller (PB) dan 253 penderita multy basiller (MB). Persentase angka selesai berobat/release From Treatment (RFT) untuk PB 64,10% (< target 90%), sedangkan untuk MB 72,90% (< target 95%). Tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita dalam minum obat di Kabupaten Brebes. Jenis penelitian ini adalah explanatory researchdengan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderitakusta di Kabupaten Brebes tahun 2013 sebanyak 301 orang. Sampel berjumlah 44 orang. Analisis data menggunakan uji chi square dengan uji alternatif uji Fisher s exact test(α=0,05). Hasil penelitianmenunjukkan ada hubungan antara pengetahuan (p value=0,001), sikap (p value=0,001), persepsi (p value=0,013), dukungan keluarga (p value=0,001), dan dukungan petugas (p value=0,024) dengan kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Saran bagi petugas kusta agar tetap memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta dan akibat bila tidak patuh minum obat. Bagi penderita kusta yang belum patuh hendaknya rutin meminum obat yang diberikan petugas kesehatan. Bagi peneliti selanjutnya agar meneliti variabel lain, dan menggunakan desain penelitian yang lain. Abstract In 2013 the amount of new cases of leprosy in Brebes district was counted 301 patients, 48 patients of pausi basiller (PB) and 253 patients of multy basiller (MB). Percentage of Release From Treatment for PB was % (< target of 90%), whereas for MB was % (< target of 95%). The purpose of this study was to analyze the factors associated with patients pursuance in taking medication at Brebes district.this research belongs to explanatory research using cross-sectional research design. Population in this study were 301 people of which they all were lepers in Brebes District in The samples were 44 people. The data would be analysed using chi square test with the alternative test using Fisher s exact test (α=0,05). The results showed significant relationship between knowledge (p value=0.000), attitude (p value=0.000), perception (p value=0.013), family support (p value=0.000), and officers support (p value=0,024) towards adherence of medicine taking of lepers in Brebes Distict. Advice for leprosy officers is to continue giving information to society regarding the jeopardy of leprosy and the bad effects of not taking the leprosy medicine regularly. For patients of leprosy, they should routinely take the medicine given by the doctor or care workers. For people, they should not isolate lepers due to the fear of being infected or other reasons. For researcher, hoped to have, and examine other variable of research using other research designs. Alamatkorespondensi: GedungF1Lantai2 FIKUnnes KampusSekaran, Gunungpati, Semarang, naelizakiyyah@gmail.com 2015 Universitas Negeri Semarang ISSN

51 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) PENDAHULUAN Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan penderita mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan bisnis, sampai kehadiran mereka pada acara acara keagamaan serta acara di lingkungan masyarakat (Soedarjatmi, Tinuk Istiarti dan Laksmono Widagdo, 2009). Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menempuh langkah-langkah pemberantasan kusta melalui peningkatan penemuan kasus baru, pemberian obat dan pemantauan pengobatan secara rutin, pendidikan dan pelatihan bagi petugas kusta, memberikan pengobatan secara gratis, melakukan upaya intensif terhadap pencegahan kecacatan, serta peningkatan penyuluhan perawatan diri bagi penderita kusta, namun secara implisit masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan (Depkes RI, 2006). Pada tahun 2011, di antara 18 negara penyumbang penderita kusta terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan ketiga dunia setelah India dan Brasil (WHO, 2012 : 320). Jawa Tengah menempati urutan kedua dengan penderita kusta terbanyak di Indonesia setelah Jawa Timur (Depkes RI, 2012). Kabupaten Brebes sebagai salah satu bagian wilayah Provinsi Jawa Tengah yang merupakan kantong kusta terdapatpenderita kusta sebanyak 301 penderita pada tahun 2013, terdiri dari 48 penderita PB dan 253 penderita MB (Dinkes Kab. Brebes, 2014). Persentase angka selesai berobat/release From Treatment (RFT) untuk PB 64,10% lebih rendah dari target 90%, sedangkan untuk MB 72,90% lebih rendah dari target 95% (Dinkes Kabupaten Brebes, 2010). Cakupan kusta tidak bisa tercapai dikarenakan masih banyak penderita yang tidak berobat teratur atau penderita yang seharusnya sudah selesai diobati (Release From Treatment - RFT), tetapi belum dicatat sudah RFT (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013 : 29). Bagi penderita sendiri jika sudah didiagnosis sebagai penderita kusta oleh petugas kesehatan, maka akan cenderung menutup diri terutama sudah nampak ada kelainan ditubuhnya. Penderita merasa rendah diri, malu dan dikucilkan oleh masyarakat, disamping itu juga penderita kusta susah mencari pekerjaan. Maka dari itu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi penderita kusta, dibutuhkan peran keluarga yang dapat memberikan dukungan atau semangat untuk lebih meningkatkan kesadaran dan harga diri dalam menjalani hidup tanpa rasa malu dan rendah diri sehingga penderita kusta mau menjalani pengobatan secara tuntas. Mengingat kompleksnya masalah kusta serta dampaknya bagi kesehatan masyarakat, maka program pemberantasan kusta menjadi salah satu program prioritas didalam pemberantasan penyakit menular di Indonesia (Usman, 2005). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. METODE Variabel bebas penelitian ini adalah faktor demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan), pengetahuan, sikap, persepsi, jarak rumah dengan tempat pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, dan dukungan petugas. Untuk variabel terikatnya adalah kepatuhan minum obat penderita kusta. Kriteria yang digunakan untuk kepatuhan minum obat adalah patuh dan tidak patuh. Patuh, dimana penderita datang sesuai jadwal dan meminum obatnya. Tidak patuh, bila penderita datang sesuai jadwal tetapi tidak meminum obatnya atau datang tidak sesuai jadwal dan tidak meminum obatnya atau datang tidak sesuai jadwal tetapi meminum obatnya (Depkes RI, 2006 : 42). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional atau explanatory research dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderitakusta di Kabupaten Brebessampai akhir tahun 2013 sebanyak 301 orang.sampel dalam penelitian ini adalah pasien 59

52 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) kusta tahun 2013 ketika dilaksanakan penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah didiagnosis menderita kusta, berobat di puskesmas wilayah Kabupaten Brebes, dan telah menyelesaikan pengobatan kusta (Release From Treatment). Untuk kriteria eksklusinya adalah menderita penyakit kronis, tidak bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Brebes, dan tidak bersedia diwawancarai. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan cluster sampling (Notoatmodjo, 2010 : 123). Besar sampel minimal dalam penelitian ini adalah 42 orang. Teknik pengambilan data menggunakan kuesioner dan check list. Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square dengan uji alternatif uji Fisher s exact test (α < 0,05). HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Tabulasi Silang Variabel Bebas dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Variabel Umur - < Jenis Kelamin - Laki-laki Perempuan Pendidikan - Rendah - Tinggi Pekerjaan - Bekerja - Tidak Bekerja Pengetahuan - Tinggi - Sedang Sikap - Baik - Sedang Persepsi - Baik - Sedang Jarak - Jauh - Sedang - Dekat Dukungan Keluarga - Tinggi - Sedang Kepatuhan Minum Obat Patuh Tidak Patuh n % n % 100,00 62,79 61,54 66,67 64,29 50,00 66,67 50,00 95,24 34,78 90,48 39,13 87,50 50,00 50,00 66,67 68,18 95,00 37, ,00 37,21 38,42 33,33 35,71 50,00 33,33 50,00 4,76 65,22 9,52 60,87 12,50 50,00 50,00 33,33 31,82 5,00 62,50 Frekuensi % Nilai p ,27 97,73 59,09 40,91 95,45 4,55 86,36 13,64 47,73 52,27 47,73 52,27 36,36 63,64 22,73 27,27 50,00 45,45 54,55 0,636 0,728 0,372 0,310 0, ,013 0,951 0,001 60

53 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Dukungan Petugas - Tinggi - Sedang ,95 47, ,05 52, ,73 52,27 0,023 Hubungan antara Umur dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Berdarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 1 responden yang berumur < 15 tahun merupakan responden yang patuh minum obat. Dari 43 responden yang berumur 15 tahun, terdapat 27 responden (62,8%) yang patuh minum obat dan 16 responden (37,2%) yang tidak patuh minum obat. Analisis menggunakan uji Fisher s exact test karena tidak memenuhi syarat uji chi square yaitu terdapat 2 sel yang nilai expected-nya kurang dari 5. Hasil analisis yang diperoleh dari uji Fisher s exact test yaitu menunjukkan bahwa nilai p value 0,636 (> α = 0,05), sehingga Ha ditolak, yang artinya tidak ada hubungan antara umur responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Risty Ivanti (2010), bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kepatuhan minum obat. Hal ini disebabkan karena penderita yang berumur < 15 tahun selalu dipantau oleh orangtuanya dalam pengobatan, sehingga penderita tersebut cenderung patuh minum obat. Penderita yang tidak patuh minum obat beralasan pengobatan kusta membosankan karena waktu pengobatan yang lama. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dari 26 responden yang berjenis kelamin laki-laki, terdapat 16 responden (61,5%) yang patuh minum obat dan 10 responden (38,4%) yang tidak patuh minum obat. Dari 18 responden berjenis kelamin perempuan, terdapat 12 responden (66,8%) yang patuh minum obat dan 6 responden (33,3%) yang tidak patuh minum obat. Analisis menggunakan uji chi square karena tidak ada sel dengan nilai expected kurang dari 5. Hasil analisis yang diperoleh dari uji chi square yaitu menunjukkan bahwa nilai p value 0,728 (> α = 0,05), sehingga Ha ditolak, yang artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Distribusi epidemiologi kusta menurut jenis kelamin, penderita kusta lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan (Depkes RI, 2006). Menurut Joenoes, kepatuhan minum obat berhubungan dengan faktor individu penderita antara lain jenis kelamin penderita. Skiner menyatakan bahwa kepatuhan minum obat dipengaruhi faktor dari dalam penderita antara lain jenis kelamin. Menurut Smet, kaum perempuan cenderung lebih patuh minum obat untuk kesembuhannya dibanding laki-laki, karena sesuai dengan kodrat wanita untuk dapat berpenampilan menarik, karena setiap penyakit yang berakibat buruk terhadap penampilannya diupayakan untuk tidak terjadi dengan mematuhi segala anjuran teratur minum obat (Notoatmodjo, 2005). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, bahwa tidak ada hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan minum obat. Kepatuhan minum obat kembali kepada kesadaran dan motivasi masing-masing penderita. Jika penderita mempunyai kesadaran dan motivasi yang tinggi untuk sembuh dari penyakit kusta, maka penderita akan rutin minum obat. Hubungan antara Pendidikan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dari 42 responden yang memiliki pendidikan rendah, terdapat 27 responden (64,3%) yang patuh minum obat dan 15 responden (35,7%) yang tidak patuh minum obat. Dari 2 responden memiliki pendidikan tinggi, terdapat 1 responden (50%) yang patuh minum obat dan 1 responden (50%) yang tidak patuh minum obat. 61

54 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Analisis menggunakan uji Fisher s exact test karena tidak memenuhi syarat uji chi square yaitu terdapat 2 sel yang nialai expected-nya kurang dari 5. Hasil analisis yang diperoleh dari uji chi square yaitu menunjukkan bahwa nilai p value 0,372 (> α = 0,05), sehingga Ha ditolak, yang artinya tidak ada hubungan antara pendidikan responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Doni Anugerah (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan kepatuhan. Menurut Skiner, kepatuhan minum obat adalah tindakan nyata yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri antara lain pendidikan penderita. Pendapat Smet, bahwa pendidikan yang kurang akan menyebabkan penderita tidak patuh minum obat (Notoatmodjo, 2005). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, bahwa tidak ada hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan minum obat. Pada penelitian ini, baik responden yang patuh maupun yang tidak patuh sebagian besar memiliki pendidikan dasar dan ada yang tidak sekolah. Hal ini disebabkan tidak selamanya penderita yang berpendidikan dasar tingkat pengetahuannya tentang penyakit kusta rendah dan juga tidak semua yang berpendidikan menengah keatas pengetahuan tentang kusta tinggi. Selain itu tingkat kepatuhan dipengaruhi oleh faktor informasiyang diterima oleh responden. Leaflet yang ada di puskesmas, spanduk-spanduk, poster-poster yang banyak tersebar juga banyak memberikan informasi tentang kusta dan pengobatannya. Oleh karena itu media cetak banyak memberi informasi kepada responden. Hubungan antara Pekerjaan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Berdasarkan tabel 2 diketahui dari 36 responden yang bekerja, terdapat 24 responden (66,8%) yang patuh minum obat dan 12 responden (33,3%) yang tidak patuh minum obat. Dari 8 responden yang bekerja, terdapat 4 responden (50%) yang patuh minum obat dan 4 responden (50%) yang tidak patuh minum obat. Analisis menggunakan uji Fisher s exact test karena tidak memenuhi syarat uji chi square yaitu terdapat 1 sel yang nialai expected-nya kurang dari 5. Hasil analisis yang diperoleh dari uji chi square yaitu menunjukkan bahwa nilai p value 0,310 (> α = 0,05), sehingga Ha ditolak, yang artinya tidak ada hubungan antara pekerjaan responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hal ini disebabkan karena penderita yang tidak bekerja maupun yang bekerja memperoleh pengobatan kusta secara cuma-cuma atau gratis. Hubungan antara Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Berdasarkan hasil penelitian, diketahui dari 21 responden yang memiliki pengetahuan tinggi, terdapat 20 responden (95,2%) yang patuh minum obat dan 1 responden (4,8%) yang tidak patuh minum obat. Dari 23 responden yang memiliki pengetahuan sedang, terdapat 8 responden (34,8%) yang patuh minum obat dan 15 responden (65,2%) yang tidak patuh minum obat. Hasil analisis yang diperoleh dari uji alternatif chi square dengan penggabungan sel menunjukkan bahwa nilai p value 0,001 (< α = 0,05), sehingga Ha diterima, yang artinya ada hubungan antara pengetahuan responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hal ini sama dengan teori L. Green dalam Notoatmodjo (2005) yang menyatakan perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, persepsi), faktor pendukung dan faktor penguat. Sama juga dengan pendapat Notoatmodjo yang mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan responden adalah pengetahuan mengenai penyakit kusta yang diterima langsung dari petugas kesehatan sewaktu berobat sehingga diharapkan dapat merubah perilaku untuk teratur berobat maupun minum obat untuk mencapai kesembuhan. Penyuluhan intensif secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pengetahuan yang akhirnya akan mendorong meningkatkan 62

55 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) pengetahuan berobat maupun minum obat. Pengetahuan tentang pengobtan kusta yang rendah bisa diakibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu rendahnya pendidikan yang pernah ditempuh maupun kurangnya informasi tentang kusta yang diterima oleh masyarakat. Pengetahuan yang rendah bisa berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat terhadap kesehatan, dalam hal ini adalah ketidakpatuhan minum obat dikarenakan merasa tidak sembuhsembuh atau merasa bosan. Hubungan antara Sikap dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Berdasarkan hasil penelitian, diketahui dari 21 responden yang memiliki sikap baik, terdapat 19 responden (90,5%) yang patuh minum obat dan 2 responden (9,5%) yang tidak patuh minum obat. Dari 23 responden yang memiliki sikap sedang, terdapat 9 responden (39,1%) yang patuh minum obat dan 15 responden (60,9%) yang tidak patuh minum obat. Hasil analisis yang diperoleh dari uji alternatif chi square dengan penggabungan sel menunjukkan bahwa nilai p value 0,001 (< α = 0,05), sehingga Ha diterima, yang artinya ada hubungan antara sikap responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Fajar (2002) pada penderita kusta di Kabupaten Gresik, bahwa ada pengaruh sikap penderita terhadap pengobatan dini dan pengobatan teratur, karena dengan pengobatan yang teratur dan patuh minum obat penderita akan sembuh dari penyakit kusta. Menurut Taylor, ketaatan penderita minum obat sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilaku atau sikapnya apakah pasien mengikuti apa yang dianjurkan oleh petugas untuk dilaksanakan guna mencapai kesembuhan. Sikap dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Hubungan antara Persepsi dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Berdasarkan hasil penelitian, diketahui dari 16 responden yang memiliki persepsi baik, terdapat 14 responden (87,5%) yang patuh minum obat dan 2 responden (12,5%) yang tidak patuh minum obat. Dari 28 responden yang memiliki persepsi sedang, terdapat 14 responden (50%) yang patuh minum obat dan 14 responden (50%) yang tidak patuh minum obat. Hasil analisis yang diperoleh dari uji alternatif chi square dengan penggabungan sel menunjukkan bahwa nilai p value 0,013 (< α = 0,05), sehingga Ha diterima, yang artinya ada hubungan antara persepsi responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Made Suadnyani Pasek dan I Made Setiawan (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan kepatuhan pengobatan. Persepsi merupakan pemberian makna kepada stimulus yang diterima oleh setiap orang. Pemberian makna terhadap stimulus atau objek yang sama dapat berbeda-beda pada masingmasing individu. Dengan demikian persepsi individu terhadap penyakit yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda-beda. Mungkin sebagian orang mempersepsikan sebagai penyakit, tetapi bagi sebagian yang lain mungkin mempersepsikan bukan sebagai penyakit. Apa yang dirasakan sehat oleh seseorang, bisa saja dirasakan tidak sehat bagi orang lain. Pada kenyataannya di masyarakat terdapat konsep yang beraneka ragam tentang sehat-sakit yang kadang-kadang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan konsep sehat-sakit yang diarahkan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan. Adanya perbedaan persepsi ini dapat mempengaruhi perilaku individu ketika sakit, yang kadang-kadang cenderung untuk membuat keputusan sendiri. Hubungan antara Jarak Rumah dengan Tempat Pelayanan Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta 63

56 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Berdasarkan hasil penelitian, diketahui dari 10 responden yang memiliki jarak jauh dari rumah ke tempat pelayanan kesehatan, terdapat 5 responden (50%) yang patuh minum obat dan 5 responden (50%) yang tidak patuh minum obat. Dari 12 responden yang memiliki jarak sedang dari rumah dengan tempat pelayanan kesehatan, terdapat 8 responden (66,7%) yang patuh minum obat dan 4 responden (33,3%) yang tidak patuh minum obat. Dari 22 responden yang memiliki jarak dekat dari rumah ke tempat pelayanan kesehatan, terdapat 15 responden (68,2%) yang patuh minum obat dan 7 responden (31,8%) yang tidak patuh minum obat. Hasil analisis yang diperoleh dari uji chi square menunjukkan bahwa nilai p value 0,951 (> α = 0,05), sehingga Ha ditolak, yang artinya tidak ada hubungan antara persepsi responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hal ini disebabkan karena sebagian besar puskesmas di Kabupaten Brebes cukup mudah diakses dan banyak alat transportasi yang tersedia, seperti angkutan umum, ojek, ataupun delman. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Tabel 2 diketahui dari 20 responden yang memiliki dukungan keluarga tinggi, terdapat 19 responden (95 %) yang patuh minum obat dan 1 responden (5%) yang tidak patuh minum obat. Dari 24 responden yang memiliki dukungan keluarga sedang, terdapat 9 responden (37,5%) yang patuh minum obat dan 15 responden (62,5%) yang tidak patuh minum obat. Hasil analisis yang diperoleh dari uji alternatif chi square dengan penggabungan sel menunjukkan bahwa nilai p value 0,001 (< α = 0,05), sehingga Ha diterima, yang artinya ada hubungan antara dukungan keluarga responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Hasil ini sesuai dengan penelitian Hutabarat (2008) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat. Menurut Notoatmodjo, sebelum individu mencari pelayanan kesehatan yang profesional, biasanya lebih dahulu meminta nasehat dari keluarga dan teman. Orang yang didukung keluarga dalam melakukan sesuatu hal, cenderung akan melakukan peraturan yang telah ditentukan, begitu juga dengan pengobatan. Bila didukung oleh keluarga, maka penderita akan teratur minum obat dan keluarga akan selalu mengingatkan untuk minum obat. Sama dengan penelitian Fajar (2002), bahwa dukungan keluarga mempengaruhi keteraturan pengobatan pada penderita kusta dan sama juga dengan teori Skiner bahwa kepatuhan penderita untuk minum obat dipengaruhi oleh dukungan keluarga. Hubungan antara Dukungan Petugas Kesehatan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Tabel 2 diketahui dari 21 responden yang memiliki dukungan petugas tinggi, terdapat 17 responden (81%) yang patuh minum obat dan 4 responden (19%) yang tidak patuh minum obat. Dari 23 responden yang memiliki dukungan petugas sedang, terdapat 11 responden (47,8%) yang patuh minum obat dan 12 responden (52,2%) yang tidak patuh minum obat. Hasil analisis yang diperoleh dari uji alternatif chi square dengan penggabungan sel menunjukkan bahwa nilai p value 0,023 (< α = 0,05), sehingga Ha diterima, yang artinya ada hubungan antara dukungan petugas responden dengan tingkat kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat (2008), secara statistik ada hubungan yang bermakna antara dukungan petugas dengan kepatuhan minum obat penderita kusta (p value = 0,003). Menurut Joenoes, seorang petugas kesehatan yang tidak komunikatif terhadap penderita akan menyebabkan penderita tidak mematuhi atau tidak meminum obat yang diberikan kepadanya. Penyuluhan yang efektif diberikan petugas kesehatan akan memberikan motivasi kepada penderita agar patuh minum obat. Efektivitas komunikasi petugas dengan penderita akan membuat penderita patuh menggunakan obat, dengan jelas mengutarakan berapa jumlah obat sekali minum, berapa kali sehari dan harus diteruskan berapa hari. Joenoes juga menyatakan apabila penderita tidak dapat 64

57 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) membaca dan menulis maka petugas kesehatan memberikan keterangan secara lisan dan berulang-ulang, sehingga penderita merasa yakin SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan : 1) Ada hubungan antara pengetahuan, sikap, persepsi, dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes, 2) Tidak ada hubungan antara faktor demografi (umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan) dan jarak rumah dengan tempat pelayanan kesehatan dengan kepatuhan minum obat penderita kusta di Kabupaten Brebes. Saran yang dapat diberikan bagi petugas puskesmas se-kabupaten Brebes agar tetap memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta dan akibat bila tidak patuh minum obat. Bagi penderita kusta yang belum patuh hendaknya rutin meminum obat yang diberikan petugas kesehatan, sehingga dapat sembuh dari penyakit kusta dan mencegah resistensi yang dapat ditimbulkan akibat tidak rutin meminum obat. Bagi penderita kusta yang rutin untuk dipertahankan hingga pengobatan selesai. Bagi masyarakat diharapkan tidak mengucilkan penderita kusta dikarenakan takut tertular atau alasan lainnya dan selalu mendukung penderita untuk minum obat teratur. Bagi peneliti selanjutnya agar meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan minum obat dan menggunakan desain penelitian yang lain. DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2006, Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK. Jakarta: DITJEN PPM & PLP., 2012, Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, diakses tanggal 9 Januari atau mengerti keterangan yang diberikan (Hutabarat, 2008). Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013, Profil Data Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012, diakses tanggal 9 Mei Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2010, Profil Kesehatan Kabupaten Brebes Tahun Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2014, Laporan Bulanan Tahun Doni Anugerah, 2007, Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Penderita Tb Paru Dengan Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu, Skripsi : Universitas Diponegoro Semarang Fajar, 2002, Analisis Faktor Sosial Budaya dalam Keluarga yang Mempengaruhi Pengobatan Dini dan Keteraturan Berobat pada Penderita Kusta (Studi pada Keluarga Penderita Kusta di Kabupaten Gresik), diakses tanggal 9 Januari Hutabarat, 2007, Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Di Kabupaten Asahan Tahun Tesis : Universitas Sumatera Utara. Risty Ivanti, 2010, Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Kepatuhan Berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Medan Tahun 2010, Skripsi : Universitas Sumatera Utara Medan. Notoatmodjo, 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Rineka Cipta , 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. Made Suadnyani Pasek dan I Made Setyawan, 2013, Hubungan Persepsi dan Tingkat 65

58 Naeli Robikhati Zakiyyah / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Pengetahuan Penderita TB dengan Kepatuhan Pengobatan di Kecamatan Buleleng, Skripsi : Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Soedarjatmi, Tinuk Istiarti dan Laksmono Widagdo, 2009, Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Persepsi Penderita Terhadap Stigma Penyakit Kusta, Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, volume 4 no WHO, 2012, Weekly Epidemiological Record No. 34, 2012, 87, , diakses tanggal 15 Februari Usman, 2005, Gambaran Perilaku Kusta Tipe MB Yang Drop Out Dengan Pengobatan MDT di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun , Skripsi : Universitas Sumatera Utara Medan. 66

59 UJPH2 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health EFEKTIVITAS PEMASANGAN BERBAGAI MODEL PERANGKAP TIKUS TERHADAP KEBERHASILAN PENANGKAPAN TIKUS DI KELURAHAN BANGETAYU KULON KECAMATAN GENUK KOTA SEMARANG TAHUN 2014 Jumini Irawati, Arulita Ika Fibriana, Bambang Wahyono Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel SejarahArtikel: Diterima September 2014 Disetujui September 2014 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: Rat; Rat Trap Models; Trap Success Abstrak Leptospirosis adalah penyakit yang ditularkan melalui urin hewan pengerat yang telah terinfeksi bakteri Leptospira dengan reservoir utama adalah tikus. Pengendalian tikus dengan mekanik diantaranya dengan pemasangan perangkap. Tipe perangkap yang berbeda memiliki efektifitas yang berbeda pula. Permasalahan yang timbul adalah model perangkap tikus mana yang paling efektif diterapkan terhadap keberhasilan penangkap tikus di Kelurahan Bangetayu Kulon. Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan menerapkan beberapa model perangkap tikus. Pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Jumlah sampelnya adalah 30 rumah. Dari hasil penelitian didapatkan data tikus yang tertangkap dengan menggunakan perangkap model live trap sebanyak 21 ekor dengan trap success 14%, model snap trap sebanyak 18 ekor, dengan trap success 12%, dan model lem tikus sebanyak 23 ekor, dengan trap success 15,33%. Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan efektivitas antara model perangkap hidup, perangkap mati, dan model perangkap perekat terhadap keberhasilan penangkapan tikus (p-valeu=0,648 > α=0,05). Trap success tikus di daerah ini tergolong tinggi yaitu sebesar 13,78%. Saran yang peneliti rekomendasikan adalah melakukan pengendalian tikus di rumah masing-masing secara rutin dan berkelanjutan dengan menggunakan perangkap lem tikus dan diletakkan di tempat-tempat yang biasa dilewati tikus. Abstract Leptospirosis was a disease transmitted through rodent urine that had been infected with Leptospira bacteria with rat as primary transmission reservoir. One of controlling rat by mechanical was trapping. Different trap types had different effectiveness. The problem that arises was which trap model was most effectively applied to the success of a rat catcher in the Bangetayu Kulon Village. This type of research was quasi experimental by applying several models of rat traps. A purposive sampling was used in the research. The samples were 30 homes. From the results of the observation, there were 21 rats were caught using live trap with 14% trap success, 18 rats were caught using snap trap with 12% trap success, and 23 rats were caught using glue rat with 15.33% trap success. Based on the Kruskal-Wallis test results showed no difference between the model trap of live trap, snap traps, and glue traps to the successful model of catching rat (p-valeu=0,648 > α=0.05). Trap success in this area was high about 13.78%. Researcher recommends to do control the rats in the house reutine and continually with gleu rat trap and put the trap in the place that always be through by rats. Alamatkorespondensi: GedungF1Lantai2 FIKUnnes KampusSekaran, Gunungpati, Semarang, juminiirawati92@gmail.com 2015 Universitas Negeri Semarang ISSN

60 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) PENDAHULUAN Tikus merupakan satwa liar yang sering sekali bersosialisasi dengan manusia. Tikus memiliki sifat merugikan manusia, yaitu sebagai hama pertanian, hewan pengganggu di rumah dan di gudang, serta penyebar dan penular (vektor) dari beberapa penyakit. Ditinjau dari aspek kesehatan, tikus dapat berperan sebagai karier atau reservoar bagi berbagai penyakit yang ditularkan kepada manusia (zoonosis) (Priyambodo S, 1995). Banyak penyakit pada manusia yang berasal dari tikus, namun gambaran menyeluruh tentang epidemiologi dan ekologi penyakit belum diketahui. Pada beberapa kasus, penyakit rodensia dianggap semata-mata sebagai demam biasa. Sebagai contoh antara lain pes, salmonelosis, leptospirosis, dan murin thypus belum diketahui oleh masyarakat luas, sehingga mengakibatkan kefatalan pada penderita penyakit tersebut (Dirjen P2PL, 2008). Data rekapitulasi kasus leptospirosis Kota Semarang tahun 2013 melaporkan bahwa terdapat 14 kecamatan di Kota Semarang yang menjadi daerah fokus leptospirosis. Salah satu daerah yang masuk dalam golongan daerah fokus leptospirosis adalah Kecamatan Genuk, hal ini dikarenakan sepanjang tahun 2013 ditemukan sebanyak 7 kasus dan 1 orang meninggal dengan IR 7,99 per penduduk dan CFR 14,29%. Puskemas Bangetayu merupakan puskesmas dengan kejadian leptospirosis tertinggi yaitu 6 kasus, 1 orang meninggal dengan IR 12,33 per penduduk (urutan kedua tertinggi di puskesmas se-kota Semarang) dan CFR 16,67% (Dinkes Kota Semarang, 2013). Kelurahan Bangetayu Wetan sebanyak 1 kasus, Kelurahan Penggaron Lor sebanyak 1 kasus, Kelurahan Karangroto sebanyak 1 kasus, dan 3 kasus lainnya di Kelurahan Bangetayu Kulon dengan 1 orang diantaranya meninggal (Puskesmas Bangetayu, 2013). Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis, serta memiliki curah hujan yang tinggi. Di Indonesia, kasus terbanyak dalam 3 tahun terakhir dilaporkan dari Jawa Tengah dan DI Yogyakarta (Depkes RI, 2010, 2011). International Leptospirosis Society menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan kasus kematian relatif tinggi, yaitu berkisar antara 2,5% - 16,45% atau rata rata 7,1% dan termasuk peringkat tiga di dunia. Angka kematian ini dapat lebih tinggi mencapai 56% apabila penderita leptospirosis telah berusia lebih dari 50 tahun dan terlambat mendapatkan pengobatan (Rusmini, 2011). Leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi Leptospira dengan reservoir utama adalah tikus (Pramestuti N, Ikawati B, & Astuti NT, 2012:12). Tikus merupakan hewan dengan kemampuan reproduksi tinggi. Hasil spot survey Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2005) dalam Hadi BS, Basuki N, Setyalastuti, & Setiawan YD (2007) di daerah leptospirosis menunjukkan bahwa trap success (keberhasilan penangkapan) di Kabupaten Demak 93,85%, di Semarang 74,62%, dan Kabupaten Klaten 58,33%. Keberhasilan penangkapan yang dilakukan di 4 kelurahan Kota Semarang sebesar 41,33%. Angka keberhasilan penangkapan tikus tersebut mengindikasikan bahwa kepadatan tikus masih tinggi dimana kepadatan tikus rata - rata normal sebesar 7%. Pengendalian tikus penting dilakukan untuk mengurangi kepadatan tikus. Pengendalian dapat dilakukan dengan memberikan intervensi terhadap berbagai aspek, yaitu sumber infeksi (host reservoir maupun hos karier), jalur penularan penyakit, dan manusia (Rusmini, 2010:110). Untuk melakukan pengendalian pada sumber infeksi leptospirosis (tikus) dapat dilakukan dengan mengendalikan/ kontrol terhadap populasi tikus. Salah satu metode pengendalian tikus yaitu dengan menggunakan perangkap. Perangkap yang digunakan dapat berupa perangkap hidup (live trap), perangkap mati (snap trap, break-back trap), atau perangkap berperekat (sticky-board trap). Menurut Lee, L (1997) tipe perangkap yang berbeda memiliki efektivitas yang berbeda pula. Penelitian mengenai keefektifan perangkap dan trap success telah beberapa kali dilakukan. 68

61 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Bedasarkan penelitian yang dilakukan Setyana, N (2007), didapatkan hasil bahwa jenis perangkap yang paling banyak dimasuki tikus secara berurutan yaitu multiple live trap, havahart live trap, single live trap, dan snap trap. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifatun, A (2011), didapatkan hasil bahwa ada perbedaan bermakna keberhasilan penangkapan tikus antara model perangkap single live trap dan snap trap (p-value=0,001). Penelitian yang dilakukan oleh Muhtar, A (2004), didapatkan hasil bahwa keberhasilan penangkapan tikus model lem adalah 56,66%, model kurungan dengan timbangan 53,33%, dan shairman atau cage type trap 23,33%. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik membuat penelitian yang berjudul: Efektivitas Pemasangan Berbagai Model Perangkap Tikus terhadap Keberhasilan Penangkapan Tikus di Kelurahan Bangetayu Kulon Kecamatan Genuk Kota Semarang Tahun METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi eksperiment). Eksperimen semu adalah eksperimen yang dalam mengontrol situasi penelitian menggunakan rancangan tertentu dan atau menunjukkan subyek secara nir-acak untuk mendapatkan salah satu dari berbagai tingkat faktor penelitian (Murti B, 2006:137). Variabel dalam penelitian ini antara lain pemasangan perangkap tikus (model live trap, snap trap, dan lem tikus), dan keberhasilan penangkapan tikus. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah 30 rumah yang terdapat di RT 06 RW 01. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan purposive sampling. Total perangkap yang digunakan berjumlah 90 buah dimana 30 perangkap berupa perangkap hidup (live trap), 30 perangkap berupa perangkap mati (snap trap), dan 30 perangkap berupa perangkap berperekat (lem tikus). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis. Dalam perhitungan keberhasilan penangkapan menggunakan rumus: Jumlah tikus yang tertangkap Jumlah seluruh perangkap yang dipasang X100 PROSEDUR Prosedur pelaksanaan penelitian ini meliputi persiapan pelaksanaan dan pelaksanaan penelitian. Pada tahap persiapan penelitian meliputi persiapan pelaksaan merupakan persiapan alat dan bahan. Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian berupa perangkap tikus (live trap, snap trap, dan lem tikus), umpan tikus (kelapa bakar), kertas label, pensil, klorofom 50 cc, lembar observasi, plastik, sarung tangan, masker, ember air, karung, sikat dan sabun cuci, dan air. Tahap pelaksanaan penelitian meliputi cara penangkapan tikus dan paska penangkapan tikus. Pada tahap penangkapan tikus, pemasangan perangkap tikus dilakukan selama 5 kali pengulangan dalam 5 hari berturut-turut. Pemasangan perangkap dilakukan pada sore hari pada pukul WIB (karena tikus aktif pada malam hari) dan diambil keesokan harinya pada pukul WIB. Sebelum perangkap tikus dipasang, masing-masing perangkap (perangkap hidup (live trap), perangkap mati (snap trap), dan perangkap pelekat (lem tikus)) sebanyak 30 buah diberi umpan yang sama yaitu kelapa bakar. Peletakan perangkap yang tepat sangat penting untuk memperoleh hasil yang maksimal. Pada penelitian ini perangkap live trap, snap trap, dan lem tikus diletakkan di dalam rumah yang digunakan sebagai jalan tikus (runway) atau tempat yang sering didatangi tikus yaitu di dapur. Perangkap diletakkan membentuk segitiga dengan alasan semua berpeluang mendapatkan tikus dan jarak antar perangkap 50 cm. Pada tikus yang tertangkap diberi label berdasarkan hari dan jenis perangkap. Perangkap yang berisi tikus dimasukkan ke dalam kantong plastik. Pada tahap paska penangkapan tikus dalam penelitian ini adalah tikus yang mati selama penangkapan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Apabila tikus yang tertangkap masih hidup, maka tikus yang hidup beserta dengan 69

62 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) perangkapnya dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam kemudian dimasukkan karung. Pada penelitian ini tikus hidup yang tertangkap kemudian dibius dengan menggunakan kloroform 50 cc. Proses membunuh tikus sendiri dengan merendam tikus ke dalam air selama menit sampai tikus mati. Tikus yang sudah mati kemudian dikubur dengan kedalaman 20 cm (di sekitar rumah warga). Perangkap yang telah menangkap tikus kemudian dicuci dan disikat dengan menggunakan air sabun. Perangkap yang telah dicuci kemudian dijemur sampai kering dan siap digunakan lagi HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun hasil pada penelitian ini jumlah tikus yang tertankap dan trap success masingmasing model perangkap dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil Penangkapan Tikus di RT 06 RW 01 Kelurahan Bangetayu Kulon Kecamatan Genuk Kota Semarang No Model Perangkap Jumlah Perangkap Jumlah Tikus Tertangkap Jumlah Perangkap Positif Trap Success 1 Perangkap hidup ,00% (single live trap) 2 Perangkap mati ,00% (snap trap) 3 Perangkap perekat ,33% (lem tikus) Total ,78% Berdasarkan data Tabel 1, diketahui bahwa perangkap model lem tikus paling banyak menangkap tikus ditunjukkan dengan trap success 15,33% dengan 23 ekor tikus, sedangkan perangkap lem tikus merupakan perangkap yang paling sedikit menangkap tikus. Hal ini ditunjukkan dengan trap success 12% dengan 18 ekor tikus yang tertangkap. Perangkap positif (perangkap yang berhasil menangkap tikus dalam sekali pemasangan) yang paling banyak adalah perangkap live trap dengan 21 perangkap, sedangkan perangkap lem tikus memiliki perangkap positif yang paling sedikit yaitu 18 perangkap. Trap success secara keseluruhan pada penelitian ini sebesar 13,78%. Prosentase ini menunjukkan bahwa angka kepadatan tikus di RT 06 RW 01 Kelurahan Bangetayu Kulon masih relatif tinggi/ padat. Menurut Hadi BS, Basuki N, Setyalastuti, & Setiawan YD (2007), trap success pada kondisi normal adalah sebesar 7% di habitat rumah dan 2% di luar rumah/ kebun. Tabel 2. Jumlah Tikus Tertangkap Berdasarkan Hari Penangkapan No Hari Perangkap Hidup (Live Trap) Model Perangkap Perangkap Mati (Snap Trap) Perangkap Perekat (Lem Tikus) 1 Hari Hari Hari Hari Hari

63 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu aktifitas tikus, jenis umpan, peletakan perangkap, waktu pemasangan perangkap, dan jera umpan. Variabel pengganggu dalam penelitian ini merupakan variabel yang tidak diteliti tetapi dikendalikan dengan cara matching, yaitu proses menyamakan variabel perancu diantara dua kelompok. Pada penelitian ini variabel pengganggu dikendalikan dengan memasang perangkap tikus atau proses penangkapan tikus pada malam hari karena tikus aktif pada malam hari. Penelitian ini menggunakan umpan yang tidak mengadung bahan kimia atau rodentisida untuk memnghindari adanya jera umpan, sehingga umpan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelapa bakar. Kelapa bakar digunakan sebagai umpan karena mudah dipasang pada pemicu dan dapat melekat dengan kuat, sehingga tidak mudah lepas pada saat dimakan tikus dan ketiga model perangkap menggunakan umpan yang sama untuk menghindari tikus dapat memilih umpan. Pada penelitian ini perangkap diletakkan pada tempat yang diperkirakan sebagai jalan tikus (run way) atau sering dilewati tikus dapat dilihat dari tandatanda kehadiran tikus yaitu di bagian dapur. Pemasangan perangkap dipasang pada waktu sore hari mulai pukul WIB dan diambil keesokan harinya pukul WIB. Keberhasilan Penangkapan Tikus Dari penelitian yang dilakukan di RT 06 RW 01 Kelurahan Bangetayu Kulon, didapatkan hasil data tikus yang tertangkap dengan menggunakan perangkap model perangkap hidup (live trap) sebanyak 21 ekor dengan trap success 14%, model perangkap mati (snap trap) sebanyak 18 ekor, dengan trap success 12%, dan model perangkap perekat (lem tikus) sebanyak 23 ekor, dengan trap success 15,33%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis, diperoleh hasil p-value sebesar 0,648. Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak, berarti tidak terdapat perbedaan keberhasilan penangkapan tikus antara perangkap tikus model perangkap hidup (single live trap), perangkap tikus model perangkap mati (snap trap), maupun perangkap tikus model perangkap perekat (lem tikus) (p=0,648 > α=0,05). Artinya penggunaan ketiga model perangkap tersebut memiliki efektifitas yang hampir sama antara satu dengan yang lainnya. Adapun keberhasilan penangkapan tikus (trap succes) dihitung berdasarkan jumlah tikus yang tertangkap dibagi dengan lama penangkapan dikali dengan jumlah perangkap yang dipasang per hari, kemudian dikali 100. Trap succes ini digunakan sebagai estimasi kepadatan relatif di suatu daerah. Trap success dihitung berdasarkan jumlah tikus yang tertangkap, bukan jumlah perangkap yang dapat menangkap tikus. Nilai keberhasilan penangkapan tikus di RT 06 RW 01 Kelurahan Bangetayu Kulon sebesar 13,78%. Prosentase ini menujukkan bahwa angka kepadatan tikus di RT 06 RW 01 Kelurahan Bangetayu Kulon masih relatif tinggi/ padat. Menurut Hadi BS, Basuki N, Setyalastuti, & Setiawan YD (2007), trap success pada kondisi normal adalah sebesar 7% di habitat rumah dan 2% di luar rumah/ kebun (Pramestuti N, Ikawati B, & Astuti NT, 2012: 14, Hadi BS, Basuki N, Setyalastuti, & Setiawan YD, 2007:67). Penggunaan ketiga model perangkap tersebut memiliki efektifitas yang hampir sama, hal itu ditunjukkan bersarkan angka trap success yang hampir sama. Perangkap tikus model perangkap hidup (single live trap) memiliki trap success sebesar 14%, perangkap tikus model perangkap mati (snap trap) memiliki trap success sebesar 12%, dan perangkap tikus model perangkap perekat (lem tikus) memiliki trap success sebesar 15,33%. Perangkap tikus model perangkap perekat (lem tikus) merupakan perangkap yang memiliki angka trap success tertinggi dari ketiga model tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Muhtar, A (2004) yang menyatakan keberhasilan penangkapan tikus di pemukiman dengan model lem tikus lebih tinggi (56,66%) jika dibandingkan dengan model kurungan dengan timbangan (53,33%) maupun dengan model single live trap (23,33%). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Syarifatun, A (2011) yang menyatakan bahwa keberhasilan penangkapan tikus di pemukiman dengan menggunakan single live trap 71

64 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) lebih tinggi (6,67%) jika dibandingkan dengan penggunaan snap trap (0,42%). Adanya perbedaan keberhasilan penangkapan dalam penelitian ini dapat dikarenakan perangkap tikus model live trap dan model snap trap cenderung hanya mampu menangkap satu ekor tikus per unit perangkap, sedangkan perangkap tikus model lem tikus dapat menangkap dua ekor atau lebih. Perbedaan keberhasilan penangkapan dapat disebabkan oleh faktor perangkap, salah satu faktor adalah tergantung pada sensitivitas pemicu (trigger), selain itu dari ketiga model perangkap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perangkap dipilih karena mudah dalam pengaplikasian terhadap pengendalian tikus, ekonomis karena dapat digunakan berkali-kali, mudah ditemukan di pasar, memiliki harga relatif terjangkau, dan merupakan cara yang ramah lingkungan karena dalam aplikasinya tidak menggunakan bahan-bahan kimia (Priyambodo S, 1995; Thakur NSA, Firake DM & Kumar D, 2013; Hasannuzzaman ATM, Alam MS, & Bazzaz MM, 2009). Penggunaan umpan dalam penelitian ini merupakan umpan yang tidak mengandung bahan kimia, sehingga tikus tidak mengalami jera umpan (bait-shyness) atau jera racun (poison-shyness) yaitu sifat tikus yang enggan makan umpan beracun yang diberikan karena tidak melalui umpan pendahuluan disebut dengan neo-phobia (Rusmini, 2011:51; Priyambodo S, 1995:25). Namun, tikus dapat mengalami trap-shyness, yaitu tikus mudah ditangkap pada awal penangkapan, tetapi sulit ditangkap pada penangkapan berikutnya. Jera perangkap dapat diatasi dengan mengganti tempat peletakkan perangkap di tempat lain yang juga menjadi jalan tikus (run away). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan tikus adalah pemasangan umpan. Pemasangan umpan pada perangkap harus disesuaikan dengan wilayah atau tempat pemasangan, sehingga peneliti menyeragamkan pemasangan umpan pada ketiga model perangkap (live trap, snap trap, lem tikus) dengan menggunakan kelapa bakar. Pemilihan umpan kelapa bakar dikarenakan kelapa mudah ditemukan di masyarakat, penggunaan hanya perlu dibakar menggunakan api atau arang, kelapa akan mudah melekat kuat pada kait umpan pada perangkap. Umpan kelapa bakar digunakan supaya tidak dimakan kucing sehingga tidak mempengaruhi hasil penelitian. Menurut Putri, RS (2013), umpan/ makanan yang paling banyak dimakan tikus di rumah sakit adalah kelapa bakar 40%, jagung 23,3%, bakso 20%, dan ikan asin 16,7%. Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti, T (2008) didapatkan hasil bahwa jenis umpan yang disukai adalah kelapa bakar sebanyak 37,1%. Tikus rumah R. tanezumi lebih menyukai kelapa bakar (39,66%), tikus got R. norvegicus lebih menyukai ikan asin (41,67%). Pada tikus yang telah di holding, kedua jenis tikus domestik lebih menyukai kelapa bakar. Kenyataan di lapangan pada saat penelitian, ada beberapa warga yang menambah umpan yang telah disediakan peneliti dengan umpan sisa makanan mereka. Peletakan perangkap juga mempengaruhi keberhasilan penangkapan tikus. Perangkap diletakkan pada tempat yang diperkirakan sebagai jalan tikus (run way) atau sering dilewati tikus dapat dilihat dari tanda-tanda kehadiran tikus (Priyambodo S, 1995:24), seperti di dapur atau atap. Hal ini dikarenakan tikus mempunyai sifat thigmotaxis, yaitu mempunyai lintasan yang sama saat mencari makan, mencari sarang, dan aktifitas harian lainnya (Supriyati D, Ustiawan A, 2013:44). Menurut Hadi BS, Basuki N, Setyalastuti, & Setiawan YD (2007), keberhasilan penangkapan di habitat rumah biasanya lebih tinggi daripada di habitat luar rumah seperti kebun, sawah, dan hutan, yaitu 7% untuk habitat rumah dan 2% untuk habitat kebun. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan penangkapan tikus adalah aktifitas tikus. Tikus aktif pada malam hari dan pada siang hari mereka berlindung di dalam lubang atau semak (Syamsuddin, 2007:180). Karena tikus aktif pada malam hari, maka pemasangan perangkap dilakukan pada malam hari supaya proses penangkapan dapat maksimal. 72

65 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Efektivitas Perangkap Tikus Model Perangkap Hidup (Live trap) Pada penelitian ini perangkap tikus model perangkap hidup (single live trap) memiliki trap success sebesar 14%. Jumlah perangkap positif yang dimasuki tikus sebanyak 21 perangkap yang merupakan jumlah terbanyak perangkap yang berhasil menangkap tikus jika dibandingkan dengan perangkap lain. Namun angka trap success sebesar 14%, hanya menempati posisi kedua setelah model perangkap perekat (lem tikus). Hal ini bisa terjadi karena model perangkap ini hanya mampu menangkap satu ekor tikus per unit perangkap per hari, sehingga tidak ada tikus lain yang dapat masuk. Efektivitas Perangkap Tikus Model Perangkap Mati (Snap Trap) Pada penelitian ini perangkap model ini memiliki angka keberhasilan penangkapan yaitu sebesar 12,00 % merupakan angka yang cukup tinggi pada penangkapan tikus di dalam rumah. Menurut Hadi BS, Basuki N, Setyalastuti, & Setiawan YD (2007), trap success pada kondisi normal adalah sebesar 7% di habitat rumah dan 2% di luar rumah/ kebun. Namun angka tesebut merupakan angka trap success yang paling rendah jika dibandingkan dengan perangkap lain yang digunakan. Hal ini disebabkan karena tikus sifat mudah curiga dan trap-shyness (tikus mudah ditangkap pada awal pemerangkapan, tetapi sulit ditangkap pada pemerangkapan berikutnya) terhadap perangkap tikus model ini. Hal ini dibuktikan dalam 5 hari penelitian hanya 4 perangkap yang dimasuki tikus sampai dua kali. Efektifitas Perangkap Tikus Model Perangkap Perekat (Lem Tikus) Pada penelitian ini perangkap tikus model perangkap perekat (lem tikus) memiliki angka trap success sebesar 15,33%. Hal ini merupakan angka trap success yang paling tinggi diantara perangkap lainnya. Lem tikus pada penelitian ada yang mampu menangkap 2 dan 3 ekor dalam satu perangkap, sehingga jumlah tikus yang tertangkap lebih besar dari jumlah perangkapnya. Dari 23 ekor tikus yang tertangkap, hanya memerlukan 20 perangkap model ini, sehingga perangkap ini berpeluang memiliki angka keberhasilan penangkapan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan model perangkap lain. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas berbagai model perangkap tikus terhadap keberhasilan penangkapan tikus di RT 06 RW 01 Kelurahan Bangetayu Kulon dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Tidak terdapat perbedaan keberhasilan penangkapan tikus antara perangkap tikus model perangkap hidup (single live trap), perangkap tikus model perangkap mati (snap trap), maupun perangkap tikus model perangkap perekat (lem tikus) (pvalue=0,648). (2) Jumlah tikus yang tertangkap dengan model perangkap hidup (single live trap) adalah 21 ekor, dengan trap success 14% (normal di pemukiman 7%). (3) Jumlah tikus yang tertangkap dengan model perangkap mati (snap trap) adalah 17 ekor, dengan trap success 12%. (4) Jumlah tikus yang tertangkap dengan model perangkap perekat (lem tikus) adalah 23 ekor, dengan trap success 15,33%. Saran yang peneliti rekomendasikan untuk masyarakat Kelurahan Bangetayu Kulon adalah melakukan pengendalian tikus di rumah masing-masing secara rutin dan berkelanjutan dengan menggunakan perangkap lem tikus dan diletakkan di tempat-tempat yang biasa dilewati tikus, dan menjaga sanitasi lingkungan sekitar tempat tinggal agar tikus tidak bersarang di sekitar rumah. DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2010, Profil Kesehatan Indonesia 2010, Jakarta , 2011, Profil Kesehatan Indonesia 2011, Jakarta. Dinkes Kota Semarang, 2013, Buku Saku Kesehatan 2013 Visual Data Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Triwulan III Tahun 2013, Semarang. 73

66 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Dirjen P2PL, 2008, Pedoman Pengendalian Tikus: Khusus di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Hadi BS, Basuki N, Setyalastuti, & Setiawan YD, 2007, Monitoring Faktor Risiko Lingkungan Leptospirosis di Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2007, Buletin Epidemiologi Lingkungan BBTKL PPM Yogyakarta, Volume 1, No.2, Tahun 2007, hlm Hasannuzzaman ATM, Alam MS, & Bazzaz MM, 2009, Comparative Efciency of Some Indigenous Traps to Capture Rats in the Wheat Feld of Bangladesh, Journal of Agriculture & Rural Development, Bangladesh Open University 7 (1&2), pp , Juni Lee, L, 1997, Effectiveness of Live Trap and Snap Trap in Trapping Small Mammals in Kinmen, Acta Zoologica Taimanica, Volume 8, No. 2, pp Muhtar, A, 2004, Studi Komparatif Berbagai Model Perangkap Tikus terhadap. Keberhasilan Penangkapan Tikus di Pemukiman Sukadamai, Pasir Wetan, Karang Lewas, Purwokerto Tahun 2004, Skripsi. Murti, B, 2006, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Pramestuti N, Ikawati B, & Astuti NT, 2012, Populasi Tikus dan Pengetahuan Masyarakat tentang Tikus dan Penyakit yang Ditularkannya di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, BALABA, Volume. 8, No 01, Juni 2012 hlm Priyambodo, S, 1995, Pengendalian Hama Tikus Terpadu, Cetakan I, Penebar Swadaya, Jakarta. Puskesmas Bangetayu, 2013, Formulir Pelacakan Leptospirosis Dinas Kesehatan Kota Semarang, Semarang Putri, RS, 2013, Studi Perbedaan Kesukaan Umpan dalam Pengendalian Tikus di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Banjarnegar, Skripsi, Universitas Diponegoro Semarang. Rusmini, 2011, Bahaya Leptospirosis (penyakit kencing tikus) & cara pencegahanya, Gosyen Publishing, Yogyakarta. Setyana, N, 2007, Pengujian Prefarensi Pakan, Perangkap, dan Umpan Beracun pada Tikus Rumah (Rattus ratti diardi L.) dan Mencit Rumah (Mus musculus L.), Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Supriyati D, Ustiawan A, 2013, Spesies Tikus, Cecurut dan Pinjal yang Ditemukan di Pasar Kota Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara Tahun 2013, Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, BALABA Volume 9, No. 02, Desember 2013,hlm Syamsuddin, 2007, Tingkah Laku Tikus dan Pengendaliannya, Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel, Balai Penelitian Taman Seralia, Maros, Sulawesi Selatan. Syarifatun, A, 2011, Perbedaan Keberhasilan Penangkapan Tikus dengan Model Perangkap Single Live Trap dan Snap Trap (Studi di Daerah Leptospirosis di Dusun Ngaglik, Kecamatan Moyudan, Sleman), Tesis, Universitas Diponegoro Semarang. Thakur NSA, Firake DM & Kumar D, 2013, Indigenous Traps for the Management of Rodent outbreak in North Eastern Hill region of India, Indian Journal of Traditional Knowladge, Volume 12 (4), October 2013, pp Wijayanti, T, 2008, Palatabilitas Tikus Domestik di Daerah Endemis Leptospirosisdi 74

67 Jumini Irawati / Unnes Journal of Public Health (3) (2015) Kabupaten Demak Tahun 2008, Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, diakses pada tanggal 16 Juni 2014, 75

68 UJPH2 (2) (2015) Unnes Journal of Public Health PERBEDAAN JARAK TEMPAT TINGGAL DARI LOKASI INDUSTRI GENTENG TERHADAP PENURUNAN FUNGSI PARU PENDUDUK DI DESA KEDAWUNG KECAMATAN PEJAGOAN KABUPATEN KEBUMEN Erna Widhiyanti, Evi Widowati, Arulita Ika Fibriana Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel SejarahArtikel: Diterima September 2014 Disetujui September 2014 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: tile, lung function, population, pollution, distance Abstrak Proses pembakaran genteng menghasilkan limbah udara berupa debu dan asap yang dapat mempengaruhi penurunan fungsi paru penduduk sekitar industri. Industri genteng yang ada di Desa Kedawung berjumlah 143 dan letaknya dekat dengan pemukiman. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan antara jarak tempat tinggal dari lokasi industri genteng terhadap penurunan fungsi paru penduduk di Desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen. Jenis penelitian ini menggunakan studi observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk desa Kedawung. Sampel berjumlah 94 orang. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (Chi Square). Hasil penelitian ini adalah ada perbedaan antara jarak tempat tinggal dari lokasi industri genteng terhadap penurunan fungsi paru penduduk di Desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen (p = 0,001). Saran yang diberikan kepada pengusaha genteng, diharapkan membuat cerobong asap yang lebih tinggi dan melakukan reboisasi di area lingkungan sekitar cerobong pembakaran, misalnya dengan menanam palem kuning. Bagi masyarakat diharapkan pada siang hari menutup jendela atau ventilasi lain, membuat ventilasi dengan filter/penyaring jenis fiber glass dengan kisaran harga permeter Rp ,- Abstract The process of tile combustion produced air pollution in the form of dust and smoke which could influence degradation of lung function of the people around industry. There were 143 tile industries in Kedawung Village and it located near the residences. The purpose of this study was to know the difference between distance of shelter from the location of tile industry towards degradation of lung function of people in Kedawung village Pejagoan district, Kebumen regency. This research was using analytic observational with cross sectional approach. Population in this study were the people in Kedawung village. Sample amounted to 94 persons. Data analysis was carried out by univariat and bivariat (Chi Square). The results of this study was there was a difference between distance of shelter from location of tile industry towards decline in lung function of the people in Kedawung village Pejagoan district Kebumen regency (p=0,001). Suggestion for tile entrepreneurs is expected to make a higher chimney and reforestation around the chimney burning, for the example planting yellow palm. For those people who expected, during the day must close the window or other ventilation, make ventilation with a filter/filter type of fiberglass with price about Rp ,- per meter. Alamatkorespondensi: GedungF1Lantai2 FIKUnnes KampusSekaran, Gunungpati, Semarang, er_nya@yahoo.co.id 2015 Universitas Negeri Semarang ISSN

69 Erna Widhiyanti / Unnes Journal of Public Health (2) (2015) PENDAHULUAN Masalah lingkungan hidup menjadi penting karena pada dasarnya lingkungan hidup memberikan pengaruh kepada kehidupan manusia. Apabila keadaan lingkungan sebagai tempat tinggal tidak baik kualitasnya, maka akan mengakibatkan gangguan kesehatan (Amsyari. F, 1996: 107). Limbah gas dan partikel merupakan limbah yang banyak dibuang ke udara. Gas atau asap, partikulat dan debu yang dikeluarkan oleh pabrik ke udara akan dibawa ke angin sehingga akan memperluas jangkauan pemaparannya. Bahan-bahan tersebut kemudian akan bercampur dengan udara basah sehingga massa partikel menjadi bertambah dan pada malam hari akan turun ke tanah bersama-sama dengan embun. Limbah industri tersebut akan diakumulasi ke udara dan dipengaruhi kecepatan angin. Namun sumbernya bersifat stasioner maka lingkungan sekitarnya menerima risiko dampak pencemaran yang paling tinggi (Kristanto. P, 2004: 172). Salah satu industri yang mengeluarkan limbah ke udara adalah industri genteng. Industri genteng yang terkenal yaitu produksi genteng Sokka Pejagoan Kabupaten Kebumen. Industri terbanyak terdapat di desa Kedawung. Berdasarkan Profil Desa Kedawung, industri genteng yang terdapat di desa Kedawung ada 143 industri genteng yang merupakan industri formal. Industri genteng tersebut banyak terdapat di tengah pemukiman warga. Industri genteng di desa Kedawung sudah ada sejak tahun Proses pembuatan genteng dimulai dari pencampuran tanah liat dengan pasir dan air, penggilingan tanah liat, pencetakan tanah liat menjadi bentuk persegi, pencetakan dengan mesin press, perapihan tepi genteng, pengeringan dengan angin selama 48 jam, pengeringan dengan sinar matahari (dijemur) selama 6 jam, peletakkan genteng dan kayu bakar di dalam tungku pembakaran, pembakaran genteng selama 48 jam, pembongkaran genteng, pengepakan genteng. Proses yang paling beresiko dalam pembuatan genteng yaitu pada proses pembakaran. Proses pembakaran genteng dilakukan secara manual menggunakan kayu bakar. Dimana setiap kali pembakaran dapat memuat genteng dalam tungku pembakaran dan memerlukan kayu bakar kurang lebih sebanyak satu truk. Pada saat proses pembakaran genteng, dihasilkan limbah udara berupa debu dan asap. Semua industri genteng yang terdapat di Desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen tidak memiliki peralatan yang digunakan untuk mengurangi resiko pencemaran ke lingkungan sekitar, sehingga limbah udara yang dihasilkan pada saat pembakaran langsung dibuang ke lingkungan. Lepasnya polutan ke dalam udara indoor dari pembakaran bahan bakar fosil atau pembakaran kayu dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius, terutama akibat menghirup asap, seperti pneumokoniosis dan keracunan gas. Sebagian besar polutan yang umum dijumpai dapat langsung mempengaruhi sistem pernapasan khususnya fungsi paru (Widyastuti. P, 2006: 43). Debu yang dihasilkan dari proses pembakaran genteng merupakan debu mineral. Debu tersebut berukuran 1-10 mikron. Selain debu, dihasilkan juga gas H 2 S, Flourides dan CO. Menurut Suma mur. PK, (2009:245) partikel yang berukuran kurang dari 0,1 mikron digerakan oleh gerakan Brown sehingga kemungkinan dapat membentur permukaan alveoli dan hinggap di sana. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron akan ditempatkan langsung dipermukaan alveoli paru, sehingga menimbulkan penurunan fungsi paru. Orang yang tinggal di dekat kawasan industri pada jarak kurang dari 300 meter mempunyai risiko lebih besar dari pada orang yang tinggal pada jarak lebih dari meter terhadap penurunan kapasitas fungsi paru (Daud A dan Sedionoto B, 2010). Penduduk yang tinggal dengan jarak kurang dari 300 meter terdapat di 7 RW dengan jumlah 1917 kepala keluarga sedangkan penduduk yang tinggal 41

70 Erna Widhiyanti / Unnes Journal of Public Health (2) (2015) dengan jarak lebih dari meter terdapat di 1 RW dengan jumlah 425 kepala keluarga. Hasil studi awal yang telah dilakukan di desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen pada tanggal 8 Januari 2013 dan 9 Januari 2013, pada 20 penduduk dengan jarak rumah dari industri genteng kurang dari 300 meter didapat 10% mengalami restriksi ringan, 80% mengalami restriksi sedang dan 10% mengalami restriksi berat. Sedangkan, pada penduduk dengan jarak rumah lebih dari meter, dari 5 penduduk didapat 80% mengalami restriksi ringan, 20% mengalami restriksi sedang dan tidak ada penduduk yang mengalami restriksi berat. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian mengenai perbedaan jarak tempat tinggal dari lokasi industri genteng terhadap penurunan fungsi paru penduduk di desa Kedawung, kecamatan Pejagoan, kabupaten Kebumen. METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu jenis penelitian yang pengukuran variabelnya dilakukan hanya satu kali dalam satu waktu (Sastroasmoro. S, 1995: 66). Populasi dalam penelitian ini adalah perumahan penduduk yang ada di desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen yang berjumlah 2044 rumah. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode quota sampling yaitu metode yang dilakukan dengan cara menetapkan sejumlah anggota secara quotum atau jatah. Kriteria inklusi dalam penelitian adalah satu rumah diwakili dengan satu orang. Memiliki indeks masa tubuh normal, karena orang yang mempunyai status gizi yang baik memiliki fungsi tubuh yang baik (Moeloek. D, 1984: 50). Umur tahun, karena pada permulaan umur 20 tahun seseorang mengalami puncak perkembangan tubuh yang maksimum dan setelah umur 40 tahun terjadi penurunan kebutuhan energi secara menyeluruh bagi badan (Sumosardjono. S, 1989: 20). Jenis kelamin perempuan, karena wanita lebih tidak beresiko menderita penyakit paru dari pada laki-laki (Ikawati. Z, 2007: 66). Tinggal menetap lebih dari 20 tahun, karena paparan untuk terjadinya fibrosis paru membutuhkan waktu minimal 20 tahun masa terpajan (Price SA dan Wilson LM, 2006: 810). Tidak memiliki riwayat penyakit pernapasan dan penyerta lainnya, karena pada orang muda yang sehat akan memiliki kapasitas vital paru 4-5 liter, hal tersebut menunjukkan adanya pernapasan yang efisien (Ikawati. Z, 2007: 11). Tidak merokok, karena pada orang yang tidak merokok memiliki jaringan paru normal yang sifatnya elastik, berwarna merah dadu tua, licin dan tidak mempunyai jaringan partikel-partikel karbon (Usin. J, 1999:7). Status pekerjaan ibu rumah tangga, karena lingkungan pekerjaan menunjukkan intensitas pemajanan lebih rendah (Ahmadi. UF, 2011: 79). Instrumen penelitian ini berupa kuesioner penjaringan, timbangan injak, microtoice, meteran, Hutchinson Merk Arai tipe 3610 dan lembar pengukuran kapasitas vital paru. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square, karena skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal untuk variabel bebas dan skala ordinal untuk variabel terikat. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel hasil penelitian. Analisis ini menunjukkan jumlah dan prosentase dari tiap variable data yang berhubungan antara jarak tempat tinggal terhadap penurunan fungsi paru penduduk di Desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen. Hasil analisis univariat berdasarkan penelitian dari 94 responden diperoleh data distribusi responden sebagai berikut (Tabel 1): 42

71 Erna Widhiyanti / Unnes Journal of Public Health (2) (2015) Tabel 1. Karakteristik Responden No Karakteristik Responden Kategori Frekuensi (orang) Prosentase Umur , ,8 Jumlah Tembok 77 81,9 Jenis Dinding Kayu 9 9,6 Rumah Bambu 8 8,5 Jumlah Jarak Rumah dengan industri <300 meter 76 80, meter 18 19,1 Jumlah Penurunan Fungsi Paru berdasarkan Restriksi Berat 62 66,0 Sedang 22 23,4 Ringan 10 10,6 Jumlah Karakteristik Responden Berdasarkan penelitian didapat umur responden dengan umur tahun ada 50 orang (53,2%) dan umur responden ada 44 orang (46,8%). Karakteristik rumah berdasarkan jenis dinding rumah didapat dari 94 responden terdapat 77 responden (89,9%) memiliki rumah dengan jenis dinding tembok, 9 responden (9,6%) memiliki rumah dengan jenis dinding kayu dan 8 responden (8,5%) memiliki rumah dengan jenis dinding bambu. Jarak tempat tinggal penduduk dari industri genteng didapatkan hasil bahwa responden yang memiliki jarak rumah dengan industri genteng < 300 meter sebanyak 76 orang atau 80,9%, sedangkan responden yang memiliki jarak rumah dengan industri genteng meter sebanyak 18 orang atau 19,1%. Berdasarkan hasil pengukuran penurunan fungsi paru berdasarkan restriksi 94 sampel didapat sebanyak 62 orang (66,0%) mengalami penurunan fungsi paru berupa restriksi berat, 22 orang (23,4%) mengalami penurunan fungsi paru berupa restriksi sedang dan 10 orang (10,6%) mengalami penurunan fungsi paru berupa restriksi ringan. Jarak Tempat Tinggal terhadap Penurunan Fungsi Paru Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan rumus Chi-Square dimana uji tersebut digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan jarak tempat tinggal dari lokasi industri genteng terhadap penurunan fungsi paru penduduk di desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen. Pada penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu jarak tempat tinggal sebagai variabel bebas dan variabel terikat yaitu penurunan fungsi paru. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan terhadap kedua variabel tersebut dapat dilihat dalam tabulasi sebagai berikut : 43

72 Erna Widhiyanti / Unnes Journal of Public Health (2) (2015) Tabel 2. Perbedaan antara Jarak Tempat Tinggal terhadap Penurunan Fungsi Paru Penurunan Fungsi Paru Jumlah p Value OR95%CI Jarak Tempat Berat Sedang Ringan N % Tinggal n % N % N % 7,8 <300 meter , 6 7, (2,458-24,750) 0,001 75, meter 5 27,8 50, , Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa dari 76 responden dengan jarak tempat tinggal < 300 meter terdapat 57 responden (75%) mengalami restriksi berat, 13 responden (17,1%) mengalami restriksi sedang dan 6 responden (7,9%) mengalami restriksi ringan. Sedangkan responden dengan jarak tempat tinggal meter sebanyak 18 responden terdapat 5 responden (27,8%) mengalami restriksi berat, 9 responden (50%) mengalami restriksi sedang dan 4 responden (22,2%) mengalami restriksi ringan. Dari hasil uji Chi Square, diperoleh Pearson Chi Square 14,453 dengan pvalue 0,001 karena pvalue 0,001 lebih kecil dari 0,05 maka ada perbedaan antara jarak tempat tinggal dari lokasi industri genteng terhadap penurunan fungsi paru penduduk di desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan Subijanto. AA (2008: 86-89) bahwa jarak tempat tinggal penduduk dengan sumber paparan debu gamping merupakan faktor risiko bagi kejadian obstruksi dan restriksi paru. Hasil observasi di lapangan, kondisi lingkungan di pemukiman di dekat industri genteng sangat buruk. Asap hasil pembakaran genteng yang mengandung partikel debu mineral berukuran 1-10 mikron mencemari lingkungan pemukiman sehingga mempengaruhi kapasitas fungsi paru penduduk. Pada penelitian, variabel yang diduga sebagai variabel perancu adalah umur dan jenis dinding rumah. Umur dan jenis dinding rumah dapat mempengaruhi terjadinya penurunan fungsi paru penduduk di sekitar industri genteng. Pengaruh umur dan jenis dinding rumah dalam penurunan fungsi paru dapat dilihat dalam Tabel : Tabel 3. Crosstab Perbedaaan Jarak Tempat Tinggal dengan Penurunan Fungsi Paru berdasarkan Umur dan Jenis Dinding Rumah Jarak Penurunan Fungsi Paru Jum No Variabel Tempat Berat Sedang Ringan lah Kategori Perancu Tinggal N % N % N % N (meter).. Umur Jenis Dinding Rumah Tembok OR95%CI P Value < ,3 8 57,1 3 60, , ,7 6 42,9 2 40, ,516-0,007 Jumlah ,392 < ,5 5 62,5 3 60, ,1 9, ,5 3 37,5 2 40,0 7 15,9 1,473-0,008 Jumlah ,768 < ,2 8 53, ,8 12, ,8 7 46, ,2 1,516- Jumlah ,392 0,001 44

73 Erna Widhiyanti / Unnes Journal of Public Health (2) (2015) ORMH (95%CI) ORRAW (95%CI) Kayu < , ,5 1, , ,5 0,168- Jumlah ,273 7,596 (2,387-24,167) 7,800 (2,458-24,750) 0,559 Umur Berdasarkan Tabel 3. hasil analisis perbedaan jarak tempat tinggal dengan penurunan fungsi paru berdasarkan umur, diketahui bahwa dari 78 responden yang berumur tahun dengan jarak rumah < 300 meter terdapat 28 responden (90,3%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 8 responden (57,1%) mengalami penurunan fungsi paru sedang dan 3 responden (9,7%) mengalami penurunan fungsi paru ringan. Dari 22 responden yang berumur tahun dengan jarak rumah meter terdapat 3 reponden (9,7%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 6 responden (42,9%) mengalami penurunan fungsi paru sedang dan 2 responden (40%) mengalami penurunan fungsi paru ringan. Dari 37 reponden yang berumur tahun dengan jarak rumah <300 meter terdapat 29 responden (93,5%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 5 responden (62,5%) mengalami penurunan fungsi paru sedang dan 3 reponden (60%) mengalami penurunan fungsi paru ringan. Dari 7 responden dengan umur tahun dengan jarak rumah meter terdapat 2 responden (6,5%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 3 responden (37,5%) mengalami penurunan fungsi paru sedang dan 2 responden (40%) mengalami penurunan fungsi paru ringan. Berdasarkan hasil analisis perbedaan jarak tempat tinggal terhadap penurunan fungsi paru berdasarkan umur, menunjukkan bahwa ada perbedaan jarak tempat tinggal terhadap penurunan fungsi paru pada kelompok umur tahun (nilai p = 0,007). Sedangkan pada kelompok umur tahun terdapat perbedaan jarak tempat tinggal terhadap penurunan fungsi paru (nilai p = 0,008). Diperoleh nilai OR(1)=6,788 yang artinya responden dengan umur tahun dengan jarak tempat tinggal <300 meter memiliki resiko 6,788 kali mengalami penurunan fungsi paru dibandingan dengan responden yang berumur tahun dengan jarak tempat tinggal meter. Berdasarkan analisis juga diperoleh OR(2)=9,062 yang artinya responden dengan umur tahun dengan jarak tempat tinggal < 300 meter memiliki resiko 9,062 kali mengalami penurunan fungsi paru dibandingkan dengan responden yang berumur tahun dengan jarak tempat tinggal meter. Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa umur merupakan variabel perancu pada perbedaan antara jarak tempat terhadap penurunan fungsi paru karena pada perhitungan OR kasar (7,8) mempunyai selisih yang besar dari OR 1 (6,788) dan OR 2 (9,062) Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa semakin bertambahnya umur seseorang dapat menyebabkan penurunan fungsi paru, sebab pada permulaan umur 20 tahun seseorang mengalami puncak perkembangan tubuh yang maksimum. Faal paru menurun dimulai umur 21 tahun. Setelah umur 40 tahun terjadi penurunan kebutuhan energi secara menyeluruh. Jenis Dinding Rumah Berdasarkan Tabel 3. hasil analisis perbedaan jarak tempat tinggal dengan penurunan fungsi paru berdasarkan jenis dinding rumah, diketahui bahwa dari 63 responden yang memiliki dinding tembok dengan jarak rumah < 300 meter terdapat 49 responden (94,2%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 8 responden (53,3)% mengalami penurunan fungsi paru sedang dan 6 responden (60,0%) mengalami 45

74 Erna Widhiyanti / Unnes Journal of Public Health (2) (2015) penurunan fungsi paru ringan. Dari 14 responden yang memiliki dinding tembok dengan jarak rumah meter terdapat 3 reponden (5,8%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 7 responden (46,7%) mengalami penurunan fungsi paru sedang dan 4 responden (40%) mengalami penurunan fungsi paru ringan. Dari 13 reponden yang memiliki dinding kayu atau bambu dengan jarak rumah <300 meter terdapat 8 responden (80%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 5 (57,1%) responden mengalami penurunan fungsi paru sedang dan tidak ada reponden yang mengalami penurunan fungsi paru ringan. Dari 4 responden dengan dinding rumah kayu atau bambu dengan jarak rumah meter terdapat 2 responden (20%) mengalami penurunan fungsi paru berat, 2 responden (28,6%) mengalami penurunan fungsi paru sedang dan tidak ada responden yang mengalami penurunan fungsi paru ringan. Berdasarkan hasil analisis perbedaan jarak tempat tinggal terhadap penurunan fungsi paru berdasarkan jenis dinding rumah, menunjukkan bahwa ada perbedaan jarak tempat tinggal terhadap penurunan fungsi paru pada kelompok responden dengan dinding rumah jenis tembok (nilai p = 0,001). Sedangkan pada kelompok responden dengan jenis dinding kayu dan bambu tidak terdapat perbedaan jarak tempat tinggal terhadap penurunan fungsi paru (nilai p = 0,682). Diperoleh nilai OR(2)=12,833 yang artinya responden yang memiliki dinding jenis tembok dengan jarak tempat tinggal <300 meter memiliki resiko 12,833 kali mengalami penurunan fungsi paru dibandingan dengan responden yang jenis dinding tembok dengan jarak tempat tinggal meter. Jika diamati sekilas, dinding jenis tembok tentu mempunyai resiko penurunan fungsi paru yang lebih besar. Jika dilihat dari teori, jenis dinding tembok merupakan dinding yang lebih baik dari pada dinding kayu atau bambu. Hal ini menimbulkan keganjilan, karena secara kebetulan pada penelitian jumlah dinding bambu /kayu jumlahnya lebih sedikit dari pada jumlah rumah yang berdinding tembok. Sehingga jika dilihat, rumah dengan jenis dinding tembok lebih beresiko terhadap penurunan fungsi paru. Terlihat sebanyak 2 responden yang walaupun jarak rumahnya meter dengan dinding rumah jenis kayu dan bambu mengalami penurunan fungsi berat. Sebagian besar responden dalam penelitian memiliki rumah dengan jenis dinding tembok.. Walaupun jenis dinding kayu dan bambu lebih beresiko terhadap masuknya partikel ke dalam rumah. Namun, partikel tetap dapat masuk ke dalam rumah yang berdinding tembok melalui lubang ventilasi lain seperti jendela dan pintu rumah. SIMPULAN Ada perbedaan jarak tempat tinggal dari lokasi industri genteng terhadap penurunan fungsi paru penduduk di Desa Kedawung Kecamatan Pejagoan Kabupaten Kebumen dengan p value 0,001. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi. UF Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Grafindo Persada. Jakarta. Amsyari. F Membangun Lingkungan Sehat. Airlangga University Press. Surabaya. Daud A dan Sedionoto B Analisis Risiko Konsentrasi SO2 dan PM,5 terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Penduduk di Sekitar Kawasan Industri Makassar. November hlm.1-8. Ikawati. Z Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan. Pustaka Adipura. Yogyakarta. Kristanto. P Ekologi Industri. Andi. Yogyakarta. Moeloek. D Kesehatan dan Olahraga. Gaya Baru. Jakarta. Price SA dan Wilson LM Patofisiologi edisi 6. EGC. Jakarta. Sastroasmoro. S Dasar-Dasar Metodologi Klinis. Binarupa Aksara. Jakarta. 46

75 Erna Widhiyanti / Unnes Journal of Public Health (2) (2015) Subijanto. AA Area Industri Gamping Sebagai Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru. Juni hlm Suma mur. PK Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Sagung Seto. Jakarta. Usin. J Pernapasan untuk Kesehatan. Gramedia. Jakarta. Widyastuti. P Bahaya Bahan Kimia pada Kesehatan Manusia. EGC. Jakarta. Sumosardjono. S Olahraga dan kesehatan. Pustaka Kartini. Jakarta. 47

76 UJPH2 (2) (2015) Unnes Journal of Public Health ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN METODE KONTRASEPSI JANGKA PANJANG (MKJP) PADA AKSEPTOR KB WANITA DI KECAMATAN BANYUBIRU KABUPATEN SEMARANG Laras Tsany Nur Mahmudah, Fitri Indrawati Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel SejarahArtikel: Diterima September 2014 Disetujui September 2014 Dipublikasikan Juli 2015 Keywords: Contraception Acceptors; Long-Term Contraceptive Methods; Banyubiru Subdistrict, Women Abstrak Salah satu indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah meningkatkan pencapaian peserta aktif Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Di Kecamatan Banyubiru proporsi MKJP rendah (22,03%). Tujuan penelitian adalah menganalisis faktor yang berhubungan dengan pemilihan MKJP pada akseptor KB wanita di Kecamatan Banyubiru. Jenis penelitian yaitu explanatory research dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah seluruh akseptor KB wanita pengguna kontrasepsi di Kecamatan Banyubiru. Sampel sebanyak 104 orang (teknik simple random sampling). Menggunakan instrumen kuesioner. Analisis data menggunakan uji chi square (α=0,05). Hasil penelitian yaitu variabel yang berhubungan dengan pemilihan MKJP adalah tingkat pendidikan (sig=0,015), pengetahuan (sig=0,001), dukungan suami (sig=0,002), budaya (sig=0,004), tingkat kesejahteraan (sig=0,034), Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) KB (sig=0,018), sedangkan umur (sig=0,127) dan paritas/jumlah anak (sig=0,529) tidak ada hubungan dengan pemilihan MKJP. Saran untuk Badan KB kabupaten dan UPT KB kecamatan, yaitu merencanakan program surveilans MKJP dan meningkatkan mutu pelayanan KB melalui konseling dan penyebaran informasi. Abstract One of The National Medium Term Development Plan indicator is to increase active acceptors of long-term contraceptive method. In Banyubiru subdistrict, the proportion of long-term contraceptive method are low (22,03%). The purpose of this research is to analysed the factors associated preference of long-term contraceptive method among women contraception acceptors in Banyubiru subdistrict. This research was an explanatory research with cross sectional approach. The population were all women of contraception acceptors in Banyubiru subdistrict. The sample were 104 women, used simple random sampling. This research used quisionaire instrument and analyze used chi square test (α=0,05). The result showed that variables which associated preference of long-term contraceptive method are educational level (sig=0,015), knowledge (sig=0,001), support of spouse (sig=0,002), culture (sig=0,004), level of well-being (sig=0,034), communication, information, and education of contraception (sig=0,018). As for age (sig=0,127) and number of children (sig=0,529) were not associated with preference of long-term contraceptive method. Suggestion for KB department in district and subdistrict are planning surveilance program of long-term contraceptive method and increasing the service quality by giving counseling and more information. Alamat korespondensi: Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, sasyalaras@gmail.com 2015 Universitas Negeri Semarang ISSN

Unnes Journal of Public Health

Unnes Journal of Public Health UJPH 4 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph HIGIENE DAN SANITASI SERTA KUALITAS BAKTERIOLOGIS DAMIU DI SEKITAR UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG Suci Wulandari,

Lebih terperinci

Unnes Journal of Public Health

Unnes Journal of Public Health UJPH 4 (3) (2015) Unnes Journal of Public Health http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph PERILAKU SEKSUAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBUTUHAN LAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI LINGKUNGAN KAMPUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja ialah suatu waktu kritis seseorang dihadapkan pada berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan generasi harapan bangsa, untuk itu perlu disiapkan sumber daya manusia berkualitas untuk mewujudkan bangsa yang berkualitas di masa yang akan datang.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. oleh makhluk lain misalnya hewan dan tumbuhan. Bagi manusia, air diperlukan untuk

BAB 1 : PENDAHULUAN. oleh makhluk lain misalnya hewan dan tumbuhan. Bagi manusia, air diperlukan untuk BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sangat diperlukan oleh tubuh manusia seperti halnya udara dan makanan. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup lama. Selain berguna untuk manusia, air

Lebih terperinci

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL HIGIENE DENGAN JUMLAH BAKTERI Escherichia coli PADA DAMIU DI KAWASAN UNIVERSITAS DIPONEGOROTEMBALANG

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL HIGIENE DENGAN JUMLAH BAKTERI Escherichia coli PADA DAMIU DI KAWASAN UNIVERSITAS DIPONEGOROTEMBALANG HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN, PERSONAL HIGIENE DENGAN JUMLAH BAKTERI Escherichia coli PADA DAMIU DI KAWASAN UNIVERSITAS DIPONEGOROTEMBALANG Haryudi Okta Sofiyanto 1), Tri Joko 2), Nur Endah W 2) 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013). Tingkah laku yang

Lebih terperinci

HIGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KECAMATAN TANJUNG REDEP KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR

HIGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KECAMATAN TANJUNG REDEP KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR Bambang S. dan Retno A, Higiene Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang HIGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KECAMATAN TANJUNG REDEP KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR Hygiene and Sanitation of Refill

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, kesehatan perlu dijaga dari hal-hal

BAB I PENDAHULUAN. menentukan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, kesehatan perlu dijaga dari hal-hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, kesehatan perlu

Lebih terperinci

KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM ISI ULANG PADA TINGKAT PRODUSEN DI KABUPATEN BADUNG

KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM ISI ULANG PADA TINGKAT PRODUSEN DI KABUPATEN BADUNG ECOTROPHIC 9 VOLUME (2) : 52-56 9 NOMOR 2 TAHUN 2015 ISSN : 1907-5626 KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM ISI ULANG PADA TINGKAT PRODUSEN DI KABUPATEN BADUNG Made Partiana 1*), Made Sudiana Mahendra 2), Wayan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi sangat diperlukan oleh masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO) 2012, kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku seksual yang berisiko di kalangan remaja khususnya remaja yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa hasil penelitian bahwa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah dan kualitas yang baik. Kehidupan tidak akan berlangsung tanpa air.

BAB I PENDAHULUAN. jumlah dan kualitas yang baik. Kehidupan tidak akan berlangsung tanpa air. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumber kehidupan mutlak adalah ketersediaan air dengan jumlah dan kualitas yang baik. Kehidupan tidak akan berlangsung tanpa air. Manusia hidup diatas kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang memiliki remaja yang kuat serta memiliki kecerdasan spiritual,intelektual serta emosional yang kuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia (Sumantri, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia (Sumantri, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan zat yang memiliki peranan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.tanpa air, berbagai proses kehidupan tidak dapat berlangsung. Oleh karena itu,

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI KEBERADAAN Escherichia coli PADA AIR CUCIAN DAN MAKANAN KETOPRAK DI KAWASAN KAMPUS UNDIP TEMBALANG

STUDI IDENTIFIKASI KEBERADAAN Escherichia coli PADA AIR CUCIAN DAN MAKANAN KETOPRAK DI KAWASAN KAMPUS UNDIP TEMBALANG Volume 4, Nomor 3, Juli 6 (ISSN: 356-3346) http://ejournal-s.undip.ac.id/index.php/jkm STUDI IDENTIFIKASI KEBERADAAN Escherichia coli PADA AIR CUCIAN DAN MAKANAN KETOPRAK DI KAWASAN KAMPUS UNDIP TEMBALANG

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI STIKES X TAHUN 2014

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI STIKES X TAHUN 2014 FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI STIKES X TAHUN 2014 Factors Related to Adolescent Sexual Behavior in X School of Health in 2014 Eka Frelestanty Program Studi Kebidanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dari perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam mempengaruhi perilaku seksual berpacaran pada remaja. Hal ini tentu dapat dilihat bahwa hal-hal

Lebih terperinci

Dinamika Kebidanan vol. 2 no. 1. Januari 2012 STUDI DISKRIPTIF TENTANG GAYA PACARAN SISWA SMA KOTA SEMARANG. Asih Nurul Aini.

Dinamika Kebidanan vol. 2 no. 1. Januari 2012 STUDI DISKRIPTIF TENTANG GAYA PACARAN SISWA SMA KOTA SEMARANG. Asih Nurul Aini. STUDI DISKRIPTIF TENTANG GAYA PACARAN SISWA SMA KOTA SEMARANG. Asih Nurul Aini Dewi Elliana*) *) Akademi Kebidanan Abdi Husada Semarang Korespondensi : elliana_dewi@yahoo.com ABSTRAK Masa remaja adalah

Lebih terperinci

* Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado

* Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado HUBUNGAN ANTARA HIGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DENGAN KUALITAS BAKTERIOLOGI PADA AIR MINUM DI KELURAHAN BAILANG DAN MOLAS KOTA MANADO Metri Karame*, Henry Palandeng*, Ricky C. Sondakh* * Fakultas

Lebih terperinci

HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KOTA TOMOHON TAHUN 2015

HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KOTA TOMOHON TAHUN 2015 PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 216 ISSN 232-2493 HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KOTA TOMOHON TAHUN 215 Filisita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan khususnya bidang gizi terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga memberikan dampak bagi pelayanan gizi.

Lebih terperinci

Journal of Physical Education, Sport, Health and Recreations

Journal of Physical Education, Sport, Health and Recreations ACTIVE 3 (5) (2014) Journal of Physical Education, Sport, Health and Recreations http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/peshr PELAKSANAAN USAHA KESEHATAN SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR NEGERI SE KECAMATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis, maupun intelektual. Menurut WHO, remaja adalah penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang berusia antara 13 tahun sampai dengan 18 tahun. Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini merupakan era globalisasi dimana sering terjadi perdagangan manusia, budaya luar dengan mudahnya masuk dan diadopsi oleh masyarakat sehingga memunculkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa ini terjadi pertumbuhan yang pesat termasuk fungsi reproduksi sehingga mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan.

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah remaja terkait tindakan seksual pranikah adalah satu dari bagian kecil permasalahan remaja yang ada dan sering muncul dalam dinamika kehidupan remaja. Tindakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena perilaku seks bebas di kalangan remaja mengakibatkan terjadinya kecenderungan meningkatnya pelaku seks pranikah, penderita HIV/AIDS, dan kasus Aborsi. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan yang terjadi pada remaja melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana remaja menjadi labil

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN HYGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KECAMATAN TANJUNGPINANG BARAT TAHUN 2012

KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN HYGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KECAMATAN TANJUNGPINANG BARAT TAHUN 2012 LAMPIRAN I KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN HYGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KECAMATAN TANJUNGPINANG BARAT TAHUN 2012 I. Karakteristik Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Pendidikan Terakhir

Lebih terperinci

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI SMP MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA TAHUN 2011 NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI SMP MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA TAHUN 2011 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI SMP MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA TAHUN 20 NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh : DINI ARIANI NIM : 20000445 PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK

Lebih terperinci

HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO TAHUN

HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO TAHUN HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO TAHUN 2014 Genda E. K. Randang* Woodford B. S. Joseph*, Paul A. T. Kawatu* *Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi, globalisasi teknologi, dan informasi serta berbagai faktor lainnya turut mempengaruhi pengetahuan,

Lebih terperinci

HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO TAHUN

HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO TAHUN HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO TAHUN 2014 Genda E. K. Randang* Woodford B. S. Joseph*, Paul A. T. Kawatu* *Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan dan perkembangan yang cepat baik fisik, mental, dan psikososial

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN HYGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM DI KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2010

KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN HYGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM DI KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2010 KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN HYGIENE SANITASI DEPOT AIR MINUM DI KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN 2010 Karakteristik Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Pendidikan Terakhir : a. Tamat SD b.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik maupun psikologis diantaranya peningkatan emosional, kematangan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 922-933 Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN

Lebih terperinci

*Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi

*Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi HIGIENE SANITASI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN WENANG KOTA MANADO TAHUN 2014 Ririn Bakari*, Woodford B. S. Joseph*, Ricky C. Sondakh* *Fakultas

Lebih terperinci

Sanitation and Drinking Water Quality on Drinking Water Station. Sanitasi dan Kualitas Air Minum pada Depot Air Minum (DAM)

Sanitation and Drinking Water Quality on Drinking Water Station. Sanitasi dan Kualitas Air Minum pada Depot Air Minum (DAM) Sanitation and Drinking Water Quality on Drinking Water Station Sanitasi dan Kualitas Air Minum pada Depot Air Minum (DAM) Sumiyati Agus Subagiyo Arum Lusiana Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes

Lebih terperinci

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2 ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2 Lintang Sekar Langit lintangsekar96@gmail.com Peminatan Kesehatan Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan system dan fungsi, serta proses

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH 2 BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH 2 BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH 2 BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI Disusun Oleh : Novi Dewi Saputri 201410104171 PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK

Lebih terperinci

DAFTAR GAMBAR. Gambar 2.7 Kerangka Teori Gambar 3.1 Kerangka Konsep... 24

DAFTAR GAMBAR. Gambar 2.7 Kerangka Teori Gambar 3.1 Kerangka Konsep... 24 DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Persentase Analisis Univariat Masing-masing Variabel Berdasarkan Kepmenkes No.715 Tahun 2008 Penelitian di Universitas X (n=100)... 38 Tabel 5.2.1 Hubungan Sanitasi Kantin Dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI, DAN PERAN PETUGAS TERHADAP KONDISI HYGIENE

HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI, DAN PERAN PETUGAS TERHADAP KONDISI HYGIENE HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI, DAN PERAN PETUGAS TERHADAP KONDISI HYGIENE SANITASI MAKANAN JAJANAN KAKI LIMA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AUR DURI KOTA JAMBI TAHUN 2014 1* Erris, 2 Marinawati 1 Poltekes

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi menurut International Cooperation Populatiom and Development (ICPD) 1994 adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat SKRIPSI HUBUNGAN SUMBER INFORMASI DAN PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN PERILAKU SEKS BEBAS PADA REMAJA DI SMP MUHAMMADIYAH 7 SURAKARTA TAHUN 2011 Proposal skripsi Skripsi ini Disusun untuk

Lebih terperinci

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMA NEGERI 1 PALU Oleh: Rizal Haryanto 18, Ketut Suarayasa 29,

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMA NEGERI 1 PALU Oleh: Rizal Haryanto 18, Ketut Suarayasa 29, PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMA NEGERI 1 PALU Oleh: Rizal Haryanto 18, Ketut Suarayasa 29, 9 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menilai bagaimana tingkat pengetahuan, sikap, dan aktivitas

Lebih terperinci

HUBUNGAN FREKUENSI JAJAN ANAK DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT. (Studi pada Siswa SD Cibeureum 1 di Kelurahan Kota Baru) TAHUN 2016

HUBUNGAN FREKUENSI JAJAN ANAK DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT. (Studi pada Siswa SD Cibeureum 1 di Kelurahan Kota Baru) TAHUN 2016 HUBUNGAN FREKUENSI JAJAN ANAK DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT (Studi pada Siswa SD Cibeureum 1 di Kelurahan Kota Baru) TAHUN 2016 Karina AS 1) Nurlina dan Siti Novianti 2) Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

KAJIAN KUALITAS AIR MINUM YANG DIPRODUKSI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KABUPATEN BANJARNEGARA BERDASARKAN PERSYARATAN MIKROBIOLOGIS TAHUN 2014

KAJIAN KUALITAS AIR MINUM YANG DIPRODUKSI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KABUPATEN BANJARNEGARA BERDASARKAN PERSYARATAN MIKROBIOLOGIS TAHUN 2014 1 KAJIAN KUALITAS AIR MINUM YANG DIPRODUKSI DEPOT AIR MINUM ISI ULANG DI KABUPATEN BANJARNEGARA BERDASARKAN PERSYARATAN MIKROBIOLOGIS TAHUN 2014 (Study of Microbiological Quality of Drinking Water Produced

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA TERHADAP PHBS DAN PENYAKIT DEMAM TIFOID DI SMP X KOTA CIMAHI TAHUN 2011.

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA TERHADAP PHBS DAN PENYAKIT DEMAM TIFOID DI SMP X KOTA CIMAHI TAHUN 2011. ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU SISWA TERHADAP PHBS DAN PENYAKIT DEMAM TIFOID DI SMP X KOTA CIMAHI TAHUN 2011. Rika Prastiwi Maulani,2012. Pembimbing I : Dani, dr., M.kes Pembimbing II

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Masa ini harus dilalui oleh setiap orang. Namun ternyata tidak mudah dan banyak terdapt

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mengalami proses perkembangan secara bertahap, dan salah satu periode perkembangan yang harus dijalani manusia adalah masa remaja. Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG 0 KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DI SMA FUTUHIYYAH MRANGGEN DEMAK TAHUN 2011 Karya Tulis Ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang berada pada masa yang potensial, baik dilihat dari segi kognitif, emosi maupun fisik. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur tahun (Sarwono, 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode SMA adalah periode dimana seseorang masih menginjak masa remaja. Kelompok usia remaja menurut WHO (World Health Organization) adalah kelompok umur 10 20 tahun

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Escherichia coli PADA JAJANAN ES BUAH YANG DIJUAL DI SEKITAR PUSAT KOTA TEMANGGUNG

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Escherichia coli PADA JAJANAN ES BUAH YANG DIJUAL DI SEKITAR PUSAT KOTA TEMANGGUNG Volume 1, Nomor 2, Tahun 212, Halaman 147-153 FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Escherichia coli PADA JAJANAN ES BUAH YANG DIJUAL DI SEKITAR PUSAT KOTA TEMANGGUNG * ) Alumnus FKM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Remaja (adolescence)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO mendefinisikan, masa remaja (adolescence) di mulai sejak usia 10 tahun sampai 19 tahun. Salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Pola karakteristik pesatnya tumbuh kembang ini

Lebih terperinci

Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 29124

Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Tanjungpinang, Kepulauan Riau, 29124 Ar kel Peneli an FAKTOR HIGIENE SANITASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN KUALITAS BAKTERIOLOGI AIR MINUM ISI ULANG DI KOTA TANJUNGPINANG Diterima 16 November 2016 Disetujui 10 Februari 2017 Dipublikasikan 1 Maret

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya yang berkaitan dengan makanan dan minuman masih menjadi masalah yang paling sering ditemukan di

Lebih terperinci

Total Coliform Dalam Air Bersih Dan Escherichia coli Dalam Air Minum Pada Depot Air Minum Isi Ulang

Total Coliform Dalam Air Bersih Dan Escherichia coli Dalam Air Minum Pada Depot Air Minum Isi Ulang Kes Mas: Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.10, No.2, September 2016, pp. 63 ~ 71 ISSN: 1978-0575 63 Total Coliform Dalam Air Bersih Dan Escherichia coli Dalam Air Minum Pada Depot Air Minum Isi Ulang Novita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa perubahan atau masa peralihan dari masa anakanak ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis maupun

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA HIGIENE PERORANGAN, FREKUENSI KONSUMSI DAN SUMBER MAKANAN JAJANAN DENGAN KEJADIAN DIARE

HUBUNGAN ANTARA HIGIENE PERORANGAN, FREKUENSI KONSUMSI DAN SUMBER MAKANAN JAJANAN DENGAN KEJADIAN DIARE HUBUNGAN ANTARA HIGIENE PERORANGAN, FREKUENSI KONSUMSI DAN SUMBER MAKANAN JAJANAN DENGAN KEJADIAN DIARE NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Gizi Pada Fakultas

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J PERBANDINGAN PERSEPSI MAHASISWA DARI LULUSAN BERBASIS UMUM DAN AGAMA TENTANG PERILAKU SEKS PRANIKAH DI LINGKUNGAN SEKITAR UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World Health Organization (WHO) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIGIENE SANITASI DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Eschericia coli PADA JAJANAN ES KELAPA MUDA (SUATU PENELITIAN DI KOTA GORONTALO TAHUN 2013)

HUBUNGAN HIGIENE SANITASI DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Eschericia coli PADA JAJANAN ES KELAPA MUDA (SUATU PENELITIAN DI KOTA GORONTALO TAHUN 2013) Lampiran 1. Summary HUBUNGAN HIGIENE SANITASI DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Eschericia coli PADA JAJANAN ES KELAPA MUDA (SUATU PENELITIAN DI KOTA GORONTALO TAHUN 2013) Djamaludin Musa NIM. 811409137 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik, psikologis maupun intelektual. Sifat khas remaja mempunyai keingintahuan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA LUH GD. DWI KARTIKA PUTRI

UNIVERSITAS UDAYANA LUH GD. DWI KARTIKA PUTRI UNIVERSITAS UDAYANA PERBEDAAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG TRIAD KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (KRR) PADA SEKOLAH DENGAN PUSAT INFORMASI KONSELING REMAJA (PIK-R) DAN TANPA PIK-R DI KOTA DENPASAR TAHUN 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia, air diperlukan untuk menunjang kehidupan, antara lain dalam kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia, air diperlukan untuk menunjang kehidupan, antara lain dalam kondisi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air sangat diperlukan oleh tubuh manusia seperti halnya udara dan makanan. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup lama. Selain berguna untuk manusia, air

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seksualitas merupakan bagian integral dari kepribadian yang tidak dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seksualitas merupakan bagian integral dari kepribadian yang tidak dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seksualitas merupakan bagian integral dari kepribadian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai salah satu bagian dari kesehatan reproduksi maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perguruan tinggi. Usia mahasiswa berkisar antara tahun. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. perguruan tinggi. Usia mahasiswa berkisar antara tahun. Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahasiswa adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Usia mahasiswa berkisar antara 18-25 tahun. Menurut Willis, S (2011) usia 18 tahun sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja adalah harapan bangsa, sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan bangsa yang akan datang akan ditentukan pada keadaan remaja saat ini. Remaja

Lebih terperinci

PERILAKU PEDULI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DAN SANITASI HYGIENE SISWA DI LABORATORIUM TPHP SMK NEGERI 1 PANDAK

PERILAKU PEDULI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DAN SANITASI HYGIENE SISWA DI LABORATORIUM TPHP SMK NEGERI 1 PANDAK Perilaku Peduli Keselamatan (Dita Puspitasari) 1 PERILAKU PEDULI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DAN SANITASI HYGIENE SISWA DI LABORATORIUM TPHP SMK NEGERI 1 PANDAK Penulis 1: Dita Puspitasari Penulis

Lebih terperinci

PERILAKU HIGIENE SANITASI PENJAMAH MAKANAN PADA KATERING RUMAH TANGGA DI LEUWIDAHU KOTA TASIKMALAYA. *Nunun Khoerun Nisa

PERILAKU HIGIENE SANITASI PENJAMAH MAKANAN PADA KATERING RUMAH TANGGA DI LEUWIDAHU KOTA TASIKMALAYA. *Nunun Khoerun Nisa PERILAKU HIGIENE SANITASI PENJAMAH MAKANAN PADA KATERING RUMAH TANGGA DI LEUWIDAHU KOTA TASIKMALAYA *Nunun Khoerun Nisa ABSTRAK Pada umumnya katering rumah tangga masih belum mementingkan higiene sanitasi

Lebih terperinci

GAMBARAN KONDISI FISIK SUMUR GALI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR SUMUR GALI

GAMBARAN KONDISI FISIK SUMUR GALI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR SUMUR GALI GAMBARAN KONDISI FISIK SUMUR GALI DAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR SUMUR GALI DI DESA KAWANGKOAN KECAMATAN KALAWAT KABUPATEN MINAHASA UTARA TAHUN 2015 Wildan Akbar*, Jootje M.L. Umboh *, Paul A.T. Kawatu*

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan kelompok umur yang memegang tongkat estafet pembangunan suatu bangsa. Untuk itu, remaja perlu mendapat perhatian. Pada masa remaja seseorang mengalami

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.492/Menkes/Per/IV/2010 dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.492/Menkes/Per/IV/2010 dalam 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Air Minum Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.492/Menkes/Per/IV/2010 dalam pasal 1, Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Notoatmodjo (2007) masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Keadaan higiene dan sanitasi rumah makan yang memenuhi syarat adalah merupakan faktor

BAB 1 : PENDAHULUAN. Keadaan higiene dan sanitasi rumah makan yang memenuhi syarat adalah merupakan faktor BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya higiene dan sanitasi rumah makan merupakan kebutuhan utama terhadap terwujudnya makanan dan minuman aman, oleh karena itu keadaan higiene dan sanitasi rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting dalam skala global. Pada tahun 2005, terdapat 1.21 miliar

Lebih terperinci

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG SEKS BEBAS PADA MAHASISWA TINGKAT I TAHUN AJARAN 2013-2014 FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang tangga. 3 Kecenderungan penggunaan air minum isi ulang oleh masyarakat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air adalah zat yang sangat dibutuhkan oleh manusia, dengan terpenuhinya kebutuhan air, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dunia (WHO), definisi remaja (adolescence) adalah periode usia

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dunia (WHO), definisi remaja (adolescence) adalah periode usia BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Remaja berarti tumbuh menjadi dewasa. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), definisi remaja (adolescence) adalah periode usia antara 10 sampai 19 tahun. Sementara

Lebih terperinci

Jurnal Obstretika Scientia ISSN HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN SEKSUAL PRANIKAH DENGAN PERILAKU SEKSUAL

Jurnal Obstretika Scientia ISSN HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN SEKSUAL PRANIKAH DENGAN PERILAKU SEKSUAL HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN SEKSUAL PRANIKAH DENGAN PERILAKU SEKSUAL Dewi Nurul Sari Akbid La Tansa Mashiro Jl.Soekarno-Hatta, Pasirjati, Rangkasbitung dewiluvmama12@yahoo.com Abstract The aim of this

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi alternatif makanan dan minuman sehari-hari dan banyak dikonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi alternatif makanan dan minuman sehari-hari dan banyak dikonsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi dan diupayakan agar lebih tersedia dalam kualitas dan kuantitas secara memadai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data 20 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross sectional study, yaitu data dikumpulkan pada satu waktu. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan sebagai peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 10-19 tahun. Remaja juga identik dengan dimulainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya pengggunaan media sosial. Media sosial merupakan media yang dapat diperoleh dari internet. Media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setelah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa, yaitu pada umur tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. setelah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa, yaitu pada umur tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi setelah masa kanak-kanak dan sebelum dewasa, yaitu pada umur 10-19 tahun (WHO, 2015 a ). Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang menjadi sebuah kebutuhan dan paling penting dalam hidup seseorang agar dapat menjalani kehidupan secara aktif dan produktif. Apabila

Lebih terperinci

Nizaar Ferdian *) *) mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Koresponden :

Nizaar Ferdian *) *) mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Koresponden : HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM WARGA PEDULI AIDS DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS DI KELURAHAN PETERONGAN, KOTA SEMARANG Nizaar Ferdian *) *) mahasiswa Fakultas Kesehatan

Lebih terperinci